Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 17

11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17


mengangkatnya dan membawanya kebelakang -kawankawannya
yang bergerak maju.. Seorang diantara mereka
berkata " Hati-hati. Mereka adalah ular-ular yang berbahaya.
Jika mereka mematuk, maka bisanya akan menjalar keseluruh
tubuh. " Peristiwa itu telah membakar kemarahan setiap orang
sehingga rasa-rasanyadarahmereka telah mendidih. Beberapa
orang segera berloncatan menyerang dengan garangnya.
Namun Sabungsari dan kawan-kawannya telah menunggu
dengan ujung senjata. Pedang mereka berputar dengan cepat,
menangkis setiap serangan. Namun kemudian berputar dan
terayun menyilang, mematuk dengan cepat ke arah jantung.
Orang-orang dari kelompok yang juga menyebut dirinya
Gajah Liwung itu memang terkejut melihat ketangkasan
bermain pedang dari orang-orang yang dikepungnya. Tetapi
karena jumlah mereka terlalu banyak, maka merekapun
segera telah mendesak lagi.
Pertempuranpun segera membakar padang ilalang itu.
Semuanya mulai bergerak semakin lama semakin cepat.
Orangorang yang mengepung itu menyerang susul menyusul
seperti gelombang lautan menghantam batu karang di pantai
yang curam. Tetapi Sabungsari dan kawan-kawannya memiliki
kemampuan yang memadai untuk bertahan dan bahkan
sekali-sekali mendesak gelombang serangan itu. Ujung-ujung
senjata yang beradu telah mengejutkan orang-orang yang
mengepung itu. Sabungsari ternyata tidak membiarkan kawan-kawan di
sebelah menyebelahnya mengalami kesulitan. Dengan segera
ia menghentakkan ilmu pedangnya. Dengan tangkasnya ia
telah mendesak sekelompok orang yang menyerangnya.
Bahkan satu dua diantara mereka telah berloncatan mundur
karena luka-luka mulai menganga di tubuh mereka.
Rara Wulan yang ikut pula bertempur tidak lagi nampak
terlalu lemah diantara kawan-kawannya. Ia telah mampu
mengembangkan ilmu pedangnya pula, sehingga ia telah
dengan tangkas mampu melindungi dirinya dari seranganserangan
yang datang beruntun. Tetapi sebenarnyalah lawan terlalu banyak. Betapapun
mereka memiliki kemampuan yang tinggi, namun ujung-ujung
senjata yang menggapai-gapai itu telah membuat Sabungsari
dan kawan-kawannya memeras kemampuan mereka untuk
melindungi diri dan berusaha mengurangi jumlah lawan-lawan
mereka. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin sengit. Orang-orang yang mengepung itu
menjadi semakin geram, sementara Sabungsari dan kawankawannya
menjadi semakin mengalami kesulitan.
Meskipun anggauta kelompok Gajah Liwung yang
sebenarnya itu memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari
lawan-lawannya, apalagi Sabungsari dan Glagah Putih,
namun jumlah lawan mereka benar-benar terlalu banyak bagi
mereka, betapapun kokohnya pertahanan sekelompok kecil
anggauta Gajah Liwung itu, namun merekapun semakin lama
menjadi semakin terdesak.
Sabungsari dan Glagah Putih bahkan sudah mulai
mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmu mereka yang
menggetarkan itu. Namun mereka masih saja merasa ragu.
Jika demikian, maka mereka benar-benar akan membantai
orang-orang yang telah mengepung dan menyerang mereka
dari segala arah itu. Tetapi keduanya juga mempertimbangkan, bahwa agaknya
hal itu akan lebih baik daripada mereka bersama-samalah
yang akan dibantai oleh orang-orang yang juga mengaku dari
kelompok yang bernama Gajah Liwung itu.
Untuk beberapa saat lamanya Sabungsari dan Glagah
Putih dibelit oleh keragu-raguan. Meskipun setiap kali
Sabungsari dan Glagah Puith sempat melemparkan lawanlawan
mereka dari lingkaran pertempuran dengan luka yang
menganga, namun rasa-rasanya sulit juga untuk menghadapi
ujung-ujung senjata yang jumlahnya terlalu banyak.
" Darimana kelompok ini mendapatkan anggauta yang
sekian banyaknya ?" desis Sabungsari di dalam hatinya.
Sementara itu, anggauta-anggauta Gajah Liwung yang lain
mengalami kesulitan pula sebagaimana Sabungsari dan
Glagah Putih. Bahkan mereka mengalami tekanan yang
terasa lebih berat dari Sabungsari dan Glagah Putih.
Beberapa kali Rara Wulan berloncatan surut, sementara
Naratamapun harus mengerahkan segenap kekuatan dan
kemampuannya ketika beberapa ujung senjata serasa
mengejarnya. Glagah Putih terkejut ketika ia mendengar keluhan tertahan
disisinya Ketika ia sempat berpaling, maka dilihatnya Mandira
mengusap darah yang mengalir dari luka di lengannya.
" Kau terluka ?" bertanya Glagah Putih.
" Hanya segores kecil. Tidak apa-apa." jawab Mandira.
Namun jantung Glagah Putih terasa berdegup semakin
cepat. Rasa-rasanya ia tidak dapat menahan diri untuk
melepaskan ilmu pamungkasnya meskipun dengan demikian
akan jatuh korban yang tidak terhitung banyaknya.
Tetapi tiba-tiba Glagah Putih mendapat akal sebelum ia
harus membunuh tanpa hitungan. Dengan lantang Glagah
Putih telah berteriak " Buka lingkaran. Kita tidak akan
menghiraukan peti-peti itu lagi. Yang penting, kita harus
mempertahankan diri dan mengusir tikus tikus tanah ini.
Mereka tidak akan dapat mengangkat peti-peti itu selagi
mereka melarikan diri."
Suara Glagah Putih itu sesaat memang menimbulkan
keragu-raguan. Apalagi mereka sudah sepakat bahwa yang
memimpin kelompok itu adalah Sabungsari, sehingga
seharusnya perintah itu diberikan oleh Sabungsari.
Namun mereka segera berubah menjadi heran. Sabungsari
justru tertawa sambil menyahut tidak kalah lantangnya " Aku
setuju. Aku perintahkan membuka lingkaran. Kita bertempur
dalam dua kelompok. Separo bersamaku dan separo
bersama-sama bergeser memisahkan diri. Mereka yang
datang menyergap untuk membunuh diri itu tidak akan dapat
membawa peti-peti itu. Peti-peti itu terlalu berat untuk
diangkat." Barulah beberapa saat kemudian anggauta-anggauta
kelompok Gajah Liwung itu mengerti maksud Glagah Putih
dan Sabungsari. Karena itu, maka merekapun segera
memecah diri. Ampat orang dipimpin oleh Sabungsari dan
yang lain dipimpin oleh Glagah Putih. Mereka bergeser saling
menjauh. Namun keempat orang dalam setiap kelompok
itupun, segera beradu -punggung pula.
Yang juga tertawa adalah Ki Lurah Branjangan, Ki
Jayaraga dan Agung Sedayu. Dengan nada tinggi Ki Lurah
Branjangan berkata " Anak itu memang cerdik."
Namun Ki Lurah dan Agung Sedayu terpaksa
menyamarkan wajah mereka. Mereka telah melepas ikat
kepala mereka dan menutup wajah mereka sehingga yang
nampak kemudian hanyalah bagian atasnya saja. Sementara
itu rambut Agung Sedayu yang hitam ikal dibiarkan terurai
sampai ke bahu, sehingga dengan demikian, ia akan manjadi
sulit untuk dikenali lagi.
Demikianlah, maka ketiga orang yang duduk di atas petipeti
yang berat itu, yang semula dengan sengaja membiarkan
pertempuran terjadi tanpa berbuat sesuatu untuk dapat
menilai kekuatan kelompok Gajah Liwung, tidak dapat
mengelak lagi. Demikian lingkaran itu terbuka serta
membentuk dua kelompok yang lebih kecil, maka beberapa
orang langsung menyusup menyerbu ke arah ketiga orang
yang masih saja berada di sekitar peti itu.
Namun s jenak kemudian, ketiga orang tamu kelompok
Gajah Liwung itu sudah terseret ke dalam pertempuran itu
pula. mereka harus mempertahankan diri dari sergapan
beberapa o-rang yang menembus lingkaran yang telah
terbuka. Sabungsari tertawa sambil berkata " Nah, marilah ita
beramai-ramai dalam permainan yang barangkali
mengasikkan ini." Ki Lurah tidak menjawab. Tetapi iapun tertawa pula. Namun
bersamaan dengan itu, Ki Lurah telah mencabut pedangnya
pula. Agung Sedayu tidak dapat menunjukkan ciri tentang dirinya
dengan mengurai cambuknya. Karena itu, maka ketika
seorang diantara lawannya datang dengan tombak pendek di
tangan, maka dalam waktu yang singkat tombak itu telah
berpindah tangan. Dengan tombak pendek itu Agung Sedayu bertempur
menghadapi orang-orang yang datang susul menyusul
menyerangnya. Namun orang-orang yang mengaku dari
kelompok Gajah Liwung itu harus melihat kenyataan, bahwa
orang yang menutup sebagian dari wajahnya dengan ikat
kepalanya dan membiarkan rambutnya terurai itu adalah
orang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, maka tombak
pendek di tangannya itu seakan-akan tidak terlalu banyak
bergerak. Namun setiap kali tombak pendek itu telah
menyentuh tubuh lawannya dan mengoyak kulitnya meskipun
tidak terlalu dalam atau melontarkan senjata di tangan
lawannya itu. Seorang lagi diantara mereka bertiga telah mengambil jarak
dari yang lain. Meskipun agaknya orang itu sudah lebih tua
dan tidak pantas lagi ikut dalam kelompok-kelompok seperti
itu, namun ternyata memiliki kecepatan gerak yang luar biasa.
Tangannya menjadi sangat trampil dengan pedangnya yang
tidak terlalu besar. Tetapi pedang yang yang berputaran itu
seakan-akan telah melindungi segenap tubuhnya dari
ujungsenjata lawan. Sebenarnyalah Ki Lurah Branjangan mampu bergerak
sangat cepat. Meskipun tubuhnya mulai menghambat
kecepatan geraknya karena umurnya, namun bagaimanapun
juga, lawan-lawannya masih saja kebingungan
menghadapinya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa orang
itu pernah menjadi pemimpin Pasukan Khusus Mataram yang
berada di Tanah Perdikan Menoreh, justru pada saat
pembentukannya. Yang seorang lagi, bergerak lebih tenang dan lebih lambat.
Tetapi ayunan senjatanya melontarkan kekuatan yang tiada
taranya. Seperti yang lain, Ki Jayaraga tidak ingin membantai
lawan-lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, yang telah
pula diwarisi oleh Glagah Putih. Meskipun tanpa ilmu
puncaknya, namun Ki Jayaraga adalah orang yang telah
menggetarkan jantung lawan-lawannya.
Ketiga orang yang semula duduk seenaknya diatas peti itu
telah memencar. Mereka bertempur tidak dalam kelompokkelompok
sebagaimana Sabungsari dan Glagah Putih
bersama masing-masing tiga orang. Tetapi baik Ki Lurah
Branjangan, Ki Jayaraga maupun Agung Sedayu telah
bertempur seorang-seorang dan bahkan mereka berusaha
saling menjauhi. Apalagi Ki Lurah Branjangan yang membutuhkan tempat
yang luas untuk memperdayakan lawan-lawannya. Sekali ia
meloncat surut. Namun kemudian dengan loncatan yang
panjang ia datang menyerang. Tetapi sejenak kemudian ia
meloncat ke samping dan berputar meninggalkan arena.
Tetapi demikian lawan-lawannya menyusulnya, maka iapun
telah meluncur dengan pedang berputar di tangan.
" Pantas ia disebut Ki Lurah Branjangan " berkata Ki
Jayaraga di dalam hatinya " Ia benar-benar mampu bergerak
secepat burung Branjangan."
Keseimbangan pertempuranpun telah berguncang.
Sebagian dari orang-orang yang mengepung kelompok Gajah
Liwung itu telah terhisap karena kehadiran ketiga orang yang
semula duduk di atas peti itu di arena. Bahkan merekapun
telah berpencar, sehingga lingkaran pertempuranpun telah
berserakan. Dua kelompok anggauta Gajah Liwung yang
sebenarnya telah bertempur dengan garang. Kemudian tiga
lingkaran pertempuran telah terjadi pula diantara batangbatang
ilalang. Ki Lurah Branjangan yang tidak terlalu tinggi agaknya
mampu memanfaatkan batang-batang ilalang dengan baik.
Kadang-kadang tubuhnya itu sekan-akan hilang ditelan
lebatnya batang-batang ilalang. Namun tiba-tiba dengan cepat
muncul bagaikan seekor burung yang terbang menyambarnyambar.
Beberapa orang yang menghadapi Ki Lurah Branjangan
kadang-kadang memang menjadi bingung. Apalagi mereka
bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Mereka adalah orang-orang yang sekedar mempunyai bekal
landasan dasar ilmu kanuragan.
Alasan merekapun tidak sama seperti kelompok-kelompok
yang ada lebih dahulu di Mataram. Meskipun kelompokkelompok
sama-sama menggelisahkan banyak orang, tetapi
kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung itu nampaknya
mempunyai tujuan tertentu. Bahkan mirip dengan sekelompok
besar perampok yang memanfaatkan keadaan yang goyah.
Sementara' itu, beberapa orang dari kelompok Gajah
Liwung yang dipimpin oleh Sabungsari serta ketiga orang
tamunya yang terlibat, sempat mengamati ciri-ciri khusus pada
tatanan gerak serta unsur-unsur gerak lawan-lawan mereka.
Pada u-mumnya memiliki beberapa kesamaan ciri. Namun
mereka sempat menilai bahwa sedikitnya ada dua kelompok
yang tergabung dalam kelompok yang menyebut dirinya
kelompok Gajah Liwung itu. Dua kelompok murid-murid dari
dua perguruan. " Agaknya memang dari dua perguruan " desis Agung
Sedayu di dalam hatinya " jika mereka sekedar gabungan
anak-anak nakal yang bertingkah laku tanpa
memperhitungkan akibatnya serta tidak bertanggung jawab,
tentu tidak akan memiliki kesamaan ciri landasan ilmu seperti
mereka. Dua ciri yang berbeda dari orang-orang itu
merupakan satu petunjuk bahwa mereka datang dari dua
perguruan." Ternyata yang melihat hal itu dengan jelas bukan hanya
Agung Sedayu. Dengan demikian, maka orang-orang dari kelompok Gajah
Liwung yang dipimpin oleh Sabungsari itu beserta tamutamunya
menyadari bahwa mereka telah berhadapan dengan


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua buah perguruan. Namun Sabungsari dan kawan-kawannya mengenali
kelompok yang ada sebelumnya juga dari sebuah perguruan,
sehingga benturan kekuatan antara kelompok-kelompok itu
akan dapat menyeret beberapa perguruan.
Dalam pada itu, maka pertempuran menjadi semakin
sengit. Rara Wulan yang baru memiliki landasan ilmu yang
meskipun sudah agak kokoh, memang mengalami kesulitan
untuk bertahan. Namun setiap kali Glagah Putih datang pada
waktunya untuk menyelamatkannya.
Sementara itu, Mandira yang terluka justru menjadi
semakin garang. Kemarahannya telah membuat darahnya
bagaikan mendidih. Dengan segenap kemampuan ilmu yang
ada padanya, ia telah bertempur dengan sengitnya.
Sejak Ki Lurah Branjangan, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu
melibatkan diri dalam pertempuran itu, maka Sabungsari
menjadi semakin yakin bahwa mereka akan dapat-mengatasi
lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Bahkan berlipat
ganda. Setiap kali Sabungsari dan kawan-kawannya
mendengar teriak kesakitan atau keluhan tertahan.
Namun ternyata bahwa Rumeksapun harus berdesis
menahan pedih ketika pundaknya tergores senjata lawannya.
Tetapi seperti Mandira ia justru menjadi semakin garang.
Bahkan Rumeksa tidak lagi mengekang dirinya jika senjatanya
harus menghentikan perlawanan seseorang, bahkan bukan
saja terluka parah. Tetapi terpaksa harus membunuhnya.
Suratama dan Naratamapun mendendam sampai ke ujung
rambutnya. Sarangnya yang terbakar membuat mereka
menjadi sangat marah. Yang masih sempat berpikir wajar adalah Sabungsari dan
Glagah Putih. Bahkan mereka tidak lagi diganggu oleh niat
mereka untuk mempergunakan ilmu puncak mereka. Dengan
ikat pinggangnya Glagah Putih setiap kali telah mengacaukan
beberapa orang lawannya. Goresan kulit itu ternyata mampu
membelah daging lawan-lawannya melampaui goresan ujung
pedang. Ki Jayaraga setiap kali memang harus mengambil jarak.
Beberapa kali ia berloncatan menjauh. Bukan karena ia
terdesak. Tetapi dengan mengambil jarak ia dapat
memperhitungkan jangkauan senjatanya sehingga ia tidak
membunuh lawan-lawannya. Namun demikian beberapa kali
ia menghentikan perlawanan beberapa orang yang bertempur
melawannya dalam satu kelompok kecil. Satu-satu mereka
terlempar jatuh. Beberapa orang mengerang kesakitan,
sementara yang lain mencoba untuk bangkit dan meneruskan
perlawanan dengan kemarahan yang membakar ubun-ubun.
Tetapi orang itu bertempur dengan sangat tenang. Tidak
terlalu banyak bergerak. Namun setiap gerakan telah
menimbulkan kesulitan bagi lawan-lawannya.
Berbeda dengan Ki Lurah Branjangan yang bergerak
berloncatan dengan tangkasnya.
Orang tua itu telah membuat lawan-lawannya menjadi ke-bi
ngungan. Nampaknya Ki Lurah Branjangan dengan sengaja
telah mengganggu orang-orang dari kelompok yang menyebut
kelompoknya itu Gajah Liwung. Beberapa kali ia hilang dari
pengamatan lawan-lawannya, karena Ki Lurah dengan
sengaja berjongkok diantara batang-batang ilalang. Namun
tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak nyaring. Pedangnya
terjulur lurus ke arah lawannya yang terdekat. Namun sekali
waktu, ketika pedang itu hampir saja menghujam ke leher
seseorang, tiba-tiba saja pedang itu telah menggeliat dan
lepas dari sasaran. Kilatan cahaya bintang yang memantul pada daun pedang
itu membuat lawan Ki Lurah justru menjadi kebingungan.
Rasa-rasanya nyawanya sudah meloncat lewat ubunubunnya.
Namun ketika ia meraba lehernya, lehernya itu sama
sekali tidak terluka. Tetapi selagi ia kebingungan, maka Ki Lurah Branjanganlah
yang telah menghantam lambungnya, sehingga orang itu
terlempar beberapa langkah surut. Perutnya menjadi mual,
sedangkan nafasnya menjadi sesak. Tetapi ia masih merasa
beruntung, bahwa ia tidak mati.
Agung Sedayu yang bertempur agak jauh dari Ki Lurah
Branjangan ternyata telah dianggap orang yang sangat
berbahaya, beberapa orang telah dikenai dengan tombak
pendek yang telah dirampas dari seorang lawannya. Tetapi
tidak dengan mata tombak yang tajam. Agung Sedayu telah
memukul mereka justru dengan landeannya.
Seorang yang terkena pangkal landean Agung Sedayu
pada pahanya, merasa seakan-akan tulang pahanya telah
retak. Sehingga ia tidak mampu lagi bertempur dengan
tangkas. Kakinya tidak dapat lagi dipergunakan untuk
berloncatan kian kemari menghadapi lawannya yang
mendebarkan itu. Sedang kawannya, tidak mampu lagi
mengangkat bindinya, karena pundaknya serasa telah menjadi
remuk oleh ayunan landean tombak di tangan Agung Sedayu
itu. Beberapa orang yang mengepungnya tidak lagi berebut
menyerang, mereka dengan jantung yang berdebaran
mengepung orang yang wajahnya sebagian tertutup ikat
kepalanya. Rambutnya terurai sampai ke pundaknya. Sekalisekali
justru telah menutup wajahnya yang tersisa. Tata
geraknya aneh, tetapi membuat dahi mereka berkerut.; Jika
Agung Sedayu itu meloncat maju, maka orang-orang yang
mengepungnya itu bergeser mundur.
Sementara itu, Ki Jayaragapun telan mendesak lawanlawanya
pula. Satu dua orang yang telah tegores senjatanya.
Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi darah telah mengalir dari
tubuh mereka. Semakin lama menjadi semakin deras.
Yang masih terlalu sibuk adalah Sabungsari. Diantara
lawan-lawannya terdapat pemimpin dari orang-orang yang
menamakan kelompoknya itu kelompok Gajah Liwung.
Tetapi kemampuan pemimpin., kelompok itu masih jauh
dari memadai untuk melawan Sabungsari. Namun karena ia
tidak bertempur sendiri, tetapi bersama-sama dengan
anggauta-nya, maka Sabungsari memang harus memeras
tenaga, meskipun tidak merasa perlu untuk untuk melepaskan
puncak ilmunya. Sementara itu Glagah Putih ternyata bertempur lebih
garang. Keadaan Rara Wulan yang kadang-kadang sulit,
membuat Glagah Putih menjadi keras. Bahkan ketika
seseorang hampir saja sempat menjulurkan senjatanya ke
arah Rara Wulan, maka Glagah Putih telah meloncat dengan
ayunan ikat pinggangnya melampaui kecepatan gerak
lawannya. Dengan kekuatan yang tidak terlawan, ikat
pinggang Glagah Puth telah memukul senjata lawannya
sehingga terlepas. Kemudian satu ayunan mendatar telah
menyambar lengan orang itu sehingga lengannya telah
terkoyak. Namun dalam pada itu, desah dan teriakan tertahan yang
di luar sadarnya telah meloncat dari bibir Rara Wulan, telah
mena rik perhatian beberapa orang lawan-lawannya, sehingga
merekapun mengetahui, bahwa ia adalah seorang
perempuan. Karena itu, maka seorang diantara mereka telah
mempunyai rencana yang licik.
" Pancing orang-orang itu. Aku akan mempunyai rencana
sendiri dengan anak itu " berkata orang yang licik itu.
" Anak yang mana ?" bertanya kawannya.
" Yang kecil itu." jawab orang itu.
Kawannya memang sudah curiga pula bahwa anak yang
disebut anak yang kecil itu adalah seorang perempuan.
Namun ia justru berdesis " Aku bantu kau. Tetapi kau tahu
sendiri bahwa niat .baikku ini bukannya tanpa pamrih."
" Setan kau " geram orang yang licik itu.
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia sudah mendesak
seorang kawannya yang lain sambil berkata"Marilah, kita
hentakkan kekuatan kita, kita akhiri perlawanan mereka."
Kawan-kawannya yang tidak tahu rencananya tidak banyak
berpikir. Merekapun segera menghentakkan kemampuan
mereka untuk menyerang lawan-lawan mereka yang
jumlahnya jauh lebih sedikit itu.
Ternyata bukan saja Mandira dan Rumeksa yang terluka.
Tetapi Suratamapun telah mengaduh keakitan. Ujung senjata
lawannya telah menyengat punggungnya meskipun tidak
begitu dalam. Dalam kesempatan itu, orang yang licik itu telah berlindung
di belakang serangan kawan-kawannya. Namun ternyata ia
memang mampu bergerak cepat. Tiba-tiba saja ia telah
menyerang Rara Wulan, menekan pedang gadis itu dan tibatiba
saja ia telah berhasil menangkap pergelangan tangan
gadis itu, justru yang memegang sejata.
.Dengan serta merta orang itu telah menarik Rara Wulan
dengan kuatnya. Rara Wulan terkejut. Beberapa langkah ia terseret oleh
tarikan lawannya. Namun dengan latihan-latihan yang berat,
maka Rara Wulan memiliki bekal untuk melindungi dirinya
sendiri. Karena itu, ketika sekali lagi ia merasa tarikan kuat
pada pergelangan tangannya, Rara Wulan justru
mempergunakan kekuatan itu meloncat. Kakinya terjulur lurus.
Dengan kerasnya tumit Rara Wulan telah menghantam
pinggang orang yang menarik pergelangan tangannya itu.
Orang itu sama sekali tidak menduganya. Karena itu, ketika
pinggangnya disengat oleh serangan kaki Rara Wulan,
terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Pegangan
tangannya terlepas. Bahkan terhuyung-huyung orang itu
terdorong surut. Namun Rara Wulan tidak melepaskan kesempatan itu.
Tiba-tiba saja tangannya yang sudah terlepas itu
mengayunkan pedangnya mendatar, justru saat lawannya
kehilangan keseimbangan. Yang terdengar kemudian bukan saja keluhan kesakitan.
Tetapi orang itu berteriak nyaring. Ujung pedang Rara Wulan
telah tergores menyilang didada orang itu sehingga orang
itupun telah terlempar jatuh terlentang.
Tetapi dengan demikian, maka Rara Wulan memang agak
terpisah dari kawan-kawannya. Tiga orang hampir bersamasama
telah menyergapnya. Rara Wulan benar-benar berada dalam kesulitan. Namun
pada saat yang tepat, tiba-tiba saja ikat pinggang Glagah
Putih telah berputaran. Dua ujung senjata terlempardaritangan
pemiliknya, sementara orang ketiga telah mengaduh kesakitan
pula. Lambungnya ternyata telah dikoyakkan oleh ikat
pinggang Glagah Putih. Sebelum Rara Wulan menyadari keadaan itu, maka kedua
orang kawannya yang lain dalam kelompok kecil, bersamasama
dengan Glagah Putih telah berada di sekitarnya pula.
Sehingga dengan demikian maka kelompok kecil itu telah utuh
kembali meskipun harus bergeser dari lingkaran pertempuran
semula. Sementara itu, pertempuranpun menjadi semakin riuh.
Namun keseimbangan pertempuran itu telah berubah. Orangorang
yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu tidak
banyak mempunyai kesempatan. Bahkan mereka telah
terpaksa melepaskan beberapa orang yang tidak mampu
bertahan menghadapi ketajaman senjata sekelompok kecil
orang-orang yang juga menyebut dirinya kelompok Gajah
Liwung. Bahkan lebih dahulu dari kelompok yang jumlahnya
jauh lebih banyak itu. Dengan demikian maka orang-orang yang telah mengaku
dari kelompok Gajah Liwung itu, meskipun jumlahnya jauh
lebih banyak, tetapi mereka tidak berdaya untuk
menguasainya, apalagi membinasakannya sebagaimana ingin
mereka lakukan. Bahkan merekapun tidak mampu merebut
kembali peti-peti yang telah diambil oleh orang-orang yang
ingin mereka hancurkan itu. Apalagi pernyataan pemimpin
mereka bahwa jika seo-' rang diantara mereka jatuh menjadi
korban, maka sebagai gantinya adalah lima orang dari
kelompok yang jauh lebih kecil itu harus dibinasakan pula.
Namun mereka ternyata harus menghadapi kenyataan
yang lain sama sekali dengan kemauan mereka. Mereka sama
sekali tidak mampu berbuat apapun juga menghadapi orangorang
yang jumlahnya hanya sekitar sepuluh orang itu.
Tepatnya delapan orang dan tiga orang tamu mereka. Namun
yang harus terlibat dalam pertempuran itu.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang
mengaku dari kelompok Gajah Liwung dengan jumlah yang
besar itu, menjadi semakin terdesak Beberapa orang diantara
mereka memang mencoba membawa peti-peti itu keluar dari
pertempuran. Namun orang-orang yang mencoba untuk
mengangkat peti-peti yang berat itu justru tidak akan sempat
melakukan perlawanan. Demikian perhatian mereka tertuju
pada peti-peti itu, maka senjata lawan-lawan mereka segera
tergores ditubuh mereka. Demikianlah, maka Sabungsari dan kawan-kawannya justru
telah semakin mendesak lawan-lawan mereka yang semula
jumlahnya jauh lebih banyak. Namun satu-satu mereka telah
terlempar dari arena. Sebagian besar telah terluka. Namun
ada diantara mereka yang tidak mampu lagi bangkit untuk
selama-lamanya. Adalah diluar kemampuan orang-orang yang
telah mengambil peti-peti dari
perkemahanorangorangiyangmengaku dari kelompok Gajah
Liwung itu untuk menghentikan perlawanan orang-orang
dalam jumlah yang jauh lebih banyak itu tanpa mengorbankan
beberapa orang diantara mereka. Bukan saja terluka, tetapi
ternyata ada pula yang terbunuh. Apalagi beberapa orang dari
kelompok yang dipimpin oleh Sabungsari itu telah terluka
sehingga mereka telah kehilangan kendali atas dirinya.
Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itupun
menjadi semakin mengendor. Orang-orang yang datang untuk
merebut peti-peti itu harus mengakui, bahwa mereka ternyata
tidak akan mampu melakukannya. Karena itu, maka pemimpin
kelompok yang besar itu harus mengambil satu keputusan
yang sangat menyakitkan hati. Ia harus memberikan isyarat
kepada orang-orangnya untuk mengundurkan diri. Hal itu
dilakukan agar orang-orangnya tidak semakin banyak yang
jatuh menjadi korban. Sedangkan mereka harus merelakan
peti-peti mereka dibawa oleh kelompok yang jumlahnya tidak
seberapa itu. Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebut kelompoknya itu bernama Gajah Liwung telah mulai
menarik diri. Mereka berusaha untuk menghilang di rimbunnya
batang ilalang. Betapa pahitnya kenyataan itu, tetapi mereka
tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kelompok kecil
yang mengambil peti-peti mereka itu adalah kelompok yang
tidak terkalahkan. Namun dalam pada itu, selagi orang-orang yang jumlahnya
masih lebih banyak itu berusaha menarik diri, maka terdengar
suara tertawa di kegelapan. Suara yang menggetarkan udara
malam yang dingin. " Ternyata kau, Jayaraga " terdengar suara itu bagaikan
bergema. Ki Jayaraga terkejut. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba
seseorang telah menyebut namanya.
"Siapa kau ?" bertanya Ki Jayaraga.
" Apakah kau tidak dapat mengenali aku " suara itu tiba-tiba
saja melengking. Warna suara itu memang berubah, sehingga
sulit untuk dapat mengenalinya.
Tetapi Ki Jayaragapun mempunyai akal. Ia tidak mau
melepaskan orang itu tanpa mengenalinya. Karena itu, maka
iapun berusaha untuk memperpanjang pembicaraan " Kau
sengaja merubah suara aslimu. Bahkan dengan semacam
ilmu yang tinggi. Namun jangan mengira bahwa tidak ada
orang yang mampu memecahkan warna suaramu yang kau
buat-buat itu sehingga menemukan warna suara aslimu."
Yang terdengar hanyalah suara tertawa. Katanya " Kau
menjadi bingung. Aku kira orang seperti kau tidak akan pernah
merasa bingung." " Kau berbangga karena kau merasa menang dalam tekateki
yang tidak berarti ini ?" bertanya Ki Jayaraga.
Suara tertawa itupun menjadi berkepanjangan. Namun
dengan demikian, tiba-tiba saja Ki Jayaraga menangkap ciriciri
yang dapat dikenalinya, meskipun ia tidak segera menebak
karena ia ingin meyakinkannya.
Dengan nada tinggi Ki Jayaraga itupun berkata selanjutnya
" Tetapi kemenanganmu itu tidak berarti apa-apa."
Suara tertawa itu menjadi semakin keras. Diantara derai
tertawanya itu terdengar kata-katanya "Memang bukan apaapa
Jayaraga. Tetapi bagiku itu adalah satu ukuran, bahwa
kau tidak menjadi semakin memanjat dalam tata kanuragan.
Kau yang merasa dirimu semakin tua telah menjadi pikun dan
kehilangan daya tangkapmu yang sebelumnya terkenal sangat
tajam." Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu.
orang-orang yang ada di sekitarnyapun menjadi tegang.
Namun ternyata bahwa Agung Sedayupun telah berhasil
memecahkan teka-teki itu. Ia mampu mengenali warna suara
yang sebenarnya dari suara yang disamarkan itu. Tetapi
Agung Sedayu memang belum mengenal suara itu.
Sementara itu Sabungsari dan Glagah Putihpun dengan
mempergunakan ketajaman inderanya berusaha untuk dapat
mengenalinya pula. Tetapi mereka belum memiliki ilmu
setajam Agung Sedayu dan Ki Jayaraga.
Namun jika getaran suara itu berlangsung lebih lama, maka
merekapun tentu akan mampu memecahkannya pula.
Ketika suara itu menghendak semakin keras, maka Ki
Jayaragapun berkata " Baiklah Ki Sanak. Sebaiknya aku tidak
membiarkan kau salah mengerti tentang kemampuanku. Kau
memang orang berilmu tinggi. Tetapi aku yang setua ini belum
pikun seperti yang kau sangka."
" Tetapi kau tidak mampu menangkap warnasuaraku yang
sebenarnya." berkata orang yang tidak segera menampakkan
diri itu. " Tetapi aku tidak akan menyerah " berkata Ki Jayaraga "
kau kira aku tidak tahu, bahwa kau adalah Podang Abang
yang ternyata memiliki ilmu yang semakin mapan ". Terutama
kemampuanmu berkicau sehingga kau mampu menirukan
berbagai macam suara dengan warna yang seakan-akan
berbeda-beda." Suara tertawa itu tiba-tiba menjadi lenyap. Yang terdengar
kemudian adalah geram yang garang"Setan kau Jayaraga.
Jadi telingamu masih belum rapuh sehingga kau mampu
mengenali suaraku." " Aku masih belum pikun Podang Abang. Kicaumu memang
sangat menarik. Tetapi tidak di malam hari seperti ini." jawab
Ki Jayaraga. " Baiklah " desis Podang Abang " aku masih harus
mengakui bahwa kau memang seorang yang berilmu sangat
tinggi. Tetapi aku ingin bertanya, kenapa kau mengangganggu
anak-anakku " Apakah kau tidak malu bahwa kau tidak
sepantasnya menghadapi mereka ?"
" Bukan aku yang menggangu mereka Podang Abang.
Tetapi mereka yang sudah mengganggu aku." jawab Ki
Jayaraga- " Kau jangan memutar balikkan keadaan. Aku mengikuti
perkembangan keadaan dari awal sampai akhir." berkata
Podang Abang. " Awal yang mana dan akhir yang mana ?" bertanya Ki
Jayaraga. " Kau dan kawan-kawanmu telah mencuri milik anakanakku
" berkata Podang Abang " bahkan membakar rumah
mereka yang mereka bangun dengan keringat."
" Kau hanya melihat awal dari bagian akhir dari kehadiran
anak-anakmu " berkata Ki Jayaraga kemudian. Lalu "
Seharusnya kau melihat awal dari bagian awal tingkah laku
anak-anakmu di Mataram."
Suara itu terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar lagi.
" Baiklah. Tetapi aku sekarang tahu bahwa ada diantara anak
anak yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu adalah
muridmu. Meskipun aku masih belum jelas, yang manakah
muridmu itu, tetapi bukan pekerjaan yang sulit bagiku untuk
mencarinya." " Apa yang sebenarnya dikehendaki oleh murid-muridmu itu
Podang Abang. Kekacauan, keresahan atau apa " Sejak
kapan pula kau menjadikan Mataram sebagai sasaran tingkah
lakumu yang gila itu." bertanya Ki Jayaraga.
" Pertanyaan yang menarik. Tetapi apa pula maksudmu
bahwa kau telah menyusun kelompok kecil namun ternyata
sangat kuat itu ?" bertanya suara itu.
" Podang Abang " desis Ki Jayaraga kemudian " bukankah
sebaiknya kau datang mendekat. Kita akan berbicara dengan
baik. Aku tahu, kau berada di atas sebatang pohon yang
cangkring itu. Tetapi aku segan untuk datang mendekat. Jika
kau perlukan aku, marilah. Kita berada di padang ilalang yang
luas. Kita dapat berbicara dengan segala macam cara."
" Bagus " jawab suara itu " kita akan bertemu dan berbicara
panjang dengan cara kita meskipun ternyata wadagmu telah
menjadi rapuh." " Turunlah. Aku bukan lagi anak-anak yang senang
memanjat pohon-pohonan " berkata Ki Jayaraga.
" Tidak sekarang Jayaraga. Sebentar lagi matahari akan
terbit. Aku tidak mau permainan kita kesiangan. Apalagi jika
prajurit Mataram menemukan tempat ini. Tetapi bukan berarti
bahwa aku berniat membatalkan niatku untuk bertemu dengan
kau. Suatu ketika tentu aku akan mencarimu atau salah
seorang muridku." berkata Podang Abang.
Ki Jayaraga termangu-mangu. Ia mengeri bahwa Podang
Abang adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Seorang
yang pernah dikenalnya lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Bahkan pernah timbul perselisihan yang mengakibatkan
benturan kekerasan. Namun Ki Jayaraga ternyata mampu
mengatasinya. Tiba-tiba saja mereka telah bertemu. Meskipun sudah
terlalu lama, namun Podang Abang itu masih mengenalinya
dengan baik. Nampaknya dendam yang tersimpan di hatinya
bagaikan terungkat kembali. Apalagi murid-muridnya ternyata
tidak mampu berbuat banyak menghadapi Sabungsari dan
kawan-kawannya. Tetapi agaknya orang itu belum
menemukan, yang manakah diantara kelompok kecil itu yang
memiliki ilmu keturunan ilmunya. Satu keuntungan bahwa
Glagah Putih tidak semata-mata mempergunakan ilmu yang
diwarisi dari Ki Jayaraga, tetapi perpaduan yang luluh antara
berbagai ilmu yang pernah disadapnya. Dari Agung Sedayu,
Glagah Putih telah menyadap ilmu keturunan Ilmu Ki Sadewa,
ilmu keturunan dari ilmu Kiai Gringsing lewat Agung Sedayu,
pengaruh yang kuat dari Raden Rangga dan ilmu yang
diwarisinya dari Ki Jayaraga. Dengan demikian, memang tidak
mudah untuk dengan cepat dapat mengenalinya sebagai
murid Ki Jayaraga. Namun dalam pada itu, terdengar Podang Abang itu
berkata " Sebelum matahari terbit, sebaiknya aku
meninggalkan tempat terkutuk ini."
Sebelum Ki Jayaraga sempat menjawab, maka sebuah
bayangan bagaikan terbang dari dahan pohon cangkring.
Dalam keremangan sisa malam bayangan itu dengan cepat
menghilang diantara batang-batang ilalang.
Sabungsari dan kawan-kawannya bagaikan terbangun dari
sebuah mimpi. Namun ketika mereka menyadari keadaan,
maka medan itu telah menjadi sepi. Mereka tidak melihat
seorangpun lagi kecuali mereka yang terbaring diam atau
yang terluka parah. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu atas tubuhtubuh
yang terbaring itu. Sabungsari dan kawan-kawannya
harus segera meninggalkan tempat itu untuk
menyembunyikan peti-peti yang telah mereka ambil dari
kelompok yang juga menyebutnya kelompoknya Gajah Liwung
itu. " Biarlah kawan-kawannya mengurusnya " berkata
Sabungsari. " Tetapi bagaimana jika mereka tidak memperdulikan
kawan-kawannya. Yang sudah terbunuh tidak akan banyak
persoalan. Tetapi bagaimana yang terluka parah ?"bertanya
Glagah Putih. Lalu katanya pula " Bagi yang terbunuh, kita
akan dapat mengurusnya nanti setelah kita selesai
menyembunyikan peti-peti ini. Tetapi bagi yang masih hidup,
kesempatannya tentu sangat sempit. Mereka memerlukan
pertolongan segera."
" Kita tidak mempunyai waktu. Prajurit Mataram mungkin
akan segera datang. Atau barangkali justru kawan-kawan
mereka. Namun menurut perhitunganku, orang-orang yang
terluka itu tidak akan dibiarkan saja disitu." jawab Sabungsari.
Glagah Putih termangu-mangu. tetapi ia mengerti, bahwa
kelompoknya harus segera pergi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Sabungsari dan
kawan-kawannya telah meninggalkan tempat itu setelah
mereka mengobati luka-luka dari beberapa orang diantara
mereka. Namun baru sekadarnya untuk memampatkan darah.
Sementara itu, mereka masih harus membawa peti-peti yang
mereka ambil dari barak-barak yang terbakar itu untuk
disembunyikannya. Sebenarnyalah ketika prajurit Mataram sampai ke barakbarak
yang sebagian telah terbakar itu, maka kelompok itu
sudah menjadi cukup jauh. Mereka telah menyembunyikan
peti-peti itu sebelum menyerahkan kepada Ki Wirayuda.
" Seorang dari kita harus menyampaikannya kepada ki
Wirayuda " berkata Sabungsari kemudian.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata " Aku bersedia menghadap Ki Wirayuda."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian mengiakannya. Katanya "Baiklah.Kau dapat
menghadap Ki Wirayuda bersama seorang diantara kita."
" Aku akan pergi " berkata Rara Wulan.
Tetapi Sabungsari mencegahnya. Katanya " Sebaiknya
bukan kau Rara Wulan. Kau akan sangat menarik perhatian."
" Kenapa ?" berkata Rara Wulan.
" Justru kau seorang gadis dalam pakaian yang khusus
seperti itu." jawab Sabungsari.
" Tidak ada yang menyangka aku seorang perempuan.
Semua orang akan menyangka aku juga seorang laki-laki."
jawab Rara Wulan. " Tetapi tanpa sengaja mungkin saja orang-orang yang
bertemu denganmu dapat mengenalimu bahwa kau adalah
seorang gadis sebagaimana saat kau pergi ke Tanah
Perdikan. Kecuali jika kau berpakaian sebagai seorang gadis.
Tetapi kesempatan untuk berganti pakaian agak terlalu
sulit."jawab Sabungsari.
Rara Wulan tidak membantah lagi. Ia mengerti alasan
Sabungsari sehingga Rara Wulan telah membatalkan niatnya
untuk pergi bersama Glagah Putih.
Yang kemudian pergi bersama Glagah Putih adalah
Pranawa. Mereka akan menghadap Ki Wirayuda dan
menyerahkan peti-peti itu.Kemudian terserah kepada Ki
Wirayuda, apa yang akan dilakukannya atas peti-peti itu.
Sementara itu, matahari telah mulai membayang. Langit
bersih. Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu berada di
bibir hutan. Mereka memandang Glagah Putih dan Pranawa
"yang meninggalkan mereka menuju Mataram.
" Apakah aku boleh mengamati mereka " bertanya Ki
Jayaraga kepada Sabungsari.
" Kenapa Kiai ?" bertanya Sabungsari.
" Aku mencemaskan Podang Abang. Jika ia menjadi gila
melihat dua orang dari kelompok ini, maka orang itu akan
menjadi orang yang sangat berbahaya. Meskipun mungkin
Glagah Putih memiliki bekal yang cukup untuk
menghadapinya. Namun aku tidak tahu tataran
kemampuannya sekarang." jawab Kiai Jayaraga.
Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Namun iapun
kemudian telah memandangi Agung Sedayu dan Ki Lurah
Branjangan berganti-ganti.
Agung Sedayulah yang kemudian mengangguk sambil
berkata " Aku sependapat Ki Jayaraga. Memang mungkin
orang itu mengganggu Glagah Putih."
" Terima kasih " jawab Ki Jayaraga.
Dengan demikian, maka Ki Jayaragapun telah
meninggalkan tempat itu pula. Ia melangkah sambil
membenahi pakaiannya sebagaimana Glagah Putih dan
Pranawa. Sementara yang lain menunggui peti-peti yang
mereka sembunyikan. Sementara itu, para prajurit telah berada di barak-barak
yang terbakar. Sementara sekelompok prajurit yang lain


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di sarang kelompok Gajah Liwung yang juga terbakar.
Dua kebakaran yang terjadi pada waktu hampir bersamaan.
Satu kebakaran yang terjadi di padukuhan yang berpenghuni
sedangkan yang lain di tempat yang sulit dicapai. Hanya
karena cahaya api yang mewarnai langit maka para prajurit itu
dapat mencapai tempat kebakaran itu.
Di kedua tempat itu, para prajurit tidak menjumpai
seorangpun. Dengan demikian, maka para prajurit Mataram itu telah
menemukan lagi persoalan yang rumit yang harus mereka
pecahkan.Tetapi mereka memperhitungkan, bahwa barakbarak
yang tebakar itu tentu barak-barak dari kelompok yang
juga menamakan diri mereka kelompok Gajah Liwung.
Kelompok yang beberapa saat sebelumnya berada di sekitar
bukit kecil, namun yang Jcemudian telah dirusakkan pula oleh
kelompok Gajah Liwung yang lain.
Karena di tempat yang terpencil itu tidak diketemukan
sesuatu yang penting, maka para prajurit itupun kemudian
telah meninggalkan tempat itu setelah mengamati tempat itu
dengan seksama. Berbeda dengan para prajurit yang datang
ke sarang Gajah Liwung yang terbakar. Mereka telah
berbicara dengan para tetangga. Namun tidak seorangpun
yang dapat memberi kan keterangan kepada mereka, apa
yang telah terjadidirumah yang terbakar itu.
" Tidak nampak ada bekas korban jiwa " berkata para
prajurit " tidak ada seorangpun yang terbakar dan terbunuh di
sekitar tempat itu."
Namun para tetangga memang tidak mengetahui sama
sekali apa yang terjadi. Mereka hanya dapat mengatakan
bahwa rumah itu dihuni oleh beberapa orang anak-anak muda
yang jumlahnya tidak diketahui.
Dalam saat yang bersamaan dengan kesibukan para
prajurit di sarang Gajah Liwung yang belum selesai sampai
pagi, karena mereka berusaha mendapat keterangan
sebanyak-banyaknya dari para tetangga, maka Glagah Putih
dan Pranawa telah menuju ke pintu gerbang rumah Ki
Wirayuda. Kedatangan Glagah Putih dan Pranawa pagi-pagi membuat
Ki Wirayuda terkejut. Segera ia mengetahui bahwa kelompok
Gajah Liwung telah terlibat lagi dalam satu benturan
kekerasan dan kebakaran yang terjadi.
Namun sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Pranawa
tidak menyadari bahwa perjalanan mereka telah diikuti oleh
seseorang. Seseorang yang tidak dikenalnya yang
mengamatinya dari kejauhan. Orang itu ingin tahu, kemana
kedua orang itu pergi. Tetapi sebelum Glagah Putih dan Pranawa sampai ke regol
rumah Ki Wirayuda, maka orang yang mengikutinya dari jarak
yang agak jauh itu tertegun, ketika ia melewati sebuah
simpang ampat maka dilihatnya seorang tua duduk diatas
sebuah batu di pinggir'jalan.
Orang yang mengikuti Glagah Putih dan Pranawa itu
terhenti. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia tersenyum.
Katanya " Kau Jayaraga. Aku sudah mengira bahwa kau akan
mengganggu aku lagi."
" Untuk apa kau mengikuti anak-anak itu, Podang Abang ?"
bertanya Ki Jayaraga. " Aku ingin tahu, kemana mereka pergi. Kepada siapa
mereka mengadu dan dengan siapa mereka berhubungan."
jawab Podang Abang. " Kau ternyata seorang yang memiliki ketajaman
penglihatan dan ingatan yang cemerlang. Bagaimana kau
dapat melihat dan mengenali anak-anak dalam kegelapan."
desis Ki Jayaraga. Podang Abang tertawa. Katanya " Jangan pura-pura dungu
seperti itu." " Ya. Aku sudah mengira bahwa kau tidak pergi jauh saat
itu. Kau ikuti kami dari kejauhan dan kau kenali satu persatu
anak-anak itu. Kau tunggu untuk beberapa lama sampai kau
melihat dua orang dari antara kami pergi."jawab Ki Jayaraga.
" Kau mengetahui tepat sebagaimana aku lakukan " desis
Podang Abang. " Aku juga akan berbuat demikian jjika|aku|berada di
tempatmu sekarang ini. Dan kaupun tentu akan melakukan
sebagaimana aku lakukan sekarang, jika kau menjadi aku."
berkata Ki Jayaraga. " Ya. Dan kau berhasil menggagalkan usahaku untuk
mengikuti anak-anak itu. Aku tidak tahu sampai kemana
mereka sekarang ini. Apakah mereka sudah
bertemu|denganlseseo-rang yang dicarinya atau mereka telah
berbuat apa saja." berkata Podang Abang " tetapi mereka
tentu berbicara tentang peti-peti itu."
" Agaknya memang demikian " jawab Ki Jayaraga " tetapi
sebaiknya kita tidak usah ikut campur. Biarlah anak-anak itu
menyelesaikan persoalan mereka."
" Semula aku berpikir seperti itu"berkata Podang Abang "
tetapi ternyata kau turut campur juga."
" Semula aku tidak mencampuri persoalan anak-anak itu."
berkata Ki Jayaraga"aku dan dua orang kawanku duduk saja
diatas peti-peti itu. Tetapi mereka menyerang kami. Apakah
kami harus membiarkan senjata anak-anakmu itu menghujam
ke jantungku " Jika kau memang melihat sejak awal sampai
akhir peristiwa itu, kau tentu melihatnya."
Podang Abang tertawa. Katanya " Sejak dahulu kau
memang pandai berbicara. Aku selalu kehilangan kesempatan
untuk menjawab, tetapi itu tidak apa-apa. kita sudah terlanjur
terlibat dalam persoalan anak-anak ini."
" Tetapi menurut penglihatanku, dalam kelompok anakanakmu
itu, ada sebagian yang memiliki landasan ilmu yang
berbeda." berkata Ki Jayaraga.
" Ya " jawab Podang Abang " tidak ada gunanya aku
membohongimu. Murid-murid dari sebuah perguruan yang
dalam hal ini dititipkan kepadaku. Ternyata diantara mereka
ada yang telah terbunuh oleh sekelompok orang yang
nampaknya tidak terkendali itu. Orang-orang muda yang
bersandar kepada kemampuan ilmumu meskipun aku tahu,
mereka bukan murid-muirdmu."
" Kau tentu tahu, bahwa baru kali ini aku terlibat. Tetapi jika
kau ingin langsung membuat perhitungan dengan aku, aku
sama sekali tidak berkeberatan. Sekarang, atau nanti atau
besok. Kapan saja kau ingin. Akupun tahu selama ini kau
tentu sudah meningkatkan ilmumu. Tetapi kau jangan mengira
bahwa ilmuku tidak bergerak sama sekali." berkata Ki
Jayaraga. Podang Abang tertawa, katanya " Kau benar-benar masih
seperti dahulu. Tetapi sebaiknya kita tidak tergesa-gesa."
" Tetapi persoalan murid-muirdmu yang liar itu sudah di
tangan para prajurit. Mereka pada saatnya tentu akan
bertindak lebih keras dan bersungguh-sungguh. Mereka
sedang mengumpulkan bukti-bukti tindakan kejahatan muridmuridmu.
He, apakah kau yang mengendalikan muridmuridmu
untuk merampok, menyamun dan sebagainya."
bertanya Ki Jayaraga. Podang Abang menarik nafas dalam-dalam. Katanya "
Sejak sebelum anak-anakku memasuki kota ini, maka
Mataram memang sedang dikacaukan oleh sikap anak-anak
mudanya." " Jangan berkata begitu " sahut Ki Jayaraga " memang ada
anak-anak muda yang nakal. Tetapi terhitung kecil
dibandingkan dengan anak-anak muda yang menyadari
kehadiran dirinya di Mataram yang sedang tumbuh ini. Yang
mereka lakukan-pun berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
murid-muridmu, sehingga karena itu, maka prajurit sudah
bertekad untuk menghancurkan kelompok yariii mencuri nama
keiompok Gajah Liwung itu."
Podang Abang justru tertawa. Katanya " Ternyata kelompok
kecil itu bediri diatas landasan yang sangat kokoh."
" Jika kau menetapkan bahwa aku sudah terlibat terlalu
jauh, maka aku tantang kau " berkata Ki Jayaraga " segera.
Tidak seperti yang kau katakan. Kapan-kapan."
Wajah Podang Abang menjadi merah. Tetapi ia kemudian
berkata"Aku tidak mau bermain-main di tempat orang banyak
sedang sibuk. Kita tidak akan dapat puas bermain karena
orang lain akan segera mengusir kita pergi."
" Bukankah kita tidak sedungu itu ?" berkata Ki Jayaraga "
kita dapat berkelahi di mana saja. Di tempat yang tidak akan
dikunjungi orang. Jika salah seorang diantara kita mati, maka
tidak akan ada orang yang menemukan mayat kita, sehingga
sampai saatnya tubuh kita menjadi kerangka yang kering."
" Mengerikan sekali " desis Podang Abang.
" Kita memang orang-orang yang mengerikan " berkata Ki
Jayaraga " bukankah dunia yang demikian itulah yang telah
kita pilih." Podang Abang termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengira
bahwa Ki Jayaraga masih saja seperti beberapa waktu
sebelumnya. Garang dan bersikap keras. Menurut
pendapatnya, semakin tua Ki Jayaraga tentu mulai berubah.
" Baiklah Ki Jayaraga " berkata Podang Abang.
Tetapi sebelum ia melanjutkan Ki Jayaraga dengan cepat
memotong " Bagus. Kita akan mencari tempat. Marilah. Kita
tidak perlu minta diri kepada siapaun juga. Sudah aku
katakan, jika seorang diantara kita mati, biarlah menjadi
makanan burung gagak. Yang hidup tidak perlu bersusah
payah mengurusi yang mati."
" Tunggu " berkata Podang Abang " aku tidak segila kau.
Pada saatnya aku akan menemuimu, membuat perhitungan
atas tingkah lakumu terhadap anak-anakku. Tetapi tidak
sekarang." " Kau selalu menghindar." geram Ki Jayaraga.
" Tidak menghindar. Tetapi aku mempunyai aturan.
Selebihnya aku senang melihat kau tegang. Setiap kali aku
akan datang kepadamu agar kau menantangku. Tetapi setiap
kali akan kecewa karena aku akan selalu menunda-nunda.
Ternyata permainan itu lebih menyenangkan daripada dengan
segera membunuhmu." berkata Podang Abang.
Sekilas warna merah membayang di .wajah Ki Jayaraga.
Tetapi segera orang tua itu menguasai perasaannya. Katanya
" Kau kira aku bersungguh-sungguh sekarang ini " Aku hanya
ingin mengikat kau dalam pembicaraan kesana-kemari sampai
orang yang kau ikuti itu selesai dengan persoalannya."
Tetapi Podang Abang tertawa. Katanya " Aku mengenal
sifatmu. Kau tentu akan bersungguh-sungguh jika aku
berdarah sepanas darahmu."
" Gila kau " Ki Jayaraga mulai menjadi marah., Tetapi
Podang Abang berkata"Sudah aku katakan. Tidak sekarang."
Ki Jayaraga tidak sempat bertanya. Sementara itu Podang
Abang telah melangkah pergi.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
memutuskan untuk menuju searah dengan perjalanan Glagah
Putih. Ia tahu Glagah Putih menuju ke rumah Ki Wirayuda.
Meskipun Ki Jayaraga belum pernah melihat rumah Ki
Wirayuda, tetapi ia telah menangkap pembicaraan Glagah
Putih sebelum berangkat, sehingga ia dapat menemukan
ancar-ancar perjalanan anak muda itu.
Seperti yang diharapkan, maka beberapa saat kemudian,
sebelum Ki Jayaraga sampai ke rumah Ki Wirayuda, telah
berpapasan dengan Glagah Putih dan Pranawa.
" Ki Jayaraga " desis Glagah Putih yang terkejut.
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya " Marilah. Kita bersamasama
kembali ke tempat barang-barangmu itu
disembunyikan." Glagah Putih mengerutkan keningnya. Nampaknya ada
sesuatu yang telah terjadi.
Ki Jayaraga memang menceriterakan apa yang telah
terjadi. Tetapi iapun berkata " Jangan cemas. Podang Abang
bukan hantu yang menakutkan. Kau sudah berbekal ilmu.
Betapapun lemahnya, tetapi kau mempunyai bekal untuk
melawannya. Sebenarnyalah kau memiliki ilmu yang cukup
tinggi. Apalagi kau pernah menjadi sahabat Raden Rangga
yang ternyata mampu mengangkat ilmu yang kau miliki
menjadi semakin tinggi. Baik kekuatan getarannya maupun
landasan tenaga cadangan di dalam dirimu."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia hanya
mengangguk-angguk saja. Dalam pada itu, ternyata Podang Abang telah kembali ke
tempat orang-orang Gajah Liwung menunggu Glagah Putih
dan Pranawa kembali. Sementara itu, Glagah Putih telah memberitahukan kepada
Ki Jayaraga bahwa Ki Wirayuda akan datang dengan orangorang
khusus untuk mengambil peti-peti itu malam nanti. Ia
sedang berusaha mendapatkan kawan yang dapat mengerti
cara yang ditempuhnya. Kemudian tanpa menimbulkan
persoalan menyerahkan peti-peti itu kepada para pemimpin
petugas sandi. " Harus ada cara yang tidak akan justru menyulitkan kita
sendiri " berkata Ki Wirayuda.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa cara
yang tidak wajar akan dapat menimbulkan persoalan jika
mereka tidak berhati-hati.
Selagi Glagah Puith, Pranawa dan Ki Jayaraga menempuh
perjalanan kembali, Podang Abang telah mendekati orangorang
yang sedang menunggu. Demikian Podang Abang
mendekat, maka iapun telah mulai menakut-nakuti dengan
suara tertawanya yang menggelepar dari arah yang sulit
diketahui dan dengan nada yang tidak sewajarnya.
Meskipun Podang Abang mengetahui, bahwa ada orang
yang berilmu diantara orang-orang yang menunggu bersama
peti-peti itu, tetapi ilmu itu bukan ilmu yang perlu
diperhitungkan. Mereka yang berada di pinggir hutan untuk menuggu
Glagah Putih dan Pranawa itu memang terkejut. Tetapi
mereka bukannya orang-orang yang sangat dungu sehingga
tidak mengenali suara itu. Orang-orang yang menunggu itu
segera mengetahui, bahwa yang datang itu adalah orang yang
pernah mengenal Ki Jayaraga sebelumnya. Orang yang
dengan cara yang sama berusaha mengaburkan pendengaran
Ki Jayaraga untuk segera menyatakan kelebihannya. Orang
itu telah memancing Ki Jayaraga untuk meninggalkan kita."
berkata Suratama. " Tidak apa-apa " sahut Ki Lurah" Branjangan " lebih baik


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang bernama Podang Abang itu berada disini daripada
ia mengganggu Glagah Putih. Atau melihat Glagah Putih
memasuki rumah Ki Wirayuda. Dengan demikian ia akan tahu,
dengan siapa kita berhubungan."
Justru karena itu, maka tidak seorangpun yang
menghiraukan lagi suara Podang Abang yang menggelepar.
Semakin lama semakin keras dengan nada-nada sumbang
yang menyakitkan telinga.
Sementara itu, Podang Abang sendiri menjadi marah
karena orang-orang yang ditakut-takutinya sama sekali tidak
menghiraukan. Podang Abang tahu benar bahwa Ki Jayaraga
tidak ada diantara mereka, karena Ki Jayaraga ada di kota.
Tetapi tanpa Ki Jayaraga orang-orang itu juga tidak menjadi
ketakutan. Karena itu, maka Podang Abang mulai mempergunakan
ilmunya untuk mengguncang jantung orang-orang yang
menunggu Glagah Putih dan Pranawa itu. Suaranya tidak saja
bergetar di udara, tetapi suaranya mulai melontarkan getaran ilmunya
menyusup setiap dada orang-orang yang mendengarnya.
Orang-orang yang menunggu Glagah Putih itu mulai
terkejut ketika getaran suara itu serasa mulai menusuk jantung
mereka. Semakin keras Podang Abang itu tertawa, maka
tusukan di jantung setiap orang itu semakin menggigit.
Yang pertama kali merasa dadanya menjadi sakit adalah
Rara Wulan. Ia mulai menggeliat dan menekan dadanya
dengan telapak tangannya. Tetapi Rara Wulan tidak
mengeluh. Ia berusaha untuk mengatasi tusukan ilmu Podang
Abang dengan daya tahannya. Namun semakin lama semakin
terasa bahwa tusukan ilmu Podang Abang itu menjadi
semakin pedih. Namun beberapa saat kemudian, yang lainpun mulai
merasakan sakit di dada mereka pula. Suara tertawa Podang
Abang memang mempunyai pengaruh yang tajam terhadap
mereka yang mendengarnya.
" Orang itu mempunyai ilmu Gelap Ngampar pula " berkata
Agung Sedayu. " Ya " Ki Lurah Branjangan masih berusaha bertahan.
Kemampuan daya tahan orang tua itu ternyata cukup tinggi.
Tetapi sementara itu. keadaan Rara Wulan menjadi
semakin mencemaskan. Jantungnya bagaikan menghentakhentak
hendak pecah. Meskipun Rara Wulan berusaha untuk
tidak mengeluh. Namun desah-desah kesakitan terloncat pula
dari sela-sela bibirnya. Agung Sedayu tidak dapat berdiam diri mengalami
perlakuan seperti itu. Karena itu, maka iapun telah melepas
ikat kepalanya. Dikenakannya ikat kepalanya menutup bagian
bawah wajahnya, kemudian rambutnyapun diurainya sampai
lepas bahu. Diikatkannya kain panjangnya di lambungnya,
sementara baju-nyapun dilepasnya dan disangkutkan di
lehernya. Dengan sikap yang disesuaikan dengan sikap kelompok
anak-anak muda yang nakal dalam pakaian yang telah
memadai, Agung Sedayu meninggalkan anak-anak muda
yang tergabung dalam kelompok Gajah Liwung itu.
" Aku akan mencoba menghentikannya " berkata Agung
Sedayu. Meskipun di siang hari, namun sulit untuk dapat mengenali,
bahwa orang yang berjalan melintasi padang ilalang itu adalah
Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu tidak menuju ke sebatang pohon
yang kemarin dipergunakan oleh Podang Abang. Tetapi ia
melangkah menuju ke batang pohon yang lain, yang oleh
anggauta Gajah Liwung itu tidak diduganya sama sekali.
Batang pohon yang tidak jauh dari bibir hutan itu. Agaknya
Agung Sedayu meyakini bahwa orang yang melontarkan
tawanya yang menusuk ke jantung itu berada di pohon itu.
Beberapa pohon waru yang tumbuh bergerombol, sehingga
dahan dan ranting-rantingnya saling berkait. Dengan
demikian, maka pohon yang tidak begitu tinggi itu menjadi
sangat rimbun. Sementara anggauta-anggauta Gajah Liwung yang lain
masih berjuang untuk mengatasi rasa sakit, Ki Lurah sempat
menyaksikan apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu.
Ternyata Agung Sedayu tidak berbuat apa-apa. Ketika ia
sampai ke bawah sekelompok pohon waru itu, ia hanya duduk
saja dibawah dahan-dahan serta ranting-rantingnya yang
rimbun. Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Ia hampir
tidak sabar menyaksikan anak-anak Gajah Liwung yang
semakin mengalami kesakitan. Dada mereka seakan-akan
benar-benar telah diguncang sehingga rasa-rasanya seisi
dadanya akan dirontokkannya.
Tetapi 'perlahan-lahan perasaan sakit itu menjadi susut.
Getaran suara tertawa dengan nada yang sumbang dan
berubah-ubah itu semakin menurun pula.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar,
bahwa Agung Sedayu adalah orang yang yang berilmu sangat
tinggi. Karena itu, meskipun ia hanya duduk saja dibawah
sekelompok pohon waru itu, namun ia tentu telah berbuat
sesuatu dengan ilmunya. Sementara itu Agung Sedayu masih duduk di bawah pohon
waru itu dengan tangan bersilang di dada. Bahkan kemudian
ia telah bersandar pohon waru yang terbesar diantara
sekelompok pohon waru itu. Kakinya malahan menjelujur
saling menindih. Seakan-akan Agung Sedayu itu sedang
beristirahat dan ingin tidur barang sejenak.
Namun sebenarnyalah Agung Sedayu telah melepaskan
ilmu kebalnya. Semakin bersungguh-sungguh ia
mengetrapkan ilmunya, serta semakin meningkat tataran
kekuatan ilmunya itu, maka bukan sajak kekebalan tubuh
Agung Sedayu menjadi semakin sulit untuk ditembus oleh
kekuatan apapun juga, tetapi getaran kekuatan ilmu itu yang
memancar adalah getaran yang memancarkan panas di
sekitarnya. Podang Abang yang ada diatas dahan pohon waru itu
ternyata harus membagi pemusatan kekuatan ilmunya. Ia
harus mengerahkan kemampuannya untuk melepaskan
getaran lewat suara tertawanya serta nada-nada sumbangnya.
Sementara itu, ia harus mengerahkan kekuatannya untuk
meningkatkan daya tahannya mengatasi udara panas yang
membara dibawahnya. Karena itu, maka Podang Abang itupun mengumpat kasar.
Tiba-tiba ia sudah meloncat turun dari atas dahan. Melayang
seperti seekor burung dan hinggap diatas rerumputan di selasela
oatang ilalang di padang itu.
" Setan kau " geram Podang Abang.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Tetapi ia masih
duduk bersandar pohon waru itu.
" Siapa kau ?" bertanya Podang Abang " apakah kau murid
Ki Jayaraga ?" " Tidak " jawab Agung Sedayu " jika aku murid Ki Jayaraga,
kau tentu sudah menjadi lumat."
" Siapa namamu " bentak Podang Abang " kau kira dengan
permainanmu itu kau dapat menggertak aku."
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi ia melihat
pakaian Podang Abang menjadi basah oleh keringat.
Nampaknya ia telah mengerahkan daya tahannya untuk
mengatasi udara panas yang menyengatnya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu menyusut ilmunya. Tetapi ia
sama sekali tidak melepaskan ilmu kebalnya. Namun udara
panas di sekitarnya tidak lagi terasa membakar kulit.
" Apakah kau tuli atau bisu ?" Podang Abang itu hampir
berteriak. Agung Sedayupun kemudian bangkit. Pakaiannya yang
tidak menentu itu justru membuatnya seakan-akan ia memang
anggauta kelompok orang-orang yang sering membuat
Mataram menjadi gelisah. " Kau belum mengenal namaku ?" bertanya Agung Sedayu
tiba-tiba. " Belum " jawab Podang Abang.
" Aku sudah mengenal namamu. Namamu Podang Abang "
desis Agung Sedayu kemudian.
" Bukankah kau tidak gila ?" bertanya Podang Abang yang
menjadi marah. " Tentu tidak. Aku adalah anggauta kelompok Gajah
Liwung. Namaku Sander." jawab Agung Sedayu.
" Aku tahu, itu bukan namamu. Tetapi itu tidak penting. Aku
hanya ingin memperingatkan bahwa kau telah melakukan
sesuatu yang sangat berbahaya bagi keselamatanmu. Apakah
kau tidak pernah mendapat keterangan dari Ki Jayaraga
tentang aku ?" bertanya Podang Abang.
" Tentu sudah " jawab Agung Sedayu " kau adalah seorang
yang sombong tetapi licik. Kau tidak pernah mempunyai
keberanian untuk melakukan sesuatu yang penting. Kau
hanya dapat menakut-nakuti orang lain. Namun jika orang lain
itu ternyata berani melawanmu, maka kau telah melarikan diri
dengan seribu satu macam alasan untuk menyelamatkan
harga dirimu." " Setan kau " geram orang itu " kau kira dengan permainan
udara panasmu kau mampu melawan aku ?"
" Kita sudah berhadapan." jawab Agung Sedayu "
sebaiknya kita menyelesaikan persoalan antara kelompok
yang kau dukung dengan nama kebesaran Podang Abang itu
dengan kelompokku. Kelompok Gajah Liwung. Orangorangmu
sudah kami kalahkan. Sekarang, kau yang datang
kepada kami." " Persetan kau " geram Podang Abang " agaknya kau
sudah ingin mati." " Tentu tidak. Aku sama sekali tidak ingin mati. Tetapi rasarasanya
tanganku menjadi gatal karena aku ingin membunuh."
jawab Agung Sedayu. Wajah Podang Abang menjadi panas. Sambil
menggeretakkan giginya ia menggeram " Aku benar-benar
ingin membunuhmu." Agung Sedayupun kemudian telah mempersiapkan diri
untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun Podang
Abang itupun kemudian telah mengumpat-umpat. Dari
kejauhan dilihatnya tiga orang berjalan menuju ke tempat
orang-orang Gajah Liwung menunggu. Mereka adalah Ki
Jayaraga dengan dua orang anak muda.
" Jangan hiraukan mereka " berkata Agung Sedayu " kita
akan bertempur. Mereka tidak akan mengganggu."
Podang Abang menjadi ragu-ragu. Namun katanya " Tidak.
Aku tidak akan melakukannya sekarang. Aku harus
membunuh Jayaraga dahulu. Baru aku akan melayani orang
lain." " Apakah kau sudah yakin, bahwa jika kau bertempur
melawan aku lebih dahulu, kau tidak akan sempat bertempur
melawan Ki Jayaraga karena kau akan terbunuh ?"
Wajah Podang Abang menjadi merah. Ia sadar, bahwa
orang yang tidak dikenalnya telah memancingnya dalam satu
pertempuran. Tetapi Podang Abang segera berusaha
menguasai perasaannya. Bahkan kemudian iapun tersenyum
sambil berkata " Salamku buat Ki Jayaraga. Aku tidak
berminat menemuinya sekarang."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, ternyata ia tidak
dapat memaksa Podang Abang untuk memasuki satu
pertempuran yang menentukan. Ia berharap dengan demikian,
ia akan dapat membuat penyelesaian antara kedua kelompok
yang berselisih itu. Jika ia berhasil menangkap Podang Abang
dan menyerahkannya bersama-sama dengan peti-peti itu
kepada Ki Wirayuda, maka persoalan orang-orang yang
mengaku juga bernama Gajah Liwung itu akan segera dapat
diselesaikan, meskipun akan dapat terjadi sebaliknya, bahwa
orang itulah yang menangkapnya atau bahkan membunuhnya.
Sejenak kemudian, maka Podang Abang itu telah meloncat
berlari menjauhi orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya
ada juga kecurigaan Podang Abang bahwa Ki Jayaraga akan
melibatkan diri dalam pertempuran itu, sehingga ia harus
bertempur melawan beberapa orang sekaligus. Sementara itu
ia sadar, bahwa orang yang berambut ikal sampai ke bahu
dan menyamarkan wajahnya itupun memiliki ilmu yang cukup
tinggi. Ki Jayaraga melihat juga Podang Abang meninggalkan
Agung Sedayu yang berada di bawah pohon waru itu. Tetapi
ia tidak berbuat sesuatu. Ia masih saja melangkah sewajarnya
bersama Glagah Putih dan Pranawa.
Agung Sedayupun kemudian melangkah meninggalkan
sekelompok pohon waru itu menyongsong Ki Jayaraga.
Kemudian bersama-sama menuju ke bibir hutan.
" Kau tidak berhasil menangkapnya ?" bertanya Ki
Jayaraga. " Orang itu menghindari perselisihan." jawab Agung
Sedayu. " Ia tentu curiga bahwa aku akan melibatkan diri " desis Ki
Jayaraga. " Nampaknya demikian. Sebelumnya ia sudah bersiap
untuk bertempur, tetapi ketika Ki Jayaraga datang, maka
Podang Abang telah mengurungkannya dan bahkan
meninggalkan tempat ini sambil berpesan, salamnya buat Ki
Jayaraga." Ki Jayaraga tersenyum, tetapi Agung Sedayu berkata pula "
Orang itu juga mengatakan, bahwa ia ingin bertemu dengan Ki
Jayaraga lebih dahulu sebelum dengan orang lain."
" Hanya sekedar untuk menutupi kecurigaannya. Tetapi
sudahlah, mungkin ia benar-benar ingin bertemu dengan aku
lebih dahulu." jawab Ki Jayaraga.
Demikanlah, maka mereka berempatpun kemudian telah
bergabung dengan kawan-kawannya yang berada di balik bibir
hutan. Dengan singkat Glagah Putih telah memberitahukan hasil
pembicaraannya dengan Ki Wirayuda.
" Ki Wirayuda terkejut menerima kedatangan kami " berkata
Glagah Putih " tetapi Ki Wirayuda segera menghubungkan
kedatangan kami dengan peristiwa yang terjadi semalam."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya " Aku sudah
mengira, tetapi bagaimana tanggapannya dengan peti-peti itu
?"

11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putihpun kemudian telah melaporkan hasil
pertemuannya dengan Ki Wirayuda. Baru malam nanti Ki
Wirayuda akan mengambil peti-peti itu.
Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah
Putihpun telah memberitahukan alasan-alasan yang
dikemukakan oleh Ki wirayuda.
" Jadi kita harus menunggu sampai malam nanti ?"
bertanya Rumeksa. " Ya " jawab Glagah Putih.
" Bagaimana kita mendapatkan makanan disini ?" bertanya
Mandira. " Besok kita baru makan. Atau ada diantara kita akan turun
ke padukuhan untuk membeli makanan ?" desis Rumeksa.
" Jangan turun ke padukuhan. Mungkin kehadiran kita di
padukuhan itu akan menarik perhatian. Jika demikian, maka
akan dapat timbul persoalan baru sementara kita menunggu
Ki Wirayuda disini." berkata Sabungsari.
Mandira menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kita harus
menahan lapar hari ini." '
" Tidak perlu " berkata Ki Lurah Branjangan " bukankah di
hutan ini telah disediakan makanan kita untuk hari ini ?"
" Kita berburu ?" bertanya Suratama.
" Ya " jawab Ki Lurah.
" Kita tidak, mempunyai busur dan anak panah atau
lembing dan tombak " desis Naratama.
" Kita dapat mencarinya di arena pertempuran itu"jawab Ki
Lurah. Lalu katanya " Sekaligus melihat, apakah kawan-kawan
mereka yang menjadi korban benturan itu datang untuk
merawat mereka. Terutama yang teluka. Kita tentu akan
menemukan lembing atau tombak yang dapat kita pergunakan
untuk berburu." Yang kemudian akan pergi ke bekas medan adalah empat
orang dari antara anggauta Gajah Liwung itu dipimpin
langsung oleh Sabungsari.
Namun seperti ketika Glagah Putih pergi ke Mataram, maka
Ki Jayaragapun mengamati keempat orang itu dari kejauhan.
Karena ia tahu bahwa Podang Abang tentu masih berkeliaran
di sekitar tempat itu. Dengan hati-hati Sabungsari bersama-sama dengan ketiga
orang kawannya telah melintasi padang ilalang dan
rerumputan. Demikianlah, maka Sabungsari dan tiga orang kawannya
melihat bahwa orang-orang yang menjadi korban dalam
benturan antara kedua kelompok yang sama-sama mengaku
bernama Gajah Liwung itu sudah tidak ada di tempatnya. Baik
yang luka-luka cukup parah atau yang terbunuh. Tetapi seperti
yang mereka duga, bahwa ada senjata-senjata yang
tertinggal. Sabungsari dan kawan-kawannya memang memerlukan
beberapa buah lembing atau tombak untuk pergi berburu.
Sehari itu, orang-orang dari kelompok Gajah Liwung
memang tidak meninggalkan hutan itu. Bahkan Agung
Sedayu, Ki Jayaraga dan ki Lurah Branjangan juga telah
terperangkap untuk ikut menunggui peti-peti yang telah
mereka rampas dari kelompok Gajah Liwung yang lain.
Sedangkan sebagian yang lain harus memasuki hutan untuk
mencari binatang buruan. Sehingga dengan demikian maka
orang-orang itu tidak menjadi kelaparan.
Ketika senja turun, maka lingkungan itupun telah menjadi
gelap. Para anggauta Gajah Liwung itu telah bergeser di bibir
hutan yang masih belum terlalu kelam. Namun semakin lama,
maka gelappun menjadi semakin mencekam, juga diluar hutan
. Sabungsaripun kemudian menempatkan beberapa orang di
padang ilalang. Selain untuk mengamati keadaan, maka
meretca harus menunggu kedatangan Ki Wirayuda.
Karena itu, maka dari mereka adalah Glagah Putih dan
Pranawa. Ternyata orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu
harus menunggu sampai lewat waktu Sepi Uwong. Baru
kemudian mereka melihat kelompok orang berjalan di
gelapnya malam mengikuti jalur yang telah digariskan oleh
Glagah Putih kepada Ki Wirayuda.
Dengan hati-hati Glagah Putih memperhatikan orang-orang
itu. Namun semakin dekat, maka Glagah Putihpun menjadi
semakin yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang telah
dibawa oleh Ki Wirayuda karena orang yang berjalan di paling
depan adalah Ki Wirayuda itu sendiri.
Ketika Ki Wirayuda itu menjadi semakin dekat, maka
Glagah Putihpun telah menampakkan dirinya dan
menyongsong iring-iringan itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Wirayudapun telah dibawa ke
tempat orang-orang dari kelompok Gajah Liwung menyimpan
peti-peti itu. Ki Wirayuda memang terkejut melihat Ki Lurah Branjangan
dan Agung Sedayu berada di tempat itu pula bersama dengan
Ki Jayaraga. " Kebeltulan kami berada disini Ki Wirayuda " berkata
Agung Sedayu " kami tidak sengaja telah terlibat dalam
permainan anak-anak ini."
Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya "Tetapi
agaknya kebetulan ni pulalah yang membuat anak-anak Gajah
Liwung berhasil menemukan sejumlah harta benda yang telah
dikumpulkan oleh kelompok lain yang mempergunakan nama
yang sama itu," " Kami memang ikut terlibat di dalamnya"jawab Agung
Sedayu. Demikianlah, maka Ki Wirayuda telah melihat beberapa peti
yang berat itu. Peti-peti yang sebagian besar tidak dapat
dengan mudah dibuka. Tetapi ada diantaranya yang dapat
dilihat isinya. " Bukan main " berkata Ki Wirayuda " ternyata kelompok
yang juga menyebut namanya dengan Gajah Liwung itu telah
melakukan kejahatan yang sangat besar. Mereka
memanfaatkan keadaan ini sehingga untuk sementara mereka
luput dari perhatian khusus sebagai perampok-perampok yang
nampaknya memang sudah memperhitungkan dengan baik."
" Nampaknya memang demikian " berkata Agung Sedayu "
karena itu, maka sudah waktunya bagi para prajurit untuk
malakukan tindakan yang tegas terhadap mereka. Bukti telah
cukup." " Baiklah " berkata Ki Wirayuda " kami minta bantuan
kalian. Mungkin kalian dapat memberikan beberapa
keterangan. Namun kami masih minta agar kalian
mempergunakan ciri-ciri dari kelompok Gajah Liwung."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya "Tentu
kelompok ini akan selalu membantu Ki Wirayuda."
" Terima kasih. Aku harap Ki Agung Sedayu akan selalu
mendampingi mereka." berkata Ki Wirayuda itu.
" Tentu tidak mungkin " berkata Agung Sedayu " jika petipeti
itu sudah berada di tangan Ki Wirayuda, maka aku harus
segera kembali ke tugasku sendiri."
Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Aku
mengerti, tetapi bukankah Ki Agung Sedayu juga tidak akan
melepaskan anak-anak dari kelompok Gajah Liwung itu begitu
saja ?" Agung Sedayu menarik- nafas dalam-dalam. Namun Ki
Jayaragalah yang menjawab " Aku akan berada diantara
mereka selama Podang Abang masih berkeliaran."
Ki Wirayuda mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah
ia bertanya " Siapakah Podang Abang itu ?"
" Orang itulah yang berdiri di belakang kelompok yang juga
menyebut dirinya dengan kelompok Gajah Liwng itu." jawab Ki
Jayaraga. Ki Wirayuda masih saja mengangguk-angguk. Tetapi
teraba ada semacam keraguan di hatinya, apakah Ki Jayaraga
itu memiliki kemampuan untuk berbuat seperti Agung Sedayu.
Namun agaknya Agung Sedayu justru dapat membaca
keraguan itu. Karena itu, maka katanya "Ki Wirayuda. Aku
percayakan kelompok ini di bawah bayangan kemampuan Ki
Jayaraga. Mungkin Ki Wirayuda belum mengetahui, bahwa Ki
Jayaraga adalah guru Glagah Putih."
Tetapi Ki Jayaraga menyahut " Hanya ada satu diantara
beberapa saluran ilmu yang diwarisi oleh Glagah Putih."
Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Namun dengan
demikian ia mendapat sedikit gambaran, bahwa Ki Jayaraga
itupun tentu orang yang berilmu tinggi, sehingga jika Agung
Sedayu meninggalkan kelompok itu masih ada orang yang
dapat membantunya jika keadaan mendesak.
Namun Ki Wirayuda itupunbertanyakepada Ki Lurah
Branjangan " Lalu bagaimana dengan Ki Lurah " Apakah Ki
Lurah akan tetap bersama cucu Ki Lurah ?"
" Tentu tidak. Bukankah aku juga ditugaskan di Tanah
Perdikan Menoreh meskipun sebenarnya aku sudah lewat
masa pengabdianku sebagai seorang prajurit ?" jawab Ki
Lurah. Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya " Jadi hanya Ki
Jayaraga sajalah yang akan berada diantara anak-anak Gajah
Liwung." " Ya Ki Wirayuda " jawab Agung Sedayu " tetapi aku
percaya bahwa anak-anak Gajah Liwung sudah cukup dewasa
sehingga mereka akan dapat menjaga diri mereka sendiri.
Bahkan seandainya Ki Jayaraga juga akan kembali ke Tanah
Perdikan Menoreh atau meneruskan perjalanan ke Gunung
Kendeng." " Aku tidak perlu meneruskan perjalanan " berkata Ki
Jayaraga " setelah aku bertemu dengan Podang Abang disini,
maka aku akan berusaha untuk mengetahui dua kelompok
perguruan yang tergabung dalam kelompok yang bernama
Gajah Liwung itu." " Sokurlah " berkata Ki Wirayuda"bagaimanapun juga anakanak
Gajah Liwung itu memerlukan seseorang yang dapat
melindungi mereka dari ilmu yang sangat tinggi itu. Mungkin
orang yang bernama Podang Abang itu termasuk orang yang
berilmu sangat tinggi."
" Ya " jawab Agung Sedayu " Podang Abang memang
seorang yang berilmu tinggi. Tetapi Ki Jayaraga akan dapat
membayanginya." Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya hampir di luar
sadarnya " Aku ikut mengucapkan terima kasih."
Ki Jayaraga sendiri menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada rendah ia berkata"Secara kebetulan aku bertemu
dengan orang yang pernah aku kenal beberapa tahun yang
lalu. Orang itu memang membawa dendam kepadaku. Karena
itu, tidak sepantasnya aku meninggalkannya karena dengan
demikian maka ia akan dapat menuduhku sebagai seorang
pengecut." Ki Wirayuda mengangguk kecil. Namun dalam pada itu, Ki
Lurah Br an j angan berkata"Aku pernah mendengar dari
anak-anak, bahwa Ki Wirayuda mengancam akan menindak
anak-anak yang telah bertindak terlalu jauh menghadapi
kelompok-kelompok yang lain. Aku sependapat Ki Wirayuda.
Tetapi aku minta Ki Wirayuda mempertimbangkan kembali jika
anak-anak berhadapan dengan kelompok yang juga menyebut
dirinya kelompok Gajah Liwung itu. Dalam benturan yang
terjadi kali ini, maka telah jatuh pula korban. Tetapi karena
prajurit Mataram tidak mencapai medan karena mereka terikat
di bekas barak yang terbakar itu, maka agaknya mereka tidak
menemukan korban itu."
" Dimana korban-korban itu sekarang ?" bertanya Ki
Wirayuda. " Sudah tidak ada di tempatnya. Nampaknya sudah diambil
oleh kawan-kawannya." jawab Ki Lurah Branjangan.
Ki Wirayuda termangu-mangu. Namun iapun kemudian
menjawab"Sebenarnya aku dapat mengerti. Tetapi hal seperti
itu apakah tidak menumbuhkan kebiasaan yang kurang baik
bagi anak-anak dalam kelompok Gajah Liwung iu sendiri,
seakan-akan melakukan tindakan yang terlalu jauh itu bukan
apa-apa." " Jika Ki Wirayuda percaya, bukankah anak-anak Gajah
Liwung bukan orang lain bagi prajurit Mataram " Maksudku,
bukan tindakannya yang terlalu jauh itu yang dibenarkan justru
karena mereka adalah keluarga prajurit Mataram. Tetapi
bahwa mereka mempunyai pertimbangan yang matang untuk
meng-etrapkannya itulah yang dapat menjadi bahan
pertimbangan." berkata Ki Lurah Branjangan.
Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya " Aku akan
mempertimbangkannya, karena aku yang akan
mempertanggung jawabkan segala akibat dari langkahlangkah
kelompok ini apabila pada suatu saat selubung dari
kelompok ini terbuka."
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
bertanya " Siapa yang bersama Ki Wirayuda sekarang ?"
" Orang-orang yang pantas aku percaya. Mereka akan
membawa peti-peti itu dan menyimpannya, sehingga pada
suatu saat kami akan mendapat kesempatan untuk
menyerahkannya." jawab Ki Wirayuda.
" Tentu saj a tidak terlalu lama"desis Ki Lurah Branj angan.
" Tentu " jawab Ki Wirayuda " harta benda seperti itu
seakan-akan memang mempunyai sayap."
Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya " Banyak orang yang
kehilangan akal karena harta benda. Bahkan dua orang
saudara kandung akan dapat berselisih karena harta benda
yang diwariskan oleh orang tua mereka. Dua orang sahabat
karib yang seakan-akan sudah menjadi sehidup semati, akan
dapat berkelahi dan bahkan saling membunuh karena harta
benda." " Benar Ki Lurah " sahut Ki Wirayuda " seorang yang
berpangkat dan berjabatan tinggi dengan gaji yang tinggi,
akan dapat kehilangan akal sehingga harus mengorbankan
pangkat dan jabatannya karena telah mengambil yang bukan
haknya dengan menyalah gunakan pangkat dan jabatannya."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Sementara Ki
Wirayuda berkata selanjutnya "Karena itulah, aku akan
berusaha untuk secepatnya dapat menemukan kesempatan
itu. Karena jika kesempatan itu tidak tepat, maka justru akan
dapat menimbulkan kesulitan. Aku akan diburu oleh
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak dapat aku jawab."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya " Aku
mengerti Ki Wirayuda. Namun malam ini Ki Wirayuda akan


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa peti-peti ini kemana " Jika Ki Wirayuda masuk
melalui pintu gerbang yang manapun, maka para petugas
tentu akan bertanya, darimana Ki Wirayuda mendapatkan petipeti
itu. Berbeda dengan saat Ki Wirayuda keluar. Tanpa petipeti
itu, maka Ki Wirayuda akan dapat meloncati dinding kota
meskipun cukup tinggi."
Ki Wirayuda tersenyum. Katanya " Salah satu pintu
gerbang dijaga oleh sekelompok prajurit yang dapat aku
percaya. Aku sudah menghubungi pimpinan kelompoknya.
Aku akan dapat masuk dengan aman."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya " Jika
demikian, baiklah. Ki Wirayuda akan dapat membawa peti-peti
itu. Bukankah begitu, angger Sabungsari ?"
" Ya Ki Lurah " jawab Sabungsari " kami telah menyerahkan
peti-peti itu sepenuhnya."
" Terima kasih " jawab Ki Wirayuda"kami akan membawa
peti-peti itu sekarang."
Ki Wirayudapun kemudian telah minta diri kepada Ki Lurah
Branjangan, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan para anggauta
Gajah Liwung. Ki Wirayuda dan orang-orangnya akan
membawa peti-peti itu, menyimpannya dan menunggu saat
dan keadaan yang paling tepat untuk menyerahkan peti-peti
itu kepada orang yang paling berwenang untuk menerimanya.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Ki Wirayuda itupun
telah meninggalkan hutan itu. Orang-orangnya yang dalan
jumlah yang cukup telah membawa peti-peti itu. Mereka
adalah orang-orang yang dapat dipercaya oleh Ki Wirayuda
meskipun tidak semuanya petugas sandi. Namun mereka
memiliki sikap dan pandangan yang sama tentang peti-peti itu.
Demikian Ki Wirayuda pergi, maka Ki Jayaragapun berkata
" Kita akan mengamati perjalanan mereka. Siapa tahu, orangorang
yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu masih
berusaha untuk mengambilnya kembali."
Ternyata Glagah Putihpun mengangguk-angguk sambil
berdesis " Ya. Satu kemungkinan."
Karena itulah, maka Sabungsari telah mengajak Glagah
Putih dan Mandira untuk ikut mengamati perjalanan Ki
Wirayuda dan beberapa orang prajurit yang sebagian besar
adalah prajurit sandi. Tetapi Sabungsari dan kedua orang kawannya tidak
berjalan bersama-sama dengan Ki Jayaraga. Mereka telah
berpisah dan mengikuti iring-iringan mereka yang membawa
peti dari arah yang berbeda.
Namun nampaknya orang-orang yang mengaku dari
kelompok Gajah Liwung itu masih belum mampu menyiapkan
langkah-langkah berikutnya. Pukulan yang dideritanya
agaknya memang terlalu parah. Beberapa orang menjadi
korban. Seperti yang pernah terjadi. Tidak sekedar luka-luka
parah. Tetapi ada diantara mereka yang benar-benar telah
terbunuh. Sementara itu, Ki Wirayuda sambil berjalan bersama
beberapa orang prajurit yang membawa peti-peti yang berisi
harta benda yang bernilai sangat tinggi itu telah berpikir
berulang kali. Sebenarnya ia tidak ingin membiarkan kelompok
Gajah Liwung itu seakan-akan berhak memberikan hukuman
sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Apalagi membunuh.
Tetapi Ki Wirayudapun tidak mengingkari kenyataan bahwa
kelompok Gajah Liwung yang jumlahnya hanya sedikit itu tidak
akan mungkin menghindari kemungkinan membunuh lawanlawan
mereka yang jumlahnya jauh lebih banyak. Sementara
itu, orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu telah memilih
langkah-langkah yang membantu menjernihkan keadaan.
Karena itu, maka Ki Wirayudapun harus memperhitungkan
segala kemungkinan itu dari beberapa sisi. Ia tidak boleh
sekedar berpengang pada paugeran yang beku untuk
menghadapi kelompok-kelompok seperti kelompok yang
mengaku bernama Gajah Liwung, karena dengan demikian
maka Ki Wirayuda akan banyak mengalami kesulitan. Karena
itu, maka Ki Wirayudapun telah mulai dengan mengambil
langkah samping dengan membiarkan beberapa orang prajurit
menyusun kelompok yang menamakan dirinya kelompok
Gajah Liwung. Apalagi terhadap sekelompok yang ternyata
telah benar-benar merupakan sekelompok penjahat seperti
kelompok yang menyebut kelompok juga bernama Gajah
Liwung itu. Sedangkan jumlah mereka terlalu banyak untuk
sekelompok perampok kebanyakan. Sehingga dengan
demikian maka kelompok yang juga menyebut nama
kelompoknya itu Gajah Liwung adalah kelompok yang sangat
berbahaya bagi Mataram. Dengan demikian, maka Ki Wirayuda itupun kemudian
mengambil kesimpulan bahwa ia tidak akan mempersoalkan
jika kelompok Gajah Liwung yang dipimpin oleh Sabungsari itu
harus membunuh jika terjadi benturan dengan kelompok yang
juga menamakan kelompoknya itu Gajah Liwung. Tetapi ia
masih harus mempertanyakan dan menuntut tanggung jawab
yang lebih besar jika hal seperti itu terjadi atas kelompokkelompok
yang lain yang bukan kelompok kejahatan seperti
kelompok yang menamakan diri Gajah Liwung itu.
Demikianlah, maka Ki Wirayuda dan orang-orangnya itu
telah merayap dengan lambat menuju ke pintu gerbang kota di
sisi Selatan. Para petugas di pintu gerbang itu memang sudah
dihubungi oleh Ki Wirayuda, agar ia tidak mengalami kesulitan
membawa peti-peti itu masuk ke dalam kota dan
menyimpannya dengan baik di tempat yang dirahasiakan
sampai Ki Wirayuda mendapat kesempatan untuk
menyerahkannya. Ki Jayaraga yang mengikuti iring-iringan itu tidak
melepaskan pengamatannya. Karena itu, maka Ki Jayaraga
telah meloncati dinding kota dan mengikuti iring-iringan itu dari
jarak yang cukup sehingga Ki Wirayuda tidak sempat
mengetahuinya. Sementara itu, kerika iring-iringan itu telah masuk kedalam
lingkungan dinding kota lewat pintu gerbang Selatan, maka
Sabungsari dan kawan-kawannya memutuskan untuk kembali.
Menurut perhitungan mereka, setelah iring-iringan itu berada
di kota, maka orang-orang dari kelompok yang mengaku
kelompok Gajah Liwung itu tidak akan berani mengambil
tindakan khusus untuk mengambil kembali peti-peti mereka,
karena di dalam kota pun lebih mudah menggerakkan
kesatuan-kesatuan prajurit untuk bertindak atas mereka.
Namun dalam pada itu, langitpun menjadi semakin terang.
Cahaya fajar mulai membayang ketika Sabungsari, Glagah
Putih dan Mandira mendekati tempat kawan-kawannya
menunggu. Tetapi ketika ia sampai di bibir hutan, masih ada dua orang
kawannya yang berbaring sambil berselimut kain panjangnya.
" Mereka bertugas di dini hari " berkata Rara Wulan.
Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak ingin
berbaring di sebelah kawan-kawannya yang masih berada di
bawah selimutnya itu. Namun ketika matahari terbit, semua orang dari kelompok
Gajah Liwung itu telah berbenah diri. Ki Jayaragapun telah
berada pula diantara mereka.
Namun pertanyaan yang kemudian timbul diantara mereka
adalah." Mereka harus pulang kemana ?"
Sambil tersenyum Rumeksa berkata " Kita akan tinggal
disini." Yang lainpun tertawa. Namun Suratama berdesis "
Agaknya terlalu jauh untuk mencari tuak."
Ternyata pertanyaan itu untuk sejenak dapat menimbulkan
kegelian diantara orang-orang dari kelompok Gajah Liwung
itu. Namun ternyata soal itu menjadi semakin bersungguhsungguh.
Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu
menjadi semakin gelisah, kemana mereka harus kembali.
" Kita harus mempunyai tempat tinggal yang baru " desis
Sabungsari. Ki Lurah Branjanganlah yang berkata " Agaknya kalian
memang harus mempunyai tempat yang baru. Jika kalian
sependapat, maka aku akan dapat menunjukkan satu tempat
yang akan dapat kalian pergunakan."
"Terima kasih Ki Lurah"jawab Sabungsari"kami akan dapat
mempergunakan tempat yang bagaimanapun juga dan
dimanapun juga." " Aku mempunyai seorang yang aku kenal dengan baik.
Bahkan masih ada sangkut paut darah meskipun sudah agak
jauh. Ia mempunyai rumah yang cukup besar, tetapi tidak
dihuni. Barangkali tempat itu dapat kalian pergunakan."berkata
Ki Lurah. "Terima kasih Ki Lurah " sahut Suratama"kapan kami dapat
menempati tempat itu ?"
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya " Biarlah aku
menemuinya lebih dahulu. Mudah-mudahan belum ada perubahan.Mudah-mudahan rumah itu masih kosong dan belum dijual."
" Kapan Ki Lurah akan menemuinya ?" bertanya Naratama.
" Aku akan segera pergi. Sebaiknya kalian menunggu aku
disini. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tetapi rumah
yang aku katakan itu terletak di luar kota." berkata Ki Lurah
Branjangan. Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian Sabungsari berkata
" Baiklah Ki Lurah, kami menunggu disini."
Tetapi Ki Jayaraga kemudian berkata " Marilah. Aku pergi
bersama Ki Lurah agar ada kawan berbincang di perjalanan.
Sementara itu angger Agung Sedayu akan berada bersama
dengan anak-anak." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian dengan nada rendah " Seharusnya aku sudah
berada di Tanah Perdikan."
" Kita berada dalam keadaan darurat " berkata Ki.Lurah
Branjangan. Lalu katanya pula"Agaknya tidak terjadi sesuatu
di Tanah Perdikan. Mudah-mudahan Ki Waskita menemani Ki
Gede di Tanah Perdikan."
" Baiklah Ki Lurah. Aku akan berada disini hari ini. Tetapi
besok aku harus sudah berada di Tanah Perdikan." berkata
Agung Sedayu. Ki Lurah tertawa. Katanya " Baiklah. Hari ini aku akan
selesaikan persoalan tempat bagi kalian itu."
" Kami juga harus kembali ke padukuhan itu " berkata
Suratama. " Ya"sahut Naratama"kita harus mengurus kuda-kuda yang
dititipkan di beberapa tempat sebelum kita meninggalkan
rumah yang dibakar itu."
" Tidak tergesa-gesa " saut Sabungsari " jika tempat itu
sudah kami dapatkan, maka kita akan dapat mengambil kudakuda
itu dan membawanya ke tempat yang baru."
" Aku juga akan singah di rumah orang tua Rara Wulan "
berkata Ki Lurah. " Untuk apa ?" bertanya Rara Wulan " kakek tidak usah
menemui ayah dan ibu. Ayah dan ibu tidak menghiraukan
dimana aku sekarang dan dalam keadaan yang bagaimana."
" Jangan berkata begitu Wulan " desis kakeknya.
" Bukankah kakek juga pernah berkata seperti itu " Sadar
atau tidak ?" bertanya Rara Wulan.
" Aku tidak bermaksud berkata seperti itu Wulan"jawab
kakeknya"jika terlontar kata-kataku yang demikian dan dapat
kau artikan seperti yang kau katakan itu, maka itu bukan
maksudku." "Sebaiknya kakek tidak usah pergi menemui ayah dan ibu.
Apalagi membicarakan masa depannya. Biarlah aku
mencarinya sendiri." berkata Rara wulan kemudian.
" Kau tidak dapat berkata seperti itu, Wulan " berkata Ki
Lurah " apapun yang kau lakukan, kau tidak dapat ingkar
bahwa kau adalah seorang gadis dewasa sekarang ini. Kau
adalah anak dari ayah dan ibumu."
" Terserah kepada kakek. Tetapi aku akan menempuh
jalanku sendiri sesuai dengan seleraku " jawab Rara Wulan.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
ikut merasa bersalah jika Rara Wulan diusia dewasanya justru
terbentuk sebagaimana dihadapinya saat itu. Sikapnya yang
semakin lama justru menjadi semakin jauh dari ayah dan
ibunya. Apalagi ketika ayah dan ibunya mulai berbicara
tentang anak-anak muda yang pantas untuk mereka ambil
sebagai menantu. Rara Wulan merasa dirinya menjadi semakin asing di
rumahnya sendiri. Namun demikian, Ki Lurah itupun berkata " Baiklah, tetapi
aku akan pergi untuk mendapatkan tempat tinggal bagi kalian.
Kalian tidak dapat tinggal di tempat ini atau di sisa-sisa gubug
orang-orang yang juga mengaku orang-orang Gajah Liwung
itu. Atau berkeliaran tidak menentu. Bagaimanapun juga,
seperti burung di langit, hendaknya ada sarang yang dapat
kalian pergunakan untuk hinggap."
Demikianlah, maka Ki Lurah Branjangan bersama Ki
Jayaraga telah meninggalkan Sabungsari dan kawankawannya
yang ditunggui oleh Agung Sedayu.
Diperjalanan Ki Lurah Branjangan sempat mengeluh
tentang cucu perempuannya yang ternyata kemudian sulit
untuk dikendalikan lagi. Semula Ki Lurah hanya ingin
memperkenalkannya dengan kehidupan orang kebanyakan di
luar batas dinding halaman rumahnya. Kemudian Ki Lurah
pernah membawanya ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun
kemudian dengan penglihatannya yang semakin luas itu sifat
Rara Wulan telah berubah. Ternyata ia tidak dapat lagi
mengikuti cara berpikir orang tuanya dan kakaknya. Rara
Wulan lebih banyak melihat kehidupan orang kebanyakan
daripada kehidupan beberapa orang dilingkungan orang-orang
terhormat. Pada saatnya Rara Wulan ternyata telah menjatuhkan
pilihan bagi jalan hidupnya.
" Ayah dan ibunya menganggapnya telah menjadi gadis
liar. Rara Wulan tidak mau lagi mengenal tata kehidupan yang
sempit dari keluarganya dan lingkungan orang-orang
terhormat. Ia merasa terbelenggu dan rasa-rasanya
bernafaspun menjadi sesak." berkata Ki Lurah kemudian.
" Ki Lurah memerlukan waktu untuk melunakkan hatinya "
berkata Ki Jayaraga " seperti orang yang mengail ikan di
sungai. Jika kailnya mengait ikan yang cukup besar, maka
tidak akan dapat langsung ditarik. Talinya dapat putus. Sekalisekali
harus dilepaskan terurai panjang. Namun kemudian
ditahan dan ditarik perlahan-lahan. Sampai akhirnya, ikan itu
tidak dapat lagi meronta-ronta, bahkan kemudian menurut apa


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja yang kita lakukan."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya dengan nada dalam "Orang tuanya ingin
anak itu melakukan pendekatan dengan seorang anak muda
pilihan orang tuanya. Anak muda yang lain sama sekali
dengan anak-anak muda pernah diperkenalkan sebelumnya.
Memang juga anak seorang yang berkedudukan tinggi. Tetapi
aku meragukan kebersihan watak anak muda itu. Meskipun
demikian sebenarnyalah yang paling berhak menentukan
adalah ayah dan ibunya."
" Apakah Rara Wulan sendiri sudah mengenalnya ?"
bertanya Ki Jayaraga. " Kenal tentu sudah. Tetapi sekedar mengenalnya. Justru
anak-anak muda orang-orang yang berkedudukan tinggi yang
sebelumnya nampak dekat dengan Rara Wulan, tidak disebutsebut
lagi." berkata Ki Lurah Branjangan.
" Mungkin anak muda yang terakhir itulah yang dianggap
terbaik " desis Ki Jayaraga.
" Itulah agaknya yang membuat Rara Wulan semakin
terasing dari kedua orang tuanya. Anak itu semakin liar dimata
ayah dan ibunya. Celakanya mereka telah membebankan
kesalahan itu dipundakku. Akulah yang menyebabkan Rara
Wulan menjadi anak yang menuruti kemauannya sendiri.
Tidak seperti gadis pada umumnya, yang hanya berada di
belakang pintu. Jika ada tamu mengintip dari sela-sela dinding
atau daun pintu yang sedikit terbuka. Gadis yang tidak pernah
membantah perintah ayah dan ibunya. Termasuk persoalan
jodohnya. Gadis pada umumnya akan menerima siapapun
yang diberikan oleh ayah dan ibunya meskipun laki-laki yang
ditentukan sebagai jodohnya itu seorang yang sudah seumur
kakeknya." berkata Ki Lurah Branjangan.
" Luar biasa " desis Ki Jayaraga.
" Apa yang luar, biasa ?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
" Ki Lurah. Seharusnya anak dan menantu ki Lurah itu
berpikir lebih longgar dari Ki Lurah. Ternyata justru sebaliknya.
Sikap Ki Lurah ternyata lebih menguntungkan anak-anak
muda daripada anak dan menantu Ki Lurah." jawab Ki
Jayaraga. Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Tetapi iapun
kemudian tertawa. Katanya"Ternyata aku lebih baik dari anak
dan menantuku." Ki Jayaragapun telah tertawa pula.
Demikianlah keduanya telah berjalan mendekati pintu
gerbang kota. Sementara itu, Ki Lurah ternyata telah
mendapat kawan untuk berbincang. Rasa-rasanya beban di
hati orang tua itu menjadi berkurang. Ki Jayaraga juga
berpendapat, bahwa Ki Lurah Branjangan tidak salah mutlak,
meskipun ia memang telah memanjakan Rara Wulan
sehingga mempengaruhi sikap gadis itu.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga tidak kehilangan
kewaspadaan. Ia masih saja digelisahkan oleh kehadiran
Podang Abang yang setiap saat dapat bertindak. Mungkin ia
telah mengintip jejak orang-orang yang berhubungan dengan
orang-orang Gajah Liwung.
Tetapi ternyata Ki Jayaraga tidak bertemu dengan Podang
Abang di perjalanan. Jika Podang Abang itu dapat mengenali
Ki Lurah Branjangan, maka ia akan menjadi salah satu
sasaran baginya. Namun agaknya kepergian mereka berdua
luput dari perhatian Podang Abang.
" Aku ingin melihat rumahku lebih dahulu, sebelum kita
menemui saudaraku yang mempunyai rumah di luar kota dan
tidak dipergunakan itu " berkata Ki Lurah Branjangan.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Jawabnya " Terserah
kepada Ki Lurah. Aku hanya menemani Ki Lurah agar ada
kawan berbicara di perjalanan."
Ki Lurah Branjangan sempat melihat rumahnya meskipun
hanya sejenak. Bagaimanapun juga Ki Lurah menjadi sedikit
cemas. Jika orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah
Liwung itu mengetahui sedikit saja tentang dirinya, maka
rumahnya akan dapat menjadi sasaran sebagaimana rumah
yang yang dipergunakan sebagai sarang kelompok Gajah
Liwung itu. Namun ternyata rumahnya masih utuh. Ketika ia kemudian
bertanya kepada para pembantunya yang ada di rumahnya,
tidak ada terjadi sesuatu.
Tetapi seorang yang juga sudah setua Ki Lurah Branjangan
yang menjadi pembantu di rumahnya itu berkata " Ki Lurah.
Sudah tiga kali ada utusan dari putera Ki Lurah."
" Menanyakan Rara Wulan ?" potong Ki Lurah. Orang itu
mengangguk sambil berdesis " Ya Ki Lurah."
" Apa jawabmu ?" bertanya Ki Lurah.
" Aku katakan bahwa Ki Lurah sedang pergi ke Tanah
Perdikan Menoreh, sampai hari ini belum kembali." jawab
pembantu itu. " Baiklah " Ki Lurah mengangguk-angguk. Lalu katanya
" Nanti aku akan menemuinya."
"Nampaknya keluarga putera ki Lurah itu menjadi gelisah
" berkata pembantunya.
Ki Lurah tersenyum. Jawabnya"Sudah tentu. Ia
mempertanyakan anaknya. Seperti aku dahulu juga gelisah
ketika anakku itu menginjak dewasa."
Buku 265 "UTUSAN itu berpesan, agar Ki Lurah segera datang ke
rumah putera Ki Lurah itu." berkata pembantunya itu.
" Bukan aku yang harus datang kepadanya. Tetapi ia harus
datang kepadaku." berkata Ki Lurah.
"Tetapi nada-nadanya, mereka tahu bahwa Ki Lurah tidak
ada di rumah." berkata pembantunya itu.
" Agaknya malah sudah ada utusan ke Tanah Perdikan
sebelumnya dan memberitahukan bahwa aku sudah kembali
ke Mataram." desis Ki Lurah. Namun iapun segera berkata
pula " Itu hanya satu kemungkinan."
Pembantu rumah itu mengangguk-angguk. Namun Ki
Lurahpun berkata " Baiklah. Aku akan menyelesaikannya
nanti. Aku harus kembali ke Tanah Perdikan karena tugastugasku,"
" Tetapi di mana Rara Wulan sekarang ?" bertanya
pembantunya itu. " Kau ikut menjadi gelisah ?" bertanya Ki Lurah.
Pembantunya itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu lagi. Sebenarnyalah Ki Lurah Branjangan tidak terlalu lama
berada di rumahnya. Setelah minum minuman hangat dan
makan beberapa potong makanan, maka keduanyapun telah
meninggalkan rumah itu pula. Tetapi Ki Jayaraga sempat
bergumam " Orang-orang yang berada di pinggir hutan itu
tentu akan berburu pula."
Ki Lurah tersenyum. Katanya " Aku akan membawa beras."
" Tetapi bagaimana Ki Lurah akan membawa " Apakah kita
akan membawa sebakul beras atau sekeranjang ?"
Ki Lurah tersenyum. Agaknya memang sulit untuk
membawa beras tanpa menarik perhatian orang. Karena itu,
maka katanya "Biarlah orang-orang itu berburu lagi. Ternyata
mereka adalah pemburu"pemburu yang baik."
Ki Jayaraga hanya tersenyum saja, Sementara keduanya
berjalan menuju ke rumah seorang yang masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Ki Lurah Branjangan.
Namun ternyata Ki Jayaraga tidak dapat menahan
dorongan perasaannya sehingga dengan nada dalam ia
bertanya " Bagaimana penilaian Ki Lurah terhadap Glagah
Putih ?" Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia
bertanya " Apakah maksud Ki Jayaraga " Penilaian dalam hal
apa " Jika aku harus menilai tentang kemampuannya, maka ia
adalah anak muda yang luar biasa. Ia memiliki berbagai
macam ilmu yang jarang dimiliki oleh anak-anak muda
sebayanya. Bahkan orang-orang yang lebih tua dan
berpengalaman sulit untuk dapat mengimbangi
kemampuannya." Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
bertanya lagi " Maksudku, bagaimana penilaian Ki Lurah
terhadap Glagah Putih sebagai seorang anak muda seutuhnya
" Unggah"ungguhnya, sifat"sifatnya, pandangan hidupnya dan
masa depannya." Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada rendah ia menjawab " Glagah Putih dalam keseluruhan
adalah anak muda yang baik. Beberapa sifat Agung Sedayu
mempengaruhi sikap dan wataknya. Tetapi pada saatnya,
agaknya Glagah Putih mempunyai pandangan hidup yang
agak berbeda. Ada pengaruh Raden Rangga, tetapi juga
pengaruh sikap ayahnya sebagai seorang prajurit. Glagah
Putih menurut keterangan yang pernah aku dengar, lahir,
tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda dengan
Agung Sedayu." " Ya. Aku pernah mendengar " jawab Ki Jayaraga " tetapi
apakah menurut Ki Lurah, Glagah Putih cukup berharga
sebagai seorang anak muda yang menjelang masa depannya
?" " Aku juga pernah mendengar pertanyaan yang hampir
sama dari Agung Sedayu " desis Ki Lurah Branjangan " tetapi
aku dapat mengerti, karena Glagah Putih adalah murid
sekaligus adik sepupu Agung Sedayu, namun juga murid Ki
Lurah Jayaraga." Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Ki
Lurah mulai dapat menebak arah bicaranya. Namun karena
itu, maka Ki Jayaragapun tidak mendesaknya. Ia mencoba
memancing agar Ki Lurah itu memberikan tanggapannya
sesuai dengan sikapnya terhadap anak muda itu.
Beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Ki Lurah
Branjangan berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hampir
di"luar sadarnya ia bergumam " Glagah Putih adalah anak
muda yang baik. Jika ia mendapat lahan yang memadai, maka
ia akan dapat tumbuh subur mengimbangi kakak sepupunya. "
Ki Jayaraga mengangguk kecil. Tetapi ia tidak segera
menjawab. Sementara Ki Lurah masih saja bergumam " Tetapi
aku tidak dapat berbuat banyak atas Rara Wulan, karena
segala sesuatunya memang tergantung kepada ayah dan
ibunya. " Ki Jayaraga yang sudah ubanan itu tidak menyahut. Ia
mengerti sepenuhnya perasaan Ki Lurah Branjangan. Karena
itu, maka Ki Jayaragapun tahu benar penilaian Ki Lurah atas
Glagah Putih. Sementara itu nampaknya Ki Lurahpun melihat
hubungan antara Rara Wulan dan Glagah Putih yang lebih
dari hubungan sebagaimana kawan-kawannya yang lain.
Tetapi Ki Lurah Branjangan adalah kakek Rara Wulan yang
wewenangnya tidak lebih besar dari wewenang orang tua
Rara Wulan. Keduanyapun kemudian telah saling berdiam diri pula untuk
beberapa saat sampai akhirnya Ki Lurah Branjangan berkata "
Kita memasuki lorong itu. Saudaraku tinggal dibelakang rumah
joglo yang besar itu. "
Kedatangan Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga
disambut dengan gembira oleh keluarga Ki Makerti. Sudah
agak lama Ki Lurah Branjangan yang masih mempunyai
sangkut paut keluarga meskipun tidak begitu dekat, tidak
bertemu dengan Ki Makerti itu.
Ketika keduanya kemudian duduk dipendapa ditemui oleh
Ki Makerti, maka Ki Lurahpun telah memperkenalkan Ki
Jayaraga sebagai sahabatnya yang tinggal di Tanah Perdikan
Menoreh. " Sudah lama Ki Lurah tidak mengunjungi kami " berkata Ki
Makerti kemudian setelah ia menanyakan keadaannya
keluarga Ki Lurah. " Sebenarnya aku harus merasa malu bahwa justru setelah
lama aku tidak berkunjung, aku datang pada saat-saat aku
membutuhkan bantuan Ki Makerti. " berkata Ki Lurah sambil
tertawa pendek. " Ki Makertipun tertawa. Katanya " Ki Lurah tentu bergurau. "
" Kali ini aku mencoba untuk bersungguh-sungguh " berkata
Ki Lurah " aku memang memerlukan bantuan Ki Makerti. "
" Jika aku dapat melakukannya, aku akan mencobanya "
jawab Ki Makerti. Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Aku akan
bercerita serba sedikit. Aku tahu Ki Makerti tentu dapat
mengerti dan kemudian bersedia membantuku meskipun
mengandung kemungkinan yang dapat mendatangkan
kesulitan. " " Kau membuat aku gelisah " berkata Ki Makerti.
Tetapi Ki Lurah justru tertawa. Katanya " Sebenarnya aku
tidak percaya bahwa orang seperti Ki Makerti dapat juga
menjadi gelisah. Aku kenal Ki Makerti sebagai seorang
pengembara yang berpengalaman luas. "
" Itu dahulu Ki Lurah. Pada saat Ki Lurah masih menjadi
seorang prajurit. Aku sudah menjadi seorang pemalas yang
jinak dirumah. Aku tidak pernah pergi kemana"mana. Bahkan
kepasarpun segan. Seandainya isteriku bukan seorang yang
berjualan dipasar, aku tentu tidak akan pernah masuk ke
tempat yang berjejal dan pengab itu. Tetapi aku harus ikut
membawa barang"barang jualannya ke pasar dan kadangkadang
harus menjemput lewat tengah hari. " berkata Ki
Makerti. Ki Lurah masih saja tertawa. Katanya kemudian " Aku
sebenarnya memang menjadi heran bahwa Ki Makerti dapat
tekun bekerja di pasar. Tetapi perubahan sikap seseorang
memang memungkinkan. "
" Tentu Ki Lurah. Setelah aku menjadi seorang ayah dari
dua orang anak, maka aku tidak dapat lagi menuruti keinginan
perasaanku. Mengembara menjelajahi jurang dan
lereng"lereng gunung, Menyeberangi bulak-bulak panjang dan
melintasi padukuhan"padukuhan. Aku harus
mempertanggungjawabkan kelangsungan hidup keluargaku,
sehingga aku benar-benar telah menjadi seorang petani.
Disamping itu, isteriku ikut pula membantu memperingan
beban hidup kami sekeluarga. " sahut Ki Makerti sambil
tersenyum-senyum kecil. " Baiklah Ki Makerti " berkata Ki Lurah kemudian " aku
mohon maaf sebelumnya jika apa yang aku katakan nanti
tidak berkenan diliati Ki Makerti. "
" Ah. Jangan begitu Ki Lurah " jawab Ki Makerti " Ki Lurah
tahu siapa aku dan akupun tahu siapa Ki Lurah itu. Meskipun
kaitan darah keturunan kita sudah agak jauh, tetapi ada segi


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain yang mentautkan kita lebih rapat. Lebih"lebih disaat muda
kita. Kita sama-sama memiliki kesenangan bertualang. Sedikit
menyentuh bahaya dan satu saat bermalas"malasan. Tidur
sepanjang hari. " " Tetapi berkeliaran dari gardu ke gardu meskipun tidak
sedang mendapat giliran ronda hampir setiap malam,
sehingga hidup rasa-rasanya seperti seekor kelelawar. Tetapi
aku sekarang baru menyesali sikap itu. Hidupkumenjadi
kurang berarti. Baik bagi keluargaku, aku sendiri apalagi bagi
orang banyak " berkata Ki Makerti.
" Aku juga merasakannya, Ki Makerti. Selama aku menjadi
prajurit, yang dapat aku lakukan jauh terlampau kecil
dibandingkan dengan mereka yang hidupnya memang
dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang panjang
dan besar " Ki Lurahpun mengangguk-angguk pula.
Ki Makerti merenung sejenak. Namun iapun kemudian
bertanya " Nah, apa yang sebenarnya ingin Ki Lurah katakan"
" Ki Lurah Branjangan bergeser sejenak. Lalu katanya " Ki
Makerti. Sebelumnya aku ingin bertanya, bukankah Ki Makerti
masih mempunyai sebuah rumah yang tidak dipergunakan di
luar kota" " Ki Makerti mengerutkan dahinya. Namun ia mengangguk
sambil berdesis " Ya, Ki Lurah. Tetapi tidak lebih dari sebuah
gu"bug yang buruk. Letaknya di Kademangan Sumpyuh. "
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya " Kalau tidak salah,
aku kira aku pernah singgah dirumah Ki Makerti di Sumpyuh
itu. Saat itu kita berdua pergi mengunjungi seorang sanak kita
yang sedang menyelenggarakan peralatan karena seorang
anaknya perempuan sedang menikah. "
" Ya. Aku juga masih ingat itu Ki Lurah. Memang rumah itu
masih ada. Tetapi rumah itu tidak pantas lagi didiami. Tua dan
buruk. Rumah itu adalah peninggalan paman yang kebetulan
tidak mempunyai anak. Namun karena aku sendiri belum
memerlukannya, maka rumah itu masih kosong sampai
sekarang " jawab Ki Makerti.
Ki Lurahpun kemudian telah berterus terang. Rara Wulan,
cucunya yang telah dikenal pula oleh Ki Makerti dan beberapa
orang kawannya memerlukan rumah tempat tinggal
sementara. Beberapa orang telah bergabung dalam satu
kelompok yang menyebut kelompok mereka itu Gajah Liwung.
Sekelompok anak-anak muda yang sedang bergejolak.
Wajah Ki Makerti berkerut. Dipandanginya Ki Lurah
Branjangan dengan tajamnya. Namun kemudian Ki Makerti
itupun bertanya " Jadi Rara Wulan berada didalam
gerombolan itu" "
" Ya " jawab Ki Lurah.
" Ada berapa orang perempuan yang bergabung dalam
gerombolan itu" " bertanya Ki Makerti.
" Hanya cucuku sendiri " jawab Ki Lurah.
" Bagaimana hal itu dapat terjadi" Apakah Ki Lurah tidak
berusaha sesuatu untuk mengeluarkan cucu Ki Lurah itu dari
antara orang-orang yang selalu membuat onar di Mataram itu"
" bertanya Ki Makerti.
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian bercerita pula bahwa ada dua kelompok yang
menyebut kelompoknya dengan nama Gajah Liwung.
Ki Makerti termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian berkata " Ya, ya. Kesan tentang nama kelompok
Gajah Liwung memang pernah dianggap satu kelompok yang
lain dengan kelompok-kelompok yang membuat keresahan di
Mataram. Tetapi kemudian justru kelompok Gajah Liwung
itulah yang dianggap paling berbahaya bagi Mataram. Tingkah
laku dari anggauta"anggauta kelompok Gajah Liwung sudah
keterlaluan. Dan Ki Lurah membiarkan cucu Ki Lurah itu ada
didalamnya. Seorang anak perempuan lagi. "
" Dua kelompok itu yang satu dengan yang lain tidak
Kisah Membunuh Naga 36 Balada Si Roy 04 Bad Days Karya Gola Gong Will You Marry Me 2
^