Perjanjian Dengan Roh 3
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh Bagian 3
konyong ada suara menyembur.
Wusss! Bau menyengat hidung menghampar. Ular besar men-
desis lalu byaaarr! Kepala binatang ini hancur bertaburan.
Tubuh ular seberat hampir seratus limapuluh kati ini sesaat bergelung melingkar,
bergelantungan di dahan pohon lalu perlahan-lahan merosot ke bawah dan jatuh
bergedebuk di tanah. Di atas pohon terdengar suara tawa mengekeh lalu menyusul
orang menenggak minuman penuh lahap.
Glukk... glukk... glukk!
Wulan Srindi buka mulut hendak memaki. Tetapi mulut itu tak bisa digerakkan dan
tak ada suara yang bisa dikeluarkan. Mata si gadis mendelik besar melihat wajah
merah seram orang yang memangku dirinya.
"Cah Ayu, berkulit hitam manis! Kau mau bicara apa"
Biar aku buka dulu jalan suaramu" Orang seram meneguk cairan di dalam sebuah
kendi. Lalu cairan ini disemburkan ke leher Wulan Srindi. Saat itu juga totokan
pada urat besar di leher yang membuat Wulan Srindi tak bisa bicara terbuka
musnah. Si muka seram berkulit merah tertawa.
"Nah, sekarang bicaralah sesukamu Cah Ayu!"
Begitu totokan lepas, mulut bisa digerakkan dan jalan suara kembali terbuka
langsung Wulan Srindi menghambur ucapan keras dan kasar. "Setan, dedemit, hantu
keparat! Lepaskan! Turunkan tubuhku ke tanah! Beraninya kau memangkuku! Kau mau berbuat
apa membawaku ke atas pohon! Kau mau memperkosaku"! Lepaskan! Turunkan aku ke
tanah!" Habis berkata begitu Wulan Srindi hendak berteriak namun mulutnya cepat
ditekap orang. Orang yang duduk memangku Wulan Srindi di cabang pohon tertawa mengekeh.
"Kalau saja kejadian ini puluhan tahun lalu ketika aku masih muda remaja,
mungkin aku akan tergiur melakukan apa yang kau katakan tadi! Memangku gadis
secantikmu, tubuh nyaris bugil, ha... ha... ha siapa tahan!"
"Jahanam! Kalau kau tidak segera melepaskan dan menurunkan aku ke tanah, aku
bersumpah menggeragot lehermu, menghisap darahmu!"
"Wah, wah... wah! Kau bukan gadis sejahat itu! Dengar, aku akan membawamu ke
satu tempat yang aman. Di situ kau bisa menerangkan apa yang telah terjadi pada
dirimu!" "Setan alas! Siapa sudi ikut denganmu!" teriak Wulan Srindi membuat orang yang
memangkunya geleng-geleng kepala.
"Pikiranmu sedang kacau. Aku bisa menduga. Ada satu kejadian dahsyat menimpamu!
Tidak ada salahnya kau ikutan minum agar pikiranmu bisa tenang kembali!"
"Setan, kau mau memberikan racun apa padaku"!
Tidak apa! Aku lebih baik mati daripada hidup tersiksa seumur-umur!" teriak
Wulan Srindi ketika dia melihat sebuah kendi tanah berwarna hitam didekatkan ke
mulutnya. "Aku bukan setan, bukan demit, bukan hantu. Aku adalah iblis! Iblis! Kau
dengar"! Ha... ha... ha! Ayo buka mulutmu lebar-lebar. Minum biar banyak!"
Wulan Srindi merasa ada jari-jari tangan menekan lehernya, membuat dia terpaksa
membuka mulut. Lalu dari dalam kendi hitam mengucur cairan menebar bau keras
menyengat pernafasan. Wulan Srindi merasa mulutnya seperti disengat api ketika
cairan itu melewati tenggo-
rokannya. Dia berusaha menyemburkan, berusaha memaki namun semakin banyak cairan
panas masuk ke dalam mulut. Dada serasa terbakar, kening mendenyut sakit,
pandangan mata sebentar terang sebentar gelap. Bahkan dia merasa sepasang
matanya seperti mau melompat keluar. Wajahnya yang berkulit hitam manis
kelihatan sangat merah. Dari tenggorokan keluar suara glek, glek, glek sementara
dada yang tidak tertutup bergerak naik turun. Dalam keadaan seperti itu, akibat
minuman sangat keras yang masuk ke dalam perut akhirnya Wulan Srindi kehilangan
ingatan, jatuh pingsan. Orang yang memang-
kunya tertawa mengekeh. Kendi kosong dibuang, tubuh Wulan Srindi diletakkan di
bahu kiri. Sekali berkelebat dia sudah berada di tanah lalu melarikan si gadis
ke arah utara. *** Ketika siuman dari pingsan, Wulan Srindi dapatkan dirinya terbaring di atas
ranjang kayu beralaskan tikar jerami. Memandang berkeliling ternyata dia berada
dalam sebuah kamar berdinding kayu. Di kaki ranjang, ada seperangkat pakaian
terdiri dari baju dan celana panjang berwarna biru pekat. Wulan sadar keadaan
dirinya yang nyaris telanjang. Tanpa pikir panjang dia segera ambil pakaian di
tepi ranjang dan cepat mengenakannya.
Pakaian itu terdiri dari sehelai celana panjang ringkas serta baju berbentuk
kebaya dalam selutut.
Selesai berpakaian Wulan melangkah ke sebuah
jendela terbuka di dinding kiri ruangan. Begitu memandang keluar gadis ini
melengak kaget. Betapa tidak. Dia dapatkan bangunan di mana dia berada saat itu
ternyata terletak di atas satu pohon tinggi dan besar. Tak jauh dari seberang
sana ada satu pohon besar. Di pohon itu terdapat pula sebuah bangunan kayu.
Wulan melihat ada pintu dan jendela dalam keadaan tertutup.
Wulan sekali lagi memandang seputar ruangan.
Ternyata di situ juga ada sebuah pintu. Cepat-cepat pintu dibukanya dan si gadis
keluarkan suara tertahan karena begitu pintu terbuka dia langsung berhadapan
dengan tempat kosong. Kalau sebelumnya ada orang tinggal di situ bagaimana dia
naik dan turun" Wulan tidak melihat tangga dan alat lain yang bisa dipakai untuk
turun ke tanah.
"Gila! Rumah di atas pohon. Bagaimana aku bisa berada di sini"!" Wulan Srindi
berpikir. Kemudian malah tertawa dan menjerit. Pikirannya kacau. Dia coba lagi
mengingat-ingat. Ada seorang lelaki bermuka seperti dedemit, mencekokkan minuman
keras ke dalam mulutnya. "Makhluk seram yang mengaku iblis itu, di mana dia"
Mungkin dalam bangunan di pohon sana" Pasti dia sengaja menyekapku di sini!"
Wulan Srindi tegak terdiam.
Memandang ke bawah, tengkuknya terasa gamang.
Beberapa saat kemudian air mata meluncur di pipinya.
Tiba-tiba gadis ini menjerit, lalu duduk di salah satu sudut rumah kayu menekapi
wajah yang kotor dan pucat. Dia menjerit sampai suaranya parau. Begitu dia tak
mampu lagi menjerit kini berganti suara tangisnya yang terdengar berkepanjangan
menyayat hati. Wulan Srindi tidak sadar berapa lama dia dalam keadaan seperti itu. Gadis ini
baru hentikan tangis ketika mendadak dia mendengar ada orang bersiul-siul
diseling tawa bergelak. Wulan berdiri. Melangkah ke pintu, memandang ke bawah.
Di antara kerapatan cabang dan ranting serta daun pohon dia melihat seorang
bermuka seram seperti setan, bertubuh gemuk pendek melangkah sambil bersiul-
siul. Kulit muka dan tubuhnya tampak merah. Sambil berjalan sesekali dia meneguk
minuman yang ada dalam kendi hitam. Orang ini mengenakan baju longgar dan celana
komprang hitam. Di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar digelantungi
selusin kendi hitam. Sebagian sudah kosong sebagian lagi masih terisi penuh
minuman keras terbuat dari ketan kesukaannya.
Langkahnya aneh, huyung kiri oleng kanan. Terkadang seperti mau terjerembab
jatuh ke depan, sesekali seperti mau terjengkang ke belakang. Keadaannya tidak
beda dengan orang tengah mabuk berat.
"Dedemit muka merah! Dia yang mencekoki dengan minuman celaka itu! Selagi aku
tidak sadar jangan-jangan dia telah melakukan perbuatan keji atas diriku!" ucap
Wulan Srindi. "Biar mampus dia sekarang!"
Wulan Srindi meraba pakaiannya. Seperti diketahui sebagai murid Perguruan Lawu
Putih dia pernah membekal sejenis senjata rahasia berbentuk bulat berduri,
terbuat dari tembaga kuning yang disebut Elmaut Kuning. Meraba sekujur lekuk
pakaiannya tentu saja Wulan tidak menemu-
kan lagi senjata rahasia itu. "Sial! Hilang di mana"!" Wulan memaki sendiri.
Rahang menggembung. Sepasang mata berkilat tak berkesip ke bawah sana. Tiba-tiba
gadis ini angkat tangan kanannya. Didahului jeritan keras tangan itu dihantamkan
ke bawah, ke arah orang gemuk pendek yang tengah berjalan sambil bersiul-siul
dan sesekali meneguk minuman keras dalam kendi tanah warna hitam. Satu gelombang
angin dahsyat menderu dari rumah kayu di atas pohon.
Wusss! Kraak! Braak!
Ranting-ranting pohon berpatahan. Tiga dahan hancur dan dedaunan luruh
beterbangan. Wulan Srindi telah melepas satu pukulan mengandung tenaga dalam
tinggi disebut Menyapu Bukit Menjebol Lembah.
" Hai! Setan alas dari mana berani membokongku"!"
Teriak si gemuk pendek di bawah pohon. Walau tubuhnya tampak huyung seperti
orang mabuk namun begitu ada serangan ganas menyambar tubuh itu meliuk ke depan
seperti mau jatuh. Angin pukulan sakti lewat di atas pung-
gung. Si muka merah seram teguk minuman dalam kendi.
Byaarrr! Tanah di samping kiri orang gemuk pendek berwajah seram merah terbongkar
membentuk satu lobang besar berwarna hitam! Orang ini tertawa bergelak lalu
sambil meneguk minuman keras dalam kendi sepasang matanya melirik ke atas pohon.
"Hekk!"
Orang berwajah seram ini keluarkan suara tercekik.
"Oala, Cah Ayu! Kau rupanya yang punya pekerjaan nakal! Awas akan aku puntir
telingamu! Kalau perlu aku gebuk pantatmu!"
Habis berkata begitu si gemuk berkulit merah ini gantungkan kendi hitam ke
pinggang lalu sekali berkelebat tubuhnya melesat ke arah rumah di atas pohon!
Di depan pintu rumah di atas pohon Wulan Srindi menjerit keras lalu tubuhnya
melayang ke bawah. Tangan kiri mendekap dada, tangan kanan yang dalam keadaan
mengepal diarahkan pada orang gemuk pendek yang melesat dari arah berlawanan.
Sesaat lagi pasti akan terjadi tabrakan hebat antara kedua orang itu!
"Oala, anak edan! Apa yang kau lakukan"! Kau mau mati barengan apa"! Ha... ha...
ha!" WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
11 ANYA sepejangkauan lagi dua orang itu akan berta-
brakan hebat di udara, tiba-tiba sosok si gemuk Hmuka seram meliuk miring ke
kanan. Tangan kirinya secara aneh berubah panjang, menggelung pinggang Wulan
Srindi. Berbarengan dengan itu jari-jari tangan kanan menotok urat besar di
punggung. Saat itu juga sekujur tubuh Wulan Srindi menjadi kaku. Kini nanya
mulutnya saja yang mampu berteriak-teriak.
Sampai di dalam rumah kayu di atas pohon, si gemuk muka merah bercelana komprang
hitam lemparkan Wulan Srindi hingga terduduk di sudut ruangan.
"Manusia muka setan! Lepaskan totokan di tubuhku!
Aku ingin membunuhmu!"
Orang yang dimaki ambil kendi hitam lalu meneguk isinya dengan lahap sampai
berlelehan di dagu dan membasahi baju sementara dua matanya mengawasi Wulan
Srindi. "Kenapa kau ingin membunuhku"!" tanya si gemuk sambil menyeka mulut.
"Sewaktu aku pingsan kau pasti telah mencabuliku!"
Kendi hitam di tangan si gemuk melesat ke depan.
Braakkk! Kendi remuk hancur di dinding hanya satu jengkal di atas kepala Wulan
Srindi. Pecahan kendi bertaburan dan minuman keras membasahi rambut, wajah dan
sebagian pakaiannya. Si gadis terdiam namun kemudian tertawa cekikikan.
"Edan! Baru sekali ini aku menghadapi orang edan!
Perempuan lagi! Kalau hati tidak kasihan, kalau tidak ingin menolong, perduli
setan aku mau mengurusi!"
Wulan Srindi hentikan tawanya. Dua matanya menatap garang ke arah si gemuk
pendek bermuka merah.
"Kau kasihan"! Ingin menolong"! Mau mengurusi"!
Hik... hik... hik! Manusia bermuka wajar saja hatinya bisa sejahat setan!
Apalagi kau yang punya muka setan! Hatimu pasti sejahat iblis!"
"Cah Ayu! Ucapanmu membuat aku tersinggung. Cukup aku melihatmu sampai di sini!"
Orang itu ambil satu kendi yang tergantung di pinggang. Minum bergelegukan.
Masih tinggal setengah kendi dibanting ke lantai. Lalu dia melangkah ke pintu.
"Hik... hik! Setan bisa juga ngambek!"
Ucapan Wulan Srindi membuat si gemuk hentikan
langkah dan berpaling. Lalu tertawa gelak-gelak. Si muka merah ini rupanya punya
sifat lekas marah tapi cepat pula baik.
"Manusia muka kepiting rebus. Kau ini siapa
sebenarnya?" bertanya Wulan Srindi.
"Aku manusia gelandangan! Tukang mabuk!"
"Sebelumnya kau bilang dirimu adalah iblis!" kata Wulan Srindi pula.
"Kau boleh menyebut aku apa saja! Asal jangan
menuduh aku yang bukan-bukan!"
"Hik... hik... Dirimu mengingatkan aku pada guruku!"
"Siapa gurumu" Kau sendiri..."
"Kau akan terkejut kalau tahu siapa guruku. Apalagi tahu siapa diriku!"
"Cah Ayu, seumur hidup tidak ada satu manusia yang bisa membuat aku terkejut!
Hanya satu hal yang bisa membuat aku terkejut!"
"Hik... hik! Apa"!" tanya Wulan Srindi pula.
"Kalau minuman keras sari ketan kedoyananku tak ada lagi di dunia! Ha... ha...
ha!" Si gemuk ini hendak mengambil satu kendi yang masih penuh berisi minuman
keras namun tak jadi. "Eh, kau belum menerangkan siapa gurumu, siapa dirimu."
"Aku adalah murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!"
Wajah merah si gemuk pendek kelihatan tambah
merah. "Nah, sekarang kau ternyata bisa kubuat terkejut! Hik...
hik... hik!"
"Siapa bilang aku terkejut"!" jawab orang di hadapan Wulan Srindi lalu sambung
ucapannya. "Aku tahu kau dusta. Karena rimba persilatan tahu kalau manusia
berjuluk Dewa Tuak cuma punya seorang murid. Kalau tak salah bernama Anggini.
Padahal, tidak banyak diketahui orang, sebenarnya selain Anggini kakek itu juga
punya murid lain. Perempuan, aku lupa namanya. Tapi yang jelas bukan kau!"
"Kau bisa saja mengarang cerita. Yang jelas banyak peristiwa terjadi dalam rimba
persilatan. Selama ini rupanya kau tidak pernah menyimak kabar. Kau mungkin
hanya sibuk dengan kendi hitammu itu. Kau pasti terkejut kalau aku katakan
diriku adalah jodoh dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede!"
"Jodoh dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng!"
mengulang si muka seram berkulit merah dengan kening mengerenyit lalu tertawa
mengekeh. Ternyata manusia satu ini memang sulit dibikin terkejut. "Ngacok! Kau
bicara apa Cah Ayu! Semua orang tahu kalau pendekar yang kau sebutkan sudah
dijodohkan dengan Anggini. Hanya saja perjodohan itu memang tidak ketahuan
juntrungannya sampai saat ini..."
"Karena tidak ketahuan juntrungan itulah maka Sinto Gendeng memutuskan aku
pengganti Anggini untuk jodoh muridnya," potong Wulan Srindi dengan wajah
senyum-senyum. "Cah Ayu, jangan kau menganggap aku ini makhluk tolol. Jangan kau kira aku tidak
kenal dengan Pendekar 212!"
"Kalau begitu kelak kau bisa kujadikan saksi
pernikahanku. Hik... hik... hik! Kau bersedia bukan?"
"Ngacok! Lebih baik kau ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Apa yang terjadi dengan diriku?" Wulan Srindi terdiam.
Lalu butir-butir air mata perlahan-lahan meluncur turun ke pipinya.
"Oala, kok malah mewek, nangis?"
"Aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi. Terlalu keji, terlalu memalukan."
"Kalau kau mau cerita siapa tahu aku bisa menolong."
"Aku tidak butuh pertolonganmu..."
"Kau sudah menerima sebagian dari pertolonganku,"
kata si muka merah sambil senyum-senyum.
"Kau mau minta imbalan"!"
"Jangan bicara ngacok lagi, Cah Ayu."
"Aku korban kebejatan dua manusia biadab..." Wulan Srindi ingin menekap wajahnya
dengan kedua tangan.
Namun karena masih dalam keadaan tertotok hal itu tak bisa dilakukan. Gadis
malang ini akhirnya hanya bisa berteriak, lalu menggerung menangis. Setelah
tangisnya reda dan terus dibujuk oleh si gemuk pendek bermuka seram merah
akhirnya Wulan menuturkan apa yang telah dialaminya beberapa waktu lalu.
Beberapa saat setelah Wulan Srindi menceritakan nasib malangnya, si gemuk pendek
bertanya. "Dua orang yang merusak kehormatanmu itu, kau tahu namanya?"
"Tidak."
"Menurutku keduanya berseragam pakaian hitam. Pada dada kiri baju mereka ada
sulaman benang kuning rumah joglo serta dua keris saling bersilang."
"Benar." jawab Wulan Srindi. "Kau mengenal siapa mereka?"
"Keraton Kaliningrat. Mereka adalah orang-orang dari Keraton Kaliningrat."
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menerangkan si gemuk pendek muka seram merah.
"Aku belum pernah mendengar nama keraton itu. Di mana letaknya?" tanya Wulan
Srindi pula. "Yang disebut Keraton Kaliningrat hanyalah nama saja.
Keraton yang berbentuk gedung tak pernah ada. Keraton itu bisa saja ada di
kawasan utara atau muncul di barat.
Bisa di selatan atau di timur. Tergantung di mana para tokoh dan anggotanya saat
itu berada. Biasanya hanya untuk beberapa lama lalu berpindah lagi ke tempat
lain..." "Manusia-manusia Keraton Kaliningrat apakah mereka itu merupakan manusia-manusia
jahanam jahat atau..."
"Setahuku mereka adalah kaum pemberontak. Bebe-
rapa orang rimba persilatan berkepandaian tinggi ikut bergabung dengan mereka.
Kebanyakan dari mereka hanya berkepandaian biasa-biasa saja. Namun mereka
memiliki ilmu kebal, tahan pukulan tak mempan senjata tajam."
"Kau tahu kelemahan ilmu mereka?"
Si gemuk pendek tertawa lebar. "Aku tahu maksud pertanyaanmu. Kau punya niat
untuk balas dendam."
"Sampai jadi bangkai dan mendekam di liang kubur pun aku tetap akan membalaskan
dendam kesumat sakit hati."
Si gemuk ambil sebuah kendi, meneguk isinya sampai mukanya tambah merah. "Jika
bertemu lagi dengan kedua orang pemerkosa itu, kau masih mengenali tampang
mereka?" "Pasti. Salah satu dari mereka sempat aku gigit dagu-
nya. Gigitan itu pasti meninggalkan cacat di wajahnya."
"Cah Ayu, kalau kau ingin balas dendam biar aku memoles dirimu lebih dulu. Aku
butuh seratus hari untuk melakukannya..."
"Apa maksudmu?" tanya Wulan Srindi curiga.
Yang ditanya cuma tertawa, teguk lagi minuman keras dalam kendi. Tiba-tiba
cairan dalam mulut disemburkan ke wajah dan tubuh Wulan Srindi. Si gadis
menjerit. Wajah dan sebagian tubuhnya terasa panas seperti terbakar. Si gemuk
menyembur sekali lagi. Aneh, kalau tadi terasa panas kini Wulan Srindi merasa
wajah dan badannya menjadi dingin sejuk. Namun gadis itu belum menyadari kalau
saat itu kulit wajah, tangan dan dua kakinya telah berubah putih.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
12 ALAN tanah yang melewati rimba belantara Ngluwer, merupakan jalan pintas
terdekat yang menghubungi Jdaerah selatan dengan kawasan utara sampai ke Mungkid
dan Magel sudah lama tidak dilewati orang.
Terutama para pedagang. Mereka lebih suka memilih jalan berputar di sebelah
timur melewati kaki Gunung Merapi.
Walau lebih jauh setengah hari perjalanan namun lebih aman. Belakangan ini hutan
Ngluwer telah menjadi sarang sekelompok perampok jahat. Mereka bukan saja mem-
begal harta benda orang yang lewat di situ, tapi juga tak segan-segan membunuh para korban.
Siang itu di pinggiran hutan sebelah barat ada serom-
bongan orang berkuda terdiri dari sembilan orang. Delapan orang berkulit kuning,
bermata sipit, mengenakan topi merah dan pakaian berbentuk jubah bagus berkilat
juga berwarna merah. Beberapa di antara mereka memelihara kumis panjang
menjulai. Selain itu kedelapan orang ini membekal sebatang tombak yang ujungnya
berbentuk pisau besar, tergantung di depan pelana. Orang kesembi-
lan seorang penduduk asli, agaknya bertindak sebagai penunjuk jalan.
Ada satu keanehan pada rombongan delapan orang asing ini. Empat orang membawa
tambur, empat orang lagi membawa terompet. Setiap menempuh jalan sejarak tiga-
ratus tombak mereka berhenti. Yang membawa tambur segera memukul tambur. Yang
membawa terompet segera pula meniup terompet masing-masing. Setelah cukup lama
memainkan peralatan bebunyian itu rombongan melanjut-
kan perjalanan. Sekitar tigaratus tombak di muka mereka berhenti lagi lalu
melakukan hal yang sama, memukul tambur meniup terompet.
Siapakah sebenarnya rombongan aneh ini" Terutama delapan orang asing itu" Mereka
adalah awak kapal milik seorang pedagang dari daratan Cina yang beberapa waktu
lalu dijarah barang bawaannya ketika diduga merapat di Tuban, ternyata kemudian
diketahui berlabuh di Moro-
demak. Dari sekian banyak barang yang dirampas, satu di antaranya adalah yang
sangat berharga yaitu sebuah kantong kulit berisi candu dan madat. Penjarahan
kapal dagang itu agaknya telah disiapkan dan diatur sedemikian rupa. Tujuan
utama para perampok sebenarnya memang adalah madat seberat lebih dari 50 kati.
Dua orang perampok yang menyamar sebagai perajurit Kerajaan yaitu Surojantra dan
Jaliteng berhasil melarikan kantong kulit berisi madat itu. Kedua perampok ini
sebenarnya adalah kaki tangan kaum pemberontak yang tengah mencari dana dan
dikenal dengan sebutan orang-orang Keraton Kali-
ningrat. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya, Kitab Seribu Pengobatan,
Surojantra dan Jaliteng menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Madat satu
kantong kemudian jatuh ke tangan Rakadanu dan Galirenik yang punya tugas untuk
mendapatkan madat tersebut. Mereka adalah orang-orang Keraton Kaliningrat. Namun
sebelum sempat kembali ke markas, keduanya menemui ajal di tangan murid kembar
Hantu Malam Bergigi Perak. Madat satu kantong besar kini berada di tangan si
nenek sakti bermuka angker itu. Sementara dua orang dari Keraton Kaliningrat
lainnya, Kuntorandu dan Pekik Ireng, yang diperintahkan untuk mengamankan madat,
tidak berhasil menemui dua temannya. Malah kemudian mereka bertemu Wulan Srindi
dan memperkosa gadis itu.
Rombongan delapan awak kapal dagang Cina yang
berlabuh di Morodemak mendapat perintah untuk mencari dan menemukan kembali
madat yang telah dijarah. Di bawah pimpinan nakhoda Long Cie mereka membawa
seorang penunjuk jalan sekaligus juru bahasa. Sang penunjuk jalan yang bernama
Amangrejo mengetahui kalau sejak beberapa lama rimba belantara Ngluwer telah
menjadi sarang perampok ganas. Dengan dugaan bahwa para perampok hutan inilah
yang telah merampas kantong berisi madat, maka Amangrejo membawa rombongan awak
kapal Cina ke kawasan itu. Karena tidak tahu pasti di mana letak sarang para
penjahat maka mereka pergunakan siasat untuk memancing dan menarik perhatian.
Yaitu mereka sengaja menabuh tambur dan meniup terompet.
Setelah hampir setengah harian mundar-mandir di ping-
giran rimba belantara Ngluwer pancingan mereka akhirnya berhasil juga.
Di satu tempat selain kerasnya rombongan memukul tambur dan meniup terompet,
tiba-tiba dari dalam hutan terdengar suara suitan-suitan nyaring saling
berbalasan dari beberapa penjuru. Tak berselang berapa lama muncul duabelas
orang berpakaian dan berikat kepala kuning pekat. Tampang garang, rata-rata
memelihara cambang bawuk liar. Sekali bergerak keduabelas orang ini telah
mengurung rombongan orang asing penabuh tambur peniup terompet.
Amangrejo segera turun dari kudanya. Sementara delapan awak kapal dari Cina
tetap di atas kuda masing-masing. Amangrejo membungkuk beberapa kali lalu kelu-
arkan ucapan. Penunjuk jalan ini sadar sekali kalau saat itu dia tengah
berhadapan dengan kelompok perampok yang bisa menilai nyawa manusia tidak lebih
berharga dari seekor kodok dalam comberan.
"Salam hormat dan persahabatan untuk para kerabat dari hutan Ngluwer. Mohon
tanya siapakah yang bertindak sebagai pimpinan dari para kerabat di sini"!"
Duabelas orang yang mengurung rombongan berkuda hampir semua bertubuh tinggi
besar dan galak. Namun yang maju ke arah Amangrejo justru adalah seorang ber-
tubuh pendek, berkumis dan bercambang bawuk lebat tapi berkepala botak plontos.
Sepasang mata berwarna merah namun juling. Hingga walau tampak galak tapi ada
lucunya juga. Amangrejo agak bingung. Jelas orang melangkah ke hadapannya namun
pandangan matanya tertuju ke jurusan lain!
"Kami adalah orang-orang hutan Ngluwer tidak butuh penghormatan kalian. Kami
tidak merasa ada persaha-
batan antara kita!" Si pendek bermata juling keluarkan ucapan. Walau pendek
namun suaranya besar serak. Dia bicara sambil dua tangan diletakkan di pinggang
dan sepasang mata juling memandang berputar.
Mendengar ucapan orang yang tidak bersahabat
Amangrejo cepat-cepat membungkuk. "Ah, harap maafkan kalau kedatangan kami
mengganggu ketenangan para sahabat."
Si pendek bermata juling goyangkan kepala ke arah depan penunggang kuda di
belakang Amangrejo.
"Siapa delapan monyet bermata sipit berdandan bagus ini"! Apakah rombongan
pengamen dari negeri seberang, membawa tambur dan terompet segala"!"
"Mereka adalah awak kapal dagang dari Tiongkok.
Mereka ingin mencari keterangan tentang satu kantong candu yang lenyap dijarah
di pelabuhan Morodemak..."
"Mencari keterangan atau ingin menuduh kami yang merampok candu itu" Bicara yang
jelas!" Bentak si juling pendek.
"Dengar, kami datang hanya untuk mencari keterangan.
Kalau para sahabat tahu, orang-orang ini bersedia mene-
bus candu itu dengan barang-barang perhiasan senilai satu setengah kali harga
candu." Si pendek juling pencongkan mulut. Dia memandang berkeliling pada sebelas
temannya. Keduabelas orang itu kemudian tertawa tergelak-gelak.
"Kau yang jadi kacung orang asing!" si jereng menuding pada Amangrejo. "Siapa
namamu"!"
"Nama saya Amangrejo."
"Amangrejo! Kalau dirimu cuma seorang kacung
penunjuk jalan, kami tidak heran kau berlaku tolol! Tapi jangan berani membagi
ketololan pada kami orang-orang hutan Ngluwer! Kalau kalian membawa perhiasan
yang harganya satu setengah kali nilai candu, coba katakan apakah ada manusia
yang lebih tolol dari kalian di kolong langit ini"!"
Ucapan si pendek berkepala botak itu disambut gelak tawa kawan-kawannya yang
sebelas orang. "Amangrejo, kami masih mau berbaik-baik denganmu.
Coba perlihatkan dulu barang-barang perhiasan yang kalian bawa."
Amangrejo berpaling pada rombongan orang-orang berjubah merah lalu bicara dalam
bahasa Cina. Salah satu dari delapan orang asing yang menunggang kuda dan
memelihara kumis panjang menjulai yang bukan lain adalah nakhoda Long Cie
menyahuti. Amangrejo lalu berpaling kembali ke arah si pendek botak.
"Menurut nakhoda Long Cie, pimpinan awak kapal, dia akan memperlihatkan
perhiasan itu, bahkan akan membe-
rikan pada kerabat setelah dia melihat dan menerima candu."
Tampang si botak tampak menggembung merah.
"Katakan pada keparat mata sipit itu! Aku Surah Nenggolo pimpinan orang-orang
hutan Ngluwer di tempat ini! Di sini berlaku peraturan kami. Mulutku hukumku!
Jika dia tidak suka dan tidak mau ikut aturan kami silahkan pergi. Tapi dia
tetap harus menyerahkan semua barang perhiasan yang dibawa. Atau mereka semua
menukar dengan meninggalkan nyawa!"
Amangrejo menyampaikan apa yang dikatakan si botak pendek. Waktu bicara mata
kirinya dikedipkan. Long Cie mengangguk lalu bicara pada dua temannya. Dua orang
itu mengeluarkan masing-masing satu peti kayu dari kantong pelana masing-masing
lalu turun dari kuda dan meletakkan dua peti di tanah, beberapa langkah di
hadapan Surah Nenggolo.
"Bagus," kata si gemuk botak pula. "Sekarang suruh semua orang itu turun dari
kuda mereka."
Permintaan itu diteruskan Amangrejo pada Long Cie.
Bagi nakhoda kapal, ini adalah suatu permintaan aneh. Dia memutuskan untuk tetap
berada di atas kuda namun menyuruh turun lima anak buah kapal yang masih duduk
di atas kuda. Kelima orang ini gantungkan tambur dan terompet mereka di leher
kuda masing-masing lalu turun ke tanah.
Surah Nenggolo perhatikan Long Cie beberapa lama lalu mendekati seorang anak
buahnya dan berbisik. "Sipit satu itu agaknya punya otak cerdik pandangan tajam.
Jika terjadi keributan kau harus membunuhnya lebih dulu."
Setelah itu Surah Nenggolo menyuruh dua orang anak buahnya yang lain membuka
penutup peti kayu yang tergeletak di tanah.
Begitu tutup dua peti terbuka menghamburlah delapan ekor ular kobra dan langsung
menyerang ke arah para perampok. Surah Nenggolo dan sebelas anak buahnya jadi
kalang kabut. Dua orang kena dipatuk ular kobra menjerit keras, roboh ke tanah,
kelojotan beberapa ketika lalu kaku tak bergerak lagi.
Surah Nenggolo berteriak seperti anjing melolong.
Seperti kesurupan dia berkelebat kian kemari, menabas, membacok dengan golok
besarnya ke arah ular-ular kobra besar. Beberapa anak buahnya datang membantu.
Seben- tar saja delapan ular kobra bergeletakan mati di tempat itu.
Kini perhatian Surah Nenggolo dan sisa sembilan anak buahnya tertuju pada
rombongan awak kapal dagang Cina.
"Jahanam keparat! Kucincang kalian semua!" teriak Surah Nenggolo. Tubuhnya
berkelebat enteng. Delapan dari sembilan anak buahnya ikut menghambur. Golok
besar di tangan kanan diputar sebat menghadapi tujuh orang awak kapal yang telah
turun ke tanah dan menyerbu dengan bersenjatakan golok panjang. Amangrejo
sendiri kabur berlindung di tempat yang aman.
Pertempuran berlangsung hebat tapi cepat. Setelah membuat beberapa kali gebrakan
enam orang awak kapal dagang Cina yang bersenjatakan golok berseru kaget ketika
tusukan dan bacokan senjata mereka sama sekali tidak mempan terhadap tubuh
lawan. Senjata masing-masing seperti membal malah ada yang sampai terlepas
mental. Selagi mereka terkejut dan takut Surah Nenggolo dan anak buahnya dengan
cepat membalas serangan.
Kurang dari dua jurus, keenam orang awak kapal dagang itu berkaparan di tanah.
Darah mengucur dari luka-luka mengerikan yang menguak di kepala, dada dan perut!
Sementara itu anak buah yang tadi dibisiki Surah Nenggolo dengan golok di tangan
melesat ke arah nakhoda Long Cie yang saat itu masih duduk di atas kuda.
Goloknya berkelebat ke perut Long Cie. Awak kapal ini sentakkan tali kekang
kuda, berkelit ke kiri. Ketika lawan menyerang kembali Long Cie sudah memegang
sebatang tombak.
Traangg! Tombak dan golok beradu di udara. Anak buah Surah Nenggolo berseru kaget ketika
dapatkan senjatanya terle-
pas mental dari genggaman. Selagi tubuhnya melayang ke tanah, tombak di tangan
Long Cie menusuk deras ke depan.
Craass! Tombak bermata seperti pisau besar itu menembus dada anak buah Surah Nenggolo.
Orang ini hanya bisa keluarkan keluhan pendek. Mulut menganga mata men-
delik. Long Cie lepas tombaknya. Tubuh yang sekarat di ujung tombak jatuh
terbanting ke tanah.
Surah Nenggolo menggembor marah. Bersama bebe-
rapa anak buahnya dia segera mengejar Long Cie yang tengah memutar
tunggangannya. "Serang kudanya!" Teriak Surah Nenggolo.
Tiga golok besar melesat di udara. Satu menyambar ke arah kepala kuda, satu ke
kaki, satu lagi ke jurusan perut.
Dengan sigap Long Cie cabut golok panjang di balik punggung. Senjata itu diputar
untuk melindungi diri dan kuda tunggangannya.
Traang! Traang! Traang!
Terdengar tiga kali suara berdentrangan. Tiga golok yang dilemparkan anak buah
Surah Nenggolo mental, satu di antaranya patah dua. Surah Nenggolo nekad
memburu. Dia sama sekali tidak menyerang nakhoda itu tapi berusa-
ha membabat salah satu kaki kuda. Namun Long Cie lebih cepat. Sambil membungkuk
dia babatkan golok besar di tangan kanannya dengan deras ke dada pemimpin rampok
hutan Ngluwer ini.
Breett! Dada pakaian Surah Nenggolo robek besar. Manusia botak pendek ini cepat jatuhkan
diri ke tanah. Sesaat mukanya tampak pucat ketika dilihatnya nakhoda kapal
dagang Cina itu memutar kuda. Surah Nenggolo cepat lemparkan golok besarnya ke
arah Long Cie. Namun satu-satunya awak kapal dagang yang hidup ini masih bisa
selamatkan diri dengan menjatuhkan diri sama rata di punggung kuda. Golok yang
dilempar Surah Nenggolo melesat hanya seujung kuku di atas punggung Long Cie.
Selain mempunyai jabatan sebagai nakhoda kapal dagang rupanya Long Cie juga
mempunyai kepandaian silat lumayan.
"Keparat jahanam! Aku bersumpah akan mencarimu di Morodemak!" teriak Surah
Nenggolo marah besar. Si botak usap mukanya beberapa kali. "Bangsat satu itu
tidak mau turun dari kudanya. Apakah dia..." Tiba-tiba sudut mata Surah Nenggolo
melihat semak belukar di depan sana bergerak. Dia segera hantamkan pukulan
tangan kosong. Angin deras menderu.
Braaakk!
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semak belukar terbongkar hancur. Satu jeritan ter-
dengar. Ketika Surah Nenggolo melompat dan menyelidik ke balik semak belukar dia
menemukan Amangrejo sudah jadi mayat dengan darah masih mengucur dari mulut.
"Keparat pengkhianat! Mau-mauan jadi kaki tangan orang asing! Sekarang rasakan
sendiri!" Si botak ludahi mayat Amangrejo lalu pergi menemui anak buahnya yang
kini tinggal sembilan orang.
"Kita harus menemui pimpinan. Orang Cina sudah tahu kalau kelompok kita yang
menjarah candu. Padahal candu celaka itu entah berada di mana sekarang! Aku akan
berangkat duluan. Siapa di antara kalian yang bisa menunggang cepat memilih kuda
yang ditinggalkan orang Cina itu. Ikut aku!"
Surah Nenggolo melompat ke atas seekor kuda besar.
Ketika dia hendak menggebrak binatang itu tiba-tiba seorang anak buahnya
berteriak. "Surah! Lihat! Di atas pohon!"
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
13 URAH Nenggolo mendongak, memandang ke atas
pohon yang ditunjuk anak buahnya. Di atas dahan Spaling tinggi, duduk berjuntai
seorang perempuan berpakaian biru berwajah putih. Pinggangnya dililit satu ikat
pinggang kulit besar. Pada ikat pinggang ini tergantung lima buah kendi kecil
berwarna hitam. Kendi keenam berada di tangan kiri. Sambil duduk ongkang-ongkang
kaki perempuan berpakaian biru teguk minuman keras yang ada dalam kendi hitam
hingga wajahnya berubah kemera-
han. Sesekali dia sunggingkan seringai ke arah orang-orang di bawah pohon.
"Hanya seorang perempuan muda kurang ingatan, perlu apa diurusi!" seorang anak
buah Surah Nenggolo bernama Jantring keluarkan ucapan.
"Kau hanya melihat dengan mata, tidak pakai otak!"
damprat Surah Nenggolo. "Dia bukan gadis sinting biasa.
Dia punya kepandaian. Kalau tidak bagaimana bisa berada di atas pohon, menenggak
minuman dalam kendi. Kita harus menyelidik. Jangan-jangan dia mata-mata
Kerajaan. Jantring, coba kau naik ke atas pohon. Paksa perempuan itu turun ke tanah!"
Jantring merasa menyesal keluarkan ucapan. Namun karena ini adalah perintah
atasan maka segera saja dia jejakkan kaki ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas
pohon. "Ooo... ooo! Siapa yang mengundangmu naik ke atas pohon"!" Perempuan yang duduk
di cabang pohon teguk cairan dalam kendi. Ketika Jantring hampir mencapai dahan
pohon di mana dia berada tiba-tiba si muka putih ini semburkan cairan dalam
mulutnya. Wusss!!! Jantring tidak menduga akan mendapat serangan
seperti itu. Dia coba menggapai cabang pohon di sebelah kiri sekaligus berusaha
melindungi muka dengan tangan yang lain dari semburan cairan berbau sangat
menyengat. Tapi gagal. Semburan cairan mengenai mukanya. Rampok hutan Ngluwer ini terpental
dan menjerit setinggi langit.
Suara jeritan itu tersentak putus ketika tubuhnya jatuh bergedebuk di tanah.
Surah Nenggolo dan anak buahnya cepat mendatangi. Semua mengerenyit ngeri ketika
meli- hat bagaimana wajah Jantring nyaris tak bisa dikenali lagi.
Hancur hangus penuh lubang.
Di atas pohon, perempuan berwajah putih tertawa panjang cekikikan.
Amarah si botak bermata juling Surah Nenggolo mele-
dak melihat kematian Jantring. Didahului satu teriakan dahsyat dia hendak
melesat menyerbu ke atas pohon.
Namun salah seorang anak buahnya cepat menahan, memegang lengannya lalu
berbisik. "Perempuan aneh itu berada di atas pohon. Kalau diserang... lihat apa yang
terjadi pada Jantring." Ucapan si anak buah membuat Surah Nenggolo sadar akan
sesuatu. Dengan mata berkilat dia ambil golok yang ada di tangan dua orang anak buahnya.
Lalu dua senjata ini dilemparkan ke atas pohon. Tapi orang yang jadi sasaran
serangan ternyata tidak ada lagi di dahan tempat tadi dia duduk. Dua golok
menembus dedaunan, melesat di udara kosong.
Suara cekikikan kembali menggema di dalam rimba belantara. Mau tak mau selain
terperangah Surah Neng-
golo dan anak buahnya jadi merinding juga.
"Botak pendek! Apa matamu sudah buta"! Aku berada di sini! Mengapa menyerang
tempat kosong"! Hik... hik...
hik!" Para perampok hutan Ngluwer jadi terkejut geger ketika mereka melihat perempuan
yang tadi diserang dengan golok ternyata memang telah berpindah ke pohon lain
dan duduk tertawa-tawa di salah satu cabang pohon.
"Kalian sungguh tidak berbudi! Aku mau mengundang minum. Kalian malah
menyerang!"
"Perempuan muka putih! Setan atau apapun kau
adanya! Jangan jual lagak di atas pohon! Turun ke sini!"
teriak Surah Nenggolo sambil menjambak sendiri cambang bawuknya saking kesal.
Orang yang diteriaki tertawa panjang.
"Apakah aku cantik hingga kau menganggap aku jual lagak"!" Perempuan di atas
pohon liukkan badan hingga sebagian pinggang dan perutnya tersingkap menggairah-
kan. Dia kemudian menatap ke arah Surah Nenggolo lalu meneguk minuman keras
dalam kendi hitam. Setelah usap lelehan cairan di sekitar bibirnya dia berkata
dengan suara keras. "Botak pendek! Kau minta aku turun ke tanah! Aku malah mau
mengundangmu naik ke atas pohon biar aku suguhi minuman sedap yang membuat badan
jadi segar, mata nyalang, pikiran lepas, dada lapang! Hik... hik... hik!
Apa kau dan anak buahmu malu-malu menerima unda-
nganku"! Apakah aku tidak cukup cantik dan menggiurkan untuk duduk berhangat-
hangat berdampingan dengan kalian di atas pohon ini" Hik... hik... hik!"
Mendengar ucapan orang yang menyuruh mereka naik ke atas pohon Surah Nenggolo
dan anak buahnya yang kini tinggal delapan orang saling pandang. Salah seorang
dari mereka membisiki. "Surah, jangan-jangan perempuan di atas pohon itu
tahu..." "Kita harus menyelidik siapa dia adanya. Lalu mem-
bunuhnya!" Surah Nenggolo potong ucapan anak buahnya.
Dia memandang ke atas pohon lalu berkata dengan suara keras. "Perempuan muda..."
"Perempuan muda!" orang di atas pohon mengulang ucapan Surah Nenggolo dengan
suara keras lantang. "Kau memanggil aku perempuan muda. Apakah menurutmu aku ini
tidak gadis lagi"! Kurang ajar! Jangan kau berani menghina!" Habis berteriak
perempuan ini keluarkan suara menggerung seperti menangis.
Melihat orang bersikap aneh, Surah Nenggolo cepat berkata. "Gadis cantik di atas
pohon, harap maafkan kalau aku salah memanggil dirimu. Juga terima kasih atas
undangan minum. Namun aku rasa dahan pohon itu terlalu sempit untuk kami
sembilan orang! Bagaimana kalau kau saja yang turun ke sini! Mari kita bicara.
Siapa tahu aku bisa melupakan kematian tiga anak buahku dan kita bisa
bersahabat!"
Perempuan muka putih berpakaian biru gelap di atas pohon tertawa panjang.
Agaknya dia senang dipanggil gadis cantik. Dia tutup tawanya dengan berkata.
"Bagus juga. Ternyata kau bukan manusia bangsa pendendam.
Aku pikir mungkin kita memang bisa bersahabat! Aku penuhi permintaanmu. Aku
segera turun!" Habis keluarkan ucapan perempuan itu gerakkan tangan kirinya.
Kraakk! Dahan pohon sebesar paha manusia patah, melayang jatuh ke tanah. Perempuan muka
putih menyusul turun.
Ketika dia sampai di bawah kakinya tidak langsung menginjak tanah, tapi bertumpu
pada patahan dahan pohon. Tubuhnya tegak tak bisa diam. Bergoyang huyung ke kiri
ke kanan, sesekali oleng ke depan atau ke belakang. Keadaannya tidak beda orang
mabok. Melihat orang berdiri tidak menginjak tanah, Surah Nenggolo dan semua anak
buahnya saling pandang.
"Hai! Sesuai permintaan aku sudah turun. Sekarang kenapa kalian kelihatan
seperti bengong"! Mari kita minum-minum..." Perempuan muka putih angkat
tangannya yang memegang kendi hitam.
Surah Nenggolo maju dua langkah. Dia tidak berani terlalu dekat dengan perempuan
yang berdiri di atas dahan pohon. Sebaliknya orang yang didatangi memandang
lekat-lekat. Pertama ke arah dada pakaian kuning Surah Nenggolo yang robek besar
akibat sambaran pedang Long Cie tadi. Dia melihat di balik pakaian kuning di
sebelah luar, di bagian dalam kepala rampok ini mengenakan pakaian lain berwarna
hitam. Pandangan kedua diarahkan pada wajah Surah Nenggolo.
"Tampangmu lucu! Ternyata matamu jereng! Hik... hik...
hik! Pantas tadi kau keliru melakukan serangan! Hai aku bisa mengobati mata
julingmu. Dicongkel yang kiri dipindah ke kanan, yang kanan dipindah ke kiri.
Mau?" Rahang Surah Nenggolo menggembung. Walau marah dan jengkel namun dia jawabi
ucapan orang dengan tenang.
"Sekarang kita telah menjadi sahabat. Boleh-boleh saja kita bicara lucu-lucuan.
Apakah kami boleh tahu siapa gerangan nama sahabat, apakah juga punya gelar atau
julukan gagah dalam rimba persilatan" Selama ini kami terlalu lama mendekam
dalam hutan hingga tidak tahu kalau ada tokoh-tokoh baru rimba persilatan yang
bermunculan. Harap sahabat kami gadis cantik sudi memberi tahu."
Perempuan muka putih mendongak lalu tertawa
panjang. "Yang namanya rampok itu tentu saja selalu mendekam dalam hutan. Kalau
ada mangsa, baru muncul seperti tadi kau dan anak buahmu membantai orang-orang
Cina." Tampang Surah Nenggolo tampak merah mendengar
ucapan yang mengejek itu.
"Eh, tadi kau tanya nama dan gelarku. Menurutmu apa nama yang bagus dan gelar
yang pantas untukku?"
Mendengar pertanyaan orang Surah Nenggolo jadi kesal. Namun dia berlaku cerdik
dan alihkan pembicaraan.
"Sahabat, aku lihat sedari tadi kau hanya berdiri di atas dahan pohon. Mengapa
tidak turun ke tanah agar kita bisa segera menikmati minuman yang kau tawarkan?"
"Hai, apa kau tidak melihat kasut kakiku masih baru"
Aku tidak mau mengotori alas kaki baru ini!" jawab perempuan muka putih sambil
angkat salah satu kakinya.
Ternyata dia memang mengenakan kasut yang masih baru sebagai alas kedua kakinya.
"Kau juga tetap tidak mau memberi tahu siapa dirimu pada kami kawan-kawan
barumu?" "Tidak ada perlunya. Kalian mau ikutan minum atau tidak?"
"Sahabat, jika kau menyembunyikan siapa dirimu, kami menaruh curiga. Jangan-
jangan kau adalah mata-mata yang dikirim Kerajaan!" Kata Surah Nenggolo pula.
"Ah, kalau kau punya kecurigaan seperti itu berarti kau tidak sebenarnya jujur
ingin bersahabat denganku!
Manusia jereng atau juling sepertimu ini tidak bisa dipercaya! Hik... hik!
Sekarang terpaksa aku membatalkan niat mengundang kalian minum. Lebih baik aku
minum sendiri!"
Gluk... gluk... gluk.
Selagi si gadis asyik meneguk minuman keras dalam kendi Surah Nenggolo memberi
tanda pada delapan anak buahnya. Pada tiga anak buah yang terdekat dia berkata.
"Serang sampai dia turun dari atas dahan. Jaga jarak. Hati-hati semburan minuman
keras. Jangan sampai kena digebuk." Tanpa banyak menunggu delapan orang anak
buah Surah Nenggolo, empat bersenjata golok, empat mengandalkan tangan kosong
segera menyerbu.
"Kurang ajar! Benar-benar tidak berbudi! Mula-mula katanya bersahabat. Lalu
menaruh curiga. Sekarang malah menyerang!" Si muka putih berteriak marah. Satu
sambaran golok yang mengarah kepalanya ditangkis dengan kendi di tangan kiri.
Kendi hancur berantakan.
Orang yang menyerang terpekik ketika satu tendangan menghantam dan membobol
perutnya. Darah menyembur dari mulut, sebagian memercik mengotori kaki kanan
perempuan muka putih. Perempuan ini berteriak marah.
"Jahanam kurang ajar! Kau memecahkan kendiku! Kau mengotori kasut baruku! Mampus
semua!" Dalam kemara-
hannya perempuan itu melesat setinggi satu tombak ke udara. Korban kedua jatuh
ketika lagi-lagi kaki si muka putih berkelebat kirimkan tendangan yang membuat
pecahnya kepala salah seorang anggota rampok hutan Ngluwer.
Pada waktu perempuan itu melesat ke arah Surah Nenggolo cepat pergunakan
kesempatan menendang dahan kayu yang tergeletak di tanah hingga terpental jauh.
Ketika lawan melayang turun dan jejakkan kaki di tanah, Surah Nenggolo
berteriak. "Sekarang!" Dengan sebilah golok di tangan bersama anak buahnya yang
kini bersisa enam orang Surah Nenggolo menyerbu perempuan muka putih. Serangan
dari tujuh penjuru ini yang disebut jurus Menjepit Bumi Membantai Gunung sungguh
ganas luar biasa. Sasaran serangan tak mungkin selamatkan diri.
Namun apa yang terjadi" Ketika tujuh lawan menyerbu secepat kilat perempuan muka
putih luncurkan tubuh ke bawah. Dia menyelinap di antara kaki-kaki lawannya
sambil pukulkan tangan kiri kanan.
Bukkk! Buukkk! Dua anggota rampok terpental dan jatuh terbanting ke tanah. Namun cepat bangkit
kembali. "Bangsat perempuan! Jangan kabur!" teriak Surah Nenggolo.
"Siapa kabur! Aku di sini! Hik... nik... hik!"
Terdengar jawaban disusul tawa cekikikan.
Gluk... gluk... gluk!
Semua kepala dipalingkan. Surah Nenggolo melihat perempuan muka putih itu
ternyata berdiri dengan tangan kiri di pinggang, mulut meneguk minuman keras
dalam kendi hitam sementara sepasang mata mengawasi dua orang anggota rampok
yang tadi berhasil digebuknya.
Hebatnya perempuan ini tidak langsung berdiri di tanah tapi tegak di atas mayat
salah seorang awak kapal dagang Cina! Seperti tadi tubuhnya tampak terhuyung-
huyung kian kemari.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
14 ELIHAT semua yang terjadi, salah seorang anak
buah Surah Nenggolo dekati pimpinannya dan
Mberbisik, "Surah, lebih baik kita menghindar saja.
Melawan perempuan sinting tapi berkepandaian tinggi kita bisa habis semua."
"Tutup mulutmu! Aku yang mengatur perintah! Bukan kau!" semprot Surah Nenggolo.
"Aku masih penasaran.
Kita serang sekali lagi dengan jurus Langit Terang Memancung Rembulan. Cari
senjata! Apa saja!"
Semua anggota rampok segera mengambil tombak dan golok yang bergeletakan banyak
di tanah. Masing-masing kini memegang dua senjata termasuk sang pemimpin.
Sementara perempuan muka putih masih asyik-asyikan meneguk minuman keras dalam
kendi hitam. Didahului teriakan keras dari Surah Nenggolo, tujuh pasang tangan
bergerak. Empatbelas senjata melesat ke udara, mengarah sasaran, mulai dari
kepala sampai ke betis perempuan muka putih.
Tiba-tiba dalam satu kecepatan sulit dibayangkan, orang yang diserang seperti
tumbang jatuh punggung ke tanah. Sementara lebih dari selusin senjata menyambar
ganas kurang setengah jengkal dari atas tubuhnya, si muka putih gulingkan diri
di tanah. Sambil berguling tangan kiri lepaskan satu pukulan tangan kosong,
mulut semburkan minuman keras. Dua orang anak buah Surah Nenggolo menjerit.
Kedua-nya roboh ke tanah, melejang-lejang kelojotan. Empat kawan mereka diam
terpaku, kaget dan mulai leleh nyali masing-masing.
"Jahanam kurang ajar! Aku mengadu jiwa denganmu!"
teriak Surah Nenggolo marah besar. Tubuhnya melesat mengejar perempuan muka
putih yang masih bergulingan di tanah. Tangan kanan menghantam dua kali
berturut-turut ke arah punggung.
"Mati kau!" teriak Surah Nenggolo.
Buumm! Bumm! Byaarr! Byaarr!
Dua letusan keras menggelegar. Di tanah kelihatan dua lobang besar. Asap hitam
mengepul. Di balik asap terdengar tawa cekikikan. Tiba-tiba sebuah kendi hitam
melayang ke arah kepala Surah Nenggolo. Kepala rampok ini menangkis dengan
pukulan tangan kiri. Kendi hancur berantakan. Kendi itu ternyata kosong.
"Botak jereng! Aku di sini!"
Surah Nenggolo berpaling ke belakang. Saat itu juga satu pukulan keras
menghantam dadanya. Manusia bertubuh pendek ini terpental sampai dua tombak,
tapi segera bangun tanpa cidera sedikitpun.
"Hemmm... aku sudah menduga," ucap perempuan
muka putih sambil menyeringai. Dia maju selangkah. Kaki kiri diselipkan ke
punggung mayat awak kapal dagang Cina yang tergeletak di tanah. Begitu kaki itu
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digerakkan ke atas dan sosok mayat melesat di udara ke arah Surah Nenggolo dan
anak buahnya berdiri, perempuan muka putih cepat melompat. Sesaat kemudian dia
telah berdiri di atas mayat awak kapal dagang yang meluncur di udara.
Dalam kagum dan juga rasa kecut yang mulai
membayangi dirinya, Surah Nenggolo berikan perintah pada anak buahnya. "Kalian
serang mayatnya. Perempuan keparat itu serahkan padaku!"
Empat anggota rampok yang sebenarnya sudah ciut nyalinya namun takut pada
pimpinan mereka terpaksa menghambur maju dan lancarkan serangan ke arah mayat
yang dipakai tumpangan untuk meluncur. Sementara Surah Nenggolo angkat tangan
kanan. Tangan itu tampak bergetar hebat dan berubah warna menjadi kehitaman.
Kepala perampok ini memang punya satu pukulan sakti disebut Wesi Kala Item.
Pukulan sakti ini mengandung racun sangat jahat. Lawan yang hanya terkena sapuan
anginnya saja pasti akan cidera kulitnya dan cacat sengsara seumur hidup.
Empat pukulan keras menghantam mayat awak kapal hingga dagingnya remuk dan
tulang-tulang berderak patah.
Tubuh perempuan yang berada di atas sosok mayat kelihatan oleng seperti mau
jatuh ke tanah.
"Hai, aku pinjam kepalamu!" teriak si muka putih lalu blek! Enak saja kaki
kirinya hinggap di kepala salah seorang rampok. Bersamaan dengan itu dia tarik
lepas sebuah kendi. Sambil meneguk minuman keras dalam kendi kaki kanannya
mencari sasaran kepala perampok yang berdiri paling dekat. Tak ampun lagi rampok
ini terpental melintir dan terkapar di tanah dengan rahang rengkah.
Wuss! Cahaya hitam berkiblat dari tangan Surah Nenggolo yang melepas pukulan Wesi Kala
Item. Perempuan muka putih bergumam. Mulutnya terbuka menyembur minuman keras.
Dess! Dess! Buum!
Satu letupan keras menggema di tempat itu, meng-
goncang rimba belantara Ngluwer. Surah Nenggolo tutupi muka dengan kedua tangan.
Mulut berteriak keras. Tubuh terjengkang di tanah. Dua tangannya tampak hangus
dan ada bercak-bercak hitam.
"Celaka!" ucap kepala rampok ini dengan muka pucat.
Racun Wesi Kala Item yang dilepas, akibat semburan minuman keras lawan ternyata
berbalik mengenai kedua tangannya sendiri.
Tawa cekikikan mengumbar di udara. Putuslah nyali kepala rampok hutan Ngluwer
ini walau di depan sana dilihatnya perempuan muka putih terhuyung-huyung lalu
jatuh berlutut di tanah akibat letupan keras tadi.
Ketika Surah Nenggolo menghambur kabur tinggalkan tempat itu, tiga orang anak
buahnya yang masih hidup telah minggat lebih dulu. Dua orang yang hancur kakinya
hanya bisa mengerang merasakan sakit amat sangat.
"Hik... hik! Botak mata jereng! Enak saja mau kabur!
Tunggu dulu! Ada yang akan aku tanyakan padamu!"
Surah Nenggolo percepat lari, masuk ke dalam hutan.
Namun kakinya seperti dipantek ketika mendadak di depan sana sosok perempuan
muka putih tahu-tahu muncul menghadang. Tubuh terhuyung-huyung, mulut
menyeringai. Kepala rampok ini segera memutar arah lari.
Lagi-lagi dia terperangah karena perempuan tadi sudah ada di hadapannya dan
sekali tangannya bergerak baju kuning yang dikenakannya robek besar. Seperti
tadi yang dilihat dan diduga perempuan muka putih ternyata di balik baju kuning,
kepala rampok ini mengenakan sehelai pakaian hitam. Pada dada kiri ada sulaman
benang kuning rumah joglo dan sepasang keris bersilang. Melihat sulaman ini
perempuan muka putih berteriak keras, mata mendelik seperti memandang setan!
"Benar dugaanku! Kau orang Keraton Kaliningrat."
Secepat kilat jari telunjuk tangan kanan perempuan muka putih menusuk kelopak
mata kanan Surah Nenggolo.
"Dengar, matamu akan aku cungkil jika kau tidak menjawab apa yang aku tanyakan!"
"Jangan! Ampuni selembar jiwaku! Aku akan jawab apa saja yang kau tanyakan!"
Kepala rampok itu tampak sangat ketakutan. Tubuh menggigil, wajah seputih
kertas. "Di mana sarangmu! Di mana Keraton Kaliningrat"!"
"Aku... sarang kami di dalam rimba belantara. Selalu berpindah-pindah. Sejak
beberapa lama ini kami menjadikan hutan Ngluwer sebagai markas..."
"Bagus! Sekarang katakan di mana letak Keraton Kaliningrat. Apa letaknya sama
dengan sarangmu?"
"Yang namanya Keraton Kaliningrat tak ada ujud tak ada bentuk. Letaknya bisa di
mana saja!"
"Bangsat juling! Siapa percaya ucapanmu!" Tusukan jari di kelopak mata kanan
semakin dalam, menembus kulit hingga darah mulai mengucur. Surah Nenggolo
menahan sakit setengah mati. Dia merasa bola matanya seperti mau melompat
keluar. "Aku tidak berdusta. Kau boleh mencungkil mataku!
Kau boleh membunuhku tapi kau tidak akan mendapat jawaban lain."
"Begitu?" si muka putih menyeringai. "Kalau begitu antarkan aku ke tempat di
mana terakhir kali beradanya Keraton Kaliningrat!"
"Percuma saja. Kau tidak akan menemukan siapa-siapa di tempat itu."
"Hemmm..." Si muka putih bergumam, berpikir-pikir.
"Gadis cantik, aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku. Aku bersumpah benar-
benar tidak tahu apa-apa mengenai Keraton Kaliningrat. Dalam jajaran mereka aku
tak lebih dari seorang kacung."
"Kau seorang kacung" Kasihan sekali. Hik... hik.
Baiklah, aku akan mengampuni selembar nyawamu. Jika kau bertemu dengan orang-
orang Keraton Kaliningrat katakan bahwa kita bersahabat. Sekarang ulurkan tangan
kananmu. Aku ingin berjabatan tangan denganmu!"
"Ah, kau baik sekali. Terima kasih..." Surah Nenggolo jatuhkan diri berlutut dan
membungkuk berulang kali. Lalu dia angkat tangan kanan, siap untuk menyalami.
Tiba-tiba sebuah kendi hitam berkelebat, lalu praakkk!
Surah Nenggolo menjerit setinggi langit. Tangan kanannya mulai dari jari sampai
ke pergelangan hancur!
Si muka putih tertawa bergelak lalu dorong dada Surah Nenggolo dengan kaki kiri
hingga orang ini terguling jatuh.
"Tangan yang memiliki ilmu setan harus dihancurkan.
Sekarang pergilah, aku tidak suka melihat tampangmu!"
Susah payah Surah Nenggolo berdiri, terbungkuk-bungkuk menahan sakit lalu lari
masuk ke dalam hutan Ngluwer secepat yang bisa dilakukannya. Perempuan muka
putih tersenyum. Dia menunggu sebentar lalu melesat ke atas sebatang pohon
besar. *** Hutan Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelincir ke barat Surah
Nenggolo baru sampai ke tempat yang ditujunya. Tempat itu adalah sebuah danau
kecil, dikelilingi pohon-pohon besar. Sosok dan dedaunan pohon yang berbagai
ragam membuat air danau seperti berwarna ketika sinar matahari memantul ke
permukaan air. Di pinggir danau ada beberapa tanah yang agak terbuka. Di sini
berdiri tiga buah bangunan beratap rumbia.
Dua agak kecil dan berdinding, satunya besar tapi tanpa dinding. Di bangunan
besar tampak banyak orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari
bambu. Di kepala meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empatpuluh
tahun, berwajah cakap, memiliki kening tinggi dan alis tebal. Rambut tebal
panjang sebahu. Dibanding semua orang yang ada di tempat itu dia satu-satunya
yang berpakaian bagus dan mewah. Di kiri kanan meja duduk duabelas orang yang
rata-rata telah berusia lebih dari setengah abad. Di antara mereka, raut wajah
serta pakaian jelas menunjukkan sebagai orang rimba persilatan. Satu-satunya
perempuan yang hadir di tempat itu adalah seorang nenek berhidung seperti paruh
burung kakak tua, bermata dingin berwarna kelabu. Di sebelah luar sekitar
empatpuluh orang bertubuh tegap, berpakaian dan ikat kepala hitam tegak berjaga-
jaga. Di dada kiri baju yang mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo
dan dua keris bersilang.
Lelaki di kepala meja sebelah kanan berkeliling lalu bertanya. "Keluarga
seperjuangan yang hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?"
Ada yang menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.
"Terima kasih. Terima kasih saudara-saudara seper-
juangan bisa hadir dalam pertemuan Keraton Kaliningrat yang ke sembilanbelas
ini. Seperti yang sudah-sudah Ayahanda Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata
meminta saya mewakili diri beliau."
"Pangeran Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan
baik?" seorang peserta pertemuan bertanya.
"Tentu saja." Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan
kepala. "Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa
hal penting yang akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal dagang
Cina yang sampai saat ini tidak diketahui di mana beradanya. Dua orang kerabat
kita tewas. Dua orang lagi kembali dengan tangan hampa.
malah membawa musibah. Hal kedua..."
Belum sempat Pangeran Muda meneruskan ucapannya tiba-tiba di kejauhan terdengar
satu jeritan keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah satu
sosok pendek seorang lelaki berkepala botak, bercambang bawuk lebat. Dia
langsung masuk ke dalam bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun naik.
Muka sepucat kain kafan. Ada luka di mata kanan yang membuat bola matanya
seperti hendak meloncat keluar. Tangan kanannya yang hancur dan berlumuran darah
setengah kering diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyung-huyung.
Kalau tidak lekas dipegang orang niscaya akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan
menjadi geger. Seorang cepat mendekati si botak, mengurut beberapa bagian
tubuhnya sambil alirkan hawa sakti dan tenaga dalam, memberi kekuatan. Si botak
ini lalu didudukkan di sebuah kursi.
"Surah Nenggolo! Apa yang terjadi dengan dirimu"!
Mana anak buahmu"!" Lelaki di kepala meja kanan bertanya. Suara bergetar menahan
perasaan. "Delapan orang menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya mohon maafmu..."
"Jangan dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!" Pangeran Muda
di ujung meja membentak.
Ketakutan sekali Surah Nenggolo yang kepala rampok hutan Ngluwer itu menuturkan
apa yang terjadi.
"Seorang perempuan muda berotak miring! Membawa minuman keras! Dia yang punya
pekerjaan. Dan kau tidak tahu siapa dia adanya! Keterlaluan! Memalukan."
Pangeran Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursinya.
Lelaki ini kemudian berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua.
Walau dia satu-satunya perempuan di tempat itu, agaknya dia memiliki wibawa
cukup tinggi hingga dijadikan tempat bertanya.
"Ni Serdang Besakih, saya ingin mengirimkan orang kita ke perbatasan. Mungkin
perempuan sinting itu masih berada di sekitar sana. Namun saya perlu pendapatmu
lebih dulu."
"Pangeran Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita
mengirimkan orang. Jika boleh aku yang pergi mencari bersama beberapa orang
saudara seperjuangan. Saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh menyusul
untuk mengawasi keadaan. Bagaimana pendapatmu?"
"Pendapatku Nek, kau tak perlu susah-susah mencari.
Aku sudah ada di sini!"
Tiba-tiba satu suara terdengar.
Semua orang dalam bangunan sama mendongak ke
atas atap karena suara orang yang bicara datang dari arah sana. Bersamaan dengan
itu mendadak atap bangunan yang terbuat dari rumbia jebol. Satu sosok berpakaian
biru disertai suara tawa mengikik melayang turun ke bawah, berdiri di atas meja!
Bau minuman keras mengampar menusuk hidung.
"Dia orangnya!" teriak Surah Nenggolo sambil menun-
juk dengan tangan kiri. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi geger! Lalu
suasana berubah hening seperti di pekuburan.
TAMAT Episode Berikutnya: NYI BODONG
Anak Pendekar 22 Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga Penguasa Gunung Lanang 1
konyong ada suara menyembur.
Wusss! Bau menyengat hidung menghampar. Ular besar men-
desis lalu byaaarr! Kepala binatang ini hancur bertaburan.
Tubuh ular seberat hampir seratus limapuluh kati ini sesaat bergelung melingkar,
bergelantungan di dahan pohon lalu perlahan-lahan merosot ke bawah dan jatuh
bergedebuk di tanah. Di atas pohon terdengar suara tawa mengekeh lalu menyusul
orang menenggak minuman penuh lahap.
Glukk... glukk... glukk!
Wulan Srindi buka mulut hendak memaki. Tetapi mulut itu tak bisa digerakkan dan
tak ada suara yang bisa dikeluarkan. Mata si gadis mendelik besar melihat wajah
merah seram orang yang memangku dirinya.
"Cah Ayu, berkulit hitam manis! Kau mau bicara apa"
Biar aku buka dulu jalan suaramu" Orang seram meneguk cairan di dalam sebuah
kendi. Lalu cairan ini disemburkan ke leher Wulan Srindi. Saat itu juga totokan
pada urat besar di leher yang membuat Wulan Srindi tak bisa bicara terbuka
musnah. Si muka seram berkulit merah tertawa.
"Nah, sekarang bicaralah sesukamu Cah Ayu!"
Begitu totokan lepas, mulut bisa digerakkan dan jalan suara kembali terbuka
langsung Wulan Srindi menghambur ucapan keras dan kasar. "Setan, dedemit, hantu
keparat! Lepaskan! Turunkan tubuhku ke tanah! Beraninya kau memangkuku! Kau mau berbuat
apa membawaku ke atas pohon! Kau mau memperkosaku"! Lepaskan! Turunkan aku ke
tanah!" Habis berkata begitu Wulan Srindi hendak berteriak namun mulutnya cepat
ditekap orang. Orang yang duduk memangku Wulan Srindi di cabang pohon tertawa mengekeh.
"Kalau saja kejadian ini puluhan tahun lalu ketika aku masih muda remaja,
mungkin aku akan tergiur melakukan apa yang kau katakan tadi! Memangku gadis
secantikmu, tubuh nyaris bugil, ha... ha... ha siapa tahan!"
"Jahanam! Kalau kau tidak segera melepaskan dan menurunkan aku ke tanah, aku
bersumpah menggeragot lehermu, menghisap darahmu!"
"Wah, wah... wah! Kau bukan gadis sejahat itu! Dengar, aku akan membawamu ke
satu tempat yang aman. Di situ kau bisa menerangkan apa yang telah terjadi pada
dirimu!" "Setan alas! Siapa sudi ikut denganmu!" teriak Wulan Srindi membuat orang yang
memangkunya geleng-geleng kepala.
"Pikiranmu sedang kacau. Aku bisa menduga. Ada satu kejadian dahsyat menimpamu!
Tidak ada salahnya kau ikutan minum agar pikiranmu bisa tenang kembali!"
"Setan, kau mau memberikan racun apa padaku"!
Tidak apa! Aku lebih baik mati daripada hidup tersiksa seumur-umur!" teriak
Wulan Srindi ketika dia melihat sebuah kendi tanah berwarna hitam didekatkan ke
mulutnya. "Aku bukan setan, bukan demit, bukan hantu. Aku adalah iblis! Iblis! Kau
dengar"! Ha... ha... ha! Ayo buka mulutmu lebar-lebar. Minum biar banyak!"
Wulan Srindi merasa ada jari-jari tangan menekan lehernya, membuat dia terpaksa
membuka mulut. Lalu dari dalam kendi hitam mengucur cairan menebar bau keras
menyengat pernafasan. Wulan Srindi merasa mulutnya seperti disengat api ketika
cairan itu melewati tenggo-
rokannya. Dia berusaha menyemburkan, berusaha memaki namun semakin banyak cairan
panas masuk ke dalam mulut. Dada serasa terbakar, kening mendenyut sakit,
pandangan mata sebentar terang sebentar gelap. Bahkan dia merasa sepasang
matanya seperti mau melompat keluar. Wajahnya yang berkulit hitam manis
kelihatan sangat merah. Dari tenggorokan keluar suara glek, glek, glek sementara
dada yang tidak tertutup bergerak naik turun. Dalam keadaan seperti itu, akibat
minuman sangat keras yang masuk ke dalam perut akhirnya Wulan Srindi kehilangan
ingatan, jatuh pingsan. Orang yang memang-
kunya tertawa mengekeh. Kendi kosong dibuang, tubuh Wulan Srindi diletakkan di
bahu kiri. Sekali berkelebat dia sudah berada di tanah lalu melarikan si gadis
ke arah utara. *** Ketika siuman dari pingsan, Wulan Srindi dapatkan dirinya terbaring di atas
ranjang kayu beralaskan tikar jerami. Memandang berkeliling ternyata dia berada
dalam sebuah kamar berdinding kayu. Di kaki ranjang, ada seperangkat pakaian
terdiri dari baju dan celana panjang berwarna biru pekat. Wulan sadar keadaan
dirinya yang nyaris telanjang. Tanpa pikir panjang dia segera ambil pakaian di
tepi ranjang dan cepat mengenakannya.
Pakaian itu terdiri dari sehelai celana panjang ringkas serta baju berbentuk
kebaya dalam selutut.
Selesai berpakaian Wulan melangkah ke sebuah
jendela terbuka di dinding kiri ruangan. Begitu memandang keluar gadis ini
melengak kaget. Betapa tidak. Dia dapatkan bangunan di mana dia berada saat itu
ternyata terletak di atas satu pohon tinggi dan besar. Tak jauh dari seberang
sana ada satu pohon besar. Di pohon itu terdapat pula sebuah bangunan kayu.
Wulan melihat ada pintu dan jendela dalam keadaan tertutup.
Wulan sekali lagi memandang seputar ruangan.
Ternyata di situ juga ada sebuah pintu. Cepat-cepat pintu dibukanya dan si gadis
keluarkan suara tertahan karena begitu pintu terbuka dia langsung berhadapan
dengan tempat kosong. Kalau sebelumnya ada orang tinggal di situ bagaimana dia
naik dan turun" Wulan tidak melihat tangga dan alat lain yang bisa dipakai untuk
turun ke tanah.
"Gila! Rumah di atas pohon. Bagaimana aku bisa berada di sini"!" Wulan Srindi
berpikir. Kemudian malah tertawa dan menjerit. Pikirannya kacau. Dia coba lagi
mengingat-ingat. Ada seorang lelaki bermuka seperti dedemit, mencekokkan minuman
keras ke dalam mulutnya. "Makhluk seram yang mengaku iblis itu, di mana dia"
Mungkin dalam bangunan di pohon sana" Pasti dia sengaja menyekapku di sini!"
Wulan Srindi tegak terdiam.
Memandang ke bawah, tengkuknya terasa gamang.
Beberapa saat kemudian air mata meluncur di pipinya.
Tiba-tiba gadis ini menjerit, lalu duduk di salah satu sudut rumah kayu menekapi
wajah yang kotor dan pucat. Dia menjerit sampai suaranya parau. Begitu dia tak
mampu lagi menjerit kini berganti suara tangisnya yang terdengar berkepanjangan
menyayat hati. Wulan Srindi tidak sadar berapa lama dia dalam keadaan seperti itu. Gadis ini
baru hentikan tangis ketika mendadak dia mendengar ada orang bersiul-siul
diseling tawa bergelak. Wulan berdiri. Melangkah ke pintu, memandang ke bawah.
Di antara kerapatan cabang dan ranting serta daun pohon dia melihat seorang
bermuka seram seperti setan, bertubuh gemuk pendek melangkah sambil bersiul-
siul. Kulit muka dan tubuhnya tampak merah. Sambil berjalan sesekali dia meneguk
minuman yang ada dalam kendi hitam. Orang ini mengenakan baju longgar dan celana
komprang hitam. Di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar digelantungi
selusin kendi hitam. Sebagian sudah kosong sebagian lagi masih terisi penuh
minuman keras terbuat dari ketan kesukaannya.
Langkahnya aneh, huyung kiri oleng kanan. Terkadang seperti mau terjerembab
jatuh ke depan, sesekali seperti mau terjengkang ke belakang. Keadaannya tidak
beda dengan orang tengah mabuk berat.
"Dedemit muka merah! Dia yang mencekoki dengan minuman celaka itu! Selagi aku
tidak sadar jangan-jangan dia telah melakukan perbuatan keji atas diriku!" ucap
Wulan Srindi. "Biar mampus dia sekarang!"
Wulan Srindi meraba pakaiannya. Seperti diketahui sebagai murid Perguruan Lawu
Putih dia pernah membekal sejenis senjata rahasia berbentuk bulat berduri,
terbuat dari tembaga kuning yang disebut Elmaut Kuning. Meraba sekujur lekuk
pakaiannya tentu saja Wulan tidak menemu-
kan lagi senjata rahasia itu. "Sial! Hilang di mana"!" Wulan memaki sendiri.
Rahang menggembung. Sepasang mata berkilat tak berkesip ke bawah sana. Tiba-tiba
gadis ini angkat tangan kanannya. Didahului jeritan keras tangan itu dihantamkan
ke bawah, ke arah orang gemuk pendek yang tengah berjalan sambil bersiul-siul
dan sesekali meneguk minuman keras dalam kendi tanah warna hitam. Satu gelombang
angin dahsyat menderu dari rumah kayu di atas pohon.
Wusss! Kraak! Braak!
Ranting-ranting pohon berpatahan. Tiga dahan hancur dan dedaunan luruh
beterbangan. Wulan Srindi telah melepas satu pukulan mengandung tenaga dalam
tinggi disebut Menyapu Bukit Menjebol Lembah.
" Hai! Setan alas dari mana berani membokongku"!"
Teriak si gemuk pendek di bawah pohon. Walau tubuhnya tampak huyung seperti
orang mabuk namun begitu ada serangan ganas menyambar tubuh itu meliuk ke depan
seperti mau jatuh. Angin pukulan sakti lewat di atas pung-
gung. Si muka merah seram teguk minuman dalam kendi.
Byaarrr! Tanah di samping kiri orang gemuk pendek berwajah seram merah terbongkar
membentuk satu lobang besar berwarna hitam! Orang ini tertawa bergelak lalu
sambil meneguk minuman keras dalam kendi sepasang matanya melirik ke atas pohon.
"Hekk!"
Orang berwajah seram ini keluarkan suara tercekik.
"Oala, Cah Ayu! Kau rupanya yang punya pekerjaan nakal! Awas akan aku puntir
telingamu! Kalau perlu aku gebuk pantatmu!"
Habis berkata begitu si gemuk berkulit merah ini gantungkan kendi hitam ke
pinggang lalu sekali berkelebat tubuhnya melesat ke arah rumah di atas pohon!
Di depan pintu rumah di atas pohon Wulan Srindi menjerit keras lalu tubuhnya
melayang ke bawah. Tangan kiri mendekap dada, tangan kanan yang dalam keadaan
mengepal diarahkan pada orang gemuk pendek yang melesat dari arah berlawanan.
Sesaat lagi pasti akan terjadi tabrakan hebat antara kedua orang itu!
"Oala, anak edan! Apa yang kau lakukan"! Kau mau mati barengan apa"! Ha... ha...
ha!" WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
11 ANYA sepejangkauan lagi dua orang itu akan berta-
brakan hebat di udara, tiba-tiba sosok si gemuk Hmuka seram meliuk miring ke
kanan. Tangan kirinya secara aneh berubah panjang, menggelung pinggang Wulan
Srindi. Berbarengan dengan itu jari-jari tangan kanan menotok urat besar di
punggung. Saat itu juga sekujur tubuh Wulan Srindi menjadi kaku. Kini nanya
mulutnya saja yang mampu berteriak-teriak.
Sampai di dalam rumah kayu di atas pohon, si gemuk muka merah bercelana komprang
hitam lemparkan Wulan Srindi hingga terduduk di sudut ruangan.
"Manusia muka setan! Lepaskan totokan di tubuhku!
Aku ingin membunuhmu!"
Orang yang dimaki ambil kendi hitam lalu meneguk isinya dengan lahap sampai
berlelehan di dagu dan membasahi baju sementara dua matanya mengawasi Wulan
Srindi. "Kenapa kau ingin membunuhku"!" tanya si gemuk sambil menyeka mulut.
"Sewaktu aku pingsan kau pasti telah mencabuliku!"
Kendi hitam di tangan si gemuk melesat ke depan.
Braakkk! Kendi remuk hancur di dinding hanya satu jengkal di atas kepala Wulan
Srindi. Pecahan kendi bertaburan dan minuman keras membasahi rambut, wajah dan
sebagian pakaiannya. Si gadis terdiam namun kemudian tertawa cekikikan.
"Edan! Baru sekali ini aku menghadapi orang edan!
Perempuan lagi! Kalau hati tidak kasihan, kalau tidak ingin menolong, perduli
setan aku mau mengurusi!"
Wulan Srindi hentikan tawanya. Dua matanya menatap garang ke arah si gemuk
pendek bermuka merah.
"Kau kasihan"! Ingin menolong"! Mau mengurusi"!
Hik... hik... hik! Manusia bermuka wajar saja hatinya bisa sejahat setan!
Apalagi kau yang punya muka setan! Hatimu pasti sejahat iblis!"
"Cah Ayu! Ucapanmu membuat aku tersinggung. Cukup aku melihatmu sampai di sini!"
Orang itu ambil satu kendi yang tergantung di pinggang. Minum bergelegukan.
Masih tinggal setengah kendi dibanting ke lantai. Lalu dia melangkah ke pintu.
"Hik... hik! Setan bisa juga ngambek!"
Ucapan Wulan Srindi membuat si gemuk hentikan
langkah dan berpaling. Lalu tertawa gelak-gelak. Si muka merah ini rupanya punya
sifat lekas marah tapi cepat pula baik.
"Manusia muka kepiting rebus. Kau ini siapa
sebenarnya?" bertanya Wulan Srindi.
"Aku manusia gelandangan! Tukang mabuk!"
"Sebelumnya kau bilang dirimu adalah iblis!" kata Wulan Srindi pula.
"Kau boleh menyebut aku apa saja! Asal jangan
menuduh aku yang bukan-bukan!"
"Hik... hik... Dirimu mengingatkan aku pada guruku!"
"Siapa gurumu" Kau sendiri..."
"Kau akan terkejut kalau tahu siapa guruku. Apalagi tahu siapa diriku!"
"Cah Ayu, seumur hidup tidak ada satu manusia yang bisa membuat aku terkejut!
Hanya satu hal yang bisa membuat aku terkejut!"
"Hik... hik! Apa"!" tanya Wulan Srindi pula.
"Kalau minuman keras sari ketan kedoyananku tak ada lagi di dunia! Ha... ha...
ha!" Si gemuk ini hendak mengambil satu kendi yang masih penuh berisi minuman
keras namun tak jadi. "Eh, kau belum menerangkan siapa gurumu, siapa dirimu."
"Aku adalah murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!"
Wajah merah si gemuk pendek kelihatan tambah
merah. "Nah, sekarang kau ternyata bisa kubuat terkejut! Hik...
hik... hik!"
"Siapa bilang aku terkejut"!" jawab orang di hadapan Wulan Srindi lalu sambung
ucapannya. "Aku tahu kau dusta. Karena rimba persilatan tahu kalau manusia
berjuluk Dewa Tuak cuma punya seorang murid. Kalau tak salah bernama Anggini.
Padahal, tidak banyak diketahui orang, sebenarnya selain Anggini kakek itu juga
punya murid lain. Perempuan, aku lupa namanya. Tapi yang jelas bukan kau!"
"Kau bisa saja mengarang cerita. Yang jelas banyak peristiwa terjadi dalam rimba
persilatan. Selama ini rupanya kau tidak pernah menyimak kabar. Kau mungkin
hanya sibuk dengan kendi hitammu itu. Kau pasti terkejut kalau aku katakan
diriku adalah jodoh dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede!"
"Jodoh dunia akhirat Pendekar 212 Wiro Sableng!"
mengulang si muka seram berkulit merah dengan kening mengerenyit lalu tertawa
mengekeh. Ternyata manusia satu ini memang sulit dibikin terkejut. "Ngacok! Kau
bicara apa Cah Ayu! Semua orang tahu kalau pendekar yang kau sebutkan sudah
dijodohkan dengan Anggini. Hanya saja perjodohan itu memang tidak ketahuan
juntrungannya sampai saat ini..."
"Karena tidak ketahuan juntrungan itulah maka Sinto Gendeng memutuskan aku
pengganti Anggini untuk jodoh muridnya," potong Wulan Srindi dengan wajah
senyum-senyum. "Cah Ayu, jangan kau menganggap aku ini makhluk tolol. Jangan kau kira aku tidak
kenal dengan Pendekar 212!"
"Kalau begitu kelak kau bisa kujadikan saksi
pernikahanku. Hik... hik... hik! Kau bersedia bukan?"
"Ngacok! Lebih baik kau ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu."
"Apa yang terjadi dengan diriku?" Wulan Srindi terdiam.
Lalu butir-butir air mata perlahan-lahan meluncur turun ke pipinya.
"Oala, kok malah mewek, nangis?"
"Aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi. Terlalu keji, terlalu memalukan."
"Kalau kau mau cerita siapa tahu aku bisa menolong."
"Aku tidak butuh pertolonganmu..."
"Kau sudah menerima sebagian dari pertolonganku,"
kata si muka merah sambil senyum-senyum.
"Kau mau minta imbalan"!"
"Jangan bicara ngacok lagi, Cah Ayu."
"Aku korban kebejatan dua manusia biadab..." Wulan Srindi ingin menekap wajahnya
dengan kedua tangan.
Namun karena masih dalam keadaan tertotok hal itu tak bisa dilakukan. Gadis
malang ini akhirnya hanya bisa berteriak, lalu menggerung menangis. Setelah
tangisnya reda dan terus dibujuk oleh si gemuk pendek bermuka seram merah
akhirnya Wulan menuturkan apa yang telah dialaminya beberapa waktu lalu.
Beberapa saat setelah Wulan Srindi menceritakan nasib malangnya, si gemuk pendek
bertanya. "Dua orang yang merusak kehormatanmu itu, kau tahu namanya?"
"Tidak."
"Menurutku keduanya berseragam pakaian hitam. Pada dada kiri baju mereka ada
sulaman benang kuning rumah joglo serta dua keris saling bersilang."
"Benar." jawab Wulan Srindi. "Kau mengenal siapa mereka?"
"Keraton Kaliningrat. Mereka adalah orang-orang dari Keraton Kaliningrat."
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menerangkan si gemuk pendek muka seram merah.
"Aku belum pernah mendengar nama keraton itu. Di mana letaknya?" tanya Wulan
Srindi pula. "Yang disebut Keraton Kaliningrat hanyalah nama saja.
Keraton yang berbentuk gedung tak pernah ada. Keraton itu bisa saja ada di
kawasan utara atau muncul di barat.
Bisa di selatan atau di timur. Tergantung di mana para tokoh dan anggotanya saat
itu berada. Biasanya hanya untuk beberapa lama lalu berpindah lagi ke tempat
lain..." "Manusia-manusia Keraton Kaliningrat apakah mereka itu merupakan manusia-manusia
jahanam jahat atau..."
"Setahuku mereka adalah kaum pemberontak. Bebe-
rapa orang rimba persilatan berkepandaian tinggi ikut bergabung dengan mereka.
Kebanyakan dari mereka hanya berkepandaian biasa-biasa saja. Namun mereka
memiliki ilmu kebal, tahan pukulan tak mempan senjata tajam."
"Kau tahu kelemahan ilmu mereka?"
Si gemuk pendek tertawa lebar. "Aku tahu maksud pertanyaanmu. Kau punya niat
untuk balas dendam."
"Sampai jadi bangkai dan mendekam di liang kubur pun aku tetap akan membalaskan
dendam kesumat sakit hati."
Si gemuk ambil sebuah kendi, meneguk isinya sampai mukanya tambah merah. "Jika
bertemu lagi dengan kedua orang pemerkosa itu, kau masih mengenali tampang
mereka?" "Pasti. Salah satu dari mereka sempat aku gigit dagu-
nya. Gigitan itu pasti meninggalkan cacat di wajahnya."
"Cah Ayu, kalau kau ingin balas dendam biar aku memoles dirimu lebih dulu. Aku
butuh seratus hari untuk melakukannya..."
"Apa maksudmu?" tanya Wulan Srindi curiga.
Yang ditanya cuma tertawa, teguk lagi minuman keras dalam kendi. Tiba-tiba
cairan dalam mulut disemburkan ke wajah dan tubuh Wulan Srindi. Si gadis
menjerit. Wajah dan sebagian tubuhnya terasa panas seperti terbakar. Si gemuk
menyembur sekali lagi. Aneh, kalau tadi terasa panas kini Wulan Srindi merasa
wajah dan badannya menjadi dingin sejuk. Namun gadis itu belum menyadari kalau
saat itu kulit wajah, tangan dan dua kakinya telah berubah putih.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
12 ALAN tanah yang melewati rimba belantara Ngluwer, merupakan jalan pintas
terdekat yang menghubungi Jdaerah selatan dengan kawasan utara sampai ke Mungkid
dan Magel sudah lama tidak dilewati orang.
Terutama para pedagang. Mereka lebih suka memilih jalan berputar di sebelah
timur melewati kaki Gunung Merapi.
Walau lebih jauh setengah hari perjalanan namun lebih aman. Belakangan ini hutan
Ngluwer telah menjadi sarang sekelompok perampok jahat. Mereka bukan saja mem-
begal harta benda orang yang lewat di situ, tapi juga tak segan-segan membunuh para korban.
Siang itu di pinggiran hutan sebelah barat ada serom-
bongan orang berkuda terdiri dari sembilan orang. Delapan orang berkulit kuning,
bermata sipit, mengenakan topi merah dan pakaian berbentuk jubah bagus berkilat
juga berwarna merah. Beberapa di antara mereka memelihara kumis panjang
menjulai. Selain itu kedelapan orang ini membekal sebatang tombak yang ujungnya
berbentuk pisau besar, tergantung di depan pelana. Orang kesembi-
lan seorang penduduk asli, agaknya bertindak sebagai penunjuk jalan.
Ada satu keanehan pada rombongan delapan orang asing ini. Empat orang membawa
tambur, empat orang lagi membawa terompet. Setiap menempuh jalan sejarak tiga-
ratus tombak mereka berhenti. Yang membawa tambur segera memukul tambur. Yang
membawa terompet segera pula meniup terompet masing-masing. Setelah cukup lama
memainkan peralatan bebunyian itu rombongan melanjut-
kan perjalanan. Sekitar tigaratus tombak di muka mereka berhenti lagi lalu
melakukan hal yang sama, memukul tambur meniup terompet.
Siapakah sebenarnya rombongan aneh ini" Terutama delapan orang asing itu" Mereka
adalah awak kapal milik seorang pedagang dari daratan Cina yang beberapa waktu
lalu dijarah barang bawaannya ketika diduga merapat di Tuban, ternyata kemudian
diketahui berlabuh di Moro-
demak. Dari sekian banyak barang yang dirampas, satu di antaranya adalah yang
sangat berharga yaitu sebuah kantong kulit berisi candu dan madat. Penjarahan
kapal dagang itu agaknya telah disiapkan dan diatur sedemikian rupa. Tujuan
utama para perampok sebenarnya memang adalah madat seberat lebih dari 50 kati.
Dua orang perampok yang menyamar sebagai perajurit Kerajaan yaitu Surojantra dan
Jaliteng berhasil melarikan kantong kulit berisi madat itu. Kedua perampok ini
sebenarnya adalah kaki tangan kaum pemberontak yang tengah mencari dana dan
dikenal dengan sebutan orang-orang Keraton Kali-
ningrat. Seperti diceritakan dalam episode sebelumnya, Kitab Seribu Pengobatan,
Surojantra dan Jaliteng menemui ajal di tangan Pangeran Matahari. Madat satu
kantong kemudian jatuh ke tangan Rakadanu dan Galirenik yang punya tugas untuk
mendapatkan madat tersebut. Mereka adalah orang-orang Keraton Kaliningrat. Namun
sebelum sempat kembali ke markas, keduanya menemui ajal di tangan murid kembar
Hantu Malam Bergigi Perak. Madat satu kantong besar kini berada di tangan si
nenek sakti bermuka angker itu. Sementara dua orang dari Keraton Kaliningrat
lainnya, Kuntorandu dan Pekik Ireng, yang diperintahkan untuk mengamankan madat,
tidak berhasil menemui dua temannya. Malah kemudian mereka bertemu Wulan Srindi
dan memperkosa gadis itu.
Rombongan delapan awak kapal dagang Cina yang
berlabuh di Morodemak mendapat perintah untuk mencari dan menemukan kembali
madat yang telah dijarah. Di bawah pimpinan nakhoda Long Cie mereka membawa
seorang penunjuk jalan sekaligus juru bahasa. Sang penunjuk jalan yang bernama
Amangrejo mengetahui kalau sejak beberapa lama rimba belantara Ngluwer telah
menjadi sarang perampok ganas. Dengan dugaan bahwa para perampok hutan inilah
yang telah merampas kantong berisi madat, maka Amangrejo membawa rombongan awak
kapal Cina ke kawasan itu. Karena tidak tahu pasti di mana letak sarang para
penjahat maka mereka pergunakan siasat untuk memancing dan menarik perhatian.
Yaitu mereka sengaja menabuh tambur dan meniup terompet.
Setelah hampir setengah harian mundar-mandir di ping-
giran rimba belantara Ngluwer pancingan mereka akhirnya berhasil juga.
Di satu tempat selain kerasnya rombongan memukul tambur dan meniup terompet,
tiba-tiba dari dalam hutan terdengar suara suitan-suitan nyaring saling
berbalasan dari beberapa penjuru. Tak berselang berapa lama muncul duabelas
orang berpakaian dan berikat kepala kuning pekat. Tampang garang, rata-rata
memelihara cambang bawuk liar. Sekali bergerak keduabelas orang ini telah
mengurung rombongan orang asing penabuh tambur peniup terompet.
Amangrejo segera turun dari kudanya. Sementara delapan awak kapal dari Cina
tetap di atas kuda masing-masing. Amangrejo membungkuk beberapa kali lalu kelu-
arkan ucapan. Penunjuk jalan ini sadar sekali kalau saat itu dia tengah
berhadapan dengan kelompok perampok yang bisa menilai nyawa manusia tidak lebih
berharga dari seekor kodok dalam comberan.
"Salam hormat dan persahabatan untuk para kerabat dari hutan Ngluwer. Mohon
tanya siapakah yang bertindak sebagai pimpinan dari para kerabat di sini"!"
Duabelas orang yang mengurung rombongan berkuda hampir semua bertubuh tinggi
besar dan galak. Namun yang maju ke arah Amangrejo justru adalah seorang ber-
tubuh pendek, berkumis dan bercambang bawuk lebat tapi berkepala botak plontos.
Sepasang mata berwarna merah namun juling. Hingga walau tampak galak tapi ada
lucunya juga. Amangrejo agak bingung. Jelas orang melangkah ke hadapannya namun
pandangan matanya tertuju ke jurusan lain!
"Kami adalah orang-orang hutan Ngluwer tidak butuh penghormatan kalian. Kami
tidak merasa ada persaha-
batan antara kita!" Si pendek bermata juling keluarkan ucapan. Walau pendek
namun suaranya besar serak. Dia bicara sambil dua tangan diletakkan di pinggang
dan sepasang mata juling memandang berputar.
Mendengar ucapan orang yang tidak bersahabat
Amangrejo cepat-cepat membungkuk. "Ah, harap maafkan kalau kedatangan kami
mengganggu ketenangan para sahabat."
Si pendek bermata juling goyangkan kepala ke arah depan penunggang kuda di
belakang Amangrejo.
"Siapa delapan monyet bermata sipit berdandan bagus ini"! Apakah rombongan
pengamen dari negeri seberang, membawa tambur dan terompet segala"!"
"Mereka adalah awak kapal dagang dari Tiongkok.
Mereka ingin mencari keterangan tentang satu kantong candu yang lenyap dijarah
di pelabuhan Morodemak..."
"Mencari keterangan atau ingin menuduh kami yang merampok candu itu" Bicara yang
jelas!" Bentak si juling pendek.
"Dengar, kami datang hanya untuk mencari keterangan.
Kalau para sahabat tahu, orang-orang ini bersedia mene-
bus candu itu dengan barang-barang perhiasan senilai satu setengah kali harga
candu." Si pendek juling pencongkan mulut. Dia memandang berkeliling pada sebelas
temannya. Keduabelas orang itu kemudian tertawa tergelak-gelak.
"Kau yang jadi kacung orang asing!" si jereng menuding pada Amangrejo. "Siapa
namamu"!"
"Nama saya Amangrejo."
"Amangrejo! Kalau dirimu cuma seorang kacung
penunjuk jalan, kami tidak heran kau berlaku tolol! Tapi jangan berani membagi
ketololan pada kami orang-orang hutan Ngluwer! Kalau kalian membawa perhiasan
yang harganya satu setengah kali nilai candu, coba katakan apakah ada manusia
yang lebih tolol dari kalian di kolong langit ini"!"
Ucapan si pendek berkepala botak itu disambut gelak tawa kawan-kawannya yang
sebelas orang. "Amangrejo, kami masih mau berbaik-baik denganmu.
Coba perlihatkan dulu barang-barang perhiasan yang kalian bawa."
Amangrejo berpaling pada rombongan orang-orang berjubah merah lalu bicara dalam
bahasa Cina. Salah satu dari delapan orang asing yang menunggang kuda dan
memelihara kumis panjang menjulai yang bukan lain adalah nakhoda Long Cie
menyahuti. Amangrejo lalu berpaling kembali ke arah si pendek botak.
"Menurut nakhoda Long Cie, pimpinan awak kapal, dia akan memperlihatkan
perhiasan itu, bahkan akan membe-
rikan pada kerabat setelah dia melihat dan menerima candu."
Tampang si botak tampak menggembung merah.
"Katakan pada keparat mata sipit itu! Aku Surah Nenggolo pimpinan orang-orang
hutan Ngluwer di tempat ini! Di sini berlaku peraturan kami. Mulutku hukumku!
Jika dia tidak suka dan tidak mau ikut aturan kami silahkan pergi. Tapi dia
tetap harus menyerahkan semua barang perhiasan yang dibawa. Atau mereka semua
menukar dengan meninggalkan nyawa!"
Amangrejo menyampaikan apa yang dikatakan si botak pendek. Waktu bicara mata
kirinya dikedipkan. Long Cie mengangguk lalu bicara pada dua temannya. Dua orang
itu mengeluarkan masing-masing satu peti kayu dari kantong pelana masing-masing
lalu turun dari kuda dan meletakkan dua peti di tanah, beberapa langkah di
hadapan Surah Nenggolo.
"Bagus," kata si gemuk botak pula. "Sekarang suruh semua orang itu turun dari
kuda mereka."
Permintaan itu diteruskan Amangrejo pada Long Cie.
Bagi nakhoda kapal, ini adalah suatu permintaan aneh. Dia memutuskan untuk tetap
berada di atas kuda namun menyuruh turun lima anak buah kapal yang masih duduk
di atas kuda. Kelima orang ini gantungkan tambur dan terompet mereka di leher
kuda masing-masing lalu turun ke tanah.
Surah Nenggolo perhatikan Long Cie beberapa lama lalu mendekati seorang anak
buahnya dan berbisik. "Sipit satu itu agaknya punya otak cerdik pandangan tajam.
Jika terjadi keributan kau harus membunuhnya lebih dulu."
Setelah itu Surah Nenggolo menyuruh dua orang anak buahnya yang lain membuka
penutup peti kayu yang tergeletak di tanah.
Begitu tutup dua peti terbuka menghamburlah delapan ekor ular kobra dan langsung
menyerang ke arah para perampok. Surah Nenggolo dan sebelas anak buahnya jadi
kalang kabut. Dua orang kena dipatuk ular kobra menjerit keras, roboh ke tanah,
kelojotan beberapa ketika lalu kaku tak bergerak lagi.
Surah Nenggolo berteriak seperti anjing melolong.
Seperti kesurupan dia berkelebat kian kemari, menabas, membacok dengan golok
besarnya ke arah ular-ular kobra besar. Beberapa anak buahnya datang membantu.
Seben- tar saja delapan ular kobra bergeletakan mati di tempat itu.
Kini perhatian Surah Nenggolo dan sisa sembilan anak buahnya tertuju pada
rombongan awak kapal dagang Cina.
"Jahanam keparat! Kucincang kalian semua!" teriak Surah Nenggolo. Tubuhnya
berkelebat enteng. Delapan dari sembilan anak buahnya ikut menghambur. Golok
besar di tangan kanan diputar sebat menghadapi tujuh orang awak kapal yang telah
turun ke tanah dan menyerbu dengan bersenjatakan golok panjang. Amangrejo
sendiri kabur berlindung di tempat yang aman.
Pertempuran berlangsung hebat tapi cepat. Setelah membuat beberapa kali gebrakan
enam orang awak kapal dagang Cina yang bersenjatakan golok berseru kaget ketika
tusukan dan bacokan senjata mereka sama sekali tidak mempan terhadap tubuh
lawan. Senjata masing-masing seperti membal malah ada yang sampai terlepas
mental. Selagi mereka terkejut dan takut Surah Nenggolo dan anak buahnya dengan
cepat membalas serangan.
Kurang dari dua jurus, keenam orang awak kapal dagang itu berkaparan di tanah.
Darah mengucur dari luka-luka mengerikan yang menguak di kepala, dada dan perut!
Sementara itu anak buah yang tadi dibisiki Surah Nenggolo dengan golok di tangan
melesat ke arah nakhoda Long Cie yang saat itu masih duduk di atas kuda.
Goloknya berkelebat ke perut Long Cie. Awak kapal ini sentakkan tali kekang
kuda, berkelit ke kiri. Ketika lawan menyerang kembali Long Cie sudah memegang
sebatang tombak.
Traangg! Tombak dan golok beradu di udara. Anak buah Surah Nenggolo berseru kaget ketika
dapatkan senjatanya terle-
pas mental dari genggaman. Selagi tubuhnya melayang ke tanah, tombak di tangan
Long Cie menusuk deras ke depan.
Craass! Tombak bermata seperti pisau besar itu menembus dada anak buah Surah Nenggolo.
Orang ini hanya bisa keluarkan keluhan pendek. Mulut menganga mata men-
delik. Long Cie lepas tombaknya. Tubuh yang sekarat di ujung tombak jatuh
terbanting ke tanah.
Surah Nenggolo menggembor marah. Bersama bebe-
rapa anak buahnya dia segera mengejar Long Cie yang tengah memutar
tunggangannya. "Serang kudanya!" Teriak Surah Nenggolo.
Tiga golok besar melesat di udara. Satu menyambar ke arah kepala kuda, satu ke
kaki, satu lagi ke jurusan perut.
Dengan sigap Long Cie cabut golok panjang di balik punggung. Senjata itu diputar
untuk melindungi diri dan kuda tunggangannya.
Traang! Traang! Traang!
Terdengar tiga kali suara berdentrangan. Tiga golok yang dilemparkan anak buah
Surah Nenggolo mental, satu di antaranya patah dua. Surah Nenggolo nekad
memburu. Dia sama sekali tidak menyerang nakhoda itu tapi berusa-
ha membabat salah satu kaki kuda. Namun Long Cie lebih cepat. Sambil membungkuk
dia babatkan golok besar di tangan kanannya dengan deras ke dada pemimpin rampok
hutan Ngluwer ini.
Breett! Dada pakaian Surah Nenggolo robek besar. Manusia botak pendek ini cepat jatuhkan
diri ke tanah. Sesaat mukanya tampak pucat ketika dilihatnya nakhoda kapal
dagang Cina itu memutar kuda. Surah Nenggolo cepat lemparkan golok besarnya ke
arah Long Cie. Namun satu-satunya awak kapal dagang yang hidup ini masih bisa
selamatkan diri dengan menjatuhkan diri sama rata di punggung kuda. Golok yang
dilempar Surah Nenggolo melesat hanya seujung kuku di atas punggung Long Cie.
Selain mempunyai jabatan sebagai nakhoda kapal dagang rupanya Long Cie juga
mempunyai kepandaian silat lumayan.
"Keparat jahanam! Aku bersumpah akan mencarimu di Morodemak!" teriak Surah
Nenggolo marah besar. Si botak usap mukanya beberapa kali. "Bangsat satu itu
tidak mau turun dari kudanya. Apakah dia..." Tiba-tiba sudut mata Surah Nenggolo
melihat semak belukar di depan sana bergerak. Dia segera hantamkan pukulan
tangan kosong. Angin deras menderu.
Braaakk!
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semak belukar terbongkar hancur. Satu jeritan ter-
dengar. Ketika Surah Nenggolo melompat dan menyelidik ke balik semak belukar dia
menemukan Amangrejo sudah jadi mayat dengan darah masih mengucur dari mulut.
"Keparat pengkhianat! Mau-mauan jadi kaki tangan orang asing! Sekarang rasakan
sendiri!" Si botak ludahi mayat Amangrejo lalu pergi menemui anak buahnya yang
kini tinggal sembilan orang.
"Kita harus menemui pimpinan. Orang Cina sudah tahu kalau kelompok kita yang
menjarah candu. Padahal candu celaka itu entah berada di mana sekarang! Aku akan
berangkat duluan. Siapa di antara kalian yang bisa menunggang cepat memilih kuda
yang ditinggalkan orang Cina itu. Ikut aku!"
Surah Nenggolo melompat ke atas seekor kuda besar.
Ketika dia hendak menggebrak binatang itu tiba-tiba seorang anak buahnya
berteriak. "Surah! Lihat! Di atas pohon!"
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
13 URAH Nenggolo mendongak, memandang ke atas
pohon yang ditunjuk anak buahnya. Di atas dahan Spaling tinggi, duduk berjuntai
seorang perempuan berpakaian biru berwajah putih. Pinggangnya dililit satu ikat
pinggang kulit besar. Pada ikat pinggang ini tergantung lima buah kendi kecil
berwarna hitam. Kendi keenam berada di tangan kiri. Sambil duduk ongkang-ongkang
kaki perempuan berpakaian biru teguk minuman keras yang ada dalam kendi hitam
hingga wajahnya berubah kemera-
han. Sesekali dia sunggingkan seringai ke arah orang-orang di bawah pohon.
"Hanya seorang perempuan muda kurang ingatan, perlu apa diurusi!" seorang anak
buah Surah Nenggolo bernama Jantring keluarkan ucapan.
"Kau hanya melihat dengan mata, tidak pakai otak!"
damprat Surah Nenggolo. "Dia bukan gadis sinting biasa.
Dia punya kepandaian. Kalau tidak bagaimana bisa berada di atas pohon, menenggak
minuman dalam kendi. Kita harus menyelidik. Jangan-jangan dia mata-mata
Kerajaan. Jantring, coba kau naik ke atas pohon. Paksa perempuan itu turun ke tanah!"
Jantring merasa menyesal keluarkan ucapan. Namun karena ini adalah perintah
atasan maka segera saja dia jejakkan kaki ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas
pohon. "Ooo... ooo! Siapa yang mengundangmu naik ke atas pohon"!" Perempuan yang duduk
di cabang pohon teguk cairan dalam kendi. Ketika Jantring hampir mencapai dahan
pohon di mana dia berada tiba-tiba si muka putih ini semburkan cairan dalam
mulutnya. Wusss!!! Jantring tidak menduga akan mendapat serangan
seperti itu. Dia coba menggapai cabang pohon di sebelah kiri sekaligus berusaha
melindungi muka dengan tangan yang lain dari semburan cairan berbau sangat
menyengat. Tapi gagal. Semburan cairan mengenai mukanya. Rampok hutan Ngluwer ini terpental
dan menjerit setinggi langit.
Suara jeritan itu tersentak putus ketika tubuhnya jatuh bergedebuk di tanah.
Surah Nenggolo dan anak buahnya cepat mendatangi. Semua mengerenyit ngeri ketika
meli- hat bagaimana wajah Jantring nyaris tak bisa dikenali lagi.
Hancur hangus penuh lubang.
Di atas pohon, perempuan berwajah putih tertawa panjang cekikikan.
Amarah si botak bermata juling Surah Nenggolo mele-
dak melihat kematian Jantring. Didahului satu teriakan dahsyat dia hendak
melesat menyerbu ke atas pohon.
Namun salah seorang anak buahnya cepat menahan, memegang lengannya lalu
berbisik. "Perempuan aneh itu berada di atas pohon. Kalau diserang... lihat apa yang
terjadi pada Jantring." Ucapan si anak buah membuat Surah Nenggolo sadar akan
sesuatu. Dengan mata berkilat dia ambil golok yang ada di tangan dua orang anak buahnya.
Lalu dua senjata ini dilemparkan ke atas pohon. Tapi orang yang jadi sasaran
serangan ternyata tidak ada lagi di dahan tempat tadi dia duduk. Dua golok
menembus dedaunan, melesat di udara kosong.
Suara cekikikan kembali menggema di dalam rimba belantara. Mau tak mau selain
terperangah Surah Neng-
golo dan anak buahnya jadi merinding juga.
"Botak pendek! Apa matamu sudah buta"! Aku berada di sini! Mengapa menyerang
tempat kosong"! Hik... hik...
hik!" Para perampok hutan Ngluwer jadi terkejut geger ketika mereka melihat perempuan
yang tadi diserang dengan golok ternyata memang telah berpindah ke pohon lain
dan duduk tertawa-tawa di salah satu cabang pohon.
"Kalian sungguh tidak berbudi! Aku mau mengundang minum. Kalian malah
menyerang!"
"Perempuan muka putih! Setan atau apapun kau
adanya! Jangan jual lagak di atas pohon! Turun ke sini!"
teriak Surah Nenggolo sambil menjambak sendiri cambang bawuknya saking kesal.
Orang yang diteriaki tertawa panjang.
"Apakah aku cantik hingga kau menganggap aku jual lagak"!" Perempuan di atas
pohon liukkan badan hingga sebagian pinggang dan perutnya tersingkap menggairah-
kan. Dia kemudian menatap ke arah Surah Nenggolo lalu meneguk minuman keras
dalam kendi hitam. Setelah usap lelehan cairan di sekitar bibirnya dia berkata
dengan suara keras. "Botak pendek! Kau minta aku turun ke tanah! Aku malah mau
mengundangmu naik ke atas pohon biar aku suguhi minuman sedap yang membuat badan
jadi segar, mata nyalang, pikiran lepas, dada lapang! Hik... hik... hik!
Apa kau dan anak buahmu malu-malu menerima unda-
nganku"! Apakah aku tidak cukup cantik dan menggiurkan untuk duduk berhangat-
hangat berdampingan dengan kalian di atas pohon ini" Hik... hik... hik!"
Mendengar ucapan orang yang menyuruh mereka naik ke atas pohon Surah Nenggolo
dan anak buahnya yang kini tinggal delapan orang saling pandang. Salah seorang
dari mereka membisiki. "Surah, jangan-jangan perempuan di atas pohon itu
tahu..." "Kita harus menyelidik siapa dia adanya. Lalu mem-
bunuhnya!" Surah Nenggolo potong ucapan anak buahnya.
Dia memandang ke atas pohon lalu berkata dengan suara keras. "Perempuan muda..."
"Perempuan muda!" orang di atas pohon mengulang ucapan Surah Nenggolo dengan
suara keras lantang. "Kau memanggil aku perempuan muda. Apakah menurutmu aku ini
tidak gadis lagi"! Kurang ajar! Jangan kau berani menghina!" Habis berteriak
perempuan ini keluarkan suara menggerung seperti menangis.
Melihat orang bersikap aneh, Surah Nenggolo cepat berkata. "Gadis cantik di atas
pohon, harap maafkan kalau aku salah memanggil dirimu. Juga terima kasih atas
undangan minum. Namun aku rasa dahan pohon itu terlalu sempit untuk kami
sembilan orang! Bagaimana kalau kau saja yang turun ke sini! Mari kita bicara.
Siapa tahu aku bisa melupakan kematian tiga anak buahku dan kita bisa
bersahabat!"
Perempuan muka putih berpakaian biru gelap di atas pohon tertawa panjang.
Agaknya dia senang dipanggil gadis cantik. Dia tutup tawanya dengan berkata.
"Bagus juga. Ternyata kau bukan manusia bangsa pendendam.
Aku pikir mungkin kita memang bisa bersahabat! Aku penuhi permintaanmu. Aku
segera turun!" Habis keluarkan ucapan perempuan itu gerakkan tangan kirinya.
Kraakk! Dahan pohon sebesar paha manusia patah, melayang jatuh ke tanah. Perempuan muka
putih menyusul turun.
Ketika dia sampai di bawah kakinya tidak langsung menginjak tanah, tapi bertumpu
pada patahan dahan pohon. Tubuhnya tegak tak bisa diam. Bergoyang huyung ke kiri
ke kanan, sesekali oleng ke depan atau ke belakang. Keadaannya tidak beda orang
mabok. Melihat orang berdiri tidak menginjak tanah, Surah Nenggolo dan semua anak
buahnya saling pandang.
"Hai! Sesuai permintaan aku sudah turun. Sekarang kenapa kalian kelihatan
seperti bengong"! Mari kita minum-minum..." Perempuan muka putih angkat
tangannya yang memegang kendi hitam.
Surah Nenggolo maju dua langkah. Dia tidak berani terlalu dekat dengan perempuan
yang berdiri di atas dahan pohon. Sebaliknya orang yang didatangi memandang
lekat-lekat. Pertama ke arah dada pakaian kuning Surah Nenggolo yang robek besar
akibat sambaran pedang Long Cie tadi. Dia melihat di balik pakaian kuning di
sebelah luar, di bagian dalam kepala rampok ini mengenakan pakaian lain berwarna
hitam. Pandangan kedua diarahkan pada wajah Surah Nenggolo.
"Tampangmu lucu! Ternyata matamu jereng! Hik... hik...
hik! Pantas tadi kau keliru melakukan serangan! Hai aku bisa mengobati mata
julingmu. Dicongkel yang kiri dipindah ke kanan, yang kanan dipindah ke kiri.
Mau?" Rahang Surah Nenggolo menggembung. Walau marah dan jengkel namun dia jawabi
ucapan orang dengan tenang.
"Sekarang kita telah menjadi sahabat. Boleh-boleh saja kita bicara lucu-lucuan.
Apakah kami boleh tahu siapa gerangan nama sahabat, apakah juga punya gelar atau
julukan gagah dalam rimba persilatan" Selama ini kami terlalu lama mendekam
dalam hutan hingga tidak tahu kalau ada tokoh-tokoh baru rimba persilatan yang
bermunculan. Harap sahabat kami gadis cantik sudi memberi tahu."
Perempuan muka putih mendongak lalu tertawa
panjang. "Yang namanya rampok itu tentu saja selalu mendekam dalam hutan. Kalau
ada mangsa, baru muncul seperti tadi kau dan anak buahmu membantai orang-orang
Cina." Tampang Surah Nenggolo tampak merah mendengar
ucapan yang mengejek itu.
"Eh, tadi kau tanya nama dan gelarku. Menurutmu apa nama yang bagus dan gelar
yang pantas untukku?"
Mendengar pertanyaan orang Surah Nenggolo jadi kesal. Namun dia berlaku cerdik
dan alihkan pembicaraan.
"Sahabat, aku lihat sedari tadi kau hanya berdiri di atas dahan pohon. Mengapa
tidak turun ke tanah agar kita bisa segera menikmati minuman yang kau tawarkan?"
"Hai, apa kau tidak melihat kasut kakiku masih baru"
Aku tidak mau mengotori alas kaki baru ini!" jawab perempuan muka putih sambil
angkat salah satu kakinya.
Ternyata dia memang mengenakan kasut yang masih baru sebagai alas kedua kakinya.
"Kau juga tetap tidak mau memberi tahu siapa dirimu pada kami kawan-kawan
barumu?" "Tidak ada perlunya. Kalian mau ikutan minum atau tidak?"
"Sahabat, jika kau menyembunyikan siapa dirimu, kami menaruh curiga. Jangan-
jangan kau adalah mata-mata yang dikirim Kerajaan!" Kata Surah Nenggolo pula.
"Ah, kalau kau punya kecurigaan seperti itu berarti kau tidak sebenarnya jujur
ingin bersahabat denganku!
Manusia jereng atau juling sepertimu ini tidak bisa dipercaya! Hik... hik!
Sekarang terpaksa aku membatalkan niat mengundang kalian minum. Lebih baik aku
minum sendiri!"
Gluk... gluk... gluk.
Selagi si gadis asyik meneguk minuman keras dalam kendi Surah Nenggolo memberi
tanda pada delapan anak buahnya. Pada tiga anak buah yang terdekat dia berkata.
"Serang sampai dia turun dari atas dahan. Jaga jarak. Hati-hati semburan minuman
keras. Jangan sampai kena digebuk." Tanpa banyak menunggu delapan orang anak
buah Surah Nenggolo, empat bersenjata golok, empat mengandalkan tangan kosong
segera menyerbu.
"Kurang ajar! Benar-benar tidak berbudi! Mula-mula katanya bersahabat. Lalu
menaruh curiga. Sekarang malah menyerang!" Si muka putih berteriak marah. Satu
sambaran golok yang mengarah kepalanya ditangkis dengan kendi di tangan kiri.
Kendi hancur berantakan.
Orang yang menyerang terpekik ketika satu tendangan menghantam dan membobol
perutnya. Darah menyembur dari mulut, sebagian memercik mengotori kaki kanan
perempuan muka putih. Perempuan ini berteriak marah.
"Jahanam kurang ajar! Kau memecahkan kendiku! Kau mengotori kasut baruku! Mampus
semua!" Dalam kemara-
hannya perempuan itu melesat setinggi satu tombak ke udara. Korban kedua jatuh
ketika lagi-lagi kaki si muka putih berkelebat kirimkan tendangan yang membuat
pecahnya kepala salah seorang anggota rampok hutan Ngluwer.
Pada waktu perempuan itu melesat ke arah Surah Nenggolo cepat pergunakan
kesempatan menendang dahan kayu yang tergeletak di tanah hingga terpental jauh.
Ketika lawan melayang turun dan jejakkan kaki di tanah, Surah Nenggolo
berteriak. "Sekarang!" Dengan sebilah golok di tangan bersama anak buahnya yang
kini bersisa enam orang Surah Nenggolo menyerbu perempuan muka putih. Serangan
dari tujuh penjuru ini yang disebut jurus Menjepit Bumi Membantai Gunung sungguh
ganas luar biasa. Sasaran serangan tak mungkin selamatkan diri.
Namun apa yang terjadi" Ketika tujuh lawan menyerbu secepat kilat perempuan muka
putih luncurkan tubuh ke bawah. Dia menyelinap di antara kaki-kaki lawannya
sambil pukulkan tangan kiri kanan.
Bukkk! Buukkk! Dua anggota rampok terpental dan jatuh terbanting ke tanah. Namun cepat bangkit
kembali. "Bangsat perempuan! Jangan kabur!" teriak Surah Nenggolo.
"Siapa kabur! Aku di sini! Hik... nik... hik!"
Terdengar jawaban disusul tawa cekikikan.
Gluk... gluk... gluk!
Semua kepala dipalingkan. Surah Nenggolo melihat perempuan muka putih itu
ternyata berdiri dengan tangan kiri di pinggang, mulut meneguk minuman keras
dalam kendi hitam sementara sepasang mata mengawasi dua orang anggota rampok
yang tadi berhasil digebuknya.
Hebatnya perempuan ini tidak langsung berdiri di tanah tapi tegak di atas mayat
salah seorang awak kapal dagang Cina! Seperti tadi tubuhnya tampak terhuyung-
huyung kian kemari.
WIRO SABLENG PERJANJIAN DENGAN ROH
14 ELIHAT semua yang terjadi, salah seorang anak
buah Surah Nenggolo dekati pimpinannya dan
Mberbisik, "Surah, lebih baik kita menghindar saja.
Melawan perempuan sinting tapi berkepandaian tinggi kita bisa habis semua."
"Tutup mulutmu! Aku yang mengatur perintah! Bukan kau!" semprot Surah Nenggolo.
"Aku masih penasaran.
Kita serang sekali lagi dengan jurus Langit Terang Memancung Rembulan. Cari
senjata! Apa saja!"
Semua anggota rampok segera mengambil tombak dan golok yang bergeletakan banyak
di tanah. Masing-masing kini memegang dua senjata termasuk sang pemimpin.
Sementara perempuan muka putih masih asyik-asyikan meneguk minuman keras dalam
kendi hitam. Didahului teriakan keras dari Surah Nenggolo, tujuh pasang tangan
bergerak. Empatbelas senjata melesat ke udara, mengarah sasaran, mulai dari
kepala sampai ke betis perempuan muka putih.
Tiba-tiba dalam satu kecepatan sulit dibayangkan, orang yang diserang seperti
tumbang jatuh punggung ke tanah. Sementara lebih dari selusin senjata menyambar
ganas kurang setengah jengkal dari atas tubuhnya, si muka putih gulingkan diri
di tanah. Sambil berguling tangan kiri lepaskan satu pukulan tangan kosong,
mulut semburkan minuman keras. Dua orang anak buah Surah Nenggolo menjerit.
Kedua-nya roboh ke tanah, melejang-lejang kelojotan. Empat kawan mereka diam
terpaku, kaget dan mulai leleh nyali masing-masing.
"Jahanam kurang ajar! Aku mengadu jiwa denganmu!"
teriak Surah Nenggolo marah besar. Tubuhnya melesat mengejar perempuan muka
putih yang masih bergulingan di tanah. Tangan kanan menghantam dua kali
berturut-turut ke arah punggung.
"Mati kau!" teriak Surah Nenggolo.
Buumm! Bumm! Byaarr! Byaarr!
Dua letusan keras menggelegar. Di tanah kelihatan dua lobang besar. Asap hitam
mengepul. Di balik asap terdengar tawa cekikikan. Tiba-tiba sebuah kendi hitam
melayang ke arah kepala Surah Nenggolo. Kepala rampok ini menangkis dengan
pukulan tangan kiri. Kendi hancur berantakan. Kendi itu ternyata kosong.
"Botak jereng! Aku di sini!"
Surah Nenggolo berpaling ke belakang. Saat itu juga satu pukulan keras
menghantam dadanya. Manusia bertubuh pendek ini terpental sampai dua tombak,
tapi segera bangun tanpa cidera sedikitpun.
"Hemmm... aku sudah menduga," ucap perempuan
muka putih sambil menyeringai. Dia maju selangkah. Kaki kiri diselipkan ke
punggung mayat awak kapal dagang Cina yang tergeletak di tanah. Begitu kaki itu
Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digerakkan ke atas dan sosok mayat melesat di udara ke arah Surah Nenggolo dan
anak buahnya berdiri, perempuan muka putih cepat melompat. Sesaat kemudian dia
telah berdiri di atas mayat awak kapal dagang yang meluncur di udara.
Dalam kagum dan juga rasa kecut yang mulai
membayangi dirinya, Surah Nenggolo berikan perintah pada anak buahnya. "Kalian
serang mayatnya. Perempuan keparat itu serahkan padaku!"
Empat anggota rampok yang sebenarnya sudah ciut nyalinya namun takut pada
pimpinan mereka terpaksa menghambur maju dan lancarkan serangan ke arah mayat
yang dipakai tumpangan untuk meluncur. Sementara Surah Nenggolo angkat tangan
kanan. Tangan itu tampak bergetar hebat dan berubah warna menjadi kehitaman.
Kepala perampok ini memang punya satu pukulan sakti disebut Wesi Kala Item.
Pukulan sakti ini mengandung racun sangat jahat. Lawan yang hanya terkena sapuan
anginnya saja pasti akan cidera kulitnya dan cacat sengsara seumur hidup.
Empat pukulan keras menghantam mayat awak kapal hingga dagingnya remuk dan
tulang-tulang berderak patah.
Tubuh perempuan yang berada di atas sosok mayat kelihatan oleng seperti mau
jatuh ke tanah.
"Hai, aku pinjam kepalamu!" teriak si muka putih lalu blek! Enak saja kaki
kirinya hinggap di kepala salah seorang rampok. Bersamaan dengan itu dia tarik
lepas sebuah kendi. Sambil meneguk minuman keras dalam kendi kaki kanannya
mencari sasaran kepala perampok yang berdiri paling dekat. Tak ampun lagi rampok
ini terpental melintir dan terkapar di tanah dengan rahang rengkah.
Wuss! Cahaya hitam berkiblat dari tangan Surah Nenggolo yang melepas pukulan Wesi Kala
Item. Perempuan muka putih bergumam. Mulutnya terbuka menyembur minuman keras.
Dess! Dess! Buum!
Satu letupan keras menggema di tempat itu, meng-
goncang rimba belantara Ngluwer. Surah Nenggolo tutupi muka dengan kedua tangan.
Mulut berteriak keras. Tubuh terjengkang di tanah. Dua tangannya tampak hangus
dan ada bercak-bercak hitam.
"Celaka!" ucap kepala rampok ini dengan muka pucat.
Racun Wesi Kala Item yang dilepas, akibat semburan minuman keras lawan ternyata
berbalik mengenai kedua tangannya sendiri.
Tawa cekikikan mengumbar di udara. Putuslah nyali kepala rampok hutan Ngluwer
ini walau di depan sana dilihatnya perempuan muka putih terhuyung-huyung lalu
jatuh berlutut di tanah akibat letupan keras tadi.
Ketika Surah Nenggolo menghambur kabur tinggalkan tempat itu, tiga orang anak
buahnya yang masih hidup telah minggat lebih dulu. Dua orang yang hancur kakinya
hanya bisa mengerang merasakan sakit amat sangat.
"Hik... hik! Botak mata jereng! Enak saja mau kabur!
Tunggu dulu! Ada yang akan aku tanyakan padamu!"
Surah Nenggolo percepat lari, masuk ke dalam hutan.
Namun kakinya seperti dipantek ketika mendadak di depan sana sosok perempuan
muka putih tahu-tahu muncul menghadang. Tubuh terhuyung-huyung, mulut
menyeringai. Kepala rampok ini segera memutar arah lari.
Lagi-lagi dia terperangah karena perempuan tadi sudah ada di hadapannya dan
sekali tangannya bergerak baju kuning yang dikenakannya robek besar. Seperti
tadi yang dilihat dan diduga perempuan muka putih ternyata di balik baju kuning,
kepala rampok ini mengenakan sehelai pakaian hitam. Pada dada kiri ada sulaman
benang kuning rumah joglo dan sepasang keris bersilang. Melihat sulaman ini
perempuan muka putih berteriak keras, mata mendelik seperti memandang setan!
"Benar dugaanku! Kau orang Keraton Kaliningrat."
Secepat kilat jari telunjuk tangan kanan perempuan muka putih menusuk kelopak
mata kanan Surah Nenggolo.
"Dengar, matamu akan aku cungkil jika kau tidak menjawab apa yang aku tanyakan!"
"Jangan! Ampuni selembar jiwaku! Aku akan jawab apa saja yang kau tanyakan!"
Kepala rampok itu tampak sangat ketakutan. Tubuh menggigil, wajah seputih
kertas. "Di mana sarangmu! Di mana Keraton Kaliningrat"!"
"Aku... sarang kami di dalam rimba belantara. Selalu berpindah-pindah. Sejak
beberapa lama ini kami menjadikan hutan Ngluwer sebagai markas..."
"Bagus! Sekarang katakan di mana letak Keraton Kaliningrat. Apa letaknya sama
dengan sarangmu?"
"Yang namanya Keraton Kaliningrat tak ada ujud tak ada bentuk. Letaknya bisa di
mana saja!"
"Bangsat juling! Siapa percaya ucapanmu!" Tusukan jari di kelopak mata kanan
semakin dalam, menembus kulit hingga darah mulai mengucur. Surah Nenggolo
menahan sakit setengah mati. Dia merasa bola matanya seperti mau melompat
keluar. "Aku tidak berdusta. Kau boleh mencungkil mataku!
Kau boleh membunuhku tapi kau tidak akan mendapat jawaban lain."
"Begitu?" si muka putih menyeringai. "Kalau begitu antarkan aku ke tempat di
mana terakhir kali beradanya Keraton Kaliningrat!"
"Percuma saja. Kau tidak akan menemukan siapa-siapa di tempat itu."
"Hemmm..." Si muka putih bergumam, berpikir-pikir.
"Gadis cantik, aku mohon kau mengampuni selembar jiwaku. Aku bersumpah benar-
benar tidak tahu apa-apa mengenai Keraton Kaliningrat. Dalam jajaran mereka aku
tak lebih dari seorang kacung."
"Kau seorang kacung" Kasihan sekali. Hik... hik.
Baiklah, aku akan mengampuni selembar nyawamu. Jika kau bertemu dengan orang-
orang Keraton Kaliningrat katakan bahwa kita bersahabat. Sekarang ulurkan tangan
kananmu. Aku ingin berjabatan tangan denganmu!"
"Ah, kau baik sekali. Terima kasih..." Surah Nenggolo jatuhkan diri berlutut dan
membungkuk berulang kali. Lalu dia angkat tangan kanan, siap untuk menyalami.
Tiba-tiba sebuah kendi hitam berkelebat, lalu praakkk!
Surah Nenggolo menjerit setinggi langit. Tangan kanannya mulai dari jari sampai
ke pergelangan hancur!
Si muka putih tertawa bergelak lalu dorong dada Surah Nenggolo dengan kaki kiri
hingga orang ini terguling jatuh.
"Tangan yang memiliki ilmu setan harus dihancurkan.
Sekarang pergilah, aku tidak suka melihat tampangmu!"
Susah payah Surah Nenggolo berdiri, terbungkuk-bungkuk menahan sakit lalu lari
masuk ke dalam hutan Ngluwer secepat yang bisa dilakukannya. Perempuan muka
putih tersenyum. Dia menunggu sebentar lalu melesat ke atas sebatang pohon
besar. *** Hutan Ngluwer ternyata luas sekali. Setelah matahari menggelincir ke barat Surah
Nenggolo baru sampai ke tempat yang ditujunya. Tempat itu adalah sebuah danau
kecil, dikelilingi pohon-pohon besar. Sosok dan dedaunan pohon yang berbagai
ragam membuat air danau seperti berwarna ketika sinar matahari memantul ke
permukaan air. Di pinggir danau ada beberapa tanah yang agak terbuka. Di sini
berdiri tiga buah bangunan beratap rumbia.
Dua agak kecil dan berdinding, satunya besar tapi tanpa dinding. Di bangunan
besar tampak banyak orang duduk mengelilingi sebuah meja panjang terbuat dari
bambu. Di kepala meja sebelah kanan duduk seorang lelaki berusia sekitar empatpuluh
tahun, berwajah cakap, memiliki kening tinggi dan alis tebal. Rambut tebal
panjang sebahu. Dibanding semua orang yang ada di tempat itu dia satu-satunya
yang berpakaian bagus dan mewah. Di kiri kanan meja duduk duabelas orang yang
rata-rata telah berusia lebih dari setengah abad. Di antara mereka, raut wajah
serta pakaian jelas menunjukkan sebagai orang rimba persilatan. Satu-satunya
perempuan yang hadir di tempat itu adalah seorang nenek berhidung seperti paruh
burung kakak tua, bermata dingin berwarna kelabu. Di sebelah luar sekitar
empatpuluh orang bertubuh tegap, berpakaian dan ikat kepala hitam tegak berjaga-
jaga. Di dada kiri baju yang mereka kenakan tertera sulaman kuning rumah joglo
dan dua keris bersilang.
Lelaki di kepala meja sebelah kanan berkeliling lalu bertanya. "Keluarga
seperjuangan yang hadir, apakah pertemuan bisa dimulai?"
Ada yang menganggukkan kepala, banyak yang berkata mengiyakan.
"Terima kasih. Terima kasih saudara-saudara seper-
juangan bisa hadir dalam pertemuan Keraton Kaliningrat yang ke sembilanbelas
ini. Seperti yang sudah-sudah Ayahanda Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata
meminta saya mewakili diri beliau."
"Pangeran Muda, apakah Kanjeng Pangeran Sri Paku Jagatnata berada dalam keadaan
baik?" seorang peserta pertemuan bertanya.
"Tentu saja." Lelaki yang dipanggil Pangeran Muda menjawab sambil anggukkan
kepala. "Ayahanda berkirim salam untuk semua saudara seperjuangan. Ada beberapa
hal penting yang akan kita bicarakan. Pertama perihal madat asal kapal dagang
Cina yang sampai saat ini tidak diketahui di mana beradanya. Dua orang kerabat
kita tewas. Dua orang lagi kembali dengan tangan hampa.
malah membawa musibah. Hal kedua..."
Belum sempat Pangeran Muda meneruskan ucapannya tiba-tiba di kejauhan terdengar
satu jeritan keras. Lalu suara orang berlari. Tak lama kemudian muncullah satu
sosok pendek seorang lelaki berkepala botak, bercambang bawuk lebat. Dia
langsung masuk ke dalam bangunan pertemuan. Nafas mengengah, dada turun naik.
Muka sepucat kain kafan. Ada luka di mata kanan yang membuat bola matanya
seperti hendak meloncat keluar. Tangan kanannya yang hancur dan berlumuran darah
setengah kering diletakkan di atas meja. Tubuh terhuyung-huyung.
Kalau tidak lekas dipegang orang niscaya akan jatuh terkapar di tanah. Pertemuan
menjadi geger. Seorang cepat mendekati si botak, mengurut beberapa bagian
tubuhnya sambil alirkan hawa sakti dan tenaga dalam, memberi kekuatan. Si botak
ini lalu didudukkan di sebuah kursi.
"Surah Nenggolo! Apa yang terjadi dengan dirimu"!
Mana anak buahmu"!" Lelaki di kepala meja kanan bertanya. Suara bergetar menahan
perasaan. "Delapan orang menemui ajal. Tiga kabur entah ke mana. Saya mohon maafmu..."
"Jangan dulu bicara soal maaf! Cepat jelaskan apa yang terjadi!" Pangeran Muda
di ujung meja membentak.
Ketakutan sekali Surah Nenggolo yang kepala rampok hutan Ngluwer itu menuturkan
apa yang terjadi.
"Seorang perempuan muda berotak miring! Membawa minuman keras! Dia yang punya
pekerjaan. Dan kau tidak tahu siapa dia adanya! Keterlaluan! Memalukan."
Pangeran Muda marah sekali. Dia bicara sampai terlonjak berdiri dari kursinya.
Lelaki ini kemudian berpaling pada nenek berhidung seperti burung kakak tua.
Walau dia satu-satunya perempuan di tempat itu, agaknya dia memiliki wibawa
cukup tinggi hingga dijadikan tempat bertanya.
"Ni Serdang Besakih, saya ingin mengirimkan orang kita ke perbatasan. Mungkin
perempuan sinting itu masih berada di sekitar sana. Namun saya perlu pendapatmu
lebih dulu."
"Pangeran Muda, kelihatannya kita menemui seekor ikan besar. Aku setuju kita
mengirimkan orang. Jika boleh aku yang pergi mencari bersama beberapa orang
saudara seperjuangan. Saudara-saudara yang berpakaian seragam boleh menyusul
untuk mengawasi keadaan. Bagaimana pendapatmu?"
"Pendapatku Nek, kau tak perlu susah-susah mencari.
Aku sudah ada di sini!"
Tiba-tiba satu suara terdengar.
Semua orang dalam bangunan sama mendongak ke
atas atap karena suara orang yang bicara datang dari arah sana. Bersamaan dengan
itu mendadak atap bangunan yang terbuat dari rumbia jebol. Satu sosok berpakaian
biru disertai suara tawa mengikik melayang turun ke bawah, berdiri di atas meja!
Bau minuman keras mengampar menusuk hidung.
"Dia orangnya!" teriak Surah Nenggolo sambil menun-
juk dengan tangan kiri. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi geger! Lalu
suasana berubah hening seperti di pekuburan.
TAMAT Episode Berikutnya: NYI BODONG
Anak Pendekar 22 Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga Penguasa Gunung Lanang 1