Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 2

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2


" jawab Agung Sedayu.
" Apakah Glagah Putih telah sembuh sama sekali" "
bertanya Ki Gede pula. " Sudah Ki Gede, Glagah Putih telah dapat ikut dalam
latihan-latihan yang diadakan di Tanah Perdikan " berkata
Agung Sedayu. Lalu " Sementara itu, para pelatih di barak
prajaurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah
Perdikan telah bersedia memberikan latihan-latihan khusus
pula kepada para pengawal dan anak-anak muda di Tanah
Perdikan ini, disamping kesediaan mereka untuk ikut menjaga
ketenangannya. " Ki Gede mengangguk-angguk. Kesediaan para prajurit dari
Pasukan Khusus itu akan membantu tugas anak-anak muda
Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian menyatakan
bahwa ia tidak berkeberatan untuk mengijinkan Agung Sedayu
pergi. Tetapi dengan pesan. " Kalian harus segera kembali.
Keadaan dapat berubah dengan cepat sekali. "
Jika ada tanda-tanda perkembangan keadaan itu Ki Gede,
kami akan segera kembali. Perjalanan dari Sangkal Putung ke
Tanah Perdikan ini tidak akan makan waktu terlalu panjang. "
berkata Agung Sedayu. Demikianlah, maka dihari yang sudah ditentukan, pagi-pagi
benar Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah
bersiap. Jika mereka berangkat, maka mereka masih akan
singgah dirumah Ki Gede untuk minta diri.
" Kau akan pergi lagi" " bertanya pembantu dirumah Agung
Sedayu. Glagah Putih tersenyum. Katanya " Aku akan menengok
ayahku. " Anak itu mengangguk-angguk. lapun kemudian bertanya "
Berapa hari kau akan pergi" "
" Tidak lama. Satu atau dua pekan " jawab Glagah Putih.
" Satu atau dua pekan menurut hitunganmu adalah seratus
hari " desis anak itu.
Glagah Putih tertawa. Ditepuknya bahu anak itu sambil
berdesis " Kau tahu, bahwa sekarang aku pergi bersama
kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah. Jadi bukan
akulah yang menentukan kapan aku akan kembali. "
Anak itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya " Semakin lama kau pergi semakin baik. Tidak ada
yang mengurangi hasil ikanku setiap hari. "
" Kau masih suka merajuk. Kau sudah remaja sekarang.
Bahkan sebentar lagi kau akan meningkat menjadi anak muda
yang perkasa. Sejak sekarang kau harus menabah sikapmu "
berkata Glagah Putih sambil tertawa pula.
Anak itu tidak menjawab lagi. Tetapi bersama Ki Jayaraga
ia berdiri diregol ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan
Glagah Putih meloncat kepunggung kuda diluar halaman.
Anak itu sempat melambaikan tangannya. Glagah Putih
yang membalasnya sambil berkata " Hati-hati jika kau turun
dikali. Jangan sampai keliru menangkap ular. "
Anak itu mengangguk. Namun ketika orang itu menjadi
semakin jauh, Ki Jayaraga menggamit anak itu sambil berkata
" Kita tinggal berdua. Nanti malam aku ikut kau turun ke
sungai. " " Ki Jayaraga" " bertanya anak itu hampir tidak percaya.
" Ya. Kenapa" Dimasa remajaku, aku adalah pencari ikan
yang ulung. Pernah sekelompok anak-anak muda yang
sebaya kakakku berlomba mencari ikan. Aku yang paling
muda diantara mereka, ternyata memenangkan lomba itu, "
jawab Ki Jayaraga. Anak itu mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah, Malam
nanti aku akan memberitahukan kepada Ki Jayaraga jika aku
akan turun. " Ki Jayaraga tersenyum sambil menepuk pundak anak itu.
Lalu katanya " Sekarang kau rebus air. Aku akan mengisi
jambangan pakiwan. "
Anak itu mengangguk. Iapun kemudian melangkah
melintasi halaman langsung ke pintu dapur.
Ki Jayaraga masih berdiri di regol sejenak. Hari masih
terlalu pagi. Tetapi jika Agung Sedayu tidak ada, maka
biasanya ia pergi ke rumah Ki Gede. Mungkin ada sesuatu
yang penting untuk dibicarakan. Meskipun umurnya dengan Ki
Gede sebaya, tetapi cacat dikaki Ki Gede yang agaknya sulit
untuk sembuh sama sekali, membuat Ki Gede tidak terlalu
sering keluar rumah. Meskipun bukan berarti bahwa Ki Gede
tidak pernah mendatangi padukuhan-padu-kuhan yang berada
di dalam lingkungan Tanah Perdikan.
Ketika Ki Jayaraga berjalan ke pendapa, maka Agung
Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mendekati regol
halaman rumah Ki Gede. Sejenak kemudian, merekapun
telah memasuki regol dan dengan demikian maka merekapun
turun dari kuda mereka. Agaknya Ki Gedepun telah bangun pula dan duduk
menghadapi minuman panas diruang dalam. Ketika seorang
pengawal memberitahukan kedatangan Agung Sedayu, Sekar
Mirah dan Glagah Putih, maka Ki Gedepun telah menerima
mereka diruang itu pula. " Kalian jadi akan berangkat hari ini" " bertanya Ki Gede.
" Ya Ki Gede " jawab Agung Sedayu " selagi suasana
terasa tenang. " " Disini. Kita tidak tahu apa yang terjadi di daerah-daerah
lain disekitar Mataram. Termasuk pendukung-pendukung
kuatnya. Bahkan mungkin Pati sudah dijamah pula oleh orangorang
Madiun yang tidak menginginkan ketenangan itu. "
sahut Ki Gede. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya pula "
Kami akan singgah barang sebentar-di Mataram untuk
menyampaikan laporan apa yang telah terjadi disini, di Tanah
Perdikan Menoreh. " Ki Gede termangu-mangu sejenak, lalu katanya "
Sebaiknya juga kau laporkan kesiagaan bersama antara
Tanah Perdikan ini dengan Pasukan Khusus Mataram disini.
" Ya Ki Gede " jawab Agung Sedayu " mudah-mudahan
Panembahan Senapati mendapat gambaran yang utuh
tentang perkembangan keadaan di Tanah Perdikan ini. "
" Baktiku kepada Panembahan Senapati " berkata Ki Gede
kemudian " serta salamku kepada keluarga di Jati Anom dan
Sangkal Putung. Aku berharap bahwa kalian tidak terlalu
lama. Sepekan agaknya sudah cukup untuk melepaskan rindu
kalian atas keluarga Jati Anom dan Sangkal Putung. "
Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya " Kami
memang berharap untuk segera kembali. Tidak lebih dari
sepekan. " Demikianlah, maka ketika orang itupun sekali lagi mohon
diri. Sementara Agung Sedayu memberitahukan bahwa Ki
Jayaraga akan selalu datang ke rumah Ki Gede untuk
membantu apapun jika diperlukan.
Beberapa saat kemudian ketiga orang itupun telah berkuda
meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Di
perjalanan mereka memang bertemu dengan anak-anak muda
dan pengawal. Jika mereka bertanya maka Agung Sedayu
selalu menjawab " Kami akan pergi ke Sangkal Putung untuk
satu dua hari. " " Bagaimana dengan latihan-latihan kami" " bertanya
seorang anak muda yang bertemu di tanggul parit.
" Para perwira dari barak Pasukan Khusus telah sanggup
menggantikan kami. "
" Mereka terlalu keras dan bahkan kasar. " berkata anak
muda. " Untuk menjadi prajurit yang baik memang harus
mengalami latihan yang keras " jawab Agung Sedayu.
" Tetapi kami bukan prajurit " jawab anak muda itu.
" Dalam keadaan yang gawat, tanpa kemampuan seorang
prajurit maka kita akan digilas. Lebih baik kita memikul beban
yang berat disaat-saat latihan daripada kita menghadapi
kesulitan di medan perang yang-mungkin akan dapat
merenggut nyawa kita. " berkata Agung Sedayu sambil
tersenyum. Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya " Kau benar.
Jika kita pingsan di waktu latihan, kita akan segera mendapat
pertolongan. " Agung Sedayu tertawa. Sementara Glagah Putih berkata "
Tetapi jika kita mati di medan perang, tidak ada seorangpun
yang akan mampu menolong kita. "
Anak muda itupun tertawa pula.
Demikianlah, maka Agung Sedayu meninggalkan Tanah
Perdikan Menoreh dengan meninggalkan beban atas anakanak
muda dan pengawalnya. Sementara Agung Sedayu
memang menyadari, bahwa para perwira prajurit dari Pasukan
Khusus biasanya memberikan latihan-latihan dengan ikatan
yang keras dan ketat. Sehingga terhadap anak-anak muda
dan para pengawal Tanah Perdikan itupun mereka
memperlakukannya sama dengan para prajurit sendiri.
Namun demikian maka anak-anak muda dan para
pengawal Tanah Perdikan akan benar-benar menjadi
pengawal yang bernilai sama dengan prajurit.
Ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih
mendekati Kali Praga, maka tampak airnya seakan-akan
menjadi semakin keruh. Agaknya mendung di arah Utara telah
menjatuhkan air hujan di ujung Kali Praga itu.
Perjalanan mereka bertiga tidak banyak mengalami
hambatan. Hampir tidak ada orang yang mengenali Sekar
Mirah sebagai seorang perempuan. Agar ia dapat leluasa naik
diatas punggung kuda, maka Sekar Mirah telah mengenakan
pakaian seorang laki-laki, sebagaimana sering dilakukannya.
Namun dengan demikian maka Sekar Mirah menjadi jarangjarang
sekali berbicara jika ia berada diantara banyak orang,
sebagaimana saat menyeberangi Kali Praga diatas sebuah
rakit yang memuat beberapa orang lain.
Tetapi demikian Sekar Mirah turun dari rakit dan berbicara
dengan Glagah Putih, maka beberapa orang laki-laki berwajah
kasar telah mendengarnya. Karena itu, maka mereka tidak
putus-putusnya telah memperhatikannya.
" He, anak itu bukan seorang laki-laki. Aku mendengar
suaranya. Ia seorang perempuan, " berkata salah seorang
diantara mereka. " Menarik sekali " jawab yang lain " tentu ada maksudnya
bahwa ia berpakaian seorang laki-laki. "
Tetapi seorang yang nampaknya mempunyai pengaruh
yang besar diantara mereka berkata " Jangan hiraukan. Bukan
urusan kita apakah ia akan memakai pakaian laki-laki atau
telanjang sekalipun. Kita harus sampai ke tujuan sebelum malam. Kita masih akan menentukan beberapa hal sebelum kita melakukan pekerjaan kita. "
Kawan-kawannya tidak berani membantah. Mereka tidak lagi memperhatikan Sekar Mirah dengan berlebih-lebihan.
Mereka sadar jika mereka melakukan kesalahan terhadap perempuan yang berpakaian laki-laki itu dan apalagi menimbulkan persoalan, maka mereka tentu akan mendapat hukuman dari pemimpin mereka yang garang itu.
Dengan demikian maka beberapa orang laki-laki berwajah kasar itu sama sekali tidak mengganggunya.
Tetapi yang ternyata tidak terduga telah terjadi. Bukan orang-orang kasar itu. Justru seorang laki-laki yang berwajah lunak berpakaian rapi dan mengenakan perhiasan yang mahal. Sekilas nampak timangnya yang terbuat dari emas.
Demikian pula pendok kerisnya. Tiga orang laki-laki yang bertubuh raksasa mengiringinya.
Ternyata laki-laki itu juga menaruh perhatian terhadap Sekar Mirah yang berpakaian laki-laki dikawani seorang lakilaki yang masih terhitung muda dan seorang anak muda yang masih dalam batas remaja. Justeru dalam pakaian seorang laki-laki dimata orang itu Sekar Mirah nampak terlalu cantik.
Apalagi pakaian laki-lakinya membuat orang itu menaruhperhatian yang besar.
Sekar Mirah tidak memperhatikan bahwa seorang laki-laki selalu mengawasinya. Karena itu, iapun tidak menaruh curiga apapun ketika bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih ia meloncat ke punggung kudanya.
Tetapi tiba-tiba saja kuda Sekar Mirah itu terkejut sehingga terlonjak. Hampir saja Sekar Mirah terlempar. Untunglah bahwa ia adalah seorang perempuan yang tangkas, sehingga ia masih tetap melekat dipunggung kudanya.
Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan cepat telah memegang kendali kuda Sekar Mirah di sebelah menyebelah.
" Apa yang terjadi" " bertanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah justru meloncat turun ketika kudanya sudah menjadi tenang. Dipandanginya beberapa orang yang lewat dari lingkungan penyeberangan. Namun tiba-tiba saja laki-laki yang berpakaian rapi dan berwajah lunak itu tertawa.
" Kenapa kau tertawa" " berkata Sekar Mirah.
" Nah, ternyata kau benar-benar seorang perempuan, " lakilaki itu justru mendekat " aku sekarang melihat lubang di telingamu. Suaramu tidak dapat kau sembunyikan dan tatapan matamu adalah tatapan mata seorang perempuan yang cantik. "
"Apa pedulimu " bentak Sekar Mirah. Lalu " jadi kaulah yang telah dengan sengaja mengejutkan kudaku he"
" Maaf. Bukan maksudku untuk menyulitkanmu " berkata laki-laki itu " tetapi kau sangat menarik perhatianku. Buat apa kau berpakaian seperti seorang laki-laki" Apakah kau berniat untuk menyembunyikan kecantikanmu"
Dalam pakaian itu kau justru menjadi sangat menarik.
*** Jilid 227 "AKU peringatkan agar kau tidak berbuat kasar. Aku memang seorang perempuan dan laki-laki itu adalah suamiku dan adikku. Nah, pergilah. Aku bersama suamiku." berkata Sekar Mirah.
Tetapi laki-laki itu justru tertawa. Katanya, "Suamimu terlalu lemah untuk melindungi seorang perempuan cantik seperti kau. Lihat, ia belum berbuat sesuatu dalam keadaan seperti ini. Jika ia memang seorang laki-laki, ia tentu akan marah dan berbuat sesuatu untuk melindungi isterinya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang masih duduk berdiam diri diatas punggung kudanya sebagaimana Glagah Putih. Namun keduanyapun kemudian meloncat turun. Dengan langkah satu-satu Agung Se"dayu mendekati orang itu sambil berkata, "Ki Sanak. Sebaiknya kita tidak bertengkar. Lihatlah, orang-orang yang lewat itu tentu akan memperhatikan kita. Mereka kemudian akan berkerumun seperti menonton sabung ayam di kalangan. Karena itu, sudahlah. Tinggalkan isteriku. Jangan kau ganggu lagi."
Tetapi laki-laki itu tertawa. Katanya, "Agaknya kau termasuk seorang yang lembut dan tidak brangasan. Kau ti"dak cepat menjadi marah dan menantangku berkelahi."
"Aku bukan orang yang senang berkelahi." berkata Agung Sedayu.
"Atau katakan saja kau laki-laki cengeng." jawab orang itu sambil tertawa.
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "menilik ujud lahiriahmu, kau tidak pantas melakukan penghinaan seperti ini terhadap seorang perempuan. Tetapi kenapa hal itu kau lakukan?"
"Pertanyaan yang menarik." jawab orang itu. "Agaknya tidak hanya kau yang memuji aku sebagai seorang laki-laki tampan dan berwajah lembut. Tetapi aku bukan seorang laki-laki cengeng. Aku melakukan apa yang ingin aku lakukan."
"Siapa kau sebenarnya?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku anak Demang dari Kademangan Wanda Karang di seberang Bukit-bukit Menoreh." jawab anak muda itu.
"Anak Ki Demang Wanda Karang." ulang Agung Se"dayu.
"Ya. Kenapa" Kau pernah mendengar nama itu?" bertanya orang itu.
"Aku pernah mendengar nama Demang Wanda Ka"rang. Seorang Demang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi dan pengabdian yang mantap terhadap Mataram." jawab Agung Sedayu.
"Nah, dengarlah baik-baik." berkata orang itu, "aku telah mendapat perintah dari ayahku untuk menghadap ke Mataram. Aku membawa pertanda hubungan yang akrab antara ayahku dengan Ki Tumenggung Resayuda. Ki Tumenggung tentu bersedia membawa aku menghadap Panembahan Senapati. Dengar sekali lagi. Aku akan meng"hadap Panembahan Senapati secara pribadi. Nah, aku tentu dapat membayangkan kebesaran anak Demang Wanda Ka"rang ini, yang akan diterima secara pribadi oleh Panem"bahan Senapati."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Lalu apa hubungannya antara kesediaan Ki Tumenggung Resayuda membawamu menghadap dengan tingkah lakumu sekarang ini" Ki Sanak. Jika ayahmu tahu apa yang kau lakukan disini, ayahmu tentu akan sangat marah kepadamu."
Orang itu tertawa. Katanya, "Ayah tidak akan marah kepadaku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Sebaiknya jangan kau lakukan peng"hinaan terhadap martabat seorang perempuan seperti itu. Ketika kami melewati Tanah Perdikan Menoreh, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang berkumpul di ujung-ujung lorong memberi kesempatan kami lewat tanpa diganggu."
"Persetan dengan anak-anak Tanah Perdikan Me"noreh." jawab anak muda itu.
"Apakah kau tidak mengenal Tanah Perdikan Me"noreh?" bertanya Agung Sedayu.
Orang itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, "Yang kau lakukan tidak ada hubungannya dengan Tanah Perdikan yang besar itu."
"Ternyata kau belum mengenal kehidupan di Tanah Perdikan tetanggamu itu." berkata Agung Sedayu, "ting"kah lakumu tentu tidak disukai."
"Apakah kau orang Tanah Perdikan Menoreh?" ber"tanya anak Demang Wanda Karang itu.
"Kami keluarga kecil yang tinggal di ujung Utara Tanah Perdikan itu." jawab Agung Sedayu.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Yang aku lakukan tidak ada hubungannya dengan Tanah Perdikan itu."
"Anak-anak muda Tanah Perdikan tentu akan melindungi kami." berkata Agung Sedayu, "jika mereka tahu bahwa anak Demang Wanda Karang telah menyakiti hati orang-orangnya, maka ada kemungkinan mereka akan datang melintasi bukit dan turun di Kademangan Wanda Karang."
Anak Ki Demang Wanda Karang itu termenung sejenak. Namun ketika sekali lagi ia memandang wajah Sekar Mirah, maka katanya, "Aku sudah terbiasa menuruti keinginanku atas perempuan-perempuan cantik. Tidak seorangpun telah menghalangi aku. Sementara itu orang-orang Tanah Perdikan tidak akan berani mengganggu aku, apalagi Kademangan Wanda Karang yang sudah diakui adanya dan memiliki hubungan rapat dengan Panembahan Senapati lewat Ki Tumenggung Resayuda."
"Jangan bermain api Ki Sanak." berkata Agung Se"dayu, "Kau akan dihukum oleh Panembahan Senapati. Sudahlah. Pergilah, karena agaknya Ki Tumenggung itu su"dah menunggumu. Bahkan mungkin Panembahan Sena"pati."
"Perempuan itu cantik sekali." desis laki-laki yang berpakaian rapi itu, "aku akan menukarnya dengan timang emasku."
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja justru tangan Sekar Mirah sendiri telah menampar pipi orang itu. Meskipun Sekar Mirah hanya mempergunakan tenaga wajarnya, namun orang itu menyeringai menahan panas pipinya itu.
"Kenapa kau memukulku?" bertanya laki-laki itu.
"Persetan. Aku akan pergi." geram Sekar Mirah yang mendekati kudanya.
Tetapi laki-laki itu justru tertawa. Katanya, "Kau akan pergi begitu saja setelah menampar pipiku perempuan cantik. Kau harus mau mengobati pipiku yang sakit ini. Kau dengar?"
Wajah Sekar Mirah menjadi kemerah-merahan. Ketika laki-laki itu tertawa, maka sekali lagi Sekar Mirah telah menampar pipinya pula. Lebih keras dari sebelumnya. Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa perempuan itu begitu berani menampar pipinya sampai dua kali.
"Jangan membuat aku marah." berkata anak De"mang Wanda Karang itu, "aku dapat berbuat lebih kasar lagi meskipun kita berada dipinggir jalan. Orang-orangku akan dapat mengusir orang-orang yang ingin menonton permainan kita atau memaksa perempuan itu untuk pergi ke tengah-tengah padang ilalang di rawa-rawa dipinggir Kali Praga itu."
Sekar Mirah sudah tidak berbicara lagi. Ia justru sekali lagi memukul wajah laki-laki itu.
Laki-laki itu memang menjadi marah. Dengan nada keras ia berkata, "He, laki-laki cengeng. Kenapa kau diam saja" Kau harus marah dan menantang aku berkelahi."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak suka berkelahi. Tetapi karena perempuan itu yang telah kau hinakan dan kau rendahkan martabatnya, maka ia tentu akan marah. Jika kau tidak malu, biarlah kau berke"lahi dengan perempuan itu, atau kau tinggalkan ia."
"Pengecut. Kau mau apa he" Kenapa bukan kau yang berkelahi?" desak laki-laki itu.
"Yang sering berkelahi memang isteriku. Itu merupakan kegemarannya. Jika kau menantangnya, ia akan senang sekali menanggapinya." jawab Agung Sedayu.
"Persetan." geram laki-laki itu. Namun tiba-tiba ia berkata kepada orang-orangnya, "Usir orang-orang yang akan menonton itu. Atau pukuli mereka sampai pingsan."
Para pengawalnya itupun kemudian telah mengusir orang-orang yang lewat, yang memang tertarik melihat pertengkaran itu. Namun mereka menjadi ketakutan ketika orang-orang bertubuh raksasa itu mengusir mereka.
Anak Demang Wanda Karang itu termangu-mangu sejenak.
Sementara Sekar Mirahpun berkata, "Kau dengar kata-kata suamiku. Suamiku bukan jenis orang yang suka berkelahi. Tetapi akulah yang mempunyai kegemaran berkelahi. Sudah tiga hari tiga malam aku tidak berkelahi. Kebetulan sekali bahwa disini aku bertemu dengan seorang yang ingin berkelahi."
Telinga laki-laki itu memang mulai panas. Dengan nada geram ia berkata, "Aku tantang suamimu."
"Ia akan mewakilkan aku. Mau tidak mau. Jika kau menolak, aku akan memukulimu sampai gigimu terlepas. Tetapi jika kau menerima tantanganku, aku akan membuatmu pingsan dan kakimu timpang." bentak Sekar Mirah.
Laki-laki itu benar-benar marah. Sebagaimana kebiasaannya, bahwa kemauannya tidak pernah ditolak oleh orang-orang sekademangan, maka ia benar-benar tidak mau menerima keadaannya itu.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, dengan nada tinggi ia kemudian berkata lantang. "Agaknya kau benar-benar belum mengenal iku."
"Memang aneh, bahwa kau belum pernah kami lihat sebelumnya meskipun kau hanya tinggal di seberang bukit-bukit Menoreh." berkata Agung Sedayu.
"Aku memang baru saja kembali ke Kademangan. Beberapa bulan yang lalu, setelah beberapa tahun aku berguru di padepokan Pandean. Nah, sekarang kau akan menjadi semakin menyesali tingkah lakumu. Aku kembali dari pa"depokan Pandean dengan ilmu yang tinggi."
Agung Sedayu memang mengerutkan keningnya ketika ia mendengar bahwa orang itu baru saja kembali dari ber"guru beberapa bulan yang lalu. Itulah agaknya yang telah mempengaruhi sikapnya. Ketidak seimbangan antara peningkatan kemampuan dan ilmu serta peningkatan pengen"dapan diri. Dengan demikian maka seseorang akan dapat menjadi sesongaran serta ilmunya bukannya diamalkan, tetapi justru dipergunakannya untuk merugikan orang lain. Orang orang yang demikian adalah justru orang-orang yang sangat berbahaya.
Namun agaknya Sekar Mirah yang merasa terhina itupun menyahut, "Persetan dengan padepokan Pandean. Jika kau tetap akan berbuat kasar dan menghinaku, maka kau akan menyesal."
Laki-laki itu justru telah bergeser mendekat, sehingga Sekar Mirah terpaksa melangkah surut.
"Aku memperingatkanmu." berkata Sekar Mirah, "jangan mempermainkan aku."
Tetapi laki-laki itu tidak menghiraukannya. Ia justru maju selangkah mendekati Sekar Mirah.
Sekar Mirah tidak menahan dirinya lagi. Iapun kemu"dian telah memukul dada laki-laki itu dengan telapak tangannya. Ia bukan saja mempergunakan tenaga wajarnya, tetapi ia sudah mempergunakan tenaga cadangannya mes"kipun baru sebagian kecil. Tetapi karena peristiwa itu sama sekali tidak diduganya, maka rasa-rasanya dada orang itu telah membentur batu hitam.
Kecuali perasaan sakit yang menekan seluruh isi dadanya, maka orang itupun telah terdorong surut beberapa langkah. Bahkan hampir saja ia telah kehilangan keseimbangannya. Namun dengan susah payah ia masih sempat mempertahankan keseimbangannya itu sehingga ia tidak jatuh terlentang.
Meskipun demikian, maka yang terjadi itu merupakan penghinaan yang sangat besar bagi laki-laki yang nampak rapi dan berwajah lunak itu. Tetapi ketika Sekar Mirah kemudian memandangi wajahnya, maka tatapan yang lembut itu sudah tidak nampak sama sekali. Yang terbayang diwajahnya kemudian adalah kebencian yang membara.
"Perempuan tidak tahu diri." geram laki-laki itu, "kau berani menyakiti aku he" Aku adalah utusan pribadi ayah Demang Wanda Karang untuk menemui Ki Tumeng"gung Resayuda dan yang seterusnya akan menghadap Panembahan Senapati."
Sekar Mirah justru menjadi muak mendengar kata-kata laki-laki yang mengaku anak Ki Demang Wanda Karang itu. Dengan nada tinggi ia berkata, "Yang patut dihormati itu adalah Ki Tumenggung Resayuda dan yang patut disembah adalah Panembahan Senapati. Bukan kau. Ka"rena itu, tidak pantas untuk menyombongkan diri sambil menyebut nama Ki Tumenggung Resayuda itu. Apalagi Panembahan Senapati."
"Persetan." sahut laki-laki itu, "aku tidak peduli lagi. Ternyata kalian memang orang-orang yang datang dari bukit yang tidak mengerti arti kedudukan seorang Tu"menggung. Kau memang tidak akan dapat membayangkan betapa tinggi kedudukannya dan betapa besar kuasanya. Karena itu, maka sekarang kau berhadapan saja dengan aku. Aku harus membuatmu jera, sehingga kau tidak akan menghina aku lagi. Tanpa menyebut nama Ki Tumenggungpun aku akan dapat membuatmu menyadari betapa kecilnya kau."
"Bagus." berkata Sekar Mirah, "sekarang kau mau apa" Jika kau tidak malu dilihat orang banyak berkelahi dengan seorang perempuan, apalagi aku."
"Kau mencoba mencari alasan untuk menghindari kekerasan." berkata laki-laki itu, "tetapi aku tidak dapat memaafkanmu lagi. Orang-orangku akan mengusir mereka yang mencoba menonton kau aku pukuli sampai kau menyembahku dan mencium kakiku."
Tetapi Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Kita akan melihat, siapakah yang akan berlutut dan menciumi telapak kaki. Aku atau kau."
Laki-laki itu benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba sa"ja iapun mulai menyerang Sekar Mirah. Sebagai murid dari padepokan Pandean yang dibanggakannya, maka orang itu berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Dengan tangkas ia telah melenting sambil mengayunkan tangannya, mengarah ke wajah Sekar Mirah. Orang itu ingin membalas, betapa pedihnya jika tangannya menyentuh pipi perempuan yang garang itu.
Tetapi ternyata Sekar Mirah mampu bergerak lebih cepat. Tangan itu terayun tanpa menyentuh wajah Sekar Mirah. Bahkan dengan cepat pula Sekar Mirah justru telah memukul pergelangan tangan orang itu dengan sisi telapak tangannya.
Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Sekar Mirah akan mampu melakukannya. Dengan tergesa-gesa ia berusaha menarik tangannya yang terayun. Namun ia tidak dapat membebaskan tangannya sepenuhnya dari sentuhan sisi telapak tangan Sekar Mirah.
Ketika sisi telapak tangan Sekar Mirah mengenainya, sekali lagi orang itu terkejut. Perempuan itu tidak hanya mampu bergerak cepat. Tetapi tenaganya ternyata sangat besar, sehingga rasa-rasanya tangan lawan Sekar Mirah yang tersentuh dan telapak tangannya itu bagaikan men"jadi retak.
Dengan tergesa-gesa orang itu meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Ia ingin memperhatikan keadaannya. Tangannya yang tersentuh sisi telapak tangan Sekar Mirah itu terasa betapa nyerinya. Tetapi ia tidak sempat melakukannya. Sekar Mirah tidak melepaskannya. Iapun telah meloncat memburunya. Tangannyalah yang kemudian terayun mengarah kedada lawannya.
Sekali lagi lawannya harus meloncat surut menghindari serangan Sekar Mirah. Tetapi sekali lagi yang tidak diduganya, Sekar Mirah yang diketahuinya sebagai seorang perempuan, tidak saja menyerang dengan tangannya. Teta"pi demikian lawannya menghindar surut, maka tiba-tiba sa"ja Sekar Mirah telah berputar. Kakinyalah yang terayun satu putaran, bertumpu pada kakinya yang lain.
Ternyata kaki Sekar Mirah yang berputar itu, tidak sempat dihindarinya. Ia memang berusaha untuk menangkisnya dengan sikunya. Tetapi ayunan kaki Sekar Mirah terlalu keras, sehingga benturan yang terjadi tidak diduganya pula sebagaimana serangan itu. Ternyata kekuatan Sekar Mirah benar-benar luar biasa. Benturan yang terjadi telah melemparkannya keberapa langkah surut. Bahkan orang yang menyebut dirinya Ki Demang Wanda Karang itu telah terbanting jatuh.
Untuk melepaskan diri dari serangan berikutnya, orang itu telah berguling menjauh. Sambil mengerahkan tenaganya ia telah melenting berdiri. Tetapi geraknya terlalu lamban bagi Sekar Mirah. Demikian orang itu tegak, maka kaki Sekar Mirah telah mengenai dadanya sehingga sekali lagi orang itu terlempar jatuh.
Terdengar keluhan kesakitan. Punggung orang itu seakan-akan telah menjadi patah. Untunglah mereka berke"lahi di tepian Kali Praga yang berpasir, sehingga keadaan orang itu tidak terlalu parah. Namun demikian, orang itu telah mengumpat kasar. Ketika ia melihat Sekar Mirah berdiri tegak, maka sekali lagi ia berguling. Kemudian dengan hati-hati ia bangkit dan duduk sambil menyilangkan tangannya didada.
Tetapi Sekar Mirah tidak menyerangnya. Ia berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
Ketika orang yang mengaku anak Ki Demang Wanda Karang itu bangkit sendiri. Sekar Mirah berkata lantang. "Aku dapat menghancurkan kepalamu, murid padepokan Pandean. Apa yang sebenarnya kau banggakan dari perguruanmu itu" Apa pula yang dapat kau tunjukkan kepada Ki Tumenggung Resayuda bahwa kau adalah anak Ki Demang Wanda Karang yang berilmu tinggi" Mungkin kau memang membawa pertanda dari Ki Demang Wanda Karang. Tetapi apa yang kau bawa itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa tanpa menunjukkan bukti bahwa kau memang anak Ki Demang yang berilmu tinggi itu. Ki Tumenggung tidak akan percaya bahwa anak Ki Demang Wanda Karang ter"nyata hanyalah seorang laki-laki yang mampu berbicara panjang namun bersikap terlalu lemah melampaui seorang perempuan. He, ingat, aku adalah seorang perempuan."
Anak Ki Demang Wanda Karang itu menggeram. Teta"pi perempuan itu benar-benar seorang perempuan yang ber"ilmu tinggi. Karena itu ia memang harus sangat berhati-hati. Bahkan ia merasa tanpa senjata ia tidak akan dapat mengalahkan perempuan itu. Dengan garangnya, maka anak Ki Demang itu telah menarik pedangnya.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Pedang orang itu benar-benar sebilah pedahg yang luar biasa. Pedang yang berwarna agak kehitam-hitaman dengan pamor yang membujur dari pangkal sampai ke ujung. Agaknya pedang itu telah dibuat sebagaimana seseorang membuat keris, se"hingga dengan demikian maka pedang itu nampaknya mengandung racun warangan seperti kebiasaan sebilah keris.
"Kenapa kau menjadi pucat perempuan gila." geram laki-laki itu, "salahmu jika kau mengalami bencana sekarang ini. Jika kau mati, maka tidak akan ada seorangpun yang berani menuntut aku karena aku adalah seseorang yang mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Resa"yuda."
"Hentikan bualanmu tentang Ki Tumenggung. Kau kira Ki Tumenggung itu bangga bahwa namanya kau sebut-sebut. Bahwa kuasanya kau pergunakan untuk menakut-nakuti orang?"
"Baik. Tanpa Ki Tumenggung, maka aku akan menyelesaikanmu. Pedangku adalah pedang yang lain dari kebanyakan pedang. Kau lihat pamornya yang menyala?" ber"tanya laki-laki itu.
Sekar Mirah memang termangu-mangu. Ia tidak mau terkena akibat dari kelengahannya, karena lawannya bersenjata. Ia tidak seperti Agung Sedayu yang kebal akan bisa dan racun. Meskipun kemampuan Agung Sedayu mem"bawa beberapa obat, tetapi lebih baik baginya untuk tidak perlu berobat di tengah perjalanan itu.
Karena itu, maka iapun berkata kepada Glagah Putih, "Tolong, berikan tongkatku."
Glagah Putih yang tahu pasti, bahwa tongkat Sekar Mirah berada di pelana kudanya, maka iapun dengan serta merta tidak mengambilnya dan memberikannya kepada Sekar Mirah.
"Kau pernah melihat tongkat seperti ini?" bertanya Sekar Mirah ketika tongkatnya telah berada ditangannya.
Orang itulah yang kemudian menjadi berdebar-debar. Tongkat itu memang agak aneh. Apalagi kepala tongkat itu adalah sebuah tongkat kecil yang terbuat dari logam yang terpilih. Sementara batang tongkatnya yang putih itu memberikan kesan tersendiri.
"Aku akan mengimbangi pedangmu dengan senjata ini. Tetapi jika aku terlanjur bermain dengan senjata, maka akibatnya mungkin akan sangat pahit bagimu." berkata Sekar Mirah.
Tetapi orang itu menjawab, "Kau harus mengenal lebih dahulu ilmu pedang dari perguruan Pandean. Baru kau akan dapat memberikan penilaian."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Meskipun ia tahu bahwa lawannya bukan seorang yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang besar, tetapi ia tidak boleh mengabaikannya.
"Mungkin ia memang memiliki ilmu pedang yang tinggi." berkata Sekar Mirah didalam hatinya.
Sejenak keduanya bersiap-siap. Para pengawal Ki Demang Wanda Karang itu menjadi tegang. Mereka agak"nya mengenal kemampuan ilmu pedang anak Ki Demang itu.
"Jangan berdiri kebingungan seperti itu." berkata anak Ki Demang, "usir setiap orang yang akan menonton bagaimana aku menghancurkan seorang perempuan sombong. Perempuan yang tentu akan berlutut dan mencium telapak kakiku."
Tetapi orang itu tiba-tiba terkejut. Tongkat Sekar Mirah terayun deras, sehingga anginpun telah ikut pula berdesing menyambar tubuh anak Ki Demang itu. Anak Ki Demang ini benar-benar tidak menyangka. Iapun dengan serta merta telah meloncat beberapa langkah surut.
Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, "Tidak usah ter"kejut Ki Sanak. Aku tidak benar-benar berusaha mematahkan lehermu."
"Persetan perempuan sombong." sahut orang itu, "kau kira dengan membuat gerakan-gerakan seperti itu kau dapat membuat aku takut?"
"O" Sekar Mirah mengerutkan dahinya, "siapa yang mengatakan bahwa kau takut" Kau sendiri?"
"Persetan." geram orang itu.
Namun sejenak kemudian pedangnyapun telah ber"putar. Beberapa kali orang itu bergerak sambil mempermainkan pedangnya. Bergeser dari satu sisi kesisi yang lain. Ternyata bahwa orang itu memang menguasai ilmu pedang. Karena itu Sekar Mirah memang harus berhati-hati. Ketika pedang lawannya mulai mematuk, maka Sekar Mirahpun mulai bergeser pula. Iapun telah memutar tongkatnya pula, sebagaimana dilakukan oleh lawannya.
Sejenak kemudian, maka pertempuran menjadi semakin seru. Keduanya telah mempergunakan senjata me"reka masing-masing. Mereka ternyata memang memiliki kemampuan dan kekuatan yang tinggi. Namun agaknya anak Ki Demang itu masih terbatas pula kemampuan dan ketrampilan kewadagan. Karena itu, ketika tongkat Sekar Mirah berputar semakin cepat dilambari dengan kekuatan cadangan didalam dirinya, sehingga putaran tongkatnya itu bagaikan bersiul karenanya, hati anak Ki Demang itu memang berdebar-debar.
"Ilmu iblis manakah yang menyusup didalam diri perempuan itu?" bertanya anak Ki Demang itu didalam hatinya.
Namun ketika sekali-sekali senjata mereka bersentuh, maka jantung anak Ki Demang itu menjadi semakin ber"debar-debar. Ternyata perempuan itu benar-benar bukan perempuan kebanyakan. Kekuatannyapun bukan kekuatan seorang perempuan. Tetapi anak Ki Demang itu sudah terlanjur menarik pedang dari sarungnya. Sehingga karena itu, maka iapun telah berusaha dengan segenap kemampuan yang pada dirinya untuk menguasai lawannya yang tidak lebih dari se"orang perempuan. Namun ternyata usahanya sia-sia. Semakin lama maka iapun justru menjadi semakin terdesak.
Glagah Putih yang sejak semula telah menahan diri menghadapi sikap anak Ki Demang itu, tiba-tiba telah bergeser mendekat. Hampir diluar sadarnya, Glagah Putih telah bertepuk tangan ketika anak Ki Demang itu terdorong surut.
Untuk menghindari ujung tongkat Sekar Mirah yang bagaikan memburunya, orang itu telah menggeliat. Namun justru ia telah terjatuh terlentang. Karena itu, maka iapun telah berguling untuk mengambil jarak dan meloncat bangkit. Sekar Mirah tidak memburunya. Ia memang memberi kesempatan laki-laki itu untuk berdiri.
Tetapi laki-laki itu menjadi marah pula kepada Glagah Putih. Ia menganggap Glagah Putih telah menghinanya dengan sengaja karena anak muda itu telah bertepuk tangan justru pada saat ia terlempar jatuh.
Karena itu maka orang itupun kemudian mengumpat kasar, "Anak gila. Kaupun harus mendapatkan pelajaran, agar kau sadari kebodohanmu."
"Bukankah aku tidak berbuat sesuatu?" berkata Glagah Putih.
"Kenapa kau bertepuk tangan?" wajah anak Ki De"mang itu menjadi merah.
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Kau terlalu sombong sehingga kau telah salah menilai lawanmu. Bahkan setelah kau jatuh bangun kau masih juga belum menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi atas dirimu."
Orang itu menggeretakkan giginya, sementara Sekar Mirah masih saja berdiri sambil menimang tongkatnya.
Kemarahan orang itu benar-benar tidak terkendali. Ka"rena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak kepada para pengawalnya, "Tangkap anak ini. Ikat dan kita akan menyeretnya dibelakang punggung kuda dan membawanya meng"hadap Ki Tumenggung."
Ketiga orang pengawalnya yang mendapat perintah itu"pun segera bersiap. Namun dalam pada itu Glagah Putih masih sempat menjawab, "Aku sudah membawa kuda sendiri."
Kemarahan orang itu menjadi semakin membakar jantung. Karena itu, maka iapun berteriak, "Cepat, tangkap dan ikat kelinci itu."
Ketiga orang itupun segera mulai bergerak. Mereka mengepung Glagah Putih dari tiga jurusan.
Anak Ki Demang itupun telah berteriak pula, "Cepat. Apalagi yang kau tunggu."
Ketiga orang itupun dengan serta merta telah meloncat menyerang Glagah Putih yang masih berdiri termangu-mangu.
Sekar Mirah menyaksikan serangan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Bahkan Agung Sedayu menjadi cemas. Bukan karena keselamatan Glagah Putih, tetapi justru sebaliknya. Pergaulan Glagah Putih dengan Raden Rangga agaknya memang berpengaruh atas sifat-sifat Glagah Putih. Dan yang dicemaskan Sekar Mirah dan Agung Sedayu itu memang terjadi, meskipun tidak memungut nyawa dari salah seorang diantara lawan-lawannya.
Perkelahian antara Glagah Putih dan ketiga orang pengawal anak Ki Demang itu hanya berlangsung singkat. Glagah Putih telah berloncatan bagaikan burung sikatan. Demikian cepat, seakan-akan hanya satu putaran gerak. Namun ketiga orang lawannya telah terlempar jatuh. Dua orang diantara mereka tidak segera dapat bangkit kembali, sementara yang seorang berusaha untuk berdiri. Tetapi keseimbangannya tidak segera dapat dipulihkan. Ia masih terhuyung-huyung sesaat. Meskipun ia berhasil berdiri diatas kedua kakinya, namun dadanya masih saja terasa bagaikan tersumbat.
Glagah Putih berdiri tegak sambil tertawa kecil. Kata"nya, "Sekali lagi terjadi kesalahan. Bangkitlah. Jika kalian masih ingin bermain-main, kita akan melakukannya. Kami tidak tergesa-gesa."
Dua orang yang masih terbaring itu menggeliat. Tetapi punggung mereka memang terasa bagaikan patah.
"Marilah." ulang Glagah Putih.
Dalam pada itu, anak Ki Demang itu memang menjadi marah bukan kepalang. Dengan keras ia berteriak, "He, ternyata kalian adalah tikus-tikus buruk. Aku akan melaporkannya kepada ayah tentang kalian. Apa yang dapat kalian lakukan he" Buat apa ayah memerintahkan kalian menyertai aku?"
"Jangan mengumpat-umpat." Glagah Putihlah yang menjawab sambil tertawa. Katanya kemudian, "Bukan orang-orangmu yang bagaikan tikus buruk. Tetapi ilmuku, adalah ilmu yang diturunkan dari langit, dari antara awan yang berarak, menyadap kekuatan mendung yang mengandung petir serta mengetrapkan kekuatan lesus dan prahara."
"Glagah Putih." Agung Sedayu melangkah mendekatinya, "Kau jangan mempermainkan mereka terlalu jauh."
Glagah Putih berpaling. Tetapi iapun kemudian mena"rik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia menyadari, bahwa yang berdiri di belakangnya adalah kakak sepupunya, Agung Sedayu. Bukan Raden Rangga.
Sementara itu Agung Sedayupun kemudian berkata, "Ki Sanak. Tinggalkan tempat ini. Semakin cepat semakin baik daripada kalian akan menjadi tontonan orang banyak."
Orang itu memandang Agung Sedayu dengan wajah yang tegang. Namun ia menyadari, bahwa dari sorot matanya, orang itu akhirnya mengenal bahwa Agung Sedayu tentu memiliki kelebihan dari perempuan dan anak muda itu.
Karena itu, maka anak Ki Demang Wanda Karang itu harus berpikir ulang. Laki-laki yang disebut suami perem"puan yang memiliki kemampuan yang luar biasa serta tongkat yang menggetarkan jantungnya itu, maka laki-laki itu tentu akan dapat berbuat jauh lebih banyak.
Karena itu, maka anak Ki Demang itupun kemudian telah memilih untuk menghentikan usahanya menghukum orang-orang yang dianggapnya telah menyakiti hatinya itu. Karena itu, maka iapun telah bergeser selangkah surut.
Agaknya Sekar Mirahpun telah jemu dengan permainan itu. Karena itu, maka tanpa mengatakan sepatah katapun, iapun segera melangkah ke kudanya, diikuti oleh Glagah Putih. Setelah menyelipkan tongkatnya, maka Sekar Mirah"pun kemudian dengan tangkasnya meloncat ke punggung kudanya. Memang tidak ada yang dapat membedakan, bahwa ia adalah seorang perempuan tanpa melihat ciri-cirinya dari dekat. Terutama suara Sekar Mirah.
Agung Sedayupun kemudian telah berada dipunggung kudanya pula, disusul oleh Glagah Putih yang kemudian duduk dipunggung kudanya yang tegap tegar dan yang jarang ada duanya itu.
Tanpa berpaling maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putihpun telah meninggalkan tempat itu. Beberapa orang yang menonton dari kejauhanpun telah meninggalkan tempatnya. Mereka menduga, bahwa orang-orang yang kalah itu tentu akan melepaskan kemarahannya kepada mereka yang menonton perkelahian itu.
Namun dalam pada itu, masih terdengar suara anak Ki Demang, "Hati-hatilah kalian. Aku membawa pertanda un"tuk menghadap Ki Tumenggung Resayuda dan Panemba"han Senapati itu sendiri."
Ketiga orang berkuda itu sama sekali tidak menghiraukan meskipun mereka juga mendengarnya. Demikianlah, maka ketiga orang itupun telah berpacu meninggalkan tepian Kali Praga. Agaknya mereka telah terhambat beberapa saat untuk melayani seorang laki-laki yang terlalu berbangga karena ia akan menghadap Ki Tu"menggung Resayuda.
Sambil membenahi pakaiannya, Sekar Mirah bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah kau pantas menghadap Panembahan Senapati dengan pakaian seperti ini?"
"Kita tidak menghadap Panembahan Senapati dalam pasowanan. Kita akan mohon menghadap secara pribadi. Agaknya Panembahan Senapati dapat memahami keadaan kita, sehingga mudah-mudahan Panembahan Senapati tidak menganggap kita telah berlaku deksura," jawab Agung Sedayu.
"Jika demikian, sebaiknya kakang saja dahulu meng"hadap. Aku akan menunggu. Jika agaknya Panembahan Senapati dapat menerima aku dalam keadaan seperti ini, aku akan ikut menghadap. Tetapi jika sebaiknya tidak, aku akan menunggu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga ia tidak mengenakan pakaian yang pantas dari seorang perempuan.Bahkan justru karena pakaiannya itulah ia telah berselisih dengan anak Demang Wanda Karang. Jika Sekar Mirah berpakaian seperti kebanyakan perempuan, mungkin ia justru tidak akan banyak menarik perhatian anak Demang Wanda Ka"rang itu.
Ternyata perjalanan mereka selanjutnya tidak mengalami hambatan lagi. Mereka kemudian memasuki gerbang kota Mataram tanpa kesulitan. Orang-orang termasuk para petugas di pintu gerbang memang menyangka bahwa yang bersama-sama dengan Agung Sedayu itu adalah dua orang anak muda.
Seorang prajurit yang telah mengenal Agung Sedayu bertanya di dalam hati, "Anak siapa lagi yang dibawa oleh Agung Sedayu itu setelah Glagah Putih."
Demikianlah, maka tanpa kesulitan Agung Sedayupun telah memasuki halaman istana justru karena seorang perwira yang bertugas telah mengenalnya. Dan bahkan telah membawanya kepada seorang pelayan dalam.
"Jika Panembahan Senapati berkenan, kami akan menghadap." berkata Agung Sedayu kepada pelayan dalam itu.
"Paseban baru saja selesai." berkata pelayan dalam itu, "banyak hal yang dibicarakan. Agaknya Panembahan Senapati merasa letih."
"Cobalah, sampaikan permohonanku. Aku akan meng"hadap secara pribadi." berkata Agung Sedayu kemudian.
Kemudian ketika pelayan dalam itu masuk keruang dalam, Agung Sedayu berkata kepada perwira yang telah mengenalnya itu, "Biarlah isteriku menunggu. Kami berdua akan menghadap lebih dahulu. Baru jika Panembahan Senapati berkenan, isteriku akan aku panggil."
"Kenapa?" bertanya perwira itu.
"Ia tidak mengenakan pakaian yang pantas untuk menghadap. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian perjalanan." jawab Agung Sedayu.
Perwira itu hanya mengangguk-angguk saja. Ia sama sekali tidak dapat menduga, apa yang akan dikatakan oleh Panembahan Senapati tentang perempuan yang tidak berpakaian wajar itu. Namun menilik hubungan yang akrab antara Panembahan Senapati dengan Agung Sedayu sejak mereka masih sering mengembara, maka ada beberapa kemungkinan dapat terjadi.
Betapa letihnya Panembahan Senapati, ternyata Agung Sedayu telah diterimanya juga. Bukan hanya sekedar karena telah berhubungan akrab. Tetapi Panem"bahan Senapati telah menduga bahwa ada perkembangan baru telah terjadi di Tanah Perdikan.
Bahkan ketika Agung Sedayu menyebut tentang isterinya yang ikut bersamanya, namun dengan mengenakan pakaian perjalanan yang tidak pantas untuk meng"hadap, Panembahan Senapati berkata, "Panggil ia kemari. Biarlah ia ikut mendengar, apa yang kita bicarakan."
Agung Sedayu mengangguk hormat. Tetapi ia masih juga ragu-ragu. Karena itu, maka katanya, "Hamba mohon ampun Panembahan. Isteri hama mengenakan pakaian per"jalanan yang sama sekali kurang pantas bagi seorang pe"rempuan yang menghadap Panembahan."
"Dalam keadaan khusus, maka aku perkenankan isterimu menghadap dengan pakaian perjalanan. Aku tahu, bahwa Sekar Mirah tentu memakai pakaian seorang laki-laki. Sementara pakaian perjalanan perempuan lain masih juga tetap memakai kain panjang." berkata Panembahan Senapati.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia kemudian bergeser surut untuk memanggil isterinya untuk menghadap Panembahan Senapati yang menerimanya di serambi.
Betapa canggungnya Sekar Mirah dalam pakaiannya meng"hadap Panembahan Senapati. Tetapi Panembahan sendiri telah mengatakan, "Jangan segan. Aku telah mengijinkan kau menghadap dengan pakaianmu yang sudah aku bayangkan sebelumnya."
"Hamba Panembahan." sahut Sekar Mirah dengan kepala tunduk, "hamba mohon ampun atas tingkah laku hamba ini."
Panembahan Senapati tertawa. Katanya, "Kau nampak semakin meyakinkan sebagai murid Sumangkar."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi kepalanya men"jadi semakin tunduk.
Dalam pada itu, maka Panembahan Senapatipun kemu"dian mendengarkan dengan saksama laporan Agung Sedayu tentang kegiatan orang-orang yang berasal dari daerah Timur yang tentu digerakkan oleh orang yang paling berpengaruh.
"Tetapi aku yakin, pamanda Panembahan Madiun masih belum akan bertindak sedemikian jauh." berkata Panembahan Senapati. Namun kemudian suaranya rendah, "Namun aku menjadi semakin berprihatin. Meninggalnya adimas Pangeran Benawa merupakan persoalan baru yang menambah keruhnya hubungan antara Pajang dan Madiun. Aku, Panembahan Senapati merasa berwenang untuk menunjuk penggantinya, karena selama ini Pajang memang berada dibawah lingkungan kesatuan dengan Mataram, seharusnya demikian pula dengan Madiun. Karena adimas Pangeran Benawa tidak meninggalkan pesan apapun, maka semua hak atas Pajang kembali kepadaku sebagaimana aku pernah menyerahkannya kepada adimas pangeran. Tetapi mungkin pamanda Panembahan mempunyai pendapat lain."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian Panembahan Senapatipun berkata, "Tetapi bukan berarti bahwa semua kemungkinan telah tertutup. Aku masih berusaha untuk berbicara dengan pamanda Pa"nembahan Madiun. Sementara itu, pesanku, juga kepada adik seperguruanmu di Sangkal Putung, berhati-hatilah. Agaknya akan banyak tugas yang harus kita lakukan ke"mudian."
Agung Sedayu mengangguk hormat. Dengan nada rendah ia menyahut, "Hamba Panembahan. Hamba dan seisi Tanah Perdikan Menoreh akan melakukannya. Demikian pula akan hamba sampaikan pula kepada adi Swandaru di Sangkal Putung."
"Terima kasih." berkata Panembahan Senapati, "mudah-mudahan kita masih dapat memelihara ketenangan untuk seluruh wilayah kesatuan Mataram yang luas."
Dengan panjang lebar, Panembahan Senapati mengutarakan angan-angannya tentang masa depan Mataram. Mes"kipun secara garis besar, namun sudah nampak betapa perhatian Panembahan Senapati menyusup disegala lekuk dan liku kehidupan Mataram sampai tataran yang terendah.
Sementara itu, justru Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih diterima oleh Panembahan Senapati di serambi, maka tidak begitu banyak ikatan-ikatan paugeran yang membatasi mereka. Mereka dapat lebih bebas berbicara sebagaimana dua orang yang sudah lama mengenal yang satu dengan yang lain, meskipun pada akhirnya mereka berada pada tataran kedudukan yang terpisah jauh. Bahkan Panembahan Senapati sempat memerintahkan un"tuk menghidangkan minuman bagi tamu-tamunya.
Dalam pada itu, selagi Panembahan Senapati dan tamu-tamunya sibuk berbincang, maka telah menghadap seorang pelayan dalam yang memberitahukan bahwa Ki Tu"menggung Resayuda akan menghadap.
"Ki Tumenggung Resayuda?" bertanya Panembahan Senapati.
"Hamba Panembahan." jawab pelayan dalam itu.
"Bukankah Ki Tumenggung datang menghadap di paseban tadi?" bertanya Panembahan Senapati pula.
"Hamba Panembahan. Tetapi Ki Tumenggung, apabila Panembahan berkenan ingin meghadap barang sebentar." berkata pelayan dalam itu.
Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Na"mun kemudian katanya, "Baiklah. Biarlah ia masuk."
Ketika pelayan dalam itu bergeser mundur Panembahan Senapati berkata, "Ki Tumenggung tahu bahwa aku berada disini bersama beberapa orang tamu."
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Agaknya Ki Tumenggung itulah yang disebut-sebut oleh anak Ki Demang Wanda Karang.
Ketika kemudian Ki Tumenggung menghadap masuk, Agung Sedayu terkejut. Ternyata ia sudah mengenal Tu"menggung itu. Tetapi namanya bukan Resayuda. Karena itu, agaknya Ki Tumenggung baru saja mendapat semacam anugerah nama baru yang biasanya mengiringi pangkat atau jabatan yang baru pula.
"Apakah Ki Tumenggung sudah mengenal mereka?" bertanya Panembahan Senapati.
"Hamba Panembahan. Hamba telah mengenal mereka dengan baik." jawab Ki Tumenggung.
"Namun yang hamba kenal, namanya bukan Ki Tu"menggung Resayuda." desis Agung Sedayu.
Ki Resayuda tersenyum sambil menunduk. Sementara itu sambil tertawa pendek Panembahan Senapati berkata, "Ki Tumenggung telah mencapai tataran yang lebih tinggi."
Agung Sedayupun tertawa. Iapun kemudian berkata, "Aku mengucapkan selamat Ki Tumenggung."
"Terima kasih." berkata Ki Resayuda, "mudah-mudahan aku dapat melakukan tugasku lebih baik."
Namun dalam pada itu, Panembahan Senapatipun ber"tanya, "Apakah yang penting kau sampaikan kepadaku?"
"Ampun Panembahan." berkata Ki Resayuda, "ham"ba telah menerima anak Ki Demang Wanda Karang."
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Iapun kemudian bertanya, "Siapakah yang kau maksud?"
"Seorang Demang, Panembahan. Hamba telah mengenalnya dengan baik. Ia telah memerintahkan anaknya untuk menemui hamba, sekedar menyatakan kesetiaannya kepada Mataram Namun sebenarnyalah Ki Demang ingin memenuhi keinginan anaknya untuk sekali-sekali datang ke istana Mataram. Ada keinginannya untuk dapat berkenalan dengan para Senapati, dan bahkan apabila berkenan dihati Panembahan, orang itu ingin menghadap barang sejenak. Namun segala sesuatunya terserah kepada Panembahan." berkata Ki Tumenggung.
Ternyata bahwa hati Panembahan Senapati cukup lapang untuk menerima keinginan rakyatnya. Apalagi seke"dar menghadap. Dengan nada rendah ia berkata, "Anak Ki Demang itu tentu akan dengan bangga kembali ke Kademangannya."
"Hamba Panembahan. Ia akan dapat berceritera, bahwa ia telah menghadap Panembahan Senapati di Mata"ram." berkata Ki Tumenggung Resayuda.
Panembahan Senapati tertawa. Bahkan Panembahan Senapati itupun bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah kau juga berbangga karena kau telah menghadapi aku?"
"Hamba Panembahan." jawab Agung Sedayu dengan serta merta, mengerti perasaan itu.
"Karena itu, maka aku perkenankan ia menghadap." Bahkan Panembahan Sena"pati berkata, "Bukankah Kademangan Wanda Karang itu merupakan tetangga Tanah Perdikan Menoreh?"
"Hamba Panembahan." jawab Agung Sedayu.
"Jika demikian, apakah kalian sudah mengenal anak Ki Demang itu?" bertanya Panembahan Senapati.
"Hamba telah mengenal Ki Demang Wanda Karang." jawab Agung Sedayu, "tetapi justru anaknya hamba belum mengenalnya."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Lalu kata"nya kepada Ki Tumenggung, "Baiklah. Aku beri kesempatan ia menghadap. Pembicaraanku dengan tamu-tamuku sudah selesai."
"Hamba Panembahan. Biarlah hamba membawanya menghadap." desis Ki Temanggung.
Sementara itu, Sekar Mirah dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Orang itu agaknya adalah orang yang mereka jumpai di pinggir Kali Praga. Tetapi keduanya tidak berkata apapun juga.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka Ki Tumeng"gung yang telah memanggil anak Ki Demang itu telah membawanya menghadap. Dengan gemetar anak Ki Demang itu naik ke serambi. Demikian ia berada di depan pintu, maka iapun telah berjongkok sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung. Sambil berjongkok mereka telah memasuki serambi dengan kepala tunduk.
Sebenarnyalah bahwa berbagai perasaan telah bergejolak di dalam hati anak Ki Demang itu. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung, bahwa orang itu telah merasa sangat berbangga dapat langsung menghadap Panembahan Senapati di Mataram. Jika ia kembali ke Kademangannya, maka ia akan dapat berceritera kepada semua orang di Kademangan itu, bahwa ia telah menghadap Panembahan Senapati.
"Kalau saja orang-orang liar di Kali Praga itu mengetahui, bahwa hari ini aku telah menghadap Ki Tumenggung Resayuda dan kemudian langsung dapat bertemu berhadapan dengan Panembahan Senapati." berkata orang itu didalam hatinya.
Dalam pada itu, Panembahan Senapatipun bertanya, "Apakah kau memang anak Demang Wanda Karang?"
Jantung orang itu berdegup semakin keras. Karena itu, dengan suara bergetar sambil menundukkan wajahnya ia menjawab, "Ampun panembahan. Hamba memang anak Ki Demang Wanda Karang."
"Siapakah namamu?" bertanya Panembahan Senapati.
Orang itu termangu-mangu. Ia memang lebih senang memperkenalkan diri dengan sebutan anak Demang Wanda Karang. Jika ia menyebut namanya, maka mungkin orang itu tidak mengetahui, bahwa ia adalah anak Demang Wan"da Karang.
Tetapi dihadapan Panembahan Senapati ia tidak dapat berbuat demikian. Karena itu, maka iapun telah menyebut namanya. "Ampun Panembahan. Jika sudi menyebut nama hamba adalah Suramerta."
"Suramerta." ulang Panembahan Senapati. Lalu katanya, "Apakah kau mempunyai keperluan tertentu?"
"Ampun Panembahan. Hamba mendapat perintah dari ayah hamba untuk menghadap Ki Tumenggung Resa"yuda yang sudah mengenal ayah hamba sebelumnya. Ayah hamba ingin menyampaikan tanda kesetiaan dan melaksanakan semua pesan Ki Tumenggung Resayuda. Sementara itu, betapa besar keinginan hamba untuk dapat menghadap Panembahan Senapati, apalagi hamba sudah berada di Mataram." jawab orang itu sambil menunduk.
Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati telah berkata, "Tetapi sebelum kau datang, aku telah menerima tamu dari Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah Kademanganmu bertetangga dengan Tanah Perdikan Menoreh. Apa"kah kau belum mengenal sahabat-sahabatku dari Tanah Perdikan Menoreh ini."
Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang tidak berani mengangkat wajahnya. Namun karena pertanyaan itu, maka anak Ki Demang yang bernama Suramerta itu telah memberanikan diri untuk sedikit menengadah untuk memandang orang-orang yang ada di ruang itu.
Tetapi alangkah terkejutnya anak Ki Demang Wanda Karang itu. Tamu-tamu Panembahan Senapati seba-gaimana dikatakan oleh Panembahan itu sendiri, adalah orang-orang yang ditemuinya di Kali Praga. Hampir diluar sadarnya, anak Ki Demang Wanda Karang itu berdesis, "Kau?"
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. De"ngan nada rendah ia berkata, "Jadi kalian telah menge-nal?"
Agung Sedayulah yang menyahut, "Sebelumnya kami belum saling mengenal Panembahan. Tetapi kami telah bertemu disaat kami menyeberang Kali Praga. Hanya sekilas. Sesudah itu kami menempuh jalan yang agaknya berbeda."
Suramerta, anak Ki Demang Wanda Karang itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Ia tidak berani lagi me"mandang wajah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih. Bahkan tiba-tiba saja perasaan malu telah bergejolak didalam hatinya. Ternyata ia tidak akan dapat menyombongkan diri kepada orang-orang yang dianggapnya orang-orang tersisih di Tanah Perdikan itu, karena jusru orang-orang itu telah lebih dahulu menghadap Panembahan Sena"pati. Bahkan nampaknya orang-orang itu telah terbiasa menghadap dan tidak lagi merasa canggung untuk berbicara dihadapan Panembahan Senapati itu.
"Memang agak aneh." berkata Panembahan Senapati, "bukankah kalian bertetangga meskipun dibatasi oleh pebukitan."
"Seperti telah hamba katakana." jawab Agung Sedayu, "hamba telah mengenal Ki Demang Wanda Karang. Te"tapi hamba belum mengenal Ki Suramerta, anak Ki De"mang ini."
"Bagaimana itu dapat terjadi." desis Panembahan Senapati, "apakah kau jarang berada di Kademanganmu, Suramerta?"
"Ampun Panembahan." jawab anak Ki Demang itu dengan kepala yang semakin menunduk, "untuk waktu yang lama hamba memang jarang berada di Kademangan. Hamba telah berada di padepokan Pandean, karena ayah hamba menginginkan hamba untuk belajar. Ayah hamba in"gin jika waktunya datang, hamba dapat melakukan tugas hamba dengan baik."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Lalu kata"nya, "Nah, jika kau mempunyai permintaan, katakanlah. Atau barangkali pendapat yang berarti bagi Kademang"anmu?"
"Ampun Panembahan. Hamba hanya ingin meng"hadap. Hamba tidak mempunyai pendapat apapun juga." jawab anak Ki Demang.
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Baiklah. Tetapi untuk kesempatan yang lain, sebaiknya kau datang dengan satu sikap. Mungkin tentang Kademanganmu atau tentang hubungannya dengan Mata"ram ini atau apapun yang berarti bagi Kademanganmu. Dengan demikian maka kedatanganmu tidak terlalu sia-sia. Tetapi agaknya kali ini kau sekedar ingin memperkenalkan dirimu."
Wajah anak Ki Demang itu menjadi semakin tunduk. Apalagi ketika Panembahan Senapati itu berkata, "Untuk selanjutnya, kau dapat selalu berhubungan dengan Agung Sedayu ini. Atau istrinya Sekar Mirah atau adik sepupunya Glagah Put;h, yang meskipun masih sangat muda, tetapi ia telah melakukan banyak hal yang berarti bagi Tanah Per"dikan Menoreh, dan bahkan bagi Mataram. Kau tidak usah berniat untuk tiba-tiba menjadi seorang pahlawan di Mata"ram. Tetapi sebaiknya kau mulai dari Kademanganmu. Seharusnya kau banyak mengenal lingkunganmu. Te"tangga-tetanggamu dan persoalan-persoalan yang ada di"dalam lingkunganmu itu."
Anak Ki Demang itu sama sekali tidak menjawab. Te"tapi jantungnya menjadi semakin berdebaran.
Dalam pada itu, Panembahan Senapatipun kemudian berkata, "Nah, jika kau tidak mempunyai keperluan lain, maka kau aku perkenankan mundur. Salamku kepada ayahmu, Ki Demang Wanda Karang. Aku hargai kesetiaannya kepada Mataram. Karena Kademangan merupakan landasan yang paling mendasar bagi tegaknya pemerintahan Mataram."
"Hamba Panembahan." sahut anak Ki Demang itu dengan jantung yang berdegupan.
Perasaannya diliputi oleh campur baur antara kebanggaan, tetapi juga perasaan yang aneh karena kehadiran orang-orang yang ditemuinya di Kali Praga. Selebihnya pesan-pesan dari Panembahan Senapati itu sendiri. Lalu kemudian katanya, "Hamba mohon diri. Hamba mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kemurahan hati Panembahan yang berkenan menerima hamba menghadap."
Panembahan Senapati tersenyum. Lalu katanya, "Persoalan-persoalanmu yang lain, jika tidak dapat kau sampaikan kepadaku, katakan saja kepada Ki Tumenggung Resa"yuda."
"Hamba Panembahan. Selanjutnya hamba mohon diri." berkata orang itu terbata-bata.
Demikianlah, maka Ki Suramerta, anak Ki Demang Wanda Karang itupun kemudian telah mundur dari penghadan Panembahan Senapati bersama Ki Tumenggung Resayuda. Diluar serambi, maka dengan tidak sabar lagi, anak Ki Demang itu bertanya, "Apakah Panembahan telah mengenal ketiga orang itu?"
"Tentu." jawab Ki Tumenggung Resayuda, "Agung Sedayu adalah sahabat Panembahan semasa mudanya. Keduanya kadang-kadang telah menempuh pengembaraan bersama. Karena itu, maka keduanya menjadi akrab. Bahkan agaknya ilmu yang dimiliki oleh keduanyapun tidak terpaut terlalu banyak."
"Bukan main." desis anak Ki Demang itu.
"Kenapa?" bertanya Ki Tumenggung.
"Tidak apa-apa Ki Tumenggung. Tetapi agaknya aku memang harus mengenal mereka yang tinggal bertetangga dengan Tanah Perdikan Menoreh." berkata. anak Ki Demang itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun tidak mengatakan apa yang telah terjadi di pinggir kali Praga. Namun pesan Panembahan Senapati, Agung Sedayu hendaknya bersedia untuk membimbing Kademangan itu pula.
Sementara itu, Agung Sedayu masih berbincang barang sejenak dengan Panembahan Senapati. Namun kemudian iapun telah mohon diri untuk melanjutkan perjalanan ke Sangkal Putung dan Jati Anom.
"Apakah kau akan pergi ke Sangkal Putung lebih da"hulu atau Jati Anom lebih dahulu?" bertanya Panembahan Senapati.
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "Hamba akan menghadap guru lebih dahulu. Baru hamba akan menemui paman Widura dan adi Swandaru."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Salamku kepada semuanya. Kepada Kiai Gringsing, kepada Ki Demang Sangkal Puung dan adikmu Swandaru, kepada Ki Widura dan siapapun mereka itu. Jangan lupa singgah barang sebentar di tempat Untara, agar ia mengerti apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Serta ingat akan perintahku lewat Sabungsari."
"Hamba Panembahan." jawab Agung Sedayu, "hamba akan menemui kakang Untara di Jati Anom."
Demikianlah maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putihpun telah sekali lagi mohon diri. Mereka akan melanjutkan perjalanan mereka ke Jati Anom. Namun ketika mereka turun kehalaman dan melangkah keluar seketheng untuk mendapatkan kuda-kuda mereka, maka mereka telah melihat anak Ki Demang Wanda Ka"rang yang juga sudah siap mengambil kudanya bersama para pengawalnya.
Agung Sedayu memandangnya sambil tersenyum. Namun iapun kemudian bertanya, "begitu cepat?"
"Keperluanku sudah selesai." berkata anak Ki Demang itu dengan wajah yang terasa menjadi panas. Namun akhirnya diberanikan dirinya berkata, "Aku minta maaf. Aku belum mengenal kalian sebelumnya."
"Ayahmu mengenal aku. Salamku buat Ki Demang Wanda Karang." berkata Agung Sedayu.
Anak Ki Demang itu mengerutkan keningnya. Menurut penglihatannya umur Agung Sedayu tidak lebih banyak dari umurnya sendiri. Namun menurut Ki Tumenggung Resayuda, maka Agung Sedayu telah memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya.
Dengan nada rendah anak Ki Demang itu menjawab, "Terima kasih. Aku akan menyampaikannya kepada ayah. Bagiku, yang terjadi adalah satu pengalaman yang sangat berharga."
Agung Sedayu tersenyum. Kemudian ditepuknya bahu orang itu sambil berkata, "Akupun telah minta diri. Tetapi aku tidak segera kembali ke Tanah Perdikan."
"Kalian akan pergi ke mana?" bertanya anak Ki De"mang.
"Kami akan pergi ke Jati Anom." jawab Agung Se"dayu.
Dengan demikian, maka merekapun bersama-sama telah meninggalkan halaman istana. Ki Resayuda berdiri di depan gardu para prajurit yang bertugas sambil melambaikan tangannya.
Namun anak Ki Demang yang merasa bersalah itu dengan segera mengambil jalan lain. Katanya, "Kita berpisah disini. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi."
Agung Sedayu tersenyum. Sementara itu dengan segan anak Ki Demang itu telah minta diri pula kepada Sekar Mirah dan Glagah Putih. Demikianlah mereka berpisah, meskipun sebenarnya mereka masih dapat menempuh jalan yang sama untuk beberapa saat.
Namun seperti yang dikatakan oleh anak Ki Demang, bahwa yang terjadi itu merupakan pengalaman yang sangat berharga. Apalagi Agung Sedayu, isterinya dan adik sepupunya itu tinggal di lingkungan tetangganya.
Sementara itu Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah berpacu menuju ke Jati Anom. Mereka telah mengambil jalan memintas meskipun agak sulit. Tetapi lebih dekat. Mereka tidak menyusuri jalan di sebelah Candi Prambanan. Tetapi mereka memanjat kaki Gunung Merapi yang landai. Memutar arah Timur dan selanjutnya mereka akan menuruni kaki disebelah Timur.
Ternyata mereka tidak menemui hambatan di perja"lanan. Namun demikian, mereka memang harus berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat, minum dan makan rerumputan segar di tanggul parit yang jernih.
Ketika dirasa bahwa kuda mereka telah cukup beristi"rahat, maka ketiganya telah melanjutkan perjalanan lang-sung menuju ke Jati Anom.
Ketika Agung Sedayu sampai di padepokan kecil Kiai Gringsing, terkejut melihat suasana padepokan yang lengang. Dua orang cantrik yang tergesa-gesa menyongsongnya telah menerima kembali kuda mereka bertiga.
"Aku merasakan kelainan." berkata Agung Sedayu, "padepokan itu terasa sepi."
"Kiai Gringsing sedang sakit." berkata cantrik itu.
"Guru sedang sakit?" bertanya Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran.
Cantrik itu mengangguk. "Sejak kapan?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Baru tiga hari ini." jawab cantrik itu.
"Bukankah guru mempunyai segala macam obat untuk segala macam penyakit?" bertanya Agung Sedayu pula.
Cantrik itu tidak menjawab. Namun kemudian katanya, "Marilah. Silahkan menghadap. Sakitnya agaknya tidak terlalu berat."
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun bertiga merekapun telah menuju ke bangunan induk padepokan kecil yang hijau itu. Ketika mereka naik tangga bangunan induk padepokan itu, seorang cantrik yang lain telah menyongsongnya pula. Kemudian membawa mereka ke ruang dalam.
"Biarlah aku sampaikan kehadiran kalian kepada Kiai." berkata cantrik itu.
Tetapi ternyata Agung Sedayu mencegahnya. Iapun ke"mudian berkata, "Jangan. Biarlah aku melihatnya di dalam bilik guru."
Cantrik itu termangu-mangu. Namun ia mengenal de"ngan baik siapa Agung Sedayu itu, sehingga karena itu, ma"ka katanya kemudian, "Baiklah. Silahkan masuk."
Tetapi Agung Sedayu tidak akan memasuki bilik Kiai Gringsing bertiga dengan isteri dan adik sepupunya. Tetapi isteri dan adik sepupunya itu disuruhnya menunggu di pendapa, sementara Agung Sedayu sendiri kemudian mema"suki bilik Kiai Gringsing yang sedang sakit.
Kedatangan Agung Sedayu memang mengejutkan Kiai Gringsing. Iapun telah bangkit dan duduk dibibir pembaringannya. Sementara Agung Sedayu mendekatinya sambil berkata, "Silahkan guru berbaring saja jika guru memang sedang sakit."
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tidak Agung Sedayu. Sakitku tidak seberapa."
"Tetapi jika guru merasa pening atau mual?" ber"tanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Aku tidak merasa apa-apa. Tetapi apakah kau datang sendiri?"
"Tidak Kiai. Aku datang bersama Sekar Mirah dan Glagah Putih." jawab Agung Sedayu.
"Dimanakah mereka sekarang?" bertanya Kiai Gringsing.
"Mereka berada di pendapa guru." jawab Agung Se"dayu.
Kiai Gringsing yang nampak lemah dan pucat itupun kemudian berdiri sambil berkata, "Aku akan menemui mereka."
"Biarlah mereka datang kemari jika guru menghendakinya." berkata Agung Sedayu.
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Aku akan ke pendapa. Rasa-rasanya udara menjadi pengab jika aku terlalu lama berada di dalam bilikku."
Agung Sedayu tidak dapat mencegahnya. Kiai Gring-singpun kemudian telah melangkah perlahan-lahan keluar dari dalam biliknya. Meskipun Kiai Gringsing itu berjalan sendiri tanpa dibimbingnya, namun nampak bahwa orang tua itu menjadi semakin lemah sekali.
"Guru nampak terlalu tua." berkata Agung Sedayu di"dalam hatinya.
Namun menurut perhitungan Agung Sedayu, Kiai Gringsing memang sudah sangat tua. Karena itu, maka kesehatannya telah menjadi semakin mundur.
Ketika Kiai Gringsing keluar dari ruang dalam masuk ke pendapa, maka Sekar Mirah dan Glagah Putih telah bangkit menyongsongnya.
"Kiai." hampir berbareng keduanya berdesis.
Kiai Gringsing tersenyum. Sambil melangkah satu-satu ia berkata, "Duduklah. Aku tidak apa-apa."
Sejenak kemudian, maka merekapun telah duduk di pen"dapa, diatas tikar pandan putih berkotak-kotak biru.
Ditempat yang lebih terang, maka Kiai Gringsing jus"tru nampak lebih pucat dan letih. Dengan demikian maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih mengetahui bahwa Kiai Gringsing memang benar-benar sakit.
Namun Kiai Gringsing masih juga menanyakan keselamatan perjalanan mereka dan orang-orang yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh.
Agung Sedayupun sempat menceriterakan perjalanan mereka, bahwa mereka singgah sebentar di Mataram.
"Ada laporan yang penting kami sampaikan." berka"ta Agung Sedayu.
"Tentang apa?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu merasa ragu-ragu untuk mengatakannya, justru saat kesehatan Kiai Gringsing sedang menurun.
Namun agaknya Kiai Gringsing dapat membaca keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga karena itu maka katanya, "Katakan Agung Sedayu. Apapun yang aku dengar tidak akan mempengaruhi keadaanku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah menceriterakan apa yang telah ter"jadi di Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Bahkan iapun telah menyampaikan isi pesan Panembahan Senapati kepada Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru. Pesannya untuk mengingatkan Untara yang telah mendapat perintah dari Panembahan Senapati lewat Sabungsari yang saat itu kembali ke Jati Anom bersama Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. "Ternyata bahwa Madiun masih tetap bergerak. Kegagalan-kegagalan mereka, bahkan apa yang terjadi di Nagaraga, tidak membuat mereka menjadi jera."
Bahkan tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya, " Apakah Pangeran Singasari telah kembali?"
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Sepengetahuanku, Pangeran Singasari belum kembali ke Mataram. Tetapi penghubungnya sering mondar-mandir untuk memberikan laporan kepada Panembahan Senapati."
"Apakah Panembahan Senapati memang belum memerintahkannya kembali bersama pasukannya?" ber-tanya Kiai Gringsing.
"Aku tidak tahu Kiai. Aku tidak berani bertanya sam"pai sejauh itu." sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Agung Sedayu memang tidak akan berani bertanya tentang hal itu kepada Panembahan Senapati.
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, "Baiklah. Kau agaknya tidak akan menanyakannya, kecuali jika Panembahan Senapati memberitahukan kepadamu."


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Kiai Gringsing kemudian telah menyinggung pula kekosongan di Pajang disamping pendudukan atas padepokan besar Nagaraga, yang tentu merupakan persoalan yang harus diselesaikan dengan baik dalam pertemuan yang akan diselenggarakan antara Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun.
Agung Sedayu kemudian telah menyampaikan pula ke"pada Kiai Gringsing, bahwa Madiun agaknya akan mengambil langkah yang sama dengan Mataram. Memotong ranting dan dahan-dahannya sebelum menebang batangnya. Bahkan Madiun telah mempergunakan cara untuk memotong hubungan baik antara Mataram dengan lingkungan yang justru paling dekat.
"Itulah yang aku cemaskan." berkata Kiai Gringsing, "karena itu agaknya aku memang ingin berbicara dengan Swandaru."
"Kiai juga akan pergi ke Sangkal Putung?" bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan wajah yang pucat ia berkata, "Sebenarnya aku memang in"gin pergi ke Sangkal Putung."
"Kami mengerti guru." sahut Agung Sedayu, "Guru sedang sakit."
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Katanya, "Jika kalian pergi ke Sangkal. Putung, ajak Swandaru datang kemari."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Ya guru. Kami akan membawa adi Swandaru menghadap guru."
"Tetapi aku tidak menyuruhmu sekarang pergi ke Sangkal Putung." berkata Kiai Gringsing kemudian.
Ternyata malam itu Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih bermalam di padepokan kecil Kiai Gringsing. Baru di keesokan harinya mereka akan pergi ke Sangkal Pu"tung. Namun ketika matahari menyusup ke keremangan senja, mereka sempat pergi ke rumah Untara dan kemudian langsung ke Banyu Asri menemui Widura.
Kepada Untara Agung Sedayu menyampaikan pesan Panembahan Senapati serta gambaran keadaan terakhir. Jika Pajang tidak lagi merupakan selembar tirai bagi Mataram yang berhadapan dengan Madiun, maka Sangkal Putung harus mempersiapkan diri. Sementara pasukan Ma"taram yang berada di paling dekat dengan Sangkal Putung adalah pasukan Untara di Jati Anom.
Tetapi Untarapun tahu sifat sifat Swandaru. Karena itu, maka Untarapun berkata, "Jika persoalan menjadi semakin gawat, maka Panembahan Senapati hendaknya menjatuhkan perintah, siapakah yang harus memegang perintah tertinggi di daerah ini. Aku memang Senapati prajurit Mataram disini. Tetapi Swandaru tidak berada dibawah perintahku, sehingga ia justru akan dapat menyusun kekuatan tersendiri. Aku yakin, bahwa ia cenderung untuk menempatkan pasukannya dibawah kendalinya jika tidak ada perintah yang tegas dari Panembahan Senapati, atau aku akan mengambil langkah-langkah keprajuritan atas Sangkal Putung dan memaksanya tunduk dibawah perin"tahku."
Agung Sedayu memang menjadi cemas jika perkembangan di Jati Anom dan Sangkal Putung tidak mendapa penggarisan yang tegas dari Mataram. Karena itu, maka katanya, "Bukankah kakang Untara berhak mengusulkan atas persoalan itu kepada Panembahan Senapati" Bukan berarti bahwa kakang menghendaki memegang pimpinan tertinggi disini. Tetapi yang penting adalah ketegasan itu."
Untara mengangguk. Katanya, "Aku akan melakukannya untuk menghindari persoalan yang timbul disini."
Sementara itu meskipun hanya sebentar, Agung Seda"yu, Sekar Mirah dan Glagah Putih sempat juga bertemu dengan para pemimpin dan Senapati prajurit Mataram, di antara mereka adalah Sabungsari.
Dari rumah Untara yang masih saja dipergunakan oleh sekelompok prajurit Mataram, mereka telah pergi ke Banyu Asri. Tetapi mereka tidak dapat terlalu lama berada di rumah Widura karena malam menjadi semakin malam, sehingga merekapun segera mohon diri.
"Kami masih akan berada di Jati Anom untuk beberapa hari. Pada kesempatan lain, kami akan datang lagi." berkata Agung Sedayu.
"Bagaimana dengan Glagah Putih?" bertanya Wi"dura.
Glagah Putih memang ragu-ragu. Tetapi mengingat Kiai Gringsing yang sedang sakit, maka iapun berkata, "Aku akan bermalam di padepokan ayah. Besok aku akan datang lagi kemari. Kiai Gringsing sedang sakit."
Widura mengangguk-angguk. Ternyata bahwa Widura masih belum mengetahui bahwa Kiai Gringsing sedang sakit. Karena itu maka katanya, "Jika demikian, besok aku akan menengoknya. Ternyata kami yang berada dekat dengan padepokan itu, tidak mengetahui bahwa Kiai Gring"sing sedang sakit."
"Silahkan paman." berkata Agung Sedayu, "tetapi besok pagi kami akan pergi ke Sangkal Putung."
Diperjalanan kembali ke padepokan, Sekar Mirah sempat bertanya kepada Agung Sedayu, "Kakang, kenapa kakang Untara nampaknya tidak begitu senang terhadap ka"kang Swandaru?"
"Bukan tidak senang Mirah." jawab Agung Sedayu, "tetapi sebagaimana kau ketahui, bahwa kakang Untara adalah seorang prajurit. Benar-benar seorang prajurit, sehingga baginya semuanya harus jelas dan pasti. Apalagi dalam susunan kekuatan yang bersifat keprajuritan. Sedangkan kakakmu Swandaru adalah seorang anak Demang Sangkal Putung yang merasa memiliki tataran pemerintahan sendiri yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan kakang Untara sebagai seorang Senapati. Padahal dalam menyusun kekuatan yang bersifat keprajuritan diperlukan satu tangan yang berwibawa. Itulah sebabnya, maka kakang Untara telah menyatakan sikapnya. Sama sekali bukan sikap pribadinya."
Sekar Mirah yang sedikit banyak juga mengenal sifat kakaknya, mengangguk-angguk. Ternyata iapun mengerti, bahwa jika keadaan menjadi semakin gawat, diperlukan tataran kepemimpinan yang jelas dan pasti.
Demikianlah, malam itu mereka bertiga telah bermalam di padepokan kecil di Jati Anom. Kiai Gringsing tidak ter"lalu banyak berbincang dengan mereka karena kesehatannya.
"Silahkan beristirahat Guru." berkata Agung Sedayu ketika dilihatnya Kiai Gringsing nampak letih disaat me"reka duduk di ruang dalam sambil minum-minuman hangat.
"Aku memang memerlukan banyak waktu untuk ber"istirahat." berkata Kiai Gringsing.
"Bukankah Guru telah minum obat yang paling baik bagi keadaan Guru?" bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Aku adalah se"orang yang menggeluti obat-obatan sejak puluhan tahun. Aku mengenal segala macam obat untuk bermacam-macam penyakit. Tetapi aku tidak dapat mengingkari keterbatasan manusia. Apalagi orang yang sudah setua aku. Pangeran Benawa masih jauh lebih muda dari aku. Bahkan mungkin tidak terpaut banyak dari umurmu. Tetapi ia tidak dapat diselamatkan lagi umurnya oleh beberapa orang tabib istana. Tabib yang tentu juga memiliki kemampuan yang tinggi tentang pengobatan dan pengertian yang lain jenis obat-obatan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, "Akupun telah minum segala macam obat yang aku anggap akan dapat menolong keadaanku. Tetapi aku tidak menjadi berangsur baik di hari-hari ini. Aku tidak dapat mengatakan apa yang akan terjadi esok atau lusa."
Sekilas ketegangan membayang di wajah Agung Se"dayu. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, "Tetapi bukankah itu wajar" Kita bukannya penentu disaat-saat terakhir. Betapa tinggi kemampuan seseorang, namun akhirnya harus diakui bahwa segalanya berada di tangan Yang Maha Agung juga."
"Ya Guru." desis Agung Sedayu.
"Kita jangan mencoba untuk menentang kehendak-Nya. Jika kita menganggap bahwa keputusan-Nya akan dapat kita rubah, maka kita akan mengalami gangguan pada jiwa kita. Bahkan kecemasan-kecemasan dan kegelisahan yang sangat. Tetapi jika kita mengakui kuasa-Nya yang mutlak, dalam berusaha kita sudah pasrah, sehingga keputusan-Nya dapat kita terima dengan hati yang lapang. Tanpa kecemasan, ketakutan dan kegelisahan."
Justru Agung Sedayulah yang menjadi gelisah. Demikian pula Sekar Mirah dan Glagah Putih yang ikut mendengarkan pembicaraan itu.
Namun kemudian Kiai Gringsing berkata " Aku memang
akan beristirahat. Istirahat bagi orang setua aku adalah salah
satu usaha agar kesehatanku menjadi berangsur baik. "
Dengan tongkat ditangan, Kiai Gringsing berjalan
meninggalkan ruang dalam memasuki biliknya, sementara
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih masih
berbincang beberapa saat. Namun yang kemudian mereka
perbincangkan adalah Kiai Gringsig itu sendiri.
Bagaimanapun juga keadaan Kiai Gringsing memang
menimbulkan kecempatan. Yang dikatakannya telah mengingatkakan
Glagah Putih kepada kata-kata yang diucapkan
oleh Raden Rangga menjelang saat-saat terakhirnya. Namun
Glagah Putih tidak mengatakannya kepada Agung Sedayu
dan Sekar Mirah. Menjelang tengah malam, maka ketiganyapun kemudian
telah masuk kedalam bilik yang disediakan bagi mereka
masing-masing. Agung Sedayu dan Sekar Mirah di bilik
sebelah kanan, sementara Glagah Putih berada di gan-dok
bersama para cantrik. Diantara para cantrik memang ada yang
sebaya dengan Glagah Putih.
Sesaat Glagah Putih teringat pembantu dirumah Agung
Sedayu yang mempunyai kegemaran turun kesungai
memasang dan membuka pliridan. Ternyata cantrik di
padepokan Kiai Gringsing jika ada juga yang turun ke sungai
dimalam hari sambil membawa jenis sebagaimana dilakukan
oleh pembantu dirumah Agung Sedayu bersama dengan
Glagah Putih sendiri. Pagi-pagi sekali Glagah Putih telah sibuk bersama para
cantrik. Sementara itu Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah
mandi pula dan duduk dipendapa.
Kiai Gringsing yang sedang sakit itu meskipun sudah
terbangun, namun masih saja berada didalam biliknya. Tetapi
seorang cantrik telah menghidangkan wedang jae yang
hangat. Ketika kemudian matahari terbit, serta setelah minum dan
makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayu telah
minta diri kepada Kiai Gringsing yang masih berada di dalam
biliknya untuk pergi ke Sangkul Putung.
" Sekar Mirah telah menjadi sangat rindu kepada orang
tuannya dan kakaknya " berkata Agung Sedayu.
" Kiai Gringsing yang duduk di bibir pembaringannya
tersenyum. Katanya " Baiklah. Pergilah ke Sangkal Putung.
Tetapi aku harap bahwa kalian akan kembali bersama
Swandaru. " " Baik Guru " jawab Agung Sedayu " aku akan
memberitahukan kepada adi Swandaru, bahwa Guru
memanggilnya menghadap. "
Demikianlah, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan
Glagah Putih telah meninggalkan padepokan kecil itu
menuju ke Sangkal Putung. Memang sudah terdapat
beberapa perubahan terjadi di sepanjang jalan antar Jati
Anom dan Sangkal Putung. Namun di daerah Mataram
mereka masih harus melalui jalan yang menikung tajam,
kemudian menurun, melewati sebuah sungai yang meskipun
tidak begitu lebar, tetapi berbatu-batu besar. Kemudian jalan
memanjat naik dan mencapai ketinggian semula. Sedangkan
di pinggir tikungan di dekat hutan sebatang pohon randu alas
masih tegak berdiri. Batangnya yang besar dan kokoh
memang nampak perkasa, dan bahkan sedikit berkesan
menakutkan. Seakan-akan batang kayu yang besar itu benarbenar
rumah hantu yang disebut Gendruwo bermata Satu.
Ketika mereka memasuki Sangkal Putung, maka terasa
bahwa Kademangan itu benar-benar sebuah Kademangan
yang subur dan terpelihara dengan baik. Jalur-jalur jalan dan
parit-parit yang membelah kotak-kotak sawah memberikan
warna yang khusus bagi Kademangan itu.
Meskipun beberapa Kademangan disebelah menyebelah
telah berusaha meniru usaha yang tidak kenal lelah serta kerja
keras Kademangan Sangkal Putung, namun masih nampak
bahwa Kademangan Sangkal Putung masih juga memiliki
kelebihan, justru karena di Sangkal Putung terdapat seorang
Swandaru yang menyebut dirinya Swandaru Geni.
Sekar Mirah rasa-rasanya tidak sabar lagi menempuh
perjalanannya yang lamban. Karena itu, maka iapun telah
mempercepat lari kudanya. Sehingga ia telah berada di paling
depan. Semakin dekat mereka dengan padukuhan induk,
maka rasa-rasanya Sekar Mirah telah memasuki kembali
medan permainannya di masa kanak-kanak.
Beberapa orang yang melihat kehadiran mereka tidak
dengan cepat dapat mengenalinya. Jika seseorang kemudian
mengenalinya sebagai Sekar Mirah, maka mereka tidak
sempat menegurnya karena kuda Sekar Mirah berlari
cepat. Mereka hanya dapat melambaikan tangan atau
Sekar Mirahlah yang tanpa berhenti menyapa " Marilah bibi.
Atau marilah paman, atau sebutan-sebutan yang lain. "
Beberapa lama kemudian, ketiganya benar-benar telah
memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.
Dengan jantung yang berdebar-debar mereka langsung
menuju kerumah Ki Demang Sangkal Putung.
Kedatangan ketiga orang itu memang mengejutkan. Seisi
rumah telah keluar menyongsong mereka. Swandaru ternyata
masih juga berada di rumah. Meskipun ia sudah bersiap-siap
untuk pergi ke padukuhan disebelah yang seorang sibuk
memperbaiki banjar padukuhannya yang mulai 1 rusak karena
bahannya yang kurang baik. Bambu yang dipergunakan untuk
kerangka atasnya tidak direndam lebih dahulu barang
setengah tahun. " Marilah, naiklah " Swandaru mempersilahkan. Mereka
bertigapun segera naik kependapa. Tetapi
Sekar Mirahlah yang langsung masuk ke dalam rumahnya
yang sudah lama ditinggalkannya. Pandan Wangi yang juga
menyongsong mereka telah mengikutinya masuk ke-dalam.
Sekar Mirah memang melepaskan kerinduannya kepada
tempat tinggalnya dimasa kanak-kanak. Bersama Pandan
Wangi, maka iapun telah memasuki semua ruang sampai
kedapur sekalipun. " Bukan main " berkata Sekar Mirah.
" Apa" " bertanya Pandan Wangi yang belum sempat
mempertanyakan keselamatan Sekar Mirah serta mereka
yang bersamanya menempuh perjalanan itu serta mereka
yang ditinggalkan di Tanah Perdikan.
" Semuanya telah berubah " berkata Sekar Mirah "
tanganmu memang tangan yang trampil mengatur isi rumah
ini. Tentu kau yang telah membuat rumah ini menjadi segar
dan cerah seperti ini, sehingga karena itu, maka
kakang Swandaru akan krasan tinggal dirumah terusmenerus.
" Sekar Mirah tersenyum. Sambil mencubit Pandan Wangi ia
berkata " Kau adalah seorang istri yang baik. "
Pandan Wangi berdesis perlahan. Katanya " Tanganmu
berbeda dengan tangan perempuan-perempuan lain. Jika kau
mencubit, mungkin segumpal daging akan terkelupas. "
" Kau selalu menggodaku " sahut Sekar Mirah. Tetapi
ketika tangannya bergerak, Pandan Wangi telah bergeser
menjauh. " Dan ternyata kau dapat bergerak secepat loncatan tatit di
langit " desis Sekar Mirah.
Keduanya kemudian tertawa. Mereka melangkah kembali
kependapa. Sementara sekali-sekali Sekar Mirah menegur
pembantu-pembantu rumah itu yang pernah dikenalnya.
Ternyata di pendapa, suara tertawa Swandarupun
terdengar berkepanjangan. Setelah saling menanyakan
keselamatan masing-masing Swandaru sempat bertanya
apakah Agung Sedayu sudah tidak takut lagi kepada
Gendruwo permata satu sekarang.
Beberapa saat kemudian, maka minuman dan makananpun
telah dihidangkan, sementara Agung Sedayu mulai
menyinggung keadaan gurunya yang sakit.
" Jadi Guru sakit" " bertanya Swandaru " aku yang dekat
tidak dikabarinya. "
" Akupun tidak " sahut Agung Sedayu " secara kebetulan
aku merasa didesak oleh keinginan untuk menengok Guru.
Ternyata Guru sedang sakit. Tetapi agaknya sakitnya tidak
begitu berat. " " Sejak kapan Guru sakit" " bertanya Swandaru.
" Sejak tiga atau ampat hari yang lalu " jawab Agung
Sedayu. " Guru adalah seorang dukun yang baik yang mengenal
ilmu pengobatan hampir sempurna. Apakah ia tidak mengobati
dirinya sendiri" " bertanya Swandaru.
" Guru sudah mencoba beberapa jenis obat yang
dianggapnya terbaik. Tetapi Guru menyadari, bahwa umurnya
memang sudah menjadi semakin tua. Karena itu, maka ada
sesuatu yang tidak dapat diatasinya dengan segala macam
obat. Tetapi apabila kesempatan masih ada pada Guru, maka
ia tentu akan sembuh " berkata Agung Sedayu kemudian.
Swandaru mengangguk-angguk. Namun dengan nada
rendah ia berkata " Dengan sikap yang demikian, maka Guru
agaknya kurang berusaha. Ia hanya menunggu kesempatan.
Tetapi seharusnya kitalah yang menangkap kesempatan itu.
Dengan menunggu, maka biasanya kita akan terlambat. Juga
Guru akan terlambat jika ia menunggu kesempatan itu datang.
" "Bukan begitu Swandaru " berkata Agung Sedayu " bukan
berarti Guru tidak berusaha. Bukankah kita mengenal Guru"
Kiai Gringsing yang tua namun yang jiwanya masih tetap
bergelora" " " Namun ketika umurnya menjadi semakin tua, Guru
terdampar pada kelemahan sikap itu " sahut Swandaru "
sebaiknya kita yang muda-muda ini mendorongnya untuk
berjuang. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
juga berusaha menjelaskan " Guru juga sudah berjuang
dengan segenap kemampuan yang ada, Jika Guru berbicara
tentang kesempatan, maka yang dimaksudkan adalah, bahwa
Guru tidak akan mengingkari kenyataan apapun yang didapat
terjadi. " " Tetapi sebagian besar dari kenyataan tentang diri
kita adalah ditangan kita sendiri. Kitalah yang menentukan
itu, " berkata Swandaru.
Agung Sedayu memang tidak ingin bertengkar dengan adik
seperguruannya. Karena itu, maka iapun sekedar
mengangguk-angguk saja. Sementara itu, sebelum Agung Sedayu menyampaikan
pesan Kiai Gringsing untuk memanggilnya menghadap,
Swandaru justru telah berkata. " Besok aku akan menengok
Guru. " Namun tiba-tiba saja ia menyambung Tetapi bukan
maksudku untuk mendesak kalian agar segera meninggalkan
Sangkal Putung. Jika kalian masih ingin tinggal disini sampai
lusa atau kapanpun, aku akan menunggu kesempatan
berikutnya. " Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Sebenarnya aku
mendapat pesan dari Guru, adi Swandaru diminta untuk
menengoknya jika ada kesempatan. Tetapi sebelum aku
mengatakannya, kau sudah menyatakan untuk pergi ke Jati
Anom, menengok Guru. "
" Ada juga sentuhan getaran antara Guru dan muridnya "
berkata Swandaru " baiklah. Aku menurut, kapan saja kita
akan pergi ke Jati Anom. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian
sambil berpaling kepada Sekar Mirah ia berkata " Bagaimana
jika kita besok pergi ke Jati Anom" Bukan berarti kita tidak
akan kembali kemari lagi dan mungkin bermalam disini satu
dua malam. " Sekar Mirah mengerti maksud Agung Sedayu. Karena itu,
maka iapun mengangguk. Katanya " Baiklah kakang. Besok
kita pergi ke Jati Anom. Jika kakang Swandaru tidak
memerlukan waktu yang panjang untuk menjumpai Kiai
Gringsing, maka kita akan dapat kembali di sore hari. Tetapi
jika perlu, kita akan dapat bermalam lagi di Jati Anom. "
" Baiklah " berkata Swandaru " besok kita pergi.
Hari ini aku akan dapat melakukan pekerjaan yang sudah
disiapkan untuk dikerjakan, serta memberikan pesan tentang
kerja besok dan lusa jika kita akan bermalam di Jati Anom. "
Demikianlah, hari itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan
Glagah Putih akan bermalam di Kademangan Sangkal


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putung. Mereka sempat berbicara panjang lebar tentang
Kademangan itu dengan Ki Demang, sementara Swandaru
bersiap-siap untuk pergi ke beberapa padukuhan di Kademangannya
yang besar. " Bagaimana jika kau ikut" " bertanya Agung Sedayu
kemudian. " Marilah. Kau akan dapat melihat perkembangan
Kademangan ini " jawab Swandaru.
Bersama Glagah Putih, maka Agung Sedayupun telah
mengikuti Swandaru menyusuri jalan Kademangan,
mengunjungi beberapa padukuhan.
Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Glagah Putih
dapat melihat kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh
Sangkal Putung. Hal-hal yang mungkin akan dapat juga
ditrapkan di Tanah Perdikan Menoreh. Usaha untuk
memperbanyak hasil sawah dengan jaringan air yang semakin
baik dan tertib. Jaringan jalan yang lebih merata di seluruh
Kademangan serta hubungan dengan Kademangankademangan
tetangga. Pasar yang ramai dan kedai-kedai
yang tersebar, yang bukan saja menjual makanan dan
minuman, tetapi juga kebutuhan sehari-hari, bahkan kedaikedai
yang menjual perkakas rumah tangga dan alat-alat
pertanian. " Kademangan ini menjadi semakin maju " berkata Agung
Sedayu. " Aku berusaha agar Kademangan ini bukan saja menjadi
Kademangan yang subur. Tetapi juga dapat menjadi pusat
perdagangan dari beberapa Kademangan tetangga.
Pasar yang ada di Kademangan-kademangan lain serta
menjadi pusat tukar menukar barang dan jual beli hasil bumi. "
berkata Swandaru. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang ada
beberapa perbedaan letak dan lingkungan. Tanah Perdikan
Menoreh memang agak terkurung oleh pebukitan disebelah
Barat dan Kali Praga disebelah Timur sehingga hubungan
dengan tetangga-tetangganya tidak begitu erat seperti
Kademangan Sangkal Putung, meskipun Ki Gede berusaha
untuk selalu mengadakan dan memelihara, bahkan
meningkatkan hubungan yang telah ada. Agung Sedayu di
Tanah Perdikan juga mempunyai kebiasaan saling
mengunjungi dengan tetangga-tetangganya, meskipun masih
juga terbatas. Tetapi agaknya sedikit sulit bagi Tanah
Perdikan Menoreh untuk dapat menjadi pusat perdagangan di
sebelah Barat Kali Praga dan disebelah Timur pebukitan
meskipun dapat juga dicoba.
Terlintas didalam angan-angan Agung Sedayu, bahwa
jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi sangat
penting artinya. Juga alat-alat penyeberangan di Kali Praga.
" Bukit-bukit itu harus dapat ditembus dengan jalan-jalan
yang tidak terlalu sulit dilalui. Dan rakit-rakitpun harus menjadi
semakin banyak dan dengan pelayanan yang baik " berkata
Agung Sedayu didalam hatinya. Namun orang-orang Tanah
Perdikan tidak akan dapat berbicara banyak, jika banjir
sedang mengalir di Kali Praga itu.
Hubungan dari seberang ke seberang seakan-akan akan
telah terputus sama sekali.
Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah
melihat banyak hal yang berarti bagi Tanah Perdikan.
Swandaru benar-benar seorang yang telah bekerja keras bagi
Kademangannya. Sementara itu, anak-anak mudanyapun telah mengikuti
langkah-langkahnya. Para pengawal dan para bebahu
selalu menjalankan tugas mereka sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, Swandaru memang telah memberikan
pesan kepada para pemimpin anak-anak muda dan para
pengawal di padukuhan-padukuhan agar mereka melakukan
segala rencana sebaik-baiknya meskipun Swandaru tidak ada
di Kademangan. " Aku akan pergi barang satu dua hari " berkata Swandaru
kepada mereka. Agaknya anak-anak muda itu telah memiliki kemampuan
untuk bekerja sendiri dengan sebaik-baiknya tanpa menunggu
perintah. Jika rencana telah tersusun dan disetujui oleh
beberapa pihak yang menentukan, maka rencana itu akan
dapat berjalan dengan baik.
Karena itu, maka Swandaru tidak perlu merasa cemas
untuk meninggalkan Kademangannya. Segala sesuatunya
akan dapat berjalan dengan lancar.
Ketika Swandaru sudah merasa cukup, maka mereka-pun
telah kembali ke Kademangan. Agung Sedayu, Sekar Mirah
dan Glagah Putih ternyata mempunyai banyak waktu untuk
berbicara tentang banyak hal dengan Ki Demang, Swandaru
dan Pandan Wangi setelah mereka membenahi diri dan
makan di ujung malam. Malam itu, mereka telah bermalam di Sangkal Putung.
Terasa betapa tenangnya Kademangan itu di malam hari.
Pada saat-saat tertentu terdengar suara kentongan di gardugardu
induk. Menjelang tengah malam terdengar suara
kothekan para peronda di sepanjang jalan. Anak-anak muda
yang bertugas telah berkeliling menyusuri jalan-jalan di
padukuhan-padukuhan. Tugas keliling dengan kothekan itu
mereka ulangi lagi menjelang dini hari, sebelum anak-anak
muda itu meninggalkan gardu-gardu.
Rasa-rasanya memang tidak akan ada kesempatan bagi
mereka yang berniat jahat di Kademangan Sangkal Putung.
Selain gardu-gardu tersebar hampir disemua mulut lorong,
maka anak-anak muda yang bertugaspun melakukan tugas
mereka dengan sebaik-baiknya. Bahkan yang berada di
gardu-gardu di setiap malam, bukan saja anak-anak muda
yang bertugas, tetapi banyak anak-anak muda yang datang ke
gardu-gardu sekedar untuk berkelakar dan bahkan
membicarakan beberapa soal yang perlu bagi padukuhan
mereka. Dengan demikian maka gardu-gardu di padukuhan itu
rasa-rasanya tidak akan pernah kosong.
Demikian pula gardu yang ada di depan pintu gerbang
Kademangan. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih
masih saja mendengar suara tertawa dan kelakar yang segar
di gardu itu lewat tengah malam. Bahkan ketika mereka
terbangun menjelang dini hari.
Pagi-pagi benar Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah
Putih telah bangun dan pergi ke pakiwan. Namun ternyata
ketika mereka selesai bersiap-siap, Swandaru dan Pandan
Wangi telah sempat menyiapkan makan pagi buat mereka
sebelum mereka berangkat ke Jati Anom.
Ketika matahari kemudian mulai naik, Swandaru dan
Pandan Wangipun telah mohon diri kepada Ki Demang.
Demikian pula Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah.
" Jika Guru tidak menahan, aku akan kembali sore nanti "
berkata Swandaru. " Kau tidak perlu tergesa-gesa " berkata Ki Demang "
tunggulah gurumu barang satu malam. Kehadiran muridmuridnya
akan memberikan hiburan bagi orang tua itu. "
Demikian, maka sejenak kemudian merekapun telah
berangkat menuju ke Jati Anom,
Namun satu hal yang mendapat perhatian khusus dari
Sekar Mirah adalah, bahwa Pandan Wangi nampaknya terlalu
berhati-hati. Ia tidak nampak lincah sebagaimana biasanya. Ia
tidak dengan tangkas meloncat kepunggung kuda. Tetapi
rasa-rasanya Pandan Wangi baru mulai belajar naik kuda.
Kudanyapun bukan kuda yang terbiasa dipergunakan,
tetapi ia mempergunakan kuda yang lebih kecil dan lamban.
Tetapi Sekar Mirah masih belum bertanya sesuatu,
meskipun perhatiannya tidak terlepas dari masalah itu.
Bahkan ketika mereka mulai dengan perjalanan mereka,
nampaknya Swandarulah yang berusaha menghambat agar
perjalanan mereka tidak terlalu cepat.
" Apakah Pandan Wangi sedang sakit" " bertanya Sekar
Mirah didalam hatinya. Namun akhirnya Sekar Mirah mulai meraba-raba. Apakah
sebabnya Pandan Wangi tidak dapat berbuat selincah dan
setangkas biasanya. Bahkan nampak terlalu berhati-hati dan
ragu-ragu. Perjalanan mereka memang bukan perjalanan yang cepat.
Kuda-kuda mereka merangkak terlalu lamban. Kuda Glagah
Putih yang tegar rasa-rasanya tidak sabar menunggui kawankawannya
yang malas dan merangkak seperti seekor siput.
Ketika kemudian Swandaru bergeser di sebelah Agung
Sedayu, untuk mengatakan sesuatu tentang parit-paritnya
yang agak terganggu, maka Sekar Mirah mempergunakan
kesempatan itu untuk berkuda disisi Pandan Wangi. Dengan
nada lembut ia bertanya " Kau tidak membawa sepasang
pedangmu" " Pandan Wangi tersenyum. Ia memang tidak
menggantungkan pedangnya di pelana kudanya sebagaimana
sering dilakukannya jika pedangitu tidak melekat
dilambungnya. " Kenapa" " desak Sekar Mirah.
" Bukankah kita tidak akan pergi berperang" " bertanya
Pandan Wangi. " Tetapi siapa tahu hal itu akan terjadi di perjalanan " jawab
Sekar Mirah. Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya " Aku tidak akan bertempur apapun yang
terjadi. Aku percayakan keselamatanku sepenuhnya kepada
kakang Swandaru. " Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja
wajahnya menjadi cerah. Dipegangnya tangan Pandan Wangi
erat-erat sambil bertanya " Jadi, benar dugaanku"
" Apa yang kau duga" " bertanya Pandan Wangi pula.
" Tuhan Maha Agung, " desis Sekar Mirah " agaknya kau
telah menerima kurniaNya. "
Pandan Wangi mengangguk sambil tersenyum. Katanya
dengan suara lirih " Kurnia yang sangat berharga bagiku. "
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba
saja kepalanya tertunduk. Bahkan terasa pelupuknya menjadi
hangat. " Mirah " desis Pandan Wangi " kenapa" " Sekar Mirah
mengusap matanya yang basah. Namun
iapun segera mengangkat wajah sambil mencoba
tersenyum " Aku iri hati kepadamu Pandan Wangi. Kau telah
menerima kurnia-Nya. Aku masih harus memohon kepada-
Nya. " " Tetapi bukankah aku memang bersuami lebih dahulu
daripadamu" Dan bukankah kau yakin, bahwa pada saatnya
kaupun akan menerima juga kurnia itu" " bertanya Pandan
Wangi. Sekar Mirah mengangguk. Dengan nada rendah ia berkata
" Aku memang yakin. Karena itu, aku tidak berhenti memohon.
" Pandan Wangilah yang kemudian mengguncang tangan
Sekar Mirah sambil berkata " Yakinkan dirimu. "
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menarik nafas
dalam-dalam. Agung Sedayu dan Swandaru tidak mengerti
apa yang telah dibicarakan oleh Pandan Wangi dan Sekar
Mirah karena mereka berada di depan. Sementara itu Glagah
Putihpun tidak segera mengerti maksudnya. Tetapi Glagah
Putih merasakan getaran perasaan yang telah menyentuh
jantung Sekar Mirah. Ketika mereka mendekati Jati Anom, maka Sekar Mirah
telah berusaha untuk menghapus sentuhan di jantungnya itu.
Ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya. Namun
sebenarnyalah bahwa ia menginginkannya untuk juga
mendapatkan kurnia sebagaimana Pandan Wangi yang telah
mengandung itu. Namun sebagaimana dikatakannya, ia
memang yakin, bahwa pada saatnya iapun akan
mendapatkannya. Dalam pada itu, iring-iringan yang maju perlahan lahan itu
kemudian telah memasuki Jati Anom. Berlima mereka
langsung menuju ke padepokan kecil tempat tinggal Kiai
Gringsing dengan beberapa orang cantriknya.
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan kecil itu telah
memasuki regol padepokan. Para cantrik yang melihat
kedatangan mereka segera menyambutnya. Mereka telah
menerima kuda-kuda para tamu itu dan mengikatnya di-bawah
pohon-pohon yang rindang.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Swandaru diantar
oleh seorang cantrik telah langsung masuk kedalam bilik Kiai
Gringsing, sementara yang lain dipersilahkan duduk dan
menunggu di pendapa. Kiai Gringsing memang sedang berbaring di
pembaringannya. Kedatangan kedua orang muridnya itu
memang benar-benar membuatnya gembira. Rasa-rasanya
orang tua itu telah menunggu untuk waktu yang lama, agar
kedua muridnya itu dapat datang bersama-sama.
Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru menahannya agar
Kiai Gringsing tetap berada di pembaringannya, namun
ternyata bahwa Kiai Gringsing ingin bangkit dari
pembaringannya itu dan keluar dari biliknya untuk
menerima murid-muridnya beserta isteri-isteri mereka di
pendapa. " Aku tidak apa-apa " berkata orang tua itu " jika aku selalu
saja berbaring, maka aku justru akan menjadi pening. "
Agung Sedayu dan Swandaru tidak dapat mencegahnya.
Bahkan mereka telah membantu Kiai Gringsing berjalan ke
pendapa. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata. " Aku dapat berjalan
dengan bantuan tongkatku ini. "
Agung Sedayu dan Swandaru hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Namun sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing
dapat berjalan sendiri dengan bantuan tongkatnya.
Demikianlah maka sejenak kemudian, mereka telah duduk
di pendapa. Para cantrik telah menghidangkan minuman
hangat dan beberapa potong makanan yang telah mereka
buat sendiri. Makanan dari ketan yang dipetiknya dari sawah
sendiri pula. Untuk beberapa saat Kiai Gringsing sempat menanyakan
keselamatan mereka di perjalanan dan mereka yang
ditinggalkan. Baru kemudian mereka berbicara tentang
padepokan kecil itu, serta tentang keadaan Kiai Gringsing
sendiri.

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Guru tidak boleh begitu saja menyerah kepada penyakit
yang Guru derita sekarang ini " berkata Swandaru.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya " Aku memang tidak
menyerah. Aku sudah berusaha. "
" Apakah dengan demikian keadaan Guru menjadi lebih
baik" " bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya pula "
Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi
bukanlah semuanya tergantung kepada Yang Maha Agung" "
" Guru terlalu pasrah, sehingga Guru kurang berusaha "
berkata Swandaru. Kiai Gringsing tersenyum pula sambil menggelengkan
kepalanya. Katanya " Semua usaha sudah dilakukan. Tetapi
bukankah kita tidak akan dapat melawan kenyataan" Kita
memang merupakan bagian dari penentu kenyataan itu
sendiri. Tetapi penentu yang terakhir adalah Yang Maha
Agung itu jua akhirnya. "
" Tetapi sebelum kita sampai kesana, maka kita harus
berjuang dan tidak kenal menyerah " berkata Swandaru "
karena itu, sebaiknya Guru juga melakukannya. Guru
hendaknya mencoba beberapa jenis obat terbaik yang Guru
pahami. Selama ini Guru telah banyak mengobati orang lain.
Karena itu maka Guru tentu akan dapat mengobati diri sendiri.
" Kiai Gringsing masih saja tersenyum. Ia mengenal betul
watak muridnya itu. Karena itu, maka ia tidak membantah,
karena dengan demikian maka sikap Swandaru justru akan
bertambah keras. Dengan demikian maka Kiai Gringsing yang sakit itu
mengangguk-angguk sambil berdesis " Kau benar Swandaru.
Aku akan berusaha tanpa mengenal menyerah. Tentu saja
sejauh kemampuan yang ada padaku. "
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
mengatakan apa-apa lagi, meskipun nampak bahwa ia kurang
puas dengan jawaban gurunya yang masih juga bernada
pasrah itu. Tetapi Kiai Gringsinglah yang kemudian mengalihkan
pembicaraan. Dengan suara berat ia bertanya kepada A-gung
Sedayu " Apakah kau sudah menceriterakan peristiwa-
peristiwa yang berturut-turut terjadi di Tanah Perdikan
Menoreh dalam hubungannya dengan Mataram dan Madiun" -
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya " Sudah Guru.
Aku sudah menceriterakan semuanya yang kami alami
di Tanah Perdikan dan yang berhubungan dengan kegiatan
beberapa orang di Madiun. Aku sudah menceritera-kan usaha
beberapa orang yang dengan sengaja ingin menumbuhkan
kebencian dan perpecahan. Bahkan usaha-usaha untuk
dengan langsung mempengaruhi ketenangan hidup seharihari
di Tanah Perdikan Menoreh.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian "
Nah Swandaru. Hal seperti itu akan dapat mereka lakukan
pula disini. Di Jati Anom dan di Kademangan Sangkal Putung.
Karena itu, maka kita semuanya memang harus berhati-hati
menghadapi keadaan yang menjadi semakin gawat. Apalagi
sepeninggal Pangeran Benawa. "
Swandarupun mengangguk-angguk pula. Katanya "
Agaknya mereka tidak akan datang ke Sangkal Putung, Guru.
Mereka tentu dapat menilai keadaan. Sangkal Pulung
sekarang benar-benar sudah mapan dan mereka menyadari
bahwa mereka tidak akan dapat menyusup ke-dalamnya.
Selebihnya, Sangkal Putung adalah sebuah rumah yang pintupintunya
terbuka nampak terang sampai kesudut-sudutnya.
Sementara Tanah Perdikan Menoreh masih dibayangi oleh
lingkungan yang seakan-akan sulit untuk dijamah. Hutan,
lereng pegunungan dan rawa-rawa. Tempat-tempat seperti itu
memang dapat dijadikan lan-dasan untuk melakukan tindakantindakan
yang tidak menguntungkan bagi lingkungan itu.
Meskipun di Sangkal Putung masih juga terdapat hutan-hutan
yang sudah ditangani menjadi daerah perburuan maupun
hutan-hutan yang masih lebat, tetapi lingkungannya terasa
lebih terang dan selalu disentuh oleh tangan-tangan para
petani, anak-anak muda dan pengawal. Baik yang sedang
bekerja di sawah dan pategalan, maupun mereka yang
sedang meronda. " Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Pandan Wangi hanya menundukkan kepalanya saja
sebagaimana Sekar Mirah. Agung Sedayu mendengarkan
keterangan adik seperguruannya itu dengan sungguhsungguh.
Sedangkan Glagah Putih mendengar keterangan
Swandaru itu dengan dahi yang berkerut. Menurut
penglihatannya yang dikatakan oleh Swandaru itu memang
benar. Di Tanah Perdikan Menoreh memang masih terdapat
tempat-tempat yang seakan-akan tersembunyi. Sedangkan di
Sangkal Putung sudah tidak ada lagi. Jika terdapat hutan di
Sangal Putung, maka dipinggir hutan itu terdapat padang
perdu yang sempit. Kemudian sawah atau pategal-an
terbentang sampai ke batas padang perdu itu. Bahkan rasarasanya
orang-orang Sangkal Putung telah menjadi terlalu
akrab dengan hutan-hutannya meskipun hutan-hutan yang
lebat dan dihuni oleh binatang-binatang buas sekalipun.
Lencana Pembunuh Naga 2 Sapta Siaga 15 Menerima Tanda Jasa Kidung Maut Bulan Purnama 2
^