Pencarian

Senandung Kematian 2

Wiro Sableng 125 Senandung Kematian Bagian 2


"Tunggu! Tentu saja aku percaya pada keteranganmu dan aku mengucapkan terima
kasih," kata Wiro. "Tapi air terjun Jurangmungkung yang kau katakan itu baru
sekali ini aku mendengar. Di mana letaknya....."' tanya Wiro. Dia hanya berpura-
pura karena sebenarnya dia sudah tahu di mana letak air terjun Jurangmungkung
itu. Wiro hanya ingin menguji karena bukan mustahil si gadis memang hendak
menipu dirinya.
Sebelumnya Sutri marah besar dan ingin membunuhnya. Kini mengapa sang dara
berubah pikiran dan bersikap baik padanya.
"Tempat itu tidak jauh dari Mojogedang, arah timur laut Karanganyar."
Menerangkan Sutri.
"Terima kasih. Kalau aku boleh tanya mengapa kau memberitahu" Padahal ayahmu
sebelumnya tak mau mengatakan."
"Apa pertanyaan itu perlu kujawab?" balik bertanya putri Patih itu. "Malah kini
aku menagih janji. Bukankah kau berkata pada ayahku akan mengobatinya jika
diberitahu tempat kediaman Iblis Kepala Batu"'
"Janji akan kupenuhi. Namun ada beberapa urusan penting yang harus aku
selesaikan. Ayahmu sanggup bertahan cukup lama....."
"Kalau dia menemui kematian sebelum kau sempat menolongnya, berarti kau punya
hutang nyawa. Yang cuma bisa kau lunasi dengan nyawamu sendiri...."
Wiro menggaruk kepala lalu berkata "Baik. Baik. Nenek jelek menjadi saksi
ucapanku. Biar nyawaku tebusan nyawa ayahmu jika dia sampai menemui kematian."
"Sialan. Enak saja kau bicara bilang aku nenek jelek!" kata Gondoruwo Patah Hati
sambil bersungut-sungut.
Wiro tertawa. "Nek, apa kau lupa. Dulu aku pernah bilang. Wajahmu mungkin
seperti setan tapi hatimu lebih baik dari bidadari." Si nenek membuang muka,
memendang ke jurusan lain. Tapi Wiro tahu kalau si nenek berbunga-bunga hatinya
dikatakan sebaik bidadari. "Nek, aku pergi dulu. Kalau aku bertemu Naga Kuning,
aku akan beritahu kau mencarinya...."
Gondoruwo Patah Hati jadi kaget. "Aku tidak mencarinya. Aku......"
"Kalau begitu, bagaimana jika aku bertemu Rana Suwarte, akan kukatakan padanya
kau kangen daningin bertemu!"
"Kupecahkan batok kepalamu jika berani melakukan itu!" kata GP setengah
berteriak. Tangan kanannya yang berkuku panjang diangsurkan ke depan seolah mau mencakar si
pemuda. Wiro cepat menghindar lalu sambil tertawa bergelak dia BASTIAN TITO
24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tinggalkan tempat itu. Seperti diketahui Rana Suwarte adalah kakek yang hendak
dijodohkan dengan dirinya oleh ayah angkatnya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Tinggal berdua dengan Sutri, Gondoruwo Patah Hati tatap wajah si gadis sambil
hatinya bertanya-tanya, apakah gadis ini tahu kalau dialah yang memasukkan ular
berbisa ke dalam celana Patih Kerajaan hingga ayah si gadis kini menderita sakit
berat. Tiba-tiba Sutri berkata. "Aku tahu, kau yang menjadi biang sebab sakitnya
ayahku. Saat ini ingin sekali aku membunuhmu! Tapi aku masih bisa bersabar. Tapi
kalau Pendekar 212 WS tidak menepati janji, tidak mampu menyembuhkan penyakit
ayahku, setelah dia maka kau akan ikut menerima kematian."
Si nenek runcingkan mulutnya lalu bertanya. "Mengapa kau mau bersikap baik dan
sabar padaku" Apa karena kau telah jatuh hati pada pemuda sahabatku tadi"'
"Mulutmu lancang sekali!" Sutri membentak dengan wajah merah.
Gondoruwo Patah Hati tertawa. "Aku pernah muda sepertimu. Aku tahu betul rasa
hati orang muda. Tidak ada yang melarang seorang gadis menyukai seorang pemuda.
Tapi dalam hal diriku, kau punya empat saingan berat. Empat gadis yang mencintai
Pendekar 212 semua cantik-cantik!" Si nenek tertawa panjang lalu tinggalkan
tempat itu. "Tua bangka geblek. Dari julukannya saja aku tahu dia memendam banyak kepahitan
di masa mudanya. Pasti gara-gara urusan cinta! Mungkin dengan orang bernama Rana
Suwarte itu. Rana Suwarte adalah kakek yang iktu bergabung dengan pasukan
Kerajaan dalam mencari Wiro dan nenek muka setan itu." Sutri memandang
berkeliling. Apa yang akan dilakukannya" Ke mana dia akan pergi" Kembali ke
gedung Kepatihan" Atau diam-diam mengiktui Wiro" Setelah bimbang sebentar
akhirnya Sutri memilih kembali ke Kotaraja. Bagaimanapun juga gadis ini
mengawatirkan sakit ayahnya.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Kembali ke puncak Gunung Gede. Di dalam liang makam ketiga yang baru setengahnya
mereka gali, sambil berteriak memperingatkan bahwa ada mahluk hidup di dalam
makam, Ratu Duyung melesat ke atas. Tangan kiri Anggini ditariknya sedang dengan
tangan kanan sosok Bidadari Angin Timur didorongnya kuat-kuat.
Apa yang kemudian terjadi sungguh tidak terduga dan mengejutkan. Makam itu
bergetar lalu tanah yang belum tergali muncrat ke atas. Bersamaan dengan itu dua
tangan menyembul dari dalam liang kubur, mencuat ke udara, menghantam keras.
Dari tangan sebelah kanan menderu sinar kuning, hitam dan merah. Tangan sebelah
kiri tidak memancarkan cahaya, namun deru sambaran angin keras dan dingin.
Karena berada paling bawah di dalam kuburan maka dua pukulan itu dengan
sendirinya menyambar ke arah sosok Anggini.
"Anggini awas!" tariak Ratu Duyung. dia lipat gandakan tenaga untuk menarik
lengan Anggini. Anggini sendiri cepat kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh, mengayunkan tubuh melesat ke atas. Namun bagaimanapun kuatnya tarikan
Ratu Duyung, bagaimanapun cepatnya Anggini melompat selamatkan diri ke atas, dia
hanya mampu menyelamatkan diri dari pukulan sebelah kanan yang memancarkan
cahaya merah, kuning dan hitam.
"Bukkk!"
Satu jeritan merobek udara.
Tubuh Anggini mencelat sampai dua tombak. Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur
yang berhasil keluar selamatkan diri dari dalam makam sama-sama terpekik. Dua
gadis ini serta merta menyambuti tubuh Anggini hingga tidak terbating ke tanah.
Wajah cantik cucu Dewa Tuak itu kelihatan pucat. Matanya setengah terpejam kuyu.
Dari dela bibirnya mengucur darah.
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung cepat menggotong Anggini lalu membaringkan
gadis itu di samping pondok kayu. Mereka berusaha menolong namun perhatian
keduanya terpecah oleh suara tawa bergelak dari arah makam ketiga. Ketika mereka
sama palingkan kepala ke arah makam itu, tiba-tiba satu sosok melesat keluar.
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung memandang terbeliak.
Orang yang keluar dari dalam liang makam itu mengenakan baju dan celana hitam.
Di sebelah atas dia mengenakan sehelai mantel berwarna hitam. Keningnya diikat
dengan sehelai kain merah. Ketika dia berdiri dengan kaki merenggang dan
berkacak pinggang, di dada pakaiannya kelihatan gambar gunung berwarna biru
dengan latar belakang matahari warna merah serta garis-garis pancaran sinar yang
juga berwarna merah.
"Pangeran Matahari!" Dua gadis keluarkan ucapan hampir berbarengan.
"Tapi....." ujar Bidadari Angin Timur kemudian sambil memegang lengan Ratu Duyung.
Sepasang matanya terus memandangi si mantel hitam tak berkesip.
"Tapi wajahnya bukan wajah Pangeran Matahari!" kembali Bidadari Angin Timur
keluarkan suara. "Orang ini mempunyai ilmu bisa mendekam di dalam tanah.
Setahuku Pangeran Matahari tidak memiliki ilmu itu."
"Aneh. Tapi siapapun dia adanya, dia pasti bangsat yang berada di belakang semua
kejadian ini. Sejak dari makam pertama, makam kedua dan kini makam ketiga.
Jelas dia memang ounya rencana jahat. Untuk mencelakai kita!"
"Tapi mengapa kita" Kita tidak ada permusuhan dengannya!" ujar Bidadari Angin
Timur. BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Musuh besarnya memang Pendekar 212. Tapi otak jahatnya punya seribu akal.
Bukankah keparat satu ini yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal,
Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak"!"
"Jahanam betul!" rutuk Bidadari Angin Timur. "Aku akan menemui bangsat itu.
Membuat perhitungan dengannya! Lekas tolong Anggini. Totok jalan darahnya.
Dia cidera berat di sekitar dada. Nyawanya dalam bahaya. Kalau tidak lekas
ditolong kita bisa-bisa kehilangan dirinya."
"Aku akan menolong sebisaku. Kau hadapi orang itu. Hati-hati." Ratu Duyung
merasa kawatir. Jika orang itu benar Pangeran Matahari, sanggupkah Bidadari
Angin Timur menghadapnya"
Bidadari Angin Timur mengangguk. Sekali melesat, gadis ini sudah berdiri tujuh
langkah di hadapan orang bermantel hitam yang tegak di tepi makam ketiga.
"Manusia keparat! Siapa kau"!" bentak Bidadari Angin Timur.
Yang ditanya pandangi wajah cantik jelita di hadapannya sesaat lalu mendongak
danmenghirup udara dalam-dalam. "Hemmmm..... Tubuh memancarkan bau wangi. Rambut
pirang, wajah jelita. Kau tidak mengenali diriku. Tapi aku tahu siapa dirimu.
Bukankah kau dara jelita yang tersohor di delapan penjuru angin itu"
Yang bernama Bidadari Angin Timur?"
Bidadari Angin Timur terkejut ketika mengetahui orang mengenali dirinya.
"Jadi kau biang racun jahanam di balik munculnya tiga makam setan! Manusia
keparat! Apa maksudmu melakukan semua itu"! Apa kau terlalu pengecut
memperkenalkan diri"! Ingat, kau telah mencelakai temanku! Aku tidak segan-segan
membunuhmu!"
Orang bermantel hitam tertawa gelak-gelak.
"Gadis cantik, yang namanya Bidadari itu selalu bersifat welas asih dan lemah
lembut. Tapi kau mengapa begini galak dan malah mengancam hendak membunuhku" Ah,
ingin sekali aku tahu bagaimana nikmatnya mati di tangan seorang bidadari!
Ha....ha......ha!". Habis tertawa orang bermantel lalu meramkan mata, pasang dada
seolah menunggu minta digebuk.
"Jahanam! Kau minta mati! Aku berikan kematian padamu!" teriak Bidadari Angin
Timur. Gadis ini salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Seperti diketahui Bidadari Angin Timur memiliki gerakan luar biasa cepatnya.
Hampir tidak kelihatan tangan kanan yang sudah diisi tenaga dalam penuh itu,
yang sanggup menjebol tembok tebal menghancurkan batu besar melesat ke arah muka
orang bermantel hitam.
Yang diserang tenang-tenang saja, malah sambil tertawa bergelak dan bertolak
pinggang dia sengaja menanti datangnya hantaman Bidadari Angin Timur!
Hanya satu jengkal lagi jotosan Bidadari Angin Timur akan menghancurkan mukanya,
tiba-tiba orang bermantel tekuk sepasang lutut, rundukkan kepala dan dua
tangannya dipukulkan ke depan. Satu mengarah dada, satu mencari sasaran di perut
Bidadari Angin Timur.
"Pukulan Dua Singa Berebut Matahari! Murid jahanam! Kau pernah punya niat membunuhku! Aku
tidak rela kau pergunakan ilmu itu!"
Satu seruan keras menggeledek di puncak gunung. Satu auman menggelegar dahsyat
lalu satu bayangan merah berkelebat. Dua larik angin menderu, satu mendorong
Bidadari Angin Timur hingga terjajar jauh ke kiri satunya lagi membuat orang
bermantel hitam tersurut tiga langkah. Bidadari Angin Timur selamat dari dua
pukulan maut, berdiri setengah tertegun dengan muka pucat. Memandang ke depan
dia melihat satu mahluk aneh berdiri di antara dia dengan orang bermantel hitam.
Mahluk ini memiliki tubuh tinggi besar seperti manusia. Tapi kepalanya tertutup
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
rambut merah berjingkrak. Ketika Bidadari sempat melihat sepasang matanya, gadis
ini jadi merinding. Mata itu memiliki bola mata pipih berwarna kelabu, seperti
mata binatang! Bidadari Angin Timur tak dapat memastikan apakah mahluk ini
manusia betulan atau manusia seetengah binatang, menyerupai singa"
"Pangeran Miring! Kaukah ini"!" Tiba-tiba mahluk menyerupai singa menegur. Tapi
kemudian wajahnya menunjukkan bayangan rasa heran. Dalam hati dia berkata "Sosok
dan pakaiannya memang dia. Tapi mengapa wajahnya berubah"
Mungkinkah dia....."
Orang bermantel hitam tampak kaget tapi hanya sebentar. Dia layangkan pandangan
dingin, rahang menggembung.
"Kau tidak menjawab berarti kau memang Pangeran Miring yang kabur dari jurang di
Teluk Penanjung! Akhirnya kutemui juga kau! Jangan harap bisa lolos! Saat ini
juga kau harus ikut aku ke Teluk!"
Orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Miring keluarkan suara mendengus.
Lalu meludah ke tanah.
"Singo Abang! Kau datang mencari mati! Aku akan tamatkan riwayatmu dengan ilmu
yang kau ajarkan padaku! Terima kematianmu!" Begitu ucapannya selesai orang
bermantel hitam langsung hantamkan dua tangannya ke depan. Seperti tadi
menyerang Bidadari Angin Timur, kembali dia keluarkan pukulan Dua Singa Berebut
Matahari. Hanya kali ini pukulan maut tersebut dilancarkan dengan tenaga dalam
lebih dahsyat! Mahluk berambut merah yang diserang keluarkan suara mengaum. Lalu balas memukul.
Pada saat itu pula satu bayangan putih melesat di udara. Menyusul satu bentakan.
"Apa yang terjadi di tempat ini"! Siapa berani berlaku kurang ajar mengotori
puncak Gunung Gede tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng"!"
Begitu bentakan lenyap satu gelombang angin dahsyat topan prahara melabrak
tempat itu. Lalu bummm! Tiga tenaga dalam tinggi saling bentrokan. Puncak Gunung
Gede laksana mau meledak. Pasir dan debu beterbangan ke udara. Daun-daun
pepohonan luruh ke tanah. Terdengar suara mengaum. Ada yag berteriak kaget.
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung keluarkan seruan tertahan.
Dalam gelapnya pemandangan akibat tebaran debu dan pasir terdengar suara mengaum
lalu bentakan garang.
"Pangeran Miring! Kau mau kabur ke mana!"
Satu bayangan merah berkelebat di dekat Ratu Duyung. Satu suara berucap.
"Berikan obat ini pada gadis yang cidera." Suara lenyap, bayangan merah ikut
lenyap. Samar-samar kelihatan dua sosok berkelebat ke arah timur. Ketika udara terang
kembali ternyata orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Miring dan sosok
mahluk setengah manusia setengah singa yang tadi ada di tempat itu kini lenyap
tak kelihatan lagi! Yang ada di depan sana adalah sosok seorang pemuda gagah
berambut gondrong, berpakaian putih kotor, mengenakan celana robek besar di
bagian paha. Dadanya tampak turun naik akibat bentrokan tenaga dalam yang hebat.
"Wiro!" Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur sama-sama berseru. Sama-sama tak
percaya pada pemandangan mereka karena siapa menduga Pendekar 212
akan muncul di tempat itu.
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Pendekar 212 WS melompat mendekati Bidadari Angin Timur. "Wiro, aku seperti tak
percaya......" kata si gadis. Ada rasa haru dalam kegembiraan hatinya. Saat itu
ingin sekali dia memeluk orang yang selama ini dirinduinya. Kalau saja di tempat
itu tidak ada Ratu Duyung dan Anggini tidak dalam keadaan cidera berat mungkin
dia sudah melakukan hal itu. paling tidak memegangi tangan si pemuda.
Murid Sinto Gendeng tersenyum. Dipegangnya bahu Bidadari Angin Timur.
Sentuhan tangan itu bagi si gadis merupakan satu kebahagiaan yang tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Diremasnya jari-jari tangan Wiro yang memegang
bahunya. "Aku.... Maksudku kami mencarimu di mana-mana. Kami mencarimu hampir di
setengah tanah Jawa. Kami mendatangi dua makam aneh. Ini makam ketiga......"
"Aku sudah mendengar cerita tentang dua makam itu. Agaknya aku datang
terlambat." Wiro memandang ke arah Ratu Duyung yang saat itu pura-pura
menyibukkan diri menolong Anggini yang tergeletak di tanah. Sebenarnya hatinya
tak sanggup menahan cemburu ketika melihat Wiro memegang bahu Bidadari Angin
Timur dan Bidadari Angin Timur memegang jari-jari tangan pemuda itu. Dirinya
merasa seperti tidak diacuhkan, seolah dia tidak ada di tempat itu. Murid Sinto
Gendeng memaklumi perasaan Ratu Duyung.
Wiro turunkan tangannya dari bahu Bidadari Angin Timur. Diikuti si gadis dia
melangkah cepat ke tempat Anggini tergeletak.
"Ratu Duyung," tegur Wiro. Dibelainya rambut gadis itu lalu duduk di sebelahnya.
Kini Bidadari Angin Timur yang dirayapi rasa cemburu. "Anggini...."
Wiro pegang lengan Anggini. Masih terasa denyutan nadinya walau agak lemah. Dua
mata Anggini terbuka sedikit. Samar-samar dia melihat wajah sang pendekar. Ada
rasa tak percaya. Dua mata terbuka membesar.
"Wiro....." hanya ucapan perlahan menyebut nama si pemuda yang keluar dari mulut


Wiro Sableng 125 Senandung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anggini. Lalu kepala cucu Dewa Tuak ini terkulai. Matanya terkatup. Bidadari
Angin Timur dan Ratu Duyung berseru kaget karena menyangka Anggini telah
menghembuskan nafas terakhir. Dan gadis ini merangkuli tubuh Anggini. Ratu
Duyung mulai sesenggukan.
"Tak perlu kawatir. Dia cuma pingsan," kata Wiro yang masih memegang dan
merasakan denyutan di lengan Anggini. Wiro lalu memeriksa keadaan Anggini dengan
cepat. Ketika dia menyingkapkan sedikit pakaian si gadis di bagian dada
kelihatan tanda merah kebiruan. "Dia menderita luka dalam cukup parah." Wiro
segera menotok beberapa jalan darah di tubuh Anggini lalu kerahkan hawa sakti,
dialirkan ke dalam tubuh si gadis. "Apa yang terjadi"!" tanya Wiro kemudian.
Ratu Duyung memandang pada Bidadari Angin Timur, memberi tanda dengan anggukan
kepala agar Bidadari Angin Timur saja yang memberi keterangan. Bidadari Angin
Timur lalu menuturkan semua kejadian sejak mereka mulai menjejakkan kaki di
tempat itu. Wiro merasakan dadanya sesak. Matanya memandang terbeliak ke arah kubur di
seberang sana. "Puti Andini......" katanya serak. "Puti Andini.....mati" Ya Tuhan.
Apa yang terjadi" Siapa yang membunuhnya?" Wiro berdiri, tinggalkan tiga gadis
itu, melangkah menuju makam di mana Puti Andini dikubur. Dia pegangi tanah merah
kuburan. Matanya dipejamkan. Sekujur tubuh bergetar.
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tuhan, umur manusia memang kuasaMu. Tetapi aku tidak rela Puti Andini menemui
kematian seperti ini. Aku bersumpah akan menghancurkan kepala manusia yang
melakukan perbuatan keji biadab ini! Puti Andini...... Ah....." Saat itu semua
peristiwa yang dialaminya di pelupuk mata Pendekar 212 WS. Sepasang mata sang
pendekar kelihatan berkaca-kaca. "Puti Andini, aku banyak sekali berhutang budi
padamu. Bahkan berhutang nyawa. Belum sempat aku membayar semua itu, kini kau
telah tiada. Ya Tuhan, dia gadis baik..... Mengapa kau panggil dia secepat ini......"'
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung sama berlinang air mata mendengar desah
ucapan Pendekar 212. Wiro berpaling pada kedua gadis itu. Suaranya serak.
"Katakan siapa yang membunuh Puti Andini" Kalian tahu siapa orangnya"'
"Kami tidak dapat memastikan," jawab Bidadari Angin Timur. "Tapi ada dugaan
pelakunya adalah orang yang sebelumnya mendekam dalam makam ketiga."
"Siapa"! Siapa orangnya" Bagaimana ciri-cirinya"!" tanya Wiro.
"Dia berpakaian serba hitam. Mengenakan mantel hitam. Ada ikat kepala kain merah
di keningnya....." menjelaskan Ratu Duyung.
"Di dada bajunya ada gambar gunung biru dan matahari merah,"
menambahkan Bidadari Angin Timur.
"Apa"!" Wiro tersentak kaget sampai terlonjak berdiri. Dua matanya terbeliak,
tak berkesip pandangi dua gadis di depannya. "Hanya ada satu manusia yang
mengenakan pakaian seperti itu. Si jahanam Pangeran Matahari!" Wiro berkata
setengah berteriak. Dua tangan dikepalkan dan dua kakinya tiba-tiba melesak ke
dalam tanah sampai mata kaki! "Aku akan mencari jahanam itu sampai ke neraka
sekalipun!"
"Wiro," kata Bidadari Angin Timur. "Tadinya aku dan Ratu Duyung memang mengira
orang itu adalah Pangeran Matahari. Tapi cuma pakaiannya saja yang sama.
Wajahnya bukan wajah Pangeran Matahari ....."
"Apa"! Mana mungkin orang dengan ciri-ciri pakaian seperti itu bukan Pangeran
Matahari. Aku tahu dia masih hidup! Aku menemuinya di Teluk Penanjung beberapa
waktu lalu."
"Kami berdua tak mungkin keliru. Kami pernah melihat Pangeran Matahari
sebelumnya....." kata Bidadari Angin Timur.
"Suaranya yang angkuh, nada tertawanya, sama dengan Pangeran Matahari.
Tapi wajahnya....." menyambung Ratu Duyung.
"Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan Pangeran jahanam itu di pinggir jurang
di Teluk Penanjung. Malam gelap, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia muncul
dengan muka cacat. Hidung bengkok, salah satu pipi melesak, mata kiri
terbenam....."
"Orang bermantel hitam itu berwajah mulus. Tak ada cacat sedikitpun....."
kata Bidadari Angin Timur. "Tapi wajah itu bukan wajah Pangeran Matahari."
"Sewaktu di Teluk Penanjung, dia mungkin punya maksud hendak membunuhku. Tapi
mendadak muncul satu mahluk berambut merah menghajarnya."
"Aneh," kata Ratu Duyung.
"Apa yang aneh?" tanya Wiro.
"Sewaktu orang bermantel hitam itu lancarkan serangan menghantam Bidadari Angin
Timur tiba-tiba muncul seorang tinggi besar berambut merah. Sosoknya sebelah
atas seperti singa. Dia mengeluarkan suara mengaum. Mahluk ini memanggil si
mantel hitam dengan sebutan Pangeran Miring. Dua orang itu siap saling hantam,
ketika tiba-tiba kau muncul. Entah mengapa si mantel hitam kemudian melarikan
diri. Dikejar oleh si rambut merah. Keduanya kemudian lenyap."
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Mahluk berambut merah. Tadi aku melihatnya hanya sekelebatan. Agaknya dia
memang mahluk yang sama yang muncul di tepi jurang Teluk Penanjung." Kata Wiro
pula. "Mahluk itu menyebut si mantel hitam dengan nama Pangeran Miring, murid
jahanam," berkata Bidadari Angin Timur.
"Pangeran Miring?" Wiro berpikir. "Aku yakin dia memang Pangeran Matahari."
"Pangeran Miring menyebut mahluk berambut merah Singo Abang," kata Ratu Duyung
pula. "Samar-samar mereka berkelebat ke arah timur. Aku rasa aku harus mengejar mereka
sekarang juga....." Walau berkata begitu namun Wiro tetak tak bergerak di
tempatnya. Beberapa hal muncul dalam benaknya. Dia tak mungkin meninggalkan
Anggini dalam keadaan seperti itu.
Ratu Duyung mendekati Wiro, memperlihatkan satu bungkusan kain kecil lalu
berkata. "Sebelum pergi, mahluk berambut merah itu memberikan benda ini padaku
disertai pesan agar obat ini berikan pada Anggini."
Wiro mengambil bungkusan itu, memeriksa isinya. Di dalam bungkusan ternyata ada
bubuk warna merah. Wiro menciumnya. Bubuk itu ternyata tidak berbau.
Wiro ambil sedikit lalu meletakkannya di ujung lidah. Aneh, bubuk ini tawar
tidak ada rasa sama sekali namun begitu menyentuh lidah ada hawa sejuk memasuki
rongga mulut Wiro lalu menyusul rasa hangat di bagian dadanya. Keraguan Wiro
lenyap. "Bidadari, di sebelah sana ada sebuah sumur tua. Pergi ke sana, ambil air sumur
secukupnya. Campur bubuk ini dengan air. Sebagian minumkan pada Anggini, sisanya
usapkan di bagian dadanya yang cidera." (Mengenai orang bernama Singo Abang
riwayatnya dapat dibaca dalam Episode pertama berjudul "Kembali Ke Tanah Jawa.")
Bidadari segera hendak melakukan apa yang dikatakan Wiro itu. Namun sebelum
berlalu dia bertanya. "Kau sendiri mau ke mana?"
"Aku segera pergi tapi aku mau mencari sesuatu dulu di dalam pondok,"
jawab Pendekar 212.
"Wiro, kau menghilang selama dua tahun. Kau ke mana saja, apa yang kau lakukan?"
"Bidadari Angin Timur, panjang ceritanya. Nanti suatu ketika akan kuceritakan
pada kalian. Lekas carikan air......"
Begitu Bidadari Angin Timur berlalu, sementara Ratu Duyung menunggui Anggini,
Wiro bergegas masuk ke dalam pondok kayu. Berada dalam pondok itu berbagai
kenangan di masa lalu ketika dia tinggaldi tempat itu bersama Eyang Sinto
Gendeng terbayang d pelupuk mata Pendekar 212. Dia tersenyum, gelengkan kepala,
menggaruk-garuk dan memandang berkeliling. Perabotan di dalam pondok itu masih
yang dulu-dulu juga. Balai-balai kayu beralaskan tikar butut, meja kayu miring
dan sebuah kursi reot. Lalu sebuah gentong air besar dekat pintu belakang. Di
atas penutup gentong ada sebuah gayung tempurung kelapa. Debu menutupi semua
yang ada di dalam pondok itu. Sarang laba-laba kelihatan hampir di setiap sudut.
"Mudah-mudahan Eyang Sinto tidak memindahkan benda itu dari tempatnya yang
lama...." Wiro membatin lalu dia melangkah mendekati gentong tanah di dekat pintu.
Gentong itu berisi air sampai setengahnya. Perlahan-lahan Wiro menggeser gentong
ke kiri. Lalu mengambil gayung tempurung kelapa. Dengan gagang gayung dia mulai
menggali tanah bekas gentong terletak. Baru menggali sedalam satu jengkal,
gagang gayung menyentuh satu benda keras. Wiro berdebar. Dia pergunakan dua
tangannya untuk menggali dan menyibakkan tanah sampai akhirnya dia menemukan
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sebuah kotak kayu besi hitam. Wiro keluarkan kotak itu, meletakkannya di atas
balai-balai kayu lalu membukanya.
Di dalam kotak itu kelihatan satu kitab tebal yang demikian tuanya nyaris jadi
bubuk. Pada bagian atas kitab tertulis. "Seribu Macam Ilmu Pengobatan."
Kitab ilmu pengobatan ini adalah pemberian Kiai Bangkalan yang sempat dicuri
oleh seoerang tokoh jahat rimba persilatan Pulau Andalas. Karena tidak mungkin
membawa kitab berharga itu ke mana-mana Wiro menyerahkannya pada Eyang Sinto
Gendeng. Oleh sang guru kitab disimpan begitu rupa, dimasukkan dalam kotak kayu
besi tahan air lalu ditimbun di dalam pondok dan ditutup dengan gentong besar.
(Mengenai riwayat kitab ilmu pengobatan itu serta kisah Kiai Bangkalan harap
baca serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang)
"Terima kasih Tuhan, terima kasih Eyang Sinto. Ternyata kitab ini masih ada di
sini." Wiro merasa sangat bersyukur. Dengan hati-hati dia membuka halaman demi
halaman. Debu mengepul setiap dia membalik satu halaman. Lama sekali, entah
berapa puluh halaman telah dibaliknya akhirnya Wiro menemukan apa yang
dicarinya. Dia mulai membaca, perlahan-lahan, hati-hati, kata demi kata agar tidak ada yang
terlewatkan. Dia membaca sampai tiga kali lalu kembali membalik halaman yang
dicarinya. Seperti tadi Wiro membaca perlahan, hati-hati, kata demi kata, sampai
tiga kali. Setelah merenung sesaat sambil pejamkan mata Wiro menutup kitab itu.
memasukkannya ke dalam kotak kayu besi hitam. Kotak ini dimasukkannya kembali ke
dalam lobang di tanah, lalu lobang ditimbun. Terakhir sekali gentong tanah
diletakkan di atas timbunan tanah. Murid Sinto Gendeng sama sekali tidak
mengetahui kalau semua apa yang dilakukannya di dalam pondok telah diintai
seseorang lewat celah dinding kajang.
Ketika Wiro keluar dari pondok, didapatnya Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung
dengan mempergunakan sehelai daun tengah meminumkan bubuk merah yang telah
dicampur air ke mulut Anggini. Sisa obat pemberian mahluk bernama Singo Abang
itu kemudian diborehkan di dada Anggini yang cidera.
"Aku ingat sesuatu," berucap Bidadari Angin Timur. "Sewaktu orang bermantel itu
keluar dari dalam liang makam dan lancarkan dua pukulan, salah satu pukulannya
memancarkan sinar hitam, merah dan kuning. Apakah itu tidak cukup menjadi
pertanda bahwa dia memang Pangeran Matahari?"
"Pukulan memancarkan sinar merah, kuning dan hitam! Itu memang ciri-ciri pukulan
Pangeran Matahari," ujar Wiro. "Tunggu, apakah kalian memperhatikan jari
kelingking orang itu?"
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung sama menggeleng. "Ada apa dengan jari
kelingkingnya?" bertanya Bidadari Angin Timur.
"Jari kelingking Pangeran Matahari sebelah kiri buntung. Itu akibat gigitan Dewi
Merak Bungsu beberapa tahun lalu." (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Kutunggu Di Pintu Neraka")
"Wayang, kami tidak memperhatikan," kata Ratu Duyung.
"Wiro, semua orang tahu, Pangeran Matahari adalah musuh bebuyutanmu.
Tetapi mengapa dia sengaja mencelakai kami. Tidak berani menantangmu secara
ksatria?" Wiro sesaat pandangi wajah cantik Bidadari Angin Timur, lalu menjawab.
"Orang-orang golongan hitam rimba persilatan punya jalan pikiran jahat seperti
ini. Salah satu cara untuk menghancurkan lawan adalah dengan membunuh orang-orang
yang sangat dekat dengannya arau dikasihinya. Itu sebabnya, sebelum sampai pada
tujuan utamanya untuk menyingkirkan diriku, dia sengaja menjebak untuk BASTIAN
TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menghabisi kalian. Aku yakin bukan cuma Anggini yang hendak dicelakainya tapi
kalian semua. Puti Andini korban pertama...."
"Mengenai kematian Puti Andini memang berat dugaan kami manusia bermantel itu
yang membunuhnya. Tapi sebelum sampai ke sini kami hampir menjadi korban
kebejatan seorang pemuda mengaku bernama Damar Wulung." Menerangkan Ratu Duyung.
"Aku malah sempat diculiknya. Kalau seorang nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati
tidak menyelamatkan diriku, mungkin saat ini aku juga sudah menemui ajal. Paling
tidak ditimpa aib besar...." Secara singkat Ratu Duyung menceritakan peristiwa di
kuil tempo hari.
"Damar Wulung"!" Sepasang mata Pendekar 212 membesar. "Manusia satu itu, dia
tidak kalah jahat dengan Pangeran Matahari. Dialah yang telah mencuri Keris Kiai
Naga Kopek, pusaka Keraton. Dia juga kuduga terlibat dalam beberapa kejahatan
dan pembunuhan. Kalau urusanku dengan Pangeran Matahari selesai, aku akan
mencari manusia bejat satu itu." Wiro diam sebentar lalu melanjutkan. "Kalian
tahu, aku dan nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu menjadi buronan Kerajaan."
Wiro lantas menuturkan rangkaian kejadian sampai Patih Kerajaan menderita sakit
berat akibat patukan ular.
"Aku ingat satu hal. Nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati pernah menerangkan
bahwa Damar Wulung itu hanya nama palsu belaka. Orangnya sebenarnya bernama
Adisaka...."
Wiro terkejut. "Adisaka?" ulangnya sambil menatap Ratu Duyung lekat-lekat.
"Kau mendengar sendiri dia berkata begitu?"
"Betul. Menurut Gondoruwo Patah Hati nama Damar Wulung sebenarnya adalah
Adisaka....."
"Kalian tahu....." suara Pendekar 212 terdengar bergetar. "Nenek itu pernah
mengatakan padaku kalau Adisaka adalah murid yang tengah dicari-carinya. Berarti
Damar Wulung adalah muridnya!" Wiro tepuk keningnya sendiri. "Pantas! Terakhir
sekali aku bertemu dengan dia, katika aku menanyakan apakah dia telah bertemu
dengan Adisaka, nenek itu kelihatan seperti ada anjalan...."
"Berarti dia sudah tahu kebejatan muridnya....."
"Ada satu hal yang menjadi pertanyaan. Orang bermantel hitam itu mampu mendekam
di dalam makam. Berarti dia memiliki satu ilmu kesaktian langka.
Setahuku Pangeran Matahari tidak memiliki ilmu seperti itu..... Kalian berdua,
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung, aku ingin bersama kalian lebih lama di
tempat ini. apa lagi Anggini sedang cidera. Namun mengejar manusia bermantel
yang disebut Pangeran Miring itu lebih penting lagi. Aku yakin dia adalah
Pangeran Matahari."
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung jadi terdiam.
"Kalian jangan kecewa. Untuk sementara tetap di sini sampai Anggini sembuh.
Ada satu obat baru yang harus kalian berikan padanya. Di sebelah selatan puncak
gunung ini ada lereng yang ditumbuhi alang-alang berdaun biru. Ambil akarnya,
tumbuk, peras dan minumkan pada Anggini...."
Wiro membungkuk, mengusap wajah Anggini, memegang pundak Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur.
"Wiro, kalau kami ingin menemuimu, di mana kami harus mencari?" Ratu Duyung
bertanya. "Ada banyak hal yang harus aku kerjakan," jawab Pendekar 212. "Salah satu
tujuanku adalah air terjun Jurangmungkung, di dekat Mojogedang. Mungkin aku akan
berada di sana sekitar dua minggu dari sekarang."
"Kalau begitu kami akan menemuimu di sana," kata Bidadari Angin Timur.
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro mengangguk. "Aku pergi, jaga diri kalian baik-baik. Tolong Anggini....." Wiro
membalikkan badan hendak tinggalkan tempat itu. namun gerakannya terhenti ketika
tiba-tiba telinganya menangkap satu suara. Suara Anggini.
"Wiro, jangan pergi dulu....."
Wiro memutar badannya kembali lalu membungkuk. "Ada apa Anggini?"
tanya Wiro sambil memegang tangan gadis itu. Anggini susupkan jari-jari
tangannya ke sela-sela jari tangan Wiro dan merasakan satu kehangatan serta
kebahagiaan tiada tara.
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu. Amanat seseorang...."
Berucap Anggini. Tangannya ditarik dari genggaman Wiro, lalu mengambil sesuatu
dari balik pakaian ungunya. Benda itu diletakkannya di atas telapak tangan Wiro
lalu jari-jari tangan si pemuda digenggamnya seraya mulutnya berucap.


Wiro Sableng 125 Senandung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pemiliknya meminta aku menyerahkan benda itu padamu....."
Perlahan-lahan Wiro tarik tangan kanannya sambil membuka genggaman jari-jarinya.
Wajah Pendekar 212 langsung berubah haru. Matanya berkaca-kaca. Yang ada dalam
genggamannya saat itu adalah sehelai bunga kenanga kering.
"Bunga....Suci...." bisik Wiro dalam hati. Anggini anggukkan kepala perlahan. Wiro
hendak bertanya kapan kembang kenanga itu diberikan Bunga, tapi dilihatnya
Anggini sudah mengatupkan mata. Wiro menarik nafas dalam, bangkit berdiri dan
tinggalkan tempat itu.
"Sebenarnya banyak hal yang perlu kita bicarakan dengan Wiro. Tapi....."
Ratu Duyung menarik nafas dalam.
"Aku juga kecewa. Dua tahun dia menghilang begitu saja. Tadi dia menyebut air
terjun Jurangmungkung. Setahuku itu empat angker yang jarang didatangi manusia.
Ada keperluan apa Wiro ke sana." Bidadari Angin Timur berkata sambil memandang
ke arah lenyapnya Wiro.
"Aku melihat sikap gerak geriknya aneh. Entah apa yang terjadi dengan dirinya.
Dia seperti menanggung banyak beban." Kata Ratu Duyung pula.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" ujar Bidadari Angin Timur. Gadis ini
pejamkan mata. "Kurasa kita juga harus meninggalkan tempat ini."
"Kemana?" tanya Ratu Duyung.
"Mengejar Wiro. Aku ingin membunuh dengan tanganku sendiri manusia dajal
Pangeran Miring itu. Paling tidak ikut menyaksikan kematiannya."
"Lalu bagaimana dengan Anggini?" tanya Ratu Duyung. Hatinya ikut tergerak untuk
mengejar Wiro. "Kita cari dulu alang-alang biru....." Bidadari Angin Timur hentikan ucapannya.
"Alang-alang biru," katanya kemudian mengulang. "Seumur hidup aku belum pernah
melihat alang-alang berwarna biru. Bagaimana kalau di lereng selatan kita tidak
menemukannya?"
"Kita harus percaya pada Wiro. Dia bertahun-tahun tinggal di sini. Pasti dia
tahu betul kalau di lereng selatan Gunung Gede memang ada tumbuhan itu. Dan
punya khasiat untuk menyembuhkan luka dalam yang dialami Anggini.
"Ratu Duyung, kau tinggal di sini menjaga Anggini. Biar aku yang mencari alang-
alang itu. Selesai mengobati Anggini kita akan buat tandu. Kita usung dia sampai
ke tempat kita meninggalkan gerobak. Setelah itu kita berangkat mengejar Wiro."
"Kawan-kawan...." Tiba-tiba terdengar suara Anggini membuat dua gadis terkejut.
Mereka melihat dua mata Anggini masih terpejam namun mulutnya bicara.
"Kalian berdua pergi saja. Tak apa aku sendirian di tempat ini. satu dua hari
aku bakalan sembuh. Nanti aku akan menyusul kalian."
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ratu Duyung pegang lengan Anggini, Bidadari Angin Timur usap rambut gadis itu.
"Tidak Anggini, apapun yang terjadi kita tetap bersama-sama. Apalagi dalam
keadaan dirimu seperti ini." kata Bidadari Angin Timur.
"Lagi pula Wiro telah berpesan agar kami merawatmu baik-baik. Kami akan
membuatkan sebuah tandu untukmu. Kita sama-sama meninggalkan tempat ini....."
Dari mata Anggini yang terpejam itu meluncur keluar butir-butir air mata.
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Mentari jauh condong ke barat. Tak lama lagi senja akan datang. Sutri yang dalam
perjalanan pulang merasa tidak perlu berlari cepat. Kotaraja hanya tinggal
dekat. Paling lambat bersamaan dengan turunnya malam dia sudah sampai kembali di
Gedung Kepatihan.
Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda. Gadis ini segera
menepi. Tapi kuda dan penunggangnya malah berhenti di depan Sutri Kaliangan.
Kuda itu berwarna coklat. Ada bagian yang berwarna putih di hidungnya.
Penunggangnya seorang pemuda berbadan tegap, memiliki wajah cakap. Sesaat pemuda
ini menatap wajah Sutri Kaliangan lalu turun dari kudanya, melangkah ke hadapan
Sutri. Untuk beberapa lama dia masih pandangi wajah si gadis. Membuat Sutri
merasa tidak senang dan hendak mendamprat. Namun tiba-tiba si pemuda membungkuk
hormat seraya berkata.
"Kalau tidak salah saya menduga, bukankah saya berhadapan dengan Den Ayu Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan?"
"Aku memang Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Kau siapa?"
"Nama saya Damar Wulung. Harap maafkan, sebenarnya saya mengikuti Den Ayu sejak
keluar dari rimba belantara tadi. Berjalan jauh seorang diri, sungguh berbahaya
bagi keselamatan Den Ayu. Mengapa tidak membawa pengawal" Bahkan Den Ayu sama
sekali tidak naik kereta atau menunggang kuda."
"Kau sengaja mengikutiku. Apa ada maksud yang tidak baik?" Walau hatinya kini
tertarik pada ketampanan wajah si pemuda namun Sutri bersikap hati-hati.
Si pemuda tertawa lebar. "Kalau saya berniat jahat, mengapa menunggu sampai
sekian lama" Den Ayu, Kotaraja memang tidak seberapa jauh lagi. Tapi kalau saya
boleh menolong....."
"Hemmmm, pertolongan apa bisa kau berikan?"
"Saya hanya memiliki kuda ini. Den Ayu boleh menungganginya sampai ke gedung
Kepatihan. Saya akan mengikuti dari belakang."
"Terima kasih. Aku tidak memerlukan kudamu."
Damar Wulung tersenyum. "Pertolongan saya memang tidak ada artinya.
Tidak saya sesalkan Den Ayu sampai menolak. Saya senang dapat bertemu dan
bertutur cakap dengan Den Ayu. Saya mohon diri. Maafkan saya mendeahului Den
Ayu....." Habis berkata begitu si pemuda sentakkan tali kekang kudanya.
"Tunggu, apakah kau orang Kotaraja atau penduduk sekitar sini?" sutri Kaliangan
bertanya. "Ah, saya cuma pemuda tani. Desa saya tak jauh dari sini," jawab Damar Wulung.
Ini adalah satu kedustaan belaka. "Saya dalam perjalanan menuju Kotaraja.
Ingin menyambangi makam kakaknya ibu. Waktu beliau meninggal saya tidak sempat
melayat." Ini adalah kedustaan kedua.
"Siapa kakak Ibumu itu?"
"Nyi Kinasih, istri mendiang Raden Mas Sura Kalimarta, juru ukir Keraton."
Ini merupakan kedustaaan ketiga. "Keluarga kami dalam kesedihan mendalam. Kedua
orang itu menemui kematian secara tidak terduga. Sama-sama mati dibunuh orang.
Mungkin Den Ayu sudah mendengar peristiwanya. Konon sang pembunuh adalah seorang
pendekar bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212."
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sutri Kaliangan terdiam. Dia memang telah mendengar peristiwa pembunuhan atas
diri dua suami istri itu.
"Maafkan saya, apakah ucapan saya ada yang menyinggung Den Ayu?"
betanya Damar Wulung ketika melihat gadis di hadapannya terdiam cukup lama.
"Tak ada ucapanmu yang menyinggung. Justru kalau aku boleh memberitahu, sore
tadi aku hampir saja memecahkan kepala manusia bernama Wiro Sableng itu!"
Damar Wulung unjukkan wajah terkejut. "Den Ayu, terkejut sekali saya mendengar
ucapan Den Ayu. Kalau saya boleh mendengar ceritanya....."
Sutri Kaliangan merasa tidak ada salahnya dia menceritakan apa yang telah
terjadi. "Benar-benar manusia bejat kurang ajar! Dia telah mencelakai Ayahanda Den Ayu,
lalu meculik Den Ayu pula! Setahu saya pasukan Kerajaan mencari pemuda itu.
Tapi saya ingin membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Sehabis dari Kotaraja,
saya akan mendatangi tikungan sungai itu, mencari jejak pendekar jahanam itu!"
"Mungkin dia tak ada lagi di tempat itu. Dia mungkin sudah pergi ke satu
tempat....." kata Sutri pula.
"Mungkin Den Ayu mengetahui ke mana dia pergi" Mungkin dia mengatakan pada Den
Ayu"' tanya Damar Wulung.
Polos saja Sutri Kaliangan menjawab. "Air terjun Jurangmungkung, dekat
Mojogedang, tak jauh di arah timur Karanganyar. Aku rasa dia tengah menuju ke
sana." "Terima kasih Den Ayu mau memberitahu," Damar Wulung membungkuk hormat.
"Sekarang karena kita sama-sama ke Kotaraja, apakah saya tak boleh berbuat baik"
Saya pinjamkan kuda coklat saya pada Den Ayu. Saya akan mengikuti dari belakang.
Saya tidak tahu ilmu berlari cepat, jadi saya harap Den Ayu tidak membedal kuda
itu terlalu cepat." Si pemuda berkata sambil mengulum senyum.
Melihat orang bicara begitu sopan menunjukkan sikap baik akhirnya lembut juga
hati puteri Patih Kerajaan itu. "Baiklah, aku terima kebaikanmu." Lalu tanpa
basa basi lagi Sutri yang memang cekatan dalam menunggang kuda melompat naik ke
atas punggung kuda coklat itu. Baru saja dia duduk di atas punggung kuda tiba-
tiba Damar Wulung melesat dan tahu-tahu sudah duduk pula di atas kuda di
belakang Sutri. Tentu saja gadis itu jadi terkejut.
"Hai! Tadi kau bilang akan mengikuti dari belakang. Kini mengapa ikutan naik"!"
"Tak usah kawatir Den Ayu. Kudaku ini cukup kuat! Dia bisa membawa kita sama-
sama ke Kotaraja dengan cepat." Tangan kiri Damar Wulung menyelinap ke depan
merangkul pinggang Sutri Kaliangan.
"Pemuda kurang ajar! Akhirnya kau menunjukkan belangmu! Kau mau menipuku! Pasti
punya maksud keji!"
Sutri Kaliangan hujamkan siku kanannya ke perut Damar Wulung. Ketika si pemuda
bergerak mengelak, Sutri segera melompat turun. Tapi cepat sekali tangan kanan
Damar Wulung mencekal pinggangnya. Lalu di saat yang sama tangan kiri menotok
dua urat besar di dada dan punggung si gadis. Saat itu juga Sutri merasakan
sekujur tubuhnya kaku lumpuh, tak bisa bergerak tak mampu keluarkan suara.
Damar Wulung tertawa bergelak. Sekali dia sentakkan tali kekang, kuda coklat itu
menghambur ke depan namun di saat yang sama empat kuda hitam besar melompat
menghadang jalan. Empat kuda kemudian menyebar, jelas mengurung kuda coklat
tunggangan Damar Wulung.
"Kurang ajar! Kalian siapa"!" bentak Damar Wulung.
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Empat penunggang kuda hitam yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam,
bertampang galak, serta membekal golok besar di pinggang, keluarkan tawa
bergelak. "Beberapa waktu lalu kau mengerjai, menipu dan membunuh Warok Mata Api dan
kawan-kawannya. Cukup lama kami mencari, hari ini kami berhasil menemuimu.
Ternyata kau membawa seorang gadis culikan! Serahkan gadis itu. Sesudah itu kau
juga harus menyerahkan nyawamu! Ha....ha.....ha!"
Penunggan kuda yang barusan bicara tertawa bergelak memperlihatkan barisan gigi-
gigi yang putih kilat karena dilapisi perak!
"Manusia-manusia jahanam! Kalian siapa" Apa hubungan kalian dengan Warok Mata
Api"!" Damar Wulung kembali membentak.
Penunggang kuda di samping kiri si gigi perak membuka mulut. Matanya cuma satu.
Rambutnya awut-awutan, cambang bawuk meranggas liar. "Sobat, orang bertanya
sebaiknya diberitahu siapa kita ini adanya. Syukur-syukur dia tidak sampai
kencing di celana! Ha...ha....ha!"
Si gigi perak menyeringai. Sambil letakkan tangan kirinya di atas dada dia
berkata "Aku dikenal dengan nama Warok Gigi Perak. Di samping kiriku yang
bermata satu Warok Mata Picak. Di sebelah kanan Warok Tangan Api. Di belakang
sana berkepala botak Warok Kepala Besi. Kami adalah para dedengkot Alas Roban,
kawan-kawan Warok Mata Api yang kau tipu dan kau bunuh beberapa waktu lalu!
Kami datang untuk minta nyawamu sebagai tebusan nyawa sobat kami Warok Mata
Api!" Damar Wulung pernah mendengar nama empat Warok itu. Mereka rata-rata memiliki
kepandaian tinggi. Yang paling berbahaya ialah Warok Tangan Api. Walau dia tidak
merasa jerih namun kalau mereka bergabung untuk membalaskan dendam, keadaan
benar-benar tidak menguntungkan bagi dirinya. (Kisah penipuan dan pembunuhan
atas Warok Mata Api oleh Damar Wulung bisa dibaca dalam Episode sebelumnya
berjudul "Roh Dalam Keraton")
"Empat Warok, kalian salah menyangkal! Aku bukan pembunuh Warok Mata Api!
Pembunuhnya adalah Wiro Sableng Pendekar 212! Saat ini aku justru tengah
mengejar bangsat itu. Dia baru saja menculik gadis ini! Untung aku berhasil
menyelamatkannya. Kalian mau tahu siapa gadis ini" Dia adalah puteri Patih
Kerajaan!"
Empat Warok sama kerenyitkan kening, saling pandang lalu sama tertawa bergelak.
Warok Kepala Besi usap-usap kepalanya yang botak plontos lalu berkata.
"Benar apa yang dikatakan orang. Bangsat muda bernama Damar Wulung itu licin
seperti belut, cerdik seperi ular! Kau kira kami mudah saja kau tipu dengan
mulut busukmu"!"
Warok Mata Picak memandang liar dengan matanya yang satu, lalu ikut bicara
"Kalau kau memang penyelamat gadis itu, mengapa dia berada dalam keadaan tak
bisa bicara tak bisa bergerak" Siapa yang menotoknya"!"
Damar Wulung tak bisa menjawab.
Warok Mata Picak kembali bersuara lantang. "Dua orang anak buahku lewat di
tempat kejadian tak lama setelah kau membantai Warok Mata Api dan anak buahnya.
Salah seoerang anak buah Warok Mata Api ditemukan dalam keadaan sekarat, sebelum
mati masih sempat memberitahu bahwa Warok Mata Api dan kawan-kawannya mati
dibunuh oleh seorang pemuda bernama Damar Wulung. Dia memberitahu namamu,
mengatakan bahwa kau menunggangi seekor kuda coklat yang ada warna puttih di
hidungnya! Manusia jahanam, apa kau masih mau berkilah mencari dalih"!"
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Warok Gigi Perak menyeringai. "Damar Wulung, kami sudah lama mengintaimu. Kami
tahu semua apa yang terjadi di tempat ini! Kau bisa menipu Warok Mata Api, tapi
jangan mengira bisa memperdayai kami berempat! Warok Tangan Ap, lekas kau rampas
gadis itu!"
Mendengar ucapan Warok Gigi Perak, Warok Tangan Api gerakkan tangan kanannya.
"Wussss!"
Satu kobaran lidah api menderu ke arah Damar Wulung. Kejut pemuda ini bukan
kepalang. Jarak mereka terpisah sekitar dua tombak, tapi lidah api menderu
laksana kilat dan tahu-tahu sudah menyambar di depan hidungnya!
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Sambil membentak keras Damar Wulung miringkan diri ke samping lalu jatuhkan diri
ke tanah. Lidah api menderu hanya satu jengkal di sisinya, panas membakar
pinggang pakaian kuningnya. Dengan tangan kanannya dia menepuk-nepuk pakaiannya
hingga api yang membakar serta merta padam. Didahului suara menggembor marah,
begitu dua kakinya menginjak tanah dia hantamkan tangan kanan ke arah Warok
Tangan Api. Dari tangan Damar Wulung memancarkan dinar biru!
Dua kuda meringkik keras.
Yang pertama kuda coklat milik Damar Wulung. Binatang ini yang ketakutan melihat
lidah api serangan Warok Tangan Api meringkik keras, sambil naikkan dua kaki
depannya ke atas. Tak ampun Sutri yang berada dalam keadaan kaku di
punggungnnya, jatuh ke samping. Saat itu Warok Gigi Perak cepat melesat dari
kudanya, menyambar tubuh si gadis lalu membawanya ke tempat aman.
Kuda kedua yang meringkik kemudain jatuh tergelimpang di tanah adalah kuda milik
Warok Tangan Api. Binatang ini menggeliat melejang-lejang lalu terkapar tak
berkutik lagi, mati dengan kepala pecah akibat pukulan aneh yang tadi dilepaskan
Damar Wulung. Bagian kepala yang hancur berwarna membiru dan mengepulkan asap.
Warok Tangan Api bergidik. Kalau dia tadi tidak lekas menghambur dari kudanya,
pastilah dirinyalah yang jadi korban.
"Pukulan Batunaroko!" kejut Warok Gigi Perak begitu mengenali pukulan yang membunuh kuda
Warok Tangan Api tu. "Setahuku pukulan itu hanya dimiliki oleh nenek sakti
berjuluk Gondoruwo Patah Hati. Salama ini si nenek tidak ada permusuhan dengan
para Warok Alas Roban. Juga tidak terdengar dia pernah mempergunakan pukulan
Batunaroko karena terlalu ganas. Pemuda satu ini siapa dia"
Apa muridnya" Terlalu berbahaya! Kalau tidak segera dihabisi bisa menimbulkan
malapetaka!"
Tiga Warok lainnya juga sama terkejut. Terutama Warok Tangan Api.
Mukanya sampai pucat. Dia memberi tanda pada kawan-kawannya. Lalu berteriak.
"Jaring Golok Iblis!"
Empat Warok melesat ke arah Damar Wulung.


Wiro Sableng 125 Senandung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Srett! Srett! Srett! Srett!
Selagi melayang di udara empat golok dihunus keluar dari sarung. Empat Warok
memegang golok di tangan kiri. Ternyata mereka kidal semua. Lalu empat cahaya
berkilauan disertai deru angin keras berkiblat di udara. Empat cahaya membentuk
empat garis panjang yang saling besilangan seperti jaring lalu secara aneh
menderu ke arah Damar Wulung. Inilah jurus ilmu golok yang disebut Jaring Golok
Iblis. Jangankan seorang lawan, dua orangpun jika sampai diterjang serangan ini
akan sulit selamatkan diri.
Damar Wulung belum pernah mendengar jurus maut serangan golok empat Warok Alas
Roban itu. Namun dari cahaya yang keluar serta melihat bagaimana empat cahaya
membetuk jaring menderu siap melibasnya Damar Wulung tak mau berlaku ayal.
Secepat kilat dia menghantam. Dua cahaya biru menyambar. "Praak!
Praak!" "Breett! Breeettt!"
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dua jeritan merobek udara. Dua tubuh mencelat dan terjengkang tak bernyawa.
Lalu ada suarakudadipacu meninggalkan tempat itu.
Warok Gigi Perak tegak tertegun, perlahan-lahan memutar kepala, memandang
berkeliling. Mata membelalak, tengkuk terasa dingin. Warok Mata Picak dan Warok
Kepala Besi dilihatnya menggeletak di tanah dengan kepala hancur.
"Pukulan Batunaroko...." Desis Warok Gigi Perak dengan suara bergetar.
Lagi-lagi menyebut nama pukulan yang mengerikan itu.
Di sampingnya Warok Tangan Api berdiri tergontai-gontai sambil memandang ke arah
kejauhan sementaa kobaran api di tangan kanannya mengecil lalu padam. Rupanya
tadi sewaktu melihat lawan melarikan diri, melesat keluar dari jaring cahaya
empat golok, dia segera mengejar dengan pukulan sakti yang sanggup mengeluarkan
lidah api. Hanya sayang Damar Wulung telah melompat ke atas punggung kuda
coklatnya dan menggebrak binatang itu kabur dari tempat tersebut.
Warok Gigi Perak dan Warok Tangan Api setengah menggerung menyaksikan kematian
dua sahabat mereka. Di bagian lain Sutri Kaliangan tak berani membuka mata
karena ngeri menyaksikan apa yang terjadi hanya beberapa langkah di hadapannya.
"Warok Kepala Besi, Warok Mata Picak, kami berdua akan membalaskan kematianmu!
Kami bersumpah akan mencincang pemuda bernama Damar Wulung itu....." Warok Gigi
Perak berpaling pada Warok Tangan Api. "Tak jauh dari sini ada jurang batu.
Hanya itu tempat terbaik buat jenazah dua kawan kita ini."
Warok Tangan Api mengangguk perlahan. Dia berpaling ke arah Sutri lalu bertanya.
"Apa yang akan kita lakukan terhadap gadis itu?"
Sutri serta merta buka kedua matanya begitu mendengar dirinya disebut-sebut.
Rasa takut membuat sekujur tubuhnya bergetar dan mukanya pucat tak berdarah.
Siapa tidak takut berada di tangan para perampok hutan Roban. Apa lagi saat itu
mereka baru saja mengalami kejadian hebat. Dua kawan mereka menemui ajal.
Warok Gigi Perak menyeringai lalu lepaskan dua totokan di tubuh Sutri.
Begitu dirinya bebas gadis ini segera hendak melompat larikan diri tapi
lengannya dicekal Warok Gigi Perak.
"Jangan! Lepaskan!" jerit Sutri.
"Jangan berteriak! Jawab pertanyaanku! Apa betul kau puteri Patih Selo
Kaliangan?" tanya Warok Gigi Perak.
"Kalau sudah tahu janga berani kurang ajar! Lepaskan tanganku!" teriak Sutri
sambil meronta tapi tak sanggup lepaskan cekalan orang.
"Kami Warok Alas Roban memang kejam, membunuh orang sama dengan membunuh lalat!
Tapi kamu tidak menyakiti kaum perempuan. Itu satu pantangan besar! Dengar, kami
tidak akan menyakitimu. Kau boleh kembali ke Kotaraja sebelum malam tiba. Tapi
kami butuh keterangan...." Warok Gigi Perak lepaskan cekalan di lengan Sutri.
Puteri Patih itu hampir tak percaya mendengar ucapan sang Warok danusap-usap
lengannya yang tadi dicekal. "Kau boleh pergunakan salah satu dari dua kuda itu
untuk pulang ke Kotaraja. Tapi jawab dulu pertanyaanku. Kau tahu kira-kira ke
mana bangsat bernama Damar Wulung itu melarikan diri?"
Sutri menggeleng. "Aku .....aku tidak tahu. Tapi....."
"Tapi apa?" tanya Warok Tangan Api.
"Mungkin dia menuju air terjun Jurangmungkung."
"Air terjun Jurangmungkung dekat Mojogedang?" tanya Warok Gigi Perak.
"Benar....."
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ada keperluan apa bangsat itu ke sana" Setahuku tak satu manusiapun mau datang
ke situ. Itu tempat banyak roh gentayangan. Kematian bisa terjadi semudah angin
beritup." "Pemuda itu punya permusuhan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kemungkinan besar dia mencari Pendekar 212 di tempat itu....."
"Pendekar 212 Wiro Sableng!" uajr Warok Gigi Perak. Tiba-tiba ditangkapnya
pinggang Sutri. Gadis ini lalu dilemparkannya ke atas punggung kuda milik Warok
Kepala Besi. "Berangkatlah ke Kotaraja sebelum malam tiba!"
Lega dada Sutri. Dia merasa tidak percaya. Tadi dia mengira Warok bergigi perak
itu hendak melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadapnya. Ternyata dia
dinaikkan ke atas kuda dan disuruh pergi. Tanpa banyak menunggu lagi Sutri
segera menggebrak kuda besar itu.
Tak selang berapa lama setelah lenyapnya Sutri Kaliangan dan perginya dua Warok
dengan membawa mayat dua kawannya, dari balik satu gundukan tanah yang membentuk
bukit kecil, muncullah seekor kuda putih. Penunggangnya seorang nenek berambut
kelabu, berpakaian serba hitam dan bermuka setan. Si nenek yang bukan lain
adalah Gondoruwo Patah Hati berulang kali menarik nafas dalam dan gelengkan
kepala. "Pukulan Batunaroko...." Katanya perlahan. "Ganas sekali. Kalau yang jadi korban
bangsa perampok seperti dua orang tadi mungkin aku masih bisa menerima.
Tapi jika yang menemui ajal adalah para pendekar golongan putih, atau orang-
orang tidak bedosa" Menyesal aku telah mengajarkan ilmu itu padanya. Anak itu,
apapun yang terjadi aku harus bisa membawanya kembali ke pertapaan. Kalau dia
melawan aku terpaksa menguras ilmu yang dimilikinya. Berarti dia akan menderita
lumpuh seumur-umur."
Gondoruwo Patah Hati memandang ke arah kejauhan, ke arah lenyapnya Damar Wulung.
"Dia menuju ke timur. Apa yang dicarinya di sana?" si nenek menghela nafas
panjang sekali lagi lalu sentakkan tali kekang kuda putihnya.
Di bawah sinar kuning sang surya yang hendak tenggelam Damar Wulung memacu kuda
coklatnya. Baju kuningnya robek di bahu kiri dan dada kanan akibat sambaran
golok. Bahu kirinya tidka cidera tapi kulit dadanya sempat digores ujung golok
Warok Gigi Perak. Kaki kirinya terasa panas. Ketika dia memandang ke bawah
pemuda ini merutuk. Ujung kaki celana kirinya kelihatan hangus. Kakinya sendiri
kemerah-merahan sampai sebatas mata kaki. Sewaktu ia melompat ke punggung kuda,
Warok Tangan Api masih sempat mengejar dengan serangan lidah api dan mengenai
kaki kirinya. Untung cidera yang dialaminya ringan saja. Rasa sakit juga tak
seberapa. Namun rasa dendamnya terhadap dua Warok yang masih hidup itu laksana bara
menyala. Kelak jika tugas dari Dewi Ular yaitu menangkap Pendekar 212 Wiro
Sableng selesai dilaksanakannya, dia akan mencari dua Warok itu dan membunuh
keduanya tanpa ampun lagi!
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Gerobak berhenti di depan kedai besar di persimpangan jalan. Saat itu tengah
hari tepat. Kedai penuh oleh pengunjung yang sedang makan.
"Biar aku yang turun," kata Anggini. "Kedua kakiku ini seperti kaku, tiduran
terus dari kemarin."
"Tapi kau masih sakit," ujar Bidadari Angin Timur.
"Siapa bilang. Selama perjalanan kalian berdua telah menjadi tabibku yang hebat.
Memberi segala macam obat. Luka dalamku sudah mulai pulih, hanya badan masih
terasa sedikit lemah. Mungkin kebanyakan tidur. Jadi itu sebabnya aku perlu
jalan-jalan sedikit." Anggini tersenyum lalu turun dari gerobak. Pertama kali
menginjak tanah dia agak terhuyung. Bidadari Angin Timur cepat memeluk bahunya.
"Tidak apa-apa, aku cukup kuat." Kata Anggini pula. "Jadi aku harus beli apa"
Tiga nasi bungkus?"
"Ratu Duyung, kau tetap di gerobak. Biar aku menemani Anggini," berkata Bidadari
Angin Timur. Kehadiran dua gadis centik di dalam kedai yang hampir seluruh pengunjungnya
adalah laki-laki tentu saja menarik perhatian. Mereka yang tengah lahap makan
menunda menyuap atau menelan makanan dalam mulut, tak mau melewati pemandangan
bagus itu. Namun melihat pakaian serta gerak-gerik kedua gadis itu, tak ada yang
berani mengganggu. Mereka maklum dua gadis jelita itu adalah orang-orang rimba
persilatan. Semua orang meneruskan makan masing-masing sambil sesekali larak
lirik. Di sudut kedai, seorang lelaki ang ada parut bekas luka di pipi kirinya dan
tengah lahap menyantap makanan tiba-tiba tak bisa menelan nasi di dalam mulut.
Tidak seperti yang lain-lain yang menikmati kecantikan wajah dua gadis, lelaki
satu ini malah tampak ketakutan. Sambil memalingkan kepala ke jurusan lain dia
cepat-cepat meneguk minumannya. Ketika hendak berdiri tak sengaja tangannya
menyentuh gelas tanah hingga jatuh di lantai, mengeluarkan suara pecah yang
menarik perhatian, termasuk Anggini dan Bidadari Angin Timur. Dua gadis ini
berpaling memperhatikan.
Lelaki tadi cepat-cepat menuju bagian belang kedai, lalu keluar dari pintu
samping. "Orang berpakaian hitam tadi.....," bisik Anggini. "Yang mukanya ada cacat.
Aku pernah melihatnya. Coba kau ingat-ingat."
"Dia seperti ketakutan melihat kita. Aku ..... Aku ingat! Dia adalah salah seorang
anggota rampok yang membegal kita sewaktu dalam perjalanan menuju Gunung Gede.
Tapi seingatku semua anggota rampok itu termasuk pemimpin mereka yang berjuluk
Sepasang Gada Besi, habis dibantai oleh pemuda jahanam bernama Damar Wulung.
Bagaimana dia kini bisa hidup kembali?"
"Ini satu hal menarik. Bidadari, kau selesaikan pesanan kita. Aku akan mengejar
orang itu." Tak banyak menunggu Anggini segera melompat ke pintu samping.
Seperti terbang dara yang baru sembuh sakit enak saja melompati meja panjang di
mana banyak orang sedang menyantap makanan.
Ketika Anggini sampai di halaman samping, dia jadi tertawa lebar. Di halaman itu
dilihatnya Ratu Duyung tengah menjambak lelaki berpakaian hitam bermuka cacat
yang tengah dikejarnya. Orang ini berteriak-teriak minta ampun.
"Jangan berteriak terlalu keras. Nanti makanan yang barusan masuk dalam perutmu
keluar semua!" kata Anggini. Dia berpaling pada Ratu Duyung."Sahabat kau rupanya
telah mengenali siapa dia."
Ratu Duyung mengangguk. "Anak buah kelompok rampok Sepasang Gada Besi yang tempo
hari menghadang kita. Mungkin juga dia kaki tangan Damar Wulung!"
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kami kira kau sudah mati dibantai Damar Wulung saat itu. Ternyata masih hidup.
Kami ingin tahu bagaimana ceritanya" tanya Anggini.
"Aku.......aku berpura-pura mati. Setelah semua orang pergi aku lari selamatkan
diri. Aku .....ampun! Aku tidak bermaksud jahat. Damar Wulung menipu kami!"
Anggini dan Ratu Duyung saling pandang.
"Menipu bagaimana?" satu suara bertanya. Ternyata Bidadari Angin Timur yang baru
saja keluar dari kedai. Yang ditanya tak menjawab. Dia tampak sangat ketakutan.
"Kalau kau tidak bisa membuka mulut, biar aku tolong membukakan!" kata Bidadari
Angin Timur. Lalu dia cabut satu pohon kecil. Akar pohon ini disodokkannya ke
mulut si muka parut. Tentu saja orang ini jadi ketakutan dan buru-buru membuka
mulut. "Ampun, jangan! Biar aku bicara. Sebelu kami menghadangmu, Damar Wulung sudah
ada perjanjian dengan pimpinan kami. Kami hanya pura-pura merampokmu, lalu Damar
Wulung pura-pura menolong kalian...."
Bidadari Angin Timur berpaling pada dua sahabatnya dan berkata "Dugaanku tempo
hari bahwa Damar Wulung memang berkomplot dengan kelompok rampok itu kini
terbukti benar. Sayang sahabat kita Puti Andini sudah tidak ada untuk
menyaksikan kebenaran dugaanku...." Bidadari Angin Timur gebukkan batang pohon ke
kaki orang itu."Sudah, pergi sana! Lain kali kupergoki kau melakukan kejahatan,
kutambah cacat di mukamu!"
Terpincang-pincang kesakitan bekas anak buah rampok pimpinan Sepasang Gada Besi
itu tinggalkan tempat tersebut. Sementara orang banyak mulai berkumpul untuk
melihat apa yang terjadi, ketiga gadis sudah berada dalam gerobak, melanjutkan
perjalanan. Pagi itu di gedung Kepatihan masih tampak sepi. Namun sepagi itu Sutri Kaliangan
telah menghadap ayahnya.
"Saya mendengar ayah mengirim pasukan besar dan beberapa tokoh silat Istana ke
kawasan air terjun Jurangmungkung untuk menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng."
Di atas pembaringan, Patih Kaliangan kerenyitkan kening, menatap wajah anak
gadisnya lalu berkata "Pagi ini aku tak ingin diganggu. Pergilah, nanti saja
kembali lagi ke sini."
"Saya menyesal telah memberitahu bahwa Pendkar 212 berada di Jurangmungkung.
Padahal maksud saya memberi tahu agar ayah yakin bahwa dia akan mencarik obat
penyembuh untuk sakit ayah."
Selo Kaliangan tersenyum getir. "Dosa manusia itu dan si Gondoruwo Patah Hati
sangat besar! Hanya kematian yang bisa menghapuskan kesalahan mereka.
Adalah aneh kau berubah jalan pikiran. Sepertinya kau ingin membela orang yang
telah mencelakai ayahmu dan menimbulkan musibah besar pada Kerajaan. Sebagai
puteri Patih Kerajaan seharusnya kau membela Kerajaan. Lebih dari itu kau wajib
membela aku ayahmu!"
"Bagi saya kesembuhan ayah adalah paling utama. Jika ayah berhasil disembuhkan
sesuai janji Pendekar 212 pada saya, apa yang nanti ayah mau lakukan terhadapnya
terserah ayah....."
BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sutri, aku tak ingin bicara lebih lama. Pergilah. Panggil ibumu...."
Sutri termenung sejurus lalu gadis ini keluar dari dalam kamar ayahnya.
Bukan untuk menemui ibunya tapi pergi ke kandang kuda, menyuruh perawat kuda
untuk menyiapkan kuda tunggangannnya.
"Pagi-pagi begini Den Ayu mau berkuda ke mana?" tanya orang tua perawat kuda.
"Bapak kuda, aku tidak bisa mengatakan padamu mau pergi ke mana. Aku tak ingin
kau memberitahu pada ayah atau ibu. Atau siapapun. Bapak mengerti?"
"Saya mengerti Den Ayu, saya mengerti." Orang tua itu mengangguk.
BASTIAN TITO 45 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Matahari baru saja tersembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Walau
luka di kedua pahanya boleh dikatakan telah sembuh namun Pendekar 212 berlari
dengan berbagai beban pikiran di benaknya. Sejak dua hari lalu dia kehilangan
jejak Pangeran Matahari yang tengah dikejarnya. Selain itu pikirannya tak bisa
lepas dari menolong Bunga yang dipasung oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat dalam
sebuah guci perak. Sejak kehilangan jejak Pangeran Matahari Wiro memutuskan
langsung saja menuju Mojogedang di mana terletaknya air terjun Jurangmungkung.
Lalu dia juga harus mencari obat untuk penyembuhan bagi Patih Selo Kaliangan.
Dalam kesunyian pagi yang hanya ditandai suara kicau-kicau burung tiba-tiba
murid Sinto Gendeng mendengar suara orang bersiul di depannya. Suara siulan itu
membawakan lagu yang tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Orang yang bersiul
agaknya enar-benar menikmati lagu yang dibawakannya karena lagu itu terus
diulang-ulang. Dari lari biasa Wiro kerahkan ilmu Kaki Angin. Tak selang berapa lama dia telah
dapat melihat orang yang bersiul di depannya. Orang ini mengenakan pakaian biru.
"Sepertinya aku mengenal orang itu..... " kata Wiro dalam hati.
Orang yang bersiul rupanya sudah tahu kalau dia orang berlari mendatangi dari
belakang. Dia hentikan larinya dan berbalik. Ternyata dia seorang pemuda
berwajah tampan, rambut berkilat disisir licin dan ada kumis kecil rapi di atas
bibirnya. Wiro segera mengenali pemuda ini yang bukan lain adalah Adimesa alias
Pendekar Kipas Pelangi. Kedua orang yang sudah saling mengenal itu langsung saja


Wiro Sableng 125 Senandung Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertegur sapa lalu bicara panjang lebar. Namun dalam hati Pendekar 212 saat itu
ada satu ganjalan besar.
"Sahabatku Wiro, hal apakah yang membawamu jauh sampai ke sini?"
bertanya Adimesa.
"Aku tengah mengejar seseorang. Ingat peristiwa yang kita alami di jurang Telung
Penanjung?"
"Pangeran Matahari?"
"Tepat sekali!"Wiro lalu menceritakan apa yang telah terjadi di puncak Gunung
Gede. "Pangeran keparat itu agaknya memang sudah saatnya harus disingkirkan.
Kalau tidak rimba persilatan tanah Jawa tidak akan tenteram....."
"Sayang aku kehilangan jejaknya," kata Wiro pula. "Namun aku ada keperluan lain
di Mojogedang. Kau pernah mendengar seorang tokoh silat jahat berjuluk Iblis
Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh?"
"Manusia yang kau sebutkan itu tidak lebih baik dari Pangeran Matahari.
Punya sifat aneh. Suka menggauli mahluk-mahluk dari alam gaib....."
"Kalau begitu keselamtan Bunga sangat terancam...." Ujar Wiro.
"Siapa Bunga?" Wiro lalu menceritakan kejadia menyangkut diri Bunga, gadis cantik dari alam roh
itu. "Selama ini aku hanya mendengar segala kejahatan yang diklakukan orang itu.
jika kepergianmu ke Mojogedang ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang
dilakukan orang itu, aku ingin sekali ikut bersamamu."
BASTIAN TITO 46 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Terima kasih. Pertolonganmu tempo hari belum dapat aku balas, kini kau hendak
menanam budi baru. Aku merasa malu walau sangat senang mendengar kau mau ikut
bersamaku." Saat itu ganjalan yang ada dalam hati Pendekar 212 muncul kembali
membuat dia merasa tidak enak. Wiro ingat pada keterangan Ratu Duyung sewaktu di
Gunung Gede. Menurut gadis itu nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati pernah
mengatakan bahwa Damar Wulung sebenarnya bernama Adisaka.
Sedangkan menurut Pendekar Kipas Pelangi yang bernama Adimesa, Adisaka itu
adalah kakaknya yang selama belasan tahun tidak pernah diketahuinya lagi di mana
beradanya. Dua bersaudara itu terpisah ketika terjadi bencana alam. Mereka
hampir menemui ajal dalam kebakaran hutan akibat letusan Gunung Merapi kalau
tidak ditolong oleh dua orang sakti. Adimesa diselamatkan oleh kakek sakti
bernama Ki Riku Pulungan. Pemuda ini kemudian muncul dalam rimba persilatan
dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi. Sedang kakaknya yaitu Adisaka
diselamatkan oleh si nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati. Adisaka kemudian
diketahui memakai nama palsu yaitu DW dan melakukan perbagai kejahatan sebagai
akibat terjebak oleh Dewi Ular. (Mengenai riwayat Adimesa dan Adisaka harap baca
Episode pertama berjudul
"Kembali Ke Tanah Jawa.")
"Bagaimana aku harus mengatakan pada sahabatku ini," kata Pendekar 212
dalamhati, "Bahwa kakaknya adalah manusia yang selama ini gentayangan berbuat
kejahatan keji, merampok dan membunuh, memperkosa. Bahwa kakaknya itu adalah
yang menjarah senjata pusaka Keraton yaitu Keris Kiai Naga Kopek."
"Pendekar Kipas Pelangi, sebaiknya kita bercakap-cakap sambil melanjutkan
perjalanan menuju Mojogedang."
Pendekar Kipas Pelangi setuju. Kedua pemuda itu lalu lari berdampingan menuju ke
utara. Ketika suara siulan Pendekar Kipas Pelangi menggema pagi itu, Damar Wulung alias
Adisaka yang tertidur nyenyak di bawah sebuah pohon besar berbantalkan punggung
kuda coklat terbangun. Dia menggosok matanya, memasang telinga lalu melompat
bangun. "Suara siulan itu. Sama dengan siulan yang kudengar malam dulu itu. Dia
memandang ke timur, ke arah datangnya suara siulan itu. "Sekali ini aku harus
menemukan orang itu! Dia pasti Adimesa adikku! Pasti! Tidak ada yang tahu lagu
itu selain aku dan dia. Adimesa adikku! Akhirnya kutemui juga kau!"
Karena suara siulan itu terdengar tidak seberapa jauh, Damar Wulung merasa tidak
perlu menunggangi kuda. Binatang itu ditinggalkannya saja di bawah pohon.
Setengah berlari dia bergerak ke arah datangnya suara siulan. Tapi tiba-tiba
satu bayangan hitam berkelebat di hadapannya. Lalu satu suara dengan nada
congkak bertanya "Apakah ini arah jalan menuju air terjun Jurangmungkung di
Mojogedang"!"
Damar Wulung merasa tersinggung. Orang sudah menghadang jalannya lalu bertaya
congkak begitu rupa tanpa basa basi, tanpa menegur dengan panggilan saudara, ki
sanak atau bagaimana lumrahnya. Murid Gondoruwo Patah Hati ini siap hendak
mendamprat namun ketka dia memperhatikan pakaian dan wajah orang di hadapannya,
Damar Wulung jadi tersentak kaget. Setelah diam sejenak dia sunggingkan
seringai. BASTIAN TITO 47 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Dunia begini luas, para pendekar begitu banyak. Tapi aku tidak buta.
Bukankah kau menusianya yang berjuluk Pangeran Matahari?"
Orang berpakaian serba hitam dan berikat kepala kain merah di hadapan Damar
Wulung balas menyeringai lalu dongakkan kepala. "Dunia begini luas, pendekar
begitu banyak....." orang itu mengulang ucapan Damar Wulung, "Namun siapa diriku
Tengkorak Maut 14 Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Kisah Pedang Bersatu Padu 4
^