Roh Jemputan 2
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan Bagian 2
"Mengambil benda yang bukan milik kita namanya mencuri. Jika me-
maksa maka namanya merampas! Batu putih segitiga hanya akan diserahkan pada
orang yang telah ditunjuk Para Dewa demi untuk menye-
lamatkan Mataram..."
WIRO SABLENG 8 ROH JEMPUTAN INTO GENDENG jadi tambah marah mende-
ngar ucapan Mayat Aneh Keempat. Tongkat Sdi tangan kanan terus dihantamkan ke
kepala mahluk yang terbaring di tanah itu. Malah tenaga dalam dilipatgandakan
hingga tongkat me-
mijar cahaya kecoklatan. Melihat perbuatan sang guru Wiro bertindak cepat. Dia
segera memegang tangan kanan Sinto Gendeng seraya berkata.
"Nek, kenapa kau jadi kalap tak karuan" Apa Eyang lupa penjelasan mahluk gaib
bernama Swa- ra Pancala yang tadi masuk ke dalam tubuh Ni Gatri" Eyang tidak ingat apa
barusan yang dikata-
kan mahluk ini... Aku yakin, Nek. Mahluk inilah orang yang dimaksud Swara
Pancala, yang akan datang menemui kita membawa sebuah benda dan menyerahkan
benda itu padaku..."
Seolah sadar Sinto Gendeng bersurut mundur.
Nenek ini berulang kali golengkan kepala lalu tegak bersandar ke sebatang pohon.
"Anak muda, cepat kau ambil batu putih segi-
tiga yang ada di tangan kananku. Aku yakin kau-
lah orang yang dimaksud Para Dewa di Bhumi Mataram..."
"Memangnya ada kejadian apa di Bhumi Mata-
ram?" Tanya Wiro. Dia belum mau mengambil batu segitiga putih.
Mayat Keempat lalu menuturkan malapetaka dahsyat yang telah menimpa Kerajaan
Mataram, Raja dan rakyatnya.
"Kalau kau tidak mau mengambil batu ini, berarti kau tidak berkehendak menolong.
Jika kau tidak memiliki hati nurani untuk menolong maka besok pagi korban mulai
berjatuhan. Sebelum matahari terbit lagi keesokan hari, semua yang hidup di
Mataram mungkin sudah menemui
kematian termasuk Sri Maharaja Rakai Kayu-
wangi..." Wiro menggaruk kepala. Berpaling pada sang guru yang tegak bersandar ke pohon.
Sinto Gen- deng diam saja. Dia menoleh pada Ni Gatri. Anak ini membuka mulut. Tapi yang
terdengar adalah suara anak kecil laki-laki.
"Raja Mataram adalah sepuh dari Raja yang ada di tanah Jawa sekarang. Rakyat
Mataram adalah nenek moyang rakyat yang hidup di zaman ini. Tidakkah ikatan
batin bisa mengetuk pintu hati untuk minta pertolongan?"
"Anak lelaki yang bicara dalam tubuh Ni Gatri, kau siapa?" Wiro bertanya.
"Jika tali budi kita memang akan saling bersen-
tuh dan berkaitan, jika Yang Maha Kuasa meng-
hendaki kelak kita akan bertemu di Kerajaan Mataram Kuna..."
Perlahan-lahan Wiro ulurkan tangan kanan mengambil batu putih berbentuk
segitiga. Tidak seperti ketika hendak dirampas oleh Sinto Gen-
deng, batu putih itu sama sekali tidak mengelu-
arkan cahaya putih panas. Sebaliknya di dalam tangan Wiro batu itu memancarkan
cahaya lembut yang di dalam gelap cukup terang hingga Wiro dapat melihat guratan
angka pada masing-masing ujung batu.
"Aneh, batu putih berbentuk segitiga. Datang dari alam delapanratus silam.
Bagaimana bisa ada guratan tiga angka" Dua satu dua." Murid Sinto Gendeng
berpikir. "Anak muda. Angka Dua Satu Dua itu, benar-
kah ada kaitannya dengan dirimu?" Mayat Aneh Keempat bertanya.
Wiro perhatikan batu segitiga putih. Sambil diperhatikan jari-jari tangannya
mengusap batu. Makin diusap tubuhnya terasa sejuk dan bertam-
bah enteng. "Angka Dua Satu Dua memang ada sangkut
pautnya dengan diriku," Wiro memberi tahu.
"Aku tidak mampu melihat. Tapi kata orang yang tahu, di dalam tubuhmu tersimpan
sebuah senjata sakti mandraguna. Betulkah itu... ?"
Murid Sinto Gendeng jadi terkesima.
"Anak muda, kau berdusta sekalipun aku tidak akan tahu." Kata Mayat Aneh Keempat
lalu sung- gingkan senyum. Kemudian dua tangannya dite-
kapkan ke bagian bawah perut. Dari jauh Sinto Gendeng memperhatikan hal ini.
Dalam hati dia menggerendeng.
"Mayat edan! Mengapa sekarang memegang
itunya segala" Jangan-jangan dia mau membuka balutan kain putih. Mau
memperlihatkan..."
"Nek, auratku buruk. Tidak ada yang bagus dan pantas diperlihatkanl" Tiba-tiba
Mayat Aneh Keempat berkata, ditujukan pada Sinto Gendeng.
Habis berkata mahluk ini tertawa cekikikan.
Serrr!Si nenek sampai terkencing mendengar ucapan itu lalu cepat-cepat membuang
muka, me- mandang ke jurusan lain sambil membatin. "Gelo!
Bagaimana mahluk sialan itu tahu kalau aku bicara dalam hati merasani
dirinya..."
"Aku rasa tugasku sudah selesai." Kata Mayat Aneh Keempat pada Pendekar 212.
"Anak muda, aku bersyukur telah menemuimu."
"Aku ada pertanyaan. Apa yang akan aku laku-
kan dengan batu ini?" Bertanya Wiro.
"Ah, untung kau mengingatkan. Aku sudah pelupa rupanya. Maklum otak dan pikiran
mayat seperti diriku tidak seampuh manusia seperti diri-
mu. Hik... hik..." Setelah tertawa Mayat Aneh Kee-
mpat meneruskan ucapan. "Aku hanya sekedar menambahkan penjelasan yang telah kau
terima dari seseorang yang datang menemuimu sebelum-
nya. Bila kau sudah sampai di Bhumi Mataram dan bertemu dengan Sri Maharaja
Rakai Kayu- wangi maka kau harus memperlihatkan batu ter-
sebut pada Raja. Sebagai pertanda bahwa memang kaulah adanya orang yang
dipercayakan akan dapat menyelamatkan Kerajaan dari malapetaka yang sedang
menimpa. Aku meminta, setelah aku meninggalkan tempat ini kau harus segera me-
nunggangi kuda lumping. Dia akan membawamu dalam kecepatan kilat menemui Sri
Maharaja."
"Di alam delapanratus silam?" Tanya Wiro.
"Betul," jawab Mayat Aneh Keempat. "Ada sesu-
atu yang merisaukanmu" Mungkin kau kawatir di alam sana tidak ada anak gadis
yang cantik"
Maaf, aku tidak mengatakan kalau kau ini seorang pemuda mata keranjang. Hik...
hik... hik!"
Wiro pencongkan mulut lalu tersenyum tapi tak menjawab, hanya menggaruk kepala.
"Delapanratus tahun silam tidak ada artinya.
Bukankah kau pernah masuk dan berada cukup lama di alam yang lebih jauh, di alam
seribu dua ratus tahun silam?"
Wiro tercengang. "Bagaimana kau mengetahui riwayatku?"
Mayat Aneh Keempat tertawa. "Aku sudah
hampir seribu limaratus tahun jadi mayat. Apa yang terjadi selama kurun waktu
itu pasti tidak luput dari pengetahuanku dan tiga saudaraku..."
"Jadi kau ternyata punya tiga saudara?" tanya Wiro. "Di mana mereka?"
"Di alam delapanratus tahun silam. Kelak kau akan bertemu dengan mereka..."
Jawab Mayat Aneh Keempat.
"Seribu lima ratus tahun jadi mayat! Bagaima-
na mungkin keadaanmu masih seperti ini" Tidak busuk dan tidak rusak! Malah
muncul masih bisa bicara dan bergurau! Heh"!"
"Kalau Yang Maha Kuasa melakukan sesuatu, apa anehnya" Apa kau mau aku doakan
jika kau mati nanti bisa jadi mayat seribu lima ratus atau mungkin malah dua
ribu tahun?"
"Tobat!" Wiro mundur beberapa langkah. Kepa-
la digeleng tangan kiri kanan digoyang.
"Mayat Aneh, kenapa kau hampir selalu menu-
tupi kemaluanmu dengan kedua tangan?" Tiba-tiba Sinto Gendeng bertanya.
Mahluk yang ditanya tertawa lebar. Lalu men-
jawab. "Kemaluan yang tidak dipelihara adalah salah satu pangkal sebab seorang
insan menemui malapetaka dalam kehidupannya. Kau pasti tahu maksudku Nek."
Air muka keriput berkulit tipis Sinto Gendeng tampak berubah. Mulut komat kamit
mengunyah susur. "Mahluk aneh, apakah aku boleh mene-
mani muridku dalam perjalanan ke Mataram?"
Sinto Gendeng kembali ajukan pertanyaan.
Wiro menoleh menatap sang guru. Dalam hati dia berkata. "Nek, jangan-jangan kau
bukan cuma sekedar menemaniku. Tapi mau ketemu kakek gagah berjubah kelabu
itu..." Mayat Aneh Keempat yang sampai saat itu masih terbujur menelentang di tanah
palingkan kepala ke arah si nenek. Lalu menjawab.
"Tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang melarang. Tapi kau lihat sendiri, kuda
lumping itu terlalu kecil untuk ditunggangi dua orang."
Sinto Gendeng terdiam. Dia maklum orang menolak keikutannya bersama Wiro secara
halus. Mayat Aneh Keempat berpaling pada Ni Gatri.
Mulut tersenyum dan mata dikedip-kedipkan.
"Aku puya firasat anak perempuan itu mungkin diperlukan di Bhumi Mataram. Anak
muda, tak ada salahnya kau membawa serta anak itu. Kau bisa memangku atau
menggendongnya di pung-
gung." "Curang!" Sinto Gendeng berteriak. "Kalau anak perempuan hijau bau kencur itu
boleh pergi ber-
sama muridku mengapa aku yang sudah bangko-
tan dan bau pesing tidak"!"
Habis berteriak Sinto Gendeng langsung me-
lompat ke arah kuda lumping lalu dengan cepat duduk di atas punggungnya.
"Kuda lumping! Bawa aku ke Kerajaan Mataram Kuna. Kerajaan delapanratus tahun
silam!" Si nenek berteriak.
Begitu merasa ada orang mencemplak pung-
gungnya dan mendengar suara teriakan, kuda lumping terbuat dari kajang bambu itu
mengepul- kan asap. Debu beterbangan membuat udara bertambah kelam di dalam rimba.
"Nek! Eyang!" teriak Wiro ketika melihat bagai-
mana kuda lumping yang ditunggangi gurunya perlahan-lahan bergerak ke atas.
Tidak pikir panjang lagi Wiro segera memburu.
"Kakak! Aku ikut!" Ni Gatri berteriak lalu cepat mengejar.
Wiro terkesiap sejenak, berpikir. Dia ingat kata-kata Mayat Aneh Keempat tadi.
Buru-buru Wiro simpan batu segitiga putih di balik pakaian lalu berbalik ke arah
Ni Gatri dan menarik tangan anak ini. Wiro melompat ke arah kuda lumping dan
berhasil memagut pinggang Sinto Gendeng tepat pada saat kuda lumping melesat ke
udara, menembus kegelapan malam rimba belantara dan lenyap di langit kelam.
"Kakak, Gatri mau muntah. Bau pesing..." Bisik Ni Gatri yang tidak tahan mencium
bau tubuh dan pakaian Sinto Gendeng yang bau pesing. Apalagi Wiro yang
bergelantungan lebih dekat dengan Sin-
to Gendeng, mencium bau itu Iebih keras dan lebih parah lagi. Sang pendekar
hanya bisa mang-
gut-manggut perlahan dan mesem-mesem sambil menahan nafas mendengar ucapan Ni
Gatri. "Anak-anak setan! Kalian kira aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan"!" Di
sebelah depan Sinto Gendeng berteriak. Lalu tongkat kanannya digebukkan ke
pinggul kuda lumping. Wusss!
Asap tebal mengepul di bagian bawah kuda lumping. Sang tunggangan melesat
laksana kilat. Di satu tempat tiba-tiba Kuda lumping menukik ke bawah sambil membuat gerakan
berputar sebat.
Begitu kencangnya tukik dan putaran kuda lum-
ping, pegangan Wiro terlepas dari pinggang Sinto Gendeng. Cekalannya pada tangan
kanan Ni Gatri yang bergelung di lehernya juga lepas. Akibatnya sementara Sinto
Gendeng melesat deras ke arah utara bersama kuda lumping yang ditunggangi, Wiro
dan Ni Gatri berpelantingan di udara. Satu ke barat, satu ke selatan. Untungnya
daratan hanya tinggal pada ketinggian dua langkah saja.
*** Hanya beberapa saat setelah kuda lumping
membawa ketiga orang itu melesat ke langit, tiba-tiba dari dalam tanah mencuat
keluar satu sosok bugil hitam tinggi besar berperut buncit. Kepala botak
bercula. Sepuluh kuku tangan panjang ber-
warna merah. Sepasang mata merah dan tampak menyala
dalam kegelapan. Pada cuping hidung sebelah kiri mencantel sebuah anting-anting
bulat terbuat dari batu hitam. Walaupun bugil namun bagian bawah perut mahluk
ini licin hingga tidak bisa diduga apakah dia lelaki atau perempuan. Ketika dia
me- nyeringai, dari mulut yang terbuka menjulur lidah panjang menjulai sampai ke
tanah. Dengan ujung lidahnya mahluk ini menyapu permukaan tanah, menjilat batang
pepohonan. Dari tenggorokannya kemudian keluar suara menggereng seperti harimau.
"Aku bisa merasakan. Aku bisa mencium.
Manusia yang katanya mampu menangkal mala-
petaka itu tadi ada di sini. Ada dua orang lain bersamanya. Aku terlambat.
Mengapa Raja Dukun Batu Berlumut Jambal Ungu baru memberi tahu setelah sang
surya tenggelam. Lalu pergi begitu saja. Katanya menemui Sinuhun..."
Tiba-tiba terdengar suara pekik riuh membun-
cah rimba belantara. Tak lama kemudian dari dalam tanah puluhan mahluk yang sama
ujudnya dengan mahluk tadi yang pertama kali melesat keluar. Bedanya yang
sembilan puluh sembilan ini tidak memakai anting-anting batu di hidung. Rim-
ba belantara jadi sesak oleh mahluk-mahluk me-
ngerikan itu. Yang baru datang berjumlah sem-
bilan puluh sembilan. Ditambah yang datang duluan berarti seratus mahluk! Mereka
bukan lain adalah Seratus Jin Perut Bumi!
"Kita terlambat! Mereka sudah keburu pergi!"
Berkata mahluk bugil hitam pertama pada pulu-
han mahluk yang berdiri di sekitarnya yang rupa-
nya adalah anak buahnya.
"Ketua, kalau begitu kita cepat kembali ke Mataram!" Seorang Jin Perut Bumi
berkata. "Betul. Kita hadang orang itu di atas Bhumi Mataram. Mulai dari langit ke satu
sampai ke tujuh. Masakan bisa tembus!" Jin Perut Bumi yang lain ikut bicara.
Yang bertindak sebagai pimpinan dan dipanggil Ketua berkata. "Tugas kita sudah
ditentukan. Kita tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku harus tunduk dan
menemui Sinuhun lebih dulu untuk mendapat petunjuk. Baru melakukan apa yang
diperintahkannya. Lagi pula aku mendengar kabar ada serombongan orang
kepercayaan Jun-
jungan..."
Sang Ketua tidak meneruskan ucapan. Sekian banyak anak buahnya tidak ada yang
memperha- tikan. "Tapi bukankah Sinuhun sedang bersuka-suka dengan penasihat Raja Mataram yang
bernama Ratu Randang itu" Junjungan mengetahui hal itu, pasti Junjungan sudah
memberi izin." Menyeletuk Jin Perut Bumi yang berdiri sambil berkacak ping-
gang. "Kurasa saat ini Sinuhun sudah berada di puncak Gunung Merapi. Kita harus segera
menuju ke sana..." Jin Perut Bumi yang bertindak sebagai pimpinan mengambil
keputusan. "Mengapa harus ke puncak Gunung Merapi, Ketua?" Dua orang Jin perut Bumi
bertanya ham- pir berbarengan.
"Tidak perlu banyak tanya. Bersiap-siap saja menghadapi apa yang akan terjadi!"
Jawab sang Ketua.
Seratus Jin Perut Bumi di dalam rimba belan-
tara kemudian satukan dua telapak tangan di atas kepala. Lalu wusss! Hanya dalam
bilangan keja- pan mata saja semua mahluk itu amblas lenyap masuk ke dalam tanah. Rimba
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belantara yang dipagut kegelapan kini kembali sunyi seolah tidak ada sesuatu
terjadi di kawasan itu.
WIRO SABLENG 9 ROH JEMPUTAN ALAU sang surya masih jauh dari waktu-
nya tenggelam namun langit di atas bukit WKopeng tampak redup. Awan kelabu
menggantung sejak tengah hari. Di pelataran rusak dalam sebuah bangunan candi
setengah jadi karena pembuatannya tidak pernah tersele-
saikan, seorang berpenampilan aneh dan mengeri-
kan duduk mencangkung di hadapan potongan-potongan kayu sebanyak delapan buah
yang di- tancapkan ke lantai candi membentuk lingkaran.
Di dalam lingkaran potongan kayu terletak delapan keping besar kemenyan. Dari
mulut orang ini keluar suara meracau, agaknya tengah melafal mantera dan hanya
berhenti sesaat jika dia mema-
sukkan kepingan-kepingan kemenyan ke dalam mulut.
Orang yang duduk mencangkung di lantai
candi ini sulit diduga usianya karena wajahnya tertutup lumut tebal berwarna
ungu. Sepasang mata terletak bukan di bawah alis, tapi di atas alis. Telinga
kiri kanan masing-masing memiliki dua daun telinga. Rambut tebal ungu. Di kening
ada delapan benjolan merah mengepulkan asap.
Sekujur tubuh seperti mengenakan pakaian berge-
runjulan tapi sebenarnya tubuh itu ditumbuhi batu berlumut sebesar tinju
berwarna ungu. Inilah manusia bernama Jambal Ungu, bergelar Raja Dukun Batu
Berlumut. Menurut orang yang mengetahui riwayatnya, Jambal Ungu dulunya adalah seorang
Resi terke- nal dan sangat dekat hubungannya dengan Raja serta para penguasa di Bhumi
Mataram. Namun kutukan Dewa jatuh atas dirinya sewaktu dia terpikat oleh
kehidupan dunia, kemudian tersesat melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik
dan menguasai ilmu hitam termasuk santet.
Konon ilmu perdukunannya jauh lebih tinggi dari Eyang Dukun Umbut Watukura yang
selama ini membaktikan diri pada Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Apa
lagi dia dibantu oleh beberapa orang dukun yang juga rata-rata berkepandaian
tinggi. Itu salah satu sebab mengapa Eyang Dukun Umbut Watukura tidak mampu
menghadapi termasuk melenyapkan pe-
taka kelumpuhan, benjolan serta demam panas yang terjadi di Mataram.
Para Dewa menjatuhkan hukuman atas Eyang Dukun. Wajah dan tubuh Jambal Ungu
ditutup dengan batu berlumut berwarna ungu. Mata di-
pindah ke atas alis dan daun telinga ditambah menjadi empat. Berada dalam
keadaan kutuk seperti itu Jambal Ungu bukannya sadar, minta ampun dan bertobat
pada Yang Maha Kuasa, tapi malah kini berserikat dengan mahluk jahat yang telah
merencanakan Malam Jahanam di Kerajaan Mataram.
Saat itu sambil menunggu kedatangan sese-
orang, Jambal Ungu membaca mantera sementara sepasang mata memperhatikan lantai
candi yang dilingkari dengan tancapan delapan potong kayu.
Walau yang dihadapi lantai candi, namun yang terlihat oleh sepasang mata sang
dukun adalah kawasan alam gaib. Sesekali kening mengerenyit, mata membesar dan
empat daun telinga bergerak-gerak.
Kalau kemenyan di dalam mulut habis, dia mengambil kepingan kemenyan baru yang
tak boleh terputus untuk dikunyah.
Sekonyong-konyong, wusss!
Ada sambaran angin disertai larikan cahaya merah. Di lain kejap ujung delapan
potongan kayu yang menancap di lantai candi telah menyala hingga potongan-
potongan kayu itu menyerupai pelita, menerangi pelataran candi.
Jambal Ungu merasa lega. Perlahan-lahan bangkit berdiri. Astaga! Ternyata orang
yang diju- luki Raja Dukun ini bertubuh katai!
Baru saja Jambal Ungu meluruskan tubuh, di hadapannya berkelebat satu bayangan.
Di lain kejap di hadapan sang dukun telah berdiri seorang kakek mengenakan
belangkon dan pakaian merah.
Di bagian depan belangkon menempel sebuah bintang bersudut delapan terbuat dari
suasa. Alis, cambang bawuk, jenggot serta kumis termasuk rambut, juga sepasang
mata, semua berwarna merah. Di kening berderet delapan benjolan merah
mengepulkan asap. Seperti yang telah dituturkan, mahluk ini adalah Sinuhun Merah
Penghisap Arwah alias Ghama Karadipa , yang sebelumnya telah bertemu dan
bercinta dengan Ratu Randang.
"Puji syukur Sinuhun Merah bisa datang tepat pada waktunya," Jambal Ungu berucap
menyam- but kedatangan Sinuhun. Walau tertutup lumut tapi wajahnya jelas menunjukkan
rasa cemas. "Raja Dukun Batu Berlumut, waktu kita sema-
kin sempit. Belakangan ini sangat cepat dan banyak terjadi perubahan yang bisa
mengacaukan rencana kita. Aku sangat ingin melihat agar semua orang Mataram
termasuk Rakai Kayuwangi yang telah membantai ayah dan saudaraku, menemui ajal
setelah lebih dulu menderita sengsara. Agak-
nya kematian mereka harus dipercepat. Namun ada saja halangan jahanam yang
muncul. Raja Dukun, apa saja yang telah kau lihat dalam ling-
karan delapan batang kayu di lantai candi?"
"Ada beberapa hal yang mencemaskan saya walau terlihat agak samar," jawab Jambal
Ungu. "Pertama orang kepercayaan kita Sri Padmi Ka-
meswari alias Kunthi Pithaludra telah kembali ke ujud semula yaitu seekor anjing
betina. Dia mela-
kukan perselingkuhan bahkan melahirkan bayi pada saat hendak dibunuh. Semua
tugas yang diberikan padanya gagal. Saya tidak bisa menduga di mana dia sekarang
berada..."
"Kalaupun dia jadi debu, dia seharusnya datang menemuiku. Jika kelak aku
menjumpainya aku akan menjatuhkan hukuman yang lebih ga-
nas. Aku akan membuatnya bunting terus-terusan hingga menderita seumur-umur.
Raja Dukun, hal apa lagi yang kau lihat...?"
"Satria Lonceng Dewa, si anak keramat Mimba Purana..."
"Dia lagi!" tukas Sinuhun Merah dengan air muka berubah. "Teruskan bicaramu."
"Anak berusia dua belas tahun itu telah berte-
mu dengan Rakai Kayuwangi. Mereka menyusun beberapa rencana. Ada beberapa mahluk
alam gaib menolong mereka. Yang paling berbahaya adalah mereka membuat satu
rencana besar dan sangat rahasia untuk mendatangkan seorang ksa-
tria sakti mandraguna berasal dari alam delapan-
ratus tahun mendatang. Ada kabar yang saya terima bahwa ksatria itu menyimpan
sebuah sen- jata hebat di dalam tubuhnya. Senjata inilah yang harus kita rampas atau kalau
tidak ksatria itu dibunuh lebih dulu..."
"Kau sudah menjajagi siapa adanya ksatria itu?"
"Siapa namanya tidak mungkin saya ketahui.
Bahkan Raja Mataram dan Mimba Purana juga tidak tahu. Satu hal yang saya ketahui
paling lambat orang itu akan muncul di Bhumi Mataram sekitar tengah malam
nanti." "Apa"!" Sinuhun Merah tersentak kaget.
"Kurang ajar! Waktunya singkat sekali. Kita harus melakukan segala upaya untuk
mencegah..."
"Tentu saja Sinuhun. Saya telah merencanakan sesuatu. Ksatria itu harus
dihalangi dan dibunuh secepatnya dia menjejakkan kaki di Bhumi Mata-
ram." "Kau aku tugaskan untuk melakukan hal itu!"
Kata Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut terdiam sesaat lalu gelengkan kepala.
"Sinuhun Merah, saya tahu batas kemampuan saya. Ksatria Panggilan itu bukan
manusia sembarangan. Dari-
pada gagal dan mengecewakan Sinuhun kalau saya turun tangan sendiri maka saya
mengusul- kan..." "Raja Dukun Batu Berlumut! Kau dengan ke-
saktianmu mampu menjatuhkan Malam Jahanam hingga Bhumi Mataram dilanda banjir
air darah busuk! Sri Maharaja Mataram dan para pengikut-
nya yang sakti-sakti serta hampir semua orang yang ada di Bhumi Mataram menjadi
lumpuh, diserang demam panas serta terjangkit delapan benjolan di kepala.
Masakan melawan seorang kurcaci musuh yang belum diketahui juntrungan-
nya kau merasa takut..."
"Saya jauh dari takut Sinuhun. Namun perca-
yalah pada yang saya katakan. Selain itu Sinuhun harus tahu, ksatria yang akan
datang itu benar-benar bukan manusia sembarangan. Bukan bang-
sa kurcaci..."
"Aku tidak perduli! kau tetap harus mengha-
dapinya. Kalau perlu minta bantuan orang-orang sakti yang selama ini berserikat
dengan kita. Jika dikeroyok masakan dia tidak akan amblas!"
"Sinuhun Merah, maafkan saya. Saya tetap mengatakan tidak sanggup."
"Kau belum mencoba tapi sudah menyerah.
Kau tahu, aku bisa memecatmu sekarang juga dan jangan berani lagi memperlihatkan
tampangmu di hadapanku!"
Diancam seperti itu Raja Dukun Batu Berlumut balas mengancam sambil kepalkan
tinju tangan kanan dan diangkat di atas kepala.
"Kalau begitu keputusan Sinuhun Merah, saya memilih untuk bunuh diri sekarang
juga!" Tangan kanan sang dukun bergerak.
Sinuhun Merah tersentak kaget.
"Tunggu!" teriaknya lalu dengan cepat mence-
kal lengan kanan Raja Dukun yang nekad hendak mengepruk kepala sendiri! "Aku
percaya kita masih bisa bicara baik-baik. Mencari jalan. Apa yang ada
dibenakmu"!"
"Saya ingin Sinuhun tahu," kata Raja Dukun sambil turunkan tangan kanan.
"Delapan benjolan yang ada di kening semua orang yang ada di Mataram, termasuk
Rakai Kayuwangi sekarang hanya tinggal empat. Ini disebabkan Raja Mataram telah
berbuat satu kebajikan luar biasa besar. Dia tidak membunuh Sri Padmi Kameswari
ketika melahirkan anak anjingnya! Dan Sri Padmi Kameswari bertobat minta ampun
pada Para Dewa sambil mendoakan Raja dan rakyat Mataram..."
"Luar biasa! Sungguh gila! Anjing betina peng-
khianat!" Sinuhun Merah memperhatikan delapan ben-
jolan di kening sang Raja Dukun lalu meraba keningnya sendiri sambil menghitung.
"Aku lihat benjolan di keningmu masih tetap delapan. Yang di keningku juga tetap
delapan..."
"Sinuhun, kita bersama-sama menciptakan delapan benjolan itu. Yang ada pada diri
kita dan kawan-kawan merupakan kunci ilmu yang tidak akan lenyap sebelum Raja
dan rakyat Mataram menemui kematian! Kita tetap memantek mereka walau kini
benjolan di kening mereka hanya ting-
gal empat."
Sinuhun terdiam sejurus lalu berkata.
"Dalam waktu yang sangat singkat ini mungkin aku harus turun tangan lagi untuk
menghisap roh arwah orang-orang sakti. Aku sudah lama meng-
incar arwah Ketua dari Candi Miring. Aku sudah mengirim Ratu Randang untuk
menemui dan membujuknya. Raja Dukun, tadi kau mengatakan hendak mengusulkan
sesuatu padaku."
"Sinuhun, kita harus mempergunakan mahluk dari alam yang sama untuk menghadang
dan membunuh Ksatria Panggilan."
"Maksudmu?"
"Dari penglihatan saya, Ksatria Panggilan itu pernah membunuh seorang musuh
besarnya di alam kehidupannya. Namun sang musuh baru tewas setelah dihadang
beberapa tokoh berilmu tinggi lainnya. Jika orang itu hanya mampu dihabisi oleh
beberapa orang sakti, berarti dia memiliki kesaktian yang tidak berada di bawah
Ksatria Panggilan yang hendak didatangkan Rakai Kayuwangi dan Mimba Purana. Kita
pergunakan roh orang itu untuk menghadang dan membunuh Ksatria Panggilan..."
Sinuhun Merah Penghisap Arwah terkesiap lalu tertawa lebar.
"Hebat! Aku memuji kecerdikanmu Raja
Dukun. Soal menjemput roh musuh besar Ksatria Panggilan itu serahkan padaku. Aku
akan masuk ke alam delapanratus tahun mendatang. Kau bisa menjajaki di mana
pembunuhan atas musuh besar Ksatria Panggilan itu terjadi?"
Raja Dukun memandang ke lantai candi dalam lingkaran delapan batang kayu
menyala. Beberapa saat kemudian dia memberi tahu.
"Saya melihat tanda-tanda. Ada rimba belan-
tara terbakar di puncak gunung. Dari bentuk gunungnya saya mengira itu adalah
Gunung Merapi. Berarti tempat pembantaian itu terjadi di puncak Gunung Merapi.
Mudah-mudahan apa yang saya lihat tidak keliru."
"Aku yakin ilmu kesaktianmu tidak memb-
erikan petunjuk yang keliru. Hanya saja untuk memudahkan apakah ada kemungkinan
kau mengetahui nama orang itu atau tanda-tanda lain yang dimiliki dirinya?"
"Sulit Sinuhun. Kita tidak mungkin mengetahui siapa namanya seperti kita juga
tidak bisa menge-
tahui siapa nama Ksatria Panggilan. Namun saya akan mencoba lagi melihat ke alam
gaib..." Raja Dukun Batu Berlumut mengusap wajah ungunya beberapa kali lalu kembali
menatap ke arah lantai candi yang dilingkari delapan batang kayu menyala.
Setelah cukup lama menatap, sang dukun usap lagi wajahnya lalu angkat kepala.
"Kau mendapatkan petunjuk?" tanya Sinuhun Merah Penghisap Arwah tidak sabaran.
"Benar Sinuhun. Saya melihat sebuah benda.
Sepertinya sebuah lentera yang memancarkan cahaya tiga warna. Merah, hitam dan
kuning. Agaknya lentera ini pernah menjadi milik orang yang dibunuh itu. Mungkin
merupakan satu sen-
jata luar biasa..."
"Bagus!" ucap Sinuhun Merah sambil mene-
puk-nepuk bahu kiri Raja Dukun. "Sekarang kita berbagi tugas. Aku akan masuk ke
alam delapan- ratus tahun mendatang. Aku akan menghisap dan menjemput roh musuh besar Ksatria
Panggilan! Kau siapkan orang-orang kita di sekitar kaki selatan Gunung Merapi. Aku punya
firasat Ksatria Panggilan akan muncul pertama kali di kawasan itu. Jangan sampai
dia menghilang atau lolos sebelum aku membawa Ksatria Roh Jemputan!"
"Akan saya lakukan Sinuhun. Hanya saja
tidakkah kita harus terlebih dulu memberitahu semua ini pada Junjungan?"
Sinuhun hanya menjawab dengan tertawa
lebar. "Aku pergi sekarang. Awas, jangan sampai Ksatria Panggilan itu lolos. Kalau
perlu kau terap-
kan ilmu Tabir Langit Turun Ke Bumi yang telah aku ajarkan padamu. Sekali dia
menginjakkan kaki di satu tempat, dia tidak akan mampu berjalan lebih dari
seratus langkah!"
"Baik Sinuhun!" jawab Raja Dukun Batu Ber-
lumut Jambal Ungu. "Sebelum pergi izinkan saya melindungi diri Sinuhun dengan
ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan"
Sebenarnya Sinuhun tidak memerlukan ilmu itu. Namun dia tidak mau mengecewakan
anak buahnya. Maka begitu dia anggukkan kepala Raja Dukun Batu Berlumut angkat
dua tangan ke udara. Dua larik cahaya ungu melesat keluar.
Yang pertama memasuki tubuh Sinuhun dari bagian kepala, yang kedua memasuki dari
telapak kaki. Saat itu juga, jika ada orang lain di tempat itu maka dia tidak
akan dapat melihat sosok Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Setelah Sinuhun Merah Penghisap Arwah le-
nyap dari pemandangan untuk beberapa lamanya mahluk berwajah dan bertubuh
ditumbuhi batu-batu berlumut itu masih berdiri di tempat itu.
"Aku merasa heran. Ketika aku menyebut nama sang Junjungan, Sinuhun hanya
tertawa. Jangan-jangan apa yang dikisikkan Ketua Jin Seribu Perut Bumi padaku
tempo hari benar adanya. Bahwa Sinuhun itu sebenarnya..."
Raja Dukun Batu Berlumut Jambal Ungu men-
dadak merasa tengkuknya menjadi dingin. Dia tidak berani meneruskan ucapan kata
hatinya. WIRO SABLENG 10 ROH JEMPUTAN ANYA dalam bilangan kilatan cahaya,
Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hberada di sekitar puncak Gunung Merapi.
Saat itu mentari penerang jagat siap masuk ke ufuk tenggelam, meninggalkan
sapuan cahaya benderang merah kekuningan di langit sebelah barat.
"Waktu berlalu sangat cepat. Sebelum sang surya tenggelam aku harus sudah bisa
berhubu- ngan dengan Ksatria Roh Jemputan itu. Kalau tidak bisa terlambat. Bisa
keduluan!" Sinuhun Merah berucap dalam hati. Lalu dia mengelilingi puncak gunung
satu kali. Akhirnya dia menemu-
kan satu tempat yang baik untuk mulai memasuki alam gaib delapanratus tahun
mendatang. Tempat itu adalah bagian rata sebatang pohon jati tua yang putus
disambar petir.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah duduk bersila di atas pohon. Dua tangan diletakkan
di atas dada. Mata dipejam dan perlahan-lahan mulut dibuka. Dari dalam mulut
menjulur lidah merah pekat. Lidah bergerak keluar makin lama makin panjang,
melibat sekujur tubuh Sinuhun mulai dari bahu sampai ke kaki. Untuk beberapa
lama mulutnya tampak komat-kamit mengeluarkan suara bergumam yang tidak jelas.
Tiba-tiba suasana di tempat itu menjadi sunyi senyap, lengang bahkan suara
siuran anginpun tidak lagi terdengar. Saat itulah Sinuhun Merah berucap
perlahan. "Mahluk alam roh, yang aku tidak tahu
namanya, tapi yang akan aku kenal sebagai Ksatria Roh Jemputan, yang tewas
dibunuh secara keji oleh para pengeroyok pengecut. Yang peristi-
wanya terjadi di masa delapanratus tahun menda-
tang di puncak Gunung Merapi ini. Sudilah datang menemui diriku. Aku Sinuhun
Merah Penghisap Arwah memanggilmu agar kau muncul di Bhumi Mataram untuk
membalas dendam kesumat atas musuh besarmu yang aku sebut dengan nama Ksatria
Panggilan. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, malam akan datang. Sebelum
sang surya menghilang aku mohon kau sudah berada di hadapanku..." Begitu ucapan
Sinuhun Merah berakhir, delapan benjolan merah di kening pan-
carkan cahaya terang. Lidah panjang yang meng-
gulung sekujur tubuhnya bergulung membuka.
Ketika ujung lidah terakhir masuk ke dalam mulut, Sinuhun Merah hirup udara
dalam-dalam lalu mulutnya menghisap keras.
Wusss! Pepohonan besar di sekitar tempat itu ber-
goyang keras berderak-derak. Pohon-pohon kecil dan semak belukar tercabut dari
akarnya, melesat ke udara. Debu, pasir dan tanah menghambur ke atas hingga untuk
beberapa lama keadaan menja-
di gelap. Dalam keadaan seperti itu terdengar suara hiruk pikuk jeritan dari
mahluk yang tidak kelihatan yang jumlahnya mungkin puluhan.
Suara pekik jerit itu ada yang datang dari atas langit, ada yang keluar dari
dalam tanah! Tiba-tiba tanah di bawah pohon jati bergetar keras dan terbelah. Dari celah
belahan, didahului suara tawa cekikikan panjang melesat keluar satu sosok
perempuan menebar bau harum.
Karuan saja Sinuhun Merah Penghisap Arwah jadi tersentak kaget luar biasa.
Tengkuk terasa dingin. Dia menghisap dan menyedot sekali lagi.
Namun sosok di depannya tetap tidak berubah, bahkan lemparkan senyuman ke
arahnya! Saat itu Sinuhun tidak lagi mempergunakan ilmu Insan Berjalan Tanpa
Bayangan yang diterapkan Raja Dukun Batu Berlumut hingga sosoknya terlihat
seperti biasa. "Yang aku hisap arwah lelaki. Mengapa seka-
rang muncul roh perempuan"! Jangan-jangan ada kesalahan ketika mengucap mantera.
Siapa mah- luk ini"!"
Kejut Sinuhun Merah perlahan-lahan
mengendur bilamana dia memperhatikan sosok roh di hadapannya.
Roh perempuan yang muncul berwajah cantik, tidak tertandingi oleh Ratu Randang,
perempuan yang selama ini menjadi kekasih dan diperguna-
kan ilmu kepandaiannya untuk membantu diri-
nya. Pakaian panjang yang dikenakan terbuat dari sutera halus berwana hijau.
Tubuh dan pakaian menebar bau harum semerbak yang bisa meng-
goncang darah lelaki. Rambut hitam berkilat di-
gerai lepas di belakang punggung. Di sebelah depan kepala bertengger sebuah
mahkota kecil dari emas dengan ukiran berbentuk kepala ular dengan sepasang mata
terbuat dari permata hijau bersinar.
Sepasang mata Sinuhun Merah mengerenyit ketika dia melihat dari balik perut
pakaian roh perempuan itu menyembul keluar seekor ular besar hitam berkepala
putih, meliuk-liuk di permukaan pusar! Lalu lenyap kembali masuk ke dalam perut!
"Roh perempuan cantik, apakah kau datang dari alam delapanratus tahun
mendatang?" Sinu-
hun Merah ajukan pertanyaan.
"Betul sekali." Yang ditanya menjawab pendek.
Mulut masih merekah senyum.
"Aku... aku tidak merasa memanggilmu." Ber-
kata lagi Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sepasang alis kereng hitam perempuan cantik mencuat ke atas. Kepala diangkat
sedikit lalu mulut keluarkan tawa renyah.
"Kau membaca mantera memanggil roh. Ratu-
san roh berebut keluar dari alam gaib. Namun hanya aku sendiri yang mampu hadir
di hadapan- mu. Adalah aneh kalau kau kini berkata tidak memanggil diriku..."
"Demi Dewa Bhatara Agung..."
"Jangan menyebut nama Dewa untuk peker-
jaan keji yang sedang kau lakukan!" Perempuan berpakaian sutera hijau memotong
ucapan Sinu- hun yang membuat Sinuhun tersentak kaget.
Kini ada rasa curiga juga waspada dalam dirinya. "Roh dari alam delapanratus
tahun men- datang. Jika aku kesalahan telah memanggilmu harap dimaafkan. Aku mohon kau
segera kembali ke alammu." Berkata Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Mendengar ucapan Sinuhun Merah si cantik berpakaian sutera hijau kembali
tertawa. "Aku akan kembali ke alamku asal saja kau ikut mengantar!"
"Apa"! Maaf hal itu tak mungkin aku lakukan."
Jawab Sinuhun Merah.
"Kalau begitu apa perlunya menyesalkan keha-
diranku di sini" Suatu ketika kau akan memer-
lukan diriku. Mungkin untuk berbagi ilmu, Mung-
kin juga untuk berbagi cinta. Hik... hik.. hik..."
Setelah mengumbar tawa panjang roh perem-
puan cantik yang dari perutnya tadi menyembul keluar ular hitam kepala putih
lambaikan tangan lalu melesat ke udara. Sinuhun Merah Penghisap Arwah berusaha
mencegat dengan melompat pula ke udara. Mulut dan hidung menghisap berba-
rengan. Namun sia-sia saja. Si cantik bermahkota itu telah lenyap di atas langit
Bhumi Mataram. Sinuhun Merah tertegun merenung.
"Mahluk perempuan itu. Aku akan menemui-
nya lagi! Pasti! Siapapun dia mungkin aku bisa memanfaatkan diri dan ilmu
kesaktiannya. Pen-
ampilannya garang. Tapi kecantikan wajahnya...
Astaga, apakah aku telah tertarik pada dirinya?"
WIRO SABLENG 11 ROH JEMPUTAN INUHUN Merah Penghisap Arwah melayang
turun dan duduk kembali bersila di atas Sbatangan pohon jati. "Bagaimana mungkin
bisa terjadi kekeliruan. Mahluk perempuan tadi.
Bisa jadi dia salah seorang yang juga pernah di-
bantai beramai-ramai di sekitar kawasan ini. Ka-
lau dia berada di pihakku mungkin ada baiknya.
Tapi kalau dia hendak mengacaukan semua ren-
canaku yang hampir rampung ini, benar-benar celaka! Gerak-geriknya, walau cantik
agaknya dia bukan roh baik-baik. Apalagi membekal seekor ular di dalam perut!
Aneh! Apa yang terjadi" Baru sekali ini kejadian seperti ini. Mungkin ada
sesuatu yang terlupa aku ucapkan di dalam mantera?"
Dari atas pohon tinggi Sinuhun Merah coba mengingat-ingat sambil memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Di timur cahaya benderang merah kekuningan sang surya
mulai memudar pertanda siap memasuki ufuk tenggelamnya. Tiba-tiba Sinuhun Merah
ingat. Tampangnya berubah.
"Memang, ada sesuatu yang terlupa. Senjata sang Roh Jemputan. Aku tadi tidak
menyebutkan. Aku tidak melafal dalam mantera. Aku harus mengulang mantera..."
Lalu seperti tadi tangan segera didekapkan ke dada. Mata dipejam, mulut dibuka.
Dari dalam mulut ini kembali keluar lidah merah, bergulung panjang membelit
sekujur tubuhnya. Mulut kemu-
dian mengeluarkan suara bergumam panjang.
Kesunyi-senyapan serta merta menggantung di seantero kawasan.
Sinuhun Merah berkata perlahan. Mengulang mantera. Kali ini dalam ucapan yang
lebih lengkap. "Mahluk alam roh, yang aku tidak tahu nama, tapi yang aku kenal
sebagai Ksatria Roh Jemputan, yang tewas dibunuh secara keji oleh para
pengeroyok pengecut. Yang peristiwanya ter-
jadi di masa delapanratus tahun mendatang di puncak Gunung Merapi ini. Yang
dikabarkan memiliki sebuah senjata sakti mandraguna berupa Lentera yang mampu
memancarkan tiga cahaya berwarna merah, kuning dan hitam. Sudilah da-
tang menemui diriku. Aku Sinuhun Merah Peng-
hisap Arwah, ingin bersahabat denganmu, ingin kau muncul di Bhumi Mataram untuk
membalas dendam kesumat atas musuh besarmu yang aku sebut dengan nama Ksatria
Panggilan. Sebentar lagi matahari akan segera tenggelam. Siang ber-
ganti malam. Sebelum sang surya menghilang aku mohon kau sudah berada di
hadapanku."
Delapan benjolan yang ada di kening Sinuhun Merah memancar terang. Lidah panjang
yang menggulung tubuh membuka dan masuk kembali ke dalam mulut. Sinuhun Merah
hirup udara dalam-dalam lalu mulut menghisap keras.
Wuss! Untuk kedua kalinya pepohonan di tempat itu bergoyang dan berderak. Daun-daun
berguguran. Rerantingan patah beterbangan. Semak belukar menghambur ke udara bersama pasir,
tanah dan debu. Udara serta merta menjadi gelap. Apa lagi saat itu sang surya
telah masuk ke ufuk teng-
gelamnya. Suara jerit pekik menggelegar dari langit dan dari dalam tanah. Bumi
bergetar, lebih dahsyat dari yang terjadi sebelumnya.
Kalau sebelumnya tanah di depan pohon jati tua mencuat terbelah, kini tanah di
samping kanan yang menguak lebar. Didahului suara ben-
takan lantang serta sambaran tiga cahaya merah, kuning dan hitam, dari dalam
tanah yang terbelah melesat keluar satu sosok tinggi besar seorang berpakaian
dan bermantel hitam di punggung.
Pada dada pakaian ada gambar biru puncak Gu-
nung Merapi dengan latar belakang matahari ber-
warna merah membersitkan garis cahaya merah.
Di kening terikat secarik kain berwarna merah.
Pemuda dari alam roh ini menatap ke arah Sinuhun Merah sebentar lalu dongakkan
kepala dan umbar tawa bergelak yang membuat tanah bergetar dan pohon jati yang
diduduki Sinuhun bergoyang keras.
"Tenaga dalamnya luar biasa. Dasar dari ilmu kesaktian tinggi. Kali ini tidak
keliru. Dialah Roh Jemputan dari alam delapanratus tahun menda-
tang. Tapi aku melihat ada bayangan keangkuhan dan kekerasan di wajahnya."
Membatin Sinuhun Merah.
"Mahluk alam roh yang berasal dari masa dela-
panratus tahun mendatang. Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa bersyukur dan
mengu- capkan terima kasih kau sudah sudi datang menemuiku. Aku akan memanggilmu dengan
sebutan Ksatria Roh Jemputan. Namun aku minta terlebih dulu kau mau menerangkan
siapa dirimu sebenarnya. Setelah itu kau ikut bersamaku untuk menghadang dan
membunuh seseorang yang datang dari alam yang sama dengan dirimu, yang aku sebut
sebagai Ksatria Panggilan..."
Pemuda di bawah pohon kembali menatap
Sinuhun Merah, setelah tertawa panjang dia baru membuka mulut.
"Mahluk mengaku bernama Sinuhun Merah
Penghisap Arwah, kau memanggil aku dari alam gaib. Tapi kau tidak tahu siapa
diriku. Sungguh edan!"
Telinga Sinuhun Merah berdesing panas men-
dengar dirinya dimaki edan. Namun dia berusaha mempersabar diri.
"Aku mohon maaf. Harap..." Ucapan Sinuhun Merah dipotong dengan bentakan.
"Mahluk merah di atas pohon buntung! Kalau kau ingin meneruskan bicara denganku
turunlah ke tanah. Tidak pantas mahluk buruk seperti dirimu bicara denganku dari
atas pohon!"
Sinuhun Merah Penghisap Darah langsung ber-
ubah tampangnya. Dalam hati dia menggeram.
"Mahluk sombong, aku akan memberi pelajaran padamu! Kalau saja aku tidak
membutuhkanmu sudah kulumat tubuhmu saat ini juga!"
Dengan gerakan cepat dan ringan Sinuhun Merah melompat turun dari atas pohon.
Begitu berdiri berhadap-hadapan ternyata tinggi Sinuhun Merah hanya sampai
sepundak sang Roh Jem-
putan. "Mahluk merah, kau mendatangkan diriku dari alam gaib delapanratus mendatang,
katakan apa keinginanmu?"
"Aku akan memperlakukan dirimu dengan
segala hormat dan menyebut dirimu dengan nama Ksatria Roh Jemputan. Membawamu ke
Bhumi Mataram untuk membunuh satu Roh Panggilan yang juga berasal dari alam yang
sama seperti dirimu..."
"Mengapa aku harus membunuh Roh Panggilan itu?"
"Karena dia adalah musuh besar yang telah membunuhmu bersama beberapa tokoh
rimba persilatan lainnya. Kau membalas dendam sakit hatimu, sekaligus memberi
bantuan pada diriku."
"Siapa musuh besar yang kaumaksudkan?"
"Aku tidak tahu namanya. Ujudnya akan segera muncul malam ini juga di Bhumi
Mataram." "Menolongmu urusan kecil bagiku. Tapi imba-
lan apa yang akan kau berikan padaku?"
Sinuhun Merah terdiam. Dia semakin merasa-
kan keangkuhan dan kecerdikan yang memuak-
kan dalam diri Roh Jemputan ini. Setelah berpikir sejenak akhirnya Sinuhun
Menjawab. "Ksatria Roh Jemputan, kau saja yang menga-
takan apa imbalan yang kau inginkan."
"Begitu...?" Mahluk alam roh yang disebut Ksatria Roh Jemputan menyeringai lalu
tertawa bergelak. "Baiklah, aku akan mengatakan imbalan apa yang aku minta.
Sinuhun Merah, aku minta aku diberi hak dan kesempatan untuk mendirikan Partai
Bendera Darah di Bhumi Mataram. Partai ini kelak akan menguasai dunia nyata dan
alam gaib. Kau akan menjadi salah seorang pemban-
tuku. Berarti mulai saat ini kau harus tunduk padaku!"
Kejut Sinuhun Merah Penghisap Darah bukan alang-kepalang. Darahnya serasa
mendidih terba-
kar amarah. Delapan benjolan merah memancar terang. "Jahanam kurang ajar! Aku
yang memang- gilnya datang ke Bhumi Mataram. Sekarang aku pula yang harus tunduk padanya!
Mahluk jaha- nam tidak tahu diri ini harus aku hajar sekarang juga!" Kata Sinuhun Merah dalam
hati. Amarah- nya sudah meledak di kepala. Kaki kanan dihen-
takkan ke tanah. Tinju kanan dipukulkan ke langit. Kejap itu juga delapan larik
sinar merah berkiblat di udara, dan delapan lagi menderu di tanah. Masing-masing
delapan larik sinar merah ini laksana kilat masuk ke dalam tubuh Roh Jemputan
lewat kepala dan kaki!
Dalam kejutnya Roh Jemputan tidak sempat berbuat apa-apa.
Dess! Dess! Sosok tinggi besar Roh Jemputan bergoncang dua kali. Asap mengepul. Di keningnya
muncul delapan benjolan merah! Merasa ada hawa panas di kepala, Roh Jemputan
meraba keningnya. Dia terkejut ketika merasa ada delapan benjolan. Se-
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasang mata mahluk ini membeliak besar. Rahang menggembung. Mulut siap melabrak.
Namun Sinuhun yang diam-diam telah merapal mantera mendahului menghardik.
"Roh Jemputan! Kesombonganmu tidak berlaku di hadapanku! Mulai saat ini kau
harus tunduk padaku! Aku akan mengendalikan dirimu dan memberikan setiap
perintah yang harus kau patuhi! Sekarang berlututlah di hadapanku! Jika kau
menolak aku akan membuat kau tidak kem-
bali ke alammu untuk selama-lamanya. Rohmu akan berkeliaran tak karuan,
tergantung antara bumi dan langit. Tunduk dan berlutut!"
Aneh! Saat itu juga Roh Jemputan yang tadi bersikap garang perlahan-lahan
menekuk sepa- sang kaki lalu berlutut di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
"Nyatakan kepatuhanmu dengan sumpah!"
Bentak Sinuhun Merah.
"Mulai saat ini aku bersumpah tunduk dan patuh padamu Sinuhun Merah Penghisap
Arwah." Sinuhun Merah tertawa bergelak.
"Sekarang berdiri dan katakan roh siapa dirimu sebenarnya!"
Perlahan-lahan Roh Jemputan bangkit berdiri, kepala ditundukkan. Mulut berucap.
"Aku roh Pangeran Anom. Putera Raja
Surokerto dari istri bernama Siti Hinggil. Aku dikenal dengan julukan Pangeran
segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak. Tapi aku
lebih sangat dikenal dengan nama panggilan Pangeran Matahari!"
Mendengar kata-kata angkuh yang diucapkan itu Sinuhun Merah kembali tertawa
bergelak. WIRO SABLENG 12 ROH JEMPUTAN EKARANG kita ikuti apa yang terjadi dengan Sinto Gendeng, Pendekar 212 Wiro
Sableng Sdan Ni Gatri yang terdampar di Bhumi Mata-
ram. Kita lihat Ni Gatri lebih dulu.
Setelah tubuhnya terguling-guling di tanah, Ni Gatri terpental ke atas semak
belukar. Jatuh tepat ke atas pangkuan seorang yang sedang khusuk melakukan
samadi yaitu seorang nenek berwajah bundar, berdandan tebal, tapi tidak memiliki
alis! Di atas kening ada empat benjolan merah menge-
pulkan asap. Sepasang mata si nenek yang terpe-
jam membuka mendelik. Mulut hendak mendam-
prat marah karena ada yang berani mengganggu memutus samadinya di tengah malam
itu. Tapi begitu melihat siapa adanya anak perempuan yang pingsan dan berada di
atas pangkuannya, nenek berjubah biru ini berseru kaget. Buru-buru dia peluk
tubuh Ni Gatri, wajah si anak dicium berulang kali. Sambil memeluk dan mencium
si nenek berkata.
"Terima kasih wahai Para Dewa di Swargaloka.
Anak ini akhirnya Kau kirimkan kepada saya.
Rupanya dia memang berjodoh dengan diri saya.
Saya bersyukur kehadirannya akan membuat saya mampu melakukan sedikit kebajikan
bagi Raja dan rakyat Mataram. Terima kasih Dewa Agung!"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa seolah me-
nyahuti ucapan si nenek tadi. Disusul ucapan lantang.
"Rauh Kalidathi! Iblis perempuan tidak beralis!
Tidak ada yang berjodoh dengan dirimu! Anak pe-
rempuan itu harus kau serahkan padaku! Kalau ada sedikit kebajikan yang dapat
kaulakukan ma- ka itu adalah untuk Sang Junjungan! Kau ikut bersamaku saat ini juga! Menghadang
Roh Pang- gilan yang datang dari negeri delapanratus tahun mendatang!"
Kejut perempuan yang duduk di atas semak belukar bukan alang kepalang. Dia
menjawab tawa dan ucapan orang dengan pekikan dahsyat.
"Ludra Bhawana! Sekarang jadi jelas bagiku!
Kau adalah salah seorang dari tujuh dukun sesat penimbul malapetaka Malam
Jahanam di Bhumi Mataram! Kau anak buah Raja Dukun Batu Ber-
lumut! Pasti ilmu setanmu yang telah mengirim-
kan delapan benjolan merah di keningku! Aku mengadu nyawa denganmu!"
Habis keluarkan ucapan nenek bernama Rauh Kalidathi angkat tubuh Ni Gatri lalu
dimasukkan ke dalam semak belukar. Dua tangan kemudian membuat gerakan seperti
mencengkeram. Saat itu juga semak belukar dikobari api. Di sebelah luar api itu
panas luar biasa namun di dalam semak belukar hanya ada kesejukan. Nyatanya Ni
Gatri yang masih pingsan tidak mengalami cidera sedikitpun. Malah kini anak itu
tampak seperti tidur nyenyak!
"Ilmu Kesejukan Di Dalam Api! Siapa takut"!
Ilmu permainan anak-anak! Ha... ha... ha!"
Orang bernama Ludra Bhawana mengejek. Ter-
nyata dia adalah seorang lelaki berusia sekitar empatpuluh tahunan, mengenakan
pakaian dan destar kuning. Sambil bertindak mundur dua langkah orang ini
dorongkan dua telapak tangan ke arah si nenek di atas semak belukar.
Wusss! Wusss! Dua larik sinar kuning menghantam mengelu-
arkan suara menggelegar. Si nenek yang diserang cepat melesat ke udara lalu
melayang turun sam-
bil kebutkan dua ujung lengan jubah biru. Dua gelombang cahaya biru berkiblat.
Blaarr! Blaar! Empat cahaya sakti saling bentrokan di udara.
Empat letusan dahsyat membahana di malam buta. Ranting dan daun-daun pepohonan
patah rontok bertaburan. Debu beterbangan. Namun anehnya semak belukar di mana
Ni Gatri berada hanya bergoyang-goyang.
Akibat benturan ilmu kesaktian tingkat tinggi yang dilepas dengan aliran tenaga
dalam dahsyat, Ludra Bhawana terpental dan bergulingan di tanah namun dengan
cepat berdiri kembali setelah lebih dulu memungut destar kuning yang tercam-
pak di tanah. Mukanya pucat karena tak me-
nyangka si nenek bisa menghadapi serangannya.
Akan halnya si nenek, benturan dua kekuatan tadi membuat tubuhnya mencelat
delapan tombak seolah lenyap hendak menembus langit malam.
Namun dengan gerakan jungkir balik sambil mengebutkan bagian bawah jubah birunya
untuk melindungi diri dia berhasil melayang turun ke tanah tanpa cidera. Sampai
di tanah, braakk! Dia terduduk menjelepok begitu rupa. Astaga!
Ternyata nenek ini berada dalam kedaan lumpuh dua kakinya! Lumpuh akibat ikut
terkena malapetaka Malam Jahanam!
Ludra Bhawana tertawa mengekeh. "Nenek
tolol! Kau ikut maka akan aku berikan obat pena-
war kelumpuhan! Jika menolak kau aku habisi kejap ini juga!"
"Aku memilih mati!" Jawab Rauh Kalidathi.
Tubuh si nenek membubung ke udara. Dua lengan jubah biru dikebut. Namun si nenek
kalah cepat. Karena Ludra Bhawana telah lebih dulu menghan-
tamkan dua tangan melepas pukulan bernama Arwah Malam Menjemput Mangsa.
Rauh Kalidathi berteriak lantang. Tubuh yang lumpuh melesat ke udara setinggi
tiga tombak. Namun serangan lawan memotong dan mengejar dengan ganas. Dua larik sinar kuning
menghan- tamnya dari kiri dan kanan. Dalam keadaan tubuh menderita lumpuh seperti itu si
nenek tentu saja tidak bisa bergerak cepat.
"Celaka! Aku tidak takut menemui ajal! Tapi bagaimana dengan anak perempuan
itu?" Sekeja-
pan lagi sekujur tubuh lumpuh Rauh Kalidathi akan hancur berantakan dihantam dua
larik pukulan Arwah Malam Menjemput Mangsa si nenek menggeliat, mulut melafal
mantera lalu berteriak.
"Tiga Bayangan Pelindung Raga!"
Serentak dengan itu muncul tiga sosok baya-
ngan menyerupai sosok si nenek, masing-masing berujud lima kali lebih besar!
Tiga bayangan berkeliling membentuk benteng gaib melindungi Rauh Kalidathi. Saat
itulah dua larik serangan Arwah Malam Menjemput Mangsa datang meng-
hantam. Semula Ludra Bhawana memang sempat terkesiap namun teruskan serangan,
malah kini dengan mengerahkan tenaga dalam penuh hingga dari batok kepalanya
mengepul asap kuning!
Ledakan dahsyat seolah hendak meruntuhkan langit malam. Satu pohon besar
berderak patah dan tumbang. Beberapa pohon kecil tercabut dari akar lalu roboh.
Tiga Bayangan Pelindung Raga meraung keras, mental cerai berai! Dan lagi-lagi
terjadi keanehan. Semak belukar terbakar di mana Ni Gatri berada seolah tidak
tersentuh. Hanya kobaran api yang tampak bergoyang-goyang.
Tubuh Rauh Kalidathi mencelat ke udara, menyangsrang melintang di atas cabang
satu pohon besar lalu jatuh bergedebuk ke tanah.
Sekujur tubuh dan pakaiannya kini tampak ber-
warna kekuningan dan mengepulkan asap. Si nenek menggeliat, berusaha duduk namun
tak kuasa. Tubuhnya terbanting kembali ke tanah.
Mengerang halus. Kalau saja dirinya tadi tidak terlindung oleh ilmu Tiga
Bayangan Pelindung Raga, saat itu tubuhnya mungkin sudah lumat tak karuan rupa!
Ludra Bhawana sendiri setelah terguling sam-
pai dua tombak, masih mampu bangkit berdiri walau mulut menyemburkan darah
kental. De- ngan terhuyung-huyung dia melangkah mendekati Rauh Kalidathi. Tangan kanan
dipentang ke atas.
Satu langkah di samping si nenek dia merutuk.
"Tua bangka tolol! Diberi nirwana minta nera-
ka!" Wuttt! Tangan kanan Ludra Bhawana menghantam.
Lancarkan pukulan bernama Batu Neraka Meng-
goncang Jagat. Diarahkan ke kepala Rauh Kali-
dathi. Pukulan ini bukan pukulan sembarangan.
Jangankan kepala manusia, batu gunung sebesar rumahpun akan hancur berkeping-
keping! Hanya satu kejapan lagi Rauh Kalidathi akan menemui ajal dihantam pukulan maut
yang dilepas Ludra Bhawana, mendadak sosok Ni Gatri yang ada dalam semak belukar
terbakar melesat ke arah Ludra Bhawana laksana anak panah lepas dari busur. Mata
yang tadi tertutup seperti tidur kini terbuka nyalang. Telunjuk tangan kanan
menunjuk tepat-tepat ke arah Ludra Bhawana.
Mulut keluarkan teriakan lantang. Suara yang terdengar bukan suara anak
perempuan itu, tapi suara seorang lelaki yang sudah lanjut usia!
"Manusia culas Ludra Bhawana! Masih muda tapi dosa setinggi langit sedalam
samudera! Kera-
jaan memberi pangkat tinggi dan anugerah besar padamu. Tapi kau berkhianat!
Malam ini dosamu sudah lewat dari takaran! Malam ini kau harus menyerahkan nyawa
busukmu pada penjaga Pintu Neraka!"
Baru saja suara teriakan berakhir tiba-tiba reeetttt... reetttt! Dua buah tangan
besar merah seperti bara menyala melesat keluar dari dalam tanah langsung
mencekal pergelangan kaki kiri kanan Ludra Bhawana.
Cess! Cesss! Dua pergelangan kaki Ludra Bhawana leleh sampai ke tulang. Bersamaan dengan itu
tu- buhnya tertarik amblas, lenyap masuk ke dalam tanah!
Kobaran api yang membakar semak belukar padam. Bersamaan dengan itu Ni Gatri
yang tadi melayang di udara dan kini terguling di tanah sadarkan diri.
"Malam gelap, udara dingin. Aku berada di mana... Ihhh." Ni Gatri bertanya-tanya
dalam hati. Anak ini merasa takut. Memandang berkeliling dia melihat sosok seorang nenek
berjubah biru ter-
geletak di tanah yang bukan lain adalah Rauh Kalidathi.
Sebagian pakaian dan tubuhnya diselimuti warna kuning. Anak perempuan itu segera
me- langkah mendekat lalu membungkuk di samping si nenek.
"Nek... Nek. Kau kenapa?" Ni Gatri usap-usap punggung Rauh Kalidathi.
Tiba-tiba satu bayangan samar seorang tua berjubah kelabu muncul. Ni Gatri
merasa ping- gangnya dirangkul. Lalu tubuhnya terangkat. Dia melihat sosok si nenek berjubah
biru juga ter- angkat ke udara. Lalu ada suara berucap.
"Kalian berdua biar aku titipkan dulu di Bukit Batu Hangus. Keadaan di sekitar
sini akan sangat berbahaya."
"Tunggu, siapa kau"! Saya tidak mau pergi sendirian. Kakak saya... di mana dia?"
Ni Gatri berteriak.
"Kakak" Kau punya seorang kakak?" Orang tua bayangan bertanya.
"Saya datang bersamanya. Saya tidak mau per-
gi kalau tidak bersama dia. Nenek bau pesing itu biar saja. Saya tidak perduli.
Tapi kakak saya..."
"Anak perempuan" Siapa nama kakakmu?"
Mahluk bayangan kembali bertanya.
"Wiro, namanya Wiro Sableng. Dia bergelar Pendekar Kapak Maut 212..."
"Ah... Ksatria Roh Panggilan! Sudah datang dia rupanya. Bagaimana aku sampai
tidak mengeta- hui" Ada arwah jahat yang berusaha menangkal.
Tapi mengapa muncul bertiga..." Nenek bau pesing, siapa dia" Ah...! Mungkin
nenek yang aku temui di alam delapanratus tahun mendatang itu?"
Diam seketika. Agaknya orang tua bayangan tengah berpikir. Lalu kembali
terdengar suaranya.
"Anak perempuan bernama Ni Gatri. Aku akan menghadapi urusan besar. Lebih cepat
kau dan nenek ini berada di Bukit Batu Hangus akan lebih baik.."
Wutttt! Ni Gatri menjerit ketika dapatkan dirinya mela-
yang ke udara. Lalu di sebelahnya dia juga melihat sosok nenek berjubah biru
ikut melesat ke udara.
"Oala... Ihh... Ini semua gara-gara nenek bau pesing itu! Kalau dia tidak
menyerobot menung-
gangi kuda lumping itu! Kakak, kau di mana"!
Kuda lumpingku, kau di mana" Dewa Agung, tolong diri saya!"
*** Sekarang mari kita ikuti apa yang terjadi
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah terhempas ke tanah, dalam keadaan
terhuyung-huyung dia mencoba bangun dan memandang berkeliling. Ke mana mata
mengawasi hanya kegelapan yang tampak. Di kejauhan samar-samar dia melihat
bayangan sebuah puncak gunung.
"Aku berada di mana" Apakah ini Bhumi Mata-
ram, alam delapanratus tahun silam?" Wiro meng-
garuk kepala. Mata dipentang telinga dipasang.
Selagi murid Sinto Gendeng berpikir-pikir tiba-tiba tanah yang dipijak bergetar.
Menyusul suara berkereketan.
Krekk... kreekkk... kreekkk!
Wiro memandang ke bawah. Astaga! Nyawanya terasa terbang. Delapan anak lelaki
telanjang ber- warna merah mencuat keluar dari dalam tanah. Di kening ada delapan benjolan
kecil merah. Wajah mereka tampak sama semua!
"Bocah kembar delapan! Banyak amat!" ucap Wiro dalam hati sambil menggaruk
kepala semen- tara mata dipentang waspada mengawasi delapan bocah bugil. Menghadapi mahluk
aneh seperti ini bahaya maut bisa muncul secara mendadak.
Delapan anak ini masing-masing membawa
sebatang suling. Ketika suling ditiup bukan leng-
kingan suara yang terdengar tapi dari enam lobang suling menyembur keluar
larikan api ber-
warna merah. Empat puluh delapan larikan api ini langsung membentuk lingkaran
tembok dan mengurung Pendekar 212!
"Bocah sialan! Pakaian saja tidak punya, bera-
ni-beranian mau membunuhku! Mending barang-
mu pada bagus semua! Budukan! Apa salahku"
Siapa yang menyuruh kalian"!" Wiro membentak.
Sejak tadi dia maklum kalau yang dihadapinya bukan anak-anak biasa tapi mahluk
gaib berasal dari alam arwah!
Dibentak demikian rupa delapan anak kecil telanjang tertawa haha-hihi, malah ada
yang ber- teriak-teriak mengejek mencibir-cibir. Ketika Wiro balas mencibir anak-anak itu
tertawa gelak-gelak sambil berjingkrak-jingkrak dan menunjuk-nun-
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juk ke arah bawah perut Wiro. Beberapa di antara mereka berteriak.
"Telanjang! Ayo telanjang seperti kami! Hik..
hik!" "Buka baju, buka celana! Ayo telanjang seperti kami! Hik.. hik... Nanti kita
sama-sama menari Tarian Api Berhala..."
"Pasti anunya besar! Hikkkk... hik... hik!"
"Pasti rimbun! Hua... ha... ha!"
"Anak-anak sialan!" Maki Pendekar 212.
Sambil terus berteriak-teriak delapan bocah telanjang maju selangkah demi
selangkah. Lingka-
ran tembok api yang mengurung Wiro jadi tambah menyempit. Murid Sinto Gendeng
merasa hawa panas siap melelehkan sekujur tubuhnya. Pakaian putih yang dikenakan
sudah mengepulkan asap.
Sebentar lagi siap terbakar!
Tidak tunggu lebih lama Wiro cepat merapal aji kesaktian Angin Es untuk
melindungi tubuhnya dari gempuran kobaran api yang mengurung.
Delapan bocah bugil terkesiap dan saling pandang heran ketika merasa ada hawa
dingin menyambar dan membuat redup nyala api yang keluar dari tiupan seruling.
Wiro jatuhkan diri sambil mene-
rapkan ilmu Belut Menyusup Tanah.
"Tahan nafas! Tiup suling api lebih keras!"
Salah seorang bocah bugil berteriak. Lalu delapan suling api secara serentak
ditiup lebih keras. Hawa sejuk kembali berubah panas. Kobaran lingkaran api yang
tadi redup kini membesar kembali, menyambar ke arah Wiro.
Di tanah Wiro cepat gulingkan tubuh sambil kerahkan tenaga dalam penuh dan
meniup ke arah lingkaran api!
Wusss! Delapan bocah telanjang berteriak kaget ketika empatpuluh delapan larikan api
yang keluar dari dalam empatpuluh delapan lobang suling kini berbalik. Delapan
bocah melompat surut empat langkah, menjerit kesakitan. Lingkaran api lenyap!
Delapan suling jatuh ke tanah. Mulut dan hidung mereka tampak hangus hitam!
Selagi delapan bocah telanjang itu kalang kabut kesakitan Wiro melompat
menyambar salah seorang di antara mereka. Lalu terdengar jeritan setinggi
langit. "Tobat! Ampun! Jangan diremas! Wadauwww!"
Apa yang terjadi"
Murid Sinto Gendeng berhasil menangkap salah seorang dari delapan bocah bugil.
Lalu kemaluan anak itu diremasnya hingga si anak menjerit-jerit kesakitan. Tujuh
bocah lain yang merupakan kembarannya, karena memiliki hubungan batin alam arwah
yang sangat dekat langsung ikut merasa sakit dan menjerit-jerit pula.
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Jangan! Ampun!"
"Bocah-bocah geblek! Aku mau memberi am-
pun! Tidak meremas hancur barang budukmu!
Tapi beri tahu siapa kalian dan siapa yang menyu-
ruh kalian membunuhku!"
"Kami akan memberi tahu! Kami minta ampun!"
Teriak tujuh bocah termasuk satu yang diremas kemaluannya oleh Wiro.
Tujuh bocah bugil jatuhkan diri. Kening diletakkan di tanah. Seperti mau
bersujud minta ampun. Tapi tahu-tahu tujuh bocah ini benturkan kepala masing-
masing dengan keras ke tanah!
Praakkk! Tujuh kepala hancur! Tubuh mereka serta mer-
ta lenyap meninggalkan kepulan asap merah!
Bocah yang dicekal Wiro menjerit keras. Aneh!
Walau tidak membenturkan kepala ke tanah tapi kepalanya juga ikut hancur lalu
tubuhnya lenyap pula. Namun tidak keseluruhannya lenyap. Anggo-
ta kemaluannya yang tadi diremas hingga remuk ternyata masih ada dalam genggaman
tangan kanan Wiro.
"Hah!"
Remasan tangan dibuka. Wiro melengak kaget dan jijik melihat hancuran daging
bergelimang darah! Dia keluarkan suara seperti mau muntah!
"Bocah kembar sialan! Anak jahanam! Huekkk!"
TAMAT Ikuti serial berikutnya berjudul:
DUA NYAWA KEMBAR
Document Outline
RJ1.pdf RJ1.pdf BASTIAN TITO
WIRO SABLENG e-book oleh: kiageng80 sumber cover: kelapalima
sumber kitab: pendekar212
RJ3.pdf ROH JEMPUTAN
ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN *** ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN
*** TAMAT DUA NYAWA KEMBAR
Kemelut Di Cakrabuana 4 Dewa Arak 69 Peti Bertuah Iblis Sungai Telaga 3
"Mengambil benda yang bukan milik kita namanya mencuri. Jika me-
maksa maka namanya merampas! Batu putih segitiga hanya akan diserahkan pada
orang yang telah ditunjuk Para Dewa demi untuk menye-
lamatkan Mataram..."
WIRO SABLENG 8 ROH JEMPUTAN INTO GENDENG jadi tambah marah mende-
ngar ucapan Mayat Aneh Keempat. Tongkat Sdi tangan kanan terus dihantamkan ke
kepala mahluk yang terbaring di tanah itu. Malah tenaga dalam dilipatgandakan
hingga tongkat me-
mijar cahaya kecoklatan. Melihat perbuatan sang guru Wiro bertindak cepat. Dia
segera memegang tangan kanan Sinto Gendeng seraya berkata.
"Nek, kenapa kau jadi kalap tak karuan" Apa Eyang lupa penjelasan mahluk gaib
bernama Swa- ra Pancala yang tadi masuk ke dalam tubuh Ni Gatri" Eyang tidak ingat apa
barusan yang dikata-
kan mahluk ini... Aku yakin, Nek. Mahluk inilah orang yang dimaksud Swara
Pancala, yang akan datang menemui kita membawa sebuah benda dan menyerahkan
benda itu padaku..."
Seolah sadar Sinto Gendeng bersurut mundur.
Nenek ini berulang kali golengkan kepala lalu tegak bersandar ke sebatang pohon.
"Anak muda, cepat kau ambil batu putih segi-
tiga yang ada di tangan kananku. Aku yakin kau-
lah orang yang dimaksud Para Dewa di Bhumi Mataram..."
"Memangnya ada kejadian apa di Bhumi Mata-
ram?" Tanya Wiro. Dia belum mau mengambil batu segitiga putih.
Mayat Keempat lalu menuturkan malapetaka dahsyat yang telah menimpa Kerajaan
Mataram, Raja dan rakyatnya.
"Kalau kau tidak mau mengambil batu ini, berarti kau tidak berkehendak menolong.
Jika kau tidak memiliki hati nurani untuk menolong maka besok pagi korban mulai
berjatuhan. Sebelum matahari terbit lagi keesokan hari, semua yang hidup di
Mataram mungkin sudah menemui
kematian termasuk Sri Maharaja Rakai Kayu-
wangi..." Wiro menggaruk kepala. Berpaling pada sang guru yang tegak bersandar ke pohon.
Sinto Gen- deng diam saja. Dia menoleh pada Ni Gatri. Anak ini membuka mulut. Tapi yang
terdengar adalah suara anak kecil laki-laki.
"Raja Mataram adalah sepuh dari Raja yang ada di tanah Jawa sekarang. Rakyat
Mataram adalah nenek moyang rakyat yang hidup di zaman ini. Tidakkah ikatan
batin bisa mengetuk pintu hati untuk minta pertolongan?"
"Anak lelaki yang bicara dalam tubuh Ni Gatri, kau siapa?" Wiro bertanya.
"Jika tali budi kita memang akan saling bersen-
tuh dan berkaitan, jika Yang Maha Kuasa meng-
hendaki kelak kita akan bertemu di Kerajaan Mataram Kuna..."
Perlahan-lahan Wiro ulurkan tangan kanan mengambil batu putih berbentuk
segitiga. Tidak seperti ketika hendak dirampas oleh Sinto Gen-
deng, batu putih itu sama sekali tidak mengelu-
arkan cahaya putih panas. Sebaliknya di dalam tangan Wiro batu itu memancarkan
cahaya lembut yang di dalam gelap cukup terang hingga Wiro dapat melihat guratan
angka pada masing-masing ujung batu.
"Aneh, batu putih berbentuk segitiga. Datang dari alam delapanratus silam.
Bagaimana bisa ada guratan tiga angka" Dua satu dua." Murid Sinto Gendeng
berpikir. "Anak muda. Angka Dua Satu Dua itu, benar-
kah ada kaitannya dengan dirimu?" Mayat Aneh Keempat bertanya.
Wiro perhatikan batu segitiga putih. Sambil diperhatikan jari-jari tangannya
mengusap batu. Makin diusap tubuhnya terasa sejuk dan bertam-
bah enteng. "Angka Dua Satu Dua memang ada sangkut
pautnya dengan diriku," Wiro memberi tahu.
"Aku tidak mampu melihat. Tapi kata orang yang tahu, di dalam tubuhmu tersimpan
sebuah senjata sakti mandraguna. Betulkah itu... ?"
Murid Sinto Gendeng jadi terkesima.
"Anak muda, kau berdusta sekalipun aku tidak akan tahu." Kata Mayat Aneh Keempat
lalu sung- gingkan senyum. Kemudian dua tangannya dite-
kapkan ke bagian bawah perut. Dari jauh Sinto Gendeng memperhatikan hal ini.
Dalam hati dia menggerendeng.
"Mayat edan! Mengapa sekarang memegang
itunya segala" Jangan-jangan dia mau membuka balutan kain putih. Mau
memperlihatkan..."
"Nek, auratku buruk. Tidak ada yang bagus dan pantas diperlihatkanl" Tiba-tiba
Mayat Aneh Keempat berkata, ditujukan pada Sinto Gendeng.
Habis berkata mahluk ini tertawa cekikikan.
Serrr!Si nenek sampai terkencing mendengar ucapan itu lalu cepat-cepat membuang
muka, me- mandang ke jurusan lain sambil membatin. "Gelo!
Bagaimana mahluk sialan itu tahu kalau aku bicara dalam hati merasani
dirinya..."
"Aku rasa tugasku sudah selesai." Kata Mayat Aneh Keempat pada Pendekar 212.
"Anak muda, aku bersyukur telah menemuimu."
"Aku ada pertanyaan. Apa yang akan aku laku-
kan dengan batu ini?" Bertanya Wiro.
"Ah, untung kau mengingatkan. Aku sudah pelupa rupanya. Maklum otak dan pikiran
mayat seperti diriku tidak seampuh manusia seperti diri-
mu. Hik... hik..." Setelah tertawa Mayat Aneh Kee-
mpat meneruskan ucapan. "Aku hanya sekedar menambahkan penjelasan yang telah kau
terima dari seseorang yang datang menemuimu sebelum-
nya. Bila kau sudah sampai di Bhumi Mataram dan bertemu dengan Sri Maharaja
Rakai Kayu- wangi maka kau harus memperlihatkan batu ter-
sebut pada Raja. Sebagai pertanda bahwa memang kaulah adanya orang yang
dipercayakan akan dapat menyelamatkan Kerajaan dari malapetaka yang sedang
menimpa. Aku meminta, setelah aku meninggalkan tempat ini kau harus segera me-
nunggangi kuda lumping. Dia akan membawamu dalam kecepatan kilat menemui Sri
Maharaja."
"Di alam delapanratus silam?" Tanya Wiro.
"Betul," jawab Mayat Aneh Keempat. "Ada sesu-
atu yang merisaukanmu" Mungkin kau kawatir di alam sana tidak ada anak gadis
yang cantik"
Maaf, aku tidak mengatakan kalau kau ini seorang pemuda mata keranjang. Hik...
hik... hik!"
Wiro pencongkan mulut lalu tersenyum tapi tak menjawab, hanya menggaruk kepala.
"Delapanratus tahun silam tidak ada artinya.
Bukankah kau pernah masuk dan berada cukup lama di alam yang lebih jauh, di alam
seribu dua ratus tahun silam?"
Wiro tercengang. "Bagaimana kau mengetahui riwayatku?"
Mayat Aneh Keempat tertawa. "Aku sudah
hampir seribu limaratus tahun jadi mayat. Apa yang terjadi selama kurun waktu
itu pasti tidak luput dari pengetahuanku dan tiga saudaraku..."
"Jadi kau ternyata punya tiga saudara?" tanya Wiro. "Di mana mereka?"
"Di alam delapanratus tahun silam. Kelak kau akan bertemu dengan mereka..."
Jawab Mayat Aneh Keempat.
"Seribu lima ratus tahun jadi mayat! Bagaima-
na mungkin keadaanmu masih seperti ini" Tidak busuk dan tidak rusak! Malah
muncul masih bisa bicara dan bergurau! Heh"!"
"Kalau Yang Maha Kuasa melakukan sesuatu, apa anehnya" Apa kau mau aku doakan
jika kau mati nanti bisa jadi mayat seribu lima ratus atau mungkin malah dua
ribu tahun?"
"Tobat!" Wiro mundur beberapa langkah. Kepa-
la digeleng tangan kiri kanan digoyang.
"Mayat Aneh, kenapa kau hampir selalu menu-
tupi kemaluanmu dengan kedua tangan?" Tiba-tiba Sinto Gendeng bertanya.
Mahluk yang ditanya tertawa lebar. Lalu men-
jawab. "Kemaluan yang tidak dipelihara adalah salah satu pangkal sebab seorang
insan menemui malapetaka dalam kehidupannya. Kau pasti tahu maksudku Nek."
Air muka keriput berkulit tipis Sinto Gendeng tampak berubah. Mulut komat kamit
mengunyah susur. "Mahluk aneh, apakah aku boleh mene-
mani muridku dalam perjalanan ke Mataram?"
Sinto Gendeng kembali ajukan pertanyaan.
Wiro menoleh menatap sang guru. Dalam hati dia berkata. "Nek, jangan-jangan kau
bukan cuma sekedar menemaniku. Tapi mau ketemu kakek gagah berjubah kelabu
itu..." Mayat Aneh Keempat yang sampai saat itu masih terbujur menelentang di tanah
palingkan kepala ke arah si nenek. Lalu menjawab.
"Tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang melarang. Tapi kau lihat sendiri, kuda
lumping itu terlalu kecil untuk ditunggangi dua orang."
Sinto Gendeng terdiam. Dia maklum orang menolak keikutannya bersama Wiro secara
halus. Mayat Aneh Keempat berpaling pada Ni Gatri.
Mulut tersenyum dan mata dikedip-kedipkan.
"Aku puya firasat anak perempuan itu mungkin diperlukan di Bhumi Mataram. Anak
muda, tak ada salahnya kau membawa serta anak itu. Kau bisa memangku atau
menggendongnya di pung-
gung." "Curang!" Sinto Gendeng berteriak. "Kalau anak perempuan hijau bau kencur itu
boleh pergi ber-
sama muridku mengapa aku yang sudah bangko-
tan dan bau pesing tidak"!"
Habis berteriak Sinto Gendeng langsung me-
lompat ke arah kuda lumping lalu dengan cepat duduk di atas punggungnya.
"Kuda lumping! Bawa aku ke Kerajaan Mataram Kuna. Kerajaan delapanratus tahun
silam!" Si nenek berteriak.
Begitu merasa ada orang mencemplak pung-
gungnya dan mendengar suara teriakan, kuda lumping terbuat dari kajang bambu itu
mengepul- kan asap. Debu beterbangan membuat udara bertambah kelam di dalam rimba.
"Nek! Eyang!" teriak Wiro ketika melihat bagai-
mana kuda lumping yang ditunggangi gurunya perlahan-lahan bergerak ke atas.
Tidak pikir panjang lagi Wiro segera memburu.
"Kakak! Aku ikut!" Ni Gatri berteriak lalu cepat mengejar.
Wiro terkesiap sejenak, berpikir. Dia ingat kata-kata Mayat Aneh Keempat tadi.
Buru-buru Wiro simpan batu segitiga putih di balik pakaian lalu berbalik ke arah
Ni Gatri dan menarik tangan anak ini. Wiro melompat ke arah kuda lumping dan
berhasil memagut pinggang Sinto Gendeng tepat pada saat kuda lumping melesat ke
udara, menembus kegelapan malam rimba belantara dan lenyap di langit kelam.
"Kakak, Gatri mau muntah. Bau pesing..." Bisik Ni Gatri yang tidak tahan mencium
bau tubuh dan pakaian Sinto Gendeng yang bau pesing. Apalagi Wiro yang
bergelantungan lebih dekat dengan Sin-
to Gendeng, mencium bau itu Iebih keras dan lebih parah lagi. Sang pendekar
hanya bisa mang-
gut-manggut perlahan dan mesem-mesem sambil menahan nafas mendengar ucapan Ni
Gatri. "Anak-anak setan! Kalian kira aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan"!" Di
sebelah depan Sinto Gendeng berteriak. Lalu tongkat kanannya digebukkan ke
pinggul kuda lumping. Wusss!
Asap tebal mengepul di bagian bawah kuda lumping. Sang tunggangan melesat
laksana kilat. Di satu tempat tiba-tiba Kuda lumping menukik ke bawah sambil membuat gerakan
berputar sebat.
Begitu kencangnya tukik dan putaran kuda lum-
ping, pegangan Wiro terlepas dari pinggang Sinto Gendeng. Cekalannya pada tangan
kanan Ni Gatri yang bergelung di lehernya juga lepas. Akibatnya sementara Sinto
Gendeng melesat deras ke arah utara bersama kuda lumping yang ditunggangi, Wiro
dan Ni Gatri berpelantingan di udara. Satu ke barat, satu ke selatan. Untungnya
daratan hanya tinggal pada ketinggian dua langkah saja.
*** Hanya beberapa saat setelah kuda lumping
membawa ketiga orang itu melesat ke langit, tiba-tiba dari dalam tanah mencuat
keluar satu sosok bugil hitam tinggi besar berperut buncit. Kepala botak
bercula. Sepuluh kuku tangan panjang ber-
warna merah. Sepasang mata merah dan tampak menyala
dalam kegelapan. Pada cuping hidung sebelah kiri mencantel sebuah anting-anting
bulat terbuat dari batu hitam. Walaupun bugil namun bagian bawah perut mahluk
ini licin hingga tidak bisa diduga apakah dia lelaki atau perempuan. Ketika dia
me- nyeringai, dari mulut yang terbuka menjulur lidah panjang menjulai sampai ke
tanah. Dengan ujung lidahnya mahluk ini menyapu permukaan tanah, menjilat batang
pepohonan. Dari tenggorokannya kemudian keluar suara menggereng seperti harimau.
"Aku bisa merasakan. Aku bisa mencium.
Manusia yang katanya mampu menangkal mala-
petaka itu tadi ada di sini. Ada dua orang lain bersamanya. Aku terlambat.
Mengapa Raja Dukun Batu Berlumut Jambal Ungu baru memberi tahu setelah sang
surya tenggelam. Lalu pergi begitu saja. Katanya menemui Sinuhun..."
Tiba-tiba terdengar suara pekik riuh membun-
cah rimba belantara. Tak lama kemudian dari dalam tanah puluhan mahluk yang sama
ujudnya dengan mahluk tadi yang pertama kali melesat keluar. Bedanya yang
sembilan puluh sembilan ini tidak memakai anting-anting batu di hidung. Rim-
ba belantara jadi sesak oleh mahluk-mahluk me-
ngerikan itu. Yang baru datang berjumlah sem-
bilan puluh sembilan. Ditambah yang datang duluan berarti seratus mahluk! Mereka
bukan lain adalah Seratus Jin Perut Bumi!
"Kita terlambat! Mereka sudah keburu pergi!"
Berkata mahluk bugil hitam pertama pada pulu-
han mahluk yang berdiri di sekitarnya yang rupa-
nya adalah anak buahnya.
"Ketua, kalau begitu kita cepat kembali ke Mataram!" Seorang Jin Perut Bumi
berkata. "Betul. Kita hadang orang itu di atas Bhumi Mataram. Mulai dari langit ke satu
sampai ke tujuh. Masakan bisa tembus!" Jin Perut Bumi yang lain ikut bicara.
Yang bertindak sebagai pimpinan dan dipanggil Ketua berkata. "Tugas kita sudah
ditentukan. Kita tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku harus tunduk dan
menemui Sinuhun lebih dulu untuk mendapat petunjuk. Baru melakukan apa yang
diperintahkannya. Lagi pula aku mendengar kabar ada serombongan orang
kepercayaan Jun-
jungan..."
Sang Ketua tidak meneruskan ucapan. Sekian banyak anak buahnya tidak ada yang
memperha- tikan. "Tapi bukankah Sinuhun sedang bersuka-suka dengan penasihat Raja Mataram yang
bernama Ratu Randang itu" Junjungan mengetahui hal itu, pasti Junjungan sudah
memberi izin." Menyeletuk Jin Perut Bumi yang berdiri sambil berkacak ping-
gang. "Kurasa saat ini Sinuhun sudah berada di puncak Gunung Merapi. Kita harus segera
menuju ke sana..." Jin Perut Bumi yang bertindak sebagai pimpinan mengambil
keputusan. "Mengapa harus ke puncak Gunung Merapi, Ketua?" Dua orang Jin perut Bumi
bertanya ham- pir berbarengan.
"Tidak perlu banyak tanya. Bersiap-siap saja menghadapi apa yang akan terjadi!"
Jawab sang Ketua.
Seratus Jin Perut Bumi di dalam rimba belan-
tara kemudian satukan dua telapak tangan di atas kepala. Lalu wusss! Hanya dalam
bilangan keja- pan mata saja semua mahluk itu amblas lenyap masuk ke dalam tanah. Rimba
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belantara yang dipagut kegelapan kini kembali sunyi seolah tidak ada sesuatu
terjadi di kawasan itu.
WIRO SABLENG 9 ROH JEMPUTAN ALAU sang surya masih jauh dari waktu-
nya tenggelam namun langit di atas bukit WKopeng tampak redup. Awan kelabu
menggantung sejak tengah hari. Di pelataran rusak dalam sebuah bangunan candi
setengah jadi karena pembuatannya tidak pernah tersele-
saikan, seorang berpenampilan aneh dan mengeri-
kan duduk mencangkung di hadapan potongan-potongan kayu sebanyak delapan buah
yang di- tancapkan ke lantai candi membentuk lingkaran.
Di dalam lingkaran potongan kayu terletak delapan keping besar kemenyan. Dari
mulut orang ini keluar suara meracau, agaknya tengah melafal mantera dan hanya
berhenti sesaat jika dia mema-
sukkan kepingan-kepingan kemenyan ke dalam mulut.
Orang yang duduk mencangkung di lantai
candi ini sulit diduga usianya karena wajahnya tertutup lumut tebal berwarna
ungu. Sepasang mata terletak bukan di bawah alis, tapi di atas alis. Telinga
kiri kanan masing-masing memiliki dua daun telinga. Rambut tebal ungu. Di kening
ada delapan benjolan merah mengepulkan asap.
Sekujur tubuh seperti mengenakan pakaian berge-
runjulan tapi sebenarnya tubuh itu ditumbuhi batu berlumut sebesar tinju
berwarna ungu. Inilah manusia bernama Jambal Ungu, bergelar Raja Dukun Batu
Berlumut. Menurut orang yang mengetahui riwayatnya, Jambal Ungu dulunya adalah seorang
Resi terke- nal dan sangat dekat hubungannya dengan Raja serta para penguasa di Bhumi
Mataram. Namun kutukan Dewa jatuh atas dirinya sewaktu dia terpikat oleh
kehidupan dunia, kemudian tersesat melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik
dan menguasai ilmu hitam termasuk santet.
Konon ilmu perdukunannya jauh lebih tinggi dari Eyang Dukun Umbut Watukura yang
selama ini membaktikan diri pada Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Apa
lagi dia dibantu oleh beberapa orang dukun yang juga rata-rata berkepandaian
tinggi. Itu salah satu sebab mengapa Eyang Dukun Umbut Watukura tidak mampu
menghadapi termasuk melenyapkan pe-
taka kelumpuhan, benjolan serta demam panas yang terjadi di Mataram.
Para Dewa menjatuhkan hukuman atas Eyang Dukun. Wajah dan tubuh Jambal Ungu
ditutup dengan batu berlumut berwarna ungu. Mata di-
pindah ke atas alis dan daun telinga ditambah menjadi empat. Berada dalam
keadaan kutuk seperti itu Jambal Ungu bukannya sadar, minta ampun dan bertobat
pada Yang Maha Kuasa, tapi malah kini berserikat dengan mahluk jahat yang telah
merencanakan Malam Jahanam di Kerajaan Mataram.
Saat itu sambil menunggu kedatangan sese-
orang, Jambal Ungu membaca mantera sementara sepasang mata memperhatikan lantai
candi yang dilingkari dengan tancapan delapan potong kayu.
Walau yang dihadapi lantai candi, namun yang terlihat oleh sepasang mata sang
dukun adalah kawasan alam gaib. Sesekali kening mengerenyit, mata membesar dan
empat daun telinga bergerak-gerak.
Kalau kemenyan di dalam mulut habis, dia mengambil kepingan kemenyan baru yang
tak boleh terputus untuk dikunyah.
Sekonyong-konyong, wusss!
Ada sambaran angin disertai larikan cahaya merah. Di lain kejap ujung delapan
potongan kayu yang menancap di lantai candi telah menyala hingga potongan-
potongan kayu itu menyerupai pelita, menerangi pelataran candi.
Jambal Ungu merasa lega. Perlahan-lahan bangkit berdiri. Astaga! Ternyata orang
yang diju- luki Raja Dukun ini bertubuh katai!
Baru saja Jambal Ungu meluruskan tubuh, di hadapannya berkelebat satu bayangan.
Di lain kejap di hadapan sang dukun telah berdiri seorang kakek mengenakan
belangkon dan pakaian merah.
Di bagian depan belangkon menempel sebuah bintang bersudut delapan terbuat dari
suasa. Alis, cambang bawuk, jenggot serta kumis termasuk rambut, juga sepasang
mata, semua berwarna merah. Di kening berderet delapan benjolan merah
mengepulkan asap. Seperti yang telah dituturkan, mahluk ini adalah Sinuhun Merah
Penghisap Arwah alias Ghama Karadipa , yang sebelumnya telah bertemu dan
bercinta dengan Ratu Randang.
"Puji syukur Sinuhun Merah bisa datang tepat pada waktunya," Jambal Ungu berucap
menyam- but kedatangan Sinuhun. Walau tertutup lumut tapi wajahnya jelas menunjukkan
rasa cemas. "Raja Dukun Batu Berlumut, waktu kita sema-
kin sempit. Belakangan ini sangat cepat dan banyak terjadi perubahan yang bisa
mengacaukan rencana kita. Aku sangat ingin melihat agar semua orang Mataram
termasuk Rakai Kayuwangi yang telah membantai ayah dan saudaraku, menemui ajal
setelah lebih dulu menderita sengsara. Agak-
nya kematian mereka harus dipercepat. Namun ada saja halangan jahanam yang
muncul. Raja Dukun, apa saja yang telah kau lihat dalam ling-
karan delapan batang kayu di lantai candi?"
"Ada beberapa hal yang mencemaskan saya walau terlihat agak samar," jawab Jambal
Ungu. "Pertama orang kepercayaan kita Sri Padmi Ka-
meswari alias Kunthi Pithaludra telah kembali ke ujud semula yaitu seekor anjing
betina. Dia mela-
kukan perselingkuhan bahkan melahirkan bayi pada saat hendak dibunuh. Semua
tugas yang diberikan padanya gagal. Saya tidak bisa menduga di mana dia sekarang
berada..."
"Kalaupun dia jadi debu, dia seharusnya datang menemuiku. Jika kelak aku
menjumpainya aku akan menjatuhkan hukuman yang lebih ga-
nas. Aku akan membuatnya bunting terus-terusan hingga menderita seumur-umur.
Raja Dukun, hal apa lagi yang kau lihat...?"
"Satria Lonceng Dewa, si anak keramat Mimba Purana..."
"Dia lagi!" tukas Sinuhun Merah dengan air muka berubah. "Teruskan bicaramu."
"Anak berusia dua belas tahun itu telah berte-
mu dengan Rakai Kayuwangi. Mereka menyusun beberapa rencana. Ada beberapa mahluk
alam gaib menolong mereka. Yang paling berbahaya adalah mereka membuat satu
rencana besar dan sangat rahasia untuk mendatangkan seorang ksa-
tria sakti mandraguna berasal dari alam delapan-
ratus tahun mendatang. Ada kabar yang saya terima bahwa ksatria itu menyimpan
sebuah sen- jata hebat di dalam tubuhnya. Senjata inilah yang harus kita rampas atau kalau
tidak ksatria itu dibunuh lebih dulu..."
"Kau sudah menjajagi siapa adanya ksatria itu?"
"Siapa namanya tidak mungkin saya ketahui.
Bahkan Raja Mataram dan Mimba Purana juga tidak tahu. Satu hal yang saya ketahui
paling lambat orang itu akan muncul di Bhumi Mataram sekitar tengah malam
nanti." "Apa"!" Sinuhun Merah tersentak kaget.
"Kurang ajar! Waktunya singkat sekali. Kita harus melakukan segala upaya untuk
mencegah..."
"Tentu saja Sinuhun. Saya telah merencanakan sesuatu. Ksatria itu harus
dihalangi dan dibunuh secepatnya dia menjejakkan kaki di Bhumi Mata-
ram." "Kau aku tugaskan untuk melakukan hal itu!"
Kata Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut terdiam sesaat lalu gelengkan kepala.
"Sinuhun Merah, saya tahu batas kemampuan saya. Ksatria Panggilan itu bukan
manusia sembarangan. Dari-
pada gagal dan mengecewakan Sinuhun kalau saya turun tangan sendiri maka saya
mengusul- kan..." "Raja Dukun Batu Berlumut! Kau dengan ke-
saktianmu mampu menjatuhkan Malam Jahanam hingga Bhumi Mataram dilanda banjir
air darah busuk! Sri Maharaja Mataram dan para pengikut-
nya yang sakti-sakti serta hampir semua orang yang ada di Bhumi Mataram menjadi
lumpuh, diserang demam panas serta terjangkit delapan benjolan di kepala.
Masakan melawan seorang kurcaci musuh yang belum diketahui juntrungan-
nya kau merasa takut..."
"Saya jauh dari takut Sinuhun. Namun perca-
yalah pada yang saya katakan. Selain itu Sinuhun harus tahu, ksatria yang akan
datang itu benar-benar bukan manusia sembarangan. Bukan bang-
sa kurcaci..."
"Aku tidak perduli! kau tetap harus mengha-
dapinya. Kalau perlu minta bantuan orang-orang sakti yang selama ini berserikat
dengan kita. Jika dikeroyok masakan dia tidak akan amblas!"
"Sinuhun Merah, maafkan saya. Saya tetap mengatakan tidak sanggup."
"Kau belum mencoba tapi sudah menyerah.
Kau tahu, aku bisa memecatmu sekarang juga dan jangan berani lagi memperlihatkan
tampangmu di hadapanku!"
Diancam seperti itu Raja Dukun Batu Berlumut balas mengancam sambil kepalkan
tinju tangan kanan dan diangkat di atas kepala.
"Kalau begitu keputusan Sinuhun Merah, saya memilih untuk bunuh diri sekarang
juga!" Tangan kanan sang dukun bergerak.
Sinuhun Merah tersentak kaget.
"Tunggu!" teriaknya lalu dengan cepat mence-
kal lengan kanan Raja Dukun yang nekad hendak mengepruk kepala sendiri! "Aku
percaya kita masih bisa bicara baik-baik. Mencari jalan. Apa yang ada
dibenakmu"!"
"Saya ingin Sinuhun tahu," kata Raja Dukun sambil turunkan tangan kanan.
"Delapan benjolan yang ada di kening semua orang yang ada di Mataram, termasuk
Rakai Kayuwangi sekarang hanya tinggal empat. Ini disebabkan Raja Mataram telah
berbuat satu kebajikan luar biasa besar. Dia tidak membunuh Sri Padmi Kameswari
ketika melahirkan anak anjingnya! Dan Sri Padmi Kameswari bertobat minta ampun
pada Para Dewa sambil mendoakan Raja dan rakyat Mataram..."
"Luar biasa! Sungguh gila! Anjing betina peng-
khianat!" Sinuhun Merah memperhatikan delapan ben-
jolan di kening sang Raja Dukun lalu meraba keningnya sendiri sambil menghitung.
"Aku lihat benjolan di keningmu masih tetap delapan. Yang di keningku juga tetap
delapan..."
"Sinuhun, kita bersama-sama menciptakan delapan benjolan itu. Yang ada pada diri
kita dan kawan-kawan merupakan kunci ilmu yang tidak akan lenyap sebelum Raja
dan rakyat Mataram menemui kematian! Kita tetap memantek mereka walau kini
benjolan di kening mereka hanya ting-
gal empat."
Sinuhun terdiam sejurus lalu berkata.
"Dalam waktu yang sangat singkat ini mungkin aku harus turun tangan lagi untuk
menghisap roh arwah orang-orang sakti. Aku sudah lama meng-
incar arwah Ketua dari Candi Miring. Aku sudah mengirim Ratu Randang untuk
menemui dan membujuknya. Raja Dukun, tadi kau mengatakan hendak mengusulkan
sesuatu padaku."
"Sinuhun, kita harus mempergunakan mahluk dari alam yang sama untuk menghadang
dan membunuh Ksatria Panggilan."
"Maksudmu?"
"Dari penglihatan saya, Ksatria Panggilan itu pernah membunuh seorang musuh
besarnya di alam kehidupannya. Namun sang musuh baru tewas setelah dihadang
beberapa tokoh berilmu tinggi lainnya. Jika orang itu hanya mampu dihabisi oleh
beberapa orang sakti, berarti dia memiliki kesaktian yang tidak berada di bawah
Ksatria Panggilan yang hendak didatangkan Rakai Kayuwangi dan Mimba Purana. Kita
pergunakan roh orang itu untuk menghadang dan membunuh Ksatria Panggilan..."
Sinuhun Merah Penghisap Arwah terkesiap lalu tertawa lebar.
"Hebat! Aku memuji kecerdikanmu Raja
Dukun. Soal menjemput roh musuh besar Ksatria Panggilan itu serahkan padaku. Aku
akan masuk ke alam delapanratus tahun mendatang. Kau bisa menjajaki di mana
pembunuhan atas musuh besar Ksatria Panggilan itu terjadi?"
Raja Dukun memandang ke lantai candi dalam lingkaran delapan batang kayu
menyala. Beberapa saat kemudian dia memberi tahu.
"Saya melihat tanda-tanda. Ada rimba belan-
tara terbakar di puncak gunung. Dari bentuk gunungnya saya mengira itu adalah
Gunung Merapi. Berarti tempat pembantaian itu terjadi di puncak Gunung Merapi.
Mudah-mudahan apa yang saya lihat tidak keliru."
"Aku yakin ilmu kesaktianmu tidak memb-
erikan petunjuk yang keliru. Hanya saja untuk memudahkan apakah ada kemungkinan
kau mengetahui nama orang itu atau tanda-tanda lain yang dimiliki dirinya?"
"Sulit Sinuhun. Kita tidak mungkin mengetahui siapa namanya seperti kita juga
tidak bisa menge-
tahui siapa nama Ksatria Panggilan. Namun saya akan mencoba lagi melihat ke alam
gaib..." Raja Dukun Batu Berlumut mengusap wajah ungunya beberapa kali lalu kembali
menatap ke arah lantai candi yang dilingkari delapan batang kayu menyala.
Setelah cukup lama menatap, sang dukun usap lagi wajahnya lalu angkat kepala.
"Kau mendapatkan petunjuk?" tanya Sinuhun Merah Penghisap Arwah tidak sabaran.
"Benar Sinuhun. Saya melihat sebuah benda.
Sepertinya sebuah lentera yang memancarkan cahaya tiga warna. Merah, hitam dan
kuning. Agaknya lentera ini pernah menjadi milik orang yang dibunuh itu. Mungkin
merupakan satu sen-
jata luar biasa..."
"Bagus!" ucap Sinuhun Merah sambil mene-
puk-nepuk bahu kiri Raja Dukun. "Sekarang kita berbagi tugas. Aku akan masuk ke
alam delapan- ratus tahun mendatang. Aku akan menghisap dan menjemput roh musuh besar Ksatria
Panggilan! Kau siapkan orang-orang kita di sekitar kaki selatan Gunung Merapi. Aku punya
firasat Ksatria Panggilan akan muncul pertama kali di kawasan itu. Jangan sampai
dia menghilang atau lolos sebelum aku membawa Ksatria Roh Jemputan!"
"Akan saya lakukan Sinuhun. Hanya saja
tidakkah kita harus terlebih dulu memberitahu semua ini pada Junjungan?"
Sinuhun hanya menjawab dengan tertawa
lebar. "Aku pergi sekarang. Awas, jangan sampai Ksatria Panggilan itu lolos. Kalau
perlu kau terap-
kan ilmu Tabir Langit Turun Ke Bumi yang telah aku ajarkan padamu. Sekali dia
menginjakkan kaki di satu tempat, dia tidak akan mampu berjalan lebih dari
seratus langkah!"
"Baik Sinuhun!" jawab Raja Dukun Batu Ber-
lumut Jambal Ungu. "Sebelum pergi izinkan saya melindungi diri Sinuhun dengan
ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan"
Sebenarnya Sinuhun tidak memerlukan ilmu itu. Namun dia tidak mau mengecewakan
anak buahnya. Maka begitu dia anggukkan kepala Raja Dukun Batu Berlumut angkat
dua tangan ke udara. Dua larik cahaya ungu melesat keluar.
Yang pertama memasuki tubuh Sinuhun dari bagian kepala, yang kedua memasuki dari
telapak kaki. Saat itu juga, jika ada orang lain di tempat itu maka dia tidak
akan dapat melihat sosok Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Setelah Sinuhun Merah Penghisap Arwah le-
nyap dari pemandangan untuk beberapa lamanya mahluk berwajah dan bertubuh
ditumbuhi batu-batu berlumut itu masih berdiri di tempat itu.
"Aku merasa heran. Ketika aku menyebut nama sang Junjungan, Sinuhun hanya
tertawa. Jangan-jangan apa yang dikisikkan Ketua Jin Seribu Perut Bumi padaku
tempo hari benar adanya. Bahwa Sinuhun itu sebenarnya..."
Raja Dukun Batu Berlumut Jambal Ungu men-
dadak merasa tengkuknya menjadi dingin. Dia tidak berani meneruskan ucapan kata
hatinya. WIRO SABLENG 10 ROH JEMPUTAN ANYA dalam bilangan kilatan cahaya,
Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hberada di sekitar puncak Gunung Merapi.
Saat itu mentari penerang jagat siap masuk ke ufuk tenggelam, meninggalkan
sapuan cahaya benderang merah kekuningan di langit sebelah barat.
"Waktu berlalu sangat cepat. Sebelum sang surya tenggelam aku harus sudah bisa
berhubu- ngan dengan Ksatria Roh Jemputan itu. Kalau tidak bisa terlambat. Bisa
keduluan!" Sinuhun Merah berucap dalam hati. Lalu dia mengelilingi puncak gunung
satu kali. Akhirnya dia menemu-
kan satu tempat yang baik untuk mulai memasuki alam gaib delapanratus tahun
mendatang. Tempat itu adalah bagian rata sebatang pohon jati tua yang putus
disambar petir.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah duduk bersila di atas pohon. Dua tangan diletakkan
di atas dada. Mata dipejam dan perlahan-lahan mulut dibuka. Dari dalam mulut
menjulur lidah merah pekat. Lidah bergerak keluar makin lama makin panjang,
melibat sekujur tubuh Sinuhun mulai dari bahu sampai ke kaki. Untuk beberapa
lama mulutnya tampak komat-kamit mengeluarkan suara bergumam yang tidak jelas.
Tiba-tiba suasana di tempat itu menjadi sunyi senyap, lengang bahkan suara
siuran anginpun tidak lagi terdengar. Saat itulah Sinuhun Merah berucap
perlahan. "Mahluk alam roh, yang aku tidak tahu
namanya, tapi yang akan aku kenal sebagai Ksatria Roh Jemputan, yang tewas
dibunuh secara keji oleh para pengeroyok pengecut. Yang peristi-
wanya terjadi di masa delapanratus tahun menda-
tang di puncak Gunung Merapi ini. Sudilah datang menemui diriku. Aku Sinuhun
Merah Penghisap Arwah memanggilmu agar kau muncul di Bhumi Mataram untuk
membalas dendam kesumat atas musuh besarmu yang aku sebut dengan nama Ksatria
Panggilan. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, malam akan datang. Sebelum
sang surya menghilang aku mohon kau sudah berada di hadapanku..." Begitu ucapan
Sinuhun Merah berakhir, delapan benjolan merah di kening pan-
carkan cahaya terang. Lidah panjang yang meng-
gulung sekujur tubuhnya bergulung membuka.
Ketika ujung lidah terakhir masuk ke dalam mulut, Sinuhun Merah hirup udara
dalam-dalam lalu mulutnya menghisap keras.
Wusss! Pepohonan besar di sekitar tempat itu ber-
goyang keras berderak-derak. Pohon-pohon kecil dan semak belukar tercabut dari
akarnya, melesat ke udara. Debu, pasir dan tanah menghambur ke atas hingga untuk
beberapa lama keadaan menja-
di gelap. Dalam keadaan seperti itu terdengar suara hiruk pikuk jeritan dari
mahluk yang tidak kelihatan yang jumlahnya mungkin puluhan.
Suara pekik jerit itu ada yang datang dari atas langit, ada yang keluar dari
dalam tanah! Tiba-tiba tanah di bawah pohon jati bergetar keras dan terbelah. Dari celah
belahan, didahului suara tawa cekikikan panjang melesat keluar satu sosok
perempuan menebar bau harum.
Karuan saja Sinuhun Merah Penghisap Arwah jadi tersentak kaget luar biasa.
Tengkuk terasa dingin. Dia menghisap dan menyedot sekali lagi.
Namun sosok di depannya tetap tidak berubah, bahkan lemparkan senyuman ke
arahnya! Saat itu Sinuhun tidak lagi mempergunakan ilmu Insan Berjalan Tanpa
Bayangan yang diterapkan Raja Dukun Batu Berlumut hingga sosoknya terlihat
seperti biasa. "Yang aku hisap arwah lelaki. Mengapa seka-
rang muncul roh perempuan"! Jangan-jangan ada kesalahan ketika mengucap mantera.
Siapa mah- luk ini"!"
Kejut Sinuhun Merah perlahan-lahan
mengendur bilamana dia memperhatikan sosok roh di hadapannya.
Roh perempuan yang muncul berwajah cantik, tidak tertandingi oleh Ratu Randang,
perempuan yang selama ini menjadi kekasih dan diperguna-
kan ilmu kepandaiannya untuk membantu diri-
nya. Pakaian panjang yang dikenakan terbuat dari sutera halus berwana hijau.
Tubuh dan pakaian menebar bau harum semerbak yang bisa meng-
goncang darah lelaki. Rambut hitam berkilat di-
gerai lepas di belakang punggung. Di sebelah depan kepala bertengger sebuah
mahkota kecil dari emas dengan ukiran berbentuk kepala ular dengan sepasang mata
terbuat dari permata hijau bersinar.
Sepasang mata Sinuhun Merah mengerenyit ketika dia melihat dari balik perut
pakaian roh perempuan itu menyembul keluar seekor ular besar hitam berkepala
putih, meliuk-liuk di permukaan pusar! Lalu lenyap kembali masuk ke dalam perut!
"Roh perempuan cantik, apakah kau datang dari alam delapanratus tahun
mendatang?" Sinu-
hun Merah ajukan pertanyaan.
"Betul sekali." Yang ditanya menjawab pendek.
Mulut masih merekah senyum.
"Aku... aku tidak merasa memanggilmu." Ber-
kata lagi Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sepasang alis kereng hitam perempuan cantik mencuat ke atas. Kepala diangkat
sedikit lalu mulut keluarkan tawa renyah.
"Kau membaca mantera memanggil roh. Ratu-
san roh berebut keluar dari alam gaib. Namun hanya aku sendiri yang mampu hadir
di hadapan- mu. Adalah aneh kalau kau kini berkata tidak memanggil diriku..."
"Demi Dewa Bhatara Agung..."
"Jangan menyebut nama Dewa untuk peker-
jaan keji yang sedang kau lakukan!" Perempuan berpakaian sutera hijau memotong
ucapan Sinu- hun yang membuat Sinuhun tersentak kaget.
Kini ada rasa curiga juga waspada dalam dirinya. "Roh dari alam delapanratus
tahun men- datang. Jika aku kesalahan telah memanggilmu harap dimaafkan. Aku mohon kau
segera kembali ke alammu." Berkata Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Mendengar ucapan Sinuhun Merah si cantik berpakaian sutera hijau kembali
tertawa. "Aku akan kembali ke alamku asal saja kau ikut mengantar!"
"Apa"! Maaf hal itu tak mungkin aku lakukan."
Jawab Sinuhun Merah.
"Kalau begitu apa perlunya menyesalkan keha-
diranku di sini" Suatu ketika kau akan memer-
lukan diriku. Mungkin untuk berbagi ilmu, Mung-
kin juga untuk berbagi cinta. Hik... hik.. hik..."
Setelah mengumbar tawa panjang roh perem-
puan cantik yang dari perutnya tadi menyembul keluar ular hitam kepala putih
lambaikan tangan lalu melesat ke udara. Sinuhun Merah Penghisap Arwah berusaha
mencegat dengan melompat pula ke udara. Mulut dan hidung menghisap berba-
rengan. Namun sia-sia saja. Si cantik bermahkota itu telah lenyap di atas langit
Bhumi Mataram. Sinuhun Merah tertegun merenung.
"Mahluk perempuan itu. Aku akan menemui-
nya lagi! Pasti! Siapapun dia mungkin aku bisa memanfaatkan diri dan ilmu
kesaktiannya. Pen-
ampilannya garang. Tapi kecantikan wajahnya...
Astaga, apakah aku telah tertarik pada dirinya?"
WIRO SABLENG 11 ROH JEMPUTAN INUHUN Merah Penghisap Arwah melayang
turun dan duduk kembali bersila di atas Sbatangan pohon jati. "Bagaimana mungkin
bisa terjadi kekeliruan. Mahluk perempuan tadi.
Bisa jadi dia salah seorang yang juga pernah di-
bantai beramai-ramai di sekitar kawasan ini. Ka-
lau dia berada di pihakku mungkin ada baiknya.
Tapi kalau dia hendak mengacaukan semua ren-
canaku yang hampir rampung ini, benar-benar celaka! Gerak-geriknya, walau cantik
agaknya dia bukan roh baik-baik. Apalagi membekal seekor ular di dalam perut!
Aneh! Apa yang terjadi" Baru sekali ini kejadian seperti ini. Mungkin ada
sesuatu yang terlupa aku ucapkan di dalam mantera?"
Dari atas pohon tinggi Sinuhun Merah coba mengingat-ingat sambil memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Di timur cahaya benderang merah kekuningan sang surya
mulai memudar pertanda siap memasuki ufuk tenggelamnya. Tiba-tiba Sinuhun Merah
ingat. Tampangnya berubah.
"Memang, ada sesuatu yang terlupa. Senjata sang Roh Jemputan. Aku tadi tidak
menyebutkan. Aku tidak melafal dalam mantera. Aku harus mengulang mantera..."
Lalu seperti tadi tangan segera didekapkan ke dada. Mata dipejam, mulut dibuka.
Dari dalam mulut ini kembali keluar lidah merah, bergulung panjang membelit
sekujur tubuhnya. Mulut kemu-
dian mengeluarkan suara bergumam panjang.
Kesunyi-senyapan serta merta menggantung di seantero kawasan.
Sinuhun Merah berkata perlahan. Mengulang mantera. Kali ini dalam ucapan yang
lebih lengkap. "Mahluk alam roh, yang aku tidak tahu nama, tapi yang aku kenal
sebagai Ksatria Roh Jemputan, yang tewas dibunuh secara keji oleh para
pengeroyok pengecut. Yang peristiwanya ter-
jadi di masa delapanratus tahun mendatang di puncak Gunung Merapi ini. Yang
dikabarkan memiliki sebuah senjata sakti mandraguna berupa Lentera yang mampu
memancarkan tiga cahaya berwarna merah, kuning dan hitam. Sudilah da-
tang menemui diriku. Aku Sinuhun Merah Peng-
hisap Arwah, ingin bersahabat denganmu, ingin kau muncul di Bhumi Mataram untuk
membalas dendam kesumat atas musuh besarmu yang aku sebut dengan nama Ksatria
Panggilan. Sebentar lagi matahari akan segera tenggelam. Siang ber-
ganti malam. Sebelum sang surya menghilang aku mohon kau sudah berada di
hadapanku."
Delapan benjolan yang ada di kening Sinuhun Merah memancar terang. Lidah panjang
yang menggulung tubuh membuka dan masuk kembali ke dalam mulut. Sinuhun Merah
hirup udara dalam-dalam lalu mulut menghisap keras.
Wuss! Untuk kedua kalinya pepohonan di tempat itu bergoyang dan berderak. Daun-daun
berguguran. Rerantingan patah beterbangan. Semak belukar menghambur ke udara bersama pasir,
tanah dan debu. Udara serta merta menjadi gelap. Apa lagi saat itu sang surya
telah masuk ke ufuk teng-
gelamnya. Suara jerit pekik menggelegar dari langit dan dari dalam tanah. Bumi
bergetar, lebih dahsyat dari yang terjadi sebelumnya.
Kalau sebelumnya tanah di depan pohon jati tua mencuat terbelah, kini tanah di
samping kanan yang menguak lebar. Didahului suara ben-
takan lantang serta sambaran tiga cahaya merah, kuning dan hitam, dari dalam
tanah yang terbelah melesat keluar satu sosok tinggi besar seorang berpakaian
dan bermantel hitam di punggung.
Pada dada pakaian ada gambar biru puncak Gu-
nung Merapi dengan latar belakang matahari ber-
warna merah membersitkan garis cahaya merah.
Di kening terikat secarik kain berwarna merah.
Pemuda dari alam roh ini menatap ke arah Sinuhun Merah sebentar lalu dongakkan
kepala dan umbar tawa bergelak yang membuat tanah bergetar dan pohon jati yang
diduduki Sinuhun bergoyang keras.
"Tenaga dalamnya luar biasa. Dasar dari ilmu kesaktian tinggi. Kali ini tidak
keliru. Dialah Roh Jemputan dari alam delapanratus tahun menda-
tang. Tapi aku melihat ada bayangan keangkuhan dan kekerasan di wajahnya."
Membatin Sinuhun Merah.
"Mahluk alam roh yang berasal dari masa dela-
panratus tahun mendatang. Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa bersyukur dan
mengu- capkan terima kasih kau sudah sudi datang menemuiku. Aku akan memanggilmu dengan
sebutan Ksatria Roh Jemputan. Namun aku minta terlebih dulu kau mau menerangkan
siapa dirimu sebenarnya. Setelah itu kau ikut bersamaku untuk menghadang dan
membunuh seseorang yang datang dari alam yang sama dengan dirimu, yang aku sebut
sebagai Ksatria Panggilan..."
Pemuda di bawah pohon kembali menatap
Sinuhun Merah, setelah tertawa panjang dia baru membuka mulut.
"Mahluk mengaku bernama Sinuhun Merah
Penghisap Arwah, kau memanggil aku dari alam gaib. Tapi kau tidak tahu siapa
diriku. Sungguh edan!"
Telinga Sinuhun Merah berdesing panas men-
dengar dirinya dimaki edan. Namun dia berusaha mempersabar diri.
"Aku mohon maaf. Harap..." Ucapan Sinuhun Merah dipotong dengan bentakan.
"Mahluk merah di atas pohon buntung! Kalau kau ingin meneruskan bicara denganku
turunlah ke tanah. Tidak pantas mahluk buruk seperti dirimu bicara denganku dari
atas pohon!"
Sinuhun Merah Penghisap Darah langsung ber-
ubah tampangnya. Dalam hati dia menggeram.
"Mahluk sombong, aku akan memberi pelajaran padamu! Kalau saja aku tidak
membutuhkanmu sudah kulumat tubuhmu saat ini juga!"
Dengan gerakan cepat dan ringan Sinuhun Merah melompat turun dari atas pohon.
Begitu berdiri berhadap-hadapan ternyata tinggi Sinuhun Merah hanya sampai
sepundak sang Roh Jem-
putan. "Mahluk merah, kau mendatangkan diriku dari alam gaib delapanratus mendatang,
katakan apa keinginanmu?"
"Aku akan memperlakukan dirimu dengan
segala hormat dan menyebut dirimu dengan nama Ksatria Roh Jemputan. Membawamu ke
Bhumi Mataram untuk membunuh satu Roh Panggilan yang juga berasal dari alam yang
sama seperti dirimu..."
"Mengapa aku harus membunuh Roh Panggilan itu?"
"Karena dia adalah musuh besar yang telah membunuhmu bersama beberapa tokoh
rimba persilatan lainnya. Kau membalas dendam sakit hatimu, sekaligus memberi
bantuan pada diriku."
"Siapa musuh besar yang kaumaksudkan?"
"Aku tidak tahu namanya. Ujudnya akan segera muncul malam ini juga di Bhumi
Mataram." "Menolongmu urusan kecil bagiku. Tapi imba-
lan apa yang akan kau berikan padaku?"
Sinuhun Merah terdiam. Dia semakin merasa-
kan keangkuhan dan kecerdikan yang memuak-
kan dalam diri Roh Jemputan ini. Setelah berpikir sejenak akhirnya Sinuhun
Menjawab. "Ksatria Roh Jemputan, kau saja yang menga-
takan apa imbalan yang kau inginkan."
"Begitu...?" Mahluk alam roh yang disebut Ksatria Roh Jemputan menyeringai lalu
tertawa bergelak. "Baiklah, aku akan mengatakan imbalan apa yang aku minta.
Sinuhun Merah, aku minta aku diberi hak dan kesempatan untuk mendirikan Partai
Bendera Darah di Bhumi Mataram. Partai ini kelak akan menguasai dunia nyata dan
alam gaib. Kau akan menjadi salah seorang pemban-
tuku. Berarti mulai saat ini kau harus tunduk padaku!"
Kejut Sinuhun Merah Penghisap Darah bukan alang-kepalang. Darahnya serasa
mendidih terba-
kar amarah. Delapan benjolan merah memancar terang. "Jahanam kurang ajar! Aku
yang memang- gilnya datang ke Bhumi Mataram. Sekarang aku pula yang harus tunduk padanya!
Mahluk jaha- nam tidak tahu diri ini harus aku hajar sekarang juga!" Kata Sinuhun Merah dalam
hati. Amarah- nya sudah meledak di kepala. Kaki kanan dihen-
takkan ke tanah. Tinju kanan dipukulkan ke langit. Kejap itu juga delapan larik
sinar merah berkiblat di udara, dan delapan lagi menderu di tanah. Masing-masing
delapan larik sinar merah ini laksana kilat masuk ke dalam tubuh Roh Jemputan
lewat kepala dan kaki!
Dalam kejutnya Roh Jemputan tidak sempat berbuat apa-apa.
Dess! Dess! Sosok tinggi besar Roh Jemputan bergoncang dua kali. Asap mengepul. Di keningnya
muncul delapan benjolan merah! Merasa ada hawa panas di kepala, Roh Jemputan
meraba keningnya. Dia terkejut ketika merasa ada delapan benjolan. Se-
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasang mata mahluk ini membeliak besar. Rahang menggembung. Mulut siap melabrak.
Namun Sinuhun yang diam-diam telah merapal mantera mendahului menghardik.
"Roh Jemputan! Kesombonganmu tidak berlaku di hadapanku! Mulai saat ini kau
harus tunduk padaku! Aku akan mengendalikan dirimu dan memberikan setiap
perintah yang harus kau patuhi! Sekarang berlututlah di hadapanku! Jika kau
menolak aku akan membuat kau tidak kem-
bali ke alammu untuk selama-lamanya. Rohmu akan berkeliaran tak karuan,
tergantung antara bumi dan langit. Tunduk dan berlutut!"
Aneh! Saat itu juga Roh Jemputan yang tadi bersikap garang perlahan-lahan
menekuk sepa- sang kaki lalu berlutut di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
"Nyatakan kepatuhanmu dengan sumpah!"
Bentak Sinuhun Merah.
"Mulai saat ini aku bersumpah tunduk dan patuh padamu Sinuhun Merah Penghisap
Arwah." Sinuhun Merah tertawa bergelak.
"Sekarang berdiri dan katakan roh siapa dirimu sebenarnya!"
Perlahan-lahan Roh Jemputan bangkit berdiri, kepala ditundukkan. Mulut berucap.
"Aku roh Pangeran Anom. Putera Raja
Surokerto dari istri bernama Siti Hinggil. Aku dikenal dengan julukan Pangeran
segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, segala congkak. Tapi aku
lebih sangat dikenal dengan nama panggilan Pangeran Matahari!"
Mendengar kata-kata angkuh yang diucapkan itu Sinuhun Merah kembali tertawa
bergelak. WIRO SABLENG 12 ROH JEMPUTAN EKARANG kita ikuti apa yang terjadi dengan Sinto Gendeng, Pendekar 212 Wiro
Sableng Sdan Ni Gatri yang terdampar di Bhumi Mata-
ram. Kita lihat Ni Gatri lebih dulu.
Setelah tubuhnya terguling-guling di tanah, Ni Gatri terpental ke atas semak
belukar. Jatuh tepat ke atas pangkuan seorang yang sedang khusuk melakukan
samadi yaitu seorang nenek berwajah bundar, berdandan tebal, tapi tidak memiliki
alis! Di atas kening ada empat benjolan merah menge-
pulkan asap. Sepasang mata si nenek yang terpe-
jam membuka mendelik. Mulut hendak mendam-
prat marah karena ada yang berani mengganggu memutus samadinya di tengah malam
itu. Tapi begitu melihat siapa adanya anak perempuan yang pingsan dan berada di
atas pangkuannya, nenek berjubah biru ini berseru kaget. Buru-buru dia peluk
tubuh Ni Gatri, wajah si anak dicium berulang kali. Sambil memeluk dan mencium
si nenek berkata.
"Terima kasih wahai Para Dewa di Swargaloka.
Anak ini akhirnya Kau kirimkan kepada saya.
Rupanya dia memang berjodoh dengan diri saya.
Saya bersyukur kehadirannya akan membuat saya mampu melakukan sedikit kebajikan
bagi Raja dan rakyat Mataram. Terima kasih Dewa Agung!"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa seolah me-
nyahuti ucapan si nenek tadi. Disusul ucapan lantang.
"Rauh Kalidathi! Iblis perempuan tidak beralis!
Tidak ada yang berjodoh dengan dirimu! Anak pe-
rempuan itu harus kau serahkan padaku! Kalau ada sedikit kebajikan yang dapat
kaulakukan ma- ka itu adalah untuk Sang Junjungan! Kau ikut bersamaku saat ini juga! Menghadang
Roh Pang- gilan yang datang dari negeri delapanratus tahun mendatang!"
Kejut perempuan yang duduk di atas semak belukar bukan alang kepalang. Dia
menjawab tawa dan ucapan orang dengan pekikan dahsyat.
"Ludra Bhawana! Sekarang jadi jelas bagiku!
Kau adalah salah seorang dari tujuh dukun sesat penimbul malapetaka Malam
Jahanam di Bhumi Mataram! Kau anak buah Raja Dukun Batu Ber-
lumut! Pasti ilmu setanmu yang telah mengirim-
kan delapan benjolan merah di keningku! Aku mengadu nyawa denganmu!"
Habis keluarkan ucapan nenek bernama Rauh Kalidathi angkat tubuh Ni Gatri lalu
dimasukkan ke dalam semak belukar. Dua tangan kemudian membuat gerakan seperti
mencengkeram. Saat itu juga semak belukar dikobari api. Di sebelah luar api itu
panas luar biasa namun di dalam semak belukar hanya ada kesejukan. Nyatanya Ni
Gatri yang masih pingsan tidak mengalami cidera sedikitpun. Malah kini anak itu
tampak seperti tidur nyenyak!
"Ilmu Kesejukan Di Dalam Api! Siapa takut"!
Ilmu permainan anak-anak! Ha... ha... ha!"
Orang bernama Ludra Bhawana mengejek. Ter-
nyata dia adalah seorang lelaki berusia sekitar empatpuluh tahunan, mengenakan
pakaian dan destar kuning. Sambil bertindak mundur dua langkah orang ini
dorongkan dua telapak tangan ke arah si nenek di atas semak belukar.
Wusss! Wusss! Dua larik sinar kuning menghantam mengelu-
arkan suara menggelegar. Si nenek yang diserang cepat melesat ke udara lalu
melayang turun sam-
bil kebutkan dua ujung lengan jubah biru. Dua gelombang cahaya biru berkiblat.
Blaarr! Blaar! Empat cahaya sakti saling bentrokan di udara.
Empat letusan dahsyat membahana di malam buta. Ranting dan daun-daun pepohonan
patah rontok bertaburan. Debu beterbangan. Namun anehnya semak belukar di mana
Ni Gatri berada hanya bergoyang-goyang.
Akibat benturan ilmu kesaktian tingkat tinggi yang dilepas dengan aliran tenaga
dalam dahsyat, Ludra Bhawana terpental dan bergulingan di tanah namun dengan
cepat berdiri kembali setelah lebih dulu memungut destar kuning yang tercam-
pak di tanah. Mukanya pucat karena tak me-
nyangka si nenek bisa menghadapi serangannya.
Akan halnya si nenek, benturan dua kekuatan tadi membuat tubuhnya mencelat
delapan tombak seolah lenyap hendak menembus langit malam.
Namun dengan gerakan jungkir balik sambil mengebutkan bagian bawah jubah birunya
untuk melindungi diri dia berhasil melayang turun ke tanah tanpa cidera. Sampai
di tanah, braakk! Dia terduduk menjelepok begitu rupa. Astaga!
Ternyata nenek ini berada dalam kedaan lumpuh dua kakinya! Lumpuh akibat ikut
terkena malapetaka Malam Jahanam!
Ludra Bhawana tertawa mengekeh. "Nenek
tolol! Kau ikut maka akan aku berikan obat pena-
war kelumpuhan! Jika menolak kau aku habisi kejap ini juga!"
"Aku memilih mati!" Jawab Rauh Kalidathi.
Tubuh si nenek membubung ke udara. Dua lengan jubah biru dikebut. Namun si nenek
kalah cepat. Karena Ludra Bhawana telah lebih dulu menghan-
tamkan dua tangan melepas pukulan bernama Arwah Malam Menjemput Mangsa.
Rauh Kalidathi berteriak lantang. Tubuh yang lumpuh melesat ke udara setinggi
tiga tombak. Namun serangan lawan memotong dan mengejar dengan ganas. Dua larik sinar kuning
menghan- tamnya dari kiri dan kanan. Dalam keadaan tubuh menderita lumpuh seperti itu si
nenek tentu saja tidak bisa bergerak cepat.
"Celaka! Aku tidak takut menemui ajal! Tapi bagaimana dengan anak perempuan
itu?" Sekeja-
pan lagi sekujur tubuh lumpuh Rauh Kalidathi akan hancur berantakan dihantam dua
larik pukulan Arwah Malam Menjemput Mangsa si nenek menggeliat, mulut melafal
mantera lalu berteriak.
"Tiga Bayangan Pelindung Raga!"
Serentak dengan itu muncul tiga sosok baya-
ngan menyerupai sosok si nenek, masing-masing berujud lima kali lebih besar!
Tiga bayangan berkeliling membentuk benteng gaib melindungi Rauh Kalidathi. Saat
itulah dua larik serangan Arwah Malam Menjemput Mangsa datang meng-
hantam. Semula Ludra Bhawana memang sempat terkesiap namun teruskan serangan,
malah kini dengan mengerahkan tenaga dalam penuh hingga dari batok kepalanya
mengepul asap kuning!
Ledakan dahsyat seolah hendak meruntuhkan langit malam. Satu pohon besar
berderak patah dan tumbang. Beberapa pohon kecil tercabut dari akar lalu roboh.
Tiga Bayangan Pelindung Raga meraung keras, mental cerai berai! Dan lagi-lagi
terjadi keanehan. Semak belukar terbakar di mana Ni Gatri berada seolah tidak
tersentuh. Hanya kobaran api yang tampak bergoyang-goyang.
Tubuh Rauh Kalidathi mencelat ke udara, menyangsrang melintang di atas cabang
satu pohon besar lalu jatuh bergedebuk ke tanah.
Sekujur tubuh dan pakaiannya kini tampak ber-
warna kekuningan dan mengepulkan asap. Si nenek menggeliat, berusaha duduk namun
tak kuasa. Tubuhnya terbanting kembali ke tanah.
Mengerang halus. Kalau saja dirinya tadi tidak terlindung oleh ilmu Tiga
Bayangan Pelindung Raga, saat itu tubuhnya mungkin sudah lumat tak karuan rupa!
Ludra Bhawana sendiri setelah terguling sam-
pai dua tombak, masih mampu bangkit berdiri walau mulut menyemburkan darah
kental. De- ngan terhuyung-huyung dia melangkah mendekati Rauh Kalidathi. Tangan kanan
dipentang ke atas.
Satu langkah di samping si nenek dia merutuk.
"Tua bangka tolol! Diberi nirwana minta nera-
ka!" Wuttt! Tangan kanan Ludra Bhawana menghantam.
Lancarkan pukulan bernama Batu Neraka Meng-
goncang Jagat. Diarahkan ke kepala Rauh Kali-
dathi. Pukulan ini bukan pukulan sembarangan.
Jangankan kepala manusia, batu gunung sebesar rumahpun akan hancur berkeping-
keping! Hanya satu kejapan lagi Rauh Kalidathi akan menemui ajal dihantam pukulan maut
yang dilepas Ludra Bhawana, mendadak sosok Ni Gatri yang ada dalam semak belukar
terbakar melesat ke arah Ludra Bhawana laksana anak panah lepas dari busur. Mata
yang tadi tertutup seperti tidur kini terbuka nyalang. Telunjuk tangan kanan
menunjuk tepat-tepat ke arah Ludra Bhawana.
Mulut keluarkan teriakan lantang. Suara yang terdengar bukan suara anak
perempuan itu, tapi suara seorang lelaki yang sudah lanjut usia!
"Manusia culas Ludra Bhawana! Masih muda tapi dosa setinggi langit sedalam
samudera! Kera-
jaan memberi pangkat tinggi dan anugerah besar padamu. Tapi kau berkhianat!
Malam ini dosamu sudah lewat dari takaran! Malam ini kau harus menyerahkan nyawa
busukmu pada penjaga Pintu Neraka!"
Baru saja suara teriakan berakhir tiba-tiba reeetttt... reetttt! Dua buah tangan
besar merah seperti bara menyala melesat keluar dari dalam tanah langsung
mencekal pergelangan kaki kiri kanan Ludra Bhawana.
Cess! Cesss! Dua pergelangan kaki Ludra Bhawana leleh sampai ke tulang. Bersamaan dengan itu
tu- buhnya tertarik amblas, lenyap masuk ke dalam tanah!
Kobaran api yang membakar semak belukar padam. Bersamaan dengan itu Ni Gatri
yang tadi melayang di udara dan kini terguling di tanah sadarkan diri.
"Malam gelap, udara dingin. Aku berada di mana... Ihhh." Ni Gatri bertanya-tanya
dalam hati. Anak ini merasa takut. Memandang berkeliling dia melihat sosok seorang nenek
berjubah biru ter-
geletak di tanah yang bukan lain adalah Rauh Kalidathi.
Sebagian pakaian dan tubuhnya diselimuti warna kuning. Anak perempuan itu segera
me- langkah mendekat lalu membungkuk di samping si nenek.
"Nek... Nek. Kau kenapa?" Ni Gatri usap-usap punggung Rauh Kalidathi.
Tiba-tiba satu bayangan samar seorang tua berjubah kelabu muncul. Ni Gatri
merasa ping- gangnya dirangkul. Lalu tubuhnya terangkat. Dia melihat sosok si nenek berjubah
biru juga ter- angkat ke udara. Lalu ada suara berucap.
"Kalian berdua biar aku titipkan dulu di Bukit Batu Hangus. Keadaan di sekitar
sini akan sangat berbahaya."
"Tunggu, siapa kau"! Saya tidak mau pergi sendirian. Kakak saya... di mana dia?"
Ni Gatri berteriak.
"Kakak" Kau punya seorang kakak?" Orang tua bayangan bertanya.
"Saya datang bersamanya. Saya tidak mau per-
gi kalau tidak bersama dia. Nenek bau pesing itu biar saja. Saya tidak perduli.
Tapi kakak saya..."
"Anak perempuan" Siapa nama kakakmu?"
Mahluk bayangan kembali bertanya.
"Wiro, namanya Wiro Sableng. Dia bergelar Pendekar Kapak Maut 212..."
"Ah... Ksatria Roh Panggilan! Sudah datang dia rupanya. Bagaimana aku sampai
tidak mengeta- hui" Ada arwah jahat yang berusaha menangkal.
Tapi mengapa muncul bertiga..." Nenek bau pesing, siapa dia" Ah...! Mungkin
nenek yang aku temui di alam delapanratus tahun mendatang itu?"
Diam seketika. Agaknya orang tua bayangan tengah berpikir. Lalu kembali
terdengar suaranya.
"Anak perempuan bernama Ni Gatri. Aku akan menghadapi urusan besar. Lebih cepat
kau dan nenek ini berada di Bukit Batu Hangus akan lebih baik.."
Wutttt! Ni Gatri menjerit ketika dapatkan dirinya mela-
yang ke udara. Lalu di sebelahnya dia juga melihat sosok nenek berjubah biru
ikut melesat ke udara.
"Oala... Ihh... Ini semua gara-gara nenek bau pesing itu! Kalau dia tidak
menyerobot menung-
gangi kuda lumping itu! Kakak, kau di mana"!
Kuda lumpingku, kau di mana" Dewa Agung, tolong diri saya!"
*** Sekarang mari kita ikuti apa yang terjadi
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah terhempas ke tanah, dalam keadaan
terhuyung-huyung dia mencoba bangun dan memandang berkeliling. Ke mana mata
mengawasi hanya kegelapan yang tampak. Di kejauhan samar-samar dia melihat
bayangan sebuah puncak gunung.
"Aku berada di mana" Apakah ini Bhumi Mata-
ram, alam delapanratus tahun silam?" Wiro meng-
garuk kepala. Mata dipentang telinga dipasang.
Selagi murid Sinto Gendeng berpikir-pikir tiba-tiba tanah yang dipijak bergetar.
Menyusul suara berkereketan.
Krekk... kreekkk... kreekkk!
Wiro memandang ke bawah. Astaga! Nyawanya terasa terbang. Delapan anak lelaki
telanjang ber- warna merah mencuat keluar dari dalam tanah. Di kening ada delapan benjolan
kecil merah. Wajah mereka tampak sama semua!
"Bocah kembar delapan! Banyak amat!" ucap Wiro dalam hati sambil menggaruk
kepala semen- tara mata dipentang waspada mengawasi delapan bocah bugil. Menghadapi mahluk
aneh seperti ini bahaya maut bisa muncul secara mendadak.
Delapan anak ini masing-masing membawa
sebatang suling. Ketika suling ditiup bukan leng-
kingan suara yang terdengar tapi dari enam lobang suling menyembur keluar
larikan api ber-
warna merah. Empat puluh delapan larikan api ini langsung membentuk lingkaran
tembok dan mengurung Pendekar 212!
"Bocah sialan! Pakaian saja tidak punya, bera-
ni-beranian mau membunuhku! Mending barang-
mu pada bagus semua! Budukan! Apa salahku"
Siapa yang menyuruh kalian"!" Wiro membentak.
Sejak tadi dia maklum kalau yang dihadapinya bukan anak-anak biasa tapi mahluk
gaib berasal dari alam arwah!
Dibentak demikian rupa delapan anak kecil telanjang tertawa haha-hihi, malah ada
yang ber- teriak-teriak mengejek mencibir-cibir. Ketika Wiro balas mencibir anak-anak itu
tertawa gelak-gelak sambil berjingkrak-jingkrak dan menunjuk-nun-
Wiro Sableng 173 Roh Jemputan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juk ke arah bawah perut Wiro. Beberapa di antara mereka berteriak.
"Telanjang! Ayo telanjang seperti kami! Hik..
hik!" "Buka baju, buka celana! Ayo telanjang seperti kami! Hik.. hik... Nanti kita
sama-sama menari Tarian Api Berhala..."
"Pasti anunya besar! Hikkkk... hik... hik!"
"Pasti rimbun! Hua... ha... ha!"
"Anak-anak sialan!" Maki Pendekar 212.
Sambil terus berteriak-teriak delapan bocah telanjang maju selangkah demi
selangkah. Lingka-
ran tembok api yang mengurung Wiro jadi tambah menyempit. Murid Sinto Gendeng
merasa hawa panas siap melelehkan sekujur tubuhnya. Pakaian putih yang dikenakan
sudah mengepulkan asap.
Sebentar lagi siap terbakar!
Tidak tunggu lebih lama Wiro cepat merapal aji kesaktian Angin Es untuk
melindungi tubuhnya dari gempuran kobaran api yang mengurung.
Delapan bocah bugil terkesiap dan saling pandang heran ketika merasa ada hawa
dingin menyambar dan membuat redup nyala api yang keluar dari tiupan seruling.
Wiro jatuhkan diri sambil mene-
rapkan ilmu Belut Menyusup Tanah.
"Tahan nafas! Tiup suling api lebih keras!"
Salah seorang bocah bugil berteriak. Lalu delapan suling api secara serentak
ditiup lebih keras. Hawa sejuk kembali berubah panas. Kobaran lingkaran api yang
tadi redup kini membesar kembali, menyambar ke arah Wiro.
Di tanah Wiro cepat gulingkan tubuh sambil kerahkan tenaga dalam penuh dan
meniup ke arah lingkaran api!
Wusss! Delapan bocah telanjang berteriak kaget ketika empatpuluh delapan larikan api
yang keluar dari dalam empatpuluh delapan lobang suling kini berbalik. Delapan
bocah melompat surut empat langkah, menjerit kesakitan. Lingkaran api lenyap!
Delapan suling jatuh ke tanah. Mulut dan hidung mereka tampak hangus hitam!
Selagi delapan bocah telanjang itu kalang kabut kesakitan Wiro melompat
menyambar salah seorang di antara mereka. Lalu terdengar jeritan setinggi
langit. "Tobat! Ampun! Jangan diremas! Wadauwww!"
Apa yang terjadi"
Murid Sinto Gendeng berhasil menangkap salah seorang dari delapan bocah bugil.
Lalu kemaluan anak itu diremasnya hingga si anak menjerit-jerit kesakitan. Tujuh
bocah lain yang merupakan kembarannya, karena memiliki hubungan batin alam arwah
yang sangat dekat langsung ikut merasa sakit dan menjerit-jerit pula.
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Jangan! Ampun!"
"Bocah-bocah geblek! Aku mau memberi am-
pun! Tidak meremas hancur barang budukmu!
Tapi beri tahu siapa kalian dan siapa yang menyu-
ruh kalian membunuhku!"
"Kami akan memberi tahu! Kami minta ampun!"
Teriak tujuh bocah termasuk satu yang diremas kemaluannya oleh Wiro.
Tujuh bocah bugil jatuhkan diri. Kening diletakkan di tanah. Seperti mau
bersujud minta ampun. Tapi tahu-tahu tujuh bocah ini benturkan kepala masing-
masing dengan keras ke tanah!
Praakkk! Tujuh kepala hancur! Tubuh mereka serta mer-
ta lenyap meninggalkan kepulan asap merah!
Bocah yang dicekal Wiro menjerit keras. Aneh!
Walau tidak membenturkan kepala ke tanah tapi kepalanya juga ikut hancur lalu
tubuhnya lenyap pula. Namun tidak keseluruhannya lenyap. Anggo-
ta kemaluannya yang tadi diremas hingga remuk ternyata masih ada dalam genggaman
tangan kanan Wiro.
"Hah!"
Remasan tangan dibuka. Wiro melengak kaget dan jijik melihat hancuran daging
bergelimang darah! Dia keluarkan suara seperti mau muntah!
"Bocah kembar sialan! Anak jahanam! Huekkk!"
TAMAT Ikuti serial berikutnya berjudul:
DUA NYAWA KEMBAR
Document Outline
RJ1.pdf RJ1.pdf BASTIAN TITO
WIRO SABLENG e-book oleh: kiageng80 sumber cover: kelapalima
sumber kitab: pendekar212
RJ3.pdf ROH JEMPUTAN
ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN *** ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN ROH JEMPUTAN
*** TAMAT DUA NYAWA KEMBAR
Kemelut Di Cakrabuana 4 Dewa Arak 69 Peti Bertuah Iblis Sungai Telaga 3