Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 8

11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8


Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, "Besok kita pergi bersama sekelompok pengawal?"
"Tidak perlu sekelompok pengawal. Besok malam kita pergi berdua bersama penunjuk jalan itu." jawab Agung Sedayu.
"Jadi bertiga?" bertanya Ki Demang.
"Ya. Kita akan menilai jalan yang terbaik yang dapat kita lalui." jawab Agung Sedayu.
Ki Demang mengangguk-angguk. Meskipun Ki Demang menyadari, bahwa yang akan dilakukan itu adalah kerja yang berat. Sementara itu belum pasti bahwa Ki Gede Kebo Lungit akan mengganggu perjalanan mereka kembali ke Madiun.
Tetapi Ki Demang Selagilang sependapat, bahwa mereka harus cukup berhati-hati karena mereka akan membawa tawanan yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah para pengawal. Jika Ki Gede Kebo Lungit dengan pasukan yang kecil saja sempat mencoba para pengawal yang menggiring para tawanan dan membebaskan sekelompok tawanan dan memberikan senjata, maka keadaan akan menjadi sulit. Gejolak yang terjadi di jalan sempit itu akan sulit untuk dikuasai.
Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka malam itu Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan yang sudah berangsur baik itu telah menghadap Ki Gede Menoreh. Mereka menyatakan niat mereka untuk melihat langsung jalan yang akan mereka tempuh.
"Kau akan berjalan ke Madiun dan kembali lagi kemari?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Tidak Ki Gede. Kami hanya akan menyusuri jalan-jalan yang memungkinkan terjadi gangguan diperjalanan. Jika jalan itu kemudian turun ke jalan yang cukup lebar dan tidak dibatasi oleh dinding padas atau tebing curam, maka kami akan kembali." jawab Agung Sedayu.
Ki Gede Menoreh mengangguk kecil. Jalan sempit disela-sela dinding padas itu memang berbahaya, sehingga perlu perhitungan yang cermat.
Agung Sedayu dan Ki Demangpun kemudian bersetuju untuk pergi di malam hari. Disiang hari, mereka akan dapat mudah dilihat dari kejauhan.
Namun malam itu juga Agung Sedayu telah memerintahkan mereka yang bertugas di dapur dan yang mengurusi perbekalan untuk bersiap-siap menempuh jalan kembali ke Madiun lewat manapun juga.
"Baru sebelum kita berangkat, akan aku beritahukan, jalan manakah yang akan kita tempuh." berkata Agung Sedayu kepada mereka.
"Apakah ada jalan lain?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Tidak." jawab Agung Sedayu.
"Jadi, kenapa baru disaat kita berangkat kita akan diberi tahu lewat jalan yang mana." desis seorang diantara mereka.
"Jika kau tahu bahwa hanya ada satu jalan, maka kau seharusnya tidak bertanya." berkata Agung Sedayu.
Orang itu mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sementara itu Glagah Putih secara khusus telah menemui Agung Sedayu dan menyatakan kesediaannya untuk ikut bersama saudara sepupunya.
Namun Agung Sedayu itupun menjawab, "Kau harus menjaga Ki Gede yang masih belum sembuh benar itu. Jika kita bersama-sama pergi, maka tidak ada seorangpun yang dapat mengatasi kesulitan yang paling parah yang akan dapat terjadi disini."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menjawab, "Baiklah. Aku akan berada di padepokan bersama Prastawa."
Di hari berikutnya, maka yang bertugas didapur dan mengurusi perlengkapan dan perbekalan telah mulai membenahi barang-barang yang dianggap penting untuk dibawa kembali ke Madiun. Sementara itu, kesibukan itu dapat juga diketahui oleh orang-orang Ki Gede Kebo Lungit yang dengan berani, meskipun disiang hari, mendekati padepokan. Namun justru disiang hari, maka para pengawal yang berada di padepokan itu menjadi agak lengah. Mereka tidak dengan sungguh-sungguh mengawasi keadaan diluar dinding padepokan. Mereka memang sudah yakin, bahwa tidak akan ada serangan yang datang ke padepokan itu disiang hari.
Petugas itu dengan cepat telah menyampaikan hasil pengamatannya kepada Ki Gede Kebo Lungit, sehingga Ki Gede Kebo Lungit, sehingga Ki Gede Kebo Lungit yang sedang mengamati jalan yang sepotong itu bersama Wira Bledeg, telah menentukan langkah-langkah terakhirnya.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Ki Gede Kebo Lungit, maka Wira Bledeg telah memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat yang paling mapan untuk menyergap jika iring-iringan pasukan Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu itu lewat sambil membawa para tawanan.
Beberapa orang telah mengamati tempat di tanah miring berbatu padas. Mereka mencari celah-celah padas yang dapat dipergunakan untuk bersembunyi. Sementara yang lain berada dibawah tebing. Mereka harus memancing perhatian sebelum kawan-kawannya yang berada ditebing itu meluncur turun, kemudian memecahkan penjagaan para pengawal sehingga sempat berhubungan dengan para tawanan, memberikan senjata dan menyampaikan perintah Ki Gede Kebo Lungit, bahwa para tawanan harus bertempur sampai mati.
Sementara itu, disebelah tikungan sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang sempat dikumpulkan telah menyiapkan bongkah-bongkah batu padas. Batu-batu padas itu akan dapat dihancurkan dan menimpa lorong yang akan dilewati pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Dengan demikian maka perhatian para pengawal itu akan terpecah-pecah. Apalagi jika para tawanan sudah dapat melepaskan diri serta menggenggam senjata ditangan. Maka pertempuran akan berkobar. Sementara itu, pasukan pengawal tidak akan dapat dengan cepat berkumpul karena jalan yang sempit yang dibatasi oleh dinding yang miring berbatu padas dan tebing yang rendah. Sementara itu, di celah-celah padas yang miring dan di bawah tebing, bertepatan orang-orang Wira Bledeg yang akan me-nyergap mereka selain sisa-sisa para pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang sempat dikumpulkan.
Dengan demikian, maka rencana itupun telah menjadi masak. Seandainya besok pagi-pagi pasukan pengawal yang ada di padepokan itu akan kembali ke madiun dengan mambawa para tawanan, maka mereka akan dihancurkan, setidak-tidaknya sebagian dari mereka akan terbunuh di tempat itu. Ditempat yang belum begitu jauh dari padepokan yang telah mereka duduki. Sementara itu para tawanan yang juga akan mati dalam pertempuran itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Ki Gede Kebo Lungit.
"Hari ini semuanya harus sudah siap." berkata Ki Gede Kebo Lungit, "Jika besok mereka meninggalkan padepokan dan lewat jalan ini, maka kita harus sudah siap menyergap."
"Tentu tidak besok." sahut Wira Bledeg, "jika hari ini mereka baru mulai membenahi barang-barang mereka, maka besok mereka baru akan menyelesaikannya. Menyiapkan pedati, lembu-lembu yang akan menarik pedati serta menyiapkan tawanan yang akan mereka bawa. Mereka akan membuat tandu-tandu sederhana untuk membawa orang-orang yang terluka, yang masih belum dapat berjalan sendiri."
"Aku tidak mau terlambat." potong Ki Gede Kebo Lungit.
"Aku berani bertaruh tangan sebelah. Jika besok pagi pasukan pengawal itu liwat, potong tanganku sebelah. Tetapi jika tidak?" bertanya Wira Bledeg.
"Jika tidak, tanganmu yang lain yang harus dipotong." jawab Ki Gede Kebo Lungit.
Wira Bledeg tertawa berkepanjangan. Namun Ki Gede Kebo Lungit sama sekali tidak tertawa. Bahkan kemudian ia berkata, "Apapun yang akan dilakukan oleh para pengawal, namun hari ini dan malam nanti, semuanya harus sudah dipersiapkan."
"Kau memang sudah tua." berkata Wira Bledeg, "karena itu kau selalu tergesa-gesa, cemas dan tidak yakin. Tetapi baiklah. Semuanya akan dibereskan sebelum fajar. Jika fajar pasukan pengawal itu berangkat, maka saat matahari naik menjelang puncaknya, mereka akan sampai ke tempat ini. Kita tentu akan menyambutnya dengan senang hati."
Ki Gede Kebo Lungit mengangguk-angguk. Namun masih saja terbayang diwajahnya kegelisahan selama ia mengamati persiapan yang nampaknya masih belum memadai.
Tetapi Wira Bledeg sendiri sama sekali tidak gelisah. Ia yakin bahwa semuanya akan dapat dipersiapkan pada waktunya. Batu-batu padaspun telah dikumpulkan. Pada saatnya batu-batu padas itu akan dapat berguling kebawah. Meskipun para pengawal akan mengenakan perisai yang tebal, tetapi batu-batu padas itu akan dapat menghancurkan mereka.
Demikianlah, orang-orang Wira Bledeg dan sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit masih sibuk mengatur jebakan yang akan mereka lakukan. Mereka telah menyiapkan tangga-tangga kecil yang akan dapat mereka lalui dengan cepat namun terlindung dibalik ilalang dan pohon-pohon perdu.
Ketika matahari terbenam, maka orang-orang itu masih juga sibuk menyiapkan batu-batu padas yang akan diluncurkan. Mereka telah menyiapkan batang-batang kayu untuk mengungkit batu-batu padas itu. Jika satu dua diantaranya mulai meluncur, maka tentu sudah terjadi kekisruhan pada pasukan pengawal itu. Batu-batu yang lainpun akan menyusul. Sedangkan batu-batu padas dilereng miring yang tertimpa batu-batu padas yang meluncur itu, akan berguguran juga menambah lebatnya hujan batu itu.
Sementara itu, di padepokan memang terjadi pula kesibukan. Para petugas memang masih sibuk membenahi alat-alat yang akan mereka bawa kembali ke Madiun. Tetapi ketika malam turun, maka kegiatan itu telah dihentikan.
Pada saat yang demikian, maka Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu telah tidak ada di padepokan.
Mereka dengan diam-diam telah meninggalkan padepokan itu. Dengan kemampuannya mempertajam pemglihatannyaberlandaskan Aji Sapta pandulu, maka Agung Sedayu yakin, tidak ada orang diluar padepokan itu yang melihat mereka bertiga.
Dengan hati-hati mereka telah menelusuri jalan sempit dari padepokan itu. Beberapa tempat yang pernah dikatakan oleh penunjuk jalan itu akan dilihat oleh Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang. Namun mereka tidak langsung mengikuti jalan yang mereka lalui ketika mereka datang ke padepokan itu. Mereka telah melihat kemungkinan lain sebagaimana dikatakan oleh penunjuk jalan itu. Mereka akan melihat-lihat sawah garapan orang-orang padepokan itu. Mereka memang akan melalui padang terbuka. Tetapi padang itu jarang sekali dilewati orang, kecuali orang-orang padepokan yang pergi ke sawah. Kemudian melalui pematang dan tanah miring yang agak terjal mereka akan sampai kesebuah lorong, yang datar. Lorong yang akan turun ke jalan yang lebih lebar menuju ke jalan yang langsung ke Madiun.
Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu menyadari, bahwa perjalanan yang akan mereka tempuh akan dapat berlangsung semalam suntuk.
Ternyata Ki Demang Selagilang termasuk orang yang tangkas berjalan di atas batu-batu padas. Kakinya sekan-akan begitu lekat meskipun diatas tanah yang licin, sehingga penunjuk jalan yang lebih mengenal tempat itu menjadi heran, bahwa Ki Demang dapat berjalan lebih cepat dari mereka.
Namun kemampuan Agung Sedayu yang tinggi dengan ilmunya mempertajam pancainderanya, memungkinkannya untuk mengetahui jika ada orang lain yang memperhatikan atau bahkan mengikuti mereka, karena jarang orang yang memiliki kemampuan seperti Agung Sedayu itu.
Dengan sedikit kesulitan mereka maju selangkah demi selangkah. Seperti yang dikatakan oleh penunjuk jalan itu, mereka tidak akan dapat membawa peralatan mereka jika mereka mengambil jalan itu untuk menuju ke Madiun. Apalagi membawa pedati.
Demikianlah, Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu mengamati kemungkinan yang dapat mereka lakukan dengan jalur yang tidak seharusnya itu. Mereka harus memperhitungkan untung dan ruginya. Hambatan-hambatan serta kesulitan-kesulitan yang dapat menghalangi perjalanan mereka, termasuk kemungkinan disergap oleh sisa-sisa kekuatan Ki Gede Kebo Lungit yang berada diluar padepokannya pada saat pasukan Tanah Perdikan Menofeh dan Pegunungan Sewu menyerang padepokan itu.
Demikian mereka sampai ke tempat yang sedikit terbuka dan kemudian melewati tanah persawahan yang bersusun, maka mereka tuiun ke sebuah padang perdu. Tidak terlalu jauh mereka melihat hutan pegunungan yang lebat kehitam-hitaman di malam hari seakan-akan melingkari lambung Gunung.
"Kita sampai di mana?" bertanya Agung Sedayu.
"Kita akan dapat melingkari lingkaran berbatu padas dan hutan kecil yang lebat itu. Kita akan kembali sampai ke jalan yang kemarin kita lewati menuju ke padepokan," jawab penunjuk jalan itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, "Kita akan menempuh jalan itu kembali ke padepokan. Jika di jalan itu tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan, kita akan mengambil jalan yang telah kita lewati sebelumnya."
"Ya" jawab penunjuk jalan, "setelah lewat jalan yang terpotong oleh lorong sejenak ini, memang tidak ada tempat yang mapan untuk mencegat iring-iringan sebuah pasukan, karena ditempat datar, yang hanya sekali-sekali menurun, seluruh pasukan dapat bergerak bersama-sama. Berbeda dengan jika pasukan masih berada dilorong panjang itu."
Namun sebelum mereka melanjutkan perjalanan, maka mereka telah menyempatkan diri untuk beristirahat. Dari tempat itu, dalam keremangan malam mereka melihat sawah yang bersusun. Agaknya orang-orang padepokan Ki Gede Kebo Lungit juga memiliki ketrampilan bercocok tanam. Bersawah dan berkebun. Ternyata di beberapa tempat terdapat beberapa rumpun pisang. Juga terdapat beberapa jenis pepohonan yang diperlukan. Pohon kelapa yang selain banyak terdapat di kebun padepokan, juga terdapat di pinggir sawah yang membujur bagaikan pagar.
"Hasil kerja tangan yang terampil." berkata Ki Demang Selagilang.
"Apakah di Pegunungan Sewu, tanah yang miring dapat juga dimanfaatkan?" bertanya Agung Sedayu yang meskipun sudah pernah melihatnya, namun ia masih juga ingin meyakinkan.
"Ya" jawab Ki Demang Selagilang, "tetapi Tanah Perdikan Menoreh lebih untung. Tanahnya tidak setandus Pegunungan Sewu. Nampaknya air lebih mudah dijaring di Pegunungan Menoreh dari pada di Pegunungan Sewu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah Menoreh lebih beruntung dari Pegunungan Sewu.
Namun dalam pada itu, ketiga orang itupun sudah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sekali lagi, Agung Sedayu mengamati daerah disekitarnya. Ketika ia yakin bahwa tidak ada orang lain, maka merekapun telah mulai bergerak lagi.
Beberapa saat mereka menyusuri lorong sempit, namun ditempat yang sudah agak datar. Mereka menuju ke jalan yang pernah mereka lalui sebelumnya, menuju ke padepokan.
Ketika mereka sampai di jalan yang mereka lalui ke padepokan, maka merekapun telah berjalan dengan sangat berhati-hati menyusuri jalan itu. Dengan mengetrapkan ilmu Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu, maka Agung Sedayu itu dapat menangkap ujud dan bunyi yang masih sangat jauh, yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat didengar oleh orang lain.
Beberapa saat mereka berjalan dengan hati-hati. Tetapi malam cukup gelap, meskipun bintang-bintang nampak bergayutan dilangit.
Beberapa puluh patok telah mereka lalui. Bahkan kemudian mereka tidak saja berjalan puluhan patok, tetapi ribuan.
Namun Agung Sedayu yang berjalan dipating depan itu tiba-tiba berhenti. Sejenak ia memperhatikan bunyi sesuatu dengan ilmunya Sapta Pangrungu.
"Ada apa?" bertanya Ki Demang Selagilang.
"Aku mendengar sesuatu." jawab Agung Sedayu.
"Apa yang kau dengar?" bertanya Ki Demang pula.
"Pembicaraan antara beberapa orang. Nampaknya ada orang di hadapan jalan kita." desis Agung Sedayu pula.
Ki Demang Selagilang termangu-mangu sejenak. Ia memang belum mendengar sesuatu. Namun Ki Demang itupun kemudian telah berjongkok pada satu lututnya. Kemudian menggosokkan telapak kedua tangannya dan meletakkannya diatas tanah.
Agung Sedayu memperhatikan sikap itu. Namun iapun kemudian berdesis, "Aji Panjer Bumi."
Ki Demang masih memperhatikan sentuhan kekuatan ilmunya pada bumi. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam sambil bangkit berdiri, "Ya. Ada orang beberapa puluh patok dihadapan kita."
"Kita harus semakin berhati-hati." berkata Agung Sedayu.
Penunjuk jalan itu tidak tahu, bagaimana kedua orang itu dapat mengetahuinya. Nampaknya keduanya mempergunakan ilmu yang berbeda. Tetapi Agung Sedayu dapat mengetahui lebih dahulu kehadiran orang lain didekat mereka.
Namun demikian penunjuk jalan itu mempunyai kelebihan dari kedua orang berilmu tinggi itu. Ia mengenal medan lebih baik dari keduanya.
Sejenak kemudian, maka keduanya berjalan semakin maju. Agung Sedayu kemudian memperingatkan bahwa jarak mereka dengan orang-orang yang ada dihadapan mereka menjadi semakin dekat.
"Kita memanjat dinding padas yang miring ini." berkata penunjuk jalan itu. Namun iapun kemudian mengeluh, "Aku belum mendengar apa-apa."
Demikianlah, maka merekapun telah memanjat dinding yang miring berbatu-batu padas disisi jalan yang mereka lalui itu. Namun mereka segera berlindung dibalik pohon-pohon perdu, sementara penunjuk jalan itu membawa mereka semakin maju.
Baru kemudian, ketika Agung Sedayu menggamitnya dan memberikan isyarat, penunjuk jalan itu dengan sungguh-sungguh telah memperhatikan keadaan dihadapan mereka. Sambil mengangguk angguk ia berkata, "Ya. Aku mendengar pembicaraan itu."
Penunjuk jalan itu justru telah membawa Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang memanjat lebih jauh, melingkari beberapa orang yang ternyata adalah para pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang sedang berjaga-jaga.
Dengan isyarat penunjuk jalan itu mengajak kedua orang yang menyertainya berjalan terus. Tetapi Agung Sedayu justru mengajak merekaberhenti sejenak. Dengan isyarat pula Agung Sedayu minta mereka memperhatikan jalan yang ada beberapa puluh langkah dibawah mereka.
Dalam keremangan malam, mereka mencoba memperhatikan jalan itu. Bagi Agung Sedayu, kegelapan itu sama sekali bukan masalah. Namun kedua orang yang bersamanya itupun memiliki ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan.
Mereka bertiga dapat melihat lima orang-yang duduk-duduk diatas batu padas sambil mengamati keadaan. Dua orang yang lain dengan nyenyak tertidur disebelah mereka. Justru mendekur.
Agung Sedayu yang ada ditempat yang lebih tinggi dari mereka bertujuh itu telah menunjuk dua tikungan yang membatasi sepotong jalan di hadapan mereka. Agaknya ketujuh orang itu tengah mengamati sepotong jalan itu, atau membuat persiapan-persiapan yang penting yang akan mereka lakukan di saat-saat berikutnya.
Beberapa saat mereka menunggu. Namun pembicaraan orang-orang itu berkisar kesana kemari tanpa ujung pangkal, sehingga Agung Sedayu dan kawan-kawannya tidak dapat menangkap persiapan apapun dari pembicaraan itu.
Namun akhirnya terdengar seorang diantara mereka berkata, "Aku akan tidur dahulu. Nanti bangunkan aku."
"Sampai kapan kau akan tidur" Nanti, fajar, pasukan Wira Bledeg telah ada disini." sahut yang lain.
"Satu kerja sia-sia." desis yang akan tidur itu, "orang-orang padepokan itu belum akan lewat hari ini."
"Kapanpun mereka lewat, Ki Gede memerintahkan semuanya siaga hari ini." jawab yang lain.
"Ki Gede terlalu gelisah akhir-akhir ini. Kehilangan pijakan dan selalu marah." berkata yang akan tidur itu.
"Ulangi." tiba-tiba seseorang menggeram.
"Tidak. Aku akan tidur." berkata orang yang mengucapkan keluhan tentang Ki Gede Kebo Lungit itu.
Namun yang lain lagi berkata, "Kekalahan kita di padepokan itu telah memukul peranan Ki Gede. Kita harus memaklumi."
Tidak ada yang menyahut. Suara orang itu ternyata cukup berwibawa untuk menenangkan suasana. Orang yang menyatakan akan tidur itupun sudah berbaring diatas batu-batu padas. Yang lain masih duduk tepekur memandangi jalan yang sepotong itu.
"Satu tempat yang memang baik untuk menunggu iring-iringan pasukan kita yang membawa tawanan." bisik Agung Sedayu kemudian, "jika kita menempatkan para tawanan itu disatu bagian dari iring-iringan, maka ketika ujungnya sampai ketikungan, maka ekor dari iring-iringan khusus para tahanan itu masih berada di tikungan berikutnya. Mereka akan dapat menyumbat tikungan itu agar pasukan kita tidak dapat langsung turun ke arena pertempuran, sementara para tawanan telah dipersenjatai. Para pengawal disebelah menyebelah iring-iringan pasukan, akan sulit untuk mencegah jika sekelompok orang menyergap dengan tiba-tiba."
Ki Demang Selagilang mengangguk-angguk. Desisnya, "Satu jebakan yang baik. Kita harus mencari jalan keluar."
"Untunglah bahwa kita telah melihatnya lebih dahulu." bisik penunjuk jalan itu.
"Marilah. Kita bergeser kesebelah." ajak Agung Sedayu, "kita jangan terlalu lama disini."
Beberapa saat kemudian, maka ketiga orang itupun telah bergeser. Mereka kemudian berusaha melampaui tikungan. Disebelah tikungan mereka berniat untuk turun ke jalan.
Tetapi demikian mereka melewati tikungan, maka mereka terkejut. Mereka melihat sederetan gumpalan batu-batu padas ditempat-tempat yang miring. Dengan dorongan yang tidak begitu besar, maka batu-batu padas itu akan tergelincir dan menimpa lorong dibawah. Lorong yang akan dilewati oleh inng-iringan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu yang akan membawa tawanan ke Madiun.
Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu termangu-mangu sejenak. Nampaknya orang-orang yang akan mengacaukan iring-iringan itu sudah siap sepenuhnya. Mereka mengira bahwa dalam waktu dekat, bahkan menurut pembicaraan orang-orang yang berjaga-jaga itu, hari berikutnya iring-iringan itu akan lewat.
Beberapa saat ketiga orang itu termangu-mangu. Tidak seorangpun yang mengawasi onggokan batu-batu padas itu. Tujuh orang yang bertugas itu justru berkumpul menjadi satu ditempat yang agak jauh meskipun mereka masih dapat dilihat samar-samar dalam keremangan malam dengan mata wadag.
Namun pohon-pohon perdu yang tumbuh disana-sini, sempat mengganggu penglihatan, apalagi di malam hari.
Tiba-tiba saja dalam keheningan itu, penunjuk jalan itu berdesis, "Apa yang akan kita lakukan?"
Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu berkata perlahan-lahan, "Ada dua pilihan. Kita biarkan saja persiapan mereka. Kita akan mengambil jalan lain yang meskipun agak sulit. Atau kita rusakkan persiapan mereka sekarang. Namun dengan de-mikian mereka menyadari bahwa kita telah mengetahui persiapan mereka disini."
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, "Jika kita akan lewat melalui jalan melingkar, mengikuti jalur setapak yang turun kepersawahan dan kemudian padang perdu terbuka itu, bagaimana dengan pedati-pedati itu."
"Kita tidak memerlukannya. Kita sudah membawa kuda-kuda beban yang akan membawa barang-barang terpenting saja. Barang-barang lain dapat kita tinggalkan.Apalagi barang-barang yang kita temukan di padepokan itu, kecuali beberapa jenis senjata yang akan kita bawa sebagai bukti kesiapan padepokan ini disamping para tawanan." jawab Agung Sedayu.
"Apakah kuda-kuda beban akan dapat lewat jalan setapak itu" Nampaknya beberapa bagian jalan cukup licin." berkata Ki Demang.
"Tetapi kuda yang kita bawa adalah sejenis binatang pegunungan. Bukankah kita di Tanah Perdikan Menoreh dan di Pegunungan Sewu memanfaatkan kuda sebagai alat pengangkutan yang paling baik?" bertanya Agung Sedayu.
"Lalu, kita biarkan lembu-lembu yang ada di padepokan itu mati kelaparan?" bertanya Ki Demang.
"Tentu tidak. Begitu kita pergi, maka sisa-sisa kekuatan Ki Gede Kebo Lungit yang kebetulan saat padepokan itu kita hancurkan berada diluar, akan segera memasukinya lagi. Mereka akan membenahi padepokan mereka dan tentu saja memelihara lembu-lembu itu dengan baik." jawab Agung Sedayu.
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Bagaimana jika persiapan itu kita kacaukan. Kemudian kita tetap keluar dari padepokan itu melalui jalan melingkar itu. Seandainya kita harus bertemu dengan pasukan siapapun. tempat yang terbuka itu akan memberikan banyak peluang kepada kita untuk bertempur. Sedangkan di tempat-tempat rumpil dan sulit yang juga akan kita tempuh, tidak akan memberikan keuntungan apa-apa kepada mereka. Tegasnya, kesempatan kita sama dengan kesempatan mereka, karena merekapun akan mengalami kesulitan untuk bertempur ditempat yang rumpil itu. Di jalan melingkar itu mereka tidak dapat memilih tempat seperti sepotong jalan disebelah itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kesempatan untuk membuat perhitungan yang cermat memang terlalu sempit.
Namun Agung Sedayu masih juga berdesis, "Bagaimana dengan tawanan kita" Sebaiknya kita mengikat tangan tawanan kita untuk menghambat kemungkinan buruk yang dapat terjadi di perjalanan. Jika kita melalui tempat terbuka itu, apakah mereka dengan tangan terikat akan dapat melewati daerah rumpil meskipun sempit itu?"
"Tentu dapat." jawab penunjuk jalan, "mereka sudah menguasai medan. Mereka tahu pasti tanah yang mereka injak. Karena itu, kita tidak perlu merisaukan mereka jika kita akan menempuh jalan itu. Apalagi dengan tangan terikat. Tetapi tanganpun mereka akan dapat melaluinya."
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berdesis, "Bagaimana dengan persiapan ini" Apakah kita akan mengacaukannya."
"Kita akan membiarkan saja. Dengan demikian mereka menganggap bahwa kita tidak mengetahui persiapan mereka. Mereka akan tetap menunggu kita disini, sementara itu, kita akan memilih jalan yang lain meskipun harus meninggalkan pedati-pedati, peralatan dan lembu-lembu itu. Harganya tidak seberapa dibanding dengan keselamatan jiwa para pengawal." berkata Agung Sedayu.
Ki Demang berpikir sejenak. Namun kemudian iapun telah mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku setuju. Mudah-mudahan Ki Gede juga setuju, meskipun nampaknya keadaan Ki Gede belum pulih kembali."
"Bagaimana jika kita membawa tandu?" bertanya Ki Demang.
"Akan dapat diatasi." jawab penunjuk jalan, "bukankah kita tadi juga tidak terlalu mengalami kesulitan di jalan yang rumpil itu?"
Ki Demang mengangguk-angguk. Ki Demang sendiri memang tidak mengalami kesulitan sama sekali. Namun sebagian kecil dari jalan yang akan mereka lalui itu memang memerlukan perhatian khusus.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu dan kedua orang yang lain telah meninggalkan tempat itu. Beberapa puluh patok dari tempat itu mereka turun ke jalan, dan kemudian dengan hati-hati mereka berjalan menyusuri jalan yang meskipun turun naik, namun tidak terlalu sulit untuk dilalui. Bahkan memungkinkan untuk dilewati oleh pedati.
Agung Sedayu yang berada dipaling depan masih saja selalu berhati-hati. Semakin dekat dengan padepokan, ia harus lebih memperhatikan keadaan disekelilingnya.Rasa-rasanya padepokan merekapun tentu mendapat pengamatan dari orang-orang Ki Gede Kebo Lungit.
Namun dalam pada itu, langitpun menjadi semakin cerah. Cahaya fajar telah naik.
"Kita harus lebih berhati-hati." berkata Agung Sedayu. Namun ketajaman penglihatannya dan ketajaman pendengarannya akan memungkinkannya untuk melihat mereka.
Sebenarnyalah, ketika mereka mendekati padepokan, maka Agung Sedayu telah melihat dengan kekuatan ilmu Sapta Pandulu, dua orang berada di atas batu-batu padas agak jauh dari padepokan itu. Agaknya mereka memang sedang mengawasi padepokan itu.
Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itupun telah berusaha bersembunyi di balik pohon-pohon perdu. Mereka bergerak dengan sangat berhati-hati, mereka bergeser dari balik gerumbul yang satu ke balik gerumbul yang lain. Semakin lama semakin dekat dengan padepokan, sehingga akhirnya, mereka berada di bayangan dinding padepokan.
Dengan demikian, maka ketiga orang itu tidak perlu lagi bersembunyi dibakik gerumbul-gerumbul perdu. Mereka langsung menuju ke pintu gerbang dan mengetuknya dari luar dengan isyarat tertentu yang sudah disepakati.
Sejenak kemudian, maka pintu gerbang yang sudah diperbaiki meskipun hanya untuk sementara itu telah dibuka. Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itu telah hilang kebalik pintu gerbang ketika pintu itu kemudian ditutup kembali.
"Danmana kau sepagi ini?" bertanya petugas pintu gerbang.
Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Sambil menepuk bahu penjaga itu, ia berkata, "Hati-hati. Ada dua orang mengawasi padepokan ini, meskipun di kejauhan."
Para petugas itu termangu-mangu sejenak. Namun pemimpin dari mereka yang bertugas itu menyahut, "Terima kasih. Kami akan berbuat sebaik-baiknya."
Demikianlah, matahari yang kemudian terbit telah mulai meluncurkan sinarnya kededaunan. Embun yang dingin mulai terhisap dari ujung dedaunan.
Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itu langsung pergi ke bangunan induk padepokan itu untuk menghadap Ki Gede yang agaknya sudah bangun.
Ki Gede memang sudah berada di pendapa. Ia nampak sudah lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya sudah tidak lagi kepucat-pucatan. Bahkan tubuhnya nampak segar.
Ketika Ki Gede melihat ketiga orang itu masih dalam keadaan kusut, maka Ki Gedepun telah mernpersilahkan mereka naik ke pendapa sambil bertanya, "darimana kalian datang sepagi ini?"
Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itupun kemudian telah melaporkan perjalanan mereka melihat-lihat kemungkinan untuk kembali ke Madiun.
Jilid 257 KI GEDE nemperhatikan laporan Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itu dengan saksama. Setiap yang mereka katakan, telah diperhatikan dan dibayangkan oleh Ki Gede Menoreh di angan-angannya. Jalan yang rumpil dan miring. Kemudian lorong sempit, tanah persawahan yang bersusun, dan padang perdu yang terbuka.
Dibayangkan pula jalan yang lebih lebar, naik turun dibatasi oleh tanah miring berbatu padas dan tebing yang rendah. Pasukan yang menunggu dicelah-celah batu padas dan dibawah tebing yang rendah itu. Sementara itu, beberapa orang berada di sisi yang miring itu dengan bongkahan-bongkahan batu padas yang siap dihancurkan menimpa sepasukan pengawal yang sedang menggiring tawanan me"nyusuri jalan yang sulit dibawahnya karena tanah yang tidak rata. Pedati-pedati yang merayap seperti siput. Sekali-sekali rodanya terperosok, sehingga beberapa orang harus membantu mendorongnya.
Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu berhasil memberikan gambaran yang tepat kepada Ki Gede Menoreh tentang dua jalur yang dapat mereka tempuh.
"Kami tidak mengganggu persiapan mereka Ki Gede." berkata Agung Sedayu, "dengan demikian maka Ki Gede Kebo Lungit tidak mengetahui bahwa kita sudah melihat persiapan mereka untuk menghadang perjalanan kita."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya. "Apakah kalian telah mendapatkan keputusan, jalan manakah yang lebih baik kita tempuh dalam perjalanan kembali ke Madiun?"
Agung Sedayu menjawab, "Kami belum dapat mengambil keputusan Ki Gede. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Gede."
"Aku mengerti. Tetapi bukankah kalian dapat memberikan pertimbangan kepadaku, sebaiknya kita menempuh jalan yang mana." sahut Ki Gede.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Gede. Menurut pertimbangan kami, sebaiknya kita menempuh jalan yang pertama. Kita akan melalui jalan yang rumit, tetapi hanya sedikit. Kemudian kita akan sampai ke daerah persawahan dan padang perdu yang terbuka. Ditempat itu, kita akan mendapat kesempatan yang sama dengan lawan jika mereka datang menyerang. Meskipun di daerah persawahan sekalipun, yang tanahnya bersusun. Tetapi kita tidak akan terjebak di satu bagian jalan yang seakan-akan dapat dipotong di kedua ujungnya oleh dua buah tikungan, sementara sisi-sisi jalan membatasi gerak pasukan kita. Sisi yang miring berbatu-batu padas dan disisi lain tebing yang meskipun rendah tetapi cukup curam. Namun di jalan yang pertama kita tidak akan dapat membawa pedati-pedati yang ditarik lembu. Tetapi kita dapat mempergunakan kuda-kuda beban untuk membawa barang-barang terpenting kita."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk sejenak ia berpikir, namun kemudian katanya, "Aku sependapat dengan jalan pikiranmu. Kita akan menempuh jalur jalan pertama. Tetapi usahakan agar para tawanan dapat melewati daerah yang rumpil itu dalam keadaan mereka sebagai tawanan. Kemudian bagaimana dengan mereka yang terluka parah sehingga tidak dapat berjalan sendiri. Apakah mungkin orang-orang yang membawa tandu dapat lewat."
"Ya Ki Gede." jawab Agung Sedayu, "ketika kami melihat-lihat tempat itu, maka kami berpendapat, bahwa orang-orang yang membawa tandu akan dapat lewat meski"pun agak sulit. Tetapi tidak akan terlalu berbahaya."
"Baiklah." berkata Ki Gede, "yang penting adalah bahwa kita tidak akan terjebak dalam kesulitan tanpa dapat berbuat apa-apa. Jika kita disergap disepotong jalan yang mampu di sumbat di kedua ujung pangkalnya, maka kita akan tidak berdaya menyaksikan kawan-kawan kita dibantai oleh lawan, termasuk para tawanan kita yang akan dipersenjatai."
"Ya Ki Gede. Sementara itu, di jalan yang lain, kita akan mendapat kesempatan yang sama dengan orang-orang yang akan menyergap kita." sahut Agung Sedayu.
"Adapun yang terjadi, bahkan seandainya seluruh pasukan kita hancur sekalipun, asal kita mendapat kesempatan untuk mengadakan perlawanan dan mampu berbuat sebagaimana lawan melakukannya. Berbeda dengan jika kita harus berlari-larian dan mencari perlindungan jika gumpalan-gumpalan batu padas menimpa kepala kita." gumam Ki Gede.
Dengan demikian, maka sudah jelas bagi Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang, apa yang harus mereka lakukan. Persiapan serta pengarahan bagi mereka yang akan membenahi barang-barang yang akan mereka bawa.
Tetapi Agung Sedayu dan Ki Demang, sependapat, bahwa mereka harus mengaburkan perhitungan lawan dengan mempersiapkan pedati-pedati yang seakan-akan mereka bawa ke Madiun.
"Orang-orang yang mengawasi padepokan ini harus mendapatkan kesimpulan yang keliru." berkata Agung Sedayu.
Dengan keputusan itu, maka segala persiapan dilakukan. Tetapi orang-orang yang ada di padepokan itu sendiri masih belum tahu, jalan manakah yang akan mereka pilih dengan pasti disaat terakhir meskipun mereka dapat menduga-duga justru karena persiapan yang mereka lakukan, sesuai dengan pengarahan para pemimpinnya.
Ki Gede Menoreh setelah berbicara dengan Ki Demang Selagilang dan Agung Sedayu, telah memutuskan untuk meninggalkan padepokan itu dua hari kemudian.
Waktu yang ditentukan oleh Ki Gede Menoreh memang batas yang memungkinkan. Lebih dari dua hari lagi, maka pasukan pengawal di padepokan itu akan mengalami kekurangan perbekalan. Meskipun masih ada beberapa jenis tanaman yang dapat mereka ambil, namun perbekalan yang ada sudah tidak memenuhi syarat lagi.
Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah membuat rencana yang lebih terperinci dari penarikan pasukan ini untuk kembali ke Madiun dengan membawa para tawanan. Meskipun mereka tidak berhasil menangkap Ki Gede Kebo Lungit, namun tugas mereka untuk menghancurkan kekuatan yang akan dapat membahayakan Madiun telah dapat mereka selesikan dengan baik.
Sesuai dengan perintah Ki Gede Menoreh, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu akan meninggalkan padepokan itu menjelang fajar dua hari lagi. Mereka akan menempuh jalan yang diharapkan tidak diduga oleh Ki Gede Kebo Lungit.
Ki Gede Menoreh memang berusaha untuk menghindari pertempuran, lebih-lebih lagi jebakan disaat mereka kembali ke Madiun. Korban telah cukup banyak. Namun jika saat-saat pasukan Ki Gede Kebo Lungit dengan bantuan gerombolan yang manapun juga mengganggu perjalanan mereka, maka sudah tentu pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak akan mengelak.
Disisa hari sebelum mereka berangkat, maka segala persiapan telah dilakukan. Beberapa perlengkapan yang tidak diperlukan telah dimasukkan kedalam pedati yang tidak akan mereka bawa. Agung Sedayu yang memiliki jangkauan pandangan dan pendengaran yang sangat jauh, mengetahui bahwa dua orang telah berusaha melihat persiapan pasukan pengawal itu. Namun Agung Sedayu dengan sengaja membiarkan mereka. Mereka tentu memperhitungkan bahwa pasukan itu akan tetap menempuh jalan yang mereka persiapkan sebagai jebakan itu, jika mereka melihat pedati-pedatipun telah dikemasi.
Sebenarnyalah Ki Gede Kebo Lungit sama sekali tidak menduga bahwa pasukan pengawal yang menduduki padepokannya akan mengambil jalan lain. Ki Gede Kebo Lungit bahkan telah memerintahkan untuk menambah batu-batu padas yang siap untuk diluncurkan.
Ketika malam tiba, maka Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah memerintahkan pasukannya untuk beristirahat sebanyak-banyaknya. Kecuali yang bertugas, sejak senja lewat, semuanya harus tidur. Besok mereka akan menempuh perjalanan panjang yang mungkin akan memerlukan tenaga yang sangat besar. Sedangkan yang bertugaspun harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat jika pengganti mereka sudah siap.
Sementara itu Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang bersama penunjuk jalan itu telah sekali lagi melihat jalan yang akan mereka lewati besok.
Ternyata tidak ada tanda-tanda yang akan dapat menyulitkan perjalanan mereka, sehingga mereka tidak perlu merubah rencana perjalanan mereka.
Lewat tengah malam Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang serta penunjuk jalan itu telah berada di padepokan. Merekapun memerlukan mempergunakan waktu yang ada untuk beristirahat.
Glagah Putih yang sempat mendekati Agung Sedayu mendapat banyak keterangan tentang jalan yang akan mereka lalui besok.
"Sekarang beristirahatlah," berkata Agung Sedayu kemudian, "Akupun akan beristirahat pula. Besok kita akan menempuh perjalanan yang berat."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun kemudian telah pergi ke bangunan induk padepokan itu dan tidur di ruang depan didalam bangunan induk itu. Beberapa pengawal bertugas menjaga bangunan induk itu dengan ketat diluar. Banyak kemungkinan dapat terjadi.
Apalagi di bangunan induk itu beristirahat Ki Gede Menoreh yang meskipun sudah baik, tetapi tentu belum pulih kembali.
Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu. Didini hari, padepokan itu telah menjadi sibuk. Para pengawal yang akan menempuh perjalanan harus makan dan minum secukupnya. Bahkan para petugas telah berusaha untuk membawa makanan yang telah masak untuk bekal diperjalanan.
Ketika semuanya sudah siap, maka Agung Sedayu berusaha untuk menghilangkan jejak. Bersama beberapa orang ia melihat-lihat keadaan disekeliling padepokan. Ternyata Agung Sedayu sempat mengusir dua orang pengawas yang dikirim oleh Ki Gede Kebo Lungit.
Namun nampaknya kedua orang itu sudah merasa puas dengan pengamatannya. Mereka menganggap bahwa pasukan pengawal di padepokan itu akan segera meninggalkan padepokan melalui jalan yang telah mereka persiapkan untuk menjebak iring-iringan itu. Beberapa pedati agaknya memang sudah terisi penuh dengan barang-barang yang mereka duga akan dibawa serta ke Madiun. Tetapi ketika pasukan itu kemudian berangkat, maka pedati-pedati itu ternyata tidak dibawa.
Sebelum fajar, maka iring-iringan yang panjang telah meninggalkan padepokan itu. Pasukan pengawal Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu berjalan diantara para tawanan yang saling menyekat. Dengan terpaksa sekali, maka para tawanan yang dianggap berbahaya memang harus diikat tangannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Merekapun mendapat pengawalan khusus dan dipisahkan dari kawan-kawannya yang dianggap sudah kehilangan keberanian sama sekali untuk berbuat sesuatu.
Namun Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah memperingatkan kepada para pengawal, bahwa kemungkinan buruk akan dapat terjadi di perjalanan. Jika sekelompok orang dengan serta menyergap mereka dan sempat memberikan senjata kepada para tawanan, maka keadaannya akan berbahaya.
Sementara itu Ki Demang Selagilang dan Agung Sedayu telah membagi pasukannya menjadi dua bagian. Sebagian ialah pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi setiap serangan dari siapapun juga, sedang yang lain, harus dengan cepat menguasai para tawanan apabila mereka sempat menjadi liar.
Demikianlah, pasukan yang khusus dipersiapkan telah berjalan dipaling depan. Kemudian berjalan para pengawal yang bersenjata jarak jauh. Mereka membawa busur dan anak panah dalam endong yang tergantung dilambung. Baru kemudian para pengawal yang dalam kelompok-kelompok kecil siap bergerak kemanapun.
Dibelakang mereka berjalan para tawanan yang setiap kali diseling dengan para pengawal. Namun demikian disebelah menyebelah iring-iringan itu, juga berjalan para pengawal yang siap menghadapi segala kemungkinan.
Diujung belakang, maka para pengawal dari Pegunungan Sewu telah membagi diri pula. Diujung paling belakang adalah para pengawal dari Pegunungan Sewu yang bersenjata jarak jauh. Mereka tidak saja membawa busur dan anak panah, tetapi ada diantara mereka yang bersenjata bandil.
Ditengah-tengah iring-iringan itu, para petugas di bagian perlengkapan dan perbekalan berjalan dengan mengiringi kuda-kuda beban mereka.
Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang yang telah melihat jalan yang akan mereka tempuh sebelumnya, sebenarnya hanya merasa cemas saat iring-iringan itu berjalan di daerah yang sulit dan rumpil. Jalan yang sempit dan miring. Turun naik dan bahkan agak licin.
Karena itu, ketika iring-iringan itu mendekati tempat itu, Agung Sedayu telah membawa pasukan khusus mendahului seluruh iring-iringan itu dan langsung dipimpinnya sendiri.
Glagah Putih yang akan menyertainya telah diperintahkannya untuk selalu dekat dengan Ki Gede Menoreh.
Dengan kelompok kecilnya, Agung Sedayu mendahului meniti bagian jalan yang sempit itu pada saat matahari mulai naik. Tanah mulai dihangatkan oleh cahaya matahari pagi, sehingga embunpun mulai menguap ke udara.
Pasukan kecil itu merayap perlahan-lahan. Para pengawal didalamkelompok kecil itu berloncatan diantara bebatuan. Kemudian bagaikan meniti titian yang sempit. Mereka kemudian berjalan diatas tanah miring yang memang agak licin.
Ternyata lintasan yang tidak terlalu panjang itu harus ditempuh untuk waktu-waktu yang tidak terlalu panjang itu harus ditempuh untuk waktu yang agak lama sehingga Agung Sedayu kemudian dapat membayangkan bahwa iring-iringan yang panjang, yang diantaranya terdapat beberapa orang ta"wanan yang terikat tangannya itu memerlukan waktu yang cukup lama.
Ketika kelompok kecil itu kemudian telah melampaui jalan yang rumpil itu, maka barulah dengan hati-hati iring-iringan yang panjang itu mulai memasuki lintasan yang sulit itu.
Namun para pengawal yang sudah terlatih itu seorang demi seorang telah melampaui lintasan yang sulit itu, Bahkan beberapa orang yang membawa tandu untuk mengusung kawan-kawan mereka yang terlukapun lewat pula. Demikian pula para tawanan, bahkan yang tangannya terikat.
Agung Sedayu dan kelompoknya telah berjaga-jaga dengan hati-hati. Kelompok itu telah mengawasi lingkungan itu dengan saksama. Jika Ki Gede Kebo Lungit mengetahui bahwa pasukan pengawal telah memilih jalan itu, maka daerah yang paling lemah adalah daerah yang sedang dilalui itu.
Namun meskipun lambat, akhirnya iring-iringan itu berhasil dengan selamat melalui lintasan yang sempit dan rumpil itu. Yang terakhir melintas adalah sekelompok pasukan Pegunungan Sewu yang paling trampil.
Demikian orang terakhir lewat, maka setiap hatipun menjadi lapang. Kuda-kuda beban yang ada didalam iring-iringan itupun sempat melintas dengan selamat.
Namun ternyata lintasan yang pendek itu dilalui sampai saatnya matahari mendekati puncaknya. Panasnya sudah terasa menyengat kulit.
Ki Gedepun kemudian telah memberikan aba-aba agar iring-iringan itu kemudian meneruskan perjalanan. Yang ada didepan mereka adalah padang perdu dan tanah persawahan yang bersusun dengan baik. Kemudian padang perdu pula yang terbuka. Meskipun tanah itu tidak rata, tetapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak akan dapat dijebak oleh lawan.
Demikian pula untuk seterusnya. Mereka tidak akan melewati jalan yang dikedua sisinya dibatasi oleh dinding yang miring serta tebing yang rendah. Jika mereka kemudian memasuki jalan yang agak sempit, namun disebelah menyebelah jalan itu adalah tanah yang juga terbuka, meskipun berbatu-batu padas dan penuh dengan gerumbul-gerumbul perdu.
Dengan demikian maka pasukan itu akan dapat bertempur pada arena yang luas dan tidak tersumbat diujung-ujungnya jika potongan iring-iringan itu mendapat sergapan dari lambung.
Namun ketika iring-iringan itu mulai dengan perjalanan, maka dua orang pengawas yang dikirim oleh Ki Gede Kebo Lungit dan Wira Bledeg telah mendapat firasat buruk. Ketika matahari naik semakin tinggi, keduanya tidak segera melihat iring-iringan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegu"nungan Sewu lewat lorong dihadapan mereka.
Karena itu, maka kedua orang itu telah memberanikan diri mendekati padepokan yang telah diduduki oleh pasukan Mataram itu.
Ternyata keduanya terkejut bukan buatan. Mereka menemukan padepokan itu telah kosong. Tetapi mereka mendapatkan pedati-pedati yang penuh dengan muatan serta lembu-lembu yang siap dipasang masih ada di padepokan itu.
"Gila orang-orang Mataram." geram kedua orang itu, "mereka tentu mencari jalan lain."
Kawannya menggeretakkan giginya. Katanya dengan nada berat, "Kita lihat jejaknya."
Kedua orang itupun kemudian bergerak cepat. Melihat jejak para pengawal yang meninggalkan padepokan itu.
Ternyata dugaan mereka tepat. Iring-iringan yang telah meninggalkan padepokan itu telah memilih jalan yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya.
"Kita harus segera memberikan laporan." desis seorang diantara mereka.
"Ya. Kita harus memberikan laporan." sahut yang lain.
"Tetapi kita akan terlambat. Pasukan itu tentu sudah menjadi terlalu jauh." berkata orang yang pertama.
"Tidak. Kita masih mempunyai kesempatan. Mereka akan terlambat di lintasan sempit yang rumpil. Iring-iringan yang harus membawa tawanan dengan tangan terikat serta orang-orang yang harus dibawa dengan tandu itu tentu memerlukan waktu yang lama untuk melawan lintasan itu." sahut yang lain.
Orang yang pertama mengangguk-angguk. Katanya, "Jika kita berjalan cepat, mungkin masih ada waktu. Tetapi semuanya tergantung kepada Wira Bledeg. Apakah Wira Bledeg bersedia menyergap pasukan Mataram itu di tempat yang terbuka, sehingga pasukan itu akan mempunyai kesempatan yang luas untuk membela diri."
"Tetapi di iring-iringan itu terdapat sepasukan tawanan yang akan bangkit untuk bergerak dari dalam. Mereka akan berbuat sesuatu. Kita hanya menyalakan api. Setelah itu biarlah api itu berkobar, membakar pasukan Mataram seberapapun yang dapat dicapai. Jika kemudian para tawanan itu tumpas, Ki Gede Kebo Lungit tidak peduli."
Orang yang pertama mengangguk-angguk pula. Dengan mantap iapun berkata, "Marilah. Kita harus bergerak lebih cepat dari pasukan yang telah meninggalkan padepokan ini."
Demikianlah kedua orang itu telah berlari-lari menempuh jalan yang turun naik dan berbelok-belok. Nafas merekapun menjadi terengah-engah, sementara itu keduanya masih juga berdebar-debar karena keduanya mungkin saja dianggap bersalah.
Ki Gede Kebo Lungit yang bersembunyi dibalik sebuah gerumbul yang agak lebat bersama Wira Bledeg segera mendapat laporan tentang kedatangan kedua orang itu.
"Suruh orang itu kemari." perintah Ki Gede Kebo Lungit.
Kedua orang yang agaknya hampir putus itupun segera menghadap. Dengan kalimat yang patah-patah keduanya melaporkan apa yang dilihatnya. Keduanya juga memberitahukan bahwa keduanya telah datang ke padepokan yang sudah kosong, pedati-pedati yang sudah siap berangkat serta penuh dengan alat-alat. Lembu yang siap untuk dipasang. Namun yang ternyata masih tetap berada di padepokan. Kemudian mereka telah mencoba untuk melihat jejak dari iring-iringan pasukan itu. Akhirnya mereka memastikan bahwa iring-iringan itu tidak akan mengambil jalan yang sudah mereka siapkan dengan berbagai macam jebakan itu.
"Gila." geram Ki Gede Kebo Lungit, "apakah kau berkata sebenarnya?"
"Ya Ki Gede, kami berdua telah meyakini." sahut salah seorang dari mereka.
Ki Gede Kebo Lungit benar-benar tertipu. Dengan suara bergetar ia bertanya, "jadi mereka membenahi pedati-pedati itu?"
"Ya Ki Gede. Seakan-akan pedati-pedati itu memang akan mereka bawa ke luar dari padepokan itu. Jika demikian, memang tidak ada jalan lain selain jalan ini." desis seorang yang lain.
Kemarahan Ki Gede Kebo Lungit bagaikan meledak di dadanya. Dengan geram ia berteriak, "Apakah kita masih mempunyai waktu untuk memotong perjalanan mereka?"
"Masih Ki Gede. Tetapi tidak dititik yang paling lemah. Agaknya mereka telah melewati lintasan pendek, namun yang rumit itu." jawab salah seorang dari keduanya.
"Aku tidak peduli dimanapun." Ki Gede Kebo Lungit masih berteriak, "pokoknya kita harus membakar perasaan para tawanan agar mereka menjadi gila dan bertempur membabi buta melawan para pengawal yang menjaganya. Biar saja mereka mati sampai orang terakhir. Tetapi dalam benturan kekerasan itu tentu ada orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu yang akan mati."
"Jadi, apakah Ki Gede menghendaki agar kita menghadang mereka?" bertanya Wira Bledeg.
"Aku sudah mengatakannya. Kenapa kau masih bertanya?" Ki Gede Kebo Lungit masih berteriak.
Ki Wira Bledeg yang sudah mengenal tabiat Ki Gede Kebo Lungit tidak bertanya lagi. Iapun segera meneriakkan aba-aba yang disambut oleh para pemimpin Kelompoknya.
Sejenak kemudian beberapa orang telah berkumpul untuk mendengarkan perintah Ki Gede Kebo Lungit. Saat itu juga mereka harus membawa pasukan mereka ke tempat yang belum mereka persiapkan sebelumnya.
"Mereka akan turun ke jalan ini pula beberapa ratus patok dari tempat itu." berkata Ki Gede Kebo Lungit, "tempat itu adalah tempat yang paling lemah yang dapat kita capai, karena mereka tentu sudah melewati lintasan sempit yang sulit itu."
"Apakah kita harus pergi ke titik potong yang beberapa ratus patok dari sisi itu?" bertanya seorang pemimpin kelompok.
"Ya. Sasaran kalian tetap. Berusaha memberi kesempatan kepada para tawanan untuk bertempur. Setelah itu, terserah kepada kalian. Apakah kalian akan menyingkir atau ikut membantai orang-orang Mataram itu." berkata Ki Gede Kebo Lungit.
Demikianlah maka pasukan kecil itu dengan tergesa-gesa telah meninggalkan tempat itu. Beberapa orang yang merasa kecewa telah mendorong gumpalan-gumpalan batu padas sehingga berguling turun dengan suara gemuruh menimpa jalan dibawah dinding padas yang miring itu. Tetapi batu-batu itu sama sekali tidak menimpa seorangpun karena pasukan yang mereka tunggu ternyata tidak akan melewati jalan itu.
Sejenak kemudian dengan tergesa-gesa pasukan itu telah menuju ke titik temu antara lorong sempit di padang terbuka dengan jalan yang dipergunakan oleh pasukan kecil itu.
"Satu-satunya tempat yang paling baik untuk menyergap. Jika kita datang lebih dahulu, kita dapat berusaha untuk bersembunyi dan dengan tiba-tiba menyergap mereka." berkata Ki Gede Kebo Lungit.
Wira Bledeg tidak menyahut. Tetapi tempat itu bukan tempat sempit seperti jalan yang mereka lalui. Tempat itu adalah tempat yang terbuka, meskipun berbatu-batu padas. Pertempuran akan dapat terjadi pada garis perang yang panjang sehingga pasukan pengawal akan dapat bergerak leluasa.
Tetapi jika Wira Bledeg berhasil menyergap dengan tiba-tiba sehingga mencapai para tawanan, maka api yang mereka nyalakan itu akan berkobar dan membakar pasukan pengawal yang membawa para tawanan itu.
Beberapa saat kemudian, maka Wira Bledeg dan Ki Gede Kebo Lungit telah mendekati sasaran yang mereka tuju. Karena itu, maka Wira Bledegpun telah memberikan isyarat agar iring-iringan itu berhenti sejenak untuk melihat keadaan.
"Aku akan mendahului, Ki Gede." berkata Wira Bledeg.
"Baik. Hati-hati. Orang-orang Mataram itu ternyata adalah iblis-iblis yang licik." Sahut Ki Gede Kebo Lungit.
Wira Bledeg dan beberapa orang terpercaya telah mendahului untuk melihat apakah iring-iringan dari padepokan itu telah lewat. Menurut perhitungan Wira Bledeg, maka mereka akan datang mendahuluinya, karena iring-iringan pasukan dari padepokan itu harus berjalan melingkar, sehingga jaraknya akan menjadi jauh lebih panjang.
Ternyata perhitungan Wira Bledeg itu benar. Mereka belum melihat jejak iring-iringan yang lewat. Sehingga karena itu, maka Wira Bledeg telah memerintahkan dua orangnya untuk menghubungi Ki Gede.
Tetapi waktu mereka terlalu sempit. Dengan demikian, maka dua orang pengikut Wira Bldeg itu dengan cepat telah menghubungi Ki Gede Kebo Lungit, agar seluruh iring-iringan itu maju dengan segera.
Dalam waktu singkat. Wira Bledeg telah mempersiapkan orang-orangnya. Mereka bersembunyi dibalik gerumbul-gerumbul perdu dan dicelah-celah batu padas di dekat lorong yang memotong jalan yang semula diperhitungkan akan dilalui iring-iringan dari padepokan itu. Sebagian bersembunyi dibalik onggokan bebatuan dan rumpun-rumpun ilalang.
Tetapi tempat persembunyian yang mereka siapkan dengan tergesa-gesa itu tidak sebaik jebakan yang telah mereka persiapkan dalam waktu yang cukup lama. Bahkan gumpalan-gumpalan batu padas yang siap dilluncurkan.
Sebenarnyalah selisih waktu mereka memang tidak lama. Seperti Wira Bledeg, maka para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewupun mempunyai perhitungan yang cermat. Merekapun mengira, bahwa Ki Gede Kebo Lungit akan dengan tergesa-gesa memindahkan tempat yang akan dipergunakannya untuk menjebak iring-iringan itu. Agung Sedayupun berpendapat, bahwa mereka mempunyai sedikit waktu lebih dari iring-iringan pasukannya yang harus melingkar-lingkar.
Sementara itu, Agung Sedayu masih harus tetap berjalan didepan. Meskipun mereka telah melampaui lintasan yang berbahaya itu, namun Agung Sedayu masih harus tetap berhati-hati, karena kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga akan dapat terjadi.
Dengan kemampuannya mempergunakan ilmu Sapta Pandulu, maka Agung Sedayu yang masih berada ditempat yang agak jauh dari persembunyian orang-orang yang menghadangnya, ternyata mampu melihat seseorang yang bergeser dari belakang sebuah gerumbul perdu ke gerumbul yang lain.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia telah memerintahkan salah seorang penghubung untuk memberikan laporan kepada Ki Gede. Perintah khusus bagi Glagah Putih adalah, jangan terpisah dari Ki Gede.
Penghubung itupun segera melaksanakan tugasnya. Dilaporkannya kepada Ki Gede, apa yang telah dilihat oleh Agung Sedayu serta semua pesan-pesannya serta perintah khusus bagi Glagah Putih.
Ki Gede mengangguk-angguk. Penghubung itupun telah diperintahkan pula langsung menemui Ki Demang Selagilang.
Dalam pada itu Prastawapun segera memerintahkan untuk menghubungi para pemimpin kelompok. Masing-masing harus ada pada tugasnya. Pasukan yang mencegat perjalanan mereka itu tentu akan berusaha untuk berhubungan dengan para tawanan. Mereka akan membakar hati para tawanan untuk bertempur habis-habisan.
Karena itu, maka mereka yang bertugas untuk mencegah mereka berhubungan dengan para tawanan harus segera menempatkan diri. Sementara itu, mereka yang bertugas untuk menguasai para tawananpun harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Kita harus menguasai keadaan apapun yang terjadi." perintah Prastawa kepada para pemimpin kelompok.
Namun dalam pada itu, laporan Agung Sedayu lewat penghubung itu sama sekali tidak berpengaruh atas gerak maju seluruh iring-iringan. Agung Sedayu dan sekelompok pengawal masih tetap berjalan dipating depan. Namun jarak antara kelompok khusus yang dipimpin Agung Sedayu itu dengan seluruh pasukan menjadi semakin dekat.


11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, orang-orang yang menunggu di balik gerumbul-gerumbul perdu, dibalik batu-batu padas dan rumpun ilalang, telah pula melihat iring-irngan yang mendatang.
Namun Wira Bledeg justru menjadi ragu-ragu. Ternyata yang akan dihadapi adalah satu kekuatan yang sangat besar. Apakah orang-orangnya yang sedikit itu akan mampu memecahkan pertahanan para pengawal dan mencapai para tawanan. Sementara itu mereka belum tahu, dimana para tawanan itu ditempatkan.
Tetapi seperti Ki Gede Kebo Lungit, maka Wira Bledeg memang berharap bahwa ia hanya akan menyalakan api saja, sementara iring-iringan itu telah membawa minyak didalamnya.
Tanpa mendapat perintah lagi, orang-orang Wira Bledeg dan sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit itupun telah bersiap. Orang-orang Wira Bledeg adalah orang-orang yang terbiasa melakukan pekerjaan tanpa perlu mendapat perintah langsung disetiap kali mereka melakukannya.
Ki Gede Kebo Lungitpun menggeram melihat pasukan yang mendatang itu. Ketika ia melihat Wira Bledeg yang ada didekatnya menjadi tegang, iapun berkata, "Jangan cemas. Orang-orangmu adalah orang-orang yang terbiasa melakukan kekerasan tanpa harus mempertimbangkan tata krama peperangan. Karena itu, maka orang-orang Mataram itu tentukan terkejut."
"Tetapi jumlah kita terlalu sedikit dibandingkan dengan seluruh pasukan itu." jawab Wira Bledeg.
"Kau gila. Sepero dari iring-iringan itu adalah tawanan." jawab Ki Gede Kebo Lungit.
Wira Bledeg hanya mengangguk-angguk saja. Namun ia masih saja menganggap kekuatan yang akan dihadapi adalah kekuatan yang besar.
Hampir diluar sadarnya Wira Bledeg memperhatikan orang-orangnya yang ada di belakang pohon-pohon perdu, rumpun-rumpun ilalang dan batu-batu padas.
"Orang-orangku juga cukup banyak." gumam Ki Wira Bledeg untuk membesarkan hatinya sendiri.
Namun kemudian ia mengeluh, "Tetapi sisa-sisa orang Kebo Lungit sama sekali tidak akan berdaya menghadapi pasukan itu."
Ketika iring-iringan itu menjadi semakin dekat, maka Wira Bledegpun mengumpat melihat sekelompok pengawal yang berada didepan iring-iringan itu. Sekelompok pengawal yang tentu orang-orang pilihan.
"Betapa sombongnya orang-orang yang berjalan didepan pasukan itu." berkata Wira Bledeg.
Dengan demikian maka Wira Bledeg terpaksa berpikir. Orang-orangnya tidak boleh terlibat dalam pertempuran melawan kelompok yang terpisah itu seluruhnya. Yang lain harus tetap berlindung dan menyergap iring-iringan itu.
Tetapi Wira Bledeg tidak sempat memberikan perintah kepada orang-orangnya, kecuali jika mereka justru sudah mulai bertempur.
Beberapa saat kemudian, sekelompok pengawal yang dipimpin oleh Agung Sedayu telah memiliki lingkaran sasaran orang-orang Wira Bledeg. Namun orang-orang Wira Bledeg masih belum beranjak dari tempatnya.
Bahkan kemudian Wira Bledeg berbisik kepada Ki Gede Kebo Lungit, "Perintahkan orang-orangmu menyergap. Orang-orangku akan menembus para pengawal dan mencapai para tawanan."
Ki Gede Kebo Lungit mengangguk-angguk. Iapun kemudian memberi isyarat kepada kepercayaannya yang masih sempat menyertainya untuk memberikan perintah.
"Sebut nama perguruanmu, agar orang-orang Wira Bledeg tidak ikut melibatkan diri." perintah Ki Gede Kebo Lungit.
Orang itu termangu-mangu. Namun Ki Gede Kebo Lungit memandangnya dengan mata yang memancarkan kemarahan, "Cepat." tetapi ia tidak dapat beteriak karena iring-iringan itu menjadi semakin dekat. Orang-orang Wira Bledeg akan menyergap induk pasukan. Baru orang itu menyadari. Karena itu, ketika sekelompok pengawal menjadi semakin dekat, maka orang itu tiba-tiba saja bangkit berdiri sambil berteriak, "He, orang-orang padepokan Kebo Lungit, hancurkan kelompok ini."
Sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit segera berloncatan dari balik gerumbul-gerumbul liar. Dengan garagnya mereka menyerang sambil berteriak-teriak kasar.
Agung Sedayu dan para pengawal yang menyerangnya sama sekali tidak terkejut karenanya. Mereka sudah mengira bahwa mereka akan disergap ditempat itu, sebelum mereka turun ke jalan yang lebih besar. Tetapi lorong sempit itu tidak dibatasi oleh dinding-dinding yang sulit di tembus, sehingga di tempat terbuka itu para pengawal dapat bertempur dengan garis perang yang melebar, meskipun harus berada di medan yang berbatu-batu dan batu-batu padas yang terong"gok disana-sini. Pohon-pohon perdu liar dan rumpun-rumpun ilalang. Namun ditempat itu kedua belah pihak mempunyai kesempata yang sama. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak akan terjebak di tempat yang bagaikan terkurung, sementara batu-batu padas berguguran menimpa kepala mereka.
Dalam pada itu, para pengikut Wira Bledeg memang menjadi ragu-ragu. Mereka belum melihat Wira Bledeg sendiri bangkit dan ikut menyerang. Yang mereka lihat adalah sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit.
Namun orang-orang yang berpengalaman itupun segera tanggap. Tetapi mereka adalah menyerang lambung iring-iringan itu tepat pada barisan para tawanan.
Sementara Agung Sedayu dan kelompoknya bertempur, maka iring-iringan itu berjalan terus. Iring-iringan itu seakan-akan tidak mempedulikan pertempuran yang berlangsung. Namun agaknya para pengawal dengan cepat mampu mendesak mereka.
Yang tertegun adalah Agung Sedayu. la tidak melihat Ki Gede Kebo Lungit ada diantara mereka. Karena itu. maka Agung Sedayupun segera memerintahkan kepercayaannya untuk memimpin kelompok itu.
"Jika Ki Gede Kebo Lungit hadir disini, beri aku isyarat dengan suitan tiga kali berturut-turut." pesan Agung Sedayu, "aku akan mengawasi iring-iringan itu berjalan melalui lingkaran sasaran mereka. Aku yakin, masih ada orang lain yang bersembunyi."
Pemimpin kelompok pengawal khusus itupun mengangguk. Ia menyadari tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Namun itu adalah salah satu dari kewajiban yang harus dipikulnya.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayupun telah berdiri di garis perjalanan iring-iringan yang memasuki lingkaran sasaran. Tetapi orang-orang Wira Bledeg tidak segera menyerang mereka. Sementara itu para pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang tersisa telah bertempur menebar. Mereka memang memancing para pengawal untuk berkisar dari garis perjalanan iring-iringan itu.
Namun orang-orang Wira Bledeg itu tidak dapat bersembunyi dari penglihatan Agung Sedayu. Meskipun mereka berusaha untuk berada dibelakang gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun, rumpun-rumpun ilalang atau dibelakang batu-batu padas, namun Agung Sedayu telah melihat sebagian dari mereka.
Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Ia yakin para pengawal akan mampu mengatasi kesulitan jika orang-orang itu menyerang, Kecuali jika Ki Gede Kebo Lungit sendiri turun ke medan.
Prastawa yang memimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi tegang. Ujung pasukannya telah sampai ke lingkungan yang diberitahukan oleh Agung Sedayu menjadi lingkungan yang berbahaya. Karena itu, maka iapun telah memberikan isyarat kepada para pengawal yang ada diujung pasukannya untuk berhati-hati. Apalagi Ki Gede sendiri masih belum pulih benar. Kekuatannya masih belum kembali sebagaimana sebelumnya, meskipun tangannya sudah mampu menggenggam tombak pendeknya.
Disebelahnya berjalan Glagah Putih yang juga menjadi tegang. Seakan-akan ia telah mendapat perintah dari Agung Sedayu untuk mempertanggungjawabkan keselamatan Ki Gede.
Namun para pengawal yang diserahi tugas untuk menjaga para tawanan itulah yang menjadi lebih tegang. Mereka menyadari bahwa mereka akan menjadi sasaran utama serangan yang tentu masih bakal datang.
Sebenarnyalah, ketika Wira Bledeg telah melihat beberapa orang tawanan dalam iring-iringan itu, maka ia mulai bersiap-siap. Sementara itu sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit masih juga bertempur melawan kelompok khusus pengawal yang semula dipimpin oleh Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu masih saja berdiri tegak memperhatikan iring-iringan yang berjalan maju itu, yang sebentar kemudian akan menuruni jalan yang agak lebih lebar dari lorong-lorong yang mereka lalui. Namun karena lorong sempit itu berada di tempat terbuka, meskipun sedikit sulit, na"mun iring-iringan itu dapat mempergunakan padang perdu yang berbatu-batu itu untuk dilewati para pengawal yang menjaga para tawanan.
Dalam pada itu, pasukan Wira Bledeg memang sudah bersiap untuk menyergap. Namun sekali lagi Wira Bledeg mengumpat, "Licik orang-orang Mataram. Mereka menempatkan para tawanan terpisah-pisah."
Tetapi itu sama sekali tidak akan mengendorkan tekad Wira Bledeg untuk menyalakan api dalam iring-iringan pasukan yang datang dari padepokan itu.
Sementara itu Agung Sedayu yang masih belum melihat Ki Gede Kebo Lungit masih saja merasa tegang. Orang itu akan dapat muncul kapan saja ia inginkan dan ditempat yang mungkin tidak diduga-duga sebelumnya.
Tetapi yang kemudian muncul lebih dahulu ternyata adalah Wira Bledeg. Ternyata suaranya memang seperti guruh ketika ia meneriakkan aba-aba kepada orang-orangnya. Bukan saja gemuruh mengumandang di lereng Gunung Itu, tetapi juga mengandung tenaga yang nirip kekuatan ilmu Gelap Ngampar. Agaknya karena itulah maka ia disebut Wira Bledeg.
Perintah Wira Bledeg cukup tegas. Tanpa banyak kata-kata. Yang keluar dari mulutnya hanya perintah. "Sekarang."
Suara itu bagaikan berputar-putar. Mengguncang setiap dada, terutama orang-orang yang ada didalam iring-iringan dari padepokan itu, kemudian menusuk kepusat jantung.
Pada saat yang demikian, maka orang-orang Wira Bledegpun telah berloncatan dari persembunyiannya. Dari balik gundukan batu-batu padas. Dengan garangnya mereka telah menyerang para pengawal yang menjaga para tawanan yang ada didalam iring-iringan.
Ternyata kekuatan mereka diluar dugaan. Orang-orang Wira Bledeg cukup banyak. Sementara mereka tidak memencar dan menyerang di beberapa bagian dari iring-iringan itu.
Namun mereka hanya membagi kekuatan mereka menjadi dua kelompok seperti yang memang telah mereka rencanakan.
Kedua orang yang memimpin kelompok-kelompok itu telah membawa kelompok mereka ke sasaran. Seperti Wira Bledeg, maka kedua pemimpin itu juga mengetahui bahwa para tawanan telah terbagi dan disekat oleh para pengawal.
Dalam pada itu, serangan orang-orang Wira Bledeg itu memang cukup mendebarkan. Dua kekuatan yang sangat besar itu telah menghantam dinding pasukan pengawal.
Para pengawal yang memang telah bersiap itupun telah membentur kekuatan yang sangat luar biasa itu, meskipun hanya ada dua titik sasaran. Demikian dahsyatnya serangan itu, serta gerak yang cepat dan deras, maka para pengawal memang mengalami kesulitan.
Sementara itu, para pengawal di sebelah menyebelah telah berkerut pula, untuk bersama-sama bertahan. Tetapi ujung dari kedua kelompok kekuatan itu ternyata memang hampir tidak terlawan.
Sebenarnyalah kedua kelompok kekuatan para pengikut Wira Bledeg itu benar-benar sulit untuk ditahan. Keduanya menusuk seperti lembing yang dilontarkan oleh kekuatan yang tidak tertahan.
Ternyata yang ada diujung kekuatan di kelompok yang satu adalah Wira Bledeg sendiri. Sedangkan yang ada dikelompok lain adalah orang kedua dari kekuatan Wira Bledeg.
Agung Sedayu memang menjadi termangu-mangu. Ada niatnya untuk meloncat, ikut menahan kekuatan yang besar itu. Namun ia masih saja mengingat Ki Gede Kebo Lungit yang tentu ada di tempat itu pula. Jika ia terlihat dalam pertempuran itu, dan tiba-tiba saja Ki Gede Kebo Lungit muncul, maka Ki Gede Kebo Lungit itupun akan dapat membantai para pengawal.
Namun dalam pada itu, maka dengan cepat para pengawal telah menuju ke dua titik sasaran para pengikut Ki Wira Bledeg. Mereka bukan orang-orang yang berilmu tinggi. Tetapi mereka adalah orang-orang yang dengan liar telah menyerang lambung iring-iringan yang berjalan maju itu.
Ternyata usaha Wira Bledeg itu berhasil. Tanpa menghiraukan berapa banyaknya korban yang jatuh, akhirnya orang-orang Wira Bledeg memang dapat menembus lapisan pertahanan para pengawal. Beberapa orang telah dapat mencapai para tawanan. Dan bahkan mereka dengan cepat telah memotong tali-tali pengikat sambil meneriakkan aba-aba, "Atas perintah Ki Gede Kebo Lungit. Bangkitlah. Lebih baik mati daripada menjadi tawanan."
Orang-orang, Wira Bledeg itu telah sempat memberikan senjata kepada para tawanan yang telah mereka capai.
Satu kegagalan dari para pengawal Tanah Perdikan yang kemudian sangat terasa pengaruhnya. Para tawanan yang telah menerima senjata itupun memang menjadi gila. Mereka mengamuk tanpa memperhitungkan apapun lagi. Dengan senjata yang mereka terima maka mereka telah berusaha untuk menyerang para pengawal.
Semula para pengawal memang masih berusaha untuk mengawasi mereka. Mereka meneriakkan aba-aba untuk menenangkan keadaan. Namun mereka seakan-akan tidak lagi berhadapan dengan para tawanan mereka. Tetapi mereka seakan-akan telah berhadapan dengan iblis-iblis liar dan sedang kehilangan akal.
Dua kelompok pengikut Wira Bledeg telah dapat mencapai dua kelompok tawanan yang kemudian menjadi gila itu. Pertempuran telah mulai menyala didalam iring-ringan. Dengan bangkitnya dua kelompok tawanan, maka beberapa orang Wira Bledeg mampu menghubungi kelompok-kelompok tawanan yang lain, yang telah bergolak pula.
Para pengawal dari Tanah Perdikan itupun cepat bergerak. Sekelompok pengawal telah memisahkan diri dan menggiring para tawanan ke padang yang terbuka, dipagari dengan ujung-ujung senjata. Sementara itu dengan isyarat, maka para pengawal dari Pegunungan Sewupun telah bergerak pula.
Dengan cepat, pasukan pengawal telah berusaha mengepung arena pertempuran itu, agar para tawanan yang menjadi gila dan orang-orang Wira Bledeg tidak dapat lolos.
Namundalam kekalutan yang terjadi itu, maka sulit bagi para pengawal untuk dengan cepat menguasai keadaan. Para tawanan yang tidak sempat dihubungi para pengikut Wira Bledegpun mulai bergolak. Apalagi mereka yang tidak terikat. Bahkan beberapa orang dengan tanpa perhitungan telah berusaha merebut senjata para pengawal.
Usaha itu, memang telah membangkitkan keributan pula. Meskipun para pengawal berusaha cepat menguasai para tawanan, namun beberapa orang memang sempat menumbuhkan keributan sehingga korbanpun makin berjatuhan.
Dalam keributan itu, sesuai dengan rencana, maka para pengikut Wira Bledeg dan sisa-sisa orang-orang Ki Gede Kebo Lungit tidak bertahan terlalu lama. Mereka memanfaatkan keadaan yang belum mapan untuk menarik diri. Sebelum kepungan para pengawal menjadi rapat, maka orang-orang itu telah berusaha keluar dari arena.
Para pengawal memang tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi. Tiba-tiba saja mereka melihat kelompok-kelompok itu telah meloncat meninggalkan arena dan melarikan diri ke padang terbuka.
Tetapi para pengawal tidak membiarkannya. Para pengawal yang merasa gagal membentengi para tawanan itu menjadi marah. Terutama mereka yang telah bertempur dengan para pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang tersisa.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Pegunungan Sewu adalah pengawal-pengawal yang untuk beberapa lama berada di peperangan. Sejak mereka memasuki kota Madiun, kemudian di padepokan Ki Gede Kebo Lungit, sehingga kemudian saat-saat mereka kembali ke Madiun, telah sangat mempengaruhi jiwa mereka. Beberapa orang kawan bahkan sahabat-sahabat yang terdekat telah terbunuh. Karena itu, maka darah merekapun dengan cepat pula telah mendidih.
Ketika para tawanan itu tiba-tiba mengamuk serta menjatuhkan beberapa korban lagi, maka para pengawalpun sebagian telah kehilangan pengamatan diri. Seperti juga para tawanan, maka merekapun seakan-akan tidak lagi mempunyai perhitungan. Senjata mereka adalah satu-satunya tempat untuk menumpahkan gejolak jantung mereka.
Dalam pada itu, Wira Bledeg yang merasa dirinya berhasil, ternyata masih juga harus melihat kenyataan yang lain.
Para pengawal tidak begitu saja melepaskannya meninggalkan medan. Meskipun terjadi pergolakan yang sengit karena para tawanan yang bangkit untuk mengadakan perlawanan, namun sebagian para pengawal sama sekali tidak membiarkan orang-orang yang telah menuangkan lumpur ke wajah para pengawal itu untuk lari.
Agung Sedayu ternyata menjadi sangat marah. Ia telah menghindari jebakan yang dipasang oleh Ki Gede Kebo Lungit. Ia pun menyadari sepenuhnya bahwa iring-iringannya akan melewati sekelompok orang yang akan mengacaukan iring-iringan itu dengan berusaha membakar harga diri para tawanan. Namun ternyata pasukannya masih juga gagal mempertahankan dinding yang membetengi para tawanan itu.
Kemarahan itu ternyata telah meledak. Agung Sedayu sendiri ternyata telah ikut mengejar orang-orang yang melarikan diri. Yang menjadi sasarannya adalah orang yang memegang pimpinan dari sekelompok orang itu, yang ternyata bukan Ki Gede Kebo Lungit.
Sementara itu, Agung Sedayu mempercayakan keselamatan Ki Gede Menoreh kepada Glagah Putih dan beberapa orang pengawal yang terpercaya. Ki Gede Menoreh sendiri bukannya tidak berdaya sama sekali.
Keadaannya sudah berangsur baik, sehingga ia akan dapat menjaga dirinya sendiri, sementara Glagah Putih akan mampu menahan Ki Gede Kebo Lungit berbareng dengan beberapa orang pengawal pilihan.
Wira Bledeg memang menjadi berdebar-debar. Ia mengira bahwa kekalutan yang terjadi akan merampas semua perhatian para pengawal. Namun ternyata sebagian dari para pengawal itu telah mengejar mereka.
Ketika Wira Bledeg kemudian melihat bahwa pengawal yang mengejar mereka tidak terlalu banyak, maka iapun telah menjadi berbesar hati. Ia justru akan dapat menambah korban diantara para pengawal.
"Aku akan menghancurkan mereka sampai lumat." geram Wira Bledeg yang kemudian justru memberi isyarat kepada para pengikutnya untuk memberikan perlawanan.
"Jangan dikenai senjata di punggungnya. Bersiaplah untuk membunuh." teriak Wira Bledeg.
Terdengar siutan nyaring. Beberapa orang pengikutnya telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang memang agak memencar untuk berhenti dan bersama-sama menghadapi para pengawal yang mengejar mereka.
Para pengawal sama sekali tidak sempat menghitung lagi, dengan berapa orang mereka mengejar. Kemarahan benar-benar telah membakar jantung mereka, sehingga penalaran mereka tidak perlu berjalan wajar. Bahkan seandainya pengawal itu datang seorang diripun, ia tidak akan surut.
Sejenak kemudian, para pengawal yang mengejar Wira Bledeg itu telah saling berhadapan dengan orang-orang yang dikejarnya, yang ternyata berhenti menyongsong mereka. Tetapi para pengawal tidak sempat berguling untuk memperhitungkan kekuatan mereka. Dendam telah membara didalam dada mereka, sehingga mereka tidak lagi berpijak kepada paugeran yang manapun juga.
Wira Bledeg yang mempunyai pengalaman yang sangat luas itu memang terkejut melihat sikap para prajurit. Ia sadar, bahwa para prajurit itu telah dicengkam oleh kemarahan yang sangat. Karena itu, maka iapun harus membangkitkan tekad orang-orangnya agar tidak menjadi gentar.
Karena itu, maka Wira Bledeg itupun berteriak, "Jangan biarkan seorangoun diantara mereka yang tinggal hidup."
Tetapi para pengawal tidak menunggu apapun lagi. Mereka justru berteriak gemuruh sahut menyahut. Senjata-senjata mereka beracu-acu penuh lontaran kemarahan yang meluap-luap. Mereka seakan-akan tidak mendengar teriakan Wira Bledeg yang memang dapat menggugah kegarangan orang-orangnya.
Sejenak kemudian, pertempuranpun telah terjadi. Kedua belah pihak tidak lagi sempat mengendalikan diri. Para pengikut Wira Bledeg memang terbiasa untuk melakukan apa saja menurut keinginan mereka.
Sementara itu para pengawal yang biasanya masih harus dikekang oleh berbagai macam paugeran perang, ketika terlepas dari ikatan itu oleh perasaan yang meledak, ternyata tidak kalah garangnya dari para pengikut Wira Bledeg.
Agung Sedayu yang marah karena sikap licik Ki Gede Kebo Lungit, serta kegagalannya melindungi para tawanan, telah berada di medan itu pula. Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih menunggu. Betapapun kemarahannya membakar jantung, namun Agung Sedayu masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan.
Tetapi setelah menunggu beberapa saat Agung Sedayu tidak melihat Ki Gede Kebo Lungit tampil, maka ia mulai mengamati pertempuran itu dengan seksama.
Namun ternyata Agung Sedayu memang harus menekan dadanya yang bergejolak. Ia sempat melupakan kemarahannya sejenak, ketika ia melihat pertempuran yang menjadi sangat garang dan kasar. Kedua belah pihak bertempur sambil berteriak dan mengumpat.
Tetapi Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat pemimpin dari sekelompok orang yang telah menyergap iring-iringan itu telah melibatkan dirinya dan dengan kasar membantai pengawal yang telah berani menyerangnya. Demikian mudahnya ia mengalahkan lawan-lawannya, sehingga Agung Sedayu menyadari bahwa orang itu tentu berilmu tinggi.
Karena itu,a maka Agung Sedayu tidak menunggu lebih lama lagi, sebelum orang itu menekan korban semakin banyak dari antara para pengawal.
Kehadiran Agung Sedayu memang mengejutkan orang itu. Orang yang berwajah garang itu mnggenggam, "He anak muda. Apakah kau juga ingin mati."
"Kau sudah terlalu banyak membunuh." geram Agung Sedayu, "karena itu, aku datang untuk menghentikan."
"Anak iblis. Kau sebaiknya mengetahui bahwa kau berhadapan dengan Wira Bledeg. Orang yang tentu pernah kau dengar namanya, karena namaku juga ditakuti di Mataram."
"Semua itu akan berakhir sampai disini." desis Agung Sedayu.
Wira Bledeg tertawa. Katanya, "Jangan menyesali diri bahwa kau telah bertemu dengan Wira Bledeg. Meskipun kau berhasil menghindari jebakan kami, tetapi kami tetap mampu menyalakan api pada minyak yang telah kau bawa sendiri."
"Aku mengucapkan selamat atas kemenanganmu itu." jawab Agung Sedayu, "tetapi kemenanganmu ini adalah kemenanganmu yang terakhir."
Wira Bledeg mengerutkan keningnya. Dengan geram ia kemudian berkata, "Ternyata kau iri melihat kawan-kawanmu yang telah terbantai disini. Marilah, jika kau ingin cepat mati, mulailah."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Iapun kemudian telah bergerak beberapa langkah maju. Sementara itu, Wira Bledeg telah bersiap pula menghadapi lawannya yang masih muda itu.
Namun agaknya iapun berniat untuk dengan secepatnya membunuh Agung Sedayu. Karena itu, maka Wira Bledeg itu telah mulai menggerakkan kapaknya yang bertangkai panjang.
Agung Sedayu mengerutkan dahinya ketika ia melihat bahwa dilambung Wira Bledeg juga terselip pedang pendek. Sedangkan sebuah pisau belati berada di lambungnya yang lain. Di lehernya melingkar rantai baja yang agaknya dapat dipergunakan sebagai senjata pula.
Dengan berbagai senjata yang dibawanya, maka Agung Sedayu menilai bahwa orang itu memiliki kemampuan bermain senjata dengan sangat baik. Bahkan segala macam senjata.
Menghadapi orang itu, Agung Sedayu tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan cambuknya. Demikian kapak lawannya mulai berputar, inaka ujung cambuk Agung Sedayupun mulai bergetar.
Dalam pada itu, maka para pengawal dan para pengikut Wira Bledeg masih saja bertempur dengan kasarnya. Tidak ada orang yang berpikir untuk menundukkan lawannya. Tetapi setiap orang berniat untuk membunuh lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran itupun merupakan pertempuran yang paling kasar yang pernah dilakukan oleh para pengawal dari Tanah Perdikan yang sangat marah itu.
Sementara itu, kapak Wira Bledegpun telah berdesing. Sabetan mata kapaknya bagaikan meinggalkan pantulan cahaya matahari yang lengkung seperti pelangi.
Agung Sedayu memang terkejut karenanya. Ayunan kapak itu tentu demikian cepatnya membelah udara. Tetapi kapak itu tidak menyentuh tubuh Agung Sedayu.
Ketika kapak itu kemudian terayun kembali, maka Agung Sedayu bergeser surut. Demikian kapak itu menyambar sejengkal didepan dadanya, maka Agung Sedayu telah mengerahkan cambuknya.
Agung Sedayu memang belum bersungguh-sungguh. Ia sekedar menggapai kedua kaki Wira Bledeg. Namun Wira Bledeg itupun telah meloncat sehingga ujung cambuk Agung Sedayupun tidak mengenainya.
Namun Wira Bledeg yang ingin cepat menyelesaikan. Agung Sedayu telah sekali lagi menyerangnya. Mata kapak itu langsung mengarah ke leher anak muda itu.
Tetapi ternyata Wira Bledeg terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu yang memiliki ilmu yang dapat membuat tubuhnya seakan-akan jauh menjadi lebih ringan itu, bagaikan terbang beberapa langkah surut.
Namun Wira Bleldeg tidak melepaskannya. Dengan loncatan panjang ia berusaha memburu lawannya yang masih muda itu. Tetapi i langkahnya justru telah tertahan. Cambuk Agung Sedayu tidak sekedar bergetar. Tetapi sebuah ledakan yang keras telah mengejutkan Wira Bledeg.
Wira Bledeg terkejut bukan kepalang. Jerat itu begitu kuatnya mencekam pergelangannya. Bahkan kemudian satu tarikan yang keras sekali telah merenggut kapaknya dari tangannya.
"Setan kau." geram Wira Bledeg, "kau telah membuat aku terkejut. Tetapi permainan cambuk seperti itu dilakukan anak-anak di tempat tinggalku. Mereka naik kuda-kuda yang dibuatnya dari pelepah pisang. Namun kemudian ledakan cambuk mereka jauh lebih keras dan lebih menggetarkan jantung daripada bunyi cambukmu."
Belum lagi Wira Bledeg mengatupkan bibirnya. Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya sekali lagi. Tidak lagi meledak dan mengejutkan telinga. Suaranya jauh lebih lambat dari ledakan sebelumnya. Namun diluar sadarnya Wi"ra Bledeg berkata, "Jadi kau bersungguh-sungguh" Tetapi bagaimanapun juga aku sama sekali tidak gentar terhadap cambukmu itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Pertempuran yang sengit disekitarnya telah mendorongnya untuk segera menyelesaikan lawannya, sebagaimana yang ingin dilakukan oleh Wira Bledeg.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuranpun telah berlangsung lagi dengan cepatnya. Kemampuan Wira Bledeg dalam ilmu senjata memang mengagumkan. Tetapi berhadapan dengan Agung Sedayu yang telah mewarisi ilmu cambuk sampai kepuncaknya, maka Wira Bledeg ternyata telah mengalami kesulitan.
Beberapa kali ujung cambuk Agung Sedayu menggelepar. Getarannya seakan-akan telah mengguncang isi dadanya. Namun ayunan kapak Wira Bledeg itupun seakan-akan menjadi semakin dekat pula dari tubuhnya.
Bahkan dengan putaran yang rumit, maka seakan-akan begitu tiba-tiba saja pangkal tangkai kapak yang berselut timah itu hampir saja merontokkan iganya. Namun Agung Sedayu harus meloncat beberapa langkah surut. Untunglah bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan meringankan tubuhnya, sehingga dengan sekali loncat maka tubunya melayang seperti kapas yang terhembus angin. Dengan demikian maka selut timah di pangkal tangkainya itu hanya sempat menyentuh dadanya saja.
Tetapi sentuhan itu benar-benar telah menyinggung perasaan Agung Sedayu yang memang sedang marah dan gelisah. Karena itu, sentuhan itu ternyata telah menghancurkan harapan Wira Bledeg untuk dapat menghindari kemarahan Agung Sedayu.
Demikian Agung Sedayu meloncat surut karena sentuhan pangkal tangkai kapak Wira Bledeg, maka tangannya yang memegang cambuk itu telah bergetar. Arus ilmu cambuknya yang mendekati sempurna itu telah mengaliri telapak tangannya.
Karena itu, maka ketika Wira Bledeg menyerangnya dengan ilmu kapaknya yang matang, adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba saja ujung cambuk Agung Sedayu telah berputar, menggeliat menyambar keningnya. Namun ketika lawannya menghindar tiba-tiba telah terjulur dan satu putaran yang cepat telah mengalir dari pangkal sampai keujung cambuk itu menjerat pergelangan tangannya.
Wira Bledeg terkejut bukan kepalang. Jerat itu begitu kuatnya mencengkam pergelangannya. Bahkan kemudian satu tarikan yang keras sekali telah merenggut kapaknya dari tangannya.
Wira Bledeg menggeram. Ia adalah orang yang memiliki kekuatan yang belum pernah pendapatkan tandingan. Namun ia tidak berdaya melawan tarikan ujung cambuk yang menjerat tangannya dan merenggut kapaknya.
Kapak Wira Bledeg itupun telah terlempar beberapa langkah dan jatuh di rumpun ilalang. Sementara itu, bahkan kulit tangannya telah terkelupas di beberapa tempat.
Wira Bledeg mengumpat keras-keras. Meskipun pergelangan tangannya terasa pedih, tetapi Wira Bledeg sama sekali tidak berniat bergeser surut.
Karena itu, maka untuk menghadapi Agung Sedayu kemudian, Wira Bledeg telah menarik pedangnya sekaligus pisau belatinya. Dengan demikian maka kedua tangannya telah menggenggam senjata yang akan dapat berbahaya bagi Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka Wira Bledegpun telah berloncatan untuk dapat menembus pertahanan ujung cambuk Agung Sedayu. Namun ia sama sekali tidak mendapat kesempatan. Ujung cambuk Agung Sedayu justru semakin lama menjadi semakin garang. Ketika Wira Bledeg terdesak, sehingga seakan-akan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menghindari serangan Agung Sedayu, maka tiba-tiba saja Wira Bledeg telah melemparkan pisau belatinya dengan ta"ngan kirinya.
Agung Sedayu terkejut. Ia tidak mengira bahwa lawannya akan melepaskan senjatanya. Bahkan lontaran pisau belati itu demikian derasnya mengarah kedadanya, diluar perhitungannya.
Agung Sedayu yang memiliki kemampuan memperingan tubuhnya itu telah melenting kesamping. Pisau belati itu hampir saja melukainya. Meskipun tidak mengoyak kulitnya, tetapi pisau itu telah sempat merobek lengan bajunya.
Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar disamping kemarahannya yang semakin memanasi dadanya. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka cambuk Agung Sedayupun menjadi semakin cepat menggelepar. Bukan saja semakin cepat, tetapi terasa getarannya semakin mencengkam jantung lawannya.
Ketika Agung Sedayu sempat memperhatikan pertempuran disekitarnya, maka arus darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir. Ia melihat korban berjatuhan dari kedua belah pihak yang bagaikan menjadi gila itu.
Namun Agung Sedayu tidak sempat berbuat banyak karena ia masih terikat dengan lawannya. Namun ketika ia melihat dua orang pengawal terlempar bersama-sama hampir menimpa dirinya dan kemudian terbanting jatuh untuk tidak bangkit lagi, maka Agung Sedayu tidak lagi dapat mengekang diri. Ia sadar, bahwa para pengawal yang menjadi korban pertempuran yang gila itu terjadi tidak saja disekitarnya. Tetapi para tawanan yang kemudian bangkit dan mengadakan perlawanan itu tentu akan menjadi lebih gila lagi.
Karena itu, maka hampir diluar sadarnya, maka Agung Sedayu telah meningkatkan kemampuannya. Meskipun ia tidak sampai kepuncak kemampuannya itu dan melontarkan inti getaran ilmu cambuknya, namun dengan kecepatan yang tidak teratasi oleh Wira Bledeg ujung cambuk Agung Sedayu telah melingkar di lambungnya.
Ketika Agung Sedayu menghentakkan cambuknya itu, maka Wira Bledeg telah terputar sekali. Tetapi ternyata bahwa Wira Bledeg tidak mampu menyesuaikan diri dengan serangan cambuk Agung Sedayu. Ia tidak berusaha berputar searah dengan tarikan cambuk Agung Sedayu. Tetapi kesombongannya telah membuatnya justru bertahan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan melampaui kekuatan Agung Sedayu.
Namun ternyata langkah yang diambilnya itu telah menghancurkan dirinya sendiri. Justru karena ia bertahan dengan kekuatan yang sangat besar, namun sementara itu tarikan ujung cambuk Agung Sedayupun merupakan kekuatan yang sulit terlawan, maka ternyata bahwa kulit Wira Bledeglah yang telah terkelupas. Karah-karah baja pada ujung cambuk Agung Sedayu telah menyayat kulit dan bahkan daging Wira Bledeg.
Terdengar Wira Bledeg itu berteriak nyaring. Getaran suaranya yang memiliki kemampuan ilmu Gelap Ngampar itu telah mengguncang isi dada Agung Sedayu. Tetapi daya tahan Agung Sedayu ternyata masih mempu mengatasinya. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak sambil menggenggam tangkai cambuknya.
Dalam pada itu, lambung Wira Bledeg telah koyak melingkar. Luka itu adalah luka yang sangat parah, sehingga darahnya bagaikan diperas dari dalam tubuhnya.
Beberapa saat ia masih bertahan. Namun akibatnya Wira Bledeg itupun telah kehilangan kekuatannya, sama sekali karena darahnya yang terlalu banyak keluar lewat luka-lukanya.
Akhirnya tubuh itu terguncang dan jatuh terjerembab diatas tanah berbatu-batu padas.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kematian Wira Bledeg itu ternyata sangat berpengaruh atas orang-orangnya yang tersisa. Namun para pengawal Tanah Perdikan benar-benar telah kehilangan kekang diri, sehingga dengan demikian maka pertempuran yang terjadi adalah pertempuran yang paling ganas yang pernah terjadi.
Agung Sedayupun kemudian berdiri termangu-mangu. Ia masih melihat kelompok-kelompok pengawal yang bertempur. Namun beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu menyadari kedudukannya. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk berbuat sesuatu.
Namun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Yang dapat dilakukannya, hanyalah mencegah para pengawal yang bersamanya mengejar orang-orang Wira Bledeg itu untuk tidak mengejar lagi sisa-sisa lawannya yang melarikan diri.
Tetapi Agung Sedayu seakan-akan tidak didengarkan lagi suaranya meskipun ia telah berteriak-teriak.
Pertempuran itu akhirnya memang berhenti. Namun yang nampak dibekas medan itu benar-benar telah menggetarkan setiap jantung.
Dengan kepala tunduk dan langkah yang lesu, Agung Sedayu kembali ke iring-iringan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Kidul yang masih terhenti. Jantungnya terasa berdebar semakin cepat ketika ia melihat Ki Gede Menoreh berdiri tegak disebelah Glagah Putih dan Ki Demang Selagilang.
Beberapa langkah di depan mereka, Prastawa berdiri termangu-mangu. Pedangnya masih basah oleh darah.
Kehadiran Agung Sedayu telah melengkapi suasana yang tegang di bekas arena pertempuran itu.
"Sebagaimana kau lihat Agung Sedayu." desis Ki Gede.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang beberapa orang pemimpin kelompok yang ada disekitarnya, maka merekapun telah menundukkan kepalanya.
"Kita semuanya bagaikan kerasukan iblis." berkata Ki Gede, "kita telah kehilangan pribadi kita masing-masing."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Ya Ki Gede."
"Sekarang, inilah yang terjadi." berkata Ki Gede.
Agung Sedayu memang agak ragu mengangkat wajahnya. Tetapi mau tidak mau ia harus menyaksikan keadaan diseluruh bekas medan pertempuran itu.
Ternyata bahwa kemarahan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak dapat dikekang. Sementara para tawanan yang sempat bangkit telah menjadi seakan-akan gila.
Karena itu, maka pertempuran yang baru saja adalah bencana yang paling pahit yang telah terjadi. Peperangan memang selamanya mempunyai akibat yang sangat buruk. Tetapi pertempuran yang baru saja terjadi itu adalah pertempuran yang paling buruk.
Para pengawal memang sempat menyekat beberapa kelompok tawanan sehingga tidak tersentuh oleh kegilaan yang meledak. Tetapi sebagian dari para tawanan yang sempat mendapat senjata, benar-benar telah mengamuk tanpa mengekang diri. Mereka benar-benar telah kehilangan penalarannya. Apalagi mereka yang terikat sepanjang perjalanan dan sempat diputuskan tali pengikatnya. Maka mereka seakan-akan memang berusaha untuk mati daripada harus diikat kembali.
Karena itu, maka beberapa orang pengawal segera menjadi korban. Namun akibatnya, para pengawalpun telah mengamuk pula seperti para tawanan. Merekapun telah kehilangan penalaran mereka melihat beberapa orang kawan mereka telah terbantai dengan bengisnya.
Akibat dari pertempuran yang demikian, maka tubuh yang membeku telah terbujur lintang di padang terbuka yang berbatu-batu padas itu.
Bahkan sampai di barak yang agak jauh, maka masih saja terdapat tubuh-tubuh yang terbaring diam dengan luka ditubuhnya.
"Kematian yang sia-sia." diluar sadarnya Agung Sedayu menggeram.
Ki Gede Menorehpun kemudian melangkah maju. Dengan gejolak dijantungnya, maka Ki Gedepun kemudian duduk diatas batu padas diantara rumpun-rumpun ilalang. Dengan tatapan mata yang sayu Ki Gede memandang kekejauhan, kebatas kaki langit yang sangat jauh.
Agung Sedayu memang menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi semuanya terlanjur sehingga tidak akan mungkin diulang kembali.
Dalam pada itu, selagi beberapa orang masih saja termangu-mangu, maka Ki Gede itupun berkata, "Kita akan berhenti disini. Kita akan menguburkan semua orang yang terbunuh. Sampai selesai. Sebelum semua dikuburkan, kita tidak akan beranjak dari tempat ini. Sementara sebelum kita berangkat, kita harus tahu pasti, berapa orang yang memerlukan bantuan untuk meneruskan perjalanan."
Tidak ada yang menjawab. Tetapi perintah itu adalah ujud dari penyesalan yang sangat mendalam, bahwa pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu yang pimpinan sepenuhnya berada ditangannya telah terlibat dalam satu pertempuran yang kasar, bahkan dapat disebut liar.
Sebenarnyalah, para pengawal benar-benar telah kehilangan penalaran mereka, sehingga hampir semua tawanan yang memberontak telah terbunuh. Demikian pula sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit dan orang-orang Wira Bledeg.
Namun jumlah para pengawal yang menjadi korban juga terhitung banyak. Untunglah masih ada beberapa kelompok pengawal yang masih sempat berpikir, sehingga mereka berusaha untuk memisahkan para tawanan yang dapat mereka kuasai, sehingga para tawanan itu masih tetap hidup.
Yang kemudian dilakukan oleh para pengawal dan para tawanan yang tersisa adalah mengumpulkan mayat yang berserakan diantara batu-batu padas, disela-sela rumpun-rumpun ilalang dan dibalik gerumbul-gerumbul perdu.
Agung Sedayu yang berada diantara kesibukan para pengawal dan sisa-sisa tawanan yang masih hidup, merasakan betapa telah terjadi bencana yang sangat besar. Nilai-nilai kemanusiaan seolah-olah tidak lagi berlaku. Yang kemudian berbicara bukan lagi dikendalikan oleh budi, tetapi nafsu yang mengalir lewat ujung-ujung senjata.
Semakin banyak ia melihat, maka rasa-rasanya jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat berdetak. Penyesalan yang dalam menggelepar didalam dadanya.
Ketika Glagah Putih kemudian berdiri disampingnya, maka terdengar Agung Sedayu berdesah.
Glagah Putih tidak mengatakan sesuatu. Ia tahu, perasaan apa yang bergejolak didalam dada kakak sepupunya. Bukan saja Agung Sedayu yang menyesali kejadian itu. Tetapi semua pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Kecuali korban dari antara para pengawal bertambah banyak, juga ternyata bahwa mereka telah melakukan pembunuhan tidak terkendali.
Agung Sedayu memandang ke arena tempat ia membunuh Wira Bledeg. Beberapa orang pengawal dan beberapa orang tawanan dalan pengawasan yang kuat tengah mengumpulkan orang-orang yang telah terbunuh.
Namun satu hal yang masih saja dipikirkan oleh Agung Sedayu adalah, bahwa Ki Gede Kebo Lungit ternyata tidak tampil di peperangan itu. Mungkin ia memang tidak ada disekitar arena pertempuran itu, tetapi mungkin ia memang sengaja bersembunyi dan kemudian diam-diam melarikan diri.
Yang tidak kalah pentingnya adalah para petugas yang harus menyediakan perbekalan. Mereka tidak lagi mempunyai persediaan cukup banyak. Karena itu, maka untuk persediaan makan para prajurit dan pengawal, para petugas perbekalan harus melakukan penghematan sejauh-jauhnya.
Namun para pengawal dari Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu menyadari sepenuhnya akan hal itu. Dengan demikian maka mereka akan menerima apa adanya. Meskipun mereka harus bekerja keras, namun pada hari itu, mereka tidak dapat makan cukup sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Adalah kebetulan bahwa tidak terlalu jauh dari padang terbuka itu terdapat hutan bambu liar. Namun dalam hutan bambu apus dan bambu wulung itu terdapat banyak rebung baru tumbuh. Rebung-rebung bambu itu ternyata dapat membantu para petugas perbekalan untuk menyiapkan makan para pengawal. Sedikit nasi diganjal dengan rebung bambu yang juga dapat membuat perut kenyang. Para pengawal tidak peduli, rebung itu telah menjadi masakan jenis apapun. Asal saja terasa didalamnya asinnya garam dan sedikit manisnya gula.
Namun para petugas perbekalan merasa sedikit lega bahwa para pengawal telah menerima dan makan masakan rebung mereka tanpa memberikan banyak keluhan.
Hari itu diwarnai dengan wajah-wajah murung dan penyesalan. Tetapi juga kerja keras menggali lubang-lubang kubur untuk kawan dan lawan. Beberapa orang tawanan telah dipekerjakan pula membantu menggali lubang-lubang buat kawan-kawan mereka yang jumlahnya sempat mendirikan bulu-bulu tengkuk.
Ketika malam turun, maka obor-oborpun terpasang. Penjagaan diperketat diseluruh penjuru. Karena setiap saat dapat saja sekelompok orang merangkak memasuki lingkungan perkemahan yang terbuka itu dan kemudian melakukan tindakan-tindakan gila sebagaimana dilakukan para tawanan sehingga memancing para pengawal untuk melakukan hal yang sama.
Sementara itu, beberapa orang masih saja sibuk menyelesaikan tugas mereka. Namun ada pula diantara para pengawal yang sudah terbaring karena kelelahan.
Ki Gede sendiri masih saja duduk diatas batu padas. Sekali-sekali Prastawa yang cemas melihat keadaan pamannya itu mempersilahkannya untuk beristirahat. Namun Ki Gede masih selalu menjawab, "Beristirahatlah dahulu. Aku masih belum merasa letih."
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Demang Selagilang juga telah mempersilahkannya. Namun jawabnya sama saja. Agaknya Ki Gede benar-benar menyesali peristiwa yang baru saja terjadi.
"Kita tidak dapat mencegahnya." berkata Agung Sedayu, "dorongan itu begitu kuat karena kita mengalami desakan yang tidak terelakkan."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ki Demang Silagilang berkata, "Betapapun kita menyesalinya, namun kita tidak boleh terbenam dalam keadaan yang tidak berujung. Kita harus dapat menempatkan diri kita, mengatasi bencana yang mencengkam perasaan kita."
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun dengan nada rendah ia berkata, "Aku mengerti. Tetapi biarkan aku disini untuk beristirahat."
"Ki Gede memerlukan istirahat yang lebih baik daripada duduk disini," berkata Ki Demang Selagilang.
"Dimana-mana sama saja. Kita akan berada ditempat yang terbuka. Embun akan membasahi kita, sementara kita akan tetap menghirup udara yang basah kedalam dada kita."
"Tetapi Ki Gede dapat berbaring ditempat yang lebih hangat." berkata Ki Demang.
"Bukankah aku dan orang-orang lain ini tidak ada bedanya" Jika kalian mencemaskan aku, kenapa kalian tidak mencemaskan orang lain dan bahkan diri kalian sendiri?" bertanya Ki Gede.
Ki Demang Selagilang hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa memang tidak dapat berbuat banyak.
Karena itu, maka merekapun telah beringsut beberapa langkah dan duduk pula diatas batu-batu padas, sementara Ki Demang Selagilang duduk tidak jauh dari Ki Gede yang masih saja merenung.
Menjelang tengah malam, barulah semua pekerjaan selesai.
Orang-orang yang letih serta basah oleh keringat dan kotor karena tanah berbatu padas yang melekat, ada yang tidak sempat mencuci tubuh mereka di parit yang mengalir disela-sela batu-batu padas. Begitu letihnya tubuh mereka, sehingga begitu mereka selesai dengan tugas mereka, maka merekapun langsung menjatuhkan diri di atas rerumputan.
Tetapi ketika perut mereka terasa lapar, maka mereka terpaksa untuk setidak-tidaknya mencuci tangan dan muka sebelum mereka makan.
Para pengawal dan para tawanan itu harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak mendapat bagian nasi sehingga kenyang. Mereka hanya mendapat nasi beberapa suap. Namun kemudian mereka dipersilahkan makan rebung bambu seberapa mereka kehendaki, karena rebung bambu itu dapat diambil sebanyak diperlukan dihutan bambu yang tidak terlalu jauh dari perkemahan mereka.
Sementara itu beras yang tersisa hanya diperuntukkan esok pagi-pagi menjelang dini sebelum mereka berangkat melanjutkan perjalanan. Itupun hanya beberapa suap pula seperti yang mereka terima malam itu yang akan mereka ma"kan dengan rebung pula.
Beberapa orang pengawal sempat menemukan rumpun-rumpun jamur so yang berwarna kehitam-hitaman. Namun yang tidak cukup banyak untuk sekelompok pengawal, sehingga hanya beberapa orang saja yang ikut sibuk didapur untuk memasak jamur so dengan bumbu brambang salam, dibungkus daun pisang yang mereka dapatkan tumbuh liar di padang terbuka itu kemudian di masukkan kedalam abu panas dibawah perapian. Pepes jamur so akan menjadi orang-orang yang hidup dikotapun mau membeli dengan harga yang mahal. Tetapi jamur so memang jarang-jarang diketemukan dan tidak mudah untuk sengaja ditanam.
Namun orang-orang itu sedikit kecewa bahwa yang mereka makan kemudian hanya sedikit nasi dan yang terbanyak adalah rebung-rebung, sehingga mereka kurang dapat menikmati jamur so mereka.
Malampun kemudian berlalu dengan lamban. Akhirnya Ki Gedepun bersedia untuk beristirahat dengan berbaring diatas tikar rangkap. Merekapun terasa dinginnya embun malam hari, tetapi Ki Gede sempat pula tidur beberapa saat. Demikian pula para pemimpin yang lain serta para pengawal, selain mereka yang memang bertugas.
Jauh sebelum dini, para petugas didapur telah terbangun dan menyiapkan makan para pengawal. Beras yang sedikit yang hanya sempat dibawa dengan kuda beban, adalah butir-butir terakhir dari perbekalan mereka.
Demikianlah, menjelang fajar semuanya telah bersiap. Para pengawal sempat melihat gundukan-gundukan tanah yang merah diantara batu-batu padas, rumpun-rumpun ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu. Mereka telah memberikan tanda pada kuburan para pengawal yang dipisahkan dari para tawanan dan para pengikut Wira Bledeg dan Ki Gede Kebo Lungit. Namun satu hal yang harus diingat oleh Agung Sedayu dan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, bahwa Ki Gede Kebo Lungit masih belum tertangkap. Ia dapat saja setiap saat muncul di Tanah Perdikan Menoreh atau di Pegunungan Sewu. Namun sasaran utama Ki Gede Kebo Lungit tentu Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh. Persoalannya kemudian tentu sudah terpisah dari persoalan antara Mataram dan Madiun, atau persoalan antara Madiun dan Padepokan Ki Gede Kebo Lungit. Persoalannya kemudian adalah dendam antara Ki Ki Gede Kebo Lungit kepada anak yang masih dianggapnya terlalu muda untuk dapat mengalahkannya. Agung Sedayu yang memiliki kemampuan ilmu cambuk yang sangat tinggi.
Sampul Maut 6 Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 4
^