Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 25

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 25


Namun sebenarnyalah bahwa sekejappun Agung Sedayu tidak dapat tidur sampai menjelang matahari terbit. Ketika Sekar Mirah terbangun, maka iapun dengan serta merta telah bangkit. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Agung Sedayu telah berbaring pula disampingnya.
Sekar Mirah sama sekali tidak mengganggu Agung Sedayu yang disangkanya baru saja tertidur. Ia sendiri kemudian bangkit dan keluar dari dalam biliknya, menuju ke dapur.
Sekar Mirah tidak membangunkan ketika ia melihat anak yang membantu dirumahnya masih saja tidur di serambi. Agaknya ketika ia kembali dari sungai bersama Glagah Putih, ia kembali tidur diserambi, berkerudung kain panjang.
Tetapi tidak berselisih lama, maka Agung Sedayu pun telah bangun pula. Demikian pula Glagah Putih seperti biasanya. Sesaat kemudian Ki Jayaragapun telah bangun pula.
Sejenak kemudian, maka telah terdengar suara sapu lidi di halaman serta derit senggot timba di sumur. Tetapi bukan saja dirumah Agung Sedayu. Seisi padukuhan itu, seakan-akan telah terbangun.
Sesaat kemudian, Kiai Gringsingpun telah berada di pendapa pula. Swandaru yang sudah terbangun masih duduk diantara para pengawalnya yang telah terbangun dan duduk-duduk diserambi gandok.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika Kiai Gringsing pagi-pagi memanggilnya. Dengan nada rendah ia berkata, "Tolong, kawani aku setelah kau mandi ke rumah Ki Gede."
"Baik Guru." jawab Agung Sedayu.
"Mumpung masih sangat pagi. Aku ingin berjalan-jalan pula menghirup segarnya udara pagi di Tanah Per-dikan ini." berkata Kiai Gringsing pula.
"Bagaimana dengan adi Swandaru?" bertanya Agung Sedayu.
"Kita bertanya saja kepadanya, apakah ia akan ikut atau tidak. Atau nanti saja sekaligus mohon diri disaat kami kembali ke Jati Anom." jawab gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia tidak bertanya langsung kepada Swandaru. Tetapi dipanggilnya Swandaru naik ke pendapa.
"Apakah kau mau ikut?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kemana Guru?" bertanya Swandaru.
"Aku akan pergi kerumah Ki Gede. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada Ki Gede dan Ki Waskita. Nanti aku datang lagi kemari dan bersiap-siap untuk pulang ke padepokan. Siang nanti kita akan singgah lagi ke rumah Ki Gede." jawab Kiai Gringsing.
"Kenapa tidak nanti saja sama sekali Guru." bertanya Swandaru. Lalu, "Bukankah lebih baik nanti saja sama sekali disaat kita berangkat, singgah dan minta diri?"
"Nanti kita terlalu tergesa-gesa." jawab Kiai Gringsing, "aku masih ingin berbicara sekali dengan Ki Waskita."
"Guru masih kembali lagi kemari sebelum sekali lagi singgah dirumah Ki Gede"." bertanya Swandaru.
"Ya." jawab gurunya.
"Kita hanya akan mondar mandir saja kesana kemari. Bukankah sebaiknya sekali saja singgah dan langsung menuju ke Jati Anom." bertanya Swandaru.
"Sudah aku katakan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ki Waskita dan Ki Gede. Tidak penting sekali. Tetapi rasa-rasanya ada yang terhutang." jawab Kiai Gringsing.
"Jika demikian, aku menunggu guru disini." jawab Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, "Aku akan bersiap-siap selama Guru berada dirumah Ki Gede."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya selain pergi kerumah Ki Gede untuk bertemu Ki Waskita dan Ki Gede, aku juga ingin berjalan-jalan untuk melihat matahari memanjat naik."
Tetapi Swandaru merasa segan untuk pergi. Dirumah Ki Gede ia akan menjadi patung saja. Ia tentu tidak akan banyak dapat berbicara. Apalagi bersama orang-orang tua seperti gurunya, Ki Waskita dan Ki Gede. Karena itu, maka ia benar-benar tidak mengikutinya ketika gurunya kemudian meninggalkan halaman rumah itu meskipun orang tua itu belum mandi.
"Aku akan mandi dirumah Ki Gede setelah berjalan-jalan." berkata Kiai Gringsing.
Namun keseganan Swandaru itu sejalan dengan keinginan Kiai Gringsing. Karena Kiai Gringsing ingin berbicara sendiri dengan Agung Sedayu.
Sebenarnya Sekar Mirahpun telah mencoba menahan dan minta agar Kiai Gringsing minum dan makan lebih dahulu. Namun Kiai Gringsing hanya sempat minum beberapa teguk minuman hangat saja.
"Nanti saja aku makan." jawab Kiai Gringsing, "masih terlalu pagi."
Demikianlah, maka Kiai Gringsing diikuti oleh Agung Sedayu telah meninggalkan rumah itu menuju kerumah Ki Gede. Tetapi ternyata jarak yang pendek itu telah ditempuh untuk waktu yang lama, karena seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing bahwa ia telah membawa Agung Sedayu untuk berjalan-jalan. Ketika mereka melewati sebuah lorong kecil yang berbelok ke kiri, maka keduanya telah mengikuti lorong itu dan keluar dari padukuhan induk.
"Bawa aku ketempat yang jarang dikunjungi orang." berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu terkejut. Tetapi kata-kata gurunya itu tegas. Bahkan katanya kemudian, "Aku perlu menun-jukkan sesuatu kepadamu tanpa orang lain."
Agung Sedayu telah mengenali Tanah Perdikan itu sebagaimana ia mengenali halaman rumahnya sendiri. Karena itu, maka iapun segera mengetahui, kemana ia harus pergi. Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di lereng sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang. Sebuah gumuk kecil di pinggir sebuah hutan yang masih lebat.
"Tempat ini memang jarang di kunjungi orang. Guru. Kecuali jalan yang sulit, di daerah ini masih terdapat binatang buas yang sering berkeliaran." berkata Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Mungkin aku memang bukan seorang guru yang baik, karena aku telah membawamu tanpa adik seperguruanmu. Tetapi selain seorang guru, maka akupun seorang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang muridku yang hanya dua orang itu."
"Apakah maksud Guru?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau adalah muridku yang tua. Aku berharap bahwa kau akan dapat menggantikan kedudukanku jika aku sudah tidak ada. Kecuali mengendalikan dirimu sendiri, maka kaupun wajib mengendalikan adik seperguruanmu jika sekali-sekali ia menyimpang dari jalan kebenaran." berkata Kiai Gringsing.
"Apakah Guru melihat gejala seperti itu?" bertanya Agung Sedayu.
Tetapi justru gurunya itu bertanya kepadanya, "Bagaimana menurut pendapatmu?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian menjawab, "Bagiku adi Swandaru adalah orang yang baik. Ia telah berusaha menegakkan satu keyakinan hidup terutama dalam tugas dan kewajibannya sebagai anak seorang Demang. Ia telah berbuat apa saja bagi kesejahteraan Kademangannya."
"Secara pribadi, apakah kau tidak melihat sesuatu yang dapat membahayakan kelurusan tingkah lakunya?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu termangu-mangu. Adik seperguruannya itu memang mempunyai sikap yang agak garang. Cepat mengambil keputusan dan diatas semuanya itu, ia mempunyai harga diri yang terlalu tinggi. Ia menilai dirinya sendiri lebih dari orang lain, sehingga karena itu, maka ia telah salah membuat perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu sendiri. Karena itu, dalam keadaan yang khusus maka Swandaru akan dapat mengambil sikap yang tergesa-gesa dan karena itu, kurang dapat dipertanggung jawabkan.
Agung Sedayu itu memang sedikit tergetar ketika gurunya berkata, "Dengarlah. Aku sudah minta kedua muridku untuk meningkatkan ilmunya. Itu memang perlu sekali. Kitapun kadang-kadang mempunyai harga diri, sehingga kepada orang lain kita harus menunjukkan bahwa perguruan kita termasuk perguruan yang harus diperhitungkan."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, "Tetapi untuk itu kita tidak boleh lepas kendali. Kita harus tetap menempatkan diri kita sebagai seorang yang terikat oleh paugeran hidup diantara sesama dan bertanggung jawab kepada sumber hidup kita."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih menunggu gurunya melanjutkan.
"Agung Sedayu." berkata gurunya, "aku sudah menganjurkan kalian mempelajari sampai tingkat yang terakhir dari ilmu cambuk sebagai satu ciri dari perguruan kita. Kau tentu sudah tahu, bahwa selama ini kalian meninggalkan tingkat terakhir dari ilmu itu. Balkan Swandaru masih harus meningkat dua tataran lagi. Namun seandainya kalian benar-benar menekuninya dan melakukan laku yang berat itu, maka kalian akan sampai pada satu tingkat yang sulit untuk diatasi. Aku masih yakin, bahwa seandainya kau memiliki kemampuan itu, kau masih akan selalu mengendalikan dirimu sehingga kau tidak akan mempergunakannya. Agaknya berbeda dengan Swandaru. Jika ia sampai juga pada puncak ilmu itu dengan menjalani laku yang tertulis didalam kitab itu, maka aku tidak yakin, bahwa Swandaru akan dapat mengendalikan dirinya sebagaimana kau. Meskipun sebenarnya aku memperhitungkan bahwa Swandaru tidak akan sampai pada tingkat terakhir itu. Tetapi siapa tahu, bahwa tingkat itu akan dicapainya pula."
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia mulai dapat meraba arah pembicaraan Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah maka Kiai Gringsing itu berkata, "Karena itu Agung Sedayu, Swandaru tidak boleh menjadi orang tertinggi dalam ilmu cambuk ini. Dengan demikian maka kau mempunyai beban ganda. Mempelajari ilmu itu tanpa niat mempergunakannya, sekaligus mengawasi Swandaru, apalagi jika iapun mencapai tataran tertinggi itu. Namun aku yakin bahwa kau akan lebih matang dari padanya."
Jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat. Ia dapat mengerti pesan gurunya itu. Tetapi ia tidak mengira bahwa gurunya menjadi sangat berhati-hati terhadap adik seperguruannya.
Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata. "Aku sependapat dengan kau, bahwa Swandaru adalah anak muda yang baik. Ia mencintai kampung halamannya diatas segala-galanya. Tetapi ia juga sangat mencintai dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Memang bukan satu kesalahan, tetapi akibatnya dapat menjadi kurang baik. Jika dalam hubungan ini ia memiliki ilmu tertinggi dari cabang ilmu cambuk itu, maka tanpa orang lain yang melampaui kemampuannya, ia akan dapat berbahaya tanpa maksud-maksud buruk."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku mengerti guru."
"Nah." berkata Kiai Gringsing, "kau memang harus mempunyai gambaran, seberapa jauh kemampuan tertinggi dari ilmu cambuk itu. Jika kau meningkat satu tataran lagi, maka kau akan sampai pada puncak kemampuan ini."
Agung sedayu menjadi tegang ketika ia melihat gurunya mengurai cambuknya. Dengan nada datar ia berkata, "Lihat, aku akan menunjukkan kepadamu, sampai tingkat yang manakah ilmu cambuk Swandaru sekarang ini."
Dengan tegang Agung Sedayu memperhatikan Kiai Gringsing memutar cambuknya. Kemudian menghentakkan cambuk sendal pancing. Suaranya meledak keras sekali sebagaimana pernah dilakukan oleh Swandaru. Jika hentakan ujung cambuk itu mengenai batu padas, maka batu padas itu tentu akan pecah.
Namun kemudian Kiai Gringsingpun berkata, "Sekarang kau lihat, seberapa jauh kau mampu mencapai tingkat ilmu cambukmu itu."
Sejenak kemudian. maka Kiai Gringsing itupun telah sekali lagi menghentakkan cambuknya pula. Suaranya hampir tidak terdengar. Namun getarannya terasa meng-hentak sampai kejantung. Dalam tataran itu, ujung cambuk Kiai Gringsing itu telah dapat melumatkan batu padas menjadi debu.
Namun kemudian Kiai Gringsing itu berkata, "Sekarang, lihat. Bagaimana jika ilmu itu meningkat satu tataran lagi dan bila sudah mencapai puncak kematangannya."
Jantung Agung sedayu menjadi benar-benar berdebar-debar. Ia melihat gurunya memutar cambuknya. Semakin lama semakin cepat sehingga suara desingnya telah menerpa isi dada. Rasa-rasanya desingnya saja telah mampu menahan lawan jika hal itu dilakukan dalam satu pertempuran.
Agung Sedayu yang pernah membaca untuk menangkap dan memahatkan isi kitab guruya pada bagian tetakhir itu, memang mengetahui bahwa bagian tetakhir itu memuat laku yang sangat berat, namun akan menghasilkan kekuatan yang sangat tinggi. Namun kini gurunya telah memperlihatkannya, bagaimana ilmu cambuk itu pada tataran akhir.
Demikianlah setelah membuat ancang-ancang sejenak, maka Kiai Gringsingpun telah melepaskan serangan dengan ilmu cambuknya pada tataran tertinggi dari puncak ilmu cambuk yang dikenal sebagai ciri dari perguruan Orang Bercambuk itu.
Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun ia seperti orang bingung melihat gurunya melepaskan ilmu cambuk pada tataran tertinggi itu. Dari hentakan cambuknya yang hampir tidak berbunyi sama sekali telah meluncur seleret cahaya kebiru-biruan. Cahaya yang meluncur dengan kecepatan tatit kecil di pinggir hutan itu.
Memang tidak terdengar ledakan dahsyat. Tetapi ledakan itu telah terjadi. Gumuk itu benar-benar bagaikan telah meledak, sehingga batu-batu padaspun telah berbenturan, meskipun tidak melontarkan bunyi yang terlalu keras.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia mempunyai kemampuan ilmu untuk menyerang dari jarak jauh dengan mempergunakan sorot matanya. Tetapi dibandingkan dengan serangan ilmu cambuk itu, maka kekuatannya masih berada dibawah. Agaknya seseorang sulit untuk menghindari serangan yang demikian menggetarkan jantung itu, betapapun seseorang memiliki ilmu tinggi. Sedangkan jika seseorang terkena serangan itu, meskipun orang itu dibalut dengan ilmu kebal rangkap, namun ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup. Bahkan agaknya serangan itu dapat ditujukan bukan hanya kepada seseorang, tetapi kepada sekelompok orang.
Balas " On 7 Juli 2009 at 15:52 Mahesa Said:
Dalam pada itu, Agung Sedayupun tiba-tiba menyadari, kenapa gurunya telah memerintahkannya untuk menguasai ilmu sampai ketataran tertinggi meskipun ia tidak berniat mempergunakannya, karena kitab itu akan berada di tangan Swandaru yang meskipun untuk waktu yang lama, tetapi jika dikehendaki akan dapat mencapai tingkat itu pula.
Sementara itu Agung Sedayupun seakan-akan telah menjadi saksi, bahwa sepanjang ia menjadi murid Orang Bercambuk itu, ia belum pernah melihat gurunya mempergunakan puncak ilmu cambuknya itu, meskipun ia pernah menyaksikan dalam satu pertempuran gurunya telah terluka.
"Ilmu itu terlalu dahsyat." berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
"Nah, Agung Sedayu." berkata Kiai Gringsing, "kau sudah melihat kedahsyatan ilmu itu. Kuasailah, tetapi dengan tekad untuk tidak mempergunakannya sama sekali."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segalanya sudah jelas baginya, apa yang harus dilakukan. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya kepada gurunya, "Guru. Kenapa Guru tidak memerintahkan saja agar adi Swandaru tidak perlu mempelajari ilmu cambuk itu sampai tataran yang terakhir" Ia cukup meningkatkan ilmu cambuknya satu tataran saja lagi, sehingga ilmunya akan berada pada tataran yang sama dengan ilmuku. Namun jika Guru sependapat, ilmuku mudah-mudahan lebih matang dari ilmunya."
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Jika aku mencoba melarangnya, maka pada suatu saat. dimana aku tidak lagi mampu melarangnya, maka ia justru akan berusaha dengan diam-diam mempelajarinya. Akupun tidak mungkin menutup bagian tertinggi dari ilmu itu atau menghapusnya dari kitab itu, karena dengan demikian aku sudah menyusut ilmu itu. Karena itu, satu-satunya jalan bagiku adalah memaksamu untuk selalu berada di tingkat tertinggi dari segala macam ilmu yang dapat dipelajari dari kitab itu. Tetapi akupun tidak akan menutup kenyataan bahwa kau sebagai manusia biasa tentu dibatasi oleh keterbatasanmu. Sebenarnyalah, aku lebih percaya kepadamu daripada Swandaru. Mungkin sekali lagi aku harus mengaku bahwa aku bukan seorang guru yang baik, karena ternyata aku tidak adil berbuat terhadap murid-muridku. Tetapi aku mempunyai landasan yang aku anggap dapat dipertanggung jawabkan."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku sangat berterima kasih kepada Guru, bahwa Guru masih mempercayaiku sebagai murid betapapun mungkin aku kurang memenuhi keinginan Guru."
"Sebenarnya bagiku kau sudah lebih dari cukup. Apalagi kau mampu menyerap ilmu dari luar dinding perguruan kita serta membuatnya luluh menyatu dengan ilmu kita. Itu satu keuntungan yang dapat memperkaya perguruan kita, karena jika kau sempat menurunkan ilmu kepada orang lain, maka ilmu itu tingkatnya tentu lebih tinggi dari apa yang dapat aku berikan kepadamu. Atas dasar itu pula maka aku percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat menjaga nama perguruan kita dengan sebaik-baiknya."
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Marilah. Kita pergi kerumah Ki Gede."
"Mari Guru." jawab Agung Sedayu yang tiba-tiba saja merasa bebannya menjadi semakin berat.
Sambil berjalan ke padukuhan induk Kiai Gringsing masih sempat bertanya, "Bukankah kitab itu ada padamu sekarang?"
"Ya Guru." jawab Agung Sedayu, "tetapi adi Swandaru telah mengatakan bahwa kitab itu akan dibawanya ke Sangkal Putung nanti, jika ia kembali bersama Guru."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia bertanya, "Bukankah kau tidak memerlukannya?"
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Maksudku, bukankah kau telah mampu memahatkan pengertian, bahkan kata demi kata yang tertulis pada kitab itu pada ingatanmu?" bertanya gurunya.
"Ya Guru." Jawab Agung Sedayu.
"Bailah. Jika demikian biarlah kitab itu ada pada Swandaru selagi ia berniat untuk meningkatkan ilmunya yang ketinggalan." berkata Kiai Gringsing, "menurut perhitunganku, maka ia akan terhenti pada tataran berikutnya. Tetapi sekali lagi aku pesan kepadamu, kau harus mencapai puncak kemampuan ilmu cambuk itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sambil melangkah, kepalanya justru telah menunduk.
Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berada di rumah Ki Gede. Dengan singkat, Kiai Gringsing menyatakan bahwa siang nanti, setelah matahari turun, ia akan kembali ke Jati Anom.
"Aku mohon maaf Ki Waskita, bahwa aku tidak dapat tinggal disini lebih lama lagi. Sebenarnya kita masih dapat bersama-sama mengawani Ki Gede beberapa saat lagi. Tetapi Swandaru tidak dapat tinggal terlalu lama disini." berkata Kiai Gringsing.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Rumahku tidak sejauh rumah Kiai Gringsing. Setiap saat aku dapat datang dan pergi, hilir mudik dari rumahku ke rumah ini. Tetapi akupun telah merencanakan untuk mohon diri besok."
"Begitu tergesa-gesa?" Kiai Gringsinglah yang kemudian bertanya.
"Seperti yang aku katakan. Aku dapat hilir mudik kapan saja aku ingini." jawab Ki Waskita.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, "Bukankah aku juga dapat berbuat seperti itu" Asal saja Ki Gede memberikan bekal untuk upah menyeberangi Kali Praga."
Ki Gedepun tertawa. Sementara itu, mereka masih berbincang beberapa saat sementara Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Sekar Mirah pulalah yang kemudian telah menyediakan hidangan bagi Kiai Gringsing serta tamu-tamu yang lain. Sekar Mirah pulalah yang telah menyiapkan dan kemudian mengirimkan makan bagi para pengawal Swandaru yang ada di rumahnya.
Dalam pada itu, setelah makan dan minum, serta matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah minta diri untuk pergi kerumah Agung Sedayu.
"Nanti, pada saatnya, kami, maksudku aku dan Swandaru akan singgah lagi kemari untuk minta diri." berkata Kiai Gringsing.
"Kenapa Kiai tidak menunggu disini saja?" bertanya Ki Gede.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun menjawab, "Biarlah aku meninggalkan Tanah Perdikan ini dari rumah muridku."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Jika demikian silahkan. Agaknya memang ada alasannya, kenapa Kiai Gringsing harus mondar mandir."
Kiai Gringsingpun tertawa. Ia memang merasakan sikapnya sendiri yang agakgelisah. Tetapi iapun menyadari, bahwa hal itu disebabkan oleh tanggung jawabnya terhadap kedua muridnya. Tanggung jawab atas sikap lahir dan batin mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsingpun telah meninggalkan rumah Ki Gede untuk kembali ke rumah Agung Sedayu. Dirumah Agung Sedayu, Kiai Gringsing berbenah sebentar. Demikian pula Swandaru dan para pengawalnya.
Dalam waktu yang singkat itu, Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan kepada muridnya selagi mereka ada bersama-sama.
Seperti yang direncanakan oleh Swandaru, maka kitab Gurunya itupun telah disimpan didalam sebuah kantong kain dan dibawa ke Sangkal Putung. Dengan sangat sangat gurunya berpesan, agar kitab perguruan dari Orang Bercambuk itu disimpan baik-baik. Kitab itu tidak boleh jatuh ketangan siapapun juga selain para murid dari perguruan Orang Bercambuk.
"Aku akan menjaganya dengan baik. Guru." janji Swandaru.
"Kalian juga harus merahasiakan bahwa kalian telah menyimpan kitab tentang ilmu yang termasuk dalam tataran yang tinggi. Karena jika ada orang yang berniat buruk, tentu akan berusaha untuk mengambilnya. Meskipun di dunia ini ada beberapa kitab yang tidak kalah pentingnya dari kitab perguruan Orang Bercambuk, termasuk Kitab yang disimpan oleh Ki Waskita, yang memuat antara lain ilmu yang dapat menumbuhkan bayangan didalam angan-angan orang lain sehingga seakan-akan telah hadir satu ujud yang disebut ujud semu, tetapi ada kekhususan yang terdapat didalam kitab itu. Yaitu ilmu pengobatan yang jarang sekali ada duanya. Penguasaan terhadap berbagai macam racun dan bisa beserta penangkalnya serta jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi obat dari berbagai macam penyakit dan luka." berkata Kiai Gringsing.
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, betapa pentingnya kitab itu, sehingga karena itu, maka apapun yang terjadi, kitab itu tidak boleh terlepas dari tangan mereka.
"Guru." berkata Swandaru, "untuk beberapa lama kitab ini akan berada di Sangkal Putung. Aku berjanji bahwa kitab itu akan terlindung dengan baik di Sangkal Putung. Mudah-mudahan kakang Agung Sedayupun akan dapat berbuat demikian pula."
Kiai Gringsingpun berpaling kepada Agung Sedayu dan bertanya, "Bukankah kau juga berjanji?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Aku berjanji, Guru."
"Nah." berkata Kiai Gringsing, "aku merasa tenang. Agaknya segala sesuatunya telah siap. Matahari telah hampir mencapai puncak. Kita akan segera berangkat. Jika kita singgah barang sebentar dirumah Ki Gede, maka pada saat matahari turun, kita akan berjalan kearah yang berlawanan dengan arah sinar matahari."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsingpun telah meninggalkan rumah itu. Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengantar mereka sampai kerumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah telah berada dirumah Ki Gede pula.
Ternyata Kiai Gringsing tidak dapat menolak ketika Sekar Mirah kemudian menghidangkan makan dan minum untuk mereka yang akan berangkat menempuh perjalanan ke Jati Anom.
Ketika Swandaru sempat berbincang dengan Ki Gede, maka Ki Gede mendengarkan dengan gembira tentang Pandan Wangi yang sudah hampir melahirkan. Dengan demikian Ki Gede akan segera memunyai cucu.
"Bukankah Pandan Wangi mengerti, bahwa ia harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan?" bertanya Ki Gede.
"Ya Ki Gede." jawab Swandaru. "Pandan Wangi berusaha untuk menjaga dirinya sendiri dan anaknya yang bakal lahir itu."
"Syukutlah. Apakah anak itu laki-laki atau perempuan, mudah-mudahan ia akan menjadi anak yang baik." berkata Ki Gede.
Demikianlah, mereka sempat berbincang-bincang sejenak. Setelah makan dan minum, serta matahari mulai nampak condong, maka Kiai Gringsingpun telah minta diri untuk kembali ke Jati Anom.
"Apakah Kiai tidak akan kemalaman di perjalanan?" bertanya Ki Gede.
"Justru perjalanan kami akan menjadi sejuk." sahut Kiai Gringsing. Namun kemudian katanya, "Mudah-mudahan kami sampai ditujuan sebelum malam."
Demikianlah, sejenak kemudian Kiai Gringsing telah benar-benar meninggalkan rumah Ki Gede. Beberapa orang telah mengantarnya sampai keregol. Demikian pula Sekar Mirah yang berdesis, "Hati-hati kakang. Sungkemku kepada ayah dan seluruh keluarga di Sangkal Putung. Mudah-mudahan mbokayu Pandan Wangi akan melahirkan dengan selamat. Jika saja kami tahu sebelumnya, kami akan berusaha untuk dapat mengunjunginya saat ia melahirkan."
"Jaraknya terlalu jauh Mirah." jawab Swandaru, "tetapi aku akan berusaha."
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Swandaru dan beberapa orang pengawalnya telah meninggalkan padukuhan induk. Mereka menyusuri jalan menuju ke Kali Praga. Swandaru telah minta kepada Kiai Gringsing, agar mereka menempuh jalan yang jauh dari Mataram.
"Mataram sedang dalam kesiagaan penuh, Guru. Kita lebih baik menjauhi kemungkinan bertemu dengan pasukan peronda yang barangkali belum kita kenal, sehingga dapat terjadi salah paham." desis Swandaru.
Kiai Gringsing dapat mengerti alasan Swandaru. Meskipun sebenarnya ia ingin bertemu dan berbicara dengan Panembahan Senapati setelah terjadi usaha untuk membunuh Ki Patih Mandaraka. Tetapi niat itupun telah ditundanya. Karena itu, maka merekapun telah memilih jalan Utara. Mereka menyeberang di penyeberangan sebelah utara pula. Penyeberangan yang tidak sebesar penyeberangan yang berada di tengah. Bahkan masih lebih sepi dibandingkan dengan penyeberangan disebelah selatan.
Meskipun demikian, ketika mereka sampai ketepi Kali Praga, mereka masih harus menunggu, karena rakit penyeberangan yang sedang membawa orang baru saja berangkat, sementara rakit yang lain, yang menuju ke sisi Barat, masih berada di tengah.
Beberapa saat mereka menunggu. Namun kemudian rakit itupun telah menepi. Tetapi rakit yang tidak begitu besar itu tidak dapat membawa Kiai Gringsing, Swandaru dan para pengawalnya sekaligus, sehingga karena itu, maka mereka memerlukan dua buah rakit untuk membawa mereka beserta kuda mereka.
Namun bagaimanapun juga, sekelompok orang-orang berkuda itu memang menarik perhatian. Beberapa orang tahkan telah menduga-duga.
Dua orang yang mengaku pedagang dengan pedang dilambung telah mendekati Kiai Gringsing yang sedang menunggu rakit yang sebuah lagi sambil bertanya, "Ki Sanak" Darimana Ki Sanak datang atau kemana Ki Sanak akan pergi dengan pengawalan yang kuat itu" Apakah Ki Sanak Saudagar yang membawa dagangan yang mahal atau sedang dalam perjalanan untuk menyampaikan peningset pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan yang bernilai sangat tinggi atau karena perang yang terjadi di Tanah Perdikan baru-baru ini?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Aku memang penakut. Pengawal itu memberikan ketenangan dihatiku dalam perjalananku, meskipun aku tidak membawa apa-apa. Perang di Tanah Perdikan itu merupakan desakan utama agar aku melindungi diriku dengan para pengawal itu."
Orang yang mengaku pedagang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing telah melanjutkan perjalanannya langsung ke Jati Anom. Orang tua itu tidak singgah di Sangkal Putung. Swandarulah yang mengantarnya ke Jati Anom, baru kemudian kembali ke Sangkal Putung.
Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan panjang. Apalagi mereka tidak melalui jalan yang biasa dilalui iring-iringan para pedagang dan orang-orang yang menempuh perjalanan jauh. Mereka telah menempuh jalan yang lebih sepi. Tetapi jalan itu lebih banyak melalui lereng Gunung Merapi sehingga kadang-kadang mereka harus sedikit naik turun.
Ternyata perjalanan mereka tidak secepat yang mereka perhitungkan. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing yang tua itu harus mengingat kekuatan dan ketahanan kuda-kuda mereka.
Mereka memasuki Jati Anom setelah hari menjadi gelap. Sekelompok prajurit peronda yang melihat iring-iringan lewat di bulak panjang telah bergegas menyu-sulnya. Tetapi Kiai Gringsing dan Swandaru mengerti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah prajurit Pajang di Jati Anom yang sebagian besar telah mengenal mereka. Karena itu, maka kuda-kuda mereka berderap dengan tenang tanpa merubah kecepatan.
Sebenarnyalah ketika para prajurit itu menyusul iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu, pimpinannya yang telah mengenal Kiai Gringsing segera rhenemuinya dan bertanya, "Darimana Kiai?"
"Kami dari Tanah Perdikan." jawab Kiai Gringsing.
"O. Demikian Kiai mendengar berita tentang keributan yang terjadi di Tanah Perdikan, Kiai langsung menengok murid Kiai." desis pemimpin prajurit itu.
"Tidak. Ketika terjadi keributan justru aku sedang berada disana. Swandarulah yang kemudian menyusul untuk melihat keadaanku dan keadaan kakak seperguruannya. Karena itu, ia membawa pengawal." jawab Kiai Gringsing.
"O" pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, "lalu bagaimana keadaan Tanah Perdikan sekarang?"
"Semuanya sudah dapat diatasi. Prajurit Mataram datang tepat pada waktunya." jawab Kiai Gringsing.
"Kami sudah mendengar laporannya disini. Syukutlan bahwa semuanya selamat." berkata pemimpin prajurit itu.
Namun kemudian pemimpin prajurit itu berkata, "Nah, selamat jalan Kiai. Jaraknya tinggal sejengkal lagi. Kami akan melanjutkan tugas kami." kemudian sambil berpaling kepada Swandaru ia berkata, "Apakah kau akan singgah menemui Ki Untara?"
Swandaru menggeleng sambil menjawab, "Tidak sekarang. Besok lain kali akan menemuninya."
Demikianlah, maka iring-iringan prajurit yang sedang meronda itu telah memisahkan diri. Kemudian melanjutkan tugas mereka mengelilingi daerah yang bukan saja termasuk Kademangan Jati Anom. Tetapi jangkauan prajurit-prajurit itu jauh lebih luas lagi.
Sebenarnyalah jarak yang harus ditempuh oleh Kiai Gringsing tinggal beberapa bulak lagi. Mereka telah melampaui Tanah Cengkar yang sering disebut-sebut ditunggui oleh seekor harimau Putih. Kemudian menuju ke sebuah padepokan kecil. Di padukuhan terakhir, mereka lewat disebuah barak kecil di sudut padukuhan. Di barak itu Untara telah meletakkan sekelompok prajuritnya yang bertugas mengawasi keadaan dan dalam keadaan memaksa dapat dengan cepat mendekati padepoan kecil yang dititipkan oleh adiknya kepadanya. Meskipun di padepokan itu ada Kiai Gringsing, namun jika Kiai Gringsing itu sedang pergi, maka padepokan itu memang memerlukan sandaran kekuatan. Apalagi jika sekelompok orang datang dan berniat buruk di padepokan kecil itu sementara para pemimpinnya tidak ada.
Ketika Kiai Gringsing lewat di muka barak itu, maka ia telah menghentikan kudanya. Berbincang sejenak dengan prajurit yang bertugas jaga diregol. Kemudian melanjutkan perjalanan.
Jilid 248 KEDATANGAN mereka di padepokan kecil itu telah disambut dengan gembira oleh para cantrik yang jumlahnya memang hanya sedikit. Ki Widura yang berada di padepokan itu telah menyambut Kiai Gringsing pula di halaman. Dengan ramah Ki Widura telah mempersilahkan Swandaru untuk naik dan duduk di pendapa.
"Marilah. Silahkan" berkata Ki Wiruda, "kami persilahkan pula para pengawal."
"Biarlah mereka di serambi gandok itu saja Ki Widura." berkata Swandaru.
"Apa salahnya mereka naik juga ke pendapa?" bertanya Ki Widura.
"Mereka tentu lebih senang duduk diserambi gandok. Jika mereka harus dipendapa, maka rasa-rasanya mereka telah menjadi tamu yang sangat resmi. Tetapi di serambi gandok mereka dapat duduk seenaknya. Bahkan mungkin berbaring diamben besar itu." berkata Swandaru.
"O" Ki Widura mengangguk-angguk, "jika demikian, silahkanlah."
Sementara Swandaru duduk di pendapa bersama Kiai Gringsing dan Ki Widura, para cantrik telah dengan cepat merebus air dan menanak nasi. Tamu mereka cukup banyak. Tidak hanya seorang saja.
Meskipun belum terlalu malam, namun Kiai Gringsing minta Swandaru untuk bermalam saja di padepokan kecil itu. Besok pagi-pagi ia dapat kembali ke Sangkal Putung.
"Tetapi jaraknya tinggal selangkah lagi." berkata Swandaru.
"Bermalam saja disini." desis Kiai Gringsing.
Swandaru tidak mau mengecewakan gurunya. Iapun telah bermalam di padepokan kecil itu meskipun jarak Jati Anom dan Sangkal Putung sudah dekat.
Namun malam itu ternyata berarti juga bagi Swandaru. Kiai Gringsing ternyata tidak langsung beristirahat setelah berbenah diri dan makan malam. Ia masih memberikan sedikit waktu untuk bersama-sama dengan Swandaru melihat-lihat isi kitab yang dibawa oleh muridnya itu.
Dengan kesabaran seorang guru, Kiai Gringsing memberikan beberapa petunjuk kepada Swandaru, apa yang harus dilakukan meskipun kadang-kadang Swandaru merasa dirinya telah cukup dewasa dalam penguasaan ilmunya. Namun setiap kali Swandaru harus mengangguk-angguk saat gurunya mampu langsung menuding kekurangannya. Bahkan beberapa pertanyaan Kiai Gringsing tentang beberapa hal yang berhubungan dengan ilmu cambuknya tidak dapat dijawab oleh Swandaru.
"Nah." berkata Kiai Gringsing, "bukankah kau masih harus membaca ulang berkali-kali untuk mengetahui apa yang harus kau lakukan" Kau tidak dapat dengan serta merta turun ke sanggar tanpa mengerti apa yang harus kau lakukan. Bahkan laku itu harus kau tempuh tidak hanya disanggar saja. Tetapi juga ditempat-tempat terbuka."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Guru. Sudah agak lama aku memang tidak membuka kitab ini, karena kitab ini berada di Tanah Perdikan Menoreh."
"Seandainya kitab ini ada padamu, apakah kau juga akan membaca bagian-bagian yang tadi aku tunjukkan sebelum aku minta kepadamu untuk meningkatkan tataran ilmu cambukmu?" bertanya Kiai Gringsing.
Swandaru menundukkan kepalanya. Katanya, "Mudah-mudahan aku dapat melakukan petunjuk Guru."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Swandaru sengaja menghindari pertanyaannya. Namun Kiai Gringsing tidak ingin menyudutkannya, sehingga karena itu orang tua itupun mengangguk-angguk sambil berkata, "Swandaru. Aku sudah terlalu tua. Karena itu, maka kau masih mendapat sedikit kesempatan untuk berbicara tentang ilmu cambuk itu jika kau mengalami kesulitan."
"Tetapi keadaan guru masih sangat baik." berkata Swandaru.
"Nampaknya memang demikian. Namun aku akan selalu mohon kepada Yang Maha Agung agar aku selalu mendapat kurnia kesehatan daripada-Nya. Meskipun demikian, maka seperti berkali-kali aku katakan, maka jalanku sudah hampir sampai." sahut Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk kecil. Namun didalam hati ia berkata, "Tidak ada jalan lain yang dapat aku tempuh selain melaksanakan perintah Guru selagi Guru masih dapat berbuat sesuatu bagi murid-muridnya. Tetapi seharusnya Guru berbuat lebih banyak bagi kakang Agung Sedayu."
Namun Swandaru tidak mengatakannya. Agaknya gurunya itu telah mengatakannya sendiri langsung kepada Agung Sedayu, apa yang harus dilakukannya sebagaimana gurunya memberi petunjuk kepadanya.
"Aku mempunyai keuntungan yang tidak ada pada kakang Agung Sedayu." berkata Swandaru, "jarak antara Sangkal Putung dan Jati Anom cukup pendek, sehingga kapan aku memerlukan, aku dapat datang kemari untuk mendapat tuntunan langsung dari Guru. Agaknya hal seperti itu tidak dapat dilakukan oleh kakang Agung Sedayu."
Demikianlah malam itu Swandaru mendapat banyak sekali petunjuk dari gurunya, apa yang harus dilakukannya. Bagaimana sebaiknya ia membagi waktu antara kepentingannya sendiri dalam olah kanuragan serta kepentingan Kademangannya.
"Kau memang tidak boleh meninggalkan kepentingan Kademanganmu begitu saja. Namun jika kau merasa letih setelah bekerja keras bagi peningkatan ilmumu, maka kau dapat memberikan perintah-perintah saja kepada para pengawal serta anak-anak muda yang sebelumnya telah mendapat latihan-latihan khusus, baik dalam mengolah tanah pertanian, mengatur air dan terlebih-lebih lagi mengatur ketertiban. Selain dari itu, maka peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan dapat kau tarik sebagai satu pengalaman yang berharga bagi Kademanganmu." pesan Kiai Gringsing. Lalu katanya pula, "Dengan demikian maka kau memang akan menghadapi tugas yang sangat berat. Baik bagi dirimu sendiri, maupun bagi kademanganmu. Namun hal itu akan menjadi pelengkap dari masa-masa pembajaan dirimu yang belum tuntas."
Swandaru rnengangguk kecil. Katanya, "Ya Guru. Aku sudah dapat membayangkan tugas-tugas berat yang akan aku hadapi itu. Tetapi aku tidak akan ingkar."
"Bagus Swandaru." berkata Kiai Gringsing, "sejak semula aku memang yakin bahwa kau tidak akan segan melakukan tugas yang betapapun beratnya."
Swandaru rnengangguk pula. Ia sudah membayangkan kerja keras yang harus dilakukannya. Tetapi ia sudah bertekad untuk menempuhnya, karena Swandaru benar-benar ingin meningkatkan ilmu cambuknya setelah gurunya memberikan banyak penjelasan. Demikianlah, maka malam itu Swandaru telah mendapat banyak sekali bahan yang sangat berarti baginya. Ketika ia kemudian memasuki biliknya, maka rasa-rasanya bekalnya sudah menjadi lengkap.
Pagi-pagi benar Swandaru telah bangun. Ia ingin berangkat sebelum panas matahari terasa gatal dikulit. Ketika ia dan para pengawalnya telah siap, maka ia sekali lagi mohon restu gurunya untuk menempuh dan memulai dengan kerja besarnya itu.
"Berangkatlah. Kau masih cukup muda untuk melakukan langkah-langkah besar. Mudah-mudahan kau berhasil." berkata gurunya.
Disaat matahari terbit, maka Swandaru dan para pengawalnya telah meninggalkan padepokan kecil itu kembali ke Sangkal Putung. Kedatangan Swandaru memang agak mengejutkan. Matahari baru mulai naik ketika kudanya memasuki regol halaman. Keluarganya di Sangkal Putung kemudian hanya dapat mengangguk-angguk ketika mereka tahu, bahwa Swandaru telah bermalam di padepokan Kiai Gringsing.
"Ki Gede sangat bergembira mendengar keadaanmu." berkata Swandaru kepada isterinya, "ia berharap bahwa segalanya akan dapat berlangsung dengan selamat. Ki Gede berharap agar kau menjaga bakal anakmu dengan sebaik-baiknya."
Pandan Wangi tersenyum. Sebenarnyalah ia merasa sangat rindu kepada ayahnya di Tanah Perdikan. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak akan dapat menempuh perjalanan yang demikian jauhnya. Namun sebenarnyalah ia sangat berharap ayahnya dapat datang pada saatnya. Tetapi Pandan Wangipun menyadari apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Swandaru kemudian sempat bercerita kepada keluarganya di Sangkal Putung tentang Tanah Perdikan.
"Tetapi semuanya ternyata selamat." berkata Swandaru, "bahkan Sekar Mirahpun sempat berhadapan dengan salah seorang diantara orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itu, karena orang itu berniat membakar rumah Ki Gede."
"Syukurlah." berkata Ki Demang, "tetapi apakah Sekar Mirah tidak berniat untuk sekali-sekali datang kemari" Apalagi menjelang kelahiran kemenakannya?"
"Ia akan berusaha ayah. Tetapi sebagaimana telah aku ceritakan, keadaan di Tanah Perdikan itu belum tenang benar. Sementara itu kakang Agung Sedayu nampaknya mempunyai peranan yang besar di Tanah Perdikan itu. Tetapi jika ada kesempatan, mereka sudah berjanji akan datang. Namun agaknya harus bergantian antara Ki Gede dan Kakang Agung Sedayu." jawab Swandaru.
Ki Demang mengangguk-angguk. Ia memang dapat membayangkan ancaman yang masih saja berbahaya bagi Tanah Perdikan.
Sebenarnyalah saat itu Tanah Perdikan telah mulai sibuk berbenah diri. Ki Gede telah berusaha untuk menghapuskan semua bekas luka yang terjadi atas Tanah Perdikan. Sementara para pengawal masih saja bekerja keras untuk mengamati keadaan. Banyak kemungkinan dapat terjadi atas Tanah Perdikan itu dengan alasan yang bermacam-macam pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu telah menyempatkan diri untuk berbicara secara khusus dengan Ki Waskita dan Ki Jayaraga tentang perintah gurunya untuk meningkatkan ilmunya tanpa menyebut alasannya. Agung Sedayu hanya mengatakan bahwa Kiai Gringsing masih menganggap jangkauan kemampuannya masih belum mencukupi.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Gurumu memang orang luar biasa Agung Sedayu. Aku kira kau patut melakukan perintah gurumu itu. Sudah barang tentu aku bersedia membantumu jika diperlukan. Bukan membantumu meningkatkan ilmumu, karena aku kira, aku sudah tidak akan mampu lagi, karena ilmumu sudah ada pada tataran yang lebih baik dari ilmuku, tetapi aku dapat membantumu dalam tugas-tugasmu di Tanah Perdikan ini, karena sebenarnyalah aku juga tidak banyak mempunyai pekerjaan di rumah."
"Ah." desah Agung Sedayu, "Ki Waskita terlalu memujiku. Sebenarnyalah ilmuku bukan apa-apa dibandingkan dengan ilmu Ki Waskita."
Tetapi Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Agung Sedayu. Kau tentu tahu, bahwa diantara kita, kita telah saling mengenali takaran ilmu kita masing-masing. Bagiku kau adalah cermin dari gurumu. Agaknya Kiai Gringsing berpegang pada satu pendirian, bahwa seorang murid harus lebih baik dari gurunya. Baru dengan demikian tataran dari satu perguruan akan meningkat."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Jayaraga berkata, "Aku sependapat Agung Sedayu. Aku yang setiap hari berkumpul denganmu, sudah barang tentu mengetahui dengan pasti tataran kemampuanmu. Seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, kau adalah cermin dari gurumu. Maksud kami, kau telah berada pada tataran gurumu dalam olah kanuragan. Bahkan dalam olah kajiwan."
"Tentu belum Ki Jayaraga." jawab Agung Sedayu dengan serta merta.
"Jika terpaut, maka selisih itu sudah dapat diabaikan. Aku berkata sejujurnya tanpa maksud apa-apa sebagaimana Ki Waskita." berkata Ki Jayaraga, "kaupun harus menyadari Agung Sedayu, bahwa akupun memiliki sedikit pengetahuan tentang olah kanuragan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. sementara Ki Waskita berkata, "Kau memang wajib melakukannya."
Agung Sedayu rnengangguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku memang harus melakukannya. Tetapi aku benar-benar mohon bantuan karena sebagian waktuku akan aku pergunakan untuk kepentinganku sendiri. Justru pada saat-saat seperti ini."
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Aku akan berada di sini untuk beberapa lama. Tetapi karena rumahku tidak terlalu jauh, maka aku akan dapat hilir mudik tanpa kesulitan. Sementara itu Ki Jayaraga tentu akan selalu siap bersama Glagah Putih untuk berbuat apa saja di Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu rnengangguk sambil berkata, "Terima kasih Ki Waskita. Namun dengan demikian aku berpikir juga tentang Glagah Putih, meskipun anak itu juga sudah mempunyai pegangan ilmu yang cukup. Selain aku dan Ki Jayaraga yang menuntunnya, anak itu telah berkenalan dan berkawan akrab dengan Raden Rangga yang sangat berpengaruh bagi kemampuannya. Raden Rangga tidak memberikan terlalu banyak pengetahuan kepada Glagah Putih, juga dalam olah kanuragan. Tetapi ia mampu meningkatkan ilmu Glagah Putih jauh lebih cepat dari yang sewajarnya tanpa merugikan keadaan wadagnya."
"Tetapi kau memerlukan waktu bagi dirimu sendiri Agung Sedayu." berkata Ki Jayaraga, "selama ini seakan-akan kau tidak pernah memikirkan dirimu karena hampir seluruh waktumu kau serahkan kepada Tanah Perdikan ini. Namun selagi kesempatan itu ada, serta gurumu telah memberimu peringatan, maka sebaiknya kau menyempatkan diri untuk menjalani laku itu. Bukankah kau tidak akan pergi ke mana-mana" Kau akan tetap berada dirumah. Setiap saat kau masih selalu dapat berhubungan dengan Tanah Perdikan ini seperti biasanya."
Agung sedayu mengangguk-angguk. Dengan suara yang dalam ia berkata, "Aku berterima kasih kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Semoga aku berhasil memenuhi keinginan guruku dalam waktu yang tidak terlalu lama, karena sebagaimana kita ketahui keadaan guru yang sudah sangat tua itu dapat berubah-ubah setiap saat. Kadang-kadang Guru nampak sehat dan segar. Namun di saat lain nampak lemah dan sakit-sakitan."
"Tetapi kita berdoa, mudah-mudahan Kiai Gringsing mendapat umur yang panjang." desis Ki Jayaraga.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tahu bahwa segala-galanya memang tergantung kepada kemurahan Yang Maha Agung. Hanya kepada-Nyalah ia dapat memohon, apapun usaha yang wajib dilakukan oleh seseorang.
Dengan bekal kesediaan orang-orang tua di Tanah Perdikan itu untuk mengambil alih sebagian dari tugas-tugasnya, maka Agung Sedayu telah mempersiapkan diri untuk menjalani laku terakhir ilmu cambuk, ciri dari perguruan Orang Bercambuk. Namun seperti yang dikatakan oleh gurunya, maka ia memerlukan waktu, tenaga, pikiran dan niat untuk melakukannya.
Karena itu, maka ia merasa wajib untuk berbicara lebih dahulu kepada Ki Gede Menoreh, agar tidak menimbulkan dugaan yang salah terhadap dirinya, seakan-akan ia telah menarik diri dengan diam-diam dari kegiatan di Tanah Perdikan itu.
Ketika ia menyatakan hal itu, maka hampir berbarengan Ki Waskita dan Ki Jayaraga menyahut, "Tentu."
"Itu kewajibanmu." sambung Ki Jayaraga kemudian. Lalu, "Selama ini kau telah bekerja keras di Tanah Perdikan ini, sehingga bagi Ki Gede, kau merupakan bagian dari isi hidupnya sehari-hari."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Rasa-rasanya jalan yang terentang dihadapannya menjadi semakin terang. Meskipun ia tahu jalan itu licin, berbatu tajam dan menanjak. Tetapi sejak semula ia tahu, itulah jalan yang harus ditempuh bagi siapapun yang ingin menuntut ilmu apapun juga. Ilmu itu tidak akan datang sendiri disaat kita bermalas-malas. Bahkan ilmu itu tidak akan dapat dibeli berapa harganya tanpa menjalani laku.
Demikianlah, pada kesempatan lain, Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang sudah menghadap Ki Gede untuk menyampaikan maksudnya. Ternyata Ki Gede pun sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan ia telah mendorong agar Agung Sedayu melakukan perintah itu dengan sebaik-baiknya.
"Meskipun kita dalam keadaan gawat, namun bukankah kau setiap saat dapat turun untuk melakukan tugas-tugasmu jika diperlukan" Bahkan peningkatan ilmumu akan berarti juga bagi Tanah Perdikan ini." berkata Ki Gede.
Tetapi Agung Sedayu berkata di dalam hatinya, "Guru berpesan, agar aku mempelajari ilmu cambuk itu sampai tuntas tanpa harus dipergunakan. Namun dalam keadaan yang tidak terelakkan, maka Guru cukup bijaksana, khususnya dalam tugasku sebagai saudara tua Swandaru."
Namun kepada siapapun juga Agung Sedayu tidak pernah mengatakan tugas khususnya itu, karena agaknya hal itu sifatnya sangat pribadi baginya, yang akan langsung menyangkut citra perguruan dari Orang Bercambuk, yang pada hakekatnya hanya berisi tiga orang itu. Gurunya, dirinya sendiri dan Swandaru. Orang-orang yang berada di padepokan kecil di Jati Anom, bukanlah murid yang sebenarnya dari perguruan Orang Bercambuk. Namun para cantrik itu telah mendapat banyak sekali pengetahuan tentang hidup dan kehidupan secara umum, meskipun serba sedikit mereka juga mendapat tuntunan olah kanuragan. Karena itu, Agung Sedayu memang mulai tertarik kepada pendapat Kiai Gringsing tentang adik sepupunya.
Tetapi semuanya itu masih disimpulkan didalam hati. Ia masih harus berpikir berulang kali untuk menurunkan ilmu ciri dari perguruan Orang Bercambuk kepada Glagah Putih yang mewarisi ilmu dari padanya tetapi dari jalur ilmu Ki Sadewa, yang di pelajarinya dari dinding goa yang diketemukannya tanpa sengaja. Namun sudah barang tentu bahwa perguruan Orang Bercambuk itu tidak boleh terputus hanya sampai pada batas dirinya dan Swandaru. Mungkin Swandaru telah menemukan tempat untuk menuangkan ilmunya jika anaknya lahir kelak dan menjadi semakin besar.
Agung Sedayu tiba-tiba saja melihat kepada dirinya dan keluarganya. Isterinya masih belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan seorang anak seperti Pandan Wangi. Namun segala-galanya telah dikembalikannya kepada Yang Maha Agung dengan iklas.
Demikianlah, maka kesempatan memang telah terbuka bagi Agung Sedayu. Ijin Ki Gede telah menguatkan tekadnya. Sebenarnyalah ia tidak akan meninggalkan Tanah Perdikan, sehingga dalam keadaan yang gawat ia masih akan dapat berbuat sebagaimana biasa.
Dalam pada itu Agung Sedayupun telah berbicara pula dengan Glagah Putih dan Prastawa. Mereka akan mendapat beban yang lebih berat dari sebelumnya, karena Agung Sedayu mendapat tugas dari perguruannya.
"Tetapi aku masih akan dapat memberikan sebagian waktuku bagi Tanah Perdikan ini. Tetapi tidak sebanyak hari-hari yang lalu. Mudah-mudahan aku dapat menyelesaikan tugasku dalam setengah tahun ini, sehingga untuk selanjutnya aku tinggal menyempurnakannya dan tidak akan makan waktu terlalu banyak, meskipun akan memerlukan pemusatan nalar budi." berkata Agung Sedayu.
"Kami akan berbuat sebaik-baiknya kakang." berkata Glagah Putih, "mudah-mudahan tugas kakang dari perguruan kakang itu tidak akan terganggu."
"Terima kasih." jawab Agung Sedayu, "dengan demikian kalian telah membantuku dalam tugas-tugasku bukan saja bagi Tanah Perdikan ini, tetapi juga bagi tugas-tugasku pribadi."
"Kau sudah memberikan banyak sekali bagi Tanah Perdikan ini Agung Sedayu." berkata Prastawa, "peningkatan ilmumu akan sangat berarti pula bagi Tanah Perdikan ini."
Dengan demikian, maka hati Agung Sedayu terasa menjadi ringan. Iapun kemudian telah mempersiapkan dirinya baik-baik lahir dan batin, dengan dorongan Sekar Mirah yang ikut berbangga atas kemungkinan yang bakal di capai oleh suaminya, maka niat Agung Sedayu menjadi semakin mantap.
Menjelang saat Agung Sedayu menjalani laku, maka disetiap malam ia telah mengadakan persiapan khusus didalam sanggarnya. Tiga malam berturut-turut Agung Sedayu telah memusatkan nalar budi, bersamadi untuk mohon tuntunan kepada Yang Maha Agung, langkah-langkah yang manakah yang sebaiknya dijalani.
Dihari keempat Agung Sedayu telah mandi keramas dengan landa merang, sebagai satu pernyataan kesiagaannya menempuh laku untuk meningkatkan ilmunya sebagaimana yang diharapkan oleh gurunya. Namun seperti gurunya, Agung Sedayupun berdoa, semoga ia tidak perlu mempergunakan ilmu yang nggegirisi itu.
Dalam pada itu, di Sangkal Putung, Swandarupun telah mempersiapkan diri. Ia memang sendiri di Sangkal Putung. Berbeda dengan Agung Sedayu yang mempunyai beberapa kawan yang dapat mengambil alih tugasnya. Satu-satunya orang yang memiliki kemampuan yang tinggi disamping Swandaru adalah Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi masih menunggu kelahiran bayinya yang pertama.
Namun seperti juga Sekar Mirah, maka Pandan Wangipun merasa gembira bahwa suaminya telah bertekad untuk meningkatkan ilmunya bukan saja perkembangan menurut pengalamannya yang memang panjang, tetapi sesuai dengan tuntunan ilmu dari perguruannya. Dengan demikian maka landasan ilmunya itu akan menjadi semakin mapan, sehingga perkembangannya tentu akan jauh lebih baik dari saat-saat sebelumnya.
Sebenarnya Pandan Wangi sendiri telah lama menyimpan keinginan yang demikian. Ketika ia sendiri mulai merambah kemampuan ilmu Tanah Perdikan Menoreh yang diturunkan oleh ayahnya Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh ke intinya, sehingga mampu menyadap kekuatan alam langsung menyusup kedalam getaran ilmunya, sehingga ia mampu meraba dan bahkan menyerang tanpa sentuhan wadagnya, ia sudah ingin minta suaminya melakukannya. Tetapi nampaknya Swandaru saat itu belum tertarik. Bahkan suaminya sama sekali tidak menghiraukan ketika Pandan Wangi menyampaikan gejala peningkatan ilmunya itu, sehingga karena itu maka Pandan Wangi sendiri menjadi lamban maju. Ia kurang bersungguh-sungguh sambil menunggu suaminya menyadari pentingnya meningkatkan ilmunya. Tetapi pada saat Swandaru berniat untuk mulai, Pandan Wangi sedang mengandung.
Tetapi hal itu tidak mengurangi kebanggaan Pandan Wangi terhadap suaminya serta terima kasihnya kepada Kiai Gringsing, guru suaminya itu karena telah berhasil menggelitik Swandaru untuk meningkatkan ilmunya. Meskipun Swandaru menyebutnya sebagai satu perintah.
Seperti Agung Sedayu, maka Swandarupun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dirinya sendiri serta tugas-tugasnya di Kademangan Sangkal Putung. Ia telah memanggil dan memberikan pesan-pesan tertentu kepada para pemimpin pengawal disetiap padukuhan. Iapun telah memerintahkan beberapa orang terpilih untuk melakukan bagian dari tugas-tugas yang pernah dilakukannya.
"Semua harus berjalan baik, wajar dan tidak berubah." berkata Swandaru kepada mereka, "kehidupan harus meningkat lebih baik meskipun perlahan-lahan seperti yang telah kita bina selama ini."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, "Waktuku bagi Kademangan ini akan berkurang. Di pagi hari aku dapat melakukan tugas-tugasku bagi Kademangan ini seperti biasa. Tetapi hanya sampai tengah hari. Kalianlah yang harus melanjutkan tugas-tugas itu. Jika aku memanggil kalian sekarang, maka agar kalian bersiap-siap untuk bekerja lebih keras. Namun kalian dapat membagi tugas itu dengan kawan-kawan kalian, sehingga kehidupan di Kademangan ini tidak mengalami kemunduran karena aku tidak dapat melakukan tugas-tugasku seperti biasanya."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Kami akan mencoba melakukan dengan sebaik-baiknya."
"Kalian harus menjadi dewasa. Tidak selamanya tergantung kepadaku." berkata Swandaru. Lalu katanya, "Ayah sudah menjadi semakin tua. Tetapi ia akan mengawasi tugas-tugas kalian."
Kesediaan anak-anak muda itu membuat Swandaru merasa lebih mantap. Iapun yakin bahwa anak-anak muda itu dibawah pengawasan dan pengarahan ayahnya akan dapat menjalankan sebagian dari tugas-tugasnya, karena dipagi hari, Swandaru masih dapat melakukan tugasnya seperti biasa. Namun ia harus lebih banyak menghemat tenaga bagi latihan-latihannya yang tentu akan terasa berat di hari-hari pertama.
Sebelum anak-anak muda itu meninggalkannya, Swandaru masih sempat berkata, "Penjagaan di malam hari harus lebih di tingkatkan. Peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan harus menjadi pelajaran bagi kita. Madiun akan mulai mengurangi sedikit demi sedikit dukungan atas Mataram, serta sumber kekuatan Mataram yang dianggap penting."
Dengan demikian, maka Swandaru telah melakukan persiapan sebaik-baiknya. Bagi dirinya sendiripun Swandaru telah melakukan persiapan lahir dan batin. Atas pesan ayahnya, maka Swandaru akan mulai dengan latihan-latihannya yang berat itu tepat pada hari kelahirannya yang memang selalu diperingatinya betapapun sederhananya setiap selapan hari sekali.
Namun dalam pada itu, Swandaru sama sekali tidak menduga bahwa di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu juga melakukan persiapan untuk meningkatkan ilmunya. Swandaru mengira bahwa karena kitab dari gurunya ada padanya, maka Agung Sedayu harus menunggunya. Karena itu, kepada Pandan Wangipun ia berkata bahwa ia telah mendapat kesempatan pertama untuk meningkatkan ilmunya.
"Bukan maksudku untuk terlalu mementingkan diri sendiri." berkata Swandaru, "aku hanya memikirkan waktu. Jika kitab ini masih ada pada kakang Agung Sedayu, berapa tahun ia akan sampai pada tataran yang sama dengan tataran yang pernah aku capai. Tetapi jika aku mempergunakannya lebih dahulu, maka aku kira dalam waktu setengah tahun, aku sudah dapat menyerahkan kitab ini kepada kakang Agung Sedayu, sementara aku hanya tinggal menyempurnakannya. Baru kelak aku masih harus mengambil tingkatan terakhir dari ilmu cambuk itu. Tetapi tentu tidak terlalu tergesa-gesa. Umurku belum terlalu tua. Sementara itu mudah-mudahan ilmu kakang Agung Sedayupun sudah meningkat pula. Agaknya ia sekarang tidak akan dapat mengelak setelah Guru langsung mencambuk kami dengan perintah untuk meningkatkan ilmu. Menurut Guru, kakang Agung Sedayu terlalu ingin ilmunya melebar. Ia mengenal beberapa jenis ilmu, tetapi semuanya mengambang, sehingga Guru langsung memerintahkannya untuk memperdalam ilmu cambuknya."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ia ragu-ragu mendengar keterangan suaminya, karena menurut pendengarannya dari orang lain, bahkan dari Sekar Mirah, ilmu Agung Sedayu sudah jauh meningkat. Bahkan beberapa jenis ilmu telah dikuasainya dengan baik.
Tetapi Pandan Wangi tidak mau mengecewakan suaminya. Ia berharap bahwa pada suatu saat suaminya akan dapat mengetahuinya. Bahkan Pandan Wangi agak menyesali Kiai Gringsing yang tidak berterus terang kepada murid-muridnya, meskipun Pandan Wangi mengetahui, bahwa Kiai Gringsing yang hatinya terlalu lembut itu tidak sampai hati melakukannya dengan serta merta sebagaimana hati Agung Sedayu yang tertutup.
Namun bahwa Swandaru telah berniat meningkatkan ilmunya itu, hati Pandan Wangi telah menjadi berkembang dengan harapan-harapan.
Karena Swandaru menunggu hari kelahirannya yang masih akan datang hampir dua pekan lagi, maka ternyata bahwa Agung Sedayu telah mulai lebih dahulu. Setelah ia menyelesaikan samadinya yang dilakukan tiga malam dan kemudian mandi keramas dengan landa merang, maka iapun telah memulainya dengan menyentuh ilmu cambuknya. Ia tidak langsung memasuki tataran berikutnya.
Tetapi ia mulai dengan tataran yang telah dikuasainya untuk memanaskan darahnya. Ia memang telah menyediakan waktu sepekan untuk memanasi bukan saja darahnya, tetapi niatnya, kemauannya dan tekadnya.
Agung Sedayu tidak melakukan latihan-latihannya didalam sanggarnya yang akan dapat mengganggu ketenangan tetangga-tetangganya jika ia mempergunakan tenaga wadagnya sehingga cambuknya meledak-ledak sebelum ia memasuki tingkat kemampuan yang lebih tinggi. Karena itu, maka hari-hari pertama ia memanasi tubuhnya, maka Agung Sedayu telah memanjat lereng bukit dan mencari tempat dibalik sebuah puncak kecil di pegunungan Menoreh.
Agung Sedayu telah memilih tempat yang tidak pernah dikunjungi orang, dibatasi oleh tebing-tebing yang terjal meskipun tidak terlalu tinggi. Kemudian hutan yang mengelilinginya bagaikan dinding batas sebuah sanggar alam raksasa. Hutan pegunungan.
Dihari-hari pertama Glagah Putih sempat mengikuti dan menunggui latihan-latihan yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Sengaja Agung Sedayu membawanya untuk menggelitik perhatian Glagah Putih pada ilmu cambuk dari perguruan Orang Barcambuk. Meskipun Glagah Putih telah memiliki beberapa jenis ilmu yang tinggi, yang sudah dapat diandalkan bahkan sudah melampaui takaran bagi anak-anak muda seumurnya, namun bagi masa depan Agung Sedayu berharap bahwa ilmu cambuknya tidak akan hilang begitu saja.
Dengan penuh perhatian, Glagah Putih melihat, bagaimana Agung Sedayu mulai dengan latihan-latihannya yang berat. Ia mulai dari unsur-unsur gerak pertama dari ilmu cambuknya. Karena itu, maka di balik puncak sebuah bukit kecil di pegunungan Menoreh, diantara tebing-tebing batu padas serta dikelilingi oleh hutan pegunungan, bergema ledakan-ledakan cambuk yang menggetarkan telinga. Beberapa kali suara ledakan itu bagaikan mengguncang batu-batu padas. Namun yang nampak dan yang terdengar itu sebenarnya baru kulit dari ilmu cambuk yang nggegirisi itu.
Ketika Agung Sedayu kemudian meloncat ketebing bukit dan mengayunkan ujung tombaknya mengenai tebing berbatu padas, maka batu-batu padas itupun telah berguguran. Kedahsyatan ilmu cambuk Agung Sedayu ternyata membuat Glagah Putih tercengang. Ia memang mengagumi Agung Sedayu. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu lebih dahsyat dari yang diduganya. Pada tataran pertama ilmu cambuknya, kekuatan ledakannya telah mampu memecahkan batu-batu padas.
Setingkat demi setingkat, Agung Sedayu telah memanjat ketataran ilmu yang lebih tinggi. Semakin lama semakin tinggi, sehingga pada suatu batas tertentu, suara ledakan cambuknya memang mulai susut. Pada saat-saat yang demikian Agung Sedayu telah menghentikan latihan-latihannya di hari-hari pertama. Iapun kemudian duduk di atas sebuah batu. Dengan gerakan-gerakan khusus ia telah mengatur pernafasannya sehingga ketika kedua telapak tangannya terkatup didepan dadanya, maka rasa-rasanya tubuhnya telah menjadi segar kembali. Demikian kedua telapak tangannya itu turun dan akhirnya terurai, maka Agung Sedayupun telah bangkit berdiri dan melangkah mendekati Glagah Putih.
"Luar biasa." desis Glagah Putih, "itu baru alas dari ilmu cambuk itu kakang."
"Kaupun memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kau telah dihempaskan ketingkat yang lebih tinggi oleh getar kekuatan didalam diri Raden Rangga, sehingga apa yang telah kau kuasai seakan-akan menjadi meningkat pada tataran yang lebih tinggi. Karena itu, jika kau pelajari ilmu cambuk ini, maka pada tataran yang pertama ini, ilmumu tentu sulit untuk dicari bandingnya. Maksudku ilmu cambuk itu." berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, "Bagaimana dengan ilmuku yang lain" Maksudku hubungannya serta lontaran kekuatan yang saling berkait."
"Itulah yang harus dipecahkan." berkata Agung Sedayu, "tetapi sejak sekarang, didalam dirimu telah tersimpan beberapa jenis ilmu yang bersumber dari perguruan yang berbeda. Dan ternyata semuanya menjadi mapan di dalam dirimu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti kakang."
"Sudah tentu segala sesuatunya harus dijalani dengan laku. Dengan merenungi batasan-batasannya, mengasah nalar budi, mencari dan menelurusi kemungkinan-kemungkinan baru lagi. Dengan bekerja keras maka segalanya akan dapat dipecahkan." berkata Agung Sedayu.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang berpengharapan untuk lebih maju lagi. Ia ingin mendapatkan ilmu yang setinggi-tingginya. Meskipun ia sadar, akan keterbatasannya sebagaimana selalu diperingatkan oleh kakaknya, Agung Sedayu. Namun dengan ilmu yang lebih tinggi, maka ia akan dapat memberikan pengabdian yang lebih besar bagi sesamanya. Bukan sebaliknya. Karena selama masih ada nafsu ketamakan, dimana orang-orang yang merasa dirinya lebih kuat, lebih pandai dan menguasai ilmu lebih banyak, menindas, menakut-nakuti dan dengan licik memeras sesamanya yang tidak berdaya, maka perlindungan bagi mereka masih diperlukan.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun berkata, "Namun demikian Glagah Putih, pada suatu saat kita masih harus menghadap Kiai Gringsing. Bagaimanapun juga, kita masih harus berbicara dengan menunggu restunya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa semuanya tidak akan berjalan dengan tergesa-gesa. Agung Sedayu masih memerlukan waktu untuk memasuki tataran tertinggi dari ilmu cambuknya yang diperkirakan akan memerlukan waktu pemusatan perhatian untuk itu sekitar enam bulan. Kemudian tahap pemantapan dan pematangan memerlukan waktu yang sama pula, meskipun tidak lagi akan menyita waktunya dan pemusatan perhatian seperti tengah tahun sebelumnya. Kemudian penyempurnaannya akan berjalan sepanjang waktu yang dengan sadar dimengerti, bahwa kemampuan itu tidak akan sampai pada titik sempurna.
Dalam waktu sepekan, selama Agung Sedayu seakan-akan mengulangi lagi tahap demi tahap tingkat kemampuannya, Glagah Putih telah menyaksikan dengan sungguh-sungguh. Bahkan kemudian ia telah memutuskan, seandainya Kiai Gringsing merestuinya, maka ia benar-benar akan mempelajari ilmu yang merupakan ciri khusus dari perguruan Orang Bercambuk, disamping ciri-ciri yang lain, namun tidak setajam ilmu cambuk itu.
Namun setelah sepekan, maka Agung Sedayu telah berangkat sendiri ke tempat yang jarang didatangi orang itu. Dengan hati-hati ia mulai memasuki laku pewarisan ilmu cambuk pada tataran tertinggi yang dilakukannya disanggar alam yang luas, dibalik bukit kecil di pegunungan Menoreh, dibatasi oleh lebatnya hutan pegunungan.
Agung Sedayu memang hanya mempergunakan waktu setelah lewat tengah hari sampai matahari terbenam. Tetapi hal itu dilakukannya hampir setiap hari, meskipun kadang-kadang, pada saat-saat tertentu Agung Sedayu tidak pergi ke tempat itu, tetapi ia berada didalam sanggarnya untuk mengadakan latihan-latihan khusus.
Dengan demikian, meskipun Agung Sedayu masih sempat bekerja bagi Tanah Perdikannya, tetapi waktu yang dapat diberikan telah susut cukup banyak. Namun para pemimpin Tanah Perdikan telah mengetahui alasannya, sehingga tidak terjadi salah paham.
Glagah Putih dan Prastawalah yang mengambil alih sebagian besar dari tugas-tugas Agung Sedayu. Sementara Ki Waskita dan Ki Jayaraga mengamati kerja anak-anak muda itu bersama Ki Gede sendiri. Orang-orang tua itu memang tidak lagi mampu bekerja keras seperti Glagah Putih dan Prastawa disamping anak-anak muda yang lain.
Ternyata Agung Sedayu dan Swandaru telah mulai menekuni ilmunya dalam waktu yang hampir bersamaan, namun dalam tataran yang berbeda. Dengan menghadapi kitab gurunya hampir di setiap hari, Swandarupun telah menjalani laku yang berat sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu tidak harus setiap kali menghadapi kitab gurunya, karena isinya telah terpahat dalam ingatannya, sehingga yang dilakukan memang agak lebih lancar dari yang dilakukan oleh Swandaru.
Namun dalam satu kesempatan Swandaru ternyata telah menghadap gurunya di Jati Anom. Ada sesuatu yang mendesaknya untuk melihat kemungkinan kemajuan ilmu cambuknya.
Kiai Gringsing memang agak terkejut karena kehadiran Swandaru yang tiba-tiba saja. Namun ketika Swandaru telah menyatakan kepentingannya, maka Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk sambil berkata, "Jadi kau ingin melihat, sejauh manakah kemampuan pada tataran yang kini sedang kau pelajari?"
"Ya Guru." jawab Swandaru, "rasa-rasanya aku tidak sabar menunggu sampai aku mencapai tataran yang aku tekuni itu."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Bagus. Dengan demikian aku mengerti, bahwa kau benar-benar bertekad untuk menguasainya. Aku sama sekali tidak berkeberatan menunjukkan kepadamu."
Dengan senang hati Kiai Gringsing telah membawa Swandaru kedalam sanggarnya. Kiai Gringsing memang merasa bangga atas kesungguhan Swandaru, sehingga ia tidak sabar menunggu untuk menyaksikan tingkat kemampuan yang akan dapat dicapainya setelah ia menjalani laku.
"Tetapi aku sudah terlalu tua." berkata Kiai Gringsing, "mungkin wadagku telah tidak mampu mendukung sepenuhnya lontaran kekuatan ilmu itu. Tetapi setidak-tidaknya kau dapat membayangkan apa yang dapat kau capai dengan laku yang sedang kau jalani sekarang."
"Ya Guru." jawab Swandaru, "dengan mengetahui lebih banyak tataran yang bakal dapat aku capai, maka niat dan kemauanku akan menjadi semakin tebal didalam dadaku."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan kau akan dapat mencapainya dalam waktu yang singkat."
Swandaru tidak menjawab lagi. Ia melihat Kiai Gringsing mulai mempersiapkan diri didalam sanggar. Ia telah menyediakan dua bongkah batu padas yang memang ada didalam sanggar itu. Beberapa saat kemudian maka Kiai Gringsing telah memutar cambuknya dan menempatkan diri pada tataran kemampuannya Swandaru saat itu. Dengan hentakan yang sangat kuat, maka cambuk telah meledak menghantam batu padas yang memang telah disediakan. Satu hentakan sendal pancing telah mampu memecahkan batu padas itu sebagaimana dapat dilakukan oleh Swandaru.
"Kau ada pada tataran ini sekarang Swandaru." berkata Kiai Gringsing setelah batu itu pecah.
"Ya Guru." jawab Swandaru.
"Sekarang akan aku tunjukkan kepadamu, tataran yang lebih tinggi dari tataranmu sekarang." berkata Kiai Gringsing.
Ternyata Kiai Gringsing juga tidak dapat mengatakan, bahwa tataran yang lebih tinggi itu sudah dicapai oleh Agung Sedayu. Namun sesaat kemudian Kiai Gringsingpun telah bersiap. Sekali lagi ia memutar cambuknya dan menempatkan diri pada tataran yang lebih tinggi. Dengan satu hentakan, maka cambuk itu telah pula menghantam sebongkah batu padas.
Dengan segera Swandaru melihat, betapa besar kekuatan dan kemampuan ilmu cambuk pada tataran itu. Meskipun mula-mula Swandaru agak terkejut, karena ia sama sekali tidak lagi mendengar cambuk itu meledak. Bahkan hentakan cambuk itu hampir tidak bersuara. Namun akibatnya ternyata jauh lebih besar dari ledakan cambuk yang memekakkan telinga.
Kiai Gringsing yang telah menghentakkan ilmu cambuknya pada tataran yang sedang ditekuni oleh Swandaru itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya yang tua memang kelihatan menjadi letih. Namun ia masih tersenyum sambil berkata, "Marilah, duduklah."
Keduanyapun kemudian duduk disebuah amben kecil di dalam sanggar. Dengan nada lunak Kiai Gringsing bertanya, "Bagaimana pendapatmu Swandaru?"
"Dahsyat sekali Guru. Aku menjadi semakin mantap untuk menjalani laku. Mudah-mudahan aku akan dapat mencapai tataran yang sudah Guru tunjukkan itu." jawab Swandaru.
"Kau akan dapat mencapainya jika kau bersungguh-sungguh." berkata Kiai Gringsing.
Namun Kiai Gringsing menjadi agak kecewa ketika Swandaru bertanya, "Apakah Guru dapat menunjukkan kepadaku jalan pintas. Jalan yang lebih dekat sampai ketataran itu, sehingga aku tidak akan mempergunakan waktu terlalu banyak."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia menjawab, "Swandaru. Semakin tinggi tingkat satu ilmu, maka laku yang harus ditempuhpun menjadi semakin berat. Kau dapat saja mencari jalan pintas. Kau dalam ujud kewadagan memang akan dapat melakukan sebagaimana aku lakukan yang terakhir. Tetapi kau akan memaksa diri. Setiap hentakan kekuatan akan dapat mengganggu bagian dalam tubuhmu, sehingga semakin sering kau lakukan, maka keadaan bagian dalam tubuhmu menjadi semakin buruk. Karena itu, yang paling baik kau harus menjalani laku sebagaimana seharusnya. Pada saatnya kau akan dapat sampai ketujuan dengan aman dan sama sekali tidak menyakiti bagian dalam tubuhmu sendiri, apalagi jika keadaannya menjadi parah. Jantungmu akan dapat terbakar sehingga kau akan dapat kehilangan segala-galanya."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sambil membungkuk hormat ia berkata, "Ampun Guru. Aku tidak bersungguh-sungguh ingin mengurangi laku yang harus aku jalani. Aku hanya ingin mempercepat, karena rasa-rasanya aku sudah tidak sabar lagi. Maksudku, apa ada laku yang waktunya saja lebih cepat, meskipun laku itu menjadi lebih berat."
"Sudahlah." berkata Kiai Gringsing, "lakukan saja apa yang harus kau lakukan. Itu adalah jalan yang paling aman dan paling baik bagimu."
Swandaru tidak mempunyai pilihan lain. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab, "Ya Guru. Aku akan melakukan yang terbaik."
"Bagus. Kitab itu tidak disusun dalam satu dua hari. Atau sambil menerawang melihat awan yang lewat di wajah langit. Tetapi kitab itu disusun berdasarkan pengalaman yang panjang serta pengetahuan yang luas. Karena itu, maka sampai saat ini, cara yang tertulis dalam kitab itulah yang terbaik. Bukan berarti bahwa isi kitab itu sebagai satu pernyataan mati. Jika pada suatu saat ditemukan cara yang lebih baik, sudah barang tentu, akan ada kitab yang lebih baik dari kitab yang sekarang ini ada padamu." berkata Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku mengerti Guru."
"Nah, jika demikian kau tahu pasti, apa yang harus kau lakukan untuk mencapai satu sasaran yang sudah kau ketahui pula." berkata Kiai Gringsing.
"Ya Guru. Aku akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya sehingga dalam waktu yang paling cepat dapat aku lakukan, aku dapat menyerahkan kitab itu kembali kepada kakang Agung Sedayu, agar kakang Agung Sedayu berkesempatan untuk mempelajarinya pula. Tetapi jika kakang Agung Sedayu tetap tidak begitu berminat dan seperti yang Guru katakan belajar terlalu melebar tetapi tanpa ada satupun yang dikuasainya dengan baik, maka ia akan menjadi semakin ketinggalan." berkata Swandaru.
"Jangan cemaskan kakangmu itu. Aku sudah menyerahkannya kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga untuk mencambuknya jika ia masih saja terlalu malas." berkata gurunya, "dengan demikian, maka ia akan berbuat lebih banyak dari yang sudah-sudah."
"Tetapi apa yang dapat dilakukannya" Kitab itu ada padaku sekarang." sahut Swandaru.
"Ia sudah memiliki dasar ilmu itu. Ia akan dapat mengembangkannya dan mematangkannya pada satu tataran." berkata Kiai Gringsing.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Guru. Mungkin pada saat-saat lain, jika aku menemui kesukaran dalam menjalani laku, aku akan lari kemari. Mudah-mudahan dengan demikian usahaku akan dapat berjalan lancar."
"Baiklah Swandaru." jawab Kiai Gringsing, "sampai sekarang aku tetap gurumu. Aku tidak akan ingkar akan kewajibanku. Hanya karena aku sudah terlalu tua, maka aku tidak dapat melakukannya seperti saat-saat aku masih lebih banyak menyimpan tenaga kewadagan dari sekarang."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Swandarupun telah minta diri. Karena jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung tidak terlalu jauh, maka Swandaru memang akan dapat hilir mudik jika ia memerlukannya.
Namun Kiai Gringsing masih juga sempat berpesan, "Tetapi bagaimanapun juga kau tenggelam dalam pendalaman ilmu, namun kau tidak boleh lengah. Persoalan antara Mataram dan Madiun nampaknya menjadi semakin tajam."
"Ya Guru." jawab Swandaru, "para pengawal Kademangan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Nampaknya kakang Untara pun telah memasuki kademangan-kademangan yang sampai sekarang sulit untuk menapak maju."
"Aku memang sudah mendengar." jawab Kiai Gringsing, "Yang dilakukan Untara itu adalah bayangan dari keadaan yang sesungguhnya yang terjadi di Mataram."
Swandaru dapat mengerti pesan gurunya. Dan iapun memang sudah bersiap-siap sepenuhnya jika terjadi sesuatu. Kegiatannya bagi dirinya sendiri diharapkannya tidak mempengaruhi kesiagaan Kademangan Sangkal Putung menghadapi keadaan.
Sejenak kemudian, maka Swandaru telah berderap meninggalkan Jati Anom kembali ke Kademangannya. Sementara di dalam angan-angannya selalu terbayang tingkat kemampuan yang akan dicapainya jika ia selesai menjalani laku.
Dalam pada itu, selagi murid-murid Kiai Gringsing sibuk dengan pendalaman ilmu mereka, maka Kiai Gringsing yang tua itu telah menyempatkan diri mengunjungi Untara, karena ia masih belum dapat berhubungan langsung dengan Panembahan Senapati untuk mengetahui perkembangan keadaan. Ketika pada satu senja Kiai Gringsing berkunjung ke rumah Untara, maka ia mendapat beberapa keterangan tentang sikap Mataram setelah peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
"Panembahan Senapati menjadi sangat marah atas usaha pembunuhan terhadap Ki Juru Martani. Bahkan lebih marah dari saat kakak iparnya, Tumenggung Mayang akan dibuang ke Semarang oleh ayahanda angkatnya Sultan di Pajang. Apalagi Panembahan Madiun bukan ayah angkatnya, meskipun Panembahan Mas pernah mengatakan, bahwa Panembahan Senapati telah dianggapnya sebagai anak sendiri. Meskipun rencana itu tidak disusun oleh Panembahan Mas, tetapi dengan membiarkan prajurit Madiun terlibat kedalamnya, maka Panembahan Senapati menganggap bahwa pamanda Panembahan Mas terlibat pula kedalamnya." berkata Untara.
"Apakah Panembahan Senapati sudah siap untuk mengambil langkah-langkah?" bertanya Kiai Gringsing.
"Semua prajurit sudah diperintahkan untuk bersiaga dalam persiapan tertinggi. Namun belum ada perintah yang jatuh." berkata Untara. Lalu katanya, "Bahkan Ki Mandarakalah yang menghambat gerakan yang siap dilakukan Panembahan Senapati. Menurut Ki Patih, jika Mataram langsung menyerang Madiun, maka korban akan tidak terhitung jumlahnya. Dan itu tidak menguntungkan segala pihak."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ki Mandaraka yang pernah menjadi sasaran pembunuhan itu ternyata masih berpikir bening. Ia masih memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi jika perang pecah. Kematian akan tersebar di mana-mana.
"Apapun alasannya perang memang selamanya bengis." berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tetapi kadang-kadang dipihak yang berselisih mempertahankan sikap masing-masing tanpa ada pendekatan sama sekali. Bahkan pendekatan-pendekatan yang dilakukan dan diusahakan kadang-kadang sama sekali tidak membawa arti apa-apa, karena memang ada orang-orang yang jantungnya dicekam oleh nafsu untuk perang.
Sementara itu menurut Untara, Pajang yang berhadapan langsung dengan Madiunpun telah mempersiapkan diri pula. Beberapa Kadipaten yang lain, yang telah mengakui kekuasaan Matarampun telah bersiap-siap. Namun sebaliknya, para Adipati sekitar Madiun dan daerah Timurpun telah bersiap-siap dengan pasukannya.
Tetapi Kiai Gringsing yang pernah berkunjung ke Madiun itu memang sulit membayangkan bahwa ia akan melihat perubahan sikap dari kedua belab pihak. Agaknya keduanya berkeras untuk tetap berpijak pada sikap masing-masing.
Dalam keadaan yang demikian, maka baik Mataram maupun Madiun telah menyebar petugas-petugas sandi untuk saling mengamati agar mereka tidak terperosok ke dalam penilaian yang salah atas pihak masing-masing.
Kegagalan pasukan Panembahan Cahya Warastra telah mewarnai sikap Panembahan Madiun yang menjadi sangat berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan.
Sementara itu Untarapun kemudian berkata, "Untuk menghadapi Madiun kita harus menyusun kekuatan yang sangat besar. Tetapi kita tidak akan mungkin mengumpulkan sejumlah orang yang dapat dikumpulkan oleh Madiun. Yang harus kita lakukan adalah meningkatkan tingkat kemampuan setiap orang yang harus ikut dalam pasukan yang kelak harus berhadapan dengan Madiun."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hubungan yang semakin lama menjadi semakin buram antara Mataram dan Madiun itu telah membuatnya sangat prihatin. Sebagai seorang yang selalu mengenang kebesaran masa lalu, maka Kiai Gringsing memang bermimpi untuk dapat melihat persatuan dan kesatuan dapat terwujud kembali.
Tetapi ketika Kiai Gringsing kemudian kembali ke padepokannya di malam hari dan beristirahat di biliknya, ternyata mimpinya sangat berbeda. Ia justru melihat dua ekor gajah yang sedang berkelahi. Hutanpun menjadi hancur dan binatang-binatang kecil mati terinjak-injak tanpa mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
Ketika Kiai Gringsing terbangun, maka iapun telah bangkit dan melangkah keluar. Malam ternyata masih jauh. Namun rasa-rasanya sulit bagi Kiai Gringsing untuk dapat tidur kembali di biliknya.
Ketika ia turun ke halaman dalam dinginnya malam, seorang cantrik yang sedang bertugas berjaga-jaga menda-tanginya sambil bertanya, "Kiai belum tidur?"
"Sudah." jawab Kiai Gringsing, "bahkan aku sudah terbangun. Kau seorang diri?"
"Tidak Kiai. Ada dua orang kawanku yang bertugas. Mereka berada di regol." jawab cantrik itu.
"Baik-baiklah melakukan kewajibanmu." pesan Kiai Gringsing.
"Kiai akan kemana?" bertanya cantrik itu.
"Aku akan melihat air di sawah." jawab Kiai Gringsing.
"Sendiri?" bertanya cantrik itu.
"Ya." jawab Kiai Gringsing.
"Marilah. Biar aku ikut bersama Kiai." berkata cantrik itu kemudian.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Marilah ikut aku."
Ketika mereka sampai ke regol, maka cantrik itu telah memberitahukan kepada temannya, bahwa ia akan mengikuti Kiai Gringsing ke sawah sebentar.
"Kita tidak mendapat giliran air pada malam hari Kiai. Saluran yang kita buat itu telah dikhususkan buat kita, sehingga kita tidak kekurangan air. Kita dapat mengairi sawah kita seluruhnya disiang hari." berkata salah seorang cantrik yang ada di regol.
"Aku hanya ingin melihat-lihat saja." jawab Kiai Gringsing.
Balas " On 9 Juli 2009 at 10:22 Mahesa Said:
Kedua cantrik yang ada di regol itu tidak bertanya lagi. Sementara Kiai Gringsing dan seorang cantrik telah keluar dari regol, turun ke jalan yang menuju ke daerah persawahan bagi padepokan kecil itu. Disepanjang jalan Kiai Gringsing hamper tidak berbicara apapun. Dimalam hari, ia merasakan ketenangan yang mendalam. Rasa-rasanya padukuhan-padukuhan yang Nampak dari kejauhan diselimuti oleh kedamaian yang sejuk.
Namun tiba-tiba saja ketenangan itu telah dipecahkan oleh derap kaki kuda. Sekelompok kecil prajurit yang sedang meronda telah berpapasan di jalan kecil. Ternyata pemimpin kelompok prajurit itu sempat bertanya kepada Kiai Gringsing, "kemana malam-malam Kiai?"
"Ke sawah." jawab Kiai Gringsing singkat.
Prajurit-prajurit yang sedang meronda itu tidak berhenti. Mereka meneruskan tugas mereka nganglang bukan saja Kademangan Jati Anom, tetapi juga lingkungan disekitarnya.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat dua wajah yang berbeda pada para prajurit yang meronda itu. Kehadiran para prajurit itu telah menghapuskan kesan kedamaian di malam itu. Sikapnya, pedang yang tergantung dilambung, tombak pendek dan senjata-senjata lainnya telah memberikan kesan kekerasan, sementara padukuhan-padukuhan yang nampak tenang dan damai itu telah terkoyak oleh derap kaki-kaki kuda.
Tetapi dari sisi lain, Kiai Gringsing melihat bahwa padukuhan-padukuhan itu akan terlindungi. Orang-orangnya yang gelisah akan menjadi tenang jika mereka mendengar kaki-kaki kuda prajurit Pajang berderap di jalan-jalan padukuhan mereka, karena dengan demikian mereka merasa bahwa tidak akan ada orang lain yang akan berani mengganggu, sehingga mereka akan dapat tidur dengan nyenyak. Para perondapun akan merasa mempunyai sandaran kekuatan jika mereka memerlukannya.
Demikian pula ia melihat wajah Panembahan Senapati menghadapi Madiun. Namun tidak seorangpun yang akan dapat mengatakan kebenaran mutlak diantara mereka yang berselisih.
Malam itu, Kiai Gringsing dan seorang cantriknya telah melihat-lihat sawah yang terbentang luas. Tanah garapan para cantrik yang mencukupi untuk makan mereka hari demi hari. Di musim panen orang-orang padukuhan datang membantu memerik padi dengan mendapat bawon yang lebih baik daripada jika mereka memetik padi di padukuhan.
"Tidak lama lagi padi akan bunting." berkata cantrik itu, "sementara padi dilumbung masih cukup banyak."
"Apakah padi itu akan tersisa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Agaknya demikian Kiai." jawab cantrik itu.
"Kau dapat membagikan kepada orang-orang yang kekurangan disekitar padepokan kita. Mungkin orang-orang padukuhan yang tidak mempunyai tanah cukup luas." berkata Kiai Gringsing.
"Tanah cukup luas Kiai. Tetapi ternyata ada diantara mereka yang malas dan tidak mau bekerja keras." Jawab cantrik itu.
"Itu salahnya sendiri." jawab Kiai Gringsing. Namun kemudian katanya, "Tetapi tanah yang sudah terbagi kepada waris tentu akan menjadi semakin sempit. Seorang yang beranak delapan akan membagi tanahnya menjadi delapan bagian."
Cantrik itu mengangguk-angguk. Namun ia menjawab.
"Ada diantara mereka yang diijinkan oleh Ki Demang untuk membuka hutan."
"Tetapi luas hutan itupun terbatas. Tidak semua hutan boleh ditebang. Pada suatu saat, kita harus berhenti menebang hutan dan mensisakannya sesuai dengan kepentingan kita. Terutama hutan-hutan pegunungan." berkata Kiai Gringsing.
Cantrik itu mengangguk-angguk. Sementara mereka berjalan menyusuri jalan bulak menuju ke pategalan yang mulai menjadi rimbun. Para cantrik telah menanam pula pohon buah-buahan di pategalan karena rasa-rasanya halaman dan kebun padepokan mereka telah menjadi terlalu sempit.
Di malam hari, pategalan itu bagaikan sedang tertidur lelap. Daun-daunan menunduk dibasahi embun yang mulai turun. Di sela-sela pohon buah-buahan terdapat tanaman ketela pohon dan j agung. Di bagian lain telah dicoba ditanami padi gaga yang berasnya berwarna kemerah-merahan.
"Kalian tidak akan kelaparan." berkata Kiai Gringsing.
"Ya Kiai. Kita mempunyai banyak kelebihan bahan makanan dan buah-buahan. Bahkan ikan yang kita ternakkan dibelumbangpun merupakan penghasilan yang cukup banyak." Jawab cantrik itu.
"Untuk apa kelebihan-kelebihan bahan makanan dan buah-buahan itu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kita memerlukan pakaian Kiai." jawab cantrik itu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya, "Bukankah ada alat tenun di padepokan?"
"Tetapi tidak mencukupi kebutuhan Kiai. Berbeda dengan bahan makan dan buah-buahan. Hasil tenun kita hanya sedikit. Demikian pula hasil pande besi kita. Kita masih harus membeli alat-alat pertanian." Jawab cantrik itu, "namun Ki Widura telah berbuat sebaik-baiknya sehingga segalanya sudah dapat dicukupi."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia mengetahui bahwa Ki Widura telah berhasil memimpin padepokan kecil itu. Bukan saja ketertiban di dalam lingkungan padepokan, tetapi juga lingkaran kebutuhan serta penghasilan dalam keseluruhan di padepokan itu dapat diaturnya dengan baik.
Namun tiba-tiba saja Kiai Gringsing berkata kepada cantriknya, "Sudah agak lama aku tidak melihat sampai dimana kalian mempelajari ilmu dasar dari olah kanuragan."
Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian Kiai Gringsing berkata, "Lakukanlah. Aku ingin melihat kau berlatih."
Meskipun agak ragu-ragu, namun Kiai Gringsing telah membawa cantrik itu ketempat yang agak luas. Kemudian diperintahkannya cantrik itu untuk melakukan latihan sebagaimana dilakukan di padepokan.
Sejenak kemudian maka cantrik itupun telah melakukan latihan-latihan sesuai dengan kemampuan yang ada didalam dirinya. Namun yang terungkap hanyalah pengetahuan dasar dari olah kanuragan secara umum. Masih belum nampak sama sekali ciri-ciri sehuah perguruan yang khusus. Bahkan samar-samar kadang-kadang terbayang unsur gerak justru dari perguruan Ki Widura, karena para cantrik itu lebih banyak ditangani oleh Ki Widura sejak keadaan Kiai Gringsing menjadi semakin menurun.
Tetapi selama ini Kiai Gringsing seakan-akan baru menyadari, bahwa ilmu yang dikuasai para cantrik adalah ilmu yang masih mendasar dan umum sekali. Karena itu, maka timbul niat dihati Kiai Gringsing untuk meningkatkan kemampuan para cantrik itu.
Memang kedudukan para cantrik agak lain dengan kedudukan kedua murid Kiai Gringsing yag memang diharapkan dapat mewarisi ilmunya sejauh dapat dicapai. Namun bagaimanapun juga, para cantrik adalah orang-orang yang akan mampu melanjutkan kehidupan sebuah padepokan. Meskipun Kiai Gringsing tahu, bahwa pada saatnya para cantrik itu akan meninggalkan padepokan apabila mereka merasa cukup mempunyai pengetahuan dan kembali kepada keluarga masing-masing. Tetapi mereka tidak akan melupakan padepokan dimana mereka pernah tinggal dan mempelajari berbagai macam ilmu meskipun tidak sampai tataran yang tinggi. Tetapi di lingkungan keluarga masing-masing mereka akan dapat menjadi pembimbing di bidang pertanian, sedikit tentang obat-obatan, tentang unggah-ungguh dan mudah-mudahan akan dapat menjadi pelindung bukan saja bagi keluarganya, tetapi juga tetangga-tetangganya dan padukuhannya. Dengan demikian maka kesan terhadap padepokan Orang Bercambuk akan menjadi baik tersebar sejauh dan seluas tebaran para cantrik dari padepokan itu.
Untuk beberapa saat Kiai Gringsing menyaksikan cantrik itu masih saja berloncatan untuk menunjukkan kemampuannya sejauh dapat dilakukannya. Namun kemudian Kiai Gringsing itupun berkata, "Sudah cukup."
Gerak cantrik itupun perlahan-lahan telah menurun. Akhirnya ia berhenti sama sekali. Kedua telapak tangannya menelakup didepan dadanya, kemudian menurun dan terurai.
"Bagus." berkata Kiai Gringsing, "secara umum kau sudah menguasai unsur-unsur gerak dasar. Kau akan segera dapat memasuki unsur-unsur gerak dengan ciri-ciri khusus dari padepokan kita. Sehingga dengan demikian, maka kau akan selalu disebut cantrik dari padepokan kecil itu."
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia rnengangguk hormat sambil berkata, "Terima kasih Kiai."
"Marilah. Kau dapat beristirahat sambil berjalan perlahan-lahan kembali ke padepokan." Berkata Kiai Gringsing.
"Marilah Kiai." desis cantrik itu.
Keduanyapun kemudian telah melangkah menyusuri tanaman di Pategalan. Diantara pohon buah-buahan yang tumbuh dengan suburnya. Disela-sela tanaman jagung yang sudah setinggi tubuh. Ketika mereka keluar dari pategalan, maka mereka telah mendengar suara pedati di kejauhan. Mereka melihat beberapa obor disepanjang jalan menuju ke Jati Anom. Lamat-lamat mereka mendengar suara tembang dari orang-orang yang ingin melupakan lelah setelah berjalan agak jauh sambil membawa hasil kebun mereka. Sementara beberapa buah pedati berjalan berurutan. Ada yang membawa gula kelapa, ada yang membawa berbakul-bakul beras, kelapa dan bahkan telur itik dan telur ayam.
"Hampir fajar." berkata Kiai Gringsing.
"Ya. Orang-orang sudah berangkat ke pasar." jawab cantrik itu.
Kiai Gringsing dan cantrik itupun kemudian telah menyusuri pematang, memasuki jalan yang mulai ramai itu. Beberapa orang pedagang memang menjadi curiga melihat kedua orang yang menyusuri pematang, seakan-akan akan memotong jalan mereka. Tetapi ketika kemudian mereka melihat seorang diantaranya adalah orang yang sudah terlalu tua, maka mereka tidak menghiraukannya lagi.
"Mereka bekerja sambil menghibur diri." desis Kiai Gringsing.
"Ya." jawab cantrik itu, "mereka memang pedagang-pedagang hasil kebun. Tetapi disaat-saat mereka mempunyai waktu, serta ada tetangga mereka yang mempunyai keperluan, mereka adalah penari-penari reog. Bahkan ada yang dapat menari topeng."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun tahu, bahwa diantara orang-orang yang berjualan dipasar, bahkan para petani dan pedagang, kadang-kadang mempunyai kegemaran tersendiri. Disaat-saat senggang mereka berlatih untuk menyelenggarakan pertunjukan yang cukup menarik.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing telah berjalan bersama orang-orang yang akan pergi ke pasar, yang berkelompok menempuh perjalanan yang agak panjang melewati bulak-bulak persawahan. Jika mereka berjalan beriringan, maka mereka akan merasa lebih aman, karena orang-orang yang berniat jahat akan menjadi ragu-ragu untuk mengganggu mereka.
Ketika Kiai Gringsing sampai keregol padepokannya, maka langit telah diwarnai oleh cahaya fajar. Para cantrik yang ada diregol melihat pakaian cantrik yang berjalan di belakang Kiai Gringsing itu basah oleh keringat.
Ketika Kiai Gringsing melintasi regol seorang diantara para cantrik itu bertanya, "Sampai pagi Kiai?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Udara di padepokan terasa sangat nyaman."
Namun kawannya yang lain bertanya kepada cantrik yang mengikuti Kiai Gringsing, "Bajumu basah kuyup."
"Aku terperosok kedalam parit." jawab cantrik itu.
Kiai Gringsing yang mendengar jawaban itu tertawa. Tetapi ia melangkah terus ke pendapa.
Ketika Kiai Gringsing menjadi agak jauh, maka cantrik itu mulai bercerita kepada kawan-kawannya. Apalagi setelah Kiai Gringsing naik sendirian ke pendapa.
Tetapi cantrik itu berhenti sejenak dan berkata kepada kawan-kawannya, "Aku akan menanyakan kepada Kiai, apakah ia menghendaki sesuatu."
Cantrik itupun kemudian berlari menyusul Kiai Gringsing yang sudah duduk dan bertanya, "Apakah Kiai menghendaki sesuatu" Minuman panas barangkali atau apa?"
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, "Tidak begitu tergesa-gesa. Nanti saja pada saatnya minuman itu dibuat. Aku akan duduk disini saja."
Cantrik itu kemudian meninggalkan Kiai Gringsing duduk sendiri, sementara ia meneruskan ceriteranya kepada kawan-kawannya bagaimana ia harus menunjukkan dasar-dasar kemampuannya, kemudian janji Kiai Gringsing untuk meningkatkan ilmu mereka.
Sementara itu ternyata Ki Widurapun telah terbangun dan setelah mencuci muka duduk pula bersama Kiai Gringsing di pendapa. Sementara para cantrikpun telah bangun pula. Ada yang menyapu halaman, ada yang mulai menjerang air didapur dan ada yang mulai menarik senggot untuk menimba air mengisi jambangan pakiwan.
Sejenak kemudian, seorang cantrik telah menghidangkan minuman panas kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura yang duduk dipendapa. Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Widura telah mulai berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan dihari mendatang bagi padepokan kecil itu.
"Kesediaan Ki Widura untuk menguasai dasar ilmu dari perguruan Orang Bercambuk sangat aku hargai. Dalam usia Ki Widura yang memasuki hari-hari tuanya, Ki Widura masih berpandangan jauh ke depan bagi padepokan ini." berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi ternyata aku sudah sangat lamban." berkata Ki Widura, "sampai sekarang, baru beberapa langkah yang dapat aku kuasai. Bahkan aku masih belum dapat memasuki tataran penguasaan ilmu cambuk pada bagian permulaan sekalipun."
"Tidak." jawab Kiai Gringsing, "Ki Widura sudah maju dengan cepat. Hal itu sudah barang tentu akan berlangsung demikian karena Ki Widura sudah memiliki bekal ilmu yang tinggi. Namun justru untuk tetap memilahkan ciri-ciri kedua perguruan itulah yang agaknya sedikit sulit bagi Ki Widura. Namun bahwa keduanya dapat sejalan agaknya sudah merupakan satu pertanda yang sangat baik."
"Itu karena keterbelakanganku." berkata Ki Widura, "di dalam diri Agung Sedayu juga terdapat ilmu dari aliran perguruan Ki Sadewa dan dari aliran Orang Bercambuk. Bahkan lebih dari itu. Ia menguasai ilmu tanpa berguru dan beberapa jenis yang ditangkapnya langsung karena kemampuannya yang sangat tinggi dari alam dan pengenalannya atas kehidupan bahkan kehidupan binatang."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Agung Sedayu memang orang luar biasa. Pada umurnya sekarang, aku belum sampai ketataran itu."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "tetapi ternyata bukan hanya Agung Sedayu yang memiliki dasar yang luar biasa, agaknya Glagah Putihpun memilikinya pula. Apalagi setelah ia mendapat warisan kelebihan Raden Rangga. Maka Glagah Putihpun ternyata melampaui tataran kebanyakan orang yang menekuni ilmu di perguruan manapun juga. Ternyata dasar yang diletakkan oleh Agung Sedayu dan kemudian ditambah dengan ilmu yang diturunkan oleh Ki Jayaraga serta kesempatannya berhubungan dengan Raden Rangga merupakan kesempatan yang mampu dipergunakan sebaik-baiknya. Namun demikian, jika ia tidak memiliki dasar yang lebih baik dari orang lain, maka ia tidak akan mampu menampung semuanya itu."
"Ah, ia sekedar anak Bengal." desis Ki Widura.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Aku sudah minta Agung Sedayu untuk secara khusus memberikan warisan ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. Dengan demikian maka ilmu ini tidak akan punah. Seperti Ki Widura, dengan landasan yang telah dimilikinya, maka Glagah Putih tentu akan dengan cepat menangkap dan menyatukan segala macam ilmu didalam dirinya jika diperlukan. Namun akan dapat mengurainya kembali, selembar demi selembar sehingga ciri-ciri perguruan masing-masing masih akan nampak."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia memang ikut merasa berbangga tentang anaknya, bahwa orang yang disebut Orang Bercambuk itu telah mengakui kelebihan anaknya itu.
Sementara itu, Kiai Gringsingpun telah mulai berbicara tentang kemungkinan untuk meningkatkan ilmu para cantrik dalam olah kanuragan. Dengan ciri-ciri dasar perguruan Orang Bercambuk mereka dapat memberi bekal kepada para cantrik yang akan meninggalkan padepokan itu dan kembali kepada keluarganya.
"Mereka akan dapat menjadi pembantu Ki Demang dan Ki Jagabaya di tempat tinggal mereka masing-masing." berkata Kiai Gringsing.
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Satu gagasan yang seharusnya sudah kita lakukan Kiai."
"Ya. Kita memang agak terlambat. Tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali." jawab Kiai Gringsing, "peristiwa di Tanah Perdikan telah mendorong kita untuk melakukannya."
Ki Widura mengangguk-angguk. Dalam keadaan yang gawat, kesiagaan memang perlu ditingkatkan.
Dengan demikian maka Kiai Gringsing dan Ki Widura sepakat, bahwa mereka akan meningkatkan kemampuan para cantrik yang tertua dan kemudian berurutan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing serta kedatangan mereka di padepokan itu.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing telah menyatakan kesediaannya untuk membantu Ki Widura memperdalam ilmunya menurut aliran padepokan Orang Bercambuk itu.
"Meskipun barangkali aku sudah menjadi lemah serta tidak lagi dapat membimbing sepenuhnya." berkata Kiai Gringsing, lalu, "Namun yang diperlukan Ki Widura tentu hanya petunjuk-petunjuk."
"Ya Kiai." jawab Ki Widura, "yang penting bahwa Kiai dapat meluruskan jika aku melakukan kesalahan. Aba-aba serta watak dari unsur-unsur gerak yang aku pelajari sehingga aku akan dapat mengenalinya bukan saja wajahnya, tetapi ke kedalaman serta makna gerak itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan membantu sejauh dapat aku lakukan, karena tugas itu sebenarnya adalah tugasku atau murid-muridku. Sebenarnya Ki Widuralah yang membantu aku dalam hal ini. Dan bantuan Ki Widura cukup banyak bagi padepokan ini."
Dengan demikian maka padepokan kecil itu rasa-rasanya menjadi semakin hidup. Para cantrik yang tertua, yang sebelumnya dinyatakan telah cukup mempunyai pengetahuan dasar olah kanuragan sehingga mereka tinggal melakukan latihan-latihan untuk mengembangkannya, sesuai dengan bekal yang ada, kemudian akan mendapat tuntunan yang lebih dalam lagi tentang olah kanuragan. Mereka akan mulai diperkenalkan dengan ciri-ciri perguruan Orang Bercambuk.
Pada kesempatan pertama, tujuh orang cantrik diperkenankan mengikuti latihan-latihan lebih lanjut serta mulai memasuki ciri perguruan dari padepokan kecil itu. Tetapi ciri yang pertama-tama diberikan adalah unsur-unsur gerak dasar. Mereka sama sekali masih belum memasuki ciri yang paling tajam, yaitu ilmu cambuk, karena agaknya khususnya ilmu cambuk adalah ciri ilmu yang menjadi sesengkeran dari padepokan itu. Menjadi semacam pengetahuan yang dikususkan, sehingga tidak semua orang dapat mengenalinya apalagi sampai ke intinya, meskipun bagi para cantrik padepokan itu. Dengan demikian, pada saatnya ketujuh orang cantrik itu akan memiliki ilmu kanuragan melampaui para pengawal dan bahkan para prajurit dalam kamampuan pribadinya.
Sementara di padepokan, para cantrik meningkatkan ilmunya dengan bersungguh-sungguh, maka di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh, kedua murid pilihan Kiai Gringsing juga telah menempa diri dalam latihan-latihan yang berat serta menjalani laku yang rumit. Bukan saja kemudian dari segi kewadagan, tetapi juga dari segi kejiwaan. Apalagi bagi Swandaru yang sebelumnya tidak begitu tertarik untuk mendalami dan mengenali sifat-sifat yang lebih dalam dari ilmu cambuknya.
Namun untuk tingkat berikutnya, maka ia harus mulai melakukannya. Karena itu, maka yang dilakukan tidak selancar yang dilakukan oleh Agung Sdayu. Apalagi Agung Sedayu tidak perlu lagi menghadapi kitab yang diberikan oleh gurunya. karena isinya sudah terpahat di dinding ingatannya. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu dapat langsung menjalani laku.
Bahkan beberapa kali Swandaru gagal melakukan samadi dalam menjalani laku, sehingga ia setiap kali harus mengulanginya. Ia tidak begitu mudah memusatkan nalar budinya, untuk melihat kedalaman dari unsur-unsur gerak itu sesuai dengan petunjuk yang termuat dalam kitab dari gurunya. Dalam pemusatan nalar budi ia harus melihat setiap gerak yang dilakukan sesuai dengan petunjuk dan latihan-latihan yang tidak dilakukan secara wadag. Mengenalinya dengan baik, mengerti watak dan sifatnya serta menyadari maknanya.
Nainun setiap kali, Pandan Wangi selain mendorongnya. Bahkan Swandaru kadang-kadang merasa heran, bahwa Pandan wangi justru mampu memberikan petunjuk kepadanya.
"Selama ini perhatianmu memancar keluar kakang. Kau perhatikan Kademangan ini, kau perhatikan aku dan kau perhatikan Ki Demang serta seisi Kademangan. Kau melihat dunia dari dalam dirimu dan mencakupnya serta mencernanya dengan sepenuh penalaran dan perasaanmu. Kau jadikan kademangan Sangkal Putung menjadi sebuah Kademangan yang jauh lebih baik dari Kademangan yang lain. Namun dengan demikian kau tidak pernah sempat melihat kedalam dirimu sendiri." berkata Pandan Wangi.
"Apakah itu salah?" bertanya Swandaru.
"Tidak. Sama sekali tidak kakang." jawab Pandan Wangi, "justru kau adalah orang yang tidak mementingkan diri sendiri. Kau adalah ganibaran dari seorang pemimpin betapa kecilnya, yang sangat memperhatikan tugas dan kewajibanmu. Namun jika kakang tidak berkeberatan, aku ingin mengatakan bahwa perhatian kakang terutama ditujukan bagi unsur kewadagan. Bukannya hal itu bagi kehidupan di Kademangan ini. Cukup sandang, cukup pangan. Namun kemudian juga unsur jiwani dari kehidupan. Pengetahuan dan peradaban. Lebih dari itu adalah hubungan antara kita, sesama, alam dan Yang Maha Pencipta."
"Jadi bagaimana dengan pendalaman ilmuku?" bertanya Swandaru.
"Kakang harus mulai memusatkan perhatian kakang bagi diri sendiri. Setidak-tidaknya untuk sementara, karena yang bagi diri sendiri itu pada hakekatnya adalah meningkatkan kemampuan pengabdian kakang bagi Kademangan ini dimasa mendatang." jawab Pandan Wangi, lalu, "Karena itu kakang harus dapat memusatkan perhatian kakang sekarang ini agar kakang berhasil mencapai tataran berikutnya dari ilmu yang selama ini menopang pengabdian kakang bagi kampung halaman ini. Dengan demikian maka kakang tidak akan mudah kehilangan pemusatan nalar budi dalam samadi yang kakang lakukan dalam rangkaian menjalani laku. Karena kakang telah dapat membersihkan diri dari persoalan-persoalan lain yang akan dapat memecahkan perhatian kakang."
Swandaru mengangguk-angguk. Bagi Swandaru, Pandan Wangi memang seorang yang mampu memberikan beberapa pemecahan persoalan dalam dirinya bahkan persoalan-persoalan yang timbul bagi Kademangannya. Sikapnya yang lembut dan pengamatan persoalan sampai ke bagian-bagian terkecil memang kadang-kadang dapat meyakinkannya untuk menentukan satu sikap, meskipun kadang-kadang Swandaru kurang memperhatikannya karena sifatnya yang keras dan kadang-kadang terlalu ter-gesa-gesa mengambil kesimpulan atas satu persoalan. Jika kesimpulan yang diambil dengan tergesa-gesa itu salah, maka langkah yang diambilnyapun salah pula.
Beberapa kali pendapat Pandan Wangi sama sekali tidak dihiraukan. Tetapi sebagai seorang isteri, Pandan Wangi tidak menjadi patah dan acuh terhadap suaminya. Ia selain memperhatikannya, memberikan pendapatnya didengar atau tidak didengar dengan alasan-alasan yang masuk akal.
Dengan demikian, maka Swandaru telah berusaha untuk mengkesampingkan semua persoalan selain peningkatan ilmunya. Pandan Wangi memang mampu mengambil alih beberapa hal tentang tugasnya. Namun karena ia sedang mengandung, maka ia sangat dibatasi oleh keadaannya itu.
Tetapi ternyata Ki Demang yang semakin tua itupun telah ikut berusaha untuk mendorong anaknva mencapai satu tataran ilmu yang lebih tinggi, karena dengan demikian maka ilmu akan sangat berarti bukan saja bagi Swandaru sendiri. Karena itu, maka Ki Demang yang sudah menjadi semakin banyak mempercayakan tugas-tugasnya kepada Swandaru. telah turunlagi ke dalam tugas-tugasnya sebagai Demang.
"Hanya sebentar." berkata Ki Demang kepada Ki Jagabaya, "tidak lebih dari satu tahun. Namun selama ini, kitalah yang harus bekerja keras bersama anak-anak muda."
Ki Jagabaya tertawa. Katanya, "Sebenarnya akupun masih ingin disebut orang muda."
Ki Demangpun tertawa pula. Katanya, "Bagaimana kau sembunyikan rambutmu yang memutih itu?"
Ki Jagabaya yang tertawa itu tidak dapat menjawab.
Demikianlah, perlahan-lahan, dengan dorongan dari Pandan Wangi, maka Swandaru berhasil memasuki masa penempaan dirinya semakin dalam dan memanfaatkan waktu semakin baik. Ia mulai tekun dengan laku jiwani yang harus dijalani. Dari hari ke hari, Pandan Wangi melihat kemajuan yang dicapai oleh Swandaru. Memang agak berbeda dengan Agung Sedayu, maka Swandaru lebih banyak berlatih di dalam sanggar tertutupnya. Sementara itu ia tidak pernah merasa berkeberatan jika Pandan Wangi sekali-sekali menyaksikannya.
"Tetapi kau harus menjaga diri, bahwa kehadiranmu di sanggar tidak akan mengganggu kandunganmu." pesan Swandaru.
"Tidak kakang." jawab Pandan Wangi, "aku tidak akan melibatkan diri dengan cara apapun juga, sehingga karena itu, maka aku tidak akan terpengaruh sama sekali."
Swandaru sendiri memang merasa lebih mantap jika Pandan Wangi sempat menyaksikan kemajuan latihan-latihannya. Setapak demi setapak memasuki dan meniti tataran yang lebih tinggi dari yang sudah dikuasainya.
Pendekar Super Sakti 22 Vampire Academy Karya Richelle Mead Makam Asmara 1
^