Api Di Bukit Menoreh 3
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3
Meskipun demikian, terasa ada sesuatu yang aneh ditelinganya.
Yang diucapkan Swandaru itu seakan-akan telah
menggelitik hatinya. " Apa yang telah menyentuh perasaanku itu" " bertanya
Glagah Putih kepada diri sendiri.
Dalam pada itu Swandarupun berkata selanjutnya " Karena
itu Guru. Guru tidak usah merasa cemas. Kami akan dapat
menjaga diri. Selama ini Sangkal Putung tidak pernah
mengalami goncangan-goncangan yang berarti. "
" Ya " jawab Kiai Gringsing " agaknya memang demikian.
Tetapi kali ini aku ingin memberikan pesan kepadamu, bahwa
persoalan antara Madiun dan Mataram dapat berkembang
menjadi letupan-letupan yang tidak dikehendaki oleh kedua
belah pihak, justru karena tingkah laku beberapa orang saja.
Baik orang-orang Madiun maupun orang-orang Mataram
sendiri. Karena itu, maka kau perlu menjadi lebih berhati-hati
menghadapi keadaan ini. Pangeran Singasari mungkin dapat
dikatakan berhasil menguasai padepokan Nagaraga. Tetapi
apakah yang dilakukannya bukan seperti mengguncang semut di sarangnya. Jika
sarang itu dikuasai oleh pihak lain, maka semut itu akan
berserakan dan merayap menyebar kesegenap arah. "
Swandaru tersenyum. Katanya " Tidak ada yang perlu
dicemaskan di Sangkal Putung. "
" Aku mengerti Swandaru. Tetapi keadaan yang meningkat
semakin gawat, memerlukan peningkatan kewaspadaan "
berkata Kiai Gringsing. " Kakang " tiba-tiba terdengar Pandan Wangi menyela "
maksud Kiai Gringsing adalah, bahwa kita harus selalu
mengingat kemungkinan bersiaga, tetapi kadang-kadang ada
satu dua hal yang dapat terjadi diluar perhitungan kita. "
Swandaru tertawa pendek. Tetapi iapun kemudian
menjawab " Baiklah. Aku akan memperingatkan khususnya
para pengawal untuk lebih berhati-hati. Aku mengerti, bahwa
kesiagaan Sangkal Putung masih dapat ditingkatkan. "
" Kecuali kesiagaan Swandaru " berkata Kiai Gringsing "
kau harus memperingatkan semua penghuni di Sangkal
Putung untuk tidak segera mempercayai keterangan apapun
juga, apalagi yang sumbernya belum jelas. Ini merupakan
senjata yang sangat berbahaya bagi mereka yang ingin
memperlemah kedudukan Mataram. "
Swandaru mengangguk-angguk, iapun telah mendengar
dari Agung Sedayu tentang hal tersebut di Tanah Perdikan
Menoreh. Kepada gurunya ia berkata " Aku akan
melakukannya guru. Untunglah bahwa orang-orang Sangkal
Putung lebih mempercayai aku daripada orang lain. "
" Sokurlah " berkata Kiai Gringsing " mudah-mudahan tidak
terjadi sesuatu di Sangkal Putung, Jati Anom dan Tanah
Perdikan Menoreh. Bahkan di Mataram dan seluruh
wilayahnya. Sementara itu kekosongan di Pajang-pun segera
dapat diisi tanpa menimbulkan persoalan baru.
" Sebagian tergantung dari kebijaksanaan Panembahan
Senapati " berkata Swandaru " jika Panembahan Senapati
memerintah dengan bijaksana, maka tentu tidak akan terjadi
perlawanan dimanapun juga. Termasuk pemecahan
kekosongan di Pajang. "
" Ya " desis Kiai Gringsing " tetapi kadang-kadang
kebijaksanaan seseorang berbeda dengan orang lain. Yang
dianggap bijaksana oleh Panembahan Senapati, mungkin
justru sebaliknya dengan anggapan Panembahan Madiun
" Tetapi yang berwenang membuat kebijaksanaan tentang
kekosongan di Pajang bukanlah Panembahan Senapati" "
bertanya Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya " Demikianlah
seharusnya. Jika ada sikap lain itulah yang dapat
menimbulkan persoalan. "
" Mataram cukup kuat. " desis Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
menduga bahwa sikap Swandaru akan berbeda dengan sikap
Agung Sedayu yang lebih banyak menelusuri kemungkinan
penyelesaian dengan baik. Bukan dengan perhitungan
keseimbangan kekuatan saja.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menjawab.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun justru berkata "
Nah, sebaiknya kalian beristirahat. Bukankah kalian akan
bermalam disini" "
Yang menjawab adalah Pandan Wangi " Ya Kiai. Kami
akan bermalam disini, meskipun hanya satu malam.
Swandaru tertawa mendengar jawaban isterinya. Katanya "
Pandan Wangi memang memerlukan suasana yang lain dari
suasananya sehari-hari di Sangkal Putung. "
Kiai Gringsingpun tersenyum. Iapun kemudian mempersilahkan
tamu-tamunya untuk menikmati hidangan yang
telah disuguhkan oleh para cantrik.
Namun dalam pada itu Agung Sedayu berkata " Guru, jika
Guru merasa terlalu letih duduk bersama kami, silah-kan guru
beristirahat pula. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku
justru merasa letih berbaring dan merenung didalam bilik itu.
Disini aku mempunyai banyak kawan berbincang. Tetapi
barangkali Sekar Mirah dan Pandan Wangi ingin membenahi
pakaiannya atau barangkali keperluan yang lain. Atau kalian
bersama-sama ingin berjalan-jalan melihat lihat padepokan
kecil ini" Kita mempunyai banyak waktu untuk berbincangbincang.
Dalam saat-saat seperti ini rasa-rasanya aku ingin
banyak berbicara dengan kalian. Tetapi sudah barang tentu
tidak perlu sekarang. Jika kalian bermalam disini, maka malam
nanti kita dapat berbicara panjang. "
" Ya Guru " jawab Agung Sedayu " rasa-rasanya kami
memang ingin melihat-lihat padepokan ini. "
" Marilah, aku antar kalian ke kebun yang oleh para cantrik
ditanami berbagai macam sayuran, serta belum-bang tempat
para cantrik memelihara ikan. " berkata Kiai Gringsing.
" Tetapi sebaiknya Kiai tidak terlalu banyak bergerak "
berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing tersenyum sambil menjawab " Tidak apaapa.
Aku memang perlu berjalan-jalan. Akupun melakukannya
setiap pagi pagi sebelum matahari terbit. Jika aku berada
didalam bilik saja, maka rasa-rasanya sakitku
justru bertambah parah. "
Agung Sedayu memang tidak dapat mencegahnya. Karena
itu, maka merekapun telah meninggalkan pendapa. Diiringi
oleh dua orang cantrik yang sehari-hari merawat Kiai
Gringsing, mereka berjalan-jalan menuju ke kebun belakang.
Meskipun Kiai Gringsing nampak letih, tetapi wajahnya
menunjukkan kegembiraannya. Bahkan ia berceritera
tentang usahanya untuk mencoba mengembangkan jenis
pohon buah-buahan yang banyak digemari orang. Bukan saja
jika buahnya sudah matang, tetapi sebelum matangpun
buahnya dapat dipergunakan untuk masak.
Ketika mereka melihat bagian kebun yang ditumbuhi oleh
puluhan pohon nangka, serta buahnya yang lebat melekat di
batangnya, maka para murid Kiai Gringsing itu menganggukangguk
sambil mengagumi ketekunan para cantrik
memelihara pohon-pohon itu. Bahkan seluruh tanaman yang
ada di kebun dan di halaman. Sementara itu dibagian lain para
cantrik juga menanam pohon sukun yang telah menjadi
semakin besar dan pada saat itu sedang berbuah lebat.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing tidak dapat mengantar tamutamunya
berkeliling seluruh lingkungan padepokan. Karena
itu, maka iapun telah membawa tamu-tamunya itu ke pinggir
belumbang. Sebuah gubug kecil telah didirikan di pinggir
belumbang itu. " Nah " berkata Kiai Gringsing " aku akan menunggu kalian
disini. Jika kalian masih akan berjalan-jalan di padepokan ini,
biarlah cantrik ini mengantarkan kalian melihat-lihat. "
" Baik Guru " jawab Agung Sedayu " silahkan Guru
beristirahat digubug ini. "
Hampir setiap hari aku berada disini di sore hari sambil
melihat-lihat cantrik yang memelihara tanaman dan ikan di
belumbang itu " jawab Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru suami
isteri serta Glagah Putih telah melanjutkan penglihatan
mereka atas padepokan kecil itu diantar oleh seorang cantrik.
Mereka tidak untuk pertama kali melihat-lihat halaman dan
kebun di padepokan itu. Mereka telah melakukannya
berulang kali. Namun setiap kali mereka melihat-lihat kebun
itu, rasa-rasanya mereka melihat jenis-jenis tanaman yang
baru. Di sela-sela batang ketela pohon yang subur, mereka
melihat lanjaran kacang yang berjajar panjang. Pohon-pohon
kacang panjang merambat di lanjaran bambu seakan-akan
menggapai. Di beberapa batang telah bergayutan kacang
panjang yang masih muda. Sedangkan di bagian lain mereka melihat kebun bayam
yang hijau segar. " Kita akan melihat sanggar " tiba-tiba saja Swandaru
berdesis. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya " Apakah
kita tidak minta ijin kepada Guru lebih dahulu" "
" Bukankah kita hanya melihat-lihat saja" " jawab
Swandaru. Agung Sedayu termangu-mangu. Iapun kemudian berpaling
kepada cantrik yang mengantar mereka. Namun cantrik itu
tersenyum sambil berkata " Jika hanya ingin melihat-lihat,
silahkan. Aku akan mengantar kalian. Bukankah kalian murid
Kiai Gringsing yang terpercaya" "
" Terima kasih " sahut Agung Sedayu " kami memang
hanya akan melihat-lihat saja. Kami pernah berlatih ditempat
itu bersama Guru. Dan tiba-tiba saja memang timbul keinginan
untuk melihatnya. " Demikianlah, maka merekapun telah mengitari kebun
belakang dan mendekati longkangan diantara beberapa barak
kecil di padepokan itu. Diantar oleh seorang cantrik mereka
memasuki satu diantara bangunan yang ada di padepokan itu.
Sanggar. Demikian mereka membuka pintu dan melangkah masuk,
maka jantung mereka terasa berdebar-debar. Sanggar itu
nampak teratur rapi. Namun merekapun melihat, bahwa
agaknya sanggar mereka itu sudah agak lama tidak
dipergunakan. " Apakah Guru sudah lama tidak mempergunakan sanggar
ini" " bertanya Agung Sedayu.
Cantrik itu mengangguk. Katanya " Sudah lebih dari
sepuluh hari. Sejak Guru merasa badannya tidak enak. Tetapi
kami diperkenankan mengadakan latihan-latihan khusus disini.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun timbul juga
pertanyaan dihatinya " Jika Guru memberikan latihan-latihan
kecil kepada para cantrik, sampai sejauh manakah ilmu yang
diberikan kepada mereka. "
Tetapi pertanyaan itu hanya dapat diberikan kepada Kiai
Gringsing sendiri. Sejenak mereka berada didalam Sanggar itu. Mereka telah
melihat-lihat benda-benda yang ada didalamnya, serta
berbagai jenis senjata yang tersangkut didinding sanggar.
Meskipun tempat itu sudah lebih dari sepuluh hari tidak
dipergunakan oleh Kiai Gringsing, namun semua yang ada di
sanggar itu nampak bersih dan terawat. Sedangkan para
cantrik agaknya hanya mempergunakan bagian-bagian yang
paling sederhana dari banjar itu tanpa merubah tatanannya.
Swandarupun merenungi beberapa jenis senjata yang ada
didalam sanggar itu. Namun bagi Swandaru tidak ada senjata
yang lain yang sesuai kecuali cambuknya. Selain karena sejak
semula ia telah mempergunakan senjata jenis itu, juga karena
Gurunyapun disebut orang bercambuk, ma-jka cambuknya
telah disulaminya pula dengan karah-karah baja sehingga
cambuk Swandaru memang merupakan cambuk yang sangat
berbahaya sebagai senjata. Ujudnya menjadi agak berbeda
dengan cambuk Agung Sedayu, karena cambuk Agung
Sedayu tidak mengalami perubahan apa-apa sebagaimana
diterimanya dari gurunya.
Sekar Mirah dan Pandan Wangipun memperhatikan
sanggar itu dengan saksama. Namun mereka berduapun telah
mempunyai ciri khusus pada jenis senjata yang mereka
pergunakan. Sebagai murid Sumangkar, maka Sekar Mirah
tidak tertarik kepada jenis senjata apapun selain tongkat
bajanya. Sedangkan Pandan Wangi terbiasa mempergunakan
sepasang pedang. Namun yang untuk sementara pedangpedangnya
sedang diletakkan. Yang terpukau adalah Glagah Putih. Sanggar dari
padepokan kecil itu nampaknya memang lengkap sekali.
Didalam sanggar itu seseorang dapat berlatih berbagai
macam gerakan yang diperlukan. Didalam sanggar itu
terdapat palang untuk meningkatkan keseimbangan.
Kemudian patok-patok yang ditanam tegak dan tidak sama
tinggi. Bahkan tali ijuk yang terentang agak tinggi. Beberapa
bambu yang bersilang untuk mengadakan latihan-latihan
meringankan tubuh. Pasir didalam kotak dan di kotak lain
terdapat kerikil lemut dan di kotak yang lain lagi terdapat kerikil
tajam dari pecahan batu. Disatu sudut terdapat perapian yang
padam dan tempayan tembaga tempat air bersih. Di dinding
sanggar selain senjata juga terdapat beberapa kerudung
kepala yang tidak berlubang bagi penglihatan.
Hampir diluar sadarnya Agung Sedayu bertanya kepada
cantrik itu " Apakah kalian pernah mempergunakan kerudung
ini dalam latihan" "
Cantrik itu mengangguk kecil. Jawabnya " Ya. Kami
memang pernah mengadakan latihan dengan kepala tertutup.
" Agung Sedayu dengan cermat mengamati kerudung itu,
yang ternyata justru terdapat lubang diarah telinga. Dengan
nada rendah ia berkata " Satu latihan untuk per-tempuran
malam yang sangat baik. Dengan demikian kalian telah
melatih pendengaran kalian untuk mengatasi kegelapan. "
Agung Sedayu sendiri tidak pernah mendapat latihan
dengan cara itu. Tetapi Kiai Gringsing langsung membawanya
terjun ke medan dimalam hari yang pekat. Atau disanggar
yang tertutup semua lubang-lubang cahayanya. Tetapi untuk
berlatih beberapa orang bersama-sama di setiap saat dan
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barangkali diluar sanggar dan di siang hari kerudung itu
memang berarti sekali. Glagah Putih yang setiap kali mendapat kesempatan untuk
melihat-lihat sanggar itu ternyata tidak pernah merasa jemu. Ia
selalu memperhatikan semua warga yang ada didalam
sanggar itu dengan seksama.
Setelah puas mereka melihat-lihat, maka merekapun
kemudian mengajak cantrik itu untuk keluar dari sanggar dan
kembali ke belumbang. Kiai Gringsing masih berada di gubug kecil itu. Ia duduk
bersandar dinding, ditunggu oleh seorang cantrik. Ketika ia
melihat tamu-tamunya mendatanginya, maka iapun tersenyum
sambil beringsut menepi. " Kau sudah melihat seluruhnya" " bertanya Kiai Gringsing.
Yang menjawab adalah cantrik yang mengantarkan " Baru
sebagian Kiai. Tetapi mereka ternyata ingin melihat-lihat
sanggar. " Kiai Gringsing tertawa. Katanya " Sanggar itu masih seperti
beberapa saat yang lalu, ketika kalian melihatnya yang
terakhir kalinya. " " Kiai mendapatkan satu cara baru untuk melatih para
cantrik bertempur dimalam hari " berkata Swandaru.
" Hanya untuk mempermudah pekerjaanku, agar aku tidak
perlu keluar dari bilikku di malam hari " berkata Kiai Gringsing.
Lalu " Tetapi bagaimanapun juga adalah lebih baik jika kita
berlatih dalam keadaan sebenarnya. Pengaruh bunyi disekitar
kita, suara-suara malam dan siang adalah
jauh berbeda, sehingga yang dilakukan oleh para cantrik itu
hanya sekedar menutup kekurangan.
" Satu cara yang menarik " berkata Agung Sedayu " tanpa
harus keluar di malam hari sebagaimana Guru katakan.
Setidak-tidaknya sebagai pendahuluan dari latihan yang
sebenarnya. " " Ya. Aku memang sudah terlalu tua dan lemah, sehingga
aku harus lebih banyak menghemat tenaga. " berkata Kiai
Gringsing " apalagi sekarang, setelah terasa kesehatanku
menjadi sangat menurun. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata
" Baiklah. Jika kalian masih ingin melihat-lihat, lakukanlah. Aku
akan beristirahat dahulu. Rasa-rasanya angin bertiup semakin
kencang. " " Silahkan Guru " jawab Agung Sedayu " kami akan berada
disini sampai besok sehingga waktu kami masih cukup. "
" Agaknya maka sebaiknya kalianpun beristirahat pula di
bilik yang sudah disediakan oleh para cantrik. Berbuatlah
sebagaimana di rumah sendiri. Padepokan ini juga padepokan
kalian semuanya. " " Ya Guru. Kami memang merasa dirumah sendiri. "
berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing tersenyum. Iapun kemudian telah
meninggalkan gubug ditepi kolam itu dan kembali ke
bangunan induk padepokan kecilnya, diantar oleh seorang
cantrik, sementara cantrik yang lain masih menemani para
tamu murid Kiai Gringsing beserta isteri mereka dan Glagah
Putih. Tetapi tamu-tamu Kiai Gringsing itu juga tidak terlalu lama
melihat-lihat belumbang yang menyimpan ikan-ikan
yang besar. Merekapun kemudian telah diantar oleh para
cantrik ke dalam bilik mereka masing-masing, sementara
Glagah Putih akan berada di bilik para cantrik.
Ternyata bahwa cantrik-cantrik muda ada juga yang sebaya
dengan Glagah Putik Dengan demikian, maka Glagah Putih
pun rasa-rasanya telah mendapat kawan yang sesuai. Mereka
sempat membicarakan tentang pekerjaan para cantrik di
kebun, di sawah dan pategalan, namun juga para cantrik yang
memelihara ikan di belumbang. Ternyata bahwa Glagah Putih
memang tertarik kepada cara para cantrik memelihara ikan.
Demikianlah, maka hari itu, kedua murid Kiai Gringsing
suami isteri serta Glagah Putih sempat menikmati tata cara
kehidupan di padepokan kecil itu. Satu suasana yang berbeda
dari suasana hidup mereka sehari-hari. Meskipun bukan
berarti bahwa di padepokan yang terasa tenang dan damai itu
tidak ada kerja. Karena para cantrik ternyata juga bekerja
keras. Di kebun, di sawah dan pategalan serta di semua
lingkungan mereka yang lain termasuk di dalam sanggar dan
tempat-tempat latihan yang lain.
Namun demikian, suasananya memang tidak seperti
suasana di Kademangan Sangkal Putung atau di Tanah
Perdikan Menoreh. Di padepokan rasa-rasanya hidup mereka
dibatasi oleh lingkungan kecil itu saja. Meskipun bukan berarti
bahwa padepokan Kiai Gringsing tertutup dari lingkungan.
Mereka mempunyai banyak jalur hubungan dengan
padukuhan-padukuhan disebelahnya. Para cantrik itu telah
menukarkan hasil sawah dan pategalan mereka dengan
kebutuhan-kebutuhan lain. Namun para cantrik itu tidak
memerlukan alat-alat pertanian dari luar lingkungan
padepokan, karena ternyata ada diantara para cantrik itu yang
memiliki ketrampilan pande besi, sehingga mereka dapat
membuat alat-alat dari besi itu sendiri.
Meskipun ada juga para cantrik yang pandai menenun,
tetapi hasilnya sama sekali tidak memenuhi kebutuhan
sebagaimana alat-alat pertanian. Karena itu, maka padev
pokan itu masih memerlukan bahan pakaian dari luar
padepokan. Agung Sedayu dan Swandaru yang mengamati padepokan
itu merasa betapa banyak kemajuan yang telah dicapai oleh
penghuninya. Kemudian dari sebuah padepokan takarannya
memang berbeda dari kemajuan yang dikenal sebuah
Kademangan dan Tanah Perdikan. Apalagi ketika Agung
Sedayu dan Swandaru melihat, bahwa para cantrik juga
menekuni ilmu yang lain kecuali olah kanuragan.
Di dalam ruangan yang khusus, ternyata para cantrik juga
belajar membaca dan menulis. Mereka juga mempelajari
beberapa jenis pengetahuan yang berhubungan dengan
keahlian Kiai Gringsing. Obat-obatan dan pengetahuan
tentang urat syaraf. Meskipun tidak terlalu mendalam tetapi
mereka memiliki pengetahuan dasar yang dapat mereka
pergunakan untuk memberikan sekedar pertolongan kepada
orang-orang sakit, terluka dan juga yang terkena gangguan
urat dan syaraf karena terjatuh, terkilir dan sejenisnya.
Perhatian Glagah Putih ternyata lebih banyak kepada
Sanggar padepokan itu. Di sore hari, ditemani seorang cantrik
Glagah Putih telah berada di sanggar itu lagi. Ia telah
mencoba berbagai macam senjata. Ia masih juga
memperbandingkan dengan senjatanya sendiri yang terlalu
khusus. Ikat pinggang yang memang mempunyai watak yang
khusus. Iapun telah mencoba menilai kemampuannya sendiri
tentang keseimbangan. Ilmu meringankan tubuh dan
ketrampilan kaki. Diluar sadarnya Glagah Putih telah berlatih dengan penuh
minat karena di sanggar itu tersedia berbagai macam alat
yang sangat menarik perhatiannya.
Adalah diluar sadarnya pula, bahwa cantrik yang
mengantarkannya itu memperhatikannya dengan penuh
kekaguman. Cantrik itu memang tidak mengira bahwa Glagah
Putih yang masih muda itu mampu menguasai ilmu
yang sudah sedemikian tinggi. Keseimbangan tubuhnya,
ilmu meringankan tubuh, ketrampilan tangan dan kaki, serta
kemampuan yang lain yang jarang dilihatnya diantara orangorang
berilmu yang pernah ditemuinya. Bahkan meskipun
cantrik itu yakin akan kelebihan Kiai Gringsing, namun orang
tua itu hampir tidak pernah menunjukkannya kepada para
cantrik itu. Glagah Putih berhenti ketika sanggar itu menjadi semakin
suram. Agaknya matahari telah turun kepunggung bukit
disebelah Barat. Karena itu, maka iapun telah menghentikan
latihan-latihannya. " Luar biasa " desis cantrik yang mengantarkannya "
bagaimana mungkin kau dapat melakukannya. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian menarik nafas sambil berkata " Bukan apa-apa. Aku
hanya mengulang latihan-latihan yang pernah diberikan
kepadaku. Masih sangat dasar. "
Tetapi pertanyaan cantrik itu tidak diduganya " Tetapi aku
melihat unsur-unsur gerak yang berbeda dari unsur-unsur
gerak yang diajarkan oleh Kiai Gringsing. "
*** Jilid 228 GLAGAH PUTIH termangu-mangu sejenak. Ternyata cantrik itu sudah mampu memberikan dasar-dasar ilmu dari perguruan yang berbeda. Glagah Putih memang tidak mempelajari ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing. Tetapi dari jalur perguruan Ki Sadewa meskipun juga lewat Agung Sedayu. Dilengkapi dengan ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga.
Dengan nada rendah ia berkata, "Aku memang mempunyai jalur perguruan yang berbeda."
"Tetapi bukankah kau murid kakang Agung Sedayu?" bertanya cantrik itu.
"Itulah kelebihan kakang Agung Sedayu. Meskipun sudah barang tentu bahwa terdapat juga pengaruh dari ilmu yang dimilikinya dari Kiai Gringsing, tetapi yang utama yang diberikan kepadaku adalah jalur ilmu yang lain yang juga dikuasainya. Tetapi sebenamya tidak akan banyak bedanya. Sumber ilmu itu hanya merupakan pokok dasar yang kemudian akan berkembang sesuai dengan pribadi kita masing-masing serta pengaruh yang kita sadap justru untuk memperkaya unsur-unsur yang ada didalam ilmu dasar kita, asal watak dan sifatnya tidak saling bertentangan dengan dasar kepribadian dan watak ilmu yang telah kita miliki dasarnya itu." berkata Glagah Putih.
Cantrik itu mengangguk-angguk. Ia memang melihat betapa kayanya unsur gerak yang nampak pada tata gerak Glagah Putih. Kekayaan unsur yang dikuasainya serta kemampuan mengurai dan mengambil sikap pada satu keadaan yang khusus, merupakan modal yang sangat berbahaya. Sementara itu, cantrik itupun pernah mendengar bahwa Glagah Putih sudah memiliki kemampuan menyadap kekuatan getaran alam yang ada disekitarnya, mengendapkan didalam dirinya dan kemudian melontarkannya sebagai bagian dari ilmunya itu. Tetapi ketika ia menyaksikan ketrampilan gerak tangan dan kakinya, maka kekagumannya menjadi semakin meningkat.
Namun haripun menjadi semakin suram. Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian meninggalkan sanggar itu dan pergi ke pakiwan.
Ketika senja kemudian turun, maka Glagah Putihpun telah duduk diruang dalam barak induk padepokan itu bersama Agung Sedayu dan Swandaru beserta isteri mereka. Kiai Gringsingpun telah duduk pula diantara mereka. Sementara itu para cantrikpun telah menghidangkan makan malam yang hangat.
Beberapa saat kemudian, maka para cantrikpun telah menyingkirkan mangkuk-mangkuk serta sisa makanan dan membawanya ke dapur. Sedangkan mereka yang ada di"ruang dalam masih juga sempat berbincang-bincang beberapa saat. Bahkan sekah-sekali terdengar suara tertawa menyelingi pembicaraan mereka.
Kiai Gringsing yang sedang sakit itupun nampak men"jadi cerah dan gembira. Kiai Gringsingpun telah memanggil beberapa orang cantrik yang tertua untuk ikut serta berbin"cang-bincang dengan sekali sekali terdengar gurau yang segar.
Namun, ketika malam menjadi semakin dalam, maka agaknya Kiai Gringsingpun menjadi letih. Tetapi ternyata bahwa orang tua itu tidak segera meninggalkan ruang dalam. Bahkan katanya kemudian kepada Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah Putih, "Beristirahatlah. Biarlah aku berbicara dengan Agung Sedayu dan Swandaru saja."
Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan. Namun merekapun segera mengerti, bahwa Kiai Gringsing ingin berbicara dengan Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid-muridnya. Bahkan para cantrik yang ada di ruang dalam itupun oleh Kiai Gringsing telah diminta pula untuk meninggalkan ruangan.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun telah beringsut meninggalkan tempat itu pula bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Namun mereka tidak segera masuk kedalam bilik mereka masing-masing. Tetapi mereka telah bersama-sama berada di serambi. Ternyata bahwa me"reka bertiga menjadi gelisah pula sebagaimana Agung Se"dayu dan Swandaru, sehingga merekapun telah berbincang tentang apa saja yang akan dibicarakan oleh Kiai Gringsing dengan kedua orang muridnya itu.
Dalam pada itu, yang tinggal bersama Kiai Gringsing kemudian adalah tinggal Agung Sedayu dan Swandaru. Keduanya yang menjadi berdebar-debar itu menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing yang sedang sakit itu.
Setelah hening sejenak, maka Kiai Gringsing itupun kemudian telah berkata, "Anak-anakku. Sebagaimana kali"an ketahui, bahwa aku semakin lama telah menjadi semakin tua. Sejak kita dipertemukan oleh Yang Maha Agung, maka aku memang sudah tua. Apalagi sekarang. Karena itu, maka kalianpun tahu, kemana arah perjalananku sekarang ini."
Agung Sedayu dan Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sementara suara Kiai Gringsingpun menjadi semakin berat. "Rencana itu, maka aku merasa berbangga sekali, bahwa saat ini aku dapat bertemu dengan kalian berdua."
Kiai Gringsing berhenti sejenak. Iapun menarik nafas dalam-dalam seolah-olah udara malam di padepokan itu akan dihirupnya semuanya. Kemudian terdengar suaranya melemah, "Betapapun juga tingkat ilmu seseorang, tetapi pada saatnya kita tidak akan dapat ingkar lagi. Karena itu sikap pasrah bukannya satu sikap yang lemah dan putus-asa. Tetapi kita memang tidak akan dapat menentang arus kehidupan. Bahkan akhirnya kita akan sampai ke muara."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun Swandaru telah mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan kepadanyapun kemudian tertunduk kembali.
"Anak-anakku." berkata Kiai Gringsing, "saat-saat seperti itu tentu akan datang juga kepadaku. Bahkan kelak juga kepada kalian. Tetapi kalian masih muda. Menurut perhitungan lahiriah, maka akulah yang akan lebih dahulu sampai."
"Tetapi Guru." tiba-tiba saja Swandaru berdesis, "apakah kita akan menyongsong saat-saat yang demikian itu dengan berlutut dan tangan bersilang serta kepala menunduk?"
"Jika kita memang telah sampai kehutan, betapa kita berusaha menentangnya, itu tidak berarti sama sekali. Se"perti yang pernah aku katakan, bahwa saat itu akan datang tanpa memperhatikan apakah kita setuju atau tidak setuju. Sama sekali bukan berarti bahwa kita tidak berusaha. Teta"pi sekarang aku akan berkata dengan tegas, bahwa segala usaha akan sia-sia. Kita tidak mempunyai wewenang untuk menentukan, apakah usaha kita akan berhasil atau sia-sia. Bahkan jika kita menentang kesia-siaan itu, maka kita akan kehilangan keseimbangan jiwa. Kita justru akan semakin menderita karenanya."
Swandaru mengerutkan dahinya. Namun ia sama sekali tidak berani menentang sikap gurunya yang nampaknya menjadi keras itu. Jauh berbeda dengan sikapnya disaat-saat ia datang.
Sejenak kemudian maka Kiai Gringsing itupun berkata selanjutnya, "Karena itu, anak-anakku. Akupun tidak akan menentang saat itu datang. Bahkan aku ingin mempersiapkan diri sebaik-baiknya menjelang saat itu. Aku tidak ingin bahwa pada saat terakhir aku digelisahkan oleh persoalan-persoalan yang aku anggap belum siap ditinggalkan."
"Guru." desis Swandaru.
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Tidak ada pilihan lain Swandaru. Di waktu yang tinggal sedikit ini seharusnya kita tidak menyia-nyiakan waktu kita itu untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak berarti sama se"kali. Lebih baik kita berbenah diri dan melakukan yang paling berarti bagi kita. Bukan satu sikap putus asa Swan"daru."
"Guru." suara Swandaru tersendat, "tetapi bukankah kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi?"
"Ya." jawab Kiai Gringsing, "kita memang tidak tahu. Tetapi justru karena itu, maka kita tidak boleh terlambat."
"Tetapi bagaimana jika saat itu datang dalam sepuluh atau duapuluh tahun lagi, sementara kita tenggelam dalam persiapan bagi satu masa yang masih sangat jauh itu?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau masih muda Swandaru. Namun bagaimanapun juga, kesiagaan itu harus ada didalam diri kita. Saat itu dapat datang kapan saja tanpa kita ketahui. Apalagi bagi orang yang sudah setua aku ini. Menurut perhitungan lahiriah se"perti yang sudah aku katakan, bahwa saat itu akan datang tidak terlalu lama lagi."
Swandaru mengatupkan giginya rapat-rapat. Ada sesuatu yang bergejolak didadanya. Tetapi ia memang tidak berarti menentang pendapat Kiai Gringsing itu. Namun karena itu, maka dadanyapun rasa-rasanya justru menjadi sesak. Yang dikatakan oleh gurunya itu kurang sesuai dengan pendapatnya. Kepada dirinya sendiri ia berkata, "Seharusnya kita tidak tenggelam dalam laku yang tidak berarti itu. Jika hidup dan mati itu tidak dapat kita rencanakan, maka seharusnya kita tidak mempedulikannya. Kita melakukan apa yang baik menurut penilaian kita tanpa dibayangi oleh perasaan yang kalut seperti Guru itu."
Tetapi Swandaru tidak mengucapkannya. Bahkan kepalanya justru telah tertunduk. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Seakan-akan mereka sedang melihat kedalam diri mereka masing-masing.
Baru sejenak kemudian Kiai Gringsing itupun berkata, "Anak-anakku. Karena itulah aku merasa gembira sekali, bahwa kalian berada disini pada saat yang penting ini. Aku memang ingin berkemas, agar aku terbebas dari beban yang dapat mengganggu perasaanku jika aku harus menempuh perjalanan jauh itu."
Swandaru berusaha untuk menahan diri agar ia tidak membantah kata-kata gurunya yang barangkali akan dapat membuat gurunya itu tersinggung. Sementara itu Agung Sedayu ternyata berpendapat lain. Ia melihat gurunya sebagai seorang yang memang telah mempersiapkan diri menghadapi ujung perjalanan hidup dan akan turun ke sebuah perjalanan yang baru. Dilihatnya, gurunya seakan-akan sedang berbenah diri sehingga pada saatnya tidak ada lagi yang dapat membuatnya cemas dan ragu-ragu. Gurunya akan dapat melangkah dengan langkah yang tetap dan pasti serta dada yang lapang. Ia benar-benar telah selesai.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berkata pula, "Sebagaimana kau ketahui, ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengan kalian. Dalam ketuaanku ini, maka banyak tugas-tugas yang tidak dapat lagi aku lakukan dengan baik. Aku merasa terlalu letih untuk memimpin padepokan ini, menilai pekerjaan para cantrik. Memberikan latihan-latihan kepada mereka, melihat-lihat sawah dan pategalan. Karena itu, aku memerlukan seseorang yang dapat melakukannya dengan baik. Sementara itu, aku tahu bahwa Agung Sedayu dan Swandaru masing-masing telah mempunyai tugas yang cukup berat. Meskipun demikian aku ingin menawarkan kepada kalian berdua, siapakah yang bersedia untuk membantu aku memimpin padepokan ini."
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Tetapi agaknya keduanya memang tidak akan dapat melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa kedua orang muridnya itu telah memiliki tugasnya masing-masing yang akan sulit sekali ditinggalkannya.
Karena itu, maka Kiai Gringsing yang mengetahui perasaan kedua orang muridnya itupun berkata, "Jangan segan-segan untuk mengatakan kemungkinan bagi kalian masing-masing. Aku lebih senang mendengarkan kalian berkata yang sebenarnya kepadaku sehingga dengan demi"kian aku akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang tepat."
"Ampun Guru." berkata Agung Sedayu, "bukannya aku ingin mengingkari tugas seandainya Guru memang membebankan tugas itu kepadaku. Namun aku mohon Guru mempertimbangkan tugas-tugasku sekarang yang masih belum mapan aku lakukan di Tanah Perdikan Menoreh, justru pada saat yang gawat ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Swandaru, maka Swandarupun berkata, "Guru. Ayahku telah tua pula meskipun belum setua Guru. Karena itu, maka Kademangan Sangkal Putung memang memerlukan seseorang yang dapat menanganinya. Itulah sebabnya, maka aku tidak dapat meninggalkan tugas-tugas sebagai anak Demang di Sangkal Putung itu."
Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk pula. Katanya, "Aku memang sudah menduga, bahwa kalian tidak akan dapat meninggalkan kesibukan kalian masing-masing. Bagiku memang tidak ada bedanya. Apakah kalian bekerja di Tanah Perdikan Menoreh, atau di Kademangan Sangkal Putung atau disini. Yang penting kalian telah berbuat sesuatu yang akibatnya akan memberikan arti yang baik bagi sesama. Dimanapun kita berada. Yang penting bagiku adalah pernyataan kalian itu. Sebab bagiku, kalian berdua adalah orang-orang yang terdekat yang paling berhak mewarisi padepokan kecil ini, meskipun tidak berarti apa-apa. Padepokan kecil yang tidak mempunyai sesuatu yang dapat dibanggakan."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Dengan pernyataan kalian itu, maka aku akan dapat mengambil langkah yang menurut penilaianku paling baik. Meskipun demikian aku masih ingin mempertimbangkannya dengan kalian berdua."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Mereka menunggu saja apa yang akan dikatakannya oleh gurunya.
Sementara itu, Kiai Gringsingpun berkata, "Dengan pernyataan kalian itu, maka bukankah mengandung pengertian, bahwa kalian akan merelakan jika padepokan ini akan dipimpin oleh seseorang?"
"Seseorang?" bertanya Swandaru, "maksud Guru, orang lain akan hadir dalam perguruan Kiai Gringsing ini."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah iapun kemudian berkata, "Belum seorangpun diantara para cantrik yang dapat dibebani tanggung jawab atas padepokan ini. Betapapun kecilnya padepokan ini, namun agaknya diperlukan seseorang yang dapat memimpinnya dengan baik dan wajar."
"Siapakah yang Guru maksud dengan seseorang itu?" bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian dengan nada rendah, "Aku mempunyai beberapa nama yang pantas aku sebutkan. Justru aku memang ingin mendengar pertimbangan kalian sebagai orang-orang yang paling berhak atas padepokan ini."
Swandaru dan Agung Sedayu diam menunggu. Semen"tara Kiai Gringsing kemudian berkata, "Aku dapat menyerahkan padepokan ini kepada angger Untara. Ia dapat memanfaatkan padepokan ini bagi sebagian prajurit-pra-jurit tanpa merubah ujud dan bentuk padepokan ini. Akupun dapat menyebut nama Ki Widura. Meskipun aku tidak tahu, apakah ia bersedia memimpin padepokan ini, tetapi jika pilihan kalian jatuh kepadanya, aku akan mencoba menghubunginya."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya, namun Swan"daru terkejut mendengar pendapat gurunya itu. Bahkan ia telah beringsut setapak maju. Dengan nada tinggi ia ber"tanya, "Guru, apakah hal itu sudah Guru pertimbangkan dengan masak."
"Aku sudah mempertimbangkannya sekarang bersa"ma kalian." jawab Kiai Gringsing.
"Aku sama sekali tidak sependapat jika padepokan ini akan dipergunakan oleh para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom. Kedudukan padepokan ini akan berubah sama sekali. Para cantrik akan kehilangan pribadinya se"bagai seorang cantrik di sebuah padepokan." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan Ki Widura?"
"Ki Widura bukan murid Guru. Tidak ada jalur sama sekali dari Guru yang sampai kepada Ki Widura. Apakah karena Ki Widura itu paman kakang Agung Sedayu, maka ia dapat dipertimbangkan untuk menggantikan kedudukan kakang Agung Sedayu disini" Sementara itu sifat dan watak ilmu yang dimiliki oleh Ki Widura sangat berbeda dengan ilmu yang Guru ajarkan di padepokan ini." jawab Swandaru pula.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bertanya kepada Agung Sedayu, "Bagaimana pendapatmu, Agung sedayu?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun iapun kemudian menjawab, "Aku sependapat dengan adi Swandaru, bahwa sebaiknya padepokan ini tidak diserahkan kepada kakang Untara. Bukannya aku menolak untuk bekerja bersama dengan para prajurit Mataram, tetapi bentuk pade"pokan ini benar-benar akan berubah. Meskipun para pra"jurit itu tidak berniat untuk merubahnya, namun tugas dan kedudukan mereka akan membuat suasana padepokan ini menjadi lain. Sedangkan dengan paman Widura aku ingin mendengar dari Guru, apakah dasarnya bahwa Guru telah menyebut nama paman Widura itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Katanya, "Anak-anakku. Memang tidak ada orang yang lebih pantas dari kalian untuk menerima limpahan kepemimpinan di padepokan ini. Tetapi jika aku sebagai Guru memerintahkan salah seorang diantara kalian melakukannya, maka aku adalah orang tua yang telah mengekang perkembangan anak-anaknya. Cakrawala masa depan kalian akan menjadi sempit dan kalian akan terpisah dari meskipun tidak mutlak dari perkembangan lingkungan yang lebih besar. Sementara itu kalian berdua memang telah menyatakan bahwa kalian untuk waktu yang dekat tidak akan dapat menghilangkan tugas kalian yang sedang berkembang sekarang ini, sementara duri-duri yang ditaburkan oleh bebe"rapa orang di Madiun tengah menyusup ke Mataram dan lingkungan disekelilingnya. Itulah sebabnya, maka aku memerlukan seseorang disini. Seseorang yang aku kenal sifat dan kebiasaannya. Kemampuannya dan tanggung jawabnya."
Namun Swandarulah yang dengan tergesa-gesa men"jawab, "Tetapi bukankah itu tidak terbiasa dilakukan oleh siapapun juga Guru. Seorang pemimpin padepokan menyerahkan kepemimpinannya kepada orang lain. Maksudku, bukan keluarga dari perguruan yang hidup di padepokan itu."
"Aku mengerti Swandaru." berkata Kiai Gringsing yang kemudian telah terpotong oleh kata-kata Swandaru, "Lalu bagaimana pula dengan para cantrik yang selama ini mendapat pengetahuan dan ilmu yang Guru berikan. Sementara itu Ki Widura sendiri tidak pernah mempelajari ilmu dari jalur yang sama."
"Aku telah memikirkannya Swandaru." berkata Kiai Gringsing, "tetapi tolonglah, beri aku pemecahan. Jika kalian berdua tidak sanggup dan hal itu akan dapat me"ngerti, lalu bagaimana dengan padepokan ini" Bukankah lebih baik dipimpin oleh seseorang yang meskipun datang dari luar jalur perguruan tetapi sudah kita kenal dengan baik daripada padepokan ini harus ditutup dan menyerahkan kembali para cantrik kepada keluarganya" Sementara itu, para cantrik itu berharap untuk mendapatkan ilmu yang jauh lebih baik dan yang mereka miliki sekarang. Bukan saja kanuragan tetapi juga pengetahuan yang lain. Mengenai huruf dan beberapa jenis ilmu tentang kehidupan. Seandainya demikian, apakah Ki Widura dapat melakukan sebagaimana dilakukan. Ki Widura tentu mempunyai cara yang lain. Sementara itu aku yang tua ini, untuk waktu yang meskipun terbatas akan dapat membantu tugas itu. Tentu saja tugas-tugas yang ringan. Mengajarkan para cantrik mengenali jenis tumbuh-tumbuhan, jenis-jenis daun dan akar-akaran. Mungkin getah dan jenis racun pada tumbuh-tumbuhan. Racun yang dapat mencelakai seseorang dan racun yang dapat membantu seseorang. Atau pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak memerlukan tenaga."
"Jika demikian, selama masih berada dibawah pengawasan Guru, apakah Guru tidak dapat menunjuk salah se"orang cantrik yang tertua ilmu dan kemampuannya?" ber"tanya Swandaru pula.
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Sulit bagiku untuk menyerahkan pimpinan kepada salah seorang diantara mereka."
"Guru tidak usah menyerahkan pimpinan itu. Guru masih tetap pemimpin disini. Namun orang itulah yang melakukan tugas-tugas yang berat." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang ke nyala lampu minyak di ajuk-ajuk ia berkata, "Aku ingin beristirahat. Aku sudah merasa terlalu letih."
Swandaru masih akan menyahut. Namun Agung Sedayulah yang berkata selanjutnya. "Guru. Aku dapat mengerti, bahwa pada satu saat, seseorang ingin mendapatkan kesempatan yang bebas. Tanpa memberikan tugas apapun juga yang membebani dirinya, meskipun bukan berarti berhenti sama sekali."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Iapun kemu"dian memandang Agung Sedayu dengan kerut di dahinya.
Sementara itu Agung Sedayupun berkata, "Guru. Yang penting bagi kita, bagaimana padepokan ini justru dapat berkembang sesuai dengan warna yang telah diletakkan oleh Guru. Sebenarnya siapapun yang akan memimpin padepokan ini bukannya soal yang penting. Tetapi kesinambungan dari alat yang telah diserahkan oleh Guru itu"lah yang perlu diperhatikan Guru, sebenarnyalah paman Widura adalah, orang luar bagi perguruan kita. Kecuali jika paman Widura hanya sekedar membantu Guru, mengatur para cantrik, menangani perkembangan padepokan ini secara lahiriah, maksudku mengurusi pepohonan di kebun, parit-parit di sawah dan pategalan, ikatan mereka untuk menepati paugeran dan pengaturan-pengaturan lain yang diperlukan. Namun Guru akan tetap memberikan tuntunan ilmu yang manapun kepada para cantrik. Bukankah Guru dapat menangkap maksudku dengan memilahkan tugas-tugas itu" Memang Guru tidak akan dapat beristirahat sepenuhnya. Namun sebagian dari tugas Guru telah dapat dilimpahkan kepada orang lain. Sementara itu Guru tidak terikat untuk melakukan tugas Guru setiap waktu. Para cantrik dapat berlatih dengan teratur diantara mereka sendiri. Hanya pada saat-saat penting saja Guru hadir diantara mereka."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Memang itu merupakan satu cara. Tetapi dengan demikian, aku masih harus melakukannya."
"Tetapi itu adalah sikap yang paling lunak Guru." sahut Swandaru, "aku tidak akan berpikir demikian lunaknya sebagaimana kakang Agung Sedayau. Tetapi barangkali itu adalah cara yang lebih baik daripada Guru menye"rahkan padepokan ini kepada paman Widura."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya. "Baiklah. Jika kalian menganggap jalan itu adalah yang terbaik. Aku akan mencoba menghubunginya."
"Tetapi harus dijaga bahwa Ki Widura menyadari dan meyakini tugas yang diberikan kepadanya. Ia tidak boleh dengan cara apapun juga pada suatu saat menguasai pade"pokan ini dengan menyingkirkan Guru."
"Ah." desah Kiai Gringsing, "aku mengenal Ki Wi"dura dengan baik. Ia tidak akan melakukannya. Agung Se"dayu adalah kemenakannya, dan ia adalah muridku. Ia tentu akan menghormati hakku dan hak kemenakannya."
"Mudah-mudahan." jawab Swandaru, "tetapi bagi seseorang, kedengkian kadang-kadang mengalahkan segala kebaikan. Keingina untuk menguasai sesuatu akan dapat membuatnya lupa diri."
"Aku kira paman tidak akan berbuat demikian." ber"kata Agung Sedayu.
"Siapapun dapat mengira-irakan. Tetapi tidak seorangpun yang dapat memastikannya."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ternyata ia tidak langsung menjawab. Bahkan ia berpaling kepada Kiai Gringsing, seakan-akan menyerahkan segala kebijaksanaan kepadanya.
Sebenarnyalah KiaiGringsing memang ingin mencegah perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua muridnya itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Meskipun dengan sangat hati-hati Swandarupun sependapat, bahwa kita akan dapat bekerja bersama dengan Ki Widura. Besok aku minta kalian pergi kerumahnya, minta agar Ki Widura bersedia datang ke padepokan ini. Kita akan berbicara dengannya. Mudah-mudahan ada titik temu yang dapat memberikan jalan keluar kepada kita."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Swan"daru hanya dapat menarik nafas panjang. Meskipun terasa masih ada sesuatu bergejolak di dalam hatinya, tetapi bagaimanapun juga ia berhadapan dengan Gurunya yang sangat dihormatinya. Sehingga karena itu, maka Swandaru hanya berusaha untuk mengendapkan perasaannya.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun berkata, "Baiklah. Jika demikian maka persoalan yang pertama ini dapat kita anggap sudah selesai. Pada suatu waktu pasti datang saatnya aku tidak mampu berbuat apa-apa lagi."
Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Sementara Swandarupun mulai tertarik kepada persoalan yang masih akan dibicarakan.
"Anak-anakku." berkata Kiai Gringsing kemudian, "selain padepokan masih ada yang perlu kita bicarakan. Se"bagaimana kalian ketahui, bahwa aku memiliki sebuah kitab yang berisi beberapa macam pengetahuan tentang kanuragan dan kehidupan yang lain. Di kitab itu tidak ha"nya terdapat petunjuk dan laku untuk menguasai satu jenis ilmu. Tetapi beberapa, sehingga kitab itu menjadi tebal se"kali. Meskipun demikian, aku memang tidak ingin kitab itu dipecah menjadi dua atau tiga berdasarkan atas kelompok ilmu. Aku ingin kitab itu tetap utuh. Namun dengan demi"kian, sudah barang tentu aku tidak dapat memberikannya sekaligus kepada kalian berdua."
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Untuk membaca isi kitab itu saja, diperlukan waktu yang cukup lama, sekitar tiga bulan. Pada kesempatan pertama Agung Sedayu membawa kitab itu untuk tiga bulan, maka ia telah membacanya dengan memahatkan hal-hal yang terpenting didalam hatinya, sehingga ia telah memanfaatkan satu kurnia baginya, bahwa ia tidak kehilangan ingatan atas sesuatu yang memang benar-benar ditekankan pada dirinya untuk dapat diingatnya. Seakan-akan Agung Se"dayu itu mampu memahatkan persoalan terpenting itu pada dinding hatinya untuk tidak pernah terhapuskan. Memang ada hal-hal yang dianggap kurang penting pada kitab itu, atau yang sebelumnya memang sudah dikuasainya. Dengan demikian untuk mempelajari dan memenuhi laku yang dituntut didalam kitab itu, maka untuk dapat melakukannya diperlukan waktu seumur hidup mereka.
Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki ketajaman nalar budi, maka waktu yang sepanjang umurnya itu tidak akan mencukupi, sehingga mereka tidak akan pernah mam"pu menguasai ilmu-ilmu didalam kitab itu sebaik-baiknya, meskipun hanya satu jenis sekalipun.
Untuk beberapa saat kedua murid Kiai Gringsing itu terdiam. Mereka memang tidak tahu apakah yang terbaik dapat dilakukan. Kitab itu memang hanya satu.
Karena kedua muridnya terdiam, maka Kiai Gringsing"pun kemudian berkata, "Selama ini aku telah memberi kalian kesempatan untuk membawa dan mempelajari ilmu diantaranya yang menarik bagi kalian dan sesuai dengan jiwa kalian masing-masing. Jika cara yang kita lakukan itu kalian anggap sesuai, maka cara itu akan dapat diteruskan. Kalian masing-masing mendapat kesempatan tiga bulan berganti-ganti."
Swandarulah yang kemudian menjawab, "Sebenarnya cara itu cukup baik guru. Selama tiga bulan kami sempat mempelajari laku yang diperlukan. Kemudian tiga bulan berikutnya, jika timbul niat didalam hati, kami dapat menjalani laku itu untuk menguasai dasar dari salah satu il"mu yang tertera didalam kitab itu. Selanjutnya kita tinggal meningkatkannya di tiga bulan berikutnya, sesuai dengan petunjuk didalam kitab itu pula. Adapun saat-saat berikut"nya kita akan dapat mengembangkannya. Namun kitab itu memang masih diperlukan karena setiap kali, dalam hal ini tiga bulan sekali, untuk menyempurnakannya sehingga da"lam sepuluh kali tiga bulan, ilmu yang benar-benar dipelajari dan laku yang diperlukan benar-benar dijalani, maka il"mu itu akan menjadi matang didalam diri kita."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Cara itu kita lanjutkan. Kitab itu akan berpindah tangan untuk tiga bulan sekali. Meskipun dalam waktu tiga bulan itu, mungkin karena kesibukan atau karena hal-hal lain, kalian tidak sempat mempelajarinya. Namun pada satu saat, jika hal itu diperlukan, maka kalian dapat menyusun rencana sebaik-baiknya seperti yang dikatakan oleh Swandaru. Karena pada dasarnya akar dari ilmu yang bersumber dari perguruan ini telah kalian kuasai, se"hingga untuk mempelajari tingkat perkembangannya de"ngan segala cabang-cabang ilmunya tidak akan terlalu sulit lagi."
Kiai Gringsing itupun berhenti sejenak. Sambil memandang kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
"Aku sependapat Guru." berkata Agung Sedayu, "aku kira cara itu memang dapat diteruskan."
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "jika demikian, maka cara itu untuk sementara dapat diteruskan."
"Kenapa untuk sementara?" bertanya Swandaru.
"Cara itu tidak akan dapat berlangsung tanpa batas. Pada suatu saat maka kalian berduapun akan menjadi tua seperti aku dan menuju kebatas akhir. Karena itu, sebelum hal itu terjadi, maka harus sudah dapat ditentukan, siapakah yang akan menyimpan kitabitu selanjutnya dan kepada siapa kitab itu harus diserahkannya."
Kedua murid Kiai! Gringsing|itu Itermangu-mangu. Na"mun kemudian Agung Sedayupun berkata, "Guru. Bukankah kami berdua sudah cukup dewasa untuk membicarakannya kelak pada saatnya" Jika Guru mempercayai kami, biarlah kami menentukan apa yang sebaiknya kami lakukan atas kitab itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang percaya sepenuhnya kepada Agung Sedayu. Tetapi sebenarnya agak ragu-ragu terhadap sikap Swandaru. Namun hatinya agak tenang oleh kenyataan bahwa Agung Sedayu memiliki kematangan ilmu dan kematangan jiwa melampaui Swan"daru, sehingga sebagai saudara tua dalam perguruan itu, maka agaknya Agung Sedayu akan dapat mengendalikan adik seperguruannya jika pada satu saat terjadi penyimpangan. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya kepada Swandaru, "Bagaimana pendapatmu Swandaru."
"Aku menurut saja Guru." jawab Swandaru, karena baginya hal itu akan dapat memberikan lebih banyak peluang kepadanya. Selama ini Agung Sedayu agaknya terlalu malas untuk membaca apalagi mempelajari isi kitab itu. Jika waktu yang tiga bulan habis, belum tentu Agung Sedayu datang mengambilnya. Bahkan sampai enam bulan kitab itu kadang-kadang masih tersimpan di rumahnya. Meskipun jarak antara Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung itu sebenarnya memang tidak terlalu jauh. Namun sekali-sekali juga terbersit pertanyaan kepada diri sendiri. "Jika kitab itu sedang ada padaku, apakah aku juga selalu memanfaatkannya?"
Swandaru menundukkan kepalanya. Bagaimanapun juga ia harus mengakui, bahwa iapun tidak selalu membaca isi kitab yang mengandung selain ilmu juga petunjuk-petunjuk tentang hidup dan kehidupan itu pada saat kitab itu ada padanya.
Swandaru bagaikan tersadar dari angan-angannya, ke"tika ia mendengar Kiai Gringsing berkata, "Baiklah. Jika demikian aku serahkan kitab itu kepada kalian. Tetapi dengan pesan, bahwa tidak boleh terjadi penyimpangan. Bukan saja tentang berbagai paugerari perguruan, tetapi juga tentang perjalanan hidup kalian diantara sesama. Ka"lian harus tetap berpegang pada petunjuk-petunjuk yang pernah aku berikan dan yang dapat kalian baca kembali didalam kitab itu. Kalian harus tetap sadar akan hubungan kalian dengan Sumber Hidup kalian dan dengan sesama."
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, "Petunjuk dan nasehat Guru selama ini akan selalu kami ingat."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara Swandarupun berkata, "Kami berjanji Guru."
Kiai Gringsing kemudian memandangi kedua muridnya itu berganti-ganti. Memang ada kebanggaan dihatinya, bahwa kedua muridnya telah memiliki pegangan ilmu yang tinggi meskipun keduanya berbeda sikap dan arah pengembangan ilmu, namun keduanya berpijak pada alas yang sa"ma.
Kiai Gringsing memang tidak dapat mengingkari ke"nyataan, bahwa bukan saja sikap dan arah pengembangan ilmu mereka yang berbeda, tetapi watak dan sifat kedua muridnya itupun berbeda. Pandangan hidup dari kedua orang itupun ternyata tidak searah meskipun Kiai Gring"sing selalu memberikan nasehat dan petunjuk yang sama bagi keduanya. Tetapi bekal dan lingkungan hidup kedua"nya berbeda. Demikian pula ungkapannya dalam kehidupan mereka.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, "Terima kasih atas kesediaan kalian anak-anakku. Dengan demikian maka saat-saat mendatang nampak cerah bagi perguruan kita. Aku sebenarnya tidak ingin bahwa jalur ilmu yang kita sadap itu akan menjadi pudar dan apalagi lenyap di hari-hari kemudian. Namun dengan kesediaan kalian, maka mudah-mudahan ilmu ini akan tetap berkembang. Kesediaan membantu sesama yang berada didalam kesulitan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari il"mu kita."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya dengan nada rendah, "Tetapi ada sedikit yang ingin aku katakan kepadamu Agung Sedayu."
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia memperhatikan kata-kata gurunya, "Bukan maksudku untuk membatasi kebebasan memilih bagi setiap orang. Tetapi menurut pengamatanku, adik sepupumu yang kau tuntun didalam olah kanuragan, yang kemudian juga dibawah asuhan Ki Jayaraga, condong un"tuk memiliki ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa. Aku ikut berbesar hati, bahwa ilmu dari perguruan Ki Sadewa itu akan tetap hidup dan bahkan berkembang. Namun satu pertanyaan yang tidak pernah dapat aku lupakan, apakah aku tidak dapat menitipkan perkembangan ilmu perguruan ini kepada Glagah Putih" Kita semuanya tentu sudah mengetahui bahwa pengaruh perguruan ini memang nampak pada Glagah Putih. Tetapi apakah kita tidak dapat minta kepadanya untuk mempelajari ilmu dari perguruan ini secara khusus, sehingga pada saatnya ilmu dari perguruan ini tidak akan begitu saja dilupakan orang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebelumnya ia tidak pernah memikirkannya, bahwa dengan demi"kian yang akan berkembang lewat Glagah Putih adalah jalur perguruan Ki Sadewa, bukan jalur perguruan Kiai Gringsing.
Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata jujur, "Ya Guru. Aku tidak pernah mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya tentang hal itu. Pada saat aku mulai, maka aku tidak memikirkannya sampai begitu jauh."
"Sekarang sudah waktunya kau meninjau kembali. Apakah kau akan mempergunakan adik sepupumu itu sebagai jembatan bagi masa datang dalam pengembangan ilmu perguruan kita?" bertanya Kiai Gringsing.
Namun yang menyahut adalah Swandaru, "Guru. Kenapa kita tidak mencari saluran yang murni, yang tidak bercampur baur dengan jalur ilmu dari perguruan lain?"
"Tidak ada keberatannya bagiku Swandaru. Aku tahu bahwa Glagah Putih adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dengan tingkat kecerdasan yang memadai untuk memilah-milahkan ilmu yang diterimanya. Semen"tara itu, iapun memiliki kemampuan untuk meramu dan mengungkapkannya dalam kesatuan yang luluh sehingga merupakan ilmu yang memiliki kekayaan unsur yang dapat membuat orang lain mengaguminya. Karena itu, maka jika Agung Sedayu sependapat, Glagah Putih akan dapat men"jadi murid yang sangat baik dan akan dapat menangkap berbagai macam ilmu di dalam dirinya tanpa kehilangan sumbernya masing-masing." jawab Kiai Gringsing.
"Tetapi bukankah lebih baik jika kita memper"gunakan saluran yang masih belum dikotori oleh macam ilmu yang lain." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Maksudmu tentu bukan dikotori dalam arti yang kurang baik bukan" Tetapi seandainya seseorang memiliki ilmu rangkappun sama sekali bukan satu kekurangan. Bahkan jika kita mampu mempergunakan dengan tepat, malahan akan merupakan satu kelebihan."
"Meskipun kita hanya mempelajari satu saluran per"guruan, namun sebagaimana tertera dalam kitab guru, saluran yang satu itu sudah menumbuhkan beberapa jenis ilmu. Jika kita mempelajarinya dan mengembangkannya sampai kepuncak, maka kemampuan kita tidak akan dapat diatasi oleh ilmu yang manapun juga, meskipun ilmu rangkap tujuh sekalipun. Itu jika kita mempunyai satu keya"kinan tentang ilmu yang kita pelajari. Kecuali jika sejak semula kita sudah ragu, bahwa ilmu yang kita pelajari itu tidak cukup memadai." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing justru tersenyum. Katanya, "Tidak ada ilmu yang sempurna Swandaru. Perguruan yang manapun didunia ini tentu memiliki kekurangan. Sehingga memang memungkinkan bahwa kekurangan dari satu jenis ilmu dari sebuah perguruan dapat ditutup dengan unsur-unsur yang terdapat pada ilmu dari perguruan yang lain yang memiliki watak yang sejalan."
"Tetapi tidak pada permulaannya." berkata Swan"daru dengan nada tinggi.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Tetapi aku tidak kehilangan kesem"patan. Seandainya jalur yang satu ini ternyata kurang berhasil, maka masih mengharap bahwa kau akan dapat memenuhinya, Swandaru."
Swandaru justru terkejut mendengar keterangan guru"nya. Sebelumnya ia tidak pernah memikirkannya untuk menemukan seseorang yang akan dapat dijadikan muridnya. Namun agaknya hal itu menurut gurunya perlu dilakukannya sebagai perbandingan dari apa yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu terhadap adik sepupunya.
Dalam pada itu gurunya itupun kemudian berkata, "Mungkin selama ini kau belum memikirkannya Swandaru. Kau masih terlalu sibuk dengan Kademanganmu dan dengan dirimu sendiri. Tetapi itu tidak apa-apa. Kau masih mempunyai kesempatan yang panjang."
Wajah Swandaru tiba-tiba menjadi cerah. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Aku sudah mempunyai seorang calon murid yang baik, Guru."
"Syukurlah." berkata Kiai Gringsing, "mudah-mudahan ia akan menjadi murid yang baik lahir dan batinnya."
"Tentu Guru. Ia harus menjadi seorang yang baik, berani dan memiliki ilmu yang tinggi." berkata Swandaru pula.
"Barangkali aku boleh tahu, siapakah calon muridmu itu" Apakah ia masih ada hubungan keluarga denganmu atau hubungan yang lain?" berkata Kiai Gringsing.
"Ia adalah bakal anakku, Guru. Pandan Wangi kini telah mulai mengandung." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing dan Agung Sedayu terkejut sesaat. Na"mun kemudian keduanya menarik nafas dalam-dalam. Kiai Gringsing tersenyum sambil berkata, "Aku mengucapkan selamat kepadamu Swandaru."
Swandaru tertawa. Katanya, "Terima kasih Guru. Bukankah aku benar-benar mempunyai seorang calon murid yang baik" Aku tidak peduli apakah anakku laki-laki atau perempuan. Tetapi anakku itu harus memiliki ke"mampuan ilmu, keberanian dan baik sebagaimana ayah dan ibunya."
Agung Sedayu yang duduk di sebelah adik seperguruannya itu menepuk bahu Swandaru sambil berkata, "Ter"nyata kebahagiaanmu akan segera menjadi lengkap adi Swandaru."
"Kapan kau menyusul kakang?" bertanya Swanda"ru.
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Pada suatu saat, kurnia itu akan aku terima pula. Aku selalu memohon kepada-Nya."
"Mudah-mudahan tidak terlalu lama." berkata Swan"daru, "anak kita akan sebaya."
Agung Sedayu masih saja tertawa. Namun kemudian katanya, "Seperti yang kau katakan. Kau akan mempunyai seorang murid yang paling baik."
"Aku akan mengajarkan kepadanya, jalur ilmu dari perguruan orang bercambuk." berkata Swandaru.
"Ya. Kau tentu akan lebih berhasil daripadaku." ber"kata Agung Sedayu.
"Tetapi jika anakmu lahir kelak, maka kaupun akan mendapat murid baru yang barangkali lebih baik dari Glagah Putih." berkata Swandaru, "kau akan dapat menurunkan ilmu dari perguruan kita dengan murni."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak sependapat dengan Swandaru. Tetapi Agung Se"dayu memang segan untuk berbantah. Karena itu, maka iapun tidak"menyahut sama sekali.
Bahkan Kiai Gringsing yang menyahut, "Aku akan ikut berdoa, semoga kau segera mendapatkannya Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih Guru. Mudah-mudahan."
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing kemudian. Lalu, "Jika demikian, maka aku akan menjadi semakin tenang menghadapi segala macam kemungkinan yang dapat ter-jadi atas diriku. Dari seorang yang sudah terlalu tua."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil sambil menyahut, "Semoga kami tidak mengecewakan Guru."
"Terima kasih." berkata Kiai Gringsing, "bagiku segalanya sudah menjadi jelas sekarang. Ada dua hal yang penting dari pembicaraan kita. Pertama, aku akan menghubungi Ki Widura, dan kedua tentang kitab itu, aku percayakan kepada kalian untuk menentukan apakah yang sebaiknya kalian lakukan atasnya."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Namun didalam hatinya ia masih berkata, "Ada dua orang yang akan mempunyai pengaruh yang besar pada pergu"ruan ini tetapi ilmunya bersumber dari perguruan lain. Ki Widura dan Glagah Putih, yang kedua-duanya memiliki alas ilmu dari perguruan Ki Sadewa."
Meskipun demikian Swandaru tidak melihat jalan lain untuk memberikan perbandingan dari jalan yang akan ditempuh oleh Kiai Gringsing itu. Sehingga dengan demikian maka untuk sementara Swandaru terpaksa menerima kesimpulan dari pembicaraan mereka itu.
Namun ternyata bahwa mereka tidak segera meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa saat, Kiai Gringsing masih ingin berbicara dengan kedua murid-muridnya. De"ngan nada datar iapun kemudian berkata, "Selanjutnya anak-anakku, yang ingin aku ketahui adalah perkembangan ilmu kalian. Meskipun aku tidak ingin membawa kalian ke sanggar, namun bagaimana pendapat kalian sendiri atas perkembangan ilmu kalian masing-masing" Apakah kalian menemui kesulitan didalam pengembangan ilmu berdasarkan atas kitab yang kalian pergunakan sebagai tuntunan" Menurut pendapatku, setelah kalian memahami dasar pengetahuan perguruan kita, maka kitab itu akan membe"rikan tuntunan kalian tanpa kesulitan jika kalian benar-benar menyadari laku sebagaimana ditentukan di dalam kitab itu. Namun lakunya itulah yang kadang-kadang me"mang sulit dan berat."
Swandarulah yang kemudian menjawab, "Tidak Guru. Aku tidak mengalami kesulitan. Semuanya akan berlangsung dengan baik. Meskipun kadang-kadang hambatan itu terjadi karena kemalasan kami untuk menjalani laku. Apalagi menjalani laku, membangun kadang-kadang merasa tidak sempat."
Kiai Gringsing tersenyum. Ia memuji kejujuran Swan"daru itu, karena sebenarnyalah Kiai Gringsing memang sudah mengetahuinya. Tetapi iapun berkata kemudian, "Bukan maksudku bahwa seluruh waktu kalian selalu kalian pergunakan untuk menjalani laku sebagaimana tertulis di"dalam kitab ini. Bagaimanapun juga kalian harus menem"puh kehidupan sehari-hari kalian sebagaimana kedudukan kalian agar kalian tidak menjadi orang asing diantara sanak kadang dan tetangga kalian."
Tetapi Swandaru sambil tersenyum pula berkata, "Se"benarnya aku lebih memikirkan kakang Agung Sedayu."
"Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku kira justru karena kesibukan dan keinginan kakang Agung Sedayu meningkatkan hidup di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga kakang Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, aku kira, kakang Agung Sedayu mau disebut mementingkan diri sendiri, maka ilmu itu ten"tu akan sangat berguna bagi Tanah Perdikan Menoreh." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, sementara Agung Sedayu memang tertarik juga kepada keterangan Swandaru.
"Kenapa kau mempunyai anggapan yang demikian" " bertanya Kiai Gringsing.
"Aku yang juga merasa bahwa kadang-kadang tidak sempat membaca dan apalagi menjalani laku yang tertera didalam kitab itu, namun setidak-tidaknya aku setiap kali memaksakan diri untuk menelaah isinya. Setidak-tidaknya aku dapat meningkatkan jenis ilmu yang telah aku kuasai sebelumnya, sebelum aku sempat mencoba menguasai jenis ilmu yang baru." jawab Swandaru, "tetapi agaknya kakang Agung Sedayu sama sekali tidak sempat melakukannya, karena kakang hampir tidak pernah membawa kitab itu ke Tanah Perdikan pada saat-saat terakhir ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian iapun telah bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah benar de"mikian?"
Agung Sedayupun telah mengangguk pula. Katanya dengan nada rendah, "Ya Guru. Aku merasa terlalu sibuk pada saat-saat terakhir. Daripada aku membawa kitab itu tanpa menyentuhnya, maka kau menganggap bahwa kitab itu akan lebih berarti jika berada di Sangkal Putung."
Swandaru tertawa. Katanya, "Tetapi kakang harus mencari kesempatan itu. Pada satu saat, semuanya telah mencapai puncak Gunung yang tinggi, kakang masih sibuk menyiangi hutan di lambung Gunung itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun telah tersenyum pula sambil berkata, "Aku seharusnya memang berusaha."
"Ketika aku pertama kali melihat kelebihan kakang Agung Sedayu dalam ilmu bidik yang melampaui kemam"puan Sidanti, aku benar-benar kagum. Bahkan seluruh Kademangan Sangkal Putung waktu itu mengaguminya. Tetapi dalam perjalanan berikutnya, yang lain berpacu diatas punggung kuda, kakang masih saja telaten berjalan kaki."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, "Adikmu bermaksud baik, Agung Sedayu."
"Ya." jawab Swandaru, "meskipun aku dalam pergu"ruan ini merupakan saudara muda, tetapi dalam hubungan keluarga aku dianggap lebih tua, karena kakang Agung Se"dayu adalah suami adikku."
Agung Sedayu tertawa meskipun tidak lepas. Memang sesuatu tertahan dihatinya. Bahkan sebenarnyalah gurunyapun demikian pula. Tetapi keduanya sulit untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya tentang perbandingan ilmu antara Swandaru dan Agung Sedayu.
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "jika aku men"jadi lebih baik, aku ingin menilik ilmu kalian di sanggar atau di tempat terbuka. Tetapi sebaiknya, Agung Sedayu tetap memikirkannya."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Aku mengerti Guru."
Sementara itu Swandaru berkata lebih jauh, "Apalagi kakang sering menerima tugas dari Panembahan Senapati secara khusus. Barangkali peningkatan ilmu akan sangat berarti bagi kepentingan kakang Agung Sedayu sendiri."
"Terima kasih." desis Agung Sedayu, "meskipun lamban tetapi pengalaman yang selama ini aku jalani ter"nyata memberikan arti juga bagi ilmuku."
"Tetapi tidak akan secepat jika kita menjalani laku." berkata Swandaru. Lalu, "Meskipun segalanya juga tergantung pada kita masing-masing. Seseorang yang menja"lani laku yang sama dengan orang lain, belum tentu akan memiliki ilmu yang sama tinggi tingkatnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak membantah.
Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat keduanya masih berbincang tentang padepokan itu, para cantrik dan kemungkinan bagi masa datang.
Namun kemudian Kiai Gringsingpun berkata, "Baiklah. Aku kira untuk sementara pembicaraan kita sudah selesai. Agaknya aku harus segera beristirahat agar keadaanku tidak akan menjadi lebih buruk."
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Keduanyapun agaknya mengerti bahwa guru me"reka memang harus segera beristirahat. Karena itu, maka keduanyapun segera minta diri untuk beristirahat pula.
"Tidurlah." berkata Kiai Gringsing kemudian, "mudah-mudahan kalian dapat tidur nyenyak disini."
Ketika mereka bergeser dari ruang dalam, merekapun langsung pergi ke bilik yang sudah disediakan bagi mereka masing-masing. Ternyata Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah berada didalam bilik itu.
Pandan Wangi yang sudah berbaring di pembaringan, tetapi belum tidur itupun telah bangkit ketika pintu biliknya terbuka dan Swandaru melangkah masuk.
"Kau belum tidur?" bertanya Swandaru.
Pandan Wangi menggeleng sambil menjawab. "Belum kakang. Rasa-rasanya aku memang belum mengantuk."
Swandaru pun kemudian duduk dibibir pembaringan itu pula.
"Apa saja yang dibicarakan dengan Kiai Gringsing?" bertanya Pandan Wangi.
Dengan singkat Swandaru menceriterakan rencana Kiai Gringsing dengan padepokan kecil itu dan dengan kitab peninggalannya. Kepada Pandan Wangi iapun mengatakan bahwa orang-orang yang kini tersangkut dalam rencana gu"runya adalah bukan dari perguruannya.
"Maksud kakang?" bertanya Pandan Wangi.
"Ki Widura memiliki landasan ilmu dari perguruan Ki Sadewa. Sementara itu kakang Agung Sedayu telah menurunkan ilmu kepada sepupunya bukan pula ilmu dari perguruan kami, tetapi juga ilmu dari perguruan Ki Sade"wa." berkata Swandaru. Lalu, "Bahkan pada anak itu telah terdapat pula ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga yang tidak kita kenal dengan pasti, latar belakang dari kehidupannya."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Ia dapat mengeri pendapat suaminya. Seharusnya, pimpinan langsung atau tidak langsung atas padepokan kecil itu adalah mereka yang berasal dari perguruan itu pula. Jika orang lain hadir di sebuah padepokan dan berasal dari perguruan yang lain, agaknya memang terasa janggal.
Tetapi Pandan Wangipun mengeri, bahwa keturunan il"mu dari perguruan Kiai Gringsing itu yang sudah dapat berdiri tegak dengan ilmunya adalah dua orang yang masing-masing telah mempunyai kesibukan mereka sendiri-sendiri, sehingga mereka untuk sementara tidak akan dapat me"mimpin padepokan itu. Bahkan menurut penilaian Pandan Wangi, Ki Widura sebagaimana dikatakan oleh suaminya, tidak akan memimpin padepokan itu.
Namun yang kemudian dikatakan oleh Swandaru adalah tentang kitab yang diwariskan oleh gurunya itu, dan tentang Agung Sedayu yang kurang berminat untuk meningkatkan ilmunya.
"Kakang Agung Sedayu menganggap bahwa ilmunya telah cukup baik untuk menghadapi gejolak dimasa datang di Mataram." berkata Swandaru. Lalu, "Bahwa setiap kali kakang berhasil, agaknya telah membuatnya semakin yakin bahwa ilmunya benar-benar telah mapan. Kakang kurang menyadari, hadirnya orang-orang lain yang telah membantunya sehingga ia berhasil itu."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi apakah ilmu kakang Agung Sedayu be"lum memadai" Menurut pengenalanku, sebagaimana juga dikatakan oleh Sekar Mirah, kakang Agung Sedayu juga memperdalam ilmunya setiap ada kesempatan. Ia termasuk orang yang rajin berada di dalam sanggar. Tetapi sudah barang tentu bahwa sebagian dari waktunya diperuntukkannya bagi Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya." jawab Swandaru, "agaknya Sekar Mirahpun mempunyai penilaian yang kerdil terhadap ilmu kanuragan. Ia terlalu mengagumi suaminya, sehingga karena itu ia tidak sempat memperbandingkan ilmu suaminya itu dengan perkembangan ilmu secara luas."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi iapun menjadi ragu. Menurut penilaiannya ilmu Agung Sedayu justru telah maju dengan pesat. Namun iapun berkata kepada diri sendiri, "Mungkin Sekar Mirah memang terlalu mengagumi suaminya, sehing"ga ceriteranya memang agak berlebihan."
Sementara itu, Swandarupun kemudian berkata, "Sudahlah. Kita akan beristirahat. Jika besok ada kesempatan, aku ingin membuat perbandingan ilmu dengan kakang Agung Sedayu."
Tetapi Pandan Wangi berkata sareh, "Kau tidak perlu melakukannya dengan langsung, kakang. Kita tidak tahu perasaan kakang Agung Sedayu sekarang. Jika ia sekarang menjadi mudah tersinggung maka akan dapat timbul salah paham. Meskipun kau bermaksud baik, tetapi mungkin tanggapan orang lain dapat berbeda."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan mencoba untuk melakukannya sebaik-baiknya. Aku ingin kakang Agung Sedayu mengerti, tetapi tidak ter"singgung karenanya."
Pandan Wangi mengangguk kecil sambil berdesis, "Kakang memang harus bijaksana."
Swandaru tidak menjawab. Sambil mengangguk kecil iapun kemudian justru berdesis, "Aku sudah mengantuk."
Ketika keduanya berbaring dipembaringannya, di bilik lain Agung Sedayu masih juga merasa gelisah. Dibibir pembaringan, Sekar Mirah duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar ia berkata lirih, "Aku tidak menuntut kakang. Aku hanya mengatakan, bahwa Pandan Wangi telah mengandung. Aku tahu, bahwa kau dan aku tidak bersalah. Tetapi agaknya kita masih harus menunggu kurnia itu datang pada kesempatan lain."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan selalu memohon."
"Ya kakang. Dengan keyakinah." jawab Sekar Mirah.
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Namun kegelisahannya itu telah membuatnya sama sekali tidak mengantuk. Bahkan Sekar Mirahpun tidak.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri dalam kegelisahan perasaan. Memang keduanya menyadari, bahwa tidak ada yang dapat dipersalahkan diantara ke"duanya. Merekapun mengerti, bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak selain memohon kepada Sumber Hidupnya. Namun merekapun merasa wajib berupaya untuk menyatakan kesungguhan dari permohonan mereka.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, "Mirah. Guru adalah seorang yang mengerti tentang obat-obatan dan upaya menyembuhkan dengan beberapa cara, termasuk dengan membenahi letak urat syaraf, sehingga mungkin kita akan dapat mohon bantuannya. Mungkin Guru mengenal jenis dedaunan atau akar-akaran yang baik bagi kita."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berdesis, "Semoga Yang Maha Murah mendengarkan per"mohonan kita."
Agung Sedayu tidak menjawab. Setiap kali kepalanya masih saja terangguk-angguk tanpa makna sama sekali. Bahkan tiba-tiba saja ia bangkit berdiri.
"Kenapa kakang?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku akan ke sanggar." jawab Agung Sedayu.
"Untuk apa" malam telah larut. Bahkan sebentar lagi fajar akan dating." berkata Sekar Mirah yang menjadi cemas.
Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Iapun telah melangkah dengan hati-hati keluar dari biliknya menuju ke sanggar. Sementara itu Sekar Mirah yang cemas melihat sikap Agung Sedayu itupun telah mengikutinya.
"Kakang." desis Sekar Mirah ketika mereka memasuki sanggar yang remang-remang. Yang hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak yang kecil.
"Mirah." tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi tegang, "apakah benar menurut penglihatanmu, bahwa pada saat-saat terakhir ilmuku sudah terhenti dan sama sekali tidak bergerak lagi?"
"Kenapa kau bertanya demikian kakang?" Sekar Mirah ganti bertanya.
"Menurut adi Swandaru, aku adalah seorang pemalas yang tidak memperhatikan perkembangan ilmu sama se"kali. Aku tidak tahu pasti, seberapa jauh tingkat ilmu adi Swandaru. Tetapi kenapa ia harus berprihatin tentang aku" Apakah aku memang perlu dikasianinya karena aku tidak dapat mencapai tataran ilmu yang tinggi?" sahut Agung Sedayu.
"Tidak kakang. Tidak." jawab Sekar Mirah yang berlari memeluk suaminya, "kau tidak lebih buruk dari ka"kang Swandaru."
"Tetapi Swandaru mengatakan, bahwa aku harus berusaha meningkatkan ilmuku. Jika dalam tataran ilmu aku kalah dari Swandaru, maka segala-galanya aku memang harus mengakui kekalahanku." berkata Agung Sedayu.
"Tidak. Itu tidak benar. Aku tahu pasti kakang, bahwa kau mempunyai kelebihan dari kakang Swandaru." berkata Sekar Mirah yang memeluk suaminya semakin erat.
"Lihat." berkata Agung Sedayu sambil mendorong Sekar. Mirah, "dari mana dinilai kejantanan seseorang" Sikap kewadagannya, sikap jiwanya atau bahwa ia memiliki ilmu yang tinggi atau diukur dari jumlah keturunannya?"
"Kakang. Kenapa kau sebenarnya?" Sekar Mirah menjadi semakin cemas.
"Lihat Mirah, lihat. Apakah benar bahwa aku tidak meningkatkan ilmu kanuraganku?" geram Agung Sedayu.
Sekar Mirah melangkah maju, namun Agung Sedayu telah melenting dengan dorongan kekuatan tenaga dalamnya. Bagaikan terbang Agung Sedayu hinggap diatas sebuah patok kayu yang tegak diantara beberapa patok yang lain yang tidak sama tinggi. Iapun kemudian bergerak dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya tidak berbobot sama sekali. Ia berloncatan dari ujung patok ke ujung patok yang lain. Kemudian meloncat ke palang kayu yang membujur panjang. Bahkan kemudian tubuhnya bagaikan melayang keatas sebatang bambu yang melintang dan bertumpu pada ujung dan pangkalnya saja. Namun batang bambu itu seakan-akan tidak bergetar sama sekali. Untuk beberapa lama Agung Sedayu berloncatan dari satu tumpuan ke tumpuan yang lain. Justru dalam keremangan cahaya lampu yang lemah.
Sekar Mirah menjadi sangat cemas melihat sikap Agung Sedayu itu. Agung Sedayu seolah-olah telah ber"gerak diluar sadarnya. Dorongan perasaannya telah membuatnya melakukan permainan yang berbahaya itu.
"Cukup kakang. Cukup." minta Sekar Mirah, "berhentilah. Tidak seorangpun meragukan kemampuan kakang. Bukankah selama ini kakang tidak pernah merasa tersinggung karena penilaian orang lain terhadap ilmu kakang" Bahkan kakangpun kadang-kadang dengan sengaja justru telah menyembunyikan kemampuan kakang yang sebenarnya?"
Tetapi Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengarkan. Tiba-tiba saja tangannya telah menyambar sebilah pedang yang besar. Dengan pedang yang berputaran di tangannya Agung Sedayu telah berloncatan kembali. Se"makin lama justru menjadi semakin cepat. Ketika ia jemu dengan pedang itu, maka tangannya telah meraih sebatang tombak pendek. Bahkan kemudian jenis-jenis senjata yang tidak terbiasa dipergunakan. Sebuah pedang yang bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek. Kemudian sebuah canggah yang bergerigi. Sebuah golok dan perisai.
"Lihat Mirah. Lihatlah aku bukan betina." suara Agung Sedayu lantang.
Sekar Mirah menjadi cemas melihat tata gerak Agung Sedayu. Meskipun sebenarnyalah ia menjadi sangat kagum akan tingkat ilmu kanuragan suaminya, namun terasa hati"nya menjadi berdebar-debar. Meskipun demikian, seakan-akan Sekar Mirah itu berkata kepada diri sendiri, "Jarang orang yang akan dapat menyamainya. Apalagi jika ia telah merambah pada ilmunya yang lebih dalam dan rumit. Lebih-lebih kakang Swandaru."
Tetapi bibirnya berkata. "Sudah cukup kakang. Sudah cukup."
Agung Sedayu tidak mendengarkannya. Untuk bebe"rapa saat ia masih saja berloncatan dan memutar berbagai macam senjata berganti-ganti. Kakinya melenting-lenting dari satu tumpuan ke tumpuan yang lain. Betapa tinggi il"mu meringankan tubuhnya, sehingga beberapa saat kemu"dian Agung Sedayu hanya nampak sebagai bayangan di"dalam keremangan di sanggar itu.
"Kakang." suara Sekar Mirah mulai diwarnai oleh kecemasannya yang tidak tertahankan.
Ternyata bahwa Agung Sedayupun akhirnya mendengarnya. Perlahan-lahan ia mengurangi kecepatan geraknya, sehingga akhirnya ia berhenti sama sekali.
Dengan serta merta Sekar Mirahpun berlari dan memeluknya sambil berkata, "Sudahlah kakang."
Nafas Agung Sedayu terengah-engah. Bukan karena kelelahan. Ia masih sanggup bermain sehari semalaman lagi dengan berjenis-jenis senjata yang ada. Namun gejolak perasaannya membuat nafasnya bagaikan memburu. Tetapi ketika terasa air yang hangat menyentuh tubuh"nya dari pelupuk mata Sekar Mirah, maka tiba-tiba saja hatinya menjadi luluh.
"Kakang." suara Sekar Mirah bagaikan tertelan dian"tara isaknya, "apakah aku menyakiti hati kakang?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil mengelus rambut isterinya, "Tidak Mirah. Kau tidak me"nyakiti hatiku."
"Aku minta maaf jika yang aku katakan tidak berkenan dihati kakang." desis Sekar Mirah kemudian.
"Tidak. Kau tidak bersalah Mirah." Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu, "Perasaankulah yang agaknya memang sedang goyah."
Sekar Mirah masih terisak. Namun kemudian Agung Sedayupun membimbingnya sambil berkata, "Marilah. Akulah yang seharusnya minta maaf kepadamu."
Keduanyapun kemudian telah keluar dari sanggar. Ternyata malam masih gelap. Para cantrik masih tertidur nyenyak kecuali dua orang yang bertugas di pendapa, dan yang sekali sekali meronda mengelilingi halaman dan kebun padepokan. Namun agaknya selama Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di sanggar, mereka tidak mendekati sanggar itu.
Beberapa saat kemudian keduanya telah berada di da"lam bilik mereka. Agung Sedayu yang menyadari keterlanjurannya, duduk sambil menundukkan kepalanya. Ia memang menyesal bahwa ia telah kehilangan kendali atas perasaannya sendiri.
Ketika Sekar Mirah mengusap keringatnya Agung Se"dayu berdesis, "Agaknya aku hampir kehilangan akal. Untunglah bahwa aku tidak melakukannya dihadapan siapa"pun juga kecuali kau Mirah."
"Sudahlah." berkata Sekar Mirah, "kakang perlu beristirahat. Malam hampir sampai keujungnya. Tidurlah meskipun hanya sebentar. Mudah-mudahan kau dapat memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit ini kakang."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Namun Sekar Mirahlah yang kemudian mengambil baju Agung Sedayu yang tidak basah oleh keringat dan memberikannya untuk berganti dengan bajunya yang telah basah.
Sejenak kemudian, keduanya telah berbaring di pembaringan. Sikap Sekar Mirah memang dapat memberikan ketenangan kepadanya. Meskipun biasanya Sekar Mirah bersikap agak keras, tetapi disaat Agung Sedayu dicengkam oleh kegelisahan, Sekar Mirah dapat bersikap sebagai seorang isteri yang lembut. Agung Sedayu yang menjadi tenang itu ternyata masih dapat mempergunakan kesempatan yang sedikit itu. Bebe"rapa siaat kemudian iapun telah tertidur.
Namun Sekar Mirahlah yang ternyata tidak segera dapat tidur. Bahkan iapun sempat berdesis, "Kau memang seorang yang luar biasa dalam penguasaan ilmu kakang."
Tidak ada jawaban. Nafas Agung Sedayulah yang mengalir dengan teratur dalam tidurnya.
Baru beberapa saat kemudian, Sekar Mirahpun telah tertidur pula sambil tersenyum disisi suaminya dengan satu keyakinan, bahwa suaminya benar-benar seorang laki-laki.
Keduanya ternyata memang agak lambat bangun. Agung Sedayu yang biasanya turun dari pembaringan disaat fajar menyingsing, bahkan kadang-kadang sebelumnya, ternyata baru membuka matanya ketika langit sudah menjadi cerah. Karena itu, ia agak tergesa-gesa bangun. Demikian pula Sekar Mirah.
Setelah membenahi diri, maka Agung Sedayupun telah membuka pintu biliknya. Ketika ia melangkah keluar, dilihatnya Glagah Putih justru sedang berjalan kebilik itu.
"Kakang tidur nyeyak sekali." berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ya. Udara yang sejuk di padepokan ini membuat tidurku sangat nyenyak."
"Apakah mbokayu belum bangun?" bertanya Gla"gah Putih.
"Kau dengar ia membersihkan pembaringan?" Agung Sedayu ganti bertanya.
Glagah Putih tersenyum. Ia memang mendengar suara tebah lidi untuk membersihkan pembaringan.
"Kalau begitu aku pergi ke pakiwan dahulu kakang." berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia sempat bertanya, "Apakah kakangmu Swandaru sudah bangun?"
"Aku sudah melihat kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi turun ke halaman dan berjalan-jalan ke kebun." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Aku memang agak terlambat bangun."
Glagah Putih mengangguk kecil. Iapun kemudian bergeser sambil berkata, "Aku akan mandi dahulu kakang."
"Pergilah. Tetapi biasanya kau mandi pagi-pagi benar. Apakah kau juga terlambat bangun" " bertanya Agung Se"dayu.
"Tidak. Aku tidak terlambat bangun. Aku sudah mengelilingi padepokan ini pagi-pagi benar sebelum kakang Swandaru. Bahkan aku telah ikut seorang cantrik yang me"lihat air parit di sawah yang sejak semalam dibuka." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Jadi hanya aku sajalah yang terlambat bangun. Tetapi bagaimana dengan Guru?"
"Kiai Gringsing masih belum nampak keluar dari biliknya." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Iapun kemu"dian berdesis, "Aku akan menengoknya."
Ketika Glagah Putih kemudian pergi ke pakiwan, maka Agung Sedayupun telah memberitahukan kepada Sekar Mi"rah, bahwa ia akan melihat guru di biliknya.
"Pergilah kakang." jawab Sekar Mirah.
Dengan hati-hati Agung Sedayu yang kemudian berada di depan bilik Kiai Gringsing telah melangkah mendekat. Perlahan-lahan pula ia mengetuk pintu yang masih tertutup sambil berdesis, "Guru?"
Agaknya Kiai Gringsing telah terbangun pula. Dengan nada rendah ia menyahut, "Masuklah."
Agung Sedayupun kemudian mendorong pintu lereg kesamping. Ternyata pintu itu tidak diselarak dari dalam. Perlahan-lahan pula Agung Sedayu melangkah masuk. Dilihatnya gurunya telah duduk di bibir pembaringannya. Bahkan Kiai Gringsing telah membenahi pakaian dan rambutnya. Namun ia masih belum mengenakan ikat kepalanya.
"Marilah Agung Sedayu." desis Kiai Gringsing, "apakah kau bersama Swandaru?"
"Tidak guru." jawab Agung Sedayu, "Swandaru sedang berada di halaman bersama isterinya, melihat-lihat kebun padepokan. Mereka nampaknya tertarik pada tanaman sayuran di kebun ini."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Marilah. Duduklah."
Agung Sedayu pun kemudian duduk di sebelah Kiai Gringsing. Dengan nada dalam ia bertanya, "Bagaimana keadaan Guru?"
"Aku memang menjadi lebih baik Agung Sedayu, tetapi aku tidak akan dapat mengingkari keterbatasan kekuatan wadagku. Aku memang sudah tua. Bahkan terlalu tua." berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi beberapa saat yang lalu, Kiai masih dengan tegar berada di antara pasukan Mataram." berkata Agung Sedayu.
"Aku telah memaksa diriku sendiri. Namun kemudian akupun harus mengakui, bahwa aku tidak akan mampu melampaui keterbatasan itu. Betapapun aku berusaha." berkata Kiai Gringsing. Lalu katanya pula, "Jika aku ber"usaha untuk memaksa diri lagi, maka hal itu justru akan mempercepat perjalananku ke batas ketidak mampuan berbuat apapun lagi."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Apakah itu berarti bahwa Guru harus lebih banyak beristirahat?"
"Agaknya memang begitu. Akupun tidak sebaiknya melakukan tugas yang berat lagi. Apalagi yang memper"gunakan tenaga wadagku." berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi bukankah kemampuan ilmu Guru tidak dapat susut?" bertanya Agung Sedayu.
"Ilmunya tidak susut. Tetapi pendukung ilmu itulah yang tidak lagi dapat berbuat setegar sebelumnya. Wadag ini. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi untuk mengungkapkannya diperlukan unsur kewadagan dan unsur kejiwaan. Kedua-duanya telah menjadi semakin lemah padaku. Terutama wadagku." jawab Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk pula. Katanya, "Tetapi bukankah Guru sekarang merasa lebih baik?"
"Ya. Rasa-rasanya tubuhku memang menjadi lebih segar. Menjelang fajar, aku berjalan-jalan di halaman dan dikebun padepokan ini. Setelah tubuhku agak hangat akupun mandi. Biasanya aku tidak dapat melakukannya seperti pagi ini. Meskipun setiap pagi aku juga berjalan-jalan, tetapi aku cepat menjadi letih. Apalagi disaat-saat aku sakit sejak beberapa hari yang lalu." berkata Kiai Gring"sing.
Sambil meraba rambutnya Kiai Gringsing itupun berkata selanjutnya, "lihatlah. Rambutku telah menjadi seperti kapas."
Agung Sedayu memang memandang rambut Kiai Gringsing yang sudah menjadi putih. Tetapi ia masih juga berkata, "Uban bukan satu-satunya pertanda."
Kiai Gringsing tertawa. Katanya " Memang. Uban dapat tumbuh pada anak-anak yang masih muda. Tetapi yang kau lihat padaku, adalah uban di kepala seorang yang sudah terlalu tua. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa gurunya bangun lebih pagi dari Glagah Putih.
Sementara itu gurunya berkata " Sudahlah Agung Sedayu.
Jangan terlalu kau pikirkan aku. Aku dan semua orang akan menjalani putaran hidup ini sebagaimana seharusnya. Tidak ada perkecualian. " Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya " Kaulah yang masih muda. Kau harus berbuat lebih baik dari yang pernah kau lakukan. "
Agung Sedayu mengangguk pula.
Dalam pada itu Kiai Gringsingpun berkata " Agung Sedayu.
Aku tahu bahwa kau memiliki beberapa kelebihan dari adikmu
Swandaru. Tetapi sangat sulit bagiku untuk mengatakan
kepadanya, keadaan yang sebenarnya. Namun hendaknya
kau dapat memaklumi sikapnya, agar tidak terjadi geseran
diantara kau dan adikmu. Yang ingin aku katakan kepadamu
kau harus bijaksana menanggapi keadaan itu, sehingga pada
saatnya kau dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya
tanpa menyakiti hatinya. Aku tahu bahwa hal itu akan menjadi
beban yang sulit kau lakukan.
Agung Sedayu mengangguk kecil. Ia mengerti sepenuhnya
apa yang dikatakan oleh gurunya. Baru semalam Agung
Sedayu diguncang oleh perasaan yang rasa-rasanya belum
pernah disandangnya. Tetapi Agung Sedayupun kemudian
telah menyadari spenuhnya, bahwa jantungnya-lah yang telah
goyah. Namun beban itu seakan-akan telah ditumpahkannya di
sanggar, sehingga dadanya tidak lagi merasa sesak. Bahkan
semuanya telah menjadi pulih kembali. Agung Sedayu tidak
akan tersinggung lagi seandainya ia dikatakan apapun juga
dengan ilmunya. Sementara itu Kiai Gringsing masih berkata " Tetapi
aku, yakin, bahwa kau akan dapat melakukannya Agung
Sedayu. " " Mudah-mudahan Guru " sahut Agung Sedayu sambil
menunduk. " Baiklah " berkata Kiai Gringsing " aku percaya kepadamu.
" Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya " Guru. Sebenarnya aku hanya ingin
menengok keadaan Guru. Aku kira Guru masih belum keluar
dari bilik ini. Ternyata bahwa kamilah yang ke-siangan,
sehingga Guru justru telah selesai berbenah diri setelah
berjalan-jalan di kebun dan halaman. "
Kiai Gringsing tersenyum. Sedangkan Agung Sedayu
berkata selanjutnya " Aku mohon diri Guru. Aku belum mandi.
" Kiai Gringsing mengangguk sambil menjawab " Barangkali
kau masih ingin melihat-lihat sawah dan ladang. Mudahmudahan
kau setuju bahwa kami disini telah mendapatkan
banyak kemajuan dibidang pertanian. "
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab " Aku akan
mengajak Sekar Mirah, Guru. "
Demikianlah maka Agung Sedayupun telah membenahi
dirinya. Demikian pula Sekar Mirah. Bersama Glagah Putih
merekapun turun ke kebun untuk melihat-lihat suasana
padepokan di pagi hari. Namun merekapun kemudian telah
langsung pergi ke sawah dan pategalan yang digarap oleh
para cantrik padepokan itu.
Ternyata mereka bertiga tidak bertemu dengan Swan-daru
dan Pandan Wangi. Mereka telah berselisih jalan. Ketika
mereka menuju ke pategalan, maka Swandaru dan Pandan
Wangi justru telah kembali melalui jalan yang lain.
Tetapi menjelang matahari naik, maka merekapun telah
berkumpul dijbangunan induk padepokan kecil itu untuk
makan pagi sambil membicarakan perkembangan sawah dan
pategalan padepokan itu. Swandaru dan Agung Sedayupun
telah menyatakan kekaguman mereka terhadap kerja para
cantrik yang jumlahnya tidak begitu banyak, tetapi telah
mampu menangani sawah dan pategalan yang terhitung luas.
Namun dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah
menyatakan bahwa hari itu mereka akan kembali ke Sangkal
Putung. " Begitu tergesa-gesa" " bertanya Kiai Gringsing "
sebenarnya aku merasa hangat ditunggui oleh kedua muridku.
Dalam umurku yang tua ini, rasa-rasanya berkumpul dengan
kalian merupakan satu kebanggaan tersendiri. "
" Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung tidak terlalu
jauh Guru. Setiap saat Guru dapat memanggilku " berkata
Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Apakah kau
tidak ingin berbicara dengan Ki Widura" Barangkali aku dapat
minta Ki Widura untuk datang hari ini. Jika kalian masih
berada disini, maka kita dapat berbicara bersama-sama. "
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Swandaru menggeleng. Katanya " Semuanya kami
serahkan kepada Guru. "
" Baiklah " berkata Kiai Gringsing. Namun iapun berkata
pula " Tetapi aku harap Agung Sedayu masih tetap tinggal. "
Agung Sedayu berpaling kepada Sekar Mirah sejenak.
Seolah-olah ia ingin mendengar keinginan isterinya itu.
Tetapi karena Sekar Mirah tidak mengatakan sesuatu,
maka Agung Sedayu pun kemudian berkata " Bagaimana jika
kita menunggu sampai besok" Besok kita akan menyusul ke
Sangkal Putung. Mungkin hari ini kita sempat berbicara
dengan Ki Widura. Meskipun barangkali pembicaraan itu
dapat dilakukan oleh Guru sendiri, namun menarik juga untuk
ikut mendengarkannya. Sekar Mirah mengangguk. Jawabnya " Aku tidak tergesagesa
kakang. " Agung Sedayulah yang kemudian berkata kepada Kiai
Gringsing " Kami dapat tinggal sampai besok Guru. "
" Sokurlah. Aku tidak menjadi terlalu sepi. " berkata Kiai
Gringsing. Tetapi ia masih juga bertanya kepada Swandaru "
Kenapa kau tidak kembali besok sama sekali. -
Swandaru tertawa. Katanya " Kapan saja aku akan dapat
berada disini lagi. "
Kiai Gringsingpun tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Tetapi iapun masih juga bertanya " Pada siapakah kitab yang
aku pinjamkan kepada kalian sekarang" "
" Ada padaku Guru " jawab Swandaru " sudah cukup lama.
Itulah salah satu hal yang telah aku sampaikan kepada Guru
tentang kakang Agung Sedayu. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk, sementara Agung
Sedayu berkata " Aku akan meminjamnya lusa disaat aku
kembali ke Tanah Perdikan. "
Swandaru tertawa pula. Katanya " jika kau tidak kebetulan
kemari kakang, kau tidak akan mengambil kitab itu secara
khusus. " Agung Sedayu juga tertawa. Betapapun masamnya.
Bahkan iapun menjawab " Mungkin aku memang terlalu
malas. " Swandarulah yang kemudian berkata " Guru. Sebelum aku
kembali, aku mohon Guru berada di sanggar sebentar. Aku
ingin Guru memberikan penilaian atas kemajuan kanuraganku.
Itu jika keadaan Guru tidak terlalu letih. "
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya " Baiklah Swandaru. "
Swandaru tersenyum. Ia menjadi gembira karena
kesediaan gurunya untuk melihat peningkatan ilmunya.
Namun sebenarnyalah yang dimaksudkan bukan hanya gurunya
sajalah yang akan dapat menyaksikannya. Tetapi juga Agung
Sedayu. Aku harap kakang Agung Sedayu melihat perkembangan
ilmuku, sehingga hatinya menjadi terbuka, bahwa memang
diperlukan kerja keras untuk mencapai tataran ilmu yang
memadai " berkata Swandaru didalam hatinya.
Dengan demikian ia berharap akan dapat membuat
perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu tanpa menyakiti
hatinya sebagaimana dipesankan oleh Pandan Wangi.
Beberapa saat kemudian, setelah mereka beristirahat
sebentar sehabis makan dan minum, maka merekapun telah
pergi keluar. Mereka turun ke halaman dan perlahan-lahan
mereka berjalan menuju ke sanggar. Kiai Gringsing yang
berjalan dengan tongkatnya, diapit oleh Swandaru dan Agung
Sedayu. Sementara Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Glagah
Putih mengikutinya di belakang.
Sejenak kemudian, merekapun telah berada di dalam
sanggar. Dua orang cantrik sedang membersihkan sanggar
itu. Mereka menempatkan kembali beberapa senjata yang
berpindah dari tempatnya semula.
Kedua cantrik itu memang menduga, bahwa semalam '
sanggar itu telah dipergunakan. Tetapi merekapun merasa
heran, bahwa mereka tidak mendengar sesuatu meskipun bilik
mereka tidak terlalu jauh dari sanggar itu.
" Apakah Kiai sendiri yang telah berada di sanggar" "
bertanya seorang diantara mereka.
Kawannya hanya menggeleng saja tanpa menjawabnya.
Tetapi sebenarnyalah keduanya tahu bahwa tentu bukan
Kiai Gringsing. Selain ia memang sedang sakit, maka Kiai
Gringsing jarang sekali mempergunakan senjata yang
berjenis-jenis yang dikumpulkannya didalam sanggar itu,
kecuali justru pada saat ia memperkenalkan jenis-jenis
senjata itu serta penggunaannya kepada para cantrik, agar
para cantrik tidak terkejut apabila mereka bertemu dengan
lawan yang membawa senjata seperti itu. Sementara itu para
cantrik sendiri pada tataran pertama masih juga mempelajari
cara penggunaan senjata yang umum dipergunakan. Pedang
dan tombak, sebelum mereka pada suatu saat akan
memasuki latihan menggunakan senjata yang khusus.
Sedangkan jika Kiai Gringsing mempergunakan berjenisjenis
senjata itu untuk mempergunakan dihadapan para
cantrik, maka senjata-senjata itu akan dikembalikannya
dengan tertib. Tetapi para cantrik itu tidak bertanya kepada siapapun.
Mereka membenahi saja dan mengatur serta membersihkan
sanggar itu sebagaimana yang mereka lakukan sehari-hari.
Ketika Swandaru dan Agung Sedayu memasuki sanggar
itu. bersama Kiai Gringsing dan orang-orang lain yang
bersama mereka, maka para cantrik itupun meninggalkan
sanggar itu. Mereka mengerti bahwa murid-murid utama Kiai
Gringsing itu akan mengadakan penilaian atas ilmu mereka
dibawah pengamatan gurunya.
Agung Sedayulah yang kemudian menutup pintu sanggar
itu, sementara Swandaru mulai mempersiapkan diri.
Kiai Gringsing yang lemah itupun kemudian telah duduk
diatas sebuah balok kayu untuk menyaksikan Swandaru
menunjukkan kemampuan ilmunya.
" Aku sudah siap Guru " berkata Swandaru. Kiai Gringsing
memandang kepada orang-orang yang ada di sebelah
menyebelahnya. Kemudian iapun bergumam
" Kau dapat mulai Swandaru. "
Swandaru mengangguk hormat. Kemudian perlahan-lahan
ia telah melangkah ke tengah-tengah sanggar.
Sejenak Swandaru memusatkan nalar budinya. Kemudian
perlahan-lahan ia mulai bergerak. Tangannya mulai
mengembang, kemudian kakinya mulai bergeser. Semakin
lama semakin cepat sehingga kemudian Swandaru itupun
sudah berloncatan dengan tangkasnya. Tangannya bergerak
dengan cepat, sekali mengembang, kemudian bagaikan
bersilang didada. Satu tangannya terjulur lurus kedepan,
namun kemudian tangannya yang lain dengan telapak tangan
yang tegak terkembang namun jari-jarinya merapat, terayun
kesamping bersamaan dengan kakinya yang berputar
setengah lingkaran. Kiai Gringsing memperhatikan gerak Swandaru dengan
sungguh-sungguh. Sebenarnyalah Swandaru memiliki
kemantapan gerak yang mengagumkan. Jika ia berdiri tegak
dengan kaki renggang dan ditekuk pada lututnya, maka
sikapnya bagaikan batu karang yang tidak dapat digoyahkan
oleh gelombang yang betapapun kuatnya didorong oleh angin
prahara yang betapapun besarnya.
Ayunan tangannya yang semakin lama semakin cepat,
telah menggetarkan udara di sekitarnya. Bahkan rasa-rasanya
telah menimbulkan ayunan angin yang kencang bertiup
mendahului wadagnya. Sehingga dengan demikian maka
kekuatan wadag Swandaru yang dialasi oleh tenaga cadangan
didalam dirinya, benar-benar merupakan kekuatan yang
dahsyat. Agung Sedayu yang menyaksikan gerak Swandaru
mengangguk-angguk diluar sadarnya. Sebenarnyalah ia mengerti,
bahwa Swandaru bukannya semata-mata ingin
memperlihatkan kemajuan ilmunya untuk mendapat penilaian
dari gurunya. Tetapi Swandaru juga ingin menunjukkan
kepadanya. Untunglah bahwa Agung Sedayu telah menumpahkan
perasaannya semalam, dan hanya disaksikan oleh isterinya.
Sehingga dengan demikian maka perasaannya sama sekali
tidak lagi tersinggung melihat sikap Swandaru. Dengan penuh
keyakinan pada diri sendiri, ia melihat bahwa yang ditunjukkan
oleh Swandaru itu sama sekali tidak mengejutkannya. Apalagi
yang nampak pada ilmu Swandaru itu adalah
sebagian besar kekuatan kewadagan betapapun
besarnya. Sementara itu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah
Putihpun memperhatikan dengan seksama. Dengan penuh
perhatian Pandan Wangi menilai setiap unsur gerak dari
suaminya. Ternyata bahwa Pandan Wangi yang juga memiliki
kemampuan yang tinggi berdasarkan ilmu yang mengalir dari
Perguruan Menoreh lewat ayahnya Ki Gede Menoreh yang
bernama Ki Argapati itu melihat beberapa kemungkinan yang
sebenarnya masih dapat dikembangkan oleh Swandaru, asal
saja ia mau melihat ilmunya lebih kekeda-laman. Bahkan
Pandan Wangi sendiri telah mampu menemukan pancaran
ilmunya justru yang belum diketemukan oleh ayahnya sendiri,
kemampuan untuk menjangkau sasaran mendahului sentuhan
wadagnya, yang masih akan dikembangkannya lagi dengan
kemampuan untuk menyentuh sasaran dari jarak tertentu.
Pandan Wangi yang pernah mempersoalkannya dengan
Kiai Gringsing telah mendapat beberapa petunjuk
daripadanya, setelah Kiai Gringsing mempelajari dasar-dasar
ilmunya. Meskipun ilmu itu belum mapan, tetapi telah mulai
menemukan bentuknya. Namun Pandan Wangi harus menghentikan semua
kegiatannya disamping ia sedang mengandung. Bagi Pandan
Wangi tidak ada yang lebih berharga baginya daripada anak
yang bakal lahir itu. Beberapa saat Pandan Wangi bagaikan membeku. Namun
kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa ia
tidak banyak dapat membantu suaminya. Bukan karena ia
tidak mau atau tidak sanggup. Tetapi Swandaru terlalu yakin
akan dirinya. Sementara itu Sekar Mirahpun memperhatikan tata gerak
Swandaru yang keras. Jika kakinya menghentak bumi, maka
rasa-rasanya bumi bagaikan bergetar.
Sekar Mirah pernah bertanya dengan berbagai macam
orang berilmu tinggi. Sementara itu suaminya,Ki Jaya-raga,
bahkan Glagah Putih yang masih sangat muda, adalah orangorang
yang berilmu tinggi pula. Karena itu, maka yang
dikagumi oleh Sekar Mirah pada kakaknya itu adalah
besarnya kekuatan wadagnya. Memang bukannya tidak
mungkin bahwa kekuatan yang sangat besar itu akan dapat
menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi Sekar Mirah
yakin, jika terjadi perbandingan ilmu dengan mengadakan
sentuhan langsung dan mereka benar-benar mempergunakan
segenap ilmu masing-masing, maka kakaknya itu tidak
akan dapat mengimbangi suaminya. Bahkan mampu
mendekatpun tidak, karena Agung Sedayu memiliki
kemampuan menyerang dari jarak tertentu.
Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah menjadi cemas. Baru
semalam Agung Sedayu seakan-akan kehilangan atas
pengamatan diri sendiri. Bukan karena sindiran-sindiran
Swandaru tentang ilmunya atau barangkali kenyataan
suaminya mengambil kitab gurunya, tetapi justru karena hal
yang lain, yang seakan-akan membawanya kepada satu
keadaan yang dapat mengecewakan Sekar Mirah sebagai
seorang isteri. Sementara itu Sekar Mirah tahu pasti, bahwa itu bukan
kesalahan suaminya. Namun agaknya Yang Maha Agunglah
yang memang belum berkenan memberikan kurnia itu kepada
mereka berdua. Diluar sadarnya ia memandang kepada suaminya yang
berdiri disebelahnya. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun
diwajah suaminya, meskipun agaknya suaminya itu sedang
memperhatikan tata gerak Swandaru sebaik-baiknya.
Ketika kemudian Sekar Mirah memandang Kiai Gsing-sing
yang duduk diatas sebatang balok kayu , maka debar
jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Kepada diri sendiri
ia berkata " Jika Kiai Gringsing memerintahkan kakang Agung
Sedayu untuk juga menunjukkan kemampuannya, mungkin ia
akan berusaha untuk menunjukkan
kelebihannya dari kakang Swandaru, justru karena
kekurangannya itu. Jika ternyata bahwa kakang Agung
Sedayu mempunyai banyak kelebihan dari kakang Swandaru,
maka akan dapat timbul persoalan karenanya. "
Sekar Mirah memang merasa menjadi sulit. Agung Sedayu
adalah suaminya, sedangkan Swandaru adalah kakak
kandungnya. Dalam pada itu, Swandaru telah semakin meningkatkan
kemampuannya. Tangan dan kakinya bergerak semakin
cepat. Geraknya menjadi semakin mantap. Seakan-akan
Swandaru justru menjadikan tubuhnya seberat batu hitam,
namun tanpa kesulitan untuk melenting dan berloncatan.
Hentakan kakinya ditanah benar-benar telah menggoyahkan
lingkungan disekitarnya. Glagah Putih sekali-sekali mengerutkan keningnya. Namun
kemudian menarik nafas dalam-dalam. Bahkan timbul
pertanyaan didalam hatinya " Apakah sebenarnya kelebihan
kakang Swandaru" Ia mempunyai kekuatan yang sangat
besar, bahkan ia mampu bergerak dengan cepat meskipun
tubuhnya bagaikan menjadi gumpalan besi. Tetapi
kelebihannya hanya nampak di permukaan. "
Meskipun kemudian Glagah Putih nampak memperhatikan
dengan seksama, tetapi sebenarnyalah, apa yang dilihatnya
tidak menggetarkan jantungnya. Namun Glagah Putih
berusaha untuk menyingkirkan perasaannya yang
dianggapnya sebagai suatu keseimbangan, meskipun setiap
kali muncul dipermukaan " Aku dapat berbuat lebih dari yang
dilakukan kakang Swandaru. "
Sementara itu Swandaru masih bergerak terus. Bahkan
tiba-tiba saja Swandaru telah mengurai cambuknya. Cambuk
yang semula sama dengan cambuk Agung Sedayu, namun
kemudian telah dirubahnya sekali dengan menambah karahkarah
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada juntainya, sehingga sentuhan juntai cambuk
Swandaru dengan landasan kekuatan yang sama akan
menimbulkan akibat yang lebih parah dari cambuk Agung
Sedayu. Sejenak kemudian telah terdengar ledakan cambuk yang
mengejutkan. Orang-orang yang ada didalam sanggar itu
memang terkejut. Ledakan cambuk Swandaru bagaikan
menggetarkan udara di dalam sanggar itu dan menghentak
setiap dada. Ketika Swandaru mengulang beberapa kali dan
ledakan-ledakan saling susul menyusul dengan kerasnya,
maka orang-orang yang ada didalam sanggar itu justru tidak
lagi tergetar jantungnya sama sekali. Bahkan Glagah Putihpun
mampu dengan tanpa kesulitan mengatasi hen-takanhentakan
di dadanya itu. Beberapa saat kemudian, maka Swandaru mulai
menyentuh sasaran dengan ujung cambuknya. Ternyata
kekuatan Swandaru memang luar biasa. Sebuah diantara
patok batang bambu petung yang utuh yang berdiri tegak
diantara beberapa patok yang lain, ternyata telah patah
setelah dikenai ujung cambuk Swandaru. Kemudian ujung
cambuk itu telah melingkar-lingkar di udara, dan dengan cepat
membelit batang bambu petung yang lain. Dengan hentakan
yang keras sekali, maka patok itu telah patah pula. , - -
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin, bahwa
kekuatan Swandaru itu tumbuh bersamaan dengan latihanlatihannya
yang berat dan bersungguh-sungguh.
Dengan kepala yang terangguk-angguk Kiai Gringsing
berkata kepada diri sendiri " Kekuatan Swandaru memang luar
biasa. " Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak tergetar
menyaksikannya. Ia mampu melakukannya tanpa sentuhan
atas patok-patok bambu itu. Dengan sungguh-sungguh ia
telah melakukan laku yang berat, menukik ke kedalaman
ilmunya dibawah tuntunan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga,
sehingga ia mampu menyerap kekuatan yang ada di
sekitarnya. Ledakan-ledakan cambuk berikutnya menjadi semakin
menghentak-hentak. Namun tidak menggoyahkan jantung
mereka yang ada didalam sanggar itu.
Pandan Wangi memang mengagumi kekuatan suaminya. Ia
Antologi Rasa 2 Pendekar Rajawali Sakti 185 Geger Di Telaga Warna Empress Orchid 5
Meskipun demikian, terasa ada sesuatu yang aneh ditelinganya.
Yang diucapkan Swandaru itu seakan-akan telah
menggelitik hatinya. " Apa yang telah menyentuh perasaanku itu" " bertanya
Glagah Putih kepada diri sendiri.
Dalam pada itu Swandarupun berkata selanjutnya " Karena
itu Guru. Guru tidak usah merasa cemas. Kami akan dapat
menjaga diri. Selama ini Sangkal Putung tidak pernah
mengalami goncangan-goncangan yang berarti. "
" Ya " jawab Kiai Gringsing " agaknya memang demikian.
Tetapi kali ini aku ingin memberikan pesan kepadamu, bahwa
persoalan antara Madiun dan Mataram dapat berkembang
menjadi letupan-letupan yang tidak dikehendaki oleh kedua
belah pihak, justru karena tingkah laku beberapa orang saja.
Baik orang-orang Madiun maupun orang-orang Mataram
sendiri. Karena itu, maka kau perlu menjadi lebih berhati-hati
menghadapi keadaan ini. Pangeran Singasari mungkin dapat
dikatakan berhasil menguasai padepokan Nagaraga. Tetapi
apakah yang dilakukannya bukan seperti mengguncang semut di sarangnya. Jika
sarang itu dikuasai oleh pihak lain, maka semut itu akan
berserakan dan merayap menyebar kesegenap arah. "
Swandaru tersenyum. Katanya " Tidak ada yang perlu
dicemaskan di Sangkal Putung. "
" Aku mengerti Swandaru. Tetapi keadaan yang meningkat
semakin gawat, memerlukan peningkatan kewaspadaan "
berkata Kiai Gringsing. " Kakang " tiba-tiba terdengar Pandan Wangi menyela "
maksud Kiai Gringsing adalah, bahwa kita harus selalu
mengingat kemungkinan bersiaga, tetapi kadang-kadang ada
satu dua hal yang dapat terjadi diluar perhitungan kita. "
Swandaru tertawa pendek. Tetapi iapun kemudian
menjawab " Baiklah. Aku akan memperingatkan khususnya
para pengawal untuk lebih berhati-hati. Aku mengerti, bahwa
kesiagaan Sangkal Putung masih dapat ditingkatkan. "
" Kecuali kesiagaan Swandaru " berkata Kiai Gringsing "
kau harus memperingatkan semua penghuni di Sangkal
Putung untuk tidak segera mempercayai keterangan apapun
juga, apalagi yang sumbernya belum jelas. Ini merupakan
senjata yang sangat berbahaya bagi mereka yang ingin
memperlemah kedudukan Mataram. "
Swandaru mengangguk-angguk, iapun telah mendengar
dari Agung Sedayu tentang hal tersebut di Tanah Perdikan
Menoreh. Kepada gurunya ia berkata " Aku akan
melakukannya guru. Untunglah bahwa orang-orang Sangkal
Putung lebih mempercayai aku daripada orang lain. "
" Sokurlah " berkata Kiai Gringsing " mudah-mudahan tidak
terjadi sesuatu di Sangkal Putung, Jati Anom dan Tanah
Perdikan Menoreh. Bahkan di Mataram dan seluruh
wilayahnya. Sementara itu kekosongan di Pajang-pun segera
dapat diisi tanpa menimbulkan persoalan baru.
" Sebagian tergantung dari kebijaksanaan Panembahan
Senapati " berkata Swandaru " jika Panembahan Senapati
memerintah dengan bijaksana, maka tentu tidak akan terjadi
perlawanan dimanapun juga. Termasuk pemecahan
kekosongan di Pajang. "
" Ya " desis Kiai Gringsing " tetapi kadang-kadang
kebijaksanaan seseorang berbeda dengan orang lain. Yang
dianggap bijaksana oleh Panembahan Senapati, mungkin
justru sebaliknya dengan anggapan Panembahan Madiun
" Tetapi yang berwenang membuat kebijaksanaan tentang
kekosongan di Pajang bukanlah Panembahan Senapati" "
bertanya Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya " Demikianlah
seharusnya. Jika ada sikap lain itulah yang dapat
menimbulkan persoalan. "
" Mataram cukup kuat. " desis Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
menduga bahwa sikap Swandaru akan berbeda dengan sikap
Agung Sedayu yang lebih banyak menelusuri kemungkinan
penyelesaian dengan baik. Bukan dengan perhitungan
keseimbangan kekuatan saja.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menjawab.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun justru berkata "
Nah, sebaiknya kalian beristirahat. Bukankah kalian akan
bermalam disini" "
Yang menjawab adalah Pandan Wangi " Ya Kiai. Kami
akan bermalam disini, meskipun hanya satu malam.
Swandaru tertawa mendengar jawaban isterinya. Katanya "
Pandan Wangi memang memerlukan suasana yang lain dari
suasananya sehari-hari di Sangkal Putung. "
Kiai Gringsingpun tersenyum. Iapun kemudian mempersilahkan
tamu-tamunya untuk menikmati hidangan yang
telah disuguhkan oleh para cantrik.
Namun dalam pada itu Agung Sedayu berkata " Guru, jika
Guru merasa terlalu letih duduk bersama kami, silah-kan guru
beristirahat pula. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku
justru merasa letih berbaring dan merenung didalam bilik itu.
Disini aku mempunyai banyak kawan berbincang. Tetapi
barangkali Sekar Mirah dan Pandan Wangi ingin membenahi
pakaiannya atau barangkali keperluan yang lain. Atau kalian
bersama-sama ingin berjalan-jalan melihat lihat padepokan
kecil ini" Kita mempunyai banyak waktu untuk berbincangbincang.
Dalam saat-saat seperti ini rasa-rasanya aku ingin
banyak berbicara dengan kalian. Tetapi sudah barang tentu
tidak perlu sekarang. Jika kalian bermalam disini, maka malam
nanti kita dapat berbicara panjang. "
" Ya Guru " jawab Agung Sedayu " rasa-rasanya kami
memang ingin melihat-lihat padepokan ini. "
" Marilah, aku antar kalian ke kebun yang oleh para cantrik
ditanami berbagai macam sayuran, serta belum-bang tempat
para cantrik memelihara ikan. " berkata Kiai Gringsing.
" Tetapi sebaiknya Kiai tidak terlalu banyak bergerak "
berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing tersenyum sambil menjawab " Tidak apaapa.
Aku memang perlu berjalan-jalan. Akupun melakukannya
setiap pagi pagi sebelum matahari terbit. Jika aku berada
didalam bilik saja, maka rasa-rasanya sakitku
justru bertambah parah. "
Agung Sedayu memang tidak dapat mencegahnya. Karena
itu, maka merekapun telah meninggalkan pendapa. Diiringi
oleh dua orang cantrik yang sehari-hari merawat Kiai
Gringsing, mereka berjalan-jalan menuju ke kebun belakang.
Meskipun Kiai Gringsing nampak letih, tetapi wajahnya
menunjukkan kegembiraannya. Bahkan ia berceritera
tentang usahanya untuk mencoba mengembangkan jenis
pohon buah-buahan yang banyak digemari orang. Bukan saja
jika buahnya sudah matang, tetapi sebelum matangpun
buahnya dapat dipergunakan untuk masak.
Ketika mereka melihat bagian kebun yang ditumbuhi oleh
puluhan pohon nangka, serta buahnya yang lebat melekat di
batangnya, maka para murid Kiai Gringsing itu menganggukangguk
sambil mengagumi ketekunan para cantrik
memelihara pohon-pohon itu. Bahkan seluruh tanaman yang
ada di kebun dan di halaman. Sementara itu dibagian lain para
cantrik juga menanam pohon sukun yang telah menjadi
semakin besar dan pada saat itu sedang berbuah lebat.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing tidak dapat mengantar tamutamunya
berkeliling seluruh lingkungan padepokan. Karena
itu, maka iapun telah membawa tamu-tamunya itu ke pinggir
belumbang. Sebuah gubug kecil telah didirikan di pinggir
belumbang itu. " Nah " berkata Kiai Gringsing " aku akan menunggu kalian
disini. Jika kalian masih akan berjalan-jalan di padepokan ini,
biarlah cantrik ini mengantarkan kalian melihat-lihat. "
" Baik Guru " jawab Agung Sedayu " silahkan Guru
beristirahat digubug ini. "
Hampir setiap hari aku berada disini di sore hari sambil
melihat-lihat cantrik yang memelihara tanaman dan ikan di
belumbang itu " jawab Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru suami
isteri serta Glagah Putih telah melanjutkan penglihatan
mereka atas padepokan kecil itu diantar oleh seorang cantrik.
Mereka tidak untuk pertama kali melihat-lihat halaman dan
kebun di padepokan itu. Mereka telah melakukannya
berulang kali. Namun setiap kali mereka melihat-lihat kebun
itu, rasa-rasanya mereka melihat jenis-jenis tanaman yang
baru. Di sela-sela batang ketela pohon yang subur, mereka
melihat lanjaran kacang yang berjajar panjang. Pohon-pohon
kacang panjang merambat di lanjaran bambu seakan-akan
menggapai. Di beberapa batang telah bergayutan kacang
panjang yang masih muda. Sedangkan di bagian lain mereka melihat kebun bayam
yang hijau segar. " Kita akan melihat sanggar " tiba-tiba saja Swandaru
berdesis. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya " Apakah
kita tidak minta ijin kepada Guru lebih dahulu" "
" Bukankah kita hanya melihat-lihat saja" " jawab
Swandaru. Agung Sedayu termangu-mangu. Iapun kemudian berpaling
kepada cantrik yang mengantar mereka. Namun cantrik itu
tersenyum sambil berkata " Jika hanya ingin melihat-lihat,
silahkan. Aku akan mengantar kalian. Bukankah kalian murid
Kiai Gringsing yang terpercaya" "
" Terima kasih " sahut Agung Sedayu " kami memang
hanya akan melihat-lihat saja. Kami pernah berlatih ditempat
itu bersama Guru. Dan tiba-tiba saja memang timbul keinginan
untuk melihatnya. " Demikianlah, maka merekapun telah mengitari kebun
belakang dan mendekati longkangan diantara beberapa barak
kecil di padepokan itu. Diantar oleh seorang cantrik mereka
memasuki satu diantara bangunan yang ada di padepokan itu.
Sanggar. Demikian mereka membuka pintu dan melangkah masuk,
maka jantung mereka terasa berdebar-debar. Sanggar itu
nampak teratur rapi. Namun merekapun melihat, bahwa
agaknya sanggar mereka itu sudah agak lama tidak
dipergunakan. " Apakah Guru sudah lama tidak mempergunakan sanggar
ini" " bertanya Agung Sedayu.
Cantrik itu mengangguk. Katanya " Sudah lebih dari
sepuluh hari. Sejak Guru merasa badannya tidak enak. Tetapi
kami diperkenankan mengadakan latihan-latihan khusus disini.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun timbul juga
pertanyaan dihatinya " Jika Guru memberikan latihan-latihan
kecil kepada para cantrik, sampai sejauh manakah ilmu yang
diberikan kepada mereka. "
Tetapi pertanyaan itu hanya dapat diberikan kepada Kiai
Gringsing sendiri. Sejenak mereka berada didalam Sanggar itu. Mereka telah
melihat-lihat benda-benda yang ada didalamnya, serta
berbagai jenis senjata yang tersangkut didinding sanggar.
Meskipun tempat itu sudah lebih dari sepuluh hari tidak
dipergunakan oleh Kiai Gringsing, namun semua yang ada di
sanggar itu nampak bersih dan terawat. Sedangkan para
cantrik agaknya hanya mempergunakan bagian-bagian yang
paling sederhana dari banjar itu tanpa merubah tatanannya.
Swandarupun merenungi beberapa jenis senjata yang ada
didalam sanggar itu. Namun bagi Swandaru tidak ada senjata
yang lain yang sesuai kecuali cambuknya. Selain karena sejak
semula ia telah mempergunakan senjata jenis itu, juga karena
Gurunyapun disebut orang bercambuk, ma-jka cambuknya
telah disulaminya pula dengan karah-karah baja sehingga
cambuk Swandaru memang merupakan cambuk yang sangat
berbahaya sebagai senjata. Ujudnya menjadi agak berbeda
dengan cambuk Agung Sedayu, karena cambuk Agung
Sedayu tidak mengalami perubahan apa-apa sebagaimana
diterimanya dari gurunya.
Sekar Mirah dan Pandan Wangipun memperhatikan
sanggar itu dengan saksama. Namun mereka berduapun telah
mempunyai ciri khusus pada jenis senjata yang mereka
pergunakan. Sebagai murid Sumangkar, maka Sekar Mirah
tidak tertarik kepada jenis senjata apapun selain tongkat
bajanya. Sedangkan Pandan Wangi terbiasa mempergunakan
sepasang pedang. Namun yang untuk sementara pedangpedangnya
sedang diletakkan. Yang terpukau adalah Glagah Putih. Sanggar dari
padepokan kecil itu nampaknya memang lengkap sekali.
Didalam sanggar itu seseorang dapat berlatih berbagai
macam gerakan yang diperlukan. Didalam sanggar itu
terdapat palang untuk meningkatkan keseimbangan.
Kemudian patok-patok yang ditanam tegak dan tidak sama
tinggi. Bahkan tali ijuk yang terentang agak tinggi. Beberapa
bambu yang bersilang untuk mengadakan latihan-latihan
meringankan tubuh. Pasir didalam kotak dan di kotak lain
terdapat kerikil lemut dan di kotak yang lain lagi terdapat kerikil
tajam dari pecahan batu. Disatu sudut terdapat perapian yang
padam dan tempayan tembaga tempat air bersih. Di dinding
sanggar selain senjata juga terdapat beberapa kerudung
kepala yang tidak berlubang bagi penglihatan.
Hampir diluar sadarnya Agung Sedayu bertanya kepada
cantrik itu " Apakah kalian pernah mempergunakan kerudung
ini dalam latihan" "
Cantrik itu mengangguk kecil. Jawabnya " Ya. Kami
memang pernah mengadakan latihan dengan kepala tertutup.
" Agung Sedayu dengan cermat mengamati kerudung itu,
yang ternyata justru terdapat lubang diarah telinga. Dengan
nada rendah ia berkata " Satu latihan untuk per-tempuran
malam yang sangat baik. Dengan demikian kalian telah
melatih pendengaran kalian untuk mengatasi kegelapan. "
Agung Sedayu sendiri tidak pernah mendapat latihan
dengan cara itu. Tetapi Kiai Gringsing langsung membawanya
terjun ke medan dimalam hari yang pekat. Atau disanggar
yang tertutup semua lubang-lubang cahayanya. Tetapi untuk
berlatih beberapa orang bersama-sama di setiap saat dan
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barangkali diluar sanggar dan di siang hari kerudung itu
memang berarti sekali. Glagah Putih yang setiap kali mendapat kesempatan untuk
melihat-lihat sanggar itu ternyata tidak pernah merasa jemu. Ia
selalu memperhatikan semua warga yang ada didalam
sanggar itu dengan seksama.
Setelah puas mereka melihat-lihat, maka merekapun
kemudian mengajak cantrik itu untuk keluar dari sanggar dan
kembali ke belumbang. Kiai Gringsing masih berada di gubug kecil itu. Ia duduk
bersandar dinding, ditunggu oleh seorang cantrik. Ketika ia
melihat tamu-tamunya mendatanginya, maka iapun tersenyum
sambil beringsut menepi. " Kau sudah melihat seluruhnya" " bertanya Kiai Gringsing.
Yang menjawab adalah cantrik yang mengantarkan " Baru
sebagian Kiai. Tetapi mereka ternyata ingin melihat-lihat
sanggar. " Kiai Gringsing tertawa. Katanya " Sanggar itu masih seperti
beberapa saat yang lalu, ketika kalian melihatnya yang
terakhir kalinya. " " Kiai mendapatkan satu cara baru untuk melatih para
cantrik bertempur dimalam hari " berkata Swandaru.
" Hanya untuk mempermudah pekerjaanku, agar aku tidak
perlu keluar dari bilikku di malam hari " berkata Kiai Gringsing.
Lalu " Tetapi bagaimanapun juga adalah lebih baik jika kita
berlatih dalam keadaan sebenarnya. Pengaruh bunyi disekitar
kita, suara-suara malam dan siang adalah
jauh berbeda, sehingga yang dilakukan oleh para cantrik itu
hanya sekedar menutup kekurangan.
" Satu cara yang menarik " berkata Agung Sedayu " tanpa
harus keluar di malam hari sebagaimana Guru katakan.
Setidak-tidaknya sebagai pendahuluan dari latihan yang
sebenarnya. " " Ya. Aku memang sudah terlalu tua dan lemah, sehingga
aku harus lebih banyak menghemat tenaga. " berkata Kiai
Gringsing " apalagi sekarang, setelah terasa kesehatanku
menjadi sangat menurun. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata
" Baiklah. Jika kalian masih ingin melihat-lihat, lakukanlah. Aku
akan beristirahat dahulu. Rasa-rasanya angin bertiup semakin
kencang. " " Silahkan Guru " jawab Agung Sedayu " kami akan berada
disini sampai besok sehingga waktu kami masih cukup. "
" Agaknya maka sebaiknya kalianpun beristirahat pula di
bilik yang sudah disediakan oleh para cantrik. Berbuatlah
sebagaimana di rumah sendiri. Padepokan ini juga padepokan
kalian semuanya. " " Ya Guru. Kami memang merasa dirumah sendiri. "
berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing tersenyum. Iapun kemudian telah
meninggalkan gubug ditepi kolam itu dan kembali ke
bangunan induk padepokan kecilnya, diantar oleh seorang
cantrik, sementara cantrik yang lain masih menemani para
tamu murid Kiai Gringsing beserta isteri mereka dan Glagah
Putih. Tetapi tamu-tamu Kiai Gringsing itu juga tidak terlalu lama
melihat-lihat belumbang yang menyimpan ikan-ikan
yang besar. Merekapun kemudian telah diantar oleh para
cantrik ke dalam bilik mereka masing-masing, sementara
Glagah Putih akan berada di bilik para cantrik.
Ternyata bahwa cantrik-cantrik muda ada juga yang sebaya
dengan Glagah Putik Dengan demikian, maka Glagah Putih
pun rasa-rasanya telah mendapat kawan yang sesuai. Mereka
sempat membicarakan tentang pekerjaan para cantrik di
kebun, di sawah dan pategalan, namun juga para cantrik yang
memelihara ikan di belumbang. Ternyata bahwa Glagah Putih
memang tertarik kepada cara para cantrik memelihara ikan.
Demikianlah, maka hari itu, kedua murid Kiai Gringsing
suami isteri serta Glagah Putih sempat menikmati tata cara
kehidupan di padepokan kecil itu. Satu suasana yang berbeda
dari suasana hidup mereka sehari-hari. Meskipun bukan
berarti bahwa di padepokan yang terasa tenang dan damai itu
tidak ada kerja. Karena para cantrik ternyata juga bekerja
keras. Di kebun, di sawah dan pategalan serta di semua
lingkungan mereka yang lain termasuk di dalam sanggar dan
tempat-tempat latihan yang lain.
Namun demikian, suasananya memang tidak seperti
suasana di Kademangan Sangkal Putung atau di Tanah
Perdikan Menoreh. Di padepokan rasa-rasanya hidup mereka
dibatasi oleh lingkungan kecil itu saja. Meskipun bukan berarti
bahwa padepokan Kiai Gringsing tertutup dari lingkungan.
Mereka mempunyai banyak jalur hubungan dengan
padukuhan-padukuhan disebelahnya. Para cantrik itu telah
menukarkan hasil sawah dan pategalan mereka dengan
kebutuhan-kebutuhan lain. Namun para cantrik itu tidak
memerlukan alat-alat pertanian dari luar lingkungan
padepokan, karena ternyata ada diantara para cantrik itu yang
memiliki ketrampilan pande besi, sehingga mereka dapat
membuat alat-alat dari besi itu sendiri.
Meskipun ada juga para cantrik yang pandai menenun,
tetapi hasilnya sama sekali tidak memenuhi kebutuhan
sebagaimana alat-alat pertanian. Karena itu, maka padev
pokan itu masih memerlukan bahan pakaian dari luar
padepokan. Agung Sedayu dan Swandaru yang mengamati padepokan
itu merasa betapa banyak kemajuan yang telah dicapai oleh
penghuninya. Kemudian dari sebuah padepokan takarannya
memang berbeda dari kemajuan yang dikenal sebuah
Kademangan dan Tanah Perdikan. Apalagi ketika Agung
Sedayu dan Swandaru melihat, bahwa para cantrik juga
menekuni ilmu yang lain kecuali olah kanuragan.
Di dalam ruangan yang khusus, ternyata para cantrik juga
belajar membaca dan menulis. Mereka juga mempelajari
beberapa jenis pengetahuan yang berhubungan dengan
keahlian Kiai Gringsing. Obat-obatan dan pengetahuan
tentang urat syaraf. Meskipun tidak terlalu mendalam tetapi
mereka memiliki pengetahuan dasar yang dapat mereka
pergunakan untuk memberikan sekedar pertolongan kepada
orang-orang sakit, terluka dan juga yang terkena gangguan
urat dan syaraf karena terjatuh, terkilir dan sejenisnya.
Perhatian Glagah Putih ternyata lebih banyak kepada
Sanggar padepokan itu. Di sore hari, ditemani seorang cantrik
Glagah Putih telah berada di sanggar itu lagi. Ia telah
mencoba berbagai macam senjata. Ia masih juga
memperbandingkan dengan senjatanya sendiri yang terlalu
khusus. Ikat pinggang yang memang mempunyai watak yang
khusus. Iapun telah mencoba menilai kemampuannya sendiri
tentang keseimbangan. Ilmu meringankan tubuh dan
ketrampilan kaki. Diluar sadarnya Glagah Putih telah berlatih dengan penuh
minat karena di sanggar itu tersedia berbagai macam alat
yang sangat menarik perhatiannya.
Adalah diluar sadarnya pula, bahwa cantrik yang
mengantarkannya itu memperhatikannya dengan penuh
kekaguman. Cantrik itu memang tidak mengira bahwa Glagah
Putih yang masih muda itu mampu menguasai ilmu
yang sudah sedemikian tinggi. Keseimbangan tubuhnya,
ilmu meringankan tubuh, ketrampilan tangan dan kaki, serta
kemampuan yang lain yang jarang dilihatnya diantara orangorang
berilmu yang pernah ditemuinya. Bahkan meskipun
cantrik itu yakin akan kelebihan Kiai Gringsing, namun orang
tua itu hampir tidak pernah menunjukkannya kepada para
cantrik itu. Glagah Putih berhenti ketika sanggar itu menjadi semakin
suram. Agaknya matahari telah turun kepunggung bukit
disebelah Barat. Karena itu, maka iapun telah menghentikan
latihan-latihannya. " Luar biasa " desis cantrik yang mengantarkannya "
bagaimana mungkin kau dapat melakukannya. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian menarik nafas sambil berkata " Bukan apa-apa. Aku
hanya mengulang latihan-latihan yang pernah diberikan
kepadaku. Masih sangat dasar. "
Tetapi pertanyaan cantrik itu tidak diduganya " Tetapi aku
melihat unsur-unsur gerak yang berbeda dari unsur-unsur
gerak yang diajarkan oleh Kiai Gringsing. "
*** Jilid 228 GLAGAH PUTIH termangu-mangu sejenak. Ternyata cantrik itu sudah mampu memberikan dasar-dasar ilmu dari perguruan yang berbeda. Glagah Putih memang tidak mempelajari ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing. Tetapi dari jalur perguruan Ki Sadewa meskipun juga lewat Agung Sedayu. Dilengkapi dengan ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga.
Dengan nada rendah ia berkata, "Aku memang mempunyai jalur perguruan yang berbeda."
"Tetapi bukankah kau murid kakang Agung Sedayu?" bertanya cantrik itu.
"Itulah kelebihan kakang Agung Sedayu. Meskipun sudah barang tentu bahwa terdapat juga pengaruh dari ilmu yang dimilikinya dari Kiai Gringsing, tetapi yang utama yang diberikan kepadaku adalah jalur ilmu yang lain yang juga dikuasainya. Tetapi sebenamya tidak akan banyak bedanya. Sumber ilmu itu hanya merupakan pokok dasar yang kemudian akan berkembang sesuai dengan pribadi kita masing-masing serta pengaruh yang kita sadap justru untuk memperkaya unsur-unsur yang ada didalam ilmu dasar kita, asal watak dan sifatnya tidak saling bertentangan dengan dasar kepribadian dan watak ilmu yang telah kita miliki dasarnya itu." berkata Glagah Putih.
Cantrik itu mengangguk-angguk. Ia memang melihat betapa kayanya unsur gerak yang nampak pada tata gerak Glagah Putih. Kekayaan unsur yang dikuasainya serta kemampuan mengurai dan mengambil sikap pada satu keadaan yang khusus, merupakan modal yang sangat berbahaya. Sementara itu, cantrik itupun pernah mendengar bahwa Glagah Putih sudah memiliki kemampuan menyadap kekuatan getaran alam yang ada disekitarnya, mengendapkan didalam dirinya dan kemudian melontarkannya sebagai bagian dari ilmunya itu. Tetapi ketika ia menyaksikan ketrampilan gerak tangan dan kakinya, maka kekagumannya menjadi semakin meningkat.
Namun haripun menjadi semakin suram. Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian meninggalkan sanggar itu dan pergi ke pakiwan.
Ketika senja kemudian turun, maka Glagah Putihpun telah duduk diruang dalam barak induk padepokan itu bersama Agung Sedayu dan Swandaru beserta isteri mereka. Kiai Gringsingpun telah duduk pula diantara mereka. Sementara itu para cantrikpun telah menghidangkan makan malam yang hangat.
Beberapa saat kemudian, maka para cantrikpun telah menyingkirkan mangkuk-mangkuk serta sisa makanan dan membawanya ke dapur. Sedangkan mereka yang ada di"ruang dalam masih juga sempat berbincang-bincang beberapa saat. Bahkan sekah-sekali terdengar suara tertawa menyelingi pembicaraan mereka.
Kiai Gringsing yang sedang sakit itupun nampak men"jadi cerah dan gembira. Kiai Gringsingpun telah memanggil beberapa orang cantrik yang tertua untuk ikut serta berbin"cang-bincang dengan sekali sekali terdengar gurau yang segar.
Namun, ketika malam menjadi semakin dalam, maka agaknya Kiai Gringsingpun menjadi letih. Tetapi ternyata bahwa orang tua itu tidak segera meninggalkan ruang dalam. Bahkan katanya kemudian kepada Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah Putih, "Beristirahatlah. Biarlah aku berbicara dengan Agung Sedayu dan Swandaru saja."
Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan. Namun merekapun segera mengerti, bahwa Kiai Gringsing ingin berbicara dengan Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid-muridnya. Bahkan para cantrik yang ada di ruang dalam itupun oleh Kiai Gringsing telah diminta pula untuk meninggalkan ruangan.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun telah beringsut meninggalkan tempat itu pula bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Namun mereka tidak segera masuk kedalam bilik mereka masing-masing. Tetapi mereka telah bersama-sama berada di serambi. Ternyata bahwa me"reka bertiga menjadi gelisah pula sebagaimana Agung Se"dayu dan Swandaru, sehingga merekapun telah berbincang tentang apa saja yang akan dibicarakan oleh Kiai Gringsing dengan kedua orang muridnya itu.
Dalam pada itu, yang tinggal bersama Kiai Gringsing kemudian adalah tinggal Agung Sedayu dan Swandaru. Keduanya yang menjadi berdebar-debar itu menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing yang sedang sakit itu.
Setelah hening sejenak, maka Kiai Gringsing itupun kemudian telah berkata, "Anak-anakku. Sebagaimana kali"an ketahui, bahwa aku semakin lama telah menjadi semakin tua. Sejak kita dipertemukan oleh Yang Maha Agung, maka aku memang sudah tua. Apalagi sekarang. Karena itu, maka kalianpun tahu, kemana arah perjalananku sekarang ini."
Agung Sedayu dan Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sementara suara Kiai Gringsingpun menjadi semakin berat. "Rencana itu, maka aku merasa berbangga sekali, bahwa saat ini aku dapat bertemu dengan kalian berdua."
Kiai Gringsing berhenti sejenak. Iapun menarik nafas dalam-dalam seolah-olah udara malam di padepokan itu akan dihirupnya semuanya. Kemudian terdengar suaranya melemah, "Betapapun juga tingkat ilmu seseorang, tetapi pada saatnya kita tidak akan dapat ingkar lagi. Karena itu sikap pasrah bukannya satu sikap yang lemah dan putus-asa. Tetapi kita memang tidak akan dapat menentang arus kehidupan. Bahkan akhirnya kita akan sampai ke muara."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun Swandaru telah mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan kepadanyapun kemudian tertunduk kembali.
"Anak-anakku." berkata Kiai Gringsing, "saat-saat seperti itu tentu akan datang juga kepadaku. Bahkan kelak juga kepada kalian. Tetapi kalian masih muda. Menurut perhitungan lahiriah, maka akulah yang akan lebih dahulu sampai."
"Tetapi Guru." tiba-tiba saja Swandaru berdesis, "apakah kita akan menyongsong saat-saat yang demikian itu dengan berlutut dan tangan bersilang serta kepala menunduk?"
"Jika kita memang telah sampai kehutan, betapa kita berusaha menentangnya, itu tidak berarti sama sekali. Se"perti yang pernah aku katakan, bahwa saat itu akan datang tanpa memperhatikan apakah kita setuju atau tidak setuju. Sama sekali bukan berarti bahwa kita tidak berusaha. Teta"pi sekarang aku akan berkata dengan tegas, bahwa segala usaha akan sia-sia. Kita tidak mempunyai wewenang untuk menentukan, apakah usaha kita akan berhasil atau sia-sia. Bahkan jika kita menentang kesia-siaan itu, maka kita akan kehilangan keseimbangan jiwa. Kita justru akan semakin menderita karenanya."
Swandaru mengerutkan dahinya. Namun ia sama sekali tidak berani menentang sikap gurunya yang nampaknya menjadi keras itu. Jauh berbeda dengan sikapnya disaat-saat ia datang.
Sejenak kemudian maka Kiai Gringsing itupun berkata selanjutnya, "Karena itu, anak-anakku. Akupun tidak akan menentang saat itu datang. Bahkan aku ingin mempersiapkan diri sebaik-baiknya menjelang saat itu. Aku tidak ingin bahwa pada saat terakhir aku digelisahkan oleh persoalan-persoalan yang aku anggap belum siap ditinggalkan."
"Guru." desis Swandaru.
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Tidak ada pilihan lain Swandaru. Di waktu yang tinggal sedikit ini seharusnya kita tidak menyia-nyiakan waktu kita itu untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak berarti sama se"kali. Lebih baik kita berbenah diri dan melakukan yang paling berarti bagi kita. Bukan satu sikap putus asa Swan"daru."
"Guru." suara Swandaru tersendat, "tetapi bukankah kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi?"
"Ya." jawab Kiai Gringsing, "kita memang tidak tahu. Tetapi justru karena itu, maka kita tidak boleh terlambat."
"Tetapi bagaimana jika saat itu datang dalam sepuluh atau duapuluh tahun lagi, sementara kita tenggelam dalam persiapan bagi satu masa yang masih sangat jauh itu?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau masih muda Swandaru. Namun bagaimanapun juga, kesiagaan itu harus ada didalam diri kita. Saat itu dapat datang kapan saja tanpa kita ketahui. Apalagi bagi orang yang sudah setua aku ini. Menurut perhitungan lahiriah se"perti yang sudah aku katakan, bahwa saat itu akan datang tidak terlalu lama lagi."
Swandaru mengatupkan giginya rapat-rapat. Ada sesuatu yang bergejolak didadanya. Tetapi ia memang tidak berarti menentang pendapat Kiai Gringsing itu. Namun karena itu, maka dadanyapun rasa-rasanya justru menjadi sesak. Yang dikatakan oleh gurunya itu kurang sesuai dengan pendapatnya. Kepada dirinya sendiri ia berkata, "Seharusnya kita tidak tenggelam dalam laku yang tidak berarti itu. Jika hidup dan mati itu tidak dapat kita rencanakan, maka seharusnya kita tidak mempedulikannya. Kita melakukan apa yang baik menurut penilaian kita tanpa dibayangi oleh perasaan yang kalut seperti Guru itu."
Tetapi Swandaru tidak mengucapkannya. Bahkan kepalanya justru telah tertunduk. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Seakan-akan mereka sedang melihat kedalam diri mereka masing-masing.
Baru sejenak kemudian Kiai Gringsing itupun berkata, "Anak-anakku. Karena itulah aku merasa gembira sekali, bahwa kalian berada disini pada saat yang penting ini. Aku memang ingin berkemas, agar aku terbebas dari beban yang dapat mengganggu perasaanku jika aku harus menempuh perjalanan jauh itu."
Swandaru berusaha untuk menahan diri agar ia tidak membantah kata-kata gurunya yang barangkali akan dapat membuat gurunya itu tersinggung. Sementara itu Agung Sedayu ternyata berpendapat lain. Ia melihat gurunya sebagai seorang yang memang telah mempersiapkan diri menghadapi ujung perjalanan hidup dan akan turun ke sebuah perjalanan yang baru. Dilihatnya, gurunya seakan-akan sedang berbenah diri sehingga pada saatnya tidak ada lagi yang dapat membuatnya cemas dan ragu-ragu. Gurunya akan dapat melangkah dengan langkah yang tetap dan pasti serta dada yang lapang. Ia benar-benar telah selesai.
Dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berkata pula, "Sebagaimana kau ketahui, ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengan kalian. Dalam ketuaanku ini, maka banyak tugas-tugas yang tidak dapat lagi aku lakukan dengan baik. Aku merasa terlalu letih untuk memimpin padepokan ini, menilai pekerjaan para cantrik. Memberikan latihan-latihan kepada mereka, melihat-lihat sawah dan pategalan. Karena itu, aku memerlukan seseorang yang dapat melakukannya dengan baik. Sementara itu, aku tahu bahwa Agung Sedayu dan Swandaru masing-masing telah mempunyai tugas yang cukup berat. Meskipun demikian aku ingin menawarkan kepada kalian berdua, siapakah yang bersedia untuk membantu aku memimpin padepokan ini."
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Tetapi agaknya keduanya memang tidak akan dapat melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa kedua orang muridnya itu telah memiliki tugasnya masing-masing yang akan sulit sekali ditinggalkannya.
Karena itu, maka Kiai Gringsing yang mengetahui perasaan kedua orang muridnya itupun berkata, "Jangan segan-segan untuk mengatakan kemungkinan bagi kalian masing-masing. Aku lebih senang mendengarkan kalian berkata yang sebenarnya kepadaku sehingga dengan demi"kian aku akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang tepat."
"Ampun Guru." berkata Agung Sedayu, "bukannya aku ingin mengingkari tugas seandainya Guru memang membebankan tugas itu kepadaku. Namun aku mohon Guru mempertimbangkan tugas-tugasku sekarang yang masih belum mapan aku lakukan di Tanah Perdikan Menoreh, justru pada saat yang gawat ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Swandaru, maka Swandarupun berkata, "Guru. Ayahku telah tua pula meskipun belum setua Guru. Karena itu, maka Kademangan Sangkal Putung memang memerlukan seseorang yang dapat menanganinya. Itulah sebabnya, maka aku tidak dapat meninggalkan tugas-tugas sebagai anak Demang di Sangkal Putung itu."
Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk pula. Katanya, "Aku memang sudah menduga, bahwa kalian tidak akan dapat meninggalkan kesibukan kalian masing-masing. Bagiku memang tidak ada bedanya. Apakah kalian bekerja di Tanah Perdikan Menoreh, atau di Kademangan Sangkal Putung atau disini. Yang penting kalian telah berbuat sesuatu yang akibatnya akan memberikan arti yang baik bagi sesama. Dimanapun kita berada. Yang penting bagiku adalah pernyataan kalian itu. Sebab bagiku, kalian berdua adalah orang-orang yang terdekat yang paling berhak mewarisi padepokan kecil ini, meskipun tidak berarti apa-apa. Padepokan kecil yang tidak mempunyai sesuatu yang dapat dibanggakan."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Dengan pernyataan kalian itu, maka aku akan dapat mengambil langkah yang menurut penilaianku paling baik. Meskipun demikian aku masih ingin mempertimbangkannya dengan kalian berdua."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Mereka menunggu saja apa yang akan dikatakannya oleh gurunya.
Sementara itu, Kiai Gringsingpun berkata, "Dengan pernyataan kalian itu, maka bukankah mengandung pengertian, bahwa kalian akan merelakan jika padepokan ini akan dipimpin oleh seseorang?"
"Seseorang?" bertanya Swandaru, "maksud Guru, orang lain akan hadir dalam perguruan Kiai Gringsing ini."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah iapun kemudian berkata, "Belum seorangpun diantara para cantrik yang dapat dibebani tanggung jawab atas padepokan ini. Betapapun kecilnya padepokan ini, namun agaknya diperlukan seseorang yang dapat memimpinnya dengan baik dan wajar."
"Siapakah yang Guru maksud dengan seseorang itu?" bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian dengan nada rendah, "Aku mempunyai beberapa nama yang pantas aku sebutkan. Justru aku memang ingin mendengar pertimbangan kalian sebagai orang-orang yang paling berhak atas padepokan ini."
Swandaru dan Agung Sedayu diam menunggu. Semen"tara Kiai Gringsing kemudian berkata, "Aku dapat menyerahkan padepokan ini kepada angger Untara. Ia dapat memanfaatkan padepokan ini bagi sebagian prajurit-pra-jurit tanpa merubah ujud dan bentuk padepokan ini. Akupun dapat menyebut nama Ki Widura. Meskipun aku tidak tahu, apakah ia bersedia memimpin padepokan ini, tetapi jika pilihan kalian jatuh kepadanya, aku akan mencoba menghubunginya."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya, namun Swan"daru terkejut mendengar pendapat gurunya itu. Bahkan ia telah beringsut setapak maju. Dengan nada tinggi ia ber"tanya, "Guru, apakah hal itu sudah Guru pertimbangkan dengan masak."
"Aku sudah mempertimbangkannya sekarang bersa"ma kalian." jawab Kiai Gringsing.
"Aku sama sekali tidak sependapat jika padepokan ini akan dipergunakan oleh para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom. Kedudukan padepokan ini akan berubah sama sekali. Para cantrik akan kehilangan pribadinya se"bagai seorang cantrik di sebuah padepokan." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan Ki Widura?"
"Ki Widura bukan murid Guru. Tidak ada jalur sama sekali dari Guru yang sampai kepada Ki Widura. Apakah karena Ki Widura itu paman kakang Agung Sedayu, maka ia dapat dipertimbangkan untuk menggantikan kedudukan kakang Agung Sedayu disini" Sementara itu sifat dan watak ilmu yang dimiliki oleh Ki Widura sangat berbeda dengan ilmu yang Guru ajarkan di padepokan ini." jawab Swandaru pula.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bertanya kepada Agung Sedayu, "Bagaimana pendapatmu, Agung sedayu?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun iapun kemudian menjawab, "Aku sependapat dengan adi Swandaru, bahwa sebaiknya padepokan ini tidak diserahkan kepada kakang Untara. Bukannya aku menolak untuk bekerja bersama dengan para prajurit Mataram, tetapi bentuk pade"pokan ini benar-benar akan berubah. Meskipun para pra"jurit itu tidak berniat untuk merubahnya, namun tugas dan kedudukan mereka akan membuat suasana padepokan ini menjadi lain. Sedangkan dengan paman Widura aku ingin mendengar dari Guru, apakah dasarnya bahwa Guru telah menyebut nama paman Widura itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Katanya, "Anak-anakku. Memang tidak ada orang yang lebih pantas dari kalian untuk menerima limpahan kepemimpinan di padepokan ini. Tetapi jika aku sebagai Guru memerintahkan salah seorang diantara kalian melakukannya, maka aku adalah orang tua yang telah mengekang perkembangan anak-anaknya. Cakrawala masa depan kalian akan menjadi sempit dan kalian akan terpisah dari meskipun tidak mutlak dari perkembangan lingkungan yang lebih besar. Sementara itu kalian berdua memang telah menyatakan bahwa kalian untuk waktu yang dekat tidak akan dapat menghilangkan tugas kalian yang sedang berkembang sekarang ini, sementara duri-duri yang ditaburkan oleh bebe"rapa orang di Madiun tengah menyusup ke Mataram dan lingkungan disekelilingnya. Itulah sebabnya, maka aku memerlukan seseorang disini. Seseorang yang aku kenal sifat dan kebiasaannya. Kemampuannya dan tanggung jawabnya."
Namun Swandarulah yang dengan tergesa-gesa men"jawab, "Tetapi bukankah itu tidak terbiasa dilakukan oleh siapapun juga Guru. Seorang pemimpin padepokan menyerahkan kepemimpinannya kepada orang lain. Maksudku, bukan keluarga dari perguruan yang hidup di padepokan itu."
"Aku mengerti Swandaru." berkata Kiai Gringsing yang kemudian telah terpotong oleh kata-kata Swandaru, "Lalu bagaimana pula dengan para cantrik yang selama ini mendapat pengetahuan dan ilmu yang Guru berikan. Sementara itu Ki Widura sendiri tidak pernah mempelajari ilmu dari jalur yang sama."
"Aku telah memikirkannya Swandaru." berkata Kiai Gringsing, "tetapi tolonglah, beri aku pemecahan. Jika kalian berdua tidak sanggup dan hal itu akan dapat me"ngerti, lalu bagaimana dengan padepokan ini" Bukankah lebih baik dipimpin oleh seseorang yang meskipun datang dari luar jalur perguruan tetapi sudah kita kenal dengan baik daripada padepokan ini harus ditutup dan menyerahkan kembali para cantrik kepada keluarganya" Sementara itu, para cantrik itu berharap untuk mendapatkan ilmu yang jauh lebih baik dan yang mereka miliki sekarang. Bukan saja kanuragan tetapi juga pengetahuan yang lain. Mengenai huruf dan beberapa jenis ilmu tentang kehidupan. Seandainya demikian, apakah Ki Widura dapat melakukan sebagaimana dilakukan. Ki Widura tentu mempunyai cara yang lain. Sementara itu aku yang tua ini, untuk waktu yang meskipun terbatas akan dapat membantu tugas itu. Tentu saja tugas-tugas yang ringan. Mengajarkan para cantrik mengenali jenis tumbuh-tumbuhan, jenis-jenis daun dan akar-akaran. Mungkin getah dan jenis racun pada tumbuh-tumbuhan. Racun yang dapat mencelakai seseorang dan racun yang dapat membantu seseorang. Atau pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak memerlukan tenaga."
"Jika demikian, selama masih berada dibawah pengawasan Guru, apakah Guru tidak dapat menunjuk salah se"orang cantrik yang tertua ilmu dan kemampuannya?" ber"tanya Swandaru pula.
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Sulit bagiku untuk menyerahkan pimpinan kepada salah seorang diantara mereka."
"Guru tidak usah menyerahkan pimpinan itu. Guru masih tetap pemimpin disini. Namun orang itulah yang melakukan tugas-tugas yang berat." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang ke nyala lampu minyak di ajuk-ajuk ia berkata, "Aku ingin beristirahat. Aku sudah merasa terlalu letih."
Swandaru masih akan menyahut. Namun Agung Sedayulah yang berkata selanjutnya. "Guru. Aku dapat mengerti, bahwa pada satu saat, seseorang ingin mendapatkan kesempatan yang bebas. Tanpa memberikan tugas apapun juga yang membebani dirinya, meskipun bukan berarti berhenti sama sekali."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Iapun kemu"dian memandang Agung Sedayu dengan kerut di dahinya.
Sementara itu Agung Sedayupun berkata, "Guru. Yang penting bagi kita, bagaimana padepokan ini justru dapat berkembang sesuai dengan warna yang telah diletakkan oleh Guru. Sebenarnya siapapun yang akan memimpin padepokan ini bukannya soal yang penting. Tetapi kesinambungan dari alat yang telah diserahkan oleh Guru itu"lah yang perlu diperhatikan Guru, sebenarnyalah paman Widura adalah, orang luar bagi perguruan kita. Kecuali jika paman Widura hanya sekedar membantu Guru, mengatur para cantrik, menangani perkembangan padepokan ini secara lahiriah, maksudku mengurusi pepohonan di kebun, parit-parit di sawah dan pategalan, ikatan mereka untuk menepati paugeran dan pengaturan-pengaturan lain yang diperlukan. Namun Guru akan tetap memberikan tuntunan ilmu yang manapun kepada para cantrik. Bukankah Guru dapat menangkap maksudku dengan memilahkan tugas-tugas itu" Memang Guru tidak akan dapat beristirahat sepenuhnya. Namun sebagian dari tugas Guru telah dapat dilimpahkan kepada orang lain. Sementara itu Guru tidak terikat untuk melakukan tugas Guru setiap waktu. Para cantrik dapat berlatih dengan teratur diantara mereka sendiri. Hanya pada saat-saat penting saja Guru hadir diantara mereka."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Memang itu merupakan satu cara. Tetapi dengan demikian, aku masih harus melakukannya."
"Tetapi itu adalah sikap yang paling lunak Guru." sahut Swandaru, "aku tidak akan berpikir demikian lunaknya sebagaimana kakang Agung Sedayau. Tetapi barangkali itu adalah cara yang lebih baik daripada Guru menye"rahkan padepokan ini kepada paman Widura."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya. "Baiklah. Jika kalian menganggap jalan itu adalah yang terbaik. Aku akan mencoba menghubunginya."
"Tetapi harus dijaga bahwa Ki Widura menyadari dan meyakini tugas yang diberikan kepadanya. Ia tidak boleh dengan cara apapun juga pada suatu saat menguasai pade"pokan ini dengan menyingkirkan Guru."
"Ah." desah Kiai Gringsing, "aku mengenal Ki Wi"dura dengan baik. Ia tidak akan melakukannya. Agung Se"dayu adalah kemenakannya, dan ia adalah muridku. Ia tentu akan menghormati hakku dan hak kemenakannya."
"Mudah-mudahan." jawab Swandaru, "tetapi bagi seseorang, kedengkian kadang-kadang mengalahkan segala kebaikan. Keingina untuk menguasai sesuatu akan dapat membuatnya lupa diri."
"Aku kira paman tidak akan berbuat demikian." ber"kata Agung Sedayu.
"Siapapun dapat mengira-irakan. Tetapi tidak seorangpun yang dapat memastikannya."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ternyata ia tidak langsung menjawab. Bahkan ia berpaling kepada Kiai Gringsing, seakan-akan menyerahkan segala kebijaksanaan kepadanya.
Sebenarnyalah KiaiGringsing memang ingin mencegah perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua muridnya itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Meskipun dengan sangat hati-hati Swandarupun sependapat, bahwa kita akan dapat bekerja bersama dengan Ki Widura. Besok aku minta kalian pergi kerumahnya, minta agar Ki Widura bersedia datang ke padepokan ini. Kita akan berbicara dengannya. Mudah-mudahan ada titik temu yang dapat memberikan jalan keluar kepada kita."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Swan"daru hanya dapat menarik nafas panjang. Meskipun terasa masih ada sesuatu bergejolak di dalam hatinya, tetapi bagaimanapun juga ia berhadapan dengan Gurunya yang sangat dihormatinya. Sehingga karena itu, maka Swandaru hanya berusaha untuk mengendapkan perasaannya.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun berkata, "Baiklah. Jika demikian maka persoalan yang pertama ini dapat kita anggap sudah selesai. Pada suatu waktu pasti datang saatnya aku tidak mampu berbuat apa-apa lagi."
Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Sementara Swandarupun mulai tertarik kepada persoalan yang masih akan dibicarakan.
"Anak-anakku." berkata Kiai Gringsing kemudian, "selain padepokan masih ada yang perlu kita bicarakan. Se"bagaimana kalian ketahui, bahwa aku memiliki sebuah kitab yang berisi beberapa macam pengetahuan tentang kanuragan dan kehidupan yang lain. Di kitab itu tidak ha"nya terdapat petunjuk dan laku untuk menguasai satu jenis ilmu. Tetapi beberapa, sehingga kitab itu menjadi tebal se"kali. Meskipun demikian, aku memang tidak ingin kitab itu dipecah menjadi dua atau tiga berdasarkan atas kelompok ilmu. Aku ingin kitab itu tetap utuh. Namun dengan demi"kian, sudah barang tentu aku tidak dapat memberikannya sekaligus kepada kalian berdua."
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Untuk membaca isi kitab itu saja, diperlukan waktu yang cukup lama, sekitar tiga bulan. Pada kesempatan pertama Agung Sedayu membawa kitab itu untuk tiga bulan, maka ia telah membacanya dengan memahatkan hal-hal yang terpenting didalam hatinya, sehingga ia telah memanfaatkan satu kurnia baginya, bahwa ia tidak kehilangan ingatan atas sesuatu yang memang benar-benar ditekankan pada dirinya untuk dapat diingatnya. Seakan-akan Agung Se"dayu itu mampu memahatkan persoalan terpenting itu pada dinding hatinya untuk tidak pernah terhapuskan. Memang ada hal-hal yang dianggap kurang penting pada kitab itu, atau yang sebelumnya memang sudah dikuasainya. Dengan demikian untuk mempelajari dan memenuhi laku yang dituntut didalam kitab itu, maka untuk dapat melakukannya diperlukan waktu seumur hidup mereka.
Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki ketajaman nalar budi, maka waktu yang sepanjang umurnya itu tidak akan mencukupi, sehingga mereka tidak akan pernah mam"pu menguasai ilmu-ilmu didalam kitab itu sebaik-baiknya, meskipun hanya satu jenis sekalipun.
Untuk beberapa saat kedua murid Kiai Gringsing itu terdiam. Mereka memang tidak tahu apakah yang terbaik dapat dilakukan. Kitab itu memang hanya satu.
Karena kedua muridnya terdiam, maka Kiai Gringsing"pun kemudian berkata, "Selama ini aku telah memberi kalian kesempatan untuk membawa dan mempelajari ilmu diantaranya yang menarik bagi kalian dan sesuai dengan jiwa kalian masing-masing. Jika cara yang kita lakukan itu kalian anggap sesuai, maka cara itu akan dapat diteruskan. Kalian masing-masing mendapat kesempatan tiga bulan berganti-ganti."
Swandarulah yang kemudian menjawab, "Sebenarnya cara itu cukup baik guru. Selama tiga bulan kami sempat mempelajari laku yang diperlukan. Kemudian tiga bulan berikutnya, jika timbul niat didalam hati, kami dapat menjalani laku itu untuk menguasai dasar dari salah satu il"mu yang tertera didalam kitab itu. Selanjutnya kita tinggal meningkatkannya di tiga bulan berikutnya, sesuai dengan petunjuk didalam kitab itu pula. Adapun saat-saat berikut"nya kita akan dapat mengembangkannya. Namun kitab itu memang masih diperlukan karena setiap kali, dalam hal ini tiga bulan sekali, untuk menyempurnakannya sehingga da"lam sepuluh kali tiga bulan, ilmu yang benar-benar dipelajari dan laku yang diperlukan benar-benar dijalani, maka il"mu itu akan menjadi matang didalam diri kita."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Cara itu kita lanjutkan. Kitab itu akan berpindah tangan untuk tiga bulan sekali. Meskipun dalam waktu tiga bulan itu, mungkin karena kesibukan atau karena hal-hal lain, kalian tidak sempat mempelajarinya. Namun pada satu saat, jika hal itu diperlukan, maka kalian dapat menyusun rencana sebaik-baiknya seperti yang dikatakan oleh Swandaru. Karena pada dasarnya akar dari ilmu yang bersumber dari perguruan ini telah kalian kuasai, se"hingga untuk mempelajari tingkat perkembangannya de"ngan segala cabang-cabang ilmunya tidak akan terlalu sulit lagi."
Kiai Gringsing itupun berhenti sejenak. Sambil memandang kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
"Aku sependapat Guru." berkata Agung Sedayu, "aku kira cara itu memang dapat diteruskan."
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "jika demikian, maka cara itu untuk sementara dapat diteruskan."
"Kenapa untuk sementara?" bertanya Swandaru.
"Cara itu tidak akan dapat berlangsung tanpa batas. Pada suatu saat maka kalian berduapun akan menjadi tua seperti aku dan menuju kebatas akhir. Karena itu, sebelum hal itu terjadi, maka harus sudah dapat ditentukan, siapakah yang akan menyimpan kitabitu selanjutnya dan kepada siapa kitab itu harus diserahkannya."
Kedua murid Kiai! Gringsing|itu Itermangu-mangu. Na"mun kemudian Agung Sedayupun berkata, "Guru. Bukankah kami berdua sudah cukup dewasa untuk membicarakannya kelak pada saatnya" Jika Guru mempercayai kami, biarlah kami menentukan apa yang sebaiknya kami lakukan atas kitab itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang percaya sepenuhnya kepada Agung Sedayu. Tetapi sebenarnya agak ragu-ragu terhadap sikap Swandaru. Namun hatinya agak tenang oleh kenyataan bahwa Agung Sedayu memiliki kematangan ilmu dan kematangan jiwa melampaui Swan"daru, sehingga sebagai saudara tua dalam perguruan itu, maka agaknya Agung Sedayu akan dapat mengendalikan adik seperguruannya jika pada satu saat terjadi penyimpangan. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya kepada Swandaru, "Bagaimana pendapatmu Swandaru."
"Aku menurut saja Guru." jawab Swandaru, karena baginya hal itu akan dapat memberikan lebih banyak peluang kepadanya. Selama ini Agung Sedayu agaknya terlalu malas untuk membaca apalagi mempelajari isi kitab itu. Jika waktu yang tiga bulan habis, belum tentu Agung Sedayu datang mengambilnya. Bahkan sampai enam bulan kitab itu kadang-kadang masih tersimpan di rumahnya. Meskipun jarak antara Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung itu sebenarnya memang tidak terlalu jauh. Namun sekali-sekali juga terbersit pertanyaan kepada diri sendiri. "Jika kitab itu sedang ada padaku, apakah aku juga selalu memanfaatkannya?"
Swandaru menundukkan kepalanya. Bagaimanapun juga ia harus mengakui, bahwa iapun tidak selalu membaca isi kitab yang mengandung selain ilmu juga petunjuk-petunjuk tentang hidup dan kehidupan itu pada saat kitab itu ada padanya.
Swandaru bagaikan tersadar dari angan-angannya, ke"tika ia mendengar Kiai Gringsing berkata, "Baiklah. Jika demikian aku serahkan kitab itu kepada kalian. Tetapi dengan pesan, bahwa tidak boleh terjadi penyimpangan. Bukan saja tentang berbagai paugerari perguruan, tetapi juga tentang perjalanan hidup kalian diantara sesama. Ka"lian harus tetap berpegang pada petunjuk-petunjuk yang pernah aku berikan dan yang dapat kalian baca kembali didalam kitab itu. Kalian harus tetap sadar akan hubungan kalian dengan Sumber Hidup kalian dan dengan sesama."
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, "Petunjuk dan nasehat Guru selama ini akan selalu kami ingat."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara Swandarupun berkata, "Kami berjanji Guru."
Kiai Gringsing kemudian memandangi kedua muridnya itu berganti-ganti. Memang ada kebanggaan dihatinya, bahwa kedua muridnya telah memiliki pegangan ilmu yang tinggi meskipun keduanya berbeda sikap dan arah pengembangan ilmu, namun keduanya berpijak pada alas yang sa"ma.
Kiai Gringsing memang tidak dapat mengingkari ke"nyataan, bahwa bukan saja sikap dan arah pengembangan ilmu mereka yang berbeda, tetapi watak dan sifat kedua muridnya itupun berbeda. Pandangan hidup dari kedua orang itupun ternyata tidak searah meskipun Kiai Gring"sing selalu memberikan nasehat dan petunjuk yang sama bagi keduanya. Tetapi bekal dan lingkungan hidup kedua"nya berbeda. Demikian pula ungkapannya dalam kehidupan mereka.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, "Terima kasih atas kesediaan kalian anak-anakku. Dengan demikian maka saat-saat mendatang nampak cerah bagi perguruan kita. Aku sebenarnya tidak ingin bahwa jalur ilmu yang kita sadap itu akan menjadi pudar dan apalagi lenyap di hari-hari kemudian. Namun dengan kesediaan kalian, maka mudah-mudahan ilmu ini akan tetap berkembang. Kesediaan membantu sesama yang berada didalam kesulitan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari il"mu kita."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya dengan nada rendah, "Tetapi ada sedikit yang ingin aku katakan kepadamu Agung Sedayu."
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia memperhatikan kata-kata gurunya, "Bukan maksudku untuk membatasi kebebasan memilih bagi setiap orang. Tetapi menurut pengamatanku, adik sepupumu yang kau tuntun didalam olah kanuragan, yang kemudian juga dibawah asuhan Ki Jayaraga, condong un"tuk memiliki ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa. Aku ikut berbesar hati, bahwa ilmu dari perguruan Ki Sadewa itu akan tetap hidup dan bahkan berkembang. Namun satu pertanyaan yang tidak pernah dapat aku lupakan, apakah aku tidak dapat menitipkan perkembangan ilmu perguruan ini kepada Glagah Putih" Kita semuanya tentu sudah mengetahui bahwa pengaruh perguruan ini memang nampak pada Glagah Putih. Tetapi apakah kita tidak dapat minta kepadanya untuk mempelajari ilmu dari perguruan ini secara khusus, sehingga pada saatnya ilmu dari perguruan ini tidak akan begitu saja dilupakan orang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebelumnya ia tidak pernah memikirkannya, bahwa dengan demi"kian yang akan berkembang lewat Glagah Putih adalah jalur perguruan Ki Sadewa, bukan jalur perguruan Kiai Gringsing.
Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata jujur, "Ya Guru. Aku tidak pernah mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya tentang hal itu. Pada saat aku mulai, maka aku tidak memikirkannya sampai begitu jauh."
"Sekarang sudah waktunya kau meninjau kembali. Apakah kau akan mempergunakan adik sepupumu itu sebagai jembatan bagi masa datang dalam pengembangan ilmu perguruan kita?" bertanya Kiai Gringsing.
Namun yang menyahut adalah Swandaru, "Guru. Kenapa kita tidak mencari saluran yang murni, yang tidak bercampur baur dengan jalur ilmu dari perguruan lain?"
"Tidak ada keberatannya bagiku Swandaru. Aku tahu bahwa Glagah Putih adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dengan tingkat kecerdasan yang memadai untuk memilah-milahkan ilmu yang diterimanya. Semen"tara itu, iapun memiliki kemampuan untuk meramu dan mengungkapkannya dalam kesatuan yang luluh sehingga merupakan ilmu yang memiliki kekayaan unsur yang dapat membuat orang lain mengaguminya. Karena itu, maka jika Agung Sedayu sependapat, Glagah Putih akan dapat men"jadi murid yang sangat baik dan akan dapat menangkap berbagai macam ilmu di dalam dirinya tanpa kehilangan sumbernya masing-masing." jawab Kiai Gringsing.
"Tetapi bukankah lebih baik jika kita memper"gunakan saluran yang masih belum dikotori oleh macam ilmu yang lain." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Maksudmu tentu bukan dikotori dalam arti yang kurang baik bukan" Tetapi seandainya seseorang memiliki ilmu rangkappun sama sekali bukan satu kekurangan. Bahkan jika kita mampu mempergunakan dengan tepat, malahan akan merupakan satu kelebihan."
"Meskipun kita hanya mempelajari satu saluran per"guruan, namun sebagaimana tertera dalam kitab guru, saluran yang satu itu sudah menumbuhkan beberapa jenis ilmu. Jika kita mempelajarinya dan mengembangkannya sampai kepuncak, maka kemampuan kita tidak akan dapat diatasi oleh ilmu yang manapun juga, meskipun ilmu rangkap tujuh sekalipun. Itu jika kita mempunyai satu keya"kinan tentang ilmu yang kita pelajari. Kecuali jika sejak semula kita sudah ragu, bahwa ilmu yang kita pelajari itu tidak cukup memadai." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing justru tersenyum. Katanya, "Tidak ada ilmu yang sempurna Swandaru. Perguruan yang manapun didunia ini tentu memiliki kekurangan. Sehingga memang memungkinkan bahwa kekurangan dari satu jenis ilmu dari sebuah perguruan dapat ditutup dengan unsur-unsur yang terdapat pada ilmu dari perguruan yang lain yang memiliki watak yang sejalan."
"Tetapi tidak pada permulaannya." berkata Swan"daru dengan nada tinggi.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Tetapi aku tidak kehilangan kesem"patan. Seandainya jalur yang satu ini ternyata kurang berhasil, maka masih mengharap bahwa kau akan dapat memenuhinya, Swandaru."
Swandaru justru terkejut mendengar keterangan guru"nya. Sebelumnya ia tidak pernah memikirkannya untuk menemukan seseorang yang akan dapat dijadikan muridnya. Namun agaknya hal itu menurut gurunya perlu dilakukannya sebagai perbandingan dari apa yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu terhadap adik sepupunya.
Dalam pada itu gurunya itupun kemudian berkata, "Mungkin selama ini kau belum memikirkannya Swandaru. Kau masih terlalu sibuk dengan Kademanganmu dan dengan dirimu sendiri. Tetapi itu tidak apa-apa. Kau masih mempunyai kesempatan yang panjang."
Wajah Swandaru tiba-tiba menjadi cerah. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Aku sudah mempunyai seorang calon murid yang baik, Guru."
"Syukurlah." berkata Kiai Gringsing, "mudah-mudahan ia akan menjadi murid yang baik lahir dan batinnya."
"Tentu Guru. Ia harus menjadi seorang yang baik, berani dan memiliki ilmu yang tinggi." berkata Swandaru pula.
"Barangkali aku boleh tahu, siapakah calon muridmu itu" Apakah ia masih ada hubungan keluarga denganmu atau hubungan yang lain?" berkata Kiai Gringsing.
"Ia adalah bakal anakku, Guru. Pandan Wangi kini telah mulai mengandung." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing dan Agung Sedayu terkejut sesaat. Na"mun kemudian keduanya menarik nafas dalam-dalam. Kiai Gringsing tersenyum sambil berkata, "Aku mengucapkan selamat kepadamu Swandaru."
Swandaru tertawa. Katanya, "Terima kasih Guru. Bukankah aku benar-benar mempunyai seorang calon murid yang baik" Aku tidak peduli apakah anakku laki-laki atau perempuan. Tetapi anakku itu harus memiliki ke"mampuan ilmu, keberanian dan baik sebagaimana ayah dan ibunya."
Agung Sedayu yang duduk di sebelah adik seperguruannya itu menepuk bahu Swandaru sambil berkata, "Ter"nyata kebahagiaanmu akan segera menjadi lengkap adi Swandaru."
"Kapan kau menyusul kakang?" bertanya Swanda"ru.
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Pada suatu saat, kurnia itu akan aku terima pula. Aku selalu memohon kepada-Nya."
"Mudah-mudahan tidak terlalu lama." berkata Swan"daru, "anak kita akan sebaya."
Agung Sedayu masih saja tertawa. Namun kemudian katanya, "Seperti yang kau katakan. Kau akan mempunyai seorang murid yang paling baik."
"Aku akan mengajarkan kepadanya, jalur ilmu dari perguruan orang bercambuk." berkata Swandaru.
"Ya. Kau tentu akan lebih berhasil daripadaku." ber"kata Agung Sedayu.
"Tetapi jika anakmu lahir kelak, maka kaupun akan mendapat murid baru yang barangkali lebih baik dari Glagah Putih." berkata Swandaru, "kau akan dapat menurunkan ilmu dari perguruan kita dengan murni."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak sependapat dengan Swandaru. Tetapi Agung Se"dayu memang segan untuk berbantah. Karena itu, maka iapun tidak"menyahut sama sekali.
Bahkan Kiai Gringsing yang menyahut, "Aku akan ikut berdoa, semoga kau segera mendapatkannya Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih Guru. Mudah-mudahan."
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing kemudian. Lalu, "Jika demikian, maka aku akan menjadi semakin tenang menghadapi segala macam kemungkinan yang dapat ter-jadi atas diriku. Dari seorang yang sudah terlalu tua."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil sambil menyahut, "Semoga kami tidak mengecewakan Guru."
"Terima kasih." berkata Kiai Gringsing, "bagiku segalanya sudah menjadi jelas sekarang. Ada dua hal yang penting dari pembicaraan kita. Pertama, aku akan menghubungi Ki Widura, dan kedua tentang kitab itu, aku percayakan kepada kalian untuk menentukan apakah yang sebaiknya kalian lakukan atasnya."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Namun didalam hatinya ia masih berkata, "Ada dua orang yang akan mempunyai pengaruh yang besar pada pergu"ruan ini tetapi ilmunya bersumber dari perguruan lain. Ki Widura dan Glagah Putih, yang kedua-duanya memiliki alas ilmu dari perguruan Ki Sadewa."
Meskipun demikian Swandaru tidak melihat jalan lain untuk memberikan perbandingan dari jalan yang akan ditempuh oleh Kiai Gringsing itu. Sehingga dengan demikian maka untuk sementara Swandaru terpaksa menerima kesimpulan dari pembicaraan mereka itu.
Namun ternyata bahwa mereka tidak segera meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa saat, Kiai Gringsing masih ingin berbicara dengan kedua murid-muridnya. De"ngan nada datar iapun kemudian berkata, "Selanjutnya anak-anakku, yang ingin aku ketahui adalah perkembangan ilmu kalian. Meskipun aku tidak ingin membawa kalian ke sanggar, namun bagaimana pendapat kalian sendiri atas perkembangan ilmu kalian masing-masing" Apakah kalian menemui kesulitan didalam pengembangan ilmu berdasarkan atas kitab yang kalian pergunakan sebagai tuntunan" Menurut pendapatku, setelah kalian memahami dasar pengetahuan perguruan kita, maka kitab itu akan membe"rikan tuntunan kalian tanpa kesulitan jika kalian benar-benar menyadari laku sebagaimana ditentukan di dalam kitab itu. Namun lakunya itulah yang kadang-kadang me"mang sulit dan berat."
Swandarulah yang kemudian menjawab, "Tidak Guru. Aku tidak mengalami kesulitan. Semuanya akan berlangsung dengan baik. Meskipun kadang-kadang hambatan itu terjadi karena kemalasan kami untuk menjalani laku. Apalagi menjalani laku, membangun kadang-kadang merasa tidak sempat."
Kiai Gringsing tersenyum. Ia memuji kejujuran Swan"daru itu, karena sebenarnyalah Kiai Gringsing memang sudah mengetahuinya. Tetapi iapun berkata kemudian, "Bukan maksudku bahwa seluruh waktu kalian selalu kalian pergunakan untuk menjalani laku sebagaimana tertulis di"dalam kitab ini. Bagaimanapun juga kalian harus menem"puh kehidupan sehari-hari kalian sebagaimana kedudukan kalian agar kalian tidak menjadi orang asing diantara sanak kadang dan tetangga kalian."
Tetapi Swandaru sambil tersenyum pula berkata, "Se"benarnya aku lebih memikirkan kakang Agung Sedayu."
"Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku kira justru karena kesibukan dan keinginan kakang Agung Sedayu meningkatkan hidup di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga kakang Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, aku kira, kakang Agung Sedayu mau disebut mementingkan diri sendiri, maka ilmu itu ten"tu akan sangat berguna bagi Tanah Perdikan Menoreh." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, sementara Agung Sedayu memang tertarik juga kepada keterangan Swandaru.
"Kenapa kau mempunyai anggapan yang demikian" " bertanya Kiai Gringsing.
"Aku yang juga merasa bahwa kadang-kadang tidak sempat membaca dan apalagi menjalani laku yang tertera didalam kitab itu, namun setidak-tidaknya aku setiap kali memaksakan diri untuk menelaah isinya. Setidak-tidaknya aku dapat meningkatkan jenis ilmu yang telah aku kuasai sebelumnya, sebelum aku sempat mencoba menguasai jenis ilmu yang baru." jawab Swandaru, "tetapi agaknya kakang Agung Sedayu sama sekali tidak sempat melakukannya, karena kakang hampir tidak pernah membawa kitab itu ke Tanah Perdikan pada saat-saat terakhir ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian iapun telah bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah benar de"mikian?"
Agung Sedayupun telah mengangguk pula. Katanya dengan nada rendah, "Ya Guru. Aku merasa terlalu sibuk pada saat-saat terakhir. Daripada aku membawa kitab itu tanpa menyentuhnya, maka kau menganggap bahwa kitab itu akan lebih berarti jika berada di Sangkal Putung."
Swandaru tertawa. Katanya, "Tetapi kakang harus mencari kesempatan itu. Pada satu saat, semuanya telah mencapai puncak Gunung yang tinggi, kakang masih sibuk menyiangi hutan di lambung Gunung itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun telah tersenyum pula sambil berkata, "Aku seharusnya memang berusaha."
"Ketika aku pertama kali melihat kelebihan kakang Agung Sedayu dalam ilmu bidik yang melampaui kemam"puan Sidanti, aku benar-benar kagum. Bahkan seluruh Kademangan Sangkal Putung waktu itu mengaguminya. Tetapi dalam perjalanan berikutnya, yang lain berpacu diatas punggung kuda, kakang masih saja telaten berjalan kaki."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, "Adikmu bermaksud baik, Agung Sedayu."
"Ya." jawab Swandaru, "meskipun aku dalam pergu"ruan ini merupakan saudara muda, tetapi dalam hubungan keluarga aku dianggap lebih tua, karena kakang Agung Se"dayu adalah suami adikku."
Agung Sedayu tertawa meskipun tidak lepas. Memang sesuatu tertahan dihatinya. Bahkan sebenarnyalah gurunyapun demikian pula. Tetapi keduanya sulit untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya tentang perbandingan ilmu antara Swandaru dan Agung Sedayu.
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "jika aku men"jadi lebih baik, aku ingin menilik ilmu kalian di sanggar atau di tempat terbuka. Tetapi sebaiknya, Agung Sedayu tetap memikirkannya."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Aku mengerti Guru."
Sementara itu Swandaru berkata lebih jauh, "Apalagi kakang sering menerima tugas dari Panembahan Senapati secara khusus. Barangkali peningkatan ilmu akan sangat berarti bagi kepentingan kakang Agung Sedayu sendiri."
"Terima kasih." desis Agung Sedayu, "meskipun lamban tetapi pengalaman yang selama ini aku jalani ter"nyata memberikan arti juga bagi ilmuku."
"Tetapi tidak akan secepat jika kita menjalani laku." berkata Swandaru. Lalu, "Meskipun segalanya juga tergantung pada kita masing-masing. Seseorang yang menja"lani laku yang sama dengan orang lain, belum tentu akan memiliki ilmu yang sama tinggi tingkatnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak membantah.
Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat keduanya masih berbincang tentang padepokan itu, para cantrik dan kemungkinan bagi masa datang.
Namun kemudian Kiai Gringsingpun berkata, "Baiklah. Aku kira untuk sementara pembicaraan kita sudah selesai. Agaknya aku harus segera beristirahat agar keadaanku tidak akan menjadi lebih buruk."
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Keduanyapun agaknya mengerti bahwa guru me"reka memang harus segera beristirahat. Karena itu, maka keduanyapun segera minta diri untuk beristirahat pula.
"Tidurlah." berkata Kiai Gringsing kemudian, "mudah-mudahan kalian dapat tidur nyenyak disini."
Ketika mereka bergeser dari ruang dalam, merekapun langsung pergi ke bilik yang sudah disediakan bagi mereka masing-masing. Ternyata Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah berada didalam bilik itu.
Pandan Wangi yang sudah berbaring di pembaringan, tetapi belum tidur itupun telah bangkit ketika pintu biliknya terbuka dan Swandaru melangkah masuk.
"Kau belum tidur?" bertanya Swandaru.
Pandan Wangi menggeleng sambil menjawab. "Belum kakang. Rasa-rasanya aku memang belum mengantuk."
Swandaru pun kemudian duduk dibibir pembaringan itu pula.
"Apa saja yang dibicarakan dengan Kiai Gringsing?" bertanya Pandan Wangi.
Dengan singkat Swandaru menceriterakan rencana Kiai Gringsing dengan padepokan kecil itu dan dengan kitab peninggalannya. Kepada Pandan Wangi iapun mengatakan bahwa orang-orang yang kini tersangkut dalam rencana gu"runya adalah bukan dari perguruannya.
"Maksud kakang?" bertanya Pandan Wangi.
"Ki Widura memiliki landasan ilmu dari perguruan Ki Sadewa. Sementara itu kakang Agung Sedayu telah menurunkan ilmu kepada sepupunya bukan pula ilmu dari perguruan kami, tetapi juga ilmu dari perguruan Ki Sade"wa." berkata Swandaru. Lalu, "Bahkan pada anak itu telah terdapat pula ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga yang tidak kita kenal dengan pasti, latar belakang dari kehidupannya."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Ia dapat mengeri pendapat suaminya. Seharusnya, pimpinan langsung atau tidak langsung atas padepokan kecil itu adalah mereka yang berasal dari perguruan itu pula. Jika orang lain hadir di sebuah padepokan dan berasal dari perguruan yang lain, agaknya memang terasa janggal.
Tetapi Pandan Wangipun mengeri, bahwa keturunan il"mu dari perguruan Kiai Gringsing itu yang sudah dapat berdiri tegak dengan ilmunya adalah dua orang yang masing-masing telah mempunyai kesibukan mereka sendiri-sendiri, sehingga mereka untuk sementara tidak akan dapat me"mimpin padepokan itu. Bahkan menurut penilaian Pandan Wangi, Ki Widura sebagaimana dikatakan oleh suaminya, tidak akan memimpin padepokan itu.
Namun yang kemudian dikatakan oleh Swandaru adalah tentang kitab yang diwariskan oleh gurunya itu, dan tentang Agung Sedayu yang kurang berminat untuk meningkatkan ilmunya.
"Kakang Agung Sedayu menganggap bahwa ilmunya telah cukup baik untuk menghadapi gejolak dimasa datang di Mataram." berkata Swandaru. Lalu, "Bahwa setiap kali kakang berhasil, agaknya telah membuatnya semakin yakin bahwa ilmunya benar-benar telah mapan. Kakang kurang menyadari, hadirnya orang-orang lain yang telah membantunya sehingga ia berhasil itu."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi apakah ilmu kakang Agung Sedayu be"lum memadai" Menurut pengenalanku, sebagaimana juga dikatakan oleh Sekar Mirah, kakang Agung Sedayu juga memperdalam ilmunya setiap ada kesempatan. Ia termasuk orang yang rajin berada di dalam sanggar. Tetapi sudah barang tentu bahwa sebagian dari waktunya diperuntukkannya bagi Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya." jawab Swandaru, "agaknya Sekar Mirahpun mempunyai penilaian yang kerdil terhadap ilmu kanuragan. Ia terlalu mengagumi suaminya, sehingga karena itu ia tidak sempat memperbandingkan ilmu suaminya itu dengan perkembangan ilmu secara luas."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi iapun menjadi ragu. Menurut penilaiannya ilmu Agung Sedayu justru telah maju dengan pesat. Namun iapun berkata kepada diri sendiri, "Mungkin Sekar Mirah memang terlalu mengagumi suaminya, sehing"ga ceriteranya memang agak berlebihan."
Sementara itu, Swandarupun kemudian berkata, "Sudahlah. Kita akan beristirahat. Jika besok ada kesempatan, aku ingin membuat perbandingan ilmu dengan kakang Agung Sedayu."
Tetapi Pandan Wangi berkata sareh, "Kau tidak perlu melakukannya dengan langsung, kakang. Kita tidak tahu perasaan kakang Agung Sedayu sekarang. Jika ia sekarang menjadi mudah tersinggung maka akan dapat timbul salah paham. Meskipun kau bermaksud baik, tetapi mungkin tanggapan orang lain dapat berbeda."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan mencoba untuk melakukannya sebaik-baiknya. Aku ingin kakang Agung Sedayu mengerti, tetapi tidak ter"singgung karenanya."
Pandan Wangi mengangguk kecil sambil berdesis, "Kakang memang harus bijaksana."
Swandaru tidak menjawab. Sambil mengangguk kecil iapun kemudian justru berdesis, "Aku sudah mengantuk."
Ketika keduanya berbaring dipembaringannya, di bilik lain Agung Sedayu masih juga merasa gelisah. Dibibir pembaringan, Sekar Mirah duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar ia berkata lirih, "Aku tidak menuntut kakang. Aku hanya mengatakan, bahwa Pandan Wangi telah mengandung. Aku tahu, bahwa kau dan aku tidak bersalah. Tetapi agaknya kita masih harus menunggu kurnia itu datang pada kesempatan lain."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan selalu memohon."
"Ya kakang. Dengan keyakinah." jawab Sekar Mirah.
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Namun kegelisahannya itu telah membuatnya sama sekali tidak mengantuk. Bahkan Sekar Mirahpun tidak.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri dalam kegelisahan perasaan. Memang keduanya menyadari, bahwa tidak ada yang dapat dipersalahkan diantara ke"duanya. Merekapun mengerti, bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak selain memohon kepada Sumber Hidupnya. Namun merekapun merasa wajib berupaya untuk menyatakan kesungguhan dari permohonan mereka.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, "Mirah. Guru adalah seorang yang mengerti tentang obat-obatan dan upaya menyembuhkan dengan beberapa cara, termasuk dengan membenahi letak urat syaraf, sehingga mungkin kita akan dapat mohon bantuannya. Mungkin Guru mengenal jenis dedaunan atau akar-akaran yang baik bagi kita."
Sekar Mirah mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berdesis, "Semoga Yang Maha Murah mendengarkan per"mohonan kita."
Agung Sedayu tidak menjawab. Setiap kali kepalanya masih saja terangguk-angguk tanpa makna sama sekali. Bahkan tiba-tiba saja ia bangkit berdiri.
"Kenapa kakang?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku akan ke sanggar." jawab Agung Sedayu.
"Untuk apa" malam telah larut. Bahkan sebentar lagi fajar akan dating." berkata Sekar Mirah yang menjadi cemas.
Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Iapun telah melangkah dengan hati-hati keluar dari biliknya menuju ke sanggar. Sementara itu Sekar Mirah yang cemas melihat sikap Agung Sedayu itupun telah mengikutinya.
"Kakang." desis Sekar Mirah ketika mereka memasuki sanggar yang remang-remang. Yang hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak yang kecil.
"Mirah." tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi tegang, "apakah benar menurut penglihatanmu, bahwa pada saat-saat terakhir ilmuku sudah terhenti dan sama sekali tidak bergerak lagi?"
"Kenapa kau bertanya demikian kakang?" Sekar Mirah ganti bertanya.
"Menurut adi Swandaru, aku adalah seorang pemalas yang tidak memperhatikan perkembangan ilmu sama se"kali. Aku tidak tahu pasti, seberapa jauh tingkat ilmu adi Swandaru. Tetapi kenapa ia harus berprihatin tentang aku" Apakah aku memang perlu dikasianinya karena aku tidak dapat mencapai tataran ilmu yang tinggi?" sahut Agung Sedayu.
"Tidak kakang. Tidak." jawab Sekar Mirah yang berlari memeluk suaminya, "kau tidak lebih buruk dari ka"kang Swandaru."
"Tetapi Swandaru mengatakan, bahwa aku harus berusaha meningkatkan ilmuku. Jika dalam tataran ilmu aku kalah dari Swandaru, maka segala-galanya aku memang harus mengakui kekalahanku." berkata Agung Sedayu.
"Tidak. Itu tidak benar. Aku tahu pasti kakang, bahwa kau mempunyai kelebihan dari kakang Swandaru." berkata Sekar Mirah yang memeluk suaminya semakin erat.
"Lihat." berkata Agung Sedayu sambil mendorong Sekar. Mirah, "dari mana dinilai kejantanan seseorang" Sikap kewadagannya, sikap jiwanya atau bahwa ia memiliki ilmu yang tinggi atau diukur dari jumlah keturunannya?"
"Kakang. Kenapa kau sebenarnya?" Sekar Mirah menjadi semakin cemas.
"Lihat Mirah, lihat. Apakah benar bahwa aku tidak meningkatkan ilmu kanuraganku?" geram Agung Sedayu.
Sekar Mirah melangkah maju, namun Agung Sedayu telah melenting dengan dorongan kekuatan tenaga dalamnya. Bagaikan terbang Agung Sedayu hinggap diatas sebuah patok kayu yang tegak diantara beberapa patok yang lain yang tidak sama tinggi. Iapun kemudian bergerak dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya tidak berbobot sama sekali. Ia berloncatan dari ujung patok ke ujung patok yang lain. Kemudian meloncat ke palang kayu yang membujur panjang. Bahkan kemudian tubuhnya bagaikan melayang keatas sebatang bambu yang melintang dan bertumpu pada ujung dan pangkalnya saja. Namun batang bambu itu seakan-akan tidak bergetar sama sekali. Untuk beberapa lama Agung Sedayu berloncatan dari satu tumpuan ke tumpuan yang lain. Justru dalam keremangan cahaya lampu yang lemah.
Sekar Mirah menjadi sangat cemas melihat sikap Agung Sedayu itu. Agung Sedayu seolah-olah telah ber"gerak diluar sadarnya. Dorongan perasaannya telah membuatnya melakukan permainan yang berbahaya itu.
"Cukup kakang. Cukup." minta Sekar Mirah, "berhentilah. Tidak seorangpun meragukan kemampuan kakang. Bukankah selama ini kakang tidak pernah merasa tersinggung karena penilaian orang lain terhadap ilmu kakang" Bahkan kakangpun kadang-kadang dengan sengaja justru telah menyembunyikan kemampuan kakang yang sebenarnya?"
Tetapi Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengarkan. Tiba-tiba saja tangannya telah menyambar sebilah pedang yang besar. Dengan pedang yang berputaran di tangannya Agung Sedayu telah berloncatan kembali. Se"makin lama justru menjadi semakin cepat. Ketika ia jemu dengan pedang itu, maka tangannya telah meraih sebatang tombak pendek. Bahkan kemudian jenis-jenis senjata yang tidak terbiasa dipergunakan. Sebuah pedang yang bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek. Kemudian sebuah canggah yang bergerigi. Sebuah golok dan perisai.
"Lihat Mirah. Lihatlah aku bukan betina." suara Agung Sedayu lantang.
Sekar Mirah menjadi cemas melihat tata gerak Agung Sedayu. Meskipun sebenarnyalah ia menjadi sangat kagum akan tingkat ilmu kanuragan suaminya, namun terasa hati"nya menjadi berdebar-debar. Meskipun demikian, seakan-akan Sekar Mirah itu berkata kepada diri sendiri, "Jarang orang yang akan dapat menyamainya. Apalagi jika ia telah merambah pada ilmunya yang lebih dalam dan rumit. Lebih-lebih kakang Swandaru."
Tetapi bibirnya berkata. "Sudah cukup kakang. Sudah cukup."
Agung Sedayu tidak mendengarkannya. Untuk bebe"rapa saat ia masih saja berloncatan dan memutar berbagai macam senjata berganti-ganti. Kakinya melenting-lenting dari satu tumpuan ke tumpuan yang lain. Betapa tinggi il"mu meringankan tubuhnya, sehingga beberapa saat kemu"dian Agung Sedayu hanya nampak sebagai bayangan di"dalam keremangan di sanggar itu.
"Kakang." suara Sekar Mirah mulai diwarnai oleh kecemasannya yang tidak tertahankan.
Ternyata bahwa Agung Sedayupun akhirnya mendengarnya. Perlahan-lahan ia mengurangi kecepatan geraknya, sehingga akhirnya ia berhenti sama sekali.
Dengan serta merta Sekar Mirahpun berlari dan memeluknya sambil berkata, "Sudahlah kakang."
Nafas Agung Sedayu terengah-engah. Bukan karena kelelahan. Ia masih sanggup bermain sehari semalaman lagi dengan berjenis-jenis senjata yang ada. Namun gejolak perasaannya membuat nafasnya bagaikan memburu. Tetapi ketika terasa air yang hangat menyentuh tubuh"nya dari pelupuk mata Sekar Mirah, maka tiba-tiba saja hatinya menjadi luluh.
"Kakang." suara Sekar Mirah bagaikan tertelan dian"tara isaknya, "apakah aku menyakiti hati kakang?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil mengelus rambut isterinya, "Tidak Mirah. Kau tidak me"nyakiti hatiku."
"Aku minta maaf jika yang aku katakan tidak berkenan dihati kakang." desis Sekar Mirah kemudian.
"Tidak. Kau tidak bersalah Mirah." Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu, "Perasaankulah yang agaknya memang sedang goyah."
Sekar Mirah masih terisak. Namun kemudian Agung Sedayupun membimbingnya sambil berkata, "Marilah. Akulah yang seharusnya minta maaf kepadamu."
Keduanyapun kemudian telah keluar dari sanggar. Ternyata malam masih gelap. Para cantrik masih tertidur nyenyak kecuali dua orang yang bertugas di pendapa, dan yang sekali sekali meronda mengelilingi halaman dan kebun padepokan. Namun agaknya selama Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di sanggar, mereka tidak mendekati sanggar itu.
Beberapa saat kemudian keduanya telah berada di da"lam bilik mereka. Agung Sedayu yang menyadari keterlanjurannya, duduk sambil menundukkan kepalanya. Ia memang menyesal bahwa ia telah kehilangan kendali atas perasaannya sendiri.
Ketika Sekar Mirah mengusap keringatnya Agung Se"dayu berdesis, "Agaknya aku hampir kehilangan akal. Untunglah bahwa aku tidak melakukannya dihadapan siapa"pun juga kecuali kau Mirah."
"Sudahlah." berkata Sekar Mirah, "kakang perlu beristirahat. Malam hampir sampai keujungnya. Tidurlah meskipun hanya sebentar. Mudah-mudahan kau dapat memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit ini kakang."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Namun Sekar Mirahlah yang kemudian mengambil baju Agung Sedayu yang tidak basah oleh keringat dan memberikannya untuk berganti dengan bajunya yang telah basah.
Sejenak kemudian, keduanya telah berbaring di pembaringan. Sikap Sekar Mirah memang dapat memberikan ketenangan kepadanya. Meskipun biasanya Sekar Mirah bersikap agak keras, tetapi disaat Agung Sedayu dicengkam oleh kegelisahan, Sekar Mirah dapat bersikap sebagai seorang isteri yang lembut. Agung Sedayu yang menjadi tenang itu ternyata masih dapat mempergunakan kesempatan yang sedikit itu. Bebe"rapa siaat kemudian iapun telah tertidur.
Namun Sekar Mirahlah yang ternyata tidak segera dapat tidur. Bahkan iapun sempat berdesis, "Kau memang seorang yang luar biasa dalam penguasaan ilmu kakang."
Tidak ada jawaban. Nafas Agung Sedayulah yang mengalir dengan teratur dalam tidurnya.
Baru beberapa saat kemudian, Sekar Mirahpun telah tertidur pula sambil tersenyum disisi suaminya dengan satu keyakinan, bahwa suaminya benar-benar seorang laki-laki.
Keduanya ternyata memang agak lambat bangun. Agung Sedayu yang biasanya turun dari pembaringan disaat fajar menyingsing, bahkan kadang-kadang sebelumnya, ternyata baru membuka matanya ketika langit sudah menjadi cerah. Karena itu, ia agak tergesa-gesa bangun. Demikian pula Sekar Mirah.
Setelah membenahi diri, maka Agung Sedayupun telah membuka pintu biliknya. Ketika ia melangkah keluar, dilihatnya Glagah Putih justru sedang berjalan kebilik itu.
"Kakang tidur nyeyak sekali." berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ya. Udara yang sejuk di padepokan ini membuat tidurku sangat nyenyak."
"Apakah mbokayu belum bangun?" bertanya Gla"gah Putih.
"Kau dengar ia membersihkan pembaringan?" Agung Sedayu ganti bertanya.
Glagah Putih tersenyum. Ia memang mendengar suara tebah lidi untuk membersihkan pembaringan.
"Kalau begitu aku pergi ke pakiwan dahulu kakang." berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia sempat bertanya, "Apakah kakangmu Swandaru sudah bangun?"
"Aku sudah melihat kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi turun ke halaman dan berjalan-jalan ke kebun." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Aku memang agak terlambat bangun."
Glagah Putih mengangguk kecil. Iapun kemudian bergeser sambil berkata, "Aku akan mandi dahulu kakang."
"Pergilah. Tetapi biasanya kau mandi pagi-pagi benar. Apakah kau juga terlambat bangun" " bertanya Agung Se"dayu.
"Tidak. Aku tidak terlambat bangun. Aku sudah mengelilingi padepokan ini pagi-pagi benar sebelum kakang Swandaru. Bahkan aku telah ikut seorang cantrik yang me"lihat air parit di sawah yang sejak semalam dibuka." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Jadi hanya aku sajalah yang terlambat bangun. Tetapi bagaimana dengan Guru?"
"Kiai Gringsing masih belum nampak keluar dari biliknya." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Iapun kemu"dian berdesis, "Aku akan menengoknya."
Ketika Glagah Putih kemudian pergi ke pakiwan, maka Agung Sedayupun telah memberitahukan kepada Sekar Mi"rah, bahwa ia akan melihat guru di biliknya.
"Pergilah kakang." jawab Sekar Mirah.
Dengan hati-hati Agung Sedayu yang kemudian berada di depan bilik Kiai Gringsing telah melangkah mendekat. Perlahan-lahan pula ia mengetuk pintu yang masih tertutup sambil berdesis, "Guru?"
Agaknya Kiai Gringsing telah terbangun pula. Dengan nada rendah ia menyahut, "Masuklah."
Agung Sedayupun kemudian mendorong pintu lereg kesamping. Ternyata pintu itu tidak diselarak dari dalam. Perlahan-lahan pula Agung Sedayu melangkah masuk. Dilihatnya gurunya telah duduk di bibir pembaringannya. Bahkan Kiai Gringsing telah membenahi pakaian dan rambutnya. Namun ia masih belum mengenakan ikat kepalanya.
"Marilah Agung Sedayu." desis Kiai Gringsing, "apakah kau bersama Swandaru?"
"Tidak guru." jawab Agung Sedayu, "Swandaru sedang berada di halaman bersama isterinya, melihat-lihat kebun padepokan. Mereka nampaknya tertarik pada tanaman sayuran di kebun ini."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Marilah. Duduklah."
Agung Sedayu pun kemudian duduk di sebelah Kiai Gringsing. Dengan nada dalam ia bertanya, "Bagaimana keadaan Guru?"
"Aku memang menjadi lebih baik Agung Sedayu, tetapi aku tidak akan dapat mengingkari keterbatasan kekuatan wadagku. Aku memang sudah tua. Bahkan terlalu tua." berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi beberapa saat yang lalu, Kiai masih dengan tegar berada di antara pasukan Mataram." berkata Agung Sedayu.
"Aku telah memaksa diriku sendiri. Namun kemudian akupun harus mengakui, bahwa aku tidak akan mampu melampaui keterbatasan itu. Betapapun aku berusaha." berkata Kiai Gringsing. Lalu katanya pula, "Jika aku ber"usaha untuk memaksa diri lagi, maka hal itu justru akan mempercepat perjalananku ke batas ketidak mampuan berbuat apapun lagi."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Apakah itu berarti bahwa Guru harus lebih banyak beristirahat?"
"Agaknya memang begitu. Akupun tidak sebaiknya melakukan tugas yang berat lagi. Apalagi yang memper"gunakan tenaga wadagku." berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi bukankah kemampuan ilmu Guru tidak dapat susut?" bertanya Agung Sedayu.
"Ilmunya tidak susut. Tetapi pendukung ilmu itulah yang tidak lagi dapat berbuat setegar sebelumnya. Wadag ini. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi untuk mengungkapkannya diperlukan unsur kewadagan dan unsur kejiwaan. Kedua-duanya telah menjadi semakin lemah padaku. Terutama wadagku." jawab Kiai Gringsing.
Agung Sedayu mengangguk pula. Katanya, "Tetapi bukankah Guru sekarang merasa lebih baik?"
"Ya. Rasa-rasanya tubuhku memang menjadi lebih segar. Menjelang fajar, aku berjalan-jalan di halaman dan dikebun padepokan ini. Setelah tubuhku agak hangat akupun mandi. Biasanya aku tidak dapat melakukannya seperti pagi ini. Meskipun setiap pagi aku juga berjalan-jalan, tetapi aku cepat menjadi letih. Apalagi disaat-saat aku sakit sejak beberapa hari yang lalu." berkata Kiai Gring"sing.
Sambil meraba rambutnya Kiai Gringsing itupun berkata selanjutnya, "lihatlah. Rambutku telah menjadi seperti kapas."
Agung Sedayu memang memandang rambut Kiai Gringsing yang sudah menjadi putih. Tetapi ia masih juga berkata, "Uban bukan satu-satunya pertanda."
Kiai Gringsing tertawa. Katanya " Memang. Uban dapat tumbuh pada anak-anak yang masih muda. Tetapi yang kau lihat padaku, adalah uban di kepala seorang yang sudah terlalu tua. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa gurunya bangun lebih pagi dari Glagah Putih.
Sementara itu gurunya berkata " Sudahlah Agung Sedayu.
Jangan terlalu kau pikirkan aku. Aku dan semua orang akan menjalani putaran hidup ini sebagaimana seharusnya. Tidak ada perkecualian. " Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya " Kaulah yang masih muda. Kau harus berbuat lebih baik dari yang pernah kau lakukan. "
Agung Sedayu mengangguk pula.
Dalam pada itu Kiai Gringsingpun berkata " Agung Sedayu.
Aku tahu bahwa kau memiliki beberapa kelebihan dari adikmu
Swandaru. Tetapi sangat sulit bagiku untuk mengatakan
kepadanya, keadaan yang sebenarnya. Namun hendaknya
kau dapat memaklumi sikapnya, agar tidak terjadi geseran
diantara kau dan adikmu. Yang ingin aku katakan kepadamu
kau harus bijaksana menanggapi keadaan itu, sehingga pada
saatnya kau dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya
tanpa menyakiti hatinya. Aku tahu bahwa hal itu akan menjadi
beban yang sulit kau lakukan.
Agung Sedayu mengangguk kecil. Ia mengerti sepenuhnya
apa yang dikatakan oleh gurunya. Baru semalam Agung
Sedayu diguncang oleh perasaan yang rasa-rasanya belum
pernah disandangnya. Tetapi Agung Sedayupun kemudian
telah menyadari spenuhnya, bahwa jantungnya-lah yang telah
goyah. Namun beban itu seakan-akan telah ditumpahkannya di
sanggar, sehingga dadanya tidak lagi merasa sesak. Bahkan
semuanya telah menjadi pulih kembali. Agung Sedayu tidak
akan tersinggung lagi seandainya ia dikatakan apapun juga
dengan ilmunya. Sementara itu Kiai Gringsing masih berkata " Tetapi
aku, yakin, bahwa kau akan dapat melakukannya Agung
Sedayu. " " Mudah-mudahan Guru " sahut Agung Sedayu sambil
menunduk. " Baiklah " berkata Kiai Gringsing " aku percaya kepadamu.
" Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya " Guru. Sebenarnya aku hanya ingin
menengok keadaan Guru. Aku kira Guru masih belum keluar
dari bilik ini. Ternyata bahwa kamilah yang ke-siangan,
sehingga Guru justru telah selesai berbenah diri setelah
berjalan-jalan di kebun dan halaman. "
Kiai Gringsing tersenyum. Sedangkan Agung Sedayu
berkata selanjutnya " Aku mohon diri Guru. Aku belum mandi.
" Kiai Gringsing mengangguk sambil menjawab " Barangkali
kau masih ingin melihat-lihat sawah dan ladang. Mudahmudahan
kau setuju bahwa kami disini telah mendapatkan
banyak kemajuan dibidang pertanian. "
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab " Aku akan
mengajak Sekar Mirah, Guru. "
Demikianlah maka Agung Sedayupun telah membenahi
dirinya. Demikian pula Sekar Mirah. Bersama Glagah Putih
merekapun turun ke kebun untuk melihat-lihat suasana
padepokan di pagi hari. Namun merekapun kemudian telah
langsung pergi ke sawah dan pategalan yang digarap oleh
para cantrik padepokan itu.
Ternyata mereka bertiga tidak bertemu dengan Swan-daru
dan Pandan Wangi. Mereka telah berselisih jalan. Ketika
mereka menuju ke pategalan, maka Swandaru dan Pandan
Wangi justru telah kembali melalui jalan yang lain.
Tetapi menjelang matahari naik, maka merekapun telah
berkumpul dijbangunan induk padepokan kecil itu untuk
makan pagi sambil membicarakan perkembangan sawah dan
pategalan padepokan itu. Swandaru dan Agung Sedayupun
telah menyatakan kekaguman mereka terhadap kerja para
cantrik yang jumlahnya tidak begitu banyak, tetapi telah
mampu menangani sawah dan pategalan yang terhitung luas.
Namun dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah
menyatakan bahwa hari itu mereka akan kembali ke Sangkal
Putung. " Begitu tergesa-gesa" " bertanya Kiai Gringsing "
sebenarnya aku merasa hangat ditunggui oleh kedua muridku.
Dalam umurku yang tua ini, rasa-rasanya berkumpul dengan
kalian merupakan satu kebanggaan tersendiri. "
" Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung tidak terlalu
jauh Guru. Setiap saat Guru dapat memanggilku " berkata
Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Apakah kau
tidak ingin berbicara dengan Ki Widura" Barangkali aku dapat
minta Ki Widura untuk datang hari ini. Jika kalian masih
berada disini, maka kita dapat berbicara bersama-sama. "
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Swandaru menggeleng. Katanya " Semuanya kami
serahkan kepada Guru. "
" Baiklah " berkata Kiai Gringsing. Namun iapun berkata
pula " Tetapi aku harap Agung Sedayu masih tetap tinggal. "
Agung Sedayu berpaling kepada Sekar Mirah sejenak.
Seolah-olah ia ingin mendengar keinginan isterinya itu.
Tetapi karena Sekar Mirah tidak mengatakan sesuatu,
maka Agung Sedayu pun kemudian berkata " Bagaimana jika
kita menunggu sampai besok" Besok kita akan menyusul ke
Sangkal Putung. Mungkin hari ini kita sempat berbicara
dengan Ki Widura. Meskipun barangkali pembicaraan itu
dapat dilakukan oleh Guru sendiri, namun menarik juga untuk
ikut mendengarkannya. Sekar Mirah mengangguk. Jawabnya " Aku tidak tergesagesa
kakang. " Agung Sedayulah yang kemudian berkata kepada Kiai
Gringsing " Kami dapat tinggal sampai besok Guru. "
" Sokurlah. Aku tidak menjadi terlalu sepi. " berkata Kiai
Gringsing. Tetapi ia masih juga bertanya kepada Swandaru "
Kenapa kau tidak kembali besok sama sekali. -
Swandaru tertawa. Katanya " Kapan saja aku akan dapat
berada disini lagi. "
Kiai Gringsingpun tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Tetapi iapun masih juga bertanya " Pada siapakah kitab yang
aku pinjamkan kepada kalian sekarang" "
" Ada padaku Guru " jawab Swandaru " sudah cukup lama.
Itulah salah satu hal yang telah aku sampaikan kepada Guru
tentang kakang Agung Sedayu. "
Kiai Gringsing mengangguk-angguk, sementara Agung
Sedayu berkata " Aku akan meminjamnya lusa disaat aku
kembali ke Tanah Perdikan. "
Swandaru tertawa pula. Katanya " jika kau tidak kebetulan
kemari kakang, kau tidak akan mengambil kitab itu secara
khusus. " Agung Sedayu juga tertawa. Betapapun masamnya.
Bahkan iapun menjawab " Mungkin aku memang terlalu
malas. " Swandarulah yang kemudian berkata " Guru. Sebelum aku
kembali, aku mohon Guru berada di sanggar sebentar. Aku
ingin Guru memberikan penilaian atas kemajuan kanuraganku.
Itu jika keadaan Guru tidak terlalu letih. "
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya " Baiklah Swandaru. "
Swandaru tersenyum. Ia menjadi gembira karena
kesediaan gurunya untuk melihat peningkatan ilmunya.
Namun sebenarnyalah yang dimaksudkan bukan hanya gurunya
sajalah yang akan dapat menyaksikannya. Tetapi juga Agung
Sedayu. Aku harap kakang Agung Sedayu melihat perkembangan
ilmuku, sehingga hatinya menjadi terbuka, bahwa memang
diperlukan kerja keras untuk mencapai tataran ilmu yang
memadai " berkata Swandaru didalam hatinya.
Dengan demikian ia berharap akan dapat membuat
perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu tanpa menyakiti
hatinya sebagaimana dipesankan oleh Pandan Wangi.
Beberapa saat kemudian, setelah mereka beristirahat
sebentar sehabis makan dan minum, maka merekapun telah
pergi keluar. Mereka turun ke halaman dan perlahan-lahan
mereka berjalan menuju ke sanggar. Kiai Gringsing yang
berjalan dengan tongkatnya, diapit oleh Swandaru dan Agung
Sedayu. Sementara Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Glagah
Putih mengikutinya di belakang.
Sejenak kemudian, merekapun telah berada di dalam
sanggar. Dua orang cantrik sedang membersihkan sanggar
itu. Mereka menempatkan kembali beberapa senjata yang
berpindah dari tempatnya semula.
Kedua cantrik itu memang menduga, bahwa semalam '
sanggar itu telah dipergunakan. Tetapi merekapun merasa
heran, bahwa mereka tidak mendengar sesuatu meskipun bilik
mereka tidak terlalu jauh dari sanggar itu.
" Apakah Kiai sendiri yang telah berada di sanggar" "
bertanya seorang diantara mereka.
Kawannya hanya menggeleng saja tanpa menjawabnya.
Tetapi sebenarnyalah keduanya tahu bahwa tentu bukan
Kiai Gringsing. Selain ia memang sedang sakit, maka Kiai
Gringsing jarang sekali mempergunakan senjata yang
berjenis-jenis yang dikumpulkannya didalam sanggar itu,
kecuali justru pada saat ia memperkenalkan jenis-jenis
senjata itu serta penggunaannya kepada para cantrik, agar
para cantrik tidak terkejut apabila mereka bertemu dengan
lawan yang membawa senjata seperti itu. Sementara itu para
cantrik sendiri pada tataran pertama masih juga mempelajari
cara penggunaan senjata yang umum dipergunakan. Pedang
dan tombak, sebelum mereka pada suatu saat akan
memasuki latihan menggunakan senjata yang khusus.
Sedangkan jika Kiai Gringsing mempergunakan berjenisjenis
senjata itu untuk mempergunakan dihadapan para
cantrik, maka senjata-senjata itu akan dikembalikannya
dengan tertib. Tetapi para cantrik itu tidak bertanya kepada siapapun.
Mereka membenahi saja dan mengatur serta membersihkan
sanggar itu sebagaimana yang mereka lakukan sehari-hari.
Ketika Swandaru dan Agung Sedayu memasuki sanggar
itu. bersama Kiai Gringsing dan orang-orang lain yang
bersama mereka, maka para cantrik itupun meninggalkan
sanggar itu. Mereka mengerti bahwa murid-murid utama Kiai
Gringsing itu akan mengadakan penilaian atas ilmu mereka
dibawah pengamatan gurunya.
Agung Sedayulah yang kemudian menutup pintu sanggar
itu, sementara Swandaru mulai mempersiapkan diri.
Kiai Gringsing yang lemah itupun kemudian telah duduk
diatas sebuah balok kayu untuk menyaksikan Swandaru
menunjukkan kemampuan ilmunya.
" Aku sudah siap Guru " berkata Swandaru. Kiai Gringsing
memandang kepada orang-orang yang ada di sebelah
menyebelahnya. Kemudian iapun bergumam
" Kau dapat mulai Swandaru. "
Swandaru mengangguk hormat. Kemudian perlahan-lahan
ia telah melangkah ke tengah-tengah sanggar.
Sejenak Swandaru memusatkan nalar budinya. Kemudian
perlahan-lahan ia mulai bergerak. Tangannya mulai
mengembang, kemudian kakinya mulai bergeser. Semakin
lama semakin cepat sehingga kemudian Swandaru itupun
sudah berloncatan dengan tangkasnya. Tangannya bergerak
dengan cepat, sekali mengembang, kemudian bagaikan
bersilang didada. Satu tangannya terjulur lurus kedepan,
namun kemudian tangannya yang lain dengan telapak tangan
yang tegak terkembang namun jari-jarinya merapat, terayun
kesamping bersamaan dengan kakinya yang berputar
setengah lingkaran. Kiai Gringsing memperhatikan gerak Swandaru dengan
sungguh-sungguh. Sebenarnyalah Swandaru memiliki
kemantapan gerak yang mengagumkan. Jika ia berdiri tegak
dengan kaki renggang dan ditekuk pada lututnya, maka
sikapnya bagaikan batu karang yang tidak dapat digoyahkan
oleh gelombang yang betapapun kuatnya didorong oleh angin
prahara yang betapapun besarnya.
Ayunan tangannya yang semakin lama semakin cepat,
telah menggetarkan udara di sekitarnya. Bahkan rasa-rasanya
telah menimbulkan ayunan angin yang kencang bertiup
mendahului wadagnya. Sehingga dengan demikian maka
kekuatan wadag Swandaru yang dialasi oleh tenaga cadangan
didalam dirinya, benar-benar merupakan kekuatan yang
dahsyat. Agung Sedayu yang menyaksikan gerak Swandaru
mengangguk-angguk diluar sadarnya. Sebenarnyalah ia mengerti,
bahwa Swandaru bukannya semata-mata ingin
memperlihatkan kemajuan ilmunya untuk mendapat penilaian
dari gurunya. Tetapi Swandaru juga ingin menunjukkan
kepadanya. Untunglah bahwa Agung Sedayu telah menumpahkan
perasaannya semalam, dan hanya disaksikan oleh isterinya.
Sehingga dengan demikian maka perasaannya sama sekali
tidak lagi tersinggung melihat sikap Swandaru. Dengan penuh
keyakinan pada diri sendiri, ia melihat bahwa yang ditunjukkan
oleh Swandaru itu sama sekali tidak mengejutkannya. Apalagi
yang nampak pada ilmu Swandaru itu adalah
sebagian besar kekuatan kewadagan betapapun
besarnya. Sementara itu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah
Putihpun memperhatikan dengan seksama. Dengan penuh
perhatian Pandan Wangi menilai setiap unsur gerak dari
suaminya. Ternyata bahwa Pandan Wangi yang juga memiliki
kemampuan yang tinggi berdasarkan ilmu yang mengalir dari
Perguruan Menoreh lewat ayahnya Ki Gede Menoreh yang
bernama Ki Argapati itu melihat beberapa kemungkinan yang
sebenarnya masih dapat dikembangkan oleh Swandaru, asal
saja ia mau melihat ilmunya lebih kekeda-laman. Bahkan
Pandan Wangi sendiri telah mampu menemukan pancaran
ilmunya justru yang belum diketemukan oleh ayahnya sendiri,
kemampuan untuk menjangkau sasaran mendahului sentuhan
wadagnya, yang masih akan dikembangkannya lagi dengan
kemampuan untuk menyentuh sasaran dari jarak tertentu.
Pandan Wangi yang pernah mempersoalkannya dengan
Kiai Gringsing telah mendapat beberapa petunjuk
daripadanya, setelah Kiai Gringsing mempelajari dasar-dasar
ilmunya. Meskipun ilmu itu belum mapan, tetapi telah mulai
menemukan bentuknya. Namun Pandan Wangi harus menghentikan semua
kegiatannya disamping ia sedang mengandung. Bagi Pandan
Wangi tidak ada yang lebih berharga baginya daripada anak
yang bakal lahir itu. Beberapa saat Pandan Wangi bagaikan membeku. Namun
kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa ia
tidak banyak dapat membantu suaminya. Bukan karena ia
tidak mau atau tidak sanggup. Tetapi Swandaru terlalu yakin
akan dirinya. Sementara itu Sekar Mirahpun memperhatikan tata gerak
Swandaru yang keras. Jika kakinya menghentak bumi, maka
rasa-rasanya bumi bagaikan bergetar.
Sekar Mirah pernah bertanya dengan berbagai macam
orang berilmu tinggi. Sementara itu suaminya,Ki Jaya-raga,
bahkan Glagah Putih yang masih sangat muda, adalah orangorang
yang berilmu tinggi pula. Karena itu, maka yang
dikagumi oleh Sekar Mirah pada kakaknya itu adalah
besarnya kekuatan wadagnya. Memang bukannya tidak
mungkin bahwa kekuatan yang sangat besar itu akan dapat
menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi Sekar Mirah
yakin, jika terjadi perbandingan ilmu dengan mengadakan
sentuhan langsung dan mereka benar-benar mempergunakan
segenap ilmu masing-masing, maka kakaknya itu tidak
akan dapat mengimbangi suaminya. Bahkan mampu
mendekatpun tidak, karena Agung Sedayu memiliki
kemampuan menyerang dari jarak tertentu.
Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah menjadi cemas. Baru
semalam Agung Sedayu seakan-akan kehilangan atas
pengamatan diri sendiri. Bukan karena sindiran-sindiran
Swandaru tentang ilmunya atau barangkali kenyataan
suaminya mengambil kitab gurunya, tetapi justru karena hal
yang lain, yang seakan-akan membawanya kepada satu
keadaan yang dapat mengecewakan Sekar Mirah sebagai
seorang isteri. Sementara itu Sekar Mirah tahu pasti, bahwa itu bukan
kesalahan suaminya. Namun agaknya Yang Maha Agunglah
yang memang belum berkenan memberikan kurnia itu kepada
mereka berdua. Diluar sadarnya ia memandang kepada suaminya yang
berdiri disebelahnya. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun
diwajah suaminya, meskipun agaknya suaminya itu sedang
memperhatikan tata gerak Swandaru sebaik-baiknya.
Ketika kemudian Sekar Mirah memandang Kiai Gsing-sing
yang duduk diatas sebatang balok kayu , maka debar
jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Kepada diri sendiri
ia berkata " Jika Kiai Gringsing memerintahkan kakang Agung
Sedayu untuk juga menunjukkan kemampuannya, mungkin ia
akan berusaha untuk menunjukkan
kelebihannya dari kakang Swandaru, justru karena
kekurangannya itu. Jika ternyata bahwa kakang Agung
Sedayu mempunyai banyak kelebihan dari kakang Swandaru,
maka akan dapat timbul persoalan karenanya. "
Sekar Mirah memang merasa menjadi sulit. Agung Sedayu
adalah suaminya, sedangkan Swandaru adalah kakak
kandungnya. Dalam pada itu, Swandaru telah semakin meningkatkan
kemampuannya. Tangan dan kakinya bergerak semakin
cepat. Geraknya menjadi semakin mantap. Seakan-akan
Swandaru justru menjadikan tubuhnya seberat batu hitam,
namun tanpa kesulitan untuk melenting dan berloncatan.
Hentakan kakinya ditanah benar-benar telah menggoyahkan
lingkungan disekitarnya. Glagah Putih sekali-sekali mengerutkan keningnya. Namun
kemudian menarik nafas dalam-dalam. Bahkan timbul
pertanyaan didalam hatinya " Apakah sebenarnya kelebihan
kakang Swandaru" Ia mempunyai kekuatan yang sangat
besar, bahkan ia mampu bergerak dengan cepat meskipun
tubuhnya bagaikan menjadi gumpalan besi. Tetapi
kelebihannya hanya nampak di permukaan. "
Meskipun kemudian Glagah Putih nampak memperhatikan
dengan seksama, tetapi sebenarnyalah, apa yang dilihatnya
tidak menggetarkan jantungnya. Namun Glagah Putih
berusaha untuk menyingkirkan perasaannya yang
dianggapnya sebagai suatu keseimbangan, meskipun setiap
kali muncul dipermukaan " Aku dapat berbuat lebih dari yang
dilakukan kakang Swandaru. "
Sementara itu Swandaru masih bergerak terus. Bahkan
tiba-tiba saja Swandaru telah mengurai cambuknya. Cambuk
yang semula sama dengan cambuk Agung Sedayu, namun
kemudian telah dirubahnya sekali dengan menambah karahkarah
10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada juntainya, sehingga sentuhan juntai cambuk
Swandaru dengan landasan kekuatan yang sama akan
menimbulkan akibat yang lebih parah dari cambuk Agung
Sedayu. Sejenak kemudian telah terdengar ledakan cambuk yang
mengejutkan. Orang-orang yang ada didalam sanggar itu
memang terkejut. Ledakan cambuk Swandaru bagaikan
menggetarkan udara di dalam sanggar itu dan menghentak
setiap dada. Ketika Swandaru mengulang beberapa kali dan
ledakan-ledakan saling susul menyusul dengan kerasnya,
maka orang-orang yang ada didalam sanggar itu justru tidak
lagi tergetar jantungnya sama sekali. Bahkan Glagah Putihpun
mampu dengan tanpa kesulitan mengatasi hen-takanhentakan
di dadanya itu. Beberapa saat kemudian, maka Swandaru mulai
menyentuh sasaran dengan ujung cambuknya. Ternyata
kekuatan Swandaru memang luar biasa. Sebuah diantara
patok batang bambu petung yang utuh yang berdiri tegak
diantara beberapa patok yang lain, ternyata telah patah
setelah dikenai ujung cambuk Swandaru. Kemudian ujung
cambuk itu telah melingkar-lingkar di udara, dan dengan cepat
membelit batang bambu petung yang lain. Dengan hentakan
yang keras sekali, maka patok itu telah patah pula. , - -
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin, bahwa
kekuatan Swandaru itu tumbuh bersamaan dengan latihanlatihannya
yang berat dan bersungguh-sungguh.
Dengan kepala yang terangguk-angguk Kiai Gringsing
berkata kepada diri sendiri " Kekuatan Swandaru memang luar
biasa. " Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak tergetar
menyaksikannya. Ia mampu melakukannya tanpa sentuhan
atas patok-patok bambu itu. Dengan sungguh-sungguh ia
telah melakukan laku yang berat, menukik ke kedalaman
ilmunya dibawah tuntunan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga,
sehingga ia mampu menyerap kekuatan yang ada di
sekitarnya. Ledakan-ledakan cambuk berikutnya menjadi semakin
menghentak-hentak. Namun tidak menggoyahkan jantung
mereka yang ada didalam sanggar itu.
Pandan Wangi memang mengagumi kekuatan suaminya. Ia
Antologi Rasa 2 Pendekar Rajawali Sakti 185 Geger Di Telaga Warna Empress Orchid 5