Api Di Bukit Menoreh 9
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 9
Ketika fajar menyingsing, maka iring-iringan itu mulai bergerak. Agung Sedayu masih berada di paling depan de"ngan sekelompok pengawal. Kemungkinan-kemungkinan buruk masih saja dapat terjadi.
Namun di bawah irama derap kaki para prajurit, Agung Sedayu sempat merenung.
Ia berharap bahwa peperangan yang gila itu akan dapat menjamin ketenangan hidup dan perdamaian di masa mendatang. Hendaknya Madiun tidak lagi selalu dibayangi oleh kekuatan Ki Gede Kebo Lungit yang telah dihancurkan sampai lumat. Seandainya Ki Gede Kebo Lungit berusaha bangkit, maka Madiunpun tentu sudah bangkit pula, sehingga akan mampu mengimbangi kekuatan padepokan Ki Gede Kebo Lungit.
Namun Agung Sedayupun merasakan semacam tuduhan yang tajam pada langkah yang diambilnya. Untuk menjaga kedamaian dimasa mendatang, maka harus terjadi perang yang paling gila yang pernah dialaminya.
Apakah keinginan untuk tenteram dan damai dari sesamanya itu dapat dibangun diatas landasan yang lain daripada pembunuhan" Kenapa tidak dilakukan dengan menyusupkan perasaan cinta kasih kedalam setiap hati sehingga tenteram dan damai itu akan terwujud"
Namun Agung Sedayu tidak dapat menolak satu kenyataan, bahwa tidak setiap hari akan membukakan pintu bagi ketukan cinta kasih itu meskipun selalu terdengar suara dumeling disetiap telinga, mengumandang diseluruh telakup langit dan diseluruh permukaan bumi, tentang tenteram, damai serta cinta kasih yang sejati.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang terlalu sulit untuk dapat mengerti kemauan sesamanya di atas bumi ini. Sehingga kadang-kadang seseorang harus melaku"kan sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya yang sering tidak sejalan dengan penalarannya.
Demikianlah iring-iringan itu berjalan terus. Mereka telah menuruni jalan yang lebih lebar dan lebih rata. Mereka mulai meninggalkan padang terbuka yang berbatu-batu padas dan miring. Kadang-kadang menurun tajam. Namun kadang-kadang naik mendaki.
Ketika mereka sudah berjalan di jalan yang sedikit rata, maka iring-iringan itu menjadi semakin cepat maju. Para pemimpin Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu berharap bahwa mereka akan dapat mencapai Madiun meskipun malam hari.
Namun betapapun mereka menjadi semakin cepat berjalan, tetapi beberapa orang yang harus ditandu memang telah manghambat perjalanan. Tetapi orang-orang itu tidak akan dapat ditinggalkan begitu saja. Apalagi para pengawal yang terluka agak parah.
Glagah Putih yang berjalan disebelah Ki Gede Menoreh bersama dengan Prastawa setiap kali harus memperhatikan kedaan Ki Gede. Luka-lukanya memang sudah semakin baik. Kekuatannyapun sudah berangsur pulih. Namun goncangan perasaannya ternyata telah membuat keadaannya seakan-akan menyusut kembali. Kepalanya terasa pening dan tulang-tulangnya terasa nyeri.
0i luar sadarnya Ki Gede telah mengatakannya kepada Prastawa yang menjadi gelisah dan berbisik pula di telinga Glagah Putih.
"Apakah Ki Gede sebaiknya dipersilahkan naik tandu?" desis Glagah Putih.
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan mencoba menyampaikannya."
Namun Prastawa masih saja ragu-ragu. Ia mengerti bahwa pamannya tidak akan begitu saja menerima pendapat itu. Namun menilik keadannya, pamannya memang menjadi semakin lemah. Selain goncangan perasaan yang mencengkamnya disaat-saat terjadi pertempuran yang buas antara para pengawal dengan para pengikut Wira Bledeg, sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit dan para tawanan yang sempat disentuh api sehingga menyala tidak terkendali, ternyata bahwa kesehatan Ki Gede Menoreh memang masih belum pulih sepenuhnya. Perjalanan yang panjang sangat berpengaruh atas keadaannya. Sementara itu matahari yang memanjat la"ngit semakin tinggi, panasnya bagaikan membakar kulit.
Namun iring-iringan itu berjalan terus. Kuda-kuda bebanpun mulai merasa haus.
Dengan demikian, maka para pemimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu kemudian merasa perlu untuk menghentikan perjalanan itu, agar para pengawal dan kuda-kuda beban yang terdapat dalam iring-iringan itu sempat beristirahat.
Ketika mereka menemukan tempat yang paling baik ditepi hutan yang sejuk karena pepohonan yang tumbuh dengan lebatnya, maka iring-iringan itu telah berhenti. Sebagian dari iring-iringan itu berada di padang perdu di pinggir hutan itu, sedangkan yang lain berlindung di bawah bayangan pohon-pohon yang berdaun lebat di pinggir hutan itu.
Para pengawal itu sama sekali tidak menjadi cemas terhadap binatang-binatang buas yang ada di dalam hutan itu. Bahkan sekelompok serigala sekalipun, karena jumlah para pengawal itupun cukup banyak.
Selama beristirahat, maka kuda-kuda beban itu sempat minum dari sebuah parit yang berair jernih. Kemudian makan rerumputan hijau yang nampaknya begitu segar.
Namun para pengawal tidak dapat menikmati makan dan segarnya minuman, karena mereka mengerti, bahwa tidak ada sebutir beraspun yang masih tersisa, kecuali rebung yang direbus dengan garam dan gula. Meskipun mereka merasa bahwa perut mereka mulai mengganggu justru saat mereka beristirahat, namun mereka harus bertahan sampai mereka memasuki barak-barak di Madiun. Merekapun tidak dapat memperhitungkan, apakah di Madiun mereka akan segera dapat mengurangi perasaan lapar dengan cara apapun juga.
Justru karena itu, maka para pengawal itu berharap, bahwa mereka segera .melanjutkan saja perjalanan mereka agar mereka dapat melupakan gejolak didalam perut mereka.
Tetapi Prastawa menjadi semakin cemas tentang pamannya. Karena itu, ia telah berbicara dengan Agung sedayu, Glagah Putih yang selalu mendampingi Ki Gede dan Ki Demang Selagilang.
"Apakah kita akan segera berangkat lagi justru keadaan Ki Gede menjadi semakin kurang baik?" bertanya Prastawa.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Demang bertanya, "Mana yang lebih baik, kita segera sampai ke Madiun atau kita beristirahat lebih lama."
"Ada beberapa hal yang harus kita pikirkan." berkata Agung Sedayu, "Keadaan Ki Gede sekaligus keadaan para pengawal. Kita sudah tidak mempunyai persediaan apapun lagi bagi mereka."
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara Prastawa berbeda, "Ya. Para pengawal memang sudah menjadi gelisah."
"Bagaimana jika Ki Gede kita persilahkan naik tandu jika keadaannya memburuk lagi?" bertanya Glagah Putih.
Yang lain mengangguk-angguk. Agaknya itu adalah satu-satunya jalan.
"Sebaiknya kakang Agung Sedayu dan Ki Demang sajalah yang menyampaikannya kepada Ki Gede." berkata Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun harus melakukannya bersama Ki Demang.
"Apaboleh buat." berkata Agung Sedayu.
Ki Demangpun mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah. Aku akan mencobanya."
Dengan demikian maka kedua orang itupun kemudian telah menemui Ki Gede yang beristirahat dibawah sebatang pohon yang rindang di hutan perdu itu.
Menurut pengamatan Agung Sedayu dan Ki Demang, maka keadaan Ki Gede memang memburuk. Sementara itu tabib yang merawatnya telah berbuat segala sesuatu yang terbaik bagi Ki Gede.
Namun tabib itupun mengerti sebagaimana Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang, bahwa peristiwa yang terjadi di padang terbuka itu telah mengejutkannya.
Ki Gede yang melihat Agung Sedayu dan Ki Demang mendekatinya itupun segera tanggap. Mereka memang sudah cukup lama beristirahat. Karena itu, memang sudah waktunya mereka meneruskan perjalanan.
Karena itu, sebelum Agung Sedayu dan Ki Demang mengatakan sesuatu, "maka kita berangkat sekarang."
Agung Sedayu dan Ki Demangpun telah duduk dihadapan Ki Gede yang kemudian menjadi termangu-mangu.
"Kenapa?" bertanya Ki Gede.
"Kami memikirkan kemungkinan yang terbaik bagi Ki Gede." berkata Agung Sedayu.
"Aku kenapa?" Ki Gede justru bertanya.
"Nampaknya Ki Gede menjadi sangat letih." desis Ki Demang.
"Aku bertambah baik." jawab Ki Gede.
Namun Agung Sedayupun berkata, "Ki Gede. Menurut pengamatan kami, perjalanan yang panjang ini sangat melelahkan bagi Ki Gede yang baru saja sembuh yang bahkan keadaannya masih belum pulih sepenuhnya."
"Aku tidak apa-apa." berkata Ki Gede.
"Ki Gede." berkata Agung Sedayu kemudian, "sebenarnya kami ingin mengusulkan, beberapa orang akan membantu Ki Gede dengan sebuah tandu. Nanti, jika keadaan Ki Gede menjadi semakin baik, maka Ki Gede akan dapat meneruskannya dengan berjalan kaki lagi."
"Kenapa dengan sebuah tandu?" bertanya Ki Gede, "aku tidak apa-apa. Keadaanku terasa semakin baik. Aku akan berjalan seperti yang lain. Keadaankupun baik sebagaimana para pengawal."
Agung Sedayu dan Ki Demang memang sudah mengira bahwa Ki Gede akan merasa berkeberatan. Namun Agung Sedayu masih mencoba, "Tetapi para pengawal tidak dalam keadaan seperti Ki Gede. Sedangkan mereka yang terluka juga masih memerlukan bantuan tandu yang diusung oleh kawan-kawannya."
"Tidak." jawab Ki Gede tegas, "aku tidak apa-apa."
"Bagaimana dengan kaki Ki Gede?" bertanya Agung Sedayu.
"Kakiku tidak apa-apa." jawab Ki Gede.
Agung Sedayu dan Ki Demang memang tidak dapat memaksa. Sementara itu Ki Gede justru telah bangkit berdiri sambil berkata, "Kita berangkat sekarang."
Agung Sedayu justru menarik nafas dalam-dalam. Namun perintah Ki Gede itu telah disampaikan kepada seorang penghubung yang meneruskan perintah itu kepada semua kelompok.
Dengan demikian maka seluruh pasukanpun segera bersiap. Ki Demangpun kemudian justru telah bersiap pula untuk kembali ke pasukannya. Namun ia sempat berbisik, "Kau amati saja selama perjalanan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat berbuat lain.
Demikianlah, maka seluruh iring-iringan itupun segera bersiap. Agung Sedayu yang kembali ke kelompoknya berkata kepada Prastawa dan Glagah Putih, "Kita tidak dapat membujuk Ki Gede untuk berada diatas tandu. Karena itu, amati saja dalam perjalanan. Jika keadaannya memaksa, maka apaboleh buat. Kita akan sedikit memaksa Ki Gede untuk bersedia naiki keatas tandu."
Glagah Putih dan Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang sudah mengira, bahwa sulit untuk memaksa Ki Gede duduk diatas tandu dan diusung oleh para pengawal.
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itupun telah bergerak menyusuri jalan-jalan panjang menuju ke Madiun.
Ki Gede memang menjadi letih. Tetapi Ki Gede berjalan terus didampingi oleh Glagah Putih dan Prastawa. Tombaknya masih tetap di genggamannya meskipun sekali-sekali justru telah dipergunakannya sebagai tingkat jika terasa kakinya bergetar.
Madiun memang menjadi semakin dekat. Sementara itu, matahari menjadi semakin rendah, pasukan pengawal itu berjalan semakin lamban. Kulit mereka yang terbakar oleh cahaya Matahari menjadi kehitam-hitaman.
Sementara itu, mereka tidak lagi dapat berharap untuk mendapatkan tenaga baru. Mereka memang berhenti disebuah belik yang airnya bersih. Mereka dapat minum sepuas-puasnya. Tetapi hanya minum air dari belik itu. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi.
Hanya kuda-kuda yang ada didalam iring-iringan itu sajalah yang dapat makan rerumputan segar.
Namun pasukan pengawal yang berjalan dalam terik matahari itu memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Beberapa orang di kelompok-kelompok pengawal itu telah jatuh tertidur demikian mereka menjatuhkan diri diatas rerumputan dibawah pohon-pohon rindang, rasa-rasanya mereka tidak lagi mampu untuk meneruskan perjalanan.
Ki Gede sendiri keadaannya memang menjadi semakin kurang baik. Tetapi Ki Gede tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau dibantu dengan sebuah tandu. Ki Gede ingin berjalan bersama para pengawal, meskipun tubuhnya menjadi sangat letih.
Untuk beberapa lama para pengawal beristirahat. Rasa-rasanya mereka sudah tidak ingin bergerak lagi. Ketika matahari turun kebalik cakrawala, maka udara menjadi semakin sejuk. Para pengawal yang beristirahat merasa semakin malas untuk bergerak lagi. Sementara itu perut merekapun terasa semakin mengganggu.
Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali meneruskan perjalanan menuju ke Madiun. Di Madi"un mereka akan dapat berusaha untuk mendapatkan apa saja yang dapat mengurangi gangguan perut mereka.
Betapapun letihnya, namun iring-iringan pasukan itu telah melanjutkan perjalanan mendekati kota Madiun. Kota yang telah menjadi semakin dekat itu rasa-rasanya masih terlalu jauh. Apalagi mereka yang sedang mendapat giliran untuk memanggul tandu. Maka rasa-rasanya tidak ada lagi minat untuk melangkahkan kaki.
Dengan demikian, maka iring-iringan itu berjalan semakin lamban. Sementara Ki Gede sendiri sudah tidak dapat lagi berjalan agak cepat. Keadaannya memang tidak memungkinkan, sedang kakinya yang memang sudah cacat, terasa semakin mengganggu. Tetapi Ki Gede tetap menolak untuk diusung diatas tandu.
Tabib yang merawatnya memang telah memberikan obat khusus untuk menguatkan badan Ki Gede selama perjalanan. Bahkan obat itu diulanginya sampai tiga kali selama perjalanan. Namun obat itu hanya sekedar membantunya. Bagaimanapun juga nampak bahwa keadaan Ki Gede memang sulit.
Namun betapapun beratnya, maka iring-iringan itupun semakin mendekati gerbang kota Madiun. Agung Sedayu dan Ki Demang telah minta Ki Gede untuk naik kuda jika menolak untuk diusung dengan tandu. Namun rasa-rasanya saran mereka tidak didengarnya. Sejak semula ki Gede sudah menolak untuk naik kuda. Dengan cepat Ki Gede berkata, "Aku akan berjalan kaki, sampai ke Madiun. Seperti para pengawal yang lain."
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata sikap Ki Gede itu telah memberikan nafas kepada para pengawal yang juga merasa sangat letih.
Akhirnya Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan para pemimpin pasukan itu termasuk penunjuk jalan yang telati dipersiapkan sebelumnya yang ternyata mempunyai kaitan dengan perguruan Ki Gede Kebo Lungit sehingga mempermudah tugasnya serta para pemimpin yang lain menyadari, bahwa apa yang dilakukan oleh Ki Gede itu mempunyai arti yang sangat tinggi.
Justru karena Ki Gede yang masih belum pulih seutuhnya itu menempuh perjalanan dengan berjalan kaki betapapun letih dan lemahnya , maka para pengawalpun telah melakukannya pula dengan hati yang tetap tegar. Meskipun mereka menjadi sanngat lelah dan perut terasa lapar, namun mereka tidak mengeluh.
Mereka melihat Ki Gede yang sudah menjadi semakin tua itupun melakukan hal yang sama. Berjalan dari padepokan Ki Gede Kebo Lungit sampai ke Madiun. Apalagi kesehatan Ki Gede Menoreh masih belum bulat utuh kembali.
Seandainya Ki Gede Menoreh tidak melakukannya, maka iring-iringan itu tentu akan mengalami hambatan lebih besar lagi. Para pengawal tentu akan mengeluh. Mereka akan kehilangan ketegaran jiwa dan merasa menjadi sangat letih. Bahkan sangat lapar, sehingga mereka akan merasa segan untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Tetapi karena Ki Gede Menoreh yang tua dan lemah karena luka-lukanya itu berjalan juga dari padepokan Ki Gede Kebo Lungit, maka para pengawal itupun telah melakukannya pula.
Namun, Ki Gede Menoreh memang telah memaksa diri. Sebenarnya wadag Ki Gede kurang mendukung tekadnya yang besar yang pengaruhnya telah menyentuh hati setiap pengawal yang hampir kehilangan gairah untuk menyelesaikan perjalanan mereka. Dengan memandang Ki Gede Menoreh yang lemah, maka para pengawal itu telah menguatkan dirinya berjalan sampai tujuan Madiun.
Demikian iring-iringan itu di malam buta mendekati pin"tu gerbang Madiun, maka tiba-tiba saja, ketika seorang berteriak bahwa mereka telah sampai ke batas kota, maka para pengawal itu telah menyahut dengan sorak yang gemuruh.
Para penghuni padukuhan di perbatasan itu telah terkejut. Beberapa orang telah menjenguk dari regol rumahnya. Ternyata mereka melihat sebuah iring-iringan yang agaknya sepasukan pengawal yang hendak memasuki pintu gerbang.
Para petugas di pintu gerbang telah menghentikan pasukan itu. Para petugas yang terdiri dari para prajurit Mataram yang memang ditinggalkan di Madiun bersima beberapa orang prajurit Madiun.
Ketika mereka melihat Agung Sedayu berdiri di hadapan mereka, maka para petugas itupun segera mempersilahkan mereka meneruskan perjalanan memasuki kota Madiun.
Agung Sedayu yang berjalan dipaling depan telah membawa seluruh pasukan itu ke barak yang pernah dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebelum mereka berangkat ke Padepokan Ki Gede Kebo Lungit.
Ternyata barak itu memang belum dipergunakan. Yang ada di barak itu hanyalah beberapa orang petugas yang menjaga dan memelihara barak yang kosong itu. Sehingga dengan demikian, maka seluruh iring-iringan telah dibawa masuk ke halaman barak itu.
Lampu-lampupun segera dipasang ditempat-tempat yang sebelumnya gelap. Obor telah menyala pula di seketheng dan di halaman belakang.
Dengan cepat Prastawa telah membagi tugas. Demikian pula para pengawal dari Pegunungan Sewu. Selebihnya, telah masuk ke ruang yang manapun atau bahkan begitu saja berbaring di pendapa, di pringgitan dan di serambi tanpa sehelai tikarpun.
Ki Gede Menoreh memang menjadi sangat letih. Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah mempersilahkan beristirahat diruang dalam.
Semula Ki Gede memang masih ingin menunda. Ia ingin melihat keadaan seluruh pasukan yang letih itu. Namun tabib yang merawatnyapun telah sedikit memaksanya agar Ki Gede beristirahat dengan sebaik-baiknya diruang dalam.
"Pasukan ini telah sampai ketujuan Ki Gede." berkata tabib yang merawatnya.
Ki Gedepun akhirnya telah mengikuti petunjuk tabib itu dan diikuti oleh Prastawa dan Glagah Putih masuk ke ruang dalam. Bahkan kemudian Ki Gedepun bersedia untuk berbaring disebuah amben yang besar yang berada di ruang tengah ditunggui oleh tabibnya yang merawatnya. Sementara para pemimpin yang lain telah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mengatur penjagaan dan menempatkan orang-orang yang terluka. Menempatkan para tawanan dan menugaskan kepada bagian perbekalan untuk mengurus makan dan minum seluruh pasukan yang letih dan kelaparan itu.
Beberapa orang petugas telah berusaha menghubungi para petugas yang berada di kota . Memang agak sulit, karena di malam hari tidak mudah untuk bertemu dengan orang-orang yang bertanggung jawab, bukan sekedar petugas yang menunggui lumbung-lumbung padi dan beras.
Namun para petugas yang baru datang dan merasa sangat letih itu menjadi tidak sabar. Ketika dua kali ia mondar-mandir mencari orang-orang yang dapat membuka lumbung dan mengeluarkan beberapa pikul beras tidak juga diketemukan, sedangkan orang yang lain menolak untuk datang ke lumbung dan minta agar petugas yang berusaha mendapatkan beras itu datang dikeesokan harinya, maka mereka telah mengambil langkah sendiri.
Beberapa orang petugas yang letih dan bukan saja diri mereka sendiri yang menjadi lapar, tetapi seluruh pasukan telah menjadi lapar, maka mereka tidak lagi sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Lima orang diantara mereka telah kembali ke lumbung sedang dua orang memberikan laporan kepada Agung Sedayu tentang niat kelima orang yang pergi ke lumbung, untuk mengambil sendiri beras bagi pasukan yang letih dan lapar itu.
Agung Sedayu terkejut mendengar laporan itu. Karena itu maka dengan tergesa-gesa Agung Sedayu bersama kedua orang itu telah langsung pergi ke lumbung.
Ketika Agung Sedayu sampai ke lumbung, maka kelima orang petugas dari Tanah Perdikan yang marah itu telah menarik pedangnya mengancam tiga orang penjaga lumbung itu.
"Jika kalian tidak berani membuka pintu lumbung itu, kami akan membuka sendiri." bentak salah seorang dari kelima orang itu.
"Kau akan digantung di alun-alun." geram orang yang diancam itu.
"Aku tidak peduli. Lebih baik kami berlima digantung dialun-alun daripada seluruh pasukan kami kelaparan malam ini." teriak pengawal yang bertugas sebagai pemimpin di bagian perbekalan itu.
Agung Sedayu yang datang dengan tergesa-gesa sempat meredakan kemarahan pengawal itu. Dengan nada dalam Agung Sedayu bertanya kepada ketiga orang petugas yang menjaga lumbung itu, "Siapa yang bertanggung jawab atas lumbung ini dan berwenang mengeluarkan perintah mengeluarkan beras dari lumbung."
"Ki Lurah Reksaboga." jawab petugas itu.
Agung Sedayu yang mendapat ancar-ancar letak tempat tinggal Ki Lurah Reksaboga itupun telah berniat untuk datang kepadanya. Namun petugas perbekalan yang akan mengambil beras langsung dari Tanah Perdikan itu berkata, "Kami telah datang ke rumahnya. Tetapi Ki Lurah menolak menerima kami. Kami diminta untuk datang esok pagi."
Kepada petugas yang menjaga lumbung, Agung Sedayu bertanya, "Ki Lurah Reksaboga itu bukankah seorang prajurit Mataram yang datang bersama Panembahan Senapati?"
"Ya" jawab petugas dilumbung itu.
"Dan kalian?" bertanya Agung Sedayu.
"Kami juga." jawab petugas itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Jika demikian aku akan menemuinya. Mau atau tidak mau."
"Apakah kami harus ikut bersama-sama?" bertanya seorang diantara petugas perbekalan itu.
"Dua orang diantara kalian. Yang lain tinggal disini." berkata Agung Sedayu.
Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu bersama dua orang pengawal telah pergi ke rumah Ki Lurah Reksaboga. Namun seperti yang dikatakan oleh petugas perbekalan itu, ketika Agung Sedayu mengetuk pintu regol sebuah barak, dua orang petugas telah membukanya dan berkata, "Ki Lurah sedang beristirahat. Jangan kalian ganggu. Bukankah kalian telah datang kemari tadi dan langsung mendapat jawaban dari Ki Lurah yang marah?"
"Aku akan bertemu dengan Ki Lurah." berkata Agung Sedayu tanpa menghiraukan para penjaga.
"Berhenti." bentak penjaga itu.
"Aku akan berhenti di sinr. Tetapi aku minta kalian sampaikan sekali lagi kepada Ki Lurah, bahwa aku dari Ta"nah Perdikan Menoreh, atas nama pasukan pengawalnya dan pasukan pengawal dari Pegunungan Sewu ingin bertemu." berkata Agung Sedayu.
"Tidak. Ki Lurah akan menjadi semakin marah." berkata penjaga itu.
"Aku harus menemuinya atau aku akan melakukan tindakan di luar paugeran." berkata Agung Sedayu yang menjadi tidak sabar pula. Betapapun ia disetiap langkah-langkahnya terkekang oleh berbagai macam pertimbangan, namun Agung Sedayu seakan-akan sedang membawa beban perasaan letih dan lapar dari sepasukan prajurit dan tawanan.
"Kau mau pergi atau kami harus melemparkan kalian keluar." bentak penjaga itu.
Dalam keadaan yang sangat khusus itu, jantung Agung Sedayu bagaikan tersengat api mendengar kata-kata itu. Adalah diluar sadarnya, bahwa tiba-tiba saja Agung Sedayu telah memukul penjaga itu demikian kerasnya sehingga iapun telah jatuh terguling dan langsung menjadi pingsan.
Penjaga yang seorang lagi ternyata tak tanggung-tanggung pula. Tiba-tiba saja ia telah mendorong tombaknya lurus kearah Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu manyaksikan orang yang terjatuh itu.
"Agung Sedayu." teriak seorang pengawal yang me"nyertainya.
Agung Sedayu sempat berpaling. Dengan tangkasnya ia telah meloncat menghindari ujung tombak itu dan tangannya telah terayun pula ketengkuk orang itu sehingga orang itu terdorong searah dengan garis serangannya. Dengan keras orang itu jatuh terjerembab dan bahkan pukulan ditengkuknya itu telah membuatnya pingsan pula.
Keributan itu ternyata telah membangunkan beberapa orang prajurit yang ada dibarak itu. Barak yang nampaknya khusus untuk beberapa petugas penting. Karena barak itu ternyata tidak terlalu besar. Hanya ada sederet bangunan dan sebuah pendapa yang tidak terlalu besar.
Empat orang prajurit telah keluar dari ruang dalam. Demikian mereka melihat keadaan, maka merekapun lang"sung menarik senjata mereka.
"Siapakah kalian?" bertanya seorang diantara mereka.
"Dimana Ki Lurah Reksaboga?" bertanya Agung Sedayu.
"Siapa kalian?" prajurit itu membentak.
"Aku salah seorang pimpinan dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Aku datang atas nama para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu." jawab Agung Sedayu.
"O" prajurit itu mengangguk-angguk, "jadi kau pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Mau apa kau menghadap Ki Lurah malam-malam begini?"
"Aku ingin bicara." jawab Agung Sedayu.
"Sekarang kalian terpaksa kami tangkap. Nampaknya kau sudah membuat keributan disini. Aku lihat dua orang prajurit terbujur pingsan. Tentu kalian bertiga telah meng"eroyoknya." berkata prajurit itu.
"Mereka menghalangi aku yang ingin menghadap Ki Lurah." jawab Agung Sedayu.
"Tutup mulutmu. Kalian hanya pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan. Jangan berlaku sombong disini. Kami adalah prajurit-prajurit Mataram. Kau harus mendengarkan perintah kami." geram prajurit itu.
"Aku akan bertemu Ki Lurah, kau dengar?" Agung Sedayu menjadi semakin marah.
"Setan kau. Kau hanya pengawal padesan. Kau berani menentang kami, prajurit Mataram." prajurit itu hampir berteriak.
Agung Sedayu yang marah itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia sudah mengurai cambuknya. Satu ledakan yang meng"getarkan udara telah mengoyak sepinya malam.
Keempat orang prajurit itu terkejut. Diluar sadar, mereka telah bergeser mundur. Sementara Agung Sedayu berkata, "Panggil Ki Lurah, atau kalian akan pingsan seperti kawan-kawanmu itu."
Empat orang prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun merekapun segera berpencar dengan pedang teracu. Seorang diantara mereka berkata, "Kau tahu akibat dari perbuatan pengawal. Kau berani menentang prajurit Mataram."
Agung Sedayu tidak menjawab. Kedua kawannya telah menarik senjata mereka pula. Namun cambuk Agung Sedayu telah meledak sekali lagi, sehingga suaranya seakan-akan telah mengguncang seluruh kota Madiun.
Keempat orang prajurit itu memang agak ragu-ragu untuk mendekat. Mereka mendengar ledakan cambuk itu bagaikan mendengar ledakan guntur di telinga mereka.
Selagi keempat orang itu termangu-mangu, maka Ki Lurah Reksaboga telah keluar dari dalam barak itu dengan wajah yang merah membara.
"Siapa lagi yang mencoba mengganggu aku?" teriak Ki Lurah.
Agung Sedayu yang masih menggenggam cambuknya melangkah mendekat sambil bertanya, "Apakah kau Ki Lurah Reksaboga?"
"Ya. Aku adalah Ki Lurah Reksaboga." jawab orang itu. Lalu iapun telah bertanya, "Kau siapa" Apakah kau orang Tanah Perdikan Menoreh seperti orang-orang yang telah aku usir sebelumnya?"
"Ya. Aku orang Tanah Perdikan Menoreh." jawab Agung Sedayu.
"Kau mau apa" Sekarang kaupun harus pergi. Jika kau ingin mengurus beras bagi pasukanmu, datang besok setelah matahari naik. Aku tidak dapat melayanimu malam-malam seperti ini." bentak Ki Lurah.
Tetapi seorang prajuritnya berkata, "Ia tidak dapat pergi begitu saja. Orang-orang itu harus ditahan. Mereka telah membuat kedua orang prajurit yang bertugas menjadi pingsan. Mereka telah mengeroyok kedua prajurit itu."
"Setan kau." geram Ki Lurah, "kau tahu arti dari perbuatanmu itu he?"
"Cukup." bentak Agung Sedayu, "kami memerlukan beras. Beri perintah kepada orang-orangmu yang berada di lumbung untuk mengeluarkan beras sepuluh pikul. Aku memerlukannya malam ini. Bahkan sekarang."
"Apakah kau sudah gila" Buat apa beras sepuluh pikul he" Apakah kau akan memberi makan seluruh kota ini?" teriak Ki Lurah. Lalu perintahnya kepada keempat prajurit itu. "Jika mereka memang sudah membuat onar disini, tangkap mereka."
Namun sekali lagi gerakan keempat orang prajurit itu terhambat oleh ledakan cambuk Agung Sedayu. Dengan lan"tang ia berkata, "Aku memerlukan beras. Jangan membuat kami semakin marah. Pasukan kami yang baru datang dari padepokan Kebo Lungit dalam keadaan parah dan lapar. Kami membawa sejumlah tawanan dan kami memerlukan beras sekarang."
"Tangkap mereka." teriak Ki Lurah.
Tetapi sambil meledakkan cambuknya, Agung Sedayu berkata, "Siapa mendekat lebih dahulu, akan aku koyakkan dadanya."
Tetapi Ki Lurah tertawa. Katanya, "Suara cambukmu yang melengking itu tidak lebih dari suara cambuk gembala dipadang rumput."
Jantung Agung Sedayu berdentang. Dengan demikian, maka ia menyadari bahwa Ki Lurah itu tentu termasuk orang berilmu yang dapat menilai ledakan cambuknya. Karena itu, maka sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya. Tidak meledak. Bahkan hampir tidak bersuara. Tetapi getaran cambuk itu telah langsung menyusup dan mengguncang isi dada Ki Lurah Reksaboga.
Ki Lurah terkejut. Dengan demikian ia menyadari, bahwa orang bercambuk itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia harus berhati-hati menghadapi orang muda itu.
Bahkan dengan hati-hati Ki Lurah itu bertanya, "Apakah kau Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya." jawab Agung Sedayu, "kau kenal namaku" Para prajurit Mataram memang sudah banyak yang aku kenal, karena aku memang sering berada di Mataram."
"Aku belum mengenalmu meskipun aku pernah mendengar namamu. Aku memang prajurit Mataram, tetapi aku berasal dari Pajang." berkata Ki Lurah Reksaboga.
"Nah, sekarang bagaimana dengan beras itu" Kau boleh pilih, Ki Lurah. Kau keluarkan sepuluh pikul beras untuk malam ini, atau kami akan mengambilnya sendiri tanpa menunggu perintahmu." berkata Agung Sedayu.
"Kau melanggar paugeran keprajuritan. Kau tahu akibatnya jika hal ini didengar oleh Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi." jawab Ki Lurah.
"Aku tahu. Tetapi aku akan mempertanggung jawabkan bukan saja kepada Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi. Tetapi aku akan mempertanggung jawabkan kepada Panembahan Senapati atau kepada Ki Patih Mandaraka." berkata Agung Sedayu, "juga tentang kedua orang prajurit yang pingsan itu, atau bahkan lebih dari itu, jika aku terpaksa melakukannya. Seharusnya aku mengerti bahwa aku tidak boleh berbuat seperti itu. Tetapi seharusnya Ki Lurah juga mengerti keadaan pasukanku yang baru datang dari padepokan Kebo Lungit di kaki Gunung Wilis."
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi kenapa sampai sepuluh pikul" Berapa orang yang akan makan?"
"Kami persilahkan Ki Lurah datang ke barak kami atau kami bawa seluruh pasukan kami yang letih dan lapar itu kemari" Ki Lurah akan dapat menghitung ujung senjata pasukan kami sehingga Ki Lurah akan tahu jumlah orang didalam pasukan kami. Masih ditambah pula dengan para tawanan yang kami bawa." jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, "Sebagian dari kami telah terluka. Bahkan ada diantaranya yang parah yang harus kami bawa dengan tandu. Sehari kami tidak sempat makan karena memang sudah tidak ada persediaan beras sama sekali. Jjika malam ini kami tidak mendapat beras, maka lumbung itu akan kami bongkar. Atau jika tidak ada beras di lumbung kami akan merampok di kota ini."
Wajah Ki Lurah menjadi merah.Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Iapun seorang prajurit yang pernah berada di medan perang. Jika keadaan memaksa maka para prajurit itu akan dapat mencari jalan sendiri.
Demikian pula para pengawal itu. Mereka akan dapat menjadi gila jika mereka memang kelaparan.
Karena itu, maka Ki Lurahpun kemudian berkata kepa"da prajurit-prajurit yang telah siap dengan senjata ditangan mereka, "Antar mereka ke lumbung. Keluarkan sepuluh pikul beras untuk mereka."
Para prajauri itu termangu-mangu. Mereka menjadi heran bahwa Ki Lurah yang mereka kenal sebagai seorang perwira yang bersikap tegas dan bahkan sedikit keras itu terpaksa mengalah kepada sikap Agung Sedayu.
Tetapi para prajurit itupun tidak berani berbuat lain. Apalagi yang dikatakan oleh Ki Lurah adalah perintah.
Sejenak kemudian maka dua orang pengawal telah mengantar Agung Sedayu dan kedua orang pengawal yang menyertainya ke lumbung untuk mengambil beras.
Semuanya berlangsung sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu. Namun mereka memang agak kesulitan untuk membawa beras yang sepuluh pikul.
"Jika saja kita membawa pedati-pedati kecil milik pa"depokan Kebo Lungit itu." desis salah seorang pengawal.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Pedati-pedati itu memang kecil dan ditarik oleh seekor lembu. Namun tentu akan dapat membawa beras itu tanpa kesulitan.
Tetapi bagaimanapun juga beras itu telah dibawa. Sebagian saja. Sementara Agung Sedayu menunggui sisanya yang akan diambil kemudian.
Sementara itu, dua orang prajurit yang masih tinggal bersama Ki Lurah telah merawat kedua orang kawannya yang mulai sadar. Dengan geram seorang diantara mereka bertanya, "Kenapa Ki Lurah melepaskan mereka?"
"Setan itu akan dapat menjadi gila. Pasukannya akan benar-benar datang kemari dan melakukan hal-hal yang tidak terkendali. Mereka letih dan lapar sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu," jawab Ki Lurah.
"Tetapi hal seperti ini akan dapat menimbulkan ke"biasaan buruk, karena mereka tidak menghiraukan lagi paugeran." jawab prajurit itu.
"Kau kira aku akan membiarkan hal ini tanpa penyelesaian sesuai dengan pangeran?" desis Ki Lurah itu.
Prajurit-prajuritnya itupun mengangguk-angguk. Tetapi mereka benar-benar merasa sakit hati terhadap sikap para pengawal itu. Para pengawal yang seharusnya tunduk kepada perintah para prajurit, apalagi seorang perwira seperti Ki Lurah Reksaboga.
Namun seorang diantara para prajurit itu sempat bertanya, "Apakah Ki Lurah pernah mengenalnya?"
Ki Lurah Reksaboga itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, "Secara pribadi aku belum mengenalnya. Tetapi beberapa orang pernah menyebut seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh dan tergabung dalam pasukan Mataram memiliki ilmu cambuk yang sangat tinggi. Anak muda itu adalah murid Orang Bercambuk yang sangat disegani. Namanya adalah Agung Sedayu."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia masih belum dapat menerima kenyataan, bahwa Ki Lurah telah mengalah kepada seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, yang menurut penilaian prajurit itu akan dapat menumbuhkan kebiasaan yang tidak baik.
"Besok aku akan melihat keadaan pasukan itu. Jika Agung Sedayu berbohong, maka akupun dapat berbuat sekeras yang dilakukannya. Jika ia melawan dan mempergunakan pasukannya untuk berlindung, maka disini masih dapat dikumpulkan prajurit Mataram yang cukup yang ditinggalkan oleh Panembahan Senapati ke Pasuruan, ditambah dengan bekas prajurit Madiun yang ternyata dapat dibawa bekerja bersama, terutama para pengikut Putri Panembahan Madiun." berkata Ki Lurah Reksaboga.
Dalam pada itu, ketika Ki Lurah kembali ke dalam biliknya di barak khusus itu, maka beberapa petugas dalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu sibuk menyiapkan makan bagi pasukan yang lapar itu. Sementara itu para pengawal terbaring silang melintang dimana saja mereka menjatuhkan dirinya kecuali yang bertugas termasuk mereka yang bertugas mengawasi para tawanan.
Ketika kemudian nasi masak, maka para pengawal itupun telah terbangun dan menerima bagian masing-masing.
Beberapa orang berteriak kecewa bahwa nasi mereka sama sekali tidak disertai lauk apapun juga. Namun para pemimpin kelompok mereka memberitahukan, bahwa tidak ada kesempatan untuk mendapatkan lauk pauk. Namun ketika para petugas menanak nasi, sudah dibaurkan garam secukupnya, sehingga nasi yang tidak ada lauknya sama sekali itu sudah menjadi cukup asin.
Meskipun tanpa lauk sama sekali, namun ternyata bahwa para pengawal dan para tawanan itu telah makan dengan lahapnya.
Ternyata bahwa perasaan lapar telah menjadi lauk yang lebih nikmat dari lauk apapun juga.
Setelah selesai makan dan minum minuman hangat yang masih sempat mendapat sisa gula kelapa, maka para pengawal itu kembali berbaring dan tidur nyenyak. Tetapi sebagian dari mereka harus menggantikan tugas para pengawal yang lain yang telah bertugas sebelumnya.
Rasa-rasanya mereka masih belum cukup lama beristirahat ketika terdengar isyarat agar mereka segera bangun, membenahi diri dan bersiap-siap jika ada perintah bagi para pengawal. Sementara itu langit memang menjadi semakin cerah. Sinar matahari telah mulai memancar kekuning-kuningan.
Dalam pada itu, keadaan Ki Gede masih juga nampak lemah.Tabib yang merawatnya selalu saja menungguinya. Setiap perubahan keadaan diikutinya dengan saksama. Namun agaknya keadaan Ki Gede Menoreh menjadi semakin lama semakin baik. Apalagi setelah beristirahat cukup lama.
Prastawa disamping melakukan tugasnya, sekali-sekali juga menengok pamannya. Namun iapun menjadi semakin tenang melihat keadaannya yang semakin baik.
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Demang Selagilang sibuk mengatur para pengawal dalam tugasnya masing-masing. Melihat-lihat keadaan para tawanan serta kesiagaan para pengawal yang menjaganya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat sekelompok prajurit memasuki regol baraknya. Seorang diantara mereka adalah Ki Lurah Reksaboga.
Agung Sedayupun kemudian telah menemuinya. Ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya, semalam, jika hal itu dianggap melanggar paugeran.
Ki Lurah memang datang untuk membuktikan keterangan Agung Sedayu. Ia berniat melihat sendiri jika ada kecurangan yang telah dilakukannya. Sepuluh pikul beras cukup banyak untuk memberi makan bagi pasukan segelar sepapan. Sementara itu, yang ada dibarak itu tidak lebih dari pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu. Dengan demikian maka ia akan mempunyai bukti sebagai alasan untuk menyeret Agung Sedayu kedalam persoalan pelanggaran paugeran dan menentang kebijaksanaan seorang perwira yang bertugas mengatur keluar masuknya bahan-bahan di lumbung-lumbung pasukan Mataram di Madiun.
"Selamat pagi Ki Lurah." sapa Agung Sedayu.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian bertanya, "Siapakah yang memimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu di barak lini?"
"Aku." jawab Agung sedayu pendek,"meskipun sebenarnya pimpinan tertinggi adalah Ki Gede Menoreh. Tetapi Ki Gede sedang sakit."
Ki Lurah Reksaboga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Sakit apa?"
"Ki Gede telah terluka di medan perang. Sebelum ia pulih seutuhnya, ia harus berjalan dari kaki Gunung Wilis sampai ke kota ini bersama-sama dengan seluruh pasukan." jawab Agung Sedayu.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Sementara itu ia melihat beberapa orang pengawal hilir mudik di halaman. Sedangkan yang lain duduk-duduk diserambi.
"Berapa orang pasukanmu seluruhnya?" bertanya Ki Lurah.
"Jadi kau ingin membuktikan jumlah orang-orang kami yang makan nasi dari beras yang aku ambil semalam dari lumbung?" bertanya Agung Sedayu.
Namun jawab Ki Lurahpun tegas, "Ya. Kau tahu itu adalah tugasku. Tugas yang dibebankan kepadaku dari pimpinan tertinggi keprajuritan Mataram. Siapa yang menentang aku sama dengan menentang perintahnya."
"Tetapi kau bukan alatmati.Kau memiliki kebijaksanaan dalam tugasmu tanpa melanggar paugeran.Tetapi ternyata kau masih mementingkan dirimu sendiri daripada tugasmu. Kau harus mengerti arti dari tugas yang dibebankan kepadamu. Kau harus mendukung semua gerakan prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram. Tetapi kau lebih senang bermalas-malas tidur didalam bilikmu yang hangat daripada mendukung beban keletihan dan kelaparan pada pasukanku. Nah, apakah dengan demikian kau termasuk pelaksana yang baik, yang mengemban perintah pimpinan tertinggi keprajuritan Mataram" Apakah yang kau lakukan itu mendukung kesigapan gerak tatanan kekuatan Mataram" Jika dalam keadaan lapar dan letih, gerombolan musuh datang untuk membebaskan kawan-kawannya yang tertawan, siapa yang bertanggung jawab jika kami gagal mempertahankannya karena kami sudah tidak bertenaga lagi?" jawab Agung Sedayu.
Ki Lurah itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Tetapi bukan berarti bahwa setiap orang dapat merampok lumbung kami."
"Bukankah kau yang mengeluarkan perintah untuk memberikan beras itu kepadaku. Ki Lurah, lihatlah pasukan kami. Hari ini kami memerlukan beras lagi. Bukan hanya beras, tetapi dengan keperluan-keperluan lain. Aku akan melaporkan kedatangan kami kepada Senapati yang bertugas tinggal di Madiun ini. Semuanya yang sudah aku lakukan akan aku pertanggung jawabkan." geram Agung Sedayu. Lalu katanya, "Sekarang, aku persilahkan Ki Lurah melihat keadaan pasukanku."
"Sudah cukup." berkata Ki Lurah.
"Belum. Ki Lurah hanya melihat orang-orang yang berkeliaran dihalaman yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan seluruh pasukan kami." berkata Agung Sedayu.
"Sudah cukup." potong Ki Lurah.
"Belum." sahut Agung Sedayu, "jika Ki Lurah benar-benar ingin menilai kekuatan pasukan kami dengan benar, serta melihat keadaan kami yang sebenarnya, maka Ki Lurah tidak akan hanya berdiri saja dihalaman ini."
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Lalu berkata Agung Sedayu pula, "Ki Lurah aku persilahkan mengikuti aku."
Ki Lurah Reksaboga tiba-tiba saja, seakan-akan diluar sadarnya telah bergerak, sementara Agung Sedayu berjalan mendahuluinya sambil berkata, "Nanti Ki Lurah kami harapkan dapat bertemu dan berbicara langsung dengan Ki Gede diruang dalam."
Ki Lurah tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti Agung Sedayu. Mula-mula Agung Sedayu telah membawanya ke barak samping. Demikian mereka memasuki barak itu, maka Ki Lurah memang terkejut. Ia melihat beberapa orang pengawal yang terluka terbaring di sebuah amben yang besar. Mereka adalah para pengawal yang terluka parah.
"Nyawa mereka telah berada diujung ubun-ubun. Jika semalam mereka tidak sempat disuapi serba sedikit, maka mereka tentu tidak akan dapat bertahan sampai siang ini." berkata Agung Sedayu.
Ki Lurah termangu- mangu sejenak. Ia merasakan sindiran tajam yang diucapkan oleh Agung Sedayu. Namun ia tidak dapat menolak kenyataan itu. Orang-orang itu memang sudah menjadi terlalu lemah. Di geledeg, Ki Lurah masih melihat mangkuk berisi sisa-sisa nasi yang diperuntukkan bagi yang terluka. Namun ada diantara mereka yang hanya dapat makan sedikit sekali.
"Apakah mereka makan tanpa lauk?" bertanya Ki Lurah yang melihat bahwa di mangkuk itu hanya terdapat nasi putih saja.
"Kami tidak sempat mendapatkan lauk apapun. Semua orang yang ada di sini hanya makan nasi saja. Nasi saja." Agung Sedayu memberikan tekanan.
Ki Lurah tidak menyahut. Sementara Agung Sedayu telah mengajak Ki Lurah pergi dari bilik yang satu ke bilik yang lain. Beberapa orang yang tidak terluka berada di serambi, duduk-duduk sambil berbincang diantara mereka. Namun masih nampak tubuh mereka yang letih serta wajah-wajah yang buram.
Ketika mereka pergi ke barak-barak yang ada di belakang, maka Ki Lurah melihat para pengawal yang berjaga-jaga sepenuhnya.
"Di barak itu kita simpan para tawanan." berkata Agung Sedayu.
Ki Lurahpun telah melihat barak itu pula. Beberapa orang tawanan yang juga terluka parah serta para tawanan yang lain yang berwajah kasar dan keras.
Terakhir Ki Lurah dibawa masuk ke ruang dalam untuk menemui Ki Gede Menoreh yang duduk diamben yang besar diruang dalam bangunan induk barak itu. Ki Lurahpun menjadi termangu-mangu meiihat keadaan Ki Gede yang pucat. Justru karena perjalanan yang ditempuhnya maka keadaan Ki Gede memang telah menjadi kurang baik. Wajah yang sudah mulai merah di padepokan telah menjadi pucat kembali.
Namun Ki Gede dengan tersenyum menerima Ki Lurah Reksaboga meskipun Ki Gede telah menerima laporan dari Agung Sedayu tentang sikapnya.
"Marilah Ki Lurah." berkata Ki Gede, "inilah kenyataan dari pasukan kami. Terserah kepada penilaian Ki Lurah, apakah pasukan ini pantas minta dikeluarkan beras sepuluh pikul semalam."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah Ki Gede. Lupakan apa yang telah terjadi. Setelah aku melihat keadaan pasukan Ki Gede, maka aku merasa bersalah. Aku minta maaf, bahwa aku telah mempersulit pengeluaran beras dari lumbung yang sebenarnya memang menjadi kewajibanku, sehingga Agung Sedyu harus memaksanya. Aku masih menghargai sikap Agung Sedayu, bahwa ia masih bersedia menemui aku dan tidak langseng memecah pintu lumbung."
"Hal itu hampir saja terjadi." berkata Agung Sedayu. "Para petugas di bagian perbekalan tidak sabar lagi menunggu. Untung aku mendengar laporan tentang kemarahan para petugas itu."
"Aku dapat mengerti." berkata Ki Lurah, "sebenarnya aku datang untuk menuntut pertanggungan jawab. Aku juga ingin membuktikan, apakah jumlah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan pengawal dari Pegunungan Kidul cukup memadai."
"Bagaimana kesimpulan Ki Lurah?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku sudah minta maaf. Aku justru ingin bertanya, apakah sudah ada beras untuk pagi ini?" bertanya Ki Lurah.
"Kami sudah siap untuk mengurusnya. Tetapi Ki Lurah sudah ada di sini." Jawab Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, "tetapi karena kami makan sudah jauh malam, bahkan melewati tengah malam, maka kami tidak terlalu tergesa-gesa sekarang."
"Baiklah. Aku akan memerintahkan mengirimkan beras itu kemari. Aku mengerti, bahwa kalian benar-benar membutuhkan." berkata ki Lurah, "sebenarnyalah sikapku semalam adalah karena aku agak tersinggung dibangunkan malam hari dan bahkan dengan cara yang sangat mengejutkan."
"Ki Lurah dapat memaklumi sekarang?" bertanya Ki Gede.
"Ya, ya. Aku memaklumi sekarang." jawab Ki Lurah. Lalu katanya, "Selain itu ada unsur harga diri juga. Aku memang ingin nampak sebagaimana seorang pemimpin yang berkuasa mengambil keputusan penting, meskipun khu"susnya tentang membuka pintu lumbung."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Kamipun dapat mengerti sikap Ki Lurah. Syukurlah, bahwa akhirnya tidak terjadi salah paham antara kita."
"Aku juga berterima kasih, bahwa bagaimanapun juga bentuknya, namun Ki Gede dan Agung Sedayu masih menganggap aku orang yang berwenang menentukan pengeluaran beras dari lumbung. Nah, jika demikian aku akan minta diri. Pagi ini aku akan mengirimkan beras bagi pasukan disini buat hari ini." kata Ki Lurah.
"Terima kasih." jawab Ki Gede, "kami menunggu. Sementara ini Agung Sedayu akan pergi ke perwira yang bertanggung jawab di Madiun sekarang ini untuk memberikan laporan selengkapnya atas kedatangan kami di kota ini. Ketika kami mempergunakan barak ini, kami juga belum mendapat perintah resmi. Ketika kami datang, barak yang kami pergunakan sebelum kami berangkat ke Gunung Wilis ini masih kosong. Kami langsung saja singgah di barak ini, karena orang-orang kami sudah hampir tidak dapat berjalan lagi."
Demikianlah, maka Ki Lurah yang telah menyaksikan sendiri keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu itu telah minta diri. Tanpa diminta lagi, maka Ki Lurah itu telah memerintahkan mengirimkan beras ke barak yang dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu, sementara Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah menemui seorang Tumenggung yang bertanggung jawab dihidang keprajuritan selama pasukan Mataram pergi ke Pasuruan.
Ternyata laporan Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang disambut dengan hangat oleh perwira itu. Bahkan perwira itu langsung mengucapkan selamat atas keberhasilan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, serta disertai pernyataan ikut berprihatin atas gugurnya para pengawal serta terjadinya pertempuran yang paling garang dan keras yang pernah dialami oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, sehingga korban yang jatuh terhitung cukup banyak. Terlebih-lebih para tawanan yang menjadi gila dan membuat para pengawal seakan-akan menjadi gila pula.
"Semuanya itu akan mendapat perhatian dari Panembahan Senapati " berkata Tumenggung itu.
"Terima kasih Ki Tumenggung." berkata Agung Sedayu, "Selanjutnya kami menunggu perintah."
"Kita menunggu kedatangan Panembahan Senapati." berkata Tumenggung itu, "kita tidak dapat melakukan tugas yang lain kecuali yang pernah diberikan oleh Panembahan Senapati sebelum Panembahan Senapati berangkat ke Timur."
Sementara itu Agung Sedayu memang menjadi ragu-ragu untuk memberikan laporan tentang tindakannya yang barangkali dapat dianggap kurang sepantasnya terhadap seorang perwira prajurit Mataram yang bertugas mengurus tentang perbekalan. Namun akhirnya Agung Sedayu memutuskan untuk tidak mengatakan sesuatu. Jika Ki Lurah tidak memberikan laporan, maka Agung Sedayupun berniat untuk tidak mengatakan apa-apa tentang peristiwa itu.
Namun ketika ia kembali ke barak yang kemudian telah disahkan penggunaannya oleh pimpinan prajurit Mataram yang ada di Madiun, maka Agung Sedayu telah memerlukan persediaan beras yang cukup. Setumpuk sayuran yang dapat dimasak serta kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Dari petugas di dapur Agung Sedayu mendapat laporan, bahwa untuk selanjutnya sayuran akan dikirim setiap pagi secukupnya meskipun barangkali tidak selalu baik dan memenuhi selera. Namun akan diusahakan yang paling haik dari persediaan yang ada.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata kepada Ki Demang, "Ki Lurah yang melihat keadaan pasukan kita ternyata dapat mengerti, bahwa kita lelah melakukan satu perjuangan yang sangat berat di padepokan Ki Gede Kebo Lungit."
"Iapun seorang prajurit." berkata Ki Demang, "ia tentu dapat membayangkan apa yang telah terjadi dengan melihat keadaan para pengawal serta para tawanan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah cemas, bahwa aku harus berbantah dengan para perwira Mataram di hadapan Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi jika mereka melaporkannya. Namun agaknya Ki Lurah itu tidak akan melaporkannya."
JILID 258 "Ya". Ki Demang mengangguk-angguk. "Bahkan ia telah mengirimkan kebutuhan kita secukupnya. Ternyata ia sempat mempergunakan penalarannya menghadapi keadaan.
Dengan demikian maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Pegunungan Sewu tidak lagi mengalami kesulitan dengan perbekalan mereka.
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, mereka sempat beristirahat sambil menunggu kedatangan Panembahan Senapati.
Namun demikian, para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu masih harus sibuk merawat para pengawal dan tawanan yang terluka parah.
Sebagian ada yang masih harus mendapat perhatian sepenuhnya. Bahkan ada yang nampak semakin parah dan tidak berpengharapan lagi.
Sebenarnyalah, meskipun mereka telah berada di Madiun, namun mereka masih harus melihat kenyataan, bahwa satu dua diantara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu harus mereka lepaskan untuk dikuburkan.
Para tawananpun menjadi berdebar-debar. Setiap mereka
mendengar bahwa masih ada pengawal yang gugur, mereka
menjadi berdebar-debar. Jika kemarahan para pengawal yang
memang sudah tertimbun didalam dada mereka itu meledak
karena sudah tidak termuat lagi, mereka akan dapat
mengalami nasib buruk. Namun semakin hari. jiwa para pengawal termasuk para
pemimpinnya menjadi semakin tenang dan mengendap.
Setelah beristirahat dan sempat melihat-lihat keadaan kota
Madiun yang telah menjadi tenang setelah perang, maka
darah yang seakan-akan mendidih didalam kulit daging, telah
menjadi semakin dingin. Dengan demikian, maka para pengawal dari Tanah
Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu itu sempat
beristirahat sambil menunggu kedatangan Panembahan
Senapati dan pasukannya. Dalam kesempatan yang khusus, maka Glagah Putih
sering duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang.
Ternyata pandangan Ki Demang Selagilang dengan
Agung Sedayu tentang perang yang baru saja terjadi,
mempunyai beberapa kesamaan. Ki Demang Selagilang
ternyata tidak segarang yang diduga oleh Agung Sedayu dan
Glagah Putih. " Aku telah kehilangan orang yang paling aku percaya "
berkata Ki Demang Selagilang.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ki Bekel Wadasmiring
ternyata tidak dapat ikut kembali ke Pegunungan Sewu.
Disaat Ki Demang merasa kehilangan kepercayaannya itu
bersama beberapa orang pengawal dari Pegunungan Sewu,
maka jantungnya memang bagaikan terbakar. Namun
akhirnya Ki Demang telah menemukan keseimbangannya
kembali, serta dengan pandangan yang be-ning menilai
peristiwa yang telah terjadi.
Ki Demang tidak lagi menilai sikap seseorang terlepas dari
peristiwa yang telah terjadi itu sendiri. Perang. Bahkan perang
memang telah membuat seseorang berubah. Tetapi
cenderung menjadi semakin kehilangan nilai-nilai
kemanusiaannya. " Kau masih muda " berkata Ki Demang kepada Glagah
Putih " kau masih akan mengalami berbagai
macam liku kehidupan. Menurut gelar kewajaran, umurmu
masih panjang. Karena itu, hendaknya kau sempat
mengetrapkan pengalaman yang pahit dan yang manis itu di
sepanjang perjalanan hidupmu kemudian pada tempatnya
yang sesuai sebagai bahan perhitungan. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata " Terima kasih Ki Demang. Aku akan selalu
mengingatnya. " Ki Demang mengangguk-angguk pula sambil berkata "
Namun mudah-mudahan kau tidak akan pernah mengalami
pertempuran yang gila seperti yang pernah kita lakukan di
sebelah padepokan Kebo Lungit itu.
" Ya Ki Demang " jawab Glagah Putih " pertempuran itu
mempunyai kesan tersendiri yang sulit untuk dilupakan.
Mudah-mudahan tidak memberikan bekas yang hitam didalam
jantungku sehingga di saat-saat mendatang akan dapat
mewarnai sikapku. " Ki Demang tersenyum. Katanya " Aku yakin, kau akan
dapat menyaring endapan-endapan dari setiap kesan yang
terpahat pada dinding jantungmu. "
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil dengan kerut di
dahinya. Dengan nada rendah ia berkata " Ya Ki Demang.
Namun nampaknya kesan dari pertempuran itu telah sangat
berpengaruh bagi Ki Gede Menoreh. "
" Ya " sahut Agung Sedayu " setiap saat Ki Gede masih
menyebut-nyebut beberapa peristiwa dari pertempuran yang
garang itu. Setiap kali nampak kesan yang buram diwajah Ki
Gede. Bukan karena luka-lukanya yang seakan-akan menjadi
kambuh setelah perjalanan yang berat, tetapi luka itu terdapat
di perasaan Ki Gede yang paling dalam. "
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Suaranya
merendah " Agaknya memerlukan waktu beberapa lama.
Tetapi keadaan kewadagan Ki Gede menjadi semakin
baik. " " Memang agak membesarkan hati " sahut Agung Sedayu "
mudah-mudahan dengan beristirahat yang cukup, keadaan Ki
Gede segera pulih kembali. "
Ki Demang dengan nada rendah tiba-tiba berdesis " Kapan
Panembahan Senapati datang. Aku sudah terlalu lama
meninggalkan Pegunungan Sewu. Rasa-rasanya aku sudah
merindukan tanah liat yang kemerah-merahan serta gugusan
batu-batu kapur yang keputih-putihan dilereng miring
pegunungan. Jika aku dapat segera kembali ke Pegunungan
Sewu serta Ki Gede berada kembali di kaki-kaki pebukitan di
Tanah Perdikan Menoreh, maka hati kami tentu akan segera
menjadi dingin kembali meskipun setiap kali kami akan selalu
teringat kawan-kawan dan saudara-saudara kami yang telah
gugur. " Agung Sedayu dan Glagah Putihpun terdiam. Perasaan itu
sebenarnya bergejolak pula didalam hati keduanya. Tetapi
sebagai pengawal dalam tugas keprajuritan, mereka tidak
akan dapat berbuat lain daripada menunggu perintah.
Karena itu, maka Agung Sedayupun menyahut "
Bagaimanapun juga kita harus menunggu Panembahan
Senapati. Namun agaknya tidak akan terlalu lama lagi
Panembahan Senapati akan datang. "
Ki Demangpun mengangguk-angguk kecil. Namun ia mulai
berangan-angan tentang perjalanan kembali ke Pegunungan
sewu. Namun seperti juga para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh, mereka akan menunggu sampai Panembahan
Senapati dan pasukannya kembali dari Timur. Sementara itu,
keadaan Ki Gede akan menjadi semakin baik untuk
menempuh kembali perjalanan yang panjang.
Dari hari ke hari, keadaan Ki Gede memang menjadi
semakin baik secara jasmaniah. Namun kadang-kadang Ki
Gede masih diganggu oleh kesan pertempuran yang bagaikan
nyala api neraka yang membakar pasukannya serta pasukan
dari Pegunungan Sewu. Karena itu, maka kadang-kadang tiba-tiba saja Ki Gede
telah turun dari pendapa bangunan induk, berjalan dari satu
barak ke barak yang lain, melihat-lihat pasukannya. Seakanakan
masih saja dibayangi oleh luka-luka yang menganga di
tubuh para pengawal. Kadang-kadang Ki Gede seakan-akan
telah melihat wajah seseorang yang ternyata telah gugur di
pertempuran. Agung Sedayu yang kadang-kadang juga masih merenung,
ternyata mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengkesampingkan
kesan-kesan yang sebenarnya juga mencengkam
jantungnya. Kesibukannya mengatur pasukan Tanah Perdikan
bersama Prastawa tidak banyak memberikan peluang baginya
untuk merenung, sebagaimana Ki Demang Selagilang, Glagah
Putih dan Prastawa. Dalam pada itu, ketika para pengawal itu menjadi semakin
gelisah menunggu, maka mereka mendapat pemberitahuan
bahwa utusan Panembahan Senapati telah datang
mendahului pasukannya. Ki Lurah Reksobogalah yang berbicara kepada Agung
Sedayu tentang utusan yang datang itu.
" Kalian tentu akan segera diberitahu pula " berkata Ki
Lurah. " Ternyata Ki Lurah mengetahui lebih dahulu " sahut Agung
Sedayu. " Tentu, karena aku harus menyediakan perbekalan bagi
mereka yang akan datang. Nampaknya seperti pasukan kalian
waktu kalian datang. Disaat apapun aku harus menyediakan
makan bagi mereka. Siang atau malam. " Ki Lurah berhenti
sejenak, lalu katanya pula " Tetapi jika aku sudah
mengetahuinya lebih dahulu, maka tidak akan sangat
menyibukkan. " Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun Ki
Lurah itu dengan serta merta berkata " Tetapi bukan
maksudku menyalahkanmu, bahwa kau tidak mengirimkan
penghubung lebih dahulu. Keadaanmu dan pasukanmu
memang berbeda dengan keadaan dan pasukan Panembahan
Senapati. " Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Terima kasih atas
pengertian Ki Lurah. sebenarnyalah, bahwa dari Ki Tumenggung, secara resmi,
Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang telah mendapat
pemberitahuan. Seorang penghubung telah datang menemui
Ki Gede dan ki Demang, untuk memberitahukan bahwa
Panembahan Senapati sudah mendekati Madiun bersama
pasukannya. " Dalam waktu dua hari lagi, Panembahan Senapati akan
memasuki madiun " berkata penghubung itu.
" Dua hari lagi" Begitu lama" " bertanya Ki Demang
Selagilang di luar sadarnya.
" Perjalanan Panembahan Senapati memang sangat
lamban " jawab penghubung itu " nampaknya memang tidak
tergesa-gesa. Selain itu, Panembahan juga menjaga agar
para prajuritnya yang terluka tidak mengalami kesulitan di
perjalanan. Sementara itu penghubung yang datang lebih
dahulu adalah penghubung berkuda, sehingga perjalanannya
menjadi jauh lebih pendek dari perjalanan pasukannya. "
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah Ki Gede berkata " Mungkin Panembahan Senapati
juga memerlukan singgah dibeberapa kota yang dilewatinya. "
" Ya " sahut penghubung itu " hal itu perlu dilakukan untuk
menjalin keakraban hubungan dengan Mataram. "
Ki Gede yang masih saja mengangguk-angguk itu bertanya
" Apakah ada perintah penyambutan oleh seluruh pasukan
yang ada di Madiun" "
"Tidak"jawab penghubung itu"Panembahan Senapati hanya
memerintahkan semua pasukan bersiap. Setiap saat akan
jatuh perintah untuk segera kembali ke Mataram. "
" Perjalanan kembali itu tentu tidak tergesa-gesa " desis Ki
Demang Selagilang. Namun katanya kemudian " Tetapi kami,
merasa sangat rindu kepada kampung halaman kami,
meskipun kenangan kami kepada kawan-kawan kami yang
telah gugur akan menjadi semakin menusuk. "
Penghubung itu mengangguk-angguk. Katanya " Aku kira
demikian pula perasaan Panembahan Senapati dan para
pemimpin di Mataram. "
Ki Demang mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak jadi
mengucapkan sepatah katapun. Hampir saja ia mengatakan,
bahwa keadaan Panembahan Senapati agak berbeda, setelah
ia bertemu dengan Putri Madiun.
Tetapi karena Ki Demang terdiam, justru penghubung itu
yang berbicara " Namun agaknya ada persoalan lain yang
mendorong Panembahan Senapati harus segera kembali ke
Mataram. " " Persoalan apa" " bertanya Ki Gede.
" Bukankah kita semuanya tahu sikap Adipati Pati terhadap
Panembahan Senapati" " desis penghubung itu.
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede
Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sikap Adipati Pati
memang akan dapat menjadi benih baru yang akan tumbuh
dan berkembang. Bukan pohon buah-buahan yang akan
memberikan buah yang manis, tetapi sebatang pohon yang
penuh dengan duri-duri tajam yang akan dapat menusuk kulit
daging. Meskipun tidak terdengar keluhan, tetapi terasa, betapa
pahitnya perasaan Ki Gede menanggapi keadaan. Perang
yang susul menyusul tidak ada henti-hentinya. Sejak Demak
pecah, maka perang bagaikan membakar seluruh daratan
tanah ini. Bahkan sejak sebelumnya.
Tetapi Ki Gede tidak mengatakan sesuatu. Seperti Ki
Demang, maka rasa-rasanya Ki Gede menjadi rindu kepada
kampung halamannya. Sementara itu, dalam waktu dua hari, Madiun telah
berbenah untuk menyambut kedatangan Panembahan
Senapati dari Timur. Namun segala sesuatunya
diselenggarakan sesuai dengan keadaan. Madiun masih
berada dalam keadaan perang meskipun telah dirintis
suasana yang lebih baik. Sebenarnyalah, seperti yang sudah diberitahukan
sebelumnya, dihari yang direncanakan, maka pasukan induk
Mataram yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati
telah memasuki Madiun kembali.
Tidak ada penyambutan secara khusus. Pasukan Mataram
datang menjelang matahari turun. Kemudian mereka
berkumpul dialun-alun sebentar. Para pemimpin pasukan telah
mendapat perintah langsung dari Panembahan Senapati untuk
membawa pasukannya masing-masing ke barak-barak yang
telah disiapkan. Sementara Panembahan Senapati dan para
pengawal khusus akan berada di istana bersama Putri Madiun
Retna Jumilah. Para petugas memang telah mengatur barak-barak yang
ada bagi para prajurit. Bahkan rumah-rumah yang besar yang
memang sejak sebelumnya dipinjam untuk barak-barak
prajurit. Ki Lurah Reksaboga dengan beberapa orang pembantunya
telah sibuk mengatur anak buahnya dalam tugas yang besar,
karena harus menyediakan makan, minum dan keperluan lain
bagi seluruh pasukan Mataram.
Dalam pada itu, Panembahan Senapati masih belum
memanggil dan memberikan gambaran menyeluruh tentang
hasil perjalanannya ke Pasuruan. Namun dari mulut kemulut
telah terdengar berita keberhasilan perjalanan Panembahan
Senapati. Ki Lurah Reksaboga dalam kesibukannya sempat juga
bertemu dengan Agung Sedayu yang justru dikenalnya
semakin akrab dan berceritera " Panembahan Senapati
berhasil menyatukan Pasuruan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis" Kau
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi yang lebih dahulu mengetahui. "
" Tentu " jawab Ki Lurah " semua orang dalam setiap
pasukan tentu mencari aku. Maksudku semua orang khusus
yang memimpin tugas perbekalan. "
" Mereka agaknya telah berceritera" " desis Agung Sedayu.
"Ya"jawab Ki Lurah " Diantara para korban di peperanganlantara
Mataram dan Pasuruan terdapat Ki Rangga
Keni-ten. " Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia
menjawab Ki Lurah telah berkata pula " Agaknya kau belum
pernah mendengar namanya. Seorang yang sakti pilih
tanding. Ki Rangga telah dengan berani menantang
Panembahan Senapati berperang tanding. Namun Ki Rangga
dapat dikalahkan. " Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia tidak pernah
merasa heran atas kemenangan-kemenangan yang diraih
oleh Panembahan Senapati, karena Panembahan Senapati
memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sebagai orang yang pernah mengalami pengembaraan
bersama meskipun hanya dalam waktu singkat. Agung
Sedayu menyadari, bahwa panembahan Senapati adalah
orang yang berilmu sangat tinggi dari berbagai jenis. Puncakpuncak
dari jenis ilmunya sulit untuk diimbangi oleh siapapun
juga sehingga dengan demikian, maka Panembahan Senapati
adalah prajurit yang seakan-akan tidak ada duanya.
Dalam pada itu, karena Agung Sedayu tidak segera
menjawab, Ki Lurah bertanya " Kau tidak percaya" "
" Bukannya tidak percaya. Tetapi aku memang tidak pernah
merasa heran atas kemenangan-kemenangan itu "
jawab Agung Sedayu. " Kau merendahkan Panembahan Senapati " desis Ki
Lurah. " Kau salah"jawab Agung Sedayu"aku tidak menjadi heran
justru karena aku yakin akan kelebihan Panembahan
Senapati. Orang yang merasa heran akan kemenangan
Panembahan Senapati adalah justru orang yang masih
meragukan kelebihannya. "
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
mengangguk-angguk. Katanya " Kau benar. Namun
seharusnya kau menyatakan kegembiraanmu bahwa dalam
perang tanding itu Panembahan Senapati menang. "
" Bukankah itu wajar sekali " desis Agung Sedayu.
"Ya, ya. Seharusnya akupun tidak menjadi heran"jawab Ki
Lurah, yang kemudian katanya " Besok, semua pemimpin
pasukan akan dipanggil. Tentu termasuk pimpinan pasukan
Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. "
" Kami berharap demikian, sehingga kami mendapat
gambaran yang utuh atas hasil peperangan itu " jawab Agung
Sedayu. Ki Lurahpun mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian
telah minta diri pula. Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah, sebenarnyalah para
pemimpin pasukan telah mendapat pemberitahuan agar esok
pagi saat matahari naik sepenggalah, semuanya telah berada
di paseban istana Madiun.
Tetapi apa yang akan diberitahukan oleh Panembahan
Senapati tentang pertempuran di Pasuruan semuanya telah
didengar oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh, pasukan
dari Pegunungan Sewu serta pasukan-pasukan yang tinggal di
Madiun. Meskipun demikian, ketika matahari terbit dikeesokan
harinya, maka rasa-rasanya para pemimpin pasukan itu
menjadi tegang untuk mendengarkan keterangan yang
langsung akan diberikan oleh Panembahan Senapati. Namun
para pemimpin pasukan itu sadar, bahwa yang akan
diberitahukan oleh Panembahan Senapati bukan saja
keterangan tentang perang di Timur, tetapi juga perintahperintah
bagi pasukan Mataram. Saat matahari naik, maka para pemimpin pasukan baik
yang ikut bersama Panembahan Senapati, maupun yang
tinggal di Madiun serta yang mendapat perintah tugas
tersendiri untuk pergi dan menguasai padepokan Kebo Lungit
telah berada di paseban. Sedangkan beberapa saat
kemudian, maka Panembahan Senapatipun telah hadir pula
bersama Ki Patih Mandaraka.
Dengan nada rendah Panembahan Senapati telah
menguraikan, yang ternyata tidak sebanyak yang diduga,
tentang perang dengan Pasuruan. Agaknya Panembahan
Senapati sama sekali tidak ingin membanggakan kemenangan
itu. bahkan ia hanya menyinggung sedikit tentang kematian Ki
Rangga Keni-ten. "Aku tidak membunuhnya"berkata Panembahan Senapati "
aku hanya mengalahkannya. "
Namun semasa orang yang hadir di paseban itu sudah
mengetahui bahwa Ki Rangga Keniten justru telah mengalami
nasib buruk, karena ia telah dihukum mati oleh pimpinannya
sendiri. Yang kemudian penting bagi para pemimpin kelompok
adalah perintah Panembahan Senapati untuk mempersiapkan
diri. Dalam waktu dekat, Panembahan Senapati akan kembali
ke Mataram. Dalam pertemuan itu, Panembahan Senapati juga telah
mendengarkan laporan Ki Gede Menoreh yang hadir bersama
Agung Sedayu serta Ki Demang Selagilang tentang
pertempuran di padepokan Ki Gede Kebo Lungit.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede.
Dengan laporannya Ki Gede berhasil memberikan gambaran
tentang peristiwa yang mendebarkan jantung yang terjadi atas
pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan dari
Pegunungan Sewu. Panembahan Senapati serta para pemimpin yang tidak
menyaksikan sendiri pertempuran itu menjadi berdebar-debar.
Ternyata bahwa perang di Pasuruan tidak segarang perang
yang terjadi di padepokan Ki Gede Kebo Lungit. Jumlah
pasukan di kedua belah pihak memang telah terlalu besar.
Tetapi bahwa kedua belah pihak seakan-akan tidak lagi
menyadari apa yang telah mereka lakukan, adalah pertanda
bahwa pertempuran yang terjadi adalah pertempuran yang
sulit untuk dikendalikan.
Dengan demikian maka orang-orang yang terluka, yang
harus mendapat perawatan karena luka yang parah, terhitung
cukup banyak. Namun perintah Panembahan Senapati tetap. Dalam waktu
dekat maka pasukan Mataram akan kembali ke Mataram.
Bagi yang terluka parah, akan disediakan pedati khusus
selain pedati yang akan mengangkat alat-alat dan perbekalan,
sehingga bagi mereka tidak lagi memerlukan tandu.
Sebagai ancar-ancar waktu maka Panembahan Senapati
telah memerintahkan semua pasukan siap dalam waktu lima
hari termasuk para petugas perbekalan, kesiagaan bagi
angkutan orang-orang yang terluka parah serta persediaan
apapun bagi perjalanan kembali. "Kita akan singgah di Pajang dan bermalam dua hari. Para
penghubung akan mendahului. Mereka akan minta Pajang
mempersiapkan segala sesuatunya bagi kita selama kita
berada di Pajang untuk beristirahat. Pasukan Pajang
kemudian akan tinggal, Namun mereka harus tetap bersiaga
sepenuhnya karena sewaktu-waktu pasukan itu akan kita
perlukan lagi. " berkata Panembahan Senapati.
Kemudian yang diluar dugaan adalah bahwa secara
terbuka Panembahan Senapati berkata " Kita harus
memperhatikan setiap langkah adimas Adipati Pati yang telah
dengan serta merta meninggalkan Madiun. "
Para pemimpin pasukan Mataram yang ada di pasukan itupun
menjadi berdebar-debar. Pernyataan itu tidak ubahnya
sebagai perintah untuk bersiap-siap menghadapi perang
berikutnya. Melawan Pati yang mempunyai pengaruh yang
besar di pesisir Utara. Nampaknya pertumbuhan Mataram harus dibayangi oleh
perbedaan pendapat yang berkepanjangan^dan silih berganti.
Perjuangan yang berat yang ditandai dengan peperangan
yang tidak henti-hentinya.
Namun Panembahan Senapati tidak akan melangkah surut.
Ia akan berusaha sejauh mungkin menghindari kekerasan,
tetapi ia tidak ingin usaha yang dirintisnya akan tenggelam
dan hilang ditelan gejolak yang timbul karenanya. Jika ia
gagal, bukan sekedar hilangnya kekuasaan yang sudah ada
ditangannya, tetapi cita-citanya dan citra masa depan tanah
inipun akan menjadi tenggelam pula.
Demikianlah, maka Panembahan Senapati masih memberikanjbeberapajpesan
lagi kepada para pemimpin pasukan
yang tergabung dalam pasukan Mataram. Tetapi Panembahan
Senapati tidak terlalu lama berbicara dengan pemimpin
pasukan yang datang menghadapnya. Beberapa saat
kemudian, maka pertemuan itupun telah dibubarkan, dengan
pesan, bahwa semua pasukan siap berangkat dalam waktu
lima hari. Sementara itu, Panembahan Senapati dan beberapa orang
pemimpin tertinggi pasukan Mataram telah menyelenggarakan
pertemuan khusus dengan para pemimpin Madiun yang masih
tinggal, yang bersedia bekerja bersama dengan Mataram.
Panembahan Senapati telah membicarakan pula susunan
pemerintahan serta kesiapan prajurit Madiun sepeninggal
Mataram. Dalam pada itu, maka demikian para pemimpin pasukan
berada di barak mereka masing-masing, maka perintah
Panembahan Senapati segera dilaksanakan. Para pemimpin
pasukan itu telah memanggil para pemimpin kelompok dan
mengalirkan perintah Panembahan Senapati, agar mereka
bersiap dalam waktu lima hari, karena pasukan ini akan
bergerak kembali ke Mataram dalam waktu lima hari itu.
" Kita akan mendapatkan beberapa pedati " berkata Ki
Gede " dengan demikian kita tidak akan mendapatkan
kesulitan untuk membawa kawan-kawan kita yang terluka
parah. Perjalanan kembali ke Mataram termasuk perjalanan
yang panjang. Namun demikian para tabib dari semua kesatuan yang ada
dalam pasukan Mataram harus bekerja keras. Mereka yang
masih parah harus menghadapi perawatan khusus agar
mereka tidak semakin menderita dalam perjalanan yang jauh
itu meskipun mereka berada di pedati.
" Jangan terlalu lama " berkata Ki Gede.
" Baik Ki Gede " jawab Agung Sedayu.
" Bukankah tidak terjadi sesuatu dengan mereka" "
bertanya Ki Gede pula. "Menurut pendengaran kami mereka dalam keadaan baik "
jawab Agung Sedayu. Demikianlah, maka setelah minta diri pula kepada Ki
Demang Selagilang, Agung Sedayu telah pergi ke barak yang
jaraknya beberapa ratus patok dari baraknya yang menemui
Untara dan Swandaru, karena menurut pengertiannya,
kesatuan dari Kademangan Sangkal Putung berada dibawah
pimpinan Untara pula. Yang pertama-tama ditemui oleh Agung Sedayu adalah
Untara. Mereka bertemu sejenak setelah mereka
menghadiri pertemuan di paseban. Tetapi hanya sebentar
karena Untara harus segera mengikuti pertemuan khusus
yang diselenggarakan kemudian.
Agung Sedayu dan Glagah Putih diterima oleh Utara
dengan gembira. Bagaimanapun juga keduanya adalah
adiknya. Seorang adik kandungnya dan seorang adik
sepupunya. " Aku mendengar laporan Ki Gede Menoreh dengan hati
yang berdebar-debar " berkata Untara. Namun kemudian ia
bertanya " bukankah laporan yang diberikan oleh Ki Gede
Menoreh itu gambaran sebenarnya dari peristiwa yang terjadi
saat kalian menarik diri dari padepokan Kebo Lungit" "
" Benar kakang " jawab Agung Sedayu " Ki Gede tidak
menambah dan tidak mengurangi. Para tawanan yang
kemudian mendapat kesempatan untuk melawan, menjadi
seperti gila. Mereka tidak terkendali lagi, sehingga para
pengawal yang harus menguasainyapun telah menjadi seperti
gila pula. " " Bagaimana dengan kau" " Bertanya Untara.
" Aku tengah mencoba menemukan pimpinan mereka yang
telah berhasil menyalakan api diantara para tawanan itu. "
jawab Agung Sedayu. " Dan kau menemukannya" " bertanya Untara. Agung
Sedayu mengangguk kecil. Untarapun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah
Untara kemudian berkata " Pasukan Tanah Perdikan Menoreh
dan pasukan dari Pegunungan Sewu mendapat penilaian baik
dari Panembahan Senapati. Dengan kebanggaan tersendiri
Panembahan Senapati menyebut beberapa kali namamu.
Bahkan Panembahan Senapati mengatakan bahwa kau
adalah salah seorang diantara mereka yang pernah
bersamanya mengembara di masa mudamu. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Untara berkata selanjutnya " Sebenarnya kau memiliki banyak
kesempatan, Agung Sedayu. Tetapi kau menjadi semakin
dewasa bahkan semakin matang untuk memikirkan dirimu
sendiri. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepadamu. " Lalu
Untarapun berpaling kepada Glagah Putih " kaupun pernah
mendapat kesempatan yang baik karena kau adalah sahabat
terdekat Raden Rangga. Seperti yang pernah kau ceriterakan,
bahwa kau mendapat banyak keuntungan justru karena kau
dekat dengan Raden Rangga, namun kau telah mendapatkan
sebagian daripadanya, sehingga kaupun termasuk anak muda
yang melampaui tataran kewajaran. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menunduk ia berkata " Kakang terlalu memuji. Aku belum apaapa.
" Aku tidak memuji. Aku hanya ingin memacu penalaran
kalian agar kalian sempat memikirkan diri kalian dan masa
depan kalian sendiri " sahut Untara pula.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling
kepada Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu hanya
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunduk saja. Namun Untarapun kemudian berkata "
Sudahlah. Aku tidak berniat berbicara tentang masa depan
kalian. Aku hanya ingin menyampaikan tanggapan
Panembahan Senapati atas Agung Sedayu. "
" Terima kasih kakang " jawab Agung Sedayu perlahanlahan.
"Bagaimana dengan Ki Gede sendiri?"bertanya Untara "
aku lihat, keadaannya masih belum pulih seutuhnya. "
" Ya"jawab Agung Sedayu"semula keadaannya sudah baik.
Bahkan hampir pulih. Tetapi pertempuran yang garang itu
telah membuat Ki Gede terguncang lagi perasaannya. Apalagi
perjalanan yang harus kami tempuh dari kaki Gunung Wilis
sampai ke kota ini. "
Untara mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
bertanya " Apakah dalam waktu sepekan keadaannya akan
bertambah baik, sehingga perjalanan kita kembali ke Mataram
tidak akan memperberat keadaan kesehatannya" "
" Keadaannya sudah semakin baik. Kemarin Ki Gede sudah
bergerak agak banyak dengan mempermainkan tombaknya
di halaman belakang barak untuk membiasakan dirinya
dan memulihkan kembali otot-ototnya, " jawab Agung Sedayu.
"Tetapi di paseban aku masih melihatnya seperti orang
yang sangat letih " berkata Untara.
" Terutama perasaannya. " jawab Agung Sedayu.
" Ki Gede memang menjadi semakin tua"berkata Untara "
kemudian akan datang saatnya Swandaru memimpin Tanah
Perdikan Menoreh dan sekaligus Kademangan Sangkal
Pulung. " Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
mengira bahwakakaiknyaakan kembali lagi mempersoalkan
diri. Namun ternyata tidak. Untara justru berkata"Kiai
Gringsingpun sudah terlalu tua. Bahkan menurut penilaian
wajar, wadagnya sudah tidak mampu mendukung lagi
betapapun tinggi ilmunya.
" Ya " Agung Sedayu mengangguk-angguk. " Kiai Gringsing
sudah menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya memang sangat lemah
sehingga ia sudah harus banyak beristirahat. "
" Siapakah yang merawatnya" Apakah para cantrik dapat
melakukannya" " bertanya Untara"atau paman Widura akan
selalu berada di padepokan itu" "
" Paman Widura telah menjadi murid termuda Kiai
Gringsing justru setelah umur paman Widura menjadi semakin
mendekati senja. Tetapi dengan bekal yang telah dimiliki,
paman Widura adalah murid yang paling baik. " berkata Agung
Sedayu. Untara tersenyum. Katanya"Aku juga mendengar. Tetapi
apa salahnya" Mungkin justru akan membuat paman Widura
menjadi semakin kuat dan tidak menjadi cepat pikun. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih pun tersenyum pula.
Namun mereka memang sependapat, bahwa Ki Widura dalam
usia senjanya ternyata masih mampu menyerap ilmu dari
perguruan Orang Bercambuk. Namun karena gurunya juga
sudah menjadi lemah, sementara Ki Widura sendiri juga sudah
menjadi semakin tua, maka sudah tentu peningkatan ilmunya
dilakukan dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh Agung Sedayu
dan Swandaru. Dalam pada itu, setelah berbincang cukup panjang, maka
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah minta diri untuk
menemui Swandaru. " Ia berada di bagian belakang dari rumah sebelah yang
juga dipinjam untuk menjadi barak dari para pengawal Kademangan
Sangkal Putung dan beberapa kelompok prajurit di
bagian depan. Aku tidak sempat mengatakan kepadamu,
bahwa Swandaru terluka dalam pertempuran itu. Tetapi
lukanya tidak terlalu parah, meskipun harus mendapat
perawatan yang sungguh-sungguh. Namun keadaannya kini
sudah menjadi semakin baik. Lima hari lagi, mudah-mudahan
luka-lukanya sudah sembuh sehingga perjalanan kembali ke
Mataram tidak akan mengalami kesulitan. " berkata Untara.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia bertanya " dibagian tubuhnya yang mana adi
Swandaru terluka" "
" Didadanya. Untunglah bahwa tusukan pedang itu tidak
menembus bagian dalam dadanya yang gawat. Pedang itu
hanya mengenai kulit dan dagingnya dibawah ketiaknya.
Namun dagingnya yang koyak itu telah mengalir darah yang
mula-mula agak sulit dipampatkan, sehingga tabib yang
langsung merawatnya menjadi cemas. " berkata Untara.
" Sokurlah jika luka itu hanya dibagian luar tubuhnya saja "
berkata Agung Sedayu. " Swandaru agak sulit dikendalikan. " berkata Untara " ia
terlalu menuruti perasaannya. Seorang yang dengan berani
mendahului menyerang lawan, dalam gelar perang tidak selalu
menguntungkan. Selain itu, ia justru telah melakukan sesuatu
yang dapat membahayakan dirinya sendiri. " Untara berhenti
sejenak, lalu " ketika ia terluka, maka ia tidak mau segera
menyerahkan lawannya kepada orang lain yang
menggantikannya. Sabungsari yang sempat mengambil alih
lawannya melihat Swandaru menolak untuk dirawat. Tetapi
akhirnya ia harus mengakui kenyataan, bahwa darah yang mengalir terlalu
deras itu membuatnya menjadi semakin lemah. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Untara
berkata selanjutnya " Swandaru ternyata lebih banyak
mengikuti perasaan diri sendiri daripada memasuki satu
kesatuan yang utuh dalam satu gelar pasukan. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mengenal Swandaru
dengan baik dapat mengerti keterangan Untara. Swandaru
dengan baik dapat mengerti keterangan Untara. Swandaru
memang lebih banyak melihat kedalam dirinya sendiri
sehingga kadang-kadang ia mengabaikan orang lain.
Tetapi selain sifatnya itu, Swandarupun ingin nampak lebih
baik dari orang-orang lain. Dengan sikapnya ituia ingin
menunjukkan kepada para pemimpin tertinggi Mataram,
bahwa ia memiliki kelebihan dari para pemimpin pengawal
yang tergabung dalam pasukan Mataram itu.
Karena itu, maka Swandaru tentu berkeberatan jika ada
orang lain yang sanggup menyelesaikan pekerjaan yang tidak
dapat diselesaikannya. Agaknya Swandaru tidak senang
melihat Sabungsari mengambil lawannya dan bahkan
kemudian menyelesaikannya.
Tetapi Agung Sedayupun mengenal Sabungsari dengan
baik. Prajurit muda itu memang memiliki kemampuan dan ilmu
yang tinggi. Bagaikan sebilah pedang yang selalu diasahnya,
maka ilmu Sabungsaripun menjadi semakin tajam.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu dan
Glagah Putih telah meninggalkan Untara untuk menemui
Swandaru dirumah sebelah.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai ke serambi
belakang rumah yang dipergunakan oleh para pengawal dari
Sangkal Putung, dilihatnya Swandaru duduk bersama
beberapa orang pengawal Kademangannya. Semangkuk
minuman hangat dengan gula kelapa.
Ketika Swandaru melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih
menengoknya, maka dengan serta merta iapun bangkit
sambil mempersilahkan Agung Sedayu dan Glagah Putih.
" Aku sudah mengira bahwa kalian akan datang berkata
Swandaru"kalian tentu mendapat keterangan bahwa aku telah
terluka. Tetapi sebagaimana kalian lihat, aku tidak apa-apa "
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya " Sokurlah. Aku
memang mendengar dari kakang Untara, bahwa kau terluka "
Swandaru tertawa. Katanya pula " Kakang Untara adalah
seorang kakak yang baik. Ia selalu cemas tentang adikadiknya.
Ia menganggap aku seperti kakang Agung Sedayu
yang manja, sehingga ketika segores kecil luka di kulitku,
kakang Untara sudah menjadi kebingungan. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baru saja ia
datang, tetapi Swandaru telah mulai menyinggung
perasaannya. Namun Agung Sedayu seperti biasanya telah menahan diri.
Ia tidak cepat menjadi marah. Apalagi ia sadar bahwa pada
saat itu Swandaru ingin membuat imbangan dari
kegagalannya di medan, karena yang kemudian berhasil
menyelesaikan lawannya adalah orang lain, sementara
Swandaru sendiri telah terluka.
Karena itulah, maka Agung Sedayu masih saja tersenyum.
" Marilah, duduklah kakang " Swandaru mempersilahkan.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah duduk pula
bersama Swandaru. Namun dengan demikian, Agung Sedayu
dan Glagah Putih melihat, bahwa Swandaru masih nampak
pucat. Lukanya tentu masih belum sembuh benar, karena
masih nampak obat yang melekat pada lukanya itu, sementara
tangannya masih belum dapat bergerak wajar.
Tetapi keduanya sama sekali tidak ingin mempersoalkan,
karena hal itu tentu akan dapat menyinggung perasaannya.
Meskipun Swandaru sendiri tidak pernah memikirkan
kemungkinan seperti itu atas Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka seorang pengawal Kademangan
Sangkal Putung yang telah mengenal Agung Sedayu dan
Glagah Putih dengan baik, telah menghidangkan minuman
hangat pula bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Sementara itu, maka Swandaru telah menceriterakan
pengalamannya selama ia mengikuti pasukan Mataram dalam
perjalanannya ke Timur. Memang ada sedikit perbedaan pandangan antara
Swandaru dan Untara mengenai perang itu sendiri. Swandaru
merasa sering di kecewkan oleh Untara, bahkan Swandaru
merasa bahwa Untara kurang mempercayainya.
"Aku tahu, tentu maksudnya baik"berkata Swandaru" tetapi
dengan demikian, aku dan bahkan seluruh pasukan pengawal
Kademangan Sangkal Putung masih saja dianggap anakanak.
" Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Sudahlah.
Jangan hiraukan. Kakang Untara yang terbiasa memimpin
para prajurit yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dan
paugeran yang ketat. Kita yang tidak terbiasa mengalami
perlakuan seperti itu tentu menjadi agak terkejut karenanya. "
Swandaru mengangguk-angguk pula. Dengan nada tinggi
ia masih menceriterakan bahwa pasukan pengawal
Kademangan Sangkal Putung sebenarnya akan dapat selalu
menjadi paruh dari gelar seluruh pasukan meskipun letaknya
di sayap kanan. Agung Sedayu termangu-mangu sambil bertanya "
Bagaimana mungkin paruh gelar berada di sayap" "
"Kenapa tidak mungkin. Kami selalu mendahului pasukan
yang lamban. Gelar yang panjang sangat menghambat.
Ternyata bahwa pasukan Kademangan Sangkal Putung setiap
benturan mampu menembus pasukan lawan dan menusuk
kedalam gelar mereka, sulit untuk diikuti oleh pasukan yang
lain. Bahkan oleh prajurit Mataram yang ada di Sangkal
Putung, yang dipimpin langsung oleh kakang Untara sendiri. "
Swandaru berhenti sejenak. Lalu katanya tiba-tiba "
Sebenarnya kakang Untara tidak boleh terlalu percaya kepada
Sabungsari. Kakang Untara menganggap Sabungsari itu
segala-galanya, sehingga aku pernah dikecewakan olehnya. "
Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah ia menyahut " Mungkin didalam pasukan kakang
Untara tidak ada orang lain yang lebih baik dari Sabungsari.
" Swandaru tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya "
Agaknya memang demikian. Tetapi ia menganggap semua
orang seperti para prajuritnya yang tidak tanggap terhadap
medan. Semua menunggu perintah. Jika perintah diteriakkan,
baru semuanya bergerak, meskipun sebelumnya kesempatan
telah terbuka sejak lama. "
Agung Sedayu tidak menjawab. Agaknya hal itulah yang
mendorong Swandaru kadang-kadang kurang mematuhi
ikatan kesatuan pasukannya dan bertindak sendiri, sehingga
menurut Untara kadang-kadang justru merugikan seluruh
kekuatan Mataram. Terutama bagian dari sayap kanan.
Sementara itu, lampupun telah terpasang dimana-mana.
Malam mulai turun sehingga halaman belakang rumah yang
dipergunakan untuk barak itu sudah mulai gelap.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah minta
diri sambil berkata"Mudah-mudahan kau cepat sembuh. Lima
hari lagi kita kembali ke Mataram. "
" Aku tidak apa-apa " berkata Swandaru " sejak aku
tersentuh senjata lawan, sebenarnya aku sudah sembuh.
Apalagi sekarang. Tetapi tabib yang sombong itu menganggap
aku masih perlu diobati sehingga justru aku merasa sangat
terganggu. Tetapi aku tidak ingin menyakiti hatinya, sehingga
aku biarkan saja obat itu melekat pada bekas lukaku.
Sebagaimana aku memang memberikan kesempatan kepada
Sabungsari yang merasa dirinya memiliki kemampuan lebih
dari kemampuanku. " Agung Sedayu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi
masih juga meluncur pesannya " Bagaimanapun juga, juga
bekas lukamu agar tidak menjadi kambuh lagi. "
Agung Sedayu tidak memberikan pesan apa-apa lagi.
Iapun kemudian telah minta diri dan meninggalkan rumah itu.
Ketika ia melewati barak yang dipergunakan oleh Untara
dan prajuritnya, ia telah bertemu dengan Sabungsari yang
berdiri diregol halaman. " Kau Agung Sedayu " sapa Sabungsari dengan wajah
terang"aku mendengar dari Ki Untara, bahwa kau baru
mengunjungi Swandaru. "
" Ya"jawab Agung Sedayu"kami baru saja mengunjungi adi
Swandaru. " " Apakah lukanya sudah berangsur baik" " bertanya
Sabungsari. " Ya. Menurut Swandaru lukanya sudah menjadi baik. "
jawab Agung Sedayu. Sabungsari tersenyum. Katanya " Mudah-mudahan ia tidak
membuat lukanya sendiri semakin parah. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mengerti maksud Sabungsari. Tetapi Saburgsaripun segera
berkata" Namun Swandaru adalah seorang yang daya tahan
tubuhnya sangat tinggi. Tubuhnya tergores senjata dari
punggung sampai kedada. Tetapi seakan-akan ia tidak
mengalami kesakitan sama sekali. Jika tidak dipaksa, ia masih
akan tetap memberikan perlawanan. Namun darahnya yang
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalir sangat membahayakannya, sehingga dengan
terpaksa aku memberanikan diri untuk mengambil lawannya.
Tetapi aku sudah minta maaf kepadanya. Hal itu aku lakukan
justru karena tugasku sebagai prajurit. "
" Nampaknya Swandaru dapat mengerti " desis Agung
Sedyu. " Sokurlah. Tetapi begitu tinggi daya tahannya, sehingga
dihari berikutnya, ia sudah sehat kembali seakan-akan tidak
pernah mengalami luka di peperangan hari sebelumnya. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " kakang
Untara sudah menceriterakan pula, apa yang telah dilakukan
oleh adi Swandaru. "
Sabungsari tersenyum. Katanya " pasukan pengawal
Kademangan Sangkal Putung memang cukup tangguh. Tidak
kalah dari pasukan prajurit yang terpilih. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Kau
memuji. Tetapi pasukan pengawal Sangkal Putung memang
memiliki ciri tersendiri. Kau harus mengingat sejarah
kelahirannya, saat pasukan Tohpati ada disekitar Sangkal Putung. "
" Ya. Itulah agaknya yang membuat pasukan pengawal
Kademangan Sangkal Putung cukup meyakinkan " berkata
Sabungsari. Namun kemudian Sabungsari itupun
mempersilah-kan " marilah, silahkan singgah sejenak. "
" Aku tadi sudah singgah dan bertemu kakang Untara. "
berkata Agung Sedayu. " Tetapi aku belum kembali " berkata Sabungsari " Aku
sedang melihat-lihat keadaan kota setelah perang. "
" Terima kasih " berkata Agung Sedayu " malam sudah
turun. Aku harus segera kembali ke barak. Ki Gede juga
terluka. Tetapi keadaannya menjadi semakin baik. "
" Aku juga mendengar. Tetapi Panembahan Senapati
mengagumi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. "
berkata Sabungsari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "
Terima kasih. Mudah-mudahan para pengawal Tanah
Perdikan dapat membawa beban pujian itu dan
mewujudkannya sebagai satu kenyataan. "
" Hal itu berlaku jika pujian itu diberikan sebelumnya. Tetapi
pujian ini diberikan setelah hal itu terjadi. " berkata Sabungsari
kemudian. " Sudahlah " berkata Agung Sedayu kemudian " kami minta
diri. Bukankah kami masih lima hari berada disini" " Agung
Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya pula " Aku menunggu
kau singgah sekali-sekali ke barak pasukan pengawal dari
Tanah Perdikan Menoreh. "
" Baiklah " berkata Sabungsari"besok aku akan datang jika
tidak ada tugas yang tiba-tiba. "
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah minta
diri meninggalkan barak para prajurit Mataram yang berada di
Jati Anom. Mereka kemudian telah menyusuri jalan-jalan kota
yang sepi. Nampaknya nafas kehidupan penghuni kota
Madiun masih belum pulih kembali. Demikian matahari terbenam,
maka jalan-jalan telah menjadi sunyi. Yang lewat kemudian
hanyalah prajurit-prajurit yang meronda. Ada yang berjalan
kaki, tetapi ada pula pasukan berkuda. Di setiap regol rumah
yang dipergunakan oleh para prajurit dan pengawal atau
barak-barak yang memang ada sejak sebelumnya, nampak
para petugas berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.
Ketika keduanya kemudian kembali ke barak, maka Agung
Sedayu dan Glagah Putihpun telah menghadap Ki Gede yang
masih duduk-duduk berbincang dengan Ki Demang
Selagilang. Mereka menceriterakan keadaan para pengawal
dari Kademangan Sangkal Putung serta para prajurit yang
berada di Jati Anom. Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ia ikut merasa
bangga atas beberapa pujian bagi para pengawal dari
Kademangan Sangkal Putung serta pujian bagi menantunya.
Namun Swandaru pun serba sedikit juga mengatakan sikap
Swandaru yang kurang menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia berkata " Itu memang sudah sifatnya. Sulit untuk
meru-bahnya. Kau adalah saudara tua seperguruan.
Barangkali lewat guru kalian, meskipun hanya sedikit, sifat
Swandaru dapat berubah. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian berkata " Guru juga mengalami kesulitan. Tetapi
kami akan mencobanya. "
Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, Agung
Sedayu telah mohon agar Ki Gede beristirahat. Meskipun
keadaannya berangsur baik, namun Ki Gede masih
memerlukan banyak beristirahat.
Ki Gedepun kemudian telah masuk kedalam biliknya. Ia
tidak perlu ikut mengawasi para petugas yang berjaga-jaga
malam itu sebagaiamana malam-malam disaat mereka
menuju ke padepokan Kebo Lungit sampai saat mereka
kembali ke Madiun. Di barak itu Ki Gede tidak perlu merasa
cemas karena peronda dan penjagaan telah berlapis diseputar kota.
Bahkan di halaman barak itu sendiri.
Demikianlah, maka sejenak kemudian barak bukan saja
barak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan
Pegunungan Sewu, tetapi juga barak-barak yang lain telah
menjadi sepi. Para prajurit dan pengawal telah tertidur
nyenyak kecuali mereka vang sedang bertugas.
Ternyata sambil menunggu saat pasukan kembali ke
Mataram, maka para prajurit dan pengawal seakan-akan
mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka tidak
mempunyai kewajiban selain bergantian berjaga-jaga di barak
masing-masing. Sementara bagi pasukan khusus, berjagajaga
di regol dan pintu gerbang kota serta meronda berkeliling.
Disiang hari, para prajurit dan pengawal yang berasal dari
daerah yang berbeda sempat saling berkunjung. Sedangkan
mereka yang terluka dan menjadi sakit mendapat kesempatan
untuk mengobatinya, sehingga saat mereka kembali ke
Mataram, keadaannya sudah menjadi semakin baik.
Dihari yang ketiga, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih
sempat berjalan-jalan disepanjang jalan kota. Merekapun
sempat singgah di pasar yang sudah hampir menjadi pulih
kembali sejak terjadi perang. Para pedagang berdatangan dari
tempat yang cukup jauh untuk menjual dan membeli barangbarang
yang mereka butuhkan. Tetapi ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai
kede-kat pintu pasar, ia terkejut. Ia melihat seseorang yang
juga akan masuk ke dalam pasar dari arah lain. Ketika ia
menggamit Glagah Putih, maka Glagah Putihpun segera
tanggap. Tetapi orang yang mereka perhatikan itupun telah melihat
Agung Sedayu pula. Orang itupun agaknya terkejut
karenanya. Namun dengan demikian ia jutru dengan cepat
menyelinap dan hilang. Glagah Putih telah siap untuk menyusul orang itu masuk
kedalam pasar. Tetapi Agung Sedayu telah mencegahnya.
" Kita harus menangkapnya. Bukankah orang itu Ki Gede
Kebo Lungit" " bertanya Glagah Putih.
" Ya. Orang itu adalah Ki Gede Kebo Lungit. " jawab Agung
Sedayu. " Karena itu, marilah, kita harus menangkapnya"berkata
Glagah Putih. " Sulit untuk melakukannya. Ia tahu pasti, bahwa hal itu
tidak akan dapat kita lakukan ditengah-tengah pasar. Begitu
banyak orang berkumpul, berdesakan tanpa mengetahui
bahaya yang bakal mengancam. Jika terjadi pertempuran,
maka korbannya bukan Ki Gede Kebo Lungit. Bukan pula
salah seorang dari kita berdua, tetapi puluhan orang-orang
yang ada di pasar, itu. Kebo Lungit dapat menghindari
serangan-serangan kita, sebaliknya kitapun akan berusaha
menghindari serangan-serangannya. Tetapi bagaimana
dengan orang-orang yang berdesakan itu" " berkata Agung
Sedayu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya"Jika demikian, kita tunggu orang itu keluar dari pasar.
" Agung Sedayu menggeleng. Katanya"Tidak ada gunanya.
Ia tentu sudah meninggalkan pasar lewat jalan lain. Orang itu
telah melihat kita disini. Agaknya iapun segera dapat
mengenali kita. " Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata Ki Gede Kebo
Lungit memang orang yang sangat berbahaya. Baik bagi
Mataram maupun bagi Madiun.
" Kita harus memberikan laporan tentang kehadirannya di
kota ini agar sepeninggal pasukan Mataram, mereka yang
mendapat tugas untuk memimpin Madiun berhati-hati
menghadapinya. Beberapa orang perwira Madiun tentu sudah
mengenalnya dengan baik karena Ki Gede Kebo Lungit
pernah berpura-pura bekerja bersama dengan para prajurit
Madiun menghadapi Mataram. Namun ternyata Ki Gede Kebo
Lungit mempunyai perhitungan tersendiri. " berkata Agung
Sedayu. " Kepada siapa kita harus melaporkannya" " bertanya
Glagah Putih. " Kita minta Ki Gede Menoreh memberikan laporan kepada
Pangeran Mangkubumi. Terserah, kepada siapa Pangeran
Mangkubumi akan meneruskan laporan itu. Kepada Ki Patih
Mandaraka atau langsung kepada Panembahan Senapati. "
jawab Agung Sedayu. " Sebaiknya hal ini memang harus dilaporkan. Mudahmudahan
Madiun sepeninggal pasukan Mataram tidak
dikacaukan oleh kehadiran Ki Gede Kebo Lungit. " berkata
Glagah Putih. " Mungkin sasaran Ki Gede Kebo Lungit sekarang, bukan
lagi Madiun. Tetapi ia ingin mengamati orang-orang yang
diden-damnya. " berkata Agung Sedayu. " berkata Agung
Sedayu" terutama aku. Mungkin ia justru tengah mengawasi
aku sebelum kita kebetulan sempat melihatnya atau dengan
sengaja ia memperlihatkan diri. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tingkah laku orang
berilmu tinggi itu memang sulit untuk ditebak. Beberapa
kemungkinan memang dapat terjadi. Mungkin ia memang
dengan sengaja membayangi Agung Sedayu, untuk
menimbulkan kegelisahan di hatinya sebelum ia benar-benar
turun untuk membalas dendam kekalahannya.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun
segera meninggalkan pasar itu dan kembali ke barak. Iapun
segera memberikan laporan tentang keberadaan Ki Gede
Kebo Lungit di dalam kota Madiun.
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia memang kecewa bahwa
pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu
tidak berhasil menangkap Ki Gede Kebo Lungit. Namun apa
yang berhasil dilakukan oleh pasukannya dan pasukan Ki
Demang Selagilang adalah langkah yang paling panjang.
" Baiklah " berkata Ki Gede " aku akan menghadap
Pangeran Mangkubumi. "
Dengan demikian, maka Ki Gede Menoreh telah berusaha
untuk menghadap Pangeran Mangkubumi. Ternyata ketika hal
itu disampaikan kepada Pangeran Mangkubumi, maka Ki
Gedepun segera di persilahkan untuk masuk.kedalam istana
lewat pintu butulan, karena Pangeran Mangkubumi berada di
serambi kanan bangsal Kasatrian.
"Marilah, silahkan Ki Gede"berkata Pangeran Mangkubumi
mempersilahkan. Ki Gede mengangguk hormat. Keduanyapun kemudian
telah duduk diatas permadani yang terbentang di serambi
bangsal kesatrian istana Madiun itu.
" Nampaknya ada sesuatu yang penting" " bertanya
Pangeran Mangkubumi. " Benar Pangeran " jawab Ki Gede " memang ada sesuatu
yang penting aku laporkan. "
" Silahkan Ki Gede " berkata Pangeran Mangkubumi "
dengan sungguh-sungguh. Pangeran itu menyadari, bahwa Ki
Gede adalah seorang pemimpin pasukan yang memiliki
kelebihan sehingga keterangannya serta laporannya tentu
akan sangat berarti bagi Mataram.
Demikianlah, maka Ki Gede telah meneruskan laporan
Agung Sedayu tentang kehadiran Ki Gede Kebo Lungit di Kota
Madiun. Sementara itu, Ki Gede juga sempat menceriterakan
beberapa kelebihan Ki Gede Kebo Lungit.
" Ki Gede Kebo Lungit pernah menyatakan kesediaannya
membantu Madiun melawan Mataram. Tetapi ternyata bahwa
Ki Gede Kebo Lungit tidak jujur. Ia telah menjerumuskan para
prajurit Madiun dalam kesulitan. Ki Gede Kebo Lungit sendiri
telah meninggalkan kota saat pasukan Mataram memasuki
kota ini dan ternyata sudah mendirikan satu pemusatan
pasukan di padepokannya " berkata Ki Gede Menoreh.
" Ya. Pemusatan pasukan yang sudah kalian hancurkan itu
" berkata Pangeran Mangkubumi.
" Benar Pangeran Tetapi ternyata Ki Gede Kebo Lungit
sendiri berhasil meloloskan diri. Kini ia masih membayangi
ketenangan kota Madiun. Tetapi kemungkinan lain adalah,
bahwa Ki Gede Kebo Lungit yang mendendam kepada Agung
Sedayu itu pada suatu saat akan muncul di Tanah Perdikan
Menoreh. " berkata Ki Gede Menoreh. Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya "
Jadi menurut pendapat Ki Gede Menoreh, selain Menoreh,
maka Madiunpun harus bersiap-siap menghadapinya. "
" Ya Pangeran " jawab Ki Gede Menoreh " apalagi
sepeninggal pasukan Mataram dua atau tiga hari mendatang.
" Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk pula. Katanya
" Terima kasih atas laporan Ki Gede. Ki Gede Kebo Lungit
termasuk orang yang sangat berbahaya yang harus mendapat
pengawasan khusus. "
" Untungnya, bahwa Ki Gede Kebo Lungit sudah banyak
dikenal oleh para perwira di Madiun. Tetapi nampaknya para
perwira di Madiun tidak sempat lagi untuk turun ke pasar dan
melihat-lihat sudut kota yang lain. Justru disitulah Ki Gede
Kebo Lungit itu berkeliaran " berkata Ki Gede kemudian.
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil mengerutkan dahinya Pangeran Mangkubumi
berkata " Aku akan menyampaikan semua pesanmu kepada
Panembahan Senapati. Perintah itu tentu akan turun lagi
sehingga para perwira yang akan tinggal di Madiun akan
memperhatikannya. " Demikianlah, setelah berbincang beberapa saat lagi, Ki
Gedepun telah minta diri. Bersama dua orang pengawal yang
menunggu di seketheng, maka Ki Gedepun kemudian sempat
berjalan-jalan melihat kota Madiun yang telah menjadi hampir
pulih kembali. Ketika Agung Sedayu kemudian menyambut kedatangan Ki
Gede kembali di Barak, maka Ki Gede sempat memberikan
sedikit keterangan tentang tanggapan baik dari Pangeran
Mangkubumi. Namun mumpung Ki Gede teringat, iapun telah
memperingatkan Agung Sedayu, bahwa pada suatu saat Ki
Gede Kebo Lungit itupun akan dapat muncul di Tanah
Perdikan. " Kau jangan menjadi jemu mendengar peringatanku ini,
Agung Sedayu. Aku sudah beberapa kali mengatakannya.
Tetapi akupun selalu mengatakan kepadamu, meskipun
demikian hidupmu jangan tenggelam dalam kecemasan
bahwa pada suatu saat kau akan bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit. "
berkata Ki Gede Menoreh. Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya " Aku sudah
siap Ki Gede. Kapanpun ia datang. Jika ia berniat
meningkatkan ilmunya lebih dahulu, maka akupun akan
mendapatkan kesempatan yang sama. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga,
Ki Gede Menoreh merasa harus berhati-hati menghadapi Ki
Gede Kebo Lungit. Ki Demang Selagilang juga memperhatikan kemungkinan
kehadiran Ki Gede Kebo Lungit di Pegunungan Sewu, tetapi
dendamnya yang utama adalah kepada Agung Sedayu.
Meskipun demikian Ki Demang juga merasa wajib untuk selalu
bersiaga. Sementara itu, maka semua persiapan dari seluruh
pasukan yang berada di Madiun dan yang akan kembali ke
Mataram sudah dipersiapkan. Dihari berikutnya, maka
semuanya sudah siap. Di keesokan harinya adalah hari yang
sudah ditentukan, bahwa pasukan Mataram akan berangkat
meninggalkan Madiun. Setiap pasukan Mataram yang ada di Madiun telah menjadi
sibuk. Mereka yang memerlukan pedati untuk mengangkut
para prajurit atau pengawal yang terluka sudah disediakan.
Kuda-kudapun siap dipergunkan oleh para pemimpin pasukan.
Sementara itu, tanda-tanda kebesaran setiap pasukan akan
dibawa oleh kesatuan masing-masing. Umbul-umbul, rontek
dan tunggul akan menandai setiap kesatuan yang akan ikut
Siluman Kedung Brantas 1 Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Perkampungan Misterius 3
Ketika fajar menyingsing, maka iring-iringan itu mulai bergerak. Agung Sedayu masih berada di paling depan de"ngan sekelompok pengawal. Kemungkinan-kemungkinan buruk masih saja dapat terjadi.
Namun di bawah irama derap kaki para prajurit, Agung Sedayu sempat merenung.
Ia berharap bahwa peperangan yang gila itu akan dapat menjamin ketenangan hidup dan perdamaian di masa mendatang. Hendaknya Madiun tidak lagi selalu dibayangi oleh kekuatan Ki Gede Kebo Lungit yang telah dihancurkan sampai lumat. Seandainya Ki Gede Kebo Lungit berusaha bangkit, maka Madiunpun tentu sudah bangkit pula, sehingga akan mampu mengimbangi kekuatan padepokan Ki Gede Kebo Lungit.
Namun Agung Sedayupun merasakan semacam tuduhan yang tajam pada langkah yang diambilnya. Untuk menjaga kedamaian dimasa mendatang, maka harus terjadi perang yang paling gila yang pernah dialaminya.
Apakah keinginan untuk tenteram dan damai dari sesamanya itu dapat dibangun diatas landasan yang lain daripada pembunuhan" Kenapa tidak dilakukan dengan menyusupkan perasaan cinta kasih kedalam setiap hati sehingga tenteram dan damai itu akan terwujud"
Namun Agung Sedayu tidak dapat menolak satu kenyataan, bahwa tidak setiap hari akan membukakan pintu bagi ketukan cinta kasih itu meskipun selalu terdengar suara dumeling disetiap telinga, mengumandang diseluruh telakup langit dan diseluruh permukaan bumi, tentang tenteram, damai serta cinta kasih yang sejati.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang terlalu sulit untuk dapat mengerti kemauan sesamanya di atas bumi ini. Sehingga kadang-kadang seseorang harus melaku"kan sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya yang sering tidak sejalan dengan penalarannya.
Demikianlah iring-iringan itu berjalan terus. Mereka telah menuruni jalan yang lebih lebar dan lebih rata. Mereka mulai meninggalkan padang terbuka yang berbatu-batu padas dan miring. Kadang-kadang menurun tajam. Namun kadang-kadang naik mendaki.
Ketika mereka sudah berjalan di jalan yang sedikit rata, maka iring-iringan itu menjadi semakin cepat maju. Para pemimpin Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu berharap bahwa mereka akan dapat mencapai Madiun meskipun malam hari.
Namun betapapun mereka menjadi semakin cepat berjalan, tetapi beberapa orang yang harus ditandu memang telah manghambat perjalanan. Tetapi orang-orang itu tidak akan dapat ditinggalkan begitu saja. Apalagi para pengawal yang terluka agak parah.
Glagah Putih yang berjalan disebelah Ki Gede Menoreh bersama dengan Prastawa setiap kali harus memperhatikan kedaan Ki Gede. Luka-lukanya memang sudah semakin baik. Kekuatannyapun sudah berangsur pulih. Namun goncangan perasaannya ternyata telah membuat keadaannya seakan-akan menyusut kembali. Kepalanya terasa pening dan tulang-tulangnya terasa nyeri.
0i luar sadarnya Ki Gede telah mengatakannya kepada Prastawa yang menjadi gelisah dan berbisik pula di telinga Glagah Putih.
"Apakah Ki Gede sebaiknya dipersilahkan naik tandu?" desis Glagah Putih.
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan mencoba menyampaikannya."
Namun Prastawa masih saja ragu-ragu. Ia mengerti bahwa pamannya tidak akan begitu saja menerima pendapat itu. Namun menilik keadannya, pamannya memang menjadi semakin lemah. Selain goncangan perasaan yang mencengkamnya disaat-saat terjadi pertempuran yang buas antara para pengawal dengan para pengikut Wira Bledeg, sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit dan para tawanan yang sempat disentuh api sehingga menyala tidak terkendali, ternyata bahwa kesehatan Ki Gede Menoreh memang masih belum pulih sepenuhnya. Perjalanan yang panjang sangat berpengaruh atas keadaannya. Sementara itu matahari yang memanjat la"ngit semakin tinggi, panasnya bagaikan membakar kulit.
Namun iring-iringan itu berjalan terus. Kuda-kuda bebanpun mulai merasa haus.
Dengan demikian, maka para pemimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu kemudian merasa perlu untuk menghentikan perjalanan itu, agar para pengawal dan kuda-kuda beban yang terdapat dalam iring-iringan itu sempat beristirahat.
Ketika mereka menemukan tempat yang paling baik ditepi hutan yang sejuk karena pepohonan yang tumbuh dengan lebatnya, maka iring-iringan itu telah berhenti. Sebagian dari iring-iringan itu berada di padang perdu di pinggir hutan itu, sedangkan yang lain berlindung di bawah bayangan pohon-pohon yang berdaun lebat di pinggir hutan itu.
Para pengawal itu sama sekali tidak menjadi cemas terhadap binatang-binatang buas yang ada di dalam hutan itu. Bahkan sekelompok serigala sekalipun, karena jumlah para pengawal itupun cukup banyak.
Selama beristirahat, maka kuda-kuda beban itu sempat minum dari sebuah parit yang berair jernih. Kemudian makan rerumputan hijau yang nampaknya begitu segar.
Namun para pengawal tidak dapat menikmati makan dan segarnya minuman, karena mereka mengerti, bahwa tidak ada sebutir beraspun yang masih tersisa, kecuali rebung yang direbus dengan garam dan gula. Meskipun mereka merasa bahwa perut mereka mulai mengganggu justru saat mereka beristirahat, namun mereka harus bertahan sampai mereka memasuki barak-barak di Madiun. Merekapun tidak dapat memperhitungkan, apakah di Madiun mereka akan segera dapat mengurangi perasaan lapar dengan cara apapun juga.
Justru karena itu, maka para pengawal itu berharap, bahwa mereka segera .melanjutkan saja perjalanan mereka agar mereka dapat melupakan gejolak didalam perut mereka.
Tetapi Prastawa menjadi semakin cemas tentang pamannya. Karena itu, ia telah berbicara dengan Agung sedayu, Glagah Putih yang selalu mendampingi Ki Gede dan Ki Demang Selagilang.
"Apakah kita akan segera berangkat lagi justru keadaan Ki Gede menjadi semakin kurang baik?" bertanya Prastawa.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Demang bertanya, "Mana yang lebih baik, kita segera sampai ke Madiun atau kita beristirahat lebih lama."
"Ada beberapa hal yang harus kita pikirkan." berkata Agung Sedayu, "Keadaan Ki Gede sekaligus keadaan para pengawal. Kita sudah tidak mempunyai persediaan apapun lagi bagi mereka."
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara Prastawa berbeda, "Ya. Para pengawal memang sudah menjadi gelisah."
"Bagaimana jika Ki Gede kita persilahkan naik tandu jika keadaannya memburuk lagi?" bertanya Glagah Putih.
Yang lain mengangguk-angguk. Agaknya itu adalah satu-satunya jalan.
"Sebaiknya kakang Agung Sedayu dan Ki Demang sajalah yang menyampaikannya kepada Ki Gede." berkata Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun harus melakukannya bersama Ki Demang.
"Apaboleh buat." berkata Agung Sedayu.
Ki Demangpun mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah. Aku akan mencobanya."
Dengan demikian maka kedua orang itupun kemudian telah menemui Ki Gede yang beristirahat dibawah sebatang pohon yang rindang di hutan perdu itu.
Menurut pengamatan Agung Sedayu dan Ki Demang, maka keadaan Ki Gede memang memburuk. Sementara itu tabib yang merawatnya telah berbuat segala sesuatu yang terbaik bagi Ki Gede.
Namun tabib itupun mengerti sebagaimana Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang, bahwa peristiwa yang terjadi di padang terbuka itu telah mengejutkannya.
Ki Gede yang melihat Agung Sedayu dan Ki Demang mendekatinya itupun segera tanggap. Mereka memang sudah cukup lama beristirahat. Karena itu, memang sudah waktunya mereka meneruskan perjalanan.
Karena itu, sebelum Agung Sedayu dan Ki Demang mengatakan sesuatu, "maka kita berangkat sekarang."
Agung Sedayu dan Ki Demangpun telah duduk dihadapan Ki Gede yang kemudian menjadi termangu-mangu.
"Kenapa?" bertanya Ki Gede.
"Kami memikirkan kemungkinan yang terbaik bagi Ki Gede." berkata Agung Sedayu.
"Aku kenapa?" Ki Gede justru bertanya.
"Nampaknya Ki Gede menjadi sangat letih." desis Ki Demang.
"Aku bertambah baik." jawab Ki Gede.
Namun Agung Sedayupun berkata, "Ki Gede. Menurut pengamatan kami, perjalanan yang panjang ini sangat melelahkan bagi Ki Gede yang baru saja sembuh yang bahkan keadaannya masih belum pulih sepenuhnya."
"Aku tidak apa-apa." berkata Ki Gede.
"Ki Gede." berkata Agung Sedayu kemudian, "sebenarnya kami ingin mengusulkan, beberapa orang akan membantu Ki Gede dengan sebuah tandu. Nanti, jika keadaan Ki Gede menjadi semakin baik, maka Ki Gede akan dapat meneruskannya dengan berjalan kaki lagi."
"Kenapa dengan sebuah tandu?" bertanya Ki Gede, "aku tidak apa-apa. Keadaanku terasa semakin baik. Aku akan berjalan seperti yang lain. Keadaankupun baik sebagaimana para pengawal."
Agung Sedayu dan Ki Demang memang sudah mengira bahwa Ki Gede akan merasa berkeberatan. Namun Agung Sedayu masih mencoba, "Tetapi para pengawal tidak dalam keadaan seperti Ki Gede. Sedangkan mereka yang terluka juga masih memerlukan bantuan tandu yang diusung oleh kawan-kawannya."
"Tidak." jawab Ki Gede tegas, "aku tidak apa-apa."
"Bagaimana dengan kaki Ki Gede?" bertanya Agung Sedayu.
"Kakiku tidak apa-apa." jawab Ki Gede.
Agung Sedayu dan Ki Demang memang tidak dapat memaksa. Sementara itu Ki Gede justru telah bangkit berdiri sambil berkata, "Kita berangkat sekarang."
Agung Sedayu justru menarik nafas dalam-dalam. Namun perintah Ki Gede itu telah disampaikan kepada seorang penghubung yang meneruskan perintah itu kepada semua kelompok.
Dengan demikian maka seluruh pasukanpun segera bersiap. Ki Demangpun kemudian justru telah bersiap pula untuk kembali ke pasukannya. Namun ia sempat berbisik, "Kau amati saja selama perjalanan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat berbuat lain.
Demikianlah, maka seluruh iring-iringan itupun segera bersiap. Agung Sedayu yang kembali ke kelompoknya berkata kepada Prastawa dan Glagah Putih, "Kita tidak dapat membujuk Ki Gede untuk berada diatas tandu. Karena itu, amati saja dalam perjalanan. Jika keadaannya memaksa, maka apaboleh buat. Kita akan sedikit memaksa Ki Gede untuk bersedia naiki keatas tandu."
Glagah Putih dan Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang sudah mengira, bahwa sulit untuk memaksa Ki Gede duduk diatas tandu dan diusung oleh para pengawal.
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itupun telah bergerak menyusuri jalan-jalan panjang menuju ke Madiun.
Ki Gede memang menjadi letih. Tetapi Ki Gede berjalan terus didampingi oleh Glagah Putih dan Prastawa. Tombaknya masih tetap di genggamannya meskipun sekali-sekali justru telah dipergunakannya sebagai tingkat jika terasa kakinya bergetar.
Madiun memang menjadi semakin dekat. Sementara itu, matahari menjadi semakin rendah, pasukan pengawal itu berjalan semakin lamban. Kulit mereka yang terbakar oleh cahaya Matahari menjadi kehitam-hitaman.
Sementara itu, mereka tidak lagi dapat berharap untuk mendapatkan tenaga baru. Mereka memang berhenti disebuah belik yang airnya bersih. Mereka dapat minum sepuas-puasnya. Tetapi hanya minum air dari belik itu. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi.
Hanya kuda-kuda yang ada didalam iring-iringan itu sajalah yang dapat makan rerumputan segar.
Namun pasukan pengawal yang berjalan dalam terik matahari itu memang memerlukan waktu untuk beristirahat. Beberapa orang di kelompok-kelompok pengawal itu telah jatuh tertidur demikian mereka menjatuhkan diri diatas rerumputan dibawah pohon-pohon rindang, rasa-rasanya mereka tidak lagi mampu untuk meneruskan perjalanan.
Ki Gede sendiri keadaannya memang menjadi semakin kurang baik. Tetapi Ki Gede tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau dibantu dengan sebuah tandu. Ki Gede ingin berjalan bersama para pengawal, meskipun tubuhnya menjadi sangat letih.
Untuk beberapa lama para pengawal beristirahat. Rasa-rasanya mereka sudah tidak ingin bergerak lagi. Ketika matahari turun kebalik cakrawala, maka udara menjadi semakin sejuk. Para pengawal yang beristirahat merasa semakin malas untuk bergerak lagi. Sementara itu perut merekapun terasa semakin mengganggu.
Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali meneruskan perjalanan menuju ke Madiun. Di Madi"un mereka akan dapat berusaha untuk mendapatkan apa saja yang dapat mengurangi gangguan perut mereka.
Betapapun letihnya, namun iring-iringan pasukan itu telah melanjutkan perjalanan mendekati kota Madiun. Kota yang telah menjadi semakin dekat itu rasa-rasanya masih terlalu jauh. Apalagi mereka yang sedang mendapat giliran untuk memanggul tandu. Maka rasa-rasanya tidak ada lagi minat untuk melangkahkan kaki.
Dengan demikian, maka iring-iringan itu berjalan semakin lamban. Sementara Ki Gede sendiri sudah tidak dapat lagi berjalan agak cepat. Keadaannya memang tidak memungkinkan, sedang kakinya yang memang sudah cacat, terasa semakin mengganggu. Tetapi Ki Gede tetap menolak untuk diusung diatas tandu.
Tabib yang merawatnya memang telah memberikan obat khusus untuk menguatkan badan Ki Gede selama perjalanan. Bahkan obat itu diulanginya sampai tiga kali selama perjalanan. Namun obat itu hanya sekedar membantunya. Bagaimanapun juga nampak bahwa keadaan Ki Gede memang sulit.
Namun betapapun beratnya, maka iring-iringan itupun semakin mendekati gerbang kota Madiun. Agung Sedayu dan Ki Demang telah minta Ki Gede untuk naik kuda jika menolak untuk diusung dengan tandu. Namun rasa-rasanya saran mereka tidak didengarnya. Sejak semula ki Gede sudah menolak untuk naik kuda. Dengan cepat Ki Gede berkata, "Aku akan berjalan kaki, sampai ke Madiun. Seperti para pengawal yang lain."
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata sikap Ki Gede itu telah memberikan nafas kepada para pengawal yang juga merasa sangat letih.
Akhirnya Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan para pemimpin pasukan itu termasuk penunjuk jalan yang telati dipersiapkan sebelumnya yang ternyata mempunyai kaitan dengan perguruan Ki Gede Kebo Lungit sehingga mempermudah tugasnya serta para pemimpin yang lain menyadari, bahwa apa yang dilakukan oleh Ki Gede itu mempunyai arti yang sangat tinggi.
Justru karena Ki Gede yang masih belum pulih seutuhnya itu menempuh perjalanan dengan berjalan kaki betapapun letih dan lemahnya , maka para pengawalpun telah melakukannya pula dengan hati yang tetap tegar. Meskipun mereka menjadi sanngat lelah dan perut terasa lapar, namun mereka tidak mengeluh.
Mereka melihat Ki Gede yang sudah menjadi semakin tua itupun melakukan hal yang sama. Berjalan dari padepokan Ki Gede Kebo Lungit sampai ke Madiun. Apalagi kesehatan Ki Gede Menoreh masih belum bulat utuh kembali.
Seandainya Ki Gede Menoreh tidak melakukannya, maka iring-iringan itu tentu akan mengalami hambatan lebih besar lagi. Para pengawal tentu akan mengeluh. Mereka akan kehilangan ketegaran jiwa dan merasa menjadi sangat letih. Bahkan sangat lapar, sehingga mereka akan merasa segan untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Tetapi karena Ki Gede Menoreh yang tua dan lemah karena luka-lukanya itu berjalan juga dari padepokan Ki Gede Kebo Lungit, maka para pengawal itupun telah melakukannya pula.
Namun, Ki Gede Menoreh memang telah memaksa diri. Sebenarnya wadag Ki Gede kurang mendukung tekadnya yang besar yang pengaruhnya telah menyentuh hati setiap pengawal yang hampir kehilangan gairah untuk menyelesaikan perjalanan mereka. Dengan memandang Ki Gede Menoreh yang lemah, maka para pengawal itu telah menguatkan dirinya berjalan sampai tujuan Madiun.
Demikian iring-iringan itu di malam buta mendekati pin"tu gerbang Madiun, maka tiba-tiba saja, ketika seorang berteriak bahwa mereka telah sampai ke batas kota, maka para pengawal itu telah menyahut dengan sorak yang gemuruh.
Para penghuni padukuhan di perbatasan itu telah terkejut. Beberapa orang telah menjenguk dari regol rumahnya. Ternyata mereka melihat sebuah iring-iringan yang agaknya sepasukan pengawal yang hendak memasuki pintu gerbang.
Para petugas di pintu gerbang telah menghentikan pasukan itu. Para petugas yang terdiri dari para prajurit Mataram yang memang ditinggalkan di Madiun bersima beberapa orang prajurit Madiun.
Ketika mereka melihat Agung Sedayu berdiri di hadapan mereka, maka para petugas itupun segera mempersilahkan mereka meneruskan perjalanan memasuki kota Madiun.
Agung Sedayu yang berjalan dipaling depan telah membawa seluruh pasukan itu ke barak yang pernah dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebelum mereka berangkat ke Padepokan Ki Gede Kebo Lungit.
Ternyata barak itu memang belum dipergunakan. Yang ada di barak itu hanyalah beberapa orang petugas yang menjaga dan memelihara barak yang kosong itu. Sehingga dengan demikian, maka seluruh iring-iringan telah dibawa masuk ke halaman barak itu.
Lampu-lampupun segera dipasang ditempat-tempat yang sebelumnya gelap. Obor telah menyala pula di seketheng dan di halaman belakang.
Dengan cepat Prastawa telah membagi tugas. Demikian pula para pengawal dari Pegunungan Sewu. Selebihnya, telah masuk ke ruang yang manapun atau bahkan begitu saja berbaring di pendapa, di pringgitan dan di serambi tanpa sehelai tikarpun.
Ki Gede Menoreh memang menjadi sangat letih. Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah mempersilahkan beristirahat diruang dalam.
Semula Ki Gede memang masih ingin menunda. Ia ingin melihat keadaan seluruh pasukan yang letih itu. Namun tabib yang merawatnyapun telah sedikit memaksanya agar Ki Gede beristirahat dengan sebaik-baiknya diruang dalam.
"Pasukan ini telah sampai ketujuan Ki Gede." berkata tabib yang merawatnya.
Ki Gedepun akhirnya telah mengikuti petunjuk tabib itu dan diikuti oleh Prastawa dan Glagah Putih masuk ke ruang dalam. Bahkan kemudian Ki Gedepun bersedia untuk berbaring disebuah amben yang besar yang berada di ruang tengah ditunggui oleh tabibnya yang merawatnya. Sementara para pemimpin yang lain telah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mengatur penjagaan dan menempatkan orang-orang yang terluka. Menempatkan para tawanan dan menugaskan kepada bagian perbekalan untuk mengurus makan dan minum seluruh pasukan yang letih dan kelaparan itu.
Beberapa orang petugas telah berusaha menghubungi para petugas yang berada di kota . Memang agak sulit, karena di malam hari tidak mudah untuk bertemu dengan orang-orang yang bertanggung jawab, bukan sekedar petugas yang menunggui lumbung-lumbung padi dan beras.
Namun para petugas yang baru datang dan merasa sangat letih itu menjadi tidak sabar. Ketika dua kali ia mondar-mandir mencari orang-orang yang dapat membuka lumbung dan mengeluarkan beberapa pikul beras tidak juga diketemukan, sedangkan orang yang lain menolak untuk datang ke lumbung dan minta agar petugas yang berusaha mendapatkan beras itu datang dikeesokan harinya, maka mereka telah mengambil langkah sendiri.
Beberapa orang petugas yang letih dan bukan saja diri mereka sendiri yang menjadi lapar, tetapi seluruh pasukan telah menjadi lapar, maka mereka tidak lagi sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Lima orang diantara mereka telah kembali ke lumbung sedang dua orang memberikan laporan kepada Agung Sedayu tentang niat kelima orang yang pergi ke lumbung, untuk mengambil sendiri beras bagi pasukan yang letih dan lapar itu.
Agung Sedayu terkejut mendengar laporan itu. Karena itu maka dengan tergesa-gesa Agung Sedayu bersama kedua orang itu telah langsung pergi ke lumbung.
Ketika Agung Sedayu sampai ke lumbung, maka kelima orang petugas dari Tanah Perdikan yang marah itu telah menarik pedangnya mengancam tiga orang penjaga lumbung itu.
"Jika kalian tidak berani membuka pintu lumbung itu, kami akan membuka sendiri." bentak salah seorang dari kelima orang itu.
"Kau akan digantung di alun-alun." geram orang yang diancam itu.
"Aku tidak peduli. Lebih baik kami berlima digantung dialun-alun daripada seluruh pasukan kami kelaparan malam ini." teriak pengawal yang bertugas sebagai pemimpin di bagian perbekalan itu.
Agung Sedayu yang datang dengan tergesa-gesa sempat meredakan kemarahan pengawal itu. Dengan nada dalam Agung Sedayu bertanya kepada ketiga orang petugas yang menjaga lumbung itu, "Siapa yang bertanggung jawab atas lumbung ini dan berwenang mengeluarkan perintah mengeluarkan beras dari lumbung."
"Ki Lurah Reksaboga." jawab petugas itu.
Agung Sedayu yang mendapat ancar-ancar letak tempat tinggal Ki Lurah Reksaboga itupun telah berniat untuk datang kepadanya. Namun petugas perbekalan yang akan mengambil beras langsung dari Tanah Perdikan itu berkata, "Kami telah datang ke rumahnya. Tetapi Ki Lurah menolak menerima kami. Kami diminta untuk datang esok pagi."
Kepada petugas yang menjaga lumbung, Agung Sedayu bertanya, "Ki Lurah Reksaboga itu bukankah seorang prajurit Mataram yang datang bersama Panembahan Senapati?"
"Ya" jawab petugas dilumbung itu.
"Dan kalian?" bertanya Agung Sedayu.
"Kami juga." jawab petugas itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Jika demikian aku akan menemuinya. Mau atau tidak mau."
"Apakah kami harus ikut bersama-sama?" bertanya seorang diantara petugas perbekalan itu.
"Dua orang diantara kalian. Yang lain tinggal disini." berkata Agung Sedayu.
Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu bersama dua orang pengawal telah pergi ke rumah Ki Lurah Reksaboga. Namun seperti yang dikatakan oleh petugas perbekalan itu, ketika Agung Sedayu mengetuk pintu regol sebuah barak, dua orang petugas telah membukanya dan berkata, "Ki Lurah sedang beristirahat. Jangan kalian ganggu. Bukankah kalian telah datang kemari tadi dan langsung mendapat jawaban dari Ki Lurah yang marah?"
"Aku akan bertemu dengan Ki Lurah." berkata Agung Sedayu tanpa menghiraukan para penjaga.
"Berhenti." bentak penjaga itu.
"Aku akan berhenti di sinr. Tetapi aku minta kalian sampaikan sekali lagi kepada Ki Lurah, bahwa aku dari Ta"nah Perdikan Menoreh, atas nama pasukan pengawalnya dan pasukan pengawal dari Pegunungan Sewu ingin bertemu." berkata Agung Sedayu.
"Tidak. Ki Lurah akan menjadi semakin marah." berkata penjaga itu.
"Aku harus menemuinya atau aku akan melakukan tindakan di luar paugeran." berkata Agung Sedayu yang menjadi tidak sabar pula. Betapapun ia disetiap langkah-langkahnya terkekang oleh berbagai macam pertimbangan, namun Agung Sedayu seakan-akan sedang membawa beban perasaan letih dan lapar dari sepasukan prajurit dan tawanan.
"Kau mau pergi atau kami harus melemparkan kalian keluar." bentak penjaga itu.
Dalam keadaan yang sangat khusus itu, jantung Agung Sedayu bagaikan tersengat api mendengar kata-kata itu. Adalah diluar sadarnya, bahwa tiba-tiba saja Agung Sedayu telah memukul penjaga itu demikian kerasnya sehingga iapun telah jatuh terguling dan langsung menjadi pingsan.
Penjaga yang seorang lagi ternyata tak tanggung-tanggung pula. Tiba-tiba saja ia telah mendorong tombaknya lurus kearah Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu manyaksikan orang yang terjatuh itu.
"Agung Sedayu." teriak seorang pengawal yang me"nyertainya.
Agung Sedayu sempat berpaling. Dengan tangkasnya ia telah meloncat menghindari ujung tombak itu dan tangannya telah terayun pula ketengkuk orang itu sehingga orang itu terdorong searah dengan garis serangannya. Dengan keras orang itu jatuh terjerembab dan bahkan pukulan ditengkuknya itu telah membuatnya pingsan pula.
Keributan itu ternyata telah membangunkan beberapa orang prajurit yang ada dibarak itu. Barak yang nampaknya khusus untuk beberapa petugas penting. Karena barak itu ternyata tidak terlalu besar. Hanya ada sederet bangunan dan sebuah pendapa yang tidak terlalu besar.
Empat orang prajurit telah keluar dari ruang dalam. Demikian mereka melihat keadaan, maka merekapun lang"sung menarik senjata mereka.
"Siapakah kalian?" bertanya seorang diantara mereka.
"Dimana Ki Lurah Reksaboga?" bertanya Agung Sedayu.
"Siapa kalian?" prajurit itu membentak.
"Aku salah seorang pimpinan dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Aku datang atas nama para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu." jawab Agung Sedayu.
"O" prajurit itu mengangguk-angguk, "jadi kau pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Mau apa kau menghadap Ki Lurah malam-malam begini?"
"Aku ingin bicara." jawab Agung Sedayu.
"Sekarang kalian terpaksa kami tangkap. Nampaknya kau sudah membuat keributan disini. Aku lihat dua orang prajurit terbujur pingsan. Tentu kalian bertiga telah meng"eroyoknya." berkata prajurit itu.
"Mereka menghalangi aku yang ingin menghadap Ki Lurah." jawab Agung Sedayu.
"Tutup mulutmu. Kalian hanya pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan. Jangan berlaku sombong disini. Kami adalah prajurit-prajurit Mataram. Kau harus mendengarkan perintah kami." geram prajurit itu.
"Aku akan bertemu Ki Lurah, kau dengar?" Agung Sedayu menjadi semakin marah.
"Setan kau. Kau hanya pengawal padesan. Kau berani menentang kami, prajurit Mataram." prajurit itu hampir berteriak.
Agung Sedayu yang marah itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia sudah mengurai cambuknya. Satu ledakan yang meng"getarkan udara telah mengoyak sepinya malam.
Keempat orang prajurit itu terkejut. Diluar sadar, mereka telah bergeser mundur. Sementara Agung Sedayu berkata, "Panggil Ki Lurah, atau kalian akan pingsan seperti kawan-kawanmu itu."
Empat orang prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun merekapun segera berpencar dengan pedang teracu. Seorang diantara mereka berkata, "Kau tahu akibat dari perbuatan pengawal. Kau berani menentang prajurit Mataram."
Agung Sedayu tidak menjawab. Kedua kawannya telah menarik senjata mereka pula. Namun cambuk Agung Sedayu telah meledak sekali lagi, sehingga suaranya seakan-akan telah mengguncang seluruh kota Madiun.
Keempat orang prajurit itu memang agak ragu-ragu untuk mendekat. Mereka mendengar ledakan cambuk itu bagaikan mendengar ledakan guntur di telinga mereka.
Selagi keempat orang itu termangu-mangu, maka Ki Lurah Reksaboga telah keluar dari dalam barak itu dengan wajah yang merah membara.
"Siapa lagi yang mencoba mengganggu aku?" teriak Ki Lurah.
Agung Sedayu yang masih menggenggam cambuknya melangkah mendekat sambil bertanya, "Apakah kau Ki Lurah Reksaboga?"
"Ya. Aku adalah Ki Lurah Reksaboga." jawab orang itu. Lalu iapun telah bertanya, "Kau siapa" Apakah kau orang Tanah Perdikan Menoreh seperti orang-orang yang telah aku usir sebelumnya?"
"Ya. Aku orang Tanah Perdikan Menoreh." jawab Agung Sedayu.
"Kau mau apa" Sekarang kaupun harus pergi. Jika kau ingin mengurus beras bagi pasukanmu, datang besok setelah matahari naik. Aku tidak dapat melayanimu malam-malam seperti ini." bentak Ki Lurah.
Tetapi seorang prajuritnya berkata, "Ia tidak dapat pergi begitu saja. Orang-orang itu harus ditahan. Mereka telah membuat kedua orang prajurit yang bertugas menjadi pingsan. Mereka telah mengeroyok kedua prajurit itu."
"Setan kau." geram Ki Lurah, "kau tahu arti dari perbuatanmu itu he?"
"Cukup." bentak Agung Sedayu, "kami memerlukan beras. Beri perintah kepada orang-orangmu yang berada di lumbung untuk mengeluarkan beras sepuluh pikul. Aku memerlukannya malam ini. Bahkan sekarang."
"Apakah kau sudah gila" Buat apa beras sepuluh pikul he" Apakah kau akan memberi makan seluruh kota ini?" teriak Ki Lurah. Lalu perintahnya kepada keempat prajurit itu. "Jika mereka memang sudah membuat onar disini, tangkap mereka."
Namun sekali lagi gerakan keempat orang prajurit itu terhambat oleh ledakan cambuk Agung Sedayu. Dengan lan"tang ia berkata, "Aku memerlukan beras. Jangan membuat kami semakin marah. Pasukan kami yang baru datang dari padepokan Kebo Lungit dalam keadaan parah dan lapar. Kami membawa sejumlah tawanan dan kami memerlukan beras sekarang."
"Tangkap mereka." teriak Ki Lurah.
Tetapi sambil meledakkan cambuknya, Agung Sedayu berkata, "Siapa mendekat lebih dahulu, akan aku koyakkan dadanya."
Tetapi Ki Lurah tertawa. Katanya, "Suara cambukmu yang melengking itu tidak lebih dari suara cambuk gembala dipadang rumput."
Jantung Agung Sedayu berdentang. Dengan demikian, maka ia menyadari bahwa Ki Lurah itu tentu termasuk orang berilmu yang dapat menilai ledakan cambuknya. Karena itu, maka sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya. Tidak meledak. Bahkan hampir tidak bersuara. Tetapi getaran cambuk itu telah langsung menyusup dan mengguncang isi dada Ki Lurah Reksaboga.
Ki Lurah terkejut. Dengan demikian ia menyadari, bahwa orang bercambuk itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia harus berhati-hati menghadapi orang muda itu.
Bahkan dengan hati-hati Ki Lurah itu bertanya, "Apakah kau Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya." jawab Agung Sedayu, "kau kenal namaku" Para prajurit Mataram memang sudah banyak yang aku kenal, karena aku memang sering berada di Mataram."
"Aku belum mengenalmu meskipun aku pernah mendengar namamu. Aku memang prajurit Mataram, tetapi aku berasal dari Pajang." berkata Ki Lurah Reksaboga.
"Nah, sekarang bagaimana dengan beras itu" Kau boleh pilih, Ki Lurah. Kau keluarkan sepuluh pikul beras untuk malam ini, atau kami akan mengambilnya sendiri tanpa menunggu perintahmu." berkata Agung Sedayu.
"Kau melanggar paugeran keprajuritan. Kau tahu akibatnya jika hal ini didengar oleh Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi." jawab Ki Lurah.
"Aku tahu. Tetapi aku akan mempertanggung jawabkan bukan saja kepada Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi. Tetapi aku akan mempertanggung jawabkan kepada Panembahan Senapati atau kepada Ki Patih Mandaraka." berkata Agung Sedayu, "juga tentang kedua orang prajurit yang pingsan itu, atau bahkan lebih dari itu, jika aku terpaksa melakukannya. Seharusnya aku mengerti bahwa aku tidak boleh berbuat seperti itu. Tetapi seharusnya Ki Lurah juga mengerti keadaan pasukanku yang baru datang dari padepokan Kebo Lungit di kaki Gunung Wilis."
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi kenapa sampai sepuluh pikul" Berapa orang yang akan makan?"
"Kami persilahkan Ki Lurah datang ke barak kami atau kami bawa seluruh pasukan kami yang letih dan lapar itu kemari" Ki Lurah akan dapat menghitung ujung senjata pasukan kami sehingga Ki Lurah akan tahu jumlah orang didalam pasukan kami. Masih ditambah pula dengan para tawanan yang kami bawa." jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, "Sebagian dari kami telah terluka. Bahkan ada diantaranya yang parah yang harus kami bawa dengan tandu. Sehari kami tidak sempat makan karena memang sudah tidak ada persediaan beras sama sekali. Jjika malam ini kami tidak mendapat beras, maka lumbung itu akan kami bongkar. Atau jika tidak ada beras di lumbung kami akan merampok di kota ini."
Wajah Ki Lurah menjadi merah.Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Iapun seorang prajurit yang pernah berada di medan perang. Jika keadaan memaksa maka para prajurit itu akan dapat mencari jalan sendiri.
Demikian pula para pengawal itu. Mereka akan dapat menjadi gila jika mereka memang kelaparan.
Karena itu, maka Ki Lurahpun kemudian berkata kepa"da prajurit-prajurit yang telah siap dengan senjata ditangan mereka, "Antar mereka ke lumbung. Keluarkan sepuluh pikul beras untuk mereka."
Para prajauri itu termangu-mangu. Mereka menjadi heran bahwa Ki Lurah yang mereka kenal sebagai seorang perwira yang bersikap tegas dan bahkan sedikit keras itu terpaksa mengalah kepada sikap Agung Sedayu.
Tetapi para prajurit itupun tidak berani berbuat lain. Apalagi yang dikatakan oleh Ki Lurah adalah perintah.
Sejenak kemudian maka dua orang pengawal telah mengantar Agung Sedayu dan kedua orang pengawal yang menyertainya ke lumbung untuk mengambil beras.
Semuanya berlangsung sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu. Namun mereka memang agak kesulitan untuk membawa beras yang sepuluh pikul.
"Jika saja kita membawa pedati-pedati kecil milik pa"depokan Kebo Lungit itu." desis salah seorang pengawal.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Pedati-pedati itu memang kecil dan ditarik oleh seekor lembu. Namun tentu akan dapat membawa beras itu tanpa kesulitan.
Tetapi bagaimanapun juga beras itu telah dibawa. Sebagian saja. Sementara Agung Sedayu menunggui sisanya yang akan diambil kemudian.
Sementara itu, dua orang prajurit yang masih tinggal bersama Ki Lurah telah merawat kedua orang kawannya yang mulai sadar. Dengan geram seorang diantara mereka bertanya, "Kenapa Ki Lurah melepaskan mereka?"
"Setan itu akan dapat menjadi gila. Pasukannya akan benar-benar datang kemari dan melakukan hal-hal yang tidak terkendali. Mereka letih dan lapar sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu," jawab Ki Lurah.
"Tetapi hal seperti ini akan dapat menimbulkan ke"biasaan buruk, karena mereka tidak menghiraukan lagi paugeran." jawab prajurit itu.
"Kau kira aku akan membiarkan hal ini tanpa penyelesaian sesuai dengan pangeran?" desis Ki Lurah itu.
Prajurit-prajuritnya itupun mengangguk-angguk. Tetapi mereka benar-benar merasa sakit hati terhadap sikap para pengawal itu. Para pengawal yang seharusnya tunduk kepada perintah para prajurit, apalagi seorang perwira seperti Ki Lurah Reksaboga.
Namun seorang diantara para prajurit itu sempat bertanya, "Apakah Ki Lurah pernah mengenalnya?"
Ki Lurah Reksaboga itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, "Secara pribadi aku belum mengenalnya. Tetapi beberapa orang pernah menyebut seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh dan tergabung dalam pasukan Mataram memiliki ilmu cambuk yang sangat tinggi. Anak muda itu adalah murid Orang Bercambuk yang sangat disegani. Namanya adalah Agung Sedayu."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia masih belum dapat menerima kenyataan, bahwa Ki Lurah telah mengalah kepada seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, yang menurut penilaian prajurit itu akan dapat menumbuhkan kebiasaan yang tidak baik.
"Besok aku akan melihat keadaan pasukan itu. Jika Agung Sedayu berbohong, maka akupun dapat berbuat sekeras yang dilakukannya. Jika ia melawan dan mempergunakan pasukannya untuk berlindung, maka disini masih dapat dikumpulkan prajurit Mataram yang cukup yang ditinggalkan oleh Panembahan Senapati ke Pasuruan, ditambah dengan bekas prajurit Madiun yang ternyata dapat dibawa bekerja bersama, terutama para pengikut Putri Panembahan Madiun." berkata Ki Lurah Reksaboga.
Dalam pada itu, ketika Ki Lurah kembali ke dalam biliknya di barak khusus itu, maka beberapa petugas dalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu sibuk menyiapkan makan bagi pasukan yang lapar itu. Sementara itu para pengawal terbaring silang melintang dimana saja mereka menjatuhkan dirinya kecuali yang bertugas termasuk mereka yang bertugas mengawasi para tawanan.
Ketika kemudian nasi masak, maka para pengawal itupun telah terbangun dan menerima bagian masing-masing.
Beberapa orang berteriak kecewa bahwa nasi mereka sama sekali tidak disertai lauk apapun juga. Namun para pemimpin kelompok mereka memberitahukan, bahwa tidak ada kesempatan untuk mendapatkan lauk pauk. Namun ketika para petugas menanak nasi, sudah dibaurkan garam secukupnya, sehingga nasi yang tidak ada lauknya sama sekali itu sudah menjadi cukup asin.
Meskipun tanpa lauk sama sekali, namun ternyata bahwa para pengawal dan para tawanan itu telah makan dengan lahapnya.
Ternyata bahwa perasaan lapar telah menjadi lauk yang lebih nikmat dari lauk apapun juga.
Setelah selesai makan dan minum minuman hangat yang masih sempat mendapat sisa gula kelapa, maka para pengawal itu kembali berbaring dan tidur nyenyak. Tetapi sebagian dari mereka harus menggantikan tugas para pengawal yang lain yang telah bertugas sebelumnya.
Rasa-rasanya mereka masih belum cukup lama beristirahat ketika terdengar isyarat agar mereka segera bangun, membenahi diri dan bersiap-siap jika ada perintah bagi para pengawal. Sementara itu langit memang menjadi semakin cerah. Sinar matahari telah mulai memancar kekuning-kuningan.
Dalam pada itu, keadaan Ki Gede masih juga nampak lemah.Tabib yang merawatnya selalu saja menungguinya. Setiap perubahan keadaan diikutinya dengan saksama. Namun agaknya keadaan Ki Gede Menoreh menjadi semakin lama semakin baik. Apalagi setelah beristirahat cukup lama.
Prastawa disamping melakukan tugasnya, sekali-sekali juga menengok pamannya. Namun iapun menjadi semakin tenang melihat keadaannya yang semakin baik.
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Demang Selagilang sibuk mengatur para pengawal dalam tugasnya masing-masing. Melihat-lihat keadaan para tawanan serta kesiagaan para pengawal yang menjaganya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat sekelompok prajurit memasuki regol baraknya. Seorang diantara mereka adalah Ki Lurah Reksaboga.
Agung Sedayupun kemudian telah menemuinya. Ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya, semalam, jika hal itu dianggap melanggar paugeran.
Ki Lurah memang datang untuk membuktikan keterangan Agung Sedayu. Ia berniat melihat sendiri jika ada kecurangan yang telah dilakukannya. Sepuluh pikul beras cukup banyak untuk memberi makan bagi pasukan segelar sepapan. Sementara itu, yang ada dibarak itu tidak lebih dari pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu. Dengan demikian maka ia akan mempunyai bukti sebagai alasan untuk menyeret Agung Sedayu kedalam persoalan pelanggaran paugeran dan menentang kebijaksanaan seorang perwira yang bertugas mengatur keluar masuknya bahan-bahan di lumbung-lumbung pasukan Mataram di Madiun.
"Selamat pagi Ki Lurah." sapa Agung Sedayu.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun ia kemudian bertanya, "Siapakah yang memimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu di barak lini?"
"Aku." jawab Agung sedayu pendek,"meskipun sebenarnya pimpinan tertinggi adalah Ki Gede Menoreh. Tetapi Ki Gede sedang sakit."
Ki Lurah Reksaboga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Sakit apa?"
"Ki Gede telah terluka di medan perang. Sebelum ia pulih seutuhnya, ia harus berjalan dari kaki Gunung Wilis sampai ke kota ini bersama-sama dengan seluruh pasukan." jawab Agung Sedayu.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Sementara itu ia melihat beberapa orang pengawal hilir mudik di halaman. Sedangkan yang lain duduk-duduk diserambi.
"Berapa orang pasukanmu seluruhnya?" bertanya Ki Lurah.
"Jadi kau ingin membuktikan jumlah orang-orang kami yang makan nasi dari beras yang aku ambil semalam dari lumbung?" bertanya Agung Sedayu.
Namun jawab Ki Lurahpun tegas, "Ya. Kau tahu itu adalah tugasku. Tugas yang dibebankan kepadaku dari pimpinan tertinggi keprajuritan Mataram. Siapa yang menentang aku sama dengan menentang perintahnya."
"Tetapi kau bukan alatmati.Kau memiliki kebijaksanaan dalam tugasmu tanpa melanggar paugeran.Tetapi ternyata kau masih mementingkan dirimu sendiri daripada tugasmu. Kau harus mengerti arti dari tugas yang dibebankan kepadamu. Kau harus mendukung semua gerakan prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram. Tetapi kau lebih senang bermalas-malas tidur didalam bilikmu yang hangat daripada mendukung beban keletihan dan kelaparan pada pasukanku. Nah, apakah dengan demikian kau termasuk pelaksana yang baik, yang mengemban perintah pimpinan tertinggi keprajuritan Mataram" Apakah yang kau lakukan itu mendukung kesigapan gerak tatanan kekuatan Mataram" Jika dalam keadaan lapar dan letih, gerombolan musuh datang untuk membebaskan kawan-kawannya yang tertawan, siapa yang bertanggung jawab jika kami gagal mempertahankannya karena kami sudah tidak bertenaga lagi?" jawab Agung Sedayu.
Ki Lurah itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Tetapi bukan berarti bahwa setiap orang dapat merampok lumbung kami."
"Bukankah kau yang mengeluarkan perintah untuk memberikan beras itu kepadaku. Ki Lurah, lihatlah pasukan kami. Hari ini kami memerlukan beras lagi. Bukan hanya beras, tetapi dengan keperluan-keperluan lain. Aku akan melaporkan kedatangan kami kepada Senapati yang bertugas tinggal di Madiun ini. Semuanya yang sudah aku lakukan akan aku pertanggung jawabkan." geram Agung Sedayu. Lalu katanya, "Sekarang, aku persilahkan Ki Lurah melihat keadaan pasukanku."
"Sudah cukup." berkata Ki Lurah.
"Belum. Ki Lurah hanya melihat orang-orang yang berkeliaran dihalaman yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan seluruh pasukan kami." berkata Agung Sedayu.
"Sudah cukup." potong Ki Lurah.
"Belum." sahut Agung Sedayu, "jika Ki Lurah benar-benar ingin menilai kekuatan pasukan kami dengan benar, serta melihat keadaan kami yang sebenarnya, maka Ki Lurah tidak akan hanya berdiri saja dihalaman ini."
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Lalu berkata Agung Sedayu pula, "Ki Lurah aku persilahkan mengikuti aku."
Ki Lurah Reksaboga tiba-tiba saja, seakan-akan diluar sadarnya telah bergerak, sementara Agung Sedayu berjalan mendahuluinya sambil berkata, "Nanti Ki Lurah kami harapkan dapat bertemu dan berbicara langsung dengan Ki Gede diruang dalam."
Ki Lurah tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti Agung Sedayu. Mula-mula Agung Sedayu telah membawanya ke barak samping. Demikian mereka memasuki barak itu, maka Ki Lurah memang terkejut. Ia melihat beberapa orang pengawal yang terluka terbaring di sebuah amben yang besar. Mereka adalah para pengawal yang terluka parah.
"Nyawa mereka telah berada diujung ubun-ubun. Jika semalam mereka tidak sempat disuapi serba sedikit, maka mereka tentu tidak akan dapat bertahan sampai siang ini." berkata Agung Sedayu.
Ki Lurah termangu- mangu sejenak. Ia merasakan sindiran tajam yang diucapkan oleh Agung Sedayu. Namun ia tidak dapat menolak kenyataan itu. Orang-orang itu memang sudah menjadi terlalu lemah. Di geledeg, Ki Lurah masih melihat mangkuk berisi sisa-sisa nasi yang diperuntukkan bagi yang terluka. Namun ada diantara mereka yang hanya dapat makan sedikit sekali.
"Apakah mereka makan tanpa lauk?" bertanya Ki Lurah yang melihat bahwa di mangkuk itu hanya terdapat nasi putih saja.
"Kami tidak sempat mendapatkan lauk apapun. Semua orang yang ada di sini hanya makan nasi saja. Nasi saja." Agung Sedayu memberikan tekanan.
Ki Lurah tidak menyahut. Sementara Agung Sedayu telah mengajak Ki Lurah pergi dari bilik yang satu ke bilik yang lain. Beberapa orang yang tidak terluka berada di serambi, duduk-duduk sambil berbincang diantara mereka. Namun masih nampak tubuh mereka yang letih serta wajah-wajah yang buram.
Ketika mereka pergi ke barak-barak yang ada di belakang, maka Ki Lurah melihat para pengawal yang berjaga-jaga sepenuhnya.
"Di barak itu kita simpan para tawanan." berkata Agung Sedayu.
Ki Lurahpun telah melihat barak itu pula. Beberapa orang tawanan yang juga terluka parah serta para tawanan yang lain yang berwajah kasar dan keras.
Terakhir Ki Lurah dibawa masuk ke ruang dalam untuk menemui Ki Gede Menoreh yang duduk diamben yang besar diruang dalam bangunan induk barak itu. Ki Lurahpun menjadi termangu-mangu meiihat keadaan Ki Gede yang pucat. Justru karena perjalanan yang ditempuhnya maka keadaan Ki Gede memang telah menjadi kurang baik. Wajah yang sudah mulai merah di padepokan telah menjadi pucat kembali.
Namun Ki Gede dengan tersenyum menerima Ki Lurah Reksaboga meskipun Ki Gede telah menerima laporan dari Agung Sedayu tentang sikapnya.
"Marilah Ki Lurah." berkata Ki Gede, "inilah kenyataan dari pasukan kami. Terserah kepada penilaian Ki Lurah, apakah pasukan ini pantas minta dikeluarkan beras sepuluh pikul semalam."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah Ki Gede. Lupakan apa yang telah terjadi. Setelah aku melihat keadaan pasukan Ki Gede, maka aku merasa bersalah. Aku minta maaf, bahwa aku telah mempersulit pengeluaran beras dari lumbung yang sebenarnya memang menjadi kewajibanku, sehingga Agung Sedyu harus memaksanya. Aku masih menghargai sikap Agung Sedayu, bahwa ia masih bersedia menemui aku dan tidak langseng memecah pintu lumbung."
"Hal itu hampir saja terjadi." berkata Agung Sedayu. "Para petugas di bagian perbekalan tidak sabar lagi menunggu. Untung aku mendengar laporan tentang kemarahan para petugas itu."
"Aku dapat mengerti." berkata Ki Lurah, "sebenarnya aku datang untuk menuntut pertanggungan jawab. Aku juga ingin membuktikan, apakah jumlah pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan pengawal dari Pegunungan Kidul cukup memadai."
"Bagaimana kesimpulan Ki Lurah?" bertanya Agung Sedayu.
"Aku sudah minta maaf. Aku justru ingin bertanya, apakah sudah ada beras untuk pagi ini?" bertanya Ki Lurah.
"Kami sudah siap untuk mengurusnya. Tetapi Ki Lurah sudah ada di sini." Jawab Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, "tetapi karena kami makan sudah jauh malam, bahkan melewati tengah malam, maka kami tidak terlalu tergesa-gesa sekarang."
"Baiklah. Aku akan memerintahkan mengirimkan beras itu kemari. Aku mengerti, bahwa kalian benar-benar membutuhkan." berkata ki Lurah, "sebenarnyalah sikapku semalam adalah karena aku agak tersinggung dibangunkan malam hari dan bahkan dengan cara yang sangat mengejutkan."
"Ki Lurah dapat memaklumi sekarang?" bertanya Ki Gede.
"Ya, ya. Aku memaklumi sekarang." jawab Ki Lurah. Lalu katanya, "Selain itu ada unsur harga diri juga. Aku memang ingin nampak sebagaimana seorang pemimpin yang berkuasa mengambil keputusan penting, meskipun khu"susnya tentang membuka pintu lumbung."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Kamipun dapat mengerti sikap Ki Lurah. Syukurlah, bahwa akhirnya tidak terjadi salah paham antara kita."
"Aku juga berterima kasih, bahwa bagaimanapun juga bentuknya, namun Ki Gede dan Agung Sedayu masih menganggap aku orang yang berwenang menentukan pengeluaran beras dari lumbung. Nah, jika demikian aku akan minta diri. Pagi ini aku akan mengirimkan beras bagi pasukan disini buat hari ini." kata Ki Lurah.
"Terima kasih." jawab Ki Gede, "kami menunggu. Sementara ini Agung Sedayu akan pergi ke perwira yang bertanggung jawab di Madiun sekarang ini untuk memberikan laporan selengkapnya atas kedatangan kami di kota ini. Ketika kami mempergunakan barak ini, kami juga belum mendapat perintah resmi. Ketika kami datang, barak yang kami pergunakan sebelum kami berangkat ke Gunung Wilis ini masih kosong. Kami langsung saja singgah di barak ini, karena orang-orang kami sudah hampir tidak dapat berjalan lagi."
Demikianlah, maka Ki Lurah yang telah menyaksikan sendiri keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu itu telah minta diri. Tanpa diminta lagi, maka Ki Lurah itu telah memerintahkan mengirimkan beras ke barak yang dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu, sementara Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah menemui seorang Tumenggung yang bertanggung jawab dihidang keprajuritan selama pasukan Mataram pergi ke Pasuruan.
Ternyata laporan Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang disambut dengan hangat oleh perwira itu. Bahkan perwira itu langsung mengucapkan selamat atas keberhasilan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, serta disertai pernyataan ikut berprihatin atas gugurnya para pengawal serta terjadinya pertempuran yang paling garang dan keras yang pernah dialami oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, sehingga korban yang jatuh terhitung cukup banyak. Terlebih-lebih para tawanan yang menjadi gila dan membuat para pengawal seakan-akan menjadi gila pula.
"Semuanya itu akan mendapat perhatian dari Panembahan Senapati " berkata Tumenggung itu.
"Terima kasih Ki Tumenggung." berkata Agung Sedayu, "Selanjutnya kami menunggu perintah."
"Kita menunggu kedatangan Panembahan Senapati." berkata Tumenggung itu, "kita tidak dapat melakukan tugas yang lain kecuali yang pernah diberikan oleh Panembahan Senapati sebelum Panembahan Senapati berangkat ke Timur."
Sementara itu Agung Sedayu memang menjadi ragu-ragu untuk memberikan laporan tentang tindakannya yang barangkali dapat dianggap kurang sepantasnya terhadap seorang perwira prajurit Mataram yang bertugas mengurus tentang perbekalan. Namun akhirnya Agung Sedayu memutuskan untuk tidak mengatakan sesuatu. Jika Ki Lurah tidak memberikan laporan, maka Agung Sedayupun berniat untuk tidak mengatakan apa-apa tentang peristiwa itu.
Namun ketika ia kembali ke barak yang kemudian telah disahkan penggunaannya oleh pimpinan prajurit Mataram yang ada di Madiun, maka Agung Sedayu telah memerlukan persediaan beras yang cukup. Setumpuk sayuran yang dapat dimasak serta kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Dari petugas di dapur Agung Sedayu mendapat laporan, bahwa untuk selanjutnya sayuran akan dikirim setiap pagi secukupnya meskipun barangkali tidak selalu baik dan memenuhi selera. Namun akan diusahakan yang paling haik dari persediaan yang ada.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata kepada Ki Demang, "Ki Lurah yang melihat keadaan pasukan kita ternyata dapat mengerti, bahwa kita lelah melakukan satu perjuangan yang sangat berat di padepokan Ki Gede Kebo Lungit."
"Iapun seorang prajurit." berkata Ki Demang, "ia tentu dapat membayangkan apa yang telah terjadi dengan melihat keadaan para pengawal serta para tawanan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah cemas, bahwa aku harus berbantah dengan para perwira Mataram di hadapan Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi jika mereka melaporkannya. Namun agaknya Ki Lurah itu tidak akan melaporkannya."
JILID 258 "Ya". Ki Demang mengangguk-angguk. "Bahkan ia telah mengirimkan kebutuhan kita secukupnya. Ternyata ia sempat mempergunakan penalarannya menghadapi keadaan.
Dengan demikian maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Pegunungan Sewu tidak lagi mengalami kesulitan dengan perbekalan mereka.
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu, mereka sempat beristirahat sambil menunggu kedatangan Panembahan Senapati.
Namun demikian, para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu masih harus sibuk merawat para pengawal dan tawanan yang terluka parah.
Sebagian ada yang masih harus mendapat perhatian sepenuhnya. Bahkan ada yang nampak semakin parah dan tidak berpengharapan lagi.
Sebenarnyalah, meskipun mereka telah berada di Madiun, namun mereka masih harus melihat kenyataan, bahwa satu dua diantara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu harus mereka lepaskan untuk dikuburkan.
Para tawananpun menjadi berdebar-debar. Setiap mereka
mendengar bahwa masih ada pengawal yang gugur, mereka
menjadi berdebar-debar. Jika kemarahan para pengawal yang
memang sudah tertimbun didalam dada mereka itu meledak
karena sudah tidak termuat lagi, mereka akan dapat
mengalami nasib buruk. Namun semakin hari. jiwa para pengawal termasuk para
pemimpinnya menjadi semakin tenang dan mengendap.
Setelah beristirahat dan sempat melihat-lihat keadaan kota
Madiun yang telah menjadi tenang setelah perang, maka
darah yang seakan-akan mendidih didalam kulit daging, telah
menjadi semakin dingin. Dengan demikian, maka para pengawal dari Tanah
Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu itu sempat
beristirahat sambil menunggu kedatangan Panembahan
Senapati dan pasukannya. Dalam kesempatan yang khusus, maka Glagah Putih
sering duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang.
Ternyata pandangan Ki Demang Selagilang dengan
Agung Sedayu tentang perang yang baru saja terjadi,
mempunyai beberapa kesamaan. Ki Demang Selagilang
ternyata tidak segarang yang diduga oleh Agung Sedayu dan
Glagah Putih. " Aku telah kehilangan orang yang paling aku percaya "
berkata Ki Demang Selagilang.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ki Bekel Wadasmiring
ternyata tidak dapat ikut kembali ke Pegunungan Sewu.
Disaat Ki Demang merasa kehilangan kepercayaannya itu
bersama beberapa orang pengawal dari Pegunungan Sewu,
maka jantungnya memang bagaikan terbakar. Namun
akhirnya Ki Demang telah menemukan keseimbangannya
kembali, serta dengan pandangan yang be-ning menilai
peristiwa yang telah terjadi.
Ki Demang tidak lagi menilai sikap seseorang terlepas dari
peristiwa yang telah terjadi itu sendiri. Perang. Bahkan perang
memang telah membuat seseorang berubah. Tetapi
cenderung menjadi semakin kehilangan nilai-nilai
kemanusiaannya. " Kau masih muda " berkata Ki Demang kepada Glagah
Putih " kau masih akan mengalami berbagai
macam liku kehidupan. Menurut gelar kewajaran, umurmu
masih panjang. Karena itu, hendaknya kau sempat
mengetrapkan pengalaman yang pahit dan yang manis itu di
sepanjang perjalanan hidupmu kemudian pada tempatnya
yang sesuai sebagai bahan perhitungan. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata " Terima kasih Ki Demang. Aku akan selalu
mengingatnya. " Ki Demang mengangguk-angguk pula sambil berkata "
Namun mudah-mudahan kau tidak akan pernah mengalami
pertempuran yang gila seperti yang pernah kita lakukan di
sebelah padepokan Kebo Lungit itu.
" Ya Ki Demang " jawab Glagah Putih " pertempuran itu
mempunyai kesan tersendiri yang sulit untuk dilupakan.
Mudah-mudahan tidak memberikan bekas yang hitam didalam
jantungku sehingga di saat-saat mendatang akan dapat
mewarnai sikapku. " Ki Demang tersenyum. Katanya " Aku yakin, kau akan
dapat menyaring endapan-endapan dari setiap kesan yang
terpahat pada dinding jantungmu. "
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil dengan kerut di
dahinya. Dengan nada rendah ia berkata " Ya Ki Demang.
Namun nampaknya kesan dari pertempuran itu telah sangat
berpengaruh bagi Ki Gede Menoreh. "
" Ya " sahut Agung Sedayu " setiap saat Ki Gede masih
menyebut-nyebut beberapa peristiwa dari pertempuran yang
garang itu. Setiap kali nampak kesan yang buram diwajah Ki
Gede. Bukan karena luka-lukanya yang seakan-akan menjadi
kambuh setelah perjalanan yang berat, tetapi luka itu terdapat
di perasaan Ki Gede yang paling dalam. "
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Suaranya
merendah " Agaknya memerlukan waktu beberapa lama.
Tetapi keadaan kewadagan Ki Gede menjadi semakin
baik. " " Memang agak membesarkan hati " sahut Agung Sedayu "
mudah-mudahan dengan beristirahat yang cukup, keadaan Ki
Gede segera pulih kembali. "
Ki Demang dengan nada rendah tiba-tiba berdesis " Kapan
Panembahan Senapati datang. Aku sudah terlalu lama
meninggalkan Pegunungan Sewu. Rasa-rasanya aku sudah
merindukan tanah liat yang kemerah-merahan serta gugusan
batu-batu kapur yang keputih-putihan dilereng miring
pegunungan. Jika aku dapat segera kembali ke Pegunungan
Sewu serta Ki Gede berada kembali di kaki-kaki pebukitan di
Tanah Perdikan Menoreh, maka hati kami tentu akan segera
menjadi dingin kembali meskipun setiap kali kami akan selalu
teringat kawan-kawan dan saudara-saudara kami yang telah
gugur. " Agung Sedayu dan Glagah Putihpun terdiam. Perasaan itu
sebenarnya bergejolak pula didalam hati keduanya. Tetapi
sebagai pengawal dalam tugas keprajuritan, mereka tidak
akan dapat berbuat lain daripada menunggu perintah.
Karena itu, maka Agung Sedayupun menyahut "
Bagaimanapun juga kita harus menunggu Panembahan
Senapati. Namun agaknya tidak akan terlalu lama lagi
Panembahan Senapati akan datang. "
Ki Demangpun mengangguk-angguk kecil. Namun ia mulai
berangan-angan tentang perjalanan kembali ke Pegunungan
sewu. Namun seperti juga para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh, mereka akan menunggu sampai Panembahan
Senapati dan pasukannya kembali dari Timur. Sementara itu,
keadaan Ki Gede akan menjadi semakin baik untuk
menempuh kembali perjalanan yang panjang.
Dari hari ke hari, keadaan Ki Gede memang menjadi
semakin baik secara jasmaniah. Namun kadang-kadang Ki
Gede masih diganggu oleh kesan pertempuran yang bagaikan
nyala api neraka yang membakar pasukannya serta pasukan
dari Pegunungan Sewu. Karena itu, maka kadang-kadang tiba-tiba saja Ki Gede
telah turun dari pendapa bangunan induk, berjalan dari satu
barak ke barak yang lain, melihat-lihat pasukannya. Seakanakan
masih saja dibayangi oleh luka-luka yang menganga di
tubuh para pengawal. Kadang-kadang Ki Gede seakan-akan
telah melihat wajah seseorang yang ternyata telah gugur di
pertempuran. Agung Sedayu yang kadang-kadang juga masih merenung,
ternyata mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengkesampingkan
kesan-kesan yang sebenarnya juga mencengkam
jantungnya. Kesibukannya mengatur pasukan Tanah Perdikan
bersama Prastawa tidak banyak memberikan peluang baginya
untuk merenung, sebagaimana Ki Demang Selagilang, Glagah
Putih dan Prastawa. Dalam pada itu, ketika para pengawal itu menjadi semakin
gelisah menunggu, maka mereka mendapat pemberitahuan
bahwa utusan Panembahan Senapati telah datang
mendahului pasukannya. Ki Lurah Reksobogalah yang berbicara kepada Agung
Sedayu tentang utusan yang datang itu.
" Kalian tentu akan segera diberitahu pula " berkata Ki
Lurah. " Ternyata Ki Lurah mengetahui lebih dahulu " sahut Agung
Sedayu. " Tentu, karena aku harus menyediakan perbekalan bagi
mereka yang akan datang. Nampaknya seperti pasukan kalian
waktu kalian datang. Disaat apapun aku harus menyediakan
makan bagi mereka. Siang atau malam. " Ki Lurah berhenti
sejenak, lalu katanya pula " Tetapi jika aku sudah
mengetahuinya lebih dahulu, maka tidak akan sangat
menyibukkan. " Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun Ki
Lurah itu dengan serta merta berkata " Tetapi bukan
maksudku menyalahkanmu, bahwa kau tidak mengirimkan
penghubung lebih dahulu. Keadaanmu dan pasukanmu
memang berbeda dengan keadaan dan pasukan Panembahan
Senapati. " Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Terima kasih atas
pengertian Ki Lurah. sebenarnyalah, bahwa dari Ki Tumenggung, secara resmi,
Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang telah mendapat
pemberitahuan. Seorang penghubung telah datang menemui
Ki Gede dan ki Demang, untuk memberitahukan bahwa
Panembahan Senapati sudah mendekati Madiun bersama
pasukannya. " Dalam waktu dua hari lagi, Panembahan Senapati akan
memasuki madiun " berkata penghubung itu.
" Dua hari lagi" Begitu lama" " bertanya Ki Demang
Selagilang di luar sadarnya.
" Perjalanan Panembahan Senapati memang sangat
lamban " jawab penghubung itu " nampaknya memang tidak
tergesa-gesa. Selain itu, Panembahan juga menjaga agar
para prajuritnya yang terluka tidak mengalami kesulitan di
perjalanan. Sementara itu penghubung yang datang lebih
dahulu adalah penghubung berkuda, sehingga perjalanannya
menjadi jauh lebih pendek dari perjalanan pasukannya. "
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah Ki Gede berkata " Mungkin Panembahan Senapati
juga memerlukan singgah dibeberapa kota yang dilewatinya. "
" Ya " sahut penghubung itu " hal itu perlu dilakukan untuk
menjalin keakraban hubungan dengan Mataram. "
Ki Gede yang masih saja mengangguk-angguk itu bertanya
" Apakah ada perintah penyambutan oleh seluruh pasukan
yang ada di Madiun" "
"Tidak"jawab penghubung itu"Panembahan Senapati hanya
memerintahkan semua pasukan bersiap. Setiap saat akan
jatuh perintah untuk segera kembali ke Mataram. "
" Perjalanan kembali itu tentu tidak tergesa-gesa " desis Ki
Demang Selagilang. Namun katanya kemudian " Tetapi kami,
merasa sangat rindu kepada kampung halaman kami,
meskipun kenangan kami kepada kawan-kawan kami yang
telah gugur akan menjadi semakin menusuk. "
Penghubung itu mengangguk-angguk. Katanya " Aku kira
demikian pula perasaan Panembahan Senapati dan para
pemimpin di Mataram. "
Ki Demang mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak jadi
mengucapkan sepatah katapun. Hampir saja ia mengatakan,
bahwa keadaan Panembahan Senapati agak berbeda, setelah
ia bertemu dengan Putri Madiun.
Tetapi karena Ki Demang terdiam, justru penghubung itu
yang berbicara " Namun agaknya ada persoalan lain yang
mendorong Panembahan Senapati harus segera kembali ke
Mataram. " " Persoalan apa" " bertanya Ki Gede.
" Bukankah kita semuanya tahu sikap Adipati Pati terhadap
Panembahan Senapati" " desis penghubung itu.
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede
Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sikap Adipati Pati
memang akan dapat menjadi benih baru yang akan tumbuh
dan berkembang. Bukan pohon buah-buahan yang akan
memberikan buah yang manis, tetapi sebatang pohon yang
penuh dengan duri-duri tajam yang akan dapat menusuk kulit
daging. Meskipun tidak terdengar keluhan, tetapi terasa, betapa
pahitnya perasaan Ki Gede menanggapi keadaan. Perang
yang susul menyusul tidak ada henti-hentinya. Sejak Demak
pecah, maka perang bagaikan membakar seluruh daratan
tanah ini. Bahkan sejak sebelumnya.
Tetapi Ki Gede tidak mengatakan sesuatu. Seperti Ki
Demang, maka rasa-rasanya Ki Gede menjadi rindu kepada
kampung halamannya. Sementara itu, dalam waktu dua hari, Madiun telah
berbenah untuk menyambut kedatangan Panembahan
Senapati dari Timur. Namun segala sesuatunya
diselenggarakan sesuai dengan keadaan. Madiun masih
berada dalam keadaan perang meskipun telah dirintis
suasana yang lebih baik. Sebenarnyalah, seperti yang sudah diberitahukan
sebelumnya, dihari yang direncanakan, maka pasukan induk
Mataram yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati
telah memasuki Madiun kembali.
Tidak ada penyambutan secara khusus. Pasukan Mataram
datang menjelang matahari turun. Kemudian mereka
berkumpul dialun-alun sebentar. Para pemimpin pasukan telah
mendapat perintah langsung dari Panembahan Senapati untuk
membawa pasukannya masing-masing ke barak-barak yang
telah disiapkan. Sementara Panembahan Senapati dan para
pengawal khusus akan berada di istana bersama Putri Madiun
Retna Jumilah. Para petugas memang telah mengatur barak-barak yang
ada bagi para prajurit. Bahkan rumah-rumah yang besar yang
memang sejak sebelumnya dipinjam untuk barak-barak
prajurit. Ki Lurah Reksaboga dengan beberapa orang pembantunya
telah sibuk mengatur anak buahnya dalam tugas yang besar,
karena harus menyediakan makan, minum dan keperluan lain
bagi seluruh pasukan Mataram.
Dalam pada itu, Panembahan Senapati masih belum
memanggil dan memberikan gambaran menyeluruh tentang
hasil perjalanannya ke Pasuruan. Namun dari mulut kemulut
telah terdengar berita keberhasilan perjalanan Panembahan
Senapati. Ki Lurah Reksaboga dalam kesibukannya sempat juga
bertemu dengan Agung Sedayu yang justru dikenalnya
semakin akrab dan berceritera " Panembahan Senapati
berhasil menyatukan Pasuruan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis" Kau
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi yang lebih dahulu mengetahui. "
" Tentu " jawab Ki Lurah " semua orang dalam setiap
pasukan tentu mencari aku. Maksudku semua orang khusus
yang memimpin tugas perbekalan. "
" Mereka agaknya telah berceritera" " desis Agung Sedayu.
"Ya"jawab Ki Lurah " Diantara para korban di peperanganlantara
Mataram dan Pasuruan terdapat Ki Rangga
Keni-ten. " Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia
menjawab Ki Lurah telah berkata pula " Agaknya kau belum
pernah mendengar namanya. Seorang yang sakti pilih
tanding. Ki Rangga telah dengan berani menantang
Panembahan Senapati berperang tanding. Namun Ki Rangga
dapat dikalahkan. " Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia tidak pernah
merasa heran atas kemenangan-kemenangan yang diraih
oleh Panembahan Senapati, karena Panembahan Senapati
memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sebagai orang yang pernah mengalami pengembaraan
bersama meskipun hanya dalam waktu singkat. Agung
Sedayu menyadari, bahwa panembahan Senapati adalah
orang yang berilmu sangat tinggi dari berbagai jenis. Puncakpuncak
dari jenis ilmunya sulit untuk diimbangi oleh siapapun
juga sehingga dengan demikian, maka Panembahan Senapati
adalah prajurit yang seakan-akan tidak ada duanya.
Dalam pada itu, karena Agung Sedayu tidak segera
menjawab, Ki Lurah bertanya " Kau tidak percaya" "
" Bukannya tidak percaya. Tetapi aku memang tidak pernah
merasa heran atas kemenangan-kemenangan itu "
jawab Agung Sedayu. " Kau merendahkan Panembahan Senapati " desis Ki
Lurah. " Kau salah"jawab Agung Sedayu"aku tidak menjadi heran
justru karena aku yakin akan kelebihan Panembahan
Senapati. Orang yang merasa heran akan kemenangan
Panembahan Senapati adalah justru orang yang masih
meragukan kelebihannya. "
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
mengangguk-angguk. Katanya " Kau benar. Namun
seharusnya kau menyatakan kegembiraanmu bahwa dalam
perang tanding itu Panembahan Senapati menang. "
" Bukankah itu wajar sekali " desis Agung Sedayu.
"Ya, ya. Seharusnya akupun tidak menjadi heran"jawab Ki
Lurah, yang kemudian katanya " Besok, semua pemimpin
pasukan akan dipanggil. Tentu termasuk pimpinan pasukan
Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. "
" Kami berharap demikian, sehingga kami mendapat
gambaran yang utuh atas hasil peperangan itu " jawab Agung
Sedayu. Ki Lurahpun mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian
telah minta diri pula. Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah, sebenarnyalah para
pemimpin pasukan telah mendapat pemberitahuan agar esok
pagi saat matahari naik sepenggalah, semuanya telah berada
di paseban istana Madiun.
Tetapi apa yang akan diberitahukan oleh Panembahan
Senapati tentang pertempuran di Pasuruan semuanya telah
didengar oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh, pasukan
dari Pegunungan Sewu serta pasukan-pasukan yang tinggal di
Madiun. Meskipun demikian, ketika matahari terbit dikeesokan
harinya, maka rasa-rasanya para pemimpin pasukan itu
menjadi tegang untuk mendengarkan keterangan yang
langsung akan diberikan oleh Panembahan Senapati. Namun
para pemimpin pasukan itu sadar, bahwa yang akan
diberitahukan oleh Panembahan Senapati bukan saja
keterangan tentang perang di Timur, tetapi juga perintahperintah
bagi pasukan Mataram. Saat matahari naik, maka para pemimpin pasukan baik
yang ikut bersama Panembahan Senapati, maupun yang
tinggal di Madiun serta yang mendapat perintah tugas
tersendiri untuk pergi dan menguasai padepokan Kebo Lungit
telah berada di paseban. Sedangkan beberapa saat
kemudian, maka Panembahan Senapatipun telah hadir pula
bersama Ki Patih Mandaraka.
Dengan nada rendah Panembahan Senapati telah
menguraikan, yang ternyata tidak sebanyak yang diduga,
tentang perang dengan Pasuruan. Agaknya Panembahan
Senapati sama sekali tidak ingin membanggakan kemenangan
itu. bahkan ia hanya menyinggung sedikit tentang kematian Ki
Rangga Keni-ten. "Aku tidak membunuhnya"berkata Panembahan Senapati "
aku hanya mengalahkannya. "
Namun semasa orang yang hadir di paseban itu sudah
mengetahui bahwa Ki Rangga Keniten justru telah mengalami
nasib buruk, karena ia telah dihukum mati oleh pimpinannya
sendiri. Yang kemudian penting bagi para pemimpin kelompok
adalah perintah Panembahan Senapati untuk mempersiapkan
diri. Dalam waktu dekat, Panembahan Senapati akan kembali
ke Mataram. Dalam pertemuan itu, Panembahan Senapati juga telah
mendengarkan laporan Ki Gede Menoreh yang hadir bersama
Agung Sedayu serta Ki Demang Selagilang tentang
pertempuran di padepokan Ki Gede Kebo Lungit.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede.
Dengan laporannya Ki Gede berhasil memberikan gambaran
tentang peristiwa yang mendebarkan jantung yang terjadi atas
pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan dari
Pegunungan Sewu. Panembahan Senapati serta para pemimpin yang tidak
menyaksikan sendiri pertempuran itu menjadi berdebar-debar.
Ternyata bahwa perang di Pasuruan tidak segarang perang
yang terjadi di padepokan Ki Gede Kebo Lungit. Jumlah
pasukan di kedua belah pihak memang telah terlalu besar.
Tetapi bahwa kedua belah pihak seakan-akan tidak lagi
menyadari apa yang telah mereka lakukan, adalah pertanda
bahwa pertempuran yang terjadi adalah pertempuran yang
sulit untuk dikendalikan.
Dengan demikian maka orang-orang yang terluka, yang
harus mendapat perawatan karena luka yang parah, terhitung
cukup banyak. Namun perintah Panembahan Senapati tetap. Dalam waktu
dekat maka pasukan Mataram akan kembali ke Mataram.
Bagi yang terluka parah, akan disediakan pedati khusus
selain pedati yang akan mengangkat alat-alat dan perbekalan,
sehingga bagi mereka tidak lagi memerlukan tandu.
Sebagai ancar-ancar waktu maka Panembahan Senapati
telah memerintahkan semua pasukan siap dalam waktu lima
hari termasuk para petugas perbekalan, kesiagaan bagi
angkutan orang-orang yang terluka parah serta persediaan
apapun bagi perjalanan kembali. "Kita akan singgah di Pajang dan bermalam dua hari. Para
penghubung akan mendahului. Mereka akan minta Pajang
mempersiapkan segala sesuatunya bagi kita selama kita
berada di Pajang untuk beristirahat. Pasukan Pajang
kemudian akan tinggal, Namun mereka harus tetap bersiaga
sepenuhnya karena sewaktu-waktu pasukan itu akan kita
perlukan lagi. " berkata Panembahan Senapati.
Kemudian yang diluar dugaan adalah bahwa secara
terbuka Panembahan Senapati berkata " Kita harus
memperhatikan setiap langkah adimas Adipati Pati yang telah
dengan serta merta meninggalkan Madiun. "
Para pemimpin pasukan Mataram yang ada di pasukan itupun
menjadi berdebar-debar. Pernyataan itu tidak ubahnya
sebagai perintah untuk bersiap-siap menghadapi perang
berikutnya. Melawan Pati yang mempunyai pengaruh yang
besar di pesisir Utara. Nampaknya pertumbuhan Mataram harus dibayangi oleh
perbedaan pendapat yang berkepanjangan^dan silih berganti.
Perjuangan yang berat yang ditandai dengan peperangan
yang tidak henti-hentinya.
Namun Panembahan Senapati tidak akan melangkah surut.
Ia akan berusaha sejauh mungkin menghindari kekerasan,
tetapi ia tidak ingin usaha yang dirintisnya akan tenggelam
dan hilang ditelan gejolak yang timbul karenanya. Jika ia
gagal, bukan sekedar hilangnya kekuasaan yang sudah ada
ditangannya, tetapi cita-citanya dan citra masa depan tanah
inipun akan menjadi tenggelam pula.
Demikianlah, maka Panembahan Senapati masih memberikanjbeberapajpesan
lagi kepada para pemimpin pasukan
yang tergabung dalam pasukan Mataram. Tetapi Panembahan
Senapati tidak terlalu lama berbicara dengan pemimpin
pasukan yang datang menghadapnya. Beberapa saat
kemudian, maka pertemuan itupun telah dibubarkan, dengan
pesan, bahwa semua pasukan siap berangkat dalam waktu
lima hari. Sementara itu, Panembahan Senapati dan beberapa orang
pemimpin tertinggi pasukan Mataram telah menyelenggarakan
pertemuan khusus dengan para pemimpin Madiun yang masih
tinggal, yang bersedia bekerja bersama dengan Mataram.
Panembahan Senapati telah membicarakan pula susunan
pemerintahan serta kesiapan prajurit Madiun sepeninggal
Mataram. Dalam pada itu, maka demikian para pemimpin pasukan
berada di barak mereka masing-masing, maka perintah
Panembahan Senapati segera dilaksanakan. Para pemimpin
pasukan itu telah memanggil para pemimpin kelompok dan
mengalirkan perintah Panembahan Senapati, agar mereka
bersiap dalam waktu lima hari, karena pasukan ini akan
bergerak kembali ke Mataram dalam waktu lima hari itu.
" Kita akan mendapatkan beberapa pedati " berkata Ki
Gede " dengan demikian kita tidak akan mendapatkan
kesulitan untuk membawa kawan-kawan kita yang terluka
parah. Perjalanan kembali ke Mataram termasuk perjalanan
yang panjang. Namun demikian para tabib dari semua kesatuan yang ada
dalam pasukan Mataram harus bekerja keras. Mereka yang
masih parah harus menghadapi perawatan khusus agar
mereka tidak semakin menderita dalam perjalanan yang jauh
itu meskipun mereka berada di pedati.
" Jangan terlalu lama " berkata Ki Gede.
" Baik Ki Gede " jawab Agung Sedayu.
" Bukankah tidak terjadi sesuatu dengan mereka" "
bertanya Ki Gede pula. "Menurut pendengaran kami mereka dalam keadaan baik "
jawab Agung Sedayu. Demikianlah, maka setelah minta diri pula kepada Ki
Demang Selagilang, Agung Sedayu telah pergi ke barak yang
jaraknya beberapa ratus patok dari baraknya yang menemui
Untara dan Swandaru, karena menurut pengertiannya,
kesatuan dari Kademangan Sangkal Putung berada dibawah
pimpinan Untara pula. Yang pertama-tama ditemui oleh Agung Sedayu adalah
Untara. Mereka bertemu sejenak setelah mereka
menghadiri pertemuan di paseban. Tetapi hanya sebentar
karena Untara harus segera mengikuti pertemuan khusus
yang diselenggarakan kemudian.
Agung Sedayu dan Glagah Putih diterima oleh Utara
dengan gembira. Bagaimanapun juga keduanya adalah
adiknya. Seorang adik kandungnya dan seorang adik
sepupunya. " Aku mendengar laporan Ki Gede Menoreh dengan hati
yang berdebar-debar " berkata Untara. Namun kemudian ia
bertanya " bukankah laporan yang diberikan oleh Ki Gede
Menoreh itu gambaran sebenarnya dari peristiwa yang terjadi
saat kalian menarik diri dari padepokan Kebo Lungit" "
" Benar kakang " jawab Agung Sedayu " Ki Gede tidak
menambah dan tidak mengurangi. Para tawanan yang
kemudian mendapat kesempatan untuk melawan, menjadi
seperti gila. Mereka tidak terkendali lagi, sehingga para
pengawal yang harus menguasainyapun telah menjadi seperti
gila pula. " " Bagaimana dengan kau" " Bertanya Untara.
" Aku tengah mencoba menemukan pimpinan mereka yang
telah berhasil menyalakan api diantara para tawanan itu. "
jawab Agung Sedayu. " Dan kau menemukannya" " bertanya Untara. Agung
Sedayu mengangguk kecil. Untarapun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah
Untara kemudian berkata " Pasukan Tanah Perdikan Menoreh
dan pasukan dari Pegunungan Sewu mendapat penilaian baik
dari Panembahan Senapati. Dengan kebanggaan tersendiri
Panembahan Senapati menyebut beberapa kali namamu.
Bahkan Panembahan Senapati mengatakan bahwa kau
adalah salah seorang diantara mereka yang pernah
bersamanya mengembara di masa mudamu. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Untara berkata selanjutnya " Sebenarnya kau memiliki banyak
kesempatan, Agung Sedayu. Tetapi kau menjadi semakin
dewasa bahkan semakin matang untuk memikirkan dirimu
sendiri. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepadamu. " Lalu
Untarapun berpaling kepada Glagah Putih " kaupun pernah
mendapat kesempatan yang baik karena kau adalah sahabat
terdekat Raden Rangga. Seperti yang pernah kau ceriterakan,
bahwa kau mendapat banyak keuntungan justru karena kau
dekat dengan Raden Rangga, namun kau telah mendapatkan
sebagian daripadanya, sehingga kaupun termasuk anak muda
yang melampaui tataran kewajaran. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menunduk ia berkata " Kakang terlalu memuji. Aku belum apaapa.
" Aku tidak memuji. Aku hanya ingin memacu penalaran
kalian agar kalian sempat memikirkan diri kalian dan masa
depan kalian sendiri " sahut Untara pula.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling
kepada Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu hanya
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunduk saja. Namun Untarapun kemudian berkata "
Sudahlah. Aku tidak berniat berbicara tentang masa depan
kalian. Aku hanya ingin menyampaikan tanggapan
Panembahan Senapati atas Agung Sedayu. "
" Terima kasih kakang " jawab Agung Sedayu perlahanlahan.
"Bagaimana dengan Ki Gede sendiri?"bertanya Untara "
aku lihat, keadaannya masih belum pulih seutuhnya. "
" Ya"jawab Agung Sedayu"semula keadaannya sudah baik.
Bahkan hampir pulih. Tetapi pertempuran yang garang itu
telah membuat Ki Gede terguncang lagi perasaannya. Apalagi
perjalanan yang harus kami tempuh dari kaki Gunung Wilis
sampai ke kota ini. "
Untara mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
bertanya " Apakah dalam waktu sepekan keadaannya akan
bertambah baik, sehingga perjalanan kita kembali ke Mataram
tidak akan memperberat keadaan kesehatannya" "
" Keadaannya sudah semakin baik. Kemarin Ki Gede sudah
bergerak agak banyak dengan mempermainkan tombaknya
di halaman belakang barak untuk membiasakan dirinya
dan memulihkan kembali otot-ototnya, " jawab Agung Sedayu.
"Tetapi di paseban aku masih melihatnya seperti orang
yang sangat letih " berkata Untara.
" Terutama perasaannya. " jawab Agung Sedayu.
" Ki Gede memang menjadi semakin tua"berkata Untara "
kemudian akan datang saatnya Swandaru memimpin Tanah
Perdikan Menoreh dan sekaligus Kademangan Sangkal
Pulung. " Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
mengira bahwakakaiknyaakan kembali lagi mempersoalkan
diri. Namun ternyata tidak. Untara justru berkata"Kiai
Gringsingpun sudah terlalu tua. Bahkan menurut penilaian
wajar, wadagnya sudah tidak mampu mendukung lagi
betapapun tinggi ilmunya.
" Ya " Agung Sedayu mengangguk-angguk. " Kiai Gringsing
sudah menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya memang sangat lemah
sehingga ia sudah harus banyak beristirahat. "
" Siapakah yang merawatnya" Apakah para cantrik dapat
melakukannya" " bertanya Untara"atau paman Widura akan
selalu berada di padepokan itu" "
" Paman Widura telah menjadi murid termuda Kiai
Gringsing justru setelah umur paman Widura menjadi semakin
mendekati senja. Tetapi dengan bekal yang telah dimiliki,
paman Widura adalah murid yang paling baik. " berkata Agung
Sedayu. Untara tersenyum. Katanya"Aku juga mendengar. Tetapi
apa salahnya" Mungkin justru akan membuat paman Widura
menjadi semakin kuat dan tidak menjadi cepat pikun. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih pun tersenyum pula.
Namun mereka memang sependapat, bahwa Ki Widura dalam
usia senjanya ternyata masih mampu menyerap ilmu dari
perguruan Orang Bercambuk. Namun karena gurunya juga
sudah menjadi lemah, sementara Ki Widura sendiri juga sudah
menjadi semakin tua, maka sudah tentu peningkatan ilmunya
dilakukan dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh Agung Sedayu
dan Swandaru. Dalam pada itu, setelah berbincang cukup panjang, maka
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah minta diri untuk
menemui Swandaru. " Ia berada di bagian belakang dari rumah sebelah yang
juga dipinjam untuk menjadi barak dari para pengawal Kademangan
Sangkal Putung dan beberapa kelompok prajurit di
bagian depan. Aku tidak sempat mengatakan kepadamu,
bahwa Swandaru terluka dalam pertempuran itu. Tetapi
lukanya tidak terlalu parah, meskipun harus mendapat
perawatan yang sungguh-sungguh. Namun keadaannya kini
sudah menjadi semakin baik. Lima hari lagi, mudah-mudahan
luka-lukanya sudah sembuh sehingga perjalanan kembali ke
Mataram tidak akan mengalami kesulitan. " berkata Untara.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia bertanya " dibagian tubuhnya yang mana adi
Swandaru terluka" "
" Didadanya. Untunglah bahwa tusukan pedang itu tidak
menembus bagian dalam dadanya yang gawat. Pedang itu
hanya mengenai kulit dan dagingnya dibawah ketiaknya.
Namun dagingnya yang koyak itu telah mengalir darah yang
mula-mula agak sulit dipampatkan, sehingga tabib yang
langsung merawatnya menjadi cemas. " berkata Untara.
" Sokurlah jika luka itu hanya dibagian luar tubuhnya saja "
berkata Agung Sedayu. " Swandaru agak sulit dikendalikan. " berkata Untara " ia
terlalu menuruti perasaannya. Seorang yang dengan berani
mendahului menyerang lawan, dalam gelar perang tidak selalu
menguntungkan. Selain itu, ia justru telah melakukan sesuatu
yang dapat membahayakan dirinya sendiri. " Untara berhenti
sejenak, lalu " ketika ia terluka, maka ia tidak mau segera
menyerahkan lawannya kepada orang lain yang
menggantikannya. Sabungsari yang sempat mengambil alih
lawannya melihat Swandaru menolak untuk dirawat. Tetapi
akhirnya ia harus mengakui kenyataan, bahwa darah yang mengalir terlalu
deras itu membuatnya menjadi semakin lemah. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Untara
berkata selanjutnya " Swandaru ternyata lebih banyak
mengikuti perasaan diri sendiri daripada memasuki satu
kesatuan yang utuh dalam satu gelar pasukan. "
Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mengenal Swandaru
dengan baik dapat mengerti keterangan Untara. Swandaru
dengan baik dapat mengerti keterangan Untara. Swandaru
memang lebih banyak melihat kedalam dirinya sendiri
sehingga kadang-kadang ia mengabaikan orang lain.
Tetapi selain sifatnya itu, Swandarupun ingin nampak lebih
baik dari orang-orang lain. Dengan sikapnya ituia ingin
menunjukkan kepada para pemimpin tertinggi Mataram,
bahwa ia memiliki kelebihan dari para pemimpin pengawal
yang tergabung dalam pasukan Mataram itu.
Karena itu, maka Swandaru tentu berkeberatan jika ada
orang lain yang sanggup menyelesaikan pekerjaan yang tidak
dapat diselesaikannya. Agaknya Swandaru tidak senang
melihat Sabungsari mengambil lawannya dan bahkan
kemudian menyelesaikannya.
Tetapi Agung Sedayupun mengenal Sabungsari dengan
baik. Prajurit muda itu memang memiliki kemampuan dan ilmu
yang tinggi. Bagaikan sebilah pedang yang selalu diasahnya,
maka ilmu Sabungsaripun menjadi semakin tajam.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu dan
Glagah Putih telah meninggalkan Untara untuk menemui
Swandaru dirumah sebelah.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai ke serambi
belakang rumah yang dipergunakan oleh para pengawal dari
Sangkal Putung, dilihatnya Swandaru duduk bersama
beberapa orang pengawal Kademangannya. Semangkuk
minuman hangat dengan gula kelapa.
Ketika Swandaru melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih
menengoknya, maka dengan serta merta iapun bangkit
sambil mempersilahkan Agung Sedayu dan Glagah Putih.
" Aku sudah mengira bahwa kalian akan datang berkata
Swandaru"kalian tentu mendapat keterangan bahwa aku telah
terluka. Tetapi sebagaimana kalian lihat, aku tidak apa-apa "
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya " Sokurlah. Aku
memang mendengar dari kakang Untara, bahwa kau terluka "
Swandaru tertawa. Katanya pula " Kakang Untara adalah
seorang kakak yang baik. Ia selalu cemas tentang adikadiknya.
Ia menganggap aku seperti kakang Agung Sedayu
yang manja, sehingga ketika segores kecil luka di kulitku,
kakang Untara sudah menjadi kebingungan. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baru saja ia
datang, tetapi Swandaru telah mulai menyinggung
perasaannya. Namun Agung Sedayu seperti biasanya telah menahan diri.
Ia tidak cepat menjadi marah. Apalagi ia sadar bahwa pada
saat itu Swandaru ingin membuat imbangan dari
kegagalannya di medan, karena yang kemudian berhasil
menyelesaikan lawannya adalah orang lain, sementara
Swandaru sendiri telah terluka.
Karena itulah, maka Agung Sedayu masih saja tersenyum.
" Marilah, duduklah kakang " Swandaru mempersilahkan.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah duduk pula
bersama Swandaru. Namun dengan demikian, Agung Sedayu
dan Glagah Putih melihat, bahwa Swandaru masih nampak
pucat. Lukanya tentu masih belum sembuh benar, karena
masih nampak obat yang melekat pada lukanya itu, sementara
tangannya masih belum dapat bergerak wajar.
Tetapi keduanya sama sekali tidak ingin mempersoalkan,
karena hal itu tentu akan dapat menyinggung perasaannya.
Meskipun Swandaru sendiri tidak pernah memikirkan
kemungkinan seperti itu atas Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka seorang pengawal Kademangan
Sangkal Putung yang telah mengenal Agung Sedayu dan
Glagah Putih dengan baik, telah menghidangkan minuman
hangat pula bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Sementara itu, maka Swandaru telah menceriterakan
pengalamannya selama ia mengikuti pasukan Mataram dalam
perjalanannya ke Timur. Memang ada sedikit perbedaan pandangan antara
Swandaru dan Untara mengenai perang itu sendiri. Swandaru
merasa sering di kecewkan oleh Untara, bahkan Swandaru
merasa bahwa Untara kurang mempercayainya.
"Aku tahu, tentu maksudnya baik"berkata Swandaru" tetapi
dengan demikian, aku dan bahkan seluruh pasukan pengawal
Kademangan Sangkal Putung masih saja dianggap anakanak.
" Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Sudahlah.
Jangan hiraukan. Kakang Untara yang terbiasa memimpin
para prajurit yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dan
paugeran yang ketat. Kita yang tidak terbiasa mengalami
perlakuan seperti itu tentu menjadi agak terkejut karenanya. "
Swandaru mengangguk-angguk pula. Dengan nada tinggi
ia masih menceriterakan bahwa pasukan pengawal
Kademangan Sangkal Putung sebenarnya akan dapat selalu
menjadi paruh dari gelar seluruh pasukan meskipun letaknya
di sayap kanan. Agung Sedayu termangu-mangu sambil bertanya "
Bagaimana mungkin paruh gelar berada di sayap" "
"Kenapa tidak mungkin. Kami selalu mendahului pasukan
yang lamban. Gelar yang panjang sangat menghambat.
Ternyata bahwa pasukan Kademangan Sangkal Putung setiap
benturan mampu menembus pasukan lawan dan menusuk
kedalam gelar mereka, sulit untuk diikuti oleh pasukan yang
lain. Bahkan oleh prajurit Mataram yang ada di Sangkal
Putung, yang dipimpin langsung oleh kakang Untara sendiri. "
Swandaru berhenti sejenak. Lalu katanya tiba-tiba "
Sebenarnya kakang Untara tidak boleh terlalu percaya kepada
Sabungsari. Kakang Untara menganggap Sabungsari itu
segala-galanya, sehingga aku pernah dikecewakan olehnya. "
Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah ia menyahut " Mungkin didalam pasukan kakang
Untara tidak ada orang lain yang lebih baik dari Sabungsari.
" Swandaru tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya "
Agaknya memang demikian. Tetapi ia menganggap semua
orang seperti para prajuritnya yang tidak tanggap terhadap
medan. Semua menunggu perintah. Jika perintah diteriakkan,
baru semuanya bergerak, meskipun sebelumnya kesempatan
telah terbuka sejak lama. "
Agung Sedayu tidak menjawab. Agaknya hal itulah yang
mendorong Swandaru kadang-kadang kurang mematuhi
ikatan kesatuan pasukannya dan bertindak sendiri, sehingga
menurut Untara kadang-kadang justru merugikan seluruh
kekuatan Mataram. Terutama bagian dari sayap kanan.
Sementara itu, lampupun telah terpasang dimana-mana.
Malam mulai turun sehingga halaman belakang rumah yang
dipergunakan untuk barak itu sudah mulai gelap.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah minta
diri sambil berkata"Mudah-mudahan kau cepat sembuh. Lima
hari lagi kita kembali ke Mataram. "
" Aku tidak apa-apa " berkata Swandaru " sejak aku
tersentuh senjata lawan, sebenarnya aku sudah sembuh.
Apalagi sekarang. Tetapi tabib yang sombong itu menganggap
aku masih perlu diobati sehingga justru aku merasa sangat
terganggu. Tetapi aku tidak ingin menyakiti hatinya, sehingga
aku biarkan saja obat itu melekat pada bekas lukaku.
Sebagaimana aku memang memberikan kesempatan kepada
Sabungsari yang merasa dirinya memiliki kemampuan lebih
dari kemampuanku. " Agung Sedayu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi
masih juga meluncur pesannya " Bagaimanapun juga, juga
bekas lukamu agar tidak menjadi kambuh lagi. "
Agung Sedayu tidak memberikan pesan apa-apa lagi.
Iapun kemudian telah minta diri dan meninggalkan rumah itu.
Ketika ia melewati barak yang dipergunakan oleh Untara
dan prajuritnya, ia telah bertemu dengan Sabungsari yang
berdiri diregol halaman. " Kau Agung Sedayu " sapa Sabungsari dengan wajah
terang"aku mendengar dari Ki Untara, bahwa kau baru
mengunjungi Swandaru. "
" Ya"jawab Agung Sedayu"kami baru saja mengunjungi adi
Swandaru. " " Apakah lukanya sudah berangsur baik" " bertanya
Sabungsari. " Ya. Menurut Swandaru lukanya sudah menjadi baik. "
jawab Agung Sedayu. Sabungsari tersenyum. Katanya " Mudah-mudahan ia tidak
membuat lukanya sendiri semakin parah. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mengerti maksud Sabungsari. Tetapi Saburgsaripun segera
berkata" Namun Swandaru adalah seorang yang daya tahan
tubuhnya sangat tinggi. Tubuhnya tergores senjata dari
punggung sampai kedada. Tetapi seakan-akan ia tidak
mengalami kesakitan sama sekali. Jika tidak dipaksa, ia masih
akan tetap memberikan perlawanan. Namun darahnya yang
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalir sangat membahayakannya, sehingga dengan
terpaksa aku memberanikan diri untuk mengambil lawannya.
Tetapi aku sudah minta maaf kepadanya. Hal itu aku lakukan
justru karena tugasku sebagai prajurit. "
" Nampaknya Swandaru dapat mengerti " desis Agung
Sedyu. " Sokurlah. Tetapi begitu tinggi daya tahannya, sehingga
dihari berikutnya, ia sudah sehat kembali seakan-akan tidak
pernah mengalami luka di peperangan hari sebelumnya. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " kakang
Untara sudah menceriterakan pula, apa yang telah dilakukan
oleh adi Swandaru. "
Sabungsari tersenyum. Katanya " pasukan pengawal
Kademangan Sangkal Putung memang cukup tangguh. Tidak
kalah dari pasukan prajurit yang terpilih. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Kau
memuji. Tetapi pasukan pengawal Sangkal Putung memang
memiliki ciri tersendiri. Kau harus mengingat sejarah
kelahirannya, saat pasukan Tohpati ada disekitar Sangkal Putung. "
" Ya. Itulah agaknya yang membuat pasukan pengawal
Kademangan Sangkal Putung cukup meyakinkan " berkata
Sabungsari. Namun kemudian Sabungsari itupun
mempersilah-kan " marilah, silahkan singgah sejenak. "
" Aku tadi sudah singgah dan bertemu kakang Untara. "
berkata Agung Sedayu. " Tetapi aku belum kembali " berkata Sabungsari " Aku
sedang melihat-lihat keadaan kota setelah perang. "
" Terima kasih " berkata Agung Sedayu " malam sudah
turun. Aku harus segera kembali ke barak. Ki Gede juga
terluka. Tetapi keadaannya menjadi semakin baik. "
" Aku juga mendengar. Tetapi Panembahan Senapati
mengagumi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. "
berkata Sabungsari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "
Terima kasih. Mudah-mudahan para pengawal Tanah
Perdikan dapat membawa beban pujian itu dan
mewujudkannya sebagai satu kenyataan. "
" Hal itu berlaku jika pujian itu diberikan sebelumnya. Tetapi
pujian ini diberikan setelah hal itu terjadi. " berkata Sabungsari
kemudian. " Sudahlah " berkata Agung Sedayu kemudian " kami minta
diri. Bukankah kami masih lima hari berada disini" " Agung
Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya pula " Aku menunggu
kau singgah sekali-sekali ke barak pasukan pengawal dari
Tanah Perdikan Menoreh. "
" Baiklah " berkata Sabungsari"besok aku akan datang jika
tidak ada tugas yang tiba-tiba. "
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah minta
diri meninggalkan barak para prajurit Mataram yang berada di
Jati Anom. Mereka kemudian telah menyusuri jalan-jalan kota
yang sepi. Nampaknya nafas kehidupan penghuni kota
Madiun masih belum pulih kembali. Demikian matahari terbenam,
maka jalan-jalan telah menjadi sunyi. Yang lewat kemudian
hanyalah prajurit-prajurit yang meronda. Ada yang berjalan
kaki, tetapi ada pula pasukan berkuda. Di setiap regol rumah
yang dipergunakan oleh para prajurit dan pengawal atau
barak-barak yang memang ada sejak sebelumnya, nampak
para petugas berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.
Ketika keduanya kemudian kembali ke barak, maka Agung
Sedayu dan Glagah Putihpun telah menghadap Ki Gede yang
masih duduk-duduk berbincang dengan Ki Demang
Selagilang. Mereka menceriterakan keadaan para pengawal
dari Kademangan Sangkal Putung serta para prajurit yang
berada di Jati Anom. Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ia ikut merasa
bangga atas beberapa pujian bagi para pengawal dari
Kademangan Sangkal Putung serta pujian bagi menantunya.
Namun Swandaru pun serba sedikit juga mengatakan sikap
Swandaru yang kurang menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia berkata " Itu memang sudah sifatnya. Sulit untuk
meru-bahnya. Kau adalah saudara tua seperguruan.
Barangkali lewat guru kalian, meskipun hanya sedikit, sifat
Swandaru dapat berubah. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian berkata " Guru juga mengalami kesulitan. Tetapi
kami akan mencobanya. "
Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, Agung
Sedayu telah mohon agar Ki Gede beristirahat. Meskipun
keadaannya berangsur baik, namun Ki Gede masih
memerlukan banyak beristirahat.
Ki Gedepun kemudian telah masuk kedalam biliknya. Ia
tidak perlu ikut mengawasi para petugas yang berjaga-jaga
malam itu sebagaiamana malam-malam disaat mereka
menuju ke padepokan Kebo Lungit sampai saat mereka
kembali ke Madiun. Di barak itu Ki Gede tidak perlu merasa
cemas karena peronda dan penjagaan telah berlapis diseputar kota.
Bahkan di halaman barak itu sendiri.
Demikianlah, maka sejenak kemudian barak bukan saja
barak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan
Pegunungan Sewu, tetapi juga barak-barak yang lain telah
menjadi sepi. Para prajurit dan pengawal telah tertidur
nyenyak kecuali mereka vang sedang bertugas.
Ternyata sambil menunggu saat pasukan kembali ke
Mataram, maka para prajurit dan pengawal seakan-akan
mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka tidak
mempunyai kewajiban selain bergantian berjaga-jaga di barak
masing-masing. Sementara bagi pasukan khusus, berjagajaga
di regol dan pintu gerbang kota serta meronda berkeliling.
Disiang hari, para prajurit dan pengawal yang berasal dari
daerah yang berbeda sempat saling berkunjung. Sedangkan
mereka yang terluka dan menjadi sakit mendapat kesempatan
untuk mengobatinya, sehingga saat mereka kembali ke
Mataram, keadaannya sudah menjadi semakin baik.
Dihari yang ketiga, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih
sempat berjalan-jalan disepanjang jalan kota. Merekapun
sempat singgah di pasar yang sudah hampir menjadi pulih
kembali sejak terjadi perang. Para pedagang berdatangan dari
tempat yang cukup jauh untuk menjual dan membeli barangbarang
yang mereka butuhkan. Tetapi ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai
kede-kat pintu pasar, ia terkejut. Ia melihat seseorang yang
juga akan masuk ke dalam pasar dari arah lain. Ketika ia
menggamit Glagah Putih, maka Glagah Putihpun segera
tanggap. Tetapi orang yang mereka perhatikan itupun telah melihat
Agung Sedayu pula. Orang itupun agaknya terkejut
karenanya. Namun dengan demikian ia jutru dengan cepat
menyelinap dan hilang. Glagah Putih telah siap untuk menyusul orang itu masuk
kedalam pasar. Tetapi Agung Sedayu telah mencegahnya.
" Kita harus menangkapnya. Bukankah orang itu Ki Gede
Kebo Lungit" " bertanya Glagah Putih.
" Ya. Orang itu adalah Ki Gede Kebo Lungit. " jawab Agung
Sedayu. " Karena itu, marilah, kita harus menangkapnya"berkata
Glagah Putih. " Sulit untuk melakukannya. Ia tahu pasti, bahwa hal itu
tidak akan dapat kita lakukan ditengah-tengah pasar. Begitu
banyak orang berkumpul, berdesakan tanpa mengetahui
bahaya yang bakal mengancam. Jika terjadi pertempuran,
maka korbannya bukan Ki Gede Kebo Lungit. Bukan pula
salah seorang dari kita berdua, tetapi puluhan orang-orang
yang ada di pasar, itu. Kebo Lungit dapat menghindari
serangan-serangan kita, sebaliknya kitapun akan berusaha
menghindari serangan-serangannya. Tetapi bagaimana
dengan orang-orang yang berdesakan itu" " berkata Agung
Sedayu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya"Jika demikian, kita tunggu orang itu keluar dari pasar.
" Agung Sedayu menggeleng. Katanya"Tidak ada gunanya.
Ia tentu sudah meninggalkan pasar lewat jalan lain. Orang itu
telah melihat kita disini. Agaknya iapun segera dapat
mengenali kita. " Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata Ki Gede Kebo
Lungit memang orang yang sangat berbahaya. Baik bagi
Mataram maupun bagi Madiun.
" Kita harus memberikan laporan tentang kehadirannya di
kota ini agar sepeninggal pasukan Mataram, mereka yang
mendapat tugas untuk memimpin Madiun berhati-hati
menghadapinya. Beberapa orang perwira Madiun tentu sudah
mengenalnya dengan baik karena Ki Gede Kebo Lungit
pernah berpura-pura bekerja bersama dengan para prajurit
Madiun menghadapi Mataram. Namun ternyata Ki Gede Kebo
Lungit mempunyai perhitungan tersendiri. " berkata Agung
Sedayu. " Kepada siapa kita harus melaporkannya" " bertanya
Glagah Putih. " Kita minta Ki Gede Menoreh memberikan laporan kepada
Pangeran Mangkubumi. Terserah, kepada siapa Pangeran
Mangkubumi akan meneruskan laporan itu. Kepada Ki Patih
Mandaraka atau langsung kepada Panembahan Senapati. "
jawab Agung Sedayu. " Sebaiknya hal ini memang harus dilaporkan. Mudahmudahan
Madiun sepeninggal pasukan Mataram tidak
dikacaukan oleh kehadiran Ki Gede Kebo Lungit. " berkata
Glagah Putih. " Mungkin sasaran Ki Gede Kebo Lungit sekarang, bukan
lagi Madiun. Tetapi ia ingin mengamati orang-orang yang
diden-damnya. " berkata Agung Sedayu. " berkata Agung
Sedayu" terutama aku. Mungkin ia justru tengah mengawasi
aku sebelum kita kebetulan sempat melihatnya atau dengan
sengaja ia memperlihatkan diri. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tingkah laku orang
berilmu tinggi itu memang sulit untuk ditebak. Beberapa
kemungkinan memang dapat terjadi. Mungkin ia memang
dengan sengaja membayangi Agung Sedayu, untuk
menimbulkan kegelisahan di hatinya sebelum ia benar-benar
turun untuk membalas dendam kekalahannya.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun
segera meninggalkan pasar itu dan kembali ke barak. Iapun
segera memberikan laporan tentang keberadaan Ki Gede
Kebo Lungit di dalam kota Madiun.
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia memang kecewa bahwa
pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu
tidak berhasil menangkap Ki Gede Kebo Lungit. Namun apa
yang berhasil dilakukan oleh pasukannya dan pasukan Ki
Demang Selagilang adalah langkah yang paling panjang.
" Baiklah " berkata Ki Gede " aku akan menghadap
Pangeran Mangkubumi. "
Dengan demikian, maka Ki Gede Menoreh telah berusaha
untuk menghadap Pangeran Mangkubumi. Ternyata ketika hal
itu disampaikan kepada Pangeran Mangkubumi, maka Ki
Gedepun segera di persilahkan untuk masuk.kedalam istana
lewat pintu butulan, karena Pangeran Mangkubumi berada di
serambi kanan bangsal Kasatrian.
"Marilah, silahkan Ki Gede"berkata Pangeran Mangkubumi
mempersilahkan. Ki Gede mengangguk hormat. Keduanyapun kemudian
telah duduk diatas permadani yang terbentang di serambi
bangsal kesatrian istana Madiun itu.
" Nampaknya ada sesuatu yang penting" " bertanya
Pangeran Mangkubumi. " Benar Pangeran " jawab Ki Gede " memang ada sesuatu
yang penting aku laporkan. "
" Silahkan Ki Gede " berkata Pangeran Mangkubumi "
dengan sungguh-sungguh. Pangeran itu menyadari, bahwa Ki
Gede adalah seorang pemimpin pasukan yang memiliki
kelebihan sehingga keterangannya serta laporannya tentu
akan sangat berarti bagi Mataram.
Demikianlah, maka Ki Gede telah meneruskan laporan
Agung Sedayu tentang kehadiran Ki Gede Kebo Lungit di Kota
Madiun. Sementara itu, Ki Gede juga sempat menceriterakan
beberapa kelebihan Ki Gede Kebo Lungit.
" Ki Gede Kebo Lungit pernah menyatakan kesediaannya
membantu Madiun melawan Mataram. Tetapi ternyata bahwa
Ki Gede Kebo Lungit tidak jujur. Ia telah menjerumuskan para
prajurit Madiun dalam kesulitan. Ki Gede Kebo Lungit sendiri
telah meninggalkan kota saat pasukan Mataram memasuki
kota ini dan ternyata sudah mendirikan satu pemusatan
pasukan di padepokannya " berkata Ki Gede Menoreh.
" Ya. Pemusatan pasukan yang sudah kalian hancurkan itu
" berkata Pangeran Mangkubumi.
" Benar Pangeran Tetapi ternyata Ki Gede Kebo Lungit
sendiri berhasil meloloskan diri. Kini ia masih membayangi
ketenangan kota Madiun. Tetapi kemungkinan lain adalah,
bahwa Ki Gede Kebo Lungit yang mendendam kepada Agung
Sedayu itu pada suatu saat akan muncul di Tanah Perdikan
Menoreh. " berkata Ki Gede Menoreh. Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya "
Jadi menurut pendapat Ki Gede Menoreh, selain Menoreh,
maka Madiunpun harus bersiap-siap menghadapinya. "
" Ya Pangeran " jawab Ki Gede Menoreh " apalagi
sepeninggal pasukan Mataram dua atau tiga hari mendatang.
" Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk pula. Katanya
" Terima kasih atas laporan Ki Gede. Ki Gede Kebo Lungit
termasuk orang yang sangat berbahaya yang harus mendapat
pengawasan khusus. "
" Untungnya, bahwa Ki Gede Kebo Lungit sudah banyak
dikenal oleh para perwira di Madiun. Tetapi nampaknya para
perwira di Madiun tidak sempat lagi untuk turun ke pasar dan
melihat-lihat sudut kota yang lain. Justru disitulah Ki Gede
Kebo Lungit itu berkeliaran " berkata Ki Gede kemudian.
11 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil mengerutkan dahinya Pangeran Mangkubumi
berkata " Aku akan menyampaikan semua pesanmu kepada
Panembahan Senapati. Perintah itu tentu akan turun lagi
sehingga para perwira yang akan tinggal di Madiun akan
memperhatikannya. " Demikianlah, setelah berbincang beberapa saat lagi, Ki
Gedepun telah minta diri. Bersama dua orang pengawal yang
menunggu di seketheng, maka Ki Gedepun kemudian sempat
berjalan-jalan melihat kota Madiun yang telah menjadi hampir
pulih kembali. Ketika Agung Sedayu kemudian menyambut kedatangan Ki
Gede kembali di Barak, maka Ki Gede sempat memberikan
sedikit keterangan tentang tanggapan baik dari Pangeran
Mangkubumi. Namun mumpung Ki Gede teringat, iapun telah
memperingatkan Agung Sedayu, bahwa pada suatu saat Ki
Gede Kebo Lungit itupun akan dapat muncul di Tanah
Perdikan. " Kau jangan menjadi jemu mendengar peringatanku ini,
Agung Sedayu. Aku sudah beberapa kali mengatakannya.
Tetapi akupun selalu mengatakan kepadamu, meskipun
demikian hidupmu jangan tenggelam dalam kecemasan
bahwa pada suatu saat kau akan bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit. "
berkata Ki Gede Menoreh. Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya " Aku sudah
siap Ki Gede. Kapanpun ia datang. Jika ia berniat
meningkatkan ilmunya lebih dahulu, maka akupun akan
mendapatkan kesempatan yang sama. "
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga,
Ki Gede Menoreh merasa harus berhati-hati menghadapi Ki
Gede Kebo Lungit. Ki Demang Selagilang juga memperhatikan kemungkinan
kehadiran Ki Gede Kebo Lungit di Pegunungan Sewu, tetapi
dendamnya yang utama adalah kepada Agung Sedayu.
Meskipun demikian Ki Demang juga merasa wajib untuk selalu
bersiaga. Sementara itu, maka semua persiapan dari seluruh
pasukan yang berada di Madiun dan yang akan kembali ke
Mataram sudah dipersiapkan. Dihari berikutnya, maka
semuanya sudah siap. Di keesokan harinya adalah hari yang
sudah ditentukan, bahwa pasukan Mataram akan berangkat
meninggalkan Madiun. Setiap pasukan Mataram yang ada di Madiun telah menjadi
sibuk. Mereka yang memerlukan pedati untuk mengangkut
para prajurit atau pengawal yang terluka sudah disediakan.
Kuda-kudapun siap dipergunkan oleh para pemimpin pasukan.
Sementara itu, tanda-tanda kebesaran setiap pasukan akan
dibawa oleh kesatuan masing-masing. Umbul-umbul, rontek
dan tunggul akan menandai setiap kesatuan yang akan ikut
Siluman Kedung Brantas 1 Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Perkampungan Misterius 3