Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 4

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 4


Dalam keadaan yang semakin lemah, Paksi masih mencoba untuk tetap bertahan. Demikian Marta Brewok meloncat menyerang, maka Paksipun berdiri tegak sambil mengacukan tongkatnya tepat kearah dada lawannya yang bergerak maju. Paksi berdiri diatas kedua kakinya yang sedikit merendah pada lututnya dengan sedikit menarik kaki kanannya kebelakang. Marta Brewok yang menyangka bahwa Paksi sudah menjadi semakin lemah justru terkejut. Tubuhnya yang meluncur deras itu menggeliat. Namun ujung tongkat Paksi masih juga mengenai lambungnya. Serangan Marta Brewok memang terhenti. Bagair manapun juga, patukan ujung tongkat Paksi di lambungnya itu terasa sakit. Tetapi dalam pada itu, Paksi telah terdorong beberapa langkah surut. Namun Paksi masih mampu mempertahankan keseimbangannya. Marta Brewok yang kesakitan itu menggeram. Dengan kemarahan- yang menyala ia berkata dengan suara bergetar " Setan kecil. Kau menyakiti lambungku. Karena itu, aku akan segera mengakhiri pertempuran ini." Paksipun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tetapi Paksi tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa tenaganya sudah semakin menyusut. " Bangkitlah " geram Marta Brewok " jangan cengeng. Kau baru bertempur seujung malam. Belum sampai tengah malam. Ketika aku masih semuda kau, aku dapat bertempur sehari semalam tanpa berhenti. Sekarang, diumurku yang semakin tua, aku justru sanggup bertempur tiga hari tiga malam. " Paksi menggeram. Tetapi tenaganya memang sudah benarbenar menyusut. Marta Brewok tidak menyambung kata-katanya, tetapi ia mulai menyerang kembali dengan garangnya. Ketika serangan Marta Brewok menembus pertahanan Paksi dan langsung mengenai pundaknya, maka tubuh Paksi itu seakan-akan telah diputar sekali. Paksi terhuyung-huyung. Ia mencoba untuk mempertahankan keseimbangannya.
Tetapi Marta Brewok telah meloncat lagi. Ketika tubuhnya berputar dengan satu ayunan kaki yang keras tepat mengenai dada Paksi, maka Paksi benar-benar terlempar dan jatuh terbanting ditanah. Ketika Paksi mencoba untuk bangkit, maka tubuhnya yang lemah itu terhuyung-huyung. Paksi masih mencoba bertelekan pada tongkatnya. Namun serangan yang berikut, telah menghantam kening Paksi dengan kerasnya. Paksi benar-benar terpelanting jatuh. Hanya karena keliatan tubuhnya sajalah yang menghindarkan kepalanya membentur batu-batu padas. Tetapi ketika Paksi berusaha untuk bangkit, maka matanya menjadi berkunang-kunang. Kepalanya terasa sangat pening sementara perutnya menjadi mual. Tetapi Paksi masih juga memaksa dirinya untuk berdiri. Tongkatnya ikut pula menyangga tubuhnya yang mulai gontai. Marta Brewok berdiri beberapa langkah dihadapan-nya. Suara tertawanya meledak mengoyak sepinya malam. " Nah, apa katamu sekarang" Kau menyerah" " Tetapi jawaban Paksi tegas " Tidak. Aku tidak akan pernah menyerah. " " Kenapa" Bukankah kau sudah tidak berdaya untuk melawan" Atau kau masih mempunyai Aji Pamungkas yang akan dapat menolong jiwamu" " " Aku tidak menyerah kepada tindak sewenang-wenang. Aku yakini kebenaran perjuanganku mempertahankan diriku. Karena itu, aku tidak akan pernah bergeser dari sikapku. Aku akan melawan kesewenang-wenangan-mu apapun yang akan terjadi. " " Apa yang akan kau pergunakan untuk melawan" Seandainya aku sentuh kau dengan jari-jariku, kau tentu sudah roboh. " " Aku tidak peduli. " " Kau tidak akan dapat membebaskan dirimu. Kau akan mati. Tubuhmu akan ditimbun dengan tanah dibawah bangunan utama padepokan Resi Jamur Akik. "
" Kau dapat membunuhku. Kau dapat mengubur tubuhku dimanapun kau mau. Tetapi kau tidak dapat membunuh keyakinanku, bahwa kesewenang-wenangan harus dilawan. " " Gila kau. Dalam keadaan seperti itu kau masih berani berbicara tentang keyakinan. Kau harus melihat kenyataan. Kau tidak dapat mempertahankan keya-kinanmu itu. " " Menurut gelar kewadagan, benar. Tetapi keyakinan adalah satu sikap jiwani. Kau tidak dapat membunuh jiwaku. " Marta Brewok menggeram. Katanya " Bersiaplah untuk menjadi korban. Tubuhmu akan menjadi tumbal. Tanpa tumbal tubuh seorang anak muda yang memiliki keberuntungan tetapi juga kemalangan seperti kau, maka bangunan itu tidak akan dapat terwujud .dan tidak pula akan dapat mempunyai arti. " " Aku tidak akan pernah melakukannya " jawab Paksi. " Diam " bentak Marta Brewok " jika kau masih menjawab lagi, aku koyakkan mulutmu. " " Lakukan. Tetapi kau tidak akan memakai tumbal yang cacat. " Marta Brewok itu menggeram. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya " Darimana kau tahu" " " Tidak ada korban yang cacat. " " Aku dapat mencari tumbal lain yang lebih baik. " " Terserah kepadamu " geram Paksi. " Kenapa kau tidak bertanya, tumbal apakah yang lebih baik itu" " " Aku sudah tahu. Maksudmu tentu korban yang tidak cacat. " " Kau salah anak muda. Untuk membuat padepokan itu ada tumbal yang jauh lebih baik. Tetapi mencarinya juga jauh lebih sulit. " Paksi tidak menyahut. Ia tidak bertanya, apakah tumbal yang lebih baik itu. Tetapi Marta Brewok itulah yang memberitahukan kepadanya " Anak muda. Tumbal yang lebih baik itu adalah sebuah cincin. "
" Cincin" " Paksi terkejut. Diluar sadarnya ia bertanya " Cincin apa" " " Cincin bermata tiga butir batu akik. " Jantung Paksi berdebar semakin cepat. Sementara Marta Brewok itu berkata " Nilai cincin bermata tiga butir batu akik itu sama dengan tiga kali lipat korban yang lain. Tetapi sampai saat ini kami masih belum menemukan cincin itu. " Dada Paksi masih berdebaran. Sementara itu, Marta Brewokpun bertanya " Apakah kau mengetahui sebuah cincin yang bermata tiga butir batu akik. Memang tidak biasa, karena pada umumnya cincin hanya bermata sebutir batu akik saja. " Paksi menggeleng. Dengan nada rendah ia menjawab " Tidak. Aku tidak tahu. " Marta Brewok mengangguk-angguk kecil. Tetapi iapun kemudian berkata " Paksi. Aku akan memberikan satu pilihan kepadamu. Jika kau ingin membebaskan dirimu agar kau tidak menjadi tumbal pembuatan padepokan itu, maka kau harus dapat menemukan sebuah cincin yang bermata tiga butir batu akik itu. " Sejenak Paksi tercenung. Ia menjadi bingung. Seandainya ia dapat menemukan cincin itu, maka ia harus menyerahkannya kepada ayahnya. Tidak kepada Marta Brewok yang akan memakai cincin itu sebagai tumbal. Tetapi jika ia tidak menyanggupinya, maka tubuhnyalah yang akan menjadi tumbal. " Kenapa kau diam" Kau harus memilih. Tubuhmu yang akan menjadi tumbal atau kau berusaha menemukan sebuah cincin yang bermata tiga butir batu akik. " Paksi termangu-mangu sejenak. Ia menjadi bingung. Ia dapat saja berbohong untuk sekedar menyelamatkan diri, setidak-tidaknya menghindar dari Marta Brewok. Tetapi harga diri Paksi telah mencegahnya. Itu perbuatan yang licik. Untuk menyelamatkan diri Paksi yang harus berbohong dan berpurapura. Karena itu, maka Paksi itupun menjawab " Ki Marta Brewok. Seandainya aku menemukan cincin yang bermata tiga
butir batu akik, aku tidak akan memberikan kepadamu untuk tumbal pembuatan padepokan itu. " " Kenapa" " bertanya Marta Brewok " apakah kau akan mempergunakannya sendiri" " " Tidak " jawab Paksi " aku akan menyerahkan kepada orang yang lebih berhak dari Resi yang akan membuat padepokan itu. " " Siapa yang lebih berhak itu" " bertanya Marta Brewok. " Kau tidak perlu mengetahuinya. " Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kau memang luar biasa Paksi. Hatimu keras seperti baja. Kenapa kau tidak mengiakannya sementara kau mempunyai kesempatan untuk menghindari kematian. Setidaktidaknya selama kau berusaha mencarinya. " " Aku bukan orang yang licik, yang berlindung dibalik kebohongan dan kepura-puraan untuk mencari keselamatan. " " Paksi " berkata Marta Brewok " aku tidak berkeberatan jika cincin itu nanti kau serahkan kepada yang lebih berhak, kerena aku tidak memerlukan cincin itu untuk seterusnya. " " Jadi bagaimana dengan tumbal itu" " bertanya Paksi. " Aku hanya memerlukan cincin itu selama tiga hari tiga malam. Aku akan merendamnya didalam air kembang setaman. Nah, airnya itulah yang kami butuhkan untuk menyiram alas dan bebatur pendapa bangunan utama padepokan itu. Selanjutnya kau dapat membawa cincin itu kepada yang kau anggap lebih berhak itu. " Dahi Paksipun berkerut. Ia tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dihadapinya. Ia juga tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Marta Brewok memberinya kesempatan untuk menemukan sebuah cincin bermata tiga butir batu akik. Cincin yang harus dicarinyadalampengembaraannya itu. " Paksi " suara Marta Brewok merendah " aku condong untuk memberi kesempatan kepadamu untuk mencari cincin itu, daripada harus menanam tubuhmu dibawah bangunan utama padepokan itu. "
Paksi termangu-mangu sejanak. Dengan ragu ia berkata " Tetapi sudah aku katakan bahwa aku akan menyerahkan batu akik itu kepada yang berhak." " Aku juga sudah mengatakan bahwa aku hanya memerlukan tiga hari saja. Setelah itu, terserah kepadamu. " Paksi masih bimbang. Ia masih merasa sakit diseluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja ia mendapat tawaran yang rasarasanya tidak masuk akal. Karena Paksi tidak segera menjawab, maka Marta Brewok itupun berkata " Pikirkan. Apakah kau ingin mati dan dikubur dibawah bangunan utama padepokan yang akan dibangun itu, atau kelak kau meminjamkan cincin itu selama tiga hari. " " Apakah kau dapat aku percaya" " bertanya Paksi. Marta Brewok justru tertawa. Katanya " Kau aneh anak muda. Seharusnya akulah yang bertanya seandainya kau memilih untuk mencari cincin itu dan kemudian meminjamkan kepadaku tiga hari tiga malam. " Paksi berpikir sejenak. Tawaran yang tidak diduganya itu telah membuat jantungnya berdebar semakin cepat. Namun kemudian Paksi itu menjawab " Baiklah. Aku akan mencari cincin dengan mata tiga butir batu akik itu. " " Bagus " jawab Marta Brewok " jika kau berhasil, maka padepokan itu benar-benar akan menjadi padepokan yang terbesar di tanah ini. " " Tetapi bukankah kau tidak memberikan batas waktu kepadaku" " bertanya Paksi. " Tidak. Tetapi sudah tentu secepatnya. Demikian kau mendapatkannya, maka kau harus menyerahkannya kepadaku untuk tiga hari tiga malam. " " Dimana aku hurus menemuimu" " bertanya Paksi. Marta Brewoklah yang termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya " Kau harus berada di alun-alun Pajang. Aku akan menemuimu. " " Kenapa alun-alun Pajang" " bertanya Paksi. " Tidak akan ada orang yang memperhatikan kita ditempat yang ramai. "
" Tetapi bagaimana kau tahu bahwa aku sudah berhasil mendapatkan cincin itu sehingga kau mencariku ke alun-alun itu" " " Aku beri ancar-ancar waktu. Enam bulan lagi aku akan pergi ke alun-alun Pajang. Jika kau belum berhasil, maka aku akan datang ke alun-alun itu setiap setengah bulan sekali. Sekali di saat bulan purnama, dan sekali disaat bulan tanggal pertama. Demikian kau berhasil, maka kau harus berada di alun-alun itu pada malam-malam yang aku sebutkan itu. " " Aku sama sekali tidak dapat mengatakan, berapa lama aku akan berhasil. " " Jika dalam setahun kau belum berhasil, aku akan mencarimu. Mungkin kau memerlukan bantuan. " Paksi menjadi semakin bingung menghadapi Marta Brewok. Sikapnya sama sekali tidak dimengertinya. Namun Paksi itupun menjawab " Baiklah. Aku akan berusaha menemukan cincin itu. " Tetapi yang dikatakan Marta Brewok kemudian semakin membingungkan Paksi. Katanya "Paksi. Jika kau akan mencari cincin itu, maka bekalmu tentu masih belum cukup. " " Maksud Ki Marta" " bertanya Paksi. " Kau harus mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya. syarat untuk mendirikan padepokan terbaik harus terpenuhi. " " Jika demikian, aku bersedia, Ki Marta. " " Bagus. Kau harus menempa diri dengan menjalani laku. Kau harus tetap berada disini. Dimalam hari kau akan berlatih. Disiang hari terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan. Atau barangkali kau akan pergi kemana saja. Tetapi sebelum senja, kau harus sudah berada disini lagi." " Berapa lama aku tinggal disini" " " Tergantung kepadamu. Kepada niatmu dan kepada kemampuanmu untuk menyadap ilmu itu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu dengan tajamnya. Namun Paksi mulai menyesali kebodohannya. Orang yang dihadapinya itu tentu merupakan salah satu dari
orang-orang aneh yang pernah dan barangkali masih akan dijumpainya lagi sebagaimana pengemis yang telah memberikan tongkatnya itu, atau orang yang pernah menyerangnya namun orang itu telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi ilmunya. " Nah, jika kau bersedia, maka mulai besok kau harus membuat sebuah gubug di sekitar tempat ini. Kau akan tinggal digubug itu selama kau menjalani laku. Aku tidak tahu, bagaimana kau akan makan dan minum. Aku tidak mau tahu bagaimana kau mendapatkan pakaian jika pakaianmu koyak, Yang penting bagiku, kau harus memiliki bekal ilmu yang cukup untuk memasuki satu dunia yang keras. Cincin itu diperebutkan oleh orang-orang yang mempunyai berbagai kepentingan. " Kau harus menempa diri untuk mematangkan dan mengembangkan ilmumu. Lebih dari itu, kau harus mempunyai ilmu andalan yang dalam keadaan yang sulit, dapat kau pergunakan. " " Aku tidak mengerti. Jadi apa yang harus aku lakukan" " bertanya Paksi. " Sebelum kau berangkat mencari cincin itu, kau harus membuat dirimu layak untuk mencarinya. Barangkali kau juga sudah tahu, bahwa banyak orang yang menginginkan cincin itu. Diantara mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Karena itu, jika pada satu saat kau memasuki pusaran perebutan cincin itu, maka kau harus menambah bekalmu. Maksudku, ilmumu harus meningkat. Paksi mengerutkan dahinya. Hampir diluar sadarnya ia berkata " Apakah Ki Marta dapat menunjukkan cara yang dapat aku tempuh, agar ilmuku meningkat" " " Aku dapat memberi jalan jika kau mau. " " Jika Ki Marta Brewok bersungguh-sungguh, tentu aku bersedia. " jawab Paksi. Namun pada nada suaranya masih terasa betapa hatinya bimbang. " Kau masih bimbang. " desis Marta Brewok.
" Aku sama sekali tidak bimbang, seandainya aku harus menjalani laku apapun juga. Yang aku bimbangkan adalah kesungguhan Ki Marta Brewok. Mungkin Ki Marta Brewok sekedar main-main sebelum aku benar-benar dibenamkan dibawah bangunan utama padepokan itu. " " Aku bersungguh-sungguh, Paksi. Padepokan itu tidak tergesa-gesa. Tetapi harus benar-benar sebuah padepokan yang terbaik. Seandainya padepokan itu dimulai setahun lagi, tidak menjadi soal. Yang penting, Paksi mengangguk-angguk sambil menjawab " Aku bersedia Ki Marta. " " Bagus. Besok malam kita akan mulai. Kita tidak akan berlatih disini setiap malam. Tetapi dibalik gumuk ini ada tempat yang lebih baik dan lebih tersembunyi dari tempat ini. Kau dapat menyesuaikan dirimu, dimana kau akan membuat gubug. Disini tersedia kayu.dan bambu menurut kebutuhan. Kau dapat membuat tali dari serat daun pandan atau serat kulit kayu yang lain. " " Baik Ki Marta. Besok aku akan mulai. " " Sekarang, ikut aku. Aku akan menunjukkan tempat itu. " Paksi tidak menyahut. Tetapi iapun kemudian melangkah mengiringi Ki Marta Brewok yang melangkah menuju ke lekuk yang tidak terlalu dalam disebelah gumuk kecil itu. Meskipun malam gelap, tetapi mata Paksi yang tajam dapat melihat bayangan Ki Marta Brewok sehingga Paksi dapat mengikutinya sampai ke balik gumuk kecil itu. Dibalik gumuk kecil itu memang terdapat sebidang tanah yang agak lapang. Meskipun disana-sini juga ditumbuhi pohon-pohon perdu, namun diatas tanah itu tidak terdapat sebatangpun pohon yang besar sebagaimana terdapat di atas gumuk kecil itu atau di hutan yang lebat dilereng Gunung Merapi. " Inilah sanggar kita " berkata Marta Brewok " tanah ini datar dan agak lapang. Besok kita dapat membersihkan dan mempersiapkan segala-galanya. " " Baik, Ki Marta " sahut Paksi.
" Sebelumnya aku ingin memberitahukan kepadamu, Paksi, bahwa disekitar tempat ini banyak terdapat ular dari berbagai macam jenis. Ada yang bisanya sangat tajam dari jenis bandotan, weling, welang, kendang dan beberapa jenis lain, tetapi juga ada yang bisanya tidak terlalu tajam, seperti ular sawa dan sejenisnya. Tetapi ada bahaya lain pada ular sawa yang sudah tumbuh menjadi besar. Jika mulutnya menganga, maka sosok tubuh seseorang dapat ditelannya. " Paksi mengangguk-angguk kecil. Namun baginya, justru ular-ular kecil yang bisanya tajam itulah yang berbahaya baginya, karena tanpa disadari ular-ular yang terhitung lebih kecil itu dapat terinjak kakinya dan mematuk tumitnya. Adalah juga diluar dugaan, ketika Ki Marta Brewok itu kemudian berkata selanjutnya " Karena itu Paksi, aku ingin memberimu obat penawar racun. Obat itu berujud butir-butir reramuan yang aku buat. Jika kau menelan sebutir, maka obat itu akan menawarkan racun yang masuk kedalam tubuhmu dengan cara apapun juga, termasuk gigitan ular, selama satu hari satu malam. Karena itu, selama kau berada ditempat ini, maka setiap hari kau harus menelan butir-butir reramuan obat itu. " " Baik, Ki Marta " jawab Paksi " aku akan melakukannya. " " Nah, karena malam ini kau sudah berada ditempat ini, maka sejak sekarang sebaiknya kau mulai menelannya. " Paksi tidak menolak. Ia tidak lagi mencurigai Ki Marta Brewok. Jika orang itu berniat buruk, maka ia tidak perlu mempergunakan akal yang licik, karena dengan mudah orang itu dapat mengalahkannya. Ternyata Paksi merasakan tubuhnya menjadi agak panas ketika sebutir obat itu mulai bekerja didalam tubuhnya. Namun hanya beberapa saat. Kemudian ia tidak merasakan sesuatu lagi. Disisa malam itu Paksi tidur disebongkah batu yang besar. Sebelum anak muda itu tertidur, maka Marta Brewok telah memberikan beberapa pesan kepada Paksi. Iapun memberikan
beberapa petunjuk pula bagaimana Paksi membuat gubug yang akan dihuni. " Disini kau tidak akan kekurangan air. " berkata Marta Brewok " tetapi kaupun harus ingat, bahwa di hutan itu terdapat binatang buas. Kau harus bersiap untuk mempertahankan hidupmu jika pada suatu saat kau bertemu dengan seekor harimau atau sekelompok anjing liar. Pepohonan itu akan dapat memberikan perlindungan bagimu, karena harimau dan anjing-aning liar tidak akan mengejarmu memanjat batang-batang pepohonan itu. " Paksi mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk ia menyahut " Ya, Ki Marta. " " Nah, sekarang tidurlah dimalam yang masih tersisa. " Paksi tidak menyahut. Tetapi perasaan letihnya telah membuat matanya terpejam. Sesaat Paksi melupakan rasa sakit yang menggigit sampai ketulang. Tetapi Paksi tidak dapat tidur terlalu lama. Beberapa saat kemudian iapun telah terbangun oleh burung yang berkicau di pepohonan. Ketika Paksi menggeliat, maka terasa sakit diseluruh tubuhnya. Tulang-tulangnya serasa menjadi retak, sedangkan persendiannya bagaikan terlepas. Paksipun kemudian bangkit dan duduk sambil menyeringai. Langit nampak menjadi merah. Tetapi ia tidak melihat Marta Brewok ditempat itu. " Mungkin Ki Marta Brewok baru pergi ke parit sebelah " berkata Paksi didalam hatinya. Namun Paksi terkejut. Ketika turun dari atas batu, ia melihat beberapa jenis peralatan teronggok dibawah batu itu. Diantaranya adalah kapak besar dan kecil, parang, linggis dan beberapa jenis alat yang lain. Paksi menarik nafas dalam-dalam, la tahu, bahwa Marta Brewok minta kepadanya, agar ia membuat gubug sebagaimana dikatakannya itu segera. -ooo00dw00ooo-
Jilid 4 PAKSI yang menyadari keadaannya, tidak akan mengelak. Mulai hari itu, ia akan membuat sebuah gubuk yang akan ditempatinya selama ia menjalani laku, meningkatkan ilmunya sebagai bekal untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik. Iapun sudah yakin bahwa orang yang menyebut dirinya Marta Brewok adalah salah satu dari orang-orang aneh yang sama sekali tidak berniat buruk terhadapnya. Paksi itupun kemudian mengucap sukur di dalam hatinya. Ia yang merasa terbuang dari keluarganya, telah menemukan keluarga baru meskipun kurang dapat dimengertinya, apakah yang sebenarnya mereka kehendaki. Mulai hari itu, Paksi sudah bertekad untuk membuat gubuk untuk berteduh dan untuk melindungi dirinya dari binatang buas di malam hari, jika ia sedang tidur. Tetapi pagi itu, setelah mandi dan berbenah diri, maka Paksi telah turun dari lereng Gunung Merapi untuk membeli alat-alat untuk dapur di pasar terdekat. Ia yakin bahwa di beberapa padukuhan itu tentu terdapat sebuah pasar yang menjual alat-alat dapur. Paksi berniat untuk tidak mondar-mandir membeli makan jika ia lapar. Ia ingin menyediakan makannya dengan membuatnya sendiri. Tetapi Paksipun tidak ingin menarik perhatian, sehingga ada satu dua orang yang ingin tahu, dimana ia tinggal. Ia ingin merahasiakan tempat tinggalnya selama ia menjalani laku. Menurut pendapatnya, gumuk kecil itu memang jarang sekali disentuh kaki, meskipun ada sebuah jalan setapak yang melintas di dekatnya. Karena itu, maka Paksi harus berhati-hati. Ia tidak dapat membeli semua keperluannya sekaligus meskipun ia mempunyai uang. Ia harus membeli sedikit demi sedikit. Bahkan jika mungkin di tempat yang berbeda.
Di hari pertama, Paksi telah membeli kebutuhan-kebutuhan terpentingnya. Bahkan beras, gula kelapa dan garam telah dibelinya pula. Lewat tengah hari, Paksi mulai membabat batang ilalang. Batang ilalang itu akan dikeringkannya. Kemudian ilalang kering itu akan dibuatnya sebagai atap gubuknya kelak. "Mudah-mudahan hujan tidak segera turun," berkata Paksi di dalam hatinya. Tetapi apapun yang terjadi, Paksi sudah siap untuk menghadapinya. Bahkan seandainya ia harus kehujanan sehari semalam. Tetapi sebelum Paksi menyelesaikan gubuknya, ia telah menemukan sebuah lekuk yang agak dalam di dinding batu padas yang agak tinggi. Jika hujan turun, ia dapat berteduh di dalam lekuk yang agak dalam itu, meskipun mungkin tiris air akan menggapainya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, maka di tempat itu memang banyak terdapat ular. Ketika Paksi sedang menebas batang ilalang, maka kakinya telah menginjak seekor ular berleher merah seperti bara. Dengan marah ular itu mematuk tumit Paksi yang terkejut sambil meloncat. Tetapi untunglah bahwa Paksi telah menelan obat penawar racun, sehingga ular yang terhitung berbisa itu tidak membunuhnya. Di sore hari Paksi beristirahat. Ia sudah menyediakan berbagai macam alat dapur. Tetapi ketika ia akan menanak nasi, ia menjadi ragu-ragu. Asapnya akan dapat mengundang perhatian. Karena itu, Paksi telah menunda niatnya. Ia menunggu malam menjadi gelap. Asapnya akan tersamar di dalam gelapnya malam, sedang api yang dinyalakannya akan terlindung oleh gumuk kecil dan batu-batu padas yang terdapat di sekitarnya. Untunglah bahwa ketika ia turun ke pasar dan membeli barang-barang terpenting yang diperlukan, ia juga membeli beberapa potong makanan.
Hari itu, Paksi telah menggelar tebasan batang ilalang cukup banyak. Paksi memperkirakan batang ilalang itu cukup untuk dibuat atap gubuknya. Ketika matahari kemudian turun menyusup di balik punggung gunung, Paksi telah berendam di aliran air yang tidak begitu deras. Sambil mandi Paksi telah mencuci pakaiannya yang penuh dengan gelugut alang-alang. Tetapi Paksi sudah membeli sepengadeg pakaian baru ketika ia turun ke pasar, sehingga Paksi sudah mempunyai ganti jika sepengadeg pakaian yang melekat di badannya itu dicuci dan dijemur. Ketika kemudian malam turun, Paksi mulai menyalakan api. Dengan batu titikan dan sejumput ampul gelugul aren, Paksi membuat api. Tetapi asap yang mengepul memang tidak lagi menarik perhatian. Selain untuk menanak nasi dan merebus air, api itu juga menghangatkan tubuh Paksi. Sambil duduk di depan perapian, Paksi menunggu Ki Marta Brewok yang belum juga nampak batang hidungnya. Orang itu ternyata tidak sekedar pergi ke parit di sebelah. Tetapi ia telah pergi sehari penuh. Namun ketika air mulai mendidih, Paksi terkejut. Ia mendengar langkah seseorang mendekat. Kemudian ia mendengar orang itu terbatuk-batuk kecil. "Ki Marta Brewok," berkata Paksi di dalam hatinya. Sebenarnyalah orang yang datang itu Ki Marta Brewok. Demikian ia berdiri beberapa langkah dari perapian itu, maka terdengar suaranya, "Apa yang sudah kau lakukan sehari ini?" "Turun ke pasar. Membeli beberapa peralatan terpenting. Persediaan bahan pangan dan lewat tengah hari membabat batang ilalang untuk dikeringkan." Ki Marta Brewok yang kemudian duduk di samping Paksi di depan perapian itu berkata, "Sesudah kau selesai, kita akan mulai berlatih." Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, "Baik, Ki Marta."
"Aku akan menunggu sampai nasimu masak. Setelah makan dan beristirahat sebentar, aku akan datang lagi." "Ki Marta akan pergi ke mana?" "Aku akan melihat, apakah buah pisang di rumpun pisang di pinggir sungai itu sudah masak." Ki Marta Brewok tidak menunggu jawaban Paksi. Sejenak kemudian Ki Marta Brewok itu sudah hilang di dalam gelap. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia masih harus menunggu beberapa saat. Ternyata Paksi juga dapat menanak nasi. Meskipun nasinya terlalu lemas karena Paksi memberi air terlalu banyak. Meskipun demikian, ketika nasi itu disenduk, asapnya membuat perut Paksi menjadi terasa lapar. Sambil menunggu Ki Marta Brewok, Paksipun kemudian makan nasi lemas dengan garam. Di dinginnya udara lereng gunung, nasi hangat dan garam itu terasa betapa nikmatnya. Apalagi perut Paksi yang memang sedang lapar. Sehingga karena itu, maka Paksipun makan agak terlalu banyak. Tetapi sebelum Paksi selesai makan, Ki Marta Brewokpun telah datang sambil memanggul setandan pisang koja yang sebagian telah masak. "Aku juga lapar," berkata Ki Marta Brewok. Namun kemudian iapun bertanya, "Kau makan dengan apa?" "Garam," jawab Paksi. "Nasi dan garam kurang memenuhi kebutuhan tubuhmu. Kau akan berlatih dan mengerahkan tenaga cukup banyak. Lain kali kau dapat mencari ikan di sungai itu atau berburu ayam hutan atau berburu kijang di hutan itu." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera dapat membayangkan dengan apa ia berburu ayam hutan atau bahkan kijang. Ki Marta Brewok agaknya melihat kebimbangan di wajah Paksi. Karena itu, maka iapun berkata, "Paksi. Di sisi padang perdu ini terdapat serumpun besar pring cendani. Kau dapat memilih batang-batang bambu yang lurus untuk membuat lembing. Kau dapat berlatih melontarkan lembing dengan baik.
Berlatih membidik sasaran dan berlatih merunduk dengan diam-diam di saat kijang minum di tepian." Paksi mengangguk-angguk. Ternyata ia mempunyai banyak kegiatan yang dapat dilakukannya di siang hari di samping menyiapkan gubuknya. Dalam pada itu, Ki Marta Brewokpun telah makan pula. Seperti Paksi iapun makan nasi hanya dengan garam. Namun kemudian ia berkata, "Makanlah pisang itu. Buah-buahan seperti juga sayuran, sangat baik bagi perkembangan tubuhmu yang sedang tumbuh. Apalagi jika kita sudah mulai berlatih. Di pinggir hutan itu terdapat pepohonan yang daunnya dapat kau petik. Aku melihat beberapa batang pohon kates gerandel dan kates jingga. Aku juga melihat pohon melinjo yang dapat kau petik buahnya dan daunnya. Di tepian terhampar tanaman kangkung tanpa ada yang menanam. Kau dapat memetik seberapa kau butuhkan." Paksi mengangguk-angguk. Ternyata di sekitarnya banyak bahan yang dapat dimakannya serta memenuhi kebutuhan tubuhnya. Demikianlah, setelah mereka beristirahat sesudah makan, maka Ki Marta Brewokpun berkata, "Marilah. Kita bersiap-siap untuk berlatih. Kita baru akan memanaskan tubuh kita dan mencoba untuk mencari jalan terbaik agar tidak terjadi pertentangan di dalam tubuhmu, karena pada dasarnya kau sudah mempunyai kemampuan olah kanuragan." Paksi mengangguk kecil. Katanya, "Aku sudah siap, Ki Marta." "Simpanlah nasimu yang tersisa. Mungkin besok pagi-pagi kau merasa lapar." "Besok di dini hari aku akan menanak lagi untuk makan di siang hari," jawab Paksi. Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, "Kau tidak mau membuat perapian di siang hari?" Paksipun mengangguk kecil. "Jangan pernah melupakan menelan obat yang aku berikan untuk menawarkan racun," berkata Ki Marta Brewok.
"Ya, Ki Marta. Aku memang sudah dipatuk ular hari ini." "Nah, karena itu berhati-hatilah." Demikianlah, beberapa saat kemudian, Ki Marta Brewok telah mengajak Paksi untuk berlatih. Mereka berdiri di tempat terbuka. Di bawah silirnya angin pegunungan di malam hari, serta dinginnya udara yang basah. Beberapa saat lamanya, keduanya memanaskan tubuh mereka dengan gerakan-gerakan yang ringan. Semakin lama semakin cepat, sehingga terasa darah mereka menjadi hangat. Seperti yang dikatakan, maka Ki Marta Brewok tidak langsung menuntun Paksi mengikuti ajaran-ajaran baru menurut cara Ki Marta Brewok. Ki Marta Brewok masih ingin melihat landasan yang sudah terbentuk di dalam diri Paksi, sehingga tidak akan terjadi saling menarik atau saling mendesak di dalam tubuh anak muda itu, jika Ki Marta Brewok kemudian memberikan tuntunan olah kanuragan. Nampaknya Ki Marta Brewok cukup berhati-hati. Paksi yang akan mengemban tugas yang penting itu, agaknya benarbenar dipersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Malam itu belum banyak yang dilakukan oleh Paksi. Ki Marta Brewok minta agar Paksi menunjukkan unsur-unsur gerak yang dikuasainya. Sejauh diingatnya, Paksi diminta untuk menunjukkan urut-urutan latihan-latihan yang pernah dilakukan, dari unsur gerak yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. "Baiklah," berkala Ki Marta Brewok. "Aku sudah melihat apa yang sudah kau kuasai. Aku juga sudah melihat bagaimana kau sendiri mengetrapkan dalam benturan kekuatan, kemampuan dan ilmu karena kita pernah bertempur. Perkembangan ilmumu nampaknya berlangsung dengan cepat. Ada semacam pengaruh yang tidak kau sadari nampak dalam kemampuan olah kanuragan yang kau kuasai." Paksi tidak menjawab. Tetapi sekilas terbayang kembali orang yang mengaku pengikut Kebo Lorog yang tiba-tiba saja
telah menyerangnya dan bertempur beberapa lama, sehingga akhirnya orang itu melarikan diri. "Orang itu memberikan kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas bagi perkembangan ilmuku," berkata Paksi di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewokpun berkata, "Baiklah anak muda. Malam ini kita masih belum berbuat banyak. Aku kira apa yang kita lakukan malam ini sudah cukup. Beristirahatlah dengan baik. Kau tentu letih. Nampaknya pagi tadi kau harus hilir-mudik membeli kebutuhan terpenting. Kemudian membuat perapian dan menebas ilalang, menggelarnya di panas matahari. Kemudian kau mulai berlatih." Paksi mengangguk kecil. Ia memang merasa letih. Tetapi seandainya Ki Marta Brewok masih menghendakinya untuk berlatih terus, maka Paksipun tidak berkeberatan. Namun Paksipun kemudian menghentikan kegiatannya pada malam itu. Paksipun kemudian beristirahat beberapa lama untuk mengeringkan keringatnya. Namun dalam pada itu, sambil menunggu keringatnya kering, maka Ki Marta Brewok telah memberikan beberapa petunjuk bagi masa depan Paksi yang masih sangat muda itu. "Umurnya telah menginjak tujuh belas," terngiang suara ayahnya memerintahkannya keluar dari rumah untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik. Waktu itu ibunya berkata, "Kau sengaja mengusirnya." Paksi menarik nafas panjang. Waktu itu Paksi sendiri memang meragukan. Apakah yang dikatakan oleh ayahnya itu bukan sekedar cerita ngaya-wara sebagai alasan untuk mengusirnya sebagaimana dikatakan oleh ibunya. Ternyata yang sedang memburu cincin bermata tiga butir batu akik itu bukan hanya ayahnya saja. Beberapa orang telah menyebut-nyebutnya pula. Dalam pada itu, Ki Marta Brewokpun berkata, "Paksi.
Ternyata bahwa berita tentang hilangnya cincin dari istana itu sudah didengar oleh banyak orang. Ketika kau mengatakan bahwa kau akan mengembalikan cincin itu kepada orang yang lebih berhak, maka aku menduga, bahwa kau termasuk salah seorang dari mereka yang memburu cincin itu. Mungkin bukan terdorong oleh kemauanmu sendiri, karena aku tidak yakin, bahwa kau sudah memerlukannya. Tetapi atas dasar alasan apapun, kau termasuk di antara orang-orang yang mencarinya." Paksi menundukkan kepalanya. Semilir angin malam di pegunungan membuat kulitnya meremang. Dinginnya malam bagaikan menusuk sampai ke tulang. Ki Marta Brewok itupun kemudian berkata selanjutnya, "Paksi. Sebenarnya kau masih terlalu muda untuk terjun dalam arena perburuan cincin itu. Tetapi bukan berarti bahwa kau harus mengundurkan diri. Lakukan jika kau memang sudah mantap untuk melakukan. Tetapi kerja itu bukan sekedar main-main." "Bukankah Ki Marta Brewok juga membutuhkan cincin itu meskipun hanya untuk tiga hari?" Paksi sengaja meyakinkan dirinya bahwa Ki Marta Brewok sebenarnya tidak bermaksud jahat terhadapnya. Justru sebaliknya. Ki Marta Brewok mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya, "Kau memang cerdik. Tetapi biarlah aku menjawab, bahwa aku membutuhkan cincin itu selama tiga hari agar aku tidak perlu menanam tubuhmu di bawah bangunan utama padepokan yang akan didirikan itu." Paksi menarik nafas panjang. "Sudahlah," berkata Ki Marta Brewok. "Tidurlah. Kau masih mempunyai banyak kerja besok. Siang dan malam. Karena besok malam kita akan benar-benar mulai agar waktumu tidak banyak terbuang. Mudah-mudahan cincin itu belum jatuh ke tangan orang-orang yang berniat buruk, sehingga akan dapat mempunyai nilai yang lain." Paksi mengangguk-angguk pula. Paksi mengerti, bahwa di tangan orang-orang yang berniat jahat, maka cincin itu akan
dapat diperjual-belikan dengan harga yang sangat mahal. Tetapi juga akan dapat menjadi rebutan dan menimbulkan banyak korban. Sementara itu, dari istana Pajangpun telah menyebar beberapa orang yang mencari cincin itu termasuk dirinya. Namun Paksipun kemudian dapat mengambil kesan pula, bahwa perintah ayahnya kepadanya untuk mencari cincin itu memang mempunyai arti yang rangkap. Ayahnya memang sengaja mengusirnya sebagaimana dikatakan oleh ibunya, tetapi ayahnya juga masih dapat berharap, Paksi akan dapat menemukan, setidak-tidaknya memberikan keterangan tentang cincin itu. Tetapi seandainya tidak, maka maksudnya yang pertama sudah terlaksana. Paksi sendiri tidak mengetahui, kenapa bagi ayahnya, kehadirannya di rumah tidak sebagaimana kehadiran adikadiknya. Tetapi Paksi tidak ingin merenunginya terlalu lama. Ki Marta Brewok telah berkata pula, "Tidurlah. Aku akan tidur pula. Tetapi aku tidak akan tidur disini." Ki Marta Brewok tidak menunggu jawaban Paksi. Sejenak kemudian orang itu telah hilang di dalam kegelapan. Paksi yang memang merasa letih itupun kemudian telah berbaring pula. Malam memang terasa dingin. Tetapi Paksi tidak ingin membuat perapian lagi. Diselimutinya tubuhnya dengan kain panjangnya sampai ke telinga. Pagi-pagi sekali Paksi sudah bangun. Ketika gelap malam masih tersisa, Paksi menyalakan api dan menanak nasi. Kemudian, dibenahinya dirinya menjelang matahari yang mulai membayangkan cahayanya di langit. Sejak Paksi bangun dari tidurnya, ia sudah tidak lagi melihat Ki Marta Brewok. Nampaknya Ki Marta Brewok tidak singgah lagi di tempat. Paksi akan membuat gubuknya. Paksi mulai mengerti bahwa Ki Marta Brewok tidak mau menemuinya di siang hari. "Tentu ada sebabnya," berkata Paksi di dalam hatinya.
Pagi itu Paksi harus turun lagi untuk membeli kebutuhankebutuhannya, terutama untuk melengkapi alat dapurnya serta bahan pangan. Tetapi seperti hari sebelumnya, Paksi berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain. Karena itu, maka ia tidak membeli semua kebutuhannya sekaligus, dan bahkan di tempat yang berbeda-beda. Hari itu, Paksi mulai menebang beberapa batang pohon yang diperlukan. Paksi tidak menebang pohon-pohon besar. Tetapi ia memilih pohon-pohon kecil yang batangnya lurus untuk membuat tiang-tiang gubuknya. Sementara itu, dahan dan ranting-rantingnya dapat dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar. Ternyata Paksi merasa lebih mantap membuat gubuk dengan tiang-tiang kayu daripada bambu. Meskipun demikian, Paksi kemudian juga telah memotong beberapa puluh batang bambu. Dibelahnya batang-batang bambu itu untuk membuat dinding gubuknya. Belahan-belahan bambu itu kelak akan ditatanya berjajar tegak pada tulang-tulang gubuknya. Paksi tidak tergesa-gesa mendirikan gubuknya. Ia menunggu kayu dan bambu-bambu itu agak kering. Sementara itu, Paksi menyiapkan tali-tali bambu untuk mengikat tulang-tulang gubuknya itu. Demikianlah, dari hari ke hari, Paksi telah bekerja keras. Sementara itu, di malam hari, Ki Merta Brewok tiba-tiba saja telah muncul. Ikut makan nasi hangat dan kemudian melakukan latihan-latihan yang semakin lama menjadi semakin berat. Tetapi Paksi sama sekali tidak merasa akan kekuatan yang saling mendesak dan mendorong di dalam dirinya. Yang dipelajarinya dari Ki Marta Brewok justru dapat mengangkat dan mengembangkan ilmu yang pernah diwarisinya dari gurunya. Bahkan beberapa landasan ilmunya menunjukkan sumber yang senafas dengan ilmu yang telah dikuasainya. Kecurigaan Paksipun menjadi semakin meningkat, bahwa sebenarnya Ki Marta Brewok itu juga orang yang pernah menyerangnya dan mengaku anak buah Kebo Lorog itu.
Namun Paksi memang tidak ingin memaksakan pendapatnya itu untuk mendapatkan pengakuan Ki Marta Brewok. Baginya hal itu tidak akan ada gunanya. Bahkan jika Ki Marta Brewok menjadi kecewa, maka hal itu akan dapat merugikannya. Dari hari ke hari maka latihan-latihanpun menjadi semakin rumit. Sementara itu di siang hari, Paksi sudah mulai mendirikan gubuknya. Ia harus menanam tiang-tiang kayunya. Kemudian memasang belandar dan pengeretnya. Diikatnya itu dengan tali bambu. Tetapi ketika kemudian Paksi menemukan beberapa batang pohon kelapa yang tumbuh di pinggir sungai tanpa ada pemiliknya, maka Paksi mulai membuat tali-tali serabut kelapa. Sedangkan kelapanya telah dipergunakannya untuk memasak sayur-sayuran sejauh dapat dilakukan. Bahkan Paksipun telah membuat santan untuk membuat minuman sebagaimana dawet yang pernah dibelinya di pasar, meskipun tanpa cendol. Namun pada kesempatan lain, Paksi telah membeli cendol dan membuat dawet sendiri. Ketika Ki Marta Brewok yang berkeringat setelah latihan yang keras di malam hari disuguhi dawet cendol, maka Ki Marta Brewok itupun berteriak, "He, darimana kau dapatkan dawet cendol seperti ini?" "Aku membuat sendiri, Ki Marta." "Ah bohong. Bagaimana mungkin kau dapat membuat dawet cendol?" "Aku hanya membeli cendolnya dan gula kelapa. Kemudian aku buat sendiri juruh gula kelapa. Aku buat santan dan aku panasi sampai mendidih. Kemudian aku masukkan cendol ke dalamnya." "Dari siapa kau belajar?" desak Ki Marta Brewok. "Jika aku membeli kebutuhan sehari-hari di pasar, aku memperhatikan bagaimana orang membuat dawet cendol. Tetapi aku tidak tahu bagaimana membuat cendol itu." Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, "Bagus. Dawet itu membuat tubuhku menjadi segar."
Sebenarnyalah bahwa banyak hal yang membuat nalar Paksi berkembang. Iapun ingin membuat gula kelapa sendiri karena ia pernah mendengar serba sedikit tentang orang membuat gula kelapa, mulai dan nderes dengan bumbung bambu hingga memanasi legen yang disadapnya dari mayang pohon kelapa itu. Ternyata Ki Marta Brewok mendorongnya untuk melakukannya. Bahkan ia memberikan beberapa petunjuk kepada Paksi, bagaimana ia menyadap legen, dan bagaimana ia memanasinya hingga menjadi gula kelapa dan kemudian dicetak dengan tempurung kelapa pula. Sebenarnyalah bahwa Paksi menjadi seorang yang memiliki berbagai macam kepandaian selain peningkatan kemampuan olah kanuragan. Demikianlah maka kerja Paksipun menjadi semakin berat. Ketika gubuknya sudah berdiri, ia merasa bahwa kerja akan berkurang. Di siang hari ia dapat beristirahat untuk memusatkan tenaganya dalam latihan-latihan di malam hari. Namun ternyata tidak. Di siang hari ada saja kesibukannya. Ki Marta Brewok menuntut agar Paksi memiliki kemampuan mempergunakan senjata lontar, sehingga Paksipun harus berlatih sendiri mempergunakan anak panah dengan busurnya, serta lembing. Dengan sedikit pengetahuan dasar serta petunjuk-petunjuk Ki Marta Brewok, Paksi mempertajam kemampuan bidiknya. Ia membuat orang-orangan yang dipergunakan sebagai sasaran anak panahnya. Namun kemudian ia mulai membidik apa saja. Pangkal ranting-ranting pepohonan. Batang perdu dan lekuk-lekuk batu padas. Ketika kemampuan bidiknya menjadi semakin meningkat, maka Paksi mulai membidik sasaran yang bergerak. Bukan saja dengan anak panah, tetapi juga dengan lembing yang dibuatnya dari pring cendani. Busur, anak panah dan lembing Paksi sangat sederhana karena dibuatnya sendiri. Tetapi dengan alat-alat yang sederhana itu Paksi benar-benar telah meningkatkan
kemampuannya. Dengan anak panah dan busurnya, Paksi telah mampu mengenai sasaran yang bergerak. Untuk membuat anak panah dan lembing, Paksi memang harus membeli bedor besi pada pande-pande besi. Tetapi untuk tidak menarik perhatian, maka Paksi tidak membelinya di satu tempat, sebagaimana ia membeli alat-alat dapur serta bahan-bahan pangannya. Setiap kali ia berpindah tempat meskipun pada suatu saat ia kembali lagi kepada orang yang pertama. Tetapi waktu putaran itu membuat para penjualnya tidak lagi mengingatnya. Dengan demikian, maka di lereng gunung itu Paksi benarbenar telah menempa diri. Ki Marta Brewok yang datang hanya setiap malam itu, tidak lagi menjadi persoalan baginya. Kapanpun ia datang, bagi Paksi tidak ada lagi bedanya. Dengan laku yang berat, Paksi memang telah meningkatkan ilmunya. Tidak hanya beberapa hari, tetapi ternyata ia memerlukan waktu beberapa bulan. Meskipun semula Ki Marta Brewok itu memberinya ancar-ancar waktu enam bulan untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu, ternyata waktu yang enam bulan itu telah dihabiskannya di lereng gunung itu. Paksi yang kemudian seakan-akan hidup sendiri itu, justru telah memiliki berbagai macam kemampuan sehingga ia benar-benar mampu untuk mandiri. Di hutan perdu, Paksi telah membuat semacam ladang yang tidak terlalu luas. Ia telah menanam ketela pohon dan jagung. Setiap pagi, Paksi memanjat beberapa batang pohon kelapa yang tumbuh di pinggir sungai untuk menyadap legennya dan membuatnya menjadi gula. Ternyata gula itu dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Kangkung yang semula tumbuh liar di pinggir sungai telah dirawatnya dengan baik. Sedangkan pada pagar kebun jagungnya, Paksi menanam kacang panjang yang batangnya merambat pada pagar itu sebagai lanjaran. Bulan keenampun akhirnya telah dilampauinya. Sementara itu, dengan laku yang berat, ilmu Paksipun telah meningkat dengan cepat. Selain mengembangkan ilmu yang pernah
diwarisinya dari gurunya, ternyata Paksi juga mampu membuat wawasan yang lebih luas tentang olah kanuragan. Ia tidak lagi mengandalkan kekuatan wadag wantahnya. Tetapi Paksipun telah merambah ke tenaga dalamnya. Dengan latihan-latihan yang bersungguh-sungguh dan teratur, Paksi benar-benar menguasai bagian-bagian dari tubuhnya dengan baik, serta menguasai pula kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalamnya. Dengan mengatur pernafasan serta pemusatan nalar budi dan keweningan hati, maka Paksi dapat mencapai keseimbangan pengendalian lahir dan batinnya pada saat-saat yang dikehendaki meskipun Paksi sedang dalam keadaan apapun. Ki Marta Brewok telah memperkenalkan Paksi dengan getar kekuatan bumi, air, api dan angin yang ada di dalam dirinya, yang dapat diungkapkannya dengan laku yang khusus. Untuk itu diperlukan latihan-latihan yang berat dan pengenalan yang lebih mendalam. Dalam waktu yang terhitung singkat, menjelang bulan ke sepuluh, maka Paksi sudah menjadi seorang anak muda yang lain. Ia menjadi jauh lebih dewasa. Bukan saja dalam ilmu kanuragan, tetapi Paksi benar benar telah mampu hidup mandiri. Kegiatan Paksi sehari-hari semakin berkembang. Ia sudah memetik hasil tanamannya beberapa kali. Beberapa batang pohon kelapa di pinggir sungai dipeliharanya baik-baik. Setiap kali Paksi telah membersihkan batang-batang kelapa itu dari tapas dan pangkal daun yang sudah mengering. Dengan demikian, maka pohon kelapa yang berjajar di pinggir sungai itu buahnya menjadi semakin lebat. Sedangkan beberapa batang yang diambil legennya, memberikan legen yang lebih banyak pula. Tubuh Paksipun berkembang dengan baik. Kaki dan tangannya menjadi kokoh dan kuat. Latihan-latihan yang teratur siang dan malam, membuat Paksi menjadi seorang yang jarang ada bandingnya.
Namun perkembangan itu tidak terlepas dari usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh Ki Marta Brewok. Dengan keras Ki Marta Brewok berusaha menempa agar Paksi benar-benar menjadi seorang anak muda pilihan. Meskipun Ki Marta Brewok hanya hadir di malam hari, tetapi Paksi tidak pernah mempersoalkannya lagi. Ia tahu benar, bahwa Ki Marta Brewok telah berbuat yang terbaik baginya. "Jika sampai saatnya, rahasia itu tentu akan terungkap dengan sendirinya," berkata paksi di dalam hatinya. Paksi memang tidak ingin rahasia kehadiran Ki Marta Brewok yang hanya pada malam hari itu menjadi hambatan. Setiap kali petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat Ki Marta Brewok tidak menyangsikannya, bahwa tersembunyi niat buruk di balik sikap Ki Marta Brewok. Dengan demikian, maka peningkatan ilmu Paksi itupun berjalan dengan cepat, teratur dan sesuai dengan rencana yang dibuat oleh Ki Marta Brewok, justru karena tidak terasa ada hambatan di kedua belah pihak. Paksi dan Ki Marta Brewok nampaknya telah mencurahkan kepercayaan masingmasing sesuai dengan kedudukan mereka, sehingga dengan kepercayaan yang penuh itu, maka segala pintupun telah terbuka. Masing-masing dapat melihat ke luar dan ke dalam tanpa tirai betapapun tipisnya. Meskipun demikian, sekali-sekali jantung Paksi masih juga digelitik oleh tugas yang dibebankan kepadanya oleh ayahnya untuk menemukan cincin bermata tiga butir batu akik itu. Bahkan Ki Marta Brewok juga pernah mengatakan kepadanya, agar ia mencari cincin itu. Apakah benar-benar Ki Marta Brewok memerlukan cincin itu atau sekedar sebagai cambuk terhadap usahanya, namun Ki Marta Brewok pernah mendorongnya untuk menemukan cincin itu. Tetapi Paksi tidak pernah mengatakannya kepada Ki Marta Brewok. Paksi yakin, bahwa Ki Marta Brewok tidak melupakan tugas yang dipikulnya. Karena itu, jika Ki Marta Brewok masih
belum mengatakan kepadanya tentang cincin itu, Paksi berniat untuk tetap berdiam diri. "Seandainya Ki Marta Brewok sengaja menahan aku disini agar aku tidak terlibat dalam perburuan cincin itu, aku tidak akan menyesal," berkata Paksi di dalam hatinya. "Disini aku sudah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga." Namun seakan-akan Ki Marta Brewok mengetahui isi hati Paksi tentang cincin itu. Karena itu, ketika pedut yang tebal menyelimuti lereng gunung itu di malam hari, Ki Marta Brewok yang sedang beristirahat sambil meneguk wedang sere yang hangat berkata, "Kita hentikan latihan malam ini. Kita sudah cukup banyak memeras keringat. Sementara itu kabut menjadi semakin tebal. Sebenarnya saat-saat seperti ini merupakan saat yang baik untuk melatih ketajaman penglihatan dan panggraita, tetapi kau sudah sering melakukannya dan kesempatan untuk melakukannya masih banyak. Besok atau lusa, ampak-ampak akan turun lagi, sehingga dengan penglihatan mata kewadagan, kita tidak dapat melihat telapak tangan di depan hidung kita sendiri." Paksi mengangguk kecil. Segala sesuatunya memang terserah kepada Ki Marta Brewok. Sambil duduk dan menghirup minuman hangatnya, tibatiba saja Ki Marta Brewok itu berkata, "Menurut perhitunganmu, kau sudah tinggal berapa lama disini, Paksi?" Paksi mengerutkan dahinya. Kemudian jawabnya, "Sampai saat ini sudah memasuki bulan ke sebelas, Ki Marta." Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Katanya, "Kau sudah tertahan lebih dari sebelas bulan. Tetapi menurut pendapatku, tidak akan banyak mengganggu. Sampai saat ini, cincin itu masih belum diketemukan. Sementara itu, kau sudah menambah bekal bagi tugas beratmu itu. Bahkan aku minta kau bersabar untuk satu dua bulan lagi, sehingga kau genap setahun berada disini. Apakah kau berkeberatan?" "Sama sekali tidak," jawab Paksi. "Sampai kapan pun aku tidak berkeberatan. Apalagi jika cincin itu memang belum
diketemukan oleh siapapun, sehingga aku masih berkesempatan untuk meneruskan tugas itu." "Baiklah. Jika demikian, kita akan berlatih terus di malammalam mendatang. Di saat langit terang, di saat hujan lebat dan di saat lereng ini disaput oleh kabut yang tebal." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku siap melakukan apa saja, Ki Marta." "Bagus. Aku memang yakin, bahwa kau akan bersedia melakukannya." Paksi mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, Ki Marta Brewok berkata, "Tetapi Paksi, sebaiknya kau tidak terlalu mengurung diri di gubukmu ini. Di siang hari kau dapat turun dan melihat-lihat padukuhan dan kademangan di kaki gunung ini, sehingga kau tidak sangat jauh terpisah dari kehidupan orang banyak, meskipun kau harus tetap menjaga rahasia tempat tinggalmu." "Aku juga sering turun ke padukuhan Ki Marta." "Tetapi kau tentu langsung pergi ke pasar, membeli kebutuhan-kebutuhanmu, lalu kembali naik." Paksi mengangguk. "Namun dengan landasan sikap jiwani yang telah mapan, kau tanggapi kehidupan yang lebih luas. Kau jangan menjadi kecewa bahwa ternyata di dalam kehidupan yang luas, tidak semuanya berjalan sebagaimana kau inginkan. Kaupun tidak usah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, jika pada satu saat kau temui perilaku dan sikap orang-orang yang tidak sejalan dengan pola pikiranmu, sementara kau tidak kuasa untuk merubahnya. Dalam keadaan apapun kau harus tetap berpegang pada landasan pola pikir yang dewasa, sehingga kau tidak terombang-ambing oleh pusaran kehidupan di sekelilingmu." Paksi mengangguk-angguk. "Kesempatan untuk mengabdi masih cukup panjang. Landasi pengabdianmu dengan penuh kesadaran atas Sumber Hidupmu."
Paksi meresapkan pesan Ki Marta Brewok itu di dalam hatinya, ia bukan saja sekedar menganggukkan kepalanya. Tetapi kata-kata itu bagaikan terpahat di dalam hatinya. Itulah sebabnya, maka Paksi menjadi semakin dekat dengan Ki Marta Brewok. Bahkan Paksi seakan-akan telah melupakan bahwa di rumah ia mempunyai seorang ayah. "Nah, sekarang tidurlah. Besok pagi-pagi kau sempat bangun dan menanak nasi sebelum terang, agar asap perapianmu tidak menarik perhatian orang," berkata Ki Marta Brewok. Namun katanya kemudian, "Tetapi Paksi, sekarang kedudukanmu sudah lain dari kedudukanmu saat kau datang. Seandainya ada orang yang mengetahui bahwa kau tinggal disini, kau tidak usah terlalu cemas. Aku dapat mengatakan kepada mereka, bahwa kau sudah lama tinggal di tempat ini. Untuk itu kau dapat membuktikannya. Kau dapat menunjukkan ladang jagungmu, ladang ketela pohonmu, kebun pisangmu dan beberapa pohon kelapa yang berderet di pinggir sungai itu. Tidak seorangpun dapat mengatakan bahwa gubukmu ini baru kemarin kau buat. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang pada suatu saat menemukan kau disini, akan mengakui bahwa kau memang berhak tinggal disini." Paksi mengangguk-angguk. Ia mengerti hubungan keterangan Ki Marta Brewok itu dengan anjurannya untuk memasuki kembali pergaulan yang luas. Meskipun demikian, sejauh mungkin Paksi masih akan merahasiakan tempat tinggalnya. Malam itu, Paksi tidak lagi turun ke sanggar terbukanya. Paksi tidak lagi melanjutkan latihan-latihannya. Nampaknya Ki Marta Brewok ingin menyempatkan diri berbicara dengan Paksi. Namun setelah menghabiskan minumannya semangkuk penuh, Ki Marta Brewok itupun berkata, "Sudahlah. Aku ada pekerjaan lain. Besok malam aku akan datang lagi. Besok, jika masih ada kabut, kau dapat mengasah ketajaman penglihatan
dan panggraitamu meskipun menurut pendapatku, bekalmu sudah cukup memadai." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Baik, Ki Marta. Besok aku menunggu kehadiran Ki Marta. Sementara itu, mulai besok aku akan mencoba untuk memasuki pergaulan yang lebih luas, meskipun rasa-rasanya tentu akan canggung." "Mula-mula tentu Paksi. Tetapi kemudian kau akan berada di dalam satu suasana yang wajar. Tetapi sekali lagi aku peringatkan bahwa yang terjadi di sebuah pergaulan yang luas, tidak semuanya berlangsung sebagaimana kau inginkan. Betapapun jantungmu bergejolak, namun kau harus menerima kenyataan itu. Meskipun demikian, kau bukan sampah yang akan hanyut dilanda arus yang keruh itu. Tetapi kau harus menjadi pilar yang dapat menjadi tempat bertaut dari yang hanyut itu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Pesan Ki Marta Brewok itu akan menjadi beban baginya. Tetapi ia sudah berjanji di dalam dirinya untuk melakukannya sejauh kemampuannya. Sejenak kemudian, maka Ki Marta Brewokpun telah meninggalkan gubuk Paksi yang berada di tepi hutan di lereng gunung, dilingkungi batu-batu padas. Sepeninggal Ki Marta Brewok, Paksi masih duduk merenung di dalam gubuknya yang hangat karena perapiannya. Namun kemudian, Paksipun menyelarak pintu gubuknya dan membaringkan dirinya di atas ketepe, anyaman daun kelapa. Diselubunginya tubuhnya dengan kain panjangnya. Udara mulai terasa dingin ketika apinya kemudian padam. Dari gubuknya Paksi mendengar aum harimau di hutan yang lebat di lereng gunung itu. Tetapi harimau itu tidak pernah datang ke gubuknya. "Tetapi jika harimau itu kelaparan karena gagal memburu mangsanya, entahlah," berkata Paksi di dalam dirinya. Tetapi Paksi percaya bahwa gubuknya cukup kuat untuk menahan agar seekor harimau tidak dengan mudah dapat masuk ke dalamnya. Setidak-tidaknya jika seekor harimau
berusaha untuk masuk ke dalamnya, Paksi tentu sudah terbangun karenanya. Di luar sadarnya, Paksi memandang lembingnya yang disandarkannya di dinding gubuknya itu. Kemudian busur dan anak panahnya. Semuanya sederhana karena dibuatnya sendiri dari bambu dan bedor besi yang dibelinya pada pandepande besi. Tetapi baginya sudah cukup memadai. Beberapa saat kemudian, maka Paksipun telah tertidur nyenyak. Ia bermimpi bertemu dengan ibunya yang tersenyum kepadanya sambil berkata, "Kau harus menjadi anak yang baik, Paksi. Kau adalah anak sulung. Kau akan menjadi panutan adik-adikmu." Paksi tersenyum di dalam mimpinya. Ia mencium tangan ibunya sambil berkata, "Aku mohon restu, Ibu. Perjalananku masih jauh." "Berjalanlah anakku. Ibu selalu menunggumu." Ketika Paksi terbangun, maka iapun kemudian duduk memeluk lututnya, tetapi ia tidak menjadi cemas akan ibunya. Ia melihat wajah ibunya yang cerah. "Mudah-mudahan hati Ibu secerah wajahnya yang aku lihat di dalam mimpi," desis Paksi yang kembali membaringkan dirinya. Sebelum matahari terbit, Paksi sudah bangun. Seperti biasanya ia membenahi dirinya. Bukan hanya kewadagannya. Baru kemudian ia mulai menyalakan api selagi sisa-sisa malam masih gelap. Merebus air dan menanak nasi. Paksi masih mempunyai sisa lauk yang dimasaknya kemarin ketika ia berhasil mendapatkan seekor kijang dalam sebuah perburuan yang melelahkan. Demikian matahari terbit, maka dengan membawa beberapa buah bumbung, Paksi telah memanjat beberapa batang pohon kelapa. Bukan saja untuk mendapatkan legen, tetapi dengan memanjat beberapa batang pohon kelapa, ia sudah menggerakkan tangan dan kakinya. Sehingga peluhnya mengembun di punggungnya.
Setelah selesai mengambil bumbung dan memasangnya yang baru pada mayang pohon kelapa, maka Paksipun segera membersihkan halaman gubuknya. Baru kemudian Paksi pergi untuk mandi di sungai sekaligus mencuci pakaiannya yang kotor. Paksi tidak lagi harus berendam di dalam air sambil menunggu pakaiannya kering. Tetapi ia sudah mempunyai pakaian rangkap, sehingga ia dapat membawa pakaiannya yang basah itu pulang dan menjemurnya di sebelah gubuknya. Seperti biasanya dilakukan, maka Paksipun kemudian telah melakukan latihan-latihan kecil penguasaan tubuhnya. Tidak terlalu lama. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Paksi tidak segera pergi ke sanggar terbukanya untuk melakukan latihanlatihan yang lebih berat. Tetapi Paksi berniat untuk turun dan memenuhi pesan Ki Marta Brewok. Ia harus mengenali kehidupan dari banyak sisi meskipun ia akan menemui dan melihat banyak hal yang akan dapat mengecewakannya. Karena itu, maka Paksipun justru telah merapikan pakaiannya. Sebelumnya Paksi juga sudah sering turun untuk pergi ke pasar. Tetapi yang dilakukan tidak lebih dari sekedar membeli kebutuhan-kebutuhannya. Ia tidak pernah memperhatikan sisi yang lain daripada sekedar membeli dari para penjualnya. Bahkan sedikit menyembunyikan wajahnya dengan setiap kali menunduk. Orang-orang di pasar itu memang tidak pernah tertarik untuk memperhatikannya sebagaimana ia juga tidak pernah memperhatikan secara khusus orang-orang yang ada di pasar itu. Tetapi hari itu, Paksi akan berbuat lain. Ia akan memperhatikan satu kehidupan yang terjadi di pasar dan sekitarnya. Mungkin hari itu ia tidak melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Tetapi itu tidak apa-apa. Ia memang tidak dipesan untuk mencari-cari sisi kehidupan yang dianggapnya tidak wajar, tetapi ia justru akan melihat kehidupan seutuhnya sebagaimana yang terjadi sehari-hari.
Paksipun berjalan menuruni lereng pegunungan. Langkahnya ringan di bawah sinar matahari pagi yang cerah. Masih terdengar burung-burung berkicau di pepohonan sebagaimana selalu didengarnya setiap pagi. Jalan yang dilewati Paksi adalah jalan setapak yang menurun. Setelah beberapa lama ia berjalan, Paksi masih belum berpapasan dengan seorangpun. Namun ia sudah berada di bulak persawahan. Sawah yang ditata seperti sebuah tangga raksasa membentang di lereng gunung. Baru beberapa saat kemudian, Paksi melihat seseorang yang berada di sawahnya untuk membersihkan tanaman padinya dari rerumputan yang tumbuh dengan liar. Orang itu sama sekali tidak menghiraukan Paksi yang berjalan menurun sambil memandanginya. Namun di kotak sawah yang lain, Paksi juga melihat seorang yang rambutnya sudah putih, membuka pematang sawahnya untuk mengalirkan air yang mengalir di parit. Namun nampaknya di lereng gunung itu, para petani tidak pernah kekurangan air, bahkan di musim kemarau sekalipun. Beberapa saat kemudian, Paksi sudah memasuki sebuah padukuhan. Sudah beberapa kali ia berjalan melalui jalan yang membelah padukuhan itu. Tetapi sebelumnya ia tidak pernah menghiraukan apa yang terdapat di padukuhan itu. Meskipun padukuhan itu terletak di kaki gunung, tetapi nampaknya kesejahteraan penduduknya tidak terbelakang dibanding padukuhan-padukuhan yang pernah dilihatnya sebelumnya. Nampaknya sawah yang subur di sekitar padukuhan itu memberikan hasil yang cukup, sehingga sebagian dapat ditukar dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Pakaian, ternak dan bahkan lembu atau kerbau yang kemudian dapat membantu para petani untuk meningkatkan penghasilan mereka. Putaran yang demikian itu membuat sisi kehidupan para penghuni padukuhan itu menjadi semakin baik.
Dengan demikian, maka para pedagangpun mendapat lapangan yang semakin subur pula di lingkungan itu. Pasar menjadi semakin ramai. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Matahari memanjat langit semakin tinggi. Panasnya terasa mulai menggatalkan kulit. Anak-anak yang menggembala kambing telah berada di padang rumput yang hijau. Seorang gembala yang duduk di sebuah batu yang besar meniup serulingnya. Suaranya menggetarkan udara pagi yang cerah. Paksi jarang sekali menikmati suasana pagi seperti yang dilakukannya pada waktu itu. Biasanya ia sudah berada di sanggar terbukanya sibuk dengan latihan-latihan penguasaan tubuh dan pendalaman unsur-unsur gerak yang pernah dikuasainya. Ketika ia memasuki padukuhan berikutnya setelah melewati sebuah bulak pendek, maka disana-sini terdengar orang yang sedang menumbuk padi. Sekali-sekali terdengar lenguh lembu yang diikat di luar kandang. Tangis kanak-kanak yang minta susu ibunya terdengar di sela-sela tembang yang ngelangut. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Hampir di setiap rumah nampak asap mengepul. Sebentar lagi, perempuan dan gadisgadis akan pergi ke sawah membawa kiriman makan bagi suami atau ayah mereka yang bekerja dalam panasnya sinar matahari sambil berendam air berlumpur di sawah. Ketika kemudian Paksi sampai di pasar, ternyata matahari telah terlalu tinggi. Meskipun demikian, pasar masih banyak orang yang berjual-beli. Suara pande besi menempa alat-alat pertanian yang dibuatnya, masih terdengar melengkinglengking. Hari itu Paksi tidak tergesa-gesa masuk ke dalam pasar, membeli keperluannya di beberapa tempat dan dengan segera meninggalkan pasar itu. Untuk beberapa lama Paksi justru berada di luar pasar. Sambil berjongkok di pinggir jalan, di antara beberapa orang lain yang membeli rujak pace, Paksi memperhatikan orang yang lalu-lalang dan hilir-mudik di pintu gerbang.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, bahwa tidak semua tingkah laku orang yang berada di pasar itu sesuai dengan pola yang tergambar di dalam angan-angannya. Di regol pasar itu, Paksi melihat orang yang berjalan dengan kepala tunduk. Tetapi iapun melihat orang-orang yang berjalan dengan kepala yang tengadah. Ia melihat orang-orang yang bergeser memberi jalan kepada orang lain, tetapi ada yang dengan sengaja mendesak orang yang berpapasan dengan sikunya. Paksipun melihat orang yang berdiri tidak jauh dari tempatnya yang terinjak kakinya oleh orang yang berdiri di sampingnya berkata sambil tersenyum, "Maaf, Ki Sanak. Kakiku terinjak." Orang yang menginjak kakinya itupun dengan tergesa-gesa bergeser sambil berkat, "Maaf, maaf Ki Sanak. Aku tidak tahu." Tetapi ketika seorang muda yang berwajah garang terinjak kakinya, maka dengan mata terbelalak ia membentak, "Dimana kau letakkan matamu, he?" Orang yang menginjak kaki orang muda itupun membelalakkan matanya pula, "Persetan kau. Aku kan tidak sengaja." Kedua orang itupun kemudian saling berpandangan dengan penuh kebencian. Untunglah bahwa seorang yang berambut putih datang melerai mereka. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa semacam itu tidak pernah diperhatikannya sebelumnya. Ternyata bahwa banyak hal terjadi di sekitarnya di pasar itu, di tempat banyak orang bertemu. Sebelumnya Paksi juga pernah terlibat dalam sebuah keributan di pasar karena seorang laki-laki berbuat sewenangwenang terhadap seorang perempuan untuk membela isterinya yang keras hati. Namun setelah Paksi tinggal di lereng gunung, maka Paksi justru selalu menghindari perhatian orang lain setiap ia pergi ke pasar. Akibatnya ia sendiri tidak sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Baru kemudian setelah hampir setahun ia seakan-akan hidup terpisah, meskipun tidak mutlak, maka ia harus mulai kembali menempatkan dirinya di antara pergaulan sesama. Seperti yang dikatakannya kepada Ki Marta Brewok, bahwa Paksi akan merasa canggung untuk beberapa saat. Tetapi perlahan-lahan ia akan menjadi terbiasa kembali. Ia akan mengenal satu dua orang yang sering dijumpainya di pasar itu, sehingga dengan mereka Paksi akan dapat berbincang dan mendengar ceritera tentang beberapa hal yang terjadi di luar lingkungannya yang sempit. Perhatian Paksipun kemudian tertarik kepada seorang anak yang membawa sebuah keranjang mengikuti seorang perempuan yang sedang berbelanja. Nampaknya anak itu diupah untuk membawa barang-barang yang dibeli oleh perempuan itu. Karena itu dengan telaten anak itu mengikuti kemana perempuan itu pergi. Di luar sadarnya, Paksipun telah mengikutinya pula. Jika perempuan yang berbelanja itu berhenti, maka anak yang membawa keranjang itupun berhenti pula. Semakin lama keranjang yang dibawanya itu menjadi semakin penuh dan semakin berat. Karena itu, maka anak itupun kemudian telah meletakkan keranjang itu di atas kepalanya. Perempuan yang berbelanja itu tidak sempat menghiraukan, bahwa anak itu kemudian menjadi gemetar karena beban yang terlalu berat di kepalanya. Paksi menjadi gelisah. Jika ia berusaha membantu anak itu, apakah tidak akan dapat timbul salah paham" Perempuan itu dapat marah kepadanya, atau justru anak itu merasa terganggu sumber penghasilannya. Untunglah, bahwa beberapa saat kemudian, perempuan yang nampaknya cukup berada itu selesai berbelanja. Karena itu, maka perempuan itu telah mengajak anak yang membawa keranjang di atas kepalanya itu keluar. Ternyata perempuan itu berbelanja cukup banyak. Agaknya keluarganya akan mengadakan perhelatan. Karena itu, maka
di luar pasar itu sudah menunggu sebuah pedati yang di dalamnya sudah terisi beberapa bakul yang berisi bermacammacam bahan makan. Ada beras, telur, gula kelapa dan beberapa ekor ayam. Paksi berdiri agak jauh dari pedati itu. Ia melihat anak itu meletakkan keranjangnya di bibir belakang pedati yang berhenti di pinggir jalan. Nampak di wajah anak itu betapa beratnya beban yang diusung di atas kepalanya itu, sehingga mulutnya menyeringai. Di luar sadarnya, bibir Paksi ikut bergerak-gerak. Rasarasanya ia ingin meloncat membantu anak itu. Tetapi ia masih menahan diri agar tidak menimbulkan persoalan karena terjadi salah paham. Ternyata perempuan yang berbelanja itu tidak sendiri. Seorang perempuan lain kemudian datang pula bersama perempuan yang menggendong bakul yang juga sudah penuh, yang kemudian diletakkan ke dalam pedati itu pula. Paksi tersenyum ketika ia melihat perempuan yang menggendong bakul yang penuh itu serta anak yang mengusung keranjang di kepalanya, menerima upahnya. Anak itu nampak gembira, sementara perempuan itupun tersenyum pula. Mereka telah menerima hasil jerih payah mereka. Baru kemudian Paksi mengetahui, bahwa anak yang mengusung keranjang itu adalah anak laki-laki perempuan yang menggendong beban di punggungnya. Ketika keduanya lewat di depan Paksi, Paksi mendengar sekilas mereka bercakap-cakap. Perempuan yang menggendong beban itu kemudian telah mengusap kepala anak itu sambil berkata, "Jika kau lapar, makanlah. Kau dapat membeli nasi tumpang di sudut pasar itu, Le." "Simbok makan apa tidak?" bertanya anak itu. Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Aku nanti gampang, Le." "Aku akan membeli nasi sekeping saja, Mbok. Ini yang dua keping."
"Bawa saja, Ngger. Jika simbok yang membawa, nanti diminta ayahmu." Anak itu memandang ibunya dengan tatapan mata yang suram. Kecerahan wajahnya telah larut dalam keragu-raguan. Tetapi ibunya masih tersenyum. Katanya, "Sudahlah. Sekarang kau beli nasi tumpang. Jangan hanya sekeping. Belilah dua keping biar perutmu kenyang. Belum tentu siang nanti kau dapat makan lagi. Jika kau kenyang, maka kau dapat bekerja lebih baik seandainya masih ada orang yang minta kau membawa barang-barangnya." Anak itu mengangguk-angguk. Ketika ibunya kemudian melangkah kembali ke pintu gerbang pasar, maka anak itupun menghambur berlari. Di luar sadar pula Paksipun melangkah ke arah anak itu berlari. Ternyata kemudian anak itu berjongkok di depan penjual nasi tumpang yang berjualan sebelah luar pasar itu. Paksipun telah ikut berjongkok pula. Ketika anak itu membeli nasi tumpang, maka Paksipun membeli pula. Anak itupun kemudian menyuapi mulutnya yang kecil itu. Nasi tumpang itu terasa nikmat sekali, sehingga di mulut Paksipun nasi itupun rasa-rasanya menjadi jauh lebih enak daripada nasi tumpang yang pernah dimakannya sebelumnya. Anak itu nampak kecewa ketika nasi tumpangnya itu habis. Ia masih memegang pincuk tempat nasi itu. Nampak di wajahnya keragu-raguan untuk membuang pincuk nasi itu. Nampaknya anak itu ingin membeli nasi lagi. Tetapi ia mempertimbangkan sisa uangnya yang mungkin dapat dipergunakan untuk keperluan yang lain. Selagi anak itu termangu-mangu, maka Paksipun bertanya, "Kau masih lapar?" Anak itu memandang Paksi dengan kerut di keningnya. "Jika kau masih lapar, mintalah sepincuk lagi." Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun dengan jujur ia berkata, "Aku akan memberikan sisa uangku kepada Simbok." Paksi tersenyum. Katanya, "Biarlah aku yang membayarnya. Semuanya."
Anak itu nampak ragu-ragu. Namun Paksipun kemudian mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat pinggangnya. Sambil menunjukkan uang itu ia berkata, "Benar. Aku akan membayar semuanya. Dua atau tiga pincuk nasi tumpang." Anak itu masih ragu-ragu. Namun Paksi telah mengambil pincuk dari tangan anak itu dan memberikannya kepada penjual nasi itu, "Berilah satu lagi. Aku yang akan membayar berapapun yang akan dihabiskannya." Penjual nasi tumpang itupun menjadi ragu-ragu pula. Namun Paksipun segera memberikan lima keping uang. Katanya, "Terimalah. Nanti kita perhitungkan, berapa yang harus aku bayar. Kurang atau lebih." Penjual nasi itu menerima uang itu dengan wajah yang masih saja nampak ragu. Namun kemudian disimpannya uang itu di bawah lambaran daun di atas tampahnya. Kemudian iapun mengisi pincuk anak itu dengan nasi tumpang lagi. Anak itu menjadi keheranan. Ia belum pernah bertemu dengan orang yang tiba-tiba saja membayar nasi yang dibelinya. Namun sambil tersenyum Paksi berkata, "Terimalah nasi itu. Makanlah. Jangan ragu-ragu." Anak itu menerima pincuk yang telah diisi dengan nasi tumpang. Kemudian sambil sekali-sekali memandang Paksi, ia mulai menyuapi mulutnya lagi. Ketika Paksi menawarinya lagi setelah nasi yang sepincuk itu habis, anak itu menggeleng. Katanya, "Aku sudah kenyang." Paksi tersenyum. Katanya, "Uang itu masih tersisa. Kau baru makan dua pincuk, aku satu. Jika harganya masingmasing sekeping, maka masih tersisa uang dua keping." Tetapi anak itu menggeleng lagi sambil berkata, "Aku sudah kenyang." "Nah, jika demikian, ambil kembalinya. Dua keping." Anak itu menjadi semakin heran. Bahkan penjual nasi itupun menjadi heran pula.
Tetapi akhirnya anak itu mau menerima dua keping yang diberikan dengan ragu oleh penjual nasi tumpang itu. Beberapa saat kemudian, Paksi duduk di bawah sebatang pohon waru dengan anak yang masih saja membawa keranjangnya. "Siapa namamu?" bertanya Paksi. "Kinong," jawab anak itu. Paksi tersenyum. Katanya, "Tentu karena dahimu yang sedikit menonjol itu." Anak itu memandang Paksi sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum iapun mengangguk. "Apakah setiap hari kau berada di pasar ini?" "Ya, Kakang," jawab Kinong. "Namaku Paksi," berkata Paksi kemudian. Anak itu mengerutkan dahinya. Tetapi anak itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya, Kakang Paksi." "Aku sering pergi ke pasar ini. Tetapi baru sekali ini aku melihat kau dengan keranjangmu." "Sudah beberapa bulan aku membantu simbok," jawab Kinong. "Dimana ayahmu?" bertanya Paksi. Anak itu memandang Paksi sejenak. Namun kemudian wajahnya menunduk sambil berdesis, "Ayah tidak mau mencari uang." "Ayah bekerja di sawah?" bertanya Paksi pula. "Ayah sudah tidak mempunyai sawah lagi." "Kenapa?" "Sawah ayah sudah digadai orang. Ayah kalah berjudi. Sekarang ayah hanya di rumah saja jika tidak sedang berjudi. Simboklah yang harus mencari makan di pasar ini." "Dan kau selama ini berusaha membantu ibumu?" Kinong mengangguk. "Berapa orang jumlah saudaramu?" "Seorang. Aku mempunyai kakak perempuan yang harus tinggal di rumah untuk menanak nasi jika kebetulan simbok mempunyai beras."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Keluarga Kinong memerlukan pertolongan. Tetapi Paksi tidak tahu, bagaimana caranya. Tentu ia tidak dapat ke rumah Kinong, kemudian memberi uang kepada keluarga itu. Jika demikian, maka uang itu tentu akan diambil oleh ayah Kinong dan dipergunakannya untuk berjudi. Paksipun tidak sebaiknya memberi uang Kinong setiap pagi. Dengan demikian, maka jika saatnya nanti ia harus meninggalkan tempat itu, maka Kinong akan menjadi sangat kecewa. Selain itu, pemberiannya itu akan dapat membuat Kinong menjadi malas. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Paksi melihat ibu Kinong itu mengikuti seorang yang sedang berbelanja dengan menggendong sebuah bakul yang penuh dengan berbagai macam barang. Nampaknya ibu Kinong sudah diupah lagi untuk membawa barang-barang dari seorang perempuan yang sudah agak tua yang sedang berbelanja. "Kakang, aku akan membantu simbok," berkata Kinong sambil bangkit berdiri. Anak itu tidak menunggu jawab. Iapun segera berlari-lari mendapatkan ibunya untuk membantu sebagian dari bebannya di dalam keranjang kecilnya. Perempuan tua yang sedang berbelanja itu berpaling. Tetapi nampaknya ia tidak berkeberatan, seorang anak lakilaki membantu membawa barang-barang itu. Bahkan nampaknya perempuan itu sudah saling mengenal dengan ibu Kinong. Ketika mereka berhenti sejenak untuk memindahkan beberapa jenis bawaan ibunya ke dalam keranjang Kinong, Paksi melangkah mendekati. Dari pembicaraan mereka Paksi mengetahui bahwa ibu Kinong itu justru sudah menjadi langganan perempuan tua itu. Setiap kali perempuan tua itu berbelanja, ia tentu mencari ibu Kinong untuk membantu membawa barang-barangnya. Bukan hanya sampai di luar
pasar, tetapi sampai ke rumahnya yang berantara dua bulak yang tidak terlalu panjang dari pasar itu. Paksi memperhatikan ketiga orang yang berjalan menjauhi pasar itu. Kinong justru berjalan di depan sambil membawa keranjang kecil itu di atas kepalanya. Ketika ketiga orang itu menjauh, maka Paksipun kembali duduk di bawah pohon waru yang rindang itu. Namun tidak ada lagi yang menarik perhatian Paksi. Orang yang lalu-lalang di depan pasar itu adalah hal yang setiap hari terjadi. Anak-anak yang ikut berbelanja dengan orang tuanya merengek minta dibelikan mainan yang dijual di sebelah pintu gerbang. Seorang gadis kecil menjadi gembira, ketika ibunya membeli sebuah golek kayu, bahkan dengan selendang kecilnya sekaligus. Golek kecil itupun kemudian diembannya dengan sayang. Diusapnya dahinya dengan jari-jarinya yang kecil sambil berdendang. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia ikut bergembira bersama gadis kecil yang menggendong anakanakannya yang terbuat dari kayu itu. Paksi terkejut ketika seorang anak muda tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Sambil berdesah ia berkata, "Udaranya panas sekali, Ki Sanak." "Ya," jawab Paksi. "Tetapi di bawah pohon ini terasa amat sejuk, sehingga aku menjadi mengantuk karenanya." Anak muda itu tersenyum. Katanya, "Ya. Beberapa saat aku duduk disini, aku tentu akan mengantuk pula." Paksi yang kemudian beringsut sempat memandang anak muda itu sejenak. Tetapi ia tidak melihat sesuatu yang menarik pada anak muda itu. Seperti anak-anak muda yang lain, maka wajahnya nampak terang. Dengan ramah anak muda itu bertanya, "Kau sering datang ke pasar ini, Ki Sanak?" "Hanya sekali-sekali," jawab Paksi. "O," anak muda itu mengangguk-angguk. "Bagaimana dengan kau?" bertanya Paksi.
http://www.mardias.mywapblog.com
"Aku sering sekali pergi ke pasar ini. Ibuku berjualan disini. Pagi-pagi aku mengantar ibu ke pasar ini dan di siang hari begini aku menjemputnya." Paksi mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya Paksi bertanya, "Ibumu berjualan apa?" "Kain lurik," jawab anak muda itu. Paksi masih saja mengangguk-angguk. Ketika ia berniat menanyakan rumah anak muda itu, maka niatnya diurungkannya. Jika hal itu dilakukannya, anak muda itu tentu akan bertanya kepadanya pula, dimana ia tinggal. Ternyata anak muda itu juga tidak bertanya, dimana Paksi tinggal, sehingga Paksi tidak harus membuat ceritera tentang tempat tinggalnya. Karena itu, maka untuk menghindari pertanyaanpertanyaan yang belum siap dijawabnya, maka Paksipun kemudian justru bangkit dan berkata, "Aku sudah cukup lama beristirahat. Aku akan mencari bibiku di pasar itu." Anak muda itu berpaling. Dengan tanpa banyak ingin tahu tentang anak muda itu, iapun menjawab, "Silahkan." Paksipun kemudian telah melangkah pergi menuju ke pintu gerbang pasar. Tetapi ia tidak masuk ke dalamnya. Bahkan kemudian iapun telah melangkah menjauh. Paksipun kemudian telah menyusuri jalan kembali ke gubuknya di lereng gunung. Hari itu Paksi tidak melakukan latihan-latihan berat. Ketika ia berada di sanggar terbukanya, maka ia hanya melakukan latihan-latihan ringan, agar uraturatnya tidak serasa membeku. Demikian tubuhnya basah oleh keringat, maka Paksipun menyudahi latihannya. Setelah mandi dan mencuci, maka Paksipun lebih banyak duduk merenungi apa yang telah dilihatnya di pasar. Paksi tidak dapat segera melupakan dua orang ibu dan anak yang harus bekerja keras untuk dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, karena laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab atas kehidupan mereka, justru telah menjadi benalu.
Tetapi Paksi tidak dapat berbuat banyak. Di keesokan harinya, Paksi tidak turun dari tempatnya. Ia lebih banyak tenggelam di sanggarnya. Paksi memang berniat untuk tiga atau ampat hari sekali saja turun untuk mengamati kehidupan agar kehadirannya tidak menarik perhatian orang. Sementara Paksi masih terikat pada latihan-latihan yang harus dilakukannya sendiri tanpa Ki Marta Brewok di siang hari. Dengan latihan yang tekun dan teratur, maka kemampuan bidik Paksipun telah berkembang dengan cepat. Bahkan Ki Marta Brewokpun merasa heran dengan kemampuan bidik Paksi. Bukan saja sasaran yang diam, tetapi sasaran yang bergerakpun mampu dikenainya dengan tepat. Demikian pula dengan kemampuannya melempar lembing. Sambil berlari kencang Paksi sanggup mengenai sebatang pisang yang ditanam beberapa langkah dari jalur larinya. Atau dengan lemparan dari jarak yang cukup jauh, dapat mengenai sebuah kelapa yang digantungkan dengan tali pada dahan pepohonan. Di samping panah dan lembing, Paksipun berlatih untuk mempergunakan senjata yang lebih kecil. Pisau, belati dan paser yang dapat dibuatnya sendiri. Bahkan Paksipun memiliki kemampuan melempar sasarannya dengan kapak-kapak kecil yang dibelinya di pasar yang sering dipergunakan untuk membuat perabot rumah. Bukan untuk membelah kayu-kayu gelondong. Dengan demikian, maka kemampuan Paksipun menjadi lengkap. Di malam hari, Paksi masih tetap berlatih bersama Ki Marta Brewok di sanggar terbukanya. Namun sekali-sekali Ki Marta Brewok juga ingin melihat kemampuan bidik Paksi yang dilatihnya di siang hari. "Nah, kau juga harus mengembangkan kemampuan bidikmu di malam hari, dimana kau berada di dalam lingkungan kegelapan," berkata Ki Marta Brewok. Ternyata Ki Marta Brewok tidak hanya sekedar memberikan perintah-perintah dan aba-aba saja. Mencela atau mengejek kegagalan-kegagalan Paksi. Tetapi Ki Marta Brewok telah
memberikan petunjuk-petunjuk langsung serta contoh-contoh, apa yang harus dilakukan oleh Paksi. Ternyata Ki Marta Brewok sendiri mampu membidik sasaran yang berada di dalam gelap. Dengan ketajaman penglihatan serta kemampuan bidik yang sangat tinggi, Ki Marta Brewok dapat mengenai sebongkah batu padas yang dilemparkan oleh Paksi di udara. "Di siang hari kau mungkin dapat melakukannya, Paksi. Tetapi kau juga harus dapat melakukannya di malam hari, karena pada suatu saat kau memerlukan untuk melakukannya di malam hari." Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, "Baik, Ki Marta. Aku akan berlatih juga di malam hari." Tetapi di malam hari Paksi tidak berlatih sendiri. Ia langsung berada di bawah bimbingan Ki Marta Brewok, sehingga penglihatan Paksi menjadi semakin tajam di malam hari. Bahkan kemudian Ki Marta Brewok telah membawa Paksi di dalam laku yang khusus untuk mempertajam penglihatannya. "Bukan hanya penglihatanmu, Paksi. Tetapi segenap inderamu akan dapat kau pertajam dengan laku itu." Paksi yang sudah menjalani laku apapun tidak menolak. Laku itu dimulai dari jenis makanan yang boleh dimakannya dalam jangka waktu tertentu. Selama ampat puluh hari, Paksi harus menyusut jenis makanan yang dimakannya setiap hari. "Kau hanya boleh makan tiga jenis makanan setiap hari, Paksi," berkata Ki Marta Brewok. "Maksud Ki Marta?" bertanya Paksi. "Jika kau makan nasi dan minum air, maka kau tinggal boleh makan satu jenis lagi. Jika yang satu jenis itu garam, maka kau tidak dapat makan jenis yang lain. Kau tidak boleh makan gula atau daging untuk lauk atau sayur atau apapun. Jika kau makan gula dan minum air, maka kau dapat makan nasi saja, atau ketela saja atau sayuran saja, itupun hanya satu jenis pula."
Paksi mengangguk-angguk. Ia tahu maksud Ki Marta Brewok. Namun kemudian Ki Marta Brewok berkata, "Tetapi ada jenis lain yang dapat kau makan di luar ketiga jenis makanan itu. Yaitu kunyit dan kencur. Tentu saja tidak terlalu banyak." Paksi masih saja mengangguk-angguk. Tetapi ia berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menjalani laku sejauh kemampuannya. Paksi sudah tidak memikirkan lagi, apakah ia tidak akan terlambat untuk mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu. Karena apa yang dihadapinya itu akan dapat langsung memberikan arti bagi hidupnya. Dalam pada itu, maka sehari kemudian Paksi sudah mulai menjalani laku. Namun ternyata laku yang lainpun harus ditempuhnya pula. Menjelang saat-saat terakhir dari laku yang dijalani dengan hanya makan tiga jenis makanan itu nanti, ia harus menjalani laku pati-geni. "Laku itu tidak akan kau jalani disini, Paksi. Aku akan membawamu ke satu tempat yang sesuai bagimu untuk menjalani laku itu." Paksi mengangguk sambil menjawab, "Baik, Ki Marta. Aku akan menjalaninya." "Baiklah. Mulailah sejak besok hingga genap ampat puluh hari ampat puluh malam," berkata Ki Marta Brewok. Lalu katanya lebih lanjut, "Tetapi selama itu, kau harus tetap berlatih." Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, maka ketika matahari terbit Paksi sudah berada di dalam laku yang dimaksud Ki Marta Brewok. Namun bagi Paksi laku itu tidak terlalu banyak mempengaruhi ketegaran wadagnya. Ki Marta Brewok hanya menyebut jenis makanan yang boleh di makan. Tetapi tidak jumlahnya. Karena itu, maka Paksi tetap dapat melakukan kewajibannya dengan baik, karena Paksi makan cukup banyak. Ia dapat memberikan warna makanannya yang berbeda-beda setiap hari, meskipun tidak lebih dari tiga jenis.
Di samping itu Paksipun sedikit-sedikit makan pula kunyit dan kencur yang membuat tubuhnya menjadi hangat. Dalam pada itu, seperti direncanakan, Paksi dalam waktu tiga atau ampat hari sekali memang turun untuk pergi ke pasar. Namun Paksi sudah mulai mengenali nama beberapa padukuhan. Kadang-kadang ia bertanya kepada anak-anak yang sedang menggembalakan kambing. Tetapi kadangkadang Paksi juga berjalan bersama dengan orang lewat yang dapat memberikan jawaban atas beberapa pertanyaannya. Ketika sudah dua tiga kali Paksi berada di pasar dan dengan sengaja berusaha membuat hubungan dengan beberapa orang, maka Paksi mulai berkenalan dengan beberapa orang yang sering berada di pasar itu. Setiap kali Paksi tentu bertemu dengan Kinong yang masih saja menerima upah dari orang-orang yang berbelanja yang memerlukan tenaganya. Demikian pula ibunya. Jika Kinong sempat duduk beristirahat dan berbincang, maka Paksi mengetahui bahwa ayah Kinong masih saja gila berjudi dan tidak segan-segan merampas uang ibunya yang didapatkannya dengan bekerja keras bersama Kinong di pasar. "Setiap kali kakak perempuanku hanya dapat menangis. Sebenarnya ia ingin juga bekerja seperti kami di pasar. Tetapi ibu melarangnya." "Kakakmu seorang perempuan, Kinong. Ibumu agaknya tidak rela melihat anaknya perempuan bekerja keras di pasar sebagaimana dilakukan oleh ibunya dan anaknya laki-laki." Kinong mengangguk-angguk. Anak itu tiba-tiba saja bangkit berdiri ketika ia melihat ibunya datang kepadanya. Sambil tersenyum ibunya berkata, "Sudah cukup untuk hari ini Kinong. Kita dapat pulang agak awal. Aku sudah membeli beras seberuk. Cukup untuk hari ini. Jika kau besok akan beristirahat, aku kira tidak ada masalah. Aku masih ada uang." "Simbok dapat uang banyak?" bertanya Kinong. "Tidak banyak, Kinong, Tetapi cukup buat kita." "Aku juga masih mempunyai uang," berkata Kinong.
"Kau bawa saja. Masukkan ke dalam bumbung tabunganmu." Kinong mengangguk-angguk. Sementara ibunya berkata hampir berbisik, "Bukankah kau ingin segera supit seperti kawan-kawanmu itu" Nah, kau sudah merasa terlambat. Jika uangmu nanti terkumpul dan ada sisa uang Simbok serba sedikit, kau dapat supit sebelum tahun depan." Wajah Kinong menjadi cerah. Katanya, "Baik, Mbok. Aku akan menabung." Ibunya tertawa. Diusapnya kepala anak itu sambil berdesis, "Nah, marilah kita pulang." Tetapi keduanya tertegun ketika mereka melihat seorang laki-laki berwajah kasar. Matanya kemerah-merahan, sementara pakaiannya nampak kusut. Kinong tiba-tiba menjadi ketakutan. Hampir di luar sadarnya, Kinong berdesis, "Mbok, itu Ayah." Ibu Kinongpun melangkah surut. Didekapnya anaknya yang ketakutan. Sementara itu, laki-laki yang matanya kemerahmerahan itu melangkah mendekati ibu Kinong sambil membelalakkan matanya. "Sampai siang begini kau masih belum pulang?" "Aku baru selesai, Pak," jawab perempuan itu. "Kau tentu dapat uang banyak. Berikan kepadaku." "Sudah aku belikan beras, Pak. Kita sudah kehabisan beras. Uangku hanya cukup untuk membeli beras seberuk." "Bohong. Berikan uangmu kepadaku." "Pak," ibu Kinong berusaha untuk menjawab dengan sareh, "marilah kita pulang. Mungkin aku masih mempunyai sisa uang sedikit. Tetapi jangan disini. Disini banyak orang." Tetapi laki-laki itu tidak peduli. "Cepat, berikan uang itu kepadaku, atau aku tampar wajahmu. Aku tidak peduli apakah disini banyak orang atau tidak. Aku perlu uang itu." "Baik, baik. Tetapi marilah, kita pergi ke tikungan itu." "Tidak," teriak laki-laki itu.
Ibu Kinong menjadi sangat gelisah. Tetapi suaminya tidak menghiraukannya. Bahkan sekali lagi ia membentak, "Berikan uang itu sekarang. Apakah kau tuli?" Beberapa orang telah mengerumuninya. Seorang laki-laki mendekat sambil bertanya, "Apa yang terjadi?" "Jangan ikut campur," bentak laki-laki itu pula. "Ini adalah persoalan suami isteri." Paksipun sudah berdiri di antara orang-orang yang berkerumun. Tetapi ia benar-benar dicengkam oleh keraguan, persoalan itu adalah persoalan seorang suami dengan isterinya. Jika ia mencampurinya, apakah itu bukan berarti bahwa ia telah memperburuk hubungan itu. Jika suaminya mendendam, bukankah keadaan isterinya akan menjadi semakin sulit. Selagi Paksi merenung, iapun terkejut. Beberapa orang perempuan menjerit. Laki-laki itu telah menampar wajah isterinya. Kinongpun menangis sambil berpegangan baju ibunya. "Simbok, Simbok," suaranya melengking berkepanjangan. "Diam kau monyet," bentak ayahnya. Tetapi ibu Kinong itu tidak menangis. Iapun menarik ujung kain ikat pinggangnya. Dengan tangan gemetar ia melepas ikatan uang di ujung kain ikat pinggangnya itu. Namun tiba-tiba kerumunan orang itu menyibak. Dari antara mereka muncul seorang perempuan yang terasa asing bagi orang-orang yang ada di pasar itu. Seorang perempuan dengan pakaian yang khusus. Di bawah kainnya yang disingsingkannya, ia mengenakan celana hitam yang longgar. Sebilah pedang terselip di pinggangnya. Di kepalanya dikenakan ikat kepala hitam pula. Namun rambutnya dibiarkan terurai di punggungnya. "Apa yang terjadi?" suaranya melengking tinggi. Semua orang memandang kepadanya. Sementara itu, ayah Kinongpun nampak menjadi cemas. Dengan suara gemetar ia berkata, "Isteriku inilah. Ia telah mengambil uangku."
"Apakah ia tidak kau beri belanja untuk keperluannya sehari-hari?" "Sudah. Aku memberinya belanja secukupnya. Ia memang pemboros. Ia suka membeli barang-barang yang tidak berguna. Ia suka pula makan di warung-warung di antara banyak laki-laki." Perempuan dalam pakaian asing itu memandang ibu Kinong dengan seksama. Ia melihat setitik darah di sudut bibir ibu Kinong itu. Namun Paksi terkejut sekali ketika ia mendengar perempuan asing itu berkata, "Seorang isteri yang suka mencuri uang suaminya memang harus dihajar habis-habisan. He, kau curi uang suamimu untuk diboroskan?" Jawaban Ibu Kinong juga mengejutkan Paksi. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ibu Kinong itu menjawab, "Aku mengambilnya ketika ia sedang tidur." "Huh. Kau berbakat menjadi pengkhianat. Kembalikan uang itu. Kau nodai nama perempuan. Aku juga perempuan. Aku tidak pernah mencuri uang suamiku. Aku justru memberikan apa saja yang ia minta dariku." Ibu Kinong membuka ikatan pada ujung kain ikat pinggangnya. Diserahkannya beberapa keping uang yang tersisa kepada suaminya. Sambil menerima uang itu, suaminya berkata, "Aku ampuni kau kali ini. Tetapi jika sekali lagi terjadi, aku mungkin tidak dapat mengekang diriku lagi." Laki-laki itupun kemudian melangkah pergi meninggalkan Kinong yang menangis. Tetapi ibunya tetap tidak menangis. Paksi memandang wajah perempuan itu dengan jantung yang berdegup semakin cepat. Rasa-rasanya ibu Kinong itu sudah tidak mempunyai air mata yang tersisa. Namun perempuan asing itu mencibirkan bibirnya sambil berkata, "Untunglah suamimu seorang penyabar. Jika tidak, maka rahangmu akan dihancurkannya." Ibu Kinong tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja Kinonglah yang berteriak, "Simbok tidak bersalah. Ayah yang penjudi. Ia selalu merampas uang Simbok."
"Kinong," potong ibunya sambil mendekap anaknya. "Sudahlah. Jangan dipersoalkan lagi." Tetapi Kinong masih tetap menangis. Sementara itu perempuan dengan pakaian yang asing itu berkata, "Ini anakmu, he?" Ibu Kinong mengangguk. "Ternyata anakmu yang masih kecil itu sudah kau ajari berbohong. Kau ajari ia menghina ayahnya yang meneteskan benih di dalam perutmu." "Tidak. Bukan maksudku." Kinong masih akan berteriak lagi. Tetapi ibunya segera menutup mulutnya. Namun orang-orang yang berkerumun itu terkejut sekali lagi. Seorang laki-laki yang masih terhitung muda, tiba-tiba saja menyibak kerumunan orang itu. Dipandanginya perempuan dalam pakaian asing itu sambil berkata, "Apa sebenarnya maksudmu" Aku tahu, kau tentu murid dari Goa Lampin. Murid seorang iblis perempuan yang membenci sesama perempuan. Kau, muridnya, agaknya mempunyai tabiat yang sama." "Darimana kau tahu tentang aku?" perempuan itu menjadi tegang. "Kenapa kau bertanya" Kau pakai dengan bangga ciri perguruanmu. Kau pakai pada ikat kepalamu yang hitam itu, lambang lingkaran yang dibelah dengan garis tegak berwarna merah. Lambang dari sekelompok perempuan berilmu tinggi yang merendahkan derajat sesama perempuan." "Iblis kau. Kau murid dari padepokan Sad." "Aku tidak ingkar. Kau tentu mengenal ciri-ciri perguruan Sad. Aku memang salah seorang murid perguruan itu." "Kenapa kau campuri urusanku?" "Kenapa kau mencampuri urusan suami isteri itu" Kau kira dugaanmu benar, bahwa perempuan itu mencuri uang suaminya?" "Ia mengaku sendiri."
"Perempuan itu adalah contoh perempuan yang ingin menjunjung tinggi martabat suaminya. Ia tidak mau membuat suaminya malu di hadapan orang banyak. Tetapi anak laki-laki itu berkata dengan jujur. Nah, aku cenderung percaya kepada anak itu daripada pengakuan ibunya." "Sudah. Sudahlah, Ki Sanak," berkata ibu Kinong itu kemudian. "Biarlah terjadi sebagaimana yang terjadi. Aku mohon diri. Aku akan pulang. Aku tidak mau menjadi tontonan terlalu lama disini. Aku berterima kasih kepada semuanya yang menaruh perhatian terhadap persoalan yang aku hadapi." "Pulanglah, Nyi. Mudah-mudahan kemarahan suamimu tidak berkepanjangan. Kau memang harus bersabar menghadapi sikapnya. Tetapi yakinkan dirimu, kau perempuan yang baik." "Huh," desah perempuan yang berpakaian asing itu. "Orang-orang dari perguruan Sad memang pemuja perempuan." "Tidak semua perempuan," jawab laki-laki yang masih terhitung muda itu. "Kami menghargai perempuan sewajarnya. Tetapi kami tidak dapat menghargai perempuan dari Goa Lampin." "Kau telah menghina kami," geram perempuan itu. Namun laki-laki yang masih terhitung muda itu tidak menghiraukannya. Sekali lagi ia berkata kepada ibu Kinong, "Pulanglah. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa denganmu setelah kau berikan uangmu kepada suamimu." Ibu Kinongpun kemudian telah menggandeng anaknya. Tetapi ketika mereka melangkah, Kinong sempat berlari mengambil keranjang kecilnya. Sekilas ia memandang Paksi yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian iapun berlari kepada ibunya. Sejenak kemudian ibu dan anak itupun meninggalkan tempat itu, menembus kerumunan orang-orang yang masih terpancang di tempatnya. Namun perhatian mereka kemudian
telah berpindah kepada dua orang perempuan dan laki-laki yang kemudian saling berhadapan. Ketika ketegangan terasa semakin mencengkam, maka orang-orang yang berkerumun itupun telah bergeser surut. Lingkaran itupun melebar. Beberapa orang justru telah membenahi barang-barang dagangan mereka. "Jika kawan mereka berdatangan, maka perkelahian akan meluas," berkata salah seorang pedagang nasi tumpang yang dagangannya tinggal tersisa sedikit. Lalu katanya, "Lebih baik aku pulang." Beberapa orang telah berbuat serupa. Seorang penjual dawet telah memanggul sisa dawetnya menjauh. Dalam pada itu, maka perempuan yang berpakaian asing itu agaknya benar-benar menjadi marah. Karena itu, maka katanya, "Aku tidak akan pergi sebelum aku membuat perhitungan dengan kau yang telah menghina perguruan kami." "Itu terserah kepadamu. Aku tidak peduli. Tetapi aku akan meninggalkan tempat ini." "Kau juga tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kau berlutut di hadapanku dan mohon maaf atas kelancanganmu, mengucapkan kata-kata penghinaan atas perguruan kami." "Jangan aneh-aneh. Jangan bermimpi tentang sesuatu yang tidak akan pernah terjadi." "Kau tahu watak orang-orang Goa Lampin?" "Tahu. Mereka adalah perempuan-perempuan yang membenci perempuan. Di perguruan Goa Lampin memang terdapat beberapa orang laki-laki. Mereka hidup dalam dunia mimpi, karena laki-laki di perguruan Goa Lampin diperlakukan seperti anak-anak emas yang manja." "Apakah kau merasa iri, bahwa kau bukan salah seorang di antara mereka yang menjadi pilihan penghuni Goa Lampin?" Laki-laki yang terhitung muda itu tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya ia berkata, "Kau kira aku merasa berbahagia hidup dalam sangkar seperti mereka yang kehilangan harga dirinya sebagai seorang laki-laki" Aku
terbiasa hidup dalam pengembaraan yang kadang-kadang penuh dengan bahaya. Tetapi dunia laki-laki memang keras." "Kami, perempuan-perempuan dari Goa Lampin tidak akan menghindari kekerasan." "Terutama untuk melindungi laki-laki betina yang kalian simpan di Goa Lampin itu." Perempuan itu benar-benar menjadi marah. Dengan garang ia berkata, "Bersiaplah. Aku akan menundukkanmu dan memaksamu tinggal di dalam sangkar di Goa Lampin. Guru akan dapat membuatmu menjadi jinak, karena kau akan kehilangan segala kebanggaan sebagai seorang yang terbiasa mengembara di dunia olah kanuragan. Tetapi guru akan dapat memberikan kebanggaan baru kepadamu sebagai seorang laki-laki sejati." "Gila," geram laki-laki yang masih terhitung muda itu. Katanya dengan wajah yang menjadi merah, "Penghinaan yang kau lontarkan tidak dapat dimaafkan lagi." Perempuan yang berpakaian asing itu tidak menjawab. Ketika laki-laki yang masih terhitung muda itu melangkah maju, maka perempuan itupun segera bersiap. Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang yang menyaksikannya telah menjadi semakin jauh. Paksi yang tidak ingin menarik perhatian, ikut pula bergeser menjauh. Namun dengan seksama ia memperhatikan kedua orang yang sedang bertempur itu. Bukan saja untuk melihat siapakah yang kalah dan siapakah yang menang, namun Paksipun ingin melihat dan mengenali mereka meskipun mereka tidak mempergunakan ciri-ciri perguruan mereka. Ternyata kedua orang itu memiliki landasan ilmu yang sudah mapan. Namun keduanya masih belum sampai pada tataran tertinggi dari ilmu kanuragan. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia berbangga terhadap dirinya sendiri. Ketika kedua orang yang bertempur itu nampaknya sudah sampai pada tataran tertinggi dari
kemampuan yang telah mereka warisi, kemampuan mereka masih jauh berada di bawah kemampuan Paksi sendiri. Karena itu, hampir di luar sadarnya Paksipun berdesis, "Aku harus berterima kasih kepada guru, kepada orang yang mengaku pengikut Kebo Lorog dan terutama kepada Ki Marta Brewok. Karena dengan bimbingan mereka aku telah memiliki ilmu yang cukup mapan. Sementara itu, di bawah bimbingan Ki Marta Brewok ilmuku masih terus berkembang." Dalam pada itu, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Beberapa kali kedua belah pihak telah berhasil menyusupkan serangan mereka di sela-sela pertahanan lawannya. Ketika laki-laki yang masih terhitung muda itu terlambat menangkis serangan lawannya, maka kaki lawannya itu telah menghantam dadanya, sehingga laki-laki itu terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika perempuan yang berpakaian asing itu memburunya, maka dengan sigapnya laki-laki itu meloncat ke samping. Satu putaran yang cepat telah mengayunkan kakinya ke arah kening lawannya. Perempuan itu sempat melihat serangan lawannya. Dengan cepat kedua lengannya telah melindungi kepalanya. Tetapi ayunan kaki itu demikian kerasnya sehingga perempuan itu hampir saja kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa dengan sigap ia menggeliat dan sesaat kemudian, perempuan itu sudah tegak berdiri dengan kokohnya. Namun lawannya justru bergerak cepat. Seranganserangannya kemudian datang beruntun seperti banjir bandang. Perempuan yang berpakaian asing itu mulai terdesak. Betapapun ia mencoba mengimbangi kecepatan gerak lawannya, namun beberapa kali ia harus berloncatan menghindar serta mengambil jarak. Tetapi lawannya selalu saja mendesaknya. Seranganserangannya seakan-akan menjadi semakin cepat memburunya. Dalam keadaan yang sulit, maka perempuan yang berpakaian asing itu telah menarik pedangnya dengan cepat.
Satu ayunan yang deras hampir saja memenggal kepala lakilaki yang masih terhitung muda itu. Namun laki laki itu sempat meloncat jauh-jauh untuk mengambil jarak. Namun perempuan itupun memburunya. Ia tidak ingin kehilangan saat-saat berharga ketika laki-laki itu masih terkejut mendapat serangannya itu. Namun ketika perempuan itu mengayunkan pedangnya sekali lagi menyerang ke dahi lawannya, maka laki-laki itu menangkisnya dengan pedangnya pula. Benturan senjata itupun tidak dapat dielakkan. Bunga api memercik dari benturan dua bilah pedang yang terbuat dari baja pilihan. Perempuan itu menggeram. Sekali pedangnya berputar, kemudian dengan loncatan kecil pedang itu terjulur ke arah dada. Tetapi lawannya cukup tangkas. Pedang itu mengenainya. Laki-laki itu meloncat surut, sementara pedangnya menebas serangan lawannya. Yang terjadi kemudian adalah benturan antara dua jenis ilmu pedang yang mempunyai landasan dasar yang berbeda. Namun keduanya menunjukkan kemampuan mereka sehingga pertempuran itupun menjadi semakin menegangkan. Paksi menyaksikan pertempuran itu dengan dahi yang berkerut. Kedua orang yang bertempur itu masih harus lebih banyak berlatih agar ilmu mereka menjadi semakin berkembang. Bagi Paksi, keduanya masih terhitung pada tataran yang belum dapat dibanggakan. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia juga mempunyai sebuah senjata yang tidak kalah garangnya dari pedang di gubuknya. Ia mempunyai sebatang tongkat yang di tangannya akan dapat menjadi lebih berbahaya daripada pedang di tangan kedua orang itu. Namun Paksi masih saja tetap berada di pinggir arena, di antara beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang semakin jauh.
Namun Paksipun kemudian menjadi berdebar-debar. Nampaknya keduanya benar-benar telah dicengkam oleh kemarahan yang membuat darah mereka mendidih, sehingga mereka tidak lagi mengekang diri. Mereka benar-benar telah tenggelam dalam nafsu untuk membinasakan lawan masingmasing. Tetapi semakin lama perempuan dalam pakaian asing itu menjadi semakin terdesak. Betapapun ia berusaha untuk bertahan, namun senjata lawannya seakan-akan selalu memburunya. Paksi menjadi berdebar-debar ketika perempuan yang berpakaian asing itu menjadi semakin terdesak. Ujung pedang lawannya bahkan telah mulai menyentuh kulitnya, sehingga sebuah goresan kecil menyilang di lengannya, mengoyak bajunya. Perempuan itu mengumpat. Bajunya yang koyak dan kulitnya yang berdarah, membuatnya sangat marah. Tetapi lawannya, seorang laki-laki yang merasa terhina oleh sikap perempuan itu, nampaknya benar-benar telah tersinggung. Ia ingin benar-benar merendahkan lawannya di hadapan banyak orang yang menyaksikan pertempuran itu meskipun dari kejauhan. Karena itu, maka ketika lawannya menjadi semakin terdesak, laki-laki itu berkata, "Aku memberi kesempatan kepadamu untuk menyerah, berlutut dan mohon maaf. Aku akan memaafkanmu, karena perguruan Sad memang tidak ingin bermusuhan dengan perguruan Goa Lampin. Meskipun ada perbedaan-perbedaan yang mendasar, tetapi kita dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu." "Setan kau," geram perempuan itu. "Kau jangan mencoba menghina perguruan Goa Lampin." "Tetapi satu kenyataan harus kau hadapi. Kau sudah terluka. Bajumu sudah koyak. Jika kita bertempur terus, maka bajumu akan terkoyak dimana-mana, sedangkan luka di tubuhmu akan menganga semakin lebar."
Wajah perempuan itu menjadi merah. Ia memang tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan, bahwa bajunya memang sudah terkoyak. Tetapi harga dirinya sebagai murid dari Goa Lampin tidak memungkinkannya untuk menyerah. Namun dalam keragu-raguan itu, terdengar suara seorang perempuan lain dengan lantangnya, "Kau anak dari perguruan Sad. Apakah kau memang sengaja memulai permusuhan dengan kami?" Laki-laki yang masih terhitung muda, yang datang dari perguruan Sad itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian wajahnya menjadi tegang. Ia melihat seorang perempuan lain yang melangkah mendekati perempuan yang hampir dikalahkannya itu. Perempuan yang muncul berjalan dari antara banyak orang yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang agak jauh. Murid perguruan Sad itu tidak segera menjawab. Yang dilihatnya adalah seorang perempuan dalam pakaian yang wajar, seperti perempuan-perempuan lain yang pergi ke pasar. Ia mengenakan kain lurik berwarna coklat. Bajunyapun berwarna coklat pula. Selembar selendang lurik yang juga berwarna coklat, tetapi sedikit lebih tua dari bajunya, tergantung di pundaknya. Langkah perempuan itupun tidak menunjukkan langkah yang berbeda dengan kebanyakan perempuan. Langkah-langkah kecil meskipun cepat. Perempuan yang berpakaian asing, yang lengannya terluka itu memandang perempuan yang datang itu dengan penuh harap. Bahkan ketika perempuan dalam pakaian lurik coklat itu mendekat, perempuan yang terluka pundaknya itu mengangguk sambil merendahkan tubuhnya pada lututnya. "Aku sudah melihat apa yang terjadi," berkata perempuan berpakaian coklat itu. "Ya, Guru," jawab perempuan yang terluka lengannya. "Anak dari perguruan Sad itu mencampuri urusanku." Perempuan berpakaian coklat itu memandang laki-laki yang disebutnya dari perguruan Sad itu dengan tajamnya. Sekali
Misteri Desa Siluman 2 Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng Hati Budha Tangan Berbisa 2
^