Pencarian

Api Di Puncak Merapi 1

Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi Bagian 1


BASTIAN TITO "Pangeran! Telinga kananmu terluka!" Teriak Liris Merah.
Gadis ini berlari mendatangi. Pangeran Matahari langsung merangkul pinggang
Liris Merah. "Hanya luka kecil, mengapa dikawatirkan!" kata sang Pangeran pula.
"Kau tahu, kobaran api merangsang nafsuku. Aku ingin mencumbumu di tengah
kebakaran dahsyat ini!"
"Pangeran, aku siap melayanimu,"jawab Liris Merah yang sudah tergila-gila pada
Pangeran Matahari. Lalu tanpa malu-malu gadis ini tanggalkan pakaian merahnya
dan baringkan tubuh di tanah.
"Pangeran, cepat. Lakukan sekarang. Tubuhku terasa mulai panas."
"Kekasihku, kau memang hebat. Tidak pernah aku menemui gadis luar biasa seperti
dirimu sebelumnya!" Liris Merah memekik kecil lalu tarik tangan Pangeran
Matahari. API Dl PUNCAK MERAPI
Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi
SATU WULAN Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih seperti diketahui telah mengalami
nasib malang. Diperkosa oleh dua orang anggota Keraton Kaliningrat bernama Kunto
Randu dan Pekik Ireng. Kejadian yang merupakan pukulan sangat hebat itu telah
membuat Wulan Srindi rusak ingatan. Selain itu kecintaannya terhadap Wiro
Sableng menyebabkan pula Wulan Srindi kemana-mana menebar cerita bahwa Pendekar
212 adalah suaminya dan Dewa Tuak adalah gurunya. Dan saat itu dia tengah
mengandung jabang bayi usia tiga bulan hasil perkawinannya dengan Wiro.
Dengan bantuan lblis Pemabuk yang menyelamatkan dan mengajarkan beberapa ilmu
kesaktian padanya, Wulan Srindi yang kini memiliki kulit wajah berwarna putih
berhasil membunuh salah satu dari dua pemerkosanya yaitu Kuntorandu. Peristiwa
itu menggegerkan pimpinan dan pengikut Keraton Kaliningrat. Karena Kuntorandu
menemui ajal di hutan Ngluwer telak-telak di depan mata orang-orang Keraton
Kaliningrat pada saat tengah dilakukan satu pertemuan rahasia.
Dalam Episode sebelumnya ("Azab Sang Murid") diceritakan bagaimana Wulan Srindi
berhasil pula membunuk pemerkosanya yang kedua yaitu Pekik Ireng. Saat itu Wiro
tengah menghadapi serangan puluhan anggota Keraton Kaliningrat. Dia tergaksa
mengeluarkan ilmu "Membelah Bumi Menyedot Arwah" yang didapatnya dari
Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat dari Negeri Latanahsilam. Empat belas
orang Keraton Kaliningrat, di antaranya dua tokoh silat bernama Ki Demang Timur
dan Ki Demang Barat amblas jatuh ke dalam tanah yang terbelah. Satu diantara
mereka yaitu Pekik lreng diselamatkan oleh seorang berpakaian hijau yang muncul
secara tiba-tiba dan ternyata adalah Wulan Srindi.
Tentu saja maksud Wulan Srindi.bukan hendak menolong.
Pekik lreng dibawa ke satu tempat. Setelah Wulan Srindi mengatakan siapa dia dan
kebejatan apa yang telah dilakukan Pekik lreng terhadapnya anggota Keraton
Kaliningrat itu berusaha membunuh Wulan Srindi. Pekik lreng tidak menganggap
sebelah mata karena dia memiliki ilmu kebal, tak mempan pukulan sakti tak tembus
senjata tajam. Namun ternyata Wulan Srindi telah mengetahui kelemahan ilmu kebal
lawan. Hal ini tak sengaja diketahuinya ketika dia pernah menempur orang-orang
Keraton Kaliningrat di hutan Ngluwer sehabis terjadi bentrokan dengan awak kapal
Cina yang kehilangan satu kantong kulit berisi madat.
Melihat lawan mengetahui kelemahan ilmu kebalnya, Pekik lreng jadi leleh
nyalinya lalu ambil langkah seribu. Namun dia tldak mampu lari jauh. Setelah
disembur dengan minuman keras yang menyebabkan kepala dan badannya berlubang
hangus, dengan mempergunakan golok milik Pekik Ireng, sambil berteriak-teriak
seperti orang kemasukan setan Wulan Srindi mencacah sekujur tubuh Pekik Ireng.
Luar biasa mengerikan pembalasan dendam gadis malang yang telah berubah ingatan
ini. Sehabis membunuh Wulan Srindi terduduk menangis di tanah. Mendadak Wulan
hentikan tangisnya. Dia mendengar suara langkah kaki orang mendekati dari
samping kanan. Sebelum sempat berpaling, satu sosok berpakaian putih jatuh
tergelimpang tertelungkup di tanah di hadapannya.
Wulan Srindi berseru kaget. Lalu menjerit keras ketika mengenali siapa adanya
orang yang tergelimpang.
"Wiro!" Wulan peluk Pendekar 212 lalu balikkan tubuh sang pendekar.
"Suamiku, apa yang terjadi"!" Wiro buka kedua matanya.
Malam terlalu gelap dan pemandangannya agak kabur. Namun dia mengenali suara
itu. "Wulan, kaukah ini?"
"Betul, aku Wulan istrimu ..." Wiro jadi terdiam mendengar ucapan itu. Lidahnya
mendadak kelu. "Wiro! Katakan apa yang terjadi. Mukamu sepucat kain kafan!"
"Aku ... aku terkena pukulan seorang bernama Pangeran Muda."
"Apa"!" Wulan Srindi terkejut besar. Dia membuka bagian depan baju Wiro lebar-
lebar. "Wiro, beri tahu bagian mana yang terkena pukulan?"
"Pertengahan dada. Tak ada tanda cidera ..." Wulan Srindi balikkan lagi tubuh
Wiro. Bagian belakang baju yang robek, dirobeknya lagi lebih besar. Dalam gelap
di bawah cacat panjang bekas sambaran ujung tongkat Sinto Gendeng di punggung
Wiro, Wulan melihat tanda merah besar dilingkari warna biru.
"Kau terkena pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung! Jika dalam beberapa hari kau
tidak mendapatkan obat penangkal, nyawamu tidak tertolong lagi ..." Wiro
tertawa. Wulan Srindi tepuk-tepuk pipi Pendekar 212
"Kenapa kau masih bisa tertawa?" tanya si gadis.
"Aku tidak tahu. Tapi jika mendengar kematian aku merasa lega ...".
"Gila!" teriak Wulan Srindi.
"Dengar Wiro, dengar suamiku! Aku tidak ingin kau mati! Aku tidak mau anakku
lahir tanpa ayah!" Wiro garuk kepala. Mulutnya ingin tertawa bergelak. Namun
dalam hati dia setengah mengeluh setengah memaki.
"Celaka! Bagaimana aku mau meyakinkan bahwa antara aku dan dia tidak ada ikatan
perkawinan! Kalau dia hamil, itu bukan anakku. Tapi akibat perbuatan bejat
orang-orang Keraton Kaliningrat!"
"Wiro suamiku," Wulan Srindi lanjutkan ucapan.
"Aku pernah dihantam pukulan yang sama. lblis Pemabuk membawaku menemui seorang
yang mampu menyembuhkan. Wiro, apakah kau bisa berjalan sejauh setengah hari
dari tempat ini" Aku akan membawamu ke tempat orang yang mampu menolong itu."
"Wulan, aku sangat berterima kasih kau mau memikirkan keselamatan diriku. Kau
mau menolong. Tapi rasanya aku tak akan sanggup berjalan sejauh itu. Dua kakiku
seperti lumpuh.
Pemandangan mataku terganggu."
"Kalau begitu aku akan mendukungmu!"
"Kau tidak mampu melakukan itu ..."
"Harus mampu! Kau suamiku! Bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu"! Kalaupun kita
harus mati bersama itu lebih baik dari membiarkan dirimu dalamkeadaan seperti
ini." Wiro pejamkan mata.
Hatinya sangat tersentuh. Begitu banyak orang memperlihatkan kebaikan dan rela
berkorban untuk dirinya. Dia ingat Eyang Sinto Gendeng. Dia ingat pada Kapak
Naga Geni 212 dan batu sakti yang ada di dalam tubuhnya. Dua senjata itu
diketahui merupakan penangkal racun yang sangat ampuh. Mengapa kini tidak mampu
memusnahkan racun pukulan Pangeran Muda" Mungkin karena dia telah berlaku kualat
pada Eyang Sinto"
Susah payah Wulan berusaha mengangkat Wiro. Sampai mandi keringat diatak
berhasil mencoba memanggul pemuda itu di atas salah satu bahunya.
"Wulan, jangan memaksa diri. Pergilah. Tinggalkan aku sendirian di sini." Gadis
muka putih itu ingat apa yang dilakukan lblis Pemabuk ketika dia mengalami
cidera akibat pukulan Memukul Bukit Meremuk Gunung. Dia harus melakukan hal yang
sama agar Wiro mampu bertahan lebih lama sebelum mendapat pertolongan. Maka
dengan cepat Wulan Srindi menotok beberapa bagian tubuh sang pendekar. Akibat
totokan muka Wiro yang tadi pucat kelihatan berubah sedikit merah. Namun di sela
bibir sebelah kiri kelihatan ada lelehan darah.
Wulan terpekik. Dia keluarkan sapu tangan biru muda yang dulu pernah diserahkan
pada Wiro namun kemudian dikembalikan.
Dengan sapu tangan itu dia seka lelehan darah. Dulu dengan sapu tangan itu juga
dia menyeka darah di mulut Wiro yang luka akibat tamparan Sinto Gendeng.
Mengingat kejadian yang terulang kembali ini Wiro menghela nafas dalam dan
pejamkan kedua matanya.
"Luka dalammu lebih parah dari yang pernah aku alami. Apa lagi yang harus aku
lakukan?" Si gadis terduduk di tanah.
"Wiro, aku akan menyeretmu!" Wulan Srindi belum putus asa.
"Kau tidak perlu melakukan hal itu. Wulan, pergilah ...." Tiba-tiba satu
bayangan aneh melayang turun dari atas pohon besar.
Disusul suara perempuan.
"Pendekar Dua Satu Dua Wiro sableng. Apakah kau berkenan menerima
pertolonganku?" Wiro angkat kepalanya sedikit sementara Wulan Srindi
memperhatikan dengan mata tak berkesip.
"Siapa"!" Tanya Wiro .
"Aku seorang sahabat."
"Bunga" Ah, kau bukan Bunga. Suaramu lain ..."
"Betul, aku memang bukan Bunga." Bayangan itu berubah makin jelas, membentuk
sosok seorang perempuan berwajah cantik sekali.
"Bidadari Angin Timur!" Wiro setengah berseru dan mencoba bangkit namun jatuh
terbaring kembali. Mahluk bayangan tersenyum.
"Bidadari Angin.Timur berambut pirang. Rambutku hitam.
Bidadari Angin Timur berwajah cantik. Wajahku buruk ..." Wiro tatap wajah itu,
"Tidak, kau tidak buruk. Wajahmu cantik sekali. Ada ketulusan dan kesetiaan
dalam wajahmu ..." Kata-kata itu hanya terucap dalam hati.
"Lalu siapa dirimu sebenarnya" Mengapa bicara berteka-teki?" Wulan Srindi
membuka mulut. Ada rasa curiga bercampur marah tapi juga ada perasaan cemburu.
"Kau bukan Bidadari Angin Timur atau jejadiannya. Gadis itu sudah mati. Aku tahu
sekali hal itu!" Mahluk cantik berpaling pada Wulan Srindi, tersenyum dan
berkata. "Oh, begitu?"
"Jika kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, lekas menyingkir dari hadapanku!"
Wulan Srindi keluarkan ancaman.
"Sahabat, saat ini aku belum dapat memberi tahu nama atau menjelaskan siapa
diriku." Menjawab perempuan cantik berujud bayang-bayang. Lalu dia berpaling
pada Wiro dan kembali bertanya.
"Pendekar, apakah kau bersedia menerima pertolonganku"
Kau menderita luka dalam sangat parah. Jika tidak mendapat pengobatan tubuhmu
akan membusuk. Nyawamu tidak akan tertolong lagi."
"Enak saja kau bicara!" bentak Wulan Srindi.
"Kau tahu apa mengenai luka dalam yang diderita suamiku!
Lalu kau punya kemampuan apa untuk mengobatinya!" Mahluk yang dibentak masih
bisa tersenyum.
"Aku memang orang bodoh. Mana punya kemampuan mengobati orang. Namun semua yang
akan aku lakukan semata-mata berdasarkan kuasa Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyembuh. Jika diantara kalian ada yang tidak berkenan menerima Kuasa Sang
Penyembuh maka aku mohon maaf dan saat ini juga aku minta diri dari hadapan
kalian." "Tunggu ..." Ucap Wiro ketika dilihatnya perempuan cantik bayangan itu hendak
bergerak pergi.
"Jika kau punya kemampuan menolongku, aku sangat berterima kasih." Perempuan
bayangan melirik ke arah Wulan Srindi Yang dilirik diam saja, mungkin masih
menaruh rasa was-was.
Perempuan bayangan lalu minta bantuan Wulan Srindi untuk membalikkan tubuh Wiro.
Sebelum melakukan hal itu Wulan Srindi berkata.
"Jika kau berdusta dan menipu, siapapun kau adanya akan aku pecahkan kepalamu!"
Masih dengan tersenyum perempuan cantik itu menjawab.
"Manusia biasa memang sering berdusta, acap kali menipu.
Tetapi Tuhan tidak pernah berdusta, tidak pernah menipu." Wulan Srindi terdiam
mendengar ucapan orang. Namun akhirnya dia lakukan apa yang diminta . Perlahan-
lahan dia membalikkan tubuh Wiro hingga terbaring menelungkup. Punggung yang
cacat dan ada tanda merah biru tersingkap lebar. Perempuan bayangan berlutut di
sisi kanan Pendekar 212. Setelah sesaat memandangi punggung pemuda itu maka
dengan suara perlahan tapi cukup jelas terdengar di telinya Wiro dan Wulan
Srindi dia berkata.
"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengobatan ke delapan ratus
enam belas. Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera
di bagian yang berlawanan dari yang dipukul maka ada tiga hal yang harus
dilakukan. "Tunggu dulu!" Tiba-tiba Wiro berkata setengah berseru, memotong kata-kata
perempuan bayangan.
"Kau menyebut Kitab Seribu Pengobatan. Apa yang kau ketahui tentang kitab itu"
Kau seperti tengah membacanya. Malah kau mampu menyebut halamannya."
"Pendekar, saat ini sebaiknya kau berdiam diri dulu. Jangan banyak bersuara.
Mengenai pertanyaanmu, biar nanti saja aku menjawab." Kata-kata perempuan
bayangan segera disahuti Wulan Srindi.
"Dia layak menanyakan. Kitab itu miliknya. Lenyap dicuri orang beberapa waktu
lalu!" "Sahabat, kalau kitab itu memang milik Pendekar Dua Satu Dua, satu hari kelak
kitab itu akan kembali padanya. Sekarang apakah aku boleh melanjutkan menolong
dirinya?" Wulan Srindi tidak menjawab. Perempuan bayangan kembali memulai
usahanya untuk menolong Wiro. Dia mengulang ucapannya tadi.
"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengobatan ke delapan ratus
enam belas. Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera
di bagian yang berlawanan dari yang dipukul maka....." Belum sempat perempuan
bayangan menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba satu bayangan merah laksana burung
raksasa berkelebat menukik dari arah belakang. Wiro yang terbaring menelungkup
dengan muka menghadap ke jurusan datangnya bayangan merah mencium bahaya, serta
merta berteriak.
"Sahabat! Awas! Ada mahluk aneh membokongmu!" Saat itu juga lima larik cahaya
merah berkiblat angkerl Wiro angkat tangan kanan, bermaksud melepas satu pukulan
sakti untuk menangkis serangan membokong. Namun astaga! Apa yang terjadi"
Tangannya lumpuh, tak sanggup diangkat!
"Celaka! Aku tak mungkin menolong!" Wulan Srindi sendiri dalam keterkejutannya
masih mampu melepas pukulan Membelah Ombak Menembus Gunung. Ini adalah jurus
pukulan sakti yang dimilikinya sebagai murid Perguruan Silat Lawu Putih. Dia
melancarkan serangan ini karena tidak punya cukup waktu untuk menyembur dengan
minuman keras dalam kendi. Walaupun otaknya tak beres dan ada rasa benci
terhadap perempuan bayangan, namun melihat orang berlaku pengecut, menyerang
secara membokong, gadis ini masih punya pikiran untuk menolong. Wulan Srindi
terpekik. Satu kekuatan dahsyat menerpa dirinya. Membuat gadis ini jatuh
terjengkang lalu bergulingan di tanah. Lima larik sinar merah angker terus
membeset ke arah tubuh sebelah belakang perempuan bayangan.
"Wusss!"
* * * Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi
DUA HANYA sekejapan mata lagi lima larik sinar merah itu akan menghantam telak
sasaran, tiba-tiba tubuh perempuan bayangan memancarkan cahaya begemerlap
laksana percikan ratusan bunga api. Suara seperti petir menggelegar menggoncang
seantero tempat lima kali berturut-turut sewaktu lima larik sinar merah
berbenturan dengan ratusan cahaya biru bergemerlap yang memancar keluar dari
sosok perempuan bayangan. Perempuan ini goyangkan dua bahunya. Ratusan bunga api
biru yang terpencar-pencar akibat bentrokan dengan lima larik sinar merah
bergabung membentuk satu lingkaran aneh.
Lingkaran biru yang begemerlap ini lalu melesat ke arah bayangan merah yang tadi
melepaskan serangan. Satu jeritan keras menyerupai lolongan srigala hutan
terdengar merobek langit. Sosok serba merah mengepul tersungkur di tanah, tepat
di hadapan Wulan Srindi hingga gadis ini berjingkrak dan terpekik!
"Setan pembokong siapa kau"!" Wulan Srindi membentak.
Dia cepat mengambil sebuah kendi tanah lalu meneguk isinya. Mulut siap menyembur
kearah orang yang tergelimpang di tanah. Tapi tak jadi karena dia keburu
melengak ngeri melihat keadaan orang itu yang ternyata adalah seorang nenek
berambut dan bermuka merah, mengenakan pakaian selempang kain warna merah robek
tak karuan rupa. Bagian dada yang tersingkap memperlihatkan payu dara sebelah
kiri yang sangat besar, berbeda dengan payu dara sebelah kanan yang peot
keriput. Sepasang mata merah mendelik besar seperti mau melompat keluar dari
rongganya. Mulut keluarkan suara erangan disertai kucuran darah bewarna hitam!
Perempuan cantik bayangan tidak beranjak dari tempatnya berlutut di samping
kanan Wiro. Mulutnya berucap perlahan.
"Antara kita tak ada silang sengketa atau dendam sakit hati.
Mengapa kau menyerangku" Salahkah kalau aku melindungi diri dari perbuatan


Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jahatmu tadi?" Sosok yang tergeletak di tanah keluarkan suara menggembor parau.
Mulut megap-megap, tenggorokan turun naik. Sepertinya dia hendak menyemburkan
ucapan kemarahan namun tak mampu dikeluarkan. Tiba-tiba didahului oleh satu
jeritan merobek langit, tubuh mahluk serba merah itu meledak tercabik-cabik,
berubah menjadi tujuh potongan daging yang ditancapi tulang belulang dan
dikobari api, mencelat ke udara. Sebelum hilang dari pemandangan tujuh potongan
tubuh yang dikobari api itu menyatu kembali, membentuk sebuah bola api besar dan
melesat ke langit hingga akhirnya lenyap dari pemandangan. Semua terjadi begitu
cepat dan luar biasa mengerikan. Untuk beberapa ketika kesunyian menggantung di
udara. Di tempat jauh, di sebuah taman di halaman belakang gedung Kepatihan, pada saat
sosok merah meledak dan tercabik menjadi tujuh bagian, Wira Bumi yang baru saja
menghabiskan secangkir kopi hangat dan bermaksud masuk ke dalam gedung tiba-tiba
tersentak kaget. Dia melihat kiblatan cahaya merah tiga langkah di hadapannya.
Bersamaan dengan itu di telinganya mengiang suara raungan panjang menggidikkan.
Dia mengenali benar suara itu.
"Nyai ... ?" ucapnya dengan bibir bergetar. Dia tertegun beberapa ketika lalu
gelengkan kepala.
"Apa yang.terjadi dengan diriku?" Dengan hati tak enak Patih Kerajaan ini
melangkah masuk ke dalam gedung. Kembali ke tempat kejadian.
"Hai! Kau tahu siapa mahluk jahanam tadi" Manusia atau setan?" Wulan Srindi
memecah kesunyian, bertanya pada perempuan bayangan.
"Setahuku dia adalah manusia yang telah pindah ke alam roh, menemui kematian
puluhan tahun silam. Penghuni pekuburan Kebonagung. Kalau tidak salah dia
dipanggil dengan nama Nyai Tumbal Jiwo ..."
"Heran, bagaimana kau tahu semua itu?" ucap Wiro sambil mencoba menggerakkan
tangan kiri kanan tapi tetap tergontai lumpuh. Mahluk perempuan bayangan hanya
tersenyum. "Aku pernah mendengar nama itu. Nyai Tumbal Jiwo adalah mahluk jahat guru Wira
Bumi, yang sekarang menjabat Patih Kerajaan .... Apa yang dikatakan Wiro ini
adalah sesuai dengan yang didengarnya dari Djaka Tua sebelum dibunuh oleh Cagak
Lenting alias Si Mata Elang atas perintah Patih Wira Bumi. Cagak Lenting sendiri
kemudian dibunuh oleh Nyi Retno Mantili. (Baca Episode sebelumnya berjudul "Azab
Sang Murid")
"Pendekar apakah aku bisa melanjutkan pekerjaan mengobati pendekar ..."
"Namaku Wiro. Jangan terus-terusan memanggilku pendekar"
ucap Wiro yang saat itu terbaring menelungkup. Mahluk bayangan tersenyum duduk
bersila di samping kanan Wiro. Mata menatap ke punggung yang tersingkap, mulut
berucap. "Kitab Seribu Pengobatan. Halaman dua ratus tiga. Pengobatan ke delapan ratus
enam belas. Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera
di bagian yang berlawanan dari yang dipukul maka beradi dia telah terkena satu
pukulan mengandung racun jahat yang bisa membuat tubuhnya busuk dan membunuhnya
dalam waktu. tiga hari. Untuk. menolongnya ada tiga hal yang hams dilakukan.
Pertama memohon doa berdoa pada Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang
cidera disembuhkan dari cideranya. Kedua buat guratan tanda silang tepat di atas
bagian tubuh yang cidera. Guratan bisa dilakukan dengan mempergunakan kayu, batu
tapi akan lebih baik jika dilakukan dengan ujung kuku tangan disertai sedikit
aliran tenaga dalam atau hawa sakti. Ketiga rebus empat helai daun sirih. Air
remasan daun diminumkan , empat helai daun sirih lalu ditempelkan di bagian
tubuh orang yang cidera dengan ujung daun mengarah ler, kilen, kidul, dan
wefan." Setelah mengeluarkan ucapan itu perempuan cantik dalam ujud bayangan memandang
pada Wiro dan Wulan Srindi.
"Mari kita berdoa pada Yang Kuasa dalam hati masing-masing, memohon kesembuhan."
Mahluk bayangan berujud perempuan cantik ini pejamkan mata. Wiro melakukan hal
yang sama walau dalam hati dia bertanya-tanya.
"Mahluk aneh mengenal Tuhan. Apakah Tuhannya sama dengan Tuhanku?". Sementara
mahluk bayangan dan Wiro berdoa memohon kesembuhan pada Yang Maha Kuasa, Wulan
Srindi teguk minuman keras dalam kendi. Mulutnya kemudian berucap perlahan.
"Gusti Allah, aku memohon di hadapanMu, sembuhkan suamiku." Tak selang berapa
lama perempuan bayangan dan Wiro membuka mata masing-masing. Perempuan bayangan
gerakkan tangan kanan, diletakkan di punggung Wiro. Dengan ujung kuku ibu jari
tangan kanan dia menggurat, membuat tanda silang tepat di atas punggung yang
cidera. Begitu tanda silang berbentuk, dari bagian tubuh yang cidera membersit
darah kental berwarna merah kehitaman disertai kepulan asap,menebar bau tak
enak. Wiro sendiri saat itu menggigit bibir kuat-kuat menahan sakit luar biasa. Dia
merasa seolah dicengkeram tangan raksasa tak kelihatan yang hendak menjebol dan
membongkar punggungnya.
Bagaimanapun Wiro berusaha bertahan akhirnya meledak juga jeritannya.
"Kurang ajar! Kau bukan menolong! Kau hendak membunuh suamiku!" teriak Wulan
Srindi lalu melompaf menerjang ke arah perempuan bayangan. Tendangan kaki
kanannya melesat ke kepala orang. Mahluk bayangan angkat tangan kirinya. Telapak
tangan dikembang, di arahkan pada Wulan Srindi. Mulutnya berucap.
"Jangan bergerak, jangan bersuara. Atau pendekar ini tak -
akan dapat disembuhkan!" Dalam marahnya Wulan Srindi tidak perdulikan ucapan
orang. Dia malah lipat gandakan tenaga dalam sambil tangan kiri mengambil sebuah
kendi yang tergantung di pinggang. Namun semua gerakan itu mendadak sontak
terhenti. Serangkum angin bersiur halus, keluar dari telapak tangan perempuan bayangan.
Wulan Srindi merasa ada angin dingin menyapu sekujur tubuhnya. Sat itu juga dia
tak mampu bergerak lagi. Perlahanlahan sosoknya yang tadi mengapung di udara
turun ke bawah, terputar membelakangi Wiro. Kaki kiri menginjak tanah, kaki
kanan masih dalam sikap menendang sementara tangan kanan terkulai tak bergerak
di samping dan tangan kiri dalam sikap hendak mengambil kendi di pinggang.
"Jahanam keparat! Kau apakan diriku"!" Teriak Wulan Srindi.
Namun teriakan itu hanya bergema di dalam hati karena jangankan berteriak,
berkatapun dia tak mampu! Lucu sekali keadaan Wulan Srindi. Tidak beda dengan
sebuah patung. Wiro yang menyaksikan kejadian itu kasihan ada geli juga ada.
Kepulan asap di punggung Wiro perlahan-lahan sirna dalam kegelapan. Cidera
dengan tanda merah dilingkari warna biru tidak kentara lagi. Namun daging
punggung di bagian yang cidera itu kelihatan membengkak ke atas sementara darah
merah kehitaman masih terus mengucur.
"Pendekar, aku telah melakukan apa yang bisa aku lakukan.
Tinggal kini mencari empat lembar daun sirih. Kurasa hal itu bisa dikerjakan
oleh sahabat berpakaian hijau yang membekal banyak kendi di pinggangnya." Habis
berkata begitu perempuan bayangan bergerak bangkit. Namun sebelum berdiri, dalam
keadaan setengah berjongkok dia dekatkan wajahnya ke telinga kiri Wiro dan
berbisik. "Pendekar ada sesuatu yang hendak aku sampaikan padamu.
Harap kau mendengar saja dan jangan bicara. Kitab Seribu Pengobatan milikmu ada
padaku. Sebelum mati Hantu Malam Bergigi Perak berpesan agar kitab itu
diserahkan padamu. Harap kau tidak gusar. Saat ini aku tidak dapat menyerahkan
kitab padamu. Ada yang aku kawatirkan. Kalau berkenan datanglah ke Bukit Menoreh
pada purnama hari ke empat belas minggu depan.
Cari pohon jati yang doyong ke timur. Tunggu di situ. Tepat pada pertengahan
malam kau akan mendengar tanda berupa suara burung perkutut tiga kali berturut-
turut. Pada saat kita bertemu kitab akan aku serahkan padamu. Usahakan datang
seorang diri. Karena kalau ada orang ke tiga keadaan bisa berubah nanti. Aku
pergi sekarang. Semoga kau lekas sembuh."
Mahluk bayangan berujud perempuan cantik usapkan tangan kanannya di atas kening
Wiro. Pemuda ini merasa dadanya yang sejak tadi sesak menjadi lega. Rasa sakit
di punggung jauh berkurang. Pemandangannya yang tadi guram menjadi lebih jernih.
Wiro berusaha membuka mulut hendak mengatakan sesuatu.
Namun perempuan bayangan cepat memberi tanda agar Wiro tidak mengeluarkan suara.
Sebelum meninggalkan tempat itu perempuan bayangan angkat tangan kirinya.
Telapak yang terkembang diarahkan pada Wulan Srindi. Wulan merasa angin dingin
menyapu dirinya. Saat itu juga tubuhnya yang kaku bisa bergerak dan mulut yang
bisu mampu bersuara kembali. Dia membalikkan badan hendak mendamprat namun
perempuan bayangan tak ada lagi di tempat itu. Wulan Srindi melompat.
'Wulan, kau mau kemana?" tanya Wiro.
"Aku mau mengejar setan betina tadi!" Jawab Wulan Srindi.
"Jangan lakukan itu." Langkah Wulan terhenti. Dia memandang wajah Wiro sejurus
lalu berkata. "Kalau begitu biar aku pergi mencari daun sirih untuk obatmu.
Sebelum matahari terbit aku akan kembali."
"Terima kasih kau mau menolongku ..." Wulan Srindi menyeringai.
"Hantu perempuan itu saja mau menolongmu. Apa lagi aku yang istrimu!" Wiro
terdiam. Tapi kemudian dia tertawa gelak-gelak.
"Kenapa kau tertawa" Apa yang lucu"!" tanya Wulan Srindi.
"Tidak ada yang lucu. Saat ini sepertinya aku kepingin jadi gila!"
"Oala. Kalau begitu bertambah satu lagi manusia sinting di dunia ini!" ucap
Wulan Srindi. Sambil tertawa cekikikan gadis ini tinggalkan tempat itu. .
Seperti yang dijanjikannya, sebelum sang surya muncul di ufuk timur Wulan Srindi
kembali ke tempat dimana dia meninggalkan Wiro. Namun kagetnya bukan alang
kepalang ketika mendapatkan pemuda yang dianggapnya sebagai suaminya itu tak ada
lagi di situ. "Pasti ini pekerjaan setan perempuan itu! Jahanam betul Kemana aku harus
mencarinya"!" Wulan Srindi marah sekali. Dia ambil sebuah kendi yang tergantung
di pinggang. Meneguk minuman keras dalam kendi hingga habis. Kendi yang kosong
lalu dibanting hingga amblas masuk ke dalam tanah! Seperti orang kesetanan dari
mulutnya keluar jerit berkepanjangan.
* * * Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi
TIGA DALAM keadaan tubuh lunglai tak mampu bergerak dan didera demam panas Pendekar
212 Wiro Sableng menyadari kalau saat itu dia dipanggul orang dan dibawa lari di
kegelapan malam. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam namun akibatnya aliran
darahnya di beberapa tempat tertahan. Tak sanggup bertahan akhirnya Wiro jatuh
pingsan. Dua hari kemudian. Didahului satu tarikan nafas panjang perlahan-lahan Wiro
membuka kedua matanya. Dia jadi terkesiap ketika kemanapun dia memutar mata
hanya kegelapan yang terlihat.
Telinganya menangkap suara dua perempuan bicara perlahanlahan.
"Gila! Apakah aku sudah buta" Atau sudah mati ... Jangan jangan aku berada dalam
liang kubur. Mengapa sangat gelap?" ucap Pendekar 212 dalam hati. Saat itu dia
terbaring menelungkup di atas satu benda keras dan dingin. Wiro coba gerakkan
tangan kanan dan berusaha bangun. Ternyata dia tidak mampu melakukan, Dia
gerakkan kaki kiri. Juga tidak bisa. Coba dongakkan kepala. Tidak berhasil. Wiro
sadar. "Ada orang yang menotok tubuhku. Siapa" Dua perempuan itu" Dimana mereka" Gelap
sialan! Aku tak bisa melihat apa-apa!"
Lapat-lapat dikejauhan Wiro mendengar suara air memancur Lalu kembali ada suara
dua orang perempuan berbisik-bisik. Walau cuma dekat tapi karena sangat gelap
dia tidak bisa melihat kedua orang itu.
"Hai! Aku berada dimana" Siapa yang barusan bicara" Apa yang terjadi dengan
diriku?" Wiro keluarkan ucapan. Suara berbisik serta merta lenyap. Wiro jadi
penasaran. Tubuhnya terasa tidak panas lagi. Dia coba gerakkan tangan dan kaki.
Tidak mampu. Ternyata dia dalam keadaan tertotok. Wiro coba mengingat-ingat.
Ber-mula ketika di satu tempat dia ditinggal oleh Wulan Srindi. Gadis itu pergi
untuk mencari daun sirih guna mengobati dirinya. Dalam keadaan tubuh cidera dan
digerayangi demam panas tiba-tiba berkelebat satu bayangan dan tahu-tahu dia
telah berada di atas bahu seseorang, dibawa berlari dalam gelapnya malam sampai
akhirnya dia jatuh pingsan.
"Aku tahu ada dua orang perempuan di tempat ini."Wiro keluarkan ucapan.
"Apakah kalian yang menolong dan membawaku ke sini.
Kalau kalian memang punya niat baik menolongku, aku mengucapkan terima kasih.
Tapi mengapa tidak mau unjukkan rupa" Mengapa menotokku segala" Dan ini tempat
apa adanya" Mengapa gelap sekali. Kuburanpun tidak segelap ini!"
Dari samping kiri terdengar suara orang menahan tawa.
Disusul suara ucapan dari samping kanan.
"Kau tahu gelapnya kuburan. Memangnya sudah pernah di kubur"! Apa sudah pernah
mati"! Berarti saat ini kau adalah hantu jejadian! Hik..hik!" Pendekar 212
memaki dalam hati.
"Dia sudah siuman dan mulai banyak bicara. Mungkin perlu kita totok untuh
membungkam mulutnya!" Dalam gelap Wiro pejamkan mata sesaat. Dia coba mengingat-
ingat. Dia rasa-rasa pernah mendengar suara itu. Tapi lupa dimana, apa lagi
mengenali orangnya. Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat kembali akan cidera
parah yang dialaminya. Dia berkata.
"Aku harus keluar dari tempat ini! Aku tak mau menemui ajal di sini!"
"Eh, memangnya kau tahu kalau dirimu mau mati"!"
"Keluarkan aku dari sini atau ..."
"Tak ada gunanya mengancam. Kau dalam keadaan tertotok!"
"Kalau begitu lekas lepaskan totokan di tubuhku. Kalau tidak kau akan menyesal
seumur-umur!"
"Hik ... hik, mengancam lagi!"
"Dengar, jika terjadi sesuatu dengan disiku, kalian berdua harus bertanggung
jawab ...."
"Kami membawamu kesini. Apa itu bukan satu bukti tanggung jawab"!"
"Tanggung jawab kentut! Aku dalam keadaan cidera berat.
Aku butuh pengobatan. Seseorang tengah menolongku. Tapi kalian menculik dan
membawaku ke tempat celaka ini! Aku akan menemui ajal! Aku akan segera mati!"
Wiro berteriak keras hingga ruangan batu bergetar. Dadanya turun naik. Lalu
mulutnya berucap perlahan.
"Aku tidak takut mati. Tapi aku tidak mau mati di tempat celaka ini. Keluarkan
aku dari sini!"
"Pendekar Dua Satu Dua! Kami tahu semua apa yang terjadi dengan dirimu. Kami
telah melakukan yang terbaik untukmu. Yang Maha Kuasa masih menolong mu. Kini
saatnya kau membalas budi kebaikan kami." Salah satu dari dua perempuan dalam
gelap keluarkan ucapan.
"Kami ... kami! Siapa kalian" Mengapa menyekap aku di tempat gelap ini! Mengapa
kalian tidak berani unjukkan muka"! Jelas membekal niat tidak baik!"
"Siapa bilang kami tidak berani unjuk muka!" Tiba-tiba sebuah obor menyala.
Tempat itu kini jadi terang benderang. Sepasang mata Wiro berputar. Temyata dia
berada di sebuah ruangan batu.
Saat itu dia terbaring menelungkup di atas sebuah ketiduran terbuat dari batu,
tanpa baju, hanya mengenakan celana. Pandangan Wiro segera saja membentur dua
sosok tubuh dibalut pakaian merah dan biru, bersanggul digulung di atas kepala,
berwajah cantik jelita.
"Wong edan! Kalian rupanya!" ucap Pendekar 212 setengah berteriak begitu
mengenali. Jengkel sekali tapi juga merasa gembira.
Dua orang itu ternyata adalah Liris Merah dan adiknya Liris Biru, murid Hantu
Malam Bergigi Perak yang telah menemui ajal di tangan Sinto Gendeng. Keduanya
memperhatikan Wiro sambil senyum-senyum. Seperti dituturkan sebelumnya dua gadis
itu membawa jenazah Hantu Malam Bergigi Perak ke Goa Cadasbiru di Kaliurang.
Namun di tengah jalan keduanya berubah pikiran. Jenazah sang guru mereka kubur
di sebuah bukit kecil lalu keduanya kembali ke tempat dimana Hantu Malam Bergigi
Perak menemui ajal. Tidak terduga di satu tempat mereka menemui Pendekar 212
dalam keadaan cidera berat tengah ditolong oleh Wulan Srindi.
"Setelah melihat kami, apa kau masih punya pikiran bahwa kami membekal niat
jahat?" Bertanya Liris Biru.
"Kalian menculik dan membawa aku ke tempat ini. Kalian juga menotok tubuhku!
Siapa yang tidak akan punya dugaan kalau kalian memang punya niat jahat"!" Tukas
Pendekar 212. Lalu menyambung ucapannya.
"Aku jadi bingung. Kalau kalian memang orang-orang jahat mengapa dulu
menciumku?" (Baca serial Wiro Sableng episode sebelumnya berjudul "Nyi Bodong")
Liris Merah dan Liris Biru jadi kemerahan wajah masing-masing mendengar kata-
kata pemuda itu.
"Kalau kami memang orang-orang jahat, seharusnya pada saat pertama kali kami
menemuimu tergelimpang di tanah dalam keadaan tak berdaya, kami sudah membunuhmu
tapi kami punya alasan kuat untuk menghabisi nyawamul" Liris Merah keluarkan
ucapan. "Hebat! Dosa kesalahan apa yang telah aku buat hingga enak saja kalian mau
membunuhku"!"
"Bukan kau yang punya dosa! Tapi gurumu!" jawab Liris Biru.
"Guruku" Maksud kalian Eyang Sinto Gendeng?" Wiro kere-nyitkan kening. Hendak
menggaruk kepala tapi tidak bisa. Liris Merah melangkah lebih dekat ke
pembaringan batu.
"Dengar," ucap si gadis.


Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gurumu Sinto Gendeng telah membunuh guru kami Hantu Malam Bergigi Perak! Keji
sekali!" Kejut Pendekar 212 bukan alang kepalang. Kalau saja tidak dalam keadaan
tertotok, Wiro pasti sudah melesat melompat mendengar ucapan Liris Merah itu.
"Aku tidak percaya! Jangan kau bicara tak karuan! Beraninya memfitnah guruku!"
Teriak Wiro. Kini Liris Biru yang melangkah mendekati pembaringan batu.
"Kami memang tidak melihat peristiwanya. Tapi ada seorang menyaksikan kejadian
itu ...." "Siapa?" tanya Wiro dengan suara bergetar.
"Seorang kakek bermata belok yang salah satu dari dua telinganya terbalik!
Tukang beser bernama Setan Ngompol!" Jawab Liris Biru.
"Ah, kakek itul Mungkin saja dia salah melihat. Dia sudah tua matanya sudah
mulai rabun. ...." Liris Merah mencibir.
"Dia memang sudah tua, tapi matanya tidak rabun apa lagi butal Dan ucapannya
tidak dusta!"
"Kalau kalian merasa yakin guruku Eyang Sinto Gendeng yang membunuh guru kalian,
lalu mengapa kalian tidak segera saja membunuhku" Malah sebaliknya menolongku?"
"Kalau saat ini kau memang minta mati, kami tidak segan-segan melakukannya!"
kata Liris Merah pula dengan menahan amarah. Wiro terdiam tapi otaknya berjalan.
Kalau dua orang gadis itu tidak membunuhnya berarti ada sesuatu yang mereka
harapkan. Akhirnya Wiro berkata.
"Aku tidak bisa percaya begitu saja kata-kata kalian. Aku harus menemui Setan
Ngompol. Aku harap kalian segera melepaskan totokan di tubuhku!"
"Dasar sableng. Mau enaknya sendiri. Tidak tahu terima kasih menerima budi orang
..." ucap Liris Merah. Gadis ini mendekati Wiro lalu dengan dua jari tangan
kanannya dia menusuk dua titik di punggung si pemuda. Saat itu juga totokan yang
membuat kaku tubuh Wiro musnah.
"Totokan sudah kulepas! Kalau kau mau pergi silahkan pergi sekarang juga!" ucap
Liris Merah pula dengan suara keras lantang.
Wiro atur aliran darah dan kerahkan tenaga dalam. Sesaat kemudian tubuhnya
melesat ke udara lalu melagang turun, berdiri senyum-senyum di antara dua gadis
cantik Liris Merah dan Liris Biru.
"Tak perlu cengengesan segala. Kau bilang mau pergi.
Kenapa masih jual tampang di sini"!" Kata Liris Merah sambil berdiri berkacak
pinggang. Wiro tertawa.
"Sebelum pergi, aku perlu bicara dulu."
"Bicara apa?" tanya Liris Biru. Wiro usap-usapkan telapak tangannya satu sama
lain. "Pertama, aku harus mengucapkan terima kasih pada kalian berdua karena membawaku
ke sini. Aku merasa telah menerima budi sangat besar. Kedua aku mohon maaf kalau
tadi telah bicara keras dan kasar pada kalian berdua ..."
"Hemmm, aneh juga. Tadi kau marah-marah dibawa kesini.
Sekarang malah berterima kasih dan minta maaf segab. Sepertinya minta
dikasihani! Begitulah manusia, berbuat seenaknya dulu baru kemudian minta maaf!"
Tukas Liris Merah pula. Wiro cuma menyengir. Tangan kanannya bergerak ke
punggung, pada bagian yang cidera bekas pukulan Pangeran Muda dari Keraton
Kaliningrat. Dia merasa ada sesuatu menempel di punggung itu. Diambilnya lalu diperhatikan.
Wiro terkejut. Yang dipegangnya saat itu adalah selembar daun sirih yang telah
layu, berwarna kehitaman. Wiro meraba lagi ke punggung. Sekali ini diadapatkan
tiga lembar daun sirih sekaligus. Langsung saja dia ingat kejadian dan ucapan
perempuan cantik bayangan.
",...empat helai daun sirih Ialu ditempelkan di bagian tubuh orang yang cidera
dengan ujung mengarah ke ler, kilen, kidul dan wetan .... "
"Kalian berdua, Liris Merah, Liris Biru ..." ucap Wiro sambil memandang dari
daun sirih dan pada dua gadis silih berganti.
"Kalian telah mengobati diriku?" Wiro merasa yakin kalau memang kedua gadis
cantik itu yang telah menolong mengobatinya karena saat kejadian Wulan Srindi
telah meninggalkan dirinya untuk mencari daun sirih yaitu sesuai dengan petunjuk
perempuan bayangan.
"Tadi aku sudah mengatakan. Kami tahu semua yang terjadi.
Dan kami berdua telah melakukan yang terbaik untukmu." Kata Liris Merah dengan
wajah asam. Wiro menggaruk kepala. Ini pertama kali dia menggaruk dan terasa
sedap sekali. Puas menggaruk dia berkata.
"Kalau tidak keberatan tolong jelaskan apa yang terjadi dan apa yang telah
kalian lakukan." Liris Merah berpaling pada adiknya Liris Biru. Liris Biru
kemudian menerangkan.
"Kami datang di tempat kau tergeletak pada malam dua hari lalu ...."
"Apa"! Jadi aku berada di tempat ini sudah selama dua hari?"
memotong Wiro. Liris merah anggukkan kepala. Lalu meneruskan penjelasannya.
"Kami datang pada saat kau roboh di samping seorang gadis yang pinggangnya
dipenuhi kendi. Tak jauh dari situ ada satu sosok lelaki yang sudah jadi mayat
dengan tubuh hancur seperti dicincang.
Siapa adanya gadis berdandanan aneh itu?" Liris Biru bertanya sambil melirik
melirik pada kakaknya.
"Namanya Wulan Srindi. Sengsara yang amat sangat membuat jalan pikirannya
berubah. Dia diambil murid oleh lblis Pemabuk. Katakan, apa yang kalian ketahui
selanjutnya ..."
"Gadis itu berusaha keras menolongmu tapi tidak bisa. Lalu muncul satu mahluk
aneh. Perempuan cantik berbentuk-bayangan.
Aku dan kakakku mendengar semua apa yang diucapkan mahluk bayangan itu untuk
mengobatimu. Pokoknya kami mendengar semua pembicaraan kalian. Mahluk ini
kemudian menolong mengobati cidera di punggungmu. Namun masih diperlukan empat
lembar daun sirih untuk menuntaskan pengobatan. Ketika mahluk itu melenyapkan
diri dan gadis bernama Wulan Srindi meninggalkanmu untuk mencari daun sirih,
kami membawamu pergi. Kau kami bawa kesini. Tempat ini adalah Goa Cadasbiru,
terletak di Kaliurang, tempat kediaman kami bersama mendiang guru ...." Wiro
angguk-anggukkan kepala
"Tadi aku tidak tahu berada dimana. Sekarang setelah tahu aku sangat
bersyukur ...." Liris Biru meneruskan keterangannya.
"Sesuai ucapan mahluk bayangan kami cari empat lembar daun sirih. Kemudian kami
tempelkan di punggungmu yang cidera.
Tubuhmu mengepulkan asap hitam. Dari cidera di punggungmu membersit darah
kehitaman yang kemudian secara aneh lenyap sendirinya. Selama dua hari dua malam
kau tergeletak menelungkup di atas pembaringan batu itu, terserang demam panas.
Kau sering mengigau, berteriak-teriak, memukul dan menendang. Kami terpaksa
menotokmu. Sekarang kau telah sembuh."
Wiro rapatkan dua tangan di atas kening, membungkuk dalam-dalam seraya berkata.
"Aku berhutang budi dan nyawa pada kalian berdua. Katakan bagaimana aku bisa
membalasnya."
"Kami hanya ingin kau menjawab beberapa pertanyaan."
Jawab Liris Merah pula.
"Pertama, siapa adanya perempuan cantik berbentuk bayangan itu?" Wiro menggaruk
kepala. "Aku sendiri tidak kenal padanya. Tapi dia seperti kenal padaku."
"Aku tidak tahu apa kau berdusta atau tidak." ujar Liris Merah.
"Pertanyaan kedua," Liris Biru yang berucap.
"Gadis bernama Wulan Srindi itu memanggilmu dengan sebutan suamiku. Apakah dia
istrimu" Memangnya kau sudah kawin?" Wiro garuk kepala lalu menggeleng.
"Dia bukan istriku, aku bukan suaminya ...."
"Tapi kabarnya dia sudah hamil tiga bulan!" Potong Liris Merah dengan unjukkan
wajah sinis. "Aneh juga! Tidak dikawini tapi bisa hamil!" ucap Liris Biru setengah mengejek.
Lalu tertawa cekikikan.
"Memang aneh. Seperti aku katakan tadi akibat derita sengsara yang tak sanggup
dihadapinya, Wulan Srindi rusak jalan pikirannya. Sebelumnya dia mengaku sebagai
murid Dewa Tuak.
Lalu kemana-mana menebar ucapan bahwa aku adalah suaminya.
Malah dia mengatakan kalau sudah hamil tiga bulan. Bahkan semua itu pernah
dikatakannya pada guruku Eyang Sinto Gendeng. Aku kasihan padanya, tapi tak bisa
berbuat apa ...."
"Derita sengsara apa yang begitu hebat hingga membuat dirinya rusak pikiran
seperti itu?" Bertanya Liris Biru.
"Dia diperkosa ..." Jawab Wiro.
Liris Merah dan Liris Biru saling pandang dan sama-sama terdiam. Akhirnya Liris
Merah membuka mulut
"Waktu mengobati dirimu, mahluk bayangan menyebut Kitab Seribu Pengobatan. Yang
kami ingin tahu dimana beradanya kitab itu sekarang?"
"Aku melihat mahluk bayangan itu berbisik padamu. Apa yang dibisikkannya?" Liris
Biru ikut ajukan pertanyaan. Wiro menggaruk kepala, mengingat-ingat.
"Saat itu dia mengatakan bahwa Kitab Seribu Pengobatan ada padanya dan kelak
akan diserahkan padaku."
"Kapan" Dimana akan diserahkan?" Desak Liris Merah.
Walau memang sudah ada perjanjian di satu tempat dengan mahluk bayangan namun
Wiro tidak mau memberi tahu.
"Kalian berdua, aku telah berhutang budi dan nyawa pada kalian. Aku ingat cerita
kalian tempo hari. Kalian punya kelainan.
Tidak tahan hawa panas. Dengar, jika kitab itu aku dapatkan, aku berjanji akan
menyerahkan pada kalian."
"Siapa percaya janjimu!" ucap Liris Merah.
"Sahabatku, salah satu perbuatan baik dalam hidup ini adalah saling percaya.
Mana mungkin aku berdusta pada orang-orang yang telah menyelamatkan nyawaku. Aku
harus pergi sekarang. Tolong tunjukkan jalan keluar ....." Liris Merah kesal
tapi tudingkan ibu jari tangan kirinya ke arah kanan. Wiro membungkuk.
Mengucapkan terimakasih lalu melangkah cepat kearah yang ditunjuk. Lima langkah
bergerak tiba-tiba Liris Biru berkelebat menghadang.
"Ada apa?" tanya Wiro heran. Liris Biru angkat tangan kanannya. Di tangan itu
dia memegang sebuah benda terbuat dari perak yang segera dikenali Wiro.
"Tusuk konde perak. ltu milik guruku. Bagaimana bisa berada padamu" "
"Kami temukan tersemat di baju bututmu waktu kami menggeledah sekujur tubuhmu!"
Menerangkan Liris Biru. Wiro terkejut.
"Apa"! Kalian menggeledah sekujur tubuhku"!" ucap pendekar sambil tekap dada
lalu tekap bagian di bawah perutnya.
Liris Merah dan Liris Biru langsung merah wajah masing-masing.
"Kami bukan gadis murahan! Kami cukup tahu peradatan sopan santun waiau saat itu
kau dalam keadaan pingsan!" kata Liris Merah pula. Liris Biru kemudian angsurkan
tusuk konde perak yang segera diambil oleh Wiro.
"Terima kasih. Kalian berdua baik sekali. Hutang budiku tambah besar." Pendekar
212 langsung melanjutkan langkahnya.
Namun sebelum berkelebat pergi pemuda ini lebih dulu mencium pipi kiri Liris
Biru. Untuk beberapa lamanya Liris Biru tegak tertegun sambil mendekap pipinya
yang bekas dicium sementara sang kakak, Liris Merah, memperhatikan dengan
pandangan tidak senang. Lalu dia melangkah mendekati adiknya dan berkata.
"Adikku, terus terang aku tidak percaya pada semua ucapan Pendekar Dua Satu Dua.
Terutama janjinya akan menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan. Aku harus
mengikutinya. Aku punya firasat dia tengah menuju ke satu tempat dimana kitab
itu berada."
"Terserah padamu, kakak. Tapi ingat sudah saatnya kita berendam di telaga,
membersihkan diri di air pancuran. Tidakkah kau merasa kalau tubuh kita mulai
panas" Sebaiknya kita mendinginkan diri dulu ...."
"Kalau kita mendinginkan diri lebih dulu, pemuda itu sudah lari jauh. Aku akan
berusaha mencari telaga di tengah jalan."
"Kalau begitu aku ikut bersamamu." Kata Liris biru pula.
"Tidak, kau tunggu di sini. Apa kau lupa di tempat ini kita menyimpan benda
sangat berharga?" Walau menduga-duga apa itu alasan sebenarnya Liris Merah
menolak dia ikut serta akhirnya Liris Biru anggukan kepala mengalah.
"Pergilah. Hati-hati ...." Setelah Liris Merah pergi, sang adik masih tegak di
tempatnya semula. Hatinya berucap.
"Aku lihat wajah kakak tadi. Menunjukkan rasa tidak senang.
Ada bayangan rasa cemburu. Apakah dia sudah jatuh cinta pada pemuda itu. Tapi
mengapa tadi dia selalu bicara keras" Kalau Wiro suka pada aku dan Liris Merah,
mengapa cuma aku yang diciumnya" Padahal dulu aku dan kakak sama-sama
menciumnya. Kepergian kakak, apakah sepenuh hati hanya untuk
menguntit, bukan karena hasrat ingin berada dekat pemuda itu?"
Liris Biru usap pipinya yang bekas dicium Wiri. Dia ingat cerita Setan Ngompol.
Selain memberi tahu siapa pembunuh gurunya si kakek juga menjelaskan bahwa Kitab
Seribu Pengobatan berada di tangan perempuan bayangan. Dan yang tidak dilupakan
Liris Biru adalah penjelasan Setan Ngompol bahwa gurunya pernah mengeluarkan
ucapkan kalau Wiro suka dia boleh memilih salah satu antara dia dan kakaknya.
"Aku tadi diciumnya. Apakah itu satu pertanda bahwa dia memilihku .... ?" Liris
Biru tersenyum sendiri Gadis ini keluar dari gua, langsung menuju ke sebuah
telaga yang terletak di bagian bawah satu tebing batu. Di salah satu dinding
tebing ada sebuah pancuran. Walau ada tangga batu menuju ke dalam telaga, Liris
Biru tidakmau berlama-lama. Gadis itu rangsung melesat terjun masuk ke dalam
air. Saat itu langit di ufuk timur mulai tersaput cahaya kemerahan pertanda tak lama
lagi sang surya akan segera terbit. Sambil berendam untuk melenyapkan hawa panas
penyakit aneh yang diidapnya selama bertahun-tahun Liris Biru bernyanyi-nyanyi
kecil. Mendadak suara nyanyiannya lenyap. Dua kakinya yang menjajaki dasar telaga
merasa ada getaran-getaran aneh. Lalu dilihatnya ada sebuak benda bergerak di
dalam air, mendekat ke arahnya.
"lkan besar" Buaya" Bertahun-tahun tinggal di sini setahuku tidak ada binatang
hidup dalam telaga ini. Jangan-jangan makluk jejadian hendak mencelakai diriku."
Tidak tunggu lebih lama segera saja Liris Biru angkat tangannya, siap untuk
menghantam dengan aliran tenaga dalam penuh.
Tiba-tiba sebuah benda besar mencuat keluar dari dalam telaga. Air telaga
bermuncratan. Liris Biru pukulkan tangan kanannya ke depan. Dia berseru kaget
ketika lengan kanannya terasa dicekal kuat. Dan sewaktu muncratan air lenyap
gadis ini lebih kaget lagi begitu melihat siapa yang ada di hadapannya dan
mencekal tangannya.
"Kau!" Yang diteriaki tertawa lebar.
"Kurang ajar sekali! Beraninya kau mengintip perempuan mandi!" Orang yang
mencekal lengan si gadis, yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa bergelak.
"Kau masih mengenakan pakaian utuh. Kalau sudah .
telanjang boleh saja kau marah!"
"Apa yang kau lakukan di telaga ini! Kau bilang tadi kau mau pergi! Sekarang
mengapa ada di sini?" Liris Biru tarik tangannya yang dipegang Wiro.
"Aku tidak mau diikuti oleh kakakmu. Selain itu aku memang sudah beberapa hari
tidak mandi. Kebetulan ada telaga berair jernih."
"Bagaimana kau tahu kalau kakakku mengikutimu."
"Keluar dari goa, aku tidak terus pergi. Aku sempat mendengar pembicaraan kalian
...." "ltu Cuma jawaban yang dibuat-buat. Alasanmu yang sebenarnya adalah menungguku
turun mandi ke telaga ini. Dasar pemuda ganjenl"
"Eh, tunggu dulu. Siapa yang ganjen di antara kita" Bukankah kau dan kakakmu
yang lebih dulu menciumku tempo hari?"
"Kami menciummu bukan karena ganjen. Tapi karena sangat berharap dan bebesar
hati kau bisa menolong kami mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan. Kau sendiri
mengapa tadi waktu di goa menciumku?" Wiro menggaruk kepala. Lalu menjawab.
"Pertama, kau baik. Lebih baik dari kakakmu yang bicara selalu keras meledak-
ledak. Selain itu kau cantik. Lalu bukankah ciuman itu pantas sebagai sopan
santun balasan ciumanmu tempo hari?"
"Edan!" Teriak Liris Biru. Wajahnya yang basah oleh air telaga kelihatan bersemu
merah namun diam-diam hatinya merasa senang.
Wiro tertawa lebar.
"Sudah, agar tidak dituduh ganjen terus -terusan aku mau pergi saja."
"Tunggu," kata Liris Biru. Kini dia yang mencekal tangan kanan Wiro hingga si
pemuda tertarik satu langkah dan ini cukup membuat tubuh keduanyanya hampir
bersentuhan. "Apakah kau benar-benar akan menyerahkan Kitab Seribu Pengobatan " bertanya
Liris Biru. "Karena kalau kau berdusta, percuma saja aku menunggu di sini"
"Mana aku sampai hati mendustai gadis sebaik dan secantik-mu. Apa lagi mengingat
kematian gurumu di tangan Eyang Sinto.
Aku merasa sangat menyesal dan sedih sekali ..." Wiro tekapkan kedua telapak
tangannya kewajah Liris Biru. Entah mengapa gadis ini lingkarkan dua tangannya
di pinggang Wiro lalu sandarkan kepala di dada bidang sang pendekar. Terdengar


Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suaranya perlahan.
"Wiro, apakah aku boleh ikut bersamamu?"
"Hemm ... Saat ini kurasa belum boleh. Lain kali kita akan pergi sama-sama
kemana kau suka.
" Wiro belai rambut basah si gadis.
"Aku harus pergi sekarang. Tunggu di sini. Aku pasti datang membawa kitab itu."
"Aku akan menunggu," jawab Liris Biru lalu memeluk tubuh Wiro erat-erat seolah
tak ingin pemuda itu lekas-lekas meninggal-kannya. Sesaat Wiro balas merangkul
punggung si gadis lalu mencium keningnya.
"Aku pergi ..." bisik Pendekar 212.
"Tunggu, walau kau tidak menceritakan kemana kau akan pergi namun aku tahu
perjalananmu pasti jauh. Sementara kau hanya membekal sehelai celana basah dan
tidak mengenakan baju.
Di dalam goa ada beberapa perangkat pakaian mendiang guru. Aku akan mengambilkan
satu pasang untukmu. Naiklah ke tebing di atas sana."
"Gurumu perempuan, aku laki-laki. Mana mungkin aku pakai pakaian perempuan. Aku
belum mau jadi banci ......" Saat itu Liris Merah telah melesat keluar dari
telaga, masuk kedalam Goa Cadasbiru.
Ketika dia keluar membawa sehelai celana dan baju hitam, Wiro sudah menunggu.
"Pakailah," kata Liris Biru sambil menyerahkan pakaian yang di bawanya.
"Eh, tak mungkin aku berganti pakaian di hadapanmu," kata Wiro sambil memandang
kiri kanan. "Jangan bicara konyol. Kau bisa masuk ke dalam goa!" Wiro menyengir. Sambil
manggut-manggut melangkah masuk ke dalam goa. Ketika keluar dia sudah mengenakan
baju dan celana hitam.
Ukuran badannya agak sempit, lengan dan kaki celana menggantung kependekan.
Liris Biru tertawa geli melihat keadaan Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
"Tak mengapa. Biar jadi badut dari pada tidak pakai baju dan celana sama sekali.
Liris Biru, terima kasih untuk pakaian ini!"
Sebelum berkelebat pergi Wiro tepuk pantat si gadis.
"lhhh!" Si gadis terpekik kaget tapi senang. Untuk beberapa lamanya dia masih
tegak di tempat itu. Seumur hidup baru tadi untuk pertama kalinya dia memeluk
dan dipeluk seorang lelaki. Satu kenangan mesra dan indah yang tak bakal
dilupakannya sampai kapanpun. Di balik sebuah batu di atas tebing, sepasang mata
melotot sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi dengan dua insan di dalam
telaga. Wajahnya yang cantik tampak berkerut dan dada menyentak keras.
"Perasaanku ternyata benar. Tidak sia-sia aku kembali untuk menyelidik.
Lancangnya dia menyerahkan pakaian milik guru. Liris Biru, sekalipun kau suka
pada pemuda kurang ajar itu dan dia senang padamu, aku bersumpah kau tak akan
mendapatkan dirinya.
" Orang yang berucap perlahan itu balikkan tubuh. Pakaian yang serba merah,
rambut yang digulung di atas kepala menyatakan bahwa dia bukan lain adalah Liris
Merah. * * * Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi
EMPAT DALAM bangunan batu pualam di dasar telaga yang terletak di puncak Gunung Gede.
Nenek muka putih berpakaian biru dengan rambut hitam tergerai kusut, berlutut di
hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, saya" tak akan habis-habisnya mengucapkan terima kasih atas budi baik
Kiai yang telah menolong menyelamatkan saya.
Mengobati cidera yang saya alami sehingga sembuh . Saya tidak mungkin membalas
semua budi dan hutang nyawa itu." Kiai Gede Tapa Pamungkas, tokoh rimba
persilatan berkepandaian sangat tinggi dan mengenakan pakaian selempang kain
putih tersenyum.
"Nenek sahabatku bangkitlah. Mengapa terlalu banyak memakai peradatan segala?"
Mendengar ucapan sang Kiai si nenek segera bangun.
"Menolong dengan mengharap balas budi bukanlah satu sifat yang tulus.
Ketahuilah, jika kau ingin berterima kasih, berterima kasihlah pada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Selain itu ada seseorang yang pantas menerima semua rasa terima
kasihmu." "Begitu ... " Siapakah dia Kiai?" tanya nenek muka putih pula.
"Seorang perempuan muda bernama Nyi Retno Mantili.
Dialah yang telah menemukan dirimu dalam keadaan cidera berat Dia yang membawamu
ke padaku."
"Nyi Retno Mantili ...." ucap nenek muka putih.
"Apakah saya pernah mengenal atau bertemu dengannya"
Kiai, dimana saya bisa mencari dan menjumpai perempuan berbudi luhur itu?"
"Tidak mudah untuk mencarinya ..."
"Dia membawa saya kepada Kiai. Berarti dia mengenal Kiai.
Kalau saya boleh bertanya apa hubungan Kiai dengan Nyi Retno Mantili?"
"Perempuan muda itu sebenarnya adalah istri Tumenggung Wira Bumi yang sekarang
telah menjadi Patih Kerajaan ..." Nenek muka putih unjukkan wajah kaget. Kiai
Gede Tapa Pamungkas melanjutkan ceritanya.
"Perjalanan nasib membawa Nyi Retno masuk ke jurang ke-sengsaraan. Derita yang
amat sangat karena kehilangan bayi puteri pertamanya membuat pikirannya berubah
tidak waras. Aku menemui dirinya di satu tempat ketika ada mahluk jejadian
hendak menghabisi nyawanya. Mahluk jahat ini dikenal dengan panggilan Nyi Tumbal
Jiwo, mahluk dari alam roh yang menjadi guru sesat Wira Bumi. Nyi Retno bisa
kuselamatkan dan kubawa ke sini. Kuberi sedikit pelajaran ilmu silat dan
beberapa kesaktian sambil berusaha menyembuhkan jalan pikirannya. Namun sia-sia
belaka. Setelah membawamu ke sini dia pergi begitu saja. Mungkin mencari bayinya
yang hilang. Mungkin juga ke Kotaraja untuk membalas dendam kesumat sakit hati
pada Wira Bumi yang dalam ketidak warasannya tidak diketahuinya bahwa lelaki itu
adalah suaminya sendiri." Nenek muka putih menghela nafas dalam.
"Derita yang saya alami rasanya begitu berat, seperti tidak tertahankan.
Ternyata masih ada orang yang lebih sengsara dari saya."
"Sahabatku, baik atau buruk nasib kita sebagai manusia jangan diperbandingkan
dengan orang lain. Karena hal itu bisa membawa rasa iri dan ketidak adilan dalam
diri kita. Adalah satu dosa besar kalau kita sampai mengatakan bahwa Tuhanlah
yang telah berlaku tidak adil pada kita. Padahal jalan nasib seseorang sudah
ditentukan sebelumnya oleh Sang Pencipta." Mendengar ucapan Kiai Gede Tapa
Pamungkas nenek muka putih unjukkan wajah sayu dan hanya bisa berdiam diri.
"Sahabatku ..... Aku selalu memanggilmu dengan panggilan sahabat. Kau tentu
punya nama. Lalu jika kau orang rimba persilatan pasti memiliki gelar. Apakah
aku boleh mengetahui nama dan gelarmu?" Nenek muka putih tertawa.
"Gelar saya tak punya, Kiai. Kalau nama, orang-orang memanggil saya Nyi Bodong."
Kening sang Kiai mengerenyit.
Matanya sekilas menatap ke arah perut nenek muka putih. Lalu bibirnya
menyeruakkan senyum.
"Nyi Bodong, sesuai janjiku tempo hari, siang ini kau boleh meninggalkan tempat
ini. Namun ada satu hal yang ingin aku ketahui.Bagaimana ceritanya kau bisa
berada di puncak Gunung Gede" Berjalan jauh kalau tidak tengah mencari seseorang
rasanya tidak masuk akal. Siapakah yang ingin kau temui?"
"Saya tahu selain Kiai di puncak Gunung Gede ini tinggal juga Eyang Sinto
Gendeng. Namun terus terang saja, saya tidak bermaksud menemui Kiai atau nenek
sakti itu ..."
"Begitu" Aku juga ingin tahu siapa yang telah menciderai dirimu begitu jahat
hingga aku membutuhkan waktu lebih dari dua minggu untuk menyembuhkanmu."
Nenek muka putih tampak terkejut. Hampir tak percaya. "Jadi saya telah berada
selama dua minggu di tempat ini" Ah, manusia bejat terkutuk itu pasti telah lari
jauh ..." "Nyi Bodong maukah kau menceritakan riwayat perjalananmu dan siapa pula yang kau
maksudkan dengan manusia bejat terkutuk itu?"
"Kiai, saya terpesat ke puncak Gunung Gede karena mengejar seorang manusia jahat
berjuluk Hantu Pemerkosa yang bukan lain sebenarnya adalah Pangeran Matahari.
Banyak gadis dan perempuan muda serta istri orang yang telah jadi
korbannya ....."
Kiai Gede Tapa Pamungkas menghela nafas panjang dan gelengkan kepala.
"Aku pernah mendengar kabar buruk manusia berjuluk Hantu Pemerkosa itu. Tapi
tidak pernah mengira kalau dia adalah Pangeran Matahari. Gusti Allah, bukannya
saya ingin mendahului kehendakMu. Mungkin sudah saatnya manusia satu itu
disingkirkan dari muka bumi ini untuk selamalamanya."
"Satu kali saya sempat menyergap Hantu Pemerkosa dan membuat buntung tangan
kirinya namun dia bisa melarikan diri.
Ternyata ada seorang ahli pengobatan yang menolong. Mengobati bahkan menyambung
kembali tangan kiri Pangeran Matahari ...."
"Hanya ada satu orang yang punya kemampuan ilmu pengobatan seperti itu. Seorang
bernama Ki Tambakpati."
"Memang Kiai, memang dia orangnya. Saya sempat menemuinya. Saya kemudian
mengetahui bahwa Pangeran Matahari itu dalam perjalanan menuju puncak Gunung
Gede ini Saya mengejar sampai ke sini ....."
"Nyi Bodong, apakah kau tahu ada keperluan apa Pangeran Matahari alias Hantu
Pemerkosa datang ke puncak Gunung Gede?"
"Dia mencari Kitab Seribu Pengobatan. Agaknya dia menderita satu penyakit yang
sulit disembuhkan. Konon kitab itu ada pada Eyang Sinto Gendeng." Si orang tua
angguk-anggukkan kepala.
"Kitab itu tadinya memang ada pada Sinto Gendeng ...."
Dengan matanya yang jernih Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap sesaat ke arah Nyi
Bodong. Dada si nenek mendadak berdebar.
"Kitab dicuri orang. Setelah lenyap beberapa lama kemudian kitab itu kembali
berada di tempat kediaman Sinto Gendeng. Tapi saat ini aku punya firasat kitab
tersebut sudah jatuh pula ke tangan orang lain. Sementara Sinto Gendeng sendiri
tengah menghadapi banyak masalah sekarang . Entah dimana dia berada."
"Kiai, satu kali ketika saya masih terbaring sakit ada seorang pemuda masuk ke
tempat ini. Maksudnya baik, namun saya tidak suka dia hendak menyentuh saya.
Pemuda itu benama Wiro Sableng. Berjuluk Pendekar Dua Satu Dua. Bagaimana dia
bisa berada di tempat ini?"
"Dia sahabat Nyi Retno Mantili. Aku yang membawa mereka masuk kedalam telaga
ini. Karena Sinto Gendeng adalah muridku maka Wiro Sableng bisa disebut sebagai
cucu muridku. Apakah kalian tidak saling mengenal sebelumnya?" Nyi Bodong tidak
menjawab. "Nyi Bodong, cidera berat di bahu kirimu. Apakah itu akibat bentrokan dengan
Pangeran Matahari?"
"Betul Kiai. Saya sempat menghantamnya namun dia menyerang saya dengan sebuah
senjata aneh. Sebuah lentera yang memancarkan cahaya kuning. Saya dengar lentera
itu dalam rimba persilatan dikenal dengan sebutan Lentera Iblis..:."
"Lentera Iblis ...." Kiai GedeTapa Pamungkas usap wajahnya.
"Senjata dari alam roh yang luar biasa hebatnya. Siapa yang memiliki akan
menguasai rimba persilatan. Kalau lentera itu tidak dirampas dari tangan
Pangeran Matahari atau tidak segera dimus-nahkan, rimba persilatan akan dilanda
satu malapetaka besar.
Pangeran Matahari akan menjadi raja diraja kejahatan. Golongan hitam akan
menguasai seluruh tanah Jawa bahkan sampai ke tanah seberang."
"Kiai, kalau saya memang sudah sembuh, apakah saya boleh
meninggalkan tempat ini?"
"Sebelum kau pergi ada yang perlu aku beritahukan," kata
Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
"Dalam sakitmu ada seorang tamu datang kesini. Dia hanya datang sebentar. Dia
masuk keruangan ini ketika kau tertidur lelap .."
"Siapakah orang itu Kiai?" tanya Nyi Bodong sambil dalam hati menduga-duga.
"Sahabat lamaku. Namanya Kiai Munding Suryakala." Nyi Bodong cepat
menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar orang tua itu menyebut nama
tersebut. "Apa saja yang dibicarakan orang tua itu dengan Kiai?" Nyi Bodong memberanikan
diri bertanya. "Seperti kataku tadi. Dia hanya datang sebentar. Yang penting bisa menjengukmu
dan tahu hau berada dalam keadaan baik. Dia tidak bicara apa-apa. Hanya berpesan
agar kau segera pulang menemuinya. Dalam perjalanan jangan melakukan apa-apa
jangan pergi ke tempat lain, apapun yang terjadi."
"Akan saya lakukan Kiai. Kalau saya boleh bertanya, apakah Kiai Munding
Suryakala menceritakan perihal diri saya atau hubungan saya dengan dirinya?" Nyi
Bodong bertanya dengan jantung berdebar. Kiai Gede Tapa Pamungkas gelengkan
kepala. "Ada sesuatu yang menggelisahkanmu, sahabatku?"
"Tidak, tidak ada apa-apa ...." si nenek muka putih menjawab dan diam-diam
hatinya merasa lega.
"Sebelum pergi dia memberitahu satu hal padaku. Menurut Kiai Munding Suryakala
satu peristiwa besar akan terjadi di rimba persilatan tanah Jawa. Mungkin hal
ini ada hubungan dengan permintaannya agar kau lekas pulang. Dia tidak ingin
suatu apa terjadi dengan dirimu."
"Kalau begitu saya mohon diberi izin pergi sekarang ..." Kiai Gede Tapa
Pamungkas mengangguk. Pintu hijau muda yang ada di ruangan itu terbuka.
"Kiai, seperti yang Kiai pernah jelaskan, tempat ini terletak di dasar sebuah
telaga besar. Bagaimana mungkin saya keluar?" Kiai Gede Tapa Pamungkas
tersenyum. "Dalam tidurmu sementara menanti kesembuhan, aku telah meresapkan ilmu tahan
berada dalam air pada dirimu. Kau hanya tinggal menekankan kedua kakimu pada
tanah dasar telaga, maka tubuhmu akan melesat ke permukaan air. Selanjutnya kau
bisa berenang menuju tepian telaga ...."
"Berenang?" Nyi Bodong tertawa lebar.
"Saya tidak pandai berenang, Kiai."
"Saat ini kau sudah bisa berenang. Lihat saja nanti ...." Nenek muka putih
menatap tercengang. Sadar kalau orang telah memberikan dua macam ilmu kepandaian
Nyi Bodong segera jatuhkan diri berlutut sambil mulutnya berucap.
"Terima kasih Kiai. Budimu setinggi langit sedalam samudera" Kiai Gede Tapa
Pamungkas cepat menahan bahu si nenek.
"Tak usah pakai peradatan segala. Aku tidak tahu antara kita siapa yang lebih
tua ...." Sang Kiai lalu tertawa mengekeh. Nyi Bodong melangkah cepat menuju
bagian depan bangunan batu pualam.
"Selamat tinggal Kiai. Saya sangat berharap akan dapat menemui Kiai di lain
waktu." Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum dan anggukkan kepala. Seperti yang
dikatakan sang Kiai, begitu Nyi Bodong tekankan ke dua kakinya ke dasar telaga,
tubuhnya serta merta melesat ke atas dan dalam waktu sangat cepat dia sudah
timbul di permukaan air. Nenek muka putih ini dapatkan dirinya berada di tengah
telaga. Sosoknya terasa enteng. Ketika dia menggerakkan tangan dan kaki,
tubuhnya meluncur ke pinggiran timur telaga. Luar biasa! Ternyata dia memang
bisa berenang! Dan yang lebih luar biasa lagi, sewaktu dia mencapai daratan,
baik rambut, tubuh maupun pakaiannya tidak basah sedikitpun!
* * * HANYA tinggal satu hari perjalanan sebelum sampai ke tempat kediaman Kiai
Munding Suryakala hujan lebat turun mendera bumi. Nyi Bodong yang berada di
pinggiran rimba belantara beruntung mendapatkan sebuah gubuk yang biasa dipakai
untuk istirahat oleh para penebang pohon. Nyi Bodong duduk di balai-balai
panjang terbuat dari bambu. Matanya menatap sayu ke depan.
Hujan lebat bukan saja menutupi pemandangan tapi juga membuat udara terasa
dingin sekali. Cukup lamadudukdi dalam gubuk baru hujan mulai mereda berubah
menjadi rintik-rintik. Nyi Bodong memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun
baru saja hendak bergerak dan bangkit berdiri tiba-tiba di depan sana, di antara
kerapatan pepohonan, sepasang matanya melihat dua orang berlari ke arah gubuk.
Gerakan mereka sebat dan enteng sekali.
Satu perasaan tidak enak muncul dalam diri Nyi Bodong.
Nenek muka putih ini cepat berkelebat ke balik skbatang pohon besar sejarak dua
betas langkah dari gubuk.
"Ada teratak. Kita berhenti dulu!" Salah satu dari dua orang yang berlari
keluarkan ucapan. Suara perempuan. Yang satunya menyahuti.
"Kita ini seperti orang tolol saja! Tadi waktu hujan lebat kita malah lari. Kini
hujan berhenti baru mencari tempat berteduh."
"Hik ... hik! Sebetulnya dua kakiku sudah penat Lagi pula aku dari tadi menahan
kentut!" Laiu preettt! Orang yang barusan, bicara pancarkan kentut. Sambil
tertawa-tawa orang ini yang ternyata perempuan masuk ke dalam gubuk dan duduk di
pinggir balai-balai bambu. Orang satunya menyusul masuk, duduk di samping
temannya. Dari balik pohon besar Nyi Bodong mengintip. Matanya mendelik dan jantungnya
berdegup keras ketika mengenali salah satu dari dua orang yang duduk dalam
gubuk. "Lain yang dikejar, lain yang aku temui! Mahluk jahanam, kau datang ke
sini mengantar nyawa!"
* * * Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi


Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

LIMA ORANG yang duduk di bangku bambu sebelah kanan
mengenakan jubah putih menjela tanah, berbadan tinggi besar.
Kepala dan wajah tidak kelihatan karena dia mengenakan sehelai kain putih yang
Hina Kelana 9 Pendekar Mabuk 090 Kematian Sang Durjana Prabarini 6
^