Pencarian

Aku Sudah Dewasa 2

Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon Bagian 2


Shanee mendesah. "Kita akan membeli alat tes lain, dari apotek lain." Aku
bisa melihat ekspresi wajah Shanee dalam cermin. Dia tampak khawatir. Dan
ketakutan. "Su-paya kita yakin."
Di sebelahnya, wajahku mulai berbinar-binar. Aku girang sekali.
Bayangkan, aku hamil! Tidak percaya rasanya. Aku akan menjadi ibu.
Bayangkan, dewasa sekali, kan! Padahal aku mengira baru akan merasa dewasa
bila aku menjadi rata atau orang hebat lain semacarnnya.
"Ide bagus," kataku, sependapat dengannya. "Sebaiknya kita beli dua alat
lagi." Kumasukkan aplikator beserta
kotaknya ke kantong plastik. "Bila hasil tes berikutnya negatif, kita harus
melakukan tes yang ketiga, sebagai tes kontroL" Alis Shanee kontan
terangkat. "Ya Tuhan!" serunya. "Ternyata ada juga pelajaran sains yang nyantol di
otakmu." "Tahukah kau..." Shanee meletakkan kembali majalah yang sedari tadi
pura-pura dibolak-baliknya ke meja. "Aku senang bukan aku yang harus
memberitahu ibumu." MesM mendengar perkataannya, tapi aku diam saja, karena sedang malas
berbicara. Aku benar-benar tidak habis piMr. Waktu kami praktik di kelas
memasak, puding nasiku malah berubah menjadi seperti sup. Waktu kami
membuat jam di kelas desain dan teknologi, jam buatanku terlalu kecil hingga
tidak bisa memuat perangkat penunjuk waktunya. Semua tanaman di proyek
sainsku mad. Dua kali mencoba, dua kali juga semuanya mati. Tapi ironisnya,
hanya satu kali berhubungan, aku langsung hamil. Rasanya seperti pemain golf
yang langsung berhasil melakukan pukulan hok-in-one saat pertama kali
bermain golf. Tapi bagaimanapun, kami sudah berhasil melakukannya. Aku dan
Les. Tanpa belajar dan tanpa pengalaman sama sekali, kami langsung bisa
melakukannya. Shanee memutar badan hingga wajahnya menghadap ke arahku.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang" Aku yakin kau bisa melakukan aborsi
tanpa sepengetahuan ibumu."
"Aborsi"" Tawaku meledak. "Kau bercanda, ya" Aku tidak akan
menggugurkan kandunganku."
Shanee mengerjapkan mata. "Tidak akan"" 'Tentu saja tidak." Aku
tertawa lagi. "Bagaimana mungr kin kau mengira aku tega melakukan hal
seperti itu. Irri bayiku, Shanee! Bayiku dan Les. Aku tidak akan mem-buangnya begitu saja
seolah dia kotak bekas susu yang
sudah kosong." Shanee memandangiku beberapa menit, seakan aku ini Shakespeare atau
orang hebat lain, dan dia sedang beru-saha mencerna maksud sesungguhnya
dari perkataanku. "Maksudmu, kau
akan memberikan bayimu pada orang
lain untuk diadopsi""
Memberikan bayimu pada orang lain untuk diadopsi merupakan pilihan yang
diinginkan pemerintah dari para ibu remaja. Tapi, pemerintah yang sama juga
mengatakan pada kami bahwa daging sapi yang kami makan aman, tapi
kemudian ternyata orang-orang mulai bertingkah seperti sapi gila. Jadi, aku
tidak mau mendengar apa kata pemerintah.
Kulempar Shanee dengan bantal kursi. "Sekarang kau membuatku bingung."
Shanee memegangi bantal kursi itu.
"Kau tidak mungkin berniat memeliharanya" " sergah Shanee. Dia
berbicara dengan nada sangat lambat.
'Tentu saja aku berniat memeliharanya."
Aku memang tidak berencana hamil karena tidak me-nyangka aku bisa.
Tapi, tidak berarti itu bukan hal yang tepat. Justru itu solusi dari semua
masalahku. Kebahagiaan kini menjadi milikku.
"Memang inilah yang kuinginkan sejak dulu," aku meng-ingatkan dia.
"Tambahan lagi, punya bayi jauh lebih asyik daripada ikut ujian."
"Kau tidak mungkin bisa memelihara bayi, Lana!" Shanee terlihat begitu
tegang dan kaku. "Kau sendiri kan rnasih anak-anak!"
Pikiranku melayang pada kumpulan foto dari majalah yang kusimpan di
kolong tempat tidur. Di sana bahkan ada album yang melulu berisi foto bayi
dan anak-anak kecil. Keluarga idamanku terdiri dari dua anak lelaki dan dua
anak perempuan; salah seorang anak lelaki dan salah seorang anak perempuan
berambut gelap, dua lagi pirang. Kira-kka bayiku yang sekarang ini bagaimana,
ya" "Aku bukan anak-anak" Aku berdiri. "Aku sudah menjadi wanita dewasa,
Shanee. Mungkin kau masih anak-anak, tapi aku sudah dewasa." Aku berdiri
tegak dengan sikap bangga. "Aku akan menjadi ibu."
"Kau- akan menjadi penghuni rumah penampungan, itulah yang akan terjadi
pada dirimu." "Banyak. kok gadis-gadis seusia kita yang punya anak," kataku padanya
dengan nada dingin. "Baca saja di koran-koran. Lagi pula, ada untungnya punya,
anak selagi kita masih muda. Hillary berumur empat puluh tahun waktu dia
melahirkan aku, dan coba saja lihat bagaimana jadinya hubungan kami
sekarang." Shanee mencondongkan badan ke depan. "Lana, demi Tuhan. Ini bukan hal
sepele seperti menindik hidung atau bagaimana. Ini serius. Menjadi seorang
ibu bukanlah hal yang sepele." Aku tertawa mengejek. "Tahu dari mana kau""
"Kebetukn sekali aku tahu." Dia ikut-ikutan berdiri. "Bukankah aku punya dua
adik lelaki dan satu adik perempuan" Aku tahu persis bagaimana beratnya
membe-sarkan anak." "Mereka kan bukan anakmu," tukasku. "Jadi pasti lain" Tidak ada yang
lebih kuat daripada ikatan batin antara
ibu dan anak. Kecuali, tentu saja, ibunya seperti ibuku.
Tapi aku tidak seperti Hillary. Aku akan menjadi ibu yang baik. Sekarang
saja, aku sudah bisa merasakan ikatan
yang erat tumbuh antara aku dan bayiku. Kutepuk-tepuk perutku.
"Sekarang pun aku sudah sa-yang pada bayiku, Shanee. Semua pasti beres."
Mulut Shanee terbuka seperti hendak mengenakan Bpgloss. "Aku ingin kau
tahu bahwa menurutku kau gila. Serams persen sinting."
"Yang sinting itu kau. Ini hal terbaik yang pernah " terjadi pada diriku."
Shanee menggeleng-geleng dan melambai-lambai. "Aku harus pujang. Aku
terlalu trauma jadi tidak bisa membi-carakan hal ini sekarang."
Dia trauma" Lantas, menurutnya aku bagaimana"
"Bagaimana dengan aku"" bentakku. "Akulah yang harus memberitahu Les.
Kau kan tahu bagaimana lelaki. Mereka menganggap bayi sebagai jebakan."
Shanee mengumpulkan barang-barangnya dan melayang-kan pandangan
yang seolah mengasihani sekaligus meng-anggapku sapi tolol.
"Bukan cuma lelaki yang berpikir seperti itu," sergah Shanee. "Ibuku
juga." Dia menyelempangkan tali tasnya ke bahu. "Begitu juga aku."
Aku menyukai pikiran bahwa untuk sementara ini, tidak ada orang lain yang
tahu tentang bayi ini selain aku. Aku merasa seperti memendam rahasia yang
sangat besar seperti mengetahui lokasi terdamparnya Bahtera Nabi Nuh atau
semacamnya dan itu membuatku merasa sangat bahagia dan memiliki kendali.
Jadi, hari-hari berikutaya aku bolos sekolah. Setelah tahu aku hamil, aku
jadi semakin malas pergi ke sekolah. Maksudku, apa guna
nya" Aku toh tidak bisa menyelesai-kannya" Aku bahkan tidak perlu berpura-pura lagi. Kita lihat
saja nanti, siapa di antara kami yang patut dikasihani. Setahun dari sekarang,
ketika Shanee sedang mati-matian belajar seperti orang kesetanan, aku
enak-enakkan men-dorong kereta bayi warna kining-biru di jalan dengan
keranjang belanjaan tergantung di belakang, memikirkan apa kira-kira menu
yang akan kumasak untuk Les nanti malam.
Tambahan lagi, setelah yakin bahwa sekarang aku hamil, aku merasa harus
merawat diriku sebaik-baiknya. Merawat diri sebaik mungkin selama masa
kehamilan sangatlah penting. Berlari-lari mengelilingi lapangan hoki dan dima-
rahi guru tidak. bisa dibilang merawat diri. Selain itu, setelah sekarang aku
tahu ada bayi dalam perutku, aku benar-benar merasa hamil. Aku merasa letih
dan segan melakukan apa-apa. Aku juga bolak-balik kencing. Selain itu,
mendadak saja aku ngidam macam-macam, mulai dari cokelat sampai saus
spesial hamburger di Burger King. Lagu-lagu sedih membuatku merasa ingin
menangis. Hatiku juga langsung luluh begitu melihat bayi kecil.
Jadi, setiap pagi aku bangun, ganti baju, sarapan, dan mengenakan mantel.
Lalu aku mengambil tas sekolah, memastikan bahwa aku tidak lupa membawa
kunci, lalu berpamitan pada ibuku. Sesudah itu aku pergi ke McDonald's atau
Burger King, sampai aku yakin Hillary
sudah berangkat kerja. Kemudian, aku kembali ke ru-mah.
Hari-hariku kuhabiskan dengan menonton televisi dan memikirkan bayi-bayi. Banyak sekali yang perlu dipikirkan. Apa sebaiknya aku memberi bayiku
ASI" Itu jauh lebih mudah daripada memberi susu botol, karena kita tidak
perlu mencuci apa-apa, tapi itu juga berarti kau tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa membawa bayimu selama lebih dari beberapa jam. Bagaimana
kalau Les ingin mengajakku berlibur akhir pekan atau melakukan kegiatan
lain" Belum lagi memikirkan di mana bayiku akan tidur. Apakah dia harus tidur
bersama aku dan Les pada awal-nya, atau ditempatkan di kamar sendiri"
Kamarnya akan kucat dengan warna apa" Yang pasti bukan pink dan biru,
karena dua-duanya jelek. Kuning lumayan, asal bukan kuning yang mencolok.
Dalam had aku ingin tahu apakah Les bisa memasang rak din ding. Kami
membutuhkan rak dinding untuk meletakkan main an dan segala macam.
Dan aku membutuhkan sesuatu untuk membawa bayiku ke mana-mana. Aku
sering melihat para wanita menggen-dong bayi mereka di tas ransel, tapi
menurutku itu agak primitif. Yang kuinginkan adalah kereta bayi model kuno
yang besar, yang rangkanya terbuat dari krom, tapi kereta bayi seperti itu
kelihatannya tidak praktis. Maksudku, sukar sekali menaikkannya ke bus. Tapi
aku bisa -saja membeli kereta dorong" biasa yang mungil dan ringan untuk
digunakan sehari-hari, dan khusus menggunakan kereta bayi kuno yang besar
itu untuk jalan-jalan ke taman pada hari Minggu. Belum lagi memikirkan soal
baja Baju itu penting. Apa sebaiknya aku membeli baju-bajunya di
Mothercare atau Baby Gat>"
Shanee datang ke rumahku setiap siang sepulangnya dia dari sekolah,
untuk mengantarkan PR. Kayak aku bakal mengerjakannya saja. Tapi tidak
peduli apa pun yang kukatakan, dia tetap menolak memahami situasiku.
"Kau tidak mungkin mendekam di rumah terus selama-lamanya," dia
berulang kali memberi tahu aku. "Suatu saat nanti kau harus memberitahu
mereka." 'Tasti;" tukasku. "Aku akan memberitahukannya. Aku tidak mengerti
mengapa harus bura-buru."
Shanee membelalakkan matanya. "Tidak mengerti mengapa harus buru-buru" Apa tidak pernah terpikir olehmu bahwa semakin lama kau menunggu,
semakin sediMt pilihan yang kaupunya""
"Aku kan tidak butuh pilihan apa-apa. Sudah kubilang, aku menginginkan
bayi ini. Keputusanku sudah bulat" Kutepuk-tepuk perutku. "Aku bahagia,
Shanee. Ini benar-benar peristiwa terbaik yang pernah terjadi pada diriku."
"Kalau kau memang bahagia, segeralah beritahu nenek dan ayahnya," pinta
Shanee. "Tingkahmu ini membuatku gila."
"Aku pasti akan memberitahu mereka," janjiku. "Akan kuberitahu ibuku itu
lebih dulu." Tidak ada keraguan lagi bagaimana Hillary akan bereaksi. Kata Charley dia
sangat reaktif. Itu berar
ti dia sudah mulai berteriak sebelum kau selesai
berbicara, baru kemu-dian berpikir. Waktu nanti kubilang padanya bahwa dia
akan menjadi nenek, dia pasti bakal ngamuk berat. Tapi hanya itulah yang
akan dia lakukan. Dia bakal mondar-mandir dengan sikap garang, memb anting
pintu dan barang-barang ke meja dengan kasar. Lalu dia akan mulai berteriak
di setiap kesempatan. Mengoceh di telepon
bersama nenek dan kakak-kakakku selama berjam-jam, kemudian
menyalahkan aku karena rekening telepon mem-bengkak Tapi pada akhirnya,
dia pasti akan diam juga. Maksudku, apa lagi yang bisa dia lakukan" Dia
memang ibu yang menyebalkan, tapi dia tidak mungkin mengusir-ku dari
rumah. Charley tidak akan membiarkan dia melakukannya.
Namun, aku tidak begitu yakin bagaimana reaksi Les nanti. Itulah
sebabnya mengapa kupikir dia akan kuberitahu paling akhir. Maksudku, aku
tahu dia tipe cowok pekerja keras yang bertanggung jawab. Dia punya peker-jaan, flat, dan lain sebagainya, dan dia juga tidak pernah lalai membayar
cicifan mobil. Tidak satu kali pun. Tam-bahan lagi, dia bangga dirinya sudah
bukan perjaka lagi. Tipe cowok seperti itu pasti senang kalau tahu dia
berhasil "menyarangkan gol". Hal semacam itu penting bagi cowok. Hanya
saja, ini memang sedikit tidak terduga. Setahun yang lalu dia masih tidur di
kamar yang ditem-patinya sejak lahir, dan sekarang, dia sudah menjadi calon
ayah. Dia pasti akan sedikit panik mendengarnya. Karena semua begitu tiba-tiba dan tidak terduga. Apalagi karena impian Les suatu hari nanti adalah
memilild mobil Porsche. Mobil convertible warna merah ceri. Mobil Porsche
convertible merah ceri kan bukan mobil keluarga.
Kapan"" desak Shanee.
"Pokoknya begitu ada kesempatan."
Kesempatanku Datang TELEPON berdering malam itu, waktu Wanita Naga dan aku sedang makan
sambil nonton televisi. Aku tidak bergerak. Soalnya aku sudah tahu telepon itu bukan untukku.
Baik Les maupun Shanee tidak mungkin menelepon sesore itu: Les sekarang
pasti masih bekerja, sementara Shanee pasti masih sibuk mengurus adik-adiknya.
Sambil mendengus-dengus dan terengah-engah, ibuku bangkit dari
kursinya dengan susah payah, lalu mengham-piri pesawat telepon untuk
menjawabnya. Setelah selesai menelepon, dia langsung bergegas mendatangi
televisi dan mematikannya.
"Hei!" teriakku. "Aku sedang nonton!"
"Seharusnya aku lebih ketat mengawasw**," sergah ibu' ku. Dia berdiri
sambil bersedekap di depanku, dan W membuamya terlihat seperti dinding
tegap bercelana ji"s dan bersweter pink. Dinding yang sedang berang. mana
saja kau tiga hari terakhir ini saat seharusnya berada di sekol:
Kubalas tatapan matanya. "Ngomong apa sih kau"" "Jangan berlagak pilon
denganku," tukas ibuku. "Kau tahu persis apa maksudku. Kau sudah tiga hari
tidak masuk sekolah." Sumpah deh, sekarang ibuku mulai mengetuk-ngetukkan
kakinya. Gayanya mirip pemain sinetron saja. Begitu kok
dia menganggap/&# terlalu banyak nonton film! "Tentu saja aku masuk
sekolah." Ada kalanya, gertakan bisa membuahkan hasil. Aku paling lihai memasang
wajah polos dan bersungguh-sungguh. Sikapku itu membuatnya bingung.
Walaupun dia benci segala sesuatu mengenai diriku, sebagian dari dirinya
fldak ingin putrinya menjadi pembohong. Tapi, kali ini gertakanku tidak
berhasil. "Oh tidak, kau memang tidak masuk sekolah." Dia menyentakkan
kepalanya ke arah dapur. "Itu tadi telepon dari Mrs. Mela. Menurutnya, kau
Itidak masuk sejak hari Selasa."
"Sudah kubilang. Aku tidak suka Shakespeare." Luar biasa bagaimana dia
bisa membuat bibirnya terlihat setipis itu.
'Tidak masuk sekolah. Bukan cuma tidak ikut pelajaran Bahasa Inggris."
"Maksudmu minggu ini""
Tuktuktuktuk. Fred Astaire pasti bakal senang sekali melihat aksi ibuku
saat ini. "Ya, maksudku minggu ini. Mengapa kau tidak masuk sekolah""
Kuangkat bahuku. "Tidak kepingin pergi saja." 'Tidak kepingin pergi
saja...." Dasar Hillary Pemt
'Tepat sekali." Aku berdiri dan berjalan ke arahnya, untuk menyalakan
pesawat televisi lagi. "Aku merasa terlalu stres untuk pergi."
Hillary berkotek-kotek. -Terlalu stres" Kau"" Dia me-nempelkan
punggungnya rapat-rapat ke layar televisi. "Kau stres bila kukumu patah atau
celana jinsmu terkena lum-pur."
"Tahu apa kau"".
Aku bergerak lagi ke arah televisi, tapi Hillary mendo-rongku dan badanku
kontan membentur meja tamu. Aku menjerit kesakitan.
Dia tidak peduli bila perbuatannya itu membuatku cedera. "Aku tahu
selama ini kau membolos, itulah yang kutahu. Dan aku ingin tahu mengapa."
Kuusap-usap bagian belakang kakiku.
"Mudah-mudahan saja kau puas," bentakku. "Kau benar-benar membuatku
kesakitan." "Oh, itu belum apa-apa," pekiknya. "Tapi aku akan benar-benar
menyakitimu bila kau tidak juga menjawab pertanyaanku."
Aku berdiri setegak mungkin. Perutku menonjol di antara kami.
"Sudah kubilang, aku tidak kepingin pergi. Itu saja." "Tidak, bukan cuma


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu saja," sergah Hillary Spiggs si polisi wanita. "Aku ingin tahu ke mana kau
pergi bila tidak pergi ke sekolah."
Aku sama tingginya dengan dia. Kutatap mata bulatnya lekat-lekat.
"Aku ada di sini, di rumah ini. Puas"" Mana mungkin dia puas. Detik
berikutnya, Hillary mulai *bceh panjang-lebar tentang tanggung jawabnya
sebagai orangtua, dan tanggung jawabku sebagai anak muda, dan betapa
suramnya masa depanku nanti bila aku
dikeluarkan karena suka membolos.
'Tanggung jawabku sebagai anak muda"" Aku balas berteriak. "Lucu sekali.
Aku bukan anak muda bagimu.
Di matamu, aku masih anak kecil." "Selama kau masih bertingkah seperti
anak kecil, kau akan tetap diperlakukan seperti anak kecil," balas ibuku.
Dan saat itulah aku memberitahu dia. Itu kulakukan begitu saja. Rasanya,
itu saat yang tepat sekali.
"Oh, ya"" Aku menyunggingkan senyum puas sekali. "Well, asal tahu saja,
sebentar lagi aku punya bayi." Senyumku semakin lebar. "Bagaimana, dewasa
sekali, kan"" Ibuku berdiri terpaku sambil memandangiku, ekspresinya terlihat seperti
orang yang baru saja dipukul kepalanya dengan bangkai ikan. Lalu dia
tersenyum seperti layaknya aktor film yang kepalanya baru saja dipukul
dengan bangkai ikan atau ditusuk dengan pisau.
"Kau tidak serius." Tawanya kecut. "Kau sengaja membuatku bingung.
Bukan begitu, Lana" Kau tidak benar-benar hamil."
"Oh ya; tentu." Kuacungkan jari-jariku. "Tiga bulan." 'Tapi kau tidak bisa
" "S-E-K-S," aku mengejanya lambat-lambat. "Begitu kan cara membuamya,
siapa tahu kau lupa."
Dari ekspresi wajahnya aku tahu dia sekarang yakin aku tidak berbohong.
Ibuku menarik napas dalam-dalam dan menggigit bibir beberapa detik.
Kemudian, seolah kami sedang mendiskusikan acara darmawisata sekolah
atau semacamnya, dia berkata, "Aku
jit akan membuat teh. Kita harus membicarakannya untuk mengambil
keputusan terbaik. Kau sudah memeriksakan diri ke dokter"" Aku
menggeleng. Dia sudah separo jalan menuju dapur.
"Pertama-tama, kita harus membawamu ke dokter. Me-mastikan bahwa
semua baik-baik saja." Dapur terletak persis di sebelah ruang tamu, jadi aku
bisa melihatnya menyambar ketel dan membantingnya ke bak cuci. "Sekarang
belum terlambat untuk membereskan semuanya."
Kalau melihat gaya bicaranya, kau bakal mengira dia bermaksud menyuntik
matt seekor anjing. "Aku tidak mau menggugurkan kandungan bila itu yang kaumaksud,"
teriakku, berusaha mengalahkan deru air keran.
Ibuku mematikan keran air dan memandangiku dari balik bahunya. "Kau
bilang apa"" "Aku tidak mau membunuh bayiku," teriakku dengan suara keras. "Aku
akan tetap mempertahankannya."
Ibuku mendekap ketel air itu di dadanya. Kalau mau, ternyata dia bisa juga
memasang wajah kosong. "Menurutku, itu juga bukan berarti kau akan menye-rahkan bayimu untuk
diadopsi." Sikapnya begitu tenang, seperti televisi yang baru saja dimatikan.
"Tentu saja tidak. Ini bayiku. Aku akan memeliharanya." Mendadak ibuku
sadar bahwa dia masih mendekap ketelnya sedari tadi. Dia meletakkannya di
konter dengan sangat hati-hati, seolah benda itu terbuat dari kaca. "Dan
bagaimana dengan ayahnya""
"Memangnya kenapa""
"Apakah ini juga keputusannya""
"Ini keputusan^/. Yang hamil kan aku."
'Tapi bagaimana dengan ayahnya"" ulang ibuku lagi.
Dia memang keras kepala. "Di mana dia"" Bibirnya terkatup rapat,
membentuk garis lurus. "Atau lebih baik lagi bila aku bertanya, siapa dia""
Aku mengerti sekarang. Dulu, waktu aku masih SD, anjing kami dihamili
anjing tetangga. Begitu anak-anak anjingnya bisa disapih, Hillary Spiggs
memasukkan semuanya ke kardus dan meninggalkannya di depan pintu rumah
keluarga Scudders. Katanya waktu itu, dia sudah melakukan bagian yang
menjadi tugasnya, sekarang giliran mereka melakukan tugas mereka. Aku
tidak mau dia meninggalkan bayiku di depan pintu rumah Les dengan secarik
kertas disematkan di selimutnya dengan tulisan "sekarang giliranmu".
"Kau tidak perlu tahu siapa dia," tukasku. "Kau hanya akan menghancurkan
semuanya." Hillary masih bisa tertawa. "Aku akan menghancurkan semuanya
Memangnya kaukira apa yang sedang kaulakukan sekarang""
Kuangkat kepalaku tinggi-tinggi. "Sekarang aku sudah dewasa. Aku bisa
mengurus diriku sendiri."
'Tapi sepertinya kau tidak bisa mengurus dirimu dengan benar," tukas
ibuku. "Sebab kalau kau bisa mengurus dirimu sendiri, kau pasti ingat untuk
menggunakan pencegah."
"Mungkin aku memang tidak ingin menggunakan pencegah."
Hillary sama sekali tidak menduga bakal mendapat jawaban seperti itu.
"Jadi maksudmu, kau melakukan ini
dengan sengaja""
Kubiarkan wajahku tanpa emosi. Biar saja dia mengira sesuka hatinya.
"Aku tidak percaya." Suaranya pecah. "Umurmu baru lima belas tahun.
Masa depanmu masih membentang luas di depanmu. Tidak mungkin kau mau
membebani dirirnu dengan seorang anak "
"Maksudmu, seperti kau terbebani olehku"" teriakku. Mungkin sebenarnya
aku beruntung karena dia tidak meninggalkan aku di depan pintu rumah orang
lain. Tangisku mulai pecah. "Begitu maksudmu""
Hillary terdiam selama sedetik lalu air mukanya berubah. "Oh, Lana,
kumohon Aku tahu aku memang banyak melakukan kesalahan. Situasinya
tidak mudah setelah ayah-mu pergi... di usiaku saat ita... tinggal bersama
nenek-mu... berusaha memikirkan langkah selanjutaya... Kita kehilangan
semuanya " "Jadi itu salahvfe* juga!" teriakku. Waktu ayah Charlene dan Dara
meninggal, dia meninggalkan uang asuransi, rumah, dan harta benda lain. Tapi
ketika ayahku minggat dari rumah, dia meninggalkan setumpuk utang yang
jum-lahnya sama dengan utang sebuah negara Dunia Ketiga, juga sederet jura
sita dan polisi. Tambahan lagi, Charlene dan Dara pintar dan penuh motivasi
seperti ayah mereka, sementara aku tidak. "Kau selalu menyalahkan aku
karena ayahku. Setiap kali kau memandangku, kau selalu ingat pada
kesalahanmul" "Itu tidak benar, Lana." Dia bergerak, hendak me-nyentuhku, tapi aku.
menghindar. "Kau bukti " Aku tidak ingin mendengar kebohongannya. "Well,
aku tidak seperti kau," pekikku. "Sekarang pun aku sudah sayang pada bayiku.
Dan aku tidak akan mem-bunuhnya. Atau memberikannya pada orang lain. Dan dia
juga tidak akan pernah sendirian." '
Hillary terlihat seperti berusaha untuk tidak menangis. Dia mulai
mengatakan hal-hal biasa seperti betapa besarnya tanggung jawab terhadap
seorang anak serta betapa sukar-nya membesarkan seorang anak, tapi aku tidak mau men-dengarnya. Aku
menyambar jaketku dari lengan sofa dan
menghambur meninggalkan rumah.
Aku langsung menuju Blockbuster.
Di sana hanya ada beberapa pengunjung yang melihat-lihat koleksi film
yang baru diluncurkan, ditambah seorang anak lelaki dan seorang anak
perempuan di balik konter, bersama Les.
Les melambaikan tangan padaku.
"Wah, kau seperti bisa membaca pikiranku saja," seru-nya. "Aku baru saja
berniat istirahat. Kau mau minum kopi bersamaku""
Kami duduk di meja favorit kami di McDonald's, yaitu meja yang terletak
di sudut dekat jendela. Les baru saja bertengkar hebat dengan seorang pelang-gan yang berkata
dirinya sudah mengembalikan video yang dipinjamnya,' padahal sebenarnya
belum. "Dasar!" Dia menggeleng-geleng. "Aneh-aneh saja ke-lakuan orang-orang
itu!" "Memang." Saat itu aku sudah berhenti menangis, tapi sedikit-sedikit
mengisap ingus, supaya dia tahu aku sedang gundah. "Luar biasa memang."
Les memandangiku dari atas gelas kopinya. "Kau balk-baik saja" Matamu
kelihatan aneh." Aku melirik cerrnin yang terpasang di belakang Mataku memang terlihat
m irip mata panda. "Aku baru saja bertengkar lagi dengan si Hillary." Kuseka mataku dengan
punggung tangan. "Maskaraku luntur."
"Apa lagi penyebabnya kali ini"" seringai Les. "Kau lupa membeli susu lagi""
"Tidak juga." Kupandangi cangkir kopiku. "Bolehkah-aku pulang ke
rumahmu malam ini" Aku akan mencerita-kan semuanya padamu nanti."
Les tersentak hingga kopinya tumpah sedikit.
"Ke rumah&z" Malam ini""
Aku menyodorkan sehelai serbet kertas. "Kami bertengkar hebat Aku
tidak ingin pulang ke rumah." Aku menyunggingkan senyum tegas tapi sayang.
"Aku benar-benar harus bicara denganmu."
Les sibuk mengeringkan meja. "Jangan malam ini, Lana. Malam ini tidak
bisa." "Tapi aku juga tidak bisa pulang ke rumah." Suaraku sedikit lebih
melengking daripada yang kumaksudkan. "Kumohon, biarkan aku tinggal di
rumahmu." Tapi Les tetap menggeleng-geleng. "Lain kali boleh, tapi tidak malam ini"
'Tapi aku harus bicara denganmu!"
Les mengerjapkan mata. Sebelum ini aku tidak pernah membentak")".
"Well, sekarang aku toh ada di sini," kata Les. "Bicara-lah."
Aku suka McDonald's, sungguh. Dan aku tahu McDonald's sangat menyukai
anak-anak. Tapi, ini bukanlah tempat yang tepat untuk memberitahu bahwa
kau hamil. "Jangan di sini," tukasku. "Di tempat lain saja yang lebih privat"
Les melambaikan tangannya. "Di sini sudah cukup privat. Tidak ada orang
lain yang bisa mendengar pembi-caraan kita."
Les memandangiku. Sekarang posisi kami sama. Sebelum
ini aku tidak pernah melihatnya gusar padaku. "Asal bicaramu pelan-pelan
saja," dia menambahkan
dengan nada penuh arti. .
Tak kugubris smdirannya yang terakhir itu.
"Mengapa malam ini aku tidak bisa menginap di rumahmu"" tuntutku.
"Nanti toh sudah larut malam. Tidak akan ada yang tahu aku ada di kamarmu."
Les tak memedulikan tuntutanku.
"Jadi, apa penyebab pertengkaran kalian kali ini" Mengapa kau perlu
bicara denganku""
Kudorong gelas minumanku jauh-jauh. "Aku ingin pulang ke rumahmu."
"Dan sudah kubilang tadi, tidak bisa." Dia melirik.jam tangannya. "Aku
harus kembali ke toko. Malam ini ada trainee yang magang di tempat kami."
"Bagaimana dengan pembicaraan kita""
Les berdiri dan mendorong kursinya ke belakang. "Ber-bicaralah dalam
perjalanan pulang ke toko, atau kau terpaksa menundanya untuk sementara
waktu." "Ini tidak bisa ditunda. Jam biologisku terus berjalan."
Les terbahak "Apa lagi maksudmu sekarang""
Aku duduk tegak-tegak. Kuhpat kedua tanganku di meja yang ada di
hadapanku. "Les," ujarku. "Aku akan punya bayi." ^ r
Les terbahak lagi. "Yeah, tentu saja kau akan punya bayi."
"Aku tidak main-main," tukasku. "Bayimu. Bayi kita."
Les kontan terduduk. "Ya Tuhan," ucap Les. "Aku tidak percaya. Kusangka selama ini kau minum
pil antihamil." Mengapa dia mengira begitu"
"Tapi kau kan tahu aku masih perawan. Untuk apa aku minum pil
antihamil"'' Les memandangiku seolah aku salah seorang pelang-gannya yang ngotot
"Kusangka kau sudah mempersiapkan semuanya. Malam itu waktu aku
datang setelah berpesta bersama teman-temanku... kupiktr..." Dia
mengangkat bahu. "Kusangka kau, tahu kan, sudah siap..."
"Aku memang sudah siap..."
Tangisku pecah lagi. Membeli pil antihamil kan tidak semudah membeli alat
uji kehamilan" Kita tidak bisa seenaknya pergi ke apotek dan membelinya
begitu saja. 'Tapi aku tidak minum pil antihamil."
Les mengulurkan tangan dan meraup tanganku dengan kedua tangannya.
"Kau mau kutemani pergi ke ldinik" Aku akan menemanimu bila kau
menginginkannya. Tidak seharusnya kau pergi sendiri an."
Kutelan air mataku. "Klinik apa""
"Untuk menggugurkan kandungan," jawab Les. Dia meremas jari-jariku.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri."
Itu tidak ada dalam skenarioku.
'Tapi aku tidak mau melakukan aborsi." Aku tersenyum di tengah derai air
mata. "Aku akan mempertahankan bayi ini."
"Mempertahankan bayi itu"" Seolah tanganku berubah menjadi arang
panas, secepat kilat Les menarik tangannya.
"Kau gila, ya" Kau akan melahirkan bayi ini" Bagaimana
dengan ujian akhirmu nanti" Bagaimana dengan kuliahmu nanti di RADA
dan sebagainya" Kau tidak bisa punya
bayi sekarang." Itulah yang kukatakan pada Les, bahwa saat ini aku sedang menempuh
ujian. akhir dan akan mendaftar' di RADA setelah lulus nanti. Heran juga aku
dia masih ingat. Karena aku sendiri sudah lupa.
'Tentu saja bisa," tukasku. "Sejak dulu aku memang sudah berniat ingin
punya anak. Aku hanya memulai lebih awal dari yang kuduga sebelumnya."
"Lantas bagaimana dengan aku"" desis Les. "Sudah kubilang padamu dari
awal, Lana, aku belum siap menjalin hubungan serius." Saat itu Les
mengenakan kemeja oranye tua dengan dasi pranye bergaris-garis hitam.
Tangannya mempermainkan dasi itu. "Demi Tuhan, umurku baru dua puluh
tahun. Aku belum siap punya anak. Aku baru saja merintis karier. Aku tidak
mampu membiayai kehi-dupanmu dan kehidupan anak itu. Untuk hidupku
sendiri saja sudah pas-pasan."
"Aku tidak memintamu membiayai hidup kami," tukasku kaku. "Aku" tidak
berniat menjebakmu, Les. Dan aku tidak akan memberitahu Hillary siapa ayah
anak ini, bila itu yang kaukhawatirkan. Kujamin." Kutatap matanya dalam-dalam. "Tapi ingat, kau sendiri waktu itu juga tidak mau repot-repot
menggunakan pengaman."
Wajah Les memerah dan dia menunduk, memandangi kedua tangannya.
"Tidak bisakah aku punya pendapat dalam hal ini""
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kau boleh punya pendapat apa
saja, tapi aku tidak akan membunuh
bayi kita." Kuangkat daguku tinggi-tinggi. "Dan aku juga tidak akan
memberikannya pada orang lain."
Les meremas gelas kopinya. "Dan bagaimana aku bisa tahu bahwa itu bayi
kita, Lana" Hah" Bagaimana aku bisa tahu itu"" Itu juga tidak ada dalam
skenarioku. "Apa maksudmu"" Suaraku melengking tinggi. Aku memang sudah
berusaha meredamnya, tapi itu tidak mungkin. "Tentu saja ini bayimu! Waktu
itu kan aku masih perawanl Memangnya kaupikir ayah bayi ini Tuhan""
"Demi Tuhan, Lana!" desis Les kesal. "Semua orang bisa mendengar
suaramu." "Sudah kubilang aku tidak mau mendiskusikanya di sini," peldkku. "Aku
ingin pergi ke rumahmu. Supaya kita bisa membicarakan masalah ini dengan
tenang." "Weil, kau tidak bisa da tang malam ini." Mata Les jelalatan. "Karena Gary.
Gary akan mengadakan pesta. Situasinya di sana akan jauh lebih parah


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada di sini." 'Tapi kita kan bisa bicara di kamarmu " Les melihat jam
tangannya lagi. "Aku harus kembali ke toko, Lana. Maafkan aku. Kau mau ikut
atau tidak"" , Belum pernah aku melihat Les sedingin dan sekeras itu. Dia jadi seperti
orang asing. Meski belum pernah terpikir olehku sama sekali, namun
sekonyong-konyong aku sadar bahwa aku bisa kehilangan dia. Bila aku terlalu
menyulitkan dia Boro-boro menikah dan tinggal di flat kami sendiri, jangan-jangan dia nanti akan dipindahkan ke bagian kota yang lain dan aku takkan
pernah bertemu lagi dengannya. Kuambil tisu dari dalam kantong dan
ubersihkan ingusku. "Aku tidak percaya," gumamku. "Kau mar ah padaku!"
"Aku tidak marah, Lana. Aku hanya... Kabar ini sedikit mengagetkan, itu
saja." Dia kembali dan meletakkan
tangannya di bahuku. "Kau yakin ibumu tidak tahu apa-apa tentang aku""
Aku mengarigguk. "Tentu saja tidak. Bukan urusannya
siapa ayah bayiku, kan""
"Dan kau yakin dia bayiku""
Air mataku menetes-netes menimpa tangannya.
Aku tidak bisa memastikan apakah aku akan kehilangan Les bila dia tahu
dialah ayah bayi ini, atau justru sebaliknya. Aku memutuskan mengambil risiko
itu. "Yakin seyakm-yakinnya," tegasku jujur.
Biarkan Les mengartikan sendiri kata-kataku itu.
Begitulah. " Yang luput dari perkiraanku sebelumnya adalah ternyata aku disiksa
sebagai hukuman karena menjadi dewasa tanpa persetujuan siapa pun. Bentuk
siksaan yang dipilih ibuku, adalah aku harus mendengar kan nasihat semua
orang yang diseretnya ke dalam urusan pribadiku.
Kata Nenek, aku tidak menyadari betapa sulitaya mem-besarkan anak.
"Punya anak itu sangat merepotkan," kata Nenek "Dulu, untuk mencuci
popok saja, aku membutuhkan waktu berjam-jam."
Kusangka nenekku bercanda. Tak terpikirkan olehku sebelumnya bahwa
ternyata popok sekali pakai itu tidak sejak dulu ada.
"Weh\ zaman sekarang tidak ada lagi orang yang m
tidak leng-gunakan popok," tukasku setelah nenek menyatakan bahwa dia tidak
bercanda. "Atau botol."
"Kau menyi a-nyiakan hidupmu," kata Nenek lagi.
"Maksud Nenek, menyia-nyiakan hidup seperti " yang
:rnah Nenek lakukan, kan"" balasku. "Nenek sendiri unya empat anak. Itu
berarti Nenek menyia-nyiakannya lebih dari satu kali."
"Seharusnya kau belajar dari kesalahan orang lain,"' sergah nenekku.
"Bukan malah mengulanginya."
Kakakku Charlene, jelas mewarisi bakat ibuku dalam mengomel.
"Kau membuang hidupmu begitu saja," omel Charlene. "Seharusnya kau
bersenang-senang dulu sebelum punya anak."
"Kau sendiri punya dua anak," tukasku. "Kau tidak punya suarni," sergah
Charlene. "Kau juga tidak. Kau kan sudah bercerai." "Terima kasih karena
sudah mengingatkan aku," tukas Charlene. "Tapi dia tetap membantu
membiayai rumah tanggaku. Dan aku punya pekerjaan. Aku bisa gila bila harus
terus-menerus di rumah dan mengurusi anak*anak." Aku tertawa. "Kau toh
memang sudah gila." .Kakakku yang lain, Dara yang sudah dua puluh tahun
arusaha untuk punya anak tapi tidak pernah berhasil -berkata bahwa
hidupku sudah berakhir. "Kau sendiri yang bilang bahwa hidup ini lebih dari kadar punya pekerjaan
bagus dan kartu kredit emas," u mengingatkan dia. Itu "lagu wajib" yang
dinyanyikan ara di setiap pertemuan keluarga, setelah menenggak ;gur yang
kedua. "Kau sendiri kepingin banget bisa iaamil"
" "Aku kan tidak berumur lima belas tahun," bentak Dara. "Aku sudah
bepergian ke seluruh penjuru dunia dan melakukan segala macam hal. Karierku
cemerlang dan aku memiliki hubungan yang stabil. Sementara kerjamu
selarna ini cuma shopping dan nonton televisi."
Menurut Kepala Sekolah, aku tidak harus berhenti sekolah dan ikut ujian
akhir. Kesempatanku memperoleh pendidikan masih terbuka lebar., Bahkan
ada program khusus untuk para gadis yang berada dalam situasi seperti aku.
"Situasi seperti apa"" tanyaku. "Aku bukannya habis diculik atau
bagaimana. Aku sedang hamil."
Dokter berkata mudah-mudahan aku menyadari risiko dari tindakan yang
kuambil, dan bila aku tidak bisa membicarakannya dengan ibuku, ada beberapa
orang yang bisa kuajak bicara. mm
"Pastikan bahwa kau sudah mempertimbangkan masak-masak semua pilihan
yang ada," dia menasihatiku.
"Aku sudah mempertimbangkannya," sergahku. "Aku bukan pembunuh."
Mereka semua mirip ibuku bila mendesah.
Dokter itu memberiku setumpuk brosur yang harus dibaca, vitamin, serta
jadwal periksa rutin ke klinik kebi-danan. Dia juga memberitahu bahwa ada
kelas persiapan kelabiran yang bisa kuikuti bersama partoerku.
Kubilang padanya bahwa aku dan partnerku akan meng-haclirinya.
"Dengan menghadiri kelas itu, kalian bisa lebih mema-hami misteri
kelabiran dan membuat kalian merasa tidak takut lagi," katanya
memberitahuku. "Aku sangat mereko-mendasikannya. Apalagi karena kalian
masih sangat muda." u akan menghadirinya," janjiku. "Kami mengang-gap kehamilanku ini sebagai
pengalaman bersama."
Kalimat itu kucomot dari artikel dalam majalah calon ibu.' Pria tua
berkacamata itu senang sekali mendengar-nya.
Lalu dia memberitahu aku ten tang "perpustakaan main-an" dan program
pertukaran baju yang diadakan sebuah yayasan. Seolah aku bakal membiarkan
anakku bermain-main dengan mainan yang sudah digigiti anak lain dan
mengenakan baju yang pernah dikencingi anak lain. Yang
benar saja deh____ Bahkan Mrs. Mugurdy di lantai atas pun ikut-ikutan memberi nasihat. Dia
juga menganggap aku menyia-nyiakan hidupku.
"Dulu, waktu aku masih seumur denganmu sekarang, aku memiliki impian
berlayar melintasi samudra luas, menuju Thailand atau Peru," kata Mrs.
Mugurdy. "Bu-kannya nonton Sesame Street"
"Tapi buntut-buntutnya toh Anda terdampar juga di Kilburn," balas ku
dengan nada riang. "Aku pernah tinggal di Singapura beberapa tahun," tukas Mrs. Mugurdy.
Kusangka dia cuma bercanda. Soalnya, aku baru tahu Singapura itu nama
negara, bukan nama sejenis minuman. Hanya Charley yang tidak sok
menasihatiku. "Wah, senang juga aku membayangkan bakal jadi kakek," kata
Charley. "Aku suka bayi"
'Itu karena kau tidak pernah punya bayi sendiri," sergah ibuku. Hfttt
Hamil AKU punya bayangan sendiri bagaimana rasanya hamil.
Tubuhku akan membengkak, tapi mem
bengkaknya menjadi lebih "wanita"
dan sensual, Dengan begitu banyak hormon kewanitaan mengalir dalam
tubuhku, kulitku akan menjadi lembut dan berseri-seri. Aku akan tampil
berkilau. Memang sih, tidak semuanya serbaindah. Ada perasaan mual-mual di pagi
hari, sembelit, serta berbagai rasa sakit dan pegal lain yang harus
kutanggung. Ibuku itu me-mastikan aku tahu semua mengenainya.
'Tunggu sampai kau merasa sesak napas," katanya dengan nada senang
membayangkan penderitaanku. "Tunggu saja sampai kau tidak bisa tidur atau
duduk lebih dari lima menit."
Tapi, yang paling membuatku cemas adalah bila aku jadi kusut dan terlihat
lelah seperti beberapa wanita yang kulihat di pasar swalayan. Bila aku melihat
mereka, terbersit juga dalam pikiranku pertanyaan bagaimana mereka bisa
hamil bila penampilan mereka begitu tidak menarik"
Aku juga tidak mau berjalan seolah ada 01
menggelayut di punggungku. Aku pernah melihat foto Cindy Crawford
dalam keadaan telanjang ketika hamil,
dan dia terlihat sangat keren. Juga foto-foto Posh Spice. Dia mengenakan
pakaian, baju-baju hamil karya perancang terkenak dan dia juga terlihat
sangat keren. Tidak mungkin membayangkan mereka membungkuk-bungkuk di
depan toilet dan menolak pergi ke pesta .karena punggung mereka sakit
Mereka cantik dan hamil. Bukan hamil tapi cantik. Aku ingin menjadi seperti
mereka. Seperrinya aku bisa membayangkan diriku melenggang menyusuri Oxford
Street dalam balutan gaun putih panjang yang melambai-lambai. Aku
mengenakan sepatu berhak da tar warna emas, kalung emas, dan gelang rantai
etnas yang dihadiahkan Les untukku Natal kemarin. Para wanita tersenyum
padaku. Para pria menatapku dengan penuh damba. Bila aku naik bus, semua
orang menawariku tempat duduk. Cahaya berpendar-pendar di sekelilingku
dan semua orang tertawa. Aku tampak seperti bidadari dengan perut
membuncit dan banyak teman.
"Lanaf' ibuku berteriak dari balik pintu kamar mandi. "Lana, kau tidak apa-apa""
Seandainya saat itu mulutku tidak sedang dipenuhi muntah, aku pasti
sudah melontarkan jawaban yang ber-nada tajam. Seperti misalnya, "Aku
baik-baik saja. Ini memang hobiku, daripada minum secangkir teh lagi." Kalau
orang lain mual-mual di pagi hari, aku mual-mual setiap saat Pagi, siang, malam.
Tapi karena saat itu mulutku sedang dipenuhi muntab, aku hanya
menjawabnya dengan suara sedakan. "Kau mau kubuatkan teh lagi sebelum aku
pergi"" Sumpah deh, ibuku itu benar-benar pencandu teh no-mor satu. Jangan sampai kau berada di Titanic bersama
Ma. Bukannya memberimu jaket pelampung'di saat-saat
genting, dia malah akan menyodorkan secangkir PG Tips. "Agggh!" jawabku
dengan suara tersedak. "Kau yakin""
"Yeah," sahutku dengan napas terengah-engah. "Aku
baik-baik saja." Aku meludahkan sisa-sisa sarapanku ke dalam toilet, membilas mulutku
dengan segelas air yang sengaja ku-siapkan di dalam kamar mandi untuk
keadaan darurat seperti ini, lalu berjalan tersaruk-saruk ke pintu. Ibuku masih berdiri di
sana. , "Kau mau pergi ke sekolah""
Ibuku ingin aku tetap sekolah sampai akhir tahun ajaran. Untuk
memastikan bahwa aku benar-benar masuk, dia sengaja memerasku. Kalau aku
tidak mau pergi ke sekolah, meskipun di sana aku muntah-muntah tidak
keruan, dia bakal memotong uang sakuku.
"Memangnya aku punya pilihan"" balasku kesal.
Ibuku juga tidak mau berbasa-basi.
'Tidak," jawabnya. "Kau tidak punya pilihan lain."
Kutatap dia dengan garang. "Well, kalau begitu..."
''Beginilah rasanya menjadi dewasa," dia menguliabiku. "Ibaratoya, kau
yang menata tempat tidur, kau sendiri yang harus berbaring di atasnya."
Aku tidak berkata apa-apa. Mudah-mudahan dia bisa melihat dari sorot
mataku betapa aku membencinya.
"Walau bila melihat sifatmu, kurasa kau bahkan tidak ingat untuk menata
tempat tidur lebih dahulu," sergah ibuku.
Setelah ibuku berangkat, aku mulai berpakaian.
Dulu, aku paling -suka saat-saat memilih pakaian yang akan dikenakan di
pagi hari. Kira-kira bagaimana suasana hatiku hari ini" Warna apa yang
sebaiknya kukenakan" Tahu kan, hal-hal semacam itulah.
Tapi sekarang tidak lagi.
Satu-satunya suasana had yang kumilik
i saat ini bermt bungan dengan
kondisiku yang sedang hamil. Perutku kind- sebesar bola basket, payudaraku
seperti buah melon, dan bokongku terlihat seperti disumpal.
Aku berdiri di depan cermin semata kaki yang tergan-tung di balik pintu
kamarku. Aku sama sekali tidak mirip Cindy Crawford ataupun Posh Spice. Aku mirip
boneka tiup yang menggelembung tak keruan.
Tambahan lagi, tidak banyak bajuku yang masih bisa dipakai. Celana jins
stretch dan rok mini sama sekali tidak dirancang untuk tubuh yang
menggelembung. Hanya baju hamil yang bisa. Dan itu sama saja seperti
memakai kantong sampah yang dilubangi di bagian lengan dan leher.
Aku~pernah melihat wanita hamil mengenakan gaun yang menonjolkan perut
mereka yang buncit, tapi aku tidak mungkin pergi ke sekolah dengan pakaian
seperti itu, karena itu sama saja dengan cari gara-gara.
Aku menghamburkan sebagian besar uang tabunganku untuk membeli baju
hamil yang keren sekali. Aku menemu-kannya di butik trendi khusus untuk
calon ibu. Gaun itu berpotongan A line dengan kerah segiempat dan berlengan
panjang, lengkap dengan pita yang diikat di bagian punggung,
supaya kau tetap bisa mengenakannya setelah melahirkan nanti. Gaun itu
tersedia dalam dua pilihan warna, hijau atau biru. Karena menurutku warna
hijau akan membuatku terlihat seperti bukit berjalan, maka aku pun memilih yang warna biru.
Seperti biasa, Hillary Spiggs ngamuk-ngamuk begitu dia tahu harga baju itu.
*Dia mau aku mengenakan baju-baju jelek yang dibelikannya. Padahal aku terlihat cantik sekali dalam
balutan gaun itu. Hanya sayang, aku kan tidak bisa memakainya setiap hari"
Aku tidak pernah mengenakan baju yang sama dua kali berturut-turut, kecuali
piama. Aku tidak akan membiarkan kehamilan memaksaku menurunkan
standar. Bel pintu berdering selagi aku sedang mematut-matut diri dengan sweter
hitam milik Charley yang tertinggal di rumah. Saking besarnya sweter itu, aku
tidak terlihat sedang hamil, tapi seperti orang yang mengenakan tenda. Bila
celanaku tidak dikancingkan pun tidak akan ada orang yang tahu.
"wah, aku baru tahu kalau penampilan ala 'tukang' sekarang sedang tren,"
seloroh Shanee begitu aku membu-kakan pintu.
Biasanya, Shanee menungguku di depan kotak pos di sudut jalan, tapi
sekarang dia langsung menjemputku di rumah. Aku tidak tahu apakah itu
karena ibuku yang menyuruh untuk memastikan bahwa aku benar-benar pergi
ke sekolah atau karena dia kecapekan menungguku bersiap-siap.
Aku berpose bak model. "Apakah wajahku berseri-seri"" tanyaku.
wanita hamil sudah sepantasnya berseri-seri bagaikan pendulum. Semua
orang bilang begitu. Shanee menelengkan kepalanya ke satu sisi. "Weill' jawabnya, "ada
beberapa jerawat baru di wajahmu."
Gampang saja kepala sekolah dan Hillary Spiggs me-nyuruhku tetap
bersekolah. Toh bukan mereka yang harus menghadapi berbagai sindiran dan
ejekan. "Apa itu yang kausembunyikan di balik swetermu, Lana"" teriak salah
seorang cowok kelas delapain saat Shanee dan aku berjalan kaki memasuki
gedung sekolah. "Kau menyelundupkan bola kaki, ya""
Saking lucunya aku sampai lupa tertawa.
Kadang-kadang bola kaki. Kadang-kadang buah melon. Kali lain, mereka
hanya tertawa, tanpa mengatakan apa-apa.
Aku tidak mau menoleh untuk menghitung jumlah mereka, tapi kira-kira di
sana ada tiga makhluk kecil jerawatan nongkrong di pintu masuk. Mereka
sampai terkencing-kencing saking kerasnya tertawa.
"Acuhkan saja mereka," kata Shanee. "Mereka itu bayi-bayi brengsek."
Shanee memang selalu berkata begitu.
Tapi yang paling parah bukanlah bayi-bayi brengsek itu. Yang terparah
justru cowok-cowok yang usianya lebih tua. Ada satu-dua orang yang dengan
lancangnya berani mendekatiku waktu aku sedang sendirian sambil tersenyum
menggoda. "Dengar-dengar, wanita hamil itu selalu ber-gairah..." begitu kata
mereka. Atau, "Dengar-dengar, wanita hamil itu sangat mendambakan belaian
sayang..." Kurang ajar banget deh pokoknya.
"Lama-lama juga mereka akan bosan sendiri," kata Shanee.
Itu juga yang selalu dia katakan.
Aku tidak berkata apa-apa. Serbuan rasa panas yang bukan udara dan juga
bukan air seolah menyumbat teng-gorokanku.
'Toilet," gumamku. "Kurasa aku mau muntah."
Kami bergegas ke toilet. Toilet penuh sesak dengan anak perempuan. Ributnya seperti di kandang
ayam. Hanya satu-dua saja yang benar-benar menggunakan toilet, sedang
sebagian besar yang lain berdesak-desakkan di depan wastafel, memeriksa


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rias wajah masing-masing.
'Ya Tuhan," erang Shanee. "Kadal saja tidak bisa masuk ke sini." Dia
melirikku dengan cemas. "Kau masih bisa menahannya atau tidak""
Aku membekap mulutku dengan tangan dan meng-geleng-geleng.
"Minggir!" teriak Shanee. "Minggir!"
Tak ada seorang pun yang menoleh. Mereka semua sibuk memulas mata dan
mengagumi pakaian masing-masing. Normalnya, aku termasuk di antara
mereka. Aku merangsek masuk. Di ujung sana ada bilik yang kosong, tapi aku tidak
bisa menembus kepadatah. Cairan panas itu mulai menyembur ke dalam mulutku.
Aku tersedak. "Dia mau muntah!" jerit Shanee. "Minggir! Sebentar lagi dia muntah!"
Cewek yang menghalangi jalanku mengernyitkan muka, tapi kemudian
menempelkan badannya ke punggung teman di depannya untuk memberiku
jalan sambil masih meng-genggam erat maskaranya.
"Ya Tuhan," gerutunya. "Pantas saja mereka begitu gigih mengingatkan
lata untuk tidak berhubungan seks."
| "Jadi, hari Sabtu pasti ya," kata Gerri. "Kita belanja habis-habisan. Miss
Selfridge, Hennes, Gap..." Dia me-ngedipkan mata pada Shanee. "Kalau mau,
kita bahkan bisa mampir ke Notring Hill Housing Trust Charity Shop"
Amie membuka bungkusan keripiknya. Rasa keju dan bawang. Baunya saja
sudah membuatku hampir muntah.
"Kedengarannya asyik. Aku mau membeli blus seperti yang kita lihat di
majalah Cosmo. Kau tahu kan, yang potongan lehernya V dengan corak garis-garis itu""
Aku mengunyah-ngunyah biskuit tawarku sambil berusaha keras untuk
tidak menguap. Aku sudah terbiasa merasa bosan mengikuti pelajaran di sekolah, tapi
selama ini aku belum pernah bosan makan Sang, demi Tuhan.
"Boleb juga," sahut Shanee. "Terakhir kalinya aku ke Trust, aku membeli
jaket jins yang keren banget. Tapi sayang aku tidak bisa hari Sabtu ini." Dia
mengernyitkan muka, lagaknya seperti orang yang sangat menderita. "Aku
harus menjaga adik-adikku yang nakal."
"Bawa saja mereka," Gerri mengusulkan. "Kita bisa kok menjaga mereka
bertiga." Shanee mengerang "Bercanda kau! Lebih baik membawa beruang daripada
membawa adik-adikku. Paling tidak be-ruang akan bersikap lebih baik
daripada mereka, dan kita juga bisa nongol di tayangan berita karena
berbelanja dengan membawa-bawa beruang."
Gerri berpaling padaku. "Bagaimana denganmu, Lana"
Kau masih muat menyusup di sela-sela gang di pusat
perbelanjaan, kan""
"Oh, hahaha." Kugigit sekeping biskuit lagi. "Mungkin aku akan ikut dengan
kalian. Aku ingin melihat-lihat konter Mothercare. Sudah waktunya aku mulai
memikirkan baju anak lelakiku."
"Apa yang membuatmu yakin anakmu nanti laki-laki"" tanya Gerri.
'Tokoknya aku tahu." Aku mengangkat bahu. "Dalam hal-hal seperti ini, ada
kalanya kita bisa merasakannya."
Amie kontan tersedak. "Kusangka sudah cukup banyak yang kaurasakan
saat ini." "Dan mungkin ada baiknya bila aku melihat-lihat buku tentang bayi..."
lanjutku. "Aku masih belum memutuskan apakah akan menyusui bayiku atau
tidak." "Kumohon,. jangan... jangan bicara lagi tentang menyusui bayi."
Yang membuatku terkejut, Shanee-lah yang mengangkat tangan dan
memasang wajah tersiksa. .
"Jadi maksudmu, aku membuatmu bosan dengan omonganku tentang
menyusui bayi"" tanyaku. "Begitu maksudmu""
Amie dan Gerri memandangi Shanee.
"Well, kau memang terus-menerus membicarakan hal itu," tukasnya dengan
nada seperti membela diri.
"Selain beberapa hal lain," gumam Gerri menimpali.
Amie mulai menggumamkan lagu Rock-a-bye Baby dengan suara pelan.
'Tapi itu memang penting." Sekarang ganti aku yang
terdengar seperti membela diri. "Kita bisa menghancurkan hidup seorang
anak bila salah mengambil keputusan."
"Tapi bukan berarti kau harus terus membicarakannya setiap waktu,"
tukas Shanee. "Mengobrollah tentang hal lain."
Aku tidak bisa membicarakan hal lain. Aku sudah tidak punya topik
pembicaraan lain. Sekarang aku bahkan jarang nonton film lagi. Kursi bioskop
tidak nyaman untuk kududuki selama lebih dari beberapa menit. Dan,
ironisnya nih, setelah sekarang aku bisa meminjam video apa saja, aku malah
langsung jatuh tertidur di sofa sebelum filrnnya selesai kutonton.
"Seperti apa misal " aku memulai. Tapi aku tidak bisa menyelesaikan
perkataanku. Lagi-lagi ada cairan hangat riaik di tenggorokanku. Rongga
mulutku terasa seperti dipenuhi secangkir cokelat panas yang tidak habis
diminum dan sudah beberapa hari ditinggalkan di kolong tempat tidur.
"Ya Tuhan!" aku terkesiap, lalu langsung meloncat berdiri hingga sisa
makan siangku berceceran di lantai. "Sepertinya aku mau muntah lagi."
Gerri mengerang. "Kalau begini terus, lebih baik kau bawa segepok kantong
plastik untuk menampung muntah-anrnu," tukasnya.
Hanya satu orang yang tidak pernah mendengar segala keluh-kesahku, dan
orang itu Les. Pokoknya, tidak satu kali pun aku pernah mengeluh padanya
tentang segala sakit dan pegal yang kurasakan di sekujur tubuh, perasaan
mual di pagi hari, sembelit, payudara sakit, atau sema-camnya. Aku tidak mau
dia mengira aku wanita hamil
yang cengeng dan tukang merengek. Bila aku merasa kepingin muntah, aku
tidak akan "huek-huek" atau ter-sedak di depannya, lalu kabur secepat kilat
dengan tangan membekap mulut, seperti yang kerap kulakukan bila sedang
bersama Hillary atau Shanee. Aku akan permisi padanya sambil tersenyum
dan menggeram pelan, lalu melenggang pergi. Begitu dia tidak bisa melihatku
lagi, baru aku 'lari secepat kilat. Dan aku selalu memutar keran air keras-keras, supaya dia tidak mendengarku muntah-muntah Aku juga tidak pernah
membicarakan masalah popok, ASI, atau semacamnya dengan Les. Maksudku,
Shanee saja mengeluh, padahal dia perempuan, dan seharusnya topik itu
menarik baginya. Aku tidak ingin membuat Les bosan atau membuatnya
mengira aku minta dibelikan macam-macam untuk bayiku.
Ada lagi satu bagian lain dalam hidupku yang semakin membaik dengan
kehamilanku sekarang. Kehidupan asmaraku. Sebelum ini aku tidak sadar bahwa ada sementara
pria yang memandang wanita hamil sebagai sosok yang menggairahkan. Kata
Les, wanita hamil terlihat eksotis dan menggairahkan.
Hillary dan Charley akhirnya berbaikan kembali sekitar masa Paskah. Dan,
segera setelah mereka berbaikan, Les mulai bisa mampir lagi ke rumahku
sepulang kerja. Pada awalnya, Les akan minum bir dulu, makan ma-kanan yang dibelinya
dari luar, lalu nonton berita atau pertandingan bola selama beberapa saat
sebelum kami mulai bermesraan, tapi setelah beberapa kali, dia bahkan tidak
merasa perlu makan dulu. Dia justru menganggap perutku yang buncit dan bo-kongku yang gendut
sangat fantastis. Agak mengejutkan juga bahwa dia benar-benar mema-hami bahwa aku
hamil. Menilik komentarnya waktu itu,
bisa jadi dia hanya menganggap berat badanku bertam-bah. Kami tidak
pernah membicarakan soal kehamilanku, kecuali bila itu berkaitan dengan
ukuran anggota badan eksternalku. Mengherankan, begitu kata nenekku.
Sungguh mengherankan. Aku memandang diriku sendiri dan mulai menghitung-hitung, berapa bulan lagi baru aku bisa mengenakan baju-bajuku yang biasa.
Tapi anehnya, setiap kali Les memandangku, dia justru melihat sosok dewi
asmara. Aku sih senang-senang saja menjadi dewi asmaranya. Walaupun aku sering
kali merasa seperti mainan saja baginya, tapi itu membuat rasa percaya diriku
bertambah. Les selalu memeluk dan membelai-belaiku, dan baru akan absen
bercinta bila benar-benar lelah atau sedang tidak enak hati. 'w*-Itulah sebabnya, waktu Les mulai menyinggung tentang libur musim panas,
aku mengira bahwa kami akan pergi bersama. Ke tempat yang romantis,
lengkap dengan pela-yanan kamar, sehingga kami bisa bercinta selama
berjam-jam tanpa takut Spiggs mendadak pulang.
Kami bahkan sempat melihat-lihat berbagai brosur ber-sama-sama:
Yunani, Italia, Siprus, Spanyol.... Jujur saja, gambar-gambar pemandangan di
negara-negara itu kurang-lebih sama sebidang laut biru, sebidang pasir
dengan tubuh-tubuh yang sedang berjemur, dan hotel tapi aku tidak peduli
kami hendak pergi ke mana. Aku tahu ke mana pun kami pergi, kami akan
menginap di lagoon d engan pohon palem dan air laut yang birunya sama dengan
warna baju hamilku yang paling bagus.
Kemudian, suatu malam Les datang ke rumahku dengan
membawa sebotol anggur yang mendesis-desis.
"Ada acara apa, nih"" tanyaku ketika dia membuka tutap botol.
"Kau tidak bakal percaya, tapi aku mendapat semacam promosi. Mereka
mernindahkan aku ke cabang di Finsbury Park" Les membusungkan dada.
"Manajer." Dia tertawa.
"Itu berarti aku manajer termuda di perusahaan itu."
Aku memaksa diri menyunggingkan senyum bahagia; Ini memang kabar
baik. Les berhasil menjadi manajer di usianya yang baru 21 tahun. Itu berarti
dia bisa menjadi direktur atau sebangsanya di usia tiga puluh tahun nanti.
Kami akan tinggal di kawasan pinggir kotadan aku akan memiliki mobil four-wheel drive berkaca gelap, banyak anak, dan anjing peliharaan di halaman
belakang. Tapi aku tidak bisa merasa bahagia sekarang. Itu berarti aku tidak
bisa setiap saat mampir ke tokonya. Itu berarti dia harus menempuh jarak
yang lebih jauh lagi untuk bisa mene-muiku.
'Tapi bukan cuma itu." Les menyeringai. "Mereka akhirnya setuju
memberiku cuti. Aku sudah memesan paket tur tadi pagi."
Bukan kata "aku" yang kudengar, melainkan "kami".
"Benarkah"" Aku memang tidak melompat-lompat kegi-rangan (karena
nanti bisa menyenggol sesuatu dan mem-buatoya pecah), tapi suaraku
mengandung kegembiraan. "Mau pergi ke mana kita" Kapan""
Les berhenti menuangkan anggur.
"Kita"" "Aku ikut denganmu, kan"" Kusangka dia bercanda. "waktu itu kita sudah
melihat-lihat berbagai brosur, ingat"" I
Sekarang giliran Les yang mengira aku sedang bercanda. Dia tertawa.
"Yang benar saja, Lana. Aku tidak mungkin mengajakmu ke Yunani. Kau tahu
itu." Memangnya aku tahu"
"Memangnya aku tahu"" tanyaku.
Les memutar bola matanya, gayanya persis Charley bila Hillary tidak bisa
menemukan kunci mobil dan harus mengeluarkan semua isi tasnya lagi.
"Tentu saja kau tahu. Aku cuma punya waktu dua minggu, kau tahu itu."
Matanya bergerak, dari wajah ke perutku yang membuncit seperti balon
raksasa. "Mana mungkin kau bisa naik pesawat dalam keadaan hamil. Tidak bila
usia kandunganmu sudah setua itu. Semua orang juga sudah tahu." Lagi-lagi
dia tertawa. "Dan aku tidak mau naik bus ke Yunani."
Aku ikut tertawa, seolah aku tadi memang bercanda. Aku tidak tahu wanita yang sedang hamil tua
tidak boleh naik pesawat terbang, tapi setelah Les mengatakannya barusan, aku merasa itu cukup masuk
akal juga. Namun, tak pernah terlintas sedikit pun dalam benakku kecurigaan bahwa Les justru akan
memilih pergi berlibur di saat aku tidak bisa pergi. Aku malah mengira dia akan menunggu ' sampai setelah
aku melahirkan, dan kami bisa menitipkan bayi kami pada nenekku sementara kami pergi berlibur.
Nenekku toh tidak punya kegiatan apa-apa.
Bila Charley berkata pada Hillary bahwa dia akan pergi berlibur sendirian, Hillary pasti ngamuk berat.
Dia akan membuat hidup Charley seperti di neraka dan tidak mau berhenti marah-marah sampai Charley
akhirnya menyerah. iTapi aku kan tidak seperti dia. Aku orang yang penuh pengertian dan toleran. Aku
tahu seorang laki-laki membu-tuhkan ketertarikan lain dan teman-teman sendiri. Aku toleran kok pada kebutuhannya memiliki waktu
sendiri. Jadi, kutelan kembali air mataku.
"Oh," ucapku. "Well, kedengarannya Uburan di Yunani sangat mengasyikkan."
'Tentu saja bakal sangat mengasyikkan," timpal Les. Direguknya anggur banyak-banyak. "Aku sudah
tidak sabar lagi." Aku menyesap sedikit anggurku. Dari baunya saja aku tahu bahwa aku bakal sembelit nanti.
"Jadi, kapan kau berangkat"" tanyaku ceria.
"Akhir bulan Agustus. Dengan begitu, aku bisa dapat libur ekstfa satu hari lagi dengan adanya Hbur bank."
Tapi jelas, meski sudah ada tambahan Ubur satu hari, tetap saja kurang panjang, sehingga dia tidak
bisa berlibur dengan naik bus.
"Akhir bulan Agustus," aku menirukan kata-katanya. Akhir bulan Agustus adalah saat bayiku
diperkirakan akan lahir. Kutempelkan gelasku ke gelasnya. "Well, kuharap kau akan menikmati
hburanmu." Berjuang Mati-matian, Berharap Seandainya Saja Kau Ada di Sini
AKU membuat jadwal periksa ke klinik kebidanan empa
t hari sebelum bayiku diperkirakan lahir. Aku
mengenakan baju hamilku yang paling keren, tapi sayang, satu-satunya sepatu yang nyaman dipakai
hanyalah sepatu olahraga, sehingga agak merusak penampilan. Aku merias wajah dan mengikat rambutku
ke belakang, hingga penampilanku terlihat lebih tua. Lalu aku memasukkan CD musik disko ke discman
dan berjoget riang. Bahagia banget deh, po-koknya. Hanya tinggal beberapa hari lagi dan aku akan
mengakhiri kehamilanku. Aku sudah tidak sabar lagi. Aku merasa seperti sudah seumur hidup hamil. Sulit
rasanya membayangkan bahwa dulu aku bisa duduk selama lebih dari lima menit tanpa merasa sakit
punggung. 'Yang lebih susah lagi diingat adalah dulu aku bisa minum secangktf teh tanpa merasa ada orang
yang menuangkan asam *e dalam darahku. Tapi sebentar lagi semua itu akan berakhtf dan bidupku akan
kembali normal. Bagian yang terbaik sebentar lagi dimulai.
Dokter memarahiku karena tidak jadi ikut kelas mela-hirkan.
"Kusangka kau sudah berjanji padaku untuk datang." Nadanya lebih menyerupai pernyataan daripada
perta-nyaan. "Memang," jawabku. Luar biasa bagaimana banyak sekali orang terdengar persis ibuku. "Dan kami
memang sudah benar-benar berniat pergi, tapi pacarku harus pergi ke
Amerika selama beberapa bulan. Urusan pekerjaan. Men-dadak."
Dokter itu menatapku dari balik lensa kacamatanya.
"Sebenarnya kau kan bisa pergi sendirian."
Aku tersenyum, berlagak malu-malu kucing. "Aku tidak suka membayangkan pergi tanpa dia." Itu
memang benar. "Sekarang belum terlambat," kata dokter itu lagi. "Ada kelas baru minggu depan."
Minggu depan aku sudah tidak butuh ikut kelas apa-apa lagi. Saat itu aku pasti sudah menjadi ibu.
Atau mungkin juga belum. Menurut dokter, aku pasti salah memperkirakan tanggal terakhir menstruasiku.
"Sepertinya bayimu kecil, Lana. Jangan-jangan kau keliru menentukan tanggal""
Kujawab, bisa jadi begitu.
"Ini semua pengalaman baru bagiku," gurauku.
Dokter itu menyunggingkan senyum ala Ram Victoria. Ngerti kan, senyum yang seolah menyiratkan
bahwa ko-mentarmu tadi menyinggung perasaannya.
"Well, kau sehat-sehat saja," dia meyakinkanku. Tapi bayiku baru akan lahir bulan September.
"Virgo," katanya, "Zodiak yang bagus."
1U1 perjalanan pulang, aku mampir ke perpustakaan untuk meminjam buku tentang horoskop, supaya aku
bisa melihat sendiri apakah Virgo benar-benar zodiak yang bagus atau bukan. Toh tidak ada kegiatan lain
yang harus kulakukan. Sekarang kan libur musim panas" Shanee dan keluarganya pergi ke rumah kakeknya
di Irlandia selama beberapa minggu. Les di Yunani bersama teman-temannya. Bahkan Gerri dan Amie pun
pergi. Lagi pula, semua keperluan bayiku sudah siap. Semuanya tertata rapi di kamarku. Nenek membelikan
boks bayi, dan Charley membelikan kereta bayi. Kedua kakakku membelikan setumpuk pakaian bayi yang
semuanya berwarna kuning atau hijau, karena mereka tidak yakin anakku nanti laki-laki. Aku sudah
memutuskan tidak menyusui bayiku karena pikirku aku ingin bisa meninggalkannya sekali-sekali, supaya
bisa bertemu teman-temanku dan berkencan dengan Les, semacam itulah. Hillary bisa mem-berinya susu
bila aku sedang tidak ada. Jadi dia membelikan beberapa botol susu, alat untuk mensterilkan botol susu,
serta sekotak popok bayi sekali pakai. Dia mengisti-lahkan hadiahnya itu sebagai "starter set". Aku bahkan
sudah menyiapkan tas yang akan kubawa ke rumah sakit, berisi perlengkapan bayi dan piamaku, gaun
tidur, sandal kamar, dan perlengkapan mandi, seperti yang tertulis dalam salah satu pamflet yang kubaca.
Tapi aku belum sempat memilih nama untuk calon anakku. Padahal aku sudah membeli buku nama-nama bayi di Smiths. Kupikir, aku masih punya banyak waktu setelah aku nanti melahirkan dia dan melihat
seperti apa rupa anakku, supaya bisa kucarikan nama yang cocok. Ibuku bilang, dokter itu bisa saja keliru.
"Apakah kau mengatakan hal itu berdasarkan penga-lamanmu membuat jadwal pertemuan para pasien
dengan dokternya"" tanyaku. "Karena itu kau lantas jadi ahli"" "Jangan berlagak pintar denganku," tegur
ibuku. "Aku sendiri punya tiga anak, kau tahu. Maksudku, kau seperti-nya yakin sek
ali kapan kau berhenti menstruasi. Mungkin bayimu memang kecil. Ada beberapa bayi yang memang kecil."
"Dan yang kukatakan tadi adalah apa yang disampaikan


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dokter padaku kemarin. Bahwa mungkin bayiku baru akan lahir bulan September."
'Tapi apa yang kaurasakan"" desak Detektif Spiggs.
Memang menurutnya bagaimana perasaanku" Dia sendiri punya tiga anak. Dia pasti ingat pernah
merasa seperti kuda nil yang sakit flu.
"Aku merasa sangat bugar," tukasku. "Tidak pernah sesehat ini."
"Jadi kau tidak keberatan bila aku menginap di rumah Charley" Kau tidak apa-apa ditinggal
sendirian"" Itu metode penyiksaannya yang terbaru. Dia tidak mau meninggalkan aku karena perkiraan waktu
melahirkanku yang sudah sangat dekat. Dia khawatir aku melahirkan lebih cepat dari jadwal dan
membutuhkan pertolongannya. Seolah, aku sangat membutuhkan dia, seperti Armani membutuhkan Calvin
Klein saja. 'Tentu saja tidak apa-apa."
Ibuku ragu-ragu beberapa detik. Bisa kulihat hatinya terbelah antara ingin melakukan apa yang
dianggapnya benar -tetap tinggal di rumah untuk menyiksa/b* dan melakukan apa yang dia inginkan
pergi ke Cla untuk menyiksa Charley. Asal tahu saja, sebel
tidak pernah merasa sulit menentukan pilihan. Sepanjang ingatanku, selama ini dia enteng saja
meninggalkan aku sendirian. Kupikir, mungkin dia tidak mau merasa ber-salah bila aku meninggal saat
tengah berjuang melahirkan anak sementara dia asyik berhura-hura di seberang sungai sana.
"Weill' ujamya akhirnya. "Kau tinggal meneleponku saja bila ada apa-apa."
"Nombmya sudah terpatri dalam otakku," kataku.
Ternyata, malam ini menjadi malam yang panjang.
Setelah ibuku berangkat, aku memanaskan sekaleng sup dan membuat sandwich keju panggang, lalu
bergelung di sofa untuk membaca mengenai Virgo. Aku tidak bisa berbaring dengan nyaman karena
punggungku sakit sekali Sampai sekarang belum ada perubahan.
Aku memusatkan perhatian ke buku yang sedang kubaca. Ternyata, apa yang kubaca sangatlah bagus.
Orang-orang berbintang Virgo praktis dan membumi. Menurutku itu bagus. Shanee orangnya sangat praktis
dan membumi, dan hubunganku dengannya baik-baik saja, Anakku juga akan mudah beradaptasi, yang
merupakan sifat yang baik Dalam hati aku bertanya-tanya apa sebaiknya dia kunamai Virgil. Atau mungkin
VigiL Kusimpan nama-nama itu sebagai pilihan yang masuk akal.
Baru makan dua-tiga sendok sup, aku sudah merasa kepingin muntah lagi. Kejunya juga terasa
hambar. Selain itu punggungku sakit sekali.
Kutata kembali- letak bantal-bantaL lalu kusetel video yang sudah pernah kutonton. Aku hanya ingin
mendengar suara-suara manusia, tanpa peduli pada apa yang meteka katakan.
Perutku mulai terasa sakit. TersLk-8ar"k aku bet^
ke dapur dan membuat teh.
Sulit sekali menonton film itu, karena aku merasa sangat tidak nyaman dan sekujur tubuhku saldt-sakit
Aku mulai memikirkan Les.
Dia sudah pergi selama empat hari, tapi aku belum--... menerima sepucuk kartu pos pun darinya. Kalau
aku jadi Les, dari bandara pun aku sudah akan mengirimkan kartu pos, dengan maksud bercanda, meski
bisa juga bukan. Supaya aku tahu bahwa dia juga merindukanku seperti aku merindukan dia. Tapi
cowok kan tidak sama dengan,| cewek. Hal-hal semacam itu tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Cowok
hidup di masa sekarang, semen tara cewek di masa yang akan datang. Itu pernah kubaca di Cosmo.
Dalam hari aku bertanya-tanya apa yang sedang dilaku-kan Les saat ini. Sekarang sudah terlambat
untuk berenang di laut, tapi dia masih bisa berenang di kolam renang. Atau mungkin sekarang dia sedang
berada di bar bersama teman-temannya. Rasanya lebih tepat bila dia sedang berada di bar.
Mungkin dia sedang memikirkanku.
Dia sedang duduk di bar. Praktis, aku seperti bisa melihaiayn. Biasanya Les minum lager, tapi karena
saat ini dia sedang berlibur, bisa jadi dia rfiinum koktail yang terdiri dari tiga jenis minuman, ditambah jus
buah, dengan hiasan ceri merah dan payung kertas tertancap di remukan es batu. Sejak dulu aku selalu
memimpikan duduk di bar dan menyesap minuman-minuman semacam itu. Dan Les tahu itu. Saat ini dia
sedang berpikir betapa senangnya aku bila bis
a minum minuman seperti yang ada di ha-dapannya sekarang.
Karena bar itu berada di YunanLa
denganku di klinik kebidanan bercerita bahwa bayi salah seorang kenalannya mad terlilit tah pusar saat
masih berada di dalam perut. Begitukah rasanya bila bayiku sedang sekarat" Apakah justru aku yang
merasa sakit, bukan dia"
Sambil menyesap teh, aku berusaha memikirkan langkah selanjutnya. Aku bisa menelepon ibuku dan
mendengar pendapatnya. Tapi sekarang sudah lewat tengah malam. Aku tidak mau membangunkannya bila
ternyata tidak ada apa-apa. Aku juga tidak bisa menelepon dokter. Aku baru saja chperiksa olehnya. Dia
bakal mengira aku histeris.
Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu mulai datang lebih teratur. Sakit... bilang... sakit... hilang...
sakit... hilang... Susah payah kuangkat badanku dari sofa dan berjalan sempoyongan mencari pamflet berisi panduan
keliamilan. Berdasarkan keterangan di bab Tanda-tanda Persalinan,' bila apa yang kurasakan sekarang adalah
kontraksi, maka sebaiknya aku menghitung waktunya. Saldt... berhenti... sakit... berhenti...
Aku jadi bisa melakukan hal lain selain meringis dan menjerit kesakitan.
Kupusatkan perhatianku ke jam di panel video. Jam 01.30. Aku tidak mungkin menelepon Hillary dini
hari begini. Tidak bila bukan karena urusan yang gawat
Dan sepertinya ini bukan urusan yang gawat. Maksudku, memang sakit, tapi setelah mulai merasa
terbiasa, sakitnya tidak begitu terasa lagi. Lagi pula, aku tidak mengalami perdarahan atau yang lainnya.
Kecuali mungkin perdarahan dalam.
Tepat jam 02.00, aku berhenti menghitung kontraksiku. Soalnya, aku tidak tahu harus menghitung
untuk apo-Sepuluh menit sekali" Lima menit sekali" Tiga" Sesudah itu apa"
Aku berusaha mengingat-ingat cerita orang lain tentang pengalaman mereka melahirkan bayi. Aku
tahu bahwa persalinan memang menyaldtkan, tapi sakit bersalin dan sakit karena organ-organ dalam
tubuhmu terdorong keluar tentu saja berbeda rasanya. Aku yakin begitulah yang kuingat. Yang paling
kuingat adalah waktu Charlene bercerita bahwa dia pergi ke rumah sakit, disuntik, lalu tidak merasakan
apa-apa lagi. Yang itu aku ingat. Dalam ingatanku aku melihat seorang wanita tersenyum lebar dengan dahi
berkeringat, mendekap bayi yang baru dilahirkan. Dalam bayangan ini, si bayi tidak berpegangan pada
organ-organ dalam si wanita.
Aku mencoba tidur, tapi tidak bisa. Rasanya seperti berusaha tertidur saat tengah diinterogasi polisi.
Jam 02.30, aku merasa ingin ke belakang. Dengan terbungkuk-bungkuk -menahan sakit, aku mera-yap
keluar dari ruang tamu. Aku hampir-hampir merasa takut bergerak, khawatir jangan-jangan aku
memecahkan sesuatu. Atau memecahkan sesuatu yang lain.
Aku menghela napas dalam-dalam, untuk mengurangi rasa sakit Saat ini aku berharap seandainya saja
waktu itu aku ikut kelas melahirkan, walaupun tanpa didampingi pasangan. Dengan begitu, paling tidak aku
tahu seberapa jauh jarak konstraksi sebelum menelepon dokter.
Entah bagaimana caranya aku bisa sampai di kamar mandi. Tapi itu tidak penting benar, karena aku
tidak bisa beringsut lebih jauh lagi.
Kubuka pintu kamar mandi, tapi hanya berdiri mema-tung di sana, berpegangan pada gagang pintu.
jsanya seperti ada orang yang melakukan uji Co^ bom nuklir di bawah tanah. Hanya saja, yang
menjadi tanahnya aku. Wuss! Sesuatu meledak di dalam perutku. Aku begitu shock hingga tidak bisa bereaksi sampai
kemudian me-nyadari ada air menetes menuruni kedua kakiku.
Dan aku pun langsung tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Aku akan mati di sini, sendirian, itulah
yang akan terjadi. Mataku tertumbuk pada bayangan diriku dalam cerrnin. Wajahku pucat dan tubuhku
berkeringat, basah kuyup. Yang tebersit dalam pilaranku saat itu adalah, syukur Les tidak ada di sini. Aku
tidak mau dia melihatku dalam keadaan seperti ini. Cukup petugas am-bulans saja yang melihatku bila
mereka mengusungku nanti ke kamar mayat
Tangisku meledak. "Oh, Tuhan!" Meski sedang dalam keadaan sekarat, aku masih me-nyadari keadaan di sekelilingku, seperti sedang
menonton adegan film. Les berdiri di ambang pintu. Dia kembali karena dia rindu padaku. Tidak, dia k
embali karena dia punya firasat aku membutuhkan dia. Dia rela meninggalkan teman-temannya, dan naik pesawat pertama
yang menuju London. Dia mengenakan kaus oblong dari Yunani dan topi jerarni. Begitu melihatku, dia
langsung menjatuhkan tas dibawanya dan menghambur untuk memelukku. lah, Sayang..." hiburnya dengan
nada lembut. sudah datang...."
Tapi yang datang ternyata bukan Les. Melain . ku. Dia berdiri di belakangku dengan mengenakan
1 biru dan wajah pucat pasi, seperti api unggun
"""Lana! Ternyata benar firasatku "
"Jangan hanya berdiri di sana dan menguliahikul" menjerit. "Lakukan sesmtuT
Kemudian aku benar-benar menangis.
Kesedihan Pasca Melahirkan
AKU senang sekali berada di bangsal kebidanan. Ruangan
itu dicat kuning pucat dengan tkai-tirai bergambar beruang kecil, hingga menimbulkan kesan riang.
Ada tiga ibu baru yang dirawat dalam bangsal yang sama denganku: Ellen, Anne, dan Sam, jadi kami bisa
mengobrol seru, bergutau, dan tertawa-tawa. Rasanya hampir-hampir seperti sedang berpesta.
Aku menceritakan pengalamanku pada mereka, bahwa aku tidak tahu aku sedang mengalami
kontraksi, menurut dokter aku belum saatnya melahirkan, air ketubanku pecah, dan lain sebagainya.
Tidak seperti Hillary Spiggs, yang menganggapku makh-luk asing dari planet lain, mereka semua
bersimpati padaku. Kemudian, ganti mereka menceritakan padaku kisah-kisah horor mereka sendiri. Kalau
mendengar cerita mereka, rasanya luar biasa ada orang yang mau repot-repot punya bayi.
Ellen melahirkan bayi keduanya di rumah sakit John Lewis. Jadi dia lantas menamakan anaknya Lou.
"Kalau bukan Lou, pilihannya tinggal Ladies' Lingerie," katanya. 'Tapi kupikir, bisa-bisa dia akan
diejek teman-teman sekolahnya nanti, bila kuberi nama Ladies' Lingerie." Dia tertawa. "Kau harus berhati-hati dalam memberi
nama anakmu." Aku merasa seperti menjadi bagian dari semacam klub atau perkumpulan. Kecuali Anne dan aku, yang
lain-lain sudah pernah melahirkan sebelumnya. Ellen bahkan punya
tiga anak. "Ah, yang benar"" Melahirkan rasanya seperti mengikuti ujian akhir. Aku tidak bisa membayangkan
melakukannya lebih dari satu kali. "Kau sudah punya tiga anak""
"Cowok-cowok," jawab Ellen. Dia menyeringai. "Kami ingin anak perempuan."
"Aku punya dua anak," Sam menimpali. "Satu laki-laki dan satu perempuan."
"Kalau aku, kurasa aku tidak mau punya anak lagi," kataku.
Yang lain-lain tertawa mendengarnya.
"Semua orang selalu berkata begitu pada awalnya," kata
Sam. Sam berumur 24 tahun. Setelah aku, dialah yang termuda.
Dia mengedipkan mata padaku. "Kau kan baru mulai. Aku melahirkan anak pertamaku waktu seumur
denganmu. Percayalah, nanti kau akan terbiasa."
'Tunggu sampai kau punya anak sebanyak aku," Ellen menambahi. "Satu-satunya hal yang membuatku
takut hanyalah apakah masih ada cukup ruangan di rumahku untuk anak ini."
Ellen dan suarninya tinggal di sebuah rumah berkamar dua.
"Kedua orangtuaku memberi kami hadiah perkawinan berupa uang muka rumah," cerita Ellen. "Kami
sudah tinggal di sana lebih lama daripada umurmu sekarang."
"Kedengarannya seperti surga bagiku," timpal Anne. "Sejak menikah, Colin dan aku menumpang di
rumah ibuku, dan sampai sekarang pun kami masih tinggal di sana."
"Tidak enak kan, tinggal bersama ibumu"" selaku. Aku merasa sangat bahagia sekarang, berbaring di
tempat tidur sambil mengobrol dengan mereka, seperti wanita sungguhan. Anne benar, aku nyaris tidak
ingat lagi pada rasa sakit yang kurasakan tadi malam. "Begitu sempat, aku dan pacarku akan mencari flat
sendiri." "Beruntung benar kau," kata Anne. "Satu-satunya cara aku bisa memisahkan diri dengan ibuku adalah
bila aku membunuhnya dan mereka menjebloskan aku ke dalam penjara."
"Hm... Dipenjara sendirian..." gumam Ellen. "Aku rela dihukum penjara, asal bisa menikmati
kesendirian...." "Kami menginginkan flat yang modern," selaku. "Dengan taman untuk tempat bermain anak-anak."
Meski baru terpikirkan olehku sekarang, tapi aku tahu benar bagaimana taman yang kuinginkan. Di sana
nanti. akan ada rumah-rumahan Wendy warna pink, persis seperti yang selama ini kuidam-idamkan.
"Kami juga ingin punya flat sendiri,"
kata Anne. "Tapi... well..." Dia mengernyitkan muka dan
mengangkat bahu. "Kita toh tidak selalu bisa mendapatkan apa yang kita mginkan, bukan""
Aku baru hendak mengatakan bahwa tentu saja kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, asal
mau ber-usaha, tapi sekonyong-konyong mereka menyahut berba-rengan, "Kita mendapatkan apa yang kita butuhkan!" Aku tidak mengerti maksudnya, tapi, aku ikut
saja tertawa bersama mereka. "Kurang-lebih itu sama saja, bukan"" tanyaku setelah
mereka selesai tertawa terpekik-jerit. Ellen mengedipkan mata. "Tidak selalu."
Pemandangan saat ini persis seperti adegan film: aku dan Hillary Spiggs, berdiri berdampingan,
menunduk meman-dangi bayi mungil dalam gendonganku. Mata bayi perempuan itu terpejam dan kedua
tinjunya terkepal di dekat mulut. Rambutnya berantakan dan acak-acakkan, kuhtnya berbercak-bercak.
Mukanya agak mirip kodok, tapi dia tetap tampak sangat manis.
"Well, dia tidak mirip dengarw//," kata ibuku. "Jadi dia-pasti rnirip ayahnya."
Itu pertanyaan pancingan. Ibuku mengira, dalam keadaan lemah dan mengharu-biru setelah melahirkan
begini, aku bakal keceplosan dan memberitahu dia siapa ayah bayiku. Tapi tentu saja tidak segampang itu
aku dijebak olehnya. Aku hanya berkata, "Luar biasa. Semuanya lengkap, dia punya kuku dan tangan yang begitu mungil."
Memang luar biasa menakjubkan. Maksudku, aku tahu bayiku akan memiliki kuku, tangan, alis, dan
lain sebagai-nya, tapi bila melihatoya secara langsung seperti ini, tetap saja itu terasa menakjubkan.
Apalagi bila melihat betapa kecil mungilnya dia.
"Memangnya kaukira dia akan punya apa"" sergah 'buku. "Cakar dan- taring""
Percaya deb, Hillary Spiggs memang paling tidak bisa melihat orang lain senang.
Aku mendesah dan menyentuhkan jari telunjukku ke salah satu jari bayiku. Jari mungil itu memiliki
buku jari yang juga kecil, gurat-gurat, dan lain sebagainya. .*js8
"Kau toh mengerti maksudku. Seperti keajaiban saja."
"Yang ajaib itu adalah kalau kau bisa memasukkannya kembali ke dalam perut," sergah Suster Hillary
yang periang itu. rAku mengusap-usap buku-buku jari yang mungil itu. "Aku tidak mau memasukkan dia kembali ke
perutku. Menurutku dia hebat" Walaupun dia bukan anak laki-laki.
Aku hanya berharap mudah-mudahan Les sependapat denganku. Aku berpikir jangan-jangan dia
sebenarnya ingin punya anak lelaki. Tahu sendirilah, karena dia tidak pernah punya saudara laki-laki dan
ayahnya meninggal waktu dia masih duduk di bangku SD. Tapi bayiku ml memang benar-benar mirip dia.
Itu bisa membantu ter-bentuknya hubungan yang akrab di antara mereka;
Ibuku bersiap-siap pergi.
"Benar kan, apa kataku" Charlene tidak bisa menung-guimu melahirkan."
Aku mengangguk. Kedua anak Charlene sedang sakit flu.
"Dan Dara sedang mengikuti konferensi di Australia." Kakakku sang bankir internasional. Lagi-lagi
aku mengangguk. 'Tapi Charley akan datang ke sini begitu selesai kerja nanti."
Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Les sudah tahu bahwa dia punya putri. Secara instingtif,
begitulah. "Bagus." "Jadi, apa yang bisa kubawakan untukmu bila aku
kembaU ke sini nanti"" Kubersihkan secuil kuht kering dari ahs anakku.
"Surat-suratku saja."
Anne menghampiriku dengan langkah terseok-seok, membawa sekotak cokelat yang dibawakan
suaminya tadi serta sebuah buku berisi nama-nama bayi. "Kau sudah memilih
nama untuk anakmu""
Aku menengadah dari daftar nama yang sedang kususun. "Belum. Kupikir mungkin aku akan
menunggu dulu, untuk melihat bagaimana dia."
Anne duduk di pinggir tempat tidurku sambil menge-rang. "Sumpah deh, bekas jahitannya justru yang
paling menyakitkan." Dia mengambil buku catatan yang kule-takkan di sampingku. "Nama apa saja yang
sudah kaudapat sejauh ini""
"Belum ada. Satu-satunya nama yang cocok untuknya sekarang ini hanyalah Banshee, setan cewek
tukang teriak im." Bayiku menangis terus sehingga perawat terpaksa membawanya ke luar bangsal supaya
tangisannya tidak membangunkan bayi-bayi lain.
Anne tertawa, begitu juga Ellen, yang berbaring di tempat tidur yang bersebelahan dengan tempat
tidurku. Anne membolak-balik bukunya. "Bagaimana kalau Angelica..." Maia
..." Winona...""
Aku menggeleng. Tidak. Tidak. Tidak.
"Bagaimana kalau Cheryl..." Atau Amee..." Atau Dana...""
"Sepertinya kok tidak ada yang cocok."
"Apa ayahnya tidak punya ide apa-apa"" tanya Ellen.
Aku tertawa. "Kau tahu sendirilah bagaimana laki-laki. Dia ingin menamai anaknya seperti nama
ibunya." "Dan apa nama ibunya"" tanya Anne.
Mana aku tahu" Aku hanya pernah mendengar Les menyebutnya dengan panggilan "Mum". "Mary,"
jawabku asal tebak. "Nama yang sedikit kuno..." komentar Anne. "Apakah dia akan datang malam ini""
tanya Ellen. "Siapa"" aku balas bertanya. "Itu ayah bayimu."
Padahal selama ini aku berharap tidak akan ada orang yang sadar Les tidak ada. Maksudku, ibu-ibu
lain selalu dikunjungi banyak tamu. Suami Ellen selalu mampir setiap hendak berangkat kerja, lalu mampir
lagi sepulang kerja, dan terakhir setelah makan malam sambil membawa anak-anak.
"Tidak," jawabku cepat-cepat. "Tidak. Dia sedang pergi. Bekerja. Di Manchester. Tidak bisa pulang
sampai minggu depan. Tapi dia meneleponku setiap hari. Kau tahu, untuk memastikan semua beres."
"Wah, kasihan sekali," komentar Ellen. "Aku yakin dia pasti sangat kecewa, tidak bisa menyaksikan
proses kda-hiran putrinya."
Aku mengangguk. Tapi aku tidak ingin kami terlalu lama membicarakan masalah ini.
"Ada sebuah nama yang sempurna melayang-Iayang dalam pikiranku saat ini," kataku sambil berpikir
keras. "Rasa-rasanya, aku pernah mendengarnya di film atau lagu...." Anne menyodorkan kotak
cokelatnya pada Ellen. "Bagaimana kalau Laura"" Ellen mencoba membantu.
"Ita dari lagu."
Tapi pasti bukan lagu yang kukenal. I
"Renee," usul Anne. "Itu juga dari lagu."
Lagi-lagi bukan lagu yang kukenal.
Masalah nama itu sebenarnya sedikit kritis. Aku tidak akan bisa mendapatkan akte kelabiran sampai
anakku punya nama. Dan tanpa akte kelahiran, aku tidak akan bisa mendapatkan tunjangan anak. Padahal,
aku sangat meng-harapkan tunjangan itu. Tambahan lagi, saat ini nenekku sedang membuatkan selimut
tambal khusus untuk bayiku. Memang itulah kegiatan nenekku sehari-hari: membuat selimut tambal. Itu


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimulai sejak dia berhenti merokok, supaya ada yang bisa dia lakukan untuk mengajihkan pildran dari
rokok. Kebiasaan itu berlanjut terus sampai sekarang. Dia membutuhkan nama anakku, supaya bisa
disulamkan ke selimut tambal. Juga, sebentar lagi Les pulang. Bila nanti dia meneleponku, aku ingin
bayiku sudah punya nama. Supaya anak itu nyata bagi Les. Supaya aku bisa berkata, "Aku memberinya
nama Bagaimana menurutmu""
Kugigit cokelat isi krim jerukku. "Bagaimana kalau Anastasia""
Anne menggeleng. 'Terlalu Disney." Dia menusuk-nusuk butiran-butiran cokelat dalam kotak dengan
jari tangan. '"Martina""
Aku senang mendengar nama yang diakhiri dengan huruf "a". Meski" nam aku kedengarannya seperti
nama sabun, tapi di nama-nama lain, akhiran "a" membuatnya
terdengar asing dan romantis.
''Martina nama yang bagus," Ellen berkomentar.
"Bagaimana kalau Simone"" tanya Anne. "Sejak dulu aku suka nama Simone. Kedengarannya
anggun." "Simona...," gumamku. Kemudian, tiba-tiba saja aku mendapat ilham. Ide itu hinggap begitu saja
dalam pikir-anku. Kujentikkan jari-jariku. "Dapat!" pekikku. "Nama yang sempurna!"
"Well, jangan membuat kami tegang menunggu," desak Ellen. "Siapa namanya""
"Sbinolal" Entah di mana aku mendengarnya, tapi setelah sekarang aku ingat lagi, aku langsung jatuh
hati pada nama itu. Nama yang tidak biasa dan eksotis. Shinola Spiggs memang bukan nama yang bagus,
tapi nama keluarganya tidak akan selamanya Spiggs. Sebentar lagi nama belakangnya akan menjadi Craft.
Shinola Craft. Atau mungkin Shinola Craft-Spiggs. Dua nama keluarga dijadikan satu kedengarannya keren
sekali. Ellen mengerutkan kening. "Shinola" Aku kok belum pernah mendengar nama itu sebelumnya."
"Kedengarannya hampir seperti nama Afrika," komentar Anne.
Tapi di telingaku, itu tidak terdengar seperti nama Afrika. Kedengarannya seperti nama yang
mengandung arti yang sangat indah, seperti "pagi yang cerah" atau "putri yang anggun" dalam entah bahasa
asing apa. "Mungkin kau bisa mencoba mengusulkannya pada pacarmu bila dia meneleponmu nan
ti." "Yeah," sahutku. "Aku pasti akan melakukannya."
uku dan Charley datang kira-kka jam 19.00. Mereka
membawakan aku Big Mac dan kentang goreng ukuran
besar, pai apel, dan milkshake cokelat. Tapi tidak ada
kartu pos untukku, kecuali dari Shanee.
Charley bertingkah aneh dengan mengeluarkan suara berdeguk-deguk pada bayiku, yang sekah ini
berhenti menangis untuk sementara waktu dan memandangi Charley dengan mata yang masih belum bisa
melihat dengan jelas. Sementara aku makan, ibuku mengoceh panjang-lebar, menceritakan kelakuan fey
waktu aku masih bayi. Aku tedalu capek untuk memedulikan ceritanya. Setelah mereka pulang, aku nonton
televisi sampai perawat datang untuk mematikan lampu.
Suasana di bangsal langsung berubah setelah lampu-lampu dimatikan. Bila di pagi dan siang hari,
bangsal ini terlihat seperti tempat berlangsungnya pesta pora, di malam hari justru terlihat seperti ruangan
pesta yang senyap ditinggalkan para tamu. Yang tertinggal hanya aku sendirian untuk membereskan
semuanya. Mungkin penyebabnya balon berbentuk bin tang yang dibawakan suami Sam untuknya, yang kini
menggelayut di atas tempat tidurnya. Aku tidak pernah kepingin menjadi astronot atau sebangsanya, tapi
tiba-tiba saja aku merasa seperti melayang sendirian ke luar angkasa.
Suasana di luar angkasa dingin 'dan menakutkan. Tidak seperti di film-film. Di sini tidak ada stasiun
luar angkasa tempat Han Solo dan Chewbacca nongkrong. Atau koloni tempat persinggahan bagi pesawat
luar angkasa. Yang ada hanya ruang angkasa yang luas tak berbatas. Pikiranku melayang pada kartu pos
yang tidak dibawakan Hillary dari rumah. Bagaimana bila aku tidak pernah menemukan daratan untuk
mendarat" Bagaimana jika aku melayang-layang terus seperti ini selamanya tanpa ada yang mem-bawakan aku karangan bunga atau
balon" Tangisku sudah hendak pecah, tapi kemudian, pikdran Iain muncul di otakku. Tidak ada kartu pos
bukan berarti Les mengacubkan aku. Dia justru hendak melindungfaa. Bila dia mengirim kartu pos dan
Hillary melihatnya, ibuku pasti ingin tahu siapa dia. Hillary tinggal menghubung-hubungkan fakta yang
ada, dan dia akan tahu bahwa Les adalah ayah bayiku. Syukurlah" Les masih punya cukup akal sehat untuk
berhati-hati. Perasaanku jadi lebih enak.
Aku kembali melayang ke ruang angkasa.
Begitu banyak bahaya mengancam di luar angkasa yang belum pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
Aku sudah menyusun segala macam rencana untukku dan bayiku. Dan juga Les. Aku tahu bagaimana
bentuk rumah kami nantinya, serta bagaimana kami akan menghias pohon Natal kami hal-hal semacam
itu. Tapi aku justru belum menyiapkan rencana bila hal-hal itu tidak terwujud.
Bayiku terbangun. Dia merengek-rengek.
Kuangkat dia, seperti yang sudah diajarkan perawat padaku.
"Sttt," bisikku. "rNanti semua terbangun." Bayiku berhenti merengek dan mengeluarkan lengkingan
panjang yang keras sekali, hampir-hampir membuat sebelah telingaku tufi. Aku langsung menekan bel,
memanggil perawat "Sekarang belum waktunya minum susu," perawat itu berkata. "Coba kautidurkan lagi
dia." Tapi aku tidak berhasil menidurkannya lagi. Semakin keras aku mencoba, semakin keras pula
lengkingannya. Perawat datang membawakan botol susu.
Bayiku tidak mau minum susu.
"Well, wajar saja bila dia gelisah. Ini dunia baru yang
asing baginya, bukan"" kata perawat itu.
Bagi kami berdua, tambahku dalam hati.
Begitu perawat mengambilnya dari gendonganku, bayiku langsung berhenti menangis.
"Mungkin dia tidak suka padaku," bisikku.
"Jangan tolol." Perawat itu menimang-nimang bayiku dalam pelukannya. "Tentu saja dia suka padamu.
Kau kan ibunya." "Aku tidak suka pada ibuku."
Perawat itu tersenyum pada Shinola. "Kau ingin kembali
ke gedongan mummy-mu bukan"" tanyanya. Bayiku kontan mulai menjerit-jerit lagi. "Kaulihat, kan""
sergahku. "Sudah kubilang dia tidak
suka padaku." Perawat itu tertawa. "Aku akan membawanya ke ruang bayi. Akan kucoba menidurkan dia."
Setelah perawat itu pergi, aku merasa benar-benar depre-si. Semua orang tidur dengan tenang dan
damai. Mengapa tidak" Mereka semua akan pulang ke rumah masing-masing, kembali pada ayah anak-ana
k mereka. Bila mereka bangun di pagi hari, ayah bayi mereka akan datang, membawakan buah dan
pesan ucapan selamat dari teman-teman, mungkin bahkan setumpuk kartu ucapan.
Aku berharap seandainya saja tadi aku minta Hillary membawakan Mr. Ted ke rumah sakit. Aku bisa
hilang padanya bahwa itu untuk bayiku. Selama ini Mr. Ted selalu menemaniku tidur, kecuali bila Les
menginap. Aku benar-benar rindu padanya. Aku tidur dalam posisi me-ringkuk, merengkuh bantalku, dan
berpura-pura seolah aku sedang memeluk boneka beruang botak berrnata satu, tapi tetap saja rasanya berbeda.
Saat itulah aku mulai menangis. Mulanya hanya sedikit
tapi tak lama kemudian, tangisku berubah menjadi sedu-sedan. Semua pikiran ini berkecamuk dalam
benakku Begitu banyaknya sampai aku tidak tahu pikiran apa saja itu Apalagi, karena aku memang tidak
ingin tahu. Ada sesuatu yang menakutkan, sedang berusaha merangsek masuk ke pikiranku. Tapi aku tidak
akan membiarkannya masuk.
Aku berusaha menyanyikan lagu Everything's Gonna Be Alright dalam hati, tapi tidak bisa. Aku
berhenti berpikir dan membiarkan diriku menangis.
Perawat datang lagi sambil membawa bayiku, tapi begitu melihat keadaanku, dia membawanya
kembali ke ruang bayi. Sejurus kemudian, dia kembali, membawakan secangkir teh untukku.
"Sudah lebih enak sekarang"" tanyanya sementara aku meneguk tehku.
Aku mengangguk. "Hampir semua orang merasa sedikit sedib setelah melahirkan," perawat itu menjelaskan. "Itu karena
penga-ruh hormon." "Benarkah"" Aku membersihkan ingusku dengan tisu. "Hanya itu""
Perawat itu menggemukkan bantalku. ^
"Hanya itu," dia menegaskan dengan nada dang-dia membetulkan letak selirnutkm. "Setelah nanti
P1"31^ ke rumah dan mulai menjalani hari-harimu bersama *yi mu, kau akan kembali ceria." pja
Perawat itu salah satu perawat yang paling taa-selalu bersikap ramah dan tenang
j^enurutrnu begitu""
Diambilnya cangkirku yang sudah kosong.
"Aku yakin begitu."
^ku memutuskan untuk memercayainya.
Menjadi Ibu PULANG ke rumah setelah melahirkan ternyata jauh. lebih buruk daripada kembali ke sekolah setelah
libur musim panas; kekecewaan besar. Ibuku memberiku waktu sato-dua had untuk bed stir ahat
memulihkan kekuatan, tapi sesudahnya, dia menyatakan dengan sangat jelas bahwa dia mengharapkan aku
mengerjakan semuanya sendiri.
"Aku bukan perawat pribadimu, Lana/' dia menegaskan. Testa sudah berakbir. Sekarang waktunya
kembali ke dunia nyata."
Aku tidak punya teman yang bisa kuajak mengobrol' seperti di bangsal rumah sakit. Sudah jelas aku
tidak bisa mengobrol dengan dia, semen tara teman-temanku belum ada yang kembali dari berlibur. Tidak
ada siapa-siapa kecuali Mrs. Mugurdy. Untuk pertarna kalinya dalam hi-dupku, aku merasa lega ketika
bulan Agustus perlahan-lahan mulai mendekati akhir. ,:'-is^i
Shanee langsung datang menengokku begitu kembali dari Irlandia. Dia membawakan oleh-oleh kaus
kaki untuk Shinola, kaus bertuliskan I'm a Full-time Job setta boneka
bebek dari katet. Dia tidak membawakan apa-apa untuk-ku.
"Jadi bagaimana keadaanmu"" tanya Shanee.
Dia berdiri di belakangku, menontonku mengganti po-pok Shinola.
Aku mengelak dari tendangan kaki kecil yang nyaris
metontokkan gigi depanku.
"Menyenangkan sekali," jawabku. "Inilah makna hidup sebenarnya." Kutarik tinju Shinola dari perekat
popok lalu merekatkan popoknya. "Sukar dipercaya bahwa dulu aku pernah tidak punya dia." Perkataanku
itu ada benarnya juga; aku bahkan hampir tidak bisa pergi ke toilet tanpa membawanya.
Wajah Shinola kontan memerah dan mengejang pada saat yang bersamaan.
"Mungkin kau terlalu kencang memakaikan popoknya," duga Shanee.
Karena ini pertama kalinya aku bertemu Shanee sejak Shinola lahir, aku tidak membentaknya seperti
kalau yang mengatakan itu tadi Hillary Spiggs.
"Tidak, popoknya tidak terlalu kencang," kataku sambil melihat kotoran bayi berwarna cokelat
kehijauan mengalir dari dalam popok dan membasahi paha Shinola. "Dia mencret-mencret.''
Shanee menceritakan padaku mengenai liburannya se-mentara aku membersihkan Shinola dan
memakaikan popok baru untuknya. Aku terlalu sibuk berdecak-decak dan nierayu-rayu Shinol
a jadi tidak terlalu memerhatikan ceritanya.
Shanee mengikuti aku ke dapur waktu aku pergi ke sana untuk memberi Shinola susu.
Dia masih terus mengoceh tentang liburan dan tentang cowok yang dikenalnya di sana. Cowok itu
mengajaknya jalan-jalan naik motor.
"Wow," seruku, menimang-nimang Shinola sambil terus berdecak-decak dan mengeluarkan suara-suara merayu. "Kedengarannya asyik."
"Nah," kata Shanee, mengakhiri ceritanya. "Bagaimana kabar Les""
Aku tidak bisa memberitahu Shanee bahwa jangankan bertemu Les, berbicara dengannya saja aku
belum pernah, Aku tidak ingin dia mengatakan "tuh kan, apa kubilang" atau merasa kasihan padaku.
Aku mengayun Shinola supaya Shanee bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Seharusnya kau
melihatnya waktu dia baru lahir," kataku. "Mukanya mirip kodok."
"Sampai sekarang pun dia masih agak mirip kodok" Shanee berkomentar.
Waktu Gerri meneleponku aku juga mengatakan padanya bahwa menjadi ibu merupakan pengalaman
yang sangat menyenangkan.
"Kau harus datang dan melihat anakku," kataku. "Dia sangat menakjubkan."
Gerri mulai berceloteh tentang cowok yang dikenalnya di sebuah pesta.
"Luar biasa lho, melihat betapa cepatnya bayi bertum-buh," selaku. "Berani sumpah, setiap hari dia
selalu berubah." "Kusangka justru kau yang berubah," tukas Gerri.
Amie ingin tahu bagaimana bentuk badahku sekarang. "Kau sudah berolahraga"" tanyanya. "Apa
perutmu masih menggelambir""
"Tunggu sampai kau melihatnya," tukasku. "Kemarin dia tersenyum padaku. Aku tahu semua orang
bilang itu sendawa, tapi itu tidak benar. Dia benar-benar tersenyum."
"Apa lagi yang kaulakukan selama ini"" tanya Amie.
"Aku harus pergi, Amie. Shinola menangis."
"Aku sudah pulang," seru Les. "Maaf ya, aku baru sem-pat meneleponmu sekarang. Soalnya, selama ini aku sibuk sekali."
Aku begitu lega Les menelepon ketika ibuku tidak ada di rumah, jadi aku tidak begitu mempersoalkan
mengapa baru sekarang dia meneleponku. "Aku juga sibuk," sahutku.
Les tertawa. "Apa saja kesibukanmu selama ini, shopping}" Aku tertawa juga. "Bukan," jawabku.
"Bayiku sudah lahir. Bayi kita." "Apa"" tanya Les.
"Bayiku," aku mengulanginya. "Aku sudah melahirkan. Itulah yang terjadi setelah kau mengandung
selama sem-bilan bulan," aku menjelaskan. "Kau melahirkan."
"Astaga," ucap Les.
"Bayinya perempuan," aku memberitahu, meski Les tidak bertanya. "Aku memberinya nama Shinola."
"Shinola"" "Yeah. Kau suka""
"Yeah, namanya bagus." Les berdeham-deham kikuk "Nama apa itu" Afrika atau sebangsanya, ya""
Kujawab bukan. Aku menjelaskan bahwa nama itu berarti pagi yang cerah dalam bahasa India atau
sema-cathnya. "Bagus," ucap Les. "Bagus sekali." Aku bisa mendengat nada suaranya berubah. "Nanti kutelepon kau
lagi, Lana. Sudah dulu ya."
Karena selalu lelah, aku langsung jatuh tertidur setiap kali ada kesempatan, biasanya di depan pesawat
televisi. Dan karena Les belum juga datang, aku sering bermimpi tentang dia.
Dalam mimpiku, Les mengajak aku dan Shinola ke Disneyland di Paris.
Waktu Charley mengajak Hillary dan aku ke Disney Worid di Florida, kami menginap di rumah kakak
Charley yang memang tinggal di Florida. Tapi Les menyewa kamar di salah satu hotel yang ada di taman
hiburan itu. Kamar kami bercat pink dengan tempat tidur berkanopi warna putih dan lampu kristal. Itu
kamar suite ripe Cinderella. Les memesannya khusus untuk kami. Di sana ada kamar lain yang lebih keciL
tepat di sebelah kamar tidur utama, untuk Shinola. Di dalamnya ada boks yang bisa bergoyang-goyang ke
kiri dan ke kanan, seperti yang ada dalam cerita-cerita dongeng, lengkap dengan kelambu putih, penutup
boks berwiru dan berhias pita pink.
Shinola terlelap di kamarnya yang kecil sementara Les dan aku bersiap-siap pergi makan malam
bersama. Ada pelayan yang bertugas menjaga Shinola sementara kami turun untuk makan, jadi kami tidak
perlu mendekam terus di kamar. Sehabis makan malam kami akan pergi ke disko.
Stasiun radio hotel memutar lagu-lagu dari kisah Disney klasik sementara aku mengganti bajuku
dengan baju pesta. Lagu Someday My Prince Will Come mengalun lembut
Aku mengancingkan ritsleting gaunku. Gaun merah ketat den
gan tali spageti dan rok yang sedikit
melebar. Padanannya sepatu merah berhak tinggi yang serasi. Aku duduk di meja rias putih-emas untuk
berdandan. Persis sekali seperti meja rias yang kuidam-idamkan selama ini (tapi dia tidak pernah mau
membelikannya untukku), dengan lampu-lampu mengelilingi cermin. Les munculdi belakangku. Dia mulai
menyurukkan. wajah ke leherku dan memuji kecantikanku. Aku pura-pura mar ah karena &. merusak
tatanan rambut dan rias wajahku, padahal sebenarnya aku sama sekali tidak peduli.
"Lana...," bisik Les. "Lana... Lana... Lana____"
Dia kasar sekali padaku. Aku mendorongnya jauh-jauh.
"Lana... Lana... Lana..."
'Jangan sekarang." Kudorong lagi dia. "Aku harus bersiap-siap."
"Lana... Lana... Lana..." Dia tidak lagi menciumku. Tapi mengguncang badanku keras-keras.
Aku melepaskan diri darinya. "Ganti baju sana," pe-rintahku. "Kau juga harus ganti baju."
"Tidak pada jam tiga pagi," bantah Les.
Aku membuka mata. Ternyata lagi-lagi aku tertidur di depan televisi. Tapi walau masih setengah
tertidur dan tidak bisa melihat, aku tahu bukan Les yang berdiri di sampingku saat ini. Kupejamkan mataku
rapat-rapat. "Lana, bangun."
Aku memberanikan diri melihat sekali lagi. Hillary berdiri di atasku dengan wajah polos tanpa riasan
dan kepala dipenuhi gulungan rol rambut, bagaikan monster di tengah malam buta. Aku ingin sekali
memukulnya. "Mau apa kau""
"Mau apa aku" Apa kau tidak dengar Shinola menangis" Dia sudah sepuluh menit menangis."
Kalau begitu, kenapa bukan dia saja yang menggen-dongnya" Demi Tuhan. Kuambil bantal dan
kutatupi mukaku. "Lantas" Kasih susu saja."
Hillary merenggut bantal itu dan membuangnya ke lantai. "Aku bukan ibunya. Dia membutuhkanmu,
Lana, Sekarang" Perintahnya itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila dia tidak berhasil membangunkanku, aku pasti akan
diseretnya turun dari sofa. Aku terduduk, mengucek-ucek mata.
"Aku tidak mau tidurku terganggu terus seperti ini setiap malam," keluhnya. "Besok pagi aku harus
bekerja." Hillary cuti satu minggu setelah aku pulang dari rumah sakit, untuk merawatku dan Shinola, dan masa-masa itu terasa seperti di neraka. Tapi ini lebih buruk. Sebelum ini, dia memang selalu mengeluh, tapi
paling tidak, sesekali dia masih mau bangun di tengah malam dan membuatkan susu. Sekarang, kerjanya
hanyalah mengomel melulu.
"Baiklah..., baiklah..." Aku bangkit dan berjalan ter-huyung-huyung ke dapur.
"Gendong dulu Shinola sebelum kau memanaskan botol susunya," omel Hillary. "Dia mar ah. Dia
perlu dihibur." "Aku akan menggendongnya nanti, setelah memanaskan susu," tukasku, walau yang kuinginkan saat
ini sebenarnya menjejalkan Shinola ke dalam lubang toilet. 'Tanganku kan hanya dua." s. .
Syukurlah, sudah tersedia tiga botol susu di dalam kulkas. Saat ini rasanya aku tidak sanggup bila
harus membuat susu dari awal lagi. Tidak kalau ibuku yang menyebalkan itu berteriak-teriak di
belakangku. 'Tanaskan airnya dulu," perintah ibuku. 'Tapi jangan
terlalu panas, cukup hangat saja."
Aku meletakkan botol susu itu di dalam sepanci air dingin dan menyalakan kompor. "Aku sudah tahu
sampai seberapa panas," tukasku ketus. "Aku kan sudah pernah
mdakukannya." Ibuku tidak berkata apa-apa. Aku menoleh untuk melihat apa sebabnya. Kau tahu, untuk melihat kalau-kalau
dia mengutukku atau bagaimana sehingga tidak mau mem-balas perkataanku. Tapi ternyata dia sudah


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi. Meski tidak terlalu lama.
Belum lagi aku sempat kangen padanya, dia sudah muncul kembali dengan Shinola menggeliat-geliat
dalam gendongannya. "Coba lihat dia!" seru ibuku dengan nada menuduh. "Dia sudah hampir biru."
Kalau menurutku sih mungkin lebih tepat bila dibilang ungu daripada biru.
"Memangnya itu salahku"" aku balas memekik. "Walau-pun aku tidak mendengarnya
menangis"" Ternyata masih ada yang tidak berubah. Aku masih saja disalahkan untuk segala macam hal. Bedanya
hanyalah, sekarang ada lebih banyak lagi hal yang bisa dia jadikan alasan untuk menyalahkanku.
"Seharusnya kau mendengarnya menangis," geram ibuku. "Kalau bukan membawa boksnya ke ruang
tamu, ya pindabkan saja teleyisinya ke kamarmu."
Tapi, bila dia berbicara pa
da Shinola, manisnya tidak
ketulungan. "Cup... cup____" hiburnya dengan nada pe-nuh kasih. "Sebentar lagi susumu siap. Cup... cup... cup...."Kurebut Shinola dari gendongannya. "Dia
bisa muntah bila kau mengguncang-guncang badannya seperti itu."
"Tidak akan," bantah ibuku. "Bagaimana mau muntah" Perutnya saja kosong"
Baru seminggu kemudian Les bisa datang dia sibuk sekali dengan pekerjaan yang menumpuk karena
habis ditioggal bedibur dan sebagainya. Katanya, dia punya kejutan untukku. "Aku sudah tidak sabar ingin melihat
reaksimu nanti bila' melibat kejutan yang kubawa," kata Les.
Sudah lama sekali tidak ada orang yang memberi/b hadiah yang sebenarnya diperuntukkan bagi
Shinola, jadi aku langsung memaafkannya karena baru sekarang bisa menengokku.
Sehari penuh kuhabiskan untuk mempersiapkan diri.
Les orang yang sangat resik. Aku tidak ingin dia mengira bahwa kesibukan menjadi ibu membuatku
se-rampangan, jadi mula-mula aku membersihkan flat. Lama sekali waktu yang kubutuhkan untuk bersih-bersih, karena setiap kali aku baru mau memasukkan sesuatu ke mesin cuci atau yang lainiiya, Shinola
mulai menjerit-jerit. Kemudian aku memandikan Shinola dan menggano' bajunya, supaya dia tidak bau apak. Begitu aku
selesai mengancingkan bajunya, dia buang air besar banyak sekali. Terpaksalah aku mulai dari awal lagi.
Aku bahkan belum selesai merias wajah ketika bel pintu berdering
Tentu saja saat itu Shinola sedang merengek-rengek, jadi aku langsung menggendongnya dan bergegas
menda-tangi pintu depan. Les terlihat kaget. "Ya Tuhan," ucapnya.
Aku menunduk, tersenyum pada Shinola. "Ucapkan halo pada ayahmu." Aku melambai-lambaikan
tangannya yang kecil pada Les. Tangannya basah kuyup karena air ludah.
Senyum setengah hati tersungging di wajah Les. Bukan senyum kecil, tapi benar-benar senyum
setengah had, seolah hanya separo bagian mulutnya saja yang bisa bergerak. Dia bergerak-gerak gelisah,
matanya tertuju pada Shinola. Padahal tadinya aku berharap dia bakal tersedak karena tak mampu menahan
emosi waktu pertama kali melihat Shinola, tapi ternyata itu tidak terjadi. Kalaupun ada emosi, yang terlihat
hanyalah kegugupan semata.
"Manis juga dia," kata Les.'"Dia rnirip kau."
Aku pura-pura mengamati wajah Shinola seperti belum pernah melihatnya sebelum ini, meski
sebenarnya. hanya Shinola sajalah yang kulihat terus setiap hari.
"Menurutmu begitu" Kurasa hidungnya adalah hidung-fflu."
Les tertawa. "Hidungnya bukan hidung siapa-siapa. Itu miliknya sendiri."
Les berdiri di sana dengan sikap canggung, mengang-guk-angguk dan menyeringai, matanya terpaku
pada -Shinola sepertinya bocah itu bom surat.
"Nah," ujarku. "Kau mau minum teh" Ceritakan padaku ten tang liburanmu."
Les mengempaskan diri ke sofa, di sebelah bungkusan popok sekali pakai. Sofanya berdencit.
Terkejut, Les mero-gohkan tangannya ke balik punggung dan mengeluarkan seekor bebek karet biru.
"Aku tidak bisa membavanoton mitvmru*,Jadinva_
a sudah bisa berjalan nanti," kataku. "Sekarang saja barang-barangnya sudah bertebaran di mana-mana."
Hidung Les bergerak-gerak. "Dia tidak buang air, kan" Di sini kok tercium bau tidak enak."
"Tentu saja tidak." Jangan harap aku mau mengganti popoknya sekarang. Ini pertama kalinya kami
bisa bersama-sama lagi setelah sekian minggu berlalu. Aku ingin Les menganggapku sebagai dewi
asmaranya, bukan cewek yang tangannya memegang kapas berlumur kotoran bayi. "Bagaimana kalau aku
merebus air sementara kau mence-ritakan Iiburanmu padaku""
Les menyandarkan punggung sambil mengembuskan napas lega. "Jangan biarkan aku kelamaan
mengoceh," katanya. "Aku membuat banyak orang bosan dengan cerita-ceritaku mengenai Yunani." Dia
terbahak. "Kau beruntung aku lupa membawa foto-fotoku."
Sedan tadi Shinola hanya merengek-rengek pelan, se-kadar. mengingatkan kami bahwa dia ada di sana.
Tapi, begitu Les mulai bercerita tentang liburannya, tangisnya benar-benar pecah. "
"Sttt, sttt..-,,," bisikku. "Daddy sedang menceritakan sesuatu pada kita."
"Pokoknya, liburan kemarin saat paling menakjubkan yang pernah kurasakan dalam hidupku," tutur
Les. Dia sengaja mengeraskan suara, agar
bisa mengalahkan raungan Shinola. "Setiap hari aku pergi
berenang. Dan aku pergi memancing beberapa kali, bahkan menyelam di air dangkaL Aku sangat "
Aku membalikkan badan dari depan bak cuci, meng-oenAcrta haviku di satu tangan dan memegang
ketel" ber-isi air di tangan yang lain. "Apa"" teriakku. "Berenang,
memancing, dan apa""
"Menyelam!'" raung Les. "Aku sangat suka menyelam. Tapi ternyata, itu tidak segampang yang
kaukira." ^3|| Berpikir tentang menyelam pun aku belum pernah, dan tidak berniat memulainya sekarang. Les
berceloteh panjang lebar tentang menyelam dan berbagai hal yang harus dipelajari supaya tidak celaka atau
bagaimana, tapi aku tidak mungkin bisa benar-benar memerhatikan ceritanya. Perhatianku saat ini terpecah
antara menyiapkan teh dan Shinola yang memekik-mekik di telingaku. Tidak mungkin aku menyelanya
setiap tiga kata hanya untuk bertanya "Apa"" Lagi pula, aku tidak benar-benar peduli. Ibaratnya, dia seperti
berbicara tentang selancar bintang, karena kedengarannya begitu asing dan jauh.
Aku kembali ke ruang tamu saat Les sedang asyik bercerita tentang pengalamannya memancing. Dia
tidak berhasil menangkap seekor ikan pun.
"Sayang sekali," komentarku. 'Tapi bagaimanapun, sekarang kulitmu cokelat. Keren sekah."
Wajah Les kontan berseri-seri. 'Tidak pakai acara go-song, lagi. Padahal biasanya, kalau aku berjemur,
kulitku gosong terbakar matahari. Kah ini, bahkan ujung hidungku pun tidak sampai terkelupas."
Aku memindahkan bungkusan popok dan meletakkan Shinola di sofa, di sebelah Les, supaya mereka
bisa mulai mengakrabkan diri. Dia sudah agak tenang setelah aku selesai membuat teh, tapi begitu
punggungnya menyentuh sofa, dia langsung mulai menjerit-jerit lagi.
Les melompat berdiri. "Ya Tuhan!" Dia menepuk ke-ningnya. "Kejutanmul Bagaimana aku bisa lupa""
dia membelikan aku baju kaus bertuliskan Pemenang Ko/apetisi TShirt BasaJb, Stttmytime Holidays
kemudian sebaris tulisan lain dalam bahasa yang mcnurut dugaanku pastilah bahasa Yunani. Setidaknya,
kedengar-annya seperri bahasa Yunani bagiku. "Cobalah," tenak Les. "Tapi tehnya "
Les mengedipkan mata. "Tehnya bisa menunggu." Lagi-lagi dia mengedipkan mata. "Kau harus
mengenakannya tanpa bra."
Aku terpaksa kembali ke dapur untuk melepas braku, karena orang-orang yang lalu lalang di jalan bisa
melihat ke dalam ruang tamu ini. Les menyusulku.
Aku membusungkan dada. "Bagaimana""
Les menyeringai. ^auh lebih asyik kalau bajumu basah, tapi begitu saja sudah cukup lumayan."
Les maju satu langkah, menghampiriku.
Aku maju satu langkah, menghampirinya.
Bibir kami saling menyentuh.
Shinola menjerk sekuat tenaga.
Les tersentak kaget, seolah bibirku panas.
'Ya Tuhan," ujarnya. Matanya melirik jam tangan. "Se-baiknya aku pergi sekarang. Aku tidak boleh
terlambat masuk kantor. Tidak setelah berlibur cukup lama."
Aku berusaha menyembunyikan kekecewaanku. 'Tapi kita kan belum sempat minum teh! Kau harus
merninum tehmu dulu."
Les menggeleng. "Aku benar-benar harus- pergi sekarang" la menyentuhku. "Lagi pula, sangat sukar
berkon-sentrasi bila dia menjerit-jerit terus seperti itu."
Aku berjalan mengikutinya ke pintu depan.
"Kapan aku bisa bertemu lagi denganmu"" "Sebentar lagi. Nanti aku mampir ke sini." "Mungkin kita
bisa makan siang bersama kapan-ka-pan."
"Yeah, pasti asyik. Kutelepon kau nanti, oke"" "Oke," jawabku.
Shinola meraung-raung. Seandainya dia alarm mobil, orang pasti sudah menghancurkan kaca depan
mobil sa-king tidak tahan mendengarnya memekik seperti itu,
Shinola masih saja menjerit-jerit waktu ibuku pulang.
"Kauapakan bayi ini"" tuntutnya.
Dia langsung merenggut Shinola dari pelukanku. Seperti biasa, sikapnya lembut dan manis. seperti
gula bila berbicara dengan Shinola. Tapi tidak bila berbicara de-nganku.
"Apa saja yang kaulakukan hingga dia kaubiarkan dalam keadaan seperti ini"" tuntutnya lagi. Oia
memandangiku dari atas ke bawah. "Berdandan"" 'Dia mengucapkannya seolah berdandan perbuatan kri-minal.
'Tidak," - sangkalku. "Aku sudah berdandan sejak sebe-lum dia menangis. Lagi pula, dalam buku
panduan merawat bayi yang kubaca, sekali-sekali boleh kok membi
arkan, bayi menangis."
Ibuku menimang-nimang Shinola dalam pelukannya.
"Mungkin sebaiknya kau beli buku yang lain," tukas ibuku sengit.
Aku mulai khawatir jangan-jangan mereka sudah lupa padaku, tapi Shanee, Gem, dan Amie akhirnya
berhasil menyisihkan waktu di sela-sela jadwal kegiatan mereka yang padat untuk mampir dan menengokku di
rumah. Aku menceotakan pengalamanku dengan sangat meng-gebu-gebu. Aku memang sudah menceritakan
pengalaman seruku pada ibu-ibu lain di bangsal kebidanan waktu itu, juga kepada para perawat di rumah
sakit, tapi ini pertama kalinya aku bercerita tentang pengalamanku melahirkan Shinola kepada teman-temanku. Efeknya sangat luar biasa. "Oh, Tuhan...," pekik Gerfi. "Apa kau tidak takut"" "Aku tidak
percaya aku tidak ada di saat kau membu-tuhkan aku," kata Shanee. "Kasihan Lana."
Amie mengangkat kedua tangannya. "Kumohon," pin-tanya. "Sudah cukup aku mendengar yang ngeri-ngeri. Aku tidak akan pernah mau punya anak kecuali aku bisa melahirkannya secara Caesar." "Itu juga
sakit lho," kata Shanee. "Tapi pasti tidak sesaldt seperti yang dialami Lana," kata Amie. Dia bergidik.
"Membayangkannya saja aku sudah ngeri."
Aku tertawa. Aku sangat menikmati reaksi mereka. Aku merasa sudah dewasa sekali, bercerita tentang
melahirkan dan segala macam. Paling tidak aku tahu sesuatu yang tidak mereka ketahui.
'Tidak sengeri yang kauduga kok," kataku. "Maksudku, kau tahu bahwa kau tidak akan meninggal atau
bagaimana. Dan lagi pula, kau langsung lupa pada rasa sakitmu begitu melihat bayimu."
"Omong-omong soal bayi, kapan kita bisa melihat anakmu"" tanya Gerri.
Aku melihat ke jam dinding. Bayi biasanya punya rutinitas sendiri tidur, makan, diganti bajunya,
tidur lagi tapi Shinola jarang sekali tidur. Biasanya dia baru tertidur
kelelahan di saat dia seharusnya sudah bangun lagi.
"Aku baru saja menidurkannya tepat sebelum kalian datang tadi. Paling tidak dia baru akan bangun
satu jam lagi'' 3 "Kami tidak bisa menunggu selama itu," kata Shanee.
"Aku harus segera pulang untuk menjaga adik-adikku."
"Mengintip sedikit boleh tidak"" tanya Gerri.
Sebenarnya aku lebih suka mendandani Shinola dulu dengan salah satu gaunnya yang cantik itu,
supaya, yah, dia tidak terlihat seperti kodok. Tapi di lain pihak, aku memang ingin memamerkannya pada
teman-temanku. "Baiklah," jawabku. "Tapi jangan berisik ya."
Kami berjingkat-jingkat masuk ke kamar tidur dan berdiri mengelilingi boks Shinola. Dia tampak
sangat manis dalam kantong tidur kuningnya.
"KuHmya kenapa"" tanya Gerri.
'Tidak apa-apa," jawabku berbisik. "Semua bayi memang seperti itu."
"Apa semua bayi rambutnya juga seperti itu"" tanya Amie. "Apakah alis mereka juga bersisik seperti
itu"" "Demi Tuhan!" desisku padanya. "Dia baru saja khir. Berilah kesempatan padanya untuk bertumbuh."
"Apa dia mirip Les"" tanya Amie lagi. .
"Menurutku dia mirip Lana," kata Shanee.
"Dia mirip Les," sergahku, meyalrinkan mereka semua. 'Hanya saja dia tinggi."
"Apa komentar Les waktu dia melihatnya"" tanya Gerri.
Dasar Gerri si mulut besar.
"Dia sangat tergila-gila pada anaknya." Aku yakin suatu
saat nanti dia pasti akan terguVgila pada Shinola
"Dia langsung datang ke sini begitu sampai dari Manchester."
Karena aku tidak mau teman-temanku mengira Les tidak begitu peduli pad aku, aku memberitahu
mereka bahwa dia dikirim ke Manchester untuk mgas kantor. Kedengarannya jauh lebih bisa diterima
daripada pergi berlibur ke Yunani.
"Di mana ibumu waktu itu"" tanya Gerri lagi. "Jangan bilang padaku mereka akhirnya bertemu juga!"
Kutatap dia dengan pandangan sebal. "Jangan harap Ibuku masih belum tahu siapa dia." Kupandangi
lagi dia. "Dan dia tidak akan pernah tahu. Belum."
"Wall, kalau begitu kunjungan kekehiargaannya menjadi agak susah, dong"" komentar Gerri.
"Ayo." Kusambar tangan Gerri dan Amie lalu kutarik mereka keluar. "Ayo kita kembali ke ruang
tamu. Bisa-bisa dia bangun nanti kalau kita mengobrol terus di sini."
Sedari tadi mereka sibuk ber-ohh dan ber-ahh-ria serta mengobrol tepat di atas kepala Shinola, tapi itu
semua tidak membuatnya terbangun. Justru suara pintu kamar menutup pelan sekali yang me
mbuatnya tergugah. Detik berikutnya, raungan Shinola Spiggs memecahkan kehe-ningan, seperti raungan alarm
mobil. "Astaga," seru Gerri. "Dia tertusuk peniti atau bagaimana""
Kuputar bola mataku. "Pampers tidak menggunakan peniti. Dia tadi pasti mendengar suara pintu
menutup dan terbangun."
"Apa dia selalu menjerit seperti itu"" tanya Amie. "Kau mau aku menggendongriya"" Shanee
menawarkan "Biarkan saja, dia tidak apa-apa. Aku akan menyetelkan
musik, itu bisa membantunya tidur lagi." Aku memasang CD lagu-lagu Oasis dan membuatkan
teh untuk kami semua. Gerri mulai bercerita tentang pacar barunya. Cowok itu bekerja sebagai kurir yang mengantarkan
barang dengan menggunakan sepeda dan memiliki tubuh adetis. Tambahan
lagi, dia ganteng sekali. Juga, penghasilannya lumayan.
Shinola terus saja menangis, tapi suara Gallaghers ber-saudara cukup berhasil meredam suaranya.
Hanya sayup-sayup saja terdengar suara tangisnya di balik alunan musik. Shanee berulang kali melirik ke
arah kamar, tapi aku pura-pura mengira Shinola sudah tidur lagi, jadi Shanee pun diam saja.
Aku mulai kembali bisa menikmati suasana.'Hanya saja sekarang aku tidak merasa seperti orang
dewasa, seperti bila aku membicarakan Shinola. Sekarang aku merasa seperti diriku sendiri.
Amie sekarang bekerja" paro waktu di sebuah restoran ptyga yang terletak di jalan utama. Bosnya
sudah tua dan menyebalkan, tapi tip-tip yang berhasil didapatnya lumayan.
Shinola terus saja menangis.
Tiba-tiba saja Shanee berdiri. "Menurutku sebaiknya kita pulang saja." Dia melayangkan pandangan ke
arah kamar. "Jangan buru-buru pergi," cegahku. Kusambar poci teh dari atas meja. "Bagaimana kalau kubuatkan
teh lagi"" Gerri dan Amie sama-sama memandangi Shanee.
"Ada yang harus kukerjakan," dalih Gerri.
Amie mengedipkan mata. "Dan aku menunggu telepon yang sangat penting."
Itu berarti telepon dari cowok.
Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak mendo-rongnya kembali ke kursi. "Pasti dia akan
meneleponmu lagi nanti," desakku. "Jangan pergi dulu, rninum dulu secangkir teh lagi."
"Lain kali saja," tolak Gerri.
Amie mengangguk. "Ya, lain kali saja, Lana."
"Bagaimana kalau kau urus dulu bayimu," Shanee me-nyarankan. "Kami bisa keluar sendiri."
Dari balik jendela depan, kupandangi mereka bertiga pergi meninggalkan rumahku. Mereka bahkan
tidak sempat lagi berpaling untuk melambaikan tangan dan mengucap-kan selamat tinggal. Mereka tertawa-tawa dan mengobrol dengan ramai, seolah tidak mendengar lengkingan Shinola dari jalan. Aku tahu
tangisannya terdengar hingga ke jalan. Itu kuketahui bila aku meninggalkan dia untuk menelepon Les dari
telepon umum, supaya Hillary tidak melihat nomornya tertera di rekening telepon. Tangisannya terdengar
jelas sekali dari jalan raya.
Kupandangi mereka semua berjalan menuju rumah Shanee dan bertanya-tanya dalam hati apakah
masih ada lain kail Kemudian, bukannya pergi ke kamar dan meng-gendong Shinola, tangisku justru ikut-ikutan meledak.
Pekerjaan Seumur Hidup WALAUPUN Les selalu marripir setiap dua-tiga hari sekali sebelum berangkat kerja, tapi karena dia
sangat sibuk setelah berhbur cukup lama, baru pada bulan Oktober kami akhirnya bisa makan siang
bersama. Sebenarnya hari itu bukan hari yang baik untuk meng-ajak Shinola pergi. Aku tahu itu. Cuaca sangat
Kereta Berdarah 14 Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton Medali Wasiat 12
^