Pencarian

Nyawa Kedua 1

Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua Bagian 1


scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
1 Sejak dua minggu lalu pasangan suami istri muda Nyi Purwaningrum bersama
suaminya Raden Kuncorobanu yang seorang saudagar muda itu menempati rumah baru mereka di desa
Sarangan. Karena
suami istri ini begitu ramah dan suka bergaul dengan siapa saja maka dalam waktu
singkat keduanya sudah
dikenal dan disenangi oleh penduduk desa. Apa lagi Kuncorobanu tidak segan-segan
membantu penduduk
miskin yang hidupnya serba kekurangan.
Ketika datang ke Sarangan, Nyi Purwaningrum yang berkulit hitam manis dan
berwajah cantik itu
tengah mengandung menjelang bulan ke tujuh.
Sebagai seorang saudagar, Kuncorobanu sering bepergian, terutama ke Magetan
pusat dia menjalankan usaha perdagangannya. Walau desa Sarangan tidak terlalu jauh dari
Magetan, namun jika
banyak urusan dagang yang dilakukan maka seringkali saudagar muda ini bermalam
di Magetan. Kalau sang suami sedang bepergian Nyi Purwaningrum hanya seorang diri di rumah.
Dia tidak mempunyai pembantu atau pelayan. Juga tidak ada penjaga di rumah itu sebagaimana
layaknya kediaman
orang-orang kaya atau para bangsawan. Hal ini mendatangkan rasa cemas di banyak
penduduk desa Sarangan yang telah mengenal baik sepasang suami istri itu. Beberapa orang
tetangga pernah memberitahu
Nyi Purwaningrum bahwa sejak beberapa bulan belakangan ini tujuh desa di sekitar
kawasan Telaga Sarangan, termasuk desa Sarangan, sebenarnya berada dalam keadaan tidak aman.
Tidak aman terutama bagi
seorang perempuan yang sedang hamil seperti halnya Nyi Purwaningrum. Telah
beberapa kali terjadi ibu-ibu
muda yang tengah hamil diculik oleh makhluk aneh berbentuk pocong hidup. Siapa
saja yang berani
melakukan pengejaran pasti menemui kematian. Sementara semua perempuan yang
diculik tak pernah
kembali, tidak diketahui dibawa kemana dan tidak diketahui apa yang terjadi
dengan diri mereka.
"Kata orang, di tempat kejadian, sebelum atau sesudah penculikan biasanya muncul
sebuah bendera aneh, berbentuk segitiga. Penduduk menyebutnya bendera darah karena bendera itu
memang basah oleh
darah manusia!" Seorang penduduk desa, perempuan separuh baya bernama Tumini
memberitahu Nyi
Purwaningrum ketika berkunjung ke rumahnya. Perempuan ini sering mendatangi
rumah kediaman istri
saudagar itu, membantu pekerjaan sehari-hari. Sekali-sekali perempuan ini
membawa serta anak
perempuannya yang berusia sebelas tahun.
Mendengar keterangan Tumini, Purwaningrum hanya tersenyum dan berkata. "Selama
ini saya tidak mendengar berita buruk seperti itu di desa kita. Keadaan di sini kelihatan serba
aman, tenteram. Penduduk
ramah semua dan baik terhadap saya. Tapi apa yang kakak Tumini ceritakan barusan
akan saya sampaikan
pada Mas Banu. Sebaiknya dia tidak pulang ke rumah sampai larut malam atau
sering menginap di
Magetan...."
"Rumah ini sebaiknya ada pengawal. Terutama pada malam hari. Banyak lelaki
penduduk desa yang
mau bantu menjaga keselamatan Jeng Ningrum, sekalipun tidak dibayar. Kalau Jeng
Ningrum mau saya bisa
memangggil mereka...."
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
"Terima kasih, kalian semua orang baik. Saya akan beritahu suami saya dulu kalau
nanti dia pulang." "Jeng Ningrum, ada orang memberitahu saya. Beberapa hari ini, kalau hari mulai
gelap ada beberapa
orang berpakaian serba hitam terlihat di sekitar rumah ini. Dua orang di antara
mereka yang naik kuda...."
"Mungkin mereka penduduk desa yang berbaik hati ingin menjaga rumah saya," kata
Nyi Purwaningrum pula.
"Tidak, orang-orang itu tidak dikenal. Mereka bukan orang desa Sarangan. Setiap
pamongdesa datang meronda, mereka lenyap."
"Lalu apakah desa ini pernah kedatangan perampok" Ada penduduk yang kerampokan?"
tanya Nyi Ningrum. "Tidak pernah memang. Tapi penduduk berpendapat orang-orang itu punya niat tidak
baik. Jeng Ningrum harus berhati-hati."
"Terima kasih, saya akan perhatikan ucapan kakak. Kakak tak perlu cemas. Saya
akan menjaga diri
baik-baik," kata istri saudagar muda itu. Lalu dia melanjutkan ucapannya. "Ada
satu hal yang ingin saya
beritahukan. Hari Jum'at di muka bersama suami saya akan pergi ke Telaga
Sarangan. Kata orang, di satu
tempat tak jauh dari Air Terjun Ngadiloyo banyak tumbuh berbagai macam bunga.
Salah satu di antaranya
bunga mawar hitam yang sangat langka dan konon hanya tumbuh beberapa kuntum
saja. Bunga-bunga
mawar ini katanya kuncup pada malam hari dan mekar menjelang fajar menyingsing.
Saya ingin melihatnya."
"Penduduk di sini menyebut bunga itu kembang mawar ireng," kata Tumini pula.
"Mengapa Jeng
Ningrum ingin melihat kembang mawar ireng itu?"
"Saya ini aneh," ucap Nyi Purwaningrum. "Sewaktu mulai hamil dan hamil muda,
tidak seperti perempuan lain, saya tidak pernah ngidam. Tidak pernah kepingin apa-apa. Tidak
ingin makan ini itu. Tapi
ketika mendengar bunga mawar hitam di Telaga Sarangan itu, saya setengah mati
ingin melihat dan
memetiknya barang sekuntum...."
"Kata orang bunga langka itu tidak boleh diambil. Tidak boleh dipetik. Tapi
kalau Jeng Ningrum
yang menghendaki, rasanya tidak ada yang keberatan."
Rencana Nyi Purwaningrum hendak pergi ke Telaga Sarangan untuk melihat kembang
mawar ireng segera tersebar di kalangan penduduk desa. Pagi hari Jum'at ketika hari masih
gelap dan sepasang suami istri
itu siap-siap untuk berangkat, begitu keluar rumah mereka jadi terkejut. Di
halaman telah menunggu belasan
penduduk desa mengelilingi sebuah kereta kecil ditarik seekor kuda hitam.
Seorang lelaki lanjut usia berbelangkon biru yang duduk di depan kereta
bertindak sebagai sais
bukan lain adalah Ki Sena Pamungkur, Kepala Desa Sarangan. Beberapa pamong desa
siap di atas kuda
masing-masing bertindak sebagai pengawal. Lalu belasan penduduk desa naik
gerobak dan menunggang
kuda membawa obor siap pula bertindak sebagai pengiring.
Selagi suami istri itu terheran-heran menyaksikan pemandangan di halaman rumah
mereka, Kepala Desa Sarangan turun dari kereta. Ditemani oleh Tumini dia menemui Kuncorobanu,
memberitahu bahwa dia
dan penduduk desa Sarangan siap mengantar saudagar itu bersama istrinya menuju
Telaga Sarangan.
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
Walau tidak menghendaki semua pelayanan itu namun baik Raden Kuncorobanu maupun
istrinya tidak tega menolak. Keduanya kelihatan sangat terharu.
Rombongan sepasang suami istri diiringi penduduk desa akhirnya meninggalkan
halaman rumah, berangkat menuju Telaga Sarangan, tak ubahnya seperti arak-arakan kecil. Apa
lagi di sebelah depan ada
sebuah gerobak ditumpangi pemuda desa yang menabuh gendang, meniup seruling,
memukul sebuah gong
kecil serta beberapa kentongan. Karena kejadian seperti ini baru kali itu
terjadi, tidak heran walau pagi buta
dan masih gelap, sepanjang jalan penduduk desa berkerumun di depan rumah masing-
masing. Ketika rombongan keluar dari desa Sarangan, dalam kegelapan ada sepuluh
penunggang kuda
berpakaian serba hitam membayangi. Orang-orang ini mengikuti rombongan tapi
tidak menempuh jalan yang
sama. Mereka bergerak di kiri kanan jalan di balik bayang-bayang gelap
pepohonan. Kadang-kadang mereka
lenyap seperti ditelan malam.. Kemudian muncul lagi jauh di depan rombongan,
berhenti dan menunggu
sampai, rombongan lewat. Sebelum fajar menyingsing rombongan telah sampai di
Telaga Sarangan.
Kawasan ini diselimuti kesunyian. Air telaga tidak bergerak tidak beriak seolah
lapisan kaca yang
mengambang. Udara terasa dingin. Tiupan angin serasa menyayat kulit. Nyi
Purwaningrum merapatkan baju
tebalnya. Sesekali terdengar suara kicau burung di kejauhan.
Ki Sena Pamungkur yang menjadi sais membawa kereta menyusuri tepian telaga,
terus ke arah selatan. Lapat-lapat terdengar deru suara air terjun Ngadiloyo. Tak selang
berapa lama rombongan sampai di
depan air terjun. Ki Sena menghentikan kereta di tanah datar. Semua orang turun
dari gerobak dan kuda,
membawa obor mengiringi pasangan suami istri yang didampingi Kepala Desa
Sarangan, berjalan ke satu
bukit kecil di lamping kiri air terjun. Di sebelah depan para pemuda desa sambil
berjalan masih terus
menabuh dan memainkan berbagai bebunyian.
Rombongan mulai mendaki bukit kecil, menuju ke satu lereng. Di lereng bukit
inilah bertumbuhan
berbagai macam bunga, di antaranya kembang mawar ireng yang ingin dilihat oleh
Nyi Purwaningrum dan
kalau bisa hendak dipetiknya.
Di satu tempat Kepala desa Ki Sena Pamungkur hentikan langkah, menunggu Raden
Kuncorobanu dan istrinya. Beberapa pamong desa melangkah berjejer memagari jalan. Begitu
Kuncorobanu dan istri
sampai di depan Ki Sena. Kepala Desa ini menunjuk ke arah satu dari lima pohon
besar sejarak tiga tombak
di depan mereka. Para pemuda hentikan menabuh dan memainkan bebunyian.
"Raden Kuncoro, Nyi Ningrum, kembang mawar hitam yang hendak dilihat itu tumbuh
mengelilingi pohon besar di sebelah tengah. Tinggal dekat saja, tapi jalannya agak licin.
Hati-hati...."
Tumini yang ikut dalam rombongan segera memegang lengan Nyi Purwaningrum lalu
mendampingi, istri saudagar itu melangkah ke arah pohon besar di sebelah tengah. Di antara
deru air terjun di kejauhan
sayup-sayup terdengar suara kokok ayam.
"Syukur kita sampai sebelum fajar menyingsing. Jadi masih bisa melihat bunga
aneh itu mekar mengembang. Bunga lain biasanya mulai mekar begitu tersentuh sinar sang surya.
Tapi bunga mawar hitam
ini lain dari yang lain...." Kata Ki Sena Pamungkur. Dia yang pertama sekali
sampai di depan pohon besar
sebelah tengah, menyusul Kuncorobanu dan istrinya lalu para pamongdesa dan
anggota rombongan lainnya.
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
Para pemuda telah sejak tadi berhenti menabuh bebunyian. Mereka juga ingin
menyaksikan bunga mawar
hitam itu. "Kesampaian juga maksud saya. Luar biasa...." kata Nyi Purwaningrum ketika dia
sampai dan melihat tujuh bunga mawar hitam tumbuh di sekitar pohon dan saat itu masih dalam
keadaan setengah
kuncup. Permukaan bunga tertutup titik-titik embun.
"Sebentar lagi bunga ini akan mekar mengembang," kata Kepala Desa. Lalu dia
memberi perintah
pada beberapa orang pemuda yang membawa.obor datang mendekat agar Nyi Ningrum
bisa melihat jelas
ketika kuncupan bunga-bunga mawar hitam itu mulai bergerak membuka, mekar
mengembang. Supaya bisa
melihat lebih jelas, Nyi Ningrum sengaja membungkuk di depan tebaran bunga mawar
hitam. "Saya melihat...." tiba-tiba Nyi Ningrum berucap. "Lihat! Kangmas Banu...
bunganya mulai bergerak. Bunganya mulai mekar." Bukan cuma Raden Kuncorobanu, tapi semua orang
yang ada di situ, di
bawah penerangan obor, pentang mata lebar-lebar, ingin menyaksikan kebenaran
ucapan Nyi Ningrum.
Melihat bunga melati hitam yang tadi setengah kuncup kini mulai bergerak mekar.
"Kalau boleh," ucap Nyi Ningrum, "begitu mekar saya ingin mendapatkannya
sekuntum."
"'Akan saya petikkan untuk Nyi Ningrum," kata Kepala Desa Ki Sena Pamungkur. Dia
bergerak lebih dekat ke pohon besar. Matanya memperhatikan kuncup mawar hitam yang paling
panjang dan paling
lebar. "Aahhh...." Sang Kepala Desa kemudian keluarkan suara kagum disertai
tarikan nafas panjang.
"Selama ini, belasan tahun, saya hanya mendengar saja. Kini menyaksikan
sendiri...." Sepasang mata Ki
Sena Pamungkur membesar ketika menyaksikan bagaimana ujung-ujung kuncup bunga
mawar yang menjadi
pusat perhatiannya perlahan-lahan bergerak. Di sebelahnya Raden Kuncorobanu juga
memperhatikan dengan
mata tak berkesip. Bunga yang tadi setengah kuncup itu sesaat kemudian telah
berkembang mekar
keseluruhannya.
"Tolong Ki Sena, petikkan bunga itu untuk istri saya...." kata Raden
Kuncorobanu. "Biar saya sendiri yang memetiknya," kata Nyi Purwaningrum lalu maju selangkah,
membungkuk sambil ulurkan tangan.
Pada saat itulah ada sesuatu melesat dalam kegelapan malam. Cairan aneh
menyiprat. Nyi Ningrum


Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpekik ketika sebuah benda menancap di batang pohon besar, hanya beberapa
jengkal dari kepalanya yang
tengah membungkuk!
Raden Kuncorobanu tersurut dua langkah.
Ki Sena Pamungkur melengak kaget.
"Bendera darah!" Ucap sang Kepala Desa dengan suara bergetar lalu memandang
berkeliling dengan
wajah berubah pucat.
Enam orang pamong desa segera gerakkan tangan ke pinggang, loloskan golok
masing-masing. Nyi Ningrum melangkah mundur mendekati suaminya. Dengan cepat sepasang matanya
dan juga mata Kuncorobanu memperhatikan ke arah kegelapan. Saudagar muda ini rundukkan
kepala, membisikkan
sesuatu ke telinga istrinya.
*** scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
2 MALAM udara dingin dan ketegangan mencekam begitu rupa tiba-tiba satu suara tawa
bergelak menggema di tempat itu, disusul ucapan lantang,
"Nyi Ningrum, bunga mawar ireng adalah bunga langka bunga larangan. Siapa berani
memetik akan kejatuhan musibah! Tapi aku bersedia memetikkan semua bunga mawar hitam itu dan
kupersembahkan untukmu! Dengan satu syarat! Asal kau bersedia ikut bersamaku!"
Semua orang yang ada di tempat itu jadi terkejut dan sama palingkan kepala,
memandang berkeliling.
Mencari tahu siapa orang yang barusan bicara keras dan kurang ajar. Namun orang
yang dicari tidak
kelihatan. Rasa tegang semakin mencekam.
Kesunyian menggantung di udara dingin dan gelap. Di kejauhan terdengar suara air
terjun. "Ki Sena, apakah bukit ini ada hantunya?" tanya Nyi Ningrum setengah berbisik.
"Kalaupun ada hantu, hantu mana yang bisa tertawa dan bicara berteriak," jawab
Kepala Desa. Walau dia bicara gagah tapi suaranya bergetar tanda hatinya berdebar. Dia
melirik ke arah bendera merah
yang menancap di batang pohon. Lalu berpaling pada Raden Kuncorobanu dan
berbisik. "Raden, kita dalam
bahaya." Sepasang mata Raden Kuncorobanu bergerak berputar.
Salah satu kakinya digeser. Tiba-tiba saudagar muda ini berteriak.
"Siapa yang bicara"!"
Tak ada jawaban. Semua orang kembali memandang berkeliling. Tidak kelihatan
siapa-siapa selain
orang-orang rombongan dari Desa Sarangan.
Tiba-tiba seorang pamongdesa berseru seraya menunjuk.
"Ki Sena, lihat! Di atas pohon!"
Semua kepala diangkat, sama memandang ke jurusan yang ditunjuk pamongdesa. Dan
semua orang melihat! Di atas cabang pohon besar pada deretan ujung sebelah kanan, berdiri
satu sosok serba putih, mulai
dari kepala sampai ke kaki.
"Setan pocong!"
Beberapa mulut berucap hampir berbarengan. Semua wajah kelihatan berubah dan
setiap tengkuk terasa dingin! Beberapa orang mulai menggeser kaki, bergerak menjauh. Tiba-tiba
wuuut! Sosok putih di
atas cabang pohon melayang turun. Satu kali berkelebat dia telah berdiri di
hadapan Nyi Ningrum. Istri
saudagar yang tengah hamil ini melangkah mundur. Raden Kuncorobanu cepat
bergerak ke depan sang istri.
Ki Sena bergerak ke sebelah Kuncorobanu. Enam pamongdesa yang telah menghunus
golok berpencar,
mengurung sosok serba putih. Mereka, sudah sering mendengar makhluk ini dengan
segala kejahatan yang
dilakukan yakni menculik perempuan-perempuan hamil. Yang mereka masih belum bisa
memastikan apakah
makhluk ini setan pocong sungguhan atau manusia yang sengaja berpakaian dan
bertutup kepala seperti
pocong. Yang jelas siapapun adanya makhluk ini rasa gentar saat itu telah
menggerayangi diri ke enam
pamong desa. scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
Sambil memegangi lengan Nyi Ningrum dan berusaha menariknya, Tumini berbisik.
"Jeng, Jeng!
Makhluk itu pasti punya niat jahat mau menculik Jeng Ningrum."
"Saya tahu, tenang saja. Dia cuma sendiri. Kita belasan orang jumlahnya," jawab
Nyi Purwaningrum.
Perempuan muda yang tengah hamil hampir tujuh bulan ini berucap tenang walau
suaranya terdengar
gemetar. Di depan sana, manusia pocong serba putih dongakkan kepala dan berseru.
"Nyi Ningrum, aku menunggu jawaban! Aku akan petikkan semua kembang mawar ireng
untukmu. Setelah itu kau ikut bersamaku...."
Nyi Ningrum tidak bergerak. Sepasang matanya memperhatikan sosok serba putih di
depannya dengan pandangan berkilat-kilat. Tumini memegang lengan perempuan hamil itu lalu
menariknya ke belakang. "Pocong edan! Nyalimu sungguh besar!" Ki Sena membentak. "Kalau kau muncul
membawa niat jahat terhadap Nyi Ningrum, sebaiknya lekas angkat kaki sebelum aku menyuruh
anak buahku menebas
leher mencincang tubuhmu!"
Di balik kain penutup kepala si manusia pocong keluarkan suara mendengus. Dua
matanya yang terlihat di belakang dua lobang kecil pada kain putih penutup kepala berputar
liar. "Menebas leher mencincang tubuh! Sungguh hebat!" Manusia pocong dongakkan
kepala. Lidahnya
berdecak lalu dia tertawa bergelak. Tiba-tiba suara tawa itu putus terhenti dan
bukkk! Satu jotosan keras menghajar dada Ki Sena Pamungkur.
Kepala Desa Sarangan ini terpental, jatuh terduduk di tanah. Dia mencoba bangkit
berdiri, tapi setengah jalan jatuh kembali dan semburkan darah segar.
Semua orang yang ada di tempat itu jadi geger. Enam orang anak buah Ki Sena
terkejut bukan main.
Mereka semua tahu kalau Kepala Desa Sarangan itu memiliki ilmu silat tinggi.
Kalau Ki Sena dibuat roboh
dengan sekali hantam saja di mata mereka ini adalah satu hal luar biasa.
"Anak-anak... bunuh makhluk jahanam itu..." Suara Ki Sena Pamungkur terdengar
perlahan. Tapi karena tempat itu diselimuti kesunyian, semua orang dapat mendengar jelas. Dan
kata-kata Ki Sena itu
adalah ucapannya yang terakhir. Karena setelah berucap kepalanya terkulai, tubuh
miring ke kiri lalu
tergelimpang. Beberapa orang keluarkan, seruan tertahan. Beberapa lagi segera
mendatangi Ki Sena. Namun
sosok Kepala Desa itu sudah tak bernyawa lagi.
Walau dilanda kejut dan kecut, namun melihat kematian Kepala Desa mereka, enam
pamongdesa dengan golok di tangan segera menyerbu manusia pocong. Dua orang pemuda yang
memegang obor dan
punya nyali besar ikut pula menyerang. Mereka menyorongkan obor ke tubuh dan
kepala manusia pocong.
Diserang delapan orang sekaligus ternyata tidak membuat gentar. Begitu enam
golok berkiblat dan
dua obor menderu, makhluk ini geser kaki kanan, dua tangan bergerak. Empat golok
saling beradu bentrokan
di udara. Dua lainnya terpental ke udara begitu pemiliknya dilabrak jotosan kiri
kanan manusia pocong
hingga terjengkang muntah darah. Salah seorang pemuda yang menyorongkan obor ke
kepala manusia pocong terpental dihantam tendangan. Selagi empat pamong desa keheranan tak
mengerti bagaimana sampai
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
golok mereka saling bentrokan satu sama lain, manusia pocong berkelebat.
Gerakannya laksana kilat. Orang
hanya mendengar suara jotosan dan tendangan. Di lain saat empat pamong desa itu
telah berkaparan di tanah.
Satu-satunya penyerang yang tinggal yakni pemuda pemegang obor yang berdiri
dengan muka pucat.
Lututnya goyah. Ketika manusia pocong melangkah mendekatinya, dia cepat bergerak
mundur lalu lemparkan obor ke arah lawan. Dengan mudah, dengan tangan kirinya manusia pocong
tangkap ujung gagang obor yang terbuat dari bambu. Sekali tangan itu meremas maka ujung bambu
bederak hancur, pecah
menjadi bilahan-bilahan tajam. Ketika sekali lagi tangan kiri manusia pocong
bergerak, bambu obor yang
masih menyala laksana anak panah melesat ke arah si pemuda. Belum sempat pemuda
ini berkelit, ujung
bambu gagang obor telah amblas menembus perutnya. Tubuhnya terhuyung ke belakang
beberapa langkah,
lalu jatuh terbanting tertelentang. Dua tangannya menggapai-gapai. Dalam sakit
yang amat sangat mungkin
dia berusaha memegang dan hendak mencabut bambu obor yang menancap di perut.
Namun gagal. Dua
tangan itu keburu terkulai jatuh ke samping. Pemuda ini menemui ajal dengan muka
mengerenyit dan mata
mendelik. Dalam suasana geger yang mencekam, sementara di timur kelihatan rona cahaya
terang tanda fajar
telah menyingsing, Raden Kuncorobanu tiba-tiba melompat ke hadapan manusia
pocong. Suaranya
menggelegar ketika dia membentak keras.
"Setan alas, dajal keparat! Dosa kejahatanmu sudah melewati takaran! Kau muncul
seperti pocong hidup! Aku akan menjadikanmu pocong sungguhan!"
Semua orang yang ada di tempat itu kecuali Nyi Ningrum terkejut melihat gerakan
dan mendengar bentakan Raden Kuncorobanu. Mereka tidak menyangka saudagar muda yang sejak tadi
wajahnya kelihatan
pucat itu ternyata punya keberanian. Manusia pocong sendiri diam-diam merasa
kaget. Dalam hati dia
membatin. "Saudagar ini. Suara bentakannya bukan bentakan biasa. Tak mungkin aku
salah dengar, salah
rasa. Ada tenaga dalam menyertai bentakannya tadi."
Sambil berkacak pinggang dan sikap penuh jumawa, manusia pocong berkata.
"Saudagar muda Raden Kuncorobanu! Sejak tadi kau diam saja. Kukira kau suka dan
setuju aku membawa istrimu...."
"Manusia durjana!" tiba-tiba Nyi Purwaningrum membentak. Tentu saja ini membuat
kaget, semua orang, kecuali Raden Kuncorobanu. "Hari ini semua perbuatan kejimu akan kami
kuburkan bersama tubuh
bejatmu!" "Kami"! Maksudmu kau dan suamimu hendak mengubur diriku"! Sungguh luar biasa!
Ha...ha...ha!"
"Malaikat maut sudah di ujung hidung! Ajal sudah di depan mata! Masih bisa
tertawa!" hardik
Raden Kuncorobanu sambil balas bertolak pinggang. "Lihat sekelilingmu! Kau sudah
terkurung! Satu-
satunya jalan lari adalah liang kubur! Kalau memang kau masih layak mampus
dikubur dan ada yang mau
mengubur!"
Di balik kain putih penutup kepala, tampang si manusia pocong jadi berubah.
Hatinya menggeram.
"Jahanam, siapa sebenarnya dua orang suami istri ini?" Dan ketika dia memandang
berkeliling, dalam udara
yang mulai terang-terang tanah, terlihat ada sepuluh orang penunggang kuda
berpakaian dan berikat kepala
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
hitam mengurung tempat itu. Semua masih muda-muda tapi unjukkan tampang garang.
Tangan masing- masing bersitekan ke pinggang dimana tersisip pedang empat persegi panjang.
Di tempatnya berdiri Nyi Ningrum berkata pada Tumini. "Menghindar dari sini.
Beritahu semua orang agar segera menjauh!"
Tumini yang sejak tadi pegangi lengan Nyi Ningrum merasa heran. Air muka cantik
istri saudagar muda itu yang selama ini selalu berseri dan murah senyum, kini dilihatnya begitu
garang. Ucapannya yang
selalu ramah dan lembut kini terdengar tegas dan galak. Tak berani bertanya
Tumini segera lakukan apa yang
dikatakan Nyi Ningrum.
"Aku senang pada orang-orang punya nyali! Aku ingin tahu kalian berdua ini siapa
sebenarnya?"
Nyi Ningrum mendengus. Raden Kuncorobanu, cembungkan rahang lalu membentak.
"Ingat seorang bernama Surablandong"!" Dunia begini luas. Manusia begitu banyak!
Mana aku sempat mengingat-ingat nama seseorang!"
"Surablandong adalah Ketua Perguruan Silat Lawu Putih."
"Lantas"!" ujar manusia pocong dengan dongakkan kepala sambil matanya
memperhatikan dua
orang di hadapannya lewat dua lobang kecil pada kain penutup kepala.
"Sekitar satu bulan yang lalu kau membunuhnya di desa Plaosan."
"Aahhh..." Manusia pocong keluarkan suara panjang. "Aku tidak kenal, malah tidak
ingat peristiwa
itu. Lalu apakah maksud kedatangan kalian hendak mengundang aku selamatan empat
puluh hari kematian
manusia bernama Suroblandong itu"! Ha... ha... ha! Maaf saja, aku mungkin tak
bisa datang!"
"Jahanam penculik perempuan-perempuan hamil! Pembunuh keji manusia-manusia tidak
berdosa!" hardik Kuncorobanu. "Dengar baik-baik! Surablandong adalah guru dan ketua kami!
Aku bukan saudagar!
Namaku bukan Kuncorobanu tapi Parit Juwana!"
"Dan aku bukan Nyi Purwaningrum tapi Wulan Srindi! Kami bukan pasangan suami
istri tapi adalah
kakak adik seperguruan!"
"Manusia dajal! Kau masuk dalam jebakan kami! Hari ini kami mewakili arwahnya
untuk mencabut nyawamu!" Orang yang selama ini dikenal penduduk desa Sarangan sebagai Raden
Kuncorobanu campakkan blangkon di atas kepalanya hingga rambutnya yang panjang menjulai


Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai ke bahu.
(Mengenai riwayat terbunuhnya Surablandong silahkan baca ulang Episode pertama
berjudul 113 Lorong Kematian)
*** scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
3 SEPULUH pemuda berpakaian serba hitam melompat turun dari kuda masing-masing.
Mereka segera bergerak membentuk lingkaran, mengurung. Rupanya mereka benar-benar tidak
menginginkan lolosnya manusia pocong itu. Semua orang desa Sarangan yang ada di situ terkejut
bukan main mendengar
ucapan-ucapan dua orang yang selama ini mereka kenal sebagai pasangan suami
istri. Di tengah kalangan si
manusia pocong tetap unjukkan sikap tenang malah masih saja bertolak pinggang.
Padahal sebenarnya
dadanya sempat berdebar, hatinya bertanya-tanya. Untuk menjaga segala
kemungkinan tenaga dalam segera
dialirkan ke tangan kanan.
"Raden Kuncorobanu! Parit Juwana! Siapapun namamu, kau sungguh keterlaluan!
Masakan adik seperguruan yang sedang hamil tega-teganya kau ajak untuk mencari perkara!"
Parit Juwana menyeringai. Di sebelahnya Nyi Ningrum alias Wulan Sindri berkata
dengan suara keras. "Makhluk dajal! Siapa bilang aku hamil!"
Wulan Sindri tanggalkan pakaian tebal yang dikenakannya lalu tangan kanannya
bergerak membuka
buhul kain panjang di pinggang sebelah kiri. Buhul itu ditarik kuat-kuat sambil
tubuhnya membuat putaran
seperti gasing. Bersamaan dengan berputarnya tubuh, dari pinggang serta perut
Wulan Srindi menebar keluar
gulungan kain panjang menyerupai setagen. Di balik gulungan setagen dan kain
panjang ternyata dia
mengenakan sehelai celana panjang hitam ringkas. Jadi kehamilannya selama ini
adalah palsu atau samaran
belaka. Semua orang yang ada di tempat itu memperhatikan dirinya dengan mata
terbelalak. Si manusia
pocong sendiri menyaksikan kejadian di depan matanya dengan sumpah serapah dalam
hati. Dia berusaha
kendalikan amarah. Dari balik kain putih penutup kepala dia kemudian keluarkan
suara berdecak berulang
kali. "Kalian merasa telah berbuat sesuatu yang hebat! Dasar manusia-manusia picik!
Kalian merasa berhasil menipuku! Padahal yang kalian lakukan adalah satu ketololan besar!
Semua ketololan itu akan
berakhir sangat mengenaskan! Parit Juwana! Majulah! Aku ingin membunuhmu lebih
dulu!" Parit Juwana, murid terpandai yang kini dipercayai mengetuai Perguruan Silat
Lawu Putih keluarkan
bentakan keras, tubuhnya berkelebat laksana angin. Tangan kanan menderu ke arah
dada manusia pocong.
Tanpa menggeser kedua kakinya makhluk serba putih itu sambut serangan orang
dengan balas mengirimkan
jotosan. Agaknya dia sengaja hendak mengajak saling adu jotosan karena dia
merasa yakin kekuatan tenaga
dalamnya berada di atas kekuatan lawan. Tampaknya lawanpun bersedia menyambut
adu kekuatan itu.
Namun si manusia pocong jadi tersentak kaget ketika hanya tinggal setengah
jengkal lagi dua tinju
akan saling baku hantam tiba-tiba Parit Juwana miringkan tubuh ke kiri, tangan
kanan diputar ke samping.
Bersamaan dengan itu tangan kiri melesat ke arah pelipis kanan lawan dengan
kekuatan tenaga dalam penuh!
Inilah jurus maut yang disebut Menyapu Lereng Menjebol Puncak Gunung.
"Pecah kepalamu!" seorang pemuda berpakaian hitam yang mengurung kalangan
perkelahian berseru. Teman-temannya yang lain juga menyangka begitu.
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
"Kraaaak!"
Lain yang diperkirakan, lain yang terjadi.
Sepuluh anak murid Perguruan Silat Lawu Putih berseru kaget. Wulan Srindi
melengak besar. Apa
yang terjadi"
Hanya sekejapan ketika tangan kiri Parit Juwana siap menghancurkan kepalanya,
manusia pocong membuat gerakan luar biasa cepat. Lutut dibengkokkan, badan membungkuk, kepala
ikut merunduk. Tanpa
menggeser kuda-kuda kedua kaki, siku kanannya menyodok keras ke samping,
mendarat telak di rusuk
sebelah kiri Parit Juwana. Tiga tulang iga berderak patah. Parit Juwana sendiri
terpental setengah tombak
lalu jatuh di atas rimbunan tanaman bebungaan.
Sepuluh murid Perguruan Silat Lawu Putih terkesiap tak habis pikir. Bagaimana
murid terpandai
yang dipercayakan sebagai Ketua Perguruan kini bisa dirobohkan lawan hanya dalam
satu gebrakan saja!
Siapa sebenarnya manusia berdandan seperti pocong ini. Sepuluh pemuda hanya
tertegun seketika. Di lain
saat, dengan pedang di tangan semuanya telah menyerbu ke arah manusia pocong.
Mereka membuat gerak
jurus yang disebut Di Dalam Kawah Merenda Kematian. Rupanya jurus-jurus silat
Perguruan Lawu Putih
diciptakan demikian rupa dan diberi nama yang ada hubungannya dengan alam.
Jurus serangan Di Dalam Kawah Merenda Kematian jika diperhatikan memang terlihat
seperti tangan yang sedang merenda. Agaknya jurus serangan ini bukan jurus indah nama
belaka tapi juga dahsyat
dalam kenyataan. Kedahsyatannya jadi berlipat ganda karena yang menyerbu bukan
cuma satu dua orang
tapi sepuluh orang sekaligus secara berbarengan.
Sepuluh pedang berkiblat di saat fajar menyingsing dan hari mulai terang. Dua
ujung pedang menyambar ke arah kaki. Dua menderu membabat paha. Dua lagi menusuk ke bagian
perut. Lalu dua
pedang membabat punggung dan sisa dua pedang membacok dari belakang ke arah
kepala. Kalaupun ke
sepuluh pedang tidak dapat mengenai sasaran, paling tidak sambaran ke punggung
atau bacokan ke arah
kepala yang datang dari belakang akan sulit untuk dihindari. Beberapa waktu lalu
ketika sepuluh anak murid
Perguruan Silat Lawu Putih itu turun gunung untuk membasmi satu kelompok
penjahat dipimpin oleh tiga
orang berkepandaian tinggi, ketiganya sekaligus meregang nyawa oleh jurus Di
Dalam Kawah Merenda
Kematian. Ketika Parit Juwana terlempar dengan tulang iga patah, Wulan Srindi cepat
melompat mendatangi.
"Kakak!"
"Aku tidak apa-apa...," jawab Parit Juwana walau jelas ada kerenyit kesakitan di
wajahnya sementara dua tangan menekap rusuk kiri.
"Kau terluka, ada tulang igamu yang patah."
"Jangan pikirkan diriku, Wulan. Lihat ke sana. Sepuluh murid perguruan
melancarkan serangan Di
Dalam Kawah Merenda Kematian. Sebentar lagi makhluk durjana itu akan menemui
ajal dengan & tubuh
mandi darah! Dendam kesumat sakit hati kematian guru dan ketua kita akan
terbalaskan."
"Aku ingin menghabisinya dengan tangan sendiri!" kata Wulan Srindi.
"Hati-hati, dia memiliki tenaga dalam luar biasa," memberi tahu Parit Juwana.
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
Namun Wulan Srindi telah berkelebat. Justru saat itulah di depan sana terjadi
hal yang menggemparkan. Sewaktu sepuluh pedang menyambar ganas di sekeliling tubuhnya, manusia pocong
keluarkan bentakkan keras. Tangan kirinya di angkat ke atas. Terdengar suara halus,
seperti ada satu benda bergeser.
Ketika tangan, itu diputar di atas kepala, dari balik jubah menderu angin deras
disertai berkiblatnya cahaya-
cahaya aneh. Pekik jerit berhamburan keluar dari mulut sepuluh murid Perguruan Silat Lawu
Putih. Tubuh mereka
bermentalan jatuh bergelimpangan di tanah. Beberapa di antaranya menyangsrang di
atas semak belukar.
Keadaan, mereka tak karuan rupa. Mengerikan. Sekujur tubuh mulai dari kepala
sampai ke kaki memar
hancur! Nyawa mereka tak usah ditanya lagi. Amblas sudah.
Di balik kain putih penutup kepala, manusia pocong bicara pelahan. Ada sesuatu
yang disesalinya.
"Seharusnya aku tidak mempergunakan benda itu. Kalau ada yang mengenali semburan
cahaya tadi aku bisa
celaka. Tapi lawan begitu banyak. Mereka bukan saja berkepandaian tinggi, juga
bersenjata golok. Ilmu silat
biasa tak mungkin dipakai untuk menghadapi mereka."
*** scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
4 PARIT Juwana berteriak marah menyaksikan kematian sepuluh anak murid Perguruan.
Wulan Srindi menggerung keras. Dari tempatnya berdiri dalam keadaan limbung menahan sakit
akibat tiga tulang iganya
patah, pemuda Perguruan Silat Lawu Putih keluarkah tiga buah benda berbentuk
bola berduri terbuat dari
kuningan. Inilah senjata rahasia yang disebut Elmaut Kuning. Ketika menerima
jabatan sebagai Ketua
Perguruan, Parit Juwana menerima lebih dari seratus buah senjata rahasia yang
mengandung racun
mematikan itu dari mendiang Surablandong.
"Wulan!-Menyingkir!" teriak Parit Juwana karena sang adik seperguruan berada
pada satu garis
lurus antara dirinya dengan manusia pocong yang hendak diserang. Wulan Srindi
sempat melirik ke belakang
dan melihat apa yang ada di tangan Parit Juwana. Saat itu murid perguruan yang
masih gadis ini sebenarnya
hendak melancarkan serangan satu pukulan jarak jauh bernama Membelah Ombak
Menembus Gunung.
Pukulan sakti ini sanggup mematah batang pohon besar, menghancurkan batu. Namun
melihat Parit Juwana
memegang bola-bola Elmaut Kuning, sementara dia berada di tengah-tengah alur
serangan, sang dara
tepaksa menyingkir ke samping. Begitu tubuh Wulan Srindi bergerak, tiga buah
bola berduri Elmaut Kuning
menderu di udara! Dua menyambar ke arah kepala, satunya melesat mencari sasaran
di dada manusia pocong.
"Bola-bola keparat!" rutuk manusia pocong. Sebelumnya dia telah pernah melihat
senjata rahasia ini.
Yaitu ketika diserang Surablandong di Plaosan tempo hari. Ketika melihat tiga
bola kuning menderu ganas
ke arahnya, manusia pocong cepat menyambar sosok mayat salah seorang murid
Perguruan Silat Lawu Putih
yang menyangsang di atas semak belukar di sampingnya. Tubuh ini diangkatnya
demikian rupa, dijadikan
sebagai tameng melindungi diri. Tiga bola kuning menancap di kepala dan dada
pemuda yang sudah jadi
mayat itu. "Jahanam biadab!" teriak Wulan Srindi. Tidak menunggu lebih lama gadis ini
segera pukulkan
tangan kanannya lancarkan serangan Membelah Ombak Menembus Gunung yang tadi tak
jadi dilakukan.
Satu gelombang angin luar biasa dahsyat menderu ke arah manusia pocong.
Yang diserang leletkan lidah, keluarkan suara berdecak.
"Gadis cantik, aku tidak ingin kau membuang-buang tenaga. Simpan tenagamu agar
nanti bisa melayani diriku! Ha... ha... ha!"
Habis berkata begitu manusia pocong miringkan kepalanya sedikit. Lengan jubah
sebelah kiri dikebutkan. "Wuuuutttt!"
"Braaaakkk!"
Wulan Srindi tersentak kaget ketika melihat angin yang keluar dari ujung lengan
jubah kiri manusia
pocong berhasil memapaki angin serangannya hingga melenceng dan menghantam
batang pohon hingga
hancur berkeping-keping.
Selagi pohon itu menggemuruh tumbang Wulan Srindi te1ah melesat menyerbu ke arah
manusia pocong. Dia ingat ucapan Parit Juwana tadi yaitu agar berhati-hati karena
manusia pocong memiliki tenaga
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
dalam luar biasa. Karenanya serangan tangan kosongnya selain mengandalkan jurus-
jurus paling andal
Wulan Srindi juga mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
"Gadis ini berbahaya. Tapi terlalu cantik untuk dibunuh...." Manusia pocong
berucap dalam hati.
Melirik ke samping dilihatnya Parit Juwana dengan langkah tertatih-tatih
berjalan ke arahnya, menggenggam
sebilah golok di tangan kanan. Saat itu Wulan Srindi telah menghabiskan dua
jurus, menyerangnya seperti
seekor harimau lapar.
"Tak ada waktu untuk main-main....," ucap manusia pocong. Kalau tadi dia hanya
mengelak dan menghindar, kini setelah menggeser kedudukan kedua kakinya dia mulai bergerak
cepat. Tangan kanannya
menyusup di antara dua tangan lawan yang menderu kian kemari mencari sasaran di
dada dan kepalanya.
Tiba-tiba Wulan Srindi terpekik. Dua tangannya untuk sesaat masih kelihatan
bergerak latu jatuh terkulai ke
samping. Mata membeliak, mulut terkancing. Dua kaki kaku seperti dipantek ke
tanah. Ini terjadi setelah dua
ujung jari tangan kanan manusia pocong menotok urat besar di lehernya sebelah
kiri. Parit Juwana maklum bahaya yang mengancam saudara seperguruannya itu. Kalau
manusia pocong tidak inginkan nyawa Wulan Srindi berarti dia inginkan diri gadis itu hidup-
hidup. Wulan Srindi dalam
bahaya besar.

Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak menunggu lebih lama Parit Juwana pungut sebilah golok yang tercampak di
tanah lalu melompat, menyerbu ke arah manusia pocong. Dalam keadaan cidera begitu rupa dia
hanya mampu lancarkan serangan berupa satu kali tabasan satu kali tusukan yang kesemuanya
tidak mampu mengenai
sasaran. Sekali bergerak manusia pocong hantam pergelangan tangan kanan Parit
Juwana hingga berderak
patah. Golok di dalam genggamannya terlepas mental ke udara. Selagi Perguruan
Silat Lawu Pulih ini jatuh
terduduk di tanah kesakitan setengah mati, manusia pocong tangkap golok yang
mental lalu senjata ini
ditusukkannya ke dada Parit Juwana.
Semua orang yang ada di tempat itu keluarkan seruan ngeri. Untuk beberapa
lamanya mereka hanya
bisa berdiri diam, tercekat tak bergerak. Mereka baru sadar setelah tahu kalau
si manusia pocong tak ada lagi
di tempat itu. Dan Wulan Srindipun tak kelihatan lagi di situ.
Di kejauhan terdengar suara kuda dipacu.
"Manusia pocong! Dia membawa kabur gadis itu!" Seseorang berteriak.
*** MANUSIA Pocong baringkan tubuh Wulan Srindi di atas lantai batu ruangan besar
kosong. Dia tak
menunggu lama. Dinding batu sebelah kiri bergeser membentuk celah. Dari balik
celah melangkah keluar
satu sosok tinggi yang juga berpakaian dan bertutup kepala serba putih.
Manusia pocong pertama segera membungkuk berikan hormat lalu berucap.
"Yang Mulia Ketua, terima salam hormat saya."
Yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Sang Ketua hanya anggukkan kepala
sedikit lalu dari
balik dua lobang pada kain putih penutup kepala sepasang matanya memperhatikan
tubuh Wulan Srindi yang
tergeletak menelentang di lantai ruangan.
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
Sambil melangkah pulang balik di samping tubuh Wulan Srindi, Sang Ketua
keluarkan ucapan.
"Mataku belum buta. Perempuan yang kau bawa kali ini tidak dalam keadaan hamil.
Apa yang terjadi, apa yang telah kau lakukan dan apa yang saat ini ada dalam benakmu!"
"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Izinkan saya memberi keterangan. Perempuan ini
memang tidak hamil. Masih gadis. Namanya Wutan Srindi. Dia adalah anak murid Perguruan
Silat Lawu Putih.
Surablandong, bekas Ketua Perguruan saya habisi beberapa waktu lalu dalam
peristiwa penculikan Nyi Upit
Suwarni di Desa Plaosan...." Lalu manusia pocong yang punya jabatan Wakil Ketua
menjelaskan apa yang
telah terjadi. Setelah mendengar penuturan wakil Ketua, manusia pocong tinggi besar berdiam
diri beberapa lamanya lalu berkata.
"Seharusnya pemuda bernama Parit Juwana itu kau tangkap hidup-hidup dan kau bawa
ke sini untuk menambah kekuatan barisan kita...."
"Tadinya saya ingin berbuat begitu Yang Mulia Ketua. Tapi kenyataannya tingkat
kepandaiannya biasa-biasa
saja. Selain itu dia membekal dendam kesumat amat besar dalam dirinya terhadap
kita. Bisa berbahaya kalau
dia diajak bergabung...."
"Bagaimana dengan Pendekar 212 Wiro Sableng" Dia tugas utamamu. Kau tahu apa
akibatnya jika tidak bisa mendapatkan manusia satu itu...."
"Saya sudah menyirap kabar dimana dia berada. Sekarang juga saya akan minta diri
untuk mencarinya...."
"Sebelumnya kau aku berikan waktu tujuh hari. Dua hari telah lewat percuma.
Jangan sampai aku
kembali menyebutmu sebagai manusia tolol!"
"Yang Mulia Sang Ketua, saya berjanji akan mampu mendapatkan Pendekar 212 dalam
waktu lima hari. Paling tidak...."
"Paling tidak apa"!"
"Saya bisa mendapatkan satu atau dua dari tiga gadis yang kabarnya ada bersama
dia. Kalau gadis-
gadis itu bisa kita bawa kesini, bukankah itu sebagai salah satu cara untuk
menjebak Pendekar 212 datang ke
sini?" "Bisa begitu, tapi kau tahu sendiri. Pemuda sableng itu tidak sebodoh yang kau
perkirakan. Kau
telah menyaksikan sendiri kehebatan ilmunya. Kau bahkan dibuatnya membekal
dendam seumur-umur."
"Yang Mulia Ketua, saya mohon diri. Apa yang harus saya lakukan dengan gadis
ini?" "Kau boleh pergi. Aku bisa mengurus gadis cantik ini dengan caraku sendiri."
Manusia Pocong sang Wakil Ketua terdiam sejehak.
"Mengapa kau masih berdiri di hadapanku"!" Yang Mulia Ketua menegur.
"Maksud saya Yang Mulia. Sebelum pergi saya ingin...." Sang Wakil Ketua tidak
meneruskan ucapannya. "Aku tahu, aku tahu!" Yang Mulia Ketua memotong ucapan wakilnya. "Kau ingin
bersenang-senang
dengan gadis ini, bukan"!"
"Jika Yang Mulia Ketua mengizinkan." Jawab sang Wakil Ketua.
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
Di lantai, sepasang mata Wulan Srindi terbuka lebar dan berputar. Hanya itu
gerakan yang bisa
dilakukannya ketika mendengar semua percakapan dua manusia pocong itu. Dalam
hati gadis ini berkata.
"Jika salah satu dari kalian berbuat keji terhadapku, aku bersumpah membunuhmu!"
Manusia pocong bertubuh tinggi besar tertawa bergelak.
"Sekali ini permintaanmu aku kabulkan. Tapi dengan satu syarat!"
"Mohon Yang Mulia memberitahukan syarat itu."
"Jika kau gagal mendapatkan Pendekar 212 Wiro Sableng dan tiga gadis cantik itu,
kuburmu akan jadi satu dengan kubur gadis ini!"
"Syarat itu akan saya ingat baik-baik Yang Mulia Ketua."
"Satu lagi!"
"Ada apa Yang Mulia?"
"Jangan kau terjebak keduakali! Mendapatkan perempuan bunting ternyata hanya
tipuan belaka!"
"Saya mengerti Yang Mulia Ketua. Harap maafkan saya. Sekarang saya mohon diri
membawa gadis ini!" "Bawa kemana kau suka. Tapi ingat! Jangan sekali-kali mendekati Rumah Tanpa
Dosa." Manusia pocong sang Wakil Ketua membungkuk berulang kali. Lalu dia mengangkat
tubuh Wulan Srindi. Gadis itu dipanggulnya di bahu kiri. Dengan cepat dia tinggalkan ruangan
itu. *** scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
5 KITA tinggalkan dulu Wulan Srindi yang bernasib malang, jatuh ke tangan orang-
orang keji yang
dikenal dengan panggilan manusia pocong. Kita kembali pada peristiwa yang
menggegerkan yakni
ditemuinya dua kuburan di puncak gunung Gede. Satu kubur berada dalam keadaan
kosong, satunya berisi
jenazah Puti Andini. Namun kemudian kubur inipun ternyata berada dalam keadaan
kosong. (Baca serial
Wiro Sableng Episode "Makam Ketiga" dan "Senandung Kematian") Kemana lenyapnya
jenazah Puti Andini" *** KAWASAN Gunung Gede diselimuti cuaca buruk. Sejak siang hujan turun deras. Deru
angin terdengar menggidikan, apalagi sesekali diseling sambaran cahaya kilat disusul
gelegar guntur.
Dalam keadaan seperti itu di lereng timur gunung seorang nenek kurus tinggi
berpakaian hitam, lima
tusuk konde perak menancap di batok kepala, berlari cepat menuju puncak. Nenek
ini bukan lain adalah
Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Nenek sakti yang namanya telah,
dikenal dan menggetarkan delapan penjuru angin rimba persilatan tanah Jawa. Rupanya setelah
sekian lama meninggalkan Gunung Gede hari itu dia tengah dalam perjalanan kembali menuju
pondok kediamannya di
puncak gunung. Namun selain cuaca buruk agaknya ada sesuatu yang tidak beres
dengan diri si nenek. Ini
kentara dari larinya yang tampak limbung.
Walau dia masih kelihatan mampu berlari dengan cepat, menembus hujan lebat,
melesat dalam deru
angin serta kabut, namun sesekali kelihatan Sinto Gendeng berhenti, tegak
terbungkuk sambil pergunakan
tongkat kayu bututnya untuk menopang diri dan terbatuk-batuk beberapa kali.
Keangkeran pada wajahnya
yang cekung tinggal kulit tipis pembalut muka, pandangan matanya yang selalu
menggidikan kini seolah
lenyap. Wajah yang nyaris menyerupai tengkorak kelihatan mengerenyit seperti
menahan rasa sakit.
"Sial, penyakit apa yang menyerang diri tua keropos ini"! Mengapa badanku terasa
panas dingin, nafas sesak dan batuk terus-terusan"!" Sinto Gendeng melangkah mendekati sebuah
pohon, bersandar ke
pohon itu lalu kembali batuk-batuk. Suara batuknya terdengar aneh. Si nenek
menyeringai sendiri dan
berkata. "Edan! Suara batukku seperti suara anjing mengaing. Hik... hik... hik!"
Sinto Gendeng raba keningnya, terasa panas. Dia pegang leher, juga panas. Lalu
dia hembuskan nafasnya ke telapak tangan kiri.
"Semua panas! Sial, jangan-jangan aku terserang demam. Aku tidak boleh sakit!
Tidak boleh! Aku
harus segera sampai ke pondok!"
Sinto Gendeng luruskan tubuh, dia pandangi pakaiannya yang basah kuyup lalu
memperhatikan berkeliling. Sesaat kemudian diusapnya kedua matanya.
"Tempat ini memang banyak kabutnya. Tapi aneh, mengapa pandanganku seperti tidak
karuan" Apakah demam panas bisa membuat mata jadi lamur"!" Si nenek usap lagi dua
matanya lalu geleng-
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
gelengkan kepala. Kemudian terdengar mulutnya menggerendeng. "Hujan celaka!
Petir jahanam! Guntur
keparat! Apa kalian kira aku takut pada kalian"! Kalian tidak bisa menghentikan
perjalananku! Aku harus
kembali ke pondok!"
Sinto Gendeng putar tongkat kayunya tiga kali. Curahan hujan muncrat ke atas
seperti dihantam
tameng. Angin terbelah bersibak dan di atas pohon lusinan daun-daun basah
melayang jatuh ke bawah. Si
nenek tertawa panjang, ketuk-ketukkan ujung tongkat ke kepalanya lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Namun gerakannya tidak secepat seperti biasanya. Ketika hujan reda dan sang
surya muncul sore hari itu
Sinto Gendeng masih sejarak ratusan tombak dari pondok kediamannya di puncak
gunung. Dan lagi-lagi di
satu tempat nenek ini terpaksa hentikan lari karena nafasnya kembali terasa
sesak serta batuk kembali
menyerang. "Ba tuk sialan!" maki Sinto Gendeng lalu meludah ke tanah dan dudukkan tubuhnya
di satu gundukan tanah di samping serumpunan semak belukar. Sambil duduk dia memeras
ujung kain hitamnya
yang basah kuyup. Selesai memeras tangannya di tempelkan ke hidung. Sinto
Gendeng mengerenyit lalu
tertawa sendiri. "Bau pesing...." katanya. "Pantas.... Seharusnya aku tidak
boleh marah kalau Anak Setan itu
atau siapa saja mengatakan aku nenek bau pesing. Kenyataannya memang begitu.
Hik... hik... hik! Mungkin
aku harus minum air hujan campur kencing perasan dari kain ini agar sakit
panasku bisa sembuh! Hik... hik...
hik." Suara tawa cekikikan Sinto Gendeng terhenti ketika dua telapak kakinya yang
menjejak tanah terasa
bergetar. "Ada orang mendatangi ke arahku," membatin Sinto Gendeng. "Langkahnya tidak
terdengar tapi getarannya terasa pada dua telapak kakiku. Berarti dia bukan orang sembarangan."
Perlahan-lahan nenek ini angkat kepalanya. Sepasang mata cekung Sinto Gendeng
serta merta terpentang lebar ketika dia melihat satu sosok berdandanan aneh berjalan ke
arahnya lalu berhenti sekitar
sepuluh langkah di hadapannya.
Sosok itu mengenakan jubah putih menjela tanah hingga kakinya tidak kelihatan.
Dua tangannya tertutup oleh lengan jubah panjang mengambai. Di sebelah atas, keseluruhan
kepala termasuk wajah ditutup
sehelai kain putih yang hanya dilubangi kecil pada bagian mata. Sosok yang
berdiri di hadapan Sinto
Gendeng ini rangkapkan dua tangan di depan dada hingga keadaannya menyerupai
pocong hidup. "Eh, apakah aku tengah bermimpi atau melihat pocong hidup sungguhan" Edan. Di
gunung ini tidak
ada kuburan. Mana mungkin ada pocong!" pikir Sinto Gendeng seraya mengusap
sepasang matanya. "Atau
mungkin..." Ah, mana bisa jadi! Aku yakin Malaikat Maut tampangnya tidak
begini!" Sinto Gendeng tekankan tongkatnya ke tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Serangan demam panas membuat tubuhnya menggigil.
"Makhluk serba putih! Kau kesasar dari mana"!" Sinto Gendeng tiba-tiba menegur.
Seperti biasa, walau dalam keadaan sakit suaranya tetap saja menyemprot garang.
Dua mata dibalik dua lobang kecil pada penutup kain putih kelihatan bergerak dan
pancarkan sinar
aneh. scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
"Aku Malaikat Maut yang datang untuk mengambil nyawamu!" Tiba-tiba makhluk serba
putih

Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarkan ucapan. Kain putih penutup kepalanya bergerak-gerak.
"Aaah!" Sinto Gendeng keluarkan seruan panjang. "Benar juga dugaanku! Kau
Malaikat Maut rupanya. Tapi apakah Malaikat Maut ujudnya memang seperti dirimu" Yang aku lihat
kau mirip-mirip
pocong hidup!" habis berkata begitu Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Hentikan tawamu! Sudah mau mati masih tidak tahu diri!" Sosok serba putih di
hadapan Sinto Gendeng membentak sambil kaki kanan dihentakkan ke tanah.
Sinto Gendeng memang hentikan tawanya. Selain itu dia merasakan, hentakkan kaki
kanan orang di depannya membuat tanah yang dipijaknya bergetar keras. Ada hawa aneh panas
seperti mencucuk dan
membakar masuk ke dalam dua telapak kakinya. Kalau dia tidak segera kerahkan
tenaga dalam untuk
bentengi diri, niscaya hawa aneh itu akan terus menjalar ganas ke dalam
tubuhnya. Sinto Gendeng orangnya suka jengkelan. Diserang orang secara licik dia jadi
penasaran. "Malaikat
jejadian, aku kembalikan seranganmu!" Sinto Gendeng alirkan tenaga dalam ke kaki
kanan. Telapak kaki
digeserkan ke tanah. Sesaat kemudian orang berjubah dan bertutup kepala putih di
depan sana keluarkan
suara kaget dan melompat hampir setengah tombak. Ujung jubahnya mengepulkan
asap. Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Makanya! Jadi orang jangan suka jahil!
Rasakan!" Begitu turun, di tanah orang berjubah dan bertutup kepala kibaskan bagian bawah
jubahnya lalu berucap keras dan ketus. "Sinto Gendeng! Kau boleh punya seribu kehebatan! Semua
itu tidak akan menolong dirimu selamat dari kematian!"
Maunya si nenek saat itu juga dia ingin menghantam orang dengan satu pukulan
sakti. Namun dia
masih bisa menahan diri karena ingin menyelidik lebih dalam sebab apa orang
inginkan nyawanya.
Sementara itu demam yang menyerang dirinya semakin bertambah parah hingga dua
lutut Sinto Gendeng
terasa ngilu dan goyah, tubuhnya kembali menggigil.
"Aku pikir-pikir, tapi tidak bisa terpikir! Aku ingat-ingat tapi tidak bisa
teringat! Kenal dirimu aku
tidak. Melihat perwujudanmu baru kali ini. Apakah ada silang sengketa antara
kita di masa lalu" Aku yakin
tidak. Adalah aneh kau ingin membunuhku!"
"Kematian memang aneh. Tidak, terduga dan datang begitu cepat, laksana kilat.
Yang namanya kematian itu tidak ada waktu untuk bertanya jawab!"
"Hemm... begitu?" Sinto Gendeng menyeringai. "Kalau kau punya nyali harap buka
kain putih penutup kepalamu! Melihat tampangmu siapa tahu aku bisa ingat sesuatu."
"Permintaan orang yang mau mati tidak boleh ditolak. Aku memberi kesempatan
padamu untuk melakukan sendiri!" Habis berkata itu orang berpakaian menyerupai pocong
renggangkan dua kaki lalu
ulurkan kepala ke arah si nenek.
"Yang takabur itu biasanya manusia! Tidak sangka hantu pocong jejadian juga bisa
takabur!" Merasa ditantang Sinto Gendeng tambah penasaran. Entah kapan dia menggerakkan
kaki dan tangannya tahu-tahu tongkat kayu di tangan si nenek menderu ke arah kepala yang
tertutup kain putih.
"Brett!"
*** scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
6 MAKHLUK menyerupai pocong hidung berseru kaget dan melompat mundur. Dia raba
kain putih penutup kepalanya dan dapatkan kain itu robek besar di bagian pipi kanan. Kalau
terlambat dia menghindar
niscaya kulit dan daging pipinya ikut dirobek ujung tongkat si nenek!
Sinto Gendeng tertawa mengekeh. "Pocong jejadian! Kau masih minta aku
menyingkapkan kain
penutup kepalamu"!"
Orang di hadapan Sinto Gendeng keluarkan suara mendengus. Tiba-tiba dua lutut
menekuk. Bersamaan dengan gerakan tubuh sedikit membungkuk, dua tangannya melesat ke
depan, membuat gerakan
seperti hendak memagut namun berbarengan dengan itu dua gelombang angin dahsyat
menderu menghantam
ke arah bagian atas tubuh Sinto Gendeng.
Selama hidupnya Sinto Gendeng telah banyak menyaksikan dan menghadapi serangan
lawan berupa pukulan. Namun serangan seperti yang dilancarkan manusia pocong itu baru sekali
ini dilihatnya. Dua
hantaman angin dahsyat tidak menghantam lurus ke depan, tetapi sedikit
melengkung seperti dua tangan
yang tidak kelihatan membuat gerakan mencengkeram lalu naik ke atas mengarah
kepalanya. Dalam keadaan tubuh dilanda demam panas begitu rupa si nenek untung masih bisa
pergunakan otak.
Untuk selamatkan diri dia tidak mengelak ke samping atau melompat mundur. Dua
kakinya langsung ditekuk.
Sinto Gendeng jatuhkan diri ke tanah.
Dua rangkum gelombang angin menderu ganas di atas kepala Sinto Gendeng. Dua dari
lima tusuk konde perak yang menancap di kepalanya tersapu mental. Di belakang sana
terdengar suara berderak
hancurnya batang pohon besar lalu tumbang bergemuruh.
Rahang Sinto Gendeng menggembung. Sepasang matanya yang cekung seperti hendak
melompat keluar. Begitu terduduk di tanah nenek ini hantamkan tangan kanan ke depan.
Selarik sinar putih panas dan menyilaukan berkiblat. Manusia pocong berseru
kaget. "Pukulan Sinar
Matahari!" teriaknya. Sambil melompat ke kanan, di balik lengan jubah yang
panjang mengambai orang ini
gerakkan tangan kirinya. Terdengar suara benda bergeser halus disusul suara deru
satu gelombang angin luar
biasa deras disertai cahaya berbagai warna.
Dua kekuatan dahsyat mengandung hawa sakti saling bentrokan, menimbulkan suara
bedentum keras. Tanah bergetar, pepohonan berderak, dedaunan jatuh luruh.
Cahaya putih pukulan maut Sinar Matahari terpental ke samping namun masih sempat
menyerempet sosok manusia pocong yang telah berusaha melompat selamatkan diri.
Sebaliknya walaupun angin pukulan lawan yang menebar berbagai warna dapat dibuat
buyar oleh pukulan Sinar Matahari, namun tak urung laksana dihantam angin puting beliung
tubuh kurus kering Sinto
Gendeng terangkat ke atas, berputar di udara lalu terlempar jauh dan jatuh
melintang di cabang pohon di
samping pohon yang tadi tumbang. Untuk beberapa lamanya nenek ini tergontai-
gontai di cabang pohon itu.
Dari mulutnya bukan cuma merocos keluar kutuk serapah tapi juga ada lelehan
darah. Mukanya yang hitam
kelihatan semakin hitam. Dua matanya menatap berkilat ke arah manusia pocong di
bawah sana yang
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
terpental lalu jatuh terjengkang di tanah. Bagian kiri jubahnya sampai ke lengan
kelihatan hangus. Luar
biasanya tubuhnya tidak sampai cedera.
Dengan cepat orang ini bangkit berdiri. Melihat Sinto Gendeng melintang tak
berdaya di atas cabang
pohon dia segera angkat tangan kiri yang memegang sebuah benda terlindung di
balik lengan jubahnya yang
gombrong. Ketika dia siap hendak menghantamkan tangan itu ke arah Sinto Gendeng
tiba-tiba suitan keras
merobek udara, dua kali berturut-turut.
Mendengar suara suitan itu manusia pocong terpaksa hentikan gerakan. Walau
hatinya masih geram
namun dia tidak berani meneruskan niat. Dengan cepat dia memutar tubuh lalu
berkelebat ke arah datangnya
suara suitan tadi.
Di bagian lereng yang dipenuhi pepohonan rapat dan belukar lebat, seorang tinggi
besar berpakaian
sama dengan si manusia pocong berdiri menunggu. Dalam gendongannya ada sosok
seorang gadis berpakaian biru berbunga-bunga kuning. Selain berselomotan tanah, pakaian ini
bernoda darah dan tak
karuan rupa hingga keadaan si gadis nyaris kelihatan setengah telanjang. Pada
pipi sebelah kiri ada luka
memanjang, rambut hitam tergerai hampir menyentuh tanah. Tidak dapat dipastikan
apakah gadis ini berada
dalam keadaan pingsan atau sudah tidak bernyawa lagi.
Sampai di hadapan manusia pocong yang menggendong gadis, manusia pocong pertama
bungkukkan badan memberi hormat lalu cepat bertanya.
"Yang Mulia Ketua, ada apakah kau memberi tanda?"
Manusia pocong yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Ketua tidak segera
menjawab. Sesaat
dia perhatikan jubah hangus serta kain penutup kepala yang robek.
"Apa yang terjadi dengan dirimu?"
"Saya berhadapan dengan Sinto Gendeng...."
"Memalukan, ilmumu begitu tinggi bahkan membekal satu senjata sakti mandraguna.
Nenek butut itu ternyata membuatmu acak-acakan tak karuan begini rupa. Masih untung nyawamu
tidak dibuatnya
sembrawutan!"
"Sebenarnya tadi saya sudah siap membunuh nenek itu. Tapi Yang Mulia memberi
tanda dengan suitan...."
"Ada orang datang. Kita harus segera tinggalkan tempat ini," menjelaskan sang
Ketua. Dalam hati manusia pocong satunya bertanya-tanya. Apakah ada sesuatu yang luar
biasa dengan orang yang datang itu hingga sang Ketua mengajaknya buru-buru meninggalkan
tempat itu"
"Yang Mulia, saya masih punya kesempatan membunuh Sinto Gendeng."
"Lupakan dulu tua bangka satu itu. Ada pekerjaan lebih penting. Lain waktu
nyawanya tak bakal
lepas dari tangan kita. Lagi pula sesuai rencana kita sudah mendapatkan gadis
ini...." "Apakah dia masih hidup. Bukankah sebelumnya dia sudah dikubur...?"
"Semua sudah aku lakukan sesuai apa yang ada dalam Aksara Batu Bernyawa. Lagi
pula sang pemilik Aksara sudah memberi petunjuk. Bagaimana keadaannya akan kita periksa
nanti." "Satu lagi Yang Mulia Ketua. Apakah Pedang Naga Suci 212 ada padanya?"
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
"Aku belum sempat memeriksa. Dengar, kita akan melakukan perjalanan cukup jauh.
Padahal kita harus sampat di tujuan sebelum purnama mendatang. Kita harus tinggalkan tempat
ini sekarang juga. Lagi
pula seperti kataku tadi, ada orang muncul di tempat ini. Kita harus bertindak
cepat. Kalau sampai salah
waktu terlambat bertindak, bisa-bisa semua urusan jadi kapiran! Ikuti aku!"
Manusia pocong yang menggendong gadis dan disebut dengan panggilan Yang Mulia
Ketua tinggalkan tempat itu. Manusia pocong satunya tidak banyak bicara lagi segera
mengikuti Sang Ketua.
*** SINTO Gendeng masih terbelintang di atas cabang pohon dan masih terus memaki
panjang pendek ketika tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Si nenek mencium bau sesuatu
lalu tubuhnya terasa dibawa
melayang turun. Di lain saat dia sudah duduk di tanah, tersandar ke batang
pohon. "Eh"!" Si nenek mengerenyit. Matanya diusap beberapa kali. "Aku mencium bau
harumnya tuak. Aku melihat samar-samar tampang tua berjanggut putih sampai ke dada. Bagaimana
aku bisa yakin yang ada
di depanku ini memang tua bangka konyol berjuluk Dewa Tuak!"
Kakek berambut, berjanggut dan berkumis putih mengenakan pakaian kain selempang
biru yang duduk bersila di depan Sinto Gendeng keluarkan suara tawa mengekeh. Di bahunya
dia memanggul dua
buah bumbung bambu berisi tuak. Salah satu bumbung diturunkannya lalu gluk...
gluk... gluk. Dia teguk tuak
dalam bambu sampai minuman yang menebar bau harum itu berlelehan di dagu dan
lehernya. "Sinto, penciumanmu rupanya masih tajam. Matamu juga masih awas! Ha... ha...
ha.... Syukur kau
masih mengenali diriku!" Si kakek tertawa bergelak, seka lelehan tuak di mulut
dan dagunya. "Sinto, ada
satu hal yang hendak aku tanyakan."
"Dalam keadaan seperti ini bukan saatnya bertanya jawab. Aku ingin kembali ke
pondokku di puncak gunung, Antarkan aku ke sana. nanti kita ngobrol sampai tujuh hari tujuh
malam! Tapi awas, asal kau
jangan lagi-lagi membicarakan soal perjodohan antara muridku Si Anak Setan Wiro
Sableng dengan muridmu si Anggini itu!"
Dewa Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan tanah Jawa tertawa mengekeh
mendengar kata-kata Sinto Gendeng itu. "Sinto, dengar. Waktu tadi aku memelukmu lalu
membawamu turun dari
cabang pohon, aku merasakan tubuhmu hangat sekali. Apakah itu berarti ada hasrat
yang menyala dalam
dirimu terhadapku?"
Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar. Mulutnya yang perot mencong ke kiri
lalu menyemburlah caci makinya.
"Tua bangka sinting tidak tahu diri! Sudah bau tanah mulutmu masih saja bisa
bicara lancang! Kau
ini mengigau atau mabok"!"
Dewa Tuak kembali tertawa mendengar dampratan si nenek. Sambil usap-usap kumis
putihnya dia berkata. "Aku tidak ngigau, juga belum mabok! Aku hanya mengatakan apa adanya.
Tubuhmu terasa hangat.
Padahal biasanya dingin dan bau pesing...."
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
"Kakek setan! Saat ini aku tengah diserang demam! Siapa yang tidak bakal panas


Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya kalau sedang demam"!"
"Ah, maafkan kalau begitu. Aku mengira yang tidak-tidak karena mungkin keliwat
berharap yang tidak-tidak! Ha... ha... ha! Sobatku tua, kalau kau memang sedang demam panas,
bukan mendadak meriang
karena terangsang oleh pelukanku, silahkan kau minum beberapa teguk tuak
kayangan. Dalam waktu singkat
sakitmu pasti sembuh."
Si nenek pelototkan mata.
"Eh, kenapa kau melotot?"
"Aku tahu apa yang ada dalam otak dan hatimu. Semua kotor!"
"Walah biyungl Apa maksudmu?" tanya Dewa Tuak sambil garuk kepala.
"Kau hendak membuat aku mabuk. Kalau aku mabuk dan tidak sadar diri, kau mau.
Ayo... kau mau apakan diriku"! Pasti kau mau berbuat yang bukan-bukan!"
Dewa Tuak balik menonikkan mata. Tapi sesaat kemudian kakek ini tertawa gelak-
gelak. "Otak dan hatiku tidak sekotor itu! Kita sudah saling kenal dan bersahabat
puluhan tabun. Malah
hampir-hampir saling jadi besan. Sayang kau tidak mau. Jalan pikiranmu rupanya
suka membayangkan yang
bukan-bukan! Sudah kalau kau tidak mau meneguk tuakku siapa memaksa. Aku mau
tanya satu lagi. Apa
yang membuatmu sampai enak-enakan tiduran di atas cabang pohon?"
"Gila! Siapa yang tiduran di cabang pohon. Aku bertemu makhluk aneh. Berdandanan
seperti pocong hidup. Mengakunya Malaikat Maut dan mau membunuh aku! Ketika aku hantam
dengan pukulan Sinar Matahari dia membalas dengan satu pukulan dahsyat. Aku hanya mampu
menghanguskan jubah
putihnya tapi aku sendiri dibuatnya mencelat hingga menyangsang di cabang pohon!
Sial! Kalau saja aku
tidak sakit, sudah kubuat lumat bangsat itu. Demam panas membuat aku tidak mampu
mengerahkan tenaga
dalam dan hawa sakti secara penuh."
"Walau katamu kau sakit, sulit aku percaya kalau ada orang yang mampu membuatmu
begitu rupa. Dua tusuk kondemu sampai-sampai ikut amblas. Sehebat apa ilmu kesaktiannya?"
Ujar Dewa Tuak sambil
goleng-goleng kepala.
"Dari ujud pakaiannya aku menaruh kira bangsat itu pasti dari golongan hitam.
Dia menyembunyikan wajah di balik kain putih berbentuk pocong. Dia memiliki pukulan
dahsyat yang menebar
berbagai warna. Pukulan itu yang membuat aku mental sampai menyangsang di cabang
pohon celaka sana!"
"Kejadian ini perlu diselidiki dan kau harap berhati-hati Sinto."
"Aku bisa menjaga diri, tidak perlu nasehat tukang mabok sepertimu. Selama ini
aku dengar bukankah kau memencilkan diri di pantai selatan?"
Dewa Tuak menyeringai. "Lama-lama aku bosan juga menyendiri. Namanya hidup di
dunia kupikir tolol kalau aku memencilkan diri, buta segala apa yang terjadi di rimba
persilatan. Sekarang dengar ceritaku.
Barusan aku naik ke puncak gunung ini...."
"Mencari aku"!"
"Huh, perlu apa mencari nenek peot macammu!"
"Sialan!" maki Sinto Gendeng.
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
"Aku mencari muridku Anggini. Sudah lama aku tidak melihatnya. Terakhir sekali
dia kuketahui pergi ke Pulau Andalas bersama seorang pemuda bernama Panji. Kabarnya berguru
dengan tokoh silat di
Danau Maninjau bernama Nyanyuk Amber. Tapi beberapa waktu belakangan, kusirap
kabar anak itu berada
di Tanah Jawa ini. Berkeliaran bersama muridmu dan dua gadis cantik sahabatnya.
Kemudian aku dengar
kabar lain bahwa mereka naik ke puncak gunung ini. Aku segera berangkat ke sini.
Tapi kau tahu, apa yang
aku temukan dan lihat di puncak gunung tempat kediamanmu?"
"Mana aku bisa menduga," jawab Sinto Gendeng. "Jangan-jangan kau mengacak-acak
pondokku. Tidur-tiduran di tempai tidurku!"
"Tempat tidur butut bau pesing! Kambingpun lidak mau tidur di situ!" tukas Dewa
Tuak. "Sialan kau!" maki Sinto Gendeng.
"Aku tidak menemui muridku Anggini." Dewa Tuak meneruskan ceritanya. "Juga tidak
menemui gadis teman-temannya. Juga tidak ada muridmu si Wiro Sableng itu, yang kutemui
adalah dua buah
makam...."
"Makam" Maksudmu kuburan"!" tanya Sinto Gendeng. Dua matanya yang cekung kembali
mendelik. "Kalau ada kuburan di puncak gunung sana, berarti yang tadi bertempur
dengan aku jangan-
jangan memang setan pocong benaran!"
*** scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
7 DEWA Tuak sunggingkan senyum. "Aku menemukan dua buah makam. Dua buah kuburan.
Tapi dua makam itu dalam keadaan kosong! Di dalamnya hanya ada genangan air hujan!"
"Aneh!" ujar Sinto Gendeng sambil menatap Dewa Tuak dengan pandangan tidak
percaya. "Ada yang lebih aneh lagi," ujar si kakek. Dia meneguk tuaknya beberapa kali
baru meneruskah. "Di
belakang salah satu kuburan itu ada sebuah tiang kayu. Mungkin sekali sebelumnya
ada seseorang diikat
pada tiang itu. Lalu ini keanehan satu lagi. Aku menganggap bukannya aneh tapi
gila! Gila besar! Di makam
ke dua menancap satu papan nisan. Di atas papan nisan itu tertulis Di sini
Beristirahat Untuk Selama-
lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng."
"Hah"! Apa katamu"!" tanya Sinto Gendeng. Saking kagetnya tubuhnya sampai
terlompat bangun.
Dewa Tuak mengulangi ucapannya yang terakhir. "Di sini Beristirahat Untuk
Selama-lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng."
"Tidak mungkin! Tidak bisa jadi! Muridku belum mati! Aku yakin betul!" Sinto
Gendeng berkata
setengah berteriak.
"Aku juga sependapat denganmu Sinto. Seperti kataku tadi, dua kubur itu kosong.
Tidak ada mayat,
tidak ada jenazah di dalamnya."
"Lalu siapa yang punya pekerjaan membuat dua buah kubur begitu rupa?"
"Siapa yang bisa menerka" Siapa yang tahu apa sebenarnya telah terjadi!" ujar
Dewa Tuak pula.
"Tapi biar aku berpikir sebentar." Dan caranya Dewa Tuak berpikir adalah dengan
meneguk tuak harum
dalam bumbung bambu. Setelah mukanya menjadi merah dan mata berputar liar, kakek
ini baru berkata.
"Menurut jalan pikiranku, jangan-jangan makhluk berbentuk pocong yang
menyerangmu itulah yang telah
melakukan semua ini."
"Bisa jadi! Kurang ajar! Aku harus segera berangkat ke sana! Kau ikut aku!"
"Maaf Sinto, aku tidak bisa ikut bersamamu. Aku harus melakukan sesuatu. Aku
tengah mencari muridku. Aku khawatir anak itu tengah dalam bahaya...."
"Kau tidak mau ikut aku ya sudah. Tapi...."
"Tapi apa Sinto?"
"Aku minta tuakmu!" Tidak menunggu jawaban orang Sinto Gendeng ambil bumbung
bambu yang dipegang si kakek lalu gluk, gluk, gluk dia teguk tuak harum itu hingga mukanya
yang hitam jadi bertambah
hitam dan dua matanya kelihatan merah.
"Terima kasih!" Sinto Gendeng serahkan kembali bumbung tuak. Lalu melangkah
pergi. Tapi baru
tiga langkah menindak tiba-tiba si nenek pegang perutnya sebelah bawah.
"Dewa Tuak! Sialan kau!" Dari mulut Sinto Gendeng keluar makian.
"Eh, ada apa?" tanya Dewa Tuak heran.
"Tuak gilamu itu!"
"Memangnya ada apa dengan tuakku!"
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
"Setan! Aku jadi kebelet kencing!" Teriak Sinto Gendeng. Lalu terbirit-birit,
sambil singsingkan
kain, si nenek lari ke balik semak belukar.
Dewa Tuak goleng-goleng kepala. Ketika dia mendengar suara sesuatu mengucur di
balik semak belukar kakek ini tak dapat menahan ketawanya.
"Sinto, apa yang kau goreng di balik semak belukar! Riuh sekali kedengarannya!
Ha... ha... ha!"
*** DUA kaki Sinto Gendeng seperti menancap di tanah ketika dia menyaksikan
kebenaran cerita Dewa
Tuak. Tak jauh dari pondok kediamannya ditemuinya dua buah lobang kubur. Tanah
merah bertebaran di
mana-mana. Lobang kubur tergenang air.
Saat itu Sinto Gendeng merasa tubuhnya lebih baik dari sebelumnya. Hawa panas
jauh berkurang.
Mungkin ini kemujaraban tuak kayangan Dewa Tuak yang tadi diteguknya. Sambil
memperhatikan ke dalam
lubang kubur si nenek berkata dalam hati.
"Kelihatannya dua kubur ini seperti bekas digali orang. Kalau tidak ada jenazah
di dalamnya berarti
ada yang menggali dan mencuri. Tapi apa perlunya orang mencuri mayat" Lalu siapa
yang dimakamkan di
tempat ini" Muridku" Lalu satunya" Siapa yang mengubur mereka" Ini bukan
pekerjaan satu dua orang...."
Sinto Gendeng perhatikan tanah di sekitar dua makam. Juga tanah di dekat pondok
kediamannya. Walau sudah agak samar-samar karena terguyur air hujan namun dia masih bisa
melihat bekas jejak-jejak
kaki orang banyak sekali.
"Aneh, manjur juga tuak kakek sialan itu. Tubuhku terasa lebih enak. Mataku kini
bisa melihat jelas.
Jejak-jejak kaki itu...." Kembali Sinto Gendeng pandangi dua lubang kubur yang
tergenang air. "Harus
kupastikan kuburan ini benar-benar kosong," kata si nenek dalam hati. Lalu dia
angkat dua tangannya,
telapak dikembangkan, diarahkan ke dalam lobang. Hawa panas menderu. Terjadilah
hal luar biasa.
Genangan air di dalam dua lobang kubur kelihatan bergoyang keras. Didahului
suara seperti mendidih
genangan air itu muncrat ke atas bersama lapisan tanah. Sesaat kemudian dua
lobang kubur berada dalam
keadaan kering!
"Kosong.... Benar-benar kosong," kata Sinto Gendeng. "Apa sebenarnya yang
terjadi di tempat ini."
Si nenek memperhatikan. Lobang kubur yang di belakangnya ada tiang lebih dalam
dari lobang kubur yang
ada papan nisan. "Tidak mungkin kuburan dibuat sedangkal ini...." Sinto Gendeng
ingat pada manusia
pocong yang tadi ditemui dan menyerangnya. "Kalau memang ada jenazah dalam dua
liang kubur ini, tidak
mungkin dia yang mencuri. Pakaiannya putih bersih, tidak berlepotan tanah."
Tidak dapat memecahkan teka-teki dua makam aneh, Sinto Gendang akhirnya
melangkah menuju
pondok. Pintu depan dan pintu belakang dibiarkannya terbuka lebar hingga cahaya
masuk menerangi bagian
dalam pondok. Lama dia berdiri di tengah ruangan memperhatikan sebelum duduk di
tepi balai-balai kayu
beralaskan tikar butut. Sambil duduk kembali dia memandang seantero pondok. Di
samping kiri ada meja
kayu dan sebuah kursi reot. Di sebelah kanan dekat pintu belakang terletak
sebuah gentong besar. Di atas
penutup gentong ada sebuah gayung terbuat dari tempurung kelapa. Si nenek
kerenyitkan kening ketika
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
melihat gagang gayung. Ada bekas-bekas tanah pada ujung gagang gayung. Perlahan-
lahan Sinto Gendeng
bangkit berdiri, melangkah mendekati gentong. Gayung diambil, diperhatikan.
"Sekian lama gayung ini tidak ada yang menyentuh. Kalau hanya dipakai untuk
menciduk air dalam
gentong, bagaimana bisa ada tanah menempel di ujung gagangnya" Ada seseorang
mempergunakannya
untuk...." Ucapan dalam hati Sinto Gendeng terputus ketika matanya melihat pada
badan gentong yang
tertutup debu tebal ada bekas-bekas tangan. Dada si nenek berdebar. Wajahnya
yang seperti tengkorak hidup
berubah. Gayung dicampakkannya ke lantai pondok. Di dalam gentong terdapat air
sampai setengahnya.
Gentong dan air beratnya hampir dua ratus kati. Dengan dua tangannya yang kurus
tapi memiliki tenaga luar
biasa Sinto Gendeng geser gentong besar itu ke samping kiri. Debaran pada
dadanya semakin keras ketika
melihat tanah di bawah gentong ada tanda-tanda bekas digali. Si nenek berlutut
di lantai pondok. Dengan dua
tangannya dia menggali tanah sampai dia menemukan sebuah peti kayu terbuat dari
kayu besi hitam. Dengan
cepat Sinto Gendeng keluarkan peti kayu itu. Ketika penutup peti dibuka si nenek
terperangah, keluarkan
seruan tertahan dan duduk terhenyak di tanah. Peti itu kosong!
"Gusti Allah! Kitab itu...," desis Sinto Gendeng dengan suara bergetar. "Kitab
Seribu Macam Ilmu
Pengobatan. Siapa yang begitu kurang ajar berani mencurinya!" Sinto Gendeng
pukul-pukul kepalanya
sendiri. Di puncak kemarahannya nenek ini tendangkan kaki kanannya. Gentong
besar terbuat dari tanah
hancur berantakan. Air membasahi lantai pondok. Untuk beberapa lamanya si nenek
masih terduduk, tidak
perdulikan kain dan tubuhnya sebelah bawah yang ikut kebasahan. (Peristiwa
lenyapnya Kitab Seribu
Macam Ilmu Pengobatan dapat pembaca ikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul
Senandung Kematian.
Serial ini merupakan Episode terakhir dari enam rangkaian Episode masing-masing
berjudul Kembali Ke
Tanah Jawa, Tiga Makam Setan, Roh Dalam Keraton, Gondoruwo Patah Hati dan Makam Ketiga. Sedang
mengenai kisah asal muasalnya kitab tersebut dapat dibaca dalam serial Wiro
Sableng berjudul Banjir Darah
Di Tambun Tulang.)


Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam keadaan terduduk otak Sinto Gendeng bekerja. Di tanah sekitar halaman
pondok dan dekat
dua kuburan terlihat banyak jejak-jejak kaki. Dewa Tuak dipastikan datang
setelah orang-orang itu pergi
karena dia sama sekali tidak menceritakan kalau bertemu dengan orang lain.
"Mungkinkah kakek sialan itu yang mencuri Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan"
Kalau bukan dia yang jahil mengapa dia tidak mau aku ajak naik ke puncak sini?" Sinto
Gendengi menghela nafas
panjang. "Sulit bisa kupercaya. Manusia pocong yang menyerangku.... Mungkin dia
jahanam yang mencuri
kitab itu. Tapi bagaimana dia bisa tahu kitab itu ada di bawah gentong" Lagi
pula, jika dia sudah dapatkan
kitab, mengapa masih mau membuang waktu hendak membunuhku" Gila! Kalau bertermu
akan kucincang bangsat pencuri kitab itu!"
Dalam alur cerita selanjutnya dikisahkan Sinto Gendeng menemui Wiro Sableng
ketika sang murid
yang saat itu bersama tiga gadis cantik (Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan
Anggini) hampir dicelakai
Nyi Ragil Tawangatu (Si Manis Penyebar Maut) yang ternyata adalah musuh
bebuyutan Sinto Gendeng. Nyi
Ragil dibantu Si Muka Bangkai. Karena tidak sanggup menghadapi Sinto Gendeng,
Nyi Ragil dan Si Muka
Bangkai akhirnya melarikan diri.
scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
Kepada Wiro, Sinto Gendeng menceritakan apa yang terjadi di puncak Gunung Gede.
Si nenek mengatakan dia menemui dua buah kuburan kosong. Wiro merasa heran karena hanya
satu kubur yang
kosong sedang satunya berisi jenazah Puti Andini. Dari keterangan yang saling
berbeda itu ditarik
kesimpulan bahwa jenazah Puti Andini telah dicuri dan dilarikan orang. Siapa
orangnya tak ada yang bisa
menduga. Sinto Gendeng juga menceritakan hilangnya Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan.
Entah bagaimana mungkin terlupa si nenek tidak menceritakan pertemuannya dengan
manusia pocong dan Dewa
Tuak. (Untuk jelasnya kisah ini silahkan dibaca serial Wiro Sableng berjudul
Tahta Janda Berdarah, yang
merupakan Episode ke-4 dari rangkaian Episode Badik Sumpah Darah)
*** scan & cover by kelapalima ebook by kalibening
8 MENJELANG pertengahan malam langit tampak semakin kelam, udara terasa bertambah
dingin mencucuk kulit menembus tulang. Awan hitam bergerak ke arah timur. Perlahan-
lahan bulan sabit malam ke
tiga muncul di langit. Cahaya temaram bulan sabit ditambah kelap-kelip bintang
yang bertaburan tidak
sanggup mengusir kegelapan.
Jauh di utara Telaga Sarangan, terdapat satu kawasan bukit batu yang sunyi
dimana hanya suara deru
angin yang terdengar menggidikkan dan sesekali ada suara panjang raungan anjing
menambah dinginnya
tengkuk dan merindingnya bulu roma.
Beberapa belas tombak di sebelah utara, di antara gundukan-gundukan batu,
diselubungi kegelapan
di luar dan sebelah dalam, ada satu bangunan tua berbentuk panggung rendah,
berdinding kayu lapuk. Atap
terbuat dari ijuk hitam tebal menyerupai tanduk kerbau. Seluruh dinding
merupakan pintu-pintu dalam
keadaan tertutup, masing-masing dua belas pintu setiap sisi. Berarti empat puluh
delapan pintu pada seluruh
dinding. Karena tidak terpelihara di hampir setiap bagian bawah atap kelihatan
sarang labah-labah. Di
barisan pintu depan yang menghadap ke arah selatan, di bawah atap tergantung
sebuah lampion kain putih
dalam keadaan tidak menyala. Kain lampion selain diselimuti debu juga dipenuhi
sarang laba-laba.
Tak jauh dari bangunan panggung itu, terdapat satu pedataran kecil yang di sana
sini ditebari batu-
batu hitam berbagai bentuk dan ukuran.
Enam orang perempuan muda dalam keadaan hamil, sama mengenakan seragam jubah
luar warna merah, berdiri di samping sebuah batu besar rata berbentuk empat persegi
panjang. Mereka berdiri tak
bergerak, juga tidak bersuara. Bola-bola mata mereka memandang lurus-lurus
kosong dan hampa.
Di ujung batu sebelah kiri, di atas satu batu berbentuk tiang tinggi sepinggang,
terdapat sebuah
pendupaan besar yang apinya dalam keadaan menyala. Di ujung sebelah kanan dari
batu menancap ke tanah
sebuah obor yang nyala apinya bergoyang-goyang tertiup angin, membuat bayang-
bayang seram di beberapa
tempat. Di seberang lain batu persegi panjang berdiri enam sosok berpakaian serba putih,
mulai dari kain
penutup kepala sampai ke jubah. Manusia-manusia pocong. Seperti enam gadis,
mereka tegak tak bergerak.
Namun pandangan mata mereka yang tersembunyi di balik dua lobang kecil kelihatan
tajam dan sesekali
bergerak ke arah kiri dimana sejak tadi mereka menunggu kemunculan seseorang.
Di atas batu terbaring menelentang satu sosok di tutup kain hitam mulai dari
kaki sampai sebatas
leher di bawah dagu. Di ujung kain hitam kelihatan satu kepala berambut panjang
hitam, tergerai menebar,
Misteri Rumah Berdarah 8 Pendekar Rajawali Sakti 177 Siluman Pemburu Perawan Ilmu Ulat Sutera 8
^