Pencarian

Misteri Desa Siluman 2

Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman Bagian 2


meminta penjelasan dari gerombolan lelaki berpakaian serba hijau itu.
Barisan lelaki berpakaian serba hijau itu sama kali tidak menyahut. Bahkan
mereka bergerak mundur ketika Panji kembali melangkah maju. Kelakuan orang-orang
aneh yang penuh misteri itu tentu saja membuat Panji menjadi dongkol.
"Hm..., rupanya kalian lebih suka kalau aku menggunakan kekerasan. Baiklah kalau
memang itu yang kalian inginkan,"
ujar Panji dengan sorot mata tajam yang menggiriskan.
Lelaki terdepan, yang mengenakan ikat kepala hijau dengan bulatan merah di
tengah ikat kepalanya, bergerak mundur sambil mengacungkan senjatanya.
Sepertinya ia telah dapat meraba apa yang akan dilakukan pemuda tampan berjubah
putih itu. "Bunuh mereka berdua...!"
Sambil menudingkan senjatanya ke arah Panji dan Kenanga, lelaki yang sepertinya
pimpinan belasan orang itu memerintahkan dengan suara parau. Setelah berkata
demikian, tubuhnya melesat disertai dengai putaran pedangnya yang mengaum tajam.
Majunya sang Pemimpin, ternyata membuat yang lainnya segera ikut ambil bagian.
Sehingga, Panji dan Kenanga kembali terkurung dalam lingkaran sebelas lelaki
berpakaian serba hijau itu.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan parau, lelaki pimpinan kelompok orang berpakaian hijau itu
membabatkan pedangnya dengan mendatar. Meskipun gerakannya terlihat kaku namun
jelas mengandung kekuatan yang tidak rendah. Semua itu dapat ditebak oleh Panji
melalui desingan senjata lawan.
Tapi, Panji tidak berniat main-main lagi. Begitu tebasan pedang lawannya
berkelebat, pemuda itu menggeser tubuhnya ke samping, dan terus bergerak ke
depan sambil melontarkan sebuah tendangan miring.
Zebbb! Tendangan yang cepat dan kuat itu dielakkan lawannya dengan cara memutar tubuh
sehingga kedudukannya berada di belakang Panji. Berbarengan dengan itu, pedang
di tangannya kembali berkeredep dengan gerakan lurus. Dan yang menjadi tujuannya
adalah punggung lawan.
Belum lagi serangan lawan yang pertama itu tiba, senjata-senjata lawan dari tiga
penjuru, mengancam tubuh pemuda tampan itu. Sehingga, kedudukan Panji menjadi
terjepit. Sialnya, yang dihadapi kelompok orang-orang berpakaian serba hijau yang
misterius itu adalah Pendekar Naga Putih.
Seorang pendekar besar yang sempat membuat dunia kaum sesat terjungkir balik
karena sepak terjangnya. Sehingga, meskipun dalam keadaan terjepit oleh
kelebatan senjata-senjata lawannya, pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan
kepanikan. Ia tetap berdiri tenang.
Empat batang senjata yang datang mengancam itu disambut Panji dengan kibasan
kedua tangannya secara berbarengan.
Dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', pemuda itu menyambut senjata-
senjata lawannya.
Kenanga yang saat itu tengah menghadapi keroyokan enam orang lainnya, sempat
terbelalak ketika melihat kekasihnya memapaki senjata lawan dengan tangan
telanjang. Karena baru
pertama kali melihat Panji melakukannya, tentu saja Kenanga menjadi khawatir.
Sedangkan Panji sendiri tentu saja merasa yakin akan keampuhan tenaga
mukjizatnya. Dan semua ini dilakukannya dengan penuh perhitungan. Karena ia
telah mengetahui kekuatan lawannya, maka Panji berani memapaki senjata lawan
dengan kedua tangan telanjang.
"Heaaah...!"
Berbarengan dengan hentakan keras yang keluar dari mulutnya, Panji memukul balik
empat batang senjata yang mengancam tubuhnya itu. Apa yang dilakukan Panji
ternyata tidak sampai di situ saja. Begitu senjata keempat lawannya terpukul
balik, tubuh pemuda tampan itu telah berputar bagai baling-baling. Tangan dan
kakinya mencuat bergantian, mengirimkan serangan-serangan balasan yang tidak
kalah berbahaya dengan senjata lawan.
Terdengar suara mengaduh susul-menyusul, tatkala tiga orang pengeroyok itu
terlanggar pukulan dan tendangan Pendekar Naga Putih. Tubuh mereka terjengkang
tanpa ampun akibat kerasnya serangan balasan pemuda itu.
Sedangkan lelaki yang terdapat tanda bulatan merah di tengah ikat kepalanya,
berhasil menarik mundur tubuhnya.
Sehingga, jotosan Panji yang mengancam dadanya, dapat dihindari.
Luputnya serangan yang dilancarkan Panji, sama sekali tidak membuat pemuda itu
kecewa. Dengan sebuah lesatan manis, tubuh pemuda itu meluruk ke arah pimpinan
para pengeroyok.
Sepasang tangannya yang menebarkan udara dingin, berputaran mengacaukan
pandangan mata lawan. Sehingga, ketika lengan kiri pemuda itu meluncur dengan
sebuah pukulan keras, lawan pun tidak sempat menghindarinya. Dan....
Wuttt! Buggg...!
"Huagkh...!"
Lelaki gemuk itu langsung memuntahkan darah segar ketika kepalan Panji menghajar
telak dada kirinya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu pun terjungkal
menyusul kawan-kawannya yang lain.
Selesai merobohkan keempat orang pengeroyoknya, ternyata Panji belum bisa
berpangku tangan. Kawanan lelaki berpakaian serba hijau yang lainnya, telah
menerjang pemuda itu dengan kelebatan-kelebatan senjatanya yang menyilaukan
mata. "Hm...."
Sambil bergumam tidak jelas, Panji menarik mundur tubuhnya dengan kedudukan
kuda-kuda belakang. Sambil memutar kembali tubuhnya dengan menggunakan tenaga
pinggang, pemuda itu langsung mengirimkan tendangan ke arah lawan, yang tengah
menusuk dari samping kanan.
Tendangan Panji yang cepat dan kuat itu menghajar telak perut lawannya. Sehingga
orang yang itu memuntahkan darah segar, dan langsung roboh. Pingsan! Kemudian,
tanpa menoleh lagi, Panji langsung menjejak tanah dengan kedua kakinya.
Saat itu juga, tubuh Pendekar Naga Putih melambung ke atas dan langsung
mengirimkan tendangan dengan berputar.
Terdengar teriakan susul-menyusul ketika tendangan Pendekar Naga Putih yang
bagaikan baling-baling itu, menghajar telak rahang para pengeroyoknya. Karuan
saja lawan-lawannya terjungkal dan roboh pingsan seketika. Karena tenaga yang
dikerahkan Panji sangat hebat.
Setelah menyelesaikan lawan-lawannya, Panji menoleh ke arah Kenanga yang
menghadapi enam orang lawan. Pemuda
itu sengaja tidak membantu karena tahu kalau Kenanga mampu menundukkan lawan-
lawannya. Benar saja! Tak lama setelah Panji merobohkan lawan-lawannya, terdengar teriakan
kesakitan yang berasal dari tiga orang pengeroyok gadis jelita itu. Tubuh-tubuh
lelaki misterius itu langsung bertumbangan dengan darah segar mengucur dari luka
yang menganga di tubuh mereka.
Tiga orang lawan lainnya bergerak mundur ketika melihat kawannya roboh mandi
darah. Mata mereka yang kehijauan itu terbelalak bagai tak percaya dengan apa
yang dilihatnya.
Kenanga sendiri sempat tertegun menyaksikan para pengeroyoknya dapat dilukai.
Padahal, semenjak bertarung tadi, senjatanya telah berkali-kali mengenai lubuh
lawan. Tapi, baru saja saat ia mengerahkan kekuatan tenaga sakti sepenuhnya,
baru lawannya luka dan roboh. Kenyataan itu tentu saja membuatnya wmakin
bersemangat. "Haiiit..!"
Dibarengi teriakan nyaring dan panjang, Kenanga melesat sambil membabatkan
senjatanya berkali-kali. Tapi, apa yang terjadi kemudian, kembali membuat gadis
itu terbelalak kaget.
Ketiga orang lawannya itu serta-merta lenyap, dan berubah menjadi gulungan asap
hijau yang berbau busuk.
"Hai! Ke mana mereka..."!" seru gadis jelita itu dengan wajah berubah agak
pucat. "Kenanga! Awas...!"
Panji yang semula sempat terkejut melihat lenyapnya ketiga orang lawan
kekasihnya, berseru keras ketika melihat mereka tiba-tiba muncul dari belakang
kekasihnya dengan satu tangan saling berpegangan. Sedangkan tangan lainnya
meluncur ke arah punggung gadis itu dengan telapak terbuka.
Menyadari kekasihnya dalam bahaya maut, Panji segera melesat dengan seluruh
kekuatan ilmu meringankan tubuhnya.
Hebat sekali gerakan yang dilakukan pemuda itu. Tubuhnya melayang seperti seekor
burung besar dengan kedua tangan mendorong ke depan. Angin dingin menderu keras
mengiringi meluncurnya tubuh Pendekar Naga Putih.
Kenanga segera menyadari adanya bahaya ketika mendengar seruan Panji, cepat
menjatuhkan tubuh begitu melihat kekasihnya meluncur dengan kecepatan
menggiriskan. Blarrr...! Hebat dan mengerikan sekali akibat terjangan Panji dalam menyelamatkan
kekasihnya. Ledakan dahsyat seperti akan meruntuhkan bukit, menggelegar
memekakkan telinga.
Tubuh ketiga orang berpakaian serba hijau terpental balik dalam keadaan
terpisah. Lalu, mereka jatuh berserakan dengan percikan darah yang membasahi
tanah di sekitarnya.
Panji berdiri tegak dengan tarikan napas panjang. Ditatapnya kepingan tubuh
lawan yang berserakan sekitar tempat itu.
Rupanya dalam kecemasannya tadi, Panji telah mengerahkan seluruh kekuatan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang maha dahsyat hingga, akibat yang
ditimbulkannya pun sangat mengerikan.
Wajah Kenanga sendiri pucat ketika melihat tubuh ketiga orang lawannya hancur
berkeping-keping akibat terjangan kekasihnya. Selama pengembaraannya bersama
Panji, gadis jelita itu belum pernah sama sekali melihat kekuatan dahsyat yang
dimiliki kekasihnya. Tak mengherankan kalau ia terkejut menyaksikan akibat
pukulan Panji. "Mengapa..., mereka tadi tiba-tiba lenyap, Kakang...?"
setelah menenangkan hatinya, barulah gadis jelita itu dapat mengeluarkan suara.
"Mereka telah menggunakan ilmu sihir yang aneh.
Sepertinya, selain kebal dan memiliki sihir aneh, orang-orang misterius ini pun
memiliki sejenis racun aneh yang bisa merubah warna kulit mereka," jelas Panji
perlahan. Semua itu diduga Pendekar Naga Putih dengan cara melihat wajah-wajah orang
misterius itu yang rata-rata berwarna kehijauan.
Setelah berkata demikian, Panji melangkah menghampiri tubuh-tubuh lainnya yang
tadi tergeletak pingsan. Namun, apa yang didapatkan pemuda itu benar-benar
membuatnya terkejut. Lawan-lawannya yang tadi hanya dirobohkan, ternyata telah
tewas dengan tubuh mengejang.
"Jangan sentuh...," cegah Panji ketika melihat Kenanga hendak menyentuh salah
satu dari mayat-mayat itu. "Mereka telah menelan racun ganas yang kerjanya
sangat cepat," jelas Panji ketika melihat tatapan mata Kenanga.
"Mengapa mereka bunuh diri, Kakang...?"
"Entahlah. Yang jelas, hal ini tidak aneh bagi kalangan kaum sesat. Apabila
gagal dalam menunaikan tugas, mereka lebih memilih mati ketimbang memberi
keterangan kepada kita.
Sudahlah, lebih baik kita kembali ke Desa Kalianyar," ajak Panji yang segera
melangkah meninggalkan tempat itu.
6 "Kakang, ini bukan jalan menuju Desa Kalianyar! Apakah Kakang sudah lupa, atau
memang sengaja?" tanya Kenanga yang merasa heran melihat kekasihnya mengambil
jalan lain. Seingatnya, jalan itu memang ke luar desa, dan bukan ke Desa Kalianyar, seperti
yang mereka rencanakan semula.
"Memang bukan. Aku sengaja merubah rencana. Mengingat banyaknya tengkorak
manusia di dalam gua itu, aku menjadi berpikir lain," sahut Panji sambil tetap
melanjutkan langkahnya.
"Rencana apa, Kakang" Apakah aku boleh mengetahuinya?"
sambil bertanya demikian, Kenanga memegang lengan kekasihnya dengan mata menatap
penuh tuntutan.
"Hm..., aku akan berusaha mencari keterangan dari desa-desa di sekitar daerah
ini. Bukan tidak mungkin kalau keanehan-keanehan yang kita temui, dapat kita
peroleh keterangan dari penduduk desa lainnya. Dengan demikian, akan memudahkan
kita untuk mengungkap misteri yang menyelimuti Desa Kalianyar," jelas panji
mengemukakan pemikiran, yang baru didapatinya di perjalanan. Itulah sebabnya
mengapa Panji merubah rencananya, yang semula hendak kembali ke Desa Kalianyar.
"Ah! Mengapa kita tidak memikirkannya semula, Kakang.
Kalau memang di Desa Kalianyar terjadi keanehan seperti yang kita lihat semalam
bukan tidak mungkin orang lain pun pernah menyaksikan atau mengalaminya. Dan,
barangkali saja penduduk desa lain pernah melihat atau mendengar tentang berita
itu. Boleh jadi mereka juga pernah mengalaminya," ujar Kenanga yang pikirannya
mulai terbuka ketika mendengar penuturan Panji.
"Yahhh..., mudah-mudahan saja dugaan kita tidak meleset jauh," desah Panji penuh
harap. Setelah berkata demikian, pemuda itu mengajak Kenanga untuk mempercepat
langkahnya. Sesaat kemudian, terlihatlah dua sosok bayangan hijau dan putih berkelebatan di
antara pepohonan dan semak belukar.
Jelas, mereka sengaja memilih jalan pintas untuk dapat tiba lebih cepat di desa-
desa yang mereka maksudkan.
Sepasang pendekar yang merasa mempunyai kewajiban untuk mengungkap misteri Desa
Siluman terus melesat bagai dua bayangan hantu yang tengah berkejar-kejaran.
Sepertinya mereka menemukan semangat baru untuk segera mengungkapkan keanehan-
keanehan yang mereka temukan di desa terpencil itu.
*** Hari sudah mulai beranjak sore, ketika Kenanga dan Panji menyusuri jalanan. Di
sepanjang jalan lebar yang menghubungkan satu desa ke lain desa, mereka sesekali
bertemu dengan para petani yang baru kembali dari sawah.
Dan lari keduanya mulai diperlambat ketika jalanan yang dilewati semakin ramai
dilalui para petani.
"Mengapa kita tidak bertanya kepada salah seorang dari petani itu, Kakang" Siapa
tahu dari mereka kita bisa memperoleh keterangan," tanya Kenanga yang merasa
heran melihat kekasihnya tidak berusaha mencari keterangan dari salah seorang
petani yang mereka temui.
"Aku sengaja hanya menyapa mereka sekadar basa-basi orang asing. Menurutku,
lebih baik kita menemui langsung
kepala desanya. Dengan demikian, kita tidak membuat resah hati para petani itu,
tentu saja kalau mereka tidak mengetahuinya sama sekali. Lain halnya kalau orang
yang kita tanya, memang telah melihat atau mengalaminya. Mungkin kita akan
mendapatkan sedikit keterangan, dan mungkin juga dilebih-lebihkan. Tapi, kalau
petani yang kita mintai keterangan sama sekali tidak mengetahuinya. Bukankah hal
itu justru akan meresahkan mereka" Jadi, menurutku, lebih mudah mencari
keterangan dari penguasa desa. Mereka tentu akan memberikan keterangan
sebagaimana yang mereka ketahui, tanpa ditambahi bumbu-bumbu penyedap cerita,"
jawab Panji, mengemukakan alasan mengapa ia tidak mecari keterangan dari para
petani yang mereka temui di jalan.
Mendengar penjelasan kekasihnya, Kenanga hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Sepertinya gadis jelita itu telah mengerti dan menyadari kekeliruannya. Alasan
yang dikemukakan Panji memang sangat tepat sekali. Sehingga, ia menerimanya
tanpa membantah lagi.
Sepasang pendekar yang kini tidak lagi berlari dalam melanjutkan perjalanannya
itu, sejenak mengerutkan kening.
Tampak, di mulut desa yang hanya tinggal lima atau enam tombak lagi, dijaga
ketat oleh beberapa orang keamanan desa.
Dugaan bahwa orang-orang itu adalah penjaga keamanan desa, mudah diketahui dari
pakaian mereka yang rata-rata serupa satu sama lainnya. Sehingga orang-orang
luar yang baru pertama kali singgah di desa itu pun langsung dapat menebaknya.
Demikian pula halnya dengan Panji dan Kenanga.
"Sepertinya desa itu dijaga ketat, Kakang. Menilik dari raut wajah para keamanan
desa itu, mudah diduga kalau mereka pasti akan menahan kita. Lalu mereka akan
melontarkan berbagai macam pertanyaan," bisik Kenanga sambil terus melangkah di
samping kekasihnya.
"Hm..., melihat dari ketatnya desa itu terjaga, ada kemungkinan mereka tengah
menghadapi sesuatu yang mengancam keselamatan penduduknya. Mudah-mudahan saja
apa yang mereka takuti, mempunyai hubungan dengan apa yang ingin kita cari,"
sahut Panji berharap.
"Sahabat, harap berhenti sebentar...!"
Ketika sepasang pendekar itu tiba di mulut desa, salah seorang dari penjaga itu


Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berseru sambil mengangkat tangan kanannya ke atas. Kemudian, ia bergerak maju
dengan ditemani empat penjaga lainnya yang mengapit lelaki pertama itu.
Lelaki bertubuh kekar yang sepertinya merupakan pimpinan para penjaga itu,
menatap Panji dan Kenanga dengan penuh selidik. Kumisnya yang tebal dan hitam
itu tampak bergerak-gerak ketika menatap raut wajah dara jelita berpakaian hijau
itu. Terlihat lelaki itu agak salah tingkah ketika Kenanga membalas tatapannya
dengan tidak kalah tajam. Sehingga, lelaki itu mengalihkan pandangannya ke wajah
Panji. Jelas, lelaki itu tidak sanggup menentang tatapan mata yang indah dari
gadis jelita itu.
"Kalian pasti bukan penduduk Desa Pawetan ini" Kalau aku boleh tahu, siapakah
kalian berdua" Dan apa tujuan kalian singgah di desa ini" Harap dijawab dengan
jujur, agar kalian tidak mengalami kesulitan," tanya lelaki kasar berkumis tebal
itu, yang mengakhiri pertanyaannya dengan sebuah ancaman.
"Maaf, Paman," sahut Panji sambil membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda
hormat kepada lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu. "Kami berdua datang
ke desa ini dengan tujuan hendak menemui Kepala Desa Pawetan.
Sedangkan kepentingan kami, terpaksa tidak bisa kami sampaikan kepada Paman.
Tapi percayalah, kedatangan kami
tidak bermaksud jahat. Harap Paman suka mengabarkannya kepada kepala desa...,"
jawab Panji tetap dengan nada sopan, dan bibir terhias senyum.
"Ingin menemui kepala desa...?" tegas lelaki berkumis lebat itu dengan kening
berkerut. Sepasang matanya tampak menyipit merayapi wajah Panji. Jelas, ada nada
tidak senang dalam kata-katanya.
"Benar, Paman. Ada suatu hal penting yang harus kami sampaikan kepada Kepala
Desa Pawetan ini," jelas Panji lagi.
"Hm..., kalian adalah orang-orang asing, yang sama sekali tidak kami kenal.
Kalau memang ada urusan, katakanlah kepadaku, biar nanti aku yang akan
menyampaikan kepada kepala desa. Nah, sekarang katakanlah," tegas lelaki
berkumis lebat itu dengan nada memaksa.
"Sekali lagi aku mohon maaf, Paman. Persoalan yang akan kami sampaikan ini
sangatlah penting. Kami khawatir kalau berita ini akan meresahkan Paman, atau
bahkan seluruh penduduk desa ini. Jadi, harap Paman mengerti," Panji tetap tidak
mengatakan kepentingannya, dan bersikeras ingin menyampaikannya sendiri kepada
Kepala Desa Pawetan.
Sikap Panji itu tentu saja dianggap bantahan yang membuat kepala keamanan desa
itu tersinggung. Ditatapnya pemuda tampan itu dengan sorot mata tajam. Nyata
sekali kalau ia sangat gusar dengan penolakan Panji.
"Hm..., kalau memang begitu keinginanmu, lebih baik tidak usah kau sampaikan
kepentinganmu. Dan, silakan meninggalkan desa ini. Sikapmu sangat
menjengkelkan!" ujar lelaki berkumis lebat itu dengan wajah gelap. Sambil
berkata demikian, tangannya terulur ke depan dengan sikap mengusir.
Jelas, keputusan lelaki itu tidak bisa dirubah.
Kenanga yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perdebatan itu, tentu saja
menjadi dongkol melihat sikap kasar lelaki itu. Dengan sorot mata yang tajam,
gadis jelita itu melangkah melewati Panji, dan berdiri bertolak pinggang di
hadapan kepala keamanan desa itu.
"Dengarlah, Kisanak!" ujar Kenanga ketus. "Apa yang akan disampaikan kawanku
ini, menyangkut keselamatan seluruh penduduk Desa Pawetan, bahkan mungkin
seluruh penduduk desa di sekitar daerah ini. Dan kalau kau bersikeras tidak
mengizinkan kami menghadap kepala desa, itu sama artinya kau ingin mencelakakan
seluruh penduduk desa di sekitar daerah ini! Camkan itu...!"
"Apa..., apa maksudmu...?" cetus lelaki berkumis lebat itu dengan wajah semakin
berubah. Dalam ucapannya terkesan rasa heran dan penasaran dalam.
"Tidak perlu kau mengetahui maksud ucapanku! Yang penting sekarang, bawalah kami
menghadap kepala desa, titik!"
tukas Kenanga tanpa mempedulikan sikap lelaki itu yang nampak mulai kebingungan.
Sedangkan empat orang yang berada di kiri kanan kepala keamanan desa itu, saling
pandang dengan wajah berubah.
Jelas kalau ucapan Kenanga telah menimbulkan pengaruh kepada mereka.
"Tidak bisa!" ujar lelaki berkumis lebat itu membentak jengkel. Sebagai kepala
keamanan desa, tentu saja ia tidak ingin wibawanya turun di mata anak buahnya.
Sehingga, meskipun hatinya mulai ragu, ia tetap mempertahankan keputusannya.
"Kalau begitu, aku terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menemui kepala
desa!" bentak Kenanga tak mau kalah.
Bahkan gadis jelita itu siap bertempur.
"Terserah, kalau itu keinginanmu! Kami tetap tidak mengizinkan kalian masuk ke
desa ini!" sambil berkata demikian, kepala keamanan desa itu melangkah mundur
dua tindak, dan bersiap menghadapi serangan. Melihat pedang yang tergantung di
pinggang gadis itu, ia pun sadar kalau yang dihadapinya bukanlah wanita lemah.
Panji yang memang tidak menghendaki kekerasan, segera menyentuh lengan
kekasihnya. Sehingga, gadis jelita yang sudah siap menerjang itu tarpaksa
menahan gerakannya. Lalu, kepalanya menoleh ke arah Panji dengan pandangan
menuntut jawaban atas sikap pemuda itu.
"Biarlah kita mengalah, Kenanga. Kekerasan hanya akan menimbulkan persoalan
baru, dan membuat suasana menjadi keruh. Sebaiknya kita turuti saja apa kemauan
mereka," bujuk Panji dengan wajah tetap tenang.
"Tapi, Kakang...."
"Sudahlah. Persoalan yang satu belum lagi terungkap, sekarang kau hendak membuat
persoalan baru?" ucap Panji lagi dengan nada lembut, sambil mengerdipkan sebelah
matanya. Jelas sekali kalau pemuda itu mempunyai rencana lain yang mungkin baru
didapatnya. "Hm.., baiklah kalau memang begitu," ujar Kenanga yang mengerti isyarat kerdipan
mata kekasihnya.
"Kami permisi dulu, Paman...," pamit Panji sambil menggamit lengan kekasihnya.
Kemudian, mereka pergi meninggalkan para keamanan desa itu, yang melepas
kepergian keduanya dengan tatapan lega. Nampaknya mereka tidak begitu suka
bertarung. Semua itu nyata dari pandangan maupun helaan napas lega beberapa orang dari
mereka. "Entah apa yang ingin mereka sampaikan kepada kepala desa. Nampaknya begitu
penting...," gumam salah seorang dari penjaga keamanan desa itu, dengan wajah
penasaran. "Sudahlah, tidak perlu dipusingkan. Yang penting, kita telah menjalankan tugas
dengan baik, seperti yang dipesankan Ki Wirjasana," tukas lelaki berkumis tebal
itu yang sepertinya merasa tidak senang dengan ucapan salah seorang anak
buahnya. Kemudian, tanpa banyak bicara lagi kakinya pun kembali melangkah ke
gardu. *** "Mengapa Kakang mencegahku" Orang kasar seperti mereka memang sepatutnya diberi
pelajaran, biar mereka tahu siapa kita," Kenanga yang sepertinya merasa tak puas
dengan sikap Panji tadi, mengungkapkan rasa ketidakpuasannya ketika keduanya
menyusuri jalan yang menuju ke luar desa.
"Tidak baik mencari keributan tanpa sebab yang jelas.
Mereka tidak bersalah sama sekali, dan mungkin mereka hanya menuruti perintah
atasan saja. Jadi, sebaiknya kita menemui kepala desa itu tanpa perantara
mereka," jawab Panji tersenyum melihat wajah Kenanga yang masih jengkel.
Kemudian dibelainya rambut gadis itu dengan penuh kasih.
"Maksud Kakang...?" tanya Kenanga meminta ketegasan.
"Kita terpaksa masuk ke desa itu secara diam-diam, dan langsung menemui kepala
desa, guna menyampaikan dugaan-dugaan kita," jelas Panji lagi sambil merapatkan
tubuh kekasihnya, dan memeluk tubuh gadis jelita itu erat-erat.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kakang" Malam nanti kita harus sudah berada di
Desa Kalianyar. Aku masih penasaran dengan misteri yang kita temui semalam,"
ujar Kenanga mengingatkan.
"Hm..., baiklah. Kita terpaksa harus menggunakan kepandaian, agar dapat bertemu
dengan Kepala Desa Pawetan itu," sahut Panji setelah mendengar ucapan
kekasihnya, yang mengingatkan tentang niat mereka untuk kembali ke Desa
Kalianyar malam hari nanti.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya bergegas mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Sehingga dalam sekejap mata saja, sepasang pendekar itu telah
lenyap. Yang tampak hanya dua sosok bayangan yang berkelebatan di antara
pepohonan. Tidak berapa lama kemudian, keduanya mulai memasuki desa melalui perkebunan
penduduk. Terus berlompatan di atas atap-atap rumah penduduk. Untunglah saat itu
hari telah menjelang malam. Sehingga, mereka tidak perlu merasa khawatir akan
dipergoki penduduk. Hanya satu dua orang yang masih terlihat di jalan-jalan. Itu
pun adalah petani-petani yang terlambat pulang.
Setelah melewati belasan rumah penduduk, sepasang pendekar itu tiba di atas atap
balai desa. Tidak sulit bagi keduanya untuk mencari rumah Kepala Desa Pawetan.
Karena rumah penguasa desa itu paling besar di antara rumah penduduk. Dan untuk
menandakannya pun tidak sulit. Adanya beberapa orang penjaga di depan halaman,
menunjukkan rumah itu pastilah milik kepala desa.
Ketika keduanya telah berada di dalam lingkungan rumah Kepala Desa Pawetan,
Panji mengisyaratkan kepada kekasihnya
untuk melayang turun, dan merapat ke dinding rumah.
Kemudian, mereka terus menyelinap ke pekarangan depan.
Tok, tok, tok..!
Karena tidak ingin menimbulkan kegemparan dengan cara masuk sembunyi-sembunyi,
Panji segera mengetuk pintu tebal yang menghubungkan ke ruangan depan rumah
besar itu. Pemuda itu menunggu beberapa saat, untuk memastikan bahwa orang yang ada di
dalam rumah itu mendengar ketukannya.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki menuju ke pintu. Panji dan
Kenanga mundur dua tindak, ketika pintu berderit terbuka.
Seorang lelaki kurus berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri di ambang pintu
menatap pasangan pendekar muda itu.
Sejenak mata tuanya tampak menyipit, seolah-olah ingin mengenali kedua orang
tamunya itu. "Ada perlu apa...?" tanya lelaki setengah baya itu tanpa mempersilakan kedua
tamunya masuk. "Kami ingin bertemu dengan Kepala Desa Pawetan yang bernama Ki...," sengaja
Panji menggantung kata-katanya seperti ingin memancing tanggapan lelaki setengah
baya itu. "Ki Wirjasana...," sambut lelaki yang dari penampilannya jelas seorang pelayan.
"Benar, Ki Wirjasana," tegas Panji seraya tersenyum. Karena pancingannya membawa
hasil yang baik. "Kami berdua adalah kerabatnya yang datang dari jauh. Dan, kami
berdua ingin berjumpa dengannya. Tolong sampaikan kepada Paman kami itu," jelas
Panji berbohong untuk memudahkan mereka bertemu dengan Ki Wirjasana.
"Ohhh, baik-baik.... Saya akan sampaikan. Silakan..., silakan masuk...," sambut
pelayan setengah baya itu yang karuan saja bersikap ramah ketika mendengar
pemuda tampan itu menyebut majikannya sebagai 'paman'.
"Hi hi hi..., tak kusangka, Pendekar Naga Putih bisa juga berbohong...," Kenanga
tertawa lirih karena tak menduga kekasihnya akan menggunakan kecerdikan untuk
berjumpa dengan Kepala Desa Pawetan. Tentu saja ucapan itu dikeluarkan setelah
pelayan setengah baya itu meninggalkan mereka untuk memberi tahu majikannya.
Tidak berapa lama, setelah keduanya duduk di ruangan depan, terdengar suara
langkah kaki berat mendatangi mereka.
Serentak pasangan pendekar itu berdiri, ketika seorang lelaki berusia sekitar
lima puluh tahun, berdiri tegak merayapi wajah mereka dengan kening berkerut.
"Siapakah kalian berdua" Rasanya aku belum pernah melihat kalian sebelumnya...,"
ujar lelaki gagah yang wajahnya bersih tanpa jenggot maupun kumis itu. Meskipun
demikian, penampilannya tampak berwibawa. Sehingga, baik Panji maupun Kenanga
langsung bisa menduga kalau lelaki itu adalah Kepala Desa Pawetan yang bernama
Ki Wirjasana. "Maaf, kami terpaksa berbohong, karena ada suatu hal yang penting akan kami
bicarakan...," Panji langsung saja menyambut Kepala Desa Pawetan itu sambil
membungkukkan tubuh. Kemudian memperkenalkan diri kepada lelaki setengah baya
itu. "Hm..., demikian pentingkah berita yang akan kalian sampaikan kepadaku?" tukas
Ki Wirjasana setelah kedua tamunya memperkenalkan diri.
"Bagi kami sebenarnya tidak terlalu penting. Tapi, karena persoalan ini
menyangkut kepentingan orang banyak, maka
kami terpaksa memberanikan diri untuk berjumpa dengan Ki Wirjasana. Kami
membutuhkan beberapa keterangan, yang mungkin bisa kami peroleh dari Aki...,"
jelas Panji membuka percakapan, ketika ketiganya telah duduk saling berhadapan.
Ki Wirjasana tidak segera menanggapi ucapan Panji. Lelaki gagah itu termenung
baberapa saat, sambil melepaskan pandangannya ke luar jendela yang terbuka
lebar. Terdengar helaan napasnya yang berkepanjangan.
7 Panji memandangi wajah Ki Wirjasana yang seperti tengah memikirkan apa yang
dimaksud dengan kedua tamunya itu.
Beberapa saat kemudian, orang tua itu baru mengalihkan pandangannya kepada
Panji. "Hm.... Maaf, aku tidak bisa menduga sebenarnya apa yang kalian maksudkan.
Kuharap kalian mau menceritakannya kepadaku...," pinta Ki Wirjasana setelah
tidak dapat menduga persoalan yang ingin disampaikan pasangan muda itu
kepadanya. Untuk beberapa saat lamanya, Panji terdiam. Seolah-olah Pendekar Naga Putih
ingin mencari kata kata yang tepat untuk memulai ceritanya. Setelah itu, baru ia
menceritakan maksud-maksud kedatangannya menjumpai kepala desa itu.
Ki Wirjasana sama sekali tidak menyela cerita pemuda itu.
Semua yang diceritakan Panji sepertinya didengar dengan penuh perhattan.
Beberapa kali terlihat kening lelaki setengah baya itu berkerut, dengan wajah
berubah kelam. Bahkan lelaki itu sempat terlompat dari kursinya ketika Panji
menceritakan tentang orang-orang berpakaian serba hijau yang mengeroyoknya.
"Begitulah, Ki. Kami merasa curiga ketika melihat kepala beberapa orang wanita,
yang menurutku berumur sekitar delapan belas sampai dua puluh tahun. Sayang,
wajah mereka telah membengkak, sehingga sulit dikenali. Sedangkan keperluan kami
datang ke sini, ingin menanyakan kalau-kalau ada warga Desa Pawetan ini yang
lenyap tanpa jejak," ujar Panji menutup ceritanya. Kemudian menatap Ki Wirjasana
dengan penuh harap.
"Desa Siluman...?" desis Kepala Desa Pawetan itu. "Rasanya aku belum pernah
mendengar tentang nama itu. Setahuku, di sekitar daerah ini tidak ada nama desa
yang menimbulkan kesan seram seperti itu. Juga, selama ini aku tidak pernah
kehilangan warga desa. Apalagi berupa gadis-gadis muda.
Hhh..., sebenarnya ingin sekali aku bisa membantu kalian. Tapi, sayangnya aku
tidak tahu apa-apa. Apalagi beberapa hari ini aku masih dipusingkan oleh
perampok yang muncul dan menghilang setelah merampas harta beberapa penduduk di
desa ini. Itulah sebabnya, mengapa para penjaga keamanan desa mencurigai dan
tidak memperbolehkan kalian memasuki desa ini. Kuharap kalian berdua dapat
memaklumi sikap mereka," ujar Ki Wijasana menjelaskan keadaan desanya dengan
wajah agak menyesal. Sepertinya orang tua itu merasa tidak enak karena tidak
bisa memberikan keterangan, seperti yang diterapkan Panji dan Kenanga.
"Aneh...?" desis Panji yang merasa heran karena kepala desa itu belum pernah
mendengar sama sekali tentang Desa Siluman. Bahkan orang tua itu berani
memastikan kalau nama itu tidak ada di sekitai daerahnya.
"Maaf, kalau aku telah mengecewakan harapan kalian. Tapi, kalau memang kalian
memerlukan bantuan, jangan ragu-ragu.
Aku akan membantu sekuat tenagaku. Sayang, aku tidak mempunyai keterangan yang
dapat menjadi pegangan kalian untuk menyingkap misteri itu," sesal Ki Wirjasana
seraya menghela napas panjang.
"Lalu, bagaimana dengan para perampok itu, Ki. Apakah mereka masih suka
mengganggu?" tanya Kenanga tiba-tiba.
Meskipun gadis jelita itu berusaha untuk bersikap wajar, tapi tak urung Ki
Wirjasana dapat menangkap nada selidik dalam ucapan tamunya.
"Dua hari yang lalu, mereka kembali datang menjarah desa ini. Tapi, sebelumnya
kami memang telah bersiap, maka para perampok itu dapat dipukul mundur, dan
pergi tanpa hasil.
Entah, mereka masih berani kembali atau tidak. Namun, kami tetap waspada dan
akan mempertahankan desa ini dengan taruhan nyawa," jawab Ki Wirjasana seraya
tersenyum. Sepertinya Kepala Desa Pawetan ini sama sekali tidak tersinggung dengan
kecurigaan gadis jelita itu.
"Baiklah, Ki. Kalau begitu kami mohon pamit. Maaf, kalau kedatangan kami telah
mengganggumu," ujar Panji yang segera pamit, karena tidak ada yang diharapkan
dari Kepala Desa Pawetan itu.
"Silakan, Kisanak. Dan, jangan ragu-ragu untuk meminta bantuanku, kalau memang
diperlukan," kembali Ki Wirjasana menawarkan jasa baiknya, sebelum kedua tamunya
pergi. "Terima kasih. Kami akan selalu ingat kebaikan Ki Wirjasana," sahut Panji seraya


Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum. Kemudian, pasangan pendekar itu melangkah meninggalkan tempat
kediaman Ki Wirjasana, dengan diiringi tatapan mata lelaki tua itu.
Panji tidak peduli sama sekali ketika para penjaga yang berada di depan rumah
besar itu menatap mereka dengan rasa heran. Sepertinya mereka terus berpikir,
mengapa tahu-tahu saja ada dua orang tamu yang meninggalkan rumah Ki Wirjasana.
Padahal, mereka tahu kalau tidak ada seorang pun yang memasuki rumah besar itu,
selama mereka berdiri di depan gardu.
Tanpa mempedulikan tatapan yang mengandung pertanyaan dari para penjaga itu,
Panji mengangguk pamit kepada mereka.
Dan, terus saja melangkah meski para penjaga itu tidak segera membalasnya,
karena masih diliputi rasa heran.
*** "Hhh..., semuanya masih serba gelap. Tak satu petunjuk pun yang dapat kita
jadikan pegangan untuk mengungkap misteri Desa Siluman itu. Apakah kita memang
telah salah lihat, Kakang," ungkap Kenanga ketika keduanya tengah menyusuri
jalan utama Desa Pawetan. Kali ini mereka tidak lagi bergerak secara sembunyi-
sembunyi. Keduanya terus melangkah menuju mulut desa.
"Apa yang kita hadapi kali ini memang sangat aneh dan membuat hati penasaran.
Hal itulah yang membuatku semakin bersemangat untuk mengungkapnya. Apa boleh
buat, kita terpaksa harus kembali ke Desa Kalianyar. Karena dari desa itulah
kita pertama kali menemukannya," sahut Panji yang meskipun persoalannya masih
gelap, tapi tidak menyerah begitu saja.
"Kejadian waktu itu kalau tidak salah, tepat tengah malam.
Berarti kita harus sudah berada di Desa Kalianyar tepat pada waktu yang sama,"
gumam Kenanga seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Benar. Sekarang hari sudah gelap. Sebaiknya kita mengerahkan ilmu meringankan
tubuh untuk sampai tepat tengah malam, atau kalau bisa sebelum tengah malam,"
ucap Panji yang sempat mendengar ucapan kekasihnya.
Tak berapa lama kemudian, pasangan pendekar muda itu melesat bagaikan kilat.
Mereka tidak peduli sama sekali, meskipun saat itu tengah melintasi jalan utama
Desa Pawetan. Sehingga, pada saat keduanya melewati gardu penjagaan di mulut desa itu,
terdengar teriakan-teriakan terkejut dari
beberapa penjaga keamanan desa yang melihat bayangan mereka.
Tapi, baik Panji maupun Kenanga, sama sekali tidak mempedulikan hal itu,
keduanya malah semakin menambah kecepatan. Ketika telah melewati batas Desa
Pawetan. Sehingga dalam waktu singkat, keduanya telah jauh meninggalkan desa itu.
*** Malam tampak semakin bertambah kelam. Udara dingin yang menusuk tulang berhembus
keras tiada henti-hentinya.
Lolongan anjing hutan yang saling bersahutan. makin menambah keseraman malam.
Apalagi saat itu bulan tengah purnama. Semakin lengkaplah keseraman menyelimuti
suasana sang malam.
Kenanga dan Panji telah tiba di mulut Desa Kalianyar, ketika malam sudah semakin
larut. Suasana desa yang sunyi, membuat keduanya mengerutkan kening. Karena di
mulut desa itu tidak terlihat seorang pun yang berjaga-jaga..
"Aneh. Apalagi yang harus kita hadapi kali ini..?" desis Kenanga mengusap
kuduknya yang terasa meremang.
Panji sama sekali tidak menanggapi ucapan kekasihnya itu, ia hanya memberi
isyarat agar Kenanga mengikutinya.
Kemudian, keduanya bergerak menuju Selatan desa. Mereka sengaja tidak memasuki
desa itu melalui tempat yang semestinya. Karena Panji merasa curiga dengan
kesunyian yang menyelimuti desa itu Sehingga, diputuskannya untuk mengambil
jalan berputar dan tidak melalui jalan utama desa itu.
"Gila! Kemana perginya penduduk desa ini...?" desis Panji heran ketika ia tidak
menemukan seorang pun di desa itu.
Beberapa rumah yang didatangi secara sembunyi-sembunyi, ternyata kosong dan
tidak berpenghuni.
Rasa heran pemuda itu berubah menjadi rasa penasaran dan kegemasan. Setelah
hampir seluruh rumah di desa itu diperiksanya, tidak seorang pun yang
dijumpainya. Aneh!
Seluruh penduduk desa kecil itu sepertinya telah pergi atau lenyap ditelan bumi.
"Mungkin ini suatu jebakan, Kakang...?" desis Kenanga yang merasa tegang ketika
mengetahui desa itu sama sekali tidak berpenghuni. Padahal, pagi tadi ia melihat
desa itu sangat ramai, dan sama sekali tidak terdapat tanda-tanda yang
mencurigakan. Kenyataan itu tentu saja membuatnya gemas.
"Aku rasa tidak," sahut Panji pelan. "Sebab, kalau memang mereka menjebak kita,
tidak semestinya desa ini dikosongkan seluruhnya. Kau lihat sendiri, jangankan
laki-laki dewasa, bahkan wanita dan anak-anak pun, sama sekali tidak ada.
Entah apa yang telah menimpa desa ini sepeninggal kita tadi,"
desah Panji semakin bertambah penasaran.
"Aneh, ke mana mereka pergi...?" desah Kenanga tanpa menuntut jawaban.
Sepertinya gadis jelita itu berbicara hanya untuk melenyapkan perasaan tegang di
hatinya. Kenanga melipat tangannya ketika hembusan angin dingin bertiup keras menerpa
tubuhnya. Giginya bergemeletukan karena hawa yang terasa dingin menusuk tulang.
Dikejauhan terdengar lolongan anjing hutan saling bersahutan. Suasana desa itu
pun semakin mencekam. Apalagi ketika hembusan angin semakin keras berhembus,
sehingga pepohonan berderak ribut.
Namun, meskipun suasana demikian seram dan mendirikan bulu roma, Panji sama
sekali tidak terpengaruh. Pemuda yang semenjak kecil telah menerima gemblengan
dari seorang tokoh sakti itu, tetap tenang dan bersiaga penuh.
Kenanga sendiri sebenarnya seorang gadis pendekar yang tak pernah mengenal rasa
takut itu, sempat juga bulu kuduknya berdiri. Hanya karena ada Panji di
sampingnya, yang membuat hati gadis jelita itu menjadi tenang.
"Hm..., desa ini tidak mungkin ditinggalkan begitu saja oleh penghuninya. Pasti
ada sesuatu yang memaksa mereka pergi dari sini," gumam Panji sambil berpikir
keras untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya.
Panji terus berpikir sambil melangkah perlahan menyusuri jalan utama desa itu.
Untunglah suasana yang pekat itu agak berkurang. Karena bias sinar rembulan yang
penuh itu, cukup menerangi jalan yang dilalui pasangan pendekar itu.
"Bulan pumama...," tiba-tiba saja Panji mendongak dengan kening berkerut.
Sejenak dipandanginya sang dewi malam sambil menduga-duga sesuatu. Kemudian,
dihubungkannya semua pengalaman beberapa hari itu dengan kemunculan sang dewi
malam. "Apa yang kau pikirkan, Kakang...?" Kenanga bertanya karena merasa heran melihat
kekasihnya menatapi rembulan, dan terlihat tengah berusaha mengingat sesuatu.
Gadis jelita itu pun ikut menatapi sang dewi malam, tanpa tahu apa yang harus
dicarinya. "Wajah-wajah pucat seperti mayat hidup, kepala-kepala tanpa tubuh, dan sikap-
sikap aneh...," kembali Panji menggumam, membuat Kenanga semakin bertambah
heran. "Kakang...," panggil gadis jelita itu sambil mencekal lengan Panji. Bukan hanya
suara gadis itu yang bergetar, bahkan wajahnya pun terlihat tegang.
"Mari ikut aku...," ujar Panji setelah menduga kemana perginya orang-orang desa
itu. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga pun melesat mengikuti Panji. Meskipun belum
mengerti apa yang akan dilakukan pemuda itu, namun Kenanga yakin kekasihnya
telah menemukan sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk. Itulah sebabnya, ia tidak
banyak bertanya lagi.
Benak Kenanga semakin dipenuhi bermacam pertanyaan, ketika menyadari bahwa
mereka tengah melangkah menuju daerah perbukitan yang letaknya di luar Desa
Kalianyar. Tapi, gadis itu tetap bungkam dan hanya mengikuti ke mana pemuda itu
berlari. "Kau dengar suara-suara aneh itu...?" tanya Panji sambil memperlambat larinya.
Sehingga, Kenanga dapat menjajarinya.
"Ya, aku mendengarnya, Kakang. Suara-suara aneh yang menimbulkan kesan
menyeramkan," desis Kenanga sambil mengusap kuduknya yang terasa meremang.
Tidak berapa lama kemudian, pasangan pendekar itu pun tiba di bibir lembah,
tempat di mana mereka mencium bau bangkai siang tadi.
"Lihat..," bisik Panji sambil menudingkan jari telunjuknya ke satu arah. Tempat
yang ditunjuk pemuda itu, tampak merah menyala dengan gumpalan asap yang kian
menebal, "Kalau dugaanku tidak keliru, mungkin di tempat itu mereka tengah
melakukan sebuah upacara. Barangkali ada yang akan dijadikan korban dalam
upacara itu," lanjut Panji perlahan.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan" Kalau menilik dari suara-suara aneh yang
bergaung menyeramkan itu, jelas jumlah mereka sangat banyak, Kakang..." desah
Kenanga yang mulai menduga, apa yang bakal mereka hadapi di tempat itu.
"Hm..., apa pun yang akan terjadi, kita harus mencegahnya,"
desis Panji seraya mengepalkan jemari tangannya keras-keras sambil menggertakkan
giginya. "Tapi...."
"Sudahlah. Mari kita lihat, apa yang sebenarnya tengah terjadi di tempat
itu...," tukas Panji yang membuat kekasihnya tidak sempat berpikir lebih jauh.
Pemuda itu langsung meluncur turun sambil menggenggam jemari Kenanga.
Ketika pasangan pendekar itu semakin dekat, tampak rona kemerahan yang mereka
lihat itu semakin jelas dan mulai terlihat pijaran lidah-lidah api. Meskipun
demikian, keduanya terus melangkah maju untuk memastikan dugaannya.
Apa yang mereka lihat kemudian, memang tidak meleset dari dugaan Panji. Kira-
kira belasan tombak jaraknya di depan mereka, terlihat sebuah pemandangan yang
menyeramkan. Puluhan wanita-wanita setengah telanjang, tengah menari-nari seperti orang
kerasukan setan.
Sementara di belakang para penari itu, ratusan orang menggerak-gerakkan tangan
dan tubuhnya dalam keadaan duduk bersila. Jelas, kalau orang-orang itu tengah
mengadakan sebuah upacara penyembahan terhadap sesuatu yang didewakannya.
"Kakang, lihat itu...!" desis Kenanga sambil menunjuk di sebelah depan para
penari yang bergerak kian cepat dan liar.
Panji mengarahkan pandangannya ke arah yang dltunjuk Kenanga. Sepasang mata
pemuda itu menyipit, ketika melihat
tiga sosok tubuh berambut panjang itu terikat pada sebuah tonggak kayu. Pemuda
itu langsung saja menduga, kalau tiga sosok tubuh yang tengah terikat itu adalah
wanita-wanita yang akan dijadikan persembahan.
Sambil menggertakkan gigi penuh kegeraman, Panji terus merayapi sekeliling
tempat itu. Dengan mengerahkan kekuatan pada sepasang matanya, pemuda itu
melihat sesosok tubuh tinggi kurus dan agak bungkuk melangkah ke sebuah tempat
yang lebih tinggi.
"Kakek pencari kayu bakar...!" desis Panji kaget ketika mengenali sosok tinggi
kurus dan agak bungkuk itu. Rasa kagetnya makin menjadi-jadi, tatkala mengenali
salah satu dari empat orang pendamping laki-laki tua itu.
"Mengapa, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa terkejut ketika mendengar
kekasihnya menggeram perlahan.
"Hm..., pantas saja Ki Wirjasana tidak mengetahui apa yang terjadi di Desa
Kalianyar. Rupanya ia juga termasuk pengikut kakek iblis itu...," Panji merasa
geram. Karena Ki Wirjasana, sang Kepala Desa Pawetan, juga menjadi pengikut
manusia-manusia sesat itu.
"Apa yang hendak kau lakukan, Kakang...?" tanya Kenanga ketika melihat Panji
akan melompat keluar dari persembunyiannya.
"Tidak ada jalan lain, kita harus mencegah mereka...," sahut Panji tegas.
"Tapi jumlah mereka banyak sekali, Kakang. Kalaupun kita dapat merobohkan
sebagian dari mereka, kita bisa kehabisan tenaga," cegah Kenanga yang merasa
khawatir melihat banyaknya jumlah musuh.
"Tidak perlu cemas, Kenanga. Mudah-mudahan saja orang-orang desa yang tak
berdosa itu masih bisa disadarkan. Dengan demikian, kita hanya menghadapi
dedengkot-dedengkotnya saja," jawab Panji yang telah memperhitungkan
tindakannya. Setelah berkata demikian, tubuh pemuda itu segera melesat keluar dari tempat
persembunyiannya. Sehingga, mau tak mau Kenanga pun harus mengikutinya.
"Tunggu...!"
Teriakan Panji yang lantang dengan pengerahan tenaga dalam tinggi itu,
menggelegar dan memenuhi daerah sekitar perbukitan. Perbuatan pemuda itu tentu
saja membuat upacara itu terhenti sejenak, dan hampir semua menoleh ke arah
Panji dan Kenanga.
"Hm..., rupanya kita kedatangan tamu istimewa malam ini,"
terdengar suara berat yang mengaung memenuhi lembah kecil itu. "Pendekar Naga
Putih! Apakah kau datang untuk mengantarkan gadis itu...?" suara yang meluncur
dari mulut laki-laki tua bungkuk itu kembali menggelegar.
"Hai, saudara-saudaraku para penduduk desa! Sadarlah bahwa kalian telah dibodohi
oleh kakek iblis itu! Dan, aku yakin gadis-gadis putri kalian itu, pasti akan
dijadikan pemuas nafsu sebelum dibunuh secara keji!" Panji berseru nyaring tanpa
mempedulikan ucapan laki-laki tua itu.
"He he he.... Kau hanya membuang-buang tenaga, Pendekar Naga Putih! Mereka semua
adalah pengikut-pengikut setiaku.
Jadi, percuma kalau kau punya niat menyadarkan mereka.
Penduduk dari tiga desa di sekitar wilayah ini, telah kujejali racun perampas
ingatan. Sehingga, pada tiap-tiap malam mereka akan berubah menjadi mayat-mayat
hidup yang buas dan tak mengenal ampun. Sedangkan di siang hari, mereka akan
kembali bersikap wajar. Dan, mereka tidak akan
menyadari apa-apa yang mereka lakukan tiap malam," teriak laki-laki tua itu
dengan suara yang keras.
Sementara Panji dan Kenanga berdiri menatap tajam wajah laki-laki tua itu.
"Tapi, kalau kau ingin bergabung denganku, tentu saja ada kekecualian. Kau
berdua dengan gadismu yang molek itu, akan kujadikan pembantu-pembantu utama,
yang sekaligus merupakan wakilku. Bagaimana" Bukankah tawaranku cukup
menarik..?" tanya laki-laki tua itu seraya tersenyum.
"Iblis keji! Aku datang bukan untuk bergabung denganmu.
Justru aku akan mengakhiri kebiadabanmu!" ucap Panji yang sempat terkejut
mendengai ucapan laki-laki tua itu.
Pendekar Naga Putih sadar kalau dirinya telah telanjur, dan tidak mungkin untuk
mundur kembali. Meskipun dirinya mungkin akan berhadapan dengan ratusan orang-
orang tak berdosa.
"He he he.... Selama ini belum pernah ada seorang pun yang berani membantah
keinginan Datuk Harimau Hitam! Dan, kau bocah bau kencur! Jangan kau kira nama
besarmu akan membuat aku gentar. Huh!" ujar laki-laki tua yang mengaku berjuluk
Datuk Harimau Hitam itu seraya menudingkan tongkat kayu hitam di tangannya ke
arah Panji dan Kenanga.
Gerakan tongkat yang rupanya sebuah perintah itu, langsung saja membuat ratusan
orang-orang yang semula diam mematung, serentak bangkit. Dan mereka bergerak
perlahan ke arah Kenanga dan Panji.
8 Melihat ratusan orang-orang berwajah pucat itu berloncatan mengurung mereka,
Panji dan Kenanga bergerak cepat saling melindungi. Panji menyadari lawan-
lawannya tengah dipengaruhi suatu obat, sehingga kekasihnya diperingatkannya
agar jangan melontarkan pukulan yang mematikan.
"Ingat, Kenanga. Mereka adalah orang-orang tak berdosa.
Kalau bisa, buat mereka pingsan dengan totokan," bisik Panji menegaskan.
"Tapi, kita pasti membutuhkan banyak tenaga untuk merobohkan mereka satu
persatu, Kakang. Juga perlu Kakang ingat, mereka memiliki kekebalan tubuh yang
aneh," ucap Kenanga tanpa membantah ucapan kekasihnya, tapi ia mencoba
mengingatkan Panji bahwa yang mereka hadapi kali ini bukanlah manusia-manusia
wajar. Dan, mereka berdua telah mengetahui kekebalan tubuh orang-orang itu.
Maka, wajar kalau gadis jelita itu merasa agak cemas.
"Kita coba saja. Dan, aku akan berusaha untuk mendekati biang keladi semua ini,"
bisik Panji lagi sambil tetap menatap para pengepung yang telah siap merejam
mereka. "Keakhhh...!"
"Hiakhhh...!"
Kenanga tidak sempat lagi menyahuti ucapan kekasihnya.
Karena saat itu beberapa pengepungnya sudah berlompatan menerjang dengan
disertai pekikan-pekikan serak, bagai raungan binatang.
"Kita jangan sampai berpisah...," ujar Panji mengingatkan kekasihnya, sebelum
bergerak menyambut terjangan enam orang lawan yang sudah meluncur dengan
cengkeraman maut!
"Baik...," sahut Kenanga yang segera memutar tubuhnya dan saling bertukar lawan
dengan Panji. Delapan orang lawan yang semula menerjang Kenanga, kini harus berhadapan dengan
Panji. Dengan gerakan secepat kilat, pemuda itu telah bertukar tempat dengan
kekasihnya. "Heaaahhh...!"


Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil mengeluarkan bentakan nyaring yang mengejutkan, Panji merendahkan
tubuhnya dengan kuda-kuda harimau.
Seiring dengan itu, tangan kanannya mengibas dengan menggunakan kekuatan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'nya yang ampuh.
Terdengar suara berdebuk nyaring susul-menyusul, ketika lengan kanan pemuda itu
menghantam tubuh empat orang lawannya dengan kecepatan menggetarkan! Empat
korban pukulannya langsung terjungkal hingga satu tombak lebih. Dan, jatuh
berdebuk di atas tanah.
Bettt! Whuttt! Panji melempar tubuhnya ke belakang ketika serangan pengeroyok yang lain datang
susul-menyusul mengancam tubuhnya. Sambil berputar, pemuda itu mengirimkan
tendangan berantai. Tak ayal lagi tiga orang pengeroyok yang terdekat langsung
roboh! Setelah merobohkan tiga orang lawan, tubuh Pendekar Naga Putih kembali bergulir
ke arah Kenanga. Beberapa orang pengeroyok yang mengancam kekasihnya dengan
cengkeraman dan pukulan, segera dicegah Panji dengan dorongan kedua tangannya.
Whusss...! Serangkum hawa dingin menusuk tulang berhembus menerjang para pengeroyok
Kenanga. Tanpa dapat dicegah lagi, belasan orang pengeroyok itu langsung
terjungkal ke segala arah. Untunglah Panji tidak berniat menewaskan mereka.
Sehingga, belasan orang lawan itu kembali bangkit dengan raut wajah menyeringai
nyeri. Jelas, dorongan telapak tangan pemuda itu cukup menyakitkan mereka.
Namun, meskipun mereka berhasil merobohkan belasan orang pengeroyok, tetap saja
lawan tidak berkurang. Orang-orang yang terkena pukulan pasangan pendekar itu,
bangkit dan bergerak membantu teman-temannya yang lain.
"He he he.... Ayo, habiskanlah tenaga kalian! Mereka akan tetap bangkit, kecuali
kalian menggunakan pukulan maut yang mematikan. Semua pengikutku telah kurendam
di dalam sumur yang kuberi ramuan. Sehingga, mereka kebal terhadap pukulan
maupun senjata tajam," terdengar suara Datuk Harimau Hitam memanas-manasi
pasangan pendekar itu. Tawanya yang serak terdengar berkepanjangan. Jelas kalau
ia merasa gembira dengan pertunjukan itu.
"Celaka, Kakang! Kalau kita tidak membunuh mereka, pasti kita sendiri yang akan
celaka di tangan orang-orang ini," desis Kenanga yang rupanya tidak sabar lagi
ketika melihat korban pukulannya selalu bangkit, dan bergabung kembali
mengeroyoknya. "Gunakan totokan pelumpuh untuk merobohkan mereka...,"
kembali Panji mengingatkan kekasihnya, sambil merobohkan tiga orang pengeroyok
dengan jari tangannya. Sehingga, korban totokannya itu dan pingsan seketika.
"Tapi kita bisa kehabisan tenaga!" Kenanga bantah ucapan Panji.
Alasan yang diajukan Kenanga memang tidak dibantah kekasihnya. Apalagi pemuda
itu melihat sekujur tubuh kekasihnya tampak dibanjiri peluh. Jelas, Kenanga
telah berjuang keras untuk merobohkan lawan-lawannya seperti yang diperintahkan
Panji. Perintah yang diberikan Panji memang mudah diucapkan, tapi untuk melaksanakannya
tidak semudah mengatakan.
Karena untuk merobohkan lawan yang bertubuh kebal, mereka banyak mengeluarkan
tenaga. Kalau tidak, lawan tidak akan roboh dengan totokan mereka. Itulah
sebabnya mengapa Kenanga tidak setuju dengan ucapan Panji.
Panji sendiri pun bukan tidak tahu akan hal itu, tapi ia masih tidak tega
membunuh orang-orang yang tak berdosa itu. Maka, sambil tetap melontarkan
totokan-totokan ampuh, otaknya bekerja keras mencari jalan keluar yang lebih
baik, dan tidak terlalu banyak menguras tenaga.
"Aaakhhh...!"
Pendekar Naga Putih yang tengah merobohkan lawan-lawannya itu menoleh ketika
mendengar teriakan-teriakan kekasihnya. Segera pemuda itu melesat menyambar
tubuh Kenanga yang tengah terhuyung dan hampir roboh.
"Heaaahhh...!"
Panji yang tengah memeluk tubuh Kenanga, bergerak cepat menghindari sebuah
terjangan maut yang mengancam keselamatan mereka berdua.
Bettt! Sebuah pukulan yang jelas mengandung kekuatan tidak rendah itu, lewat di samping
tubuh Panji. Pemuda itu baru mengerti setelah melihat jelas penyerangnya.
"Ki Wirjasana...!?" desis Panji geram. "Jadi orang tua inilah yang telah memukul
Kenanga. Pantas kalau begitu...," gumam pemuda itu, yang semakin sadar kalau
kedudukannya benar-benar berbahaya.
Serangan Ki Wirjasana yang juga telah dipengaruhi ramuan obat itu kembali
terlontar susul-menyusul. Bahkan dua orang lelaki gagah lainnya yang berwajah
pucat, ikut menyerbu Panji.
Sehingga, untuk beberapa saat Panji menjadi repot mengelakkan serangan ketiga
orang pengeroyoknya.
"Heeeahhh...!"
Dalam kemarahannya, Panji mengibaskan lengan kiri dengan menggunakan seluruh
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Dan, kedahsyatan pukulannya tak
diragukan lagi.
Tanpa ampun lagi, lelaki berpakaian coklat yang berada di sebelah kanan Panji,
langsung terpental diiringi jeritan ngeri.
Kemudian, tubuhnya jatuh berdebuk dengan cairan merah muncrat dari mulutnya.
Jelas, kalau orang itu mengalami luka parah akibat gempuran Pendekar Naga Putih.
Tapi, apa yang kemudian disaksikan Panji, benar-benar membuatnya terbelalak!
Pukulannya yang mampu menghancurkan bongkahan batu sebesar rumah itu, ternyata
tidak mampu menewaskan lawannya. Bahkan lawan itu kembali bangkit, meskipun
tubuhnya agak terhuyung. Jelas lelaki gagah berjubah coklat itu seperti tidak
mengalami luka yang berarti akibat pukulan dahsyatnya tadi.
"Gila! Bagaimana mungkin tubuh mereka sekuat itu...!?"
gumam Panji yang sangat terkejut melihat korban pukulannya dapat bangkit
kembali. Dan, telah maju kembali untuk ikut mengeroyoknya. Kenyataan itu benar-
benar membuat Panji hampir tidak mempercayainya.
Keterpakuan Pendekar Naga Putih yang hanya sesaat itu, ternyata berakibat cukup
fatal! Dua buah pukulan yang datang mengancamnya, masih sempat dielakkan. Tapi,
hantaman keras dari Ki Wirjasana dan seorang lawan lainnya, membuat tubuh pemuda
itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"Heaaahhh...!"
Belum lagi Panji sempat memperbaiki kedudukannya, sebuah tendangan keras, telak
menggedor dada kirinya.
"Hugkhhh...!"
Karuan saja tubuh pendekar muda itu terpelanting ke belakang. Walaupun begitu,
Panji tidak mau melepaskan tubuh Kenanga dari pelukannya. Sehingga, keduanya
bergulingan di atas tanah berbatu itu.
Luka yang dialami Panji akibat pukulan keras dari Ki Wirjasana dan lelaki
bercambang bauk itu, menyadarkan pemuda itu akan kelupaannya dalam menghadapi
keadaan ini. Karena 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang mengendap di dalam tubuhnya, langsung
saja bergolak mendorong keluar hawa aneh yang merasuk ke dalam tubuhnya.
"Heaaahhh...!"
Panji yang tubuhnya kini terlapisi sinar kuning keemasan, langsung melompat
bangkit disertai kibasan tangannya ke kiri-kanan.
Breshhh.... Breshhh...!
Kibasan telapak tangan Panji mengejutkan lawan-lawannya yang tengah meluruk
menyerbu. Tubuh mereka kontan beterbangan bagaikan kapas tertiup angin! Meskipun
pukulan itu tidak mengakibatkan luka parah atau kematian, tapi cukup
membuat Panji menarik napas lega. Karena para pengepungnya terkejut dan bergerak
mundur. Kenanga yang sudah bangkit dan berdiri tegak di samping kekasihnya, telah pula
siap menghadapi lawan-lawannya.
Meskipun pada sudut bibir gadis jelita itu terlihat adanya cairan merah yang
menetes. Tapi luka yang dideritanya tak terlalu parah.
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa menggunakan senjata untuk menghadapi mereka...,"
bisik gadis jelita itu sambil mengeluarkan Pedang Sinar Rembulannya.
"Tenanglah, Kenanga. Rasanya aku sudah menemukan cara ampuh untuk melumpuhkan
mereka," sahut Panji yang saat itu juga teringat akan mukjizat Pedang Naga
Langitnya. Kenanga yang melirik ke arah Panji, sempat menarik napas lega ketika tahu-tahu
sebilah pedang bersinar kuning keemasan telah tergenggam di tangan pemuda itu.
"Pedang Naga Langit..," desis Kenanga yang masih merasa takjub, meskipun sering
menyaksikan kekasihnya mewujudkan pedang yang telah menyatu di dalam tubuh
pemuda itu. "Benar. Dan kali ini aku pasti berhasil melumpuhkan para pengepung kita, tanpa
harus melukai atau membunuhnya," ujar Panji yang segera mengerahkan tenaga
batinnya, dan menyatukannya dengan pedang mukjizat itu.
"Naga Langit..!"
Dibarengi sebuah bentakan yang menggelegar, Panji melontarkan pedang di
tangannya ke atas.
Glarrr...! Saat itu juga, terdengar ledakan petir yang disambung sambaran kilat susul-
menyusul. Suasana itu masih pula diiringi dengan hembusan angin keras bagaikan
tengah mengamuk.
"Kreaaakkk...!"
Bersamaan dengan pekik bergemuruh seperti akan merobohkan bukit itu, terciptalah
seekor makhluk yang mengerikan berupa seekor naga raksasa. Sekujur tubuh makhluk
itu yang mengeluarkan sinar kuning keemasan, membuat suasana pekat seketika
terang benderang.
*** "Sihir...!?"
Laki-laki tua yang berjuluk Datuk Harimau Hitam itu tidak kalah terkejutnya.
Sebagai seorang ahli sihir, tentu saja ia cukup tergetar dengan penampilan serta
cara Pendekar Naga Putih mewujudkan binatang mengerikan itu.
Namun, kemunculan Naga Langit yang diciptakan Panji, ternyata tidak hanya
mengejutkan! Tapi, sinar keemasan yang terpancar dari tubuhnya, juga mempunyai
pengaruh yang luar biasa.
Ratusan penduduk desa yang berada di bawah pengaruh obat dan sihir Datuk Harimau
Hitam, memekik kesakitan!
Tubuh mereka mengejang, ketika pancaran sinar kuning keemasan merasuk ke dalam
tubuh mereka. Sehingga, dalam waktu singkat, ratusan penduduk desa yang semula
menjadi makhluk mengerikan itu, jatuh bergeletakan. Kemudian, diam tak bergerak
setelah berkelojotan.
Pancaran sinar Naga Langit yang telah meresap ke dalam tubuh mereka, langsung
menghancurkan racun-racun yang mengeram di dalam tubuh para penduduk itu. Tidak
terkecuali Ki Wirjasana dan dua orang lelaki gagah lainnya.
"Gila...!" Ilmu sihir macam apa ini..."!" teriak Datuk Harimau Hitam yang tidak
menyangka sama sekali, kemunculan binatang raksasa itu telah membuat para
pengikutnya bergeletakan pingsan.
"Aaakhhh...!"
Datuk Harimau Hitam terkejut mendengar suara lengking yang mengerikan dari
delapan orang berpakaian serba hijau.
Mereka berjatuhan dengan diiringi mata laki-laki tua yang tak percaya dengan apa
yang disaksikannya.
"Bangsat...!"
Bukan main murkanya Datuk Harimau Hitam ketika menyaksikan tubuh delapan orang
murid-muridnya berkelojotan, dan tewas dengan tubuh melepuh. Jelas, pengaruh
sinar keemasan dari tubuh Naga Langit telah mengakibatkan murid-muridnya tewas.
Mereka berbeda sama sekali dengan para penduduk desa yang dikuasainya itu.
Sambil menggeram murka, Datuk Harimau Hitam berpaling ke arah Naga Langit yang
masih mengapung di udara.
"Heaahhh...!"
Dibarengi bentakan keras, laki-laki tua itu mendorongkan sepasang lengannya
dengan pukulan jarak jauh. Melihat dari tatapan matanya yang mencorong
kehijauan, jelas laki-laki tua itu ingin melenyapkan naga raksasa yang
menurutnya permainan ilmu sihir dari Pendekar Naga Putih.
"Kreeeaghk..!"
Blarrr...! Terdengar suara benturan dahsyat yang menggelegar, ketika naga raksasa itu
mengibaskan ekornya memapaki pukulan Datuk Harimau Hitam. Sehingga, bukannya
naga itu yang lenyap, malah tubuh laki-laki tua itu sendiri yang terjungkal
hingga satu tombak lebih.
"Gila! Mana mungkin..."!"
Datuk Harimau Hitam mengumpat tak percaya dengan apa yang dialaminya. Karena
naga raksasa yang diduganya hasil ciptaan ilmu sihir lawan, ternyata malah mampu
memapaki pukulan pemunah sihirnya. Laki-laki tua itu tentu saja tidak mengerti.
Panji yang tadi memejamkan kedua matanya, kini perlahan membuka. Menyaksikan
tubuh para pengeroyoknya telah bergeletakan di atas tanah, sadarlah pemuda itu
kalau usahanya berhasil baik.
"Naga Langit, kembali...," terdengar desis menggetarkan yang keluar dari mulut
Panji. Sepertinya untuk menundukkan Datuk Harimau Hitam, pemuda itu tidak perlu
mengandalkan kemukjizatan senjatanya.
Untuk kesekian kalinya, Datuk Harimau Hitam kembali melongo. Makhluk raksasa
yang dikiranya sebagai permainan sihir lawan, lenyap tanpa bekas. Laki-laki tua
itu sempat melirik, terlihat sebilah pedang bersinar kuning keemasan kembali
tergenggam di tangan lawannya.
"Tidak kusangka kalau pemuda seusia kau telah memiliki ilmu sihir yang dahsyat, Pendekar Naga
Putih. Aku benar-benar kagum kepadamu," ujar Datuk Harimau Hitam tanpa malu-malu
lagi, memuji kehe-batan ilmu lawannya.
"Hm..., kau keliru, Datuk Harimau Hitam. Aku sama sekali tidak memiliki ilmu
sihir. Tidak perlu kujelaskan kepadamu.
Yang paling penting, aku akan menghancurkan niat busukmu yang mungkin kelak akan
kau ulangi lagi," sahut Panji yang langsung saja melayang ke arah lawan.
"Bedebah! Kau kira setelah dapat menundukkan dan membunuh pengikut-pengikutku,
lalu kau bisa berbuat sesombong itu"
Hmh! Marilah kita tentukan. Apakah kau memang pantas untuk menghukumku atau sebaliknya,"
teriak Datuk Harimau Hitam yang menerima tantangan Panji.
"Gila !" Ilmu
sihir macam apa
ini..."!" teriak
Datuk Harimau Hitam kaget melihat kemunculan naga raksasa yang membuat para pengikutnya jatuh pingsan. Kemunculan
Naga Langit, dan sinar keemasannya yang terpancar dari tubuhnya, memang
mempunyai pengaruh yang luar biasa!
"Heaaattt..!"
Begitu panji menjejakkan kakinya beberapa langkah di hadapan lawan, laki-laki
tua itu langsung melesat dengan disertai teriakannya yang keras.
Bett...! Sekali menerjang, Datuk Harimau Hitam langsung melontarkan serangkaian pukulan
maut yang mematikan!
Tampaknya laki-laki tua itu memang benar-benar ingin membinasakan Pendekar Naga
Putih. Panji yang sudah menyimpan senjatanya, segera bergerak ke kiri. Kemudian,
kakinya melangkah pendek-pendek untuk menghindari gempuran lawan. Sesekali
pemuda itu melontarkan serangan balasan secara mengejutkan. Sehingga, Datuk
Harimau Hitam terpaksa lebih berhati-hati dalam menghadapi lawannya.
"Yeaaahhh...!"
Begitu merasakan serangan lawan mulai mengendur, Parrji segera melancarkan
serangan balasan beruntun dengan menggunakan jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya.
Wettt! Wettt..!
Diiringi sambaran hawa dingin menusuk tulang, sepasang cakar naga Panji
berkelebatan mengincar tubuh lawan.
Sehingga, Datuk Harimau Hitam sempat terdesak.
Pertarungan berlangsung semakin cepat dan seru, ketika menginjak jurus yang
kedelapan puluh tujuh. Keduanya yang sama-sama menggunakan ilmu-ilmu silat
tinggi, sama-sama saling desak, dan berusaha untuk menjatuhkan lawan. Namun,


Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai sedemikian jauh belum tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai
pemenang. Panji sendiri diam-diam merasa kagum dengan kekuatan laki-laki tua itu. Meskipun
usianya telah demikian tua, ternyata masih mampu bergerak cepat. Bahkan pemuda
itu beberapa kali kehilangan lawannya, karena gerakan lawan memang seperti
bayangan hantu yang nyaris tidak kelihatan.
"Yeaaattt...!"
"Heaaa...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keseratus dua puluh, mendadak Datuk
Harimau Hitam berseru nyaring sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
Saat itu juga, tercium bau amis menyengat yang disertai perubahan sepasang
lengan laki-laki tua itu menjadi kehitam-hitaman.
Whusss...! Dorongan sepasang telapak tangan Datuk Harimau Hiram yang menyemburkan uap
kehitaman membuat Panji sadar kalau lawannya telah mengeluarkan ilmu pukulan
beracun yang sangat berbahaya.
Cepat-cepat Pendekar Naga Putih mendorong sepasang lengannya ke depan dengan
menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sepenuhnya.
Serangkum angin dingin yang berhembus keras bagaikan badai salju, meluncur
memapaki pukulan beracun lawannya.
Dan... Blarrr...! Mengerikan sekali akibat benturan dua gelombang tenaga sakti yang berlainan
sifat itu! Bunga api berpijaran menandakan betapa kuatnya benturan yang terjadi.
Sampai-sampai beberapa pohon yang dekat dengan mereka, daun-daunnya berguguran.
Sebagian hangus terbakar. Sedang sebagian
lainnya tampak diselimuti salju tipis. Jelas, pukulan yang dikerahkan kedua
tokoh sakti itu sangat dahsyat.
Akibat benturan itu, tidaklah terlalu merugikan bagi Panji.
Pemuda yang semenjak kecil dididik dengan berbagai macam latihan kuda-kuda itu,
hanya bergeser mundur dengan meninggalkan bekas sepatunya yang cukup dalam di
atas permukaan tanah. Sedangkan tubuhnya tetap tegak dan kokoh.
Lain halnya dengan Datuk Harimau Hitam. Akibat benturan dengan tenaga mukjizat
lawan, tubuhnya terlempar hingga tiga tombak. Meskipun ketika terjatuh ia dapat
menyelamatkan tubuhnya dengan kedua kaki menjejak tanah, tapi gumpalan darah
kehitaman keluar dari mulutnya, menandakan laki-laki tua itu telah terluka dalam
oleh racunnya sendiri.
"Huagkhhh...!"
Untuk kesekian kalinya darah segar kembali muncrat dari mulut laki-laki tua itu.
Bahkan wajahnya yang semula putih bagai wajah mayat itu, mulai nampak kehitaman.
Karena racun pukulannya telah berbalik menggerogoti dirinya.
Merasa ajalnya sudah dekat, sambil mendekap dada yang terasa remuk, Datuk
Harimau Hitam mengedarkan pandangan berkeliling. Dan, terhenti pada sosok
ramping berpakaian hijau, yang berada di samping kanannya dalam jarak dua
tombak. "Kau harus menyertai kematianku, Gadis Cantik...!" desis laki-laki tua itu
dengan sorot mata mengancam.
Belum lagi sosok berpakaian hijau itu sempat berpikir, tiba-tiba tubuh Datuk
Harimau Hitam sudah mencelat ke arahnya.
Panji yang sejak tadi memperhatikan tingkah lawannya, tentu saja tidak
membiarkan kekasihnya terancam maut. Maka, dengan dibarengi sebuah pekikan bagai
naga murka, tubuh
pemuda itu melesat secepat sambaran kilat, dan langsung memotong jalan luncuran
tubuh Datuk Harimau Hitam.
"Yeaaat...!"
Blarrr...! Untuk kesekian kalinya, kembali terdengar ledakan dahsyat yang mengguncangkan
sekitar daerah perbukitan itu. Disusul dengan terlemparnya tubuh Datuk Harimau
Hitam akibat gedoran sepasang telapak tangan Panji yang memang sulit dihindari.
Dalam usaha menyelamatkan nyawa kekasihnya, Panjl telah menggunakan jurus 'Naga
Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat
Naga Sakti'nya.
Sehingga akibatnya pun sangat mengerikan.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga berpelukan menyaksikan mayat Datuk Harimau Hitam
yang sekujur tubuhnya remuk.
Napas laki-laki tua itu telah terhenti. Karena tubuhnya telah menghantam sebuah
batu besar, yang juga hancur akibat benturan keras itu.
"Mudah-mudahan para penduduk yang tak berdosa itu selamat semuanya...," harap
Panji yang sudah menjatuhkan tubuhnya bersandar pada sebatang pohon. Pertarungan
dengan Datuk Harimau Hitam benar-benar telah menguras tenaganya.
"Kita tunggu di sini sampai pagi, Kakang...," ujar Kenanga yang juga menjatuhkan
tubuhnya di samping Panji.
*** Matahari pagi memancarkan sinarnya menerangi permukaan bumi. Saat itu Panji dan
Kenanga sudah berkumpul bersama
penduduk tiga desa. Melihat dari cerahnya wajah-wajah mereka, jelas pengaruh
obat yang dijejalkan Datuk Harimau Hitam telah lenyap berkat kekuatan mukjizat
Pedang Naga Langit.
"Apa sebenarnya yang diinginkan Datuk Harimau Hitam dengan menguasai desa-desa
terpencil ini?" tanya Panji yang duduk berhadapan dengan Ki Wirjasana, Kepala
Desa Pawetan, Ki Bamagala, Kepala Desa Kalianyar, dan lelaki gagah berpakaian
biru yang merupakan Kepala Desa Pagar Batu.
"Kami tidak tahu secara pasti, Pendekar Naga Putih," sahut Ki Wirjasana yang
memang telah mengenal Panji sebelumnya.
"Tapi, pertama kali mereka datang, banyak gadis-gadis dari desa-desa sekitar
daerah ini yang lenyap tanpa jejak. Bahkan beberapa dari gadis-gadis itu,
dibunuh setelah terlebih dahulu diambil darahnya," Ki Wirjasana menutup
ceritanya. Karena sepertinya orang tua itu tidak tahu terlalu banyak.
"Sebenarnya kami sempat merasa curiga dengan keinginan mereka, yang katanya bisa
membuat orang-orang desa menjadi sakti dan kuat. Dengan demikian, warga kami
yang memang terdiri dari para pemburu itu tidak perlu takut lagi terhadap
binatang buas. Sehingga, hasil buruan bisa berlipat-lipat, Demikian, iblis itu
membujuk kami pertama kalinya. Dan, memang mulanya kami percaya. Karena hal itu
telah terbukti pada beberapa warga Desa Kalianyar. Tapi, rupanya obat-obat yang
diberikan kepada kami itu mempunyai pengaruh lain di waktu malam. Itu baru aku
ketahui belakangan...," Ki Bamalaga menghentikan ceritanya sejenak untuk
menghela napas.
"Sayangnya, sudah hampir seluruh warga Desa Kalianyar yang meminum ramuan obat
itu," sambung Ki Bamagala.
"Sehingga, aku tidak bisa berbuat apa-apa, ketika dia memaksaku untuk meminum
obat itu. Karena orang tua itu sangat sakti, dan aku tidak berdaya
menghadapinya. Sejak saat
itulah tanpa kami sadari, gadis-gadis di desa kami satu persatu lenyap tanpa
jejak" Kepala Desa Kalianyar itu, yang sepertinya tahu lebih banyak, menghentikan
ceritanya sejenak. Kemudian terdiam beberapa saat, seolah-olah ingin mengingat
kembali peristiwa yang telah cukup lama terjadi Panji, Kenanga, dan yang lainnya
hanya menunggu, tanpa berniat untuk mengganggu Ki Barnalaga, yang tengah
berusaha mengingat-ingat awal malapetaka yang menimpa desanya.
"Pendekar Naga Putih, dapatkah kau menerangkan kepada kami, apa sebenarnya
maksud iblis itu menculik dan membunuhi gadis-gadis desa?" tanya Ki Barnalaga
yang sepertinya merasa penasaran karena belum mengetahui kegunaan gadis-gadis
desanya yang diculik itu.
"Hm..., setelah mendengar cerita kalian, dan juga apa yang sebelumnya kami
temukan, jelas gadis-gadis desa yang mereka culik mempunyai dua manfaat bagi
Datuk Harimau Hitam dan para pengikutnya. Pertama, gadis itu digunakan sebagai
pemuas nafsu mereka. Kedua, darah-darah perawan yang mereka rasakan cocok untuk
digunakan mendalami ilmu-ilmu sesat mereka. Dan, aku yakin ramuan-ramuan yang
diberikan kepada penduduk, juga bercampur dengan darah perawan.
Itulah yang membuat kalian kebal terhadap pukulan dan juga senjata tajam.
Sayang, orang setua Datuk Harimau Hitam masih serakah terhadap ilmu kepandaian,"
desah Panji mengakhiri keterangannya yang membuat semua orang di tempat itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tidak aneh, Kakang. Tokoh-tokoh persilatan baik hitam maupun putih tidak pernah
mengenal rasa puas dalam menambah ilmu. Jadi, tidak mengherankan untuk
memperdalam ilmu sesatnya. Datuk Harimau Hitam sampai demikian kejam
mengorbankan darah-darah perawan suci,"
Kenanga yang mendengar desahan kekasihnya segera menyahuti.
"Kau benar, Kenanga. Nah, karena persoalan di sini sudah selesai, kami mohon
pamit..." pinta Panji sambil beranjak bangkit, diikuti Kenanga dan yang lainnya.
"Dengan hati berat, kami terpaksa melepasmu, Pendekar Naga Putih. Mungkin saja
tugas-tugas lain sudah menanti kalian berdua...," ucap Ki Wirjasana sambil
menjabat erat jemari tangan pemuda tampan itu.
"Terima kasih, Ki...," ujar Panji yang segera melangkah bersama Kenanga
meninggalkan perbukitan itu.
Sedangkan para penduduk dari tiga desa itu masih terus melambaikan tangannya,
hingga bayangan kedua pendekar itu lenyap di kejauhan.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu & Convert : Abu Keisel Edit text : Fujidenkikagawa
Pdf Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Neraka Lembah Halilintar 2 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Payung Sengkala 7
^