Kematian Kedua 2
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua Bagian 2
Walau selamat dari serangan bulu landak,
namun manusia pocong ini sempat dibikin kaget, kelabakan selamatkan diri. Tadi
dia menyangka binatang landak itu telah meregang nyawa. Pada saat inilah justru
Jatilandak melesat di udara, menyerang ke arah manusia pocong. Mahluk dari
lorong kematian terlambat mengelak. Empat kaki Jatilandak mencengkeram di bahu
dan dada. Mulut dengan deretan gigi panjang lancip menan-
cap di batang lehernya! Kain penutup kepala yang menjuntai sampai ke leher bawah
kelihatan ber- warna merah! Tiba-tiba ada suara genta menggema keras di kejauhan. Lalu dari arah belakang
menderu dan berkiblat cahaya kuning.
Jatilandak yang sudah siap untuk merobek
leher manusia pocong dengan gigitan mautnya angkat kepala sedikit dan menjawab.
"Kawan-kawan! Aku siap mati bersama mahluk iblis ini!"
Jatilandak lalu merobek leher manusia pocong dengan gigitan ganas.
"Jangan tolol!" teriak Bunga "Cahaya kuning itu akan melindungi dan memberi
kekuatan pada musuhmu! Kau sendiri bisa terpanggang gosong!"
Jatilandak menduga gigitannya pada leher
manusia pocong akan menewaskan mahluk itu.
Didahului suara menggembor keras dia melompat dari tubuh manusia pocong. Cahaya
kuning me- nyapu. Sosok manusia pocong yang tadi sudah menghuyung sambil pegangi luka
menganga di lehernya, kini berdiri tegap kembali. Malah mampu melangkah ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Ternyata cahaya kuning itu menjadi sumber kekuatan
dan penolong bagi dirinya.
Sebaliknya malapetaka bagi Wiro dan kawan-kawan. Namun gerakan si manusia pocong
ter- tahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
"Satria Pocong, lekas kembali ke markas. Kau sudah bertindak dan keluarkan
ucapan terlalu jauh. Yang harus kau bunuh adalah tiga orang itu.
Tapi kau justru memusatkan tangan maut pada Pendekar 212 Wiro Sableng! Otakmu
sudah dicuci! Mengapa dendam masih menguasai dirimu" Ingat tugas utamamu! Juga jangan kau
berani menyen- tuh pemuda itu. Nyawanya tegas-tegas bagian Yang Mulia Ketua! Segera kembali ke
markas! Datang langsung ke Rumah Putih! Tenagamu
dibutuhkan di tempat itu!"
Manusia pocong tundukkan kepala sedikit lalu lantangkan ucapan. "Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang wajib dilaksanakan!" Setelah keluar-
kan ucapan tadi dia maju satu langkah mendekati Wiro. "Kalian semua tidak
satupun yang bakal selamat!"
Manusia pocong palingkan tubuh. Tangan
kanan menggapai ke arah cahaya kuning yang ada di atas kepalanya, seperti
menangkap sebuah bola kecil. Lalu tangan kanan itu dihantamkan ke arah Wiro dan
kawan-kawan. Untuk kesekian kalinya keempat orang yang mendapat serangan menjadi
kalang kabut selamatkan diri. Begitu terhindar dari serangan cahaya kuning yang
ganas, Wiro dan kawan-kawan dapatkan si manusia pocong tak ada lagi di tempat
itu. Jatilandak hendak mengejar ke ujung lorong tapi cepat dicegah oleh Bunga.
"Aneh!" kata Jatilandak. "Aku rasa aku sudah mengoyak lehernya lebih dari
setengah! Darah jelas mengucur! Mengapa dia masih bisa hidup?"
"Mahluk itu mendapat perlindungan dan keku-
atan dari mahluk alam gaib yang ada di dalam Lorong Kematian. Kita harus mampu
menghan- curkan pusat kekuatan mereka!" menjelaskan Bunga.
"Lalu apa maksudnya dengan kata-kata nyawa kedua?" ujar Wiro pula.
"Itulah biang segala bencana yang diperalat oleh Ketua Barisan Manusia Pocong.
Kita akan saksikan sendiri nanti." Jawab Bunga lalu dia memberi isyarat untuk
melanjutkan perjalanan.
Namun belum sampai melangkah tiga tindak men-
dadak di belakang ada suara angin berkelebat.
Begitu berpaling, kelihatan sosok tinggi besar seorang manusia pocong. Dari
bentuk tubuhnya yang tinggi besar jelas dia bukan manusia pocong yang tadi.
Manusia pocong bertubuh tinggi ini sama sekali tidak keluarkan ucapan. Sepasang
mata di balik kain penutup kepala memandang ke arah Pende-
kar 212. Tiba-tiba dalam kecepatan luar biasa dia kibaskan lengan jubah sebelah
kiri tiga kali berturut-turut.
Dess... dess... desss!
Buntalan asap berwarna putih kekuningan
serta-merta memenuhi tempat itu.
"Asap beracun! Tutup jalan pernafasan!" teriak Bunga. Gadis dari alam roh ini
melesat ke udara.
Menghantam ke arah manusia pocong yang
menebar asap beracun.
Wuttt! Braakk! WIRO SABLENG 7 KEMATIAN KEDUA UKULAN sakti Bunga hanya menghancurkan
dinding batu. Sementara manusia pocong
Psudah lenyap entah ke mana. Bunga
berpaling ke arah Wiro, Gondoruwo Patah Hati, dan Naga Kuning. Wajah mereka
tampak pucat. Dengan cepat satu persatu ketiga orang itu ditotoknya di bagian pangkal leher
sehingga untuk beberapa saat mereka mengalami sulit bernafas.
Ini adalah untuk menghindari menghirup hawa beracun yang sangat berbahaya itu.
Ketika hendak menotok Jatilandak, Bunga jadi bingung. Seluruh leher Jatilandak
tertutup duri tebal dan rapat.
"Balikkan tubuhmu! Aku akan menotok bagian leher sebelah bawah!"
Sepasang mata Jatilandak menatap sayu ke
arah gadis alam roh.
"Lekas!" Bunga berusaha membalikkan tubuh Jatilandak dengan kedua tangannya.
Tapi pemuda dari negeri 1200 tahun silam yang berada dalam perujudan seekor
landak itu gelengkan kepala.
"Terima kasih kau mau berbaik hati
menolongku. Sayang sudah terlambat..."
"Terlambat bagaimana?" Tanya Naga Kuning
sambil membungkuk lalu mendorong tubuh
Jatilandak. Ternyata tubuh itu berat sekali. Seolah batu ratusan kati!
"Aku telah menghirup hawa beracun itu,"
menerangkan Jatilandak. Mata semakin kuyu dan empat kakinya terentang lunglai di
tanah. "Kita semua memang sempat menghirup. Tapi kadarnya cuma sedikit. Kita masih bisa
selamat. Gerakkan kepalamu ke samping biar aku bisa melihat lehermu!" Bunga siap untuk
menotok. Namun lagi-lagi jawaban Jatilandak terdengar memelas.
"Kalian dan aku berbeda. Asap beracun itu mengandung belerang. Aku tidak boleh
bersen- tuhan dengan belerang dalam bentuk apapun.
Kawan-kawan, pergilah. Tinggalkan aku di sini.
Aku akan menemui jalanku sendiri. Pergilah, aku doakan agar kalian berhasil
menghancurkan markas manusia pocong itu. Hati-hati."
Semua orang terkejut. Wiro tercekat dan ingat riwayat hidup Jatilandak semasa di
Negeri Latanahsilam. Pemuda yang terlahir dari
perkawinan yang tidak direstui oleh para Peri ini dibuang ke sebuah pulau. Di
pulau ini dia dipelihara oleh seseorang yang memiliki tubuh penuh sisik bernama
Tringgiling Liang Batu. Sebe-
lum kedatangan Jatilandak, Tringgiling Liang Batu telah memelihara sepasang
landak. Baik Tringgi-
ling Liang Batu maupun dua landak peliharaan-
nya sangat tidak tahan terhadap belerang.
Jangankan sampai tersentuh, mencium baunya saja bisa mengakibatkan kematian!
Keberpan- tangan terhadap belerang ini ternyata juga diwarisi dan diindap oleh Jatilandak.
Bahaya racun bele-
rang yang mematikan itulah kini tengah dihadapi pemuda dari Negeri Latanahsilam
ini.5 "Kami tidak akan pergi tanpa kau!" kata Bunga, sementara Wiro tegak tertegun.
"Betul. Kita datang bersama pergi harus
5 Baca: Wiro Sableng Hantu Jatilandak"bersama." Kata Naga Kuning sambil melintangkan di atas dada bumbung bambu milik
Dewa Tuak yang masih terus dibawanya lalu melirik pada Wiro yang sejak tadi
bersikap diam saja.
"Jangan risaukan diriku. Kalian lekas pergi sebelum terlambat..." kata
Jatilandak. Tiba-tiba di kejauhan lagi-lagi genta memba-
hana. Tempat itu kembali berguncang bergeletar.
Lapat-lapat seperti ada suara orang menyanyi yang diakhiri dengan tawa panjang
menggidikkan. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama," berkata Bunga seraya menatap ke arah
Jatilandak. Pemuda yang berujud landak ini berkedip sayu matanya tanda mengerti. Bunga
berpaling pada Wiro, Gondoruwo Patah Hati, dan Naga Kuning.
"Kalau memang tak ada jalan lain kita terpaksa harus meninggalkannya..." si
nenek terpaksa ber-
kata perlahan. Bunga tidak berlama-lama lagi. Gadis dari alam roh ini segera berkelebat ke
jurusan lenyapnya manusia pocong yang tadi dirobek lehernya oleh Jatilandak.
Naga Kuning menyusul, lalu Wiro, dan di belakang sekali Gondoruwo Patah Hati.
Semen- tara berlari Wiro merasa hatinya galau. Kalau dia ingat apa yang telah terjadi
dia tak mau perduli.
Tapi kalau menyadari bahwa dia memiliki jiwa kesatria, kebimbangan menggalau sanubarinya.
Sementara itu totokan yang tadi dilakukan Bunga masih menguasai Wiro, Naga
Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati. Nafas dan dada yang sesak membuat mereka tak
mampu berlari cepat.
Menjelang sebuah tikungan rasa sesak turun ke bawah, membuat perut membuncah
mulas seperti terdesak buang air besar.
"Celaka! Aku mau berak!" kata Naga Kuning sambil pegangi perut. Mukanya
kelihatan merah.
Butir-butir keringat memercik di keningnya. Si nenek Gondoruwo Patah Hati kalang
kabut. Dia juga mengalami hal yang sama. Demikian pula dengan Wiro. Bunga yang
telah menghentikan larinya memperhatikan sambil senyum-senyum.
"Enaknya saja kau mesem-mesem!" ucap
Gondoruwo Patah Hati.
"Sudah! Berak saja barengan di sini!" kata Naga Kuning. Bocah berambut jabrik
ini siap dodorkan celana ke bawah.
Tiba-tiba secara aneh, rasa mulas di perut ketiga orang itu lenyap, berpindah
naik ke atas. Ada hawa panas di dada. Rasa seperti tercekik.
Lalu, hueekkk...! Wiro, Naga Kuning, dan Gondo-
ruwo Patah Hati sama-sama semburkan muntah berupa cairan berwarna kekuning-
kuningan. Ber- samaan dengan itu rasa sesak hilang, jalan perna-
fasan sesaat masih megap-megap lalu kembali berubah wajar. Ketiga orang itu
terduduk di tanah.
Muka merah basah oleh keringat.
"Edan." Naga Kuning masih bisa keluarkan
suara. "Untung cuma muntah barengan. Kalau sampai berak barengan!"
Gondoruwo Patah Hati jambak rambut Naga
Kuning tapi sambil tawa cekikikan. Bunga
memberi isyarat agar mereka segera meneruskan masuk ke dalam lorong.
Wiro yang ingatannya masih terpaut pada
Jatilandak berkata. "Kalian pergilah duluan. Aku segera menyusul."
"Memangnya kau mau ke mana?" Tanya Bunga
heran. "Jangan-jangan sembunyi mau berak!" kata
Naga Kuning pula.
"Jatilandak..." ucap Pendekar 212.
"Jatilandak" Apa yang ada di pikiranmu, Wiro?"
Bertanya Bunga.
"Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja."
"Aahhh..." Gadis dari alam roh menghela nafas.
Menatap ke sepasang mata Pendekar 212 dia seperti bisa membaca apa yang ada di
dalam pikiran dan hati pemuda ini.
"Sebenarnya, bukankah dia sendiri yang minta ditinggalkan" Dia menyadari
keadaan," kata Naga Kuning pula.
"Aku..." Wiro mengusap dagu, tidak teruskan ucapannya.
"Ada sesuatu yang hendak kau lakukan?"
Tanya Gondoruwo Patah Hati.
Wiro tidak menjawab. Malah mendorong Naga Kuning ke samping lalu lari ke arah
tadi dia dan rombongan datang. Ketika sampai di tempat Jatilandak tergeletak,
Wiro terkejut. Sosok yang tadinya berbentuk landak kini telah berubah menjadi
sosok manusia berkulit kuning, tertelung-
kup mengenaskan di tanah. Pakaian coklatnya hancur hangus, menyembulkan punggung
yang terpanggang merah.
Dua tangan dan dua kaki pemuda itu
terbentang di lantai. Sepasang mata tertutup. Wiro tidak dapat memastikan apakah
Jatilandak masih hidup. Namun kemudian dari sela bibir Jatilandak yang terbuka
dia mendengar suara erangan halus.
Mendengar langkah kaki orang mendatangi lalu berdiri di dekatnya, pemuda dari
negeri 1200 tahun silam ini perlahan-lahan buka sepasang matanya.
"Wiro, kenapa kau kembali?" Suara Jatilandak perlahan sekali.
"Kami tidak bisa meninggalkan kau sendirian di sini."
"Lalu..."
Wiro membungkuk. Membuat empat kali
totokan, satu di belakang kepala, tiga di bagian tubuh Jatilandak. Sesaat
kemudian pemuda dari Latanahsilam itu sudah berada di bahu kirinya lalu dibawa
lari kembali ke arah lorong dari mana tadi mereka datang.
"Wiro, aku berterima kasih kau punya maksud menolong diriku. Tapi menolong orang
yang segera akan menemui kematian tidak ada gunanya. Lebih baik kau segera
bergabung dengan para sahabat.
Mereka lebih membutuhkan dirimu. Kau tak
mungkin membawa aku ke mana kau pergi..."
"Kau betul. Tapi aku bisa mencarikan tempat yang lebih baik dan lebih aman
bagimu." Wiro membawa Jatilandak ke telaga di dasar jurang. Susah payah dia menuruni
tangga terjal di dinding batu. Jatilandak dibaringkan di tepi telaga.
"Untuk sementara kau aman di sini. Aku harus pergi. Kalau semua urusan dengan
mahluk setan itu selesai, kami akan kembali menemuimu di sini."
Jatilandak ulurkan tangan memegang lengan kiri Pendekar 212 erat-erat.
"Aku sangat berterima kasih. Hatimu seputih kapas, budimu semurni emas. Wiro,
aku tidak akan bertahan lama. Aku tidak ingin mati dengan meninggalkan duga dan
sangka yang menjadi beban berat dalam perjalananku ke alam lain. Aku ingin kau
tahu. Antara aku dan Bidadari Angin Timur tidak ada apa-apa. Tidak pernah
terjadi apa-apa di antara kami. Budinya setinggi langit, sejuk hatinya sedalam
lautan. Aku sangat
menghormatinya..."
Wiro terdiam sesaat lalu berdiri.
"Wiro, gadis itu mencintai dirimu setulus hatinya...," Jatilandak lepaskan
pegangannya di tangan Wiro.
Pendekar 212 garuk kepala, menatap wajah
Jatilandak sesaat lalu pandangannya membentur ujung patahan gagang kayu Bendera
Darah yang masih menancap di bahu kiri pemuda berkulit kuning itu. Wiro ingat
apa yang telah dilakukan Eyang Sinto Gendeng ketika keluarkan Kapak Naga Geni
212. Salah satu mata kapak ditempel-
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan ke patahan kayu gagang bendera. Wiro kerah-
kan tenaga dalam. Kapak Naga Geni 212 pancar-
kan cahaya menyilaukan disertai hawa panas.
Cessss! Jatilandak mengernyit menahan sakit. Daging bahunya mengepulkan asap. Gagang
Bendera Darah serta merta berubah hitam, hangus gosong menjadi bubuk.
Wiro berbalik lalu tinggalkan tempat itu. Dia terharu mendengar ucapan
Jatilandak tadi. Na-
mun semua itu tidak dapat melenyapkan ganjalan yang ada di dalam hatinya.
Ganjalan yang seolah-olah telah menyatu menjadi batu. Sulit untuk dipupus.
Di belakang sana terdengar suara Jatilandak berucap perlahan.
"Wiro, terima kasih. Aku mendoakan keselama-
tan bagimu dan kawan-kawan..."
*** Di dalam lorong, Naga Kuning tampak seperti
orang bingung. Sebentar-sebentar dia usap bagian bawah perutnya. Bibir digigit-
gigit. Dia meman-
dang berkeliling, melirik pada Gondoruwo Patah Hati dan Bunga. "Kalau saja
keduanya laki-laki aku tidak malu-malu melakukannya di sini," kata si bocah
dalam hati. "Intan," Naga Kuning menyebut nama asli si nenek.
"Kau mau ke mana?" Tanya Gondoruwo Patah
Hati yang sejak tadi memperhatikan Naga Kuning.
"Aku mau menyusul Wiro. Aku khawatir kalau dia pergi sendirian..."
"Hai..."
Naga Kuning tidak perdulikan seruan
Gondoruwo Patah Hati. Langsung saja bocah ini berlari cepat ke arah lorong yang
tadi ditempuh Wiro sewaktu membawa Jatilandak. Di satu tiku-
ngan dia hentikan lari. Nafas mengengah.
"Gila, aku tidak tahan lagi. Betul-betul kebelet!
Sudah, di sini rasanya bisa kulakukan. Tak ada yang melihat," Lalu anak ini
dodorkan celana hitamnya ke bawah. Tapi dia bingung sendiri. "Ah, apa langsung
saja di sini" Kalau tempat ini banyak mahluk halusnya bagaimana" Bisa kapiran
aku kalau sampai anuku dipencet." Dia melirik pada bumbung bambu yang tersembul
di kepitan tangan kiri. "Baiknya kumasukkan dalam bum-
bung ini saja. Nanti kalau ada kesempatan baru aku buang..."
Naga Kuning ambil bumbung bambu kosong,
dekatkan ke bagian bawah perutnya lalu, seerrr!
Bocah ini pancarkan air kencingnya ke dalam bumbung bambu. Selesai kencing dia
menarik nafas lega. Dari balik pakaian dia keluarkan sehelai sapu tangan butut
lalu disumpalkan ke ujung bambu.
WIRO SABLENG 8 KEMATIAN KEDUA ANGUNAN serba putih yang dikenal dengan
nama Rumah Tanpa Dosa memancarkan
Bcahaya berkilau terkena sinar terik sang surya. Suara bahana genta baru saja
lenyap. Kesunyian membungkus delapan penjuru angin sampai ke lembah kecil yang terletak
tak jauh di sebelah utara Rumah Tanpa Dosa.
Sambil memanggul tubuh Dewa Tuak, Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kema-
tian berlari cepat melewati rumah tua berbentuk panggung beratap ijuk hitam.
Lampion kain putih di bawah atap bangunan membersit keluar bau busuk antara amis
dan bau bangkai.
Selewatnya, sebuah lembah kecil yang lebih banyak tertutup batu daripada
tetumbuhan, Wakil Ketua akhirnya sampai di halaman satu rumah panggung serba
putih, mulai dari atap ijuk sampai tiang-tiang penyanggah bangunan serta tangga
setengah lingkaran. Sebuah genta besar tergan-
tung di bawah atap ijuk putih. Tali genta menjulai ke bawah, hampir menyentuh
tanah. Dua buah benda yaitu dua kuntum kembang kenanga
menancap di atas pintu putih. Kayu di sekitar dua kembang itu kelihatan hangus
menghitam, terdapatlah dua kembang kenanga yang dilempar Bunga sewaktu berusaha menahan
serangan kekuatan gaib yang dilepas Sri Paduka Ratu dari Rumah Tanpa Dosa.
"Sial, Yang Mulia Ketua selalu memberi
perintah berubah-ubah dan mendadak. Kalau saja dia tidak menyuruh aku menebar
hawa beracun di lorong, urusanku sudah selesai dari tadi. Segala rencana jadi
tak karuan. Aku harus bertindak cepat!"
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Aku Wakil Ketua datang menjalankan perintah Yang
Mulia Ketua. Lekas keluar dan laksanakan perintah!"
Suara keras seruan Wakil Ketua menggema
panjang lalu lenyap. Tak ada gerakan, tak ada jawaban dari dalam Rumah Tanpa
Dosa. "Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Kita tidak punya waktu banyak! Para penyusup sudah
berada di dalam lorong sebelah selatan!" Wakil Ketua berteriak lagi.
"Wakil Ketua! Aku tidak tuli! Mengapa berteriak tidak karuan seolah kau lebih
kuasa dari Yang Mulia Ketua?" Tiba-tiba ada suara perempuan dari dalam bangunan
putih, mendesing keras seolah sambaran angin.
"Perempuan keparat! Kau akan rasakan
bagianmu nanti! Kau akan menyembah di kakiku sebelum tubuhmu kembali ke alam
bangkai busuk!" Wakil Ketua memaki dalam hati.
Tidak sabaran Wakil Ketua menarik tali genta tiga kali berturut-turut. Suara
keras menggelegar.
Tanah bergeletar. Rumah Tanpa Dosa mengeluar-
kan suara berderik. Wakil Ketua terhuyunghuyung dan cepat kerahkan tenaga
sebelum tubuhnya terbanting ke tanah.
Ketika suara genta berhenti, dari dalam Rumah Tanpa Dosa terdengar suara
perempuan tertawa.
Pintu putih di ujung atas tangga setengah lingka-
ran terbuka. Sesaat kemudian muncul satu sosok putih, melangkah dalam gerakan
kaku. Sosok putih ini mengenakan kain penutup
kepala yang pada bagian atas melingkar sebuah mahkota kecil berwarna hijau.
Jubah putih yang menutupi tubuh begitu tipis menerawang hingga bentuk aurat di
sebelah dalam nyaris jelas. Ada satu kejanggalan. Jubah putih itu robek di
bagian perut. Di sebelah belakang, di bawah kain penutup kepala menjulai rambut
panjang hitam sampai sepinggang.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu," Wakil Ketua berseru. "Yang Mulia Ketua minta kau
menyedot tenaga dalam dan kesaktian kakek ini! Harap kau lakukan dengan cepat!"
Habis berkata begitu Wakil Ketua turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya. Si
kakek, dalam keadaan lemah tegak terhuyung, dua
tangan terkulai lunglai, dua lutut agak tertekuk dan sepasang mata terpejam.
Sepasang mata di balik dua lobang pada kain penutup kepala bermahkota menatap
tak berkesip ke arah Wakil Ketua dan kakek yang tegak di sampingnya.
"Wakil Ketua, kau menunjukkan perilaku
sangat setia dalam menjalankan perintah Yang Mulia Ketua. Tapi kau tidak bisa
menipu diriku!"
Wakil Ketua terkejut. "Perasaanku jadi tidak enak. Apa dia mengetahui semua
rencanaku"
Berbahaya. Aku benar-benar harus bertindak cepat. Mudah-mudahan Ketua masih
sibuk dalam melampiaskan nafsu bejatnya."
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apa maksud
Yang Mulia dengan ucapan tadi?" Wakil Ketua ajukan pertanyaan.
"Berapa kali aku menegur agar kau tidak
berbuat cabul di tempat ini?"
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, saya tidak
mengerti..."
Sang Ratu yang masih berdiri di ujung atas tangga putih tertawa panjang.
"Kau menculik dan menyekap seorang gadis.
Punya maksud hendak mencabulinya. Apakah kau tidak takut mendapat hukuman
berat?" Ucapan sang Ratu kembali membuat Wakil
Ketua terkejut. "Bagaimana dia bisa tahu aku menculik dan menyekap gadis itu?"
"Sri Paduka Ratu, jangan kau percaya pada segala kabar angin. Tugasku banyak.
Mana ada waktu untuk segala urusan culik menculik, sekap menyekap."
Sosok putih di depan pintu tertawa panjang.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kau rupanya
selalu memperhatikan gerak-gerikku. Padahal yang berbuat cabul di tempat ini
bukan cuma aku..."
Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali tertawa.
"Apakah engkau hendak mengatakan Yang Mulia Ketua juga melakukan perbuatan cabul
tapi mengapa aku tidak memperdulikan dan tidak menegur" Beraninya kau punya
pikiran dan keluarkan ucapan seperti itu. Apa tidak khawatir Yang Mulia Ketua mendengar?"
"Perempuan setan!" maki Wakil Ketua tapi
diam-diam hatinya kecut juga. Dia memandang berputar ke arah kejauhan. Belum
kelihatan tanda-tanda Yang Mulia Ketua akan segera
muncul. Di atas tangga Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali membuka mulut.
"Kau lupa pada ucapan kesetiaan bahwa hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!"
Dalam hati Wakil Ketua kembali memaki. Lalu dia berkata dengan suara keras.
"Kehadiranku di sini bukan untuk mendengar segala bicara pan-
jang lebar. Aku membawa tugas dari Yang Mulia Ketua. Kau diperintahkan untuk
menyedot tenaga dalam dan kesaktian kakek ini! Laksanakan saja tugasmu! Jangan
banyak bicara!"
Sri Paduka Ratu tertawa panjang. Sekali
kakinya digerakkan, seperti terbang tubuhnya melayang ke bawah dan tegak di
halaman Rumah Tanpa Dosa, terpisah lima langkah di hadapan Dewa Tuak dan Wakil
Ketua. "Aku mencium bau aneh di tubuh kakek ini.
Wakil Ketua, harap kau menerangkan siapa dia adanya."
Wakil Ketua tanggalkan kain putih penutup kepala orang yang tegak terbungkuk di
samping- nya. Kelihatan satu wajah tua berambut putih dengan sepasang mata dalam keadaan
terpejam. "Julukannya Dewa Tuak. Kuberitahupun kau
tidak tahu apa-apa!" jawab Wakil Ketua pula.
Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyeringai lalu melangkah mendekati Dewa Tuak yang
masih berdiri terhuyung-huyung. Tiba-tiba kakek ini buka matanya yang sejak tadi
terpejam. Begitu melihat siapa yang berdiri di depannya, dua matanya langsung
dikedap-kedipkan.
"Aku harap tidak bermimpi. Tidak menduga
bakal bertemu seorang manusia pocong betina di tempat ini! Ada mahkota di
kepalamu! Ha... ha...
ha! Kau pasti bukan mahluk sembarangan.
Sayang wajahmu tertutup kain putih. Tapi aku yakin pasti wajahmu secantik
bidadari. Ha... ha...
ha!" "Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Lekas
laksanakan tugasmu! Cepat sedot tenaga dalam dan kesaktiannya!" Wakil Ketua
sudah tidak sabaran.
"Eh, apa?" Dewa Tuak angkat kepalanya
sedikit. Tangan kiri digelungkan di belakang daun telinga kiri. Lagaknya seperti
orang mau mendengar lebih jelas. "Kalau mau menyedot jangan tenaga dalam dan kesaktianku.
Aku rela memberikan bagian tubuhku yang lain untuk disedot! Kau pasti merasa
enak! Aku juga enak!
Sama-sama enaklah kita! Ha... ha... ha!"
"Tua bangka kurang ajar!" Sri Paduka Ratu memaki marah. Tangan kanan diangkat ke
atas. Telapak membuka, lima jari menekuk seperti mencengkeram. Cahaya kuning kemudian
muncul di lima jari. Ketika tangan itu diputar ke kanan lalu disusul dengan
gerakan seperti membetot, Dewa Tuak menjerit keras. Tubuhnya yang tadi
membungkuk bergoncang keras. Dari mulutnya menyembur darah segar!
"Ratu! Jangan berlaku tolol! Kau mau membu-
nuh kakek ini sebelum melaksanakan perintah Yang Mulia Ketua?" berteriak Wakil
Ketua. "Diam!" bentak Sang Ratu. "Aku tahu apa yang aku lakukan!"
Lalu Sri Paduka Ratu pegang kuat-kuat bahu kanan Dewa Tuak dengan tangan kiri
sementara telapak tangan diletakkan di atas batok kepala si kakek.
Kasihan Dewa Tuak. Bukan saja seluruh
tenaga dalam serta kesaktiannya akan tersedot masuk ke dalam tubuh Sri Paduka
Ratu, tapi nyawanyapun tidak akan tertolong.
Begitu Sri Paduka Ratu meletakkan telapak tangan kanan di atas kepala Dewa Tuak,
Wakil Ketua cepat beranjak dan kini dia sengaja tegak di samping sang Ratu,
sedikit ke belakang, terpisah kurang dari dua langkah. Dua jari tangannya yang
sebagian tertutup di balik lengan jubah, diam-diam bergerak lurus dalam sikap
siap untuk menotok. Siapa yang akan ditotoknya" Jelas bukan Dewa Tuak!
WIRO SABLENG 9 KEMATIAN KEDUA ANGAN kanan Sri Paduka Ratu yang berada
di atas ubun-ubun kepala Dewa Tuak
Ttampak ber-getar pertanda dia mulai
melakukan penyedotan tenaga dalam dan
kesaktian si kakek. Sangat cepat getaran menjalar ke tubuh korban.
Dess! Dess! Dess!
Asap tipis kelabu mengepul dari batok kepala si kakek. Kalau sewaktu menyedot
tenaga dalam dan kesaktian Hantu Muka Dua kelihatan ada cahaya biru di kaki
mahluk dari Latanahsilam itu dan terus menjalar ke atas, maka pada diri Dewa
Tuak yang kelihatan adalah cahaya putih. Ini pertanda bahwa tenaga dalam dan
kesaktian yang dimiliki-
nya adalah murni dari golongan putih.
Pada saat sangat genting, yaitu ketika cahaya putih di kaki Dewa Tuak kelihatan
mulai bergerak naik ke atas, tiba-tiba empat bayangan berkelebat dari arah utara
halaman Rumah Tanpa Dosa.
Menyusul seruan nyaring suara perempuan.
"Mahluk alam roh! Hentikan perbuatan
terkutukmu!"
Bersamaan dengan itu empat gelombang angin menderu ke arah Yang Mulia Sri Paduka
Ratu, membuatnya terkejut, menjerit keras. Cepat dia tarik tangan kanannya dari
atas kepala Dewa Tuak lalu melompat mundur. Walau semua
gerakan itu dilakukan dengan sangat cepat namun empat gelombang angin masih
sempat menyerem-
petnya. Untuk kedua kalinya sang Ratu menjerit keras. Kali ini bukan jeritan
kaget, tapi Jeritan penuh marah.
Empat gelombang angin yang menghantam
tubuhnya berasal dari pukulan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam
tinggi serta ilmu kesaktian bukan sembarangan.
Blaar! Blaar! Blaar! Blaar!
Jangankan tubuh manusia, tembok batu
sekalipun pasti ambruk berkeping-keping. Tetapi luar biasa, Sri Paduka Ratu
hanya tergontai-gontai. Itupun cuma seketika. Apa yang terjadi"
Sesaat sebelum empat pukulan sakti jarak jauh menghantam, serangkum cahaya
kuning muncul melindungi dirinya mulai dari kepala sampai kaki.
Hantaman empat angin pukulan sakti hanya
menimbulkan suara dentangan aneh.
"Jahanam berani mati! Siapa kalian?" Yang Mulia Sri Paduka Ratu berteriak marah.
Dua tangan di balik jubah putih dipukulkan ke depan.
"Lekas menyingkir!" Seseorang berteriak.
"Selamatkan Dewa Tuak!" Ada suara lain ikut berseru.
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wutttt! Wuttt! Dua larik angin dahsyat memancarkan cahaya kuning panas berkiblat. Namun empat
orang yang hendak dijadikan bangkai gosong tak ada lagi di tempat semula. Bahkan
Dewa Tuak yang tadi ada di dekat mereka ikut lenyap! Dua gelombang angin kuning
menderu jauh memapas udara kosong lalu menghantam pinggiran lembah. Bebatuan di
tubir lembah sebelah atas hancur bertaburan, berubah menjadi bara menyala. Tanah
dan pasir beter-
bangan ke udara.
Memandang berkeliling, dua belas langkah di sebelah kiri, Sri Paduka Ratu
melihat Dewa Tuak berada dalam gendongan seorang pemuda beram-
but gondrong. Sepasang mata Sri Paduka Ratu menyipit, kening mengerenyit. Saat
itu si pemuda tengah menurunkan kakek yang digendongnya ke tanah. Dewa Tuak
tegak terbungkuk sambil
pegangi dadanya yang mendenyut sakit. Noda darah membasahi bagian depan jubah
putih yang dikenakannya. Sepasang mata si kakek berputar.
Pandangannya berhenti pada sosok Naga Kuning yang tegak sambil memegang bumbung
bambu. Dua bola mata si kakek membesar. Mulut menga-
nga, tenggorokan turun naik.
"Bocah! Bumbung bambu itu! Kau dapat di
mana" Rasa-rasanya. Ah, aku jadi haus!" Si kakek lalu duduk menjelepok di tanah.
Kepala didongak-
kan. Dua tangan diangkat ke atas. Menggantung di udara. Satu di atas kening,
satu di dekat mulut.
Kalau sudah begitu biasanya tenggorokan si kakek akan mengeluarkan suara gluk,
gluk, gluk, seperti melahap minuman benaran. Tapi sekali ini hal itu tidak
terjadi. Malah perlahan-lahan dia turunkan dua tangan. "Apa nikmatnya minum
bohongan terus-terusan," kata si kakek perlahan lalu berpaling pada Naga Kuning,
menatap ke arah bumbung bambu. "Bocah jabrik! Berikan bum-
bung bambu itu padaku!"
Naga Kuning jadi bingung.
Gondoruwo Patah Hati berkata, "Lekas
serahkan. Mengapa kau diam saja?"
"Aku..."
"Kakek itu seperti kurang waras. Siapa tahu kalau memegang bumbung bambu
ingatannya kembali pulih. Kita butuh dia. Sebentar lagi tempat ini bakal jadi ajang sabung
nyawa." "Tapi, Nek. Kau, kau tidak tahu..."
Tidak sabaran Gondoruwo Patah Hati rampas bumbung bambu dari tangan Naga Kuning.
Saat itu dia merasakan kalau dalam tabung ada cairan.
"Eh, setahuku waktu kau temukan bumbung
ini kosong. Mengapa sekarang ada cairannya" Ada kain penyumpal?" si nenek
menatap Naga Kuning.
"Sudah, kalau kau ingin menyerahkannya pada Dewa Tuak. Serahkan saja..." kata
Naga Kuning pula. Lalu dalam hati bocah konyol ini berkata
"Gila! Kalau di luar sadar Dewa Tuak sampai menenggak isi bumbung itu dan satu
ketika dia tahu apa sebenarnya isinya, aku bisa celaka..."
Dewa Tuak tertawa penuh gembira ketika
menyambuti bumbung bambu yang diserahkan
Gondoruwo Patah Hati. Untuk beberapa lamanya bumbung itu diletakkan di pangkuan
dan diusap-usap.
Wiro yang berdiri di sebelah Bunga berbisik,
"Manusia pocong betina itu, luar biasa sekali. Dia mampu menahan empat hantaman
kita sekaligus!
Agaknya benar ucapan orang di luaran. Sekali masuk ke dalam lorong kematian,
tidak ada jalan keluar hidup-hidup."
"Wiro, apa kau sudah mati semangat?"
Wiro terdiam. Matanya memperhatikan robekan di perut jubah putih Yang Mulia Sri
Paduka Ratu. "Bunga, kau lihat robekan di bagian perut manusia pocong itu" Hantu Muka Dua
tidak bohong. Ketika bertemu mahluk pocong ini dia melihat sesuatu di dalam perutnya,
berusaha mengambil tapi hanya sanggup menggapai robek jubahnya..."
"Tadi aku sempat mencoba melihat tembus.
Memang ada sesuatu di dalam perutnya. Tapi aku cuma melihat samar. Sewaktu aku
paksakan mataku terasa sangat perih. Sebelum satu
kekuatan hebat melabrakku aku hentikan melihat tembus..."
"Coba aku periksa," kata Wiro pula. Lalu dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang
didapat- nya dari Ratu Duyung.
"Wiro, jangan! Kau bisa celaka!" mengingatkan Bunga. Tapi terlambat, Wiro telah
keburu mengerahkan ilmu melihat tembus pandang ke dalam perut Sri Paduka Ratu.
"Bunga, aku... aku bisa melihat lebih jelas. Itu gulungan Pedang Naga... Ah!"
Satu kekuatan tak terlihat tiba-tiba muncul menerpa Pendekar 212.
Wiro terjajar lalu terjengkang di tanah. Kepala bergetar sakit seperti mau
rengkah! Mata terasa sangat perih. Dia coba menggosok. Ketika matanya dibuka
kembali dia tersentak kaget. Dia hanya melihat kegelapan. "Celaka! Aku tak bisa
melihat apa-apa! Buta! Aku buta!"
Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa panjang.
Bunga cepat dekati Wiro. Mengusap kedua
matanya dengan tangan kiri. "Cepat berdiri. Kau hanya buta sementara. Kerahkan
hawa sakti pada dua matamu. Sesaat lagi penglihatanmu akan pulih!"
Apa yang dikatakan Bunga benar adanya.
Hanya selang beberapa ketika setelah dia menge-
rahkan tenaga dalam dan aliran hawa sakti pada kedua matanya, dia sudah mampu
melihat seperti semula. "Gila..." ucap Wiro sambil mengusap keningnya yang
keringatan. "Bunga, kita menghadapi satu kekuatan yang sulit ditandingi..."
"Aku sudah tahu jauh sebelumnya. Aku sudah bilang padamu. Kekuatan alam gaib itu
berpusat di rumah putih. Di dalam rumah putih penghuni-
nya adalah manusia pocong perempuan ini.
Seperti diriku dia datang dari alam roh. Namun dia datang dibekali kesesatan.
Dialah sumber dan pusat segala kekuatan ilmu kesaktian di tempat ini. Tapi dia
berada di bawah kendali seseorang.
Hampir pasti si pengendali adalah Ketua Barisan Manusia Pocong. Selain itu
ingat, kita harus menemukan satu batu pipih hitam. Dugaanku benda itu berada di
tangan penguasa lorong kematian. Jika batu tidak berhasil dirampas, kejahatan
yang sama dapat terulang kembali."
"Mana dia sang ketua. Aku belum melihat
batang hidungnya..."
"Mungkin dia tidak akan pernah muncul. Dia cukup mengendalikan Sang Ratu untuk
mengha- bisi kita. Sebelum itu terjadi kita harus sanggup menghancurkan kekuatannya.
Kekuatan itu hanya bisa dihancurkan jika kau menikahi manu-
sia pocong yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kita tak punya waktu banyak.
Ikuti aku!"
Bunga lalu menarik tangan Wiro, melangkah ke hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Wakil Ketua yang berada di dekat tempat itu cepat mengha-
dang. Sepasang mata berkilat pada Wiro Sableng.
Wiro balas memperhatikan. Dari potongan tubuh orang ini Wiro segera tahu kalau
dia adalah manusia pocong yang muncul menebar asap
beracun di dalam lorong. Wiro cepat alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Pukulan Sinar Matahari disiapkan.
Manusia pocong di hadapan Wiro tertawa
perlahan. "Kalaupun kau punya sepuluh tangan dan menghantamkan sepuluh pukulan
Sinar Matahari sekaligus, kau tak akan mampu
mengalahkanku. Sayang nyawamu sudah ada
yang punya. Kalau tidak, saat ini kepalamu tidak ada lagi di atas leher!"
"Omongan hebat! Tapi siapa percaya ucapan manusia jelek macam kau. Yang hanya
berani melepas hawa beracun lalu kabur! Aku menduga ilmumu hanya secetek
comberan. Tapi bermulut besar karena mendapat lindungan dan andalan ilmu
kesaktian dari pocong betina ini."
Di balik kain putih penutup kepala, rahang manusia pocong menggembung. Nafasnya
mende- ngus. Tubuh bergeletar. Lima jari tangan kiri kanan ditekuk sampai mengeluarkan
suara berkeretek. "Yang Mulia Sri Paduka Ratu, lekas pergi ke rumah panggung beratap ijuk hitam!
Jangan keluar kalau tidak ada yang memberi perintah.
Monyet-monyet kesasar ini serahkan padaku."
"Wakil Ketua, beraninya kau memerintah
diriku" Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!"
"Perintah itu berasal dari Yang Mulia Ketua!
Apa kau berani membantah?"
"Ha... ha! Monyet berjubah putih ini Wakil Ketua rupanya!" Tiba-tiba Wiro
berseru. "Oala!" menimpali Gondoruwo Patah Hati yang tegak di samping Dawa Tuak. Si kakek
masih saja mengusap-usap bumbung bambu di pangkuan-
nya. "Wakil sudah muncul! Ketuanya mana?"
"Mungkin lagi berak!" menyahuti Naga Kuning lalu tertawa cekikikan.
"Ckkk... cekk... cekkk!" Wakil Ketua berdecak leletkan lidah. "Luar biasa
beraninya kalian berbicara! Apakah cukup berani menghadapi kematian?"
"Ckk... ckkk... ckkk!" Naga Kuning balas
berdecak. "Bagaimana kalau kita mati barengan"!"
"Bocah jahanam! Kau akan kubunuh duluan!"
teriak Wakil Ketua.
"Mati barengan boleh saja," ujar Wiro. "Tapi mahluk setan ini harus lebih dulu
menunjukkan di mana perempuan-perempuan muda itu disekap.
Di mana Anggini, Wulan Srindi, Kakek Segala Tahu!"
Wakil Ketua yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya karena diamuk amarah
mendorong bahu Yang Mulia Sri Paduka Ratu. "Tunggu apa lagi" Lekas pergi ke
rumah panggung ijuk hitam!
Itu perintah Yang Mulia Ketua!"
"Rumah busuk itu! Tempat para bayi dan
ibunya mati dibunuh! Mengapa aku harus ke sana?" Tanya Yang Mulia Sri Paduka
Ratu. "Tempat kediamanku adalah rumah putih ini.
Rumah Tanpa Dosa!"
"Sri Paduka Ratu! Jangan kau berani menolak perintah Yang Mulia Ketua."
Tapi Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak per-
dulikan bentakan Wakil Ketua. Sekali berkelebat tubuhnya melayang mengikuti
tangga putih sete-
ngah lingkaran. Secara aneh pintu putih terbuka.
Sosok Sri Paduka Ratu lenyap ke dalam rumah putih. Pintu putih tertutup kembali.
Sesaat sebelum Sri Paduka Ratu masuk ke
dalam Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian
keluarkan suitan nyaring dua kali berturut-turut. Tak selang berapa lama, tiga
manusia pocong berkelebat di tempat itu. Salah seorang di antara mereka
kelihatan robek kain penutup kepalanya di bagian leher dan ada noda darah di
jubah. "Pocong bangsat satu itu yang menyerang kita di dalam lorong. Yang dikoyak
lehernya oleh Jatilandak. Gila. Masih hidup dia!" ucap Naga Kuning.
Manusia pocong keempat muncul dengan
tubuh huyung langkah terseok-seok seperti mau jatuh. Dari mulutnya keluar suara
ha... hu... ha...
hu tiada henti. Tangan kanan diacung-acungkan ke atas. Sungguh aneh penampilan
manusia pocong satu ini dibanding dengan teman-teman-
nya yang lain, yang bergerak serba cepat dan bersikap galak ganas.
Sesaat kemudian dari atas rumah panggung
serba putih mengumandang suara nyanyian.
WIRO SABLENG 10 KEMATIAN KEDUA EHIDUPAN muncul secara aneh
Kematian datang tidak disangka
K Di dalam bukit batu
Ada seratus tiga belas lorong
Siapa masuk akan tersesat
Tidak ada jalan keluar
Sampai kematian datang menjemput
Di dalam lembah
Ada Rumah Tanpa Dosa
Inilah tempat tenteram bagi mahluk tidak berdosa
Bendera Darah lambang kematian
Tiada daya menentang ajal
Darah suci bayi yang dilahirkan
Pembawa kehadiran Nyawa Kedua
Sambungan hidup insan tak bernyawa
Di dalam lorong ada kesepian
Di dalam kesepian ada kehidupan
Di dalam lorong ada kesunyian
Di dalam kesunyian ada kematian
Di halaman Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua
memaki dalam hati. "Ratu gila! Dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya
menyanyi!"
Wakil Ketua berpaling kepada tiga manusia pocong yang ada di seberang sana lalu
berteriak. "Bunuh bocah, nenek, dan gadis itu. Si
gondrong biar aku yang menangani!"
Begitu perintah berucap, tiga manusia pocong segera berkelebat.
Wakil Ketua berpaling pada manusia pocong yang muncul dengan langkah terseok-
seok. "Kau!" teriak Wakil Ketua. "Tugasmu membu-
nuh kakek yang memegang bumbung bambu!
Lakukan cepat!"
"Gawat!" ucap Bunga. "Ikuti aku! Kita harus segera masuk ke dalam rumah putih.
Pernikahan harus segera dilangsungkan!"
"Empat manusia pocong itu hendak menghabisi kawan-kawan! Bagaimana mungkin kita
mening- galkan mereka?"
"Wiro, ini keadaan yang terpaksa harus kita hadapi. Harus ada yang berkorban
demi musnah- nya malapetaka rimba persilatan. Kalau kita bertindak terlambat tak ada yang
bisa ditolong. Nyawamupun tidak akan terselamatkan!"
"Aku memilih menghadapi mahluk-mahluk
keparat itu. Aku akan menghajar Wakil Ketua itu lebih dulu!"
"Jangan tolol! Ikuti aku! Siapkan setanggi yang aku berikan padamu!" Habis
berkata begitu Bunga cekal lengan kanan Wiro. Tahu-tahu Wiro merasa-
kan dirinya melesat ke udara. Bunga berkelebat ke arah pintu putih. Sementara
dari dalam rumah putih kembali terdengar suara Sri Paduka Ratu kembali menyanyi.
Braakkk! Bunga dan Wiro tersungkur di depan pintu.
Tadi Bunga mencoba menjebol pintu itu dengan tendangan kaki kanan. Ternyata
pintu tidak bergeming. Malah dia dan Wiro jatuh terbanting di depan tangga.
"Luar biasa!" ucap Bunga. Wajah putih pucat-
nya tampak keringatan. Gadis dari alam roh ini keluarkan kantong berisi serbuk
setanggi lalu ditebar di papan pintu. Di dalam rumah suara nyanyian terputus.
Berganti jeritan panjang menyerupai setengah raungan setengah tangisan.
Rumah putih bergoncang keras. Genta bergoyang keluarkan suara membahana.
Di halaman rumah putih Wakil Ketua terkesiap ketika melihat bagaimana Bunga dan
Wiro mampu melesat ke atas Rumah Tanpa Dosa. Selama ini, termasuk dirinya dan
juga Ketua Barisan Manusia Pocong, tak mampu naik ke atas bangunan putih itu.
Konon, siapa saja manusia yang telah ter-
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sentuh dosa tidak mungkin bisa berada di atas rumah putih. Lalu apakah gadis
berkebaya putih dan Pendekar 212 Wiro Sableng merupakan insan-insan tanpa dosa"
Bubuk apa yang ditebarkan gadis bermuka sepucat mayat itu" Memikir sampai ke
situ Wakil Ketua berteriak pada manusia pocong keempat yang masih tertegun-tegun
di sebelah sana. Padahal tadi sudah diperintahkan membunuh Dewa Tuak.
"Tua bangka sial! Lupakan kakek itu! Tugasmu sekarang adalah masuk ke dalam
Rumah Tanpa Dosa. Selamatkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu dari dua penyusup! Bawa
ke dalam rumah pang-
gung beratap ijuk! Cepat laksanakan! Yang Mulia Paduka Ratu akan memberi
kekuatan padamu!"
Selarik cahaya kuning melesat dari arah rumah putih itu lalu membungkus manusia
pocong yang dimaki tua bangka sial. Mahluk ini balikkan badan. Keadaannya
mendadak sontak berubah.
Sekali dia menggenjotkan kaki, sosoknya melesat sebat ke udara, melayang di atas
tangga putih setengah lingkaran. Namun hampir sampai di bagian atas tangga,
tiba-tiba ada satu kekuatan menolak kehadirannya. Kekuatan ini menghantam
tubuhnya begitu rupa hingga terpental dan jatuh terguling-guling di tangga,
terbanting ke tanah.
"Gila!" maki Wakil Ketua dengan mata mendelik tak percaya. "Ratu memberi
kekuatan, tapi kini dia sendiri yang menghantam. Aku mengira kakek itu bersih
dari segala dosa. Dosa apa yang dimilikinya di masa muda?"
Sementara itu, di depan pintu putih Rumah Tanpa Dosa.
"Sekarang Wiro!" kata Bunga begitu selesai menebarkan bubuk setanggi di pintu
putih. Keduanya mundur beberapa langkah lalu sama-sama menghantam dengan pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Wuuut! Wuuuut! Braakkk! Pintu putih Rumah Tanpa Dosa hancur
berantakan. Bunga dan Wiro melompat masuk.
Begitu sampai di dalam keduanya menjadi kaget.
Walau di luar terang benderang namun cahaya tidak mampu menembus masuk ke dalam.
Dan sungguh tidak terduga. Bagian dalam Rumah Tanpa Dosa ternyata kelam gelap
gulita! Jangan-
kan melihat keadaan sekeliling. Tangan di depan matapun tidak kelihatan! Dalam
keadaan seperti itu ada suara menggerung dari salah satu bagian bangunan. Bunga
mencium bahaya. Wiro merasa tegang luar biasa. Sebenarnya dari beberapa orang
sakti yang pernah ditemuinya, Wiro mendapat ilmu mampu melihat lebih terang
dalam gelap. Namun saat ini kemampuan ilmu itu tidak
sanggup menembus kegelapan. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang dari Ratu Duyung.
Juga sia-sia! Bunga sendiri yang telah lebih dulu mencoba mengandalkan ilmu
tembus pandangnya juga tak berdaya. Tiba-tiba gadis dari alam roh ini ingat.
"Wiro, pupuri mukamu dengan bubuk
setanggi!"
Kedua orang itu segera mengambil setanggi yang mereka bawa lalu membedaki wajah
masing-masing. Saat itu juga suara menggerung dari salah satu sudut rumah
berubah menjadi teriak kema-
rahan. Ada letupan-letupan keras disertai dengan memancarnya bunga api. Dan luar
biasanya, di saat itu pula ruang dalam Rumah Tanpa Dosa yang tadinya gelap
gulita kini menjadi terang benderang. Memandang ke sudut kanan ruangan, Wiro
terkesiap kaget. Bunga mengerenyit meman-
dang tajam. Keduanya sama tersurut satu lang-
kah. Mahluk roh yang disebut Yang Mulia Sri
Paduka Ratu tegak di sudut ruangan, di atas teba-
ran puluhan batu sebesar tinju, merah menyala!
Cahaya kuning tipis membungkus sekujur tubuh-
nya mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Gila! Bagaimana mungkin! Jubahnya tidak
terbakar, kakinya tidak melepuh menginjak batu api!" ucap Wiro.
"Tenang, Wiro. Jangan pikiranmu dikacaukan oleh apa yang kau lihat!" bisik
Bunga. Di sudut ruangan Sri Paduka Ratu memandang ke langit-langit ruangan, meraung
panjang lalu raungan berganti dengan suara tawa cekikikan.
Bunga tidak menunggu lebih lama.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, aku datang
membawa pengantin lelaki calon suamimu. Upa-
cara pernikahanmu dengan pemuda bernama Wiro Sableng ini harus dilaksanakan saat
ini juga!"
Suara tawa Yang Mulia Sri Paduka Ratu
terhenti. Tapi cuma sebentar. Gelak tawanya disambung kembali. Lebih keras dari
tadi. Tiba-tiba sang Ratu hentakkan kaki kanan. Belasan batu merah menyala
sebesar tinju melesat ke arah Wiro dan Bunga!
WIRO SABLENG 11 KEMATIAN KEDUA UNGA berseru keras, melesat ke udara
sambil ubah ujudnya menjadi asap.
BSembilan batu menyala menyambar ganas.
Wutt! Wutt! Wuss! Wusss! Bunga terpekik. Dua buah batu menyerempet kebaya putih gadis alam roh itu di
bagian bahu kanan dan lengan kiri.
Di bagian lain Wiro yang juga berusaha
selamatkan diri dengan melompat sambil melepas-
kan pukulan tangan kosong juga berteriak kaget.
Tujuh batu menyala menyambar ke arahnya. Tiga berhasil dikelit, dua dipukul
mental. Batu keenam menyambar selangkangan celananya hingga
hangus bolong. Tengkuk sang pendekar merinding. "Sedikit lagi ke atas amblas perabotanku!"
katanya dalam hati.
Namun dia tidak bisa merasa lega. Karena batu ketujuh melesat ke samping kiri
kepala. Rambut-
nya yang gondrong serta merta berkobar. Kalang kabut Wiro berhasil memadamkan
nyala api yang membakar rambutnya.
Semua batu yang tidak mengenai sasaran
menghantam dinding Rumah Tanpa Dosa. Tujuh lobang hitam kelihatan di dinding
putih. "Wiro! Lekas keluarkan ilmu Angin Es. Batu menyala itu harus dipadamkan! Aku
akan meng- hadang kalau sang Ratu menyerang!"
Ilmu Angin Es adalah salah satu dari sekian banyak ilmu kesaktian yang didapat
Wiro dari Eyang Sinto Gendeng. Dengan cepat dia rangkap-
kan dua tangan di atas dada. Sepasang mata menatap tajam ke tebaran batu-batu
bernyala. Settt! Tangan yang dirangkapkan dibuka, telapak
tangan yang bergetar diarahkan pada batu-batu menyala. Serta merta Rumah Tanpa
Dosa dikung- kung hawa dingin sekali. Satu persatu batu me-
nyala menjadi padam mengepulkan asap dingin seolah berubah menjadi es! Namun
belum sampai setengah dari puluhan batu itu dipadamkan, Yang Mulia Sri Paduka
Ratu berteriak keras. Bahunya digoyangkan. Cahaya kuning yang menutupi tu-
buhnya melesat ke arah Bunga dan Wiro.
"Tebarkan setanggi!" teriak Bunga
Dua tangan serta merta menebarkan bubuk
setanggi. Selain menebar bubuk setanggi, Bunga juga melemparkan sekuntum kembang
kenanga ke arah Sri Paduka Ratu. Yang di arah adalah urat besar di pangkal leher
sebelah kiri. Jelas maksud-
nya untuk melumpuhkan lawan dengan cara
menotok. Sang Ratu mendengus. Lalu membuat sikap sengaja memasang badan. Kembang
kena- nga menembus kain putih penutup kepala lalu dengan telak menghajar urat besar di
pangkal leher kiri!
"Lumpuh!" ucap Bunga dalam hati.
Tapi Sang Ratu justru keluarkan tawa
mengikik. Dess! Kembang kenanga mencelat mental, berbalik menyerang pada pemiliknya! Tidak
menduga akan mendapat serangan balik begitu rupa Bunga terpekik kaget. Dan
terlambat mengelak. Untung saja kembang kenanga hanya menyerempet dan menggores
sedikit pipi kirinya.
Letupan-letupan keras disertai percikan bunga api memenuhi Rumah Tanpa Dosa.
Perlahan-lahan Yang Mulia Sri Paduka Ratu turun dari tumpukan batu menyala.
"Wiro, serahkan padaku gulungan kain putih!
Cepat!" Pendekar 212 Wiro Sableng jadi sibuk meme-
riksa ke balik pinggang pakaian. Untung benda yang diminta Bunga masih terselip
di bawah kipas kayu cendana milik Nyi Roro Manggut yang harus diserahkannya pada
Kakek Segala Tahu. Wiro cepat berikan gulungan kain putih pada Bunga.
Gadis dari alam roh buka gulungan kain yang berada dalam keadaan basah. Begitu
gulungan terbuka dia segera membaca baris-baris tulisan yang tertera di situ.
Batas antara kebaikan dan kejahatan
adalah kebijaksanaan
Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa akan menimbulkan bencana malapetaka
di mana-mana Jika kehidupan kedua tidak dimusnahkan rimba persilatan akan kiamat
Dalam kiamat tangan-tangan jahat akan jadi penguasa Darah mengalir sederas air sungai di
musim hujan Nyawa tiada artinya lagi
Hanya pernikahan dengan mayat
yang sanggup menjadi Tumbal penyelamat Jika pemilik pertama nyawa kedua
seorang perempuan,
nikahkan dia dengan...
Setiap kalimat yang dibacakan Bunga membuat Yang Mulia Sri Paduka Ratu undur
selangkah demi selangkah. Dada berdebar, tubuh melemas.
Hati kacau, pikiran galau. Dari balik penutup kepala terdengar suara nafas
memburu. Lalu berubah jadi suara sesenggukan. Namun sebelum Bunga sempat
menyelesaikan membaca seluruh tulisan yang tertera di kain putih basah, tiba-
tiba dari pintu yang terpentang lebar melesat satu bayangan putih.
"Hanya perintah Yang Mulia yang harus
dilaksanakan! Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Tutup pendengaranmu! Ikuti aku!
Cepat!" Yang Mulia Sri Paduka Ratu seperti orang baru sadar diri memandang ke arah
manusia pocong yang barusan masuk. Dari suaranya jelas manusia pocong satu ini
adalah perempuan. Walau suara itu agak lain namun Wiro rasa-rasa mengenalinya.
Ketika manusia pocong perempuan membalikkan badan dan menghambur ke pintu, Sri
Paduka Ratu secepat kilat berkelebat mengikuti.
"Wiro! Jangan biarkan mereka kabur!" teriak Bunga.
Pendekar 212 menghadang pocong perempuan
yang bergerak ke arahnya. Tanpa ragu murid Sinto Gendeng ini segera hantamkan
satu jotosan ke arah dada orang. Tidak tanggung-tanggung dia menghantam dengan
pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Ini adalah pukulan keempat dari enam
jurus dan ilmu pukulan sakti yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh.
Satu cahaya kuning menderu dari tubuh Sri Paduka Ratu memasuki tubuh manusia
pocong. Bukkk! Manusia pocong menangkis. Lengan beradu
lengan. Tenaga luar dan tenaga dalam manusia pocong perempuan itu ternyata tidak
di bawah Wiro. Pendekar 212 berseru kaget ketika bentro-
kan lengan membuat tubuhnya terangkat ke atas.
Kepala hampir menghantam langit-langit bangu-
nan. Lengan baju putihnya hangus menghitam dan mengepulkan asap. Lengan itu
terasa hancur kutung!
Sambil menahan sakit, di udara Wiro membuat gerakan jungkir balik. Saat melayang
turun tangan kirinya dipukulkan ke batok kepala pocong perempuan. Tapi luput.
Tak sengaja dia hanya mampu menarik tanggal kain putih penutup
kepala. Pocong perempuan menjerit keras, tutupi wajah dengan dua tangan lalu
meluncur ke bawah lewat pegangan tangga putih setengah lingkaran.
Lari ke arah lembah di sebelah utara.
Pendekar 212 tersentak kaget.
Walau pocong perempuan itu menutupi wajah dengan kedua tangan namun Wiro masih
sempat mengenalinya.
"Wulan Srindi!" seru Pendekar 212. Benar-
benar tak dapat dipercaya!
Di saat yang hampir bersamaan Bunga coba
menghadang Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Namun kalah cepat. Sri Paduka Ratu
melompat ke arah pintu setelah terlebih dulu melesatkan dua larik cahaya kuning
dari sepasang matanya. Cahaya pertama mencuat ke atas, ke arah langit-langit.
Wusss! Bummm! Satu ledakan dahsyat menggelegar. Atap
Rumah Tanpa Dosa serta merta dilamun kobaran api!
Cahaya kuning menyambar ke arah kepala
Bunga. Gadis alam roh ini berseru kaget. Cepat jatuhkan diri sama rata dengan
lantai. Di bela-
kangnya sebagian tangga putih setengah lingkaran hancur berantakan. Kayu-kayu
yang berpentalan berubah menjadi kuntungan api. Bunga masih sempat melihat sosok
Sri Paduka Ratu melesat di atasnya. Secepat kilat gadis ini kirimkan tendang-
an ke arah kaki lawan.
"Kepandaian cuma sejengkal! Beraninya kau mengadu kekuatan! Rasakan!" Sri Paduka
Ratu balas tendangan dengan tendangan.
Bunga menjerit keras. Tubuhnya terpental
jauh, meliuk di udara.
"Bunga!" teriak Wiro. Lalu melompat, cepat menangkap pinggang gadis dari alam
roh itu dan sama-sama jatuh bergulingan di tanah. Wiro bangun duluan dan
tersentak kaget ketika melihat kaki kanan bunga yang tersingkap berwarna hitam
kebiruan mulai dari ujung jari sampai ke betis. Wajahnya sangat pucat. Kedua
matanya tertutup.
"Bunga!" seru Wiro sambil pegang bahu si
gadis. Bunga buka sepasang matanya. Astaga! Bagian putih kedua mata si gadis kelihatan
hitam kebiruan.
"Bunga, kakimu, matamu berwarna hitam
kebiruan! Kau keracunan! Aku akan menotok jalan darahmu!" ucap Wiro khawatir.
Bunga memberi tanda dengan mengangkat
tangan kanan lalu perlahan-lahan bangun dan duduk di tanah sambil mulutnya
berucap. "Aku tahu..." Si gadis perhatikan keadaan kakinya.
"Ilmu kesaktian mengandung bubuk besi beracun, hanya dimiliki oleh seorang kakek
sakti bernama Ki Wesi Ireng. Pasti pocong betina itu telah merampas ilmu jahat
itu dari si kakek dengan cara menyedot. Aku masih untung punya kekuatan hingga
racun tidak menjalar ke jantung dan otak.
Tapi mataku sakit sekali..."
"Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu!" ucap Wiro pula.
"Aku bisa mengobati diriku sendiri. Aku hanya minta agar kau berjaga-jaga.
Jangan sampai ada yang membokong selagi aku memusnahkan racun jahat."
Wiro cepat berdiri dan segera kerahkan hawa sakti pada kedua tangannya. Di
depannya Bunga menggigit bibir sendiri hingga darah mengucur.
Sebagian dari darah itu disemburkan ke kaki kanannya yang hitam kebiruan.
Sebagian lagi disapukan pada kedua matanya. Asap hitam
berbau busuk mengepul keluar dari kaki dan mata. Ketika kepulan asap sirna,
warna hitam kebiruan pada kaki dan matanya ikut lenyap.
Bunga menarik nafas lega. Saat itu dia masih memegang carikan kain putih di
tangan kanan. "Untung kita masih memiliki kain ini. Wiro bantu aku berdiri..."
Selagi Wiro membantu Bunga berdiri tiba-tiba di belakang terdengar satu ledakan
dasyat luar biasa. Wiro jatuhkan diri dan bersama Bunga berguling sejauh
mungkin. Di belakang mereka, Rumah Tanpa Dosa meledak hancur berkeping-keping.
Lidah api, kepulan asap serta serpihan kayu melesat ke udara sampai belasan
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tombak. "Aku melihat cahaya tiga warna menghantam rumah putih. Ada yang sengaja
menghancurkan bangunan itu!" kata Bunga pula. Memandang berkeliling Wiro dan
Bunga dapatkan asap tebal menyungkup halaman Rumah Tanpa Dosa. Untuk beberapa
saat pemandangan keduanya jadi
terhalang. "Wiro, kita harus mengejar sang Ratu.
Pernikahanmu dengan dia belum terlaksana!
Rimba persitatan masih dalam bahaya besar!"
"Kalian tidak akan ke mana-mana! Serahkan kain putih itu padaku!"
Satu suara membentak garang. Walau asap
tebal namun Bunga masih sempat melihat ada dua bayangan putih berkelebat. Salah
satu me- nyambar ke arah kain putih yang masih tergeng-
gam di tangan kanannya.
"Ihhh!"
Bunga terpekik. Kalau tidak cepat dia jatuhkan diri dan berguling di tanah
niscaya gulungan kain putih kena dirampas orang.
Ketika kepulan asap menipis dan keadaan
menjadi lebih terang, Wiro dan Bunga dapatkan tiga manusia pocong berdiri di
hadapan mereka.
Dua memiliki badan sama-sama besar, sama-
sama tinggi. Salah satu dari mereka pastilah si Wakil Ketua. Lalu siapa satunya"
Sang Ketua"
Manusia pocong ketiga adalah yang tadi muncul terhuyung-huyung, langkah terseok
dan dimaki dengan sebutan tua bangka sial oleh Wakil Ketua.
"Wiro, tetap waspada. Walau rumah putih
sudah hancur tapi sumber segala kekuatan dan kesaktian masih berpusat di tangan
mahluk itu."
"Bunga, Sang Ratu. Aku mendadak punya
firasat aneh... "ucap Wiro.
"Sekarang bukan saatnya bicara tentang
firasat. Kita harus mengejar Ratu. Pernikahan harus segera dilaksanakan. Tapi
aku tidak yakin tiga pocong setan ini akan melepaskan kita begitu saja.
Bersiaplah untuk mengadu jiwa."
"Kalau aku harus mati di sini apa boleh buat,"
jawab Wiro sambil menyeringai dan garuk kepala.
Tiba-tiba salah seorang dari manusia pocong tinggi besar berkata.
"Wakil Ketua lekas kerjakan apa yang tadi aku katakan. Dua cecunguk kesasar
mencari mati ini biar kami berdua yang menangani!"
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!" Wakil Ketua keluarkan
ucapan lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke arah utara.
"Bunga, apa kau tidak merasa ada keanehan"
Dua manusia pocong tinggi besar itu. Yang satu..."
Belum sempat Bunga menjawab, manusia
pocong yang disebut tua bangka sial melompat ke hadapan Bunga. Berusaha merampas
gulungan lembaran kain putih. Wiro cepat menghadang.
Perkelahian serta merta pecah di antara mereka.
Walau sebelumnya dia berpenampilan loyo
terseok-seok tapi ternyata ketika menggebrak Wiro manusia pocong itu memiliki
kegesitan serta kekuatan luar biasa.
"Wiro, hati-hati... Aku melihat cahaya kuning tipis membungkus tubuhnya. Berarti
kekuatan gaib berbahaya itu masih ada. Melindunginya..."
Manusia pocong tinggi besar melangkah
mendekati Bunga. "Aku sudah lama mendengar kehadiran dan kehebatanmu sebagai
seorang gadis dari alam roh. Kau bercinta dengan pemuda tolol ini. Aku merasa
iri. Aku Yang Mulia Ketua, apakah bisa bercinta dan tidur denganmu jika semua
urusan ini selesai. Aku akan membuat kau hidup bahagia di alam nyata ini. Itu
lebih baik bagimu dari pada kembali ke alam asalmu!"
Bunga keluarkan suara mendengus lalu
tertawa cekikikan.
"Terima kasih atas pujianmu. Tapi kau salah mengira. Aku datang justru hendak
membawamu ke alam gaib. Di situ rohmu akan tergantung antara langit dan bumi.
Kau pasti betah karena banyak sekali temanmu di sana! Kita berangkat sekarang?"
"Iblis celaka!" bentak Ketua Barisan Manusia Pocong. Didahului dengan melepas
satu pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi, Sang Ketua menerjang ke
arah gadis alam roh itu.
Bunga sambut serangan orang dengan tawa
cekikikan. Matanya tidak melihat cahaya kuning membungkus sosok Sang Ketua.
Apakah dia memiliki ilmu kesaktian luar biasa sehingga tidak perlu mendapat perlindungan
dari Yang Mulia Sri Paduka Ratu"
Di lain pihak sebenarnya Wiro ingin menghada-
pi langsung Ketua Barisan Manusia Pocong 113
lorong kematian itu. Kebenciannya selangit tem-
bus. Bukan saja karena perbuatan kejinya mencu-
lik perempuan-perempuan hamil, tapi karena sampai saat itu dia belum mengetahui
di mana beradanya Anggini, Dewa Tuak, serta Kakek Segala Tahu. Namun Pendekar
212 keburu mendapat serangan anak buah Sang Ketua. Dan ternyata kepandaian manusia pocong
yang terlihat loyo ini sungguh luar biasa. Jurus-jurus silatnya sangat
berbahaya. Kemudian Wiro mendengar teriakan Bunga.
"Wiro hati-hati! Lawanmu dilindungi kekuatan gaib alam roh!"
Pendekar 212 Wiro Sableng mulai terdesak.
WIRO SABLENG 12 KEMATIAN KEDUA EPERTI diceritakan dalam Bab 10, Wakil
Ketua memerintahkan manusia pocong yang
Sdipanggil dengan sebutan kakek sial untuk membunuh Dewa Tuak yang duduk
menjelepok di tanah sambil usap-usap bumbung bambu. Namun ketika Wiro dan Bunga
melesat coba masuk ke dalam Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua merasa perlu untuk
selamatkan sang Ratu lebih dulu.
Anak buahnya itu diperintah untuk menghalangi.
Ter-nyata kekuatan gaib yang keluar dari rumah putih membuat manusia pocong ini
terpental dan jatuh terbanting di tanah. Ini satu pertanda bahwa dia memiliki
dosa dan tidak mungkin masuk ke dalam bangunan putih.
Bangkit berdiri manusia pocong tertawa geli, tepuk-tepuk dan bersihkan debu
serta tanah yang melekat di jubah putihnya.
Setelah Rumah Tanpa Dosa meledak hancur
berkeping-keping, manusia pocong itu diperintah-
kan untuk merampas kain putih yang ada dalam pegangan Bunga. Namun Wiro
menghadang dan selanjutnya terjadi perkelahian hebat. Wiro terde-
sak. Sementara Wiro bertempur melawan manusia
pocong, Yang Mulia Ketua berhadapan dengan Bunga.
Di bagian lain Naga Kuning dan Gondoruwo
Patah Hati bertempur tak kalah hebat melawan tiga manusia pocong. Seorang di
antaranya adalah yang lehernya sempat digigit Jatilandak.
Kita ikuti dulu perkelahian antara Wiro dengan manusia pocong yang disebut kakek
sialan. Bebe- rapa kali jotosan atau tendangan nyaris mendarat di tubuh Wiro, padahal gerakan
lawan walau gesit dan cepat tapi kelihatan gerabak-gerubuk tak karuan.
Seringkali dia melihat lawan mengangkat kepala menatap ke langit, seperti
memasang telinga.
Wiro walau telah keluarkan seluruh kepan-
daian silatnya tetap saja terdesak hebat. "Gen-
deng! Aku seperti berhadapan dengan orang gila tapi punya selangit ilmu
kepandaian!"
Akhirnya murid Sinto Gedeng memutuskan
untuk hadapi lawan dengan ilmu silat yang didapatnya dari Tua Gila. Jurus-jurus
silat Tua Gila memang aneh. Gerakannya seperti orang mabok atau orang gila,
namun sangat mantap dalam melancarkan serangan dan bertahan mem-
bentengi diri. Manusia pocong lawan Pendekar 212 tiba-tiba keluarkan tawa mengekeh. "Lihat
serangan!" seru-
nya sambil kepala mendongak ke atas. Begitu dia merangsak maju, terkejutlah
murid Sinto Gen-
deng. "Gila! Bagaimana mungkin! Dia menyerang dengan jurus-jurus yang aku
mainkan!" Wiro mundur menjaga jarak namun entah
bagaimana tahu-tahu lawan sudah berada di samping kiri. Siap menghantamkan satu
jotosan. Begitu Wiro berkelit sambil balas menghantam dengan pukulan Dewa Topan Menggusur
Gunung, manusia pocong lenyap dan mendadak telah
berada di samping kanan melancarkan serangan cepat tak terduga. Tangan kiri
menggelung ping-
gang, tangan kanan menjotos ke arah kepala!
"Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa!"
seru Wiro kaget. Jurus serangan yang dilancarkan lawan adalah salah satu dari
jurus silat Tua Gila!
Wiro cepat jatuhkan diri ke bawah sambil sodok-
kan sikut ke perut manusia pocong. Dia berhasil selamatkan diri. Lawan tertawa
mengekeh. Wiro garuk kepala. "Bagaimana mungkin! Jangan-jangan manusia ini Tua
Gila." Pikir Pendekar 212.
Lalu dia berseru. "Pocong setan, siapa kau sebe-
narnya?" Yang ditanya tertawa mengekeh. "Siapa aku itulah yang aku tidak tahu," jawabnya
lalu mena- tap ke langit, kepala dimiringkan.
Untuk pertama kali Wiro menatap tajam ke
arah dua lobang kain penutup kepala, di belakang mana terletak sepasang mata
manusia pocong.
Wiro tersentak. Dua mata orang itu dilihatnya putih. Buta!
"Astaga! Kek! Kakek Segala Tahu! Kaukah ini?"
Dalam kaget dan ajukan pertanyaan Wiro
berlaku lengah. Pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung juga merupakan jurus silat
Tua Gila, mendarat di perutnya dengan telak. Tak ampun lagi murid Sinto Gendeng
terpental sampai dua tombak. Jatuh terbanting di tanah, mengerang kesakitan dan
kucurkan darah kental dari
mulutnya. Beberapa benda yang disimpan di balik pinggang pakaiannya jatuh ke
tanah. Salah satu di antaranya adalah kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu.
Seperti diketahui, kaleng ini ditemukan Wiro di suatu tempat dalam perjalanan
menuju 113 Lorong Kematian. Ketika tubuhnya didorong jatuh dalam jurang, kaleng ini
kemudian dilihat Wiro mengapung di permukaan telaga lalu diambilnya.
Untuk beberapa lama Wiro tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Mata terbelalak
memandang langit. Bernafas saja sekujur tubuhnya terasa sakit. Sambil tertawa
mengekeh, si manusia pocong melangkah mendekati Wiro.
"Tamat riwayatku!" ucap Wiro dalam hati. Dia kerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti untuk bisa membebaskan diri dari rasa sakit dan kaku yang membuat tubuhnya
seperti ditotok.
Tak sengaja kaki manusia pocong menendang kaleng yang tergeletak di tanah hingga
mengeluar- kan suara berkerontangan. Sepasang mata si kakek mendelik, berputar ke kiri ke
kanan. Lalu dia melangkah sambil kaki kanan dijulur-julurkan lebih dulu, mencari
kaleng yang tadi tertendang.
Saat itu Wiro sudah mampu bergerak. Sambil pegangi perut yang masih sakit, dia
berusaha bangkit. Kaleng rombeng diambil lalu melangkah mendekati manusia
pocong. Tahu dirinya dida-
tangi musuh, si manusia pocong segera siap hendak menghantam.
"Kek, tahan seranganmu!" teriak Wiro. Kaleng butut di tangan kanan diangkat
tinggi-tinggi lalu digoyang kuat-kuat. Suara kerontangan keras menggema di
tempat itu. Si manusia pocong dongakkan kepala. Mata
putih berputar. "Bunyi setan apa itu?" Mulutnya berucap.
Memanah Burung Rajawali 10 Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan Darah Seratus Bayi 2
Walau selamat dari serangan bulu landak,
namun manusia pocong ini sempat dibikin kaget, kelabakan selamatkan diri. Tadi
dia menyangka binatang landak itu telah meregang nyawa. Pada saat inilah justru
Jatilandak melesat di udara, menyerang ke arah manusia pocong. Mahluk dari
lorong kematian terlambat mengelak. Empat kaki Jatilandak mencengkeram di bahu
dan dada. Mulut dengan deretan gigi panjang lancip menan-
cap di batang lehernya! Kain penutup kepala yang menjuntai sampai ke leher bawah
kelihatan ber- warna merah! Tiba-tiba ada suara genta menggema keras di kejauhan. Lalu dari arah belakang
menderu dan berkiblat cahaya kuning.
Jatilandak yang sudah siap untuk merobek
leher manusia pocong dengan gigitan mautnya angkat kepala sedikit dan menjawab.
"Kawan-kawan! Aku siap mati bersama mahluk iblis ini!"
Jatilandak lalu merobek leher manusia pocong dengan gigitan ganas.
"Jangan tolol!" teriak Bunga "Cahaya kuning itu akan melindungi dan memberi
kekuatan pada musuhmu! Kau sendiri bisa terpanggang gosong!"
Jatilandak menduga gigitannya pada leher
manusia pocong akan menewaskan mahluk itu.
Didahului suara menggembor keras dia melompat dari tubuh manusia pocong. Cahaya
kuning me- nyapu. Sosok manusia pocong yang tadi sudah menghuyung sambil pegangi luka
menganga di lehernya, kini berdiri tegap kembali. Malah mampu melangkah ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Ternyata cahaya kuning itu menjadi sumber kekuatan
dan penolong bagi dirinya.
Sebaliknya malapetaka bagi Wiro dan kawan-kawan. Namun gerakan si manusia pocong
ter- tahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di telinganya.
"Satria Pocong, lekas kembali ke markas. Kau sudah bertindak dan keluarkan
ucapan terlalu jauh. Yang harus kau bunuh adalah tiga orang itu.
Tapi kau justru memusatkan tangan maut pada Pendekar 212 Wiro Sableng! Otakmu
sudah dicuci! Mengapa dendam masih menguasai dirimu" Ingat tugas utamamu! Juga jangan kau
berani menyen- tuh pemuda itu. Nyawanya tegas-tegas bagian Yang Mulia Ketua! Segera kembali ke
markas! Datang langsung ke Rumah Putih! Tenagamu
dibutuhkan di tempat itu!"
Manusia pocong tundukkan kepala sedikit lalu lantangkan ucapan. "Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang wajib dilaksanakan!" Setelah keluar-
kan ucapan tadi dia maju satu langkah mendekati Wiro. "Kalian semua tidak
satupun yang bakal selamat!"
Manusia pocong palingkan tubuh. Tangan
kanan menggapai ke arah cahaya kuning yang ada di atas kepalanya, seperti
menangkap sebuah bola kecil. Lalu tangan kanan itu dihantamkan ke arah Wiro dan
kawan-kawan. Untuk kesekian kalinya keempat orang yang mendapat serangan menjadi
kalang kabut selamatkan diri. Begitu terhindar dari serangan cahaya kuning yang
ganas, Wiro dan kawan-kawan dapatkan si manusia pocong tak ada lagi di tempat
itu. Jatilandak hendak mengejar ke ujung lorong tapi cepat dicegah oleh Bunga.
"Aneh!" kata Jatilandak. "Aku rasa aku sudah mengoyak lehernya lebih dari
setengah! Darah jelas mengucur! Mengapa dia masih bisa hidup?"
"Mahluk itu mendapat perlindungan dan keku-
atan dari mahluk alam gaib yang ada di dalam Lorong Kematian. Kita harus mampu
menghan- curkan pusat kekuatan mereka!" menjelaskan Bunga.
"Lalu apa maksudnya dengan kata-kata nyawa kedua?" ujar Wiro pula.
"Itulah biang segala bencana yang diperalat oleh Ketua Barisan Manusia Pocong.
Kita akan saksikan sendiri nanti." Jawab Bunga lalu dia memberi isyarat untuk
melanjutkan perjalanan.
Namun belum sampai melangkah tiga tindak men-
dadak di belakang ada suara angin berkelebat.
Begitu berpaling, kelihatan sosok tinggi besar seorang manusia pocong. Dari
bentuk tubuhnya yang tinggi besar jelas dia bukan manusia pocong yang tadi.
Manusia pocong bertubuh tinggi ini sama sekali tidak keluarkan ucapan. Sepasang
mata di balik kain penutup kepala memandang ke arah Pende-
kar 212. Tiba-tiba dalam kecepatan luar biasa dia kibaskan lengan jubah sebelah
kiri tiga kali berturut-turut.
Dess... dess... desss!
Buntalan asap berwarna putih kekuningan
serta-merta memenuhi tempat itu.
"Asap beracun! Tutup jalan pernafasan!" teriak Bunga. Gadis dari alam roh ini
melesat ke udara.
Menghantam ke arah manusia pocong yang
menebar asap beracun.
Wuttt! Braakk! WIRO SABLENG 7 KEMATIAN KEDUA UKULAN sakti Bunga hanya menghancurkan
dinding batu. Sementara manusia pocong
Psudah lenyap entah ke mana. Bunga
berpaling ke arah Wiro, Gondoruwo Patah Hati, dan Naga Kuning. Wajah mereka
tampak pucat. Dengan cepat satu persatu ketiga orang itu ditotoknya di bagian pangkal leher
sehingga untuk beberapa saat mereka mengalami sulit bernafas.
Ini adalah untuk menghindari menghirup hawa beracun yang sangat berbahaya itu.
Ketika hendak menotok Jatilandak, Bunga jadi bingung. Seluruh leher Jatilandak
tertutup duri tebal dan rapat.
"Balikkan tubuhmu! Aku akan menotok bagian leher sebelah bawah!"
Sepasang mata Jatilandak menatap sayu ke
arah gadis alam roh.
"Lekas!" Bunga berusaha membalikkan tubuh Jatilandak dengan kedua tangannya.
Tapi pemuda dari negeri 1200 tahun silam yang berada dalam perujudan seekor
landak itu gelengkan kepala.
"Terima kasih kau mau berbaik hati
menolongku. Sayang sudah terlambat..."
"Terlambat bagaimana?" Tanya Naga Kuning
sambil membungkuk lalu mendorong tubuh
Jatilandak. Ternyata tubuh itu berat sekali. Seolah batu ratusan kati!
"Aku telah menghirup hawa beracun itu,"
menerangkan Jatilandak. Mata semakin kuyu dan empat kakinya terentang lunglai di
tanah. "Kita semua memang sempat menghirup. Tapi kadarnya cuma sedikit. Kita masih bisa
selamat. Gerakkan kepalamu ke samping biar aku bisa melihat lehermu!" Bunga siap untuk
menotok. Namun lagi-lagi jawaban Jatilandak terdengar memelas.
"Kalian dan aku berbeda. Asap beracun itu mengandung belerang. Aku tidak boleh
bersen- tuhan dengan belerang dalam bentuk apapun.
Kawan-kawan, pergilah. Tinggalkan aku di sini.
Aku akan menemui jalanku sendiri. Pergilah, aku doakan agar kalian berhasil
menghancurkan markas manusia pocong itu. Hati-hati."
Semua orang terkejut. Wiro tercekat dan ingat riwayat hidup Jatilandak semasa di
Negeri Latanahsilam. Pemuda yang terlahir dari
perkawinan yang tidak direstui oleh para Peri ini dibuang ke sebuah pulau. Di
pulau ini dia dipelihara oleh seseorang yang memiliki tubuh penuh sisik bernama
Tringgiling Liang Batu. Sebe-
lum kedatangan Jatilandak, Tringgiling Liang Batu telah memelihara sepasang
landak. Baik Tringgi-
ling Liang Batu maupun dua landak peliharaan-
nya sangat tidak tahan terhadap belerang.
Jangankan sampai tersentuh, mencium baunya saja bisa mengakibatkan kematian!
Keberpan- tangan terhadap belerang ini ternyata juga diwarisi dan diindap oleh Jatilandak.
Bahaya racun bele-
rang yang mematikan itulah kini tengah dihadapi pemuda dari Negeri Latanahsilam
ini.5 "Kami tidak akan pergi tanpa kau!" kata Bunga, sementara Wiro tegak tertegun.
"Betul. Kita datang bersama pergi harus
5 Baca: Wiro Sableng Hantu Jatilandak"bersama." Kata Naga Kuning sambil melintangkan di atas dada bumbung bambu milik
Dewa Tuak yang masih terus dibawanya lalu melirik pada Wiro yang sejak tadi
bersikap diam saja.
"Jangan risaukan diriku. Kalian lekas pergi sebelum terlambat..." kata
Jatilandak. Tiba-tiba di kejauhan lagi-lagi genta memba-
hana. Tempat itu kembali berguncang bergeletar.
Lapat-lapat seperti ada suara orang menyanyi yang diakhiri dengan tawa panjang
menggidikkan. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama," berkata Bunga seraya menatap ke arah
Jatilandak. Pemuda yang berujud landak ini berkedip sayu matanya tanda mengerti. Bunga
berpaling pada Wiro, Gondoruwo Patah Hati, dan Naga Kuning.
"Kalau memang tak ada jalan lain kita terpaksa harus meninggalkannya..." si
nenek terpaksa ber-
kata perlahan. Bunga tidak berlama-lama lagi. Gadis dari alam roh ini segera berkelebat ke
jurusan lenyapnya manusia pocong yang tadi dirobek lehernya oleh Jatilandak.
Naga Kuning menyusul, lalu Wiro, dan di belakang sekali Gondoruwo Patah Hati.
Semen- tara berlari Wiro merasa hatinya galau. Kalau dia ingat apa yang telah terjadi
dia tak mau perduli.
Tapi kalau menyadari bahwa dia memiliki jiwa kesatria, kebimbangan menggalau sanubarinya.
Sementara itu totokan yang tadi dilakukan Bunga masih menguasai Wiro, Naga
Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati. Nafas dan dada yang sesak membuat mereka tak
mampu berlari cepat.
Menjelang sebuah tikungan rasa sesak turun ke bawah, membuat perut membuncah
mulas seperti terdesak buang air besar.
"Celaka! Aku mau berak!" kata Naga Kuning sambil pegangi perut. Mukanya
kelihatan merah.
Butir-butir keringat memercik di keningnya. Si nenek Gondoruwo Patah Hati kalang
kabut. Dia juga mengalami hal yang sama. Demikian pula dengan Wiro. Bunga yang
telah menghentikan larinya memperhatikan sambil senyum-senyum.
"Enaknya saja kau mesem-mesem!" ucap
Gondoruwo Patah Hati.
"Sudah! Berak saja barengan di sini!" kata Naga Kuning. Bocah berambut jabrik
ini siap dodorkan celana ke bawah.
Tiba-tiba secara aneh, rasa mulas di perut ketiga orang itu lenyap, berpindah
naik ke atas. Ada hawa panas di dada. Rasa seperti tercekik.
Lalu, hueekkk...! Wiro, Naga Kuning, dan Gondo-
ruwo Patah Hati sama-sama semburkan muntah berupa cairan berwarna kekuning-
kuningan. Ber- samaan dengan itu rasa sesak hilang, jalan perna-
fasan sesaat masih megap-megap lalu kembali berubah wajar. Ketiga orang itu
terduduk di tanah.
Muka merah basah oleh keringat.
"Edan." Naga Kuning masih bisa keluarkan
suara. "Untung cuma muntah barengan. Kalau sampai berak barengan!"
Gondoruwo Patah Hati jambak rambut Naga
Kuning tapi sambil tawa cekikikan. Bunga
memberi isyarat agar mereka segera meneruskan masuk ke dalam lorong.
Wiro yang ingatannya masih terpaut pada
Jatilandak berkata. "Kalian pergilah duluan. Aku segera menyusul."
"Memangnya kau mau ke mana?" Tanya Bunga
heran. "Jangan-jangan sembunyi mau berak!" kata
Naga Kuning pula.
"Jatilandak..." ucap Pendekar 212.
"Jatilandak" Apa yang ada di pikiranmu, Wiro?"
Bertanya Bunga.
"Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja."
"Aahhh..." Gadis dari alam roh menghela nafas.
Menatap ke sepasang mata Pendekar 212 dia seperti bisa membaca apa yang ada di
dalam pikiran dan hati pemuda ini.
"Sebenarnya, bukankah dia sendiri yang minta ditinggalkan" Dia menyadari
keadaan," kata Naga Kuning pula.
"Aku..." Wiro mengusap dagu, tidak teruskan ucapannya.
"Ada sesuatu yang hendak kau lakukan?"
Tanya Gondoruwo Patah Hati.
Wiro tidak menjawab. Malah mendorong Naga Kuning ke samping lalu lari ke arah
tadi dia dan rombongan datang. Ketika sampai di tempat Jatilandak tergeletak,
Wiro terkejut. Sosok yang tadinya berbentuk landak kini telah berubah menjadi
sosok manusia berkulit kuning, tertelung-
kup mengenaskan di tanah. Pakaian coklatnya hancur hangus, menyembulkan punggung
yang terpanggang merah.
Dua tangan dan dua kaki pemuda itu
terbentang di lantai. Sepasang mata tertutup. Wiro tidak dapat memastikan apakah
Jatilandak masih hidup. Namun kemudian dari sela bibir Jatilandak yang terbuka
dia mendengar suara erangan halus.
Mendengar langkah kaki orang mendatangi lalu berdiri di dekatnya, pemuda dari
negeri 1200 tahun silam ini perlahan-lahan buka sepasang matanya.
"Wiro, kenapa kau kembali?" Suara Jatilandak perlahan sekali.
"Kami tidak bisa meninggalkan kau sendirian di sini."
"Lalu..."
Wiro membungkuk. Membuat empat kali
totokan, satu di belakang kepala, tiga di bagian tubuh Jatilandak. Sesaat
kemudian pemuda dari Latanahsilam itu sudah berada di bahu kirinya lalu dibawa
lari kembali ke arah lorong dari mana tadi mereka datang.
"Wiro, aku berterima kasih kau punya maksud menolong diriku. Tapi menolong orang
yang segera akan menemui kematian tidak ada gunanya. Lebih baik kau segera
bergabung dengan para sahabat.
Mereka lebih membutuhkan dirimu. Kau tak
mungkin membawa aku ke mana kau pergi..."
"Kau betul. Tapi aku bisa mencarikan tempat yang lebih baik dan lebih aman
bagimu." Wiro membawa Jatilandak ke telaga di dasar jurang. Susah payah dia menuruni
tangga terjal di dinding batu. Jatilandak dibaringkan di tepi telaga.
"Untuk sementara kau aman di sini. Aku harus pergi. Kalau semua urusan dengan
mahluk setan itu selesai, kami akan kembali menemuimu di sini."
Jatilandak ulurkan tangan memegang lengan kiri Pendekar 212 erat-erat.
"Aku sangat berterima kasih. Hatimu seputih kapas, budimu semurni emas. Wiro,
aku tidak akan bertahan lama. Aku tidak ingin mati dengan meninggalkan duga dan
sangka yang menjadi beban berat dalam perjalananku ke alam lain. Aku ingin kau
tahu. Antara aku dan Bidadari Angin Timur tidak ada apa-apa. Tidak pernah
terjadi apa-apa di antara kami. Budinya setinggi langit, sejuk hatinya sedalam
lautan. Aku sangat
menghormatinya..."
Wiro terdiam sesaat lalu berdiri.
"Wiro, gadis itu mencintai dirimu setulus hatinya...," Jatilandak lepaskan
pegangannya di tangan Wiro.
Pendekar 212 garuk kepala, menatap wajah
Jatilandak sesaat lalu pandangannya membentur ujung patahan gagang kayu Bendera
Darah yang masih menancap di bahu kiri pemuda berkulit kuning itu. Wiro ingat
apa yang telah dilakukan Eyang Sinto Gendeng ketika keluarkan Kapak Naga Geni
212. Salah satu mata kapak ditempel-
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan ke patahan kayu gagang bendera. Wiro kerah-
kan tenaga dalam. Kapak Naga Geni 212 pancar-
kan cahaya menyilaukan disertai hawa panas.
Cessss! Jatilandak mengernyit menahan sakit. Daging bahunya mengepulkan asap. Gagang
Bendera Darah serta merta berubah hitam, hangus gosong menjadi bubuk.
Wiro berbalik lalu tinggalkan tempat itu. Dia terharu mendengar ucapan
Jatilandak tadi. Na-
mun semua itu tidak dapat melenyapkan ganjalan yang ada di dalam hatinya.
Ganjalan yang seolah-olah telah menyatu menjadi batu. Sulit untuk dipupus.
Di belakang sana terdengar suara Jatilandak berucap perlahan.
"Wiro, terima kasih. Aku mendoakan keselama-
tan bagimu dan kawan-kawan..."
*** Di dalam lorong, Naga Kuning tampak seperti
orang bingung. Sebentar-sebentar dia usap bagian bawah perutnya. Bibir digigit-
gigit. Dia meman-
dang berkeliling, melirik pada Gondoruwo Patah Hati dan Bunga. "Kalau saja
keduanya laki-laki aku tidak malu-malu melakukannya di sini," kata si bocah
dalam hati. "Intan," Naga Kuning menyebut nama asli si nenek.
"Kau mau ke mana?" Tanya Gondoruwo Patah
Hati yang sejak tadi memperhatikan Naga Kuning.
"Aku mau menyusul Wiro. Aku khawatir kalau dia pergi sendirian..."
"Hai..."
Naga Kuning tidak perdulikan seruan
Gondoruwo Patah Hati. Langsung saja bocah ini berlari cepat ke arah lorong yang
tadi ditempuh Wiro sewaktu membawa Jatilandak. Di satu tiku-
ngan dia hentikan lari. Nafas mengengah.
"Gila, aku tidak tahan lagi. Betul-betul kebelet!
Sudah, di sini rasanya bisa kulakukan. Tak ada yang melihat," Lalu anak ini
dodorkan celana hitamnya ke bawah. Tapi dia bingung sendiri. "Ah, apa langsung
saja di sini" Kalau tempat ini banyak mahluk halusnya bagaimana" Bisa kapiran
aku kalau sampai anuku dipencet." Dia melirik pada bumbung bambu yang tersembul
di kepitan tangan kiri. "Baiknya kumasukkan dalam bum-
bung ini saja. Nanti kalau ada kesempatan baru aku buang..."
Naga Kuning ambil bumbung bambu kosong,
dekatkan ke bagian bawah perutnya lalu, seerrr!
Bocah ini pancarkan air kencingnya ke dalam bumbung bambu. Selesai kencing dia
menarik nafas lega. Dari balik pakaian dia keluarkan sehelai sapu tangan butut
lalu disumpalkan ke ujung bambu.
WIRO SABLENG 8 KEMATIAN KEDUA ANGUNAN serba putih yang dikenal dengan
nama Rumah Tanpa Dosa memancarkan
Bcahaya berkilau terkena sinar terik sang surya. Suara bahana genta baru saja
lenyap. Kesunyian membungkus delapan penjuru angin sampai ke lembah kecil yang terletak
tak jauh di sebelah utara Rumah Tanpa Dosa.
Sambil memanggul tubuh Dewa Tuak, Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kema-
tian berlari cepat melewati rumah tua berbentuk panggung beratap ijuk hitam.
Lampion kain putih di bawah atap bangunan membersit keluar bau busuk antara amis
dan bau bangkai.
Selewatnya, sebuah lembah kecil yang lebih banyak tertutup batu daripada
tetumbuhan, Wakil Ketua akhirnya sampai di halaman satu rumah panggung serba
putih, mulai dari atap ijuk sampai tiang-tiang penyanggah bangunan serta tangga
setengah lingkaran. Sebuah genta besar tergan-
tung di bawah atap ijuk putih. Tali genta menjulai ke bawah, hampir menyentuh
tanah. Dua buah benda yaitu dua kuntum kembang kenanga
menancap di atas pintu putih. Kayu di sekitar dua kembang itu kelihatan hangus
menghitam, terdapatlah dua kembang kenanga yang dilempar Bunga sewaktu berusaha menahan
serangan kekuatan gaib yang dilepas Sri Paduka Ratu dari Rumah Tanpa Dosa.
"Sial, Yang Mulia Ketua selalu memberi
perintah berubah-ubah dan mendadak. Kalau saja dia tidak menyuruh aku menebar
hawa beracun di lorong, urusanku sudah selesai dari tadi. Segala rencana jadi
tak karuan. Aku harus bertindak cepat!"
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Aku Wakil Ketua datang menjalankan perintah Yang
Mulia Ketua. Lekas keluar dan laksanakan perintah!"
Suara keras seruan Wakil Ketua menggema
panjang lalu lenyap. Tak ada gerakan, tak ada jawaban dari dalam Rumah Tanpa
Dosa. "Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Kita tidak punya waktu banyak! Para penyusup sudah
berada di dalam lorong sebelah selatan!" Wakil Ketua berteriak lagi.
"Wakil Ketua! Aku tidak tuli! Mengapa berteriak tidak karuan seolah kau lebih
kuasa dari Yang Mulia Ketua?" Tiba-tiba ada suara perempuan dari dalam bangunan
putih, mendesing keras seolah sambaran angin.
"Perempuan keparat! Kau akan rasakan
bagianmu nanti! Kau akan menyembah di kakiku sebelum tubuhmu kembali ke alam
bangkai busuk!" Wakil Ketua memaki dalam hati.
Tidak sabaran Wakil Ketua menarik tali genta tiga kali berturut-turut. Suara
keras menggelegar.
Tanah bergeletar. Rumah Tanpa Dosa mengeluar-
kan suara berderik. Wakil Ketua terhuyunghuyung dan cepat kerahkan tenaga
sebelum tubuhnya terbanting ke tanah.
Ketika suara genta berhenti, dari dalam Rumah Tanpa Dosa terdengar suara
perempuan tertawa.
Pintu putih di ujung atas tangga setengah lingka-
ran terbuka. Sesaat kemudian muncul satu sosok putih, melangkah dalam gerakan
kaku. Sosok putih ini mengenakan kain penutup
kepala yang pada bagian atas melingkar sebuah mahkota kecil berwarna hijau.
Jubah putih yang menutupi tubuh begitu tipis menerawang hingga bentuk aurat di
sebelah dalam nyaris jelas. Ada satu kejanggalan. Jubah putih itu robek di
bagian perut. Di sebelah belakang, di bawah kain penutup kepala menjulai rambut
panjang hitam sampai sepinggang.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu," Wakil Ketua berseru. "Yang Mulia Ketua minta kau
menyedot tenaga dalam dan kesaktian kakek ini! Harap kau lakukan dengan cepat!"
Habis berkata begitu Wakil Ketua turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya. Si
kakek, dalam keadaan lemah tegak terhuyung, dua
tangan terkulai lunglai, dua lutut agak tertekuk dan sepasang mata terpejam.
Sepasang mata di balik dua lobang pada kain penutup kepala bermahkota menatap
tak berkesip ke arah Wakil Ketua dan kakek yang tegak di sampingnya.
"Wakil Ketua, kau menunjukkan perilaku
sangat setia dalam menjalankan perintah Yang Mulia Ketua. Tapi kau tidak bisa
menipu diriku!"
Wakil Ketua terkejut. "Perasaanku jadi tidak enak. Apa dia mengetahui semua
rencanaku"
Berbahaya. Aku benar-benar harus bertindak cepat. Mudah-mudahan Ketua masih
sibuk dalam melampiaskan nafsu bejatnya."
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apa maksud
Yang Mulia dengan ucapan tadi?" Wakil Ketua ajukan pertanyaan.
"Berapa kali aku menegur agar kau tidak
berbuat cabul di tempat ini?"
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, saya tidak
mengerti..."
Sang Ratu yang masih berdiri di ujung atas tangga putih tertawa panjang.
"Kau menculik dan menyekap seorang gadis.
Punya maksud hendak mencabulinya. Apakah kau tidak takut mendapat hukuman
berat?" Ucapan sang Ratu kembali membuat Wakil
Ketua terkejut. "Bagaimana dia bisa tahu aku menculik dan menyekap gadis itu?"
"Sri Paduka Ratu, jangan kau percaya pada segala kabar angin. Tugasku banyak.
Mana ada waktu untuk segala urusan culik menculik, sekap menyekap."
Sosok putih di depan pintu tertawa panjang.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kau rupanya
selalu memperhatikan gerak-gerikku. Padahal yang berbuat cabul di tempat ini
bukan cuma aku..."
Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali tertawa.
"Apakah engkau hendak mengatakan Yang Mulia Ketua juga melakukan perbuatan cabul
tapi mengapa aku tidak memperdulikan dan tidak menegur" Beraninya kau punya
pikiran dan keluarkan ucapan seperti itu. Apa tidak khawatir Yang Mulia Ketua mendengar?"
"Perempuan setan!" maki Wakil Ketua tapi
diam-diam hatinya kecut juga. Dia memandang berputar ke arah kejauhan. Belum
kelihatan tanda-tanda Yang Mulia Ketua akan segera
muncul. Di atas tangga Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali membuka mulut.
"Kau lupa pada ucapan kesetiaan bahwa hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!"
Dalam hati Wakil Ketua kembali memaki. Lalu dia berkata dengan suara keras.
"Kehadiranku di sini bukan untuk mendengar segala bicara pan-
jang lebar. Aku membawa tugas dari Yang Mulia Ketua. Kau diperintahkan untuk
menyedot tenaga dalam dan kesaktian kakek ini! Laksanakan saja tugasmu! Jangan
banyak bicara!"
Sri Paduka Ratu tertawa panjang. Sekali
kakinya digerakkan, seperti terbang tubuhnya melayang ke bawah dan tegak di
halaman Rumah Tanpa Dosa, terpisah lima langkah di hadapan Dewa Tuak dan Wakil
Ketua. "Aku mencium bau aneh di tubuh kakek ini.
Wakil Ketua, harap kau menerangkan siapa dia adanya."
Wakil Ketua tanggalkan kain putih penutup kepala orang yang tegak terbungkuk di
samping- nya. Kelihatan satu wajah tua berambut putih dengan sepasang mata dalam keadaan
terpejam. "Julukannya Dewa Tuak. Kuberitahupun kau
tidak tahu apa-apa!" jawab Wakil Ketua pula.
Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyeringai lalu melangkah mendekati Dewa Tuak yang
masih berdiri terhuyung-huyung. Tiba-tiba kakek ini buka matanya yang sejak tadi
terpejam. Begitu melihat siapa yang berdiri di depannya, dua matanya langsung
dikedap-kedipkan.
"Aku harap tidak bermimpi. Tidak menduga
bakal bertemu seorang manusia pocong betina di tempat ini! Ada mahkota di
kepalamu! Ha... ha...
ha! Kau pasti bukan mahluk sembarangan.
Sayang wajahmu tertutup kain putih. Tapi aku yakin pasti wajahmu secantik
bidadari. Ha... ha...
ha!" "Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Lekas
laksanakan tugasmu! Cepat sedot tenaga dalam dan kesaktiannya!" Wakil Ketua
sudah tidak sabaran.
"Eh, apa?" Dewa Tuak angkat kepalanya
sedikit. Tangan kiri digelungkan di belakang daun telinga kiri. Lagaknya seperti
orang mau mendengar lebih jelas. "Kalau mau menyedot jangan tenaga dalam dan kesaktianku.
Aku rela memberikan bagian tubuhku yang lain untuk disedot! Kau pasti merasa
enak! Aku juga enak!
Sama-sama enaklah kita! Ha... ha... ha!"
"Tua bangka kurang ajar!" Sri Paduka Ratu memaki marah. Tangan kanan diangkat ke
atas. Telapak membuka, lima jari menekuk seperti mencengkeram. Cahaya kuning kemudian
muncul di lima jari. Ketika tangan itu diputar ke kanan lalu disusul dengan
gerakan seperti membetot, Dewa Tuak menjerit keras. Tubuhnya yang tadi
membungkuk bergoncang keras. Dari mulutnya menyembur darah segar!
"Ratu! Jangan berlaku tolol! Kau mau membu-
nuh kakek ini sebelum melaksanakan perintah Yang Mulia Ketua?" berteriak Wakil
Ketua. "Diam!" bentak Sang Ratu. "Aku tahu apa yang aku lakukan!"
Lalu Sri Paduka Ratu pegang kuat-kuat bahu kanan Dewa Tuak dengan tangan kiri
sementara telapak tangan diletakkan di atas batok kepala si kakek.
Kasihan Dewa Tuak. Bukan saja seluruh
tenaga dalam serta kesaktiannya akan tersedot masuk ke dalam tubuh Sri Paduka
Ratu, tapi nyawanyapun tidak akan tertolong.
Begitu Sri Paduka Ratu meletakkan telapak tangan kanan di atas kepala Dewa Tuak,
Wakil Ketua cepat beranjak dan kini dia sengaja tegak di samping sang Ratu,
sedikit ke belakang, terpisah kurang dari dua langkah. Dua jari tangannya yang
sebagian tertutup di balik lengan jubah, diam-diam bergerak lurus dalam sikap
siap untuk menotok. Siapa yang akan ditotoknya" Jelas bukan Dewa Tuak!
WIRO SABLENG 9 KEMATIAN KEDUA ANGAN kanan Sri Paduka Ratu yang berada
di atas ubun-ubun kepala Dewa Tuak
Ttampak ber-getar pertanda dia mulai
melakukan penyedotan tenaga dalam dan
kesaktian si kakek. Sangat cepat getaran menjalar ke tubuh korban.
Dess! Dess! Dess!
Asap tipis kelabu mengepul dari batok kepala si kakek. Kalau sewaktu menyedot
tenaga dalam dan kesaktian Hantu Muka Dua kelihatan ada cahaya biru di kaki
mahluk dari Latanahsilam itu dan terus menjalar ke atas, maka pada diri Dewa
Tuak yang kelihatan adalah cahaya putih. Ini pertanda bahwa tenaga dalam dan
kesaktian yang dimiliki-
nya adalah murni dari golongan putih.
Pada saat sangat genting, yaitu ketika cahaya putih di kaki Dewa Tuak kelihatan
mulai bergerak naik ke atas, tiba-tiba empat bayangan berkelebat dari arah utara
halaman Rumah Tanpa Dosa.
Menyusul seruan nyaring suara perempuan.
"Mahluk alam roh! Hentikan perbuatan
terkutukmu!"
Bersamaan dengan itu empat gelombang angin menderu ke arah Yang Mulia Sri Paduka
Ratu, membuatnya terkejut, menjerit keras. Cepat dia tarik tangan kanannya dari
atas kepala Dewa Tuak lalu melompat mundur. Walau semua
gerakan itu dilakukan dengan sangat cepat namun empat gelombang angin masih
sempat menyerem-
petnya. Untuk kedua kalinya sang Ratu menjerit keras. Kali ini bukan jeritan
kaget, tapi Jeritan penuh marah.
Empat gelombang angin yang menghantam
tubuhnya berasal dari pukulan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam
tinggi serta ilmu kesaktian bukan sembarangan.
Blaar! Blaar! Blaar! Blaar!
Jangankan tubuh manusia, tembok batu
sekalipun pasti ambruk berkeping-keping. Tetapi luar biasa, Sri Paduka Ratu
hanya tergontai-gontai. Itupun cuma seketika. Apa yang terjadi"
Sesaat sebelum empat pukulan sakti jarak jauh menghantam, serangkum cahaya
kuning muncul melindungi dirinya mulai dari kepala sampai kaki.
Hantaman empat angin pukulan sakti hanya
menimbulkan suara dentangan aneh.
"Jahanam berani mati! Siapa kalian?" Yang Mulia Sri Paduka Ratu berteriak marah.
Dua tangan di balik jubah putih dipukulkan ke depan.
"Lekas menyingkir!" Seseorang berteriak.
"Selamatkan Dewa Tuak!" Ada suara lain ikut berseru.
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wutttt! Wuttt! Dua larik angin dahsyat memancarkan cahaya kuning panas berkiblat. Namun empat
orang yang hendak dijadikan bangkai gosong tak ada lagi di tempat semula. Bahkan
Dewa Tuak yang tadi ada di dekat mereka ikut lenyap! Dua gelombang angin kuning
menderu jauh memapas udara kosong lalu menghantam pinggiran lembah. Bebatuan di
tubir lembah sebelah atas hancur bertaburan, berubah menjadi bara menyala. Tanah
dan pasir beter-
bangan ke udara.
Memandang berkeliling, dua belas langkah di sebelah kiri, Sri Paduka Ratu
melihat Dewa Tuak berada dalam gendongan seorang pemuda beram-
but gondrong. Sepasang mata Sri Paduka Ratu menyipit, kening mengerenyit. Saat
itu si pemuda tengah menurunkan kakek yang digendongnya ke tanah. Dewa Tuak
tegak terbungkuk sambil
pegangi dadanya yang mendenyut sakit. Noda darah membasahi bagian depan jubah
putih yang dikenakannya. Sepasang mata si kakek berputar.
Pandangannya berhenti pada sosok Naga Kuning yang tegak sambil memegang bumbung
bambu. Dua bola mata si kakek membesar. Mulut menga-
nga, tenggorokan turun naik.
"Bocah! Bumbung bambu itu! Kau dapat di
mana" Rasa-rasanya. Ah, aku jadi haus!" Si kakek lalu duduk menjelepok di tanah.
Kepala didongak-
kan. Dua tangan diangkat ke atas. Menggantung di udara. Satu di atas kening,
satu di dekat mulut.
Kalau sudah begitu biasanya tenggorokan si kakek akan mengeluarkan suara gluk,
gluk, gluk, seperti melahap minuman benaran. Tapi sekali ini hal itu tidak
terjadi. Malah perlahan-lahan dia turunkan dua tangan. "Apa nikmatnya minum
bohongan terus-terusan," kata si kakek perlahan lalu berpaling pada Naga Kuning,
menatap ke arah bumbung bambu. "Bocah jabrik! Berikan bum-
bung bambu itu padaku!"
Naga Kuning jadi bingung.
Gondoruwo Patah Hati berkata, "Lekas
serahkan. Mengapa kau diam saja?"
"Aku..."
"Kakek itu seperti kurang waras. Siapa tahu kalau memegang bumbung bambu
ingatannya kembali pulih. Kita butuh dia. Sebentar lagi tempat ini bakal jadi ajang sabung
nyawa." "Tapi, Nek. Kau, kau tidak tahu..."
Tidak sabaran Gondoruwo Patah Hati rampas bumbung bambu dari tangan Naga Kuning.
Saat itu dia merasakan kalau dalam tabung ada cairan.
"Eh, setahuku waktu kau temukan bumbung
ini kosong. Mengapa sekarang ada cairannya" Ada kain penyumpal?" si nenek
menatap Naga Kuning.
"Sudah, kalau kau ingin menyerahkannya pada Dewa Tuak. Serahkan saja..." kata
Naga Kuning pula. Lalu dalam hati bocah konyol ini berkata
"Gila! Kalau di luar sadar Dewa Tuak sampai menenggak isi bumbung itu dan satu
ketika dia tahu apa sebenarnya isinya, aku bisa celaka..."
Dewa Tuak tertawa penuh gembira ketika
menyambuti bumbung bambu yang diserahkan
Gondoruwo Patah Hati. Untuk beberapa lamanya bumbung itu diletakkan di pangkuan
dan diusap-usap.
Wiro yang berdiri di sebelah Bunga berbisik,
"Manusia pocong betina itu, luar biasa sekali. Dia mampu menahan empat hantaman
kita sekaligus!
Agaknya benar ucapan orang di luaran. Sekali masuk ke dalam lorong kematian,
tidak ada jalan keluar hidup-hidup."
"Wiro, apa kau sudah mati semangat?"
Wiro terdiam. Matanya memperhatikan robekan di perut jubah putih Yang Mulia Sri
Paduka Ratu. "Bunga, kau lihat robekan di bagian perut manusia pocong itu" Hantu Muka Dua
tidak bohong. Ketika bertemu mahluk pocong ini dia melihat sesuatu di dalam perutnya,
berusaha mengambil tapi hanya sanggup menggapai robek jubahnya..."
"Tadi aku sempat mencoba melihat tembus.
Memang ada sesuatu di dalam perutnya. Tapi aku cuma melihat samar. Sewaktu aku
paksakan mataku terasa sangat perih. Sebelum satu
kekuatan hebat melabrakku aku hentikan melihat tembus..."
"Coba aku periksa," kata Wiro pula. Lalu dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang
didapat- nya dari Ratu Duyung.
"Wiro, jangan! Kau bisa celaka!" mengingatkan Bunga. Tapi terlambat, Wiro telah
keburu mengerahkan ilmu melihat tembus pandang ke dalam perut Sri Paduka Ratu.
"Bunga, aku... aku bisa melihat lebih jelas. Itu gulungan Pedang Naga... Ah!"
Satu kekuatan tak terlihat tiba-tiba muncul menerpa Pendekar 212.
Wiro terjajar lalu terjengkang di tanah. Kepala bergetar sakit seperti mau
rengkah! Mata terasa sangat perih. Dia coba menggosok. Ketika matanya dibuka
kembali dia tersentak kaget. Dia hanya melihat kegelapan. "Celaka! Aku tak bisa
melihat apa-apa! Buta! Aku buta!"
Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa panjang.
Bunga cepat dekati Wiro. Mengusap kedua
matanya dengan tangan kiri. "Cepat berdiri. Kau hanya buta sementara. Kerahkan
hawa sakti pada dua matamu. Sesaat lagi penglihatanmu akan pulih!"
Apa yang dikatakan Bunga benar adanya.
Hanya selang beberapa ketika setelah dia menge-
rahkan tenaga dalam dan aliran hawa sakti pada kedua matanya, dia sudah mampu
melihat seperti semula. "Gila..." ucap Wiro sambil mengusap keningnya yang
keringatan. "Bunga, kita menghadapi satu kekuatan yang sulit ditandingi..."
"Aku sudah tahu jauh sebelumnya. Aku sudah bilang padamu. Kekuatan alam gaib itu
berpusat di rumah putih. Di dalam rumah putih penghuni-
nya adalah manusia pocong perempuan ini.
Seperti diriku dia datang dari alam roh. Namun dia datang dibekali kesesatan.
Dialah sumber dan pusat segala kekuatan ilmu kesaktian di tempat ini. Tapi dia
berada di bawah kendali seseorang.
Hampir pasti si pengendali adalah Ketua Barisan Manusia Pocong. Selain itu
ingat, kita harus menemukan satu batu pipih hitam. Dugaanku benda itu berada di
tangan penguasa lorong kematian. Jika batu tidak berhasil dirampas, kejahatan
yang sama dapat terulang kembali."
"Mana dia sang ketua. Aku belum melihat
batang hidungnya..."
"Mungkin dia tidak akan pernah muncul. Dia cukup mengendalikan Sang Ratu untuk
mengha- bisi kita. Sebelum itu terjadi kita harus sanggup menghancurkan kekuatannya.
Kekuatan itu hanya bisa dihancurkan jika kau menikahi manu-
sia pocong yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kita tak punya waktu banyak.
Ikuti aku!"
Bunga lalu menarik tangan Wiro, melangkah ke hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Wakil Ketua yang berada di dekat tempat itu cepat mengha-
dang. Sepasang mata berkilat pada Wiro Sableng.
Wiro balas memperhatikan. Dari potongan tubuh orang ini Wiro segera tahu kalau
dia adalah manusia pocong yang muncul menebar asap
beracun di dalam lorong. Wiro cepat alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Pukulan Sinar Matahari disiapkan.
Manusia pocong di hadapan Wiro tertawa
perlahan. "Kalaupun kau punya sepuluh tangan dan menghantamkan sepuluh pukulan
Sinar Matahari sekaligus, kau tak akan mampu
mengalahkanku. Sayang nyawamu sudah ada
yang punya. Kalau tidak, saat ini kepalamu tidak ada lagi di atas leher!"
"Omongan hebat! Tapi siapa percaya ucapan manusia jelek macam kau. Yang hanya
berani melepas hawa beracun lalu kabur! Aku menduga ilmumu hanya secetek
comberan. Tapi bermulut besar karena mendapat lindungan dan andalan ilmu
kesaktian dari pocong betina ini."
Di balik kain putih penutup kepala, rahang manusia pocong menggembung. Nafasnya
mende- ngus. Tubuh bergeletar. Lima jari tangan kiri kanan ditekuk sampai mengeluarkan
suara berkeretek. "Yang Mulia Sri Paduka Ratu, lekas pergi ke rumah panggung beratap ijuk hitam!
Jangan keluar kalau tidak ada yang memberi perintah.
Monyet-monyet kesasar ini serahkan padaku."
"Wakil Ketua, beraninya kau memerintah
diriku" Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!"
"Perintah itu berasal dari Yang Mulia Ketua!
Apa kau berani membantah?"
"Ha... ha! Monyet berjubah putih ini Wakil Ketua rupanya!" Tiba-tiba Wiro
berseru. "Oala!" menimpali Gondoruwo Patah Hati yang tegak di samping Dawa Tuak. Si kakek
masih saja mengusap-usap bumbung bambu di pangkuan-
nya. "Wakil sudah muncul! Ketuanya mana?"
"Mungkin lagi berak!" menyahuti Naga Kuning lalu tertawa cekikikan.
"Ckkk... cekk... cekkk!" Wakil Ketua berdecak leletkan lidah. "Luar biasa
beraninya kalian berbicara! Apakah cukup berani menghadapi kematian?"
"Ckk... ckkk... ckkk!" Naga Kuning balas
berdecak. "Bagaimana kalau kita mati barengan"!"
"Bocah jahanam! Kau akan kubunuh duluan!"
teriak Wakil Ketua.
"Mati barengan boleh saja," ujar Wiro. "Tapi mahluk setan ini harus lebih dulu
menunjukkan di mana perempuan-perempuan muda itu disekap.
Di mana Anggini, Wulan Srindi, Kakek Segala Tahu!"
Wakil Ketua yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya karena diamuk amarah
mendorong bahu Yang Mulia Sri Paduka Ratu. "Tunggu apa lagi" Lekas pergi ke
rumah panggung ijuk hitam!
Itu perintah Yang Mulia Ketua!"
"Rumah busuk itu! Tempat para bayi dan
ibunya mati dibunuh! Mengapa aku harus ke sana?" Tanya Yang Mulia Sri Paduka
Ratu. "Tempat kediamanku adalah rumah putih ini.
Rumah Tanpa Dosa!"
"Sri Paduka Ratu! Jangan kau berani menolak perintah Yang Mulia Ketua."
Tapi Yang Mulia Sri Paduka Ratu tidak per-
dulikan bentakan Wakil Ketua. Sekali berkelebat tubuhnya melayang mengikuti
tangga putih sete-
ngah lingkaran. Secara aneh pintu putih terbuka.
Sosok Sri Paduka Ratu lenyap ke dalam rumah putih. Pintu putih tertutup kembali.
Sesaat sebelum Sri Paduka Ratu masuk ke
dalam Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian
keluarkan suitan nyaring dua kali berturut-turut. Tak selang berapa lama, tiga
manusia pocong berkelebat di tempat itu. Salah seorang di antara mereka
kelihatan robek kain penutup kepalanya di bagian leher dan ada noda darah di
jubah. "Pocong bangsat satu itu yang menyerang kita di dalam lorong. Yang dikoyak
lehernya oleh Jatilandak. Gila. Masih hidup dia!" ucap Naga Kuning.
Manusia pocong keempat muncul dengan
tubuh huyung langkah terseok-seok seperti mau jatuh. Dari mulutnya keluar suara
ha... hu... ha...
hu tiada henti. Tangan kanan diacung-acungkan ke atas. Sungguh aneh penampilan
manusia pocong satu ini dibanding dengan teman-teman-
nya yang lain, yang bergerak serba cepat dan bersikap galak ganas.
Sesaat kemudian dari atas rumah panggung
serba putih mengumandang suara nyanyian.
WIRO SABLENG 10 KEMATIAN KEDUA EHIDUPAN muncul secara aneh
Kematian datang tidak disangka
K Di dalam bukit batu
Ada seratus tiga belas lorong
Siapa masuk akan tersesat
Tidak ada jalan keluar
Sampai kematian datang menjemput
Di dalam lembah
Ada Rumah Tanpa Dosa
Inilah tempat tenteram bagi mahluk tidak berdosa
Bendera Darah lambang kematian
Tiada daya menentang ajal
Darah suci bayi yang dilahirkan
Pembawa kehadiran Nyawa Kedua
Sambungan hidup insan tak bernyawa
Di dalam lorong ada kesepian
Di dalam kesepian ada kehidupan
Di dalam lorong ada kesunyian
Di dalam kesunyian ada kematian
Di halaman Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua
memaki dalam hati. "Ratu gila! Dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya
menyanyi!"
Wakil Ketua berpaling kepada tiga manusia pocong yang ada di seberang sana lalu
berteriak. "Bunuh bocah, nenek, dan gadis itu. Si
gondrong biar aku yang menangani!"
Begitu perintah berucap, tiga manusia pocong segera berkelebat.
Wakil Ketua berpaling pada manusia pocong yang muncul dengan langkah terseok-
seok. "Kau!" teriak Wakil Ketua. "Tugasmu membu-
nuh kakek yang memegang bumbung bambu!
Lakukan cepat!"
"Gawat!" ucap Bunga. "Ikuti aku! Kita harus segera masuk ke dalam rumah putih.
Pernikahan harus segera dilangsungkan!"
"Empat manusia pocong itu hendak menghabisi kawan-kawan! Bagaimana mungkin kita
mening- galkan mereka?"
"Wiro, ini keadaan yang terpaksa harus kita hadapi. Harus ada yang berkorban
demi musnah- nya malapetaka rimba persilatan. Kalau kita bertindak terlambat tak ada yang
bisa ditolong. Nyawamupun tidak akan terselamatkan!"
"Aku memilih menghadapi mahluk-mahluk
keparat itu. Aku akan menghajar Wakil Ketua itu lebih dulu!"
"Jangan tolol! Ikuti aku! Siapkan setanggi yang aku berikan padamu!" Habis
berkata begitu Bunga cekal lengan kanan Wiro. Tahu-tahu Wiro merasa-
kan dirinya melesat ke udara. Bunga berkelebat ke arah pintu putih. Sementara
dari dalam rumah putih kembali terdengar suara Sri Paduka Ratu kembali menyanyi.
Braakkk! Bunga dan Wiro tersungkur di depan pintu.
Tadi Bunga mencoba menjebol pintu itu dengan tendangan kaki kanan. Ternyata
pintu tidak bergeming. Malah dia dan Wiro jatuh terbanting di depan tangga.
"Luar biasa!" ucap Bunga. Wajah putih pucat-
nya tampak keringatan. Gadis dari alam roh ini keluarkan kantong berisi serbuk
setanggi lalu ditebar di papan pintu. Di dalam rumah suara nyanyian terputus.
Berganti jeritan panjang menyerupai setengah raungan setengah tangisan.
Rumah putih bergoncang keras. Genta bergoyang keluarkan suara membahana.
Di halaman rumah putih Wakil Ketua terkesiap ketika melihat bagaimana Bunga dan
Wiro mampu melesat ke atas Rumah Tanpa Dosa. Selama ini, termasuk dirinya dan
juga Ketua Barisan Manusia Pocong, tak mampu naik ke atas bangunan putih itu.
Konon, siapa saja manusia yang telah ter-
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sentuh dosa tidak mungkin bisa berada di atas rumah putih. Lalu apakah gadis
berkebaya putih dan Pendekar 212 Wiro Sableng merupakan insan-insan tanpa dosa"
Bubuk apa yang ditebarkan gadis bermuka sepucat mayat itu" Memikir sampai ke
situ Wakil Ketua berteriak pada manusia pocong keempat yang masih tertegun-tegun
di sebelah sana. Padahal tadi sudah diperintahkan membunuh Dewa Tuak.
"Tua bangka sial! Lupakan kakek itu! Tugasmu sekarang adalah masuk ke dalam
Rumah Tanpa Dosa. Selamatkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu dari dua penyusup! Bawa
ke dalam rumah pang-
gung beratap ijuk! Cepat laksanakan! Yang Mulia Paduka Ratu akan memberi
kekuatan padamu!"
Selarik cahaya kuning melesat dari arah rumah putih itu lalu membungkus manusia
pocong yang dimaki tua bangka sial. Mahluk ini balikkan badan. Keadaannya
mendadak sontak berubah.
Sekali dia menggenjotkan kaki, sosoknya melesat sebat ke udara, melayang di atas
tangga putih setengah lingkaran. Namun hampir sampai di bagian atas tangga,
tiba-tiba ada satu kekuatan menolak kehadirannya. Kekuatan ini menghantam
tubuhnya begitu rupa hingga terpental dan jatuh terguling-guling di tangga,
terbanting ke tanah.
"Gila!" maki Wakil Ketua dengan mata mendelik tak percaya. "Ratu memberi
kekuatan, tapi kini dia sendiri yang menghantam. Aku mengira kakek itu bersih
dari segala dosa. Dosa apa yang dimilikinya di masa muda?"
Sementara itu, di depan pintu putih Rumah Tanpa Dosa.
"Sekarang Wiro!" kata Bunga begitu selesai menebarkan bubuk setanggi di pintu
putih. Keduanya mundur beberapa langkah lalu sama-sama menghantam dengan pukulan tangan
kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Wuuut! Wuuuut! Braakkk! Pintu putih Rumah Tanpa Dosa hancur
berantakan. Bunga dan Wiro melompat masuk.
Begitu sampai di dalam keduanya menjadi kaget.
Walau di luar terang benderang namun cahaya tidak mampu menembus masuk ke dalam.
Dan sungguh tidak terduga. Bagian dalam Rumah Tanpa Dosa ternyata kelam gelap
gulita! Jangan-
kan melihat keadaan sekeliling. Tangan di depan matapun tidak kelihatan! Dalam
keadaan seperti itu ada suara menggerung dari salah satu bagian bangunan. Bunga
mencium bahaya. Wiro merasa tegang luar biasa. Sebenarnya dari beberapa orang
sakti yang pernah ditemuinya, Wiro mendapat ilmu mampu melihat lebih terang
dalam gelap. Namun saat ini kemampuan ilmu itu tidak
sanggup menembus kegelapan. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang dari Ratu Duyung.
Juga sia-sia! Bunga sendiri yang telah lebih dulu mencoba mengandalkan ilmu
tembus pandangnya juga tak berdaya. Tiba-tiba gadis dari alam roh ini ingat.
"Wiro, pupuri mukamu dengan bubuk
setanggi!"
Kedua orang itu segera mengambil setanggi yang mereka bawa lalu membedaki wajah
masing-masing. Saat itu juga suara menggerung dari salah satu sudut rumah
berubah menjadi teriak kema-
rahan. Ada letupan-letupan keras disertai dengan memancarnya bunga api. Dan luar
biasanya, di saat itu pula ruang dalam Rumah Tanpa Dosa yang tadinya gelap
gulita kini menjadi terang benderang. Memandang ke sudut kanan ruangan, Wiro
terkesiap kaget. Bunga mengerenyit meman-
dang tajam. Keduanya sama tersurut satu lang-
kah. Mahluk roh yang disebut Yang Mulia Sri
Paduka Ratu tegak di sudut ruangan, di atas teba-
ran puluhan batu sebesar tinju, merah menyala!
Cahaya kuning tipis membungkus sekujur tubuh-
nya mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Gila! Bagaimana mungkin! Jubahnya tidak
terbakar, kakinya tidak melepuh menginjak batu api!" ucap Wiro.
"Tenang, Wiro. Jangan pikiranmu dikacaukan oleh apa yang kau lihat!" bisik
Bunga. Di sudut ruangan Sri Paduka Ratu memandang ke langit-langit ruangan, meraung
panjang lalu raungan berganti dengan suara tawa cekikikan.
Bunga tidak menunggu lebih lama.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, aku datang
membawa pengantin lelaki calon suamimu. Upa-
cara pernikahanmu dengan pemuda bernama Wiro Sableng ini harus dilaksanakan saat
ini juga!"
Suara tawa Yang Mulia Sri Paduka Ratu
terhenti. Tapi cuma sebentar. Gelak tawanya disambung kembali. Lebih keras dari
tadi. Tiba-tiba sang Ratu hentakkan kaki kanan. Belasan batu merah menyala
sebesar tinju melesat ke arah Wiro dan Bunga!
WIRO SABLENG 11 KEMATIAN KEDUA UNGA berseru keras, melesat ke udara
sambil ubah ujudnya menjadi asap.
BSembilan batu menyala menyambar ganas.
Wutt! Wutt! Wuss! Wusss! Bunga terpekik. Dua buah batu menyerempet kebaya putih gadis alam roh itu di
bagian bahu kanan dan lengan kiri.
Di bagian lain Wiro yang juga berusaha
selamatkan diri dengan melompat sambil melepas-
kan pukulan tangan kosong juga berteriak kaget.
Tujuh batu menyala menyambar ke arahnya. Tiga berhasil dikelit, dua dipukul
mental. Batu keenam menyambar selangkangan celananya hingga
hangus bolong. Tengkuk sang pendekar merinding. "Sedikit lagi ke atas amblas perabotanku!"
katanya dalam hati.
Namun dia tidak bisa merasa lega. Karena batu ketujuh melesat ke samping kiri
kepala. Rambut-
nya yang gondrong serta merta berkobar. Kalang kabut Wiro berhasil memadamkan
nyala api yang membakar rambutnya.
Semua batu yang tidak mengenai sasaran
menghantam dinding Rumah Tanpa Dosa. Tujuh lobang hitam kelihatan di dinding
putih. "Wiro! Lekas keluarkan ilmu Angin Es. Batu menyala itu harus dipadamkan! Aku
akan meng- hadang kalau sang Ratu menyerang!"
Ilmu Angin Es adalah salah satu dari sekian banyak ilmu kesaktian yang didapat
Wiro dari Eyang Sinto Gendeng. Dengan cepat dia rangkap-
kan dua tangan di atas dada. Sepasang mata menatap tajam ke tebaran batu-batu
bernyala. Settt! Tangan yang dirangkapkan dibuka, telapak
tangan yang bergetar diarahkan pada batu-batu menyala. Serta merta Rumah Tanpa
Dosa dikung- kung hawa dingin sekali. Satu persatu batu me-
nyala menjadi padam mengepulkan asap dingin seolah berubah menjadi es! Namun
belum sampai setengah dari puluhan batu itu dipadamkan, Yang Mulia Sri Paduka
Ratu berteriak keras. Bahunya digoyangkan. Cahaya kuning yang menutupi tu-
buhnya melesat ke arah Bunga dan Wiro.
"Tebarkan setanggi!" teriak Bunga
Dua tangan serta merta menebarkan bubuk
setanggi. Selain menebar bubuk setanggi, Bunga juga melemparkan sekuntum kembang
kenanga ke arah Sri Paduka Ratu. Yang di arah adalah urat besar di pangkal leher
sebelah kiri. Jelas maksud-
nya untuk melumpuhkan lawan dengan cara
menotok. Sang Ratu mendengus. Lalu membuat sikap sengaja memasang badan. Kembang
kena- nga menembus kain putih penutup kepala lalu dengan telak menghajar urat besar di
pangkal leher kiri!
"Lumpuh!" ucap Bunga dalam hati.
Tapi Sang Ratu justru keluarkan tawa
mengikik. Dess! Kembang kenanga mencelat mental, berbalik menyerang pada pemiliknya! Tidak
menduga akan mendapat serangan balik begitu rupa Bunga terpekik kaget. Dan
terlambat mengelak. Untung saja kembang kenanga hanya menyerempet dan menggores
sedikit pipi kirinya.
Letupan-letupan keras disertai percikan bunga api memenuhi Rumah Tanpa Dosa.
Perlahan-lahan Yang Mulia Sri Paduka Ratu turun dari tumpukan batu menyala.
"Wiro, serahkan padaku gulungan kain putih!
Cepat!" Pendekar 212 Wiro Sableng jadi sibuk meme-
riksa ke balik pinggang pakaian. Untung benda yang diminta Bunga masih terselip
di bawah kipas kayu cendana milik Nyi Roro Manggut yang harus diserahkannya pada
Kakek Segala Tahu. Wiro cepat berikan gulungan kain putih pada Bunga.
Gadis dari alam roh buka gulungan kain yang berada dalam keadaan basah. Begitu
gulungan terbuka dia segera membaca baris-baris tulisan yang tertera di situ.
Batas antara kebaikan dan kejahatan
adalah kebijaksanaan
Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa akan menimbulkan bencana malapetaka
di mana-mana Jika kehidupan kedua tidak dimusnahkan rimba persilatan akan kiamat
Dalam kiamat tangan-tangan jahat akan jadi penguasa Darah mengalir sederas air sungai di
musim hujan Nyawa tiada artinya lagi
Hanya pernikahan dengan mayat
yang sanggup menjadi Tumbal penyelamat Jika pemilik pertama nyawa kedua
seorang perempuan,
nikahkan dia dengan...
Setiap kalimat yang dibacakan Bunga membuat Yang Mulia Sri Paduka Ratu undur
selangkah demi selangkah. Dada berdebar, tubuh melemas.
Hati kacau, pikiran galau. Dari balik penutup kepala terdengar suara nafas
memburu. Lalu berubah jadi suara sesenggukan. Namun sebelum Bunga sempat
menyelesaikan membaca seluruh tulisan yang tertera di kain putih basah, tiba-
tiba dari pintu yang terpentang lebar melesat satu bayangan putih.
"Hanya perintah Yang Mulia yang harus
dilaksanakan! Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Tutup pendengaranmu! Ikuti aku!
Cepat!" Yang Mulia Sri Paduka Ratu seperti orang baru sadar diri memandang ke arah
manusia pocong yang barusan masuk. Dari suaranya jelas manusia pocong satu ini
adalah perempuan. Walau suara itu agak lain namun Wiro rasa-rasa mengenalinya.
Ketika manusia pocong perempuan membalikkan badan dan menghambur ke pintu, Sri
Paduka Ratu secepat kilat berkelebat mengikuti.
"Wiro! Jangan biarkan mereka kabur!" teriak Bunga.
Pendekar 212 menghadang pocong perempuan
yang bergerak ke arahnya. Tanpa ragu murid Sinto Gendeng ini segera hantamkan
satu jotosan ke arah dada orang. Tidak tanggung-tanggung dia menghantam dengan
pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Ini adalah pukulan keempat dari enam
jurus dan ilmu pukulan sakti yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh.
Satu cahaya kuning menderu dari tubuh Sri Paduka Ratu memasuki tubuh manusia
pocong. Bukkk! Manusia pocong menangkis. Lengan beradu
lengan. Tenaga luar dan tenaga dalam manusia pocong perempuan itu ternyata tidak
di bawah Wiro. Pendekar 212 berseru kaget ketika bentro-
kan lengan membuat tubuhnya terangkat ke atas.
Kepala hampir menghantam langit-langit bangu-
nan. Lengan baju putihnya hangus menghitam dan mengepulkan asap. Lengan itu
terasa hancur kutung!
Sambil menahan sakit, di udara Wiro membuat gerakan jungkir balik. Saat melayang
turun tangan kirinya dipukulkan ke batok kepala pocong perempuan. Tapi luput.
Tak sengaja dia hanya mampu menarik tanggal kain putih penutup
kepala. Pocong perempuan menjerit keras, tutupi wajah dengan dua tangan lalu
meluncur ke bawah lewat pegangan tangga putih setengah lingkaran.
Lari ke arah lembah di sebelah utara.
Pendekar 212 tersentak kaget.
Walau pocong perempuan itu menutupi wajah dengan kedua tangan namun Wiro masih
sempat mengenalinya.
"Wulan Srindi!" seru Pendekar 212. Benar-
benar tak dapat dipercaya!
Di saat yang hampir bersamaan Bunga coba
menghadang Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Namun kalah cepat. Sri Paduka Ratu
melompat ke arah pintu setelah terlebih dulu melesatkan dua larik cahaya kuning
dari sepasang matanya. Cahaya pertama mencuat ke atas, ke arah langit-langit.
Wusss! Bummm! Satu ledakan dahsyat menggelegar. Atap
Rumah Tanpa Dosa serta merta dilamun kobaran api!
Cahaya kuning menyambar ke arah kepala
Bunga. Gadis alam roh ini berseru kaget. Cepat jatuhkan diri sama rata dengan
lantai. Di bela-
kangnya sebagian tangga putih setengah lingkaran hancur berantakan. Kayu-kayu
yang berpentalan berubah menjadi kuntungan api. Bunga masih sempat melihat sosok
Sri Paduka Ratu melesat di atasnya. Secepat kilat gadis ini kirimkan tendang-
an ke arah kaki lawan.
"Kepandaian cuma sejengkal! Beraninya kau mengadu kekuatan! Rasakan!" Sri Paduka
Ratu balas tendangan dengan tendangan.
Bunga menjerit keras. Tubuhnya terpental
jauh, meliuk di udara.
"Bunga!" teriak Wiro. Lalu melompat, cepat menangkap pinggang gadis dari alam
roh itu dan sama-sama jatuh bergulingan di tanah. Wiro bangun duluan dan
tersentak kaget ketika melihat kaki kanan bunga yang tersingkap berwarna hitam
kebiruan mulai dari ujung jari sampai ke betis. Wajahnya sangat pucat. Kedua
matanya tertutup.
"Bunga!" seru Wiro sambil pegang bahu si
gadis. Bunga buka sepasang matanya. Astaga! Bagian putih kedua mata si gadis kelihatan
hitam kebiruan.
"Bunga, kakimu, matamu berwarna hitam
kebiruan! Kau keracunan! Aku akan menotok jalan darahmu!" ucap Wiro khawatir.
Bunga memberi tanda dengan mengangkat
tangan kanan lalu perlahan-lahan bangun dan duduk di tanah sambil mulutnya
berucap. "Aku tahu..." Si gadis perhatikan keadaan kakinya.
"Ilmu kesaktian mengandung bubuk besi beracun, hanya dimiliki oleh seorang kakek
sakti bernama Ki Wesi Ireng. Pasti pocong betina itu telah merampas ilmu jahat
itu dari si kakek dengan cara menyedot. Aku masih untung punya kekuatan hingga
racun tidak menjalar ke jantung dan otak.
Tapi mataku sakit sekali..."
"Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu!" ucap Wiro pula.
"Aku bisa mengobati diriku sendiri. Aku hanya minta agar kau berjaga-jaga.
Jangan sampai ada yang membokong selagi aku memusnahkan racun jahat."
Wiro cepat berdiri dan segera kerahkan hawa sakti pada kedua tangannya. Di
depannya Bunga menggigit bibir sendiri hingga darah mengucur.
Sebagian dari darah itu disemburkan ke kaki kanannya yang hitam kebiruan.
Sebagian lagi disapukan pada kedua matanya. Asap hitam
berbau busuk mengepul keluar dari kaki dan mata. Ketika kepulan asap sirna,
warna hitam kebiruan pada kaki dan matanya ikut lenyap.
Bunga menarik nafas lega. Saat itu dia masih memegang carikan kain putih di
tangan kanan. "Untung kita masih memiliki kain ini. Wiro bantu aku berdiri..."
Selagi Wiro membantu Bunga berdiri tiba-tiba di belakang terdengar satu ledakan
dasyat luar biasa. Wiro jatuhkan diri dan bersama Bunga berguling sejauh
mungkin. Di belakang mereka, Rumah Tanpa Dosa meledak hancur berkeping-keping.
Lidah api, kepulan asap serta serpihan kayu melesat ke udara sampai belasan
Wiro Sableng 141 Kematian Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tombak. "Aku melihat cahaya tiga warna menghantam rumah putih. Ada yang sengaja
menghancurkan bangunan itu!" kata Bunga pula. Memandang berkeliling Wiro dan
Bunga dapatkan asap tebal menyungkup halaman Rumah Tanpa Dosa. Untuk beberapa
saat pemandangan keduanya jadi
terhalang. "Wiro, kita harus mengejar sang Ratu.
Pernikahanmu dengan dia belum terlaksana!
Rimba persitatan masih dalam bahaya besar!"
"Kalian tidak akan ke mana-mana! Serahkan kain putih itu padaku!"
Satu suara membentak garang. Walau asap
tebal namun Bunga masih sempat melihat ada dua bayangan putih berkelebat. Salah
satu me- nyambar ke arah kain putih yang masih tergeng-
gam di tangan kanannya.
"Ihhh!"
Bunga terpekik. Kalau tidak cepat dia jatuhkan diri dan berguling di tanah
niscaya gulungan kain putih kena dirampas orang.
Ketika kepulan asap menipis dan keadaan
menjadi lebih terang, Wiro dan Bunga dapatkan tiga manusia pocong berdiri di
hadapan mereka.
Dua memiliki badan sama-sama besar, sama-
sama tinggi. Salah satu dari mereka pastilah si Wakil Ketua. Lalu siapa satunya"
Sang Ketua"
Manusia pocong ketiga adalah yang tadi muncul terhuyung-huyung, langkah terseok
dan dimaki dengan sebutan tua bangka sial oleh Wakil Ketua.
"Wiro, tetap waspada. Walau rumah putih
sudah hancur tapi sumber segala kekuatan dan kesaktian masih berpusat di tangan
mahluk itu."
"Bunga, Sang Ratu. Aku mendadak punya
firasat aneh... "ucap Wiro.
"Sekarang bukan saatnya bicara tentang
firasat. Kita harus mengejar Ratu. Pernikahan harus segera dilaksanakan. Tapi
aku tidak yakin tiga pocong setan ini akan melepaskan kita begitu saja.
Bersiaplah untuk mengadu jiwa."
"Kalau aku harus mati di sini apa boleh buat,"
jawab Wiro sambil menyeringai dan garuk kepala.
Tiba-tiba salah seorang dari manusia pocong tinggi besar berkata.
"Wakil Ketua lekas kerjakan apa yang tadi aku katakan. Dua cecunguk kesasar
mencari mati ini biar kami berdua yang menangani!"
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!" Wakil Ketua keluarkan
ucapan lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke arah utara.
"Bunga, apa kau tidak merasa ada keanehan"
Dua manusia pocong tinggi besar itu. Yang satu..."
Belum sempat Bunga menjawab, manusia
pocong yang disebut tua bangka sial melompat ke hadapan Bunga. Berusaha merampas
gulungan lembaran kain putih. Wiro cepat menghadang.
Perkelahian serta merta pecah di antara mereka.
Walau sebelumnya dia berpenampilan loyo
terseok-seok tapi ternyata ketika menggebrak Wiro manusia pocong itu memiliki
kegesitan serta kekuatan luar biasa.
"Wiro, hati-hati... Aku melihat cahaya kuning tipis membungkus tubuhnya. Berarti
kekuatan gaib berbahaya itu masih ada. Melindunginya..."
Manusia pocong tinggi besar melangkah
mendekati Bunga. "Aku sudah lama mendengar kehadiran dan kehebatanmu sebagai
seorang gadis dari alam roh. Kau bercinta dengan pemuda tolol ini. Aku merasa
iri. Aku Yang Mulia Ketua, apakah bisa bercinta dan tidur denganmu jika semua
urusan ini selesai. Aku akan membuat kau hidup bahagia di alam nyata ini. Itu
lebih baik bagimu dari pada kembali ke alam asalmu!"
Bunga keluarkan suara mendengus lalu
tertawa cekikikan.
"Terima kasih atas pujianmu. Tapi kau salah mengira. Aku datang justru hendak
membawamu ke alam gaib. Di situ rohmu akan tergantung antara langit dan bumi.
Kau pasti betah karena banyak sekali temanmu di sana! Kita berangkat sekarang?"
"Iblis celaka!" bentak Ketua Barisan Manusia Pocong. Didahului dengan melepas
satu pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi, Sang Ketua menerjang ke
arah gadis alam roh itu.
Bunga sambut serangan orang dengan tawa
cekikikan. Matanya tidak melihat cahaya kuning membungkus sosok Sang Ketua.
Apakah dia memiliki ilmu kesaktian luar biasa sehingga tidak perlu mendapat perlindungan
dari Yang Mulia Sri Paduka Ratu"
Di lain pihak sebenarnya Wiro ingin menghada-
pi langsung Ketua Barisan Manusia Pocong 113
lorong kematian itu. Kebenciannya selangit tem-
bus. Bukan saja karena perbuatan kejinya mencu-
lik perempuan-perempuan hamil, tapi karena sampai saat itu dia belum mengetahui
di mana beradanya Anggini, Dewa Tuak, serta Kakek Segala Tahu. Namun Pendekar
212 keburu mendapat serangan anak buah Sang Ketua. Dan ternyata kepandaian manusia pocong
yang terlihat loyo ini sungguh luar biasa. Jurus-jurus silatnya sangat
berbahaya. Kemudian Wiro mendengar teriakan Bunga.
"Wiro hati-hati! Lawanmu dilindungi kekuatan gaib alam roh!"
Pendekar 212 Wiro Sableng mulai terdesak.
WIRO SABLENG 12 KEMATIAN KEDUA EPERTI diceritakan dalam Bab 10, Wakil
Ketua memerintahkan manusia pocong yang
Sdipanggil dengan sebutan kakek sial untuk membunuh Dewa Tuak yang duduk
menjelepok di tanah sambil usap-usap bumbung bambu. Namun ketika Wiro dan Bunga
melesat coba masuk ke dalam Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua merasa perlu untuk
selamatkan sang Ratu lebih dulu.
Anak buahnya itu diperintah untuk menghalangi.
Ter-nyata kekuatan gaib yang keluar dari rumah putih membuat manusia pocong ini
terpental dan jatuh terbanting di tanah. Ini satu pertanda bahwa dia memiliki
dosa dan tidak mungkin masuk ke dalam bangunan putih.
Bangkit berdiri manusia pocong tertawa geli, tepuk-tepuk dan bersihkan debu
serta tanah yang melekat di jubah putihnya.
Setelah Rumah Tanpa Dosa meledak hancur
berkeping-keping, manusia pocong itu diperintah-
kan untuk merampas kain putih yang ada dalam pegangan Bunga. Namun Wiro
menghadang dan selanjutnya terjadi perkelahian hebat. Wiro terde-
sak. Sementara Wiro bertempur melawan manusia
pocong, Yang Mulia Ketua berhadapan dengan Bunga.
Di bagian lain Naga Kuning dan Gondoruwo
Patah Hati bertempur tak kalah hebat melawan tiga manusia pocong. Seorang di
antaranya adalah yang lehernya sempat digigit Jatilandak.
Kita ikuti dulu perkelahian antara Wiro dengan manusia pocong yang disebut kakek
sialan. Bebe- rapa kali jotosan atau tendangan nyaris mendarat di tubuh Wiro, padahal gerakan
lawan walau gesit dan cepat tapi kelihatan gerabak-gerubuk tak karuan.
Seringkali dia melihat lawan mengangkat kepala menatap ke langit, seperti
memasang telinga.
Wiro walau telah keluarkan seluruh kepan-
daian silatnya tetap saja terdesak hebat. "Gen-
deng! Aku seperti berhadapan dengan orang gila tapi punya selangit ilmu
kepandaian!"
Akhirnya murid Sinto Gedeng memutuskan
untuk hadapi lawan dengan ilmu silat yang didapatnya dari Tua Gila. Jurus-jurus
silat Tua Gila memang aneh. Gerakannya seperti orang mabok atau orang gila,
namun sangat mantap dalam melancarkan serangan dan bertahan mem-
bentengi diri. Manusia pocong lawan Pendekar 212 tiba-tiba keluarkan tawa mengekeh. "Lihat
serangan!" seru-
nya sambil kepala mendongak ke atas. Begitu dia merangsak maju, terkejutlah
murid Sinto Gen-
deng. "Gila! Bagaimana mungkin! Dia menyerang dengan jurus-jurus yang aku
mainkan!" Wiro mundur menjaga jarak namun entah
bagaimana tahu-tahu lawan sudah berada di samping kiri. Siap menghantamkan satu
jotosan. Begitu Wiro berkelit sambil balas menghantam dengan pukulan Dewa Topan Menggusur
Gunung, manusia pocong lenyap dan mendadak telah
berada di samping kanan melancarkan serangan cepat tak terduga. Tangan kiri
menggelung ping-
gang, tangan kanan menjotos ke arah kepala!
"Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa!"
seru Wiro kaget. Jurus serangan yang dilancarkan lawan adalah salah satu dari
jurus silat Tua Gila!
Wiro cepat jatuhkan diri ke bawah sambil sodok-
kan sikut ke perut manusia pocong. Dia berhasil selamatkan diri. Lawan tertawa
mengekeh. Wiro garuk kepala. "Bagaimana mungkin! Jangan-jangan manusia ini Tua
Gila." Pikir Pendekar 212.
Lalu dia berseru. "Pocong setan, siapa kau sebe-
narnya?" Yang ditanya tertawa mengekeh. "Siapa aku itulah yang aku tidak tahu," jawabnya
lalu mena- tap ke langit, kepala dimiringkan.
Untuk pertama kali Wiro menatap tajam ke
arah dua lobang kain penutup kepala, di belakang mana terletak sepasang mata
manusia pocong.
Wiro tersentak. Dua mata orang itu dilihatnya putih. Buta!
"Astaga! Kek! Kakek Segala Tahu! Kaukah ini?"
Dalam kaget dan ajukan pertanyaan Wiro
berlaku lengah. Pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung juga merupakan jurus silat
Tua Gila, mendarat di perutnya dengan telak. Tak ampun lagi murid Sinto Gendeng
terpental sampai dua tombak. Jatuh terbanting di tanah, mengerang kesakitan dan
kucurkan darah kental dari
mulutnya. Beberapa benda yang disimpan di balik pinggang pakaiannya jatuh ke
tanah. Salah satu di antaranya adalah kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu.
Seperti diketahui, kaleng ini ditemukan Wiro di suatu tempat dalam perjalanan
menuju 113 Lorong Kematian. Ketika tubuhnya didorong jatuh dalam jurang, kaleng ini
kemudian dilihat Wiro mengapung di permukaan telaga lalu diambilnya.
Untuk beberapa lama Wiro tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Mata terbelalak
memandang langit. Bernafas saja sekujur tubuhnya terasa sakit. Sambil tertawa
mengekeh, si manusia pocong melangkah mendekati Wiro.
"Tamat riwayatku!" ucap Wiro dalam hati. Dia kerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti untuk bisa membebaskan diri dari rasa sakit dan kaku yang membuat tubuhnya
seperti ditotok.
Tak sengaja kaki manusia pocong menendang kaleng yang tergeletak di tanah hingga
mengeluar- kan suara berkerontangan. Sepasang mata si kakek mendelik, berputar ke kiri ke
kanan. Lalu dia melangkah sambil kaki kanan dijulur-julurkan lebih dulu, mencari
kaleng yang tadi tertendang.
Saat itu Wiro sudah mampu bergerak. Sambil pegangi perut yang masih sakit, dia
berusaha bangkit. Kaleng rombeng diambil lalu melangkah mendekati manusia
pocong. Tahu dirinya dida-
tangi musuh, si manusia pocong segera siap hendak menghantam.
"Kek, tahan seranganmu!" teriak Wiro. Kaleng butut di tangan kanan diangkat
tinggi-tinggi lalu digoyang kuat-kuat. Suara kerontangan keras menggema di
tempat itu. Si manusia pocong dongakkan kepala. Mata
putih berputar. "Bunyi setan apa itu?" Mulutnya berucap.
Memanah Burung Rajawali 10 Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan Darah Seratus Bayi 2