Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 16

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 16


Luka itu sendiri tidak berarti apa-apa baginya. Racun yang
betapapun tajamnya, tidak akan mempengaruhi darahnya
yang telah mengandung daya tangkal yang sangat tinggi.
Namun bagaimanapun juga, ia harus menyadari, bahwa
lawannya yang mampu menembus ilmu kebalnya itu adalah
orang yang berilmu sangat tinggi.
Namun Agung Sedayu tidak ingin serta merta
mempergunakan ilmunya yang dapat dipancarkannya lewat
sorot matanya. Dihadapan gurunya Agung Sedayu ingin
mengalahkan lawannya dengan ilmu yang diwarisi langsung
dari gurunya. Karena itu, maka sejenak kemudian iapun telah
mengurai cambuknya. Bango Lamatanpun kemudian berdesis, "Iapun akan
disebut Orang Bercambuk jika ia mampu bertahan atas
tajamnya racun keris Bandar Anom sampai akhir perang
tanding." Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia
bersandar kepada Kuasa Yang Maha Agung."
Bango Lamatan berpaling. Namun nampak bahwa
dahinyapun telah berkerut. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu. Dalam pada itu yang terdengar adalah suara asing Bandar
Anom, "Tidak ada gunanya senjatamu itu. Senjatamu hanya
pantas untuk menggembala kerbau. Tidak untuk turun
kemedan." Tetapi Agung Sedayu menjawab,"Senjataku ini tidak kalah
tuahnya dari kerismu itu. Jika kerismu dapat meruntuhkan
gunung dan mengeringkan samudra, maka cambukku akan
dapat berbuat sebaliknya. Gunung yang runtuh akan segera
bangkit kembali karena sentuhan ujung cambukku, sementara
samudra yang kering akan segera rnenjadi pasang naik oleh
ujung cambukku pula."
"Omong kosong." Bandar Anom hampir berteriak, "kau
akan segera mati." "Kau akan mati lebih dahulu." sahut Agung Sedayu.
Orang-orang yang mengelilingi arena itu memang rnenjadi
berdebar-debar. Kawan Bandar Anom sempat heran, bahwa
racun keris yang membara itu seakan-akan masih belum
berpengaruh. Sebenarnyalah ketika kemudian Bandar Anom menyerang,
Agung Sedayu masih sempat bergerak cepat. Bahkan tiba-tiba
saja cambuknya telah menggelegar bagaikan guntur yang
meledak dilangit. Suara itu memang mengejutkan. Tetapi Kiai Gringsing yang
mengenali watak cambuk itu, mengerti bahwa Agung Sedayu
belum memasuki tataran tertinggi dari kemampuannya
bermain dengan cambuknya.
Namun suara itu telah mencegah Bandar Anom meloncat
maju. Ia terpaksa harus memperhatikan ujung cambuk Agung
Sedayu yang nampak sangat garang itu.
Bango Lamatanpun rnenjadi agak kebingungan
menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang terjadi di pinggir
Kali Opak itu. Ia sudah dikejutkan oleh kemampuan ilmu
Glagah Putih. Kemudian sikap Glagah Putih atas lawannya
yang menyerah. Iapun telah rnenjadi heran pula melihat ilmu
kebal Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa lawannya
mampu menembus ilmu kebalnya, sehingga kulitnya telah
terluka. Tetapi kekuatan racun yang tajam dari senjata
lawannya seakan-akan tidak berpengaruh sama sekali atas
dirinya. Seterusnya, maka nampaknya murid Orang
Bercambuk itu telah memperlihatkan ciri ilmu dari
perguruannya. Cambuk. Demikianlah sejenak kemudian, maka Bandar Anom dan
Agung Sedayu itupun telah terlibat lagi dalam pertempuran
yang sengit. Keduanya telah menggunakan senjata andalan
mereka masing-masing. Meskipun ujung cambuk Agung
Sedayu tidak membara tetapi setiap ledakannya telah
membuat jantung lawannya rnenjadi berdebar-debar.
Sebenarnyalah bahwa ujung cambuk Agung Sedayu
semakin lama memang rnenjadi semakin garang. Sekali-sekali
ujung cambuk itu berputar diudara. Namun kemudian melecut
dengan hentakan sendal pancing. Bahkan kadang-kadang
ujung cambuk itu mematuk seperti kepala seekor ular yang
ganas. Namun lawannyapun cukup tangkas. Sambil meloncatloncat
menghindar, menangkis dengan daun keris yang
membara, maka Bandar Anom sekali-sekali sempat pula
menusuk mengarah ketubuh Agung Sedayu.
Tetapi tusukannya tidak pernah mengenai sasaran. Bukan
saja karena Agung Sedayu memang memiliki ilmu kebal,
sehingga jika tusukan itu tidak didorong oleh segenap
kekuatan ilmu yang dituangkan sampai tuntas, juga karena
Agung Sedayu selalu menghindari dengan loncatan-loncatan
panjang. Sementara lawannya mencoba untuk memburunya,
maka ujung cambuknya segera berputar dengan cepatnya.
Bandar Anom memang telah mencoba untuk memotong
juntai cambuk Agung Sedayu dengan kerisnya, tetapi ia selalu
gagal. Ternyata juntai cambuk itu tidak mudah putus meskipun
daun kerisnya itu tajam seperti pisau pencukur dan bahkan
panas seperti bara. Bahkan rasa-rasanya ujung cambuk
Agung Sedayu itu selalu mengejarnya kemanapun la
menghindar, seakan-akan di ujung cambuk itu terdapat alat
penglihatan yang tajam. Karena itu, maka Bandar Anom itu
benar-benar harus mengerahkan kemampuannya,
keterampilannya dan ilmunya. Sekali-sekali ia memang
berhasil menyusup pertahanan cambuk Agung Sedayu, tetapi
itu tidak berarti apa-apa.
Bahkan sekali-sekali ujung cambuk itupun telah mulai
menyentuhnya. Meskipun Agung Sedayu masih belum
menapak pada puncak kemampuannya, namun sentuhan
ujung cambuknya yang berkarah baja itu sempat mengoyak
kuiit Bandar Anom, sehingga Bandar Anom harus meloncat
menjauh. "Gila." geram Bandar Anom.
Bango Lamatanpun berdesis, "Bukan main."
Sebenarnyalah darah mulai mengucur dari luka yang
terdapat di pundak Bandar Anom. Luka yang cukup dalam
menganga karena sentuhan ujung cambuk yang diayunkan
sendal pancing. "Muridmu memang luar biasa Kiai." berkata Bango Lamatan
kemudian, "aku tidak mengira bahwa ia begitu mudah
mengatasi Bandar Anom. Aku memang mengira bahwa
keduanya akan kurang seimbang. Namun yang aku lihat
sekarang, bukan lagi kurang seimbang, karena muridmu
mempunyai jauh lebih banyak kelebihan dari Bandar Anom."
"Perang tanding itu belum berakhir Ki Sanak." jawab Kiai
Gringsing. "Jangan berpura-pura lagi Kiai." sahut Bango Lamatan
sambil bergeser mendekat, "kau tentu sudah tahu sejak
beberapa saat sebelumnya, bahwa muridnya akan dapat
menguasai medan. Aku memang melihat kadang-kadang dahi
Kiai berkerut. Namun pada saat terakhir, Kiai tentu sudah
yakin. Bahkan akupun yakin, bahwa murid Kiai itu belum
sampai puncak tertinggi dari ilmunya, sementara ia sudah
tidak lagi terjangkau oleh kemampuan Bandar Anom."
"Aku tidak berpura-pura Bango Lamatan. Aku adalah orang
tua. Agaknya aku lebih berhati-hati menilai keduanya. Siapa
tahu, bahwa Bandar Anom masih mempunyai ilmu simpanan."
sahut Kiai Gringsing. "Tidak. Jika masih memilikinya, tentu sudah
dipergunakannya. karena keadaannya memang sudah benarbenar
menjadi sulit." jawab Bango Lamatan.
Namun Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia memang
melihat bahwa agaknya Bandar Anom tidak lagi mampu
mengimbangi kemampuan Agung Sedayu, yang diketahuinya
masih belum sampai pada kemampuannya yang tertinggi.
Masih ada beberapa tataran ilmu yang dapat didaki lebih tinggi
lagi. Agung Sedayu dalam kemampuan tertingginya dari ilmu
kebalnya, maka kekuatan ilmu itu seakan-akan dapat
memanasi udara disekitarnya. Agung Sedayupun belum
nampak mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang
dapat membuat lawannya kebingungan. Juga kemampuannya
membuat dirinya rangkap. Lebih-lebih ilmunya yang paling
meyakinkan, kekuatan yang dipancarkan dari sorot matanya.
Kiai Gringsing menyadari, bahwa tidak semua kemampuan
Agung Sedayu itu diwarisinya dari dirinya sebagai gurunya.
Tetapi Agung Sedayu mampu menyadap ilmu darimanapun
juga. Sebagai kawan dalam pengembaraan dengan
Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa, maka Agung
Sedayu telah memiliki berbagai macam ilmu, sehingga ia
benar-benar rnenjadi seorang yang mumpuni.
"Kiai." berkata Bango Lamatan selanjutnya, "aku benarbenar
tidak mengira bahwa murid Kiai itu memiliki kemampuan
yang sulit dijajagi. Ternyata murid Kiai itu, disamping memiliki
ilmu kebal, juga penangkal racun. Meskipun Bandar Anom
mampu menembus ilmu kebalnya, menggoreskan daun
kerisnya yang beracun tajam ketubuh murid Kiai itu, tetapi
racun itu tidak dapat mempengaruhi-aliran darahnya. Ia masih
tetap tegas dan bahkan menguasai medan."
Kiai Gringsing masih tetap tidak menjawab. Sementara
Bango Lamatan berkata, "Kemampuan murid Kiai telah
menggelitik aku untuk menjajaginya."
"Jangan kehilangan akal." berkata Kiai Gringsing, "kau
termasuk orang yang disegani karena kau terhitung dari
angkatan tua meskipun tidak setua aku. Kau tentu tidak akan
tertarik bermain dengan anak-anak."
Bango Lamatan tidak menjawab. Tetapi keningnya berkerut
semakin dalam. Sementara itu pertempuran antara Agung
Sedayu dan Bandar Anom itu rnenjadi semakin sengit. Bandar
Anom benar-benar telah mengerahkan segenap
kemampuannya ditambah dengan kerisnya yang dibanggabanggakan.
Namun yang ternyata tidak berhasil menghentikan
aliran darah dan perlawanan Agung Sedayu.
Namun Bango Lamatan kemudian melihat Bandar Anom
menghentakkan segala kekuatannya. Ia tidak lagi berusaha
menyerang. Tetapi dengan puncak kekuatannya ia berusaha
untuk membentur hentakkan-hentakkan ujung cambuk Agung
Sedayu. Ternyata usahanya itu mulai berpengaruh. Benturan"
benturan antara kekuatan yang tersalur lewat ujung cambuk
dengan keris Bandar Anom itu, rasa-rasanya telah mulai menyengat telapak tangan Agung Sedayu. Sedikit demi sedikit dibawah lapisan ilmu kebalnya. Ternyata bahwa kekuatan ilmu Bandar Anom benar-benar sangat besar.
Karena itu, maka permainan cambuk Agung Sedayupun telah berubah dan susut perlahan-lahan. Serangan-serangannya seakan-akan menemui kesulitan untuk menggapai kulit lawannya, bahkan bagaikan membentur tonggak baja.
Tetapi hal itu justru telah mempersulit kedudukan Bandar Anom. Agung Sedayu tidak lagi sekedar bermain-main dengan cambuknya. Justru pada saat Bango Lamatan mulai melihat kelemahan Agung Sedayu, maka hentakkan cambuk Agung Sedayu kemudian tidak lagi meledak seperti guntur dilangit.
Suaranya seakan-akan rnenjadi lunak, namun getarannya telah menghentak setiap dada.
Bango Lamatan yang berilmu tinggi terkejut. Ia merasa getaran udara yang sangat tajam betapa lembutnya menyentuh rongga dadahya.
Sebenarnyalah, bahwa Bandar Anom tidak lagi mampu bertahan. Tiga empat kali Agung Sedayu menghentakkan cambuknya dengan kemampuan puncaknya dalam permainan cambuk itu yang diwarisinya sebagai murid Orang Bercambuk.
Ternyata Bandar Anom benar-benar telah kehilangan kesempatan. Ketika ujung cambuk itu menyentuh kulitnya meskipun hanya seujung rambut, maka akibatnya telah jauh
berbeda. Sentuhan kecil pada lambungnya, telah melemparkan Bandar Anom itu beberapa langkah surut. Dengan kerasnya ia terbanting jatuh. Untunglah bahwa dibawah kakinya
terbentang tepian berpasir sehingga tulang-tulangnya tidak berpatahan.
Dengan serta merta Bandar Anom berusaha untuk meloncat bangkit. Tetapi demikian ia tegak, maka iapun telah terhuyung-huyung dan bahkan akhirnya telah kehilangan
keseimbangannya. Perlahan-lahan Bandar Anom itu jatuh pada lututnya dengan bertelekan dengan kedua tangannya
dipasir. Sementara itu titik-titik darah mengalir dari luka-luka
ditubuhnya. Namun Bandar Anom itu sempat mengumpat
kasar. Sejenak kemudian ia teringat akan kerisnya. Namun
ternyata kerisnya itu sudah tergolek beberapa langkah
daripadanya. Semua mata memang mengikuti pandangan mata Bandar
Anom. Juga Agung Sedayu. Dilihatnya keris itu terbaring
diatas pasir. Daunnya tidak lagi nampak kemerah-merahan
bagaikan bara. Agaknya sentuhan keris itu dengan telapak
tangan Bandar Anomlah yang membuat keris itu menyala.
Wajah Bango Lamatan rnenjadi tegang sejenak. Ia melihat
Bandar Anom tidak akan mungkin melanjutkan perlawanan.
Sementara itu Agung Sedayu berdiri beberapa langkah
daripadanya. Tangan kanannya menggenggam tangkai
cambuknya, sedang tangan kirinya memegangi ujung
juntainya. "Anak iblis." geram Bandar Anom, "cambukmu
mengandung roh setan alasan."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat orang itu
rnenjadi semakin lemah. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berkata kepada
Bango Lamatan, "Ia memerlukan pertolongan."
"Muridmu memang luar biasa." geram Bango Lamatan,
"ilmunya yang tinggi rasa-rasanya sempat menantang aku. Ia
harus ditundukkan agar tidak rnenjadi sombong dan salah
menilai kemampuan orang orang yang berdiri di barisan
Panembahan Cahya Warastra."
"Kenapa kau rnenjadi seperti orang mabuk" Atau kau
biarkan Bandar Anom itu mati?" bertanya Kiai Gringsing.
Bango Lamatan termangu-mangu. Namun kemudian ia
bertanya kepada Kiai Gringsing, "Apa maksud Kiai?"
"Aku akan mengobatinya. Ia tidak perlu mati." berkata Kiai
Gringsing. "Aku tahu. Kiai akan memperalatnya untuk menceritakan
pengalamannya sehingga orang-orang akan menjadi kagum
dan ketakutan jika mereka bertemu dengan muridmu atau
sepupunya." sahut Bango Lamatan.
"Kau terlalu berprasangka buruk." sahut Kiai Gringsing, "jika
hanya itu, maka kau akan menjadi alat yang paling baik, atau
kawan Bandar Anom itu. Tetapi lihat. Jika Bandar Anom mati,
maka itu adalah karena kesalahanmu."
"Kiai." desis Bango Lamatan.
"Nah, beri kesempatan aku mencoba mengobatinya.
Meskipun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha
Agung, tetapi kita wenang berusaha." berkata Kiai Gringsing.
Bango Lamatan termangu-mangu. Namun katanya,
"Terserah kepada Kiai. Tetapi yang dilakukan oleh murid Kiai
merupakan satu tantangan buatku. Ia mengalahkan Bandar
Anom dengan cara yang terlalu mudah. Karena itu aku ingin
mengukur sampai seberapa tinggi tingkat ilmu yang telah
disadapnya dari kaki langit disemua penjuru bumi."
Kiai Gringsing memang menjadi berdebar-debar. Ia tahu
bahwa Bango Lamatan adalah termasuk orang tua yang
memiliki kematangan bersikap didalam olah kanuragan,
meskipun tidak setua Kiai Gringsing sendiri. Karena itu, maka
ia menjadi ragu-ragu. Agung Sedayu masih terlalu muda untuk
mengimbanginya. Bukan saja umurnya tetapi juga
pengalamannya.

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Bango Lamatan itu berkata, "Jika aku tidak
memberinya sedikit peringatan, maka ia akan menjadi orang
yang berbahaya bagi kesatuan yang telah disusun dengan
susah payah oleh Panembahan Cahya Warastra. Beberapa
tahun ia menghimpun kekuatan dari padepokan-padepokan
yang tersebar. Sebelumnya padepokan-padepokan itu telah
bertindak sendiri-sendiri yang ternyata tidak berhasil sama
sekali. Bahkan beberapa padepokan telah dihancurkan oleh
Panembahan Senapati."
"Kau telah bermimpi buruk Bango Lamatan." berkata Kiai
Gringsing, "sementara salah seorang diantara kawankawanmu
menghadapi saat-saat yang paling gawat."
Bango Lamatan masih akan menjawab. Namun merekapun
kemudian melihat Bandar Anom itu tidak lagi dapat bertahan
duduk. Iapun telah terguling dan jatuh terbaring diatas pasir
tepian. Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya kemudian, "Tolonglah orang itu Kiai. Tetapi ternyata
bahwa kekerdilan ilmunya sangat memalukan Panembahan
Cahya Warastra. Apalagi kawannya yang ternyata hanya
pandai berloncatan seperti seekor tupai di pohon kelapa.
Tetapi menghadapi kenyataan di medan, ia tidak lebih dari
seorang pengecut. Karena itu, aku harus menunjukkan tataran
yang sepantasnya bagi para pendukung gagasan
Panembahan Cahya Warastra. Gagasan yang akan
memberikan kesejahteraan tertinggi bagi padepokanpadepokan
yang tersebar diatas tanah air."
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Tetapi iapun telah
melangkah mendekati Bandar Anom yang terbaring diatas
pasir tepian. Tanpa menghiraukan Bango Lamatan, maka Kiai
Gringsing telah melihat luka ditubuh Bandar Anom.
Kiai Gringsing memang mengagumi kemampuan Agung
Sedayu. Sebagai gurunya ia melihat, muridnya yang tua itu
telah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bukan saja ilmu yang
pernah diberikannya, tetapi juga ilmu yang ditemukan oleh
muridnya itu sendiri dengan laku yang jarang ditempuh oleh
orang lain. Menurut pengamatannya Bandar Anom bukannya
orang yang lemah. Ia berilmu tinggi dan memiliki kekuatan
yang sangat besar serta dibekali dengan senjata yang dengan
dukungan kesatuan antara ketrampilan dan ilmunya, telah
menjadi senjata yang mendebarkan. Namun bekas sentuhan
ujung cambuk itu menunjukkan, betapa tingginya ilmu Agung
Sedayu itu. Sejenak kemudian, dengan saksama Kiai Gringsing
memperhatikan luka itu. Setelah menyingkap baju dan ikat
pinggang Bandar Anom, maka Kiai Gringsingpun telah
menaburkan obat yang dibawanya. Obat yang bukan saja
mempunyai kekuatan untuk memampatkan darah yang
mengalir dari luka, tetapi juga untuk meningkatkan daya tahan
kulit daging di sekitar luka itu.
Terdengar Bandar Anom mengaduh tertahan. Obat itu
memang terasa pedih dilukanya. Bahkan ia sempat bertanya
tersendat, "Apakah kau sedang membunuhku dengan racun?"
"Tidak." jawab Kiai Gringsing, "aku sedang mengobatimu.
Meskipun demikian, kehendak Yang Maha Agunglah yang
akan terjadi." Agaknya Bandar Anom tetap mencurigainya. Tetapi ia tidak
dapat mencegah sendiri, sehingga karena itu, maka iapun
berdesis, "Bango Lamatan. Apakah yang dikerjakannya?"
Bango Lamatan bergeser mendekat. Sambil berdiri bertolak
pinggang ia berkata, "Aku memang sudah menduga, bahwa
kau tidak akan dapat mengimbangi kemampuan murid Orang
Bercambuk yang nampaknya sudah mampu menyamai
gurunya itu. Tetapi aku tidak mengira bahwa kau tiba-tiba saja
menjadi seperti kanak-kanak yang kebingungan meskipun kau
sudah mempergunakan keris pusakamu."
"Persetan kau." desis Bandar Anom sambil menahan sakit.
"Sekarang kau dirawat oleh Kiai Gringsing yang pernah
mendapat sebutan Orang Bercambuk itu, yang nampaknya
sebutan itu juga akan menurun kepada muridnya." berkata
Bango Lamatan. Bandar Anom memang tersinggung. Tetapi iapun kemudian
justru menyeringai menahan pedih yang menyengat. Apalagi
setelah luka itu ditaburi obat oleh Kiai Gringsing. Namun
perlahan-lahan perasaan pedih itu menjadi surut. Bahkan
kemudian perasaan sakitnyapun telah berkurang.
"Tolonglah, kita bawa tubuh ini kebawah pohon turi itu."
berkata Kiai Gringsing. Bango Lamatan ternyata tidak dapat membantah. Dengan
isyarat Kiai Gringsing minta Glagah Putih dan Agung Sedayu
untuk membantu pula. Ampat orang termasuk lawan Glagah Putih, telah
mengusung tubuh itu. Sementara Kiai Gringsing mengikuti di
belakang. Diletakkannya tubuh yang terluka itu di bawah
lindungan daun turi yang rimbun, yang tumbuh di lereng
tanggul sungai. Namun, demikian tubuh itu diletakkan, Bango Lamatanpun
berkata, "Aku tetap pada pendirianku Kiai. Aku akan
menundukkan muridmu. Ia tidak boleh menjadi sombong dan
menganggap bahwa para pendukung gagasan Panembahan
Cahya Warastra adalah sekedar orang-orang yang tidak
berarti." Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang sejenak. Namun
kemudian iapun tersenyum. Katanya, "Bango Lamatan.
Nampaknya oleh Kecruk Putih kau telah dipersiapkan untuk
melakukannya atasku. Bukankah kau berkata, bahwa jika kau
datang lain kali, maka sikapmu akan lain" Mungkin kau akan
memaksaku dengan kekerasan atau dengan cara apapun
juga. Sehingga jika aku tidak dapat menahan diri, maka katakatamu
itu dapat aku anggap sebagai satu tantangan.
Bagaimana jika aku menerima tantanganmu itu."
"Aku akan memenuhi kata-kataku itu. Aku akan kembali
menghadap Panembahan Cahya Warastra. Jika aku diberi
wewenang, aku memang akan datang lagi. Apapun tugas
yang dibebankan kepadaku. Kali ini aku memang tidak boleh
bertindak apapun juga. Bahkan aku tidak boleh menyakiti hati
Kiai." berkata Bango Lamatan.
"Jika kau berbuat sesuatu atas muridku, apakah itu bukan
satu sikap yang menyakiti hatiku?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tidak. Kiai tidak boleh sakit hati, karena itu adalah akibat
wajar dari seseorang yang memasuki dunia kanuragan."
berkata Bango Lamatan. Kiai Gringsing masih akan menjawab lagi. Ia memang ingin
mencegah benturan itu. Namun ternyata Agung Sedayu yang
biasanya lebih baik berdiam diri itu menyahut, "Aku terima
tantangannya Guru." Glagah Putihpun terkejut. Hal seperti itu tidak biasa
dilakukan oleh Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu berkata
lebih lanjut, "Sebagaimana orang itu, maka akupun ingin
menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak berada dalam
kubu Panembahan Cahya Warastra adalah orang-orang yang
tidak takut menghadapi akibat dari pilihannya. Aku belum
mengatakan siapakah yang lebih tinggi ilmunya. Tetapi
setidak-tidaknya bahwa kami bersikap atas dasar satu
keyakinan yang kami pertahankan apapun akibatnya."
Jilid 240 SUARANYA berdesing menyambar-nyambar dari segala arah. Tetapi Agung Sedayupun telah mengimbanginya. Iapun meningkatkan ilmunya melampaui beberapa tataran. Meskipun ia masih harus menyesuaikan namun Agung Sedayu tidak terlambat. Tetapi pada saat orang itu meloncat dengan garangnya menghantam dada diarah jantung, Agung Sedayu telah menjajagi kemampuan dari kekuatan lawannya itu telah menangkis serangan itu. Tetapi ia tidak sekedar menunggu. Namun Agung Sedayupun telah melawan serangan itu. Ketika terjadi benturan yang kuat, Agung Sedayu telah mendorong kekuatan lawan.
Keduanya memang terkejut, Agung Sedayu telah terdorong dua langkah surut. Namun dengan cepat, ia telah menguasai keseimbangannya kembali, sehingga iapun telah berdiri tegak ditepian.
Sementara itu, Bandar Anompun telah terpental bebe"rapa langkah surut. Bahkan keadaannya lebih sulit dari Agung Sedayu. Meskipun dengan susah payah Bandar Anom sempat menguasai keseimbangannya, namun terasa betapa perasaan sakit telah menyengat tangannya, merambat lewat lengannya dan seakan-akan menusuk kejantungnya.
Karena itu, untuk menjaga segala kemungkinan, maka Bandar Anom justru bergeser beberapa langkah lagi surut. Ia sengaja mengambil jarak untuk dapat memperbaiki keadaannya.
Ternyata Agung Sedayu yang tidak banyak mengalami kesulitan itu tidak mengejarnya. Memang terasa tekanan sedikit didadanya yang dilambari dengan kedua tangannya disaat ia membentur kekuatan lawan. Namun kesulitan itu segera dapat diatasinya dengan dua tarikan nafasnya.
Bahkan Agung Sedayu itu seakan-akan lebih memberi kesempatan kepada Bandar Anom untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi pertempuran berikutnya.
"Anak iblis." geram Bandar Anom yang tidak menduga bahwa Agung Sedayu justru telah berada ditataran diatasnya.
Yang terdengar tertawa adalah Bango Lamatan. Tetapi ia tidak berkata sesuatu kepada Bandar Anom. Bahkan ia telah berkata kepada Kiai Gringsing, "Muridmu memang luar biasa Kiai. Tetapi aku ingin melihat, bagaimana ia mempermainkan cambuknya. Bukankah ia juga kau ajari bermain cambuk?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Tetapi kawanmu itu juga orang yang sangat berbahaya. Untuk melawannya diperlukan sikap yang sangat berhati-hati."
Bango Lamatan tidak menjawab. Namun ia mulai memperhatikan lagi pertempuran itu, meskipun sekali-sekali ia masih juga memperhatikan tata gerak kawan Bandar Anom. Namun Bango Lamatan itu rnenjadi tegang melihat kawan Bandar Anom yang masih mempertunjukkan kelebihannya itu. Selain geraknya yang semakin cepat, ternyata kakinya yang menghentak-hentak diatas pasir tepian itu, kadang-kadang telah membenam sampai kebetisnya. Namun sama sekali tidak nampak hambatan-hambatan pada loncatan-loncatannya dan bahkan pada tata geraknya dalam keseluruhan. Kakinya yang membenam dipasir itu rasa-rasanya bagaikan tidak berjejak diatas tanah. Melenting dan meloncat dengan sigap, cepat dan tangkas.
Bango Lamatan rnenjadi semakin tertarik kepada kemampuan kawan Bandar Anom itu meskipun masih dalam batas yang belum mencemaskan baginya. Tetapi Bango Lamatan mulai mempercayainya, bahwa ia mungkin akan dapat menundukkan lawannya tanpa benturan ilmu.
"Sepupu murid Kiai Gringsing itu tentu akan rnenjadi cemas melihat permainan yang ditunjukkan oleh lawannya itu, sehingga pada satu tataran tertentu ia akan menyerah sebelum bertempur. Jika demikian maka murid Kiai Gring"sing itu akan segera menghadapi dua orang yang berilmu cukup tinggi, sehingga kedudukannya akan rnenjadi sulit." berkata Bango Lamatan itu didalam hatinya.
Tetapi ia bertekad untuk tidak melibatkan diri. Bahkan seandainya Kiai Gringsing itu terjun sekalipun untuk membantu muridnya. Ia tidak mau membiarkan kedua orang itu mendapat nilai terlalu baik di mata Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya Warastra.
Sementara Agung Sedayu dan Bandar Anom masih saja bertempur dengan sengitnya, maka Bango Lamatan justru lebih banyak memperhatikan kawan Bandar Anom yang telah menunjukkan semacam pangewan-ewan kepada Glagah Putih. Setiap saat seakan-akan merupakan hentakan-hentakan yang memukul jantung sepupu murid Orang Barcambuk itu, sehingga pada suatu saat maka ia akan rnenjadi lemas dan sama sekali tidak memiliki lagi keberanian untuk melawan.
Sementara itu Glagah Putih sendiri masih saja berdiri termangu-mangu. Ia memang mengagumi kemampuan lawannya. Bahkan ia sempat rnenjadi heran, bahwa dengan kaki yang membenam itu, rasa-rasanya lawannya itu sama sekali tidak merasa tercengkam karenanya. Dengan demi"kian maka Glagah Putih menyadari, bahwa lawannya memang berilmu tinggi.
Namun ketika ia menyadari, bagaimana lawannya itu menakut-nakutinya, bahkan menundukkannya tanpa berbenturan ilmu, Glagah Putih menjadi semakin marah. Ia justru merasa terhina, seolah-olah hatinya tidak lebih besar dari biji sawi, yang menjadi ketakutan melihat lawannya itu memamerkan kemampuannya.
Karena itu, maka yang terjadi justru tidak diharapkan oleh lawannya itu. Kemarahan, kecewa dan gejolak perasaannya selama ia menahan diri, tiba-tiba saja telah tertumpah. Ketika ia melihat Agung Sedayu juga bertempur, maka Glagah Putih tidak terkekang lagi. Perasaannya seakan-akan bagaikan telah meledak.
"Bukan orang itu yang akan menghentikan aku sebelum bertempur, tetapi aku." berkata Glagah Putih kemudian.
Karena itu, maka iapun segera bersiap. Ia tidak akan menyerang orang itu pada jarak jangkau wadagnya. Iapun ingin menunjukkan sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Karena itu, maka Glagah Putih justru telah memusatkan segala kemampuannya. Ia telah menghimpun puncak kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari jalur Ilmu Ki Sadewa, dengan perantaraan Agung Sedayu, namun iapun telah menyerap kekuatan yang paling berbahaya, kekuatan api yang disadapnya dengan ilmu yang diterimanya dari Ki Jayaraga. Dua kekuatan yang dahsyat itu, telah siap dilontarkan dengan kemampuan ilmu yang diturunkan oleh Ki Jayaraga pula.
Demikianlah, maka pada saat kawan Bandar Anom itu mempertunjukkan kemampuannya yang tinggi, dengan membenamkan kedua kakinya kedalam pasir tepian, sehingga seakan-akan berat badannya menjadi seberat gunung padas, namun yang kemudian dengan ringannya melenting sambil berputar diudara, Glagah Putih yang bergeser mundur telah melontarkan kekuatan ilmunya yang dahsyat itu pula. Tidak ditujukan kepada lawannya itu.
Tetapi demikian orang itu berjejak diatas pasir sambil menyusupkan kakinya bahkan hampir setinggi lutut, maka serangan Glagah Putih telah menghantam seonggok pasir beberapa langkah disebelah orang itu, demikian dahsyatnya sehingga seonggok pasir itu bagaikan telah meledak. Gumpalan pasir yang telah rnenjadi panas karena kekuatan api yang terlontar itu telah memancar dengan dahsyatnya kesegenap arah. Juga kearah lawan Glagah Putih itu. Meskipun pancaran pasir itu tidak terlalu banyak, karena jarak sasaran yang beberapa langkah daripadanya, namun terasa betapa panasnya pasir membara dikulitnya.
Orang itu terkejut bukan buatan. Dengan serta merta ia telah meloncat menjauhi sasaran. Demikian tergesa-gesa se"hingga ia tidak memperhitungkan, bahwa ia telah berdiri di depan Bango Lamatan yang berdiri beberapa langkah saja dari Kiai Gringsing.
Bahkan Bango Lamatanpun terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa sepupu murid Kiai Gringsing itu mampu melontarkan ilmunya yang sangat dahsyat itu. Sehingga hampir diluar sadarnya ia berkata, "Luar biasa. Bukan saja ilmunya yang jarang ada bandingnya. Tetapi juga kejujurannya. Ia tidak dengan diam-diam menyerang lawannya. Bahkan ia telah melangkah surut memperpanjang jarak dan menyerang beberapa langkah dari lawannya. Jika saja serangan itu sengaja diarahkan ke"pada lawannya, maka ia tentu telah menjadi lumat."
"Anak itu memang bukan pembunuh." berkata Kiai Gringsing.
"Ya. Tetapi darimana anak itu mendapatkan ilmu yang dahsyat itu?" desis Bango Lamatan.
Kiai Gringsing tersenyum. Orang tua itu tiba-tiba telah terpengaruh sikap Glagah Putih dan ikut menakut-nakuti Bango Lamatan, "Anak itu selain sepupu Agung Sedayu, iapun muridnya juga."
"Murid Agung Sedayu?" ulang Bango Lamatan.
"Ya" jawab Kiai Gringsing.
"Cucu murid Kiai Gringsing?" Bango Lamatan menegaskan.
"Ya" jawab Kiai Gringsing.
"Tetapi aku tidak pernah melihat ciri yang nampak pada anak itu pernah ditunjukkan oleh Kiai Gringsing, baik sebagai Orang Bercambuk maupun sebagai apa saja yang berilmu macam itu. Terakhir aku mendengar dari Garuda-garuda kerdil itu, bahwa Kiai masih juga senang bermain-main dengan kabut." berkata Bango Lamatan.
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Murid yang baik adalah murid yang memiliki kelebihan dari gurunya. Pada umumnya seorang guru tidak sepenuhnya mempercayai muridnya, sehingga ilmunya tentu disisakan sehingga apabila diperlukan, masih ada keunggulan gurunya atas murid"nya."
"Luar biasa." berkata Bango Lamatan.
"Ada beberapa ciri yang lain dari ilmu Orang Bercam"buk." berkata Kiai Gringsing, "tetapi itu wajar, karena ilmu akan dapat berkembang. Saling berpengaruh dan meningkat."
Bango Lamatan mengangguk-angguk. Katanya, "Kiai adalah guru yang sangat terbuka. Berbahagialah mereka yang sempat rnenjadi muridnya."
"Ah. Bukan apa-apa. Anak-anak sekarang lebih pandai mengembangkannya. Mereka mencari isi sendiri." jawab Kiai Gringsing.
Namun Bango Lamatan kemudian termangu-mangu melihat sikap kawan Bandar Anom. Ternyata ia tidak sege"ra meloncat menyerang atau menunjukkan sikap perlawanan. Ia masih saja berdiri termangu-mangu sementara Gla"gah Putih telah menunggu dalam kesiagaan menghadapi se"gala kemungkinan.
Bango Lamatanpun kemudian melangkah maju sambil menggamit kawan Bandar Anom itu. Katanya, "Kau ber"ilmu tinggi sebagaimana sudah kau perlihatkan. Kau dapat membuat tubuhmu lebih berat dari timah, membuat tanganmu berasap dan mampu bergerak secepat sikatan menyambar bilalang. Tetapi lawanmu tiba-tiba saja juga telah menunjukkan ilmunya yang dahsyat itu, yang agaknya me"mang akan mampu mengimbangimu."
Orang itu masih saja nampak ragu-ragu. Sehingga Ba"ngo Lamatan yang tidak sabar telah mendorongnya maju. Namun ternyata orang itu menggeleng sambil berkata, "Aku tidak mau mati dengan cara yang sangat mengerikan itu?"
"Jadi" " bertanya Bango Lamatan.
Kawan Bandar Anom itu tidak menjawab.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Bango Lamatan. Katanya, "Jadi kau benar. Kau akan dapat menyelesaikan pertempuran dengan tanpa benturan ilmu. Te"tapi letak kemenangannya justru ada disebaliknya. Kau sadari bahwa dengan demikian kau telah dikalahkannya dan ia akan dapat berbuat apa saja atasmu, termasuk membunuhmu?"
Orang itu termangu-mangu. Tetapi ia benar-benar ngeri jika harus mengalami serangan yang dahsyat itu. Hantaman ilmu yang luar biasa, yang mampu menghamburkan pa"sir yang bagaikan membara, serta yang bekasnya bagaikan lubang kubangan kerbau yang kering.
"Baiklah." berkata Bango Lamatan, "yakinlah bah"wa lawanmu tidak akan membunuhmu. Tetapi aku tidak tahu, nasib apakah yang akan dialami oleh Bandar Anom."
Orang itu tidak menjawab. Namun Kiai Gringsinglah yang berkata, "Aku yakin, bahwa anak itu tidak akan membantu Agung Sedayu. Ia akan membiarkan kakak sepupunya menyelesaikan pertempuran itu, apapun yang akan terjadi."
Bango Lamatan mengangguk-angguk. Lalu katanya sambil mendorong kawan Bandar Anom itu, "Jika kau menyerah, katakan itu kepada lawanmu. Kau harus menunggu untuk menerima perlakuan apapun juga, meskipun ia tidak akan membunuhmu."
Orang itu rnenjadi ragu-ragu. Tetapi ternyata Glagah Putih tidak ingin melakukan apa saja atas orang itu. Ka"rena itu, setelah ia mengerti bahwa lawannya menyerah, maka iapun justru telah melangkah mendekati lingkaran pertempuran antara Agung Sedayu dengan Bandar Anom.
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian katanya kepada kawan Bandar Anom itu. "Marilah. Kita melihat apa yang terjadi dengan Bandar Anom. Ia memang berilmu sangat tinggi. Tetapi lawannyapun tentu berbekal ilmu yang tinggi pula. Baru kemudian, jika kau ingin membuat perhitungan dengan aku, maka kita akan melakukannya."
Wajah orang itu rnenjadi tegang. Tetapi Bango Lamat"anpun tertawa, "Jangan pucat. Aku tidak bersungguh-sungguh."
Orang itu tidak menjawab. Namun mereka berduapun telah melangkah mendekati arena pertempuran antara Agung Sedayu dengan Bandar Anom, sementara Kiai Gringsing berjalan di belakang mereka.
Bagaimanapun juga Kiai Gringsing tidak dapat melepaskan perhatiannya kepada orang itu. Namun dalam pada itu, Glagah Putihpun masih juga tetap berhati-hati. Tetapi ia tahu, bahwa orang itu berada di depan Kiai Gringsing, se"hingga apabila diperlukan, Kiai Gringsing tentu akan dapat memberinya peringatan dengan cepat. Bahkan ketika ia berada di pinggir arena, maka iapun telah mengambil tempat yang berseberangan dengan orang itu.
Bandar Anom memang mengumpat kasar. Ia rnenjadi sangat kecewa bahwa kawannya ternyata tidak dapat membantunya. Sementara itu, ia sempat melihat empat orang berada di pinggir arena itu.
Namun terdengar Bango Lamatan berkata, "Nah, ternyata murid Kiai Gringsing dan sepupunya adalah laki-laki jantan. Mereka akan saling menghormati dan tidak akan saling mengganggu. Meskipun kawanmu sudah menyerah, tetapi sepupu murid Kiai Gringsing tidak akan turun ke dalam arena ini."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia mengerti, meskipun nampaknya orang itu memuji Agung Sedayu dan dirinya, tetapi orang itu tentu berniat untuk menolong Ban"dar Anom agar tidak mengalami nasib yang sangat buruk karena Glagah Putih ikut campur.
Sebenarnyalah Glagah Putih memang tidak berniat untuk mengganggu Agung Sedayu yang bertempur seorang melawan seorang. Sementara Bango Lamatan agaknya memang ingin membiarkan pula apa yang terjadi, meskipun ia tidak ingin Bandar Anom harus bertempur melawan dua orang lawan. Sementara itu kawan Bandar Anom berdiri saja termangu-mangu. Ia sendiri merasakan kegelisahan yang menghentak-hentak didadanya. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Anak muda yang memiliki ilmu yang dahsyat itu akan dapat membunuhnya dengan cara yang sangat mengerikan.
"Aku salah memilih lawan." berkata kawan Bandar Anom itu didalam hatinya, "kenapa aku tidak memilih murid Kiai Gringsing itu sebagai lawanku. Orang tua itu tentu berbohong jika disebutnya lawanku itu murid lawan Bandar Anom itu."
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memang belum menunjukkan kelebihan apa-apa. Meskipun pertempuran diantara Bandar Anom dan Agung Sedayu menjadi semakin cepat dan semakin keras, namun yang terjadi adalah benturan-benturan wadag yang kadang-kadang memang saling menggoncangkan.
Namun semakin lama, Agung Sedayu ternyata semakin banyak menguasai medan. Ia semakin sering mengenai tubuh lawannya dengan kekuatannya yang besar. Mendesaknya dan menggoncangnya pada benturan-benturan yang terjadi.
Bandar Anom menjadi semakin marah. Sehingga ka"rena itu, maka iapun telah menghentakkan kekuatannya. Namun pundaknya, lengarmya dan bahkan punggung dan dadanya merasa semakin sakit. Kulitnya serasa lumat dan tulang-tulangnya bagaikan retak.
Karena itu, maka Bandar Anom tidak akan membiar"kan dirinya dihancurkan oleh murid Kiai Gringsing. Karena itu, maka iapun telah meloncat mengambil jarak. Sejenak kemudian, tangannya telah berada di hulu kerisnya yang besar dan sesaat kemudian menariknya dari wrangkanya yang terselip di punggung.
Agung Sedayu yang memburunya terhenti beberapa langkah dihadapannya. Keris itu memang sebilah keris yang besar. Tetapi bukan hanya ukurannya yang mendebarkannya. Tetapi nampaknya keris itu memang keris yang sangat berbahaya ditangan Bandar Anom.
Ketika keris itu kemudian bergetar, rasa-rasanya seakan-akan ada kekuatan yang mengalir dari diri Bandar Anom kedalam daun kerisnya yang bergetar lewat tangannya. Seakan-akan ilmunya yang tinggi itu telah siap ditumpahkan lewat ujung kerisnya. Bahkan daun keris itu dibawah cahaya matahari bagaikan telah membara. Warnanya yang hitaman itu telah berubah menjadi kemerah-merahan.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun ia tidak dapat membiarkan dirinya dihisap darahnya oleh keris yang nampaknya memang sangat berbahaya itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmu kebalnya seutuhnya.
Sejenak kemudian, maka jantung Agung Sedayupun menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Ban"dar Anom itu berkata, seolah-olah tidak dengan suaranya sendiri, tetapi dengan suara guntur yang menggelegar di langit, "Nah, murid orang bercambuk. Saat kematianmu memang sudah tiba. Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi kesombonganmu telah membuat aku marah. Kau telah berani berusaha mengimbangi ilmuku, se"akan-akan kau adalah seorang yang pantas berdiri sejajar dengan aku. Karena itu, kau harus menerima hukumanmu. Kerisku akan menyudahi perlawananmu, sekaligus melepas nyawamu. Patukan seujung duri sekalipun telah cukup untuk mengantarkan nyawamu meninggalkan wadagmu."
Agung Sedayu termangu-mangu. Sementara itu suara guruh itu masih saja terdengar, "Keris ini adalah keris yang sangat bertuah. Jika aku hunjamkan di lambung gunung, maka gunung itu akan runtuh, jika aku tusukkan ke laut, maka laut itu akan kering."
Agung Sedayu yang menyadari betapa berbahayanya keris itu tidak menjawab. Namun ia menjadi sangat berhati-hati. Meskipun tubuhnya dilindungi oleh ilmu kebal, namun ia tidak tahu, apakah kekuatan ilmu lawannya akan mampu menyusupkan keris itu menusuk dan mengoyak ilmu kebalnya.
Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka lawan"nya itupun kemudian mulai melangkah maju. Perlahan-lahan, sementara kerisnya yang bagaikan membara itu teracu kedepan sambil bergetar.
Namun Agung Sedayu telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang yang bersenjata keris itu telah meloncat sambil mengayunkan kerisnya. Demikian derasnya sehingga desingnya bagaikan mengoyak selaput telinga. Tetapi Agung Sedayu sudah bersiap sepenuhnya, se"hingga karena itu, maka iapun telah melenting menghindar meskipun ia berselubung ilmu kebal.
Sejenak kemudian, maka telah terjadi pertempuran yang sengit. Bandar Anom itu menjadi semakin marah, justru karena Agung Sedayu tidak mempergunakan senjata apapun, meskipun ia melihat senjatanya yang bagaikan membara serta getar ilmunya diujung keris itu.
Namun ternyata bahwa Bandar Attorn tidak segera dapat menyentuh kulit Agung Sedayu. Mula-mula Bandar Anom masih menganggap bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan bergerak cepat sekali. Namun kemudian, sekali-sekali terasa sentuhan daun senjatanya. Tetapi tidak melukai tubuh lawannya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Bandar Anom itu menggeram, "Kau berlindung dibalik ilmu kebal?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ketika meloncat surut. Bandar Anom tidak segera memburunya.
Bukan saja Bandar Anom yang menjadi berdebar-debar. Tetapi Bango Lamatanpun menjadi berdebar-debar pula. Hampir diluar sadarnya ia berdesis kepada Kiai Gringsing, "Kau ajari muridmu mempergunakan ilmu kebal" Kenapa tidak kau ajari muridmu melindungi dirinya dengan cambuknya?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Muridku merryadap ilmu dari seluruh penjuru langit."
Bango Lamatan tidak menyahut lagi. Ia melihat Ban"dar Anom yang mengerahkan puncak kemampuannya. Getar ujung kerisnya menjadi semakin mendebarkan. Bara yang kemerah-merahan itupun rasa-rasanya menjadi se"makin panas. Dengan lantang ia berkata, "Jika aku tidak mampu menembus ilmu kebalmu, biarlah aku menyembahkan di sepanjang perjalananmu."
Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar. Agaknya Bandar Anom telah menuangkan ilmunya sampai tuntas. Karena itu, maka iapun harus menjadi semakin berhati-hati.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Bandar Anom itu telah menyerang lagi. Demikian cepatnya sehingga daun kerisnya yang bagaikan membara itu, berputaran membentuk semacam kabut yang kemerah-merahan.
Ternyata Kiai Gringsing sempat rnenjadi tegang. Se"mentara Bango Lamatan berkata, "Kabut itu berbeda dengan permainan kabut orang bercambuk."
Kiai Gringsing hanya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing, Bango La"matan bahkan Glagah Putih dan orang yang telah ditundukkannya itu terkejut. Dalam pertempuran yang sengit dan cepat, tiba-tiba saja mereka melihat Agung Sedayu meloncat mundur beberapa langkah. Ternyata ujung keris itu telah mengoyakkan baju Agung Sedayu dilengannya. Dan bahkan nampak luka seujung tusukan duri randu alas di lengannya itu.
Bandar Anom tidak memburunya. Bahkan kemudian terdengar ia tertawa berkepanjangan. Dengan lantang ia berkata, "Kau tahu, senjataku mengandung racun yang sangat tajam. Karena itu, aku beri kesempatan kau minta diri kepada gurumu, kepada sepupumu dan kepada langit dan bumi. Sebentar lagi kau akan mati. Ilmu kebalmu tidak mampu melindungimu dari kematian meskipun mampu menahan tusukan kerisku, sehingga hanya ujungnya sajalah yang mampu menyentuh kulitmu. Tetapi luka yang betapapun kecilnya itu akan berarti kematian bagimu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara Bango Lamatanpun dengan nada cemas berkata, "Kiai. Jika kau tidak mengobatinya dengan cepat, maka racun yang sangat tajam itu akan dapat membunuh muridmu."
"Aku kagumi kekuatannya sehingga mampu menembus ilmu kebal muridku. Ternyata Bandar Anom memang berilmu tinggi. Sudah sepantasnya ia mendapat kepercayaan dari Kecruk Putih untuk menyertaimu menemuiku. Bahkan sikapnya yang lebih kasar dari sikapmu yang nampaknya sudah mengendap." berkata Kiai Gringsing.
Tetapi Bango Lamatan memperingatkan, "Yang penting kau obati luka muridmu. Bukankah kau memiliki pengetahuan tentang obat-obatan serta racun dan bisa?"
"Tetapi muridku sedang berperang tanding. Aku tidak pantas untuk mencampurinya. Kecuali jika perang tanding itu sudah dinyatakan selesai." berkata Kiai Gring"sing.
"Aku akan menghentikannya." berkata Bango La"matan.
"Jangan. Itu tidak jujur." berkata Kiai Gringsing.
Bango Lamatan rnenjadi heran. Kiai Gringsing nampaknya berpegang teguh pada harga diri seorang laki-laki. Karena itu, maka ia tidak ingin mencampuri perang tanding itu apapun yang akan terjadi atas muridnya.
Sementara itu Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia sedang mempertimbangkan, apakah yang akan dilakukannya. Luka itu sendiri tidak berarti apa-apa baginya. Racun yang betapapun tajamnya, tidak akan mempengaruhi darahnya yang telah mengandung daya tangkal yang sangat tinggi. Namun bagaimanapun juga, ia harus menyadari, bahwa lawannya yang mampu menembus ilmu kebalnya itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Namun Agung Sedayu tidak ingin serta merta mempergunakan ilmunya yang dapat dipancarkannya lewat sorot matanya. Dihadapan gurunya Agung Sedayu ingin mengalahkan lawannya dengan ilmu yang diwarisi langsung dari gurunya. Karena itu, maka sejenak kemudian iapun telah mengurai cambuknya.
Bango Lamatanpun kemudian berdesis, "Iapun akan disebut Orang Bercambuk jika ia mampu bertahan atas tajamnya racun keris Bandar Anom sampai akhir perang tanding."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia bersandar kepada Kuasa Yang Maha Agung."
Bango Lamatan berpaling. Namun nampak bahwa dahinyapun telah berkerut. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Dalam pada itu yang terdengar adalah suara asing Ban"dar Anom, "Tidak ada gunanya senjatamu itu. Senjatamu hanya pantas untuk menggembala kerbau. Tidak untuk turun kemedan."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, " Senjataku ini tidak kalah tuahnya dari kerismu itu. Jika kerismu dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan samudra, maka cambukku akan dapat berbuat sebaliknya. Gunung yang runtuh akan segera bangkit kembali karena sentuhan ujung cambukku, sementara samudra yang kering akan segera rnen"jadi pasang naik oleh ujung cambukku pula."
"Omong kosong." Bandar Anom hampir berteriak, "kau akan segera mati."
"Kau akan mati lebih dahulu." sahut Agung Sedayu.
Orang-orang yang mengelilingi arena itu memang rnen"jadi berdebar-debar. Kawan Bandar Anom sempat heran, bahwa racun keris yang membara itu seakan-akan masih belum berpengaruh.
Sebenarnyalah ketika kemudian Bandar Anom menye"rang, Agung Sedayu masih sempat bergerak cepat. Bahkan tiba-tiba saja cambuknya telah menggelegar bagaikan guntur yang meledak dilangit.
Suara itu memang mengejutkan. Tetapi Kiai Gringsing yang mengenali watak cambuk itu, mengerti bahwa Agung Sedayu belum memasuki tataran tertinggi dari kemampuannya bermain dengan cambuknya.
Namun suara itu telah mencegah Bandar Anom meloncat maju. Ia terpaksa harus memperhatikan ujung cambuk Agung Sedayu yang nampak sangat garang itu.
Bango Lamatanpun rnenjadi agak kebingungan menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang terjadi di ping"gir Kali Opak itu. Ia sudah dikejutkan oleh kemampuan ilmu Glagah Putih. Kemudian sikap Glagah Putih atas lawannya yang menyerah. Iapun telah rnenjadi heran pula melihat ilmu kebal Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa lawannya mampu menembus ilmu kebalnya, sehingga kulitnya telah terluka. Tetapi kekuatan racun yang tajam dari senjata lawannya seakan-akan tidak berpengaruh sama se"kali atas dirinya. Seterusnya, maka nampaknya murid Orang Bercambuk itu telah memperlihatkan ciri ilmu dari perguruannya. Cambuk.
Demikianlah sejenak kemudian, maka Bandar Anom dan Agung Sedayu itupun telah terlibat lagi dalam pertem"puran yang sengit. Keduanya telah menggunakan senjata andalan mereka masing-masing. Meskipun ujung cambuk Agung Sedayu tidak membara tetapi setiap ledakannya telah membuat jantung lawannya rnenjadi berdebar-debar.
Sebenarnyalah bahwa ujung cambuk Agung Sedayu semakin lama memang rnenjadi semakin garang. Sekali-sekali ujung cambuk itu berputar diudara. Namun kemu"dian melecut dengan hentakan sendal pancing. Bahkan kadang-kadang ujung cambuk itu mematuk seperti kepala seekor ular yang ganas.
Namun lawannyapun cukup tangkas. Sambil meloncat-loncat menghindar, menangkis dengan daun keris yang membara, maka Bandar Anom sekali-sekali sempat pula menusuk mengarah ketubuh Agung Sedayu.
Tetapi tusukannya tidak pernah mengenai sasaran. Bukan saja karena Agung Sedayu memang memiliki ilmu kebal, sehingga jika tusukan itu tidak didorong oleh segenap kekuatan ilmu yang dituangkan sampai tuntas, juga karena Agung Sedayu selalu menghindari dengan loncatan-loncatan panjang. Sementara lawannya mencoba untuk memburunya, maka ujung cambuknya segera berputar dengan cepatnya.
Bandar Anom memang telah mencoba untuk memotong juntai cambuk Agung Sedayu dengan kerisnya, tetapi ia selalu gagal. Ternyata juntai cambuk itu tidak mudah putus meskipun daun kerisnya itu tajam seperti pisau pencukur dan bahkan panas seperti bara. Bahkan rasa-rasanya ujung cambuk Agung Sedayu itu selalu mengejarnya kemanapun la menghirdar, seakan-akan di ujung cambuk itu terdapat alat penglihatan yang tajam. Karena itu, maka Bandar Anom itu benar-benar harus mengerahkan kemampuannya, keterampilannya dan ilmu"nya. Sekali-sekali ia memang berhasil menyusup pertahanan cambuk Agung Sedayu, tetapi itu tidak berarti apa-apa.
Bahkan sekali-sekali ujung cambuk itupun telah mulai menyentuhnya. Meskipun Agung Sedayu masih belum me-napak pada puncak kemampuannya, namun sentuhan ujung cambuknya yang berkarah baja itu sempat mengo"yak kuiit Bandar Anom, sehingga Bandar Anom harus meloncat menjauh.
"Gila." geram Bandar Anom.
Bango Lamatanpun berdesis, "Bukan main."
Sebenarnyalah darah mulai mengucur dari luka yang terdapat di pundak Bandar Anom. Luka yang cukup dalam menganga karena sentuhan ujung cambuk yang diayunkan sendal pancing.
"Muridmu memang luar biasa Kiai." berkata Bango Lamatan kemudian, "aku tidak mengira bahwa ia begitu mudah mengatasi Bandar Anom. Aku memang mengira bahwa keduanya akan kurang seimbang. Namun yang aku lihat sekarang, bukan lagi kurang seimbang, karena murid"mu mempunyai jauh lebih banyak kelebihan dari Bandar Anom."
"Perang tanding itu belum berakhir Ki Sanak." jawab Kiai Gringsing.
"Jangan berpura-pura lagi Kiai." sahut Bango La"matan sambil bergeser mendekat, "kau tentu sudah tahu sejak beberapa saat sebelumnya, bahwa muridnya akan dapat menguasai medan. Aku memang melihat kadang-kadang dahi Kiai berkerut. Namun pada saat terakhir, Kiai tentu sudah yakin. Bahkan akupun yakin, bahwa murid Kiai itu belum sampai puncak tertinggi dari ilmunya, sementara ia sudah tidak lagi terjangkau oleh kemampuan Bandar Anom."
"Aku tidak berpura-pura Bango Lamatan. Aku adalah orang tua. Agaknya aku lebih berhati-hati menilai kedua"nya. Siapa tahu, bahwa Bandar Anom masih mempunyai ilmu simpanan." sahut Kiai Gringsing.
"Tidak. Jika masih memilikinya, tentu sudah diper-gunakannya. karena keadaannya memang sudah benar-benar menjadi sulit." jawab Bango Lamatan.
Namun Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia memang melihat bahwa agaknya Bandar Anom tidak lagi mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu, yang diketahuinya masih belum sampai pada kemampuannya yang tertinggi. Masih ada beberapa tataran ilmu yang dapat didaki lebih tinggi lagi. Agung Sedayu dalam kemam"puan tertingginya dari ilmu kebalnya, maka kekuatan ilmu itu seakan-akan dapat memanasi udara disekitarnya. Agung Sedayupun belum nampak mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang dapat membuat lawannya kebingungan. Juga kemampuannya membuat dirinya rangkap. Lebih-lebih ilmunya yang paling meyakinkan, ke"kuatan yang dipancarkan dari sorot matanya.
Kiai Gringsing menyadari, bahwa tidak semua kemam"puan Agung Sedayu itu diwarisinya dari dirinya sebagai gurunya. Tetapi Agung Sedayu mampu menyadap ilmu darimanapun juga. Sebagai kawan dalam pengembaraan de"ngan Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa, maka Agung Sedayu telah memiliki berbagai macam ilmu, se"hingga ia benar-benar rnenjadi seorang yang mumpuni.
"Kiai." berkata Bango Lamatan selanjutnya, "aku benar-benar tidak mengira bahwa murid Kiai itu memiliki kemampuan yang sulit dijajagi. Ternyata murid Kiai itu, disamping memiliki ilmu kebal, juga penangkal racun. Meskipun Bandar Anom mampu menembus ilmu kebalnya, menggoreskan daun kerisnya yang beracun tajam ketubuh murid Kiai itu, tetapi racun itu tidak dapat mempengaruhi-aliran darahnya. Ia masih tetap tegas dan bahkan me"nguasai medan."
Kiai Gringsing masih tetap tidak menjawab. Sementara Bango Lamatan berkata, "Kemampuan murid Kiai telah menggelitik aku untuk menjajaginya."
"Jangan kehilangan akal." berkata Kiai Gringsing, "kau termasuk orang yang disegani karena kau terhitung dari angkatan tua meskipun tidak setua aku. Kau tentu tidak akan tertarik bermain dengan anak-anak."
Bango Lamatan tidak menjawab. Tetapi keningnya berkerut semakin dalam. Sementara itu pertempuran antara Agung Sedayu dan Bandar Anom itu rnenjadi semakin sengit. Bandar Anom benar-benar telah megerahkan segenap kemampuannya ditambah dengan kerisnya yang dibangga-banggakan. Namun yang ternyata tidak berhasil menghentikan aliran darah dan perlawanan Agung Sedayu.
Namun Bango Lamatan kemudian melihat Bandar Anom menghentakkan segala kekuatannya. Ia tidak lagi berusaha menyerang. Tetapi dengan puncak kekuatannya ia berusaha untuk membentur hentakkan-hentakkan ujung cambuk Agung Sedayu. Ternyata usahanya itu mulai berpengaruh. Benturan"benturan antara kekuatan yang tersalur lewat ujung cam"buk dengan keris Bandar Anom itu, rasa-rasanya telah mulai menyengat telapak tangan Agung Sedayu. Sedikit demi sedikit dibawah lapisan ilmu kebalnya. Ternyata bahwa kekuatan ilmu Bandar Anom benar-benar sangat besar.
Karena itu, maka permainan cambuk Agung Sedayu"pun telah berubah dan susut perlahan-lahan. Serangan-serangannya seakan-akan menemui kesulitan untuk menggapai kulit lawannya, bahkan bagaikan membentur tonggak baja.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi hal itu justru telah mempersulit kedudukan Ban"dar Anom. Agung Sedayu tidak lagi sekedar bermain-main dengan cambuknya. Justru pada saat Bango Lamatan mulai melihat kelemahan Agung Sedayu, maka hentakkan cambuk Agung Sedayu kemudian tidak lagi meledak seperti guntur dilangit. Suaranya seakan-akan rnenjadi lunak, namun getarannya telah menghentak setiap dada.
Bango Lamatan yang berilmu tinggi terkejut. Ia merasa getaran udara yang sangat tajam betapa lembutnya menyentuh rongga dadahya.
Sebenarnyalah, bahwa Bandar Anom tidak lagi mampu bertahan. Tiga empat kali Agung Sedayu menghentakkan cambuknya dengan kemampuan puncaknya dalam per"mainan cambuk itu yang diwarisinya sebagai murid Orang Bercambuk. Ternyata Bandar Anom benar-benar telah kehi"langan kesempatan. Ketika ujung cambuk itu menyentuh kulitnya meskipun hanya seujung rambut, maka akibatnya telah jauh berbeda.
Sentuhan kecil pada lambungnya, telah melemparkan Bandar Anom itu beberapa langkah surut. Dengan kerasnya ia terbanting jatuh. Untunglah bahwa dibawah kakinya terbentang tepian berpasir sehingga tulang-tulangnya tidak berpatahan.
Dengan serta merta Bandar Anom berusaha untuk me"loncat bangkit. Tetapi demikian ia tegak, maka iapun telah terhuyung-huyung dan bahkan akhirnya telah kehilangan keseimbangannya. Perlahan-lahan Bandar Anom itu jatuh pada lututnya dengan bertelekan dengan kedua tangannya dipasir. Sementara itu titik-titik darah mengalir dari luka-luka ditubuhnya. Namun Bandar Anom itu sempat mengumpat kasar. Sejenak kemudian ia teringat akan kerisnya. Namun ter"nyata kerisnya itu sudah tergolek beberapa langkah daripadanya.
Semua mata memang mengikuti pandangan mata Ban"dar Anom. Juga Agung Sedayu. Dilihatnya keris itu terbaring diatas pasir. Daunnya tidak lagi nampak kemerah-merahan bagaikan bara. Agaknya sentuhan keris itu dengan telapak tangan Bandar Anomlah yang membuat keris itu menyala.
Wajah Bango Lamatan rnenjadi tegang sejenak. Ia melihat Bandar Anom tidak akan mungkin melanjutkan perlawanan. Sementara itu Agung Sedayu berdiri beberapa langkah daripadanya. Tangan kanannya menggenggam tangkai cambuknya, sedang tangan kirinya memegangi ujung juntainya.
"Anak iblis." geram Bandar Anom, "cambukmu mengandung roh setan alasan."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat orang itu rnenjadi semakin lemah.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berkata ke"pada Bango Lamatan, "Ia memerlukan pertolongan."
"Muridmu memang luar biasa." geram Bango Lamatan, "ilmunya yang tinggi rasa-rasanya sempat menantang aku. Ia harus ditundukkan agar tidak rnenjadi sombong dan salah menilai kemampuan orang orang yang berdiri di barisan Panembahan Cahya Warastra."
"Kenapa kau rnenjadi seperti orang mabuk" Atau kau biarkan Bandar Anom itu mati?" bertanya Kiai Gringsing.
Bango Lamatan termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya kepada Kiai Gringsing, "Apa maksud Kiai?"
"Aku akan mengobatinya. Ia tidak perlu mati." ber"kata Kiai Gringsing.
"Aku tahu. Kiai akan memperalatnya untuk menceritakan pengalamannya sehingga orang-orang akan menjadi kagum dan ketakutan jika mereka bertemu dengan murid"mu atau sepupunya." sahut Bango Lamatan.
"Kau terlalu berprasangka buruk." sahut Kiai Gring"sing, "jika hanya itu, maka kau akan menjadi alat yang paling baik, atau kawan Bandar Anom itu. Tetapi lihat. Jika Bandar Anom mati, maka itu adalah karena kesalahanmu."
"Kiai." desis Bango Lamatan.
"Nah, beri kesempatan aku mencoba mengobatinya. Meskipun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha Agung, tetapi kita wenang berusaha." berkata Kiai Gringsing.
Bango Lamatan termangu-mangu. Namun katanya, "Terserah kepada Kiai. Tetapi yang dilakukan oleh murid Kiai merupakan satu tantangan buatku. Ia mengalahkan Bandar Anom dengan cara yang terlalu mudah. Karena itu aku ingin mengukur sampai seberapa tinggi tingkat ilmu yang telah disadapnya dari kaki langit disemua penjuru bumi."
Kiai Gringsing memang menjadi berdebar-debar. Ia tahu bahwa Bango Lamatan adalah termasuk orang tua yang memiliki kematangan bersikap didalam olah kanuragan, meskipun tidak setua Kiai Gringsing sendiri. Karena itu, maka ia menjadi ragu-ragu. Agung Sedayu masih ter"lalu muda untuk mengimbanginya. Bukan saja umurnya tetapi juga pengalamannya.
Namun Bango Lamatan itu berkata, "Jika aku tidak memberinya sedikit peringatan, maka ia akan menjadi orang yang berbahaya bagi kesatuan yang telah disusun dengan susah payah oleh Panembahan Cahya Warastra. Beberapa tahun ia menghimpun kekuatan dari padepokan-padepokan yang tersebar. Sebelumnya padepokan-padepokan itu telah bertindak sendiri-sendiri yang ternyata tidak berhasil sama sekali. Bahkan beberapa padepokan telah dihancurkan oleh Panembahan Senapati."
"Kau telah bermimpi buruk Bango Lamatan." ber"kata Kiai Gringsing, "sementara salah seorang diantara kawan-kawanmu menghadapi saat-saat yang paling gawat."
Bango Lamatan masih akan menjawab. Namun merekapun kemudian melihat Bandar Anom itu tidak lagi dapat bertahan duduk. Iapun telah terguling dan jatuh terbaring diatas pasir tepian.
Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Tolonglah orang itu Kiai. Tetapi ter"nyata bahwa kekerdilan ilmunya sangat memalukan Pa"nembahan Cahya Warastra. Apalagi kawannya yang ter"nyata hanya pandai berloncatan seperti seekor tupai di pohon kelapa. Tetapi menghadapi kenyataan di medan, ia tidak lebih dari seorang pengecut. Karena itu, aku harus menunjukkan tataran yang sepantasnya bagi para pendukung gagasan Panembahan Cahya Warastra. Gagasan yang akan memberikan kesejahteraan tertinggi bagi padepokan-padepokan yang tersebar diatas tanah air."
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Tetapi iapun telah melangkah mendekati Bandar Anom yang terbaring diatas pasir tepian. Tanpa menghiraukan Bango Lamatan, maka Kiai Gringsing telah melihat luka ditubuh Bandar Anom.
Kiai Gringsing memang mengagumi kemampuan Agung Sedayu. Sebagai gurunya ia melihat, muridnya yang tua itu telah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bukan saja ilmu yang pernah diberikannya, tetapi juga ilmu yang dite"mukan oleh muridnya itu sendiri dengan laku yang jarang ditempuh oleh orang lain. Menurut pengamatannya Bandar Anom bukannya orang yang lemah. Ia berilmu tinggi dan memiliki kekuatan yang sangat besar serta dibekali dengan senjata yang dengan dukungan kesatuan antara ketrampilan dan ilmunya, telah menjadi senjata yang mendebarkan. Namun bekas sentuhan ujung cambuk itu menunjukkan, betapa tingginya ilmu Agung Sedayu itu.
Sejenak kemudian, dengan saksama Kiai Gringsing memperhatikan luka itu. Setelah menyingkap baju dan ikat pinggang Bandar Anom, maka Kiai Gringsingpun telah menaburkan obat yang dibawanya. Obat yang bukan saja mempunyai kekuatan untuk memampatkan darah yang mengalir dari luka, tetapi juga untuk meningkatkan daya tahan kulit daging di sekitar luka itu.
Terdengar Bandar Anom mengaduh tertahan. Obat itu memang terasa pedih dilukanya. Bahkan ia sempat bertanya tersendat, "Apakah kau sedang membunuhku de"ngan racun?"
"Tidak." jawab Kiai Gringsing, "aku sedang mengobatimu. Meskipun demikian, kehendak Yang Maha Agunglah yang akan terjadi."
Agaknya Bandar Anom tetap mencurigainya. Tetapi ia tidak dapat mencegah sendiri, sehingga karena itu, maka iapun berdesis, "Bango Lamatan. Apakah yang dikerjakannya?"
Bango Lamatan bergeser mendekat. Sambil berdiri ber-tolak pinggang ia berkata, "Aku memang sudah menduga, bahwa kau tidak akan dapat mengimbangi kemampuan murid Orang Bercambuk yang nampaknya sudah mampu menyamai gurunya itu. Tetapi aku tidak mengira bahwa kau tiba-tiba saja menjadi seperti kanak-kanak yang kebingungan meskipun kau sudah mempergunakan keris pusakamu."
"Persetan kau." desis Bandar Anom sambil menahan sakit.
"Sekarang kau dirawat oleh Kiai Gringsing yang pernah mendapat sebutan Orang Bercambuk itu, yang nampaknya sebutan itu juga akan menurun kepada muridnya." berkata Bango Lamatan.
Bandar Anom memang tersinggung. Tetapi iapun kemudian justru menyeringai menahan pedih yang menyengat. Apalagi setelah luka itu ditaburi obat oleh Kiai Gringsing. Namun perlahan-lahan perasaan pedih itu menjadi surut. Bahkan kemudian perasaan sakitnyapun telah berkurang.
"Tolonglah, kita bawa tubuh ini kebawah pohon turi itu." berkata Kiai Gringsing.
Bango Lamatan ternyata tidak dapat membantah. Dengan isyarat Kiai Gringsing minta Glagah Putih dan Agung Sedayu untuk membantu pula.
Ampat orang termasuk lawan Glagah Putih, telah mengusung tubuh itu. Sementara Kiai Gringsing mengikuti di belakang. Diletakkannya tubuh yang terluka itu di bawah lindungan daun turi yang rimbun, yang tumbuh di lereng tanggul sungai.
Namun, demikian tubuh itu diletakkan, Bango La-matanpun berkata, "Aku tetap pada pendirianku Kiai. Aku akan menundukkan muridmu. Ia tidak boleh menjadi sombong dan menganggap bahwa para pendukung gagasan Panembahan Cahya Warastra adalah sekedar orang-orang yang tidak berarti."
Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum. Katanya, "Bango Lamatan. Nampaknya oleh Kecruk Putih kau telah dipersiapkan untuk melakukannya atasku. Bukankah kau berkata, bahwa jika kau datang lain kali, maka sikapmu akan lain" Mungkin kau akan memaksaku dengan kekerasan atau dengan cara apapun juga. Sehingga jika aku tidak dapat menahan diri, maka kata-katamu itu dapat aku anggap sebagai satu tantangan. Bagaimana jika aku menerima tantanganmu itu."
"Aku akan memenuhi kata-kataku itu. Aku akan kembali menghadap Panembahan Cahya Warastra. Jika aku diberi wewenang, aku memang akan datang lagi. Apapun tugas yang dibebankan kepadaku. Kali ini aku memang tidak boleh bertindak apapun juga. Bahkan aku tidak boleh menyakiti hati Kiai." berkata Bango Lamatan.
"Jika kau berbuat sesuatu atas muridku, apakah itu bukan satu sikap yang menyakiti hatiku?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tidak. Kiai tidak boleh sakit hati, karena itu adalah akibat wajar dari seseorang yang memasuki dunia kanuragan." berkata Bango Lamatan.
Kiai Gringsing masih akan menjawab lagi. Ia memang ingin mencegah benturan itu. Namun ternyata Agung Sedayu yang biasanya lebih baik berdiam diri itu menyahut, "Aku terima tantangannya Guru."
Glagah Putihpun terkejut. Hal seperti itu tidak biasa dilakukan oleh Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu berkata lebih lanjut, "Sebagaimana orang itu, maka akupun ingin menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak berada dalam kubu Panembahan Cahya Warastra adalah orang-orang yang tidak takut menghadapi akibat dari pilihannya. Aku belum mengatakan siapakah yang lebih tinggi ilmunya. Tetapi setidak-tidaknya bahwa kami bersikap atas dasar satu keyakinan yang kami pertahankan apapun akibatnya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, "Baiklah Bango Lamatan. Kau telah mendengar sendiri kesediaan muridku. Tetapi bagaimanapun juga persoalannya adalah persoalanku dengan kau. Karena itu, jika aku menganggap perlu maka aku akan ikut campur."
"Itu tidak adil Kiai." berkata Bango Lamatan.
Sementara Agung Sedayupun berkata, "Aku akan melayaninya sendiri Guru."
"Aku dapat berbuat sesuka hatiku." berkata Kiai Gringsing, "Bukan satu kebiasaan murid mengatur tingkah laku gurunya. Sementara itu terhadap Bango Lamatanpun aku dapat berbuat apa saja. Kalau perlu aku akan membunuhnya agar Panembahan Kecruk Putih itu menjadi marah dan dengan demikian aku dapat memancing persoalan dengan orang itu."
Sejenak Bango Lamatan menjadi tegang. Namun kemu"dian ia justru tertawa sambil berkata, "Apa saja yang kau katakan Kiai. Tetapi aku masih percaya bahwa Kiai sebenarnya adalah seorang kesatria. Karena itu maka Kiai tentu tidak akan melanggar sifat-sifat seorang kesatria itu."
Kiai Gringsing menggeram. Katanya, "Jika aku membunuhmu, aku tidak melanggar paugeran seorang laki-laki, karena kau sudah mengancam aku lebih dahulu, bahwa lain kali kau mungkin akan membunuhku."
Tetapi Bango Lamatan masih menyahut, "Kiai tidak akan mengorbankan harga diri Kiai, betapapun kenyataan yang Kiai hadapi."
Kiai Gringsing memang rnenjadi marah. Satu hal yang jarang terjadi. Namun kemarahannya itu memang ditekannya agar tidak muncul diwajah dan sikapnya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah berkata pula, "Silahkan Ki Sanak. Aku akan mencoba melayanimu. Mudah-mudahan kau tidak rnenjadi kecewa karenanya."
Bango Lamatan tidak menghiraukan lagi Kiai Gringsing. Iapun kemudian melangkah ke tepian berpasir yang agak luas di pinggir Kali Opak yang kebetulan airnya tidak terlalu banyak karena hujan yang sudah lama tidak turun, diikuti oleh Agung Sedayu sambil membelitkah kembali cambuknya di lambungnya, dibawah bajunya yang telah koyak.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah berdiri berhadapan. Sementara itu Glagah Putih sempat pula menggeram. "Kita akan mendekati arena."
Kawan Bandar Anom yang merasa ngeri melihat tingkat ilmu Glagah Putih itu tidak dapat membantah. Maka iapun telah melangkah pula mendekati arena.
Kiai Gringsing menjadi termangu-mangu sendiri. Namun iapun kemudian berkata kepada Bandar Anom yang terluka, "Beristirahatlah. Jangan banyak bergerak agar keadaanmu menjadi lebih baik. Kau memang terluka parah. Namun obatku adalah obat yang khusus sehingga mudah-mudahan keadaanmu bertambah baik, asal kau tidak bergerak-gerak."
Orang itu mengangguk kecil. Sementara Kiai Gringsingpun berkata selanjutnya, "Aku akan melihat pertempuran itu."
"Bango Lamatan memang gila." geram Bandar Anom.
Perlahan-lahan Kiai Gringsingpun telah bangkit. Ia tidak sampai hati melepaskan Agung Sedayu sendiri bertempur melawan Bango Lamatan yang termasuk kedalam angkatan yang lebih tua dalam ilmu dan pengalaman. Meskipun Kiai Gringsing tahu bahwa muridnya telah memiliki ilmu yang sangat tinggi, namun satu hal yang mungkin akan dapat mengacaukannya, karena Bango Lamatan mempunyai Aji Panglimunan.
Namun dalam pada itu, seperti kata-kata Bango Lamatan, Kiai Gringsing memang tidak dapat mengorbankan harga dirinya dan harga diri muridnya. Sehingga karena itu, maka ia tidak dapat mencegah apa yang akan terjadi antara Bango Lamatan dan Agung Sedayu. Namun diam-diam Kiai Gringsing berdoa didalam hatinya agar Yang Maha Agung selalu melindungi muridnya.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Bango Lamatan telah bersiap. Mereka memang berjarak umur yang jauh. Namun bagaimanapun juga Bango Lamatan harus melihat kenyataan tentang kemampuan ilmu lawannya yang jauh lebih muda daripadanya itu. Yang pasti adalah, bahwa racun dan bisa tidak akan berarti apa-apa bagi murid Kiai Gringsing itu. Ujung keris Bandar Anom tidak mampu menghentikan perlawanan Agung Sedayu, meskipun bagi orang lain pasti berarti maut dalam waktu yang singkat.
Beberapa saat kemudian, Bango Lamatan yang merasa dirinya lebih matang dari lawannya itupun berkata, "Marilah orang muda. Waktu kita sangat terbatas."
Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Katanya, "Marilah Ki Sanak. Bukankah aku sekedar melayanimu?"
Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Orang muda itu agak berbeda dengan orang-orang muda yang sering ditemuinya, apalagi mereka yang sedikit berbekal ilmu. Biasanya mereka terlalu garang dan tergesa-gesa. Tetapi orang yang bernama Agung Sedayu, murid Kiai Gringsing yang bergelar Orang Bercambuk itu nampak demikian tenangnya. Tidak nampak gejolak di wajahnya. Tidak nampak getar perasaannya yang melonjak-lonjak. Namun ia menghadapi lawannya dengan sikap yang matang. Jauh lebih matang dibandingkan dengan umurnya. Dengan demikian maka Bango Lamatan merasa bahwa ia harus lebih berhati-hati.
Sejenak kemudian, maka Bango Lamatan telah mulai melangkah menyerang Agung Sedayu. Bukan serangan yang sesungguhnya. Sementara Agung Sedayupun telah bergeser. Namun sekejap kemudian Agung Sedayulah yang telah menyerangnya kembali. Tetapi keduanya masih dalam tingkat menjajagi kemampuan masing-masing.
Tetapi gerak mereka semakin lama menjadi semakin cepat. Sekali-sekali Bango Lamatan memang berusaha un"tuk dengan sungguh-sungguh mengenai Agung Sedayu. Ia tahu bahwa Agung Sedayu memakai perisai ilmu kebalnya. Namun dengan ilmunya yang tinggi, maka Bango Lamatan akan dapat mengetahui ketahanan perisai ilmu kebal la"wannya itu.
Namun Agung Sedyupun telah mengimbangi setiap gerak Bango Lamatan, sehingga dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya itu meningkat dengan cepat.
Bango Lamatan telah melihat tataran ilmu Agung Sedayu. Karena itu, maka ia tidak akan memanjajgi dari lapisan ke lapisan. Ia harus langsung pada tataran yang tinggi dari ilmunya agar permainan mereka tidak berkepanjangan sebagaimana dilakukan oleh Bandar Anom.
Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, pertem"puran itupun telah rnenjadi semakin sengit. Serangan demi serangan datang beruntun, susul menyusul. Benturan-benturanpun mulai terjadi sehingga keduanya semakin meyakini bahwa lawan mereka masing-masing adalah orang-orang berilmu tinggi.
Bango Lamatan mulai mencoba untuk menembus peri"sai kebal Agung Sedayu dengan kekuatannya yang sangat besar. Sementara Agung Sedayu berusaha untuk mengelakkannya. Namun sekali-sekali iapun harus membentur serangan Bango Lamatan yang datang begitu cepatnya, sehingga tidak mungkin untuk dihindarinya.
Kekuatan ilmu Bango Lamatan memang sangat besar. MeskipUn Agung Sedayu sudah meningkatkan ilmu kebalnya, namun masih terasa serangan lawannya itu mam"pu mengenaikulitnya.
Serangan-serangan Bango Lamatanpun semakin lama rnenjadi semakin cepat. Bahkan kadang-kadang serangannya melibat dengan dahsyatnya. Serangan tangan dan kaki"nya datang beruntun seakan-akan tidak putus-putusnya dengan dorongan kekuatan yang sangat besar. Namun pada saat lain, Bango Lamatan itu meloncat mengambil jarak, seakan-akan sedang mengambil nafas untuk mempersiapkan serangan berikutnya.
Beberapa kali serangan-serangan yang demikian itu da"tang melanda pertahanan Agung Sedayu. Bahkan terasa sekali-sekali serangan itu menembus pertahanan ilmu kebal"nya. Meskipun pengalaman Agung Sedayu belum setua la"wannya, tetapi Agung Sedayupun mengerti, bahwa yang dihadapinya adalah ilmu yang sangat dahsyat. Yang dila"kukan Bango Lamatan adalah pemanasan dari ilmu yang didukung oleh Aji Rog-rog Asem. Ilmu yang juga dimiliki oleh Jaka Tingkir yang kemudian rnenjadi Sultan Pajang.
Karena itu, maka Agung Sedayu benar-benar harus mempersiapkan diri. Iapun telah memanjat sampai kepuncak kemampuannya. Bukan saja yang diwarisinya dari Kiai Gringsing, tetapi yang telah luluh dengan kemampuan puncak ilmunya yang disadapnya dari perguruan ayahnya sen"diri. Namun dalam pengembaraannya bersama Panem"bahan Senapati dan Pangeran Benawa, maka kekuatan ilmu Agung Sedayu rnenjadi semakin lengkap.
Sejenak kemudian, Bango Lamatan benar-benar telah melepaskan ilmunya yang dahsyat itu. Rog-rog Asem. Dengan demikian maka pertempuran rnenjadi semakin dahsyat. Sekali-sekali Bango Lamatan memang dapat mengenai tubuh Agung Sedayu. Untunglah tubuh Agung Sedayu dibalut oleh ilmu kebal yang mantap. Meskipun demikian, tulang-tulang Agung Sedayu mulai merasa disengat oleh kekuatan yang sangat besar.
Sementara itu Bango Lamatan sempat menggeram, "Anak iblis. Tanpa ilmu kebal, maka kau telah rnenjadi lumat."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Tanpa Aji Rog-rog Asem, serangan-seranganmu tidak berarti apa-apa bagiku."
Bango Lamatan tidak menyahut lagi. Tetapi ia telah menekan Agung Sedayu semakin berat. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan kuat, sehingga dengan demikian benturanpun telah semakin sering ter"jadi.
Agung Sedayu memang harus mengakui bahwa lambaran Aji Rog-rog Asem benar-benar telah menimbulkan kekuatan yang sangat besar. Bukan saja berhasil menem"bus ilmu kebalnya, tetapi telah mampu menyakitinya pula.
Karena itu, maka Agung Sedayu telah mengerahkan ilmu kebalnya sampai kepuncak. Bukan saja pertahanannya rnenjadi semakin rapat. Nairkin dalam puncak ilmunya, tiba-tiba saja dari tubuhnya seakanakan telah memancar udara panas yang dapat memperlemah kekuatan dan ke"mampuan lawannya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah berusaha bertempur dalam jarak yang pendek. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah meningkatkan ketrampilan mereka mempergunakan unsur-unsur gerak yang telah mereka kuasai didukung oleh kekuatan dan kemampuan ilmu mereka masing-masing.
Namun dalam pada itu, sekali lagi Bango Lamatan mengumpat sambil meloncat mengambil jarak. Ia tidak mau lagi terlibat dalam pertempuran jarak pendek, sehingga ke"duanya hampir-hampir melekat.
"Anak ini memang luar biasa." katanya didalarn hati, "ia mampu melepaskan panas dari dalam dirinya berbareng dengan peningkatan ilmu kebalnya."
Namun dengan demikian, maka Bango Lamatan harus menyesuaikan diri. Ia bertempur pada jarak tertentu sehingga udara panas yang seakan-akan memancar dari tubuh Agung Sedayu itu, tidak banyak berpengaruh atas dirinya. Dengan demikian maka keduanya telah bertempur pada putaran dengan jarak tertentu.
Serangan-serangan Bango Lamatan adalah serangan-serangan panjang yang sangat berbahaya. Bahkan Agung Sedayu sulit untuk berusaha mendekarinya.
Benturan-benturan semakin sering terjadi. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayupun berhasil mengenai tubuh lawannya. Namun serangan Bango Lamatan dengan dukungan Aji Rog-rog Asemlah yang lebih sering mengenainya.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu justru mulai terdesak meskipun ia sudah berada dalam lindungan ilmu kebalnya yang mampu menimbulkan panas diseputar tubuhnya. Namun lawannya benar-benar memiliki kemam"puan yang sangat tinggi dilandasi dengan kematangan dan pengalamannya.
Kiai Gringsing memang mulai berdebar-debar. Demi"kian pula Glagah Putih. Namun keduanya masih berharap bahwa Agung Sedayu akan memadukan ilmu-ilmunya yang lain dalam pertempuran yang semakin sengit itu. Bahkan ilmu puncaknya, kekuatan yang dapat dilontarkan lewat sorot matanya dari jarak tertentu.
Kawan Bandar Anom yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi berdebar-debar. Ia mengerti, bahwa Bango Lamatan termasuk orang terpenting dari para pendukung Panembahan Cahya Warastra. Namun ia tidak mengira bahwa Bango Lamatan memiliki kemampuan yang demi"kian tinggi. Sementara ia mampu mendesak Agung Sedayu yang ternyata mampu mengalahkan Bandar Anom yang dianggapnya orang yang berilmu sangat tinggi dan memiliki pusaka yang jarang ada duanya.
Beberapa saat Agung Sedayu berusaha untuk bertahan. Namun ia benar-benar terdesak oleh kemampuan ilmu Bango Lamatan. Aji Rog-rog Asemnya benar-benar merupakan kekuatan yang sulit untuk diimbangi dengan berjenis-jenis ilmu didalam diri Agung Sedayu, termasuk ilmu kebalnya.
Namun Agung Sedayu masih mempunyai kesempatan. Ia masih mempunyai beberapa simpanan. Karena itu, ketika ia masih saja tidak berhasil mengatasi desakan lawannya, maka satu lagi ilmu Agung Sedayu yang ditrapkan bersama ilmunya yang lain. Tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi bagaikan seringan kapas. Ia mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Meloncat, melenting, bahkan seakan-akan melayang di udara.
Bango Lamatan sekali lagi terkejut. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Ilmu meringankan tubuh."
Agung Sedayu tidak menanggapinya. Tetapi ia benar-benar memanfaatkan ilmunya itu untuk mengatasinya menghadapi kekuatan Aji Rog-rog Asem.
Sebenarnyalah pertempuran itu menjadi semakin dah"syat. Keseimbangan pertempuran telah berubah lagi. De"ngan kecepatan gerak dan kemampuan Agung Sedayu me"ringankan tubuhnya, maka Agung Sedayu dapat lebih banyak menghindari serangan-serangan Bango Lamatan. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu mampu membuat lawannya kebingungan, karena tiba-tiba Agung Sedayu telah meloncat tinggi-tinggi, berputar di udara dan demikian kakinya menyentuh tanah, ia telah melenting lagi kearah yang berbeda, sehingga sulit bagi lawannya untuk mengetahui dengan pasti.
Untuk beberapa saat pertempuran itu telah menjadi seimbang kembali. Agung Sedayu tidak lagi terdesak dan mengalami banyak kesulitan. Bahkan serangan-serangan lawannya yang mampu menembus ilmu kebalnya.
Dalam pertempuran berikutnya, Agung Sedayupun telah menjadi semakin sering mengenai tubuh lawannya dengan kekuatannya yang cukup besar, sehingga sekali-sekali Bango Lamatan telah menyeringai menahan sakit.
Kiai Gringsing yang melihat perubahan pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat satu lagi kelebihan pada muridnya. Agung Sedayu mampu membuat tubuhnya rnenjadi seringan kapas, namun tidak hanyut oleh angin. Geraknya tetap mantap dan serangannya tetap berbahaya. Kekuatannya sama sekali tidak terpengaruh oleh tubuhnya yang rnenjadi seakan-akan semakin ringan. Pukulannya tetap mantap dan keras.
Kawan Bandar Anompun rnenjadi berdebar-debar. Ia melihat perubahan-perubahan yang terjadi cepat sekali di arena. Desak mendesak dan saling menyerang.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa saudara sepupunya mampu keluar dari kesulitan. Bahkan kemudian nampak bahwa Agung Sedayu memiliki kesempatan lebih baik dari lawannya.
Beberapa kali Bango Lamatan harus meloncat me"ngambil jarak. Bahkan serangan-serangannya mulai kehilangan sasaran karena Agung Sedayu dengan cepat berpindah-pindah tempat.
Kemarahan semakin membakar jantung Bango La"matan. Ia tidak lagi sekedar ingin menundukkan Agung Sedayu untuk menunjukkan kekuatan para pendukung Panembahan Cahya Warastra, tetapi Bango Lamatan merasa dirinya benar-benar telah terlibat dalam perang tan"ding. Karena itu, maka iapun tidak lagi mengekang dirinya sehingga ketika ia merasa terdesak, maka hampir diluar sadarnya iapun telah merambah ke ilmunya yang nggegirisi.
Ketika Bango Lamatan merasa tidak lagi mampu mengikuti kecepatan gerak Agung Sedayu yang mampu meloncat-loncat seperti seekor bilalang, maka Bango Lamatanpun telah mengambil jarak dari lawannya. Tiba-tiba saja Bango Lamatan telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah Agung Sedayu.
Agung Sedayu terkejut. Serangan itu demikian tiba-tiba dilakukan. Apalagi Agung Sedayu menganggap bahwa Bango Lamatan tidak akan bersungguh-sungguh berusaha untuk mengakhiri perang tanding itu sampai tuntas.
Karena itu, maka Agung Sedayu memang agak terlambat. Seleret cahaya telah meluncur dari kedua telapak tangan Bango Lamatan, menggumpal rnenjadi semacam se"onggok api yang meluncur menyerang Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang telah berusaha untuk melenting menghindari serangan itu. Tetapi ternyata ia tidak terlepas sama sekali dari sambaran api itu. Namun untunglah bahwa tubuhnya dilindungi oleh ilmu kebal yang sangat kuat, sehingga dengan demikian, maka sebagian besar dari kekuatan serangan itu telah tertahan oleh perisai ilmu kebalnya itu. Meskipun demikian, panas api serangan itu masih terasa oleh Agung Sedayu se"hingga karena itu, maka iapun telah berdesah menahan panas yang menyengat itu.
Namun ketahanan tubuh Agung Sedayu yang sangat tinggi dengan cepat mengatasi panas yang menyentuh kulitnya.
Bango Lamatan memang sudah menduga bahwa ke"kuatan ilmunya tentu tidak sepenuhnya akan dapat menge"nai Agung Sedayu karena kekuatan ilmu kebalnya. Dan ter"nyata kekuatan panas yang terlontar dari ilmunya itu hanya sebagian kecil saja yang berhasil menyusup kebelakang perisai ilmu kebal yang sudah ditrapkan sampai kepuncak itu.
Tetapi Bango Lamatan tidak menghentikan serangan"nya. Demikian Agung Sedayu menyentuh tanah, serangan itu telah diulanginya kembali sehingga Agung Sedayu harus meloncat lagi tinggi-tinggi.
Demikian berulang kali, sehingga Agung Sedayu harus berloncatan menghindari serangan yang datang beruntun. Namun Agung Sedayu tidak mau menjadi sasaran serangan yang tidak berkeputusan. Iapun kemudian telah mempersiapkan dirinya, meskipun ia masih harus selalu menghindar.
Ketika Bango Lamatan menyerangnya sekali lagi, maka Agung Sedayu tidak meloncat kesamping. Ia justru melenting tinggi-tinggi kearah lawannya. Demikian ringan tubuhnya, sehingga dengan sekali berputar di udara, rasa-rasanya kedua tangan Agung Sedayu yang terjulur akan dapat menggapai leher lawannya.
Bango Lamatan termangu-mangu. Ia baru saja melepaskan serangannya. Seandainya ia dengan tergesa-gesa menyerang, maka ia meragukan hasilnya justru karena Agung Sedayu mempunyai ilmu kebal. Karena itu, maka Bango Lamatan telah memilih untuk bergeser menghindar. Namun Agung Sedayu tidak membiarkannya. Ia justru telah menggeliat. Demikian kakinya menyentuh pasir tepian, maka tubuhnya telah melenting sekali lagi menyerang Bango Lamatan. Bango Lamatan menyadari, jika ia tidak mengambil jarak, maka ia tidak akan sempat menyerang dengan api yang seakan-akan meluncur dari telapak tangannya itu. Karena itu, maka sekejap kemudian, Bango Lamatanlah yang telah melompat jauh-jauh untuk mengambil jarak sehingga ia mendapat kesempatan untuk melontarkan serangannya.
Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak memburunya. Jaraknya memang cukup panjang. Jika Agung Sedayu me"loncat juga menyerang maka disaat ia melayang, lawannya agaknya telah sempat melontarkan serangannya yang akan mampu menembus ilmu kebalnya meskipun sebagian besar akan tertahan.
Karena itu, maka Agung Sedayu telah berusaha untuk mempergunakan kekuatan ilmunya yang dapat memburu lawannya itu. Namun Agung Sedayu memang tidak ingin melumatkan lawannya, Ia masih sempat memikirkan beberapa kemungkinan. Jika ia membunuh lawannya, maka akibatnya perlu diperhitungkan. Mungkin gurunya akan menjadi sangat marah pula kepadanya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak menghentakkan segenap kekuatannya, disaat ia melepaskan serangannya dengan sorot matanya.
Ternyata keragu-raguan Agung Sedayu itu merupakan salah satu bintik kelemahannya. Pada saat kekuatannya terlontar lewat sorot matanya, maka lawannya telah ber"siap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah bahwa Bango Lamatan telah menduga, bahwa murid Kiai Gringsing itupun memiliki kemampuan sebagaimana dimiliki oleh adik sepupunya. Apalagi menurut keterangan gurunya, Agung Sedayu bukan saja mewarisi ilmu dari Kiai Gringsing, tetapi menyadap ilmu dari mana saja dengan berbagai macam laku.
Tetapi Bango Lamatan sama sekali tidak mengira, bah"wa lontaran ilmu justru memancar lewat sorot matanya. Karena itu, ketika ketajaman penglihatan hatinya me"lihat sorot mata Agung Sedayu, Bango Lamatan terkejut. Dengan serta merta ia meloncat berguling untuk menghindari serangan itu. Apalagi karena Agung Sedayu ternyata menyerangnya dengan keragu-raguan.
Serangan Agung Sedayu tidak mengenai sasarannya. Sementara itu lawannya yang melenting berdiri, tidak mau menjadi sasaran serangan berikutnya. Karena itu, maka ia harus memanfaatkan kebimbangan hati lawannya.
Tiba-tiba saja sekali lagi tangan Bango Lamatan ter"julur dengan telapak tangan terbuka mengarah ke lawan"nya. Sekali serangan yang dahsyat telah meluncur ke arah tubuh Agung Sedayu. Namun sekali lagi Agung Sedayu sempat mengelak.
Demikianlah, maka pertempuran itu berlangsung se"makin sengit. Keduanya memang harus mengambil jarak. Setiap kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya.
Salah satu kelemahan Agung Sedayu adalah keragu-raguannya. Ia memang tidak ingin membunuh lawannya. Namun lawannya tidak menjadi ragu-ragu seperti Agung Sedayu, justru karena Agung Sedayu mempergunakan perisai ilmu kebal. Lawannya sudah memperhitungkan bahwa Agung Sedayu tidak akan mati, meskipun serangan"nya sepenuhnya mengenai tubuhnya, karena hanya sebagian kecil sajalah yang akan dapat menyusup menembus ilmu kebalnya.
Dengan demikian maka justru setiap kali Agung Se"dayu mengalami kelambatan. Namun ternyata kemudian, bahwa akhirnya Agung Se"dayu menemukan keseimbangan. Ia berhasil mengendalikan ilmunya pada tataran tertentu. Sehingga dengan demi"kian, maka Agung Sedayu tidak lagi harus ragu-ragu melon"tarkan serangannya.
Tetapi ternyata bahwa perhitungan Agung Sedayu tidak sepenuhnya benar. Ternyata dengan serangan-serangannya yang lunak itu, ia tidak segera berhasil menguasai lawannya. Namun demikian, serangan-serangan yang datang beruntun itu memang membuat Bango Lamatan ter"desak, meskipun setiap kali Bango Lamatan masih juga mendapat kesempatan membalas.
Kiai Gringsing yang memperhatikan pertempuran itu masih juga berdebar-debar. Meskipun ia melihat Agung Se"dayu mendesak lawannya, tetapi Kiai Gringsing itu mengetahui bahwa masih ada satu simpanan Bango Lamatan yang akan menjadi sangat berbahaya bagi Agung Sedayu, Aji Panglimunan.
Glagah Putih yang tidak mengetahui kekuatan ilmu yang masih tersimpan itu sempat tersenyum. Sesaat kemu"dian, Bango Lamatan itu benar-benar telah terdesak. Kece"patan gerak Agung Sedayu nampaknya semakin berpengaruh. Loncatan-loncatan yang tinggi dan jauh, telah membingungkan Bango Lamatan. Apalagi setelah keduanya mem"pergunakan ilmu mereka menyerang dari jarak tertentu.
Pada saat yang demikian itulah, maka Bango Lamatan tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia jarang sekali mempergunakan ilmu simpanannya itu, tetapi menghadapi orang yang dianggapnya masih sangat muda itu, ia harus mempertahankan namanya. Bango Lamatan tidak mau justru menjadi sasaran penilaian yang buram dari para pendukung Panembahan Cahya Warastra. Ia kecewa sekali bahwa Bandar Anom dapat dikalahkan demikian mudahnya. Meskipun ia sudah mengira bahwa Bandar Anom sulit untuk dapat mengimbangi kemampuan murid Orang Bercambuk itu, tetapi seharusnya ia tidak begitu mudah dikalahkan sebelum lawannya menguras ilmunya sampai tuntas.
Karena itu, ia sendiri tidak boleh mengecewakan pula. Ia harus mampu membuat imbangan atas kekalahan Bandar Anom, meskipun ia harus mempergunakan ilmunya yang jarang sekali dipergunakan. Semula ia berharap bahwa ia akan dapat mengalahkan Agung Sedayu tanpa ilmu simpanannya itu. Tetapi ternyata bahwa rencana itu tidak
dapat dilakukannya. Ketika Bango Lamatan itu menjadi semakin terdesak, maka ia tidak berpikir panjang lagi. Iapun telah mengambil jarak untuk mempersiapkan diri mengetrapkan ilmunya yang jarang ada bandingannya itu.
Agung Sedayu yang melihat Bango Lamatan melenting jauh, maka iapun telah berdiri tegak. Dengan kekuatan sorot matanya, maka Agung Sedayu telah menyerang lawannya.
Namun ternyata bahwa Bango Lamatan sempat meloncat menghindar. Namun demikian orang itu berguling ditanah, maka tiba-tiba saja orang itu bagaikan-menjadi lenyap. Hilang tidak berbekas.
Agung Sedayu terkejut karenanya. Hampir diluar sadarnya ia berdesis "Aji Penglimunan. "
Ternyata lawannya benar-benar telah mempergunakan Aji Panglimunannya. Kekuatan Aji yang dapat membuatnya seakan-akan lenyap begitu saja.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmunya. Sapta Pandulu. Kekuatan ilmu yang dapat mempertajam penglihatannya dengan berlipat,
sebagaimana ia mampu menembus kabut yang dibuat oleh gurunya.
Namun ternyata Agung Sedayu tidak berhasil mengatasi kekuatan Aji Panglimunan itu. Ia sama sekali tidak mampu menembus tabir yang menyelimuti tubuh Bango Lamatan.
Glagah Putih terkejut melihat hal tu. Dengan serta merta ia telah bergeser surut beberapa langkah. Ia mencoba untuk mempergunakan kekuatan cadangannya mempertajam penglihatannya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat melihat dimana lawan Agung Sedayu itu berada.
Namun dalam pada itu terdengar suara "Maaf Kiai.
Sebenarnya aku malu mempergunakan kekuatan Aji
Panglimunan, karena aku yakin ketajaman penglihatan batin
Kiai tetap akan dapat mengetahui dimana aku berada. Tetapi
aku harap Kiai bersikap jantan dan tidak membantu murid Kiai
dalam keadaan seperti ini. "
Kiai Gringsing menggeram. Katanya "Kau pergunakan kekuatan puncakmu yang nggegirisi ini untuk melawan anak-anak.
Kau memang licik Bango Lamatan. "
"Kenapa Kiai menyebutku licik "suara itu sudah berpindah
tempat "kita bertempur dengan kekuatan ilmu kita masingmasing.
" "Tetapi lawanmu adalah aku "berkata Kiai Gringsing.
Terdengar Bango Lamatan tertawa. Suaranya sudah
berpindah tempat lagi. Katanya kemudian "Muridmu dengan
sombong menerima tantanganku. Aku seutuhnya. Dengan
segala macam ilmu yang ada didalam diriku. "
Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Tetapi sebenarnyalah
bahwa ia mampu mengetahui dimana Bango Lamatan berada
meskipun matanya tidak melihatnya. Namun ketajaman
penglihatan batin Kiai Gringsinglah yang menunjukkan
kepadanya, dimana lawannya itu berada,
Sementara itu terdengar suara Bango Lamatan "Ajari
muridmu menjadi seorang laki-laki Kiai. Jangan menangis
karena kegagalannya ini. "
"Persetan "geram Kiai Gringsing.
Lalu terdengar lagi suara Bango Lamatan "Bersiaplah
Agung Sedayu. Kau akan mengalami puncak kegawatan
dunia olah kanuragan. Kau akan terluka hatimu, bahwa masih
jauh jalan yang harus kau tempuh untuk menjadi seorang
seperti gurumu yang seakan-akan tidak terkalahkan itu. Ia
benar-benar mampu mengetahui dimana aku berada, ternyata
dari sikapnya, kemana ia menghadap. Tetapi kau tidak. Kau
tidak akan melihat dan mengetahui dimana aku berada.
Karena itu, maka aku akan dengan mudah dapat
membunuhmu. " Agung Sedayu menggeram, namun tiba-tiba saja ia
mencoba untuk selalu bergerak agar ia tidak merupakan
sasaran yang sama sekali tidak melawan.
Karena itu, maka sejenak kemudian Agung Sedayupun
telah melenting tinggi, menggeliat diudara dan kemudian
demikian kakinya menyentuh pasir, iapun telah bergeser
dengan cepat pula. Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa. Diantara derai
tertawa itu terdengar Bango Lamatan berkata "Jangan
menyesal anak yang malang. Meskipun kau tidak akan segera
mati karena ilmu kebalmu, tetapi kau tidak lebih sasaran yang
menyenangkan buat melakukan latihan-latihan. "
Agung Sedayu justru berdiri tegak sambil menundukkan
kepalanya. Ia mencoba untuk mengerti arah suara itu,
meskipun ia tidak memandang kearahnya.
Bahkan suara itu terdengar lagi "Bersiaplah. "Ternyata
suara itu tidak berubah arah sehingga Agung
Sedayu dapat memperhitungkan, Bango Lamatan tidak
bergerak dari tempatnya. Sebenarnyalah, tanpa melihat langsung kearah suara itu,
Agung Sedayu ternyata mampu melihat seleret sinar yang
memancar. Ternyata Bango Lamatan yang mampu
menyembunyikan dirinya dibalik ilmunya yang didukung oleh
Aji Panglimunan, tidak mampu menyembunyikan serangan
yang nampak seperti seleret sinar yang memancar dari kedua
belah telapak tangannya yang terbuka itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu mampu
menghindari serangan itu dengan satu loncatan panjang. Ia
justru meloncat kearah yang lebih jauh dari Bango Lamatan.
Menurut perhitungannya, maka ia setidak-tidaknya akan
mendapat kesempatan untuk melihat sinar yang datang
menyerangnya. Terdengar Bango Lamatan mengumpat. Ternyata
serangannya tidak mengenai sasaran.
"Kau memang luar biasa Agung Sedayu. Tetapi aku tidak
akan mengulangi kebodohanku. Aku akan menyerangmu dari
arah yang tidak kau perhitungkan. "berkata Bango Lamatan.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk
memperhatikan segala arah.
Namun ternyata bahwa Bango Lamatan benar-benar tidak
ingin mengulangi kesalahannya. Ia telah berpindah tempat,
tepat di belakang Agung Sedayu. Namun seperti yang telah
dilakukannya, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu telah
melenting menjauhinya dan diluar sadarnya berdiri hampir
menghadapnya. Tetapi Bango Lamatan menjadi tidak tergesa-gesa. Ia yakin
lawannya itu tidak melihatnya. Karena itu, maka iapun telah
bergeser kearah belakang Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Ia dapat
mengetahui kemana Bango Lamatan pergi. Tetapi ia memang
tidak dapat memberitahukan kepada Agung Sedayu. Mungkin
Agung Sedayu merasa harga dirinya tersinggung. Tetapi
mungkin justru akan dapat membuatnya lebih parah lagi.
Sementara itu Glagah Putih memang menjadi cemas. Ia
juga tidak melihat Bango Lamatan. Karena itu, maka mungkin
saja Bango Lamatan itu menyerang Agung Sedayu langsung
dengan wadagnya. Menilik kemampuannya yang sangat
tinggi, maka Agung Sedayu akan dapat mengalami kesulitan.
Kecemasan semacam itu telah timbul pula dihati Agung
Sedayu. Bango Lamatan dapat saja melangkah
mendekatinya. Kemudian dengan ilmunya yang tinggi
memukulnya, menembus ilmu kebalnya dan menyakitinya.
Namun Agung Sedayu masih tetap berusaha. Setiap kali ia
masih bergerak dengan cepat dan tidak diduga-duga.
Bango Lamatan memang mencoba untuk bersabar. Tetapi
akhirnya ia menjadi kehilangan kesabarannya itu. Karena itu,
maka iapun telah bersiap menunggu saat-saat Agung Sedayu
meloncat dan kembali meletakkan kakinya diatas pasir.
Dengan perhitungan yang tepat, disaat Agung Sedayu
hampir menjatuhkan kakinya di pasir tepian setelah melenting
berpindah tempat, Bango Lamatan telah melontarkan
serangannya. Agung Sedayu yang kebetulan menghadap kearah lain,
memang tidak melihat serangan yang datang itu. Tiba-tiba
saja, terasa tubuhnya bagaikan dihantam oleh kekuatan yang
besar, sehingga Agung Sedayu telah terpental dan terbanting
jatuh. Agung Sedayu memang tidak terluka karena perlindungan


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu kebalnya. Namun serangun itu benar-benar telah
menyakitinya. Meskipun ia dengan cepat bangkit berdiri dan
siap menghadapi segala kemungkinan, namun punggungnya
memang terasa betapa sakitnya.
Terdengar Bango Lamatan tertawa berkepanjangan.
Dengan lantang ia berkata "Ternyata kau adalah sasaran
permainan yang sangat menyenangkan Agung Sedayu. "
Agung Sedayu yang marah itu tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dengan kemarahan yang bergejolak di-dalam
dadanya, tiba-tiba saja ia telah menyerang kearah suara itu.
Tiba-tiba saja kata-kata Bango Lamatan telah terputus.
Dengan jantung yang berdegupan, Bungo Lamatan meloncat
berguling menghindari serangan yang hampir saja menyambar
kepalanya itu. Meskipun ia mampu bersembunyi dibalik Aji
Panglimunan, tetapi serangan itu tetap akan dapat
melumatkan tubuhnya. Untunglah bahwa ia masih sempat menghindar sehingga
serangan Agung Sedayu itu tidak mengenainya.
Namun terdengar Bango Lamatan berkata "Kau akan
menyesal. Aku akan bersungguh-sungguh. "
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia harus
meningkatkan kesiagaannya.
Ketika Agung Sedayu bergeser dengan cepat, maka Bango
Lamatan telah menunggunya. Demikian Agung Sedayu berdiri
tegak, maka Bango Lamatan tidak lagi menyerang dengan
kekuatannya yang dapat dilontarkan dari telapak tangannya,
namun ia langsung menyerang dengan wadagnya.
Agung Sedayu memang terkejut. Pukulan yang langsung
mengenai tengkuknya itu telah membuatnya, hampir saja jatuh
terjerembab tanpa terkendali. Namun untunglah, Agung
Sedayu justru berguling lewat punggungnya dan meloncat
bangkit lagi. Sekali lagi terdengar suara tertawa. Tetapi tidak terlalu
panjang, karena Bango Lamatan yang sudah mendapat
pengalaman tentang kecepatana berpikir dan mengambil
keputusan yang pada umumnya tepat yang dilakukan oleh
Agung Sedayu, tidak mau mendapat serangan lagi dengan
tiba-tiba. Kemarahan Agung Sedayu benar-benar membakar
jantungnya. Ia tidak pernah dipermainkan dalam pertempuran
seperti itu. Ia pernah mengalami luka parah bahkan hampir
merenggut jiwanya. Tetapi ia tidak menjadi sangat marah,
justru karena ia merasa dipermainkan.
Sejenak kemudian terdengar Bango Lamatan berkata
"Tenanglah anak yang malang. "kemudian setelah berpindah
tempat "nampaknya kau harus mengakui kekalahanmu. "
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab.
Namun adalah diluar dugaan pula ketika tiba-tiba sekali lagi
datang serangan Bango Lamatan. Pukulan langsung dengan
tangannya mengenai punggung Agung Sedayu, menembus
ilmu kebalnya. Sekali lagi Agung Sedayu terdorong beberapa langkah
kedepan dan jatuh berguling. Sekali ia berputar kemudian
melenting berdiri. Namun dalam kemarahan yang memuncak, maka Agung
Sedayu tidak lagi sempat membuat perhitungan lebih panjang.
Yang dilakukan adalah mempergunakan segenap kemampuan
dan ilmu yang ada pada dirinya.
Bango Lamatan tertawa meledak. Ia memang menunggu
sampai Agung Sedayu melenting berdiri. Dengan segenap
kemampuannya ia akan menyerangnya dengan ilmunya yang
garang. Dengan cepat Bango Lamatan telah mengangkat
tangan tepat pada saat Agung Sedayu melenting, dengan
telapak tangan terbuka menghadap kearahnya.
Namun tiba-tiba saja detak jantung Bango Lamatan hampir
terhenti. Ia tidak begitu yakin akan penglihatannya. Demikian
Agung Sedayu meloncat bangkit, maka ia telah melihat bukan
saja satu Agung Seduyu. Tetapi Agung Sedayu telah berdiri
dengan rangkapannya. Dengan nada rendah Bango Lamatan berdesis diluar
sadarnya "Bukan main. Kakang kawah adi ari-ari atau jika
bukan adalah ilmu sejenisnya. "
Karena itu, maka Bango Lamatan menjadi ragu-ragu. Ia
tidak tahu, yang manakah Agung Sedayu yang sebenarnya.
Namun Bango Lamatan tidak mau terlambat. Tiba-tiba saja
serangannya telah meluncur kearah salah satu diantara ujudujud
Agung Sedayu itu. Tetapi ternyata Bango Lamatan telah salah memilih.
Ternyata yang dikenainya bukannya Agung Sedayu yang
sebenarnya, sehingga karena itu, maka serangannya tidak
dapat menyakiti lawannya.
Demikian serangan itu lewat, maka tiba-tiba saja ujud-ujud
itupun telah berusaha menghilangkan jejak perhitungan lawanlawannya.
Ketiganya berloncatan menyatu. Jatuh berguling.
Namun kemudian meloncat bangkit dalam, ujud yang telah
terpecah. Tetapi Agung Sedayu yang merasa dirinya
dipermainkan itu telah menggenggam pula cambuk
ditangannya, sehingga ujud-ujud yang lainpun telah
menggenggam senjata serupa.
"Setan alas "Bango Lamatan mengumpat. Sekali lagi
serangannya salah sasaran. Dan sekali lagi ujud-ujud itu
menyatu dan memecah diri kembali.
Ternyata kemudian bukan saja Agung Sedayu yang
menjadi kebingungan. Tetapi Bango Lamatanpun menjadi
bingung. Glagah Putih memang menjadi semakin tegang. Baru
sekali itu ia melihat Agung Sedayu mengerahkan sekian
banyak ilmunya untuk menghadapi seseorang. Kemampuan
tertinggi dan ketrampilan olah kanuragan. Ilmu kebalnya, ujudujud
semu dalam kekuatan Aji Kakang Kawah dan Adi Ari-ari,
sorot matanya, cambuknya, penangkal racun, meringankan
tubuh dan apa lagi. Sebenarnyalah Agung Sedayu masih juga membuat
perhitungan-perhitungan. Namun dalam pertempuran
selanjutnya, Agung Sedayu tidak lagi dengan mudah dapat
dipermainkan oleh lawannya yang juga menjadi kebingungan.
Kiai Gringsing sempat bernafas panjang. Terasa himpitan
didadanya menjadi sedikit longgar, meskipun jika Bango
Lamatan telah menjadi tenang dan mampu mengurai keadaan
ujud-ujud lawannya, maka ia akan dapat segera membedakan
yang mana Agung Sedayu yang sebenarnya dan yang mana
ujud-ujud tiruannya. Nampaknya Bango Lamatanpun ingin melakukannya.
Dikerahkannya kemampuan ilmunya, untuk mengenali
lawannya yang sesungguhnya dari ujud-ujud yang
dihadapinya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun telah mengetrapkan
kelengkapan ilmunya yang lain. Ia sudah mencoba
dengan ilmunya Sapta Pandulu. Tetapi ia tetap tidak dapat
melihat Bango Lamatan yang bersembunyi di belakang Aji
Panglimunannya. Iapun kemudian mengetrapkan Aji Sapta
Pangrungu. Tetapi juga demikian sulit untuk mendengar tapak
kaki lawannya yang berdesir diatas pasir. Meskipun kadangkadang
dengan ketajaman pendengarannya ia mampu
menangkap suara itu. Tetapi kadang-kadang segera lenyap
lagi. Ilmunya Sapta Pangganda juga tidak dapat
membantunya. Ia memang kadang-kadang pula sempat
mencium bau keringat lawannya. Tetapi jika angin berubah
arah, atau lawannya berpindah tempat, maka ia tidak dapat
segera mengetahuinya. Karena itu, telah terjadi perang ilmu yang dahsyat antara
keduanya. Justru pada saat Bango Lamatan mampu mengurai
ujud-ujud yang dihadapinya, maka Agung Sedayu telah
menemukan pemecahan pula. Ia mampu mengetahui dimana
lawannya berada dengan ilmunya Sapta Pang-graita.
Meskipun Agung Sedayu tetap tidak melihat lawannya,
tetapi ia tahu atas dasar ketajaman panggraitanya, dimana
lawannya itu berada dan kemana ia bergerak.
Namun yang kemudian terdengar adalah suara Bango
Lamatan tertawa. Disela-sela tertawanya terdengar suaranya
"Agung Sedayu. Kau dapat memecah dirimu dalam rangkapan
seratus sekalipun. Tetapi kau tidak akan dapat berlagak
dihadapanku. Aku akui, bahwa beberapa saat setelah kau
trapkan kekuatan ilmumu untuk membuat ujud-ujud
rangkapan, aku terlalu gelisah sehingga aku tidak sempat
melihat ujud-ujud itu dengan wajar. "
Bango Lamatan berhenti sejenak. Kemudian katanya
"Akupun tidak merasa perlu untuk bergeser dari tempatku. Aku
tahu pasti kapan seranganmu datang. Dan aku tahu pasti,
bahwa aku akan dapat menghindarkannya. Nah Agung
Sedayu. Mumpung aku masih disini. Lontarkan serangan ke
arah suaraku. " Agung Sedayu memang menghadap kearah suara itu. Ia
tidak melihat Bango Lamatan, tetapi panggraitanya
mengatakan bahwa Bango Lamatan dengan tergesa-gesa
bergerak ke kanan. Tetapi Agung Sedayu tidak mengikuti gerak Bango Lamatan,
namun ia ingin meyakinkan diri, bahwa pangraita-nya
itu benar. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah meloncat
menyerang Bango Lamatan pada tempatnya
sebelum ia bergerak. Sementara ujudnya yang lain telah
melakukan gerak-gerak yang tidak banyak berarti.
Sejenak kemudian terdengar cambuk Agung Sedayu
meledak. Suaranya bagaikan memecahkan selaput telinga.
Namun hentakkan sendai pancing itu sama sekali tidak
mengenai siapapun juga. Karena Bango Lamatan memang
telah bergeser. Bango Lamatan justru tertawa berkepanjangan. Katanya
"Apa yang kau lakukan Agung Sedayu. Kau telah melakukan
dua kali kesalahan. Pertama, kau menyerang ditempat yang
sama sekali tidak ada sasarannya. Kedua, ledakkan
cambukmu tidak lebih dari suara anjing yang menyalak. Keras
dan menggetarkan jantung, tetapi suara cambuk yang kosong
itu betapapun kerasnya tidak akan dapat menyakiti orang lain.
" Agung Sedayu menarik nafas dalam-daam. Ternyata
bahwa ia telah memiliki satu cara untuk mengenai tempat
lawannya. Sapta Panggraitanya memang mampu mengatasi
persoalan. Namun Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Demikian
ujud-ujud rangkapannya. Tidak ada yang bergerak sama
sekali. Sebenarnyalah panggraita Agung Sedayu mengetahui
bahwa Bango Lamatan telah bergerak mendekatinya.
Kemudian Agung Sedayu mengetahui pula, bahwa lawannya
itu telah bersiap untuk menyerangnya dengan wadag-nya.
Agung Sedayu telah menghentakkan pula ilmu kebalnya,
sehingga panasnya udara terasa semakin menyengat. Karena
itu, maka Bango Lamatan hanya dapat mendekati dalam jarak
dua tiga langkah. Namun tiba-tiba saja Bango Lamatan itu
meloncat menyerang dada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mampu menangkap gerakan itu dengan
tanggapan panggraitanya. Tetapi ia memang tidak
menghindari. Dibiarkannya serangan itu mengenai
dadanya. Serangan yang datang dengan derasnya itu, yang
dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
memang mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.
Karena itu, maka Agung Sedayu telah terlempar beberapa
langkah surut. Kemudian jatuh terlentang, berguling beberapa
kali dan sejenak kemudian ujud-ujudnya telah menyatu
kembali. Namun ketika kemudian Agung Sedayu itu meloncat
berdiri, maka tubuhnya seakan-akan telah memecah dan
tegak bersama-sama ujud rangkapannya.
Sekali lagi Bango Lamatan tertawa. Katanya "Menyerahlah
anak yang malang. Akuilah bahwa kekuatan para pendukung
Panembahan Cahya Warastra bukannya terdiri dari orangorang
yang hanya dapat berteriak-teriak saja. Tetapi juga
benar-benar orang yang berarti. "
Kiai Gringsing yang menyaksikannya menjadi berdebardebar
kembali. Nampaknya Bango Lamatan telah berhasil
memecahkan kesulitannya menghadapi ujud-ujud kembar
Agung Sedayu. Dengan demikian maka ia sudah, dapat
membedakan, yang manakah Agung Sedayu yang
sesungguhnya dan yang manakah bentuk semunya.
Demikian pula Glagah Putih yang menjadi tegang kembali.
Satu dua kali dipandanginya Kiai Gringsing. Apakah Kiai
Gringsing benar-benar akan berdiam diri menghadapi
kesulitan yang dialami oleh Agung Sedayu.
Kemelut Hutan Dandaka 1 First Love Never Die Karya Camarillo Maxwell Pendekar Baja 13
^