Pencarian

Makam Ke Tiga 1

Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga Bagian 1


WIRO SABLENG 212
MAKAM KE TIGA KARYA :BASTIAN TITO
"IBLIS PENCULIK! BERSIAPLAH MENERIMA
KEMATIAN! AKAN KUKIKIS SETIAP GUMPALAN
DAGING YANG MELEKAT Dl TULANG 8ELULANG
DALAM TUBUHMU!"
NENEK MUKA SETAN GONDORUWO PATAH HATI
BERSERU KAGET KETIKA DAPATKAN DIRINYA
TERBUNGKUS DALAM SERANGAN PEDANG YANG
MENABUR CAHAYA PUTIH MENYILAUKAN DAN
SAMBARAN HAWA DINGIN MENGGIDIKAN.
DENGAN CEPAT NENEK INI MELOMPAT
SELAMATKAN DIRI SAMBIL TANGAN KANANNYA
MELEPAS PUKULAN. LIMA SINAR HITAM MENDERU
KELUAR DARI LIMA KUKU.
Hak cipta dan copy right pada
pengarang dibawah lindungan
undang-undang Wiro Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R.I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merek dibawah nomor 004245
SATU SEBAGAIMANA diceritakan dalam Episode
sebelumnya (Gondoruwo Patah Hati) untuk
menyelamatkan diri dari kurungan orang-
orang Kerajaan, Pendekar 212 Wiro Sabieng
melarikan diri dengan mencuri dan mempergunakan kuda besar milik Patih Selo
Kaliangan. Wiro sengaja memencet kantong anggota rahasia kuda itu hingga dalam
sakit luar biasa binatang ini merasa kepala dan sekujur tubuhnya seolah disengat
api lalu seperti kesetanan lari menuruni bukit teh, tak perduii arah, tak
perduii apapun yang menghadang di depannya.
Tak selang berapa lama Wiro sampai di kaki bukit.
Kuda yang ditunggangi mulai memperlambat lari.
Mungkin keletihan, bisa juga karena rasa sakit sudah berkurang. Senyum-senyum,
tapi juga berbalik kasihan Wiro usap-usap tengkuk kuda itu. Walau udara dingin
bukan main namun tubuh Wiro dan kuda yang ditungganginya basah oleh keringat.
Di satu tempat Wiro kembali mengusap leher kuda. Saat itu untuk pertama kali dia
melihat kalau binatang ini berlari agak pincang. Wiro hentikan kuda itu lalu
melompat turun. Ketika diperiksa ternyata ada cidera di salah satu kaki binatang
itu. Wiro kerahkan tenaga dalam, mengalirkannya ke kaki yang cidera. Lalu dia
mengelus-elus dan meniup-niup kantong anggota rahasia si kuda hingga binatang
ini kedap-kedipkan mata dan meringkik halus. Mungkin keenakan. Wiro
menyeringai. "Kuda baik..." kata Wiro sambil mengelus hidung kuda. "Kau telah menolong
menyelamatkan diriku.
Aku berterima kasih padamu. Sekarang kau boleh pergi kemana kau suka...." Wiro
tepuk pinggul kuda, tapi binatang ini hanya melangkah perlahan berputar-putar
lalu menggosok-gosokkan badan ke sebatang pohon, akhirnya merebahkan diri di
bawah pohon itu.
Wiro menggaruk kepala. "Apa yang harus aku lakukan sekarang. Kemana aku harus
pergi." Sang pendekar lalu ingat pada kejadian yang barusan dialaminya di puncak
bukit teh. Dalam pertempuran melawan Iblis Batu Hitam, Momok Dempet Tunggul Gono
dan Ki Sepuh Item dia memang berhasil membunuh Iblis Batu Hitam dan Tunggul
Gono. Tapi itu sama sekali tidak ada artinya dibanding dengan diculiknya Bunga
oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh.
"Makhluk kepala batu sialan itu! Gila betul! Ilmu jahanam apa yang dimilikinya.
Dia mampu membuat sosok Bunga leleh menjadi asap. Lalu menyedot dan memasukkan
ke dalam guci tembaga! Kemana aku harus mencarinya! Bagaimana aku harus
menyelamatkan Bunga!" Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala berulang kali.
Terdiam sesaat.
Lalu Wiro ingat. Kembali dia membatin. "Ketika tanah terbelah hampir melumat
bangsat bernama Ki Sepuh Item, ada penunggang kuda muncul
menolong. Aku rasa-rasa pernah melihat manusia itu sebelumnya. Tapi dimana..."!
Otakku seperti tidak mau bekerja lagi!" Wiro lalu pukul-pukul keningnya sendiri.
Saat itulah tiba-tiba Wiro mendengar satu suara.
"Suara isakan di malam buta. Siapa yang menangis"!" Pendekar 212 memandang
berkeliling. Pandangannya membentur sebuah pohon besar
sejarak dua puluh langkah di depart sebelah kiri.
Suara isakan datang dari balik pohon itu. Dengan hati-hati Wiro bergerak
mendekati pohon besar. Dia sengaja tidak melangkah langsung ke arah pohon, tapi
bergerak agak menjauh ke kanari. Murid Eyang Sinto Gendeng ini selalu ingat
pengalaman. Jika menemui keanehan, bukan mustahil di balik
keanehan itu tersembunyi malapetaka bahkan maut.
Ada orang menangis di malam buta, di tempat begitu rupa, bukankah ini satu
keanehan" Karena itu sebaiknya dia berjaga-jaga, berlaku hati-hati. Di satu
tempat Wiro membungkuk, berlindung di balik semak belukar rendah.
Dari balik semak belukar Wiro melihat seorang berjubah hitam, berambut panjang
kelabu duduk di bawah pohon. Dua kaki dilipat ke atas, kepala diletakkan di atas
ujung lutut. Setelah sekian lama sembunyi menunggu, suara isak tangis orang di
bawah pohon bukannya reda, tapi semakin keras.
Wiro garuk-garuk kepala sambil berpikir-pikir apakah dia perlu mendatangi orang
yang menangis itu dan menyapanya.
"Suara tangisnya semakin keras dan pilu. Jika tidak ada satu hai yang sangat
mengganjal hati pasti orang itu tidak akan menangis di tempat begini sepi, malam
hari pula. Dari rambutnya yang kelabu keputihan jelas dia seorang perempuan
lanjut usia."
Setelah bimbang dan menunggu sebentar
akhirnya Wiro bangkit berdiri. Dia melangkah ke arah pohon. Empat langkah dari
sosok orang yang menangis Wiro berhenti. Suara isakan tangis tidak berhenti,
tapi dari tangan yang bergerak Wiro maklum kalau orang yang menangis tahu
kehadirannya. Maka setelah mendehem, dengan suara lembut dan sopan murid Sinto
Gendeng menyapa.
"Orang tua, gerangan kesedihan apakah yang membuatmu sampai menangis di malam
hari, di tempat terpencil begini rupa?"
Orang di bawah pohon terus saja menangis.
Seolah tidak mendengar teguran Pendekar 212.
"Jangan-jangan dia tuli," pikir murid Sinto Gendeng. Maka dia menegur sekali
lagi. "Orang tua, suara tangismu ikut mendatangkan kesedihan dalam diriku. Aku
tidak ingin mengganggumu. Tapi jika aku bisa membantu, hentikan tangismu. Jawab
pertanyaanku. Mengapa kau menangis di tempat ini.
Malam-malam begini?"
Tiba-tiba dua tangan yang terletak di ujung lutut bergerak keluar dari balik
rambut kelabu. Tangan yang sebelah kanan mendadak menyambar ke
depan. Lima larik sinar hitam mengeluarkan hawa dingin berkelebat dalam gelapnya
malam. "Breett!"
Wiro keluarkan seruan tertahan. Mukanya pucat.
Untung dia berlaku sigap. Hanya baju putihnya yang robek. Waktu tangan orang
menyambar dia cepat melompat mundur. Memandang ke depan dia meiihat bagaimana
jari-jari tangan yang menyerang itu memiliki kuku panjang berwama hitam. Dari
keadaan tangan orang Wiro segera maklum kaiau saat itu dia berhadapan dengan
seorang tokoh rimba persilatan berkepandaian tinggi. Sepuluh jari kuku yang
panjang hitam itu past! merupakan senjata andalan.
Tapi diam-diam Wiro jadi penasaran karena masih belum melihat wajah orang.
Rambut kelabu panjang riap-riapan menutupi mukanya.
"Orang tua...."
Ucapan Wiro terputus. Orang yang ditegur
bergerak mengangkat kepala. Kepala itu
digoyangkan. Rambut yang menutupi muka tersibak.
Ketika wajahnya dipalingkan ke arah Wiro, murid Sinto Gendeng ini melengak kaget
ialu bergerak surut due langkah.
Orang berjubah hitam berambut kelabu yang
menangis ternyata memiliki muka seram luar biasa.
Wajahnya wajah seorang nenek hancur-hancuran seolah wajah itu cacat bekas
dicacah! Tiba-tiba suara tangis nenek muka setan di bawah pohon sirap. Berganti dengan
suara tawa panjang.
Lalu ketika tawa panjang ini sirna, sosoknya bergerak dan tahu-tahu dia sudah
berdiri dua langkah di hadapan Wiro!
Wiro seperti mendadak mau kencing dan mundur lagi beberapa langkah. Dia jadi
ingat pada sahabatnya kakek berjuluk Si Setan Ngompol. Dalam hati dia membatin.
"Begini rasanya kalau mendadak kaget. Ingin kencing. Kalau Setan Ngompol hadir
di sini pasti kencingnya sudah mancur kalang kabut!"
"Tadi kau beraninya menegurku! Sekarang kau ketakutan seperti melihat seribu
setan! Hik... hik...
hik!" "Nek, aku tidak mengira...."
"Tidak mengira apa"!" bentak si nenek. "Tidak mengira kalau wajahku mengerikan
seperti ini"!"
Dalam kejut dan takutnya Wiro jadi bicara polos.
"Nek, terus terang memang baru sekali ini aku melihat orang berwajah luar biasa
seram sepertimu ini. Tapi rasa heran dan ingin tahuku lebih besar lagi dibanding
rasa takut. Tadi aku bertanya mengapa kau berada di tempat terpencil ini, malam-
malam begini menangis pilu."
"Kau sendiri mengapa bisa kesasar ke sini"
Begitu muncul mau tahu urusan orang lain!"
membentak si nenek.
"Maafkan aku Nek. Bukan maksudku mau tahu urusanmu. Tadi sudah kubilang. Suara
tangismu ikut mendatangkan kesedihan dalam hatiku!"
Si nenek tertawa panjang mendengar ucapan Wiro.
"Kenal tidak, bukan sanak bukan kandangmu, bukan ibu bukan nenekmu! Mengapa kau
bisa ikut-ikutan sedih"!"
"Nek, aku cuma bermaksud baik...."
"Bermaksud baik! Laki-laki semua sama saja!
Tidak muda tidak tua! Punya sifat suka merayu! Anak muda, kalau ingin bicara
manis merayu perempuan, cari gadis muda! Jangan merayu diriku yang sudah tua
bangka begini rupa!"
Wiro tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. "Nenek gila! Siapa yang merayu
dirinya! Setan beneranpun tidak akan mau merayunya!"
"Kau tertawa! Apa yang kau tertawakan! Ayo katakan! Apa yang kau tertawakan!" Si
nenek tiba-tiba membentak.
"Aku tertawa karena apa yang kau ucapkan tadi betui adanya, Nek. Mengapa aku
merayu dirimu yang tua bangka begini rupa. Lebih baik merayu gadis cantik! Nah
aku pergi dulu Nek. Aku mau mencari gadis cantik untuk dirayu!" Habis berkata
begitu murid Sinto Gendeng kerutkan hidung dan kedip-kedipkan mata lalu memutar
badan siap melangkah pergi.
Si nenek melirik ke arah kuda besar di kegelapan, memperhatikan pakaian Wiro
yang robek. Bukan cuma robek bekas sambaran kukunya tadi. Dengan cepat nenek ini
melompat menghadang gerakan Wiro.
"Aku tahu kau datang menunggang kuda besar itu. Aku juga mengenali, kuda dengan
dandanan seperti itu bukan kuda sembarangan. Hanya ada di Keraton. Pakaianmu
robek besar di bagian perut.
Hemm.... Anak muda, kukira kau bukan ma.nusia baik-baik. Kau mencuri kuda
Istana, meiarikan diri.
Mungkin sebelumnya teiah melakukan satu
kejahatan hingga ada yang menyerangmu. Untung hanya bajumu yang robek, tidak
perutmu!" "Nek, matamu tajam, otakmu cerdik. Aku tidak membantah. Kuda itu milik Patih
Kerajaan. Terpaksa aku curi untuk selamatkan diri...."
"Nah, nah! Betul rupanya dugaanku! Sekarang katakan kejahatan besar apa yang
telah kau lakukan hingga meiarikan diri dengan mencuri kuda Patih Kerajaan?"
"Aku tidak melakukan kejahatan apa-apa.
Beberapa tokoh culas Istana memf itnah, menuduhku yang bukan-bukan!"
"Hemm, begitu?" Si nenek menyeringai. "Aku jadi curiga padamu. Coba katakan. Apa
fitnah dan tuduhan yang bukan-bukan itu?"
"Ah, kau seperti tengah menyelidikiku! Tapi tidak ada salahnya kujawab semua
pertanyaanmu. Pertama aku dituduh membunuh perempuan muda bernama Kinasih, istri mendiang juru
ukir Keraton bernama Sura Kalimarta...."
"Padahal kau memang membunuh perempuan itu bukan" Hik... hik... hik!" si nenek
kembali menyeringai lalu tertawa cekikikan.
Wiro menggeleng. "Aku malah juga dituduh sebagai pembunuh juru ukir itu! Sial!
Dan katanya juga harus ikut bertanggung jawab atas ienyapnya keris pusaka
Keraton bernama Kiai Naga Kopek! Gila!"
"Siapa yang gila"!" tanya si nenek.
"Patih Kerajaan! Para tokoh silat Istana!" jawab Wiro.
Si nenek manggut-manggut lata tertawa panjang.
Begitu tawanya lenyap dia berkata.
"Kalau kau tidak membunuh Kinasih dan suaminya lalu siapa yang melakukan" Setan"
Kalau kau tidak mencuri keris Kiai Naga Kopek lalu siapa yang melakukan" Setan"!
Hik... hik... hik!"
"Siapa pembunuh Kinasih dan suaminya mana aku tahu! Kalau keris pusaka Keraton
itu memang aku pernah melihatnya. Dirampok oleh Warok Mata Api dari Alas Roban.
Lalu dijarah oleh seorang pemuda tak dikenal!" Tiba-tiba saja saat itu Wiro
ingat. "Astaga!" Wiro berseru tertahan.
"Apa yang astaga!" tanya si nenek.
Wiro tak menjawab. Kepalanya digaruk berulang kali. Mulutnya berucap perlahan.
"Aku ingat kini!
Orang berpakaian kuning bercelana hitam,
menunggang kuda coklat, yang menyelamatkan Ki Sepuh Item! Dia adalah pemuda yang
sama yang membunuh Warok Mata Api dan anak buahnya! Yang menjarah kotak-kotak
barang perhiasan dan uang emas milik Keraton. Termasuk yang merampok keris Kiai
Naga Kopek. Waktu itu aku dan Kinasih menyaksikan dengan mata kepala sendiri!
Kalau tidak salah dia mengaku bernama Damar Wulung."
(Baca Episode sebelumnya berjudul "Roh Dalam Keraton")
Si nenek muka setan memperhatikan kelakuan Wiro yang bicara perlahan seorang
diri. "Bangsat gondrong ini kurang waras otaknya rupanya..." kata si nenek dalam
hati. Lalu kembali dia membentak.
"Gondrong otak miring! Racau apa yang barusan keluar dari mulutmu! Apa yang
astaga"!"
"Pencuri keris pusaka itu Nek. Aku ingat, aku tahu orangnya!"
"Siapa"!" si nenek delikkan mata.
"Seorang pemuda bernama Damar Wulung. Kau kenal atau mungkin pernah tahu
orangnya?"
Nenek muka setan gelengkan kepala. "Kau sengaja menuduh orang lain, untuk
menghindari diri dari tuduhan dan kejahatanmu sendiri."
"Terserah kau mau bicara apa. Aku tak ingin mengganggumu lebih lama. Aku mau
pergi saja...."
"Kau takut orang-orang Kerajaan akan
memergokimu di sini?"
"Selama aku tidak bersalah, aku tidak takut pada siapapun," jawab Wiro tandas.
"Kau boleh pergi, tapi jawab dulu beberapa pertanyaanku!"
"Walah, dapat urusan lagi!" kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Baik Nek,
lekaslah. Apa yang hendak kau tanyakan."
"Kau pernah mendengar seorang bernama Rana Suwarte?"
"Tidak."
Si nenek terdiam. Dia seperti tengah berpikir-pikir.
"Pertanyaanmu cuma satu itu, Nek"''
"Menurutmu, apakah seseorang bisa kawin dengan orang yang tidak dicintainya?"
Wiro tidak menyangka ditanya begitu. "Nenek satu ini, aneh pertanyaannya. Nah,
nah! Biar aku permainkan dia."
"Nek, yang namanya orang itu, tentu saja bisa kawin dengan siapa saja! Namanya
juga kawin! Tapi kalau nikah, nah itu baru urusan lain! Tidak bisa sembarangan!"
"Pemuda kurang ajar! Yang aku maksud memang kawin secara benar! Nikah! Bukan


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawin-kawinan! Gondrong, kau pasti suka dan sering kawin-kawinan ya"!"
Wiro tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata.
"Kau tertawa! Berarti benar dugaanku!"
"Nek, kau pasti tengah menghadapi masalah rumit, sangat menyedihkan. Sampai-
sampai memencilkan diri di malam buta begini rupa, di tempat sepi seperti ini, menangis
berpilu-pilu."
"Pemuda geblek! Jangan kau berani bicara macam-macam! Nanti kujadikan semacam
kau baru tahu!"
Wiro tersenyum, tidak perdulikan ucapan orang.
"Nek, apakah orang bernama Rana Suwarte itu ada sangkut pautnya dengan semua
kesedihanmu saat ini" Apakah kau hendak menikah dengannya?"
Si nenek tergagau mendengar ucapan Wiro.
Matanya mendelik, tapi perlahan-lahan mengecil kembali. "Pemuda ini, tampangnya
tolol, otaknya rada-rada miring. Tapi bagaimana dia bisa menduga hubunganku
dengan Rana Suwarte?"
"Bocah gendeng! Siapa yang mau menikah dengan Rana Suwarte! Enak saja kau
bicara!" Wiro garuk kepala, tertawa lebar.
"Kalau bukan dengan dia, pasti dengan seorang lain. Tapi yang bernama Rana
Suwarte itu rupanya menjadi penghalang. Atau ada orang yang
memaksamu kawin dengan Rana Suwarte. Padahal kau mencintai seorang lain." Dalam
hati Wiro berkata. "Sudah tua bangka begini rupa, berwajah lebih angker dari
setan. Apa iya ada lelaki yang suka padanya?"
Tersirap darah si nenek mendengar ucapan murid Sinto Gendeng tadi. "Pemuda
sinting aneh. Bagaimana dia bisa menduga apa yang tengah terjadi dengan diriku!" kata si nenek
dalam hati. Wiro garuk lagi kepalanya, lantas berkata. "Nek, maafkan kalau kehadiranku
mengganggumu. Aku harus pergi sekarang. Kau boleh kembali ke bawah pohon sana
dan meneruskan tangismu tadi sampai tiga hari tiga malam. Ha... ha... ha!"
"Benar-benar kurang ajar! Jangan harap kau bisa pergi sebelum menjawab
pertanyaanku yang satu ini!"
Sekali berkelebat si nenek tahu-tahu sudah berada di depan Wiro. Lima jari
tangan kanannya yang berkuku panjang hitam mencengkeram di batang leher sang
pendekar. Wiro terkesiap sesaat lalu mulut usilnya kembali bicara.
"Walah, apalagi yang hendak kau tanyakan, Nek.
Hemm.... Aku tahu. Kau pasti mau menanyakan dimana tukang rias paling handal
yang bisa mendandanimu kalau nanti melangsungkan
pernikahan! Bukan begitu"!"
Nenek bermuka setan memaki panjang pendek.
Tapi kemudian wajahnya agak mesem-mesem lalu dia lepaskan cengkeraman lima jari
tangannya di leher Wiro dan tertawa gelak-gelak
"Apa pertanyaanmu Nek?" Wiro mendesak.
"Kau kenal dengan seorang bocah bernama Naga Kuning?"
Kagetlah murid Sinto Gendeng mendengar pertanyaan ini.
"Bola matamu kulihat membesar dalam gelap!
Berarti kau memang kenal dengan anak itu!"
"Lebih dari kenal Nek!" jawab Wiro.
"Hai! Apa maksudmu dengan ucapan itu"!"
Wiro melihat nenek di hadapannya seperti
tersenyum dan ada bayangan harapan di balik keseraman wajah setan itu.
* * * WIRO pandang wajah setan si nenek seketika lalu berkata. "Naga Kuning, bocah
konyol, dia sahabatku. Saat jni justru aku tengah
mencari-carinya."
"Naga Kuning sahabatmu katamu" Bagaimana mungkin pemuda dewasa sepertimu punya
sahabat seorang anak seusia duabelasan tahun...."
"Naga Kuning bukan anak sembarangan Nek.
Ilmunya tinggi. Selain itu kami bertiga...."
"Kami bertiga siapa maksudmu?" memotong si nenek.
"Aku, Naga Kuning dan seorang kakek bernama Setan Ngompol...."
"Setan Ngompol! Aku pernah mendengar nama kakek bau pesing itu! Lanjutkan
ceritamu, anak muda," kata si nenek muka setan.
"Karena senasib sepenanggungan, kami bertiga sudah sama mengangkat diri sebagai
saudara...."
"Hemm, rupanya ada satu kejadian besar yang membuat kalian saling mengangkat
jadi saudara. Kejadian apa?"
"Kalau kuceritakan, kau belum tentu mau percaya," kata Wiro pula.
Si nenek menyeringai. "Tergantung kadar kedustaan dalam ceritamu!"
Wiro berpikir sebentar. "Baiklah, tak ada salahnya kuceritakan padamu. Soal
percaya atau tidak itu urusanmu sendiri." Lalu murid Sinto Gendeng ini
menuturkan riwayat bagaimana dia, Naga Kuning dan Setan Ngompol terpesat ke
negeri Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun lalu.
"Ketika batu sakti Pembalik Waktu pecah dan Istana Kebahagiaan Hancur, semua
orang yang ada dalam Isana itu termasuk aku, Naga Kuning dan Setan Ngompol,
terlempar melesat ke udara seolah menjebol langit. Tahu-tahu aku jatuh terpesat
di satu bukit karang tak jauh dari Teluk Penanjung kawasan Pangandaran. Di situ
aku menemui beberapa orang tokoh aneh. Bahkan nyawaku hampir dihabisi oleh
sepasang momok berjuluk Momok Dempet Kaki
Kuda. Kemudian ketika aku mengalami nasib sial dibekuk dan dijebloskan ke
penjara Kerajaan, di penjara aku bertemu dengan sahabatku Setan Ngompol. Kalau
tidak ditolong seorang sahabat kami berdua tidak mungkin lolos."
"Hemm.... Bisa lolos dari penjara Istana bukan satu pekerjaan mudah. Tidak
sembarang orang mampu berbuat begitu, apalagi menyelamatkan dua orang sekaligus.
Aku jadi kepingin tahu, siapa sahabat yang menolongmu dan Setan Ngompol itu?"
Wiro tak segera menjawab tapi menggaruk kepala lebih dulu. Melihat hal ini si
nenek lantas berkata.
"Dari tadi aku melihat kau suka menggaruk-garuk kepala. Apa kau jarang mandi"
Mungkin cuma sekali setahun" Hik... hik! Pantas kau kelihatan gemuk, padahal
gemuk tebalnya daki! Hik... hik!"
Wiro menyeringai. "Kalau kau mau tahu Nek, sahabat yang menolong aku itu seorang
gadis cantik...."
"Nah... nah!"
"Tapi dia bukan manusia utuh. Setengah roh...."
"Makhluk halus jejadian?" ujar si nenek.
"Bisa dikatakan begitu."
"Luar biasa! Baru sekaii ini aku mengetahui ada anak manusia bersahabat dengan
gadis cantik setengah roh setengah manusia. Jangan-jangan kalian bukan cuma
bersahabat, tapi saling bercinta!
Eh, aku mau tanya anak muda. Jangan-jangan kau sendiri juga makhluk halus
jejadian."
Wiro tertawa lebar. "Asal aku berteman dengan setan tua sepertimu, aku tidak
keberatan kau sebut sebagai makhluk halus jejadian. Kabarnya setan dan makhluk
halus jejadian masih ada kaitan saudara!
Ha... ha... ha!"
"Hik... hik... hik!" Si nenek ikut tertawa cekikikan.
Diam-diam dia mulai merasa senang dengan pemuda yang baru dikenalnya ini.
"Aku masih mau melanjutkan ceritaku Nek. Kau masih mau mendengar?"
"Tentu-tentu!" jawab si nenek.
"Setelah lolos dari penjara aku dan Setan Ngompol berpisah. Aku sudah menemukan
Setan Ngompol, tapi belum ketemu Naga Kuning. Aku belum dapat memastikan apakah
anak itu ikut terlempar dan melesat kembali ke tanah Jawa ini."
"Aku malah sudah bertemu dengan dia. Sudah dua kali!" kata si nenek.
Wiro terkejut "Kalau kau sudah bertemu dengan bocah itu, mengapa dan apa perlunya bertanya
padaku?" "Dua kali berjumpa, dua kali muncul keraguan dalam hatiku. Karena sosoknya yang
kulihat dua kali itu bukan sosok yang pernah kukenal puluhan tahun silam. Sulit
dipercaya ada manusia bisa berganti wajah, apa lagi berubah bentuk
sosoktubuhnya. Aku khawatir kalau-kalau bocah itu bukan dia...."
"Dia siapa Nek?" tanya Wiro.
"Aku tidak bisa mengatakan padamu...."
"Rupanya ganjalan hidupmu sangat berat. Hingga kau tidak percaya begitu saja
pada semua orang, termasuk aku. Tapi kalau hidup tidak bisa
memberikan rasa percaya, kau bakal menghadapi banyak kesulitan Nek."
Si nenek menyeringai. Dia mendongak
memandang langit malam yang hitam gelap. "Dalam hidup kita memang tidak boleh
percaya polos-polos saja pada semua orang. Itu kalau mau selamat. Tapi dengar,
anak muda. Aku akan berterus terang dan bercerita lebih banyak padamu, asal kau
mau memberitahu kau ini sendiri siapa adanya. Tadi walau bajumu robek, tapi kau
telah sanggup menghindar dari serangan Lima Cakar Langit yang aku lancarkan.
Hanya sedikit saja tokoh silat di tanah Jawa ini yang sanggup selamatkan diri
dari serangan itu! Aku benar-benar ingin tahu siapa kau ini sebenarnya. Awas,
jangan berani berdusta!"
"Seperti kau lihat, aku seorang pemuda gondrong, yang katamu cuma mandi setahun
sekali, otaknya rada-rada miring dan badannya gemuk karena ketebalan daki!"
Si nenek tertawa lebar. "Anak tolol! Maksudku bukan itu! Sebagai manusia kau
tentu punya nama.
Kalau kau orang rimba persilatan tidak mustahil punya julukan. Kalau kau orang
hebat lantas siapa gurumu...."
"Apa kau juga ingin tahu apa aku sudah punya bini atau belum?"
"Menurut dugaanku kau belum punya bini. Tapi bini-binian mungkin banyak. Hik...
hik... hik!"
"Kalau aku katakan siapa diriku, apa kau juga mau menceritakan siapa dirimu?"
Si nenek muka setan mengangguk. "Aku berjanji, tapi dengan satu syarat kau tidak
akan mengatakan pada siapapun. Termasuk Setan Ngompol dan bocah bernama Naga
Kuning itu."
"Aku berjanji!" kata'Wiro pula. "Namaku jelek.
Wiro. Lebih jelek lagi karena ada tambahan nama Sableng di belakang nama Wiro
itu." Wajah setan si nenek berubah. Kakinya tersurut sampai beberapa langkah. Matanya
membeliak, menatap tak berkesip.
"Jadi, jadi kau... kau Wiro Sableng"!"
Wiro mengangguk.
"Si geblek yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
Wiro mengangguk lagi.
"Murid nenek kurang ajar bernama Sinto Gendeng yang diam di puncak Gunung Gede?"
Wiro pencongkan mulut mendengar gurunya
disebut sebagai nenek kurang ajar. Tapi kemudian kepalanya kembali dianggukkan.
"Waktu kecil, bukankah namamu sebenarnya adalah Wiro Saksana?"
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu nama asliku Nek?"
tanya Wiro. "Setan... setan!"
"Eh, mengapa kau memaki setan-setan segala Nek?" tanya Pendekar 212 heran.
Si nenek menjawab dengan tawa panjang.
Kepalanya didongakkan ke langit. Sepasang
matanya seolah ingin menembus kepekatan
gelapnya malam.
"Aku tahu namamu sejak kau berusia enam tahun."
Rasa heran Wiro semakin bertambah. "Waktu itu aku... aku berada di puncak Gunung
Gede," kata Wiro pula. "Apa... apa kau juga ada di sana?"
Si nenek geleng-gelengkan kepala.
"Ada satu kisah menyangkut dirimu pada masa puluhan tahun silam. Yang kurasa kau
sendiri tidak pernah mengetahui. Dan kurasa Sinto Gendeng juga tidak pernah
menceritakan."
"Kisah apa Nek?" tanya Wiro, heran dan ingin tahu.
"Selagi kau masih digembleng Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede, seorang
sahabat pernah datang ke tempat kediamanku. Waktu itu aku menetap di pantai
selatan. Sahabat itu memberitahu bahwa di tempat kediaman Sinto Gendeng di
Gunung Gede ada seorang anak kecil. Anak itu menurut pengamatannya memiiiki
susunan tulang, urat dan otot nyaris sempurna. Anak seperti itu suiit dicari.
Mungkin tidak akan ditemukan satu dafam seratus tahun. Di masa mendatang dia
kelak akan menjadi seorang pendekar besar. Sahabat itu ingin mengambilmu jadi
muridnya. Tapi tentu saja sulit terlaksana karena Sinto Gendeng sudah mengambil
si anak menjadi murid. Sahabatku lalu berniat menculik anak itu lalu membawanya
ke tempatku untuk digembleng bersama-sama. Anak itu adalah engkau yang waktu itu
masih bernama Wiro
Saksana." "Kalau aku boleh tahu, siapakah sahabatmu yang hendak menculik diriku itu?" Wiro
bertanya. "Namanya Sukat Tandika...."
"Sukat Tandika" Astaga"!" Wiro terkejut besar.
"Nek, bukankah dia si Tua Gila, tokoh rimba persilatan dari Andalas?"
Si nenek mengangguk.
"Aku tak pernah tahu. Juga tidak menyangka.
Eyang Sinto Gendeng tidak pernah menceritakan, mungkin beliau tidak tahu adanya
rencana penculikan itu. Aku sering bertemu dengan Tua Gila.
Malah ketika aku datang ke pulau Andalas, aku sempat bertemu dan diajarkannya
beberapa ilmu silat. Sebenarnya kalau Tua Gila punya niat baik, mengapa dia
tidak bicara langsung dengan guruku?"
(Mengenai riwayat pertemuan Wiro dengan Tua Gila pertama kali harap baca serial
Wiro Sableng berjudul
"Banjir Darah Di Tambung Tulang.")
"Pada saat kau diambil murid oleh Sinto Gendeng, antara gurumu dengan Tua Gila
masih ada silang sengketa gara-gara cinta di masa muda.
Setahuku Sinto Gendeng sangat mencintai Tua Gila.
Tapi lelaki itu meninggalkannya, terpikat dan kawin dengan seorang janda. Cinta
kasih Sinto Gendeng berubah menjadi sejuta kebencian. Bila ada kesempatan dia
ingin membantai Tua Gila. Untung saja belakangan dimasa tua antara keduanya
terdapat saling pengertian dan melupakan semua hal yang terjadi di masa muda.
Sejak patah hati dengan Tua Gila, kabarnya gurumu gentayangan kemana-mana,
bercinta dengan setiap pemuda gagah dan berilmu yang dijumpainya."
Lama Wiro terdiam mendengar kisah yang
dituturkan nenek muka setan itu. Setelah gelengkan kepala dan menggaruk Wiro
berucap. "Sekarang giliranmu Nek. Kau sendiri siapa adanya?"
"Rasanya aku tidak bisa mempercayai kalau saat ini benar-benar berhadapan dengan
Pendekar 212. Tapi baiklah. Aku harus memegang janji. Mengenai diriku, aku terlahir dengan
nama Ning Intan Lestari..."
Wiro tercengang mengetahui si nenek punya
nama demikian bagus. Tidak sesuai dengan keadaan mukanya yang seperti setan.
Dalam hati murid Sinto Gendeng ini berkata. "Kau ini rupanya keberatan nama Nek.
Nama bagus selangit tembus, tapi tampang jelek sebumi hangus!"
Melihat pemuda di hadapannya seperti terkesiap, si nenek tersenyum. "Aku tahu
apa yang ada di dalam benakmu. Hatimu mungkin berkata, bagaimana aku si muka
setan ini punya nama sebagus yang barusan aku katakan. Itulah kehidupan.
Terkadang kenyataan yang kita lihat tidak sesuai dengan keadaan yang kita
harapkan. Penglihatan mata tidak selalu sama dengan suara hati nurani...."
"Nek, kata orang apalah artinya nama. Lalu wajah yang buruk sepertimu tidak
seiamanya menyiratkan keadaan pribadi yang sesungguhnya. Kau boleh punya muka
setan namun hatimu mungkin lebih tulus, lebih bersih dan lebih baik dari seorang
bidadari...."
Si nenek tertawa panjang. Dalam hatinya ada sekelumit rasa bahagia mendengar
ucapan Wiro itu walau perasaan itu terbungkus oleh perasaan lain, yakni perasaan
sedih. "Di usia tua bangka seperti ini, orang-orang menjuluki aku Gondoruwo Patah Hati"
"Gondoruwo Patah Hati," mengulang Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Maaf Nek,
Gondoruwo rasanya memang cocok dengan keadaan wajahmu. Tetapi mengapa ada
tambahan Patah Hati?"
"Nasibku tidak jauh berbeda dengan gurumu Sinto Gendeng. Di masa muda aku pernah
bercinta dengan seorang pemuda. Kemudian dia lenyap begitu saja tanpa kabar
berita. Kalau Sinto Gendeng masih bisa menjalani hidup dan bercinta dengan siapa
saja yang disukainya, sebaliknya aku memencilkan diri. Tak ada keinginan untuk
mencari pemuda lain, apalagi menjalin cinta kasih baru. Aku seolah-olah sirna


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari rimba persilatan. Hanya ada satu dua tokoh yang mengetahui keadaanku dan
dimana aku berada. Merekalah yang memberikan gelar Gondoruwo Patah Hati padaku.
Dalam masa menyembunyikan diri itu, aku menemukan seorang anak. Dia kugembleng
menjadi seorang pendekar sakti mandraguna. Dua tahun lalu dia kulepas pergi.
Namun apa jadinya dia dikemudian hari tidak dapat kupastikan. Belakangan aku
sering kedatangan mimpi-mimpi buruk menyangkut diri muridku itu."
"Kalau aku boleh tahu, siapa nama muridmu itu?"
bertanya Wiro. "Namanya Adisaka. Kau pernah kenal, atau pernah dengar?"
Wiro menggeleng.
"Sekian lama kau memencilkan diri, lalu mengapa sekarang kau muncul lagi dalam
rimba persilatan?"
bertanya Wiro. "Kalau aku boleh bertanya, siapa orang yang sangat kau cintai
itu, lalu meninggalkan dirimu begitu saja?"
"Tak ada salahnya aku ceritakan padamu. Karena aku punya firasat, kau satu-
satunya orang yang bisa menolongku."
"Terima kasih kau punya kepercayaan seperti itu," kata Wiro. Dia pandangi wajah
si nenek, menunggu apa yang dikatakan Gondoruwo Patah Hati. Tempat itu sesaat
berada dalam kesunyian.
Tiba-tiba kesunyian itu dirobek oleh geiegar bentakan, merobek kesunyian,
melabrak kegelapan.
"Nenek muka setan! Kepercayaanmu hanya satu kesia-siaan! Pemuda itu tidak mampu
menolongmu! Karena Kerajaan telah memutuskan untuk
memancung kepalanya di tempat!"
Pendekar 212 dan Gondoruwo Patah Hati sama-sama terkejut dan palingkan kepala.
Mereka baru menyadari kalau tempat itu telah dikurung oleh banyak orang!
PENDEKAR 212 tidak dapat menyembunyi-
kan rasa terkejutnya sementara Gondoru-
wo Patah Hati tetap tenang-tenang saja.
Yang mengurung tempat itu ternyata adalah orang-orang Kerajaan dan para tokoh
silat Istana. Tetapi anehnya dalam rombongan tersebut bergabung pula beberapa
tokoh yang tidak dikenal atau belum pernah dilihat oleh Wiro.
Di bawah bayang-bayang gelap pohon besar
berdiri Selo Kaliangan, Patih Kerajaan yang kudanya dilarikan Wiro. Di sebelah
kirinya kelihatan si jubah kelabu berenda kuning Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Dia memandang pada Wiro seperti mau menerkam dan mengunyah murid Sinto Gendeng.
Dendam kesumatnya terhadap Pendekar 212
memang tidak terkirakan. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Gondoruwo
Patah Hati) ketika terjadi perkelahian antara Wiro dengan Hantu Muka Licin, untuk
menyelamatkan diri dari
serangan Wiro, Hantu Muka Licin terpaksa
melompat dan bergelantungan di cabang sebuah pohon. Saat itulah sebuah benda
kecil melesat, menyambar putus celana hitam yang dikenakan Hantu Muka Licin.
Begitu tali celana putus dan celana itu merosot jatuh ke tanah, Tak ampun lagi
Hantu Muka Licin tersingkap bugil tubuhnya sebatas pinggang ke bawah! Walau
bukan Wiro yang berlaku jahil memutus tali celana Hantu Muka Licin, tapi Hantu
Muka Licin menganggap Wirolah yang jadi biang kerok membuatnya malu besar begitu
rupa. Di samping kanan Patih Kerajaan berdiri tokoh silat istana bernama Jalak Kumboro
berjuluk Pendekar Keris Kembar. Tokoh silat Istana
berikutnya adalah si muka merah dikenal dengan julukan Sanca Merah Bengawan
Solo. Lalu di situ tampak pula Tumenggung Cokro Pambudi.
Wiro memandang ke belakang. Di sana berdiri tokoh silat Istana Si Bisu Pencabut
Nyawa Tanpa Suara. Manusia satu ini berdiri sambil senyum-senyum memandang pada
Wiro. Dia tersenyum
mungkin masih ingat kejadian bagaimana Hantu Muka Licin berbugil ria
menggelantung di atas cabang pohon. Di kiri kanan tokoh bisu ini ada beberapa
tokoh silat yang belum pernah dilihat Wiro sebelumnya. Salah satu diantaranya
adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, berpipi sangat cekung. Bibirnya tak
bisa dirapatkan karena giginya tonggos menjorok keluar. Di tangan kanan kakek
ini memegang sebilah tombak yang
ujungnya digelantungi dua ekor ular hitam bertotol kuning! Jelas dua ekor
binatang itu sangat berbisa.
Di kalangan para tokoh silat Istana kakek ini dikenal dengan julukan Setan
Bertongkat Ular.
Sebenarnya dia sendiri bukan tokoh silat Istana.
Kalau dia muncul disitu berarti ada yang
mengundang atau meminta bantuannya.
Di belakang para tokoh silat Istana itu,
mengurung dalam bentuk lingkaran puluhan
perajurit. "Hebat, mereka berhasil mengejar dan
memergoki diriku dalam waktu sangat cepat..."
kata Wiro dalam hati.
Di jurusan lain tegak satu sosok tinggi besar berjubah putih menjeia tanah. Di
atas kepalanya ada sebuah tudung tinggi berlapis kain hitam hingga kepala dan
sebagian wajahnya tertutup tidak terlihat, tidak bisa dikenali. Sambil menduga-
duga siapa adanya orang ini Wiro melirik ke samping kiri. Darahnya tersirap.
Yang tegak disitu ternyata adalah Luhjahilio, tokoh jahat Negeri Latanahsilam.
Rambutnya yang hitam riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang hancur
menyeramkan. Potongan tangan kanannya masih menempel di atas keningnya.
"Jahanam satu ini ternyata ikut terpesat ke Tanah Jawa. Dia muncul sendirian,
dimana gendaknya bernama Lajahilio." Wiro sempat-sempatnya berkata dalam hati. Wiro
melirik kembali pada si tinggi besar bertudung tinggi dengan lapisan kain hitam.
"Aku rasa-rasa bisa menerka bangsat satu ini. Jangan-jangan...."
Masih ada satu orang lagi yang tidak dikenal Wiro. Orang ini berdiri di sisi
kanan Luhjahilio. Dia adalah seorang kakek berwajah bersih,
mengenakan pakaian ringkas serba biru. Wiro tidak mengenal orang ini. Dia
menganggap kakek berpakaian serba biru ini adalah salah satu tokoh silat kaki
tangan Istana. Sebaliknya dengan si nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati. Kalau
sebelumnya dia tenang-tenang saja tapi darahnya jadi tersirap ketika melihat
kakek berpakaian biru itu. Orang ini bukan lain adalah Rana Suwarte, lelaki yang
dimasa mudanya menyukai dirinya.
Bahkan belum lama ini muncul bersama ayah
angkatnya Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sang Kiai meminta agar si nenek mau menikah
dengan kakek bernama Rana Suwarte itu,
"Heran, mengapa dia bisa muncul bersama-sama orang Kerajaan?" pikir Gondoruwo
Patah Hati. Si nenek tidak mengetahui, sejak niat baiknya ditolak, Rana Suwarte
telah menanam kebencian teramat besar terhadap Gondoruwo Patah Hati. Dia sudah
punya niat jahat. Kalau dia tidak bisa mendapatkan Ning Intan Lestari alias
Gondoruwo Patah Hati, maka orang lain yang dicintai Ning Intan Lestari akan
dicelakainya hingga tidak dapat pula memiliki si nenek. (Baca Episode sebelumnya
berjudul "Gondoruwo Patah Hati") Seperti diketahui, orang yang diincar dan
hendak dicelakai Rana Suwarte adalah Naga Kuning. Ketika dia mendengar kabar
pasukan Kerajaan hendak
menangkap Pendekar 212 yang diketahuinya
adalah sahabat dekat Naga Kuning, maka untuk menyirap kabar dimana beradanya
Naga Kuning dia bergabung dengan pasukan Kerajaan.
Bagaimanapun si nenek terkejut melihat
munculnya Rana Suwarte di tempat itu namun dia segera dapat menguasai diri.
Berdiri saling memunggung dengan Pendekar 212 si nenek
berbisik. "Aku tidak ada permusuhan dengan orang-orang ini. Lebih baik aku angkat kaki
dari sini. Apakah kau sanggup menghadapi mereka seorang diri?"
"Nek, aku tak mau melibatkan dirimu dalam urusanku. Orang-orang Kerajaan ini
rupanya keras kepala. Mereka pasti datang dengan segudang fitnah tuduhan.
Apalagi sebeiumnya aku telah membunuh dua orang pentolan mereka. Momok
Dempet Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam. Kalau kau mau pergi cepatlah berlalu.
Aku ucapkan selamat jalan padamu. Jika umurku panjang aku akan mencarimu untuk
mendengar kelanjutan
kisahmu yang tadi terputus. Kalau umurku pendek, harap kau mau menunggu diriku
di emperan neraka. Terus terang aku belum tentu bakalan masuk sorga! Ha... ha... ha!"
Si nenek Gondoruwo Patah Hati ikut tertawa mengekeh mendengar ucapan Pendekar
212 itu. Lalu dia berkata. "Wiro, tadi aku hanya bergurau.
Kau jangan khawatir. Waiau kita baru saja bertemu tapi kita telah menjalin
persahabatan. Ketika seorang sahabat dalam kesulitan dan bahaya besar, masakan
aku tidak tahu diri
meninggalkanmu begitu saja. Aku akan tetap bersamamu di sini."
"Terima kasih Nek. Wajahmu memang seperti setan. Tapi seperti yang aku bilang
hatimu putih bersih, tu!us dan lebih baik dari seorang bidadari!
Walau cuma bidadari kesasar!"
"Sialan kau!" Si nenek memaki tapi dia keluarkan suara tawa panjang mengikik.
"Anak sableng, kau dengar baik-baik. Dalam menghadap orang-orang ini, kalau mau
sama-sama selamat kau harus ikuti apa yang aku bilang."
"Cepat bilang Nek. Patih Kerajaan kulihat sudah memberi isyarat pada beberapa
tokoh silat di dekatnya. Agaknya mereka segera akan bergerak,"
kata Wiro pula.
"Keluarkan kapak dan batu saktimu! Begitu mereka menggebrak hantam dua kali
dengan lidah api. Arahkan serangan pertama pada kakek yang memegang tombak ular.
Saat ini dia yang paling berbahaya. Serangan kedua terserah kau mau melabrak
siapa saja tapi usahakan lidah apimu melewati atas bahu kananku!"
"Aku akan lakukan Nek," kata Wiro walau dalam hati dia bertanya mengapa si nenek
meminta dia melakukan hal yang terakhir diucapkannya.
Dengan cepat Wiro mengeluarkan Kapak Maut
Naga Geni 212 dan batu hitam.
"Satu lagi, dengar apa yang aku bilang. Kita tidak perlu berlaku bodoh
menghadapi orang-orang gila ini sampai hidup mati di tempat ini. Kita yang
hidup, mereka yang mati! Begitu aku melihat kesempatan aku akan membawamu keluar
dari tempat celaka ini. Tapi kau harus memberi
pelajaran pada salah satu dari mereka. Siapa yang akan kau pilih?"
"Patih Kerajaan. Selo Kaliangan!" jawab Wiro.
"Tepat!" kata si nenek. "Apa yang hendak kau lakukan terhadapnya?"
"Akan kubuat dia malu seperti kejadian dengan Hantu Muka Licin. Akan
kutanggalkan celananya!"
jawab Wiro. Si nenek tersenyum.
"Boleh juga! Tapi pekerjaan itu biar aku yang melakukan. Kau lihat saja apa yang
akan aku perbuat. Hik... hik.. hik!" Si nenek tertawa cekikikan seolah ada yang
sangat lucu bakal terjadi.
Sebenarnya sejak tadi Patih Selo Kaliangan dan para tokoh silat Istana merasa
sangat jengkel, merasa dianggap remeh. Wiro dan si nenek mereka lihat saling
bisik lalu tertawa-tawa. Seolah-olah keduanya tidak takutkan bahaya dan
menganggap mereka tidak ada di tempat itu.
Patih Selo Kaliangan mengangkat tangan
kanan. Para tokoh silat di kedua sisinya segera bersibak, memberi jalan sambil
sekaligus memperciut lingkar kurungan.
"Pendekar 212!" Sang Patih berseru dengan suara besar parau membahana. "Sekali
ini kami tidak akan memintamu menyerahkan diri hidup-hidup. Kerajaan telah
memutuskan untuk
menghabisimu dimana saja kami menemuimu!
Namun sebelum riwayatmu kami tamatkan, kami melihat ada seorang tokoh bersamamu.
Kalau aku tidak salah menduga, orang disampingmu adalah nenek berjuluk Gondoruwo
Patah Hati. Benar"!"
"Tanya saja sendiri langsung pada orangnya!
Mengapa malu-malu kucing. Dia kan bukan
seorang gadis cantik! Mengapa bertanya
padaku"!" Wiro menyahuti setengah mengejek.
"Hik... hik... hik!" Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikikan mendengar ucapan
Wiro barusan. Merah padam muka Patih Kerajaan.
"Gondoruwo Patah Hati, kami masih mau menghormati dirimu. Harap kau segera
tinggalkan tempat ini!"
"Aku memilih tetap berada di tempat ini.
Agaknya di sini akan banjir darah. Ini memang yang aku tunggu. Gondoruwo sudah
lama tidak minum darah segar! Hik... hik... hik!"
"Kau rupanya sengaja memilih mati! Jangan menyesal kalau nasibmu lebih buruk
dari pemuda itu!" kata Patih Kerajaan.
"Intan!" tiba-tiba Rana Suwarte berseru.
"Jangan jadi orang toloi! Lekas tinggalkan tempat ini!"
Si nenek menyeringai, memandang pada kakek bermuka jernih itu lalu menjawab.
"Rana Suwarte!" si nenek berucap.
Wiro kaget. Tidak mengira kalau kakek yang ditegur itu adalah Rana Suwarte yang
sebelumnya ditanyakan si nenek. Dalam hati Wiro menduga, bukan mustahil memang
kakek satu ini adalah kekasih di masa muda Gondoruwo Patah Hati.
Sementara itu dengan tenang si nenek lanjutkan ucapannya.
"Aku tidak tahu sejak kapan kau jadi kaki tangan Kerajaan. Kau akan lihat! Siapa
yang toloi antara kami berdua dengan kalian semua!" Habis berkata begitu si
nenek tusukkan sikut kanannya ke punggung Wiro. Inilah tanda yang ditunggu murid
Sinto Gendeng. Pendekar 212 serta merta berbalik. Dua tangan yang memegang batu dan kapak
bergerak cepat.
Begitu dua benda sakti itu beradu keras, lidah api menyembur dahsyat, berkiblat
ke arah Setan Bertongkat Ular. Tidak mengira akan dijadikan korban serangan
mendadak begitu rupa kejut kakek berpipi cekung ini bukan alang kepalang.
Tapi sebagai seorang tokoh silat luas pengalaman dia cepat menguasai diri.
"Wusss!" Lidah api menyambar di bawah kakinya, nyaris menghanguskan ujung kaki
celananya. Sambil melompat ke udara si kakek bergigi tonggos ini berteriak
marah. Dia tusukkan tongkatnya ke arah Wiro. Dua ekor ular hitam bertotol kuning
yang sejak tadi meiingkar di ujung tombak keluarkan suara mendesis lalu laksana
anak panah melesat ke arah Pendekar 212.
Pada saat itu pula dibawah pimpinan Patih Selo Kaliangan, para tokoh silat
Istana segera menggebrak menyerbu ke arah dua orang musuh di tengah kalangan pertempuran.
Kebanyakan dari mereka mengandalkan tangan kosong. Hanya
Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro yang
menghunus dua bilah kerisnya. Sepasang senjata ini memancarkan sinar hitam
angker pertanda mengandung kekuatan hebat serta racun jahat.
"Serangan kedua!" Gondoruwo Patah Hati berteriak.
Wiro tahu apa yang harus dilakukannya. Untuk ke dua kali batu hitam dipukulkan
ke mata kapak sakti. Seperti yang diminta si nenek, Wiro sengaja mengarahkan
demikian rupa hingga lidah api menyambar dua jengkal di atas bahu Gondoruwo
Patah Hati. Wiro yang tidak tahu apa maksud si nenek meminta dia berbuat begitu
jadi melengak besar ketika melihat apa yang kemudian terjadi.
Pada saat lidah api tepat di atas bahunya, tanpa menoleh Gondoruwo Patah Hati
angkat tangan kanannya. Saat itulah Wiro melihat bagaimana lima jari tangan
kanan si nenek sampai ke kuku berubah menjadi sangat merah seperti bara api.
Seolah menyambut sebuah bola yang dilemparkan
Gondoruwo Patah Hati menyambar ujung lidah api.
Dia kini seolah memegang pangkal sebuah cemeti.
Didahului pekikan keras si nenek memutar
tangannya. Lidah api yang keluar dari gesekan batu dan kapak, melesat ke udara,
mengeluarkan ledakan-ledakan dahsyat, berputar ganas dalam bentuk lingkaran lalu
menyambar ke arah orang-orang yang datang menyerang.
Para penyerang mengeluarkan seruan kaget
tertahan. Pendekar Keris Kembar terpaksa
lepaskan salah satu kerisnya yang dihantam api dan berubah menjadi besi bangkok
mengepuikan asap. Ketika diperhatikan tangannya ternyata merah melepuh. Patih
Kerajaan melompat mundur selamatkan diri. Setan Bertongkat Ular yang paling
kaget dan kecut diantara semua penyerang.
Ketika dua ekor ularnya melesat ke arah Wiro, ular pertama terpental dihantam
lidah api yang datang berputar. Si kakek bermulut tonggos menggerung ketika
melihat bagaimana ularnya itu kemudian jatuh menggeletak di tanah, berubah


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi daging dan tulang kering hangus! Belum habis kejut amarahnya, di atas
sana si nenek melayang menyambar ular kedua dengan tangan kiri. Lalu dengan tiga
kali berjungkir balik di udara, ketika sampai di tanah tahu-tahu dia sudah
berada di depan sosok Patih Selo Kaiiangan. Dengan tangan kanannya si nenek
menarik pinggang
celana merah sang putih sementara tangan kirinya kemudian memasukkan ular hitam
ke dalam celana. Karuan saja Patih Selo Kaiiangan menjerit-jerit dan lari menghambur
pontang panting tidak karuan. Carut marut ikut berhamburan dalam jeritannya.
"Celaka!" ujar Setan Bertongkat Ular. Melihat apa yang terjadi dengan Patih
Kerajaan kakek tonggos ini segera berteriak. "Selamatkan Patih!
Ular itu berbisa mematikan! Selamatkan Patih!"
Para tokoh silat Istana yang masih belum hilang kaget masing-masing kini jadi
tersentak kaget mendengar teriakan Setan Bertongkat Ular dan menyaksikan apa
yang terjadi dengan Patih
Kerajaan. Saat itu mereka melihat, dalam takutnya Patih Kerajaan tidak sadar lagi apa yang
dilakukannya. Sang patih membuka celananya. Lalu dalam
keadaan telanjang di sebelah bawah dia lari melompat-Iompat tak perduli lagi
arah yang dituju sementara ular hitam bertotol kuning ternyata masih melingkar
di pinggangnya. Ini yang
membuat sang patih terus lari sambil berteriak-teriak. Di sebelah belakang para
tokoh silat mengejar, berusaha menolong. Setan Bertongkat Ular paling depan. Dia
sangat khawatir. Kalau sampai Patih Kerajaan mati dipatuk ular berbisa itu,
sedikit banyak dia akan dimintakan
pertanggungan jawab! Para tokoh silat itu tidak lagi memperdulikan Wiro dan si
nenek muka setan saking takutnya akan malapelaka besar
mengancam sang Patih Kerajaan,
Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikikan.
Hatinya puas menyaksikan semua itu. Dia
memandang pada Wiro. "Anak muda malam ini aku gembira sekali, Cuma sayang
waktunya singkat. Lain hari aku akan mencarimu lagi untuk meneruskan berbincang-bincang!"
Nek, kau mau kemana! Tunggu dulu!" Wiro memanggil.
Si nenek sudah berbalik, berkelebat ke kanan.
Saat itu juga delapan orang prajurit segera menghadang.
"Kalian mencari mati!" teriak Gondoruwo Patah Hati. Tangan dan kakinya bergerak.
Delapan prajurit terpekik, mental dan berkaparan di tanah.
Wiro masih berusaha mengejar. Tapi si nenek sudah lenyap ditelan kegelapan.
Wiro menggaruk kepala. "Dari pada urusan jadi panjang lebih baik aku juga
minggat saja dari sini!"
Lalu murid Sinto Gendeng berkelebat pula
meninggalkan tempat itu. Di satu tempat dia hentikan larinya, tertegun sejenak
sambil usap-usap dagunya. Wiro ingat sesuatu dan bicara sendiri dalam hati.
"Ketika nenek itu berbalik hendak berkelebat pergi, jubahnya sebelah bawah
tersingkap sedikit.
Aku sempat memperhatikan. Sepasang betis itu.
Bagus dan putih. Nenek seperti dia mana mungkin punya betis seperti itu. Ah...."
Wiro garuk-garuk kepala. "Dia menanyakan Naga Kuning. Apa hubungan si muka setan
ini dengan bocah konyol sialan itu?"
Beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwa Patih Kerajaan berada dalam keadaan
sakit keras. Kalaupun dia bisa disembuhkan maka dia akan cacat seumur hidup. Cacatnya ini
ialah berupa derita lemah syahwat seumur hidup akibat patukan ular berbisa yang
bersarang sejengkal di bawah pusarnya. Setan Bertongkat Ular yang memiliki ular
lenyap entah kemana. Sementara Pendekar 212 Wiro Sableng dan Gondoruwo Patah
Hati menjadi orang buronan yang dicari sampai ke pelosok Kerajaan, ditangkap hidup
atau mati! GEROBAK yang ditarik dua ekor kuda besar
tidak bisa bergerak cepat di jalan berbatu-batu dan banyak lobangnya itu. Empat
or- ang gadis jelita berada di atas gerobak. Yang bertindak sebagai sais adalah dara
berpakaian ringkas biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya yang panjang hitam
berkibar-kibar ditiup angin.
Tanpa dandanan pipi dan bibirnya kelihatan merah segar. Walau letih, senyum
simpul selalu menyeruak di wajahnya. Gadis ini adalah Puti Andini, pemegang
sebilah pedang sakti keramat bernama Pedang Naga Suci 212, merupakan cucu Tua
Gila, puteri dari Andam Suri, salah seorang tokoh silat Pulau Andalas yang
pernah membuat heboh rimba persilatan tanah Jawa beberapa waktu lalu. (Baca
rangkaian kisah
"Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode) Selain pedang sakti, Puti
Andini juga memiliki senjata lain yang aneh, yakni tujuh buah payung. Tujuh
payung itu berada dalam satu keranjang besar dan saat itu diletakkan di bagian
belakang gerobak.
Di sebelah Puti Andini, agak terkantuk-kantuk duduk si jelita berkulit putih
berlesung pipit Anggini.
Di lehernya melingkar sehelai selendang ungu. Pada salah satu ujung selendang
terdapat guratan angka 212 yang pernah dibuat Wiro sebagai kenang-kenangan dan
satu pertanda bahwa diantara mereka terdapat jalinan hubungan yang lebih erat
dari hanya persahabatan biasa. Seperti diketahui Dewa Tuak, guru Anggini begitu
ingin muridnya itu berjodoh dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tetapi sampai
sebegitu jauh niat baiknya itu tidak kesampaian karena kalau sudah sampai kepada
hal yang satu itu, Wiro berusaha menjauh menjaga jarak. Anggini sendiri yang
tadinya begitu mengasihi Wiro, lama-lama menyadari dan pasrah bahwa dia ataupun
gurunya tidak bisa memaksa Wiro untuk memenuhi keinginan itu. Sedang Sinto
Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro selalu ayem-ayem saja mengenai
perjodohan muridnya dengan murid Tua Gila.
Di bagian belakang kereta, dua orang gadis cantik lainnya berbaring di atas
tumpukan jerami kering.
Yang satu adalah Ratu Duyung dan satunya lagi bukan lain Bidadari Angin Timur.
Kalau Bidadari Angin Timur saat itu bisa tertidur pulas, sebaliknya Ratu Duyung
tidur-tidur ayam. Mata memang
terpejam tapi pikiran kemana-mana.
Empat gadis cantik itu tengah dalam perjalanan menuju Gunung Gede. Perjalanan
jauh itu didorong oleh apa yang telah mereka alami sebelumnya yang membuat
mereka menjadi penasaran besar. Selain itu keempatnya yang sama-sama mengasihi
Pendekar 212 Wiro Sableng ingin mengetahui, ingin mengungkap rahasia apa
sebenarnya yang telah terjadi dengan sang pendekar. Apa benar Wiro telah menemui
ajal" Seperti diceritakan sebelumnya (Baca "Tiga Makam Setan.") di makam pertama yang
terletak di pekuburan dekat Candi Kopeng, ketika makam dibongkar, mereka
menemukan sepucuk surat aneh.
Dalam surat itu tertera tulisan berbunyi: "Selamat Datang Di Makam Setan
Pertama. Kalian Ditunggu Di Makam Setan Kedua."
Jengkel dan marah serta penasaran besar,
keempat gadis kemudian pergi menyelidik makam ke dua yang terletak di pekuburan
Banyubiru, tak jauh dari telaga Rawapening. Di pekuburan ini mereka memang
menemukan satu makam dengan
papan nisan bertuliskan. "Disini Dimakamkan Wiro Sableng - Pendekar 212." Tetapi
ketika rnakam itu dibongkar mereka hanya menemukan sebuah peti besi karatan.
Begitu peti dibuka di dalamnya terdapat selembar kertas yang ada tulisan
berbunyi: "Selamat Datang Di Makam Setan Kedua. Kalian Memang Hebat. Kalian
Ditunggu Di Makam Setan Ketiga. Di Puncak Gunung Gede."(Baca Episode sebelumnya,
berjudul "Roh Dalam Keraton") Semakin besar amarah, kejengkelan dan rasa
penasaran empat gadis itu, semakin kuat pula dorongan dalam diri mereka untuk
menyelidik tuntas makam ke tiga.
Walau Gunung Gede sangat jauh, namun empat gadis cantik memutuskan untuk
berangkat ke sana.
"Bagaimana kalau sampai di puncak Gunung Gede kita menemukan Makam Ke Tiga tapi
lagi-lagi isinya hanya surat sialan seperti dalam dua makam sebelumnya?" Ratu
Duyung memecahkan
kesunyian dalam perjalanan. "Berarti sia-sia belaka perjalanan kita sejauh ini."
"Terus terang," Anggini menyahuti ucapan Ratu Duyung. "Dalam hatiku juga ada
perasaan seperti yang barusan kau ucapkan. Namun jika kita tidak menyelidik,
kita tidak tahu apa arti semua kejadian ini. Kita tidak dapat memastikan apakah
Wiro benar-benar sudah mati atau masih hidup. Kalau mati dimana kuburnya, kalau
Perompak Perompak Laut Cina 2 Dewa Arak 91 Sapu Jagad Misteri Gadis Bisu 1
^