Kitab 1000 Pengobatan 2
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan Bagian 2
Tiba-tiba satu wajah menyeramkan muncul di pelupuk matanya. Muka lelaki gosong,
rambut ter- bakar, mata dan pipi kiri melesak, hidung miring.
Pangeran Matahari!
Bidadari Angin Timur menjerit keras. Tubuh tersentak bangkit dan terduduk di
tanah. Kain yang menutupi auratnya merosot jatuh ke pang-
kuan. Saat itulah dia menyadari betapa pakaian birunya robek tak karuan hingga
keadaannya nyaris telanjang. Kejadian malam tadi! Ada rasa sakit di bagian bawah
perutnya. Sekujur tubuh si gadis menggigil. Mukanya seputih kain kafan.
Dengan tangan gemetar dia sibakkan kain yang menutupi tubuhnya sebelah bawah.
Sepasang mata Bidadari Angin Timur terbeliak besar ketika melihat ada noda darah
setengah mengering di kedua pangkal pahanya!
Untuk kedua kalinya Bidadari Angin Timur
menjerit keras. Lalu ratap mengenaskan meluncur keluar dari mulutnya.
"Tuhan! Teganya engkau membiarkan manusia dajal itu merampas kehormatanku! Tak
ada guna- nya lagi hidup ini! Lebih baik mati daripada hidup bercermin bangkai!"
Didahului satu jeritan panjang, Bidadari Angin Timur bangkit berdiri. Tanpa
memperhatikan ke mana dia menuju gadis ini berlari sambil terus menjerit dan
menjerit. Mendadak larinya tertahan.
Di hadapannya terbentang satu jurang batu luar biasa dalamnya. Di salah satu
sisi jurang mengu-
cur deras air terjun. Sang dara tertegun.
Ada bisikan halus dalam lubuk hatinya. "Bida-
dari Angin Timur, jangan kau menempuh jalan sesat..."
Si gadis terkesiap. Tapi cuma seketika. Ada bisikan lain dalam dirinya. "Apa kau
sanggup ber- tahan hidup. Hamil karena diperkosa lalu melahir-
kan seorang anak haram..."
Sekujur tubuh Bidadari Angin Timur bergetar.
"Tuhan! Berikan kematian saat ini juga padaku!
Aku tak sanggup bertahan hidup dalam keadaan ternoda seperti ini! Tuhan, jika
sudah mati aku rela menjadi setan untuk mencari dan membunuh manusia terkutuk
Pangeran Matahari!"
Bidadari Angin Timur menjerit lagi satu kali.
Suara jeritan itu bergaung panjang menggidikkan ketika dengan segala kenekatan
gadis cantik bernasib malang ini menghambur jatuhkan diri ke dalam jurang.
Ketika gaung jeritan sirna yang ter-
dengar kini hanya suara curahan air terjun. Langit pagi yang tadi biru bersih
tiba-tiba berubah gelap.
Mendung menggumpal di mana-mana. Di udara, kilat menyambar disusul gemuruh suara
gelegar guntur. Sesaat kemudian hujan turun luar biasa hebatnya. Lapat-lapat di
kejauhan terdengar suara raungan binatang. Alam seolah ikut meratapi nasib
malang yang menimpa seorang anak manu-
sia yang terlahir bernama Pandan Wangi dan da-
lam rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan sebutan Bidadari Angin Timur.
*** Dua orang berpakaian pasukan Kerajaan me-
macu kuda masing-masing dalam gelapnya ma-
lam. Menempuh jalan mendaki dan berliku-liku.
Mereka bukannya memperlambat lari kudanya, malah menggebrak binatang-binatang
itu agar berlari lebih kencang. Dari kecekatan mereka me-
nunggang kuda jelas keduanya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Selewatnya satu tikungan tajam, entah dari mana munculnya, tiba-tiba satu sosok
hitam ber- kelebat jungkir balik satu kali di udara. Ketika berdiri di tengah jalan tangan
kiri berkacak ping-
gang, tangan kanan tancapkan sebatang besi ke tanah. Tampangnya garang walau ada
bayangan seperti menahan sakit.
Dua kuda besar meringkik keras. Dua kaki
depan naik ke atas Tubuh sebelah belakang ter-
banting ke samping. Kalau dua penunggangnya tidak cepat merangkul leher kuda
masing-masing dengan kuat, niscaya mereka sudah terlempar jatuh!
"Jahanam! Anjing kurap dari mana berani
menghadang perjalanan orang!" Penunggang kuda di sebelah kanan membentak marah.
Namun kalau tadi dia belum begitu jelas melihat sosok orang yang menghadang di tengah
jalan, kini setelah lebih memperhatikan dengan jelas orang di depannya,
tengkuknya mendadak menjadi dingin.
Penunggang kuda satunya terkesiap tak berkedip.
"Aku tidak dapat memastikan. Apakah mahluk di depanku ini manusia atau setan
adanya," ucapnya dalam hati. Dia rapatkan kuda mendekati temannya. "Surojantra, kalau
mahluk ini hantu benaran, aku tidak takut. Tapi kalau dia manusia, berarti kita
menghadapi perkara besar. Mungkin rahasia urusan kita telah bocor?"
Sang teman yang tadi membentak menjawab.
"Baunya seperti kayu hangus. Ada asap tipis kemerahan keluar dari hidung dan
mulutnya. Dia menancapkan besi gulungan bendera ke tanah.
Aku yakin dia manusia seperti kita walau tubuh nyaris telanjang. Gosong dari
kepala sampai ke kaki. Tampang memang seperti setan. Bukan mustahil dia suruhan
orang-orang Keraton Kali-
ningrat untuk mencegat kita. Jaliteng, aku akan menghadapinya. Jika perkara
tidak bisa dielakkan kau harus cepat tinggalkan tempat ini. Selamat-
kan barang bawaan!"
Habis berkata begitu Surojantra menggerakan kuda mendekati orang yang menghadang
di tengah jalan. "Sampeyan siapa" Ada urusan apa mengha-
dang perjalanan kami?"
Orang di tengah jalan yang bukan lain Pange-
ran Matahari adanya tertawa bergelak.
"Aneh, bicaramu sekarang jadi sopan. Sekarang kau memanggil aku sampeyan segala!
Ha... ha... ha! Padahal kau tadi menyebut aku anjing kurap!"
"Maaf kalau tadi aku keterlepasan bicara kasar karena kaget oleh kemunculanmu
yang tiba-tiba.
Aku tidak punya waktu banyak bicara panjang lebar dengan setan jejadian
sepertimu. Lekas me-
nyingkir!"
"Kalau aku tidak mau menyingkir?" tantang Pa-
ngeran Matahari sambil dongakkan kepala penuh sombong padahal masih menahan
sakit, "Kaki kudaku akan menghancurkan batok
kepalamu! Dan kau akan jadi setan benaran!" kata Surojantra pula.
Pangeran Matahari tertawa bergelak. "Aku mau lihat bagaimana caramu memecahkan
batok kepa- laku!" Lalu dia sengaja ulurkan kepalanya seolah menantang minta digebuk.
Surojantra jadi berang. Dia tepuk pinggul kanan kuda tunggangannya. Secara
bersamaan tangan kiri menyentak tali kekang. Didahului ringkikan keras kuda
besar menyepakkan kaki kanan sebelah depan ke arah kepala Pangeran Matahari.
Cepat, ganas mematikan! Walau cukup terkesiap melihat datangnya serangan luar
biasa itu namun sang Pangeran masih bisa mengumbar tawa mengejek. Kepala
dirundukkan. Lutut dilipat.
Tiang Bendera Darah yang terbuat dari besi dan saat itu menancap di tanah
secepat kilat dicabut.
Wuuttt! Wuuuttt!
Kraakk! Kraak! Dua kaki depan kuda besar tunggangan Suro-
jantra hancur patah. Binatang ini meringkik dah-
syat lalu roboh ke tanah. Sekali lagi tongkat Ben-
dera Darah berkelebat.
Praakk! Kali ini gagang bendera menghantam remuk
kepala kuda. Binatang ini melosoh ke tanah, mele-
jang dua kali lalu rebah tak berkutik lagi.
Surojantra yang terpental dari punggung kuda, dengan berjumpalitan berhasil
selamatkan diri.
Namun baru saja dua kakinya menginjak tanah, ujung lancip gagang Bendera Darah
melesat dan amblas menancap ke ulu hatinya, tembus sampai ke punggung!
Melihat Surojantra menemui ajal menggidikkan begitu rupa, Jaliteng serta merta
memedal kuda- nya. Namun Pangeran Matahari lebih cepat meng-
gebukkan gagang Bendera Darah ke perut Jali-
teng. Tubuh lelaki ini terlipat ke depan lalu terguling-guling di tanah. Darah
menyembur dari mulut. Secepat kilat Pangeran Matahari melesat ke atas punggung
kuda Jaliteng dan memacu bina-
tang ini ke arah timur.
"Prajurit-prajurit tolol! aku hanya mau minta kuda! Tapi kalian malah sengaja
serahkan nyawa!"
*** Ki Tambakpati bersemedi sejak tengah malam
tadi demi untuk mendapat petunjuk Yang Maha Kuasa. Gubuk kecil kediamannya di
puncak bukit diterangi obor redup di empat sudut. Di tanah di depan tempat dia
duduk bersila terdapat sebuah belanga tanah. Di dalam belanga ada ramuan tulang
belulang, daun, kulit dan akar tetumbuhan serta cairan yang menebar kepulan asap
sengak serta mengeluarkan suara mendidih. Padahal di bawah belanga sama sekali
tidak ada api yang menyala!
Hebatnya, sekaligus menggidikkan, di manamana dalam gubuk itu terdapat tulang
belulang manusia. Bahkan lima tengkorak kepala manusia yang sudah lumutan
tergeletak di lantai tanah.
Empat obor di sudut gubuk yang biasanya dibuat dari potongan bambu, terbuat dari
tulang kaki manusia. Di salah satu bagian gubuk, merapat ke dinding, terdapat
sebuah ketiduran terbuat dari tulang belulang manusia di alas tikar jerami
kering. Di samping kiri Ki Tambakpati terbentang sehelai tikar kulit kambing.
Tidak terduga, khidmat khusus semedi Ki
Tambakpati mendadak terganggu. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja dia tidak
mampu menutup jalan pendengaran serta menghindari getaran pada kelopak matanya.
"Ada malapetaka menuju ke sini..." ucap Ki Tambakpati dalam hati. Lalu terdengar
suara derap kaki kuda di kejauhan. Makin kencang ma-
kin keras pertanda mendekat mendatangi ke arah gubuk di puncak bukit itu. Lalu,
braak! WIRO SABLENG 6 KITAB SERIBU PENGOBATAN
INTU gubuk terpentang jebol. Satu sosok
tubuh hitam gosong melesat masuk, tegak
Ptergontai-gontai sambil berpegangan pada besi gagang bendera. Bau sengak dalam
gubuk kini bercampur dengan bau amis darah setengah kering.
"Malapetaka telah datang," kata Ki Tambakpati dalam hati. Perlahan-lahan dia
buka kedua mata-
nya yang sejak tadi terpejam. Walau rasa bergidik membuat sekujur tubuh Ki
Tambakpati menggigil bergetar, namun orang tua yang berusia lebih tujuhpuluh
tahun ini berusaha tenangkan diri, menatap sosok mengerikan di hadapannya dengan
pandangan mata redup tak berkesip. Tubuh
gosong tanpa pakaian sama sekali. Setiap meng-
hembuskan nafas, dari mulut serta lobang hidung keluar asap tipis kemerahan.
Meskipun wajah orang di hadapannya gosong hitam, namun Ki Tambakpati mengetahui
bahwa tamu yang muncul menunggang kuda, masuk
menjebol rusak pintu gubuknya adalah seorang lelaki berusia muda. Mahluk
mengerikan ini ber-
diri gontai sambil tangan kiri terus-terusan men-
dekap kemaluannya.
"Welas asih dan kesejahteraan untuk semua orang." Ki Tambakpati menyalami. "Anak
muda, apakah kau tidak keliru terpesat datang kemari?"
"Siapa bilang aku keliru! Aku tidak pernah keli-
ru!" sang tamu menjawab teguran Ki Tambakpati dengan suara keras dan sikap
congkak lalu tan-
capkan gagang besi bendera ke lantai tanah.
"Ah, syukurlah kalau begitu..." kata Ki Tam-
bakpati pula. "Orang tua, bukankah kau bernama Ki Tam-
bakpati, berjuluk Tangan Penyembuh. Jangan berani berdusta!"
"Anak muda, kau betul. Aku memang Ki Tam-
bakpati. Seumur hidupku yang lebih dari tujuh-
puluh tahun, dengan kuasa serta petunjuk Gusti Allah aku belum pernah berdusta.
Mengenai julu- kan, itu hanya sekedar pemberian orang banyak yang aku sendiri sebenarnya risih
sekali untuk menerima. Anak muda, katakan..."
"Orang tua!" sang tamu membentak memotong ucapan orang. "Dengar, jangan panggil
aku de- ngan sebutan anak muda!"
Dibentak begitu rupa Ki Tambakpati jadi kaget namun cepat tenang kembali. "Harap
maafkan. Aku harus memanggilmu bagaimana?"
"Panggil aku Pangeran! Kau dengar Ki Tambak-
pati" Pangeran!"
Kening si orang tua berkerut. "Seorang Pange-
ran muncul dengan berkeadaan seperti ini. Sulit dipercaya. Pangeran dari mana
dia gerangan?"
kata Ki Tambakpati dalam hati. Kemudian mere-
bak senyumnya. "Ah, aku yang tua ini telah ber-
laku lancang. Tidak tahu kalau berhadapan de-
ngan seorang Pangeran. Maafkan diriku." Ki Tam-
bakpati bungkukkan dadanya sampai tiga kali.
Ketika kepala diangkat dia bertanya. "Pangeran, ada keperluan apa Pangeran
datang ke gubukku yang hina ini?" Mata si orang tua melirik ke bagian bawah
perut tamu di hadapannya yang sejak tadi ditekap dan ditutupi dengan tangan
kiri. Di antara sela-sela jari tangan itu dia melihat ada lelehan darah.
"Aku ingin kau menolong menyembuhkan luka yang aku derita."
"Luka" Luka apa, Pangeran?"
Orang di hadapannya perlahan-lahan membuka tekapan tangan kirinya. Melihat aurat
yang kini tersingkap itu, merinding bulu tengkuk Ki Tam-
bakpati. Seumur hidup belum pernah dia melihat luka mengerikan seperti itu.
Kemaluan orang di hadapannya itu mengalami luka yang amat hebat, nyaris putus!
"Pangeran, apa yang terjadi?" tanya Ki Tambak-
pati. "Kau tak layak bertanya! Apa yang terjadi bukan urusanmu! Kewajibanmu adalah
menyem- buhkan luka ini!"
Ki Tambakpati terdiam sesaat lalu berkata. "Ah, lancangnya diriku dalam
bertanya. Tapi Pangeran, kau datang ke tempat yang salah. Aku memang punya
sedikit ilmu pengobatan. Namun hanya khusus dalam pengobatan orang-orang yang
patah tulang. Aku tak mungkin menyembuhkan luka yang kau derita. Kau harus
mencari seorang lain yang mampu mengobati dan memberi kesem-
buhan." "Aku datang dari jauh untuk selamatkan nya-
wa! Sampai di sini kau berani menolak mengobati lukaku! Kau ingin aku mati
berdiri!" "Pangeran, bukannya aku menolak. Tapi diriku memang tidak punya kemampuan untuk
meng- obatimu..."
"Kalau aku mati karena luka ini, lebih baik kita mati sama-sama saat ini juga!"
Sang Pangeran mengancam. Lalu tangan kirinya yang berlumuran darah bergerak
menjangkau tengkorak kepala manusia yang tergeletak di lantai gubuk. Sekali
jari-jarinya meremak, kraaakk! Tengkorak kepala itu remuk hancur! Belum cukup
sang Pangeran hantamkan tangan kanan, Braaakk!
Dinding gubuk di belakang Ki Tambakpati
hancur berantakan. Belasan tulang belulang yang tergantung di dinding itu ikut
mental ke dalam kegelapan di luar sana.
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anak mud... Pangeran. Dengar..." Rasa takut mulai menjalari diri Ki Tambakpati.
"Dukun keparat! Kau yang harus mendengar!
Obati lukaku atau aku pecahkan kepalamu saat ini juga!"
Ki Tambakpati geleng-geleng kepala sambil ber-
ulang kali menyebut nama Tuhan.
"Kalau kau memaksa, aku hanya bisa mencoba.
Soal kesembuhan kita serahkan pada Gusti Allah Yang Maha Kuasa." Orang tua itu
bangkit berdiri.
"Pangeran, berbaringlah di atas tikar kulit kam-
bing itu."
Sang Pangeran berdiri. Dia bukannya berjalan ke arah tikar kulit kambing tapi
melangkah dan baringkan diri di atas tempat tidur yang terbuat dari tulang
belulang beralaskan tikar jerami kering.
"Kau jangan berani menghinaku, Ki Tambak-
pati. Seorang Pangeran apa layak tidur di tikar rombeng kulit kambing" Di atas
tempat tidur inipun sebenarnya sangat tidak layak bagiku!"
"Maafkan aku Pangeran," kata Ki Tambakpati.
Lalu dia melangkah ke salah satu sudut gubuk yang masih utuh. Sepasang mata
dipejamkan, dua telapak tangan saling dirapatkan, dua lengan diluruskan ke atas.
Saat itu pula perlahan-lahan tubuhnya terangkat ke atas hingga kedua kakinya
yang kurus tidak lagi menginjak lantai tanah gubuk.
"Daun sirih pembersih luka." Ki Tambakpati berucap. Secara aneh dari sela-sela
dua telapak tangannya menyembul keluar tiga helai daun sirih.
Daun-daun ini kemudian melesat masuk ke dalam belanga tanah.
"Kunyit putih perekat luka." Ki Tambakpati kembali berucap disusul melesatnya
tiga butir benda putih. Seperti tiga helai daun sirih tadi, tiga benda putih ini
melesat masuk ke dalam belanga.
"Alang-alang dewa penyambung otot dan urat"
Kembali si orang tua berseru. Tiga lembar alang-alang sepanjang dua jengkal
melesat keluar dari sela dua telapak tangan, melayang di udara lalu masuk ke
dalam belanga tanah.
"Kemenyan pemohon keredohan Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Pengasih serta Penyayang lagi Maha Penyembuh!"
Untuk kesekian kalinya dari sela telapak
tangan Ki Tambakpati melesat keluar benda yang disebutkan. Kali ini berupa
serbuk kemenyan kasar berkilauan. Serbuk ini melesat masuk ke dalam belanga
tanah. Suara mendidih di dalam belanga terdengar makin keras. Kepulan asap ber-
tambah tebal. Bau harum cendana kini bertukar dengan bau obat aneh.
Memperhatikan semua yang terjadi, orang yang tergeletak di atas ranjang tulang
yang tentu saja adalah Pangeran Matahari, berkata dalam hati.
"Sulap atau sihir apa yang dilakukan tua bangka ini! Kalau dia menipuku,
kupecahkan kepalanya!"
Untuk beberapa lama tubuh Ki Tambakpati
masih mengapung di udara. Mulut berkomat-
kamit. Mata masih terpejam. Pangeran Matahari memperhatikan dengan tidak sabar.
Tak selang berapa lama perlahan-lahan sosok orang tua itu bergerak turun ke
tanah. Pada saat kedua kakinya menginjak lantai tanah gubuk, obor yang tinggal
dua di sudut ruangan berkelap-kelip. Udara terasa dingin. Belanga tanah
bergerak-gerak seolah digo-
yang oleh tangan yang tidak kelihatan.
Ki Tambakpati dongakkan kepala. Perlahan-
lahan mata yang terpejam dibuka, perlahan-lahan kepala ditundukkan kembali. Lalu
dari dinding gubuk dia mengambil sebuah gayung terbuat dari tulang. Dengan
gayung tulang si orang tua men-
ciduk cairan obat dalam belanga tanah lalu dima-
sukkan ke dalam cangkir tulang. Di dalam cangkir tulang, cairan itu masih terus
mendidih dan kepulkan asap.
Ki Tambakpati melangkah mendekati ranjang tulang. Dia membungkuk di samping
ranjang, susupkan tangan ke belakang kepala Pangeran Matahari lalu kepala
diangkat sedikit.
"Pangeran, harap kau suka meminum obat ini.
Teguk perlahan-lahan sampai habis."
"Orang tua gila! Kau menyuruh aku minum
cairan panas mendidih! Kau menipuku! Kau mau membunuhku!" bentak Pangeran
Matahari. Ki Tambakpati tersenyum. "Kalau cairan di dalam cangkir tulang panas, mana
mungkin jari-jari tua ini sanggup memegangnya" Kau tak usah khawatir.
Minumlah..."
Sesaat Pangeran Matahari terdiam. "Kau
benaran Ki Tambakpati?"
"Pangeran, sebelumnya kau berkata tidak per-
nah keliru. Kau yakin bahwa aku memang Ki Tambakpati. Apa lagi sekarang yang
merisaukan- mu?" Orang tua itu dekatkan cangkir tulang ke mulut Pangeran Matahari. Walau
masih agak ragu namun karena ingin sembuh akhirnya Pangeran Matahari teguk juga
obat di dalam cangkir.
Anehnya, ternyata cairan obat itu terasa sejuk.
"Bagus, sekarang berbaringlah kembali. Kem-
bangkan paha lebar-lebar." Ki Tambakpati lempar-
kan cangkir ke arah tumpukan tulang belulang lalu mengangkat belanga tanah.
Ketika dia berdiri di kaki ranjang tulang, orang tua ini berkata.
"Pangeran aku akan menyiramkan cairan obat ini ke auratmu sebelah bawah. Rasanya
akan sakit sekali. Aku percaya kau sanggup menahannya.
Berdoalah pada Gusti Allah agar kau mendapat kesembuhan..."
"Seumur hidup aku tidak pernah berdoa kepa-
da Gusti Allah. Apa perlunya jika kau memang dapat menolong?"
Terkesiap Ki Tambakpati mendengar ucapan
itu. "Congkak dan takabur sekali manusia satu ini!" katanya dalam hati. "Semoga
Tuhan meng- ampunimu." Lalu tanpa banyak menunggu Ki
Tambakpati guyurkan cairan obat di dalam
belanga ke atas kemaluan Pangeran Matahari yang terluka parah. Seperti besi
panas menyala ter-
siram air begitulah keadaannya.
Cesss! Cessss! Pangeran Matahari menjerit setinggi langit.
"Kau mau membunuhku! Kau mau membunuh-
ku!" teriaknya berulang kali. Kaki kanannya me-
nendang. Byaarrr! Belanga tanah yang dipegang Ki Tambakpati hancur berantakan. Orang tua ini
terjajar ke bela-
kang beberapa langkah. Seperti seekor harimau luka, Pangeran Matahari melompat.
Dua tangan mencekik leher Ki Tambakpati hingga lidahnya mencelet keluar. Nafas
menyengal. Namun sebe-
lum Pangeran Matahari sempat membunuh orang tua ini mendadak sosoknya menjadi
lemas. Perlahan-lahan dia melosoh lalu jatuh terguling di lantai tanah.
Ki Tambakpati usap-usap lehernya yang bekas dicekik. Dia menarik nafas panjang
berulang kali. Memandang pada sosok Pangeran Matahari, orang tua ahli pengobatan tulang ini
geleng-geleng kepa-
la, "Apa yang terjadi dengan orang ini hingga dia mengalami luka begini parah"
Siapa dia sebe-
narnya" Pangeran" Seorang Pangeran sungguhan"
Dari keraton mana?"
Ki Tambakpati memandang ke luar gubuk lewat pintu dan dinding yang jebol. Sunyi
dan gelap. Lalu dia mendengar suara sesuatu. Ki Tambakpati segera keluar. Di halaman gubuk,
tak jauh dari serumpunan semak belukar dia melihat seekor kuda besar tengah
merumput dalam kegelapan. Ki Tambakpati dekati binatang ini. Usap-usap teng-
kuknya. Ada sebuah kantong kulit besar di sam-
ping pelana kuda. Ki Tambakpati bukan seorang yang usil suka memeriksa barang
yang bukan miliknya. Namun entah mengapa sekali ini dia merasa begitu ingin
melihat apa yang ada di dalam kantong kulit itu. Dia lalu buka buhulan tali
penutup kantong. Ketika penutup dibuka, terlihat selapis kain hitam. Kain ini
disingkap. Ada tumpukan barang aneh berbentuk lempengan-lempengan dibungkus
kertas warna merah gelap.
Ki Tambakpati ambil satu lempengan benda
berwarna coklat. Ki Tambakpati memeriksa benda itu dengan teliti, lalu dicium.
Seperti disengat kalajengking begitulah kagetnya orang tua ini.
"Madat..." ucap Ki Tambakpati mendesis. Orang tua ini berpaling ke arah gubuk.
"Dia datang dengan kuda ini. Berarti benda haram dajal ini adalah miliknya. Apa
yang harus aku lakukan"
Aku tak mau mencari perkara. Dia harus segera pergi dari sini. Tapi dia baru
sadar besok. Menjelang tengah hari esok baru pulih. Selain itu pengobatanku masih belum
selesai." Ki Tambak-
pati menarik nafas panjang berulang kali. Dia merasa serba salah. Setelah
menambatkan kuda ke sebatang pohon dia masuk kembali ke dalam gubuk. Langkahnya
kali ini agak bergetar ter-
huyung. WIRO SABLENG 7 KITAB SERIBU PENGOBATAN
AK LAMA setelah Pangeran Matahari meram-
pas kuda Jaliteng di jalan mendaki yang
Tberbatu-batu, dua orang laksana setan
malam berkelebat di kegelapan. Keduanya masih muda-muda dan bertampang sangar,
memiliki bobot tubuh sama-sama tinggi dan tegap. Sama-sama mengenakan pakaian
ringkas serta blangkon warna hitam. Di dada kiri baju masing-masing ada sulaman
kuning rumah berbentuk joglo. Di
sebelah bawah ada sulaman lain berupa dua bilah keris telanjang saling
bersilangan. Hampir berbarengan, dua orang itu berkelebat sampai di depan kuda milik
Surojantra. "Ini kudanya! Mana orangnya" Aku tidak meli-
hat kantong perbekalan di pelana kuda." Lelaki di sebelah kiri keluarkan ucapan.
Temannya memandang berkeliling lalu menun-
juk ke depan. "Di sana! Ikuti aku!"
Kedua orang itu berkelebat melewati tikungan jalan. Di satu tempat mereka
menemukan sosok seorang lelaki berpakaian anggota pasukan Kera-
jaan yang sudah jadi mayat. Menemui ajal dengan luka terkuak di perutnya.
"Surojantra! Mati. Mengenakan pakaian pasu-
kan Kerajaan. Tidakkah ini aneh" Bagaimana me-
nurutmu Galirenik?"
Orang bernama Galirenik masih perhatikan
mayat Surojantra beberapa ketika baru menjawab,
"Bangsat ini punya ilmu cukup tinggi. Siapapun orang yang telah membunuhnya
berarti punya kepandaian sukar dijajagi. Mengenai pakaian pasukan Kerajaan yang
dipakainya aku rasa dia sengaja melakukan penyamaran."
"Setahu kita dia bersama Jaliteng. Mungkin orang itu jadi musuh dalam selimut.
Membunuh Surojantra dan melarikan barang bawaan!"
"Berarti kita harus menemukan bangsat satu itu! Barang yang kita cari pasti ada
padanya! Aku..." Rakadanu, teman Galirenik angkat tangan kiri, memberi tanda agar Galirenik
berhenti bicara.
Telapak tangan kanan dikembangkan di belakang daun telinga sebelah kanan agar
pendengarannya bertambah jelas.
"Aku mendengar sesuatu. Suara orang menge-
rang..." Rakadanu menunjuk ke depan. Lalu melompat ke arah yang ditunjuknya.
Galirenik mengikuti.
Kedua orang berpakaian serba hitam itu
menemukan orang yang mereka cari terkapar di tanah jalanan dalam keadaan megap-
megap sekarat. Mereka tidak melihat kuda tunggangan milik Jaliteng.
"Muka kelimis, tubuh utuh..." Rakadanu mem-
bungkuk lalu sibakkan pakaian Jaliteng. "Perut-
nya pecah! Aku tidak dapat memastikan apakah nyawanya masih bisa tertolong!"
Rakadanu berbi-
sik pada Galirenik lalu cepat menotok beberapa bagian tubuh Jaliteng.
"Seperti Surojantra, dia juga mengenakan pa-
kaian pasukan Kerajaan," kata Galirenik sambil tekapkan telapak tangan kirinya
ke dada Jaliteng untuk alirkan hawa sakti.
"Jaliteng, kami akan menyelamatkan nyawamu!
Sebagai imbalan, katakan di mana beradanya barang yang kau bawa dalam kantong
kulit besar?" Rakadanu ajukan pertanyaan.
Dada Jaliteng turuh naik pertanda dia sulit bernafas. Mukanya mendadak jadi
pucat sekali. Namun telinganya masih bisa mendengar. Mata bergerak, menatap dalam gelap. Dia
hendak me- ngatakan sesuatu tapi mulutnya tak bisa dibuka.
"Percuma, dia tak bisa bicara. Kita cari saja kudanya. Mungkin ada di sekitar
sini." Galirenik dan Rakadanu menghabiskan waktu cukup lama untuk memeriksa kawasan
itu. Namun kuda tunggangan milik Jaliteng tidak dite-
mukan. "Kita sudah kedahuluan orang," ucap Galirenik perlahan tapi penuh geram.
"Bagaimana kita mempertanggung-jawabkan
tugas ini kepada penguasa di Keraton Kalining-
rat?" kata Rakadanu pula. Nada suara dan raut wajahnya menunjukkan kerisauan
hatinya. "Kita kembali saja. Laporkan apa adanya."
Jawab Galirenik.
Rakadanu gelengkan kepala. "Pengejaran kita sudah sangat jauh. Apapun yang
terjadi harus kita lanjutkan. Mudah-mudahan ada tanda-tanda yang bisa kita pakai
sebagai pencari jejak. Bagaimana?"
"Kalau kau mau meneruskan pencarian, aku
hanya mengikut saja," jawab Galirenik pula.
Kedua orang dari Keraton Kaliningrat ini segera tinggalkan tempat itu.
Sekian lama berdiam diri, satu ketika Galirenik berkata. "Seingatku, masih cukup
jauh di depan sana ada satu bukit kecil tempat kediaman seo-
rang ahli pengobatan. Dia dijuluki si Tangan Pe-
nyembuh. Mungkin ada baiknya kita mampir di sana sekaligus menyelidik. Siapa
tahu orang yang mencuri barang itu pernah singgah di sana."
Rakadanu menyetujui ajakan kawannya itu.
Keduanya lalu mempercepat lari masing-masing.
*** Di puncak bukit udara malam terasa luar biasa dingin. Dari kejauhan telah
terlihat gubuk kedia-
man Ki Tambakpati alias Si Tangan Penyembuh.
Rakadanu dan Galirenik mendatangi hampir tanpa suara, padahal lari keduanya luar
biasa cepat. Galirenik langsung hendak menuju gubuk tapi segera dicegah oleh Rakadanu yang
perhatiannya lebih dulu tertuju ke tempat lain. Lelaki ini pegang lengan
temannya dan berkata perlahan.
"Di bawah pohon sana ada seekor kuda besar tertambat. Di dekat pelana ada sebuah
kantong kulit."
Galirenik palingkan kepala ke arah yang dika-
takan temannya. "Astaga..."
Rakadanu cepat tekap mulut Galirenik seraya berkata. "Jangan bicara keras-keras.
Kita tidak tahu siapa yang ada di dalam gubuk. Kalau Surojantra dan Jaliteng
yang berilmu tinggi bisa dibuat mati konyol, berarti si pembunuh memiliki
kepandaian luar biasa tinggi. Kau pergi ke arah pohon. Ambil kantong kulit,
biarkan kuda tetap tertambat. Tunggu aku di sana. Aku akan meng-
intai ke dalam gubuk."
"Raka, tunggu dulu." kata Galirenik. "Apakah kau tidak melihat kejanggalan?"
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kejanggalan apa?"
"Barang di dalam kantong kulit itu nilainya selangit tembus. Bagaimana mungkin
orang yang merampas membiarkannya di luar begitu saja, malam buta begini rupa
pula!" "Kawan, kau benar. Lekas kau ambil kantong kulit itu. Periksa isinya. Aku tetap
akan mengintai ke dalam gubuk." Habis berkata begitu Rakadanu segera melangkah
ke gubuk sedang Galirenik cepat-cepat bergerak ke arah kuda yang ter-
tambat. Dari arahnya datang Rakadanu telah melihat kerusakan pada pintu dan dinding
belakang gubuk. Pertanda sebelumnya telah terjadi tindak kekerasan di tempat
itu. Lelaki tinggi besar dari Keraton Kaliningrat ini mengintai dari pinggiran
pintu. Nyala dua api obor yang walau redup berkelip masih cukup menerangi gubuk
kecil itu dan Rakadanu dapat melihat jelas keadaan di dalam gubuk. Seorang tua
duduk bersila di atas sehelai tikar kulit kambing. Dua tangan bersilang di dada.
Mata terpejam entah tidur entah tengah bersemedi. Di atas sebuah ranjang yang
terletak merapat ke dinding terbaring satu sosok hitam hangus dalam keadaan
bugil. Dia tidak dapat melihat wajah orang ini. Dua kakinya terkangkang dan
Rakadanu jadi mengerenyit ketika melihat kemaluan orang itu disarungi sebuah
benda berwarna putih kekuningan. Merasa tidak ada gunanya dia berada lebih lama
di tempat itu Rakadanu segera temui Galirenik yang berdiri di samping kuda
memanggu! kantong kulit di bahu kirinya.
"Kau sudah memeriksa isi kantong ini?" tanya Rakadanu pada temannya.
"Isinya utuh!" jawab Galirenik dengan seringai bergumam dan mata bersinar. "Apa
yang kau lihat di dalam gubuk?" Galirenik balik bertanya.
"Tidak penting apa atau siapa yang ada dalam gubuk. Barang sudah kita dapat.
Kita segera kem-
bali ke Keraton. Banyak keanehan di tempat ini.
Kita harus pergi sebelum keanehan itu berubah menjadi bahaya mengancam
keselamatan kita!"
Sebagaimana mereka datang tanpa suara.
begitu pula ketika menyelinap pergi. Kedua orang berpakaian serba hitam itu raib
ditelan kegelapan malam membawa 50 kati madat yang nilainya cukup untuk
membangun lima istana besar.
*** Ketika kokok ayam pertama kali terdengar di
kejauhan, Ki Tambakpati hela nafas panjang dan buka kedua matanya yang sejak
tadi malam ter-
picing. Memandahg ke samping dia lihat Sang Pangeran masih terbujur di atas
ranjang tulang.
Lalu dia ingat pada kantong kulit di luar sana.
Cepat-cepat orang tua ini bangkit berdiri, melang-
kah ke pintu, terus ke halaman menuju kuda yang masih tertambat di pohon. Hanya
tinggal dekat akan mencapai binatang itu, langkah Ki Tambak-
pati mendadak terhenti. Matanya membesar.
Dadanya berdebar keras. Kantong kulit besar yang sebelumnya tergantung di
samping pelana lenyap, tak ada lagi di tempatnya semula.
"Tak mungkin kantong dan isinya raib kalau tidak ada yang mengambil. Aku mungkin
berlaku salah. Seharusnya kantong itu aku bawa masuk ke dalam gubuk. Dia pasti
akan mempersalahkan diriku. Bisa-bisa begitu sadar dan mengetahui ba-
rang itu tak ada lagi, aku pasti akan dibunuhnya.
*** Sebelum matahari naik tinggi keesokan paginya ternyata Pangeran Matahari telah
siuman dari pingsannya. Dia mencoba duduk di tepi ranjang tulang. Begitu duduk
pandangannya langsung di-
tujukan pada auratnya sebelah bawah. Dia dapat-
kan kemaluannya telah bersarung sepotong tulang menyerupai pipa.
"Ki Tambakpati!" teriak Pangeran Matahari.
"Aku di sini." Terdengar jawaban dari samping.
Pangeran Matahari palingkan kepala. Ki Tam-
bakpati berdiri dengan wajah menunjukkan keleti-
han, memandang kepadanya.
"Apa yang kau lakukan padaku" Apa ini?"
"Itu merupakan pengobatan tahap terakhir.
Agar luka pada daging dapat bertaut sempurna, lalu agar urat dan otot bisa
bersambung aku se-
ngaja menyarungkan alat kelaminmu dengan po-
tongan tulang berbentuk pipa. Antara tujuhpuluh sampai seratus hari tulang itu
akan hancur dengan sendirinya. Saat itu lukamu sudah bertaut dan kau akan
mendapatkan kesembuhan."
"Begitu...?" Pangeran Matahari berdiri. "Aku perlu pakaian!" katanya kasar.
"Sudah aku siapkan Pangeran," jawab Ki Tam-
bakpati lalu menunjuk ke kepala ranjang. Di situ terletak seperangkat pakaian
terdiri dari baju warna putih dan celana hitam.
"Aku tidak suka baju warna putih!"
"Maaf, Pangeran. Hanya itu baju yang ada."
jawab Ki Tambakpati. Orang tua ini diam-diam mulai merasa jengkel. Sudah
ditolong, banyak pinta pula.
Dengan cepat Pangeran Matahari kenakan baju dan celana. Lalu keluar dari gubuk
lewat dinding belakang yang jebol. Di pinggir sebuah sumur dilihatnya ada satu
gentong besar. Kulit wajahnya terasa perih ketika dia mencuci muka dengan air
gentong. Begitu juga bibir serta lidahnya ketika dia minum air gentong beberapa
teguk. "Aku harus pergi. Apakah aku perlu mengucap-
kan terima kasih padamu karena telah menolong diriku?" Pangeran Matahari
bertanya sambil sung-
gingkan seringai.
Ki Tambakpati balas tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Binatang saja jika
ditolong masih bisa berterima kasih dengan caranya sendiri. Seorang anak manusia
berlaku seperti ini. Sungguh luar biasa. Dosa apa yang telah aku lakukan hingga
bertemu dengan orang seperti ini?"
"Kau tidak mau menjawab?" Pangeran Matahari gembungkan rahang.
"Kewajibanku menolong siapa saja sesuai
dengan kemampuan. Soal berterima kasih tidak menjadi hal yang penting bagiku.
Aku ucapkan selamat jalan padamu. Namun ada satu hal perlu aku sampaikan."
"Kau minta bayaran Ki Tambakpati?"
Si orang tua menggeleng lalu berkata. "Paling lambat empatpuluh hari dari
sekarang lukamu akan sembuh. Namun kesembuhan itu adalah ke-
sembuhan luar dan dalam. Yakni bersambungnya bagian luar dan bagian dalam batang
kelaminmu. Namun tidak bisa kujamin setelah sembuh kau masih memiliki kejantanan sebagai
laki-laki."
Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik
besar. Pelipis bergerak-gerak dan dari hidung serta mulutnya keluar asap tipis
berwarna kemerahan.
"Orang tua! Kau bicara apa?" Menghardik
Pangeran Matahari.
"Alat kelaminmu yang hampir putus itu memi-
liki ratusan, atau mungkin ribuan syaraf. Walau kelaminmu dapat disambung
kembali namun syaraf-syaraf yang begitu halus itu tidak mungkin bersambung kembali. Ini
berarti kau akan kehi-
langan kejantananmu seumur hidup."
"Orang tua keparat! Kau sengaja tidak me-
nyembuhkan diriku secara sempurna."
"Pangeran, aku sudah berusaha sesuai kemam-
puanku. Kemaluanmu kelak akan bersambung
kembali dan lukamu akan sembuh. Tapi soal kerusakan syaraf itu, aku tidak mampu
me- nyembuhkannya."
"Jahanam! Tidaaakkk!" teriak Pangeran Mata-
hari. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Ki Tambakpati cepat menahan bahunya sehingga
sang Pangeran tidak sampai roboh ke tanah. "Kalau kau sudah tahu hal itu,
mengapa kau menolongku" Lebih baik kau membiarkan aku mati! Matiii!" Pangeran
Matahari berteriak lagi sambil memukuli kepala dan dadanya. "Kau harus
menyembuhkan aku.
Kau harus menolongku!"
"Maafkan aku, Pangeran. Kemampuanku terba-
tas. Bisa menolong menyembuhkan lukamu saja sudah satu mukjizat bagiku..."
"Kalau kau tidak bisa menolong lalu siapa yang bisa" Katakan! Beritahu aku!"
"Aku tidak bisa memberitahu karena memang tidak tahu siapa orangnya yang ahli
dalam penyembuhan syaraf yang rusak. Namun aku
pernah menyirap sebuah kabar. Ada satu ilmu pengobatan berdasarkan petunjuk
sebuah kitab."
"Kitab apa?"
"Apa kau pernah mendengar" Dalam rimba
persilatan ada sebuah kitab keramat bernama Kitab Seribu Pengobatan. Di dalam
kitab itu ada bagian yang menerangkan obat serta cara
penyembuhan untuk keadaan atau penyakit yang bakal kau alami."
"Di mana aku bisa menemukan kitab celaka
itu!" tanya Pangeran Matahari pula.
"Konon, kitab itu dimiliki dan disimpan oleh seorang nenek sakti yang diam di
puncak Gunung Gede. Namanya Sinto Gendeng..."
"Cukup!" bentak Pangeran Matahari. Lalu ter-
tawa tergelak-gelak.
Ki Tambakpati tegak terheran-heran. Tak ada yang lucu yang barusan diucapkannya.
Kalau otaknya tidak miring lantas mengapa manusia ini sampai tertawa gelak-
gelak" "Ki Tambakpati, aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Belakangan aku dengar
kitab itu lenyap dicuri orang."
"Ah, sayang sekali. Kurasa kitab itu satu-satunya harapan penyembuhan bagi
dirimu." "Aku akan mencarinya sampai dapat. Walau
harus keluar masuk seribu pintu neraka! Begitu dapat, akan kubawa ke sini agar
kau bisa melaku-
kan pengobatan atas diriku!"
Ketika Pangeran Matahari balikkan badan hen-
dak berlalu, Ki Tambakpati cepat berkata. "Ada satu hal lagi, Pangeran."
Pangeran Matahari tahan langkahnya. "Apa?"
"Dalam tubuhmu mengindap sejenis racun
yang membuat dari hidung dan mulutmu selalu keluar asap tipis berwarna
kemerahan. Obat yang kau minum tadi malam ternyata tidak bisa mele-
nyapkan racun itu. Aku sarankan agar kau beru-
saha mengunyah dan menelan daun sirih serta bawang putih sebanyak yang bisa kau
lakukan. Itu obat yang paling mudah dicari untuk bisa memusnahkan racun. Selama racun
jahat hanya mendekam sebatas leher ke bawah tidak ada bahayanya bagimu. Namun
jika sempat naik ke kepala bisa merusak otak. Kau bisa gila."
Pangeran Matahari pandangi wajah orang tua di depannya sesaat lalu tertawa
gelak-gelak. "Aku memang sudah gila! Kau ikutan membuatku gila!"
Habis berkata begitu Pangeran Matahari ambil Bendera Darah yang masih menancap
di lantai gubuk lalu tinggalkan tempat itu.
Sesaat setelah sang Pangeran lenyap di kejau-
han, Ki Tambakpati baru ingat pada kuda yang masih tertambat di pohon halaman
depan gubuk. "Aneh, mustahil dia tidak ingat pada binatang itu. Lebih mustahil lagi jika dia
tidak ingat pada kantong kulit berisi madat yang tergantung dekat pelana. Apa
arti semua ini" Mungkin kuda itu bukan miliknya. Dia merampas di tengah jalan,
tanpa sadar ada barang luar biasa berharga di atas kuda itu. Berarti kantong
kulit berisi madat itu juga bukan miliknya. Atau seperti katanya mungkin dia
sudah benar-benar gila hingga tidak ingat lagi dengan kuda dan kantong kulit?"
WIRO SABLENG 8 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ALAU jelas ngorok, namun dalam tidur
lelapnya kakek berjuluk Setan Ngompol
Witu tiada henti usap-usap daun telinga
kanannya yang lebar dan terbalik. Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang mengejutkan
dia tersen- tak bangun. Duduk di lantai dangau, tangan ka-
nan masih mengusap daun telinga sedang tangan kiri menekap bagian bawah perut
yang perlahan-lahan mulai kucurkan air kencing.
Gerakan bangun dan duduknya Setan Ngompol membuat lantai yang terbuat dari bambu
reyot keluarkan suara berderik. Suara ini menyebabkan Pendekar 212 Wiro Sableng
yang juga ada di dangau itu terbangun dari tidurnya.
"Kek, ada apa" Bangun-bangun kau seperti
orang bingung?" tegur Wiro.
"Anu, aku mau ke telaga. Mau cuci muka."
Agak jauh dari situ memang ada sebuah telaga di bagian pedataran berbentuk
ceguk. "Masih pagi, dingin dan gelap. Kenapa mau cuci muka?"
"Aku barusan mimpi." Jawab Setan Ngompol.
"Kalau mimpi basah bukan mukamu yang di-
cuci tapi perabotanmu yang sudah rongsokan itu!"
kata Wiro pula lalu bangkit dan duduk di samping si kakek.
"Sialan. Siapa bilang aku mimpi basah. Aku mimpi tentang orang mati!"
"Siapa yang mati?" tanya Pendekar 212 pula.
"Kau bakalan kaget kalau aku sebutkan nama orangnya."
Wiro tertawa lebar. "Mungkin aku kaget tapi kau yang bakalan kucurkan air
kencing. Siapa yang kau mimpikan mati itu Kek?"
"Bidadari Angin Timur," jawab Setan Ngompol.
Dan benar saja, habis menyebut nama gadis itu si kakek langsung semburkan air
kencing. Wiro terdiam. Tatap wajah Setan Ngompol be-
berapa lama lalu berkata. "Aku lihat tampangmu tidak bohong. Ceritakan mimpimu
itu Kek." "Aku berada di tepi sebuah jurang. Udara
cerah, langit biru polos. Tiba-tiba keadaan ber-
ubah. Mendung tebal di mana-mana. Dalam kege-
lapan mendadak jauh di depanku ada cahaya terang. Makin lama cahaya itu makin
dekat. Ketika kuperhatikan cahaya itu ternyata adalah sosok Bidadari Angin Timur yang
mengenakan pakaian dan berdandan seperti pengantin. Dada-
nya penuh dengan kalungan bunga tujuh warna.
Sayup-sayup aku mendengar suara gamelan di-
tabuh serta suara sinden menyanyi. Bidadari Angin Timur tersenyum padaku.
Lambaikan salah satu tangannya. Lalu hujan lebat turun. Bersa-
maan dengan itu sosok Bidadari Angin Timur melayang menjauh dan akhirnya
lenyap." Wiro terdiam beberapa ketika lalu berkata.
"Kau bermimpi melihat Bidadari Angin Timur ber-
dandan dan berpakaian seperti seorang pengantin.
Lalu mengapa kau mengatakan gadis itu mati?"
"Dengar anak muda. Dalam pengertian orang tua-tua, jika kita mimpi melihat
seseorang jadi pengantin, lelaki atau perempuan, maka orang itu telah tiada
alias mati, atau akan segera menemui kematian."
"Kau membuat hatiku jadi tidak enak, Kek..."
"Aku mau cuci muka dulu di telaga."
Wiro tarik bahu pakaian Setan Ngompol hingga kakek ini tidak bisa bergerak turun
dari dangau. "Kek, terakhir sekali kau berada bersama gadis itu. Dia tidak pernah muncul
sewaktu para saha-
bat menyerbu 113 Lorong Kematian. Kau masih ingat saat-saat terakhir bersamanya.
Mungkin kau juga tahu ke mana perginya gadis itu?"
"Semua kekacauan itu hingga urusan jadi kapi-
ran begini adalah gara-garamu..."
"Enaknya kau menyalahkan diriku..."
"Waktu terakhir kali aku bersamanya yaitu menjelang keberangkatan menuju lorong
kemati- an, Bidadari Angin Timur dapatkan beberapa gadis cantik sudah ada di tempat itu.
Dia langsung cemburu. Dia merasa apa perlunya berada di tem-
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pat itu dan ikutan ke lorong kematian..."
"Siapapun yang ada di sana waktu itu, terma-
suk para gadis, mereka adalah sahabatku. Seha-
rusnya Bidadari Angin Timur tidak mengambil sikap seperti itu," kata Wiro sambil
garuk-garuk kepala. "Lalu kau tahu ke mana dia pergi dari tempat itu" Kau masih
tidak mau cerita di mana dan bagaimana terakhir kali kau bertemu dengan Bidadari
Angin Timur?"
"Aku dan Ratu Duyung," kata Setan Ngompol pula. "menemui Bidadari Angin Timur di
satu hu- tan kecil tak jauh dari jurang di bagian belakang bukit batu markas manusia
pocong. Dia duduk di tanah, sandarkan diri pada sebatang tumbangan pohon.
Sepertinya dia baru habis menangis. Kami menanyakan apa yang terjadi. Namun
gadis itu tidak menjawab dan alihkan pembicaraan pada hal lain. Katanya
sebelumnya dia bersama Jati-
landak. Pemuda itu kemudian pergi seorang diri menuju 113 Lorong Kematian. Dia
juga mencerita-
kan melihat dirimu didorong masuk ke dalam jurang oleh seorang nenek cebol. Aku
tidak meng- ada-ada. Tapi di wajahnya yang murung tidak terlihat bayangan rasa khawatir. Aku
dan Ratu Duyung justru melihat ada bayangan rasa tidak enak dalam dirinya
terhadap kehadiran kami. Aku dan Ratu Duyung lalu tinggalkan gadis itu. Nah, itu
kali terakhir aku bertemu dengan Bidadari Angin Timur."
Lama Wiro terdiam mendengar penuturan
Setan Ngompol itu.
"Aku ingat, satu kali kami bertemu, Bidadari Angin Timur pernah memberi semacam
petunjuk. Katanya dia mungkin bisa menduga di mana
beradanya Kitab Seribu Pengobatan. Saat itu aku kurang menaruh perhatian karena
tengah meng- hadapi urusan besar dengan manusia-manusia pocong 113 Lorong Kematian. Agaknya
saat ini aku harus mencari gadis itu untuk mendapat keterangan lebih lanjut."
"Tapi bagaimana kalau dia memang sudah
tidak ada lagi di dunia ini. Seperti yang tersirat dalam mimpiku," kata Setan
Ngompol pula. "Tidak baik berucap seperti itu," kata Wiro pula sambil pelintir telinga kiri si
kakek hingga yang dipelintir meringis kesakitan. Ketika Setan Ngom-
pol turun dari dangau menuju ke telaga, Wiro tidak lagi mencegah, namun tak
selang berapa lama tiba-tiba Setan Ngompol muncul kembali dengan muka pucat
nafas terengah. Dia tarik tangan Wiro Sableng, hingga pemuda ini terpaksa turun
dari dangau. "Ada apa" Kau seperti melihat setan!" ucap Wiro.
"Mungkin! Tapi aku berdoa mereka bukan
setan benaran. Tapi manusia betulan. Soalnya keduanya cantik-cantik..."
"Kau lagi ngaco atau bagaimana, Kek?"
"Dengar, aku hanya melihat kepala. Aku tidak dapat melihat badan mereka. Apa
punya badan atau tidak, aku belum tahu. Aku mengajakmu sama-sama nyebur ke dalam
telaga." Wiro pegang lagi telinga lebar si kakek, dipelin-
tir sedikit hingga orang tua itu kembali meringis kesakitan dan pancarkan air
kencing. "Bicara yang betul. Jangan sepotong-potong membuat aku tidak mengerti!"
Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perut-
nya. Setelah muncratkan air kencing dua kali ber-
turut-turut dia lalu berkata. "Waktu aku mau mencuci muka di telaga, mendadak
aku lihat ada dua kepala mengapung di permukaan air. Semula kukira kepala setan.
Ternyata kepala dua perem-
puan muda cantik-cantik. Rambut dikonde apik di atas kepala, wajah dipoles bedak
dan gincu merah di bibir. Sepasang alis hitam kereng. Di dalam air aku lihat
keduanya bicara berbisik-bisik. Seben-
tar-sebentar sepasang mata mereka memandang ke arah pinggiran telaga. Mungkin
mereka sudah tahu kehadiranku di tempat itu tapi malu me-
manggil mengajak mandi bersama. Hik... hik...
hik! Kau mau ikut aku ke telaga" Berkenalan dan mandi sama-sama dua perempuan
cantik itu?"
"Kek, pergunakan otak warasmu. Mana ada
perempuan cantik malam buta menjelang pagi begini mau mandi berendam dalam air
telaga yang dinginnya seperti es. Pasti mereka mahluk jejadi-
an. Kalau kau tidak percaya silahkan pergi sendiri.
Masuk ke dalam telaga, dekati keduanya."
"Ah, kau membuat aku takut saja. Padahal ini satu kesempatan. Kasihan keduanya
kedinginan. Kalau bersama kita pasti bisa berhangat-hangat.
Hik... hik... hik."
Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba ulurkan tangan menutup mulut si kakek hingga
suara tawa cekikikannya serta merta berhenti. Wiro lalu tarik kakek ini ke balik
semak belukar di samping kiri dangau.
"Ada apa...?" bisik si kakek sambil muncratkan air kencing.
Wiro goyangkan kepalanya ke depan. Setan
Ngompol berpaling tepat pada saat dua orang ber-
pakaian serba hitam tiba-tiba muncul berkelebat dan berdiri sepuluh langkah di
depan dangau. "Aku barusan mendengar seperti ada orang
tertawa..." lelaki tinggi besar di sebelah kanan berkata sambil memandang
berkeliling. Kawannya yang memanggul sebuah kantong
kulit ikut pula memperhatikan keadaan sekitar-
nya. "Suara angin di tempat sepi begini bisa menyerupai suara orang bahkan suara
setan tertawa," katanya. "Rakadanu, lihat di sana ada dangau. Bagaimana kalau
kita istirahat barang se-
bentar. Bahuku pegal sekali membawa lari beban seberat ini."
"Sobatku Galirenik, kita tengah menjalani tugas luar biasa penting. Ayal sedikit
saja bisa meng-
undang bahaya. Jika kau letih biar aku yang ganti membawa barang itu. Yang
penting kita harus segera sampai di keraton secepatnya!"
Walau mengkal tapi orang bernama Galirenik terpaksa ikuti ucapan temannya. Namun
kedua- nya hanya sempat melanjutkan lari sekitar duapu-
luh langkah. Ketika sampai di sisi telaga, seko-
nyong-konyong air telaga muncrat ke atas. Dua buah benda melesat ke udara
menyipratkan air lalu sttt... stttt! Di lain kejap dua benda itu yang bukan lain
dua perempuan muda yang tadi dilihat Setan Ngompol berendam dalam telaga tahu-
tahu sudah berdiri di hadapan dua orang lelaki ber-
pakaian dan berblangkon serba hitam yakni Raka-
danu dan Galirenik.
Tentu saja kedua lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget. Hentikan lari
dan mengambil sikap penuh waspada. Namun ketika menyadari yang menghadang mereka
ternyata adalah dua orang gadis berwajah cantik, keduanya segera saja menebar
senyum. Apa lagi pakaian basah menem-
pel ketat di tubuh mereka membuat liuk liku tubuh dua gadis itu terlihat jelas.
"Sahabatku Raka," kata Galirenik. "Agaknya ki-
ta memang perlu istirahat dulu barang sebentar."
"Kalau begini urusannya, istirahat sampai pagi pun aku tidak menampik!" jawab
Rakadanu. Lalu kedua orang lelaki itu tertawa gelak-gelak.
Ketika mereka hentikan tawa, gadis di sebelah kiri yang mengenakan pakaian merah
mengangkat dagu sedikit lalu membuka mulut.
"Apakah kalian sudah puas tertawa?"
Ditanya begitu Rakadanu dan Galirenik saling pandang lalu kembali tertawa. Malah
lebih keras. Dua orang gadis cantik berpakaian basah tetap tak bergerak di tempat, tenang-
tenang saja mem-
perhatikan polah tingkah dua lelaki tinggi besar yang tengah tertawa. Sesaat
kemudian suara tawa dua lelaki itu berubah perlahan dan akhirnya sirap sama
sekali. "Hemmm... sudah puas mereka tertawa." Kini dara berpakaian biru keluarkan ucapan
ditujukan pada temannya si baju merah.
"Ketahuilah!" gadis berpakaian merah me-
nyambung ucapan si biru. "Tawa kalian berdua tadi adalah tawa terakhir sebelum
kalian menjadi mayat!"
"Oo hebatnya!" teriak Rakadanu.
"Mati barengan satu kubur dengan kalian aku pasrah saja!" kata Galirenik pula.
Lalu kembali umbar tawa bergelak.
"Ah, rupanya masih ada tawa tambahan. Tidak apa. Ada satu syarat menguntungkan
bagi kalian. Kalian tidak akan jadi mayat malam ini asalkan menyerahkan kantong kulit itu
pada kami!"
Kini kagetlah Rakadanu dan Galirenik. Mereka benar-benar tidak percaya kalau ada
dua gadis cantik di malam buta inginkan barang sangat ber-
harga yang mereka bawa.
Rakadanu berucap cerdik. "Kantong kulit itu hanya berisi pakaian bekas. Apa ada
gunanya bagi kalian?"
"Tidak apa. Pakaian baru atau bekas serahkan saja pada kami!"
Dua lelaki dari Keraton Kaliningrat itu mulai mencium ada yang tidak beres.
Galirenik yang membawa kantong kulit di bahu kiri berkata keras. "Kau inginkan
pakaian" Tanggalkan dulu pakaian kalian! Bertelanjang dulu di hadapan kami!
Nanti kami berikan pakaian pengganti yang bagus-bagus! Kalian mau berapa
pasang?" Dua gadis gelengkan kepala sambil leletkan lidah. Si merah berkata, "Kami tidak
suka guyo- nan cabul. Letakkan kantong kain di tanah lalu lekas minggat dari tempat ini.
Itu menyelamatkan kalian dari kematian!"
"Gadis-gadis keparat! Kau yang kami bantai lebih dulu! Sudah jadi mayatpun kami
tidak kece- wa menggauli kalian! Ha... ha... ha!"
"Ah, sahabatku Galirenik memang suka bicara jorok! Dua gadis cantik harap
maafkan kalau kami agak lancang. Mungkin kalian belum tahu siapa kami.
Perkenankan kami memperkenalkan diri!"
Kata Rakadanu pula.
"Tidak perlu! Dari gambar joglo dan keris ber-
silang di baju kalian kami sudah tahu siapa kalian berdua!" ucap gadis
berpakaian biru. Konde di kepala dilepas. Sekali kepala digoyang rambutnya yang
panjang hitam tergerai ke punggung,
menambah cantik wajahnya. "Kalian adalah dua monyet kesasar dari Keraton
Kaliningrat! Apa salah aku berucap?"
Dua lelaki tinggi besar karuan saja jadi
terkejut. Namun mereka pandai sembunyikan keterkejutan masing-masing.
"Rakadanu," bisik Galirenik. "Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres.
Sebaiknya kita tinggal-
kan tempat ini."
"Sahabat, jangan jadi pengecut. Dua santapan enak sudah terhidang di depan mata.
Kau mau pergi begitu saja?" balas Rakadanu juga berbisik.
Lalu dia berpaling pada gadis berpakaian biru.
"Dengar," katanya. "Jika kalian sudah tahu siapa kami, maka dengan segala
kerendahan hati kami mengundang kalian berdua untuk ikut ke Keraton Kaliningrat!
Kalian akan kami perlakukan lebih terhormat dari sepasang puteri Kerajaan!"
"Apakah undangan untuk kedua muridku juga berlaku bagi diriku?" Tiba-tiba satu
suara meng- gema dalam udara dingin dan gelap.
Di lain saat, dari atas sebuah pohon besar me-
lesat satu bayangan hitam disertai kepulan asap panjang berwarna hitam, biru,
dan merah. Ketika sosok itu menjejak tanah dan berdiri tepat di antara dua gadis
cantik, Rakadanu dan Galirenik langsung tersurut sampai dua langkah. Tampang
masing-masing berubah mengkeret.
Di samping dangau Setan Ngompol pancarkan air kencing sementara Pendekar 212
Wiro Sableng tertegun melongo, mata terbuka tak berkedip.
"Kek, kau kenal siapa adanya mahluk dahsyat yang barusan muncul ini?"
Setan Ngompol mana sempat menjawab. Saat
itu terbungkuk-bungkuk dia sibuk pancarkan air kencing.
WIRO SABLENG 9 KITAB SERIBU PENGOBATAN
RANG yang barusan muncul dan berdiri di
antara dua gadis jelita ternyata adalah
Oseorang nenek berpakaian baju dan celana panjang hitam ringkas. Kemeja bajunya
dihias dengan sulaman bunga warna putih. Meskipun sudah tua, mungkin berusia
sekitar tujuhpuluh, si nenek berdandan menor. Sepasang alis hitam kereng. Bedak
tebal licin dan pipi diberi merah-merah. Bibir yang runcing dilapis pewarna
merah mencorong. Dahsyatnya, di atas batok kepala nenek ini, di antara rambut
yang riap-riapan, menancap sepotong bambu kuning setinggi satu setengah jengkal.
Dari lobang bambu mengepul keluar asap berwarna hitam, biru, dan merah disertai
suara seperti perapian di tungku atau anglo pandai besi. Setiap dia membuka
mulut atau menyeringai kelihatan barisan gigi memancarkan warna berkilau.
"Hantu Malam Bergigi Perak!" Rakadanu dan Galirenik keluarkan seruan hampir
berbarengan. Si nenek tertawa cekikikan. Matanya yang belok berputar beberapa kali. "Bagus
kalian masih mengenali diriku. Sekarang katakan, cara mati bagaimana yang kalian
inginkan setelah berani memperhinakan dua muridku?"
Rakadanu dan Galirenik buru-buru jatuhkan diri berlutut di tanah. Kelihatan
kedua orang ini begitu takut terhadap si nenek yang disebut dengan Hantu Malam
Bergigi Perak. Rakadanu membungkuk berulang kali lalu
berkata. "Hantu Malam Bergigi Perak, kami berdua mohon maaf dan ampun. Kami
tidak pernah tahu kalau kedua gadis cantik itu adalah murid-murid-
mu. Kami berjanji tidak akan mengusik keduanya lagi..."
"Bagus! Kalian berdua mendapat pengampu-
nanku!" kata si nenek pula yang membuat terkejut kedua muridnya.
"Guru, mengapa..." gadis berpakaian biru
berkata tapi ucapannya terputus oleh isyarat gerak tangan si nenek.
"Terima kasih Nek, terima kasih..." kata Raka-
danu dan Galirenik berulang kali sambil mem-
bungkuk-bungkuk.
Si nenek tertawa cekikikan.
"Pengampunan itu tidak kalian dapat percuma!
Dasar manusia-manusia tolol!"
Rakadanu dan Galirenik tegakkan dada. Muka langsung pucat.
"Dua muridku telah meminta kantong kulit itu.
Mengapa kalian tidak mau memberikan?"
Perlahan-lahan dua orang dari Keraton Kali-
ningrat itu bangkit berdiri.
"Gali," bisik Rakadanu. "Murid dan guru sama saja. Ujung-ujungnya mereka minta
barang bawa- an kita." Galirenik maju satu langkah, membungkuk
dalam lalu berkata. "Hantu Malam Bergigi Perak, barang dalam kantong kulit itu
bukan milik kami.
Kami berdua hanya orang suruhan untuk memba-
wanya." "Nah, nah! Kalau barang bukan milik kalian lebih enak lagi kalian memberikannya
kepada kami!" ujar si nenek lalu tertawa terkekeh-kekeh.
"Tapi, Nek," kata Rakadanu pula. "Barang ini sama saja dengan nyawa kami berdua.
Mana mungkin kami memberikan?"
Si nenek geleng-geleng kepala. "Jalan pikiran kalian tidak waras! Barang itu
kalian anggap seba-
gai nyawa. Lalu nyawa kalian benaran di mana"
Dalam dubur kalian" Hik... hik... hik..."
"Nek, kami tidak mungkin memberikan barang ini. Kalau saja kau meminta yang
lain..." "Ah... Baik, baik! Sekarang aku minta kalian mencongkel jantung masing-masing
dan menye- rahkan padaku!" kata si nenek sambil berkacak pinggang dan delikkan mata.
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tua bangka sinting!" maki Rakadanu tapi
cuma dalam hati.
"Hantu Malam Bergigi Perak," Galirenik yang bicara. "Kalau... kalau kau kelewat
mendesak dan tidak memberi jalan lain, kami berdua terpaksa mengadu jiwa."
Kantong kulit diikatkannya erat-erat ke punggung. Rakadanu bersiap-siap.
"Kalian sudah mengambil keputusan!" si nenek angguk-anggukkan kepala. "Murid-
muridku, habi- si dua kaki tangan pemberontak itu! Jangan ada yang bersisa dari tubuh mereka.
Amankan kan- tong kulit dan isinya."
Mendengar perintah sang guru, dua gadis
cantik segera siap menerjang. Namun tiba-tiba ada satu bayangan melesat ke
tengah kalangan diser-
tai mengumbarnya bau pesing.
Si nenek dan dua muridnya sampai tersurut beberapa langkah sementara Rakadanu
dan Gali- renik tak kalah kagetnya.
"Nenek berwajah cantik, biar aku dan temanku mewakili murid-muridmu menangkapi
kedua orang ini!"
Hantu Malam Bergigi Perak maju satu langkah.
Leher dipanjangkan, mata belok dibuka lebih lebar dan hidung dipencet menutup
penciuman. "Kakek bau pesing! Kau mengganggu kesena-
nganku dan murid-murid. Apa kepentinganmu mencampuri urusan orang lain" Siapa
kau?" "Maaf kalau aku bertindak lancang. Namaku sudah lama tidak kuingat lagi. Orang-
orang me- manggilku Setan Ngompol. Nama besarmu sejak lama ada dalam ingatanku. Sungguh
satu kebaha- giaan kalau saat ini aku bisa bertemu denganmu.
Sebagai salah seorang pengagummu, apa salahnya aku membantu menyelesaikan
urusanmu dengan dua cecunguk ini."
"Kakek kuping terbalik! Dengar! Aku tidak butuh pengagum. Apa lagi pengagum yang
celana- nya lepek basah oleh air kencing. Menebar bau pe-
sing ke mana-mana. Apa sangkut pautmu dengan si nenek bau pesing bernama Sinto
Gendeng?" "Dia sahabatku. Sama-sama tua bangka," kata Setan Ngompol pula.
"Oo begitu...?"
"Muridnya ada di sini. Masih malu unjukkan diri!" sambung Setan Ngompol pula.
"Oo... Di mana dia bersembunyi?" tanya Hantu Malam Bergigi Perak sambil
layangkan pandangan ke tempat gelap.
Selagi nenek dan kakek itu asyik bicara, Raka-
danu dan Galirenik pergunakan kesempatan un-
tuk kabur tinggalkan tempat itu. Tapi belum ber-
gerak sampai dua langkah tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat menghadang.
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Dalam kaget dan juga marah karena tidak
menyangka ada orang lain lagi menghalangi gerakan mereka, Rakadanu dan Galirenik
serentak lancarkan serangan. Rakadanu memukul ke arah pangkal leher sebelah
kanan sedang Galirenik menghantam ke arah pangkal leher sebelah kiri.
Serangan yang dilancarkan dua pentolan Keraton Kaliningrat itu luar biasa
berbahayanya yang disebut Keris Silang Memangkas Puncak Gunung.
Jangankan leher manusia, batu sekalipun akan buntung pupus dibuatnya!
Murid Sinto Gendeng turunkan bahunya sedi-
kit, dua kaki menekan tanah. Bersamaan dengan itu dua lengan melesat ke atas.
Bukkk! Bukkkk! Rakadanu dan Galirenik walau terjajar tiga langkah namun sama sekali tidak
mengalami cidera. Dengan cepat keduanya mengimbangi diri.
Didahului teriakan keras keduanya kirimkan tendangan ke arah Wiro yang akibat
bentrokan pukulan tadi jatuh terduduk di tanah, lengan kiri kanan laksana
dihantam pentungan.
Wutt! Wutt! Dua tendangan sama-sama mencari sasaran di kepala Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro putarkan tubuhnya demikian rupa lalu jatuhkan diri ke tanah. Dua tendangan
lawan lewat di samping kepalanya. Tidak disangka oleh Rakadanu dan Galirenik,
dalam keadaan berba-
ring Wiro tendangkan kaki kiri kanan ke belakang.
Bukkk! Kaki kiri mendarat di kening Rakadanu.
Dukkk! Kaki kanan menghantam telak dada Galirenik.
Kedua orang yang kena tendang itu tak ampun lagi terpental dan terguling di
tanah. Tapi luar biasanya bukan saja kepala dan dada mereka tidak cidera barang
sedikitpun, malah sambil menyeringai keduanya bangkit berdiri lalu sama
melangkah mendekati Wiro dengan mata menyala marah.
"Kakek bau pesing!" nenek Hantu Malam Ber-
gigi Perak menegur Setan Ngompol. "Apa pemuda berpakaian putih itu yang kau
sebut sebagai murid Sinto Gendeng?"
"Benar!" jawab Setan Ngompol. "Namanya
Wiro," menambahkan si kakek sambil melirik ke arah dua gadis yang saat itu
tengah mengerling memperhatikan Wiro.
"Dia akan mati konyol kalau tidak tahu kelema-
han ilmu kebal dua lawannya!"
"Kalau begitu saatnya aku membantu!" ucap Setan Ngompol.
"Kaupun akan mereka lumat sampai ke
kantong menyanmu!" kata si nenek pula.
Serrr! Setan Ngompol tekap bagian bawah perut tapi tak urung air kencingnya
terpancar juga.
"Nek, kalau begitu tolong beritahu rahasia kelemahan mereka!"
"Puah! Siapa sudi! Enak betul! Cari sendiri!"
jawab Hantu Malam Bergigi Perak. Lalu dia ber-
paling pada kedua muridnya yakni sepasang gadis cantik berpakaian merah dan
biru. "Perlihatkan pada dua orang yang katanya tokoh rimba persi-
latan tanah Jawa ini bagaimana kalian menghabisi dua lawan!"
Dua gadis membungkuk hormat. Lalu didahu-
lui teriakan nyaring si merah dan si biru melesat ke udara. Selagi tubuh
melayang di udara kedua-
nya hantamkan tendangan ke arah punggung
Rakadanu dan Galirenik yang tengah mendekati Wiro.
Mendengar ada sambaran angin di belakang, Rakadanu dan Galirenik cepat membalik
sambil hantamkan dua tangan sekaligus.
Duukkk! Duuukkk! Dua tendangan yang tadinya akan menghantam punggung, kini lewat sela-sela
lengan, mendarat telak di dada Rakadanu dan Galirenik, tepat di arah jantung!
Kedua lelaki tinggi besar ini terlontar sampai satu setengah tombak. Mulut
semburkan darah segar. Tubuh masing-masing kemudian terbanting ke tanah.
Sengketa Guci Pusaka 2 Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam Keranda Maut Perenggut Nyawa 3
Tiba-tiba satu wajah menyeramkan muncul di pelupuk matanya. Muka lelaki gosong,
rambut ter- bakar, mata dan pipi kiri melesak, hidung miring.
Pangeran Matahari!
Bidadari Angin Timur menjerit keras. Tubuh tersentak bangkit dan terduduk di
tanah. Kain yang menutupi auratnya merosot jatuh ke pang-
kuan. Saat itulah dia menyadari betapa pakaian birunya robek tak karuan hingga
keadaannya nyaris telanjang. Kejadian malam tadi! Ada rasa sakit di bagian bawah
perutnya. Sekujur tubuh si gadis menggigil. Mukanya seputih kain kafan.
Dengan tangan gemetar dia sibakkan kain yang menutupi tubuhnya sebelah bawah.
Sepasang mata Bidadari Angin Timur terbeliak besar ketika melihat ada noda darah
setengah mengering di kedua pangkal pahanya!
Untuk kedua kalinya Bidadari Angin Timur
menjerit keras. Lalu ratap mengenaskan meluncur keluar dari mulutnya.
"Tuhan! Teganya engkau membiarkan manusia dajal itu merampas kehormatanku! Tak
ada guna- nya lagi hidup ini! Lebih baik mati daripada hidup bercermin bangkai!"
Didahului satu jeritan panjang, Bidadari Angin Timur bangkit berdiri. Tanpa
memperhatikan ke mana dia menuju gadis ini berlari sambil terus menjerit dan
menjerit. Mendadak larinya tertahan.
Di hadapannya terbentang satu jurang batu luar biasa dalamnya. Di salah satu
sisi jurang mengu-
cur deras air terjun. Sang dara tertegun.
Ada bisikan halus dalam lubuk hatinya. "Bida-
dari Angin Timur, jangan kau menempuh jalan sesat..."
Si gadis terkesiap. Tapi cuma seketika. Ada bisikan lain dalam dirinya. "Apa kau
sanggup ber- tahan hidup. Hamil karena diperkosa lalu melahir-
kan seorang anak haram..."
Sekujur tubuh Bidadari Angin Timur bergetar.
"Tuhan! Berikan kematian saat ini juga padaku!
Aku tak sanggup bertahan hidup dalam keadaan ternoda seperti ini! Tuhan, jika
sudah mati aku rela menjadi setan untuk mencari dan membunuh manusia terkutuk
Pangeran Matahari!"
Bidadari Angin Timur menjerit lagi satu kali.
Suara jeritan itu bergaung panjang menggidikkan ketika dengan segala kenekatan
gadis cantik bernasib malang ini menghambur jatuhkan diri ke dalam jurang.
Ketika gaung jeritan sirna yang ter-
dengar kini hanya suara curahan air terjun. Langit pagi yang tadi biru bersih
tiba-tiba berubah gelap.
Mendung menggumpal di mana-mana. Di udara, kilat menyambar disusul gemuruh suara
gelegar guntur. Sesaat kemudian hujan turun luar biasa hebatnya. Lapat-lapat di
kejauhan terdengar suara raungan binatang. Alam seolah ikut meratapi nasib
malang yang menimpa seorang anak manu-
sia yang terlahir bernama Pandan Wangi dan da-
lam rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan sebutan Bidadari Angin Timur.
*** Dua orang berpakaian pasukan Kerajaan me-
macu kuda masing-masing dalam gelapnya ma-
lam. Menempuh jalan mendaki dan berliku-liku.
Mereka bukannya memperlambat lari kudanya, malah menggebrak binatang-binatang
itu agar berlari lebih kencang. Dari kecekatan mereka me-
nunggang kuda jelas keduanya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Selewatnya satu tikungan tajam, entah dari mana munculnya, tiba-tiba satu sosok
hitam ber- kelebat jungkir balik satu kali di udara. Ketika berdiri di tengah jalan tangan
kiri berkacak ping-
gang, tangan kanan tancapkan sebatang besi ke tanah. Tampangnya garang walau ada
bayangan seperti menahan sakit.
Dua kuda besar meringkik keras. Dua kaki
depan naik ke atas Tubuh sebelah belakang ter-
banting ke samping. Kalau dua penunggangnya tidak cepat merangkul leher kuda
masing-masing dengan kuat, niscaya mereka sudah terlempar jatuh!
"Jahanam! Anjing kurap dari mana berani
menghadang perjalanan orang!" Penunggang kuda di sebelah kanan membentak marah.
Namun kalau tadi dia belum begitu jelas melihat sosok orang yang menghadang di tengah
jalan, kini setelah lebih memperhatikan dengan jelas orang di depannya,
tengkuknya mendadak menjadi dingin.
Penunggang kuda satunya terkesiap tak berkedip.
"Aku tidak dapat memastikan. Apakah mahluk di depanku ini manusia atau setan
adanya," ucapnya dalam hati. Dia rapatkan kuda mendekati temannya. "Surojantra, kalau
mahluk ini hantu benaran, aku tidak takut. Tapi kalau dia manusia, berarti kita
menghadapi perkara besar. Mungkin rahasia urusan kita telah bocor?"
Sang teman yang tadi membentak menjawab.
"Baunya seperti kayu hangus. Ada asap tipis kemerahan keluar dari hidung dan
mulutnya. Dia menancapkan besi gulungan bendera ke tanah.
Aku yakin dia manusia seperti kita walau tubuh nyaris telanjang. Gosong dari
kepala sampai ke kaki. Tampang memang seperti setan. Bukan mustahil dia suruhan
orang-orang Keraton Kali-
ningrat untuk mencegat kita. Jaliteng, aku akan menghadapinya. Jika perkara
tidak bisa dielakkan kau harus cepat tinggalkan tempat ini. Selamat-
kan barang bawaan!"
Habis berkata begitu Surojantra menggerakan kuda mendekati orang yang menghadang
di tengah jalan. "Sampeyan siapa" Ada urusan apa mengha-
dang perjalanan kami?"
Orang di tengah jalan yang bukan lain Pange-
ran Matahari adanya tertawa bergelak.
"Aneh, bicaramu sekarang jadi sopan. Sekarang kau memanggil aku sampeyan segala!
Ha... ha... ha! Padahal kau tadi menyebut aku anjing kurap!"
"Maaf kalau tadi aku keterlepasan bicara kasar karena kaget oleh kemunculanmu
yang tiba-tiba.
Aku tidak punya waktu banyak bicara panjang lebar dengan setan jejadian
sepertimu. Lekas me-
nyingkir!"
"Kalau aku tidak mau menyingkir?" tantang Pa-
ngeran Matahari sambil dongakkan kepala penuh sombong padahal masih menahan
sakit, "Kaki kudaku akan menghancurkan batok
kepalamu! Dan kau akan jadi setan benaran!" kata Surojantra pula.
Pangeran Matahari tertawa bergelak. "Aku mau lihat bagaimana caramu memecahkan
batok kepa- laku!" Lalu dia sengaja ulurkan kepalanya seolah menantang minta digebuk.
Surojantra jadi berang. Dia tepuk pinggul kanan kuda tunggangannya. Secara
bersamaan tangan kiri menyentak tali kekang. Didahului ringkikan keras kuda
besar menyepakkan kaki kanan sebelah depan ke arah kepala Pangeran Matahari.
Cepat, ganas mematikan! Walau cukup terkesiap melihat datangnya serangan luar
biasa itu namun sang Pangeran masih bisa mengumbar tawa mengejek. Kepala
dirundukkan. Lutut dilipat.
Tiang Bendera Darah yang terbuat dari besi dan saat itu menancap di tanah
secepat kilat dicabut.
Wuuttt! Wuuuttt!
Kraakk! Kraak! Dua kaki depan kuda besar tunggangan Suro-
jantra hancur patah. Binatang ini meringkik dah-
syat lalu roboh ke tanah. Sekali lagi tongkat Ben-
dera Darah berkelebat.
Praakk! Kali ini gagang bendera menghantam remuk
kepala kuda. Binatang ini melosoh ke tanah, mele-
jang dua kali lalu rebah tak berkutik lagi.
Surojantra yang terpental dari punggung kuda, dengan berjumpalitan berhasil
selamatkan diri.
Namun baru saja dua kakinya menginjak tanah, ujung lancip gagang Bendera Darah
melesat dan amblas menancap ke ulu hatinya, tembus sampai ke punggung!
Melihat Surojantra menemui ajal menggidikkan begitu rupa, Jaliteng serta merta
memedal kuda- nya. Namun Pangeran Matahari lebih cepat meng-
gebukkan gagang Bendera Darah ke perut Jali-
teng. Tubuh lelaki ini terlipat ke depan lalu terguling-guling di tanah. Darah
menyembur dari mulut. Secepat kilat Pangeran Matahari melesat ke atas punggung
kuda Jaliteng dan memacu bina-
tang ini ke arah timur.
"Prajurit-prajurit tolol! aku hanya mau minta kuda! Tapi kalian malah sengaja
serahkan nyawa!"
*** Ki Tambakpati bersemedi sejak tengah malam
tadi demi untuk mendapat petunjuk Yang Maha Kuasa. Gubuk kecil kediamannya di
puncak bukit diterangi obor redup di empat sudut. Di tanah di depan tempat dia
duduk bersila terdapat sebuah belanga tanah. Di dalam belanga ada ramuan tulang
belulang, daun, kulit dan akar tetumbuhan serta cairan yang menebar kepulan asap
sengak serta mengeluarkan suara mendidih. Padahal di bawah belanga sama sekali
tidak ada api yang menyala!
Hebatnya, sekaligus menggidikkan, di manamana dalam gubuk itu terdapat tulang
belulang manusia. Bahkan lima tengkorak kepala manusia yang sudah lumutan
tergeletak di lantai tanah.
Empat obor di sudut gubuk yang biasanya dibuat dari potongan bambu, terbuat dari
tulang kaki manusia. Di salah satu bagian gubuk, merapat ke dinding, terdapat
sebuah ketiduran terbuat dari tulang belulang manusia di alas tikar jerami
kering. Di samping kiri Ki Tambakpati terbentang sehelai tikar kulit kambing.
Tidak terduga, khidmat khusus semedi Ki
Tambakpati mendadak terganggu. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja dia tidak
mampu menutup jalan pendengaran serta menghindari getaran pada kelopak matanya.
"Ada malapetaka menuju ke sini..." ucap Ki Tambakpati dalam hati. Lalu terdengar
suara derap kaki kuda di kejauhan. Makin kencang ma-
kin keras pertanda mendekat mendatangi ke arah gubuk di puncak bukit itu. Lalu,
braak! WIRO SABLENG 6 KITAB SERIBU PENGOBATAN
INTU gubuk terpentang jebol. Satu sosok
tubuh hitam gosong melesat masuk, tegak
Ptergontai-gontai sambil berpegangan pada besi gagang bendera. Bau sengak dalam
gubuk kini bercampur dengan bau amis darah setengah kering.
"Malapetaka telah datang," kata Ki Tambakpati dalam hati. Perlahan-lahan dia
buka kedua mata-
nya yang sejak tadi terpejam. Walau rasa bergidik membuat sekujur tubuh Ki
Tambakpati menggigil bergetar, namun orang tua yang berusia lebih tujuhpuluh
tahun ini berusaha tenangkan diri, menatap sosok mengerikan di hadapannya dengan
pandangan mata redup tak berkesip. Tubuh
gosong tanpa pakaian sama sekali. Setiap meng-
hembuskan nafas, dari mulut serta lobang hidung keluar asap tipis kemerahan.
Meskipun wajah orang di hadapannya gosong hitam, namun Ki Tambakpati mengetahui
bahwa tamu yang muncul menunggang kuda, masuk
menjebol rusak pintu gubuknya adalah seorang lelaki berusia muda. Mahluk
mengerikan ini ber-
diri gontai sambil tangan kiri terus-terusan men-
dekap kemaluannya.
"Welas asih dan kesejahteraan untuk semua orang." Ki Tambakpati menyalami. "Anak
muda, apakah kau tidak keliru terpesat datang kemari?"
"Siapa bilang aku keliru! Aku tidak pernah keli-
ru!" sang tamu menjawab teguran Ki Tambakpati dengan suara keras dan sikap
congkak lalu tan-
capkan gagang besi bendera ke lantai tanah.
"Ah, syukurlah kalau begitu..." kata Ki Tam-
bakpati pula. "Orang tua, bukankah kau bernama Ki Tam-
bakpati, berjuluk Tangan Penyembuh. Jangan berani berdusta!"
"Anak muda, kau betul. Aku memang Ki Tam-
bakpati. Seumur hidupku yang lebih dari tujuh-
puluh tahun, dengan kuasa serta petunjuk Gusti Allah aku belum pernah berdusta.
Mengenai julu- kan, itu hanya sekedar pemberian orang banyak yang aku sendiri sebenarnya risih
sekali untuk menerima. Anak muda, katakan..."
"Orang tua!" sang tamu membentak memotong ucapan orang. "Dengar, jangan panggil
aku de- ngan sebutan anak muda!"
Dibentak begitu rupa Ki Tambakpati jadi kaget namun cepat tenang kembali. "Harap
maafkan. Aku harus memanggilmu bagaimana?"
"Panggil aku Pangeran! Kau dengar Ki Tambak-
pati" Pangeran!"
Kening si orang tua berkerut. "Seorang Pange-
ran muncul dengan berkeadaan seperti ini. Sulit dipercaya. Pangeran dari mana
dia gerangan?"
kata Ki Tambakpati dalam hati. Kemudian mere-
bak senyumnya. "Ah, aku yang tua ini telah ber-
laku lancang. Tidak tahu kalau berhadapan de-
ngan seorang Pangeran. Maafkan diriku." Ki Tam-
bakpati bungkukkan dadanya sampai tiga kali.
Ketika kepala diangkat dia bertanya. "Pangeran, ada keperluan apa Pangeran
datang ke gubukku yang hina ini?" Mata si orang tua melirik ke bagian bawah
perut tamu di hadapannya yang sejak tadi ditekap dan ditutupi dengan tangan
kiri. Di antara sela-sela jari tangan itu dia melihat ada lelehan darah.
"Aku ingin kau menolong menyembuhkan luka yang aku derita."
"Luka" Luka apa, Pangeran?"
Orang di hadapannya perlahan-lahan membuka tekapan tangan kirinya. Melihat aurat
yang kini tersingkap itu, merinding bulu tengkuk Ki Tam-
bakpati. Seumur hidup belum pernah dia melihat luka mengerikan seperti itu.
Kemaluan orang di hadapannya itu mengalami luka yang amat hebat, nyaris putus!
"Pangeran, apa yang terjadi?" tanya Ki Tambak-
pati. "Kau tak layak bertanya! Apa yang terjadi bukan urusanmu! Kewajibanmu adalah
menyem- buhkan luka ini!"
Ki Tambakpati terdiam sesaat lalu berkata. "Ah, lancangnya diriku dalam
bertanya. Tapi Pangeran, kau datang ke tempat yang salah. Aku memang punya
sedikit ilmu pengobatan. Namun hanya khusus dalam pengobatan orang-orang yang
patah tulang. Aku tak mungkin menyembuhkan luka yang kau derita. Kau harus
mencari seorang lain yang mampu mengobati dan memberi kesem-
buhan." "Aku datang dari jauh untuk selamatkan nya-
wa! Sampai di sini kau berani menolak mengobati lukaku! Kau ingin aku mati
berdiri!" "Pangeran, bukannya aku menolak. Tapi diriku memang tidak punya kemampuan untuk
meng- obatimu..."
"Kalau aku mati karena luka ini, lebih baik kita mati sama-sama saat ini juga!"
Sang Pangeran mengancam. Lalu tangan kirinya yang berlumuran darah bergerak
menjangkau tengkorak kepala manusia yang tergeletak di lantai gubuk. Sekali
jari-jarinya meremak, kraaakk! Tengkorak kepala itu remuk hancur! Belum cukup
sang Pangeran hantamkan tangan kanan, Braaakk!
Dinding gubuk di belakang Ki Tambakpati
hancur berantakan. Belasan tulang belulang yang tergantung di dinding itu ikut
mental ke dalam kegelapan di luar sana.
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anak mud... Pangeran. Dengar..." Rasa takut mulai menjalari diri Ki Tambakpati.
"Dukun keparat! Kau yang harus mendengar!
Obati lukaku atau aku pecahkan kepalamu saat ini juga!"
Ki Tambakpati geleng-geleng kepala sambil ber-
ulang kali menyebut nama Tuhan.
"Kalau kau memaksa, aku hanya bisa mencoba.
Soal kesembuhan kita serahkan pada Gusti Allah Yang Maha Kuasa." Orang tua itu
bangkit berdiri.
"Pangeran, berbaringlah di atas tikar kulit kam-
bing itu."
Sang Pangeran berdiri. Dia bukannya berjalan ke arah tikar kulit kambing tapi
melangkah dan baringkan diri di atas tempat tidur yang terbuat dari tulang
belulang beralaskan tikar jerami kering.
"Kau jangan berani menghinaku, Ki Tambak-
pati. Seorang Pangeran apa layak tidur di tikar rombeng kulit kambing" Di atas
tempat tidur inipun sebenarnya sangat tidak layak bagiku!"
"Maafkan aku Pangeran," kata Ki Tambakpati.
Lalu dia melangkah ke salah satu sudut gubuk yang masih utuh. Sepasang mata
dipejamkan, dua telapak tangan saling dirapatkan, dua lengan diluruskan ke atas.
Saat itu pula perlahan-lahan tubuhnya terangkat ke atas hingga kedua kakinya
yang kurus tidak lagi menginjak lantai tanah gubuk.
"Daun sirih pembersih luka." Ki Tambakpati berucap. Secara aneh dari sela-sela
dua telapak tangannya menyembul keluar tiga helai daun sirih.
Daun-daun ini kemudian melesat masuk ke dalam belanga tanah.
"Kunyit putih perekat luka." Ki Tambakpati kembali berucap disusul melesatnya
tiga butir benda putih. Seperti tiga helai daun sirih tadi, tiga benda putih ini
melesat masuk ke dalam belanga.
"Alang-alang dewa penyambung otot dan urat"
Kembali si orang tua berseru. Tiga lembar alang-alang sepanjang dua jengkal
melesat keluar dari sela dua telapak tangan, melayang di udara lalu masuk ke
dalam belanga tanah.
"Kemenyan pemohon keredohan Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Pengasih serta Penyayang lagi Maha Penyembuh!"
Untuk kesekian kalinya dari sela telapak
tangan Ki Tambakpati melesat keluar benda yang disebutkan. Kali ini berupa
serbuk kemenyan kasar berkilauan. Serbuk ini melesat masuk ke dalam belanga
tanah. Suara mendidih di dalam belanga terdengar makin keras. Kepulan asap ber-
tambah tebal. Bau harum cendana kini bertukar dengan bau obat aneh.
Memperhatikan semua yang terjadi, orang yang tergeletak di atas ranjang tulang
yang tentu saja adalah Pangeran Matahari, berkata dalam hati.
"Sulap atau sihir apa yang dilakukan tua bangka ini! Kalau dia menipuku,
kupecahkan kepalanya!"
Untuk beberapa lama tubuh Ki Tambakpati
masih mengapung di udara. Mulut berkomat-
kamit. Mata masih terpejam. Pangeran Matahari memperhatikan dengan tidak sabar.
Tak selang berapa lama perlahan-lahan sosok orang tua itu bergerak turun ke
tanah. Pada saat kedua kakinya menginjak lantai tanah gubuk, obor yang tinggal
dua di sudut ruangan berkelap-kelip. Udara terasa dingin. Belanga tanah
bergerak-gerak seolah digo-
yang oleh tangan yang tidak kelihatan.
Ki Tambakpati dongakkan kepala. Perlahan-
lahan mata yang terpejam dibuka, perlahan-lahan kepala ditundukkan kembali. Lalu
dari dinding gubuk dia mengambil sebuah gayung terbuat dari tulang. Dengan
gayung tulang si orang tua men-
ciduk cairan obat dalam belanga tanah lalu dima-
sukkan ke dalam cangkir tulang. Di dalam cangkir tulang, cairan itu masih terus
mendidih dan kepulkan asap.
Ki Tambakpati melangkah mendekati ranjang tulang. Dia membungkuk di samping
ranjang, susupkan tangan ke belakang kepala Pangeran Matahari lalu kepala
diangkat sedikit.
"Pangeran, harap kau suka meminum obat ini.
Teguk perlahan-lahan sampai habis."
"Orang tua gila! Kau menyuruh aku minum
cairan panas mendidih! Kau menipuku! Kau mau membunuhku!" bentak Pangeran
Matahari. Ki Tambakpati tersenyum. "Kalau cairan di dalam cangkir tulang panas, mana
mungkin jari-jari tua ini sanggup memegangnya" Kau tak usah khawatir.
Minumlah..."
Sesaat Pangeran Matahari terdiam. "Kau
benaran Ki Tambakpati?"
"Pangeran, sebelumnya kau berkata tidak per-
nah keliru. Kau yakin bahwa aku memang Ki Tambakpati. Apa lagi sekarang yang
merisaukan- mu?" Orang tua itu dekatkan cangkir tulang ke mulut Pangeran Matahari. Walau
masih agak ragu namun karena ingin sembuh akhirnya Pangeran Matahari teguk juga
obat di dalam cangkir.
Anehnya, ternyata cairan obat itu terasa sejuk.
"Bagus, sekarang berbaringlah kembali. Kem-
bangkan paha lebar-lebar." Ki Tambakpati lempar-
kan cangkir ke arah tumpukan tulang belulang lalu mengangkat belanga tanah.
Ketika dia berdiri di kaki ranjang tulang, orang tua ini berkata.
"Pangeran aku akan menyiramkan cairan obat ini ke auratmu sebelah bawah. Rasanya
akan sakit sekali. Aku percaya kau sanggup menahannya.
Berdoalah pada Gusti Allah agar kau mendapat kesembuhan..."
"Seumur hidup aku tidak pernah berdoa kepa-
da Gusti Allah. Apa perlunya jika kau memang dapat menolong?"
Terkesiap Ki Tambakpati mendengar ucapan
itu. "Congkak dan takabur sekali manusia satu ini!" katanya dalam hati. "Semoga
Tuhan meng- ampunimu." Lalu tanpa banyak menunggu Ki
Tambakpati guyurkan cairan obat di dalam
belanga ke atas kemaluan Pangeran Matahari yang terluka parah. Seperti besi
panas menyala ter-
siram air begitulah keadaannya.
Cesss! Cessss! Pangeran Matahari menjerit setinggi langit.
"Kau mau membunuhku! Kau mau membunuh-
ku!" teriaknya berulang kali. Kaki kanannya me-
nendang. Byaarrr! Belanga tanah yang dipegang Ki Tambakpati hancur berantakan. Orang tua ini
terjajar ke bela-
kang beberapa langkah. Seperti seekor harimau luka, Pangeran Matahari melompat.
Dua tangan mencekik leher Ki Tambakpati hingga lidahnya mencelet keluar. Nafas
menyengal. Namun sebe-
lum Pangeran Matahari sempat membunuh orang tua ini mendadak sosoknya menjadi
lemas. Perlahan-lahan dia melosoh lalu jatuh terguling di lantai tanah.
Ki Tambakpati usap-usap lehernya yang bekas dicekik. Dia menarik nafas panjang
berulang kali. Memandang pada sosok Pangeran Matahari, orang tua ahli pengobatan tulang ini
geleng-geleng kepa-
la, "Apa yang terjadi dengan orang ini hingga dia mengalami luka begini parah"
Siapa dia sebe-
narnya" Pangeran" Seorang Pangeran sungguhan"
Dari keraton mana?"
Ki Tambakpati memandang ke luar gubuk lewat pintu dan dinding yang jebol. Sunyi
dan gelap. Lalu dia mendengar suara sesuatu. Ki Tambakpati segera keluar. Di halaman gubuk,
tak jauh dari serumpunan semak belukar dia melihat seekor kuda besar tengah
merumput dalam kegelapan. Ki Tambakpati dekati binatang ini. Usap-usap teng-
kuknya. Ada sebuah kantong kulit besar di sam-
ping pelana kuda. Ki Tambakpati bukan seorang yang usil suka memeriksa barang
yang bukan miliknya. Namun entah mengapa sekali ini dia merasa begitu ingin
melihat apa yang ada di dalam kantong kulit itu. Dia lalu buka buhulan tali
penutup kantong. Ketika penutup dibuka, terlihat selapis kain hitam. Kain ini
disingkap. Ada tumpukan barang aneh berbentuk lempengan-lempengan dibungkus
kertas warna merah gelap.
Ki Tambakpati ambil satu lempengan benda
berwarna coklat. Ki Tambakpati memeriksa benda itu dengan teliti, lalu dicium.
Seperti disengat kalajengking begitulah kagetnya orang tua ini.
"Madat..." ucap Ki Tambakpati mendesis. Orang tua ini berpaling ke arah gubuk.
"Dia datang dengan kuda ini. Berarti benda haram dajal ini adalah miliknya. Apa
yang harus aku lakukan"
Aku tak mau mencari perkara. Dia harus segera pergi dari sini. Tapi dia baru
sadar besok. Menjelang tengah hari esok baru pulih. Selain itu pengobatanku masih belum
selesai." Ki Tambak-
pati menarik nafas panjang berulang kali. Dia merasa serba salah. Setelah
menambatkan kuda ke sebatang pohon dia masuk kembali ke dalam gubuk. Langkahnya
kali ini agak bergetar ter-
huyung. WIRO SABLENG 7 KITAB SERIBU PENGOBATAN
AK LAMA setelah Pangeran Matahari meram-
pas kuda Jaliteng di jalan mendaki yang
Tberbatu-batu, dua orang laksana setan
malam berkelebat di kegelapan. Keduanya masih muda-muda dan bertampang sangar,
memiliki bobot tubuh sama-sama tinggi dan tegap. Sama-sama mengenakan pakaian
ringkas serta blangkon warna hitam. Di dada kiri baju masing-masing ada sulaman
kuning rumah berbentuk joglo. Di
sebelah bawah ada sulaman lain berupa dua bilah keris telanjang saling
bersilangan. Hampir berbarengan, dua orang itu berkelebat sampai di depan kuda milik
Surojantra. "Ini kudanya! Mana orangnya" Aku tidak meli-
hat kantong perbekalan di pelana kuda." Lelaki di sebelah kiri keluarkan ucapan.
Temannya memandang berkeliling lalu menun-
juk ke depan. "Di sana! Ikuti aku!"
Kedua orang itu berkelebat melewati tikungan jalan. Di satu tempat mereka
menemukan sosok seorang lelaki berpakaian anggota pasukan Kera-
jaan yang sudah jadi mayat. Menemui ajal dengan luka terkuak di perutnya.
"Surojantra! Mati. Mengenakan pakaian pasu-
kan Kerajaan. Tidakkah ini aneh" Bagaimana me-
nurutmu Galirenik?"
Orang bernama Galirenik masih perhatikan
mayat Surojantra beberapa ketika baru menjawab,
"Bangsat ini punya ilmu cukup tinggi. Siapapun orang yang telah membunuhnya
berarti punya kepandaian sukar dijajagi. Mengenai pakaian pasukan Kerajaan yang
dipakainya aku rasa dia sengaja melakukan penyamaran."
"Setahu kita dia bersama Jaliteng. Mungkin orang itu jadi musuh dalam selimut.
Membunuh Surojantra dan melarikan barang bawaan!"
"Berarti kita harus menemukan bangsat satu itu! Barang yang kita cari pasti ada
padanya! Aku..." Rakadanu, teman Galirenik angkat tangan kiri, memberi tanda agar Galirenik
berhenti bicara.
Telapak tangan kanan dikembangkan di belakang daun telinga sebelah kanan agar
pendengarannya bertambah jelas.
"Aku mendengar sesuatu. Suara orang menge-
rang..." Rakadanu menunjuk ke depan. Lalu melompat ke arah yang ditunjuknya.
Galirenik mengikuti.
Kedua orang berpakaian serba hitam itu
menemukan orang yang mereka cari terkapar di tanah jalanan dalam keadaan megap-
megap sekarat. Mereka tidak melihat kuda tunggangan milik Jaliteng.
"Muka kelimis, tubuh utuh..." Rakadanu mem-
bungkuk lalu sibakkan pakaian Jaliteng. "Perut-
nya pecah! Aku tidak dapat memastikan apakah nyawanya masih bisa tertolong!"
Rakadanu berbi-
sik pada Galirenik lalu cepat menotok beberapa bagian tubuh Jaliteng.
"Seperti Surojantra, dia juga mengenakan pa-
kaian pasukan Kerajaan," kata Galirenik sambil tekapkan telapak tangan kirinya
ke dada Jaliteng untuk alirkan hawa sakti.
"Jaliteng, kami akan menyelamatkan nyawamu!
Sebagai imbalan, katakan di mana beradanya barang yang kau bawa dalam kantong
kulit besar?" Rakadanu ajukan pertanyaan.
Dada Jaliteng turuh naik pertanda dia sulit bernafas. Mukanya mendadak jadi
pucat sekali. Namun telinganya masih bisa mendengar. Mata bergerak, menatap dalam gelap. Dia
hendak me- ngatakan sesuatu tapi mulutnya tak bisa dibuka.
"Percuma, dia tak bisa bicara. Kita cari saja kudanya. Mungkin ada di sekitar
sini." Galirenik dan Rakadanu menghabiskan waktu cukup lama untuk memeriksa kawasan
itu. Namun kuda tunggangan milik Jaliteng tidak dite-
mukan. "Kita sudah kedahuluan orang," ucap Galirenik perlahan tapi penuh geram.
"Bagaimana kita mempertanggung-jawabkan
tugas ini kepada penguasa di Keraton Kalining-
rat?" kata Rakadanu pula. Nada suara dan raut wajahnya menunjukkan kerisauan
hatinya. "Kita kembali saja. Laporkan apa adanya."
Jawab Galirenik.
Rakadanu gelengkan kepala. "Pengejaran kita sudah sangat jauh. Apapun yang
terjadi harus kita lanjutkan. Mudah-mudahan ada tanda-tanda yang bisa kita pakai
sebagai pencari jejak. Bagaimana?"
"Kalau kau mau meneruskan pencarian, aku
hanya mengikut saja," jawab Galirenik pula.
Kedua orang dari Keraton Kaliningrat ini segera tinggalkan tempat itu.
Sekian lama berdiam diri, satu ketika Galirenik berkata. "Seingatku, masih cukup
jauh di depan sana ada satu bukit kecil tempat kediaman seo-
rang ahli pengobatan. Dia dijuluki si Tangan Pe-
nyembuh. Mungkin ada baiknya kita mampir di sana sekaligus menyelidik. Siapa
tahu orang yang mencuri barang itu pernah singgah di sana."
Rakadanu menyetujui ajakan kawannya itu.
Keduanya lalu mempercepat lari masing-masing.
*** Di puncak bukit udara malam terasa luar biasa dingin. Dari kejauhan telah
terlihat gubuk kedia-
man Ki Tambakpati alias Si Tangan Penyembuh.
Rakadanu dan Galirenik mendatangi hampir tanpa suara, padahal lari keduanya luar
biasa cepat. Galirenik langsung hendak menuju gubuk tapi segera dicegah oleh Rakadanu yang
perhatiannya lebih dulu tertuju ke tempat lain. Lelaki ini pegang lengan
temannya dan berkata perlahan.
"Di bawah pohon sana ada seekor kuda besar tertambat. Di dekat pelana ada sebuah
kantong kulit."
Galirenik palingkan kepala ke arah yang dika-
takan temannya. "Astaga..."
Rakadanu cepat tekap mulut Galirenik seraya berkata. "Jangan bicara keras-keras.
Kita tidak tahu siapa yang ada di dalam gubuk. Kalau Surojantra dan Jaliteng
yang berilmu tinggi bisa dibuat mati konyol, berarti si pembunuh memiliki
kepandaian luar biasa tinggi. Kau pergi ke arah pohon. Ambil kantong kulit,
biarkan kuda tetap tertambat. Tunggu aku di sana. Aku akan meng-
intai ke dalam gubuk."
"Raka, tunggu dulu." kata Galirenik. "Apakah kau tidak melihat kejanggalan?"
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kejanggalan apa?"
"Barang di dalam kantong kulit itu nilainya selangit tembus. Bagaimana mungkin
orang yang merampas membiarkannya di luar begitu saja, malam buta begini rupa
pula!" "Kawan, kau benar. Lekas kau ambil kantong kulit itu. Periksa isinya. Aku tetap
akan mengintai ke dalam gubuk." Habis berkata begitu Rakadanu segera melangkah
ke gubuk sedang Galirenik cepat-cepat bergerak ke arah kuda yang ter-
tambat. Dari arahnya datang Rakadanu telah melihat kerusakan pada pintu dan dinding
belakang gubuk. Pertanda sebelumnya telah terjadi tindak kekerasan di tempat
itu. Lelaki tinggi besar dari Keraton Kaliningrat ini mengintai dari pinggiran
pintu. Nyala dua api obor yang walau redup berkelip masih cukup menerangi gubuk
kecil itu dan Rakadanu dapat melihat jelas keadaan di dalam gubuk. Seorang tua
duduk bersila di atas sehelai tikar kulit kambing. Dua tangan bersilang di dada.
Mata terpejam entah tidur entah tengah bersemedi. Di atas sebuah ranjang yang
terletak merapat ke dinding terbaring satu sosok hitam hangus dalam keadaan
bugil. Dia tidak dapat melihat wajah orang ini. Dua kakinya terkangkang dan
Rakadanu jadi mengerenyit ketika melihat kemaluan orang itu disarungi sebuah
benda berwarna putih kekuningan. Merasa tidak ada gunanya dia berada lebih lama
di tempat itu Rakadanu segera temui Galirenik yang berdiri di samping kuda
memanggu! kantong kulit di bahu kirinya.
"Kau sudah memeriksa isi kantong ini?" tanya Rakadanu pada temannya.
"Isinya utuh!" jawab Galirenik dengan seringai bergumam dan mata bersinar. "Apa
yang kau lihat di dalam gubuk?" Galirenik balik bertanya.
"Tidak penting apa atau siapa yang ada dalam gubuk. Barang sudah kita dapat.
Kita segera kem-
bali ke Keraton. Banyak keanehan di tempat ini.
Kita harus pergi sebelum keanehan itu berubah menjadi bahaya mengancam
keselamatan kita!"
Sebagaimana mereka datang tanpa suara.
begitu pula ketika menyelinap pergi. Kedua orang berpakaian serba hitam itu raib
ditelan kegelapan malam membawa 50 kati madat yang nilainya cukup untuk
membangun lima istana besar.
*** Ketika kokok ayam pertama kali terdengar di
kejauhan, Ki Tambakpati hela nafas panjang dan buka kedua matanya yang sejak
tadi malam ter-
picing. Memandahg ke samping dia lihat Sang Pangeran masih terbujur di atas
ranjang tulang.
Lalu dia ingat pada kantong kulit di luar sana.
Cepat-cepat orang tua ini bangkit berdiri, melang-
kah ke pintu, terus ke halaman menuju kuda yang masih tertambat di pohon. Hanya
tinggal dekat akan mencapai binatang itu, langkah Ki Tambak-
pati mendadak terhenti. Matanya membesar.
Dadanya berdebar keras. Kantong kulit besar yang sebelumnya tergantung di
samping pelana lenyap, tak ada lagi di tempatnya semula.
"Tak mungkin kantong dan isinya raib kalau tidak ada yang mengambil. Aku mungkin
berlaku salah. Seharusnya kantong itu aku bawa masuk ke dalam gubuk. Dia pasti
akan mempersalahkan diriku. Bisa-bisa begitu sadar dan mengetahui ba-
rang itu tak ada lagi, aku pasti akan dibunuhnya.
*** Sebelum matahari naik tinggi keesokan paginya ternyata Pangeran Matahari telah
siuman dari pingsannya. Dia mencoba duduk di tepi ranjang tulang. Begitu duduk
pandangannya langsung di-
tujukan pada auratnya sebelah bawah. Dia dapat-
kan kemaluannya telah bersarung sepotong tulang menyerupai pipa.
"Ki Tambakpati!" teriak Pangeran Matahari.
"Aku di sini." Terdengar jawaban dari samping.
Pangeran Matahari palingkan kepala. Ki Tam-
bakpati berdiri dengan wajah menunjukkan keleti-
han, memandang kepadanya.
"Apa yang kau lakukan padaku" Apa ini?"
"Itu merupakan pengobatan tahap terakhir.
Agar luka pada daging dapat bertaut sempurna, lalu agar urat dan otot bisa
bersambung aku se-
ngaja menyarungkan alat kelaminmu dengan po-
tongan tulang berbentuk pipa. Antara tujuhpuluh sampai seratus hari tulang itu
akan hancur dengan sendirinya. Saat itu lukamu sudah bertaut dan kau akan
mendapatkan kesembuhan."
"Begitu...?" Pangeran Matahari berdiri. "Aku perlu pakaian!" katanya kasar.
"Sudah aku siapkan Pangeran," jawab Ki Tam-
bakpati lalu menunjuk ke kepala ranjang. Di situ terletak seperangkat pakaian
terdiri dari baju warna putih dan celana hitam.
"Aku tidak suka baju warna putih!"
"Maaf, Pangeran. Hanya itu baju yang ada."
jawab Ki Tambakpati. Orang tua ini diam-diam mulai merasa jengkel. Sudah
ditolong, banyak pinta pula.
Dengan cepat Pangeran Matahari kenakan baju dan celana. Lalu keluar dari gubuk
lewat dinding belakang yang jebol. Di pinggir sebuah sumur dilihatnya ada satu
gentong besar. Kulit wajahnya terasa perih ketika dia mencuci muka dengan air
gentong. Begitu juga bibir serta lidahnya ketika dia minum air gentong beberapa
teguk. "Aku harus pergi. Apakah aku perlu mengucap-
kan terima kasih padamu karena telah menolong diriku?" Pangeran Matahari
bertanya sambil sung-
gingkan seringai.
Ki Tambakpati balas tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Binatang saja jika
ditolong masih bisa berterima kasih dengan caranya sendiri. Seorang anak manusia
berlaku seperti ini. Sungguh luar biasa. Dosa apa yang telah aku lakukan hingga
bertemu dengan orang seperti ini?"
"Kau tidak mau menjawab?" Pangeran Matahari gembungkan rahang.
"Kewajibanku menolong siapa saja sesuai
dengan kemampuan. Soal berterima kasih tidak menjadi hal yang penting bagiku.
Aku ucapkan selamat jalan padamu. Namun ada satu hal perlu aku sampaikan."
"Kau minta bayaran Ki Tambakpati?"
Si orang tua menggeleng lalu berkata. "Paling lambat empatpuluh hari dari
sekarang lukamu akan sembuh. Namun kesembuhan itu adalah ke-
sembuhan luar dan dalam. Yakni bersambungnya bagian luar dan bagian dalam batang
kelaminmu. Namun tidak bisa kujamin setelah sembuh kau masih memiliki kejantanan sebagai
laki-laki."
Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik
besar. Pelipis bergerak-gerak dan dari hidung serta mulutnya keluar asap tipis
berwarna kemerahan.
"Orang tua! Kau bicara apa?" Menghardik
Pangeran Matahari.
"Alat kelaminmu yang hampir putus itu memi-
liki ratusan, atau mungkin ribuan syaraf. Walau kelaminmu dapat disambung
kembali namun syaraf-syaraf yang begitu halus itu tidak mungkin bersambung kembali. Ini
berarti kau akan kehi-
langan kejantananmu seumur hidup."
"Orang tua keparat! Kau sengaja tidak me-
nyembuhkan diriku secara sempurna."
"Pangeran, aku sudah berusaha sesuai kemam-
puanku. Kemaluanmu kelak akan bersambung
kembali dan lukamu akan sembuh. Tapi soal kerusakan syaraf itu, aku tidak mampu
me- nyembuhkannya."
"Jahanam! Tidaaakkk!" teriak Pangeran Mata-
hari. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Ki Tambakpati cepat menahan bahunya sehingga
sang Pangeran tidak sampai roboh ke tanah. "Kalau kau sudah tahu hal itu,
mengapa kau menolongku" Lebih baik kau membiarkan aku mati! Matiii!" Pangeran
Matahari berteriak lagi sambil memukuli kepala dan dadanya. "Kau harus
menyembuhkan aku.
Kau harus menolongku!"
"Maafkan aku, Pangeran. Kemampuanku terba-
tas. Bisa menolong menyembuhkan lukamu saja sudah satu mukjizat bagiku..."
"Kalau kau tidak bisa menolong lalu siapa yang bisa" Katakan! Beritahu aku!"
"Aku tidak bisa memberitahu karena memang tidak tahu siapa orangnya yang ahli
dalam penyembuhan syaraf yang rusak. Namun aku
pernah menyirap sebuah kabar. Ada satu ilmu pengobatan berdasarkan petunjuk
sebuah kitab."
"Kitab apa?"
"Apa kau pernah mendengar" Dalam rimba
persilatan ada sebuah kitab keramat bernama Kitab Seribu Pengobatan. Di dalam
kitab itu ada bagian yang menerangkan obat serta cara
penyembuhan untuk keadaan atau penyakit yang bakal kau alami."
"Di mana aku bisa menemukan kitab celaka
itu!" tanya Pangeran Matahari pula.
"Konon, kitab itu dimiliki dan disimpan oleh seorang nenek sakti yang diam di
puncak Gunung Gede. Namanya Sinto Gendeng..."
"Cukup!" bentak Pangeran Matahari. Lalu ter-
tawa tergelak-gelak.
Ki Tambakpati tegak terheran-heran. Tak ada yang lucu yang barusan diucapkannya.
Kalau otaknya tidak miring lantas mengapa manusia ini sampai tertawa gelak-
gelak" "Ki Tambakpati, aku pernah mendengar riwayat kitab itu. Belakangan aku dengar
kitab itu lenyap dicuri orang."
"Ah, sayang sekali. Kurasa kitab itu satu-satunya harapan penyembuhan bagi
dirimu." "Aku akan mencarinya sampai dapat. Walau
harus keluar masuk seribu pintu neraka! Begitu dapat, akan kubawa ke sini agar
kau bisa melaku-
kan pengobatan atas diriku!"
Ketika Pangeran Matahari balikkan badan hen-
dak berlalu, Ki Tambakpati cepat berkata. "Ada satu hal lagi, Pangeran."
Pangeran Matahari tahan langkahnya. "Apa?"
"Dalam tubuhmu mengindap sejenis racun
yang membuat dari hidung dan mulutmu selalu keluar asap tipis berwarna
kemerahan. Obat yang kau minum tadi malam ternyata tidak bisa mele-
nyapkan racun itu. Aku sarankan agar kau beru-
saha mengunyah dan menelan daun sirih serta bawang putih sebanyak yang bisa kau
lakukan. Itu obat yang paling mudah dicari untuk bisa memusnahkan racun. Selama racun
jahat hanya mendekam sebatas leher ke bawah tidak ada bahayanya bagimu. Namun
jika sempat naik ke kepala bisa merusak otak. Kau bisa gila."
Pangeran Matahari pandangi wajah orang tua di depannya sesaat lalu tertawa
gelak-gelak. "Aku memang sudah gila! Kau ikutan membuatku gila!"
Habis berkata begitu Pangeran Matahari ambil Bendera Darah yang masih menancap
di lantai gubuk lalu tinggalkan tempat itu.
Sesaat setelah sang Pangeran lenyap di kejau-
han, Ki Tambakpati baru ingat pada kuda yang masih tertambat di pohon halaman
depan gubuk. "Aneh, mustahil dia tidak ingat pada binatang itu. Lebih mustahil lagi jika dia
tidak ingat pada kantong kulit berisi madat yang tergantung dekat pelana. Apa
arti semua ini" Mungkin kuda itu bukan miliknya. Dia merampas di tengah jalan,
tanpa sadar ada barang luar biasa berharga di atas kuda itu. Berarti kantong
kulit berisi madat itu juga bukan miliknya. Atau seperti katanya mungkin dia
sudah benar-benar gila hingga tidak ingat lagi dengan kuda dan kantong kulit?"
WIRO SABLENG 8 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ALAU jelas ngorok, namun dalam tidur
lelapnya kakek berjuluk Setan Ngompol
Witu tiada henti usap-usap daun telinga
kanannya yang lebar dan terbalik. Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang mengejutkan
dia tersen- tak bangun. Duduk di lantai dangau, tangan ka-
nan masih mengusap daun telinga sedang tangan kiri menekap bagian bawah perut
yang perlahan-lahan mulai kucurkan air kencing.
Gerakan bangun dan duduknya Setan Ngompol membuat lantai yang terbuat dari bambu
reyot keluarkan suara berderik. Suara ini menyebabkan Pendekar 212 Wiro Sableng
yang juga ada di dangau itu terbangun dari tidurnya.
"Kek, ada apa" Bangun-bangun kau seperti
orang bingung?" tegur Wiro.
"Anu, aku mau ke telaga. Mau cuci muka."
Agak jauh dari situ memang ada sebuah telaga di bagian pedataran berbentuk
ceguk. "Masih pagi, dingin dan gelap. Kenapa mau cuci muka?"
"Aku barusan mimpi." Jawab Setan Ngompol.
"Kalau mimpi basah bukan mukamu yang di-
cuci tapi perabotanmu yang sudah rongsokan itu!"
kata Wiro pula lalu bangkit dan duduk di samping si kakek.
"Sialan. Siapa bilang aku mimpi basah. Aku mimpi tentang orang mati!"
"Siapa yang mati?" tanya Pendekar 212 pula.
"Kau bakalan kaget kalau aku sebutkan nama orangnya."
Wiro tertawa lebar. "Mungkin aku kaget tapi kau yang bakalan kucurkan air
kencing. Siapa yang kau mimpikan mati itu Kek?"
"Bidadari Angin Timur," jawab Setan Ngompol.
Dan benar saja, habis menyebut nama gadis itu si kakek langsung semburkan air
kencing. Wiro terdiam. Tatap wajah Setan Ngompol be-
berapa lama lalu berkata. "Aku lihat tampangmu tidak bohong. Ceritakan mimpimu
itu Kek." "Aku berada di tepi sebuah jurang. Udara
cerah, langit biru polos. Tiba-tiba keadaan ber-
ubah. Mendung tebal di mana-mana. Dalam kege-
lapan mendadak jauh di depanku ada cahaya terang. Makin lama cahaya itu makin
dekat. Ketika kuperhatikan cahaya itu ternyata adalah sosok Bidadari Angin Timur yang
mengenakan pakaian dan berdandan seperti pengantin. Dada-
nya penuh dengan kalungan bunga tujuh warna.
Sayup-sayup aku mendengar suara gamelan di-
tabuh serta suara sinden menyanyi. Bidadari Angin Timur tersenyum padaku.
Lambaikan salah satu tangannya. Lalu hujan lebat turun. Bersa-
maan dengan itu sosok Bidadari Angin Timur melayang menjauh dan akhirnya
lenyap." Wiro terdiam beberapa ketika lalu berkata.
"Kau bermimpi melihat Bidadari Angin Timur ber-
dandan dan berpakaian seperti seorang pengantin.
Lalu mengapa kau mengatakan gadis itu mati?"
"Dengar anak muda. Dalam pengertian orang tua-tua, jika kita mimpi melihat
seseorang jadi pengantin, lelaki atau perempuan, maka orang itu telah tiada
alias mati, atau akan segera menemui kematian."
"Kau membuat hatiku jadi tidak enak, Kek..."
"Aku mau cuci muka dulu di telaga."
Wiro tarik bahu pakaian Setan Ngompol hingga kakek ini tidak bisa bergerak turun
dari dangau. "Kek, terakhir sekali kau berada bersama gadis itu. Dia tidak pernah muncul
sewaktu para saha-
bat menyerbu 113 Lorong Kematian. Kau masih ingat saat-saat terakhir bersamanya.
Mungkin kau juga tahu ke mana perginya gadis itu?"
"Semua kekacauan itu hingga urusan jadi kapi-
ran begini adalah gara-garamu..."
"Enaknya kau menyalahkan diriku..."
"Waktu terakhir kali aku bersamanya yaitu menjelang keberangkatan menuju lorong
kemati- an, Bidadari Angin Timur dapatkan beberapa gadis cantik sudah ada di tempat itu.
Dia langsung cemburu. Dia merasa apa perlunya berada di tem-
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pat itu dan ikutan ke lorong kematian..."
"Siapapun yang ada di sana waktu itu, terma-
suk para gadis, mereka adalah sahabatku. Seha-
rusnya Bidadari Angin Timur tidak mengambil sikap seperti itu," kata Wiro sambil
garuk-garuk kepala. "Lalu kau tahu ke mana dia pergi dari tempat itu" Kau masih
tidak mau cerita di mana dan bagaimana terakhir kali kau bertemu dengan Bidadari
Angin Timur?"
"Aku dan Ratu Duyung," kata Setan Ngompol pula. "menemui Bidadari Angin Timur di
satu hu- tan kecil tak jauh dari jurang di bagian belakang bukit batu markas manusia
pocong. Dia duduk di tanah, sandarkan diri pada sebatang tumbangan pohon.
Sepertinya dia baru habis menangis. Kami menanyakan apa yang terjadi. Namun
gadis itu tidak menjawab dan alihkan pembicaraan pada hal lain. Katanya
sebelumnya dia bersama Jati-
landak. Pemuda itu kemudian pergi seorang diri menuju 113 Lorong Kematian. Dia
juga mencerita-
kan melihat dirimu didorong masuk ke dalam jurang oleh seorang nenek cebol. Aku
tidak meng- ada-ada. Tapi di wajahnya yang murung tidak terlihat bayangan rasa khawatir. Aku
dan Ratu Duyung justru melihat ada bayangan rasa tidak enak dalam dirinya
terhadap kehadiran kami. Aku dan Ratu Duyung lalu tinggalkan gadis itu. Nah, itu
kali terakhir aku bertemu dengan Bidadari Angin Timur."
Lama Wiro terdiam mendengar penuturan
Setan Ngompol itu.
"Aku ingat, satu kali kami bertemu, Bidadari Angin Timur pernah memberi semacam
petunjuk. Katanya dia mungkin bisa menduga di mana
beradanya Kitab Seribu Pengobatan. Saat itu aku kurang menaruh perhatian karena
tengah meng- hadapi urusan besar dengan manusia-manusia pocong 113 Lorong Kematian. Agaknya
saat ini aku harus mencari gadis itu untuk mendapat keterangan lebih lanjut."
"Tapi bagaimana kalau dia memang sudah
tidak ada lagi di dunia ini. Seperti yang tersirat dalam mimpiku," kata Setan
Ngompol pula. "Tidak baik berucap seperti itu," kata Wiro pula sambil pelintir telinga kiri si
kakek hingga yang dipelintir meringis kesakitan. Ketika Setan Ngom-
pol turun dari dangau menuju ke telaga, Wiro tidak lagi mencegah, namun tak
selang berapa lama tiba-tiba Setan Ngompol muncul kembali dengan muka pucat
nafas terengah. Dia tarik tangan Wiro Sableng, hingga pemuda ini terpaksa turun
dari dangau. "Ada apa" Kau seperti melihat setan!" ucap Wiro.
"Mungkin! Tapi aku berdoa mereka bukan
setan benaran. Tapi manusia betulan. Soalnya keduanya cantik-cantik..."
"Kau lagi ngaco atau bagaimana, Kek?"
"Dengar, aku hanya melihat kepala. Aku tidak dapat melihat badan mereka. Apa
punya badan atau tidak, aku belum tahu. Aku mengajakmu sama-sama nyebur ke dalam
telaga." Wiro pegang lagi telinga lebar si kakek, dipelin-
tir sedikit hingga orang tua itu kembali meringis kesakitan dan pancarkan air
kencing. "Bicara yang betul. Jangan sepotong-potong membuat aku tidak mengerti!"
Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perut-
nya. Setelah muncratkan air kencing dua kali ber-
turut-turut dia lalu berkata. "Waktu aku mau mencuci muka di telaga, mendadak
aku lihat ada dua kepala mengapung di permukaan air. Semula kukira kepala setan.
Ternyata kepala dua perem-
puan muda cantik-cantik. Rambut dikonde apik di atas kepala, wajah dipoles bedak
dan gincu merah di bibir. Sepasang alis hitam kereng. Di dalam air aku lihat
keduanya bicara berbisik-bisik. Seben-
tar-sebentar sepasang mata mereka memandang ke arah pinggiran telaga. Mungkin
mereka sudah tahu kehadiranku di tempat itu tapi malu me-
manggil mengajak mandi bersama. Hik... hik...
hik! Kau mau ikut aku ke telaga" Berkenalan dan mandi sama-sama dua perempuan
cantik itu?"
"Kek, pergunakan otak warasmu. Mana ada
perempuan cantik malam buta menjelang pagi begini mau mandi berendam dalam air
telaga yang dinginnya seperti es. Pasti mereka mahluk jejadi-
an. Kalau kau tidak percaya silahkan pergi sendiri.
Masuk ke dalam telaga, dekati keduanya."
"Ah, kau membuat aku takut saja. Padahal ini satu kesempatan. Kasihan keduanya
kedinginan. Kalau bersama kita pasti bisa berhangat-hangat.
Hik... hik... hik."
Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-tiba ulurkan tangan menutup mulut si kakek hingga
suara tawa cekikikannya serta merta berhenti. Wiro lalu tarik kakek ini ke balik
semak belukar di samping kiri dangau.
"Ada apa...?" bisik si kakek sambil muncratkan air kencing.
Wiro goyangkan kepalanya ke depan. Setan
Ngompol berpaling tepat pada saat dua orang ber-
pakaian serba hitam tiba-tiba muncul berkelebat dan berdiri sepuluh langkah di
depan dangau. "Aku barusan mendengar seperti ada orang
tertawa..." lelaki tinggi besar di sebelah kanan berkata sambil memandang
berkeliling. Kawannya yang memanggul sebuah kantong
kulit ikut pula memperhatikan keadaan sekitar-
nya. "Suara angin di tempat sepi begini bisa menyerupai suara orang bahkan suara
setan tertawa," katanya. "Rakadanu, lihat di sana ada dangau. Bagaimana kalau
kita istirahat barang se-
bentar. Bahuku pegal sekali membawa lari beban seberat ini."
"Sobatku Galirenik, kita tengah menjalani tugas luar biasa penting. Ayal sedikit
saja bisa meng-
undang bahaya. Jika kau letih biar aku yang ganti membawa barang itu. Yang
penting kita harus segera sampai di keraton secepatnya!"
Walau mengkal tapi orang bernama Galirenik terpaksa ikuti ucapan temannya. Namun
kedua- nya hanya sempat melanjutkan lari sekitar duapu-
luh langkah. Ketika sampai di sisi telaga, seko-
nyong-konyong air telaga muncrat ke atas. Dua buah benda melesat ke udara
menyipratkan air lalu sttt... stttt! Di lain kejap dua benda itu yang bukan lain
dua perempuan muda yang tadi dilihat Setan Ngompol berendam dalam telaga tahu-
tahu sudah berdiri di hadapan dua orang lelaki ber-
pakaian dan berblangkon serba hitam yakni Raka-
danu dan Galirenik.
Tentu saja kedua lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget. Hentikan lari
dan mengambil sikap penuh waspada. Namun ketika menyadari yang menghadang mereka
ternyata adalah dua orang gadis berwajah cantik, keduanya segera saja menebar
senyum. Apa lagi pakaian basah menem-
pel ketat di tubuh mereka membuat liuk liku tubuh dua gadis itu terlihat jelas.
"Sahabatku Raka," kata Galirenik. "Agaknya ki-
ta memang perlu istirahat dulu barang sebentar."
"Kalau begini urusannya, istirahat sampai pagi pun aku tidak menampik!" jawab
Rakadanu. Lalu kedua orang lelaki itu tertawa gelak-gelak.
Ketika mereka hentikan tawa, gadis di sebelah kiri yang mengenakan pakaian merah
mengangkat dagu sedikit lalu membuka mulut.
"Apakah kalian sudah puas tertawa?"
Ditanya begitu Rakadanu dan Galirenik saling pandang lalu kembali tertawa. Malah
lebih keras. Dua orang gadis cantik berpakaian basah tetap tak bergerak di tempat, tenang-
tenang saja mem-
perhatikan polah tingkah dua lelaki tinggi besar yang tengah tertawa. Sesaat
kemudian suara tawa dua lelaki itu berubah perlahan dan akhirnya sirap sama
sekali. "Hemmm... sudah puas mereka tertawa." Kini dara berpakaian biru keluarkan ucapan
ditujukan pada temannya si baju merah.
"Ketahuilah!" gadis berpakaian merah me-
nyambung ucapan si biru. "Tawa kalian berdua tadi adalah tawa terakhir sebelum
kalian menjadi mayat!"
"Oo hebatnya!" teriak Rakadanu.
"Mati barengan satu kubur dengan kalian aku pasrah saja!" kata Galirenik pula.
Lalu kembali umbar tawa bergelak.
"Ah, rupanya masih ada tawa tambahan. Tidak apa. Ada satu syarat menguntungkan
bagi kalian. Kalian tidak akan jadi mayat malam ini asalkan menyerahkan kantong kulit itu
pada kami!"
Kini kagetlah Rakadanu dan Galirenik. Mereka benar-benar tidak percaya kalau ada
dua gadis cantik di malam buta inginkan barang sangat ber-
harga yang mereka bawa.
Rakadanu berucap cerdik. "Kantong kulit itu hanya berisi pakaian bekas. Apa ada
gunanya bagi kalian?"
"Tidak apa. Pakaian baru atau bekas serahkan saja pada kami!"
Dua lelaki dari Keraton Kaliningrat itu mulai mencium ada yang tidak beres.
Galirenik yang membawa kantong kulit di bahu kiri berkata keras. "Kau inginkan
pakaian" Tanggalkan dulu pakaian kalian! Bertelanjang dulu di hadapan kami!
Nanti kami berikan pakaian pengganti yang bagus-bagus! Kalian mau berapa
pasang?" Dua gadis gelengkan kepala sambil leletkan lidah. Si merah berkata, "Kami tidak
suka guyo- nan cabul. Letakkan kantong kain di tanah lalu lekas minggat dari tempat ini.
Itu menyelamatkan kalian dari kematian!"
"Gadis-gadis keparat! Kau yang kami bantai lebih dulu! Sudah jadi mayatpun kami
tidak kece- wa menggauli kalian! Ha... ha... ha!"
"Ah, sahabatku Galirenik memang suka bicara jorok! Dua gadis cantik harap
maafkan kalau kami agak lancang. Mungkin kalian belum tahu siapa kami.
Perkenankan kami memperkenalkan diri!"
Kata Rakadanu pula.
"Tidak perlu! Dari gambar joglo dan keris ber-
silang di baju kalian kami sudah tahu siapa kalian berdua!" ucap gadis
berpakaian biru. Konde di kepala dilepas. Sekali kepala digoyang rambutnya yang
panjang hitam tergerai ke punggung,
menambah cantik wajahnya. "Kalian adalah dua monyet kesasar dari Keraton
Kaliningrat! Apa salah aku berucap?"
Dua lelaki tinggi besar karuan saja jadi
terkejut. Namun mereka pandai sembunyikan keterkejutan masing-masing.
"Rakadanu," bisik Galirenik. "Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres.
Sebaiknya kita tinggal-
kan tempat ini."
"Sahabat, jangan jadi pengecut. Dua santapan enak sudah terhidang di depan mata.
Kau mau pergi begitu saja?" balas Rakadanu juga berbisik.
Lalu dia berpaling pada gadis berpakaian biru.
"Dengar," katanya. "Jika kalian sudah tahu siapa kami, maka dengan segala
kerendahan hati kami mengundang kalian berdua untuk ikut ke Keraton Kaliningrat!
Kalian akan kami perlakukan lebih terhormat dari sepasang puteri Kerajaan!"
"Apakah undangan untuk kedua muridku juga berlaku bagi diriku?" Tiba-tiba satu
suara meng- gema dalam udara dingin dan gelap.
Di lain saat, dari atas sebuah pohon besar me-
lesat satu bayangan hitam disertai kepulan asap panjang berwarna hitam, biru,
dan merah. Ketika sosok itu menjejak tanah dan berdiri tepat di antara dua gadis
cantik, Rakadanu dan Galirenik langsung tersurut sampai dua langkah. Tampang
masing-masing berubah mengkeret.
Di samping dangau Setan Ngompol pancarkan air kencing sementara Pendekar 212
Wiro Sableng tertegun melongo, mata terbuka tak berkedip.
"Kek, kau kenal siapa adanya mahluk dahsyat yang barusan muncul ini?"
Setan Ngompol mana sempat menjawab. Saat
itu terbungkuk-bungkuk dia sibuk pancarkan air kencing.
WIRO SABLENG 9 KITAB SERIBU PENGOBATAN
RANG yang barusan muncul dan berdiri di
antara dua gadis jelita ternyata adalah
Oseorang nenek berpakaian baju dan celana panjang hitam ringkas. Kemeja bajunya
dihias dengan sulaman bunga warna putih. Meskipun sudah tua, mungkin berusia
sekitar tujuhpuluh, si nenek berdandan menor. Sepasang alis hitam kereng. Bedak
tebal licin dan pipi diberi merah-merah. Bibir yang runcing dilapis pewarna
merah mencorong. Dahsyatnya, di atas batok kepala nenek ini, di antara rambut
yang riap-riapan, menancap sepotong bambu kuning setinggi satu setengah jengkal.
Dari lobang bambu mengepul keluar asap berwarna hitam, biru, dan merah disertai
suara seperti perapian di tungku atau anglo pandai besi. Setiap dia membuka
mulut atau menyeringai kelihatan barisan gigi memancarkan warna berkilau.
"Hantu Malam Bergigi Perak!" Rakadanu dan Galirenik keluarkan seruan hampir
berbarengan. Si nenek tertawa cekikikan. Matanya yang belok berputar beberapa kali. "Bagus
kalian masih mengenali diriku. Sekarang katakan, cara mati bagaimana yang kalian
inginkan setelah berani memperhinakan dua muridku?"
Rakadanu dan Galirenik buru-buru jatuhkan diri berlutut di tanah. Kelihatan
kedua orang ini begitu takut terhadap si nenek yang disebut dengan Hantu Malam
Bergigi Perak. Rakadanu membungkuk berulang kali lalu
berkata. "Hantu Malam Bergigi Perak, kami berdua mohon maaf dan ampun. Kami
tidak pernah tahu kalau kedua gadis cantik itu adalah murid-murid-
mu. Kami berjanji tidak akan mengusik keduanya lagi..."
"Bagus! Kalian berdua mendapat pengampu-
nanku!" kata si nenek pula yang membuat terkejut kedua muridnya.
"Guru, mengapa..." gadis berpakaian biru
berkata tapi ucapannya terputus oleh isyarat gerak tangan si nenek.
"Terima kasih Nek, terima kasih..." kata Raka-
danu dan Galirenik berulang kali sambil mem-
bungkuk-bungkuk.
Si nenek tertawa cekikikan.
"Pengampunan itu tidak kalian dapat percuma!
Dasar manusia-manusia tolol!"
Rakadanu dan Galirenik tegakkan dada. Muka langsung pucat.
"Dua muridku telah meminta kantong kulit itu.
Mengapa kalian tidak mau memberikan?"
Perlahan-lahan dua orang dari Keraton Kali-
ningrat itu bangkit berdiri.
"Gali," bisik Rakadanu. "Murid dan guru sama saja. Ujung-ujungnya mereka minta
barang bawa- an kita." Galirenik maju satu langkah, membungkuk
dalam lalu berkata. "Hantu Malam Bergigi Perak, barang dalam kantong kulit itu
bukan milik kami.
Kami berdua hanya orang suruhan untuk memba-
wanya." "Nah, nah! Kalau barang bukan milik kalian lebih enak lagi kalian memberikannya
kepada kami!" ujar si nenek lalu tertawa terkekeh-kekeh.
"Tapi, Nek," kata Rakadanu pula. "Barang ini sama saja dengan nyawa kami berdua.
Mana mungkin kami memberikan?"
Si nenek geleng-geleng kepala. "Jalan pikiran kalian tidak waras! Barang itu
kalian anggap seba-
gai nyawa. Lalu nyawa kalian benaran di mana"
Dalam dubur kalian" Hik... hik... hik..."
"Nek, kami tidak mungkin memberikan barang ini. Kalau saja kau meminta yang
lain..." "Ah... Baik, baik! Sekarang aku minta kalian mencongkel jantung masing-masing
dan menye- rahkan padaku!" kata si nenek sambil berkacak pinggang dan delikkan mata.
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tua bangka sinting!" maki Rakadanu tapi
cuma dalam hati.
"Hantu Malam Bergigi Perak," Galirenik yang bicara. "Kalau... kalau kau kelewat
mendesak dan tidak memberi jalan lain, kami berdua terpaksa mengadu jiwa."
Kantong kulit diikatkannya erat-erat ke punggung. Rakadanu bersiap-siap.
"Kalian sudah mengambil keputusan!" si nenek angguk-anggukkan kepala. "Murid-
muridku, habi- si dua kaki tangan pemberontak itu! Jangan ada yang bersisa dari tubuh mereka.
Amankan kan- tong kulit dan isinya."
Mendengar perintah sang guru, dua gadis
cantik segera siap menerjang. Namun tiba-tiba ada satu bayangan melesat ke
tengah kalangan diser-
tai mengumbarnya bau pesing.
Si nenek dan dua muridnya sampai tersurut beberapa langkah sementara Rakadanu
dan Gali- renik tak kalah kagetnya.
"Nenek berwajah cantik, biar aku dan temanku mewakili murid-muridmu menangkapi
kedua orang ini!"
Hantu Malam Bergigi Perak maju satu langkah.
Leher dipanjangkan, mata belok dibuka lebih lebar dan hidung dipencet menutup
penciuman. "Kakek bau pesing! Kau mengganggu kesena-
nganku dan murid-murid. Apa kepentinganmu mencampuri urusan orang lain" Siapa
kau?" "Maaf kalau aku bertindak lancang. Namaku sudah lama tidak kuingat lagi. Orang-
orang me- manggilku Setan Ngompol. Nama besarmu sejak lama ada dalam ingatanku. Sungguh
satu kebaha- giaan kalau saat ini aku bisa bertemu denganmu.
Sebagai salah seorang pengagummu, apa salahnya aku membantu menyelesaikan
urusanmu dengan dua cecunguk ini."
"Kakek kuping terbalik! Dengar! Aku tidak butuh pengagum. Apa lagi pengagum yang
celana- nya lepek basah oleh air kencing. Menebar bau pe-
sing ke mana-mana. Apa sangkut pautmu dengan si nenek bau pesing bernama Sinto
Gendeng?" "Dia sahabatku. Sama-sama tua bangka," kata Setan Ngompol pula.
"Oo begitu...?"
"Muridnya ada di sini. Masih malu unjukkan diri!" sambung Setan Ngompol pula.
"Oo... Di mana dia bersembunyi?" tanya Hantu Malam Bergigi Perak sambil
layangkan pandangan ke tempat gelap.
Selagi nenek dan kakek itu asyik bicara, Raka-
danu dan Galirenik pergunakan kesempatan un-
tuk kabur tinggalkan tempat itu. Tapi belum ber-
gerak sampai dua langkah tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat menghadang.
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Dalam kaget dan juga marah karena tidak
menyangka ada orang lain lagi menghalangi gerakan mereka, Rakadanu dan Galirenik
serentak lancarkan serangan. Rakadanu memukul ke arah pangkal leher sebelah
kanan sedang Galirenik menghantam ke arah pangkal leher sebelah kiri.
Serangan yang dilancarkan dua pentolan Keraton Kaliningrat itu luar biasa
berbahayanya yang disebut Keris Silang Memangkas Puncak Gunung.
Jangankan leher manusia, batu sekalipun akan buntung pupus dibuatnya!
Murid Sinto Gendeng turunkan bahunya sedi-
kit, dua kaki menekan tanah. Bersamaan dengan itu dua lengan melesat ke atas.
Bukkk! Bukkkk! Rakadanu dan Galirenik walau terjajar tiga langkah namun sama sekali tidak
mengalami cidera. Dengan cepat keduanya mengimbangi diri.
Didahului teriakan keras keduanya kirimkan tendangan ke arah Wiro yang akibat
bentrokan pukulan tadi jatuh terduduk di tanah, lengan kiri kanan laksana
dihantam pentungan.
Wutt! Wutt! Dua tendangan sama-sama mencari sasaran di kepala Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro putarkan tubuhnya demikian rupa lalu jatuhkan diri ke tanah. Dua tendangan
lawan lewat di samping kepalanya. Tidak disangka oleh Rakadanu dan Galirenik,
dalam keadaan berba-
ring Wiro tendangkan kaki kiri kanan ke belakang.
Bukkk! Kaki kiri mendarat di kening Rakadanu.
Dukkk! Kaki kanan menghantam telak dada Galirenik.
Kedua orang yang kena tendang itu tak ampun lagi terpental dan terguling di
tanah. Tapi luar biasanya bukan saja kepala dan dada mereka tidak cidera barang
sedikitpun, malah sambil menyeringai keduanya bangkit berdiri lalu sama
melangkah mendekati Wiro dengan mata menyala marah.
"Kakek bau pesing!" nenek Hantu Malam Ber-
gigi Perak menegur Setan Ngompol. "Apa pemuda berpakaian putih itu yang kau
sebut sebagai murid Sinto Gendeng?"
"Benar!" jawab Setan Ngompol. "Namanya
Wiro," menambahkan si kakek sambil melirik ke arah dua gadis yang saat itu
tengah mengerling memperhatikan Wiro.
"Dia akan mati konyol kalau tidak tahu kelema-
han ilmu kebal dua lawannya!"
"Kalau begitu saatnya aku membantu!" ucap Setan Ngompol.
"Kaupun akan mereka lumat sampai ke
kantong menyanmu!" kata si nenek pula.
Serrr! Setan Ngompol tekap bagian bawah perut tapi tak urung air kencingnya
terpancar juga.
"Nek, kalau begitu tolong beritahu rahasia kelemahan mereka!"
"Puah! Siapa sudi! Enak betul! Cari sendiri!"
jawab Hantu Malam Bergigi Perak. Lalu dia ber-
paling pada kedua muridnya yakni sepasang gadis cantik berpakaian merah dan
biru. "Perlihatkan pada dua orang yang katanya tokoh rimba persi-
latan tanah Jawa ini bagaimana kalian menghabisi dua lawan!"
Dua gadis membungkuk hormat. Lalu didahu-
lui teriakan nyaring si merah dan si biru melesat ke udara. Selagi tubuh
melayang di udara kedua-
nya hantamkan tendangan ke arah punggung
Rakadanu dan Galirenik yang tengah mendekati Wiro.
Mendengar ada sambaran angin di belakang, Rakadanu dan Galirenik cepat membalik
sambil hantamkan dua tangan sekaligus.
Duukkk! Duuukkk! Dua tendangan yang tadinya akan menghantam punggung, kini lewat sela-sela
lengan, mendarat telak di dada Rakadanu dan Galirenik, tepat di arah jantung!
Kedua lelaki tinggi besar ini terlontar sampai satu setengah tombak. Mulut
semburkan darah segar. Tubuh masing-masing kemudian terbanting ke tanah.
Sengketa Guci Pusaka 2 Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam Keranda Maut Perenggut Nyawa 3