Perjanjian Dengan Roh 2
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh Bagian 2
lompatan dan kini hanya terpisah sepejangkauan tangan dari hadapan si nenek.
Walau nyalinya agak ciut namun Nyai Tumbal Jiwo pandai menyembunyikan. Nenek ini
membentak lantang.
"Perlu apa kau mendekati diriku! Aku melihat ada maksud mesum dalam matamu! Kau
tertarik padaku"!"
Wajah klimis di balik juntaian rambut, kumis dan janggut lebat Kiai Gede Tapa
Pamungkas tampak berubah merah mendengar ucapan Nyai Tumbal Jiwo.
"Kiai! Lekas menyingkir dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini! Jangan kau berani
menyentuh tubuh istri Tumenggung itu. Apalagi berani membawanya! Hari ini aku
masih mau memberi pengampunan padamu! Tapi lain waktu jika kau berani unjukkan
muka di depanku, aku tak segan-segan merampas jiwamu. Kau akan aku kirim ke alam
roh. Di situ kau akan menjadi budak hamba sahaya-
ku! Pergi!"
Nyai Tumbal Jiwo dorongkan dua tangan ke arah si kakek.
Kiai Gede Tapa Pamungkas mendengar ada suara
bergemuruh seperti dua batu besar menggelinding deras ke arahnya. Sambaran angin
panas menderu membuat tubuh sang Kiai tergontai-gontai.
"Pukulan Angin Roh Pengantar Kematian! " ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengenali
serangan lawan. Dia pernah mendengar kehebatan pukulan ini. Walau tidak gentar
menghadapi namun kakek sakti dari telaga di puncak Gunung Gede ini cepat melesat
ke atas sampai satu tombak. Angin pukulan lawan menderu lewat, menghantam tebing
sungai di seberang sana hingga terbongkar longsor!
Nyai Tumbal Jiwo terkesiap kaget, tidak menyangka lawan bisa lolos dari serangan
mautnya tadi. Dia lebih terkejut lagi ketika merasakan dada kirinya berdenyut.
Ketika dia menunduk memperhatikan, makhluk dari liang kubur ini langsung
menjerit. Dia tidak merasakan sama sekali tidak menyadari kapan lawan
melancarkan serangan balik. Namun saat itu dada kirinya tahu-tahu kelihatan
menggembung merah.
"Tua bangka cabul! Beraninya kau menyentuh aurat terlarangku!" teriak si nenek.
Padahal yang diserang dan disentuh Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah bagian bahu
kiri di bawah tulang belikat. Namun akibatnya meng-
gembung sampai membengkakkan payudara kiri si nenek yang tadinya rada ceper.
"Jahanam! Lari ke mana kau!" teriak Nyai Tumbal Jiwo.
Dia melompat mengejar ke tepi sungai. Namun terlambat.
Kiai Gede Tapa Pamungkas telah berada jauh di sebelah sana, lari sambil
menggendong Nyi Retno Mantili. Seperti berlari di atas tanah, begitulah dia
berlari di atas air sungai menuju ke hulu.
"Jahanam pengecut!" maki si nenek. Kemudian dia memperhatikan dada kirinya yang
melembung merah. Lalu dia tertawa sendiri. "Sayang, cuma yang kiri yang menjadi
besar. Kalau dua-duanya. Hik... hik... hik. Aku akan lebih montok dari perawan."
Terbungkuk-bungkuk Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat itu. Sesekali diusapnya
dada kirinya yang mendenyut sakit. Mulut keluarkan ucapan. "Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Aku tidak rela kau buat jadi mainan seperti ini. Kelak aku akan ganti
membuatmu jadi barang mainanku! Kalau aku tidak sanggup menembus ilmu
kesaktianmu, jangan kau kira aku tidak sanggup menembus imanmu! Hik... hik...
hik!" Mengenai Kiai Gede Tapa Pamungkas, kakek sakti yang diam di dalam telaga di
puncak timur Gunung Gede kisahnya dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng episode
"Pedang Naga Suci 212" . Sang Kiai adalah guru dari Sinto Weni alias Sinto
Gendeng dan Sukat Tandika alias Tua Gila.
Kepada kedua muridnya itu dia mewariskan sebilah senjata berbentuk kapak yakni
Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212. Ternyata Sinto Weni bukan cuma
mengambil kapak sakti, dia juga membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan
menyembunyikannya di satu tempat.
Pedang ini kemudian dipercayakan dan diserahkan pada Puti Andini. Setelah
hancurnya 113 Lorong Kematian dan meninggalnya Puti Andini untuk kedua kali,
pedang ditemukan. Pendekar 212 minta agar senjata mustika itu diserahkan pada
Sinto Gendeng namun ditolak oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sang Kiai membawa
senjata itu kembali ke puncak Gunung Gede.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
6 EJAK pagi angin barat bertiup kencang. Deburan ombak di pantai selatan
bergemuruh tiada henti. Di Sdalam goa Girijati Tumenggung Wira Bumi bersujud di
hadapan Nyai Tumbal Jiwo.
"Cukup, sudah saatnya kau harus pergi meninggalkan goa ini. Semua yang kau minta
padaku ada yang telah kesampaian dan ada yang bakal menjadi kenyataan. Yang
telah kesampaian kini kau memiliki ilmu kesaktian tinggi.
Tidak sembarang orang sanggup mengalahkanmu, yang akan menjadi kenyataan ialah
keselamatan, kedudukan atau jabatan serta harta melimpah ruah. Sekarang bangkit
dan duduk di hadapanku!"
Tumenggung Wira Bumi segera bangun dari sujudnya lalu duduk bersila di depan
makhluk alam roh yang serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Nenek ini
kembangkan tangan kanannya yang sejak tadi digenggam.
Ternyata dalam genggamannya ada tiga helai daun sirih, tujuh kuntum bunga melati
dan sebongkah kecil
kemenyan. Setelah bunga melati dan kemenyan dimasukkan ke dalam lipatan tiga helai daun
sirih, si nenek menyerahkan lagi pada Tumenggung Wira Bumi. "Malam ini malam
Jum'at Legi. Saat yang paling baik dan ampuh untuk menyantap sirih, melati dan
kemenyan. Kunyah lumat-lumat dan telan!"
Tumenggung Wira Bumi lakukan apa yang
diperintahkan Nyai Tumbal Jiwo. Si nenek memperhatikan sambil mulutnya komat-
kamit melafalkan sesuatu. Setelah menelan sirih, melati dan kemenyan, Tumenggung
Wira Bumi merasa tubuhnya menjadi enteng hangat dan seolah berubah besar. Kepala
menyondak langit-langit goa. Tubuh si nenek dilihatnya menjadi kecil.
"Tumenggung, sirih kembang melati dan kemenyan yang barusan kau telan menjadi
kunci segala ilmu kesaktian yang telah kau dapatkan. Seumur hidup ilmu itu akan
mendekam dalam dirimu." Setelah diam dan
menatap wajah sang Tumenggung beberapa ketika, si nenek berwajah angker merah
keriputan melanjutkan ucapan. "Saat ini aku menyampaikan satu kabar buruk
padamu. Beberapa waktu lalu aku berhasil menyirap lewat pendengaran dan
penglihatan jarak jauh di mana beradanya Nyi Retno Mantili..." Si nenek
perhatikan wajah Wira Bumi. Wajah sang Tumenggung sama sekali tidak berubah
ketika nama istrinya disebut. "Aku berhasil menemuinya di satu tempat. Maksudku
akan kubawa menemuimu untuk kau habisi sesuai sumpahmu tempo hari. Aku ingin
urusan satu ini bisa tuntas lebih cepat.
Namun tidak disangka muncul seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Dia berhasil menghalangi niatku. Dia kemudian melarikan diri dan
istrimu bersamanya. Aku yakin dia menuju puncak Gunung Gede. Setahuku dia diam
di sebuah telaga. Urusan dendam kesumat dengan kakek ini biar aku yang
membereskan. Karena aku gagal membunuh, sesuai perjanjian kau tetap harus membunuh istrimu.
Kau harus pergi ke puncak Gunung Gede. Kau dan aku kini mengetahui bahwa
pembantumu Djaka Tua tidak melaksanakan perintah. Dia tidak membunuh bayi yang
dilahirkan Nyi Retno. Di mana dia sekarang berada, juga bayimu tidak diketahui.
Seperti ada satu kekuatan melindungi dirinya. Menjadi tugasmu mencari kedua
orang itu dan membunuh mereka!"
"Bagaimana dengan golok besar yang harus aku pakai untuk menggorok leher bayi?"
tanya Tumenggung Wira Bumi pula.
"Senjata itu raib. Mungkin ada pada Djaka Tua. Kau harus mendapatkan golok itu
karena memiliki tuah setelah menjadi bagian dari perjanjianmu! Kau boleh
membunuh anak perempuan dan istrimu tanpa mempergunakan golok itu." "Semua
perintah Nyai akan saya lakukan." Wira Bumi membungkuk dalam-dalam lalu berdiri.
"Sebelum Kau kembali ke gedung kediamanmu di
Kotaraja, kau harus berendam dulu di dalam laut sana sampai matahari tenggelam.
Setelah itu baru berangkat ke Kotaraja. Tapi ingat, kau tidak boleh masuk ke
dalam gedung kediamanmu sebelum lewat tengah malam. Dan untuk masuk ke dalam
gedung, kau harus lewat pintu belakang. Jangan sekali-kali masuk melalui pintu
depan. Kau mengerti, Tumenggung?"
"Aku mengerti Nyai. Terima kasih atas semua
petunjukmu. Terima kasih banyak atas semua yang telah kau berikan padaku. Kelak
aku akan kembali menemuimu untuk membalas budi baikmu."
"Kau tak perlu bersusah payah mencariku. Perjanjian antara kita sudah cukup.
Namun ada satu hal yang harus kau lakukan sebelum pergi..."
"Aku mengerti. Nyai minta saya berendam dalam air laut.."
Si nenek tersenyum, "Sebelum mandi berendam air laut, kau harus mandi berendam
keringat lebih dulu. Hal ini harus kau laksanakan setiap saat aku membutuhkan."
Si nenek hentikan ucapan. Sepasang mata memandang merah berkilat pada Tumenggung
Wira Bumi yang bertubuh kekar besar itu.
"Tumenggung, aku minta kau melayaniku sebelum
pergi. Puluhan tahun di dalam liang kubur rasanya sungguh menyebalkan."
Kejut Tumenggung Wira Bumi bukan alang kepalang.
Sama saja dia mendengar suara halilintar di depan mata!
Habis berkata si nenek langsung saja buka pakaiannya berupa kain merah yang melilit di tubuh. Tumenggung
Wira Bumi melangkah mundur. Wajahnya tampak gelap melihat sosok bugil si nenek.
Dia memperhatikan, payudara Nyai Tumbal Jiwo sebelah kiri ternyata sangat besar
sedang yang sebelah kanan datar nyaris licin.
"Nyai, hal ini tidak termasuk dalam perjanjian..."
Si nenek menyeringai, mata dikedipkan.
"Justru ini adalah patri indah dari perjanjian kita yang aku sebut Perjanjian
Dengan Roh."
"Nyai, aku mohon..."
"Tujuh bulan kau tidak menggauli perempuan. Apa otakmu tidak jadi buntu" Apa
dadamu tidak serasa rengkah" Apa urat-urat aliran darahmu serasa tidak
terbakar"! Lihat tubuhku, apa kau tidak tertarik?"
"Nyai, aku..."
Si nenek tempelkan tubuhnya ke tubuh Tumenggung Wira Bumi. Dua tangan merangkul
erat. Sang Tumenggung merasakan tubuhnya panas bergetar. Dalam penglihatan-
nya si nenek telah berubah menjadi seorang dara secantik bidadari.
Nyai Tumbal Jiwo tertawa panjang ketika Tumenggung Wira Bumi balas memeluk lalu
dengan penuh nafsu membaringkannya di lantai goa.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, giliranmu akan tiba..."
Ucap si nenek yang tidak sempat lagi terdengar oleh Tumenggung Wira Bumi akibat
nafsu yang telah membakar sekujur tubuhnya.
*** Dua belas purnama setelah bentrokan antara Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan Nyai
Tumbal Jiwo. Di tepi sebuah telaga di bagian timur puncak Gunung Gede, Nyi Retno
asyik bermain-main dengan boneka kayu yang dalam ketidakwarasannya menganggap
sebagai bayi atau anaknya. Sesekali terdengar suaranya tertawa senang.
Lain ketika dia menyanyi-nyanyi kecil. Lalu sesekali dia meratap menangis.
Dari bagian lain pinggiran telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah
mendatangi. "Nyi Retno aku gembira melihat kau senang sekali pagi ini. Kau tertawa-tawa, kau
menyanyi. Apakah kau sudah memberi makan anakmu yang lucu itu?"
"Kiai," ucap Nyi Retno yang saat itu rambut, tubuh dan pakaiannya kelihatan
bersih. Badannya tampak jauh lebih gemuk berisi dibanding pertama kali Kiai Gede
Tapa Pamungkas membawanya ke tempat itu setahun lalu.
Kulitnya bersih dan lebih putih. "Untung kau memberi ingat! Pagi ini aku memang
belum memberinya makan. Ibu macam apa aku ini. Ah, kasihan anakku..."
Dari sebuah kantong kain yang tergantung di pung-
gungnya Nyi Retno mengeluarkan sendok kayu. "Anak, ayo makan dulu. Makan yang
banyak agar kau gemuk dan sehat." Nyi Retno lalu menggerak-gerakkan tangan
kanan- nya yang memegang sendok seolah tengah mengaduk makanan. Lalu sendok itu
didekatkannya ke mulut boneka kayu. Demikian dilakukannya berulang-ulang. "Makan
yang banyak. Biar gemuk dan sehat," katanya setiap kali dia membuat gerakan
seperti menyuapi.
Kiai Gede Tapa Pamungkas memperhatikan dengan
perasaan haru. Dia mampu memberi kesembuhan pada sosok lahir perempuan yang
usianya belum mencapai tujuhbelas tahun itu. Dia mampu mewariskan beberapa ilmu
kesaktian. Namun ada satu hal yang sangat dirisaukannya. Walau Nyi Retno nampak
patuh dan selalu memperhatikan apa yang diucapkannya, namun dia tak pernah mampu
mengembalikan jalan pikiran Nyi Retno Mantili kembali waras seperti semula.
"Nyi Retno, sudah berapa usia anakmu sekarang?"
bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kalau aku tidak salah menghitung sudah satu tahun.
Eh, apa iya" Nah, mana tua anakku dengan Kiai?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. "Anak, sudah satu tahun kau masih belum
memberinya nama..."
Nyi Retno menatap sang Kiai lalu memandang boneka kayu sambil usap-usap
kepalanya. Wajahnya tampak sedih.
Air mata mengucur membasahi pipi.
"Kiai, aku memang sudah menyiapkan sebuah nama untuk anakku ini. Tapi takut
nanti ayahnya tidak setuju.
Aku pikir biar ketemu ayahnya dulu. Cuma aku tidak tahu di mana mencari ayah
anakku ini."
"Kalau kau memang sudah punya calon nama, ya
sudah disebut saja. Soal apakah ayahnya nanti setuju apa tidak, biar itu urusan
nanti. Nyi Retno, siapa nama yang sudah kau siapkan itu?"
"Mmmm... Kemuning." Jawab Nyi Retno Mantili pula.
"Singkat tapi bagus."
"Sejak kecil aku suka pohon kemuning. Buahnya bisa dipakai untuk mengkilapkan
kuku." "Mulai hari ini kita akan memanggil anak itu Kemuning.
Nama bagus, nama bagus..."
Nyi Retno angkat boneka yang dipegangnya tinggi-tinggi lalu menciumnya berulang
kali. Lalu dia berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, kau pernah bilang. Satu ketika aku boleh meninggalkan tempat ini. Kapan"
Hari ini, besok, lusa...?"
"Sebetulnya aku tetap ingin kau berada di sini sampai keadaan di luar benar-
benar aman bagimu dan puteri kecilmu itu."
"Aman bagaimana Kiai" Apa masih ada orang jahat yang ingin membunuhku" Nenek
rambut merah yang di sungai dulu" Aku tidak takut."
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang wajah Nyi
Retno penuh kagum. "Ternyata ingatannya ke masa lampau masih cukup jernih.
Semoga Tuhan memberi kesembuhan padanya..."
"Kiai, bukankah Kiai telah membekali diriku dengan berbagai ilmu kesaktian"
Selain itu ke mana aku pergi bukankah Kiai akan mengikuti, menjagaiku,
melindungi anakku. Kau harus menganggap anak ini sebagai cucumu, Kiai!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil
mengusap kepala Nyi Retno orang tua ini berkata. "Tentu saja. Tentu saja anakmu
itu sudah kuanggap cucu sendiri.
Namun aku tidak mungkin selalu ada bersamamu..."
"Kalau begitu aku boleh pergi sendiri ke mana aku suka. Aduh, senangnya..." Nyi
Retno Mantili tertawa girang, berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.
"Belum saatnya Nyi Retno. Tunggulah beberapa lama lagi," kata Kiai Gede Tapa
Pamungkas dengan hati masgul.
"Kiai, kau jahat! Kau pembohong! Aku benci padamu!"
ucap Nyi Retno lalu lari ke dekat pohon.
Si orang tua mendatanginya, membujuk sambil
membelai rambutnya. Dia sering mengusap kepala dan membelai rambut Nyi Retno
sambil mengerahkan hawa sakti. Maksudnya untuk memberi kesembuhan, agar pikiran
Nyi Retno kembali waras. Namun kesembuhan itu tidak kunjung datang.
"Nyi Retno, aku akan masuk ke dalam telaga sebentar.
Tunggu di sini."
"Ya, aku akan tunggu di sini. Anakku mulai rewel.
Mungkin dia haus..." Jawab Nyi Retno Mantili.
Begitu si orang tua beranjak dari hadapannya, dia buka pakaiannya di bagian atas
lalu dekatkan bibir boneka ke dadanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah ke arah telaga yang airnya selalu
bergemericik seolah mendidih. Sampai di tepi telaga dia tidak berhenti melainkan
terus saja berjalan. Luar biasa! Ternyata kakek ini mampu berjalan di atas air!
Tepat di tengah telaga tiba-tiba besss! Sosok si orang tua raib ke dalam telaga.
Air telaga muncrat sampai setinggi dua tombak. Tak selang berapa lama Kiai Gede
Tapa Pamungkas muncul keluar dari dalam telaga. Di tangannya dia membawa sebuah
benda bergulung seperti sabuk. Benda ini bukan lain adalah Pedang Naga Suci 212.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, episode berjudul
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kematian Kedua", senjata sakti ini muncul di atas perut Puti Andini alias Yang
Mulia Sri Paduka Ratu yang saat itu telah menemui kematiannya yang kedua.
Pendekar 212 Wiro Sableng coba mengambil namun dia kedahuluan Kiai Gede Tapa
Pamungkas yang mendadak muncul di tempat itu. Selaku pemilik pedang dia
mengambil senjata tersebut dan menyimpan sampai ada seseorang yang layak
memegangnya. Agaknya hari itu Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa telah menemukan
orang yang cocok untuk diserahi pedang mustika itu. Yaitu Nyi Retno Mantili.
Namun darah orang tua ini agak berdesir ketika melihat Nyi Retno Mantili tak ada
lagi di bawah pohon di tepi telaga. Hatinya jadi tidak enak. Dia berteriak
memanggil berulang kali. Tak ada jawaban. Seluruh kawasan timur puncak Gunung
Gede diselidiki. Nyi Retno Mantili raib tanpa bekas.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali ke telaga. Duduk di bawah pohon di mana Nyi
Retno terakhir kali duduk menyusukan anaknya. Gulungan Pedang Naga Suci 212
diletakkan di haribaan.
"Ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri. Dia pasti pergunakan ilmu yang aku ajarkan
itu untuk kabur dan menghilang..." Sang Kiai tarik nafas dalam. Lama orang sakti
ini tercenung. Kemudian senyum menyeruak di bibirnya. "Kalau benar dia
menggunakan ilmu itu untuk menghindari kejaranku, berarti lagi-lagi satu
kenyataan bahwa otak dan jalan pikirannya masih memiliki bagian-bagian
kewajaran." Kiai Gede Tapa Pamungkas memang sengaja mengajarkan ilmu kesaktian
untuk melenyapkan diri itu pada Nyi Retno agar dapat melindungi diri bila
sewaktu-waktu ada orang hendak berbuat jahat
terhadapnya. Kini ilmu itu justru dipergunakan untuk menyiasati dirinya. Orang
tua ini mengusap janggut panjangnya berulang kali sementara rambut putih
menjulai menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu tampak tersenyum kembali.
"Kalau dia ingat akan ilmu itu lalu mempergunakannya, berarti ada jalan pikiran
serta kesadaran dalam benaknya.
Ya Tuhan, lindungilah anak itu ke manapun dia pergi..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas pejamkan mata. Belum
berapa lama mata itu terpejam mendadak telinganya mendengar suara derap banyak
kaki kuda dipacu
mendatangi ke arah telaga.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
7 ALAU sepasang mata tertutup namun karena
memiliki kesaktian tinggi sulit dijajagi, Kiai Gede WTapa Pamungkas dapat
menduga berapa orang
saja yang datang dan berada di sekitar pohon besar di bawah mana dia duduk
bersandar. Lima orang penunggang kuda berada dalam satu kelompok. Orang keenam,
juga menunggang kuda berhenti di depan kelompok lima orang.
Kiai Gede Tapa Pamungkas terus saja picingkan mata.
"Orang tua, aku sudah tahu kau tidak tidur. Jadi tidak perlu berpura-pura," satu
suara besar dan keras memecah kesunyian di tepi telaga.
Mendengar teguran orang, Kiai Gede Tapa Pamungkas segera maklum kalau yang
barusan bicara adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia juga
merasakan dari nada suara itu yang bicara berada dalam ketidak-
sabaran, dan memandang penuh kebencian padanya.
Maka tanpa bergerak dan buka kedua mata, Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
"Tiada yang sangat memalukan dalam hidup ini selain kepura-puraan. Tamu gagah,
berpakaian kebesaran Kerajaan, yang baru datang dari jauh bersama lima
pengiring, kadang-kadang beban hati dan pikiran membuat seseorang hanya bisa
memejamkan mata. Sebaliknya ada orang yang beban hati dan pikiran yang selalu
menghantui dirinya membuat dia tak bisa memicingkan mata. Kedua orang itu tidak
menjalankan kepura-puraan. Contohnya kau dan aku saat ini. Tamu gagah dengan
hiasan bintang tersemat di belangkon warna biru, jika ucapanku tadi keliru harap
jangan diambil hati."
Penunggang kuda di sebelah depan dan lima pengiring jadi terkesiap dan tatap
wajah si orang tua lekat-lekat.
Hatinya berucap, "Sungguh luar biasa. Matanya dalam keadaan terpejam. Tapi tahu
kalau aku mengenakan pakaian kebesaran Kerajaan, diantar oleh lima pengawal.
Tahu warna belangkonku. Tahu pula hiasan bintang perak yang tersemat di
belangkonku. Tidak bisa tidak. Dia memang orang yang aku cari. Ciri-cirinya
sesuai dengan yang dikatakan Nyai."
"Orang tua, aku senang kau mengetahui aku datang dari jauh, bisa menduga siapa
diriku. Apakah engkau yang dipanggil orang dengan nama Kiai Gede Tapa Pamung-
kas?" "Tamu dari jauh, jika kau datang untuk mencariku, aku mengucapkan selamat datang
di puncak Gunung Gede."
Kiai Gede Tapa Pamungkas ambil benda bergulung di atas pangkuannya, buka kedua
mata lalu berdiri. Dia kini melihat jelas si penunggang kuda bersama lima
pengiring- nya. Keadaan mereka tidak berbeda dengan apa yang tadi diucapkannya dengan mata
terpejam. Sang Kiai sudah bisa menduga siapa adanya tamu yang datang bersama
lima pengawal ini.
Begitu mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas lelaki bertubuh besar,
berpakaian mewah dengan belang-
kon biru di atas kepala membuat gerakan sangat enteng.
Kalau tadi dia masih berada di punggung kuda maka kini hanya sekejapan mata saja
dia sudah berdiri di hadapan sang Kiai. Keluarbiasaan ini tentu saja tidak lepas
dari perhatian Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Orang gagah, jarang sekali tamu berkunjung ke tempat ini. Kedatanganmu tentu
membawa satu hal penting.
Harap kau suka memberi tahu. Selain itu apakah kau tidak ingin memperkenalkan
diri lebih dulu?"
"Namaku Wira Bumi. Aku Bendahara Kerajaan..."
"Ah, tidak sangka hari ini aku mendapat kehormatan dikunjungi seorang petinggi
Kerajaan. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah jabatan itu belum selang
berapa lama dipercayakan pada Yang Mulia?"
Kening Bendahara Wira Bumi yang sebelumnya adalah Tumenggung tampak mengerenyit.
Ucapan orang dirasa-
kannya mulai menyinggung, tidak enak. Namun karena punya kepentingan Wira Bumi
terpaksa menahan diri dan bertanya. "Orang tua, bagaimana kau tahu kalau aku
baru saja memangku jabatan itu?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. "Lekuk belang-
kon biru Yang Mulia masih bagus. Hiasan bintang perak tampak berkilat. Kelepak
pakaian Yang Mulia sangat rapi.
Kalau aku salah menduga harap dimaafkan."
Wira Bumi balas tersenyum.
"Sebagai yang punya tempat, kalau memang ada yang hendak dibicarakan, aku
mengundang Yang Mulia Benda-
hara untuk duduk bicara di sawung sebelah sana."
Wira Bumi perhatikan sebuah bangunan kecil tanpa dinding di pinggir timur telaga
yang dikatakan si orang tua.
"Aku lebih suka kita bicara di sini saja." kata Wira Bumi yang dulu Tumenggung
dan kini jabatannya telah naik setingkat Bendahara Kerajaan.
"Dengan senang hati. Katakanlah maksud kedatangan Yang Mulia," ujar Kiai Gede
Tapa Pamungkas pula.
"Aku mencari seorang perempuan. Masih teramat
muda. Usianya belum mencapai tujuhbelasan. Namanya Nyi Retno Mantili. Dikabarkan
selama ini dia berada di tempat ini bersamamu."
"Nyi Retno Mantili," ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengulang menyebut nama itu.
"Kabar yang didapat Yang Mulia benar sekali adanya. Hanya sayang, saat ini Nyi
Retno Mantili sudah tidak ada lagi di sini."
"Kiai, apa maksudmu dengan ucapan itu?" tanya Wira Bumi. Dia menatap tajam-tajam
ke wajah sang Kiai yang sebagian tertutup rambut panjang putih menjulai.
"Aku memberitahu perempuan yang dicari tidak ada lagi di tempat ini."
Wira Bumi memandang seputar telaga, memperhatikan sawung lalu kembali berpaling
pada orang tua di depannya.
Pejabat tinggi Kerajaan ini mulai merasa gusar. "Kiai, aku menaruh curiga kau
berdusta padaku."
"Kedustaan adalah permainan setan. Aku tidak suka dengan setan. Berarti aku
tidak berdusta. Nyi Retno Mantili pergi hanya beberapa saat sebelum Yang Mulia
dan para pengiring muncul di tempat ini."
"Dia pergi dengan siapa" Sendirian?"
"Dia pergi bersama Kemuning," jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kemuning" Siapa Kemuning?" tanya Wira Bumi
dengan muka berubah dan dada bergetar.
"Puterinya yang berumur satu tahun..."
Perubahan dan bahkan rasa terkejut kelihatan tambah jelas pada wajah Wira Bumi.
"Yang Mulia Bendahara, kau tak usah terkejut. Anak satu tahun bernama Kemuning
itu hanyalah sebuah boneka kayu yang manis, tapi sangat disayang oleh Nyi Retno
seperti anak sungguhan."
"Kiai, aku merasa kau tengah mempermainkan diriku.
Nyi Retno Mantili mempunyai seorang anak perempuan, manusia hidup, bukan boneka
kayu!" kata Wira Bumi.
Rahangnya menggembung. Pelipis bergerak-gerak. "Kiai, harap kau mau menceritakan
bagaimana Nyi Retno bisa berada di tempat ini.
Dengan tenang dan sambil tersenyum Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. "Kau bisa
muncul di tempat ini, tentu ada yang memberi petunjuk. Apakah masih perlu aku
memberi keterangan" Bukankah makhluk roh sesat bernama Nyai Tumbal Jiwo itu yang
telah memberi tahu pada Yang Mulia Bendahara?"
Tampang Wira Bumi tampak menjadi merah. Sekali lagi dia memandang ke arah
keliling telaga dan sawung.
Kemudian berpaling pada lima pengawal dan memberi perintah. "Periksa sekeliling
telaga. Termasuk sawung itu.
Selidiki kalau ada jalan atau tempat rahasia. Jika kalian tidak menemukan apa-
apa bakar sawung itu!"
Dua alis Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas. Orang tua ini hanya tersenyum
mendengar perintah yang diucap-
kan Wira Bumi. Dia tidak mengatakan sesuatu atau berusaha mencegah. Tenang saja
dia memperhatikan lima pengawal sang pejabat tinggi Kerajaan memeriksa kawasan
telaga. Orang tua ini masih tetap tak bergerak di tempatnya ketika para pengawal
mulai membakar sawung.
Dalam waktu singkat bangunan di tepi telaga yang terbuat dari kayu yang telah
lapuk itu lumat tak berbentuk lagi.
"Kasihan, bangunan tempat aku bersembahyang dan memanjatkan doa kepada Yang Maha
Kuasa kini telah menjadi debu." Ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas cukup keras dan
terdengar oleh Wira Bumi.
Bendahara Kerajaan ini melangkah ke hadapan si orang tua. "Kiai, katakan di mana
kau menyembunyikan Nyi Retno dan puterinya!"
"Agaknya Yang Mulia Bendahara tadi kurang
mendengar dan memperhatikan. Bukankah aku sudah menerangkan bahwa Nyi Retno
Mantili meninggalkan tempat ini bersama puterinya yang boneka itu hanya beberapa
ketika sebelum Yang Mulia datang ke tempat ini." "Aku tidak perlu keterangan
tentang boneka jahanam itu! Aku menanyakan Nyi Retno Mantili dan anak
perempuannya!" teriak Wira Bumi.
"Yang Mulia, aku sudah memberi keterangan yang aku tahu. Jangan keliwat memaksa
karena aku tidak
berdusta..."
"Cukup!" hardik Wira Bumi. Dia berpaling pada lima orang pengawalnya. "Pengawal!
Tangkap orang tua ini!
Kalau melawan bunuh!"
"Aahh..." Sang Kiai rangkapkan dua tangan di depan dada. "Seorang pejabat tinggi
Kerajaan, yang punya kekuasaan, begitu mudahnyakah menyuruh menangkap bahkan
membunuh orang tua sepertiku?"
Walau ucapannya menyindir namun wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas dihiasi senyum.
Lima pengawal yang rata-rata bertubuh tinggi besar segera mengepung Kiai Gede
Tapa Pamungkas. Sang Kiai menyambut dengan ucapan, "Aku tahu kalian hanya
menjalankan perintah. Karena itu aku tidak akan berlaku kasar." Habis berkata
begitu sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas melesat ke atas hingga orang-orang yang
hendak meringkusnya hanya menangkap udara kosong.
Kelima pengawal ini, termasuk Wira Bumi melihat bagaimana tubuh orang tua sakti
itu melayang di udara, turun di telaga dan berjalan di permukaan air!
"Tua bangka sombong! Kau kira aku takut dengan peragaan ilmu kesaktianmu itu!"
Kata Wira Bumi. Sekali melesat tahu-tahu dia telah berada dan berdiri pula di
atas air telaga, menghadang langkah Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Seperti telah diketahui, setelah bersemedi di Goa Girijati untuk mendapatkan
ilmu kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, salah satu ilmu yang diperoleh Wira Bumi
adalah ilmu berdiri dan berjalan di atas air yang disebut Kaki Roh Melanglang
Air. Kalau ilmu ini dipergunakan untuk berlari, maka kecepatan larinya di atas
rata-rata ilmu lari lain yang ada di rimba persilatan ataupun ilmu lari yang
disebut Seribu Kaki Menipu Jarak milik seorang sakti berjuluk Si Katai Bisu dan
telah lama menemui kematian.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul "Rahasia Lukisan Telanjang" ).
Kalau lima pengawal Wira Bumi terkagum-kagum
melihat kehebatan pimpinan mereka, tidak demikian halnya dengan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Dengan tenang dan masih penuh hormat dia berkata, "Yang Mulia, tak
sengaja kau berdiri tepat di tengah telaga. Tempat itu adalah alur jalanku masuk
menuju kediamanku di dalam telaga. Aku mohon kau beranjak dari situ."
Wira Bumi tertawa. "Kau takut menabrakku, Kiai" Aku tak akan menyingkir dari
tempat ini sebelum kau memberi tahu di mana Nyi Retno Mantili dan puterinya kau
sembunyikan. Selain itu ada satu persoalan yang harus kau pertanggungjawabkan.
Kau telah berlaku kurang ajar terhadap guruku. Kau telah berani meraba aurat
terlarangnya!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lalu gelenggeleng kepala. "Kalau di darat aku
bicara kau tak percaya, mari kita bicara di dalam air. Udara di atas sini agak
panas. Di dalam air suasananya penuh kesejukan," kata Kiai penghuni telaga di puncak
timur Gunung Gede itu.
Wira Bumi sembunyikan rasa terkejutnya mendengar ucapan sang Kiai. Tantangan
orang tua itu tak mungkin dilayaninya. Walau dia mampu berdiri dan berjalan di
atas air, tapi masuk ke dalam air untuk bicara berlama-lama dia tidak mempunyai
ilmu kepandaian karena memang tidak dimiliki dan tidak diajari oleh Nyai Tumbal
Jiwo. Karenanya, ketika dua kaki Kiai Gede Tapa Pamungkas meliuk masuk ke dalam
air telaga, dengan cepat Wira Bumi melesat di permukaan air. Kaki sebelah kanan
menendang ke arah dada si orang tua.
Tendangan kaki Wira Bumi datangnya lebih cepat dari gerak meluncur tubuh Kiai
Gede Tapa Pamungkas ke dalam air. Wira Bumi menyeringai karena sesaat lagi
tendangannya pasti akan menghancur remuk bahkan bisa membunuh Sang Kiai. Namun
dengan tenang lawan
dilihatnya angkat tangan kiri. Telapak dikembang ke arah datangnya tendangan.
Saat itu juga Wira Bumi merasa ada satu kekuatan dengan daya dorong luar biasa
menghan- tam ke arah kaki kanannya yang menendang. Bendahara Kerajaan ini berteriak keras
ketika merasa kaki kanannya seolah kaku, tak bisa digerakkan lagi! Cepat dia
kerahkan hawa sakti. Begitu kepala sang Kiai hampir lenyap dari permukaan air
telaga, Wira Bumi menghantam dengan satu tendangan lagi, kali ini dengan kaki
kiri. Serangan Wira Bumi kalah cepat dengan gerakan
masuknya sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas ke dalam air.
Tiba-tiba Bendahara Kerajaan ini merasa ada tangan yang mencekal pergelangan
kaki kirinya. Sebelum dia bisa membebaskan diri tahu-tahu kakinya dibetot keras
sekali. Tak ampun pejabat tinggi ini amblas masuk ke dalam telaga!
Di dalam air, Wira Bumi berusaha lepaskan kakinya dari cekalan Kiai Gede Tapa
Pamungkas sambil tangan kanan melepaskan pukulan sakti bernama Angin Roh
Pengantar Kematian. Ilmu ini adalah salah satu dari sekian banyak yang didapat
Wira Bumi dari Nyai Tumbal Jiwo. Air telaga menggemuruh seolah ada benda raksasa
menggelinding dan berubah panas.
Di bagian bawah air telaga bersibak hebat. Di sebelah atas air muncrat sampai
setinggi dua tombak. Untuk beberapa saat telaga dan kawasan seanteronya bergetar
seperti digoyang gempa.
"Luar biasa," ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dalam hati. "Manusia satu ini telah
menguasai ilmu kesaktian perempuan alam roh itu cepat sekali." Sang Kiai segera
dorongkan tangan kanan ke atas sementara tangan kiri masih mencekal pergelangan
kaki Wira Bumi. Bendahara Kerajaan ini terkejut besar ketika suara menggelinding
membalik ke arahnya. Tubuhnya serta-merta menjadi panas. Selain itu nafasnya
mulai megap-megap karena memang dia tidak punya kekuatan atau ilmu bertahan lama
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam air. Tekanan udara panas yang begitu kuat membuat perlahan-lahan darah
mulai mengucur dari telinga dan hidung. Pemandangan mata mulai menggelap dan air
mulai masuk ke dalam mulut.
"Wira Bumi, ini satu peringatan bagimu. Jika kau masih berani unjukkan diri di
kawasan ini atau berani mencelakai Nyi Retno Mantili, aku akan membuat dirimu
masuk liang kubur bersatu dengan gurumu Nyai Tumbal Jiwo! Sekarang pergilah!"
Wira Bumi mendengar suara mengiang di telinganya.
Cekalan pada pergelangan kaki kiri lepas. Tubuhnya melesat ke atas permukaan air
telaga. Begitulah keadaannya. Kekuatan roh yang sangat ganas dan dahsyat di
permukaan bumi pada umumnya tidak punya daya di dalam air.
Setelah keluarkan ancaman Kiai Gede Tapa
Pamungkas yang tak punya niat memperpanjang urusan apalagi niat jahat untuk
membunuh segera melepaskan cekalannya di kaki orang. Sosok Wira Bumi yang berada
dalam keadaan pingsan naik mengapung ke atas.
Lima orang pengawal berseru kaget ketika tadi melihat sosok atasan mereka lenyap
masuk ke dalam air. Tiga di antara mereka yang pandai berenang siap terjun ke
dalam telaga. Namun niat itu menjadi batal sewaktu menyaksikan munculnya sosok
Wira Bumi yang kemudian mengapung di permukaan air. Sebagian muka dan kepalanya
tertutup darah. Tiga pegawal segera mencebur masuk ke dalam air lalu berenang
membawa tubuh Wira Bumi yang berada dalam keadaan pingsan di tepi telaga.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
8 ATAP tangis menyayat hati yang keluar dari rumah kayu berdinding kajang di
pinggir ladang membuat Rseseorang yang tengah berkelebat laksana terbang
hentikan lari. Saat itu hujan turun rintik-rintik. Orang ini tegak membelakangi
serumpun pohon bambu, mengena-
kan baju menyerupai kebaya panjang selutut dan celana ringkas. Baik baju maupun
celana sama terbuat dari bahan bagus dan berwarna biru gelap. Sesaat orang ini
mendo- ngak ke langit lalu menatap ke arah pintu rumah kayu yang terpentang. Rambut
panjang hitam kusut masai menjela sepinggang. Ratapan itu, ada dua orang yang
meratap. Dia bisa merasakan. Ada satu malapetaka besar menimpa penghuni rumah
kayu. Sang surya belum lama tenggelam. Udara yang buruk membuat kegelapan yang datang
lebih cepat menyelimuti kawasan desa pertanian di mana rumah kayu itu berada.
Memperhatikan ke arah rumah kayu, melihat pintu yang terpentang lebar, orang
berpakaian biru segera menda-
tangi. Langkahnya langsung terhenti ketika dia sampai di ambang pintu rumah.
Seorang gadis kecil berusia sekitar delapan tahun tenggelam dalam pelukan
seorang perempuan separuh baya yang menangis menggerung-gerung. Anak perempuan
ini nyaris tidak berpakaian dan ada noda darah di kepala, bahu serta perutnya.
Sekali memperhatikan saja orang berpakaian serba biru di ambang pintu sudah
maklum kalau anak perempuan itu tidak bernyawa lagi.
Di atas sebuah ranjang kayu beralas tikar, terbujur seorang gadis. Lehernya ke
bawah tertutup sehelai kain.
Hanya wajahnya yang tersembul kelihatan. Wajah ini penuh tanda siksaan, luka dan
noda darah. Seorang lelaki berambut putih memeluki dan meratapi si gadis yang
seperti gadis kecil satunya, sudah menjadi mayat.
Jerit tangis suami istri petani di dalam rumah kayu membuat tetangga terdekat
datang berlarian. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah karena di pintu
terhalang oleh sosok orang berpakaian biru bagus yang ternyata adalah seorang
nenek bermuka putih pucat dan tidak satu orangpun mengenal siapa dia adanya.
"Bu-ne Pipit, apa yang terjadi?" seorang tetangga perempuan bertanya sambil
ulurkan kepala coba melihat ke dalam rumah.
Perempuan yang ditanya tidak menjawab, terus saja meratapi anak perempuan
delapan tahun yang ada dalam pelukannya.
"Suami istri petani, ada kejadian apa di rumah ini?"
Nenek berpakaian biru bagus keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan. Suaranya
perlahan tapi jelas.
Suami istri petani Kartosumekto kenal baik dengan semua tetangga. Saking
dekatnya mereka sampai tahu dan mengenali suara masing-masing. Kali ini
mendengar suara orang yang mereka tidak kenal, istri petani angkat wajahnya
sedikit, menatap ke arah nenek di ambang pintu lalu menangis kembali. Sang
suami, lelaki berambut putih juga angkat kepala, memandang ke arah si nenek.
Agak lama dia memandangi sebelum membuka mulut, berucap dengan suara lirih.
"Nenek muka putih, aku tidak kenal kau. Kau bukan penduduk sini. Siapa...?"
"Aku seorang pengelana Hamba Tuhan yang kebetulan lewat di sini. Aku mendengar
suara orang meratap. Siapa tahu aku bisa menolong..."
Mendengar ucapan nenek tak dikenal di ambang pintu, suami istri petani
menggerung keras. Dalam musibah yang sudah jatuh menimpa apa artinya lagi
pertolongan"
Pertolongan macam apapun tidak akan membuat kedua anak gadis yang mereka cintai
bisa hidup kembali.
"Tidak mungkin. Semua sudah terjadi. Dua anakku sudah jadi korban!" Kartosumekto
berkata setengah berteriak lalu kembali menggerung.
"Tenang, sabarkan hatimu, kuatkan iman. Tawakal kepada Tuhan..."
"Kami petani miskin. Selama ini tidak pernah lupa Tuhan! Tapi mengapa Gusti
Allah menjatuhkan percobaan begini berat, yang kami tidak bisa menanggungnya.
Apa dosa kesalahan kami"!"
Nenek berpakaian biru berambut awut-awutan tampak terdiam mendengar ratapan si
petani. Wajahnya yang putih pucat seperti membeku. "Bapak, tolong ceritakan apa
yang terjadi dengan dua anakmu."
"Mereka diperkosa lalu dibunuh!"
Kepala si nenek terangkat, wajah kaku membesi. Pen-
duduk yang ada di depan rumah tampak kaget dan takut.
"Kau tahu siapa pelakunya?" perempuan tua di ambang pintu ajukan pertanyaan.
"Siapa lagi kalau bukan makhluk bernama Hantu
Pemerkosa!"
Semua tetangga yang berada di tempat itu menjadi geger. Wajah mereka tambah
menunjukkan rasa takut amat sangat. Terlebih mereka yang punya anak gadis. Satu
per satu mereka tinggalkan tempat itu, kembali ke rumah masing-masing.
"Hantu Pemerkosa..." Nenek berpakaian biru
mengulang dalam hati. "Ini kali kedua aku mendengar nama itu. Apa benar ada
hantu yang bisa memperkosa?"
"Bapak," si nenek dekati tempat tidur, "Kau melihat perwujudan Hantu Pemerkosa
itu?" Si petani menggeleng. "Ketika aku kembali ke rumah malam ini, dua anak
perempuanku sudah tewas. Sebe-
lumnya sudah ada seorang gadis di desa ini yang juga diperkosa dan dibunuh."
"Kalau makhluk itu dijuluki Hantu Pemerkosa pasti ujudnya mengerikan. Pasti ada
yang pernah melihat wajahnya. Aku harus menyelidik sebelum dia lari jauh."
Kata nenek baju biru muka putih dalam hati.
"Bapak, aku turut berduka atas musibah yang kau alami. Sedikit pemberian ini
mungkin bisa membantu meringankan bebanmu." Si nenek lalu letakkan sekeping uang
perak di atas ranjang.
"Nenek, kau... kau ini siapa?" tanya Kartosumekto.
Namun perempuan tua berpakaian bagus biru itu telah berkelebat lenyap. Di luar
rumah hujan rintik-rintik mulai berubah menjadi lebat.
*** Pagi itu udara segar dan cerah sekali. Langit nyaris tak berawan. Bahkan sang
surya terasa nyaman menyentuh permukaan kulit. Setan Ngompol berjalan mengikuti
Wiro sambil mengomel.
"Hampir seratus hari kita malang-melintang kian kemari mencari gadis berambut
pirang itu. Jauh-jauh berada di sini sekarang kau ingin kita kembali ke jurang
yang ada air terjunnya itu. Mengapa" Bukankah kau sudah menyelidik sampai ke
dasar jurang dan kau tidak menemukan manusia atau setan sekalipun di tempat
itu." "Kek, aku punya perasaan aneh." jawab Pendekar 212.
"Walau aku sudah masuk ke dasar jurang, menyelidik dengan mempergunakan ilmu
Meraga Sukma segala, aku memang tidak menemukan gadis yang kita cari. Namun..."
"Namun apa?" ujar Setan Ngompol dengan mulut
dimonyongkan. "Apa kau tidak melihat kemungkinan.
Keterangan serta tanda-tanda yang diberikan Wulan Srindi pada kita mengenai
Bidadari Angin Timur bisa saja berlainan dengan kejadian sebenarnya. Melihat
bagaimana kecintaannya padamu, keinginannya menjadi murid Dewa Tuak serta
perseteruan diam-diam antara dia dan Bidadari Angin Timur, bisa saja Wulan
Srindi mengarang cerita.
Siapa tahu Bidadari Angin Timur memang tidak berada di dalam jurang yang ada air
terjunnya itu. Dia sengaja membuat cerita untuk menarik perhatianmu. Agar dia
bisa dekat denganmu."
Wiro jadi garuk-garuk kepala mendengar kata-kata si kakek.
"Dengar anak sableng," Setan Ngompol lanjutkan ucapan. "Aku tidak mau ikut kamu
jauh-jauh pergi ke jurang itu kembali."
"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Wiro pula yang membuat kakek tukang
ngompol itu terdiam sambil pegangi perut menahan kencing.
Melihat orang bimbang Wiro tersenyum. "Sebenarnya kalau ada Ratu Duyung kita
bisa meminta bantuannya."
"Bantuan bagaimana?" tanya Setan Ngompol pula.
"Ilmu Menembus Pandang yang diberikannya padaku, ilmu Meraga Sukma yang aku
dapat dari Nyi Roro Manggut tidak mampu menjajagi di mana beradanya Bidadari
Angin Timur. Ratu Duyung masih punya dua ilmu lagi yang bisa digunakan untuk
mengetahui ada tidaknya orang atau makhluk hidup di dalam jurang itu. Ilmu
pertama yakni mengandalkan cermin sakti bulat yang kau sudah pernah melihatnya.
Jika dengan cermin sakti itu masih tidak bisa tembus, maka dengan ilmu kedua
bernama Menyirap Detak Jantung pasti dia bisa mengetahui ada tidaknya makhluk
hidup di dalam jurang."
"Gadis cantik bermata biru itu..." ucap Setan Ngompol.
"Budinya tinggi, hatinya baik. Aku ingat bagaimana dia pernah memberikan ilmu
padaku untuk bisa bertahan lama di dalam air." Tiba-tiba si kakek hentikan
langkahnya. "Ada apa?" tanya Wiro.
"Kita berdua sudah jadi orang tolol! Kalau memang hanya Ratu Duyung yang mampu
membantu, mengapa kita tidak pergi mencarinya di pantai selatan?"
"Hal itu memang ada dalam benakku. Tapi kejadian dia pergi begitu saja dengan
berkata dusta padamu bahwa penguasa pantai selatan meminta dia datang, terus
terang aku jadi tidak enak hati. Dia punya ganjalan tertentu terhadapku."
"Di dalam kesulitan begini rupa segala perasaan hati dan ganjalan tidak perlu
dipikirkan. Bukankah gurumu Sinto Gendeng pernah mengajarkan ujar-ujar jangan
perasaan mengacaukan pikiran" Kau tidak mau minta bantuan gadis alam roh bernama
Bunga. Kau tidak suka minta pertolongan Ratu Duyung. Sementara kau tidak mampu
melakukan semuanya seorang diri."
"Pintarnya kau ngomong!" tukas Wiro. "Apakah kau sendiri pernah mengatur jalan
pikiran dan perasaanmu"
Kalau memang bisa mengapa kau ngompol terus-
terusan"!"
Setan Ngompol tertawa mengekeh hingga kucurkan air kencing. "Apa hubungan antara
pikiran, perasaan dan ngompol! Kalau aku ngompol itu suka-sukaku sendiri."
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Pada saat itulah mendadak ada suara orang
bernyanyi, suara perempuan.
Kemuning jangan cengeng
Anak kecil jangan menangis
Aku tahu kau haus dan lapar
Sabar jangan menangis
Sebentar lagi pasti ada air
Sebentar lagi pasti ada makanan
Ibu tahu kau rindu pada kakekmu
Ibu tahu kau kangen pada ayahmu
Kemuning sabar jangan menangis
Ayahmu memang jauh
Namun satu saat kita pasti bertemu
Setan Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng saling pandang. Si kakek tekap
bagian bawah perutnya. Meman-
dang berkeliling dia berkata. "Setahuku kawasan ini tidak ada demit atau jin
pelayangan..."
"Jin atau demit mana pandai bernyanyi," kata Wiro.
"Kalau memang manusia kita belum melihat orangnya.
Suaranya seperti masih anak-anak. Jangan-jangan tuyul perempuan. Aduh aku jadi
kepingin kencing!" kata Setan Ngompol sambil cepat-cepat pegangi bagian bawah
perutnya. Serr! Kencingnya keburu muncrat!
"Datangnya dari balik pohon besar yang menghadap ke lembah sana," ucap Wiro.
"Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan. Jangan mengganggu orang. Kalau jin dan
demit betulan mati kau dicekiknya, Kek!"
"Tunggu, aku penasaran mau lihat bagaimana raut wajahnya, bagaimana sosok
dirinya," kata Setan Ngompol pula. "Ayo kita jalan berputar agar bisa melihat
dari samping kanan."
Wiro terpaksa mengikuti maunya si kakek.
Dari balik serumpun semak belukar lebat di samping kanan pohon besar, Setan
Ngompol dan Wiro melihat seorang perempuan duduk sambil memangku sebuah boneka.
Sementara menyanyi dia usap-usap kepala boneka seperti mengusap anak sungguhan.
Perempuan ini begitu mudanya hingga seperti masih anak gadis belasan tahun.
"Wiro," bisik Setan Ngompol. "Melihat rambut yang awut-awutan kotor tak karuan,
baju dekil begitu rupa, wajah penuh debu, kaki tidak berkasut, menyanyi memangku
boneka, menurutmu apakah perempuan muda itu waras otaknya?"
"Aku tidak bisa menduga. Kasihan sekali kalau semuda itu otaknya terganggu,"
jawab Wiro. "Wiro! Astaga. Lihat dia membuka bajunya. Dia
mendekatkan kepala boneka kayu ke dada. Seperti ibu mau menyusui anak. Oala
putihnya..." Habis keluarkan ucapan, serrr! Tidak tahan Setan Ngompol kucurkan
air kencing. Suara Setan Ngompol yang memang agak keras sempat terdengar oleh perempuan muda
di bawah pohon yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili.
"Ssshhh, anakku, ada orang," ucapnya dan cepat-cepat merapatkan baju di sebelah
dada lalu bangkit berdiri.
Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba satu sosok hitam tinggi besar
mengerikan berkelebat dan tegak di hadapannya. Nyi Retno Mantili terpekik, kaget
dan takut namun kemudian tertawa cekikikan.
Di balik semak belukar, Wiro Sableng dalam kejutnya menatap terkesima tak
berkesip. Setan Ngompol
terkencing-kencing. Tangan kiri menekap aurat sebelah bawah, tangan kanan
pegangi lengan Wiro.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
9 RANG tinggi besar yang berdiri di depan Nyi Retno Mantili memiliki wajah
mengerikan seperti setan Okarena penuh cacat bekas guratan luka. Rambut kelabu
awut-awutan panjang sepundak. Pakaian sebentuk jubah panjang berwarna kelabu.
Dua tangan memakai sa-
rung kain berwarna hitam. Sekujur tubuh orang ini tampak bergetar, sepasang mata
memandang berkilat, hembusan nafas memburu panas. Ada gelegak niat jahat
terkutuk menguasai dirinya yang saat itu ingin dilampiaskan.
"Kemuning, jangan menangis. Aku tahu kau takut pada setan di depanmu. Aneh siang
terang begini rupa ada setan kesasar." Nyi Retno usap-usap dada boneka kayu lalu
meneruskan gerakannya hendak berdiri yang tadi tertahan. Namun si muka setan
ulurkan tangan menekan bahu kiri Nyi Retno Mantili.
"Anakku, setan ini rupanya hendak berbuat jahat pada kita." kata Nyi Retno lalu
tertawa cekikikan. Sekali dia goyangkan bahu, tangan kiri yang ada di pundaknya
terpental ke atas. Orang di hadapan Nyi Retno tersurut satu langkah, dalam hati
merasa terkejut. Sentakan yang dibuat perempuan berotak tidak waras itu
mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
Ketika orang mundur satu langkah, kesempatan ini dipergunakan Nyi Retno Mantili
untuk segera berdiri. Dia tegak dengan tangan kanan bertolak pinggang, tangan
kiri memegang boneka kayu, diarahkan pada orang di
depannya. Seolah boneka itu adalah senjata atau tameng pelindungnya.
"Kelihatan seperti gila, tapi berbahaya. Di balik debu yang mengotori mukanya
ada satu wajah cantik. Hmmm...
ada satu kenikmatan aneh luar biasa kalau aku bisa melampiaskan nafsuku yang
terpendam selama ini!
Dengan yang sudah-sudah aku tidak mampu. Melihat yang satu ini hasratku menyala
luar biasa. Siapa bilang aku kehilangan kejantanan! Kesembuhan telah datang atas
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diriku." Sekujur tubuh orang ini kembali bergetar keras.
Hembusan nafasnya semakin kencang dan panas.
"Nama anakmu Kemuning" Nama bagus. Aku terharu mendengar nyanyianmu tadi.
Bolehkah aku menggendong anakmu barang sebentar?"
Nyi Retno Mantili tertawa geli. "Ada setan punya perasaan. Mau menggendong
anakku. Hik... hik... hik!
Siapa tahu kau setan penculik!" Lalu perempuan ini membentak. "Pergi, jangan
berani mendekat!"
Orang bermuka seram malah melangkah mendekati
dan ulurkan tangan. Gerakannya seperti hendak meng-
ambil boneka kayu namun tiba-tiba plaakk! Tangannya yang terulur daratkan satu
tamparan keras ke pipi Nyi Retno. Perempuan ini terpekik. Tubuhnya melintir lalu
terbanting, jatuh terlentang di tanah. Darah mengucur di sudut bibir. Boneka
kayu masih ada dalam genggaman tangan kiri. Walau sakit yang diderita bukan
alang kepalang namun Nyi Retno malah sunggingkan senyum.
Getaran di tubuh orang bertopeng semakin menjadi-jadi.
Dalam pada itu dia merasa heran. Orang lain pasti cidera berat dan pingsan
dihajar tamparannya. Namun perem-
puan tidak waras bertubuh kecil ini ternyata mempunyai daya tahan kuat sekali.
Tiba-tiba orang ini menyergap kembali. Tangannya bergerak. Breett! Nyi Retno tak
sempat menghindar. Dada pakaiannya robek besar. Auratnya tersingkap. Perempuan
ini menjerit keras.
Di balik semak belukar Wiro pegang bahu Setan
Ngompol. "Kita tidak bisa tinggal diam. Makhluk jahanam itu jelas hendak
memperkosa perempuan gila yang memegang boneka!"
Setan Ngompol yang sibuk pegangi bagian bawah perut sebaliknya berkata. "Tunggu,
aku punya firasat jahanam itu tidak bakal mampu melaksanakan niat jahatnya.
Selain itu aku melihat ada orang sembunyi di balik pohon besar sana. Kita jangan
keluar dulu..."
Orang berwajah setan kembali ulurkan tangan. Kali ini yang diincar adalah
pakaian sebelah bawah Nyi Retno.
Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. Saat itulah tiba-tiba tubuh Nyi
Retno mencelat ke atas dan di lain kejap sungguh luar biasa, dia sudah berdiri
di salah satu cabang pohon besar di bawah mana dia duduk sebelumnya.
Kalau Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terkesiap melihat kejadian tak terduga
itu, lain halnya dengan orang bermuka setan. Nafsu bejat yang menguasai dirinya
membuat dia tidak lagi membaca keadaan dan menilai kemampuan orang. Sekali
jejakkan kaki ke tanah tubuhnya melesat sebat ke atas pohon.
Di atas cabang pohon, Nyi Retno Mantili berseru.
"Kemuning anakku! Ada orang jahat hendak mencelakai ibumu! Apakah kau akan
berdiam diri saja"!" Habis berkata begitu Nyi Retno pencet pinggang boneka kayu
yang dipegangnya di tangan kiri. Kejap itu juga dari dua mata boneka kayu
melesat keluar dua larik cahaya putih. Cepat sekali cahaya ini menyambar ke arah
dada orang di bawah pohon. Sesaat lagi akan mencapai sasaran tiba-tiba dua
cahaya lenyap. Orang yang diserang tersentak kaget dan ragu bertindak.
Bukkk! Bukkk! Cahaya yang lenyap ternyata telah berubah menjadi dua pukulan dahsyat menghantam
dada orang dengan telak. Inilah ilmu pukulan yang disebut Sepasang Cahaya Batu
Kumala yang didapat Nyi Retno dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tak ampun lagi,
didahului satu jeritan keras tubuh orang yang tengah melayang ke atas pohon ini
terpental ke bawah. Mulut semburkan darah segar. Tubuh jatuh bergedebuk,
tertelungkup di tanah.
"Luar biasa!" ucap Wiro.
Setan Ngompol menimpali. "Seumur hidup baru kali ini aku melihat ilmu kesaktian
berbentuk cahaya yang berubah menjadi gebukan. Siapa yang bisa menduga!
Astaga! Wiro! Lihat! Perempuan di atas pohon lenyap!"
Murid Sinto Gendeng memandang ke arah cabang
pohon. Memang benar, perempuan tidak waras yang memegang boneka tak ada lagi di
cabang pohon. Yang kelihatan di sana hanya kabut putih samar-samar. Untuk
melenyapkan diri meninggalkan tempat itu dan tidak mungkin dikejar siapapun, Nyi
Retno Mantili pergunakan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri yang juga
dipelajarinya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak timur.
Tertelungkup di tanah perlahan-lahan si muka setan berambut kelabu bergerak
bangun. Tangan kiri bersarung tangan hitam menyeka noda darah di dagu.
"Perempuan edan! Kulumat tubuhmu!" teriaknya marah sekali. Lalu dia melesat ke
udara, berjungkir balik satu kali dan akhirnya tegak berdiri di tanah. Tangan
kanan diarahkan ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili tadi berada. Jelas dia
hendak melepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Namun gerakannya tertahan karena orang yang hendak dihantam tak ada lagi di atas pohon
sana. "Perempuan keparat! Lari ke mana kau"!" teriak orang bertopeng sambil memandang
berkeliling siap meng-
hantam sekaligus juga ada rasa khawatir kalau dirinya akan dibokong.
"Kau yang keparat!" Satu suara membentak. Suara perempuan.
"Wiro lihat!" ucap Setan Ngompol yang berada bersama Pendekar 212 di balik
serumpunan lebat semak belukar.
Dia menunjuk ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili sebelumnya berada.
Saat itu di atas cabang pohon berdiri seorang nenek berwajah putih angker,
berambut hitam sepinggang, ber-
pakaian serba biru. Pandangan matanya menyorot ke arah orang bermuka cacat penuh
guratan luka, dua tangan dirangkap di atas dada.
"Perempuan kecil yang memegang boneka tadi telah berubah menjadi seorang nenek
angker!" kata Setan Ngompol sementara Pendekar 212 garuk-garuk kepala tapi
memperhatikan dengan mata tidak berkesip.
"Kalau memang dia berubah, seharusnya masih
memegang boneka. Nenek di atas pohon tidak memegang boneka..." Ucap Wiro
kemudian. "Mungkin sudah dimasukkan dalam saku pakaian, atau disimpan di mana," jawab
Setan Ngompol. Di atas cabang pohon nenek muka putih tiba-tiba tudingkan telunjuk tangan kiri
ke arah si muka setan.
"Kau!" teriaknya. Suara nyaring menggeledek. "Kemarin petang kau berada di desa
Kaligesing. Memperkosa seorang gadis kecil serta kakaknya lalu membunuh
keduanya! Sebelumnya kau juga telah melakukan per-
buatan keji serupa atas diri perempuan di beberapa desa.
Hantu Pemerkosa! Akui perbuatanmu dan aku akan memberikan kematian sedikit lebih
nyaman bagimu!"
Mendongak ke atas pohon mula-mula orang yang
dituding kelihatan terperangah heran. Namun kemudian dia keluarkan suara tawa
bergelak. "Tua bangka di atas pohon! Lagakmu seperti malaikat yang serba tahu
apa yang telah aku lakukan! Kau menyebutku Hantu
Pemerkosa. Sungguh satu kehormatan besar! Kalau saja kau berusia muda, walau
jelek aku masih mau
menidurimu! Ha... ha... ha!" Habis tertawa gelak-gelak si muka setan membentak.
"Nenek muka putih! Apakah kau jejadian dari perempuan yang tadi membawa
boneka"!"
Perempuan tua di atas pohon dongakkan kepala. "Aku bicara lain, kau bicara lain!
Aku sudah memberi kesem-
patan. Sayang kau menyia-nyiakan. Kematian memang harus merupakan akhir
mengenaskan bagi manusia bejat sepertimu!"
Dari mulut si nenek kemudian keluar suara raungan keras dan panjang seperti
suara lolongan serigala di rimba belantara. Walau saat itu pagi hari dan
matahari bersinar terang tak urung Wiro dan Setan Ngompol merasa merinding juga.
Sebaliknya si muka setan angkat tangan kanan lalu dipukulkan ke atas pohon. Tiga
larik sinar menderu ganas.
Tiga cahaya berkiblat. Di atas pohon suara raungan si nenek lenyap. Tangan kiri
dipentang, telapak mengembang diarahkan ke bawah pohon. Tangan kanan bergerak
menyingkapkan baju biru di bagian perut. Kelihatan perut putih disertai pusar
yang menonjol bodong. Serentak dengan itu lima jari tangan kiri membuat gerakan
meremas. Sesaat kemudian selarik sinar biru gelap mele-
sat keluar dari pusar bodong itu, menghantam ke arah tiga larik cahaya pukulan
sakti yang dilepaskan orang di bawah pohon.
Bumm! Buumm! Buumm!
Tiga dentuman dahsyat menggelegar. Pohon besar berderak-derak. Tanah bergetar.
Di udara lidah api ber-
percikan. Tiga larik sinar pukulan sakti musnah. Si muka setan menjerit keras.
Tubuh terpental dan jatuh punggung terbanting ke tanah. Lengan kirinya putus
kena disambar sinar biru yang keluar dari pusar bodong si nenek muka putih di
atas pohon. Sekali lagi perempuan tua itu pentang tangan kirinya.
Ketika dia kembali hendak menyibakkan baju biru di bagian perut tiba-tiba ada
suara mengiang masuk ke dalam telinga kirinya.
"Nyi Bodong, di mana kau. Lekas kembali!"
Gerakan nenek muka putih tertahan. "Kiai, saya tengah melakukan satu kebajikan.
Menghabisi seorang pemer-
kosa..." "Nyi Bodong, perbuatanmu sangat terpuji. Namun aku sudah mengingatkan. Jangan
keluar ke mana-mana sebe-
lum kau merampungkan ilmu yang akan aku wariskan!"
"Kiai, aku sudah membuktikan sendiri. Walau belum rampung tapi aku sanggup
menghajar si pemerkosa itu..."
"Nyi Bodong, jangan nakal. Turut apa kataku! Lekas kembali! Aku khawatir ada
orang mengikuti. Aku merasa-
kan selain kau dan si pemerkosa ada dua orang lain bersembunyi di tempat itu.
Mereka mungkin orang baik, tapi bisa juga punya maksud jahat..."
"Dengan ilmu Pusar Pusara yang Kiai berikan, saya tidak takut menghadapi
siapapun."
"Nyi Bodong, dalam rimba persilatan, takabur adalah langkah pertama dari
kekalahan. Ingat hal itu baik-baik.
Sekarang cepat laksanakan perintah. Bertindak selalu hati-hati, penuh waspada.
Kalau sampai ada orang yang tahu di mana kau berada semua urusan bisa jadi tak
karuan. Lekas kembali!" suara mengiang kembali memberi perin-
tah pada nenek muka putih yang dipanggil dengan sebutan Nyi Bodong.
"Kiai, saya mohon maafmu. Bukan niat saya untuk berlaku takabur. Saya hanya
merasa bangga mendapat kepercayaan Kiai hingga diwarisi ilmu kesaktian. Saya
segera kembali." Nenek muka putih memandang ke bawah pohon.
"Hantu Pemerkosa! Sayang aku ada kepentingan lain.
Kali ini lenganmu yang aku bikin buntung. Lain kali kalau bertemu, batang
lehermu yang akan aku tebas!"
Didahului suara tawa cekikikan keras dan panjang nenek di atas pohon melesat
lenyap. Di satu tempat ketika dia siap untuk berkelebat ke arah timur, tiba-tiba
dua orang muncul di depannya. Si nenek terkesiap kaget. Ingat akan ucapan jarak
jauh yang disampaikan sang Kiai. Wajahnya yang putih berubah menjadi merah.
"Dua manusia jelek! Kalian seperti sengaja mengha-
dang. Kalau kalian berani berbuat macam-macam, kalian akan celaka!" Walau jelas
membentak pada dua orang yang ada di hadapannya namun si nenek palingkan
wajahnya yang merah ke arah lain seolah melecehkan.
Dua orang yang barusan muncul yang bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan Setan Ngompol untuk beberapa ketika hanya
bisa tertegun melongo.
Sepasang mata si nenek mengerling. Wajahnya yang merah kembali berubah putih.
Lalu sekali balikkan diri nenek aneh ini lenyap laksana ditelan bumi.
"Sialan kita dibilang dua manusia jelek!" Setan Ngompol mengumpat. "Kalau
bertemu sekali lagi aku yakin bisa merayunya. Akan aku buat dia bertekuk lutut,
tergila-gila dan memuji aku sebagai kakek ganteng di seantero jagat!"
Wiro tersenyum. "Kek, aku perhatikan gerakannya benar-benar seperti setan.
Berkelebat lenyap. Membalik hilang! Apa tadi kau memperhatikan bagaimana muka
putih nenek itu berubah merah sewaktu dia melihat kita?"
"Merah berarti jengah. Aih, mungkin saja dia terpesona malu-malu melihat
kegantengan diriku!" kata Setan Ngom-
pol lalu tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah perutnya.
"Aku ingin mengejarnya!" kata Wiro. Saat itu seperti ada yang menggerakkan hati
sang pendekar. "Buat apa"!" tanya Setan Ngompol, "Kau tertarik pada pusarnya yang putih bodong"
Ha... ha... ha! Jangan membuat aku cemburu! Terus terang kalau bisa dan ada
kesempatan aku ingin menghisap pusar itu! Ha... ha... ha!
Pasti sedap dan siapa tahu aku bisa dapat sari ilmunya!
Ha... ha... ha!" Setan Ngompol terpingkal-pingkal dan tentu saja sambil kucurkan
air kencing. "Kek, ikuti aku!" kata Wiro seraya berlari ke tempat di mana orang bermuka setan
terkapar dalam keadaan tangan kiri buntung akibat disambar sinar biru yang
keluar dari pusar bodong nenek berwajah putih itu.
Namun sosok si muka setan berjubah kelabu tak ada lagi di tempat itu.
"Kabur!" ucap Setan Ngompol.
"Kutungan lengannya juga lenyap. Tadi aku lihat jatuh di sebelah sini." ujar
Wiro. "Aku menaruh curiga..."
"Curiga bagaimana?" tanya Setan Ngompol.
"Ketika orang berjubah kelabu melancarkan serangan ke arah nenek muka putih di
atas pohon, pukulan tangan kosongnya melesatkan tiga sinar. Kuning, hitam dan
merah. Aku ingat sekali Pangeran Matahari memiliki ilmu pukulan sakti bernama
Gerhana Matahari yang meman-
carkan sinar tiga warna seperti itu. Mungkin..."
"Mungkin saja makhluk seram tadi memang dia," kata Setan Ngompol. "Tapi suaranya
berbeda dengan suara keparat itu. Rambutnya kelabu, lalu wajahnya mengapa bisa
cacat mengerikan seperti itu?"
"Ketika rumah kayu di Seratus Tigabelas Lorong Kematian hancur lebur kita tidak
menemukan mayat Pangeran Matahari. Aku yakin dia masih hidup. Bangsat secerdik
Pangeran Matahari, satu hari dia bisa bertukar sepuluh wajah..."
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan"
Meneruskan perjalanan ke jurang seperti rencana semula.
Atau mengejar manusia muka setan yang disebut Hantu Pemerkosa itu. Atau mencari
tahu ke mana kaburnya si nenek yang punya pusar bodong putih berkilat?"
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala.
"Nenek muka putih tadi," kata Wiro pula. "Menurutmu apakah dia benar berubah
bentuk dari perempuan muda yang membawa boneka kayu?"
"Aku punya dugaan begitu," jawab Setan Ngompol. "Aku lebih suka kita mencarinya
daripada kembali ke jurang atau mengejar makhluk muka setan itu."
Wiro kembali menggaruk kepala. "Jika manusia muka setan berjubah kelabu itu
memang Pangeran Matahari, berarti perempuan muda membawa boneka memiliki
kepandaian luar biasa. Tidak sembarang orang mampu menghajar sang Pangeran
seperti itu. Lalu jika dia memang hendak menghajar Pangeran Matahari mengapa
harus berubah ujud menjadi nenek-nenek segala" Perempuan aneh. Ilmunya juga
aneh." "Nah, kau bingung kan" Juga bingung kita mau menuju ke mana?" Setan Ngompol
tertawa. "Sudah ikuti saja aku."
Lalu kakek ini tarik tangan murid Sinto Gendeng.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
10 ITA telusuri dulu apa yang terjadi dengan Wulan Srindi, murid Perguruan Silat
Lawu Putih yang telah Kdiperkosa dua orang dari Keraton Kaliningrat yaitu
Kuntorando dan Pekik Ireng. Setelah melarikan diri dari Jatilandak yang
sebenarnya telah menolongnya, gadis itu lari masuk ke dalam rimba belantara
sambil berteriak-teriak tiada henti. Peristiwa dahsyat yang menimpa dirinya
telah membuat jiwa dan pikiran gadis ini rusak hebat.
Keadaannya tidak beda dengan orang yang terganggu ingatan.
Di satu bagian rimba belantara redup karena ditumbuhi pohon besar berdaun lebat,
selagi berlari kencang tanpa arah sambil menjerit tiada henti, tiba-tiba satu
tangan panjang aneh seperti belalai gajah menjulai dari atas pohon, menggelung
pinggang Wulan Srindi. Saat itu juga suara jeritan si gadis lenyap. Seperti ada
yang menarik, tubuh Wulan Srindi melesat ke atas pohon, lalu dibawa berlari dari
satu pohon ke pohon lain hingga akhirnya lenyap di antara kelebatan dedaunan.
Jatilandak yang berusaha mengejar gadis ini kehilangan arah.
Di atas sebatang pohon, entah dari mana datangnya mendadak muncul seekor ular
besar berkulit hijau bermata merah, kepala mendongak, mulut terbuka, meluncur di
atas dahan siap mematuk batok kepala Wulan Srindi.
Hanya tinggal dua jengkal kepala ular terpisah dari kepala si gadis sekonyong-
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perawan Sesat 1 Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas Sumpah Palapa 25
lompatan dan kini hanya terpisah sepejangkauan tangan dari hadapan si nenek.
Walau nyalinya agak ciut namun Nyai Tumbal Jiwo pandai menyembunyikan. Nenek ini
membentak lantang.
"Perlu apa kau mendekati diriku! Aku melihat ada maksud mesum dalam matamu! Kau
tertarik padaku"!"
Wajah klimis di balik juntaian rambut, kumis dan janggut lebat Kiai Gede Tapa
Pamungkas tampak berubah merah mendengar ucapan Nyai Tumbal Jiwo.
"Kiai! Lekas menyingkir dari hadapanku! Tinggalkan tempat ini! Jangan kau berani
menyentuh tubuh istri Tumenggung itu. Apalagi berani membawanya! Hari ini aku
masih mau memberi pengampunan padamu! Tapi lain waktu jika kau berani unjukkan
muka di depanku, aku tak segan-segan merampas jiwamu. Kau akan aku kirim ke alam
roh. Di situ kau akan menjadi budak hamba sahaya-
ku! Pergi!"
Nyai Tumbal Jiwo dorongkan dua tangan ke arah si kakek.
Kiai Gede Tapa Pamungkas mendengar ada suara
bergemuruh seperti dua batu besar menggelinding deras ke arahnya. Sambaran angin
panas menderu membuat tubuh sang Kiai tergontai-gontai.
"Pukulan Angin Roh Pengantar Kematian! " ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengenali
serangan lawan. Dia pernah mendengar kehebatan pukulan ini. Walau tidak gentar
menghadapi namun kakek sakti dari telaga di puncak Gunung Gede ini cepat melesat
ke atas sampai satu tombak. Angin pukulan lawan menderu lewat, menghantam tebing
sungai di seberang sana hingga terbongkar longsor!
Nyai Tumbal Jiwo terkesiap kaget, tidak menyangka lawan bisa lolos dari serangan
mautnya tadi. Dia lebih terkejut lagi ketika merasakan dada kirinya berdenyut.
Ketika dia menunduk memperhatikan, makhluk dari liang kubur ini langsung
menjerit. Dia tidak merasakan sama sekali tidak menyadari kapan lawan
melancarkan serangan balik. Namun saat itu dada kirinya tahu-tahu kelihatan
menggembung merah.
"Tua bangka cabul! Beraninya kau menyentuh aurat terlarangku!" teriak si nenek.
Padahal yang diserang dan disentuh Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah bagian bahu
kiri di bawah tulang belikat. Namun akibatnya meng-
gembung sampai membengkakkan payudara kiri si nenek yang tadinya rada ceper.
"Jahanam! Lari ke mana kau!" teriak Nyai Tumbal Jiwo.
Dia melompat mengejar ke tepi sungai. Namun terlambat.
Kiai Gede Tapa Pamungkas telah berada jauh di sebelah sana, lari sambil
menggendong Nyi Retno Mantili. Seperti berlari di atas tanah, begitulah dia
berlari di atas air sungai menuju ke hulu.
"Jahanam pengecut!" maki si nenek. Kemudian dia memperhatikan dada kirinya yang
melembung merah. Lalu dia tertawa sendiri. "Sayang, cuma yang kiri yang menjadi
besar. Kalau dua-duanya. Hik... hik... hik. Aku akan lebih montok dari perawan."
Terbungkuk-bungkuk Nyai Tumbal Jiwo tinggalkan tempat itu. Sesekali diusapnya
dada kirinya yang mendenyut sakit. Mulut keluarkan ucapan. "Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Aku tidak rela kau buat jadi mainan seperti ini. Kelak aku akan ganti
membuatmu jadi barang mainanku! Kalau aku tidak sanggup menembus ilmu
kesaktianmu, jangan kau kira aku tidak sanggup menembus imanmu! Hik... hik...
hik!" Mengenai Kiai Gede Tapa Pamungkas, kakek sakti yang diam di dalam telaga di
puncak timur Gunung Gede kisahnya dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng episode
"Pedang Naga Suci 212" . Sang Kiai adalah guru dari Sinto Weni alias Sinto
Gendeng dan Sukat Tandika alias Tua Gila.
Kepada kedua muridnya itu dia mewariskan sebilah senjata berbentuk kapak yakni
Kapak Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212. Ternyata Sinto Weni bukan cuma
mengambil kapak sakti, dia juga membawa serta Pedang Naga Suci 212 dan
menyembunyikannya di satu tempat.
Pedang ini kemudian dipercayakan dan diserahkan pada Puti Andini. Setelah
hancurnya 113 Lorong Kematian dan meninggalnya Puti Andini untuk kedua kali,
pedang ditemukan. Pendekar 212 minta agar senjata mustika itu diserahkan pada
Sinto Gendeng namun ditolak oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sang Kiai membawa
senjata itu kembali ke puncak Gunung Gede.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
6 EJAK pagi angin barat bertiup kencang. Deburan ombak di pantai selatan
bergemuruh tiada henti. Di Sdalam goa Girijati Tumenggung Wira Bumi bersujud di
hadapan Nyai Tumbal Jiwo.
"Cukup, sudah saatnya kau harus pergi meninggalkan goa ini. Semua yang kau minta
padaku ada yang telah kesampaian dan ada yang bakal menjadi kenyataan. Yang
telah kesampaian kini kau memiliki ilmu kesaktian tinggi.
Tidak sembarang orang sanggup mengalahkanmu, yang akan menjadi kenyataan ialah
keselamatan, kedudukan atau jabatan serta harta melimpah ruah. Sekarang bangkit
dan duduk di hadapanku!"
Tumenggung Wira Bumi segera bangun dari sujudnya lalu duduk bersila di depan
makhluk alam roh yang serba merah mulai dari rambut sampai ke kaki. Nenek ini
kembangkan tangan kanannya yang sejak tadi digenggam.
Ternyata dalam genggamannya ada tiga helai daun sirih, tujuh kuntum bunga melati
dan sebongkah kecil
kemenyan. Setelah bunga melati dan kemenyan dimasukkan ke dalam lipatan tiga helai daun
sirih, si nenek menyerahkan lagi pada Tumenggung Wira Bumi. "Malam ini malam
Jum'at Legi. Saat yang paling baik dan ampuh untuk menyantap sirih, melati dan
kemenyan. Kunyah lumat-lumat dan telan!"
Tumenggung Wira Bumi lakukan apa yang
diperintahkan Nyai Tumbal Jiwo. Si nenek memperhatikan sambil mulutnya komat-
kamit melafalkan sesuatu. Setelah menelan sirih, melati dan kemenyan, Tumenggung
Wira Bumi merasa tubuhnya menjadi enteng hangat dan seolah berubah besar. Kepala
menyondak langit-langit goa. Tubuh si nenek dilihatnya menjadi kecil.
"Tumenggung, sirih kembang melati dan kemenyan yang barusan kau telan menjadi
kunci segala ilmu kesaktian yang telah kau dapatkan. Seumur hidup ilmu itu akan
mendekam dalam dirimu." Setelah diam dan
menatap wajah sang Tumenggung beberapa ketika, si nenek berwajah angker merah
keriputan melanjutkan ucapan. "Saat ini aku menyampaikan satu kabar buruk
padamu. Beberapa waktu lalu aku berhasil menyirap lewat pendengaran dan
penglihatan jarak jauh di mana beradanya Nyi Retno Mantili..." Si nenek
perhatikan wajah Wira Bumi. Wajah sang Tumenggung sama sekali tidak berubah
ketika nama istrinya disebut. "Aku berhasil menemuinya di satu tempat. Maksudku
akan kubawa menemuimu untuk kau habisi sesuai sumpahmu tempo hari. Aku ingin
urusan satu ini bisa tuntas lebih cepat.
Namun tidak disangka muncul seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Dia berhasil menghalangi niatku. Dia kemudian melarikan diri dan
istrimu bersamanya. Aku yakin dia menuju puncak Gunung Gede. Setahuku dia diam
di sebuah telaga. Urusan dendam kesumat dengan kakek ini biar aku yang
membereskan. Karena aku gagal membunuh, sesuai perjanjian kau tetap harus membunuh istrimu.
Kau harus pergi ke puncak Gunung Gede. Kau dan aku kini mengetahui bahwa
pembantumu Djaka Tua tidak melaksanakan perintah. Dia tidak membunuh bayi yang
dilahirkan Nyi Retno. Di mana dia sekarang berada, juga bayimu tidak diketahui.
Seperti ada satu kekuatan melindungi dirinya. Menjadi tugasmu mencari kedua
orang itu dan membunuh mereka!"
"Bagaimana dengan golok besar yang harus aku pakai untuk menggorok leher bayi?"
tanya Tumenggung Wira Bumi pula.
"Senjata itu raib. Mungkin ada pada Djaka Tua. Kau harus mendapatkan golok itu
karena memiliki tuah setelah menjadi bagian dari perjanjianmu! Kau boleh
membunuh anak perempuan dan istrimu tanpa mempergunakan golok itu." "Semua
perintah Nyai akan saya lakukan." Wira Bumi membungkuk dalam-dalam lalu berdiri.
"Sebelum Kau kembali ke gedung kediamanmu di
Kotaraja, kau harus berendam dulu di dalam laut sana sampai matahari tenggelam.
Setelah itu baru berangkat ke Kotaraja. Tapi ingat, kau tidak boleh masuk ke
dalam gedung kediamanmu sebelum lewat tengah malam. Dan untuk masuk ke dalam
gedung, kau harus lewat pintu belakang. Jangan sekali-kali masuk melalui pintu
depan. Kau mengerti, Tumenggung?"
"Aku mengerti Nyai. Terima kasih atas semua
petunjukmu. Terima kasih banyak atas semua yang telah kau berikan padaku. Kelak
aku akan kembali menemuimu untuk membalas budi baikmu."
"Kau tak perlu bersusah payah mencariku. Perjanjian antara kita sudah cukup.
Namun ada satu hal yang harus kau lakukan sebelum pergi..."
"Aku mengerti. Nyai minta saya berendam dalam air laut.."
Si nenek tersenyum, "Sebelum mandi berendam air laut, kau harus mandi berendam
keringat lebih dulu. Hal ini harus kau laksanakan setiap saat aku membutuhkan."
Si nenek hentikan ucapan. Sepasang mata memandang merah berkilat pada Tumenggung
Wira Bumi yang bertubuh kekar besar itu.
"Tumenggung, aku minta kau melayaniku sebelum
pergi. Puluhan tahun di dalam liang kubur rasanya sungguh menyebalkan."
Kejut Tumenggung Wira Bumi bukan alang kepalang.
Sama saja dia mendengar suara halilintar di depan mata!
Habis berkata si nenek langsung saja buka pakaiannya berupa kain merah yang melilit di tubuh. Tumenggung
Wira Bumi melangkah mundur. Wajahnya tampak gelap melihat sosok bugil si nenek.
Dia memperhatikan, payudara Nyai Tumbal Jiwo sebelah kiri ternyata sangat besar
sedang yang sebelah kanan datar nyaris licin.
"Nyai, hal ini tidak termasuk dalam perjanjian..."
Si nenek menyeringai, mata dikedipkan.
"Justru ini adalah patri indah dari perjanjian kita yang aku sebut Perjanjian
Dengan Roh."
"Nyai, aku mohon..."
"Tujuh bulan kau tidak menggauli perempuan. Apa otakmu tidak jadi buntu" Apa
dadamu tidak serasa rengkah" Apa urat-urat aliran darahmu serasa tidak
terbakar"! Lihat tubuhku, apa kau tidak tertarik?"
"Nyai, aku..."
Si nenek tempelkan tubuhnya ke tubuh Tumenggung Wira Bumi. Dua tangan merangkul
erat. Sang Tumenggung merasakan tubuhnya panas bergetar. Dalam penglihatan-
nya si nenek telah berubah menjadi seorang dara secantik bidadari.
Nyai Tumbal Jiwo tertawa panjang ketika Tumenggung Wira Bumi balas memeluk lalu
dengan penuh nafsu membaringkannya di lantai goa.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, giliranmu akan tiba..."
Ucap si nenek yang tidak sempat lagi terdengar oleh Tumenggung Wira Bumi akibat
nafsu yang telah membakar sekujur tubuhnya.
*** Dua belas purnama setelah bentrokan antara Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan Nyai
Tumbal Jiwo. Di tepi sebuah telaga di bagian timur puncak Gunung Gede, Nyi Retno
asyik bermain-main dengan boneka kayu yang dalam ketidakwarasannya menganggap
sebagai bayi atau anaknya. Sesekali terdengar suaranya tertawa senang.
Lain ketika dia menyanyi-nyanyi kecil. Lalu sesekali dia meratap menangis.
Dari bagian lain pinggiran telaga, Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah
mendatangi. "Nyi Retno aku gembira melihat kau senang sekali pagi ini. Kau tertawa-tawa, kau
menyanyi. Apakah kau sudah memberi makan anakmu yang lucu itu?"
"Kiai," ucap Nyi Retno yang saat itu rambut, tubuh dan pakaiannya kelihatan
bersih. Badannya tampak jauh lebih gemuk berisi dibanding pertama kali Kiai Gede
Tapa Pamungkas membawanya ke tempat itu setahun lalu.
Kulitnya bersih dan lebih putih. "Untung kau memberi ingat! Pagi ini aku memang
belum memberinya makan. Ibu macam apa aku ini. Ah, kasihan anakku..."
Dari sebuah kantong kain yang tergantung di pung-
gungnya Nyi Retno mengeluarkan sendok kayu. "Anak, ayo makan dulu. Makan yang
banyak agar kau gemuk dan sehat." Nyi Retno lalu menggerak-gerakkan tangan
kanan- nya yang memegang sendok seolah tengah mengaduk makanan. Lalu sendok itu
didekatkannya ke mulut boneka kayu. Demikian dilakukannya berulang-ulang. "Makan
yang banyak. Biar gemuk dan sehat," katanya setiap kali dia membuat gerakan
seperti menyuapi.
Kiai Gede Tapa Pamungkas memperhatikan dengan
perasaan haru. Dia mampu memberi kesembuhan pada sosok lahir perempuan yang
usianya belum mencapai tujuhbelas tahun itu. Dia mampu mewariskan beberapa ilmu
kesaktian. Namun ada satu hal yang sangat dirisaukannya. Walau Nyi Retno nampak
patuh dan selalu memperhatikan apa yang diucapkannya, namun dia tak pernah mampu
mengembalikan jalan pikiran Nyi Retno Mantili kembali waras seperti semula.
"Nyi Retno, sudah berapa usia anakmu sekarang?"
bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kalau aku tidak salah menghitung sudah satu tahun.
Eh, apa iya" Nah, mana tua anakku dengan Kiai?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. "Anak, sudah satu tahun kau masih belum
memberinya nama..."
Nyi Retno menatap sang Kiai lalu memandang boneka kayu sambil usap-usap
kepalanya. Wajahnya tampak sedih.
Air mata mengucur membasahi pipi.
"Kiai, aku memang sudah menyiapkan sebuah nama untuk anakku ini. Tapi takut
nanti ayahnya tidak setuju.
Aku pikir biar ketemu ayahnya dulu. Cuma aku tidak tahu di mana mencari ayah
anakku ini."
"Kalau kau memang sudah punya calon nama, ya
sudah disebut saja. Soal apakah ayahnya nanti setuju apa tidak, biar itu urusan
nanti. Nyi Retno, siapa nama yang sudah kau siapkan itu?"
"Mmmm... Kemuning." Jawab Nyi Retno Mantili pula.
"Singkat tapi bagus."
"Sejak kecil aku suka pohon kemuning. Buahnya bisa dipakai untuk mengkilapkan
kuku." "Mulai hari ini kita akan memanggil anak itu Kemuning.
Nama bagus, nama bagus..."
Nyi Retno angkat boneka yang dipegangnya tinggi-tinggi lalu menciumnya berulang
kali. Lalu dia berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, kau pernah bilang. Satu ketika aku boleh meninggalkan tempat ini. Kapan"
Hari ini, besok, lusa...?"
"Sebetulnya aku tetap ingin kau berada di sini sampai keadaan di luar benar-
benar aman bagimu dan puteri kecilmu itu."
"Aman bagaimana Kiai" Apa masih ada orang jahat yang ingin membunuhku" Nenek
rambut merah yang di sungai dulu" Aku tidak takut."
Kiai Gede Tapa Pamungkas memandang wajah Nyi
Retno penuh kagum. "Ternyata ingatannya ke masa lampau masih cukup jernih.
Semoga Tuhan memberi kesembuhan padanya..."
"Kiai, bukankah Kiai telah membekali diriku dengan berbagai ilmu kesaktian"
Selain itu ke mana aku pergi bukankah Kiai akan mengikuti, menjagaiku,
melindungi anakku. Kau harus menganggap anak ini sebagai cucumu, Kiai!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Sambil
mengusap kepala Nyi Retno orang tua ini berkata. "Tentu saja. Tentu saja anakmu
itu sudah kuanggap cucu sendiri.
Namun aku tidak mungkin selalu ada bersamamu..."
"Kalau begitu aku boleh pergi sendiri ke mana aku suka. Aduh, senangnya..." Nyi
Retno Mantili tertawa girang, berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.
"Belum saatnya Nyi Retno. Tunggulah beberapa lama lagi," kata Kiai Gede Tapa
Pamungkas dengan hati masgul.
"Kiai, kau jahat! Kau pembohong! Aku benci padamu!"
ucap Nyi Retno lalu lari ke dekat pohon.
Si orang tua mendatanginya, membujuk sambil
membelai rambutnya. Dia sering mengusap kepala dan membelai rambut Nyi Retno
sambil mengerahkan hawa sakti. Maksudnya untuk memberi kesembuhan, agar pikiran
Nyi Retno kembali waras. Namun kesembuhan itu tidak kunjung datang.
"Nyi Retno, aku akan masuk ke dalam telaga sebentar.
Tunggu di sini."
"Ya, aku akan tunggu di sini. Anakku mulai rewel.
Mungkin dia haus..." Jawab Nyi Retno Mantili.
Begitu si orang tua beranjak dari hadapannya, dia buka pakaiannya di bagian atas
lalu dekatkan bibir boneka ke dadanya.
Kiai Gede Tapa Pamungkas melangkah ke arah telaga yang airnya selalu
bergemericik seolah mendidih. Sampai di tepi telaga dia tidak berhenti melainkan
terus saja berjalan. Luar biasa! Ternyata kakek ini mampu berjalan di atas air!
Tepat di tengah telaga tiba-tiba besss! Sosok si orang tua raib ke dalam telaga.
Air telaga muncrat sampai setinggi dua tombak. Tak selang berapa lama Kiai Gede
Tapa Pamungkas muncul keluar dari dalam telaga. Di tangannya dia membawa sebuah
benda bergulung seperti sabuk. Benda ini bukan lain adalah Pedang Naga Suci 212.
Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, episode berjudul
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kematian Kedua", senjata sakti ini muncul di atas perut Puti Andini alias Yang
Mulia Sri Paduka Ratu yang saat itu telah menemui kematiannya yang kedua.
Pendekar 212 Wiro Sableng coba mengambil namun dia kedahuluan Kiai Gede Tapa
Pamungkas yang mendadak muncul di tempat itu. Selaku pemilik pedang dia
mengambil senjata tersebut dan menyimpan sampai ada seseorang yang layak
memegangnya. Agaknya hari itu Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa telah menemukan
orang yang cocok untuk diserahi pedang mustika itu. Yaitu Nyi Retno Mantili.
Namun darah orang tua ini agak berdesir ketika melihat Nyi Retno Mantili tak ada
lagi di bawah pohon di tepi telaga. Hatinya jadi tidak enak. Dia berteriak
memanggil berulang kali. Tak ada jawaban. Seluruh kawasan timur puncak Gunung
Gede diselidiki. Nyi Retno Mantili raib tanpa bekas.
Kiai Gede Tapa Pamungkas kembali ke telaga. Duduk di bawah pohon di mana Nyi
Retno terakhir kali duduk menyusukan anaknya. Gulungan Pedang Naga Suci 212
diletakkan di haribaan.
"Ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri. Dia pasti pergunakan ilmu yang aku ajarkan
itu untuk kabur dan menghilang..." Sang Kiai tarik nafas dalam. Lama orang sakti
ini tercenung. Kemudian senyum menyeruak di bibirnya. "Kalau benar dia
menggunakan ilmu itu untuk menghindari kejaranku, berarti lagi-lagi satu
kenyataan bahwa otak dan jalan pikirannya masih memiliki bagian-bagian
kewajaran." Kiai Gede Tapa Pamungkas memang sengaja mengajarkan ilmu kesaktian
untuk melenyapkan diri itu pada Nyi Retno agar dapat melindungi diri bila
sewaktu-waktu ada orang hendak berbuat jahat
terhadapnya. Kini ilmu itu justru dipergunakan untuk menyiasati dirinya. Orang
tua ini mengusap janggut panjangnya berulang kali sementara rambut putih
menjulai menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu tampak tersenyum kembali.
"Kalau dia ingat akan ilmu itu lalu mempergunakannya, berarti ada jalan pikiran
serta kesadaran dalam benaknya.
Ya Tuhan, lindungilah anak itu ke manapun dia pergi..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas pejamkan mata. Belum
berapa lama mata itu terpejam mendadak telinganya mendengar suara derap banyak
kaki kuda dipacu
mendatangi ke arah telaga.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
7 ALAU sepasang mata tertutup namun karena
memiliki kesaktian tinggi sulit dijajagi, Kiai Gede WTapa Pamungkas dapat
menduga berapa orang
saja yang datang dan berada di sekitar pohon besar di bawah mana dia duduk
bersandar. Lima orang penunggang kuda berada dalam satu kelompok. Orang keenam,
juga menunggang kuda berhenti di depan kelompok lima orang.
Kiai Gede Tapa Pamungkas terus saja picingkan mata.
"Orang tua, aku sudah tahu kau tidak tidur. Jadi tidak perlu berpura-pura," satu
suara besar dan keras memecah kesunyian di tepi telaga.
Mendengar teguran orang, Kiai Gede Tapa Pamungkas segera maklum kalau yang
barusan bicara adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia juga
merasakan dari nada suara itu yang bicara berada dalam ketidak-
sabaran, dan memandang penuh kebencian padanya.
Maka tanpa bergerak dan buka kedua mata, Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
"Tiada yang sangat memalukan dalam hidup ini selain kepura-puraan. Tamu gagah,
berpakaian kebesaran Kerajaan, yang baru datang dari jauh bersama lima
pengiring, kadang-kadang beban hati dan pikiran membuat seseorang hanya bisa
memejamkan mata. Sebaliknya ada orang yang beban hati dan pikiran yang selalu
menghantui dirinya membuat dia tak bisa memicingkan mata. Kedua orang itu tidak
menjalankan kepura-puraan. Contohnya kau dan aku saat ini. Tamu gagah dengan
hiasan bintang tersemat di belangkon warna biru, jika ucapanku tadi keliru harap
jangan diambil hati."
Penunggang kuda di sebelah depan dan lima pengiring jadi terkesiap dan tatap
wajah si orang tua lekat-lekat.
Hatinya berucap, "Sungguh luar biasa. Matanya dalam keadaan terpejam. Tapi tahu
kalau aku mengenakan pakaian kebesaran Kerajaan, diantar oleh lima pengawal.
Tahu warna belangkonku. Tahu pula hiasan bintang perak yang tersemat di
belangkonku. Tidak bisa tidak. Dia memang orang yang aku cari. Ciri-cirinya
sesuai dengan yang dikatakan Nyai."
"Orang tua, aku senang kau mengetahui aku datang dari jauh, bisa menduga siapa
diriku. Apakah engkau yang dipanggil orang dengan nama Kiai Gede Tapa Pamung-
kas?" "Tamu dari jauh, jika kau datang untuk mencariku, aku mengucapkan selamat datang
di puncak Gunung Gede."
Kiai Gede Tapa Pamungkas ambil benda bergulung di atas pangkuannya, buka kedua
mata lalu berdiri. Dia kini melihat jelas si penunggang kuda bersama lima
pengiring- nya. Keadaan mereka tidak berbeda dengan apa yang tadi diucapkannya dengan mata
terpejam. Sang Kiai sudah bisa menduga siapa adanya tamu yang datang bersama
lima pengawal ini.
Begitu mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas lelaki bertubuh besar,
berpakaian mewah dengan belang-
kon biru di atas kepala membuat gerakan sangat enteng.
Kalau tadi dia masih berada di punggung kuda maka kini hanya sekejapan mata saja
dia sudah berdiri di hadapan sang Kiai. Keluarbiasaan ini tentu saja tidak lepas
dari perhatian Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Orang gagah, jarang sekali tamu berkunjung ke tempat ini. Kedatanganmu tentu
membawa satu hal penting.
Harap kau suka memberi tahu. Selain itu apakah kau tidak ingin memperkenalkan
diri lebih dulu?"
"Namaku Wira Bumi. Aku Bendahara Kerajaan..."
"Ah, tidak sangka hari ini aku mendapat kehormatan dikunjungi seorang petinggi
Kerajaan. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah jabatan itu belum selang
berapa lama dipercayakan pada Yang Mulia?"
Kening Bendahara Wira Bumi yang sebelumnya adalah Tumenggung tampak mengerenyit.
Ucapan orang dirasa-
kannya mulai menyinggung, tidak enak. Namun karena punya kepentingan Wira Bumi
terpaksa menahan diri dan bertanya. "Orang tua, bagaimana kau tahu kalau aku
baru saja memangku jabatan itu?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. "Lekuk belang-
kon biru Yang Mulia masih bagus. Hiasan bintang perak tampak berkilat. Kelepak
pakaian Yang Mulia sangat rapi.
Kalau aku salah menduga harap dimaafkan."
Wira Bumi balas tersenyum.
"Sebagai yang punya tempat, kalau memang ada yang hendak dibicarakan, aku
mengundang Yang Mulia Benda-
hara untuk duduk bicara di sawung sebelah sana."
Wira Bumi perhatikan sebuah bangunan kecil tanpa dinding di pinggir timur telaga
yang dikatakan si orang tua.
"Aku lebih suka kita bicara di sini saja." kata Wira Bumi yang dulu Tumenggung
dan kini jabatannya telah naik setingkat Bendahara Kerajaan.
"Dengan senang hati. Katakanlah maksud kedatangan Yang Mulia," ujar Kiai Gede
Tapa Pamungkas pula.
"Aku mencari seorang perempuan. Masih teramat
muda. Usianya belum mencapai tujuhbelasan. Namanya Nyi Retno Mantili. Dikabarkan
selama ini dia berada di tempat ini bersamamu."
"Nyi Retno Mantili," ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas mengulang menyebut nama itu.
"Kabar yang didapat Yang Mulia benar sekali adanya. Hanya sayang, saat ini Nyi
Retno Mantili sudah tidak ada lagi di sini."
"Kiai, apa maksudmu dengan ucapan itu?" tanya Wira Bumi. Dia menatap tajam-tajam
ke wajah sang Kiai yang sebagian tertutup rambut panjang putih menjulai.
"Aku memberitahu perempuan yang dicari tidak ada lagi di tempat ini."
Wira Bumi memandang seputar telaga, memperhatikan sawung lalu kembali berpaling
pada orang tua di depannya.
Pejabat tinggi Kerajaan ini mulai merasa gusar. "Kiai, aku menaruh curiga kau
berdusta padaku."
"Kedustaan adalah permainan setan. Aku tidak suka dengan setan. Berarti aku
tidak berdusta. Nyi Retno Mantili pergi hanya beberapa saat sebelum Yang Mulia
dan para pengiring muncul di tempat ini."
"Dia pergi dengan siapa" Sendirian?"
"Dia pergi bersama Kemuning," jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kemuning" Siapa Kemuning?" tanya Wira Bumi
dengan muka berubah dan dada bergetar.
"Puterinya yang berumur satu tahun..."
Perubahan dan bahkan rasa terkejut kelihatan tambah jelas pada wajah Wira Bumi.
"Yang Mulia Bendahara, kau tak usah terkejut. Anak satu tahun bernama Kemuning
itu hanyalah sebuah boneka kayu yang manis, tapi sangat disayang oleh Nyi Retno
seperti anak sungguhan."
"Kiai, aku merasa kau tengah mempermainkan diriku.
Nyi Retno Mantili mempunyai seorang anak perempuan, manusia hidup, bukan boneka
kayu!" kata Wira Bumi.
Rahangnya menggembung. Pelipis bergerak-gerak. "Kiai, harap kau mau menceritakan
bagaimana Nyi Retno bisa berada di tempat ini.
Dengan tenang dan sambil tersenyum Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata. "Kau bisa
muncul di tempat ini, tentu ada yang memberi petunjuk. Apakah masih perlu aku
memberi keterangan" Bukankah makhluk roh sesat bernama Nyai Tumbal Jiwo itu yang
telah memberi tahu pada Yang Mulia Bendahara?"
Tampang Wira Bumi tampak menjadi merah. Sekali lagi dia memandang ke arah
keliling telaga dan sawung.
Kemudian berpaling pada lima pengawal dan memberi perintah. "Periksa sekeliling
telaga. Termasuk sawung itu.
Selidiki kalau ada jalan atau tempat rahasia. Jika kalian tidak menemukan apa-
apa bakar sawung itu!"
Dua alis Kiai Gede Tapa Pamungkas naik ke atas. Orang tua ini hanya tersenyum
mendengar perintah yang diucap-
kan Wira Bumi. Dia tidak mengatakan sesuatu atau berusaha mencegah. Tenang saja
dia memperhatikan lima pengawal sang pejabat tinggi Kerajaan memeriksa kawasan
telaga. Orang tua ini masih tetap tak bergerak di tempatnya ketika para pengawal
mulai membakar sawung.
Dalam waktu singkat bangunan di tepi telaga yang terbuat dari kayu yang telah
lapuk itu lumat tak berbentuk lagi.
"Kasihan, bangunan tempat aku bersembahyang dan memanjatkan doa kepada Yang Maha
Kuasa kini telah menjadi debu." Ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas cukup keras dan
terdengar oleh Wira Bumi.
Bendahara Kerajaan ini melangkah ke hadapan si orang tua. "Kiai, katakan di mana
kau menyembunyikan Nyi Retno dan puterinya!"
"Agaknya Yang Mulia Bendahara tadi kurang
mendengar dan memperhatikan. Bukankah aku sudah menerangkan bahwa Nyi Retno
Mantili meninggalkan tempat ini bersama puterinya yang boneka itu hanya beberapa
ketika sebelum Yang Mulia datang ke tempat ini." "Aku tidak perlu keterangan
tentang boneka jahanam itu! Aku menanyakan Nyi Retno Mantili dan anak
perempuannya!" teriak Wira Bumi.
"Yang Mulia, aku sudah memberi keterangan yang aku tahu. Jangan keliwat memaksa
karena aku tidak
berdusta..."
"Cukup!" hardik Wira Bumi. Dia berpaling pada lima orang pengawalnya. "Pengawal!
Tangkap orang tua ini!
Kalau melawan bunuh!"
"Aahh..." Sang Kiai rangkapkan dua tangan di depan dada. "Seorang pejabat tinggi
Kerajaan, yang punya kekuasaan, begitu mudahnyakah menyuruh menangkap bahkan
membunuh orang tua sepertiku?"
Walau ucapannya menyindir namun wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas dihiasi senyum.
Lima pengawal yang rata-rata bertubuh tinggi besar segera mengepung Kiai Gede
Tapa Pamungkas. Sang Kiai menyambut dengan ucapan, "Aku tahu kalian hanya
menjalankan perintah. Karena itu aku tidak akan berlaku kasar." Habis berkata
begitu sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas melesat ke atas hingga orang-orang yang
hendak meringkusnya hanya menangkap udara kosong.
Kelima pengawal ini, termasuk Wira Bumi melihat bagaimana tubuh orang tua sakti
itu melayang di udara, turun di telaga dan berjalan di permukaan air!
"Tua bangka sombong! Kau kira aku takut dengan peragaan ilmu kesaktianmu itu!"
Kata Wira Bumi. Sekali melesat tahu-tahu dia telah berada dan berdiri pula di
atas air telaga, menghadang langkah Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Seperti telah diketahui, setelah bersemedi di Goa Girijati untuk mendapatkan
ilmu kesaktian dari Nyai Tumbal Jiwo, salah satu ilmu yang diperoleh Wira Bumi
adalah ilmu berdiri dan berjalan di atas air yang disebut Kaki Roh Melanglang
Air. Kalau ilmu ini dipergunakan untuk berlari, maka kecepatan larinya di atas
rata-rata ilmu lari lain yang ada di rimba persilatan ataupun ilmu lari yang
disebut Seribu Kaki Menipu Jarak milik seorang sakti berjuluk Si Katai Bisu dan
telah lama menemui kematian.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul "Rahasia Lukisan Telanjang" ).
Kalau lima pengawal Wira Bumi terkagum-kagum
melihat kehebatan pimpinan mereka, tidak demikian halnya dengan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Dengan tenang dan masih penuh hormat dia berkata, "Yang Mulia, tak
sengaja kau berdiri tepat di tengah telaga. Tempat itu adalah alur jalanku masuk
menuju kediamanku di dalam telaga. Aku mohon kau beranjak dari situ."
Wira Bumi tertawa. "Kau takut menabrakku, Kiai" Aku tak akan menyingkir dari
tempat ini sebelum kau memberi tahu di mana Nyi Retno Mantili dan puterinya kau
sembunyikan. Selain itu ada satu persoalan yang harus kau pertanggungjawabkan.
Kau telah berlaku kurang ajar terhadap guruku. Kau telah berani meraba aurat
terlarangnya!"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lalu gelenggeleng kepala. "Kalau di darat aku
bicara kau tak percaya, mari kita bicara di dalam air. Udara di atas sini agak
panas. Di dalam air suasananya penuh kesejukan," kata Kiai penghuni telaga di puncak
timur Gunung Gede itu.
Wira Bumi sembunyikan rasa terkejutnya mendengar ucapan sang Kiai. Tantangan
orang tua itu tak mungkin dilayaninya. Walau dia mampu berdiri dan berjalan di
atas air, tapi masuk ke dalam air untuk bicara berlama-lama dia tidak mempunyai
ilmu kepandaian karena memang tidak dimiliki dan tidak diajari oleh Nyai Tumbal
Jiwo. Karenanya, ketika dua kaki Kiai Gede Tapa Pamungkas meliuk masuk ke dalam
air telaga, dengan cepat Wira Bumi melesat di permukaan air. Kaki sebelah kanan
menendang ke arah dada si orang tua.
Tendangan kaki Wira Bumi datangnya lebih cepat dari gerak meluncur tubuh Kiai
Gede Tapa Pamungkas ke dalam air. Wira Bumi menyeringai karena sesaat lagi
tendangannya pasti akan menghancur remuk bahkan bisa membunuh Sang Kiai. Namun
dengan tenang lawan
dilihatnya angkat tangan kiri. Telapak dikembang ke arah datangnya tendangan.
Saat itu juga Wira Bumi merasa ada satu kekuatan dengan daya dorong luar biasa
menghan- tam ke arah kaki kanannya yang menendang. Bendahara Kerajaan ini berteriak keras
ketika merasa kaki kanannya seolah kaku, tak bisa digerakkan lagi! Cepat dia
kerahkan hawa sakti. Begitu kepala sang Kiai hampir lenyap dari permukaan air
telaga, Wira Bumi menghantam dengan satu tendangan lagi, kali ini dengan kaki
kiri. Serangan Wira Bumi kalah cepat dengan gerakan
masuknya sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas ke dalam air.
Tiba-tiba Bendahara Kerajaan ini merasa ada tangan yang mencekal pergelangan
kaki kirinya. Sebelum dia bisa membebaskan diri tahu-tahu kakinya dibetot keras
sekali. Tak ampun pejabat tinggi ini amblas masuk ke dalam telaga!
Di dalam air, Wira Bumi berusaha lepaskan kakinya dari cekalan Kiai Gede Tapa
Pamungkas sambil tangan kanan melepaskan pukulan sakti bernama Angin Roh
Pengantar Kematian. Ilmu ini adalah salah satu dari sekian banyak yang didapat
Wira Bumi dari Nyai Tumbal Jiwo. Air telaga menggemuruh seolah ada benda raksasa
menggelinding dan berubah panas.
Di bagian bawah air telaga bersibak hebat. Di sebelah atas air muncrat sampai
setinggi dua tombak. Untuk beberapa saat telaga dan kawasan seanteronya bergetar
seperti digoyang gempa.
"Luar biasa," ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dalam hati. "Manusia satu ini telah
menguasai ilmu kesaktian perempuan alam roh itu cepat sekali." Sang Kiai segera
dorongkan tangan kanan ke atas sementara tangan kiri masih mencekal pergelangan
kaki Wira Bumi. Bendahara Kerajaan ini terkejut besar ketika suara menggelinding
membalik ke arahnya. Tubuhnya serta-merta menjadi panas. Selain itu nafasnya
mulai megap-megap karena memang dia tidak punya kekuatan atau ilmu bertahan lama
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam air. Tekanan udara panas yang begitu kuat membuat perlahan-lahan darah
mulai mengucur dari telinga dan hidung. Pemandangan mata mulai menggelap dan air
mulai masuk ke dalam mulut.
"Wira Bumi, ini satu peringatan bagimu. Jika kau masih berani unjukkan diri di
kawasan ini atau berani mencelakai Nyi Retno Mantili, aku akan membuat dirimu
masuk liang kubur bersatu dengan gurumu Nyai Tumbal Jiwo! Sekarang pergilah!"
Wira Bumi mendengar suara mengiang di telinganya.
Cekalan pada pergelangan kaki kiri lepas. Tubuhnya melesat ke atas permukaan air
telaga. Begitulah keadaannya. Kekuatan roh yang sangat ganas dan dahsyat di
permukaan bumi pada umumnya tidak punya daya di dalam air.
Setelah keluarkan ancaman Kiai Gede Tapa
Pamungkas yang tak punya niat memperpanjang urusan apalagi niat jahat untuk
membunuh segera melepaskan cekalannya di kaki orang. Sosok Wira Bumi yang berada
dalam keadaan pingsan naik mengapung ke atas.
Lima orang pengawal berseru kaget ketika tadi melihat sosok atasan mereka lenyap
masuk ke dalam air. Tiga di antara mereka yang pandai berenang siap terjun ke
dalam telaga. Namun niat itu menjadi batal sewaktu menyaksikan munculnya sosok
Wira Bumi yang kemudian mengapung di permukaan air. Sebagian muka dan kepalanya
tertutup darah. Tiga pegawal segera mencebur masuk ke dalam air lalu berenang
membawa tubuh Wira Bumi yang berada dalam keadaan pingsan di tepi telaga.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
8 ATAP tangis menyayat hati yang keluar dari rumah kayu berdinding kajang di
pinggir ladang membuat Rseseorang yang tengah berkelebat laksana terbang
hentikan lari. Saat itu hujan turun rintik-rintik. Orang ini tegak membelakangi
serumpun pohon bambu, mengena-
kan baju menyerupai kebaya panjang selutut dan celana ringkas. Baik baju maupun
celana sama terbuat dari bahan bagus dan berwarna biru gelap. Sesaat orang ini
mendo- ngak ke langit lalu menatap ke arah pintu rumah kayu yang terpentang. Rambut
panjang hitam kusut masai menjela sepinggang. Ratapan itu, ada dua orang yang
meratap. Dia bisa merasakan. Ada satu malapetaka besar menimpa penghuni rumah
kayu. Sang surya belum lama tenggelam. Udara yang buruk membuat kegelapan yang datang
lebih cepat menyelimuti kawasan desa pertanian di mana rumah kayu itu berada.
Memperhatikan ke arah rumah kayu, melihat pintu yang terpentang lebar, orang
berpakaian biru segera menda-
tangi. Langkahnya langsung terhenti ketika dia sampai di ambang pintu rumah.
Seorang gadis kecil berusia sekitar delapan tahun tenggelam dalam pelukan
seorang perempuan separuh baya yang menangis menggerung-gerung. Anak perempuan
ini nyaris tidak berpakaian dan ada noda darah di kepala, bahu serta perutnya.
Sekali memperhatikan saja orang berpakaian serba biru di ambang pintu sudah
maklum kalau anak perempuan itu tidak bernyawa lagi.
Di atas sebuah ranjang kayu beralas tikar, terbujur seorang gadis. Lehernya ke
bawah tertutup sehelai kain.
Hanya wajahnya yang tersembul kelihatan. Wajah ini penuh tanda siksaan, luka dan
noda darah. Seorang lelaki berambut putih memeluki dan meratapi si gadis yang
seperti gadis kecil satunya, sudah menjadi mayat.
Jerit tangis suami istri petani di dalam rumah kayu membuat tetangga terdekat
datang berlarian. Namun mereka tidak bisa masuk ke dalam rumah karena di pintu
terhalang oleh sosok orang berpakaian biru bagus yang ternyata adalah seorang
nenek bermuka putih pucat dan tidak satu orangpun mengenal siapa dia adanya.
"Bu-ne Pipit, apa yang terjadi?" seorang tetangga perempuan bertanya sambil
ulurkan kepala coba melihat ke dalam rumah.
Perempuan yang ditanya tidak menjawab, terus saja meratapi anak perempuan
delapan tahun yang ada dalam pelukannya.
"Suami istri petani, ada kejadian apa di rumah ini?"
Nenek berpakaian biru bagus keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan. Suaranya
perlahan tapi jelas.
Suami istri petani Kartosumekto kenal baik dengan semua tetangga. Saking
dekatnya mereka sampai tahu dan mengenali suara masing-masing. Kali ini
mendengar suara orang yang mereka tidak kenal, istri petani angkat wajahnya
sedikit, menatap ke arah nenek di ambang pintu lalu menangis kembali. Sang
suami, lelaki berambut putih juga angkat kepala, memandang ke arah si nenek.
Agak lama dia memandangi sebelum membuka mulut, berucap dengan suara lirih.
"Nenek muka putih, aku tidak kenal kau. Kau bukan penduduk sini. Siapa...?"
"Aku seorang pengelana Hamba Tuhan yang kebetulan lewat di sini. Aku mendengar
suara orang meratap. Siapa tahu aku bisa menolong..."
Mendengar ucapan nenek tak dikenal di ambang pintu, suami istri petani
menggerung keras. Dalam musibah yang sudah jatuh menimpa apa artinya lagi
pertolongan"
Pertolongan macam apapun tidak akan membuat kedua anak gadis yang mereka cintai
bisa hidup kembali.
"Tidak mungkin. Semua sudah terjadi. Dua anakku sudah jadi korban!" Kartosumekto
berkata setengah berteriak lalu kembali menggerung.
"Tenang, sabarkan hatimu, kuatkan iman. Tawakal kepada Tuhan..."
"Kami petani miskin. Selama ini tidak pernah lupa Tuhan! Tapi mengapa Gusti
Allah menjatuhkan percobaan begini berat, yang kami tidak bisa menanggungnya.
Apa dosa kesalahan kami"!"
Nenek berpakaian biru berambut awut-awutan tampak terdiam mendengar ratapan si
petani. Wajahnya yang putih pucat seperti membeku. "Bapak, tolong ceritakan apa
yang terjadi dengan dua anakmu."
"Mereka diperkosa lalu dibunuh!"
Kepala si nenek terangkat, wajah kaku membesi. Pen-
duduk yang ada di depan rumah tampak kaget dan takut.
"Kau tahu siapa pelakunya?" perempuan tua di ambang pintu ajukan pertanyaan.
"Siapa lagi kalau bukan makhluk bernama Hantu
Pemerkosa!"
Semua tetangga yang berada di tempat itu menjadi geger. Wajah mereka tambah
menunjukkan rasa takut amat sangat. Terlebih mereka yang punya anak gadis. Satu
per satu mereka tinggalkan tempat itu, kembali ke rumah masing-masing.
"Hantu Pemerkosa..." Nenek berpakaian biru
mengulang dalam hati. "Ini kali kedua aku mendengar nama itu. Apa benar ada
hantu yang bisa memperkosa?"
"Bapak," si nenek dekati tempat tidur, "Kau melihat perwujudan Hantu Pemerkosa
itu?" Si petani menggeleng. "Ketika aku kembali ke rumah malam ini, dua anak
perempuanku sudah tewas. Sebe-
lumnya sudah ada seorang gadis di desa ini yang juga diperkosa dan dibunuh."
"Kalau makhluk itu dijuluki Hantu Pemerkosa pasti ujudnya mengerikan. Pasti ada
yang pernah melihat wajahnya. Aku harus menyelidik sebelum dia lari jauh."
Kata nenek baju biru muka putih dalam hati.
"Bapak, aku turut berduka atas musibah yang kau alami. Sedikit pemberian ini
mungkin bisa membantu meringankan bebanmu." Si nenek lalu letakkan sekeping uang
perak di atas ranjang.
"Nenek, kau... kau ini siapa?" tanya Kartosumekto.
Namun perempuan tua berpakaian bagus biru itu telah berkelebat lenyap. Di luar
rumah hujan rintik-rintik mulai berubah menjadi lebat.
*** Pagi itu udara segar dan cerah sekali. Langit nyaris tak berawan. Bahkan sang
surya terasa nyaman menyentuh permukaan kulit. Setan Ngompol berjalan mengikuti
Wiro sambil mengomel.
"Hampir seratus hari kita malang-melintang kian kemari mencari gadis berambut
pirang itu. Jauh-jauh berada di sini sekarang kau ingin kita kembali ke jurang
yang ada air terjunnya itu. Mengapa" Bukankah kau sudah menyelidik sampai ke
dasar jurang dan kau tidak menemukan manusia atau setan sekalipun di tempat
itu." "Kek, aku punya perasaan aneh." jawab Pendekar 212.
"Walau aku sudah masuk ke dasar jurang, menyelidik dengan mempergunakan ilmu
Meraga Sukma segala, aku memang tidak menemukan gadis yang kita cari. Namun..."
"Namun apa?" ujar Setan Ngompol dengan mulut
dimonyongkan. "Apa kau tidak melihat kemungkinan.
Keterangan serta tanda-tanda yang diberikan Wulan Srindi pada kita mengenai
Bidadari Angin Timur bisa saja berlainan dengan kejadian sebenarnya. Melihat
bagaimana kecintaannya padamu, keinginannya menjadi murid Dewa Tuak serta
perseteruan diam-diam antara dia dan Bidadari Angin Timur, bisa saja Wulan
Srindi mengarang cerita.
Siapa tahu Bidadari Angin Timur memang tidak berada di dalam jurang yang ada air
terjunnya itu. Dia sengaja membuat cerita untuk menarik perhatianmu. Agar dia
bisa dekat denganmu."
Wiro jadi garuk-garuk kepala mendengar kata-kata si kakek.
"Dengar anak sableng," Setan Ngompol lanjutkan ucapan. "Aku tidak mau ikut kamu
jauh-jauh pergi ke jurang itu kembali."
"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Wiro pula yang membuat kakek tukang
ngompol itu terdiam sambil pegangi perut menahan kencing.
Melihat orang bimbang Wiro tersenyum. "Sebenarnya kalau ada Ratu Duyung kita
bisa meminta bantuannya."
"Bantuan bagaimana?" tanya Setan Ngompol pula.
"Ilmu Menembus Pandang yang diberikannya padaku, ilmu Meraga Sukma yang aku
dapat dari Nyi Roro Manggut tidak mampu menjajagi di mana beradanya Bidadari
Angin Timur. Ratu Duyung masih punya dua ilmu lagi yang bisa digunakan untuk
mengetahui ada tidaknya orang atau makhluk hidup di dalam jurang itu. Ilmu
pertama yakni mengandalkan cermin sakti bulat yang kau sudah pernah melihatnya.
Jika dengan cermin sakti itu masih tidak bisa tembus, maka dengan ilmu kedua
bernama Menyirap Detak Jantung pasti dia bisa mengetahui ada tidaknya makhluk
hidup di dalam jurang."
"Gadis cantik bermata biru itu..." ucap Setan Ngompol.
"Budinya tinggi, hatinya baik. Aku ingat bagaimana dia pernah memberikan ilmu
padaku untuk bisa bertahan lama di dalam air." Tiba-tiba si kakek hentikan
langkahnya. "Ada apa?" tanya Wiro.
"Kita berdua sudah jadi orang tolol! Kalau memang hanya Ratu Duyung yang mampu
membantu, mengapa kita tidak pergi mencarinya di pantai selatan?"
"Hal itu memang ada dalam benakku. Tapi kejadian dia pergi begitu saja dengan
berkata dusta padamu bahwa penguasa pantai selatan meminta dia datang, terus
terang aku jadi tidak enak hati. Dia punya ganjalan tertentu terhadapku."
"Di dalam kesulitan begini rupa segala perasaan hati dan ganjalan tidak perlu
dipikirkan. Bukankah gurumu Sinto Gendeng pernah mengajarkan ujar-ujar jangan
perasaan mengacaukan pikiran" Kau tidak mau minta bantuan gadis alam roh bernama
Bunga. Kau tidak suka minta pertolongan Ratu Duyung. Sementara kau tidak mampu
melakukan semuanya seorang diri."
"Pintarnya kau ngomong!" tukas Wiro. "Apakah kau sendiri pernah mengatur jalan
pikiran dan perasaanmu"
Kalau memang bisa mengapa kau ngompol terus-
terusan"!"
Setan Ngompol tertawa mengekeh hingga kucurkan air kencing. "Apa hubungan antara
pikiran, perasaan dan ngompol! Kalau aku ngompol itu suka-sukaku sendiri."
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Pada saat itulah mendadak ada suara orang
bernyanyi, suara perempuan.
Kemuning jangan cengeng
Anak kecil jangan menangis
Aku tahu kau haus dan lapar
Sabar jangan menangis
Sebentar lagi pasti ada air
Sebentar lagi pasti ada makanan
Ibu tahu kau rindu pada kakekmu
Ibu tahu kau kangen pada ayahmu
Kemuning sabar jangan menangis
Ayahmu memang jauh
Namun satu saat kita pasti bertemu
Setan Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng saling pandang. Si kakek tekap
bagian bawah perutnya. Meman-
dang berkeliling dia berkata. "Setahuku kawasan ini tidak ada demit atau jin
pelayangan..."
"Jin atau demit mana pandai bernyanyi," kata Wiro.
"Kalau memang manusia kita belum melihat orangnya.
Suaranya seperti masih anak-anak. Jangan-jangan tuyul perempuan. Aduh aku jadi
kepingin kencing!" kata Setan Ngompol sambil cepat-cepat pegangi bagian bawah
perutnya. Serr! Kencingnya keburu muncrat!
"Datangnya dari balik pohon besar yang menghadap ke lembah sana," ucap Wiro.
"Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan. Jangan mengganggu orang. Kalau jin dan
demit betulan mati kau dicekiknya, Kek!"
"Tunggu, aku penasaran mau lihat bagaimana raut wajahnya, bagaimana sosok
dirinya," kata Setan Ngompol pula. "Ayo kita jalan berputar agar bisa melihat
dari samping kanan."
Wiro terpaksa mengikuti maunya si kakek.
Dari balik serumpun semak belukar lebat di samping kanan pohon besar, Setan
Ngompol dan Wiro melihat seorang perempuan duduk sambil memangku sebuah boneka.
Sementara menyanyi dia usap-usap kepala boneka seperti mengusap anak sungguhan.
Perempuan ini begitu mudanya hingga seperti masih anak gadis belasan tahun.
"Wiro," bisik Setan Ngompol. "Melihat rambut yang awut-awutan kotor tak karuan,
baju dekil begitu rupa, wajah penuh debu, kaki tidak berkasut, menyanyi memangku
boneka, menurutmu apakah perempuan muda itu waras otaknya?"
"Aku tidak bisa menduga. Kasihan sekali kalau semuda itu otaknya terganggu,"
jawab Wiro. "Wiro! Astaga. Lihat dia membuka bajunya. Dia
mendekatkan kepala boneka kayu ke dada. Seperti ibu mau menyusui anak. Oala
putihnya..." Habis keluarkan ucapan, serrr! Tidak tahan Setan Ngompol kucurkan
air kencing. Suara Setan Ngompol yang memang agak keras sempat terdengar oleh perempuan muda
di bawah pohon yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili.
"Ssshhh, anakku, ada orang," ucapnya dan cepat-cepat merapatkan baju di sebelah
dada lalu bangkit berdiri.
Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba satu sosok hitam tinggi besar
mengerikan berkelebat dan tegak di hadapannya. Nyi Retno Mantili terpekik, kaget
dan takut namun kemudian tertawa cekikikan.
Di balik semak belukar, Wiro Sableng dalam kejutnya menatap terkesima tak
berkesip. Setan Ngompol
terkencing-kencing. Tangan kiri menekap aurat sebelah bawah, tangan kanan
pegangi lengan Wiro.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
9 RANG tinggi besar yang berdiri di depan Nyi Retno Mantili memiliki wajah
mengerikan seperti setan Okarena penuh cacat bekas guratan luka. Rambut kelabu
awut-awutan panjang sepundak. Pakaian sebentuk jubah panjang berwarna kelabu.
Dua tangan memakai sa-
rung kain berwarna hitam. Sekujur tubuh orang ini tampak bergetar, sepasang mata
memandang berkilat, hembusan nafas memburu panas. Ada gelegak niat jahat
terkutuk menguasai dirinya yang saat itu ingin dilampiaskan.
"Kemuning, jangan menangis. Aku tahu kau takut pada setan di depanmu. Aneh siang
terang begini rupa ada setan kesasar." Nyi Retno usap-usap dada boneka kayu lalu
meneruskan gerakannya hendak berdiri yang tadi tertahan. Namun si muka setan
ulurkan tangan menekan bahu kiri Nyi Retno Mantili.
"Anakku, setan ini rupanya hendak berbuat jahat pada kita." kata Nyi Retno lalu
tertawa cekikikan. Sekali dia goyangkan bahu, tangan kiri yang ada di pundaknya
terpental ke atas. Orang di hadapan Nyi Retno tersurut satu langkah, dalam hati
merasa terkejut. Sentakan yang dibuat perempuan berotak tidak waras itu
mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
Ketika orang mundur satu langkah, kesempatan ini dipergunakan Nyi Retno Mantili
untuk segera berdiri. Dia tegak dengan tangan kanan bertolak pinggang, tangan
kiri memegang boneka kayu, diarahkan pada orang di
depannya. Seolah boneka itu adalah senjata atau tameng pelindungnya.
"Kelihatan seperti gila, tapi berbahaya. Di balik debu yang mengotori mukanya
ada satu wajah cantik. Hmmm...
ada satu kenikmatan aneh luar biasa kalau aku bisa melampiaskan nafsuku yang
terpendam selama ini!
Dengan yang sudah-sudah aku tidak mampu. Melihat yang satu ini hasratku menyala
luar biasa. Siapa bilang aku kehilangan kejantanan! Kesembuhan telah datang atas
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diriku." Sekujur tubuh orang ini kembali bergetar keras.
Hembusan nafasnya semakin kencang dan panas.
"Nama anakmu Kemuning" Nama bagus. Aku terharu mendengar nyanyianmu tadi.
Bolehkah aku menggendong anakmu barang sebentar?"
Nyi Retno Mantili tertawa geli. "Ada setan punya perasaan. Mau menggendong
anakku. Hik... hik... hik!
Siapa tahu kau setan penculik!" Lalu perempuan ini membentak. "Pergi, jangan
berani mendekat!"
Orang bermuka seram malah melangkah mendekati
dan ulurkan tangan. Gerakannya seperti hendak meng-
ambil boneka kayu namun tiba-tiba plaakk! Tangannya yang terulur daratkan satu
tamparan keras ke pipi Nyi Retno. Perempuan ini terpekik. Tubuhnya melintir lalu
terbanting, jatuh terlentang di tanah. Darah mengucur di sudut bibir. Boneka
kayu masih ada dalam genggaman tangan kiri. Walau sakit yang diderita bukan
alang kepalang namun Nyi Retno malah sunggingkan senyum.
Getaran di tubuh orang bertopeng semakin menjadi-jadi.
Dalam pada itu dia merasa heran. Orang lain pasti cidera berat dan pingsan
dihajar tamparannya. Namun perem-
puan tidak waras bertubuh kecil ini ternyata mempunyai daya tahan kuat sekali.
Tiba-tiba orang ini menyergap kembali. Tangannya bergerak. Breett! Nyi Retno tak
sempat menghindar. Dada pakaiannya robek besar. Auratnya tersingkap. Perempuan
ini menjerit keras.
Di balik semak belukar Wiro pegang bahu Setan
Ngompol. "Kita tidak bisa tinggal diam. Makhluk jahanam itu jelas hendak
memperkosa perempuan gila yang memegang boneka!"
Setan Ngompol yang sibuk pegangi bagian bawah perut sebaliknya berkata. "Tunggu,
aku punya firasat jahanam itu tidak bakal mampu melaksanakan niat jahatnya.
Selain itu aku melihat ada orang sembunyi di balik pohon besar sana. Kita jangan
keluar dulu..."
Orang berwajah setan kembali ulurkan tangan. Kali ini yang diincar adalah
pakaian sebelah bawah Nyi Retno.
Rahang menggembung, geraham bergemeletakan. Saat itulah tiba-tiba tubuh Nyi
Retno mencelat ke atas dan di lain kejap sungguh luar biasa, dia sudah berdiri
di salah satu cabang pohon besar di bawah mana dia duduk sebelumnya.
Kalau Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terkesiap melihat kejadian tak terduga
itu, lain halnya dengan orang bermuka setan. Nafsu bejat yang menguasai dirinya
membuat dia tidak lagi membaca keadaan dan menilai kemampuan orang. Sekali
jejakkan kaki ke tanah tubuhnya melesat sebat ke atas pohon.
Di atas cabang pohon, Nyi Retno Mantili berseru.
"Kemuning anakku! Ada orang jahat hendak mencelakai ibumu! Apakah kau akan
berdiam diri saja"!" Habis berkata begitu Nyi Retno pencet pinggang boneka kayu
yang dipegangnya di tangan kiri. Kejap itu juga dari dua mata boneka kayu
melesat keluar dua larik cahaya putih. Cepat sekali cahaya ini menyambar ke arah
dada orang di bawah pohon. Sesaat lagi akan mencapai sasaran tiba-tiba dua
cahaya lenyap. Orang yang diserang tersentak kaget dan ragu bertindak.
Bukkk! Bukkk! Cahaya yang lenyap ternyata telah berubah menjadi dua pukulan dahsyat menghantam
dada orang dengan telak. Inilah ilmu pukulan yang disebut Sepasang Cahaya Batu
Kumala yang didapat Nyi Retno dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tak ampun lagi,
didahului satu jeritan keras tubuh orang yang tengah melayang ke atas pohon ini
terpental ke bawah. Mulut semburkan darah segar. Tubuh jatuh bergedebuk,
tertelungkup di tanah.
"Luar biasa!" ucap Wiro.
Setan Ngompol menimpali. "Seumur hidup baru kali ini aku melihat ilmu kesaktian
berbentuk cahaya yang berubah menjadi gebukan. Siapa yang bisa menduga!
Astaga! Wiro! Lihat! Perempuan di atas pohon lenyap!"
Murid Sinto Gendeng memandang ke arah cabang
pohon. Memang benar, perempuan tidak waras yang memegang boneka tak ada lagi di
cabang pohon. Yang kelihatan di sana hanya kabut putih samar-samar. Untuk
melenyapkan diri meninggalkan tempat itu dan tidak mungkin dikejar siapapun, Nyi
Retno Mantili pergunakan ilmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri yang juga
dipelajarinya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak timur.
Tertelungkup di tanah perlahan-lahan si muka setan berambut kelabu bergerak
bangun. Tangan kiri bersarung tangan hitam menyeka noda darah di dagu.
"Perempuan edan! Kulumat tubuhmu!" teriaknya marah sekali. Lalu dia melesat ke
udara, berjungkir balik satu kali dan akhirnya tegak berdiri di tanah. Tangan
kanan diarahkan ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili tadi berada. Jelas dia
hendak melepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Namun gerakannya tertahan karena orang yang hendak dihantam tak ada lagi di atas pohon
sana. "Perempuan keparat! Lari ke mana kau"!" teriak orang bertopeng sambil memandang
berkeliling siap meng-
hantam sekaligus juga ada rasa khawatir kalau dirinya akan dibokong.
"Kau yang keparat!" Satu suara membentak. Suara perempuan.
"Wiro lihat!" ucap Setan Ngompol yang berada bersama Pendekar 212 di balik
serumpunan lebat semak belukar.
Dia menunjuk ke cabang pohon di mana Nyi Retno Mantili sebelumnya berada.
Saat itu di atas cabang pohon berdiri seorang nenek berwajah putih angker,
berambut hitam sepinggang, ber-
pakaian serba biru. Pandangan matanya menyorot ke arah orang bermuka cacat penuh
guratan luka, dua tangan dirangkap di atas dada.
"Perempuan kecil yang memegang boneka tadi telah berubah menjadi seorang nenek
angker!" kata Setan Ngompol sementara Pendekar 212 garuk-garuk kepala tapi
memperhatikan dengan mata tidak berkesip.
"Kalau memang dia berubah, seharusnya masih
memegang boneka. Nenek di atas pohon tidak memegang boneka..." Ucap Wiro
kemudian. "Mungkin sudah dimasukkan dalam saku pakaian, atau disimpan di mana," jawab
Setan Ngompol. Di atas cabang pohon nenek muka putih tiba-tiba tudingkan telunjuk tangan kiri
ke arah si muka setan.
"Kau!" teriaknya. Suara nyaring menggeledek. "Kemarin petang kau berada di desa
Kaligesing. Memperkosa seorang gadis kecil serta kakaknya lalu membunuh
keduanya! Sebelumnya kau juga telah melakukan per-
buatan keji serupa atas diri perempuan di beberapa desa.
Hantu Pemerkosa! Akui perbuatanmu dan aku akan memberikan kematian sedikit lebih
nyaman bagimu!"
Mendongak ke atas pohon mula-mula orang yang
dituding kelihatan terperangah heran. Namun kemudian dia keluarkan suara tawa
bergelak. "Tua bangka di atas pohon! Lagakmu seperti malaikat yang serba tahu
apa yang telah aku lakukan! Kau menyebutku Hantu
Pemerkosa. Sungguh satu kehormatan besar! Kalau saja kau berusia muda, walau
jelek aku masih mau
menidurimu! Ha... ha... ha!" Habis tertawa gelak-gelak si muka setan membentak.
"Nenek muka putih! Apakah kau jejadian dari perempuan yang tadi membawa
boneka"!"
Perempuan tua di atas pohon dongakkan kepala. "Aku bicara lain, kau bicara lain!
Aku sudah memberi kesem-
patan. Sayang kau menyia-nyiakan. Kematian memang harus merupakan akhir
mengenaskan bagi manusia bejat sepertimu!"
Dari mulut si nenek kemudian keluar suara raungan keras dan panjang seperti
suara lolongan serigala di rimba belantara. Walau saat itu pagi hari dan
matahari bersinar terang tak urung Wiro dan Setan Ngompol merasa merinding juga.
Sebaliknya si muka setan angkat tangan kanan lalu dipukulkan ke atas pohon. Tiga
larik sinar menderu ganas.
Tiga cahaya berkiblat. Di atas pohon suara raungan si nenek lenyap. Tangan kiri
dipentang, telapak mengembang diarahkan ke bawah pohon. Tangan kanan bergerak
menyingkapkan baju biru di bagian perut. Kelihatan perut putih disertai pusar
yang menonjol bodong. Serentak dengan itu lima jari tangan kiri membuat gerakan
meremas. Sesaat kemudian selarik sinar biru gelap mele-
sat keluar dari pusar bodong itu, menghantam ke arah tiga larik cahaya pukulan
sakti yang dilepaskan orang di bawah pohon.
Bumm! Buumm! Buumm!
Tiga dentuman dahsyat menggelegar. Pohon besar berderak-derak. Tanah bergetar.
Di udara lidah api ber-
percikan. Tiga larik sinar pukulan sakti musnah. Si muka setan menjerit keras.
Tubuh terpental dan jatuh punggung terbanting ke tanah. Lengan kirinya putus
kena disambar sinar biru yang keluar dari pusar bodong si nenek muka putih di
atas pohon. Sekali lagi perempuan tua itu pentang tangan kirinya.
Ketika dia kembali hendak menyibakkan baju biru di bagian perut tiba-tiba ada
suara mengiang masuk ke dalam telinga kirinya.
"Nyi Bodong, di mana kau. Lekas kembali!"
Gerakan nenek muka putih tertahan. "Kiai, saya tengah melakukan satu kebajikan.
Menghabisi seorang pemer-
kosa..." "Nyi Bodong, perbuatanmu sangat terpuji. Namun aku sudah mengingatkan. Jangan
keluar ke mana-mana sebe-
lum kau merampungkan ilmu yang akan aku wariskan!"
"Kiai, aku sudah membuktikan sendiri. Walau belum rampung tapi aku sanggup
menghajar si pemerkosa itu..."
"Nyi Bodong, jangan nakal. Turut apa kataku! Lekas kembali! Aku khawatir ada
orang mengikuti. Aku merasa-
kan selain kau dan si pemerkosa ada dua orang lain bersembunyi di tempat itu.
Mereka mungkin orang baik, tapi bisa juga punya maksud jahat..."
"Dengan ilmu Pusar Pusara yang Kiai berikan, saya tidak takut menghadapi
siapapun."
"Nyi Bodong, dalam rimba persilatan, takabur adalah langkah pertama dari
kekalahan. Ingat hal itu baik-baik.
Sekarang cepat laksanakan perintah. Bertindak selalu hati-hati, penuh waspada.
Kalau sampai ada orang yang tahu di mana kau berada semua urusan bisa jadi tak
karuan. Lekas kembali!" suara mengiang kembali memberi perin-
tah pada nenek muka putih yang dipanggil dengan sebutan Nyi Bodong.
"Kiai, saya mohon maafmu. Bukan niat saya untuk berlaku takabur. Saya hanya
merasa bangga mendapat kepercayaan Kiai hingga diwarisi ilmu kesaktian. Saya
segera kembali." Nenek muka putih memandang ke bawah pohon.
"Hantu Pemerkosa! Sayang aku ada kepentingan lain.
Kali ini lenganmu yang aku bikin buntung. Lain kali kalau bertemu, batang
lehermu yang akan aku tebas!"
Didahului suara tawa cekikikan keras dan panjang nenek di atas pohon melesat
lenyap. Di satu tempat ketika dia siap untuk berkelebat ke arah timur, tiba-tiba
dua orang muncul di depannya. Si nenek terkesiap kaget. Ingat akan ucapan jarak
jauh yang disampaikan sang Kiai. Wajahnya yang putih berubah menjadi merah.
"Dua manusia jelek! Kalian seperti sengaja mengha-
dang. Kalau kalian berani berbuat macam-macam, kalian akan celaka!" Walau jelas
membentak pada dua orang yang ada di hadapannya namun si nenek palingkan
wajahnya yang merah ke arah lain seolah melecehkan.
Dua orang yang barusan muncul yang bukan lain
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dan Setan Ngompol untuk beberapa ketika hanya
bisa tertegun melongo.
Sepasang mata si nenek mengerling. Wajahnya yang merah kembali berubah putih.
Lalu sekali balikkan diri nenek aneh ini lenyap laksana ditelan bumi.
"Sialan kita dibilang dua manusia jelek!" Setan Ngompol mengumpat. "Kalau
bertemu sekali lagi aku yakin bisa merayunya. Akan aku buat dia bertekuk lutut,
tergila-gila dan memuji aku sebagai kakek ganteng di seantero jagat!"
Wiro tersenyum. "Kek, aku perhatikan gerakannya benar-benar seperti setan.
Berkelebat lenyap. Membalik hilang! Apa tadi kau memperhatikan bagaimana muka
putih nenek itu berubah merah sewaktu dia melihat kita?"
"Merah berarti jengah. Aih, mungkin saja dia terpesona malu-malu melihat
kegantengan diriku!" kata Setan Ngom-
pol lalu tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah perutnya.
"Aku ingin mengejarnya!" kata Wiro. Saat itu seperti ada yang menggerakkan hati
sang pendekar. "Buat apa"!" tanya Setan Ngompol, "Kau tertarik pada pusarnya yang putih bodong"
Ha... ha... ha! Jangan membuat aku cemburu! Terus terang kalau bisa dan ada
kesempatan aku ingin menghisap pusar itu! Ha... ha... ha!
Pasti sedap dan siapa tahu aku bisa dapat sari ilmunya!
Ha... ha... ha!" Setan Ngompol terpingkal-pingkal dan tentu saja sambil kucurkan
air kencing. "Kek, ikuti aku!" kata Wiro seraya berlari ke tempat di mana orang bermuka setan
terkapar dalam keadaan tangan kiri buntung akibat disambar sinar biru yang
keluar dari pusar bodong nenek berwajah putih itu.
Namun sosok si muka setan berjubah kelabu tak ada lagi di tempat itu.
"Kabur!" ucap Setan Ngompol.
"Kutungan lengannya juga lenyap. Tadi aku lihat jatuh di sebelah sini." ujar
Wiro. "Aku menaruh curiga..."
"Curiga bagaimana?" tanya Setan Ngompol.
"Ketika orang berjubah kelabu melancarkan serangan ke arah nenek muka putih di
atas pohon, pukulan tangan kosongnya melesatkan tiga sinar. Kuning, hitam dan
merah. Aku ingat sekali Pangeran Matahari memiliki ilmu pukulan sakti bernama
Gerhana Matahari yang meman-
carkan sinar tiga warna seperti itu. Mungkin..."
"Mungkin saja makhluk seram tadi memang dia," kata Setan Ngompol. "Tapi suaranya
berbeda dengan suara keparat itu. Rambutnya kelabu, lalu wajahnya mengapa bisa
cacat mengerikan seperti itu?"
"Ketika rumah kayu di Seratus Tigabelas Lorong Kematian hancur lebur kita tidak
menemukan mayat Pangeran Matahari. Aku yakin dia masih hidup. Bangsat secerdik
Pangeran Matahari, satu hari dia bisa bertukar sepuluh wajah..."
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan"
Meneruskan perjalanan ke jurang seperti rencana semula.
Atau mengejar manusia muka setan yang disebut Hantu Pemerkosa itu. Atau mencari
tahu ke mana kaburnya si nenek yang punya pusar bodong putih berkilat?"
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala.
"Nenek muka putih tadi," kata Wiro pula. "Menurutmu apakah dia benar berubah
bentuk dari perempuan muda yang membawa boneka kayu?"
"Aku punya dugaan begitu," jawab Setan Ngompol. "Aku lebih suka kita mencarinya
daripada kembali ke jurang atau mengejar makhluk muka setan itu."
Wiro kembali menggaruk kepala. "Jika manusia muka setan berjubah kelabu itu
memang Pangeran Matahari, berarti perempuan muda membawa boneka memiliki
kepandaian luar biasa. Tidak sembarang orang mampu menghajar sang Pangeran
seperti itu. Lalu jika dia memang hendak menghajar Pangeran Matahari mengapa
harus berubah ujud menjadi nenek-nenek segala" Perempuan aneh. Ilmunya juga
aneh." "Nah, kau bingung kan" Juga bingung kita mau menuju ke mana?" Setan Ngompol
tertawa. "Sudah ikuti saja aku."
Lalu kakek ini tarik tangan murid Sinto Gendeng.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
10 ITA telusuri dulu apa yang terjadi dengan Wulan Srindi, murid Perguruan Silat
Lawu Putih yang telah Kdiperkosa dua orang dari Keraton Kaliningrat yaitu
Kuntorando dan Pekik Ireng. Setelah melarikan diri dari Jatilandak yang
sebenarnya telah menolongnya, gadis itu lari masuk ke dalam rimba belantara
sambil berteriak-teriak tiada henti. Peristiwa dahsyat yang menimpa dirinya
telah membuat jiwa dan pikiran gadis ini rusak hebat.
Keadaannya tidak beda dengan orang yang terganggu ingatan.
Di satu bagian rimba belantara redup karena ditumbuhi pohon besar berdaun lebat,
selagi berlari kencang tanpa arah sambil menjerit tiada henti, tiba-tiba satu
tangan panjang aneh seperti belalai gajah menjulai dari atas pohon, menggelung
pinggang Wulan Srindi. Saat itu juga suara jeritan si gadis lenyap. Seperti ada
yang menarik, tubuh Wulan Srindi melesat ke atas pohon, lalu dibawa berlari dari
satu pohon ke pohon lain hingga akhirnya lenyap di antara kelebatan dedaunan.
Jatilandak yang berusaha mengejar gadis ini kehilangan arah.
Di atas sebatang pohon, entah dari mana datangnya mendadak muncul seekor ular
besar berkulit hijau bermata merah, kepala mendongak, mulut terbuka, meluncur di
atas dahan siap mematuk batok kepala Wulan Srindi.
Hanya tinggal dua jengkal kepala ular terpisah dari kepala si gadis sekonyong-
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perawan Sesat 1 Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas Sumpah Palapa 25