Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 11

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 11


Paksi terkejut sendiri. Namun iapun kemudian menyahut, "Maksudku, pada suatu saat orang yang demikian itu akan mendapat hukumannya." "Ya, pada suatu saat. Tetapi pada suatu saat itu kapan?" desis orang yang berceritera itu. Paksi tidak menjawab. Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar. "Jika keduanya itu benar Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati, maka sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran," berkata Paksi dalam hatinya. Tetapi Paksi tidak berkata apa-apa lagi. Demikian pula Wijang. Keduanyapun kemudian memusatkan perhatian mereka terhadap minuman dan makanan mereka. Orang yang berceritera itupun kemudian bangkit berdiri demikian kawan-kawan mereka berdiri. Katanya, "Silahkan. Aku sudah selesai. Kami akan pulang." Setelah membayar harga makanan dan minumannya, maka orang itu bersama-sama dengan kawan-kawannya melangkah menuju ke pintu kedai itu. Tetapi langkah mereka tertegun. Agaknya di kedai sebelah telah terjadi keributan. Orang yang telah berceritera kepada Paksi itu berpaling sambil berdesis, "Nah, perjalanan nasib buruk kedua perempuan itu sudah dimulai." Tetapi di luar sadarnya pula Paksi menyahut, "Atau yang terjadi justru sebaliknya. Anak itu akan mendapat sedikit pelajaran dari kedua orang perempuan itu." Orang itu termangu-mangu. Namun kawan-kawannyapun menggamitnya. Seorang di antara mereka berkata, "Aku tidak berurusan dengan peristiwa apapun yang terjadi disini." Demikianlah, maka orang-orang itupun melangkah keluar pintu kedai dan segera turun ke halaman. Sementara itu, Wijangpun segera memberi isyarat kepada Paksi untuk keluar pula dari kedai itu dan melihat apa yang telah terjadi.
Setelah membayar makanan dan minumannya, maka Wijang dan Paksipun segera melangkah keluar pula. Demikian mereka keluar dari pintu kedai, maka mereka melihat perkelahian yang terjadi di depan kedai sebelah. Dua orang perempuan melawan ampat orang laki-laki yang garang. Seorang di antara mereka adalah anak Ki Demang itu. Tetapi pertempuran itu nampak tidak seimbang. Ampat laki-laki yang garang itu tidak berdaya menghadapi dua orang perempuan yang berpakaian bagus sebagaimana perempuanperempuan dari lingkungan orang-orang berada. Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak Ki Demang itu memang mendapat pelajaran. Tetapi bukan sekedar saja. Ia benar-benar berada dalam kesulitan. Bersama dengan pengiringnya ia berusaha mempertahankan diri. Tetapi perempuan yang dilawannya itu mampu berkelahi dengan garangnya. Jauh berbeda dengan ujudnya. Dalam pada itu, beberapa orang penghuni kademangan yang melihat anak demangnya dihajar habis-habisan menyaksikan dengan dengan dada yang tegang. Semula mereka menganggap bahwa peristiwa itu akan sedikit memberikan peringatan kepadanya. Tetapi lambat laun mereka menjadi cemas, bahwa anak Ki Demang itu akan benar-benar dihancurkan oleh perempuan-perempuan yang asing bagi kademangan itu. Karena itu, seorang di antara mereka telah berlari ke serambi samping. Sejenak kemudian, maka terdengar bunyi kentongan dengan irama titir. Suasananyapun segera berubah menjadi kacau. Pasar di depan kedai itu memang sudah menjadi sepi. Tetapi orangorang yang masih tersisa menjadi bingung. Mereka yang sedang mengemasi barang-barang dagangan mereka yang tersisa menjadi gelisah dan bahkan ketakutan. Tetapi mereka yang memiliki keberanian justru mempercepat kerja mereka. Ternyata dari sudut pasar, suara kentongan itu telah disahut pula. Seorang petugas yang menjaga ketertiban pasar telah ikut memukul kentongan dengan irama titir pula.
Sementara itu dua orang petugas pasar yang lain, yang ditunjuk oleh Ki Demang tidak dapat tinggal diam melihat kesulitan yang dialami oleh anak muda itu, tetapi mereka tidak mau dianggap bersalah karena mereka tidak berbuat apa-apa ketika terjadi perkelahian di depan pasar. Sedang yang berkelahi dan kemudian mengalami kesulitan adalah anak Ki Demang yang mengangkat mereka bekerja di pasar itu. Dua orang petugas keamanan di pasar itupun segera menggabungkan diri betapapun jantung mereka bergetar sejak mereka mendekati arena. Tetapi kedua orang di pasar itu tidak berarti apa-apa bagi kedua orang perempuan yang garang itu. Seperti diduga oleh Wijang dan Paksi, kedua orang perempuan itu adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Anak Ki Demang itu benar-benar tidak berdaya. Darah sudah mengalir dari sela-sela bibirnya. Matanya nampak menjadi biru. Tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan. "Seorang yang telah menyentuh tubuhku dengan tangannya tanpa aku kehendaki, maka tangan itu harus dipotong," berkata Megar Permati. Namun Melaya Werdi bertanya, "Apakah kau tidak memerlukan anak itu?" "Buat apa anak lerut seperti itu" Aku tidak hanya akan memotong tangannya, tetapi aku juga akan memotong lehernya. Ia terlalu berani menyentuh tubuhku di atas batas leherku." Seorang pengawal anak Ki Demang yang bertempur bersama anak Ki Demang itu melawan Megar Permati sama sekali sudah tidak berdaya. Sementara itu, petugas pasar yang datang membantunya itu telah terpelanting dan membentur dinding kedai. Anak demang itu benar-benar menjadi ketakutan. Namun dalam pada itu, suara kentongan dengan irama titir itu telah memanggil beberapa orang padukuhan. Bahkan beberapa orang bebahu. Mereka dengan serta-merta telah mengepung Melaya Werdi dan Megar Permati.
Seorang bebahu dengan serta-merta berteriak, "Hentikan. Anak muda itu adalah anak Ki Demang." Anak muda itu terbaring tidak berdaya. Di dekatnya Megar Permati berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan kakinya ia menyentuh tubuh anak Ki Demang itu sambil berkata dalam nada tinggi, "O, jadi ini anak Ki Demang. Dimana Ki Demang itu sekarang?" Suasana menjadi semakin tegang. Nyi Melaya Werdipun sudah tidak berkelahi pula. Dua orang pengawal anak Ki Demang yang berkelahi melawannya ditambah dengan seorang petugas pasar, telah terbaring diam. Agaknya mereka menjadi pingsan. Nyi Melaya Werdipun melangkah mendekati adiknya sambil berkata, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini." "Tidak. Aku tidak akan membiarkan anak ini mengganggu perempuan lagi. Jika perempuan-perempuan itu tidak berdaya, maka mereka akan menjadi korbannya." Nyi Melaya Werdi memandang beberapa orang yang datang berlari-lari dari padukuhan di sekitar pasar. Bahkan dari padukuhan yang lain, suara kentongan telah merambat dengan cepat. Namun seorang bebahu telah berkata lantang, "Jangan ganggu lagi anak Ki Demang." "Kau tidak melihat apa yang dilakukannya," bentak Megar Permati. "Apapun yang dilakukannya, tetapi kau tidak boleh memperlakukannya seperti itu." "Jadi, karena ia anak demang, maka ia dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap perempuan" Apakah ia juga memperlakukan perempuan-perempuan di kademangan ini seperti itu?" Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnya seperti orang lain di kademangan itu, iapun menjadi muak terhadap tingkah laku anak Ki Demang itu. Tetapi seperti orang lain, bebahu itu tidak berani berbuat sesuatu.
Dalam pada itu, selagi ketegangan menjadi semakin memuncak, terdengar derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika orang-orang yang berkerumun itu berpaling, maka mereka telah melihat Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang bebahu mendatangi tempat itu. Orang-orangpun segera menyibak. Sejenak kemudian keempat orang itupun telah berloncatan dari punggung kudanya. "Apa yang terjadi?" bertanya Ki Demang. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap, berdada bidang dan berkumis lebat di atas bibirnya yang tebal. Ki Jagabaya dengan serta-merta telah melangkah mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan. Tetapi semua orang yang berdiri di sekitarnya terkejut bukan buatan. Di hadapan Ki Demang yang garang, perempuan yang telah menghajar anak Ki Demang itu berteriak sambil meletakkan kakinya di dada anak muda yang sudah tidak berdaya itu. "Iblis betina," teriak Ki Demang, "siapa kau?" "Kaukah demang itu?" bertanya Megar Permati. "Nah, kau ternyata dapat mengenali aku. Anak itu anakku. Sikapmu itu sangat menyakitkan hatiku." "Kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan ayah dari anak yang gila ini. Ia telah mencoba menggangguku. Dikiranya aku perempuan jalanan yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Atau anakmu memang terbiasa memperlakukan perempuan-perempuan seperti itu" Memaksakan kehendaknya, sementara jantungnya dicengkam oleh nafsu?" "Cukup. Apakah kau sadari bahwa tingkah lakumu itu akan dapat membunuhmu?" "Kau mau apa, demang gila" Kau kira kau dapat menakutnakuti aku seperti menakut-nakuti rakyatmu?" Ki Demang itupun kemudian memberikan isyarat kepada Ki Jagabaya, para bebahu dan orang-orang padukuhan yang
telah lebih dahulu datang ke tempat itu untuk mengepung kedua orang perempuan itu. Sementara itu Melaya Werdi menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Jadi kita harus membunuh?" "Merekalah yang menentukan, apakah kita akan membunuh atau tidak." Ki Demang yang marah itu ternyata tidak sempat menilai kedua orang perempuan itu. Karena itu, maka iapun berkata lantang, "Tangkap perempuan itu. Mereka harus mendapat hukuman atas penghinaan mereka terhadap kademangan ini." "Bagus," teriak Megar Permati, "aku juga menunda niatku membunuh anakmu. Biarlah ia melihat bagaimana orangorang kademangannya mati karena tingkah lakunya." Namun Melaya Werdilah yang kemudian berkata lantang, "Ki Sanak. Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Siapa yang tidak ingin mati, jangan dekati kami berdua. Sekali kami meloncat, maka kematian-kematian akan datang beruntun. Karena itu, aku minta kalian sempat membuat pertimbangan demi keselamatan kalian masing-masing." "Diam kau perempuan iblis," teriak Ki Demang. "Jangan mencoba dengan licik menyelamatkan dirimu." "Jangan hanya berteriak-teriak. Ayo, siapa yang akan mati lebih dahulu." Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahupun segera berloncatan maju. Beberapa orang yang mengepung merekapun telah bergerak pula. Meskipun ada kecemasan di hati mereka, tetapi bersama banyak orang mereka menjadi berani. Ketakutan mereka kepada Ki Demang lebih mencengkam daripada kecemasan mereka menghadapi kedua orang perempuan itu. "Apa yang dapat dilakukan oleh dua orang perempuan," berkata orang-orang itu di dalam hatinya. Seperti yang dikatakan, Megar Permati tidak segera membunuh anak Ki Demang itu. Didorongnya anak muda itu dengan kakinya, sehingga berguling beberapa kali. Sementara itu, Ki Demang telah menyerangnya dengan keris di
tangannya. Sebilah keris yang ukurannya lebih besar dari keris kebanyakan. Pamornya nampak berkilat-kilat tertimpa sinar matahari. Bersamaan dengan itu, seorang bebahu telah berlari menolong anak Ki Demang. Diangkatnya anak muda itu, dan dibawanya menepi. Sedangkan beberapa orang yang lain telah membantu Ki Demang menyerang perempuan yang telah menyakiti anak Ki Demang itu, bahkan dengan beraninya menghina Ki Demang itu sendiri. Sementara itu, Ki Jagabaya dengan beberapa orang yang lain telah langsung mengepung dan menyerang Nyi Melaya Werdi. Nyi Melaya Werdi sengaja mengambil jarak dari adik perempuannya, agar mereka dapat bertempur lebih leluasa. Nyi Melaya Werdi menghadapi lawan-lawannya dengan tangkasnya. Disingkapkannya kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya Nyi Melaya Werdi mengenakan celana hitam sampai di bawah lututnya sebagaimana Nyi Megar Permati. Namun ternyata Nyi Megar Permati nampak lebih garang dari kakak perempuannya. Kakinya berloncatan dengan cepatnya sehingga seakan-akan tidak menyentuh tanah. Sementara itu beberapa ujung senjata beruntun datang menyerangnya. Betapapun tinggi ilmu Megar Permati, menghadapi banyak orang tanpa senjata di tangan telah membuatnya terdesak surut. Sementara itu kemarahannya telah menyala sampai ke ubun-ubunnya. Ki Demang memang menjadi sangat heran melihat perempuan cantik itu. Ternyata ia berilmu sangat tinggi. Meskipun Ki Demang dan beberapa orang bebahu serta orangorang kademangan yang membantunya berhasil mendesak perempuan itu surut, tetapi Ki Demang menyadari, bahwa perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya. Ketika kemarahan Megar Permati menjadi tidak terkendali, maka perempuan itu telah mengibaskan selendangnya. Selendangnya yang di kedua ujungnya dihiasi pernik-pernik mas dan perak. Tetapi mas dan perak itu bukan sekedar
perhiasan yang membuat selendangnya menjadi sangat mahal, tetapi mas dan perak itu menjadi sangat berbahaya jika Megar Permati mempergunakan selendangnya itu sebagai senjata. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, selendang Megar Permati telah mulai menyebarkan malapetaka. Seorang bebahu yang bertempur bersama Ki Demang telah terlempar dari arena, jatuh berguling di tanah. Sambil menggeliat berputar-putar bebahu itu mengaduh kesakitan. Pundaknya telah terkoyak oleh senjata Megar Permati. Lukanya yang menganga telah mencucurkan darah yang hangat. Dalam pada itu, terdengar suara Nyi Melaya Werdi yang melengking menggetarkan jantung, "Ternyata kalian tidak tahu apa yang dapat terjadi atas diri kalian. Jika kalian tidak menarik diri, maka kematian demi kematian akan mencengkam kalian. Jika darah di dalam tubuh ini sudah terlanjur mendidih, maka tidak akan ada jalan kembali. Hanya nama kalian sajalah yang masih akan dikenang oleh orangorang kademangan ini." Tetapi seorang bebahu telah berteriak marah, "Menyerahlah. Kalian hanya berdua. Kalian telah dikepung sehingga kalian tidak akan dapat melarikan diri." "Kau akan menyesal dengan sikapmu. Tetapi aku masih memberi kesempatan," berkata Melaya Werdi. Tetapi Megar Permati justru berteriak, "Tidak ada belas kasihan lagi, Kakangmbok." "Beri mereka kesempatan sekali lagi jika mereka masih ingin berumur panjang." "Aku ingin menunjukkan kepada anak demang itu, bahwa akibat dari perbuatannya adalah mengerikan." Namun Nyi Melaya Werdi masih berkata lantang, "Nah, kau dengar. Cepat, pergi dari sini." Tetapi Ki Demang berteriak pula, "Kami akan menggantung kalian di halaman banjar kademangan karena kalian telah menghina kami dan seisi kademangan ini."
Nyi Melaya Werdi masih menyahut, "Jadi kau tetap akan bertempur demi anakmu yang gila itu?" "Persetan dengan igauanmu." Ternyata jawaban Ki Demang itu merupakan aba-aba bagi Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati. Kesempatan yang diberikan oleh Melaya Werdi itu telah disia-siakan, sehingga sejenak kemudian, maka darahpun menjadi semakin banyak tertumpah. Seorang lagi di antara mereka yang bertempur melawan Megar Permati telah terlempar keluar arena. Lambungnyalah yang terkoyak. Ternyata ia tidak sempat mengaduh. Ki Demang dan orang-orang yang bertempur bersamanya tidak sempat memperhatikan orang itu. Selendang Megar Permati telah mematuk seorang lagi. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Orang itu terpelanting jatuh menimpa bebatur kedai sehingga kepalanya retak selain dadanya bagaikan meledak. Beberapa tulang iganya patah. Demikian parah keadaannya, sehingga iapun telah meninggal seketika. Ternyata Megar Permati benar-benar tidak mengekang diri lagi. Sementara itu semakin banyak orang yang datang karena kentongan masih saja meneriakkan irama titir. Beberapa orang laki-laki yang berani telah ikut serta mengepung kedua orang perempuan itu. Orang-orang yang semula membenci anak Ki Demang itu, ternyata tersinggung juga melihat dua orang perempuan yang telah mengacaukan kademangan mereka. Namun orang-orang kademangan yang tidak mempunyai pengalaman yang luas itu menjadi sangat gelisah melihat kegarangan lawan. Nyi Melaya Werdi yang telah memberikan kesempatan terakhir itupun menjadi marah pula. Seperti adiknya, maka sejenak kemudian selendangnyapun telah memungut korban. Satu-satu lawannya terlempar keluar arena. Tidak sekedar terluka. Tetapi mereka telah terbunuh. Dengan demikian, maka orang-orang yang mengepung kedua orang perempuan itu mulai menjadi gentar. Hanya orang-orang yang mempunyai keberanian yang tinggi sajalah
yang masih berani menyerang Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Sementara itu, keduanya benar-benar telah menyebarkan maut. Akhirnya kepungan itupun menjadi semakin longgar. Orang-orang mulai berpikir, bahwa sulit bagi mereka untuk menundukkan kedua orang perempuan itu. Sementara itu, senjata Melaya Werdi dan Megar Permati bagaikan ular yang memburu dan mematuk lawannya tanpa ampun. Sikap Ki Demangpun mulai goyah. Sementara itu Megar Permatipun berteriak, "Terakhir, aku akan membunuh anak Demang edan itu dengan caraku. Tetapi jika ayahnya ingin ikut mati, aku sama sekali tidak berkeberatan. Kademangan ini akan segera mendapat seorang demang baru yang lebih baik, yang anaknya tidak gila seperti anak muda itu." Ki Demang memang menjadi sangat cemas. Tetapi ia tidak akan membiarkan anaknya dibunuh. Karena itu, selagi masih banyak orang yang memiliki sisa-sisa keberanian, Ki Demang itupun berteriak, "Bawa anak itu pergi." Dua orang bebahu telah berusaha mengangkat anak Ki Demang yang sudah tidak berdaya itu dibantu oleh beberapa orang. Tetapi langkah mereka terhenti. Megar Permati telah meloncat menembus kepungan dengan melemparkan dua orang di antara mereka yang mencoba untuk menghalanginya. "Jangan bawa pergi anak itu. Aku memerlukannya. Ia akan mati seperti orang-orang yang mencoba membelanya, termasuk ayahnya. Letakkan anak itu." Orang-orang yang mengangkat anak Ki Demang itu mencoba berlari. Tetapi selendang Megar Permati telah mematuk dua orang di antara mereka di punggung, sehingga tulang punggung mereka serasa berpatahan. Sementara itu, orang-orang lain tidak mampu mencegahnya. Apalagi kemudian, selendang itu telah berputaran melindungi tubuh Megar Permati dari ujung senjata di seputarnya. Seorang yang mencoba melemparkan tombaknya, ternyata runtuh oleh sentuhan selendang itu sebelum sempat melukai kulitnya.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksi memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Semula ia bergeser menjauh dan bahkan berusaha bersembunyi di balik pepohonan. Tetapi ketika mereka melihat Melaya Werdi dan Megar Permati menyebar kematian dengan semena-mena, jantung merekapun berdentang semakin cepat. Meskipun mereka sudah mengira bahwa malapetaka bakal terjadi atas anak Ki Demang, tetapi yang terjadi itu ternyata jauh lebih mengerikan lagi. Apalagi Megar Permati masih juga berniat untuk membunuh anak Ki Demang itu dengan caranya. "Pelajaran itu sudah lebih dari cukup," berkata Wijang di luar sadarnya. Paksi yang berdiri di dekatnya berdesis, "Tingkah laku mereka sudah keterlaluan." "Kita harus menghentikannya. Keduanya akan menyebarkan kematian jauh lebih banyak lagi. Justru mereka yang tidak bersalah. Orang-orang itu berdiri di antara mulut buaya dan mulut harimau. Jika mereka tidak mau membantu Ki Demang, maka nasib merekapun akan dapat menjadi sangat buruk, bahkan bersama keluarga mereka." "Apa yang akan kita lakukan?" "Apaboleh buat. Kita tidak dapat bersembunyi terus sementara kedua orang perempuan itu membunuh tanpa kendali." Paksi mengangguk. Meskipun masih ada sedikit keraguan, apakah ia mampu menghadapi perempuan-perempuan garang itu. Namun akhirnya ia telah membulatkan tekadnya. Ia tidak dapat berdiam diri melihat pembunuhan yang semena-mena. Sejenak kemudian, Wijangpun telah memberi isyarat, sehingga keduanyapun telah melangkah dengan cepat, mendekati arena pertempuran yang tidak seimbang itu. "Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati," Wijangpun menyebut nama mereka untuk menghentikan pembunuhanpembunuhan yang berlangsung itu.
Sebenarnyalah Melaya Werdi dan Megar Permati terkejut mendengar namanya disebut. Karena itu, maka merekapun telah meloncat mengambil jarak dari orang-orang yang sedang dibantainya. "Siapa kau?" bertanya Melaya Werdi ketika mereka melihat dua orang anak muda mendekatinya. Wijanglah yang menjawab, "Beruntunglah aku dapat bertemu dengan kalian disini. Kami adalah utusan khusus Harya Wisaka untuk mencari kalian, karena kalian tidak ada di sarang kalian. Kami mendapat tugas untuk membawa Pangeran Benawa kembali ke istana." Kedua orang perempuan itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, orang-orang kademangan yang merasa tidak berdaya itu berdiri bagaikan membeku di tempat mereka. "Aku tidak mengerti maksudmu," desis Nyi Melaya Werdi. "Harya Wisaka telah mendapat pengakuan dari muridmuridmu yang tertawan ketika terjadi pertempuran di kaki Gunung Merapi itu. Kalian berdua telah menyimpan Pangeran Benawa di dalam sarangmu. Tetapi ternyata kalian sampai hari ini belum kembali ke sarangmu dan bahkan dengan semena-mena telah membunuh orang-orang tidak berdaya disini." "Persetan dengan Harya Wisaka," geram Melaya Werdi. "Aku tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa." "Jangan ingkar. Murid-muridmu yang tertawan di antara beberapa orang tawanan yang lain telah mengaku, bahwa Pangeran Benawa ada di tanganmu." "Iblis kau. Kau telah mengganggu permainanku," geram Megar Permati. "Pergilah dan katakan kepada Harya Wisaka, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa." "Megar Permati," sahut Wijang, "kau jangan ingkar. Pasukan segelar sepapan telah siap untuk melumatkan sarangmu di Goa Lampin yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Karena itu, sebaiknya kalian berdua berterus-terang, dimana Pangeran Benawa kalian sembunyikan. Jika kalian
mau menyerahkan Pangeran Benawa, maka sarangmu tidak akan menjadi karang abang." "Jangan mengigau kau anak ingusan," jawab Megar Permati. "Sekarang pergilah. Biarlah aku mendapat kepuasan dengan permainanku ini." "Aku tidak mempunyai banyak waktu. Jika kau tidak segera kembali, maka aku akan mendapat hukuman dari Harya Wisaka. Tetapi lebih buruk dari itu, Goa Lampin akan lenyap untuk selama-lamanya." "Cukup," bentak Melaya Werdi. "Sebenarnya sayang sekali untuk membunuh kalian berdua. Tetapi jika kalian berdua tidak mau kami jinakkan, maka kalian akan kami bunuh bersama dengan orang-orang kademangan ini." Wijangpun sempat berdesis perlahan, "Hati-hatilah terhadap matanya, Paksi." "Ya," sahut Paksi singkat. Ia sadar sepenuhnya bahwa kedua perempuan itu memiliki kekuatan sihir yang dapat mencengkam penalaran seseorang, sehingga seseorang akan kehilangan kepribadiannya. Dalam pada itu, Ki Demang, para bebahu dan orang orang kademangan itu kembali berpengharapan. Kedua orang anak muda itu nampaknya telah mengenal kedua orang perempuan yang garang dan menakutkan itu. Jika mereka bukan orangorang berilmu, maka mereka tidak akan berani menentang kedua orang perempuan itu. Wijang dan Paksipun melangkah semakin dekat. Dengan lantang Wijangpun berkata, "Melaya Werdi, kau tidak mempunyai pilihan lain. Serahkan Pangeran Benawa kepada kami." "Anak-anak setan. Apakah kalian sadari apa yang sedang kalian lakukan" Mungkin Harya Wisaka memberikan perintah itu kepadamu tanpa menjelaskan siapakah kami berdua." "Kami mengetahui kalian berdua dengan sebaik-baiknya. Kamipun sudah melihat apa yang kalian lakukan terhadap orang-orang kademangan ini. Justru karena itu, maka kami telah dengan tergesa-gesa menemui kalian."
"Jika demikian, baiklah. Kami akan berurusan dahulu dengan kalian berdua. Baru kemudian kami akan menyelesaikan permainan kami," berkata Melaya Werdi. Sedangkan Megar Permatipun kemudian berkata kepada Ki Demang, "Ki Demang, jangan mencoba membawa anakmu pergi selama aku mengurus kedua orang anak yang keras kepala ini. Jika kau bawa anakmu pergi, maka nanti aku akan mencarinya. Kademanganmu akan menjadi rusak. Aku akan membakar banyak rumah dan membunuh banyak orang termasuk perempuan dan kanak-kanak. Kaulah yang harus bertanggung jawab terhadap kematian dan kerusakan atas kademangan itu." Jantung Ki Demang berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya harus dilakukannya. Sementara itu, orang-orang yang mengangkat anaknya telah meletakkannya kembali di tanah sejak dua orang di antara mereka terpelanting jatuh karena punggungnya telah dipatuk oleh senjata Megar Permati. Sementara itu Wijang dan Paksipun telah mengambil jarak. Meskipun Megar Permati lebih garang dari Melaya Werdi, tetapi Wijang meyakini bahwa Melaya Werdi mempunyai ilmu yang lebih matang. Karena itu, maka Wijangpun telah menempatkan dirinya untuk menghadapi Melaya Werdi. Ternyata Wijang telah memasang perisai di pergelangan tangannya. Sementara itu, kedua tangannya telah menggenggam pisau belatinya pula, justru karena yang dihadapinya adalah Melaya Werdi yang telah mengurai selendangnya. Sedangkan Paksipun telah bersiap pula menghadapi Megar Permati yang garang. Namun Paksipun menyadari, bahwa ilmu perempuan yang garang itu tidak sematang ilmu kakak perempuannya. Dengan hati-hati Paksi mempersiapkan diri. Ki Marta Brewok telah banyak memberikan petunjuk kepadanya untuk menghadapi segala macam senjata. Bahkan Paksipun sudah bersiap untuk menghadapi tatapan mata pemimpin dari
Perguruan Goa Lampin itu. Tatapan mata yang dapat mempengaruhi daya nalar dan budi seseorang. Menghadapi orang-orang yang mengaku pengikut Harya Wisaka itu, Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati nampak lebih berhati-hati. Kedua orang pengikut Harya Wisaka itu tentu tidak sekedar mampu berteriak-teriak sebagaimana orang-orang kademangan itu. Sejenak kemudian, maka selendang kedua orang perempuan itupun mulai berayun. Wijang yang menggenggam dua pisau belatinya serta mengenakan penutup pergelangan tangannya yang juga merupakan perisai itu, bergeser beberapa langkah. Wijangpun sadar, bahwa lawannya adalah seorang perempuan berilmu tinggi. Ketika kemudian Melaya Werdi mengibaskan selendangnya, Wijangpun bergeser surut selangkah. Sambaran angin menunjukkan kepada lawannya, betapa tinggi ilmunya sehingga lawannya yang masih muda itu harus berpikir dua tiga kali untuk bertempur melawannya. "Apakah kau tetap ingin melaksanakan perintah Harya Wisaka untuk memaksa kami menyerahkan Pangeran Benawa yang memang tidak berada di tangan kami?" "Kami tidak mempunyai pilihan lain," jawab Wijang. "Bersiaplah. Kau tidak akan mampu bertahan sepenginang." Wijang tidak menjawab. Tetapi iapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Senjata lawannya adalah senjata yang sangat berbahaya. Apalagi di tangan Melaya Werdi yang berilmu sangat tinggi itu. Sejenak kemudian, maka selendang Melaya Werdi itu sudah berputar. Semakin lama semakin cepat. Ayunannya yang deras menyambar ke arah tubuh Wijang. Tetapi tubuh Wijang itu telah melayang menghindarinya. Serangan-serangan selanjutnyapun datang beruntun. Namun kedua pisau belati Wijang itupun berputaran pula. Benturan-benturan segera terjadi. Setiap kali ujung selendang Melaya Werdi itu telah menyentuh pergelangan tangan Wijang
yang dilindungi oleh lembaran kulit yang lebar yang melingkari pergelangannya itu. Setiap kali Melaya Werdi mengerutkan dahinya. Ujung selendangnya itu terasa bagaikan menyentuh lapisan baja yang tidak tertembus oleh senjatanya itu. Dengan demikian, maka Nyi Melaya Werdipun telah meningkatkan kemampuannya pula. Selendangnya berputaran semakin cepat. Setiap kali ujung selendang itu telah menyambar dengan derasnya. Namun kemudian mematuk dengan garangnya. Tetapi setiap kali, lawannya mampu menghindar, menangkis dan bahkan sekali-sekali terasa selendang itu bagaikan terkait oleh ujung-ujung sepasang belati anak muda itu. Nyi Melaya Werdi memang menjadi cemas. Belati itu memang bukan belati kebanyakan. Ketajaman penglihatan Melaya Werdi sempat melihat peletik-peletik pamor pada pisau belati itu. "Nampaknya memang seperti sebilah keris," berkata Melaya Werdi di dalam hatinya, "tetapi hulunya sajalah yang sengaja dibuat sederhana seperti hulu pisau belati." Dengan demikian, maka Melaya Werdi harus semakin berhati-hati. Ia tidak ingin selendangnya menjadi cacat oleh ujung belati lawannya yang mendebarkan itu. Dalam pada itu, kecepatan gerak Wijang bukan saja mampu menghindari serta menangkis setiap serangan Melaya Werdi. Namun serangan-serangannya justru mampu mengejutkan perempuan yang berilmu tinggi itu. Dalam pada itu, Megar Permatipun telah bertempur dengan garangnya. Namun setiap kali ujung selendangnya telah membentur tongkat lawannya. Tongkat yang ujudnya tidak lebih dari sepotong kayu yang seakan-akan begitu saja dipatahkannya dari pagar di pinggir jalan. Namun ternyata tongkat itu mampu menggetarkan tangannya jika selendangnya membenturnya.
Dengan demikian, maka Megar Permatipun menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya. Paksi yang sejak semula sudah mengetahui bahwa Megar Permati memiliki ilmu yang tinggi, bertempur dengan sangat berhati-hati. Paksi sendiri menyadari, bahwa pengalamannya masih terlalu sempit dibanding dengan pengalaman Megar Permati. Namun keyakinannya tentang ilmu yang didasari oleh gurunya dan yang kemudian ditingkatkan dan dimatangkan oleh Ki Marta Brewok, membuat Paksi mampu bertempur dengan mapan. Tongkatnya berputaran dengan cepat. Bukan saja sekedar menangkis serangan-serangan lawannya. Tetapi sekali-sekali Paksipun mampu menyerang pula. Bahkan sekalisekali Megar Permati terpaksa meloncat surut untuk mengambil jarak dari ujung tongkat Paksi yang seakan-akan memburunya itu. Dalam pada itu, Ki Demang dan orang-orangnya menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka sama sekali tidak mengenal dua orang anak muda yang tiba-tiba datang dan bahkan telah mengambil alih pertempuran, melawan kedua orang perempuan yang garang itu. Sementara itu pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit. Megar Permati tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannya langsung mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya pada tubuh Paksi. Namun Paksipun dengan tangkasnya mampu mengimbanginya. Bahkan semakin lama Paksipun menjadi semakin percaya diri. Betapapun tinggi kemampuan Megar Permati serta betapapun luasnya pengalamannya, namun masih dalam jangkauan batas kemampuan Paksi meskipun Paksi harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ki Demang dan orang-orang kademangan yang datang ke tempat itu, tidak lagi mampu menilai pertempuran itu. Pertempuran yang seakan-akan tidak lebih dari kelebat bayangan yang berterbangan berputar-putar.
Dalam pada itu, seorang bebahu yang menyadari keadaan sempat berbisik di telinga Ki Demang, "Kita dapat meninggalkan tempat ini. Biarlah mereka menyelesaikan pertempuran itu." Ki Demang berpikir sejenak. Hampir saja ia menyetujui pendapat itu. Namun ternyata ada sesuatu yang menghambatnya. "Aku tidak dapat meninggalkan kedua orang anak muda itu begitu saja," berkata Ki Demang. "Mereka telah memberikan harapan kepada kita untuk hidup. Dalam keadaan yang memaksa, kita harus membantunya, apapun yang terjadi." "Tetapi pertempuran itu benar-benar tidak dapat kita mengerti." "Bagaimanapun juga, kita dapat mengganggu pemusatan nalar budi kedua orang perempuan itu. Mungkin kita masih harus memberikan korban lagi. Tetapi itu tentu lebih baik daripada kita meninggalkan arena ini. Jika kedua perempuan itu memenangkan pertempuran, maka mereka akan dapat menghancurkan seluruh kademangan. Mereka dapat membunuh lebih banyak lagi. Bahkan perempuan dan anakanak." Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Perasaannya yang paling dalam merasakan perubahan sikap Ki Demang. Ternyata Ki Demang itu tidak lagi memikirkan dirinya sendiri atau keluarganya. Ia masih memikirkan kedua orang anak muda yang telah membantunya meskipun keduanya mempunyai alasan tersendiri. Ki Demang memang tidak beranjak dari tempatnya. Orangorang kademangan itupun telah menahan diri pula untuk tidak lari dari arena. Namun Ki Demang itupun kemudian berkata, "Cari air. Usahakan menolong anakku. Tetapi kau tidak usah membawanya pergi." Bebahu itupun kemudian telah memerintahkan seseorang untuk mencari air bagi anak Ki Demang yang ada dalam keadaan parah.
Sementara itu, Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati masih bertempur dengan sengitnya. Bahkan semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka telah berada pada puncak kemampuan mereka masing-masing. Selendang Melaya Werdi dan Megar Permati berputaran semakin cepat. Bahkan kemudian selendang itu bagaikan kabut yang mengepul di sekitar tubuh Melaya Werdi dan Megar Permati. Namun Wijang dan Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Tongkat Paksipun berputaran pula. Bahkan beberapa kali Paksi sengaja membenturkan tongkatnya, menghantam kabut yang menyelimuti tubuh Megar Permati. Ternyata tenaga dalam Paksi setiap kali mampu menggetarkan dada Megar Permati. Benturan yang terjadi, rasa-rasanya telah menggetarkan bukan saja tangan Megar Permati. Tetapi merambat menyusup di antara urat-uratnya sampai ke jantung. Sementara itu Melaya Werdipun mulai gelisah. Sekali-sekali masih terasa ujung-ujung pisau belati lawannya, seakan-akan telah terkait pada anyaman selendangnya. Bahkan pada perhiasan mas dan perak di ujung-ujung selendangnya. Dalam puncak kekuatan dan kemampuan masing-masing, maka ujung pisau itu akan dapat mengoyakkan selendang pusakanya itu. "Anak ini memang gila," geram Melaya Werdi. Wijang ternyata mendengar geram itu. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya Melaya Werdi akan segera sampai pada ilmu puncaknya, yang hanya dilepaskan dalam keadaan yang paling gawat. Sementara itu, Megar Permatipun semakin lama semakin mengalami kesulitan pula melawan Paksi. Tongkat Paksi semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan Megar Permati itu terkejut dan melompat mengambil jarak ketika ujung tongkat Paksi itu sempat menyentuh lengan bajunya. "Anak iblis," Megar Permati mengumpat marah ketika ia mengetahui bahwa lengan bajunya terkoyak.
Paksi tidak segera memburunya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Dalam pada itu, Melaya Werdi benar-benar telah mengerahkan ilmu pamungkasnya. Selendangnya yang berputar tidak saja seakan-akan merupakan lingkaran kabut yang menyelubungi tubuhnya. Tetapi kabut itu semakin lama menjadi semakin kemerah-merahan. Udara yang bergetar karena putaran selendang itupun menjadi hangat dan bahkan semakin lama semakin panas. Kabut itu tidak lagi nampak karena putaran selendangnya, tetapi selendang yang kemudian menjadi kemerah-merahan itu benar-benar telah berasap. Wijang menyadari keadaannya. Ilmu yang sangat berbahaya itu akan dapat menelannya dan bahkan membuatnya menjadi arang. Karena itu, maka Wijangpun telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Wijangpun telah mengetrapkan ilmunya pula. Sambil menggenggam pisau belatinya, Wijang menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Tubuh Wijang itu tiba-tiba seakan-akan telah mengembun. Asap yang dingin bagaikan mengepul dari lubang-lubang kulitnya. Seperti tertiup angin yang lembut, maka asap yang dingin itu mengalir perlahan-lahan, berputar mengelilingi tubuhnya. Melaya Werdi terkejut. Ia sudah menjelajahi dunia olah kanuragan yang penuh dengan belukar yang berduri runcing. Namun ia masih juga terkejut dan berdebar-debar melihat kemampuan anak muda itu. Udara panas yang dipancarkan dari putaran selendang Nyi Melaya Werdi itu seakan-akan telah terhisap membeku ke dalam asap yang mengelilingi tubuh Wijang. Bahkan Wijang kemudian tidak hanya berdiri membeku sambil menyilangkan tangannya. Beberapa saat kemudian, maka Wijangpun telah berloncatan menyerang lawannya, sementara asap putih itu masih saja selalu berada di seputarnya kemanapun ia bergeser.
Dengan demikian, maka ilmu Nyi Melaya Werdi tidak mampu menghadapi asap yang dingin di seputar tubuh Wijang. Pertahanan yang membuat benturan yang lunak dengan ilmu Nyi Melaya Werdi itu benar-benar menyulitkan kedudukannya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi itupun harus berloncatan surut untuk menghindari serangan-serangan sepasang pisau belati di tangan anak muda itu. Sementara itu, Megar Permatipun menjadi semakin terdesak oleh serangan-serangan Paksi. Beberapa kali Megar Permati harus meloncat surut, sementara Paksi masih saja terus mendesaknya. Namun tiba-tiba Megar Permati itu menghentikan putaran selendangnya. Bahkan perempuan itupun kemudian berkata, "Tunggu, anak muda. Ternyata kau memiliki ilmu yang sangat tinggi." Paksi yang sudah siap menyerang itu memang tertegun sejenak. Dipandanginya wajah Megar Permati sejenak. Wajah yang berkerut dan menegang. Namun wajah itu perlahanlahan telah berubah. Namun Megar Permati itu justru mulai tersenyum. Paksi menjadi heran melihat perubahan itu. Bahkan jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kedua mata Megar Permati yang seakan-akan menjadi berkilat-kilat. "Apakah kau benar-benar menjadi marah, anak muda," bertanya Megar Permati sambil tersenyum. Tiba-tiba saja bulu-bulu tengkuk Paksi meremang. Ia tidak menjadi gentar melihat permainan selendang Megar Permati yang garang. Namun ketika ia melihat Megar Permati tersenyum maka debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. "Aku tidak bersungguh-sungguh, anak muda," berkata Megar Permati dengan lembut. Paksi masih berdiri membeku di tempatnya.
Dalam pada itu, selagi Paksi dicengkam oleh kegelisahan, terdengar Wijang yang masih bertempur dengan Melaya Werdi berteriak, "Hati-hati dengan matanya." Paksi seperti terbangun dari mimpinya. Ia sempat melihat mata Megar Permati yang berkilat-kilat. Terasa getar tatapan mata itu mulai menyentuh hatinya. Namun peringatan Wijang itu sempat menggugah kesadarannya, bahwa tatapan mata Megar Permati itu sangat berbahaya. Ada kekuatan sihir yang memancar dari sepasang mata itu. Karena itu, maka Paksipun harus meningkatkan daya tahannya serta kemampuan mempertebal kesadaran dirinya. Ia tidak boleh kehilangan kepribadiannya dan tunduk kepada kehendak Megar Permati. Peringatan Wijang itu membuat jantung Megar Permati bagaikan terbakar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia masih ingin meyakinkan dirinya atas kemampuan daya tahan lawannya yang masih muda itu. Karena itu, maka Megar Permati itu masih saja tersenyum sambil berkata, "Jangan takut, anak muda. Pandang mataku. Kau akan melihat indahnya dunia ini. Kau akan melihat betapa luasnya langit dan betapa cerahnya cahaya matahari. Kau akan melihat dirimu sendiri yang mengambang dalam kenikmatan hidup yang tidak akan sempat kau nikmati pada kesempatan lain." Paksi menggeratakkan giginya. Meskipun ia memiliki kemampuan daya tahan yang tinggi serta kesadaran akan dirinya yang kuat, tetapi Paksi tidak mau memandang mata Megar Permati. Terdengar suara Megar Permati yang ramah, "Kenapa kau malu, anak muda. Kau akan melihat mataku. Kau akan mendengar suaraku. Kau akan melakukan apa yang aku katakan. Marilah. Jangan malu." Paksi memang mengangkat wajahnya. Tetapi ia sudah memagari jantungnya dengan kesadaran yang tinggi, bahwa dirinya tidak akan terbenam ke dalam pengaruh sihirnya.
"Megar Permati," berkata Paksi, "kau tidak usah mencoba mempergunakan sihirmu untuk menguasai kehendakmu atas aku. Karena itu, kau tidak usah tersenyum-senyum seperti itu, karena aku tetap menyadari, bahwa di balik senyummu itu tersembunyi jantungmu yang berbulu setajam duri." Senyum Megar Permatipun tiba-tiba lenyap dari bibirnya. Bahkan perempuan itupun menggeram, "Anak iblis. Kau benar-benar akan mati." "Kematianku tidak berada di tanganmu," sahut Paksi. Lalu katanya, "Sekarang lebih baik kau serahkan Pangeran Benawa itu kepada kami. Kami akan pergi dan menyerahkannya kepada Harya Wisaka. Kami berjanji tidak akan menyakitimu dan tidak akan mengganggu perguruanmu." Megar Permati tidak menjawab. Tetapi selendangnya kembali berputar dengan cepatnya. Namun pada saat yang bersamaan, Nyi Melaya Werdi benar-benar telah terdesak. Panas apinya tidak mampu mengatasi dinginnya embun lawannya. Bahkan udara yang dingin itu mulai merambah mencengkam kulitnya. Nafasnyapun menjadi terganggu karena udarapun seakanakan telah membeku di lubang hidungnya. Sementara itu, serangan-serangan anak muda itu masih saja memburunya. Ujung pisau belati itu seakan-akan mulai berdesing di telinganya seperti seekor nyamuk yang berterbangan di sekeliling kepalanya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi tidak mempunyai pilihan lain. Iapun segera memberikan isyarat kepada Megar Permati dengan siulan nyaring. Sejenak kemudian, kedua orang perempuan itupun dengan cepatnya meloncat surut. Kemudian dibentangkannya selendangnya sepanjang kedua lengannya yang merentang. Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati itu bagaikan terbang meninggalkan arena. Paksi sudah bersiap untuk memburunya. Namun Wijang berdesis, "Biarkan mereka pergi."
Paksi mengurungkan niatnya. Sambil menarik nafas panjang ia berkata, "Kenapa kita melepaskan mereka?" "Apakah kau mempunyai kerangkeng untuk mengurungnya?" Paksipun terdiam. Sementara Wijang itupun berkata, "Mereka tidak akan pernah melupakan kekalahan ini. Tetapi itu bukan persoalan kita lagi. Itu persoalan mereka dengan Harya Wisaka." Paksi tersenyum. Namun iapun kemudian berdesis perlahan, "Mudah-mudahan mereka mempercayainya." Sementara itu, Ki Demang dan orang-orangnya berdiri termangu-mangu. Mereka telah terpukau oleh pertempuran yang telah terjadi. "Bagaimana dengan anakmu?" bertanya Wijang kepada Ki Demang. Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dalam keadaan biasa, ia tidak mau mendengar pertanyaan seperti itu. Ia adalah demang yang berkuasa di kademangan itu. Tetapi menghadapi kenyataan yang terjadi, maka Ki Demang itu mengangguk hormat sambil menjawab, "Keadaannya cukup parah, anak muda." Wijangpun kemudian melangkah mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan. Sebenarnyalah keadaan anak muda itu memang parah. Namun agaknya masih berpengharapan jika ia ditangani oleh seorang tabib yang baik. "Apakah di kademangan ini ada tabib yang baik?" bertanya Wijang kemudian. "Ada, anak muda," jawab Ki Demang. "Seorang tua yang mempunyai pengalaman yang cukup luas." "Baik. Hubungi tabib itu. Serahkan anakmu dalam perawatannya agar keadaannya dapat membaik. Berdoalah untuk anakmu. Kau tahu artinya?" Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk, "Aku mengerti, anak muda."
"Selanjutnya, kau harus menemukan arti dari keseluruhan peristiwa ini. Kau harus berani melihat ke belakang. Kau harus mengenali anakmu lebih baik lagi. Apa yang pernah dilakukannya dan apa yang tadi dilakukan, sehingga ia mendapat malapetaka. Kaupun harus mengenali dirimu sendiri. Apa yang pernah kau lakukan dan apa yang pernah kau lakukan buat anakmu" Bukan memanjakannya, tetapi berbuat sesuatu yang membuat hidup anakmu itu berarti bagi banyak orang." Ki Demang tidak menjawab. Kepalanya menunduk. Sekalisekali ia sempat melihat anaknya yang dalam keadaan parah, mengerang kesakitan. "Bawa anakmu pulang. Ingat apa yang terjadi hari ini. Jika tidak terjadi perubahan atas dirimu dan tingkah laku anakmu, maka yang akan membunuh anakmu bukan kedua orang perempuan itu. Tetapi aku. Meskipun demikian kau boleh mengetahui, bahwa kedua orang perempuan itu adalah pemimpin tertinggi Perguruan Goa Lampin. Jika kau belum pernah mendengar, maka aku akan memberitahukan, bahwa Goa Lampin adalah ajang pembantaian bukan saja atas wadag seseorang, tetapi terutama jiwanya." Jantung Ki Demang terasa berdebar semakin cepat. Ia memang belum pernah mendengar Perguruan Goa Lampin. Tetapi keterangan anak muda itu membuatnya menjadi resah. "Pulanglah," berkata Wijang kemudian. "Apakah kalian tidak singgah di rumahku?" bertanya Ki Demang. Wijang menggeleng. Katanya, "Terima kasih. Kami akan meneruskan perjalanan. Tetapi pada suatu saat kami akan singgah. Kami akan melihat apakah anakmu sudah berubah atau belum. Jika belum, maka aku akan membawanya, mengajarinya dengan caraku agar ia sedikit menghargai orang lain, terutama perempuan-perempuan." "Ya, ya, anak muda. Aku akan mengajarinya." "Kamipun ingin melihat caramu menjalankan tugasmu sebagai demang pada kesempatan lain. Kami adalah utusan
Harya Wisaka yang mempunyai pengaruh yang besar di istana. Harya Wisaka akan dapat memerintahkan sekelompok prajurit untuk menangkapmu dan membawamu ke Pajang." "Ya, ya, anak muda," Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, "Tetapi apakah kedua orang perempuan itu tidak akan mendendam kami?" "Mereka akan melupakan kalian. Mereka mempunyai persoalan yang jauh lebih penting dari mengurus anakmu. Tetapi yang terjadi ada juga gunanya bagi anakmu." Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, "Kami mohon ampun." "Sudahlah. Aku akan pergi," berkata Wijang kemudian. Namun ia masih sempat berkata sambil melangkah pergi, "Rakyatmu menjadi saksi apa yang telah terjadi disini." Ki Demang terdiam. Tetapi di luar sadarnya ia memandang ke sekelilingnya. Beberapa orang bebahu serta orang-orang kademangannya, terutama di padukuhan itu, berdiri termangu-mangu. Sementara itu, anak Ki Demang masih saja mengerang kesakitan. Sedangkan beberapa orang terbaring diam. Ada di antara mereka yang terluka parah sehingga pingsan. Tetapi ada yang benar-benar telah terbunuh. Wijang dan Paksipun tidak berpaling lagi. Mereka melangkah semakin jauh. Demikian keduanya hilang di tikungan, maka perhatian Ki Demangpun segera beralih kepada anaknya yang terluka parah. Kemudian dipandanginya beberapa orang yang juga telah menjadi korban karena kelakuan anak laki-lakinya. Ki Demang memang sangat menyesali perbuatan anaknya. Tetapi iapun menyesali dirinya sendiri pula. Ia terlalu memanjakan anaknya itu. Apa yang dikehendakinya selalu dipenuhinya. Bahkan jika anaknya tertarik pada seorang perempuan tanpa memperdulikan keadaannya. Anak Ki Demang itu sudah memberikan beberapa orang gadis yang terlanjur mengandung kepada beberapa orang laki-laki dan memaksa mereka untuk menikahinya.
Beberapa orang bebahu dan orang-orang kademangan yang sudah merasakan aman itu, mulai menilai lagi peristiwa itu. Mereka bersukur bahwa akhirnya ada juga orang yang dapat memaksa anak Ki Demang itu untuk menyadari tingkah lakunya. Bahkan Ki Demang pun telah dipaksa untuk menilai sikapnya pula. Sementara itu, Wijang dan Paksipun telah berjalan semakin jauh. Dengan nada berat Wijangpun berkata, "Kita terpaksa harus memperlihatkan diri di antara para pemimpin perguruan yang sedang mencari Pangeran Benawa itu." Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, "Ya. Yang terjadi adalah di luar kehendak kita." "Anak demang itu memang gila. Seandainya tidak ada korban lagi, kita dapat meninggalkannya pergi. Tetapi kita tidak akan dapat membiarkan kedua orang perempuan itu membantai orang-orang padukuhan yang tidak bersalah itu. Orang-orang yang demikian takutnya kepada Ki Demang, sehingga mereka tidak mempunyai pertimbangan lagi untuk melakukan perbuatan yang bodoh itu." "Tetapi kenapa ketakutan mereka kepada maut yang ditebarkan oleh kedua orang perempuan itu tidak dapat mengalahkan ketakutan mereka kepada Ki Demang." "Ketakutan mereka kepada Ki Demang sudah berlangsung bertahun-tahun. Ketakutan itu seakan-akan telah melapisi dinding jantung mereka. Semakin lama menjadi semakin tebal, sehingga dapat mengalahkan perasaan-perasaan yang lain." Paksi mengangguk-angguk. Orang-orang kademangan itu telah dicekam oleh kekuasaan Ki Demang yang sewenangwenang itu sejak bertahun-tahun sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri lagi daripadanya. Namun Paksipun kemudian berdesis, "Kemana Melaya Werdi dan Megar Permati itu melarikan diri?" "Entahlah. Mungkin merekapun mengurungkan niatnya untuk mencari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Tetapi mungkin pula mereka justru ingin melepaskan dendamnya kepada suami istri itu."
"Tetapi mereka akan berpikir ulang jika mereka akan bersikap keras terhadap Repak Rembulung dan Pupus Rembulung yang nampaknya cukup meyakinkan itu." Wijang mengangguk-angguk. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Di telinga Paksi terngiang kembali kata-kata Ki Pananggungan, bahwa meskipun Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu berilmu tinggi, namun mereka masing-masing tidak akan melampaui kemampuan Paksi. "Mudah-mudahan," berkata Paksi di dalam hatinya. Ia semakin yakin akan dirinya, setelah ia mampu mengalahkan Megar Permati. Bahkan iapun mampu menangkal ilmu sihirnya pula. Wijang dan Paksi itupun melangkah terus menyusuri jalan berbatu-batu. Sentuhan kaki mereka telah menebarkan debu yang kelabu. Beberapa orang yang lainpun berjalan dengan cepatnya pula menyusuri bayang-bayang dedaunan dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Di luar sadarnya, Wijang dan Paksi berjalan mengikuti jalan menuju ke Kembang Arum. Tetapi Kembang Arum masih cukup jauh. Ketika keduanya melewati sebuah padukuhan yang pernah terjadi tempat tinggal seorang yang menyebut dirinya Bahu Langlang, mereka sempat berhenti sejenak di depan regol halaman. "Rumah Bahu Langlang," desis Paksi. "Nampaknya rumah ini sudah kosong," sahut Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Rumah Bahu Langlang itu memang kosong. Agaknya sejak Bahu Langlang meninggalkan rumah itu, maka semua penghuninyapun telah pergi pula. Kecuali tidak ada lagi ikatan, mereka juga takut menanggung beban, karena Bahu Langlang ternyata mempunyai banyak musuh. Wijang dan Paksi itupun kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kembang Arum. Meskipun keduanya dapat berjalan lebih cepat, tetapi keduanya tidak merasa tergesa-gesa. Karena itu, maka
mereka berjalan seenaknya. Menyusuri bulak-bulak panjang dan kemudian mereka memilih jalan singkat lewat lorong sempit di pinggir hutan yang jarang sekali dilalui orang. Mereka memang tidak menemukan jejak apapun. Agaknya Melaya Werdi dan Megar Permati tidak menuju ke Kembang Arum atau setidak-tidaknya mereka tidak melalui lorong di pinggir hutan itu. Ketika malam turun, Paksi dan Wijang baru saja meninggalkan lorong di pinggir hutan itu. Ternyata keduanya tidak berniat untuk melanjutkan perjalanan. Mereka ingin berhenti dan beristirahat. Karena itu, maka merekapun telah mencari tempat untuk beristirahat dan bermalam. Bergantian mereka tidur malam itu di atas rerumputan kering di padang perdu. Binatang-binatang malam terdengar saling bersahutan. Ketika dari hutan itu terdengar aum seekor harimau lapar, Wijang yang mendapat giliran untuk berjagajaga tidak menghiraukannya. Tetapi ketika kemudian ia mendengar anjing hutan menyalak bersahutan, maka Wijang menarik nafas dalam-dalam. "Mudah-mudahan anjing itu tidak berkeliaran di padang perdu ini," berkata Wijang dalam hatinya. Wijang lebih senang menghadapi seekor harimau loreng yang besar dari pada sekelompok anjing hutan yang licik. Tetapi ketika Wijang melihat beberapa batang pohon yang cukup besar, hatinya menjadi tenang. Ia dapat memanjat pohon itu, sehingga anjing-anjing liar itu tidak dapat memburunya. Ketika kemudian giliran Paksi untuk berjaga-jaga, maka Wijangpun berpesan, "Hati-hati dengan anjing-anjing yang licik itu. Mereka datang dalam kelompok yang besar." Paksi mengangguk sambil mengusap matanya yang merah. "Hati-hati. Kau tidak boleh tidur lagi sampai menjelang fajar." Paksi mengangguk.
Wijangpun kemudian telah membaringkan dirinya di atas rerumputan kering. Sekali ia menguap. Namun kemudian Wijang itupun telah tidur. Seakan-akan sama sekali tidak ada beban di kepalanya, sehingga dengan cepat ia menjadi lelap. Paksilah yang setiap kali mengusap matanya. Embun terasa mulai menitik dari dedaunan. Namun tidak ada persoalan yang timbul malam itu. Menjelang fajar Wijangpun sudah terbangun. Berbenah diri dan kemudian melanjutkan perjalanan. Kembang Arum bagi keduanya sudah tidak jauh lagi. Sebelum panas matahari terasa menggigit kulit menjelang tengah hari, mereka sudah akan berada Padukuhan Kembang Arum. Tetapi pagi itu keduanya menyempatkan diri untuk singgah di sebuah kedai kecil. Penjual nasi yang sudah tua itu melayani mereka dengan lamban, sehingga rasa-rasanya untuk menunggu minuman dan makanan mereka harus duduk sampai punggungnya menjadi penat. Karena itu, maka perjalanan mereka terlambat beberapa saat. "Aku tidak telaten," desis Paksi. Wijang tertawa pendek. Katanya, "Kenapa tergesa-gesa. Bukankah kita tidak dibatasi oleh waktu?" Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum pula. Panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit. Semakin lama semakin terasa. Keringatpun mulai mengembun di kening. "Padukuhan itu sudah tidak terlalu jauh lagi." "Masih berapa lama kita berjalan?" "Jika kita tidak terhambat di kedai itu, kita sudah tinggal sebulak lagi." "Sudahlah." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka mendekati Padukuhan Kembang Arum, maka mataharipun hampir sampai ke puncak langit. Panasnya sudah
menjadi semakin terasa menggigit kulit. Beberapa orang yang bekerja di sawah telah meletakkan cangkul mereka, yang sedang membajak pun telah menyandarkan bajak mereka di pematang. Beberapa orang perempuan dengan menggendong bakul berjalan di bulak-bulak panjang membawa kiriman makan dan minuman bagi mereka yang bekerja di sawah. Wijang dan Paksi melangkah terus menyusuri jalan bulak yang panjang. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka, seorang perempuan berjalan seorang diri ke arah yang berlawanan. Namun kemudian perempuan itu telah berbelok melalui jalan sempit yang di sebelah-menyebelah ditumbuhi pohon jarak dan gerumbul-gerumbul perdu. Perempuan itupun menggendong bakul dan membawa gendi. Nampaknya ia membawa kiriman bagi mereka yang bekerja di sawah yang letaknya tidak di pinggir jalan panjang itu. Wijang dan Paksipun tidak menghiraukan lagi. Mereka berjalan terus di panasnya sinar matahari. Ketika mereka sampai di simpangan, di luar sadarnya mereka berpaling memandang ke arah perempuan yang membawa kiriman itu berbelok. Namun keduanya terkejut. Wijang dengan cepat mendorong Paksi surut sehingga terlindung gerumbul perdu yang tumbuh di pinggir jalan itu. "Apa yang terjadi?" desis Paksi. "Marilah kita lihat," sahut Wijang. Dengan hati-hati dilambari kemampuan mereka yang tinggi, Paksi dan Wijang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh di kiri kanan jalan kecil itu mendekati perempuan yang membawa kiriman itu. Perempuan itu berdiri termangu-mangu. Tiga orang laki-laki muda berdiri di hadapannya. Paksi semakin terkejut ketika seorang di antara laki-laki itu berkata, "Kau Kemuning, kan?"
Paksi kemudian bergeser semakin mendekat. Dari sela-sela pohon perdu Paksi sempat melihat perempuan yang membawa bakul itu. Perempuan itu memang Kemuning. Wijangpun telah bersungut pula. Dengan isyarat Paksi memberitahukan, bahwa perempuan itu adalah Kemuning. Wijang mengangguk-angguk. Tetapi keduanya masih tetap bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan sempit itu. "Siapakah kalian?" bertanya Kemuning. "Kau orang baru di Padukuhan Kembang Arum?" Kemuning mengangguk. "Nah, karena itu, aku memerlukan datang menemuimu?" berkata salah seorang dari mereka. "Kau bukan anak Kembang Arum," berkata Kemuning. "Memang. Kami memang bukan anak muda dari Kembang Arum. Kami tinggal di Sawahan." "Sawahan" Bukankah Padukuhan Sawahan itu agak jauh dari sini?" "Ya." "Jadi untuk apa kalian menemuiku?" "Aku ingin memperkenalkan diri." "Ah," Kemuning termangu-mangu sejenak. "Kau datang jauh-jauh hanya untuk memperkenalkan diri?" "Ya. Selain itu, kami memang mempunyai sedikit keperluan." "Apa?" "Seorang gadis dari Sawahan telah dilarikan oleh anak muda dari Kembang Arum." "O. Apa hubungannya dengan aku?" "Aku ingin minta kau pergi ke Sawahan. Kau segera akan kami antar pulang setelah gadis Sawahan itu pulang." "Kenapa aku?" bertanya Kemuning. Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Aku memilih gadis yang paling cantik dari Kembang Arum." "Tetapi aku orang baru disini. Aku tidak tahu-menahu tentang gadis Sawahan yang dilarikan itu."
"Sudahlah. Nanti kau akan mengetahui persoalannya. Sekarang aku minta dengan baik-baik kau ikut kami ke Sawahan." Kemuning tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia meletakkan gendinya di tepi jalan. Kemudian bakul yang digendongnya itupun diletakannya pula. Ketiga orang laki-laki muda yang menghentikan Kemuning itu menjadi heran. Bahkan Paksi dan Wijangpun menjadi tegang pula. "Ki Sanak," berkata Kemuning, "aku mengatakan bahwa aku tidak tahu-menahu tentang gadis yang dilarikan itu. Karena itu, pergilah." Ketiga orang itu menjadi heran, bahwa Kemuning nampaknya tetap tenang. Bahkan kemudian dengan nada berat ia berkata, "Pergilah. Jangan mengganggu aku." Seorang di antara ketiga orang yang menghentikan itu berkata, "Jangan banyak bicara. Sekarang ikut kami ke Sawahan atau kami akan memaksamu." "Sudah aku katakan, pergilah." "Kami akan memaksamu," geram salah seorang dari ketiga orang itu. Kemuning memandang ketiga orang itu berganti-ganti, seorang berwajah persegi. Giginya yang besar-besar tersembul dari sela-sela bibirnya yang tebal. Alisnya yang tebal hampir bertemu di atas hidungnya. Seorang lagi berwajah licin. Senyumnya selalu nampak di sela-sela bibirnya. Namun dari pandangan matanya yang liar. Kemuning menjadi ngeri. Sedangkan kawannya berwajah kasar. Sebuah bekas luka menggores di keningnya. Rambutnya tergerai dari bawah ikat kepalanya yang dipakainya sekenanya saja. Orang yang berwajah licin dengan senyum di bibirnya itupun berkata, "Jangan takut, Kemuning. Kau tidak akan disakiti. Kau hanya akan disimpan di Sawahan sampai gadis yang dilarikan itu pulang. Aku akan menjagamu jika ada orang yang ingin mengganggumu. Percayalah kepadaku."
"Jangan ganggu aku," berkata Kemuning lantang. "Sekarang pergilah. Atau aku akan memaksa kalian pergi." Ketiga orang laki-laki muda itu saling berpandangan sejenak. Yang berwajah kasar itulah yang bertanya, "Kau mau apa?" Tetapi Kemuning tidak menjawab. Tangannyalah yang menyambar mulut orang itu. Orang yang berwajah kasar itu benar-benar terkejut. Selangkah ia bergerak mundur. "Kaulah yang telah menyakiti aku," geram orang itu. "Sekali lagi aku minta, pergilah." "Anak ini tidak dapat diajak berbicara dengan baik-baik," berkata orang yang berwajah persegi. "Karena itu, maka kita harus memaksanya." Senyum bibir orang yang berwajah licin itu tiba-tiba telah lenyap. Dengan nada tinggi ia berkata, "Lakukan apa yang kami katakan." Tetapi Kemuning menjawab, "Kau yang harus melakukan apa yang aku katakan." Ketiga laki-laki itu telah kehilangan kesabaran. Ketiganyapun segera meloncat mengepung Kemuning. Paksi hampir saja meloncat dari persembunyiannya. Namun Wijang telah menggamitnya, iapun memberi isyarat agar Paksi menunggu. Yang terjadi memang mendebarkan jantung Paksi. Ketika ketiga orang itu berusaha menangkap Kemuning, maka tibatiba saja gadis itu melenting. Tangannya yang cepat menyambar dada seorang di antara mereka sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Kemuning tiba-tiba saja telah menyingsingkan kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya, ternyata Kemuning mengenakan pakaian khusus. Celana berwarna gelap sampai sedikit di bawah lutut. Paksi memang menjadi berdebar-debar. Ternyata Kemuning adalah seorang gadis yang juga memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi Paksi tidak tahu, apakah
gadis itu memiliki kemampuan olah kanuragan sebelum ia berada di tangan Bahu Langlang atau sesudahnya. Apakah Ki Pananggungan yang kemudian telah melatih Kemuning dalam olah kanuragan. Jika demikian, maka Kemuning itu tentu masih berada pada tataran pemula. Dengan tegang Paksi ingin menyaksikan apa yang telah terjadi. Apakah Kemuning mampu melindungi dirinya atau tidak. Sementara itu, lorong kecil itu memang terkesan sepi. Sejenak kemudian Paksi menahan nafasnya. Ketiga orang laki-laki itu mulai mencoba menangkap Kemuning. Namun Kemuning itupun segera meloncat dengan tangkasnya. Sambil memutar tubuhnya, kakinya terayun dengan cepat, mendatar menyambar dada salah seorang dari anak muda itu. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Ia tidak mengira bahwa Kemuning mampu bergerak setangkas itu. Namun kemudian orang itupun telah menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Sambil menggeram ia meloncat menerkam Kemuning dengan jari-jari tangannya yang mengembang. Tetapi Kemuning cukup tangkas. Ia bergeser ke samping. Ketika seorang yang lain mengayunkan tinjunya ke arah wajahnya, Kemuning merendahkan dirinya. Tangannya terjulur lurus, justru menyongsong tubuh lawannya. Dengan derasnya tangannya telah mengenai dada lawannya. Terdengar keluhan tertahan. Sementara Kemuningpun berkata, "Jika kalian tidak mau pergi, aku akan berteriak. Orang-orang yang bekerja di sawah dan mendengar teriakanku, akan segera berdatangan." "Kau tidak akan sempat berteriak," geram orang yang berwajah licin. "Kenapa tidak" Bukankah aku sempat berbicara panjang sekarang?" Ketika orang yang berwajah persegi menyerang dengan ayunan kakinya yang mendatar, Kemuning sempat
menangkisnya. Dikibaskannya kaki itu menyamping, sehingga sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Ternyata ancaman Kemuning itu membuat orang berwajah kasar menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengira bahwa kemuning sempat memberi perlawanan. Karena itu maka ia tidak menyerang lagi. "Aku memberi kesempatan pada kalian untuk yang terakhir kalinya. Kalian akan pergi atau tidak?" Orang yang berwajah kasar itu menggeram. Namun iapun kemudian telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu. Perhitungan orang-orang itu ternyata keliru. Kemuning sempat memberikan perlawanan. Ancamannya untuk berteriak memang membuat ketiga orang itu menjadi cemas. Mereka menduga, bahwa dengan serta-merta mereka dapat menangkap Kemuning sebelum ada orang yang mengetahuinya. Menyeretnya ke dalam semak-semak dan kemudian dengan ancaman membawanya pergi tanpa banyak kesulitan. Tetapi yang terjadi ternyata lain. Ketika ketiga orang itu kemudian bergeser menjauh, seorang di antara mereka sempat berkata, "Pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi, Kemuning." Kemuning tidak menjawab. Dipandanginya saja ketiga orang itu dengan tajamnya. Sejenak Kemuning berdiri termangu-mangu. Kemudian iapun segera membenahi pakaiannya. Namun sebelum Kemuning memungut gendi dan bakulnya, ia mendengar semak-semak yang tersibak. Dua orang muncul dari balik gerumbul perdu di pinggir jalan. Dengan cepat Kemuning memutar tubuhnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Kemuning itupun mengerutkan dahinya. Diamatinya kedua orang itu dengan seksama. Dari sela-sela bibirnya kemudian terdengar Kemuning itu berdesis, "Kakang Paksi."
Paksi tersenyum. Katanya, "Kau masih mengenal aku Kemuning." "Tentu, Kakang." "Aku lihat bagaimana kau menakut-nakuti ketiga orang lakilaki itu." "Ah." "Ternyata kau memiliki kemampuan dalam olah kanuragan." "Aku hanya mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak mau pergi." "Tetapi kau sudah mempunyai bekal untuk melindungi dirimu sekarang." "Paman Pananggungan mengajari aku bagaimana aku harus membela diri." "Bagus," desis Paksi, "ternyata kemampuan itu berarti juga bagimu." "Baru itu yang dapat aku lakukan. Sedikit meloncat dan bergeser." "Tetapi peningkatan kemampuanmu terhitung cepat, Kemuning." "Ah," Kemuning tertunduk. Namun Paksipun kemudian telah memperkenalkan Wijang. Dengan ragu Paksi itupun berkata, "Aku datang kali ini bersama kakakku, Kemuning." Kemuning mengangkat wajahnya. "Namanya Wijang." Kemuning itupun mengangguk hormat, sementara Wijangpun berkata, "Mudah-mudahan aku tidak terlalu menjemukan." "Ah," Kemuning justru tidak tahu apa yang harus dikatakan. Paksilah yang kemudian bertanya, "Apakah kau akan pergi ke sawah?" "Ya, Kakang." "Jika demikian, marilah. Kami ikut pergi ke sawah untuk menemui Paman Pananggungan."
Demikianlah, Paksi dan Wijang menemui Kemuning yang berjalan cepat ke kotak-kotak sawah yang terletak di pinggir parit induk, sehingga sawah itu tidak pernah kekurangan air di segala musim. "Paman tentu akan senang sekali," berkata Kemuning sambil berjalan di depan. Di sepanjang jalan, Paksi ternyata lebih banyak berbicara dengan Kemuning, sehingga Wijang lebih banyak berdiam diri sambil berjalan di belakang. Sambil berjalan Paksipun kemudian bertanya, "Apakah ayah dan ibumu sudah menyusulmu kemari?" "Ayah dan ibu tidak tahu bahwa aku ada disini." "Tetapi jika mereka pulang dan mengetahui bahwa kau tidak ada di rumah, mereka tentu akan menyusul kemari." "Belum tentu. Mungkin ayah dan ibu mencariku di tempat sanak kadang yang lain." "O," Paksi mengangguk-angguk, "kau masih mempunyai sanak kadang yang lain kecuali Paman Pananggungan." "Menurut ayah dan ibu, masih ada beberapa orang sanak saudara kami. Ayah dan ibu pernah mengajak aku mengunjungi mereka. Pada umumnya mereka baik padaku." "Tetapi kenapa kau justru datang kemari?" "Nampaknya Bibi merasa lebih dekat dengan Paman Pananggungan dari sanak kadang kami yang lain." "Jika demikian, bukankah pada saat nanti ayah dan ibumu akan mencarimu kemari?" "Ya. Ayah dan ibu pada suatu saat tentu akan kemari." Paksi mengangguk-angguk. Namun bahwa keduanya masih belum datang ke Kembang Arum adalah satu kebetulan bagi mereka berdua. Sambil menunjuk sebuah gubuk kecil yang didirikan di tepi parit induk di bawah sepasang pohon turi yang sedang berbunga, Kemuning berkata, "Di gubuk itu biasanya Paman beristirahat." "Apakah Paman Pananggungan bekerja sendiri di sawah?"
"Paman bekerja bersama dua orang pembantunya. Paman sendiri jarang pergi ke sawah ini. Paman justru lebih sering pergi ke pategalan." "Kenapa?" "Bukankah di pategalan udaranya lebih sejuk. Terik matahari pun banyak yang tertahan oleh pepohonan yang tumbuh semakin besar. Paman menanam beberapa batang pohon buah-buahan di pategalan." Paksi mengangguk-angguk. Namun iapun berpaling ketika ia mendengar Wijang terbatuk-batuk. "Marilah. Kenapa kau berjalan lambat sekali?" Wijangpun mempercepat langkahnya. Katanya, "Seekor binatang kecil masuk ke kerongkongan." "Apakah kau tidak dapat mengatupkan mulutmu?" "Aku sedang menguap." "Marilah, jangan berjalan di belakang." Wijang tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, maka merekapun telah mengambil jalan pintas meniti pematang langsung menuju ke gubuk kecil di bawah sepasang pohon turi itu. Ki Pananggungan memang sudah menunggu di dalam gubuknya bersama dua orang yang membantunya bekerja di sawah. Ketika ia melihat Kemuning berjalan bersama dua orang laki-laki, dahinya telah berkerut. Namun semakin dekat, Ki Pananggungan pun mulai mengenali salah seorang dari kedua orang laki-laki itu. Karena itu, maka iapun segera meloncat turun dari gubuknya, menyongsong Kemuning bersama kedua orang yang datang bersamanya. "Kau, Ngger," sapa Ki Pananggungan. "Ya, Paman." "Marilah, duduk berdesakan di dalam gubuk kecil ini." Kedua orang yang membantu Ki Pananggungan itulah yang mengalah. Mereka turun dari gubuk itu dan melangkah beberapa langkah menjauh. Merekapun kemudian duduk di bawah pohon turi yang berdaun rimbun itu.
Dalam pada itu, Paksi dan Wijangpun telah duduk di gubuk itu pula. Ketika Kemuning meletakkan bakulnya, maka pamannya itupun berkata, "Biarlah kedua orang itu minum dan makan lebih dahulu. Matahari telah sampai ke puncak. Agaknya mereka telah merasa haus dan lapar. Mereka sudah bekerja sejak matahari terbit." Kemuningpun kemudian beringsut turun. Tetapi ia masih berceritera tentang tiga orang yang mencoba mengganggunya di jalan. "Siapakah mereka itu?" bertanya Ki Pananggungan. "Apakah kau belum pernah melihat mereka" Agaknya mereka bukan anak muda dari Kembang Arum." "Memang bukan, Paman. Menurut keterangan mereka sendiri, mereka adalah orang Sawahan." "Tentu juga bukan orang Sawahan. Mereka hanya ingin menyembunyikan jejak mereka." "Aku juga menduga begitu, Paman." "Untunglah bahwa Angger Paksi telah menolongmu lagi." Paksilah yang menyahut, "Bukan aku, Paman. Kali ini Kemuning telah membebaskan dirinya sendiri. Ternyata ia sudah memiliki kemampuan untuk menghadapi anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab itu." "Ah, apa yang dapat ia lakukan?" "Aku mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak pergi," berkata Kemuning. Ki Pananggungan tertawa. Katanya, "Satu jenis ilmu yang ternyata mampu mengusir anak-anak muda itu." Yang lainpun tertawa pula. Kemuning juga tersenyum sambil melangkah mendekati kedua orang yang duduk di bawah pohon turi itu. "Biarlah aku menunggu, Ki Pananggungan," berkata salah seorang dari mereka. "Makanlah dahulu," sahut Ki Pananggungan. "Aku baru menemui tamu-tamuku." Kedua orang itu tidak menjawab. Bahkan Kemuning telah meletakkan bakulnya di atas pematang.
Sementara itu, Paksipun telah memperkenalkan Wijang kepada Ki Pananggungan. Dengan nada rendah Paksi berkata, "Kakakku ini bernama Wijang, Paman." Tetapi baik Paksi maupun Wijang terkejut bukan buatan. Ki Pananggungan itupun membungkuk hormat sambil berdesis, "Ampun, Pangeran. Aku tidak dapat menyambut kedatangan Pangeran dengan sepantasnya." Paksi dan Wijang itu menjadi tegang. Lebih-lebih lagi Paksi merasa bertanggung-jawab. Ialah yang mengajak Wijang pergi ke Padukuhan Kembang Arum. Tetapi ia tidak menduga sama sekali, bahwa Ki Pananggungan itu dapat mengenali Pangeran Benawa. "Paman," berkata Paksi dengan gagap, "dari mana Paman mengenali bahwa yang datang bersamaku ini adalah seorang pangeran?" "Aku pernah berada di istana Pajang, Ngger," jawab Ki Pananggungan. "Aku pernah melihat Pangeran beberapa kali. Dan siapakah yang belum pernah mengenal Pangeran Benawa?" "Baiklah, Paman," berkata Pangeran Benawa kemudian. "Aku tidak akan ingkar. Tetapi sebaiknya aku mohon Paman melindungi keberadaanku di tempat ini." "Aku mengerti, Pangeran. Itulah sebabnya aku minta Kemuning membawa kirimannya kepada kedua orang yang membantuku bekerja di sawah ini. Aku berharap bahwa mereka tidak mendengar pembicaraan kita disini." Paksipun kemudian berkata, "Paman. Sebaiknya kami berterus-terang. Pangeran Benawa sedang berada dalam penyamaran. Ia ingin mengembara untuk dapat menyaksikan kehidupan yang nyata dari rakyatnya. Bukan sekedar laporan dari para pemegang pemerintahan di segala tataran, bahwa semuanya berjalan dengan baik." "Aku berjanji untuk tidak membuka rahasia ini." "Apalagi para pemimpin dari beberapa perguruan sedang memburunya. Bahkan mungkin juga termasuk Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung."
"Kau sudah bertemu dengan mereka?" bertanya Ki Pananggungan. "Tidak secara langsung, Paman." Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Kau belum mengatakan kepada Kemuning?" "Tidak, Paman. Kami tidak mengatakannya." Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Paksipun berceritera tentang kedua orang tua angkat Kemuning itu, namun yang dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri. "Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati sedang mencari Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung. Mereka menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung." Ki Pananggungan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Siapa yang dapat menahan Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tidak terbatas itu." "Ah, Paman terlalu berlebihan." "Aku berkata sebenarnya, Pangeran. Hanya Kangjeng Sultan dan Raden Sutawijaya sajalah yang dapat menyamai tataran ilmunya. Mungkin Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi." "Tentu tidak, Paman. Ilmuku belum seberapa. Masih belum lebih tinggi dari ilmu Paksi." "Pangeran tentu merendah. Maksudku, hanya beberapa orang sajalah yang mampu mengimbangi kemampuan Pangeran. Memang mungkin ada orang-orang berilmu tinggi yang tersembunyi. Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmu Pangeran Benawa hampir tidak bercela." "Paman akan kecewa jika Paman melihat kenyataanku yang tidak lebih baik dari Paksi. Tetapi sudahlah, kita akan berbicara tentang sawah Paman yang subur ini," berkata Pangeran Benawa kemudian. "Ya, Pangeran. Namun satu hal yang ingin aku katakan, bahwa keberadaan Pangeran di luar istana, serta kabar
tentang hilangnya cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu, menjadi jelas bagiku sekarang. Sebenarnyalah Pangeran harus berhati-hati membawakan diri. Apalagi beberapa orang telah mencari Pangeran, yang tentu dihubungkan dengan cincin yang tidak ada di bangsal pusaka itu." Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang begitu, Paman. Terima kasih atas peringatan Paman." Sementara itu, Paksipun berkata, "Dalam pengembaraan ini, silahkan Paman memanggilnya Wijang." "Wijang." Ki Pananggungan mengangguk-angguk. "Baiklah. Aku akan memanggil Pangeran, Angger Wijang." Pembicaraan merekapun terhenti sejenak. Kemuning telah membenahi mangkuk yang dipergunakan oleh kedua orang yang membantu Ki Pananggungan bekerja di sawah. Kemuning itupun kemudian bangkit berdiri dan melangkah mendekati gubuk itu sambil bertanya, "Bagaimana dengan Paman?" "Aku akan pulang saja Kemuning. Aku akan makan di rumah bersama Angger Wijang dan Angger Paksi." Dengan demikian, maka Kemuningpun segera memasukkan isi bakulnya kembali. Tetapi salah seorang dari kedua orang yang membantu bekerja di sawah pamannya itu berkata, "Tinggalkan saja gendinya, Nduk." "Baik, Paman," jawab Kemuning, "tetapi jangan lupa, nanti bawa gendinya pulang." Kedua orang itu tersenyum. Salah seorang dari mereka menjawab, "Jika aku lupa, besok kau tidak usah mengirim minuman kemari." "Jika bukan aku yang pergi ke sawah?" "Siapapun yang pergi." "Tanpa gendi dan tanpa bakul?" "Ah. Nanti kami tidak kuat mengangkat cangkul setelah matahari sampai di puncak."
Kemuningpun tertawa pula. Namun kemudian ia minta diri, "Sudah, Paman. Aku akan pulang bersama Paman Pananggungan serta kedua orang tamu itu." "He, siapakah tamunya, Nduk" Tamu Ki Pananggungan atau tamumu?" Kemuning mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, "Tentu tamu Paman Pananggungan." Kedua orang itu tertawa. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Ki Pananggungan bersama Kemuning dan kedua orang tamunya telah meninggalkan gubuk kecil itu menuju ke Padukuhan Kembang Arum. Ketika mereka sampai di rumah Ki Pananggungan, maka Paksipun telah disambut dengan gembira oleh Nyi Pananggungan dan Nyi Permati. Bersama Wijang, maka Paksipun telah dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun kepada Nyi Pananggungan, suaminya menyebut tamunya yang seorang lagi sebagai kakak Paksi yang bernama Wijang. Kemuning yang kemudian pergi ke dapur telah memberitahukan kepada Nyi Pananggungan bahwa Ki Pananggungan masih belum makan di sawah. Pamannya itu ingin makan di rumah bersama kedua orang tamunya. Nyi Pananggunganpun kemudian menjadi sibuk mempersiapkan makan bagi suaminya dan kedua orang tamunya dibantu oleh Kemuning. Sementara itu Nyi Pananggungan minta agar Nyi Permati ikut menemui tamunya di pringgitan. "Aku menyempatkan diri untuk singgah," berkata Paksi kepada Nyi Permati yang menemuinya bersama Ki Pananggungan. "Kami senang sekali menerima kunjungan Angger berdua," berkata Nyi Permati. "Aku kira, Bibi sudah tidak ada disini." "Kemana?" "Aku kira ayah dan ibu Kemuning sudah menyusul kemari."
"Mereka tidak tahu bahwa aku dan Kemuning berada disini." "Tetapi jika mereka mencari, pada suatu hari tentu akan datang kemari." Nyi Permati mengangguk. Namun kemudian ia berdesis, "Aku berdoa, mudah-mudahan keduanya tidak mencari Kemuning. Aku berharap agar keduanya mengembara saja tanpa pernah pulang." "Tetapi bukankah mereka mencintai Kemuning?" Paksi tidak bertanya lagi. Sementara minumanpun telah dihidangkan. Minuman yang masih mengepulkan asap putih yang tipis. "Marilah, Ngger. Silahkan minum mumpung masih hangat," Ki Pananggunganpun mempersilahkan. Paksi dan Wijangpun telah mengangkat mangkuknya dan menghirup minumannya yang membuat keringat mereka semakin banyak membasahi pakaian mereka. Sementara itu, maka Kemuningpun telah menghidangkan nasi dan lauk-pauknya pula. Meskipun mereka mempersiapkan makan siang itu dengan sedikit tergesa-gesa, namun bagi Paksi dan Wijang, hidangan itu sudah lebih dari cukup. Nyi Permatipun kemudian mempersilahkan mereka makan, sementara Nyi Permati telah meninggalkan mereka masuk ke ruang dalam. Sambil makan Ki Pananggunganpun berkata, "Nyi Permati berharap bahwa kedua orang tua angkat Kemuning itu tidak datang untuk mengambil Kemuning." "Tetapi bukankah mereka bersikap baik di rumah" Mereka mengajari Kemuning melakukan hal-hal yang baik dan berarti?" "Tetapi pada suatu saat, akhirnya Kemuning akan mengetahui juga." "Mengetahui bahwa ia bukan anak kandung kedua orang yang dianggap orang tua sendiri itu?"
"Bukan itu. Akhirnya Kemuning akan tahu, apa yang sering dikerjakan oleh kedua orang tua angkatnya. Dengan demikian, maka hati gadis itu pada suatu saat akan hancur." Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Tetapi agaknya sulit bagi Kemuning melepaskan diri dari kedua orang yang sudah dianggap orang tuanya sendiri itu. Nyi Permati agak terlambat menyadari keadaan Kemuning serta hari depannya. "Bagaimana dengan Ki Pananggungan sendiri?" bertanya Paksi. "Bagiku, aku sama sekali tidak berkeberatan jika Kemuning tetap berada disini. Tetapi agaknya keberadaannya disini juga menimbulkan persoalan seperti yang baru saja terjadi tadi ketika Kemuning pergi ke sawah." "Apakah itu akan menjadi persoalan yang berkepanjangan?" "Mudah-mudahan tidak. Tetapi jarang gadis-gadis padukuhan mempunyai keberanian seperti Kemuning." "Apa salahnya," desis Paksi. "Ia akan dapat menarik perhatian banyak orang. Tetapi aku tidak akan berhenti. Aku ingin Kemuning memiliki kemampuan yang akan dapat menjadi pelindung bagi dirinya sendiri." Paksi mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Wijang, maka Wijang masih sibuk menyuapi mulutnya. Sekali-sekali ia berdesis kepedasan. Tetapi ia masih saja mengambil sambal terasi. Paksi tersenyum melihat bibir Wijang yang merah. Tetapi Wijang memang senang sekali makan sambal. Sementara itu Ki Pananggunganpun berkata, "Aku berharap kau tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Juga kepada Pangeran Benawa aku mohon untuk bersedia tinggal disini untuk beberapa hari." Wijang mengusap bibirnya yang terasa agak panas. Sekilas ia memandang Paksi yang sedang mengunyah makanannya. Paksi sengaja membiarkan Wijang menjawab lebih dahulu. Setelah meneguk minumannya, maka Wijang itupun berkata, "Sebenarnya aku tidak berkeberatan, Paman. Kami
berdua memang pengembara yang tidak mempunyai tujuan tertentu, sehingga karena itu, kami sama sekali tidak terikat oleh waktu. Tetapi jika Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung datang ke tempat ini, maka suasananya akan dapat berubah." "Tetapi bukankah keduanya belum mengenal kalian?" "Memang belum, Paman. Tetapi jika mereka mulai memperhatikan kami, maka kemungkinan buruk dapat terjadi." Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Katanya, "Tetapi bukankah keduanya belum pasti akan datang kemari" Seandainya mereka datang kemari, maka demikian mereka datang, kalian berdua dapat meninggalkan tempat ini sebelum terjadi benturan-benturan yang tidak kita kehendaki." Wijang memandang Paksi sejenak. Katanya, "Terserah kepada Paksi." Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, "Bagaimana pendapatmu, jika kita tinggal disini barang dua tiga hari?" Wijang tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi aku harap kau selalu ingat, bahwa banyak orang yang kemudian memburu Pangeran Benawa. Agaknya sikap Harya Wisaka itu menimbulkan gejolak baru bagi para pemimpin perguruan yang terlalu bernafsu untuk memiliki masa depan yang terbaik itu." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Maksudmu, tentu Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga sudah mendengar bahwa Harya Wisaka sedang memburu Pangeran Benawa." "Ya," jawab Wijang. "Baiklah. Aku tidak akan pernah melupakannya." "Mudahmudahan penyamaran Pangeran tidak akan dapat dikenal orang." "Beberapa orang yang mengenal aku dengan baik berada di pihak Paman Harya Wisaka."
Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Sekilas Wijang telah menceriterakan sikap Harya Wisaka yang sedang memburu Pangeran Benawa. "Tetapi apa artinya Harya Wisaka bagi Pangeran Benawa." "Paman Harya Wisaka tidak sendiri. Ia agaknya telah menguasai sekelompok prajurit pilihan serta prajurit sandi." "Siapakah yang telah membantu Harya Wisaka itu, Pangeran?" Wijang memang menjadi ragu ragu. Namun kemudian iapun berdesis, "Yang aku ketahui langsung adalah Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan." Ki Pananggungan terkejut mendengar nama itu. Di luar sadarnya iapun bertanya, "Apakah Pangeran tidak keliru?" "Tidak, Paman. Aku dan Paksi melihat langsung. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Bahkan Paksi pernah dibelikan dawet cendol di pasar." Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku mengenal Ki Rangga Suraniti. Sebenarnyalah Pangeran, aku pernah menjadi seorang prajurit di Pajang. Tetapi justru setelah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu bersama ayahandanya, Ki Gede Pemanahan serta Ki Penjawi, menewaskan Harya Penangsang, aku mengundurkan diri. Meskipun demikian, aku masih sering pergi ke istana. Aku masih akrab dengan beberapa orang prajurit, termasuk Ki Rangga Suraniti. Meskipun aku sudah bukan prajurit, tetapi aku masih sering membantu tugas-tugas sandi. Baru pada saat-saat terakhir ini aku benar-benar ingin beristirahat dan berada di lingkungan keluargaku." Ki Pananggungan berhenti sejenak. Namun kemudian iapun melanjutkannya, "Menurut pendapatku, Ki Rangga Suraniti adalah seorang prajurit yang baik. Ia sudah menunjukkan pengabdian yang besar bagi Pajang." "Sikap seseorang dapat saja berubah, Paman. Tetapi semula aku juga tidak percaya, bahwa Ki Rangga Suraniti bekerja bersama dengan Paman Harya Wisaka memburu Pangeran Benawa."
"Kenapa Pangeran tidak kembali saja ke istana" Bukankah pengembaraan Pangeran dapat dilanjutkan pada kesempatan lain, setelah Pangeran membuat penyelesaian dengan Harya Wisaka?" "Aku tidak tahu, apakah jika hal itu aku sampaikan kepada ayahanda dan para pemimpin di Pajang, mereka dapat mempercayainya. Sementara itu, aku tahu benar, bahwa Paman Harya Wisaka adalah seorang yang licik." Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Katanya, "Apakah Ki Rangga Suraniti tidak dapat mengenali Pangeran?" "Aku selalu menghindar, Paman. Ki Rangga Suraniti belum pernah melihat aku berkeliaran di sisi selatan kaki Gunung Merapi ini." "Satu keterangan yang sangat menarik, bahwa Ki Rangga Suraniti terlibat dalam usaha Harya Wisaka. Aku sendiri belum mengenal Harya Wisaka dengan baik. Tetapi aku mengerti, bahwa Harya Wisaka memang seorang yang keras hati. Jika pada tempatnya, keras hati dapat berarti sikap yang baik. Tetapi jika mengetrapkannya keliru, akibatnya seperti tingkahlaku Harya Wisaka itu." -ooo00dw00oooJilid 11 WIJANG mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pananggunganpun berkata, "Baiklah, Ngger. Sekarang biarlah aku tidak mengganggu Angger berdua." Wijang tertawa. Tetapi perutnya sudah mulai terasa kenyang, justru karena ia makan sambil berbincang, maka rasa-rasanya Wijang dan Paksi tidak sempat lagi memperhatikan seberapa banyak nasi sudah masuk ke dalam perut mereka. Ketika mereka sudah selesai makan, maka Kemuningpun segera membenahi mangkuk-mangkuknya dan kemudian
membawanya ke dapur untuk dicuci. Sementara itu minuman yang hangatpun telah dihidangkan lagi. Seperti yang dikatakan Paksi, maka mereka berdua akan berada di rumah itu untuk dua tiga hari. Kecuali jika Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung datang ke rumah itu untuk menemui Kemuning. Setelah makan dan beristirahat sambil berbincang tentang keadaan Padukuhan Kembang Arum beberapa saat, maka Ki Pananggunganpun telah mempersilahkan kedua orang tamunya untuk beristirahat di bilik yang telah disediakan bagi mereka, di gandok sebelah kanan. "Kemuning telah membersihkan gandok itu," berkata Ki Pananggungan Ketika keduanya sudah berada di gandok, maka Wijangpun berdesis, "Kau tentu kerasan tinggal disini." "Kenapa?" bertanya Paksi. "Gadis itu memang cantik." "Aku tidak berada disini karena gadis itu." Wijang tertawa. Katanya, "Jadi karena apa kau betah tinggal disini kalau tidak karena gadis itu?" Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, "Ki Pananggungan adalah seorang yang sangat menarik. Ia banyak memberikan petunjuk kepadaku." Wijang tertawa berkepanjangan. "Kau tidak percaya?" "Siapa yang mengatakan bahwa aku tidak percaya?" Paksi terdiam. Wijangpun kemudian berbaring di pembaringan sambil berkata, "Tiba-tiba aku jadi mengantuk." "Kau makan terlalu banyak," sahut Paksi sambil melangkah ke luar bilik di gandok itu. "He, kau pergi kemana?" bertanya Wijang. "Aku ingin duduk di serambi. Jika kau ingin tidur, tidurlah." Tetapi Wijang justru bangkit dan mengikuti Paksi melangkah keluar bilik yang udaranya terasa agak panas itu.
Keduanyapun kemudian duduk di sebuah lincak panjang di serambi gandok. Angin sore berhembus menggoyang pepohonan. Daundaunnya yang kuning terlepas dari tangkainya yang melayang jatuh di plataran. Paksi tiba-tiba saja bangkit ketika ia melihat Kemuning keluar dari pintu seketeng sambil membawa sapu lidi. Sambil melangkah mendekat, maka Paksi itupun berkata, "Biarlah aku saja yang menyapunya." Kemuning termangu-mangu. Tetapi Paksi telah mengambil sapu lidi itu dari tangan Kemuning. "Biarlah aku saja menyapunya," berkata Kemuning. Tetapi Paksipun menjawab, "Kau dapat membantu Nyi Pananggungan di dapur." "Apakah kau terbiasa menyapu halaman dengan sapu lidi?" bertanya Kemuning. "Ya. Aku sudah terbiasa melakukannya." Kemuning menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun berdesis, "Baiklah. Tetapi jika kau merasa letih, tinggalkan saja. Nanti aku akan menyelesaikannya." "Aku sudah terbiasa menyapu halaman yang lebih luas dari halaman ini," jawab Paksi. Kemuning memandang Paksi sekilas. Namun kemudian iapun segera menunduk sambil berkata, "Baiklah. Aku akan membantu Bibi di dapur." Sepeninggal Kemuning, maka Wijangpun datang mendekatinya. Katanya, "Biarlah aku saja yang menyapunya. Kau dapat membantu Kemuning di dapur." Tetapi jawaban Paksi tidak diduga oleh Wijang. Katanya, "Marilah, silahkan. Nanti, biarlah aku yang mengaku telah menyapu halaman ini." "Tidak mau," berkata Wijang kemudian. "Jika kau yang menyapu, biarlah aku yang mendapat pujian." "Seharusnya kau memang belajar menyapu. Halaman dalam istana Pajang setiap pagi dan sore harus disapu pula."
"Dengan satu lambaian tangan, halaman itu sudah akan bersih," berkata Wijang. "Tentu, karena dengan lambaian tanganmu, empat lima orang abdi istana akan berlari-larian mendatangimu. Jika kau perintahkan mereka semua menyapu halaman, maka pekerjaan itu akan segera selesai." Wijang tertawa. Katanya, "Kau memang seorang yang pandai menyusun dongeng-dongeng ajaib. Tetapi katakan, apa yang dapat aku kerjakan sekarang." "Jika kau ingin membantu aku, ambil air. Sirami halaman ini agar debunya tidak berterbangan jika aku nanti menyapunya." "Agaknya, biasanya juga tidak disiram. Biar saja debunya berhamburan." "Bukankah kau yang bertanya, apa yang dapat kau lakukan sekarang?" Wijang menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun pergi ke halaman samping. Diambilnya sebuah kelenting. Kemudian ditariknya senggot timba. Dengan kelenting Wijang membawa air ke halaman. Namun demikian ia menjinjing kelenting itu, kemudian berlari-lari mendekati Paksi, maka Paksipun berkata, "Jangan dijinjing begitu. Kelenting itu akan patah lehernya." "Jadi bagaimana?" bertanya Wijang. "Memang biasanya perempuan yang mengambil air dengan kelenting. Kelenting itu diletakkan di lambung." Ketika kemudian Kemuning memberi contoh cara membawa kelenting, maka Wijang menjadi canggung. Yang kemudian dilakukan adalah mengangkat kelenting itu dan ditaruhnya di atas kepalanya. Kemuning tertawa. Tetapi dengan cara itu, kelenting itu memang tidak akan pecah. Beberapa kali Wijang hilir mudik ke sumur untuk mengambil air. Disiraminya halaman depan rumah Ki Pananggungan itu sehingga ketika Paksi menyapunya, tidak sebutir debupun yang terbang di udara.
Ki Pananggungan yang melihat Pangeran Benawa membawa kelenting di kepalanya itupun tergopoh-gopoh mendekatinya sambil berdesis, "Jangan lakukan itu, Pangeran." "Sst. Nanti kemenakan Paman itu mendengarnya." "Ia berada di belakang. Tetapi aku mohon." Wijang tertawa. Katanya, "Tidak apa-apa. Aku senang melakukannya, Paman." Ki Pananggungan tidak dapat mencegahnya. Apalagi ketika kemudian Kemuningpun telah berdiri di halaman itu pula. Dalam pada itu, seorang anak muda yang memasuki regol halaman rumah Ki Pananggungan terkejut ketika ia melihat Paksi dan Wijang berada di halaman itu. Seorang menyiram halaman yang lain menyapu. Ki Pananggungan yang melihat anak muda itupun menyapanya, "Gangsar, marilah. Masuklah." Gangsar termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Paksi dan Wijang berganti-ganti. "Marilah," berkata Ki Pananggungan, "aku perkenalkan kau dengan kedua orang kemenakanku. Yang menyapu itu namanya Paksi sedang yang menyirami itu namanya Wijang." Anak muda yang disebut Gangsar itu mengangguk-angguk hormat. Dengan ragu-ragu iapun kemudian berkata, "Aku ingin minta kesediaan Kemuning untuk membantu ibuku, Paman." "Membantu apa?" bertanya Ki Pananggungan. "Menjelang senja, ibuku akan mengadakan upacara wiwit. Ibu akan minta Kemuning bersedia menggendong padi pengantinnya." "O, kenapa harus Kemuning?" bertanya Ki Pananggungan. Gangsar menjadi bingung. Tetapi kemudian iapun berkata, "Aku tidak tahu. Tetapi pilihan ibu memang jatuh pada Kemuning." Ki Pananggungan tersenyum. Ia tahu, bahwa tentu Gangsar yang telah mengusulkan, agar Kemuning sajalah yang akan menggendong padi pengantin dalam upacara wiwit
itu. Meskipun upacara wiwit biasanya hanya diselenggarakan secara sederhana dan kecil-kecilan, tetapi pilihan itu akan sangat berarti bagi Gangsar sendiri. Karena Kemuning ada juga di halaman, maka Ki Pananggunganpun kemudian bertanya kepada Kemuning, "Kau dengar sendiri permintaan Gangsar atas nama ibunya, Kemuning." "Tetapi aku belum mandi, Paman." "Kau dapat mandi dahulu, Kemuning," sahut Gangsar. "Senja sudah hampir turun. Jika aku mandi dahulu, nanti terlambat." Gangsar memang menjadi ragu-ragu. Namun Ki Pananggunganlah yang menengahi, "Kalau begitu kau tidak usah mandi dahulu. Sebaiknya kau pergi saja ke upacara itu." "Dengan pakaian seperti ini?" "Kau dapat berganti pakaian dan berbenah diri sebentar. Jangan membuat orang lain kecewa jika kau dapat membantunya." Kemuningpun segera berlari ke dalam. Dengan cepat ia berganti pakaian dan membenahi rambutnya. Kemudian dengan tergesa-gesa iapun minta diri kepada bibinya dan pemomongnya. Tetapi di halaman Kemuning itupun bertanya kepada Gangsar, "Apakah kedua orang saudaraku boleh ikut serta?" Gangsar termangu-mangu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Boleh saja. Tetapi upacara wiwit biasanya diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja." "Kedua saudaraku masih juga remaja," berkata Kemuning sambil tersenyum. Wijang dan Paksipun tertawa. Tetapi Gangsar justru mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah. Biarlah mereka ikut ke sawah." Wijang dan Paksi berlari-larian mencuci kaki dan tangannya di pakiwan. Namun ketika mereka berlari-lari menyusul Kemuning, Paksi akan singgah sebentar di biliknya.
"Kau mau apa?" bertanya Wijang. "Tongkatku?" "Kau akan ikut upacara wiwit atau mau menemui Melaya Werdi dan Megar Permati?" "Bukan itu. Tetapi kalau tongkat itu dikira barang yang tidak berarti." "Bukankah tongkat itu ada di dalam bilik?" "Ya." "Sudahlah. Kalau hilang aku carikan gantinya. Pohon jambu keluthuk di belakang rumah itu mempunyai beberapa cabang yang mirip dengan tongkatmu." Paksi memang tidak jadi singgah di dalam biliknya. Namun keduanyapun segera menyusul Kemuning. Di luar regol, Gangsarpun bertanya kepada Kemuning, "Kenapa kedua saudaramu itu kau ajak" Bukankah mereka sudah dewasa, sehingga tidak pantas untuk ikut upacara wiwit di sawah?" "Upacara wiwit itu sebenarnya tidak hanya untuk anakanak dan remaja. Tetapi karena biasanya anak-anak muda dan gadis-gadis yang sudah dewasa segan pergi ke sawah hanya untuk mendapatkan sepincuk nasi gudangan dengan telur yang hanya seperdelapan itu, maka yang datang biasanya memang hanya anak-anak," jawab Kemuning. Namun katanya kemudian, "Kedua saudaraku itu tentu hanya ingin melihat saja." Gangsar tidak menjawab. Sebenarnya Gangsar tidak mempunyai keberatan apa-apa tentang sepincuk nasi gudangan jika hanya ditambah dua orang peserta. Bahkan sepuluh sekalipun, karena ibunya membuat cukup banyak. Tetapi justru karena keduanya adalah anak-anak muda. Tetapi Gangsar tidak dapat mencegahnya. Beberapa saat kemudian, maka sebuah iring-iringan keluarga Gangsar telah menuju ke sawah. Matahari sudah terlalu rendah. Karena itu, maka mereka menjadi agak tergesa-gesa.
Sekelompok anak-anak dan remaja telah mengikuti pula. Sementara itu, seperti yang dikatakan oleh Gangsar, bahwa tidak ada anak-anak muda dan gadis-gadis dewasa yang ikut. Kecuali mereka yang akan terlibat dalam upacara. Kemuning ikut berjalan di antara keluarga Gangsar. Kemuning membawa selendang, yang nantinya akan dipergunakan untuk menggendong padi penganten setelah dipetik, sebelum nasi gudangan dibagikan. Agak jauh di belakang iring-iringan itu, Wijang dan Paksi melangkah mengikutinya. Ternyata upacara wiwit itu cukup meriah. Ibu Gangsar telah memetik sepasang padi yang kemudian diikat menjadi satu. Kemuninglah yang kemudian menggendong padi penganten itu. Setelah dibacakan doa, maka nasi gudangan yang dibawa dari rumah Gangsar itupun segera dibagikan. Namun yang tidak mereka sadari, bahwa seseorang yang melihat Kemuning ikut dalam iring-iringan keluarga Gangsar itu telah dengan tergesa-gesa memberitahukan kepada kawan-kawannya. "Kemuning ikut dalam upacara wiwit di bulak itu?" bertanya seorang anak muda yang berwajah licin dan setiap saat selalu tersenyum. "Ya," jawab anak muda yang melihat Kemuning dalam iring-iringan itu. Kemudian seorang yang berwajah persegi dengan gigi yang besar-besar dan tersembul di sela-sela bibirnya berdesis, "Kita pernah dibuatnya menjadi malu." "Satu kesempatan. Kita akan tetap mengaku anak-anak dari Sawahan. Pada saat seperti ini tentu sudah tidak banyak orang berada di sawahnya. Jika ia mengancam akan berteriak kita akan menertawakannya." "Tetapi orang-orang yang ikut upacara wiwit itu?" "Mereka hanya anak-anak. Mereka akan menjadi ketakutan," jawab orang yang berwajah licin. "Yang ikut dalam penyelenggaraan upacara itu?"
"Hanya satu dua orang. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Mereka pun tidak mengenal kita." Sementara seorang yang berwajah kasarpun berkata, "Kita tidak hanya bertiga. Kita akan pergi menjemput Kemuning bersama sepuluh orang." Orang yang berwajah licin itu mengerutkan dahinya. Katanya, "Jangan terlalu banyak." "Apa bedanya" Bukankah kita akan membawanya pulang?" Beberapa orang di antara mereka menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya orang yang berwajah persegi itu berkata, "Marilah. Kita akan menjemput Kemuning dan membawanya pulang. Tetapi kita tidak akan membunuhnya. Kita akan menyekapnya sampai kita menjadi jemu. Meskipun gadis itu sangat cantik, tetapi pada suatu saat kita tidak akan membutuhkannya lagi." "Lalu apa yang kita lakukan terhadap gadis itu kemudian?" "Kita akan menilainya kembali setelah sebulan atau lebih." "Marilah," berkata orang yang berwajah kasar, "kita nanti terlambat. Upacara wiwit adalah upacara kecil, sehingga tidak akan berlangsung terlalu lama. Jika senja turun, maka upacara itu tentu sudah selesai." Beberapa orang anak muda yang kasar itupun kemudian berlari-lari pergi ke bulak. Dalam pada itu, maka upacara wiwit itu memang sudah selesai setelah senja turun. Anak-anak serta remaja yang ikut dalam upacara itupun segera berlari-larian pulang sambil membawa pincuk nasi gudangan. Sepotong kecil telur itik yang direbus, pisang raja yang dibagi dua, terdapat dalam pincuk itu pula. Sementara itu, Kemuning yang diminta ikut dalam upacara itu, menggendong sepasang padi pengantin untuk dibawa pulang dan akan diletakkan di dalam lumbung. Tetapi kelompok orang yang menyelenggarakan upacara wiwit, yang sebagian besar terdiri dari perempuan itu terkejut. Beberapa orang anak muda yang kasar berlari-lari mendekati mereka.
"Bukankah nasi dan gudangannya masih cukup?" bertanya ibu Gangsar. "Masih, Bibi," jawab perempuan yang membawa bakul nasi. Bahkan katanya kemudian, "Telurnya juga masih ada." Meskipun demikian perempuan-perempuan itu menjadi tegang. Gangsarpun menjadi tegang pula. Tidak terbiasa anak-anak muda berlari-larian untuk ikut dalam upacara wiwit. Bahkan dua orang anak muda yang diaku sebagai saudara oleh Kemuning yang ikut pergi ke sawah itupun tidak mau mendekati upacara. Mereka hanya melihat dari kejauhan saja. Sejenak kemudian, sekelompok anak muda yang berlarilarian itu telah menjadi semakin dekat. Mereka tidak menghiraukan batang-batang padi di sawah. Dengan menginjak-injak batang padi yang sudah saatnya dituai itu, mereka mengepung orang-orang yang baru saja selesai menyelenggarakan wiwit. Gangsar menjadi bingung. Sekelompok laki-laki yang kasar berdiri di sekitarnya. "Apakah kalian ingin mengikuti upacara wiwit?" bertanya ibu Gangsar dengan jantung yang berdegupan. "Masih ada nasi, telur dan pisang." Gadis yang menggendong bakul nasi itupun menunjukkan kepada anak-anak muda itu, bahwa masih tersisa nasi cukup bagi mereka. Tetapi gadis itu terkejut. Dengan kasar seorang di antara anak-anak muda itu telah menendang bakul itu sehingga terlempar dan tumpah di pematang. Kemuningpun terkejut sekali melihat orang itu. Iapun segera dapat mengenali anak muda yang berwajah licin tetapi bermata liar menakutkan. Apalagi ketika anak muda itu tersenyum. "Aku tidak butuh nasi, telur dan pisang," geram anak muda itu. "Aku datang untuk mengambil Kemuning." "Siapakah kalian itu?" bertanya ibu Gangsar itu pula.
"Kami anak-anak muda dari Sawahan. Kami akan mengambil Kemuning. Kemuning baru akan kami kembalikan jika seorang gadis Sawahan yang diambil oleh anak-anak muda Kembang Arum sudah dikembalikan." "Anak-anak muda Kembang Arum tidak mengambil gadis dari Sawahan," sahut Gangsar. Tetapi seorang yang berwajah kasar telah mendekati Gangsar sambil bertanya, "Apa katamu?" Gangsar menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian menjawab, "Tidak ada yang mengambil gadis dari Sawahan." Gangsar terkejut ketika tiba-tiba tangan orang berwajah kasar itu menampar mulutnya. "Katakan sekali lagi," bentak orang yang berwajah kasar itu. "Katakan." Gangsar justru terdiam. "Kenapa kau diam" Kenapa?" Orang yang berwajah kasar itu tiba-tiba menarik rambut Gangsar. Gangsar menjadi ketakutan. "Sekarang katakan, bahwa anak-anak muda Kembang Arum telah mengambil seorang gadis dari Sawahan yang sampai hari ini belum dikembalikan." Gangsar itu masih tetap diam. "Katakan, cepat," bentak orang itu yang mengguncang rambut Gangsar sambil menginjak ikat kepalanya yang dibenamkannya ke dalam tanah yang basah dengan kakinya. Gangsar masih tetap diam. Namun sekali lagi tangan orang berwajah kasar itu yang lain, telah menampar mulut Gangsar sehingga berdarah. "Katakan bahwa anak-anak muda Kembang Arum telah membawa gadis Sawahan hingga sekarang." Tubuh Gangsar menjadi gemetar. Ketika orang itu mengguncang lagi rambut Gangsar, maka Gangsarpun berkata gagap, "Ya, ya. Kau benar." "Kau yang harus mengatakannya," teriak orang berwajah kasar itu.
Aku Sudah Dewasa 2 Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian Pendekar Buta 6
^