Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 28

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 28


Dibelakang pengawal berkuda yang bersenjata tombak itu berkuda Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh diapit oleh dua orang yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi di Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Baru di belakang Ki Gede berkuda pula tiga orang pemimpin pasukan pengawal yang terdiri dari Prastawa dan dua orang pembantunya, diikuti oleh iring-iringan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, telah mendahului iring-iringan itu sekelompok pengawal untuk mengatur penyeberangan pasukan itu di Kali Praga. Ki Gede telah memilih untuk menyeberangi Kali Praga lewat jalan penyeberangan yang di tengah.
Meskipun demikian, ketika iring-iringan itu kemudian sampai di Kali Praga, maka penyeberangan itupun telah berlangsung untuk waktu yang cukup lama. Beberapa rakit yang ada telah dikerahkan. Namun rakit-rakit itu ternyata masih harus berjalan hilir mudik beberapa kali.
Demikian pasukan itu berada di sisi Timur Kali Praga, maka Prastawapun segera sibuk mengatur pasukan itu ditepian. Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itupun telah mulai bergerak lagi menuju ke Mataram.
Perjalanan ke Mataram memang bukan perjalanan yang terlalu jauh. Namun bagi sebuah iring-iringan termasuk perjalanan panjang meskipun belum dapat diperbandingkan dengan perjalanan menuju ke Madiun.
Ternyata bahwa perjalanan ke Mataram itu telah menarik banyak perhatian. Ketika kemudian matahari terbit, maka orang-orang yang telah terbangun dari tidurnya, menjadi tertarik untuk melihat barisan yang cukup panjang itu.
Meskipun pasukan Tanah Perdikan tidak sekuat pasukan dari sebuah Kadipaten, namun Tanah Perdikan Menoreh telah menunjukkan yang terbaik yang dapat dibawanya dalam pengerahan kekuatan untuk melakukan perjalanan ke Madiun.
Demikianlah, ketika mereka melangkah meninggalkan tepian Kali Praga, maka matahari telah mulai naik dikaki langit. Sinarnya yang segar memang telah menyilaukan mata orang-orang Tanah Perdikan yang menempuh perjalanan ke Mataram itu.
"Kita terlalu lama di penyeberangan." berkata seorang pengawal kepada kawannya yang berjalan di sebelahnya.
"Tetapi agaknya kita masih lebih cepat dari rencana. Kita akan sampai ke Mataram jauh sebelum tengah hari." jawab kawannya.
Pengawal yang pertama mengangguk. Namun katanya, "Bukankah kita memang merencanakan agar pasukan kita sampai di Mataram sebelum tengah hari."
"Ya. Dan kita akan sampai jauh sebelum tengah hari." jawab kawannya.
Orang yang pertama tidak menyahut lagi. Ia hanya mengangguk-angguk saja sambil sekali-sekali memandang matahari yang merayap naik.
Demikianlah, maka dibawah gatalnya sinar matahari pagi, iring-iringan itu berjalan terus menuju ke Mataram. Orang-orang padukuhan yang dilewati oleh iring-iringan itu ternyata menyempatkan diri untuk melihat pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh. Bagaimanapun juga iring-iringan itu memberikan kebanggaan kepada orang-orang padukuhan itu.
Dalam pada itu, kedatangan pasukan Tanah Perdikan Menoreh memang telah diberitahukan kepada Mataram. Karena itu, maka di Mataram, telah dipersiapkan penerimaan bagi pasukan pengawal Tanah Perdikan. Sebuah tempat penampungan telah diatur meskipun tidak berada di pusat kota.
Demikian pasukan Tanah Perdikan itu mendekati pintu gerbang, maka sekelompok prajurit Mataram yang dipimpin oleh seorang perwira yang mendapat tugas menempatkan pasukan Tanah Perdikan itu telah menunggu di pintu gerbang pada waktu yang sudah ditentukan.
Karena pasukan Tanah Perdikan merasa datang agak lebih pagi dari rencana, maka pasukan itu telah berhenti beberapa puluh patok dari pintu gerbang kota. Namun dua orang penghubung yang mendahului mendekati kota ternyata telah diterima oleh pasukan penerima dari Mataram dan diperihtahkan untuk langsung melanjutkan perjalanannya.
Demikianlah, maka pasukan dari Tanah Perdikan itu telah memasuki pintu gerbang kota Mataram mengikuti sekelompok prajurit yang bertugas untuk menerima pasukan itu dan membawa mereka ke barak yang sudah disediakan.
Ketika iring-iringan itu: berjalan di jalan-jalan kota, maka beberapa orang prajurit dari beberapa daerah sempat menyaksikannya. Ada beberapa tanggapan yang nampak pada wajah prajurit-prajurit itu. Bahkan beberapa orang telah membicarakan dengan cara yang berbeda-beda serta penilaian yang berbeda-beda pula.
Seorang prajurit berdesis, "Aku tidak mengira bahwa sebuah Tanah Perdikan dapat membangun kekuatan sebesar itu."
Kawannya mecibirkan bibirnya sambil berkata, "Kau lihat pemimpinnya yang tua itu" Kemampuan dan ilmunya tidak lebih baik dari prajurit yang paling dungu dari antara kita."
"Agaknya pengapitnya yang masih nampak muda-muda itulah yang berilmu tinggi." desis kawannya yang lain.
"Omong kosong." jawab prajurit yang kedua.
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun sorot mata kedua orang yang menjadi pengapit Ki Gede Menoreh itu memang nampak meyakinkan. Bahkan Ki Gede yang tua itu nampak cukup berwibawa dengan tombak pendek ditangannya.
Beberapa saat iring-iringan pasukan itu menyusuri jalan-jalan di kota. Mereka menuju ke barak yang sudah disediakan yang memang tidak berada di tengah-tengah kota.
Namun beberapa orang prajurit yang merasa datang dari lingkungan yang lebih besar berkata yang satu kepada yang lain. "Itulah petani-petani yang telah dikumpulkan untuk memperbanyak jumlah orang dalam pasukan Mataram. Tetapi sebenarnya Panembahan Senapati tidak usah memanggil orang-orang padukuhan kecil seperti mereka. Lihat, bagaimana mereka memegang senjata. Tangan mereka sudah terbiasa memegang cangkul, parang dan barangkali sabit. Di medan perang mereka hanya akan memper-banyak jumlah korban saja tanpa dapat memberikan perlawanan. Sedangkan di luar arena, mereka merupakan beban yang cukup memperberat penyediaan beras bagi Mataram. Sementara mereka dirumah masing-masing terbiasa makan tanpa ukuran."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka berkata, "Tetapi sikap dan pakaian mereka nampak rampak. Senjata merekapun terpelihara dan nampaknya semua adalah senjata perang. Bukan seadanya. Kelompok-kelompok diatur rapi. Ada kelompok yang mempergunakan senjata tombak pendek seperti pemimpinnya, ada yang bersenjata pedang dan sekelompok nampaknya membawa senjata busur dan anak panah, selain juga pedang dilambung."
Tetapi orang yang pertama tertawa. Katanya, "Pakaian dan senjata bagi mereka tentu diterimanya dari Mataram. Soalnya bukan bentuk senjata serta pengelompokan yang rapi. Tetapi bagaimana mereka memegang senjata."
Tidak ada yang menjawab. Sementara iring-iringan itupun berjalan terus.
Ketika mereka berada disebuah tikungan, maka Agung Sedayu yang berkuda di sebelah Ki Gede terkejut. Dilihatnya Untara berjalan di tikungan bersama dua orang prajuritnya. Seorang diantaranya adalah Sabungsari.
Untarapun tertegun. Ia melihat iring-iringan itu. Dilihatnya Ki Gede yang diapit oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Namun Untara tahu bahwa kedua adiknya itu berada dalam pasukan yang sedang bergerak. Karena itu, ia tidak mengganggunya selain hanya mengangkat tangannya saja.
Ternyata Ki Gedepun melihatnya. Iapun mengangkat tangannya. Demikian pula Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Perwira dari Mataram itu mengenal mereka dengan baik." desis salah seorang diantara para prajurit yang baru saja membicarakannya.
Kawannya terdiam. Ia melihat seakan-akan perwira Mataram itu begitu akrab dengan orang-orang berkuda yang memimpin pasukan dari Tanah Perdikan itu.
Sementara itu Agung Sedayu yang melihat Untara sudah berada di Mataram berdesis, "Adi Swandaru tentu sudah berada disini pula."
"Ya." sahut Ki Gede, "kita akan segera dapat bertemu dengannya."
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah mendekati tujuan. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendapat isyarat untuk berhenti.
Sesaat kemudian maka ujung barisan itu yang terdiri dari sekelompok prajurit Mataram telah memasuki regol sebuah rumah yang besar berhalaman luas. Disebelah menyebelah bangunan induk yang besar dan memanjang kebelakang, terdapat gandok kiri dan gandok kanan. Dua buah seketheng dan dibelakang seketheng terdapat longkangan. Longkangan itu ternyata melingkar ke belakang rumah dan memisahkan bangunan induk itu dengan dapur, meskipun masih tetap dihubungkan dengan dinding batu sehingga longkangan itu tetap berada di bagian yang tertutup.
Perwira yang memimpin sekelompok prajurit Mataram yang menjemput pasukan dari Tanah Perdikan itupun kemudian telah menyerahkan rumah itu kepada Ki Gede untuk menjadi barak sementara mereka berada di Mataram.
"Mungkin kurang memadai. Tetapi dalam keadaan darurat kami tidak dapat menyediakan yang lebih baik. Sore nanti akan datang beberapa orang petugas yang akan membantu menyiapkan bahan makanan, karena seperti yang telah diberitahukan, agar setiap pasukan membawa petugas sendiri yang menyediakan makan dan minum. Namun orang-orang kamilah yang akan menyediakan bahan-bahannya." berkata perwira itu.
"Terima kasih." jawab Ki Gede, "tempat ini sudah sangat baik bagi kami."
"Mungkin para pengawal harus berdesakan." berkata perwira itu, "tetapi mudah-mudahan cukup untuk beristirahat. Disebelah, kira-kira berjarak sepuluh patok, adalah barak yang kami serahkan kepada pasukan Kademangan Sangkal Putung. Disebelahnya, dirumah yang lebih besar, rumah seorang Demang yang kaya yang merelakan rumahnya kami pergunakan, adalah barak bagi para
prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, dibawah pimpinan Ki Untara."
"O" Glagah Putih yang menyahut dertgan serta merta, "tidak jauh dari tempat ini."
Demikianlah, maka setelah dilakukan serah terima tempat itu, maka prajurit Mataram itupun minta diri untuk mertyampaikan laporan akan kehadiran pasukan Tanah Perdikar Menoreh dengan segala keterangannya.
Dengan demikian maka Ki Gede dengan para pembantunya harus membagi sendiri ruang-ruang yang ada di rumah itu. Rumah itu memang tidak terlalu besar dibanding dengan jumlah para pengawal. Tetapi rumah yang lengkap memanjang dengan sayap-sayapnya itu cukup memadai bagi para pengawal dari Tanah Perdikan itu.
Namun sebelum Ki Gede selesai dengan pembagian ruang itu. tiba-tiba saja Swandaru telah muncul di regol halaman bersama dua orang pengawal dari Sangkal Putung. Namun nampaknya Swandaru demikian tergesa-gesa sehingga ia tidak menghiraukan orang lain kecuali Ki Gede. Sehingga dengan tanpa berpaling ia langsung menemui Ki Gede.
Sikap Swandaru memang menarik perhatian. Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan serta merta telah melangkah mendekat. Mereka ingin tahu apakah yang telah terjadi dengan Swandaru yang dengan tergesa-gesa telah menghampiri Ki Gede Menoreh yang masih berdiri di halaman bersama Prastawa dan pembantu-pembantunya.
Agaknya Ki Gede sedang memerintahkan kepada Prastawa dan pembantu-pembantunya untuk melihat semua ruangan yang ada termasuk dapur dan pakiwan serta sumber air di belakang. Mereka juga diperintahkan, untuk melihat suasana di kebun belakang. Pintu-pintu butulan yang terdapat pada dinding halaman serta bagian-bagian lain dari rumah itu. Namun merekapun belum beranjak dari tempat mereka justru ketika rnereka melihat cara Swandaru mendekati Ki Gede Menoreh.
"Ki Gede." nafas Swandaru menjadi terengah-engah. Ia nampak gelisah. Tetapi bibirnya tiba-tiba saja tersenyum, "Pandan Wangi sudah melahirkan."
"He." wajah Ki Gede menjadi tegang, "jadi aku sudah mempunyai cucu?"
"Ya Ki Gede." sahut Swandaru, "laki-laki."
Ki Gede menepuk kedua bahu Swandaru sambil berdesis, "Syukurlah. Bagaimana dengan ibu dan anaknya itu?"
"Semuanya selamat Ki Gede. Bayinya sehat seperti ibunya." berkata Swandaru dengan penuh kebanggaan, "sehari setelah melahirkan, Pandan Wangi sudah melakukan kerja sehari-hari. Kepakiwan sendiri bahkan mencuci popok bayinya."
"Ah, ia harus beristirahat cukup agar kekuatannya segera pulih kembali." berkata Ki Gede.
"Pandan Wangi tetap sehat seperti tidak baru saja melahirkan." berkata Swandaru.
Ki Gede tertawa. Katanya, "Tetapi ia memerlukan istirahat."
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia berdesis, "Aku tidak akan singgah lagi kerumah."
"Orang-orang tua di Sangkal Putung akan menasehatinya." berkata Ki Gede kemudian.
Dalam pada itu, yang mendengar berita kelahiran anak Swandaru itu menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu, Glagah Putih, Prastawa bahkan para pembantunya telah mengucapkan selamat kepada Swandaru berganti-ganti.
"Siapa nama anakmu itu adi Swandaru?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku menjadi bingung. Akhirnya aku belum dapat memberikan nama. Besok jika aku kembali dengan selamat dari Madiun, aku baru akan memberinya nama itu. Sementara itu, biarlah ibunya memanggil dengan nama siapa saja." jawab Swandaru.
Orang-orang yang mendengar jawaban Swandaru itu tertawa. Sementara Glagah Putih berkata, "Kenapa kakang Swandaru tidak menyebut saja sebuah nama yang barangkali dapat ditanyakan dan dibicarakan dengan Ki Demang?"
"Aku memang sudah minta ayah untuk menyiapkan sebuah nama. Kelak jika aku selamat, maka nama itu mungkin aku setujui, tetapi mungkin tidak. Tetapi jika aku tidak kembali dari medan, maka biarlah nama yang diberikan oleh ayah itu tetap menjadi namanya." berkata Swandaru.
"Jangan berkata begitu." desis Agung Sedayu, "kita berdoa, mohon kepada Yang Maha Agung agar kita selamat dan dapat menyelesaikan tugas kita dengan sebaik-baiknya."
Tetapi Swandaru menarik nafas panjang. Katanya, "Kemungkinan untuk mati sama besarnya dengan kemung-kinan untuk hidup. Karena itu, sebaiknya aku bersiap untuk mengalami salah satu dari kedua kemungkinan itu."
Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Kita dapat memohon."
"Setiap orang akan memohon." berkata Swandaru, "prajurit Madiun dan dari kadipaten-kadipaten di daerah Timur juga akan memohon."
"Memang benar. Tetapi lepas dari apakah kita akan menang atau kalah, namun hidup kita memang tergantung kepada-Nya." berkata Ki Gede.
Balas " On 24 Juli 2009 at 15:24 Mahesa Said:
"Karena itu, maka kita tidak usah merisaukannya." berkata Swandaru, "apakah kita akan hidup atau akan mati." tetapi suaranya merendah, "tetapi aku sebenarnya ingin juga menimang anakku."
"Keinginan itulah yang harus kau ucapkan dalam doamu." berkata Ki Gede.
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk kecil.
Namun dalam pada itu Agung Sedayulah yang bertanya, "Begitu cepat kau tahu bahwa kami sudah datang?"
"Ya. Ada yang melihat kedatangan kalian. Dua orang pengawal Sangkal Putung yang sedang berjalan-jalan. Mereka dengan tergesa-gesa memberitahukan kepadaku." jawab Swandaru.
"Tetapi kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku ketika cucuku lahir?" bertanya Ki Gede.
"Aku tahu, bahwa tidak akan ada waktu untuk menengok anak itu. Karena itu, maka aku berniat untuk memberitahukannya di Mataram. Aku sudah mengira bahwa kita tentu akan bertemu." jawab Swandaru.
Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih bertanya, "Apakah barak kakang Swandaru berada dekat dengan kakang Untara?"
"Ya. Pasukan pengawal Sangkal Putung ada dibawah pimpinan kakang Untara. Pengawal Kademangan Sangkal Putung menjadi bagian dari pasukan Mataram di Sangkal Putung itu, meskipun para pengawal tetap dianggap mempunyai tataran dibawah para prajurit." jawab Swandaru.
"Apakah kakang Untara juga beranggapan seperti itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Kecuali kakang Untara yang tahu benar tataran kemampuan para pengawal khususnya dari Sangkal Putung." jawab Swandaru.
Namun sebelum Swandaru menyahut, Ki Gede berkata, "Marilah. Kita naik ke pendapa. Biarlah para pengawal menempatkan dirinya sendiri."
Ki Gedepun kemudian telah naik dan duduk di pendapa. Ternyata di pendapa telah tersedia tikar pandan. Bahkan sudah dibentangkan.
Sementara Swandaru berceritera tentang anaknya kepada Ki Gede di pendapa, maka Prastawa, Agung Sedayu dan Glagah Putih bersama beberapa orang pemimpin pengawal telah melihat-lihat keadaan rumah itu beserta halaman dan kebunnya.
Ternyata dinding halaman dan kebun rumah itu cukup rapat. Ada tiga pintu butulan disekitar halaman dan kebun belakang. Tetapi ketiga-tiganya telah diselarak rapat sekali. Namun jika perlu pintu butulan itu dapat dibuka. Pintu ke kiri berhubungan dengan halaman tetangga di sebelah kiri. Demikian pula pintu kanan. Sedangkan pintu butulan yang menghadap kebelakang langsung turun ke sebuah lorong sempit.
Setelah membagi-bagi ruang, maka Prastawa telah mengumpulkan semua pemimpin kelompok dari para pengawal. Dengan jelas diberitahukannya ruang-ruang yang manakah yang harus mereka pergunakan masing-masing.
"Ternyata rumah ini cukup memadai. Jika pendapa ini tidak kita pakai maka kita memang akan sedikit berdesakan. Tetapi jika pendapa juga akan kita pakai, maka ruangan-ruangan dan bilik-bilik akan terasa longgar."
"Biar saja sedikit berdesakan." berkata salah seorang pemimpin kelompok pengawal, "sementara kita dapat mempergunakan pendapa untuk duduk-duduk dan barangkali menghirup udara sejuk."
Nampaknya Prastawa sependapat. Iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Di gandok sebelah kiri dan kanan itupun ada serambi yang bebas. Sedangkan di longkangan juga terdapat tempat yang baik untuk duduk-duduk di alas lincak bambu. Apalagi kita tidak akan terlalu lama disini. Dalam waktu satu dua hari, kita sudah akan berangkat lagi menuju ke Madiun."
Demikianlah, maka telah diputuskan bahwa para pengawal itu akan berada di dalam bilik-bilik, ruang tengah, gandok dan ruangan-ruangan lain yang ada di rumah itu. Sedangkan pendapa akan tetap dikosongkan karena dengan demikian maka pendapa itu akan dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan.
Disisa hari itu, tidak ada tugas apapun yang harus dilakukan oleh para pengawal. Karena itu maka mereka dapat beristirahat sepenuhnya. Apalagi hampir semalam suntuk mereka tidak tidur, sedangkan di pagi hari mereka sudah mulai menempuh perjalanan. Karena itu, sebagian dari para pengawal itupun telah tertidur nyenyak di dalam bilik mereka masing-masing. Namun sebagian yang lain telah berbaring di serambi karena mereka tidak tahan panasnya udara yang menyengat.
Sementara itu, kelompok demi kelompok telah mendapat tugas bergiliran untuk berjaga-jaga. Bukan saja di regol di depan, tetapi juga dibelakang dan samping.
"Kita belum mengenal tempat ini dengan baik. Terutama lingkungannya." berkata Prastawa yang mengatur penjagaan ketat di barak itu.
Ketika segala sesuatunya sudah mapan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah ikut duduk pula di pendapa. Beberapa saat kemudian Prastawapun telah menyusul pula bersama para pemimpin pengawal Tanah Perdikan yang pada umumnya juga sudah mengenal Swandaru dengan baik.
Setelah cukup lama Swandaru berada di barak itu, maka iapun kemudian telah minta diri. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku akan kembali ke barak yang tidak terlalu jauh dari tempat itu. Mudah-mudahan di perjalanan dan bahkan setelah kita ditempatkan dalam gelarpun kita berada dalam lingkungan yang sama."
"Mudah-mudahan." jawab Ki Gede, "bukankah kita sama-sama berada di tataran kedua?"
Swandaru tertawa. Katanya, "Jika kita berada di medan, maka kesan itu tentuakan hilang."
Ki Gede tertawa pula. Katanya, "Kita tidak usah menghiraukannya. Kita berada di tataran keberapa. Yang penting, kita berada dalam satu perjuangan bersama-sama dengan Mataram."
Swandarupun kemudian telah menyahut, "Ya Ki Gede. Kita bersama-sama berjuang bagi Mataram."
Namun ketika kemudian Ki Gede berjalan di sebelah Swandaru sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih berada beberapa langkah di belakangnya saat mereka mengantar Swandaru sampai ke regol, maka Swandaru sempat berbisik, "Tetapi aku berani bertaruh, bahwa kemampuan Untara sebagai seorang Senapati yang sangat dihormati itu tidak lebih dari kemampuanku" Aku merasa bahwa kemampuan ilmuku lebih tinggi dari kemampuan Untara."
"Mungkin secara pribadi Swandaru." jawab Ki Gede, "tetapi Untara adalah orang yang memiliki wawasan yang sangat luas di medan perang. Ia memiliki ketajaman penglihatan atas kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, sehingga perhitungannya tentang medan dapat dianggap sangat tinggi."
Swandaru tersenyum. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi karena mereka telah berada di regol. Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putihpun menjadi semakin dekat di belakangnya.
Ketika Agung Sedayu kemudian ikut melepas Swandaru bersama kawan-kawannya meninggalkan regol itu, maka ia sempat bersama kawan-kawannya meninggalkan regol itu, maka ia sempat berdesis, "Aku mengucapkan selamat Swandaru."
"Terima kasih." jawab Swandaru, "mudah-mudahan anak itu sempat mengenal wajah ayahnya."
"Ah, tentu." jawab Agung Sedayu.
Tetapi Swandaru tersenyum sambil berkata, "Kita akan berada di satu lingkungan yang tidak menentu. Tetapi seperti nasehat Ki Gede, aku akan berdoa. Sudah tentu diantaranya adalah permohonan agar kita dapat bertemu dengan anak itu."
"Kita akan bersama-sama berdoa." sahut Agung Sedayu.
Swandarupun kemudian telah meninggalkan regol halaman rumah yang dipergunakan untuk barak pasukan dari Tanah Perdikan itu. Rumah yang tidak terlalu bagus, tetapi lengkap. Demikian Swandaru melangkah menjauh, maka beberapa orang prajurit yang meronda telah lewat. Empat orang prajurit berkuda. Nampaknya prajurit Mataram telah meningkatkan pengawasan terhadap kotanya karena di dalam kota itu berkumpul beribu-ribu prajurit dari beberapa daerah.
Menjelang malam, ketika lampu-lampu minyak sudah mulai menyala. Untaralah yang kemudian datang ke barak itu bersama Sabungsari. Ki Gede bergegas menyambutnya dan mempersilahkannya duduk di pendapa.
"Agaknya Swandaru telah datang kemari pula?" bertanya Untara.
"Ya." jawab Ki Gede, "siang tadi."
"Swandaru tentu sudah mengatakan bahwa anaknya telah lahir." desis Untara.
"Ya. Laki-laki." jawab Ki Gede.
"Dengan demikian Ki Gede sudah mempunyai seorang cucu laki-laki." berkata Untara, "aku ikut bergembira."
Ki Gede tertawa. Katanya, "Mudah-mudahan ia kelak menjadi seorang prajurit sebagaimana angger Untara. Prajurit pilihan yang mumpuni dalam ilmu perang."
Untara tertawa. Katanya, "Ki Gede terlalu memuji. Sementara itu aku sendiri tidak merasa bahwa aku memilikinya."
"Sudah tentu angger Untara sendiri tidak akan dapat menilai kemampuan diri. Selain itu angger Untara seperti juga angger Agung Sedayu adalah orang-orang yang rendah hati." berkata Ki Gede.
"Tidak Ki Gede. Aku tidak lebih dari orang lain. Adalah kebetulan bahwa aku telah diserahi tanggung jawab atas satu pasukan. Bahkan kali ini termasuk pasukan dari Kademangan Sangkal Putung yang dipimpin oleh Swandaru."
"Swandaru juga mengatakannya. Aku titipkan anak itu kepada angger Untara. Ia belum sempat menimang anaknya. Sementara itu perang yang garang tidak akan memilih korban. Meskipun seseorang yang baru saja dikaruniai seorang anak sekalipun." berkata Ki Gede.
"Swandaru adalah seorang yang berilmu tinggi." berkata Untara, "biasanya bekal yang dibawa maju ke medan perang akan sangat berpengaruh, apakah kita akan dapat keluar lagi dari peperangan itu atau tidak. Namun bagaimanapun juga akhirnya tangan-tangan Yang Maha Agung jugalah yang akan menentukan."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Angger benar. Kita hanya dapat berusaha."
"Ya Ki Gede. Dan kita, seluruh pasukan Mataram akan berusaha untuk menyelesaikan perang dengan sebaik-baiknya." berkata Untara.
Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah ikut menemui Untara itu pula.
"Swandaru telah mempunyai seorang anak. Agung Sedayu." berkata Untara.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Untara tidak mengatakan sesuatu, tetapi terbersit satu pertanyaan, "Kapan kau mempunyai anak juga?"
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Bahkan Untaralah yang berkata pula, "Tetapi kita memang harus sabar. Jika saatnya datang, maka anak itupun akan datang dengan sendirinya."
"Ya" Ki Gedepun mengangguk-angguk, "dalam usia yang masih muda, segala sesuatunya akan dapat ter-jadi dalam hal keturunan ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab sesuatu.
Namun ketika Ki Gede meninggalkan pendapa sejenak, ternyata Agung Sedayu menyadari bahwa ia telah salah menangkap maksud Untara. Untara yang mengatakan bahwa Swandaru telah mempunyai anak laki-laki, tidak berniat untuk mempertanyakan, kenapa Agung Sedayu belum mempunyai anak, bahkan tanda-tandanyapun belum.
Tetapi ternyata sepeninggal Ki Gede, Untara berkata, "Agung Sedayu. Yang ingin aku katakan adalah bahwa anak Swandaru itu adalah orang yang kelak berhak memimpin Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia memang agak terkejut ketika ia menyadari arah pembicaraan Untara.
Sementara itu Untara berkata selanjutnya, "Karena itu aku minta kau berpikir lagi tentang dirimu sendiri Agung Sedayu. Jika kelak saat itu datang, anak Swandaru menjadi dewasa sekitar duapuluh lima tahun lagi, kau lalu akan pergi ke mana" Anak itu tentu tidak akan memiliki pengertian mendalam seperti Ki Gede Menoreh. Ki Gede tahu, apa yang telah kau lakukan atas Tanah Perdikan itu. Tanpa kau, tanpa Kiai Gringsing, maka Tanah ini tentu sudah terkoyak-koyak sejenak Ki Argapati melawan kekuasaan kakaknya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semula ia sama sekali tidak menduga, bahwa sebenarnya kesana arah pembicaraan kakaknya. Agung Sedayu sendiri memang tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Dengan tulus ia mengucapkan selamat kepada Swandaru akan kelahiran anaknya. Tetapi ia tidak pernah berpikir bahwa anak itu adalah perwira kekuasaan di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan Untara telah berpikir lebih jauh lagi tentang dirinya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab.
Dengan demikian maka Untarapun berkata selanjutnya, "Agung Sedayu, kau harus mulai memikirkannya sejak sekarang. Sejak kau masih muda dan mampu berusaha untuk mendapat tempat yang lebih baik dari kemungkinan yang kau miliki sekarang. Coba bayangkan, apa yang akan kau lakukan kelak" Mengabdi kepada anak itu untuk sekedar mendapat sebidang tanah garapan" Kau tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi dimasa tuamu selain terbungkuk-bungkuk bekerja di sawah dan barangkali sekali-sekali mengawal Kepala Tanah Perdikan itu jika diperlukan."
"Kakang." tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. Ia tidak tahan mendengar kata-kata kakaknya itu.
"Baiklah." berkata Untara, "aku tidak akan mengganggumu lagi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Tetapi kau sendiri harus berani merenungkan. Hidupmu tidak hanya untuk hari ini. Tetapi untuk besok, lusa bahkan sepuluh dan duapuluh tahun lagi menurut penilaian lahiriah, kecuali jika Yang Maha Agung menghendaki lain. Karena itu, maka tidak mungkin bagimu bahwa kau akan membiarkan dirimu tersangkut untuk selama-lamanya di tempat terpencil ini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Kata-kata kakaknya memang dapat menyentuh perasaannya. Mungkin ia tahan mengalami keadaan yang bagaimanapun. Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah dan jika lahir anaknya kelak" Memang telah lahir pertanyaan, "Apakah anaknya kelak akan sekedar melayani anak Swandaru di Tanah Perdikan ini?"
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat memikirkannya. Apalagi ketika sejenak kemudian Ki Gede telah datang dan kembali duduk diantara mereka. Pembicaraan mereka seterusnya berkisar pada kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Madiun setelah pasukan Mataram membuat perkemahan di tempat yang akan ditentukan kelak.
Namun pembicaraan selanjutnya tidak berlangsung lama. Ketika malam menjadi semakin gelap, maka Untara itupun kemudian telah minta diri. Sabungsaripun kemudian telah minta diri pula untuk meninggalkan rumah itu bersama dengan Untara.
"Datanglah ke barak kami." berkata Sabungsari kepada Agung Sedayu.
"Besok aku akan datang. Aku juga ingin melihat barak adi Swandaru." jawab Agung Sedayu.
Sejenak kemudian maka Untara dan Sabungsaripun telah turun dari regol halaman. Namun Untara masih sempat berbisik, "Pikirkanlah."
Agung Sedayu hanya mengangguk saja. Ia sama sekali tidak menjawab. Apalagi Ki Gede ada diantara mereka. Demikianlah, maka Untara dan Sabungsari segera menyusup kedalam keremangan malam yang hanya diterangi oleh obor-obor yang ada di regol-regol halaman rumah di sebelah menyebelah jalan.
Sementara itu, ampat orang berkuda telah lewat pula. Nampaknya mereka juga prajurit dari Mataram yang sedang meronda. Ketika mereka melewati Untara dan Sabungsari, maka para peronda itu sempat bertanya. Kedua orang prajurit itu akan pergi ke mana atau dari mana.
"Dari barak para pengawal Tanah Perdikan Mjenoreh." jawab Untara, "adikku ada disana."
Para peronda itu ternyata sudah mengenal Untara. Karena itu, seorang diantara mereka telah menyebut namanya, "Ki Untara."
"Ya." jawab Untara.
Para prajurit itu tidak bertanya lebih jauh. Sambil mengangguk hormat, mereka kemudian telah melanjutkan tugas mereka, meronda diseputar kota Mataram yang telah menjadi seolah-olah penuh sesak.
Sepeninggal Untara, maka Ki Gede telah member kesempatan kepada para pengawal untuk beristirahat
sebaik-baiknya kecuali yang sedang bertugas. Demikian pula Agung Sedayu, Glagah Putih, Prastawa dan para pemimpin pengawal yang lain.
Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah meninggalkan pendapa yang memang menjadi sepi. Tetapi keduanya tidak segera memasuki bilik mereka diruang dalam. Tetapi keduanya justru pergi ke longkangan dan duduk di sebuah lincak bambu yang panjang.
Hampir di luar sadamya, Glagah Putih tiba-tiba saja telah bertanya, "Bagaimana pendapat kakang tentang sikap kakang Untara?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku dapat mengerti landasan berpikir kakang Untara."
"Jadi?" bertanya Glagah Putih pula.
Agung Sedayu termangu-mangu. Sementara itu Glagah Putihpun bertanya selanjutnya, "Apakah kakang Agung Sedayu sependapat?"
"Aku belum mempertimbangkannya." jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih termenung sejenak. Agaknya ia sedang memikirkan pendapat Untara itu. Bahkan kemudian Glagah Putihpun berkata, "Aku sependapat dengan kakang Untara, kakang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Apa yang sependapat?"
"Tentang kakang Agung Sedayu. Kakang Agung Sedayu adalah orang yang memiliki ilmu tidak ada duanya. Bukan saja ilmu kanuragan. Bukan saja kakang Agung Sedayu tidak terkalahkan dalam benturan kekerasan dengan setiap orang di Tanah Perdikan ini, tetapi bahwa setiap orang di Tanah Perdikan ini tidak ada yang mampu melampaui kemampuan kakang Agung Sedayu dalam ilmu yang lain. Ilmu kesusasteraan, ilmu yang berhubungan dengan pertanian bahkan pengetahuan tentang perbintangan serba sedikit juga ilmu tentang pengobatan yang kakang warisi dari Kiai Gringsing, serta pengetahuan-pengetahuan yang lain." berkata Glagah Putih kemudian, "tetapi seperti yang dikatakan oleh kakang Untara, apa yang kakang dapatkan di Tanah Perdikan Menoreh" Pada gilirannya ternyata akupun harus berpikir seperti itu pula. Jika aku tetap berada di Tanah Perdikan ini, apakah yang akan dapatkan bagi masa depanku?"
"Kau terlalu cepat terpengaruh Glagah Putih." suara Agung Sedayu terdengar ragu-ragu.
Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya hampir bergumam, "Mungkin kakang. Tetapi jika kita sempat berpikir, maka kita memang akan menemukan jawaban yang tidak jauh berbeda dari jalan pikiran itu. Jika anak kakang Swandaru itu kemudian mendekati dewasa, lalu apa artinya kita disini" Apakah kita dapat menjamin bahwa sikap anak kakang Swandaru itu sama dengan sikap Ki Gede atau barangkali sikap mbokayu Pandan Wangi" Jika sikap cucu Ki Gede itu berbeda dan bahkan berlawanan dengan sikap Ki Gede, sementara itu Ki Gede sudah tidak ada, kita akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas diri kita."
"Tetapi bukankah adi Swandaru dapat menjelaskan kedudukan kita disini?" jawab Agung Sedayu.
"Maaf kakang. Apakah kakang tidak memahami sifat dan watak kakang Swandaru?" justru Glagah Putih bertanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, "Kakang Swandaru menganggap kakang lebih rendah dari kakang Swandaru."
"Dalam tataran ilmu." potong Agung Sedayu.
"Sekarang. Tetapi pada saatnya kakang Swandaru akan menganggap kakang Agung Sedayu berada pada tataran yang-lebih rendah dalam segala segi kehidupan. Dalam takaran ilmu, tetapi juga tataran dalam hubungan antara manusia. Dan kakang dapat membayangkan, bagaimana sikap anaknya itu kelak. Pada saat kakang Agung Sedayu menjadi semakin tua, maka kakang akan mengalami perlakuan yang barangkali tidak kita kehendaki. Kakang dan barangkali anak kakang yang bakal lahir kelak." berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mulai bertanya kepada diri sendiri, "Apakah itu sikap yang wajar. Sedangkan sikapkulah yang aneh dan sulit untuk dimengerti oleh orang lain."
Tetapi Agung Sedayu tidak mengucapkannya. Namun dalam pada itu, Glagah Putih telah berkata pula, "Kakang. Agaknya sekarang terbuka kesempatan bagi kakang. Dengan senang hati kakang tentu akan dapat diterima menjadi seorang prajurit, dengan bekal ilmu sebagaimana yang kakang miliki itu."
"Ah." desah Agung Sedayu, "sejak dahulu sudah aku katakan, bahwa dunia keprajuritan bukan duniaku. Karena itu, aku tidak sebaiknya memasuki dunia yang bukan duniaku itu."
"Jika bukan untuk menjadi seorang prajurit. kakang tentu akan dapat memegang banyak jabatan yang lain, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang kakang miliki." berkata Glagah Putih.
Agung Sedayu memandang Glagah Putih dengan tatapan mata yang bagaikan menembus ke dalam pusat jantungnya. Namun kemudian Agung Sedayu itu berkata kepada diri sendiri, "Glagah Putih memang bukan anak-anak lagi. Telah banyak hal yang dipelajarinya. Telah banyak pula hal yang dilihatnya, sehingga pengetahuan dan pengalaman Glagah Putih memang tidak lagi sesempit tempurung yang menelungkup."
Dengan demikian maka Agung Sedayu tidak dapat lagi menanggapi pendapat Glagah Putih sebagaimana ia menanggapi pendapat anak-anak.
Sementara itu Glagah Putih masih berkata selanjutnya, "Di Mataram kesempatan kakang memang jauh lebih luas daripada kakang berada di Tanah Perdikan. Ternyata akupun harus berpikir tentang diriku sendiri. Aku kira bagikupun kesempatan untuk berkembang akan lebih banyak berada di Mataram daripada di Tanah Perdikan Menoreh."
"Kau benar Glagah Putih." berkata Agung Sedayu, "menurut perhitungan nalar, maka yang kau katakan itu wajar sekali."
"Jadi, pertimbangan apa lagi yang harus kita pergunakan jika bukan pertimbangan nalar?" bertanya Glagah Putih, "aku sadar kakang, bahwa harus ada keseimbangan antara nalar dan rasa. Tetapi untuk menentukan hari depan dari satu kehidupan yang panjang seperti ini, kita jangan terlalu condong untuk memanjakan perasaan saja kakang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Glagah Putih tiba-tiba menyadari apa yang dikatakannya. Karena itu, maka katanya, "Maaf kakang. Aku tidak ingin memaksakan satu pendapat kakang. Aku hanya mengatakan apa yang baik menurut pendapatku."
"Aku mengerti Glagah Putih. Persoalannya tentu menyangkut kau sendiri. Aku sadar, bahwa kau berada di Tanah Perdikan Menoreh karena aku juga berada di sana. Apalagi kemudian Ki Jayaraga. Tetapi akupun sadar, bahwa kau mempunyai cita-cita dan citra masa depan yang berbeda dengan aku. Aku yang sejak kecil dikungkung oleh pikiran-pikiran yang sempit, sederhana dan barangkali lebih banyak kekedalaman, kadang-kadang tenggelam dalam satu jenis kehidupan yang mapan, tenang dan barangkali diam. Tetapi kau ingin hidup dalam satu beriak bukan saja dipermukaan. Kita sama-sama pernah menjelajahi berbagai bentuk kehidupan. Pada saat Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa masih muda maka aku sering sekali mengikuti salah seorang dari keduanya. Tetapi gaya hidup Pangeran Benawalah yang nampaknya banyak berpengaruh pada nuraniku. Aku kadang-kadang merasa ketinggalan untuk mengikuti cara berpikir dan gaya hidup Panembahan Senapati yang cepat bergejolak. Tetapi untuk waktu yang cukup lama kau selalu berada bersama dengan Raden Rangga seorang anak muda yang memiliki watak tersendiri. Bahkan seorang anak muda yang memiliki dunia rangkap dalam hidupnya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata lebih lanjut, "Tetapi kau dan Raden Rangga mempunyai pembawaan yang berbeda. Tetapi pengaruh Raden Rangga yang kuat pada dirimu, telah membuatmu gelisah memandang kehidupan."
"Tetapi bukankah kegelisahan itu akan memacu usaha untuk menggapai satu bentuk kehidupan yang lebih baik, setidak-tidaknya bagiku sendiri kakang?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Kau benar Glagah Putih. Aku tidak pernah menganggap bahwa kita harus berhenti dan puas terhadap keadaan kita disatu saat. Itulah sebabnya, aku masih harus mengasah kemampuan untuk mencapai tataran tertinggi dari ilmu cambuk dari perguruan Orang Bercambuk itu. Tetapi penggunaannyalah barangkali sangat tergantung pada landasan sifat dan watak kita masing-masing. Bagaimanapun juga aku mengerti, menyadari dan meyakini kebenaran sikap orang lain, katakanlah sikap kakang Untara, tetapi justru karena aku bukan kakang Untara, maka sudah barang tentu aku tidak akan dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh kakang Untara."
"Maaf kakang, kakang terlalu berpegang kepada dasar sifat dan watak kakang." berkata Glagah Putih, "tetapi bukankah kakang sendiri pernah mengatakan, bahwa kita wajib mengembangkan pribadi kita masing-masing" Sudah tentu ke arah yang semakin baik sehingga peningkatan pribadi kita berarti juga bahwa hidup kita semakin berarti bagi kehidupan."
Agung Sedayu terkejut mendengar jawaban itu. Tetapi iapun segera teringat, bahwa ia memang pernah mengatakannya kepada Glagah Putih untuk mendorong agar Glagah Putih berjuang untuk meningkatkan pribadinya. Tetapi pernyataan itu kini kembali dilontarkan kepadanya.
Tetapi Agung sedayu mengangguk. Katanya, "Ya. Aku memang telah mengatakannya. Pribadi seseorang memang perlu dikembangkan Glagah Putih, tetapi sudah tentu atas dasar dan landasan ciri watak mereka masing-masing"
Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, "karena sebenarnyalah kepribadian seseorang adalah keadaan seseorang seutuhnya dengan ciri dan wataknya yang tersendiri. Betapapun pribadi seseorang berkembang, tetapi ia tetap dirinya dengan segala macam kediriannya, yang berbeda dengan orang lain."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun pembicaraan singkat itu memperjelas pendapatnya, bahwa sikapnya memang dapat berbeda dengan sikap kakak iparnya, Agung Sedayu. Namun yang harus dipegang teguh, bahwa segala sesuatunya harus tetap berada di dalam bingkai dari kehidupan yang baik dalam arti yang luas.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Namun Glagah Putihpun kemudian telah beralih kepada kemungkinan-kemungkinan yang mereka hadapi dalam perjalanan mereka ke Timur.
"Aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi." berkata Agung Sedayu, "mungkin perang yang besar, yang akan menghancurkan kekuatan kedua belah pihak. Tetapi mungkin juga tidak ada perang, karena kedua-duanya masih selalu mengekang diri."
"Tetapi bukankah keduanya telah bersiaga perang?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Keduanya telah siap untuk berperang. Namun masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi." berkata Agung Sedayu, "para petugas sandi telah datang silih berganti memberikan laporan tentang perkembangan prajurit yang berpihak kepada Madiun. Saat ini Madiun telah menjadi pepat oleh prajurit dari daerah Timur sehingga kotanya seakan-akan tidak dapat menampung lagi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Bahkan kemudian ia berkata, "Kakang, apakah kakang tidak beristirahat?"
"Ya, sebentar lagi aku akan beristirahat. Sekarang pergilah lebih dahulu. Aku akan tinggal disini sebentar." jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah bergeser sambil berkata, "Maaf kakang. Aku akan pergi ke bilik."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Jawabnya, "Sebentar lagi aku akan menyusul."
Glagah Putihpun kemudian telah bangkit berdiri dan melangkah masuk ke ruang dalam lewat pintu butulan langsung kedalam bilik yang disediakan baginya. Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya di amben yang disediakan baginya dan bagi Agung Sedayu.
Namun matanya tidak dapat dipejamkannya. Ia mulai menilai kata-katanya sendiri. Bahkan ia mulai ragu-ragu, apakah yang dikatakan itu benar dan apakah justru telah menyinggung perasaan kakak sepupunya yang menurut pendapatnya memang termasuk seorang yang perasa dan apalagi tertutup.
Tetapi Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada diri sendiri, "Lebih baik aku mengatakannya. Kakang Agung Sedayu akan dapat melihat sikapku. Terserah penilaiannya atas sikapku itu. Aku masih yakin bahwa kakang Agung Sedayu tetap bersikap sebagai seorang guru. Jika ia melihat aku salah langkah, maka ia tentu akan menegurnya. Tetapi nampaknya kakang Agung Sedayu dapat mengerti sikapku."
Namun bagaimanapun juga terjadi kebimbangan dihati Glagah Putih, justru karena ia tahu, Agung Sedayu tidak bersikap terbuka kepada siapapun. Tentu juga kepadanya. Kepada adik seperguruannya, Agung Sedayu terlalu banyak menahan diri, sehingga kesalah pahaman akan semakin bertambah tambah. Terutama tentang penilaian Swandaru yang salah tentang kemampuan dan tingkat tataran ilmunya, sehingga Glagah Putih hampir saja tidak tahan lagi mendengarkan kata-katanya.
Pada saat-saat terakhir, Glagah Putih mengetahui bahwa Swandaru telah menempa diri menjalani laku untuk mencapai tataran ilmu yang lebih tinggi. Namun Glagah Putih diluar sadarnya telah menilai dirinya sendiri.
"Aku masih belum ketinggalan." berkata Glagah Putih, "Apalagi setelah Guru memberikan pacuan atas urat-urat nadiku dengan membuka simpul-simpul syarafku yang masih tertutup."
Tetapi Glagah Putih kemudian telah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bergumam sehingga hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri. "Kenapa tiba-tiba aku merasa diriku lebih baik dari kakang Swandaru" Lebih baik atau tidak, apa salahnya?"
Glagah Putih masih saja termangu-mangu beberapa saat. Namun iapun kemudian telah berusaha untuk benar-benar memejamkah matanya, "Aku akan tidur."
Sementara itu diluar, Agung Sedayu duduk bersandar tiang serambi samping. Matanya yang kosong menembus kegelapan memandang kekejauhan. Dipandanginya bintang-bintang yang berkeredipan di langit.
Agung Sedayu sama sekali tidak menyatakan jalan pikiran Glagah Putih. Ia mengerti sepenuhnya, bahwa Glagah Putih tidak akan membiarkan dirinya hidup terbelenggu oleh Tanah Perdikan yang tidak memberikan harapan apa-apa kepadanya. Apalagi setelah Glagah Putih sempat berbicara dengan Untara, maka wajarlah jika Glagah Putih mempunyai keinginan untuk meniti kesempatan yang lebih baik bagi masa depannya.
Agung Sedayu memang berusaha untuk melihat dirinya sendiri. Ia memang tidak melihat apa-apa yang dapat dicapainya di Tanah Perdikan itu. Apalagi ketika ternyata Swandaru mempunyai anak laki-laki yang kelak akan memimpin Tanah Perdikan itu atas namanya, karena Swandaru sendiri tentu agak keberatan meninggalkan Kademangan Sangkal Putung.
Agung Sedayu memang tidak melihat apa-apa. Tetapi rasa-rasanya ia tidak akan dapat mencari wajah kehidupan yang lain. Bukan karena ia tidak mampu, karena ia memiliki ilmu. Tetapi rasa-rasanya ia memang tidak berniat untuk berbuat lain dari pada apa yang dilakukan sekarang. Rasa-rasanya ia tidak ingin melihat masa-masa suram dihari depannya. Tetapi Agung Sedayu itu akhirnya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba terbayang padepokan kecil di Jati Anom. Padepokan gurunya dari perguruan Orang Bercambuk.
Agung Sedayu menggeleng lemah. Ia tidak ingin mengambil sikap dalam keadaan yang masih kabur seperti itu. Namun Agung Sedayupun sadar, bahwa pada suatu saat ia harus menentukan satu sikap tentang dirinya sendiri. Baru beberapa saat kemudian, Agung Sedayu telah bangkit pula dan melangkah kedalam biliknya. Sementara para pengawal yang lain telah tertidur nyenyak kecuali yang sedang bertugas.
Ketika ia masih kedalam bilik di ruang dalam itu, ternyata Glagah Putih masih juga belum tidur, meskipun matanya terpejam.
"Kau masih belum tidur?" bertanya Agung Sedayu.
"Belum kakang. Rasa-rasanya sulit untuk tidur." jawab Glagah Putih.
"Kita harus tidur. Jika besok kita akan mendapat tugas yang berat, tenaga kita masih cukup kuat." desis Agung Sedayu sambil berbaring disebelah Glagah Putih. Lalu katanya, "Jangan pikirkan pembicaraan kita lagi. Aku mengerti bahwa kau benar."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia benar-benar berusaha untuk tidur. Sementara Agung Sedayupun telah menyilangkan tangannya di dadanya. Meskipun agak lama, tetapi keduanyapun kemudian telah tertidur.
Pagi-pagi menjelang fajar, keduanya memang telah bangun. Keduanyapun segera keluar dari ruang dalam untuk melihat-lihat keadaan para pengawal. Ternyata sebagian besar diantara mereka masih tertidur nyenyak. Memang ada yang sudahberada di serambi sambil berbincang-bincang. Namun yang lain masih berada didalam bilik dan ruang masing-masing.
Namun ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi kedapur, ternyata beberapa orang telah sibuk dengan tugasnya. Mereka telah mendapatkan bahan mentah dari para prajurit Mataram. Namun mereka harus mengolah sendiri sehingga siap untuk dimakan dan dirninum oleh pasukannya.
Beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada diantara para petugas yang berada di regol halaman. Mereka melihat beberapa kelompok prajurit yang berlari-lari di sepanjang jalan untuk mempertahankan ketahanan jasmani mereka.
Ketika matahari terbit, maka semua pengawal telah dalam keadaan tertib. Ki Gede telah memanggil mereka untuk menyiapkan diri di halaman. Kelompok demi kelompok. Prastawa dengan sigap mengatur para pengawal serta memberikan laporan kepada Ki Gede tentang keadaan mereka.
Tetapi halaman itu memang terlalu sempit, sehingga beberapa kelompok harus berada dihalaman samping dan bahkan di longkangan kiri dan kanan.
Ki Gede kemudian telah memanggil semua pemimpin kelompok untuk berdiri berjajar dipaling depan sehingga mereka dapat mendengar semua pesan Ki Gede dengan jelas.
"Kita berada di kota Mataram yang sedang dipenuhi oleh para prajurit dan pengawal dari berbagai daerah, Karena itu, maka kita, khususnya para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, harus mampu membawa diri. Dalam kota yang sempit ini, dibandingkan dengan jumlah prajurit dan pengawal yang sekarang ada didalamnya, akan dapat dengan mudah menimbulkan geseran-geseran yang mungkin akan dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki. Karena itu, maka kalian sebaiknya tidak keluar dari regol halaman jika tidak penting sekali. Dengan demikian maka kalian sudah mengurangi kemungkinan buruh yang dapat terjadi. Beberapa bagian dari pasukan yang ada di kota ini sudah berada disini dua tiga hari sebelum kita. Mereka tentu sudah merasa jemu karena terlalu lama menunggu tanpa berbuat sesuatu."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk kecil. Mereka mengerti apa yang dipesankan oleh Ki Gede itu, sehingga dengan demikian maka merekapun merasa bertanggung jawab atas setiap kelompok dari pasukan pengawal Tanah Perdikan itu.
Demikianlah setelah selesai dengan pesan-pesannya, maka Ki Gedepun telah membubarkan mereka dan pasukan pengawal itu dapat beristirahat untuk waktu yang cukup sampai saatnya mereka harus berangkat ke Madiun.
Namun dalam keadaan yang demikian, maka Ki Gede telah memerintahkan Prastawa agar mengisi saat-saat yang kosong itu dengan latihan-latihan yang dapat mereka lakukan didalam lingkungan halaman itu saja. Terutama ketrampilan mempergunakan senjata ditilik dari kemampuan setiap pribadi dari pengawal itu.
Bukan saja Prastawa yang kemudian sibuk dengan para pengawal yang melakukan latihan latihan khusus itu, tetapi juga Ki Gede sendiri, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sambil memanfaatkan waktu, maka diharapkan bahwa peningkatan ketrampilan secara pribadi itu akan dapat memberikan kemungkinan lebih baik bagi para pengawal untuk menyelesaikan tugas mereka dengan selamat.
Berganti-gati kelompok demi kelompok telah melakukan latihan-latihan khusus itu. Dengan jenis-jenis senjata yang khusus bagi setiap kelompok para pengawal telah mengasah kemampuan mereka masing-masing.
Ketika Swandaru datang dihari berikutnya. ia melihat bagaimana para pengawal Tanah Perdikan mempergunakan waktunya sebaik-baiknya.
"Bagus." berkata Swandaru, "aku juga akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya."
Ki Gede telah mempersilahkan Swandaru untuk duduk. Tetapi ternyata Swandaru lebih senang melihat latihan-latihan yang dilakukan oleh para pengawal Tanah Perdikan, yang bukan saja untuk mempertajam kemampuan mereka disaat-saat terakhir, tetapi juga untuk mempertahankan daya tahan mereka, diantar oleh Agung Sedayu.
Swandaru jarang sekali menyaksikan para pengawal Tanah Perdikan berlatih. Meskipun ia tahu, bahwa naluri keprajuritan orang-orang Tanah Perdikan tinggi, namun ketika ia menyaksikan latihan-latihan yang dilakukan, maka mau tidak mau Swandaru harus mengakui, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh berkemampuan cukup tinggi. Para pengawal Tanah Perdikan itu memang mampu disejajarkan dengan kemampuan para prajurit Mataram.
"Ternyata tidak hanya para pengawal dari Sangkal Putung saja yang mempunyai kemampuan seorang prajurit." berkata Swandaru didalam hatinya.
Semula ia tidak mengira bahwa tingkat kemampuan para pengawal Tanah Perdikan demikian tingginya, karena ia memperbandingkan kemampuannya dengan kemampuan Agung Sedayu. Karena ia menganggap bahwa sumber kemampuan para pengawal di Tanah Perdikan itu terutama adalah Agung Sedayu, justru bukan Ki Gede, maka apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu tidak akan dapat sejajar dengan apa yang dapat dilakukannya di Sangkal Putung.
Dengan demikian Swandaru justru tertarik untuk menyaksikan latihan-latihan itu, baik yang berada di halaman depan, maupun yang berada di kebun belakang. Ternyata bahwa kemampuan para pengawal itu cukup merata. Bukan hanya beberapa kelompok terpilih saja yang memiliki kemampuan seorang prajurit.
"Ternyata kakang Agung Sedayu cukup berhasil." berkata Swandaru didalam hatinya, "tetapi karena itulah agaknya kakang Agung Sedayu menjadi lambat. Ia tidak sempat memikirkan diri sendiri."
Agung Sedayu sendiri telah menemani Swandaru mengelilingi tempat-tempat para pengawal berlatih. Ia sama sekali tidak menunjukkan kemampuannya dihadapan adik seperguruannya itu. Bahkan Glagah Putih yang ikut memimpin latihan juga hanya sekedar memberikan petunjuk-petunjuk dan membiarkan para pemimpin kelompok untuk memimpin langsung latihan-latihan itu.
"Bukan main." desis Swandaru, "ternyata kemampuan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh mampu mengimbangi kemampuan para pengawal dari Sangkal Putung. Kami yang berangkat lebih dahulu karena hadirnya sisa-sisa pasukan Jipang di sekitar Sangkal Putung, harus mengakui, bahwa Tanah Perdikan mampu menyusulnya. Atau setidak-tidaknya mendekati kemampuan para pengawal dari Sangkal Putung."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa Glagah Putih tidak mendengarnya. Nampaknya Glagah Putih yang meningkat semakin dewasa, penalarannyapun telah berkembang pula. Sedangkan Agung Sedayu sendiri telah terbiasa menahan hati sehingga ia tidak menampakkan gejolak perasaan sedikitpun mendengar kata-kata Swandaru.
Dalam pada itu, setelah beberapa lama Swandaru menyaksikan latihan-latihan itu, maka iapun telah menemui Ki Gede untuk mohon diri.
"Kau tidak duduk dahulu?" bertanya Ki Gede.
"Tidak, Ki Gede." jawab Swandaru, "aku masih harus menemui kakang Untara untuk membicarakan bebe-rapa persoalan menyangkut susunan pasukan. Kakang Untara berpendapat, bahwa kemampuan para prajuritnya lebih baik dari para pengawal Sangkal Putung, sehingga susunan pasukannyapun akan terpengaruh oleh pendapat itu. Padahal, jika para prajurit Mataram di Jati Anom dan para pengawal Kademangan Sangkal Putung dilepas di medan yang betapapun garangnya, maka tentu akan nampak bahwa prajurit Mataram tidak akan lebih baik dari para pengawal."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede tersenyum. Dengan nada rendah Ki Gede berkata, "Mungkin ada maksud lain dari sikap Untara itu, Swandaru. Ia tidak saja menilai kemampuan para prajurit dan para pengawal. Tetapi ia justru memberatkan kewajiban di medan perang itu kepada para prajurit. Para prajurit memang lebih banyak memikul tanggung jawab di peperangan daripada para pengawal yang tugasnya lebih banyak tertuju kedalam. Maksudku untuk kepentingan ketertiban lingungan masing-masing. "
"Tetapi bukankah setiap orang yang mengaku penghuni Mataram yang besar ini mempunyai beban kewajiban yang sama untuk mempertahankannya?" bertanya Swandaru.
"Kau benar. Tetapi menurut perhitungan Untara, karena seorang prajurit memang dipersiapkan untuk turun ke medan perang, sedangkan para pengawal disamping tugasnya sebagai pengawal masih harus memikirkan tugas-tugas keprajuritan agak berbeda dengan para prajurit. Itu bukan berarti bahwa para prajurit tidak ikut serta bertanggung jawab dalam pengembangan negeri ini di bidang-bidang yang lain. Tetapi mereka telah ditempa dengan cara yang khusus untuk menjadi benteng keselamatan dan keuntungan Mataram." berkata Ki Gede.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyambut lagi. Bahkan iapun kemudian telah minta diri sekali lagi untuk kembali ke barak.
Ki Gede tersenyum sambil berpesan, "Hati-hatilah menghadapi tugasnya yang berat ini."
Swandaru mengangguk sambil tersenyum pula. Dengan suara rendah ia menjawab, "Aku akan berhati-hati Ki Gede. Aku harus bertanggung jawab bukan saja atas diriku sendiri, tetapi aku harus mempertanggungjawabkan seluruh pasukan pengawalku. Disini Ki Gede sendiri ikut serta dalam pasukan Tanah Perdikan, sedangkan pasukan pengawal Sangkal Putung bulat-bulat diserahkan kepadaku. Selain ayah memang sudah terlalu tua untuk turun ke peperangan, agaknya perang yang besar itu juga akan sangat berbahaya bagi ayah, karena bekal ilmu ayah kurang memadai."
Ki Gede masih saja tersenyum. Katanya, "Tetapi Ki Demang telah mempercayakan kepadamu, anak laki-lakinya yang mempunyai bekal yang cukup karena kau adalah murid Orang Bercambuk."
Swandaru tertawa pendek. Katanya, "Tetapi aku belum selesai dengan laku yang harus aku jalani pada tataran berikutnya. Meskipun demikian, aku telah mendapatkan banyak kemajuan."
Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara Swandarupun berkata kepada Agung Sedayu, "Setelah kita kembali dari Madiun, maka kewajiban yang berat telah menunggu kita dengan tugas-tugas dari perguruan."
"Ya" jawab Agung Sedayu, "aku sudah mempersiapkan diri."


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pada suatu saat, kitab itu akan aku serahkan kepada kakang. Aku kira, dalam waktu dekat, karena aku sudah merambah ke puncak ilmu cambuk pada tataran berikutnya. Bahkan jika ada kesempatan kelak, aku juga ingin mempelajari dan menjalani laku tataran terakhir dari ilmu cambuk, sehingga dengan demikian maka aku adalah murid dari perguruan Orang Bercambuk yang sempurna, yang memiliki kemampuan setingkat dengan guru." berkata Swandaru.
Tetapi Ki Gede menggeleng. Katanya, "Tidak ada yang sempurna didunia ini. Tetapi untuk meningkatkan ilmu apapun adalah baik sekali. Yang penting, pemanfaatan dari ilmu itu."
"Aku tahu maksud Ki Gede." jawab Swandaru.
"Dan kaupun tidak akan dengan serta merta memiliki kemampuan ilmu cambuk setingkat gurumu. Apalagi ilmu yang lain, karena Kiai Gringsing memiliki bermacam-macam ilmu yang saling mendukung, Ilmu cambuk yang dipelajarinya dari kitab itu sudah jauh dikembangkannya, sehingga Kiai Gringsing adalah seorang yang rasa-rasanya sulit dicari duanya. Beruntunglah kau mempunyai seorang guru yang mumpuni dalam berbagai ilmu, sementara seba-gai manusia ia adalah manusia yang baik dan berbuat kebaikan tanpa pamrih." desis Ki Gede.
Tembang Tantangan 24 Soccer Love Karya Ida Farida Kitab Pusaka 1
^