Pencarian

Kitab 1000 Pengobatan 1

Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG KITAB SERIBU PENGOBATAN e-book oleh: kiageng80
sumber cover: kelapalima
sumber kitab: pendekar212
WIRO SABLENG 1 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ATAHARI belum lama tenggelam. Kegela-
pan malam terasa begitu cepat menghan-
Mtui permukaan bumi. Dalam waktu sing-
kat kawasan bukit batu 113 Lorong Kematian tenggelam dalam kepekatan menghitam.
Kesunyi- an yang menyelimuti tempat itu merubah suasana seperti sunyinya pekuburan.
Sebelumnya tempat ini telah menjadi ajang pertempuran antara Pendekar 212 Wiro
Sableng dan kawan-kawan melawan kelompok manusia pocong di bawah
pimpinan Yang Mulia Ketua. Manusia jahat luar biasa ini kemudian diketahui
ternyata Pangeran Matahari adanya. Musuh bebuyutan Pendekar 212
dan para tokoh silat golongan putih.
Ketika angin dari arah utara bertiup agak kencang dan debu yang membumbung ke
udara tidak sanggup memecah kesunyian, sekonyong-konyong seperti hantu laiknya,
dari reruntuhan pintu rahasia di selatan 113 Lorong Kematian muncul satu sosok
lelaki mengerikan. Orang ini nyaris tidak mengenakan pakaian. Kulit wajah dan
tubuhnya yang bugil menghitam gosong. Di bebe-
rapa bagian kelihatan daging mengelupas kemera-
han. Rambut di atas kepala awut-awutan, kotor berdebu dan menebar bau sangit
akibat terbakar.
Di tangan kanan, orang ini memegang sebuah bendera besar berbentuk segi tiga,
bergagang besi berujung runcing, hampir menyerupai sebatang tombak. Sesekali
dari mulutnya keluar suara erangan halus, mungkin tak tahan oleh rasa sakit pada
sekujur tubuh yang melepuh. Selain itu setiap menghembuskan nafas, kepulan asap
ke- merahan keluar dari dua lobang hidung. Siapakah gerangan mahluk mengerikan ini"
Dialah Pang- eran Matahari! Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Kematian Kedua), di
dalam rumah panggung beratap ijuk hitam yang terletak di bagian belakang 113
Lorong Kematian, Yang Mulia Sri Paduka Ratu (Puti Andini) hendak diperkosa oleh
Wakil Ketua yang sesungguhnya adalah Yang Mulia Ketua dan bukan lain adalah
Pangeran Matahari. Dengan menyebadani Sri Paduka Ratu, Pangeran Matahari akan
berhasil menyedot selu-
ruh tenaga dalam dan ilmu kesaktian luar biasa yang ada dalam diri Sri Paduka
Ratu. Namun niat keji Pangeran Matahari tidak kesampaian. Karena di saat itu
pula Bunga bersama Naga Kuning, Ratu Duyung, dan Gondoruwo Patah Hati datang
menyerbu. Pangeran Matahari menyambut serangan ke-
empat orang itu dengan dua pukulan sakti yaitu Gerhana Matahari dan Telapak
Matahari. Rumah kayu langsung tenggelam dalam kobaran api lalu meledak hancur
luluh. Yang Mulia Sri Paduka Ratu berhasil diselamatkan, namun Pangeran Matahari
sendiri tanpa diketahui Wiro dan kawan-kawan melesat loloskan diri dari bangunan
yang meledak dalam keadaan hampir keseluruhan tu-
buh hangus terbakar.
Manusia yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala
Licik, dan Segala Congkak ini, begitu berhasil setamatkan diri sege-
ra menyelinap masuk ke dalam 113 Lorong Kema-
tian lewat pintu belakang. Dia tahu, kalaupun musuh-musuhnya melihat, mereka
tidak akan berani memasuki lorong. Pangeran Matahari yang tidak memikirkan lagi
keadaan dirinya, tidak berusaha mencari pakaian untuk menutupi aurat, yang perlu
segera didapatkannya saat itu adalah bendera keramat yang ada di Ruang Bendera
Darah. Setelah berhasil mendapatkan Bendera Darah, Pangeran Matahari duduk
bersila di dalam lorong, mengatur jalan darah untuk mengurangi rasa sakit di
sekujur badan. Sekaligus berusaha menguras habis hawa beracun yang ada dalam
tubuhnya dengan cara meniupkan nafas panjang-panjang berulang kali.
"Aksara Batu Bernyawa..." Ucap Pangeran
Matahari dalam hati. Manusia paling jahat dalam rimba persilatan ini khawatir
berat. Ketika Bunga dan tiga tokoh silat lainnya menyerbu, dia tidak sempat
mengambil batu mustika yang saat itu masih berada dalam salah satu saku jubah
putih- nya. "Aku harus mendapatkan batu itu kembali.
Harus! Jahanam betul!"
Aksara Batu Bernyawa memang merupakan
sebuah batu sakti luar biasa. Dengan batu itulah Puti Andini yang telah menemui
kematian, rohnya dapat dihadirkan kembali, masuk ke dalam tubuh dan membuat
gadis yang dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh itu
mampu dihidupkan kembali. Seandainya Puti Andini tidak menemui kematian kedua
dan sang Pangeran berhasil menyedot semua ilmu kesaktian yang dimiliki gadis
itu, rimba persilatan akan jatuh ke dalam cengkereman Partai Bendera Darah
sebagaimana yang telah direncanakan ber-
dirinya oleh Pangeran Matahari.
Cukup lama Pangeran Matahari berada di
dalam 113 Lorong Kematian sebelum akhirnya bangkit berdiri lalu sambil membekal
Bendera Darah berlari cepat ke arah goa di bagian belakang lorong. Di mulut goa
yang porak poranda dia hentikan langkah. Sepasang mata menatap ke arah pedataran
berbatu-batu. Sunyi dan gelap.
Telinga dipasang tajam-tajam. Mulut menyeringai.
Dia menangkap suara banyak orang bicara di ujung pedataran batu.
"Belum pergi. Mereka masih di ujung pedataran sana. Apa yang dilakukan manusia-
manusia kepa- rat itu?" pikir Pangeran Matahari. Dia gulung Bendera Darah seputar gagang besi
lalu berkelebat ke pedataran berbatu-batu. Bersembunyi di balik sebuah batu
besar, Pangeran Matahari memper-
hatikan Wiro dan kawan-kawan berdiri mengelili-
ngi satu gundukan tanah merah. "Hemmm...
mereka telah menguburkan gadis itu." Sepasang mata sang Pangeran memancarkan
sinar berkilat.
Dendamnya terhadap Wiro setinggi langit sedalam lautan. "Kali ini aku gagal.
Tapi sebelum rimba persilatan kiamat, aku bersumpah akan menghan-
curkanmu!" Rahang Pangeran Matahari menggem-
bung. Selagi semua orang di depan sana masih mengelilingi makam Puti Andini
dalam suasana penuh kesedihan, Pangeran Matahari pergunakan kesempatan untuk
menyelinap, berkelebat ke arah lorong rahasia di bagian selatan yaitu jalan
masuk melewati jurang yang ditempuh Wiro, Bunga dan kawan-kawan waktu menyerbu
113 Lorong Kema-
tian. Dari bagian atas tangga batu yang melingkar di dinding jurang, Pangeran
Matahari memandang ke bawah. Gelap. Dia nyaris tidak dapat melihat apa-apa walau
ada seberkas cahaya suram masuk ke dasar jurang melalui sebuah lobang di dinding
batu. Meski tubuhnya hangus serta masih ada hawa beracun yang menyekat di jalan
pernafa- sannya namun Pangeran Matahari tidak kehilang-
an ilmu kesaktian asli yang dimilikinya. Dengan gerakan cepat dan enteng dia
berkelebat menuruni tangga di dinding jurang. Begitu sampai di dasar jurang di
mana terdapat sebuah telaga, Pangeran Matahari siap menerobos lobang di dinding
batu yang akan menghubunginya dengan satu kawasan persawahan. Mendadak sontak
sang Pangeran hentikan gerakan. Dua bola matanya membesar, memandang lekat-lekat
ke arah tepi telaga di sebe-
rang kanan. Di tepi telaga sana, terbujur tak ber-
gerak satu sosok tubuh berwarna kuning.
"Setahuku bangsat aneh satu ini adalah
sahabat Pendekar 212. Mengapa berada di tempat ini" Sudah mampus?"
Tidak tunggu lebih lama lagi Pangeran Matahari dengan tiga kali lompatan saja
sudah berada di samping sosok yang terbujur di tepi telaga. Mata melotot tak
berkesip, dada turun naik, suara nafas menyengal. Orang ini bukan lain adalah
Jatilan- dak, pemuda dari Latanahsilam negeri 1200 tahun silam. Seperti diceritakan dalam
Episode sebelum-
nya, ketika ikut menyerbu ke dalam 113 Lorong Kematian, Jatilandak telah
keracunan hawa me-
ngandung belerang yang merupakan pantangan besar bagi dirinya. Dalam keadaan
sekarat Pende- kar 212 Wiro Sableng memindahkan Jatilandak ke tempat yang lebih aman yakni di
dasar jurang di tepi telaga. Sebelum meninggalkan pemuda ma-
lang itu Wiro berjanji bila semua urusan di 113
Lorong Kematian selesai dia dan kawan-kawan akan kembali menjemput Jatilandak.
Pangeran Matahari pandangi wajah dan sosok Jatilandak. Mulutnya menyeringai.
"Mahluk buruk! Kau korban pertama dendam
kesumatku terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng!"
Sepasang mata Jatilandak tetap mendelik tak berkesip. Namun bibirnya tampak
bergerak. Mungkin hendak mengucapkan sesuatu namun
tidak ada suara yang mampu keluar.
Pangeran Matahari angkat tinggi-tinggi Bendera Darah yang dipegang di tangan
kanan. Ujung lancip bendera yang terbuat dari besi diarahkan ke dada kiri, tepat
di jurus jantung Jatilandak.
Didahului tawa bergelak Pangeran Matahari lalu hunjamkan gagang Bendera Darah!
Hanya satu jengkal lagi ujung lancip besi gagang bendera akan menembus dada kiri
Jati- landak, tiba-tiba ada cahaya gemerlap melesat melewati lobang di dinding kiri
telaga. Lalu selarik sinar biru menyusul berkiblat ke arah ujung lancip gagang
bendera. Bunga api memercik ketika terjadi benturan antara sinar biru dengan ujung lancip
gagang bendera. Ada satu kekuatan dahsyat siap mem-
buat mental bendera. Pangeran Matahari kerah-
kan tenaga dalam untuk bertahan. Dua kakinya goyah, tubuh bergetar keras. Dia
pergunakan tangan kiri membantu pegangan tangan kanan agar Bendera Darah tidak
terlepas mental. Tapi!
Desss! Asap mengepul. Pangeran Matahari berteriak marah ketika melihat sebagian ujung
atas Bendera Darah mengepul hangus. Belum sirna gaung teria-
kannya, satu kekuatan dahsyat yang bersumber pada sinar biru melanda keras,
membuat tubuh- nya terpental, jungkir balik di udara dan jatuh tercebur ke dalam telaga.
Dinginnya air telaga terasa sebagai sengatan menyakitkan di wajah dan sekujur
tubuh Pange- ran Matahari yang hangus akibat luka bakar.
Sewaktu memunculkan kepala di permukaan air telaga, Pangeran Matahari jadi
tersentak kaget ketika melihat satu pemandangan yang sulit dipercaya.
Sosok Jatilandak yang tadi hendak dihabisinya kini berada dalam gendongan mahluk
aneh ber- bentuk bayang-bayang dan memancarkan cahaya bergemerlap. Walau berupa bayangan
dan cahaya, namun jelas dapat dilihat sosok aneh itu berben-
tuk seorang perempuan muda berwajah cantik, rambut panjang terurai.
Mahluk bayangan itu memandang ke arah
Pangeran Matahari sesaat lalu balikkan tubuh siap bergerak ke arah lobang besar
di dinding batu sebelah kiri.
"Hantu perempuan!" Bentak Pangeran Mata-
hari. "Mau kau bawa ke mana pemuda itu?"
"Mau aku bawa ke mana apa urusanmu?" Mah-
luk yang ditanya menjawab. Suaranya perlahan saja dan sikapnya tenang. Lalu
dengan sikap tidak perdulikan orang dia melangkah ke tepi telaga menuju lobang
di depan sana. "Bangsat perempuan! Lagakmu congkak sekali!
Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa!"
"Siapa dirimu apa untungnya aku mengetahui!
Yang kulihat kau adalah sosok gosong tak lebih berharga dari sepotong kayu
hangus!" Dihina begitu rupa marahlah Pangeran Mata-
hari. Serta merta dia berkelebat menghadang si cantik mahluk bayangan.
"Mahluk jahanam! Hantu atau apapun kau
adanya akan kukembalikan kau ke alam asalmu!"
Pangeran Matahari menerjang ke depan sambil tusukkan ujung besi runcing gagang
Bendera Darah ke arah leher perempuan bayangan.
Saat itu juga sosok yang diserang pancarkan cahaya bergemerlap berwarna kebiruan
disertai munculnya kekuatan memiliki daya dorong kuat.
Pangeran Matahari terhuyung-huyung begitu ke-
kuatan aneh itu menerpa ke arahnya. Dia cepat imbangi diri dan kembali
menyerang. Kali ini serangannya dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya sehingga ujung runcing gagang Bendera Darah bergetar hebat dan pan-
carkan sinar kehitaman.
Wuttt! Ujung runcing gagang besi menusuk ke arah kepala perempuan bayangan. Namun
setengah jalan tak terduga mendadak sontak berubah menyambar ke arah kepala
Jatilandak. Mahluk yang menggendong Jatilandak menyeringai.
"Serangan bagus! Tapi licik!" serunya. Bahu kiri kanan digoyang. Cahaya biru
bergemerlap, me-
mancar terang benderang seperti percikan ratusan bunga api, menyambar ganas ke
arah Pangeran Matahari.
Tersentak kaget, Pangeran Matahari berseru keras, terpaksa tarik pulang
serangannya dan melompat mundur sambil putar tangan kanan yang memegang Bendera
Darah. Bettt! Bettt! Bettt!
Bendera Darah yang sejak tadi tergulung pada gagang mengembang lebar, membentuk
tameng, melindungi diri Sang Pangeran dari serangan ratusan bunga api. Percikan
air campur darah bermuncratan. Bau busuk menebar. Bersamaan dengan itu Pangeran
Matahari hantamkan tangan kiri melepas pukulan sakti Telapak Matahari.
Namun sebelum niatnya terlaksana, satu samba-
ran angin luar biasa dahsyat datang melabrak hingga tubuhnya terjengkang ke
belakang dan jatuh tergelimpang. Masih untung tidak kecebur ke dalam telaga
untuk kedua kalinya.
Ketika Pangeran Matahari bangkit berdiri sosok perempuan bayangan dan Jatilandak
tidak ada lagi di tempat itu. Lapat-lapat di kejauhan ter-
dengar suara panjang tawa perempuan seolah mengejek sang Pangeran!
"Jahanam!" rutuk Pangeran Matahari sambil perhatikan Bendera Darah. Tampang
gosong ma- nusia congkak itu langsung berubah. Mata men-
delik. Bendera Darah kini penuh dengan puluhan lobang sebesar ujung jari
kelingking! "Keparat setan alas!" kembali Pangeran Mata-
hari memaki. Tangan kiri mengepal, rahang meng-
gembung dan mata seperti dikobari api. Saking marahnya dia tendangkan kaki
kanan. Braakk! Sebuah gundukan batu di tepi telaga hancur berantakan. "Siapa adanya mahluk
perempuan itu! Jelas dia bukan gadis dari alam roh bernama Bunga, gendak
Pendekar 212!"
WIRO SABLENG 2 KITAB SERIBU PENGOBATAN
I TIKUNGAN sungai yang gelap, di bawah
naungan batang-batang bambu, mahluk
Dperempuan berbentuk bayangan turunkan
tubuh Jatilandak lalu dibaringkan di atas sebuah batu besar. Tiupan angin
membuat daun-daun bambu bergemerisik. Air sungai yang mengalir melewati sela-
sela gundukan batu mengeluarkan suara deru panjang tak berkeputusan.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar kepakan sayap burung disusul suara
kicau nya- ring panjang. Perempuan bayangan berpaling. Di atas cabang rendah pohon waru di
tepi sungai hinggap seekor burung gagak hitam. Setelah me-
natap burung itu sesaat, perempuan cantik beru-


Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pa bayangan membuka mulut. Suaranya begitu halus ketika berkata.
"Sahabat, terima kasih untuk bantuanmu hari ini. Sekarang pulanglah. Jika aku
memerlukanmu lagi, aku akan memberi tanda..."
Seolah mengerti akan ucapan perempuan
bayangan, gagak hitam di cabang pohon waru angguk-anggukan kepala, menguik dua
kali, ren- tangkan sayap lalu melesat ke udara dan lenyap dalam kegelapan.
Perempuan di atas batu besar duduk ber-
simpuh. Menatap Jatilandak yang terbaring tak bergerak. Tangan kiri diulurkan
meraba kening lalu dipindah dan diletakkan di atas urat besar di pangkal leher
sebelah kiri. Ketika dia menarik nafas dalam-dalam, tubuhnya pancarkan cahaya
bergemerlapan, dan dari dua lobang hidungnya keluar kepulan tipis asap kuning.
"Racun belerang..." ucap perempuan bayangan.
"Dia terkena racun belerang. Apakah aku masih bisa menyelamatkannya?" Mahluk
cantik beram- but panjang dekatkan mulutnya ke telinga kiri Jatilandak. "Jatilandak, apakah
kau bisa mende-
ngar suaraku?"
Orang yang diajak bicara terbujur tak bergerak.
Dua mata terpentang lebar menatap ke langit hitam. Mulut terbuka sedikit. Bibir
bergetar. "Aku melihat setitik harapan. Mudah-mudahan kekuatan putih dan baik di atas
langit mau menolong."
Habis berkata begitu perempuan bayangan
turun ke dalam sungai. Sosoknya mengapung di belakang batu besar tepat di ujung
dua kaki Jatilandak. Dua telapak tangan dirapatkan satu sama lain lalu
diletakkan di atas kepala. Sesaat kemudian terjadi satu keanehan. Aliran sungai
yang melewati tubuh perempuan bayangan
bersibak ke samping dan mengeluarkan suara seperti mendidih disertai mengepulnya
asap putih. Pada saat suara mendidih terdengar bertambah keras dan kepulan asap putih
semakin banyak, perempuan bayangan turunkan dua tangan. Ibu jari kiri. kanan
ditempelkan ke telapak kaki kanan kiri Jatilandak.
"Pergi, bersih kembali!" Perempuan bayangan berucap halus. Dua ibu jari ditekan
kuat-kuat. Dess! Dess! Asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tubuh Jatilandak terangkat setengah
tombak ke atas lalu melesat di udara. Dalam kegelapan malam, di atas sungai
tubuh itu berputar-putar beberapa kali. Setiap berputar, dari lobang hidung,
mulut, serta liang telinga menyembur asap kuning menebar bau busuk belerang.
Setelah dua belas kali berputar, semburan asap kuning mulai ber-
kurang. Pada saat asap kuning itu lenyap sama sekali, sosok Jatilandak perlahan-
lahan melayang turun dan terbaring kembali di atas batu besar. Di dalam sungai,
aliran air di sekitar tubuh perem-
puan bayangan kelihatan berubah kekuning-
kuningan. Perempuan bayangan melesat keluar dari
dalam sungai. Tidak ada setetespun air menempel di tubuhnya yang aneh itu. Dia
kembali duduk di samping Jatilandak. Setelah memandang pemuda itu beberapa saat.
perempuan bayangan berkata.
"Jatilandak, kau selamat dari kematian akibat racun belerang. Kau mampu
bergerak. Bangkitlah dan duduk menghadap ke arahku."
Sepasang mata Jatilandak yang sejak tadi
membeliak tak berkedip kini mampu bergerak.
Perlahan-lahan dia bangkit duduk di atas batu lalu berputar menghadap ke arah
orang yang barusan bicara. Jatilandak lalu terkesiap. Dia tidak menyangka kalau
orang di hadapannya memiliki tubuh seperti bayang-bayang. Dalam ketidak-
percayaannya Jatilandak ulurkan tangan kanan ke arah bahu kiri mahluk yang duduk
bersimpuh di depannya. Astaga! Walau sosok itu seperti bayang-bayang, namun
Jatilandak merasa tidak beda seperti menyentuh dan memegang tubuh manusia biasa!
Perlahan-lahan Jatilandak tarik tangannya.
Mata menatap tak berkesip, mulut lalu berucap.
"Walau tadi mata tak dapat melihat namun
perasaan memberi tahu bahwa kau telah menyela-
matkan diriku. Aku sangat berterima kasih padamu. Kalau aku boleh mengetahui,
siapakah engkau adanya" Mengapa ujud keadaanmu seperti ini?"
Perempuan cantik di hadapan Jatilandak usap-usapkan rambutnya yang tergerai
panjang. Untuk beberapa lamanya dia pandangi pemuda berkulit kuning itu.
Jatilandak melihat ada sekelumit se-
nyum di wajah jelita itu, namun samar-samar ada bayangan kesedihan atau semacam
ganjalan. "Kau tak mau menjawab tak jadi apa," kata Jatilandak "Aku tidak tahu harus
memanggilmu apa. Namun karena kau telah menyelamatkan jiwaku, apa yang harus aku
lakukan untuk mem-
balas budi besarmu itu" Aku bersedia berbuat apa saja untukmu."
Senyum di wajah cantik perempuan bayangan tampak lebih kentara.
"Jatilandak..."
"Hai, bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanya Jatilandak penuh heran.
Mahluk bayangan hanya tersenyum. Tidak
menjawab pertanyaan si pemuda.
Jatilandak menarik nafas panjang. "Kau masih belum menerangkan siapa dirimu.
Mengapa ujud- mu seperti ini?"
Si cantik di hadapan Jatilandak tersenyum.
"Aku memang datang dari alam tidak nyata..."
"Maksudmu kau sebangsa roh..."
Perempuan cantik berujud bayangan palingkan wajahnya ketika Jatilandak menatap
lekat-lekat ke arahnya. Lalu dia berucap halus. "Terserah kau mau menyebutku aku
ini apa. Namun siapa diriku tidak penting. Ada hal lain yang lebih penting."
"Apa?"
"Aku perlu keterangan."
"Keterangan" Keterangan apa?"
"Tentang sebuah kitab. Dalam rimba persilatan tanah Jawa kitab itu dikenal
dengan nama Kitab Seribu Pengobatan. Kau pernah mendengar"
Mungkin juga tahu di mana beradanya" Aku ingin mendapatkan kitab itu. Paling
tidak untuk mem-
bacanya lalu mengembalikan kepada siapapun yang jadi pemiliknya."
"Aku pernah mendengar sedikit tentang kitab itu. Kalau tidak salah kitab itu
adalah kitab yang harus dicari Pendekar 212 Wiro Sableng. Konon kitab itu telah
dicuri orang dari tempat kediaman gurunya di satu puncak gunung."
"Siapa itu Pendekar 212 Wiro Sableng?" tanya perempuan bayangan.
"Seorang pendekar paling terkenal di tanah Jawa ini." jawab Jatilandak. Tadinya
dia ingin menambahkan bahwa antara dia dengan Wiro ter-
jalin suatu persahabatan, namun belakangan ada ganjalan dan kesalahpahaman di
antara mereka. Perempuan bayangan terdiam sesaat. Tampak-
nya seperti memikirkan sesuatu. "Apakah aku harus mencari pendekar itu?" ucapnya
perlahan. "Jika mau silahkan saja. Namun kitab itu tidak berada di tangannya..."
"Aku gembira mendapat penjelasan darimu.
Berarti benar berita yang aku sirap. Kitab itu berada di tanah Jawa ini. Maukah
kau menolong mencarikannya untukku?" kata perempuan
bayangan. "Aku berhutang nyawa padamu. Apapun yang
kau pinta akan aku lakukan. Namun kalau aku boleh bertanya, apa perlunya kitab
itu bagimu?"
"Bukan untukku, tapi bagi seorang lain," jawab si cantik bayangan.
"Kalau kelak kitab itu aku temukan, di mana aku harus mencarimu untuk
menyerahkan?" Bertanya Jatilandak.
"Kau tak perlu bersusah payah. Aku yang akan mendatangimu. Sekarang aku harus
pergi. Jaga dirimu baik-baik..." Perempuan bayangan pegang lengan kanan
Jatilandak. Pemuda ini merasa ada hawa sangat sejuk mengalir ke dalam tubuhnya.
Sosok berupa bayangan di hadapannya tiba-tiba memancarkan cahaya biru
bergemerlap. Lalu secepat kilat berkiblat, secepat itu pula tubuh itu melesat
lenyap. Untuk beberapa saat lamanya Jatilandak
duduk termangu di atas batu besar di tikungan sungai yang gelap itu. Kemudian
terbayang kem- bali sosok serta wajah perempuan cantik aneh tadi. Pemuda ini geleng-geleng
kepala. Dia berucap perlahan. "Banyak keanehan di Latanahsilam.
Tapi tanah Jawa ini punya segudang keanehan."
*** Naga Kuning berjalan paling depan, menuruni
tangga batu sambil membawa obor. Di belakang-
nya menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng, Gondo-
ruwo Patah Hati, lalu Anggini yang juga membawa obor, Dewa Tuak, Wulan Srindi,
Kakek Segala Tahu, dan Bunga. Di belakang sekali sambil mem-
bawa obor, berjalan Luhkentut, nenek sakti dari Negeri Latanahsilam.
Ratu Duyung dan Setan Ngompol tidak
bersama rombongan karena kedua orang ini harus mengurusi delapan perempuan hamil
yang sebe- lumnya disekap dalam 113 Lorong Kematian.
Dengan pertolongan cermin sakti milik Ratu Duyung mereka berhasil keluar di
pintu utara lorong batu. Sebelumnya kesaktian cermin itu tidak mampu mengatasi
kehebatan kesaktian penguasa 113 Lorong Kematian. Namun begitu Yang Mulia Sri
Paduka Ratu menemui kematian kedua, Wakil Ketua menemui ajal, dan Yang Mulia
Ketua babak belur melarikan diri, cermin sakti dengan mudah mampu memantau
keadaan di sekitar lorong mana yang harus dilalui hingga akhirnya keluar di mulut lorong
sebelah utara. Sekeluarnya dari 113 Lorong Kematian bukan merupakan hal mudah bagi Ratu Duyung
dan Setan Ngompol mengadakan perjalanan membawa delapan perempuan yang sedang hamil,
apa lagi malam hari begitu rupa. Jelas tidak mungkin mengantarkan perempuan-
perempuan hamil itu satu persatu ke tempat kediaman masing-masing.
Karenanya begitu sampai di sebuah desa kecil, Ratu Duyung menemui Kepala Desa
untuk di- mintai bantuannya mengurusi perempuan-perem-
puan malang itu. Setelah Ratu Duyung dan Setan Ngompol pergi, Kepala Desa itu
masih tertegun-tegun. Tidak percaya malam buta begitu rupa dia bakal mendapat
tugas menangani delapan perem-
puan hamil! Di jalan kecil yang menuju keluar desa, Ratu Duyung berkata. "Kakek sahabatku,
sebentar lagi pagi akan datang. Aku rasa aku tidak perlu kembali ke lorong."
"Mengapa pikiranmu berubah?" tanya Setan
Ngompol sambil mengusap-usap perut. Dia merasa tenang karena sejak tadi belum
kucurkan air kencing. "Bukankah kita sudah berjanji dengan para sahabat akan
bertemu di telaga?"
"Semua urusan sudah selesai..."
"Siapa bilang semua urusan sudah selesai?"
tukas Setan Ngompol dengan mata didelikkan.
"Pangeran Matahari kabur dan..."
"Sudahlah, kau saja yang pergi menemui
teman-teman."
"Ah, rasa-rasanya aku tahu mengapa kau tidak mau bergabung dengan para sahabat."
Berkata Setan Ngompol dan kali ini sambil senyum-senyum.
"Apa yang ada dalam benakmu, kakek bau
pesing?" Setan Ngompol usap-usap daun telinganya
yang lebar lalu masih sambil senyum-senyum dia berkata. "Menyangkut urusan
jodoh. Kau punya banyak saingan berat di sana."
"Saingan berat" Maksudmu apa?" tanya Ratu Duyung.
"Di sana ada Anggini yang konon adalah
kekasih lama Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu ada Wulan Srindi yang mengaku-aku
murid Dewa Tuak sekaligus berjodoh dengan Wiro. Kemudian masih ada Bunga, gadis
dari alam roh yang semua orang tahu sangat mengasihi pemuda itu. Nah, nah,
bukankah kau menghadapi saingan-saingan berat" Masih untung si pirang bernama
Bidadari Angin Timur tidak ada di sana!"
"Kakek konyol! Mulut usil tak karuan! Kau pergi saja sana! Aku tidak akan
bergabung dengan mereka! Alasan yang kau katakan tadi tidak betul!"
Setan Ngompol pegang lengan Ratu Duyung.
"Sahabatku cantik bermata biru. Kita sudah berjanji untuk bergabung dengan
teman-teman. Apa yang akan kukatakan pada mereka jika aku kembali tidak bersamamu?"
"Katakan saja penguasa pantai laut selatan memerintahkan aku datang menghadap."
"Bisa saja aku ngomong begitu. Padahal mereka semua tahu. Bukankah kau sendiri
yang jadi penguasa di pantai selatan?"
"Jangan bicara melantur!"
Setan Ngompol geleng-geleng kepala. "Aku tidak memaksa. Mungkin juga kau tidak
suka jalan bersamaku. Kakek jelek, bau pesing..."
"Lain kali kita berkumpul lagi dengan para sahabat. Lain kali kita jalan lagi
sama-sama," kata Ratu Duyung. Lalu, plaak! Setan Ngompol merasa-
kan satu tepukan di pantatnya. Dia tersentak kaget. Memandang ke depan Ratu
Duyung tak ada lagi di tempat itu.
Sambil usap-usap pantatnya Setan Ngompol
berkata. "Pantatku ditepuk. Aku terkejut. Tapi aneh, mengapa kali ini aku tidak
kucurkan air kencing" Ratu Duyung seharusnya kau menepuk pantatku sebelah depan,
bukan sebelah belakang!
Hik... hik... hik. Ah..."
Mendadak serrr! Setan Ngompol kucurkan air kencing.
"Oala! Muncrat juga kamu! Kukira sudah
mampet! Ha... ha... ha!"
WIRO SABLENG 3 KITAB SERIBU PENGOBATAN
AMPAI di tepi telaga Naga Kuning angkat
obor di tangan kirinya tinggi-tinggi. Bocah Sberambut jabrik ini memandang
sekeliling telaga lalu berpaling pada Wiro.
"Katamu Jatilandak kau tinggalkan di tepi telaga sini. Kau lihat sendiri tidak
ada mahluk hidup atau mahluk mati di tempat ini, kecuali perahu kayu di tepi
telaga sebelah sana."
Wiro garuk-garuk kepala.
"Ini aneh. Aku tidak berdusta. Tubuhnya aku baringkan di tepi telaga sebelah
sana. Dia kuting-
galkan dalam keadaan hidup."
"Mungkin dia kecebur, jatuh tenggelam ke
dalam telaga," kata Wulan Srindi.
"Bisa jadi," ujar Wiro masih garuk-garuk kepala
"Musti ada yang menyelidik masuk ke dalam telaga." Wiro sambung ucapan sambil
memandang pada Naga Kuning dan kedipkan mata.
Bocah berambut jabrik ini tertawa. "Aku tahu kau ingin agar aku masuk ke dalam
telaga. Malam buta dingin begini. Ih! Enak kamu sial di aku!
Bukankah kau punya ilmu menembus pandang"
Mengapa tidak pergunakan ilmu itu untuk menye-
lidiki telaga sampai ke dasarnya?"
"Bocah konyol tapi cerdik. Aku sendiri sampai lupa kalau memiliki ilmu
kepandaian itu!" kata Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini menatap ke arah
telaga. Hawa sakti dialirkan ke kepala.
Mata dikedipkan dua kali. Walau tidak terlalu jelas, saat itu Wiro mampu melihat
isi telaga sampai ke dasarnya.
"Kosong, telaga itu kosong. Jangankan
manusia, ikan bahkan kodok seekorpun tidak ada di dalamnya." Wiro memberi tahu.
"Lalu ke mana lenyapnya pemuda itu?" Anggini keluarkan ucapan.
"Mungkin ada seseorang datang lalu menolong-
nya." Kata Naga Kuning pula.
"Siapa?" menimpali Gondoruwo Patah Hati.
Naga Kuning berpaling pada Kakek Segala
Tahu. "Kek, coba kau selidiki..."
Kakek Segala Tahu dongakkan kepala. Tangan-
nya yang memegang kaleng rombeng yang sebe-


Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lumnya lenyap dan ditemukan Wiro digoyang hingga menimbulkan suara berisik di
seantero telaga sampai ke atas jurang. Setelah diam sejurus kakek bermata putih
buta ini berkata, "Kali ini aku tidak bisa memberi keterangan. Mungkin aku masih
dipengaruhi minuman setan itu. Aku hanya melihat satu bayangan aneh sosok
perempuan seperti asap mengambang."
Wiro berpaling pada nenek berambut dan ber-
pakaian serba kuning di sampingnya, "Nek, kau dan pemuda itu sama-sama berasal
dari Negeri Latanahsilam. Mungkin kau bisa mengira-ngira apa yang terjadi dengan
Jatilandak?"
Nenek berambut kuning yaitu Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin pencongkan
mulutnya. "Aku punya beberapa dugaan," katanya. "Pertama, pe-
muda itu mungkin mampu mengatasi racun bele-
rang lalu tinggalkan tempat ini. Kedua, mungkin ada orang yang menemuinya,
membunuhnya, lalu membuang mayatnya di tempat lain..."
"Pangeran Matahari!" ucap Gondoruwo Patah Hati.
"Siapa dia" Aku tak kenal manusia itu," kata Luhkentut. "Dugaan ketiga, dugaanku
yang ter- akhir. Ada seseorang menolongnya membawanya ke suatu tempat."
"Siapa si penolong itu" Mustahil ada orang lain di tempat ini," kata Pendekar
212 pula. "Bidadari Angin Timur," kata Wulan Srindi.
Beberapa orang berpaling ke arah gadis berkulit hitam manis itu. Kening berkerut
mata menatap tak berkesip. Anggini yang sejak pertama kali kenal tidak menyukai
gadis ini, langsung menang-
gapi. "Kau menyebut nama gadis sahabatku itu.
Apakah kau punya bukti bahwa dia yang meno-
long Jatilandak?"
"Aku memang tidak punya bukti. Juga tidak melihat sendiri kejadiannya memang
begitu. Tapi apa salahnya menduga-duga" Lebih baik bicara mengemukakan pendapat
daripada cuma diam
melongo seperti patung kayu yang sudah lapuk dan busuk! Tapi jeleknya kalau
sudah ada orang lain bicara lebih dahulu, langsung mendebat sengit!"
"Beraninya kau menghina aku sebagai patung kayu lapuk busuk!" Anggini marah
besar. Wajah- nya kelihatan merah. Dia melangkah mendekati Wulan Srindi tapi Bunga cepat
memegang tangan-
nya. Wiro kembali berpaling pada Luhkentul. "Nek, ada sesuatu yang akan kau beri
tahu?" Luhkentut usap rambutnya yang kuning. "Aku membaui sesuatu. Bau manusia dari
negeri seribu dua ratus tahun silam..."
"Hantu Muka Dua!" kata Wiro Sableng. "Aku khawatir jangan-jangan dia telah
membunuh Jati- landak. Semasa di Negeri Latanahsilam, dia telah punya niat jahat hendak
menghabisi pemuda itu di sebuah pulau." Tiba-tiba Wiro ingat. "Nek, bukankah
Hantu Muka Dua bersamamu di tepi jurang. Waktu itu Nyi Roro Manggut yang datang
bersamamu meminta agar kau mengawasi manu-
sia satu itu. Apa yang terjadi dengan dirinya" Di mana dia sekarang?"
Luhkentut tak segera menjawab. Mulutnya
yang ditutup rapat dipencong-pencong.
"Nek, ada apa" Mengapa kau tidak menjawab?"
"Jangan-jangan nenek ini punya penyakit ayan.
Mau kumat..." kata Naga Kuning yang segera ter-
diam begitu dipelototi Gondoruwo Patah Hati.
"Sebentar. Aku..., aku lagi nahan kentut. Nah, sekarang sudah lewat jadi angin.
Hik... hik... hik."
Luhkentut menjawab sambil mesem-mesem. Lalu nenek sakti dari Latanahsilam ini
menerangkan. "Tak lama setelah terdengar letusan-letusan dah-
syat di dalam lorong, aku melihat terjadi peruba-
han pada diri Hantu Muka Dua. Tubuhnya yang lunglai seperti mendapatkan kekuatan
dan kesak- tiannya kembali. Saat itu dia berkata mungkin penguasa lorong telah menemui
ajal. Lalu dia berdiri. Aku mengikuti dan bertanya dia mau ke mana. Katanya dia
akan mencari orang-orang yang telah menolongnya. Mungkin mereka dalam bahaya.
Dia ingin membalas budi dengan ganti menolong. Aku sendiri merasa heran. Apa
ucapan- nya bisa dipercaya. Hantu Muka Dua melompat ke tangga batu. Dia menghancurkan
dinding batu di mana terdapat pintu rahasia. Dia berteriak agar aku segera
mengikuti. Namun sewaktu aku berge-
rak masuk, langit-langit lorong di hadapanku runtuh. Aku terhalang. Ketika aku
berhasil mene- robos. Hantu Muka Dua tidak kelihatan lagi. Aku berteriak berulang kali
memanggil, namun tidak ada jawaban. Aku kemudian bertemu dengan
rombongan yang masuk ke dalam lorong untuk membebaskan perempuan-perempuan hamil
serta gadis bernama Anggini ini."
Kesunyian menggantung beberapa saat di
tempat itu. "Mungkin dia tersesat di dalam lorong," kata Wiro.
"Mungkin juga kabur untuk mengatur siasat jahat baru," kata Anggini.
Wiro garukkan kepala dan berkata. "Jika Hantu Muka Dua masuk ke dalam lorong,
berarti bukan dia yang mencelakai atau menolong Jatilandak.
Kita akan tetap di sini sampai Setan Ngompol dan Ratu Duyung datang."
Dewa Tuak yang sejak tadi diam saja keluarkan suara batuk-batuk lalu berucap.
"Aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Tenggorokanku panas haus! Aku
terpaksa meninggalkan kalian untuk mencari tuak!"
Habis berkata begitu kakek berambut dan
berjanggut putih ini melirik ke arah Wiro, kedipkan mata dan berkata. "Aku mau
cari tuak benaran, bukan mencari bibir..." Si kakek tertawa gelak-gelak,
membungkuk lalu menepuk permu-
kaan air telaga. Tepukan ini bukan saja menye-
babkan air telaga muncrat tinggi ke atas tapi juga membuat perahu kayu yang
tertambat di tepi telaga putus tali pengikatnya lalu melesat ke arah lobang
besar di dinding batu.
"Ha... ha... Perahuku sudah menunggu di
sungai. Selamat tinggal para sahabat. Kuharap kalian baik-baik saja!"
Dewa Tuak siap melompat ke arah lobang di dinding. Namun tiba-tiba Wulan Srindi
mendahu- lui bergerak dan jatuhkan diri di hadapan si kakek. Dengan suara memelas gadis
ini berkata. "Guru, sebagai murid perkenankan saya ikut mengantar ke mana guru pergi..."
"Ngaconya kumat lagi!" kata Anggini dengan wajah sebal. Yang lain sama-sama
terdiam, menungggu apa jawaban si kakek.
Setelah menatap Wulan Srindi beberapa saat, sambil usap janggut putihnya Dewa
Tuak berkata. "Gadis bawel, memang baiknya kau tidak berada di tempat ini. Kau boleh menumpang
perahuku tapi nanti harus mau turun di tengah jalan."
"Murid akan ikuti apa kata guru," kata Wulan Srindi sambil matanya melirik ke
arah Anggini karena merasa menang. Tidak terduga gadis ini kemudian melangkah ke
hadapan Pendekar 212
Wiro Sableng dan berkata. "Selama ikatan jodoh telah terjalin antara kita,
perpisahan hanyalah untuk berbagi rindu dan menguji kesetiaan..."
Merah padam wajah Anggini mendengar uca-
pan Wulan Srindi itu. Yang lain-lain tampak terke-
siap sementara Bunga hanya tersenyum simpul.
Wiro sendiri tegak melongo sambil golang-goleng-
kan kepala. Dia tidak sempat menarik lengannya sewaktu Wulan Srindi menyalami
dan mencium punggung tangannya. Sekali lagi Wulan Srindi melirik ke arah
Anggini, sunggingkan senyum penuh arti lalu melesat ke arah perahu di bela-
kang dinding batu!
"Guru! Murid sudah berada di perahu menung-
gumu!" Dewa Tuak menghela nafas panjang. Dia
melangkah biasa saja namun di lain kejap sudah berada di dalam perahu, duduk di
sebelah depan. Sebelum perahu bergerak, Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu
melompat ke lobang di dinding batu. Kepala dijulurkan.
"Apa masih ada tempat dalam perahu untuk
tubuh rongsokan ini?"
"Kakek Segala Tahu, jika kau sudi jalan
bersama kami silahkan masuk ke dalam perahu."
Yang menjawab adalah Wulan Srindi.
Kakek Segala Tahu berpaling ke arah orang-orang yang tegak di tepi telaga. Dia
lambaikan tangan.
"Selamat tinggal para sahabat. Kalau umur sama panjang kita pasti akan bertemu
lagi." "Kek, tunggu!" Tiba-tiba Wiro berseru dan melompat ke hadapan Kakek Segala Tahu.
"Kau mau ikutan" Rupanya kau tak mau
ditinggal gadis itu. Ha... ha... ha! Tapi kalau tak salah, mataku yang buta
melihat agaknya perahu sudah sempit," kata Kakek Segala Tahu. Lalu goyangkan
kaleng butut di tangan kirinya hingga suara berisik kembali menggema di tempat
itu. "Tidak, aku bukan mau ikut. Ada satu titipan amanat orang yang kelupaan aku
serahkan pada- mu. Aku mohon maafmu."
Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kipas kayu cendana yang pernah dititipkan
oleh Nyi Roro Manggut dengan pesan agar diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Wiro
susupkan kipas kayu cendana itu ke dalam pegangan jari-jari tangan kanan Kakek
Segala Tahu. "Eh, benda apa ini?" tanya si kakek. Lalu mencium harumnya bau kayu cendana.
Wajah tuanya tampak berubah.
"Kipas, Kek," kata Wiro setengah berbisik.
"Titipan dari Nyi Roro Manggut."
"Ah..." Kakek Segala Tahu menarik nafas
panjang. Dia goyangkan tangan kanan. Sreettt!
Kipas kayu cendana terkembang. Si kakek dekat-
kan kipas ke wajahnya. Walau dia tidak bisa meli-
hat namun dia tahu, pada badan kipas tertera gambar sepasang muda mudi. Kakek
buta mata putih itu tempelkan kipas kayu di keningnya. Lalu kipas disimpan baik-
baik di balik pakaian rom-
bengnya. "Pendekar 212," kata Kakek Segala Tahu pula.
"Kalau kipas ini kau serahkan sewaktu masih dalam lorong, mungkin kita bisa
lebih cepat meng-
hancurkan manusia-manusia pocong durjana itu.
Tapi semua berjalan sesuai kehendak Gusti Allah.
Terima kasih kau mau bersusah payah menyam-
paikan kipas ini." Kakek Segala Tahu berpaling ke arah perahu. "Sobatku Dewa
Tuak. Harap maaf-
kan. Aku tak jadi ikut denganmu. Aku harus menemui seseorang..."
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. "Aku tahu
riwayat kipas kayu cendana itu. Jika kau bertemu orang yang memberikan sampaikan
pesanku padanya..."
"Akan aku lakukan," jawab Kakek Segala Tahu Dewa Tuak tepukkan tangan kirinya ke
dalam air sungai. Perahu yang ditumpanginya bersama Wulan Srindi serta merta
melesat dan lenyap dalam kegelapan malam.
*** Ketika pagi tiba, Naga Kuning dan Gondoruwo
Patah Hati pergi ke kawasan persawahan di seberang sungai. Mereka menangkap
hampir selusin burung belibis lalu memanggang dan menyantapnya bersama yang lain-lain.
Menjelang tengah hari Setan Ngompol muncul. Wiro merasa kecewa karena Ratu
Duyung tidak datang bersama kakek itu. Banyak hal yang ingin ditanyakan pada
gadis cantik bermata biru itu. Ketika ditanya pada Setan Ngompol, sesuai pesan
yang dipesan Ratu Duyung, si kakek memberi tahu bahwa gadis itu diperintahkan
penguasa pantai selatan untuk datang menghadap.
"Aku tahu, kau dan juga gadis itu berdusta,"
kata Wiro yang membuat kencing Setan Ngompol jadi terpancar. Setelah merenung
sejenak, murid Sinto Gendeng lalu berkata, "Para sahabat, aku sangat berterima
kasih atas semua bantuan kalian dalam menghancurkan gerombolan manusia sesat 113
Lorong Kematian. Aku akan mencari dan mengejar Pangeran Matahari. Selain itu aku
masih punya satu tugas dari Eyang Sinto Gendeng.
Mencari dan menemukan Kitab Seribu Pengoba-
tan. Aku tidak tahu para sahabat mau ke mana dan apa yang hendak kalian lakukan.
Saat bisa berkumpul bersama seperti ini entah kapan lagi bisa terjadi."
"Wiro, aku ikut bersamamu," kata Setan
Ngompol. Wiro tersenyum. "Terima kasih," katanya
perlahan. "Aku dan Gondoruwo Patah Hati ada sedikit urusan di pantai utara. Jika ada
kesempatan aku akan bergabung denganmu," kata Naga Kuning.
Wiro anggukkan kepala.
"Aku akan mencari Hantu Muka Dua," berkata Luhkentut yang merasa bersalah atas
lenyapnya dedengkot rimba persilatan dari Negeri Lalanah-
silam itu. Wiro memandang ke arah Anggini. Dalam hati dia ingin gadis itu ikut bersamanya
karena banyak hal yang akan dibicarakan. Namun murid Sinto Gendong merasa kecewa
sekali ketika Anggini berkata.
"Mungkin sudah saatnya aku menjenguk guru-
ku Nyanyuk Amber di Danau Maninjau Pulau
Andalas..."
Gadis ini memandang berkeliling. Wajahnya nampak redup. "Para sahabat, aku mohon
diri lebih dulu." Tanpa perhatian atau pandangan khusus, bahkan tanpa satu
lirikan pun kepada Wiro, Anggini berkelebat ke arah lobang besar di dinding
batu. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati menyusul pergi. Juga Luhkentut.
Setan Ngompol duduk di tepi telaga, menatap ke arah Wiro. Dia merasa kasihan
terhadap pemu- da itu. Lalu si kakek berpaling pada Bunga, gadis dari alam roh. "Apakah kau
juga akan meninggal-
kan kami?" Bertanya Setan Ngompol.
Bunga tersenyum. "Apakah kau tidak suka aku berada lama-lama di tempat ini?"
Gadis ini lalu melangkah mendekati Wiro. Dipegangnya lengan kiri sang pendekar
seraya berkata. "Ingat ujar-ujar yang mengatakan jangan hati mempengaruhi piki-
ran, jangan pikiran mengacaukan hati. Orang-orang yang barusan pergi itu tidak
perlu kau risaukan. Jika umur sama panjang kau pasti akan bertemu dengan mereka.
Justru ada seorang lain yang harus mendapat perhatian lebih darimu..."
"Aku mengerti. Aku akan lebih banyak mem-
perhatikan dirimu..."
"Kau tidak mengerti. Orang yang kumaksudkan tidak ada di tempat ini..."
"Maksudmu Bidadari Angin Timur?"
"Kau masih tidak mengerti. Mungkin kau lupa akan ucapanku tempo hari bahwa hanya
ada satu orang yang cocok menjadi pendamping dirimu..."
"Kalau yang kau maksudkan Ratu Duyung,
rasanya aku. banyak membagi perhatian untuk-
nya. Sebaliknya kau ketahui sendiri, dia tidak kembali ke sini..."
"Disitulah letak kebesaran jiwanya. Dia berse-
dia. mengalah walau mungkin hatinya perih. Dia tidak ingin mengganggu
pertemuanmu dengan Anggini, atau Wulan Srindi, atau pun diriku..."
Wiro terdiam beberapa lama lalu tertawa lebar.
Bunga mengulurkan tangan kanan, menyerahkan sesuatu pada Wiro. "Aku tahu kau
tidak memiliki lagi kembang kenanga. Ambil yang sekuntum ini.
Seperti yang sudah-sudah, kembang ini satu-satu-
nya alat penghubung antara kita."
Wiro ambil kembang kenanga kuning yang
diserahkan Bunga.
"Apakah kau juga berniat pergi?"
"Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Selain itu matahari telah tinggi. Sudah
terlalu lama aku keluar dari alamku..."


Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang hendak kau lakukan kalau aku boleh tahu?" tanya Wiro.
"113 Lorong Kematian..." jawab Bunga. "Tempat itu harus dimusnahkan. Jangan
sampai dipergu-
nakan oleh orang lain untuk berbuat kejahatan.
Bukan mustahil Pangeran Matahari akan kembali ke bekas markasnya itu."
Wiro garuk-garuk kepala. "Otakku tidak berpi-
kir sampai ke sana," kata murid Sinto Gendeng pula. Lalu dipegangnya bahu gadis
alam roh itu. "Terima kasih untuk segala-galanya. Kalau saja aku bisa masuk ke dalam alammu,
ikut bersama- mu..." "Aku senang mendengar kata-katamu itu, Wiro.
Alammu dan alamku hanya terpisah sebatas
cahaya sang surya pada siang hari, sebatas tiupan angin pada malam hari dan
sebatas embun sejuk pada pagi hari. Lagi pula dengan kembang kena-
nga itu, kau bisa memanggilku setiap saat kau memerlukan diriku..."
Wiro mengangguk. Dia membungkukkan kepala mencium kening Bunga lama sekali. Si
gadis memeluknya erat-erat. Selagi kedua orang itu berangkulan, Setan Ngompol
berdiri mendekati gundukan batu setinggi orang di tepi telaga. Kakek ini lalu
memeluk gundukan batu itu.
"Kakek Setan Ngompol, apa enaknya memeluk batu basah dan dingin!" Suara Bunga
menggema di tempat itu. "Kau mau perempuan sungguhan"
Nah lihat dan peluklah yang kuat!"
Setan Ngompol terkejut. Batu yang dipeluknya tiba-tiba berubah menjadi sosok
seorang perem- puan muda berwajah cantik, bertubuh montok mengenakan kemben dengan dada
membusung putih. Kali ini saking kagetnya si kakek sembur-
kan air kencing. Sosok sintal perempuan muda cantik itu dipagutnya erat-erat.
Ketika hidungnya hendak ditempelkan ke dada yang putih besar, mendadak sosok
perempuan muda cantik itu
kembali ke ujud semula yaitu batu hitam basah dan dingin. Setan Ngompol terduduk
jatuh, beser habis-habisan! Di dasar jurang suara tawa Bunga menggema panjang
dan akhirnya sirna bersama lenyapnya ujud kasarnya dari tempat itu.
WIRO SABLENG 4 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ANGERAN Matahari berlari laksana terbang
dalam kegelapan malam. Terpaan angin
Pmembuat sekujur permukaan tubuhnya
yang gosong sakit seperti dikikis. Di sebelah dalam tulang belulangnya seolah
bertanggalan. Namun kesengsaraan badaniah itu tidak berarti apa-apa dibandingkan
tumpukan rasa sakit hati dan den-
dam kesumat akibat semua malapetaka yang
dialaminya. Pertama, tergusurnya dia dari 113 Lorong
Kematian yang sekaligus memusnahkan rencana besarnya untuk mendirikan satu
partai rimba per-
silatan bernama Partai Bendera Darah. Dendam kesumat dan sakit hatinya terhadap
Wiro dan kawan-kawan bukan alang kepalang.
Kedua, semua ilmu kesaktian luar biasa yang tadinya siap akan didapat dari sosok
nyawa kedua Puti Andini alias Yang Mulia Sri Paduka Ratu menemui kegagalan
karena gadis yang hidup dengan nyawa tumpangan itu keburu menemui kematian.
Ketiga, Bendera Darah yang dianggap sebagai bendera keramat mengalami kerusakan.
Ini diang- gap sebagai suatu pertanda tidak baik.
Lalu yang keempat ialah sakit hati atas kekala-
hannya ketika menghadapi mahluk halus berben-
tuk perempuan cantik yang menolong Jatilandak, Walau dia tidak berhasil menyedot
dan menda- patkan ilmu kesaktian yang ada dalam diri Yang Mulia Sri Paduka Ratu namun dia
berharap masih memiliki ilmu kesaktian asli yang tidak bisa dibuat main-main.
Seluruh tokoh rimba persilatan tanah Jawa merasa ngeri menghadapinya. Mengapa
dengan sosok berbentuk perempuan bayangan itu dia bisa dipecundangi" Apakah dia
juga telah kehilangan keampuhan ilmu kesaktian sakti yang didapatnya dari
mendiang gurunya, Si Muka Bangkai" Kalau saja ada orang lain di hadapannya saat
itu ingin sekali dia membunuh untuk men-
jajal salah satu pukulan sakti yang dimilikinya.
"Mahluk jahanam itu! Kalau dia bukan gadis alam roh kekasih Pendekar 212,
mungkin sekali dia adalah mahluk yang datang dari alam yang sama dengan pemuda
kulit kuning itu. Lalu apa hubungannya dengan Jatilandak" Gurunya atau
kekasihnya" Ilmu kesaktiannya luar biasa. Edan!
Bagaimana aku harus menghadapinya kalau
bertemu lagi?" Sosok tubuh berbentuk bayang-bayang wajah cantik yang samar,
muncul di pelupuk mata Pangeran Matahari.
Selewat satu bukit kecil, Pangeran Matahari lari ke arah timur memasuki rimba
belantara. Keluar dari hutan dia sampai di satu pedataran tinggi ditumbuhi
pohon-pohon jati berusia puluhan tahun. Di satu tempat dia hentikan lari.
Jatuhkan diri ke tanah, berbaring menelentang menatap langit kelam lalu pejamkan
mata. Sakit hati dan dendam kesumat masih menggumpal di rongga dadanya.
Pangeran Matahari bangkit berdiri dan siap untuk tinggalkan tempat itu. Namun
gerakannya tertahan ketika tiba-tiba hidungnya mencium bau harum lalu telinganya
menangkap suara orang menghela nafas berulang kali. Suara itu datang dari bagian
tanah rendah di sebelah kiri. Perlahan-lahan, tanpa suara dia, melangkah ke arah
sum- ber suara. Tepat pada bagian tanah yang menu-
run, Pangeran Matahari menyelinap ke balik satu pohon jati besar. Sepasang mata
menyipit, lalu membesar. Mulut sunggingkan seringai.
"Ahh... dia rupanya. Sungguh tidak disangka..."
Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Dada berde-
bar, aliran darah mengencang dan memanas.
Untuk sesaat rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya luar dalam tidak terasa.
"Hampir tak percaya aku akan penglihatanku sendiri! Pantas sewaktu para jahanam
itu menyerbu lorong aku tidak melihat yang satu ini. Ternyata dia ada di sini.
Kelihatannya tengah bersedih. Seperti mau menangis. Ha... ha! Nasibmu tidak akan
lebih baik dari saudara kembarmu! Pendekar 212! Saat ini aku punya satu
kesempatan untuk membuat
dirimu hidup dengan hati sengsara seumur-umur sampai akhirnya aku mengirimmu ke
neraka!" Apa atau siapakah yang telah dilihat Pangeran Matahari saat itu" Sejarak sepuluh
langkah dari balik pohon jati tempat dia bersembunyi, ada sebuah gubuk tak
berdinding, beratap rumbia berlantai papan. Di sisi kiri gubuk, di pinggiran
lantai papan, tangan kiri menopang kening, duduk menyamping seorang dara
berpakaian biru. Ram-
butnya yang pirang tergerai lepas, bergerak per-
lahan dimainkan hembusan angin malam. Angin malam pula yang menebar bau harum
tubuh dan pakaiannya.
Pangeran Matahari sandarkan Bendera Darah ke batang pohon lalu perlahan sekali,.
tanpa mengeluarkan suara dia melangkah mendekati sang dara.
"Bidadari Angin Timur, malam sunyi dan dingin begini rupa, apa yang kau perbuat
seorang diri di tempat ini?"
Mendengar suara orang, gadis berambut pirang yang duduk di lantai papan
tersentak kaget. Lebih kaget lagi ketika dia melihat sosok nyaris telanjang
berwajah gosong luar biasa mengerikan tahu-tahu telah berdiri di hadapannya.
Didahului pekikan keras si cantik di dalam gubuk melompat bangkit.
Namun, dess... dess!
Dua totokan kilat dengan hebat menusuk
pangkal lehernya kiri kanan, membuat gadis ini jatuh terduduk di lantai papan.
Tak bisa bicara, tak mampu bergerak, dua mata membeliak! Dia cepat kerahkan
tenaga dalam, alirkan hawa sakti ke leher. Walau memiliki kekuatan dahsyat namun
si gadis hanya sanggup membuyarkan totokan yang menutup jalan suara. Totokan
yang mem- buat dia tak mampu bergerak, tidak dapat dimus-
nahkan. Gadis di lantai gubuk yang bukan lain memang Bidadari Angin Timur adanya kembali
menjerit keras lalu membentak.
"Setan! Mahluk siapapun kau adanya lepaskan totokan di tubuhku!"
Pangeran Matahari tertawa bergelak. "Nasibku memang buruk," katanya. "Sekujur
tubuh dan wajah hitam gosong. Pakaian penuh robek nyaris telanjang. Tidak heran
kalau kau tidak mengenali diriku!"
Pangeran Matahari perlahan-lahan berjongkok di hadapan Bidadari Angin Timur.
"Perhatikan kepala dan tubuhku! Gosong terba-
kar! Lihat wajahku! Lihat! Hidung miring ke kiri.
Pipi kiri melesak, rahang amblas. Mata kiri terbe-
nam! Ada cacat luka di kening kiri! Lihat jari kelingking tangan kiriku yang
buntung! Apa kau masih belum mengenali diriku, hah?"
Pangeran Matahari ulurkan kepalanya dekat-dekat hingga hampir menyentuh wajah
Bidadari Angin Timur. Untuk kesekian kalinya gadis itu menjerit keras.
"Mahluk jahanam! Lepaskan totokan di tubuh-
ku!" "Kau tahu, semua penderitaan ini, semua ke-
sengsaraan ini adalah akibat perbuatan kekasih-
mu si keparat Pendekar 212 Wiro Sableng!"
Sesaat Bidadari Angin Timur terbeliak kaget
"Mahluk terkutuk! Siapa percaya ucapanmu!
Jangan kau berani bermulut lancang! Aku bukan kekasih Pendekar 212!"
"Ha... ha...! Kalau begitu aku benar-benar mendapat peluang! Malam ini aku
Pangeran Mata- hari akan menjadi kekasihmu! Aku Pangeran segala cerdik. segala akal, segala
ilmu, segala licik, segala congkak! Ha... ha... ha!" Habis mengumbar tawa
Pangeran Matahari ulurkan tangan kanan membelai wajah sang dara.
"Jangan kau berani menyentuh diriku!" teriak Bidadari Angin Timur sambil matanya
membeliak menatap ke arah wajah mengerikan di hada-
pannya. Sulit dia mempercayai mahluk bugil me-
nyeramkan itu adalah Pangeran Matahari. Tapi suaranya. Dia pernah mendengar
suara Pangeran Matahari sebelumnya. Memang ada kesamaan.
Pangeran Matahari tundukkan kepala, menci-
um pipi Bidadari Angin Timur, menjilat telinga si gadis lalu berbisik. "Saudara
kembarmu pernah menjadi kekasihku. Ah, dia gadis hebat. Luar bia-
sa di atas ranjang. Tapi aku rasa kau lebih hebat dari dia walau alas ketiduran
kita saat ini hanya lantai papan."
"Setan! Mahluk terkutuk! Pergi kau!"
Bidadari Angin Timur kembali menjerit ketika Pangeran Matahari mendorong
tubuhnya hingga terbaring terlentang tak berdaya di lantai gubuk.
"Jahanam! Jangan lakukan ini padaku! Demi Tuhan jangan!" teriak Bidadari Angin
Timur sewaktu Pangeran Matahari mulai merobek dan melucuti pakaiannya sebelah
atas, dilanjutkan dengan merobek dan menyingkap pakaiannya
sebelah bawah. "Jahanam! Lebih baik kau bunuh diriku!"
Pangeran Matahari tertawa bergelak.
"Kekasihku, bukankah sejak lama sebenarnya kita saling memendam cinta" Sekarang
ada kesempatan kita menikmati hidup ini. Mengapa malah minta dibunuh?"
Bidadari Angin Timur memaki habis-habisan lalu meludahi muka Pangeran Matahari.
Yang dimaki dan diludahi cuma menyeringai. Sepasang mata sang Pangeran berkilat-
kilat, dikobari api amarah, dendam kesumat dan yang paling hebat adalah kobaran
nafsu bejat terkutuk! Apalagi seumur hidup belum pernah dia melihat aurat
perempuan semulus dan seindah serta sekencang seperti yang terbaring di
hadapannya saat itu. Di puncak gelegak nafsunya, tubuhnya sebelah ba-
wah yang tidak mengenakan apa-apa lagi lang-
sung dirapatkan ke aurat paling terlarang Bidadari Angin Timur.
Crasss! Darah menyembur!
Pangeran Matahari keluarkan teriakan dahsyat ketika dari arah kegelapan satu
sinar merah mele-
sat ke bagian bawah perutnya. Tubuhnya terjeng-
kang, terguling ke samping, beberapa lama berke-
lojotan seperti disengat bara api! Darah mengalir di lantai papan. Dia berusaha
bangkit. duduk dan memeriksa bagian bawah perutnya. Ketika melihat luka besar
yang menyemburkan darah pada ke-
maluannya langsung dia menjerit setinggi langit berulang kali seperti orang
gila! Bagaimana tidak, kemaluan itu nyaris putus!
Tubuh gemetar menahan amarah dan rasa
sakit luar biasa, Pangeran Matahari cepat totok urat besar di pangkal paha kiri
kanan. Darah dari luka di kemaluan berhenti mengucur namun rasa sakit tidak bisa
hilang. "Pembokong jahanam! Pengecut! Kau hendak
menghancurkan hidupku! Aku Pangeran Matahari tidak bisa dihancurkan! Aku
Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak!
Tidak ada yang bisa hancurkan diriku!
Perlihatkan dirimu!"
Pangeran Matahari memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa di tempat
itu. Bidadari Angin Timur masih tergeletak di lantai papan da-
lam keadaan nyaris bugil, antara sadar dan tidak.
Gilanya, dalam keadaan terluka parah seperti itu nafsu bejat Pangeran Matahari
kembali berkobar.
Dia segera membungkuk hendak mengangkat
tubuh Bidadari Angin Timur. Rencananya gadis itu akan dipanggul dan dibawa lari
ke tempat lain di mana dia akan melanjutkan niat terkutuknya.
Namun sebelum sempat menyentuh tubuh sang dara untuk kedua kalinya, kembali
selarik sinar merah melesat dari kegelapan.
Pangeran Matahari menjerit kesakitan ketika lengan kanannya terluka dan kucurkan
darah. Nafsu bejat sang Pangeran serta merta sirna beru-
bah menjadi amarah. Terbungkuk-bungkuk dia keluar dari dalam gubuk, tertatih-
tatih ke arah pohon besar di mana dia menduga bersembunyi-
nya orang yang membokong. Sejarak sepuluh langkah dari pohon itu Pangeran
Matahari han- tamkan tangan kanan, melepas satu pukulan sakti.
Sinar kuning, merah, dan hitam berkelebat dalam kegelapan malam. Itulah pukulan
sakti bernama Gerhana Matahari. Di seberang sana, pohon besar yang terkena
hantaman berderak hancur, tumbang ke tanah dalam keadaan terba-
kar. Semak belukar sekitar pohon tenggelam da-
lam kobaran api, hancur bertaburan, beterbangan ke udara. Bersamaan dengan
tumbang dan terba-
karnya pohon, melengking satu jeritan keras.
"Rasakan! Mampus kau!" ucap Pangeran Mata-
hari yang menyangka pukulan saktinya tadi telah berhasil mengenai si pembokong.
Terhuyung-huyung menahan rasa sakit pada luka besar di kemaluannya dia melangkah
ke balik tumbangan pohon. Namun alangkah terkejutnya dia ketika tidak menemukan
siapa-siapa. Padahal jelas-jelas tadi ada suara orang menjerit keras sekali di
tem- pat itu. Suara jeritan lelaki!
"Setan dari mana yang tengah mempermainkan diriku?" rutuk Pangeran Matahari.
"Mungkinkah mahluk perempuan berujud bayangan di telaga itu" Tapi yang menjerit
tadi jelas suara lelaki!"
Mendadak terdengar suara tawa melengking
dari arah gubuk beratap rumbia. Kali ini suara tawa perempuan! Membuat Pangeran
Matahari melengak kaget, merutuk habis-habisan. Segera dia mengambil Bendera
Darah yang tadi disandar-
kannya di batang pohon lalu secepat langkah yang bisa dilakukannya, sambil terus
menahan sakit, dia berjalan menuju gubuk. Setengah jalan lang-
kahnya tertahan. Dia jadi terkejut luar biasa, karena selain tidak melihat siapa
orang yang ter-
tawa, sosok Bidadari Angin Timur yang sebelum-
nya tergeletak di lantai gubuk tak ada lagi di tempat itu!
Pangeran Matahari terdongak kaget ketika
mendadak terdengar suara tawa perempuan. Kali ini datangnya dari atas atap
gubuk. "Setan perempuan! Kali ini tamat riwayatmu!"


Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentak Pangeran Matahari. Tangan kanannya bergetar hebat pertanda dia
mengerahkan tenaga dalam penuh. Ketika tangan itu dihantamkan ke atas selarik
sinar merah menderu dahsyat. Tidak kepalang tanggung karena sang Pangeran
berniat benar-benar ingin menghabisi orang yang tertawa di atas atap, dia
lepaskan pukulan Merapi Meletus.
Bilamana lawan yang terkena hantaman pukulan ini mampu bertahan maka umurnya
tidak akan lama. Isi dada dan isi perut laksana dibetot berbu-
saian keluar. Jalan darah berhenti. Sekujur tubuh hilang kekuatan dan akhirnya
leleh! Atap gubuk yang terbuat dari ijuk tenggelam dalam kobaran api, hancur
berantakan. Pangeran Matahari melompat keluar dari dalam gubuk.
Untuk beberapa lama kesunyian menggantung di udara.
"Kurang ajar!" Pangeran Matahari merutuk
sambil matanya memandang ke arah atas gubuk yang kini tidak beratap, lalu
memperhatikan berkeliling. "Lolos lagi!" katanya dengan rahang menggembung.
Sulit dipercaya karena selama dia memiliki pukulan sakti itu hanya para tokoh
rimba persilatan cabang atas saja yang mampu menyelamatkan diri. "Perempuan yang
tertawa itu! Sampai di mana kehebatannya" Apakah dia salah satu tokoh rimba persilatan tanah
Jawa?" Baru saja Pangeran Matahari selesai berucap, mendadak kembali suara tawa
perempuan me- lengking keras. Kali ini hanya beberapa langkah saja di depannya. Dalam kaget
dan marahnya Pa-
ngeran Matahari tusukkan ujung gagang Bendera Darah yang lancip ke depan.
Wuttt! Bendera Darah melesat deras. Tapi karena tak ada siapa-siapa di hadapannya ujung
runcing gagang Bendera Darah hanya menembus udara kosong!
Bagaimanapun angkuh congkaknya sang Pa-
ngeran namun saat itu nyalinya jadi ciut juga.
Tengkuk mulai terasa dingin. Tidak tunggu lebih lama lagi dia segera tinggalkan
tempat itu. Semula dia punya niat kembali ke kawasan 113
Lorong Kematian untuk mencari Aksara Batu Bernyawa. Namun saat itu dia lebih
mementing- kan keselamatan diri dan berusaha mencari sese-
orang yang bisa mengobati luka parah yang dideri-
tanya pada alat kelaminnya.
Belum jauh Pangeran Matahari meninggalkan hutan jati tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara bergemuruh dahsyat laksana gunung batu run-
tuh. Untuk beberapa saat lama tubuhnya tertegun gontai. Kepala dipalingkan ke
arah selatan. "113 Lorong Kematian..." desisnya. Wajah beru-
bah tercekat. "Suara gemuruh itu datang dari arah sana. Apa yang terjadi?" Rasa
khawatir muncul dalam hati Pangeran Matahari. Dia ingin sekali menyelidik. Namun
keadaan dirinya tidak me-
mungkinkan. WIRO SABLENG 5 KITAB SERIBU PENGOBATAN
AHAYA matahari pagi menyeruak di sela-
sela dedaunan, sebagian jatuh tepat di per-
Cmukaan wajah pucat Bidadari Angin Timur.
Kehangatan cahaya sang surya membuat sepa-
sang mata si gadis yang sekian lama tertutup kini tampak bergetar lalu perlahan-
lahan membuka. Yang pertama kali dilihatnya adalah langit biru lepas. Lalu dia mendengar suara
kicau burung dan sayup-sayup di kejauhan ada suara menderu tak berkeputusan.
Suara air jatuh. Ada air terjun di sekitar situ.
Sedikit demi sedikit daya ingatan Bidadari Angin Timur mulai bekerja.
"Di mana aku saat ini" Bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Bukankah...?"
Gadis beram- but pirang ini raba dadanya dengan tangan kanan.
Dia sadar, bukankah sebelumnya dia berada dalam keadaan tertotok" Siapa yang
melepaskan totokannya"
Di atas tubuh Bidadari Angin Timur dapatkan sehelai kain menutupi. Ini membuat
dia tambah tak mengerti.
Kuil Perawan Ganas 1 Renjana Pendekar Karya Khulung Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 1
^