Misteri Pedang Naga Merah 3
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah Bagian 3
Jatilandak hanya tersenyum dan angkat bahu.
"Tidak ada salahnya kau mendekati gadis itu. Tapi hati-hati dan tahu dirilah.
Kita ini bukan orang-orang yang berasal dari negeri ini. Mereka semua tahu. Di
depan kita mereka semua bersikap baik. Tapi di lubuk hati mereka mana mungkin
kita menyelami. Bisa saja mereka menganggap tingkatan kita berada di bawah
mereka. Selain itu Bidadari Angin Timur tahu keadaan dirimu sebelumnya. Ini bisa
merupakan ganjalan. Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan saja mereka memang
tulus semua."
"Ibu, dua hari aku beada di sini bersamamu aku sering melihat Ibu lebih banyak
melamun. Apakah Ibu merasa kesepian atau tengah memikirkan sesuatu?"
Luhmintari menghela nafas dalam. "Memang banyak yang menjadi pikiran dalam
benakku...."
"Memikirkan seseorang?"
Perempuan cantik dari Latanahsilam it tak menjawab.
"Ibu tak mau berterus terang padaku."
"Ada sesuatu yang aku risaukan."
"Kalau Ibu mau mengatakan mungkin aku bisa membantu." Kata Jatilandak pula.
Luhmintari kembali menghela nafas dalam. Lalu berkata. "Sejak beberapa waktu
belakangan ini ada satu mahluk yang selalu mengikuti diriku. Dia muncul secara
tiba-tiba. Terkadang dia berbuat jahil dan mengucapkan kata-kata kotor.
Terkadang dia seolah mampu mengacaukan jalan pikiranku."
"Ibu tahu siapa orangnya?"
"Jika dia memang orang dari negeri ini, sudah sejak lama dapat aku ketahui.
Namun ternyata aku mengalami kesulitan menjajagi. Hal ini memberi pertanda bahwa
mahluk itu berasal dari negeri Latanahsilam. Pernah satu kali aku menyidik
dengan ilmu Penciuman Nafas Sepanjang Badan. Dari baunya aku tahu dia memang
berasal dari negeri leluhur kita. Jahatnya, dia tidak mau menampakkan diri.
Pengecut! Aku tidak tahu sakit hati apa yang ada pada dirinya hingga dia berlaku jahil
padaku!" "Mahluk itu, laki-laki atau perempuan?" tanya Jatilandak.
"Perempuan," jawab Luhmintari.
Jatilandak berpikir dan berusaha mengingat-ingat. "Setahuku ada seorang mahluk
yang disebut gadis dari alam roh. Namanya Bunga. Aku mengenalnya ketika kami
bersama-sama menumpas komplotan yang bermarkas di Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Dari pembicaraan para sahabat aku ketahui bahwa gadis alam roh itu
adalah kekasih Pendekar Dua Satu Dua. Jangan-jangan dia yang selama ini
menjahilimu."
"Aku tak berani berburuk sangka," jawab Luhmintari alias Purnama.
"Namun aku menyangsikan. Karena jika dia memang mahluk alam roh dari dunia di
sini, aku pasti bisa melihat bahkan mencekalnya. Tapi mahluk yang sering
mengikutiku ini sulit untuk dilihat. Pertanda dia bukan dari alam sini. Aku
sudah yakin dia berasal dari Negeri Latanahsilam."
"Biar Ibu merasa aman aku akan mendampingi Ibu sampai beberapa lama. Sampai kita
bisa mengetahui siapa adanya mahluk itu. Aku bersumpah untuk menghabisinya jika
dia sampai mencelakai Ibu."
"Terima kasih kau mau berbuat begitu. Tapi Ibu tidak merasa takut. Hanya agak
terganggu. Tidak tahu apa maunya mahluk itu."
"Selain mahluk jahil itu, apakah ada hal lain yang menjadi pikiran Ibu?" tanya
Jatilandak pula.
"Aku merasa perlu berterus terang padamu mengenai satu hal," Jatilandak tatap
wajah ibunya. Coba menerka apa yang hendak dikatakan Luhmintari.
"Sejak pertama kali bertemu di negeri ini dengan pemuda bernama Wiro itu, Ibu
merasa seolah-olah...." Luhmintari tidak bisa meneruskan ucapannya.
Jatilandak pegang tangan Luhmintari. "Ibu menyukai pemuda itu?" Sang putera
langsung menduga.
"Lebih dari menyukai." Jawab sang ibu polos.
"Ibu mengasihinya" Mencintainya?"
Luhmintari menatap ke arah laut hijau di kejauhan lalu perlahan anggukkan
kepala. Jatilandak terdiam untuk beberapa jurus lamanya.
"Ibu tahu, mencintai pendekar itu akan banyak kendala dan ganjalan yang akan Ibu
hadapi. Yang paling berat karena begitu banyak gadis cantik menyukainya."
"Aku tahu tahu hal itu. Namun apakah Wiro menyukai, maksudku mengasihi mereka?"
"Apakah Wiro mengetahui kalau Ibu mencintainya?"
"Walau sehari-hari dia kelihatan bersikap aneh, terkadang lugu, sering berlaku
konyol bahkan kurang ajar, namun Ibu tahu dia seorang yang punya perasaan dalam.
Ibu yakin dia tahu kalau Ibu menyukainya. Cuma, entahlah. Rasanya seperti Ibu
dia juga punya banyak kendala."
Luhmintari menatap ke
langit. "Jatilandak, sang surya sudah tinggi. Ibu harus pergi dulu. Apakah kau
akan tetap di sini sampai Ibu kembali?"
"Kalau Ibu tak mau ditemani aku ingin pergi mencari Bidadari Angin Timur. Aku
tak bisa menunggu sampai hari yang disebut Satu Suro itu."
"Kalau begitu, baiknya kita berangkat sekarang saja. Di kaki bukit kita
berpisah."
Ibu dan anak lalu tinggalkan bukit batu. Di kaki bukit batu Jatilandak pergi ke
arah timur sedang Luhmintari menuju ke utara.
Setelah berjalan seorang diri cukup jauh, Luhmintari merasa ada saputan angin
dingin di kuduknya.
"Hemm...mahluk jahil kurang ajar itu muncul lagi. Sekali ini agaknya aku harus
menghajarnya. Biar dia tahu rasa!" Di kejauhan Luhmintari melihat ada sebuah
bukit. Dia segera lari ke arah bukit. Turut penciumannya serta pendengaran halus
tajam yang dimilikinya dia tahu kalau mahluk tadi masih terus mengikuti. Begitu
sampai di puncak bukit, Luhmintari hentikan langkah bertolak pinggang lalu
keluarkan ucapan keras.
"Banyak mahluk dan manusia pengecut di muka bumi ini! Tapi terus-terusan menjadi
pengecut adalah hal memalukan! Mengapa kau tidak berani unjukkan diri! Apa maumu
sebenarnya"!"
Ucapan keras Luhmintari disambut oleh suara gelak tawa perempuan.
"Mahluk bernama Luhmintari yang konon kini bernama Purnama! Hik... hik! Kau
tidak layak melihat ujudku!"
Ibu Jatilandak ini terkesiap. Dalam hati dia berkata. "Hanya orang-orang
Latanahsilam yang tahu nama asliku! Semakin kuat keyakinanku kalau mahluk jahil
ini benar-benar berasal dari Latanahsilam!"
"Sombong sekali! Atau memang benar-benar pengecut!"
"Kau boleh memaki dari pagi sampai malam! Aku tidak akan melayani permintaanmu!"
"Dasar pengecut! Mengapa aku tidak layak melihat ujudmu"! Takut ketahuan siapa
diri buruk dan busuk" Luhmintari mengejek.
"Hik ... hik! Karena aku masih perawan gadis asli. Sedang kau perempuan yang
pernah kawin dan melahirkan! Kau hanya gadis jejadian!"
Paras cantik Luhmintari alias Purnama bersemu merah. "Mahluk pengecut! Ujudmu
pasti buruk! Aku masih tetap seorang gadis walau sudah menikah! Itu hukum dan kenyataan di
Latanahsilam! Kau sendiri apa pernah menikah" Tampangmu pasti buruk. Buktinya
tidak ada pemuda di Latanahsilam yang suka padamu! Kau boleh sombong dengan
kegadisanmu. Tapi kau lupa kau bukan lain hanya seorang perawan tua!
Aku tahu sekarang! Kau terpesat ke negeri ini karena ingin mencari laki! Tapi
tidak ada yang mau! Itu sebabnya kau jadi gadis gatal, dengki menggangguku!"
Sambil bicara Luhmintari kerahkan hawa sakti ke mata serta perdayakan ilmu Nafas
Sepanjang Badan. Dia berusaha untuk melihat siapa adanya mahluk dihadapannya itu. Namun
dia hanya melihat bayangan sangat samar. Seorang perempuan berpakaian putih,
berambut panjang hitam tergerai lepas.
Terdengar suara orang meludah lalu teriakan marah. Mahluk samar goyangkan
kepala. "Wuttt!"
Rambut hitam melesat, memapas tak ubah seganas pedang tajam.
Luhmintari cepat melompat mundur. Pohon kecil di sampingnya terbabat buntung dan
kepulkan asap. "Mahluk jahat pengecut! Bukan kau saja yang bisa menyerang!" teriak Luhmintari
lalu goyangkan dua bahunya. Saat itu juga dari tubuhnya memancar keluar cahaya
biru bergemerlap. Mahluk samar merasa ada satu kekuatan dahsyat menerjang ke
arahnya. Dia coba bortahan sambil dorongkan dua tangan.
"Bumm! Bummm!"
Dua ledakan dahsyat menggelegar di puncak bukit. Mahluk samar menjerit keras,
Sosok gaibnya terpental ke bawah bukit namun secepat kilat dia melesat kembali
ke arah lawan. Luhmintari sendiri saat itu jatuh berlutut di tanah, wajah
seputih kertas dan rambutnya yang tadi tergulung kini terlepas panjang menjela
pinggang. " Luhmintari! Perempuan tolol pemimpi di siang bolong! Tidak tahu ;malu! Kau
tidak akan pernah mandapatkan pemuda itu! Kau tak akan pernah kawin untuk kedua
kali! Yang menjadi nasibmu adalah kematian untuk kedua kali! Terima ajalmu!"
Dua kllatan cahaya pulih berkiblat di puncik bukit. Bersamaan dengan itu
terdengar suara menggelegar. Langit laksana mau runtuh, bukit seperti hendak
terbongkar. Luhmintari berteriak lantang.
Cahaya biru bergulung keluar dari tubuhnya menyambut hantaman dua kilatan cahaya
putih. Untuk beberapa lama di puncak bukit itu terlihat satu pemandangan luar
biasa. Gulungan cahaya biru saling dorong-mendorong dengan dua cahaya putih.
Nyala api memercik mengerikan. Dua kaki Luhmintari bergetar dan perlahan-lahan
terdorong ke belakang. Gadis dari Latanahsilam ini lipat gandakan tenaga dalam.
Namun hekkk! Darah menyembur dari mulutnya.
Mahluk samar tertawa panjang.
"Luhmintari! Kematianmu sudah di depan mata!"
Dua larik cahaya putih memancar terang sementara cahaya biru yang keluar dari
tubuh Luhmintari berubah redup. Sesaat lagi tubuh Luhmintari akan terpental
hancur luluh tiba-tiba berkelebat seorang berpakaian putih, mengenakan caping
bambu. Luhmintari kemudian mendengar suara seseorang berkata. Di saat yang sama
dia merasa ada dua telapak tangan hangat menempel di punggungnya.
"Purnama, kerahkan tenagamu. Kita serang bersama-sama!"
"Wiro!" ucap Luhmintari alias Purnama. Mengenali suara itu, Luhmintari seolah
mendapat satu kekuatan luar biasa. Begitu dia merasa ada hawa hangat memasuki
tubuhnya lewat punggung yang menandakan ada aliran tenaga dalam luar biasa hebat
membantunya, gadis dari negeri 1200 tahun silam Ini goyangkan bahu lalu pukulkan
dua tangan. Satu mengarah lurus ke depan, satunya ke udara.
"Blaar! Blaaar!"
Bukit laksana dihantam halilintar. Daun-daun pepohonan meranggas gugur dan jatuh
ke tanah dalam keadaan hangus kehitaman. Belasan lobang tampak terkuak di tanah
bukit. Di udara yang mendadak redup terdengar jeritan perempuan. Lalu kutuk
serapah. "Luhmintari! Kau tak akan pemah bisa mengalahkanku!
Aku akan selalu menghantuimu kemana kau pergi! Kau tak akan pernah mendapatkan
pemuda itu! Tidaakkkk!"
Luhmintari balikkan tubuh. Si cantik ini tenggelam dalam pelukan hangat Pendekar
212 Wiro Sableng. Darah yang mengucur di bibirnya membasahi baju putih sang
pendekar. Dia batuk-batuk beberapa kali. Suaranya agak tersendat ketika menyebut
nama pemuda itu.
"Wiro. Kau mengenakan caping...."
Wiro mendudukkan gadis itu di tanah sementara udara perlahan mulai cerah.
Setelah menyeka darah di dagu Purnama Wiro membuka caping lalu bertanya. "Apa
yang terjadi" Aku lihat kau berkelahi seperti orang kesurupan. Aku tidak melihat
lawanmu. Aku coba melihat dengan ilmu menembus pandang. Tapi tidak berhasil.
Tadi aku hanya sempat mendengar teriakannya."
"Wiro, aku juga tidak tahu pasti siapa mahluk itu. Dia sejak lama mengikuti
diriku tapi tak pemah berani unjukkan diri..."
"Pasti mahluk dari alam gaib."
"Ya, dari Latanahsilam," kata Luhmintari.
"Kau tidak bisa mengenali?"
"Sulit. Terlalu samar. Tadi aku sempat melihat bayangan sosok seorang perempuan
pakaian putih berambut hitam panjang."
"Kau kenal Bunga?" tanya Wiro.
"Aku pernah melihatnya. Tapi aku yakin bukan dia mahluknya. Karena tadi setelah
kita hantam bersama ujudnya sempat kulihat sekilas berubah seperti sosok seorang
nenek tua. Tapi sangat samar. Tak bisa kukenali. Wiro, aku senang kau datang.
Aku bahagia kau mau menolong. Wiro, bajumu kotor oleh darahku..."
Pendekar 212 tersenyum. Merangkul hangat Luhmintari lalu bertanya. "Mahluk itu
tadi keluarkan ucapan bahwa kau tidak akan pernah mendapatkan pemuda itu. Pemuda
siapa maksudnya?"
Purnama surukkan wajah cantiknya di dada Pendekar Wiro Sableng. Dia hanya bisa
menggeleng perlahan. Namun dalam hati dia bekata. "Kau tahu siapa adanya pemuda
itu Wiro. Kau tahu. Aku tengah memeluknya erat-erat saat ini...."
"Purnama, mahluk tadi mungkin memendam satu kemarahan. Mungkin kau mengasihi
seorang pemuda yang juga dikasihinya. Dan dia merasa kau telah merebut
kekasihnya itu."
Purnama terdiam. Namun hatinya tak tahan lagi. Sudah saatnya dia harus berterus
terang. "Wiro, memang itu agaknya yang kejadian. Kau tahu, kaulah pemuda yang jadi
rebutan itu! Apakah selama ini kau tidak menyadari kalau aku...."
Purnama tidak sanggup meneruskan ucapannya. Desah tangis memutus kata-katanya.
Murid Sinto Gendeng sendiri saat itu masih merangkul tubuh Purnama dengan tangan
kanan sementara tangan kiri menggaruk kepala.
"Purnama," bisik Pendekar 212. "Kita baru beberapa kali bertemu. Bagaimana
mungkin.... Ah, aku mengerti. Kau telah beberapa kali menolongku, menyelamatkan
jiwaku." "Barusan kau telah melakukan hal yang sama," kata Purnama pula.
Wiro belai rambut panjang hitam dan harum si gadis. Lalu berkata. "Purnama, kau
masih ingat paderi Cina bernama Nionio Nikouw itu?"
Purnama angkat kepalanya dari dada Wiro, menatap wajah si pemuda sejurus. "Ada
apa dengan paderi itu?"
Wiro melihat ada bayangan rasa cemburu di wajah cantik jelita itu. Sambil
memegang dagu Purnama ini dia berkata. "Paderi itu membekal sebilah pedang
bernama Ang Liong Kiam atau Pedang Naga Merah.
Aku mendapat tugas dari guruku Eyang Sinto Gendeng untuk mengambil senjata
mustika itu..."
"Mengapa?"
"Pedang itu sebenarnya bukan milik Nionio Nikouw. Tapi milik para sepuh alam
gaib rimba persilatan tanah Jawa."
"Aku tidak mengerti."
Wiro lalu menceritakan riwayat Pedang Naga Merah yang oleh Naga Geni dan Naga
Suci diberi nama Putera Langit
"Kisah luar biasa..." kata Purnama begitu Wiro mengakhiri penuturannya. "Rasanya
tidak akan mudah bagimu untuk mendapatkan pedang itu. Paderi itu tidak akan
menyerahkan pedang begitu saja.
Pedang itu sama dengan nyawanya."
"Aku tahu kesulitan itu. Tapi aku menerima tugas Eyang Sinto yang harus
dilaksanakan. Apapun yang terjadi."
"Tugasmu bertambah berat. Karena bukankah sampai saat ini belum ketahuan dimana
beradanya Kitab Seribu Pengobatan" Belum diketahui siapa pencurinya"
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Kepalaku cuma satu, tangan hanya dua.
Bagaimana aku harus melaksanakan semua ini?"
Purnama tersenyum. "Kepalamu memang satu, tangan cuma dua. Tapi otakmu ada
seribu. Kau punya banyak akal."
Wiro tertawa gelak-gelak lalu memegang bahu Purnama dan berbisik. "Kau mau ikut
mencari paderi Cina itu?"
Wajah Purnama berseri-seri.
"Wiro aku pernah bilang selama kau tidak menolak aku akan pergi kemana kau
pergi. Lagi pula lenyapnya Kitab Seribu Pengobatan itu sebagian adalah tanggung
jawab kelalaianku. Kau tahu dimana mencari paderi itu?"
"Dia pernah bercerita tentang seorang sahabat di masa kecil. Tinggal di
Semarang. Cerita itu juga aku dengar dari Eyang Sinto. Sahabat kecil yang
sekarang tentunya sudah jadi pemuda itu bernama Bayumurti, salah seorang dari
empat Kepala Pengawal Kerajaan Timur."
"Kalau begitu kita pergi ke Semarang."
"Tidak perlu. Aku mendengar kabar Bayumurti telah diangkat menjadi Adipati
Brebes, mengganti Karta Suminta."
"Berarti kita menyelidik ke Brebes." Kata Purnama pula. Wiro mengangguk.
Tiba-tiba di lereng bukit sebelah timur ada kilatan cahaya merah. Mula-mula
hanya berupa titik, kemudian melesat ke arah mereka makin besar dan makin besar.
"Wusss!"
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiro cepat menarik pinggang Purnama. Keduanya jatuhkan diri di tanah lalu
bergulingan ke arah lereng bukit sebelah barat.
"Bummm!"
Puncak bukit laksana ditebas pedang raksasa. Bagian atas gundul berhamburan ke
udara. Wiro dan Purnama sama lepaskan nafas lega. Keduanya bersihkan tanah yang
mengotori tubuh dan pakaian.
"Pasti mahluk perempuan kurang ajar itu!" kata Purnama, "Dia tak berani
mendekat. Mengirimkan serangan dari jauh! Pengecut!"
"Kita harus berhati-hati. Kita berdua jadi incarannya," kata Wiro pula lalu
meletakkan caping di kepalanya.
"Baru sekali ini aku lihat kau memakai caping. Takut kepanasan?"
"Adipati Losari membuat selebaran. Menangkap diriku hidup atau mati. Imbalannya
lima ringgit emas. Aku terpaksa harus menutupi sebagian wajah jelekku," jawab
Wiro pula. "Wiro, kau ingin aku bersamamu seperti ujudku saat ini. Atau sembunyi kembali di
alam gaib?"
tanya Purnama. "Hemmm. aku rasa aku lebih suka melihat wajahmu."
"Begitu?"
Wiro mengangguk.
"Dess!" saat itu juga ujud Purnama berubah. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan
hanya bagian kepala, melayang di samping Wiro.
"Purnama, apa-apaan ini"!"
Wajah jelita itu tertawa. "Tadi kau bilang lebih suka melihat wajahku! Nah
sesuai ucapanmu tubuhku mulai dari leher sampai ke kaki aku sembunyikan."
Wiro tertawa gelak-gelak. Dicubitnya pipi merah Purnama hingga gadis ini
terpekik, "Maksudku aku suka melihat wajah dan tubuhmu yang utuh. Kalau
sepotong-sepotong seperti ini orang yang melihat bisa heboh!"
Purnama tertawa lagi.
"Dess!"
Tubuhnya kembali utuh mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Nah, begini?" tanya Purnama sambil berdiri bertolak pinggang dan membalikkan
tubuh beberapa kali.
Wiro tersenyum. "Ya, seperti itu. Tapi tunggu. Harus aku periksa dulu. Jangan-
jangan tubuhmu hanya angin melompong!" Wiro lalu ulurkan dua tangan memegang
kepala, turun memegang pipi. "Tidak, kepalamu bukan angin...." Dua tangan Wiro
turun lagi ke bawah, memegang pundak. Ketika dua tangan itu turun hendak meraba
dada, padahal Wiro Cuma pura-pura, Purnama langasung mencubit perut Pendekar 212
hingga pemuda ini melintir terbungkuk kesakitan. Purnama tertawa gelak-gelak
lalu tarik tangan Wiro.
*** SEMBILAN BAYUMURTI, Adipati Brebes pengganti Karta Suminta yang baru saja mengadakan
perjalanan jauh, memasuki gedung Kadipaten dengan sekujur badan teasa letih. Di
ruang tengah gedung dia membasahi muka dengan air pancuran kecil di samping
kolam yang baru dibuat. Sambil mengeringkan wajahnya dengan sehelai sapu tangan
Bayumurti masuk ke dalam kamar, langsung merebahkan diri di atas ranjang.
"Raden, apakah saya boleh menyalakan lampu minyak dalam kamar?" tanya seorang
pelayan yang berdiri di ambang pintu.
"Tidak usah. Tutup saja pintunya. Sisakan sedikit celah agar cahaya dari luar
masuk." Pelayan melakukan apa yang dikatakan Bayumurti lalu pergi.
Hampir-hampir tertidur, tiba-tiba Adipati ini menyadari bahwa dia tidak
sendirian di dalam kamar itu. Cepat Bayumurti bergerak bangun. Memandang seputar
kamar. Ternyata benar! Di salah satu sudut ruangan yakni di ujung kiri ranjang
ada sebuah kursi kayu. Di atas kursi duduk seorang yang meskipun gelap masih
dapat dikenali bahwa dia adalah perempuan. Apalagi ada aroma bau wewangian
keluar dari tubuh dan pakaiannya.
"Siapa"!"
Bayumurti bertanya. Suaranya datar tanda dia dapat menguasai diri dalam
keterkejutan. Namun tangannya langsung mencekal gagang sebilah keris yang
terselip di pinggang.
"Nyalakan lampu. Kau akan melihat siapa diriku." Perempuan di atas kursi
menjawab. Suaranya halus dan merdu.
Bayumurti segera menyalakan sebuah lampu minyak yang terletak di atas meja batu
pualam di dinding kiri kamar. Begitu keadaan menjadi terang Bayumurti melihat
yang duduk di atas kursi adalah seorang perempuan mengenakan pakaian biru,
rambut hitam dilepas bagus namun wajahnya tertutup sehelai kain biru. Di
pangkuannya melintang sebilah pedang bersarung perak berlapis emas.
"Luar biasa! Seorang perempuan bercadar mampu masuk ke dalam gedung Kadipaten,
menembus kamar tidurku tanpa seorang penjagapun mengetahui!"
Perempuan yang duduk di kursi tertawa perlahan.
"Kau tak mengenali diriku. Kau tidak mengenali suaraku. Tidak heran. Berapa
tahun kita tak pernah bertemu" Lebih dari dua belas tahun."
"Tunggu, sebelum kau meneruskan bicara, harap buka cadar biru penutup wajahmu.
Aku harus tahu dulu siapa kau!"
"Bayumurti, apa kau tidak ingin melakukannya sendiri" Seperti sewaktu kita masih
kecil, bermain bersama teman-teman. Kau jadi penjahat, aku jadi puteri
culikan..."
Adipati Brebes itu tertegun seketika. Lalu dia melangkah mendekat perampuan itu.
Tangan kiri melepas cadar biru sementara tangan kanan masih tetap memegang huluk
keris di pinggang.
Bayumurti melihat satu wajah cantik sekali, berkulit putih, bermata bening
bagus, hidung kecil mancung, bibir merah menyeruak senyum.
"Kau bisa mengingat siapa aku sekarang?"
Bayumurti letakkan kain biru penutup wajah di tepi tempat tidur. Dia coba
mengingat-ingat tapi tidak berhasil. Lalu dia gelengkan kepala.
"Dua belas tahun silam. Kau memberikan sebuah kenang-kenangan padaku. Sebuah
pedang kecil. Menyerupai mainan. Panjang sejengkal. Kau ingat sekarang?"
Sepasang alis mata tebal Bayumurti naik ke atas. Dua mata menatap tak berkesip.
Tiba-tiba mulutnya berseru.
"Loan Nio! Sulit aku percaya kalau ini benar-benar kau!"
Bayumurti melangkah maju. Dua tangan diulurkan hendak memeluk tapi tak jadi. Dua
tangan ditarik kembali. Perempuan cantik di atas kursi letakkan pedang di meja
di samping kursi lalu berdiri. Kini dia justru yang ulurkan tangan merangkul
lelaki muda itu. Pelukannya erat hangat dan lama. Darah Bayumurti jadi
bergelora. Dia membalas pelukan itu lebih kencang dan lebih hangat.
"Dua belas tahun berpisah, aku tidak pernah melupakanmu," bisik si cantik yang
bukan lain adalah Kiang Loan Nikouw, paderi perempuan dari Tionggoan. Tampaknya
dia tidak akan cepat-cepat melepaskan pelukannya.
"Loan Nio, aku juga selalu ingat dirimu. Namun sejak kau pergi sama sekali tidak
ada kabar. Tahu-tahu saat ini kau muncul seolah bidadari yang turun dari langit
Ah, kau memang bidadari. Sejak kecil dulu aku sering memanggilmu bidadari.
Ingat?" Loan Nio tersenyum, anggukkan kepala berulang kali.
"Bagaimana ceritanya kau tiba-tiba muncul dan tahu aku di sini?"
"Aku akan cerita. Mengenai dirimu, kabar seperti angin. Menebar cepat. Ketika
pertama kali aku menginjakkan kaki di Losari, aku menyelidik dan tahu kalau kau
telah menjadi seorang Kepala Pasukan di Kerajaan Timur. Kemudian aku menyirap
kabar baru bahwa kau telah diangkat menjadi Adipati di kota ini, menggantikan
Adipati lama yang tewas dibunuh." Perlahan-lahan Loan Nio lepaskan pelukannya.
"Ada satu hal yang perlu aku beri tahu. Kau mungkin tidak percaya."
Loan Nio melangkah ke meja kecil untuk mengambil pedang. Senjata ini dicabut
dari sarung hingga kamar itu menjadi terang oleh kilauan cahaya merah.
"Senjata luar biasa!" ucap Bayumurti kagum.
"Pedang ini adalah pedang kecil yang dulu kau berikan padaku sebagai hadiah.
Waktu aku dan orang tuaku kembali ke Tiongkok."
"Apa... ?" Tentu saja Bayumurti tidak bisa percaya.
"Kau tidak percaya, aku juga tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri
kenyataannya. Setelah bertahun-tahun di tanganku, pedang ini berubah besar dan
panjang serta memiliki kesaktian luar biasa. Aku sendiri terkejut setengah mati.
Aku tak berani menceritakan pada orang tuaku. Tidak pada siapapun. Juga tidak
pada suhuku di Perguruan Siauwlim."
"Ah, kau telah menjadi seorang pendekar kangouw rupanya!" (kangouw = rimba
persilatan Tiongkok)
"Bayu, pedang itu bukan senjata sembarangan. Mungkin tidak ada duanya di dunia
ini. Karena gagangnya berbentuk kepala naga dan badan pedang memancarkan cahaya
merah, aku memberinya nama Pedang Naga Merah atau Ang Liong Kiam."
"Aku merasa bersyukur telah menemukan dan memberikannya padamu." Kata Bayumurti
pula. "Seumur hidup tidak akan putusnya aku merasa berterima kasih padamu," jawab Loan
Nio Nikouw. "Loan Nio, apakah kau datang ke sini bersama orang tuamu?"
Paderi perempuan itu sarungkan kembali pedang sakti.
"Aku datang sendiri. Membekal tugas dari Wakil Ketua Perguruan." Loan No diam
sebentar seperti berpikir. Lalu dia berkata. "Bayu, kau harus tahu kalau aku
sekarang sudah menjadi seorang paderi."
"Paderi?"
Loan Nio Nikouw mengangguk lalu gerakkan tangannya ke kepala, menarik lepas
rambutnya yang hitam panjang yang ternyata rambut palsu, menyibak kepalanya yang
botak. Bayumurti terdiam sesaat. Ketika Loan Nio hendak mengenakan rambut palsunya
kembali Adipati ini mencegah. "Jangan, aku suka melihatmu tanpa rambut itu. Kau
cantik sekali Loan Nio. Ah..."
"Kau senang diriku tanpa rambut?" tanya sang paderi.
Bayumurti mengangguk. Loan Nio tertawa. "Loan Nio, kau tidak rikuh kita berdua-
dua dalam kamar ini" Apa lagi sekarang kau telah menjadi seorang paderi?"
Paderi perempuan itu gelengkan kepala. Malah dia kemudian tutupkan pintu kamar
yang masih sedikit terbuka dan menguncinya sekaligus.
"Aku rindu padamu. Malam ini aku akan tidur di sini sampai menjelang pagi.
Boleh?" Bayumurti kembali dibuat terkejut mendengar ucapan itu hingga dia tidak bisa
menjawab. Loan Nio Nikouw duduk ke kursi. "Bayu, selain menemuimu karena rindu,
aku juga butuh bantuanmu. Semoga kau bisa menolong."
"Apapun permintaanmu aku pasti akan berusaha membantu. Ada apa Loan Nio?"
"Aku ditugaskan mencari sepasang benda yaitu dua buah dadu yang disebut sebagai
dadu setan."
"Aku pernah mendengar tentang dua buah dadu itu. Kabarnya keberadaan dua dadu
itu di tanah Jawa telah menyebabkan banyak orang menemui ajal. Malah ada kabar
mengatakan bahwa kematian Adipati Brebes Karta Suminta ada sangkut pautnya
dengan benda itu. Beberapa tokoh rimba persilatan terlibat.
Termasuk Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia dituduh sebagai pembunuh Karta
Suminta. Selebarannya sebagai orang buronan ada dimana-mana."
Disebutnya nama Wiro membuat Loan Nio Nikouw terdiam. Menurut Liok Ong Cun,
pendekar itu telah merusak kehormatannya di goa. Dan yang sangat merisaukan
hatinya seharusnya dia sudah datang bulan beberapa hari lalu. Namun sampai hari
itu hal itu tidak terjadi. Selain itu perutnya kerap kali terasa mual. Tanda-
tanda yang menakutkan. Kalau dia sampai hamil, berarti celaka besar menghadang
dirinya. "Bayu, aku ingin bercerita lebih banyak. Namun tubuhku terasa letih. Bolehkah
aku beristirahat dan tidur di ranjang itu untuk beberapa ketika?"
"Silahkan, jika kau mau. Aku akan keluar sambil berjaga-jaga."
"Tidak, tetap saja di sini. Aku ingin tidur dalam pelukanmu."
Jantung Bayumurti jadi berdebar. Darahnya memanas.
"Bayu, ingat waktu kau mencium aku pertama kali..." Aku tidak pernah melupakan
hal itu." "Itu terjadi waktu kita main-mainan di masa kecil. Waktu itu permainan kita kau
jadi anak, aku jadi ayah." jawab Bayumurti. Diam-diam walau hasratnya menggelora
namun ada kegelisahan muncul di hati Adipati Brebes yang baru ini. "Loan Nio,
kau tidurlah. Aku keluar sebentar..."
"Tidak, jangan tinggalkan aku Bayu..." Loan Nio pegang tangan lelaki muda itu
kencang sekali.
"Kemarilah..."
Bayumurti tetap berdiri di tempatnya. "Apa yang terjadi dengan gadis ini" Dia
muncul secara tiba-tiba. Bicara tentang dadu setan. Lalu sikapnya yang sangat
berani. Aku tahu di masa kanak-kanak dulu dia sangat suka dan sayang padaku.
Tapi kini aku dan dia sudah sama-sama dewasa. Harus ada batasan. Aku
khawatir...."
"Bayu, aku kedinginan...."
"Aku akan mengambilkan selimut untukmu."
"Aku tidak butuh selimut. Aku butuh dirimu. Peluk aku Bayu. Hanya tubuhmu yang
bisa memberi kehangatan pada diriku. Aku menyukaimu sejak masa kanak-kanak dulu.
Apakah kau tidak menyukaiku."
Loan Nio Nikouw tarik tangan Bayumurti. Kali ini lebih kuat hingga keduanya
jatuh tergolek di atas ranjang.
"Loan Nio, suka di masa kanak-kanak tidak bisa disamakan dengan suka di masa
dewasa." "Aku tidak ingin mendengar ucapan seperti itu," kata Loan Nio Nikouw pula sambil
dua kakinya disilang merangkul pinggang Bayumurti.
Sampai di sini, walau nafsu mulai membakar namun rasa takut lebih kuat
berkecamuk. Bayumurti lepaskan dirinya dari pelukan tangan dan rangkulan kaki
Loan Nio Nikouw.
"Loan Nio, ada sesuatu dalam dirimu. Mungkin semua yang kau lakukan dan kau
ucapkan terjadi diluar sadarmu."
Paderi perempuan itu tertawa.
"Bayu, dengar baik-baik. Aku suka padamu. Jika kau tidak suka padaku, buruk
sekali nasib diriku."
"Aku juga suka padamu, Loan Nio. Tapi bukan berarti kita bisa berbuat kehendak
hati kita."
"Bayu, aku ingin malam ini milik kita berdua."
"Loan Nio, maafkan aku..."
"Kau menolak. Berarti aku harus membunuh manusia satu itu!"
Loan Nio bangkit dan turun dari atas ranjang.
"Kau hendak membunuh siapa, Loan Nio" Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya
Bayumurti heran.
"Sikap dan tutur bicaramu aneh."
"Dari kecil aku memang aneh! Apa kau baru tahu sekarang?" jawab Loan Nio sambil
tersenyum. Dia melangkah ke jendela. Membuka daun jendela lalu sekali melompat
tubuhnya melesat keluar kamar, lenyap di kegelapan halaman samping gedung
Kadipaten. Bayumurti tidak berusaha mengejar. Dia hanya berdiri di belakang jendela
memperhatikan kepergian Loan Nio Nikouw sambil hati masih bertanya-tanya. "Ada
apa dengan gadis itu. Aku merasa ada suatu maksud yang coba disembunyikannya di
balik semua sifat dan sikapnya tadi. Atau mungkin ada seseorang mengirimnya
untuk menghancurkan diri dan kedudukanku?"
*** SEPULUH DALAM perjalanan ke arah timur Wiro dan Purnama melewati kawasan bukit dan
jurang batu yang cukup terjal. Kusir gerobak yang mereka sewa tidak berani
memacu dua kuda penarik gerobak terlalu cepat.
Hampir setengah harian berada di kawasan itu akhirnya mereka memasuki satu jalan
menurun ditumbuhi banyak pohon kelapa. Pemandangan di bawah sana indah sekali.
Di sebelah barat tampak laut luas kehijauan.
"Aku haus." Kata Pendekar 212 lalu minta kusir gerobak berhenti dekat sebatang
pohon kelapa yang banyak buahnya dan masih muda-muda. Wiro tepuk bahu kusir
gerobak sedang tangannya yang lain menunjuk ke arah buah kelapa.
"Raden, kalau Raden menyuruh saya mengambil buah kelapa, maaf saja. Saya tidak
bisa memanjat."
Kata kusir gerobak pula, seorang lelaki berusia setengah abad.
"Kalau begitu aku pinjam golokmu," kata Wiro.
Kusir gerobak loloskan golok dari sarung yang terselip di pinggang, serahkan
pada Wiro. Setelah mengusap badan golok beberapa kali, Wiro lemparkan senjata
itu ke atas, ke arah pohon kelapa yang banyak buahnya.
"Crass!"
Golok menabas. Tiga buah kelapa melayang jatuh. Golok berputar di udara. Wiro
gerakkan tangan.
Golok melesat turun dan sesaat kemudian sudah berada dalam genggaman tangan
kirinya. Wiro serahkan golok pada kusir gerobak. "Tolong dikupas kelapanya.
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selesai minum kita lanjutkan perjalanan."
Setelah puas meneguk air kelapa rombongan siap melanjutkan perjalanan. Namun
mendadak dua kuda penarik gerobak meringkik keras dan angkat dua kaki depan ke
atas, membuat gerobak hampir saja terguling.
Bersamaan dengan itu terdengar suara orang berkata. "Tenang ... tenang. Kuda
penarik gerobak!
Tidak perlu takut! Kalian 'kan tidak mencuri kelapaku!"
Dua kuda mendadak jadi jinak lalu turunkan kaki masing-masing.
Wiro memberi isyarat pada Purnama. "Ada orang aneh menghadang gerobak," bisik
Wiro. Lalu dia tarik lengan si gadis dan sama-sama melompat turun dari gerobak.
Di tengah jalan saat itu ada seorang kakek bertubuh tinggi, kurus kerempeng,
berpakaian rombeng compang-camping. Di dadanya tergantung sebuah kantong kain
yang sudah lusuh. Dua tangan terkulai panjang di samping melewati lutut. Kepala
di sebelah atas tengah botak plontos sedang di samping rambut putih menjulai
panjang sampai ke bahu. Sepasang mata tampak sipit, nyaris tertutup. Di leher
tergantung empat buah batok kelapa. Melihat Wiro dan Purnama, kakek ini
menyeringai. "Hati-hati Wiro," bisik Purnama. "Kakek ini kelihatannya bukan orang
sembarangan."
"Kalian berdua, habis menenggak air kelapa milikku lantas mau pergi begitu saja.
Enak betul!"
Wiro dan Purnama saling pandang. Wiro lalu keduanya buru-buru membungkuk. Wiro
berkata. "Mohon maafmu, orang tua. Kami kebetulan lewat dan kebetulan haus. Melihat
banyak kelapa...."
"Semua serba kebetulan katamu! Ha...ha...hal! Tetap saja kalian aku namakan
pencuri!" "Sekali lagi mohon maafmu, Kek. Kami bersedia membayar tiga buah kelapa yang
airnya sudah kami minum," kata Wiro pula.
"Begitu" Ha.. ha... ha! Kalian punya banyak duit rupanya! Baik, kalian mau bayar
berapa?" bertanya kakek kurus kerempeng.
Dari salah satu kantong pakaiannya Wiro keluarkan sekeping uang logam bolong
terbuat dari tembaga laki disodorkan pada si kakek. Si kakek mengambil uang itu,
membolak-baliknya beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak. Waktu ketawa kelihatan
gusinya atas bawah yang tidak bergigi lagi.
"Uang butut untuk tiga buah kelapa! Sungguh tidak pantas!" Lalu enak saja orang
tua tinggi kerempeng ini masukkan uang tembaga bolong ke dalam mulut. Dan
krek... krek... krek, terdengar suara mulutnya mengunyah uang logam itu. Padahal
dia sama sekali tidak punya gigi barang sepotongpun!
Kusir gerobak ternganga Wiro dan Purnama walau terkesiap namun kini tambah
berlaku waspada.
Kakek aneh berkepandaian tinggi ini bisa saja punya niat jahat dan melakukan
sesuatu secara mendadak.
"Kek," Purnama berkata. "Dengan uang itu sebetulnya kami bisa membeli sepuluh
pohon kelapa, bukan cuma tiga buah kelapa. Harap kau sudi menerima."
Si kakek perhatikan Purnama. Matanya yang tadi sipit tiba-tiba membuka besar
sekali. Lalu dia kembali tertawa.
"Aku tidak mau bicara dengan gadis cantik!" katanya. "Perempuan cantik hanya
mengacaukan jalan pikiran. Urusan bisa-bisa jadi ngawur dan tidak selesai! Aku
hanya mau bicara sama pemuda ini. Gondrong!
Kelapaku bukan kelapa sembarangan. Aku menyebutnya Kelapa Dewa. Jadi jangan
kurang ajar membayar murah!"
"Lalu kau minta bayaran berapa Kek?" Wiro mengalah sambil mengeruk lagi saku
pakaiannya padahal Purnama memberi isyarat untuk mencegah.
Sambil usap-usap kepalanya yang botak si kakek enak saja berkata. "Aku minta
bayaran lima ringgit emas!" Wiro dan Purnama, juga kusir gerobak sama-sama
terkesiap kaget.
"Kenapa kalian diam" Bilang saja mau bayar atau tidak"!"
"Kek, tentu saja kami mau bayar. Tapi jumlah yang kau minta tidak masuk akal.
Lagi pula kami tidak punya uang sebanyak itu!"
Si kakek menyeringai. Kembali memperlihatkan gusinya yang tak bergigi.
"Uang yang aku minta sama dengan harga kepalamu! Bukan begitu" Aku tidak
mengambil kepalamu dan menyerahkannya pada Adipati Losari. Nah apa tidak adil
kalau sekarang kau memberi aku lima ringgit emas"!"
Wiro terkejut. Jadi berita selebaran yang dibuat Adipati Losari Seda Wiralaga
rupanya sudah sampai di telinga kakek aneh ini.
"Kalau tak mampu bayar ya sudah. Urusan bisa saja dibikin sederhana." Kakek
kurus kerempeng lepas tiga dari empat batok kelapa yang tergantung dilehemya
lalu dilempar ke tanah. "Pulangkan air kelapaku! Kalian bertiga kencing di batok
itu!" Wiro melengak terkejut. Lalu tertawa gelak-gelak. Sambil membuat gerakan hendak
menurunkan celananya dia berkata. "Aku dan kusir gerobak ini bisa saja kencing
di batok itu. Tapi sahabatku gadis ini mana mungkin melakukan hal itu."
"Mungkin atau tidak aku tidak perduli. Bagaimana caranya dia mau kencing, itu
urusannya. Aku juga tak bakal ngintip. Apa selama ini dia tidak pernah kencing.
Ha ...ha... ha!"
Purnama jadi marah. "Orang tua! Lama-lama kau jadi tambah kurang ajar. Baik aku
akan kencing di batok itu. Tapi nanti kau harus minum air kencingku sampai
habis! Bagaimana caranya kau mau minum, pakai mulut, hidung atau dengkulmu itu
urusanmu!"
Si kakek menatap terkesiap lalu tertawa bergelak.
"Gadis cantik, silahkan kau ambil salah satu dari tiga batok kelapa itu!"
Tidak tunggu lebih lama Purnama segera melompat mengambil batok kelapa di
sebelah tengah. Tapi begitu tangannya menyentuh, dia tidak sanggup mengambil
batok kelapa itu. Batok seperti menempel ke tanah. Memperhatikan hal itu Wiro
segera mendekat si kakek, membungkuk memberi penghormatan lalu berkata.
"Orang tua, kami berterima kasih atas pelajaran yang kau berikan. Ini membuat
kami harus berhati-hati dalam melakukan setiap perbuatan. Kami mohon maafmu.
Sekarang kami mohon izin untuk meneruskan perjalanan."
"Cek... cek... cek... cek!" Si kakek keluarkan suara berdecak. "Enak sekali.
Kelapaku dijarah.
Diminta bayar tidak sanggup. Disuruh kencing juga tidak mau. Sudah, aku memberi
keringanan pada kalian.
Salah satu dari kalian harus tinggal di sini untuk jadi kacungku!" Si kakek
memperhatikan satu persatu ke tiga orang itu. Mulai dari Wiro, lalu kusir
gerobak, akhirnya Purnama. Setelah cukup lama dia memperhatikan si gadis maka
dia berkata. "Aku pilih kusir gerobak itu!"
"Tidak bisa kek! Dia harus ikut bersama kami!" Ucap Wiro.
"Gondrong! Kau harus bersyukur. Aku meminta kusir gerobak. Bukan sahabatmu yang
cantik ini!"
"Walau dia cuma kusir gerobak, tapi kami tetap membelanya." Kata Wiro pula.
"Kalau begitu sikap dan langkah kalian, memang pantas aku memberi pelajaran!
Kalau mau jadi maling jadi maling besar. Jangan cuma jadi maling kelapa!" Habis
keluarkan ucapan si kakek gerakkan tangannya. Tiga batok kelapa melesat ke atas,
bertumpuk jadi satu dengan batok yang keempat di atas telapak tangan kiri. Si
kakek bersiul keras. Saat itu juga empat batok melayang ke udara, ketika turun
si kakek cepat menyambuti. Dan astaga! Ternyata tangan orang tua aneh ini kini
telah bertambah, bukan cuma dua, tapi sudah jadi empat! Masing-masing tangan
memegang sebuah batok kelapa!
"Gondrong! Kau duluan!" Hardik si kakek. Tubuhnya melesat ke arah Wiro. Empat
tangan bergerak cepat. Dari dalam batok kelapa menyambar cahaya masing-masing
berwarna merah, biru, hitam dan kuning!
" Empat Batok Menebar Pahala!" Si kakek berseru menyebut jurus serangannya.
Diserang seperti itu Wiro tentu saja tidak tinggal diam. Dia buka caping di atas
kepala. Setelah melompat ke belakang menghindari empat sinar yang menyambar dia
lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan mengandalkan hampir setengah dari
kekuatan tenaga dalamnya.
"Wuuttt!"
Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung menderu.
Tubuh si kakek bergoncang keras namun dua kakinya masih menginjak tanah. Malah
mulutnya umbar suara tertawa.
" Empat Batok Minta Sedekah!"
Si kakek kurus berpakaian rombeng gerakkan empat tangan. Sinar empat warna
lenyap. Namun empat tangan si kakek berubah jadi panjang. Tanpa sama sekali
menggeser dua kakinya, empat tangan menghantam ke arah Wiro. Dahsyat sekali
karena empat bagian tubuh yang sekaligus jadi sasaran serangan!
Murid Sinto Gendeng hadapi serangan lawan dengan jurus
Kipas Sakti Terbuka. Dua tangan
dikembang ke atas lalu membeset ke samping.
"Bukk! Bukk!"
Dua lengan beradu. Si kakek menggerung kesakitan. Sementara Wiro terpental. Kini
dua tangan si kakek yang lain melesat panjang dan plak....plak! Dua batok kelapa
menghajar bagian dada serta pundak Wiro, membuat pendekar ini roboh ke tanah
tapi cepat melompat bangkit.
Yang membuat Wiro kaget adalah ketika menyaksikan dua buah batok kelapa yang
tadi menghantam dirinya kini menempel di bagian dada dan pundak. Sementara itu
di empat tangan si kakek tetap terlihat empat buah batok kelapa. Wiro coba tarik
dua batok kelapa yang menempel di tubuhnya. Ternyata tidak bisa!
Makin dipaksa makin kencang dua batok kelapa itu menempel. Ketika dia kerahkan
tenaga dalam untuk menanggalkan, kulit serta daging pundak dan dadanya seolah-
olah ikut tertarik. Sakitnya bukan main.
Si kakek tertawa. "Mau lagi"!"
"Sett... pIak... pIak!"
Dua tangan melesat panjang. Wiro lagi-lagi tak bisa mengelak. Kini ada dua batok
kelapa lagi yang menempel. Di perut dan pinggul.
"Ha... ha... ha!" Kakek tinggi kerempeng tertawa bergelak. Empat tangannya
melesat tiada henti.
Saat itu lebih dari dua puluh batok kelapa telah melekat di kepala, muka, dada
serta punggung Pendekar 212.
"Jahanam! Ilmu setan apa ini"!" Teriak Wfro. Dua tangannya sibuk kalang-kabut
coba menanggalkan batok-batok kelapa terutama yang menempel di bagian wajah.
"Orang tua! Kalau kau tidak memusnahkan batok kelapa itu jangan menyesal!"
Purnama berteriak mengancam.
"Gadis cantik! Kau juga mau batok kelapa" Mau ditaruh dimana" Ayo bilang! Mau di
dada kiri kanan biar tambah montok" Ha... ha... ha!"
"Tua bangka kurang ajar!" Wajah Purnama mengelam. Dia lambaikan tangan kanannya
ke arah si kakek. Serangkum angin menyapu. Saat itu juga orang tua ini tampak
kelojotan lalu sekujur tubuhnya diam, tak bisa bergerak. Mulut ikut gagu hanya
mampu mengeluarkan suara uuhh....uuhhh. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam
dan hawa sakti untuk membuyarkan kelumpuhan yang melanda dirinya. Tapi tak
mampu. Purnama cepat mendekat Wiro. Dia coba melepaskan salah satu batok kelapa yang
menempel di tubuh Wiro. Tapi tidak berhasil. Setelah memperhatikan dan memeriksa
sekujur tubuh Wiro, Purnama berkata.
"Wiro, kosongkan pikiranmu. Menatap lurus ke depan. Jangan mengerahkan hawa
sakti atau tenaga dalam. Aku akan mencoba. Mudah-mudahan berhasil..."
Wiro menggaruk kepalanya yang ditempeli dua batok kelapa. "Kalau tidak berhasil,
seumur hidup aku akan jadi manusia batok! Kakek sialan!"
Purnama bentangkan sepuluh jari tangan. Satu persatu setiap ujung jari ditiup.
Hingga mengepulkan asap tipis. Lalu tanpa pengerahan tenaga dalam gadis dari
negeri 1200 tahun silam ini totok seluruh bagian tubuh Wiro di antara celah-
celah belasan batok kelapa. Wiro merasa dirinya laksana digigit ribuan semut
hingga dia menggigil menahan sakit. Lalu terjadi keanehan. Sekujur badannya
mandi keringat "Pluk...pIuk...piuk..."
Satu persatu batok yang menempel di kepala, muka serta sekujur tubuh Wiro
terlepas dan jatuh ke tanah. Begitu menyentuh tanah batok jejadian ini melayang
ke arah si kakek lalu lenyap. Di saat bersamaan dua tangan jejadian si kakek
ikut sirna, namun keadaannya masih tetap tidak bisa bergerak tidak mampu
bersuara. Wiro dekati si kakek.
"Kek, kau keterlaluan mempermainkan orang."
"Uuhh... uhh... uhhh."
"Sekarang giliranku mempermainkanmu!"
Wiro turunkan tangan kanannya ke bawah lalu ditekapkan ke bagian bawah perut si
kakek. Orang tua ini merasa bagian di antara dua pahanya dingin-dingin sejuk.
Mata berkedap-kedip.
"Uhh.... uhhh... uhhh."
"Wiro, apa yang kau lakukan?" Purnama bertanya.
Sang pendekar letakkan telunjuk tangan kiri di atas bibir, wajah tersenyum dan
mata dikedip. Sesaat kemudian, perlahan-lahan dia bergerak mundur menjauhi kakek
tinggi kurus itu lalu melangkah ke arah satu pohon besar. Tangan kanannya yang
ditekap seolah memegang sesuatu kini dikembangkan lalu ditempelkan ke batang
pohon. Ketika Wiro turunkan tangan Purnama langsung membuang muka. Kusir gerobak
terbelalak. Si kakek sendiri seperti mau melompat tanggal sepasang matanya.
Bagaimana tidak. Benda yang ditempelkan Wiro di batang pohon itu, dari bentuk
serta warnanya jelas adalah anggota rahasia miliknya!
"Uuhhhh...." Si kakek meraung panjang.
Purnama tak berani berbalik. Dalam hati dia berkata. "Ilmu Menahan Darah
Memindah Jasad. Pasti Wiro mendapatkan dari Hantu Selaksa Angin sewaktu berada
di Latanahsilam...."
"Kek, kalau mau kencing, kencing sajal Ha... ha ... ha! Mari kuambilkan
tampungannyal" Murid Sinto gendeng lalu ambil salah satu batok kelapa di tangan
si kakek dan letakkan di bawah pohon sambil tiada henti tertawa.
"Uuhhh....uuuhhhhhh." Si kakek meraung. Dalam hati dia menyumpah habis-habisan.
Waktu itu di atas pohon ada seekor bajing liar warna coklat. Sepasang mata
membesar berkedap-kedip. Hidung dan moncong mengendus-endus. Rupanya binatang
ini sudah melihat keberadaan anggota rahasia milik si kakek yang menempel di
batang pohon. Perlahan-lahan sang bajing merayap turun mendekat.
"Uuuhhh....uuhhhhhh!" Si kakek tak bisa berbuat apa selain mendelik dan
keluarkan suara uhhh berkepanjangan. Dalam hati dia tak habis pikir dan
keluarkan kutuk serapah. Ilmu iblis apa yang dimiliki si gondrong itu hingga
bisa memindahkan anggota rahasianya ke batang pohon. Kalau sampai bajing di atas
pohon melahap barangnya itu celakalah dia seumur-umur!
Wiro memberi isyarat pada Purnama lalu melompat ke atas gerobak.
"Wiro, orang tua itu. Kau akan meninggalkannya dalam keadaan sebegitu rupa?"
"Kalau kau mau membebaskannya dari kaku dan gagu silahkan. Tapi aku tidak akan
mengembalikan perkutut bututnya itu ke tempat semula!" Jawab Wiro sambil senyum-
senyum. Karena kasihan Purnama lambaikan tangan kanan. Serangkum angin menyapu tubuh si
kakek. Saat itu juga dia mampu bergerak dan berteriak kalang kabut. Pertama
sekali dilakukannya adalah berbalik mem-belakangi orang-orang itu lalu turunkan
celana. Dia ingin memastikan bahwa anggota rahasianya benar-benar sudah dipindah
ke pohon. Kakek ini terkesiap pucat ketika menyaksikan bagian bawah perutnya
kini memang ternyata licin kosong melompong!
"Tunggu! Jangan pergi dulu! Bagaimana ini! Hai!" Si kakek lari mondar-mandir
dari pohon ke gerobak.
Wiro tertawa gelak-gelak. Supir gerobak juga ikutan ngakak. Hanya Purnama yang
berdiam diri, tak berani menoleh ke arah pohon.
"Gadis cantik! Tolong!" si kakek pegang tangan Purnama.
Menyembah-nyembah berulang kali. "Tolong! Minta sahabatmu itu mengembalikan
anuku yang disana! Ampun, tolong.... Aduh, aku mau kencing tapi tidak bisa!"
Makin keras teriakan si kakek, makin kalang kabut dia, makin keras pula tawa
Wiro dan kusir gerobak.
"Ayo jalan!" Wiro berkata pada kusir gerobak.
"Ampun! Jangan pergi! Tolong dulu!" Si kakek ambil kantong kain yang tergantung
di dadanya. Isi kantong dituang ke lantai gerobak di depan kaki Wiro. Isinya
ternyata puluhan uang logam. "Gondrong! Kau boleh ambil semua uang itu! Itu
pencarianku selama satu bulan! Ambil! Tapi tolong! Ampun! Kembalikan barangku!"
"Sabar Kek..." kata Wiro sambil pegang bahu si kakek. "Burung merpati itu selalu
terbang pulang ke sarangnya. Nanti burungmu juga akan kembali."
"Tidak mungkin! Burungku tak ada sayapnya!" jawab si kakek yang membuat Wiro dan
kusir gerobak tertawa gelak-gelak. Purnama sendiri tak dapat menahan gelinya.
Gadis ini duduk tundukkan wajah tersipu-sipu.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara orang batuk-batuk. Lalu dari
balik pohon besar muncul seorang lelaki muda yang berjalan tertatih-tatih dengan
bantuan dua tongkat kayu di bawah ketiak.
Dua kakinya dibalut dedaunan dan ditopang dengan potongan kayu. Wajahnya penuh
bekas luka yang mulai mengering. Orang ini menatap ke arah gerobak, memandang ke
jurusan si kakek. Lalu menoleh ke batang pohon di sampingnya. Karuan saja lelaki
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda ini jadi tersentak kaget, mengerenyit, akhirnya tertawa dan geleng-geleng
kepala. "Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad." Lelaki dekat pohon keluarkan ucapan.
Wiro terkejut. Garuk kepala dan berkata perlahan. "Purnama, kau kenal orang itu.
Dia tahu dan menyebut ilmu yang aku pergunakan untuk memindahkan anunya si kakek
ke batang pohon."
"Aku tidak kenal orang itu. Sebaiknya kita jangan pergi dulu, Wiro."
Wiro memberi isyarat pada kusir gerobak lalu melompat turun.
"Kek," orang di samping pohon menegur; "Aku sudah bilang jangan berlaku jahil.
Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya!"
"Aku menyesal. Aku tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin menjajalnya. Aku ingin
melihat dia mengeluarkan ilmu Pukulan Sinar Matahari. Tapi yang dikeluarkannya
Pukulan Menjambret Burungku!
Ampun...."
Sampai di hadapan lelaki muda bertongkat Wiro bertanya. "Sahabat, siapa dirimu"
Dua kakimu kulihat cidera parah. Sekujur tubuhmu penuh luka. Kakek itu apamu?"
"Kau tidak mengenal diriku. Tapi aku tahu siapa dirimu. Kau yang selama ini
sangat kukagumi. Aku banyak mendengar cerita tentang kehebatanmu. Termasuk
berbagai macam ilmu kesaktian yang kau miliki.
Satu diantaranya adalah yang tadi aku sebutkan. Bukankah aku saat ini berhadapan
dengan Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua Wiro Sableng?"
"Aku memang Wiro. Tapi aku tidak sehebat yang kau bayangkan. Sahabat, kau belum
menerangkan siapa dirimu."
"Aku Rayi Jantra."
Wiro kaget bukan kepalang tapi juga gembira. Dia tidak menduga akan bertemu
dengan Kepala Pasukan Kadipaten Losari yang memang tengah dicarinya itu.
"Sahabatmu Jumena ternyata benar. Dia tidak yakin kau telah menemui ajal. Dia
berkali-kali pernah mengimpikan dirimu. Bersama seorang kakek. Mungkin kakek
yang lagi kalang kabut itu" Siapa dia?"
"Dia Pengemis Empat Mata Angin, guru Pengemis Siang Malam yang keluarganya
pernah kau selamatkan dari tangan manusia-manusia jahat Kumalasakti, Kuncir
Merah dan Ki Beringin Reksa...."
"Kalau dia tahu aku pernah menolong muridnya, mengapa dia berbuat jahat
terhadapku?"
"Dia tidak jahat. Sebenarnya dia hanya ingin menjajal dirimu. Seperti diriku,
dia sudah lama mendengar kehebatanmu. Dia ingin melihat Pukulan Sinar Matahari
yang kau miliki. Namun caranya jahil.
Hingga akhirnya dia babak belur sendiri."
Wiro tersenyum, garuk-garuk kepala dan memandang ke arah Pengemis Empat Mata
Angin yang saat itu berdiri di depan pohon, pandangi barang miliknya. Dia ingin
mengambil anggota rahasianya itu tapi takut menyentuh. Akhirnya dalam bingung
orang tua ini hanya berlutut di tanah sambil kening disandarkan ke pohon. "Aku
menyesal memperlakukannya seperti itu. Nanti akan aku kembalikan barangnya ke
tempat asal. Bagaimana kau sampai mengenal dirinya?"
"Waktu aku dibuang ke jurang atas perintah Ki Sentot Balangnipa, Pengemis Empat
Mata Angin tengah bertapa di dasar jurang. Dia berusaha menolong orang-orang
yang dilempar, namun hanya aku seorang yang bisa diselamatkan."
"Aku mendengar riwayatmu dari Jumena. Sayang perajurit itu tewas di tangan
seorang pembunuh gelap. Aku tengah menyelidiki siapa orang itu. Banyak pekerjaan
yang harus aku lakukan. Aku butuh perto-longanmu. Menurut Jumena kau tahu
tentang satu tempat rahasia di satu bukit."
"Aku sudah mendengar kematian Jumena." Kata Rayi Jantra pula. "Mengenai yang
tadi kau tanyakan, baiknya kita bicara di tempat yang aman. Ada sebuah lorong
batu tak jauh dari sini. Selama dalam pengobatan aku tinggal di sana ditemani
kakek pengemis itu."
"Sahabatku ini ahli pengobatan," kata Wiro sambil memegang bahu Purnama. "Mudah-
mudahan dia bisa membantu mempercepat kesembuhanmu."
Rayi Jantra membungkuk dalam. "Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih."
"Kita naik gerobak saja. Biar aku jalan kaki." Kata Wiro pula.
"Tunggu!" tiba-tiba terdengar teriakan Pengemis Empat Mata Angin. "Gondrong! Kau
lebih baik membunuhku kalau tidak mengembalikan..."
"Tenang Kek. Akan aku kembalikan perabotanmu itu sekarang juga," kata Wiro lalu
melangkah ke pohon. Tangan kanannya ditekapkan ke barang milik si kakek yang
menempel di pohon dan hampir disantap bajing liar. Lalu perabotan antik itu
ditempelkan kembali di tempat semula.
Sesaat setelah Wiro dan orang-orang itu pergi si kakek cepat-cepat buka
celananya. Ah! Dia merasa lega. Barang antiknya sudah kembali di tempat semula.
Tapi ketika lebih memperhatikan Pengemis Empat Mata Angin jadi tersentak kaget.
Dia langsung berteriak dan mengejar rombongan.
"Hai! Tunggu dulu!"
"Ada apa lagi Kek?" tanya Wiro.
"Anuku!"
"Kenapa anumu" Bukankah sudah aku kembalikan ke sarangnya?"
"Benar! Tapi kau memasangnya terbalik! Kantong menyannya ada di sebelah atas.
Seharusnya dibawah!"
Wiro, Rayi Jantra dan kusir gerobak tertawa gelak-gelak. Purnama tersipu merah
wajahnya. "Baik Kek! Nanti aku betulkan! Tapi sebenarnya terbalik begitu lebih angker
lebih mantap Kek!
Kata Wiro pula disambut gelak tawa semua orang.
TAMAT Episode berikutnya:
Sang Pembunuh Pendekar Pedang Dari Bu Tong 17 Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman Medali Wasiat 9
Jatilandak hanya tersenyum dan angkat bahu.
"Tidak ada salahnya kau mendekati gadis itu. Tapi hati-hati dan tahu dirilah.
Kita ini bukan orang-orang yang berasal dari negeri ini. Mereka semua tahu. Di
depan kita mereka semua bersikap baik. Tapi di lubuk hati mereka mana mungkin
kita menyelami. Bisa saja mereka menganggap tingkatan kita berada di bawah
mereka. Selain itu Bidadari Angin Timur tahu keadaan dirimu sebelumnya. Ini bisa
merupakan ganjalan. Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan saja mereka memang
tulus semua."
"Ibu, dua hari aku beada di sini bersamamu aku sering melihat Ibu lebih banyak
melamun. Apakah Ibu merasa kesepian atau tengah memikirkan sesuatu?"
Luhmintari menghela nafas dalam. "Memang banyak yang menjadi pikiran dalam
benakku...."
"Memikirkan seseorang?"
Perempuan cantik dari Latanahsilam it tak menjawab.
"Ibu tak mau berterus terang padaku."
"Ada sesuatu yang aku risaukan."
"Kalau Ibu mau mengatakan mungkin aku bisa membantu." Kata Jatilandak pula.
Luhmintari kembali menghela nafas dalam. Lalu berkata. "Sejak beberapa waktu
belakangan ini ada satu mahluk yang selalu mengikuti diriku. Dia muncul secara
tiba-tiba. Terkadang dia berbuat jahil dan mengucapkan kata-kata kotor.
Terkadang dia seolah mampu mengacaukan jalan pikiranku."
"Ibu tahu siapa orangnya?"
"Jika dia memang orang dari negeri ini, sudah sejak lama dapat aku ketahui.
Namun ternyata aku mengalami kesulitan menjajagi. Hal ini memberi pertanda bahwa
mahluk itu berasal dari negeri Latanahsilam. Pernah satu kali aku menyidik
dengan ilmu Penciuman Nafas Sepanjang Badan. Dari baunya aku tahu dia memang
berasal dari negeri leluhur kita. Jahatnya, dia tidak mau menampakkan diri.
Pengecut! Aku tidak tahu sakit hati apa yang ada pada dirinya hingga dia berlaku jahil
padaku!" "Mahluk itu, laki-laki atau perempuan?" tanya Jatilandak.
"Perempuan," jawab Luhmintari.
Jatilandak berpikir dan berusaha mengingat-ingat. "Setahuku ada seorang mahluk
yang disebut gadis dari alam roh. Namanya Bunga. Aku mengenalnya ketika kami
bersama-sama menumpas komplotan yang bermarkas di Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Dari pembicaraan para sahabat aku ketahui bahwa gadis alam roh itu
adalah kekasih Pendekar Dua Satu Dua. Jangan-jangan dia yang selama ini
menjahilimu."
"Aku tak berani berburuk sangka," jawab Luhmintari alias Purnama.
"Namun aku menyangsikan. Karena jika dia memang mahluk alam roh dari dunia di
sini, aku pasti bisa melihat bahkan mencekalnya. Tapi mahluk yang sering
mengikutiku ini sulit untuk dilihat. Pertanda dia bukan dari alam sini. Aku
sudah yakin dia berasal dari Negeri Latanahsilam."
"Biar Ibu merasa aman aku akan mendampingi Ibu sampai beberapa lama. Sampai kita
bisa mengetahui siapa adanya mahluk itu. Aku bersumpah untuk menghabisinya jika
dia sampai mencelakai Ibu."
"Terima kasih kau mau berbuat begitu. Tapi Ibu tidak merasa takut. Hanya agak
terganggu. Tidak tahu apa maunya mahluk itu."
"Selain mahluk jahil itu, apakah ada hal lain yang menjadi pikiran Ibu?" tanya
Jatilandak pula.
"Aku merasa perlu berterus terang padamu mengenai satu hal," Jatilandak tatap
wajah ibunya. Coba menerka apa yang hendak dikatakan Luhmintari.
"Sejak pertama kali bertemu di negeri ini dengan pemuda bernama Wiro itu, Ibu
merasa seolah-olah...." Luhmintari tidak bisa meneruskan ucapannya.
Jatilandak pegang tangan Luhmintari. "Ibu menyukai pemuda itu?" Sang putera
langsung menduga.
"Lebih dari menyukai." Jawab sang ibu polos.
"Ibu mengasihinya" Mencintainya?"
Luhmintari menatap ke arah laut hijau di kejauhan lalu perlahan anggukkan
kepala. Jatilandak terdiam untuk beberapa jurus lamanya.
"Ibu tahu, mencintai pendekar itu akan banyak kendala dan ganjalan yang akan Ibu
hadapi. Yang paling berat karena begitu banyak gadis cantik menyukainya."
"Aku tahu tahu hal itu. Namun apakah Wiro menyukai, maksudku mengasihi mereka?"
"Apakah Wiro mengetahui kalau Ibu mencintainya?"
"Walau sehari-hari dia kelihatan bersikap aneh, terkadang lugu, sering berlaku
konyol bahkan kurang ajar, namun Ibu tahu dia seorang yang punya perasaan dalam.
Ibu yakin dia tahu kalau Ibu menyukainya. Cuma, entahlah. Rasanya seperti Ibu
dia juga punya banyak kendala."
Luhmintari menatap ke
langit. "Jatilandak, sang surya sudah tinggi. Ibu harus pergi dulu. Apakah kau
akan tetap di sini sampai Ibu kembali?"
"Kalau Ibu tak mau ditemani aku ingin pergi mencari Bidadari Angin Timur. Aku
tak bisa menunggu sampai hari yang disebut Satu Suro itu."
"Kalau begitu, baiknya kita berangkat sekarang saja. Di kaki bukit kita
berpisah."
Ibu dan anak lalu tinggalkan bukit batu. Di kaki bukit batu Jatilandak pergi ke
arah timur sedang Luhmintari menuju ke utara.
Setelah berjalan seorang diri cukup jauh, Luhmintari merasa ada saputan angin
dingin di kuduknya.
"Hemm...mahluk jahil kurang ajar itu muncul lagi. Sekali ini agaknya aku harus
menghajarnya. Biar dia tahu rasa!" Di kejauhan Luhmintari melihat ada sebuah
bukit. Dia segera lari ke arah bukit. Turut penciumannya serta pendengaran halus
tajam yang dimilikinya dia tahu kalau mahluk tadi masih terus mengikuti. Begitu
sampai di puncak bukit, Luhmintari hentikan langkah bertolak pinggang lalu
keluarkan ucapan keras.
"Banyak mahluk dan manusia pengecut di muka bumi ini! Tapi terus-terusan menjadi
pengecut adalah hal memalukan! Mengapa kau tidak berani unjukkan diri! Apa maumu
sebenarnya"!"
Ucapan keras Luhmintari disambut oleh suara gelak tawa perempuan.
"Mahluk bernama Luhmintari yang konon kini bernama Purnama! Hik... hik! Kau
tidak layak melihat ujudku!"
Ibu Jatilandak ini terkesiap. Dalam hati dia berkata. "Hanya orang-orang
Latanahsilam yang tahu nama asliku! Semakin kuat keyakinanku kalau mahluk jahil
ini benar-benar berasal dari Latanahsilam!"
"Sombong sekali! Atau memang benar-benar pengecut!"
"Kau boleh memaki dari pagi sampai malam! Aku tidak akan melayani permintaanmu!"
"Dasar pengecut! Mengapa aku tidak layak melihat ujudmu"! Takut ketahuan siapa
diri buruk dan busuk" Luhmintari mengejek.
"Hik ... hik! Karena aku masih perawan gadis asli. Sedang kau perempuan yang
pernah kawin dan melahirkan! Kau hanya gadis jejadian!"
Paras cantik Luhmintari alias Purnama bersemu merah. "Mahluk pengecut! Ujudmu
pasti buruk! Aku masih tetap seorang gadis walau sudah menikah! Itu hukum dan kenyataan di
Latanahsilam! Kau sendiri apa pernah menikah" Tampangmu pasti buruk. Buktinya
tidak ada pemuda di Latanahsilam yang suka padamu! Kau boleh sombong dengan
kegadisanmu. Tapi kau lupa kau bukan lain hanya seorang perawan tua!
Aku tahu sekarang! Kau terpesat ke negeri ini karena ingin mencari laki! Tapi
tidak ada yang mau! Itu sebabnya kau jadi gadis gatal, dengki menggangguku!"
Sambil bicara Luhmintari kerahkan hawa sakti ke mata serta perdayakan ilmu Nafas
Sepanjang Badan. Dia berusaha untuk melihat siapa adanya mahluk dihadapannya itu. Namun
dia hanya melihat bayangan sangat samar. Seorang perempuan berpakaian putih,
berambut panjang hitam tergerai lepas.
Terdengar suara orang meludah lalu teriakan marah. Mahluk samar goyangkan
kepala. "Wuttt!"
Rambut hitam melesat, memapas tak ubah seganas pedang tajam.
Luhmintari cepat melompat mundur. Pohon kecil di sampingnya terbabat buntung dan
kepulkan asap. "Mahluk jahat pengecut! Bukan kau saja yang bisa menyerang!" teriak Luhmintari
lalu goyangkan dua bahunya. Saat itu juga dari tubuhnya memancar keluar cahaya
biru bergemerlap. Mahluk samar merasa ada satu kekuatan dahsyat menerjang ke
arahnya. Dia coba bortahan sambil dorongkan dua tangan.
"Bumm! Bummm!"
Dua ledakan dahsyat menggelegar di puncak bukit. Mahluk samar menjerit keras,
Sosok gaibnya terpental ke bawah bukit namun secepat kilat dia melesat kembali
ke arah lawan. Luhmintari sendiri saat itu jatuh berlutut di tanah, wajah
seputih kertas dan rambutnya yang tadi tergulung kini terlepas panjang menjela
pinggang. " Luhmintari! Perempuan tolol pemimpi di siang bolong! Tidak tahu ;malu! Kau
tidak akan pernah mandapatkan pemuda itu! Kau tak akan pernah kawin untuk kedua
kali! Yang menjadi nasibmu adalah kematian untuk kedua kali! Terima ajalmu!"
Dua kllatan cahaya pulih berkiblat di puncik bukit. Bersamaan dengan itu
terdengar suara menggelegar. Langit laksana mau runtuh, bukit seperti hendak
terbongkar. Luhmintari berteriak lantang.
Cahaya biru bergulung keluar dari tubuhnya menyambut hantaman dua kilatan cahaya
putih. Untuk beberapa lama di puncak bukit itu terlihat satu pemandangan luar
biasa. Gulungan cahaya biru saling dorong-mendorong dengan dua cahaya putih.
Nyala api memercik mengerikan. Dua kaki Luhmintari bergetar dan perlahan-lahan
terdorong ke belakang. Gadis dari Latanahsilam ini lipat gandakan tenaga dalam.
Namun hekkk! Darah menyembur dari mulutnya.
Mahluk samar tertawa panjang.
"Luhmintari! Kematianmu sudah di depan mata!"
Dua larik cahaya putih memancar terang sementara cahaya biru yang keluar dari
tubuh Luhmintari berubah redup. Sesaat lagi tubuh Luhmintari akan terpental
hancur luluh tiba-tiba berkelebat seorang berpakaian putih, mengenakan caping
bambu. Luhmintari kemudian mendengar suara seseorang berkata. Di saat yang sama
dia merasa ada dua telapak tangan hangat menempel di punggungnya.
"Purnama, kerahkan tenagamu. Kita serang bersama-sama!"
"Wiro!" ucap Luhmintari alias Purnama. Mengenali suara itu, Luhmintari seolah
mendapat satu kekuatan luar biasa. Begitu dia merasa ada hawa hangat memasuki
tubuhnya lewat punggung yang menandakan ada aliran tenaga dalam luar biasa hebat
membantunya, gadis dari negeri 1200 tahun silam Ini goyangkan bahu lalu pukulkan
dua tangan. Satu mengarah lurus ke depan, satunya ke udara.
"Blaar! Blaaar!"
Bukit laksana dihantam halilintar. Daun-daun pepohonan meranggas gugur dan jatuh
ke tanah dalam keadaan hangus kehitaman. Belasan lobang tampak terkuak di tanah
bukit. Di udara yang mendadak redup terdengar jeritan perempuan. Lalu kutuk
serapah. "Luhmintari! Kau tak akan pemah bisa mengalahkanku!
Aku akan selalu menghantuimu kemana kau pergi! Kau tak akan pernah mendapatkan
pemuda itu! Tidaakkkk!"
Luhmintari balikkan tubuh. Si cantik ini tenggelam dalam pelukan hangat Pendekar
212 Wiro Sableng. Darah yang mengucur di bibirnya membasahi baju putih sang
pendekar. Dia batuk-batuk beberapa kali. Suaranya agak tersendat ketika menyebut
nama pemuda itu.
"Wiro. Kau mengenakan caping...."
Wiro mendudukkan gadis itu di tanah sementara udara perlahan mulai cerah.
Setelah menyeka darah di dagu Purnama Wiro membuka caping lalu bertanya. "Apa
yang terjadi" Aku lihat kau berkelahi seperti orang kesurupan. Aku tidak melihat
lawanmu. Aku coba melihat dengan ilmu menembus pandang. Tapi tidak berhasil.
Tadi aku hanya sempat mendengar teriakannya."
"Wiro, aku juga tidak tahu pasti siapa mahluk itu. Dia sejak lama mengikuti
diriku tapi tak pemah berani unjukkan diri..."
"Pasti mahluk dari alam gaib."
"Ya, dari Latanahsilam," kata Luhmintari.
"Kau tidak bisa mengenali?"
"Sulit. Terlalu samar. Tadi aku sempat melihat bayangan sosok seorang perempuan
pakaian putih berambut hitam panjang."
"Kau kenal Bunga?" tanya Wiro.
"Aku pernah melihatnya. Tapi aku yakin bukan dia mahluknya. Karena tadi setelah
kita hantam bersama ujudnya sempat kulihat sekilas berubah seperti sosok seorang
nenek tua. Tapi sangat samar. Tak bisa kukenali. Wiro, aku senang kau datang.
Aku bahagia kau mau menolong. Wiro, bajumu kotor oleh darahku..."
Pendekar 212 tersenyum. Merangkul hangat Luhmintari lalu bertanya. "Mahluk itu
tadi keluarkan ucapan bahwa kau tidak akan pernah mendapatkan pemuda itu. Pemuda
siapa maksudnya?"
Purnama surukkan wajah cantiknya di dada Pendekar Wiro Sableng. Dia hanya bisa
menggeleng perlahan. Namun dalam hati dia bekata. "Kau tahu siapa adanya pemuda
itu Wiro. Kau tahu. Aku tengah memeluknya erat-erat saat ini...."
"Purnama, mahluk tadi mungkin memendam satu kemarahan. Mungkin kau mengasihi
seorang pemuda yang juga dikasihinya. Dan dia merasa kau telah merebut
kekasihnya itu."
Purnama terdiam. Namun hatinya tak tahan lagi. Sudah saatnya dia harus berterus
terang. "Wiro, memang itu agaknya yang kejadian. Kau tahu, kaulah pemuda yang jadi
rebutan itu! Apakah selama ini kau tidak menyadari kalau aku...."
Purnama tidak sanggup meneruskan ucapannya. Desah tangis memutus kata-katanya.
Murid Sinto Gendeng sendiri saat itu masih merangkul tubuh Purnama dengan tangan
kanan sementara tangan kiri menggaruk kepala.
"Purnama," bisik Pendekar 212. "Kita baru beberapa kali bertemu. Bagaimana
mungkin.... Ah, aku mengerti. Kau telah beberapa kali menolongku, menyelamatkan
jiwaku." "Barusan kau telah melakukan hal yang sama," kata Purnama pula.
Wiro belai rambut panjang hitam dan harum si gadis. Lalu berkata. "Purnama, kau
masih ingat paderi Cina bernama Nionio Nikouw itu?"
Purnama angkat kepalanya dari dada Wiro, menatap wajah si pemuda sejurus. "Ada
apa dengan paderi itu?"
Wiro melihat ada bayangan rasa cemburu di wajah cantik jelita itu. Sambil
memegang dagu Purnama ini dia berkata. "Paderi itu membekal sebilah pedang
bernama Ang Liong Kiam atau Pedang Naga Merah.
Aku mendapat tugas dari guruku Eyang Sinto Gendeng untuk mengambil senjata
mustika itu..."
"Mengapa?"
"Pedang itu sebenarnya bukan milik Nionio Nikouw. Tapi milik para sepuh alam
gaib rimba persilatan tanah Jawa."
"Aku tidak mengerti."
Wiro lalu menceritakan riwayat Pedang Naga Merah yang oleh Naga Geni dan Naga
Suci diberi nama Putera Langit
"Kisah luar biasa..." kata Purnama begitu Wiro mengakhiri penuturannya. "Rasanya
tidak akan mudah bagimu untuk mendapatkan pedang itu. Paderi itu tidak akan
menyerahkan pedang begitu saja.
Pedang itu sama dengan nyawanya."
"Aku tahu kesulitan itu. Tapi aku menerima tugas Eyang Sinto yang harus
dilaksanakan. Apapun yang terjadi."
"Tugasmu bertambah berat. Karena bukankah sampai saat ini belum ketahuan dimana
beradanya Kitab Seribu Pengobatan" Belum diketahui siapa pencurinya"
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Kepalaku cuma satu, tangan hanya dua.
Bagaimana aku harus melaksanakan semua ini?"
Purnama tersenyum. "Kepalamu memang satu, tangan cuma dua. Tapi otakmu ada
seribu. Kau punya banyak akal."
Wiro tertawa gelak-gelak lalu memegang bahu Purnama dan berbisik. "Kau mau ikut
mencari paderi Cina itu?"
Wajah Purnama berseri-seri.
"Wiro aku pernah bilang selama kau tidak menolak aku akan pergi kemana kau
pergi. Lagi pula lenyapnya Kitab Seribu Pengobatan itu sebagian adalah tanggung
jawab kelalaianku. Kau tahu dimana mencari paderi itu?"
"Dia pernah bercerita tentang seorang sahabat di masa kecil. Tinggal di
Semarang. Cerita itu juga aku dengar dari Eyang Sinto. Sahabat kecil yang
sekarang tentunya sudah jadi pemuda itu bernama Bayumurti, salah seorang dari
empat Kepala Pengawal Kerajaan Timur."
"Kalau begitu kita pergi ke Semarang."
"Tidak perlu. Aku mendengar kabar Bayumurti telah diangkat menjadi Adipati
Brebes, mengganti Karta Suminta."
"Berarti kita menyelidik ke Brebes." Kata Purnama pula. Wiro mengangguk.
Tiba-tiba di lereng bukit sebelah timur ada kilatan cahaya merah. Mula-mula
hanya berupa titik, kemudian melesat ke arah mereka makin besar dan makin besar.
"Wusss!"
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiro cepat menarik pinggang Purnama. Keduanya jatuhkan diri di tanah lalu
bergulingan ke arah lereng bukit sebelah barat.
"Bummm!"
Puncak bukit laksana ditebas pedang raksasa. Bagian atas gundul berhamburan ke
udara. Wiro dan Purnama sama lepaskan nafas lega. Keduanya bersihkan tanah yang
mengotori tubuh dan pakaian.
"Pasti mahluk perempuan kurang ajar itu!" kata Purnama, "Dia tak berani
mendekat. Mengirimkan serangan dari jauh! Pengecut!"
"Kita harus berhati-hati. Kita berdua jadi incarannya," kata Wiro pula lalu
meletakkan caping di kepalanya.
"Baru sekali ini aku lihat kau memakai caping. Takut kepanasan?"
"Adipati Losari membuat selebaran. Menangkap diriku hidup atau mati. Imbalannya
lima ringgit emas. Aku terpaksa harus menutupi sebagian wajah jelekku," jawab
Wiro pula. "Wiro, kau ingin aku bersamamu seperti ujudku saat ini. Atau sembunyi kembali di
alam gaib?"
tanya Purnama. "Hemmm. aku rasa aku lebih suka melihat wajahmu."
"Begitu?"
Wiro mengangguk.
"Dess!" saat itu juga ujud Purnama berubah. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan
hanya bagian kepala, melayang di samping Wiro.
"Purnama, apa-apaan ini"!"
Wajah jelita itu tertawa. "Tadi kau bilang lebih suka melihat wajahku! Nah
sesuai ucapanmu tubuhku mulai dari leher sampai ke kaki aku sembunyikan."
Wiro tertawa gelak-gelak. Dicubitnya pipi merah Purnama hingga gadis ini
terpekik, "Maksudku aku suka melihat wajah dan tubuhmu yang utuh. Kalau
sepotong-sepotong seperti ini orang yang melihat bisa heboh!"
Purnama tertawa lagi.
"Dess!"
Tubuhnya kembali utuh mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Nah, begini?" tanya Purnama sambil berdiri bertolak pinggang dan membalikkan
tubuh beberapa kali.
Wiro tersenyum. "Ya, seperti itu. Tapi tunggu. Harus aku periksa dulu. Jangan-
jangan tubuhmu hanya angin melompong!" Wiro lalu ulurkan dua tangan memegang
kepala, turun memegang pipi. "Tidak, kepalamu bukan angin...." Dua tangan Wiro
turun lagi ke bawah, memegang pundak. Ketika dua tangan itu turun hendak meraba
dada, padahal Wiro Cuma pura-pura, Purnama langasung mencubit perut Pendekar 212
hingga pemuda ini melintir terbungkuk kesakitan. Purnama tertawa gelak-gelak
lalu tarik tangan Wiro.
*** SEMBILAN BAYUMURTI, Adipati Brebes pengganti Karta Suminta yang baru saja mengadakan
perjalanan jauh, memasuki gedung Kadipaten dengan sekujur badan teasa letih. Di
ruang tengah gedung dia membasahi muka dengan air pancuran kecil di samping
kolam yang baru dibuat. Sambil mengeringkan wajahnya dengan sehelai sapu tangan
Bayumurti masuk ke dalam kamar, langsung merebahkan diri di atas ranjang.
"Raden, apakah saya boleh menyalakan lampu minyak dalam kamar?" tanya seorang
pelayan yang berdiri di ambang pintu.
"Tidak usah. Tutup saja pintunya. Sisakan sedikit celah agar cahaya dari luar
masuk." Pelayan melakukan apa yang dikatakan Bayumurti lalu pergi.
Hampir-hampir tertidur, tiba-tiba Adipati ini menyadari bahwa dia tidak
sendirian di dalam kamar itu. Cepat Bayumurti bergerak bangun. Memandang seputar
kamar. Ternyata benar! Di salah satu sudut ruangan yakni di ujung kiri ranjang
ada sebuah kursi kayu. Di atas kursi duduk seorang yang meskipun gelap masih
dapat dikenali bahwa dia adalah perempuan. Apalagi ada aroma bau wewangian
keluar dari tubuh dan pakaiannya.
"Siapa"!"
Bayumurti bertanya. Suaranya datar tanda dia dapat menguasai diri dalam
keterkejutan. Namun tangannya langsung mencekal gagang sebilah keris yang
terselip di pinggang.
"Nyalakan lampu. Kau akan melihat siapa diriku." Perempuan di atas kursi
menjawab. Suaranya halus dan merdu.
Bayumurti segera menyalakan sebuah lampu minyak yang terletak di atas meja batu
pualam di dinding kiri kamar. Begitu keadaan menjadi terang Bayumurti melihat
yang duduk di atas kursi adalah seorang perempuan mengenakan pakaian biru,
rambut hitam dilepas bagus namun wajahnya tertutup sehelai kain biru. Di
pangkuannya melintang sebilah pedang bersarung perak berlapis emas.
"Luar biasa! Seorang perempuan bercadar mampu masuk ke dalam gedung Kadipaten,
menembus kamar tidurku tanpa seorang penjagapun mengetahui!"
Perempuan yang duduk di kursi tertawa perlahan.
"Kau tak mengenali diriku. Kau tidak mengenali suaraku. Tidak heran. Berapa
tahun kita tak pernah bertemu" Lebih dari dua belas tahun."
"Tunggu, sebelum kau meneruskan bicara, harap buka cadar biru penutup wajahmu.
Aku harus tahu dulu siapa kau!"
"Bayumurti, apa kau tidak ingin melakukannya sendiri" Seperti sewaktu kita masih
kecil, bermain bersama teman-teman. Kau jadi penjahat, aku jadi puteri
culikan..."
Adipati Brebes itu tertegun seketika. Lalu dia melangkah mendekat perampuan itu.
Tangan kiri melepas cadar biru sementara tangan kanan masih tetap memegang huluk
keris di pinggang.
Bayumurti melihat satu wajah cantik sekali, berkulit putih, bermata bening
bagus, hidung kecil mancung, bibir merah menyeruak senyum.
"Kau bisa mengingat siapa aku sekarang?"
Bayumurti letakkan kain biru penutup wajah di tepi tempat tidur. Dia coba
mengingat-ingat tapi tidak berhasil. Lalu dia gelengkan kepala.
"Dua belas tahun silam. Kau memberikan sebuah kenang-kenangan padaku. Sebuah
pedang kecil. Menyerupai mainan. Panjang sejengkal. Kau ingat sekarang?"
Sepasang alis mata tebal Bayumurti naik ke atas. Dua mata menatap tak berkesip.
Tiba-tiba mulutnya berseru.
"Loan Nio! Sulit aku percaya kalau ini benar-benar kau!"
Bayumurti melangkah maju. Dua tangan diulurkan hendak memeluk tapi tak jadi. Dua
tangan ditarik kembali. Perempuan cantik di atas kursi letakkan pedang di meja
di samping kursi lalu berdiri. Kini dia justru yang ulurkan tangan merangkul
lelaki muda itu. Pelukannya erat hangat dan lama. Darah Bayumurti jadi
bergelora. Dia membalas pelukan itu lebih kencang dan lebih hangat.
"Dua belas tahun berpisah, aku tidak pernah melupakanmu," bisik si cantik yang
bukan lain adalah Kiang Loan Nikouw, paderi perempuan dari Tionggoan. Tampaknya
dia tidak akan cepat-cepat melepaskan pelukannya.
"Loan Nio, aku juga selalu ingat dirimu. Namun sejak kau pergi sama sekali tidak
ada kabar. Tahu-tahu saat ini kau muncul seolah bidadari yang turun dari langit
Ah, kau memang bidadari. Sejak kecil dulu aku sering memanggilmu bidadari.
Ingat?" Loan Nio tersenyum, anggukkan kepala berulang kali.
"Bagaimana ceritanya kau tiba-tiba muncul dan tahu aku di sini?"
"Aku akan cerita. Mengenai dirimu, kabar seperti angin. Menebar cepat. Ketika
pertama kali aku menginjakkan kaki di Losari, aku menyelidik dan tahu kalau kau
telah menjadi seorang Kepala Pasukan di Kerajaan Timur. Kemudian aku menyirap
kabar baru bahwa kau telah diangkat menjadi Adipati di kota ini, menggantikan
Adipati lama yang tewas dibunuh." Perlahan-lahan Loan Nio lepaskan pelukannya.
"Ada satu hal yang perlu aku beri tahu. Kau mungkin tidak percaya."
Loan Nio melangkah ke meja kecil untuk mengambil pedang. Senjata ini dicabut
dari sarung hingga kamar itu menjadi terang oleh kilauan cahaya merah.
"Senjata luar biasa!" ucap Bayumurti kagum.
"Pedang ini adalah pedang kecil yang dulu kau berikan padaku sebagai hadiah.
Waktu aku dan orang tuaku kembali ke Tiongkok."
"Apa... ?" Tentu saja Bayumurti tidak bisa percaya.
"Kau tidak percaya, aku juga tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri
kenyataannya. Setelah bertahun-tahun di tanganku, pedang ini berubah besar dan
panjang serta memiliki kesaktian luar biasa. Aku sendiri terkejut setengah mati.
Aku tak berani menceritakan pada orang tuaku. Tidak pada siapapun. Juga tidak
pada suhuku di Perguruan Siauwlim."
"Ah, kau telah menjadi seorang pendekar kangouw rupanya!" (kangouw = rimba
persilatan Tiongkok)
"Bayu, pedang itu bukan senjata sembarangan. Mungkin tidak ada duanya di dunia
ini. Karena gagangnya berbentuk kepala naga dan badan pedang memancarkan cahaya
merah, aku memberinya nama Pedang Naga Merah atau Ang Liong Kiam."
"Aku merasa bersyukur telah menemukan dan memberikannya padamu." Kata Bayumurti
pula. "Seumur hidup tidak akan putusnya aku merasa berterima kasih padamu," jawab Loan
Nio Nikouw. "Loan Nio, apakah kau datang ke sini bersama orang tuamu?"
Paderi perempuan itu sarungkan kembali pedang sakti.
"Aku datang sendiri. Membekal tugas dari Wakil Ketua Perguruan." Loan No diam
sebentar seperti berpikir. Lalu dia berkata. "Bayu, kau harus tahu kalau aku
sekarang sudah menjadi seorang paderi."
"Paderi?"
Loan Nio Nikouw mengangguk lalu gerakkan tangannya ke kepala, menarik lepas
rambutnya yang hitam panjang yang ternyata rambut palsu, menyibak kepalanya yang
botak. Bayumurti terdiam sesaat. Ketika Loan Nio hendak mengenakan rambut palsunya
kembali Adipati ini mencegah. "Jangan, aku suka melihatmu tanpa rambut itu. Kau
cantik sekali Loan Nio. Ah..."
"Kau senang diriku tanpa rambut?" tanya sang paderi.
Bayumurti mengangguk. Loan Nio tertawa. "Loan Nio, kau tidak rikuh kita berdua-
dua dalam kamar ini" Apa lagi sekarang kau telah menjadi seorang paderi?"
Paderi perempuan itu gelengkan kepala. Malah dia kemudian tutupkan pintu kamar
yang masih sedikit terbuka dan menguncinya sekaligus.
"Aku rindu padamu. Malam ini aku akan tidur di sini sampai menjelang pagi.
Boleh?" Bayumurti kembali dibuat terkejut mendengar ucapan itu hingga dia tidak bisa
menjawab. Loan Nio Nikouw duduk ke kursi. "Bayu, selain menemuimu karena rindu,
aku juga butuh bantuanmu. Semoga kau bisa menolong."
"Apapun permintaanmu aku pasti akan berusaha membantu. Ada apa Loan Nio?"
"Aku ditugaskan mencari sepasang benda yaitu dua buah dadu yang disebut sebagai
dadu setan."
"Aku pernah mendengar tentang dua buah dadu itu. Kabarnya keberadaan dua dadu
itu di tanah Jawa telah menyebabkan banyak orang menemui ajal. Malah ada kabar
mengatakan bahwa kematian Adipati Brebes Karta Suminta ada sangkut pautnya
dengan benda itu. Beberapa tokoh rimba persilatan terlibat.
Termasuk Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia dituduh sebagai pembunuh Karta
Suminta. Selebarannya sebagai orang buronan ada dimana-mana."
Disebutnya nama Wiro membuat Loan Nio Nikouw terdiam. Menurut Liok Ong Cun,
pendekar itu telah merusak kehormatannya di goa. Dan yang sangat merisaukan
hatinya seharusnya dia sudah datang bulan beberapa hari lalu. Namun sampai hari
itu hal itu tidak terjadi. Selain itu perutnya kerap kali terasa mual. Tanda-
tanda yang menakutkan. Kalau dia sampai hamil, berarti celaka besar menghadang
dirinya. "Bayu, aku ingin bercerita lebih banyak. Namun tubuhku terasa letih. Bolehkah
aku beristirahat dan tidur di ranjang itu untuk beberapa ketika?"
"Silahkan, jika kau mau. Aku akan keluar sambil berjaga-jaga."
"Tidak, tetap saja di sini. Aku ingin tidur dalam pelukanmu."
Jantung Bayumurti jadi berdebar. Darahnya memanas.
"Bayu, ingat waktu kau mencium aku pertama kali..." Aku tidak pernah melupakan
hal itu." "Itu terjadi waktu kita main-mainan di masa kecil. Waktu itu permainan kita kau
jadi anak, aku jadi ayah." jawab Bayumurti. Diam-diam walau hasratnya menggelora
namun ada kegelisahan muncul di hati Adipati Brebes yang baru ini. "Loan Nio,
kau tidurlah. Aku keluar sebentar..."
"Tidak, jangan tinggalkan aku Bayu..." Loan Nio pegang tangan lelaki muda itu
kencang sekali.
"Kemarilah..."
Bayumurti tetap berdiri di tempatnya. "Apa yang terjadi dengan gadis ini" Dia
muncul secara tiba-tiba. Bicara tentang dadu setan. Lalu sikapnya yang sangat
berani. Aku tahu di masa kanak-kanak dulu dia sangat suka dan sayang padaku.
Tapi kini aku dan dia sudah sama-sama dewasa. Harus ada batasan. Aku
khawatir...."
"Bayu, aku kedinginan...."
"Aku akan mengambilkan selimut untukmu."
"Aku tidak butuh selimut. Aku butuh dirimu. Peluk aku Bayu. Hanya tubuhmu yang
bisa memberi kehangatan pada diriku. Aku menyukaimu sejak masa kanak-kanak dulu.
Apakah kau tidak menyukaiku."
Loan Nio Nikouw tarik tangan Bayumurti. Kali ini lebih kuat hingga keduanya
jatuh tergolek di atas ranjang.
"Loan Nio, suka di masa kanak-kanak tidak bisa disamakan dengan suka di masa
dewasa." "Aku tidak ingin mendengar ucapan seperti itu," kata Loan Nio Nikouw pula sambil
dua kakinya disilang merangkul pinggang Bayumurti.
Sampai di sini, walau nafsu mulai membakar namun rasa takut lebih kuat
berkecamuk. Bayumurti lepaskan dirinya dari pelukan tangan dan rangkulan kaki
Loan Nio Nikouw.
"Loan Nio, ada sesuatu dalam dirimu. Mungkin semua yang kau lakukan dan kau
ucapkan terjadi diluar sadarmu."
Paderi perempuan itu tertawa.
"Bayu, dengar baik-baik. Aku suka padamu. Jika kau tidak suka padaku, buruk
sekali nasib diriku."
"Aku juga suka padamu, Loan Nio. Tapi bukan berarti kita bisa berbuat kehendak
hati kita."
"Bayu, aku ingin malam ini milik kita berdua."
"Loan Nio, maafkan aku..."
"Kau menolak. Berarti aku harus membunuh manusia satu itu!"
Loan Nio bangkit dan turun dari atas ranjang.
"Kau hendak membunuh siapa, Loan Nio" Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya
Bayumurti heran.
"Sikap dan tutur bicaramu aneh."
"Dari kecil aku memang aneh! Apa kau baru tahu sekarang?" jawab Loan Nio sambil
tersenyum. Dia melangkah ke jendela. Membuka daun jendela lalu sekali melompat
tubuhnya melesat keluar kamar, lenyap di kegelapan halaman samping gedung
Kadipaten. Bayumurti tidak berusaha mengejar. Dia hanya berdiri di belakang jendela
memperhatikan kepergian Loan Nio Nikouw sambil hati masih bertanya-tanya. "Ada
apa dengan gadis itu. Aku merasa ada suatu maksud yang coba disembunyikannya di
balik semua sifat dan sikapnya tadi. Atau mungkin ada seseorang mengirimnya
untuk menghancurkan diri dan kedudukanku?"
*** SEPULUH DALAM perjalanan ke arah timur Wiro dan Purnama melewati kawasan bukit dan
jurang batu yang cukup terjal. Kusir gerobak yang mereka sewa tidak berani
memacu dua kuda penarik gerobak terlalu cepat.
Hampir setengah harian berada di kawasan itu akhirnya mereka memasuki satu jalan
menurun ditumbuhi banyak pohon kelapa. Pemandangan di bawah sana indah sekali.
Di sebelah barat tampak laut luas kehijauan.
"Aku haus." Kata Pendekar 212 lalu minta kusir gerobak berhenti dekat sebatang
pohon kelapa yang banyak buahnya dan masih muda-muda. Wiro tepuk bahu kusir
gerobak sedang tangannya yang lain menunjuk ke arah buah kelapa.
"Raden, kalau Raden menyuruh saya mengambil buah kelapa, maaf saja. Saya tidak
bisa memanjat."
Kata kusir gerobak pula, seorang lelaki berusia setengah abad.
"Kalau begitu aku pinjam golokmu," kata Wiro.
Kusir gerobak loloskan golok dari sarung yang terselip di pinggang, serahkan
pada Wiro. Setelah mengusap badan golok beberapa kali, Wiro lemparkan senjata
itu ke atas, ke arah pohon kelapa yang banyak buahnya.
"Crass!"
Golok menabas. Tiga buah kelapa melayang jatuh. Golok berputar di udara. Wiro
gerakkan tangan.
Golok melesat turun dan sesaat kemudian sudah berada dalam genggaman tangan
kirinya. Wiro serahkan golok pada kusir gerobak. "Tolong dikupas kelapanya.
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selesai minum kita lanjutkan perjalanan."
Setelah puas meneguk air kelapa rombongan siap melanjutkan perjalanan. Namun
mendadak dua kuda penarik gerobak meringkik keras dan angkat dua kaki depan ke
atas, membuat gerobak hampir saja terguling.
Bersamaan dengan itu terdengar suara orang berkata. "Tenang ... tenang. Kuda
penarik gerobak!
Tidak perlu takut! Kalian 'kan tidak mencuri kelapaku!"
Dua kuda mendadak jadi jinak lalu turunkan kaki masing-masing.
Wiro memberi isyarat pada Purnama. "Ada orang aneh menghadang gerobak," bisik
Wiro. Lalu dia tarik lengan si gadis dan sama-sama melompat turun dari gerobak.
Di tengah jalan saat itu ada seorang kakek bertubuh tinggi, kurus kerempeng,
berpakaian rombeng compang-camping. Di dadanya tergantung sebuah kantong kain
yang sudah lusuh. Dua tangan terkulai panjang di samping melewati lutut. Kepala
di sebelah atas tengah botak plontos sedang di samping rambut putih menjulai
panjang sampai ke bahu. Sepasang mata tampak sipit, nyaris tertutup. Di leher
tergantung empat buah batok kelapa. Melihat Wiro dan Purnama, kakek ini
menyeringai. "Hati-hati Wiro," bisik Purnama. "Kakek ini kelihatannya bukan orang
sembarangan."
"Kalian berdua, habis menenggak air kelapa milikku lantas mau pergi begitu saja.
Enak betul!"
Wiro dan Purnama saling pandang. Wiro lalu keduanya buru-buru membungkuk. Wiro
berkata. "Mohon maafmu, orang tua. Kami kebetulan lewat dan kebetulan haus. Melihat
banyak kelapa...."
"Semua serba kebetulan katamu! Ha...ha...hal! Tetap saja kalian aku namakan
pencuri!" "Sekali lagi mohon maafmu, Kek. Kami bersedia membayar tiga buah kelapa yang
airnya sudah kami minum," kata Wiro pula.
"Begitu" Ha.. ha... ha! Kalian punya banyak duit rupanya! Baik, kalian mau bayar
berapa?" bertanya kakek kurus kerempeng.
Dari salah satu kantong pakaiannya Wiro keluarkan sekeping uang logam bolong
terbuat dari tembaga laki disodorkan pada si kakek. Si kakek mengambil uang itu,
membolak-baliknya beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak. Waktu ketawa kelihatan
gusinya atas bawah yang tidak bergigi lagi.
"Uang butut untuk tiga buah kelapa! Sungguh tidak pantas!" Lalu enak saja orang
tua tinggi kerempeng ini masukkan uang tembaga bolong ke dalam mulut. Dan
krek... krek... krek, terdengar suara mulutnya mengunyah uang logam itu. Padahal
dia sama sekali tidak punya gigi barang sepotongpun!
Kusir gerobak ternganga Wiro dan Purnama walau terkesiap namun kini tambah
berlaku waspada.
Kakek aneh berkepandaian tinggi ini bisa saja punya niat jahat dan melakukan
sesuatu secara mendadak.
"Kek," Purnama berkata. "Dengan uang itu sebetulnya kami bisa membeli sepuluh
pohon kelapa, bukan cuma tiga buah kelapa. Harap kau sudi menerima."
Si kakek perhatikan Purnama. Matanya yang tadi sipit tiba-tiba membuka besar
sekali. Lalu dia kembali tertawa.
"Aku tidak mau bicara dengan gadis cantik!" katanya. "Perempuan cantik hanya
mengacaukan jalan pikiran. Urusan bisa-bisa jadi ngawur dan tidak selesai! Aku
hanya mau bicara sama pemuda ini. Gondrong!
Kelapaku bukan kelapa sembarangan. Aku menyebutnya Kelapa Dewa. Jadi jangan
kurang ajar membayar murah!"
"Lalu kau minta bayaran berapa Kek?" Wiro mengalah sambil mengeruk lagi saku
pakaiannya padahal Purnama memberi isyarat untuk mencegah.
Sambil usap-usap kepalanya yang botak si kakek enak saja berkata. "Aku minta
bayaran lima ringgit emas!" Wiro dan Purnama, juga kusir gerobak sama-sama
terkesiap kaget.
"Kenapa kalian diam" Bilang saja mau bayar atau tidak"!"
"Kek, tentu saja kami mau bayar. Tapi jumlah yang kau minta tidak masuk akal.
Lagi pula kami tidak punya uang sebanyak itu!"
Si kakek menyeringai. Kembali memperlihatkan gusinya yang tak bergigi.
"Uang yang aku minta sama dengan harga kepalamu! Bukan begitu" Aku tidak
mengambil kepalamu dan menyerahkannya pada Adipati Losari. Nah apa tidak adil
kalau sekarang kau memberi aku lima ringgit emas"!"
Wiro terkejut. Jadi berita selebaran yang dibuat Adipati Losari Seda Wiralaga
rupanya sudah sampai di telinga kakek aneh ini.
"Kalau tak mampu bayar ya sudah. Urusan bisa saja dibikin sederhana." Kakek
kurus kerempeng lepas tiga dari empat batok kelapa yang tergantung dilehemya
lalu dilempar ke tanah. "Pulangkan air kelapaku! Kalian bertiga kencing di batok
itu!" Wiro melengak terkejut. Lalu tertawa gelak-gelak. Sambil membuat gerakan hendak
menurunkan celananya dia berkata. "Aku dan kusir gerobak ini bisa saja kencing
di batok itu. Tapi sahabatku gadis ini mana mungkin melakukan hal itu."
"Mungkin atau tidak aku tidak perduli. Bagaimana caranya dia mau kencing, itu
urusannya. Aku juga tak bakal ngintip. Apa selama ini dia tidak pernah kencing.
Ha ...ha... ha!"
Purnama jadi marah. "Orang tua! Lama-lama kau jadi tambah kurang ajar. Baik aku
akan kencing di batok itu. Tapi nanti kau harus minum air kencingku sampai
habis! Bagaimana caranya kau mau minum, pakai mulut, hidung atau dengkulmu itu
urusanmu!"
Si kakek menatap terkesiap lalu tertawa bergelak.
"Gadis cantik, silahkan kau ambil salah satu dari tiga batok kelapa itu!"
Tidak tunggu lebih lama Purnama segera melompat mengambil batok kelapa di
sebelah tengah. Tapi begitu tangannya menyentuh, dia tidak sanggup mengambil
batok kelapa itu. Batok seperti menempel ke tanah. Memperhatikan hal itu Wiro
segera mendekat si kakek, membungkuk memberi penghormatan lalu berkata.
"Orang tua, kami berterima kasih atas pelajaran yang kau berikan. Ini membuat
kami harus berhati-hati dalam melakukan setiap perbuatan. Kami mohon maafmu.
Sekarang kami mohon izin untuk meneruskan perjalanan."
"Cek... cek... cek... cek!" Si kakek keluarkan suara berdecak. "Enak sekali.
Kelapaku dijarah.
Diminta bayar tidak sanggup. Disuruh kencing juga tidak mau. Sudah, aku memberi
keringanan pada kalian.
Salah satu dari kalian harus tinggal di sini untuk jadi kacungku!" Si kakek
memperhatikan satu persatu ke tiga orang itu. Mulai dari Wiro, lalu kusir
gerobak, akhirnya Purnama. Setelah cukup lama dia memperhatikan si gadis maka
dia berkata. "Aku pilih kusir gerobak itu!"
"Tidak bisa kek! Dia harus ikut bersama kami!" Ucap Wiro.
"Gondrong! Kau harus bersyukur. Aku meminta kusir gerobak. Bukan sahabatmu yang
cantik ini!"
"Walau dia cuma kusir gerobak, tapi kami tetap membelanya." Kata Wiro pula.
"Kalau begitu sikap dan langkah kalian, memang pantas aku memberi pelajaran!
Kalau mau jadi maling jadi maling besar. Jangan cuma jadi maling kelapa!" Habis
keluarkan ucapan si kakek gerakkan tangannya. Tiga batok kelapa melesat ke atas,
bertumpuk jadi satu dengan batok yang keempat di atas telapak tangan kiri. Si
kakek bersiul keras. Saat itu juga empat batok melayang ke udara, ketika turun
si kakek cepat menyambuti. Dan astaga! Ternyata tangan orang tua aneh ini kini
telah bertambah, bukan cuma dua, tapi sudah jadi empat! Masing-masing tangan
memegang sebuah batok kelapa!
"Gondrong! Kau duluan!" Hardik si kakek. Tubuhnya melesat ke arah Wiro. Empat
tangan bergerak cepat. Dari dalam batok kelapa menyambar cahaya masing-masing
berwarna merah, biru, hitam dan kuning!
" Empat Batok Menebar Pahala!" Si kakek berseru menyebut jurus serangannya.
Diserang seperti itu Wiro tentu saja tidak tinggal diam. Dia buka caping di atas
kepala. Setelah melompat ke belakang menghindari empat sinar yang menyambar dia
lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan mengandalkan hampir setengah dari
kekuatan tenaga dalamnya.
"Wuuttt!"
Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung menderu.
Tubuh si kakek bergoncang keras namun dua kakinya masih menginjak tanah. Malah
mulutnya umbar suara tertawa.
" Empat Batok Minta Sedekah!"
Si kakek kurus berpakaian rombeng gerakkan empat tangan. Sinar empat warna
lenyap. Namun empat tangan si kakek berubah jadi panjang. Tanpa sama sekali
menggeser dua kakinya, empat tangan menghantam ke arah Wiro. Dahsyat sekali
karena empat bagian tubuh yang sekaligus jadi sasaran serangan!
Murid Sinto Gendeng hadapi serangan lawan dengan jurus
Kipas Sakti Terbuka. Dua tangan
dikembang ke atas lalu membeset ke samping.
"Bukk! Bukk!"
Dua lengan beradu. Si kakek menggerung kesakitan. Sementara Wiro terpental. Kini
dua tangan si kakek yang lain melesat panjang dan plak....plak! Dua batok kelapa
menghajar bagian dada serta pundak Wiro, membuat pendekar ini roboh ke tanah
tapi cepat melompat bangkit.
Yang membuat Wiro kaget adalah ketika menyaksikan dua buah batok kelapa yang
tadi menghantam dirinya kini menempel di bagian dada dan pundak. Sementara itu
di empat tangan si kakek tetap terlihat empat buah batok kelapa. Wiro coba tarik
dua batok kelapa yang menempel di tubuhnya. Ternyata tidak bisa!
Makin dipaksa makin kencang dua batok kelapa itu menempel. Ketika dia kerahkan
tenaga dalam untuk menanggalkan, kulit serta daging pundak dan dadanya seolah-
olah ikut tertarik. Sakitnya bukan main.
Si kakek tertawa. "Mau lagi"!"
"Sett... pIak... pIak!"
Dua tangan melesat panjang. Wiro lagi-lagi tak bisa mengelak. Kini ada dua batok
kelapa lagi yang menempel. Di perut dan pinggul.
"Ha... ha... ha!" Kakek tinggi kerempeng tertawa bergelak. Empat tangannya
melesat tiada henti.
Saat itu lebih dari dua puluh batok kelapa telah melekat di kepala, muka, dada
serta punggung Pendekar 212.
"Jahanam! Ilmu setan apa ini"!" Teriak Wfro. Dua tangannya sibuk kalang-kabut
coba menanggalkan batok-batok kelapa terutama yang menempel di bagian wajah.
"Orang tua! Kalau kau tidak memusnahkan batok kelapa itu jangan menyesal!"
Purnama berteriak mengancam.
"Gadis cantik! Kau juga mau batok kelapa" Mau ditaruh dimana" Ayo bilang! Mau di
dada kiri kanan biar tambah montok" Ha... ha... ha!"
"Tua bangka kurang ajar!" Wajah Purnama mengelam. Dia lambaikan tangan kanannya
ke arah si kakek. Serangkum angin menyapu. Saat itu juga orang tua ini tampak
kelojotan lalu sekujur tubuhnya diam, tak bisa bergerak. Mulut ikut gagu hanya
mampu mengeluarkan suara uuhh....uuhhh. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam
dan hawa sakti untuk membuyarkan kelumpuhan yang melanda dirinya. Tapi tak
mampu. Purnama cepat mendekat Wiro. Dia coba melepaskan salah satu batok kelapa yang
menempel di tubuh Wiro. Tapi tidak berhasil. Setelah memperhatikan dan memeriksa
sekujur tubuh Wiro, Purnama berkata.
"Wiro, kosongkan pikiranmu. Menatap lurus ke depan. Jangan mengerahkan hawa
sakti atau tenaga dalam. Aku akan mencoba. Mudah-mudahan berhasil..."
Wiro menggaruk kepalanya yang ditempeli dua batok kelapa. "Kalau tidak berhasil,
seumur hidup aku akan jadi manusia batok! Kakek sialan!"
Purnama bentangkan sepuluh jari tangan. Satu persatu setiap ujung jari ditiup.
Hingga mengepulkan asap tipis. Lalu tanpa pengerahan tenaga dalam gadis dari
negeri 1200 tahun silam ini totok seluruh bagian tubuh Wiro di antara celah-
celah belasan batok kelapa. Wiro merasa dirinya laksana digigit ribuan semut
hingga dia menggigil menahan sakit. Lalu terjadi keanehan. Sekujur badannya
mandi keringat "Pluk...pIuk...piuk..."
Satu persatu batok yang menempel di kepala, muka serta sekujur tubuh Wiro
terlepas dan jatuh ke tanah. Begitu menyentuh tanah batok jejadian ini melayang
ke arah si kakek lalu lenyap. Di saat bersamaan dua tangan jejadian si kakek
ikut sirna, namun keadaannya masih tetap tidak bisa bergerak tidak mampu
bersuara. Wiro dekati si kakek.
"Kek, kau keterlaluan mempermainkan orang."
"Uuhh... uhh... uhhh."
"Sekarang giliranku mempermainkanmu!"
Wiro turunkan tangan kanannya ke bawah lalu ditekapkan ke bagian bawah perut si
kakek. Orang tua ini merasa bagian di antara dua pahanya dingin-dingin sejuk.
Mata berkedap-kedip.
"Uhh.... uhhh... uhhh."
"Wiro, apa yang kau lakukan?" Purnama bertanya.
Sang pendekar letakkan telunjuk tangan kiri di atas bibir, wajah tersenyum dan
mata dikedip. Sesaat kemudian, perlahan-lahan dia bergerak mundur menjauhi kakek
tinggi kurus itu lalu melangkah ke arah satu pohon besar. Tangan kanannya yang
ditekap seolah memegang sesuatu kini dikembangkan lalu ditempelkan ke batang
pohon. Ketika Wiro turunkan tangan Purnama langsung membuang muka. Kusir gerobak
terbelalak. Si kakek sendiri seperti mau melompat tanggal sepasang matanya.
Bagaimana tidak. Benda yang ditempelkan Wiro di batang pohon itu, dari bentuk
serta warnanya jelas adalah anggota rahasia miliknya!
"Uuhhhh...." Si kakek meraung panjang.
Purnama tak berani berbalik. Dalam hati dia berkata. "Ilmu Menahan Darah
Memindah Jasad. Pasti Wiro mendapatkan dari Hantu Selaksa Angin sewaktu berada
di Latanahsilam...."
"Kek, kalau mau kencing, kencing sajal Ha... ha ... ha! Mari kuambilkan
tampungannyal" Murid Sinto gendeng lalu ambil salah satu batok kelapa di tangan
si kakek dan letakkan di bawah pohon sambil tiada henti tertawa.
"Uuhhh....uuuhhhhhh." Si kakek meraung. Dalam hati dia menyumpah habis-habisan.
Waktu itu di atas pohon ada seekor bajing liar warna coklat. Sepasang mata
membesar berkedap-kedip. Hidung dan moncong mengendus-endus. Rupanya binatang
ini sudah melihat keberadaan anggota rahasia milik si kakek yang menempel di
batang pohon. Perlahan-lahan sang bajing merayap turun mendekat.
"Uuuhhh....uuhhhhhh!" Si kakek tak bisa berbuat apa selain mendelik dan
keluarkan suara uhhh berkepanjangan. Dalam hati dia tak habis pikir dan
keluarkan kutuk serapah. Ilmu iblis apa yang dimiliki si gondrong itu hingga
bisa memindahkan anggota rahasianya ke batang pohon. Kalau sampai bajing di atas
pohon melahap barangnya itu celakalah dia seumur-umur!
Wiro memberi isyarat pada Purnama lalu melompat ke atas gerobak.
"Wiro, orang tua itu. Kau akan meninggalkannya dalam keadaan sebegitu rupa?"
"Kalau kau mau membebaskannya dari kaku dan gagu silahkan. Tapi aku tidak akan
mengembalikan perkutut bututnya itu ke tempat semula!" Jawab Wiro sambil senyum-
senyum. Karena kasihan Purnama lambaikan tangan kanan. Serangkum angin menyapu tubuh si
kakek. Saat itu juga dia mampu bergerak dan berteriak kalang kabut. Pertama
sekali dilakukannya adalah berbalik mem-belakangi orang-orang itu lalu turunkan
celana. Dia ingin memastikan bahwa anggota rahasianya benar-benar sudah dipindah
ke pohon. Kakek ini terkesiap pucat ketika menyaksikan bagian bawah perutnya
kini memang ternyata licin kosong melompong!
"Tunggu! Jangan pergi dulu! Bagaimana ini! Hai!" Si kakek lari mondar-mandir
dari pohon ke gerobak.
Wiro tertawa gelak-gelak. Supir gerobak juga ikutan ngakak. Hanya Purnama yang
berdiam diri, tak berani menoleh ke arah pohon.
"Gadis cantik! Tolong!" si kakek pegang tangan Purnama.
Menyembah-nyembah berulang kali. "Tolong! Minta sahabatmu itu mengembalikan
anuku yang disana! Ampun, tolong.... Aduh, aku mau kencing tapi tidak bisa!"
Makin keras teriakan si kakek, makin kalang kabut dia, makin keras pula tawa
Wiro dan kusir gerobak.
"Ayo jalan!" Wiro berkata pada kusir gerobak.
"Ampun! Jangan pergi! Tolong dulu!" Si kakek ambil kantong kain yang tergantung
di dadanya. Isi kantong dituang ke lantai gerobak di depan kaki Wiro. Isinya
ternyata puluhan uang logam. "Gondrong! Kau boleh ambil semua uang itu! Itu
pencarianku selama satu bulan! Ambil! Tapi tolong! Ampun! Kembalikan barangku!"
"Sabar Kek..." kata Wiro sambil pegang bahu si kakek. "Burung merpati itu selalu
terbang pulang ke sarangnya. Nanti burungmu juga akan kembali."
"Tidak mungkin! Burungku tak ada sayapnya!" jawab si kakek yang membuat Wiro dan
kusir gerobak tertawa gelak-gelak. Purnama sendiri tak dapat menahan gelinya.
Gadis ini duduk tundukkan wajah tersipu-sipu.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara orang batuk-batuk. Lalu dari
balik pohon besar muncul seorang lelaki muda yang berjalan tertatih-tatih dengan
bantuan dua tongkat kayu di bawah ketiak.
Dua kakinya dibalut dedaunan dan ditopang dengan potongan kayu. Wajahnya penuh
bekas luka yang mulai mengering. Orang ini menatap ke arah gerobak, memandang ke
jurusan si kakek. Lalu menoleh ke batang pohon di sampingnya. Karuan saja lelaki
Wiro Sableng 150 Misteri Pedang Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda ini jadi tersentak kaget, mengerenyit, akhirnya tertawa dan geleng-geleng
kepala. "Ilmu Menahan Darah Memindah Jasad." Lelaki dekat pohon keluarkan ucapan.
Wiro terkejut. Garuk kepala dan berkata perlahan. "Purnama, kau kenal orang itu.
Dia tahu dan menyebut ilmu yang aku pergunakan untuk memindahkan anunya si kakek
ke batang pohon."
"Aku tidak kenal orang itu. Sebaiknya kita jangan pergi dulu, Wiro."
Wiro memberi isyarat pada kusir gerobak lalu melompat turun.
"Kek," orang di samping pohon menegur; "Aku sudah bilang jangan berlaku jahil.
Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya!"
"Aku menyesal. Aku tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin menjajalnya. Aku ingin
melihat dia mengeluarkan ilmu Pukulan Sinar Matahari. Tapi yang dikeluarkannya
Pukulan Menjambret Burungku!
Ampun...."
Sampai di hadapan lelaki muda bertongkat Wiro bertanya. "Sahabat, siapa dirimu"
Dua kakimu kulihat cidera parah. Sekujur tubuhmu penuh luka. Kakek itu apamu?"
"Kau tidak mengenal diriku. Tapi aku tahu siapa dirimu. Kau yang selama ini
sangat kukagumi. Aku banyak mendengar cerita tentang kehebatanmu. Termasuk
berbagai macam ilmu kesaktian yang kau miliki.
Satu diantaranya adalah yang tadi aku sebutkan. Bukankah aku saat ini berhadapan
dengan Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua Wiro Sableng?"
"Aku memang Wiro. Tapi aku tidak sehebat yang kau bayangkan. Sahabat, kau belum
menerangkan siapa dirimu."
"Aku Rayi Jantra."
Wiro kaget bukan kepalang tapi juga gembira. Dia tidak menduga akan bertemu
dengan Kepala Pasukan Kadipaten Losari yang memang tengah dicarinya itu.
"Sahabatmu Jumena ternyata benar. Dia tidak yakin kau telah menemui ajal. Dia
berkali-kali pernah mengimpikan dirimu. Bersama seorang kakek. Mungkin kakek
yang lagi kalang kabut itu" Siapa dia?"
"Dia Pengemis Empat Mata Angin, guru Pengemis Siang Malam yang keluarganya
pernah kau selamatkan dari tangan manusia-manusia jahat Kumalasakti, Kuncir
Merah dan Ki Beringin Reksa...."
"Kalau dia tahu aku pernah menolong muridnya, mengapa dia berbuat jahat
terhadapku?"
"Dia tidak jahat. Sebenarnya dia hanya ingin menjajal dirimu. Seperti diriku,
dia sudah lama mendengar kehebatanmu. Dia ingin melihat Pukulan Sinar Matahari
yang kau miliki. Namun caranya jahil.
Hingga akhirnya dia babak belur sendiri."
Wiro tersenyum, garuk-garuk kepala dan memandang ke arah Pengemis Empat Mata
Angin yang saat itu berdiri di depan pohon, pandangi barang miliknya. Dia ingin
mengambil anggota rahasianya itu tapi takut menyentuh. Akhirnya dalam bingung
orang tua ini hanya berlutut di tanah sambil kening disandarkan ke pohon. "Aku
menyesal memperlakukannya seperti itu. Nanti akan aku kembalikan barangnya ke
tempat asal. Bagaimana kau sampai mengenal dirinya?"
"Waktu aku dibuang ke jurang atas perintah Ki Sentot Balangnipa, Pengemis Empat
Mata Angin tengah bertapa di dasar jurang. Dia berusaha menolong orang-orang
yang dilempar, namun hanya aku seorang yang bisa diselamatkan."
"Aku mendengar riwayatmu dari Jumena. Sayang perajurit itu tewas di tangan
seorang pembunuh gelap. Aku tengah menyelidiki siapa orang itu. Banyak pekerjaan
yang harus aku lakukan. Aku butuh perto-longanmu. Menurut Jumena kau tahu
tentang satu tempat rahasia di satu bukit."
"Aku sudah mendengar kematian Jumena." Kata Rayi Jantra pula. "Mengenai yang
tadi kau tanyakan, baiknya kita bicara di tempat yang aman. Ada sebuah lorong
batu tak jauh dari sini. Selama dalam pengobatan aku tinggal di sana ditemani
kakek pengemis itu."
"Sahabatku ini ahli pengobatan," kata Wiro sambil memegang bahu Purnama. "Mudah-
mudahan dia bisa membantu mempercepat kesembuhanmu."
Rayi Jantra membungkuk dalam. "Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih."
"Kita naik gerobak saja. Biar aku jalan kaki." Kata Wiro pula.
"Tunggu!" tiba-tiba terdengar teriakan Pengemis Empat Mata Angin. "Gondrong! Kau
lebih baik membunuhku kalau tidak mengembalikan..."
"Tenang Kek. Akan aku kembalikan perabotanmu itu sekarang juga," kata Wiro lalu
melangkah ke pohon. Tangan kanannya ditekapkan ke barang milik si kakek yang
menempel di pohon dan hampir disantap bajing liar. Lalu perabotan antik itu
ditempelkan kembali di tempat semula.
Sesaat setelah Wiro dan orang-orang itu pergi si kakek cepat-cepat buka
celananya. Ah! Dia merasa lega. Barang antiknya sudah kembali di tempat semula.
Tapi ketika lebih memperhatikan Pengemis Empat Mata Angin jadi tersentak kaget.
Dia langsung berteriak dan mengejar rombongan.
"Hai! Tunggu dulu!"
"Ada apa lagi Kek?" tanya Wiro.
"Anuku!"
"Kenapa anumu" Bukankah sudah aku kembalikan ke sarangnya?"
"Benar! Tapi kau memasangnya terbalik! Kantong menyannya ada di sebelah atas.
Seharusnya dibawah!"
Wiro, Rayi Jantra dan kusir gerobak tertawa gelak-gelak. Purnama tersipu merah
wajahnya. "Baik Kek! Nanti aku betulkan! Tapi sebenarnya terbalik begitu lebih angker
lebih mantap Kek!
Kata Wiro pula disambut gelak tawa semua orang.
TAMAT Episode berikutnya:
Sang Pembunuh Pendekar Pedang Dari Bu Tong 17 Pendekar Romantis 03 Pedang Siluman Medali Wasiat 9