Pencarian

Azab Sang Murid 2

Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid Bagian 2


Terkapar tak jauh dari tangga rusak Candi Pangestu.
Orang di balik semak belukar menyeringai, keluarkan susur dari dalam mulutnya,
semburkan ludah merah lalu masukkan susur kembali ke dalam mulut.
"Ada orang tolol sengaja menunjukkan kepandaian,"
ucap orang ini yang bukan lain adalah si nenek sakti Sinto Gendeng. Dia
memandang berkeliling. "Hebat juga cara sembunyi si tolol itu! Aku tak mampu
mengetahui di mana dia berada." Si nenek memperhatikan seantero tempat sekali
lagi. Mendongak ke langit. "Saat ini kurasa sudah lewat tengah malam. Mengapa
anak setan itu tidak muncul" Jangan-jangan dia tidak ke sini tapi ke kotaraja
seperti keterangan Tambakpati. Atau mungkin surat itu jebakan orang-orang
Keraton Kaliningrat" Sengaja dibuang di tempat yang hendak aku lalui" Berarti
anak setan itu tidak pernah memegang dan membacanya."
Sinto Gendeng pukul-pukulkan tongkat kayu di tangan kirinya ke bahu. Mulut perot
kembali sunggingkan seringai.
"Siapa berani menjebak diriku akan tau rasa sendiri. Lihat saja!"
Di arah belakang reruntuhan Candi Pangestu ada satu lembah kecil tapi terjal.
Lembah ini dulunya adalah satu aliran anak sungai yang mengering karena terputus
dari sumber airnya. Di bibir lembah tumbuh sederetan pohon bambu, demikian
rapatnya hingga menyerupai pagar.
Dalam kegelapan ada dua orang tegak berdekatan dan bicara saling bisik.
"Kecik Turanggga, apa pendapatmu. Yang kita tunggu muridnya. Yang muncul sang
guru. Bau pesingnya tercium santar sampai ke sini!"
Yang barusan berbisik adalah seorang nenek berhidung bengkok seperti paruh
burung kakak tua, mengenakan pakaian kuning ketat. Mulut bicara sementara
sepasang matanya yang dingin kelabu menatap ke arah rumpunan semak belukar di
mana Sinto Gendeng mendekam. Nenek ini adalah Ni Serdang Besakih. Bersama Kecik
Turangga dia merupakan tokoh silat pentolan orang-orang Keraton Kaliningrat
(Baca Episode sebelumnya berjudul "Nyi Bodong"). Kecik Turangga sendiri seorang
tokoh silat yang dijuluki Hantu Buta Senja. Walau ilmunya tinggi namun dia
memiliki satu kekurangan yakni kedua matanya menjadi rabun jika siang berganti
malam. Itu sebabnya begitu senja datang dia segera mengenakan sebuah topeng.
Jika topeng ini dikenakan, maka wajahnya berubah. Kedua matanya jadi menyembul
bengkak. "Ni Serdang, biar kita bersabar barang sebentar. Jika Pendekar 212 tidak muncul
juga baru kita keluar dan menyapa nenek itu. Apa keperluannya berada di tempat
ini. Aku yakin bukan cuma satu kebetulan. Sambitan yang kau lakukan terhadap dua
kelelawar tadi rasanya cukup memberi peringatan padanya untuk tidak berbuat
macam-macam."
Ni Serdang Besakih tidak menjawab. Dia rangkapkan dua tangan di atas dada.
Setelah cukup lama menunggu, Ni Serdang Besakih tidak sabar lagi.
"Kecik, kita keluar sekarang!"
"Baik, tapi tunggu!"
Sebuah benda berapi melayang di udara lalu jatuh di dekat dua ekor kelelawar.
Ketika Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga memperhatikan, kedua orang Keraton
Kaliningrat ini jadi heran. Yang barusan melayang dan jatuh di tanah adalah
seonggok kayu menyala. Belum habis rasa heran mereka mendadak kesunyian malam
dirobek oleh suara tawa cekikikan. Lalu satu bayangan hitam melesat dari balik
semak belukar di arah runtuhan tembok sebelah barat. Di lain kejap satu tubuh
tinggi hitam agak bungkuk telah berdiri di depan tangga candi lalu jongkok di
muka onggokan kayu menyala. Itulah si nenek sakti Sinto Gendeng!
*** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
5 ENGAN ujung tongkat Sinto Gendeng mengait satu
persatu dua kelelawar yang tergeletak di tanah, lalu Ddiletakkan di atas kayu
menyala. Sebentar saja
tempat itu dipenuhi oleh bau daging terpanggang. Sinto Gendeng tertawa mengekeh.
Susur di dalam mulut diputar-putar kian kemari. Sesekali lidahnya yang merah
dijulur-julurkan. Air liur berkucuran.
"Baru baunya saja sudah enak. Apalagi kalau disantap!
Makan besar aku malam ini! Hik... hik... hik."
Tawa cekikikan Sinto Gendeng masih mengumandang
sewaktu dua orang melesat dari kegelapan dan berdiri di hadapannya. Nenek dari
puncak Gunung Gede sudah tahu kedatangan orang tapi dia berlagak seperti tidak
melihat siapa-siapa. Dia ulurkan tongkat, membolak-balik dua ekor kelelawar yang
dipanggang. Dari mulutnya kemudian keluar suara nyanyian lagu tak menentu.
"Sahabatku Sinto Gendeng, apakah penglihatanmu
sudah dimakan rayap hingga tidak tahu kami berdiri di sini"!" Ni Serdang Besakih
menegur. Sinto Gendeng pura-pura kaget, terlonjak, bangkit berdiri, pandangi dua orang
yang tegak di depannya. Tubuh terbungkuk-bungkuk, mata mendelik.
"Astaganaga! Kalian berdua benar-benar
mengejutkanku! Aku sedang sibuk menyiapkan santapan malam. Tahu-tahu kalian
muncul! Apakah aku kenal kalian?" Sinto Gendeng panjangkan leher, memandang
lekat-lekat pada lelaki berjubah coklat yang matanya tersembul bengkak. Si nenek
gelengkan kepala. "Mata Bengkak, aku tidak kenal kau."
Sinto Gendeng lalu alihkan pandangan pada nenek
berhidung seperti paruh burung kakak tua. "Hai! Kau rupanya! Mataku tidak lamur!
Tidak dimakan rayap tidak dimakan belatung! Tiga puluh tahun lalu kau bernama Ni
Serdang Besakih. Apakah sekarang masih memakai nama itu. Atau sudah ditukar
sesuai perkembangan jaman" Tiga puluh tahun lalu waktu Raja Tua masih
memerintah, kau adalah penyanyi keraton yang kesohor! Hik... hik. Apakah
sekarang kau masih suka menyanyi" Hik... hik... hik."
"Sinto, aku tahu kau suka guyon. Tapi saat ini bukan tempatnya bicara konyol.
Kami sedang menghadapi satu urusan besar. Tidak ada hujan tidak ada angin
mengapa kau tahu-tahu muncul di sini"!" Ni Serdang Besakih bicara dengan suara
bernada keras. "Kau keliru sobatku," jawab Sinto Gendeng sambil sunggingkan seringai buruk
mengejek. "Hujan bukannya tidak ada, tapi belum turun. Kalau angin sedari tadi
sudah bertiup, apa kau tidak mendengar tidak merasa" Heh, kalau katamu kita
bersahabat kau bisa menerangkan apa urusan besar yang tengah kalian hadapi."
"Kami akan mengatakan kalau ada jaminan darimu
bahwa kau bukan mata-mata kerajaan!" yang bicara adalah Kecik Turangga alias
Hantu Buta Senja.
"Mata Bengkak! Keren amat bicaramu! Kalau aku
jaminkan nyawa, kau mau menjaminkan apa"
Dengkulmu"! Atau dua matamu yang bengkak menjijikkan itu" Ih! Amit-amit jabang
tuyul! Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. "Sekarang katakan
apa urusan kalian!"
"Kami tidak akan mengatakan!" jawab Kecik Turangga.
Wajahnya di balik topeng merah mengelam. Lalu dia berbisik pada Ni Serdang
Besakih. "Kalau rencana pertama batal, kita harus melakukan rencana kedua."
"Kau tak usah khawatir." Jawab si nenek berhidung seperti paruh burung kakak
tua. "Orang yang hendak membantu kita itu sudah ada di sini."
Sinto Gendeng tertawa. "Mata Bengkak gerunjulan!
Omonganmu hebat juga! Kalau kalian tidak mau memberi tahu, biar aku yang memberi
tahu apa urusanku berada di tempat ini! Aku mewakili muridku Pendekar 212 yang
kalian undang datang ke tempat ini, malam ini! Betul begitu"!"
Baik Ni Serdang Besakih maupun Kecik Turangga
sama-sama sembunyikan rasa terkejut mereka. Setelah berdiam dan berpikir
sejenak, nenek berhidung bengkok ajukan pertanyaan.
"Bagaimana kau tahu kalau kami mengundang
muridmu datang ke tempat ini."
Sinto Gendeng tertawa. "Ni Serdang Besakih. Kau
terjebak oleh ucapanmu sendiri! Kalian tidak dapat mengelak kalau kalian adalah
orang-orang Keraton Kaliningrat. Betul"! Kalian tak usah menjawab. Aku sudah
menyirap kabar. Aku mewakili muridku karena kalian yang memintanya datang ke
sini! Aku membaca lengkap surat cinta yang kalian kirimkan atas nama Pangeran
Muda Brata Sukmapala. Surat cinta kataku! Hik... hik... hik! Uhh!
Siapa itu Pangeran Muda Brata Sukmapala. Baru sekali ini aku mendengar namanya.
Nah, aku berada di sini mewakili muridku Pendekar 212. Sekarang katakan apa
keperluanmu meminta muridku datang ke sini! Dalam surat kalian minta agar
muridku memberikan jasanya sekali lagi pada kerajaan. Kerajaan yang mana" Kalian
juga menjanjikan jabatan tinggi untuk muridku. Kepala Balatentara Kerajaan!
Ck... ck... ck!" Sinto Gendeng leletkan lidah.
Ni Serdang Besakih bertanya. "Dari mana kau dapatkan surat itu" Muridmu sendiri
yang menyerahkan padamu?"
"Apa itu jadi persoalan?" balik bertanya Sinto Gendeng.
Kecik Turangga berbisik. "Bagaimana baiknya" Kita katakan padanya terus terang.
Jika dia memang mewakili muridnya, apa dia bisa kita ajak serta?"
"Manusia satu ini sangat culas," jawab Ni Serdang Besakih dengan berbisik pula.
"Kita harus hati-hati. Biar aku yang bicara."
"Sinto, kau terlalu lama tenggelam dalam rimba
persilatan hingga tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kerajaan yang sering
kau bantu di masa lalu. Saat ini yang berkuasa adalah seorang raja yang tidak
berhak atas tahta.
Kami orang-orang Keraton Kaliningrat telah menyusun kekuatan untuk menurunkan
raja dari tahta dan
memberikan tahta pada orang yang berhak yaitu Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata.
Aku tanya, apakah kau bersedia membantu perjuangan kami?"
Sinto Gendeng tidak menjawab tapi langsung tertawa mengekeh hingga air susurnya
jatuh berlelehan.
"Ni Serdang Besakih, selama dunia terkembang, tahta, harta dan hawa akan selalu
menjadi biang kerok segala macam urusan. Aku tahu semua cerita di balik
urusanmu. Siapapun raja yang berkuasa sekarang, dia adalah sepantas-pantasnya manusia yang
berhak menduduki tahta. Siapa yang tidak tahu. Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata
adalah adik dari Raja Tua, raja terdahulu.
Sedang raja yang sekarang adalah putera sulung dari Raja Tua. Kau tahu jalan
ceritanya Ni Serdang. Kau tahu Pangeran Tua tidak punya hak menduduki tahta
kerajaan. Kau dan orang-orang yang tergabung dalam Keraton Kaliningrat berusaha
menjungkirbalikkan kenyataan dan kebenaran. Kalian adalah orang-orang yang
mengharapkan imbal jasa harta, uang dan kedudukan. Barusan aku coba mengingat-
ingat. Kalau aku tidak keliru yang namanya Pangeran Muda Brata Sukmapala itu,
bukankah dia putera Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata" Nah, sekarang muncul satu
tanda tanya. Siapa sebenarnya yang inginkan tahta.
Pangeran Tua atau si Pangeran Muda" Aku tidak yakin Pangeran Tua punya hati
seculas itu terhadap kakak kandungnya sendiri!"
"Sinto Gendeng," ucap Kecik Turangga. "Kau tidak kami mintakan segala macam
penilaian, juga tidak perlu berbanyak tanya atau bicara panjang lebar tak
karuan! Kami hanya ingin tahu apakah kau bersedia membantu perjuangan Keraton
Kaliningrat atau tidak"!"
"Kalau aku mau membantu kalian mau beri hadiah
apa" Jabatan Panglima Balatentara Kerajaan seperti yang kau janjikan pada
muridku tentu tidak pantas bagiku. Hik...
hik... hik. Lalu kalau aku tidak bersedia membantu, kalian mau bikin apa?"
"Sinto," Ni Serdang menengahi. "Kami anggap saja kau tidak bersedia membantu.
Maka dengan segala hormat kami minta kau meninggalkan tempat ini. Masih ada
orang lain yang kami harapkan akan datang."
"Aku tidak akan pergi. Karena aku ke sini untuk
menunggu kedatangan muridku." Jawab Sinto Gendeng pula.
"Kau tak boleh berada lebih lama di tempat ini, Sinto.
Secepatnya kau pergi akan lebih baik."
Sinto Gendeng pelototi Ni Serdang Besakih. Lalu
menjawab ucapan orang. "Kawasan Candi Pangestu,
apalagi daerah Plaosan bukan milikmu. Siapa saja boleh datang dan berada di
tempat ini. Mulai dari satu hari sampai hari kiamat! Hak apa kalian menyuruhku
pergi"!"
"Sinto Gendeng. Ada satu hal yang harus kau ketahui!
Yang namanya Keraton Kaliningrat itu ada di mana-mana.
Termasuk kawasan Plaosan ini! Jadi jangan heran kalau kami menyuruhmu pergi
secara baik-baik!"
Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.
"Ucapan tolol!" maki si nenek. "Kalau Keraton
Kaliningrat ada di mana-mana apa itu berarti juga ada di sorga dan di neraka"
Hik... hik... hik!"
Kecik Turangga keluarkan suara menggembor marah.
Ni Serdang Besakih memberi isyarat dengan gerakan tangan agar sahabatnya itu
berlaku tenang lalu berpaling pada Sinto Gendeng.
"Kau membuang waktu berlama-lama di tempat ini.
Padahal aku punya firasat. Muridmu tak akan muncul.
Kami telah menyirap kabar apa yang terjadi antara kalian berdua. Muridmu sudah mengambil keputusan
menjauhkan diri darimu, dunia akhirat!" Ni Serdang Besakih dan Kecik Turangga
memang telah mendapat laporan dari Damar Sarka, anggota Keraton Kaliningrat yang
menyamar jadi kusir gerobak yang pernah ditumpangi Wiro dan Nyi Retno. Dalam
perjalanan semua pembicaraan kedua penumpangnya itu secara diam-diam didengar
Damar Sarka, lalu diceritakan pada Pangeran Muda dan Ni Serdang Besakih.
"Heh" Ni Serdang apa maksudmu dengan ucapan itu?"
tanya Sinto Gendeng dengan mata mendelik.
"Aku sudah membuka kitab, apakah kau ingin aku
membaca isinya?" tanya Ni Serdang Besakih
mempergunakan kata-kata sindiran.
"Orang-orang Keraton Kaliningrat memang pandai
bicara, tapi kurang pandai membujuk! Hik... hik!" Sinto Gendeng gerakkan tangan
kirinya yang memegang tongkat.
Membalikkan dua kelelawar yang dibakar di atas perapian.
"Baunya sungguh sedap. Tapi aneh. Selera makanku tiba-tiba hilang! Kalian saja
yang menyantap kelelawar ini.
Kubagi seorang satu! Makanlah dengan lahap! Sampai kenyang!"
Tangan kiri Sinto Gendeng bergerak. Dua kelelawar panggang mencelat ke udara.
Bagaimana Sinto Gendeng memutar tongkatnya begitu pula dua kelelawar berputar-
putar di udara menebar sedap bau daging panggang. Ni Serdang Besakih dan Kecik
Turangga tak sadar
terpengaruh memperhatikan dua kelelawar panggang yang melayang-layang di udara.
Tiba-tiba Sinto Gendeng sentakkan tongkat di tangan kiri. Mulutnya berseru.
"Makanlah!"
Dua kelelewar panggang yang melayang di udara tiba-tiba laksana kilat melesat ke
arah dua tokoh Keraton Kaliningrat.
Plukk! Plukk! Masing-masing kelelawar jatuh tepat di wajah Ni
Serdang Besakih dan Kecik Turangga. Kedua orang ini berteriak marah dan juga
kesakitan karena kelelawar panggang itu masih sangat panas. Kulit muka si nenek
melepuh. Topeng yang menutupi wajah Kecik Turangga robek mengepulkan asap tepat
di bagian dua mata yang menggembung bengkak. Akibat rusaknya topeng ini Kecik
Turangga yang berjuluk Hantu Buta Senja ini benar-benar menjadi buta, tak mampu
melihat apa-apa lagi selain bayang-bayang hitam ke manapun dia memandang.
Sinto Gendeng berkacak pinggang dan tertawa gelak-gelak. "Hanya begitu saja
kehebatan orang-orang Keraton Kaliningrat" Menghadapi kelelawar yang sudah mati
saja tidak punya kemampuan selamatkan diri! Hik... hik... hik!
Sudah pergi saja kalian! Cuci kaki dan tidur di keraton kalian yang ada di mana-
mana. Jangan lupa cebok dulu!
Hik... hik... hik!"
"Sinto Gendeng tua bangka keparat! Kau mencari
mampus!" teriak Ni Serdang Besakih. Didahului suara menggembor keras nenek
berhidung bengkok ini
melompat ke depan. Tangan kanannya melesat ke arah kepala Sinto Gendeng dalam
jurus maut bernama Tangan Iblis Membongkar Berhala. Kalau serangan ini mengenai
sasarannya maka kepala Sinto Gendeng akan terbongkar mengerikan.
Meski tahu kehebatan serangan lawan, Sinto Gendeng tidak merasa jerih. Malah dia
sambut dengan jurus Ular Naga Menggelung Bukit. Tangan kiri yang memegang
tongkat kayu menggebuk ke arah tangan yang menyerang sementara tangan kanan
laksana kilat menelikung ke arah tubuh lawan. Bersamaan dengan itu kepala
dimiringkan ke samping.
Kraak! Tongkat kayu di tangan kiri Sinto Gendeng patah.


Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ni Serdang Besakih mengeluh keras. Tangan kanannya yang beradu dengan tongkat
kayu laksana dihantam pentungan besi. Walau sakit bukan main namun Ni
Serdang Besakih masih teruskan jurus Tangan Iblis Membongkar Berhala. Kalau tadi
serangan menjurus ke muka lawan, akibat gebukan tongkat arah yang dituju jadi
melesat ke dada. Melihat serangan yang berubah arah, Sinto Gendeng cepat
melompat ke belakang dan urungkan serangan Ular Naga Menggelung Bukit.
Breett! Baju hitam yang dikenakan Sinto Gendeng robek besar di bagian dada kiri. Walau
lima jari tangan lawan tidak sampai menyentuh kulit dadanya namun hawa sakti dan
ganas yang terkandung dalam serangan itu membuat tubuh Sinto Gendeng tergoncang
keras. Dia merasa tulang-tulang iganya seperti remuk dan jantungnya seolah
hendak terbongkar keluar! Dia coba bertahan. Tapi justru darah menyembur dari
mulut. Didahului satu jeritan keras Sinto Gendeng tusukkan patahan tongkat ke
bahu kanan Ni Serdang Besakih. Kini gantian nenek berhidung bengkok ini yang
berteriak kesakitan lalu melompat jauhkan diri dari lawan sambil berteriak.
"Keparat setan alas! Terima kematianmu!" Sinto
Gendeng berteriak. Tangan kanannya diangkat ke atas.
Sebatas siku ke bawah tangan itu berubah warna menjadi perak berkilat.
"Pukulan Sinar Matahari! " teriak Ni Serdang Besakih dan cepat menyingkir.
Wuss! Sinar putih menyilaukan disertai sambaran hawa panas luar biasa berkiblat. Ni
Serdang Besakih yang sudah tahu bahaya dan cepat menyingkir selamat dari
hantaman pukulan sakti. Namun nasib sial menimpa Kecik Turangga alias Hantu Buta
Senja. Selagi dia bingung kelabakan karena tak dapat melihat, Pukulan Sinar
Matahari datang menghantam. Tokoh Keraton Kaliningrat ini mencelat sampai dua
tombak. Tubuh tergelimpang di tanah,
mengepulkan asap. Begitu kepulan asap lenyap kelihatan sosoknya teronggok putih
seperti gundukan kapur!
Ni Serdang Besakih merinding pucat melihat apa yang terjadi dengan diri
kambratnya itu. Rencana pertama gagal sudah! Rencana kedua harus dilaksanakan.
Nenek ini berteriak.
"Embah Bejigur! Kau tunggu apa lagi"!"
Belum lenyap gema teriakan Ni Serdang Besakih, tiba-tiba dari arah Candi
Pangestu kelihatan satu benda berkilat menebar dan melesat di udara. Sebelum
Sinto Gendeng sempat melihat jelas benda apa itu adanya tahu-tahu tubuhnya sudah
tenggelam dalam jiratan tali temali yang memancarkan cahaya bergemerlap!
"Jaring Neraka!" teriak Sinto Gendeng begitu menyadari apa yang terjadi dengan
dirinya. Dia berusaha loloskan diri.
Kerahkan tenaga dalam untuk merobek jaring. Tapi tak berhasil. Entah apa yang
terjadi dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. "Jahanam!
Apa yang terjadi padaku!" Rutuk Sinto Gendeng. Nenek ini kembali coba alirkan
tenaga dalam. Kali ini ke arah kedua matanya karena dia bermaksud mengeluarkan
ilmu Sepasang Sinar Inti Roh. Tapi lagi-lagi bukan saja dia menemui kegagalan malah
sekujur tubuhnya terasa lemas sementara tali temali yang memancarkan sinar dan
menjerat tubuhnya mulai terasa panas. Sinto Gendeng menggeletar. Badannya
seperti mau leleh!
Dalam keadaan seperti itu satu tawa keras meledak.
Memandang ke depan Sinto Gendeng melihat sosok katai seorang kakek berkepala
botak, berkumis dan berjenggot putih panjang, mengenakan baju dan celana hitam
gombrong! "Sinto Gendeng! Semakin kau mengerahkan tenaga
dalam dan hawa sakti semakin lemas seluruh tubuhmu!
Ha... ha... ha!"
*** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
6 AHANAM bertubuh katai! Kalau kau tidak segera
mengeluarkan aku dari jaring ini, aku bersumpah akan Jmembunuhmu!"
Si katai botak yang dipanggil dengan sebutan Embah Bejigur keluarkan suara
berdecak lalu berkata. "Nenek bau pesing! Kau sudah tidak punya daya! Di dalam
Jaring Neraka semua ilmu kesaktianmu tidak bisa kau gunakan!
Kalau kau tak mau berserikat dengan kami orang-orang Keraton Kaliningrat,
silahkan menghitung hari. Ajalmu sudah di depan mata!"
Sinto Gendeng berteriak dahsyat. Tubuhnya digulingkan ke arah kakek katai. Namun
setengah jalan Ni Serdang Besakih menghadang dengan satu tendangan. Sinto
Gendeng meraung! Tubuhnya terpental.
"Itu hadiah dari sobatku Kecik Turangga yang kau bunuh!" ucap Ni Serdang
Besakih. "Ini dariku!" Lalu nenek ini kembali hantamkan satu tendangan ke tubuh
Sinto Gendeng hingga yang ditendang mencelat terguling-guling.
Ni Serdang Besakih memburu. "Aku mewakili muridmu! Ini tambahan dari Pendekar
212 yang kau aniaya!" Untuk ke tiga kalinya Sinto Gendeng terpental. Tendangan
Ni Serdang Besakih begitu keras. Namun kali ini tak terdengar lagi suara jeritan
si nenek. Tubuhnya tak berkutik dalam Jaring Neraka. Lengan kiri patah. Dua
tulang iga di sisi kanan remuk dan pipi kanan bengkak lebam. Masih
sempat terdengar sesaat suara erangan si nenek lalu mulutnya terkancing.
Belum merasa puas Ni Serdang Besakih kembali
melompat ke arah tubuh di dalam jaring itu.
Sewaktu dia hendak menendang kembali si katai
Embah Bejigur cepat menarik tangannya.
"Ni Serdang, jangan dihabisi sekarang. Biar Pangeran Muda nanti yang mengambil
keputusan mau diapakan setan tua ini."
Ni Serdang masih penasaran. "Wajahku rusak karena ulah perbuatannya! Aku tidak
yakin orang ini bisa diajak berserikat. Hatinya seribu culas, otaknya seribu
kotor. Kalau kelak dia mengatakan ingin bergabung dan
membantu kita, pasti dia menyimpan satu hal yang busuk.
Dia akan menjadi musuh dalam selimut! Aku ingin
Pangeran Muda menjatuhkan hukuman mati padanya. Dan aku akan minta pada Pangeran
Muda agar aku yang
menabas batang lehernya!"
"Ni Serdang, kau tahu. Saat ini sebenarnya tanganku juga sudah gatal ingin
membereskan nenek bau pesing ini.
Empat puluh tahun silam dia membunuh seorang
sahabatku," kata Embah Bejigur pula. Lalu dia tarik ujung jaring. "Aku akan
seret setan perempuan ini sampai ke tempat Pangeran Muda menunggu. Mudah-mudahan
saja dia tidak mampus di tengah jalan!"
Ketika diseret tak seorang pun tahu, gulungan daun lontar di pinggang Sinto
Gendeng jatuh ke tanah.
*** MALAM itu di Gedung Kepatihan ada pertunjukan
kesenian berupa tari-tarian oleh rombongan penari berasal dari Temanggung.
Selain tari-tarian juga ada banyolan empat pelawak. Pertunjukan diadakan di
langkan gedung di mana dibangun sebuah panggung besar. Pengunjung luar biasa
banyaknya. Selain para pejabat tinggi kerajaan, rakyat banyak juga diberi
kesempatan untuk menikmati hiburan yang jarang-jarang diadakan itu.
Selewat tengah malam pertunjukan semakin ramai
karena ternyata juga ada permainan akrobat dilakukan oleh enam pemuda gagah dan
dua gadis cantik. Dalam salah satu pertunjukan, seorang pemuda berbaring
menelentang di lantai. Tangan kiri kanan masing-masing memegang balok besar
tebangan batang pohon. Gong berbunyi. Dua gadis cantik menari berputar-putar.
Seorang pemuda melompat ke atas balok sebelah kiri, seorang lagi naik ke atas
balok sebelah kanan. Gong berbunyi. Dua pemuda melesat ke udara, jungkir balik
satu kali lalu melayang turun dan tegak di atas bahu dua temannya yang berdiri
di atas balok. Tepuk tangan memenuhi seantero tempat.
Gong berbunyi lagi. Pemuda ke enam melompat ke
sebuah bantalan karet yang sudah disiapkan. Tubuhnya yang membal melesat ke
udara dan sesaat kemudian dia sudah berdiri di atas bahu kiri kanan dua
temannya. Orang banyak bertepuk riuh luar biasa.
Dua gadis cantik masih terus menari-nari, kini sambil berpegangan tangan. Di
tangan mereka ada sebuah
payung warna merah. Gong berbunyi lagi. Kali ini disertai suara tambur dan
tiupan seruling. Dua gadis berteriak nyaring, melompat ke atas bantalan karet.
Dua tubuh berpakaian ketat melesat ke udara.
Semua orang menahan nafas.
Dua payung merah terkembang. Sambil berpegangan
tangan dua gadis perlahan-lahan melayang turun ke arah pemuda yang berdiri
paling atas. Gadis sebelah kanan injakkan kaki kiri di bahu kanan, gadis di
sebelah kiri injakkan kaki kanan di bahu kiri si pemuda. Suara gong dan tambur
bertalu-talu. Tiupan seruling mencuat nyaring.
Pemuda yang berada paling bawah yakni yang memegang dua buah balok, perlahan-
lahan mulai memutar tubuhnya.
Dua balok ikut berputar. Selanjutnya sosok pemain akrobat yang berada di sebelah
atas ikut berputar. Dua gadis menari-nari. Luar biasa! Semua mata menyaksikan
tak berkesip penuh kagum.
Suara gong dan tambur terus menggema. Tiupan
seruling melengking-lengking. Lalu ada suara suitan keras.
Inilah tanda bahwa pertunjukan akrobat yang
menegangkan itu berakhir. Dua gadis cantik berseru nyaring. Tubuh mereka melesat
ke kiri dan ke kanan.
Payung masih terkembang. Dengan gerakan-gerakan indah mereka meliuk-liukkan
tubuh di udara dan perlahan-lahan turun ke panggung. Pemuda di paling atas
menyusul turun dengan gerakan jungkir balik yang indah. Dua pemuda sebelah bawah
berseru keras. Tangan masing-masing mengepal ke udara. Lalu keduanya melesat ke
bawah, membuat gerakan jungkir balik satu kali dan melayang turun.
Saat itulah satu sosok hijau entah dari mana datangnya ikut melesat ke bawah.
Semua orang jadi terkejut. Kenapa orang yang turun jadi tiga" Sementara dua
pemuda lagi masih ada di atas sana tengah bersiap-siap untuk melompat turun
pula. Heboh besar melanda tempat pertunjukan itu sesaat kemudian. Dua orang pemuda
yang melayang turun
jejakkan kaki di lantai panggung dengan gerakan enteng.
Sebaliknya sosok ke tiga yang mengenakan pakaian serba hijau jatuh terbanting
dengan keras. Papan panggung patah. Bagian pinggang ke bawah orang berpakaian
serba hijau ini amblas ke dasar panggung. Tubuh sebatas pinggang ke atas
terhenyak di lantai papan. Darah mengucur dari kepalanya yang pecah.
Dua gadis pemain akrobat menjerit dan lari ke bawah panggung. Hampir semua orang
keluarkan seruan kaget.
Patih Kerajaan Wira Bumi, seorang perwira tinggi dan beberapa orang tokoh silat
istana segera melompat ke atas panggung.
"Cagak Lenting!" Seru Patih Kerajaan. Walau kepala orang itu nyaris hancur namun
Wira Bumi masih bisa mengenali siapa adanya orang yang sebagian tubuhnya
tergelimpang di lantai panggung. Perwira Tinggi dan seorang tokoh silat segera
menarik tubuh orang
berpakaian serba hijau itu yang memang adalah Cagak Lenting alias Si Mata Elang.
"Kanjeng Patih, ada sepotong kertas menempel di
punggung mayat!" Seseorang berteriak. Orang ini langsung mengambil potongan
kertas itu dan menyerahkannya pada Patih Wira Bumi.
Sang Patih karuan saja jadi kaget besar karena di atas kertas itu ada tulisan
yang ditujukan padanya.
Patih Kerajaan, siapapun namamu adanya!
Malam ini aku menyelesaikan sebagian dari hutang piutang di antara kita. Kau dan
Cagak Lenting telah membunuh Djaka Tua secara keji. Cagak Lenting telah menerima
bagiannya. Tak lama lagi giliranmu akan sampai.
Rahang Patih Kerajaan menggembung. Gerahamnya
bergemeletakan. Kertas di tangan diremas hingga jadi bubuk!
"Jahanam! Setan mana yang punya pekerjaan ini! Siapa kau! Unjukkan diri!" Patih
Wira Bumi berteriak marah membuat panggung besar bergetar.
Tiba-tiba terdengar teriakan.
"Ada orang di atas atap!"
Perwira Tinggi Suko Daluh bersama dua orang tokoh silat yaitu Ki Genta Kemiling
dan Ki Wulur Jumena serta merta melompat dan melesat ke atas wuwungan Gedung
Kepatihan. Saat itulah dua larik cahaya putih berkiblat disusul dua jeritan.
Tubuh Perwira Tinggi dan salah seorang tokoh silat terpental lalu menggelundung
jatuh ke tanah.
Tubuh tak berkutik lagi, kepala pecah, nafas minggat sudah! Semua terjadi begitu
cepat. Patih Wira Bumi bersama beberapa orang segera berlari mendatangi.
"Ki Genta Kemiling. Apa yang terjadi"!" tanya Wira Bumi pada tokoh silat yang
masih hidup. "Kami melihat dua orang di atas atap gedung. Ketika kami hendak menyerbu ada dua
kilatan cahaya putih.
Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh silat Ki Wulur Jumena langsung roboh lalu
jatuh ke tanah. Saya coba mengejar.
Dua orang di atas atap lenyap. Yang kelihatan hanya asap putih seperti halimun."
Patih Kerajaan memperhatikan sekali lagi keadaan dua korban.
"Cara kematian mereka sama dengan Cagak Lenting.
Kepala hancur. Berarti pembunuh Cagak Lenting orangnya sama dengan pembunuh Suko
Daluh dan Wulur Jumena."
Pertunjukan di Gedung Kepatihan berakhir dalam
suasana kacau balau dan sangat tidak enak. Orang banyak pulang ke rumah masing-
masing dengan berbagai macam cerita. Sebelum meninggalkan tempat itu Patih
Kerajaan berkata pada orang-orangnya. "Tambah penjagaan di sekitar Gedung
Kepatihan dan juga Keraton. Perketat pengawasan pada pintu gerbang utara dan
barat." Wira Bumi masuk ke dalam gedung. Istri keduanya yang datang menyambut disuruhnya
masuk ke dalam kamar.
Wira Bumi sendiri kemudian masuk ke sebuah kamar khusus yang terletak di bagian
belakang Gedung
Kepatihan, terpisah dari bangunan utama. Empat dari lampu minyak yang ada di
dalam kamar dipadamkan. Lalu dia menanggalkan seluruh pakaian. Dalam keadaan
tidak selembar benang pun menutupi tubuhnya Wira Bumi
berbaring di atas tempat tidur. Mata terpejam, mulutnya berucap.
"Nyai Tumbal Jiwo. Datanglah. Saya memerlukan
dirimu." *** NYI Retno Mantili lari sambil pegangi lengan kiri
Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia berusaha menahan lari pemuda itu sambil berkata.
"Wiro, saya harus kembali ke Gedung Kepatihan. Saya harus membunuh patih itu.
Malam ini juga!"
Wiro tidak perdulikan ucapan Nyi Retno. Dia lari terus.
Di satu tempat yang dirasakannya cukup aman dan jauh di pinggiran kotaraja baru
dia berhenti. "Nyi Retno, saya ingin bicara," kata Wiro pula.
"Saya ingin kembali ke kotaraja. Saya harus membunuh patih jahanam itu!"
"Nyi Retno, ingat. Sebelumnya kau sudah berjanji hanya akan membunuh orang
bernama Cagak Lenting. Hal itu sudah kau lakukan."
"Tapi patih jahanam itu masih hidup. Dia ikut
bertanggung jawab atas kematian Djaka Tua."
"Nyi Retno, bagaimanapun jahatnya patih itu kau tak mungkin dan tidak boleh
membunuhnya."
Nyi Retno tarik lepas lengannya yang dipegang Wiro.
"Mengapa saya tidak boleh membunuh manusia jahat itu, Wiro."
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Akhirnya dia jawab juga pertanyaan Nyi Retno.
"Patih Kerajaan yang bernama Wira Bumi itu adalah suami Nyi Retno. Ayah dari
puteri Nyi Retno sendiri. Ayah Ken Permata."
Nyi Retno tersurut dua langkah mendengar kata-kata Wiro. Mulutnya tersenyum lalu
senyum berubah menjadi tawa memanjang.
"Saya tidak pernah punya suami! Kalaupun kelak saya punya, orangnya adalah kau!
Saya suka padamu!
Kemuning suka padamu!" Nyi Retno lalu mendekap
boneka kayu, menciuminya sementara sepasang matanya tampak berkaca-kaca. "Kalau
kau tidak mau jadi ayah Kemuning, saya mohon pergilah. Tinggalkan kami di sini.
Saya mengerti di matamu kami yang malang ini hanyalah sampah yang menjadi
beban!" "Ah, kumat lagi penyakitnya," keluh Wiro dalam hati.
Wiro belai rambut hitam di kuduk Nyi Retno. "Nyi Retno, jangan punya pikiran
atau perasaan seperti itu. Semua tindakan saya hanya untuk melindungi Nyi Retno
dan Kemuning. Ingat ucapan Ki Tambakpati" Kotaraja saat ini dijaga ketat. Mata-


Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata berkeliaran di mana-mana. Masih untung kita bisa masuk dan keluar dengan
selamat. Soal Patih Wira Bumi itu harap bersabar. Kita cari saat yang baik.
Kalau kita kembali ke Gedung Kepatihan saat ini terlalu berbahaya. Pengawalan
pasti sudah dilipat ganda.
Di setiap pelosok para tokoh silat kerajaan pasti berjaga-jaga. Bagaimana
pendapat Nyi Rento?"
Perempuan muda bertubuh mungil itu pegang tangan Wiro yang mengusap kuduknya.
Lama dia terdiam sebelum akirnya berkata dengan suara lirih.
"Saya menurut apa katamu saja, Wiro. Saya letih. Saya ingin istirahat. Mari kita
cari tempat yang aman. Maukah kau menggendong saya dan Kemuning?"
Wiro tersenyum. Dia bungkukkan tubuh sedikit lalu menggendong Nyi Retno di depan
dada. Dalam hati Wiro berkata. "Pada siapa aku harus minta tolong" Bagaimana
menjernihkan dan membuka pikiran perempuan ini. Bahwa Wira Bumi itu adalah
suaminya" Mungkin hanya dengan cara mempertemukan Nyi Retno dengan Ken Permata"
Tapi malam Satu Suro yang dikatakan Datuk Rao
Basaluang Ameh itu masih lama. Sementara itu segala sesuatunya bisa terjadi.
Heran, kenapa Datuk memerlukan waktu demikian lama untuk mempertemukan ibu dan
anak?" Satu tangan hangat mengusap dagu Wiro. Tangan Nyi Retno.
"Wiro, kau memikirkan apa?" tanya perempuan itu.
Sambil melangkah Wiro menatap wajah Nyi Retno.
Wajah itu tampak cantik sekali. Mata yang menatap bercahaya, bibir yang mengulum
senyum, semua memancarkan ketulusan hati. Tak ada yang
disembunyikan. Tiba-tiba saja Wiro merasakan dadanya berdebar.
Hatinya bicara. "Ya Tuhan, bagaimana ini. Mengapa aku menjadi begitu sayang pada
perempuan yang malang ini"
Wiro tundukkan kepala. Sesaat lagi ciuman Wiro akan sampai, Nyi Retno pejamkan
mata. Tapi yang dicium sang pendekar adalah boneka kayu dalam pelukan Nyi Retno.
"Wiro, saya sedih sekali..." Ucap Nyi Retno perlahan.
"Sedih kenapa Nyi Retno?" tanya Wiro.
"Kau mencium anakku. Tapi tak mencium diriku."
"Gila! Bagaimana aku mau mencium istri orang!" Ucap Wiro dalam hati. Lalu dia
merasakan tangan Nyi Retno menarik tengkuknya. Perlahan-lahan Wiro merunduk.
Ciumannya singgah di kening perempuan itu. Nyi Retno menggeliat dalam dukungan
sang pendekar. Matanya terbuka nyalang. Memancarkan cahaya kehidupan penuh
harapan dan juga hasrat penuh gairah.
"Wiro, saya mau kau membaringkan saya di tanah..."
bisik Nyi Retno. "Saya letih, saya ingin tidur dalam pangkuanmu."
Wiro hentikan langkah. Bingung. Apakah dia akan
mengikuti permintaan Nyi Retno" Jika hal itu dilakukan jangan-jangan semua
kemesraan ini akan berlanjut lebih jauh.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di dalam gelap terdengar suara perempuan
bernyanyi. *** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
7 ALAM gelap dan sejuk
Saat yang indah memadu cinta
MTapi apa nikmatnya
Bercinta dengan perempuan gila
Suara nyanyian ditutup dengan tawa bergelak.
Wiro tersentak kaget. Nyi Retno Mantili cepat meluncur turun dari dukungan sang
pendekar. Di dalam gelap, hanya terpisah kurang dari sepuluh langkah Wiro dan
Nyi Retno melihat seorang perempuan muda berwajah putih
berambut kacau balau tak karuan, mengenakan pakaian biru gelap, tegak sambil
rangkapkan dua tangan di depan dada. Di pinggang tergantung enam buah kendi
hitam berisi minuman keras. Sebuah tusuk konde perak tersemat di dada kiri baju
birunya. "Nyi Bodong... Ah, bukan dia!" Ucapan Wiro tertahan.
"Nyi Bodong seorang nenek, yang ini masih muda belia."
"Wiro, apakah kau lupa pada istri sendiri"!" Gadis bermuka putih berpakaian biru
bertanya dengan wajah didongakkan, mata memandang tak berkesip pada Wiro.
Seruas senyum bermain di bibir.
Kejut Wiro bukan alang kepalang.
"Aku, kau... Ah, bukan. Kau bukan Nyi Bodong, betul?"
Si muka putih tertawa. "Bukan, betul, bukan, betul! Kau ini bicara apa" Aku
Wulan Srindi istrimu. Apa kau tidak mengenali istrimu lagi" Wiro, perkawinan
kita telah membuahi seorang jabang bayi berusia hampir tiga bulan.
Apa kau tidak gembira mendengar kabar ini?"
"Wulan Srindi!" ucap Wiro. Kagetnya masih belum
hilang. "Apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa wajahmu menjadi putih?" Wiro
masih tidak yakin kalau perempuan muka putih di depannya itu adalah Wulan
Srindi. Namun suara orang ini memang sangat mirip dengan gadis anak murid
Perguruan Silat Lawu Putih yang pernah dekat dengan dirinya itu.
Nyi Retno menatap tak berkesip. Dalam hati dia
berkata. "Jadi inilah gadis yang menurut Sinto Gendeng telah dihamili Wiro.
Apakah dia lebih cantik dariku"
Wajahnya aneh, putih seperti kapur. Kelihatannya otaknya tidak lebih baik dari
otakku. Hik... hik... hik." Nyi Retno tertawa sendiri.
"Perempuan gila! Kenapa kau tertawa"! Kau
mentertawai diriku"!" bentak Wulan Srindi.
Nyi Retno melangkah maju. Wiro cepat pegang
tangannya. "Nyi Retno, biarkan saja dia mau bicara apa.
Jangan dilayani." Bisik Pendekar 212.
Walau tidak jadi mendatangi Wulan Srindi, namun Nyi Retno tidak tinggal diam.
"Perempuan sinting menyebut aku perempuan gila! Hik... hik... hik! Kalau kau
tadi ketawa mengapa aku tidak boleh?"
"Perempuan setan! Kau merampas suamiku!"
Nyi Retno pura-pura berbangkis dua kali lalu tertawa gelak-gelak.
"Nikah belum kawin juga tidak! Sungguh aneh kau
mengatakan orang ini suamimu! Lebih aneh lagi karena kau menebar kabar ke mana-
mana bahwa kau dalam
keadaan hamil! Hik... hik! Apa tidak malu"! Bisa bunting tapi tidak punya laki!
Katakan saja terus terang. Setan mana yang menghamilimu!"
"Perempuan lacur! Pandai bicara! Lihat ini!"
Dari balik pakaiannya Wulan Srindi keluarkan sehelai sapu tangan biru muda yang
dulu pernah diberikannya kemudian dikembalikan oleh Wiro.
"Suamiku, apa kau masih ingat sapu tangan tanda
percintaan kita?"
Wiro terperangah. Matanya memperhatikan sapu
tangan itu sebentar lalu alihkan perhatian pada tusuk konde perak yang tersemat
di dada kiri baju biru perempuan muka putih. "Dua benda itu membuktikan dia
memang Wulan Srindi. Tapi apa yang terjadi dengan wajahnya?"
Wulan Srindi cabut tusuk konde perak yang tersemat di dada kirinya. "Suamiku,
apa kau berani membantah bahwa tusuk konde milik gurumu ini adalah mas kawin
tanda pernikahan kita?"
"Wulan, aku tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Namun kau tahu
antara kita..."
"Antara kita saling mencinta. Dan buah percintaan kita berdua adalah seorang
jabang bayi berusia hampir tiga bulan yang ada dalam kandunganku!" Wulan Srindi
usap-usap perutnya. "Kau mau anak lelaki atau anak
perempuan Wiro" Aku mau anak lelaki. Biar bentuknya tampan dan gagah seperti
dirimu." "Wulan, kau keliru kalau..."
"Aku tidak pernah keliru mencintaimu, Wiro. Bayi yang aku kandung tidak keliru
adalah anakmu, darah
dagingmu!" Wulan Srindi sematkan kembali tusuk konde ke dada kiri baju birunya.
"Wulan, aku mohon..." Wiro tak tahu lagi mau bicara apa.
Wulan Srindi ambil dua buah kendi tanah. Satu
dilemparkan ke arah Wiro. "Wiro, mari kita minum bersama! Sebagai rasa suka cita
atas pertemuan ini.
Setelah minum kau ikut aku. Buat apa jalan bersama perempuan lacur itu. Gila
pula!" Agar kendi tidak jatuh ke tanah Wiro terpaksa
menyambuti dengan tangan kiri. Sebaliknya dihina seperti itu Nyi Retno Mantili
berteriak marah. Wiro cepat merangkul pinggang perempuan itu sambil berulang
kali membujuk menenangkan.
Tak perduli teriakan marah Nyi Retno, tenang saja Wulan Srindi teguk minuman
keras dalam kendi hingga wajahnya yang putih menjadi merah.
Tangan kanan masih memegangi Nyi Retno, Wiro
pegang kendi tanah dengan tangan kiri. Minuman itu sama sekali tidak diteguknya.
"Kau tak minum Wiro" Ah, aku tahu kau dari dulu
memang bukan tukang minum. Tapi mungkin kau takut pada perempuan gila di
sampingmu itu. Jika kau suka boleh saja kau berikan minuman itu padanya. Aku
lihat tenggorokannya turun naik tanda haus sekali!"
"Wulan, terima kasih. Aku memang tak biasa meneguk minuman keras. Harap kau mau
menerima kembali." Wiro lalu lemparkan kembali kendi berisi minuman ke arah
Wulan Srindi. Tapi gadis ini tidak menyambuti hingga kendi jatuh ke tanah, pecah
dan isinya tumpah. Bau minuman keras menebar di tempat itu.
Wulan Srindi pandangi kendi yang pecah serta
minuman yang membasahi tanah. Wajahnya nampak sedih namun sesaat kemudian dia
tertawa gelak-gelak. Habis tertawa dia teguk minuman dalam kendi. Tiba-tiba,
byuurr! Minuman disemburkan ke arah Nyi Retno Mantili.
"Nyi Retno awas!" teriak Wiro sambil melompat dan menarik tangan Nyi Retno
Mantili. Perempuan ini selamat dari semburan yang bisa membuat wajahnya cacat
berlubang. Namun beberapa percikan minuman keras mengenai bahu kanan Wiro. Empat
lubang mengepul di baju yang sebelumnya telah robek besar di bagian punggung.
Dua percikan minuman keras menembus baju melukai bahu kanan Wiro hingga pemuda
ini mengeluh kesakitan.
Melihat apa yang terjadi Nyi Retno marah besar. Sambil berteriak dia melompat ke
hadapan Wulan Srindi.
"Setan gila! Kau apakan Wiro!" Tangan kanan yang memegang boneka diangkat
tinggi-tinggi, diarahkan pada Wulan Srindi. Wulan cepat teguk minuman keras dan
kembali hendak menyembur. Wiro tahu bagaimanapun kehebatan minuman keras yang
disemburkan Wulan
Srindi, namun dua larik cahaya putih yang bakal keluar dari sepasang mata boneka
jauh lebih dahsyat. Dia
menyaksikan sendiri bagaimana Hantu Pemerkosa alias Pangeran Matahari yang luar
biasa tinggi ilmu silat dan kesaktiannya tidak sanggup menghadapi ilmu kesaktian
yang disebut Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala itu.
Jika nekad Wulan Srindi bisa mati konyol.
"Wulan! Lekas menyingkir!"
Wulan tidak perduli. Ketika dua sinar berkiblat dia hanya berjingkat sedikit
lalu menyembur lagi.
"Celaka!" seru Wiro. Dia berusaha menarik tangan Nyi Retno yang memegang boneka
kayu. Namun dua larik sinar putih sudah lebih dulu berkiblat. Wiro tidak mungkin
lagi menolong Wulan Srindi.
Di saat yang sangat menentukan bagi keselamatan jiwa Wulan Srindi, tiba-tiba
satu bayangan hitam berkelebat disertai deru sambaran angin. Menyusul empat
semburan dahsyat.
Wuuutt! Dess! Dess! Dua larik cahaya putih bertabur ke berbagai penjuru dan lenyap.
Nyi Retno berseru kaget, cepat melangkah mundur. Di depan sana terdengar suara
pecahnya kendi tanah disertai pekik Wulan Srindi lalu suara orang mengeluh
pendek. Ketika memandang ke depan Wiro melihat Wulan Srindi berdiri dipegangi seorang
lelaki gemuk pendek berwajah merah menyeramkan. Pada cuping hidung sebelah kiri
menyantel sebuah anting akar bahar. Rambut hitam sebahu awut-awutan. Pakaian
baju dan celana hitam gombrong. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kendi
besar hitam sementara di pinggang menggelantung
sebelas kendi lagi.
Orang yang memegangi Wulan Srindi tampak tegak
terhuyung sambil pegangi dada. Dia merasa ada cairan asin dalam mulutnya. Darah!
Tidak tunggu lebih lama dia segera teguk minuman keras dalam kendi. Lalu alirkan
hawa sakti dari perut ke dada. Di sampingnya Wulan Srindi berdiri dengan muka
lebih putih. Di sudut bibir darah meleleh.
Wiro yang mengenali siapa adanya lelaki gemuk pendek berwajah seram yang
membekal selusin kendi berisi minuman keras itu serta merta berseru. Lalu
berlari mendatangi. Setelah membungkuk dalam-dalam memberi hormat, Wiro berkata.
"Iblis Pemabuk! Kami berdua mohon maaf kalau telah bertindak lancang. Saya siap
mewakilkan diri menerima hukuman!"
Si gemuk bermuka merah berjuluk Iblis Pemabuk teguk minuman keras dalam kendi.
Begitu isinya kosong kendi langsung dibanting ke tanah hingga pecah berantakan.
Orang ini lalu tertawa gelak-gelak.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku gembira kau masih mengenali si jelek tukang
mabuk ini! Ha... ha... ha! Kami berdua tidak kurang suatu apa. Siapakah
perempuan muda di sampingmu itu" Gebukannya boleh juga."
"Namanya Nyi Retno Mantili..."
"Apa"!" Sepasang mata Iblis Pemabuk tampak melotot.
"Nyi Retno Mantili. Bukankah dia..."
Iblis Pemabuk walau tukang mabuk dan berkelakuan aneh tapi punya rasa
kebijaksanaan yang dalam. Dia tidak melanjutkan kata-katanya walau sudah tahu
siapa adanya Nyi Retno Mantili.
"Panjang ceritanya, tak dapat saya beri tahu sekarang.
Saya tengah berusaha mengobati kelainan..." Wiro coba memberi keterangan
singkat. "Aku tahu... Aku tahu!" kata Iblis Pemabuk pula. "Ilmu yang dikeluarkannya
melalui boneka tadi adalah ilmu langka yang sangat dahsyat. Kalau aku tidak
keliru bernama Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala.
Pemiliknya hanya satu orang. Kakek sakti di puncak Gunung Gede. Apa hubungan
perempuan muda itu dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas?"
"Nyi Retno murid Kiai Gede Tapa Pamungkas."
menerangkan Wiro.
"Ah..." Iblis Pemabuk delikkan mata sesaat, lalu angguk-anggukan kepala dan
akhirnya mengambil kendi baru lalu meneguk isinya.
"Iblis Pemabuk, kalau saya boleh bicara empat mata denganmu. Saya..."
"Tidak usah. Tidak perlu. Aku tahu apa yang ada di benakmu dan apa yang hendak
kau sampaikan."
"Tapi ini urusan besar menyangkut..."
"Urusan besar, urusan kecil semua aku sudah tahu.
Urusanmu dan urusanku ada kesamaan. Tapi yang aku hadapi jauh lebih parah..."
"Guru, aku tak suka kau bicara berlama-lama di tempat ini. Wiro suamiku, lebih
baik kau ikut kami daripada ikut perempuan gila itu." Wulan Srindi memotong
ucapan Iblis Pemabuk.
"Cah Ayu, kau betul. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Namun untuk saat
ini kita belum perlu bergabung dengan Wiro..."
"Aku tak suka kau bicara begitu! Kau guru jahat! Kau hanya memperhatikan
kepentingan orang lain. Tidak mau memperhatikan kepentingan murid sendiri!"
Dengan muka masam Wulan Srindi balikkan badan.
"Wulan, tunggu dulu!" Wiro berseru.
Wulan Srindi hentikan langkah. "Eh, kau mau ikut aku"
Kalau Guru tak mau kita pergi berdua saja?"
"Wulan, kuharap kau mau berbaik hati mengembalikan tusuk konde milik Eyang Sinto
Gendeng. Aku akan sangat berterima kasih..."
"Enak saja mulutmu bicara! Kau sengaja hendak
menghilangkan tanda perkawinan kita"!"
"Eyang Sinto menugaskan aku harus mendapatkan
tusuk konde itu kembali."
"Katakan saja kau tak pernah bertemu dengan aku!
Apa sulitnya berdusta dengan nenek culas itu"!"
Wiro menggaruk kepala. "Kalau kau tak mau
memberikan aku tak memaksa..." Kata sang pendekar dengan suara perlahan. Dengan
apa yang telah dilakukan Sinto Gendeng terhadapnya, sebenarnya Wiro tak mau
memaksa diri mendapatkan tusuk konde itu. Wiro
berpaling pada Iblis Pemabuk. "Iblis Pemabuk, sebenarnya kau hendak menuju ke


Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana?" "Kami dalam perjalanan ke Plaosan. Tapi Cah ayu ini selalu berjalan duluan.
Untung tadi aku tidak terlambat datang. Kalau tidak dia sudah konyol saat ini."
"Ada apa di Plaosan?" Wiro bertanya lagi.
"Orang-orang Keraton Kaliningrat kabarnya ada di situ."
Lalu Iblis Pemabuk mendekati, menepuk bahu kanan Wiro yang terluka akibat
percikan minuman keras yang tadi disemburkan Wulan Srindi. Saat itu juga dua
lobang luka menjadi kering. Sambil menepuk Iblis Pemabuk berbisik pada Wiro.
"Muridku diperkosa dua orang anggota Keraton Kaliningrat. Yang satu berhasil
kami bunuh. Satunya saat ini mungkin berada di Plaosan. Kabarnya orang-orang
Keraton Kaliningrat ada di sana. Sudah, aku pergi sekarang!"
"Iblis Pemabuk, saya sangat berterima kasih."
Iblis Pemabuk tarik tangan Wulan Srindi. Yang ditarik berusaha berontak sambil
berteriak-teriak. "Aku mau ikut suamiku! Aku mau ikut Wiro. Lepaskan! Lepaskan!"
Namun akhirnya gadis muka putih itu terpaksa ikut juga bersama gurunya.
"Guru mertuamu tampaknya sangat baik padamu." Nyi Retno keluarkan ucapan ketika
Wiro mendatanginya.
"Guru mertua" Maksudmu?" Wiro tak mengerti namun begitu sadar meledak tawanya.
"Kau kelihatan luar biasa gembira," Nyi Retno kembali menggoda. "Apa karena
mertuamu juga menyusupkan
tusuk konde perak itu ke pinggang bajumu?"
Wiro terkejut dan memeriksa bajunya. Astaga! Ternyata tusuk konde milik Eyang
Sinto Gendeng yang tadi tersemat di dada kiri Wulan Srindi kini tersemat di
pinggang baju yang dikenakannya.
"Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya..." kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Sebelum Iblis Pemabuk mendekatimu, dia lebih dulu mengambil tusuk konde. Dia
lalu menepuk bahumu, bicara denganmu. Saat itulah tanpa diketahui perempuan gila
itu, tusuk konde disusupkan ke bajumu. Iblis Pemabuk juga menyembuhkan dua
lubang luka di bahumu dengan
tepukannya tadi. Walau ujudnya sangat menyeramkan tapi dia benar-benar orang
baik." "Kau betul Nyi Retno. Iblis Pemabuk orang baik. Tapi dia bukan guru mertuaku,"
kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Betul" Jangan-jangan kau berdusta," kata Nyi Retno pula.
Merasa digoda Wiro tertawa gelak-gelak, tangkap
pinggang perempuan mungil berwajah cantik ini, dipanggul lalu dilarikan.
"Hai! Mengapa kau lari ke jurusan sini" Ini arah larinya guru mertuamu!" teriak
Nyi Retno Mantili. "Pasti kau mau mengejarnya! Atau mungkin juga mengejar anak
muridnya! Hik... hik... hik!"
Sambil lari Wiro gelitiki pinggang Nyi Retno berulang kali hingga perempuan ini
tertawa keras kegelian.
"Nyi Retno, jangan kau salah mengira. Ingat surat daun lontar yang diberikan
kusir gerobak?"
"Saya ingat. Memangnya kenapa?"
"Orang-orang Keraton Kaliningrat meminta saya datang ke Candi Pangestu di
Plaosan. Tadi Iblis Pemabuk mengatakan ingin ke Plaosan karena mau mencari
pemerkosa muridnya yang orang Keraton Kaliningrat. Nyi Retno keberatan kalau
kita mengikuti mereka?"
Nyi Retno diam saja.
"Ah, dia cemburu," ucap Wiro dalam hati. Lalu berkata.
"Kalau Nyi Retno tidak suka, saya tidak memaksa."
"Wiro, turunkan saya..."
Wiro hentikan lari. Nyi Retno turun dari gendongan Wiro.
Sambil mendekap boneka kayu ke dada dia berkata
perlahan. "Wiro, jika kau ingin pergi ke mana kau suka silahkan saja. Saya tidak bisa
melarang. Tinggalkan saya dan Kemuning di tempat ini."
"Nyi Retno. Maksud saya..." Wiro hendak berjongkok di samping perempuan itu.
Namun tiba-tiba ada kabut aneh menutupi tubuh Nyi Retno.
Wiro ulurkan tangan. Dia hanya menyentuh angin.
Sosok Nyi Retno lenyap dari pemandangan.
"Nyi Retno, kau ke mana"! Nyi Retno!"
Wiro berteriak. Memanggil berulang kali sambil
melangkah kian kemari. Namun Nyi Retno seperti lenyap ditelan bumi.
"Dia mempergunakan ilmu melenyapkan diri. Pasti
didapat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sampai pagi aku berteriak dan mencari
akan sia-sia saja."
Wiro terduduk di tanah, geleng-geleng kepala lalu usap muka berulang kali.
Setelah memandang berkeliling, sambil menekap wajah Wiro berkata. "Nyi Retno,
saya tahu kau masih ada di sekitar sini. Saya tahu kau melihat saya tapi saya
tidak bisa melihatmu. Saya ke Plaosan bukan karena apa. Saya merasa sesuatu akan
terjadi di sana.
Saya ingin bersamamu lagi dan Kemuning..."
Mendadak ada suara orang tersedu menangis.
"Nyi Retno... ?"
Wiro berdiri. Memperhatikan berkeliling. Dia hanya melihat kegelapan. Udara
malam terasa dingin. Perlahan-lahan dia berdiri. Sebelum tinggalkan tempat itu
sekali lagi dia memeriksa kalau-kalau Nyi Retno sudah mau
menunjukkan diri. Namun perempuan mungil berwajah cantik itu tetap tak
kelihatan. "Aku merasa berdosa. Seharusnya aku menjaga diri dan hatinya baik-baik..." Wiro
tarik nafas dalam lalu dengan hati berat melangkah pergi. (Mengenai kisah Iblis
Pemabuk silahkan baca episode berjudul "Kiamat Di Pangandaran").
*** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
8 ULAN Srindi yang berada di depan Iblis Pemabuk
tiba-tiba hentikan lari. Mata memandang ke arah
Wreruntuhan bangunan candi. Kepala mendongak,
hidung menghirup dalam-dalam.
"Guru, aku mencium bau daging panggang. Sedap
sekali! Perutku jadi terasa perih, lapar."
Iblis Pemabuk berdiri di samping sang murid. Setelah meneguk minuman keras dalam
salah satu kendi dia menunjuk ke arah candi. "Baunya datang dari arah candi
sana. Kalau aku tidak salah itu Candi Pangestu. Ayo kita menyelidik. Siapa tahu
orang-orang Keraton Kaliningrat sedang pesta daging panggang. Lumayan kalau
kebagian."
Begitu memutari candi, walau guru dan murid itu tidak menemui siapa-siapa namun
mereka melihat kayu bekas perapian yang masih menyala serta dua kelelawar
panggang yang masih utuh tergeletak di tanah.
"Aneh, ada orang memanggang dua kelelawar. Lalu
dibuang begitu saja." Wulan Srindi keluarkan ucapan. Rasa laparnya serta merta
sirna. Tadinya dia menyangka paling tidak akan melihat ayam atau kambing hutan
panggang. Ternyata kelelawar yang sudah berselomotan tanah.
Iblis Pemabuk teguk lagi minuman keras dalam kendi.
Dengan langkah terhuyung dia berjalan ke arah tangga candi yang sudah rusak.
Manusia bertubuh gemuk pendek ini duduk di reruntuhan tangga. Dua tangan
menopang dagu, mata memandang kian kemari.
"Ada tanda-tanda bekas perkelahian di tempat ini." Iblis Pemabuk berkata. Tiba-
tiba dia bangkit berdiri. Melangkah mendekati sebuah benda yang tergeletak di
tanah, lalu mengambilnya. "Patahan tongkat. Milik siapa?"
Patahan tongkat yang ditemukan Iblis Pemabuk ini adalah milik Sinto Gendeng yang
patah waktu menggebuk Ni Serdang Besakih.
"Guru! Lekas ke sini!"
Dari arah candi sebelah kiri Wulan Srindi berseru.
Iblis Pemabuk buang patahan tongkat. Ketika dia
mendatangi Wulan Srindi tengah berdiri di depan seonggok benda putih berbentuk
tubuh manusia. Iblis Pemabuk membungkuk. Telapak tangan kanan dikembangkan lalu
didekatkan pada onggokan benda putih.
"Edan!" Si gemuk pendek yang memakai anting akar bahar di salah satu cuping
hidungnya ini memaki sambil tarik tangannya.
"Ada apa Guru?" tanya Wulan Srindi.
"Bangkai manusia ini masih panas!" jawab Iblis
Pemabuk. "Pasti dia menemui ajal di tangan musuh berkepandaian sangat tinggi.
Pukulan sakti apa yang telah membuat tubuhnya menemui ajal mengerikan begini
rupa?" "Guru, apakah tanda-tanda orang Keraton Kaliningrat yang kita cari ada di sini?"
Iblis Pemabuk tak menjawab. Matanya kembali melihat sesuatu di tanah. "Cah Ayu,
coba kau perhatikan tanda-tanda yang ada di tanah sebelah sini. Sepertinya ada
satu benda diseret ke jurusan sana..."
Wulan Srindi dan Iblis Pemabuk melangkah mengikuti tanda di tanah.
"Guru, saya menemukan sesuatu!" Sekonyong-konyong Wulan Srindi berkata lalu
membungkuk mengambil sebuah benda yang tergeletak di tanah. Benda ini ternyata
adalah gulungan surat daun lontar yang terjatuh dari pinggang Sinto Gendeng.
Iblis Pemabuk mengambil gulungan daun lontar itu lalu membukanya.
"Ada tulisannya," ucap Iblis Pemabuk.
"Jangan-jangan petunjuk harta karun. Hik... hik... hik!"
Kata Wulan Srindi lalu tertawa cekikikan.
Karena keadaan gelap Iblis Pemabuk membawa surat daun lontar ke dekat perapian.
Wulan Srindi ikut membaca apa yang tertulis di daun lontar. Guru dan murid sama-
sama terkejut dan saling pandang.
"Surat ini jelas ditujukan pada Wiro Sableng. Waktu bertemu, pemuda itu sama
sekali tidak menceritakan perihal surat ini."
"Yang jadi pertanyaan, bagaimana surat ini bisa berada di sini?" ujar Wulan
Srindi pula. "Mungkin Wiro belum menerima surat ini. Mungkin
orang-orang Keraton Kaliningrat belum sempat
menyerahkan padanya. Tapi surat ini sudah agak lecak.
Tanda pernah dibuka dan digulung berulang kali." Iblis Pemabuk berpikir terus
lalu teguk minuman keras dalam salah satu kendi sampai mukanya menjadi sangat
merah. Wulan Srindi memandang pada onggokan tubuh putih.
Wajahnya berubah. "Guru, jangan-jangan yang jadi mayat putih di sana itu
suamiku, Wiro."
"Mana bisa jadi. Wiro berada di belakang kita. Cukup jauh dari sini. Kalaupun
dia ke sini memenuhi isi surat, tidak mungkin dia mendahului kita. Satu-satunya
jawaban atas apa yang terjadi di sini, kita harus mengikuti tanda bekas seretan
di tanah. Jika orang menyeret sesuatu, tak mungkin berjalan cepat. Kita bisa
mengejar mereka Wulan.
Ikuti aku."
"Tunggu dulu, Guru! Kita ke Plaosan mencari
pemerkosaku. Orang Keraton Kaliningrat. Bukan mengejar orang yang diseret
atau..." "Cah Ayu, aku rasa semua ini ada sangkut pautnya dengan orang-orang Keraton
Kaliningrat. Kau lihat saja nanti!" Iblis Pemabuk lalu menarik tangan Wulan
Srindi. Berlari hampir sepeminuman teh, di satu tempat Iblis Pemabuk memberi tanda lalu
cepat menyelinap ke balik sebatang pohon besar. Dia memegang pundak muridnya dan
berkata. "Lihat di depan sana. Ada orang menyeret sesuatu dalam jaring. Jaring
itu bukan jaring biasa karena memancarkan cahaya bergemerlap dan mengepulkan
asap. Aku pernah mendengar kabar tentang sebuah jaring yang luar biasa hebatnya.
Jangankan manusia, hantu atau jin sekalipun jika kena dijaring tak bakal bisa
lolos! Namanya Jaring Neraka. Pemiliknya seorang tokoh silat biasa dipanggil dengan
sebutan Embah Bejigur. Di dalam jaring aku lihat meringkuk satu sosok manusia.
Mungkin sudah mati, mungkin cuma pingsan. Orang yang menyeret jaring. Botak,
cebol, kumis dan janggut putih panjang. Pasti dia si Embah Bejigur."
Yang diperhatikan Wulan Srindi saat itu bukanlah jaring begemerlap atau lelaki
katai botak yang menyeret jaring, apalagi ingin mencari tahu siapa sosok yang
ada dalam jaring. Gadis ini pelototkan mata ke arah perempuan tua berpakaian
kuning ketat yang melangkah di samping lelaki botak cebol.
"Guru, kau mengenali nenek berhidung bengkok itu"
Aku tak bisa lupa. Dia adalah salah satu pentolan orang-orang Keraton
Kaliningrat. Namanya Ni Serdang Besakih.
Jahanam tua itu pernah menamparku dua kali sewaktu aku berada dalam keadaan
tertotok. Saatnya aku
membalaskan sakit hati!"
Iblis Pemabuk teguk minuman keras dalam kendi. "Ya, aku mengenali. Dia ada di
hutan Ngluwer waktu kita membunuh pemerkosamu yang bernama Kuntorandu."
"Aku akan membunuh tua bangka jahanam itu
sekarang juga!"
Habis berkata begitu Wulan Srindi langsung berkelebat.
Iblis Pemabuk berusaha mencegah. Tapi terlambat. Sang murid telah melesat.
Selagi tubuhnya melayang di udara Wulan Srindi ambil sebuah kendi yang
tergantung di pinggang.
"Nenek jahanam! Terima kematianmu!"
Wulan teguk minuman keras dalam kendi lalu
menyembur ke arah Ni Serdang Besakih. Yang diserang tentu saja kaget bukan main.
Apalagi ketika mengenali si penyerang adalah gadis muka putih berkepandaian
tinggi yang tempo hari pernah membuat kehebohan berdarah di hutan Ngluwer
sewaktu ada pertemuan antara para tokoh Keraton Kaliningrat. Dengan melompat
mundur sejauh empat langkah Ni Serdang Besakih berhasil selamatkan diri dari
semburan minuman keras yang sangat berbahaya itu. "Gadis keparat muka putih! Kau
datang mengantar nyawa! Mana gurumu si muka dedemit itu" Kalau kalian datang
berdua biar kuhabisi sekaligus!"
"Nenek jelek. Aku memang ada di sini!"
Satu suara menyahuti. Di lain kejap Iblis Pemabuk sudah ada di depan Ni Serdang
Besakih, teguk minuman keras dalam kendi sampai habis lalu jatuhkan kendi ke
tanah hingga pecah. Sambil gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain Iblis
Pemabuk tertawa
mengekeh. "Tidak dinyana kau masih ingat diriku! Memangnya kau kangen padaku?"
"Wong edan! Kambing betina saja jijik padamu!"
damprat Ni Serdang Besakih.
Iblis Pemabuk kembali tertawa. Dalam tertawa dia melirik ke arah jaring.
Kagetnya bukan alang kepalang. Di dalam gelap dia masih bisa mengenali orang
yang mendekam di dalam jaring. Sinto Gendeng!
"Ahai! Sudah lengkap rupanya orang yang minta mati!"
Ni Serdang Besakih berucap. "Tapi sebelumnya aku akan minta petunjuk sahabatku
ini dulu."
Ni Serdang Besakih berpaling pada lelaki botak katai yang tegak di sampingnya
memegang buhul jaring.
"Sobatku Embah Bejigur, pemilik Jaring Neraka.
Menurutmu apakah guru dan murid ini kita masukkan saja dalam jaring, ditumpuk
jadi satu dengan Sinto Gendeng nenek bau pesing itu. Atau mereka kita habisi
sekarang saja!"
Wulan Srindi terkejut besar. Dia baru tahu kalau orang yang disekap dalam jaring
adalah Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng yang berarti adalah guru
mertuanya! Iblis Pemabuk juga kaget, namun kagetnya berbeda dengan Wulan Srindi. Kalau sang
murid terkejut begitu mengetahui siapa yang ada di dalam jaring, maka sang guru
kaget mendengar disebutnya nama Embah Bejigur serta nama Jaring Neraka. Kakek
muka merah ini sama sekali tidak menaruh jerih terhadap orang bernama Embah
Bejigur. Yang membuatnya risau adalah ketika mengetahui jaring di mana Sinto
Gendeng berada adalah Jaring Neraka.
Hampir tidak ada ilmu dan senjata yang mampu membobol jaring itu! Orang yang
terjebak di dalamnya jangan harap bisa lolos kecuali dilakukan oleh pemiliknya
sendiri yaitu Embah Bejigur.
Embah Bejigur usap-usap kepala botaknya. "Jaring Neraka terlalu kecil. Tidak
Seruling Perak Sepasang Walet 2 Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Kiam Karya Rajakelana Delapan Kitab Pusaka Iblis 5
^