Pencarian

Kematian Kedua 1

Wiro Sableng 141 Kematian Kedua Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG KEMATIAN KEDUA e-book oleh: kiageng80
sumber cover: kelapalima
sumber kitab: pendekar212
WIRO SABLENG 1 KEMATIAN KEDUA ENGAN mengubah diri menjadi asap,
Bunga si gadis alam roh, berhasil menye-
Dlinap masuk ke dalam bukit batu markas
barisan manusia pocong lewat sebuah celah seha-
lus rambut. Suara genta mendadak menggema mengguncang seantero tempat. Menyadari
bahwa kemunculannya telah diketahui penghuni 113
Lorong Kematian, dia harus bertindak cepat. Bau setanggi mendadak memenuhi
ruangan. Lalu satu suara halus mengiang di telinga Bunga.
"Roh dari alam gaib. Kau datang membawa
bencana. Terima kematianmu sebelum kau me-
nimbulkan malapetaka!"
Bunga tidak tinggal diam. Dia segera menyahuti suara yang datang dari jauh itu.
"Bencana ada dalam hatimu. Malapetaka ada dalam benakmu! Aku datang membawa
kebaikan. Aku akan bertindak sebagai juru nikahmu. Untuk melepas kau agar bisa kembali
bebas ke alam asal.
Dunia bukan tempat tinggalmu. Di dalam lorong ada manusia jahat memperalat
dirimu!" "Ahai! Pandai sekali kau mengeluarkan ucapan.
Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai! Aku mau lihat apakah kau masih bisa berkata-kata
sesudah aku menjatuh-
kan kematian kedua padamu!"
Bunga terkesiap mendengar ucapan dari keja-
uhan itu. Bukan perihal kematian kedua atas dirinya, tapi kata-kata menyangkut
diri Yang Mulia. "Apakah mahluk bernama Sang Ratu itu telah bercinta dengan
Ketua Barisan Manusia Pocong" Apakah Sang Ketua telah menggauli dirinya" Celaka
kalau hal itu sampai terjadi!
Berarti dia telah menguasai ilmu kesaktian luar biasa dahsyatnya!"
Bunga tak sempat berpikir lebih jauh. Dari arah lorong di depannya bertiup
serangkum angin.
Menyusul muncul cahaya kuning menggidikkan.
Bunga cepat rapatkan dua telapak tangan di atas kepala. Mulut terkancing rapat,
Sepasang mata menatap tajam ke arah cahaya kuning yang da-
tang menyambar. "Roh alam gaib, aku mewakili semua roh dari alammu. Berikan
seluruh kekua- tan dan kesaktianmu padaku! Hancurkan pintu itu!"
Bunga gerakkan tangan kanan ke depan.
Sejenis bubuk menebar di udara. Bau harum setanggi semakin santar di tempat itu.
Dari jauh mendadak terdengar suara pekikan.
Sosok bunga laksana kilat berubah menjadi asap dan melesat ke atas. Di ujung
lorong kemu- dian terdengar satu teriakan keras.
"Jangan! Aahh!"
Ada satu kekuatan berusaha mencegah tapi
terlambat. Cahaya kuning berkiblat. Cahaya maut yang seharusnya menghantam
Bunga, lolos lalu melabrak dinding batu. Tebaran setanggi yang me-
layang di udara berubah menjadi percikan bunga api terang benderang.
Bumm! Byaarr! Satu letusan keras berdentum mengguncang
bukit batu. Dinding batu di depan sana hancur berantakan. Sebuah lobang
berbentuk pintu empat persegi panjang terpentang.
Bunga kembali membentuk ujud nyatanya.
Gadis dari alam roh ini tertawa panjang lalu berseru. "Terima kasih! Kau telah
membukakan pintu untuk calon suamimu!"
Satu pekikan dahsyat dan panjang menggelegar di kejauhan. Begitu suara pekikan
sirna, tiba-tiba terdengar suara genta bergema tujuh kali ber-
turut-turut. Terguncang ke kiri dan ke kanan, Bunga lari ke arah pintu.
"Wiro, cepat!"
Di bawah sana di dasar jurang, Wiro, Gondo-
ruwo Patah Hati, Naga Kuning dan Jatilandak baru saja keluar dari dalam telaga.
Melihat Bunga muncul dan berteriak, keempatnya segera menaiki tangga batu menuju
ke atas dan sampai di satu ruangan beratap dan berdinding batu tapi berlan-
tai tanah keras. Bukan pekerjaan mudah menaiki tangga terjal itu sementara bukit
batu digoncang oleh suara genta.
"Cepat, ikuti aku!" kata Bunga begitu keempat orang tersebut sampai di
hadapannya. Di keja-
uhan genta terdengar berdentang lagi tujuh kali berturut-turut. Kawasan 113
Lorong Kematian seperti diguncang gempa. Ada kekuatan dahsyat ingin melampiaskan
kemarahannya. Bahaya besar mengancam Bunga dan empat orang yang telah menerobos
masuk ke dalam bukit batu di mana terletak 113 Lorong Kematian, markas barisan
manusia pocong.
Masuk sejauh belasan tombak menyelusuri
lorong yang masih harum oleh bau setanggi, di kiri kanan muncul dua cabang
lorong. Wiro dan Naga Kuning yang berada di sebelah depan tahan lari masing-
masing. "Lurus!" teriak Bunga yang berada di belakang Naga Kuning.
Wiro dan Naga Kuning, diikuti Gondoruwo
Patah Hati dan Jatilandak segera menggebrak lurus ke depam. Baru bergerak
sepuluh langkah tiba-tiba dari arah berlawanan terdengar suara menderu dahsyat
disusul kiblatnya cahaya kuning datang menyapu.
"Awas!" seru Pendekar 212.
"Jatuhkan diri ke tanah!" teriak Bunga. Sebe-
lumnya dia telah melihat keganasan cahaya kuning itu. Dia khawatir tak
seorangpun akan sanggup menghadapinya. Karena itu dia memperi-
ngatkan agar semua orang jatuhkan diri ke lantai lorong. Bunga sendiri sehabis
berteriak melesat ke atas, tempelkan tubuh sama rata dengan atap lorong.
Wuuuttt! Wussss!
Ketika cahaya kuning menderu di atas pung-
gung mereka, Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning, dan Jatilandak merasa
seperti disambar api. Untuk beberapa lamanya mereka hanya
mampu menelungkup di lantai lorong sebelum tersentak oleh suara benda runtuh
jauh di belakang sana. Yaitu suara hancurnya salah satu bagian dinding bukit
batu akibat hantaman cahaya kuning tadi.
"Gila! Hampir leleh tubuhku!" ucap Naga
Kuning sambil usap-usap rambutnya yang jabrik.
"Makanya anak kecil jangan berani-beranian di depan." Kata Gondoruwo Patah Hati.
"Sini, di bela-
kangku saja!" Lalu si bocah ditarik ke belakang-
nya. Naga Kuning menggerutu lalu meledek. "Bilang saja kau takut, mau dekat-dekat
aku." "Huh!" Gondoruwo Patah Hati yang sebenarnya adalah kekasih Naga Kuning
pencongkan mulut.
Seperti yang diketahui, ujud sebenarnya Naga Kuning adalah seorang kakek yang
biasa disebut dengan nama Kiai Paus Samudera Biru dan ber-
nama asli Gunung. Sementara Gondoruwo Patah Hati yang perwujudannya sehari-hari
adalah seo- rang nenek berwajah jelek dan angker sebenarnya adalah seorang perempuan cantik
bernama Ning Intan Lestari dan merupakan puteri angkat dari seorang kakek sakti
yang dianggap setengah dewa yaitu Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Ikuti aku," Bunga berkata lalu berjalan cepat mendahului di sebelah depan. Bau
setanggi masih tercium di dalam lorong. Di depan sana lorong yang mereka tempuh
bercabang ke kanan. Bunga hentikan langkah. Tangan kanan diangkat mem-
beri tanda agar semua orang berhenti. Mendadak dari balik lorong sebelah kanan
terdengar suara orang tertawa bergelak. Di lain saat muncullah sosok seorang
manusia pocong. Mahluk ini kelu-
arkan ucapan. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua seorang
yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
Semua orang hentikan langkah. Naga Kuning justru maju ke depan. Dia pelototi
sosok manusia berjubah dan bertutup kepala serba putih itu.
"Wow! Jadi ini mahluknya yang bernama
manusia pocong. Ternyata cuma seorang lelaki yang bercinta dengan Yang Mulia
Ketua. Tidak sangka kalau kau cuma budak nafsu seorang lelaki yang doyan sesama
jenis!" Habis berkata begitu Naga Kuning lalu tertawa tergelak-gelak.
Sepasang mata di balik dua lobang kecil kain penutup kepala pancarkan sinar
amarah. Tenggo-
rokan keluarkan suara menggembor. Dada meng-
gembung. "Bocah tolol, kau dan kawan-kawanmu akan mampus mengenaskan. Kau akan
kubuat paling sengsara!"
"Sombongnya!" ejek Naga Kuning lalu putar tubuh dan songgengkan pantat.
Marah sekali, manusia pocong bergerak dan tendangkan kaki kanan. Pendekar 212
Wiro Sableng yang sudah tidak sabaran cepat menarik Naga Kuning lalu melompat ke
hadapan manusia pocong. Tangan kanannya sudah dialiri tenaga dalam tinggi siap
melepas pukulan maut.
"Mahluk edan! Jangan banyak bicara di
hadapan kami! Lekas antarkan kami ke tempat kalian mengurung para tokoh dan
perempuan-perempuan hamil. Atau tubuhmu kubuat gosong saat ini juga!"
Manusia pocong sambuti ancaman Wiro dengan rangkapkan dua tangan di depan dada
lalu berkata. "Pendekar 212 Wiro Sableng! Kedatang-
anmu dan kawan-kawan memang sudah lama
ditunggu. Aku bisa saja mendapatkan pahala, menggiring kalian ke hadapan Yang
Mulia Ketua. Tapi aku ingin membuat pahala yang lebih besar!
Membunuh empat temanmu ini dan membawamu
hidup-hidup ke hadapan Yang Mulia Ketua!"
"Kalau begitu apa yang kau tunggu"!" bentak Pendekar 212 sambil perlahan-lahan
angkat tangan kanan ke atas. Sebatas siku ke bawah tangan itu telah berubah
warna menjadi putih keperakan.
"Kau hendak melepas Pukulan Sinar Matahari yang tersohor itu?" ucap manusia
pocong dengan suara mengejek.
Wiro terkesiap karena orang kenali ilmu kesak-
tiannya. "Di sini bukan tempatnya untuk mema-
merkan kehebatan. Karena kalian tak lebih dari sampah yang siap untuk digusur
dan dimasukkan ke dalam keranjang sampah!"
"Puah!" Naga Kuning semburkan ludah. Gondo-
ruwo Patah Hati dekati bocah ini, merunduk dan berbisik. "Aku seperti mengenali
suara mahluk celaka ini. Kau ingat sesuatu?"
Naga Kuning menggeleng.
Tiba-tiba manusia pocong di depan sana
berteriak. "Dengar! Kematian sudah jadi takdir kalian semua! Sebelum mati kalian harus
menyerahkan semua ilmu kepandaian kalian pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Namun
aku bisa memberikan sedikit kenyamanan pada kalian agar mampus seperti
nyenyaknya orang tidur. Syaratnya, nenek berpakaian serba hitam berambut kelabu
itu harus mau ikut aku hidup-hidup!"
Semua orang jadi terkejut mendengar ucapan manusia pocong itu. Terutama
Gondoruwo Patah Hati. Si nenek maju ke hadapan manusia pocong, memandang lekat-
lekat seolah mau menembus kain penutup kepala. Dia perhatikan sepasang mata yang
berkilat namun tetap saja dia belum dapat menduga pasti siapa adanya mahluk itu
dan mengapa justru inginkan dirinya.
"Mahluk salah urus! Kalau kau inginkan diriku katakan siapa kau sebenamya!"
hardik si nenek.
Manusia pocong jawab hardikan orang dengan tertawa panjang. "Siapa diriku itulah
yang aku tidak tahu. Tapi percayalah, kau tidak akan kecewa bila ikut bersamaku.
Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya..."
"Setan alas kentut busuk! Kalau tidak mau menerangkan diri sekarang lekas buka
topengmu!"
Laksana kilat tangan kanan Gondoruwo Patah Hati yang berkuku hitam melesat ke
atas hendak menarik lepas kain penutup kepala manusia pocong.
Manusia pocong tertawa pendek. Geser dua
kaki dan hentakkah kepala ke belakang. Sam-
baran tangan si nenek luput. Saking kesalnya Gondoruwo Patah Hati segera
menerjang. Tangan kanan yang berkuku panjang kembali berkelebat.
Kuku-kuku berwarna hitam setengah jalan ber-
ubah menjadi merah menyala. Inilah ilmu Kuku Api, salah satu dari sekian banyak
ilmu kesaktian yang dimiliki si nenek. Kali ini serangannya bukan untuk menarik
lepas kain penutup kepala, tapi membeset ke arah dada. Jika serangan ini mene-
mui sasaran, daging dan tulang dada manusia pocong bisa jebol. Bahkan jantungnya
bisa dibeset hancur atau dibetot lepas.
"Ilmu Kuku Api. Jurus Lima Cakar Langit!"
teriak manusia pocong sambil melompat mundur.
Untuk kedua kalinya dia berhasil lolos dari se-
rangan si nenek. Sebenarnya bukan kecepatan lompatan mundur ini yang
menyelamatkan diri-
nya, melainkan satu gelombang angin keras yang tiba-tiba menghantam ke arah
Gondoruwo Patah Hati. Tubuh si nenek terpental dua langkah.
Ketika berdiri sosok Gondoruwo Patah Hati masih tergontai goyang dan wajah
angkernya berubah pucat.
"Jahanam, dia mengenali ilmu kesaktian dan jurus seranganku," Gondoruwo Patah
Hati memaki dalam hati.
"Intan, kau tak apa-apa?" Tanya Naga Kuning penuh khawatir.
"Ada satu kekuatan luar biasa datang dari dalam lorong membentengi mahluk celaka
ini!" jawab Gondoruwo Patah Hati.
"Mahluk dari alam roh yang ada di dalam
lorong yang mengirimkan kekuatan gaib memban-
tu manusia pocong," kata Bunga memberi tahu.
Anggota Barisan Manusia Pocong umbar tawa lalu berkata. "Kalau sudah tahu ada
kekuatan yang tidak bisa kalian tembus, mengapa tidak segera saja bunuh diri
serahkan nyawa. Kecuali nenek satu itu! Aku tak bakal melepaskannya!"
Naga Kuning tak dapat menahan diri lagi.
Sekali tubuhnya bergerak selarik sinar biru melesat dari tangan kanannya.
Sebelum tubuhnya sampai ke hadapan manusia pocong, sinar biru itu telah
menyambar ke arah kepala orang.
"Aha! Aku sudah lama mendengar kehebatan
jurus Naga Murka Merobek Langit!" seru manusia pocong menyebut jurus serangan
yang dilancar- kan Naga Kuning. "ternyata jurus ini tidak ada apa-apanya!"
Sekali ini si manusia pocong kecele. Walau dia berhasil selamatkan diri dari
jurus Naga Murka Merobek Langit namun dia tidak mengira dan tidak melihat kalau
di saat yang sama tangan kiri Naga Kuning ikut bergerak. Sesaat tangan ini akan
mendarat di kening sebelah kanan manusia
pocong, tiba-tiba ada cahaya kuning menyambar dari ujung lorong, mengarah pada
bocah rambut jabrik itu.
Naga Kuning tidak menyangka bakal mendapat serangan begitu rupa berseru kaget,
terlambat selamatkan diri. Bunga cepat mengeruk setanggi di dalam kantong putih
di balik baju kebaya panjangnya. Secepat kilat setanggi ditebarkan ke arah
sambaran cahaya kuning.
Bummm! Taarrr... tarr!
WIRO SABLENG 2 KEMATIAN KEDUA EDAKAN dahsyat disertai letusan menebar


Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunga api memercik di udara. Tiga orang
Lberkaparan di tanah, yaitu Naga Kuning,
Bunga, dan Gondoruwo Patah Hati. Wiro jatuh terduduk sementara Jatilandak yang
berdiri agak jauh terbanting ke dinding.
Manusia pocong keluarkan tawa mengejek.
"Manusia-manusia geblek! Ajal sudah di depan mata masih saja berlaku tolol!"
Bunga dan Gondoruwo Patah Hati cepat
bergerak bangkit. Wiro menyusul dan Jatilandak menjauh dari dinding. Hanya Naga
Kuning yang masih terkapar di tanah. Namun saat itu terjadi keanehan atas
dirinya. Sosok dan wajah bocahnya telah berubah menjadi seorang kakek berjubah
biru dan berambut putih panjang menjulai. Inilah sosok asli Naga Kuning yaitu
seorang kakek usia 120 tahun. Perlahan-lahan si kakek bangkit ber-
diri lalu melangkah ke arah manusia pocong.
"Ha... ha!" seru manusia pocong. "Naga Kuning!
Rupanya kau inginkan mati dalam ujud aslimu sebagai Kiai Paus Samudera Biru! Aku
siap mem- bantumu mencari jalan ke akhirat sekarang juga!"
Sementara Naga Kuning heran mahluk di
hadapannya tahu riwayat dirinya, si manusia pocong kebutkan dua lengan jubah.
Dua larik angin keras menderu ke arah Kiai Paus Samudera Biru. Serangan ini
ternyata hanyalah satu tipuan belaka, karena begitu lawan mengelak, manusia
pocong lesatkan tubuh ke depan sambil sekaligus hantamkan jotosan tangan kanan
ke batok kepala Kiai Paus Biru. Ketika Kiai Paus Biru balas meng-
gebrak menangkis serangan lawan dengan tangan kiri sementara tangan kanan
laksana kilat menyu-
sup ke dada lawan, tiba-tiba ada kekuatan lain datang dari belakang manusia
pocong. "Kiai! Cepat menyingkir!" teriak Bunga.
Tapi terlambat. Dua lengan sudah beradu.
Manusia pocong menjerit keras dan terpental em-
pat langkah. Kiai Paus Samudera Biru mengeluh tinggi. Tubuhnya terlontar ke
belakang hampir satu tombak pertanda dia kalah tenaga luar mau-
pun tenaga dalam. Kalah kesaktian!
Gondoruwo Patah Hati berseru tegang. Tak
percaya dia kalau kekasihnya itu bisa dihantam lawan begitu rupa. Sebelum si
kakek jatuh ter-
jengkang di tanah, nenek ini cepat merangkul pinggangnya.
"Gunung..." Gondoruwo Patah Hati sebut nama asli Naga Kuning.
"Aku tidak apa-apa," ucap Kiai Paus Samudera Biru. Mukanya pucat dan ada
keringat memercik di keningnya. Dada turun naik sedang nafas menyengal. Ketika
si nenek memperhatikan lengan jubah kiri kekasihnya itu ternyata ada bagian
berwarna hitam hangus akibat benturan dengan lengan manusia pocong. Cepat-cepat
Gondoruwo Patah Hati membawa Kiai Paus Samudera Biru ke tempat yang lebih aman.
"Gunung, kau tunggu di sini. Aku akan habisi bangsat yang mencelakai dirimu
itu!" "Nek, biar aku menunggui kakek ini," kata Jatilandak.
"Hati-hati Intan. Ada kekuatan gaib dan dah-
syat yang membantu manusia pocong itu." Kiai Paus Samudera Biru mengingatkan dan
perlahan-lahan ujudnya kembali ke bentuk Naga Kuning, seorang bocah berambut
jabrik berpakaian serba hitam. Walau kini pakaiannya bukan lagi sehelai jubah,
namun pada lengan kiri baju hitam anak itu juga terlihat ada bagian yang hangus.
"Perduli setan! Akan kupecahkan kepalanyal"
jawab si nenek lalu melompat ke hadapan manu-
sia pocong. "Ah, seorang kekasih ingin menolong kekasih!
Sungguh setia dan luar biasa budimu. Sekarang kau mau memukulku" Silahkan! Aku
tidak akan melawan! Kalau kau sudah puas menghajarku aku tetap berharap bisa
dapatkan dirimu!" Manusia pocong berkata sambil maju satu langkah seolah
menyerahkan diri untuk dihantam.
Wiro dan Bunga saling pandang sesaat. Lalu murid Sinto Gendeng ini berbisik
"Bunga, ada yang tidak beres. Tidak masuk akal mahluk kepa-
rat itu mau serahkan diri dihantam begitu saja tanpa melawan. Ini satu tipuan.
Si nenek bisa terjebak mati konyol. Aku harus melakukan sesu-
atu." Wiro berkata sambil tangannya siap meng-
ambil kantong kain berisi setanggi yang diberikan Bunga.
Gadis dari alam roh ini cepat berkata. "Aku tahu apa yang ada di benakmu! Biar
aku yang mengerjakan. Kau awasi nenek itu."
Begitu selesai berucap sosok Bunga berubah menjadi seperti bayang-bayang dan
melesat ke atas melewati kepala Gondoruwo Patah Hati.
Ketika lewat di atas kepala manusia pocong, mahluk ini berusaha memukul, namun
dia seperti menghantam asap. Di lain kejap Bunga telah berada di lorong di
sebelah belakangnya. "Apa yang hendak dilakukan setan perempuan itu?"
pikir manusia pocong. Namun perhatiannya segera kembali pada Gondoruwo Patah
Hati yang kini tegak dekat sekali di hadapannya. Sesaat
padangan mata si manusia pocong mengeluarkan cahaya dan dadanya berdebar.
"Tunggu apa lagi" Kenapa tidak segera
memukul?" Ditantang begitu rupa, apalagi setelah kekasih-
nya dicederai, Gondoruwo Patah Hati keluarkan suara mendengus. Tanpa banyak
bicara lagi tangan kanan dihantamkan ke dada manusia
pocong. Tangan si nenek saat itu telah berubah biru dan keras seperti batu.
"Pukulan Batu Naroko," ucap Pendekar 212
Wiro Sableng. Dia pernah melihat orang lain mengeluarkan ilmu ini, malah
menghadapinya sendiri. Yaitu ketika terlibat dalam perkelahian hidup mati
melawan seorang pemuda bernama Damar Wulung alias Adisaka yang adalah seorang
murid Gondoruwo Patah Hati sendiri. 1 Kalau saja Wiro tidak memiliki ilmu
Pukulan Harimau Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh, dalam
kejadian itu kemungkinan sudah tamat riwayatnya. Paling tidak hancur luluh
tangan kanannya sampai ke siku. Konon Damar Wulung alias Adisaka mendapat ilmu
pukulan sakti itu dengan cara mencuri, tidak diajarkan atau diwa-
riskan oleh Gondoruwo Patah Hati. Kalau sang murid sudah demikian luar biasa
tingkat keheba-
tan dalam penggunaan ilmu pukulan sakti itu, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya
jika itu dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Dan pukulan inilah yang dihantamkan
si nenek pada manusia 1 Baca: Wiro Sableng Senandung Kematian pocong di "hadapannya.
Manusia pocong yang hendak dihajar berdiri tenang, tidak bergerak, tidak
berkesip. Ada satu keyakinan dalam dirinya bahwa pukulan lawan tidak akan
menciderainya. Malah dia ulurkan kepala sedikit dan keluarkan ucapan berbisik.
"Intan, aku tidak ingin kau celaka. Lekas tarik pulang pukulanmu!"
Si nenek heran tapi tidak perdulikan ucapan orang yang merupakan satu keanehan.
Malah dia perhebat aliran tenaga dalam ke tangan kanan.
Wuuuttt! Pukulan Batu Naroko menderu ke arah dada manusia pocong. Seperti yang diduga
Wiro dan Bunga pada saat yang bersamaan ketika tangan Gondoruwo Patah Hati mulai
bergerak, dari ujung lorong menderu angin dahsyat disertai berkiblat-
nya cahaya kuning.
Tangan kanan Bunga bergerak menebar
setanggi. Tangan kiri melempar tiga buah benda kuning yang bukan lain adalah
tiga kuntum kembang kenanga.
Bummm! Blaarr... tarr... tarr!
Seperti kejadian sebelumnya, begitu tebaran setanggi bersentuhan dengan cahaya
kuning, dentuman dahsyat menggelegar disertai kerlapan bunga api menyilaukan
mata. Dua kembang
kenanga hancur berantakan, satunya lolos dan melesat lenyap ke arah ujung
lorong. Ketika dentuman mengguncang seantero tem-
pat. Wiro cepat menarik Gondoruwo Patah Hati ke belakang sambil berbisik. "Tahan
dulu serang- anmu, nek!"
Di sebelah depan manusia pocong sesaat
terkesiap menyadari apa yang terjadi. Kekuatan gaib yang tadi membentengi dan
melipatgandakan kekuatan yang dimilikinya tidak muncul karena keburu dihadang
oleh Bunga. Saat itu, walau sanggup mementahkan kekuatan gaib yang
dahsyat, tak urung Bunga tergontai-gontai sambil pegangi dada. Walau cuma
sebentar dan kemudi-
an sirna, di sudut bibir gadis alam roh ini kelihatan cairan kental, bukan darah
merah tapi cairan berwarna biru.
Wiro tepuk bahu Gondoruwo Patah Hati dan
berkata. "Sekarang Nek!"
Gondoruwo Patah Hati berpaling pada sang
pendekar. "Sekarang?"
Wiro kedipkan mata dan anggukkan kepala. Si nenek menyeringai.
Tahu gelagat kalau dirinya bakal diserang, si manusia pocong segera mendahului.
Tangannya kiri kanan naik ka atas lalu menghantam dalam gerakan menggunting.
Yang diarah adalah batang leher si nenek. Inilah jurus serangan yang disebut
Gunting Iblis. Gondoruwo Patah Hati tertawa pendek. Lengan kiri melesat ke atas
menangkis kemplangan tangan kanan lawan. Kini kedua orang itu sama-sama
mengerahkan kehebatan ilmu milik sendiri.
Kraak! Manusia pocong menjerit keras ketika benturan dua tangan membuat tulang lengan
kanannya patah. Selain itu bentrokan yang hebat menyebab-
kan tubuhnya terputar hingga pukulan tangan kiri hanya mengenai angin. Sebelum
dia sempat berbuat sesuatu untuk selamatkan diri, Pukulan Batu Naroko sudah mendarat di
dadanya! Jeritan manusia pocong tertahan oleh darah yang menyembur keluar dari mulutnya.
Tubuh terpental ke dinding dan tertegun di sana seolah menempel. Di balik kain
penutup kepala sepasang matanya mendelik mencelet. Mulut menganga dan lidah
terjulur. Noda darah membasahi kain penu-
tup kepala dan leher pakaian sementara bagian dada jubah putihnya tampak bolong
hangus biru mengerikan. Asap mengepul dari dada yang kena hantaman Pukulan Batu
Naroko. Di kejauhan suara genta menggema bertalu-
talu disertai suara aneh seperti raungan anjing di malam buta. Lorong batu
bergetar hebat. Manusia pocong batuk-batuk beberapa kali lalu jatuh
tergelimpang. Ketika tubuhnya tertelungkup di tanah, bagian punggungnya
kelihatan bolong.
Ternyata Pukulan Batu Naroko tembus dari dada sampai ke punggung!
Naga Kuning tinggalkan Jatilandak yang
menungguinya. Melompat ke arah sosok manusia pocong. Dengan kaki kirinya dia
balikkan tubuh tanpa nyawa yang tertelungkup itu. Lalu ditarik-
nya kain putih yang menutupi kepala.
Begitu kepala dan wajah tersingkap, walau mata mencelet dan lidah terjulur,
siapa dirinya masih bisa dikenali. Gondoruwo Patah Hati tersurut dua langkah.
Wiro dan Naga Kuning sama-sama keluarkan suara tercekat. Manusia pocong ternyata
adalah seorang kakek berambut, berkumis, dan berjanggut putih. Diduga sudah jadi
mayat ternyata megap-megap masih hidup.
Malah masih bisa keluarkan ucapan walau
terpatah-patah dan kelu.
"Intan, aku ber... bahagia mati di tangan... mu.
Sam... pai ka... panpun aku tetap men... cintaimu.
Ak... aku akan me... nunggumu di pintu akhirat..."
"Manusia keparat! Kalau kau mau ke akhirat silahkan jalan duluan!" Makian keras
keluar dari mulut Naga Kuning. Marah sekali, bocah ini tendang kepala manusia
pocong hingga remuk dan tubuhnya mental menghantam dinding lorong lalu terkapar
di tanah. Kini nyawanya benar-benar putus sudah!
Bunga yang telah pulih keadaannya dekati Wiro dan berbisik. "Siapa adanya
manusia pocong itu?"
"Namanya Rana Suwarte. Dia pernah jadi kaki tangan Kerajaan yang hendak
menangkap diriku.
Setahuku di masa muda dia tergila-gila pada si nenek. Tapi kalah saing dengan
bocah konyol berambut jabrik itu. Antara mereka sampai pernah terjadi
perkelahian. Rana Suwarte menghindar ketika tahu siapa adanya Naga Kuning. Dia
menyadari ilmu kesaktiannya tak akan mampu menghadapi bocah itu. Tadi dia berani
menantang karena ada kekuatan sakti luar biasa yang meno-
longnya. Kalau kau tidak menghadang kekuatan itu niscaya si nenek tamat
riwayatnya. Paling tidak celaka berat."
"Heran," Jatilandak berkata sambil melihat ke arah mayat Rana Suwarte. "Jika dia
seorang tokoh rimba persilatan, apa lagi alat Kerajaan, mengapa sampai jadi
anggota barisan manusia pocong?"
"Mungkin dia mendapat imbalan besar. Mung-
kin juga merupakan salah satu korban penculi-
kan. Yang jelas aku merasa otaknya tidak bekerja wajar." Menjawab Bunga. Gadis
dari alam roh ini menarik nafas dalam. "Masalah cinta tak pernah habis-habisnya
di dunia ini. Membuat banyak manusia menemui ajal dalam penasaran bahkan
kesesatan." Gadis dari alam roh itu berucap per-
lahan. Dia ingat akan nasib dirinya yang berkena-
an seperti itu, mati dibunuh karena cinta sesat. 2
"Wiro, kita harus segera keluar dari sini. Kita 2 Baca: Wiro Sableng Dewi "Bunga Mayat
harus menemui calon istrimu."
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu...?" ucap Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Bunga tersenyum lalu mengangguk. "Ikuti
aku," katanya dan siap memimpin rombongan itu masuk makin jauh ke dalam perut
bukit markas Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.
Namun Jatilandak mendahului.
"Biar aku yang di depan," kata pemuda berkulit kuning kepala botak dari negeri
1200 silam itu.
Sebelum Bunga membantah, pemuda itu lalu
goyangkan tubuh. Asap mengepul. Serta merta ujudnya berubah menjadi sosok seekor
landak besar. Namun sewaktu bicara suaranya tetap seperti manusia.
"Aku tidak merendahkan kemampuan para
sahabat di sini, termasuk Bunga. Namun dengan ujud seperti ini aku memiliki
penciuman dan pendengaran lebih tajam dari kalian." Jatilandak lalu berlari
cepat di sepanjang lorong.
Wiro pandangi sosok Jatilandak. sebenarnya dia ingin sekali bertanya pada pemuda
ini di mana beradanya Bidadari Angin Timur. Namun karena masih ada ganjalan dia
memutuskan untuk tidak melakukan hal itu. Seperti diketahui antara Pendekar 212,
Jatilandak, dan Bidadari Angin Timur telah terjadi satu ganjalan besar. Dimulai
ketika Wiro memergoki Bidadari Angin Timur dianggapnya bermesraan dengan
Jatilandak. 3 3 Baca: Wiro Sableng Bendera Darah"WIRO SABLENG
3 KEMATIAN KEDUA UANG Bendera Darah di dalam 113 Lorong
Kematian. Sebuah bendera besar berlumur
Rdarah setengah kering menancap di dinding batu. Inilah bendera yang merupakan
salah satu benda sakral milik Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian, disebut Induk Bendera Darah.
Bau amis darah yang menebar dari bendera besar ini tidak mampu ditindih oleh bau
kemenyan dari pendupaan yang terletak di empat sudut ruangan.
Di kursi batu di tengah ruangan duduk satu sosok tinggi besar, kepala tegak,
sepasang mata di balik kain penutup kepala putih menatap tak berkesip ke arah
dinding di depannya di mana terdapat sebuah pintu rahasia. Tanpa berpaling pada
manusia pocong yang berdiri tak bergerak di sampingnya, yang juga memiliki
perawakan tinggi kokoh, orang yang duduk di atas kursi batu berkata.
"Wakil Ketua, anak buahmu bekerja lambat!
Kalau mereka datang apa aku perlu mengepruk kepala mereka sampai hancur?"
"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Salah
seorang dari mereka baru saja melakukan tugas pengintaian..."
"Tugas pegintaian" Kita sudah tahu siapa saja yang berhasil menyelinap masuk ke
dalam lewat telaga di dasar jurang lalu masuk ke bagian belakang lorong lewat
tangga seratus undak! Kau memberi tahu telah menyiapkan sambutan hingga semua
akan berlangsung sesuai rencana. Menurut keteranganmu mereka adalah Pendekar
212, seorang nenek berpakaian hitam, lalu seorang bocah lelaki berambut jabrik, dan
seekor landak besar! Aku mengharapkan Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur muncul bersama mereka.
Ternyata tidak! Padahal aku ingin dua gadis cantik itu dapat kau ringkus lalu
ikut menyaksikan kematian Pendekar 212! Mengapa masih ada yang diberi tugas


Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengintai?"
"Yang Mulia Ketua, keadaan mendadak
berubah..."
"Apa maksudmu?" Tanya Yang Mulia Ketua
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.
"Seperti rencana, kita ingin menjebak mereka masuk lewat pintu lorong sebelah
depan. Ternyata mereka bisa tembus lewat jalan rahasia di bukit sebelah
belakang."
"Aku tidak perduli mereka mau masuk dari
mana. Yang penting sekarang mereka sudah ma-
suk ke dalam lorong kematian dan bakal menemui ajal mengenaskan di tempat ini!
Dan Partai Bendera Darah akan menjadi satu-satunya partai yang berkuasa di rimba
persilatan negeri ini!"
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong
membungkuk dalam-dalam. "Hanya perintah yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!" Manusia pocong ini membungkuk sekali lagi lalu teruskan
ucapannya. "Namun Yang Mulia, perlu saya
beritahu. Keadaan berubah. Ada sesuatu yang tidak terduga. Pendekar 212 dan
kawan-kawannya masuk ke dalam lorong ditemani seorang mahluk aneh."
"Jangankan satu orang, seribu mahluk aneh akan menemui ajalnya di dalam lorong
ini! Apa yang kau takutkan?"
"Saya bukannya takut Yang Mulia..."
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian angkat tangan kirinya. "Ada yang datang," katanya. Lalu dia
menekan sebuah tonjo-
lan batu di ujung lengan kanan kursi batu yang didudukinya. Terdengar suara
desiran halus. Secara aneh bagian dinding di seberang sana ber-
gerak turun ke bawah membentuk sebuah pintu besar. Seorang Satria Pocong berdiri
di ambang pintu, memanggul sosok seorang manusia pocong.
"Lemparkan orang itu dan pergi dari sini!"
Satria Pocong segera lakukan apa yang diperin-
tahkan Yang Mulia Ketua. Orang yang dipanggul dilempar ke dalam Ruang Bendera
Darah, meng- gelinding di lantai dan berhenti tepat di depan kursi batu. Dinding yang tadi
turun kini bergerak naik kembali.
"Buka kain penutup kepalanya!"
Wakil Ketua dekati sosok manusia pocong lalu tarik lepas kain putih yang
menutupi kepalanya.
Kelihatan satu wajah tua dengan rambut, kumis, dan janggut putih menjulai dada.
Dua mata dalam keadaan terpejam.
"Tua bangka konyol! Jangan berpura-pura
tidur!" Yang Mulia Ketua memaki marah. Bangkit dari kursinya lalu tendang tubuh
orang tua itu hingga mencelat, terduduk di lantai tersandar ke dinding. Sesaat
sepasang mata masih terpejam.
Lalu mulut terbuka menguap lebar.
"Aahhhh. Enak-enak tidur, siapa yang memba-
ngunkan" Padahal baru mimpi mau menunggangi perempuan cantik. Ha... ha... ha!
Eh, masih malam atau sudah siang?" Orang tua itu meng-
geliat dan jilat-jilat bibirnya sendiri dengan ujung lidah.
Plaakk! Plaaakk!
Dua tamparan Yang Mulia Ketua mendarat di pipi kiri kanan si orang tua itu
hingga tubuhnya terguncang dan melosoh ke lantai.
"Bukannya diberi tuak malah dihajar dengan tamparan. Mana bumbung tuakku..."
Wakil Ketua jambak rambut putih orang tua itu hingga kembali terduduk di lantai.
Pipi kirinya kelihatan bengkak akibat tamparan. Di sudut bibir sebelah kanan ada
lelehan darah. "Dewa Tuak! Kau harus menjawab pertanyaan Yang Mulia Ketua! Setelah itu nyawamu
tak ada artinya lagi!"
Tanpa membuka mata si kakek yang adalah
Dewa Tuak sahuti ucapan orang. "Bagaimana kalau aku mati dulu baru menjawab
pertanyaan"
Ha... ha... ha!"
"Tua bangka jahanam! Kau minta mampus
lebih cepat!" Teriak Wakil Ketua. Kaki kanannya diangkat. Siap ditendangkan ke
kepala Dewa Tuak dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Yang Mulia Ketua angkat tangan kiri memberi isyarat agar wakilnya tidak segera
membunuh kakek itu.
Perlahan-lahan Dewa Tuak buka kedua
matanya. Sesaat dia menatap ke arah depan ke arah Yang Mulia Ketua, lalu
pejamkan mata kembali. Dua tangan diangkat ke depan mulut, kepala didongakkan.
Lalu, glukk... glukkk... glukk, tenggorokannya turun naik dan keluarkan suara
seperti orang sungguhan minum tuak yang meng-
ucur dari bumbung.
Kali ini Wakil Ketua tidak dapat lagi menahan kesabarannya.
"Tua bangka setan alas! Berani berlaku kurang ajar di hadapan Yang Mulia Ketua!"
Plaakkk! Tamparan Wakil Ketua ke muka Dewa Tuak
membuat orang tua ini terjerembab ke lantai tapi cepat dijambak kembali dan
disandarkan ke dinding. Darah meleleh dari sudut bibir kiri kanan. Tak kelihatan
ringis kesakitan. Dewa Tuak perlahan-lahan buka lagi dua matanya. Meman-
dang berkeliling.
"He... he. Berada di mana aku ini" Ada bendera besar, ada dua manusia pocong,
bau kemenyan, bau anyir... Huek! Kuburan" Neraka atau kawasan comberan?"
Di balik kain penutup kepala, rahang Yang Mulia Ketua menggembung. Tangan
mengepal kencang. Saat itu ingin sekali dia memukul pecah batok kepala si kakek.
"Dewa Tuak, katakan di mana kau menyembu-
nyikan gadis yang bernama Anggini, muridmu itu!"
Dewa Tuak menatap sosok Yang Mulia Ketua.
Lalu menguap lebar-lebar. "Ngantuk. Aku masih ngantuk. Disuguhi pertanyaan.
Pertanyaan itu lagi! Itu lagi!" Dewa Tuak lalu jilat lelehan darah di sudut
bibirnya. "Aku sudah bilang aku tidak punya murid. Anggini... Huh, siapa dia"
Tikus atau meong...?"
Sang Ketua berpaling kepada wakilnya lalu bertanya. "Aku melihat keanehan. Dia
masih ingat pada tuak minuman kesayangannya. Apakah
minuman pencuci otak yang kita cekoki itu benar-benar telah berhasil memusnahkan
ingatan dan daya pikirnya?"
"Saya rasa begitu," jawab Wakil Ketua. "Saya menyuruh orang memberinya tambah
dua cangkir lagi. Enam cangkir semuanya."
"Kalau begitu tak ada guna ditanyai lagi. Bawa dia ke halaman Rumah Tanpa Dosa
sekarang juga. Minta Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu
kesaktiannya sebelum Pendekar 212 dan penyusup lainnya masuk lebih jauh di dalam
lorong! Anggota kita saat ini hanya tinggal empat orang. Satu-satunya andalan
kita adalah Yang Mulia Sri Paduka Ratu, mahluk sakti pemilik nyawa kedua dengan
selangit ilmu kesaktian."
Wakil Ketua membungkuk, tidak mengeluarkan ucapan apa-apa. Karena dalam benaknya
sendiri saat itu ada satu pikiran lain.
Yang Mulia Ketua melangkah ke kursi batu di tengah ruangan. Jari tangan menekan
tonjolan batu di lengan kursi. Dinding batu bergerak turun ke bawah.
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!" Wakil Ketua berucap, lalu menyarungkan kain putih
ke kepala Dewa Tuak lalu membawa kakek itu keluar dari Ruang
Bendera Darah. Lewat sebuah pintu rahasia lain-
nya yang tembus ke sebuah lorong di mana
terdapat beberapa buah kamar. Yang Mulia Ketua tinggalkan Ruang Bendera Darah.
Di dalam kamar, di atas sebuah ranjang telah menunggu seorang perempuan muda dalam
keadaan hamil hampir delapan bulan. Begitu melihat kemunculan Yang Mulia Ketua
perempuan ini segera turun dari atas ranjang, bungkukkan badan seraya berkata.
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!"
Habis berkata begitu perempuan hamil itu
tanggalkan seluruh pakaiannya lalu naik kembali ke atas ranjang. Dua tangan
direntang ke atas, dua kaki direnggang.
Yang Mulia Ketua tanggalkan kain penutup
kepala. Ketika melirik wajah tampan itu, perempu-
an hamil di atas ranjang kembali keluarkan ucapan. "Hanya perintah Yang Mulia
Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai. Saya siap melayani Yang Mulia Ketua."
Yang Mulia Ketua tanggalkan jubah putihnya.
Namun belum kesampaian tiba-tiba matanya meli-
hat tombolan batu merah di dinding kiri kamar mengeluarkan cahaya. "Tanda
bahaya! Apa yang terjadi?" membatin Yang Mulia Ketua dengan mata mendelik
menahan nafsu sekaligus menahan
amarah. Dia cepat mengenakan kembali jubah dan kain penutup kepala lalu keluar
dari kamar. Ketika pintu dibuka seorang manusia pocong ber-
diri di ambang pintu, membungkuk dalam-dalam seraya berucap. "Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan..."
"Satria Pocong! Kau mengganggu kesenangan-
ku! Cepat katakan ada apa!" Membentak Yang Mulia Ketua.
"Yang Mulia Ketua, mohon maafmu. Saya
melapor. Satria Pocong bernama Rana Suwarte menemui ajal di tangan musuh yang
masuk dari bagian belakang lorong..."
"Keparat! Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Saya..."
"Sudah! Jangan banyak mulut! Hadang mereka semua. Habisi semuanya kecuali
Pendekar 212 Wiro Sableng. Yang Mulia Sri Paduka Ratu akan kuminta membantumu!"
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!"
WIRO SABLENG 4 KEMATIAN KEDUA ATU Duyung dan Setan Ngompol berdiri di
tepi jurang. "Kita menghadapi jalan buntu,"
Rkata si kakek sambil usap-usap perutnya.
"Bagaimana kalau kita kembali dan masuk melalui mulut lorong di sebelah
selatan?" "Selain membuang waktu kita mungkin tak
mampu menembus sampai ke sarang penguasa
lorong," jawab Ratu Duyung. "Ada satu hal yang aku pikirkan."
"Apa?" Tanya Setan Ngompol sambil mengusap bagian bawah perut.
"Menurut Bidadari Angin Timur, Wiro didorong seorang nenek cebol masuk ke dalam
jurang. Sayang aku lupa menanyakan ciri-ciri nenek cebol itu. Aku punya dugaan... tapi,
sudahlah. Waktu kupantau melalui cermin sakti, Wiro ternyata masih hidup dan
menaiki tangga batu bersama Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati, dan
Jatilandak. Di dasar jurang ada telaga. Itulah yang menyelamatkan Wiro dari
kematian."
"Jatilandak, Gondoruwo Patah Hati, serta Naga Kuning. Mereka tidak didorong
nenek cebol masuk ke dalam jurang. Tapi bagaimana bisa berada bersama-sama Wiro"
Pasti ada jalan masuk lain ke dalam lorong..."
"Kau betul," jawab Ratu Duyung. "Waktu aku memantau ke arah telaga lewat cermin
aku melihat ada lobang besar di salah satu dinding batu yang mengelilingi telaga. Di
luar lobang ada sungai mengalir. Aku yakin Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati
datang lewat sungai, masuk ke telaga melalui lobang di dinding.
Mengenai Jatilandak, ini yang jadi pertanyaan.
Tapi... dia bukan manusia biasa. Dia mahluk dari alam lain. Dia punya banyak
ilmu untuk berbuat apa saja." Ratu Duyung diam sebentar baru meneruskan
ucapannya. "Saat ini Wiro dan yang lain mungkin telah menemui jalan masuk ke
dalam markas mahluk yang disebut manusia
pocong itu. Kita harus segera menyusul mereka."
Dua tangan Setan Ngompol langsung menekan bagian bawah perut menahan kencing.
Mulut dipencongkan. "Tadi kita mendengar suara-suara aneh. Seperti suara lonceng
raksasa. Tanah bergetar. Lalu ada suara jeritan-jeritan. Suara raungan serta
letusan-letusan hebat..."
"Kau takut" Bilang saja begitu!" Potong Ratu Duyung.
"Siapa bilang aku takut!" jawab Setan Ngompol.
"Yang aku pikirkan bagaimana caranya kita ikut masuk ke dalam lorong kematian
menyusul teman-teman. Dengan cara tepat tapi aman."
"Gampang saja." Jawab Ratu Duyung enteng
sambil senyum-senyum.
"Enak saja kau bicara. Gampang bagaimana?"
Tanya si kakek biang kencing penasaran.
"Melompat ke dalam jurang!"
Serrrr! Air kencing Setan Ngompol langsung terpancar!
Ketika Ratu Duyung melangkah mendekati, si kakek cepat bergerak mundur.
"Ratu Duyung, jangan kau berani macam-
macam!" mengancam Setan Ngompol.
"Siapa macam-macam. Aku justru mau jadikan kau satu macam!" Habis berkata begitu
Ratu Duyung sambar lengan kiri Setan Ngompol lalu secepat kilat melompat ke arah
jurang. Si kakek menjerit keras ketika tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang
di sela-sela ranting dan cabang pohon. Pakaian robek-robek. Kencingnya muncrat
habis-habisan. Sementara Setan Ngompol takut setengah mati, Ratu Duyung tertawa
cekikikan. Saat itu gadis cantik bermata biru ini masih mencekal lengan kiri Setan Ngompol.
Entah saking takut entah memang punya niat nakal, tiba-tiba kakek ini gelungkan
tangan kanannya. Dua kaki dikembang lalu disilang ke tubuh Ratu Duyung.
Keadaan Setan Ngompol saat itu tidak ubahnya seperti tengah digendong belakang
oleh Ratu Duyung.
"Kakek kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini!"
Teriak Ratu Duyung.
Setan Ngompol tertawa tergelak-gelak.
"Kau membuat aku ketakutan setengah mati!
Tapi saat ini aku senang. Kapan lagi ada kesempa-
tan memelukmu seperti ini!" Lalu serrr! Air ken-
cing si kakek mengguyur hangat punggung Ratu Duyung membuat gadis ini berteriak
marah. Tangan kirinya dijambakan ke tengkuk baju Setan Ngompol. Sementara tubuhnya
melayang ke bawah, Ratu Duyung membuat gerakan jungkir balik. Tengkuk baju dihentakkan
keras. Bersama-
an dengan itu tangan kanan melepas cekalan di lengan kiri. Tak ampun Setan
Ngompol terpelan-
ting ke bawah. Byuurrr!
Setan Ngompol kecebur dalam telaga, Ratu
Duyung menyusul sesaat kemudian. sebenarnya dia mampu membuat gerakan melesat ke
arah tepi telaga. Tapi gadis ini memilih menceburkan diri lebih dulu ke dalam
air telaga untuk membersih-
kan tubuh dan pakaiannya dari kencing Setan Ngompol.
Ketika Setan Ngompol muncul megap-megap di permukaan air, dilihatnya Ratu Duyung
berdiri di tepi telaga, tak jauh dari sebuah perahu kayu, bertolak pinggang,
unjukkan raut wajah marah.
Kakek ini meledek lambaikan tangan seraya berseru. "Kapan-kapan kalau mau lompat
lagi ke dalam telaga, jangan lupa mengajak aku! Ha ha ha...!"
Clepp! Suara tawa Setan Ngompol mendadak lenyap.
Di atas sana terdengar suara genta yang membuat seantero telaga bergetar hebat.
Sosok Ratu Duyung tergontai-gontai. Lalu ada suara letusan-letusan dan jerit
pekik. "Suara genta!" ucap Ratu Duyung. Dia ingat.
"Rumah putih di dalam cermin!" Gadis ini ingat lagi. "Aku harus cepat ke sana.
Aku punya firasat bahaya besar mengancam para sahabat yang
sudah masuk ke dalam lorong!" Tanpa menunggu lebih lama Ratu Duyung putar tubuh
lalu melesat ke arah tangga batu di dinding telaga.


Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai! Kau mau ke mana" Tunggu!" teriak Setan Ngompol. Cepat-cepat dia berenang
ke tepi telaga.
Ketika keluar dari dalam air, ternyata celana luarnya yang memang longgar dan
kini menjadi berat karena basah kuyup oleh air, telah merosot sampai ke paha!
Dan di balik celana luar itu si kakek tidak punya celana dalam!
"Kakek sial!" maki Ratu Duyung yang tak
sengaja melihat perabotan Setan Ngompol yang tersingkap polos!
*** Wakil Ketua berlari cepat sepanjang lorong.
Sosok Dewa Tuak ada di atas bahu kirinya. Di satu tempat di mana lorong
bercabang dua, untuk pergi ke rumah putih yang merupakan pusat kekuatan gaib
luar biasa, seharusnya dia mem-
belok ke kanan. Tapi manusia pocong ini justru mengambil arah memasuki lorong
sebelah kiri. Di satu tempat Wakil Ketua hentikan langkah. Tela-
pak tangan kanan ditekankan pada salah satu bagian dinding batu. Dinding
bergeser ke samping.
Menjorok ke dalam ada sebuah pintu besi berwar-
na merah. Dewa Tuak diturunkan lalu diduduk-
kan di lantai antara dinding batu dan pintu merah. Wakil Ketua menutup kembali
bagian dinding batu yang terbuka lalu menekan alat rahasia lain untuk membuka
pintu merah. Begitu pintu terbuka dia cepat menyelinap masuk. Di sebelah dalam
ternyata ada sebuah ruangan tidur.
Di atas sebuah ranjang terbaring sosok seorang gadis berpakaian ringkas warna
ungu. Rambut panjang acak-acakan tapi justru membuat wajah-
nya tambah cantik. Wakil Ketua mendekati ran-
jang lalu berkata pada gadis yang terbaring dalam keadaan tertotok. "Gurumu ada
di luar. Aku diperintahkan Yang Mulia Ketua untuk membu-
nuhnya! Jika kau mau menuruti kemauanku, aku akan menyelamatkannya. Permintaanku
cuma satu. Jika semua persoalan di tempat ini selesai, kau harus sedia jadi istriku!"
"Mahluk setan jahanam busuk!" teriak gadis di atas ranjang. Rupanya hanya
tubuhnya yang ditotok sementara jalan suara dibiarkan terbuka.
"Aku sudah minta agar kau segera membunuhku!
Siapa sudi jadi istri mahluk setan sepertimu! Tapi sebelum aku mati di tanganmu
tunjukkan kejan-
tananmu! Buka kain penutup kepalamu. Perlihat-
kan siapa dirimu sebenarnya!"
Wakil Ketua keluarkan suara mendecak. "Gadis keras kepala. Kalau kau memang
ingin mati mudah saja bagiku melakukannya. Tapi sebelum mati sesuai dengan
permintaanmu aku akan
tunjukkan kejantananku padamu."
Wakil Ketua naik ke atas ranjang lalu menarik turun celana si gadis. Pakaian
dalamnya tersibak.
Si gadis menjerit keras. Penuh nafsu Wakil Ketua menarik lagi celana luar si
gadis. Namun sebelum celana itu merosot sampai ke bawah pinggul tiba-tiba ada
bayangan berkelebat, dan, bukkk! Satu tendangan menghantam pinggang Wakil Ketua.
Tendangan itu tidak berapa kencang. Tubuh Wakil Ketua hanya tergontai-gontai.
Ketika berpaling dia dapatkan Dewa Tuak berdiri di depannya, ter-
bungkuk-bungkuk lalu tengadahkan kepala dan tertawa mengekeh.
"Guru!" seru gadis di atas ranjang. Kaget juga marah melihat wajah gurunya yang
bengkak. "Siapa yang mencideraimu?"
Dewa Tuak cuma lambaikan tangan, berpaling pada Wakil Ketua Barisan Manusia
Pocong. "Mahluk keparat! Jadi kau yang punya pekerjaan!
Menculik muridku Anggini. menyekapnya di
tempat ini! Berpura-pura sibuk mencari. Kini kau hendak berbuat bejat atas
dirinya! Jahanam betul!
Tanganku sudah gatal mau mematahkan batang lehermu! Tapi biar aku melepas dahaga
dulu. Setelah itu aku akan menemui pimpinanmu,
memberi tahu apa yang telah kau lakukan!"
Si kakek dongakkan kepala. Dua tangan
dinaikkan di atas mulut. Lalu, glukk... glukk...
gluk... Dewa Tuak seperti orang yang betul-betul tengah minum tuak.
Di atas ranjang gadis yang memang Anggini, murid Dewa Tuak adanya menarik nafas
dalam. "Tendangannya tadi tidak membuat cidera. Sikap-
nya menunjukkan kelainan. Pasti guru sudah dicekok dengan obat terkutuk itu."
Membatin sang murid.
"Tua bangka setan alas!" teriak Wakil Ketua marah. Dia sama sekali tidak
menyangka kakek yang telah dicekok dengan minuman pencuci otak itu masih mampu
melancarkan serangan.
sebenarnya ilmu kepandaian dan kesaktian Dewa Tuak memang masih ada di dalam
dirinya namun pengaruh obat membuat sekujur badannya lemas.
Dia tidak mampu mengalirkan tenaga dalam, tidak dapat mengeluarkan kesaktian.
Bahkan tenaga luarnya waktu menendang tadi lemah sekali.
"Dewa Tuak! Aku ingin cepat-cepat membawa-
mu ke hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Tapi sebelum kau mampus aku ingin kau
menyaksikan apa yang akan aku lakukan terhadap muridmu!"
Wakil Ketua melompat ke arah Dewa Tuak.
Sarangkan satu jotosan ke perut kakek itu hingga Dewa Tuak terlipat ke depan,
lalu roboh di lantai ruangan, mengeluh tinggi. Mata melotot ke arah ranjang.
Mulut komat-kamit tapi tak mampu keluarkan suara.
"Jahanam pengecut! Beraninya hanya pada
orang tua yang tidak berdaya!" Anggini memaki marah.
Wakil Ketua menyeringai di balik kain putih penutup kepala lalu melompat ke atas
ranjang. Dengan gelegak nafsu serta amarah dia kembali menarik turun celana luar dan
pakaian dalam Anggini.
Pada saat itulah tiba-tiba menggema suara genta. Ruangan tidur bergetar hebat.
Di luar ada teriakan-teriakan keras. Ada suara orang-orang lari melewati lorong
di depan kamar.
Wakil Ketua tekap telinga kanannya. Di antara suara genta mengiang suara
perempuan. Tidak jelas, namun Wakil Ketua sudah maklum siapa yang bicara. Dalam
hati dia memaki. "Jahanam!
Mengapa setiap aku hendak melakukan hal ini selalu ada suara mengganggu! Mengapa
jika Ketua yang berbuat tidak terjadi apa-apa! Mungkin karena dia memegang batu
keramat itu" Aksara Batu Bernyawa!"
Di kejauhan suara genta semakin menjadi-jadi.
"Suara genta sekali ini tidak seperti biasanya.
Ada sesuatu yang tidak beres di luar sana!" Wakil Ketua berpaling ke arah
ranjang. Hatinya bim-
bang. Akhirnya dia buka pintu besi merah, jambak rambut putih si kakek.
"Manusia pocong terkutuk! Kalau kau membu-
nuh guruku aku bersumpah memenggal kepala, menguliti dan mencincang tubuhmu!"
"Ckk... ckkk... ckkk!" Wakil Ketua berdecak leletkan lidah lalu tertawa
bergelak. "Jangan bica-
ra tolol! Kau tak akan mampu membebaskan diri!
Tidak ada satu orangpun yang akan menolongmu!
Aku menginginkan kau jadi istriku! Itu satu kehormatan luar biasa bagimu! Tapi
kau justru malah memilih mati! Apa sulitnya bagiku"
Kunikmati tubuhmu lalu kuhabisi nyawamu! Dan aku akan mengajak serta gurumu ikut
bersamamu ke alam kematian! Ha... ha... ha!"
"Di alam kematian aku akan menyaksikan
dirimu jadi kemasukan setan" gadis ini menjerit keras.
Wakil Ketua yang hendak menutup pintu
merah hentikan gerakan lalu melangkah ke arah ranjang. Sepasang matanya
memandang berkilat ke arah bagian bawah tubuh Anggini. Tiba-tiba dia ulurkan
tangan. Menarik lepas selendang ungu yang tergelung di pinggang si gadis lalu
memasuk- kannya ke balik jubah putih.
"Mahluk pocong keparat! Kembalikan selendang itu!"
Wakil Ketua membungkuk, membuat gerakan
seperti hendak mengembalikan selendang. Namun yang dilakukannya adalah
melampiaskan nafsu binatangnya. Menciumi wajah dan dada Anggini.
Lalu mulutnya berucap.
"Kekasihmu pemuda sableng itu akan mati
berdiri jika mengetahui apa yang nanti aku laku-
kan padamu. Kalau saja kematiannya tidak lebih dahulu dari kematianmu!"
"Mahluk setan! Aku ingin sekali melihat muka anjingmu! Ada permusuhan apa antara
kau dan Wiro hingga memperlakukan diriku seperti ini?"
Wakil Ketua dongakkan kepala lalu tertawa perlahan. Setelah keluarkan suara
berdecak dia berkata.
"Tunggu saja. Kelak kau bakal menyaksikan wajahku! Aku tidak kalah ganteng dari
pemuda edan itu! Kau benar-benar akan menyesal sampai di alam kematian karena
menolak kujadikan istri!"
WIRO SABLENG 5 KEMATIAN KEDUA ATILANDAK yang membentuk diri menjadi
seekor landak raksasa berlari sepanjang
Jlorong yang bergetar akibat hantaman suara genta dari arah Rumah Putih kawasan
113 Lorong Kematian. Di sebelah belakang menyusul Wiro, Bunga, Gondoruwo Patah
Hati, dan Naga Kuning.
Kalau yang lain-lain merasa sakit kuping mereka dan berlari terhuyung-huyung,
Jatilandak tidak terpengaruh oleh suara genta itu. Larinya malah dipercepat.
Empat kaki berkuku panjang serta duri-duri tebal lancip di tubuh sama sekali
tidak mengeluarkan suara bergemerisik. Sepuluh lang-
kah di depan sana, lorong bercabang dua.
Jatilandak hentikan lari. Angkat kepala lalu meng-
hirup udara dalam-dalam. Dua bola mata coklat pekat bergerak ke kiri dan ke
kanan. Duri panjang tebal dan runcing yang menutupi tubuh berjing-
krak. "Aku mencium ada bahaya di lorong kiri dan lorong kanan. Bahaya di lorong kanan
lebih dahsyat. Aku dan para sahabat harus bergerak memasuki lorong kiri."
Setelah mengambil keputusan begitu rupa
Jatilandak memberi isyarat pada orang-orang di belakangnya lalu mendahului
bergerak memasuki lorong sebelah kiri. Baru dua langkah memasuki lorong sebelah
kiri tiba-tiba belasan bendera merah disertai cipratan air berbau busuk berkele-
bat di udara "Bendera Darah! Awas!" teriak Jatilandak.
Secepat kilat dia melompat ke udara, duri yang menutupi tubuhnya bergerak ke
depan membentuk tameng. Mulut keluarkan suara
melengking lalu meniup. Di sebelah belakang Wiro lepaskan pukulan Tameng Sakti
Menerpa Hujan. Bunga melesat ke atas, dua tangan didorongkan.
Dua gelombang angin menderu.
Luar biasa! Walau dihantam tiupan angin sakti dari mulut Jatilandak, didera
pukulan berkeku-
atan tenaga dalam tinggi yang dilepas Wiro dan Bunga, hanya sembilan Bendera
Darah yang menyerang ganas sanggup dirontokkan. Tiga lain-
nya tembus. Yang pertama berhasil menyusup di sela duri-duri lalu menancap di
bahu kiri Jatilandak. Jatilandak terbanting ke tanah.
mengerang sebentar lalu patahkan gagang Ben-
dera Darah dengan cara menggigitnya.
Bendera Darah Kedua walau agak goyang
berhasil menyusup dan menyambar di atas kepala Gondoruwo Patah Hati, menyerempet
luka kulit kepalanya. Cairan merah darah membasahi seba-
gian rambut. Seujung kuku saja gagang bendera menyambar ke bawah niscaya
menancap di kening si nenek!
"Jahanam kurang ajar! Siapa yang punya
pekerjaan! Lekas unjukkan diri!" Teriak Gondoru-
wo Patah Hati sambil kibaskan rambut. Sementara di belakang, Naga Kuning
meringis karena Bende-
ra Darah ketiga menancap di lengan baju sebelah kanan, menyerempet melukai
daging bahunya cukup dalam. Untung tidak sampai menancap.
Dari arah tikungan lorong di sebelah depan mem-
bahana suara tawa bergelak. Di lain saat muncul sosok seorang manusia pocong.
Tangan kiri ber-
kacak pinggang, tangan kanan diletakkan di depan dada.
"Sayang hanya diberi wewenang membunuh
tiga di antara kalian! Padahal tanganku sudah gatal untuk mengorek jantungmu!"
Manusia pocong satu ini tutup ucapannya sambil tuding-
kan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang
berdiri sekitar tujuh langkah di hadapannya.
"Kunyuk, jejadian setan putih!" bentak murid Sinto Gendeng tapi mukanya tidak
unjukkan hawa marah malah menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala. "Aku
kepingin tahu, mau melihat ilmu apa yang kau miliki hingga bisa-bisanya mengorek
jantungku" Ha... ha... ha! Kalau ilmu mengorek yang aku punya cuma ilmu mengorek
kuping!" Lalu Wiro masukkan kelingking kirinya ke telinga kiri dan digoyang-goyang. Mulut
dipencongkan dan mata dimerem-melekkan.
"Dasar otak miring! Siap mampus masih mau guyonan!" Maki manusia pocong.
"Hai! Tunggu! Aku rasa-rasanya mengenal
suaramu!" Wiro berseru.
"Pemuda sinting! Jangan banyak mulut!
Menghindar kalau tidak mau kubunuh sekalian bersama tiga temanmu!"
"Sombongnya! Ayo perlihatkan ilmu korek
kupingmu!" kata Wiro mengejek lalu menerjang ke depan sambil lepaskan jotosan
Kepala Naga Menyusup Awan. Gerakan tangan sang pendekar perlahan saja seperti
penari. Namun tahu-tahu kepalan tangan kanan itu telah melesat ke bawah dagu
manusia pocong!
"Mampus kau!" teriak Naga Kuning yang sudah merasa pasti mahluk serba putih
tidak sanggup mengelak.
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh
mengejutkan. Sosok manusia pocong seperti terangkat ke atas. Begitu dagunya
selamat dari pukulan Kepala Naga Menyusup Awan, kaki kanannya tiba-tiba melesat
ke depan. Wiro berkelit ke samping. Tendangan lawan hanya lewat
seujung kuku dari depan perutnya. Dengan geram Wiro balas menyerang. Juga dengan
gerakan menendang. Yang jadi sasaran adalah kaki kiri manusia pocong sementara
kaki kanan masih berada di udara. Seperti serangan pukulan ke dagu tadi, hampir
tendangan Wiro akan menemui sasaran mendadak tubuh manusia pocong
terangkat ke atas. Begitu melayang turun dia menyerbu dengan dua tangan kosong
sekaligus. Seperti sepasang pedang atau golok, dua tangan itu membeset, menusuk, dan
membacok. Traangg! Serangan tangan kiri manusia pocong dalam gerakan membacok ke arah kepala Wiro
meleset, menghantam dinding batu, mengeluarkan suara berdentang seolah yang
beradu dengan dinding itu adalah sebilah senjata tajam, bukan tangan manusia!
Dan luar biasanya lagi dinding batu yang terkena hantaman tangan kelihatan
benar-benar pecah gompal berantakan!
"Gila!" ucap murid Sinto Gendeng, mata
melotot. "Tangannya seperti golok betulan! Kalau tidak segera dihabisi aku bisa
konyol!" Tidak menunggu lebih lama Pendekar 212
segera menyerbu manusia pocong dengan jurus-jurus mematikan yang dipadu dengan
pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi.
Namun seperti ditahan satu tembok kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, semua
serangan Wiro tidak satupun mampu menyentuh lawan.
Malah dua tangan manusia pocong itu berkelebat semakin ganas dan mengeluarkan
suara deru angin luar biasa keras. Wiro terdesak hebat. Kalau sampai kepala kena
hantam pasti terbelah. Kalau leher yang kena sasaran niscaya kuntung putus
laksana ditebas golok atau pedang!
Bunga memperhatikan tanpa berkesip. Dua kali tadi dia melihat ada cahaya kuning
sangat tipis yang menyelubungi sosok putih manusia pocong.


Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yaitu ketika dua kali Wiro hampir berhasil menjotos dagu dan menendang kaki
kirinya. Lalu setiap melancarkan serangan, cahaya kuning tipis berubah lebih
jelas. Dari sekian banyak pasang mata yang ada di tempat itu, hanya Bunga
sendiri yang mampu melihat keberadaan cahaya kuning.
Ketika mereka berhadapan dengan Rana Suwarte, Bunga tidak melihat ada lapisan
cahaya kuning seperti ini. Itu sebabnya walau cukup sulit namun akhirnya Rana
Suwarte berhasil juga ditamatkan riwayatnya dengan Pukulan Batu Naroko oleh
Gondoruwo Patah Hati. Agak aneh. Apakah
mahluk luar biasa pengirim kekuatan gaib itu memiliki ketentuan sendiri untuk
menentukan jenis perlindungan yang diberikan. Dari apa yang dilihatnya, yaitu
sejak memasuki gunung batu di bagian belakang 113 Lorong Kematian, Bunga maklum
kalau kehebatan tenaga pelindung
berbeda untuk manusia pocong satu dengan
manusia pocong lainnya. Mengapa"
"Tingkat ilmu silat dan kesaktian manusia pocong satu ini mungkin tidak
seberapa. Cahaya kuning tipis. Itulah kekuatan gaib luar biasa yang
melindunginya dari jauh. Bukan cuma melin-
dungi. Sekaligus memberikan kekuatan sakti untuk membunuh lawan! Luar biasa
berbahaya!"
Bunga bergerak cepat ke samping Pendekar
212. "Wiro, hati-hati. Mahluk ini mendapat lindungan dan kekuatan dari alam
gaib. Tahan serangan. Aku akan coba menahan kekuatan
pelindungnya. Kalau aku berteriak memberi tanda, baru hantam!"
Bunga renggangkan dua kaki. Tubuh dibung-
kukkan sambil dua tangan diangkat datar di depan dada. Dua telapak terkembang.
Ketika jari-jari tangan kiri kanan dijentikkan, pada masing-masing tangan
kelihatan sekuntum bunga
kenanga kuning. Begitu dua tangan didorong dan kaki kanan dihentakkan ke lantai,
hawa aneh bergeletar di lantai ruangan, menyengat ke arah sepasang kaki manusia
pocong. Di balik kain penutup kepala mahluk ini mengerenyit menahan sakit.
Tubuhnya terlonjak. Cahaya kuning yang membungkus sekujur tubuhnya kelihatan
mere- dup. Sekali lagi Bunga hentakkan kaki kanannya.
Si manusia pocong terdorong satu langkah ke belakang. Cahaya kuning lenyap.
Di kejauhan sayup-sayup ada suara meng-
gerung panjang lalu caci maki penuh amarah.
Menyusul suara menderu. Ada gelombang angin dengan deras menuju ke tempat itu.
"Wiro! Cepat hantam!" Bunga gadis dari alam roh berteriak memberi tanda.
Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak tak kalah kerasnya. Tubuh melesat ke depan.
Tangan kanan melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Ini adalah
ilmu pukulan jurus kedua yang diwarisi Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh.4
Bukkk! Selagi manusia pocong berusaha mengimbangi 4 Baca: Wiro Sableng Delapan Sabda "Dewa diri, pukulan sakti yang dilepaskan Wiro mendarat telak di pertengahan
dadanya. Kesaktian pukulan ini satu tingkat di atas pukulan Batu Naroko milik
Gondoruwo Patah Hati yang telah menewaskan Rana Suwarte. Jangankan dada manusia,
tembok baja sekalipun tidak akan mampu menahan
kehebatan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang itu. Manusia pocong
terpental empat langkah, terjengkang di tanah.
"Tamat riwayatmu!" ucap Naga Kuning.
Bersamaan dengan itu dari arah belakang
manusia pocong, suara gelombang angin semakin deras. Lalu tampak cahaya kuning
berkiblat. Hawa panas memenuhi seantero tempat.
"Semua tiarap!" teriak Bunga. Dua kembang kenanga di tangan kiri kanan
dilemparkan ke arah cahaya kuning. Dari balik pakaian dia mengambil setanggi
lalu melemparkan ke udara.
Buuummmm! Blaarrr! Taarr! Taarr! Taarr!
Dentuman dahsyat, goncangan keras serta
letusan-letusan yang disertai percikan bunga api berkiblat dalam ruangan. Tempat
itu laksana diguncang gempa. Angin kuning panas menyam-
bar ganas. Semua orang merasa punggung
masing-masing terbakar melepuh. Untuk beberapa lama mereka menelungkup tak
bergerak. Wiro angkat kepala. Berpaling ke belakang. Bunga, gadis dari alam roh
duduk tersandar di dinding batu. Ada lelehan cairan berwarna biru di salah satu
sudut bibirnya. Mukanya yang putih lebih pucat dari biasanya.
WIRO SABLENG 6 KEMATIAN KEDUA UNGA!" seru Wiro ketika melihat keadaan
gadis dari alam roh itu. Dia cepat berdiri.
BNaga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati
ikut mendatangi. Hanya Jatilandak yang masih tak bergerak di tempatnya. Karena
berada di sebelah depan, sapuan angin panas bercahaya kuning menyapu-nya lebih
dulu dan lebih keras.
Membuat separuh dari duri-duri yang menutupi tubuhnya terpang-gang hangus dan
untuk beberapa lama kelihatan membara merah!
Wiro usap lelehan cairan biru di sudut bibir Bunga. Gadis alam roh ini pegang
lengan si pe- muda. Matanya menatap mesra ke dalam mata Wiro. Senyum menyeruak di bibir.
"Terima kasih, Wiro. Aku tak apa-apa..."
"Lelehan cairan biru. Kau terluka di dalam."
Kata Wiro pula.
Bunga mengangguk. "Dalam waktu beberapa
saat luka dalamku akan sembuh sendiri. Kau tak usah mengkhawatirkan diriku.
Justru aku meng-
khawatirkan dirimu dan para sahabat. Lorong Kematian agaknya benar-benar akan
menjadi tim- bungan kuburan bagi kita semua kalau kita tidak bertindak cepat. Kita harus
segera menemukan mahluk yang disebut Sri Paduka Ratu itu..."
"Yang akan kau nikahkan dengan diriku!" ujar Wiro pula.
"Kodrat menentukan itu satu-satunya cara
untuk menyelamatkan diri kita semua serta malapetaka besar rimba persilatan."
"Aku punya firasat..." kata Wiro pula sambil menggaruk kepala.
"Firasat apa?" Tanya Bunga.
"Ya, ya. Katakan firasat apa?" Naga Kuning menimpali.
"Baik atau buruk?" ikut bersuara Gondoruwo Patah Hati.
"Buruk. Agaknya diriku yang jadi sasaran
utama. Aku bakal menemui ajal paling sengsara, paling mengenaskan..."
"Jangan berkata seperti itu!" tukas Gondoruwo Patah Hati. "Kami teman-temanmu,
masa akan hanya berpangku tangan."
"Aku tahu. Tapi..." Ucapan murid Sinto Gen-
deng terputus. Dalam keadaan begitu rupa mendadak ter-
dengar suara tawa bergelak! Semua orang meman-
dang ke depan. "Astaga gila! Aku kira sudah mampus dia!"
ucap Naga Kuning seraya berdiri. Yang lain-lain ikut bergerak bangkit.
Di depan sana sosok manusia pocong yang tadi tergeletak di tanah kelihatan
bergerak bangkit, perlahan-lahan berdiri. Di balik kain penutup kepala, mulutnya
kemudian berucap.
"Nyawaku dilindungi nyawa kedua. Tidak
satupun dari kalian bisa membuatku mati!"
"Setan alas, takabur sekali!" maki Naga Kuning.
"Apa aku boleh ikut minta perlindungan nyawa kedua?" Jatilandak yang sejak tadi
diam tak bergerak maupun bersuara tiba-tiba keluarkan kata-kata. Begitu
ucapannya selesai, tubuhnya digoyang keras. Duri-duri yang masih bersisa di
tubuhnya dikibas.
Sett! Settt! Settt!
Duapuluh bulu landak tebal, kuat, dan runcing melesat ke arah duapuluh bagian
tubuh manusia pocong. Yang diserang cepat menyingkir sambil lepaskan pukulan
tangan kosong. Hebat! Tak satupun duri landak yang seolah berubah menjadi
senjata rahasia itu sanggup menyentuh tubuh manusia pocong. Tiga dari sekian
banyak bulu landak yang dibikin mental menancap di dinding batu.
Si Pemanah Gadis 8 Pendekar Mabuk 052 Gundik Sakti Suling Naga 16
^