Pencarian

Badik Sumpah Darah 3

Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah Bagian 3


miliknya pribadi. Atas
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
30 nama Kerajaan. Patih Kerajaan. Tertanda: Selo Kaliangan."
Selesai Ageng Suranyala membacakan surat, suasana di tempat itu diselimuti
kesunyian. Sesaat
kemudian kesunyian baru meledak oleh teriakan Loh Gatra.
"Fitnah! Fitnah busuk! Kakekku tidak berbuat jahat. Beliau tidak membunuh Raden
Prameswara dan Raden Tambak Suryo!"
Ageng Suranyala memperhatikan Loh Gatra lalu bertanya pada Adipati Jatilegowo.
"Siapa pemuda itu?"
"Namanya Loh Gatra. Dia cucu Ki Sarwo..."
"Pemuda yang mungkin menjadi sainganmu dalam mendapatkan Nyi Lara?" ujar Ageng
Suranyala sambil tersenyum.
"Jangan bicara yang membuatku tidak senang. Tugasmu sudah selesai membacakan
Surat Perintah.
Mundur ke belakangku!"
Ageng Suranyala tersenyum tapi dia memang jerih terhadap Adipati Salatiga ini,
maka tanpa banyak
bicara dia ikuti perintah, mundur dua langkah.
"Nyi Lara," tiba-tiba Jatilegowo keluarkan ucapan. "Seperti aku katakan dulu,
aku punya banyak
teman di Kotaraja. Jika kau menerima pernikahan kita hari ini maka aku bisa
membuat Surat Perintah itu
untuk tidak diberlakukan..."
Di atas kursi, Ki Sarwo Ladoyo angkat tangan kirinya. "Ki Ageng Suranyala," kata
Ki Sarwo. "Setahuku Patih Kerajaan Selo Kaliangan dalam keadaan sakit. Bagaimana dia
mungkin membuat dan
menandatangi Surat Perintah itu" Ki Ageng, apa aku boleh melihat surat itu?"
(Mengenai riwayat sakitnya
Patih Selo Kaliangan, harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Kembali ke Tanah
Jawa" terdiri dari 6
Episode) "Ki Sarwo, sebagai orang terhukum kau tidak punya hak dan tidak layak bicara!"
membentak Adipati
Jatilegowo. "Justru seorang tertuduh dan terhukum punya hak untuk bicara dan membela diri!
Kerajaan adalah
tempat mencari keadilan hukum! Bukan untuk mencelakakan warga! Apa yang
dituduhkan dalam Surat
Perintah itu masih harus dibuktikan!" Loh Gatra berkata setengah berteriak.
"Pemuda bau kencur! Jangan banyak bicara! Kalau perlu kaupun akan kupenjarakan
dengan tuduhan membantu kakekmu membunuh dua pemuda itu!"
"Semua ini akal licikmu karena Nyi Lara menolak pinanganmu!" teriak Loh Gatra.
"Ha... ha! Cucu Ki Sarwo sudah pandai bicara besar seperti kakeknya. Pengawal!
Tangkap pemuda itu!" perintah Jatilegowo.
Seorang perwira dan lima orang prajurit segera bergerak. Dari pihak Kadipaten
Temanggung, perwira
Domas Tunggul dan dua belas prajurit segera pula bergerak menghalangi orang-
orang Jatilegowo.
"Tunggu!" tiba-tiba ada orang berseru dari bawah pohon besar. Itu bukan bentakan
biasa karena membuat tanah dan pohon besar bergetar, telinga mengiang dan dada berdenyut.
Ternyata yang berseru
adalah si gendut sinting. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, sisipkan kipas di
ketiak kiri lalu sett! Sekali
berkelebat sosoknya yang besar gembrot itu melayang ke udara, melewati prajurit-
prajurit Salatiga yang
mengurungnya. Sesaat kemudian dia sudah berada di pertengahan tangga gedung Kadipaten. Selagi
semua orang melongo melihat kejadian itu si gendut membuka peci hitam kupluknya, membungkuk
sambil mengayunkan peci dari kiri ke kanan, memberi hormat ke arah Nyi Lara, Ki Sarwo
dan Loh Gatra. "Nyi Lara," ucap si gendut dengan suara dibikin-bikin semerdu mungkin dan mulut
dikecil-kecilkan.
"Jika Nyi Lara, memang tak sudi mengambil si kumis melintang muka sangar itu
menjadi suami Nyi Lara,
apakah Nyi Lara sudi mengambil patik yang hina buruk dan sebatang kara ini
sebagai pengganti suami
yang hilang" Hik... hik, apa iya Nyi Lara sudi" Hik... hik!" Habis berkata
begitu si gendut ini lalu petatang
peteteng memperagakan diri, kepala dimiringkan. pantat diogel-ogel, dada
dibusungkan lalu perut yang
buncit dikedut-kedut. Tak lupa mata dikedip-kedipkan.
"Suit... suittt!"
Entah dari mana datangnya begitu si gendut tadi selesai berucap terdengar dua
kali suara suitan.
Sepasang mata si gedut berputar-putar. Beberapa orang berusaha mencari sumber
suitan tapi tak
berhasil. Suara suitan itu seolah datang dari berbagai jurusan.
Walau saat itu keadaan tegang mencekam, tapi banyak orang tak dapat lagi menahan
diri mendengar ucapan dan melihat lagak si gendut. Ledakan tertawa terdengar dimana-mana,
terutama dari orang-orang
Kadipaten Temanggung.
"Bedebah kurang ajar!" Jatilegowo tak dapat menahan diri. "Makan tendanganku!"
Lalu dia melompat
ke tangga gedung. Kaki kanan menderu ke punggung si gendut yang masih petatang-
peteteng jual lagak.
Kalau tendangan itu mengenai sasarannya, punggung si gendut bukan saja akan
remuk, tubuhnya akan
mencelat mental. Tapi hebatnya tanpa berpaling ke belakang si gendut gerakkan
tangan kirinya. Tahu-
tahu tangan itu berhasil menangkap pergelangan kaki Adipati Jatilegowo lalu
diangkat tinggi-tinggi
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
31 sehingga sang Adipati terpaksa mengimbangi diri agar tidak jatuh. Dalam marah
dan malu amat sangat,
Adipati Jatilegowo gerakkan tangan kiri dan kanan, siap melepas pukulan Dua
Gunung Meroboh Langit.
Ini adalah pukulan sakti yang jarang musuh sanggup menghadapi. Salah satu
contohnya adalah Ki Sarwo
Ladoyo. Sampai saat itu si orang tua masih menderita luka dalam yang parah. Tapi
Adipati Jatilegowo
menjadi heran ketika dia dapatkan tak bisa menggerakkan dua tangan. Malah dari
kakinya yang dipegang
si gendut terasa ada hawa dingin mengalir. Saat itu juga sekujur tubuhnya seolah
berubah menjadi es.
kaku dingin luar biasa!
"Nyi Lara, patik menunggu jawaban. Percayalah, sekalipun Nyi Lara menolak, patik
tidak akan meratakan Kadipaten Temanggung sama rata dengan tanah seperti ancaman si kumis
melintang muka binyawak ini!"
"Bangsat jahanam! Kau minta mati! Lepaskan kakiku!" teriak Adipati Jatilegowo.
"Huss diam!" kata si gendut sambil melintangkan jari tangan di depan mulut. "Aku
tidak bicara denganmu, binyawak hutan!"
Ki Sarwo Ladoyo geleng-geleng kepala. Loh Gatra tercekam heran. Semua orang ikut
heran dalam ketegangan. Hanya Nyi Lara yang tersenyum. Walau mungkin kemunculan si gendut ini
menjengkelkan banyak
orang termasuk dirinya, namun diam-diam Nyi Lara merasa, si gendut aneh dan lucu
konyol seperti orang
sinting dan tak tahu diri ini adalah seorang berhati baik di samping memiliki
kepandaian tinggi dan
agaknya berada di pihaknya. Maka Nyi Larapun berkata.
"Sahabatku gendut, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Jujur saja aku tak bisa
memenuhi permintaanmu." Nyi Larasati akhirnya keluarkan ucapan.
"Ah, patik suka orang jujur. Terima kasih atas penolakanmu. Patik yang buruk ini
harus tahu diri. Kau
sebut patik ini sebagai sahabat saja sudah senang rasanya. Terima kasih, Nyi
Lara. Semoga Nyi Lara
menemukan jodoh yang baik. Patik mohon diri, kembali ke bawah pohon!"
"Settt!" si gendut goyangkan tubuhnya. Sosok gemuk itu melesat di udara dan di
lain saat dia sudah
kelihatan kembali di bawah pohon, duduk menjelepok di tanah sambit berkipas-
kipas. Tapi kali ini matanya
tidak dipejamkan, malah melirik kian kemari. Dalam hati dia membatin. "Suara
siulan tadi. Dua kali...
Susah kuketahui dari mana asal datangnya. Seolah datang dari empat jurusan.
Hemmm... mudah-
mudahan saja memang dia. Tapi setahuku dia tidak punya ilmu mengacaukan suara
seperti itu..."
Kembali pada Adipati Jatilegowo. Si gendut sudah kembali duduk di bawah pohon,
berkipas-kipas.
Tapi anehnya sang Adipati masih tertegak di anak tangga gedung Kadipaten, kaki
kiri berdiri lurus di atas
tangga, kaki kanan naik ke atas seperti saat tadi ditahan oleh si gendut. Tubuh
Adipati itu kelihatan
bergetar, kulitnya berubah memutih. Sekujur badannya dilanda hawa dingin yang
hebat hingga mengeluarkan asap tipis. Dari mulutnya terdengar suara "Uuhh... uhhh..."
berulang kali diseling kutuk
serapah panjang pendek!
Ki Ageng Suranyala dalam kagetnya melihat keadaan sang Adipati segera lari
menaiki tangga.
"Adipati, apa yang terjadi"!" Perwira Kotaraja itu bertanya. Dipegangnya bahu
Jatilegowo. Tangan itu
tersentak. Bahu sang Adipati dingin luar biasa, seolah telah berubah jadi es!
"Ki Ageng, lekas bantu aku! Alirkan hawa panas ke punggungku. Cepat!"
Mendengar ucapan Jatilegowo Ki Ageng Suranyala segera letakkan dua telapak
tangan di punggung
Jatilegowo lalu kerahkan tenaga dalam untuk mengalirkan hawa panas. Asap
mengepul dari punggung
yang ditempeli dua telapak tangan. Ki Ageng Suranyala memang dikenal sebagai
perwira yang memiliki
tenaga dalam tinggi, satu tingkat di atas Adipati Jatilegowo. Tubuhnya bergetar
ketika dia merasa hawa
dingin yang hendak di tumpas malah merembet, menjalar masuk ke dalam tubuhnya.
"Celaka!" keluhnya
dalam hati. "Adipati! Tak ada jalan lain! Hawa dingin tak mungkin ditumpas. Aku terpaksa
harus memukul punggungmu agar hawa panas bisa menembus masuk!"
"Suittt... suiitt!"
Tiba-tiba kembali terdengar suara siulan keras.
"Jahanam! Siapa yang bersuit itu!" Jatilegowo memaki.
Ki Ageng Suranyala tarik dua tangannya ke belakang. Tenaga dalam dikerahkan
habis! Lalu dia
memukul. "Bukk! Bukkk!"
Asap kelabu mengepul dari punggung yang dipukul. Adipati Jatilegowo tersungkur
ke depan lalu jatuh
ke bawah tangga. Topi tingginya tanggal, tercampak ke tanah. Ki Ageng Suranyala
terpental, terguling ke
bawah tangga. Ketika sama-sama jatuh di tanah, kedua orang itu bergeletakan satu
di atas satu di bawah.
Hidung Adipati Jatilegowo mendarat di pipi Ageng Suranyala.
Di bawah pohon si gendut tiba-tiba berjingkrak dan tertawa gelak-gelak sambil
menunjuk-nunjuk ke
arah dua orang yang jatuh tumpang tindih.
"Adipati! Rupanya kau suka mencium laki-laki. Ha... ha! Jangan-jangan kau punya
kelainan! Pantas
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
32 Nyi Lara tidak suka padamu! Ha... ha...!"
Amarah menggelegak di dada Adipati Jatilegowo. Dia melompat dan berteriak pada
orang-orangnya.
"Kurung gendut jahanam itu! Jangan sampai lolos! Aku akan menanggalkan kepalanya
dengan tanganku sendiri!" Masih dalam kobaran amarah Adipati Salatiga itu berpaling
pada Nyi Larasati.
"Nya Lara, janda keparat tak tahu diri! Pasti kau dan jahanam tua Sarwo Ladoyo
mengatur semua ini.
Kau menyuruh si gendut jahanam itu membokongku!" Saat itu hawa dingin di tubuh
Jatilegowo telah
lenyap. "Kalau aku terpaksa tidak mendapatkanmu, tidak jadi apa. Tapi tidak
seorang lainpun bisa
memperistrikanmu! Terima kematianmu!" Jatilegowo angkat dua tangannya.
Ki Sarwo Ladoyo terkejut. Dari gerakan orang dia segera tahu kalau Adipati
Jatilegowo benar-benar
hendak membunuh Nyi Larasati. Karena serangan yang hendak dilancarkannya adalah
pukulan maut Dua
Gunung Meroboh Langit.
Di atas kursi Ki Sarwo Ladoyo segera berkata pada cucunya. "Loh Gatra, saatnya
kau turun tangan!"
Mendengar perintah kakeknya itu Loh Gatra segera melompat ke hadapan Adipati
Jatilegowo. * * * Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
33 10 DIHADANG orang Adipati Jatilegowo jadi tambah menggelegak amarahnya. Apalagi
yang menghadang
adalah pemuda yang dianggapnya bau kencur dan dicemburuinya sebagai hendak
merebut Nyi Lara.
"Bocah jahanam! Kau memang minta mampus!"
Jatilegowo menggeram. Tubuhnya berkelebat sambil tangan kanannya bergerak. Cepat
sekali jotosan mautnya menggebuk ke arah batok kepala si pemuda. Serangan yang
dilancarkan sang Adipati
bukan pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit." Mungkin Adipati ini mengira untuk
menghabisi bocah tengik
satu ini tidak perlu mengeluarkan pukulan saktinya itu, cukup pukulan biasa
dengan pengerahan setengah
kekuatan tenaga dalam.
Tapi alangkah kagetnya Jatilegowo ketika tiba-tiba di depannya bersiur angin
deras disertai

Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkiblatnya cahaya berkilauan.
"Breett!"
Jatilegowo terpekik kaget, cepat melompat mundur dan dapatkan ujung lengan kanan
bajunya hangus, robek besar. Memandang ke depan dilihatnya Loh Gatra tegak memegang
sebilah keris memancarkan sinar putih, terbuat dari perak murni.
Ageng Suranyala perwira Kotaraja terkesiap. Dia mengenali senjata di tangan si
pemuda. "Keris
Tumbal Bekisar!" serunya tertahan.
Saat itu kejut Adipati Jatilegowo telah sirna. Dia mendengar apa yang barusan
diucapkan Ageng
Suranyala. Dia pernah mendengar kehebatan senjata mustika itu. Ageng Suranyala
cepat mendekati sang
Adipati dan berbisik.
"Keris di tangan pemuda itu tidak bisa dibuat main. Adipati harus bisa merampas
keris atau membunuh si pemuda dengan cepat. Jangan tunggu lebih lama. Langsung pergunakan
pukulan Dua Gunung Meroboh Langit. Tenaga dalam penuh. Satu arahkan ke dada si pemuda, satu
tujukan pada keris
yang dipegangnya!" Habis membisiki Ageng Suranyala cepat menjauh, tak mau jadi
korban keganasan
Keris Tumbal Bekisar.
Melihat gerak gerik Ageng Suranyala, Loh Gatra maklum kalau lawannya tengah
menyiapkan satu
serangan dahsyat. Karenanya sebelum Adipati Jatilegowo menyerang, pemuda itu
cepat mendahului. Dia
menyergap sambil mengirimkan serangan berantai. Satu tusukan dua kali babatan.
"Bagus, maju lebih dekat! Maju lebih dekat!" teriak Jatilegowo. Lalu
duajangannya dihantamkan ke
depan. "Wusss! Wusss!"
Dua gelombang angin melanda Loh Gatra.
"Pukulan Dua Gunung Meroboh Langit! Loh Gatra! Awas!" teriak Ki Sarwo memberi
ingat cucunya. Saat itu Loh Gatra telah melompat, membuang diri ke samping. Pukulan yang
mengarah dada berhasil dihindarkan. Tapi serangan yang menghantam ke tangan kanan, melabrak
telak Keris Tumbal
Bekisar. Letupan keras disertai pancaran bunga api menjulang ke udara. Keris Tumbal
Bekisar kepulkan asap
putih. Kalau keris ini bukan merupakan senjata sakti mandraguna niscaya begitu
dihantam pukulan "Dua
Gunung Meroboh Langit" akan hancur, paling tidak bengkok tak karuan. Keris boleh
ampuh tapi Loh Gatra
yang memegang senjata itu ternyata tak sanggup menahan hebatnya hantaman
pukulan. Tubuhnya
terpental sampai satu tombak.
Nyi Larasati terpekik. Ki Sarwo terlonjak di kursinya.
Loh Gatra merasa tangan kanannya berat dan kaku. Dadanya mendenyut sakit. Ketika
dia berusaha bangkit, muka pucat kaki tertekuk, dari mulutnya kelihatan lelehan darah.
Hantaman lawan melukai
tubuhnya sebelah dalam. Masih untung Loh Gatra memegang keris sakti hingga
sebagian kekuatan
pukulan Jatilegowo terbendung. Kalau tidak pasti saat itu nyawanya sudah amblas
dengan tubuh hancur!
Namun Loh Gatra belum terlepas dari bahaya maut. Lawan yang melihat dirinya
berada dalam keadaan
tak berdaya seperti itu kembali menghantam melepas pukulan. "Dua Gunung Meroboh
Langit" dengan
tangan kiri kanan sekaligus!
"Celaka cucuku!" seru Ki Sarwo Ladoyo. Kakek yang masih belum sembuh dari luka
dalamnya ini melompat dari kursi. Dorongkan dua tangan ke arah Jatilegowo. Namun dari samping
kiri Ageng Suranyala, perwira dari Kotaraja tak tinggal diam. Begitu Ki Sarwo bergerak dia
segera melompat sambil
kirimkan satu jotosan ke dada si orang tua.
Ilmu kepandaian Ageng Suranyala maupun tingkat tenaga dalamnya tidak berada di
atas Ki Sarwo. Namun sesepuh Kadipaten Temanggung itu masih berada dalam keadaan cedera berat.
Karenanya begitu dia menangkis pukulan lawan dengan tangan kiri, Ki Sarwo langsung
terhuyung. Selagi dia
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
34 berusaha mengimbangi diri jotosan berikutnya yang dilancarkan Ageng Suranyala
bersarang tepat di
dadanya. "Bukkk!"
Ki Sarwo terpental. Darah menyembur dari mulutnya. Nyi Larasati kembali
terpekik. Dua perwira
Kadipaten Temanggung Domas Tunggul dan Akik Pranata tak tinggal diam. Domas
Tunggul cepat menolong Ki Sarwo sedang Akik Pranata melompat ke hadapan Ageng Suranyala.
Antara keduanya
segera terjadi perkelahian kosong. Jurus-jurus pertama perkelahian tampak
seimbang, namun jurus-jurus
berikutnya Akik Pranata mulai terdesak. Setelah menerima beberapa pukulan keras,
Akik Pranata terpaksa cabut kelewang yang tersisip di pinggangnya. Melihat lawan menghunus
senjata Ageng Suranyala segera pula mencabut pedangnya. Pertempuran antara ke dua orang ini
kembali berkecamuk
seru, ditonton oleh pasukan ke dua belah pihak.
Pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit" menderu dahsyat ke arah Loh Gatra, tak mampu
ditangkis tak mungkin dielakkan. Loh Gatra hanya bisa melintangkan Keris Tumbal Bekisar di
depan dada. Di bawah pohon besar si gendut berseru keras melihat pukulan maut yang tak dapat
dielakkan Loh Gatra itu. Tangannya yang memegang kipas siap bergerak namun dia kedahuluan oleh
sambaran cahaya
putih menyilaukan disertai menggebuhnya hawa panas, memapas pukulan Dua Gunung
Meroboh Langit.
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak si gendut di bawah pohon.
"Bummm! Bummmm!"
Dua ledakan dahsyat menggelegar. Halaman dan bangunan gedung Kadipaten bergetar.
Tanah dan pasir berhamburan ke udara.
Loh Gatra jatuh terduduk di kaki tangga. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya
telah terjadi. Pada
tanah halaman Kadipaten dia melihat dua buah lobang besar kehitaman. Di seberang
sana Adipati Jatilegowo berdiri seperti patung. Mukanya pucat pasi. Lututnya tertekuk.
Perlahan-lahan lelaki tinggi
besar ini jatuh berlutut di tanah. Dia sadar sesuatu terjadi dengan dirinya.
Maka dia cepat duduk bersila
atur jalan darah dan pernafasan.
Ketika Loh Gatra alihkan pandangan ke arah pintu gerbang, kagetlah pemuda ini.
Kaget bercampur
gembira. Di tiang tinggi pintu gerbang sebelah kanan, duduk seorang pemuda
berambut gondrong,
uncang-uncang kaki seenaknya sambil menyantap buah jamblang.
"Pendekar 212," ujar Loh Gatra.
Di serambi gedung Kadipaten Nyi Larasati yang juga telah melihat orang di atas
tiang pintu gerbang
itu ikut berucap. "Pendekar 212. Dia pasti Pendekar 212..."
Kehadiran si gondrong di atas pintu gerbang serta merta menarik perhatian semua
orang yang ada di
sana. "Pendekar 212 anak edan!" si gendut di bawah pohon berteriak pada pemuda di atas
pintu gerbang. "Kau makan apa"! Jangan makan sendirian!"
"Aku makan jamblang! Dut, gendut! Kau mau"!" jawab si gondrong yang memang
Pendekar 212 Wiro
Sableng adanya.
"Mau... mau! Sudah lama aku tidak makan jamblang!"
"Ambil sendiri ke sini!" teriak Wiro.
"Ah, aku malas jalan ke sana! Lemparkan saja!" jawab si gendut lalu dongakkan
kepala dan buka
mulutnya lebar-lebar.
Wiro Sableng menyeringai. Tangannya bergerak. Tiga buah jamblang melesat di
udara, satu persatu
kemudian masuk ke dalam mulut si gendut. Si gendut segera melahapnya sampai
mengeluarkan suara
menyiplak keras. Habis menelan buah jamblang itu dia lalu tertawa gelak-gelak.
"Enak... enak..." katanya.
Di atas pintu gerbang Pendekar 212 Wiro Sableng ikutan tertawa gelak-gelak.
Membuat semua orang
tambah terheran-heran melihat tingkah dua manusia aneh itu tapi juga dibuat jadi
senyum-senyum. "Sahabatku Bujang Gila Tapak Sakti!" murid Sinto Gendeng berseru. "Lama tidak
bertemu. Ada urusan apa kau di tempat ini"!"
"Lama tidak bertemu! Aku dengar kau sudah empat kali kawin!"
"Sialan!" maki Wiro.
Si gendut tertawa mengekeh.
"Kata orang ada gula ada semut. Dimana ada perempuan cantik disitu si gendut ini
ada! Ha-ha...!"
Pemuda gendut berkopiah kupluk ternyata adalah pendekar aneh yang dikenal dengan
sebutan Bujang Gila Tapak Sakti. Dia tertawa gelak-gelak sambil menundingkan ibu jarinya ke
arah Nyi Larasati yang
berdiri di serambi gedung Kadipaten. (Mengenai riwayat Bujang Gila Tapak Sakti
silahkan baca serial Wiro
Sableng berjudul "Bujang Gila Tapak Sakti.")
Pendekar 212 Wiro Sableng melirik ke arah serambi gedung lalu tertawa lebar.
Diam-diam dia mengagumi kecantikan Nyi Larasati. Nyi Larasati sendiri seperti harap-harap
cemas. Dia memang
mengharapkan kemunculan Pendekar 212 untuk menolongnya. Tapi mana dia menduga
kalau sang pendekar ternyata sama sintingnya dengan si gendut di bawah pohon. Apakah orang-
orang Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
35 berkepandaian tinggi itu memang sinting semua pikir Nyi Lara.
"Hai Wiro!" Bujang Gila Tapak Sakti berseru sambil berkipas-kipas. "Tadinya aku
mau melamar Nyi
Lara yang cantik itu. Tapi dapat saingan sama si kumis melintang muka kadal
itu!" Bujang Gila Tapak
Sakti menunjuk ke arah Adipati Jatilegowo. "Untungnya Nyi Lara tidak suka pada
si muka kadal itu.
Disuruh pulang eh malah mengancam mau meratakan Kadipaten Temanggung sama rata
dengan tanah dan mau membunuh Nyi Lara. Apa tidak edan"!"
Di tempatnya duduk bersila Adipati Jatilegowo langsung mendidih amarahnya begitu
mengetahui pemuda gondrong di atas pintu gerbang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia
kerahkan tenaga dalam
penuh, melompat bangkit. Tampang mengelam, rahang menggembung dan dua tinju
terkepal. "Pendekar 212 jahanam! Kau berani berbuat mesum dengan istriku! Turun dari pintu
gerbang itu!"
"Waladalah!" Bujang Gila Tapak Sakti berseru kaget. "Wiro, hebat juga kau
sekarang. Suka mengganggu istri orang!"
"Enak saja! Main tuduh sembarangan!"
"Pendekar 212 turun!" teriak Jatilegowo sambil maju dua langkah.
"Aku lagi enak makan jamblang! Kalau kau mau naik saja kesini!"
"Keparat sinting setan alas!" teriak Jatilegowo berang besar. Dia gerakkan dua
tangannya melepas
pukulan Dua Gunung Meroboh Langit.
"Wuttt... wuttttt!"
"Braaakkk! Byaarrrr!"
Pintu gerbang Kadipaten Temanggung hancur berantakan. Selusin sosok bergeletakan
di sekitar pintu gerbang yang hancur. Mereka adalah para prajurit Kadipaten Temanggung dan
Kadipaten Salatiga
yang tak sempat selamatkan diri dari pukulan Dua Gunung Meroboh Langit yang tadi
dilepaskan Jatilegowo. Pendekar 212 sendiri tidak kelihatan. Si gondrong tak kelihatan, apa
sudah jadi mayat dan
terkapar di antara sosok-sosok hancur para prajurit" Semua mata mencari-cari,
termasuk Jatilegowo
sendiri. Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak. Mula-mula cuma satu, lalu dibarengi
oleh suara tawa
lainnya. Ketika semua orang memandang ke bawah pohon, ternyata Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah berada di sana, saling memegang bahu dengan si gendut Bujang Gila Tapak Sakti
dan tertawa gelak-
gelak. Adipati Jatilegowo benar-benar merasa dihina dipermainkan. Dia melompat ke bawah
pohon. "Pendekar 212! Aku mengadu jiwa dengan kau! Bangsat!"
Jotosan keras menderu ke arah kepala Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat menyingkir.
"Bujang Gila, kau tolong orang-orang Kadipaten Temanggung yang bertempur di
sekitar tangga. Biar
kadal ini aku yang menghadapi..."
"Wiro, tangkap dia hidup-hidup. Kadal berkumis macam dia mungkin enak dibuat
pepes!" jawab
Bujang Gila Tapak Sakti. Sambil tertawa mengekeh dia melompat ke arah serambi
gedung kadipaten
dimana terjadi perkelahian seru antara Akik Pranata dan Domas Tunggul melawan
Ageng Suranyala dan
seorang perwira Kadipaten Salatiga.
Setelah selamatkan kepalanya dari jotosan Jatilegowo, Wiro bersikap seenaknya,
sandarkan diri ke
batang pohon dan rangkapkan dua tangan di atas dada lalu berkata.
"Adipati, sebaiknya kau dan orang-orangmu kembali saja ke Salatiga. Nyi Lara
tidak suka bersuamikan orang macammu. Sebagai laki-laki seharusnya kau malu dan tahu diri.
Setahuku kau sudah
punya dua istri. Muda-muda dan cantik-cantik. Jika tak dapat Nyi Lara, kau bisa
cari yang lain..."


Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat gondrong! Mulut kotormu biar kusumpal dengan ini!" teriak Jatilegowo.
Kembali pukulannya
menderu. Wiro cepat mengelak.
"Braaakkk!"
Pukulan Jatilegowo menghantam pohon di belakang Pendekar 212 hingga hancur,
patah, lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Luar biasa, jarang Wiro melihat ada pukulan
begitu hebat hingga
sanggup menumbangkan pohon besar. Serangan Jatilegowo datang bertubi-tubi. Dua
jurus pertama murid
Sinto Gendeng dibuat kalang kabut dan harus andalkan kecepatan untuk mengelakkan
pukulan dan tendangan lawan.
Jurus ke tiga sampai ke lima Wiro masih bisa bertahan. Pada jurus ke enam dia
terpaksa keluarkan
jurus-jurus ilmu silat orang gila. Tapi serangan lawan laksana air bah. Apa lagi
pukulan-pukulan yang
dilancarkan Adipati Salatiga itu adalah pukulan Dua Gunung Meroboh Langit yang
sangat berbahaya.
Melihat Wiro keluarkan jurus silat aneh, Jatilegowo tak mau kalah. Dia segera
rubah jurus-jurus
silatnya. Setiap pukulan yang dilancarkan disertai aji kesaktian Dua Gunung
Meroboh Langit. Hal ini
sangat berbahaya bagi Wiro. Jika tubuh apalagi kepalanya sampai terkena pukulan
lawan, nyawanya tak
akan tertolong.
Wiro kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Kelebatannya laksana
bayang-bayang. Jatilegowo mengejar terus. Wiro bertahan dan sesekali ganti menyerang. Dia ingin
menangkap Adipati ini
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
36 hidup-hidup. Beberapa kali dia berusaha menotok urat besar di leher dan dada
lawan tapi Jatilegowo yang
sudah bisa membaca apa yang hendak dilakukan Wiro mempercepat gerakannya. Di
jurus ke dua puluh
dia membuat gerakan tipuan dan berhasil susupkan satu tendangan keras ke pinggul
kiri Wiro. Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
37 11 PENDEKAR 212 terpental sampai dua tombak. Dia menggigit bibir sendiri menahan
sakit. Pinggulnya
serasa hancur. Ketika dia bangkit berdiri tubuhnya kelihatan miring ke kiri.
"Sobatku, nasibmu malang nian! Jangan-jangan akibat kebanyakan makan jamblang!"
Bujang Gila Tapak Sakti meledek lalu tertawa gelak-gelak. Sebelumnya perhatian semua orang
tertuju pada pertempuran antara Wiro dengan Jatilegowo. Ketika Bujang Gila berseru tadi,
sebagian dari orang-orang
itu berpaling dan jadi kaget tapi juga merasa lucu. Ternyata saat itu Bujang
Gila Tapak Sakti enak-enakan
duduk sambil berkipas-kipas di atas tumpukan dua sosok tubuh yang berada dalam
keadaan tertotok.
Kedua orang yang dijadikan bantalan dudukan itu adalah Ageng Suranyala dan
seorang perwira
pembantu yang sebelumnya bertempur melawan orang-orang Kadipaten Temanggung. Si
gendut yang pemalas itu mana mau berkelahi berpanjang-panjang. Dua kali berkelebat dia
berhasil menotok lawan, lalu
ditumpuk, dijadikan dudukan! Setiap tertawa tubuh Bujang Gila Tapak Sakti
bergoncang-goncang. Dua
orang yang jadi dudukannya merasa seperti dihimpit batu besar ratusan kati,
merintih tak berkeputusan.
Murid Sinto Gendeng tidak perdulikan ejekan Bujang Gila. Masih menahan sakit
tendangan, di depan
sana Adipati Jatilegowo dilihatnya kembali melancarkan pukulan Dua Gunung
Meroboh Langit. Sepasang
tangannya bergetar dan memancarkan cahaya redup pertanda serangannya kali ini
dilakukan dengan
pengerahan seluruh tenaga dalam serta kekuatan hawa sakti yang dimilikinya.
Dua lutut Pendekar 212 menekuk. Kaki menjejak tanah. Di lain saat tubuhnya
melesat ke udara. Dua
tangan menghantam berbarengan. Tangan kiri melepas pukulan Tangan Dewa
Menghantam Air Bah
untuk membentengi diri dari serangan lawan sedang tangan kanan melancarkan
pukulan Tangan Dewa
Menghantam Tanah. Dua pukulan sakti ini didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang
Ameh melalui Kitab
Putih Wasiat Dewa. Begitu melepas dua pukulan dengan cerdik Wiro segera
berpindah tempat dengan
cara berjungkir balik di udara sehingga dia terhindar dari terpaan berbahaya
angin pukulan yang masih
mengandung tenaga dalam dahsyat. Lain halnya dengan Jatilegowo. Ketika angin
pukulan berbalik, dia
hanya sempat membungkuk. Angin pukulan berdesing, memang hanya melesat lewat di
atas kepalanya,
namun dua kakinya melesak ke dalam tanah sampai satu jengkal, dada mendenyut
sakit, pemandangan
berkunang. Aliran darah tersendat kacau!
Beradunya dua pukulan sakti membuat halaman Kadipaten laksana dilanda gempa.
Atap serambi gedung Kadipaten runtuh. Loh Gatra cepat membawa kakeknya dan Nyi Larasati ke
tempat aman. Di
halaman belasan orang jatuh berkaparan termasuk penghulu Tumapel Babadsara.
Malah sorban orang
tua ini sampai tanggal dan bergulingan di tanah! Kuda-kuda meringkik keras.
Tanah, pasir dan debu
bertaburan menutupi pemandangan. Saat itulah Jatilegowo melihat ada bayangan
putih berkelebat lalu
merasakan sambaran angin di wajahnya. Ada hawa dingin di bagian hidung. Dia
meraba dengan tangan
kiri dan tersentak kaget. Hidungnya tak ada lagi! Apa yang terjadi"
Ketika tanah, pasir dan debu surut dan pemandangan terang kembali, Tumapel
Babadsara yang tengah berusaha bangkit dan tak sengaja memandang ke arah Adipati Jatilegowo
jadi terkesiap kaget.
"Astaga! Adipati, apa yang terjadi. Hidungmu..."
Jatilegowo kembali meraba hidungnya, meraba dan mengusap pulang balik. Tapi
hidung itu memang
sudah tidak ada di tempat semestinya. Adipati berteriak tak karuan. Semua orang
kini memandang padanya. Heran ada, kasihan ada, lucu juga ada. Bujang Gila Tapak Sakti tertawa
gelak-gelak. Saat itu
Pendekar 212 telah berdiri di sebelahnya, ikut-ikutan tertawa. Dari balik
pakaian dia keluarkan buah
jamblang, dibagi separuh pada Bujang Gila Tapak Sakti. Sambil menyantap jamblang
manis itu keduanya
terus saja tertawa-tawa.
"Usap terus sampai tua!" seru si gendut. "Sayang tak ada cermin. Adipati
Jatilegowo, apa tidak tahu
kalau hidungmu sudah amblas, berpindah ke jidat" Ha... ha... ha!"
Adipati Jatilegowo kaget setengah mati. Ketika dia meraba keningnya, mukanya
yang garang jadi
pucat pasi. Benar apa yang dikatakan si gendut. Hidungnya telah pindah dan kini
menempel di kening.
Bagaimana mungkin" Apa yang terjadi" Siapa yang punya perbuatan"!
"Ha... ha!" Bujang Gila Tapak Sakti tertawa geli. "Kau apakan si muka kadal itu"
llmu apa yang kau
pergunakan sampai bisa memindah hidung besarnya ke jidat"! Ha... ha... ha! Eh
sobatku jahil! Dari mana
kau dapat ilmu itu."
Seperti diketahui, ketika tersesat ke Negeri Latanahsilam, dari nenek sakti
bernama Luhkentut alias
Luhpingitan dan bergelar Hantu Selaksa Angin Wiro telah mendapat ilmu kesaktian
bernama Menahan
Darah Memindah Jasad. Dengan ilmu ini Wiro bisa memindahkan bagian tubuh orang
ke mana saja yang
diinginkannya. (Baca kisah petualangan Wiro di negeri 1200 tahun silam mulai
dari Episode "Bola Bola
Iblis.") Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
38 Pendekar 212 menyengir dan garuk-garuk kepala. "Kau mau hidung si kadal itu
kupindah ke jidatmu"!"
"Tobat! Tampangku sudah jelek. Kalau ditambah satu hidung lagi di jidatku ampun!
Mukaku akan lebih jelek dari kadal benaran! Ha... ha...!"
Orang-orang Kadipaten Salatiga jadi geger. Mereka tak ingat lagi maksud
kedatangan semula ke
Temanggung yakni untuk menyerbu. Semua memperhatikan Adipati mereka tanpa bisa
berbuat suatu apa. "Pendekar 212 jahanam! Dia mengerjai aku! Harus kubunuh dia sekarang juga!"
Adipati Jatilegowo
menggeram. Tangannya masih mengusap muka dan hidung. Darah mendidih. Didahului
teriakan dahsyat
Jatilegowo melompat ke hadapan Wiro. Dua tangan menghantamkan pukulan Dua Gunung
Meroboh Langit. Wiro semburkan biji jamblang di mulutnya. "Edan! Si kadal ini masih galak
rupanya!" "Dia benar-benar minta kubikin jadi ikan pepes!" Bujang Gila Tapak Sakti
berkata. "Wiro, kalau kita
bunuh si kadal ini bisa jadi urusan dengan Kerajaan. Bagaimana kalau kita
gembosi saja ilmu
kesaktiannya yang sangat berbahaya itu!"
"Apa kita mampu, Dut"! Kalau serangannya tembus kita berdua yang jadi ikan
pepes!" "Kalau kita mati, kita mati terhormat! Dalam membela kebenaran dan keadilan!"
"Enak saja kau bicara. Aku masih ingin hidup!" tukas Wiro.
"Ya, ya! Karena kau banyak kekasih!" jawab Bujang Gila Tapak Sakti lalu sambil
tertawa bergerak
menyongsong serangan Jatilegowo. Dia berseru.
"Kau tangan kanan, aku tangan kirinya! Kau hawa panas aku hawa dingin!" Habis
berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti angkat tangan kirinya menyambut jotosan tangan kiri
Adipati Jatiiegowo. Tangan
kiri itu mengeluarkan hawa dingin luar biasa, berubah putih dan mengepulkan asap
kebiru-biruan. Menurut riwayatnya Bujang Gila Tapak Sakti pernah dipendam selama bertahun-tahun
di puncak maha dingin Gunung Mahameru. Dari situlah dia mendapatkan ilmu kesaktian berupa
kandungan hawa sakti dingin. Konon ilmu "Angin Es" yang dimiliki Pendekar 212 warisan gurunya
Eyang Sinto Gendeng
masih kalah hebat dengan ilmu yang dimiliki Bujang Gila Tapak Sakti.
Wiro tak bisa berbuat lain. Serangan Jatilegowo sudah menderu ke arahnya. Dia
segera kerahkan aji
"Pukulan Sinar Matahari." Tangan kanannya serta merta berubah menjadi putih
laksana perak. Berlawanan dengan tangan kiri Bujang Gila Tapak Sakti yang mengeluarkan hawa
sangat dingin maka
tangan kanan Wiro menghampar hawa sangat panas.
Ki Ageng Suranyala yang saat itu masih dalam keadaan tertotok dan berada di
bawah himpitan tubuh
perwira Kadipaten Salatiga dan sempat melihat apa yang terjadi serta merta
berteriak memberi ingat.
"Adipati! Lekas menyingkir! Berbahaya!" Tapi dalam amarah begitu rupa Jatilegowo
mana mau mendengar seruan Ageng Suranyala. Dua tangannya meneruskan menghantamkan pukulan
Dua Gunung Meroboh Langit. Dua tangan memukul, dua tangan lainnya menyambuti. Masing-masing
disertai aliran
tenaga dalam tinggi dan ilmu kesaktian luar biasa.
"Bukkk!" "Bukkk!"
Empat tangan beradu di udara. Dua cahaya berkiblat. Satu putih menyilaukan dan
panas, satunya lagi putih kebiruan dan dingin.
"Mati aku!" Bujang Gila Tapak Sakti yang sosoknya ratusan kati itu mencelat tiga
tombak, menggelundung di tanah di depan kaki tangga gedung Kadipaten. Ki Sarwo pejamkan
mata, mengira si
gendut itu sudah menemui ajal. Loh Gatra keluarkan seruan tertahan. Nyi Larasati
yang satu-satunya
menghambur mendatangi ke bawah tangga.
"Pendekar... Saudara, kau tak apa-apa?"
Sosok gemuk Bujang Gila Tapak Sakti berdiri terhuyung-huyung. Nafasnya menguik-
nguik seperti orang bengek. Hidungnya kembang kempis. Mukanya merah sekali. Tapi dia masih
bisa tersenyum dan
kedipkan matanya.
"Terima kasih Nyi Lara, kau ada perhatian terhadap diri patik yang buruk ini."
Si gendut tertawa lebar,
kedipkan lagi matanya lalu batuk-batuk. Dari mulutnya keluar darah.
"Kau terluka!" ujar Nyi Lara kaget. Bujang Gila Tapak Sakti seka mulutnya.
Tangannya kelihatan
merah oleh darah. Lalu sambil tertawa dia berkata.
"Ah, ini bukan darah. Tapi gula aren. Tinggal mencari getuknya saja. Ha-ha...
ha!" Nyi Lara geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa orang terluka dalam seperti itu
masih sempat- sempatnya bergurau. Dia berpaling ke kiri, ke arah dimana Pendekar 212 tadi
terlempar dan saat itu
tengah duduk bersila di tanah, mata terpejam, mengatur jalan nafas dan aliran
darah. Mukanya pucat.
Tangan kanannya kaku dan kelihatan membengkak kemerahan. Dari sela bibirnya
meleleh darah. Nyi
Lara cepat mendatangi Wiro, melihat hal ini si gendut Bujang Gila mencibir.
"Patik cemburu... Patik cemburu!" katanya berulang kali lalu tertawa mengekeh
dan bangkit berdiri
sambil pegangi perut gendutnya.
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
39 "Pendekar 212, Wiro..." Nyi Lara hendak memegang bahu Wiro, bahkan saat itu
hendak memeluk sang pendekar. Tapi dia sadar dan segera membatalkan niat itu.
Wiro buka sepasang matanya. "Saya tak apa-apa. Sebaiknya Nyi Lara kembali ke
dalam gedung.

Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semuanya telah berakhir, tapi hal tak terduga bisa saja terjadi..."
Nyi Lara mengangguk. Karena tak tahu mau berkata apa lagi dia kembali ke serambi
gedung. Di bagian lain dari halaman gedung, puluhan prajurit Kadipaten Salatiga
mengelilingi Adipati mereka yang
saat itu tergeletak di tanah. Tangan kanannya menghitam seperti hangus.
Sebaliknya tangan kiri putih
memucat. Kedua tangan itu sama-sama mengepulkan asap. Yang kanan mengepulkan
asap panas, yang
kiri asap berhawa dingin. Dari mulut Jatilegowo keluar erang tak berkeputusan.
Dua matanya terpentang
lebar seperti orang siap sekarat. Di dalam tubuhnya, aliran darahnya berkecamuk
aneh. Ada hawa panas
dan hawa dingin membuatnya seolah disayat-sayat dari kepala sampai ke kaki.
Darah berlelehan dari
mulutnya. Mukanya yang garang sangat tampak mengerikan, apa lagi tanpa hidung
dan hidung yang ada
kini melekat di kening.
"Aku... aku perintahkan kembali... kembali ke Salatiga..." Ucapan itu keluar
tersendat-sendat dari
mulut Jatilegowo. Adipati ini kemudian minta tolong dipapah bangun. Begitu
berdiri, matanya mencorong
beringas. Pandangannya garang menerpa Nyi Lara, Pendekar 212 dan Bujang Gila
Tapak Sakti. "Orang-orang Temanggung. Ingat baik-baik! Aku akan kembali untuk membuat
perhitungan dengan
kalian!" Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak. Sambil menunjuk-nunjuk pada
Jatilegowo dia berkata.
"Cara perhitungan itu bagaimana" Satu ditambah satu sama dengan dua atau..."
"Sobatku Bujang Gila!" Pendekar 212 Wiro Sableng memotong. "Aku rasa dia tak
mungkin lagi berhitung satu tambah satu sama dengan dua. Tapi kini menurut dia pasti satu
tambah satu sama dengan
dua setengah! Ha... ha... ha!"
Rahang Adipati Jatilegowo menggembung. Tubuhnya terbakar oleh amarah dan dendam
kesumat luar biasa. "Aku bersumpah akan membunuh kalian semua! Semua!" Lalu tubuhnya
terkulai lemah. Para
prajurit segera menggotongnya meninggalkan halaman gedung Kadipaten. Bujang Gila Tapak Sakti
lepaskan totokan di tubuh Ageng Suranyala dan perwira muda Salatiga yang tadi
dijadikannya bantalan
dudukan. Walau ada rasa dendam dan marah tapi ke dua orang ini tanpa berani
berbuat atau berucap apa
segera tinggalkan tempat itu. Tinggal kini si orang tua Tumapel Babadsara. Dia
tidak segera pergi tapi
melangkah dan memandang kian kemari seperti mencari-cari sesuatu. Bujang Gila
Tapa Sakti dekati
orang tua ini. Dari balik punggung pakaiannya dia keluarkan sebuah benda putih
yang ternyata adalah
sorban milik Tumapel Babadsara.
"Orang tua, apa kau mencari ini?" tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
Tumapel Babadsara berpaling. Melihat sorban putihnya di tangan orang segera dia
hendak mengambil, tapi Bujang Gila Tapa Sakti cepat tarik tangannya. Dia tanggalkan
kopiah butut kupluk di
kepalanya dan kenakan sorban putih.
"Kita tukaran, ya" Kau ambil peciku ini. Aku ambil sorbanmu!" kata Bujang Gila
Tapak Sakti pula.
"Aku sudah tua, jangan bergurau," kata Tumapel Babadsara pula.
"Sudah tua... sudah tua. Aku lebih tua darimu, tahu! Kau pantas memanggil
Kangmas padaku! Ha...
ha... ha!"
"Kembalikan sorbanku," pinta Tumapel Babadsara.
Bujang Gila Tapak Sakti ambil sorban di atas kepalanya. Sorban itu diulurkannya,
ketika si orang tua
hendak mengambil, Bujang Gila tarik tangannya lalu tertawa gelak-gelak. "Aku
akan kembalikan
sorbanmu, tapi kau harus mau meluluskan satu permintaanku..."
"Permintaan apa?" tanya Tumapel Babadsara dengan perasaan jengkel.
"Kau harus menikahkan aku dengan Nyi Lara!"
Si orang tua tercengang, memandang ke arah Nyi Lara di serambi gedung Kadipaten
yang jadi terkejut pula mendengar kata-kata si gendut itu. Pendekar 212 sendiri ikut
melengak. Dia ulurkan tangan
kiri. Telapak tangan diletakkan di atas kening si gendut lalu sambil tersenyum
dia berkata, "Panas, pantas
sintingnya angot lagi! Ha... ha... ha! Kek, kalau kau nanti menemukan kerbau
bunting, kau boleh
menikahkan sobatku ini dengan kerbau itu. Ha... ha... ha!"
"Kalian berdua sama sablengnya!" Tumapel Babadsara memaki marah lalu dengan
kesal dia memutar tubuh tinggalkan tempat itu.
"Hai! Kek! Sorbanmu!" teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Tumapel Babadsara tidak menjawab, berpalingpun tidak. Dia melangkah terus ke
arah kudanya. Bujang Gila Tapak Sakti geleng-geleng kepala. "Sudah tua masih gede ambegnya,"
katanya. Lalu tangannya bergerak melemparkan sorban. Sorban putih itu melesat berputar-putar
di udara lalu melayang
turun dan tepat jatuh di atas kepala Tumapel Babadsara!
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
40 12 SIANG itu Gunung Lompobatang diselimuti mendung tebal. Tapi hujan tak kunjung
turun dan sang surya
tidak muncul menampakkan diri. Orang tua bernama Sarontang duduk tak bergerak di
tebing batu. Mata
terpentang, telinga dipasang. Dia sudah menangkap suara ladam kaki-kaki kuda di
kejauhan. Hatinya
lega. Orang yang ditunggu tak lama lagi akan segera datang. Perlahan-lahan
Sarontang pejamkan mata.
Tangan kanan mengusap-usap tali berbentuk jalin yang melilit keningnya.
Tak selang berapa lama dua penunggang kuda muncul di tebing batu itu. Di sebelah
depan seorang pemuda berpakaian dan berdestar biru, di sebelah belakang seorang lelaki tinggi
besar yang bukan lain
adalah Jatilegowo, Adipati Salatiga. Dia mengenakan kain kepala warna merah yang
menutup sampai di
kening. Si pemuda segera turun dari kudanya menemui Sarontang.
"Kakek," pemuda berbaju biru berkata. "Saya membawa orang jemputan dari tanah
Jawa yang berlabuh di Teluk Bantaeng."
Tanpa membuka matanya Sarontang berkata. "Kekasihku Bontolebang, kau telah
melaksanakan tugas dengan baik. Kau boleh pergi. Tunggu aku di Gua Nipanipa."
Si pemuda berpaling pada orang yang dibawanya ke tempat itu, lalu naik ke atas
kuda. Jatilegowo
hendak menanyakan sesuatu tapi Bontolebang sudah berlalu. Perlahan-lahan Adipati
Salatiga ini turun
dari kudanya. Dia berdiri di hadapan si orang tua dan berucap.
"Saya Jatilegowo, Adipati Salatiga Tanah Jawa. Apakah saya berhadapan dengan
kakek sakti bernama Sarontang?"
"Benar sekali. Tamu yang telah lama ditunggu dan datang dari jauh. Aku adalah
Sarontang."
Perlahan-lahan Sarontang membuka ke dua matanya yang sejak tadi terpejam. Mata
itu mendadak membesar, kening mengerenyit dan mulut ternganga terkesiap.
"Wajahmu tidak seperti yang kulihat dalam mimpi sambung rasa. Hidungmu...
Jatilegowo, apa yang
terjadi dengan hidungmu?"
Jatilegowo mengusap hidungnya yang licin gerumpung. "Seorang pendekar gila Tanah
Jawa tapi berkepandaian tinggi mencelakai saya. Hidung saya dipindahkannya ke kening."
Habis berkata begitu
Jatilegowo membuka kain ikatan kepalanya.
Kembali mata Sarontang membesar dan kening mengerenyit ketika melihat di kening
tamunya memang menempel daging berbentuk hidung.
"Tidak pernah aku mendengar, apa lagi melihat ilmu kesaktian aneh yang bisa
memindah bagian
tubuh manusia ke tempat lain seperti ini. Jatilegowo, siapa pendekar
berkepandaian tinggi yang kau
maksudkan itu?"
"Namanya Wiro Sableng. Dia bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212."
Sarontang terlonjak kaget. Dia bangkit berdiri dan tegak berhadap-hadapan dengan
Jatilegowo. "Aku
tidak mengira kalau pendekar itu yang melakukan. Kau akan mengalami kesulitan
seumur hidup jika dia
yang kau jadikan lawan. Aku pernah mendengar kehebatan pemuda itu dari para
pelaut Mengkasar yang
sering pergi ke Tanah Jawa."
"Orang tua, saya kecewa mendengar kata-katamu," ujar Jatilegowo pula. "Jauh-jauh
saya menyeberang lautan. Datang ke Tanah Makasar, Tanah Bugis yang katanya gudang
orang pandai, gudang segala macam ilmu. Ki Sulung Kertogomo, orang yang memberi petunjuk
begitu yakin bahwa kau
akan mampu menolong saya. Tapi barusan mendengar ucapanmu, saya jadi punya
dugaan bahwa nama
Pendekar 2t2 Wiro Sableng menggetarkan hatimu. Apakah juga menggetarkan Tanah
Makasar?" Sarontang tersenyum. "Jatilegowo. Orang pandai ada dimana-mana. Setiap ada yang
hebat, ada yang lebih hebat. Begitu seterusnya. Aku tidak malu mengatakan bahwa di negeri
ini ilmu kepandaianku
tidak seberapa dibanding dengan para tokoh lainnya. Tapi itu bukan berarti aku
tidak bisa menolongmu.
Selain itu, ada seorang lain yang bakal membantumu."
Jatilegowo terdiam sebentar. Lalu berkata. "Perihal senjata badik yang saya
inginkan itu, apakah
saya akan mendapatkannya?"
"Senjata itu telah disiapkan. Kau akan mendapatkannya. Aku akan mengantarkanmu
pada orang sakti yang membuatnya..."
"Apakah senjata itu akan memberi kekebalan pada saya seperti yang diterangkan
oleh Ki Sulung Kertogomo?"
Sarontang mengangguk. "Apa yang kau minta akan terpenuhi. Tapi ada satu hal
harus kau ingat.
Pemberian badik itu adalah merupakan satu perjanjian. Perjanjian antara kau
dengan aku. Lalu pemberian
badik itu juga merupakan satu persumpahan. Persumpahan antara kau dengan orang
yang memberikan.
Badik itu adalah Badik Sumpah Darah..."
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
41 "Apapun perjanjian dan sumpah yang perlu saya angkat, akan saya lakukan." Jawab
Jatilegowo. "Satu hal ingin saya tanyakan. Apakah orang sakti pembuat Badik Sumpah Darah itu
mampu mengangkat
hidung di kening saya, mengembalikannya ke tempat semula?"
"Aku tidak bisa menjawab. Kau bisa tanyakan langsung nanti pada orang pandai
itu." "Siapa orang pandai itu. Dimana dia sekarang?" tanya Jatilegowo.
"Namanya Daeng Wattansoppeng. Dia adalah saudaraku sendiri. Dia diam di Telaga
Malakaji, di kaki
selatan Gunung Lompobatang ini..."
"Kapan saya bisa menemuinya?"
"Dalam satu dua hari ini kita akan turun gunung. Aku akan membawamu padanya..."
"Mengapa tidak berangkat sekarang saja" Saya tak bisa meninggalkan Tanah Jawa
terlalu lama."
"Kalau menurut keinginanku, akupun mau cepat-cepat berada di tanah Jawa. Apakah
Patih Kerajaan Selo Kaliangan masih terbaring sakit?"
"Bagaimana kau tahu sakitnya Patih Kerajaan?" balik bertanya Jatilegowo.
"Itulah alam terkembang. Berita baik berita buruk dilayangkan angin kemana-
mana..." jawab
Sarontang sambil tersenyum.
"Orang tua, jadi kita tak bisa berangkat sekarang?" Jatilegowo mendesak.
"Segala sesuatunya telah diatur. Kita harus melakukan sesuatu ketentuan. Tidak
lebih tidak kurang.
Harap kau bisa bersabar. Aku akan memberi makan anak-anak di Hutan Bantaeng
terlebih dulu..."
Jatilegowo tak sempat bertanya. Sarontang gerakkan tangan kiri kanan mengambil
batu-batu yang bertumpukan di sampingnya lalu dilemparkan ke udara ke arah serombongan burung-
burung besar yang
melayang tepat di atas puncak Gunung Lompobatang. Terdengar suara menguik tak
berkeputusan. Jatilegowo mendongak ke langit. Dia menyaksikan bagaimana puluhan burung besar
dihantam lemparan
batu, lalu melayang jatuh ke kaki gunung. Di kaki gunung yang diselimuti rimba
belantara itu kemudian
terdengar suara lolongan aneh. Seperti raungan binatang dan pekik jerit manusia.
Kalau sebelumnya
Jatilegowo merasa kagum akan kehebatan si orang tua, kini diam-diam tengkuknya
terasa dingin. Mulutnya tak bisa menahan untuk bertanya.
"Orang tua, siapa yang kau maksudkan dengan anak-anak di Hutan Bantaeng itu.
Saya mendengar suara lolongan. suara pekik jerit aneh di bawah sana..."
Sarontang usap rambut birunya yang berminyak lalu tersenyum. "Satu ketika, jika
kau ada kesempatan kau akan melihat mereka. Mereka adalah anak-anak yang aku bawa dari
Tanah Jawa, anak-
anak yang aku lindungi dan sebaliknya mengawal diriku siang malam."
Jatilegowo merasa heran mendengar ucapan Sarontang. Lalu dia ingat sesuatu.
"Masih ada satu hal
yang ingin saya tanyakan," katanya. Si orang tua tersenyum dan anggukkan kepala.
"Ketika saya sampai
di sini, kau memanggil pemuda bernama Bontolebang yang menjemput saya di teluk
dan mengantar saya
ke sini dengan sebutan kekasihku. Saya tidak mengerti."
Sarontang tertawa perlahan. Dia usap-usap dua tangannya. "Kelak kau akan
mengerti." Lalu
Sarontang duduk bersila di tebing batu. Dia menatap lekat-lekat ke wajah
Jatilegowo lalu berucap.
"Sekarang aku harap kau menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhmu."


Wiro Sableng 126 Badik Sumpah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terkejutlah Adipati Salatiga ini mendengar kata-kata si orang tua. "Orang tua,
apa saya tidak salah
mendengar?"
"Kau tidak salah mendengar, aku tidak salah berucap Tanggalkan semua pakaianmu.
Kalau sudah berbaring di atas pangkuanku."
Jatilegowo balas menatap si orang tua. "Kau tidak bergurau, tidak main-main...?"
"Aku tidak bergurau, juga tidak main-main," jawab Sarontang.
"Untuk apa aku harus membuka pakaian dan berbaring di pangkuanmu?"
Sarontang mendongak lalu tertawa panjang. "Itu adalah salah satu dari perjanjian
yang harus kau lakukan demi mendapatkan Badik Sumpah Darah!"
"Gila!" rutuk Jatilegowo dalam hati. "Perjanjian aneh. Sebelumnya kau tidak
menerangkan, tidak
mengatakan janji itu..."
"Perjanjian aku yang membuat. Aku hanya akan memberitahu dan mengucapkan. Kau
hanya tinggal melaksanakan. Itu ketentuan dan aturan yang berlaku. Semua apa yang aku katakan
tidak sulit untuk
melakukan. Apa susahnya membuka pakaian. Bukankah begitu?"
"Aneh, manusia aneh!" kata Jatilegowo dalam hati. Namun saat itu keanehan juga
telah menyungkupi
dirinya. Semakin lama dia menatap wajah orang tua yang duduk bersila di
hadapannya, semakin bergetar
hatinya. Lalu Jatilegowo mengusap matanya sampai berulang kali. Wajah tua itu
mendadak berubah
menjadi wajah seorang perempuan muda berparas jelita. Mirip-mirip paras Nyi
Larasati yang digilainya.
Sarontang tersenyum.
Entah sadar entah tidak Jatilegowo balas tersenyum. Lalu perlahan-lahan
tangannya bergerak
membuka pakaiannya. Di kejauhan terdengar suara lolongan aneh. Di balik sebuah
batu besar seorang
pemuda memperhatikan apa yang terjadi. Pemuda ini adalah Bontolebang, sang
kekasih Sarontang yang
Wiro Sableng - Badik Sumpah Darah
42 rupanya tidak segera meninggalkan tempat itu, tapi bersembunyi di balik batu
besar dan mengintai.
Dalam hati Bontolebang berkata. "Lima tahun aku menunggu untuk mendapatkan ilmu
yang dijanjikan. Orang asing berwajah aneh itu agaknya akan mendapatkan apa yang
dimintanya lebih cepat
dari diriku. Pak Tua Sorentang berlaku licik padaku. Aku harus melakukan
sesuatu. Aku harus menemui
Kakek Daeng Wattansopeng. Badik Sumpah Darah itu harus jadi milikku!"
Bontolebang tinggalkan tempat persembunyian, berlari cepat ke tempat dimana dia
meninggalkan kudanya. TAMAT Episode Berikutnya
MAYAT PERSEMBAHAN
Seruling Samber Nyawa 13 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Panji Sakti 1
^