Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 17

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 17


Kedua orang tamu luar daerah itu tidak lain adalah Hwee-ko
Thaysu dan Lan Giok-keng.
Dalam suasana lingkungan yang begitu tenang, perasaan Lan
Giok-keng justru amat kalut. Dia baru saja melarikan diri keluar dari
lingkungan pertarungan yang kalut.
Semakin dipikir dia merasa semakin tidak habis mengerti, tidak
tahan ujarnya, "Kalau hanya bertemu satu orang gila, kejadian
semacam ini tidak termasuk aneh, tapi tidak mungkin rasanya untuk
bertemu begitu banyak orang gila sekaligus?"
"Tentu saja mereka bukan orang gila, mereka adalah tukang
pukul pedagang ikan," sahut Hwee-ko Thaysu sambil tertawa,
"bahkan aku lihat mereka bukanlah tukang pukul biasa."
"Aku tahu. Mereka semua pernah berlatih ilmu silat, beberapa
orang diantaranya malah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Andaikata aku melakukan pertarungan semacam ini ketika baru
turun gunung, rasanya sulit untuk lolos dari kepungan dengan
keadaan selamat. Tapi justru disinilah letak ketidak pahamanku.
Selama hidup aku belum pernah lewat kota Uh-sah-tin, mengapa
mereka begitu bertemu aku langsung ingin menghajarku sampai
mati" Bahkan cara mereka turun tangan telengas dan tidak kenal
ampun, seakan-akan mereka ingin membereskan nyawaku
secepatnya." "Setiap masalah pasti ada penyebabnya, coba pikirlah, saat itu
apakah kau sempat mendengar ucapan ucapan aneh?"
Seolah baru tersadar kembali Lan Giok-keng segera berseru,
"Betul, aku seperti mendengar ada orang bilang begini, mirip benar,
mirip benar.... aku tidak mengerti apa maksud perkataan orangorang
itu, apakah aku mirip seseorang?"
"Aku rasa kita hanya bisa menjelaskan begitu," sahut Hwee-ko
Thaysu setelah termenung sejenak.
"Tapi penjelasan inipun rasanya tidak bisa di terima dengan
begitu saja. Sekalipun wajahku mirip dengan seorang musuh besar
mereka, tidak sepantasnya kalau mereka berusaha untuk
membunuhku." "Apakah kau bertekad akan menyelidiki persoalan ini hingga
tuntas?" tiba tiba pendeta itu bertanya.
"Apakah Thaysu punya cara untuk melacak masalah ini hingga
tuntas?" "Di dusun ada sebuah pepatah kuno yang berkata begini:
terkadang orang bodoh itu malah beruntung. Ada kalanya orang
yang kelewat pinter malah gampang mendatangkan kesulitan. Aku
rasa daripada kau mengetahuinya lebih baik malah tidak usah tahu
saja." Hwee-ko Thaysu memang pandai ilmu agama Buddha, namun
kurang pengetahuannya tentang ilmu kejiwaan, justru karena
perkataannya itu, Lan Giok-keng malah semakin ingin tahu.
"Hwee-ko Thaysu!" seru Lan Giok-keng tiba-tiba, "aku masih
ingat, kau pernah bercerita kalau semasa muda dulu pernah
mencintai seorang gadis tapi entah apa sebabnya tiba-tiba sikap
gadis itu terhadapmu jadi dingin dan tawar, gara-gara urusan ini
kau sampai tidak bisa tidur selama beberapa hari, akhirnya karena
tidak tahan, kau pun pergi mencarinya dan menanyai persoalan itu
hingga jelas." "Peristiwa itu sudah terjadi pada dua puluh tahunan berselang,
tujuh malam aku tidak bisa tidur nyenyak, saking tidak tahannya
maka pada hari ke delapan aku pergi mencarinya dan bertanya
secara langsung. Ehmm, waktu itu aku masih terlalu muda, seorang
lelaki tidak tahu diri memang sulit terlepas dari godaan rakus, marah
dan bodoh. Kalau dipikirkan kembali sekarang, keadaanku saat itu
memang sangat menggelikan. Kitab Buddha pernah tertulis: bila
sifat gelap kau lenyapkan, bila sifat keras kepala kau atasi, maka
kecerdasan dan kesadaran baru akan muncul. Yang dimaksud sifat
gelap yaitu: kerakusan, angkara murka dan bodoh...."
Dengan sabar Lan Giok-keng mendengarkan perkataannya itu,
kemudian baru ujarnya, "Kalau begitu kau baru merasa geli atas
perbuatan mu di masa muda dulu setelah kau menjadi pendeta?"
"Benar, setelah menjadi pendeta banyak tahun aku baru
menyadari betapa bodoh dan kosongnya semua perbuatanku di
masa muda dulu. Eeei, sebenarnya apa yang ingin kau katakan,
tidak usah berputar lagi, utarakan saja berterus terang."
Lan Giok-keng tertawa. "Pertama, aku belum pernah menjadi hwesio biar hanya
seharipun, kedua, usiaku jauh lebih muda ketimbang usiamu waktu
itu, walaupun masalahnya berbeda namun sama-sama tidak bisa
menahan diri untuk mencari tahu duduk persoalan yang
sebenarnya, aku sudah digebuk orang, akupun telah menggebuk
orang. Bila rahasia di balik persoalan ini belum juga bisa diungkap,
mungkin paling tidak aku tidak bisa tidur selama tiga hari tiga
malam." "Hahahaha.... bicara sedari tadi, ternyata tujuanmu hanya ingin
tahu rahasia di balik kejadian ini," kata Hwee-ko Thaysu sambil
tertawa, "untung saja sudah kuduga kalau kau tidak bakalan
berhenti untuk melakukan penyelidikan hingga jauh sebelumnya
telah kusembunyikan sesuatu, ayoh ikuti aku."
Timbul perasaan ingin tahu di hati kecil Lan Giok-keng, tanyanya,
"Kau menyembunyikan apa?"
Sambil melanjutkan langkahnya sahut Hwee-ko Thaysu, "Ketika
kau sedang bertarung melawan orang orang itu, akupun ikut
disergap orang. "Orang itu sengaja menumbuk tubuhku, dengan senjata
martilnya dia hantam jalan darah Ih-khi-hiat ku. Dari caranya
melancarkan serangan, aku mendapat tahu kalau dia adalah anak
murid Tiang-pek-pay. "Tentu saja serangannya tidak mengenai sasaran, dengan cepat
aku tabok punggungnya pelan sambil membisikkan sesuatu ke sisi
telinganya. Kontan dia kabur terbirit-birit.
"Padahal ilmu silat yang dimiliki orang ini cukup tangguh, coba
kalau aku tidak membisikkan sesuatu, mungkin banyak tenaga yang
harus kugunakan untuk menghadapinya."
Begitu orang itu turun tangan, Hwee-ko Thaysu langsung sudah
tahu asal-usul perguruannya. Atas kehebatan rekannya itu Lan Giokkeng
merasa sangat kagum, segera tanyanya, "Apa yang telah
Thaysu bisikkan kepadanya?"
"Aku bilang begini: ilmu Sam-sat-ciang yang kau yakini belum
mencapai kesempurnaan, tentunya kau tahu bukan" Kini mau hidup
atau mati tergantung dirimu sendiri, lebih baik tahu diri sedikitlah."
"Sam-sat-ciang (pukulan tiga hawa sesat)" Ilmu silat apa itu"
Kenapa dia langsung melarikan diri?"
"Sam-sat-ciang adalah ilmu silat aliran Tiang-pek-pay, sejenis
ilmu pukulan beracun yang sangat lihay, tapi ilmu semacam ini baru
dapat dipelajari bila ilmu Iweekang maupun gwakang dari aliran
perguruannya telah dilatih hingga mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh sebab itu aku yakin kalau dia belum pernah melatihnya."
"Jadi Thaysu pernah berlatih ilmu silat aliran Tiang-pek-pay?"
Hwee-ko Thaysu tertawa. "Tentu saja aku belum pernah
melatihnya, ilmu silat aliran sesat semacam ini tidak berharga untuk
dipelajari. Akibat dari pukulan Sam-sat-ciang dapat membuat tulang
belulang korbannya menjadi lembek hingga berakibat kematian,
begitu terkena pukulan, seluruh badan akan terasa ada banyak
semut dan ulat yang berjalan di dalam tubuhnya. Ketika aku
menepuk pelan punggungnya tadi, memang sengaja kubuat agar
dia merasakan hal yang sama, karena pukulan yang kulakukan mirip
dengan ilmu pukulan Sam-sat-ciang. Tentu saja ilmuku ilmu
gadungan, karena yang kugunakan adalah tenaga dalam aliran
perguruanku." Lan Giok-keng tertawa geli, serunya, "Memang tepat sekali untuk
memakai cara itu menakuti dirinya. Tapi aku tidak mengerti apa
kegunaannya kau berbuat begitu terhadapnya?"
"Ilmu tersebut merupakan ilmu pukulan beracun dari Tiang-pekpay,
meskipun dia belum pernah melatihnya namun kuduga dia
seharusnya tahu bagaimana cara untuk mengobati luka pukulan
beracun itu. Caranya adalah berendam diri di dalam air hangat yang
telah diberi sejenis rumput obat, setiap hari dilakukan sebanyak tiga
kali dan beruntun selama tujuh hari lamanya sebelum semua racun
bisa dipunahkan. Kebetulan rumput obat itu tumbuh disekitar
tempat ini, setiap saat kau bisa mengumpulkan setumpuk rumput
obat itu diatas gunung. Aku yakin saat ini orang tersebut pasti
sedang berendam diri di dalam rumahnya dengan air bercampur
rumput obat itu." Kini Lan Giok-keng baru mengerti apa yang dimaksud, tanyanya
kemudian, "Jadi sekarang kita akan pergi mencari orang itu?"
"Benar, diantara kelompok tukang pukul tadi, dialah yang
memiliki ilmu silat paling bagus, bisa jadi dialah pentolannya. Asal
kita dapat menemukan orang itu berarti kita bisa mengorek banyak
keterangan dari mulutnya."
"Apakah kita pasti dapat menemukan orang itu?"
"Rumput obat itu mempunyai semacam bau khas yang menusuk
hidung. Bila dia memasak obat tadi dalam rumahnya, semua orang
yang berada diluar rumah pasti dapat mengendusnya. Orang itu
melarikan diri keluar dari kota Uh-sah-tin, padahal diluar kota hanya
terdapat puluhan rumah penduduk, aku rasa tidak sulit untuk
menemukan jejaknya."
"Benar. Tempat ini adalah desa paling dekat dengan kota Uhsah-
tin, tapi darimana kita bisa tahu kalau dia bukannya tinggal di
dusun yang lebih jauh lagi?"
"Anak muda harus banyak memakai otak untuk berpikir, coba
renungkan sendiri." Lan Giok-keng memang terhitung bocah cerdas, begitu berpikir
sejenak dia langsung mengerti, katanya kemudian sambil tertawa,
"Betul, jika tempat tinggalnya jauh, mungkin sebelum tiba dirumah
racun ditubuhnya sudah keburu kambuh, tidak mungkin dia akan
kabur secara terburu-buru dan bisa dipastikan dia akan tebalkan
muka untuk minta kepadamu mengobati racunnya."
Ternyata dugaan mereka tidak salah, baru berjalan mengelilingi
dusun nelayan itu satu kali, Hwee-ko Thaysu segera mengendus bau
sejenis ramuan obat yang muncul dari sekitar sana. Rumah itu
ternyata berdiri menyendiri di tepi tanah perbukitan.
Baru Hwee-ko Thaysu mendorong pintu sambil berjalan masuk,
dua orang yang berada dalam ruangan tampak amat terperanjat,
tanpa banyak bicara mereka langsung menerkam ke depan.
Dengan sekali kebutan Hwee-ko Thaysu segera menotok jalan
darah mereka berdua. Mereka hanya sempat meneriakkan kata
"Toako" kemudian ucapan berikut terhenti karena jalan darahnya
keburu tertotok. "Siapa?" bentak sang Toako.
"Tidak usah gugup," sahut Hwee-ko Thaysu sambil tertawa, "aku
datang untuk menolongmu, bukan untuk membunuhmu."
Sembari berkata, Hwee-ko Thaysu telah menerjang masuk ke
halaman belakang dan menendang pintu kamar hingga terbuka. Lan
Giok-keng menyusul dari belakang.
Terasa udara dalam ruangan itu panas sekali, ternyata di tengah
mangan terlihat ada sebuah gentong besi besar yang diletakkan
diatas rak baja, kobaran api sedang membara di bawah gentong itu,
sementara air dalam gentong diisi penuh dan saat itu mulai
mendidih. Dalam gentong terlihat seseorang, hanya kepalanya yang terlihat
sementara tubuhnya berendam dalam air. Dia tidak lain adalah
bajingan yang membokong Hwee-ko Thaysu kemarin.
Berubah paras muka orang itu saking kagetnya, cepat teriaknya,
"Aku tidak butuh pertolonganmu, kalau kedatanganmu bukan untuk
mempermainkan aku, silahkan keluar dari sini!"
"Rumput obat itu tidak bakalan bisa memunahkan racun dalam
tubuhmu, bukankah gejala aneh dalam tubuhmu sama sekali tidak
berkurang" Hmmm, aku rasa justm bertambah beratbukan?"
Sudah hampir dua jam orang itu berendam dalam air hangat
yang diberi rumput obat, bukan saja gejala semut berjalan dalam
tubuhnya sama sekali tidak berkurang, malah sebaliknya dia merasa
keadaan bertambah berat. Sejak awal dia memang menaruh curiga
kalau cara pemunahan racun yang dilakukan tidak benar, hatinya
bertambah gugup setelah mendengar perkataan Hwee-ko Thaysu
barusan. "Bila kau tidak percaya, coba tariklah napas dalam dalam," ujar
Hwee-ko Thaysu lagi, "bukankah dadamu terasa sesak dan perutmu
kembung?" Orang itu segera mencobanya, kemudian serunya terperanjat,
"Si.... siapa kau" Mengapa bisa menggunakan ilmu Sam-sat-ciang
dari Tiang-pek-pay kami?"
"Kau tidak perlu tahu siapakah aku, Sam-sat-ciang yang
kupelajari jauh berbeda dengan ilmu yang dipelajari Ciangbunjin
kalian, bahkan paling tidak sepuluh kali lipat lebih lihay dari
kemampuannya, hanya resep rahasia ku yang bisa selamatkan
nyawamu. Mau percaya atau tidak, terserah padamu!"
Setelah keadaan berkembang jadi begini, mau tidak mau orang
itu harus mempercayainya, buru-buru serunya, "Thaysu, tolong....
tolonglah aku!" "Tidak sulit untuk menolongmu, tapi aku tidak bisa menolongmu
dengan percuma, aku harus menerima bayaran untuk pertolongan
ini." "Katakan saja Thaysu, berapa pun jumlah uang yang kau minta,
pasti akan kubayar!"
"Aku tidak menginginkan uangmu, kau cukup menjawab tiga
pertanyaanku." "Tiga pertanyaan?" kelihatan sekali kalau orang itu terperanjat
bercampur keheranan. "Betul, aku minta kau menjawab dengan sejujurnya. Bila kau
berbohong, akupun akan memberikan obat palsu untukmu."
"Aku mana berani membohongi thaysu?"
"Aku percaya kau tidak akan berani. Jujur atau tidaknya
jawabanmu, asal kudengar pasti akan segera ketahuan."
Maka diapun mulai bertanya, "Aku tahu, kau adalah penduduk
asli yang tumbuh dan dewasa di tempat ini, aku ingin bertanya
padamu, pernahkah ada orang luar daerah yang tinggal di kota Uhsah-
tin?" Orang itu berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Pernah, lebih kurang belasan tahun berselang, ada sepasang
suami istri muda yang pernah berdiam di kota Uh-sah-tin."
"Katakan yang lebih jelas, belasan itu berapa tahun" Siapa pula
nama sepasang suami istri itu?"
Tampaknya orang itu sedang membuat pertimbangan, lewat
berapa saat kemudian baru jawabnya, "Pada delapan belas tahun
berselang ada sepasang suami istri yang masih muda sekali datang
ke kota ini, sang suami dari marga Keng dan mempunyai nama yang
aneh, namanya adalah "Heng-ji" (deret ke dua). Sedang istrinya dari
marga apa, tidak ada yang tahu. Hanya suatu kali, secara kebetulan
kudengar suaminya memanggil dia sebagai adik Yan. Kuduga nama
perempuan itu tentu ada kata Yan". Sepasang suami istri itu tidak
genap setahun tinggal di kota Uh-sah-tin, tiba tiba saja jejak mereka
hilang tidak berbekas."
Pada mulanya Lan Giok-keng mengira interogasi yang akan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukan Hwee-ko Thaysu tidak akan bergeser dari persoalan yang
terjadi pagi tadi. Menurut jalan pemikirannya, persoalan pertama
yang harus ditanyakan lebih dulu adalah: mengapa kelompok orang
orang dari kota Uh-sah-tin itu langsung mengembut bahkan
bemsaha membunuhnya begitu bertemu, padahal diantara mereka
belum pernah saling mengenal sebelumnya"
Siapa tahu pertanyaan yang diajukan Hwee-ko Thaysu sama
sekali tak menyangkut urusan hari ini, sebaliknya malah menyelidiki
masalah orang luar daerah yang pernah tinggal dikota itu delapan
belas tahun berselang. Sebenarnya dia merasa sangat keheranan, namun setelah
mendengar jawaban orang itu, satu ingatan segera melintas lewat,
dia seakan telah memahami akan sesuatu.
Dia teringat kembali dengan kejadian ketika dalam perjalanan
bersama Tonghong Liang bertemu lebah hijau Siang Ngo-nio di
tengah jalan, waktu itu Siang Ngo-nio menyebutnya sebagai 'bocah
muda she-Keng". Padahal dia bermarga Lan, kenapa Siang Ngo-nio
mengubah nama marganya menjadi Keng" Atas dasar apa dia
berbuat begitu" Kemudian dia teringat pula dengan cerita Hwee-ko Thaysu
tentang Ji-ouw Thayhiap Ho Ki-bu.
Ayah angkatnya belum pernah menyinggung tentang asal usul
dirinya sewaktu masih preman dulu, dari mulut Hwee-ko Thaysu lah
dia mengetahui segala sesuatunya.
Dia tahu kalau Ho Ki-bu mempunyai dua orang murid, murid
pertama bernama Ko Ceng-kim yakni ayah angkatnya sekarang dan
murid ke dua bernama Keng King-si, diapun mempunyai seorang
putri bernama Ho Giok-yan.
Ho Ki-bu ayah beranak bersama Keng King-si ditemukan tewas
secara misterius pada tujuh belas tahun berselang!
Dalam waktu singkat Lan Giok-keng merasakan hatinya sangat
kalut. Setelah berusaha menenangkan hatinya dia pun berpikir,
"Jangan-jangan suami muda yang bernama Keng Heng-ji itu adalah
Keng King-si" Bukankah dalam perguruan Ho Ki-bu, dia berada pada
urutan kedua" Sedang istrinya memakai kata Yan", kalau bukan Ho
Giok-yan yang dimaksud lalu siapa pula"
Mengapa Hwee-ko Thaysu mulai mengajukan pertanyaannya
tentang suami istri muda itu" Mungkinkah mereka berdua ada
sangkut paut dan keterkaitannya dengan diriku?"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, terdengar Hwee-ko
Thaysu telah mengajukan persoalan yang ke dua.
"Kapan untuk terakhir kalinya kau berjumpa dengan Jit-seng
Kiam-kek?" Sekali lagi Lan Giok-keng tertegun, darimana Hwee-ko Thaysu
bisa tahu kalau orang ini pernah bertemu Jit-seng-kiam-kek" Bahkan
bertemu bukan hanya satu kali saja"
Tampaknya Hwee-ko Thaysu dapat menebak jalan pikirannya,
perlahan ia berkata, "Bila dugaanku tidak keliru, walaupun Jit-sengkiam-
kek tidak tinggal di kota Uh-sah-tin, namun dia pasti bukan
hanya satu kali datang ke kota ini. Bahkan pada enam belas tahun
berselang, sewaktu sepasang suami istri itu tinggal dikota Uh-sahtin,
dia pasti pernah datang kemari!"
Sepintas perkataan itu seolah ditujukan kepada orang itu,
padahal dalam kenyataan dia sengaja mengucapkannya untuk
didengar Lan Giok-keng. "Ucapan Thaysu tepat sekali. Dalam belasan tahun terakhir,
mungkin ada empat, lima kali Jit-seng-kiam-kek datang kemari.
Terakhir kali aku menjumpainya adalah pada bulan sembilan tahun
berselang. Tapi harinya sudah tidak ingat," kata orang itu.
Sekali lagi Lan Giok-keng merasakan hatinya tergerak, bulan
sembilan tahun berselang" Bukankah tepat saat ayah angkatnya
berkunjung ke wilayah Liauw-tong" Apakah ayah angkatnya
bertemu Jit-seng-kiam-kek di kota Uh-sah-tin"
Keng King-si adalah adik seperguruan ayah angkatnya ketika
masih preman dulu, tujuh belas tahun berselang pun pernah
berdiam di kota Uh-sah-tin, konon pada tahun itu Jit-seng-kiam-kek
pernah muncul juga di kota tersebut, apakah ke tiga kejadian ini
ada keterkaitan nya satu dengan lainnya"
Hwee-ko Thaysu manggut-manggut, katanya kemudian,
"Sekarang adalah pertanyaanku yang terakhir, setahuku, Jit-sengkiam-
kek mempunyai seorang putra, tapi dia sudah berganti nama
dan she. Cepat katakan kepadaku, siapa nama putranya sekarang
dan dimana aku bisa menemukan dirinya?"
"Soal ini.... soal ini...." orang itu jadi tergagap.
"Tidak usah ini itu, kalau menginginkan nyawa-mu, cepatjawab!"
Pada saat itulah tiba tiba terdengar desingan angin tajam
bergema memecahkan keheningan, begitu suara itu bergema, para
jago silat segera tahu kalau suara itu adalah desingan senjata
rahasia yang menembus udara.
Reaksi Hwee-ko Thaysu cukup cepat, dia kebaskan ujung
bajunya merontokkan dua paku penembus tulang yang menyambar
tiba. Tapi paku penembus tulang yang ke tiga tetap menghajar
orang itu. Bukan menembusi tulangnya, tapi menembusi
tenggorokannya! Semburan darah segar segera memancar keluar, dalam waktu
singkat air didalam gentong itu telah berubah jadi merah darah.
"Berani membunuh orang kenapa tidak bernyali bertemu aku?"
bentak Hwee-ko Thaysu nyaring.
Tubuhnya bagaikan sebuah anak panah langsung melesat keluar
melalui jendela. Ketika Lan Giok-keng periksa orang yang berada dalam gentong,
ternyata dia telah tewas seketika.
Membayangkan kembali betapa dahsyat dan hebatnya serangan
senjata rahasia itu, Lan Giok-keng merasakan hatinya kebat kebit,
pikirnya, 'Masih untung ada Hwee-ko Thaysu di sampingku, coba
kalau ke tiga batang paku penembus tulang itu diarahkan ke
tubuhku, mungkin rubuhku akan bertambah dengan tiga buah
lubang besar!" Hwee-ko Thaysu telah kembali. Baru Lan Giok-keng ingin
bertanya, sambil tertawa getir dia telah berkata, "Tidak terkejar lagi!
Ilmu silat yang dimiliki orang itu masih jauh diatasku dan tidak
mungkin dibawahku!" Ternyata bajunya telah tertembus sambitan senjata rahasia tadi
hingga muncul dua lubang besar, bagi orang lain, baju yang
berlubang karena sambitan paku penembus tulang bukanlah satu
kejadian aneh, namun baginya, peristiwa tersebut cukup membuat
hatinya bergetar keras karena kaget.
Sebab sewaktu menangkis serangan Am-gi tadi, dia telah
menggunakan ilmu Thiat-siu-kang (ilmu baju baja) untuk
menangkisnya, bila ilmu silat yang dimiliki lawan sedikit lemah,
maka biarpun mereka membacok dengan golok atau pedang pun
jangan lagi melukai tubuhnya, bisa jadi senjata mereka sendiri yang
bakal patah. Cepat Lan Giok-keng berbisik, "Di depan sana masih ada dua
orang, apakah...." "Mungkin nyawa mereka pun sudah melayang, coba kita periksa
ke luar." Ternyata dugaan mereka tidak meleset, di tubuh kedua orang itu
tidak ditemukan tanda luka apa pun, namun mereka pun sudah
kehilangan napas. Selesai melakukan pemeriksaan, tiba-tiba Hwee-ko Thaysu
bertanya, "Apakah ilmu pukulan Thay-kek-ciang dari partai Bu-tong
bisa membunuh orang tanpa meninggalkan bekas luka di tubuh
korbannya"' "Jika ilmu pukulan seseorang telah dilatih hingga mencapai
puncak kesempurnaan, memang bisa terjadi seperti apa yang kau
katakan. Aaaah, teringat aku sekarang!"
"Teringat apa?"
"Tujuh belas tahun berselang, seorang Tianglo dari partai Butong
mati juga karena dibokong orang."
"Yaa, tentang peristiwa itu akupun tahu, bukankah yang
terbunuh adalah Bu-kek Totiang, ketua para Tianglo dari Bu-tongpay"
Entah bagaimana tampang dan keadaannya sewaktu
meninggal?" "Dari pernyataan Sucouw, konon tidak ditemukan bekas luka apa
pun di tubuhnya." "Kejadian ini sedikit rada aneh. Menurut apa yang kuketahui,
tenaga dalam yang dimiliki Bu-kek tootiang sudah mencapai
tingkatan sempurna, kehebatannya sama sekali tidak berada di
bawah kemampuan Bu-siang Cinjin. Dari ke tiga orang Tianglo Butong-
pay saat itu, bicara soal ilmu pedang maka Bu-si Tojin yang
paling hebat, tapi kalau bicara soal tenaga pukulan seharusnya Bukek
tootiang lah yang paling tangguh. Sekalipun dia tewas karena
dibokong orang, aneh rasanya kalau ternyata dia mati karena
dihantam ilmu pukulan Thay-kek-ciang, tentu terkecuali Bu-siang
Cinjin sendiri yang melakukan. Tentu saja pembunuhnya waktu itu
bukan Bu-siang Cinjin karena pada saat kejadian, Bu-siang Cinjin
berada diatas gunung Bu-tong."
"Tapi tenaga pukulan yang menyebabkan kematiannya toh belum
pasti akibat pukulan Thay-kek-ciang-hoat."
"Apakah Bu-siang Cinjin yang berkata begitu?" tanya Hwee-ko
Thaysu cepat, "apakah dia yakin kalau pukulan itu bukan Thay-kekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
ciang-hoat?" "Sucouw tidak membenarkan, juga tidak mengatakan bukan. Dia
hanya bilang masih berada dalam penyelidikan. Tapi kalau menurut
Bu-liang Tianglo, dia menganggap pukulan itu tidak salah lagi pasti
Thay-kek-ciang-hoat."
"Oooh, jadi saat itu Bu-liang Tianglo juga ikut hadir?"
"Persoalan itu memang sedang diperbincangkan Bu-liang Tianglo
dengan Sucouw, kebetulan saja hari itu aku sedang berlatih tenaga
dalam di dalam kamar Sucouw hingga tanpa sengaja mendengar
pembicaraan tersebut."
"Atas dasar apa Bu-liang Tianglo berani mengatakan
keyakinannya?" "Dia bilang walaupun tenaga pukulan sesama seperguruan tidak
ada yang bisa mengungguli Bu-kek Tianglo, namun tidak menjamin
murid Bu-tong-pay dari aliran lain tidak ada yang memiliki tenaga
pukulan jauh lebih tangguh darinya, konon banyak tahun berselang
ada seorang murid Bu-tong-pay yang hilang lenyap jejaknya setelah
berhasil mempelajari ilmu silat sakti, konon dia kabur ke luar
perbatasan dan hidup mengasingkan diri disana, bahkan tersebar
berita yang mengatakan dia telah mempunyai seorang ahli waris.
Hanya saja bagaimana kejadian yang sesungguhnya, hingga kini
tidak seorangpun yang tahu jelas. Sebab sejak hilang dari
peredaran, belum pernah ada rekan-rekan Bu-tong-pay yang pernah
bersua lagi dengannya, tentu saja kesemuanya ini hanya menurut
cerita saja. Hingga kini peristiwa tersebut sudah berlalu hampir
mendekati seratus tahun, tidak ada lagi yang menemukan ahli waris
lain dari orang tersebut muncul di luar perbatasan."
"Sekalipun benar ada manusia seperti ini, yang pasti orang yang
telah membokong Bu-kek Tianglo tidak memiliki tenaga pukulan
Thay-kek-ciang-hoat diatas kemampuan Bu-kek Tianglo."
"Darimana kau bisa tahu?"
"Pertanyaanmu susah untuk kujelaskan dalam waktu singkat. Aku
hanya bisa mengatakan bahwa dugaan dan kesimpulan ku ini tidak
bakalan salah." Lan Giok-keng sangat pintar, segera pikirnya, 'Hwee-ko Thaysu
pasti masih mengetahui hal-hal lain yang kemungkinan besar tidak
diketahui Sucouw maupun beberapa orang Tianglo, hanya saja dia
enggan mengatakannya kepadaku'
Berpikir begitu, diapun bertanya, "Kalau memang begitu, kau
tentunya sangat yakin kalau kedua orang inipun sudah tewas karena
pukulan Thay-kek-ciang-hoat?"
"Betul sekali, aku yakin melesetpun tidak bakalan terlalu jauh.
Hanya saya, aku tetap menaruh curiga, bisa jadi pembunuh yang
telah menghabisi nyawa kedua orang ini tidak lain adalah pembunuh
yang telah membokong Bu-kek tootiang pada enam belas tahun
berselang." "Kalau begitu cepatlah kau mencari akal untuk menyelidiki
siapakah sang pembunuh itu!" seru Lan Giok-keng kegirangan.
"Kau pernah berlatih ilmu pukulan Thay-kek-ciang?" tiba tiba
Hwee-ko Thaysu bertanya. "Latihan mah sudah pernah, hanya sayang tenaga dalamku
masih sangat cetek."
"Kalau begitu pukullah aku, tapi harus memukul dengan sepenuh
tenaga!" "Boanpwee tidak berani," sahut Lan Giok-keng terperanjat.
"Tidak usah kuatir," kata Hwee-ko Thaysu lagi sambil tertawa,
"pukul saja dengan sepenuh tenaga, semisal berhasil melukai
akupun tidak bakalan aku marah kepadamu."
Begitu mendengar perkataan itu, Lan Giok-keng baru tersadar
kembali, tenaga dalam yang dimiliki Hwee-ko Thaysu masih jauh
diatas kemampuannya, bagaimana mungkin pukulannya bisa
melukai pendeta itu"
Pukulannya dilancarkan dengan sepenuh tenaga, walaupun
akibatnya Hwee-ko Thaysu tidak sampai terluka, tidak urung
tubuhnya bergetar juga sangat keras.
Ternyata setelah ilmu pedangnya mengalami kemajuan pesat
dalam berapa bulan terakhir, tenaga dalamnya ikut mengalami
kemajuan, bahkan dia sendiri tidak sadar akan hal ini.
"Sangat bagus," ujar Hwee-ko Thaysu kemudian, "aku telah
merasakan kehebatan dari kekuatan lembek Thay-kek-ciang-hoat.
Coba kau tunggu sebentar."
Sambil berkata, dia membopong sesosok mayat dan berjalan
masuk ke dalam kamar. Lan Giok-keng kebingungan melihat ulah pendeta itu, setelah
menunggu sesaat, tampak Hwee-ko Thaysu muncul kembali dengan
tangan kosong sambil berkata, "Ternyata dugaanku tidak salah,
orang ini bergabung dengan Buy-tong-pay setelah mempelajari ilmu
silat perguruannya sendiri, oleh karena itu tenaga pukulan Thaykek-
ciang nya tidak terlalu sempurna."
"Darimana kau bisa mengetahui dengan begitu jelas?"
"Aku telah melakukan otopsi untuk memeriksa isi perut mayat
tadi, karena kuatir kau ngeri dan muak, maka sengaja tidak
mengajakmu. Jika ilmu pukulan Thay-kek-ciang-hoat yang dimiliki
orang itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan, jantung sang
korban akan ditemukan dalam keadaan utuh. Tapi jantung mayat
tadi sudah hancur berantakan, malah dua kerat tulang iganya ikut
berubah bentuk karena pengaruh tenaga pukulan. Bagian-bagian ini
tidak mungkin bisa ditemukan bila kita tidak melakukan
pembedahan jenasah."
"Jadi sang pembunuh berasal dari perguruan mana?"
"Tiang-pek-pay memiliki dua jenis ilmu silat yang sangat lihay,
yang pertama adalah ilmu pukulan Sam-sat-ciang, dan yang kedua
adalah Hong-lui-ciang (ilmu pukulan angin geledek). Korban yang
tewas akibat pukulan Hong-lui-ciang pun tidak meninggalkan bekas
luka di permukaan tubuh sang korban, tapi isi perutnya pasti hancur
berantakan. Tampaknya sang pembunuh telah menggabungkan ke
dua macam ilmu pukulan itu menjadi satu, kesempurnaan ilmu


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan Thay-kek-ciang nya mungkin saja belum mampu melampaui
kehebatan Bu-kek Tianglo, tapi kesempurnaannya cukup
meyakinkan." "Kalau begitu, bukankah ke tiga orang penghuni rumah ini sudah
mati karena dibunuh rekan seperguruannya?"
"Dia ingin melenyapkan saksi, tentu saja tidak akan
memperdulikan apakah rekan seperguruan atau tidak. Aaaah,
mengerti aku sekarang!"
Ucapan itu kelewat mendadak, membuat Lan Giok-keng jadi
tertegun. Tanyanya cepat, "Thaysu telah mengerti soal apa?"
"Apakah tahun berselang Sucouw mu pernah mengutus orang
pergi ke gunung Boan-liong-san untuk menggali kerangka tubuh Bukek
Tianglo?" "Benar, Sucouw ingin memindahkan kerangka jenasahnya untuk
dikubur kembali diatas gunung. Yang mendapat perintah untuk
melakukan penggalian adalah Toa-supekku, Put-coat. Sayang Toasupek
terluka di tangan seorang manusia berkerudung ketika masih
berada di gunung Boan-liong-san, lantaran luka yang kelewat parah
maka setelah tiba di gunung Bu-tong, dia menemui ajalnya. Apakah
manusia berkerudung itu...."
"Saat ini aku masih belum berani memastikan apakah manusia
berkerudung itu sama dengan manusia berkerudung yang barusan
kita jumpai, namun ada satu hal aku berani memastikan."
"Soal apa?" "Sucouw mu beralasan ingin memindahkan kerangka jenasahnya
agar bisa dikubur digunung Bu-tong, tapi di dalam kenyataan
sebenarnya dia ingin melakukan penyelidikan sebab kematiannya di
masa lalu dengan memeriksa sendiri kerangka Bu-kek Tianglo,
bahkan ingin membuktikan benarkah sang pembunuh adalah
anggota perguruan Bu-tong-pay. Ehmmm, bila dia berhasil
mendapat tahu kalau sang pembunuh masuk perguruan dengan
membawa serta ilmu silat perguruan semula...."
Bicara sampai disitu diapun membungkam dan tidak dilanjutkan,
seolah secara tiba-tiba terpikir kembali suatu teka teki yang sulit
dipecahkan olehnya. Lan Giok-keng tidak mengetahui jalan pemikirannya, sambil
menghela napas katanya, "Sayang sekali di saat Put-coat supek
meninggal dunia, Sucouw pun menderita sakit parah, bahkan
berapa hari kemudian ikut menghembuskan napas penghabisan.
Aaai.... dalam keadaan begitu, mana mungkin dia punya kekuatan
lagi untuk melacak sebab kematiannya. Thaysu, apa yang harus kita
lakukan sekarang?" Waktu itu langit sudah mendekati gelap.
"Jelas kita tidak bisa tinggal terlalu lama ditempat seperti ini,"
sahut Hwee-ko Thaysu, "lebih baik kita pergi dulu dari sini."
Dia bersama Lan Giok-keng berjalan menuju ke atas sebuah
tanah perbukitan didekat sana, sambil mengeluarkan rangsum
kering katanya lagi, "Sekarang makanlah dulu hingga kenyang,
kemudian tidur dengan nyenyak."
"Kenapa harus tidur?" tanya Lan Giok-keng.
"Kalau tidak memiliki tenaga yang segar, bagaimana bisa
menyelesaikan tugas?"
"Jadi kau sudah mempunyai rencana?"
"Tidak usah terburu napsu, kau pun tidak perlu memikirkan terus
persoalan ini, bila saat harus berangkat telah tiba, akan
kuberitahukan kepadamu."
Lan Giok-keng tertawa. "Kalau hanya untuk memulihkan tenaga mah tidak perlu harus
tidur sampai nyenyak," katanya.
Diapun segera duduk bersila dan mulai mengatur pernapasan
dengan mengikuti Sim-hoat tenaga dalam yang dipelajarinya dari
sang Sucouw. Tidak selang beberapa saat kemudian dia sudah
masuk dalam kondiri lupa diri, terhadap sekelilingnya dia
memandang tapi tidak melihat, ada suara tapi tidak mendengar.
Setelah melakukan latihannya sebanyak tiga kali, dia baru
mendongakkan kepalanya, ternyata rembulan telah berada ditengah
angkasa. "Bagus sekali," ujar Hwee-ko Thaysu kemudian, "kau telah
menyelesaikan latihanmu, mari sekarang juga kita berangkat."
"Mau ke mana?" "Kota Uh-sah-tin!"
Mula-mula Lan Giok-keng agak tertegun, kemudian seolah
menyadari sesuatu sahutnya, "Benar, mereka pasti tidak menyangka
kalau secepat ini kita bakal balik lagi, siapa tahu kita berhasil
melacak sedikit titik terang."
"Kau harus melakukan persiapan untuk menghadapi hal yang
tidak diinginkan." Kemudian secara ringkas pendeta ini membeberkan semua
rencana yang harus dia lakukan nanti, setelah itu dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka berdua balik kembali
ke kota Uh-sah-tin. Target penyelidikan mereka kali ini tidak lain adalah balai
penjualan ikan di kota tersebut.
Ternyata balai penjualan ikan dikota itu mencakup tanah yang
sangat luas. Di bagian depan merupakan gedung yang digunakan
untuk jual beli, di bagian belakang merupakan deretan rumah
tinggal, sedang di bagian tengah merupakan sebuah halaman yang
sangat luas. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, pada tengah
malam itu Hwee-ko Thaysu dan Lan Giok-keng berhasil menyusup
masuk ke halaman dalam tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
Pada ujung serambi ruangan yang berliku-liku terdapat sebuah
bangunan loteng, cahaya terang memancar keluar dari balik jendela
ruangan itu. Ternyata jendela itu berada dalam kondisi setengah tertutup.
Begitu mereka berdua tiba diujung serambi, dengan satu
lompatan ringan mereka melompat naik ke atas wuwungan rumah,
kebetulan wuwungan itu terdapat sebuah bagian yang agak cekung
ke dalam hingga persis bisa dipakai mereka berdua untuk
menyembunyikan diri. Tampak seorang lelaki setengah umur yang tubuhnya agak
gemuk duduk di ruang tengah, seorang kakek jangkung lagi kurus
dan seorang lelaki pendek tapi kekar berdiri di kiri kanannya.
Suasana dalam ruangan itu sangat hening, tidak terdengar ada
suara pembicaraan, rupanya lelaki setengah umur itu sedang
memusatkan perhatiannya membaca sepucuk surat.
Ketika selesai membaca, dia letakkan kembali surat itu ke meja
dan berkata, "Apakah dia sendiri yang menyerahkan surat ini
kepadamu?" Lelaki yang pendek tapi kekar itu segera menyahut, "Karena
kuatir menimbulkan kecurigaan orang, aku tidak berani mencarinya
di kantor resminya. Seorang kepercayaannya yang menyerahkan
surat ini kepadaku, jadi aku yakin tidak bakalan salah. Kim-lopan,
apakah kau merasa gaya tulisan dalam surat itu mencurigakan?"
Ternyata lelaki setengah umur itu tidak lain adalah juragan
bengis yang menguasahi penjualan ikan di kota Uh-sah-tin dan
bernama Kim Teng-hap. Tentu saja statusnya disana bukan hanya
sebagai seorang juragan bengis saja.
Terdengar Kim Teng-hap berkata, "Belasan tahun berselang, dia
pernah membantu aku mengerjakan pembukuan disini. Tentu saja
aku pernah melihat gaya tulisannya, tapi semua catatan pembukuan
yang dia lakukan pun aku hanya kadang-kala membukanya. Setelah
lewat banyak tahun, sesungguhnya aku sendiripun agak buram
dengan gaya tulisannya."
"Kalau soal itu mah gampang," kata si kakek ceking, "perintahkan
saja Lo-liau untuk membawa kemari semua catatan pembukuan
yang pernah dia kerjakan dulu, bukankah dengan cepat kita bisa
mendapat tahu apakah gaya tulisan itu miliknya atau bukan."
"Untuk sementara tidak perlu. Terus terang saja, aku bukannya
menaruh curiga dengan gaya tulisannya, hanya merasa sedikit
keheranan." "Keheranan soal apa?"
"Heran kenapa beritanya begitu cepat dan tepat?"
"Si hwesio tua dan bocah muda itu datang dari selatan," ujar
lelaki pendek kekar itu, "untuk bisa tiba di kota Uh-sah-tin paling
tidak juga butuh waktu setengah bulan lamanya, sementara
jabatannya di kotaraja adalah...."
"Aku sudah tahu apa jabatan dia di kotaraja, buat apa kau ikut
cerewet?" tukas Kim Teng-hap tiba tiba sambil melotot ke arahnya,
"hmmm, selama ini kau pintar dan cekatan, mengapa sikapmu hari
ini jadi begitu bodoh dan pikun?"
Buru-buru lelaki kekar itu tertawa paksa, sahutnya, "Aku tahu
rahasianya memang tidak boleh sampai bocor, tapi bukankah dalam
ruangan hanya ada...."
"Biarpun di tempat ini kita tidak perlu kuatir di balik dinding ada
telinga, tapi jadikan hal semacam ini sebagai suatu kebiasaan."
Setelah lelaki kekar itu mengiakan, Kim Teng-hap baru berkata
lagi, "Baiklah, sekarang lanjutkan."
Lelaki kekar itu melanjutkan kembali perkataannya, "Dengan
posisi jabatannya sekarang, waktu selama setengah bulan sudah
lebih dari cukup baginya untuk mendapat laporan dari matamatanya
yang tersebar dimana-mana. Begitu sang hweesio dan
bocah itu meninggalkan Toan-hun-kok menuju utara, mungkin
sudah ada orang yang menggunakan kuda paling cepat untuk
melaporkan berita ini ke kotaraja."
"Dia mempunyai mata-mata yang tersebar dimana mana
bukanlah kejadian yang aneh, yang aneh justru.... ehmmm, apakah
kalian sudah melihat isi surat ini?"
"Mana berani kubuka dulu surat itu?" buru-buru lelaki kekar itu
berseru. "Kalau begitu ambillah dan dibaca dulu."
Selang berapa saat kemudian terdengar Kim Teng-hap berkata
lagi, "Aku benar benar tidak habis mengerti, kenapa dia pesan
wanti-wanti kepada kita agar jangan melukai nyawa bocah muda
itu?" Tentu saja "bocah muda" yang dimaksud Kim Teng-hap tidak lain
adalah Lan Giok-keng. Mendengar ucapan tersebut, Lan Giok-keng segera merasakan
hatinya berdebar keras. Inilah persoalan yang sangat ingin dia
ketahui, apa sebabnya Kim Teng-hap dan komplotannya berusaha
mencabut nyawanya" Lalu siapa pula orang yang telah melindungi nyawanya"
Kim Teng-hap sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang dia
ajukan itu, malah sambil tertawa getir ujarnya lebih lanjut,
"Seandainya surat ini datang sehari lebih awal, kita tidak perlu
kehilangan nyawa beberapa orang saudara."
"Tapi masih beruntung begitu," sahut kakek ceking itu,
"andaikata bocah muda itu yang tewas di tangan kita, sekalipun kita
bisa beralasan kedatangan surat itu terlambat sehari, bukan berarti
kita bisa terhindar dari teguran dan umpatannya."
Kim Teng-hap segera mendengus.
"Hmm! Sekarang dia memang bisa bergaya, coba kalau tempo
hari bukan aku yang mengajaknya bergabung, memangnya dia bisa
memangku jabatan tinggi seperti sekarang?"
Kakek ceking itu tidak bicara lagi, sementara lelaki pendek kekar
itu berkata, "Benar, Kim-lopan, terlepas betapa tingginya pangkat
yang dia jabat sekarang, yang pasti dia pernah mendapat budi
kebaikan darimu. Aku yakin diapun tidak akan berani berbuat apaapa
terhadapmu. Menurut pendapatku, lebih baik kau berlagak
seperti tidak pernah membaca surat itu, kita habisi dulu nyawa
bocah muda itu kemudian baru bicara lagi. Terus terang akulah
yang pertama tama tidak puas dengan hasil sekarang, hmmm, kita
harus kehilangan nyawa berapa orang saudara sementara kita
dilarang mengusiknya barang seujung rambutpun!"
"Kau tidak usah banyak bicara, aku mempunyai perhitungan
sendiri. Aku hanya ingin tahu, mengapa dia harus melindungi bocah
muda itu" Eng-lo, apakah kau bisa menduga sebab dan alasannya?"
Tampaknya dia menaruh sikap hormat terhadap kakek ceking itu,
tapi menganggap lelaki pendek kekar itu sebagai bawahannya.
"Berbicara dari tampang muka bocah muda itu, siapa pun yang
melihatnya segera akan tahu.... ehmm, aku malah masih
mengetahui akan satu hal, dari pembicaraan In-po yang buka
praktek di kota Uh-sah-tin tempo hari, katanya di saat bini Keng
Heng-ji meninggalkan kota ini, dia sudah.... sudah...."
Suara pembicaraan kakek itu makin lama semakin mengecil,
biarpun Lan Giok-keng mencoba pasang telinga baik-baik pun dia
hanya bisa menangkap berapa patah saja yang tidak jelas.
Namun Hwee-ko Thaysu dapat menangkap semua perkataan itu
dengan jelas sekali, ternyata sang In-po (dukun melahirkan dimasa
lampau) itu berkata begini: sebelum bini Keng Heng-ji balik ke
selatan, dia sudah berada dalam keadaan hamil, bahkan janinnya
sudah berusia tiga bulan lebih.
"Jadi maksudmu, dia memang sudah mengetahui asal usul bocah
muda itu?" seru lelaki pendek kekar itu cepat, "karena mengingat
hubungan baiknya dengan Keng Heng-ji di masa lampau maka dia
sengaja menulis surat ini" Aku rasa dugaan ini tidak benar?"
"Betul," Kim Teng-hap manggut manggut, "bagi kita yang
melakukan pekerjaan semacam ini, boleh dibilang kita tidak kenal
sanak tidak kenal saudara. Jangan lagi hanya sahabat karib, bila
perlu bini yang kita ajak tidur bersama tiap haripun setiap saat bisa
kita bunuh." Melihat sang majikan menyetujui dengan pendapatnya, lelaki itu
merasa amat bangga, ujarnya lagi, "Menurut apa yang kuketahui,
kematian Keng Heng-ji dimasa lalu pun gara-gara tersangkut
masalahnya. Apakah dia tidak kuatir bocah muda itu datang mencari
balas kepadanya" Semestinya dia jauh lebih cemas daripada kita
dan seharusnya dialah yang berkepentingan untuk segera
menghabisi nyawa bocah itu."
"Kalau aku tidak berpendapat begitu," perlahan kakek ceking itu
berkata. "Lalu bagaimana menurut pendapatmu?" buru-buru Kim Tenghap
bertanya. "Tahukah kalian, apa sebabnya dimasa lalu orang she-Keng itu
sampai dicurigai rekan seperguruannya?"
"Aku tahu, karena disakunya tersimpan sepucuk surat," sela lelaki
kekar itu cepat, "surat itu pertama kali diketahui oleh Susioknya dari
marga Ting, kemudian Suhunya dan Suhengnya mengetahui juga
akan kejadian tersebut."
"Betul, orang yang menulis surat untuknya dulu tidak lain adalah
orang yang menulis surat untuk kita sekarang. Tapi tahukah kalian
apa isi surat itu?" "Surat itu adalah sepucuk surat rahasia, ketika orang she-Keng
itu tewas, suratnya langsung dirampas.
Darimana aku bisa tahu" Kenapa kau bertanya begitu, apakah
kau mengetahui isi suratnya?"
"Tentu saja akupun tidak tahu. Tapi darimana kau bisa tahu
kalau surat itu sudah terjatuh ke tangan rekan seperguruannya"
Hmm, jangan-jangan kau pun hanya menduga."
"Dasar apa kau berkata begitu?" protes lelaki pendek itu.
Kim Teng-hap tidak ingin melihat kedua orang itu ribut lebih


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanjut, segera tukasnya, "Bagaimana pun kita sama-sama hanya
menduga. Eng tua, coba lanjutkan analisamu."
"Semua orang tidak pernah melihat isi surat itu, tapi rekan
seperguruan orang she-Keng telah menganggap surat rahasia itu
sebagai tanda bukti kalau dia telah bersekongkol dengan musuh,
tapi mungkinkah di dalam surat itu tersembunyi pula pembicaraan
yang hanya bisa dimengerti mereka berdua" Atau dalam surat itu
tercantum pula sesuatu yang tidak terlihat orang lain?"
"Hanya si penerima surat yang bisa membaca isinya dan orang
lain tidak bisa membaca" Maksudmu?" tanya lelaki kekar itu
tertegun. "Ada semacam cairan obat yang bisa menyembunyikan tulisan,
mungkin kau belum pernah mendengarnya bukan" Tulisan yang
telah digosok dengan cairan obat itu hanya bisa terbaca tulisannya
bila digarang diatas api."
Paras muka Kim Teng-hap kelihatan agak sedikit berubah, buruburu
serunya, "Lanjutkan!"
"Bisa jadi surat itu sudah terjatuh ke tangan seseorang yang
punya hati...." "Seseorang yang punya hati" Apa maksudnya?" sela lelaki kekar
itu tiba-tiba. "Jangan menimbrung dulu, biar Eng-lo lanjutkan pandangannya!"
tegur Kim Teng-hap dengan kening berkerut.
"Orang yang punya hati terbagi menjadi dua macam, pertama
ada hati atau niat membantu orang she-Keng itu terlepas dari
tuduhan dan fitnahan yang tidak pernah dilakukan, tapi berhubung
saat itu dia tidak punya kekuatan atau kemampuan untuk
membelanya, maka surat itu sengaja dia sembunyikan. Ke dua
adalah orang yang punya hati atau niat untuk menggunakan surat
itu untuk mengancam dan mengompas si penulis surat itu."
Kim Teng-hap kembali mengangguk.
"Jika termasuk orang yang pertama, kemungkinan besar surat itu
sudah diserahkan kepada Lan Giok-keng si bocah muda itu,"
katanya. Lan Giok-keng yang mendengar ucapan itu kontan saja
merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya, 'Kenapa dia
menganggap surat itu bakal diserahkan kepadaku. Mungkinkah
antara aku dengan orang she-Keng itu terdapat hubungan khusus"'
Tampaknya lelaki kekar itu berhasil menemukan pula sebuah titik
terang, cepat katanya, "Eng-lo, apakah kau menaruh curiga kalau
dia tidak setia kepada majikan" karena khawatir surat itu terjatuh ke
tangan Lan Giok-keng si bocah muda itu, maka dia harus berusaha
melindungi nyawanya. Dan setelah surat itu berhasil didapatkan
kembali bara berani membunuh bocah itu?"
"Kau yang bicara begitu, bukan aku yang bilang yaa! Lebih baik
kau jangan sembarangan menebak maksud hatiku!" seru kakek itu.
Tentu saja Kim Teng-hap juga tahu kalau kakek ceking itu
gelisah lantaran rahasia hatinya tertebak tepat, maka sengaja
dengan muka serius katanya, "Perkataan Eng-lo memang tepat
sekali, perkataan semacam ini tidak boleh diucapkan secara
sembarangan." Sambil tertawa paksa cepat cepat lelaki itu berkata,
"Bagaimanapun kita semua hanya saling menduga, apalagi dalam
ruangan ini pun hanya ada kita bertiga."
Perlahan-lahan paras muka Kim Teng-hap berubah melunak
kembali, sahutnya, "Kalau hanya berbicara disini mah tidak menjadi
masalah, tapi jangan sampai bocor atau salah bicara ditempat
luaran sana. Baik, sekarang kalian sudah membaca surat itu, biar
kusimpan baik-baik...."
Pada saat itulah mendadak berhembus lewat segulung angin
kencang, baru saja Kim Teng-hap hendak mengambil surat itu,
tubuhnya sudah bergetar sangat kuat hingga nyaris tidak mampu
berdiri tegak. Surat yang berada diatas meja pun tahu-tahu sudah
melayang ke tengah udara.
Secepat sambaran kilat Hwee-ko Thaysu bagai seekor burung
raksasa telah menerjang masuk ke dalam ruangan itu, surat yang
berada diatas meja pun sudah direbutnya.
Kakek ceking dan lelaki kekar pendek itu serentak menyerbu
maju dari kiri kanan, dengan satu tendangan Hwee-ko Thaysu
merobohkan lelaki kekar itu sementara si kakek ceking langsung
menyambar betisnya. Saat itu Hwee-ko Thaysu belum sempat mencapai tanah, buruburu
dengan gaya burung belibis membalikkan badan, ia pelintir
kakek itu hingga terbanting ke tanah, kemudian sambil
mencengkeram pinggangnya, pendeta itu melempar tubuh
lawannya keluar. Selama pertarungan berlangsung, Kim Teng-hap sama sekali
tidak melarikan diri, sebaliknya dia malah tertawa terbahak-bahak.
Ditengah gelak tertawa yang keras itulah mendadak papan lantai
di bawah kaki Hwee-ko Thaysu terbuka lebar, tampak jelas di
bawah jebakan itu dipenuhi dengan panah panah tajam. Cahaya
kebiruan memantul keluar dari ujung panah panah itu, bisa diduga
kalau semuanya telah dibubuhi racun jahat.
Sewaktu membanting tubuh kakek ceking tadi, Hwee-ko Thaysu
telah mengerahkan seluruh kekuatannya pada sepasang kaki, dalam
keadaan begini mana mungkin dia bisa menghindarkan diri"
Tidak ampun tubuhnya segera meluncur ke dalam liang jebakan
itu dan memapaki ujung panah yang tajam.
Sambil tertawa terbahak bahak seru Kim Teng-hap,
"Hahahaha.... hwesio bau, ini namanya menghantar diri...."
Sayang dia tertawa terlalu awal.
Benar, bila tubuh Hwee-ko Thaysu terjatuh ketengah hutan
panah beracun itu, niscaya dia akan mati secara mengenaskan. Tapi
disaat yang amat kritis itulah telah terjadi perubahan yang sama
sekali di luar dugaan. Belum lagi Kim Teng-hap menyelesaikan kata katanya, mendadak
terlihat seutas tali panjang telah menggulung datang bagaikan
seekor naga sakti, disaat sepasang kaki pendeta itu menginjak di
tempat kosong, lilitan tali panjang itu tepat menggulung diatas
pinggangnya dan membetot tubuhnya ke atas.
Kim Teng-hap seketika berdiri tergagap bagaikan tertotok jalan
darahnya, dia hanya bisa membuka lebar mulutnya namun tidak
sedikit suara tertawa pun yang keluar.
Rupanya Hwee-ko Thaysu sudah menduga kalau ruangan itu
telah dilengkapi alat rahasia, karena itu dia sengaja meninggalkan
Lan Giok-keng di tempat luar sambil bersiap siap membantunya di
saat dibutuhkan. Tali otot kerbau yang panjang itu dia pula yang
menyiapkan jauh sebelumnya dan diserahkan kepada Lan Giokkeng.
Namun sayang, walaupun persiapan telah mereka lakukan amat
cermat, masih ada juga peristiwa lain yang sama sekali tidak
terduga telah terjadi. Baru saja tali panjang yang menggulung pinggangnya itu hendak
membetotnya keluar dari jendela, tiba-tiba dari atas atap bangunan
melompat turun sesosok manusia.
Saat itu tubuh Hwee-ko Thaysu masih berada di tengah udara,
mana mungkin dia dapat menghindarkan diri dari sergapan itu"
"Blaaaam....!" dengan telak pukulan dari orang itu bersarang di
tubuhnya. "Kau.... ternyata kau!" teriak Hwee-ko Thaysu dengan suara
parau. Menggunakan tenaga pantulan dari Hwee-ko Thaysu, orang itu
melesat keluar dari ruangan, begitu berhasil dengan serangannya,
dia langsung melarikan diri.
Tapi Lan Giok-keng telah melihat orang itu. Dia tidak sempat
melihat raut wajahnya karena wajah orang itu tertutup oleh kain
kerudung hitam, tapi Lan Giok-keng berani memastikan kalau
manusia berkerudung itu tidak lain adalah manusia berkerudung
yang mereka jumpai kemarin.
Buru-buru Lan Giok-keng menarik kembali talinya dan menarik
tubuh Hwee-ko Thaysu ke samping.
Di bawah redupnya cahaya rembulan, dia tidak sempat melihat
jelas apakah Hwee-ko Thaysu sudah menderita luka atau tidak, baru
akan bertanya, tampak Hwee-ko Thaysu sudah melepaskan diri dari
lilitan tali sambil berbisik, "Bocahbodoh, ayoh cepat kabur!"
Waktu itu Lan Giok-keng masih bersembunyi di bagian cekung
dari wuwungan rumah, belum lagi bangkit berdiri, Hwee-ko Thaysu
sudah melompat turun ke bawah.
Begitu melihat rekannya tidak dapat menggunakan ilmu
meringankan tubuh, Lan Giok-keng segera tahu kalau dia sudah
terluka, bahkan lukanya parah sekali, dengan perasaan cemas buruburu
dia mengikuti di belakangnya melarikan diri.
Saat itu Kim Teng-hap yang berada dalam kamar masih dicekam
perasaan kaget bercampur ngeri, dua orang pembantu andalannya
pun sudah terluka, tentu saja dia tidak berani melakukan
pengejaran. Beberapa orang tukang pukul dari pengumpul ikan segera
munculkan diri di tempat itu, tapi dengan kekuatan mereka,
bagaimana mungkin bisa menghadang kepergian kedua orang
jagoan itu" Di bawah remangnya cahaya rembulan, tampak bayangan
manusia bermunculan dari balik halaman, dalam waktu singkat
empat arah delapan penjuru telah dipenuh kawanan tukang pukul.
"Bajingan cilik, mau kabur ke mana kau!" teriak mereka bersama.
"Kalian mau menangkapku" Bagus sekali," ejek Lan Giok-keng
sambil tertawa, "bagaimana kalau kalian maju kemari dan
menangkap diriku" Hanya saja, mampukah kalian berbuat begitu,
tergantung sampai dimana kemampuan yang kalian miliki."
Dia sambil menyongsong maju sambil melancarkan serangan
secepat petir, dalam waktu singkat sudah ada tujuh orang yang
terkena tusukan dan roboh terjungkal.
Biarpun dalam kegelapan malam susah untuk mengincar jalan
darah orang, namun setiap tusukan yang dia lancarkan ternyata
berhasil mengenai jalan darah lawannya secara tepat.
Kawanan jago lainnya jadi panik dan bingung ketika melihat
rekannya roboh terkapar tanpa diketahui mati hidupnya lagi, saking
takutnya serentak mereka menyingkir ke samping dan tidak berani
berteriak lagi. Tiba-tiba terdengar seseorang bertanya dengan suara
gemetaran, "Suara ribut apa diluar sana" Eei.... kenapa secara tibatiba
hilang suaranya?" Orang itu berbicara dari dalam sebuah ruangan, dari balik
ruangan terlihat cahaya lentara yang memancar keluar.
"Liauw-ciangkwee, coba lihat, masa kau ketakutan sampai seperti
itu" Memang kau tidak mendengar, yang datang hanya seorang
bajingan cilik, aku yakin bajingan itu pasti sudah tertangkap, tentu
saja suara teriakan pun ikut mereda," rekan sekamarnya sok pintar
dengan memberikan penjelasannya.
Bagaimana pun juga Liauw-ciangkwe adalah seorang yang sudah
berusia lanjut, pengetahuan dan pengalamannya sudah sangat
banyak, walaupun dicekam rasa gugup dan takut namun otaknya
jauh lebih terang ketimbang rekannya, sahutnya kemudian, "Aku
merasa gelagat agak tidak beres, coba keluar dan tengoklah apa
yang sebetulnya telah terjadi?"
"Baik, aku akan menengok keluar," jawab lelaki kasar itu, "dasar
manusia bernyali kecil, sana, bersembunyi di kolong ranjang dulu."
Belum selesai dia berkata, "Braaaak!" tahu-tahu pintu kamar
sudah ditendang orang hingga terbuka lebar, orang yang menerjang
masuk tidak lain adalah Hwee-ko Thaysu.
Begitu bertemu lelaki kasar itu, Hwee-ko Thaysu langsung
mengayunkan tinjunya kuat-kuat sementara tali yang berada
ditangannya langsung digunakan untuk menjirat tubuh Liauwciangkwee
yang sudah siap-siap bersembunyi di kolong ranjang.
Tidak terlukiskan rasa kaget Liauw-ciangkwee, saking takutnya
walau ia sudah berusaha berteriak sekeras kerasnya, namun tak
kedengaran ada suara yang muncul.
Tindakan Hwee-ko Thaysu yang secara tiba-tiba melewati disisi
tubuh Lan Giok-keng dan langsung menangkap Liauw-ciangkwee ini
seketika membuat bocah muda itu tercengang, dengan perasaan
penuh tanda tanya pikirnya, 'Orang ini tidak lebih hanya seorang
pegawai yang mengurusi pembukuan milik Kim-lopan, sekalipun
hendak menghukumnya, kita bisa menghukumnya ditempat, buat
apa musti membelenggunya" Apakah akan kita bawa kabur juga
dari sini"' Rupanya Hwee-ko Thaysu memang berniat membawa kabur
Liauw-ciangkwee, begitu keluar dari ruangan, dia langsung
menyerahkan tali itu ke tangan Lan Giok-keng sambil berpesan,
"Hati-hati sedikit, jangan mengikatnya kelewat kencang. Tidak usah
banyak bertanya, kita bawa keluar dulu orang ini."
Hwee-ko Thaysu berjalan paling depan, dengan menelusiri tepi
sungai dia kabur menuju ke atas sebuah bukit kecil. Sementara Lan
Giok-keng dengan membopong Liauw-ciangkwe mengikutinya terus
dari belakang. Hwee-ko Thaysu masih berlarian dengan gagah dan penuh
semangat, tapi baru tiba di punggung bukit, tampak dia sudah
basah kuyup bermandikan peluh, asap putih mengepul dari batok
kepalanya. Menyaksikan hal ini, Lan Giok-keng segera tahu apa yang telah
terjadi, walaupun pengalamannya masih cetek, namun dia tahu
kalau gejala tersebut merupakan pertanda kalau tenaga dalamnya
telah mengalami kerugian besar.
"Thaysu, kau berjalan terlalu cepat, aku tidak bisa mengikutimu,
tolong perlahan sedikit," Lan Giok-keng sengaja berlagak terengahengah
dan berteriak keras. Hwee-ko Thaysu tertawa hambar,
tukasnya, "Setan cilik, kau tidak usah berbohong dihadapanku. Kau
sangka aku tidak tahu kalau kau memang sengaja memperlambat
langkahmu agar tidak bisa menyusulku"
Ayoh cepat, ayoh cepat sedikit, waktuku sudah tidak banyak
lagi." "Waktuku sudah tidak banyak lagi?"" apa maksud perkataan ini"
Tanpa terasa Lan Giok-keng bertambah lagi dengan sebuah beban
bera t. Ketika tiba di puncak bukit, hari sudah mulai terang tanah.
"Thaysu, kau.... kau tidak apa-apa bukan?"
"Tidak usah banyak bicara, sadarkan dulu orang itu, ada
pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya."
Lan Giok-keng segera menyeret tubuh ciangkwee she-Liauw itu
ke sisi sebuah selokan kemudian mengguyur kepalanya dengan air
dingin, benar saja dinginnya air gunung seketika membuatnya
tersadar kembali. "Buat apa kalian menangkapku," Liau ciangkwee segera berteriak
keras, "aku tidak lebih hanya pegawai pembukuan dari Kim-lopan,
aku tidak pegang uang, akupun tidak punya uang...."
Entah karena kedinginan ataukah sedang ketakutan, ketika
berbicara seluruh tubuh orang tua ini gemetar keras.
"Aku si hweesio tua bukan mencari derma," sela Hwee-ko Thaysu
ketus, "aku hanya ingin mengajukan dua pertanyaan. Bila kau
berani berbohong, aku si hweesio pasti akan membacakan doa
keberangkatanmu ke alam baka!"
"Bicara, bicara, apa yang kuketahui pasti akan kukatakan," jawab
Liauw-ciangkwee gemetar.

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil memperlihatkan surat yang dirampasnya tadi Hwee-ko
Thaysu bertanya, "Ini tulisan siapa?"
"Tu.... tulisan Huo Bu-tuo."
"Menurut apa yang kuketahui, Huo Bu-tuo telah berganti nama,
sekarang dia memakai nama apa dan dimana dia berada?"
"Dia.... dia.... aku.... aku...." Liauw-ciangkwee tampak tergagap,
agaknya dia tidak berani menjawab pertanyaan itu.
"Apakah kau benar-benar ingin segera berangkat ke alam baka?"
bentak Hwee-ko Thaysu. "Baik, baik, akan kujawab, akan kujawab.... sekarang dia
bernama Kwik Bu, berada di kotaraja."
"Kotaraja dari negara mana" Yang jelas kalau bicara, di kota
Seng-keng atau di Kim-leng?"
"Berada di kota Kim-leng."
"Bagus, bila kau tidak membohongiku, akan kuhantar kau
berangkat ke langit barat."
Tiba-tiba telapak tangannya diayunkan, sebuah pukulan langsung
mencabut nyawa Liauw-ciangkwee.
Bukan saja Liauw-ciangkwee beranggapan asal dia bicara jujur
maka jiwanya akan terselamatkan, Lan Giok-keng sendiripun
berpendapat sama, tidak heran kalau tindakan pendeta itu jauh
diluar dugaannya. Sesudah tertegun berapa saat, serunya tertahan, "Thaysu,
kau...." Hwee-ko Thaysu menghela napas panjang, ujarnya, "Sebenarnya
boleh saja orang ini tidak usah dibunuh, tapi aku terpaksa harus
berbuat begitu, apa daya, yang bisa kulakukan kini hanya
melanggar pantangan membunuh."
"Atas alasan apa kau harus membunuhnya?" tanya Lan Giokkeng
terperanjat. Hwee-ko Thaysu tidak langsung menjawab pertanyaan itu, hanya
ujarnya, "Aku khawatir selanjutnya kau harus seorang diri
menghadapi mereka. Aku tidak bisa membiarkan orang ini
membocorkan rahasiamu."
Lan Giok-keng kembali berdiri tertegun, dia tidak habis mengerti
"rahasia" apa yang dia miliki sekarang"
Tampak Hwee-ko Thaysu mengambil sebatang ranting pohon
dan menuliskan dua nama diatas tanah, "Huo Bu-tuo", "Kwik Bu".
Dia seperti kuatir Lan Giok-keng tidak menangkap jelas nama yang
disebut orang itu dengan logat Liauw-tong nya sehingga secara
khusus menuliskan nama tadi agar bisa dibaca bocah itu.
"Nama Manchu orang ini adalah Huo Bu-tuo, sedang nama Han
nya adalah Kwik Bu. Kau harus mengingatnya baik-baik," ujar
Hwee-ko Thaysu perlahan, ketika selesai bicara napasnya kelihatan
makin tersengkal. "Apa hubungan orang ini dengan diriku?" buru-buru Lan Giokkeng
bertanya. "Aku rasa semua persoalan yang ingin kau ketahui bisa diperoleh
dari mulut orang ini. Sedang mengenai Jit- seng-kiam-kek...."
"Thaysu, beristirahatlah sejenak sebelum bicara lagi."
Hwee-ko Thaysu seolah tidak mendengar perkataan itu, sambil
mendorong tubuh bocah itu, lanjutnya, "Sedangkan mengenai Jitseng-
kiam-kek, jika menemukannya tentu saja jauh lebih baik, tapi
semisal tidak ketemu pun tidak masalah. Yang paling penting
putranya...." Suara pembicaraannya makin lama semakin mengecil, coba kalau
Lan Giok-keng tidak berlatih tenaga dalam semenjak kecil, dengan
pendengaran orang awam, nyaris tidak terdengar suara apapun.
"Putranya", yang dimaksud "nya" disini sudah pasti Jit-sengkiam-
kek, tapi mengapa secara tiba tiba dia mengalihkan
pembicaraan ke masalah putra Jit-seng-kiam-kek" Siapa pula putra
Jit-seng-kiam-kek" Bila di dengar dari nada pembicaraannya,
kemungkinan besar dia adalah manusia yang bernama Huo Bu-tuo
itu. Tapi bagaimana kalau bukan orang itu yang dimaksud"
Buru-buru Lan Giok-keng menempelkan telinganya diatas bibir
Hwee-ko Thaysu, dia mendengar kata berikut dari pendeta itu
adalah, "Aaaai, aku tidak bisa melebihi Bu-kek Tootiang, aku tidak
bisa menemanimu lagi...."
Tiba-tiba saja pembicaraannya terputus ditengah jalan.
Ketika Bu-kek Totiang terkena bokongan manusia berkerudung
waktu itu, dia masih mampu kabur sejauh ratusan li dan bertahan
hampir dua hari lamanya sebelum tewas di Boan-liong-san.
Dengan perasaan terkejut buru-buru Lan Giok-keng membopong
tubuh Hwee-ko Thaysu, serunya sambil menggoyangkan tubuh
pendeta itu berulang kali, "Kau tidak boleh mati, kau tidak boleh
mati, siapa musuh pembunuhmu" Kau belum mengatakannya
kepadaku!" Semula dia menyangka Hwee-ko Thaysu hanya menderita luka
ringan, tapi sekarang dia sudah tahu kalau pendeta itu telah
menderita luka parah yang mengancam keselamatan jiwanya, dia
bisa bertahan sampai sekarang karena telah menggunakan sisa
kekuatan yang dimilikinya untuk membantu dia menginterogasi
orang ini. Jadi keadaannya sekarang ibarat lentera yang kehabisan
minyak. Tiba-tiba Lan Giok-keng teringat kembali, ketika mendapat
serangan dari manusia berkerudung tadi, pendeta itu sempat
berteriak keras "Ternyata kau!", hal ini membuktikan kalau dia
sudah tahu siapakah manusia berkerudung itu. Dalam keadaan
begini, persoalan lain boleh tidak usah ditanyakan, tapi dia harus
tahu siapakah pembunuh yang telah melukai nyawa Hwee-ko
Thaysu itu. Tenaga dalam yang dipelajari Lan Giok-keng berasal dari ajaran
Bu-siang Cinjin, meskipun dasarnya masih cetek namun hasil
latihannya sudah terhitung cukup bagus. Buru-buru dia tempelkan
telapak tangannya diatas jalan darah Leng-ki-hiat dipunggung
Hwee-ko Thaysu. Jalan darah Leng-ki-hiat merupakan pertemuan dari delapan nadi
penting dari Ki-keng, begitu mendapat rangsangan hawa murni, asal
nyawa orang itu belum keburu melayang, biasanya akan
menimbulkan reaksi yang cukup untuk menyadarkan orang itu dari
kondisi koma. Lan Giok-keng pernah mempelajari cara pertolong an pertama ini
dari Sucouwnya, namun berhubung baru digunakan pertama kali,
dia merasa tisak yakin dengan keberhasilannya.
Entah apakah Hwee-ko Thaysu sedang mengalami Hwee-konghuan-
cau (cahaya terang sebelum padam), ataukah berkat
pertolongan pertama yang dilakukan, tiba-tiba pendeta itu
membuka kembali sepasang matanya.
"Siapakah manusia berkerudung yang membokongmu" Cepat
katakan! Sekarang aku memang belum mampu mengalahkan dia,
namun di kemudian hari aku tetap akan membalaskan sakit
hatimu!" bisik Lan Giok-keng berulang kali disisi telinganya.
Akhirnya Hwee-ko Thaysu membuka suara, kali ini suaranya
malah jauh lebih nyaring daripada tadi, "Buddha bersabda: jangan
katakan, jangan katakan!"
"Thaysu, dalam keadaan seperti ini buat apa kau singgung sabda
sang Buddha!" omel Lan Giok-keng dengan perasaan gelisah.
Hwee-ko Thaysu berhenti sejenak untuk menghela napas,
kemudian seolah sedang bergumam, lanjutnya, "Aku pernah
berbuat kebaikan, pernah pula melakukan.... ehmmm, sekalipun
tidak bisa dikatakan perbuatan jahat, namun tidak akan jauh dari
perbuatan salah. Mati hidup merupakan putaran kodrat, buat apa
meninggalkan dendam kesumat yang tidak dapat terurai lagi di
dunia ini?" Mimik mukanya berubah amat serius, dari bergumam sikapnya
berubah seperti seorang pendeta agung yang sedang memberi
kotbah. "Thaysu!" teriak Lan Giok-keng lagi, "kau boleh saja mengampuni
musuhmu, tapi aku harus waspada dari bokongannya. Bila aku tidak
tahu asal usulnya, maka...."
"Benar, aku memang harus berpikir untukmu. Tapi orang ini tidak
bakalan akan mencelakaimu."
Sebenarnya Lan Giok-keng ingin bertanya "darimana kau bisa
tahu", namun setelah melihat nada suaranya makin lama semakin
melemah, terpaksa dia harus mengesampingkan dulu masalah
tersebut, buru-buru tanyanya lagi, "Thaysu, apakah kau masih ada
tugas yang belum terselesaikan?"
"Aduh.... benar, ada satu hal penting yang lupa kukatakan
kepadamu!" Buru-buru Lan Giok-keng menempelkan telinganya untuk
mendengarkan. Dengan suara terputus-putus kata Hwee-ko Thaysu, "Setelah
kejadian pada malam ini, kau.... kau harus pergi mencari Huo....
Huo.... jangan sampai orang lain tahu, termasuk Ciangbunjin yang
menjabat sekarang, kau tidak boleh.... tidak boleh...."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba ucapannya
terputus ditengah jalan, kali ini dia benar benar telah 'putus nyawa',
walaupun Lan Giok-keng sudah dua kali melakukan usaha
'pertolongan', namun sama sekali tidak menimbulkan reaksi.
Meledaklah isak tangis Lan Giok-keng, dia tidak menyangka
secepat itu Hwee-ko Thaysu berlalu dari dunia ini. Memandang sinar
fajar yang baru menying-sing di ufuk timur, perasaan hatinya benarbenar
masgul bercampur pedih. "Mengapa secara khusus Hwee-ko Thaysu menyinggung soal
Ciangbunjin yang sedang menjabat sekarang?" Lan Giok-keng benar
benar tidak habis mengerti, namun dia sangat memahami jalan
pemikiran pendeta itu. Sebagaimana diketahui, Lan Giok-keng turun gunung sehari
sebelum Bu-beng Cinjin menjabat sebagai Ciangbunjin generasi
berikut, mungkin Hwee-ko Thaysu khawatir keterangannya kurang
jelas maka secara khusus dia menandaskan soal "yang menjabat
saat ini", dengan demikian begitu mendengar dia langsung akan
tahu kalau yang dimaksud adalah Ciangbunjin yang baru sekarang,
Bu-beng Cinjin. Lan Giok-keng belum pernah bertemu Ciang-bunjin baru, tapi dia
cukup mengetahui asal-usul dari Ciangbunjin baru itu, tanpa terasa
pikirnya: 'Semasa masih preman dulu, Ciangbunjin baru adalah
Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long yang amat termashur nama
besarnya, ketika Put-coat supek terluka parah ditangan manusia
berkerudung, putranya Bouw It-yu lah yang menghantar dia balik ke
gunung Bu-tong. Konon Bouw Ciong-long naik ke gunung pada hari
kedua setelah aku turun gunung, begitu sampai di gunung dia
langsung jadi pendeta dan begitu menjadi pendeta langsung
menjabat sebagai ketua baru. Padahal mereka ayah beranak
memang berasal dari orang persilatan, jangan-jangan antara
mereka dengan Jit-seng-kiam-kek dan Huo Bu-tuo pernah terjalin
perselisihan atau permusuhan"'
Tapi begitu pikiran itu muncul, bocah itupun merasa
pemikirannya kelewat "ngawur dan sembarangan", tegurnya kepada
diri sendiri, "Kenapa bisa muncul pemikiran semacam ini" Sucouw
begitu mempercayai Bouw Ciong-long, ketika sedang sakit parah
pun dia tetap berusaha menunggu sampai Bouw Ciong-long tiba
diatas gunung dan menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepadanya
sebelum tutup mata dengan tenang, mana boleh aku malah
menaruh curiga kepadanya?"
Pikiran dan perasaan Lan Giok-keng sangat kalut, setelah berpikir
berulang kali, akhirnya dia putuskan untuk berangkat ke kota Kimleng
dan mencari Huo Bu-tuo yang kini telah berganti nama menjadi
"Kwik Bu", sebab dari mulut orang inilah mungkin semua rahasia
yang terselubung dapat terungkap.
Selesai mengubur jenasah Hwee-ko Thaysu dan baru saja akan
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dia mendengar seperti ada suara
langkah kaki manusia sedang berjalan mendekat, dalam terkejutnya
mendadak dia teringat dengan pesan dari Hwee-ko Thaysu, buruburu
dia hapus kedua tulisan nama yang tertera diatas tanah itu
dengan kakinya. Ooo)*(ooO Sepeninggal Hwee-ko Thaysu dan Lan Giok-keng, di gedung
kediaman Kim Teng-hap terjadi pula peristiwa yang luar biasa.
Baru saja badai keruwetan berlalu, suasana hening yang aneh
segera mencekam seluruh perkampungan itu.
Ketika manusia berkerudung itu muncul secara tiba-tiba dan
melukai Hwee-ko Thaysu, Kim Teng-hap maupun kedua orang anak
buahnya dapat menyaksikan dengan sangat jelas.
Mereka tidak melakukan pengejaran, dari sisi jendela si kakek
ceking itu segera berjalan kembali diikuti Kim Teng-hap pun masuk
kembali ke dalam ruangan, tidak seorangpun diantara mereka yang
bersuara. Karena mereka tidak bersuara, otomatis lelaki kekar pendek
itupun tidak berani berkoar-koar.
Seperti ada yang dipikirkan, mendadak Kim Teng-hap bertanya,
"Eng-lo, enam belas tahun berselang kau masih menjadi seorang
pengawal dari Nurhaci Khan bukan?"
Ternyata kakek yang dipanggil "Eng-lo" ini tidak lain adalah salah
satu pengawal kepercayaan Nurhaci Khan, dia bernama Eng Siongleng,
masih terhitung seorang jagoan lihay yang sangat ternama
dari perguru-an Tiang-pek-pay.
Seolah secara tiba-tiba mendusin dari impian, mendadak Eng
Siong-leng melompat bangun sambil berteriak, "Tidak salah,
ternyata dia!" "Aku pun sudah menduga kalau dia!" seni Kim Teng-hap pula
sambil manggut m anggut. Eng Siong-leng adalah tamu kehormatan dari Kim Teng-hap,
sedang lelaki kekar pendek itu bermarga Ouyang dan bernama
Yong. Dia merupakan salah satu anak buah andalan Kim Teng-hap.
Berbicara soal ilmu silat, mungkin kemampuannya tidak selisih
jauh dari Eng Siong-leng, tapi berhubung Eng Siong-leng pernah
menjadi pengawal pribadi Nurhaci Khan, berbicara soal status, jelas
dia tertinggal jauh sekali.
Saat ini sebenarnya Ouyang Yong masih agak bingung siapa
gerangan "dia" yang dimaksud, namun berhubung mimik muka Kim
Teng-san maupun Eng siong-leng menunjukkan keenggannya untuk
menyebutkan nama orang itu, otomatis berada di hadapan
majikannya dia pun merasa segan untuk bertanya lebih jauh,
apalagi ingin tahu rahasia yang bukan masalahnya merupakan
sebuah pantangan besar, terpaksa teka-teki dan keraguan itu hanya
disimpan dalam hati. "Sudah pasti bukan Khan, atau jangan-jangan Huo Bu-tuo" Tapi
Huo Bu-tuo meski memiliki ilmu silat yang mungkin lebih tangguh
dari Kim-lopan maupun Eng Siong-leng, tapi rasanya gerakan
tubuhnya tidak selincah dan segesit manusia berkerudung itu,
lagipula tidak ada alasan bagi Huo Bu-tuo untuk meninggalkan Kimleng.
Aneh.... lantas siapakah orang itu?"
Sementara Ouyang Yong masih menduga-duga, mendadak
terlihat Eng Siong-leng melompat bangun lagi, seakan baru teringat
harus melakukan sesuatu yang wajib segera dilakukan, buru-buru
dia berlari keluar dari ruangan sambil berseru, "Maaf, aku tidak bisa
menemani lagi!" Saat itu Lan Giok-keng dan Hwee-ko Thaysu sudah keluar dari
halaman gedung, tapi Kim Teng-hap beserta para begundalnya


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih belum berani bercuap cuap.
Akan tetapi bukan semua orang yang berada disana telah dibuat
tertegun karena terkejut, ada seseorang yang bersembunyi dibalik
gunung gunungan mendadak berbisik lirik, "Ternyata dia!"
"Betul, akupun telah melihat jelas, memang dia!" seorang gadis
yang berada di sampingnya segera menyahut.
Tentu saja sepasang muda mudi itu bukan tukang pukul dari Kim
Teng-hap, yang lelaki adalah Bouw It-yu sedang sang nona adalah
Seebun Yan. Yang mereka maksud "dia" bukanlah manusia berkerudung itu,
melainkan Lan Giok-keng. Begitu mendapat kabar dari warung teh di pinggir jalan yang
mengatakan Lan Giok-keng pernah muncul di kota Uh-sah-tin,
dengan cepat mereka berdua menyusulnya hingga tiba di rumah
tauke pengumpul ikan. Baru saja Seebun Yan hendak melakukan suatu gerakan, Bouw
It-yu segera mencegahnya.
"Kalau toh kita sudah melihat jelas akan dirinya, kenapa tidak
segera mengejarnya?"
"Hweesio tua itu sudah terluka parah, kalau pandanganku tidak
keliru, tampaknya tidak enteng luka yang dideritanya, apalagi Lan
Giok-keng harus kabur sambil membopong seseorang."
"Maksudmu kita cukup mengundinya secara diam diam" Karena
pasti terkejar maka tak perlu terburu-buru?"
"Benar, lagipula...."
"Lagipula kenapa?"
Pada saat itulah Eng siong-leng berlalu keluar dan kebetulan
sedang lewat dari samping mereka berdua, menunggu orang itu
sudah berlalu, Bouw It-yu baru berbisik kembali, "Lagipula ilmu silat
yang dimiliki orang ini masih jauh diatas kepandaian kita berdua,
lebih baik bila pada saat seperti ini jangan sampai ketahuan mereka
dulu." "Tapi kalau sampai kedahuluan dia...."
Tentu saja Bouw It-yu memahami maksud hatinya, baru
mendengar setengah dia sudah menukas, "Berbicara untuk kita
sekarang, yang paling penting tentu saja tetap Lan Giok-keng, tapi
bagi mereka, orang yang lainnya mungkin jauh lebih penting."
"Siapa yang kau maksud?"
"Manusia berkerudung itu."
Seebun Yan ingin menemukan Piaukonya lewat diri Lan Giokkeng,
cepat katanya lagi, "Biarpun begitu tapi semisalnya yang dia
kejar bukan manusia berkerudung itu melainkan Lan Giok-keng...."
"Itupun tidak masalah, ilmu pedang yang dimiliki Lan Giok-keng
saat ini sudah jauh lebih hebat, sekalipun tidak bisa mengungguli
kakek she-Eng itu, dia tidak bakalan sampai menderita kekalahan."
Sementara itu suasana dalam halaman gedung mulai terjadi
kegaduhan baru, begitu rasa kaget kawanan tukang pukul itu
mereda, yang berteriak pun mulai berteriak, yang berlarian mulai
berlarian, suasana amat kalut.
"Baik, sekarang kita boleh berangkat," bisik Bouw It-yu
kemudian. Di tengah hiruk pikuknya suara teriakan manusia tiba-tiba terselip
pula suara gonggongan anjing, suaranya tajam memekakkan
telinga, nyaris semua hiruk pikuk suara manusia tenggelam dibalik
suara gonggong-an anjing itu.
Tiba tiba Bouw It-yu menarik Seebun Yan ke samping.
Ooo)*(ooO Perginya Eng Siong-leng secara tiba-tiba seketika membuat Kim
Teng-hap mengeritkan alis matanya, namun dia tetap tidak
berbicara. Berbeda dengan Ouyang Yong, tidak tahan dia berteriak, "Eng
Siong-leng benar-benar kelewatan, dianggapnya dia paling senior
lalu berbuat semaunya sendiri, begitu bilang mau pergi langsung
pergi, mau pergi ke mana si tua itu" Hmmm, sekalipun ada urusan
penting yang harus diselesaikan, paling tidak bicara dululah dengan
sang majikan." "Dia kalau bukan sedang mengejar manusia berkerudung itu,
tentulah sedang mengejar bocah she-Lan itu."
"Dari kedua orang ini, mana yang lebih penting?"
"Aku bukan dia, sulit untuk dijawab...."
Sementara itu suara hiruk pikuk telah bergema hingga ke dalam
ruangan mereka. "Celaka, Liauw-ciangkwee telah disandera mereka!"
"Kelihatannya hweesio tua itu sudah terluka, aaah.... bocah itu
kabur....! aaah, si hweesio turut kabur!"
Kim Teng-hap tidak bersuara, sepasang matanya tertuju pada
sebuah benda yang tergeletak diatas lantai.
Benda itu adalah selembar jubah pendeta yang berhasil dirobek
Eng siong-leng ketika tubuh Hwee-ko Thaysu terseret keluar oleh
gulungan tali panjang tadi, biarpun tubuhnya tidak sampai
tertangkap namun kain jubah yang berhasil dirobek lebarnya se
telapak tangan orang. Ouyang Yong cukup cekatan, begitu melihat sorot mata
taukenya, dia segera tahu apa maunya, cepat dia mengambil
robekan kain itu, setelah diendus serunya sambil tertawa, "Waah.
Bau sekali. Kelihatannya hwesio tua itu paling tidak sudah setengah
bulan tidak pernah mandi!"
"Benar, cepat suruh anjing-anjing pelacak untuk mencari
jejaknya! Aku tidak tahu siapa yang sedang dicari Eng Siong-leng,
tapi bagiku, bocah yang bernama Lan Giok-keng jauh lebih penting!"
"Leng-oh" adalah sejenis anjing serigala yang banyak hidup di
luar perbatasan, daya penciumannya sangat tajam.
Ouyang Yong memberikan sobekan kain itu untuk diendus kedua
ekor anjing serigala itu, kemudian ketika tali kekangnya dilepas,
kedua ekor anjing itupun langsung melompat keluar menuju
halaman. Dengan perasaan terkejut bisik Seebun Yan, "Waaah.... belum
pernah melihat anjing garang sebesar ini, anjing apa anak
harimau?"" "Anjing serigala jenis ini merupakan anjing yang paling hebat
untuk melacak jejak, ayoh kita ikuti dari belakang."
Saking cemas dan gelisahnya, Seebun Yan langsung tampilkan
diri dari tempat persembunyian dan menyusul di belakang anjing
anjing pelacak itu. Ouyang Yong adalah seorang jagoan yang cermat, begitu melihat
perawakan tubuh orang yang sedang lari dihadapannya
berperawakan kurus kecil dan tidak mirip salah satu tukang
pukulnya, kontan dia sambit tiga batang paku penembus tulang ke
depan. "Hey bocah kecil dari mana kau?" hardiknya, "cepat berhenti!"
Rupanya dia belum tahu kalau Seebun Yan adalah seorang gadis.
Seebun Yan hanya merasakan desingan angin tajam menyambar
tiba, belum habis ingatan kedua melintas, sebatang paku penembus
tulang telah meluncur lewat dari atas kepalanya bahkan nyaris
bergesekan dengan kulit kepalanya.
Selain itu ada dua batang paku penembus tulang lagi yang
menyambar tepat di samping telinganya.
Dalam terkejut bercampur ngerinya, dia benar-benar berhenti
dibuatnya. Ouyang Yong segera menyusul tiba, setelah jarak mereka
semakin dekat, dia baru melihat dengan lebih jelas, dengan wajah
tercengang ujarnya kemudian, "Kusangka bocah busuk darimana
yang datang, ternyata sudah muncul target baru...."
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba di sisi telinganya terdengar
seseorang membentak keras, "Roboh kau!"
Tahu-tahu ketiaknya jadi kaku, seketika itu juga dia tidak mampu
tertawa lagi. Ternyata orang yang secara diam diam membokong Ouyang
Yong tidak lain adalah Bouw It-yu.
Dengan menggunakan ilmu totok jalan darah yang paling berat
Bouw It-yu telah menotok Hiat-to di tubuh Ouyang Yong, sementara
ke dua ekor anjing serigala tadi telah lari semakin jauh.
Buru-buru Seebun Yan berbisik, "Kedua ekor binatang itu hanya
menuruti perintah majikannya, dengan ilmu meringankan tubuh
yang lebih hebat pun sulit rasanya bagi kita untuk menyusulnya."
"Tadi kita memang belum mengetahui ke arah manamkedua ekor
anjing itu pergi, tapi sekarang kita telahmmengetahuinya," ucap
Bouw It-yu, "coba kau lihat...."
Ketika Seebun Yan berpaling, dia menjumpai jalanan yang
terbentang dihadapannya adalah sebuah jalan yang lurus, diujung
jalan merupakan sebuah bukit. Biarpun ke dua ekor anjing itu sudah
berjarak sangat jauh namun mereka masih dapat melihat ada dua
titik bayangan hitam sedang bergerak cepat, sudah jelas ke arah
bukit itulah kedua ekor binatang itu menuju.
Seakan baru mengerti Seebun Yan menyahut, "Betul juga,
meskipun kita tidak bisa menyusul anjing-anjing itu tapi sudah pasti
dapat menemukan jejak Lan Giok-keng. Si hweesio tua sudah
terluka, dapat dipastikan bocah muda itu tidak bakalan terlalu jauh
meninggalkan dirinya."
Ooo)*(ooO Baru selesai Lan Giok-keng mengubur jenasah Hwee-ko Thaysu,
dia sudah mendengar suara langkah kaki manusia yang bergerak
mendekat, buru-buru dia menggunakan kakinya untuk menghapus
nama yang ditulis Hwee-ko Thaysu diatas tanah.
Belum bersih dia hapus tulisan nama itu, orang tersebut telah
muncul dihadapannya. Lan Giok-keng segera mengenali orang itu sebagai kakek ceking
yang berada bersama Kim Teng-hap.
Dalam sekilas pandang Eng Siong-leng telah melihat gundukan
tanah baru disana, sementara si hweesio tua tidak terlihat lagi
sedang Liauw-ciangkwee terkapar ditanah, berdasarkan pengalaman
yang dimiliki nya dia langsung dapat menduga peristiwa apa yang
telah terjadi di tempat itu.
Dua nama yang ditulis Hwee-ko Thaysu diatas tanah telah
terhapus sembilan puluh persen, yang tersisa sekarang tinggal huruf
"ong" yang merupakan huruf samping dari kata "Bu".
"Hey bocah keparat," Eng Siong-leng segera menghardik, "cepat
mengaku terus terang, apa saja yang telah dikatakan orang ini
kepadamu?" Sambil berkata dia menuding ke arah jenasah Liauw-ciangkwee,
kemudian lanjutnya, "Selain itu, kau pun harus menyebutkan satu
per satu apa isi tulisan yang hurufnya telah kau hapus itu!"
"Hmm, kalau dipandang dari wajahmu, seharusnya kau sudah
cukup umur, kenapa pandanganmu justru seperti anak kecil!"
"Hmm! Apa maksud perkataanmu itu?" dengus Eng Siong-leng.
"Jangan lagi aku memang enggan memberi-tahukan kepadamu,
biar aku bersedia pun, kau sangka aku bakal mengatakan hal yang
sejujurnya?" Kontan saja Eng Siong-leng tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?" kembali Lan Giok-keng menegur.
Tiba-tiba paras muka Eng Siong-leng berubah, bentaknya,
"Bocah ingusan yang masih bau susu, tahu apa kau" Bila aku tidak
punya kemampuan untuk memaksa-mu berbicara, tidak nanti aku
akan muncul di tempat ini!"
Begitu selesai bicara, dia langsung melancarkan serangan maut,
telapak tangan kirinya membabat bagaikan golok, sementara tangan
kanannya bagaikan senjata kaitan, dengan jurus Beng-hun-liat-sik
(mega gugur batu retak) yang digabungkan dengan tehnik
membabat, membacok, merobek dari ilmu Ki-na-jiu-hoat
melancarkan serangan berbarengan, Lan Giok-keng sejak awal
sudah membuat persiapan, musuh tigak bergerak, diapun tidak
bergerak; begitu musuh bergerak, dia bergerak lebih duluan.
Mencabut pedang, berkelit, melancarkan serangan balasan
kesemuanya dilakukan hampir bersamaan waktu, kedua belah pihak
sama sama bergerak sangat cepat, ujung pedang Lan Giok-keng
dengan menciptakan setengah garis busur dengan tepat
menyongsong datangnya ke lima jari tangan Eng Siong-leng yang
sedang mencakar. "Aaah, rupanya aku kelewat memandang enteng bocah keparat
ini," batin Eng Siong-leng dengan hati tercekat.
Buru-buru tangan kirinya yang membabat miring dirubah jadi
tusukan lurus. Belum sempat garis busur Lan Giok-keng membentuk satu
lingkaran utuh, serangannya segera dibuyarkan oleh pukulan Samyo-
kay-thay (tiga kambing membuka bukit) yang dilancarkan pihak
lawan, tenaga serangan yang bersimpangan seketika membentuk
pusaran yang sangat kuat, kontan ujung pedangnya bergeser ke
samping. Eng Siong-leng berseru tertahan, dia tIDak menyangka
pukulannya gagal menggetar lepas senjata bocah itu, kehebatan
lawannya membuat Dia bertambah tercengang.
Dalam pada itu ke dua ekor anjing serigala tadi telah berlari
mendekat, anehnya binatang itu sama sekali tidak menerjang dan
menggigit ke arah mereka, setelah mengitari tempat itu dua kali,
binatang tadi langsung berlalu.
Ternyata binatang itu telah mengendus bau tubuh mereka
berdua, dan bau itu sangat berbeda dengan bau yang muncul dari
robekan kain yang diendusnya tadi.
Kembali ke dua ekor anjing itu mengendus di seputar tempat itu,
akhirnya tibalah disisi gundukan tanah baru.
Daya penciuman anjing-anjing serigala itu memang luar biasa
tajamnya, ditambah lagi gundukan tanah itu dikerjakan Lan Giokkeng
secara terburu-buru, sudah tentu tanah galian yang menutup
kembali lubang kuburan itu kurang padat, bau jenasah Hwee-ko
Thaysu yang terkubur di bawah tanah pun bersama bau tanah
tersebar keluar. Rupanya bau itulah yang berhasil dicium ke dua ekor anjing
pelacak ini. Kini giliran Lan Giok-keng yang merasa hatinya tidak tenteram.
Kedua ekor anjing itu sudah mulai menggali tanah. Dia tidak tega
menyaksikan jenasah Hwee-ko Thaysu dirusak anjing anjing serigala
itu, namun dia pun sulit meloloskan dari dari gencetan serangan Eng
Siong-leng. Tiba-tiba terdengar ke dua ekor anjing serigala itu mengaum
sangat keras, tubuhnya melompat setinggi satu depa lebih
kemudian bersama-sama jatuh ke bawah, hanya saja begitu
terjatuh kembali, tubuhnya sama sekali tidak bergerak lagi. Pada
batok kepala binatang itu terlihat sebuah mulut luka yang
menganga lebar, darah segera membasahi seluruh permukaan
tanah. Bersamaan itu mendadak muncul lagi sesosok bayangan
manusia. Ternyata ke dua ekor anjing serigala itu telah ditimpuk
dengan baru hingga mati. Belum lagi orangnya muncul, dia telah mempu menghabisi nyawa
dua ekor anjing serigala yang ganas hanya menggunakan dua butir
batu kecil, dari sini dapat diketahui betapa tingginya tenaga dalam
yang dimiliki orang itu. Tidak terlukiskan rasa kaget Eng Siong-leng! Jangan lagi Ouyang
Yong mustahil memiliki tenaga dalam seampuh itu, sekalipun
memiliki pun tidak mungkin dia akan menghabisi nyawa anjinganjing


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesayangan majikannya. Perubahan yang sama sekali tidak terduga ini betul-betul diluar
dugaan Eng Siong-leng maupun Lan Giok-keng. Kalau Lan Giokkeng
merasa terkejut bercampur girang maka Eng Siong-leng
merasa terkejut bercampur tercekat hatinya.
Ternyata orang yang muncul secara tiba-tiba itu tidak lain adalah
Tonghong Liang. Dalam keadaan terkejut bercampur tercekat, dengan cepat Eng
siong-leng dipaksa untuk bertamng seimbang lagi melawan Lan
Giok-keng. Begitu munculkan diri, Tonghong Liang langsung mendesak
masuk diantara mereka berdua, dengan rentangan tangannya dia
memisahkan ke dua belah pihak.
Ternyata tindakan ini dilakukan sangat adil, sama sekali tidak
membantu pihak mana pun. Sayang tenaga dalam yang dimiliki Lan Giok-keng sedikit lebih
lemah, lagipula dia baru saja melewati serangkaian pertarungan
yang menguras tenaga, begitu dipisah, dia tidak mampu menahan
diri lagi dan segera terduduk dengan napas tersengkal.
Sedangkan Eng Siong-leng mundur dua langkah dari posisi
semula, dia masih dapat mempertahankan tubuhnya tidak sampai
roboh. Dengan napas masih tersengkal Eng Siong-leng segera menegur,
"Siapa kau" Kenapa menggunakan kesempatan ini mencampuri air
keruh?" "Hmm, bila aku ingin menangkap ikan di air keruh, barusan
adalah kesempatanku yang terbaik untuk mencelakaimu," jengek
Tonghong Liang hambar, "hmmm, hmmm, dan kini, kalian berdua
sudah pasti telah terjatuh ke tanganku dan menunggu nasib!"
Perkataan itu bukan saja telah menyindir Eng Siong-leng,
tampaknya diapun sengaja mengucapkannya untuk Lan Giok-keng.
"Hmm! Menggunakan kesempatan di saat orang tidak siap,
terhitung perbuatan ksatria macam apa dirimu itu...."
Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak, tukasnya, "Eng toawisu,
kau tidak usah mengumpak aku. Aku bukan seorang siaujin,
tapi aku pun bukan seorang kuncu!"
"Lebih baik buka jendela lebar-lebar dan bicara sejujurnya, aku
tidak percaya kalau kau hanya lewat secara kebetulan, boleh tahu
apa maksud kedatangan-mu?"
"Bagus," sahut Tonghong Liang dingin, "karena kau telah
bertanya, aku pun akan beritahu secara terus terang. Eng Toa-wisu,
apakah kau tidak malu dengan kedudukanmu sebagai seorang
pengawal kenamaan harus bertarung melawan seorang bocah yang
belum dewasa" Hmm, meski kau sendiri tidak merasa malu, orang
lain bakal malu melihat perbuatanmu itu. Hmm, bila kau masih
belum puas, bagaimana kalau aku saja yang melayanimu?"
Sambil berkata dia melepaskan ikat pinggangnya dan menelikung
lengan kanan sendiri ke belakang punggung lalu mengikatnya.
"Tonghong toako, apa yang kau lakukan?" tanya Lan Giok-keng
keheranan. "Aku tidak pernah mau mencari keuntungan dari orang lain, Eng
toa-wisu telah bertarung denganmu, maka akupun akan bertarung
melawanmu dengan mengikat sebelah tanganku, dengan begitu
pertarungan ini tentunya lebih adil bukan?"
Tatkala Eng Siong-leng mendengar Lan Giok-keng menyebutnya
sebagai "Tonghong toako" tadi, dia nampak agak tertegun, tapi
kemudian segera pikirnya, 'Sekalipun dia adalah keturunan dari
keluarga persilatan Tonghong, usianya saat ini paling baru dua
puluh tahunan, tidak mungkin ilmu silatnya telah mencapai puncak
kesempurnaan, apalagi bertarung dengan mengikat tangan
sebelah....' Orang ini benar-benar pandai menahan diri, biarpun sudah
dicemooh Tonghong Liang, bukan saja tidak gusar sebaliknya malah
berkata sambil tertawa licik, "Tepat sekali perkataanmu itu, dengan
kedudukan dan statusku sekarang memang tidak boleh membiarkan
orang lain mentertawakan diriku, tapi untung saja hanya kau
seorang yang melihat aku sedang menganiaya seorang bocah!"
"Toako, hati-hati!" teriak Lan Giok-keng, "dia ingin...."
"Dia ingin membunuhku untuk melenyapkan saksi, aku tahu,"
sahut Tonghong Liang tertawa, "katak buduk ingin mencicipi daging
angsa, apa salahnya kita biarkan dia berpikir begitu?"
Sementara dia masih tertawa dingin, sebuah pukulan maut dari
Eng Siong-leng telah dilontarkan ke depan.
Tonghong Liang menyongsong datangnya serangan itu dengan
tangan sebelah, jari tangannya ditegakkan bagaikan tombak dan
menyambut datangnya ancaman itu.
Sebenarnya kekuatan jari tangan tidak bisa melawan kekuatan
telapak tangan, tapi sungguh aneh, ternyata Eng Siong-leng tidak
berani melawannya dengan keras melawan keras, cepat-cepat dia
berganti jurus. Kalau pada serangan yang pertama kali tadi angin pukulannya
menderu-deru dan sangat kuat, sampai Lan Giok-keng yang berdiri
di samping pun merasakan ketajaman angin serangannya, maka
setelah berganti jurus, serangannya sama sekali tidak membawa
deruan angin pukulan. Mula-mula Lan Giok-keng merasa tercengang, namun setelah
diperhatikan lagi, dia pun segera mengetahui apa yang telah terjadi.
Ternyata Tonghong Liang telah mengubah ilmu pedangnya
menjadi ilmu jari, serangannya ganas dan tajam bagaikan burung
elang yang menerkam dari angkasa.
Ilmu pedang yang ganas, keras dan garang ini sebenarnya saling
bertolak belakang dengan unsur sifat ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat,
tapi sewaktu Lan Giok-keng mengamatinya dengan seksama,
justru muncul satu perasaan yang aneh, dia seolah melihat bahwa
"niat pedang" yang terkandung dalam jurus pedang ini banyak
kemiripannya dengan "niat pedang" dari Thay-kek-kiam-hoat.
Mendadak Lan Giok-keng seperti teringat akan sesuatu, pikirnya,
Bu-si Tianglo pernah berkata, ilmu pedang perguruannya disebut
Hui-eng-hwee-sian-kiam-hoat, ilmu pedang elang terbang berputar,
bisa jadi selesai berlatih ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat
bersamaku, dia berhasil melebur kedua unsur sifat keras dan lembut
itu ke dalam ilmu pedangnya'
Apa yang diduga Lan Giok-keng memang tidak salah,
kemampuan yang dimiliki Tonghong Liang saat ini meski belum bisa
dibilang berhasil melebur kedua unsur ilmu pedang itu menjadi satu,
namun secara dipaksakan dia memang telah menggabungkan unsur
kedua ilmu pedang ini. Kendatipun hanya dipaksakan, namun sudah lebih dari cukup bila
dipakai untuk menghadapi Eng Siong-leng, karena itulah mau tidak
mau si kakek ceking itu harus menggunakan ilmu pukulan Im-yangciang
untuk menghadapi ancaman tersebut.
Ilmu pukulan Im-yang-ciang miliknya masih memiliki kelebihan
lain, tenaga pukulannya akan membentuk pergolakan tenaga
pusaran yang mengelilingi tubuh lawan, sekalipun tidak mengenai
tubuh lawan pun kekuatannya dapat membuat pihak musuh terjerumus
ke dalam lingkaran pusaran tidak berwujud itu.
Mendadak Tonghong Liang berseru, "Bagus, kau ingin beradu
tenaga pukulan bukan" Baik, aku akan melayani mu dengan tenaga
pukulan juga!" Telapak tangan tunggalnya mendadak 'melengket' jadi satu
dengan sepasang telapak tangan lawan.
Lan Giok-keng yang menonton dari tepi arena diam-diam mandi
dengan peluh dingin, pikirnya, 'Tonghong Toako benar-benar
tekebur, masa dia meninggalkan kelebihan sendiri dan malah
mengikuti kemaunan lawan?"
Sampai dimana kehebatan tenaga dalam yang dimiliki Eng siongleng,
dia telah menjajal dan merasakannya, sekarang dia mulai
kuatir bila Tonghong Liang tidak sanggup menahan diri.
Sebetulnya Eng siong-leng sendiripun tidak yakin bisa meraih
kemenangan dengan mengandalkan ilmu pukulan Im-yang-ciang
nya, tapi diapun tidak mengira kalau Tonghong Liang begitu berani
beradu tenaga dalam melawan dirinya, tindakan lawan justru
dianggap pucuk dicinta ulam tiba. Memang keadaan inilah yang
diharapkan. Sambil menghimpun seluruh tenaganya ke dalam telapak tangan,
dia mencoba menekan ke depan, betapa girangnya kakek ini begitu
tahu pihak lawan ternyata tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba Tonghong Liang menarik
tangannya ke belakang, kekuatan serangannya kontan tergiring ke
depan, seolah menghantam tempat yang kosong saja, bukan Cuma
serangannya tidak membuahkan hasil, bahkan tubuhnya pun ikut
bergoncang hingga bergeser ke samping.
Lan Giok-keng sangat girang menyaksikan kejadian itu, diamdiam
pikirnya, Sungguh memalukan, padahal dasar ilmu silat
perguruan adalah meminjam tenaga memukul tenaga, memakai
tenaga empat tahil menghadapi serangan ribuan kati. Aku memang
belum pernah melihat ilmu pukulan dari Tonghong toako, tapi
tampaknya ilmu silat yang dia miliki mempunyai dasar ilmu
perguruan Bu-tong. Sungguh aneh, tidak mungkin Sim-hoat tenaga
dalam ajaran Sucouw bisa dicuri belajar orang luar, kenapa dia
sebagai murid perguruan lain justru bisa menggunakan ilmu
tersebut jauh melebihi diriku! Ehmm, jangan-jangan bila ilmu silat
telah dilatih mencapai suatu tingkatan tertentu maka segala
sesuatunya akan terbuka dan saling berhubungan"'
Eng Siong-leng tidak sabar untuk bertarung lama, sambil tertawa
dingin katanya, "Kau mengetahui asal-usulku, akupun mengetahui
asal usulmu. Hmmm! Hmmm! Sebagai keturunan keluarga
Tonghong, sebagai murid tertua Khong-tong-pay, ternyata masih
menggunakan ilmu silat aliran perguruan lain, kau tahu malu tidak"
Kalau memang punya kemampuan, ayoh bertarung menggunakan
ilmu silat perguruanmu sendiri."
Memanfaatkan kesempatan ketika dia berganti napas, tiba-tiba
Tonghong Liang membentak nyaring, "Bukankah kau ingin beradu
tenaga dalam" Baik, aku akan beradu tenaga dalam denganmu!"
Telapak tangannya diputar ringan, tatkala tenaga menggiring
masih berkelanjutan, tiba-tiba dari serangan kosong berubah jadi
serangan nyata, tenaga pukulannya langsung dimuntahkan keluar.
Tidak ampun tubuh Eng Siong-leng yang kurus kering segera
mencelat ke udara bagaikan layang-layang putus benang, kemudian
roboh terjungkal ke tanah.
"Bagaimana" Masih ingin dilanjutkan!" ejek Tonghong Liang
sambil tertawa dingin. Ternyata Eng Siong-leng cukup tangguh, dengan gaya burung
belibis membalikkan badan, begitu kakinya menjejak tanah cepat
dia kabur dari situ dengan kecepatan tinggi.
Kembali Tonghong Liang berteriak nyaring, "Biarpun kau ingin
membunuhku, aku tidak sudi membunuhmu, lebih baik kau tidak
usah mencampuri air keruh di sungai Uh-sah-tin lagi!"
Kemudian dia baru berpaling kembali, tampak Lan Giok-keng
masih mengawasinya dengan termangu, seolah tidak tahu apa yang
harus diucapkan. "Mana Hwee-ko Thaysu?" tanya Tonghong Liang kemudian.
"Ada di bawah gundukan tanah."
Tonghong Liang menghela napas panjang, katanya, "Aaai....
sayang kedatanganku terlambat selang- kah. Jadi dia sudah tewas?"
"Benar, dia dibokong orang sewaktu berada di rumah pemilik
pelelangan ikan dikota Uh-sah-tin. Cuma, dia pergi dengan sangat
tenang dan tenteram."
"Apakah manusia berkerudung yang membokongnya?"
Tergerak perasaan Lan Giok-keng, buru-buru tanyanya, "Benar,
apakah toako tahu siapakah manusia berkerudung itu?"
Tonghong Liang tidak menjawab, dia hanya menggelengkan
kepalanya berulang kali, entah apakah dia memang tidak tahu
siapakah manusia berkerudung itu, ataukah enggan
memberitahukan kepada Lan Giok-keng.
Setelah menggeleng berulang kali dia balik bertanya, "Apa saja
yang telah Hwee-ko Thaysu katakan kepadamu menjelang ajalnya
tadi?" Teringat kembali pesan terakhir Hwee-ko Thaysu menjelang
ajalnya, Lan Giok-keng ragu-ragu dan tidak bisa mengambil
keputusan. Pendeta itu telah berpesan agar dia tidak menceritakan
rahasia tersebut kepada siapa pun, tapi Tonghong Liang....
bukankah dia ber hutang budi kepadanya" Budi yang telah
menyelamatkan jiwanya"
Kembali Tonghong Liang berkata sambil menghela napas
panjang." "Sewaktu berada di Toan-hun-kok, tidak seharusnya aku
membohongimu, tapi akupun mempunyai kesulitan yang tidak bisa
diungkap. Suatu saat nanti aku pasti akan memberitahu kepadamu,
karena sekarang masih belum saatnya. Anggap saja aku masih
berhutang satu kepadamu."
"Toako, kau jangan berkata begitu, akulah yang telah banyak
berhutang kepadamu."
"Mau kau yang berhutang kepadaku atau aku yang berhutang
kepadamu, lebih baik kita tidak usah permasalahkan lagi. Baiklah,
sekarang beritahu dulu kepadaku!"
Entah karena didesak rasa ingin tahu yang begitu kuat atau
karena dipengaruhi emosi, suaranya ikut pula berubah, berubah jadi
tinggi melengking, terburu napsu dan sorot matanya berubah
menjadi sangat aneh. Namun bagi Lan Giok-keng, sinar mata itu amat dikenalnya,
selama dia terkurung dalam penjara bawah tanah Toan-hun-kok,
hampir setiap hari dia bertanding pedang melawan manusia
berkerudung itu, setiap kali selesai bertanding, manusia
berkerudung itu selalu memperlihatkan sinar mata semacam ini!
Dia tidak pernah mendengar suara manusia berkerudung itu, tapi
pada hari terakhir kedok rahasia manusia berkerudung itu
terbongkar juga, ternyata orang itu tidak lain adalah Tonghong
Liang yang berdiri dihadapannya sekarang.
Dalam waktu sekejap tiba-tiba muncul lagi perasaan curiga dihati
Lan Giok-keng, pikirnya, 'Sudah jelas Tonghong Toako mengetahui
siapa-kah manusia berkerudung yang muncul semalam, tapi dia
enggan beritahu kepadaku, mungkinkah dia adalah manusia
berkerudung yang semalam muncul di rumah juragan Kim"
Bukankah sewaktu di lembah Toan-hun-kok, diapun pernah
menggunakan cara yang sama untuk membohongi aku?"
"Jadi kau masih tidak percaya dengan aku" Persoalan ini
berpengaruh besar pada situasi persilatan, kau harus secepatnya
beritahu kepadaku." Kini sinar mata aneh yang memancar dari mata Tonghong Liang
telah lenyap, tapi nada suaranya masih terkesan panik, gelisah dan
tidak tenang. "Mungkin tidak seharusnya aku menaruh rasa curiga kepadanya,"
kembali Lan Giok-keng berpikir, "tapi berulang kali Hwee-ko Thaysu
pesan wanti-wanti kepadaku agar jangan sembarangan percaya
kepada orang lain, tidak seharusnya secepat itu kulupakan
peringatannya." "Di saat menjelang ajalnya, Hwee-ko Thaysu hanya
menyampaikan sepatah kata kepadaku, dia bilang, nak maafkan
aku, aku tidak bisa menemanimu lagi!"


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lan Giok-keng memang tidak bohong, Hwee-ko Thaysu memang
mengucapkan perkataan itu kepadanya. Malah sepasang matanya
sempat memerah dan berkaca-kaca.
Tonghong Liang kelihatan sangat kecewa, sambil menatap tajam
bocah itu, tanyanya, "Dia benar hanya berkata begitu?"
"Betul, memang hanya berkata begitu," jawaban Lan Giok-keng
sangat tenang. Sambil berkata, dia berpikir dalam hati, 'Maaf, kau telah
membohongi aku satu kali, jadi akupun berbohong satu kali
kepadamu' Tonghong Liang setengah percaya setengah tidak, mendadak
tanyanya lagi sambil meninggikan nadanya, "Tahukah kau tentang
kabar berita Jit-seng-kiam-kek?"
"Jit-seng-kiam-kek?" Lan Giok-keng tidak menyangka kalau
Tonghong Liang mengetahui juga tentang Jit-seng-kiam-kek, karena
dalam gugup dia tak tahu bagaimana harus menjawab, terpaksa dia
mengulang kembali nama itu.
"Benar, dialah Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay yang pernah
melukai ayah angkatmu! Aku tahu kedatanganmu ke Liauw-tong
karena ingin mencari dia. Tapi waktu tidak banyak, aku tidak bisa
memberi-tahukan padamu kenapa aku bisa tahu."
Dari mimik mukanya yang gelisah, terlihat kalau dia berniat pamit
diri. "Aku tidak tahu," kembali Lan Giok-keng berkata, sementara
dalam hatinya berpikir, "Ternyata si jago pedang tujuh bintang
bermarga Kwik, padahal nama Han dari Huo Bu-tuo adalah Kwik Bu.
Kenapa bukan memakai nama marga lain dia justru memakai Kwik"
Jangan jangan...." Belum habis ingatan itu, kembali terdengar Tonghong Liang
bertanya lagi, "Konon jit-seng-kiam-kek berputra satu, seharusnya
Hwee-ko Thaysu telah memberitahukan kepadamu bukan...."
Sementara Lan Giok-keng sedang tertawa getir dan tidak tahu
bagaimana harus menjawab, tiba-tiba Tonghong Liang menjawab
sendiri persoalan itu. Barusan Tonghong Liang telah menyinggung kalau Jit-seng-kiamkek
mempunyai seorang putra, jika pembicaraan itu berlangsung
terus, maka dia pasti akan menyinggung soal Huo Bu-tuo atau Kwik
Bu. Siapa tahu tiba-tiba saja dia mengalihkan pembicaraan ke soal
lain, katanya, "Aku memang pernah membohongimu, jadi tidak
heran kalau kau tidak percaya kepadaku. Baiklah, kau boleh
bercerita kepadaku ketika suatu saat nanti kau sudah memahami
perasaan hatiku." Beberapa patah kata itu diucapkan makin lama semakin cepat,
ketika mengucapkan perkataan terakhir, dia seolah sudah tidak bisa
berdiam lebih lama lagi disana, tubuhnya langsung berbalik dan
kabur dari situ. Malah kata terakhir berasal dari beberapa puluh
langkah dari posisi semula.
Lan Giok-keng sangat keheranan, pikirnya, 'Kenapa dia melarikan
diri seperti berusaha menghindari sesuatu, jangan-jangan ada yang
datang"' Benar saja, dia segera mendengar ada suara pembicaraan orang.
"Coba lihat, siapa yang berada diatas sana, perkataanku tidak
salah bukan?" "Aaah benar, ternyata memang Piauko! Piauko, jangan kabur,
kau dengar suaraku" Aku adalah Piaumoy mu!"
"Giok-keng-sutit, tidak usah gugup, aku adalah Bouw-susiok mu!"
Yang memanggil Piauko adalah Seebun Yan, sedang yang
memanggil "Giok-keng sutit" adalah Bouw It-yu.
Ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki sebenarnya tidak
sebanding, tapi saat ini Seebun Yan lari sangat cepat dan
meninggalkan Bouw It-yu jauh di belakang.
Terhadap Lan Giok-keng yang berdiri di atas bukit dia seolah
tidak melihatnya, begitu sampai di puncak bukit, dia langsung
mengejar ke arah Tonghong Liang.
Waktu itu Lan Giok-keng baru saja menghapus huruf yang ditulis
Hwee-ko Thaysu diatas tanah, biarpun tulisannya sudah tidak
terbaca namun masih kelihatan bekasnya.
Bouw It-yu berjalan kehadapannya, sambil melirik sekejap
permukaan tanah dikakinya dia berkata sambil tersenyum, "Giokkeng,
kau tidak menyangka aku bakal datang mencarimu bukan?"
"Aaah sudah datang, lagi-lagi sudah datang!" pikir Lan Giok-keng
sambil tertawa getir. Dia sangka Bouw It-yu pasti akan mengulang kembali pertanyaan
yang barusan diajukan Tonghong Liang, siapa tahu pemuda itu tidak
berbuat demikian, katanya, "Sutit, kau tentu sudah mendengar
bukan kalau Bu-siang Cinjin telah kembali ke langit?"
"Benar, aku sudah tahu. Sayang aku tidak bisa pulang untuk
melayat jenasahnya."
"Tidak, kau masih sempat untuk mengikutinya. Jadwal
penguburan adalah tanggal tujuh bulan depan, berarti persis masih
ada setengah bulan, kau bisa segera berangkat."
"Aku.... mungkin aku tidak bisa pulang tepat waktu."
"Aku tahu. Serahkan saja tugas yang diberikan Ciangunjin
kepadaku. Dengan begitu kau bisa segera pulang."
"Aku tidak paham dengan maksud Susiok," ucap Lan Giok-keng
tertegun. Bouw It-yu tertawa.
"Bukankah Bu-siang Cinjin suruh kau mengajak Hwee-ko Thaysu
datang ke Liauw-tong mencari Jit-seng-kiam-kek" Tentu saja kau
tidak boleh memberitahukan rahasia ini kepada orang lain, tapi aku
sudah mengetahuinya."
Lan Giok-keng merasa sangat ragu, pikirnya, 'Ayahnya adalah
Ciangbunjin partai saat ini, tidak aneh bila diapun mengetahui
persoalan ini' Sebagaimana diketahui, rencana mengangkat Bouw Ciong-long
sebagai pewaris Ciangbunjin memang sudah dipersiapkan Bu-siang
Cinjin sebelum ajalnya tiba, jadi sangat masuk diakal bila
Ciangbunjin lama menyerahkan pesan kepada Ciangbunjin baru atas
beberapa perintahnya yang belum terselesaikan.
Kalau memang begitu, mengapa Sucouwnya meninggalkan surat
wasiat dan mengapa pula suruh dia pergi mencari Hwee-ko Thaysu
dan segala sesuatunya mengikuti perintah Hwee-ko Thaysu"
Menjelang saat ajalnya Hwee-ko Thaysu pun berpesan wanti-wanti
kepadanya, bahkan berpesan secara khusus.... jangan mengatakan
rahasia itu kepada siapa pun termasuk sang Ciangbunjin sendiri
pun. Bukankah Ciangbunjin yang dimaksud Hwee-ko Thaysu adalah
ayah Bouw It-yu, Bouw Ciong-long yang kini telah berganti nama
menjadi Bu-beng Cinjin"
Maka sambil menggelengkan kepalanya berulang kali dia berkata,
"Sucouw hanya suruh aku datang ke biara Siau-lim mencari Hweeko
Thaysu dan menuruti semua perintahnya. Karena itulah Hwee-ko
Thaysu mengajak aku datang ke Liauw-tong. Mengenai nama Jitseng-
kiam-kek.... rasanya aku memang pernah mendengar Hwee-ko
Thaysu menyinggung nama orang ini. Tapi sayang hingga sekarang
aku masih belum tahu siapakah Jit-seng-kiam-kek itu, tidak tahu
juga dia berada di mana sekarang."
Apa yang dia katakan memang tidak bohong, nama Jit-sengkiam-
kek pun dia ketahui setelah disebut Tonghong Liang.
Dan dia pun benar-benar tidak mengetahui kabar berita serta
jejak dari Jago pedang tujuh bintang itu.
Bouw It-yu setengah percaya setengah tidak, kali ini sinar
matanya dialihkan ke tubuh Liauw-ciangkwee, katanya lagi, "Apakah
orang ini mati lantaran dibunuh Hwee-ko Thaysu?"
Lan Giok-keng tidak tahu apa sebabnya dia mengajukan
pertanyaan seperti itu, tapi setelah tahu kalau hal semacam ini tidak
mungkin berbohong, dia pun mengangguk.
"Benar Hwee-ko Thaysu tidak mengatakan apa-apa sebelum
menemui ajalnya?" "Benar, benar tidak ada," sahut Lan Giok-keng mengikuti nada
suaranya. "Aku percaya padamu. Kalau begitu sebutkan siapa nama orang
itu." "Orang yang mana?" tanya Lan Giok-keng melengak.
"Orang yang titip surat untuk Kim-lopan. Bukankah tujuan Hweeko
Thaysu menangkap dan menyeret Liauw-ciangkwee kemari untuk
mencari tahu nama dari orang itu serta dimana dia berada?"
Diam-diam Lan Giok-keng terkesiap, pikirnya, 'Usia Siau-susiok
hanya selisih sedikit dibandingkan aku, ternyata dia begitu lihay!'
Cepat dia menggeleng seraya menyahut, "Aku tidak tahu."
Berubah paras muka Bouw It-yu.
"Sebelum meninggal, Hwee-ko Thaysu masih sempat
membunuhnya. Sudah jelas dia telah berhasil mengorek keterangan
dari mulutnya. Lan-sutit, masa sampai terhadap diriku pun kau tidak
percaya" Kau harus tahu, aku sedang melaksanakan perintah
Ciangbunjin untuk menggantikan dirimu menyelesaikan tugas ini.
Tujuannya tidak lain agar kau bisa segera pulang gunung untuk
mengikuti upacara penguburan sucou. Di antara murid generasi ke
tiga, kaulah yang paling disayang Sucouw, masa kau tidak ingin
menghantarnya masuk ke tanah dan berkabung baginya?"
Perkataan itu bernada tinggi, tajam dan penuh sindiran,
membuat Lan Giok-keng jadi gelagapan sendiri.
Kini bocah tersebut benar-benar tidak tahu bagaimana harus
menghadapinya, pelbagai kecurigaan memenuhi seluruh benaknya,
dia berdiri melongo dengan sinar mata kabur, seakan sudah dibuat
bodoh saking kagetnya. Tampaknya Bouw It-yu sendiripun tidak ingin mendesaknya
kelewat batas, dengan nada yang lebih lunak katanya lagi, "Coba
kau pikirkan lagi dengan kepala dingin, siapa tahu akan teringat
nama orang itu. Agar aku bisa membantumu menyelesaikan tugas
ini, paling tidak aku harus mengetahui nama kedua orang itu.
Pertama adalah orang yang menulis surat untuk Kim-lopan, dan
kedua adalah manusia berkerudung yang pernah muncul di rumah
keluarga Kim. Setelah aku berbicara sampai disini, semestinya
kaupun tahu bukan, kemarin malam aku sama seperti kau,
bersembunyi dalam kebun di rumah keluarga Kim!"
Sementara Lan Giok-keng masih kebingungan dan tidak tahu
bagaimana harus menghadapinya, mendadak terdengar seseorang
berkata, "Kau tidak usah mendesak bocah itu untuk menjawab,
semestinya tanyalah kepadaku!"
Dengan kepandaian silat sehebat Bouw It-yu, ternyata dia tidak
mengetahui akan kehadiran pihak ke tiga, rasa terkejut yang
dialaminya benar-benar tidak terlukiskan dengan kata.
Sambil melompat bangun, hardiknya, "Siapa kau?"
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... bukankah kau sedang mencariku"
Nah, sekarang aku sudah datang!"
Di tengah gelak tertawa nyaring, tahu-tahu orang itu sudah
muncul dihadapan Bouw It-yu, sayang pemuda itu tidak dapat
melihat raut mukanya, sebab dia mengenakan kain kerudung hitam
hingga yang terlihat hanya sepasang matanya.
Walaupun hanya kelihatan sepasang matanya, namun Bouw It-yu
masih dapat mengenali orang itu sebagai manusia berkerudung
hitam yang semalam menyerang Hwee-ko Thaysu di rumah
keluarga Kim. Sambil berusaha menenangkan hatinya Bouw It-yu membentak,
"Mau apa kau?" "Aaah, masa secepat itu kau sudah lupa?" jengek manusia
berkerudung hitam itu dingin, "aku telah berulang kali
memperingatkan dirimu: bila tidak segera kembali berarti mencari
penyakit buat diri sendiri! Hmm, siapa tahu kau begitu bandel, tidak
mau menuruti peringatanku, terlambat sudah bila sekarang kau
ingin berbalik!" Sambil meraba gagang pedangnya kembali Bouw It-yu
membentak, "Ternyata kaulah bajingan tengik yang berlagak sok
Pecut Sakti Bajrakirana 9 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Seruling Perak Sepasang Walet 3
^