Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 15

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15


"Kenapa tidak kau lakukan sekarang, jika kau memang duta ngrampungi?" potong -Swandaru.
Wajah kedua orang itu memang menjadi marah. Bukan kebiasaan mereka membiarkan diri mereka direndahkan seperti itu. Namun dihadapan Kiai Gringsing mereka harus berpikir berulang kali untuk bertindak.
Namun dalam pada itu, Ki Wirasanapun berkata, "Aku minta diri. Bersiap-siaplah, mungkin aku akan segera kembali."
Ketika Swandaru beringsut, maka Kiai Gringsing memberikan isyarat agar ia menjadi tenang. Namun merekapun kemudian berdiri dan turun ke halaman ketika kedua orang itu meninggalkan pendapa. Di halaman Ki Wirasana masih juga berkata, "Jangan merasa diri kalian terlalu besar."
Swandaru menggeram. Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak menyahut.
Ternyata kedua orang itu tidak menuju keregol. Dua orang cantrik yang berdiri di regol sudah siap untuk membuka selarak pintu. Namun agaknya keduanya masih ingin menunjukkan, bahwa mereka adalah Garuda-garuda dari Bukit Kapur. Karena itu, maka hampir bersamaan keduanyapun me"loncat bagaikan seekor burung yang terbang hinggap di dinding padepokan.
Tetapi tidak seperti saat mreka masuk. Demikian mereka menginjak dinding padepokan, maka tiba-tiba saja bibir dinding itu telah pecah dan runtuh tepat dibawah kaki mereka berurutan sepanjang beberapa jengkal saja. Namun karena kedua"nya tidak menduga hal itu akan terjadi, maka hampir saja me"reka terjatuh seperti sebongkah batu padas. Untunglah dengan tangkas keduanya berusaha untuk tetap berdiri di atas tanah, meskipun Wirasana harus berpegangan sebatang pohon perdu dan yang hampir saja patah. Sementara itu Kertabaya mengalami kesulitan yang lebih besar. Lututnya telah membentur dinding yang pecah itu sehingga terluka meskipun dengan susah payah iapun kemudian mampu tetap berdiri setelah terhuyung-huyung beberapa saat.
Tetapi dengan jantung yang berdengupan keduanya telah meloncat dinding yang pecah itu dan hilang di seberang. Meski"pun mereka mendengar juga Kiai Gringsing tertawa dan berkata, "Hati-hati. Ilmumu meringankan tubuh masih mentah. Bahkan justru sebaliknya sehingga dindingku pecah. Seharus"nya kalian memperbaikinya lebih dahulu."
Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak berpaling. Bahkan Wirasana sempat mengumpat meskipun perlahan-lahan.
"Kenapa dinding itu pecah" geram Kertabaya, "apakah hal itu sengaja dibuat oleh Orang Bercambuk itu?"
Agung Sedayu hanya menarik nafas saja ketika Kiai Gring"sing berpaling kepadanya sambil tersenyum. Nampaknya Kiai Gringsing tahu pasti, bahwa Agung Sedayulah yang telah melakukannya. Agaknya Agung Sedayupun merasa tidak senang atas sikap kedua orang itu. Namun dengan ungkapan yang berbeda dengan Swandaru. Ketika kedua orang itu dengan sombong ingin menunjukkan bahwa mereka adalah Garuda-garuda dari Bukit Kapur, maka dengan sorot matanya, Agung Sedayu telah memecahkan batu dinding yang akan dihinggapi oleh kedua orang itu. Sehingga demikian mereka meletakkan kakinya, maka bibir dinding yang pecah itupun segera runtuh. Ham"pir saja kedua orang itu terseret jatuh.
Glagah Putih ternyata sudah menduga pula bahwa hal itu dilakukan oleh kakak sepupunya. Tetapi ia tidak yakin sebagaimana Kiai Gringsing.
Tetapi Swandaru sama sekali tidak menduganya. la menganggap bahwa kedua orang itu demikian tergesa-gesa sehingga mereka tidak melakukannya dengan sempurna, sehingga kaki mereka justru telah memecahkan bibir dinding itu.
Demikian kedua orang itu hilang, maka kemudian bebe"rapa orang cantrik telah berkerumun di halaman. Ternyata merekapun menjadi tenang ketika mereka melihat Kiai Gring"sing masih saja selalu tersenyum. Mereka melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih yang tidak menjadi gelisah, meskipun nampak di wajah Swandaru bahwa ia menjadi marah kepada kedua orang itu.
"Jangan menjadi gelisah." berkata Kiai Gringsing, "meskipun kalian harus bersiaga sepenuhnya, namun anggap saja bahwa yang terjadi tadi adalah sekedar selingan dari kehidupan kita yang datar selama ini. Tetapi kalian juga dapat menganggapnya sebagai cambuk, agar kalian menjadi lebih giat berlatih olah kanuragan. Meskipun kalian mungkin tidak ingin menjadi seorang yang hidupnya selalu dibayangi oleh kekerasan sebagaimana mereka yang memang menenggelamkan dirinya dalam kehidupan yang keras, namun mungkin kalian akan dipaksa untuk hanyut dalam arus yang tidak kalian kehendaki itu. Kali ini kita masih dapat menghindarkan diri dari benturan kekerasan, tetapi mungkin pada saat yang lain tidak."
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Namun mereka memang bagaikan mendapat cambuk untuk meningkatkan kegiatan mereka berlatih olah kanuragan. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka para can"trik itupun telah mendapat tuntunan dalam olah kanuragan sekedarnya. Namun karena yang sekedarnya itu diberikan oleh Kiai Gringsing, maka para cantrik itu mulai menunjukkan kemampuan mereka yang semakin meningkat. Bahkan secara pribadi, maka kemampuan para cantrik itu tidak lagi dibawah kemampuan para prajurit. Namun para cantrik itu tidak akan setangkas prajurit jika mereka berada dalam pasukan yang harus bertempur dalam gelar.
Sementara itu maka Kiai Gringsingpun telah mengajak murid-muridnya untuk kembali kependapa bersama Glagah Putih.
"Adalah kebetulan bahwa kalian telah melihat satu peristiwa yang dapat memberikan tekanan pada keteranganku. Keadaan memang semakin kemelut." berkata Kiai Gringsing.
"Kenapa Guru membiarkan keduanya begitu saja pergi?" bertanya Swandaru.
"Apakah pantas aku berkelahi dengan anak-anak" Meski"pun umur mereka telah hampir setengah abad, namun dalam tataran ilmu mereka masih belum mencapai batas yang pantas." jawab Kiai Gringsing.
"Bukan Guru yang harus turun ke arena. Biarlah kami yang mencoba apakah murid-murid dari Bukit Kapur itu akan mampu mengimbangi kemampuan murid-murid Orang Ber"cambuk." berkata Swandaru.
"Seandainya kalian dapat menyelesaikan mereka, maka tentu orang-orang Madiun menganggap bahwa aku telah membantai anak-anak mereka. Mereka tentu tidak akan percaya bahwa kalianlah yang telah mengalahkan mereka, karena tidak seorang saksipun diantara mereka yang melihat." berkata Kiai Gringsing.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada gurunya. Namun Swandaru memang merasa kecewa bahwa Agung Sedayu rasa-rasanya tidak mengacuhkan sama sekali kepada apa yang tetap terjadi itu. Ia tidak menjadi marah dan mencoba untuk mencegahnya atau berbuat apapun terhadap orang-orang itu. Bahkan Agung Sedayu itu seakan-akan menganggap bahwa tidak terjadi sesuatu.
"Kakang Agung Sedayu tentu merasa senang atas keputusan Guru, yang mungusir kedua orang itu dengan caranya." berkata Swandaru yang seolah-olah baru sempat menyadari dan mengagumi apa yang baru saja dilakukan oleh gurunya.
Swandarupun mengerti, bahwa ilmu yang baru saja ditunjukkan oleh gurunya itu agaknya termuat didalam kitab yang sedang dipinjamnya bersama-sama dengan Agung Sedayu. Pada saat-saat ia membuka-buka halamannya, maka ia sempat me"lihat sekilas bagian yang memuat laku tentang ilmu yang baru saja ditunjukkan oleh gurunya. Namun Swandaru agaknya memang kurang tertarik.
Tetapi ketika gurunya menyatakan, bahwa orang-orang yang berilmu tinggi akan dapat menembus kabutnya, maka Swandaru mulai memikirkan kemungkinan. Bukan untuk menumbuhkan kabut, tetapi bagaimana ia dapat menembus kabut dengan penglihatannya, yang rasa-rasanya tentu didapatinya dalam kitab Kiai Gringsing.
"Mungkin aku belum menemukannya." berkata Swan"daru didalam hatinya, "jika Guru memiliki ilmu, maka rangkaiannya tentu dimilikinya pula. Demikian pula pemuatannya didalam kitab itu."
Namun dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian telah berkata, "Aku letih sekali. Dalam keadaan lemah aku telah memaksakan kemampuanku bermain-main dengan kabut itu. Karena itu, maka agaknya aku perlu beristirahat. Kalianpun sebaiknya beristirahat. Biarlah para cantrik berjaga-jaga. Karena peristiwa ini, maka mereka tentu akan meningkatkan penjagaan di padepokan ini. Bukan sekedar dua orang yang menunggui regol untuk membuka dan menutup selarak pintu jika ada tamu datang di malam hari."
"Silahkan Guru." berkata Agung Sedayu, "kamipun akan segera beristirahat pula."
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun telah meninggalkan pendapa dan masuk kedalam biliknya. Iapun kemudian telah merebahkan dirinya diatas pembaringan. Sebenarnyalah Kiai Gringsing merasa sangat letih. Untuk melepaskan ilmunya, ia memerlukan dukungan wadagnya mes"kipun nampaknya ia tidak berbuat apa-apa.
Pakaiannya ternyata basah oleh keringat, sedangkan nafasnya terasa semakin cepat mengalir. Namun Kiai Gringsing masih belum merasa perlu untuk duduk sambil menyilangkan tangannya dalam samadi untuk mengatur pernafasannya.
Sementara itu yang berada di pendapa ternyata telah pergi kedalam bilik masing-masing. Swandaru ke bilik yang biasa dipergunakannya, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih di bilik yang lain.
Disisa malam itu, ternyata tidak terjadi lagi sesuatu yang dapat mengganggu ketenangan padepokan kecil itu. Sementara itu, baik Swandaru maupun Agung Sedayu dan Glagah Putih masih sempat tidur nyenyak sampai menjelang pagi.
Ketika kemudian matahari terbit, maka Swandaru telah menghadap gurunya, apakah ia sudah dapat kembali ke Sangkal Putung.
"Aku kira memang tidak ada lagi yang perlu dibicarakan untuk saat ini Swandaru. Setelah aku kembali dari Mataram, mungkin aku dapat memberikan pesan lebih banyak lagi." jawab Kiai Gringsing.
"Baiklah Guru." berkata Swandaru kemudian, "bebe"rapa hari lagi aku akan datang ke padepokan ini."
Lalu katanya kepada Agung Sedayu, "Bagaimana dengan kakang?"
"Aku masih harus menemui kakang Untara sementara Glagah Putih akan mengunjungi ayahnya pagi ini." jawab Agung Sedayu, "mungkin besok aku akan kembali bersama perjalanan Guru ke Mataram."
"Baiklah. Jika demikian aku minta diri mendahului kem"bali ke Sangkal Putung, karena agaknya tidak ada lagi pesan Guru bagi kita." berkata Swandaru. Namun ia masih bertanya, "Agaknya lebih baik jika kakang singgah di Sangkal Putung hari ini meskipun hanya sebentar."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Maaf bahwa aku mung"kin tidak sempat untuk singgah. Tetapi pada kesempatan lain aku akan datang bersama Sekar Mirah."
"Kami menunggu." berkata Swandaru.
Demikianlah, sejenak kemudian Swandarupun telah me"ninggalkan padepokan kecil itu kembali ke Sangkal Putung. Namun terasa bahwa ia akan mendapatkan beban baru dalam hubungannya, dengan kemelut yang terjadi antara Mataram dan Madiun.
"Sambil menunggu Guru kembali dari Mataram, maka sebaiknya aku mempersiapkan segala-galanya. Jika diperlukan, maka setiap saat kami sudah siap." berkata Swandaru kepada diri sendiri.
Sementara Swandaru berpacu ke Sangkal Putung, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah meninggalkan padepokan itu pula. Agung Sedayu memerlukan pergi menemui Untara untuk membicarakan perkembangan keadaan. Selanjutnya ia akan pergi ke Banyu Asri bersama Glagah Putih menemui pamannya, Widura.
Kedatangan Agung Sedayu diterima oleh Untara dengan gembira. Sudah agak lama ia tidak bertemu dengan adik satu-satunya itu. Demikian pula sepupunya Glagah Putih.
"Apakah kau bermalam di padepokan Kiai Gringsing?" bertanya Untara.
"Ya kakang." jawab Agung Sedayu, "aku datang memenuhi panggilan Guru."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bukankah Kiai Gringsing baru saja pergi ke Madiun."
"Kakang Untara mengetahuinya?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku sudah bertemu dengan Kiai Gringsing setelah ia kembali dari Madiun. Kiai Gringsing kebetulan berada di sawah sementara aku bersama beberapa orang prajurit sedang nganglang. Kiai Gringsing sendiri mengatakannya, bahwa ia baru datang dari Madiun." berkata Untara.
"Guru tidak mengatakannya kepadaku," desis Agung Sedayu, "jika demikian, Guru telah mengatakan segala sesuatunya tentang perjalanannya ke Madiun?"
"Belum." jawab Untara, "kami hanya berbicara seben"tar. Tetapi Kiai Gringsing sanggup menyampaikan beberapa keterangan tentang perjalanannya. Atau barangkali kau membawa pesan gurumu tentang perjalanannya ke Madiun?"
"Serba sedikit kakang." jawab Agung Sedayu.
Untara mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayupun telah menyampaikan beberapa hal yang perlu diketahui oleh Untara tentang perjalanan gurunya ke Madiun dan rencana kepergian gurunya ke Mataram. Agung Sedayu juga menceriterakan kehadiran dua orang yang mengaku murid dari perguruan Bukit Kapur.
Untara mendengarkan keterangan Agung Sedayu itu dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian maka Untarapun menjadi semakin jelas bahwa disamping Panembahan Madiun, maka terdapat beberapa orang yang bergerak sendiri-sendiri un"tuk memanasi keadaan. Orang yang menyebut dirinya Ki Bagus Jalu dan bergelar Panembahan Cahya Warastra tentu mempunyai kepentingan tersendiri, la agaknya ingin menjadi seorang yang berkuasa diantara padepokan-padepokan yang tersebar diatas bumi Demak lama, sehingga ia akan menjadi pemimpin diantara para pemimpin padepokan. Justru pada saat terjadi kemelut antara Madiun dan Mataram, maka ia ingin memanfaatkan keadaan untuk mewujudkan mimpinya itu.
Namun dalam pada itu, Untarapun telah berkata, "Nampaknya yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu benar. Pa"nembahan Senapati juga sudah menjatuhkan perintah agar semua pasukan berada dalam kesiagaan penuh. Sejak ditempatkannya Pangeran Gagak Baning di Pajang, maka jarak antara Mataram dan Madiun menjadi semakin renggang. Namun bukankah itu hak Panembahan Senapati yang diakui kuasanya oleh Sultan Hadiwijaya sebelum meninggal" Sementara itu telah diakui pula oleh puteranya yang sebenarnya berhak atas tahta Pajang. Pangeran Benawa?"
"Ya Kakang." jawab Agung Sedayu, "kekuasaan Pa"nembahan Senapati adalah sah. Juga haknya, termasuk menempatkan Pangeran Gagak Baning."
"Apakah Kiai Gringsing mempunyai pesan tersendiri yang akan dapat meredakan kemelut antara Madiun dan Ma"taram?" bertanya Untara.
"Nampaknya tidak kakang. Sehingga pertentangan an"tara Madiun yang didukung oleh beberapa orang Adipati dan dikipasi oleh orang-orang seperti Ki Bagus Jalu dengan Mataram akan menjadi semakin tajam." Jawab Agung Se"dayu.
Lalu katanya pula, "Adalah sudah tepat jika guru memerintahkan murid-muridnya bersiaga menghadapi perkembangan keadaan. Sudah barang tentu bahwa Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung tidak akan ketinggalan jika saat itu datang. Saat yang tidak kita harapkan bersama. Bukankah hal itu sejalan dengan perintah Panembahan Senapati?"
Untara mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata. "Ternyata pertentangan demi pertentangan masih juga harus terjadi. Tetapi apa boleh buat jika hal itu merupakan pupuk dari persatuan yang bulat yang akan tumbuh kemudian."
"Tetapi kakang." berkata Agung Sedayu kemudian, "hadirnya Ki Bagus Jalu yang dikenal oleh Guru dengan sebutan Kecruk Putih itu adalah pertanda bahwa orang-orang tua yang sudah beberapa lama menyepi, telah tampil lagi dengan keinginan-keinginan yang tiba-tiba telah menyala lagi didalam dadanya."
Untara masih saja mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, pembicaraan itupun terputus ke"tika isteri Untara menghidangkan minuman dan makanan. Sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka berbicara ten"tang keluarga mereka masing-masing.
Adalah diluar sadarnya ketika isteri Untara itu berkata, "Anugerah itu sama sekali tidak kita harapkan. Sesuai dengan sikap kakang Untara, yang dilakukan selama ini adalah semata-mata satu pengabdian."
"Anugerah apa?" bertanya Agung Sedayu.
"O." isteri Untara itu justru menjadi termangu-mangu, "kakangmu belum mengatakan apa-apa?"
"Belum mbokayu." jawab Agung Sedayu.
"Ah." desis Untara, "aku memang tidak mengatakan"nya."
"O" isteri Untara itu mengangguk-angguk, "aku tidkk tahu bahwa kakang belum mengatakannya kepada adi Agung Sedayu. Tetapi jika adi Agung Sedayu singgah di rumah paman Widura, maka paman tentu akan mengatakannya."
Agung Sedayu memang menjadi ingin tahu. Diluar sadar"nya ia berpaling kepada Glagah Putih. Namun kemudian Agung Sedayu itu berkata, "Tetapi agaknya lebih baik bukan paman Widura yang mengatakannya. Tetapi kakang Untara sendiri."
Untara tersenyum karenanya. Tetapi kemudian katanya, "Sebenarnya aku belum berhak mengatakannya sekarang, karena anugerah itu belum aku terima."
"Tetapi kakang sudah mendapat pemberitahuan bahwa kakang akan mendapat anugerah itu?" bertanya Agung Sedayu.
Untara masih nampak ragu-ragu. Namun isterinya berkata, "Ah, apa salahnya kakang katakan kepada adik dan sepupunya sendiri" Meskipun anugerah itu belum kakang terima. Apa"lagi kakang sama sekali tidak mengharapkannya."
Untara masih saja termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, "Baiklah. Seandainya anugerah ini tidak jadi aku terima, maka hanya kalian sajalah yang mengetahui disamping paman Widura."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak menyahut agar kakaknya segera mengatakan anugerah apakah yang akan diterimanya.
Baru sejenak kemudian Untara itu berkata, "Agung Sedayu. Beberapa hari yang lalu telah datang utusan dari Mataram yang memberitahukan kepadaku, agar aku bersiap-siap untuk menerima anugerah itu. Pada ujung bulan depan, di paseban akan dilakukan Wisuda. Aku akan mendapat anugerah kedudukan Tumenggung dalam jajaran keprajuritan di Mataram."
"O" Wajah Agung Sedayu telah menjadi cerah, semen"tara Glagah Putih justru telah beringsut setapak, "aku mengucapkan selamat kakang."
"Dan aku akan menjadi adik seorang Tumenggung." berkata Glagah Putih pula.
Tetapi Untara menyahut, "Bagiku, anugerah itu adalah justru bertambahnya tanggung jawabku. Aku tahu bahwa Panembahan Senapati telah memperhitungkan dengan sungguh-sungguh, antara lain juga berdasarkan pertimbangan-pertim"bangan dari beberapa pihak, sehingga aku telah mendapat anugerah yang sangat tinggi. Bahkan Panembahan Senapati tidak menghapuskan apa yang pernah aku lakukan dijaman pemerintahan Pajang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Panem"bahan Senapati cukup bijaksana."
Untara mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia ber"Tanya, "Apakah kau tidak ingin menyumbangkan tenaga dan kemampuanmu lewat saluran yang agaknya tepat kau pilih?"
"Maksud kakang?" bertanya Agung Sedayu.
"Agung Sedayu." suara Untara merendah, "kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kau memahami berbagai macam ilmu yang tidak dikuasai oleh orang lain. Kaupun memiliki pengetahuan tentang perang gelar dan ikatan perang keprajuritan yang mapan. Karena itu, jika kau memasuki dunia keprajuritan, maka kau tentu akan mendapat kedudukan yang baik. Aku mengakui bahwa kau memiliki kemampuan di bidang olah kanuragan lebih tinggi dari aku. Sementara kau memiliki kecerdasan yang tajam. Kau bukan lagi seorang anak muda cengeng dan penakut."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika terlalu banyak orang tertarik di bidang keprajuritan sebagai pilihan untuk mengabdi, maka lapangan lain akan men"jadi kosong kakang. Nampaknya aku memang bukan seorang prajurit. Tetapi aku adalah seorang yang pantas bekerja disawah dan ladang yang hasilnya antara lain juga untuk mendukung pengabdian dibidang keprajuritan."
"Aku mengerti Agung Sedayu. Aku juga sependapat bah"wa lapangan pengabdian seseorang bukan sekedar dibidang keprajuritan. Bagaimanapun kuatnya jajaran keprajuritan di satu negara, tetapi tanpa dukungan para petani, para saudagar, para nelayan serta bidang-bidang pengabdian yang lain maka negara tidak akan dapat berdiri kokoh. Namun menurut penglihatanku, kau mempunyai bekal yang cukup untuk mengabdi di bidang keprajuritan. Bukan berarti mementingkan diri sendiri, tetapi kaupun harus melihat ke masa depanmu. Beberapa kali aku telah memperingatkanmu, bahwa kau harus menyiapkan masa depanmu sedini mungkin. Kau tidak dapat bertualang terus-menerus. Kau harus memikirkan, apakah artinya kau ber"ada di Tanah Perdikan Menoreh" Tanah Perdikan itu akan menjadi hak Pandan Wangi yang akan diembani oleh suaminya Swandaru. Jika hal itu terjadi kelak, kau akan berbuat apa" Membantu mereka sebagai bebahu di Tanah Perdikan" Atau kau akan membeli sawah sekotak dan menjadi petani di Tanah Perdikan atau apa?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya me"mang belum jelas apa yang akan dijalaninya dimasa depannya. Sementara Untara mengatakan, "Agung Sedayu. Sudah tentu kau tidak akan memikirkan dirimu sendiri dalam menentukan pilihanmu bagi masa depan. Mungkin pada satu ketika kau akan mempunyai anak. Satu, dua atau lebih. Sudah tentu kau harus mempertimbangkan, bagaimana kau membesarkan anakmu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Sementara itu isteri Untarapun berkata, "Memang berat untuk menjadi seorang prajurit. Sekar Mirahpun harus menyadari kedudukannya, jika kau benar-benar ingin menjadi seorang prajurit. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh kakangmu Untara, maka agaknya kau memiliki bekal untuk menjadi seorang pra"jurit. Kau memiliki ilmu yang cukup. Umurmu masih cukup muda. Kesadaran pengabdianmu tinggi. Nah, apalagi?"
"Aku mengerti." desis Agung Sedayu, "aku memang tidak akan dapat mengelakkan diri dari tanggungjawabku bagi masa depanku dan keluargaku."
"Pikirkan Agung Sedayu. Bukan maksudku untuk mendesakmu sekarang, mumpung terjadi kemelut antara Mataram dan Madiun sehingga kesempatan itu terbuka bagimu. Dalam kemelut itu kau akan dapat menunjukkan jasamu sehingga kau akan mendapat anugerah pangkat atau jabatan tinggi. Tidak. Sama sekali tidak. Jika kau masih ingat, bukankah aku sudah pernah menganjurkannya sejak dahulu." berkata Untara.
"Ya kakang." jawab Agung Sedayu, "Agaknya aku memang harus mulai memikirkannya dengan sungguh-sungguh."
"Jika aku mendapat anugerah kedudukan Tumenggung itu sama sekali tidak aku pikirkan disaat aku mulai memasuki jajaran keprajuritan sebagai satu pengabdian." berkata Un"tara, "namun pada suatu saat, ternyata kedudukan itu dapat memberikan kebanggaan. Bukan saja bagiku, tetapi sudah tentu bagi isteri dan anakku."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya jalan pikiran kakaknya.
Namun Untarapun berkata, "Sudah tentu kau tidak dapat mengambil satu kesimpulan apalagi satu keputusan sekarang. Kau masih mempunyai banyak waktu."
"Ya kakang. aku akan memikirkannya dengan sung"guh-sungguh."
"Baiklah. Sekarang, kita akan kembali kepada hidanganku." berkata isteri Untara.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah kembali menikmati hidangan yang disuguhkan oleh isteri Untara. Namun beberapa saat kemudian maka Agung Sedayu telah minta diri untuk bersama-sama dengan Glagah Putih singgah di Banyu Asri.
"Paman Widura justru lebih sering berada di padepokan. Namun agaknya sejak gurumu kembali dari Madiun, paman lebih banyak berada di Banyu Asri." berkata Untara.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Gurunya juga meng"atakannya tentang hal itu. Selagi Kiai Gringsing nampak sehat setelah ia kembali dari Madiun, maka Ki Widura ingin memper"gunakan kesempatan beberapa hari untuk berada di Banyu Asri mengurusi sawah-sawahnya.
Demikianlah maka keduanyapun telah melanjutkan perjalanan ke Banyu Asri. Mereka tidak terlalu lama berada di Banyu Asri. Namun yang singkat itu ternyata telah dipergunakan untuk berbicara tentang beberapa hal.
Ternyata bahwa Widura juga menyinggung tentang anugerah dari Panembahan Senapati bagi Untara. Bahkan ternyata Widura juga bertanya kepada Agung Sedayu, sebagaimana ditanyakan oleh Untara, tentang hari depannya.
Tetapi jawaban Agung Sedayu sama sebagaimana jawabannya kepada Untara. Berputar-putar dan tidak mapan sama sekali.
"Baiklah "berkata Widura "kau masih mempunyai waktu
untuk memikirkannya. "
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun
segera minta diri. "Pekerjaan di sawah nampaknya sudah berjalan lancar,
sehingga, dapat aku tinggalkan. Besok aku akan berada di
padepokan. "berkata Ki Widura.
"Mungkin besok kami berangkat paman. Kiai Gringsing
pergi ke Mataram sementara kami akan terus ke Tanah Perdikan.
"berkata Agung Sedayu.
"Kiai Gringsing akan pergi ke Mataram dengan siapa"
"bertanya Widura. "Agaknya Kiai Gringsing akan pergi dengan satu dua orang
cantrik "jawab Agung Sedayu. Lalu katanya "Bukankah Guru
pergi ke Madiun justru seorang diri" "
"Ya. "jawab Widura "aku sudah berusaha untuk
mencegahnya. Tetapi Kiai Gringsing memaksa juga untuk
pergi. Namun pada saat itu kesehatan Kiai Gringsing
nampaknya seperti sudah pulih kembali. Bahkan rasa-rasanya
Kiai Gringsing telah memiliki kembali segala-galanya. "
"Ya paman. Sekarangpun Guru nampak sehat dan kuat.
Namun Guru tetap seorang yang sudah sangat tua.
Bagaimanapun juga keterbatasan wadagnya tidak akan dapat
dicegah. Namun karena Guru mempunyai pengetahuan
tentang obat-obatan maka pengetahuannya itu dapat sedikit
membantu memelihara ketahanan tubuhnya. Namun tetap
berlaku apa yang seharusnya berlaku pada setiap orang.
"berkata Agung Sedayu.
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya "Kau benar
Agung Sedayu. Hal itu sudah disadari oleh gurumu. Dan
nampaknya gurumupun sudan siap menghadapi masa-masa
itu. Karena ia tidak akan dapat ingkar. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun pada saatsaat
terakhir itu gurunya sama sekali tidak ingin melepaskan
diri begitu saja dari persoalan yang sedang kemelut antara
Mataram dan Madiun. Ia masih ingin berbuat sesuatu, yang
sudah tentu sesuai dengan kemungkinan yang dapat
dilakukannya pada usianya yang tua itu.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah mohon diri. Ki
Widura telah berjanji untuk datang ke padepokan pagi-pagi
sekali sebelum Kiai Gringsing berangkat ke Mataram bersama
Agung Sedyu dan Glagah Putih selain dua orang cantrik yang
akan mengawaninya di perjalanan.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedyu dan Glagah
Putihpun telah berada di perjalanan menuju ke padepokan
kecil di Jati Anom. Di padepokan, Agung Sedayu dan Glagah Putih masih
mempunyai kesempatan untuk melihat-lihat tanah persawahan
yang terbentang hijau tidak begitu jauli dari padepokan.
Tempat itu dibuka atas ijin Ki Demang di Jati Anom sebagai
ladang untuk menyangga kebutuhan padepokan kecil yang
dikerjakan sendiri oleh para cantrik di padepokan itu. Namun
sawah dan ladang yang digarap para cantrik itu ternyata dapat
dipergunakan sebagai sawah dan ladang yang dapat dicontoh
oleh para petani disekitarnya. Baik cara menggarapnya,
maupun jenis tanaman yang ditanam.
Menjelang senja, ketika Agung Sedyu, Glagah Putih dan
Kiai Gringsing duduk di pendapa, maka Kiai Gringsing telah
memberikan sebuah kitab kecil yang berisi catatan-catatan
tentang pengobatan. "Bukan aku yang menulisnya "berkata Kiai Gringsing "aku
mendapatkannya dari seseorang yang sangat mumpuni
dibidang pengobatan. "
"Jadi bukan tulisan Guru" "bertanya Agung Sedayu.
"Memang bukan "berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai
Gringsingpun berkata "Tetapi aku sudah mengujinya. Hampir
seluruhnya. Dalam beberapa hal aku sempat
mengembangkannya. Tetapi aku memang tidak memberikan
catatan-catatan khusus tentang hal itu, karena semuanya
dapat dikembalikan pada tulisan yang didalam kitab kecil itu. "
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk, sementara Kiai
Gringsing meneruskan "Agung Sedayu. Akan lebih baik jika
kau mempunyai kesempatan untuk menulis kembali catatancatatan
yang tercantum didalamnya. Seandainya tulisantulisan
itu rusak, maka kita tidak akan kehilangan isinya,
karena kitab kecil itu nampaknya sudah tua dan tidak akan
dapat tahan untuk sepuluh tahun lagi tanpa pemeliharaan
yang khusus. Kecuali jika tulisan-tulisan itu hanya disimpan
saja. Namun artinya akan sangat berkurang jika isi kitab kecil
itu tidak dipergunakan sebagaimana seharusnya.
Ternyata Agung Sedayu memang menjadi tertarik terhadap
ilmu pengobatan. Seperti dikatakan oleh gurunya, bahwa ilmu
pengobatan akan dapat dipergunakan untuk menolong banyak
orang. Memang mungkin ia harus meluangkan waktunya
secara khusus untuk mempelajari jenis dedaunan, akar-akar
dan klika kayu serta berbagai jenis buah-buahan. Bahkan
berbagai macam binatang berbisa. Namun hasilnya tentu akan
memadai bagi kepentingan orang banyak. Seperti yang
dikatakan oleh gurunya, bahwa Ki Jayaraga kadang-kadang
memang sering tertarik pula kepada berjenis-jenis bahan obatobatan
sehingga orang tua itu tentu akan bersedia bersamasama
mempelajarinya. Sambil masih saja mengangguk-angguk Agung Sedayu
berkata "Terima kasih guru. Saat ini kedua kitab Guru ada
padaku. Kitab tentang olah kanuragan dan ilmu jaya kawijayan
serta kitab tentang pengetahuan mengenai obat-obatan ini. "
"Keduanya harus disimpan baik-baik. "desis Kiai Gringsing.
"namun keduanya harus memberikan arti bagi sesama.
Karena itu, maka keduanya tidak boleh jatuh ketangan orangorang
yang pengabdiannya kepada sesama masih
diragukan. "Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia
tidak menjawab. Beberapa saat keduanya masih berbincang-bincang
bersama Glagah Putih, Kiai Gringsing juga bertanya beberapa
hal tentang ilmu Glagah Putih, karena Kiai Gringsing tahu,
bahwa ilmu Glagah Putih bersumber dari ilmu yang diturunkan
oleh Ki Sadewa lewat Agung Sedayu yang menguasai ilmu itu
dari lukisan-lukisan di dinding goa. Yang kemudian dilengkapi
dengan ilmu yang diterimanya dari Ki Jayaraga. Namun
langsung atau tidak langsung, maka Glagah Putih juga telah
menyadap lewat Agung Sedayu, ilmu yang diturunkan oleh
Orang Bercambuk itu. Bahkan Kiai Gringsingpun telah berkata "Agung Sedayu.
Aku kira, kau adalah salah seorang dari kedua muridku yang
sebaiknya mengembangkan ilmu yang kau terima dari
perguruan Orang Bercambuk. Sudah tentu aku juga berharap
bahwa Swandaru akan melakukannya juga. Namun
bagaimanapun juga aku tidak boleh ingkar pada satu
kenyataan, bahwa kau memiliki kemampuan dan sudah
barang tentu kemungkinan lebih baik dari Swandaru. "
"Mungkin aku mempunyai jenis yang lebih banyak Guru.
Tetapi aku tidak tahu, apakah itu lebih baik dari adi Swandaru
"jawab Agung Sedayu.
"Kepadaku kau tidak usah merendah seperti itu "jawab
gurunya "aku sudah melihatnya. Bahkan aku masih berada
dalam kesulitan untuk dapat memberitahukan kepada
Swandaru tentang perbandingan ilmu yang sebenarnya antara
kau dan Swandaru, Sudah tentu aku tidak akan dapat
melakukannya dengan langsung, karena hal itu akan dapat
berpengaruh kurang baik terhadapnya."
Agung Sedayu mengSngguk-angguk. Hal itu merupakan
satu masalah tersendiri. Iapun kadang-kadang harus
memikirkan untuk menemukan jalan yang terbaik agar
Swandaru tidak semakin keliru menilai kemampuannya.
Karena pada suatu saat mungkin Swandaru akan salah
paham. Dikiranya ia dengan sengaja menyembunyikan
sesuatu yang diterima tidak adil dari gurunya. Padahal
gurunya tidak pernah berlaku tidak adil. Yang diwarisinya dari
berbagai macam jalur itu kemudian telah menyatu didalam
dirinya termasuk ilmu yang diterimanya dari Orang Bercambuk
itu. Sedangkan yang lain adalah karena hubungannya dengan
Panembahan Senapati dimasa pengembaraannya. Juga
dengan Pangeran Benawa. Sebagaimana ia tidak
berkeberatan membiarkan Glagah Putih mengembara
bersama Raden Rangga sehingga anak muda itu


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan berbagai macam pengetahuan yang berarti
baginya dan berguru pula pada Ki Jayaraga.
Namun dalam pada itu, adalah diluar dugaan, bahwa Kiai
Gringsingpun kemudian berkata "Apakah pamanmu juga
mengatakan, bahwa menjelang hari-hari tuanya pamanmu
mempelajari ilmu dari perguruan ini" Karena Ki Widura sudah
memiliki bekal pengetahuan dasar, maka dengan cepat ia
merambat dari satu tataran ke tataran yang lain. "
"Ayah sekarang belajar lagi" "bertanya Glagah Putih. Kiai
Gringsing tersenyum. Katanya "Ya. Tetapi dengan cara orangorang
tua. Aku sudah tidak dapat memberikan pelajaran
setangkas beberapa tahun, bahkan dua tahun yang lalu,
karena dalam dua tahun ini keadaan wadagku turun dengan
cepat. " "Mungkin ayah ingin menjadi prajurit lagi "berkata Glagah
Putih sambil tertawa. "Mungkin "jawab Kiai Gringsing sambil tertawa pula. Namun
kemudian katanya "Tetapi yang jelas, ia tidak ingin
memberikan tuntunan kepada para cantrik di padepokan ini
dengan ilmu yang lain kecuali ilmu yang diturunkan oleh
Orang Bercambuk. Namun untuk itu, Ki Widura sendiri harus
memahaminya, meskipun pada tingkat yang dasar. Tetapi
tingkat dasar yang dimiliki Ki Widura sudah tentu mempunyai
nilai yang lain. " Glagah Putih tertawa. Katanya "Jika saja aku mengerti
kemarin, aku. akan menantang ayah berperang tanding. "
Agung Sedayupun tertawa. Tetapi ia berkata "Ayahmu
bukannya tanpa tujuan Glagah Putih. Sudah tentu bahwa apa
yang dipelajarinya itu tidak akan banyak berarti bagi Ki Widura
sendiri meskipun akan dapat memberikan isi yang membuat
ilmunya dari jalur Ki Sadewa menjadi lebih berbobot. Namun
yang penting, bahwa ia tidak ingin memberikan warna lain
dalam padepokan ini karena paman merupakan salah seorang
yang ikut membina ilmu para cantrik di padepokan ini. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja
tersenyum sendiri. Kiai Gringsingpun masih juga tersenyum. Namun katanya
kemudian "Itu satu pertanda betapa luasnya jangkauan
pandangan ayahmu, Glagah Putih. Seseorang tidak akan
terlambat menuntut ilmu apapun. Ilmu memang harus dicari
sepanjang umur seseorang. Jika seseorang tidak lagi mau
menambah pengetahuannya dibidang apapun juga, maka itu
berarti bahwa hidupnya telah berhenti. Maksudnya, ia tidak
akan meningkat sama sekali. Tetapi ternyata ayahmu bukan
seseorang yang berhenti itu. "
Glagah Putih termangu-mangu. Meskipun Kiai Gringsingnampaknya
tidak bersungguh-sungguh, tetapi ternyata bahwa
yang dikatakan itu mengandung arti yang dalam. Sementara
itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya "Ayahmu menyadari
sepenuhnya, jika ia berhenti sama sekali, maka ia akan
ketinggalan semakin jauh, sementara seisi tanah ini menjadi
semakin maju. Segala macam ilmupun akan meningkat pula. "
"Ya Guru "Agung Sedayupun menyahut "nampaknya
paman menyadari hal itu. "
"Tentu. Jadi bukan sekedar tidak memberikan warna lain
bagi padepokan ini. "jawab Kiai Gringsing pula. Lalu katanya
"Bukankah kau tahu Agung Sedayu, bahwa sampai saat
inipun aku masih berusaha untuk menambah ilmuku. "Ya
Guru. Aku mengerti "jawab Agung Sedayu.
Glagah Putihpun ikut mengangguk-angguk. Ia tidak lagi
tersenyum. Tetapi justru dahinya mulai berkerut. Nampaknya
ia mulai memikirkan dengan sungguh-sungguh kata-kata Kiai
Gringsing yang seakan-akan dilontarkan tertentu itu.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing itupun kemudian berkata
"Sudahlah. Aku ingin beristirahat. Bukankah kita besok akan
pergi ke Mataram" "
"Ya Guru "sahut Agung Sedayu "sebaiknya Guru memang
beristirahat. Besok kita akan pergi bersama-sama. Paman
akan datang pagi-pagi. "
"Kita akan menunggu "jawab Kiai Gringsing "bukan kita
tidak tergesa-gesa, sementara jarak Jati Anom dan Mataram
tidak terlalu jauh. "
"Ya Guru "jawab Agung Sedayu "tetapi istirahat bagi Guru
nampaknya penting artinya. "
Kiai Gringsing tertawa. Sambil beringsut iapun berkata
"Tetapi bukan berarti bahwa kalian tidak perlu beristirahat. "
"Ya Guru. "jawab Agung Sedayu "kamipun akan segera
beristirahat. " Sejenak kemudian, maka Ki Gringsingpun telah
meninggalkan pendapa, sementara Agung Sedayu dan
Glagah Putih masih berbicara untuk beberapa saat. Namun
ketika malam menjadi semakin dalam, maka keduanyapun
telah masuk pula ke dalam bilik mereka untuk beristirahat,
sementara dua orang cantrik telah membenahi mangkukmangkuk
sisa minum dan makan. Sementara itu, beberapa orang cantrik yang lain telah
berjaga-jaga disekitar halaman padepokan. Penjagaan di
padepokan itu memang ditingkatkan setelah peristiwa yang
baru saja terjadi itu. Namun malam itu tidak terjadi sesuatu. Tidak ada yang
mengganggu padepokan itu. Meskipun sebenarnyalah diluar
padepokan masih saja ada orang yang mencoba mengawasi
padepokan itu. Tetapi bagi Kiai Gringsing, hal itu tidak
dihiraukannya. Tidak ada yang harus dirahasiakan. Bahkan
kepergiannya ke Matarampun sama sekali bukan satu rahasia.
Kiai Gringsing sama sekali tidak berkeberatan.
Ketika matahari mulai membayang, maka Kiai Gringsing,
Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mulai membenahi diri.
Sementara itu Ki Widurapun telah datang pula ke padepokan
itu. "Kiai jadi berangkat hari ini" "bertanya Ki Widura.
"Ya. "jawab Kiai Gringsing "tetapi aku hanya akan
bermalam satu hari. Aku akan membawa dua orang cantrik
untuk mengawani aku diperjalanan. Mungkin aku memerlukan
mereka untuk keperluan apapun. "
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah Kiai.
Tetapi menurut pendapatku, sebaiknya Agung Sedayu dan
Glagah Putih mengantar Kiai Gringsing kembali ke padepokan
ini lebih dahulu. Baru kemudian kalian kembali ke Tanah Perdikan.
Bukankah dengan demikian perjalanan kalian hanya
berselisih sehari" Jika besok pagi-pagi kalian mengantar Kiai
Gringsing kembali ke padepokan ini, maka kalian akan segera
dapat kembali ke Menoreh di siang harinya. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan
sejenak. Namun Kiai Gringsinglah yang menyahut "Aku kira
tidak perlu. Dari Madiun aku hanya sendiri. Aku kira tidak akan
ada kesulitan apapun di perjalanan. "
"Tetapi menurut ceritera anak-anak, padepokan ini selalu
diawasi orang-orang yang dikirim oleh orang yang menyebut
dirinya Ki Bagus Jalu namun yang dikenal oleh Kiai sebagai
Ke-cruk Putih. "berkata Widura.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya "Untuk waktu dekat,
agaknya mereka tidak akan mengganggu. "
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka sebentar
kemudian Kiai Gringsingpun telah memanggil dua orang
cantrik pilihan yang akan menyertainya. Kedua orang cantrik
itu adalah cantrik yang telah mendapat tuntunan ilmu lebih
jauh dari kawan-kawannya. Bahkan dalam waktu tertentu,
keduanya sudah dapat membantu memberikan tuntunan
kepada kawan-kawannya yang masih berada di tataran paling
bawah. Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka yang akan
meninggalkan padepokan itupun telah bersiap. Kuda-kuda
merekapun telah bersiap pula. Sementara Ki Widura sempat
memberikan beberapa pesan kepada anaknya.
"Kau adalah harapan hari depan "berkata Ki Widura "jangan
mengecewakan. Tetapi kau tetap kelanjutan dari masa kini.
Kau tidak boleh menjadi orang lain dimasa mendatang
sehingga tidak akan kesinambungan dengan masa yang
menempamu sekarang. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti
ayah. " "Bagus "jawab Widura "jangan berubah karena pengaruh
apapun juga. " Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil orang-orang
berkuda dari padepokan itupun mulai bergerak. Lima orang.
Dua orang akan terus ke Tanah Perdikan dengan berhenti
beberapa saat di Mataram, sedangkan Kiai Gringsing dan dua
orang cantrik yang menyertainya akan kembali ke padepokan
kecil di Jati Anom itu. Beberapa orang cantrik telah mengantar mereka sampai ke
pintu gerbang. Mereka memandang kepulan asap yang
terlempar dari kaki-kaki kuda yang bergerak semakin lama
semakin jauh itu, sehingga akhirnya hilang ditikungan. "
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu berkuda
dipaling depan. Kemudian Glagah Putih bersama kedua orang
cantrik yang menyertai Kiai Gringsing itu.
Ternyata Kiai Gringsing tidak lagi berkuda terlalu cepat.
Nampaknya karena umurnya, maka Kiai Gringsing lebih
senang berkuda perlahan-lahan saja. Meskipun kudanya
masih juga berlari, namun Glagah Putih menganggap bahwa
perjalanan itu terlalu lamban. Meskipun demikian ia dapat
mengerti keadaan Kiai Gringsing yang wadagnya telah
menjadi semakin lemah itu, betapapun tinggi ilmunya.
Kiai Gringsing seperti yang direncanakan memang tidak
menuruni lereng di kaki Gunung Merapi dan menempuh perjalanan
datar ke Mataram. Tetapi Kiai Gringsing telah
memilih jalan lambung Gunung Merapi. Mereka melewati tepi
hutan di lereng yang tidak terlalu terjal. Namun karena jalan itu
cukup banyak dilalui orang maka jalan dilambung Gunung
Merapi telah menjadi rata, dikeraskan dengan batu-batuan
dan cukup lebar sehingga perjalanan kelima orang itu tidak
merasa terhambat karena keadaan jalan, meskipun sekaliKang
Zusi - http://kangzusi.com/
sekali mereka harus menempuh jalan menurun dan kemudian
memanjat naik. Di pinggang sebelah Selatan Gunung Merapi, mereka mulai
menuruni kaki Gunung itu. Perlahan-lahan saja karena mereka
memang tidak tergesa-gesa. Mereka sempat berhenti sejenak,
ketika melewati sebatang pohon yang disebut pohon Panca
Warna, namun ada juga yang menyebutnya pohon Sekar
Jagat. Sebatang pohon yang besar, yang mempunyai
beberapa jenis bunga. Pohon yang sempat menjadi
pangeram-eram. "Jika kau melihat bunga melati disalah satu cabang atau
ranting-rantingnya, maka kau akan menemukan satu
keberuntungan "berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih
sementara Kiai Gringsing hanya tersenyum saja.
"Aku akan mencarinya "berkata Glagah Putih.
Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menunggunya beberapa
saat. Bahkan kedua cantrik yang menyertai Kiai Gringsing
itupun telah ikut pula mencarinya.
Tiba-tiba saja Glagah Putih berkata "Aku melihat kakang
"Tentu kau bohong "sahut Agung Sedayu.
"Benar, aku melihatnya "berkata Glagah Putih "dica-bang
yang menghadap keselatan. Pada ranting hampir di ujung.
Agung Sedayu tertawa. Katanya "Jangan bohong. Cobalah
kau bawa bunga melati memanjat dan letakkan di cabang itu.
Maka kau tidak akan dapat melihatnya dari bawah. Apalagi
kembang melati pada pohon itu sendiri. Karena itu, maka tidak
akan pernah seorangpun yang melihat kembang melati jika ia
tidak memanjat naik. Dan jika kembang melati itu memang
benar ada. " Glagah Putihpun tersenyum. Katanya "Marilah. Kita sudah
membuang waktu beberapa lama. "
Tetapi Kiai Gringsinglah yang menyahut "Kita sudah
beristirahat beberapa saat. "
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun telah
melanjutkan perjalanan menuruni lambung bukit disisi Selatan.
Ketika mereka mencapai dataran, maka mereka telah berada
di Prambanan. Demikian mereka berbelok, mereka telah menuruni jalan
turun ketepian Kali Opak. Disaat tidak banyak hujan, maka
sungai itu dapat diseberangi tanpa mempergunakan rakit.
Bahkan ditepian sungai yang luas itu, telah ditanami pula padi
sebagaimana sawah yang terbentang luas. Sementara di
tempat yang berair, tumbuh semak-semak kangkung yang
lebat. Bahan sayuran yang sangat digemari. Sedangkan
diantara akar-akar semak-semak kangkung itu, bersembunyi
beberapa jenis ikan. Tetapi ada jenis ikan yang tidak mau
bersembunyi dibawah akar akar pohon kangkung. Tetapi lebih
senang bersembunyi disela-sela bebatuan dan slangkrah yang
tersangkut. Karena itu, maka dimusim kering, banyak anakanak
yang membuat rumpon di-pinggir kali Opak.
Ketika mereka sampai ditepian, maka Kiai Gringring, Agung
Sedayu dan Glagah Putihpun telah beristirahat pula. Demikian
pula kedua orang cantrik yang menyertainya.
Mereka mengikat kuda-kuda mereka diatas rerumputan
yang tumbuh subur ditepian. Sehingga dengan demikian maka
kuda-kuda mereka itupun sempat makan cukup kenyang.
Sementara Kiai Gringsing yang tua itu duduk diatas sebuah
batu. Agung Sedayu dan Glagah Putihpun duduk pula diatas
batu di-sebelah Kiai Gringsing. Sementara dua orang cantrik
yang menyertainya, duduk pula bersandar sebatang pohon
saling membelakangi. Begitu silirnya angin di panasnya
matahari, maka dibawah bayangan dedaunan yang rimbun,
mata kedua cantrik itu rasa-rasanya akan terpejam.
Glagah Putih yang melihat keduanya terkantuk-kantuk
sempat mengganggu. Perlahan-lahan ia bangkit dan
melangkah mendekati mereka. Dengan ujung daun ilalang, ia
mulai mengganggu kedua cantrik itu dengan menyentuh
hidung mereka dengan ujung daun ilalang.
Keduanya terkejut. Namun keduanyapun tertawa ketika
mereka menyadari siapa yang melakukannya.
Tetapi yang terdengar lebih keras adalah suara tertawa
orang lain. Tiga orang berjalan mendekati Glagah Putih dan
para cantrik itu. Glagah Putih termangu-mangu. Ia sudah melihat ketiga
orang itu duduk di tanggul yang rendah disebelah jalur jalan


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menurun ketepian. Tetapi Glagah Putih tidak
menghiraukannya, karena menurut dugaannya, orang-orang
itu adalah para petani atau orang lewat yang sedang
beristirahat. "Anak muda yang penuh gairah hidup adalah anak-anak
muda yang seneng berkelakar "berkata salah seorang
diantara mereka "kau adalah satu diantara mereka yang
beruntung, mempunyai pancaran kegembiraan hidup yang
cerah. " Glagah Putih mengangguk hormat. Meskipun agak ragu ia
menyahut "Terima kasih. "
"Apakah kau murid orang bercambuk itu" "bertanya orang
itu pula. Glagah Putih semakin heran melihat sikap orang itu. Jawab
nya "Bukan Ki Sanak. "
"Kenapa kau ingkar" Aku tidak bermaksud buruk. "berkata
orang itu pula. "Aku tidak ingkar. Tetapi bertanyalah kepada Kiai
Gringsing. Ia akan menjelaskan "jawab Glagah Putih.
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Jika kau
memang bukan muridnya, nampaknya kebetulan saja kau
berjalan dari tempatnya. "Aku sudah mengira bahwa kau akan melalui jalan ini.
Tetapi karena kau tidak dapat lagi berpacu cepat, maka kami
akan dapat mendahuluimu. "berkata orang itu.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dengan nada
datar ia bertanya "Siapakah kau" "
"Kau tentu lupa kepadaku. Kita tidak begitu kenal dahulu.
Sesudah itu kita lama sekali tidak bertemu. "jawab orang itu.
"Siapa sebutanmu" "bertanya Kiai Gringsing.
"Aku adalah Putut Surengkara "jawab orang itu. Kiai
Gringsing mengingat-ingat nama itu. Tetapi iapun kemudian
menggeleng sambil berkata "Aku tidak ingat lagi nama itu.
Mungkin aku memang sudah pikun. Ingatanku tidak lagi terang
seperti dua tahun yang lalu. Karena itu, aku ingin mendengar
sebutanmu. Mungkin aku lebih ingat sehutanmu daripada
namamu. " "Aku adalah Bango Lamatan. "jawab orang itu.
"O "Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya "Aku
ingat sekarang. Kau adalah pasangan Kecruk Putih yang
bergelar Sang Saka yang sekarang disebut Ki Bagus Jalu
bergelar Panembahan Cahya Warastra itu" Aku memang
tidak begitu mengenalmu. Umur kita terpaut banyak. "
"Ya. Aku adalah pasangan Kecruk Putih. Seharusnya
kaupun tahu bahwa aku sekarang bernama Putut Surengkara.
"jawab orang itu. "Kau tidak menunjukkan penampilan seorang pemimpin
disamping Ki Bagus Jalu. Apakah kau sedang menyamar"
"bertanya Kiai Gringsing.
"Aku tidak menyamar. Aku hanya ingin tidak menarik
perhatian banyak orang. "jawab Putut Surengkara.
"Ada beberapa perubahan terjadi pada dirimu. Aku pernah
melihatmu dengan wajah yang agak berbeda. Maaf, aku tidak
ingin bertanya kenapa wajahmu berubah. Mungkin bekas luka
itu yang membuatmu agak lain. Atau barangkali usiamu yang
bertambah tua atau mata tuaku yang sudah kabur. "berkata
Kiai Gringsing. "Aku tidak tersinggung kau menyebut bekas luka ini "
berkata orang itu "adalah sudah menjadi kewajaran bahwa
orang-orang seperti aku, kau, kakang Bagus Jalu dan muridmuridmu,
bahwa pada suatu ketika luka-luka itu akan hinggap
ditubuh ini." "Aku mengerti "berkata Kiai Gringsing "namun agaknya
bukannya tidak ada maksud bahwa kau telah dikirim oleh
Kecruk Putih itu menemuiku. Menurut pendengaranku, kau
memiliki Aji Panglimunan, sehingga kau dapat seakan-akan
hilang dari pandangan mata. Tentu karena Kecruk Putih
mendengar laporan, bahwa dua murid perguruan Bukit Kapur
marah karena permainan kabut yang tidak berarti itu. Nah,
supaya berimbang, maka dikirimnya orang yang memiliki Aji
Panglimunan. " "Jangan berbicara yang bukan-bukan Kiai "sahut orang itu
"bukankah kau sekarang disebut Kiai Gringsing. Aku hanya
mengenalmu dengan sebutan Orang Bercambuk, karena kau
dapat merubah nama atau sebutanmu dan bahkan dirimu
sendiri sepuluh kali dalam sehari. Tetapi tidak dengan cambukmu.
" Kiai Gringsing tertawa. Katanya "Memang cambukkulah
yang tidak berubah. Tetapi jangan mengalihkan pembicaraan.
Kau belum menjawab pertanyaanku, bahwa kau dikirim oleh
Kecruk Putih karena kau dianggap dapat melenyapkan diri. "
"Tidak. Tidak ada hubungannya dengan itu. Seandainya
aku mempunyai Aji Panglimunan, maka Aji itupun tidak akan
berarti apa-apa bagi Kiai, karena ketajaman penglihatan Kiai
Gringsing tentu akan dapat menembus tabir Aji Panglimunanku.
"jawab Bango Lamatan itu.
"Jika tidak, lalu untuk apa kau mencegatku" "bertanya Kiai
Gringsing. "Jangan memakai istilah mencegat itu, Kiai. Seolah-olah
aku berniat buruk terhadap Kiai "berkata Bango Lamatan
dengan nada rendah. "Jadi" "bertanya Kiai Gringsing pula.
"Aku sebenarnya ingin bertemu dengan Kiai untuk mohon
maaf atas kelakuan dua orang murid dari Bukit Kapur yang
menyebut dirinya Garuda dari Bukit Kapur itu. "berkata Bango
Lamatan. "Ya. Sebenarnya aku ingin tahu, dimana Garuda yang
sebenarnya yang memimpin perguruan Bukit Kapur itu. Bukan
seekor bilalang yang menyebut dirinya Garuda karena Garuda
yang sebenarnya tidak ada. "berkata Kiai Gringsing.
"Kiai benar. Tetapi keduanya memang murid dari perguruan
Bukit Kapur. Garuda dari Bukit Kapur yang sebenarnya sudah
tidak ada lagi. Bukankah umurnya kira-kira sebaya dengan
Kiai" "bertanya Bango Lamatan.
"Jadi pantasnya akupun sudah tidak ada sekarang ini
"desis Kiai Gringsing.
"Ah, bukan begitu maksudku Kiai. Aku hanya ingin
mengatakan bahwa pemimpin perguruan Bukit Kapur itu
memang sudah tua. "jawab Bango Lamatan.
"Nah, setelah minta maaf, lalu apa" Bukankah yang
kemudian itu yang lebih penting dari sekedar minta maaf"
"bertanya Kiai Gringsing pula.
Bango Lamatan tersenyum. Sekilas ia berpaling kepada
kawan-kawannya. Sementara itu Agung Sedayupun telah
berdiri tegak disebelah Kiai Gringsing yang masih duduk
diatas sebuah batu. Sementara Glagah Putih berdiri beberapa
langkah dari mereka. Namun dengan keyakinan, bahwa
Lontaran ilmunya akan dapat mencapai mereka jika hal itu
diperlukan. Sementara kedua orang cantrik yang berada
dibawah pohon yang rimbun itu telah bergeser pula beberapa
langkah mendekat. Namun Bango Lamatan itu kemudian berkata "Kiai. Di-sini
banyak orang lewat. "
"Mereka lewat di jalur penyeberangan itu. Biar saja.
Kenapa" "bertanya Kiai Gringsing pula. Lalu katanya.
Bukankah kita sudah minggir beberapa patok dari jalur
penyeberangan" "
"Tetapi orang-orang yang lewat itu dapat salah paham.
Coba Kiai perhatikan, mereka selalu berpaling kemari. Bahkan
ada yang berhenti dan termangu-mangu beberapa saat.
Mereka tentu mengira bahwa akan terjadi sesuatu diantara
kita. "berkata Bango Lamatan.
"Tidak apa-apa "jawab Kiai Gringsing "asal mereka tidak
melihat kita berkelahi, maka merekapun tidak akan berbicara
apa-apa tentang kita. Apakah sikap kita seperti sikap orangorang
bertengkar" " Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam.
Baiklah Kiai "berkata Bango Lamatan kemudian. Ia
termangu-mangu sejenak, lalu katanya pula "Sebenarnyalah
bahwa aku diutus oleh Ki Bagus Jalu yang bergelar
Panembahan Cahya Warastra. "
"Aku sudah mengira. "jawab Kiai Gringsing "pesan apakah
yang kau bawa dari Cahya Warastra itu" "
"Panembahan masih tetap berharap Kiai dapat mengerti
akan niat baiknya. Panembahan mohon Kiai sudi barang
sejenak menilai keadaan. Kiai dimohon untuk meneliti silsilah
dari orang yang menyebut dirinya Panembahan Senapati dan
silsilah orang yang bertahta di Madiun dengan gelar
Panembahan Madiun. "berkata Bango Lamatan yang bergelar
Putut Surengkara itu. Tetapi Kiai Gringsing justru bertanya "Kenapa aku tidak kau
anjurkan untuk meneliti pula silsilah Panembahan Cahya
Warastra yang ada di Madiun itu?"
Wajah orang itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian
ia tersenyum. Katanya "Panembahan Cahya Warastra adalah
gelar karena kedudukannya sebagai sumber kawruh lahir dan
batin. Sementara Panembahan Madiun dan Panembahan Se-.
napati menempatkan dirinya sebagai pimpinan pemerintahan.
Bukankah gelar Panembahan adalah gelar bagi para
pemimpin dan orang-orang terhormat dalam bidangnya
masing-masing" Kiai Gringsing justru tertawa pula. Katanya - Dan Kecruk
Putih itu telah menempatkan dirinya dalam jajaran orangorang
terhormat, para luhur serta pemimpin yang
menyebarkan kawruh lahir dan batin atau barangkali kawruh
baik dan buruk" Atau karena didalam silsilahnya tersebut
bahwa Kecruk Putih itu keturunan raja-raja Majapahit atau
malahan salah seorang dari keturunan Brahma lewat Raja
Singasari pertama" Atau mengaku keturunan Giling Wesi
yang diperintah oleh Prabu Watu Gunung" Atau memilih jalur
yang mana" " Wajah Bango Lamatan memang menjadi merah. Tetapi ia
masih mencoba untuk tersenyum. Katanya "Nampaknya Kiai
benar-benar tidak tertarik. Sayang, aku mendapat pesan
mawantu-wantu, bahwa aku tidak boleh bertindak lebih jauh,
agar aku tidak menyakiti hati Kiai sebagaimana dilakukan oleh
anak-anak tua dari Bukit Kapur itu. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya "Te-rimakasih
atas penghormatan yang kau berikan kepada orang tua
seperti aku ini. Karena itu, maka sampaikan salamku kepada
Kecruk Putih itu. Namun aku tetap minta maaf, bahwa aku
tidak akan dapat bergabung dengan mereka."
"Kiai "berkata Bango Lamatan "sayang sekali. Tetapi kami
tidak tergesa-gesa Kiai. Kami menunggu Kiai sempat
merenungkan pesan itu sekali lagi. "
"Aku akan mencoba. Tetapi aku sudah tahu hasilnya,
bahwa aku akan tetap pada pendirianku "berkata Kiai
Gringsing. "Baiklah "berkata Bango Lamatan "jika demikian maka akui
kira aku tidak akan dapat berbicara lebih banyak lagi.
"Terimakasih atas pengertianmu Bango Lamatan. Selamat
jalan. "berkata Kiai Gringsing kemudian. Namun katanya pula
"Bawalah pertanyaanku kepada Kecruk Putih itu. Kenapa
pada saat seperti ini, dimana kemelut antara Mataram dan
Madiun menjadi semakin gelap, orang-orang dari angkatan tua
telah bermunculan kembali, meskipun yang aku katakan tua
itu tidak setua aku. "
Bango Lamatan tersenyum. Katanya "Mereka menyadari,
bahwa saatnya sudah tiba untuk menegakkan kembali lajur
kerajaan dibumi ini. Sedangkan Panembahan Senapati
bukanlah termasuk dalam lajur keturunan dari Demak.
"berkata Bango Lamatan.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya "Jika
demikian garis pandangan kita memang berbeda. "
"Aku belum yakin "berkata Bango Lamatan. Lalu "Aku
masih mengharap bahwa pada suatu ketika sikap Kiai akan
berubah. " Kiai Gringsing tertawa pula. Namun ia tidak menjawab lagi.
Karena itu, maka Bango Lamatanpun kemudian berkata
"Sudahlah Kiai, aku akan kembali kepada Panembahan Cahya
Warastra. Pada suatu saat aku akan kembali kepada Kiai.
Mungkin tugasku akan berbeda. Mungkin pada kesempatan
lain, aku akan menjadi duta ngrampungi, sehingga aku akan
dapat mengambil sikap sendiri. "
Kiai Gringsing masih tertawa. Sambil mengangguk-angguk
ia berkata "Aku akan menunggu. Tetapi jangan terlalu lama.
Kau tahu, bahwa aku sudah terlalu tua" "
Bango Lamatan mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, salah seorang yang menyertainya
berkata "Putut Surengkara. Aku kira, orang itu tidak akan
berubah sikap. Pendiriannya sudah pasti. Agaknya ia bukan
seorang yang pantas untuk diberi kesempatan pada suatu
saat lain. Ia sudah memberikan keputusan. "
Bango Lamatan mengangguk. Tetapi katanya "aku sudah
mendapat pesan. Apapun yang dikatakan oleh diri Kiai Gring
sing, yang dikenal dengan Orang Bercambuk itu, harus aku
sampaikan kepada Panembahan Cahya Warastra. Aku tidak
boleh mengambil sikap sendiri.
"Baiklah "berkata orang itu "aku tidak mendapat pesan
seperti itu. " "Bukankah kau mendengar saat Panembahan memberikan
pesan itu kepadaku" "bertanya Bango Lamatan.
"Aku mendengar. Tetapi Panembahan mengatakan,
mungkin pada saat lain Orang Bercambuk itu akan berubah
pendirian. "jawab orang itu.
"Jadi" "bertanya Bango Lamatan.
"Kalau harapan untuk berobah itu tidak ada maka aku kira
kesempatan itu tidak perlu diberikan lagi kepadanya lagi,
jawab orang itu. "Aku berbeda pendapat dengan kau. "berkata Bango
Lamatan. "Jika demikian, Panembahan tentu tidak akan marah
kepada orang murid dungu dari Bukit Kapur itu. "
"Kita memang berbeda pendapat "berkata orang itu "karena
itu biarlah aku saja yang berbicara dengan orang bercambuk
itu. " "Apa yang akan kau katakan" "bertanya Bango Lamatan.
"Aku akan bertanya untuk yang terakhir kalinya. Jika ia
tetap pada pendiriannya, maka Orang Bercambuk itu sudah
sepantasnya dilenyapkan saja. Meskipun disini ada muridnya,
yang hanya seorang itu, maka muridnya itu tentu tidak akan


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat menghalangi kita. "berkata orang itu.
Disini ada empat orang lain "berkata Bango Lamatan, yang
seorang mengaku bukan muridnya. Kita tidak tahu, apakah
dua orang yang lain muridnya atau bukan. "
"Mereka tidak berharga untuk diperhitungkan "berkata
orang itu. "Jantung Glagah Putih hampir berhenti berdenyut
mendengar jawaban itu. Namun orang itu tiba-tiba saja
bertanya kepada Kiai Gringsing "Siapakah kedua orang itu" "
"Keduanya adalah cahtrik cantrik padepokanku "jawab Kiai
Gringsing. "Nah, bukankah keduanya tidak dalam perselisihan ini jika
kita harus mempergunakan kekerasan" Apalagi yang bukan
murid Kiai Gringsing itu. Agaknya anak itu adalah anak
gembala yang kebetulan saat itu ikut dalam perjalanan ini
"berkata orang itu. Wajah Glagah Putih menjadi merah. Telinganya rasarasanya
bagaikan terbakar.j amun ketika ia melihat Agung
Sedayu masih saja berdiam diri, maka Glagah Putihpun tidak
bergerak ditempatnya sama.
Sementara itu Putut Surengkara yang dikenal oleh Kiai
Gringsing yang bernama Bango Lamatan itu bertanya "Jadi
kau benar-benar akan mengambil langkah sendiri" "
Orang itu mengangguk sambil menjawab tegas "Ya. "Bango
Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian
berkata "Lakukan yang akan kau lakukan atas tanggung
jawabmu sendiri. Aku tidak berani melanggar pesan
Panembahan Cahya Warastra. "
"Bagus "jawab orang itu. Tetapi katanya kemudian "Jangan
pergi. Kau menjadi saksi, apa yang telah aku lakukan.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun
menjawab "Aku hanya menjadi saksi. "Lalu katanya kepada
kawannya yang seorang lagi "Kaupun akan menjadi saksi. "
Tetapi Bango Lamatan menjadi tegang ketika orang itu
menjawab "Aku akan membantu kakang Bandar Anom. "
Bango Lamatan menggeram. Katanya "Persetan. Lakukan
apa yang kau anggap baik. Tetapi jika terjadi sesuatu jangan
menyalahkan aku. Kalian adalah orang-orang tua yang sudah
tahu bagaimana harus menempatkan diri. "
"Ya "jawab orang itu "Putut Surengkara tidak akan kami
libatkan dalam persoalan ini. "
"Tetapi jangan menyesal. Kedua anak burung emprit dari
Bukit Kapur itu tidak dapat berbuat apa-apa. Seharusnya kau
tidak boleh merasa lebih baik dari keduanya. "berkata Bango
Lamatan. Tetapi orang yang disebut Bandar Anom itu berkata "Kau
juga menghina kami" "
Putut Surengkara menyahut "Tidak. Tetapi aku hanya ingin
mencegah kalian mendapat kesulitan, sehingga aku harus
kembali seorang diri. "
"Kau akan melihat, bahwa untuk selanjutnya Orang
Bercambuk itu tidak akan menjadi duri dalam daging bagi
Panembahan Cahya Warastra. "berkata Bandar Anom itu.
Putut Surengkara yang dikenal bernama Bango Lamatan
itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sempat berkata
kepada Kiai Gringsing "Ternyata kami berbeda pendirian Kiai.
Jika kali ini kawan-kawanku gagal menyingkirkan Kiai, maka
lain kali, tentu aku yang akan mendapat tugas. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya "Kenapa
kawan-kawanmu itu terlalu bernafsu untuk menyingkirkan
aku" "Kenapa seseorang tidak boleh berbeda pendapat" "
"Kiai sudah mendengar sendiri, bahwa segala sesuatunya
adalah tanggung jawab mereka sendiri. "jawab Bango
Lamatan. "Tetapi bukankah pada lain kali kau sendiri akan datang
untuk melakukan hal yang sama" "bertanya Kiai Gringsipg.
"Tetapi mungkin pula Panembahan Cahya Warastra
berpendirian lain "berkata Bango Lamatan.
Kiai Gringsing tersenyum. Kamudian iapun berpaling
kepada Bandar Anom dan bertanya "Kau dari perguruan
mana; Ki Sanak" Bandar Anom mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya "Aku harus mengakui, bahwa perguruanku bukan
perguruan yang dikenal oleh banyak orang. Tetapi bukan
karena ilmu dari perguruanku tidak berarti di dunia olah
kanuragan. Karena itu kau tidak usah bertanya tentang
perguruanku, " "Kau benar-benar tidak tahu diri "- gumam Bango Lamatan
"Kau belum mengenal siapakah Orang Bercambuk itu.
Seharusnya kau mendengarkan dengan cermat apa yang
dikatakan oleh Garuda garuda kerdil dari Bukit Kapur itu. "
"Aku tahu apa yang dikatakan oleh tikus-tikus bukit itu.
Mereka terlalu kerdil untuk berani menghadapi Orang
Bercambuk, sehingga mereka telah menyerah sebelum terjadi
sesuatu "jawab Bandar Anom.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya "Bandar Anom benar.
Kedua murid dari perguruan Bukit Kapur itu memang telah
merasa kalah sebelum berjuang. Tetapi sebenarnya aku juga
ingin mengatakan kepada Bandar Anom, bahwa apa
sebenarnya keuntunganmu menyingkirkan aku" "
"Kau akan menjadi penghambat bagi persatuan perguruanperguruan
dan padepokan-padepokan di seluruh tanah ini dan
menempatkan diri dibawah pimpinan Panembahan Madiun
dan Panembahan Cahya Warastra. "jawab Bandar Anom.
"Kau bohong "berkata Bango Lamatan "kau melakukannya
untuk mendapat pujian. Tetapi yang kau dapatkan tentu
sekedar bencana. " "Jika kau tidak berani tersangkut dalam persoalan ini, kau
tidak usah turut campur. Tetapi kau tidak perlu iri hati jika aku
dapat memusnahkan orang tua yang sombong ini "bentak
Bandar Anom. Tetapi Bango Lamatan tersenyum. Katanya "Baiklah. Aku
akan menjadi penonton yang baik. "
Bandar Anompun telah melangkah maju. Sambil bertolak
pinggang ia berkata "Kau masih mempunyai kesempatan. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
salah hitung. Aku kira untuk sementara aku tidak akan
diganggu oleh orang-orang Kecruk Putih. Ternyata
perhitunganku itu keliru. Tetapi agaknya hal ini terjadi bukan
karena kesalahan Kecruk Putih itu. "
"Cukup "potong Bandar Anom "jawab pertanyaanku. Kau
akan mempergunakan kesempatan ini atau tidak" "
Kiai Gringsing tiba-tiba justru menguap seperti orang yang
sudah tiga hari tiga malam tidak tidur. Lalu katanya kepada
Agung Sedayu. "Agung Sedayu. Aku letih dan barangkali
kantuk. Layanilah tamuku itu. Barangkali kau dapat
menenangkannya. Tetapi kau tidak boleh cepat menjadi
marah karena sikapnya yang memang agak kasar. "
Agung Sedayu mengangguk hormat. Iapun kemudian
menjawab "Baik guru. "
"Persetan "geram Bandar Anom "aku tidak mau berurusan
dengan tikus-tikus kecil. Aku berurusan dengan Orang
Bercambuk. " Tetapi Kiai Gringsing justru memberikan isyarat kepada
Agung Sedayu untuk menjawabnya.
Agung Sedayupun bergeser selangkah maju dan berkata
"Maaf Ki Sanak. Guruku sedang letih. Perjalanan ini memang
membuatnya letih, karena Guru telah menjadi terlalu tua.
Karena itu, aku mohon Ki Sanak jangan mengganggunya,
agar Guru dapat benar-benar beristirahat. "
"Kau sombong seperti gurumu. Aku peringatkan agar kau
tidak usah turut campur jika kau masih ingin melihat mata-hari
besok terbit. "geram Bandar Anom.
"Kami, seisi padepokan yang dipimpin oleh Guru, yang kau
kenal sebagai Orang Bercambuk itu bukannya perguruan yang
senang mencari lawan. Tetapi kau tahu, bahwa kami bukan
orang yang mudah tunduk kepada kemauan orang lain yang
tidak sesuai dengan keyakinan kami. "berkata Agung Sedayu.
"Kau ternyata juga pandai berbicara "geram Bandar Anom.
Lalu iapun berpaling kepada Kiai Gringsing sambil berkata
"Apakah sudah kau pikirkan masak-masak untuk
mengumpankan muridmu, sementara itu agaknya kau akan
melarikan diri" "
"Guru tidak akan melarikan diri "Agung Sedayulah yang
menyahut "ia akan beristirahat cukup lama disini. "
Kawan Bandar Anom itupun tiba-tiba telah melangkah maju
pula sambil berkata kepadanya "Serahkan orang ini kepadaku.
Kau selesaikan Orang Bercambuk itu. "
Kedua orang cantrik yang berdiri termangu-mangu itupun
mulai bergerak pula mendekat. Tetapi Glagah Putih ternyata
lebih dahulu berkata "Jangan hiraukan orang itu kakang.
Biarlah ia bermain-main dengan aku. "
Kawan Bandar Anom itu berpaling. Iapun kemudian
menggeram "Kau akan menyesal sepanjang umurmu jika kau
memaksa untuk membantu murid orang bercambuk itu. "
Tetapi Glagah Putih tidak menghiraukannya. Iapun
kemudian mendekati orang itu sambil berkata "Aku memang
bukan murid Kiai Gringsing. Tetapi aku tantang kau berkelahi.
" Wajah orang itu menjadi merah. Sementara Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Iapun sadar, agaknya Glagah
Putih sudah terlalu lama menahan diri, sehingga tiba-tiba saja
jantungnya bagaikan telah meledak.
Bandar Anomlah yang kemudian berkata "Jawab
tantangannya. Selesaikan anak itu. Kemudian setelah aku
selesaikan muridnya yang sombong ini, biarlah kita selesaikan
Orang Bercambuk yang tidak tahu diri itu. "
Kawan Bandar Anom itu mengangguk kecil. Katanya
"Baiklah. Anak itu justru lebih sombong dari murid Orang
Bercambuk itu. " Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing tiba-tiba saja berkata
kepada Agung Sedayu "Agung Sedayu. Jika kau ternyata tidak
dapat mengendalikan dirimu, dan akan terjadi perselisihan,
maka sebaiknya kau perhatikan lingkungan sebagaimana tadi
disebut oleh Bango Lamatan. Pergilah menjauhi jalur
penyeberangan sampai lewat tikungan. Tidak akan banyak
orang yang terganggu oleh perselisihanmu itu. "
"Baik Guru "jawab Agung Sedayu. Lalu katanya kepada
Bango Lamatan "Ki Sanak. Sebaiknya kita menyingkir agar
apa yang akan terjadi tidak menarik perhatian orang-orang
lewat. Jika orang-orang lewat itu melihat kita berkelahi, maka
mereka mungkin akan mendekat dan berusaha melerai atau
mengganggu permainan kita itu. Karena itu, marilah. Kita
bergeser sampai lewat tikungan itu. "
Sikap Agung Sedayu yang tenang itu membuat Bango
Lamatan termangu-mangu. Ia mulai melihat sikap Agung
Sedayu itu dengan sikap Bandar Anom. Semula ia memang
menganggap bahwa Kiai Gringsing agak kurang berhati-hati
menghadapkan muridnya kepada Bandar Anom yang ingin
langsung berbenturan dengan Kiai Gringsing itu sendiri.
Namun setelah ia melihat sikap Agung Sedayu, maka iapun
menjadi berdebar-debar. Murid Kiai Gringsing itu agaknya
telah memiliki kemampuan ilmu pada tataran yang tinggi.
Ternyata Agung Sedayu sama sekali tidak menunggu.
Iapun kemudian melangkah meninggalkan gurunya menuju ke
udik, kearah kaki Gunung Merapi yang tadi dituruninya.
Glagah Putih yang berdiri beberapa langkah dari Agung
Sedayu ternyata tidak segera menyusul. Ia masih menunggu
kedua orang yang nampaknya agak bimbang. Sekali-sekali
dipandanginya Kiai Gringsing yang masih duduk diatas batu.
Kemudian keduanya telah memandang Bango Lamatan.
Bango Lamatanlah yang kemudian berkata "Marilah.
Bukankah aku sudah sanggup menjadi saksi" "
Kedua orang itupun kemudian telah melangkah pula.
Namun Bandar Anom sempat berpesan "Kiai. Jangan
melarikan diri. Jika kau melarikan diri, maka aku hancurkan
padepokanmu dan semua cantrik yang ada didalamnya. "
Tetapi Kiai Gringsing tertawa. Katanya "Aku tidak akan
pergi sebelum puas beristirahat disini. Diatas sebongkah batu
hitam, dibawah pohon gayam yang mulai berbuah. Aku akan
menunggu muridku dan adik sepupunya yang akan melayani
kalian bermain-main. "
Bandar Anom tidak menjawab. Bersama kawannya diiringi
Glagah Putih dan kemudian Bango Lamatan, mereka berjalan
menuju ke tikungan Kali Opak.
Dibelakang tikungan yang bertanggul agak tinggi. Agung
Sedayu berdiri di tepian berpasir. Beberapa buah batu besar
berserakan. Dimusim hujan, maka tepian itu tertutup oleh arus
air yang deras. Bandar Anom dengan geram telah melangkah mendekati
Agung Sedayu sambil berkata "Kau tidak akan kembali
kepada gurumu. Kau akan mati disini. Tubuhmu akan terkapar
diatas pasir dan akan menjadi makanan burung gagak. "
"Mengerikan "berkata Agung Sedayu "karena itu, aku tidak
ingin mati. " "Keinginanmu dan keinginanku lain. Aku akan
membunuhmu "berkata Bandar Anom itu pula.
Namun Agung Sedayu masih menyahut "Kau tidak lebih
berkuasa dari Yang Maha Agung. Kepada-Nya aku bersandar.
"Aku tidak peduli "geram Bandar Anom. Lalu katanya
kepada kawannya "Cepat selesaikan tikus kecil itu, agar
Orang Bercambuk yang sudah tua dan sakit-sakitan itu tidak
sempat melarikan diri. "
"Orang itu akan melarikan diri "sahut Bango Lamatan
"Ia akan tetap berada ditempatnya sebagaimana
dikatakannya, apapun yang terjadi. Ia adalah seorang yang
berilmu tinggi, sehingga ia mempunyai harga diri yang pantas
dihormati. "Nampaknya kau menjadi ketakutan "geram Bandar Anom
"karena itu, serahkan semuanya kepadaku. "
"Aku tidak menjadi ketakutan. Aku adalah termasuk orang
yang mau melihat kenyataan. Karena itu, aku menjadi kasihan
kepadamu jika kau benar-benar harus melawannya. Sekarang
kau berhadapan dengan muridnya. Buktikan kata-katamu
"Sahut Bango Lamatan.
Bandar Anom menggeram. Tiba-tiba saja iapun telah
meloncat menyerang Agung Sedayu. Serangan itu begitu tibatiba.
Namun Agung Sedayupun telah bersiap sepenuhnya,
sementara itu Bandar Anompun masih belum memasuki
tataran kemampuannya yang tinggi.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun sejenak kemudian, keduanya telah mulai terlibat
dalam pertempuran, meskipun keduanya masih berusaha
untuk menjajagi lawan. Bango Lamatan memperhatikan pertempuran itu dengan
saksama. Ia memperhatikan setiap unsur gerak yang
dilontarkan oleh Agung Sedayu. Namun karena nampaknya
Agung Sedayu juga belum bersungguh-sungguh, maka unsurunsur
gerak yang nampak masih unsur-unsur gerak yang
sederhana. Sementara itu, Glagah Putih dan kawan Bandar Anom
itupun telah berada di tepian pula. Tetapi keduanya justru
telah berdiri termangu-mangu memperhatikan Bandar Anom
dan Agung Sedayu yang mulai bertempur itu.
Namun mereka tidak terlalu lama berdiri sebagai penonton.
Sejenak kemudian keduanyapun menyadari, bahwa
merekapun harus segera berbuat sesuatu. Kawan Bandar
Anom itu ternyata seorang yang merasa dirinya terlalu kuat
sebagaimana Bandar Anom, sehingga karena itu, maka iapun
telah berdiri tegak sambil bertolak pinggang dan berkata "Nah,
murid Orang Bercambuk itu sebentar lagi akan terkapar di
tepian. Karena itu, selagi belum terlanjur, kau dapat
menghindarkan diri dari bencana. Jika kau mau berlutut dan
minta maaf kepadaku, maka kau akan aku ampuni. "
Tetapi Glagah Putih justru menggeram. Dengan nada tinggi
ia berkata "Marilah, kita akan segera mulai. "
Orang itu memandang Glagah Putih dengan tajamnya.
Kemudian katanya "Anak tidak tahu diri. Agaknya kau
memang terlalu sombong seperti murid Kiai Gringsing itu. "
Glagah Putih tidak menyahut. Ia pun kemudian melangkah
maju sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan. Namun Bango Lamatanlah yang berbicara "Kau hanya
banyak bicara saja. Lawanmu sudah siap. Tetapi kau masih
saja berbicara kesana-kemari tanpa ujung pangkal. "
"Persetan "geram orang itu "jika kau mau nonton,
nontonlah. Jangan banyak bicara. "
Bango Lamatan tertawa. Katanya "Panembahan Cahya
Warastra akan menjadi muak melihat tampangmu. Ia tentu
menyesal, bahwa ternyata di antara para pengikutnya terdapat
orang-orang seperti kau. "
Orang itu menggeram. Katanya "Jika kau memang ingin
membuat persoalan, kita akan menyelesaikan setelah aku
membunuh anak ini. Meskipun menurut pendengaranku, kau
mampu melenyapkan diri, tetapi aku belum pernah melihat,
dan menjajagi seluruh kemampuanmu. "
Bango Lamatan tertawa berkepanjangan. Katanya Baiklah.
Selesaikan anak itu. "
"Kau tidak usah memerintahku. Aku tahu apa yang aku
lakukan. Jika kau ingin bersaksi, lakukanlah. "berkata orang
itu. Bango Lamatan masih saja tertawa. Tetapi kemudian,
dahinya mulai berkerut. Orang itu telah mempertunjukkan
unsur-unsur gerak yang mengejutkan, justru sebelum mereka
mulai berbenturan ilmu. Seakan-akan orang itu sedang
berlatih seorang diri. "Ia memang kuat "berkata Bango Lamatan didalam hatinya.
Sementara itu, orang itu masih saja memperlihatkan
kelebihannya. Ia berloncatan diatas pasir, kemudian
mengayunkan tangannya mendatar, menyamping dan terjulur
lurus kedepan, sementara telapak tangannya yang lain
terbuka sambil berputaran pula. Sekali-sekali kedua
tangannya menyilang, kemudian mengembang terbuka,
seolah-olah memancing lawannya untuk menyerang dadanya.
Glagah Putih memang telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Namun ketika ia melihat lawannya seakan-akan
sedang berlatih sendiri, iapun justru bergeser surut. Namun ia
sama sekali tidak menjadi lengah. Dapat saja terjadi lawannya
itu tiba-tiba saja meloncat menerkamnya.
Dengan melihat unsur-unsur geraknya, Glagah Putih masih
belum dapat menjajagi kemampuan lawannya. Namun ia
sadar, bahwa lawannya tentu mempunyai kekuatan yang
sangat besar. Ayunan tangannya seakan-akan telah
menimbulkan desing angin yang kencang dan suara
berdengung semakin keras.
Sementara itu, Agung Sedayu dan Bandar Anom masih
juga saling menjajagi, meskipun mereka bergerak semakin
lama semakin cepat. Merekapun telah mulai meningkatkan
ilmu mereka, selapis demi selapis. Agaknya Bandar Anom
tidak ingin dengan serta merta meningkatkan ilmunya sampai
ke puncak untuk mengalahkan murid Orang Bercambuk itu.
Meskipun ia ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran,
namun ia juga ingin menilai, sampai batas manakah tingkat
tertinggi kemampuan murid Orang Bercambuk itu.
Namun setiap Bandar Anom meningkatkan ilmunya
setingkat, maka Agung Sedayupun telah mengimbanginya.
Beberapa tataran telah dilampaui, namun Agung Sedayu
masih juga mampu mengimbaginya. Bahkan rasa-rasanya
Bandar Anom itu terlalu meremehkannya. Ia mulai, dari
tataran yang paling dasar, seakan-akan Agung Sedayu adalah
murid Kiai Gringsing yang baru masuk padepokan di pekan
yang lalu. Tetapi Agung Sedayu memang mempunyai ciri tersendiri.
Ia tidak menjadi marah dan dengan garangnya menggulung
lawannya yang telah merendahkannya. Namun Agung Sedayu
justru sekedar melayaninya. Seakan-akan ia adalah seorang
pelatih yang sedang menjajagi seseorang yang ingin berlatih
olah kanuragan kepadanya.
Ternyata Bandar Anom tidak menyadarinya. Ia masih tetap
merambat dari tataran ke tataran berikutnya. Selapis demi
selapis. Memang terasa menjemukan. Namun adalah kebiasaan
Agung Sedayu untuk menahan diri.
Tetapi justru Bango Lamatanlah yang mengumpat sambil
berkata "Ternyata kau terlalu bodoh dan sombong Bandar
Anom. Kau kira lawanmu seorang cantrik yang baru mulai
belajar meloncat-loncat, sehingga kau memerlukan waktu
yang panjang dan tidak berarti apa-apa, bahkan menjemukan.
Kenapa kau bergerak terlalu lamban dan merambat setapak
demi setapak, sementara lawanmu berada di puncak bukit
yang mungkin justru tidak dapat kau jangkau" -Ayo, cepatlah
sedikit. Meskipun Orang Bercambuk itu tidak akan lari. Tetapi
ia akan menjadi jemu menunggu. "
Bandar Anom menggeram. Tetapi ia memang merasa
harus menilai kembali sikapnya terhadap murid Kiai Gringsing
yang seakan-akan hanya sekedar melayaninya itu saja.
Bahkan ia sempat menganggap dirinya terlalu bodoh untuk
mulai dari dasar ilmu kanuragannya serta meningkat selapis
demi selapis. Karena itu, maka Bandar Anom itupun kemudian berkata
"Baiklah. Aku akan menyelesaikannya dengan cepat. "
Agung Sedayu mendengar jawaban Bandar Anom itu.
Karena itu, maka iapun telah bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Ia menyadari, bahwa orang yang telah berani
menempatkan diri melawan Orang Bercambuk itu tentu orang
yang memang memiliki bekal yang cukup.
Sementara itu kawan Bandar Anom itu masih saja berloncat-
loncatan sendiri. Semakin lama semakin cepat. Ia
memang ingin menundukkan Glagah Putih apabila mungkin
tanpa benturan ilmu sama sekali. Ia berharap bahwa dengan
melihat tingkat ilmunya, lawannya akan menjadi ketakutan. "
Tetapi Glagah Putih masih saja berdiri tegak, justru
menyaksikan tingkah lawannya itu. Namun demikian ia tetap
berhati-hati, bahwa lawannya itu tiba-tiba saja akan dapat
menyerangnya. Bango Lamatan yang baru saja mentertawakan Bandar
Anom, harus menahan tertawanya pula melihat sikap lawan
Bandar Anom itu. Bahkan katanya "He, kau pernah melihat
burung kerdil yang meloncat-loncat di dahan" Dan kau pernah
melihat elang yang terbang dengan tenang di angkasa" "
"Persetan "geram orang itu "aku akan menundukkannya
tanpa benturan ilmu sekalipun.
Tetapi Bango Lamatan tertawa berkepanjangan.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang ditemani oleh dua
orang cantrik ternyata tidak dapat duduk tenang. Karena itu,
maka Kiai Gringsingpun berkata kepada kedua orang cantrik
"Kalian tunggu saja disini. Aku akan melihat, apa yang terjadi
dibelakang tikungan sungai itu. "
"Tetapi Kiai "berkata salah seorang diantara kedua orang
cantrik itu "apakah Kiai akan pergi sendiri" "
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya "Dibelakang tikungan itu
ada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kalian disini menunggui
kuda-kuda kita. Apalagi kuda Glagah Putih yang besar dan
tegar itu. Nampaknya banyak orang yang menyukainya.
Sehingga karena itu, maka sebaiknya kuda itu diawasi. "
Kedua cantrik itu termangu-mangu. Namun mereka yakin
akan tingkat kemampuan Kiai Gringsing meskipun umurnya
sudah terlalu tua. Sejenak kemudian, Kiai Gringsingpun telah menyusuri
tepian, menuju ke tikungan. Langkahnya pelan dan
nampaknya sangat berhati-hati.
Ketika Kiai Gringsing muncul di balik tikungan, maka Bango
Lamatanlah yang menyapanya "Marilah Kiai. Kita melihat
aduan yang tentu akan sangat seru. "
Kiai Gringsing tertawa. Katanya "Muridku dan adik
sepupunya itu bukan sebangsa cengkerik atau katakan ayam
jantan. Mereka tidak akan berbuat apa-apa jika mereka tidak
diusik. " Bango Lamatan tertawa pula. Katanya "Itu dihadapan Kiai.
Agaknya akan lain jika merekatidak beradada hadapan Kiai.
Mereka cukup garang dan berilmu tinggi. "
Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia melihat Bandar Anom
yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu. Namun
kawan Bandar Anom itu masih saja berloncatan seorang diri.
"Jangan heran Kiai "berkata Bango Lamatan "ia mempunyai
cara tersendiri untuk menakut-nakuti Glagah Putih.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Aku
mengerti. Dengan demikian ia dapat berbuat hati lawannya
berkerut. " Bango Lamatan menyahut "Satu pekerjaan sia-sia. "Namun
tiba-tiba saja Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya
"Tidak, Bango Lamatan. Ia tidak sekedar menakut-nakuti. Kau
lihat telapak tangannya" "
"Ya Kiai "jawab Bango Lamatan "bukankah itu termasuk
cara untuk menakut-nakuti. "
"la termasuk seorang yang memerlukan waktu yang lama
untuk ancang-ancang. Karena itu, maka ia sengaja menakutnakuti
sepupu muridku sekaligus untuk memanaskan
darahnya "berkata Kiai Gringsing.
"Mungkin Kiai. Tetapi asap ditelapak tangannya itu hanya
dapat menakut-nakuti tikus sawah. Sepupu murid Kiai itu
nampaknya sudah memiliki pengalaman yang sangat luas dan
dalam, meskipun nampaknya masih sangat muda. "berkata
Bango Lamatan. "Kau dapat melaporkannya kepada Kecruk Putih "berkata
Kiai Gringsing "ia bukan satu-satunya orang yang pantas
menghimpun kekuatan yang berada di padepokan-padepokan
atau perguruan-perguruan. Apalagi dengan langsung
menyangkutkannya dengan kekuatan Panembahan di Madiun.
Meskipun aku tahu, bahwa Panembahan Madiun memiliki
darah keturunan langsung dari Demak, tetapi bukan itu yang
penting. Wahyu keraton telah berada di Mataram, sesuai
dengan ketajaman penglihatan seorang yang berilmu kajiwan
sangat tinggi serta landasan kepercayaan yang teguh kepada
Yang Maha Agung, bahwa Mataram akan menjadi Pusat
Pemerintahan di Tanah ini. "
Bango Lamatan tersenyum. Katanya "Biarlah kita berbeda
pendapat Kiai. " "Bagus. Aku memang hanya sekedar menegaskan sikapku
"sahut Kiai Gringsing.
Bango Lamatan mengangguk-angguk pula. Tetapi ia
tersenyum semakin lebar melihat kawan Bandar Anom yang
masih saja berloncatan sendiri.
Namun dalam pada itu, Glagah Putihpun telah melihat asap
ditelapak tangan lawannya itu setiap kedua telapak tangannya
mengatup rapat. Seakan-akan diantara kedua telapak
tangannya itu terdapat bara api yang membakar kulitnya.
Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar.
Bahkan usaha lawannya untuk menakut-nakutinya itu justru
dengan tidak disadarinya telah memperpendek
kesempatannya untuk bertempur melawan Glagah Putih,
karena Glagah Putih yang melihat asap itu merasa perlu untuk
mengetrapkan ilmu pamungkasnya pula. Ia sudah menduga
bahwa asap di telapak tangan lawannya itu adalah pertanda
tingkat ilmu yang sangat tinggi.
Beberapa saat kemudian, kawan Bandar Anom itu masih
berloncatan diatas pasir tepian. Geraknya memang menjadi
semakin mantap. Kecuali siap di telapak tangannya yang
kadang-kadang nampak mengepul tipis, Glagah Putihpun
melihat kaki orang itu seakan-akan semakin lama semakin
membenam dalam pasir tepian.
"Memang luar biasa "berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Orang itu sama sekali tidak berpaling kepada Glagah Putih.
Ia merasa yakin, bahwa Glagah Putih tidak akan berani
berbuat sesuatu setelah melihat kelebihan-kelebihannya. Anak
itu tentu akan segera menyerah dan menerima perlakuan apa
saja atas dirinya. Dengan demikian, ia akan dapat dengan
sombong menunjukkan kepada Bango Lamatan dan kebetulan
pula. Orang Bercambuk yang datang, bahwa anak itu sama
sekali tidak berani melawannya.
Di sisi lain, Bandar Anom telah bertempur dengan
sengitnya. Ternyata ia tidak mengulang kesalahannya. Ia tidak
meningkatkan ilmunya selapis demi selapis setelah ia
menyadari bahwa lawannya bukanlah seorang yang baru
kemarin masuk padepokan Orang Bercambuk itu.
Dengan demikian maka Bandar Anom telah membetulkan
kesalahannya. Ia telah membuang banyak waktu tanpa arti
sama sekali. Bahkan banyak membuang tenaga sia-sia.
Karena itu, maka iapun telah meningkatkan ilmunya
dengan loncatan yang jauh. Tiba-tiba saja Bandar. Anom telah
sampai ke tataran yang sangat tinggi meskipun belum


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencapai puncaknya. Ia masih mensisakan ilmunya karena ia
ingin menghancurkan lawannya tanpa puncak ilmunya.
Agung Sedayu memang terdesak sesaat. Orang itu menjadi
semakin cepat dan semakin mantap bergerak. Tampak
tangannya berputaran dengan ayunan yang mendebarkan
seakan-akan ayunan bandul besi yang berat pada tali ijuk
yang kuat. *** API DI BUKIT MENOREH SERI III
JILID 240 SUARANYA berdesing menyambar-nyambar dari segala
arah. Tetapi Agung Sedayupun telah mengimbanginya. Iapun
meningkatkan ilmunya melampaui beberapa tataran.
Meskipun ia masih harus menyesuaikan namun Agung
Sedayu tidak terlambat. Tetapi pada saat orang itu meloncat
dengan garangnya menghantam dada diarah jantung, Agung
Sedayu telah menjajagi kemampuan dari kekuatan lawannya
itu telah menangkis serangan itu. Tetapi ia tidak sekedar
menunggu. Namun Agung Sedayupun telah melawan
serangan itu. Ketika terjadi benturan yang kuat, Agung Sedayu
telah mendorong kekuatan lawan.
Keduanya memang terkejut, Agung Sedayu telah terdorong
dua langkah surut. Namun dengan cepat, ia telah menguasai
keseimbangannya kembali, sehingga iapun telah berdiri tegak
ditepian. Sementara itu, Bandar Anompun telah terpental beberapa
langkah surut. Bahkan keadaannya lebih sulit dari Agung
Sedayu. Meskipun dengan susah payah Bandar Anom sempat
menguasai keseimbangannya, namun terasa betapa perasaan
sakit telah menyengat tangannya, merambat lewat lengannya
dan seakan-akan menusuk kejantungnya.
Karena itu, untuk menjaga segala kemungkinan, maka
Bandar Anom justru bergeser beberapa langkah lagi surut. Ia
sengaja mengambil jarak untuk dapat memperbaiki
keadaannya. Ternyata Agung Sedayu yang tidak banyak mengalami
kesulitan itu tidak mengejarnya. Memang terasa tekanan
sedikit didadanya yang dilambari dengan kedua tangannya
disaat ia membentur kekuatan lawan. Namun kesulitan itu
segera dapat diatasinya dengan dua tarikan nafasnya.
Bahkan Agung Sedayu itu seakan-akan lebih memberi
kesempatan kepada Bandar Anom untuk mempersiapkan diri
untuk menghadapi pertempuran berikutnya.
"Anak iblis." geram Bandar Anom yang tidak menduga
bahwa Agung Sedayu justru telah berada ditataran diatasnya.
Yang terdengar tertawa adalah Bango Lamatan. Tetapi ia
tidak berkata sesuatu kepada Bandar Anom. Bahkan ia telah
berkata kepada Kiai Gringsing, "Muridmu memang luar biasa
Kiai. Tetapi aku ingin melihat, bagaimana ia mempermainkan
cambuknya. Bukankah ia juga kau ajari bermain cambuk?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Tetapi kawanmu itu
juga orang yang sangat berbahaya. Untuk melawannya
diperlukan sikap yang sangat berhati-hati."
Bango Lamatan tidak menjawab. Namun ia mulai
memperhatikan lagi pertempuran itu, meskipun sekali-sekali ia
masih juga memperhatikan tata gerak kawan Bandar Anom.
Namun Bango Lamatan itu rnenjadi tegang melihat kawan
Bandar Anom yang masih mempertunjukkan kelebihannya itu.
Selain geraknya yang semakin cepat, ternyata kakinya yang
menghentak-hentak diatas pasir tepian itu, kadang-kadang
telah membenam sampai kebetisnya. Namun sama sekali
tidak nampak hambatan-hambatan pada loncatan-loncatannya
dan bahkan pada tata geraknya dalam keseluruhan. Kakinya
yang membenam dipasir itu rasa-rasanya bagaikan tidak
berjejak diatas tanah. Melenting dan meloncat dengan sigap,
cepat dan tangkas. Bango Lamatan rnenjadi semakin tertarik kepada
kemampuan kawan Bandar Anom itu meskipun masih dalam
batas yang belum mencemaskan baginya. Tetapi Bango
Lamatan mulai mempercayainya, bahwa ia mungkin akan
dapat menundukkan lawannya tanpa benturan ilmu.
"Sepupu murid Kiai Gringsing itu tentu akan rnenjadi cemas
melihat permainan yang ditunjukkan oleh lawannya itu,
sehingga pada satu tataran tertentu ia akan menyerah
sebelum bertempur. Jika demikian maka murid Kiai Gringsing
itu akan segera menghadapi dua orang yang berilmu cukup
tinggi, sehingga kedudukannya akan rnenjadi sulit." berkata
Bango Lamatan itu didalam hatinya.
Tetapi ia bertekad untuk tidak melibatkan diri. Bahkan
seandainya Kiai Gringsing itu terjun sekalipun untuk
membantu muridnya. Ia tidak mau membiarkan kedua orang
itu mendapat nilai terlalu baik di mata Ki Bagus Jalu yang
bergelar Panembahan Cahya Warastra.
Sementara Agung Sedayu dan Bandar Anom masih saja
bertempur dengan sengitnya, maka Bango Lamatan justru
lebih banyak memperhatikan kawan Bandar Anom yang telah
menunjukkan semacam pangewan-ewan kepada Glagah
Putih. Setiap saat seakan-akan merupakan hentakanhentakan
yang memukul jantung sepupu murid Orang
Barcambuk itu, sehingga pada suatu saat maka ia akan
rnenjadi lemas dan sama sekali tidak memiliki lagi keberanian
untuk melawan. Sementara itu Glagah Putih sendiri masih saja berdiri
termangu-mangu. Ia memang mengagumi kemampuan
lawannya. Bahkan ia sempat rnenjadi heran, bahwa dengan
kaki yang membenam itu, rasa-rasanya lawannya itu sama
sekali tidak merasa tercengkam karenanya. Dengan demikian
maka Glagah Putih menyadari, bahwa lawannya memang
berilmu tinggi. Namun ketika ia menyadari, bagaimana lawannya itu
menakut-nakutinya, bahkan menundukkannya tanpa
berbenturan ilmu, Glagah Putih menjadi semakin marah. Ia
justru merasa terhina, seolah-olah hatinya tidak lebih besar
dari biji sawi, yang menjadi ketakutan melihat lawannya itu
memamerkan kemampuannya. Karena itu, maka yang terjadi justru tidak diharapkan oleh
lawannya itu. Kemarahan, kecewa dan gejolak perasaannya
selama ia menahan diri, tiba-tiba saja telah tertumpah. Ketika
ia melihat Agung Sedayu juga bertempur, maka Glagah Putih
tidak terkekang lagi. Perasaannya seakan-akan bagaikan
telah meledak. "Bukan orang itu yang akan menghentikan aku sebelum
bertempur, tetapi aku." berkata Glagah Putih kemudian.
Karena itu, maka iapun segera bersiap. Ia tidak akan
menyerang orang itu pada jarak jangkau wadagnya. Iapun
ingin menunjukkan sebagaimana dilakukan oleh lawannya.
Karena itu, maka Glagah Putih justru telah memusatkan
segala kemampuannya. Ia telah menghimpun puncak
kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari jalur Ilmu Ki Sadewa,
dengan perantaraan Agung Sedayu, namun iapun telah
menyerap kekuatan yang paling berbahaya, kekuatan api
yang disadapnya dengan ilmu yang diterimanya dari Ki
Jayaraga. Dua kekuatan yang dahsyat itu, telah siap
dilontarkan dengan kemampuan ilmu yang diturunkan oleh Ki
Jayaraga pula. Demikianlah, maka pada saat kawan Bandar Anom itu
mempertunjukkan kemampuannya yang tinggi, dengan
membenamkan kedua kakinya kedalam pasir tepian, sehingga
seakan-akan berat badannya menjadi seberat gunung padas,
namun yang kemudian dengan ringannya melenting sambil
berputar diudara, Glagah Putih yang bergeser mundur telah
melontarkan kekuatan ilmunya yang dahsyat itu pula. Tidak
ditujukan kepada lawannya itu.
Tetapi demikian orang itu berjejak diatas pasir sambil
menyusupkan kakinya bahkan hampir setinggi lutut, maka
serangan Glagah Putih telah menghantam seonggok pasir
beberapa langkah disebelah orang itu, demikian dahsyatnya
sehingga seonggok pasir itu bagaikan telah meledak.
Gumpalan pasir yang telah rnenjadi panas karena kekuatan
api yang terlontar itu telah memancar dengan dahsyatnya
kesegenap arah. Juga kearah lawan Glagah Putih itu.
Meskipun pancaran pasir itu tidak terlalu banyak, karena jarak
sasaran yang beberapa langkah daripadanya, namun terasa
betapa panasnya pasir membara dikulitnya.
Orang itu terkejut bukan buatan. Dengan serta merta ia
telah meloncat menjauhi sasaran. Demikian tergesa-gesa
sehingga ia tidak memperhitungkan, bahwa ia telah berdiri di
depan Bango Lamatan yang berdiri beberapa langkah saja
dari Kiai Gringsing. Bahkan Bango Lamatanpun terkejut bukan kepalang. Ia
sama sekali tidak menduga, bahwa sepupu murid Kiai
Gringsing itu mampu melontarkan ilmunya yang sangat
dahsyat itu. Sehingga hampir diluar sadarnya ia berkata, "Luar
biasa. Bukan saja ilmunya yang jarang ada bandingnya.
Tetapi juga kejujurannya. Ia tidak dengan diam-diam
menyerang lawannya. Bahkan ia telah melangkah surut
memperpanjang jarak dan menyerang beberapa langkah dari
lawannya. Jika saja serangan itu sengaja diarahkan kepada
lawannya, maka ia tentu telah menjadi lumat."
"Anak itu memang bukan pembunuh." berkata Kiai
Gringsing. "Ya. Tetapi darimana anak itu mendapatkan ilmu yang
dahsyat itu?" desis Bango Lamatan.
Kiai Gringsing tersenyum. Orang tua itu tiba-tiba telah
terpengaruh sikap Glagah Putih dan ikut menakut-nakuti
Bango Lamatan, "Anak itu selain sepupu Agung Sedayu,
iapun muridnya juga."
"Murid Agung Sedayu?" ulang Bango Lamatan.
"Ya" jawab Kiai Gringsing.
"Cucu murid Kiai Gringsing?" Bango Lamatan menegaskan.
"Ya" jawab Kiai Gringsing.
"Tetapi aku tidak pernah melihat ciri yang nampak pada
anak itu pernah ditunjukkan oleh Kiai Gringsing, baik sebagai
Orang Bercambuk maupun sebagai apa saja yang berilmu
macam itu. Terakhir aku mendengar dari Garuda-garuda kerdil
itu, bahwa Kiai masih juga senang bermain-main dengan
kabut." berkata Bango Lamatan.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Murid yang baik adalah
murid yang memiliki kelebihan dari gurunya. Pada umumnya
seorang guru tidak sepenuhnya mempercayai muridnya,
sehingga ilmunya tentu disisakan sehingga apabila diperlukan,
masih ada keunggulan gurunya atas muridnya."
"Luar biasa." berkata Bango Lamatan.
"Ada beberapa ciri yang lain dari ilmu Orang Bercambuk."
berkata Kiai Gringsing, "tetapi itu wajar, karena ilmu akan
dapat berkembang. Saling berpengaruh dan meningkat."
Bango Lamatan mengangguk-angguk. Katanya, "Kiai
adalah guru yang sangat terbuka. Berbahagialah mereka yang
sempat rnenjadi muridnya."
"Ah. Bukan apa-apa. Anak-anak sekarang lebih pandai
mengembangkannya. Mereka mencari isi sendiri." jawab Kiai
Gringsing. Namun Bango Lamatan kemudian termangu-mangu
melihat sikap kawan Bandar Anom. Ternyata ia tidak segera
meloncat menyerang atau menunjukkan sikap perlawanan. Ia
masih saja berdiri termangu-mangu sementara Glagah Putih
telah menunggu dalam kesiagaan menghadapi segala
kemungkinan. Bango Lamatanpun kemudian melangkah maju sambil
menggamit kawan Bandar Anom itu. Katanya, "Kau berilmu
tinggi sebagaimana sudah kau perlihatkan. Kau dapat
membuat tubuhmu lebih berat dari timah, membuat tanganmu
berasap dan mampu bergerak secepat sikatan menyambar
bilalang. Tetapi lawanmu tiba-tiba saja juga telah
menunjukkan ilmunya yang dahsyat itu, yang agaknya
memang akan mampu mengimbangimu."
Orang itu masih saja nampak ragu-ragu. Sehingga Bango
Lamatan yang tidak sabar telah mendorongnya maju. Namun
ternyata orang itu menggeleng sambil berkata, "Aku tidak mau
mati dengan cara yang sangat mengerikan itu?"
"Jadi?"bertanya Bango Lamatan.
Kawan Bandar Anom itu tidak menjawab.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Bango
Lamatan. Katanya, "Jadi kau benar. Kau akan dapat
menyelesaikan pertempuran dengan tanpa benturan ilmu.
Tetapi letak kemenangannya justru ada disebaliknya. Kau
sadari bahwa dengan demikian kau telah dikalahkannya dan
ia akan dapat berbuat apa saja atasmu, termasuk
membunuhmu?" Orang itu termangu-mangu. Tetapi ia benar-benar ngeri jika
harus mengalami serangan yang dahsyat itu. Hantaman ilmu
yang luar biasa, yang mampu menghamburkan pasir yang
bagaikan membara, serta yang bekasnya bagaikan lubang
kubangan kerbau yang kering.
"Baiklah." berkata Bango Lamatan, "yakinlah bahwa
lawanmu tidak akan membunuhmu. Tetapi aku tidak tahu,
nasib apakah yang akan dialami oleh Bandar Anom."
Orang itu tidak menjawab. Namun Kiai Gringsinglah yang
berkata, "Aku yakin, bahwa anak itu tidak akan membantu
Agung Sedayu. Ia akan membiarkan kakak sepupunya
menyelesaikan pertempuran itu, apapun yang akan terjadi."
Bango Lamatan mengangguk-angguk. Lalu katanya sambil
mendorong kawan Bandar Anom itu, "Jika kau menyerah,
katakan itu kepada lawanmu. Kau harus menunggu untuk
menerima perlakuan apapun juga, meskipun ia tidak akan
membunuhmu." Orang itu rnenjadi ragu-ragu. Tetapi ternyata Glagah Putih
tidak ingin melakukan apa saja atas orang itu. Karena itu,
setelah ia mengerti bahwa lawannya menyerah, maka iapun
justru telah melangkah mendekati lingkaran pertempuran
antara Agung Sedayu dengan Bandar Anom.
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Namun
demikian katanya kepada kawan Bandar Anom itu. "Marilah.
Kita melihat apa yang terjadi dengan Bandar Anom. Ia
memang berilmu sangat tinggi. Tetapi lawannyapun tentu
berbekal ilmu yang tinggi pula. Baru kemudian, jika kau ingin
membuat perhitungan dengan aku, maka kita akan
melakukannya." Wajah orang itu rnenjadi tegang. Tetapi Bango Lamatanpun
tertawa, "Jangan pucat. Aku tidak bersungguh-sungguh."


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu tidak menjawab. Namun mereka berduapun telah
melangkah mendekati arena pertempuran antara Agung
Sedayu dengan Bandar Anom, sementara Kiai Gringsing
berjalan di belakang mereka.
Bagaimanapun juga Kiai Gringsing tidak dapat melepaskan
perhatiannya kepada orang itu. Namun dalam pada itu,
Glagah Putihpun masih juga tetap berhati-hati. Tetapi ia tahu,
bahwa orang itu berada di depan Kiai Gringsing, sehingga
apabila diperlukan, Kiai Gringsing tentu akan dapat
memberinya peringatan dengan cepat. Bahkan ketika ia
berada di pinggir arena, maka iapun telah mengambil tempat
yang berseberangan dengan orang itu.
Bandar Anom memang mengumpat kasar. Ia rnenjadi
sangat kecewa bahwa kawannya ternyata tidak dapat
membantunya. Sementara itu, ia sempat melihat empat orang
berada di pinggir arena itu.
Namun terdengar Bango Lamatan berkata, "Nah, ternyata
murid Kiai Gringsing dan sepupunya adalah laki-laki jantan.
Mereka akan saling menghormati dan tidak akan saling
mengganggu. Meskipun kawanmu sudah menyerah, tetapi
sepupu murid Kiai Gringsing tidak akan turun ke dalam arena
ini." Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia mengerti,
meskipun nampaknya orang itu memuji Agung Sedayu dan
dirinya, tetapi orang itu tentu berniat untuk menolong Bandar
Anom agar tidak mengalami nasib yang sangat buruk karena
Glagah Putih ikut campur.
Sebenarnyalah Glagah Putih memang tidak berniat untuk
mengganggu Agung Sedayu yang bertempur seorang
melawan seorang. Sementara Bango Lamatan agaknya
memang ingin membiarkan pula apa yang terjadi, meskipun ia
tidak ingin Bandar Anom harus bertempur melawan dua orang
lawan. Sementara itu kawan Bandar Anom berdiri saja
termangu-mangu. Ia sendiri merasakan kegelisahan yang
menghentak-hentak didadanya. Namun ia tidak dapat berbuat
apa-apa. Anak muda yang memiliki ilmu yang dahsyat itu akan
dapat membunuhnya dengan cara yang sangat mengerikan.
"Aku salah memilih lawan." berkata kawan Bandar Anom itu
didalam hatinya, "kenapa aku tidak memilih murid Kiai
Gringsing itu sebagai lawanku. Orang tua itu tentu berbohong
jika disebutnya lawanku itu murid lawan Bandar Anom itu."
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memang belum
menunjukkan kelebihan apa-apa. Meskipun pertempuran
diantara Bandar Anom dan Agung Sedayu menjadi semakin
cepat dan semakin keras, namun yang terjadi adalah
benturan-benturan wadag yang kadang-kadang memang
saling menggoncangkan. Namun semakin lama, Agung Sedayu ternyata semakin
banyak menguasai medan. Ia semakin sering mengenai tubuh
lawannya dengan kekuatannya yang besar. Mendesaknya dan
menggoncangnya pada benturan-benturan yang terjadi.
Bandar Anom menjadi semakin marah. Sehingga karena
itu, maka iapun telah menghentakkan kekuatannya. Namun
pundaknya, lengannya dan bahkan punggung dan dadanya
merasa semakin sakit. Kulitnya serasa lumat dan tulangtulangnya
bagaikan retak. Karena itu, maka Bandar Anom tidak akan membiarkan
dirinya dihancurkan oleh murid Kiai Gringsing. Karena itu,
maka iapun telah meloncat mengambil jarak. Sejenak
kemudian, tangannya telah berada di hulu kerisnya yang
besar dan sesaat kemudian menariknya dari wrangkanya yang
terselip di punggung. Agung Sedayu yang memburunya terhenti beberapa
langkah dihadapannya. Keris itu memang sebilah keris yang
besar. Tetapi bukan hanya ukurannya yang mendebarkannya.
Tetapi nampaknya keris itu memang keris yang sangat
berbahaya ditangan Bandar Anom.
Ketika keris itu kemudian bergetar, rasa-rasanya seakanakan
ada kekuatan yang mengalir dari diri Bandar Anom
kedalam daun kerisnya yang bergetar lewat tangannya.
Seakan-akan ilmunya yang tinggi itu telah siap ditumpahkan
lewat ujung kerisnya. Bahkan daun keris itu dibawah cahaya
matahari bagaikan telah membara. Warnanya yang hitaman
itu telah berubah menjadi kemerah-merahan.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun ia tidak dapat
membiarkan dirinya dihisap darahnya oleh keris yang
nampaknya memang sangat berbahaya itu. Karena itu, maka
Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmu kebalnya
seutuhnya. Sejenak kemudian, maka jantung Agung Sedayupun
menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Bandar
Anom itu berkata, seolah-olah tidak dengan suaranya sendiri,
tetapi dengan suara guntur yang menggelegar di langit, "Nah,
murid orang bercambuk. Saat kematianmu memang sudah
tiba. Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi
kesombonganmu telah membuat aku marah. Kau telah berani
berusaha mengimbangi ilmuku, seakan-akan kau adalah
seorang yang pantas berdiri sejajar dengan aku. Karena itu,
kau harus menerima hukumanmu. Kerisku akan menyudahi
perlawananmu, sekaligus melepas nyawamu. Patukan
seujung duri sekalipun telah cukup untuk mengantarkan
nyawamu meninggalkan wadagmu."
Agung Sedayu termangu-mangu. Sementara itu suara
guruh itu masih saja terdengar, "Keris ini adalah keris yang
sangat bertuah. Jika aku hunjamkan di lambung gunung,
maka gunung itu akan runtuh, jika aku tusukkan ke laut, maka
laut itu akan kering."
Agung Sedayu yang menyadari betapa berbahayanya keris
itu tidak menjawab. Namun ia menjadi sangat berhati-hati.
Meskipun tubuhnya dilindungi oleh ilmu kebal, namun ia tidak
tahu, apakah kekuatan ilmu lawannya akan mampu
menyusupkan keris itu menusuk dan mengoyak ilmu kebalnya.
Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka lawannya
itupun kemudian mulai melangkah maju. Perlahan-lahan,
sementara kerisnya yang bagaikan membara itu teracu
kedepan sambil bergetar. Namun Agung Sedayu telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang
yang bersenjata keris itu telah meloncat sambil mengayunkan
kerisnya. Demikian derasnya sehingga desingnya bagaikan
mengoyak selaput telinga. Tetapi Agung Sedayu sudah
bersiap sepenuhnya, sehingga karena itu, maka iapun telah
melenting menghindar meskipun ia berselubung ilmu kebal.
Sejenak kemudian, maka telah terjadi pertempuran yang
sengit. Bandar Anom itu menjadi semakin marah, justru
karena Agung Sedayu tidak mempergunakan senjata apapun,
meskipun ia melihat senjatanya yang bagaikan membara serta
getar ilmunya diujung keris itu.
Namun ternyata bahwa Bandar Attorn tidak segera dapat
menyentuh kulit Agung Sedayu. Mula-mula Bandar Anom
masih menganggap bahwa Agung Sedayu memiliki
kemampuan bergerak cepat sekali. Namun kemudian, sekalisekali
terasa sentuhan daun senjatanya. Tetapi tidak melukai
tubuh lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Bandar Anom itu
menggeram, "Kau berlindung dibalik ilmu kebal?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ketika meloncat
surut. Bandar Anom tidak segera memburunya.
Bukan saja Bandar Anom yang menjadi berdebar-debar.
Tetapi Bango Lamatanpun menjadi berdebar-debar pula.
Hampir diluar sadarnya ia berdesis kepada Kiai Gringsing,
"Kau ajari muridmu mempergunakan ilmu kebal" Kenapa tidak
kau ajari muridmu melindungi dirinya dengan cambuknya?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Muridku menyadap ilmu dari seluruh penjuru langit."
Bango Lamatan tidak menyahut lagi. Ia melihat Bandar
Anom yang mengerahkan puncak kemampuannya. Getar
ujung kerisnya menjadi semakin mendebarkan. Bara yang
kemerah-merahan itupun rasa-rasanya menjadi semakin
panas. Dengan lantang ia berkata, "Jika aku tidak mampu
menembus ilmu kebalmu, biarlah aku menyembahkan di
sepanjang perjalananmu."
Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar. Agaknya
Bandar Anom telah menuangkan ilmunya sampai tuntas.
Karena itu, maka iapun harus menjadi semakin berhati-hati.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Bandar Anom itu telah
menyerang lagi. Demikian cepatnya sehingga daun kerisnya
yang bagaikan membara itu, berputaran membentuk
semacam kabut yang kemerah-merahan.
Ternyata Kiai Gringsing sempat rnenjadi tegang.
Sementara Bango Lamatan berkata, "Kabut itu berbeda
dengan permainan kabut orang bercambuk."
Kiai Gringsing hanya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menyahut. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing, Bango Lamatan
bahkan Glagah Putih dan orang yang telah ditundukkannya itu
terkejut. Dalam pertempuran yang sengit dan cepat, tiba-tiba
saja mereka melihat Agung Sedayu meloncat mundur
beberapa langkah. Ternyata ujung keris itu telah
mengoyakkan baju Agung Sedayu dilengannya. Dan bahkan
nampak luka seujung tusukan duri randu alas di lengannya itu.
Bandar Anom tidak memburunya. Bahkan kemudian
terdengar ia tertawa berkepanjangan. Dengan lantang ia
berkata, "Kau tahu, senjataku mengandung racun yang sangat
tajam. Karena itu, aku beri kesempatan kau minta diri kepada
gurumu, kepada sepupumu dan kepada langit dan bumi.
Sebentar lagi kau akan mati. Ilmu kebalmu tidak mampu
melindungimu dari kematian meskipun mampu menahan
tusukan kerisku, sehingga hanya ujungnya sajalah yang
mampu menyentuh kulitmu. Tetapi luka yang betapapun
kecilnya itu akan berarti kematian bagimu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara Bango
Lamatanpun dengan nada cemas berkata, "Kiai. Jika kau tidak
mengobatinya dengan cepat, maka racun yang sangat tajam
itu akan dapat membunuh muridmu."
"Aku kagumi kekuatannya sehingga mampu menembus
ilmu kebal muridku. Ternyata Bandar Anom memang berilmu
tinggi. Sudah sepantasnya ia mendapat kepercayaan dari
Kecruk Putih untuk menyertaimu menemuiku. Bahkan
sikapnya yang lebih kasar dari sikapmu yang nampaknya
sudah mengendap." berkata Kiai Gringsing.
Tetapi Bango Lamatan memperingatkan, "Yang penting kau
obati luka muridmu. Bukankah kau memiliki pengetahuan
tentang obat-obatan serta racun dan bisa?"
"Tetapi muridku sedang berperang tanding. Aku tidak
pantas untuk mencampurinya. Kecuali jika perang tanding itu
sudah dinyatakan selesai." berkata Kiai Gringsing.
"Aku akan menghentikannya." berkata Bango Lamatan.
"Jangan. Itu tidak jujur." berkata Kiai Gringsing.
Bango Lamatan rnenjadi heran. Kiai Gringsing nampaknya
berpegang teguh pada harga diri seorang laki-laki. Karena itu,
maka ia tidak ingin mencampuri perang tanding itu apapun
yang akan terjadi atas muridnya.
Sementara itu Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia
sedang mempertimbangkan, apakah yang akan dilakukannya.
Senopati Pamungkas I 7 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Medali Wasiat 5
^