Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 27

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 27


"Jika demikian, maka menyerahlah. Kau akan mati dengan cara yang lebih baik daripada jika kau melawan." berkata Putut Lengkara.
Tetapi Glagah Putih tertawa pendek. Sambil memutar pedangnya ia berkata, "Jika aku mengatakannya kepadamu, justru aku mencoba untuk membujukmu agar kau menghentikan tingkah lakumu yang menodai kebersihan prajurit Pajang. Aku tahu bahwa yang kau lakukan itu tidak akan dilakukan prajurit Pajang itu sendiri. Tetapi gurumu yang merasa dirinya lebih baik dari prajurit Pajang, karena pemimpin kelompok prajurit Pajang itu adalah muridnya, telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Menyamun."
"Tutup mulutmu."
Putut Lengkara itupun dengan cepat melibat Glagah Putih dalam pertempuran yang semakin cepat. Namun Glagah Putih sudah bersiap menghadapinya. Ia tidak berusaha menangkis serangan-serangan lawannya. Tetapi pedangnya berputaran mengerikan. Ujungnya seperti seekor lalat yang terbang mengelilingi lawannya. Bahkan sekali ujung pedang Glagah Putih itu hinggapdi lengan Putut Lengkara.
"Setan kau." geram Putut Lengkara.
Namun Glagah Putihpun harus berdesah. Demikian ujung pedangnya mengoyak kulit lengan lawannya, maka getaran itu terasa merambat lewat ujung pedangnya menusuk ke bagian dalam tubuhnya. Karena ujung pedangnya langsung menyentuh tubuh lawannya, maka rasa-rasanya getaran itu terasa lebih tajam dan lebih dalam menghunjam kedalam dirinya. Karena itu justru Glagah Putih telah meloncat surut. Sejenak ia sempat mengamati lawannya yang mengusap lukanya dengan tangannya.
"Aneh." berdesis Glagah Putih didalam hatinya, "ternyata orang itu memang mempunyai ilmu yang tinggi. Bukan sekedar karena kekuatan keris ditangannya. Sentuhan pada tubuhnya ternyata juga menjadi rambatan ilmunya yang menggetarkan itu. Bahkan terasa lebih tajam menUsuk urat-urat didalam tubuhku."
Namun Glagah Putih masih belum dapat mengambil satu kepastian yang meyakinkan. Apakah kekuatan ilmu itu ada di senjatanya atau memang dimiliki oleh Putut itu. sehingga ia bukan sekedar bayangan dari gurunya. Atau paduan dari kedua-duanya, sehingga hasilnya adalah kekuatan yang aneh itu.
Tetapi betapapun lemahnya kemudian, getaran itu masih saja terasa merambat lewat ujung pedangnya ke telapak tangannya. Rasa-rasanya seperti tidak henti-hentinya meskipun ia sudah berdiri pada jarak beberapa langkah dari tubuh lawannya.
Glagah Putih termangu-mangu. Sudah tentu ia tidak dapat melepaskan pedangnya jika ia harus bertempur dengan lawannya yang membawa senjata yang mendebarkan itu. Yang ujungnya seakan-akan berwarna kemerah-merahan. Tetapi getaran itu terasa mengganggu telapak tangannya dan bahkan meskipun lemah, menyusup ke dalam tubuhnya.
Untuk meyakinkan perasaannya, Glagah Putih telah memindahkan pedangnya ke tangan kirinya. Ternyata getaran itupun telah ikut berpindah dan menyusup lewat telapak tangan kirinya. Namun Glagah Putih adalah anak muda yang ternyata memiliki ketajaman penalaran, sehingga ia tidak sekedar termangu-mangu dan gelisah.
Sementara itu, lawannya yang melihat Glagah Putih gelisah, tertawa berkepanjangan. Katanya, "Sudah aku katakan. Menyerah sajalah, agar kau mendapatkan jalan kematian yang lebih baik. Jangan gelisahkan kudamu bahwa tidak akan ada yang memeliharanya."
Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Sementara itu orang yang duduk di atas kudanya itupun tertawa pula sambil berkata, "Cepat, selesaikan lawanmu. Kemudian kita akan segera kembali ke Mataram. Pada saatnya kita akan berada diujung pasukan dengan seekor kuda yang besar dan tegar."
Putut Lengkara mengangguk sambil berkata, "Baik Guru."
Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Ternyata ia telah menemukan lawan yang memiliki ilmu yang aneh. Bukan saja ketika terjadi sentuhan, tetapi pedang yang sudah ditangannya itu masih saja menjadi rambatan ilmu lawannya. Meskipun lemah, tetapi terasa sangat mengganggunya. Seperti sekelompok semut yang merambat ditelapak tangannya, menyusup masuk kehawah kulitnya tanpa dapat dihalaunya.
Sementara itu, Agung Sedayu telah bertempur dengan cepat pula. Cambuknya berputaran dan bahkan telah meledak dengan kerasnya.
Tetapi orang yang duduk di punggung kuda itu berkata, "Ledakan itu memang memekakkan telinga. Tetapi ledakan itu tidak lebih ledakan cambuk gembala kerbau yang marah karena kerbaunya makan tanaman."
Agung Sedayu tak menghiraukannya. Ia memang sedang menjajagi lawannya. Namun seperti juga Glagah Putih, setiap sentuhan dengan senjata lawannya yang kemerah-merahan itu terasa getaran yang tajam menusuk ke dalam tubuhnya. Tetapi Agung Sedayupun cepat mengetahui bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang mampu melumpuhkan lawannya dengan menyerang langsung bagian dalam tubuhnya dengan cara yang lunak. Dengan getaran ilmu yang menyusup kedalam tubuhnya dan menghambat geraknya. Karena itu, maka Agung Sedayupun menjadi sangat berhati-hati menghadapi lawannya itu. Iapun telah berusaha untuk tidak membentur senjata lawannya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu melihat bahwa lawannya masih belum memiliki kematangan ilmu sebagaimana orang yang duduk di atas punggung kuda itu, meskipun Agung Sedayu merasa bahwa ia harus sangat berhati -hati menghadapi ilmu lawannya itu.
Dengan demikian maka Agung Sedayu telah mencoba mempengaruhi lawannya dengan tanpa menyentuhnya. Tetapi ia telah meledakkan cambuknya dekat ditelinga lawannya itu berganti-ganti menyebelah.
Ternyata lawannya itu memang menjadi semakin marah. Suara itu rasa-rasanya memang memekakkan telinganya, sehingga kadang-kadang desing suaranya masih saja mengganggunya meskipun ledakan cambuk itu sudah terjadi.
"Jangan bingung." teriak orang yang diatas punggug kuda, "suara itu tidak akan menyakitimu."
"Tetapi suara itu sangat mengganggu." geram orang itu.
"Karena itu bunuh orang itu." teriak yang duduk di punggung kuda.
Orang itupun kemudian telah menyerang. Agung Sedayu semakin sengit. Senjatanya berputaran dengan cepat, sehingga ujung yang kemerah-merahan itu seakan-akan telah membentuk gumpalan bara yang semakin besar.
Tetapi Agung Sedayu yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas itu sama sekali tidak menjadi bingung. Ia masih saja mengganggu lawannya dengan ledakan-ledakan cambuk yang keras bagaikan memecahkan selaput telinga.
Namun akhirnya Agung Sedayupun merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri pertempuran itu. Agung Sedayu sudah memperhitungkan, bahwa jika Putut itu dapat dikalahkannya, maka ia harus bertempur melawan orang yang duduk dipunggung kuda sambil memegangi senjatanya itu. Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih meledakkan cambuknya di telinga lawannya. Namun kemudian ujung cmbuk itu rasa-rasanya, semakin lama menjadi semakin dekat dengan kulit Putut Sadak Ijo. Bahkan beberapa saat kemudian, Agung Sedayu mulai menyentuh tubuh lawannya. Tetapi ia memang sengaja tidak melukainya.
Terasa getaran itu memang mengalir lewat juntai dan tangkai cambuknya. Tetapi Agung Sedayu berusaha mengatasinya dengan daya tahannya. Sementara itu Putut Sadak Ijo merasa heran, bahwa lawannya seakan-akan tahu, bahwa ia harus menghindari benturan dengan senjatanya. Karena itu, maka Putut Sadak Ijo itu menjadi semakin yakin, bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi serta memiliki pengalaman dan pengetahuan yang sangat luas tentang olah kanuragan. Ternyata orang yang duduk diatas punggung kuda itu melihat kegelisahan Pututnya yang ternyata telah membuatnya gelisah pula.
Namun ternyata bahwa Putut Sadak Ijo telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan loncatan-loncatan yang cepat dan ayunan senjatanya yang menggetarkan itu, maka ia telah mendesak Agung Sedayu yang masih berusaha menahan diri.
Namun akhirnya Agung Sedayu terpaksa melakukannya. Meskipun masih menganggap bahwa kesalahan utama terletak pada orang yang duduk di atas punggung kuda itu, namun ia tidak mau di desak terus menerus oleh Putut itu.
Iapun tidak akan dapat sekedar mengganggu lawannya dengan ledakan-ledakan cambuknya, karena hal itu memang tidak akan menyelesaikan persoalan. Karena itu, maka pada kesempatan berikutnya, Agung Sedayu tidak sekedar meledakkan cambuknya ditelinga Putut Sadak Ijo sebelah menyebelah, tetapi Agung Sedayu benar-benar telah menghentikan serangan Putut itu dengan menghentakkan juntai cambuknya kearah pundak lawannya.
Agung Sedayu benar-benar telah menghentikan serangan Putut itu dengan menghentakkan juntai cambuknya kearah pundak lawannya. Luka dipundak orang itu telah menganga. Putut Sadak Ijo telah meloncat surut.
Luka dipundak orang itu telah menganga. Putut Sadak Ijo telah meloncat surut. Betapa pundaknya terasa pedih. Sementara darah telah mengalir dari luka itu. Namun dalam pada itu, meskipun Putut itu sudah meloncat menjauh, tetapi Agung Sedayupun merasakan sesuatu yang aneh. Getaran yang menusuk kedalam kulitnya dan mengalir disepanjang urat darahnya itu masih saja terasa. Ia memang mampu mengatasinya dengan daya tahannya. Tetapi getaran itu seakan-akan tidak berhenti juga meskipun sentuhan itu sudah terjadi beberapa saat sebelumnya.
Sebenarnyalah, getaran itu terasa sangat mengganggu meskipun lemah dan tidak menyakiti bagian dalam tubuhnya. Namun rasa-rasanya di tangannya telah berkeliaran seribu serangga yang menyusup ke dalam dagingnya. Namun Agung Sedayu benar-benar seorang yang mempunyai pengalaman dan pengenalan yang luas di dunia olah kanuragan. Sehingga karena itu, maka iapun segera mengetahui apakah sebabnya.
Sementara itu, orang yang duduk dipunggung kuda itu berkata, "Jangan mencoba merasa menang. Getaran itu akan menusuk sampai ke jantung. Perlahan-lahan memang. Tetapi jantung kalian akan menjadi beku dan kalian akan mati."
Namun Agung Sedayu sama sekali tidak menjadi gelisah. Tanpa menjawab kata-kata itu, maka Agung Sedayupun segera mencakup tanah segenggam. Kemudian dengan tanah itu ia telah membersihkan juntai cambuknya dari darah yang melekat pada ujung cambuk itu.
"Sebelum darah ini kering." desis Agung Sedayu.
"Iblis kau." geram orang yang duduk di punggung kuda.
Sementara itu Glagah Putih memang telah menjadi gelisah karena getaran yang mengganggu telapak tangannya yang menggenggam pedang. Namun demikian ia telah memaksa diri untuk bertempur dengan kerasnya, sehingga sekali lagi, ujung pedangnya telah menyentuh lambung lawannya. Luka memang telah menganga dari lukanya. Namun getaran itu terasa semakin mengganggunya. Rasa-rasanya Glagah Putih memang ingin melemparkan pedangnya dan mengakhiri pertempuran dengan ilmunya yang mampu menyerang lawannya dari jarak tertentu dengan inti kekuatan yang terdapat di bentangan alam semesta.
Tetapi ketika ia melihat Agung Sedayu mengusap ujung juntai cambuknya dengan tanah, maka iapun cepat tanggap. Agaknya darah orang itupun memiliki kekuatan yang dapat berupa getaran sebagaimana ungkapan ilmunya. Karena itu, agaknya darah yang ada diujung pedang itulah yang telah menyebabkan getaran itu selalu merambat dari ujung pedangnya, lewat telapak tangannya menyusup ke bawah kulitnya.
Dengan demikian, maka dengan serta merta Glagah Putih telah menghunjamkan ujung pedangnya ke tanah beberapa kali sehingga ujung pedang itu benar-benar telah bersih dari lekatan darah Putut Lengkara.
Putut Lengkara yang melihat Glagah Putih membersihkan darahnya itu menggeram pula. Namun dengan sisa tenaganya, orang itu telah berusaha untuk menyerang dan bertempur dengan jarak pendek, karena dengan demikian akan semakin sering terjadi benturan senjata dan sentuhan wadag mereka.
Tetapi Glagah Putih telah memahami keadaan. Karena itu, maka ia tidak terpancing untuk bertempur tanpa jarak. Ia masih saja berloncatan dengan ujung pedang yang siap menggapai lawannya.
Beberapa saat kemudian, sekali lagi ujung pedang Glagah Putih tergores di lengan lawannya. Tetapi dengan cepat Glagah Putih telah menusukkan ujung pedangnya ke tanah, sehingga darah yang melekat diujung pedang itupun telah bersih sama sekali.
Orang dipunggung kuda itupun berteriak marah. Katanya dengan suara yang menggetarkan langit, "Bunuh mereka dengan lontaran ilmu pamungkasmu. Angkat senjata kalian tinggi-tinggi. Aku akan memberikan kekuatan untuk itu."
Kedua orang itu telah mengambil jarak dari lawannya. Keduanya pun telah mengangkat senjata mereka tinggi-tinggi.
Sekali lagi Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat seleret sinar menyambar dari ujung senjata orang yang duduk di punggung kuda, menyentuh ujung-ujung senjata kedua muridnya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah memusatkan segenap nalar budinya. Agaknya merekapun harus mempergunakan puncak kemampuan mereka untuk mengatasi lawan-lawan mereka yang memiliki kemampuan yang luar biasa itu.
Namun agaknya Agung Sedayu dengan cepat telah mengambil satu keputusan yang memang berbahaya. Tetapi Agung Sedayu memperhitungkan, bahwa cara yang akan ditempuhnya itu akan dapat mengurangi kemungkinan terburuk dari pertempuran itu. Namun jika ia gagal, maka yang akan terjadi agaknya akan menjadi lebih buruk lagi.
Demikianlah, ketika orang berkuda itu masih mengangkat senjatanya tinggi-tinggi sebagaimana kedua muridnya, sementara seleret sinar dari ujung senjata itu seakan-akan masih menyambar beberapa kali kedua ujung senjata Putut-pututnya, maka Agung Sedayu telah menyerangnya.
Selagi kilatan sinar itu masih menghentak-hentak mengalir dari ujung keris orang berkuda itu, maka Agung Sedayu berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya memegangi pangkal dan ujung juntai cambuknya.
Namun dalam pada itu, maka Agung Sedayu telah memandang ujung senjata Gajah Lengit itu dengan tajamnya. Agung Sedayu tidak menunggu lagi. Ia tidak mau terlambat. Jika keris itu sudah tidak terangkat lagi tinggi-tinggi, maka sulit baginya untuk melakukan, tanpa menyerang Gajah Lengit sendiri.
Karena itu, selagi senjata itu masih terangkat diatas kepala Gajah Lengit, maka Agung Sedayu telah menyerangnya dengan sinar matanya. Ia tidak menyerang orang yang duduk diatas punggung kuda itu, tetapi ia akan menyerang langsung ujung senjata yang berwarna kemerah-merahan itu.
Agung Sedayu telah memperhitungkan beberapa kemungkinan. Jika kekuatan keras itu melampaui kekuatan getar serangannya, maka serangannya itu akan menikam kembali ke dalam dirinya sehingga ia akan mengalami luka dalam yang gawat. Tetapi jika kekuatan dan tingkat ilmunya lebih tinggi dari kekuatan keris ditangan Gajah Lengit itu, maka ia akan berhasil.
Demikianlah, maka serangan itu telah meluncur dari kedua belah mata Agung Sedayu yang menatap ujung senjata di tangan Gajah Lengit yang terangkat tinggi-tinggi itu. Serangan yang dilontarkan oleh Agung Sedayu dengan segenap kemampuannya, kemampuan orang yang berilmu sangat tinggi.
Sebenarnyalah, bahwa telah terjadi benturan kekuatan antara serangan Agung Sedayu dengan perpaduan kekuatan Gajah Lengit dengan senjata ditangannya. Satu benturan yang menggetarkan kedua belah pihak.
Bagi Gajah Lengit serangan itu sama sekali tidak diperhitungkan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang Tanah Perdikan itu memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga mampu menyerang dengan cahaya matanya. Dengan demikian, maka Gajah Lengit memang tidak mempersiapkan ilmunya untuk melawan serangan itu, selain sekedar bertahan.
Apalagi ternyata bahwa ilmu Agung Sedayu memang lebih besar dari perpaduan kekuatan antara kekuatan Gajah Lengit dan kekuatan yang mampu diserapnya dari senjatanya. Karena itu, maka telah terjadi satu peristiwa yang sangat mengejutkan Gajah Lengit.
Tiba-tiba saja senjata yang dipegangnya itu dan diangkatnya tinggi-tinggi itu telah disambar oleh kekuatan yang tidak ada taranya, sehingga senjata itu telah terlempar dari tangannya. Bahkan kekuatan serangan Agung Sedayu itu demikian besarnya, sehingga Gajah Lengit yang hanya tersentuh ujung senjatanya oleh serangan Agung Sedayu itu justru telah terseret sehingga orang itu telah terjatuh dari kudanya.
Gajah Lengit sendiri memang tidak tersentuh oleh serangan Agung Sedayu yang dengan sengaja menyambar ujung dari senjatanya saja. Namun ternyata serangan itu telah membantingnya dari punggung kuda. Namun dalam sekejap Gajah Lengit telah bangkit berdiri dengan satu loncatan yang hampir tidak dapat diikuti oleh penglihatan mata. Tiba-tiba saja Gajah Lengit telah bergerak beberapa langkah mendekati Agung Sedayu.
"Ternyata kau curang." geram Gajah Lengit.
"Kenapa." jawab Agung Sedayu.
"Kau menyerang aku tanpa memberitahu lebih dahulu." jawab Gajah Lengit.
"Apakah kau juga memberitahukan apa yang kau lakukan dengan kedua orang muridmu ini?" bertanya Agang Sedayu.
"Tetapi aku tidak melakukan dengan diam-diam." jawab Gajah Lengit.
"Jadi apakah kau bermaksud agar aku membiarkan saja apa yang kau lakukan, meskipun aku tahu bahwa hal itu akan berbahaya bagiku dan sepupuku?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
"Persetan kau." geram Gajah Lengit, "tetapi seharusnya kau tidak berlaku curang seperti itu."
"Baik." berkata Agung Sedayu, "Jika kau menganggapku curang, sekarang ambil senjatamu. Kita akan bertempur lagi. Biarlah aku melawanmu, sementara sepupuku akan menghancurkan kedua orang Pututmu yang telah terluka itu. Tetapi ingat, jika kita bertempur lagi maka aku tidak akan sekedar melemparkan senjatamu tetapi aku akan melemparkan kapalamu."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ternyata ia sempat menilai keadaannya. Bahkan menilai kemampuan ilmunya. Ia tidak dapat mengesampingkan kenyataan tentang lawannya itu. Agaknya lawannya itu tidak bergurau jika ia mengatakan, bahwa pada kesempatan lain bukan saja senjatanya yang akan terlepas tetapi kepalanya.
Sejenak orang itu berpikir. Sekali ia memandangi kuda Glagah Putih yang terikat pada sebatang pohon dipinggir jalan. Kuda itu memang tegar dan cantik. Tetapi apakah ia harus mempertahankan nyawanya untuk seekor kuda betapapun bagusnya"
Dalam keragu-raguan itu, maka ia mendengar Putut-pututnya berdesis menahan pedih pada luka-lukanya. Darah masih menitik sementara tenaga kedua orang Putut itupun telah menjadi susut. Bermacam-macam pertimbangan telah menghentak-hentak di kepala Gajah Lengit.
Namun kemudian iapun berkata, "Ternyata kalian memang orang-orang yang tidak tahu diri. Orang yang tidak tahu betapa pentingnya perjuangan Mataram melawan Madiun. Bukan sekedar keseimbangan kekuasaan, tetapi kelanjutan persatuan dari tanah ini."
"Ternyata mulutmu tidak sejalan dengan gejolak ketamakanmu." berkata Agung Sedayu, "Kau berbicara tentang persatuan yang utuh, yang bulat yang apa lagi, tetapi tingkah lakumu sama sekali tidak membayangkan ujud dari bicaramu ini. Sebaiknya untuk seterusnya kau berdiam diri. Aku minta kau minggir dari kelompok prajurit Pajang yang datang ke Mataram menjemput Panembahan Senapati jika kau tidak berbohong tentang tugas itu, karena kau hanya akan mengotori nama dari sekelompok prajurit Pajang itu sendiri."
Gajah Lengit menggeretakkan giginya. Hampir saja ia tidak dapat menahan diri. Tetapi iapun segera teringat kepada kenyataan yang dihadapinya, sehingga iapun telah berusaha untuk menyelamatkan kepalanya.
Karena itu, maka katanya, "Kau memang pandai berbicara. Tetapi hanya untuk kali ini. Aku akan membuktikan ke Tanah Perdikan yang kau katakan. Apakah ada orang-orang yang memiliki ilmu iblis sebagaimana kau tunjukkan kepadaku. Jika tidak, maka kau pasti orang-orang Madiun yang terpilih yang harus mengamati gerak-gerak kekuatan Mataram."
"Apapun yang kau katakan, aku tidak peduli." jawab Agung Sedayu.
Gajah Lengit termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Persetan kau. Kali ini kalian berdua aku ampuni. Tetapi jika pada kesempatan lain kalian mencoba sekali lagi mengingkari perintahku, maka kalian akan menyesal. Juga pada saat aku datang nanti ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Cukup." potong Agung Sedayu. Lalu katanya, "Sekarang pergilah. Aku menunggumu di Tanah Perdikan Menoreh."
Wajah Gajah Lengit itu menjadi merah. Tetapi iapun membentak, "kalian pergi dari sini."
"Cepat pergi." geram Agung Sedayu, "atau aku akan merubah keputusanku dan mengambil langkah-langkah lain."
Wajah Gajah Lengit yang merah itu bagaikan tersentuh bara. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Jika ia sekedar memperhitungkan harga diri, maka mereka bertiga tentu akan dibinasakan oleh kedua orang yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Kedua orang yang mampu mengimbangi ilmunya, memiliki ketajaman penggraita, sehingga mereka segera tahu jenis ilmu yang ditrapkannya serta kemampuan mereka melontarkan ilmu dari jarak jauh, sehingga akan menjadi sangat berbahaya baginya, apalagi kedua muridnya itu telah terluka.
Betapapun hatinya bagaikan terbakar, tetapi Gajah Lengit itupun berkata kepada murid-muridnya, "Kita tidak perlu melayani orang-orang gila itu."
Kedua muridnya menyambut keputusan gurunya dengan tarikan nafas panjang. Keduanya merasa bahwa kekuatan mereka memang sudah menurun, sementara luka mereka terasa sangat nyeri dan pedih. Karena itu, maka ketika Gajah Lengit itu melangkah menjauhi Agung Sedayu menuju ke kudanya setelah memungut senjatanya, maka kedua muridnyapun telah mengikutinya pula.
Sejenak kemudian, ketiganya telah berada dipunggung kudanya. Sambil menggerakkan kendali kudanya, Gajah Lengit masih berkata, "Tunggu aku di Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan berbicara langsung dengan Kepala Tanah Perdikanmu untuk mengambil kuda itu."
Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menjawab. Dipandanginya saja ketiga orang itu kemudian berkuda dengan cepat meninggalkan tempat itu, sementara malampun telah menjadi semakin malam.
"Kita harus segera melanjutkan perjalanan." berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Marilah kakang. Orang-orang Tanah Perdikan tentu sudah menunggu-nunggu. Sementara setan-setan itu menghambat perjalanan kita disini."
Keduanyapun segera membenahi diri. Beberapa saat keduanyapun telah melanjutkan perjalanan pula.
"Satu gambaran tentang kekisruhan yang mungkin terjadi di Mataram." berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Katanya, "Campur baur antara beberapa pasukan yang datang dari lingkungan yang berbeda tentu akan membuat persoalan tersendiri. Prajurit-prajurit dari Kadipaten-kadipaten itu tentu akan saling bergeseran dan tidak mustahil timbul benturan jika Panembahan Senapati membiarkan mereka terlalu lama tinggal di Mataram."
"Untunglah, bahwa waktunya untuk berangkat tidak akan lama lagi." sahut Agung Sedayu.
"Ya." desis Glagah Putih, "sebelum orang-orang seperti Gajah Lengit itu membuat suasana menjadi semakin keruh."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Suasana yang keruh itu akan dapat berkembang jika dalam benturan-benturan kecil seperti yang baru saja terjadi itu, masing-masing pihak telah menyeret kawan-kawan mereka.
Agung Sedayu memang merasa bersyukur bahwa ia masih sempat mengekang diri, sehingg ia dapat membatasi diri untuk tidak mempertajam perselisihan antara sesama kekuatan yang mendukung Mataram.
Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berpacu menuju ketempat penyeberangan di Kali Praga, Gajah Lengit telah berpacu pula kembali ke Mataram. Namun ketika ia ingin menyarungkan senjatanya yang dipungutnya setelah terlempar oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu, maka Gajah Lengit itupun terkejut bukan buatan. Sedemikian terkejutnya sehingga diluar sadarnya ia telah menarik kekang kudanya sehingga kudanya itupun terhenti dengan tiba-tiba. Kedua orang muridnya dengan serta merta telah menarik kekang kudanya sehingga kedua ekor kudanya itu telah meringkik dan berputar-putar. Namun sejenak kemudian kuda-kuda itupun telah menjadi tenang.
"Ada apa Guru?" bertanya Putut Lengkara.
"Luar biasa." desis Gajah Lengit, "ternyata kita memang bukan lawan orang yang mengaku bernama Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh itu."
Putut Lengkara tidak menjawab. Iapun merasakan, betapa kedua orang Tanah Perdikan Menoreh itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Namun Putut Sadak Ijolah yang bertanya, "Kenapa Guru?"
"Lihat." berkata Gajah Lengit sambil menunjukkan senjatanya.
Dalam keremangan cahaya malam yang semakin kelam, kedua orang muridnya tidak tahu apa yang terjadi dengan senjata gurunya itu. Namun dalam keadaan sewajarnya, senjata itu memang tidak membara diujungnya. Hanya jika mereka mulai memadukan kekuatan ilmu mereka dengan daya kekuatan senjata mereka, maka senjata itu bagaikan bercahaya kemerah-merahan. Karena itu, maka kedua murid Gajah Lengit itu tidak segera mengetahui maksud gurunya dengan menunjukkan senjatanya itu.
"Senjataku, yang tidak ada duanya didunia ini, ternyata telah patah ujungnya." desis Gajah Lengit.
"Patah." kedua orang muridnya menyahut hampir berbareng.
Gajah Lengit menarik mafas dalam-dalam. Katanya dengan nada berat, "Aku tidak mengira bahwa kita akan bertemu dengan orang-orang berilmu tinggi. Seperti yang aku katakan, kita bukan lawan mereka. Ketika orang itu menyerang dengan ilmunya yang dahsyat itu, ternyata ia masih sempat mengekang diri. Ia tidak menyerang kepalaku, tetapi ia hanya menyerang ujung kerisku, yang ternyata telah menyeretku seperti dorongan kekuatan badai sehingga aku jatuh terbanting dari kudaku. Serangan langsung mengarah ketubuhkupun jarang yang mampu melemparkan aku. Apalagi serangan itu tidak mengenaiku sama sekali. Sementara itu kerisku yang terbuat dari baja pilihan sebagaimana yang aku berikan kepada kalian, serta dalam keadaan siaga dalam perpaduan kekuatan ilmuku dan kekuatan keris itu sendiri, telah dapat dipatahkannya. Dengan demikian aku tidak dapat mengira-irakan, betapa besarnya kemampuan ilmu itu. Jika ia mengatakan bahwa kuda yang tegar itu berasal dari keluarga istana, agaknya memang dapat dimengerti."
Kedua muridnya tidak menjawab. Namun tengkuk merekalah yang terasa meremang. Seandainya mereka harus bertempur terus, maka mereka tentu akan terbunuh ditempat itu. Gurunya, yang dianggapnya orang yang jarang ada duanya, dengan tulus mengakui bahwa orang yang mampu mematahkan senjatanya itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu gurunya itu.
Bahkan gurunya itupun kemudian bergumam, "Aku belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki ilmu seperti orang itu. Lawan maupun kawan."
Kedua muridnya itu masih saja tetap berdiam diri. Namun dalam pada itu gurunya itupun berkata selanjutnya. "Marilah. Kita kembali ke Mataram. Aku akan segera mengenali kembali senjataku ini. Apakah senjataku yang telah hancur ujungnya ini masih memiliki kekuatan yang tidak susut. Atau aku harus berbuat sesuatu untuk memulihkannya. Selagi masih ada orang tua yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk kepadaku seandainya aku harus memperbaharuinya lagi."
Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berpacu semakin cepat. Kedua orang Putut yang terluka itu memerlukan perawatan segera meskipun luka-luka itu bukan termasuk luka yang parah. Tetapi jika tidak mendapat perawatan yang baik, maka pada saatnya pasukan Mataram berangkat ke Timur, mereka justru tidak akan dapat mengikutinya.
Sementara itu, Agung Sedayupun telah mendekati Kali Praga. Glagah Putih yang berkuda dibelakangnya sempat memandangi langit yang hitam kelabu justru disebelah Utara.
"Mudah-mudahan disebelah Utara tidak turun hujan sehingga Kali Praga menjadi banjir." berkata anak muda itu didalam hatinya. Karena jika terjadi banjir yang deras, maka mereka tidak akan dapat menyeberang. Rakit-rakit yang ada di pinggir kali akan ditambatkan pada patok-patok yang kuat, karena tukang satang yang manapun tidak akan merasa mampu melawan derasnya banjir Kali Praga, jika banjir itu termasuk banjir yang besar. Apalagi banjir bandang.
Namun ketika kemudian mereka sampai ketepian, ternyata Kali Praga sama sekali tidak banjir. Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah membangunkan tukang-tukang satang yang tertidur di dekat rakitnya sambil menunggu orang-orang yang mungkin lewat di malam hari.
Meskipun masih juga sambil mengantuk, namun tukang-tukang satang itu telah membawa Agung Sedayu dan Glagah Putih beserta kuda-kuda mereka untuk menyeberang.
"Tetapi upahnya dua kali lipat." berkata tukang satang tertua, "kami melakukan penyeberangan khusus, apalagi dimalam hari dengan hanya dua orang penumpang."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Aku tahu. Aku sudah sering menyeberang di malam hari."
"O." tukang satang itu mengangguk-angguk, "maaf. Barangkali aku juga pernah melihat kalian menyeberang."
"Tentu." jawab Agung Sedayu, "Aku memang sering menyeberang. Disini, juga di penyeberangan tengah dan Selata."
Tukang satang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian mengeluh, "Baru saja lewat senja aku menyeberangkan beberapa orang, tetapi sama sekali tidak mau membayar upahnya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Kearah mana" Ke Timur atau ke Barat?"
"Aku membawa mereka ke Barat. Aku tidak tahu, apakah mereka sudah menyeberang kembali atau belum. Nampaknya mereka hanya sekedar ingin tahu, apa yang terdapat disebelah Kali Praga." jawab tukang satang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia langsung menghubungkan peristiwa itu dengan berkumpulnya orang-orang dari berbagai daerah di Mataram. Tentu diantara mereka ada yang memiliki watak dan kebiasaan yang tidak baik, sebagaimana dilakukan oleh Gajah Lengit.
"Apa mereka juga membawa kuda atau berjalan kaki?" bertanya Glagah Putih kemudian.
"Mereka berkuda. Sekitar enam atau tujuh orang. Aku tidak sempat menghitung. Sejak mereka naik ke rakit, aku sudah merasa curiga. Sikap mereka kurang menyenangkan. Mereka bergurau berlebihan. Mereka tertawa keras-keras meskipun hari sudah gelap. Mereka mengguncang-guncang rakit sehingga hampir saja rakit ini terbalik. Kata-kata mereka kadang-kadang diselingi dengan umpatan-umpatan meskipun mereka teriakan sambil tertawa." tukang satang itu berhenti sejenak, lalu, "demikian sampai ke tepian di seberang, mereka langsung berloncatan turun, menarik kuda-kuda mereka sambil melambaikan tangan-tangan mereka dan berteriak, "Terima kasih Ki sanak, terima kasih. tanpa memberikan sekeping uangpun."
Glagah Putih tiba-tiba saja berbisik ditelinga Agung Sedayu, "Mudah-mudahan kita tidak bertemu dengan mereka."
Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Ya. Kudamu dapat menarik perhatian mereka seperti Gajah Lengit."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak takut menghadapi siapapun, tetapi ia ingin menghindari peristiwa yang baru saja terjadi itu terulang lagi. Karena itu, ketika mereka sampai di tepian, setelah membayar upah yang lipat dua itu, maka mereka telah memilih jalan yang kemungkinannya dilewati orang-orang berkuda itu kecil.
Agung Sedayu dan Glagah Putih mengenal Tanah Perdikan Menoreh seperti mengenal halaman rumah sendiri. Karena itu, jalan-jalan yang manapun pernah mereka lalui.
Sebenarnyalah kedua orang itu memang tidak bertemu dengan sekelompok orang-orang berkuda. Namun ketika mereka sampai kesebuah padukuhan yang cukup besar di Tanah Perdikan Menoreh, maka kedua orang itu sempat singgah di banjar.
Dengan singkat mejeka memberitahukan bahwa menurut seorang tukang satang, maka ada beberapa orang berkuda menyeberangi Kali Praga, dengan sikap yang kurang pantas.
"Kirimkan peronda." berkata Agung Sedayu, "nanti dari padukuhan induk, aku juga akan minta sekelompok pengawal meronda. Tetapi jaga diri baik-baik, karena mungkin orang-orang itu termasuk juga kekuatan Mataram. Jangan sampai terjadi salah paham yang dapat menimbulkan persoalan yang berkepanjangan. Kalian harus dapat menjelaskan dengan baik kepada mereka, bahwa tanah ini adalah tanah Perdikan Menoreh."
Para pengawal yang ada di banjar termangu-mangu. Namun pemimpin pengawal itupun berkata, "Baiklah. Aku sendiri yang akan meronda."
"Bawa sekitar sepuluh orang pengawal." berkata Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu kemudian melanjutkan perjalanan, maka pemimpin sekelompok peronda itupun telah berangkat dengan membawa sepuluh orang pengawal sebagaimana dipesankan oleh Agung Sedayu. Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putihpun langsung menuju ke padukuhan induk. Mereka tidak langsung pulang kerumah Agung Sedayu. tetapi mereka lebih dahulu singgah di banjar untuk melaporkan kehadiran orang-orang berkuda di sebelah Barat Kali Praga.
"Mungkin mereka memasuki Tanah Perdikan." berkata Agung Sedayu yang telah melaporkan pula, bahwa sekelompok pengawal dari padukuhan di sisi Timur Tanah Perdikan telah mendahului meronda serta melaporkan pesan-pesan yang telah disampaikan.
"Sebaiknya dari padukuhan induk juga dikirim pengawal berkuda." berkata Agung Sedayu yang juga memberikan pesan-pesan yang sama.
Demikian sepuluh orang berkuda meninggalkan banjar, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah pergi ke rumah Ki Gede untuk melaporkan diri bahwa mereka telah kembali.
Meskipun malam telah larut, namun ternyata dirumah Ki Gede masih nampak beberapa orang yang duduk dipendapa selain para pengawal yang bertugas. Nampaknya suasana di Tanah Perdikan itu benar-benar telah dipengaruhi oleh keadaan persiapan perang, karena sepasukan pengawal akan berangkat ke Mataram dan selanjutnya akan pergi ke Madiun.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih memasuki halaman rumah Ki Gede, maka seorang pengawal telah menerima kuda mereka sambil berkata, "Silahkan naik ke pendapa. Ki Gede juga belum tidur. Baru saja masuk ke ruang dalam. Tetapi sebentar lagi. Ki Gede tentu masih akan keluar."
"Siapa di pendapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Ki Waskita. Agaknya Ki Jayaraga baru saja kembali. Ki Jayaraga masih selalu menyebut-nyebut kemungkinan yang licik dilakukan oleh orang-orang yang mendendammu dengan menyerang atau menculik Sekar Mirah. Karena itu, setiap kali Ki Jayaraga tentu pulang meskipun hanya sebentar untuk menengok rumahmu, meskipun para peronda masih juga selalu mengawasinya." berkata pengawal itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih."
Kemudian mereka berduapun telah pergi pula kependapa. Sambil melangkah menyeberangi halaman Agung Sedayu berdesis, "Ternyata Ki Jayaraga adalah seorang sa-habat yang baik. Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan keluarga kita."
"Ya kakang." desis Glagah Putih, "mungkin karena Ki Jayaraga sendiri tidak mempunyai keluarga, maka dianggapnya keluarga kita sudah seperti keluarga sendiri."
"Kau adalah satu-satunya harapannya. Beberapa muridnya yang terdahulu ternyata telah menempuh jalan sesat." berkata Agung Sedayu. Lalu katanya, "Satu petunjuk bagimu, bahwa seorang murid dituntut untuk mempunyai landasan jiwani yang kuat sehingga dibawah pimpinan dan tuntutan guru yang sama, seorang murid tidak selalu menjadi orang yang berwatak sama."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil meskipun ia tidak menjawab.
Sementara itu, maka sejenak kemudian, maka keduanya telah berada di pendapa bersama Ki Waskita dan beberapa orang bebahu. baru sejenak kemudian Ki Gedepun telah keluar dari ruang dalam ketika ia mendengar suara Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Demikian Ki Gede keluar dari ruang dalam, maka iapun telah menyapanya, "Kapan kalian datang?"
"Baru saja Ki Gede." jawab Agung Sedayu, "kami langsung datang kemari setelah singgah sebentar di banjar."
"O" Ki Gede yang kemudian duduk pula diantara mereka bertanya, "Jadi kalian belum pulang kerumah?"
"Belum Ki Gede." jawab Agung Sedayu.
"Baiklah. Agaknya Ki Jayaraga selalu mengawasi rumahmu meskipun ia sering pula berada disini bersama Ki Waskita." berkata Ki Gede.
"Belum lama Ki Jayaraga meninggalkan pendapa ini." sambung Ki Waskita.
Dalam pada itu kedua orang tua itu sempat bertanya tentang keselamatan perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih serta keselamatan Kiai Gringsing serta keadaan padepokannya. Baru kemudian Agung Sedayu telah melaporkan perjalanannya mengunjungi gurunya untuk mohon diri sebelum ia akan ikut serta dalam tugas bersama Mataram.
"Syukurlah jika gurumu telah menganggap kau berhasil dalam meningkatkan ilmumu." berkata Ki Waskita.
"Tetapi guru masih memerintahkan untuk menyelesaikannya, karena aku masih belum benar-benar menguasai tataran terakhir dari ilmu cambuk." berkata Agung Sedayu.
"Tentu pada saatnya kau akan dapat menyelesaikannya." berkata Ki Gede pula, "bukankah kau sudah menguasainya" Kau tinggal mematangkannya dan jika mungkin mengembangkannya. Apa yang terdahulu sudah merupakan puncak ilmu dari salah satu jenisilmu kanuragan, namun pada saat-saat berikutnya, mungkin masih akan dapat memanjat naik beberapa lapis."
Ki Gede agaknya tidak sengaja memberikan petunjuk tentang olah kanuragan bagi Agung Sedayu. Namun ternyata Agung Sedayu telah menangkap ungkapan itu dengan sungguh-sungguh. Agaknya memang tidak mustahil hal itu terjadi pada ilmunya meskipun mungkin akan memerlukan waktu dan kerja yang sangat keras serta laku yang berat.
Namun yang kemudian dikatakan oleh Agung Sedayu adalah, "Kami mohon doa restu."
"Kami yakin bahwa kau akan memiliki kelebihan itu." berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih saja selalu ingat, gurunya berpesan, bahwa ilmu pada tataran tertinggi dari ilmu cambuk itu mudah-mudahan tidak akan perlu dipergunakan.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sempat pula melaporkan pertemuannya dengan Ki Gajah Lengit. Salah seorang diantara sekelompok pasukan Pajang yang akan menjadi paruh perjalanan Panembahan Senapati ke Timur.
"Tetapi Ki Gajah Lengit bukan prajurit Pajang." berkata Agung Sedayu, "namun ia merasa bahwa ia adalah guru dari pemimpin kelompok prajurit Pajang itu."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Geseran-geseran yang sebenarnya tidak perlu terjadi."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Mudah-mudahan di Tanah Perdikan ini tidak terjadi geseran-geseran seperti itu."
Dengan singkat Agung Sedayu melaporkan pula tentang orang-orang berkuda yang menyeberangi Kali Praga. Agung Sedayu juga melaporkan tentang dua kelompok peronda yang telah dilepas dari padukuhan disisi Timur serta dari banjar padukuhan induk serta pesan-pesan yang telah diberikan.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Jika orang-orang berkuda itu merasa dirinya orang-orang linuwih yang tidak terkalahkan, maka memang mungkin terjadi geseran yang berbahaya. Mudah-mudahan para peronda itu jika menemukan mereka memberikan isyarat pada waktunya sehingga kita akan dapat mengatasinya dengan baik tanpa terjadi benturan kekerasan."
Agung Sedayu mengangguk sambil menyahut, "Tapi wibawa Tanah Perdikan ini harus tetap ditegakkan."
"Aku sependapat." berkata Ki Gede.
Sementara itu, seorang pelayan telah menghidangkan minuman hangat serta makanan bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Baru sesaat kemudian Ki Gede berkata, "Nampaknya kalian berdua menjadi letih setelah menempuh perjalanan yang bahkan terhambat karena pertemuan kalian dengan Ki Gajah Lengit. Setelah minum beberapa teguk, maka sebaiknya kalian pulang untuk beristirahat. Masih banyak yang harus kau kerjakan besok. Hari-hari kita akan segera berlalu, sehingga kita harus sudah berada di Mataram bersama para pengawal."
"Terima kasih Ki Gede." berkata Agung Sedayu, "kami akan segera mohon diri."
Namun dalam pada itu, sebelum keduanya meninggalkan pendapa, maka telah terdengar suara panah sendaren. Isyarat dari sekelompok peronda yang memerlukan kehadiran para pemimpin atau salah seorang diantara mereka untuk menentukan satu sikap menghadapi satu masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh para peronda itu sendiri.
"Tentu orang-orang berkuda itu." berkata Agung Sedayu.
"Ya." desis Glagah Putih.
"Kami mohon diri Ki Gede." desis Agung Sedayu, "silahkan Ki Waskita. Kami akan melihat apa yang ter jadi."
"Bawa pengawal." berkata Ki Gede.
"Beberapa pengawal tentu sudah ada disana." berkata Agung Sedayu.
"Hati-hatilah." pesan Ki Waskita.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berpacu lagi menempuh jalan bulak. Tetapi mereka tidak hanya berdua. Dua orang pengawal menyertainya untuk memberikan petunjuk arah datangnya panah sendaren karena kebetulan mereka menangkap langsung isyarat suara itu.
Tetapi Agung sedayu bertekad untuk berupaya agar tidak terjadi benturan kekerasan antara orang-orang berkuda itu dengan para pengawal Tanah Perdikan. Agaknya orang-orang berkuda itu masih lebih mudah diajak berbicara daripada Ki Gajah Lengit, yang sejak pertama telah berniat untuk menguasai kuda Glagah Putih.
Ketika Agung Sedayu, Glagah Putih dan kedua orang pengawal yang menyertainya memasuki padukuhan yang telah mengirimkan sepuluh orang peronda atas perintah Agung Sedayu, maka merekapun telah mendapat keterangan, dimana para pengawal itu menjumpai orang berkuda, karena mereka telah mengirimkan isyarat panah sendaren pula.
Dengan cepat Agung Sedayu telah menuju kearah yang ditunjukkan oleh para pengawal itu.
Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki sebuah bulak yang agak panjang, maka mereka telah mendapatkan dua kelompok yang nampaknya sedang bertengkar. Namun Agung Sedayu merasa beruntung, bahwa belum terjadi benturan kekerasan diantara mereka.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekat, maka mereka melihat beberapa orang berkuda yang dikelilingi oleh para pengawal dari padukuhan disisi Timur. Agaknya para peronda berkuda dari padukuhan induk, justru belum sampai ketempat itu.
"Syukurlah kau segera datang." berkata pemimpin peronda itu, "kami memang mengirimkan isyarat panah sendaren, yang agaknya dengan isyarat tunda dari padu-kuhan-padukuhan di sebelah padukuhan induk, maka isyarat itu dapat kau terima."
"Ya. Isyaratmu telah kami terima." jawab Agung Sedayu.
"Kami memang menghindari isyarat kentongan agar tidak menimbulkan kegelisahan diseluruh Tanah Perdikan." berkata pemimpin peronda itu pula.
Namun salah seorang dari orang-orang berkuda itu berteriak, "He, siapa yang datang itu?"
"Kami adalah peronda-peronda dari padukuhan induk Tanah Perdikan." jawab Agung Sedayu.
"Bagus." jawab orang itu, "sekarang kalian mau apa?"
"Kami ingin tahu, apakah kepentingan kalian di Tanah Perdikan ini." jawab Agung Sedayu.
"Sudah aku katakan kepada kawan-kawanmu, bahwa kami hanya ingin melihat-lihat saja. Apakah ada salahnya?" bertanya orang itu.
"Tidak. Tentu tidak. Tetapi kalian mengambil waktu yang kurang tepat. Sebaiknya kalian melihat-lihat Tanah Perdikan ini di waktu siang." berkata Agung Sedayu.
"Tetapi kesempalan kami hanyalah dimalam hari. Disiang hari kami tidak dapat meninggalkan pasukan kami." jawab seorang yang lain diantara orang-orang berkuda itu.
"Bukankah ada waktunya hari-hari luang?" bertanya Agung Sedayu.
"Nampaknya kalian adalah orang-orang yang terlalu sederhana berpikir." berkata yang tertua diantara orang-orang berkuda itu, "seharusnya kalian tahu, bahwa kami berada di Mataram dalam rangka persiapan untuk bergerak ke Timur. Kami adalah prajurit-prajurit yang sudah siap untuk turun ke medan pertempuran. Karena itu, sebaiknya kalian jangan mengganggu kami."
"Kami memang tidak ingin mengganggu Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "namun kami mohon Ki Sanak bersabar sehingga Ki Sanak mendapat kesempatan melakukannya disiang hari. Dimalam hari Ki Sanak dapat mengejutkan orang-orang Tanah Perdikan. Baik yang sedang beristirahat, maupun mereka yang berada di gardu-gardu."
"Cukup." bentak orang tertua di antara mereka, "kami bebas untuk melakukan apa saja. Apalagi kedatangan kami ke Mataram itu atas undangan Panembahan Senapati. Kalian harus menghormati kami karena kalian memang harus menghormati Panembahan Senapati itu sendiri."
"Kami mengerti Ki Sanak. Karena itu, maka kami memang ingin menghormati kalian sebagaimana seorang tamu dari Panembahan Senapati. Tetapi sudah tentu bahwa Ki Sanakpun harus menghormati kami, karena kami juga merupakan bagian dari Panembahan Senapati itu sendiri. Jika Ki Sanak tidak menghormati kami, maka Ki Sanak adalah tamu yang tidak menghormati pemilik rumahnya. Apalagi pemilik rumah itu adalah Panembahan Senapati yang telah mengundang Ki Sanak untuk datang kemari." berkata Agung Sedayu.
Orang-orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Namun yang tertua diantara merekapun berkata, "Ternyata kau pandai juga memutar balikkan kenyataan. Sekarang, pergilah. Jangan ganggu kami."
Namun pemimpin peronda dari Tanah Perdikan itu bergeser mendekati Agung Sedayu sambil berkata, "Perbuatan mereka mirip dengan orang mabuk. Mereka bergurau dan tertawa keras-keras disepanjang jalan tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah tertidur nyenyak. Derap kaki kuda mereka, dan teriakan-teriakan yang tidak menentu, terasa sangat mengganggu ketenangan malam ini."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Nah, Ki Sanak. Kami mohon, jangan ganggu ketenangan tanah ini."
Orang-orang berkuda itu memang menjadi marah. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan perasaan mereka. Yang tertua diantara merekapun berkata, "Kalianpun jangan mengganggu kami. Kami dapat berbuat apa saja sesuka hati kami. Tanah Perdikan ini termasuk daerah yang berada di bawah kekuasaan Mataram meskipun ke dalam kalian dapat mengurusi kebutuhan kalian sendiri."
"Ki Sanak. Bagaimanapun juga, kami berhak untuk mempertahankan ketenangan kehidupan kami. Karena itu, kami mohon Ki Sanak untuk beristirahat di banjar padukuhan sebelah. Malam ini Ki Sanak dapat tidur di banjar. Besok Ki Sanak dapat melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan." berkata Agung Sedayu.
"Tidak. Kau dengar. Aku ingin mempergunakan waktuku yang semalam ini untuk pergi kemana saja aku suka. Aku memang akan singgah di banjar-banjar padukuhan untuk minum dan barangkali makan. Tetapi tidak untuk bermalam. Sebelum dini kami sudah harus kembali ke Mataram." jawab yang tertua diantara mereka.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih berusaha untuk mengekang diri. Katanya, "Ki Sanak. Kami mohon Ki Sanak mengerti keadaan Tanah Perdikan ini."
"Siapapun dan apapun Tanah Perdikan ini, tetapi kalianpun harus tahu bahwa kami adalah prajurit-prajurit yang siap untuk bertempur. Jangan memaksa kami untuk melakukan pemanasan disini.
Jilid 250 JIKA kalian menolak, maka Panembahan Senapati tentu akan marah sekali. Pimpinanmu tentu juga akan menjadi malu, karena prajurit-prajuritnya bertindak seperti yang kau lakukan itu."
Orang-orang berkuda itu tidak dapat berbuat lain. Merekapun telah berbelok menuju ke penyeberangan Utara tempat mereka menyeberang ke Barat. Ketika mereka sampai ditepian, maka tukang-tukang satang semula memang berkeberatan menyeberangkan mereka, karena tukang-tukang satang itu tahu, bahwa ketika orang-orang itu menyeberang ke Barat, mereka tidak mau membayar. Apalagi membayar lipat.
Tetapi Agung Sedayulah yang kemudian menengahi persoalan itu. Katanya, "Mereka cemas bahwa kau tidak akan membayar upah mereka lagi. Padahal dimalam hari mereka biasanya mendapat upah lipat. Karena itu, maka kau harus membayarnya lipat kepada mereka dan kau masih harus membayar tukang-tukang satang yang kau pergunakan untuk menyeberang ke Barat."
"Itu pemerasan." teriak yang tertua diantara mereka, "aku hanya mau membayar upah sewajarnya."
"Baiklah." berkata Agung Sedayu, "jika kau tidak mempunyai uang cukup untuk membayar lipat, bayarlah seberapa kau mempunyai uang. Aku akan menambahnya sehingga tukang satang itu tidak akan dirugikan."
Wajah orang itu menjadi merah. Ia benar-benar tersinggung oleh kata-kata Agung Sedayu itu. Karena itu maka iapun menggeram, "Kau ternyata terlalu sombong. Jika saja kau jantan dan bersedia perang tanding tanpa mengikut sertakan para pengawalmu yang jumlahnya terlalu banyak itu."
"Untuk apa aku berperang tanding" Apakah kau memiliki keberanian cukup untuk melakukannya?" bertanya Agung Sedayu.
Kemarahan orang itu tidak tertahankan lagi, sehingga ia telah kehilangan kekang diri. Karena itu, maka dengan serta merta ia telah memukul mulut Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu yang memang memancing kemarahannya itu telah memperhitungkannya. Karena itu, maka ia telah mempersiapkan diri. Ia tidak ingin berkelahi melawan orang itu, tetapi ia ingin sekedar membuatnya jera.
Karena itu, maka ketika orang itu memukulnya, maka rasa-rasanya tangan orang itu telah menyentuh batu. Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya, sehingga pukulan itu tidak berarti apa-apa baginya.
Orang itu terkejut mengalami hal yang tidak diduganya itu, sementara Agung Sedayu berdiri tegak tanpa berbuat apa-apa. Bahkan Agung Sedayu masih saja berkata, "Apa yang kau lakukan itu" Apakah kau tidak bersungguh-sungguh?"
Penghinaan yang tidak dapat diterima oleh orang itu. Karena itu, maka iapun telah menyerang Agung Sedayu dengan kakinya. Dengan cepat orang itu memiringkan tubuhnya, menjulurkan kakinya ke dada Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang tidak beringsut. Serangan itu tepat mengenai dadanya. Tetapi orang itu menjadi heran. Seakan-akan Agung Sedayu tidak merasakan sentuhan itu. Bahkan kekuatan yang terlontar lewat serangan itu seakan-akan telah memukul kembali bagian dalam tubuhnya sendiri, sehingga karena itu, maka orang itu telah terdorong beberapa langkah surut.
"Ilmu iblis yang manakah yang ada padamu sekarang?" geram orang itu.
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "lakukan apa yang pantas dilakukan oleh orang-orang terhormat. Sekali lagi aku minta Ki Sanak membayar sebagaimana diminta oleh tukang-tukang satang itu, serta upah yang belum kau bayar ketika kau menyeberang ke Barat. Sekali lagi aku beritahukan, jika kau memang tidak mempunyai uang, biarlah kau bayar sebanyak uang yang kau miliki, selebihnya aku yang akan membayarnya."
Orang itu sudah tidak tahan lagi. Tetapi ia harus menghadapi kenyataan, bahwa pukulan dan serangan kakinya seakan-akan tidak terasa sama sekali oleh orang itu.
Karena itu, maka iapun tiba-tiba saja berteriak, "Cukup. Cukup."
Keadaan memang menjadi tegang. Kawan-kawan dari orang itupun telah bersiap. Tetapi para pengawal Tanah Perdikan telah bergeser pula mendekat.
Bagaimanapun juga kemarahan membakar jantung, tetapi prajurit berkuda itu menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Apalagi dihadapan mereka berdiri seorang yang sama sekali tidak dapat diguncang oleh serangan-serangan salah seorang dari antara para prajurit itu.
"Orang ini berilmu iblis." geram orang yang memukulnya itu didalam hatinya.
Beberapa saat mereka bagaikan membeku. Namun tiba-tiba saja orang tertua diantara prajurit berkuda itu berkata, "Kita tinggalkan saja orang berilmu iblis ini."
"Tetapi kau belum menjawab. Apakah kau bersedia membayarnya?" bertanya Agung Sedayu.
"Setan kau." jawab orang itu.
Namun tiba-tiba saja orang itu telah mengambil uang dari kantong ikat pinggangnya dan memberikannya kepada tukang satang itu sambil berkata lantang, "Hitung. Kau kira aku tidak mempunyai uang. Aku tidak hanya membayar lipat dua. Tetapi lebih dari itu."
Tukang satang itu memang menghitung uang yang diberikan kepadanya. Memang terdapat kelebihan jika diperhitungkan upahnya dua kali lipat. Karena itu, maka katanya, "Uang ini memang berlebih."
"Ambil." bentak orang tertua itu, "aku masih mempunyai cukup uang."
Tetapi Agung Sedayu masih berkata, "Tukang satang yang kau pergunakan untuk menyeberang ke Barat masih belum kau bayar."
"Aku akan membayarnya lebih banyak dari yang seharusnya." teriak orang itu.
"Dimana rakit itu sekarang?" bertanya Agung Sedayu kepada tukang satang, "bukankah kau tahu, rakit yang mana yang membawa orang-orang berkuda ini ke Barat."
"Rakit itu sudah ada di seberang lagi." jawab tukang satang itu.
"Nah, bayar upah itu disana." berkata Agung Sedayu, "jika tidak, aku cari kau di Mataram dan aku akan mengatakan kepada para prajurit yang datang dari Pajang, dari Pegunungan Kidul, dari Grobogan, dari Pati, dan dari Demak dan dari mana saja, bahwa kalian telah menolak membayar upah ketika kau menyeberang Kali Praga."
"Diam. Diam kau iblis." teriak orang itu, "sudah aku katakan, aku mempunyai banyak uang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah orang-orang berkuda yang tidak mau mengaku berasal dari mana itu telah menyeberang Kali Praga. Di tengah-tengah penyeberangan seorang diantara mereka sempat berkata, "Di Tanah Perdikan itu ada juga orang berilmu tinggi."
"Mereka berjumlah terlalu banyak." desis yang lain.
"Tetapi ada diantara mereka yang tidak berguncang mendapat serangan salah seorang diantara kita." jawab orang itu.
Orang tertua diantara merekapun berdesis, "Ya. Orang itu memiliki kelebihan. Tetapi bukan berarti berilmu tinggi. Ia hanya memiliki daya tahan yang sangat besar sehingga serangan yang mengenai tubuhnya tidak mampu menggesernya."
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak lagi berteriak-teriak dan bergurau berlebihan sebagaimana ketika mereka menyeberang ke Barat. Mereka terpaksa merenungi perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata mereka harus mengakui, bahwa mereka memang tidak dapat berbuat sesuka hati. Mereka bukan orang-orang yang sangat dihormati dan ditakuti tanpa ada yang berani mencegah perbuatan-perbuatan mereka, meskipun mereka datang untuk membantu Panembahan Senapati. Apalagi mereka adalah orang-orang yang dianggap pilihan diantara para prajurit dalam pasukannya. Tetapi di Tanah Perdikan Menoreh mereka telah bertemu dengan sikap yang tidak mereka duga sebelumnya.
Ditepian di seberang, orang-orang itu memang memenuhi janjinya karena mereka tidak mau terjadi keributan yang akan dapat mencemarkan nama mereka diantara para prajurit yang datang bersamanya apalagi yang datang dari daerah lain. Merekapun kemudian telah membayar upah tukang satang yang telah menyeberangkan mereka ke Barat ketika mereka berangkat memasuki Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, ketika orang-orang telah menghilang dalam kegelapan, maka Agung Sedayu, Glagah Putih, dua orang pengawal yang datang bersamanya serta para pengawal berkuda yang lain telah meninggalkan tepian. Mereka singgah di padukuhan disisi Timur untuk memberitahukan bahwa orang-orang berkuda itu telah menyeberang. Kemudian merekapun melanjutkan perjalanan kembali ke padukuhan induk dan langsung kerumah Ki Gede untuk memberikan laporan.
Namun sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mohon diri untuk kembali kerumah mereka.
"Sekar Mirah tentu sudah menunggu-nunggu." berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih ketika mereka meninggalkan rumah Ki Gede.
"Ya. Kita berjanji untuk pulang hari ini. Tetapi tentu tidak sampai larut seperti ini." jawab Glagah Putih, "agaknya mbokayu memang sudah gelisah."
Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan rumahnya, maka Ki Gedepun telah mempersilahkan Ki Waskita dan beberapa orang bebahu untuk beristirahat.
"Aku juga ingin beristirahat." berkata Ki Gede, "kita percayakan saja penjagaan rumah ini kepada para pengawal."
Sejenak kemudian maka pendapa itu memang menjadi sepi. Ki Gede telah memberikan beberapa pesan kepada para pengawal, agar mereka tetap berhati-hati.
"Jika ada sesuatu yang terasa sangat penting, bangunkan aku." pesan Ki Gede.
Ki Waskita yang kemudian ternyata sulit untuk segera tidur, telah membayangkan beberapa segi kemungkinan yang timbul di Mataram. Ternyata beberapa orang diantara prajurit yang ada di Mataram sulit untuk dikendalikan. Mereka telah melakukan sesuatu yang dapat mengeruhkan hubungan antara para prajurit.
"Tetapi tidak lama lagi, mereka akan segera berangkat ke Timur." berkata Ki Waskita didalam hatinya.
Namun yang kemudian terbayang adalah peperangan yang dahsyat yang terjadi antara Mataram dan Madiun. Perang yang tentu akan menelan korban yang besar di kedua belah pihak. Apalagi di ke dua belah pihak terdapat senapati-senapati yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika mereka yang berilmu tinggi itu tidak mau mengekang diri dan bertempur diantara para prajurit kebanyakan, maka akibatnya tentu akan buruk sekali.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sekilas teringat anak laki-lakinya yang ternyata telah memilih jalan sendiri. Benar-benar sendiri, karena sikap dan keyakinannya.
"Jika saja dunia ini banyak orang yang bersikap dan berkeyakinan seperti Rudita." berkata Ki Waskita didalam hatinya. Namun iapun berdesis, "Tetapi selama masih ada kejahatan didunia ini, termasuk kedengkian, ketamakan dan mementingkan diri sendiri, maka masih diperlukan perlindungan bagi mereka yang lemah."
Tetapi benturan kekuatan tidak saja timbul diantara mereka yang dinilai jahat, tamak, dengki dan mementingkan diri sendiri melawan mereka yang menentangnya. Bahkan benturan kekuatan dapat timbul diantara mereka yang berpegang pada satu keyakinan akan kebenaran di masing-masing pihak. Kedua belah pihak merasa berdiri diatas kebenaran itu.
Selagi Ki Waskita masih saja gelisah dipembaringan, maka Sekar Mirahpun gelisah di ruang dalam rumahnya. Ia tidak dapat menunggu dengan tenang duduk atau berbaring dipembaringan.
Sekar Mirah memperhitungkan bahwa sebelum gelap Agung Sedayu tentu sudah sampai dirumahnya. Sehingga karena itu, maka Sekar Mirah menduga, bahwa tentu ada hambatan diperjalanan, justru pada saat-saat yang gawat. Karena itu, maka ia menjadi gelisah. Rasa-rasanya waktu berjalan sangat lambat. Hari yang panjang, namun Agung Sedayu tidak kunjung datang.
Sekar Mirah yang meyakini kemampuan suaminya dan Glagah Putih untuk dapat mengatasi berbagai macam hambatan itu masih juga memperhitungkan kemungkinan lain, seandainya Agung Sedayu bertemu dengan sekelompok orang berilmu tinggi.
Sementara itu, Ki Jayaragapun merasa gelisah pula. Ia tidak segera masuk kedalam rumah meskipun ia telah berada di regol halaman. Ketika tiga orang peronda sedang berkeliling lewat jalan induk, maka ketiganyapun berhenti di depan regol karena mereka melihat Ki Jayaraga justru berjongkok di depan regol.
"Ada yang ditunggu Ki Jayaraga?" bertanya salah seorang dari peronda itu, namun yang kemudian justru ikut berjongkok bersama kedua orang kawannya yang lain.
"Agung Sedayu belum datang." desis Ki Jayaraga.
"Sudah." jawab salah seorang peronda itu dengan serta merta, "aku sudah melihatnya di rumah Ki Gede."
"Lalu?" bertanya Ki Jayaraga.
"Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan rumah Ki Gede dengan tergesa-gesa bersama dua orang pengawal."
"Ada hubungannya dengan isyarat suara panah sendaren itu?" bertanya Ki Jayaraga.
"Ya." jawab peronda itu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga mendengar suara isyarat itu. Tetapi aku tidak dapat meninggalkan rumah ini. Pernah ada usaha untuk mengambil Sekar Mirah. Mungkin usaha itu akan diulangi dengan memancing perhatian orang kearah lain. Aku tadi sudah memperhitungkan, bahwa di rumah Ki Gede ada Ki Waskita dan Ki Gede sendiri."
"Ya. Ki Waskita dan Ki Gede tinggal bersama beberapa orang bebahu serta pengawal, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi ke tempat sumber isyarat itu." berkata pengawal itu, "tetapi sudah beberapa saat yang lalu. Mungkin Agung Sedayu sekarang sudah kembali kerumah Ki Gede."
"Jika terjadi sesuatu?" bertanya Ki Jayaraga.
"Kita tidak mendengar isyarat kentongan. Jika terjadi sesuatu yang berbahaya dan memerlukan kekuatan yang lebih banyak lagi, maka tentu akan terdengar suara kentongan." berkata peronda itu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya hatinya masih saja tidak tenang sebelum Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali. Namun beberapa saat kemudian, mereka mendengar derap kaki kuda, sementara dari kejauhan mereka melihat dua orang penunggang kuda mendekat. Dibawah cahaya obor di regol-regol halaman, mereka melihat seekor diantara kedua ekor kuda itu adalah kuda yang besar dan tegar.
"Itulah mereka." berkata Ki Jayaraga yang kemudian bangkit berdiri. Demikian pula ketiga orang peronda itu.
Sebenarnyalah bahwa yang datang itu adalah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Agung Sedayu dan Glagah Putih memang agak ber-debar-debar melihat beberapa orang berdiri di regol halamannya. Namun kemudian merekapun segera mengenalinya. bahwa yang ada diregol itu adalah Ki Jayaraga dan tiga orang pengawal.
"Syukurlah kau segera dating." berkata Ki Jayaraga.
"Bukankah tidak terjadi sesuatu disini?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak. Tetapi kami menjadi gelisah. Sekar Mirah juga gelisah. Kami memperhitungkan, kau datang sebelum senja." berkata Ki Jayaraga.
"Ada sedikit hambatan diperjalanan Ki Jayaraga." jawab Agung Sedayu, "bahkan setelah aku sampai kerumah Ki Gedepun, aku harus pergi lagi sampai ke pinggir Kali Praga. Untunglah bahwa kami turun ke penyeberangan sisi Utara, sehingga tidak terlalu jauh ke Selatan."
"Masuklah." berkata Ki Jayaraga, "Sekar Mirah tentu masih menunggu."
Sebenarnyalah sebelum Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai ke sisi pendapa, Sekar Mirah sudah membuka pintu. Dengan tergesa-gesa ia keluar turun ke pendapa.
"Bukankah tidak terjadi sesuatu kakang?" bertanya Sekar Mirah yang mendengar suara Agung Sedayu dan Ki Jayaraga.
"Tidak Mirah." jawab Agung Sedayu, "hanya sedikit kelambatan."
"Syukurlah." Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih membawa kudanya dan kuda Agung Sedayu kekandang.
Sejenak kemudian, setelah mencuci tangan dan kakinya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah duduk diruang dalam bersama Ki Jayaraga dan Sekar Mirah.
"Kakang tidak beristirahat dahulu?" berkata Sekar Mirah, "hampir menjelang dini. Besok kita dapat berbincang panjang."
"Ya." sambung Ki Jayaraga, "kau tentu letih. Bukankah kau harus mengatasi hambatan diperjalanan?"
Agung Sedayu dan Glagah Putih memang merasa letih. Keduanya bukan saja merasa letih karena perjalanan mereka serta hambatan yang mereka alami diperjalanan serta perjalanan mereka kembali sampai ke pinggir Kali Praga, tetapi hati mereka juga merasa letih. Bahkan kesal atas peristiwa yang terjadi dua kali dalam sehari.
"Pasukan khusus Mataram tentu harus bekerja keras untuk mengatasi geseran-geseran seperti ini yang terjadi di kota." berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah pergi ke bilik masing-masing. Sekar Mirah memang tidak mengusik lagi Agung Sedayu yang berusaha untuk melepaskan segala persoalan yang membelit hatinya, karena ia memang ingin dapat tidur nyenyak disisa malam itu.
Glagah Putihpun telah berbaring diam. Iapun berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya, karena kerja yang lain masih menunggu esok pagi.
Meskipun keduanya baru dapat tidur menjelang dini hari, namun ternyata bahwa keduanya sudah terbiasa untuk bangun sebelum matahari terbit. Tetapi meskipun mereka belum cukup lama beristirahat, namun yang sebentar itu telah membuat tubuh mereka menjadi segar kembali.
Seperti biasa keduanya melakukan kerja di pagi hari. Ketika Ki Jayaraga yang menjadi lebih senang pergi ke sawah, maka Agung Sedayu telah membersihkan halaman, sementara Glagah Putih memandikan kuda mereka yang kemarin menempuh perjalanan panjang. Pembantu rumah itu telah berada di sumur pula bersama Glagah Putih. Dengan bangga anak itu berkata, "Aku mendapat sidat yang besar malam tadi."
"Pelus maksudmu" Bukankah sidat yang besar disebut pelus?" bertanya Glagah Putih.
"Belum dapat disebut pelus. Tetapi sudah terlalu besar untuk disebut sidat." katanya.
"Bagus. Lalu apa lagi?" bertanya Glagah Putih.
"Beberapa ekor ikan lele dan setumpuk udang dan wader pari." jawab anak itu.
"O, nampaknya kau berhasil malam tadi."
"Beberapa ekor yuyu." jawabnya pula.
"Kenapa kau bawa juga yuyu itu?" bertanya Glagah Putih.
"Aku teringat kau." jawab anak itu.
Tiba-tiba saja Glagah Putih melepaskan kendali kuda yang baru dimandikannya didekat sumur. Selangkah demi selangkah ia mendekati anak itu.
"Kau juga minta dimandikan agaknya." desis Glagah Putih.
"Tidak. Tidak." anak itupun telah berlari menjauh.
"Semalam kau nampaknya masih belum mencuci tangan dan kakimu yang berlumpur." geram Glagah Putih.
"Jangan. Kau tidak boleh marah. Aku hanya salah ucap. Maksudku beberapa ekor yuyu itu untuk kucing kita." anak itu mulai berputar mengelilingi sumur.
Glagah Putihpun akhirnya berhenti. Katanya, "Nanti aku akan menungguimu jika kau makan. Kau harus menghabiskan beberapa ekor yuyu itu. Jika tidak, maka aku akan menyuapimu dengan ketam-ketam itu."
"Tidak. Aku minta maaf." berkata anak itu, "aku tidak akan salah ucap lagi."
Glagah Putih berdiri bertolak pinggang. Namun kemudian ia telah melangkah kembali ke kudanya yang tidak beranjak dari tempatnya. Anak itupun selangkah demi selangkah kembali pula ke sumur. Menarik senggot dan mengisi jambangan.
Tetapi akhirnya Glagah Putihlah yang tertawa. Katanya, "Sekali-sekali aku ingin membenamkan kepalamu di sungai itu."
Anak itu tidak menjawab meskipun ia tersenyum-senyum. Bahkan kemudian ia berkata, "Kau selalu ingkar. Kau tidak bersungguh mengajari aku berkelahi."
"Aku mulai ragu-ragu." jawab Glagah Putih, "jika kau kemudian mampu berkelahi, maka kau tentu akan melawan aku."
"Tidak." jawab anak itu, "kau lebih besar dari aku. Kau lebih dahulu belajar berkelahi dan kau sudah berkelahi setiap hari."
"Jika kau benar-benar ingin belajar berkelahi, maka kau harus mengikuti syarat yang harus kau jalani." berkata Glagah Putih.
"Bukankah aku berjanji untuk melakukan segala syarat." sahut anak itu.
"Tetapi satu yang kau tidak pernah melakukannya." desis Glagah Putih.
"Apa?" bertanya anak itu.
"Makan ketam." jawab Glagah Putih.
Anak itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, "Itulah sebabnya aku mencari yuyu malam tadi."
"Setan kau." geram Glagah Putih. Sekali lagi ia melepaskan kudanya dan sekali lagi ia melangkah mendekati anak itu. Tetapi anak itupun berlari melingkari sumur. Katanya, "Cukup. Cukup. Aku tidak akan mengganggumu lagi."
Sesaat Glagah Putih berdiri diam. Tetapi iapun segera kembali ke kudanya dan kuda Agung Sedayu.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah duduk diruang tengah bersama Sekar Mirah yang telah menyiapkan makan pagi.
Dalam kesempatan itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menceriterakan perjalanannya ke Jati Anom untuk minta diri kepada Kiai Gringsing, Ki Widura dan Untara, bahwa mereka akan ikut serta dalam perjalanan ke Timur bersama para prajurit Mataram dan dari beberapa Kadipaten yang lain.
"Bukankah kakang Untara juga pergi?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya. Kakang Untara dan adi Swandaru." jawab Agung Sedayu, "ternyata bahwa adi Swandaru telah lebih dahulu mohon diri kepada Guru."
Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat menceriterakan hambatan yang terjadi dalam perjalanannya. Hambatan yang datang justru dari orang-orang yang akan bersama para pengawal Tanah Perdikan pergi ke Timur.
"Tetapi mereka tidak tahu bahwa kakang dan Glagah Putih juga akan pergi." berkata Sekar Mirah.
"Mula-mula memang." jawab Glagah Putih, "tetapi ketika kakang juga menceriterakan tentang kemungkinan untuk ikut serta ke Timur, orang itu justru mengatakan bahwa kami hanya akan menambah beban makan dan minum saja."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya, "Darimana orang itu tahu kalau kau terlalu banyak makan?"
Glagah Putih dan Agung Sedayu ternyata ikut tertawa pula.
Namun demikian, akhirnya Agung Sedayupun berkata dengan nada rendah. "Satu gambaran yang buruk dari hiruk-pikuknya Mataram sekarang ini."
"Bukankah itu tidak akan berlangsung lama?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya. Dalam waktu yang dekat, maka pasukan seluruhnya akan segera berangkat." berkata Agung Sedayu. "Termasuk kami."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah terbiasa ditinggalkan oleh Agung Sedayu untuk menjalani tugas. Tetapi ketika Agung Sedayu disiapkan untuk ikut perjalanan pasukan ke Timur, perasaan Sekar Mirah menjadi agak lain. Meskipun ia tidak terlibat langsung, tetapi ia sudah mendengar bahwa Madiun berhasil menghimpun kekuatan yang sangat besar sehingga perlawanan Madiun tentu akan merupakan perang yang cukup gawat bagi Mataram. Betapapun banyaknya orang berilmu tinggi dari Mataram, namun melawan kekuatan yang besar, tentu harus diperhitungkan dengan sangat cermat.
Agung Sedayu agaknya dapat membaca gejolak hati Sekar Mirah. Karena itu, maka iapun berkata, "Mataram akan berangkat ke Madiun bersama para Senapati tertingginya. Disamping Pangeran Singasari dan Pangeran Mangkubumi, maka sudah tentu Pangeran Gajah bening di Pajang juga akan berangkat. Sedangkan pasukan itu dalam keseluruhan akan dipimpin sendiri oleh Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka."
"Tetapi Panembahan Mas telah bekerja sama dengan beberapa Adipati dari Timur." berkata Sekar Mirah, "mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara kita masih belum dapat mengetahui perbandingan ilmu Panembahan Mas di Madiun dengan Panembahan Senapati di Mataram."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, "Segala sesuatunya kita serahkan saja kepada Yang Maha Agung. Kepada-Nyalah kita sandarkan hidup kita."
Kata-kata pasrah itu memang agak menenangkan hati Sekar Mirah. Karena apapun yang dilakukan dan dimanapun tempatnya, kehendak Yang Maha Agung akan dapat berlaku. Demikianlah setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih selesai makan, maka merekapun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede.
"Nanti Ki Jayaraga akan menyusul." berkata Agung Sedayu.
"Ya. Ki Jayaraga sekarang lebih senang berada di sawah. Nanti, jika matahari menjadi semakin tinggi mencapai ujung pepohonan, ia baru akan kembali." berkata Sekar Mirah.
"Sebetulnya ia tidak perlu menunggu air sehingga kotak-kotak sawah itu penuh." berkata Agung Sedayu.
"Ia senang melakukannya. Kadang-kadang menurut beberapa orang yang sering melihatnya, Ki Jayaraga betah duduk berlama-lama di pematang. Kadang-kadang ia tidak melihat air yang telah melimpah. Baru kemudian ia terkejut dan dengan tergesa-gesa menutup pematang." berkata Sekar Mirah.
"Apakah ia pernah mengatakan sesuatu tentang keadaannya?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku justru akan bertanya kepada kakang." sahut Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Ia tidak pernah mengatakan sesuatu tentang dirinya sendiri."
Tetapi Glagah Putihlah yang kemudian berkata, "Ki Jayaraga pernah mengatakan diluar sadarnya, bahwa ia ingin bertemu dengan anaknya."
"Anaknya?" bertanya Agung Sedayu dan Sekar Mirah hampir berbareng.
"Ya." jawab Glagah Putih, "tetapi ketika aku ingin mendapat penjelasan, maka Guru telah mengelak. "Katanya kemudian, bahwa Guru tidak pernah mempunyai anak."
"Agaknya orang tua itu menyimpan satu rahasia tentang dirinya. Tetapi yang jelas, ia pernah dikecewakan oleh murid-muridnya. Semua murid-muridnya tidak ada yang berjalan di jalan lurus. Satu-satunya harapannya ditumpahkan kepadamu Glagah Putih." berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berdesis, "Apakah guru merasa kecewa terhadapku" Apakah aku tidak dapat memenuhi batasan-batasan ilmu yang dibuat oleh guru?"
"Agaknya tidak Glagah Putih." berkata Agung Sedayu, "namun sebelum kita berangkat ke Mataram, kita akan dapat bertanya kepadanya meskipun kita harus berhati-hati."
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Agaknya Ki Jayaraga dalam hal ini agak tidak terbuka. Tetapi kita akan dapat mencobanya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan pergi ke rumah Ki Gede untuk mempersiapkan keberangkatan pasukan pengawal Tanah Perdikan."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi ke rumah Ki Gede. Mereka bersama-sama dengan Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan lainnya telah mempersiapkan segala sesuatunya dalam hubungan keberangkatan mereka ke Mataram untuk selanjutnya menempuh perjalanan bersama dengan pasukan segelar-sepapan kearah Timur.
Dari Ki Gede, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendapat keterangan bahwa pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan sudah berangkat lebih dahulu. Seorang penghubung telah datang memberi tahukan hal itu kepada Ki Gede. Untuk kepentingan ini, maka pasukan khusus itu tidak berada dalam ikatan kesatuan perintah dengan pasukan Tanah Perdikan sebagaimana jika mereka berada di Tanah Perdikan.
"Jadi pasukan itu sudah berangkat?" desis Agung Sedayu.
"Ya. Kemarin malam. Mereka telah mendapatkan seorang Senapati baru yang akan memimpin pasukan khusus itu untuk selanjutnya. Ada ampat kelompok prajurit dari pasukan khusus itu yang ditinggalkan didalam barak." berkata Ki Gede.
"Kita sendiri, kapan berangkat?" bertanya Glagah Putih tiba-tiba.
"Malam nanti kita bersiaga sepenuhnya. Menjelang dini kita berangkat. Kita masih belum tahu pasti, di kesatuan yang mana nanti pasukan kita ditempatkan. Yang pernah dinyatakan sebelumnya ternyata akan mengalami beberapa perubahan, meskipun pimpinan tertinggi masih dipegang oleh. Panembahan Senapati bersama dengan Ki Patih Mandaraka dan didampingi oleh Adipati dari Pati, Pangeran Singasari dan Pangeran Mangkubumi." berkata Ki Gede.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Mudah-mudahan kita berada ditempat yang mapan diantara para prajurit Mataram sendiri."
"Mudah-mudahan. Mudah-mudahan bersama dengan Untara dan Swandaru." berkata Ki Gede.
Namun sebenarnyalah bahwa mereka tidak akan dapat memilin tempat dimanapun mereka ditempatkan.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putihpun bersama para pemimpin pengawal Tanah Perdikan telah bersiap untuk mengatur pasukan. Ki Gede sendiri, dalam umurnya yang semakin tua, akan memimpin pasukannya. Ia telah memerintahkan Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk menjadi pimpinan pengapitnya. Sementara Ki Gede telah minta Ki Waskita dan Ki Jayaraga untuk mengawasi Tanah Perdikan Menoreh bersama Sekar Mirah.
"Aku akan minta para bekel untuk selalu berhubungan dengan Ki Waskita dan Ki Jayaraga." berkata Ki Gede. Lalu katanya, "Mudah-mudahan di Tanah Perdikan ini tidak terjadi sesuatu. Akupun ingin minta kepadamu agar kau tempatkan Sekar Mirah untuk sementara di rumahku. Ia akan dapat ikut melindungi rumah itu bersama para pengawal yang kita tinggalkan. Selebihnya ia akan terhindar dari kemungkinan buruk, jika ada orang yang ingin mencelakainya sebagaimana pernah terjadi. Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan melindunginya."
Agung Sedayu menganguk-angguk. Katanya, "Aku nanti akan berbicara dengan Sekar Mirah."
"Bukan berarti bahwa Sekar Mirah tidak akan sering pulang kerumah untuk membersihkan perabot rumahmu dan barangkali membersihkan halaman dan kebunmu." berkata Ki Gede.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya Sekar Mirah tidak akan berkeberatan."
Sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan beberapa pemimpin pengawal telah meninggalkan rumah Ki Gede. Mereka telah pergi ke banjar untuk berbicara dengan para pemimpin kelompok. Beberapa perintah telah disampaikan oleh Agung Sedayu kepada para pemimpin kelompok itu sebagaimana di perintahkan oleh Ki Gede. Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu telah memerintahkan para pemimpin kelompok untuk kembali ke kelompok mereka masing-masing.
"Kalian masih mempunyai waktu hampir sehari untuk mempersiapkan kelompok masing-masing. Para pengawal masih sempat tinggal bersama keluarganya beberapa saat. Kita akan berkumpul menjelang saat sepi uwong. Semua sudah dengan peralatan dan senjata masing-masing, karena kalian tidak akan mendapatkan kesempatan untuk pulang kembali. Menjelang dini kita berangkat. Kita berharap bahwa sebelum matahari sampai kepuncak langit, kita sudah berada di Mataram untuk melaporkan diri." berkata Agung Sedayu. Lalu katanya, "kekuatan kita memang tidak sebesar kekuatan beberapa Kadipaten yang akan ikut serta. Tetapi kami akan berada dalam satu kesatuan dengan para prajurit Mataram sendiri."
Demikianlah, setelah semuanya jelas serta setelah beberapa pertanyaan dijawab oleh Agung Sedayu, maka para pemimpin kelompok itupun diperkenankan untuk kembali ke kelompok masing-masing untuk seterusnya pulang kerumah. Mereka akan mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa, terutama senjata. Menjelang dini mereka akan berangkat menuju ke Mataram.
Di sebelah salah sebuah padukuhan telah disiapkan ara-ara yang cukup luas untuk menampung para pengawal yang akan berangkat. Ara-ara yang ditumbuhi rerumputan, tempat para gembala menggembalakan kambingnya. Padang rumput itu terletak di sebelah padang perdu yang berhubungan dengan sebuah hutan yang tidak terlalu lebat dan tidak pula terlalu luas. Hutan yang terbiasa menjadi tempat orang-orang yang mencari kayu bakar, karena di hutan itu sudah tidak dihuni oleh binatang buas. Kecuali tidak lagi terdapat pohon-pohon yang besar dan rimbun, maka hutan itu juga tidak cukup luas.
Di sore hari, maka para pengawal telah menghabiskan waktu mereka dengan keluarga yang akan mereka tinggalkan. Demikian pula Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Namun ternyata Sekar Mirah tidak berkeberatan untuk tinggal dirumah Ki Gede sementara Agung Sedayu tidak ada di Tanah Perdikan.
"Aku akan menunggui rumah ini." berkata Ki Jayaraga.
"Tetapi Ki Jayaraga tentu diperlukan oleh Ki Waskita, karena Ki Jayaraga juga termasuk diserahi mengawasi Tanah Perdikan ini." berkata Agung Sedayu.
"Setiap hari aku akan pergi kerumah Ki Gede untuk menemui Ki Waskita. Jika ada sesuatu yang penting kami selesaikan, maka kami akan menyelesaikannya. Tetapi akupun tidak dapat meninggalkan kerja bagi sawah kita." berkata Ki Jayaraga.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Ki Jayaraga."
"Mudah-mudahan kalian selamat dan keberangkatan pasukan Mataram akan membawa hasil." berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, "Secara khusus aku minta kau mengawasi Glagah Putih. Peperangan bukan tempat yang baik untuk tumbuh. Baik secara jiwani maupun secara kewadagan. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi akibat peperangan. Bahkan watak seseorangpun dapat berubah pula setelah mengalami peristiwa-peristiwa yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Mudah-mudahan aku dapat melakukannya sebaik-baiknya."
"Kau, kakak sepupunya, tentu juga tidak ingin melihat anak itu mengalami goncangan-goncangan jiwani yang akan dapat mempengaruhi perkembangannya untuk selanjutnya. Aku tidak mau kehilangan muridku lagi karena menempuh jalan yang tidak pantas."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sambil berpaling kepada Glagah Putih ia berkata, "Kau dengar sendiri Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa peperangan adalah arena yang dapat merampas kepribadian seseorang. Di medan perang, seseorang kadang-kadang tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Bahkan setelah seseorang keluar dari api peperangan, maka kadang-kadang sifat dan wataknya akan dapat berubah. Karena itu, Glagah Putih. Sebelum memasuki arena yang keras, maka kau harus memperkuat kepribadianmu sehingga dengan demikian maka kau akan memasuki arena dengan sadar akan dirimu sendiri."
Balas " On 24 Juli 2009 at 15:06 Mahesa Said:
Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, "Apalagi secara khusus gurumu telah memberikan pesan. Yang penting, gurumu tidak ingin kehilangan lagi muridnya. Kau pernah mendengar ceritera tentang murid-murid gurumu yang terdahulu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun Agung Sedayupun kemudian berkata, "Memang satu beban tanggungjawab. Tetapi beban itu jangan menjeratmu ke dalam ketegangan yang berlebihan, yang justru akan dapat mengikatmu sehingga kau tidak bergerak dengan bebas."
"Ya kakang." jawab Glagah Putih.
"Baiklah. Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kita akan bersama-sama berdoa. Kita yang berangkat ke medan perang dan yang tinggal di Tanah Perdikan. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita semuanya." berkata Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan berbicara secara khusus kepada Glagah Putih di sanggar."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun katanya, "Silahkan Ki Jayaraga."
Sejenak kemudian, Glagah Putihpun telah berada di dalam sanggar. Beberapa pesan terpenting yang menyangkut tentang ilmunya telah diberikan. Namun Ki Jayaraga masih ingin melihat kembali ungkapan ilmu Glagah Putih.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Ki Jayaraga melihat kemungkinan-kemungkinan baru bagi Glagah Putih dalam ungkapan ilmunya itu. Tetapi sudah barang tentu tidak dengan cara yang biasa dilakukannya. Latihan-latihan yang berat serta menjalani laku yang rumit. Namun Ki Jayaraga telah melihat, bahwa masih ada simpul-simpul syarat yang masih belum terbuka sepenuhnya untuk mengangkat tenaga di dalam diri muridnya itu.
"Duduklah." berkata Ki Jayaraga kemudian.
Glagah Putih tidak segera mengerti maksud gurunya. Namun iapun kemudian telah duduk dengan dada tengadah.
"Pusatkan nalar budimu. Kau harus siap menerima getaran yang akan merambat ke dalam tubuhmu." berkata Ki Jayaraga.
Glagah Putih mengangguk. Dengan sungguh-sungguh ia telah memusatkan nalar budinya untuk menerima kemungkinan-kemungkinan yang akan sangat berpengaruh atas dirinya, terutama tubuhnya.
Sementara itu, Ki Jayaraga telah duduk pula dibelakang Glagah Putih. Dengan sangat berhati-hati Ki Jaya-raga telah meraba hampir seluruh punggung Glagah Putih.
"Buka bajumu." berkata Ki Jayaraga kemudian. Glagah Putihpun telah membuka bajunya. Kemudian dengan suara berat Ki Jayaraga berkata, "Bersiaplah."
Glagah Putihpun telah bersiap sepenuhnya apapun yang akan dilakukan oleh gurunya. Demikianlah, dengan dua ujung jarinya Ki Jayaraga telah mengetuk beberapa simpul syaraf dipunggung Glagah Putih.
Cukup keras sehingga Glagah Putih harus mengerahkan daya tahannya untuk menahan sakit. Namun kemudian, Glagah Putih merasakan getaran yang mengalir dari telapak tangan Ki Jayaraga yang kemu-dian dilekatkan di punggungnya. Lewat simpul-simpul syaraf yang telah dibuka lebih dahulu.
Glagah Putih ternyata harus mengerahkan kemampuan daya tahannya. Getaran-getaran itu semakin lama terasa semakin panas. Namun kemudian, panas itu bagaikan merambat keseluruh tubuhnya sehingga keringat telah menitik di keningnya. Panas itu rasa-rasanya mengikuti arus darahnya sampai keujung jari-jari kakinya.
Dalam puncak kekuatan daya tahannya, maka rasa-rasanya dinding jantungnya akan meledak. Karena itu, maka Glagah Putih telah mengerahkan segenap kemampuannya. Namun Glagah Putih sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak boleh menolak getaran itu. Glagah Putih sadar, jika ia mencoba sedikit saja menahan arus getaran itu didalam tubuhnya, maka hal itu akan sangat berbahaya. Jika urat darahnya ada yang pecah, apalagi di bagian kepalanya, maka ia akan kehilangan semua kesempata. Bahkan kesempatan untuk tetap hidup. Karena itu, yang dilakukannya adalah sekedar bertahan atas rasa sakit dan panas didalam dirinya.
Tetapi beberapa saat kemudian, getaran itu menjadi semakin lembut. Panaspun segera menurun dan akhirnya getaran-getaran lembut itulah yang merasa menjelajahi tubuhnya. Semakin lama semakin lunak semakin lunak sehingga akhirnya menjadi berhenti sama sekali.
Perlahan-lahan Ki Jayaraga telah beringsut. Dengan suara yang berat iapun berkata, "Berdirilah."
Glagah Putihpun kemudian telah bangkit berdiri. Namun ketika ia menggeliat untuk melemaskan sendi-sendinya yang terasa sakit. Iapun melihat bahwa Ki Jayaragapun nampak sangat letih.
Dengan cemas Glagah Putihpun kemudian berjongkok disebelah gurunya sambil berdesis, "Guru, kenapa?"
Tetapi gurunya tersenyum sambil berkata, "Tidak apa-apa. Tetapi aku telah mengerahkan segala tenagaku untuk mengalirkan getaran kedalam tubuhmu, membuka segala nadi dan urat syaraf yang masih belum terbuka sepenuhnya. Sehingga dengan demikian maka kau akan mampu mengungkap tenaga cadangan jauh lebih besar. Meskipun dalam tataran ilmu yang sama, namun dengan tenaga cadangan yang jauh lebih besar, maka ilmumupun akan menjadi lebih berarti."
"Tetapi Guru nampak sangat lemah." berkata Glagah Putih.
"Aku memang menjadi sangat lemah. Tetapi dalam waktu yang singkat kekuatanku akan pulih kembali. Dalam waktu satu hari satu malam, jika aku sempat beristirahat sepenuhnya, maka kekuatanku sudah akan utuh lagi." berkata Ki Jayaraga. Namun kemudian katanya, "Aku justru telah mencemaskanmu. Disaat-saat yang paling gawat, ternyata kau mampu mengatasinya. Jika kau gagal maka kau tentu tidak akan dapat ikut bersama Agung Sedayu, karena kau memerlukan waktu sepekan untuk mendapat tenagamu kembali. Namun jika keadaanmu menjadi parah, maka kau memerlukan waktu jauh lebih panjamg. Mungkin sebulan atau dua bulan. Aku memang harus sangat berhati-hati. Namun dengan demikian, aku memerlukan waktu dan kekuatan lebih besar."
"Aku mengucapkan terima kasih guru. Guru telah berbuat apa saja untuk kebaikanku. Sekarang Guru telah meningkatkan kemampuanku mengungkapkan tenaga cadangan dalam waktu singkat." berkata Glagah Putih.
"Sekarang, kau dapat mengujinya. Waktumu memang tinggal sedikit." berkata gurunya. Kemudian. "Kau tidak usah mempergunakan sasaran apapun juga. Jika kau mulai bergerak dengan beberapa unsur gerak yang paling rumit dari ilmumu yang manapun, maka kau merasakan perbedaan sebelum dan sesudah simpul-simpul syarafmu serta nadi-nadimu terbuka sepenuhnya."
Glagah Putihpun kemudian telah bergeser ketengah sanggar. Ia memang merasakan perbedaan didalam tubuhnya, sebagaimana ia pernah mengalami sebelum Raden Rangga meninggal. Satu loncatan kemampuan justru karena terbukanya simpul-simpul syaraf dan nadinya. Ketika Raden Rangga melakukannya, nampaknya masih ada bagian yang ketinggalan, karena saat itu keadaan Raden Rangga memang sudah agak parah. Kini gurunya telah menyempurnakannya meskipun tidak akan pernah dicapai satu tingkat yang sempurna dalam bidang apapun juga. Tetapi memang telah terjadi peningkatan didalam dirinya.
Sejenak kemudian maka Glagah Putihpun telah mulai bergerak. Dari gerak yang paling sederhana, dengan cepat meningkat ke unsur gerak yang lebih rumit, sehingga akhirnya, iapun telah sampai pada unsur-unsur gerak yang paling rumit.
Namun dengan demikian Glagah Putih dapat menilai kemampuan didalam dirinya. Ia segera menyadari, bahwa kemampuannya melepaskan tenaga cadangannya menjadi lebih baik dari sebelumnya, sehingga dengan demikian, maka seakan-akan ilmunyapun menjadi semakin meningkat.
Beberapa saat Glagah Putih meyakinkan dirinya, bahwa ia memang menjadi lebih baik. Namun sesaat kemudian, Ki Jayaragapun menghentikannya sambil berkata, "Sudah cukup Glagah Putih. Waktumu tinggal sedikit. Kau harus membenahi dirimu, karena sebentar lagi, kau akan berangkat bersama pasukan Tanah Perdikan ini. Ki Gede sendiri akan memimpin pasukan itu, sedangkan kau dan Agung Sedayu akan dijadikan pengapitnya, sekaligus menjadi pembantunya sebagai pemimpin pasukan, yang dalam istilah keprajuritan disebut Senapati."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa waktunya memang sudah singkat. Tetapi ia sudah tidak mempunyai kewajiban apapun lagi. Ia sudah minta diri kepada ayahnya di Jati Anom. Kemudian kepada gurunya yang justru memberinya bekal untuk meningkatkan cadangan kemampuannya mengungkapkan tenaga cadangannya. Sementara itu, kakak sepupunya akan pergi bersamanya, sedangkan isteri kakak sepupunya itu akan berada di rumah Ki Gede.
Namun sesaat kemudian, maka Glagah Putihpun telah menghentikan latihan-latihannya untuk menguji kemampuan ungkapan tenaga cadangan didalam dirinya, yang ternyata memang telah memberikan keyakinan bahwa kemampuannya itu telah meningkat.
"Marilah." berkata Ki Jayaraga yang bangkit berdiri dengan tenaga yang lemah, "kita menemui Agung Se-dayu."
"Marilah Guru." jawab Glagah Putih yang menjadi berdebar-debar melihat gurunya yang sangat letih. Tetapi gurunya sudah mengatakan kepadanya, bahwa dalam sehari semalam tenaganya akan pulih kembali.
Ketika keduanya masuk ke ruang dalam, Agung Sedayu yang sedang berada diruang dalam melihat keadaan Ki Jayaraga. Tetapi ia sama sekali tidak bertanya apa yang telah terjadi. Agung Sedayu yang berilmu tinggi itupun segera mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ki Jayaraga kepada muridnya.
"Ki Jayaraga telah berbuat apa saja bagi Glagah Putih." berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "karena itu, Glagah Putih tidak boleh mengecewakannya. Ia harus menjadi seorang yang baik dalam olah kanuragan, tetapi juga seorang yang baik sifat dan wataknya."
Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih sempat berbincang. Namun kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putihpun mulai berkemas. Demikian juga Sekar Mirah yang akan berada dirumah Ki Gede selama Ki Gede tidak ada dirumah. Sementara itu Ki Waskita juga akan berada di Tanah Perdikan disamping Ki Jayaraga. Namun agaknya Ki Jayaraga lebih senang berada di rumah Agung Sedayu. Pagi-pagi ia sudah pergi ke sawah, sementara pernbantu dirumah Agung Sedayu itu memanasi air. Dari sawah Ki Jayaraga akan dapat menikmati minuman panas dan beberapa potong ketela rebus.
Namun baru setelah senja Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah akan pergi ke rumah Ki Gede, sementara itu Ki Jayaraga justru mulai berbaring di pembaringannya.
"Nanti tengah malam aku menyusul." berkata Ki Jayaraga yang ingin beristirahat.
"Silahkan." sahut Agung Sedayu, "Ki Jayaraga memang harus beristirahat dengan baik."
"Tengah malam tenagaku tentu sudah mulai tumbuh meskipun belum pulih." berkata orang tua itu.
Demikian Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah berangkat, maka Ki Jayaraga telah benar-benar beristirahat sepenuhnya. Ia telah tertidur dengan nyenyaknya. Namun ia sudah berpesan kepada pembantu rumah itu, agar ia dibangunkan tengah malam.
"Setelah aku pulang dari sungai." berkata anak itu.
"Ya. Jika kau berniat turun dua kali, maka yang pertama aku turun, tentu sudah mendekati tengah malam." jawab Ki Jayaraga.
Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah telah berada dirumah Ki Gede. Para pembantu dirumah Ki Gede telah menyiapkan bilik untuk Sekar Mirah yang akan berada di rumah itu selama Agung Sedayu tidak ada. Hal itu akan baik bagi Sekar Mirah yang tentu selalu dibayangi oleh kecemasan selama suaminya berada di medan perang dan akan baik pula bagi rumah Ki Gede, karena kemampuan Sekar Mirah yang tinggi, maka Sekar Mirah akan dapat melindungi para penghuni rumah itu. Sementara Ki Waskita perhatiannya tentu akan lebih banyak keseluruh daerah Tanah Perdikan bersama Ki Jayaraga.
Menjelang saat sepi uwong maka Ki Gede telah memanggil Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa yang juga akan berangkat bersama pamannya.
"Sudah hampir sampai waktunya." berkata Ki Gede, "sebentar lagi kita akan berkumpul."
"Kami sudah siap Ki Gede." jawab Agung Sedayu.
"Kita akan segera berangkat ke ara-ara." berkata Ki Gede, "segala sesuatunya telah disiapkan disana."
"Para pengawal yang akan berangkat bersama-sama dengan kita telah siap pula." berkata Prastawa.
"Baiklah." berkata Ki Gede kemudian, "kita akan segera berangkat."
Prastawapun kemudian telah menyiapkan para pengawal yang akan berangkat bersama-sama Ki Gede dari rumah itu, lewat banjar menuju ke padang rumput yang telah dipersiapkan. Para pemimpin pasukan akan berkuda, sementara yang lain akan berjalan dalam barisan. Demikianlah sejenak kemudian, maka pasukanpun telah bersiap. Sekar Mirah yang berada di rumah itu berdiri termangu-mangu ketika Agung Sedayu minta diri.
"Baik-baik kau dirumah Sekar Mirah." desis Agung Sedayu.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia ingin mengendapkan hatinya yang bergejolak. Baru sejenak kemudian dari antara bibirnya terdengar suara, "Selamat jalan kakang. Aku akan berdoa untuk kakang, untuk kakang Swandaru yang tentu sudah berangkat pula ke Mataram, untuk Ki Gede dan untuk Glagah Putih serta semuanya yang terlibat dalam kesiagaan ini."
"Kita serahkan segala-galanya kepada Yang Maha Agung." berkata Agung Sedayu.
"Yang akan kakang hadapi sekarang adalah pertempuran yang sangat besar. Tentu lebih besar dari yang pernah kakang alami sebelumnya. Misalnya perang antara Mataram dan Pajang, atau pertempuran-pertempuran yang lain. Meskipun setiap peperangan, baik yang besar maupun yang kecil mengandung kemungkinan buruk yang sama, namun rasa-rasanya keberangkatan kakang dan Glagah Putih kali ini terasa lebih menegangkan." berkata Sekar Mirah dengan suara yang mulai tersendat.
"Bukankah kita yakin akan keadilan-Nya?" bertanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk. "Nah. Atas dasar kepercayaan itulah maka kita berpisah sekarang." berkata Agung Sedayu pula.
Sekar Mirah mengangguk pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian sebuah iring-iringan telah meninggalkan rumah Ki Gede. Ki Waskita ternyata ikut pula mengantar mereka ke padang rumput. Sekar Mirah hanya sempat melepas suaminua sampai dipintu gerbang rumah Ki Gede.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, hati Sekar Mirahpun telah pasrah. Yang Maha Agung tentu akan selalu bertindak adil dan penuh kasih kepada siapapun yang mempercayakan diri kepada-Nya.
Demikianlah iring-iringan yang diterangi oleh beberapa buah obor itu telah menyusuri jalan padukuhan induk. Mereka sempat singgah di banjar. Kemudian meneruskan perjalanan. Namun iring-iringan itu menjadi semakin panjang.
Selain dari padukuhan induk, maka dari padukuhan-padukuhan lainpun iring-iringan telah mengalir menuju ke padang rumput itu. Sementara itu beberapa buah obor telah dipasang berjajar diseputar dan dibeberapa tempat di tengah-tengah padang rumput itu.
Pada saat yang ditentukan semua orang yang akan ikut berangkat ke Mataram harus sudah bersiap. Ki Gede sendiri ternyata datang sebelum saat yang ditentukan. Ki Gede itu sempat melihat-lihat tempat yang disiapkan bagi para pengawal Tanah Perdikan itu berkumpul. Kemudian persiapan-persiapan lain yang berhubungan dengan saat keberangkatan para pengawal.
Ki Gede telah memerintahkan, sebelum pasukan berangkat, mereka harus makan lebih dahulu meskipun di tengah malam. Mereka belum tahu apakah nanti di Mataram mereka akan segera dapat tertampung dalam barak yang mapan serta mendapat kiriman makanan yang pantas.
Ketika saatnya telah mendekati batas yang ditentukan, sedangkan masih ada beberapa kelompok yang belum datang, maka telah dibunyikan isyarat sebagaimana telah direncanakan. Isyarat yang tidak mengejutkan dan menggelisahkan orang-orang Tanah Perdikan. Karena itu, maka yang terdengar adalah suara kentongan dengan nada dara muluk.
Tetapi orang-orang Tanah Perdikan itu sudah mengetahuinya, bahwa isyarat itu adalah isyarat bagi para pengawal untuk berkumpul. Karena itu, maka hampir semua orang Tanah Perdikan telah keluar dari rumah mereka. Sebagian telah pergi ke padang rumput untuk menyaksikan keberangkatan pasukan Pengawal Tanah Perdikan, sementara yang lain telah berdiri dipinggir-pinggir jalan yang nanti akan dilalui oleh barisan para pengawal itu.
Diantara mereka yang ingin menyaksikan keberangkatan pasukan pengawal itu adalah sanak kadang dan keluarga dari para pengawal. Ibu. ayah, adik atau kakak laki-laki dan perempuan. Isteri dan anak-anak mereka yang masih kecil atau gadis-gadis yang ditinggalkan oleh bakal suaminya.
Wajah-wajah nampak murung meskipun ada kebanggaan di dalam hati. Bahkan betapapun disembunyikan, namun ada kecemasan dihati mereka, bahwa mereka tidak akan dapat lagi bertemu dengan orang-orang yang akan pergi ke daerah Timur itu.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, maka para pengawal dari seluruh Tanah Perdikan yang akan menuju ke Mataram itu sudah berkumpul di padang rumput yang telah ditentukan. Dibawah cahaya beberapa buah obor yang terpasang disekitar dan di tengah tengah padang rumput itu, maka upacara keberangkatan pasukan pengawal Tanah Perdikan itu dimulai.
Ki Gede yang juga ikut berangkat bersama pasukannya telah mengumpulkan para pemimpin pasukannya serta para pemimpin kelompok. Ki Gede masih sempat memberikan pesan-pesan kepada mereka, apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak sebaiknya mereka lakukan.
Ki Gedepun kemudian telah memberikan pesan kepada para pemimpin Tanah Perdikan yang tidak ikut bersama mereka. Bahkan Ki Gede telah menyatakan kepada para bebahu yang tinggal, agar mereka selalu berhubungan dengan Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang akan berada di Tanah Perdikan itu.
Demikianlah, ketika semua pesan sudah disampaikan, maka para pengawal itu masih mempunyai waktu untuk beristirahat sejenak. Dalam kesiagaan sebelum berangkat, maka para pengawal itu telah mendapat kesempatan untuk makan.
Orang-orang yang berkerumun dan yang berdiri dipinggir jalan itu tahu benar, bahwa rencana keberangkatan pasukan itu adalah lewat tengah malam, justru menjelang dini. Tetapi mereka sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka. Apalagi mereka yang mempunyai keluarga langsung akan ikut berangkat dalam iring-iringan itu.
Tepat lewat tengah malam, seperti apa yang dijanjikan, maka Ki Jayaraga telah datang pula ke padang rumput itu. Meskipun ia sudah nampak kuat, tetapi belum seluruh kekuatannya pulih kembali.
Ki Jayaraga masih sempat berbincang dengan Ki Gede dan Ki Waskita. Kemudian dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih yang akan menjadi pengawal pengapit Ki Gede. Sementara itu yang akan langsung memimpin pasukan adalah Prastawa dan beberapa orang anak muda Tanah Perdikan yang telah mendapat tuntunan langsung dari Agung Sedayu dan Glagah Putih, sehingga mereka memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain.
Namun dalam pada itu Glagah Putih terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya anak yang menjadi pembantu dirumah Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.
"Kau?" desis Glagah Putih diluar sadarnya.
Anak itu memandang Glagah Putih sejenak. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah benar bahwa kau akan pergi berperang bersama Ki Gede?"
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian ditepuknya bahu anak itu sambil bertanya, "Siapakah yang mengatakannya?"
"Setiap orang mengatakan demikian." jawab anak itu.
"Berdoalah supaya kami semua selamat." berkata Glagah Putih.
Anak itu mengangguk kecil. Tetapi ia bertanya, "Bukankah kau akan kembali bersama Ki Agung Sedayu kelak?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak itu bukannya tidak berperasaan atau masih belum mampu menangkap suasana. Diam-diam anak itu memperhatikan kesibukan yang terjadi di Tanah Perdikan serta kecemasannya atas kepergian Glagah Putih.
Sambil mencoba tersenyum Glagah Putih berkata, "Tentu. Tentu aku akan kembali bersama kakang Agung Sedayu. Karena itu berdoalah. Jika kau bersungguh-sungguh, maka doamu akan didengar oleh Yang Maha Agung Yang Maha Pengasih itu."
"Doaku juga didengar-Nya?" bertanya anak itu.
"Tentu. Doa setiap orang yang menyebut nama-Nya." jawab Glagah Putih, "karena itu, jangan terpisah daripada-Nya meskipun hanya sekejap. Karena dalam sekejap itu apapun dapat terjadi atas diri kita."
Anak itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berpesan, "Hati-hatilah. Jangan terlalu memaksa diri turun ke sungai. Kau tidak perlu lagi turun dua kali. Sekali saja menjelang dini. Bukankah dirumah tinggal kau dan Ki Jayaraga."
"Ki Jayaraga nampaknya mulai tertarik kepada pliridan." berkata anak itu.
Glagah Putih tersenyum pula sambil mengangguk-angguk, "Syukurlah. Kau mempunyai seorang kawan."
Anak itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja.
"Nan. Untuk selanjutnya kau tidak boleh nakal. Kau tidak boleh berkelahi melawan siapapun juga. Dengar nasehat Ki Jayaraga baik-baik." pesan Glagah Putih.
Anak itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan menunggu pasukan ini berangkat di tepi padang ini."
Glagah Putih berdiri termangu-mangu ketika ia melihat anak itu melangkah meninggalkannya. Sejenak kemudian anak itupun telah menyusup diantara orang-orang yang berdiri memagari padang rumput itu meskipun mereka tahu, bahwa pasukan itu baru akan berangkat menjelang dini hari.
Beberapa saat kemudian, ketika malam semakin larut meninggalkan pertengahannya, maka Ki Gede telah memerintahkan untuk menyiagakan pasukan.
Yang terdengar kemudian adalah isyarat bagi para pengawal. Bukan kentongan, tetapi bende yang terdengar berdengung mengumandang menggetarkan udara malam, seakan-akan suaranya melingkar-lingkar menggapai dinding-dinding pebukitan.
Ketika bende itu berbunyi untuk yang pertama kalinya, maka seluruh kelompok harus sudah berada ditempat masing-masing. Jumlahnya sudah genap dan semua perlengkapan telah tersedia.
Untuk beberapa saat, setiap pemimpin kelompok masih melihat kembali orang-orangnya. Persenjataannya dan bekal-bekal yang diperlukan. Tidak seorangpun diantara mereka melupakan semua kebutuhan yang paling kecil sekalipun. Sementara itu setiap pemimpin kelompok telah menunjuk beberapa orang didalam kelompoknya untuk membawa obat-obatan yang sangat diperlukan. Obat-obatan yang akan dapat mem-bantu memampatkan darah bagi luka-luka baru. Termasuk luka-luka goresan senjata.
Demikianlah, beberapa saat kemudian telah terdengar isyarat dengan suara bende yang kedua kalinya. Semua orang didalam kelompok itu harus bersiap. Semua orang harus sudah berada ditempatnya masing-masing. Seluruh pasukan benar-benar telah bersiap untuk berangkat.
Namun saat itu adalah kesempatan terakhir untuk melihat segala-galanya, sehingga tidak seorangpun akan menjadi kebingungan di jalan karena sesuatunya ketinggalan. Dengan demikian maka barisan pengawal Tanah Perdikan itu sudah berdiri rampak ditempat yang telah ditentukan. Para pemimpin kelompok telah siap di kelompoknya masing-masing.
Sementara itu Prastawa diatas punggung kudanya sempat memeriksa barisan yang telah bersiap itu sejenak. Kudanya melintas dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain diiringi oleh dua orang pemimpin pengawal yang membantunya.
Sejenak kemudian, maka Prastawa itu telah memberikan laporan kepada Ki Gede, bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah siap untuk berangkat.
Dengan isyarat Ki Gedepun kemudian telah memerintahkan untuk membunyikan bende yang ketiga kalinya. Isyarat bagi pasukan pengawal Tanah Perdikan untuk berangkat. Demikianlah sejenak kemudian, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin langsung oleh Ki Gede itu mulai bergerak. Dipaling ujung dua orang pengawal berkuda membawa tunggul kebesaran Tanah Perdikan Menoreh. Dibelakangnya dua orang pengawal berkuda yang lain membawa kelebet pertanda pasukan. Dua orang dibelakangnya lagi telah membawa tunggul pula dengan untaian bunga melati. Bukan saja tunggul kebesaran, tetapi tunggul sipat kandel dari Tanah Perdikan.
Beberapa langkah di belakangnya beberapa orang pengawal berkuda bersenjata tombak panjang. Mereka adalah para pengawal yang memiliki kemampuan bermain tombak diatas punggung kuda. Dalam permainan sodoran mereka menunjukkan kelebihan mereka mempermainkan tombak, sehingga dalam keadaan yang penting, mereka akan dapat memanfaatkan tombak itu. Sehingga dengan demikian tombak yang mereka pandi diatas pundak mereka tidak hanya sekedar kelengkapan untuk menunjukkan ke-agungan dari pasukan itu. Tetapi para pengawal yang membawa tombak panjang itu benar-benar mampu mempergunakannya didalam pertempuran yang sebenarnya.
Lencana Pembunuh Naga 17 Pendekar Pulau Neraka Perisai Kulit Naga Pendekar Bloon 30
^