Pencarian

Fitnah Berdarah Tanah Agam 1

Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH
DI TANAH AGAM Sumber: Pendekar212
EBook: kiageng80
(Thank's to Abdul Majid)
WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
1 NTUK beberapa lama nenek berjuluk Si Kamba
Mancuang Tangan Manjulai masih memegangi kain
Uputih yang muncul secara tidak terduga dalam
keadaan tergulung pada sebatang potongan bambu dan menancap di tanah, sementara
beberapa tokoh silat yaitu Ki Bonang Talang Ijo, Perwira Muda Teng Sien, Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik dan Tuanku Laras Muko Balang yang ada di situ
memperhatikan. Di atas kain putih terdapat tulisan yang memberi tahu bahwa orang
yang membunuh Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit adalah Wiro, yang disebut
sebagai pemuda Jawa berambut panjang, berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng.
Setelah ditanggalkan dari batang bambu si nenek akhirnya serahkan kain putih
pada Ki Bonang Talang Ijo, tokoh silat dari tanah Jawa yang bertindak selaku
pimpinan pencarian kupu-kupu batu giok yang lenyap secara gaib dari tempat
asalnya di Kotaraja Kerajaan Tiongkok.
"Ki Bonang, baca tulisan ini. Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu."
Kakek bermuka hijau ambil kain putih yang diserahkan dan segera membaca apa yang
tertulis di atas kain itu.
Selesai membaca dia berpaling pada Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai lalu
bertanya, "Kau berkata ingin tahu bagaimana pendapatku. Apa maksudmu Kamba
Mancuang?"
"Aku tidak yakin pemuda Jawa bernama Wiro itu yang membunuh Si Kalam Langit."
Menjawab si nenek.
"Eh, bagaimana kau bisa berkata begitu?" kembali Ki Bonang ajukan pertanyaan
sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih.
"Ketika Si Kalam Langit menemui ajal, pemuda Jawa itu sedang bertarung
melawanku. Bagaimana mungkin dia berada di dua tempat yang berlainan pada waktu
bersamaan?"
"Kita akan menyelidiki hal itu. Tapi saat ini kita harus mengambil keputusan
untuk lebih dulu mengetahui di mana beradanya kupu-kupu hidup benaran itu."
"Ki Bonang, kau berasal dari tanah Jawa. Apakah kau tidak mengenal pemuda
berambut panjang berjuluk Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng itu?" Bertanya si
nenek Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
"Aku belum pernah bertemu muka. Namun pendekar yang masih muda itu telah
menggegerkan rimba persilatan tanah Jawa. Dia memiliki beberapa orang guru yang
merupakan tokoh silat berkepandaian tinggi. Kalau tidak salah aku mengingat,
konon dari sekian banyak gurunya ada satu atau dua orang yang berasal dari
negeri ini. Aku tidak tahu siapa mereka adanya. Pemuda itu dikenal mulai dari
ujung barat sampai ujung timur tanah Jawa, mulai dari pantai utara sampai ke
pantai selatan. Ilmu silat serta kesaktiannya sulit dicari tandingan. Hanya saja
konon dia memiliki perangai tidak terpuji. Itu sebabnya dia dijuluki pendekar
sableng, yang berarti pendekar gila. Tapi siapapun dia adanya, yang jadi
pertanyaan bagiku ada kepentingan apa dia berada di tanah Minang ini?"
"Ki Bonang," Tuanku Laras Muko Balang berkata sambil mendekati Ki Bonang Talang
Ijo. "Aku hanya menduga-duga tapi mudah-mudahan dugaanku benar adanya..."
"Tuanku Laras, apa gerangan dugaanmu?" tanya Ki Bonang pula.
"Ketika kita mengepung dan menyerbu pondok
kediaman Sutan Panduko Alam di Bukit Malintang, kupu-kupu itu berhasil melarikan
diri karena diterbangkan oleh sorban sakti milik Sutan Panduko Alam. Agaknya
Sutan Panduko Alam sudah menyadari apa yang bakal terjadi. Itu sebabnya dia
berencana melakukan sesuatu. Sorban melayang ke arah timur. Berarti masih dalam
batasan Luhak Nan Tigo. Kami di sini tahu kalau Sutan Panduko Alam bersahabat
dengan para datuk pimpinan Luhak Nan Tigo. Salah seorang dari mereka merupakan
ketua dari para datuk yaitu Datuk Marajo Sati. Datuk ini tinggal di sebuah goa
di Ngarai Sianok. Ngarai Sianok adalah tempat paling dekat dibandingkan dengan
tempat kediaman para datuk lainnya. Aku berani mengatakan dengan sorban yang
membawa kupu-kupu giok itu terbang ke tempat kediaman Datuk Marajo Sati. Malam
tadi aku coba mengukur kebenaran dugaanku dengan Pedang Al Kausar. Pedang sakti
memberi petunjuk yang membenarkan dugaanku..."
Sambil bicara orang berwajah belang ini mengusap-usap badan pedang perak besar
miliknya yang merupakan sebilah senjata sakti dan konon berasal dari tanah Arab.
"Kalau begitu ada baiknya kita mendatangi Datuk Marajo Sati sekarang juga di
Ngarai Sianok. Kita bicara baik-baik. Kalau dia tidak mau berkata jujur dan
ternyata memang menyembunyikan kupu-kupu batu giok itu, kita tidak perlu
berbasa-basi lagi. Kita punya kewajiban untuk mendapatkan kupu-kupu batu giok
itu. Kita sudah menerima sebagian dari hadiah yang dijanjikan. Tuanku Laras, aku
minta agar kau yang memimpin jalan ke sana dan bicara pertama kali begitu
bertemu dengan Datuk itu."
"Terima kasih atas kepercayaan Ki Bonang. Menemui sang Datuk memang harus kita
lakukan. Tapi kita harus bertindak hati-hati. Datuk itu bukan orang sembarangan.
Para datuk lainnya pasti akan turun tangan jika terjadi apa-apa dengan Datuk
Marajo Sati," kata Tuanku Laras Muko Balang menjawab ucapan Ki Bonang Talang
Ijo. "selain itu Pedang Al Kausar juga memberi petunjuk lain yang tidak boleh
kita abaikan..."
Kening Ki Bonang Talang Ijo berkerenyit.
"Petunjuk apa Tuanku Laras?" tanya Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
"Seperti tarak yang dilakukan sahabatku Si Kamba Mancuang, malam tadi Pedang Al
Kausar secara gaib membuat guratan di tanah. Guratan itu menggambarkan kepala
seorang pemuda berambut panjang."
"Itu gambaran pemuda dari Jawa bernama Wiro tadi..."
ucap Ki Bonang.
"Benar sekali. Pedang memberi tanda kalau pemuda itu akan menjadi batu
penghalang dari semua apa yang akan kita lakukan..." kata Tuanku Laras Muko
Balang pula sambil menggantungkan pedang besar ke pinggang.
Ki Bonang Talang Ijo pejamkan mata, coba merenung.
Begitu mata dibuka kakek bermuka hijau ini mulai melangkah mundar-mandir.
"Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia berada di tanah Minang. Apakah ini satu
kebetulan atau memang dia juga punya niat yang sama dengan kita. Ingin mengambil
kupu-kupu batu giok. Tapi bagaimana dia tahu akan keberadaan kupu-kupu itu"
Pasti ada seseorang yang memberi petunjuk..."
"Mungkin saja dia menginginkan ujud asli yang ada di dalam batu. Yaitu gadis
cantik bernama Chia Swie Kim..."
Yang berkata adalah Tuanku Laras Muko Balang. Si janggut putih tipis ini
berpaling pada Perwira Muda Teng Sien. Sang perwira yang cuma mengerti sedikit
bahasa anak negeri hanya menduga-duga apa yang dikatakan orang lalu angguk-
anggukkan kepala.
Ki Bonang mengusap dagu beberapa kali. "Tuanku Laras, apa yang kau katakan itu
bisa jadi betul. Karena apa yang aku dengar, pemuda bernama Wiro itu seorang
mata keranjang, mempunyai kekasih di mana-mana."
Mendengar ucapan Ki Bonang, si nenek Mancuang
Tangan Manjulai tampak berubah wajahnya tapi kemudian dia palingkan kepala
sambil diam-diam tersenyum.
"Kalau kita bisa saling bermufakat, memang ada baiknya mencari pemuda bernama
Wiro itu lebih dulu. Kita harus memberi peringatan agar dia jangan mencampuri
urusan kita. Selesai dengan pemuda itu, kita baru kembali menyelidiki keberadaan
kupu-kupu batu giok. Yang akan kita selidiki orangnya sudah kita ketahui, begitu
juga tempat kediamannya. Yaitu Datuk Marajo Sati. Para sahabat, bagaimana
pendapat kalian?"
Tuanku Laras Muko Balang, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik segera menyatakan persetujuan mereka. Si Kamba Pesek Tangan Manjulai tidak hersuara
karena masih tersandar dalam keadaan cidera di batang pohon dengan mata
terpejam. "Bagaimana dengan kau sahabatku nenek Kamba
Mancuang" Kau tidak berkata apa-apa." Kata Ki Bonang Talang Ijo pada si nenek
Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
"Aku mohon maafmu Ki Bonang. Juga pada para
sahabat yang ada di sini. Kita tidak mungkin membawa saudaraku yang sakit. Aku
tidak mungkin pula
meninggalkannya di sini seorang diri. Aku harus membawanya ke satu tempat dan
merawatnya terlebih dulu hingga sembuh."
Seperti diceritakan dalam "Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok" nenek Si Kamba Pesek
yang adalah saudara kembar Si Kamba Mancuang menderita cidera patah tulang iga
kiri kanan akibat hantaman siku Sutan Panduko Alam yang disergapnya dari
belakang. Ki Bonang Talang Ijo tampak kecewa mendengar
ucapan si nenek. Terus terang dia berkata. Ucapannya agak ketus. "Aku berharap
kau tidak akan berbuat seperti Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek yang pergi
begitu saja dengan alasan hendak mencari pembunuh
saudaranya."
Si nenek diam saja. Ki Bonang mendekati dan berkata setengah berbisik. "Apa yang
kau katakan tadi adalah cuma satu alasan saja. Aku tahu kau punya alasan lain
mengapa tidak bergabung dengan kami mencari pemuda bernama Wiro Sableng itu. Kau
takut berhadapan dengannya karena sudah pernah dipecundangi, ditotok tak
berdaya..."
Si nenek menyeringai, memperlihatkan barisan gigi atas bawah yang berlapis
perak. "Ki Bonang, kau mungkin tidak punya dusanak (saudara), hingga tidak tahu dan
tidak bisa mengetahui bagaimana rasanya ikut sakit dan ikut khawatir kalau
seorang saudara dalam keadaan cidera seperti yang aku alami. Atau mungkin memang
begitu adat kebiasaan orang di negerimu" Tidak perduli pada saudara yang sedang
menderita!"
Untuk kedua kalinya Ki Bonang Talang Ijo ditempelak orang. Yang pertama
dilakukan oleh Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek beberapa waktu lalu. Sambil
tersenyum kakek berbelangkon hijau itu serahkan kembali secarik kain putih pada
si nenek. Dia pegang bahu Si Kamba Mancuang lalu bicara dengan suara merendah,
"Sahabat, aku tidak bermaksud bicara buruk padamu. Aku bisa mengerti perasaanmu.
Jika kau memang ingin lebih dulu merawat saudara kembarmu itu silahkan saja.
Tapi aku mohon, jika dia sudah mulai sembuh harap kau lekas bergabung kembali.
Kita membutuhkan orang-orang berkepandaian tinggi sepertimu. Satu hal harus kau
ketahui. Orang Jawa sama baiknya seperti orang di negeri ini." Tak lama setelah
Ki Bonang Talang Ijo, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Teng Sien dan seorang
anak buah serta Tuanku Laras Muko Balang meninggalkan tempat itu, perlahan-lahan
Si Kamba Pesek Tangan Manjulai buka kedua matanya, menatap ke arah saudaranya.
"Kamba Mancuang, aku tahu kau menolak mencari
pemuda Jawa itu bukan karena ingin merawatku..."
"Heh! Saudaraku, bagaimana kau bisa berkata seperti itu" Kau juga menyangka aku
takut berhadapan lagi dengan pemuda itu?"
Si Kamba Pesek menggeleng. "Bukan, bukan karena alasan itu. Ada alasan lain. Aku
tengah menduga-duga.
Tadi malam aku lihat kau bertarak membaca mantera memanggil guru kita Inyiek
Susu Tigo. Kau juga kudengar seperti hendak merapal mantera yang hanya boleh
diucapkan satu kali seumur hidup. Mantera Pelangi ke Bumi. Kau mau berbuat apa"
Apakah kau hendak
memohon untuk kembali ke ujud asli atau... Kau kira semudah itukah..."
"Aku membatalkan mantera itu. Kau jangan terlalu bercuriga," kata Si Kamba
Mancuang cepat-cepat menukas ucapan saudara kembarnya.
"Saudaraku, apa yang kau inginkan dari guru kita.
Mengapa kau berusaha ingin bertemu dengan beliau?" Si Kamba Pesek masih mendesak
dengan pertanyaan.
"Saudaraku, kau masih sakit. Sebaiknya jangan banyak bicara dulu. Lebih baik kau
banyak istirahat..."
Si Kamba Pesek tersenyum. "Kau tidak menceritakan pada Ki Bonang dan yang lain-
lainnya..."
"Menceritakan apa?" potong Si Kamba Mancuang.
"Kejadian yang kau ceritakan padaku waktu kau
berkelahi menghadapi pemuda dari Jawa itu."
"Apa yang tidak aku ceritakan?" tanya Si Kamba Mancuang. Wajah tuanya yang putih
cantik berubah merah.
"Ketika pemuda itu memeluk dan menciumi dirimu!
Hik... hik... hik!" Si Kamba Pesek tertawa cekikikan. Si Kamba Mancuang berubah
merah wajahnya.
"Pemuda itu bukan hanya kurang ajar tapi juga gilo-gilo alang (sinting). Bukan
begitu kata Ki Bonang tadi" Jadi perlu apa diceritakan perbuatan gilanya?"
"Tapi kau senang dipeluk dan dicium pemuda itu, kan?"
"Jangan bicara kurang ajar! Nanti aku tampar
mulutmu!" Bentak Si Kamba Mancuang.
Si Kamba Pesek kembali tertawa cekikikan. "Aku membayangkan, betapa bahagia
nikmatnya kalau diriku yang dipeluk dan dicium pemuda itu. Hemmm..."
"Kalau begitu mengapa kau tidak pergi saja
mencarinya. Kalau bertemu berikan dirimu padanya.
Katakan kau minta dipeluk, dicium, dan entah apa maumu lagi. Mungkin kau juga
minta ditelanjangi!" Si Kamba Mancuang tampaknya jengkel sekali hingga sampai
mengeluarkan kata-kata keras begitu rupa. Si Kamba Pesek tertawa panjang. "Aku
tahu kau cemburu. Hik... hik...
hik." Tiba-tiba Si Kamba Pesek hentikan tawa. Air mukanya tampak bersungguh-
sungguh. "Kamba Mancuang, kau harus segera melakukan sesuatu..."
"Apa maksudmu?" tanya Si Kamba Mancuang.
"Kau harus cepat menemui pemuda itu sebelum orang-orang itu menemuinya."
"Kenapa begitu?"
"Aih, tololnya saudaraku satu ini. Apa kau ingin Ki Bonang dan yang lain-lainnya
membantai pemuda dari Jawa itu"! Apakah kau tidak berniat menolongnya jika dia
memang tidak bersalah"!"
Wajah Si Kamba Mancuang berubah.
"Sudahlah, aku tidak memikirkan hal itu..."
"Jangan berdusta padaku. Pergi cepat. Kau tak usah mengawatirkan sakitku. Aku
akan pergi ke tempat kediaman guru. Syukur kalau beliau mau menemui dan
mengobatiku. Tapi rasanya aku sudah sembuh. Lihat!" Si Kamba Pesek lalu
berpegangan ke batang pohon. Sambil mengerenyit menahan sakit dan terbungkuk-
bungkuk nenek ini perlahan-lahan bangkit berdiri. Ketika dia berpaling, saudara
kembarnya Si Kamba Mancuang tidak ada lagi di tempat itu!
Si Kamba Pesek tersenyum. "Saudaraku, aku belum melihat pemuda itu. Tapi jika
kau tidak marah sungguhan sewaktu dipeluk dan diciumnya berarti pasti dia
seorang pemuda yang gagah. Kalau Allah menghendaki, mungkin ini satu jalan yang
diberikanNya untuk kita bisa kembali seperti dulu lagi..." Sambil melangkah
tertatih-tatih sepasang mata nenek ini tampak berlinang-linang.
Mendadak si nenek hentikan langkah. Di hadapannya tiba-tiba saja berdiri seorang
pemuda berpakaian putih berkopiah hitam yang kekecilan. Di sebelah belakang
kopiah, rambut panjang menjulai sebahu. Kedua orang ini sama-sama tertegun,
sama-sama terperangah. Si pemuda menyeringai, menggaruk rambut di atas kuduk
lalu berkata. "Eh, nek! Hidungmu kenapa jadi pesek"!"
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
2 I KAMBA Pesek pegang hidung sendiri lalu tertawa cekikikan. "Dari lahir hidungku
memang sudah pesek!
SKau hanya sekedar bertanya atau mau
menghinaku"!"
"Nah... nah, suaramu juga agak berbeda. Kau ini pandai merubah diri atau
bagaimana. Matamu basah, seperti habis menangis. Lalu sebentar-sebentar kau
mengerenyit. Agaknya ada sesuatu yang sakit di tubuhmu! Totokanku tidak mungkin akan
mencideraimu."
"Hemmm..." si nenek keluarkan suara bergumam.
Dalam hati dia berkata. "Pemuda ini pandangan matanya sungguh tajam. Dia bisa
menduga apa yang terjadi dengan diriku. Tapi dia belum tahu kalau aku ini
kembaran Si Mancuang..."
Si Kamba Pesek usap kedua matanya. Waktu tangan kirinya diangkat kembali nenek
ini mengerenyit karena gerakan itu memang membuat sakit tulang-tulang iganya


Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang cidera patah. "Anak muda, sekarang aku tahu siapa kau. Rambut panjang,
bicara seperti orang kepedasan. Kau pasti anak manusia dari Jawa yang bernama
Wiro itu! Yang telah membuat saudaraku Si Mancuang itu jadi salah tingkah. Eh,
dia mencarimu. Apa kau tidak bertemu dengannya"!"
Pemuda yang ditanya yang memang Wiro adanya tidak segera menjawab. Dia seperti
berpikir-pikir. "Jadi kau punya saudara kembar. Nenek berhidung mancung itu.
Kau bilang dia mencariku..."
"Benar, nenek satu itu namanya Si Kamba Mancuang karena hidungnya mancung. Aku
Si Kamba Pesek karena hidungku pesek. Kau lihat sendiri." Si nenek usap-usap
hidungnya. "Hik... hik... Saudara kembarku mencarimu.
Mau memberi tahu kalau kau dalam bahaya..."
"Aku dalam bahaya nek" Bahaya apa...?" tanya Wiro terheran-heran. "Malam
beberapa hari lalu memang ada penyerang gelap. Berusaha mencelakaiku dengan
senjata rahasia..."
"Ada beberapa tokoh silat di bawah pimpinan Ki Bonang Talang Ijo yang juga
berasal dari tanah Jawa tengah mencarimu. Orang-orang itu curiga kemunculanmu di
tanah Minang ini membawa maksud tidak baik. Mereka juga sudah tahu kalau kau
membunuh salah seorang teman mereka bernama Si Kalam Langit. Kau mau diusir dari
sini. Kalau membangkang akan dikerjai..."
"Dikerjai bagaimana maksudmu nek?"
"Digebuki, digantung atau bisa juga dibantai dicincang!"
Jawab Si Kamba Pesek Tangan Manjulai.
"Aku tidak percaya orang-orang di negeri ini akan berbuat seperti itu. Aku tidak
punya salah apa-apa. Tidak juga punya rencana jahat. Tanah Minang adalah bumi
Allah yang siapa saja boleh datang ke sini..."
"Justru bumi Allah harus dijaga dari orang-orang yang mungkin punya niat buruk
dan hendak berbuat jahat seperti dirimu!" Tiba-tiba ada satu suara menyahuti
ucapan Wiro. Disusul suara orang membentak dalam bahasa Cina.
Beberapa orang berkelebat. Mereka ternyata adalah Ki Bonang Talang Ijo, Tuanku
Laras Muko Balang, Teng Sien dan seorang anak buahnya lalu Pandeka Bumi Langit
Dari Sumanik. Sementara Wiro tercengang-cengang, si nenek Kamba Pesek Tangan Manjulai unjukkan
wajah tidak enak kalau tidak mau dikatakan khawatir. Dia kembali mengerenyit
sambil usap-usap rusuk kirinya.
Ki Bonang Talang Ijo melangkah dan berhenti di hadapan Si Kamba Pesek Tangan
Manjulai. "Sahabatku, kami lihat kau dan pemuda Jawa ini bicara sambil tertawa-tawa.
Agaknya kalian seperti sudah saling mengenal dan bersahabat. Kami juga mendengar
kau memberi keterangan bahwa kami mencari dirinya karena dia telah membunuh
sahabat kami yang juga sahabatmu yaitu Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit.
Tidak disangka tidak dinyana. Rupanya kau ternyata musuh dalam selimut. Kakakmu
Si Kamba Mancuang pasti tidak beda dengan dirimu. Itu sebabnya dia menolak
ketika diajak mencari pemuda ini..."
"Ado musang babulu domba di antara kita rupanya!"
Ucap Tuanku Laras Muko Belang.
"Ki Bonang, Tuanku Laras, buruk duga kalian terlalu jauh. Sudah menjurus kepada
fitnah..." Berkata Si Kamba Pesek.
"Tua bangka pengkhianat! Tutup mulutmu!" Bentak Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik. Lelaki muda ini tampak marah sekali. Seperti Ki Bonang Talang Ijo dan
Tuanku Laras Muko Balang dia juga yakin kalau si nenek dan saudara kembarnya
telah mengkhianati mereka, menjadi musuh dalam selimut. "Sekarang ketahuan,
rupanya kau dan saudara kembarmu menjadi kaki tangan pemuda ini. Keterangan
apalagi yang telah kau berikan padanya"!" Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang
mengenakan pakaian destar merah lalu berbisik pada Ki Bonang. "Aku khawatir
nenek ini dan saudara kembarnya telah memberi tahu keberadaan kupu-kupu batu
giok itu."
"Ucapanmu bisa jadi sangat benar Pandeka. Aku
tengah berpikir-pikir mungkin kita terpaksa menghabisi mereka saat ini juga."
Balas berbisik Ki Bonang Talang Ijo.
Dituduh pengkhianat dan musuh dalam selimut,
amarah Si Kamba Pesek naik ke kepala. Dia segera membuka mulut mau mendamprat
tapi Wiro memberi isyarat dengan gerakan tangan. Lalu berpaling pada Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik.
"Angku Mudo (panggilan kehormatan yang kira-kira sama dengan Tuan Muda) yang aku
hormati, jangan bicara seperti itu pada perempuan tua ini. Dia pantas jadi
nenekmu!" Mendengar ucapan Wiro, apalagi dipanggil sebutan Angku Mudo yang dirasakannya
sebagai mengejek, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik jadi panas. Sepasang mata
membeliak. Lima jari tangan bergerak mengeluarkan suara berkereketan. Tokoh dari
Sumanik ini konon memiliki ilmu silat bernama Sitaralak. Ilmu silat ini luar
biasa ganasnya. Jurus serangan dimulai dengan gerakan lemah lembut seperti
penari. Namun bisa berubah menjadi gerakan kilat. Bilamana ilmu silat ini
disertai pula dengan tenaga dalam maka lawan yang jadi sasaran bisa jebol
tubuhnya, terbongkar kepalanya!
Sambil menudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke muka Pendekar 212,
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik menghardik.
"Tak perlu berbasa basi memanggil aku Angku Mudo.
Saat ini juga aku perintahkan agar kau undang hapus dari tanah Minang! Kembali
ke negerimu di Jawa sana!
Kehadiranmu di sini hanya menimbulkan keonaran!"
"Keonaran apa yang telah aku buat di negeri ini Angku Tuo?"
Kini Wiro sengaja mengganti panggilan dari Angku Mudo menjadi Angku Tuo yang
membuat Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik menjadi tambah naik darah.
Sebelum dia kembali menghardik Ki Bonang Talang Ijo mendahului bicara. "Kami
mengetahui kau telah
membunuh salah seorang sahabat kami bernama Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam
Langit. Dosa itu tidak ada ampunannya!"
Wiro ingat akan ucapan si nenek berhidung pesek tadi.
Yang memberi tahu kalau dirinya dalam bahaya, tengah dicari orang. Apalagi si
nenek barusan menyebut nama orang tua berbelangkon hijau sebagai Ki Bonang.
"Segala macam hantu mana aku kenal. Apalagi
membunuhnya! Enak saja kalian menuduhku..." Wiro berpaling pada si nenek yang
tegak di sampingnya. Lalu berkata. "Nek, siang bolong begini ada banyak orang
bicara aneh seperti orang tasapo (kemasukan/ kesambat makhluk halus). Mari kita
tinggalkan tempat ini sebelum kita berdua ikutan tasapo!"
"Pemuda kurang ajar! Beraninya kau menghina kami mengatakan kami orang-orang
kemasukan!"
Yang menghardik kali ini adalah Tuanku Laras Muko Balang. "Ki Bonang, pemuda
gila seperti ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama!"
Srett! Tuanku Laras Muko Balang dengan segera menghunus Pedang Al Kausar. Ki Bonang
Talang Ijo cepat mencegah.
"Bersabar sebentar, biar aku bicara dulu dengan orang ini." Lalu Ki Bonang
bertanya. "Anak muda, kita sama-sama berasal dari tanah Jawa. Aku datang ke
tanah Minang ini membawa tugas yang harus dilaksanakan. Apakah kau mau
mengatakan mengapa kau berada di negeri ini" Kami mendapat petunjuk bahwa kau
akan menghalangi tugas kami. Bahkan kau telah membunuh salah seorang dari kami."
Wiro tersenyum, angkat kopiah hitamnya, menggaruk kepala. Lalu berkata, "Dua
orang Jawa bertemu jauh di negeri orang. Seharusnya percakapan akan berjalan
enak dan lancar. Apalagi kalau ada getuk lindri dan wedang jahe!
Ha... ha... ha! Tapi celaka nasib diriku, dituduh menghalangi tugas orang, malah
dituduh membunuh pula!
Oala! Orang tua, maafkan diriku. Boleh aku mengetahui siapa sampeyan ini adanya
dan tugas apa yang tengah kau jalankan yang menurutmu hendak aku halangi" Lalu
kapan aku membunuh sahabatmu itu?"
Si orang tua menyeringai. Ternyata pemuda yang diketahui sableng ini pandai
bicara bahkan dalam bicara sekaligus melemparkan ejekan.
"Namaku Ki Bonang Talang Ijo. Aku berasal dari Kuto Gede. Di tanah Jawa aku
dikenal dengan julukan Hantu Muka Hijau." Habis keluarkan ucapan Ki Bonang
Talang Ijo lalu usap wajahnya satu kali. Saat itu juga muka orang tua ini
berubah menjadi hijau pekat sampai ke mata. Dengan berbuat begini dia ingin
menggertak murid Sinto Gendeng kalau dia bukan orang sembarangan. "Soal tugasku
kau tak layak bertanya..."
"Begitu?" Ujar Wiro pula sambil garuk kepala dan senyum-senyum. Gertakan si
kakek baginya sama saja dengan anak-anak yang bermain setan-setanan. "Terima
kasih kau telah memperkenalkan nama dan julukan.
Namaku Wiro, aku berasal dari emperan Gunung Merapi.
Di tanah Jawa, aku dijuluki orang Hantu Muka Jelek!" Habis berkata begitu Wiro
lalu kerahkan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad. Ilmu aneh ini didapatnya dari
Hantu Selaksa Angin Luhkentut (Baca serial petualangan Pendekar 212 di Negeri
Latanahsilam). Begitu wajah diusap dan tangan yang mengusap diturunkan, semua
orang yang melihat jadi tersentak kaget, tersurut ngeri satu langkah. Si nenek
pesek malah keluarkan suara. "Ihh..."
Apa yang terjadi dengan wajah Pendekar 212.
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
3 AAT itu sepasang mata Wiro telah pindah ke pelipis kiri kanan, hidung menempel
di kening, mulut turun Ske dagu! Walaupun ada lucunya tapi wajah sang pendekar
kini benar-benar seram menggidikkan. Apalagi Wiro sengaja pelototkan mata lalu
dikedap-kedip! "Inilah tampang asliku hingga aku dijuluki Hantu Muka Jelek." Ucap Wiro lalu
sambil tertawa gelak-gelak dia pegang tangan si nenek, dan berkata. "Nek, ayo
kita pergi. Tidak ada guna melayani orang-orang itu."
Saking ngerinya si nenek tidak mau dipegang
tangannya malah menjauh lalu lari meninggalkan tempat itu. "Nenek pesek! Jangan
pergi dulu! Tunggu aku!" teriak Wiro lalu cepat-cepat mengejar si nenek sambil
mengusap muka hingga wajahnya kembali seperti semula. Namun saat itu Ki Bonang
Talang Ijo dan kawan-kawannya telah menghadang.
"Tukang sihir gila! Kau mau pergi ke mana"!" teriak Tuanku Laras Muko Balang
sambil menghadang dengan acungkan ujung pedang Al Kausar ke arah leher Wiro.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik tegak di samping kiri, dua kaki merenggang, dua
tangan mengambang sepinggang. Di sebelah kanan Ki Bonang Talang Ijo berdiri
dengan sikap angkuh sambil rangkapkan dua tangan di atas dada sementara Perwira
Muda Teng Sien dan anak buahnya yang tinggal seorang saat itu juga telah sama-
sama menghunus golok besar.
Melihat Pendekar 212 Wiro Sableng dikurung demikian rupa, nenek Si Kamba Pesek
yang tadi hendak cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena ngeri melihat
tampang Wiro, kini berbalik kembali. Dia berteriak, "Kalian semua dengar!
Walaupun orang itu mungkin punya kesalahan tapi adalah tindakan pengecut kalau
kalian mengeroyoknya bersama-sama!"
Tuanku Laras Muko Balang yang sejak tadi sudah marah terhadap Wiro dan si nenek
langsung berteriak.
Apalagi saat itu dilihatnya sepasang tangan si nenek telah berubah menjadi lebih
panjang pertanda dia siap mengeluarkan ilmu andalannya.
"Kamba Pesek! Kalau kau berniat menolong manusia satu ini, masuklah ke dalam
kalangan! Biar kami menghabisi kalian berdua sekaligus! Dasar tua bangka gatal!
Jangan kira kami tidak tahu riwayatmu!"
"Sahabat semua orang tua-tua, cerdik pandai. Harap kalian mau berpikir. Nenek
ini bukan pengkhianat, bukan musuh dalam selimut! Aku berada di tanah Minang
bukan untuk berbuat keonaran. Tidak ada niat menghalangi apapun tugas kalian.
Aku juga tidak tahu menahu apa tugas kalian! Lalu aku juga tidak membunuh
sahabat kalian yang siapapun namanya!"
Ki Bonang turunkan dua tangan yang sejak tadi
dirangkap di atas dada. Lalu keluarkan ucapan, "Sahabat semua, tidak ada gunanya
kita bicara berpanjang-panjang dengan pemuda ini. Jangan sekali-kali percaya
pada mulutnya! Habisi dia sekarang juga! Jika nenek itu membantunya bunuh
sekalian!"
Mendengar ucapan itu, didahului oleh Ki Bonang Talang Ijo, semua orang yang ada
di situ segera menerjang ke arah Wiro dan Si Kamba Pesek.
"Kalian kambing tolol semua!" teriak Si Kamba Pesek.
"Nek, aku tahu kau dalam keadaan cidera. Menjauhlah.
Biar kuhadapi kambing-kambing ini seorang diri!" Berkata Wiro.
"Kurang ajar! Kita dianggap kambing!" Teriak Ki Bonang Talang Ijo.
"Sombongnya!" Teriak Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik. "Takabur sekali! Aku mau lihat kepandaiannya!"
Berseru Tuanku Laras Muko Balang.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik lancarkan serangan dalam jurus silat Sitaralak
bernama Harimau Campa Manggapai Rembulan. Dua tangan menyambar ke arah kepala
Wiro. Kalau serangan ini mengenai sasaran, bukan saja muka lawan akan terbongkar
tapi batang leher juga bisa tanggal!
Perwira Muda Teng Sien dan anak buahnya menyerbu dengan golok besar. Tuanku
Laras Muko Balang bolang-balingkan Pedang Al Kausar sementara Ki Bonang Talang
Ijo lepaskan belangkon hijau. Belangkon ini dikibas-kibas.
Kibasan diarahkan pada Wiro dan Si Kamba. Dari semua serangan yang dilancarkan
yang paling berbahaya adalah kibasan belangkon Ki Bonang Talang Ijo. Selain
serangan ini bisa dilakukan dari jarak jauh, angin yang keluar dari kibasan
belangkon bisa melumpuhkan lawan!
Si Kamba Pesek yang tahu kehebatan belangkon itu segera ulurkan tangan kiri,
mencoba merampas belangkon sementara tangan kanan yang juga telah diulur panjang
menelikung ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, siap menjirat leher orang
ini. Tapi yang diserang tidak bodoh. Secepat kilat tangannya diayun ke arah
sambungan siku si nenek hingga Si Kamba Pesek terpaksa cepat-cepat tarik pulang
serangannya. Di saat yang sama sambaran angin deras dari belangkon Ki Bonang
Talang Ijo datang menyambar. Wiro cepat tarik tangan Si Kamba Pesek hingga nenek
ini selamat dari hantaman angin sakti yang melumpuhkan!
Walau dalam gebrakan pertama Wiro dan Si Kamba Pesek mampu menghadapi serangan
lawan, namun jurus berikutnya serangan datang laksana air bah!
"Nek, lekas melompat sepuluh langkah ke belakang!"
Tiba-tiba Wiro berteriak.
"Eh, kenapa" Ada apa"!" si nenek bertanya tidak mengerti.
"Nek! Cepat!"
Meski bingung Si Kamba Pesek akhirnya lakukan apa yang dikatakan Wiro. Begitu si
nenek melesat ke belakang murid Sinto Gendeng segera hentakkan kaki kanannya ke
tanah. Saat itu juga reettttt!
Tanah di hadapan Wiro terbelah selebar tiga langkah.
Dan dari dalam tanah yang terbelah menderu suara angin seperti puting beliung
menyedot dahsyat. Semua orang berteriak kaget dan cepat melompat jauh selamatkan
diri. Perajurit kerajaan anak-anak buah Teng Sien terlambat bergerak. Tubuhnya amblas
tersedot masuk ke dalam dasar tanah yang terbelah. Destar merah di kepala
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik melayang masuk tersedot ke dalam belahan tanah.
Tuanku Laras Muko Balang juga agak terlambat
bergerak. Masih untung selamat. Meskipun demikian celana galembong dan celana
dalamnya sempat tersedot hingga pinggang ke bawah aurat lelaki ini tidak
terlindungi lagi alias telanjang melompong!
"Lekas Nek. Ayo kita pergi!" Wiro pegang lengan Si Kamba Pesek. Kali ini si
nenek tidak menolak lagi sewaktu ditarik. Ketika Wiro dan Si Kamba Pesek
berkelebat pergi tidak ada yang berani mengejar. Jangankan mengejar, mendekati
tanah yang terbelah saja orang-orang itu sudah merasa ngeri.
Tuanku Laras Muko Balang kalang kabut menutupi auratnya sementara yang lain-lain
sibuk mencari selamat dari sedotan tanah yang terbelah. Akhirnya Tuanku Laras
buka bajunya sendiri lalu dipakai untuk menutupi aurat bagian bawah.
Jauh di tepi tanah yang terbelah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik berdiri
tertegun, mata nyalang mendelik dada turun naik. Tangan berkali-kali mengusap
kepala. Untung hanya destarnya yang tersedot masuk ke dalam belahan tanah. Tidak sampai
kepalanya yang tanggal dan ikut melayang!
"Ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpo!" ucap sang
Pandeka dengan suara bergetar. "Di tanah Minang hanya Datuk Marajo Sati yang
memiliki ilmu kesaktian ini! Apa hubungan pemuda Jawa itu dengan Datuk Marajo
Sati hingga mereka bisa memiliki ilmu yang sama?"
"Jangan-jangan pemuda itu orang kepercayaan Datuk Marajo Sati. Bisa juga
muridnya..." Berkata Tuanku Laras Muko Balang sambil tangan kiri memegangi
auratnya sebelah bawah yang hanya terlindung baju dan tangan kanan masih
mencekal Pedang Al Kausar.


Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu kita harus cepat-cepat menemui dan menyelidiki sang Datuk!" kata
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Sementara Perwira Muda Teng Sien melangkah
mundar-mandir sambil berteriak-teriak tiada henti.
Ki Bonang Talang Ijo tidak mengeluarkan sepotong ucapan pun. Namun wajahnya
masih nampak agak pucat dan dalam hati orang tua ini menyadari. "Kalau dia punya
niat jahat, paling tidak selain prajurit Cina, pemuda itu bisa menyedot amblas
dua orang lagi di antara kami. Tugas makin berat. Aku harus bisa mendapatkan
bantuan dari para tokoh silat baru... Datuk Marajo Sati, firasatku semakin kuat.
Kau menyembunyikan suatu rahasia besar.
Sorban Sutan Panduko Alam terbang ke tempat
kediamanmu. Membawa kupu-kupu hidup penjelmaan kupu-kupu batu giok..."
Sementara itu, setelah cukup jauh dari tempat tanah terbelah, Pendekar 212 Wiro
Sableng hentikan larinya lalu tertawa gelak-gelak. Tentu saja Si Kamba Pesek
terheran-heran melihat hal ini.
"Apa yang kau tertawakan"! Jangan-jangan kau yang sudah tasapo kemasukan roh
halus"!" Tapi si nenek sendiri kemudian ikut tertawa cekikikan.
"Orang tua yang bersenjata pedang perak itu!" jawab Wiro.
"Tuanku Laras Mudo Balang. Memangnya kenapa dia?"
"Bulu di wajahnya belang putih dan hitam. Waktu tadi celananya tanggal dan
auratnya tersingkap aku kira bulu di bawah perutnya juga belang putih dan hitam!
Ternyata di bagian tubuh itu dia tidak punya bulu alias botak! Ha... ha...
ha! Apakah kau juga sempat melihat Nek"!"
"Najis! Dasar! Pantas Ki Bonang menyebutmu pemuda gila!" Kata si nenek pula lalu
mengerenyit sakit karena tulang-tulang iganya kembali terasa sakit.
"Nek, aku sering-sering melihat kau mengerenyit kesakitan. Aku tahu kau
mengalami cidera. Tapi apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?"
Si Kamba Pesek lalu menceritakan kejadian sewaktu dia berkelahi dan kena
dihantam lawan tulang iganya kiri kanan hingga patah.
"Aku punya ilmu yang bisa menyembuhkan dan
menyambung kembali tulang-tulang igamu yang patah.
Namanya ilmu Kopo. Aku dapat dari seorang nenek sakti di tanah Jepun. Tapi
caranya aku harus meremas dulu semua tulang igamu yang patah lalu baru diobat
disambung kembali. Apakah kau bisa menahan sakitnya nek?"
"Asal kau tidak menipuku, aku mau saja menahan bagaimanapun sakitnya." Jawab si
nenek yang rupanya mulai percaya pada sang pendekar. "Tapi ada satu hal yang
ingin aku tanya lebih dulu."
"Hal apa Nek?"
"Ilmu membelah tanah yang membuat semua
penyerang tadi selamatkan diri berserabutan. Dari mana kau dapatkan?"
"Seorang sahabat dari negeri antah berantah
memberikannya padaku."
"Ah, nasib peruntunganmu selalu baik rupanya. Di mana-mana ada orang yang
memberikan ilmu kesaktian baru padamu. Lalu mengingat ilmu kalian sama, apakah
kau satu perguruan dengan Datuk Marajo Sati?" tanya si nenek lagi.
Wiro tertawa. "Aku tahu Datuk itu juga punya ilmu yang sama dengan yang aku miliki. Malah satu
kali dia pernah hendak membunuhku dengan ilmu itu..."
Si nenek terkejut. "Bagaimana kejadiannya?"
"Waktu itu aku tersesat masuk ke dalam sebuah goa di lamping Ngarai Sianok.
Tidak tahunya goa itu kediaman sang Datuk. Aku dianggap sengaja menyusup.
Mengenai ilmu kami yang sama, aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan."
Si Kamba Pesek terdiam sesaat, merenung berpikir-pikir. "Jika Datuk Marajo Sati
marah besar dan hendak membunuh pemuda ini hanya karena dia tersesat, berarti
ada sesuatu yang coba dilindungi Datuk itu. Lalu pemuda ini, jika ilmunya sama
dengan Datuk Marajo Sati, bisa saja mereka berdua berada di pihak yang sama. Aku
harus berhati-hati." Kemudian si nenek berkata. "Sebenarnya aku dan kawan-kawan
punya rencana akan menyelidiki Datuk Marajo Sati tentang satu perkara. Jika
ternyata kau adalah kaki tangan Datuk itu..."
Wiro tertawa. "Sudah Nek, sekarang kau berbaringlah. Aku akan mulai mengobati tulang-tulang
igamu..." Si nenek baringkan diri di tanah. Menelungkup.
"Menelentang Nek. Kalau kau menelungkup bagaimana aku bisa mengobati tulang
igamu!" Kata Wiro pula.
Si nenek balikkan tubuh menelentang.
"Aku dengar kau seorang pemuda mata keranjang.
Awas kalau kau berani menipu dan berlaku jahil padaku..."
Wiro tertawa. "Mengapa kau sampai punya pikiran seperti itu Nek?"
"Kakakku Si Kamba Mancuang memberi tahu. Kau
memeluk dan menciuminya..."
"Lantas, apa kau juga mau aku cium Nek?"
"Anak gilo!"
Wiro tertawa gelak-gelak. Tangan kanannya bergerak ke deretan tulang iga sisi
kiri dan kanan si nenek. Dia siap mengobati cidera Si Kamba Pesek dengan ilmu
Koppo yakni ilmu mematah dan menyambung tulang. Ilmu ini didapat Wiro dari
seorang nenek sakti di negeri Jepun bernama nenek Neko (baca serial Wiro Sableng
di negeri Sakura).
Kraakk... kraakk... kraakkk!
Jeritan keras setinggi langit menggelegar dari mulut Si Kamba Pesek begitu
barisan tulang iganya yang patah di rusuk kiri kanan mulai diobati. Saking
sakitnya si nenek menggeliat-geliat. Pinggang tersentak ke atas. Dua kaki naik
melejang-lejang hingga pakaiannya berupa jubah panjang merosot sampai ke pangkal
pinggul. Melirik ke arah aurat yang tersingkap itu murid Sinto Gendeng jadi
terkesiap. "Astaga, bagaimana mungkin nenek ini memiliki
sepasang kaki dan paha yang mulus bagus seperti anak perawan!"
Selagi Wiro terheran-heran tiba-tiba satu bayangan berkelebat.
"Pemuda jahanam kurang ajar! Kau apakan saudaraku!
Kau hendak memperkosanya! Ternyata kau benar-benar manusia gila mata keranjang!"
Sesaat kemudian, bukkk...! Satu tendangan keras melanda bahu kanan Wiro hingga
sang pendekar terpental sampai satu tombak. Tulang bahunya serasa remuk.
Sakitnya bukan alang kepalang!
Sambil menahan sakit, terhuyung-huyung Wiro
mencoba bangun. Di hadapannya berdiri kembaran Si Kamba Pesek yaitu Si Kamba
Mancuang. Nenek ini setelah menendang Wiro langsung melompat ke arah Si Kamba
Pesek dan jatuhkan diri di samping saudaranya itu.
"Kamba Pesek, kau tidak apa-apa" Kau belum sempat diper..."
"Tua bangka tolol! Kau terlalu cemburu! Otakmu dipenuhi pikiran kotor yang
bukan-bukan!" Si Kamba Pesek menyemprot marah.
Si Kamba Mancuang terperangah. "Kau sudah gila! Aku mau menolong kau malah marah
padaku! Rupanya kau suka diperkosa pemuda jahanam itu!"
"Siapa yang mau berbuat mesum! Dia justru tengah mengobati tulang rusukku yang
cidera akibat pukulan Sutan Panduko Alam tempo hari..."
"Tapi aku lihat dia meremas-remas dadamu.
Pakaianmu tersingkap sampai lancirik- mu (pantat) kelihatan..."
"Sudah! Tutup mulutmu!" bentak Si Kamba Pesek. Dia berpaling ke arah Wiro. "Anak
muda, harap maafkan saudaraku. Dia..."
"Tidak apa-apa Nek. Aku sudah sempat mengobatimu.
Tak lama lagi kau pasti sembuh. Kurasa aku lebih baik pergi dulu. Ceritakan pada
saudaramu apa yang
sebenarnya terjadi..."
"Hai tunggu! Jangan pergi dulu!" Berseru Si Kamba Pesek. Namun saat itu Pendekar
212 Wiro Sableng telah berkelebat pergi. Nenek satu ini banting-banting kaki.
Tiba-tiba dia terdiam. Dua tangan dielus-eluskan ke rusuk kiri kanan. "Luar
biasa! Aku tidak merasa sakit lagi! Betul apa yang dikatakan anak muda itu. Aku
sudah sembuh! Lihat!
Pemuda itu menyembuhkanku! Bagaimana mungkin kau menuduhnya berbuat mesum!"
Si Kamba Mancuang peluk saudaranya seraya berkata.
"Aku mohon maafmu. Ternyata aku telah salah menduga.
Aku juga telah kesalahan melepas tendangan..."
"Kau selalu begitu! Bertindak dulu baru berpikir! Lihat!
Dia sudah pergi! Ke mana harus mencarinya! Berterima kasihpun aku belum sempat!"
"Kita berdua akan mencari pemuda itu sampai dapat,"
kata Si Kamba Mancuang pula.
"Tidak! Aku tidak mau pergi bersamamu!" Jawab Si Kamba Pesek. Lalu nenek ini
mundur menjauhi
saudaranya. Di lain kejap dia balikkan badan dan berkelebat lenyap ke arah
perginya Wiro. Untuk beberapa lama Si Kamba Mancuang masih tegak tertegun termangu-mangu
seorang diri. Bingung ada kecewa juga ada. Akhirnya nenek satu ini pun
tinggalkan tempat itu, pergi ke arah berkelebatnya Si Kamba Pesek.
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
4 ALAM itu, dalam keadaan bahu masih sakit
Pendekar 212 tengah dalam perjalanan menuju
MDanau Maninjau untuk menemui Datuk Rao
Basaluang Ameh. Dia ingin mendapat kejelasan tentang pesan amanat sang guru
mengenai perkara besar yang akan terjadi di Ranah Minang. Namun di tengah
perjalanan pikirannya berubah. Dia merasa khawatir kalau nanti Datuk mempunyai
anggapan dirinya tidak sanggup melakukan tugas, tidak mampu menyelidiki dan
memecahkan sendiri teka-teki malapetaka yang akan terjadi.
"Malapetaka bukan akan terjadi, aku rasa malapetaka sudah terjadi..." pikir Wiro
sambil menggaruk kuduk.
"Selama aku di sini, sudah beberapa orang menemui ajal.
Malah aku dituduh jadi pembunuh salah seorang dari mereka... Aku sudah masuk dan
terlibat dalam perkara besar itu. Masakan aku harus menyusahkan Datuk meminta
penjelasan lagi. Aku harus mampu menyelidiki sendiri..." Wiro angkat kopiah
hitamnya hendak menggaruk kepala. Tapi tidak jadi.
Saat itu entah dari mana datangnya tiba-tiba, blukk!
Sesosok tubuh melayang jatuh, terbujur tak bergerak di tanah beberapa langkah di
hadapannya. Walau malam hari namun karena langit bersih dan banyak bintang serta
merta Wiro mengenali orang yang terkapar di hadapannya itu bukan lain adalah Si
Kamba Pesek Tangan Manjulai.
Keadaan nenek ini sangat mengenaskan. Tangan kiri patah. Tangan kanan buntung
dan masih mengucurkan darah tanda dia belum lama dibunuh. Di dada dan leher ada
luka terkuak. Darah yang mengucur dari batok kepala menutupi sebagian wajahnya.
Mulut robek sampai ke telinga kiri. Sebelum tewas agaknya nenek ini telah
diserang dengan senjata tajam serta pukulan ilmu silat sangat ganas.
"Nek!" teriak Wiro. Dia segera hendak menubruk sosok yang sudah tidak bernafas
itu. Tapi gerakannya tertahan ketika beberapa bayangan berkelebat disertai suara
orang berucap lantang.
"Selama dunia terkembang, tidak ada seorang
pengkhianatpun boleh dibiarkan hidup!"
Murid Sinto Gendeng mengenali. Itu adalah suara Tuanku Laras Muko Balang! Dalam
keadaan setengah berjongkok, Wiro angkat kepala, menatap ke depan.
Tuanku Laras Muko Balang berdiri dengan sikap pongah, memegang pedang telanjang.
Ujung pedang nampak bernoda merahnya darah! Saat itu dia telah mengenakan
sehelai celana galembong baru lengkap dengan baju hitam. Di sebelah kanan tegak
Ki Bonang Talang Ijo.
Seperti biasa kakek satu ini unjukkan sikap tenang dingin dan dua tangan
disilangkan di atas dada.
Orang ke tiga yaitu Teng Sien berdiri berkomat-kamit.
Golok besar bergetar di tangan kanan pertanda niatnya untuk menghabisi Wiro
tidak dapat dikendalikan lagi.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik di ujung kiri, tidak mengenakan destar karena
sebelumnya destar orang ini telah amblas masuk tersedot tanah terbelah. Di
tempat itu Wiro menyaksikan ada dua orang lain yang tidak dikenalnya.
Yang pertama seorang nenek bungkuk mencekal benda bergayut seperti jaring ikan.
Kulit muka tipis hitam legam, mengingatkan Wiro pada gurunya Eyang Sinto
Gendeng. Dalam berdiri sepasang mata cekung nenek ini tidak berkesip memperhatikan ke dua
kaki Wiro. Sementara tangan kanan yang memegang jaring dalam kuda-kuda siap
bergerak. "Nenek ini rupanya diandalkan untuk mengawasi kedua kakiku. Mereka khawatir aku
akan kembali mengeluarkan ilmu Membelah Tanah Menyedot Arwah," pikir Pendekar
212 Wiro Sableng.
Orang kedua yang juga tidak dikenal Wiro adalah seorang kakek berpakaian serba
hitam termasuk destar di kepala dan kain sarung melintang di bahu. Kakek ini
memegang sebatang tongkat berkeluk terbuat dari perunggu.
"Tua bangka ini memegang tongkat secara aneh,"
membatin Wiro sambil mengawasi. "Dia tidak memegang tongkat pada bagian gagang
yang berkeluk, tapi pada ujung yang lurus. Berarti tongkat ini adalah senjata
penggebuk yang ampuh! Aku harus berhati-hati."
Ketika kakek ini menggeser dua kakinya, Wiro
memperhatikan dan diam-diam jadi terkesiap. Dua kaki kakek ini terbalik. Bagian
yang ada jari-jarinya berada di sebelah belakang sedang tumit di sebelah depan!
Ketika kembali memandang ke arah mayat Si Kamba Pesek, amarah Pendekar 212
mendidih. Mulut berteriak lantang hingga semua orang yang ada di situ merasakan
denyutan di dada masing-masing.
"Kalian membunuh nenek ini! Pasti secara mengeroyok!
Pengecut busuk! Apa salahnya"! Dia bukan pengkhianat!
Dia tidak pernah memberi keterangan apapun padaku!
Kalian akan membayar mahal kematiannya!"
Tuanku Laras Muko Balang mendengus.
"Semakin kentara kau memang berkomplot dengan
nenek itu!" Kata Tuanku Laras kemudian.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik tawa mengejek.
Ki Bonang Talang Ijo membuka mulut. "Pemuda
sombong takabur! Jika kau memang orang hebat,
perlihatkan kembali pada kami ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpo!"
Begitu Ki Bonang Talang Ijo keluarkan ucapan, si nenek bungkuk berkulit hitam
putar pergelangan tangannya yang memegang benda bergayut, menggeser dua kaki
memasang kuda-kuda siap menyerang. Kini tambah jelas bagi Wiro kalau orang
memang sudah menyiapkan
serangan penangkal untuk mencelakai dirinya yaitu di bagian ke dua kaki.
Sambil menyeringai Wiro bergerak berpindah tempat hingga dia dan Ki Bonang serta
si nenek muka hitam berada di satu garis lurus. Si nenek terhalang oleh sosok si
kakek. "Majulah dua langkah, aku akan perlihatkan ilmu yang barusan kau katakan!" Ucap
Wiro pada Ki Bonang.
"Kurang ajar!" maki Ki Bonang Talang Ijo. "Dia sengaja membuat kedudukan yang
menyebabkan nenek itu tidak mungkin bergerak menyerangnya karena terlindung
diriku." Tiba-tiba Ki Bonang Talang Ijo bersuit keras. Saat itu juga tubuhnya melesat ke
udara hingga kini Wiro berhadap-hadapan langsung dengan si nenek muka hitam.
Tanpa banyak menunggu lagi nenek ini gerakkan tangan kanan.
Benda yang sejak tadi dipegangnya melesat ke depan, menebar membentuk jaring
berpijar, mengarah kaki kiri kanan Pendekar 212!
Wiro merasa ada hawa dingin aneh dari pijaran jaring membuat dua kakinya
mendadak menjadi lemas. Dengan cepat dia kerahkan hawa sakti dan tenaga dalam ke
tubuh bagian bawah lalu melompat setinggi satu tombak. Di saat yang sama si
nenek sentakkan jaring di tangan kanan.
Cahaya putih berpijar. Wiro berteriak kaget ketika dua kakinya terangkat ke
udara, membuat tubuhnya jungkir balik tak karuan!
Dari samping, Ki Bonang Talang Ijo cepat tanggalkan belangkon. Sekali belangkon
dikebut, menyambar cahaya kehijauan menyerang Pendekar 212 yang masih jungkir
balik di udara. Dalam keadaan seperti itu cahaya hijau menghantam tubuhnya.
Terhuyung limbung, sambil berusaha mengimbangi diri Wiro membuat gerakan
berputar. Gerakan dua kakinya agak kaku karena masih dipengaruhi serangan jaring
berpijar si nenek. Namun dua tangan dalam keadaan bebas. Tidak tunggu lebih lama
Wiro lancarkan serangan balasan. Tangan kiri kanan melepas pukulan Dewa Topan
Menggusur Gunung.
"Lekas menyingkir!" teriak Ki Bonang begitu dua pukulan menebar angin dahsyat
disertai suara bergemuruh. Teng Sien berlaku nekad. Sementara semua orang menjauh bahkan ada
yang terpelanting, dia melompat kirimkan babatan golok ke arah dua kaki Wiro
yang berada di atasnya. Rupanya dia menduga serangan si nenek dan kebutan
belangkon Ki Bonang tadi masih mempengaruhi Wiro.


Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kraakk! Perwira Muda itu menjerit begitu kaki kiri Pendekar 212
bergerak menghantam sambungan sikunya. Golok besar terlepas mental. Sambungan
siku patah. Teng Sien sendiri terpental dan jatuh duduk di tanah mengerang tak
berkeputusan. "Serang!" Ki Bonang Talang Ijo tiba-tiba berteriak.
Maka serangan dahsyat laksana topan prahara
menggempur Wiro dari berbagai jurusan. Jaring berpijar kembali menyapu ke arah
dua kaki Wiro. Pedang Al Kausar di tangan Tuanku Laras Muko Balang membabat
laksana badai, menebar cahaya putih dalam kegelapan malam.
Setelah dirinya dipermalukan yaitu ditelanjangi di depan orang banyak, dendam
orang tua bermuka belang ini terhadap Wiro bukan alang kepalang.
Di bagian lain Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik laksana menari di udara susupkan
satu pukulan ke arah dada Wiro sementara kakek yang memegang tongkat membuat
serangan dalam gerakan aneh. Dia lari ke arah Wiro. Ketika berpapasan dia tidak
membuat gerakan apa-apa. Tapi begitu tubuhnya melewati Wiro tiba-tiba wutt!
Tanpa berpaling tongkat di tangan kanannya menghantam ke belakang!
Bukkk! Gagang berlekuk tongkat tembaga menghantam
punggung kanan Wiro. Selagi Wiro terlempar ke depan, dari arah berlawanan datang
serangan ilmu silat Sitaralak yang dilancarkan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik
dalam jurus Tigo Alu Mangupak Lasuang (Tiga Alu Menghancurkan Lesung). Sesuai
dengan namanya, kekuatan pukulan itu sama dengan kekuatan tiga alu besar yang
secara sekaligus dihantamkan ke dada lawan! Sesaat lagi pukulan lawan yang bisa
membuat dadanya jebol datang
menghantam, Wiro kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti yang bersumber pada Kapak
Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya! Satu cahaya putih berpijar melindungi
dada sang pendekar.
Bukkk! Pukulan Tigo Alu Manguak Lasuang mendarat telak di dada Wiro. Tubuh murid Sinto
Gendeng bergoncang hebat.
Walau dia selamat dari maut akibat lindungan hawa sakti Kapak Geni 212 namun tak
urung mulutnya semburkan darah segar!
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik sendiri menjerit keras dan terjajar ke
belakang, hampir terjengkang kalau tidak ditolong oleh Tuanku Laras Muko Balang.
Tangan kanan Pandeka Bumi Langit tampak terkelupas seperti melepuh mulai dari
lima ujung jari sampai ke pergelangan!
"Pengeroyok pengecut! Kalian akan menerima
pembalasanku!" Ucap Wiro dengan suara bergetar. Tangan kanan dipentang ke atas.
Saat itu juga tangan itu berubah menjadi putih menyilaukan seperti perak mulai
dari siku sampai ke ujung jari. "Pukulan Sinar Matahari! " Teriak Ki Bonang
Talang Ijo. Walau belum pernah melihat sendiri namun dia telah sering mendengar dan yakin
saat itu Wiro akan
melancarkan serangan dengan pukulan yang telah menggegerkan seluruh daratan
tanah Jawa itu. Maka kakek ini segera keluarkan suitan keras. Saat itu juga
Tuanku Laras Muko Balang melompat ke depan sambil tangan kiri menjambak rambut
seorang pemuda sementara tangan kanan yang memegang pedang
dimelintangkan di atas tenggorokan orang!
"Pendekar Dua Satu Dua!" kata Ki Bonang Talang Ijo.
"Jika kau tidak mau menyerah sahabatmu itu akan kami sembelih!"
"Benar-benar pengecut jahanam!" rutuk Wiro.
Pemuda yang dicekal itu bukan lain adalah Malin Kapuyuak, pemuda tukang intip
yang beberapa waktu lalu berhasil lolos dari tangan maut Duo Hantu Gunung Sago
Si Kalam Langit.
Sesaat Wiro berpikir sementara pedang di tangan Tuanku Laras mulai menyayat
kulit leher Malin Kapuyuak hingga tergores luka. Malin Kapuyuak meringis
kesakitan. Mukanya sepucat kain kafan.
"Jangan bunuh aku! Apa salahku! Ampun, jangan bunuh aku..."
Perlahan-lahan Wiro turunkan tangan kanannya.
"Lepaskan pemuda itu! Katakan apa mau kalian!" Wiro mengalah. Dia tidak ingin
melihat Malin Kapuyuak menemui ajal secara mengenaskan. Walau mengalah namun
otaknya diputar mencari akal bagaimana bisa menyelamatkan si pemuda tukang intip
perawan mandi itu dan sekaligus memberi pelajaran pada Ki Bonang dan kambrat-
kambratnya. Namun saat itu tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
"Wiro! Pemuda itu bukan sahabatmu! Biarkan saja dia mati disembelih! Jangan mau
mengalah! Biar dia hidup atau mati tidak ada untungnya bagimu!"
*** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
5 EMUA orang terkejut, termasuk Tuanku Laras Muko Balang. Tidak sadar jambakannya
di rambut Malin SKapuyuak mengendur. Tekanan mata pedang di leher si pemuda
turun merenggang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Malin Kapuyuak. Tumit
kanannya dihunjamkan ke jari-jari kaki kanan Tuanku Laras yang tersembul di
ujung kasut kulit. Selagi si muka belang ini merintih kesakitan dan memaki,
Malin Kapuyuak cepat loloskan diri, menghambur ke arah perempuan yang tadi
berseru. Perempuan ini tertawa gelak-gelak seolah dia tidak perduli keadaan di tempat itu
dan ketegangan apa yang tengah terjadi!
Pendekar 212 yang dalam keadaan menahan sakit
akibat gebukan tongkat di punggung serta hantaman tangan di dada, dalam keadaan
setengah megap-megap mau tak mau jadi terkesiap terheran-heran. Dalam hati dia
berkata. "Denok Tuba Biru! Bagaimana mungkin"! Setan mana yang membawamu ke
negeri ini?"
Perempuan yang muncul di tempat itu dan masih
tertawa-tawa adalah seorang perempuan muda luar biasa gemuk. Ketika tertawa
dadanya yang gembrot dan perutnya yang gendut bergoyang-goyang. Wajahnya yang
tembam berwarna biru bergaris-garis kuning. Rambut lurus tegak seperti lidi.
Anting-anting bulat besar terbuat dari perak mencantel di telinga kiri kanan.
Mengenakan pakaian aneh sebentuk celana monyet hitam tak
berlengan. Bulu ketiaknya yang lebat panjang menyembul berserabutan. Paha yang
besar gempal bergoyang-goyang.
Di bahu kanan ada jarahan sekuntum bunga mawar biru.
Di hadapan perempuan gemuk ini Malin Kapuyuak
jatuhkan diri. Tangan diangkat di atas kepala. Dalam sikap menyembah pemuda ini
berkata. "Inyiek Batino! Ratu Sekalian Harimau Betina di Tujuh Gunung Bertuah! Terima
kasih kau telah datang
menyelamatkan diriku!"
Sementara Wiro tercengang-cengang dan hampir tak dapat menahan ketawa, Tuanku
Laras Muko Balang dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik sama-sama berubah wajah
masing-masing. Keduanya melangkah saling mendekat.
"Aku belum pernah melihat rupa. Tapi kalau dia benar Inyiek Batino Ratu Harimau
Betina Tujuh Gunung Bertuah, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini."
Berbisik Tuanku Laras Muko Balang.
"Aku mengikut saja apa katamu. Heran, bagaimana pemuda keparat itu bisa kenal
dengan Inyiek Batino?"
Jawab Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Kedua orang ini memberi isyarat pada
kawan-kawan mereka. Kakek bertongkat ketika diajak pergi gelengkan kepala.
"Sebelum aku gebuk kepala perempuan itu dengan tongkat perunggu ini, aku tidak
akan pergi. Urusan kita di tempat ini belum selesai. Bukankah kita mau memeras
keterangan dari pemuda Jawa berambut panjang itu"!"
"Datuk Pancido, aku juga tidak ingin melepaskan pemuda itu begitu saja. Namun
sekali ini kita lebih baik mengalah. Benda yang kita cari belum bertemu. Lebih
baik mendapatkan benda itu lebih dahulu daripada mencari celaka..." Yang
berbicara adalah Ki Bonang Talang Ijo.
"Aku tidak yakin perempuan gapuak itu Inyiek Batino."
Kakek yang dipanggil dengan nama Datuk Pancido masih penasaran. "Logat bicaranya
bukan logat orang sini.
Lagipula turut kata orang yang pernah melihat, Inyiek Batino mulutnya ditumbuhi
misai putih seperti harimau sungguhan. Tapi yang ini ketiaknya yang bermisai..."
Untuk beberapa lama si kakek masih tak beranjak dari tempatnya. Tapi ketika satu
persatu orang-orang itu meninggalkan tempat tersebut akhirnya dia mengikuti
juga. Sebelum pergi dia masih sempat lontarkan kerlingan ke arah si gemuk. Perempuan
bermuka biru bergaris kuning seperti harimau ini tersenyum dan kedipkan mata!
"Inyiek Setan!" rutuk Datuk Pancido. Dia merasa getaran aneh di permukaan kulit
tubuhnya yang membuat kakek ini jadi merinding lalu cepat-cepat pergi menyusul
teman-temannya.
Di tengah jalan tiba-tiba Perwira Muda Teng Sien memberi tanda lalu berhenti
berlari. Semua orang ikut hentikan lari. Perwira ini mendekati Ki Bonang lalu
mengatakan sesuatu. Ki Bonang tampak mengangguk-angguk.
"Ada apa Ki Bonang" Apa yang dikatakan Perwira Cina itu?" tanya Pandeka Bumi
Langit Dari Sumanik. Selesai bicara dia kembali meniup-niup tangan kanannya yang
melepuh. "Perwira Muda sahabat kita ini memberi tahu kalau setelah menewaskan nenek itu
kita lupa menggeledah tubuhnya. Tiga batangan emas yang telah diterimanya pasti
ada di balik pakaian."
"Kalau begitu kita kembali ke tempat tadi!" kata kakek bersenjata tongkat
perunggu bernama Datuk Pancido. Dari pekerjaannya membantu orang-orang itu dia
dan si nenek muka hitam memang belum mendapatkan imbalan. Kalau tiga batang emas
itu ditemukan dia berharap akan menjadi bagian mereka berdua.
Tuanku Laras gelengkan kepala. "Terlalu berbahaya.
Orang-orang itu pasti masih ada di sana. Lupakan saja tiga batang emas itu. Aku
ada satu rencana lain..."
"Rencana apa Tuanku Laras?" tanya Ki Bonang.
"Inyiek Susu Tigo. Kita harus cepat-cepat menemui guru Si Kamba Pesek dan Si
Kamba Mancuang itu. Kita beritahu bahwa Si Kamba Pesek muridnya telah dibunuh
pemuda Jawa bernama Wiro itu. Kita tidak perlu bersusah payah lagi. Inyiek Susu
Tigo pasti akan mencari dan membunuh pemuda itu!"
"Rencana bagus Tuanku Laras! Akalmu sungguh luar biasa!" memuji Ki Bonang Talang
Ijo. "Bukan itu saja," kata Tuanku Laras pula dengan cuping hidung mengembang. "Akan
kita beritahu Inyiek Susu Tigo.
Kalau sebelum dibunuh pemuda Jawa itu telah lebih dulu memperkosa si nenek! Kita
harus bisa membakar hati dan pikiran Datuk Susu Tigo hingga dia tidak memikirkan
hal lain selain membunuh pemuda itu!"
"Hebat!" Kembali Ki Bonang memuji.
Sementara orang bicara, Perwira Muda Teng Sien walau berdiam diri tapi unjukkan
wajah kesal. Tiba-tiba berteriak keras lalu melompat pergi.
"Perwira! Tunggu! Kau mau ke mana"!" berseru Ki Bonang Talang Ijo.
"Dia pasti kembali ke tempat mayat Si Kamba Pesek!
Mencari tiga batang emas itu!" kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik lalu
kembali meniup-niup tangannya yang melepuh.
"Kita kejar dia!" kata Tuanku Laras pula.
"Biarkan saja! Dia mencari penyakit sendiri! Mau menyelamatkan tiga batang emas.
Tapi nyawanya sendiri nanti bisa-bisa tidak mampu diselamatkannya!"
"Kalau dia mati, kita tidak akan mendapat bagian batangan emas yang kedua dan
urusan bisa kacau bubar begitu saja!" kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
"Tidak usah khawatir. Aku tahu di mana dia menyimpan sisa peti-peti emas itu!"
Kata Ki Bonang pula.
Tuanku Laras Muko Balang melirik tapi tidak keluarkan ucapan. Ada sesuatu
bermain di dalam benaknya setelah mendengar ucapan Ki Bonang tadi.
Teng Sien memang pergi ke tempat kejadian
sebelumnya. Namun bukan saja dia tidak menemukan mayat Si Kamba Pesek, di situ
juga tidak ada lagi Pendekar 212, Malin Kapuyuak dan Denok Tuba Biru. Perwira
Muda ini lalu cepat-cepat kembali menemui rombongan Ki Bonang Talang Ijo.
*** BEGITU semua orang pergi, perempuan gemuk dan
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak.
Wiro tidak dapat menahan hati lagi. "Denok Tuba Biru!
Kau dan Malin Kapuyuak seperti sudah lama saling mengenal! Kalian ini melakukan
apa barusan! Siapa itu Inyiek Batino" Mereka tampak seperti ketakutan mendengar
nama itu! Dan kau Denok, katakan! Bagaimana kau bisa berada di tanah Minang
ini"! Setan mana yang membawamu ke sini"!"
"Pertanyaanmu banyak amat. Biar Malin Kapuyuak yang lebih dulu menjawab," kata
perempuan gemuk bermuka biru bergaris kuning masih sambil tertawa-tawa.
"Uda sahabatku," kata Malin Kapuyuak pula. "Sewaktu aku lolos dari tangan maut
Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek, ada orang lain berusaha hendak
membunuhku. Tapi tahu-tahu muncul uni gapuak (kakak perempuan gemuk) ini! Dia
juga mengejarku. Orang pertama yang mengejarku melenyapkan diri entah ke
mana..." "Aku mengejar dia karena ingin mencari tahu di mana keberadaanmu," berkata Denok
Tuba Biru. "Lalu kau sendiri bagaimana bisa berada di negeri ini?"
tanya Wiro yang sejak semula tidak habis pikir.
"Setelah kita menolong Nyi Retno Mantili dan puterinya Ken Permata serta Manusia
Paku Sandaka, pada saat harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau
menerbangkanmu ke Danau Maninjau, diam-diam aku bergelayutan di bawah perutnya.
Aku menerapkan ilmu Bayang-Bayang Angin hingga kau tidak bisa melihatku..."
(baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Bayi Titisan").
"Tapi kau tidak bisa menipu Datuk Rao Bamato Hijau.
Harimau sakti itu pasti tahu kau bergantungan di bawah tubuhnya..."
"Pasti tahu, tapi diam saja..." jawab Denok Tuba Biru sambil senyum-senyum.
"Tidak mungkin harimau sakti itu diam saja. Ceritakan hal yang sebenarnya."
"Selama di perjalanan aku terus-terusan mengusap anunya Datuk Rao Bamato Hijau.
Rupanya dia merasa keenakan. Itu sebabnya dia diam saja!"
"Sinting!" Teriak Wiro seraya membuka kopiah
hitamnya lalu dibanting ke tanah. Kepala digaruk habis-habisan. Malin Kapuyuak
menekap hidung menahan tawa sementara Denok Tuba Biru enak saja melepas
cekikikan. *** WIRO SABLENG FITNAH BERDARAH DI TANAH AGAM
6 IRO melangkah mundar-mandir. Sekali-sekali dia berhenti oleh rasa sakit di
punggung dan di dada.
WKalau saja Kapak Naga Geni 212 tidak ada di
dalam tubuhnya yang menamengi dirinya dari serangan dua lawan yaitu Datuk
Pancido dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, mungkin keadaannya bisa sangat
parah. "Denok Tuba Biru, kalau Datuk Rao Basaluang Ameh tahu apa yang kau lakukan pada
harimau putih..." Wiro mengingatkan.
"Wiro, sebaiknya kau lebih memperhatikan dirimu. Aku yakin kau telah terluka di
dalam tapi kau tidak perduli. Aku membawa obat. Mungkin bisa menolong.
Telanlah!" Dari dalam sebuah kantong kecil perempuan gemuk itu mengeluarkan
sebuah benda bulat seujung kuku berwarna hitam lalu diserahkannya pada Wiro.
Ketika Wiro hendak menelan Malin Kapuyuak berseru.
"Tunggu dulu! Uni Gapuak, kau tidak salah memberi obat pada pandeka sahabatku?"
"Apa maksudmu"!" bentak Denok Tuba Biru.
"Obat yang kau berikan bukan obat penyubur
penambah lebat bulu ketiak"!"
"Setan alas kurang ajar!" Teriak Denok Tuba Biru marah lalu, plaakk! Tangannya
menjitak kepala si pemuda hingga Malin Kapuyuak kesakitan, menjauh sambil usap-
usap kepala. Wiro cepat-cepat telan obat yang diberikan. Dada dan punggungnya
yang sakit terasa hangat.
"Aku memang khawatir kalau sampai ketahuan Datuk Rao Basaluang Ameh," kata Denok
Tuba Biru kemudian.
"Karenanya ketika harimau putih berlari di sepanjang tepi danau, sebelum sampai
di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang Ameh, di satu tempat aku menjatuhkan
diri. Setelah itu aku berusaha mencarimu. Aku pernah melihat suatu saat kau dan pemuda
ini berduaan. Ketika aku kehilangan jejakmu, aku mencari pemuda ini dan
menemuinya sewaktu hendak dibunuh Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek..."
Sementara Wiro mendengarkan cerita Denok Tuba Biru, Malin Kapuyuak memperhatikan
mayat Si Kamba Pesek.


Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Tanah Agam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada pinggang pakaiannya yang agak tersingkap dia melihat ada tiga benda
berkilat kuning menyembul. Ketika dia membungkuk dan memperhatikan lebih dekat
dia segera mengenali. Tiga benda yang tersembul itu adalah tiga ujung batangan
emas! Segera saja dia menarik batangan emas itu satu persatu.
"Malin Kapuyuak! Apa yang kau lakukan"!" tiba-tiba Wiro bertanya. Membuat si
pemuda tergagau dan
rentangkan dua tangan.
"Lihat! Kalian pasti tidak percaya! Aku menemukan tiga batang emas di balik
pinggang jenazah nenek itu!"
Wiro mengambil sebatang emas, memperhatikannya beberapa lama lalu menyerahkan
pada Denok Tuba Biru.
Setelah memeriksa sebentar perempuan gemuk ini memberi tahu.
"Ini emas betulan! Bukan barang palsu!"
"Rejekiku besar nian! Sekarang aku punya modal untuk kawin! Ha... ha... ha!"
Malin Kapuyuak melompat-lompat sambil mencium dua batangan emas.
"Malin, serahkan semua emas itu pada sahabat kita Uni Gapuak ini. Sebelum
ketahuan asal muasal dan siapa pemiliknya, tidak satu pun di antara kita boleh
mengambilnya!"
"Uda Pandeka, jangan begitu. Pemiliknya jelas nenek ini dan dia sudah mati. Kau
tahu aku ini orang miskin..."
"Aku juga orang miskin!" kata Pendekar 212 lalu ambil dua batangan emas yang ada
di tangan Malin Kapuyuak kemudian diserahkan pada Denok Tuba Biru.
"Simpan baik-baik. Jangan sampai hilang!" kata Wiro pada Denok Tuba Biru.
Malin Kapuyuak mengomel panjang pendek namun
kemudian berhenti sendiri.
Malam itu juga Wiro ditemani Denok Tuba Biru dan dipandu Malin Kapuyuak membawa
jenazah Si Kamba Pesek ke sebuah dusun terdekat. Mereka menemui kepala dusun
untuk diminta mengurus dan mengubur jenazah si nenek. Mula-mula kepala dusun ini
marah-marah. Bukan saja karena dibangunkan dalam tidur lelapnya tapi juga karena
diberi pekerjaan yang tidak disangka-sangka.
"Malam buta kalian membangunkan aku dari tidur!
Datang membawa mayat yang tidak aku kenal! Minta aku mengurusnya sampai
penguburan! Rancak bana! Enak pada kalian susah padaku! Kelihatannya dia mati
tidak wajar. Bagaimana kalau nanti kematian perempuan tua ini menjadi urusan
panjang" Aku yang cilako tigo baleh (celaka tiga belas)! Kalian sudah menghilang
entah ke mana!"
"Pak gaek (bapak tua)," Malin Kapuyuak berkata.
"Jangan khawatir. Kalau terjadi apa-apa cari aku. Namaku Malin Kapuyuak. Semua
orang kenal diriku! Kau boleh bertanya di Koto Gadang, Koto Tuo atau Koto
Tinggi. Semua orang pasti tahu diriku. Aku kemenakan Datuk Marajo Sati..." Malin
Kapuyuak membual.
Kepala dusun gelengkan kepala. "Kemenakan Raja di Pagaruyung sekalipun kau, aku
tidak akan melakukan apa yang kalian minta!"
Dia melangkah mundur, siap masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
Wiro tidak kehabisan akal. Diambilnya salah satu dari tiga batangan emas yang
ada pada Denok Tuba Biru lalu dipatahkan sedikit salah satu ujungnya. Potongan
kecil emas ini kemudian ditunjukkannya pada kepala dusun.
"Bapak tua, ini sedikit bantuan untuk biaya pengurusan jenazah nenek kami sampai
di penguburan. Kuharap kau ikhlas menerimanya." Kata Wiro pula.
Sepasang mata kepala dusun terbeliak berkilat. Tidak percaya.
"Ini emas sungguhan"!" tanyanya pada Wiro lalu memandang Malin Kapuyuak dan
Denok Tuba Biru. Ketiga orang itu sama-sama menganggukkan kepala.
Masih tidak percaya kepala dusun masukkan gumpilan emas ke dalam mulut, dihisap
dan digigit-gigit lalu diludahkan kembali.
"Ini memang emas sungguhan. He... he... Nanti, kalau ada lagi jenazah yang
hendak kalian minta aku mengurusi, serahkan padaku. Jangan diberikan pada orang
lain" Jangan satu jenazah. Sepuluh jenazah pun akan aku urus!"
Kepala dusun ini lalu masuk ke dalam rumah,
membangunkan istrinya. Di luar rumah, Wiro, Malin Kapuyuak dan Denok Tuba Biru
mendengar kepala dusun berkata pada istrinya.
"Baidah, kita kaya! Kita akan jadi urang kayo (orang kaya)! Lihat ini! Lihat apa
yang ada di tanganku!
Ammeehhh (emas)!"
Apakah pembaca masih ingat siapa adanya perempuan gemuk Denok Tuba Biru dan oleh
Malin Kapuyuak dipanggil Uni Gapuak itu" Seperti diceritakan dalam serial "Si
Cantik Gila Dari Gunung Gede", dia adalah orang ketiga dari Serikat Momok Tiga
Racun yang terdiri dari tiga orang. Dua orang lainnya adalah Tukak Racun Kuning
dan Alis Bisa Merah. Sesuai dengan perintah guru mereka yang sudah mati,
ketiganya harus mencari seorang perempuan muda berkepandaian tinggi berpikiran
tidak waras untuk dijarah jantung, ginjal dan hatinya. Sasaran mereka adalah Nyi
Retno Mantili. Namun usaha jahat itu menemui kegagalan.
Tukak Racun Kuning menemui ajal di tangan Bujang Gila Tapak Sakti dan Alis Bisa
Merah tewas di tangan Manusia Paku Sandaka. Satu-satunya yang masih hidup adalah
Denok Tuba Biru yang nyawanya diampuni oleh Manusia Paku Sandaka dan disuruh
pergi. Kelak kemudian hari Denok Tuba Biru menjadi bersahabat dengan Pendekar
212 Wiro Sableng dan menolong Manusia Paku Sandaka (baca "Perjodohan Berdarah"
dan "Bayi Titisan").
*** SAMBIL berjalan dalam gelap dan dinginnya udara
malam, Wiro beberapa kali terbatuk-batuk, bertanya pada Malin Kapuyuak. "Selama
beberapa hari ini, sudah berapa lagi anak gadis orang yang kau intai waktu
mandi?" "Uda pandeka, jangan membuka rahasiaku di depan sahabat baru Uni Gapuak ini..."
jawab Malin Kapuyuak sambil tertawa.
"Uni Gapuak ini juga masih gadis. Jangan-jangan kau sudah..."
Wiro tidak meneruskan ucapannya karena keburu
dipotong oleh Denok Tuba Biru.
"Kalau dia berani mengintip aku mandi, aku peram kepalanya tiga hari di ketiak
kiri, tiga hari di ketiak kanan!
Baru dia tahu rasa..."
Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak.
Wiro lantas bertanya.
"Sewaktu kau menyembah sahabat kita ini di depan Ki Bonang dan kawan-kawannya,
kau menyebutnya Inyiek Batino, Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung
Bertuah. Orang-orang itu aku lihat seperti ketakutan. Siapa Inyiek Batino itu?"
"Aku hanya melihat satu kali. Itu secara tidak sengaja dan cepat sekali. Inyiek
Batino perempuan gemuk bermuka harimau. Mukanya biru bergaris-garis coklat dan
kuning. Dia dikenal sebagai perempuan sangat sakti. Semua Datuk dan tokoh silat di
negeri ini menaruh segan kalau tidak mau dikatakan takut padanya. Konon Inyiek
Batino mempunyai ratusan anak buah yang diam di tujuh gunung, itu sebabnya dia
dijuluki Ratu Sekalian Harimau Betina Tujuh Gunung Bertuah."
"Akalmu panjang juga Malin. Tapi bagaimana kalau kemudian orang-orang itu tahu
Uni Gapuak ini bukan Inyiek Batino sungguhan" Atau bagaimana kalau Inyiek Batino
asli mengetahui ada orang yang menjual namanya?"
Bertanya Wiro. "Inyiek Batino bukan perempuan sembarangan. Selain sakti berilmu, kata orang
pikirannya selalu jernih seperti embun di puncak Merapi, hatinya seputih kapas
kapas di lereng Singgalang..." Jawab Malin Kapuyuak.
"Mudah-mudahan dia akan tetap seperti itu kalau bertemu pemuda kurang ajar
sepertimu!" Kata Denok Tuba Biru.
"Nenek bermuka hitam dan kakek yang berkaki aneh bersenjata tongkat perunggu
itu. Siapa mereka?" tanya Wiro pada Malin Kapuyuak.
"Si nenek biasa dipanggil dengan nama Niniek Panjalo.
Kehebatannya pada senjata berbentuk jaring yang bisa berpijar..."
"Aku sudah merasakan kehebatannya," kata Wiro
mengakui. "Lalu kakek yang bertongkat perunggu itu" Dia menyerang secara aneh.
Membuat aku tidak bisa
menghindar."
"Namanya aku tidak tahu tapi dijuluki orang Datuk Pancido. Ilmu silatnya memang
aneh. Dia datang dari depan tapi selalu memukul bagian tubuh lawan di arah
belakang. Itu sebabnya dia di sebut Datuk Pancido. Artinya Datuk yang menyerang
bagian belakang lawan..."
"Ilmu licik. Lain kali kalau berhadapan lagi dengan dia aku harus berlaku hati-
hati." Kata Wiro pula.
"Sekarang kita mau ke mana?" Tanya Malin Kapuyuak.
"Aku harus mencari saudara kembar Si Kamba Pesek.
Ada beberapa hal penting yang akan aku tanyakan padanya. Selain itu dia juga
harus diberitahu kematian saudaranya." Menjawab Wiro.
Malin Kapuyuak tersenyum lalu berbisik agar tidak terdengar Denok Tuba Biru.
"Aku tahu, setelah memeluk dan menciumnya, kau tidak bisa melupakan nenek satu
itu. Ha... ha... betul kan?"
Wiro hanya bisa ikutan tertawa.
"Malin, kau tahu di mana aku bisa menemukan nenek itu?" Wiro bertanya.
Malin Kapuyuak tertawa. Sambil menepuk dada dia berkata.
"Soal intai mengintai, cari mencari serahkan pada Malin Kapuyuak. Aku tahu di
mana tempat bermukimnya guru Si Kamba Mancuang. Besar kemungkinan mereka itu
berada di sana."
"Kalau begitu antarkan kami ke tempat itu. Cari jalan memintas. Makin cepat kita
sampai makin baik." Kata Wiro pula.
"Serahkan semua padaku. Tapi kalau sampai bertemu Datuk Susu Tigo, kalian harus
berhati-hati. Dia tidak suka dan selalu curiga pada orang asing..."
"Siapa itu Datuk Susu Tigo?" tanya Wiro.
"Guru Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang. Orang sakti itu sesuai namanya punya
tiga bua susu. Konon jika ada orang yang sanggup menghisap ke tiga susunya maka
separuh dari ilmu kesaktiannya akan diberikannya pada orang itu." Malin Kapuyuak
berpaling pada Denok Tuba Biru. "Uni Gapuak, kau mau mencoba menghisap tiga susu
Datuk itu?"
"Sialan! Kau saja duluan!" jawab Denok Tuba Biru dengan wajah jengkel bersungut-
sungut. Tangan diulurkan siap hendak menjitak lagi kepala Malin Kapuyuak.
Raja Pedang 14 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Gerombolan Setan Merah 2
^