Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 12

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 12


Ki Sigarwelat memang sudah memperhitungkan bahwa Agung Sedayu tentu memiliki ilmu yang tinggi, menilik kemampuan muridnya mengalahkan anak Ki Citrabawa itu. Menurut pendapatnya anak Ki Citrabawa itu telah mempunyai ilmu yang memadai. Namun ternyata telah dikalahkan oleh seorang anak yang masih terlalu muda.
Dalam pada itu, Ki Ajar Sigarwelat menyadari, bahwa ia harus mampu mengalahkan lawannya dengan cepat. Jika tidak, maka anak muridnya itu akan dapat menjadi korban. Dengan demikian, maka Ki Ajar itu telah meningkatkan ilmunya dengan cepat. la ingin segera dapat mengalahkan Agung Sedayu dan kemudian meninggalkan tempat itu. Jika ia telah berhasil membunuh Agung Sedayu, maka Glagah Putih bukan lagi persoalan baginya.
Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu memang terlalu liar untuk dapat dibinasakan segera. Ia merasa bahwa dibutuhkan waktu untuk membunuh guru Glagah Putih itu. Sementara itu muridnya yang bertempur melawan Glagah Putih, tentu akan segera terdesak. Bahkan mungkin akan membahayakan jiwanya.
Karena itu setelah mereka bertempur beberapa saat, Ki Ajar Sigarwelat merasa perlu untuk melindungi muridnya yang tertua dan yang dianggapnya terbaik itu. Murid yang dipersiapkan untuk mampu melaksanakan tugas-tugasnya di padepokan jika Ki Ajar Sigarwelat itu menjadi semakin tua. Dalam beberapa tahun terakhir, diharapkan muridnya itu mampu mewarisi segala ilmunya. Meskipun masih harus dikembangkannya.
Tetapi menurut perhitungan Ki Ajar, ia memang memerlukan waktu yang cukuplama untuk membunuh Agung Sedayu, sehingga ia harus mengambil jalan lain yang memang sudah dipersiapkan. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terdengar suitan nyaring. Suaranya bergetar membelah udara dan membentur lereng bukit. Gemanya mengumandang di gelapnya malam.
Agung Sedayu dan Glagah Putih berdebar karenanya. Isyarat itu tentu akan menimbulkan perubahan pada lingkaran pertempuran itu.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka seseorang telah meloncat dari dalam gerumbul liar yang disaput oleh kegelapan malam. Demikian cepatnya bayangan itu bagaikan terbang langsung kearah Rara Wulan.
Terdengar suara Ki Ajar Sigarwelat tertawa, katanya, "Sayang Agung Sedayu. Kau tidak akan mempunyai pilihan lain. Rara Wulan akan segera kami kuasai. Perlawananmu tidak akan mempunyai arti apa-apa."
Tetapi jawaban Agung Sedayu memang masih saja mantap, "Bawalah gadis itu. Sudah aku katakan. Aku tidak berkeberatan asal kau lepaskan kami pergi."
"Tidak. Kami bawa gadis itu, dan kau tidak akan terlepas dari tanganku. Jika kau memang tidak terpengaruh lagi sikap apapun yang kami lakukan atas gadis itu, maka biarlah muridku kedua itu membantu kakak seperguruannya untuk membunuh muridmu." berkata Ki Ajar Sigarwelat.
Agung Sedayu yang meloncat mengambil jarak sempat melihat laki-laki yang disebut murid kedua Ki Ajar Sigarwelat itu kemudian telah berdiri disebelah Rara Wulan.
"Singkirkan gadis itu. Jangan beri kesempatan ia melarikan diri. Tutup simpul syaraf yang menggerakkan kakinya. Kemudian kau bantu kakangmu membinasakan Glagah Putih." berkata Ki Ajar Sigarwelat.
Murid kedua itu menyahut, "Aku akan melakukan sebaik-baiknya guru."
"Cepat lakukan." berkata Ki Ajar.
"Ternyata kau licik." berkata Agung Sedayu, "kau siapkan orang ketiga."
"Apa keberatanmu." jawab Ki Ajar, "aku memang telah mempersiapkan. Pertempuran seperti ini memang sudah aku perhitungkan. Tetapi aku salah menilai harkat kemanusiaanmu. Aku kira kau akan mengorbankan diri ketika gadis itu terancam. Tetapi agaknya kau sama sekali tidak memperdulikannya. Aku menduga, bahwa dengan menguasai gadis itu, maka kau akan menghentikan perlawananmu."
"Gadis itu bukan anakku." sahut Agung Sedayu.
"Bagus." sahut Ki Ajar. Lalu katanya kepada muridnya, "Cepat lakukan. Kau menunggu apa lagi. Jangan sakiti gadis itu. Tetapi jangan sampai ia melarikan diri."
"Baik guru." jawab murid kedua itu.
Sementara itu Ki Sigarlewat semakin meningkatkan ilmunya untuk mendesak Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putih justru telah benar-benar menguasai arena. Lawannya setiap kali telah berloncatan menjauh untuk menghindari serangan Glagah Putih yang datang beruntun. Anak Ki Citrabawa itu justru menjadi ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu Sapu Anginnya yang masih terlalu dasar. Ia yakin, jika ia mencobanya maka ia tentu akan mengalami kesulitan, yang sama seperti yang pernah terjadi karena Glagah Putih telah membentur ilmunya itu.
Karena itu, maka saudara seperguruannya tidak dapat tinggal diam. Keduanya akan dapat memperhitungkan kemungkinan untuk mengalahkan Glagah Putih. Meskipun ilmu mereka masih belum memadai dibanding dengan Glagah Putih, tetapi berdua mereka dapat menarik perhatian Glagah Putih, semen"tara anak Ki Citrabawa itu melepaskan Sapu Anginnya.
Dengan demikian, maka murid kedua itu segera menutup simpul syaraf Rara Wulan, agar gadis itu tidak dapat melarikan diri. Dengan sigapnya murid ke dua itu meloncat mendekati Rara Wulan. Ia telah siap untuk menyentuh simpul-simpul syaraf dipunggung gadis itu, sehingga gadis itu seakan-akan menjadi lumpuh. Dengan demikian maka gadis itu tidak akan sempat melarikan diri.
Tetapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Demikian orang itu siap menyentuh simpil syarafnya dengan ujung-ujung jari tangannya yang merapat, maka gadis itu dengan serta merta telah bergeser selangkah. Tiba-tiba tangan gadis itu terayun deras sekali menghantam wajah murid kedua di Ki Ajar Sigarwelat.
Murid kedua Ki Ajar itu terpelanting beberapa langkah dan kemudian terbanting jatuh. Namun dengan tangkasnya ia meloncat bangkit meskipun wajahnya terasa betapa panasnya. Namun demikian ia berdiri tegak, maka yang berdiri dihadapannya bukan lagi seorang gadis yang ketakutan. Tetapi seorang perempuan dalam pakaian khusus. Kain panjangnya sudah dilemparkannya ditanah bersama bajunya yang terlalu sempit.
Yang terjadi itu memang telah menarik perhatian. Ki Ajar Sigarwelat dan muridnya yang pertama telah berloncatan mengambil jarak untuk melihat apa yang telah terjadi.
Muridnya yang kedua masih berdiri termangu-mangu. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Apa yang telah kau lakukan?"
Sebelum perempuan itu menjawab, maka anak Ki Citrabawa itupun berteriak, "Perempuan itu tentu bukan Rara Wulan."
"Ya. Aku memang bukan Rara Wulan." sahut perempuan itu.
"Siapa kau?" bertanya murid kedua itu.
"Namaku Sekar Mirah. Aku adalah isteri kakang Agung Sedayu." jawab perempuan itu.
"Gila." geram Ki Ajar Sigarlewat, "jadi inilah yang kau lakukan" Agung Sedayu. Kau telah membuat aku sangat marah."
Tetapi jawab Agung Sedayu tidak kalah tegasnya, "Kau telah membuat aku marah sejak kemarin."
"Persetan." geram Ki Ajar Sigarlewat, "jika Rara Wulan bukan sanak kadangmu, maka sekarang yang ada disini adalah justru isterimu. Muridku kedua tidak akan segan-segan membunuhnya."
"Isteriku sifatnya lebih keras dari aku. Sebelum aku membunuhmu, agaknya isteriku telah melakukannya atas muridmu jika muridmu itu tidak menyerah." berkata Agung Sedayu.
"Kau terlalu sombong." geram Ki Ajar.
"Nah Ki Ajar. Sebaiknya Ki Ajar mengurungkan niat Ki Ajar. Muridmu, anak Ki Lurah itupun harus berjanji tidak akan mengganggu Rara Wulan lagi. Sedangkan murid keduamu harus minta maaf kepada isteriku, karena ia sudah berani mencoba membuatnya lumpuh." berkata Agung Sedayu.
"Jangan menyesal jika kalian bertiga akan mati disini." berkata Ki Ajar Sigarwelat, "meskipun aku masih berniat untuk membunuhnya dengan tanganku tanpa mempergunakan Aji Sapu Angin, namun jika keadaan memaksa, maka aku akan de"ngan serta merta mempergunakan. Bukan saja atasmu, tetapi juga atas murid dan isterimu."
Ki Ajar Sigarwelat yang menjadi sangat marah itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan suara lantang ia berteriak, "Bunuh isteri Agung Sedayu. Bunuh Glagah Putih dan aku akan membunuh Agung Sedayu. Setelah itu, kami akan memasuki Tanah Perdikan Menoreh untuk mengambil Rara Wulan. Na"mun karena kalian sudah menyakiti hatiku, maka aku akan membakar padukuhan induk Tanah Perdikan itu meskipun Rara Wulan telah ada ditanganku. Jangan menyesal bahwa Ta"nah Perdikan Menoreh akan menjadi rata dengan tanah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan membual lagi Ki Ajar. Kami sudah bertekad untuk menghentikan tingkah lakumu itu. Aku tidak tahu, jalur perguruan manakah yang kau anut, karena jalur perguruan yang menurunkan ilmu Sapu Angin pada mulanya tidak mencerminkan tingkah laku sebagaimana kau lakukan. Mungkin ilmumu bersumber dari padepokan Kaliwalik didekat suwangan Kali Bagawanta, atau bersumber dari padepokan yang lain, namun yang aku hadapi sekarang adalah Ki Ajar Sigarwelat yang telah dengan menyalah gunakan kemampuannya yang tinggi akan merampas kebebasan dan kemerdekaan orang lain, dalam hal ini, Rara Wulan. Satu tindakan yang tidak terpuji. Dengan ilmu yang, tinggi, seharusnya kau melindungi orang-orang lemah. Tetapi kau sudah berbuat sebaliknya."
"Cukup." teriak Ki Ajar Sigarwelat. Lalu katanya kepada murid-muridnya yang pertama, "Cobalah bertahan untuk bebarapa lama. Aku akan segera membinasakan Agung Sedayu sementara itu adikmu akan dengan cepat membunuh isteri Agung Sedayu yang tidak kalah sombongnya dari suaminya."
Anak Ki Citrabawa itu memang menjadi cemas. Sejak semula ia telah menyadari, bahwa ia tidak akan menang atas Glagah Putih. Tetapi ia harus bertahan untuk tetap hidup beberapa lama, sampai saatnya adik seperguruannya itu datang membantunya. Atau bahkan gurunya sendiri. Namun justru karena itu, maka ia tidak berani melontarkan ilmu Sapu Anginnya. Jika Glagah Putih membentur ilmunya itu, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk bertahan lebih lama lagi.
Dengan demikikian maka anak Ki Lurah Citrabawa itu akan mencoba untuk menghindari saja seandainya lawannya menyerang dengan ilmunya, sambil menunggu kesempatan yang paling baik untuk mungkin ada kesempatan menyerang dengan Aji Sapu Angin.
Dalam pada itu, Sekar Mirahpun telah bersiap menghadapi murid kedua Ki Ajar Sigarwelat. Sesaat keduanya masih berdiri berhadapan. Dengan nada geram murid kedua itu berkata, "Jangan menyesal bahwa kau akan mati karena tingkah lakumu. Dengan berpura-pura menjadi Rara Wulan, kau telah menjerumuskan dirimu sendiri kedalam maut."
"Aku sudah siap." berkata Sekar Mirah.
Murid kedua itu menggeretakkan giginya. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya ia telah bergeser selangkah surut. Pukulan Sekar Mirah masih terasa sakit di wajahnya.
Sekar Mirah tidak melangkah maju. Tetapi ia segera bersiap, ia sadar sepenuhnya, bahwa lawannya tengah mengambil ancang-ancang.
Sebenarnyalah sejenak kemudian lawannya itu telah meloncat dengan derasnya. Dengan kakinya ia menyerang kearah dada Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah telah bersiap. Karena itu, maka iapun segera bergeser selangkah kesamping. Tetapi lawannya tidak membiarkannya. Demikian ia berdiri tegak, maka tubuhnya segera berputar. Kakinya terayun mendatar mengarah lambung.
Sekali lagi Sekar Mirah meloncat mundur untuk menghin"dari serangan kaki yang berputar itu. Namun agaknya lawannya tidak ingin melepaskannya. Karena itu, maka iapun kemudian telah meloncat maju dengan tangan terjulur lurus kearah bahu. Jari-jarinya yang lurus merapat akan dapat melumpuhkan tangan Sekar Mirah jika bahunya tersentuh oleh serangan itu.
Namun Sekar Mirah masih juga sempat mengelak. Tetapi Sekar Mirah tidak sekedar merendahkan diri sambil bergeser setapak menyamping. Namun demikian tangan lawannya terjulur sedikit diatas kepalanya, maka kakinyapun telah berputar menyapu kaki lawan. Tetapi lawannyapun cukup tangkas. Sambil meloncat, maka kakinya terayun kearah dagu Sekar Mirah. Ternyata Sekar Mirah cukup tangkas. Sambil menengadahkan wajahnya Sekar Mirah telah luput dari sentuhan tumit kaki lawannya. Bahkan Sekar Mirah telah mempergunakan kesem"patan itu. Iapun justru berbaring. Namun dengan tangkasnya satu kakinya berputar. Kemudian tubuhnya berguling dengan kaki bergerak menyilang.
Ternyata kaki Sekar Mirah berhasil memutar kaki lawannya yang menjadi tumpuan selama kakinya yang lain terayun ke arah dagu Sekar Mirah. Karena itu, maka orang itu justru terpelanting jatuh.
Dengan tangkasnya orang itu justru berputar pada pundaknya, berguling dan meloncat bangkit. Namun demikian ia berdiri, ternyata Sekar Mirah telah lebih dahulu siap. Sekali lagi kaki Sekar Mirah terjulur langsung mengarah kedadanya.
Murid kedua Ki Ajar Sigarwelat itu tidak sempat mengelak. Karena itu maka dengan cepat ia menyilangkan tangannya untuk melindungi dadanya.
Kaki Sekar Mirah memang menghantam tangan lawannya yang bersilang. Tetapi serangan Sekar Mirah cukup keras, sehingga orang itu telah terdorong surut. Dengan susah payah orang itu berusaha untuk tidak lagi terbanting jatuh. Bahkan iapun kemudian telah meloncat beberapa langkah mundur untuk memperbaiki keadaannya.
Sekar Mirah mengurungkan niatnya untuk memburu ketika orang itu benar-benar telah siap. Namun Sekar Mirah telah berdiri tegak pada kakinya yang renggang memandangi lawannya yang mulai terengah-engah. Bukan saja karena ia harus membebaskan diri dari libatan serangan Sekar Mirah, tetapi juga karena kemarahan yang terasa menyesakkan dadanya.
"Iblis betina." geram orang itu, "darimana kau mempelajari ilmu seperti itu. Ilmu yang hanya pantas dimiliki oleh para perampok dan penyamun."
"Marilah." sahut Sekar Mirah, "kita selesaikan pertempuran ini. Tidak ada gunanya kau mencela ilmuku, karena aku lebih tahu tentang ilmuku dari kau."
"Persetan." geram orang itu, "kau jangan mengira bahwa dengan demikian kau telah menang."
"Aku memang tidak menganggapnya demikian. Aku belum menang. Jika tubuhmu telah terkapar ditanah dan tidak mampu lagi bergerak, maka baru aku akan menengadahkan dadaku, mengangkat tanganku sambil berteriak bahwa aku telah menang." jawab Sekar Mirah.
"Aku belum pernah melihat orang yang sesombong kau." berkata orang itu kemudian.
"Itulah kelebihanku dari orang lain." jawab Sekar Mirah.
"Setan kau." orang itu mengumpat-umpat.
Sementara itu Sekar Mirah justru tersenyum. Namun agaknya lawannya tidak sempat melihatnya, apalagi dalam malam yang gelap itu.
"Sejak sekarang aku tidak akan mengekang diri lagi." geram murid kedua Ki Ajar itu, "meskipun lawanku hanya se"orang perempuan. Bukan salahku jika kau mengalami nasib buruk."
"Sejak semula kau hanya mengancam saja." Sahut Sekar Mirah.
Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi ia masih berkata, "Aku datang dari tempat yang jauh. Aku tidak mau dihinakan disini. Karena itu, aku akan benar-benar membunuhmu."
"Dari mana?" bertanya Sekar Mirah, "bukankah anak Ki Citrabawa itu semula tinggal di Pajang" Menurutmu Pajang itu sangat jauh?"
"Kakak seperguruanku memang berasal dari Pajang. Tetapi perguruan kami tidak berada di Pajang." jawab murid kedua itu.
Sebelum Sekar Mirah sempat menyahut, terdengar Ki Sigarwelat berteriak, "Cepat, bunuh saja perempuan itu."
Murid kedua itu menyahut lantang, "Baik guru. Aku akan membunuhnya."
Tetapi katanya kepada Sekar Mirah, "Kau cantik. Sebetulnya sayang sekali jika kau harus dibunuh dalam pertempuran ini. Bukankah kau yang seharusnya berkorban untuk gadis itu?"
Terasa telinga Sekar Mirah menjadi panas mendengar pujian itu. Justru karena itu, maka iapun menjadi marah. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah menyerang.
Lawannya memang terkejut. Namun ia masih sempat menghindari dengan bergeser selangkah menyamping. Bahkan orang itu telah mencoba untuk menyerang kembali dengan me-mukul bahu Sekar Mirah yang kehilangan sasaran. Tetapi orang itu tidak menduga sama sekali bahwa tiba-tiba saja Sekar Mirah itu berputar. Ayunan kakinya mendatar ternyata hampir saja menyentuh lambungnya. Dengan tergesa-gesa orang itu bergeser pula surut.
Namun Sekar Mirah tidak melepaskan lawannya. Sekali lagi ia berputar. Kakinya yang lainlah yang kemudian terjulur lurus.
Lawannya masih juga berusaha untuk mengelak. Tetapi Sekar Mirah ternyata mampu bergerak lebih cepat sehingga orang itu harus mengumpat ketika serangan itu telah mengenai lengannya. Serangan itu memang tidak terlalu keras, sebagaimana serangan kaki Sekar Mirah didadanya. Tetapi ketangkasan perempuan itu memang mendebarkan jantungnya.
Pada pertempuran seterusnya ternyata bahwa kemampuan Sekar Mirah sulit untuk diimbanginya. Perempuan itu mampu bergerak dengan cepatnya. Berloncatan mengitari lawannya dan kemudian menyerangnya dari segala arah.
Di lingkungan pertempuran yang lain, Ki Ajar Sigarwelat ternyata harus mengakui kenyataan bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang tidak mudah diatasinya. Bahkan Ki Ajar Sigarwelat mulai merasa heran, bahwa di Tanah Perdikan itu ada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi agaknya orang itu tidak terlalu banyak melakukan pengembaraan atau berbuat sesuatu untuk kepentingan yang luas diantara orang-orang berilmu, sehingga namanya tidak terdengar dari jarak yang agak jauh. Apalagi umurnya yang memang terhitung masih muda, sehingga namanya belum tersebar diantara mereka yang berkeliaran didunia kanuragan.
Ki Sigarwelat yang merasa dirinya memiliki pengalaman yang sangat luas serta ilmu yang sangat tinggi, mulai merasa tersinggung. Bukan saja marah karena sikap Agung Sedayu, tetapi bahwa setelah ia bertempur beberapa lama, sama sekali tidak nampak kelebihannya dari lawannya.
Setiap kali Ki Ajar Sigarwelat meningkatkan ilmunya, maka Agung Sedayu selalu dapat mengimbanginya, sehingga rasa-rasanya Ki Ajar itu tidak akan dapat menggapai satu tingkatan yang lebih tinggi dari kemampuan Agung Sedayu.
Namun Ki Ajar yang merasa dirinya termasuk orang-orang terpenting dalam dunia kanuragan itu telah melihat Agung Sedayu dalam pertempuran berjarak pendek. Ki Ajar memperhitungkan bahwa pengenalannya atas berbagai macam unsur dari bermacam-macam ilmu tentu lebih banyak dari Agung Sedayu. la harus berusaha membuat Agung Sedayu itu bingung, sementara pada jarak jangkau tangannya ia akan dapat meraba Agung Sedayu dengan jari-jarinya yang mengembang.
Agung Sedayu yang juga memiliki pengalaman yang cukup segera menyadari bahwa lawannya tentu memiliki kemampuan ilmu yang dapat dilepaskannya dengan sentuhan wadagnya.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu justru ingin tahu, ilmu apakah yang akan dihadapinya. Meskipun demikian Agung Sedayu telah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya, sehingga ia tidak akan mengalami terlalu banyak kesulitan jika ilmu lawan"nya yang belum pernah dikenalnya itu ternyata merupakan ilmu yang sangat tinggi.
Namun Agung Sedayupun memperhitungkan kemungkinan dipergunakannya racun. Meskipun bagi Agung Sedayu racun bukannya sesuatu yang membuatnya cemas, tetapi jika murid-murid Ki Ajar itu juga mempergunakan, maka hal itu akan sangat berbahaya terutama bagi Sekar Mirah.
Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, Ki Ajar memang telah bertempur dengan cepat sekali. Ia tidak mau membiarkan Agung Sedayu mengambil jarak. Bahkan suatu saat, kemampuannya yang memang sangat tinggi, telah dipergunakan sebaik-baiknya dilandasi dengan kemampuannya bergerak cepat sekali. Ketika Agung Sedayu bergeser memiringkan tubuhnya menghindari serangannya, orang itu bagaikan menggeliat. Tangannya yang lain telah terayun dengan cepat sekali mendatar dengan jari-jari yang terkembang.
Agung Sedayu memang terkejut ketika jari-jari tangan itu mengenai lengannya. Meskipun Agung Sedayu telah mengenakan ilmu kebalnya, namun ia masih merasakan betapa ujung-ujung jari itu rasa-rasanya akan mengoyak kulitnya.
"Luar biasa." berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "seandainya aku tidak mengenakan ilmu kebal, maka aku kira daging di lenganku telah dikoyakkannya. Bahkan mungkin segumpal daging telah terlepas dari tulangnya."
Tetapi sebaliknya Ki Ajar Sigarwelat itu terkejut bukan buatan karena ia tidak berhasil mengoyak daging Agung Sedayu. Bahkan demikian jantungnya bergejolak, sehingga Ki Ajar Sigarwelat itu telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Dengan wajah yang tegang dipandanginya Agung Sedayu yang berdiri tegak. Agung Sedayu memang tidak memburunya. Namun selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati lawannya.
"Kau memang anak iblis." geram Ki Sigarwelat, "aku tidak mengira bahwa disini ada seorang yang memiliki ilmu kebal."
"Ki Ajar Sigarwelat." berkata Agung Sedayu, "sebaiknya urungkan saja niatmu. Berjanjilah bahwa kau tidak akan mengganggu lagi Ki Lurah Branjangan dan cucu-cucunya. Karena kau seorang Ajar, meskipun selama ini nampaknya kau tidak dapat dipercaya, namun aku akan mencoba mempercayaimu. Bagaimanapun juga kau tentu masih mempunyai harga diri dan berusaha untuk menepati janji yang kau ucapkan secara khusus."
"Cukup." teriak Ki Ajar Sigarwelat, "kau memang terlalu sombong. Kau kira dengan ilmu kebalmu itu kau dapat mengalahkan aku" Kau harus mengerti, bahwa ilmu yang aku tuangkan dalam sentuhan jari-jariku masih belum sampai ke puncak. Aku yakin, bahwa ilmuku akan dapat menembus ilmu kebalmu."
"Mungkin kau dapat melakukannya." jawab Agung Sedayu, "tetapi apa salahnya jika kita mengurungkan pertempuran yang lebih keras lagi. Kita berbicara dengan baik dan menilai apa yang telah terjadi ini."
"Persetan." geram Ki Ajar Sigarwelat, "kau jangan mencoba membujukku agar aku tidak membunuhmu. Bagaimanapun juga aku tetap akan membunuhmu. Aku akan menghancurkan Tanah Perdikan Menoreh meskipun aku hanya bertiga. Jika kau sudah mati, maka tidak akan ada orang yang dapat mencegahku."
"Di Tanah Perdikan ini ada Ki Gede Menoreh. Kau tidak akan mampu mengalahkannya." berkata Agung Sedayu.
"Omong kosong. Ki Gede yang kakinya hampir menjadi cacat itu, tentu tidak akan dapat berbuat banyak. Jika aku membawanya berlari-lari mengelilingi Tanah Perdikan itu, maka ia akan menjadi lumpuh."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, "Dari mana kau mengetahuinya?"
"Setiap orang mengatakannya." jawab Ki Ajar Sigarwelat. Lalu, "Nah, apa katamu he" Atau kau sajalah yang menyerah dan membiarkan aku membunuh dengan cara yang baik."
"Yang kau lakukan sudah cukup parah Ki Ajar." Jawab Agung Sedayu, "harus ada orang yang menghentikannya. Sebenarnya aku masih belum melihat alasan-alasan yang cukup kuat untuk membinasakanmu. Aku belum pernah mengenalmu sebelumnya. Aku juga belum pernah mendengar bahwa kau telah melakukan banyak kejahatan. Tetapi tiba-tiba saja kita bertemu dalam suasana yang tidak akrab seperti ini."
"Jangan banyak berbicara lagi Agung Sedayu. Sekarang kau mau berpesan apa saja sebelum kau mati." geram Ki Ajar Sigarwelat.
"Menyesal bahwa kita tidak dapat berbicara dengan baik. Tetapi menilik sikapmu, meskipun aku belum pernah mendengar, kau memang sering memaksakan kehendakmu kepada orang lain." berkata Agung Sedayu.
"Ya." jawab Ki Ajar Sigarwelat, "kau tidak usah ragu-ragu. Aku adalah seorang yang selalu memaksakan kehendakku kepada orang lain yang tidak mau menerimanya. Sekarang kau boleh mengerti, bahwa akulah yang telah membunuh Ki Demang Watang. Aku pulalah yang telah membunuh Ki Ramban Ijo serta aku pulalah yang telah membunuh Serigala dari Seberang itu. Kau tentu ingin tahu kenapa aku membunuh mereka" Mereka tidak mau bekerja sama dengan aku. Apa pun alasan mereka, maka mereka telah bersalah kepadaku. Karena itu ma"ka mereka harus dibunuh. Kemudian akan datang giliran aku membunuhmu. Membunuh Ki Lurah Branjangan dan Ki Gede Menoreh. Membunuh siapa saja yang menentangku."
"Luar biasa." berkata Agung Sedayu, "ternyata kau memang seorang pembunuh. Mungkin aku juga seorang pembunuh karena aku juga pernah membunuh. Tetapi alasan pembunuhan itu tentu dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan sebenarnyalah bahwa sama sekali tidak ada niatku untuk membunuh."
"Itulah bedanya. Aku sengaja membunuh mereka. Dan kau dapat mengukur kemampuanku setelah kau mendengar nama orang-orang yang telah aku bunuh disamping masih ada puluhan nama yang lain yang menurut pendapatku tidak perlu aku sebutkan karena kau tentu belum pernah mengenalnya." berkata Ki Ajar Sigarwelat itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, "Sayang Ki Ajar. Aku belum pernah mendengar nama mereka. Aku belum pernah mendengar nama Ki Demang itu. Juga Serigala dari Seberang. Dan barangkali nama-nama yang lain. Nama Ki Ajar Sigarwelatpun baru aku ketahui beberapa hari yang lalu. Aku memang seorang yang picik karena aku jarang sekali keluar dari Tanah Perdikan ini. Aku telah menghabiskan waktuku untuk bekerja bersama anak-anak muda Tanah Perdikan bagi peningkatan kesejahteraan orang banyak, karena agaknya kerja itu lebih berarti daripada dengan sombong berkeliaran di dunia olah kanuragan. Membunuh dan membunuh tanpa arti sama sekali, karena hanya sekedar untuk mendapat kepuasan rendah dan mementingkan diri sendiri."
"Persetan." geram Ki Ajar, "sekarang, kau jangan menyesal. Ilmu kebalmu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Aku akan memecahkan ilmu kebalmu dengan pusaka peninggalan guruku. Sebilah pedang yang disebut Kiai Lembar Alang-alang. Jenis pusaka yang bertuah, yang akan mampu membelah ilmu kebal siapapun juga dimuka bumi ini. Bahkan Aji Tameng Wajapun akan pecah oleh pedang bertuahku ini."
Agung Sedayu termangu-mangu. Memang sudah menjadi wataknya, bahwa ia tidak merendahkan orang lain. Karena itu, maka ia tidak mengabaikan kata-kata Ki Ajar Sigarwelat itu.
Beberapa saat Agung Sedayu menunggu. Ternyata bahwa pedang yang dikatakan memang pedang yang luar biasa. Sarung pedang itu adalah ikat pinggangnya yang membelit lambung.
Sejenak kemudian, maka Ki Ajar telah menarik pedang yang membelit lambungnya itu. Pedang yang memang sangat tipis, setipis ilalang. Namun ditangan Ki Ajar Sigarwelat, maka pedang yang kemudian bergetar itu, tentu merupakan senjata yang sangat berbahaya.
"Jangan meratapi nasibmu. Kau pamerkan ilmu kebalmu. Tetapi aku mempunyai senjata untuk memecahkannya." geram Ki Ajar Sigarwelat.
Agung Sedayu memang termangu-mangu sejenak memandangi daun pedang itu. Pandangan matanya yang tajam ter"nyata mampu memperhatikannya dengan saksama. Daun pedang itu memang terbuat dari baja yang khusus.
Sebelum Agung Sedayu berkata apapun juga, maka Ki Ajar Sigarwelat itu telah meloncat menyerangnya. Pedangnya bergetar cepat sekali. Kemudian berputaran di sekitar tubuhnya. Perlahan-lahan Ki Ajar Sigarwelat itu maju mendekati lawan"nya.
Dalam pada itu, di arena yang lain Glagah Putih nampaknya benar-benar telah menguasai lawannya. Meskipun lawan"nya masih juga mencoba bertahan dengan loncatan panjang. Tetapi murid pertama Ki Ajar itu sama sekali sudah tidak men"dapat kesempatan untuk menyerang. Sementara itu Glagah Putih nampaknya memang tidak inginmenyelesaikanlawannya dengan ilmunya yang dapat dilontarkan kearah lawan yang terpisah oleh jarak, sepanjang lawannya tidak mempergunakan ilmu Sapu Anginnya yang masih mentah.
Namun semakin lama ternyata bahwa nafas anak Ki Lurah Citrabawa itu menjadi semakin terengah-engah. Tenaganyapun mulai susut. Dengan demikian, maka iapun telah merasa bahwa ia tidak akan mungkin mengimbangi lawan dalam pertempuran itu. Yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar bertahan sambil menunggu gurunya akan datang menolongnya. Tetapi setelah bertempur beberapa lama, gurunya masih juga belum dapat menyelesaikan lawannya.
Murid pertama Ki Ajar itu bahkan sempat merasa heran, kenapa lawannya masih juga belum mempergunakan ilmu puncaknya yang mampu mengatasi ilmu Sapu Anginnya untuk dengan segera menyelesaikan pertempuran itu.
Dilingkaran pertempuran yang lain, murid Ki Ajar Sigarwelat itu ternyata juga mengalami kesulitan. Perempuan yang semula disangkanya bahkan dengan sengaja memang menyamarkan dirinya menjadi Rara Wulan itu, memiliki ilmu yang tinggi pula. Kecepatan geraknya justru kian bertambah-tambah. Meskipun perempuan itu tidak bersenjata apapun, namun sentuhan tangannya bagaikan sentuhan bara api.
Sebenarnyalah Sekar Mirah yang berbekal ilmu yang diwarisinya dari Ki Sumangkar telah dikembangkannya pula. Bersama-sama dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah telah mampu memecahkan beberapa persoalan pada ilmunya yang tidak sempat dijelaskan oleh Ki Sumangkar yang telah mendahuluinya itu.
Bersama-sama dengan Agung Sedayu pula, Sekar Mirah telah berusaha mengembangkan ilmu yang diwariskan itu, meskipun ia memang tidak dapat menghindari pengaruh ilmu yang ada didalam diri Agung Sedayu. Baik yang mengalir dari sumber pokoknya, Kiai Gringsing, maupun dari alur ilmu Ki Sadewa yang telah dikuasainya pula dan diturunkannya kepada Glagah Putih sebagai batang ilmunya meskipun kemudian hadir Ki Jayaraga, bahkan pengaruh dari saluran ilmu Ki Waskita, karena Agung Sedayu memiliki pengetahuan yang bersumber dari kitab Ki Waskita. Karena itu, maka murid kedua Ki Ajar Sigarwelat itu tidak mampu mengimbangi kemampuan lawannya meskipun hanya seorang perempuan. Bahkan menurut penglihatannya adalah se"orang perempuan yang cantik.
Namun ternyata bahwa murid kedua Ki Ajar itu semakin lama semakin terdesak karenanya. Tetapi agaknya seperti Glagah Putih, Sekar Mirah tidak ingin dengan cepat menyele"saikan lawannya. Bahkan kadang-kadang dibiarkannya lawan"nya berloncatan mengambil jarak dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Baru kemudian selangkah demi selengkah Sekar Mirah itu menyusulnya.
Tetapi murid kedua Ki Ajar itu tidak membiarkan dirinya hancur tanpa berusaha melindunginya dengan sepenuh kemampuannya. Karena itu, maka ketika ia sempat mengambil jarak, sementara Sekar Mirah melangkah mendekatinya, murid kedua Ki Ajar itu telah mencabut senjatanya. Sebilah pedang yang tipis. Namun pedang itu tidak sebaik pedang gurunya. Pedang murid keduanya itu adalah pedang yang agaknya merupakan pedang tiruan dari pedang yang disebut Kiai Lembar Alang-alang itu, meskipun agak lebih tebal dan tidak selentur pedang aslinya.
Sekar Mirah tertegun. Justru karena itu ia berpura-pura menjadi Rara Wulan, maka ia memang tidak membawa tongkat baja putihnya. Tetapi bukan berarti bahwa Sekar Mirah tidak bersenjata sama sekali. Ia sudah memperhitungkan kemungkinan seperti itu terjadi. Karena itu, maka Sekar Mirah telah membawa sepasang pisau belati yang sebelumnya dapat disembunyikan dibawah baju dan kain panjangnya yang telah dilepasnya.
Ketika kemudian lawannya memutar pedangnya, maka Sekar Mirah telah menarik sepasang pisau belatinya. Pisau Belati yang agak panjang.
Murid kedua Ki Ajar itupun segera bergeser maju. Ialah yang kemudian telah menyerang dengan garangnya. Pedangnya teracu dengan ujung yang bergetar. Kemudian berputar dengan cepat, menggeliat dan menebas mendatar. Sejenak kemudian mematuk lurus mengarah dada.
Namun Sekar Mirah tidak kalah tangkasnya. Kedua pisau belatinyapun telah berputar dikedua tangannya, seperti gumpalan awan kelabu digelapnya malam.
Sekar Mirah memang tidak terbiasa mempergunakan senja"ta seperti itu. Tetapi sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka kemampuannya memang tidak terbatas pada tong"kat baja putihnya.
Demikian, maka sejenak kemudian keduanya telah bertem"pur dengan senjata masing-masing. Dentang senjatapun mulai terdengar. Semakin lama memang semakin cepat.
Agak berbeda dengan murid kedua Ki Ajar, maka murid"nya yang tertua, anak Ki Lurah Citrabawa, menjadi ragu-ragu untuk menarik senjatanya. Ia tidak ingin memancing lawannya untuk mempergunakan ilmu puncaknya. Karena itu, bagaimanapun juga, ia tidak ingin merubah keseimbangan pertem"puran dengan cara apapun juga. Ia merasa lebih aman untuk berloncatan menghindar sambil menunggu gurunya menyelamatkannya.
Tetapi ternyata bahwa gurunya tidak segera datang membantunya. Ki Ajar itu masih bertempur dengan sengitnya melawan Agung Sedayu. Pedang tipisnya bergetar ditangannya, seakan-akan memancarkan cahaya yang kemerah-merahan.
Agung Sedayu yang memiliki pengalaman yang luas mampu menilai pedang tipis itu. Menurut pengamatan mata hatinya, maka pedang itu memang memiliki kelebihan. Cahaya yang kemerah-merahan itu merupakan pertanda baginya, agar ia menjadi semakin berhati-hati. Karena itu, maka Agung Sedayupun tidak menjadi lengah. Meskipun ia sudah mengetrapkan ilmu kebalnya, namun mungkin sekali pedang itu akan mampu membelah ilmu kebalnya itu.
Pertempuran itu memang menjadi semakin sengit. Ki Ajar Sigarwelat mampu bertempur dengan cepat sekali. Ia menguasai ilmu pedang pada tataran yang sangat tinggi, sehingga karena itu, maka pedangnya memang sangat berbahaya bagi Agung Sedayu.
Ketika dalam serangan beruntun pedang itu menyentuh kulit Agung Sedayu, maka terasa kulitnya disengat oleh perasaan pedih. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Ki Ajar Sigarwelat, pedangnya yang setipis daun ilalang itu tajamnya melampui tajamnya welat bambu wulung.
Pedang itu memang mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu meskipun hanya segores kecil. Tanpa ilmu kebal, maka kulitnya tentu akan terkoyak sampai ke tulang. Pedang tipis yang sangat tajam itu benar-benar sangat berbahaya. Jika Ki Ajar sempat meningkatkan ilmunya yang disalurkan pada pedangnya yang memang merupakan pedang yang sangat baik itu, maka tajam pedang itu akan dapat menembus ilmu kebalnya semakin dalam.
Luka dilengan Agung Sedayu itu memang berdarah meskipun tidak banyak. Namun dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah meningkatkan ilmu kebalnya pula. Bahkan sampai ketingkat yang paling tinggi, sehingga diluar sadarnya, dari dalam dirinya seakah-akan telah memancar udara yang panas.
Ki Ajar ternyata terkejut pula ketika tubuhnya tersentuh udara panas. Dengan geram ia berkata, "Ternyata kau memiliki ilmu iblis itu. Ilmu kebalmu memang hampir sempurna. Udara panas ini hanya terpancar dari tataran ilmu kebal yang sangat tinggi. Tetapi jangan kau kira, bahwa aku tidak akan mampu menembusnya. Terhadap orang yang tidak memiliki ilmu kebal, kemampuanku mampu mengelupas daging seseorang dengan jari-jariku. Terhadap orang yang melindungi dirinya dengan ilmu kebal sampai ketataran yang manapun, juga ilmu kebalmu, pedangkulah yang akan menembusnya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melihat cahaya kemerah-merahan di daun pedang yang tipis itu menjadi sema"kin jelas, bahkan kemudian daun pedang yang setipis daun ila-lang itu bagaikan telah berubah menjadi bara.
Dengan demikian maka Agung Sedayu tidak dapat membiarkannya dilukai oleh pedang yang luar biasa itu. Karena itu, ketika lawannya menyerangnya dengan sengitnya, berputaran seakan-akan pedang itu terbang dari beberapa arah, Agung Sedayu harus melawannya dengan senjatanya pula.
Karena itu, sambil meloncat mengambil jarak, Agung Sedayu telah mengurai senjatanya. Cambuk yang melilit dilambungnya dibawah bajunya. Sejenak kemudian maka cambuk itu telah meledak. Suaranya membentur dinding bukit dan bergema bagaikan mengaum-aum membelah sepinya malam.
Jantung murid-murid Ki Ajar itu tergetar. Suara cambuk dan gemanya yang keras, bagaikan telah mengoyak selaput telinga mereka.
Namun Ki Ajar justru tertawa. Katanya, "Permainan cambuk yang buruk. Dengan ledakan cambuk yang terdengar dahsyat itu, kau hanya dapat menggiring seekor kerbau turun kesawah menarik bajak. Sama sekali bukan ledakan cambuk dari orang-orang berilmu tinggi."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia menghentakkan cambuknya. Sendal pancing. Namun cambuk itu tidak lagi meledak mengaum-aum. Bahkan seakan-akan sama sekali tidak terdengar ledakannya apalagi gemanya. Namun bagi Ki Ajar Sigarwelat, getar hentakkan cambuk sandal pancing itu bagaikan telah mengguncang bukit. Karena tu, maka jantung Ki Ajar Sigarwelat menjadi berdebar-debar. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Apa hubunganmu dengan pengembara bercambuk itu" "
"Maksudmu siapa" " bertanya Agung Sedayu.
"Orang bercambuk yang terkenal sebagai seorang dukun dengan seribu nama." berkata Ki Ajar Sigarwelat itu.
"Aku murid salah seorang dari orang-orang yang disebut orang bercambuk itu." jawab Agung Sedayu.
"Ada berapa orang yang disebut orang bercambuk?" bertanya Ki Ajar Sigarwelat.
Agung Sedayu menjawab asal saja, "Tiga."
Ki Ajar Sigarwelat menggeram. Katanya, "Siapapun orang bercambuk itu, kau pantas diperhitungkan. Ternyata disini, di Tanah Perdikan ini, ada murid orang bercambuk itu."
Ki Ajar Sigarwelat berhenti sejenak. Lalu, "Itulah sebabnya, maka Tanah Perdikan ini berani menentang aku."
"Ki Ajar. Kita masih mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Saudara sepupuku serta isteriku ternyata cukup sabar untuk sekedar menahan kedua murid-muridmu itu. Sebenarnya kau dapat menilai sendiri. Jika Glagah Putih dan Sekar Mirah benar-benar ingin melumpuhkan kedua murid-muridnya itu, maka hal itu sudah dapat dilakukannya."
"Omong kosong." berkata Ki Ajar, "murid-muridku bukan orang-orang cengeng seperti yang kau duga."
"Jadi bagaimana maksudmu" Kita akan bertempur terus?" bertanya Agung Sedayu.
"Cukup. Berpesan sajalah kepada isterimu sebelum kau mati." berkata Ki Ajar Sigarwelat.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia telah menggerakkan cambuknya dan memutarnya mendatar diatas kepalanya.
Ki Ajar Sigarwelat dengan pedang tipisnya telah bergerak pula. Dengan tangkasnya ia mulai berloncatan. Pedangnya terayun menyambar-nyambar dilambari dengan ilmunya yang luar biasa kuatnya, sehingga pedang itu mampu menembus ilmu kebalnya dan melukai lengannya.
Demikianlah maka pertempuran antara keduanya menjadi semakin garang. Pedang tipis dan lentur itu terayun-ayun mengerikan. Sekali-sekali mematuk menyusup diantara putaran cambuk Agung Sedayu. Namun ujung cambuk Agung Sedayu"pun mendebarkan jantung lawannya pula. Ledakannya memang tidak terlalu keras, tetapi ditandai dengan getar udara yang menghentak dada.
Sejenak kemudian keduanya telah berloncatan saling me"nyerang dan saling bertahan. Kemampuan Ki Ajar Sigarwelat ternyata memang sangat tinggi, sehingga Agung Sedayu berdesis, "Ki Ajar, aku justru merasa sayang, bahwa dengan ilmumu yang tinggi itu, kau telah bertempur untuk persoalan yang tidak sewajarnya. Aku akan kagum jika kau pergunakan ilmumu itu untuk menegakkan wibawa Mataram misalnya, sehingga Mataram akan dapat benar-benar menjadi lambang persatuan kekuatan diseluruh Tanah ini daripada sekedar kau pergunakan untuk memaksakan kehendak muridmu terhadap seorang ga-dis."
"Persetan." geram Ki Ajar Sigarwelat, "kau kira aku salah seorang pendukung Panembahan Senapati yang telah memberontak terhadap Pajang itu?"
"Jadi kau juga menganggap bahwa Panembahan Senapati telah memberontak?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Dan aku telah berjanji dengan pedangku ini bahwa aku akan membunuh Senapati. Adalah kebetulan sekali bahwa aku bertemu dengan kau disini. Aku akan dapat menguji pedangku ini. Ternyata bahwa pedangku mampu menembus il"mu kebalmu, sehingga akupun yakin bahwa pedangku akan dapat juga menembus ilmu Tameng Waja Panembahan Se"napati yang diwarisinya dari Sultan Pajang." geram Ki Ajar Sigarwelat.
"Jadi kau ingin membunuh Panembahan Senapati " Apakah alasanmu he?" bertanya Agung Sedayu.
"Ia telah memberontak terhadap jalur kekuatan Demak. Seharusnya Panembahan Senapati mengakui kekuasaan Panem"bahan Madiun yang masih mempunyai darah yang mengalir dari tahta Demak." berkata Ki Ajar Sigarwelat.
"Orang-orang yang bersikap seperti kau inilah yang justru sering menimbulkan persoalan. Panembahan Madiun sendiri ti"dak pernah berpikir sebagaimana kau pikirkan. Orang-orang seperti kau ini telah membuat kemelut antara Mataram dan Madiun. Apakah keuntunganmu jika Mataram dan Madiun berbenturan?" bertanya Agung Sedayu.
"O, jadi kau pernah mendengar juga persoalan antara Mataram dan Madiun?" bertanya Ki Ajar Sigarwelat.
"Ya. Orang-orang yang mempunyai nafsu pribadi itu telah memberikan gambaran yang salah kepada Panembahan Madiun tentang sikap Panembahan Senapati. Sementara itu ada juga orang-orang Mataram yang bertindak sendiri-sendiri mendahului perintah Panembahan Senapati yang berusaha mencegah benturan kekerasan. Nah, jika demikian maka persoalannya akan berkembang. Jika kau memang akan membunuh Panembahan Senapati, maka aku berkata kepadamu sesuai dengan suara hatiku, aku akan menghentikanmu sampai disini." berkata Agung Sedayu.
"Persetan." geram orang itu, "nampaknya kau adalah budak Panembahan Senapati."
"Tanah Perdikan Menoreh merupakan salah satu bagian dari kesatuan yang besar dibawah pimpinan Panembahan Sena"pati. Kesatuan yang harus utuh tanpa terbelah." berkata Agung Sedayu.
Namuntiba-tiba saja Ki Ajar itu tertawa. Katanya, "Ketahuilah. Di Madiun kini telah hadir seorang Panembahan yang lain, yang memiliki pengaruh yang sangat besar atas Panembahan Madiun."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia justru telah mengambil jarak dari lawannya sambil bertanya, "Siapa?"
"Panembahan Pancer." jawab Ki Ajar Sigarwelat. Lalu katanya, "Menjelang kematianmu kau boleh mendengar namanya. Panembahan Pancer adalah seorang yang telah berhasil menyusun rencana perlawanan terhadap Mataram. Beberapa orang adipati telah dapat dipengaruhinya."
"Dan kau adalah salah seorang diantara para pengikut Panembahan Pancer?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Dan aku mendapat tugas datang ke Mataram untuk menjajagi keadaan Mataram." jawab Ki Ajar.
"Tetapi kenapa kau kemari untuk satu keperluan yang tentu tidak berarti menurut penglihatan Panembahan Pancer itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku telah singgah di rumah muridku. Dan ketika kami berada di Mataram, tanpa kami sengaja, kami telah melihat Ki Lurah Branjangan dan cucu-cucunya. Ternyata bahwa muridku tertarik kepada cucu Ki Lurah, sementara ia telah pernah men"dengar dari ayahnya hubungannya dengan Ki Lurah Bran"jangan. Nah, kemudian segalanya tersusun dengan rapi, ketika muridku itu melihat Ki Lurah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh bersama cucu-cucunya. Ternyata muridku itu telah dengan saksama mengamati gadis yang diimpikannya itu." berkata Ki Ajar Sigarwelat.
"Lalu kau korbankan nyawamu untuk kepentingan muridmu dengan mengorbankan tugasmu." berkata Agung Sedayu yang dadanya mulai bergelora.
"Jangan terlalu sombong." geram Ki Ajar.
"Ki Ajar." berkata Agung Sedayu dengan tekanan yang berat, "jika semula aku ragu-ragu berbuat dengan lambaran puncak kemampuanku, karena persoalannya tidak lebih dari persoalan seorang perempuan, sementara aku belum pernah mempunyai persoalan dengan Ki Ajar, maka kini persoalnnya menjadi lain, jika kau benar ingin membunuh Panembahan Senapati, maka kau memang pantas untuk dibunuh. Meskipun demikian, aku masih menawarkan satu penyelesaian."
"Apa?" bertanya Ki Ajar Sigarwelat.
"Menyerahlah. Kita menghadap Panembahan Senapati." berkata Agung Sedayu.
"Nampaknya kau memang seorang penjilat." geram Ki Ajar.
"Aku adalah sahabat Panembahan Senapati. Kami mengembara bersama-sama. Kami mencari ilmu bersama-sama dan banyak hal yang telah kami lakukan bersama-sama." jawab Agung Sedayu.
"Omong kosong. Jika demikian, kau tentu sudah diangkat menjadi seorang Tumenggung atau bahkan seorang Adi"pati. Ternyata kau tidak lebih dari seorang petani kecil di Tanah Perdikan ini." berkata Ki Ajar.
"Menurut ukuranmu agaknya memang demikian. Tujuan terakhir dari persahabatan adalah menarik keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan diri sendiri." sahut Agung Sedayu, "tetapi aku tidak Ki Ajar. Karena itu, jika kau menolak untuk menyerah, maka kau memang harus dilenyapkan. Bukan kebiasaanku berbuat demikian, tetapi untuk kepentingan yang besar, justru saat-saat gawat karena hubungan yang renggang antara Mataram dan Madiun, maka aku harus memaksa diri untuk melakukannya. Apalagi kau adalah salah seorang yang mengipasi bara yang menyala dalam hubungan antara Mataram dan Madiun sekarang ini."
Ki Ajar tertawa. Katanya, "Kau memang murid orang ber-cambuk. Tetapi yang disegani oleh banyak orang, termasuk orang-orang tua adalah gurumu, bukan kau. Karena itu jangan bermimpi dapat membunuhku. Kekalahan murid-muridku bukan ukuran tingkat kemampuanku. Aku memang terlambat mengambil mereka menjadi murid-muridku. Itu saja sebabnya, kenapa mereka belum dapat mengimbangi kemampuan muridmu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ia sempat memandang arena perkelahian yang lain, ia menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya Glagah Putih duduk menunggui lawannya yang terengah-engah dan berusaha untuk bangkit ber"diri. Namun nampaknya nafasnya telah hampir terputus di kerongkongan.
Sementara Sekar Mirah yang bersenjata pisau belati rangkap benar-benar telah menguasai murid kedua Ki Ajar Sigarwelat. Meskipun ilmu pedang kedua itu cukup baik, tetapi ia tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak Sekar Mirah. Namun agaknya Sekar Mirah akan memperlakukan lawannya sebagaimana Glagah Putih. Dibiarkannya saja lawannya kehabisan nafas, sehingga dengan satu sentuhan kecil, ia akan terjatuh dan tidak berdaya lagi untuk bangkit.
Sebenarnyalah, lawan Glagah Putih sudah kehabisan tenaga. Ia memang menarik pedang tipisnya, juga tiruan pedang gurunya. Namun semuanya itu tidak berarti lagi. Demikian nafasnya hampir terputus. Glagah Putih telah berhasil membantingnya jatuh, sehingga punggungnya serasa akan patah. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit, sementara Glagah Putih menunggunya sambil duduk diatas batu padas.
"Ki Ajar." berkata Agung Sedayu, "kau lihat murid-muridmu. Mereka sudah tidak berdaya lagi. Meskipun Glagah Putih dan Sekar Mirah belum membunuhnya, tetapi hal itu akan dapat terjadi kapan saja."
"Persetan " geram Ki Ajar, "aku akan membunuhmu. Kemudian membunuh mereka, membunuh seisi Tanah Per"dikan. Aku tidak gentar dengan Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Naga Geni itu. Karena Naga Geni itu tidak segarang seba"gaimana namanya."
Agung Sedayu kemudian bersiap-siap. Nampaknya persoalannya bukan sekedar persoalan Rara Wulan. Tetapi persoalannya telah terkait dengan kesetiannya kepada sahabatnya, Panembahan Senapati di Mataram.
Sejenak kemudian, Ki Ajar Sigarwelatpun telah mulai bergerak. Pedangnya telah bergetar pula ketika tangannya terjulur lurus mengarah ke dada. Cahaya yang kemerah-merahan itu membuat Agung Sedayu menjadi sangat berhati-hati.
Sementara Ki Ajar Sigarwelatpun berkata, "Nah, menjelang kematianmu, kau memang harus mendengar, bahwa jika kau pernah mendengar perguruan Sapu Angin di daerah Timur, maka ilmuku yang aku namai Sapu Angin memang mempunyai hubungan. Tetapi perguruan Sapu Angin di pinggir Bengawan Madiun itu rasa-rasanya tidak akan memberikan arti apa-apa lagi."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia teringat kepada ceritera Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Keduanya bersama Sabungsari pernah bertemu dengan murid-murid dari perguruan Sapu Angin. Bukan ilmu yang disebut Sapu Angin. Tetapi agaknya Ki Sigarwelat telah menarik hubungan antara nama padepokan dengan nama ilmunya. Namun dengan demikian, maka Ki Sigarwelat itupun ter"nyata berasal dari daerah Timur. Bukan dari sebuah padepokan didekat Suwangan Kali Bagawanta.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Kenapa kau terlalu yakin akan dapat membunuhku he" Kedua orang muridmu sudah tidak berdaya lagi. Jika Glagah Putih dan Sekar Mirah itu bergabung dengan aku, maka kaupun akan se"gera mati."
"Cobalah. Panggil keduanya dan marilah kita bersama-sama membuktikan, siapakah yang akan mati. Aku atau kalian bertiga." geram Ki Ajar Sigarwelat.
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Aku ingin tahu, siapakah yang akan lebih baik dalam pertempuran ini. Ilmumu yang kau sebut Sapu Angin atau cambukku."
Ki Ajar tidak menjawab lagi. lapun segera meloncat menyerang Agung Sedayu dengan garangnya. Pedangnya yang bagaikan membara itu berputaran, sehingga seakan-akan telah menimbulkan asap yang membara memancarkan panas kesegenap arah. Tetapi panas yang timbul dari putaran pedang tipis itu masih belum sepanas udara yang memancarkan panasnya dari dalam diri Agung Sedayu yang telah sampai kepuncak ilmu ke"balnya.
Tetapi daya tahan tubuh Ki Ajar benar-benar luar biasa. Ia seakan-akan tidak merasa tersengat oleh panasnya udara disekitar tubuh Agung Sedayu. Namun ujung pedang tipisnya itu masih juga mampu menggapai tubuh Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu cukup tangkas untuk menghindari ujung pedang itu. Ia benar-benar berusaha agar kulitnya tidak tergores lagi ka"rena pedang lawannya ternyata mampu menembus ilmu kebalnya.
Namun disamping udara yang panas memancar dari dalam dirinya, serta kemampuannya bergerak cepat, cambuk Agung Sedayupun merupakan perisai yang rapat. Hanya sekali-sekali saja, dilambari dengan kemampuannya yang sangat tinggi, Ki Ajar mampu menembus perisai itu. Namun bukan berarti bah"wa ujung pedangnya yang membara itu dapat menyentuh tubuh Agung Sedayu.
Permainan pedang tipis Ki Ajar itu memang salah satu ujud dari ilmu Sapu Anginnya yang dilepaskan lewat senjatanya yang luar biasa itu. Awan yang kemerah-merahan bergulung-gulung melanda Agung Sedayu yang memutar cambuknya dengan cepatnya mengitari dirinya. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak. Meskipun suaranya tidak mengumandang di lereng pebukitan, namun bagi Ki Ajar, getarannya terasa menghentak-hentak dadanya.
Dalam puncak ilmu Sapu Anginnya pada permainan pedangnya, maka Agung Sedayu benar-benar harus mengerahkan ilmu cambuknya. Serangan orang itu rasa-rasanya memang seperti angin berhembus. Sehingga rasa-rasanya terlalu sulit untuk dihindari sehingga tidak tersentuh sama sekali. Karena itulah, maka ternyata Agung Sedayu memang tidak dapat menghindari sepenuhnya serangan-serangan lawannya. Sekali lagi pundaknya tergores ujung pedang lawannya. Meskipun Agung Sedayu telah berada pada puncak penggunaan ilmu kebalnya, tetapi ujung pedang yang membara dilambari ilmu Sapu Angin itu memang sempat menggores kulitnya. Tetapi goresan itu terlalu kecil meskipun menitikkan darahnya.
Namun betapapun Agung Sedayu selalu menguasai dirinya sendiri, goresan-goresan ditubuhnya itu telah membuatnya marah sekali. Nampaknya Ki Ajar Sigarwelat benar-benar ingin bertempur sampai tuntas. Persoalannya memang bukan sekedar Rara Wulan, tetapi lebih jauh dari itu. Meskipun agaknya ada persaingan dari antara dua padepokan yang mempergunakan nama Sapu Angin bagi padepokannya dan yang lain bagi ilmunya. Tetapi diakui oleh Ki Ajar, bahwa keduanya bukannya tidak mempunyai kaitan.
"Pada suatu saat, aku ingin bertanya kepada Kiai Gring-sing tentang hubungan antara keduanya dan padepokan Kaliwalik di tepi suwangan Kali Bagawanta." berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit dan semakin tidak dapat dimengerti. Glagah Putih benar-benar telah menghentikan perlawanan anak Ki Lurah Citrabawa yang duduk sambil menyeringai kesakitan. Sementara murid kedua Ki Ajar itupun telah terbaring kehabisan nafas. Bahkan beberapa goresan luka telah memaksanya untuk tidak bangkit lagi.
Tetapi Ki Ajar Sigarwelat ternyata tidak mudah ditundukkan, tetapi juga tidak mudah menundukkan Agung Sedayu. Serangan Ki Ajar yang bagaikan angin prahara itu telah menyapu medan. Tetapi Agung Sedayu ternyata mampu berdiri tegak di arena bagaikan bukit karang yang kokoh kuat berakar sampai pusat bumi. Karena itu, maka angin prahara yang betapapun besarnya, tidak akan mampu untuk menyapu batu karang yang tidak tergoyahkan itu.
Ketika sekali lagi ujung pedang itu menyentuh dada kiri Agung Sedayu dengan goresan kecil, maka Agung Sedayu sempat menyusupkan ujung cambuknya pula dengan hentakkan sendal pancing. Terdengar keluhan tertahan. Ki Ajar Sigarwelat telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak.
Agung Sedayu sengaja tidak memburunya. Ketika terasa ujung cambuknya menyentuh tubuh lawannya, maka Agung Sedayu sengaja memberi kesempatan kepada lawannya untuk melihat luka ditubuhnya itu.
Sebenarnyalah, pundak orang itulah yang terkoyak oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Meskipun yang menyentuh itu hanya ujunnya saja, karena Ki Ajar itu dengan cepat telah mengelak, namun luka yang menganga dipundaknya jauh lebih besar dan lebih dalam dari luka di tubuh Agung Sedayu karena sentuhan ujung pedang Ki Ajar Sigarwelat itu, karena tubuh Agung Sedayu telah dilindungi oleh ilmu kebalnya.
Luka dipundak itu benar-benar berpengaruh pada kemampuan gerak tangan Ki Ajar Sigarwelat. Kemampuan Agung Sedayu membidik bukan saja dalam lontaran atas sasaran pada jarak jauh, tetapi iapun mampu membidikkan ujung cambuk"nya pada sasaran yang dikehendaki.
Ki Ajar Sigarwelat itu mengumpat. Dengan geram iapun kemudian berkata, "Kau memang luar biasa. Pada umurmu yang masih terhitung muda, kau mampu mengimbangi ilmu Sapu Anginku yang tersalur lewat pusakaku. Tetapi kau tahu, bahwa aku mampu membunuhmu dengan ilmu Sapu Angin itu dalam ujudnya yang lain."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa lawannya tentu akan segera sampai kepuncak ilmu Sapu Angin"nya. Ki Ajar tentu akan melontarkan ilmu Sapu Angin itu untuk menyerangnya dari jarak jauh.
Ketika Ki Ajar itu menyarungkan pedangnya, maka Agung Sedayupun telah membelitkan cambuknya di pinggangnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa karena luka dipundaknya itu, maka Ki Ajar Sigarwelat merasa tidak akan mampu menggerakkan pedangnya dalam puncak ilmu Sapu Anginnya lewat kemampuannya dalam ilmu pedang.
Sebenarnyalah Ki Ajar itu telah bersiap-siap untuk mengetrapkan ilmunya. Iapun sudah menduga, bahwa Agung Sedayu tentu memiliki kemampuan untuk melontarkan ilmunya pula, sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih disaat melawan murid pertamanya.
Untuk beberapa saat, Ki Ajar itu berdiri tegak. Darah masih mengucur dari lukanya. Namun kemudian Ki Ajar itu telah mengatupkan telapak tangannya dan mengangkatnya setinggi dadanya. Bagi Ki Ajar, lebih baik melontarkan ilmunya itu daripada mempergunakannya lewat ilmu pedangnya dengan tangan kirinya. Untuk melawan orang lain kecuali Agung Sedayu, Ki Ajar memang sanggup mempergunakan tangan kirinya, tetapi lawan Agung Sedayu, ia akan mengalami banyak kesulitan.
Agung sedayu benar-benar telah bersiap. Bahkan iapun telah mempergunakan kesempatan itu untuk mempersiapkan ilmu puncaknya pula, yang semakin lama menjadi semakin matang. Agung Sedayu ternyata tidak usah menunggu terlalu lama.
Sesaat kemudian ia mendengar Ki Ajar berkata, "Agung Sedayu. Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya. Sebentar lagi, kau akan hancur luluh dihanyutkan oleh prahara yang akan dapat membenturkan kau pada dinding bukit itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ketajaman penglihatannya ternyata mampu menangkap gerak tangan Ki Ajar Sigarwelat. Kemampuan itu agaknya tidak diperhitungkan oleh Ki Ajar, sehingga ia mengira bahwa ia akan dapat melakukannya di luar pengamatan lawannya.
Tetapi dengan ketajaman penglihatannya, Agung Sedayu melihat apa yang dilakukan oleh Ki Ajar. Menggosokkan kedua telapak tangannya yang satu dengan yang lain sambil memusatkan nalar budinya. Ternyata Agung Sedayupun melihat, betapapun cepat, Ki Ajar itu menghentakkan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah Agung Sedayu meskipun hal itu dilakukannya dalam kegelapan.
Seleret sinar nampak memancar dari telapak tangan itu. Kemudian angin yang sangat kuat bagaikan prahara telah melanda sasarannya. Meskipun hanya untuk satu batasan tertentu, namun angin itu bagaikan telah mengguncang bukit. Ranting-ranting pepohonan berpatahan dan batupun berguguran.
Tetapi serangan itu tidak mengenai Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu memiliki kemampuan untuk melenting dengan kecepatan yang tinggi dan jarak yang jauh sekali menurut takaran orang banyak, karena Agung Sedayu memiliki kemampuan seakan-akan memperingan tubuhnya sehingga kakinya mampu melontarkannya jauh-jauh.
Ki Ajar yang mula-mula menduga, bahwa Agung Sedayu yang sudah tidak berada ditempatnya lagi itu tidak mampu menghindari sepenuhnya serangannya dan terpelanting jatuh membentur batu-batu padas, menjadi sangat terkejut. Agung Sedayu yang tidak ada disekitar tempatnya berdiri menurut jangkauan loncatan yang wajar, ternyata telah berdiri beberapa langkah lebih jauh lagi dari garis serangan Ki Ajar Sigarwelat.
"Anak iblis." geram Ki Ajar Sigarwelat.
Agung Sedayu berdiri tegak dengan tangan bersilang didada. Namun ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ternyata yang terkejut bukan saja Ki Ajar Sigarwelat, Glagah Putih dan Sekar Mirah yang menjadi berdebar-debar melihat serangan Ki Ajar Sigarwelat itupun menarik nafas dalam-dalam pula.
"Luar biasa." desis Glagah Putih yang memang mengagumi Agung sedayu sejak semula, "Kemampuan apakah yang telah melemparkan kakang Agung Sedayu begitu jauh sehingga terlepas dari arus prahara Ki Ajar Sigarwelat."
Sekar Mirah sempat meraba dadanya yang bagaikan menghentak-hentak. Ia tiba-tiba saja merasa sangat bersyukur bahwa suaminya mendapat kurnia kemampuan yang tinggi, sehingga ia dapat mempergunakannya untuk kepentingan sesama.
Sementara itu Ki Ajar Sigarwelat yang kehilangan sasaran"nya menjadi sangat marah, meskipun ia juga menjadi berdebar-debar. Ternyata Agung Sedayu memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ia tidak saja menunjukkan kemampuan bermain cambuk sebagai murid dari orang yang dikenalnya dengan sebutan Orang Bercambuk. Tetapi ternyata orang yang masih terhitung muda itu memiliki beberapa macam ilmu yang tidak diduganya semula. Ki Ajar tidak menduga bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu kebal yang dapat menyusur arti dan kemampuan pedang tipisnya karena perisai ilmu kebal itu. Dan ternyata Agung Sedayu juga memiliki kemampuan ilmu yang membuat tubuhnya seakan-akan menjadi tidak berbobot lagi.
Tetapi Ki Ajarpun yakin akan kemampuannya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berniat untuk membatalkan maksud"nya, membunuh Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan ilmunya pula. Setapak demi setapak ia melangkah mendekati Agung Se"dayu. Dengan sengaja Ki Ajar telah melangkah dibawah sebatang pohon yang rimbun untuk menyembunyikan gerak tangannya, sehingga tidak akan mudah dibaca oleh Agung Se"dayu.
Tetapi ketajaman penglihatan Agung Sedayu yang juga tidak diperhitungkan oleh lawannya, melihat Ki Ajar itu dengan jelas. Agung Sedayu melihat gerak-gerak kecil Ki Ajar yang sal"ing menggosokkan telapak tangannya. Namun yang tiba-tiba sa"ja dihentakkannya menyerang Agung Sedayu.
Sekali lagi Agung Sedayu yang melihat gerak itu betapa cepatnya telah meloncat. Loncatan yang sangat panjang diukur dengan loncatan sewajarya. Tetapi lawannya tidak memberinya waktu. Dengan serta merta Ki Ajar telah mempersiapkan serangannya pula. Demikian ia menemukan Agung Sedayu yang berdiri tegak maka serangannya telah meluncur dengan cepatnya.
Ketika serangan itu datang semakin cepat, maka Agung Sedayu mulai berpikir untuk membalas serangan itu. Ia tidak akan dapat menghindar saja terus-menerus tanpa membalasnya. Karena itu, maka ilmunya yang memang telah dipersiapkan itupun telah siap dilontarkannya.
Ketika serangan lawannya itu datang sekali lagi, Agung Se"dayu telah meloncat menjauh. Tetapi sebelum serangan berikutnya datang, Agung Sedayu telah melenting lagi kearah yang berlawanan, sehingga Ki Ajar menjadi agak bingung. Kesempatan itulah yang dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk melepaskan serangannya.
Namun ternyata Ki Ajar juga memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Pada saat Agung Sedayu melepaskan ilmunya, maka Ki Ajar itupun telah berhasil melemparkan dirinya kesamping. Ternyata Ki Ajar itu melihat satu kilatan cahaya di mata Agung Sedayu. Satu hal yang jarang dapat dilakukan oleh orang lain.
Tetapi ternyata orang yang bergelar Ajar Sigarwelat itu mengumpat kasar, "Ilmu apa lagi yang kau miliki he?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun sekali lagi ia bersiap dan melontarkan serangan dengan sorot matanya. Namun sekali lagi Ki Ajar itu sempat mengelak.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang itu ternyata benar-benar seorang yang berlmu tinggi, yang mampu menangkap kilatan cahaya di mata Agung Sedayu saat Agung Sedayu melontarkan ilmunya. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi semakin dahsyat. Keduanya mampu melontarkan serangan dari jarak jauh, namun keduanyapun mampu dengan cepat menghindari serangan-serangan itu.
Namun setiap kali Ki Ajar Sigarwelat telah mengumpat. Ia benar-benar tidak mengira bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada orang yang mampu mengimbangi ilmunya itu. Bahkan mampu melukai tubuhnya dengan ujung cambuknya.
Demikianlah maka sejenak kemudian, keduanya telah tenggelam dalam pertempuran yang aneh. Keduanya saling menyerang dengan ilmu puncaknya masing-masing. Sekali. Agung Sedayu tersentuh lontaran ilmu Sapu Angin sehingga ia terpelanting jatuh. Namun ia tidak membiarkan lawannya menyerangnya sekali lagi dan melumatkan tubuhnya meskipun dilambari dengan ilmu kebal. Karena itu, sambil berguling Agung Sedayu telah mempersiapkan dirinya. Demikian ia mendapat kesempatan tanpa bangkit berdiri, dilontarkannya ilmu"nya lewat sorot matanya.Tetapi lawannya selalu pula sempat meloncat mengelak.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung beberapa saat lamanya. Glagah Putih dan Sekar Mirah menjadi berdebar-debar melihat, betapa kedua belah pihak telah saling menyerang dengan kemampuan ilmu yang sangat tinggi. Sekali-sekali mereka melihat Agung Sedayu terguncang dan bahkan kemudian terpelanting jatuh. Namun pada kesempatan yang lain, Ki Ajar Sigarwelat terdorong dan jatuh terlentang oleh singgungan serangan Agung Sedayu.
Namun yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungan Ki Ajar Sigarwelat. Tenaganya terasa semakin lama menjadi semakin surut. Mula-mula Ki Ajar Sigarwelat tidak begitu mengerti, apa yang terjadi atas dirinya. Namun ketika kemudian tangannya menyentuh darahnya yang hangat, yang mengalir bagaikan diperas dari luka dipundaknya, barulah orang itu menyadari, bahwa darah terlalu banyak mengalir lewat lukanya itu. Bukan saja karena ia harus berloncatan menghindari serangan lawan yang bagaikan menguras tenaganya, tetapi justru pada saat-saat ia melepaskan ilmunya dengan mengerahkan segenap tenaga dan tenaga cadangannya untuk mendukung kekuatan lontaran ilmunya, maka tekanan urat nadinya menjadi semakin kuat. Karena itu, arus darahpun menjadi semakin deras pula.
Ternyata kesadaran itu telah membuatnya seolah-olah menjadi semakin lemah. Ketika ia kemudian berdiri, maka kaki"nya seakan-akan tidak lagi dapat tegak dengan kuat.
Agung Sedayu yang memiliki ketajaman penglihatan lahir dan batinnya, melihat keadaan Ki Ajar Sigarwelat itu. Karena itu, meskipun ia sudah siap untuk menyerangnya, maka niatnya itupun telah diurungkannya. Meskipun jika Agung Sedayu berniat, ia akan dapat segera mengakhiri pertempuran itu. Ia yakin, bahwa saat itu ia akan dapat menyerang dan bukan saja menyinggung tubuh lawannya, tetapi serangannya akan dapat langsung meremas isi dadanya. Tetapi Agung Sedayu justru menunggu.
Ki Ajar Sigarwelat memang telah hampir kehabisan darah"nya lewat lukanya yang menganga dipundaknya. Namun ternyata bahwa Ki Ajar tidak mau melihat kenyataan itu. Bahkan ia masih mempersiapkan sebuah serangan dengan ilmu puncaknya.
"Jangan Ki Ajar." Agung Sedayu berusaha memperingatkannya, "darahmu terlalu banyak mengalir."
"Kau menyerah." geram Ki Ajar.
"Bukan begitu. Tetapi kau akan mengalami kesulitan. Darahmu telah terlalu banyak mengalir." sahut Agung Sedayu.
"Persetan." geram orang itu, "jangan berlindung dengan cara yang sangat licik. Aku tidak berpengaruh sama sekali. Lukaku tidak berarti. Jika kau memang ingin menyerah, menyerahlah."
"Ki Ajar." berkata Agung Sedayu, "mengingat bahwa kita secara pribadi belum pernah bermusuhan, maka aku masih berusaha untuk memperingatkanmu."
"Cukup. Jangan menghina aku lagi." Ki Ajar itu hampir berteriak.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sadari dirimu. Tetapi jika kau tidak mau melihat kenyataanmu itu, maka kau tentu akan benar-benar mengalami kesulitan."
Tetapi Ki Ajar yang telah dikuasai oleh nafsunya untuk membunuh Agung Sedayu itu, tidak mau melihat kenyataan itu. Ia merasa terlalu kuat dan berilmu sangat tinggi. Ia telah mam"pu menembus ilmu kebal Agung Sedayu dengan ilmunya, ilmu Sapu Angin yang hampir sempurna. Selain dengan pedang pusakanya yang disebutnya Kiai Lembar Alang-alang. Meskipun ilmu Sapu Anginnya tidak dapat menembus sepenuhnya ilmu kebal Agung Sedayu dengan meremukkan tulang-tulangnya, namun ilmu itu dapat mengguncangkannya. Karena itu, maka dengan tanpa sempat membuat perhitungan lagi, maka sekali lagi Ki Ajar Sigarwelat telah melontar"kan ilmunya yang dahsyat. Ternyata Ki Ajar Sigarwelat telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Serangan itu memang dahsyat. Namun Agung Sedayu yang telah bersiap menghadapinya, dengan cepat meloncat menghindar. Satu loncatan yang panjang.
Ternyata ilmu Sapu Angin itu benar-benar dapat mengguncang ilmu kebalnya meskipun tidak melukainya. Karena itu, Agung Sedayumerasa lebih baik menghindarinya daripada terlempar dan jatuh bergulingan meskipun kulitnya tidak terluka oleh goresan batu-batu padas.
Tetapi Ki Ajar benar-benar kehilangan akal. Ketika serangannya itu gagal, maka ia telah menyerangnya sekali lagi dan sekali lagi.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ketika Ki Ajar itu melontarkan serangan yang keempat, maka rasa-rasanya malampun telah menjadi semakin gelap. Tubuhnya menjadi terlalu lemah. Darahnya benar-benar telah diperasnya lewat lukanya.
Karena itu, maka demikian Ki Ajar menghentakkan ilmunya, maka seolah-olah tetes darahnya yang terakhir telah diperasnya pula.
Sejenak kemudian Ki Ajar itupun telah terhuyung-huyung.
Beberapa saat ia berusaha bertahan, namun kemudian Ki Ajar itupun telah terjatuh.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Selangkah demi selangkah ia mendekati lawannya yang terbaring diam itu.
Bagaimanapun juga ia harus berhati-hati menghadapinya.
Namun agaknya Ki Ajar itu memang sudah tidak bergerak lagi. Ketika Agung Sedayu berdiri disisinya, maka tubuh itu rasa-rasanya bagaikan telah membeku.
Dengan lantang Agung Sedayupun kemudian berkata "Sekar Mirah dan Glagah Putih. Beri kesempatan lawanlawanmu itu melihat keadaan gurunya jika mereka masih hidup. "
Sebenarnyalah kedua orang murid Ki Ajar yang sudah tidak berdaya itu telah mendapat kesempatan untuk berjalan dengan tertatih-tatih mendekati gurunya. Ketika keduanya
kemudian berjongkok disisi Ki Ajar itu, maka tiba-tiba saja murid yang tertua itu berkata "Kau bunuh guru" "
Agung Sedayu menggeleng. Katanya dengan nada dalam"Ia telah membunuh dirinya sendiri. Aku sudah memperingatkannya, bahwa darahnya akan dapat terperas habis lewat
lukanya. Tetapi ia justru telah mengerahkan ilmunya pada saat-saat terakhir, sehingga darahnya itu benar-benar menjadikering.
Kedua orang murid Ki Ajar itu hanya dapat menundukkan
kepalanya. "Ki Ajar adalah orang yang luar biasa. Ia masih dapat
melepaskan ilmunya disaat-saat darahnya mulai mengering didalam
jantungnya, sehingga akhirnya ia harus meninggal
karena kehabisan darah. Sebenarnya ia dapat menjaga
dirinya sendiri, karena ia memiliki ilmu dan pengetahuan yang
cukup untuk mencegah peristiwa yang tidak kalian kehendaki
itu. Tetapi seakan-akan Ki Ajar sudah tidak menghiraukan
dirinya sendiri disaat-saat terakhir. Ia lebih menurut
kemarahannya yang bergejolak daripada pertimbangan yang
bening. Kedua muridnya masih saja berdiam diri. Sekar Mirah dan
Glagah Putih yang kemudian berdiri pula disebelah
menyebelah Agung Sedayu juga bagaikan membeku.
Malam yang dingin itu rasa-rasanya mulai terasa dinginnya.
Angin yang bertiup bukan lagi prahara yang memancar dari Aji
Sapu Angin Ki Ajar Sigarwelat yang memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi angin yang terasa basah mengandung titik-titik embun.
Dalam hening itu terdengar suara Agung Sedayu pula
"Kalian adalah murid-murid Ki Ajar Sigarwelat. Kalian telah
mendapat alas ilmu tertinggi dari gurumu. Tetapi gurumu
sekarang sudah tidak ada lagi. Mungkin kau dapat menyebut
bahwa aku adalah pembunuhnya meskipun ialah yang
sebenarnya telah membunuh dirinya sendiri. Dengan kematian
Ki Ajar, kalian dapat menarik satu pelajaran. Gurumu adalah
orang yang mampu berbuat apa saja. Ilmunya akan sangat
berarti jika ia menge-trapkan pada sisi yang benar. Namun kini
ia terbunuh untuk satu kepentingan yang tidak seimbang sama
sekali dengan pengorbanan yang telah diberikan. Apakah
bagimu nilai Rara Wulan lebih tinggi dari gurumu sehingga
karena permintaanmu kau telah mendorong gurumu kedalam
kematian" " Kedua orang murid Ki Ajar Sigarwelat itu semakin
menunduk. Sementara itu Agung Sedayu berkata selanjutnya
"Aku mengerti. Kalian tentu menganggap bahwa gurumu
adalah orang yang tidak akan dapat dihalangi oleh siapapun.
Satu lagi yang dapat kau sadap dari peristiwa ini. Tidak ada
orang yang mutlak tidak dapat dikalahkan. Hari ini kau lihat,
aku keluar dengan selamat dari pertempuran ini. Tetapi aku
tidak akan dapat berkata bahwa tidak akan ada orang yang
dapat mengalahkan aku. Satu pengalaman yang sangat
berharga bagimu. Jika kelak kalian dapat mengembangkan
ilmu kalian sehingga mencapai tataran sebagaimana gurumu
sekarang, maka kalian tidak akan dapat berkata, akulah orang
yang terbaik. " Kedua murid Ki Ajar itu masih tetap berdiam diri. Mereka
memang mendengarkan kata-kata Agung Sedayu sambil
merenungi kematian guru mereka. Betapapun dada mereka
bergejolak, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
"Sudahlah "berkata Agung Sedayu "adalah kewajiban
kalian untuk menyelenggarakan tubuh guru kalian. Sampai
saat ini aku masih menganggap bahwa kalian memiliki nalar
dan rasa yang utuh, sehingga kalian dapat melihat jauh. Juga
dalam hubungan murid Ki Ajar Sigarwelat yang tertua dengan
Rara Wulan. Selebihnya aku ingin memberikan sedikit
keterangan, bahwa gurumu bukan satu-satunya orang yang
memiliki ilmu seperti itu. Ilmu Sapu Angin, agaknya
mempunyai hubungan dengan padepokan Sapu Angin. Kalian
dapat mencoba berhubungan dengan mereka jika kalian
masih ingin mengembangkan ilmu kalian. "
Wajah-wajah kedua murid Ki Ajar itu menjadi tegang.
Nampaknya Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah
tidak akan berbuat sesuatu atas mereka. Tidak terbayang
didalam sikap dan kata-kata mereka, bahwa ketiga orang itu
ingin menyakiti mereka apalagi membunuh mereka
sepeninggal gurunya, meskipun mereka tahu, sumber
persoalannya adalah pada murid tertua Ki Ajar Sigarwelat itu.
Bahkan Agung Sedayupun kemudian berkata "Nah, kau
tentu dapat merasakan sekarang, betapa Ki Ajar Sigarwelat
telah mati dalam kesia-siaan, meskipun sebenarnya
kemampuannya itu akan dapat ikut menentukan perputaran
pemerintahan di Mataram. "
"Aku mengerti "desis murid tertua Ki Ajar itu "seperti kau
katakan, kami memang tidak mengira, bahwa di Tanah
Petdikan ini ada orang yang dapat mengimbangi
kemampuannya. " "Ki Sanak "berkata Agung Sedayu "jika kelak kau dapat
menguasai kemampuan sebagaimana gurumu, maka kau
jangan beranggapan seperti itu. Bertindak sewenang-wenang
justru pada satu lingkungan yang disangka tidak memiliki
pelindung yang baik. Jika kalian mengetahui satu lingkungan
seperti itu, maka kalian, lebih-lebih lagi orang-orang seperti
gurumu itu, justru harus bersedia melindunginya dari tindak
ketidak adilan, kewenang-wenangan dan tindakan-tindakan
lain yang semacam itu. Nah, sekarang kami minta diri. Kami
memberi waktu kepada kalian sampai esok menjelang fajar.
Jika saatnya orang-orang pergi ke pasar dan orang-orang
penjual kayu bakar lewat jalan sempit ini, kalian harus sudah
tidak ada di tempat ini. Terserah, apakah kalian akan
menguburkan guru kalian disini, atau kalian bawa kemana
saja menurut kepentingan kalian. Mungkin kalian dapat
berbicara dengan Ki Lurah Citra-bawa. "
"Baiklah "jawab murid Ki Ajar yang tertua "kami akan
segera meninggalkan tempat ini. "
"Sadari, bahwa kami telah mengampuni kalian kali ini.
Tetapi jika pada suatu saat masih ada diantara kalian yang
mengganggu keluarga Ki Lurah Branjangan, maka mungkin
sekali sikap kami sudah jauh berbeda. "berkata Agung Sedayu
pula. Kedua orang murid Ki Ajar itu mengangguk kecil.
Demikianlah, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah
Putihpun segera meninggalkan tempat itu. Malam masih
gelap dan anginpun rasa-rasanya mengusap tubuh mereka
yang basah oleh keringat.
Dalam pada itu, Sekar Mirahpun tiba-tiba saja telah
bertanya "Apakah mereka tidak akan mendendam" "
"Mudah-mudahan tidak "jawab Agung Sedayu "betapa
kerasnya hati seseorang, namun aku masih percaya, bahwa
didalam dasarnya yang paling dalam masih tersimpan sikap
yang jernih dari titah terkasih Yang Maha Agung ini. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kakak
sepupunya memang seorang yang lebih banyak berprasangka
baik daripada berprasangka buruk kepada seseorang.
Demikian pula agaknya kepada kedua orang murid Ki Ajar
Sigarwelat itu. Namun menurut dugaan Glagah Putihpun keduanya tidak
akan berbuat sesuatu. Bukan karena kesadaran yang akan
bangkit begitu saja di dalam jantung mereka, meskipun hal itu
memang mungkin sebagaimana diperhitungkan oleh kakak
sepupunya, tetapi keduanya lebih banyak menjadi ketakutan
melihat kekuatan yang ada di Tanah Perdikan. Kecuali jika
tiba-tiba saja kekuatan raksasa berdiri di belakangnya.
Karena itu, maka Glagah Putih tidak bertanya tentang
kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi ia bahkan bertanya
"Kemana tubuh Ki Ajar itu akan dibawa oleh kedua orang
muridnya" " "Entahlah "jawab Agung Sedayu "tetapi jika padepokan
mereka terlalu jauh, Ki Ajar tentu akan dikuburkan di lereng
bukit itu dengan tanda-tanda yang mudah dikenali sehingga
mereka akan tetap dapat mengenali kuburan guru mereka. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lagi. Demikianlah, maka mereka bertigapun kemudian telah
menempuh perjalanan kembali disisa malam itu. Tetapi
mereka memang berusaha untuk menghindari padukuhanpadukuhan
agar tidak terlalu banyak pertanyaan yang harus
mereka jawab. Tetapi mereka tidak dapat menghindari pertanyaan-perKang
Zusi - http://kangzusi.com/
tanyaan dari para peronda di padukuhan induk. Ketika
mereka memasuki mulut jalan induk, maka para perondapun
telah berebut menanyakan apa yang telah terjadi.
"Tidak ada apa-apa "jawab Agung Sedayu.
"Ah "para peronda itu berdesah.
Namun Agung Sedayupun kemudian berkata "Sudah terlalu
malam. Kami sangat letih. Beri kesempatan kami beristirahat. "
Para peronda itu memang tidak memaksa, karena mereka
memang melihat ketiga orang itu nampak letih. Karena itu,
maka dibiarkannya saja ketiga orang itu melanjutkan
perjalanan mereka tanpa diganggu lagi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah
memasuki halaman rumah Ki Gede. Para peronda di rumah
itupun telah mendapat jawaban yang sama dari Agung
Sedayu ketika mereka menghujaninya dengan pertanyaanpertanyaan.
"Kami terlalu letih "desis Agung Sedayu.
Para peronda dan para pengawalpun tidak memaksanya
pula untuk menjawab. Ternyata di ruang dalam Ki Gede, Ki Lurah Branjangan, Ki
Jayaraga masih duduk di ruang dalam. Di sudut amben yang
besar Raden Teja Prabawa telah dipersilahkan berbaring oleh
Ki Gede, karena ia berkeberatan untuk tidur sendiri di gandok.
Namun ternyata anak muda itu juga tidak dapat tidur sama
sekali. Bagaimanapun juga ia masih dicekam oleh
kegelisahan. Sedangkan di sebuah bilik Rara Wulan berbaring
ditemani oleh seorang perempuan separo baya. Tetapi
ternyata Rara Wulan juga dicekam oleh kegelisahan dan
bahkan ketakutan meskipun ia tahu, di depan bilik itu
berkumpul beberapa orang yang akan mampu melindunginya
termasuk Ki Jayaraga yang dikenalnya sebagai guru Glagah
Putih disamping Agung Sedayu. Sementara itu, di sekitar
rumah itu juga dikelilingi oleh beberapa orang pengawal dan
diregol beberapa peronda berada di gardu.
Tetapi Rara Wulan pun mengetahui bahwa orang yang
mengancam untuk mengambilnya itu dibayangi oleh seorang
yang berilmu sangat tinggi. Kegelisahan Rara Wulan ternyata tidak saja tentang dirinya
sendiri. Tetapi ia juga menjadi gelisah karena Agung Sedayu,
Glagah Putih dan Sekar Mirah masih juga belum kembali.
Karena itu, ketika Rara Wulan itu mendengar suara ketiga
orang itu di ruang dalam, maka iapun dengan serta merta
telah bangkit dan berlari keluar.
"Apakah yang terjadi" "bertanya Rara Wulan itu dengan
serta merta. Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya
Glagah Putih berdiri tegak tanpa cidera apapun.
Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab "Kami tidak apaapa.
" "Marilah. Duduklah "Ki Gede mempersilahkan - kami rasarasanya
menjadi sangat gelisah menunggu. "
Ketiga orang itupun kemudian telah duduk bersama di
amben besar di ruang dalam itu pula. Rara Wulan dan Teja
Pra-bawa telah ikut duduk pula bersama mereka.
Sementara perempuan yang semula menunggui Rara
Wulan menyiapkan minuman, maka Agung Sedayu telah
sempat berce-ritera dengan singkat tentang apa yang telah
terjadi. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya "Luar biasa.
Jadi ilmu orang yang disebut Ki Ajar Sigarwelat itu mampu
menembus ilmu kebal angger Agung Sedayu" "
"Ilmu kebalku telah diguncangnya. Pedang tipisnyalah yang
telah mengoyak ilmu kebalku dan melukai lenganku. Meskipun
hanya segores kecil "sahut Agung Sedayu.
Ki Gedepun berdesis seakan-akan kepada diri sendiri "Apa
jadinya jika ilmu itu mengenai orang lain. Demikian pula
pedang tipisnya. Tulang-tulangpun akan putus dengan sekali
tebas. " Agung Sedayupun mengangguk pula sambil menyahut
"Memang luar biasa Ki Gede. Tetapi Yang Maha Agung masih
melindungi kami, sehingga kami bertiga masih sempat
menghadap Ki Gede. "
"Kita memang bersyukur "sahut Ki Lurah "bukan saja kalian
yang mendapat perlindungan itu. Tetapi juga cucuku dan
bahkan seluruh keluargaku. "
"Tetapi bagaimana dengan kedua muridnya itu" "bertanya
Raden Teja Prabawa "apakah keduanya tidak akan
mendendam dan mencari kekuatan untuk melakukannya"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan
serupa memang terbersit pula dihatinya sebagaimana pernah
ditanyakan pula oleh Sekar Mirah. Namun jawabnyapun sama
sekali tidak menunjukkan prasangka buruknya "Aku kira kedua
muridnya akan menyadari, bahwa mereka telah melakukan
kesalahan. " Teja Prabawa termangu-mangu. Tetapi katanya
"Sebenarnya akan lebih meyakinkan jika kedua muridnya
itupun dibunuh pula. "
"Teja Prabawa "potong Ki Lurah Branjangan "kenapa kau
berpendapat begitu" Membunuh bukan tindakan yang terpuji
dimanapun juga jika tidak terpaksa sekali. "
"Tetapi membunuh kedua orang itupun termasuk langkah
yang terpaksa diambil untuk melindungi diri sendiri, karena
kedua orang itu akan dapat mengancam keselamatan kita
semuanya. Seseorang kadang-kadang memang harus
dibunuh jika memang tidak ada lagi kemungkinan untuk
merubah sifat dan wataknya seperti kedua orang itu. "berkata
Raden Teja Prabawa. "Bagaimana kau dapat mengatakan, bahwa keduanya
sudah tidak mungkin lagi berubah watak dan sifatnya"


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"bertanya Ki Lurah Branjangan. Lalu "Kau tidak
menghadapinya langsung. Kau tidak mendengar apa yang
dikatakannya dan kau tidak tahu apa yang terjadi pada saatsaat
gurunya meninggal. Kau tidak dapat mengambil
kesimpulan begitu saja. "
Raden Teja Prabawa memang terdiam. Tetapi sebenarnya
ia tetap merasa kecewa bahwa kedua orang itu tidak
dibunuh saja. Kekecewaan yang juga bersumber dari
perasaan takut bahwa pada suatu saat orang-orang itu atau
salah seorang daripadanya akan datang menemuinya untuk
membalas dendam, karena bagaimanapun juga, hubungannya
dengan Rara Wulan sebagai seorang kakak adalah dekat
sekali. Dalam pada itu, ketika kemudian minuman hangatpun
dihidangkan, maka tubuh-tubuh yang letih itu rasa-rasanya
menjadi segar. Namun kemudian Agung Sedayu, isteri dan adik sepupunyapun
telah mohon diri kepada Ki Gede untuk membersihkan
diri dan beristirahat barang sesaat dirumah.
Agaknya Ki Gedepun tidak berkeberatan. Tetapi ia minta
agar Ki Lurah Branjangan dan kedua cucunya biar saja berada
di rumahnya. Karena agaknya tidak lagi terdapat ancaman
yang berbahaya atas mereka. Setidak-tidaknya untuk
sementara. Tetapi tiba-tiba saja Sekar Mirah berkata "Bukankah Rara
akan belajar bersama-sama dengan aku di sanggar" "
"Ya "tiba-tiba saja Rara Wulan menyahut "aku ingin.
"Namun suaranya merendah. "Tetapi jika kakek yang mengijinkan.
" "Ada-ada saja kau Wulan "sahut kakaknya "kita harus
segera kembali ke Kotaraja. Agaknya Tanah Perdikan ini
kurang sesuai bagi kita. "
Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya "Ternyata kau
dan Wulan mempunyai beberapa perbedaan sikap. Memang
tidak apa-apa. Setiap orang mempunyai sikap dan tanggapan
mereka masing-masing atas satu persoalan yang sedang
berkembang. Tetapi barangkali kita perlu mendengar alasan
Wulan, kenapa ia ingin mempelajari olah kanuragan. "
"Yang terjadi merupakan pengalaman pahit, kek "jawab
Rara Wulan "karena itu, aku berpikir, bahwa sebaiknya aku
dapat melindungi diriku sendiri. Setidak-tidaknya bertahan
untuk sementara sebelum pertolongan datang. Ketika aku
melihat mbokayu Sekar Mirah di sanggar mempertunjukkan
kemampuannya, maka akupun ingin belajar padanya,
meskipun yang akan aku capai akhirnya hanya sebagian kecil
dari kemampuan itu. Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya "Aku tidak
berkeberatan. Aku akan berbicara dengan kedua orang
tuamu. Mudah-mudahan mereka mengerti. Tetapi keputusan
terakhir memang ada pada ayah dan ibumu. "
"Kakek dapat membantu aku "berkata Rara Wulan "apalagi
aku telah menjadi semakin besar dan pada saatnya aku
mempunyai hak untuk menentukan sikapku sendiri. "
"Tidak "jawab Teja Prabawa "kau adalah seorang gadis.
Hanya seorang laki-laki yang berhak menentukan sikapnya
sendiri jika ia dewasa. Seorang gadis harus mengabdi kepada
orang tua, selanjutnya kepada suaminya. "
"Seandainya demikian, Teja Prabawa "sahut Ki Lurah
Branjangan "maka yang menentukan adalah kedua ayah dan
ibumu serta kelak sudah barang tentu suaminya. Jika ayah
dan ibumu tidak berkeberatan dan apalagi suaminya kelak
sependapat, maka kau tidak usah terlalu tegang memikirkan
adikmu. Teja Prabawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi rasarasanya
ia sudah tidak ingin lebih lama berada di Tanah Perdikan
itu. Namun ia memang merasa berkeberatan jika
adiknya mempelajari olah kanuragan, apalagi kelak memiliki
kemampuan jauh melampauinya.
Namun dalam pada itu, Ki Lurahpun berkata "Sudahlah.
Kita sebaiknya tidak membicarakannya sekarang. Biarlah angger
Agung Sedayu, angger Sekar Mirah dan angger Glagah
Putih beristirahat lebih dahulu.
Demikianlah, maka ketiga orang itu bersama Ki Jayaraga
telah meninggalkan rumah Ki Gede. Meskipun malam sudah
hampir sampai ke ujungnya, namun ketika mereka sampai
dirumah, mereka masih juga sempat mandi dan masingmasing
masuk kedalam bilik mereka. Hanya Glagah Putih
yang masih sempat melihat, bahwa anak yang membantu di
rumah itu ternyata telah mendapat ikan banyak sekali.
"Jika aku sendiri, aku malahan mendapat ikan lebih banyak
daripada jika kau ikut bersamaku "berkata anak itu.
Glagah Putih tersenyum. Katanya "Jika demikian, maka
sebaiknya kau pergi saja sendiri. "
"Baik. Baik "sahut anak itu sambil bersungut-sungut "kau
kira aku tidak dapat melakukannya. "
Glagah Putih menepuk bahu anak itu sambil tertawa.
Katanya "Jangan marah. Aku tidak bersungguh-sungguh. "
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia segera meninggalkan
Glagah Putih yang masih saja tertawa sendiri.
Namun sejenak kemudian Glagah Putihpun telah berada
didalam biliknya dan berbaring dibawah cahaya lampu minyak.
Tetapi dikejauhan telah mulai terdengar ayam jantan berkokok
yang seakan-akan menjalar dari kandang ke kandang,
sehingga kemudian beberapa ekor ayam jantan dikandang
dibelakang rumah Agung Sedayu itupun berkokok pula.
Tetapi Agung Sedayu masih berusaha untuk memejamkan
matanya. Masih ada sisa malam meskipun hanya sebentar.
Dengan tidur sejenak maka keletihan tubuhnya akan hilang.
Namun agaknya Glagah Putih tidak dapat tidur barang
sekejappun. Ada gangguan lain pada perasaannya. Jika ia
mencoba untuk memejamkan matanya, justru sebuah wajah
nampak diangan-angannya. Wajah seorang gadis Kota Raja
yang terbiasa hidup dengan cara yang berbeda dari cara
hidup orang-orang padesan di Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putih menjadi gelisah. Ia sadar, perasaan apakah
yang sedang bergejolak didalam dirinya. Glagah Putih
menyadari, bahwa ia mulai tertarik pada gadis kota itu. Namun
ia berusaha untuk mengatasinya dengan penalaran, bahwa ia
berada pada jarak yang sangat jauh dari gadis itu. Gadis yang
terbiasa hidup dirumah yang mewah dari seorang
Tumenggung. Yang terbiasa dilayani oleh pelayan-pelayan
yang tidak hanya berjumlah satu dua. Yang terbiasa
dimanjakan sehingga semua keinginannya terpenuhi.
Sementara Glagah Putih adalah anak
bekas seorang prajurit di Banyu Asri, yang kemudian
tinggal di Tanah Perdikan Menoreh yang jauh dari kota,
dengan cara hidup yang jauh berbeda. Yang tinggal di rumah
yang sederhana dan jauh dari keramaian. Sedangkan kaki dan
tangannya selalu dikotori dengan lumpur sawah dan gatalnya
batang ilalang. Ternyata sampai saatnya matahari membayang dilangit,
Glagah Putih masih belum dapat tertidur barang sekejappun,
sehingga akhirnya ia justru bangkit dan keluar dari biliknya
untuk melakukan kerjanya setiap pagi.
Ketika ia bertemu dengan Sekar Mirah, maka Sekar Mirah
itu justru bertanya kepadanya "Wajahmu nampak pucat
Glagah Putih. Apakah badanmu terasa kurang sehat" Letih
barangkali atau ada bekas ilmu lawanmu pada tubuhmu yang
belum dapat dihindarkan" "
Glagah Putih menggeleng. Jawabnya "Tidak mbokayu.
Tidak ada apa-apa. Aku memang letih. Tetapi justru karena
itu, aku tidak dapat beristirahat dengan baik disisa malam ini. "
"Kau merasa gelisah" "bertanya Sekar Mirah. Glagah Putih
mengangguk. "Apakah kau gelisah karena murid Ki Ajar itu yang pada
suatu saat memang mungkin dapat datang lagi kepadamu"
"bertanya Sekar Mirah.
"Glagah Putih menggeleng sambil menjawab "Tidak
mbokayu. " Tiba-tiba saja Sekar Mirah tersenyum. Katanya "Jika
demikian aku tahu apa yang kau gelisahkan. "
Dahi Glagah Putih berkerut. Namun ia mencoba mengelak
"Aku tidak menggelisahkan apa-apa. "
"Ah kau yang mengatakannya sendiri, bahwa kau tidak
dapat tidur karena gelisah sehingga wajahmu nampak pucat
dan tubuhmu letih sekali. Kau biasanya tidak begitu. Kau
sanggup bertempur sehari-semalam tanpa berhenti. Bahkan
lebih. Apalagi hanya melawan murid Ki Ajar yang baru mulai
berguru dan mulai mempelajari ilmu Sapu Angin yang masih
mendasar sekali. "berkata Sekar Mirah.
"Jadi apa menurut dugaan mbokayu" "bertanya Glagah
Putih. Sekar Mirah tertawa. Katanya "Aku akan berbicara dengan
kakakmu dan Ki Jayaraga. "
"Bicara tentang apa" "desak Glagah Putih.
"Tentang wajahmu yang pucat, tentang tubuhmu yang
nampak terlalu letih dan tentang kegelisahanmu sehingga kau
tidak sempat beristirahat sama sekali. "jawab Sekar Mirah
yang masih saja tertawa. "Lalu kesimpulan apa yang mbokayu dapatkan" "bertanya
Glagah Putih pula. Sekar Mirah hanya tertawa saja. Tetapi iapun melangkah
pergi. "Mbokayu, mbokayu "panggil Glagah Putih. Tetapi Sekar
Mirah hanya berpaling sambil tertawa. Tetapi ia tidak berhenti,
bahkan kemudian Sekar Mirah itupun telah menyelinap masuk
ke dapur. Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Namun iapun
menjadi bertambah gelisah. Nampaknya Sekar Mirah dapat
membaca perasaannya. "Mbokayu Sekar Mirah tentu pernah semuda aku juga
"berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.
Namun Glagah Putihpun kemudian telah berusaha
melupakan bayangan di angan-angannya. Iapun kemudian
telah bekerja seperti biasanya. Menimba air untuk mengisi
jambangan-jambangan di pakiwan. Kemudian mengisi
gentong didapur bersama pembantu dirumahnya. Glagah
Putih yang menimba air, sementara anak itu yang
membawanya ke dapur. Tetapi anak itu masih juga bersungut "Karena itu, talang
bambu itu cepat kau perbaiki, sehingga aku tidak usah
mondar-mandir ke dapur. "
"Kenapa bukan kau yang memperbaiki" "bertanya Glagah
Putih. "Siapa yang lebih besar diantara kita" Kau atau aku"
"bertanya anak itu. Glagah Putih tertawa. Tetapi katanya "Tentu kau yang
merusakkannya pagi tadi, ketika kau pulang dari sungai. "
"Kau menuduh aku" "mata anak itu terbelalak.
Glagah Putih tertawa. Katanya "Cepat. Bawa air itu kedapur.
Kemudian bawa klenting itu kembali. Kau masih harus
berjalan mondar-mandir dua kali lagi. "
Ternyata anak itu mampu membuat Glagah Putih lupa
barang sejenak kegelisahannya sendiri. Bahkan kemudian ia
berhasil untuk melakukan pekerjaannya yang lain
sebagaimana dilakukan sehari-hari sebelumnya tanpa banyak
berhenti untuk merenung. Sementara itu, di rumah Ki Gede Menoreh Raden Teja
Prabawa telah mendesak kakeknya untuk segera kembali ke
kota. Baginya kehidupan di Tanah Perdikan itu tidak menarik
sama sekali. "Kau tidak merasa mendapatkan pengalaman baru di
dalam hidupmu selama kau berada di Tanah Perdikan ini"
Kau tidak merasa bahwa kau telah melihat satu segi
kehidupan yang lain dari kehidupan yang kau lihat sehari-hari
di kota" Dan kau tidak melihat betapa orang-orang Tanah
Perdikan ini menanggapi persoalan dari persoalan air
disawahnya, persoalan ternak di kebunnya sampai ke
persoalan adikmu Rara Wulan "bertanya Ki Lurah Branjangan.
Raden Teja Prabawa termangu-mangu. Namun katanya
kemudian "Apakah hal itu ada hubungannya dengan hidupku
sekarang maupun kelak" Jika aku tidak datang kemari, maka
aku tidak memerlukan pengalaman seperti itu. Mungkin aku
akan bekerja di istana atau mungkin aku akan menjadi
seorang prajurit. " "Ternyata pandanganmu terlalu sempit Teja Prabawa.
"berkata Ki Lurah Branjangan. Namun tiba-tiba Ki Lurah itu tersenyum
sambil berkata "Tetapi sebenarnya kau tidak
semata-mata membutakan dirimu dari kenyataan itu. Tetapi
kau dibayangi oleh ketakutan akan pembalasan dendam.
Kematian Ki Ajar Sigarwelat itu nampaknya selalu
membuatmu gelisah. "
Raden Teja Prabawa mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak
dapat membantah kata-kata kakeknya. Agaknya kakeknya
dapat melihat isi hatinya yang sebenarnya.
Namun karena itu maka katanya "Kakek. Apakah artinya
bahwa kita harus tetap berada di sini sementara bahaya telah
mengancam. Kedua murid Ki Ajar itu akan dapat mencari
bantuan dari manapun juga asalnya. "
"Teja Prabawa. Apakah kau tidak melihat pasukan
pengawal yang bersiaga siang dan malam di halaman rumah
ini" Sementara itu Ki Gede adalah seorang yang berilmu
tinggi, sedangkan kakek sendiri adalah bekas seorang
prajurit" Apa pula yang kau takutkan" Justru jika kita berada
di kota, maka pembalasan dendam itu akan dapat dilakukan
dengan mudah" Apakah rumah ayahmu itu dijaga seketat
rumah Ki Gede ini" "desis Ki Lurah.
"Tetapi jika ayah menghendaki, rumah kami akan dijaga
oleh prajurit Mataram. Bukan sekedar pengawal Tanah
Perdikan. "berkata Teja Prabawa.
"Sekali lagi kau salah menilai "berkata Ki Lurah Branjangan
"kau mengira bahwa kemampuan olah kanuragan seorang
pengawal kalah dari seorang prajurit. Sebagaimana kau tentu
menganggap bahwa para Senapati di Mataram mempunyai
kemampuan lebih tinggi dari para pemimpin pengawal di
Tanah Perdikan ini. Seharusnya kau yang sudah melihat
sendiri kemampuan mereka mengerti, bahwa para pemimpin
di Tanah Perdikan ini tidak kalah dari para pemimpin di
Mataram. Bahkan para Pangeran sekalipun, selain Ki Juru


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Martani yang bergelar Ki Mandaraka dan Panembahan
Senapati sendiri. Seperti yang pernah aku katakan, bahwa
Raden Rangga yang memiliki ilmu tanpa dapat dijajagi itu
adalah kawan bermain Glagah Putih. Kawan mengembara
dan juga kawan menjalani laku dalam memahami ilmu. Tetapi
mereka juga kawan berlatih. Sedangkan
Agung Sedayu pada usia remajanya adalah
seorang pengembara yang kadang-kadang bersama
Panembahan Senapati dan kadang-kadang bersama
Pangeran Benawa. Nah, kau tahu itu" Dan kau lihat bahwa
Agung Sedayu itu sampai sampai sekarang masih juga tetap
bergulat dengan lumpur di sawah" Jika ia mau menjadi
seorang prajurit seperti kakaknya, Untara, maka ia tentu
sudah mendapat kedudukan yang tinggi. "
Teja Prabawa tidak menjawab. Kepalanya memang
tertunduk dalam-dalam. Apalagi ketika kemudian Rara Wulan
datang mendekati mereka. Adalah tiba-tiba saja ketika Rara Wulan itu kemudian
berkata "Bagaimana pendapat kakek jika aku benar-benar
belajar olah kanuragan kepada mbokayu Sekar Mirah" "
"Itu tidak pantas "Teja Prabawalah yang menjawab "jika kau
memang ingin belajar, biarlah ayah yang mencari seorang
guru yang pantas. " Namun Ki Lurah Branjangan berpendapat lain. Katanya
"Biarlah aku yang mengatakannya kepada ayah dan ibumu.
Bukankah kemarin aku sudah mengatakan begitu" "
"Jika demikian Wulan harus menunggu sampai ayah dan
ibu memberikan ijinnya "berkata Teja Prabawa.
"Tentu "jawab Ki Lurah Branjangan.
"Tetapi aku harus menunggu terlalu lama, "sahut Rara
Wulan. "Kita akan segera kembali ke kota "berkata Teja Prabawa
"kakek akan dapat mengatakannya kepada ayah dan ibu. "
"Ya "Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi katanya
selanjutnya "namun sebelum itu. kau dapat mencoba barang
satu dua hari. Jika kau tertarik untuk selanjutnya, barulah aku
akan mengatakannya kepada ayah dan ibumu. Tetapi jika kau
ternyata tidak tertarik atau barangkali kau merasa bahwa
tubuhmu tidak akan mungkin mendukung ilmu kanuragan
yang kau pelajari, maka sudah tentu aku tidak perlu
mengatakannya kepada orang tuamu. "
"Bagus kakek. Nanti aku akan datang kepada mbokayu
Sekar Mirah "berkata Rara Wulan.
"Kau harus mendapat ijin dahulu "bentak Teja Prabawa.
"Biarlah aku yang memutuskannya Teja Prabawa "berkata
Ki Lurah Branjangan "dengan demikian Rara Wulan tidak akan
menjadi bingung. " Teja Prabawa terdiam meskipun ia tetap berkeberatan.
Tetapi nampaknya kakeknya benar-benar sudah tidak dapat
dirubah keputusannya. Bahkan kakeknya itupun kemudian berkata "Bersiapsiaplah.
Kita akan pergi ke rumah Agung Sedayu. "
"Baik kek "jawab Rara Wulan sambil berlari masuk kedalam
biliknya untuk berbenah diri.
Sementara itu Ki Lurah Branjangan telah bertanya pula
kepada cucu laki-lakinya "Kau ikut aku ke rumah Agung
Sedayu atau tidak" "
Teja Prabawa menjadi ragu-ragu. Hampir diluar sadarnya ia
bertanya "Dengan siapa kakek pergi ke rumah Agung
Sedayu" " "Aku, bersama Rara Wulan dan jika kau pergi, kita akan
pergi bertiga "jawab Ki Lurah.
Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun
kemudian berkata seakan-akan kepada diri sendiri "Terlalu
berbahaya jika kita pergi hanya bertiga. "
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia
bertanya "Kenapa berbahaya" "lalu suaranya merendah "Teja
Prabawa, kau jangan terlalu dibayangi oleh dendam muridmurid
Ki Ajar Sigarwelat. Belum tentu mereka termasuk orangorang
yang sangat jahat dan pendendam. Juga kematian
gurunya akan sangat berpengaruh, sehingga mereka tidak
akan berani berbuat terlalu banyak. "
Teja Prabawa termangu-mangu. Tetapi ia tidak
membantah. Bahkan kemudian iapun berdesis "Aku pergi
bersama kakek. " "Baik "berkata Ki Lurah "kita akan berbenah diri. "Sejenak
kemudian maka Ki Lurahpun telah menemui Ki Gede untuk
minta diri. Nampaknya Ki Gede sedang bersiap-siap untuk
mengadakan pertemuan para bebahu Tanah Perdikan
Menoreh. Karena itu maka katanya kemudian "Sebentar lagi
Agung Sedayu tentu juga akan datang kemari. Kita akan
berbicara tentang beberapa hal yang penting bagi Tanah
Perdikan ini."- "Tetapi bukankah di rumah itu masih ada Sekar Mirah, Ki
Jayaraga dan Glagah Putih" "sahut Ki Lurah. Tetapi iapun
kemudian bertanya "Apakah Ki Jayaraga juga akan hadir disini
nanti" " Ki Gede menggeleng. Jawabnya "Aku kira tidak. Kali ini aku
hanya mengundang para bebahu dan para pemuka di Tanah
Perdikan ini. " Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya "Jika demikian,
kami mohon diri. " Ki Gede mengantar Ki Lurah sampai ke halaman. Namun ia
masih juga berpesan "Hati-hati Ki Lurah. Jika Ki Lurah ingin
keluar dari pedukuhan induk, biarlah ada yang
mengantarkannya. " "Kami hanya ingin pergi ke rumah Agung Sedayu "jawab Ki
Lurah. "Demikianlah, Ki Lurah bersama kedua cucunyapun telah
keluar dari regol halaman rumah Ki Gede. Seorang pengawal
yang berada didalam regol mengangguk hormat. Sementara
dua orang kawannya duduk termangu-mangu di gardu.
Beberapa saat kemudian, ketiganya telah menyusuri jalan
induk Tanah Perdikan. Jalan yang cukup ramai, karena iapun
akan melalui daerah perdagangan di sebelah pasar.
Beberapa buah pedati lewat beriringan. Beberapa orang yang
terlambat pergi ke pasar nampak tergesa-gesa, sementara itu
sudah ada pula diantara beberapa orang yang pulang dari
pasar. Pasar itu menjadi lebih ramai dihari pasaran sepekan
sekali. Namun nampaknya Teja Prabawa masih saja merasa
cemas. Jika dua tiga orang laki-laki berjalan beriring, ia selalu
saja menjadi berdebar-debar. Sementara itu justru Rara
Wulan berjalan di depan. Meskipun ia sadar, bahwa ia adalah
sumber ancaman Ki Ajar Sigarwelat, namun ia dapat mengerti
keterangan kakeknya, bahwa untuk sementara mereka tidak
akan mengganggu. Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan rumah
Agung Sedayu, maka rasa-rasanya hati Teja Prabawa menjadi
semakin tenang. Namun demikian, ia bertanya pula kepada
kakeknya "Bukankah Agung Sedayu akan pergi ke rumah Ki
Gede menghadiri pertemuan para bebahu" "
"Ya "jawab Ki Lurah. "Jadi dirumah itu kita akan bertemu
dengan siapa" "bertanya Teja Prabawa pula.
Bukankah tadi sudah aku katakan kepada Ki Gede bahwa
dirumah itu masih ada Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar
Mirah" jawab Ki Lurah.
Teja Prabawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Ki Lurah berkata selanjutnya "Ki Jayaraga adalah seorang
yang luar biasa. Seandainya orang itu yang bertemu dengan
Ki Ajar Sigarwelat, maka agaknya Ki Ajar Sigarwelat pun tidak
akan dapat menang atasnya. "
Anak muda itu tidak menjawab. Rasa-rasanya memang
tidak mudah untuk percaya. Teja Prabawa menyangka, bahwa
kakeknya hanya sekedar menenangkan hatinya saja.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian mereka telah
berada di rumah Agung Sedayu. Seperti yang telah dikatakan
oleh Ki Gede, maka Agung Sedayu memang akan pergi ke
rumah Ki Gede untuk menghadiri pertemuan para bebahu
yang memang sering diadakan oleh Ki Gede untuk
membicarakan perkembangan Tanah Perdikan, agar tidak
terlambat menang-gapi keadaan.
"Tetapi di rumah masih ada Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan
Glagah Putih "berkata Agung Sedayu "bahkan jika Ki Lurah
akan dirumah ini lagi, kami akan merasa senang sekali.
"Aku hanya minta diri untuk beberapa lama. Nanti kami
akan kembali ke rumah Ki Gede "jawab Ki Lurah. Namun
katanya pula. Yang berkepentingan kali ini adalah Rara
Wulan. Ia ingin berbicara dengan angger Sekar Mirah.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun tersenyum sambil berkata "Silahkan. Sekar Mirah jarang
sekali pergi, kecuali pergi ke sawah. Sekali-sekali ke pasar
dihari-hari pasaran sepekan sekali, jika ia kehabisan bahanbahan
di dapur. " Rara Wulan menunduk sambil berdesis "Bukan aku. Tetapi
kakek. " "Ah "sahut kakeknya "aku hanya mengantarkan kau.
"Tetapi kakek yang mengajak aku kemari "jawab Rara
Wulan. Sekar Mirah tersenyum sambil berkata "Baiklah. Aku sudah
mengerti. Bukankah Rara ingin bermain-main disanggar"
Rara Wulan mengangguk. Katanya sambil menunduk "Aku
baru ingin mencoba. "
"Tidak apa-apa "jawab Sekar Mirah "agaknya Rara
memang masih belum mengenal dengan baik olah kanuragan.
"Itulah yang akan dilakukannya "berkata Ki Lurah "dalam
dua atau tiga hari ini, biarlah ia mengenali olah kanuragan itu
lebih banyak. Baru ia akan dapat menentukan, apakah ia
berminat atau tidak. Jika ia berminat, maka aku harus
berbicara dengan ayah dan ibunya.
Agung Sedayu yang tertawa berkata "Apakah dalam waktu
dua tiga hari seseorang cukup waktu untuk mengenali olah
kanuragan" Dan apakah dalam waktu sesingkat itu seseorang
akan dapat mengatakan, apakah ia tertarik atau tidak" "
"Memang terlalu singkat. Tetapi itu lebih baik daripada tidak
sama sekali jika Rara Wulan ingin mempelajari olah
kanuragan bukan semata-mata karena keinginan yang
meletup begitu saja dari hatinya tetapi yang kemudian akan
segera pudar, karena ternyata olah kanuragan tidak
sebagaimana disangkanya, "jawab Ki Lurah Branjangan "olah
kanuragan bukan permainan seperti gatheng atau sodoran.
Tetapi menuntut tanggung jawab yang jauh lebih berat, selain
tuntutan gerak tubuh sepenuhnya. "
Agung Sedayu yang masih tertawa mengangguk angguk
"Baiklah. Biarlah Sekar Mirah nanti membawanya ke sanggar.
" "Tetapi jangan mengganggu pekerjaan angger Sekar Mirah
sehari-hari. Masak misalnya atau keperluan yang lain. Bahkan
pergi kesawah. "berkata Ki Lurah.
"Tidak "Sekar Mirah tersenyum. Lalu katanya "Rara tentu
bersedia pula membantu aku didapur, sebelum memasuki
sanggar. Biarlah Glagah Putih nanti pergi ke sawah untuk
menemani Ki Jayaraga. "
"Tetapi "wajah Teja Prabawa yang segera berubah "semua
orang ternyata akan pergi. "
Ki Lurah tertawa. Katanya "angger Agung Sedayu tentu
tidak akan terlalu lama berada di rumah Ki Gede.
Pembicaraan mereka tentu tidak akan sampai tengah hari. "
"O tidak "jawab Agung Sedayu "aku akan segera kembali. "
Teja Prabawa termangu-mangu. Namun agaknya Agung
Sedayu dapat mengerti apa yang menjadi persoalannya yang
dapat dibacanya pula dari sikap Ki Lurah Branjangan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayulah
yang minta diri untuk pergi ke rumah Ki Gede, sementara yang
lain masih ada dirumah. Bahkan Agung Sedayupun kemudian
berkata kepada Ki Jayaraga "Barangkali Ki Jayaraga dapat
menunda kepergiannya ke sawah sampai aku kembali dari
rumah Ki Gede. " "Apakah kita akan pergi kesawah bersama-sama"
"bertanya Ki Jayaraga sambil tersenyum.
Agung Sedayu justru tertawa semakin panjang. Demikian
pula Ki Lurah Branjangan, sementara Teja Prabawa menjadi
kebingungan. Demikianlah sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Jayaragalah
yang menemani Ki Lurah Branjangan berbincangbincang
di pendapa bersama Teja Prabawa. Sementara
Glagah Putih masih sibuk dikandang. Sedangkan Rara Wulan
berada di dapur bersama Sekar Mirah.
"Rara membantu aku didapur sebelum kita pergi ke
sanggar. "berkata Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk sambil menjawab "Aku tidak
tergesa-gesa. Waktuku banyak. Tetapi kakang Teja
Prabawalah yang tergesa-gesa ingin kembali ke kota. "
"Kenapa" "bertanya Sekar Mirah. "Apakah Raden Teja
Prabawa tidak senang berada di Tanah Perdikan ini" "
"Nampaknya Tanah Perdikan ini bagi kakang Teja Prabawa
selalu dibayangi oleh dendam murid-murid Ki Ajar Sigarwelat
itu, "jawab Rara Wulan.
"Ah. Mereka tidak akan melakukan apa-apa lagi. Kedua
murid Ki Ajar itu masih terlalu muda didalam pewarisan ilmu
gurunya. Meskipun seorang diantara mereka telah menyimpan
pusaka Ki Sigarwelat yang tipis dan bertuah itu, yang ditangan
Ki Ajar Sigarwelat mampu menembus pertahanan ilmu kebal
kakang Agung Sedayu, namun ditangan murid-muridnya
pedang tipis itu tidak akan banyak berarti "berkata Sekar
Mirah. Rara Wulan mengangguk-angguk. Meskipun ia merupakan
sasaran utama dari keinginan murid tertua Ki Ajar Sigarwelat,
tetapi gadis itu justru tidak mengalami kecemasan seperti
kakaknya. Demikianlah maka untuk beberapa lama Rara Wulan
memang sibuk didapur. Bahkan ia seakan-akan telah
melupakan niat kedatangannya. Bekerja didapur yang jarang
sekali dilakukan itupun sangat menarik pula baginya. Ternyata
dirumah itu Rara Wulan dapat belajar tentang banyak hal.
Juga tentang masak-memasak.
Rara Wulan pulalah yang menghidangkan suguhan ke
pendapa bagi kakek dan kakaknya selain juga bagi Ki
Jayaraga. Ternyata seperti yang diminta. Ki Jayaraga tidak segera


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Bayangan Panji Sakti 3 Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie Iblis Segala Amarah 1
^