Pencarian

Dendam Makhluk Alam Roh 1

Wiro Sableng 160 Dendam Makhluk Alam Roh Bagian 1


Episode ke : 160
Ebook by : Dewi Tiraikasih
Scan Kitab by : Syaugy_ar
mailto:22111122@yahoo.com
DENDAM MAHLUK ALAM ROH
Melihat Purnama menyerbu dengan kapak sakti
Luhrembulan cepat putar Pedang Naga Suci 212 lalu
dengan sebat dibabatkan ke arah lawan. Ternyata
serangan Purnama hanya tipuan belaka. Karena
begitu dia melihal gerakan tangan Luhrembutan yang
memegang pedang. Purnama cepat rundukkan kepala
Pedang Naga Suci 212 lewat di atas kepala Purnama.
sempat membabat putus sejumput rambutnya yang
hitam dan membuat gadis ini terpekik, Dalam keadaan
sekujur tubuh terasa dingin akibat serangan pedang.
Purnama masih mampu lancarkan serangan ke dua
berupa babatan kapak membalik ke atas.
"Purnama Jangan!" Teriak Wiro.
Namun terlambat.
"Craassss!!"
Kapak Naga Geni 212 menyapu lebih dulu di atas dada
LUHREMBULAN! Gadis alam gaib ini terpekik keras.
***** PULAU Watu Gilang di pantai Parangkusumo. Dua bukit karang menjulang tinggi di
kegelapan malam.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang baru saja menabas putus leher Patih Kerajaan Wira
Bumi mengusap kuduk yang terasa dingin mengkirik. Bulu roma merinding. Dia
merasa ngeri sendiri.
"Edan, kalau dia tidak mempergunakan ilmu setan, tidak menyamar Jadi Nyi Retno
Mantili untuk merampas bayi Itu, aku mungkin tidak akan membunuhnya! Aku
sekarang Jadi pembunuh! Pembunuh Patih Kerajaan!
Urusan lagll Perkara lagi! Geblek! Sial.
Murid Sinto Gendang menggaruk kepala, memandang sekeliling pulau yartg diterangi
belasan obor. Di pantai Parangtritis dan Parangkusumo ratusan
orang berdatangan untuk merayakan malam Satu Suro.
Biasanya mereka Juga menyeberang ke pulau Watu Gilang. Namun karena ombak di
laut sedang besar, sampai saat itu belum ada seorangpun yang datang.
"Waktu aku bertemu perempuan itu bersama boneka kayunya di Bantul, dia berjanji
akan datang menemuiku di pantai Parangtritis pada malam Satu Suro Ini. Yang
datang ternyata Wira Bumi, merubah diri Jadi Nyi Retno Mantili. Berarti yang
kutemui di Bantul sejak semula memang bukan Nyi Retno Mantili yang asli. Edan!
Lalu sekian lama dimana perempuan itu bersembunyi. Ah, aku tidak yakin dia
sembunyi. Mungkin pergi ke satu tempat. Apa dia benar-benar marah padaku?" Wiro
terdiam sejenak. Dadanya mendadak berdebar oleh rasa kawatlr ketika hatinya
berucap. "Jangan-jangan Nyi Retno telah dibunuh Wira Bumi atau gendaknya yang
bernama Nyai Tumbal Jiwo itu."
Kalau saja saat itu dua nenek sakti yaitu Nyai Roro Manggut dan kembaran ke tiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu masih ada bersamanya Wiro mungkin bisa bicara bertukar
pendapat dan pikiran. Sayang mereka telah menyeberang ke Parangtritis untuk
melihat keramaian malam Satu Suro. Wiro akhirnya pergi ke pantai, ke tempat
dimana dia sebelumnya meninggalkan perahu di bagian selatan pulau.
Ketika sampai di perahu dan hendak mengambil kayu pendayung mendadak dia melihat
seorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian sangat seronok
berbaring meneientang di lantai perahu. Dua tangan dan kaki dikembang,
diletakkan di atas pinggiran perahu. Tubuhnya nyaris tersingkap di setlap
bagian. Betul-betul menggoda! Namun murid sinto gendeng tenang saja. Dia sudah banyak
pengalaman dengan hal dan kejadian seperti Ini.
Wiro tidak mengenal siapa adanya si cantik ini.
"Kau siapa?" tanya Pendekar 212, Dia berpikir jangan-jangan mahluk jejadlan
lagi. Yang ditanya tersenyum. Giginya tampak rata dan putih.
"Namaku Nyi Wulas Pikan..."
"Nama bagus. Tapi aku tidak mengenalmu.
Apakah kau mengenalku sebelumnya?"
"Tentu saja aku mengenalmu," jawab si cantik.
"Bahkan mulai malam ini kau telah menjadi kekasihku.
Pengganti Wira Bumi yang telah kau bunuh..."
Pendekar 212 undur satu langkah. Memperhatikan lekat-lekat wajah perempuan muda
yang berbaring menelentang di atas perahu sambil menggaruk kepala.
"Kepalamu gatal" Apa banyak kutunya" Mau aku carikan kutu, aku bersihkan"
Mungkin rambut lain di tubuhmu Juga banyak kutunya! Hik... hik... hik." SI
cantik tertawa cekikikan.
Wiro menyeringai. Lalu berkata. "Aku ingat, kau
... kau adalah perempuan yang berbuat mesum dengan Patih Kerajaan di balik semak
belukar di tepi pantai..."
"Waw! Jadi kau mengintip rupanya"! Hlk... hlk"
Dengar, mengintip itu cuma bikin pusing kepala. Kau tidak mau melakukannya
sendiri?" Wiro pencongkan mulut lalu menggeleng.
"Ah, aku tahu. Kau tidak mau mendapat yang bekas. Lihat, wajahku bisa berubah-
ubah. Kau tinggal mengatakan pilih yang mana."
Diiringi suara tawa panjang rupa perempuan di atas perahu berubah berulang kali.
Semua menampilkan wajah-wajah cantik. Wiro sempat
terperangah ketika melihat dua di antara wajah-wajah itu sangat menyerupai wajah
Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur.
"Kau pasti Jejadlan Nyai Tumbal Jiwo!" kata Pendekar 212.
"Lebih baik kau kembali ke ujud aslimu!" Lalu Wiro angkat tangan kanan, siap
melepas pukulan. Tangan Dewa Manghantam Batu Karang. Pukulan sakti Ini
dipelajari Wiro dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao
Basaluang Amen.
Namun sebelum pukulan itu melesat sosok
perempuan cantik di atas perahu yang mengaku Nyi Wulas Pikan telah lenyap dari
pemandangan. Yang terdengar hanya suara tawa cekikikan yang kemudian juga lenyap
seolah masuk menghilang ke dalam laut, ditelan gemuruh ombak. Perahu yang
terkena pukulan hancur berentakan berkeping-keping.
Wiro berbalik. Dia melengak kaget dan keluarkan seruan tertahan lalu menyumpah
panjang pendek karena begitu berbalik kakinya menendang sesuatu.
Ternyata yang tertendang adalah sosok Wira Bumi.
Anehnya tubuh dan kepala yang sebelumnya kutung terpisah tergeletak kini dalam
keadaan saling berdekatan. Mulut menganga, mata kanan mencelat!
Namun di lain kejap sosok itu kemudian lenyap dari pemandangan.
"Edan! Edan!" maki Wiro berulang kail.
"Hik... hik."
Tiba-tiba ada tawa mengiang di telinga Wiro.
"Ini aku lagi. Kekasihmu. Nyi Wulas Plkan. Setelah aku mengurus mayat Wira Bumi,
apakah malam ini kita bisa bersenang-senang sampai pagi di pulau yang sepi ini"
Suara tetabuhan gamelan di pantai seberang akan mengalun! percintaan kita.
Bukankah Indah sekali?"
"Hik..hik!" Saking kesalnya Wiro menirukan tawa mengiang lalu memaki."Gila!
Edan!" "Gila! Edan! Yang gila dan yang edan itu yang paling enak! Kita akan sama-sama
merasakan kelak!
Kita berdua pasti cocok. Kalau kau sudah merasakan hemmm ... Kau tidak akan
meninggalkan diriku
seumur-umur! Dan aku akan setia padamu! Hlk ... hik
...hlk! "Setan perempuanl Mampuslah!" teriak Wtro. Lalu tidak kepalang tanggung dia
hantamkan tangan kanan melepas pukulan Sinar Matahari ke arah datangnya suara
mengiang. Hawa panas menghampar. Cahaya
putih menyilaukan berkiblat di Watu Gilang. Membuat terkejut dan heran semua
orang yang ada di pantai Parangtritis dan Parangkusumo. Namun yang
dihantam pukulan sakti itu hanya udara malam
kosong. Dua belas obor hancur berantakan. Keadaan di atas pulau menjadi gelap.
"Sialan! Sialan!" maki Wiro berulang kali.
"Tidak siali Tidak sial! Kau beruntung mendapatkan diriku! Aku beruntung
mendapatkan dirimu!"
Suara mengiang kembali terdengar di telinga Wiro.
MASIH dalam suasana malam Satu Suro. Menjelang pagi Kota raja yang ramai dengan
berbagai perayaan menyambut pergantian tahun berangsur-angsur sepl.
Sebelumnya di berbagal tempat terdapat banyak
panggung hiburan. Arak-arakan yang membawa obor dan lampion berputar-putar
sepanjang Jalan di dalam kota. Berbagal alat bunyi-bunyian seperti gendang,
beduk kecil ditabuh, Seruling dan terompet ditiup melengking keras. Menjelang
pagi suasana berangsur sepi. Sewaktu hujan rintik-rintik turun dan hawa dingin
mulai membungkus Kotaraja, keadaan Jadi benar-benar sunyi. Hanya sesekali
terdengar suara lolongan anjing di kejauhan.
Dalam kegelapan malam yang dipagut hawa
dingin, dari arah barat tampak sebuah gerobak ditarik seekor kuda hitam bergerak
memasuki Kotaraja. Luar biasanya, gerobak ini membawa sebuah peti mati dari kayu
kasar, ditutup secarik kain merah. Dan ternyata gerobak ini menuju ke Gedung
Kepatihan yang terletak di selatan alun-alun.
KETIKA gerobak yang ditarik kuda hitam meluncur ke arah pintu gerbang yang
tertutup dua pengawal penjaga pintu gerbang serta meria menghadang sambil
melintangkan tombak besi berujung tajam.
Pengawal di sebelah kanan hendak membentak kusir gerobak. Namun begitu melihat
sosok dan tampang kusir gerobak, mulurnya langsung terkancing dan wajahnya
menjadi pucat. Pengawal yang satu lagi tertegun mendelik, juga tak mampu
keluarkan suara.
Kusir gerobak ternyata adalah seorang nenek bermuka seseram setan, berambut
merah panjang riap-riapan, mengenakan pakaian merah. Seluruh kulit termasuk kulit wajahnya
Juga berwarna merah.
Sepasang mata yang laksana api Jadi bertarnbah seram karena dilingkari sepasang
alis berwarna merah menjulai! Ketika dia menyeringai tampak daratan gigi yang
hanya tinggal beberapa buah serta lidah yang basah merah.
"Buka pintu gerbang!" SI nenek memerintah dengan suara bergaung membuat dua
pengawal tambah
ketakutan. Karena yang diperintah tidak bergerak dan tidak bersuara, si nenek tidak sabaran
gerakkan tangan kanan. Selarik sinar merah melesat
"Braaakkk"
Pintu gerbang besar yang terbuat dari kayu besi tebal dan kokoh hancur
berantakan. Si nenek
sentakkan tali kekang kuda. Pada saat gerobak
meluncur melewati pintu gerbang baru dua pengawai sadar. Keduanya berteriak
keras dan berusaha
menghalangi. Salah seorang dari mereka malah
melompat naik ke tempat duduk kusir.
"Manusia-manusia kurang ajar! Tidak tahu diri!
Apa tidak melihat aku membawa barang keramat"!"
Tangan kiri si nenek bergerak.
"Bukk"
Pengawal yang melompat ke atas kereta terpental.
Tergelimpang di tanah tak berkutik lagl.Tulang dada hancur!
Pengawai satunya melihat apa yang terjadi dengan temannya berteriak marah lalu
melemparkan tombak besi ke arah si nenek. Orang yang diserang cuma menyeringai.
Sekali tangannya diangkat tombak besi berhasil ditangkap lalu dilempar balik ke
arah perajurit yang tadi menyerang. Perajurit pengawal hanya
sempat keluarkan suara jeritan pendek lalu roboh ke tanah dengan dada ditambus
tombaki. *** PAGI harinya Gedung Kepatihan geger besar.Yang pertama sekail melihat gerobak
berhenti di depan gedung adalah seorang pembantu lelaki yang setiap pagi biasa
menyapu membersihkan halaman.
"Aneh, pagi-pagi begini ada gerobak di depan Kepatihan. Kusirnya tidak
kelihatan. Siapa yang membawa?" Pembantu ini melangkah mendekati.
Beberapa langkah di samping gerobak gerakannya terhenti ketika pandangannya
membentur peti mati berselubung kain merah. Dia mencium bau aneh.
"Bau busuk.-. Seperti bau busuk bangkai."." Ucap tukang sapu dalam hati. Rasa
takut mendadak saja menggerayangi diri.Terlebih ketika dia memandang ke arah
kiri dan melihat pintu gerbang dalam keadaan hancur berentakan. Lalu ada dua
perajurit tergeletak tak bergerak. Salah satu dengan dada ditancapi tombak.
Seekor anjing tengah menjilati cairan merah di dada perajurit yang sudah jadi
mayat itu.Tengkuk tukang sapu merinding dingin. Dia segera saja berteriak-teriak
memanggil pengawal.
Lebih dari selusin pengawal kemudian mendatangi halaman depan Gedung Kepatihan.
Empat orang lari ke arah pintu gerbang dimana dua pengawal tergeletak tewas.
Sisanya mengerubungi gerobak. Bersama
mereka Ikut seorang kakek berjubah gombrong hitam berkepala botak yang dicat
hitam. Kakek ini adalah seorang tokoh silat golongan hitam yang menjadi salah
seorang pembantu kepercayaan Patih Wira Bumi
dikenal dengan nama panggilan
Kloneng Hitam. Wajah si orang tua botak tampak berkerut Hatinya membatin. Dia
seolah sudah tahu apa yang terjadi dan mayat siapa yang ada dalam peti mati.
"Malapetaka besar akhirnya datang juga. Kepala Pengawal Bantarangln tewas. Juga
Perwira Tinggi Suko Daluh. Lalu tokoh silat Ki Wulur Jumena dan Ki LuwakIreng
terbunuh. Sekarang..." Kioneng Hitam tidak teruskan ucapan hati dia berteriak
pada para pengawal Kepatihan yang mengerubungi gerobak.
"Jangan diam saja! Lekas turunkan peti mati itu!"
Seorang pengawal menarik kain merah yang
menyelubungi peti mati. Delapan orang kemudian dengan susah payah menurunkan
peti mati ke tanah.
Bau busuk semakin santar.
"Buka tutup peti mati!" perintah kakek kepala botak hitam.
Delapan pengawal yang barusan menurunkan pati mati sesaat tertegun. Wajah mereka
jelas menunjukkan rasa bimbang dibalut ketakutan.
"Perajurit-perajurit pengecut!" maki Kloneng Hitam.
Kakek botak ini pergunakan kaki kiri menendang pinggiran peti mati hingga papan
penutup peti mati terpental, melesat ke udara. Dalam keadaan tanpa penutup, apa
yang ada di dalam peti mati terpentang jelas. Semua pengawal yang ada di
sekeliling peti bersurat mundur, keluarkan saruan tertahan dan serentak menutup
hidung. Kloneng Hitam walau sudah menduga tak kurang kaget di dalam peti mati tergeletak
mayat Patih Wira Bumi. Yang mengerikan kepalanya terpisah dari badan.
Mata kiri dibalut kain hitam. Mata kanan melotot mencelet. Mulut menganga.
Bagian yang kutung
bekas tabasan senjata tajam tampak telah membusuk.
Bagian tubuh yang luka inilah yang menebar santar bau busuk.
Kloneng Hitam menyuruh para pengawal menutup peti mati kembali lalu dia masuk ke
dalam Gedung Kepatlhan menemui Ni Ketut Ragi, perempuan
keturunan Bali yang menjadi Kepala Pelayan di Gedung Kepatlhan.
"Ni Ketut, beri tahu kedua istri almaehum kanjeng Patih Kerajaan apa yang
terjadi. Tapi cegah kalau mereka Ingin melihat jenazah."
Begitu tahu kalau majikannya telah meninggal dunia, Nl Ketut Ragi sambil
menangis pergi menemui dua orang Istri Patih Wira Bumi yang tinggal di dua
bangunan terpisah. Seperti' diketahui Wira Bumi memiliki tiga orang istri. Istri
ketiga dan yang paling muda adalah Nyi Retno Mantili. Pagi Itu Juga seluruh
penghuni Gedung Kepatihan dilanda kegegeran. Ratap tangis terdengar dimana-mana.
Kioneng Hitam sendiri kemudian masuk ke dalam sebuah kamar rahasia yang
diketahuinya sering dipakai Wira Bumi untuk bersemadi dan bertemu serta bercinta
dengan gurunya Nyai Tumbal Jiwa. Cukup lama kakek kepala botak Ini berada dalam
kamar. Dia berusaha merenung dan berpikir mencari tahu siapa adanya orang yang
telah membunuh Patih Wira Bumi.
"Setahuku Patih Wira Bumi baru saja mendapatkan ilmu dari seorang nenek sakti di


Wiro Sableng 160 Dendam Makhluk Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pantai selatan. Dengan ilmu yang dimilikinya tidak mudah bagi musuh untuk
menghabisinya." Kekek botak Ini terus merenung. "Aku Ingat cerita Patih Wira
Bumi tentang golok besar miliknya yang pernah hilang. Mungkin dengan
menjajagl dimana keberadaan senjata itu aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya
telah terjadi. Aku harus menemui seseorang. Aku juga harus mengutus seseorang
untuk melapor ke Istana"
Kioneng Hitam keluar dari kamar. Langkahnya tertahan ketika entah dari mana
datangnya tahu-tahu di ambang pintu telah berdiri seorang nenek bermuka setan.
Wajah, pakaian serta rambut berwarna merah menyala. Walau berkepandaian tinggi
dan punya banyak pengalaman namun menghadapi nenek
angker ini Kloneng Hitam bergetar juga nyalinya.
"Kakek botakl Kau telah berlaku lancangi. Memasuki kamar rahasia Patih Kerajaan
tanpa Izin!" si nenek berkata. Suaranya perlahan tapi menimbulkan gaung aneh di
dalam kamar. "Kau alapa" Punya hak apa menegurku"! Balik menjawab Kloneng Hitam.
"Kau tidak layak bertanya.Tapi biar kujawab agar kau tahu diri! Aku Nyai Tumbal
Jiwo Guru Patih Kerajaan Wira Bumi!"
Kloneng Hitam tertegun sesaat talu berkata.
"Ah, aku tidak menyangka. Terima salam hormatku."
SI kakek lalu membungkuk memberi penghormatan.
Setelah berdiri lurus-lurus dia berkata.
"Aku tidak bermaksud beri ancang diri. Aku memasuki kamar dalam menjajagl kalau-
kalau ada sesuatu yang bisa aku jadikan bahan untuk mencari tahu siapa pembunuh
Patih Kerajaan."
"Kau tidak perlu melakukan hal itu. Semua tanggung jawab ada padaku! Aku yang
akan mencari pembunuh Patih Wira Bumi!"
"Aku... aku sangat berterima kasih kalau kau mau melakukan, Nyai." Kata Kloneng
Hitam pula walau dalam hati dia merasa tidak enak. Sebagai tokoh silat golongan
hitam sedikit banyak dia tahu mahluk
macam apa adanya Nyai Tumbal Jlwo.
"Kalau kau sudah mengerti pergilah! Jangan sekali lagi berani berlaku lancang.
Apa lagi masuk ke dalam kamar ini!"
"Baik Nyai." Ucapanmu akan aku ingat baik-baik!"
Jawab Kloneng Hitam. Lalu cepat-cepat tinggalkan.
tempat itu. Setelah Kloneng Hitam pergi, Nyai Tumbal Jiwo masuk ke dalam kamar, langsung
merebahkan diri menelentang di atas ranjang. Mulutnya berucap perlahan.
"Pendekar Dua Satu Dua, kekasihku. Kalau kau ada di sini alangkah bahagianya
diriku. Hanya kau seorang yang mampu menjadi pengganti Wira Bumi."
Sambil membayangkan wajah Wiro, Nyai Tumbal Jlwo tanggalkan pakaian merahnya.
Bersamaan dengan Itu wajah dan tubuhnya berubah menjadi
wajah dan tubuh seorang gadis cantik. Nyi Wulas Pikan!
TELAGA tiga warna di puncak Gunung Gada sebelah timur tampak begitu indah. Udara
terasa nyaman pagi itu. Kicau burung terdengar bersahutan di pepohonan.
Di kejauhan ada suara perempuan menyanyi.
Kemuning anakku
Pagi begini Indah
Udara aegar melegakan kalbu
Adakah kau mendengar begitu merdu
Suara kicau burung dlpepohon
Ataukah kau masih berduka
Karena ayahmu tak kunfung Jumpa
Kemuning anakku
Jangan kau bersedih
Suara nyanyian tiba-tiba terputus. Penyebabnya adalah kemunculan seorang dara
berambut hitam sepinggang, mengenakan pakaian putih berkilat.
Berhenti di tepi telaga wajahnya yang Jelita tampak berkerut
"Jelas tadi aku mendengar suara perempuan menyanyi di arah sini. Mengapa
mendadak lenyap?"
Gadis di tepi telaga memandang berkeliling. Hatinya berkata. "Aku yakin
perempuan yang menyanyi masih ada di sekitar sini. Aku tidak melihat dia tapi
bisa saja dia tengah memperhatikan diriku. Ah sudah, aku tidak ada urusan dengan
perempuan Itu. Bisa saja dia pengamen murahan yang kesasar. Tapi, bagaimana
kalau yang menyanyi tadi gadis bermata biru Itu" Apa dia sudah datang lebih
dulu" Sayang aku tidak
mendengar Jelas apa syair nyanyiannya."
Gadis itu akhirnya duduk berjuntai di tepi telaga.
Dia tidak perdull ujung celana putihnya masuk ke dalam air. Dan ternyata ujung
kaki celana Itu memang tidak basah. Sambil menggoyang-goyang dua kaki perlahan-
lahan gadis ini kerahkan tenaga dalam.Tak selang berapa lama air telaga tiga
warna tampak mulai bergelombang. Gelombang-gelombang kecil ini bukan gelombang
biasa karena menimbulkan getaran aneh yang terasa sampai di dasar telaga.
"Getaran sudah sampai ke dasar telaga, saatnya aku bicara." Membatin gadis yang
duduk di tepi telaga.
Sepasang mata bening memandang ke permukaan,
kepala disentakkan hingga wuuttl Rambut hitam
panjang melesat berputar membuat ranting pohon bergoyang dan dedaunan yang luruh
jatuh. Lalu mulut berbibir marah bagus berucap. Dia mempergunakan Ilmu yang
disebut Menyadap Suara Batin, Ilmu yang mampu menyampaikan suara ke tempat jauh
melalui angin. Suara yang disampaikan sanggup menembus tembok, melewati air.
"Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya datang dari jauh.
Apakah kau sudi menemui diriku?"
Suara yang diucapkan gadis berpakaian putih itu membuat gelombang di permukaan
air telaga yang tadinya kecil berubah membesar.
Si gadis menunggu. Tidak ada balasan suara kecuali suara tiupan angin yang tiba-
tiba mengencang. Tidak ada yang muncul, baik dari sekitar tepi telaga maupun
dari dalam telaga.
"Kiai. saya tahu kau ada di dalam telaga. Kalau saja saya bisa masuk menembus
batas air saya akan
langsung mendatangi dirimu. Kalau kau tidak mau menerima diriku, mungkin kau
sedang bersamadl atau tengah berzikir dan memanjatkan doa pada Tuhan.
Kalau begitu saya yang tidak tahu diri. Datang menganggu ketenteraman dirimu.
Saya mohon maafmu Kiai. Tapi karena saya ada kepentingan, saya akan menunggumu
sampai kapanpun hingga kau mau
menemui diri saya."
Habis berkata begitu gadis berpakaian putih itu melesat dan duduk ke cabang
pohon di tepi telaga.
Sambil duduk dia memandang berkeliling,
memperhatikan keadaan kalau-kalau dia bisa melihat perempuan yang tadi menyanyi.
Namun setelah memperhatikan sekian lama dia tetap tidak melihat seorangpun di sekitar situ.
Tiba-tiba gadis ini mendengar suara sesuatu meluncur dari dasar telaga. Matanya
dialihkan, menatap tak berkesip ke permukaan air. Sesaat kemudian air telaga
tampak muncrat sampai setlnggl dua tombak.
Bersamaan dengan Ku muncullah sosok seorang kakek berpakaian selempang kain
putih, berambut putih, kumis dan janggut Juga putih. Wajah klimis segar dan
jernih. Luar biasanya walau keluar dari dalam telaga, baik tubuh maupun
pakaiannya sama sekail tidak tidak basah.
Di pertengahan telaga sementara air telaga yang tadi muncrat kembali surut ke
bawah, dengan tenang orang tua berpakaian selempang kain putih melangkah di
permukaan air seolah dia berjalan di atas tanah.
"Kiai" Gadis yang dudukdl cabang pohon berseru gembira lalu melayang turun dan
menunggu kakek berpakaian putih di tepi telaga. Begitu orang tua ini sampal di
hadapannya, al gadis langsung jatuhkan diri memberi penghormatan.
"Tetamu muda berpakaian putih," sapa si orang tua yang bukan lain adalah Kiai
GedeTapa Pamungkas,
"berdirilah." Di dalam hati orang tua ini membatin.
"Lain yang ditunggu lain yang datang. Apakah Nyi Retno mengetahui kemunculan
gadis Ini?"
Gadis berambut hitam panjang cepat berdiri.
Setelah menatap sejurus Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya.
"Apakah aku mengenal dirimu?"
Si gadis menggeleng.
"lni kali pertama kita bertemu Kiai. Saya mohon maaf kalau telah mengganggu
dirimu." "Kau tidak menganggu siapapun di tempat ini. Tadi kau berkata datang dari jauh
dan punya satu kepentingan." Sepasang mata Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan ujung celana
putih si gadis yang tidak basah meski tadi dia memasukkan dua kaki ke dalam air
telaga. "Sangat penting Kiai." Jawab si gadis.
"Katakan siapa namamu. Lalu ceritakan apa kepentinganmu."
"Kiai," di negeri asal saya, saya dipanggil dengan nama Luhrembulan. Saya datang
dari negeri jauh. Saya sebenarnya adalah..."
"Aku sudah tahu, tak perlu diceritakan," potong Kiai Gede Tapa Pamungkas. Ketika
dia mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti pada kedua
matanya, orang tua ini melihat ujud asli si gadis yang ternyata adalah seorang
nenek kurus hitam. Wajah menyerupai burung gagak. Mulut dan hidung jadi satu
seperti paruh burung. Sepasang mata kecil tanpa alis.
"Syukurlah kalau Kiai sudah tahu. Saya seorang bernasib malang. Terdampar dari
alam seribu dua ratus silam ke tanah Jawa ini..."
Kiai Gede Tapa Pamungkas mengangguk. "Sekarang ceritakan saja maksud
kedatanganmu."
"Saya mohon diberi keleluasaan untuk menunggu kedatangan seseorang di tempat
ini." Jawab gadis mengaku bernama Luhrembulan."
"Siapa orangnya?" bertanya sang Kiai.
"Saya menylrap kabar orang itu akan datang kesini sebelum bulan purnama besok
malam." "Ya, katakan siapa orangnya," mengulang Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Dia seorang lelaki muda. Namanya Wiro Sableng. Di tanah Jawa dia dijuluki
Pendekar Dua Satu Dua.
Bukankah dia punya hubungan sangat dekat dengan Kiai" Bukankah benar kabar yang
saya sirap bahwa dia akan datang sebelum bulan purnama besok malam?"
"Semua yang kau katakan benar adanya." Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Yang aku
Ingin tahu ada kepentingan apa kau mencari Wiro Sableng."
"Dia adalah suami saya." Jawab Luhrembulan yang berasal dari Latanahsilam,
negeri seribu dua ratus tahun silam.
Ujung alis putih Kiai Gada Tapa Pamungkas langsung menjungkat ka atas. Sepasang
mata memandang tak berkeslp pada gadis cantik di hadapannya.
"Kuharap aku tidak salah mendengar. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adalah
suamimu?" "Benar Kiai. Kami nikah beberapa waktu lalu."
"Nikah... ?" Kiai Gede Tapa Pamungkas terdiam sejenak. "Aku memang banyak
mendengar cerita macam-macam mengenai pemuda itu.Tapi kalau soal kawin baru kali
ini..." Sang Kiai berucap lalu geleng-gelengkan kepala.
"Tidak heran kalau Kiai tidak pernah mendengar perihal perkawinan Itu. Karena
kami nikah di Latanahsllam. Negeri seribu dua ratus tahun silam..."
Kata Luhrembulan pula.
Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap lekat-lekat ke wajah gadis di hadapannya.
Seolah Ingin menyelami apakah Luhrembulan berucap benar atau dusta belaka.
Tiba-tiba dari arah selatan telaga terdengar suara perempuan menyanyi.
Kemuning anakku
Adakah kau mendengar
Perempuan yang katanya
datang dari negeri Jauh
Mengaku bersuamikan ayahmu
Kemuning anakku
Apa kau merasa bahagia
Punya dua Ibu Satu kandung Satu Ibu tiri Kemuning anakku
Dunia memang aneh
Tapi tidak ada keanehan begini luar biasa
Selain pempuan yang mengaku telah nikah
Dengan ayahmu tercinta
Padahal ujudnyapun
tidak karuan rupa
Luhrembulan palingkan kapala ke arah selatan telaga sementara Kl Gede Tapa
Pamungkas diam-diam perhatlkan wajah Si gadis yang tampak berubah begitu
mendengar suara nyanyian.
"Kiai, waktu saya datang ke sini saya juga mendengar perempuan bernyanyi.
Suaranya sama dengan suara yang barusan terdengar. Dalam nyanyian perempuan itu
selalu menyebut nama Kemuning. Apakah Kiai mengetahui siapa perempuan itu
adanya"' Sebelum menjawab Kiai Gede Tapa Pamungkas
bicara sendiri dalam hati. "Gadis Ini pandai menyembunyikan amarah ketika
dirinya dihina sebagai mahluk yang ujudnya tak karuan. Dia bicara menanyakan hal lain."
"Dia muridku," akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menjelaskan pada Luhrembulan.
"Apakah saya boleh tahu siapa nama murid Kiai Itu?"
"Namanya Nyi Retno Mantili."
Paras Luhrembulan untuk kesekian kalinya tampak berubah.
"Apakah kau mengenal muridku itu?" bertanya sang Kiai.
Luhrembulan menggeleng.
"Saya tidak kenal, tapi saya tahu siapa dia dan bagaimana riwayatnya. Hanya saja
saya tidak tahu kalau dia berada di sini bersama Kiai..."
"Dia datang beberapa waktu lalu bersama puterinya bernama Kemuning "
"Boneka kayu itu?"
"Kau sudah tahu," kata Kiai Gede Tapa Pamung kas sambil tersenyum.
"Kiai..." Luhrembulan berkata tetapi kemudian diam.
"Kau hendak menanyakan sesuatu" Bicara saja terus terang."
"Betul Kiai, apakah benar Pendekar Dua Satu Dua telah kawin dengan Nyi Retno
Mantili?" "Jika kau sudah tahu keadaan perempuan malang itu, apakah aku masih harus
menerangkan?" balik bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tidak mau
menceritakan keadaan sebenarnya dari Nyi Retno Mantili.
Luhrembulan terdiam. Dalam diam hatinya berucap.
"Perempuan bernama Nyi Retno Itu mengatakan diriku mahluk tidak karuan ujud.
Dirinya sendiri tidak waras. Mengaku pula bersuamikan Wiro. Dimana dia nikah"
Siapa yang menikahkan" Punya anak diberi nama Kemuning tapi berupa boneka kayu."
"Luhrembulan, apakah kau masih ada pertanyaan?"
bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Memang ada Kiai. Pertama apakah keberadaan Nyi Retno Mantili di tempat kediaman
Kiai juga untuk menunggu kedatangan suami saya Wiro?"
Tiba-tiba melengking suara tawa panjang yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas
kerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga sementara
Luhrembulan tutup dua telinga dengan telapak
tangan. Air telaga tiga warna tampak bergelombang.
Belum habis gema tawa tahu-tahu di samping Kiai Gede Tapa Pamungkas telah
berdiri seorang
perempuan cantik bertubuh kecil, mengenakan
pakaian biru gelap. Dia membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
"Luhrembulan, Inilah Nyi Retno Mantili muridku,"
berkata Kiai Gede Tapa Pamungkas memperkenalkan Nyi Retno Mantili.
"Saya telah menduga," Jawab Luhrembulan sambil coba melayangkan senyum.
Nyi Retno Mantiii usap kepala boneka lalu berkata.
"Kemuning, lihat dia tersenyum padamu. Apakah kau tidak mau membalas senyumnya"
Eh, mengapa kau cemberut Ah, kau tak suka padanya! Aku mengerti.
Tapi ah, jangan menangis. Kemuning anak cantik, anak pintar dan cerdik. Kemuning
tidak boleh menangis."
Nyi Retno keluarkan boneka kayu dari bedongan kain lalu diayun ditimang-timang
sambil tiada hentinya membujuk.
"Nyi Retno, tenangkan anakmu. Ajak dia bermain-main ke tempat lain." berkata
Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang tua ini sudah maklum kalau dua perempuan itu


Wiro Sableng 160 Dendam Makhluk Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlama-lama saling berhadapan maka sesuatu yang tak diingini bisa saja terjadi.
Nyi Retno Mantili gelengkan kepala.
"Kiai, saya tidak akan pergi sebelum perempuan lancang ini angkat kaki dari
puncak Gunung Gede"
Dikatakan lancang Luhrembulan jadi marah.
"Aku tidak merasa berbuat lancang. Sebaliknya mulutmu yang lebih dulu jahil
menghina diriku
sebagal mahluk tidak karuan ujud! Apakah begitu sikap seorang murid dari Kiai
besar rimba persilatan?"
Dengan ucapannya Itu Luhrembulan sekaligus
menempelak Nyi Retno Mantili dan menyindir Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Nyi Retno, pergilah bawa anakmu ke tempat lain..."
"Saya tidak akan pergi!" Jawab Nyi Retno Mantili tegas.
Kiai Gede Tapa Pamungkas berpaling pada
Luhrembulan. "Kalau begitu sebaiknya kau saja yang meninggalkan tempat Ini."
Luhrembulan tatap wajah jernih Kiai GedeTapa Pamungkas lalu sunggingkan senyum
dan menjawab. "Kiai, saya seorang tamu yang datang dari jauh.
Apakah begitu peradatan dirimu, tega-teganya
menyuruh tamu pergi" Lagi pula saya datang ke sini adalah untuk mencari suami.
Hanya satu kebetulan saja dia punya hubungan dekat denganmu. Kalau tidak
menyirap kabar dia akan muncul di sini, perlu apa saya datang ke tempat ini!
Seharusnya kiai membantu diriku mempertemukan dengan Wiro. itu yang oleh orang-
orang semacam Kiai disebut silaturrahmi. Bukan malah mengusirku."
Wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas tampak berubah.
Namun suaranya tetap tenang.
"Luhrembulan, jangan kau salah sangka. Aku tidak mengusirmu. Jika kau ingin
menunggu kedatangan Wiro, silahkan saja. Tapi cari tempat lain yang lebih baik.
Jangan di sini..."
"Begitu?" ucap Luhrembulan yang di negeri Latanahsilam dikenal dengan Julukan
Hantu Santet Laknat. "Baik, saya akan menghindar dari sini.Tapi bukan berarti
saya akan pergi dari puncak Gunung Gede. Tidak ada satu manusiapun, baik yang
punya otak maupun yang tidak waras yang boleh menghina diri saya dan menghalangi
saya menemui suami saya sendiri"
Habis berkata begitu Luhrembulan guratkan ujung ibu jari kaki kanannya ke tanah.
"Reeetttt!"
Terjadilah satu hal yang hebat
Asap mengepul! Tanah seputar telaga terbelah selebar dua langkah. Dari dasar
belahan keluar hawa dahsyat yang mampu menyedot benda apa saja yang berada di
sekitarnya. Nyi Retno Mantili terpekik. Tubuhnya hampir tersedot masuk ke dalam belahan
tanah kalau tidak lekas ditarik oleh Kiai Gada Tapa Pamungkas.
"Luhrembulan!" teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Ternyata kau datang membekal niat tidak baik!" Sang Kiai rupanya mulai marah.
"Kiai" balas Luhrembulan berteriak tak kalah keras.
"Kau berlaku tidak adil! itu bukan perilaku seorang Kiai!"
"Kemuning,"tiba-tiba Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan. "Ada orang kesasar
berani menghina Eyang Sepuhmu! Mari kita bungkam mulutnya!"
Nyi Retno Mantili angkat ke atas boneka kayu di tangan kanan. Diarahkan pada
Luhrembulan. Lima jari tangan memencet pinggang boneka.
-Wusss.'Wusss!!"
DUA LARIK cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka,
menyambar ke arah
Luhrembulan, gadis cantik dari Latanahsilam. Inilah ilmu kesaktian bernama
Sepasang Cahaya Batu Kumala yang didapat Nyi Retno Mantili dari Kiai Gede
Pamungkas. Selama Ini hampir tidak ada lawan yang bisa selamat. Jika kena leher
akan putus laksana dipancung. Kalau mendarat dltubuh maka tubuh akan terbelah
seperti ditabas golok raksasa!
Mendapat serangan maut begitu rupa Luhrembulan hanya sunggingkan senyum. Malah
mulutnya umbar ucapan mengejek.
"Perempuan tidak tahu diri! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan Ilmu
kesaktianmu!"
"Wuss...wusss"
Dua cahaya putih berkilau melesat di atas tanah yang terbelah.
"Blaaar... blaar!"
Dua cahaya putih memancar terang lalu tersedot masuk ke dalam belahan tanah!
Asap mengepul menutup pemandangan.
Nyi Retno Mantili memekik marah.
Luhrembulan tertawa mengejek.
"Ilmu baik dipakai untuk kejahatan mana mempan!
Ilmu kesaktian hebat diberikan pada perempuan
berotak miringi Apa tidak akan menimbulkan mala petaka dalam rimba persilatan"!
Hik... hik... hik!"
Ketika asap sirna, kelihatan Nyi Retno Mantili tersandar ke tubuh Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Wajahnya pucat. Tangan kanan tergontai lemas
memegang boneka kayu sementara sang Kiai sendiri tampak berkomat kamit
melafalkan sesuatu. Ucapan Luhrembulan benar-benar merupakan tamparan hebat bagi
dirinya. Di seberang sana Luhrembulan sendiri tegak sambil berkacak pinggang.
Masih belum puas gadis dari negeri 1200 tahun silam ini kembali menyemprot
"Otak tidak waras! Mulut penuh menghina! Orang lain dianggap sampah! Rasakan
sendiri akibatnya!
Kiai! Sebaiknya kau jangan cuma memberi pelajaran Ilmu kesaktian pada perempuan
sinting itu! Beri juga Ilmu budi bahasa agar tidak sombong dan bicara kurang
ajari" "Luhrembulan, ucapanmu sudah sangat keterlaluan"
tegur Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan menindih amarah. "Ilmu kesaktian apapun
yang kau miliki tidak membuat aku merobah keputusan! Cepat tinggalkan tempat
ini! Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng tidak pernah beristrikan perempuan
sepertimu!"
Luhrembulan tertawa panjang.
"Kiai! Kau akan mendengar dan melihat kenyataan!
Jangan sembunyi diballk ketakutan pada dirimu
sendiri!" "Apa maksudmu"!" bentak Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Namun Luhrembulan sudah lenyap dari tempat itu sementara tanah seputar telaga
masih tetap menganga terbelah!
Kiai GedeTapa Pamungkas tarik nafas panjang dan dalam. Matanya memperhatikan
tanah yang terbelah di hadapannya.
"Ilmu luar biasa. Kalau aku tidak salah murid Sinto Gandeng juga memiliki Ilmu
kesaktian membelah tanah seperti Ini. Dari mana dia mendapatkan" Dari gadis
bernama Luhrembulan itu" Berarti mungkinkah mereka memang sudah nikah" Tidak
sembarang orang akan mau begitu saja memberikan ilmu kesaktian langka seperti
ini." Sang Kiai terdiam sejurus lalu mengusap punggung Nyi Retno Mantili dan
berkata. "Nyi Retno menjauhlah sampai ke tepi telaga. Aku harus melakukan sesuatu untuk
memulihkan keadaan di tempat ini."
Baru saja Kiai Gede Tapa Pamungkas berucap tiba-tiba dua bayangan berkelebat.
Salah seorang diantaranya berseru.
"Kiai! Biar saya yang melakukan hal itu!"
DI hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas sesaat
kemudian telah berdiri Ratu Duyung dan Purnama.
Walau gembira melihat kemunculan Ratu Duyung
yang memang dipesan untuk datang, namun Kiai Gede Tapa Pamungkas agak merasa
risih dengan Ikut
hadirnya Purnama di tempat itu.
Dalam hati sang Kiai berkata."Yang ditunggu tidak datang. Yang datang orang
lain. Untung dia sudah pergi. Yang dipesan memang datang tapi mengapa muncul
bersama seseorang yang tidak aku kehendaki"
Wiro sendiri, dimana dia" Apakah dia akan datang sebelum bulan purnama muncul
esok malam?"
Ratu Duyung dan Purnama memberi salam lalu
membungkuk hormat. Dua gadis yang datang ini
kemudian sama-sama berpaling ke arah perempuan bertubuh kecil berparas cantik
yang tengah mengelus-elus sebuah boneka kayu. Ratu Duyung dan Purnama saling
pandang. Tanpa mengeluarkan ucapan keduanya sama-sama maklum kalau perampuan di
samping sang Kiai adalah Nyi Retno Mantili yang selama ini menjadi berbagal
bahan berita dan punya hubungan dekat dengan Pendekar 212.
Dalam hati Purnama dan Ratu Duyung mempunyai perasaan dan suara batin yang
sama.Terakhlr sekali bertemu, Wiro menunjukkan kesan segan-seganan
datang menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas di
puncak Gunung Gede. Alasannya dia harus mencari Nyi Retno Mantili untuk
menyelamatkan perempuan ini dari bahaya maut yang mengancam. Juga menolong
bayinya yang hendak dibunuh orang. Ternyata Nyi Retno Mantili ada di sini. Dalam
keadaan aman, ceria menggendong sebuah boneka kayu. Lalu apa
sebenarnya alasan Wiro tidak mau datang menemui sang Kiai"
"Takut dijodohkan dengan diriku?" Membatin Ratu Duyung.
"Jangan-jangan dia yang menyuruh Purnama untuk mengikuti diriku ke sini. Ingin
mematai-mataiku. Aku memang sudah lama tahu kalau sahabatku satu ini sangat
mencintai Wiro. Tapi pemuda itu apakah dia membalas cintanya" Sulit aku menduga
sejauh mana mereka telah menjalin cinta. Sedalam apa mereka berbagi kasih. Kalau
saja aku bisa menarik diri, menjauh darinya, mungkin itu bisa membuat dia hidup
lebih tenang dan lebih bahagia. Aku maklum saat ini Wiro memiliki banyak
ganjalan hati. Ada Bidadari Angin Timur. Ada Anggini. Lalu ada Bunga. Aku tak
tahu siapa lagi. Jangan-jangan Nyi Retno Mantili juga bercinta dengannya. Apakah
aku bisa pasrah dan menerima keadaan apa adanya?"
Melihat Ratu Duyung terdiam lama seperti ada yang direnung dipikirkan, Purnama
berbisik. "Sahabatku, ada apa" Apakah kau merasa kurang sehat. Atau ada sesuatu yang
rrtenyamakf pikiranmu?"
Ratu Duyung tersenyum. Belum sempat dia menjawab Kiai GedeTapa Pamungkas sudah
berkata. "Ratu Duyung, aku gembira kau datang tepat sebelum waktu yang dijanjikan. Aku
mengira kau datang bersama Wiro. Nyatanya dengan seorang
kawan yang aku belum kenal."
Mendengar ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas
Purnama cepat-cepat membungkuk.
"Kiai, maafkan kalau saya tidak buru-buru memperkenalkan diri. Saya sudah lama
bersahabat dengan Ratu Duyung. Nama saya Purnama. Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng yang memberikan nama itu pada saya."
Ratu Duyung palingkan kepala, pura-pura
memandang ke arah telaga. Dalam hati dia berkata.
"Apa perlunya gadis dari alam gaib ini menceritakan bahwa nama itu diberikan
oleh Wiro" Untuk memberi tahu pada Kiai bahwa dia memiliki hubungan sangat dekat
dongan Wiro" Aku melihat Kiai kurang berkenan dengan kehadirannya. Mungkin aku
telah berlaku keliru.
Sebaiknya aku menolak ketika dia mengatakan ingin ikut bersamaku."
"Dia berasal dari negeri aneh. Sama dengan perempuan yang tadi mengaku sebagai
suami Wiro!"
Tiba-tiba saja Nyi Retno Mantili membuka suara.
Suasana mendadak berubah senyap dan kaku.
Purnama dan Ratu Duyung menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Ratu Duyung bertanya.
"Kiai, apakah ada orang lain yang datang sebelum kami sampai ke sini?"
"Benar," jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Seorang gadis yang katanya datang dari jauh. Dia mengaku bernama
Luhrembulan..."
Purnama keluarkan suara tercekat, wajah langsung berubah. Dua mata menatap sang
Kiai dengan pandangan seperti tidak percaya.
Purnama pegang lengan Ratu Duyung, bicara
setengah berbisik.
"Ratu, ingat peristiwa di Gedung Kadipaten Losari sewaktu kau menyelamatkan
diriku dari serangan maut Raja Racun Bumi Langit?"
Ratu Duyung mengangguk.
"Luhrembulan, gadis yang dikatakan Kiai itulah yang muncul di sana dan hampir
mencelakai diriku. Dia bekerja sama dengan Raja Racun Bumi Langit..."
(Baca serial Wiro Sableng berjudul "Sang Pembunuh").
"Aku ingat," Jawab Ratu Duyung. "Kali ini mungkin kita keduiuan. Lihat tanah
yang terbelah, ini pasti pekerjaan gadis itu."
"Pasti. Hanya dia dan Wiro yang memiliki ilmu itu..."
kata Purnama sambil memperhatikan tanah terbelah yang mengelilingi telaga lalu
berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai, waktu tadi saya melihat tanah terbelah Ini, saya hanya berani menduga.
Tapi setelah Kiai memberi tahu ternyata dugaan saya tidak keliru."
"Kiai, ada keperluan apa Luhrembulan datang ke sini?" bertanya Ratu Duyung.
"Tidak, tidak ada keperluan apa-apa. Gadis itu hanya tersesat
"Kebetulan saja dia lewat di sini." Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Baik Ratu Duyung maupun Purnama merasa sang
Kiai telah bicara tidak sejujurnya. Apa alasan Kiai Gede Tapa Pamungkas berbuat
seperti itu"
"Kiai! Kenapa Kiai memberikan jawaban dusta?"
Tiba-tiba Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan yang membuat semua orang jadi
tercengang. Purnama dan Ratu Duyung berpaling menatap Nyi Retno Mantili lalu memandang ke
arah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Wajah orang tua itu Jelas tampak berubah.
Perlahan-lahan dia coba tarsonyum.
"Ini hanya urusan kecil. Yang tidak perlu dibesar-besarkan...." Kata sang Kiai
pula. "Kiai, kalau sekail lagi Kiai bicara dusta, saya dan Kemuning akan tinggalkan
tempat Ini!"
Lagi-lagi ucapan, kali ini berupa ancaman dari Nyi Retno Mantili membuat suasana
di tempat itu menjadi tambah tidak enak.
KIAI Gede Tapa Pamungkas usap janggut putihnya berulang kali. Sambil mengembang
senyum di bibir, orang tua ini berkata.
"Nyi Retno, tetap di tempatmu. Jangan pergi kemana-mana. Aku tidak bermaksud
bicara dusta. Aku tidak mau bicara sebelum apa yang aku katakan Jelas
adanya. Bagaimana aku bisa percaya ucapan Luhrembulan, seseorang yang aku tidak
tahu asal usul dirinya dan baru sekali aku temui!"
Sang Kiai lalu berpaling pada Purnama.
"Kau dan gadis bernama Luhrembulan itu berasal dari alam yang sama. Apa kau tahu
asal usui dirinya"
Dia mengaku datang ke sini untuk mencari dan
menunggu Wiro yang dikatakannya sebagai suaminya.
Dia mengatakan telah menikah dengan Wiro di negeri Latanah silam."
Purnama tidak segera rnenjawab. Dia memandang pada Ratu Duyung seolah minta
pertimbangan. Ratu Duyung berkata.
"Ceritakan saja..?"
Sebelumnya Ratu Duyung memang telah pernah mendengar dari Purnama riwayat
perkawinan Wiro dengan Luhrembulan. (Baca serial Wiro Sableng
berjudul "insan Tanpa Wajah").
"Baiklah Kiai, akan saya ceritakan apa yang saya ketahui!" kata Purnama pula.
"Di negeri Latanahsilam Luhrembulan dikenal dengan nama Hantu Santet
Laknat Penampilannya berupa seorang nenek berkulit hitam, muka seperti burung
gagak. Hidung dan mulut Jadi satu seperti paruh burung. Sebenarnya dia adalah
seorang gadis berparas cantik. Keadaannya seperti Itu disebabkan Jatuhnya kutuk
atas nenek moyangnya yang merupakan kutuk turunan. Saya tidak tahu kutuk apa.
Hanya itu asai usul Luhrembulan yang saya ketahui."
"Perempuan itu mengaku-aku Wiro sebagai suaminya. Kau pasti tahu apa yang
terjadi. Kalau tidak dia tidak akan mengejar Wiro sampai ke tanah Jawa ini dan
malah berani datang ke tempat Kiai di sini.
Enak saja dia mengaku ayah anakku sebagal
suaminya!" Yang bicara adalah Nyi Retno Mantili.
"Saya tahu, tapi urusan perkawinannya dengan Wiro bukan urusan saya. Jadi saya
rasa..." Menyahuti Purnama yang langsung dipotong oleh Kiai Gede
Tapa Pamungkas.


Wiro Sableng 160 Dendam Makhluk Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau hanya sekedar menceritakan aku rasa tidak ada salahnya. Agar persoalan
bisa dijernihkan. Kami perlu tahu apakah benar Wiro menikah dengan
Luhrembulan di negeri Latanahsilam?"
Setelah diam sejenak akhirnya Purnama bercerita juga.
"Ketika Wiro tersesat di Latanahsilam dia bertemu dengan Hantu Santet Laknat.
Nenek ini jatuh cinta pada Wiro dan merubah diri menjadi seorang gadis cantik
jelita. Ada kabar yang mengatakan jika dia menikahi Wiro, seorang lelaki dari
alam lain maka kutuk atas dirinya akan lenyap..."
"Jadi pernikahan itu memang benar-benar terjadi" "
tanya Kiai GedeTapa Pamungkas sementara Nyi Retno Mantili kelihatan mulai
sesenggukan sambil
menciumi boneka kayu.
"Benar Kiai," Jawab Purnama.
Nyi Retno Mantili terpekik. Ratu Duyung menatap sambil hatinya berkata.
"Setahuku pikirannya tidak waras. Tapi mengapa otaknya jadi sangat jemih Jika
bicara soal pernikahan Wiro"'
"Purnama, teruskan ceritamu," kata Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Pernikahan Itu memang terjadi Kiai, tapi tidak syah.
Saat itu Wiro diberi minuman yang membuat dia lupa pikiran. Dia dibawa ke sebuah
bukit bernama Bukit Batu Kawin. Di sana telah menunggu seorang juru kawin
bernama Lamahlia Wiro dinikahkan dengan
Luhrembulan dalam keadaan tidak sadar. Saat itu muncul badai di puncak bukit.
Acara perkawinan kacau. Semua orang yang ada di situ mental
berpencaran..."
"Kalau begitu perkawinan atau pernikahan Wiro dengan gadis bernama Luhrembulan
itu bisa dikatakan tidak pernah ada karena tidak syahl" kata Kiai GedeTapa Pamungkas
pula. "Kalau tidak pernah ada, kalau tidak syah kenapa Luhrembulan sampai mencari ayah
Kemuning sampai ke sinl"! Jangan-jangan perempuan itu sudah
bunting!" Nyi Retno Mantili berucap dengan suara lantang lalu menggerung keras.
Ketika dia hendak berkekelobat meninggalkan tempat itu, begitu sampai di depan
tanah yang terbelah sosoknya nyaris
tersedot. Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat menarik lengannya dan di
seberang sana Ratu Duyung dorongkan dua tangan untuk menahan gerakan Nyi Retno.
"Kiai, lepaskan!" teriak Nyi Retno. "Saya dan Kemuning tidak takut mati disedot
tanah celaka ini!"
"Tenang Nyi Retno, jangan turutkan hati yang panas.
Tadi Purnama sudah menjelaskan bahwa pernikahan Wiro dengan Luhrembulan di
Latanahsilam tidak syah."
"Saya tidak percaya pada perempuan satu ini! Saya tahu dia juga mencintai Wiro.
Itu sebabnya dia ikutan datang ke sini. Padahal yang diminta datang hanya gadis
bermata biru ini!"
Purnama walau diam saja mendengar ucapan Nyi Retno Mantili namun wajahnya tampak
berubah dan dia melihat Ratu Duyung melirik ke arahnya. Dalam hati dia membatin.
"Perempuan tidak waras Itu cemburu padaku. Lirikan sahabatku Ratu Duyung Juga
menunjukkan rasa
cemburu. Apakah aku masih harus berlama-lama di tempat ini?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas peluk Nyi Retno Mantili, membelai rambut perempuan Ini
dan berusaha membujuk. Dia berbisik. "Mudah-mudahan Wiro datang sebelum esok malam. Dari dia
kita bisa mendengar langsung mengenai pernikahan itu hingga kau tidak lagi ada
ganjalan."
"Ganjalan akan tetap ada. Bukankah Kiai memanggil gadis bermata biru itu karena
hendak membicarakan soal perjodohannya dengan Wiro?"
Kiai GedeTapa Pamungkas coba tersenyum.
"Nyi Retno, soal Jodoh seseorang ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa..."
"Saya tahu hal itu Kiai. Tapi manusia bisa saja jadi Mak Comblangnya, termasuk
Kiai!" Marah padam wajah Kiai GedeTapa Pamungkas.
Terus menerus ditempelak dengan kata-kata bagaimanapun Juga membuat hati si
orang tua menjadi tidak enak.
Purnama memperhatikan tanah yang terbelah
melingkari telaga. Untuk menghindari ketegangan yang saat itu terjadi dia
berkata mengalihkan
pembicaraan. "Kiai, kalau Kiai mengizinkan saya bisa merapatkan kembali tanah yang terbelah
ini. Hingga keadaannya seperti semula."
Kiai GedeTapa Pamungkas tatap paras Purnama sejurus lalu anggukkan kepala.
"Lakukanlah, kau dan Luhrembulan datang dari alam yang sama.Pastl kau tahu cara
penangkal mengembalikan keadaan. Bumi Tuhan begini indah.
Mengapa dirusak oleh tangan manusia secara semena-mena?"
Purnama membungkuk meraup segenggam tanah.
Tenaga dalam dan hawa sakti dialirkan ke tangan kanan yang menggenggam sementara
bibir bergetar tanda dia tengah melafalkan sesuatu di dalam hati. Untuk beberapa
lama sekujur tubuhnya diselubungi cahaya dan percikan-percikan menyerupai bunga
api berwarna biru. Setelah cahaya dan perclkan biru lenyap dan kini hanya
terlihat pada tangan kanan yang menggenggam tanah Purnama berjalan mendekati
belahan tanah terdekat. Satu langkah dari tanah yang terbelah, ketika tubuhnya
mulai terasa tersedot Purnama lemparkan tanah yang digenggamnya ke dalam belahan
tanah. Tanah merah yang dilempar untuk beberapa lamanya mengambang berputar-putar
diselubungi cahaya biru lalu wusss! Tanah tersedot masuk ke dalam belahan.
Saat itu juga di perut bumi terdengar suara seperti lahar mendidih. Di langit
muncul kilatan-kilatan aneh. Air telaga bergejolak dan bermuncratan di tujuh
tempat. Di kejauhan terdengar suara perempuan mengeluarkan kutuk serapah.
"Rrrttttt!"
Asap mengepul bercampur tanah dan debu.Tanah yang terbelah melingkari telaga
merapat kembali disertai suara letupan-letupan keras. Setelah itu tanah dan debu
luruh ke bawah. Air telaga mengalun tenang.
Keadaan di tempat itu diselimuti kesunyian.
"Purnama!"
Ratu Duyung memekik menyebut nama Purnama
ketika dilihatnya gadis dari alam gaib ini terhuyung-huyung sementara darah
mengucur di sudut bibirnya.
Apa yang terjadi"
Kiai GedeTapa Pamungkas cepat merangkul tubuh Purnama lalu menotok ubun-ubun
gadis alam gaib ini.
"Ketika dia menutup tanah yang terbelah, ada yang membarengi dengan serangan
membokong." Berucap Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Yang berbuat jahat dugaan saya gadis bernama Luhrembulan itu," kata Ratu Duyung
lalu memeluk Purnama, membaringkannya di tepi telaga. Ketika Kiai Gede Tapa
Pamungkas dan Ratu Duyung sibuk
menolong Purnama, kesempatan (nl dipergunakan Nyi Retno Mantili untuk berkelebat
meninggalkan tempat Itu.
MENJELANG tengah harl mendung tebal menutupi kawasan kaki Gunung Gede. Didahului
suara gelegar guntur serta kilat yang sabung menyabung tak selang berapa lama
hujan turun dengan lebatnya. Keadaan tidak beda seperti menjelang malam. Dimana-
mana kegelapan menyungkup dan hawa dingin menebar.
Di bawah hujan lebat seseorang berlari cepat laksana bayang-bayang menembus
hujan lebat diarah timur kaki gunung. Orang ini kemudian melesat masuk ke dalam
sebuah pondok bambu yang ditemuinya di tepi sungai kecil. Walaupun tidak
berdinding namun karena dikelilingi pepohonan dan cuaca buruk pula, keadaan di
dalam pondok agak gelap.
Orang yang barusan masuk ka dalam pondok ternyata adalah seorang gadis
mengenakan pakaian ringkas hijau, berwajah cantik, rambut digulung di atas
kepala Setelah mengibas-ngibaskan pakaiannya yang basah, gadis Ini buka gulungan
rambut. Kepala digoyang berulang kali. Air hujan yang membasahi rambut menyiprat
kemana-mana Tiba-tiba ada suara memaki.
"Perempuan setan! Enak saja kau menyipratkan air hujan. Apa matamu buta tidak
melihat orang lain di dalam gubuk"!"
Gadis berbaju hijau tersentak kaget. Dia hentikan menggoyang kepala. Dia tahu
orang yang barusan memaki berada di belakangnya.Tapi dia tidak segera berpaling
malah lebih dulu tertawa cekikikan.
"Hik... hik! Untung kau cuma terkena cipratan airi Tidak terkena tendanganku!
Keadaan gelap, maklum saja kalau aku tidak melihat!''
Lalu perlahan-lahan sambil mengusap kebawah rambutnya yang basah panjang hitam
gadis berbaju biru balikkan badan. Di salah satu sudut pondok dia melihat duduk
mendekam di atas tumpukan jerami kering seorang gadis berpakaian serba putih.
"Manusia tidak tahu peradatan! Bukannya minta maaf malah tertawa cekikikan macam
orang sinting!"
Gadis yang duduk di atas jerami kembali memaki.
"Hik... hlk! Kalau cuma minta maaf apa susahnya"
Tapi apa pariu" Hik... hik! Namaku Nyi Wulas Pikan!
Kau siapa?"
"Persetan siapa namamu! Persetan mau tahu namaku! Kau tidak layak berteduh di
tempat ini bersamaku! Lekas menyingkir dan sini!" Damprat gadis berpakaian
putih. "Hik ... hihi Sombong sekali! Apa salahnya kebetulan bertemu kita bisa jadi
bersahabat" Kata Nyi Wulas Pikan yang bukan lain jejadian dari Nyai Tumbal Jiwo
mahluk alam roh yang memaksa Pendekar 212
Wiro Sableng menjadi kekasihnya menggantikan Wira Bumi yang telah tewas.
"Siapa sudi bersahabat dengan perempuan jelek den tidak tahu adat seperamu*''
Caci gadis berpakaian serba putih.
"Kalau tidak mau bersahabat ya sudah! Gubuk Ini masih cukup luaa untuk kita
berdua. Kalau kau tak suka aku ada di sini. pergi saja berteduh di bawah pohon
dekat comberan aana!"
"Jangan membuatku marah! Kau punya Ilmu kepandaian apa berani menghina diriku?"
Gadis berpakaian putih yang tadi duduk, di atas jerami yang bukan lain adalah
Luhrembulan bangkit berdiri. Kaki dikembang dua tangan dikepal.
Nyi Wulas Pikan tertawa gelak-gelak. Matanya memperhatikan gadis di hadapannya
mulai dari rambut sampai ke kaki.
"Masih bau kencur sudah berani menantang diriku!
Masih muda mau mencari mati! Apa tidak kasihan kalau nanti kekasihmu nangis
gerung-gerungan!"
"Sombong sekali!" kata Luhrembulan sambil berkacak pinggang.
"Di puncak Gunung Gede sana ada seorang kakek bernama Kiai Gede Tapa Pamungkasl
Konon kesaktiannya sulit dicari tandingan! Tapi menghadapi diriku dia tidak berdaya!
Dan kau cacing tanah yang baru bisa ngulet mau menantangku!Tolol sekali!"
Dikatakan cacing tanah Nyi Wulas Pikan tidak marah malah tertawa cekikikan.
"Kalau kau memang mau cari urusan menantang diriku, biar kita selesaikan nanti.
Sekarang aku tanya.
kau kenal dengan kakek sakti di puncak Gunung
Gede" Apa hubunganmu dengan kakek itu! Apa
keperluanmu berada di kawasan ini?"
"Sampai lidahmu terjulur, mulutmu kering dan matamu mencolot bertanya aku tidak
akan menjawab!"
Kata Luhrembulan dengan wajah beringas.
"Begitu" Hik...hik ... hik! Boleh juga kau!Tapi baik, aku tanya satu lagi.
Setelah itu kita boleh bertarung sampai mati! Kakek di puncak gunung itu tengah
menunggu kedatangan seorang pemuda bemama
Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua. Apa kau berada di kawasan ini ada
sangkut pautnya dengan pendekar gagah berambut gondrong itu?"
Sepasang mata Luhrembulan membesar. "Orang ini tengah menyelidik diriku. Aku
harus berlaku hati-hati." Maka gadis dari Latanahsiiam ini balik bertanya. "Kau
juga berada di kawasan ini. Kau menyebut-nyebut Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng! Apa hubunganmu dengan pendekar itu"l"
"Dia kekasihku." Jawab Nyi Wulas Pikan terus terang penuh perasaan bangga. "Kau
puas dengan jawabanku?"
Luhrembulan pencongkan mulut lalu tertawa.
"Cuma seorang kekasih. Baru kekasih! Hik..hik!
Aku malah adalah istrinya!"
Sepasang mata Nyi Wulas Pikan mendelik.
"Jangan berani mengada-ada" bentak mahluk alam roh ini. "Wiro belum pernah
nikah, belum pernah kawin.
Baik kawin dengan surat maupun dengan urati Hik...hik!
Dia masih perjaka!"
"Setan perempuan! Tahu-tahuan kau suamiku masih perjaka! Apa kau pernah
berselingkuh dengan dia"!"
bentak Luhrembulan penuh cemburu.
"Kami memang sudah punya rencana untuk saling berbagi kebahagiaan! Makan
sepiring tidur seranjang!
Hik ... hik ... hikl" Nyi Wulas Pikan lalu mencibir mencemooh Luhrembulan,
membuat gadis dari
Latanahsiiam ini terbakar oleh amarah.
"Setan perempuan saatnya kau harus kubunuh dari pada nanti kau bergendak dengan
suamiku!' Luhrembulan begitu bicara langsung menyerang
dengan melancarkan dua pukulan keras. Namun ini hanyalah jurus tipuan belaka.
Karena begitu Nyi Wulas Pikan gerakkan tangan menangkis, dari sepasang mata
Luhrembulan menyembur dua larik sinar hitam pekat. Larikan pertama menyambar ke
arah dada, larikan kedua melesat ke arah kepala! Inilah Ilmu kesaktian dari
Latanahsiiam yang disebut Dua Hantu Menembus Raga Menyedot Jiwa!"
"WuuttL...wuutttr"
Nyi Wulas Pikan menjerit keras. Sambil melompat mundur dua tangan dikibas ke
atas dan kebawah
seperti kipas terbuka. Dua larik sinar merah menderu disertai suara bergemuruh
seperti batu raksasa menggelinding. Pukulan Angin Roh Pengantar
Kematian! "Buumm! Buummm!"
Dua dentuman dahsyat menggelegar di bawah hujan lebat begitu dua larik sinar
hitam sakti yang keluar dari mata Luhrembulan bentrokan dengan dua cahaya
merah pukulan Nyi Wulas Pikan Sinar hitam dan merah sama-sama buyar berantakan
dengan mengeluarkan bunga api yang mencuat ke udara setinggi lima tombak.
Untuk sesaat Seantero tempat menjadi terang
benderang. Pondok bambu hancur berantakan.
Luhrembulan terbanting ke tanah, terguling sampai sepuluh langkah. Pakaian
putihnya selain kotor oleh becekan tanah Juga tampak berubah kemerah-merahan.
Sementara itu Nyi Wulas Pikan terkapar di tanah basah, tersandar ke batang pohon
besar sejarak tiga tombak dari pondok bambu yang hancur. Wajahnya kelihatan
pucat Di balik penampilan sebagai gadis cantik sesekali muncul bayangan wajah
aslinya. Wajah seorang nenek keriput berkulit merah, mata merah, ails merah.
Lidah merah setengah terjulur. Mahluk alam roh ini cepat melafal mantera hingga
wajahnya dengan cepat kembali menjadi wajah gadis cantik, tidak berubah-rubah.
Selagi dua gadis cantik Itu terkapar tak berdaya di tempat masing-masing tiba-
tiba dlbawah hujan lebat berkelebat seorang perempuan berpakaian biru.
Sambil lari mulutnya keluarkan ucapan.
"Kemuning, lihat ada dua gadis cantik terkapar tak berdaya. Yang satu aku tidak
kenal. Tapi yang satunya aku lebih dari kenali Dia yang datang ke tempat Kiai
tadi pagi. Dia gadis bernama Luhrembulan, mengaku sebagal istri ayahmu! Hlk...
hik! Gadis gila!
Apa yang terjadi dengan dirinya!"
Yang muncul sudah dapat diterka. Bukan lain Nyi Retno Mantili bersama boneka
kayunya. Melihat kedatangan Nyi Retno Mantili, kejut Nyi Wulas Pikan bukan kepalang.
Gadis jejadian dari alam roh yang aslinya adalah Nyai Tumbal Jiwo Ini kerahkan
tenaga dalam, alirkan hawa sakti lalu berusaha berdiri dengan cepat
"Dicari tidak bertemu. Sekarang muncul sendiri.
Dia tidak mengenali diriku. Apa aku masih harus membunuh perempuan satu ini!"!"
Pikir Nyi Wulas Pikan. "Aku tidak yakin dia sudah kawin dengan Wiro sebagaimana
aku tidak yakin perempuan pakaian
putih itu bilang Wiro adalah suaminya! Sebaiknya memang aku habisi saja dia
sekarang Juga!"
Saat itu Luhrembulan juga sudah berdiri. Sakit hatinya terhadap Nyi Retno masih
belum pupus. Kini perempuan berotak tidak waras Itu muncul di
hadapannya. "Nyi Retno, apa anakmu boneka kayu butut itu sudah bertemu ayahnya"!" tegur


Wiro Sableng 160 Dendam Makhluk Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Luhrembulan mengejek.
"Kemuning! Ada perempuan sinting berani menghina dlrimul Coba kau beri pelajaran
ilmu kematian padanya!" Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili angkat boneka kayu, arahkan
pada Luhrembulan.
Melihat kedua orang itu siap bertarung. Nyi Wulas Pikan berubah pikiran. Dari
niat hendak membunuh Nyi Retno Mantili dia memutuskan lebih baik
tinggalkan tempat itu, naik ke puncak Gunung Merapi untuk mencari Pendekar 212
yang diketahuinya
berencana datang menemui Kiai Gede Tapa
Pamungkas. "Biar keduanya berkelahi! Biar keduanya mampus di tempat ini!" Pikir Nyai Tumbal
Jiwo alias Nyi Wulas Pikan. Lalu tidak menunggu lebih lama dia berkelebat lenyap
dlbawah lebatnya curahan hujan.
Dihina sebagai perempuan sinting, dilecehkan hendak diberi pelajaran ilmu
kernatlan, Luhrembulan mendidih amarahnya.
"Perempuan sedeng yang punya anak boneka butut dari kayu! Sebelum kau memberi
pelajaran padaku, mari aku ajarkan padamu bagaimana caranya bersopan santun!
Betina gila, kau perlu dirajam seumur hidup antara langit dan bumi!"
Luhrembulan tutup ucapannya dengan menjentikkan sepuluh jari tangan jari tangan
kanan! -WutL..wuuuuttt!"
Puluhan larik api biru melesat ke udara bersilang-silang, membentuk jaring luar
biasa mengerikan. Jaring ini dengan kecepatan kilat kemudian menyambar ke arah
Nyi Retno Mantili. Nyi Retno Mantiil sendiri sambil tertawa cekikikan pencet
pinggang boneka kayu yang telah diangkat dan diarahkan pada Luhrembulan.
Sesaat lagi Ilmu kesaktian dua perempuan cantik itu siap saling membantai diri
masing-rnasing tiba-tiba tiga orang berkelebat. Dua perempuan, satu lelaki.
Yang letak! berteriak keras. Suaranya menggegelar menindih deru suara hujan.
"Luhrembulan! Nyi Retno Mantiii!Tahan serangan!
Kalian tidak bermusuhan! Mengapa hendak saling membunuh!"
GELEGAR suara teriakan orang yang memberi ingat sama sekali tidak dlperdulikan
baik oleh Luhrembulan maupun oleh Nyi Retno Mantili!
"Celaka!" Lelaki yang tadi berteriak kini berseru kawatir. "Nenek berdua, cepat
halangi Nyi Retno. Aku akan menghadang gadis yang satunya! Hati-hati!
Jangan sampai ada yang terluka"
Satu gelombang angin sedahsyat topan prahara melabrak ke arah Luhrembulen,
membuat gadis ini hampir terjengkang tapi masih mampu meneruskan melancarkan
serangan yang disebut Api Iblis
Penjaring Roh. Sekali Nyi Retno sampai terjerat, kalaupun dia bisa lolos dari
dalam jaring api maka tubuhnya akan terkutung-kutung!
Melihat Luhrembulan nekad meneruskan serangan, lelaki yang barusan melepas
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi secepat kilat
menubruk gadis dari Latanahsilam Itu. Selagi keduanya bergulingan Luhrembulan
hendak menusuk dada lelaki itu dengan dua jari yang diluruskan. Serangan yang
dilancarkan mengarah dada kiri, bernama Lintah Penyedot Jantung. Jika mengenal
sasaran korban akan menemui ajal dalam kejapan mata karena jantungnya akan pecah
dan berhenti berdetak! Tetapi begitu Luhrembulan melihat wajah orang yang
memeluknya, langsung dia berteriak dan balas merangkul kuat-kuat
"Wiro!"
Ternyata orang yang menubruk Luhrembulan dan berusaha mencegah gadis dari
Latanahsilam ini
menyerang Nyi Retno Mantili adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
DI lain bagian, tepat ketika Nyi Retno Mantili menekan pinggang boneka kayu dan
dua larik cahaya putih mematikan menyembur ke arah Luhrembulan tiba-tiba dua
orang nenek menyerbu. Nenek pertama memukul bagian bawah lengan kanan Nyi Retno
hingga lengan Itu terpental ke atas. Nenek kedua dengan cepat merangkul pinggang
Nyi Retno lalu tubuh kecil
perempuan cantik ini ditariknya ke bawah. Nyi Retno dan dua nenek Jatuh
bergedebukan di tanah!
"Tua bangka kurang ajari Siapa kalian!"
"Nyi Retno tenang..." nenek yang memukul lengan berkata. Nenek Ini berambut
kelabu, mengenakan jubah kuning. Sepasang mata merah dan di telinganya
mengenakan anting dari tulang manusia. Dia bukan lain adalah kembaran ketiga
mahluk Jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu.
Nenek kedua yaitu Nyi Roro Manggut menyambung!.
"Kita sesama sahabat. Kau tak perlu kawatir!" Nenek ini bertubuh cebol berjubah
hijau. Rambut putih awut-awutan sampai ke lutut. Sepasang mata juling dan hidung
pesek sama rata dengan pipi.
****** BAGAIMANA Wiro dan dua nenek itu bisa sampai di kaki Gunung Gede" Seperti
dituturkan dalam episode sebelumnya (Bayi Satu Suro) Nyi Roro Manggut dan
kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu
meninggalkan Wiro sendirian di puiau Watu Gilang untuk menyaksikan keramaian
perayaan malam Satu Suro di pantai Parangtritis dan Parangkusumo.
Setelah dua nenek pergi Wiro sempat bertemu dengan gadis cantik jejadian Nyai
Tumbal Jlwo yang berniat menggodanya. Ketika hendak dihantam dengan
pukulan Sinar Matahari mahluk jejadian itu
melenyapkan diri.
Wiro memandang ka langit, memperhatikan rembulan yang hampir bulat tersembul
dlbalik awan. Murid Sinto Gandeng itu ingat kalau besok malam bulan purnama
penuh atau purnama empat belas hari dia sudah harus menghadap Kiai Gede Tapa
Pamungkas di puncak
Gunung Gede. Wiro menggaruk kepala. Bingung sendiri. Kalau dia pergi menemui sang Kiai dan
benar orang tua itu hendak membicarakan perjodohannya dengan Ratu
Duyung, maka dia akan menemui suasana yang
membuat dirinya jadi tidak enak. Sebaliknya kalau dia tidak menemui Kiai itu,
apa lagi sudah dipesan sampai dua kali oleh Eyang Sinto Gendeng maka kelak
keadaannya nanti lebih tidak enak lagi.
"Nyi Roro Manggut masih membawa Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Batu sakti
Itu bisa kupergunakan untuk pergi ke Gunung Gede secepat kiiat. Aku harus mencari dua
nenek itu. Mudah-mudahan mereka mau ikut bersamaku..."
Wiro menyeberang dari pulau Watu Gilang ke pantai Parangtritls. Setelah
berputar-putar dan berkeliling cukup lama akhirnya menjelang pagi dia menemui
Nyi Roro Manggut dan kembaran ketiga Eyang Sepuh
Kembar Tilu di pantai Parangkusumo tengah
nongkrong di depan panggung para pemain gamelan.
Nyi Roro Manggut tidak keberatan memenuhi
permintaan Wiro dan nenek satunya juga mau ikutan.
Dangan mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut kencana Biru pinjaman dari
Nyi Roro Kidul maka Wiro dan dua nenek berangkat ke Gunung Gede.
Menjelang tengah hari ketika berada di kaki Gunung Gede Nyi Roro Manggut memberi
tahu kalau dia barusan menerapkan Ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung.
"Ada dua orang di kaki gunung sebelah timur.
Dua-duanya perempuan.Yang satu mahluk dari alam gaib." Berkata Nyi Roro Manggut.
"Bisa Jadi Purnama," ucap Wiro tapi hanya dalam hati.
"Aku punya firasat sesuatu akan terjadi di bawah sana." Kata kembaran ketiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Kalau begitu tidak ada salahnya kita menyelidik ke kaki gunung sebelah timur,"
ujar Wiro pula.
Ketika Wiro dan dua nenek sampai di tepi sungai kecil, di bawah hujan yang masih
mengguyur lebat dia melihat dua perempuan muda dan cantik tengah berhadap-
hadapan siap untuk bertarung dekat sebuah gubuk yang hancur berentakan. Kagetnya
Wiro bukan alang kepalang begitu dia mengenali bahwa
perempuan cantik berpakaian putih yang menghadap ke arahnya adalah Luhrembulan,
gadis dari negeri 1200 tahun silam. Sementara yang jadi lawan dan
membelakanginya adalah perampuan muda bertubuh kecil memegang boneka kayu. Nyi
Retno Mantili! Pada saat dua perempuan ini saling menyerang dengan mengerahkan Ilmu kesaktian,
pada saat itu pula Wiro berteriak. Karena teriakannya tidak
diperduiikan orang maka dia langsung menyergap Luhrembulan sementara dua nenek
menghalangi Nyi Retno Mantili.
"Dua nenek Jelek! Siapa kalian! Mengapa menghalangikul Aku tidak mengenal
kalian!" Menghardik Nyi Retno Mantili. Dia coba menendang dan memukul, tapi aneh kaki dan
tangannya terasa berat. "Kurang ajar! Apa yang kalian lakukan padaku"!"
teriak Nyi Retno Mantili pada dua nenek yang hanya mesem-mesem saja.
Sementara itu di depan sana waiau dua cahaya putih yang keluar dari sepasang
mata boneka kayu tidak sampai menghantam tubuh Luhrembulan, tapi sewaktu Wiro
bergulingan dan berada di atas tubuh si gadis, salah satu dari dua cahaya putih
yang melesat keluar dari mata boneka kayu menyambar di atas pantat celananya.
Meski Jarak antara celana dan sinar cukup Jauh yaitu sekitar satu Jengkal namun
breett! Saking hebatnya kekuatan cahaya putih tersebut pantat celana Wiro robek
besar hingga auratnya sebelah bawah tersingkap lebar.
Selain merasa kepanasan Wiro Jadi tersentak kaget karena ketika meraba bagian
bawah tubuhnya itu dia dapatkan pantatnya tidak tertutup lagi.
"Sialan!" Wiro memaki dan ketegapan sendiri. Dia cepat berdiri namun tak bisa
karena tubuhnya masih dipagut kuat-kuat oleh Luhrembulan, malah sambil memeluk
gadis itu juga menciuminya dan berulang kali menyebut namanya penuh mesra.
Menyaksikan apa yang dilakukan Luhrembulan terhadap Wiro, dua mata Nyi Retno
Mantili terbeliak besar seperti hendak melompat keluar dari rongganya.
Sekujur tubuh bergetar. Keadaannya yang tadi tidak bisa bergerak, kini mendadak
seperti dapat kekuatan berlipat ganda. Sekali menendang dua nenek yang masih
memeganginya terpental.
"Kemuning.... lihat! Perempuan gila itu memeluk dan menciumi ayahmu!" Nyi Retno
berucap setengah berteriak.Tangan kiri menunjuk-nunjuk, tangan kanan memegang
boneka. Perempuan ini kemudian
keluarkan suara menggerung panjang. "Akan kuhajar dia! Dia musti mati!
Tapl...."Nyl Retno terdiam sejenak
"Bagaimana kalau....jangan-jangan ayahmu memang suaminya. Kemuning, kita....
sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Hatiku kecewa, benar-benar sedih. Apakah
kau begitu juga anakku?"
Sambil menangis keras, tanpa dapat dicegah oleh dua nenek Nyi Retno Mantili
menghambur lari.
"Wiro! Nyi Retno kabur!" teriak Nyi Roro Manggut.
Wlro terkejut. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Luhrembulan. Tapi
rangkulan gadis Ini semakin kencang. Dua kakinya malah ikut disilangkan di
pinggang Wiro. "Kau mau kemana Wiro" Jangan pergi! Aku benar-benar rindu padamu! Tidakkah kau
mau memelukku" Membalas ciumanku" Apa kau maiu"
Bukankah kita sudah jadi suami Istri?"
Wiro tidak perdulikan ucapan Luhrembulan.
"Nek! Kejar! Lekas kejar Nyi Retno!" teriak Wiro.
Tapi Nyi Roro Manggut dan nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar TIlu justru
tertawa haha-hihi asyik memperhatikan celana Wiro yang robek hingga auratnya
sebelah bawah belakang terlihat jelas.
"Hik... hik! Kantong menyannya berkilat!" kata Nyi Roro Manggut
"Tapi dari sini aku melihat malah hitam seperti salak! Hik ... hik... hik!"
menyahuti nenek kembar jejadian.
"Kalau sampai tersentuh gadis itu. Ihhh....aku juga mau memegang! Pasti kenyal-
kenyal! Hik...hik... hik!"
kata Nyi Roro Manggut. Dua nenek kemudian
sama-sama tertawa berkekehan.
Lalu kembaran ketiga Eyang Sepuh KembarTilu berkata.
"Sebaiknya kita berdua pergi saja! Kita bisa mati cemburu melihat pemuda itu
dipeluk dan diciumi Luhrembulan! Apa kau tidak cemburu heh" Aku tahu kau suka
pada Wiro!"
Nyi Roro Manggut senyum-senyum. Kepala
mengangguk-angguk.
Laiu dia membalas ucapan orang. "Aku juga tahu kalau kau naksir pada si gondrong
itu!" Dua nenek kembali tertawa cekikikan.
"Sudah, tak perlu berdebat. Ayo kita pergi sekarang juga! Kita berpura-pura
mengejar Nyi Retno Mantili." Kata nenek jejadian kembaran ke tiga sambil
menariktangan Nyi Roro Manggut Nenek satu ini ikut saja tapi kemudian dia ingat
sesuatu. "Tunggu, Batu Mustika milik Nyi Roro Kidul ada pada Wiro. Aku harus mengambilnya
lebih dulu!"
"Ah, jangan mencari kesempatan. Aku tahu kau bukan mau mengambil batu mustika
Dewi Mawar Selatan 1 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Satu Jurus 8
^