Pencarian

Azab Sang Murid 1

Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
Sumber Buku: Dani (http://212.solgeek.org)
EBook: kiageng80
WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
1 ALAM Episode sebelumnya (Lentera Iblis) dituturkan kejadian perkelahian hebat
antara dua nenek sakti Ddedengkot rimba persilatan yaitu Hantu Malam
Bergigi Perak dengan Sinto Gendeng. Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal
akibat hantaman ilmu sakti Sepasang Sinar Inti Roh yang dilepas Sinto Gendeng
dari kedua matanya. Sementara Sinto Gendeng sendiri walau mampu bertahan hidup
namun keadaannya babak belur dan
menderita luka dalam yang cukup parah. Mata kiri lebam merah biru. Dalam keadaan
setengah pingsan setengah sadar entah dari mana datangnya mendadak muncul satu
cahaya bergemerlap. Sinto Gendeng yang hanya mampu melihat dengan satu mata,
terkesiap kaget sewaktu satu makhluk aneh berbentuk bayang-bayang perempuan
cantik sekali dengan rambut tergerai lepas melayang ke arahnya.
Tangan kanan menyambar ke pinggang. Sinto merasa ada sesuatu yang lenyap dari
tubuhnya. Dia hanya bisa berteriak. Lalu tersungkur roboh, tergeletak di tanah
dalam keadaan pingsan.
Akibat dentuman dahsyat beradunya pukulan-pukulan sakti Hantu Malam Bergigi
Perak dan Sinto Gendeng yang terjadi sebelumnya, Setan Ngompol terpental dan
menyangsrang di atas serumpunan semak belukar. Muka pucat, mata mendelik. Dada
berdenyut sakit sedang kencing muncrat awur-awuran. Untuk beberapa lama kakek
ini terpentang tak bergerak. Tubuhnya seolah lumpuh.
Makhluk perempuan bayangan berkelebat ke arah
Hantu Malam Bergigi Perak. Si nenek menatap dengan mata melotot. Tubuh terhuyung
lemas akhirnya terguling di tanah. Pandangan mata sedikit demi sedikit menjadi
kabur. "Nek, aku tahu kau inginkan Kitab Seribu Pengobatan.
Kitab itu ada padaku. Kalau sudah kupergunakan, aku akan mencarimu dan
menyerahkannya padamu..."
"Kau siapa..." Tanya Hantu Malam Bergigi Perak dengan suara parau, dada sesak.
Nafas megap-megap tinggal satu-satu.
"Aku seorang sahabat."
Si nenek gelengkan kepala.
"Kita tidak mungkin bertemu lagi. Luka di bahuku mengandung racun jahat. Selain
itu aku kehabisan darah.
Umurku tidak lama. Jika aku mati serahkan kitab itu pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Dia tahu masalah yang dihadapi dua muridku yang sangat memerlukan
pertolongan. Hanya petunjuk dalam kitab yang bisa menyembuhkan mereka. Jika
pendekar itu inginkan salah satu dari dua muridku, dia tinggal memilih. Aku tahu
dia sebenarnya pemuda baik. Mudah-mudahan mereka
berjodoh dan bahagia."
"Nek, kau tidak akan mati. Aku akan menolong."
Makhluk bayangan siap menotok urat besar di leher dan dada Hantu Malam Bergigi
Perak. Namun kepala si nenek lebih dulu terkulai. Nyawanya lepas. Dia menemui
ajal dengan sepasang mata nyalang terbuka. Makhluk
bayangan usap dua mata si nenek hingga tertutup lalu melesat ke udara dan lenyap
dari pemandangan.
*** TAK selang berapa lama Sinto Gendeng mulai sadarkan diri. Dia ingat apa yang
terjadi lalu begerak duduk di tanah.
Meraba sekitar pinggang. Mencari-cari kian kemari. Dia tidak menemukan benda
itu. Lenyap! Kaget si nenek laksana disambar petir.
"Jahanam kurang ajar! Siapa mencuri kitab"!" Nenek ini melompat dari duduknya,
berdiri terhuyung-huyung.
Pandangan mata kanannya membentur sosok Hantu
Malam Bergigi Perak. Dia dapatkan si nenek sudah tak bernyawa lagi. Sinto
Gendeng memeriksa seluruh tubuh Hantu Malam namun tidak menemukan Kitab Seribu
Pengobatan. Saking marahnya Sinto Gendeng tendang tubuh orang hingga terpental
sampai beberapa tombak.
Nenek sakti dari Gunung Gede ini kemudian putar
tubuh. Pandangannya kini tertuju pada Setan Ngompol yang tergeletak tak berdaya,
menyangsrang di atas rumpunan semak belukar. Sinto Gendeng melangkah
mendatangi. "Setan tua keparat! Semua ini terjadi gara-gara kau!
Mana kitab itu"! Kau pasti yang mengambil!"
"Sinto, aku..."
"Mana kitab itu"!"
"Aku tidak mengambilnya. Aku..."
Ucapan Setan Ngompol terputus.
Plaaakkk! Satu tamparan mendarat di pipi Setan Ngompol
membuat pecah bibir si kakek.
"Sinto! Kenapa kau jadi kalap begini! Kau menghajarku teman sendiri!"
"Siapa bilang kita berteman"! Aku memang sudah gila!
Aku bukan cuma ingin menghajarmu tapi membunuhmu!
Kau dengar"! Aku ingin membunuhmu!"
Habis berteriak begitu Sinto Gendeng lalu hunjamkan satu jotosan ke tubuh Setan
Ngompol. Kraakkk! Setan Ngompol menjerit.
Tiga tulang iganya berderak patah. Kakek ini mega-megap beberapa kali, kucurkan
air kencing lalu tak berkutik lagi.
Tak selang berapa lama setelah Sinto Gendeng pergi dan kegelapan malam mulai
menyelimuti tempat itu, dua bayangan tampak berkelebat gesit. Ternyata mereka
adalah dua gadis cantik, satu berpakaian merah satu lagi berpakaian biru.
Gadis berpakaian biru yang berada di sebelah depan tiba-tiba keluarkan jeritan.
"Kakak Liris Merah! Di sini! Lihat!"
Lalu si biru ini melompat ke depan, jatuhkan diri di tanah di mana tergeletak
sosok Hantu Malam Bergigi Perak yang telah jadi mayat.
"Guru!"
Liris Biru dan Liris Merah sama-sama terpekik lalu peluki jenazah sang guru.
"Guru..." Tangis Liris Merah. "Kalau guru mengizinkan kami ikut bersamamu, hal
ini tak mungkin terjadi. Tak mungkin!"
"Guru kalau kau tidak ada bagaimana kami" Putus
sudah usaha mencari Kitab Seribu Pengobatan." Isak Liris Biru. "Lebih baik kami
menyusul guru!" Lalu dengan nekad gadis cantik bernama Liris Biru benturkan
keningnya ke tanah. Hanya setengah jengkal lagi kening itu akan menumbuk tanah,
Liris Merah cepat melintangkan tangan kanan, tahan kening adiknya hingga tak
sempat membentur tanah.
"Liris Biru! Jangan bertindak bodoh! Guru sudah pergi!
Kita tak bisa membuat kebajikan apa selain mencari siapa pembunuhnya!"
Liris Biru menggerung panjang. Dua murid Hantu
Malam Bergigi Perak itu menangis sambil berpelukan.
"Sudah! Cukup! Tidak ada gunanya mengeringkan air mata," ucap Liris Merah sambil
usap kedua matanya yang basah. "Kita harus membawa jenazah guru ke Goa
Cadasbiru. Kita makamkan di sana. Kita berangkat sekarang juga. Sebelum pagi
mudah-mudahan kita sudah bisa menguburkan jenazah guru."
"Bagaimana kita membawa jenazah guru. Bergantian memanggulnya?" tanya Liris
Biru. Liris merah berdiri. Memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sosok
Setan Ngompol yang masih tertelentang di atas semak belukar, mulai sadarkan
diri. "Lihat!" Liris Merah berkata sambil menunjuk. Dua gadis itu segera mendatangi
Setan Ngompol. "Kau rupanya!" seru Liris Merah begitu mengenali siapa adanya orang itu. "Jangan
pura-pura pingsan! Kau mendekam di sini sengaja mendengarkan pembicaraan kami!"
"Pasti dia yang membunuh guru! Kita habisi saja dia sekarang juga!"
"Aku setuju!" sahut Liris Merah.
Dua gadis angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Satu diarahkan ke muka dan satu
lagi ditujukan ke dada Setan Ngompol. Kalau hantaman dua tangan mendarat di
sasaran, niscaya nyawa si kakek tidak tertolong lagi!
Setan Ngompol delikkan mata. Terbatuk-batuk,
kucurkan air kencing tapi cepat membuka mulut.
"Tahan! Bukan aku yang membunuh guru kalian!
Membunuhku tak ada gunanya!"
"Kakek bau pesing! Kau hendak mencari kambing
hitam menuduh orang lain yang membunuh guru kami"!"
bentak Liris Merah.
"Aku bersumpah mengatakan hal sebenarnya. Aku tidak membunuh guru kalian. Yang
membunuhnya adalah. Ah, aku tak mungkin mengatakan..."
Liris Merah dan Liris Biru jadi marah.
"Buat apa bicara banyak! Kakak, ayo kita bunuh orang ini sekarang juga!" kata
Liris Biru. "Sinto Gendeng! Nenek itu yang membunuh guru
kalian!" kata Setan Ngompol setengah berteriak lalu kucurkan air kencing.
"Siapa percaya ucapanmu! Kau menuduh orang lain
untuk cari selamat!" Liris Biru pelintir telinga kanan Setan Ngompol hingga
kakek ini meringis kesakitan dan
pancarkan air kencing.
Setan Ngompol jadi jengkel. "Kalian tidak percaya itu urusan kalian! Kalian
tetap mau membunuhku silahkan!
Namun kalian tidak bakal mendapat keterangan tentang Kitab Seribu Pengobatan!"
Kakak beradik Liris Merah dan Liris Biru saling
pandang. "Mengapa diam saja" Ayo silahkan bunuh aku sekarang juga!" Setan Ngompol
menantang karena tahu dua gadis cantik itu berada dalam kebimbangan.
"Kau tahu di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan itu" Apa guru sudah
mendapatkannya, lalu..."
"Aku akan ceritakan semua yang terjadi. Bantu aku turun dari semak belukar
celaka ini!"
Liris Merah dan Liris Biru walau agak jijik terpaksa bantu menurunkan Setan
Ngompol dari atas semak
belukar. Untuk beberapa lamanya kakek ini duduk bersila di tanah. Kerahkan
tenaga dalam dan hawa sakti ke bagian tubuh yang terluka yaitu tiga iga sebelah
kanan yang patah!
Dia mengerenyit kesakitan berulang-ulang. Di sebelah bawah kencingnya
berkucuran. "Sinto Gendeng memukul patah tulang igaku! Dia
hendak membunuhku! Untung Gusti Allah masih
menyelamatkan selembar nyawa orang tua bobrok ini!"
"Kami tidak mau mendengar celotehanmu! Katakan di mana Kitab Seribu Pengobatan!"
"Sampai beberapa saat lalu kitab itu ada pada Sinto Gendeng. Aku tidak tahu dari
mana dia mendapatkan. Lalu muncul gurumu. Dia berniat meminjam kitab secara
baik-baik. Tentu saja Sinto Gendeng tidak mau memberikan.
Terjadi perkelahian hebat. Aku berusaha mencegah agar keduanya tidak saling
bunuh. Tapi gagal. Guru kalian menemui ajal. Sinto Gendeng luka parah. Kitab
yang ada padanya dirampas satu makhluk aneh yang muncul secara mendadak. Makhluk
ini berupa seorang perempuan cantik berambut hitam panjang berbentuk bayang-
bayang..."
"Kau mengarang cerita!" hardik Liris Merah sambil kepalkan tinjunya di depan
hidung si kakek. Kencing Setan Ngompol langsung terpencar.
"Terserah kau mau bilang apa!" kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah
perut. "Kalau kau pukul kepalaku, aku tidak akan meneruskan cerita!" Si kakek
lalu sengaja menantang dengan ulurkan kepala dekat-dekat ke wajah Liris Merah.
Si gadis justru jauhkan mukanya lalu dorong kepala Setan Ngompol dengan tangan
kiri. Setan Ngompol tertawa mengekeh merasa menang.
Tiba-tiba tawanya berhenti. Liris Biru berdiri di hadapannya sambil pegang
seekor kalajengking.
"Eh... eh kau dapat dari mana binatang itu"!" Setan Ngompol bertanya sambil
melangkah mundur. Tapi Liris Merah yang sudah berada di belakang menahan
punggungnya. "Kakek kuping terbalik! Kalau kau tidak meneruskan cerita, berani mempermainkan
kami, kalajengking ini akan aku masukkan ke dalam celanamu!"
"Jangan! Aku tidak mempermainkan kalian! Buang dulu binatang sial itu! Lihat,
kencingku mengucur terus. Aku mana bisa cerita kalau ditakut-takuti seperti
ini"!"
Liris Biru tersenyum. Kalajengking dibuang lalu dia berdiri sambil rangkapkan
tangan di depan dada,
menunggu si kakek melanjutkan ceritanya.
"Eh, anu... sampai di mana tadi ceritaku?"
"Sampai di anumu!" jawab Liris Biru saking kesal.
"Ada makhluk aneh perempuan cantik berupa bayang-bayang. Makhluk itu merampas
Kitab Seribu Pengobatan..." Liris Merah mengingatkan walau dia ikutan jengkel.
"Betul, makhluk aneh merampas kitab dari Sinto
Gendeng. Sebelum pergi aku lihat dia mendekati guru kalian yang sedang sakarat.
Makhluk itu berkata kalau dia sudah mempergunakan kitab, kitab akan diserahkan
pada guru kalian. Tapi karena tahu ajalnya akan segera sampai, guru kalian
menjawab agar kitab nanti diserahkan saja pada Pendekar 212 Wiro Sableng..."
"Pemuda itu! Di mana dia sekarang"!" tanya Liris Merah.
"Dia pergi ke Gunung Gede, menemui seorang kakek sakti." jawab Setan Ngompol.
"Apa dia masih ingat kami?" tanya Liris Biru.
"Tentu saja. Apalagi kalian berdua dulu menghadiahkan ciuman padanya. Aku yang
tidak kebagian. Ha... ha... ha!"
Wajah dua gadis kakak adik itu tampak berubah merah.
"Aku sedih melihat kematian guru kalian. Kalian harus mengurus jenazahnya baik-
baik..." "Kami akan membawa jenazah guru ke Kaliurang. Akan kami kubur dekat goa
Cadasbiru."
"Aku ingin mengantar kalian. Tapi keadaanku begini rupa. Dua mungkin tiga tulang
igaku patah. Biar aku menyusul saja..." Setan Ngompol usap-usap barisan tulang
iganya sebelah kiri.
"Apa masih ada keterangan lain yang hendak kau
sampaikan?" tanya Liris Biru.
Setan ngompol usap-usap kepalanya yang setengah
botak dengan tangan kiri. Enak saja. Padahal tangan itu basah oleh air kencing.
"Aku ingat ucapan guru kalian sebelum menghembuskan nafas penghabisan. Waktu itu
dia bicara pada makhluk perempuan bayangan. Katanya jika Pendekar 212 inginkan
muridnya, dia bisa memilih salah satu dari kalian."
Dua gadis cantik kakak beradik jadi tercekat
mendengar ucapan Setan Ngompol itu.
"Apakah..." Liris Biru hendak bertanya tapi kakaknya memotong.
"Kami tidak jelas apa ucapanmu bisa dipercaya. Saat ini kami akan segera membawa
jenazah guru ke
Kaliurang."
"Kalau saja aku tidak cidera patah tulang begini rupa, pasti aku yang akan
memanggul guru kalian. Membawanya ke Kaliurang."
"Kau bisa menolong kami dengan cara lain," kata Liris Merah pula. "Cari Pendekar
212. Katakan sangkut paut dirinya dengan kitab yang menurutmu kini berada di
tangan makhluk perempuan bayangan."
Habis berkata begitu, dibantu adiknya, Liris Merah naikkan jenazah Hantu Malam
Bergigi Perak ke bahu kanan.
Setan Ngompol pejamkan dua mata, kepala
ditengadahkan. Sikapnya menunggu sambil mengulum senyum.
Plaakk! Liris Biru walau hanya pelan saja, tampar pipi kanan si kakek.
"Oala! Mengharap diberi ciuman malah ditampar!"
Setan Ngompol buka mata dan usap-usap pipinya yang kena ditampar tapi mulutnya
menyeringai. "Tidak apa.
Tangan yang menampar halus sekali. Hik... hik!"
Sesaat kemudian dua kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak lenyap di


Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegelapan malam.
Setan Ngompol menarik nafas berulang-ulang lalu
meringis karena bagian dadanya sebelah kiri terasa sakit seperti dicucuk.
"Aku memang harus mencari anak setan itu! Tapi siapa sudi menyusul jauh-jauh ke
Gunung Gede. Nanti dia akan muncul sendiri! Dari dulu dia membuat aku kebagian
pekerjaan yang tidak enak terus!"
*** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
2 EBUAH gerobak ditarik seekor kuda tua tersendat-
sendat mendaki jalan tanah berbatu-batu. Di atasnya Sselain kusir gerobak duduk
dua penumpang yaitu
Pendekar 212 Wiro Sableng dan Nyi Retno Mantili. Hutan jati di mana pondok
kediaman Ki Tambakpati berada hanya tinggal sepertiga hari perjalanan. Udara
terasa panas. Siang itu matahari memancarkan sinar sangat terik.
"Wiro, kita datang dari arah yang salah. Di sebelah depan jalan tambah sulit.
Saya kasihan pada kuda penarik gerobak. Bagaimana kalau kita berhenti di sini
saja. Kita bisa melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Imogiri di sebelah
sana. Hutan-hutan jati di arah situ. Hanya tinggal dekat dari sini. Lewat jalan
memintas dan mempergunakan ilmu lari kita bisa sampai lebih cepat."
Wiro perhatikan kuda tua penarik gerobak. Sekujur tubuh binatang yang kurus ini
berkilat basah oleh keringat.
Pada kedua sudut mulutnya tampak ludah membuih.
Kepala termiring-miring dan kaki depan sering
terserandung. Wiro menyuruh kusir gerobak berhenti. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan
sekeping kecil perak berkilat. Kusir gerobak, seorang tua bermuka bopeng
membungkuk berulang kali dan mengucapkan terima kasih tiada henti. Tapi dia
tidak mengambil kepingan perak itu.
"Terima kasih, saya tidak berani menerima
pembayaran..."
"Kami menyewa gerobakmu. Itu bayarannya. Apa
kurang... ?" tanya Wiro.
"Tidak, tidak kurang. Malah lebih. Kita satu tujuan seperjalanan. Tidak disewa
pun saya akan melalui tempat ini. Mana pantas saya minta bayaran."
Selagi Wiro dan Nyi Retno keheranan, kusir gerobak berkata lagi.
"Den Mas dan Den Ayu, saya hampir kelupaan. Sewaktu kita singgah di desa
Kemanten dua hari lalu ada seseorang menitipkan sesuatu pada saya. Orang itu
berpesan agar benda tersebut diserahkan pada Raden berdua
sesampainya di tujuan. Kalau Raden tidak berkeberatan, saya akan menyerahkan
sekarang."
Wiro tatap wajah bopeng orang di hadapannya. Kusir gerobak membuka caping bambu.
Dari dalam caping dia mengeluarkan sebuah benda bergulung. Setelah benda
diserahkan pada Wiro sang kusir membungkuk mohon diri lalu melompat naik ke atas
gerobak. Wiro tak sempat lagi menanyakan siapa adanya orang yang menyerahkan
benda tersebut pada kusir gerobak.
Begitu melewati tikungan jalan yang menurun, kusir gerobak lemparkan caping di
atas kepala lalu jari-jari tangannya melepas satu lapisan tipis yang menempel
menutupi wajah. Ternyata orang ini mengenakan sehelai topeng tipis. Orang yang
tadi bermuka bopeng itu kini kelihatan tampangnya yang asli. Bulat berkumis dan
berjanggut tebal. Dari balik lantai papan gerobak dia mengambil sebuah tarbus
merah lalu dipakai di atas kepala. Pakaian lusuh dibuka. Kini tampak dia
mengenakan baju dan celana hitam. Pada dada kiri baju hitam terpampang sulaman
benang kuning bergambar rumah joglo serta dua keris bersilang. Lambang orang-
orang Keraton Kaliningrat.
Orang berpakaian serba hitam dan mengenakan tarbus merah ini memang adalah
anggota penting dalam Keraton Kaliningrat. Namanya Damar Sarka. Waktu pertemuan
di Hutan Ngluwer yang diserbu oleh Wulan Srindi, dialah yang menyerahkan
seperangkat pakaian hitam pada Wulan Srindi sebagai tanda bahwa gadis itu telah
diangkat menjadi anggota penting orang-orang Keraton Kaliningrat (Baca Episode
sebelumnya berjudul Nyi Bodong).
Wiro dan Nyi Retno mencari tempat yang teduh untuk duduk. Disaksikan Nyi Retno
Mantili, Wiro membuka benda bergulung yang ternyata adalah selembar daun lontar.
Di atas daun lontar ini tergurat serangkaian tulisan berupa surat yang cukup
panjang. Menemui sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng,
Tokoh rimba persilatan yang kami hormati,
Kami tahu Pendekar dan Eyang Sinto Gendeng di masa lalu telah banyak menanam
jasa pada kerajaan.
Saat ini tahta dikuasai oleh orang yang tidak berhak.
Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata yang seharusnya menduduki tahta memegang
kekuasaan dikucilkan.
Jiwa dan keluarganya terancam. Dengan segala kerendahan hati kami mohon Pendekar
sudi berbuat jasa sekali lagi demi kerajaan, ikut bersama kami menumpas penguasa
yang tidak berhak dan serakah.
Untuk itu perkenankanlah kami mengundang Pendekar dalam satu pertemuan yang akan
diadakan pada Jum'at hari ke 15 bulan ini. Kami menunggu
kedatangan Pendekar dengan segala harap dan hormat di Candi Pangestu di Plaosan
tepat tengah malam.
Kami para pucuk pimpinan Keraton Kaliningrat sudah sepakat untuk mempercayakan
jabatan Panglima Balatentara Kerajaan pada Pendekar jika perjuangan kita berhasil dan
tentu saja dengan bantuan Pendekar pasti berhasil.
Salam perjuangan Keraton Kaliningrat
Atas nama Pangeran Tua Sri Paku Jagatnata
Tertanda, Pangeran Muda Brata Sukmapala
Nyi Retno Mantili ambil surat daun lontar dari tangan Wiro, memperhatikan lalu
membaca perlahan-lahan.
Setelah itu perempuan bertubuh mungil ini tertawa.
"Kenapa tertawa?" tanya Wiro.
"Kita tertipu."
"Tertipu bagaimana?"
"Kusir gerobak itu bukan kusir benaran. Pasti dia orang Keraton Kaliningrat yang
menyamar. Dia telah mengenali dirimu sebagai Pendekar 212. Kalau tidak bagaimana
mungkin surat daun lontar itu diberikannya padamu."
Wiro menggaruk kepala. Tersenyum lalu berkata. "Nyi Retno cerdik sekali."
"Ah, saya cuma perempuan kurang ingatan. Hik... hik...
hik," jawab Nyi Retno lalu tertawa cekikan.
Wiro pegang lengan Nyi Retno
"Keraton Kaliningrat. Saya rasa-rasa pernah mendengar nama keraton itu
sebelumnya. Mungkin sekali..."
"Apakah kau akan memenuhi undangan pertemuan itu"
Hari Jum'at hari ke lima belas hanya tinggal dua hari dari sekarang. Plaosan
kurang sehari perjalanan dari sini."
Wiro menggeleng.
"Kenapa tidak mau?" tanya Nyi Retno sambil mengusap lengan Wiro yang ditumbuhi
bulu-bulu hitam tebal.
"Saya tidak mau terlibat urusan kerajaan. Saya tidak tahu siapa itu Pangeran
Muda Brata Sukmapala.
Permintaan bantuan dengan iming-iming jabatan besar biasanya mengandung hal yang
tidak wajar. Ada beberapa perkara besar yang harus saya tangani. Usaha
mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan belum tuntas. Saya punya dugaan keras kitab
itu sudah ada di tangan Eyang Sinto. Satu kali saya pernah memantau dengan
mengerahkan ilmu Menembus Pandang. Saya tidak tahu bagaimana cara yang baik
untuk memintanya. Mungkin saya tidak akan mendapatkan kitab itu untuk selama-
lamanya. Padahal banyak orang yang bisa ditolong dengan petunjuk pengobatan yang
ada dalam kitab itu..."
"Apakah di dalam kitab itu ada petunjuk pengobatan bagi orang yang sakit jiwa
seperti saya?"
Pertanyaan Nyi Retno membuat Wiro terdiam.
Terdorong oleh perasaan kasihan dan haru Wiro peluk Nyi Retno Mantili seraya
berbisik. "Saya belum pernah membaca isi kitab itu. Mudah-mudahan ada petunjuk
yang Nyi Retno maksudkan. Tapi saya yakin jika Nyi Retno nanti bertemu dengan
Ken Permata. Nyi Retno akan sembuh dari segala penyakit. Bersabarlah. Satu Suro
hanya tinggal beberapa bulan lagi."
"Ken Permata, siapa itu?" tanya Nyi Retno.
Wiro lepaskan pelukannya. "Ken Permata, puteri Nyi Retno yang ada di tempat
kediaman Datuk Rao. Kakak Kemuning." Jawab Wiro sambil tersenyum. Nyi Retno
balas tersenyum, mengambil boneka kayu yang ada di
pangkuannya lalu mencium boneka itu berulang-ulang.
"Wiro, saya senang kau memeluk saya seperti tadi.
Saya merasa ada kebahagiaan, perlindungan dan kasih sayang..."
"Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya merasa..."
"Saya mengerti." kata Nyi Retno pula sambil sandarkan kepalanya ke dada Pendekar
212 yang bidang dan berotot.
Ketika salah satu tangannya mengusap punggung pemuda itu, dia menyentuh bagian
yang robek. "Wiro, kau perlu baju pengganti..."
"Saya kehilangan perbekalan. Lupa entah di mana."
Lalu Wiro melanjutkan ucapannya. "Selain berusaha mendapatkan kitab, saya juga
punya tugas lain. Mencari Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa."
"Siapa manusia satu itu?" tanya Nyi Retno.
"Nyi Retno pernah bertemu. Di sebuah rimba belantara.
Pernah berkelahi dan menghantamnya dengan sepasang sinar yang keluar dari mata
Kemuning. Nyi Retno ingat?"
Perlahan-lahan perempuan muda berwajah mungil
cantik itu anggukkan kepala. "Saya ingat. Dia hendak memperkosa saya. Wiro,
kalau kau mencarinya, saya harus ikut. Saya akan membunuh orang itu!"
"Banyak orang yang ingin membunuhnya. Termasuk
saya. Saya tidak tahu siapa yang kelak bakal mampu melakukan."
"Wiro, waktu di dalam telaga, kau berkata pada Kiai Gede Tapa Pamungkas bahwa
kau akan meninggalkan
rimba persilatan. Benar kau akan melakukan hal itu?"
Wiro terdiam cukup lama. Menggaruk kepala akhirnya mengangguk perlahan. "Selama
ini saya hanya melihat keculasan, ketidakadilan, kebejatan dan darah dalam rimba
persilatan. Bahkan nyawa manusia terkadang lebih tidak berharga dibanding nyawa
binatang. Apakah saya masih perlu ikut bergelimang di dalamnya?"
Nyi Retno berdiri, menimang-nimang boneka kayu
beberapa lama lalu berkata. "Kau tahu apa artinya pendekar, Wiro?"
Wiro tak menjawab. Hanya menggaruk kepala dan
menatap wajah cantik perempuan muda di depannya.
"Menurutku, seorang pendekar diperlukan
kehadirannya dalam rimba persilatan. Untuk menangani semua masalah yang kau
sebutkan tadi. Kalau kau
menghindar berarti kau tidak layak lagi menyandang sebutan pendekar. Kau lebih
baik menjadi seorang petani.
Atau nelayan..."
Wiro menatap paras cantik Nyi Retno Mantili. Saat itu dia merasa tengah bicara
dengan seorang yang sangat waras. Apakah perempuan muda ini sudah jernih
pikirannya" Sudah sembuh dari sakit jiwanya"
"Paling tidak saya akan menyelesaikan dulu semua tugas. Setelah itu..."
"Termasuk tugas mencari gadis bernama Wulan Srindi dan mendapatkan kembali tusuk
konde gurumu?"
"Saya merasa tidak punya kewajiban mencari tusuk konde itu. Namun sebagai murid
yang sudah diperintah saya tetap akan melakukan." Wiro terdiam sebentar lalu
bertanya. "Nyi Retno percaya kalau saya yang menghamili Wulan Srindi?"
Nyi Retno tertawa panjang.
"Kalau saya mempercayai hal itu, sejak semula saya tidak akan mau ikut ke mana
kau pergi."
"Terima kasih Nyi Retno punya rasa percaya seperti itu.
Saya merasa heran bagaimana Eyang Sinto percaya saya berbuat serong dengan Wulan
Srindi tanpa menyelidiki lebih dulu. Selain itu saya merasa sangat sedih atas
semua perlakuannya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena saya sangat banyak
berhutang budi padanya. Pertama, ketika saya masih orok Eyang Sinto yang
menyelamatkan saya dari kobaran api sewaktu rumah orang tua saya dibakar orang-
orang jahat. Kemudian selama belasan tahun Eyang Sinto merawat saya. Lebih dari
itu dia mengambil saya jadi murid. Diajarkan ilmu silat, diberikan berbagai ilmu
kesaktian termasuk dua senjata mustika kapak dan batu sakti. Sehingga saya
menjadi orang sakti mandraguna, punya nama besar dan bisa berbakti pada kerajaan
dan rimba persilatan. Namun setelah pertemuan kami yang terakhir dengan Eyang
Sinto, yang Nyi Retno saksikan sendiri saya merasa adalah lebih baik jika saya
tidak lagi mempergunakan semua ilmu silat serta ilmu kesaktian pemberian Eyang
Sinto. Saya juga menyesalkan tindakan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang memasukkan
Kapak Naga Geni dan batu sakti begitu saja ke dalam tubuh saya tanpa memberi
tahu lebih dulu. Padahal niat saya sudah bulat untuk mengembalikan dua senjata
sakti itu pada Eyang Sinto."
"Kiai tidak ingin kau melakukan apa yang ada dalam hati dan pikiranmu. Ingat
ucapan Kiai di dalam telaga"
Rimba persilatan memerlukan para pendekar sepertimu.
Tapi bagaimana kau mampu menghadapi kekerasan rimba persilatan kalau kau tidak
mau mempergunakan semua ilmu serta dua senjata yang diberikan gurumu?"
"Saya tidak tahu Nyi Retno, kita lihat saja nanti. Yang jelas saya akan minta
perlindungan Tuhan yang Maha Pengasih Maha Kuasa." Jawab Wiro. Dia tidak mau
memberi tahu bahwa selain dari Eyang Sinto Gendeng dia juga menguasai berbagai
ilmu kesaktian yang didapat dari beberapa tokoh rimba persilatan.
"Jika Tuhan melindungimu, apakah kau juga akan
melindungiku?" tanya Nyi Retno pula.
Wiro tertawa. "Saya akan berusaha melindungi Nyi Retno. Tapi
perlindungan Tuhan atas diri Nyi Retno lebih dari segala-galanya. Nyi Retno,
saya senang bicara denganmu. Apakah kita bisa melanjutkan perjalanan sekarang.
Matahari telah condong ke barat."
Nyi Retno gelungkan dua tangannya di leher Wiro.
Berlaku manja minta tolong dibantu berdiri. "Kau orang baik, aku orang gila. Kau
tidak risih dan malu berjalan bersama orang tidak waras dan buruk rupa seperti
aku ini..." Bisik Nyi Retno ke telinga Pendekar 212 lalu tertawa cekikikan.
Gulungan surat daun lontar diselipkannya ke pinggang Wiro.
"Nyi Retno juga orang baik. Malah sangat baik. Nyi Retno cantik. Sebenarnya saya
yang rikuh. Orang sableng seperti saya dipercaya jalan bersama Nyi Retno."
Nyi Retno tertawa panjang. Tiba-tiba perempuan muda ini melompat ke punggung
Wiro. "Saya tak mau jalan. Saya kepingin digendong..."
"Nyi Retno, jangan bersikap seperti ini. Kalau ada orang yang melihat pasti akan
salah menyangka..."
"Tadi kita saling berpelukan. Sekarang aku
merangkulmu, begini mengapa takut" Perduli setan dengan orang lain! Saya suka
padamu. Kemuning suka padamu! Ayo jalan! Hik... hik... hik."
Mau tak mau Wiro terpaksa menggendong perempuan
bertubuh mungil itu di punggungnya. Mula-mula hanya berjalan biasa lalu berlari.
Tidak disadari oleh Wiro, tidak diketahui oleh Nyi Retno, gulungan surat daun
lontar yang terselip di pinggang Wiro jatuh ke tanah.
"Wiro, jangan lari terlalu cepat. Aku dan Kemuning merasa gamang."
Wiro perlambat larinya. Saat itulah dia merasa tengkuk dan pipi kanannya dicium
mesra oleh Nyi Retno.
"Nyi Retno, saya mohon..."
"Saya juga mohon," jawab Nyi Retno. Rangkulannya di leher Wiro semakin kencang
dan ciumannya kini pindah ke pipi kiri.
"Nyi Retno, saya tidak bisa berlari kalau begini..."
Nyi Retno tertawa. "Kalau begitu kita tak usah lari. Jalan biasa saja. Atau kita
duduk saja di bawah pohon sana,"
kata Nyi Retno sambil tangan kirinya menunjuk ke sebuah pohon besar di depan
mereka. "Ah, bisa lebih celaka. Bisa lebih macam-macam
nanti..." ucap Wiro dalam hati. Pendekar ini akhirnya lari sekencang yang bisa
dilakukannya. Nyi Retno Mantili terpekik lalu tertawa tiada henti.
"Wiro, saya suka padamu. Kemuning juga suka
padamu." *** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
3

Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

AK SAMPAI sepeminuman teh Wiro dan Nyi Retno
Mantili meninggalkan tempat itu, satu bayangan hitam Tberkelebat. Orang ini
tegak sebentar, memandang berkeliling lalu dudukkan diri di satu tempat teduh.
Tongkat di tangan kiri ditekankan ke tanah. Kepala tertunduk, muka yang tinggal
kulit pembalut tulang tercenung sementara empat tusuk konde perak bergoyang-
goyang di atas kepala.
"Oala, kenapa hidup ini jadi begini?" Orang yang duduk di tanah yang bukan lain
adalah nenek sakti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 berucap perlahan. Sepasang
matanya yang cekung dan biasa angker kini tampak sayu.
Apalagi mata sebelah kiri masih bengkak akibat
perkelahian melawan Hantu Malam Bergigi Perak beberapa waktu lalu. "Tadi aku
mendengar suara tawa perempuan itu. Kucari ke sini tak ada orangnya. Aku yakin
anak setan itu sudah kembali dari Gunung Gede. Apakah dia bersama perempuan
gembel berotak miring itu" Heh, jangan-jangan saat ini mereka tengah menuju ke
pondok si Tambakpati."
Sinto Gendeng sengaja berada di sekitar kawasan di mana dia berada saat itu
karena dia menyirap kabar dan menduga cepat atau lambat Wiro akan berada di
hutan jati di Plaosan untuk menemui seorang bernama Djaka Tua yang akan
menunggunya di pondok kediaman Ki
Tambakpati. Seperti pernah diceritakan sebelumnya Ki Tambakpati adalah sahabat
kental Sinto Gendeng semasa remaja.
Sinto Gendeng julurkan dua kaki. Tubuhnya terasa letih.
Mata dipejamkan namun saat itu kembali terbayang sosok makhluk bayangan berupa
perempuan cantik.
"Makhluk jahanam! Empat belas hari empat belas
malam aku mencarimu. Kau sembunyi di mana"! Jangan kira aku tidak bisa
menemuimu! Akan kukejar kau
sekalipun sampai di pintu neraka!" Kutuk serapah menyembur tak habis-habisnya
dari mulut si nenek. Lalu dia ingat lagi pada muridnya.
"Perlu apa aku memikirkan anak setan itu. Semua
sudah terjadi. Aku gurunya! Aku berhak berbuat apa saja termasuk menghukumnya
jika dia salah!"
Kata hati si nenek tiba-tiba ada yang menyahuti.
"Kalau muridmu bersalah, katakan padaku apa
salahnya?"
Sinto Gendeng terkejut. Memandang berkeliling
mulutnya berucap. "Siapa yang bicara"!"
"Aku suara hatimu. Dari lubuk hati yang paling dalam."
Sinto Gendeng tersentak. Dia memandang sekujur diri sendiri. Dari dada sampai
ujung kaki. "Suara hati jahanam! Kau tidak layak mencampuri
urusanku!" Seperti orang gila Sinto Gendeng berdiri, kaki kiri dihentakkan ke
tanah hingga tanah melesak sedalam setengah jengkal. Tongkat di tangan kiri
dihantamkan ke samping. Kraakk! Batang pohon berderak patah dan tumbang!
"Sinto, selama hidupmu kau hampir tidak pernah mempergunakan akal sehat disertai
perasaan hati yang sejuk..."
"Diam!" teriak Sinto Gendeng.
"Tuhan memberikanmu umur panjang. Apa yang telah kau kerjakah selama ini?"
"Apa yang aku kerjakan adalah urusanku sendiri! Tidak manusia tidak setan yang
bisa mengatur!"
"Hidupmu penuh kesombongan. Ucapanmu tidak
pernah disertai timbang rasa. Segala perbuatanmu lebih banyak mudarat dari
manfaat. Kau menghancurkan banyak orang. Tapi yang lebih menyedihkan kau
menghancurkan diri sendiri! Apa kau tidak pernah menyadari bahwa selama ini kau
hidup terkucil dari para sahabat dan tokoh rimba persilatan" Seseorang merampas
Kitab Seribu Pengobatan dari tanganmu tanpa kau bisa mempertahankan. Bukankah
itu sudah merupakan salah satu petunjuk Gusti Allah bahwa seharusnya kau bisa berbuat
banyak sekali kebaikan dengan kitab itu" Tapi kau bertindak serakah, berlaku
tinggi hati. Hanya mementingkan diri sendiri! Gusti Allah menghukummu,
memutuskan bahwa kau tidak pantas menguasai kitab itu. Muridmu kau caci maki di
hadapan orang banyak seolah dia lebih buruk dari comberan. Kau tuduh berbuat
yang bukan-bukan. Bahkan kau buat dia menderita dengan cacat di punggung seumur-
umur. Sinto, apakah kau bukan lagi seorang perempuan yang punya hati nurani dan
welas asih" Iblis apa yang bersarang di hatimu" Setan mana yang mendekam di
benakmu" Begitukah caramu menjalani sisa-sisa terakhir dari usia kehidupanmu" Atau
mungkin kau punya nyawa cadangan.
Sehingga kalau besok kau mati, lusa kau akan hidup kembali?"
Sinto Gendeng merasa tubuhnya seperti terbakar.
Teriakannya menggeledek.
"Suara hati! Setan keparat! Siapa pun kau adanya pergi! Atau kupecahkan
kepalamu!" Lalu nenek ini pukuli dadanya sendiri. Demikian kerasnya hingga darah
menyembur dari mulutnya yang perot. Perlahan-lahan tubuhnya rebah ke tanah. Mata
mendelik. Cuping hidung kembang kempis, dada turun naik, nafas menyengal.
Nenek yang sedang marah dan kacau pikiran itu tidak tahu berapa lama dia
tergeletak seperti itu. Dia baru bergerak dan duduk di tanah sewaktu udara mulai
gelap. "Gila! Apa yang terjadi dengan diriku!" si nenek memaki lalu bangkit berdiri.
Walau kakinya melangkah namun dia sama sekali tidak tahu mau menuju ke mana.
Tiba-tiba kaki kirinya terasa menginjak sesuatu. Si nenek
memperhatikan ke bawah. Sebuah benda bergulung
berada diinjakan kaki kirinya. Sinto Gendeng membungkuk mengambil benda itu yang
bukan lain adalah surat daun lontar yang dibuat orang-orang Keraton Kaliningrat,
ditujukan pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Surat daun lontar itu diselipkan Nyi
Retno di pinggang Wiro dan terjatuh di tengah jalan sewaktu Wiro berlari sambil
mendukung Nyi Retno Mantili. Gulungan daun lontar dibuka. Karena udara sudah
mulai gelap Sinto Gendeng tak segera dapat membaca tulisan yang tertera di atas
daun lontar itu. Dia pergi ke tempat yang agak terang, yang masih ada pantulan
cahaya matahari.
Perlahan-lahan si nenek mulai membaca. Selesai
membaca wajahnya tampak mengelam, sepasang mata
seolah tambah tenggelam ke dalam rongga yang cekung.
Lalu perlahan-lahan menyeruak seringai di mulutnya yang perot. Si nenek meracik
tembakau, daun sirih yang sudah layu, kepingan pinang dan secuil kapur. Racikan
dikepal-kepal beberapa kali lalu dimasukkan ke dalam mulut yang tak bergigi.
Sambil mengunyah si nenek bicara sendiri.
"Tengah malam hari Jum'at. Orang-orang Keraton
Kaliningrat. Candi Pangestu di Plaosan. Anak setan itu pasti akan muncul di
tempat itu! Hik... hik! Dia akan kaget kalau aku lebih dulu menungguinya di
sana!" Sinto Gendeng diam sejurus. Berpikir. "Kalau aku tidak salah, di dekat
sini tinggal seorang sahabat lama. Tambakpati.
Masih ada waktu. Belasan tahun tidak ketemu. Apa salahnya aku menyambangi dia
dulu sebelum pergi ke Plaosan."
Sinto Gendeng selipkan gulungan daun lontar ke
pinggang. Tongkat di tangan kiri ditancapkan ke tanah.
Ketika tongkat dicabut kembali tubuhnya melesat sejauh dua tombak ke arah utara
dan lenyap di kegelapan.
*** LANGIT di sebelah barat tampak merah kekuningan.
Saat-saat sang surya akan tenggelam terasa sunyi di hutan jati. Wiro dan Nyi
Retno Mantili berlari cepat. Saat itu Nyi Retno tidak lagi digendong belakang
melainkan sudah mau berlari sendiri di samping Wiro sambil sesekali memegang
lengan pemuda itu.
"Wiro, aku mencium bau busuk!" Nyi Retno berkata.
"Ya, saya juga sudah mencium."
"Perasaanku tidak enak," kata Nyi Retno lalu kembali memegang tangan kanan
Pendekar 212. Tiba-tiba
perempuan ini menjerit. Dia lebih dulu melihat sosok yang tergantung kaki ke
atas kepala ke bawah di cabang sebatang pohon tak jauh dari pondok kediaman Ki
Tambakpati. Wiro dan Nyi Retno sampai di dekat pohon. Nyi Retno kembali menjerit. Wiro
keluarkan seruan tertahan. Orang yang digantung kaki ke atas kepala ke bawah itu
adalah Djaka Tua!
Wiro melesat ke udara. Sekali tangannya bergerak memukul, patahlah cabang pohon
di mana Djaka Tua tergantung. Dengan cepat dia menyambar tali penggantung hingga
mayat Djaka Tua tidak jatuh bergedebuk. Dari keadaan mayat yang rusak membusuk
dan sudah dirubung belatung pastilah pembantu yang malang itu telah menemui ajal
cukup lama. Mungkin sejak kepergian Wiro ke Gunung Gede.
Nyi Retno jatuh terduduk di tanah menangis sambil menutupi hidung, tak tahan
mencium busuknya mayat.
Wiro memandang berkeliling, mencari tempat yang baik untuk segera mengubur
jenazah Djaka Tua. Dia melihat tempat rimbun di dekat satu pohon jati. Wiro
segera mendatangi tempat ini. Untuk membuat liang kubur dia hendak membongkar
tanah dengan jurus pukulan
Segulung Ombak Menerpa Karang. Hampir tangannya hendak menghantam tiba-tiba dia
ingat apa yang telah diucapkannya di depan Nyi Retno. Pukulan Segulung Ombak
Menerpa Karang adalah ilmu pukulan sakti yang didapatnya dari Eyang Sinto
Gendeng. Padahal dia telah mengambil keputusan untuk tidak akan mempergunakan
semua ilmu yang didapatnya dari nenek sakti itu.
Wiro tarik tangan kanannya. Mulut hembuskan nafas panjang. Tangan itu kemudian
diangkat kembali sambil kerahkan seperlima tenaga dalam. Lalu dia memukul ke
bawah. Byaarr! Hantaman pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang didapatnya Dari Tua Gila
membuat tanah terbongkar ke udara membentuk sebuah lobang cukup besar dan dalam
untuk kuburan Djaka Tua.
Karena keadaan jenazah Djaka Tua yang sangat rusak tak mungkin Wiro memanggul
atau menggendong mayat itu untuk dimasukkan ke dalam lobang. Walau hatinya tidak
tega namun dia terpaksa menarik tali yang masih mengikat kedua kaki Djaka Tua
hingga akhirnya mayat pembantu itu terseret demikian rupa lalu terguling masuk
ke dalam lobang.
Sambil menangis Nyi Retno Mantili peluki boneka kayu, membantu Wiro menimbun
tanah ke dalam lobang.
"Wiro, siapa menurutmu yang begitu keji membunuh pengasuh anakku Kemuning?"
tanya Nyi Retno Mantili.
"Saya tidak dapat memastikan Nyi Retno. Namun saya menaruh curiga. Sebelum
berangkat ke Gunung Gede, pada saat berpisah dengan Djaka Tua, saya minta dia
pergi ke sini. Pondok ini milik Ki Tambakpati. Seorang ahli pengobatan patah
tulang. Nyi Retno ingat orang bernama Cagak Lenting, orang keraton yang katanya
mengemban tugas dari Patih Kerajaan untuk mencari Djaka Tua?"
"Saya ingat." Jawab Nyi Retno.
"Orang itu mungkin melapor pada Patih Kerajaan lalu mendatangi tempat ini."
kotarajaJika terbukti dia yang membunuh pengasuh anak saya, saya akan cari dia
sampai dapat dan
membunuhnya.kotaraja Suara Nyi Retno penuh geram namun sepasang mata tampak
berkaca-kaca. Wiro pegang bahu Nyi Retno.
kotarajaNyi Retno, kita pasti akan mengetahui siapa pembunuh Djaka Tua.kotaraja
Wiro lalu ingat sesuatu. Dia memandang ke arah pondok. kotarajaKi
Tambakpati,kotaraja katanya. kotarajaJangan-jangan orang tua itu juga sudah jadi
korban pembunuhankotaraja Diikuti Nyi Retno, Wiro masuk ke dalam pondok.
Keadaan pondok itu kacau balau centang perenang. Tidak ada satu perabotan pun
yang utuh. Seperti ada yang sengaja menghancurkan. Wiro dan Nyi Retno tidak
menemukan Ki Tambakpati ataupun mayatnya kalau
memang dia telah dibunuh.
kotarajaSaya khawatir Ki Tambakpati ditangkap.
Dibawa ke kotaraja...kotaraja
kotarajaMungkin juga saat ini dia sudah
dibunuh.kotaraja Kata Nyi Retno pula.
kotarajaKasihan. Kalau dia ikut jadi korban kekejaman orang-orang keraton,
berarti satu kehilangan sangat besar bagi rimba persilatan tanah Jawa.kotaraja
kotarajaWiro, mengapa manusia tega berbuat sekeji itu" Membunuh orang seperti
membunuh binatang"kotaraja
Wiro menghela nafas dalam, menggaruk kepala.
kotarajaSebelumnya saya sudah memberi tahu. Hal-hal semacam itulah yang membuat
saya muak menjadi orang rimba persilatan.kotaraja
Di luar keadaan mulai gelap. Di dalam pondok lebih gelap lagi. kotarajaNyi
Retno, kita harus segera tinggalkan tempat ini. Saya khawatir. Sewaktu-waktu
orang-orang kerajaan muncul.kotaraja
kotarajaKalau mereka datang bukankah kita bisa
membunuh mereka" Kita tak perlu susah mencari
mereka.kotaraja
Wiro tersenyum.
Nyi Retno juga tersenyum. Dengan kepala ditundukkan dia menyambung ucapannya
tadi. "Tapi saya menurut saja apa yang kau katakan," jawab Nyi Retno.
"Nyi Retno, saya ingat mimpi tentang Djaka Tua yang Nyi Retno ceritakan. Dalam
mimpi Nyi Retno melihat dia digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Mimpi Nyi
Retno menjadi kenyataan."
"Saat ini saya merasa takut. Saya takut tidur. Saya tidak mau bermimpi lagi,"
kata Nyi Retno pula lalu melangkah lebih dulu ke pintu. Baru dua langkah berada
di luar pondok Nyi Retno bersurut. "Wiro, ada orang mendatangi dari arah pohon.
Mudah-mudahan manusia bernama
Cagak Lenting itu. Biar kubunuh sekalian! Tapi lain... Bukan dia."
Wiro serta merta melompat keluar pondok. Apa yang dikatakan Nyi Retno benar.
Dari jurusan sebuah pohon jati besar melangkah tertatih-tatih seorang bertubuh
agak bungkuk. Dia berjalan menuju pondok. Sambil siapkan pukulan di tangan kanan
Wiro berteriak, "Siapa"!"
"Aku... Aku Ki Tambakpati. Wiro, apa kau tidak
mengenaliku?"
"Ah..."
Wiro segera menyongsong. "Ki Tambak, apa yang
terjadi" Pondokmu dirusak orang. Kau dari mana?"
"Kami menemukan pengasuh anakku mati digantung di pohon sana. Siapa yang
membunuhnya"!" Nyi Retno
sambung ucapan Wiro.
"Wiro, jangan bicara di sini. Aku khawatir ada yang datang. Sampai beberapa hari
lalu tempat ini masih dimata-matai oleh orang-orang kerajaan. Ikuti aku..."
Ki Tambakpati membawa mereka ke lereng menurun
arah selatan hutan jati. Di kaki sebuah bukit mengalir sebuah kali kecil. Di
salah satu tepian kali terdapat gugusan batu-batu hitam dan rata. Ketiga orang
itu masing-masing mencari tempat yang enak dan duduk di atas batu.
Ki Tambakpati langsung saja bercerita. "Saya tengah meramu obat sewaktu Djaka
Tua muncul. Sekitar dua minggu lalu. Dia datang menjelang malam. Dia
menyampaikan pesanmu dan Setan Ngompol. Aku tidak keberatan dia bermalam di
gubukku, menunggu sampai kau datang. Djaka Tua sempat menceritakan apa yang
terjadi. Dia menyebut nama Cagak Lenting. Setelah kuberi obat, dia aku suruh
istirahat dan tidur sementara aku meneruskan meramu obat dalam belanga.
Menjelang pagi, ketika aku bermaksud istirahat dan memicingkan mata tiba-tiba
pintu pondok dilabrak orang dari luar. Dua orang menerobos masuk. Yang seorang
berpakaian serba hijau, ikat kepala hijau, rambut sebahu. Aku pernah mendengar
cerita tentang orang ini dan merasa pasti kalau dia adalah Cagak Lenting yang
dijuluki Si Mata Elang. Pasti dia yang menuntun orang-orang kerajaan ke
tempatku. Orang satunya tinggi besar, berpakaian bagus. Aku masih mengira-ngira
siapa adanya orang ini. Aku baru tahu kalau dia adalah Patih Kerajaan, Raden Mas
Wira Bumi, yaitu ketika Djaka Tua diseret keluar pondok. Di sekitar pondok
puluhan prajurit kerajaan sudah mengurung. Cagak Lenting memaksa Djaka Tua
memberi tahu di mana beradanya Nyi Retno Mantili dan bayinya. Cagak Lenting juga
menanyakan dirimu dan Setan Ngompol..."
"Mengapa orang ingin tahu di mana aku dan Kemuning berada?" Nyi Retno memotong
ucapan Ki Tambakpati.
"Aku tidak tahu," jawab Ki Tambakpati.
Nyi Retno memandang pada Wiro. "Kau pasti tahu."
"Orang-orang itu ingin berbuat jahat padamu. Nyi Retno."
"Menculik Kemuning, mau memperkosaku atau mau
membunuh aku dan anakku?"
"Nyi Retno, sabar. Biar Ki Tambakpati melanjutkan ceritanya dulu," kata Wiro
pula. Lalu Wiro memberi tanda dengan anggukkan kepala pada Ki Tambakpati.
Orang tua ahli pengobatan tulang ini melanjutkan keterangannya. "Patih Kerajaan


Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga menanyakan di mana beradanya kau dan Setan Ngompol. Pembantu itu tidak mau
membuka mulut. Malah dia minta dibunuh saat itu juga daripada membuka rahasia
mengenai Nyi Retno.
Setelah disiksa cukup parah Patih Kerajaan membujuk.
Jika Djaka Tua mau memberi tahu keberadaan Nyi Retno bersama bayinya maka dia
akan diberikan sejumlah uang, juga jabatan tinggi. Tapi Djaka Tua tetap tidak
mau membuka rahasia. Patih habis kesabaran. Dia memerintah Cagak Lenting
menggantung pembantu itu. Djaka Tua lalu digantung di pohon sana, kaki ke atas
kepala ke bawah.
Sebelum pergi Cagak Lenting masih berusaha membujuk namun Djaka Tua tetap pada
pendirian. Tidak mau
membuka mulut memberi tahu."
Nyi Retno Mantili keluarkan jeritan keras. "Cagak Lenting pembunuh terkutuk!
Akan aku gorok batang lehermu! Akan aku sedot darahmu!"
Nyi Retno bergerak, siap berkelebat tinggalkan tempat itu. Wiro cepat mengejar.
"Nyi Retno, kau mau ke mana"!" Wiro segera
menghadang lari Nyi Retno.
"Wiro! Sekali ini jangan menghalangiku! Aku akan ke kotaraja! Aku akan mencari
Cagak Lenting dan Patih Kerajaan! Aku akan membunuh mereka! Kau dengar Wiro"!
Aku akan membunuh dua manusia terkutuk itu!"
"Nyi Retno, tenang, sabar. Jangan bertindak kesusu menuruti hati yang sedang
panas. Jika Nyi Retno akan ke kotaraja, saya akan menemani. Tapi saya masih
perlu bicara dengan Ki Tambakpati."
"Wiro! Minggir!" teriak Nyi Retno.
"Nyi Retno, ingat..."
Nyi Retno berteriak marah lalu menerjang sambil
tangannya ditinjukan ke dada Pendekar 212.
Bukkk! Wiro terjungkal, jatuh terduduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit. Walau tidak
memiliki dasar tenaga dalam namun ilmu kesaktian yang telah didapatnya secara
cepat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas membuat pukulan Nyi Retno mempunyai daya
jebol seberat lebih dari seratus kati. Apalagi serangan dilakukan secara tak
terduga. Melihat Wiro terjatuh, Nyi Retno terpekik. Dia seolah baru sadar apa yang
terjadi. Langsung jatuhkan diri dan memeluk Pendekar 212. Menangis.
"Nyi Retno, kau akan pergi sendirian" Meninggalkan saya?"
Nyi Retno menggerung mendengar kata-kata yang
diucapkan dengan lembut itu. Dia menggelengkan kepala berulang kali.
"Wiro... Kau, kau tak apa-apa. Saya menyesal sekali memukulmu. Mengapa kau tidak
menangkis. Mengapa kau tidak mengelak" Wiro, pukul saya! Pukul!" Nyi Retno
berteriak lalu sambil menangis dia usapi dada Wiro.
"Nyi Retno, saya tahu perasaanmu. Sudahlah..." Wiro berdiri lalu berpaling pada
Ki Tambakpati. "Ki Tambak, kau belum menceritakan bagaimana kau bisa
menyelamatkan diri dari orang-orang kerajaan."
"Aku bersyukur karena semua itu terjadi dalam kuasa Tuhan. Sewaktu perhatian
semua orang tertuju pada penggantungan Djaka Tua, aku berhasil menyelinap dan
melarikan diri. Sampai matahari terbit orang-orang itu berusaha mencariku. Aku
masuk ke dalam sebuah goa, tembus ke satu bukit. Aku sengaja mengarungi satu
sungai dangkal agar jejakku tidak bisa dilacak oleh Cagak Lenting.
Aku menghilang dalam rimba belantara kecil. Keesokan harinya aku kembali ke
sini, ternyata Cagak Lenting dan sekitar selusin prajurit kerajaan masih ada di
tempat ini. Beberapa hari kemudian aku datang lagi. Cagak Lenting memang tidak kelihatan,
tapi prajurit kerajaan masih ada ditambah seorang perwira muda. Aku hampir putus
asa. Terakhir sekali aku ke sini dua hari lalu. Orang-orang itu masih ada di sini..."
"Mengapa Ki Tambak kembali ke sini padahal Ki
Tambak tahu hal itu sangat berbahaya." Bertanya Wiro.
"Aku ingin mengambil beberapa peralatan pengobatan serta obat ramuan yang sangat
langka dan sulit didapat.
Selain itu aku punya niat untuk mengurus jenazah Djaka Tua yang sudah tergantung
berhari-hari lamanya. Sore tadi aku keluar dari persembunyian, kembali ke sini.
Aku lihat kau yang datang. Agaknya orang-orang kerajaan sudah kembali ke
kotaraja."
"Ki Tambak, silahkan saja masuk ke dalam pondok.
Jangan terlalu lama di sini. Orang-orang itu bisa saja muncul secara mendadak.
Mungkin mereka sengaja
sembunyi untuk memancing. Hati-hatilah. Rasanya Ki Tambak tak mungkin lagi diam
di gubuk ini. Ki Tambak, kami terpaksa meninggalkanmu."
"Kalian hendak ke kotaraja?" tanya Ki Tambakpati.
Wiro tak menjawab melainkan berpaling pada Nyi Retno Mantili. Perempuan ini
membuka mulut, berkata, "Kami akan ke sana. Mencari pembunuh pengasuh anakku."
"Kalian harus berlaku waspada. Penjagaan di kotaraja saat ini sangat ketat.
Mata-mata berkeliaran di mana-mana. Termasuk orang-orang Keraton Kaliningrat
yang punya rencana hendak merebut tahta kerajaan."
Nyi Retno ingat pada gulungan surat daun lontar yang diselipkannya di pinggang
Wiro. Benda itu tak ada lagi. Nyi Retno memperhatikan tanah sekitarnya.
"Ada apa Nyi Retno?" tanya Wiro.
"Surat dari Keraton Kaliningrat itu. Tadi saya selipkan di pinggangmu."
Wiro meraba seputar pinggang tapi tak menemukan
gulungan daun lontar. "Mungkin jatuh di jalan. Sudahlah, tak perlu dipikirkan."
Wiro berpaling pada Ki Tambak. "Ki Tambak, kami pergi."
Orang tua ahli pengobatan itu mengangguk sambil
sekali lagi mengingatkan agar kedua orang itu berhati-hati.
*** WIRO SABLENG AZAB SANG MURID
4 ELUM sempat Ki Tambakpati masuk ke dalam gubuk
tiba-tiba dari empat penjuru hutan jati terlihat cahaya Bterang. Dalam waktu
singkat gubuk kediaman ahli pengobatan tulang itu telah dikurung oleh puluhan
orang berseragam prajurit kerajaan. Separuh dari mereka menyalakan obor hingga
seantero tempat menjadi terang benderang.
"Ki Tambakpati! Kami orang-orang kerajaan datang untuk menangkapmu! Jangan
berani melawan atau coba melarikan diri!"
Orang yang berteriak melompat ke hadapan Ki
Tambakpati, ternyata dia adalah perwira muda yang sebelumnya sudah pernah
dilihat kakek itu.
"Perwira, apa dosa kesalahanku hingga kau hendak menangkapku"!" tanya Ki
Tambakpati. "Kau melarikan diri sewaktu ditangkap beberapa waktu lalu. Kau juga dituduh
menyembunyikan buronan
kerajaan!"
"Buronan kerajaan" Buronan yang mana?" tanya Ki
Tambakpati heran.
"Orang bernama Djaka Tua..." jawab Perwira
"Astaga, orang itu sudah kalian bunuh! Apa masih belum puas?"
"Djaka Tua boleh mati. Tapi itu tidak menghapus dosa kesalahanmu! Selain itu
pimpinan kami juga ingin menanyaimu perihal bayi yang hilang dan tentang seorang
perempuan muda membawa boneka."
"Aku tidak tahu menahu soal bayi yang hilang atau perempuan muda membawa
boneka," jawab Ki
Tambakpati pula.
"Tutup mulutmu Ki Tambak. Jangan berani bicara
dusta! Kalau kau memang tidak bersalah mengapa malam dua minggu lalu kau
melarikan diri dari sini."
"Siapa sudi mati konyol di tangan prajurit-prajurit kerajaan yang ternyata lebih
kejam dari rampok Alas Roban!"
Plaakkk! Satu tamparan keras mendarat di muka Ki Tambakpati hingga orang tua ini
terhuyung-huyung kesakitan sambil pegangi pipi. Dari sudut bibir sebelah kiri
mengucur darah kental.
"Perwira Muda, apakah kerajaan mengajarkan ilmu
menganiaya rakyat tidak berdaya seperti yang barusan kau lakukan"!"
"Aku punya perintah dan wewenang lebih besar dari hanya menampar. Nyawamu berada
di tanganku! Apa kau ingin mengikuti jejak Djaka Tua yang tolol itu?"
"Djaka Tua tidak tolol! Kau yang bodoh!" jawab Ki Tambakpati pula.
Pewira Muda itu ingin sekali menjotos muka Ki Tambakpati, tapi tangannya yang
sudah bergerak ditarik kembali. Dia berteriak memberi perintah pada pasukannya
agar segera meringkus Ki Tambakpati. Lima prajurit dengan cepat mengurung Ki
Tambakpati. Salah seorang dari mereka melingkarkan seutas tambang ke leher ahli
pengobatan itu lalu mendorong punggung orang tua itu, membentak menyuruh jalan.
Pada saat itulah tiba-tiba meledak satu tawa bergelak.
Selagi semua orang terkejut satu bayangan hitam
berkelebat disertai bentakan keras.
"Siapa berani menganiaya sahabatku!"
Wuutt! Tali yang mengikat leher Ki Tambakpati putus. Empat prajurit terpental. Mereka
menjerit keras sambil pegangi kening masing-masing. Di kening itu kelihatan
guratan luka mengucurkan darah. Prajurit yang menjirat leher Ki Tambakpati
dengan tali mencelat mental paling jauh.
Darah menyembur dari satu luka besar yang melintang di tenggorokannya! Prajurit
ini roboh ke tanah, menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik. Nyawanya
amblas! Perwira Muda Kerajaan dan seluruh pasukan menjadi kaget juga ngeri luar biasa.
Di hadapan mereka, tegak melindungi Ki Tambakpati seorang nenek bermuka nyaris
seperti tengkorak sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada. Empat tusuk
konde perak bergoyang-goyang di atas batok kepala. Mata menatap menyorot galak
pada Perwira Muda. Tangan kiri menggamit memberi isyarat agar Perwira Muda
mendekatinya. Selain takut dan juga sadar kalau saat itu dia tengah berhadapan
dengan seorang sakti luar biasa, seperti orang bodoh si Perwira Muda segera
mendatangi. "Kau telah menuduh tanpa bukti sahabatku Ki
Tambakpati. Kau juga telah menganiayanya. Kau ingin aku buatkan satu lobang
bagus di jidatmu?"
Tongkat di tangan si nenek melesat dan tahu-tahu ujungnya telah menempel di
pertengahan kening Perwira Muda. Orang ini merasa keningnya seperti ditindih
batu besar hingga dia terbanting jatuh punggung ke tanah.
Ujung tongkat bergerak mengikuti, masih terus menempel di keningnya.
"He... he... Perwira Muda, apa jawabmu"!"
"Nek, saya mohon maafmu kalau telah berlaku tidak menyenangkan dirimu. Saya dan
semua prajurit yang ada di sini hanya menjalankan perintah kerajaan."
"Siapa orang kerajaan yang memberi perintah
padamu?" bentak si nenek.
"Patih Kerajaan dan Cagak Lenting." Jawab Perwira Muda.
"Hemm... Kalian kembali ke kotaraja. Katakan pada Patih Kerajaan dan Cagak
Lenting. Siapa di antara mereka berdua yang ingin mampus duluan"! Katakan aku
Sinto Gendeng yang mengeluarkan ucapan!" Si nenek tusukkan ujung tongkat ke
telinga kiri Perwira Muda. "Kau dengar apa yang aku bilang"!"
"Sa... saya dengar, Nek. Sekali lagi mohon maafmu.
Saya tidak tahu kalau berhadapan dengan tokoh rimba persilatan Eyang Sinto
Gendeng." Sinto Gendeng semburkan ludah susur ke muka orang hingga Perwira Muda kucak-
kucak mata menahan perih.
"Sekarang bawa pasukanmu. Tinggalkan tempat ini.
Jangan lupa membawa prajurit tolol yang sudah jadi mayat itu!" Perwira Muda
bangkit berdiri, memberi perintah pada anak buahnya.
Ketika dia hendak berlalu Sinto Gendeng berkata.
"Tunggu!" Si nenek kemudian berpaling pada Ki
Tambakpati. "Sahabatku, perwira ini tadi menamparmu.
Apakah kau tidak ingin membalas?"
Ki Tambakpati menyeringai. "Bagaimana kalau kau saja yang mewakilkan?"
Sinto Gendeng tertawa bergelak. Tak terlihat oleh Perwira Muda itu tangan kiri
si nenek berkelebat.
Plaakk! Perwira Muda yang kena tampar terpelanting jatuh ke tanah. Dua prajurit cepat
membantunya berdiri. Ketika bangkit kelihatan pipi kanan perwira ini bengkak
merah, mata lebam. Orang-orang kerajaan itu akhirnya tinggalkan hutan jati
diikuti pandangan dan gelak tawa Ki Tambakpati dan Sinto Gendeng.
"Sinto! Belasan tahun tidak bertemu, tahu-tahu kau muncul di sini! Gusti Allah
akan memberimu pahala atas pertolonganmu terhadap diriku!"
Sinto Gendeng tertawa mengekeh, berbalik lalu dua sahabat lama itu saling
berpelukan. "Sinto, kau tahu. Muridmu Wiro belum lama
meninggalkan tempat ini." Menerangkan Ki Tambakpati.
Sinto Gendeng bersikap tenang-tenang saja walau
sebenarnya dia merasa terkejut.
"Anak setan itu sendirian?" Si nenek bertanya.
"Bersama seorang perempuan muda berwajah cantik, membawa boneka perempuan dari
kayu." Menerangkan Ki Tambakpati.
"Hemm... jadi anak setan itu masih saja bersama
perempuan gembel tidak waras itu."
"Yang aku lihat, perempuan itu waras-waras saja.
Pakaiannya bagus, dandanannya apik."
Walau merasa heran atas keterangan sahabat lamanya itu Sinto Gendeng bertanya
lagi. "Ada keperluan apa muridku datang ke sini?"
"Wiro menitipkan seorang pengasuh anak bernama
Djaka Tua. Dia datang hendak menjemput." Lalu Ki Tambakpati menceritakan apa
yang telah terjadi. Mulai dari kemunculan Djaka Tua sampai akhirya pembantu itu
menemui ajal digantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Sinto Gendeng terdiam sejurus. Lalu berkata. "Aku tidak megerti. Bagaimana
petinggi kerajaan bisa berlaku kejam semena-mena seperti itu."
"Aku rasa ada satu perkara besar yang
melatarbelakangi perbuatan mereka itu," Ki Tambakpati berkata menduga-duga.
"Bisa jadi, bisa jadi..." ucap Sinto Gendeng. Kemudan nenek ini bertanya.
"Apakah anak setan itu menyebut-nyebut rencana kepergian ke Candi Pangestu di
Plaosan?" Ki Tambakpati menggeleng. "Setahuku dia bersama
perempuan muda yang dipanggilnya Nyi Retno itu
berencana pergi ke kotaraja. Mereka ingin mencari pembunuh Djaka Tua. Entah
kalau kemudian mereka
berubah pikiran."
"Mungkin sewaktu sampai di sini, anak setan itu belum mendapatkan surat," pikir
Sinto Gendeng. "Tambakpati, aku ingin berada lebih lama bersamamu. Tapi ada
urusan penting yang harus aku lakukan. Lain kali aku datang lagi ke sini.
Tapi... Dengar, sebaiknya kau tidak tinggal lagi di tempat celaka ini. Ingat
gubuk di tikungan kali Progo.
Gubuknya mungkin sudah rusak. Kau bisa memperbaiki.
Paling tidak kau punya tempat tinggal yang aman. Nanti aku akan menyambangimu
secepatnya di sana."
Ki Tambakpati angguk-anggukkan kepala.
"Sudah, aku pergi sekarang."
"Sinto, kalau aku bertemu muridmu, ada pesan yang ingin kau sampaikan?" bertanya
Ki Tambakpati. "Katakan pada anak setan itu! Kalau mau punya istri jangan kawin dengan
perempuan gembel berotak tidak waras! Dan kalau punya anak jangan boneka kayu
tapi bayi benaran!"
"Sinto..."
Si nenek sudah berkelebat pergi.
"Heran," kata Ki Tambakpati, "perempuan muda cantik, berpakaian bagus itu
mengapa dikatakannya gembel tidak waras" Punya anak bayi benaran, bukan boneka.
Ah, aku tidak mengerti. Apa muridnya itu memang sudah kawin dengan perempuan
cantik bernama Nyi Retno itu?" Ki Tambakpati geleng-geleng kepala. Sebelum masuk
ke pondok dia berkata. "Dari dulu sahabatku satu ini tak pernah berubah."
Ki Tambakpati tidak tahu kalau Sinto Gendeng pertama sekali bertemu Wiro dan Nyi
Retno Mantili ketika perempuan ini masih dalam keadaan badan dekil pakaian kotor
dan menunjukkan otak tidak waras. Setelah berada lebih dekat bersama Wiro dan
pertemuan dengan Kiai Gede Tapa Pamungkas ternyata banyak perubahan atas diri
Nyi Retno dan hal ini tidak diketahui oleh Sinto Gendeng.
***

Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

MALAM Jumat hari ke lima belas. Sejak sore mendung
menggantung di langit namun hujan tak kunjung turun.
Hembusan angin menderu keras, bergaung menimbulkan suara menakutkan. Seharusnya
ada rembulan bulat di langit. Namun yang kelihatan saat itu hanyalah kegelapan
menghitam. Candi Pangestu di kawasan Plaosan tak dapat lagi disebut candi. Bangunannya
sudah runtuh rusak sejak belasan tahun silam. Kini bentuknya nyaris seperti
gundukan tanah tinggi. Dalam suasana gelap dan angin bertiup kencang, reruntuhan
candi itu terlihat
menyeramkan. Dua ekor kelelawar tiba-tiba muncul dalam kegelapan malam. Terbang rendah ke
arah Candi Pangestu. Suara kepak sayapnya seolah membendung deru tiupan angin
malam. Sepasang mata cekung memperhatikan dari balik serumpunan semak belukar di
samping reruntuhan tembok halaman candi sebelah barat.
Tiba-tiba dua buah benda seukuran ujung jari kelingking melesat di udara.
Plaakk! Plaakk!
Dua kelelawar menguik keras lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala hancur.
Pisau Terbang Li 7 Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Naga Langit 8
^