Sayap Sayap Terkembang 10
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 10
Namun Ki Prajak itu terbukti tidak dapat melawan orang yang baru dikenal pagi itu oleh seisi pasar.
Tetapi dalam pada itu, orang-orang di pasar itu masih harus memperhitungkan Ki Wirit dan Ki Demang. Merekapun adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi pula.
Untuk beberapa saat Jati Wulung berdiri tegak memandang Ki Prajak yang kebingungan. Dengan senyum di bibir Jati Wulung kemudian berkata, "Nah, apakah kau merasa menang atau kalah?"
Wajah Ki Prajak menjadi tegang. Sementara Jati Wulung berkata selanjutnya, "Jika kau merasa belum kalah, ambil golokmu. Tetapi ingat, aku hanya memberimu kesempatan satu kali. Jika kau ambil golokmu, maka kita akan benar-benar bertempur."
Ki Prajak sama sekali tidak menjawab. Ia menyadari, bahwa jika mereka benar-benar bertempur, maka ia tidak akan mampu melawannya. Bahkan mungkin orang yang tidak dikenal itu benar-benar akan membunuhnya.
Karena Ki Prajak tidak menjawab, maka Jati Wulungpun kemudian berkata, "Jika kau tidak mengambil golokmu, maka berarti kau mengaku kalah. Kau tidak akan menggangguku lagi."
Ki Prajak memang tidak beranjak dari tempatnya.
Sehingga dengan demikian maka Jati Wulungpun kemudian meninggalkannya kembali masuk ke dalam kedai.
Sambi Wulung dan Puguhpun telah kembali duduk pula bertiga di tempat yang disekat dengan rana itu. Bahkan hampir berteriak Jati Wulung itupun berkata, "He, mana pesanan kami?"
Pemilik kedai yang menyaksikan perkelahian itu pula memang menjadi ketakutan. Ketiga orang itu ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi menurut penglihatan mereka. Namun demikian pemilik kedai itupun masih tetap merasa cemas, bahwa Ki Wirit atau Ki Demang atau bahkan kedua-duanya akan datang. Jika timbul perselisihan, maka pertempuran yang akan datang tentu pertempuran yang sangat seru.
Tetapi pemilik kedai itu tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang pelayanpun kemudian menghidangkan minuman hangat. Kemudian nasi yang masih hangat pula beserta lauk-pauknya.
Ternyata ketiga orang itu makan dan minum dengan tenangnya. Mereka sama sekali tidak merasa cemas akan apapun juga, meskipun mereka tahu bahwa kemungkinan yang lain dapat terjadi jika orang-orang yang merasa berhak atas tempat itu datang.
Seperti yang dikatakan oleh Jati Wulung dan Sambi Wulung, bahwa minuman dan makanan yang hangat telah membuat tubuh Puguh merasa lebih baik. Meskipun anak muda itu belum merasa sembuh benar, tetapi ia tidak lagi terlalu lemah.
Selain minum dan makan nasi hangat, maka merekapun masih minta dibungkuskan beberapa jenis makanan untuk bekal perjalanan mereka di jalan.
Agaknya sampai ketiga orang itu selesai makan dan minum, orang-orang yang merasa memiliki tempat khusus itu masih belum datang. Karena itu, maka pemilik kedai itu merasa lega ketika Sambi Wulung bertanya kepadanya, berapa ia harus membayar.
Seperti yang dijanjikan, maka Sambi Wulung telah membayar lebih banyak dari harga yang seharusnya sehingga pemilik kedai itu menjadi terheran-heran.
"Jadi Ki Sanak benar-benar membayar lebih?" bertanya pemilik kedai itu.
"Aku sudah menjanjikannya," jawab Sambi Wulung. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, "Atau kau menganggap justru kurang?"
"Tidak. Sama sekali tidak," jawab pemilik kedai itu, "tetapi tadi Ki Sanak sudah memberikan uang kepadaku."
Sambi Wulung menggeleng sambil berkata, "Bukan apa-apa. Aku mempunyai uang banyak. Mungkin orang lain dapat memerasmu atau katakan dengan kedok pemungut pajak, tetapi bukan yang sebenarnya."
Pemilik kedai itu mengangguk hormat. Katanya dengan nada rendah, "Terima kasih Ki Sanak."
Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguhpun kemudian telah melangkah keluar dari kedai itu sambil minta diri. Beberapa orang yang semula menyaksikan perkelahian di jalan yang terletak antara kedai itu dengan pasar, telah kembali duduk di tempat mereka semula untuk mengulangi makan dan minum mereka yang tersisa. Demikian pula orang-orang yang berjualan di pasar. Mereka telah kembali duduk di belakang dagangan mereka.
Ketika ketiga orang itu turun ke jalan, maka mereka sudah tidak melihat lagi orang yang bertubuh kekar itu. Agaknya orang itu telah pergi. Mungkin karena malu, tetapi ketiga orang itupun menyadari, bahwa mungkin Ki Prajak telah berusaha untuk menyusun rencana pembalasan.
Tetapi Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh tidak peduli. Mereka kemudian berjalan ke arah mereka datang, karena mereka menyimpang dari arah perjalanan mereka sekedar untuk mencari makan.
Beberapa pasang mata mengikuti langkah ketiga orang itu. Tetapi tidak seorangpun yang menyapanya. Kecuali orang itu adalah orang yang memang tidak mereka kenal, mereka merasa khawatir, bahwa orang-orang itu merupakan bayangan yang lebih buruk dari Ki Prajak yang telah dikalahkan itu. Dengan demikian, maka tegur sapa itu akan dapat mengundang kesulitan bagi mereka.
Ketiga orang itupun sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang memperhatikan mereka. Mereka berjalan saja seenaknya. Sementara Jati Wulung menjinjing sebuah kantong yang dibelinya juga dari pemilik warung itu untuk membawa makanan yang telah dibelinya untuk bekal di perjalanan.
Ketika ketiga orang itu telah meninggalkan kedai itu, maka pemilik kedai dan beberapa orang pelayannya bagaikan telah terlepas dari cengkaman ketegangan. Ternyata tidak terjadi pertengkaran di dalam kedainya karena orang-orang yang menganggap dirinya berhak atas tempat yang tersekat itu tidak datang ke kedainya pada saat orang lain berada di dalamnya.
Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguhpun kemudian telah meninggalkan padukuhan yang besar dan terdapat sebuah pasar yang ramai di dalamnya. Dengan nada rendah Sambi Wulung berkata, "Ternyata bahwa di perjalanan kita menemukan persoalan-persoalan yang kadang-kadang memaksa kita mempergunakan kekerasan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak akan merasa terlalu cemas, jika keadaan Puguh telah menjadi lebih baik. Tetapi dalam keadaan seperti ini, rasa-rasanya aku tidak sampai hati untuk melepaskannya."
Puguh termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian menyahut, "Setelah sampai di Gantar keadaanku akan menjadi baik. Aku akan dapat menempuh perjalanan sendiri."
"Kau terlalu lemah untuk berjalan sendiri meskipun kau sudah sampai di Gantar," jawab Jati Wulung.
"Aku sudah mengenal lingkungan itu," jawab Puguh.
"Apa salahnya jika kami antar kau sampai ke tempat yang paling aman" Kami tidak mempunyai tugas apapun yang harus kami lakukan selain mengembara. Pergi ke tempat-tempat judi, bukan saja di Song Lawa, tetapi juga di Bergota, di Gresik jauh di sebelah Timur atau di sebelah Barat Pajang," berkata Jati Wulung.
"Apakah tempat-tempat perjudian itu masih ada?" bertanya Puguh. Lalu, "Maksudku, tempat-tempat itu tidak mengalami nasib seperti Song Lawa?"
"Aku tidak tahu," jawab Jati Wulung, "tetapi jika hal itu terjadi, tentu bersamaan dengan Song Lawa, karena sebelum aku berada di Song Lawa aku memasuki lingkungan perjudian di Bergota. Bahkan aku sempat singgah sebentar di sebelah Barat Pajang. Tetapi tempat perjudian di sebelah Pajang tidak sebesar Bergota. Tidak pula sebesar Gresik. Untuk menghapus tempat perjudian di sebelah Barat Pajang tidak terlalu sulit, sebagaimana dilakukan oleh para prajurit Pajang atas Song Lawa, apalagi jaraknya dari Pajang memang tidak sejauh Gunung Kukusan. Tetapi untuk menghapus tempat perjudian di Bergota dan Gresik memerlukan perhitungan yang matang. Mungkin para Adipati dapat diperintahkan untuk melakukannya tanpa penanganan langsung dari Pajang sebagaimana dilakukan atas Song Lawa. Atau para Adipati itu sendirilah yang memang berniat untuk melakukannya."
Tetapi Sambi Wulung menyahut, "Namun mungkin justru tempat itu mendapat perlindungan. Resmi atau tidak resmi, karena tempat-tempat seperti itu dapat memasukkan banyak uang."
"Siapapun yang melindunginya, maka tempat-tempat itu pada saatnya tentu akan habis digulung oleh para prajurit yang setia akan tugas mereka," berkata Jati Wulung di luar sadarnya.
Puguh mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Jati Wulung itu. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Jika tempat-tempat seperti itu sudah tidak ada lagi, dimana kalian akan berjudi?"
Pertanyaan itu memang mengejutkan. Jati Wulung. Barulah ia sadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang salah. Namun dengan cepat Jati Wulung berkata, "Sebenarnyalah sudah lama aku ingin membukanya. Tetapi dengan cara yang lain, yang tidak mudah untuk dihancurkan oleh para pejabat dan para prajurit."
"Bagaimana caranya?" bertanya Puguh.
"Jika para prajurit dapat memasukkan petugas sandinya di tempat-tempat perjudian, maka sebaiknya kita berhubungan dengan para petugas sandi. Jika kita dapat berhubungan dengan seorang saja di antara mereka, maka kita akan tahu dengan pasti, kapan akan diadakan sergapan pada tempat perjudian itu. Dengan demikian kita akan sempat bersiap-siap. Tidak perlu melawan. Tetapi cukup memindahkan tempat itu," jawab Jati Wulung.
Puguh mengangguk-angguk. Tetapi niat Jati Wulung itu nampaknya masih agak kabur bagi Puguh. Karena itu, maka Jati Wulung menjelaskan, "Jika dengan cara demikian, maka prajurit tidak akan pernah dapat menghancurkan tempat perjudian itu. Tetapi kita harus mempunyai hubungan yang luas. Tempat-tempat yang dalam waktu singkat dapat dirubah menjadi tempat perjudian seperti Song Lawa. Yang paling tepat adalah padepokan-padepokan yang terpencil."
Puguh masih saja mengangguk-angguk. Katanya, "Satu kerja yang sulit untuk dilakukan. Tetapi kau dapat mencobanya."
"Memerlukan waktu yang panjang untuk mempersiapkannya tempat seperti itu," berkata Jati Wulung.
"Ya. Waktu yang panjang dan modal yang besar," desis Sambi Wulung.
Pembicaraan merekapun tiba-tiba terputus, ketika mereka melihat beberapa orang muncul disimpang empat di hadapan mereka. Dari kejauhan mereka melihat orang-orang itu kemudian hilir mudik di simpang empat itu sambil memperhatikan mereka.
Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka menjadi semakin dekat. Selah seorang di antara mereka adalah Ki Prajak. Orang yang baru saja berkelahi dengan Jati Wulung di depan kedai makanan itu.
"Ternyata persoalanmu belum selesai Wanengpati," desis Sambi Wulung.
Jati Wulung menggeram. Katanya, "Orang-orang yang tidak tahu diri. Ternyata persoalannya masih dianggap belum selesai. Mereka masih akan mengajak bermain-main."
Sambi Wulung mengangguk kecil. Namun iapun bertanya kepada Puguh, "Bagaimana keadaanmu?"
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Keadaannya memang bertambah baik. Tetapi ia merasa masih belum pulih kembali. Luka-lukanya masih terasa sakit. Tetapi untuk sekedar melindungi dirinya, maka ia masih akan dapat berusaha.
Karena itu maka katanya, "Aku akan berusaha sebaik-baiknya. Makan dan minum yang hangat itu memang memberikan sedikit kesegaran pada tubuhku yang lemah. Mudah-mudahan aku tidak justru menyulitkan kalian berdua."
"Bagus," sahut Sambi Wulung, "kami akan berdiri sebelah menyebelah. Kau akan berada di tengah. Berusahalah melindungi dirimu sendiri."
Puguh mengangguk. Namun tubuhnya memang terasa menjadi lebih baik. Apalagi setelah kehangatan makan dan wedang jahe itu bagaikan merayap di seluruh urat darahnya.
Dengan demikian maka ketiga orang itu berjalan tenis. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan orang-orang yang berada disimpang empat. Atau seakan-akan mereka memang tidak bersalah sama sekali terhadap orang-orang yang berada di simpang empat itu.
Namun ketika mereka menjadi semakin dekat, maka orang-orang disimpang empat itu mulai berpencar memenuhi jalur jalan. Seorang di antara mereka adalah orang yang sudah lebih tua dari kawan-kawannya. Agaknya orang sebaya dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Lima orang," berkata Jati Wulung, "nampaknya mereka adalah orang-orang yang berkedudukan."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Ketika mereka tinggal beberapa langkah lagi dari simpang empat itu, maka orang yang bernama Kiai Prajak itupun telah bergeser maju di hadapan keempat orang yang lain. Sambil bertolak pinggang ia berdiri di tengah-tengah jalan.
"Kau Ki Sanak," desis Jati Wulung.
"Ya. Aku. Aku sengaja menghindari perkelahian yang akan dapat mengacaukan pasar itu. Karena itu, aku telah mengalah waktu itu. Tetapi disini keadaannya berbeda. Disini tidak banyak orang yang akan berkerumun mengganggu perkelahian kita."
"Kau masih ingin bertempur?" bertanya Jati Wulung.
"Aku akan membuat kalian menjadi jera. Kalian telah menghina kami," geram orang itu. Lalu, "Kau sudah melanggar paugeran yang dibut oleh Ki Demang dan Ki Wirit atas kedai itu. Pelayan dan pemilik kedai itu sudah memberimu peringatan. Tetapi kau tidak menghiraukannya, sehingga kau telah membuat orang-orang yang ada di kedai itu gelisah. Nah, sekarang kau berhadapan dengan Ki Demang dan Ki Wirit itu sendiri."
"O," Jati Wulung mengangguk-angguk, "jadi bukan karena kau mencari tempat lain untuk bertempur?"
"Persetan. Kau dapat berbicara dengan Ki Demang dan Ki Wirit langsung," bentak Ki Prajak.
Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, "Yang manakah Ki Demang dan yang manakah Ki Wirit?"
Seorang di antara keempat orang itupun bergeser maju dan berdiri disamping Ki Prajak. Katanya dengan nada datar, "Akulah Demang di Kademangan ini."
"O," Jati Wulung mengangguk. Lalu katanya, "Apakah Ki Demang akan mengadili kami. Kami akan berterima kasih jika Ki Demang menangkap orang ini yang mengganggu selagi aku makan di kedai yang ada di depan pasar itu."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, "Kau memang pandai untuk memancing persoalan. Kau tahu bahwa hal itu pasti tidak akan aku lakukan. Tetapi kau telah menyebutnya juga."
Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya, "Baiklah. Kita tidak usah berbelit-belit. Apa yang ingin kalian lakukan" Berkelahi" Marilah, kami sudah siap."
"Tunggu," berkata Ki Demang, "kami ingin tahu beberapa hal tentang kalian."
"Apa yang ingin kau ketahui Ki Sanak?" bertanya Jati Wulung.
Sebelum Ki Demang menyahut, maka seorang yang lain lagi telah melangkah maju pula. Orang yang umurnya sudah sebaya dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kaukah yang disebut Ki Wirit?" bertanya Jati Wulung dengan serta-merta.
"Ya. Akulah Ki Wirit itu," jawab orang itu.
"Ujud dan sikapmu berbeda dari gambaranku," berkata Jati Wulung.
"Kenapa?" bertanya Ki Wirit itu.
"Aku kira kau adalah seorang yang berpakaian gemerlap, berkeris dengan pendok emas serta mengenakan timang emas pada kamusmu. Berjalan agak mengangkat wajahnya sedikit. Sambil meredupkan mata dan mencibirkan bibir kau sapa orang-orang yang tunduk hormat kepadamu sambil menepi di pinggir jalan," berkata Jati Wulung, "ternyata ujud dan sikapmu cukup sederhana dan tidak berlebih-lebihan."
Orang yang disebut Ki Wirit itu tersenyum. Katanya, "Aku bukan orang yang pantas dihormati secara berlebih-lebihan. Sebagaimana juga Ki Demang, maka kami semua, para bebahu dan pemimpin Kademangan adalah orang-orang yang sederhana."
"Baiklah," berkata Jati Wulung, "sekarang, apakah keperluan kalian menghentikan perjalanan kami?"
"Sebenarnya kau tidak usah bertanya Ki Sanak," jawab Ki Wirit, "kau tentu sudah tahu, bahwa kau telah menyinggung perasaan kami."
"O," Jati Wulung mengangguk-angguk. Lalu, "Barangkali karena aku telah berkelahi dengan salah seorang di antara orang-orangmu itu?"
"Salah satu di antara kesalahanmu, bahwa kau telah berani melawan orang-orangku," jawab Ki Wirit.
"Kenapa salah satu" Apakah ada kesalahanku yang lain?" bertanya Jati Wulung.
"Jangan berpura-pura dungu. Kau telah menghina hak serta kuasa Ki Demang dan aku. Kau telah memaksa untuk duduk di tempat yang khusus disediakan bagi kami di kedai itu," geram Ki Wirit kemudian.
"Jadi hanya karena kami duduk di tempat yang kosong?" Jati Wulung ganti bertanya, "Ki Sanak. Ternyata sampai aku meninggalkan kedai itu, kalian tidak datang ke kedai itu. Karena itu apa salahnya jika aku berada di tempat yang sedang tidak dipergunakan. Kedai adalah satu tempat yang diperuntukkan bagi orang banyak. Termasuk aku dan saudara-saudaraku. Bahkan siapa saja."
"Tetapi itu adalah paugeran di Kademangan ini. Tidak seorangpun yang boleh mempergunakan tempat yang disediakan bagi Ki Demang. Dan ternyata kau telah melanggarnya. Hal itu tidak akan menjadi persoalan jika kalian memang tidak mengetahuinya," berkata Ki Wirit.
"Kami memang tidak mengetahuinya," berkata Jati Wulung.
Tetapi Ki Wirit itu justru tertawa. Katanya, "Kau memang aneh Ki Sanak. Bagaimana mungkin kau tidak mengetahuinya. Pelayan dan pemilik kedai itu sudah memberimu peringatan. Mereka berusaha untuk berbuat baik kepadamu, agar kau tidak melakukan kesalahan dengan melanggar paugeran Kademangan ini. Tetapi kau tidak pernah menghiraukannya. Kemudian Ki Prajakpun telah minta kepadamu untuk pergi. Bahkan ia telah berusaha memaksa kalian karena ia merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan segala macam paugeran di Kademangan ini. Tetapi kau berhasil mengalahkannya."
"Aku tidak kalah," geram Kiai Prajak, "aku tidak mau orang-orang sepasar menjadi kebingungan dan kehilangan akal sehingga pasar itu menjadi kacau. Kekacauan itu tentu akan dimanfaatkan oleh para penjahat untuk merampas dan merampok barang-barang bukan saja yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Tetapi juga mereka akan berani merampok para pedagang yang kebingungan itu."
Ki Wirit tersenyum. Katanya, "Baiklah. Apapun alasanmu, tetapi orang-orang ini tetap tidak mau tahu bahwa mereka harus menyingkir dari tempat yang khusus di kedai itu."
Ki Prajak mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Begitulah. Karena itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Ki Demang dan Ki Wirit."
Ki Wiritpun kemudian berpaling kepada Ki Demang. Sementara Ki Demang berdesis. "Kita harus menghukum mereka."
"Ya," jawab Ki Wirit, "kita harus menghukum mereka. Jika kita membiarkan orang-orang itu pergi tanpa mendapat hukuman atas pelanggarannya terhadap paugeran yang berlaku disini, maka selanjutnya akan menjadi kebiasaan orang dari luar Kademangan ini berlaku sekehendak hatinya disini, tanpa menghiraukan paugeran yang berlaku, serta sama sekali tidak menghargai para bebahu di Kademangan ini."
"Nah," berkata Ki Demang, "aku harap kalian tidak berbuat sesuatu yang akan dapat memperberat hukuman kalian. Kalian harus menjulurkan pergelangan tangan kalian untuk diikat. Kemudian menyeret kalian bertiga ke Kademangan. Hukuman berikutnya akan ditentukan dalam sidang yang akan dihadiri oleh para bebahu dan orang-orang tua pemangku adat disini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Namun keduanya tiba-tiba saja tersenyum. Jati Wulunglah yang melangkah maju sambil berkata, "Ki Demang. Menurut pengamatanku yang sekilas, kami menaruh kasihan kepada Ki Demang."
Wajah Ki Demang menjadi merah. Dengan nada marah ia bertanya, "Kenapa kau dapat berkata seperti itu?"
"Ternyata yang sebenarnya memerintah Kademangan ini bukannya Ki Demang," berkata Jati Wulung.
"Bukan aku" Apakah kau gila?" geram Ki Demang.
"Ki Demang adalah orang yang berhak untuk menduduki jabatan itu karena hak yang turun temurun. Tetapi menurut pengamatanku yang sekilas, maka yang sebenarnya berkuasa disini adalah Ki Wirit," berkata Jati Wulung.
"Tutup mulutmu," bentak Ki Demang. "Jangan mengigau. Kau harus menyadari, bahwa igauanmu itu akan dapat menjerat lehermu."
Tetapi Jati Wulung menjawab dengan senyumnya yang masih nampak di bibirnya. Katanya, "Jangan menjadi terlalu garang Ki Demang. Aku bukan sekedar mengigau. Meskipun aku bukan seorang yang pandai, tetapi aku mempunyai berpuluh ribu pengenalan atas tabiat dan tingkah laku manusia. Juga atas Ki Demang disini, yang tidak menunjukkan kewibawaan yang memadai dibanding dengan Ki Wirit."
"Ki Wirit adalah salah seorang tua yang memang dihormati disini," berkata Ki Demang, "bukankah itu berlaku dimana saja, jika seorang pemimpin pemerintahan menghormati orang-orang tua yang bijaksana di lingkungannya?"
"Kau benar Ki Demang. Nampaknya Ki Wirit adalah orang tua yang bijaksana di padukuhan dan bahkan Kademangan ini," jawab Jati Wulung.
Ki Demang mengerutkan dahinya. Ia merasakan sindiran yang tajam dari kata-kata Jati Wulung, sehingga iapun berkata, "Kata-katamu tajam melampaui ujung duri pandan. Apapun yang kau katakan, maka kau akan mendapat hukuman yang pantas. Kata-katamu dan sikapmu ternyata telah memperberat kesalahanmu."
"Sudahlah," berkata Jati Wulung kemudian, "sejak awal sudah aku katakan. Marilah kita berkelahi. Jangan banyak berbicara lagi."
"Persetan," geram Ki Wirit, "kata-katamu semakin lama semakin menyakitkan hati. Kau kira jika kita benar-benar berkelahi kau akan dapat luput dari tanganku?"
"Aku sudah bertekad untuk menantangmu. Jangan banyak bicara lagi. Kita berkelahi, atau biarkan kami pergi," Jati Wulungpun membentak.
Ki Wirit benar-benar menjadi marah. Iapun segera memberikan isyarat kepada kedua orang kawannya yang lain, sehingga merekapun dengan serta-merta telah bergeser dari tempatnya dan mengepung ketiga orang itu.
"Jangan berharap apa-apa lagi," berkata Ki Wirit, "sebenarnya aku tidak ingin berkelahi dengan cara yang licik, sebagaimana kalian tidak berkelahi bertiga ketika kalian melawan Ki Prajak."
"Aku tidak perlu melawannya bertiga," berkata Jati Wulung.
"Nah, sekarang baiklah. Kami tidak akan bertempur berlima, sementara kalian hanya bertiga. Aku ingin tahu, apakah kalian benar-benar laki-laki pilihan, sehingga kalian berani melakukan tindakan yang deksura di kedai itu," berkata Ki Wirit.
"Maksudmu?" bertanya Jati Wulung.
"Hanya seorang di antara kami yang akan bertempur. Sedangkan kalian dapat memilih salah seorang di antara kalian. Kita akan berperang tanding," jawab Ki Wirit.
Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Ki Wirit mengucapkan kata-kata itu dengan penuh keyakinan sehingga baik Jati Wulung maupun Sambi Wulung mempunyai penilaian tersendiri atas orang ini.
Namun sebelum Jati Wulung menjawab, maka Sambi Wulung telah mendahului, "Menarik sekali. Agaknya sekarang giliranku untuk berkelahi. Adikku, Wanengpati telah mengalahkan Ki Prajak, diakui atau tidak diakui. Sekarang aku akan berperang tanding melawanmu, Ki Wirit."
"Kenapa kau?" bertanya Jati Wulung.
"Bergantian. Sudah beberapa hari aku tidak berkelahi. Sekarang aku akan mendapat kesempatan itu," berkata Sambi Wulung.
"Tetapi akulah yang telah memulainya. Maka biarlah aku yang menyelesaikannya," berkata Jati Wulung.
"Itu namanya tidak bergantian. Kau akan mengambil semuanya dan tidak memberi aku kesempatan sama sekali. Itu tidak adil."
"Setan," geram Ki Wirit, "jadi kalian berebut untuk mati."
"Siapa bilang berebut untuk mati" Kami berebut kesempatan untuk membunuh. Apa salahnya dalam keadaan seperti ini kami membunuh" Jika kau sudah menyebut-nyebut untuk membunuh kami, maka kamipun telah bertekad untuk membunuh kalian."
Ki Wirit yang marah itu menjadi semakin marah. Dengan keras ia membentak, "Cepat. Semakin lama akan menjadi semakin banyak orang yang akan melihat perkelahian ini. Meskipun dengan demikian akan menjadi semakin banyak pula saksi kematianmu, tetapi aku tidak memerlukannya."
Sambi Wulungpun kemudian bergeser maju sambil berkata kepada Jati Wulung, "jaga anakmu yang sakit itu."
Jati Wulung tidak dapat memaksakan kehendaknya atas Sambi Wulung. Ia sadar, bahwa Sambi Wulung tentu menganggap bahwa Ki Wirit memang memiliki kelebihan. Karena itu, agar tidak terjadi sesuatu atas mereka bertiga, maka Sambi Wulung yang memiliki ilmu terbaik di antara mereka bertiga akan menghadapinya. Jika Ki Wirit mampu mengalahkan Sambi Wulung, maka nasib mereka bertiga memang akan menjadi terlalu buruk.
Dengan demikian, maka Sambi Wulunglah yang kemudian telah berdiri di paling depan menghadapi Ki Wirit. Sementara itu Jati Wulung dan Puguhpun harus berhati-hati, karena masih ada empat orang lainnya, termasuk Ki Demang yang akan dapat berbuat sesuatu atas mereka.
"Bagus," berkata Ki Wirit. "Jadi kaulah yang akan menghadapi aku dalam perang tanding ini?"
"Ya," jawab Sambi Wulung mantap.
Ki Wirit mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun berkata, "Baiklah. Marilah kita yang tua-tua ini sekali-sekali mencari kesempatan untuk bermain-main pula." Lalu katanya kepada Ki Demang, "Ki Demang, jangan ganggu kami. Suruh orang-orang itu berjaga-jaga agar tidak seorangpun di antara mereka akan sempat melarikan diri."
Ki Demang mengangguk. Jawabnya, "percayakan mereka kepada kami. Siapa yang akan melarikan diri, akan mati lebih dahulu karenanya."
Namun Ki Demang dan bahkan orang-orang yang mengepung itu terkejut ketika mereka mendengar Jati Wulung tertawa. Katanya, "Suara kalian seperti guntur di mangsa ke sanga. Menggelegar memenuhi langit yang kelabu. Tetapi marilah kita buktikan, apakah benar-benar hujan akan dapat turun."
"Persetan kau," bentak Ki Demang.
Namun dengan serta-merta Jati Wulung menjawab, "Apakah kita juga akan perang tanding?"
"Tidak," Ki Wiritlah yang menyahut, "aku dan orang ini akan menentukan segala-galanya."
Jati Wulung tertawa berkepanjangan. Suara tertawanya berhenti ketika Ki Demang membentak, "He, kenapa kau tertawa?"
"Aku memang yakin bahwa Ki Demang tidak lebih dari sebuah wayang golek yang hanya bergerak jika digerakkan oleh Ki Wirit. Ki Wiritpun menjadi cemas akan nasib wayang goleknya jika pada suatu saat ia tidak sempat mengendalikannya dengan baik."
"Setan," geram Ki Wirit, "jika aku selesai dengan perang tanding ini, maka kaupun akan aku bunuh dengan caraku."
"Jangan sesumbar. Lakukanlah jika kau mampu," jawab Jati Wulung.
Ki Wirit menggeram. Dadanya seakan-akan menjadi retak oleh kemarahan yang menyesak. Ia belum pernah menjumpai orang seperti ketiga orang itu. Ketika sekilas ia memandang wajah Puguh, maka iapun berkata di dalam hati, "Jika anak itu tidak sakit, maka ia tentu gila juga seperti ayahnya."
Demikianlah, Ki Wirit telah berhadapan dengan Sambi Wulung. Keduanya telah bersiap untuk bertempur disimpang empat. Seperti yang dikatakan olah Ki Wirit, maka sebenarnyalah, beberapa orang yang tertahan dan tidak dapat lewat di jalan itu, telah berkerumun meskipun pada jarak yang jauh. Mereka mengerti bahwa jika Ki Wirit telah ikut campur, biasanya keadaan orang-orang yang menjadi sasarannya tidak akan tertolong lagi. Karena itu, maka Ki Wirit memang lebih ditakuti daripada Ki Demang, yang sebagaimana diduga oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung, bahwa Ki Demang memang berada di bawah pengaruh Ki Wirit.
"Bersiaplah untuk mati dengan cara yang kurang baik," berkata Ki Wirit dengan nada berat.
Tetapi Sambi Wulung menjawab, "Ki Wirit. Apakah kau mempunyai anak isteri" Barangkali ada pesan yang ingin kau sampaikan kepada Ki Bekel sebelum kau mati disini?"
Kata-kata Sambi Wulung itu bagaikan api yang telah menyalakan minyak yang sudah tersiram di hatinya. Dengan serta-merta maka apipun telah berkobar membakar seluruh isi dadanya.
Dengan loncatan yang cepat, maka Ki Wiritpun telah menyerang. Tangannya terayun mendatar ke arah kening lawannya. Namun Sambi Wulungpun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka serangan itu telah dielakkannya. Tangan Ki Wirit itu terayun beberapa jari dari kepalanya yang menunduk.
Tetapi dalam pada itu, Sambi Wulung tidak menyia-nyiakan kesempatan yang terbuka baginya. Sambil menghindari ia telah berputar dengan ayunan kaki mengarah lambung.
Ki Wirit memang terkejut melihat ketangkasan lawannya. Karena serangan itu, maka iapun harus meloncat selangkah surut. Tetapi ketika kakinya menjejak tanah, maka kaki itu telah melemparkannya kembali. Bahkan tubuhnya menjadi miring dan satu kakinya lurus menyamping.
Sambi Wulung mampu bergerak secepat serangan lawannya. Ia memiringkan tubuhnya sambil menarik dadanya. Kaki Ki Wirit itu memang hampir saja mengenai wajahnya.
Dengan kedua tangannya Sambi Wulung memukul kaki Ki Wirit. Tetapi Ki Wirit telah menggeliat dan menjatuhkan dirinya. Justru kakinya yang lainlah yang kemudian mematuk lambung lawannya ketika Ki Wirit itu berguling di tanah sambil mengambil jarak.
Sambi Wulung bergeser surut selangkah. Tetapi demikian ia melihat Ki Wirit melenting berdiri, maka iapun telah meloncat menerkam dengan ayunan tangannya.
Ki Wiritlah yang kemudian terpaksa membungkukkan badannya. Untuk mengurangi kemungkinan buruk dari serangan lawannya, justru Ki Wiritlah yang telah menyerang dada lawannya dengan kedua tangannya.
Tetapi serangan itupun tidak menyentuh tubuh Sambi Wulung yang bergeser mundur.
Keduanyapun kemudian berdiri tegak. Mereka saling memandang dengan tajamnya. Namun dengan demikian untuk beberapa saat keduanya berdiri tegak di tempatnya.
Ki Wirit yang tidak menyangka bahwa lawannya mampu melawannya untuk beberapa lama, bahkan justru mampu mengimbangi kekuatannya serta kecepatan geraknya, memang membuatnya menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk Ki Wirit itupun berkata, "Ternyata kau bukan sekedar mampu membual. Kau dapat menghindari sentuhan tanganku untuk beberapa lama. Bahkan kau sempat membalas menyerang meskipun serangan-seranganpun itu tidak berarti."
Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Ki Wirit. Akupun memang harus mengakui bahwa kau adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi bukan berarti bahwa karena itu kau berhak untuk berbuat apa saja sesuka hatimu. Mungkin di Kademangan ini tidak ada orang yang mampu mencegah tingkah lakumu, sehingga semua keinginanmu akan dapat kau lakukan disini. Tetapi kau harus ingat, bahwa kau tidak berdiri sendiri di dunia oleh kanuragan. Meskipun Ki Demang di Kademangan ini tidak pernah berani menentang kehendakmu, sehingga justru terpaksa menjadi alatmu dengan kuasa yang dimilikinya dengan sah, namun di atas kuasa Ki Demang masih ada kekuasaan lain yang akan dapat mencegahmu. Ada tiga kuasa yang aku maksud. Pertama, kuasa Pajang dan kedua, jika kuasa Pajang tidak melihat kecuranganmu dengan mempergunakan kuasa kekuatanmu dan kelebihanmu dalam olah kanuragan, maka tentu ada kekuatan lain yang pada satu saat akan menghancurkanmu. Dan sekarang aku telah membawa kuasa itu atasmu."
"Setan kau," geram Ki Wirit, "kau berani menghina aku."
"Aku tidak menghinamu. Aku memang bertekad untuk menghancurkanmu. Bahkan jika aku gagal, masih ada kuasa yang jauh lebih tinggi dari kuasa ilmumu. Dengan alat apapun kuasa itu akan dapat menghancurkanmu," berkata Sambi Wulung.
"Omong kosong," geram Ki Wirit.
"Kuasa dari segala sumber kuasa di dunia ini," geram Sambi Wulung.
"Ucapan orang yang telah berputus-asa. Nah, jika kau memang sudah berputus asa, jangan mencoba menentang aku lagi. Menyerahlah. Kami akan mengikatmu dan membawamu ke Kademangan." Ki Wirit hampir berteriak.
Tetapi Sambi Wulung menggeleng. Katanya, "Jangan mimpi mengikat tanganku."
Sambi Wulung tidak dapat melanjutkan kata-katanya Tiba-tiba saja Ki Wirit yang marah itu telah meloncat menyerangnya.
Pertempuranpun telah terulang kembali. Keduanya telah menunjukkan kelebihannya. Mereka mampu bergerak dengan cepat dan ayunan-ayunan tangan dan kaki yang deras. Udarapun telah terayun pula bersama serangan-serangan mereka yang garang.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ki Demang dan orang-orangnya termangu-mangu melihat pertempuran yang nampaknya menjadi semakin sengit. Menurut pengenalan Ki Demang atas Ki Wirit selama ini, tidak seorangpun yang akan mampu melawannya. Seisi Kademangan, termasuk Ki Demang sendiri, telah tunduk di bawah pengaruhnya. Meskipun di Kademangan itu, Ki Demang memiliki kuasa yang sah, tetapi ia memang tidak berdaya untuk memerintah sebagaimana diinginkan. Ia harus melakukan apa yang dikehendaki oleh Ki Wirit.
Namun saat itu, ternyata Ki Wirit telah membentur kekuatan yang ternyata seimbang menurut penilaian Ki Demang. Ternyata bahwa Ki Wirit tidak dapat segera mengalahkan lawannya. Bahkan pertempuran itu dinilainya menjadi semakin sengit sehingga bagi Ki Demang, apalagi orang-orangnya termasuk Ki Prajak, tidak dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang. Biasanya jika seseorang berani melawan Ki Wirit dan sempat bertempur beberapa lama, maka akhirnya orang itu akan mengalami nasib yang sangat buruk. Dengan kejam Ki Wirit yang nampaknya bersikap lunak itu akan mengakhiri hidup lawannya dengan caranya yang khusus. Dengan tangan sendiri yang tidak gemetar sama sekali, Ki Wirit membunuh korban-korbannya.
Tetapi ternyata menghadapi orang yang satu itu, Ki Wirit tidak dapat segera menyelesaikannya, betapapun kemarahan telah menghentak-hentak dadanya.
Bahkan pertempuran yang terjadi sama sekali tidak segera menunjukkan kelebihan Ki Wirit atas lawannya.
Untuk beberapa saat keduanya masih saja berputaran. Desak mendesak. Serang menyerang. Sekali-sekali Ki Wirit memang mampu mendesak Sambi Wulung. Tetapi beberapa saat kemudian, Ki Wiritlah yang harus berloncatan mengambil jarak.
Ternyata di sekitar arena pertempuran itu, meskipun pada jarak yang agak, jauh, beberapa orang sedang menyaksikannya. Semakin lama memang menjadi semakin banyak betapapun dengan jantung yang berdebaran. Bukan saja orang-orang yang kembali dari pasar, tetapi orang-orang yang sedang berangkat ke sawahpun telah berhenti.
Debu yang kelabu telah mengepul di udara. Semakin lama semakin banyak. Menghambur dan membuat arena itu menjadi kabur.
Namun keduanya masih bertempur terus. Bahkan bukan saja debu yang berhamburan, tetapi kerikil-kerikil kecilpun bagaikan dihambur-hamburkan pula. Langkah-langkah kaki kedua orang yang bertempur itu telah menyentuh bebatuan dan kerikil-kerikil kecil sehingga terlontar berserakkan.
Ki Demang dan orang-orangnya menjadi semakin berdebar-debar. Mereka telah melihat pertempuran yang sangat cepat. Bahkan melampaui kemampuan pengamatan mereka.
Tetapi di antara mereka, Jati Wulung berdiri saja termangu-mangu. Ia mengenal dengan pasti tingkat kemampuan Sambi Wulung yang lebih tinggi dari kemampuannya sendiri. Sementara itu, betapapun serunya pertempuran, tetapi yang-nampak di mata Jati Wulung tidak lebih dari sekedar mengungkapkan kekuatan kewadagan dan dorongan tenaga cadangan. Sambi Wulung belum menukik ke dalam ilmunya yang rumit, yang bersandar pada kemampuannya menyadap kekuatan alam yang ada di sekitarnya.
Karena itu, maka Jati Wulung sama sekali tidak menjadi gelisah betapapun ia melihat debu, batu-batu kerikil dan batu-batu padas berhambur karena sentuhan dan hentakan kaki mereka yang menghentak-hentak dalam pertempuran itu. Bahkan Jati Wulung justru telah berdesis, "Buat apa Kakang Sambi Wulung mengungkit bebatuan dengan kakinya" Mataku jadi pedas karena debu yang dihambur-hamburkannya."
Namun dengan demikian, maka pertempuran itu nampaknya memang menjadi lebih seram. Seakan-akan kedua orang itu telah bertempur di dalam kabut.
Puguh yang masih belum pulih kekuatannya itu termangu-mangu. Ia menjadi ragu-ragu melihat pertempuran itu, apakah Wanengbaya itu akan dapat mengatasi lawannya yang kelihatannya lebih garang, meskipun umurnya nampaknya tidak lebih muda.
"Apa kau melihat satu kemungkinan?" bertanya Puguh pada Jati Wulung.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak ingin memperlihatkan kemampuan Sambi Wulung dengan berlebih-lebihan sebagaimana dilakukan oleh Sambi Wulung sendiri. Karena itu, maka katanya, "Aku masih berpengharapan."
"Apakah kau lihat keseimbangan di antara keduanya?" bertanya Puguh pula.
"Ya. Keduanya memiliki kemungkinan yang sama," jawab Jati Wulung.
Puguh mengangguk-angguk. Iapun mempunyai pendapat yang sama. Bahkan menurut pengamatan Puguh, Sambi Wulung justru memiliki kesempatan yang lebih baik. Namun jika Sambi Wulung itu sedikit saja melakukan kesalahan, maka ia akan dapat mengalami kesulitan karena Ki Wiritpun memiliki kecepatan gerak dan kekuatan yang besar. Tetapi sebaliknya, jika Ki Wirit yang melakukan kesalahan, maka ialah yang akan mendapat bencana.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung untuk waktu yang lama. Mataharipun semakin lama menjadi semakin tinggi, sehingga panasnya mulai terasa menyengat kulit.
Jati Wulung yang mengikuti pertempuran itupun akhirnya mengetahui, apakah yang akan dilakukan oleh Sambi Wulung. Ia ingin menunjukkan kepada lawannya, bahwa betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi kekuatan wadagnya tetap terbatas.
Dalam pada itu, Ki Wiritpun semakin lama menjadi semakin marah. Ia berusaha untuk dengan segera menghancurkan lawannya tanpa mengekang diri. Tidak ada pikiran lain di kepalanya, kecuali benar-benar ingin membunuh lawannya. Semakin lama ia bertempur, maka keinginannya membunuh lawannya dengan cara yang paling mengerikannya semakin membakar jantungnya.
Tetapi ia telah membentur satu kenyataan, bahwa tidak mudah baginya untuk mengalahkan lawannya itu. Ternyata setelah mereka bertempur untuk waktu yang lama, kesempatannya mengalahkan lawannya sama sekali belum terbukti.
Sebenarnya Ki Wirit tidak ingin mempergunakan senjata. Ia tidak ingin membunuh lawannya dengan tusukan luwuknya langsung mengenai jantung. Bagi Ki Wirit, kematian yang demikian bagi orang yang telah berani melawannya adalah kematian yang terlalu baik. Ia ingin menangkap lawannya hidup-hidup dan membunuhnya dengan cara sendiri.
Tetapi menghadapi lawan yang seorang ini, agaknya sulit baginya untuk dapat menangkapnya sebagaimana yang diinginkannya. Bahkan ketika tenaganya sendiri mulai menjadi susut, maka iapun tidak lagi berpikir panjang. Dengan serta-merta, maka ditariknya luwuk yang terselip di pinggangnya. Luwuk yang mirip dengan sebilah keris yang besar tetapi berbentuk seperti pedang.
Sambi Wulung meloncat surut ketika ia melihat senjata lawannya yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang berkilat menelusuri daun senjata itu dari pangkal sampai ke ujung. Hulunya memang mirip dengan hulu pedang dihiasi dengan seikat rambut yang berjuntai meskipun tidak begitu panjang.
"Kau menjadi ketakutan melihat pusakaku," geram Ki Wirit, "tidak ada orang yang mampu melepaskan diri dari maut jika luwuk ini menjadi haus. Karena itu relakan darahmu menjadi minuman pusakaku yang haus ini."
Tetapi jawab Sambi Wulung, "Aku masih belum ingin mati Ki Sanak. Tugasku masih banyak. Selama masih ada orang-orang seperti kau di muka bumi ini, maka tugasku masih belum selesai. Karena itu aku akan berjuang untuk mempertahankan hidupku. Jika dalam usaha mempertahankan hidupku ini aku terpaksa membunuh, itu bukan yang aku kehendaki."
Ki Wirit menggeram. Ia mulai menggerakkan luwuknya sambil berkata, "Setiap orang yang telah aku bunuh dengan luwukku ini, aku cabut beberapa lembar rambutnya dan aku letakkan pada tangkai luwukku ini. Nah, jika kau melihat rambut yang berjuntai ini, maka bayangkan, seratus orang telah aku penggal kepalanya."
"Dan yang keseratus satu adalah kepalamu sendiri," geram Sambi Wulung yang mulai terungkit kemarahannya. Lalu katanya pula, "Jika benar kau telah membunuh seratus orang, maka tidak akan ada jalan keselamatan lagi bagimu. Bukan saja di batas hidup dan mati dari ujud kewadaganmu, tetapi kau benar-benar akan mati dan jiwamu akan terjun ke dalam kegelapan untuk selama-lamanya."
"Persetan kau," Ki Wirit hampir berteriak. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil mengayunkan luwuknya.
Sambi Wulung mengelak. Namun sambil bergeser iapun telah menarik pedangnya. Pedang Sambi Wulung memang pedang kebanyakan. Tidak ada kelebihan apapun juga. Yang mempunyai kelebihan adalah tangan yang menggenggamnya.
Karena itu, maka pertempuranpun menjadi semakin menggetarkan jantung. Mereka tidak saja berloncatan dengan ayunan tangan dan kaki. Tetapi mereka telah bertempur dengan mempergunakan senjata di tangan masing-masing.
Ki Wirit yang tidak segera berhasil mengenai sasarannya itu menjadi semakin marah. Jantungnya bagaikan menggembung sebesar kepalanya sehingga hampir pecah karenanya. Sementara itu, setiap ayunan pedangnya tentu membentur senjata lawannya atau lewat saja membelah udara.
Dalam kemarahan yang membakar dadanya, Ki Wirit memang tidak dapat berbuat lebih banyak mengingat kemampuan lawannya. Karena itu, maka ia telah terlepas dari kedudukannya di hadapan Sambi Wulung dalam perang tanding. Ia ingin mempengaruhi pemusatan perhatian Sambi Wulung terhadap perkelahian itu.
Karena itulah, maka sejenak kemudian iapun telah berteriak, "Ki Demang. Bawa orang-orangmu untuk menangkap atau membunuh kedua orang itu."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi bingung, apa yang harus dilakukannya.
Namun Ki Wirit itu telah berteriak lagi, "Cepat. Lakukan sebelum terlambat. Jika mereka melihat kawannya yang seorang ini aku bunuh, maka mereka tentu akan. melarikan diri."
"Baik Ki Wirit," jawab Ki Demang.
"Waktu kita tidak terlalu banyak," teriak Ki Wirit lagi. Namun ketika mulutnya hampir berteriak lagi, tiba-tiba saja terdengar ia berdesah tertahan.
Dengan serta-merta, maka Ki Wirit itu telah meloncat mundur mengambil jarak beberapa langkah. Sambil mengumpat-umpat kasar ia meraba lengannya. Ternyata darah telah meleleh dari lukanya di lengan itu.
Sambi Wulung berdiri tegak. Pedangnya bersilang di dadanya.
"Anak setan," geram Ki Wirit, "ilmu iblis dari manakah yang telah kau sadap itu?"
Sambi Wulung memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang tajam pula ia berkata, "Ki Wirit. Kesabaran seseorang itu terbatas. Demikian pula kesabaranku bukannya tanpa takaran. Karena itu, maka aku minta kau menyerah sekarang."
Ki Wirit menggeretakkan giginya. Ujung luwuknya menjadi bergetar oleh getar kemarahannya di dalam dadanya. Sekilas ia berpaling kepada Ki Demang sambil sekali lagi berkata, "Bunuh kedua orang itu. Aku akan membunuh yang seorang ini."
"Tidak ada gunanya kau menyembunyikan kenyataan ini Ki Wirit," berkata Sambi Wulung, "kau tidak akan dapat mempertahankan dirimu. Kau sudah nampak semakin letih. Gerakmu tidak setangkas di saat kita mulai dengan permainan ini. Sebentar lagi kau akan kehabisan tenaga dan jika kau menunggu aku benar-benar kehilangan kesabaran, maka tubuhmu akan terkapar mati disini."
"Persetan," Ki Wiritpun telah mengumpat pula. Dengan serta-merta ia telah meloncat menyerang Sambi Wulung. Luwuknya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya.
Tetapi Sambi Wulung cukup tangkas. Ia memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu, sehingga senjata Ki Wirit itu tidak menyentuhnya. Tetapi Ki Wirit tidak membiarkan Sambi Wulung lolos dari serangannya. Luwuk Ki Wirit itu berputar sekali kemudian terayun deras menebas leher Sambi Wulung.
Dengan tangkas Sambi Wulung menangkis serangan itu. Demikian kerasnya benturan yang terjadi, sehingga bunga apipun telah meloncat di udara.
Kemarahan Ki Wirit benar-benar telah tidak tertahankan lagi sehingga dadanya merasa bagaikan sesak. Luka di tangannya adalah api yang menyalakan minyak yang telah meluap membasahi jantungnya.
Namun kemarahan Sambi Wulungpun menjadi semakin mencengkam pula. Sikap dan kekasaran Ki Wirit telah menunjukkan ciri pribadinya yang sebenarnya, dalam keadaan terdesak, maka Ki Wirit di luar sadarnya telah mempergunakan ilmunya yang tertinggi. Ilmu yang ternyata mempunyai ciri-ciri yang kasar dan tercela.
Hanya Sambi Wulung dan Jati Wulung sajalah yang mampu menilai langsung ilmu yang dipergunakan oleh Ki Wirit. Puguh yang muda itu ternyata masih memerlukan pengalaman lebih jauh untuk mengenali watak ilmu sebagaimana yang dipergunakan oleh Ki Wirit. Namun dengan demikian, maka Sambi Wulungpun benar-benar telah mengambil keputusan.
Tetapi dalam pada itu, Ki Demang yang telah mendapat perintah untuk bertindak atas kedua orang kawan Sambi Wulung itupun telah memberi isyarat kepada ketiga orang kawannya.
"Berusahalah melindungi dirimu jika diserang," berkata Jati Wulung kepada Puguh yang ilmunya masih belum pulih kembali karena dukungan tenaganya yang belum pulih pula. Tetapi sekedar untuk melindungi dirinya sendiri, maka Puguh sama sekali tidak menjadi cemas akan sisa kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Sesaat kemudian, empat orang telah mengepung Jati Wulung dan Puguh. Namun dengan lantang Jati Wulung berkata, "Jika ilmu kalian tidak melampaui ilmu Ki Wirit, maka kalian tidak akan dapat mengurung kami dengan cara apapun juga."
Ki Demang memang menjadi ragu-ragu. Tetapi sekali lagi terdengar Ki Wirit berteriak, "Cepat. Lakukan."
Kata-kata itu bagaikan telah mendorong Ki Demang untuk meloncat maju. Namun Ki Demang yang ragu-ragu itu harus meyakinkan dirinya untuk dapat melakukan perlawanan, sehingga karena itu, maka iapun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang panjang. Demikian pula kawan-kawannya. Dengan senjata masing-masing mereka telah siap untuk menyerang Jati Wulung dan Puguh yang berasa di tengah-tengah lingkaran.
Ki Prajak yang telah pernah bertempur melawan Jati Wulung masih saja termangu-mangu. ia memang tidak yakin apakah mereka berempat akan dapat mengalahkan kedua orang itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Demangpun telah memberikan isyarat, agar kedua orang yang berada di sisi yang lain mulai bergerak. Sementara itu, ia sendiripun telah menggerakkan senjatanya pula.
Keempat orang itupun bersama-sama telah mulai bergeser. Tetapi Ki Prajak masih dibayangi oleh kecemasan akan kecepatan gerak Jati Wulung. Dengan demikian maka iapun menjadi sangat berhati-hati.
Namun ia memang tidak yakin apa yang dapat dilakukan oleh kedua kawannya yang lain, yang tidak mempunyai kelebihan dari padanya. Ki Demang memang dianggap seorang yang berilmu tinggi, tetapi ilmunya masih berada beberapa lapis di bawah Ki Wirit. Sementara itu Ki Wirit ternyata tidak mampu segera mengalahkan lawannya.
Dalam pada itu, Puguhpun telah mengacukan pedangnya pula. Sementara Jati Wulung masih berbisik, "Aku akan memasuki lingkaran perkelahian. Sementara itu, kau lindungi dirimu sendiri."
Puguh tidak menjawab. Tetapi ia siap melakukan sebagaimana dikatakan oleh Jati Wulung yang dikenalnya sebagai Wanengpati.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka Jati Wulung justru telah meloncat menyerang Ki Demang. Pedangnya terjulur lurus ke arah dada lawannya. Ki Demang dengan tangkas menangkis serangan itu sambil bergeser ke samping. Namun benturan senjata yang terjadi, telah menggetarkan bukan saja tangan Ki Demang, tetapi juga jantungnya. Meskipun Ki Demang memukul pedang Jati Wulung dengan segenap kekuatannya, tetapi arah pedang Jati Wulung itu sama sekali tidak bergeser. Jika Ki Demang tidak bergerak ke samping, maka ujung pedang itu akan tetap menusuk dadanya tembus ke jantung.
Benturan pertama itu membuat dada Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Ia semakin menyadari bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memang memiliki kemampuan jauh di atas jangkauan kemampuan mereka.
Tetapi Ki Demang tidak mempunyai keberanian untuk membantah perintah Ki Wirit. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk dapat bertempur sebaik-baiknya meskipun ia harus menjadi sangat berhati-hati.
Sikap itulah yang menguntungkan Jati Wulung dan Puguh. Keempat orang itu tidak berani dengan serta-merta menyerang Jati Wulung dan Puguh. Sementara itu Puguhpun berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
Sebenarnyalah bahwa lawannya tidak akan sempat membuat perhitungan. Seandainya mereka mengerti akan kelemahan Puguh sekalipun, mereka tidak akan sempat membuat pilihan. Jati Wulunglah yang kemudian ternyata telah membentuk suasana dalam pertempuran itu. Dengan tangkas ia berloncatan menyerang lawannya, sementara itu kaki Puguh bagaikan melekat pada bumi. Hanya sekali-sekali saja ia berputar menghadapi lawan yang akan menyerangnya.
Namun dalam pada itu, ketika Ki Demang mulai bergerak, Ki Wirit masih juga sempat berteriak, "Anak iblis. Sebentar lagi kawan-kawanmu itu akan terbunuh dengan keadaan yang mengerikan. Ki Demang dan kawan-kawannya adalah orang yang berilmu tinggi. Bersama-sama mereka tidak akan terlawan oleh kekuatan yang manapun juga. Bahkan oleh pasukan prajurit segelar sepapan sekalipun."
"Kenapa kau masih juga berkicau seperti itu Ki Wirit. Salah seorang diantar kami telah pernah bermain-main dengan orangmu yang bernama Ki Prajak itu. Ternyata kemampuannya tidak lebih dari hitamnya kuku dibanding dengan kemampuan kami," sahut Sambi Wulung.
"Pembual yang sombong," geram Ki Wirit, "sebentar lagi mulutmulah yang akan aku koyakkan sampai ke telinga."
Sambi Wulung tertawa. Meskipun ia harus berloncatan menghindar dan menangkis serangan Ki Wirit. Tetapi suara tertawa Sambi Wulung ternyata adalah lontaran kejemuan, kemuakan dan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya. Di antara suara tertawanya terdengar ia berkata, "Ki Wirit. Ternyata kau adalah orang yang paling bengis yang aku kenal. Kau berpura-pura menjadi seorang yang rendah hati, ramah tamah dan sederhana. Bahkan kau nampak lembut dan kebapaan. Tetapi ternyata di sisa umurmu yang sudah tidak lebih banyak dari sisa umurku menurut ujud lahiriahnya itu masih kau pergunakan untuk memanjakan nafsu ketamakan dan kedengkianmu terhadap sesama. Karena itu Ki Wirit, tidak ada yang lebih pantas kau pikul hukuman bagimu selain hukuman mati."
"O," Ki Wirit menyahut, "siapa yang berhak menjatuhkan hukuman bagi seseorang?"
"Aku tidak peduli siapakah yang berhak. Tetapi aku merasa berhak menghentikan segala tingkah polahmu. Kau tidak usah ingkar lagi. Aku mengenali watak ilmumu yang kasar dan licik itu. Ilmu dari aliran hitam yang memang tidak berhak untuk hidup di antara orang banyak," jawab Sambi Wulung.
Namun sambil menyerang Ki Wirit berteriak, "Lihat. Orang-orangmu sudah mati satu persatu."
Sambi Wulung memang terkejut. Tetapi ia sadar, bahwa jika ia berpaling, maka serangan Ki Wirit itu akan menjadi sangat berbahaya baginya. Karena itu, maka iapun telah bergeser sambil menangkis ujung luwuk yang terjulur ke dadanya.
Baru kemudian ia sempat memandang ke arah Jati Wulung dan Puguh. Namun ternyata bahwa mereka tidak mengalami kesulitan apapun juga.
Kelicikan itu telah mendorong Sambi Wulung untuk segera mengakhiri pertempuran. Jika Ki Wirit itu mendapat kesempatan lebih banyak, maka mungkin sekali ia akan dapat berbuat lebih licik lagi dan barangkali akan dapat membahayakannya.
Demikianlah maka Sambi Wulungpun kemudian berkata, "Ki Wirit. Kau sudah kehilangan sebagian dari tenaga dan kemampuanmu. Kekuatanmu telah menurun pula. Sekarang aku ingin memperlihatkan kepadamu, apa yang sebenarnya dapat aku lakukan. Semula aku masih ingin berusaha membuatmu menyadari apa yang kau lakukan selama ini. Namun akhirnya aku mengambil keputusan bahwa kau memang harus dibunuh. Bukan sekedar luka-luka di tubuhmu atau barangkali kata-kata keras di telingamu."
"Persetan," geram Ki Wirit yang meloncat dan menyerangnya dengan kasar.
Tetapi Sambi Wulung telah benar-benar menjadi muak. Dengan demikian, maka iapun berniat untuk segera mengakhiri perlawanan Ki Wirit.
Sejenak kemudian, maka tata gerak Sambi Wulungpun mulai berubah. Ia tidak lagi sekedar bertempur dengan dorongan ilmu kewadagannya. Ia mulai membuat lawannya benar-benar tidak berdaya ketika ia mulai bergerak bagaikan angin pusaran.
Ki Wirit tidak dapat mengikuti tata gerak Sambi Wulung berikutnya. Iapun tidak tahu pasti, apa yang terjadi kemudian. Namun dalam satu benturan yang tidak diduganya, maka luwuk pusakanya itu bagaikan telah direnggut dari tangannya dan terlempar ke udara.
Ki Wirit termangu-mangu sejenak setelah ia tidak bersenjata. Namun ternyata bahwa kemudian lawannyapun telah menyarungkan pedangnya pula sambil berkata, "Aku sudah muak melihat orang-orang seperti kau ini, justru pada saat-saat yang gawat seperti ini. Kaulah jenis orang-orang yang mempergunakan pengaruh kuasa dan kekuatanmu untuk menekan dan mempergunakan kekuasaan yang sah yang ada pada Ki Demang untuk kepentingan pribadimu. Kau dapat bergerak di balik kedudukan Ki Demang namun sama sekali tidak untuk kebaikan Kademangan ini."
Ki Wirit memandang Sambi Wulung dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Namun ia menyadari, bahwa yang dihadapinya itu ternyata benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Yang sebenarnya memang tidak memerlukan senjata apapun untuk melawannya selain ilmunya.
Ki Wirit memang menjadi agak menyesal karena ia tidak segera mengenali lawannya. Namun semuanya sudah terlambat.
Selangkah demi selangkah Sambi Wulung mendekati Ki Wirit yang termangu-mangu. Dengan nada berat, Sambi Wulung berkata, "Saatmu telah tiba."
Ki Wirit melangkah surut. Tiba-tiba saja ia telah meloncat berlari meninggalkan Sambi Wulung.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ia tidak mampu melepaskan dirinya. Tiba-tiba saja terasa sentuhan di punggungnya, sehingga iapun justru terdorong dengan derasnya. Langkah kakinya tidak dapat mengimbangi dorongan di punggungnya sehingga Ki Wirit itupun telah jatuh terjerembab.
Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka dilihatnya Sambi Wulung telah berdiri tegak di sisinya dengan kaki renggang.
Ki Wirit termangu-mangu. Namun tubuhnya memang terasa sakit. Di dahinya terdapat luka karena wajahnya yang terantuk tanah di saat ia jatuh terjerembab. Bahkan darah dari luka di lengannya seakan-akan menjadi semakin banyak mengalir.
"Bangkitlah," geram Sambi Wulung. "Jangan mati sambil menelungkup seperti seekor cacing yang tidak berdaya. Kau adalah Ki Wirit yang aku tidak tahu sejak kapan kau telah menguasai Kademangan ini."
Ki Wirit menjadi semakin berdebar-debar. Ketika ia merasakan kaki Sambi Wulung mengungkit tubuhnya, maka iapun mulai bergerak.
"Bangkit, atau aku injak punggungmu?" bentak Sambi Wulung.
Ki Wirit masih termangu-mangu. Namun ketika Sambi Wulung beringsut Ki Wiritpun telah bergeser pula.
"Cepat. Akan aku injak bukan saja punggungmu, tetapi tengkukmu. Kau memang tidak pantas lagi untuk dihormati," bentak Sambi Wulung pula.
Ki Wirit tidak dapat berbuat lain kecuali berdiri tertatih-tatih. Tetapi jantungnya benar-benar menjadi berdebar-debar.
"Nah, kita akan menyaksikan pertempuran itu, yang kau katakan bahwa Ki Demang akan membunuh saudara dan kemenakanmu," geram Sambi Wulung.
Ki Wirit memang tidak dapat membantah. Iapun kemudian melangkah mendekati arena pertempuran antara Ki Demang dan tiga orang kawannya, melawan Jati Wulung dan Puguh.
Sekilas Ki Wirit yang memiliki ilmu yang tinggi itu melihat bahwa ternyata anak muda di antara ketiga orang yang tidak dikenalnya itu nampak paling lemah. Tetapi Ki Wirit menganggap bahwa anak muda itu sedang sakit sebagaimana dikatakan oleh Ki Prajak.
"Lihat," berkata Sambi Wulung, "apakah kira-kira demangmu itu benar-benar akan dapat membunuh?"
Belum lagi mulut Sambi Wulung terkatup, ujung pedang Jati Wulung telah tergores pada salah seorang pengikut Ki Demang itu.
"Setan," geram Ki Wirit.
"Mengumpatlah sekali lagi jika kau ingin aku menyakitimu," desis Sambi Wulung.
Jantung Ki Wirit bagaikan bergejolak. Tetapi kemarahan Sambi Wulungpun telah sampai ke ubun-ubun. Karena itu, ketika di luar sadarnya Ki Wirit itu mengumpat sekali lagi, maka telapak tangan Sambi Wulung telah menggenggam lengan Ki Wirit.
Terdengar Ki Wirit mengaduh kesakitan. Ketika Sambi Wulung melepaskan tangannya, maka di lengan Ki Wirit itu membekas bagaikan luka bakar. Baju Ki Wiritpun seakan-akan telah terbakar pula di arah sentuhan telapak tangan Sambi Wulung.
Ki Wirit terkejut mengalami keadaan itu. Namun dengan demikian sebenarnyalah lawannya itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia bukan saja akan mampu mengalahkannya. Tetapi jika dikehendaki, maka ia akan dapat menghancurkannya menjadi debu.
Ki Wirit benar-benar menyesali kebodohannya. Kenapa ia tidak melihat kemungkinan yang terjadi itu. Ia tidak segera mampu menilai tingkat ilmu lawannya yang sebenarnya.
Karena itu, maka iapun menjadi berdebar-debar melihat Ki Demang dan kawan-kawannya. Meskipun lawan Ki Demang itu masih belum menunjukkan kemampuan ilmunya, namun Ki Wiritpun meyakini bahwa orang yang bertempur melawan Ki Demang dan kawan-kawannya itupun akan mampu berbuat sebagaimana lawannya.
Tetapi Ki Wirit tidak sempat memperhatikan terlalu lama pertempuran itu. Ketika ia melihat, bahwa keadaan Ki Demang dan kawan-kawannya menjadi semakin sulit, maka Sambi Wulung telah menggamitnya.
"Kemarilah," berkata Sambi Wulung.
Ki Wirit tidak dapat membantah. Ia menyadari dengan siapa ia berhadapan.
"Ki Wirit," berkata Sambi Wulung ketika mereka sudah mengambil jarak dari arena pertempuran. Lalu katanya selanjutnya, "Kau tahu, bahwa kawan-kawanmu itu sebentar lagi akan mati. Jadi yang akan mati bukan saudaraku dan kemenakanku."
Ki Wirit termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab. Meskipun jantungnya bagaikan akan meledak oleh umpatan, tetapi ia harus menahan diri jika ia tidak ingin kulitnya terbakar lagi. Jika telapak tangan itu melekat di wajahnya, maka ia akan sangat mengalami kesakitan. Bahkan cacat.
Dalam pada itu, Sambi Wulungpun telah berkata pula, "Ki Wirit, sebelum saudara dan kemenakanku selesai, maka aku harus sudah menjatuhkan hukumanmu."
Wajah Ki Wirit tiba-tiba menjadi pucat.
"Jika aku menunggu mereka, maka kau akan dapat mengalami kesulitan yang tidak akan dapat kau derita menjelang matimu. Karena itu, aku ingin menolongmu," berkata Sambi Wulung.
"Kau akan membunuhku?" bertanya Ki Wirit. Seorang yang untuk beberapa lama mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas di Kademangan itu.
"Sudah aku katakan, bahwa orang seperti kau ini tidak akan dapat sembuh lagi. Penyakitmu telah menjadi terlalu parah," jawab Sambi Wulung.
Adalah di luar dugaan, bahwa Ki Wirit, yang berilmu tinggi itu tiba-tiba berkata dengan suara memelas, "Aku minta ampun Ki Sanak. Aku berjanji untuk tidak melakukannya lagi."
"Sudah aku katakan, bahwa janjimu sama artinya dengan seekor serigala yang berselimut bulu domba. Jika aku melihat mangsa yang mampu menitikkan air liurmu, maka kau tentu akan menerkamnya sebagaimana laku seekor serigala. Dengan demikian maka kau akan menjadi lebih berbahaya lagi."
"Tidak Ki Sanak. Aku bersumpah demi Yang Maha Agung," berkata Ki Wirit.
"Apakah kau masih percaya kepada Yang Maha Agung?" bertanya Sambi Wulung.
"Tentu. Aku adalah anak manusia yang dititahkan oleh Yang Maha Agung itu," jawab Ki Wirit.
"Ki Wirit. Kita sudah sama-sama tua. Karena itu, kau tidak dapat membohongi aku. Jika kau memang percaya kepada Yang Maha Agung, kau tidak akan berbuat sebagaimana kau lakukan. Kau telah mengatakan sendiri, bahwa hulu luwukmu itu telah kau lekati rambut orang-orang yang pernah kau bunuh. Bahkan seratus orang. Nah, apakah orang yang percaya kepada Yang Maha Agung itu akan dengan mudah membunuh orang?" bertanya Sambi Wulung.
"Dan bagaimana dengan kau?" Ki Wirit itu justru bertanya.
"Kedudukanku lain. Aku membunuh justru bagi ketenangan dan ketenteraman hidup manusia. Membebaskan sesama dari cengkraman ketakutan karena polah tingkahmu. Jika sampai hari ini kau telah membunuh seratus, maka jika kau masih tetap hidup, maka kematian itu akan bertambah seratus lagi. Nah, bukankah aku telah menyelamatkan sembilanpuluh sembilan nyawa dibanding dengan nyawamu yang hanya satu?" geram Sambi Wulung.
Wajah Ki Wirit memang menjadi semakin pucat. Ia sama sekali tidak mengira bahwa saat kematiannya akan datang begitu cepat. Ketika ia mendapat laporan dari Ki Prajak tentang tiga orang yang dengan sombong telah berani mempergunakan tempat yang disediakan baginya dan yang memang sering dipergunakan untuk memancing pertentangan itu, ia mengira, bahwa ia akan dapat membunuh lagi. Dengan demikian ia akan dapat semakin meningkatkan wibawanya di Kademangan itu. Bahkan jika yang dibunuh termasuk orang yang mempunyai bekal yang cukup banyak, maka bekal itu akan berarti pula baginya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sementara itu, Jati Wulung yang memang tidak ingin menunjukkan kemampuannya yang berlebihan di hadapan Puguh, tidak mempergunakan ilmunya yang lain kecuali ilmu kanuragan serta tenaga cadangannya.
Namun dengan demikian, Ki Demang dan ketiga orang kawannya sudah terlalu banyak mengalami kesulitan. Sementara itu, Puguh memang telah memaksa diri untuk menyembunyikan kelemahannya. Tetapi dalam banyak hal Jati Wulung telah banyak memberi kesempatan kepada Puguh untuk menghemat tenaganya.
Bahkan kemudian, satu demi satu lawan-lawan Jati Wulung itupun telah terluka. Bukan hanya segores kecil. Tetapi dua bahkan tiga atau empat luka yang menganga.
Dengan demikian maka Ki Demang dan tiga orang kawannya itu semakin lama menjadi semakin lemah. Puguh yang lemah itu ternyata masih memiliki kemampuan untuk sekedar melindungi dirinya sendiri. Tanpa banyak membuang tenaga, ia menghindari serangan-serangan yang datang dengan tergesa-gesa, karena Jati Wulung telah bergerak seperti seekor elang yang terbang menyambar-nyambar, sehingga lawan-lawannya tidak mempunyai banyak kesempatan.
Sementara itu Sambi Wulungpun berkata kepada Ki Wirit yang pucat, "Saatnya telah tiba. Kau harus mati lebih dahulu dari Ki Demang dan kawan-kawannya."
Ki Wirit menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia masih juga memohon, "Apakah kau tidak dapat mengampuni aku. Aku bersumpah bahwa aku tidak akan melakukannya lagi."
Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Kau memang harus mati. Kau tidak boleh melakukan pembunuhan-pembunuhan lagi. Jika aku mengampunimu, maka yang masih tetap hidup kemudian harus orang lain. Bukan Ki Wirit."
"Aku tidak tahu maksudmu," desis Ki Wirit. Sambi Wulungpun kemudian mendekati Ki Wirit sambil berkata, "Kau dalam keadaanmu yang lain masih akan tetap hidup. Tetapi Ki Wirit harus mati."
Ki Wirit memang menjadi bingung. Namun Sambi Wulung tidak mempunyai banyak kesempatan. Selagi Puguh masih berusaha melindungi dirinya sendiri, maka ia harus melakukannya, agar Puguh tidak melihat kemampuannya. Jika Puguh sempat mengetahui ilmunya yang sangat tinggi, maka ia tentu akan menjadi semakin curiga kepadanya atau bahkan seandainya ia sempat mendapat kepercayaannya, maka orang-orang di sekitar Puguhlah yang akan menaruh kecurigaan itu.
Karena itu, selagi Puguh masih bertempur, Sambi Wulung bertanya kepada Ki Wirit, "Aku ingin keputusanmu. Apakah kau benar-benar ingin tetap hidup dalam keadaan yang baru atau kau ingin mati bersama sifat dan watak jahatmu."
"Aku tidak mengerti," sahut Ki Wirit.
"Kau boleh tetap hidup, tetapi tanpa ilmu sebagaimana kau miliki sekarang," berkata Sambi Wulung, "tetapi jika kau menolak, maka kau benar-benar akan mati."
Wajah pucat Ki Wirit menjadi semakin pucat. Dengan bibir yang bergetar ia berdesis, "Jangan."
"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Hanya ada dua kemungkinan itu. Hidup tanpa ilmu yang selama ini kau salah gunakan, atau mati dalam arti sebenarnya," geram Sambi Wulung.
Ki Wirit benar-benar tidak berdaya. Kemungkinan yang dihadapkan kepadanya sama-sama pahit baginya. Namun ternyata nalurinya untuk bertahan hidup lebih kuat daripada harga dirinya. Karena itu, maka katanya, "Jangan bunuh aku."
"Baik," berkata Sambi Wulung, "duduklah."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Wirit.
"Duduklah. Jangan bertanya lagi. Waktuku sudah menjadi terlalu sempit. Sebentar lagi, pertempuran itu akan selesai," geram Sambi Wulung.
Ki Wirit tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian duduk di atas tanah. Namun sebagai seorang yang berilmu, maka dengan putus asa ia menunggu apa yang akan terjadi atasnya.
Sudah diduga oleh Ki Wirit, bahwa Sambi Wulungpun kemudian telah duduk di belakangnya. Kedua tangannya telah melekat di punggungnya.
Beberapa orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran. Mereka tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Sambi Wulung atas Ki Wirit yang selama ini ditakuti oleh orang-orang se Kademangan, bahkan orang-orang di Kademangan tetangga.
Jati Wulung sempat menyaksikan apa yang dilakukan oleh Sambi Wulung. Tetapi ia justru telah berusaha agar Puguh tidak memperhatikannya. Ia telah melonggarkan tekanannya kepada lawan-lawannya, sehingga dengan demikian perhatian Puguh memang harus terpusat kepada lawannya yang terasa lebih berat menekannya. Dengan demikian maka Puguh memang tidak begitu sempat memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sambi Wulung. meskipun sekilas ia telah sempat melihat pula.
Sementara itu, Ki Wirit yang telah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sambi Wulung hanya sempal mengeluh di dalam hati. Iapun sadar, bahwa petualangannya telah berakhir sampai saat itu, saat ia bertemu dengan orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sejenak kemudian terasa getaran dari telapak tangan Sambi Wulung bagaikan merambat ke dalam tubuhnya. Getaran yang semakin lama menjadi semakin kuat. Bahkan kemudian getaran itu seakan-akan telah mengaduk isi dadanya.
Ki Wirit merasakan, nafasnya menjadi sesak. Rasa-rasanya dadanya menjadi panas. Bahkan kemudian darah di jantungnya menjadi bagaikan mendidih. Perasaan sakit yang sangat telah mencengkam, sehingga pada satu saat, dadanya bagaikan telah meledak.
Ki Wiritpun kemudian menjadi sangat lemah. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, sementara Sambi Wulung telah melepaskan tangannya yang melekat di punggung lawannya itu.
Ki Wirit tidak mampu bertahan ketika darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Namun yang kemudian telah diusapnya dengan kain panjangnya.
"Ki Wirit," desis Sambi Wulung, "kau sadar apa yang terjadi atas dirimu."
Ki Wirit yang masih duduk itu mengangguk.
"Hanya dengan demikian kau membuktikan kesungguhan sumpahmu, bahwa kau tidak akan membunuh lagi," berkata Sambi Wulung.
Sekali lagi Ki Wirit mengangguk.
"Sekarang berdirilah. Kau akan tetap hidup dalam keadaan yang lain dari hidupmu yang lewat. Kau harus menyesuaikan dirimu dan bertingkah laku sebagaimana keadaanmu sekarang," berkata Sambi Wulung.
Betapa lemahnya tubuh Ki Wirit, namun iapun kemudian berusaha untuk bangkit berdiri. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi lemah dan tidak berdaya.
"Aku telah kehilangan ilmuku," berkata Ki Wirit.
"Ya. Kau tidak akan mungkin membangunkannya kembali sebagaimana pernah kau miliki. Seandainya kau akan mencobanya lagi, maka dukungan kewadaganmu tidak akan memungkinkan lagi," berkata Sambi Wulung.
Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku harus meninggalkan tempat ini. Aku akan benar-benar menjadi pengembara dan peminta-minta."
"Kau tidak mempunyai landasan hidup" Maksudku tempat tinggal atau semacam itu?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku akan kembali kepada keluargaku yang aku tinggalkan untuk menuruti kesenangan hatiku selama ini. Aku mempunyai seorang isteri dan beberapa orang anak yang aku lupakan untuk waktu yang lama. Mudah-mudahan mereka mau menerima aku kembali dalam keadaan seperti ini," desis Ki Wirit.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ada perasaan iba di dalam hatinya. Tetapi jika orang itu masih memiliki kemampuan, ia tentu masih akan kambuh lagi dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah.
Dalam pada itu, Jati Wulungpun telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran itu. Ki Demang benar-benar sudah tidak berdaya, sementara ketiga orang kawannya telah terluka.
Dengan nada keras Jati Wulungpun kemudian berkata lantang, "He, apakah kalian masih akan bertempur terus" Lihat, orang yang kau banggakan telah menyerah."
Ki Demang memang sempat menyaksikan Ki Wirit itu berdiri tegak di hadapan Sambi Wulung yang justru mendorong Ki Wirit mendekati arena pertempuran.
"Katakan kepada mereka, agar mereka menyerah saja," desis Sambi Wulung.
Ki Wirit bergerak beberapa langkah maju dengan lemah. Kemudian katanya dengan nada rendah, "Ki Demang. Sudahlah. Aku memang sudah menyerah."
Ki Demang mendengar suara Ki Wirit itu. Iapun tidak mempunyai pilihan lain. Iapun ternyata telah tergores pedang Jati Wulung pula sebagaimana kawan-kawannya yang lain, termasuk Ki Prajak.
Karena itu, maka Ki Demangpun telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk menghentikan pertempuran.
"Lepaskan senjata kalian," geram Jati Wulung.
Ki Demang dan ketiga orang kawannya itupun telah melepaskan senjata mereka.
Namun dalam pada itu, Puguh yang lemah itu nampaknya menjadi sangat letih. Karena itu, maka Jati Wulung yang telah menyarungkan pedangnya itupun telah mendekatinya, membantu Puguh menyarungkan pedangnya pula. Dengan nada tinggi Jati Wulung itupun kemudian berkata, "Anakku sedang sakit. Kalian telah memaksanya untuk mengerahkan tenaga. Karena itu. maka jika terjadi sesuatu atas anakku, kalian semuanya harus mati."
Wajah Ki Demang dan kawan-kawannya menjadi pucat. Sementara itu Sambi Wulung berkata, "Nah, Ki Demang. Apakah permainan buruk seperti ini masih akan kalian lakukan untuk seterusnya?"
Ki Demang menundukkan kepalanya. Ketika sekilas ia memandang wajah Ki Wirit, maka Ki Wiritpun telah menunduk pula.
"Jawablah Ki Demang. Kaulah Demang disini. Bukan Ki Wirit. Sejak hari ini, Ki Wirit telah menyatakan untuk tidak akan mencampuri persoalan dan tugas-tugasmu lagi. Karena itu segala sesuatunya tergantung kepadamu," berkata Sambi Wulung.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku akan berbicara dengan Ki Wirit."
"Lakukanlah," berkata Sambi Wulung, "terserah apa yang akan kalian putuskan. Aku akan meninggalkan tempat ini, karena aku memang sedang dalam perjalanan jauh bersama adik dan kemenakanku yang sakit itu. Tetapi ingat, pada saat yang lain, jika kemenakanku itu sudah sembuh, maka aku akan kembali ke tempat ini. Aku akan berbicara dengan orang-orang Kademangan ini. Jika aku masih menjumpai pemerintahan yang timpang, maka aku tidak akan mengambil tindakan sendiri. Tetapi aku akan melaporkannya kepada para pemimpin di Pajang. Jika kalian tahu bahwa sepasukan prajurit telah menghancurkan Song Lawa, maka sepasukan prajurit akan dapat merombak cara pemerintahan disini."
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Sambi Wulung berkata selanjutnya, "Bicarakan segera. Kami akan melanjutkan perjalanan kami yang terhenti."
Ki Demang termangu-mangu. Apakah benar hanya begitu saja mereka akan meninggalkan Kademangan itu setelah terjadi pertempuran" Apakah mereka tidak akan memanfaatkan kemenangan mereka untuk kepentingan apapun"
Di saat Ki Demang termangu-mangu, maka Ki Wirit-lah yang bertanya, "Apakah kalian tidak akan singgah di Kademangan ini?"
Sambi Wulunglah yang menjawab, "Tidak. Aku tidak akan singgah. Aku sudah kehilangan banyak waktu."
"Tetapi kemenakanmu sakit," berkata Ki Wirit pula.
"Ia tidak apa-apa. Jika ia mengalami kesulitan, maka kalianlah yang harus bertanggung jawab," jawab Sambi Wulung.
Ki Wirit tidak mempersilahkannya lagi. Namun sebenarnyalah bahwa ia juga merasa heran, bahwa ketiga orang itu begitu saja meninggalkan mereka. Ki Demang yang semula mengira akan menerima pembalasan yang pahit, ternyata tidak sama sekali. Orang-orang itu pergi begitu saja setelah perkelahian itu selesai dan mereka menangkan.
"Mereka akan dapat berbuat apa saja yang mereka kehendaki atas kami. Bahkan membunuh sekalipun," desis Ki Demang di dalam hatinya.
Tetapi sebenarnyalah ketiga orang itupun telah minta diri untuk meneruskan perjalanan.
Ki Demang dan kawan-kawannya termangu-mangu. Namun kemudian merekapun mulai memperhatikan luka-luka mereka yang pedih. Beberapa goresan luka telah mengoyak kulit mereka. Namun luka-luka itu nampaknya tidak berbahaya bagi keselamatan jiwa mereka.
Selagi mereka termangu-mangu, maka Ki Wiritpun telah melangkah untuk mengambil luwuknya yang tergolek di tanah. Kemudian dengan suara yang parau Ki Wirit itu berkata, "Ki Demang. Akupun ingin minta diri. Tidak pantas aku tetap berada disini dan membayangi kuasa Ki Demang. Aku memang tidak berhak berbuat seperti itu. Karena itu, maka biarlah aku meninggalkan Kademangan ini. Kemudian aku mohon, Ki Demang dapat memerintah Kademangan ini dengan sebaik-baiknya sebagaimana saat-saat aku belum datang di Kademangan ini. Selama ini aku sudah mengacaukan pemerintahan Ki Demang. Karena itu aku minta maaf. Sebagai kenang-kenangan kehadiranku yang sangat merugikan di Kademangan ini, aku akan menyerahkan senjata pusakaku ini. Biarlah Ki Demang menyimpannya, agar setiap kali Ki Demang akan dapat mengingat bencana yang pernah menimpa Kademangan ini."
Ki Demang memang menjadi bingung. Ia tidak mengerti kenapa hal itu dilakukan oleh Ki Wirit. Ki Demang tidak tahu, bahwa Ki Wirit bukan lagi Ki Wirit yang tadi datang bersamanya ke simpang empat itu untuk mencegat orang-orang yang dianggapnya terlalu sombong.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" bertanya Ki Demang.
"Tidak apa-apa," jawab Ki Wirit, "sikap ketiga orang itu telah membuka hatiku. Aku tidak pantas untuk melakukan pemerasan untuk seterusnya."
"Tetapi Ki Wirit masih mempunyai barang-barang berharga di Kademangan."
Tetapi Ki Wirit menggeleng. Katanya, "Aku sudah tidak memerlukannya lagi. Jika kau kenal pemiliknya, kembalikan kepadanya."
Ki Demang menjadi semakin heran. Apalagi ketika pusaka Ki Wirit itupun telah diberikannya kepadanya pula.
Tetapi Ki Demang yang kebingungan itu tidak sempal mendapat banyak penjelasan. Ki Wiritpun kemudian melangkah pergi sambil berkata, "Aku minta diri."
"Sekarang?" bertanya Ki Demang keheranan.
"Ya. Sekarang," jawab Ki Wirit, "semakin cepat semakin baik bagi Ki Demang dan bagi Kademangan ini."
Ki Demang memang tidak mendapat kesempatan untuk mencegah ketika Ki Wirit kemudian berjalan dengan langkah yang berat. Tubuhnya nampak begitu letih dan bahkan keseimbangannya seakan-akan tidak utuh lagi. Namun Ki Wirit itu berjalan terus tanpa berpaling lagi.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Wirit," desis Ki Demang, "peristiwa ini benar-benar membuat aku menjadi pening. Sulit untuk dipercaya bahwa apa yang kita alami ini memang sebenarnyalah seperti yang kita lihat sekarang ini. Bukan sekedar sebuah mimpi atau sebuah angan-angan yang hampa."
"Mereka memang telah pergi Ki Demang," desis Ki Prajak sambil berdesis menahan pedih.
"Kenapa Ki Wiritpun ikut pula meninggalkan tempat ini. Apalagi ia telah meninggalkan barang-barangnya yang berharga, seakan-akan begitu saja dilupakan setelah ia bekerja keras untuk memilikinya dengan segala macam cara," berkata Ki Demang.
"Agaknya ia telah membawa bekal uang yang cukup," desis Ki Prajak.
"Ia memang membawa uang," sahut Ki Demang, "tetapi seberapa uang yang dapat dibawa di kantongnya itu."
*** JILID 10 "JIKA ia kehabisan uang, aku kira ia akan kembali," berkata Ki Prajak.
"Tidak. Ia tidak akan kembali. Ia justru telah menyerahkan pusakanya kepadaku. Sikapnya terlalu aneh. Aku belum pernah melihat matanya nampak demikian cekung seperti saat ini. Seakan-akan di hatinya telah dibebani perasaan yang hampir tidak tertanggungkan. Ia pergi dengan penuh rahasia di dalam dirinya," berkata Ki Demang.
"Keanehan yang beruntun," desis Ki Prajak, "sikap ketiga orang yang begitu saja pergi itupun aneh bagiku, meskipun ia telah mengancam untuk kembali menilai kebenaran yang terjadi disini sesuai dengan pesannya."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Jika benar-benar yang kita alami ini bukan sekedar angan-angan, maka kita memang harus mulai lagi dari permulaan."
"Apa maksud Ki Demang?" bertanya Ki Prajak.
"Jika benar Ki Wirit meninggalkan Kademangan ini maka kita harus mulai lagi menyusun pemerintahan yang wajar sebagaimana kita lakukan sebelumnya. Apalagi jika ketiga orang itu pada satu saat benar-benar akan melihat Kademangan ini. Maka semuanya harus sudah tersusun baik," berkata Ki Demang yang kemudian telah mengajak Ki Prajak dan dua orang kawannya kembali ke Kademangan.
Dalam pada itu, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh telah melanjutkan perjalanan mereka. Puguh yang telah memaksa diri untuk mengerahkan tenaganya, memang nampak menjadi sangat letih. Bahkan rasa-rasanya untuk melangkahkan kakinya, tenaganya sudah tidak mampu lagi.
"Apakah kita harus beristirahat lagi," desis Sambi Wulung.
"Agaknya memang demikian," berkata Jati Wulung, "di bawah pohon yang rindang itu, kita akan dapat berteduh. Matahari memang menjadi semakin panas menyengat kulit."
Mereka bertigapun kemudian telah berhenti di bawah sebatang pohon yang rindang. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan apapun lagi di sekitar mereka. Bahkan ada juga orang yang menjadi ragu-ragu untuk lewat. Apalagi mereka yang melihat perkelahian disimpang empat.
Namun karena ketiga orang itu agaknya tidak menghiraukan orang-orang yang lalu lalang, maka mereka yang akan lewatpun telah lewat pula, meskipun tanpa berani berpaling ke arah mereka.
"Gantar memang masih agak jauh," berkata Puguh.
"Bukankah kita tidak tergesa-gesa. Seandainya Song Lawa itu tidak dihancurkan oleh sepasukan prajurit, maka kita tentu masih berada di tempat itu," sahut Jati Wulung.
Puguh mengangguk-angguk. Katanya, "Ya kita memang tidak tergesa-gesa."
"Nah, jika demikian berbaringlah. Mungkin dengan demikian, kau akan mendapatkan tenaga baru," berkata Jati Wulung.
Puguh memang tidak berbaring sebagaimana dikatakan oleh Jati Wulung. Tetapi ia duduk sambil bersandar pokok kayu yang rindang itu. Sementara angin yang sejuk mengusap wajah mereka yang semula terasa panas oleh sengatan matahari, gejolak di dalam hati serta kegelisahan yang menghentak-hentak di jantung.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mengusiknya ketika Puguh kemudian tertidur oleh keletihan. Namun keduanya berharap bahwa dengan demikian keadaan anak muda itu akan berangsur baik, sehingga mereka akan dapat melanjutkan perjalanan menuju ke Gantar. Sebuah Kademangan yang agaknya sudah dekat dengan tempat tinggal Puguh atau tempat-tempat yang sering dikunjunginya. Sehingga dengan demikian maka perjalanan mereka selama itu tidak sia-sia.
Ternyata Puguh memang merasa tubuhnya lebih segar ketika ia kemudian terbangun. Kesempatan beristirahat yang tidak terlalu lama itu cukup berarti baginya.
Setelah mencuci muka di sebuah parit yang berair bening, maka merekapun telah membenahi pakaian mereka. Sejenak kemudian, maka merekapun telah melanjutkan perjalanan, menuju ke Gantar.
Namun di perjalanan itu, Puguh masih juga nampak ragu-ragu. Beberapa kali ia mengatakan, bahwa sebaiknya ia pulang sendiri.
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung ketika sekali lagi Puguh mengatakannya.
"Jika perjalanan kita sudah mendekati Gantar, maka aku akan dapat menempuh sisa perjalanan itu sendiri. Aku tidak ingin kalian mengikuti aku sampai ke rumahku dan bertemu dengan orang tuaku," berkata Puguh.
"Apa salahnya jika aku mengantarmu pulang" Bukankah kau rasakan sendiri perjalanan ini" Banyak gangguan dapat terjadi. Sementara itu kau telah kehilangan para pengawalmu. Meskipun kau telah sampai di luar regol rumahmu sekalipun, dapat saja terjadi sesuatu yang tidak kau inginkan atasmu dalam keadaanmu seperti itu. Memang berbeda jika kau dalam keadaan sehat. Kau akan dapat mengatasi beberapa kesulitan ringan sendiri. Tetapi dalam keadaan seperti itu, maka kau menjadi terlalu lemah," berkata Sambi Wulung.
Wajah Puguh nampak berkerut. Tetapi tiba-tiba saja anak muda itu berdesis, "Kalian tentu akan berusaha bertemu dengan orang tuaku."
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi termangu-mangu. Apakah anak muda itu telah mendapat firasat bahwa keduanya mempunyai niat-niat tertentu atas dirinya"
Sementara itu Puguhpun berkata selanjutnya, "Kalian tentu akan mengatakan kepada mereka, bahwa aku berada di Song Lawa. Kalian tentu akan mengatakan bahwa aku masih terlalu muda untuk berada di tempat perjudian seperti itu. Dan kau tentu akan menggurui orang tuaku agar mereka melarang aku dan menuntun agar aku menempuh jalan kehidupan yang lebih baik dari kehidupanku sekarang ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata keengganan Puguh atas kehadiran mereka di rumahnya bukan karena anak itu mencurigai mereka dengan maksud-maksud mereka mengenali tempat tinggalnya. Tetapi justru karena alasan yang lain.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun menyahut, "Puguh. Sebenarnyalah ada niatku untuk mengatakannya kepada orang tuamu. Sebenarnya aku merasa berkeberatan terhadap kehadiran beberapa orang anak muda di Song Lawa termasuk kau sendiri. Bahkan jika kau ternyata dapat menunjukkan rumah anak-anak muda yang lain betapapun jauhnya, aku akan mendatangi rumah mereka dan bertemu dengan orang tua mereka."
"Aku berkeberatan sekali," jawab Puguh tegas, "karena itu maka aku ingin pulang sendiri meskipun aku telah kehilangan para pengawalku."
"Kenapa kau berkeberatan" Apakah kau benar-benar tidak ingin merubah jalan hidupmu?" bertanya Jati Wulung.
Puguh menundukkan kepalanya. Berbagai macam pikiran bergelut di kepalanya. Tetapi yang kemudian dikatakannya adalah, "Sebaiknya kalian tidak perlu mencampuri persoalan pribadiku. Aku berterima kasih atas pertolongan kalian terhadapku. Tetapi aku minta bahwa kalian tidak berniat untuk memasuki tata cara hidup keluargaku dan pribadiku lebih dalam lagi. Biarlah kami menempuh jalan kehidupan kami sesuai dengan keadaan dan keinginan kami."
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Sementara itu bayangan senja mulai nampak di ujung-ujung pepohonan. Kemerah-merahan, sedangkan langit menjadi semakin buram.
Dalam pada itu Sambi Wulung dan Jati Wulung seakan-akan melihat, bahwa kehidupan Puguh memang bukan kehidupan yang wajar. Keluarganya bukannya keluarga sebagaimana kebanyakan keluarga yang hidup sesuai dengan batasannya.
Sebenarnyalah Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mengetahuinya, bahwa orang tua Puguh adalah orang yang telah kehilangan jalur jalan kehidupan wajarnya.
Baru beberapa saat kemudian Sambi Wulung berkata, "Puguh. Kami minta maaf, bahwa kami terlalu banyak mencampuri batas-batas kehidupan pribadimu. Tetapi semuanya itu terdorong oleh satu keinginan untuk menebus kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan. Setelah aku menjadi tua, demikian pula adikku itu, barulah kami merasa bahwa hidup kami sama sekali tidak berarti. Kami terlempar dalam kehidupan yang sangat buruk sejak kami masih terlalu muda. Akhirnya kami kehilangan pegangan dan hidup di dunia yang kelam. Yang paling menyiksaku adalah, bahwa pada suatu saat aku telah menghukum anakku sendiri karena tingkah lakunya yang aku anggap salah, sehingga anakku itu mati. Ibunyapun kemudian membunuh diri karena ia tidak tahan lagi hidup bersamaku." Sambi Wulung berhenti sejenak, lalu, "Ternyata peristiwa itu telah membuka mata hatiku. Aku berusaha untuk menemukan keseimbangan dalam hidupku dengan sisa-sisa keadaanku yang buruk itu. Kini aku hidup dalam dua bayangan. Bayangan hidupku yang lama, dan keinginan untuk memberikan arti di sisa hidupku ini. Karena itu, aku menaruh banyak sekali perhatian terhadap anak-anak muda di tempat-tempat perjudian seperti Song Lawa itu."
Puguh termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sambi Wulung dan Jati Wulung berganti-ganti. Dilihatnya betapa penyesalan yang sangat dalam pada mata Sambi Wulung.
Dengan nada rendah Puguh itupun berkata, "Kenapa perhatianmu tertuju kepada anak-anak muda?"
"Puguh," berkata Sambi Wulung, "jika anakku masih hidup, maka ia tentu sudah sebesar kau ini. Atau barangkali sedikit lebih tua. Aku memang merindukan seorang anak. Tetapi dengan satu sikap, bahwa seandainya anak itu ada padaku, maka ia tidak boleh menirukan tingkah laku orang tuanya. Ia harus menjadi seorang yang berarti di dalam hidupnya,"
"Apakah yang kau maksudkan berarti di dalam hidup seseorang itu?" bertanya Puguh.
"Hidup seseorang baru berarti jika ia menjalani kehidupan ini dengan pegangan cinta kasih. Cinta kasih kepada Sumber Hidupnya, dan cinta kasih kepada sesama," jawab Sambi Wulung.
"Dari mana aku tahu akan hai itu, jika hidupmu sebelumnya selalu berada di dalam kekelaman yang sangat dalam?" bertanya Puguh, "bahkan kau telah membunuh anakmu sendiri."
"Justru setelah hal itu terjadi," berkata Sambi Wulung, "mungkin yang Maha Agung memang menghendakinya ketika aku tersesat ke dalam rumah seorang tua yang bijaksana. Yang menurut penilaian lahiriah adalah orang yang sangat lemah, tetapi ternyata orang itu memiliki kemampuan jauh di atas kemampuanku."
Puguh termangu-mangu. Tetapi ternyata kata-kata Sambi Wulung itu diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Pada langkah-langkahnya yang berikut, di saat-saat gelap malam mulai membayangi perjalanan mereka, Puguh berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Bertiga mereka berhenti di pinggir sebuah sungai kecil. Puguh ternyata ingin turun sejenak untuk membersihkan dirinya. Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak berkeberatan meskipun keduanya tidak ingin menuruni tanggul.
Demikian Puguh melangkah, maka terdengar Sambi Wulung berpesan, "Berhati-hatilah. Mungkin tanggul licin."
Tetapi tanggul itu adalah tanggul yang rendah, sehingga Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak perlu menolongnya.
Ketika Puguh berada di sebelah tanggul dan benar-benar sedang membersihkan diri, maka Jati Wulungpun berdesis, "He, dari mana kau mendapat ceritera yang menarik itu."
"Sst," Sambi Wulung berdesis, "mudah-mudahan ceritera itu tidak sekedar lewat di benaknya. Jika ada sedikit saja yang tersangkut, maka mudah-mudahan mempunyai arti bagi anak itu."
"Ya. Ia tidak sebagaimana kami bayangkan sebelumnya," berkata Jati Wulung, "anak itu tidak terlalu liar dan bahkan buas sebagaimana kita duga. Tetapi ada kemungkinan-kemungkinan lain di dalam dirinya yang dapat dikembangkannya."
"Itulah sebabnya, aku mengarang sebuah ceritera yang mudah-mudahan dapat menyentuh perasaannya," sahut Sambi Wulung.
Tetapi Jati Wulung kemudian menunduk sambil berdesis, "Tetapi bagaimana dengan Risang" Apakah ia dapat mengerti seandainya kita mengatakan kepadanya, bahwa saudaranya seayah itu bukan seorang yang sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk hidup dengan wajar?"
"Persoalannya tidak terletak pada Risang. Tetapi kepada orang-orang di sekitarnya. Kepada Kiai Badra dan Kiai dan Nyai Soka kita dapat memberikan gambaran tentang anak yang bernama Puguh. Mungkin mereka dapat mengerti. Tetapi aku tidak tahu tanggapan ibunya. Nampaknya dua orang perempuan bekas isteri Ki Wiradana itu bagaikan minyak dengan air," sahut Jati Wulung.
"Itu dapat kita mengerti. Seorang dari mereka adalah perempuan yang rakus, sementara yang lain adalah seseorang yang merasa bertanggung jawab atas masa depan sebuah Tanah Perdikan dan yang pernah mengalami perlakuan bukan saja menyakitinya, tetapi hampir membunuhnya," jawab Sambi Wulung.
Namun mereka tidak dapat berbicara lebih panjang, karena Puguh telah melangkah mendekati tanggul. Ketika ia berusaha naik ke atas tanggul yang rendah, maka Sambi Wulung telah mengulurkan tangannya dan menariknya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku merasa menjadi lebih baik," jawab Puguh, "air yang dingin itu membuat tubuhku menjadi semakin segar. Aku akan dapat berjalan lagi semalam suntuk. Bahkan untuk mencapai Gantar, meskipun perlahan-lahan."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Tetapi Sambi Wulungpun berkata, "Jangan memaksa diri. Kita akan berjalan saja sejauh dapat kita capai. Jika kita merasa letih, maka kita akan beristirahat dimanapun juga. Ternyata kita tidak banyak mengalami kesulitan antuk mencari tempat bermalam."
Puguh mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita berjalan saja. Perlahan-lahan. Udarapun rasa-rasanya menjadi lebih segar setelah matahari terbenam."
Demikianlah, merekapun kemudian telah melanjutkan perjalanan. Puguh memang bertanya kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, apakah mereka tidak akan mencuci muka.
Tetapi sambil tertawa Jati Wulung menjawab, "Aku sudah terbiasa hidup tanpa air di tubuhku. Kecuali untuk minum."
"Pantas kau," desis Sambi Wulung, "wajahmu menjadi nampak kering seperti orang sakit-sakitan."
"Dan kau?" bertanya Jati Wulung.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut.
Demikianlah, maka ketiga orang itu telah melanjutkan perjalanan. Ternyata berjalan di malam hari bagi Puguh merasa lebih baik daripada berjalan di siang hari. Namun adalah wajar jika di malam hari mereka diganggu pula oleh perasaan bukan saja lelah, tetapi kantuk.
"Kita tidak perlu memaksa diri untuk berjalan semalam suntuk," berkata Sambi Wulung.
Puguh mengangguk. Iapun menyadari bahwa di malam hari sulit pula baginya untuk menemukan jalan yang akan langsung sampai ke Gantar. Baru kemudian dari Gantar mereka akan menuju kesatu tempat yang sebenarnya memang dirahasiakan. Tetapi jalan yang paling aman menuju ke sebuah padepokan kecil yang terpisah dari lingkungan hidup orang kebanyakan adalah lewat Gantar. Meskipun jalan menuju ke Gantar itu juga mendapat pengawasan ketat, namun jalan itulah satu-satunya jalan menuju ke padepokan itu yang dapat dilalui oleh orang lain dari penghuni padepokan itu meskipun harus melalui pengawasan yang berlapis. Itu pulalah sebabnya maka di antara orang-orang yang menjadi pengikut para penghuni padepokan itu tidak banyak mengenal langsung para pemimpinnya yang tertinggi.
Susunan yang seperti itulah sebenarnya yang menyulitkan bagi Puguh untuk menerima kehadiran kedua orang yang telah banyak menolongnya. Meskipun ia akan dapat membawanya sampai ke padepokannya lewat Gantar, namun apa yang akan terjadi setelah kedua orang itu sampai di padepokannya. Mungkin orang tuanya tidak akan menemuinya atau kebetulan tidak ada di tempat. Sementara gurunya juga jarang sekali berada di tempat itu. Sedangkan Puguh tidak akan dapat membawa kedua orang itu langsung ke satu tempat terpencil yang lebih dirahasiakan lagi. Bahkan bagi orang-orangnya sendiri tidak ada yang mengetahui tempat itu, selain satu dua orang terpercaya. Tempat gurunya menghabiskan hari-hari tuanya di tempat yang sepi dan jauh dari kesibukan duniawi.
Seandainya kedua orang itu bertemu dengan orang tuanya atau gurunya dan mengutarakan tentang jalan yang mereka anggap sesat bagi Puguh itu sendiri, maka Puguh tidak dapat membayangkan apakah akibat yang dapat terjadi atas kedua orang itu meskipun keduanya telah banyak menolongnya, bahkan dapat dianggap telah menyelamatkan jiwanya.
Demikianlah, semakin panjang mereka berjalan, hati Puguh menjadi semakin bingung. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia telah tertarik dan merasa sesuai berhubungan dengan kedua orang itu. Puguh menyadari, mungkin karena kedua orang itu telah menolongnya dan berbuat baik kepadanya. Namun justru karena itu, maka ia tidak ingin kedua orang itu mengalami kesulitan jika benar-benar ia dapat bertemu dengan orang tuanya dan memberikan pendapatnya yang tentu tidak akan sesuai dengan pendapat orang tuanya itu. Bahkan mungkin kedua orang itu akan mendapat kesulitan karenanya.
Dalam pada itu, maka Puguhpun kemudian telah mencoba untuk mengetahui jalan yang mereka lalui dengan saksama. Jika mereka mengambil jalan yang salah, maka akibatnya akan sangat parah bagi mereka. Mungkin akan terjadi salah paham dengan orang-orang yang mendapat tugas untuk menutup lingkungan dan arah menuju ke padepokan itu. Karena hanya jalan dari Gantar sajalah yang dapat dilalui oleh orang lain dengan hambatan yang paling kecil, karena orang-orang yang bertugas di jalan yang menuju ke padepokan itu lewat Gantar masih dibenarkan untuk berbicara dan bertanya kepada orang-orang yang lewat. Tetapi di jalan lain persoalannya akan lain.
Itulah sebabnya, ketika mereka menempuh perjalanan di jalan yang rasa-rasanya menjadi semakin sempit dan rumpil, maka Puguhpun berkata, "Kita berhenti sampai disini. Aku takut, bahwa jalan ini tidak akan sampai ke Gantar. Di siang hari, kita akan dapat melihat lebih baik, apakah kita tersesat atau tidak."
Sambi Wulung dan Jati Wulung sama sekali tidak berkeberatan. Merekapun kemudian mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat. Sebagai pengembara yang berpengalaman, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung sama sekali tidak merasa canggung berada di manapun. Namun keduanya memang menjadi heran, bahwa Puguh pun ternyata tidak pula merasa canggung untuk berada di tempat yang bagaimanapun. Dengan demikian maka keduanya mengambil kesimpulan bahwa Puguh memang telah mempunyai pengalaman yang luas.
"Jauh lebih banyak dari pengalaman Risang yang hampir selalu berada di padepokan kecil itu saja," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya. Sementara itu Jati Wulungpun berkata kepada diri sendiri, "Meskipun Risang selalu menempa diri, tetapi ia masih belum terbiasa untuk mengambil sikap menghadapi kesulitan-kesulitan yang dapat dihadapinya dimanapun juga."
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung sempat mengamati keadaan di sekitarnya. Mereka memang sudah berada di perbatasan antara tanah yang digarap dan padang perdu yang liar. Satu-satu telah mereka dapati pohon-pohon yang agak besar yang semakin jauh menjadi semakin banyak. Dalam keremangan malam, mereka melihat tidak terlalu jauh di hadapan mereka terdapat, sebuah hutan yang menebar.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun menyadari, bahwa mereka sebaiknya mengambil jalan lain untuk menuju ke Gantar. Meskipun langit bersih sehingga mereka sempat melihat bintang Gubug Penceng, sehingga mereka dapat mengerti arah, namun jalan yang mereka lalui itu bukan jalan yang baik untuk sampai ke Gantar.
Dengan demikian maka bagi mereka bertiga memang lebih baik berhenti dan beristirahat daripada menempuh perjalanan tetapi di keesokan harinya harus melangkah kembali karena jalan setapak yang mereka lalui ternyata tidak akan sampai ke tujuan.
Namun tiba-tiba saja Sambi Wulung dan Jati Wulung terkejut. Mereka tidak tahu ujung pangkalnya ketika Puguh tiba-tiba berkata, "Kita benar-benar salah jalan. Marilah, kita tinggalkan tempat ini."
Dengan kerut di kening Jati Wulung bertanya, "Bukankah kita akan beristirahat sampai esok menjelang dini hari" Apa salahnya kita beristirahat disini?"
"Sebaiknya kita bergeser. Aku yakin bahwa jalan ke Gantar tidak terlalu jauh dari tempat ini. Beberapa ratus tonggak saja ke arah Selatan," sahut Puguh.
"Ya, berapapun jaraknya jalan ke Gantar itu dari tempat ini, namun bukankah kita dapat menunda perjalanan ini sampai esok?" bertanya Sambi Wulung pula.
"Apakah kalian sudah terlalu letih sehingga tidak mungkin lagi bergerak?" bertanya Puguh.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berkata dengan nada rendah, "Apakah yang sebenarnya telah terjadi Puguh" Tentu bukan sekedar kita ingin berpindah tempat. Kau tentu melihat atau mengenali sesuatu yang memaksa kita berpindah dari tempat ini. Jika kau dapat meyakinkan kami, maka kami tidak akan berkeberatan untuk berpindah tempat sekarang."
Puguh termangu-mangu sejenak, namun dengan punah kebimbangan ia berkata, "Tempat ini bukan tempat yang baik untuk beristirahat."
"Kenapa?" desak Jati Wulung.
Puguh tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk ke sebuah pohon yang tidak terlalu besar di pinggir jalan kecil yang ditempuhnya itu. Pada batang pohon itu terdapat sebuah topeng kecil dari wajah yang menakutkan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengamati topeng itu dengan saksama. Dengan nada berat Sambi Wulung berkata, "Bagaimana kau sempat melihat topeng itu disini" Kami berdua sama sekali tidak melihatnya."
"Kalian berada di seberang lorong. Karena itu maka kalian tidak melihatnya," jawab Puguh, "adalah kebetulan aku melihatnya karena aku disini."
Tetapi Sambi Wulungpun kemudian bertanya meskipun di dalam hatinya telah tumbuh dugaan tentang topeng yang terdapat di pohon itu, "Tetapi kenapa kau begitu cemas melihat topeng kecil itu?"
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Ia memang agak kebingungan untuk menjawab. Baru setelah merenung sejenak ia menjawab, "Aku adalah seorang yang hidup di daerah ini. Meskipun jaraknya masih agak jauh, tetapi aku mengenali lingkungan ini dengan baik. Setiap orang Gantar dan sekitarnya tahu, bahwa topeng itu adalah pertanda bahwa lingkungan di sekitarnya adalah lingkungan yang tidak boleh diambah oleh pihak lain."
"Jadi topeng kecil itu menunjukkan satu ciri kekuasaan di daerah ini" Maksudku kekuasaan yang berdasarkan pada kekuatan semata-mata" Bukan kekuasaan karena hak?" bertanya Jati Wulung.
Puguh menjadi semakin bimbang untuk menjawab. Tetapi akhirnya iapun mengangguk. Katanya, "Ya. Begitulah menurut pengenalan orang-orang Gantar dan sekitarnya."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Sambi Wulungpun telah mempertajam pendengarannya. Tiba-tiba saja ia meloncat ke arah sebuah gerumbul tidak jauh di belakangnya sambil berkata, "Keluarlah Ki Sanak, Tidak pantas kita bermain sembunyi-sembunyian di saat tidak ada bulan. Barangkali kita juga sudah terlalu tua untuk bermain seperti itu."
Puguh menjadi tegang. Sementara Jati Wulung mendekatinya sambil berbisik, "Tidak hanya di belakang gerumbul itu. Di tempat lain aku juga melihat orang yang berlari sambil membungkuk-bungkuk ke belakang gerumbul di sebelah pohon yang agak besar itu."
Puguh mengangguk. Katanya, "Kita sudah terlambat untuk menghindari perkelahian."
"Kita tidak berbuat apa-apa," jawab Jati Wulung.
"Soalnya bukan berbuat atau tidak berbuat apa-apa. Lingkungan ini sama sekali tidak boleh dijamah oleh orang lain. Sadar atau tidak sadar," jawab Puguh.
"Kau tidak mengatakan sebelumnya, bahwa di sekitar Gantar terdapat tempat seperti ini," desis Jati Wulung.
"Aku kira kita masih cukup jauh dari tempat-tempat seperti ini. Aku memang agak bingung memilih jalan. Tetapi tiba-tiba saja kita sudah terperosok ke dalam lingkungan seperti ini," jawab Puguh.
"Jika demikian, apaboleh buat," berkata Jati Wulung, "kita tidak mempunyai pilihan lain jika mereka memaksa kita untuk bertempur."
Puguh tidak menjawab. Tetapi nampak kegelisahan yang sangat pada sikapnya, sehingga Jati Wulung dapat mengambil satu kesimpulan tersendiri tentang hubungan antara Puguh dan topeng kecil itu. Tetapi Jati Wulung tidak mengatakannya. Yang kemudian diucapkan adalah, "Hati-hatilah. Kita akan bertempur."
Puguh masih tetap diam. Sementara itu Sambi Wulung yang menghadapi sebuah gerumbul berkata selanjutnya, "Keluarlah, atau aku akan membakar gerumbul ini bersamamu."
Sejenak kemudian, maka seseorang telah meloncat dari balik gerumbul itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar berjambang lebat. Dalam kegelapan wajahnya tidak terlalu jelas untuk dikenali. Apalagi ketika Sambi Wulung yang berpandangan tajam itu melihat garis-garis yang sengaja digoreskan pada wajah itu yang agaknya dengan sengaja untuk mempersulit pengenalan seseorang atas mereka.
Yang kemudian berloncatan dari balik gerumbul bukannya hanya seorang. Namun kemudian ternyata beberapa orang yang lain. Empat orang.
"Berjongkok di hadapanku," terdengar orang itu menggeram, "orang yang sudah memasuki lingkungan ini harus mati. Karena itu, relakan aku memenggal lehermu."
"Tunggu Ki Sanak," berkata Sambi. Wulung, "kenapa daerah ini tidak boleh dijamah oleh orang lain kecuali kau dan gerombolanmu?"
"Yang berada disini harus mati," geram orang itu.
"Jika memang demikian, apaboleh buat. Kami tidak akan dapat merubah peraturan yang kalian buat. Tetapi kenapa" Tlatah ini tlatah dalam wewenang siapa?" bertanya Sambi Wulung.
Tetapi orang itu seakan-akan tidak, mendengar. Bahkan ia telah bertanya, "Satu kebaikan hati jika aku bertanya, siapa namamu agar kau mati dengan tenang karena kau tidak mati tanpa nama."
"Namaku Wanengbaya, dan itu adalah saudaraku Wanengpati. Anak muda itu adalah kemenakanku." Jawab Sambi Wulung.
Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya, "berjongkoklah. Tundukkan kepalamu agar kami mudah melakukan tugas kami. Jika kami tidak dapat memenggal lehermu sekali putus, mungkin kau akan menderita."
"Ki Sanak," berkata Sambi Wulung, "barangkali kau bersedia menyebutkan serba sedikit sebelum kau berniat benar-benar memenggal leherku, kenapa kalian berani menganggap lingkungan ini lingkungan kalian dan menganggap orang lain yang memasuki daerah ini bersalah."
"Kami berkuasa, disini," berkata orang itu, "kami dapat menentukan apa saja yang kami kehendaki."
"Jadi menurut pendapatmu, kekuasaan sejalan dengan kekuatan?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Kekuatan akan menentukan kekuasaan" He jika tanpa kekuatan, siapa yang dapat berkuasa" Ternyata kau terlalu bodoh sehingga tidak dapat mengetrapkan penalaran tentang kekuatan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Apakah kau kira seekor monyet dapat mengusir seekor harimau dari dalam hutan" Atau seekor ayam dapat mengatur kehidupan musang dalam kelompok di sarangnya?" jawab orang itu.
Misteri Pulau Neraka 3 Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown Backstreet 3
Namun Ki Prajak itu terbukti tidak dapat melawan orang yang baru dikenal pagi itu oleh seisi pasar.
Tetapi dalam pada itu, orang-orang di pasar itu masih harus memperhitungkan Ki Wirit dan Ki Demang. Merekapun adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi pula.
Untuk beberapa saat Jati Wulung berdiri tegak memandang Ki Prajak yang kebingungan. Dengan senyum di bibir Jati Wulung kemudian berkata, "Nah, apakah kau merasa menang atau kalah?"
Wajah Ki Prajak menjadi tegang. Sementara Jati Wulung berkata selanjutnya, "Jika kau merasa belum kalah, ambil golokmu. Tetapi ingat, aku hanya memberimu kesempatan satu kali. Jika kau ambil golokmu, maka kita akan benar-benar bertempur."
Ki Prajak sama sekali tidak menjawab. Ia menyadari, bahwa jika mereka benar-benar bertempur, maka ia tidak akan mampu melawannya. Bahkan mungkin orang yang tidak dikenal itu benar-benar akan membunuhnya.
Karena Ki Prajak tidak menjawab, maka Jati Wulungpun kemudian berkata, "Jika kau tidak mengambil golokmu, maka berarti kau mengaku kalah. Kau tidak akan menggangguku lagi."
Ki Prajak memang tidak beranjak dari tempatnya.
Sehingga dengan demikian maka Jati Wulungpun kemudian meninggalkannya kembali masuk ke dalam kedai.
Sambi Wulung dan Puguhpun telah kembali duduk pula bertiga di tempat yang disekat dengan rana itu. Bahkan hampir berteriak Jati Wulung itupun berkata, "He, mana pesanan kami?"
Pemilik kedai yang menyaksikan perkelahian itu pula memang menjadi ketakutan. Ketiga orang itu ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi menurut penglihatan mereka. Namun demikian pemilik kedai itupun masih tetap merasa cemas, bahwa Ki Wirit atau Ki Demang atau bahkan kedua-duanya akan datang. Jika timbul perselisihan, maka pertempuran yang akan datang tentu pertempuran yang sangat seru.
Tetapi pemilik kedai itu tidak dapat berbuat apa-apa. Seorang pelayanpun kemudian menghidangkan minuman hangat. Kemudian nasi yang masih hangat pula beserta lauk-pauknya.
Ternyata ketiga orang itu makan dan minum dengan tenangnya. Mereka sama sekali tidak merasa cemas akan apapun juga, meskipun mereka tahu bahwa kemungkinan yang lain dapat terjadi jika orang-orang yang merasa berhak atas tempat itu datang.
Seperti yang dikatakan oleh Jati Wulung dan Sambi Wulung, bahwa minuman dan makanan yang hangat telah membuat tubuh Puguh merasa lebih baik. Meskipun anak muda itu belum merasa sembuh benar, tetapi ia tidak lagi terlalu lemah.
Selain minum dan makan nasi hangat, maka merekapun masih minta dibungkuskan beberapa jenis makanan untuk bekal perjalanan mereka di jalan.
Agaknya sampai ketiga orang itu selesai makan dan minum, orang-orang yang merasa memiliki tempat khusus itu masih belum datang. Karena itu, maka pemilik kedai itu merasa lega ketika Sambi Wulung bertanya kepadanya, berapa ia harus membayar.
Seperti yang dijanjikan, maka Sambi Wulung telah membayar lebih banyak dari harga yang seharusnya sehingga pemilik kedai itu menjadi terheran-heran.
"Jadi Ki Sanak benar-benar membayar lebih?" bertanya pemilik kedai itu.
"Aku sudah menjanjikannya," jawab Sambi Wulung. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, "Atau kau menganggap justru kurang?"
"Tidak. Sama sekali tidak," jawab pemilik kedai itu, "tetapi tadi Ki Sanak sudah memberikan uang kepadaku."
Sambi Wulung menggeleng sambil berkata, "Bukan apa-apa. Aku mempunyai uang banyak. Mungkin orang lain dapat memerasmu atau katakan dengan kedok pemungut pajak, tetapi bukan yang sebenarnya."
Pemilik kedai itu mengangguk hormat. Katanya dengan nada rendah, "Terima kasih Ki Sanak."
Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguhpun kemudian telah melangkah keluar dari kedai itu sambil minta diri. Beberapa orang yang semula menyaksikan perkelahian di jalan yang terletak antara kedai itu dengan pasar, telah kembali duduk di tempat mereka semula untuk mengulangi makan dan minum mereka yang tersisa. Demikian pula orang-orang yang berjualan di pasar. Mereka telah kembali duduk di belakang dagangan mereka.
Ketika ketiga orang itu turun ke jalan, maka mereka sudah tidak melihat lagi orang yang bertubuh kekar itu. Agaknya orang itu telah pergi. Mungkin karena malu, tetapi ketiga orang itupun menyadari, bahwa mungkin Ki Prajak telah berusaha untuk menyusun rencana pembalasan.
Tetapi Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh tidak peduli. Mereka kemudian berjalan ke arah mereka datang, karena mereka menyimpang dari arah perjalanan mereka sekedar untuk mencari makan.
Beberapa pasang mata mengikuti langkah ketiga orang itu. Tetapi tidak seorangpun yang menyapanya. Kecuali orang itu adalah orang yang memang tidak mereka kenal, mereka merasa khawatir, bahwa orang-orang itu merupakan bayangan yang lebih buruk dari Ki Prajak yang telah dikalahkan itu. Dengan demikian, maka tegur sapa itu akan dapat mengundang kesulitan bagi mereka.
Ketiga orang itupun sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang memperhatikan mereka. Mereka berjalan saja seenaknya. Sementara Jati Wulung menjinjing sebuah kantong yang dibelinya juga dari pemilik warung itu untuk membawa makanan yang telah dibelinya untuk bekal di perjalanan.
Ketika ketiga orang itu telah meninggalkan kedai itu, maka pemilik kedai dan beberapa orang pelayannya bagaikan telah terlepas dari cengkaman ketegangan. Ternyata tidak terjadi pertengkaran di dalam kedainya karena orang-orang yang menganggap dirinya berhak atas tempat yang tersekat itu tidak datang ke kedainya pada saat orang lain berada di dalamnya.
Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguhpun kemudian telah meninggalkan padukuhan yang besar dan terdapat sebuah pasar yang ramai di dalamnya. Dengan nada rendah Sambi Wulung berkata, "Ternyata bahwa di perjalanan kita menemukan persoalan-persoalan yang kadang-kadang memaksa kita mempergunakan kekerasan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak akan merasa terlalu cemas, jika keadaan Puguh telah menjadi lebih baik. Tetapi dalam keadaan seperti ini, rasa-rasanya aku tidak sampai hati untuk melepaskannya."
Puguh termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian menyahut, "Setelah sampai di Gantar keadaanku akan menjadi baik. Aku akan dapat menempuh perjalanan sendiri."
"Kau terlalu lemah untuk berjalan sendiri meskipun kau sudah sampai di Gantar," jawab Jati Wulung.
"Aku sudah mengenal lingkungan itu," jawab Puguh.
"Apa salahnya jika kami antar kau sampai ke tempat yang paling aman" Kami tidak mempunyai tugas apapun yang harus kami lakukan selain mengembara. Pergi ke tempat-tempat judi, bukan saja di Song Lawa, tetapi juga di Bergota, di Gresik jauh di sebelah Timur atau di sebelah Barat Pajang," berkata Jati Wulung.
"Apakah tempat-tempat perjudian itu masih ada?" bertanya Puguh. Lalu, "Maksudku, tempat-tempat itu tidak mengalami nasib seperti Song Lawa?"
"Aku tidak tahu," jawab Jati Wulung, "tetapi jika hal itu terjadi, tentu bersamaan dengan Song Lawa, karena sebelum aku berada di Song Lawa aku memasuki lingkungan perjudian di Bergota. Bahkan aku sempat singgah sebentar di sebelah Barat Pajang. Tetapi tempat perjudian di sebelah Pajang tidak sebesar Bergota. Tidak pula sebesar Gresik. Untuk menghapus tempat perjudian di sebelah Barat Pajang tidak terlalu sulit, sebagaimana dilakukan oleh para prajurit Pajang atas Song Lawa, apalagi jaraknya dari Pajang memang tidak sejauh Gunung Kukusan. Tetapi untuk menghapus tempat perjudian di Bergota dan Gresik memerlukan perhitungan yang matang. Mungkin para Adipati dapat diperintahkan untuk melakukannya tanpa penanganan langsung dari Pajang sebagaimana dilakukan atas Song Lawa. Atau para Adipati itu sendirilah yang memang berniat untuk melakukannya."
Tetapi Sambi Wulung menyahut, "Namun mungkin justru tempat itu mendapat perlindungan. Resmi atau tidak resmi, karena tempat-tempat seperti itu dapat memasukkan banyak uang."
"Siapapun yang melindunginya, maka tempat-tempat itu pada saatnya tentu akan habis digulung oleh para prajurit yang setia akan tugas mereka," berkata Jati Wulung di luar sadarnya.
Puguh mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Jati Wulung itu. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Jika tempat-tempat seperti itu sudah tidak ada lagi, dimana kalian akan berjudi?"
Pertanyaan itu memang mengejutkan. Jati Wulung. Barulah ia sadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang salah. Namun dengan cepat Jati Wulung berkata, "Sebenarnyalah sudah lama aku ingin membukanya. Tetapi dengan cara yang lain, yang tidak mudah untuk dihancurkan oleh para pejabat dan para prajurit."
"Bagaimana caranya?" bertanya Puguh.
"Jika para prajurit dapat memasukkan petugas sandinya di tempat-tempat perjudian, maka sebaiknya kita berhubungan dengan para petugas sandi. Jika kita dapat berhubungan dengan seorang saja di antara mereka, maka kita akan tahu dengan pasti, kapan akan diadakan sergapan pada tempat perjudian itu. Dengan demikian kita akan sempat bersiap-siap. Tidak perlu melawan. Tetapi cukup memindahkan tempat itu," jawab Jati Wulung.
Puguh mengangguk-angguk. Tetapi niat Jati Wulung itu nampaknya masih agak kabur bagi Puguh. Karena itu, maka Jati Wulung menjelaskan, "Jika dengan cara demikian, maka prajurit tidak akan pernah dapat menghancurkan tempat perjudian itu. Tetapi kita harus mempunyai hubungan yang luas. Tempat-tempat yang dalam waktu singkat dapat dirubah menjadi tempat perjudian seperti Song Lawa. Yang paling tepat adalah padepokan-padepokan yang terpencil."
Puguh masih saja mengangguk-angguk. Katanya, "Satu kerja yang sulit untuk dilakukan. Tetapi kau dapat mencobanya."
"Memerlukan waktu yang panjang untuk mempersiapkannya tempat seperti itu," berkata Jati Wulung.
"Ya. Waktu yang panjang dan modal yang besar," desis Sambi Wulung.
Pembicaraan merekapun tiba-tiba terputus, ketika mereka melihat beberapa orang muncul disimpang empat di hadapan mereka. Dari kejauhan mereka melihat orang-orang itu kemudian hilir mudik di simpang empat itu sambil memperhatikan mereka.
Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka menjadi semakin dekat. Selah seorang di antara mereka adalah Ki Prajak. Orang yang baru saja berkelahi dengan Jati Wulung di depan kedai makanan itu.
"Ternyata persoalanmu belum selesai Wanengpati," desis Sambi Wulung.
Jati Wulung menggeram. Katanya, "Orang-orang yang tidak tahu diri. Ternyata persoalannya masih dianggap belum selesai. Mereka masih akan mengajak bermain-main."
Sambi Wulung mengangguk kecil. Namun iapun bertanya kepada Puguh, "Bagaimana keadaanmu?"
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Keadaannya memang bertambah baik. Tetapi ia merasa masih belum pulih kembali. Luka-lukanya masih terasa sakit. Tetapi untuk sekedar melindungi dirinya, maka ia masih akan dapat berusaha.
Karena itu maka katanya, "Aku akan berusaha sebaik-baiknya. Makan dan minum yang hangat itu memang memberikan sedikit kesegaran pada tubuhku yang lemah. Mudah-mudahan aku tidak justru menyulitkan kalian berdua."
"Bagus," sahut Sambi Wulung, "kami akan berdiri sebelah menyebelah. Kau akan berada di tengah. Berusahalah melindungi dirimu sendiri."
Puguh mengangguk. Namun tubuhnya memang terasa menjadi lebih baik. Apalagi setelah kehangatan makan dan wedang jahe itu bagaikan merayap di seluruh urat darahnya.
Dengan demikian maka ketiga orang itu berjalan tenis. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan orang-orang yang berada disimpang empat. Atau seakan-akan mereka memang tidak bersalah sama sekali terhadap orang-orang yang berada di simpang empat itu.
Namun ketika mereka menjadi semakin dekat, maka orang-orang disimpang empat itu mulai berpencar memenuhi jalur jalan. Seorang di antara mereka adalah orang yang sudah lebih tua dari kawan-kawannya. Agaknya orang sebaya dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Lima orang," berkata Jati Wulung, "nampaknya mereka adalah orang-orang yang berkedudukan."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Ketika mereka tinggal beberapa langkah lagi dari simpang empat itu, maka orang yang bernama Kiai Prajak itupun telah bergeser maju di hadapan keempat orang yang lain. Sambil bertolak pinggang ia berdiri di tengah-tengah jalan.
"Kau Ki Sanak," desis Jati Wulung.
"Ya. Aku. Aku sengaja menghindari perkelahian yang akan dapat mengacaukan pasar itu. Karena itu, aku telah mengalah waktu itu. Tetapi disini keadaannya berbeda. Disini tidak banyak orang yang akan berkerumun mengganggu perkelahian kita."
"Kau masih ingin bertempur?" bertanya Jati Wulung.
"Aku akan membuat kalian menjadi jera. Kalian telah menghina kami," geram orang itu. Lalu, "Kau sudah melanggar paugeran yang dibut oleh Ki Demang dan Ki Wirit atas kedai itu. Pelayan dan pemilik kedai itu sudah memberimu peringatan. Tetapi kau tidak menghiraukannya, sehingga kau telah membuat orang-orang yang ada di kedai itu gelisah. Nah, sekarang kau berhadapan dengan Ki Demang dan Ki Wirit itu sendiri."
"O," Jati Wulung mengangguk-angguk, "jadi bukan karena kau mencari tempat lain untuk bertempur?"
"Persetan. Kau dapat berbicara dengan Ki Demang dan Ki Wirit langsung," bentak Ki Prajak.
Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, "Yang manakah Ki Demang dan yang manakah Ki Wirit?"
Seorang di antara keempat orang itupun bergeser maju dan berdiri disamping Ki Prajak. Katanya dengan nada datar, "Akulah Demang di Kademangan ini."
"O," Jati Wulung mengangguk. Lalu katanya, "Apakah Ki Demang akan mengadili kami. Kami akan berterima kasih jika Ki Demang menangkap orang ini yang mengganggu selagi aku makan di kedai yang ada di depan pasar itu."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, "Kau memang pandai untuk memancing persoalan. Kau tahu bahwa hal itu pasti tidak akan aku lakukan. Tetapi kau telah menyebutnya juga."
Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya, "Baiklah. Kita tidak usah berbelit-belit. Apa yang ingin kalian lakukan" Berkelahi" Marilah, kami sudah siap."
"Tunggu," berkata Ki Demang, "kami ingin tahu beberapa hal tentang kalian."
"Apa yang ingin kau ketahui Ki Sanak?" bertanya Jati Wulung.
Sebelum Ki Demang menyahut, maka seorang yang lain lagi telah melangkah maju pula. Orang yang umurnya sudah sebaya dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kaukah yang disebut Ki Wirit?" bertanya Jati Wulung dengan serta-merta.
"Ya. Akulah Ki Wirit itu," jawab orang itu.
"Ujud dan sikapmu berbeda dari gambaranku," berkata Jati Wulung.
"Kenapa?" bertanya Ki Wirit itu.
"Aku kira kau adalah seorang yang berpakaian gemerlap, berkeris dengan pendok emas serta mengenakan timang emas pada kamusmu. Berjalan agak mengangkat wajahnya sedikit. Sambil meredupkan mata dan mencibirkan bibir kau sapa orang-orang yang tunduk hormat kepadamu sambil menepi di pinggir jalan," berkata Jati Wulung, "ternyata ujud dan sikapmu cukup sederhana dan tidak berlebih-lebihan."
Orang yang disebut Ki Wirit itu tersenyum. Katanya, "Aku bukan orang yang pantas dihormati secara berlebih-lebihan. Sebagaimana juga Ki Demang, maka kami semua, para bebahu dan pemimpin Kademangan adalah orang-orang yang sederhana."
"Baiklah," berkata Jati Wulung, "sekarang, apakah keperluan kalian menghentikan perjalanan kami?"
"Sebenarnya kau tidak usah bertanya Ki Sanak," jawab Ki Wirit, "kau tentu sudah tahu, bahwa kau telah menyinggung perasaan kami."
"O," Jati Wulung mengangguk-angguk. Lalu, "Barangkali karena aku telah berkelahi dengan salah seorang di antara orang-orangmu itu?"
"Salah satu di antara kesalahanmu, bahwa kau telah berani melawan orang-orangku," jawab Ki Wirit.
"Kenapa salah satu" Apakah ada kesalahanku yang lain?" bertanya Jati Wulung.
"Jangan berpura-pura dungu. Kau telah menghina hak serta kuasa Ki Demang dan aku. Kau telah memaksa untuk duduk di tempat yang khusus disediakan bagi kami di kedai itu," geram Ki Wirit kemudian.
"Jadi hanya karena kami duduk di tempat yang kosong?" Jati Wulung ganti bertanya, "Ki Sanak. Ternyata sampai aku meninggalkan kedai itu, kalian tidak datang ke kedai itu. Karena itu apa salahnya jika aku berada di tempat yang sedang tidak dipergunakan. Kedai adalah satu tempat yang diperuntukkan bagi orang banyak. Termasuk aku dan saudara-saudaraku. Bahkan siapa saja."
"Tetapi itu adalah paugeran di Kademangan ini. Tidak seorangpun yang boleh mempergunakan tempat yang disediakan bagi Ki Demang. Dan ternyata kau telah melanggarnya. Hal itu tidak akan menjadi persoalan jika kalian memang tidak mengetahuinya," berkata Ki Wirit.
"Kami memang tidak mengetahuinya," berkata Jati Wulung.
Tetapi Ki Wirit itu justru tertawa. Katanya, "Kau memang aneh Ki Sanak. Bagaimana mungkin kau tidak mengetahuinya. Pelayan dan pemilik kedai itu sudah memberimu peringatan. Mereka berusaha untuk berbuat baik kepadamu, agar kau tidak melakukan kesalahan dengan melanggar paugeran Kademangan ini. Tetapi kau tidak pernah menghiraukannya. Kemudian Ki Prajakpun telah minta kepadamu untuk pergi. Bahkan ia telah berusaha memaksa kalian karena ia merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan segala macam paugeran di Kademangan ini. Tetapi kau berhasil mengalahkannya."
"Aku tidak kalah," geram Kiai Prajak, "aku tidak mau orang-orang sepasar menjadi kebingungan dan kehilangan akal sehingga pasar itu menjadi kacau. Kekacauan itu tentu akan dimanfaatkan oleh para penjahat untuk merampas dan merampok barang-barang bukan saja yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Tetapi juga mereka akan berani merampok para pedagang yang kebingungan itu."
Ki Wirit tersenyum. Katanya, "Baiklah. Apapun alasanmu, tetapi orang-orang ini tetap tidak mau tahu bahwa mereka harus menyingkir dari tempat yang khusus di kedai itu."
Ki Prajak mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Begitulah. Karena itu, maka segala sesuatunya terserah kepada Ki Demang dan Ki Wirit."
Ki Wiritpun kemudian berpaling kepada Ki Demang. Sementara Ki Demang berdesis. "Kita harus menghukum mereka."
"Ya," jawab Ki Wirit, "kita harus menghukum mereka. Jika kita membiarkan orang-orang itu pergi tanpa mendapat hukuman atas pelanggarannya terhadap paugeran yang berlaku disini, maka selanjutnya akan menjadi kebiasaan orang dari luar Kademangan ini berlaku sekehendak hatinya disini, tanpa menghiraukan paugeran yang berlaku, serta sama sekali tidak menghargai para bebahu di Kademangan ini."
"Nah," berkata Ki Demang, "aku harap kalian tidak berbuat sesuatu yang akan dapat memperberat hukuman kalian. Kalian harus menjulurkan pergelangan tangan kalian untuk diikat. Kemudian menyeret kalian bertiga ke Kademangan. Hukuman berikutnya akan ditentukan dalam sidang yang akan dihadiri oleh para bebahu dan orang-orang tua pemangku adat disini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Namun keduanya tiba-tiba saja tersenyum. Jati Wulunglah yang melangkah maju sambil berkata, "Ki Demang. Menurut pengamatanku yang sekilas, kami menaruh kasihan kepada Ki Demang."
Wajah Ki Demang menjadi merah. Dengan nada marah ia bertanya, "Kenapa kau dapat berkata seperti itu?"
"Ternyata yang sebenarnya memerintah Kademangan ini bukannya Ki Demang," berkata Jati Wulung.
"Bukan aku" Apakah kau gila?" geram Ki Demang.
"Ki Demang adalah orang yang berhak untuk menduduki jabatan itu karena hak yang turun temurun. Tetapi menurut pengamatanku yang sekilas, maka yang sebenarnya berkuasa disini adalah Ki Wirit," berkata Jati Wulung.
"Tutup mulutmu," bentak Ki Demang. "Jangan mengigau. Kau harus menyadari, bahwa igauanmu itu akan dapat menjerat lehermu."
Tetapi Jati Wulung menjawab dengan senyumnya yang masih nampak di bibirnya. Katanya, "Jangan menjadi terlalu garang Ki Demang. Aku bukan sekedar mengigau. Meskipun aku bukan seorang yang pandai, tetapi aku mempunyai berpuluh ribu pengenalan atas tabiat dan tingkah laku manusia. Juga atas Ki Demang disini, yang tidak menunjukkan kewibawaan yang memadai dibanding dengan Ki Wirit."
"Ki Wirit adalah salah seorang tua yang memang dihormati disini," berkata Ki Demang, "bukankah itu berlaku dimana saja, jika seorang pemimpin pemerintahan menghormati orang-orang tua yang bijaksana di lingkungannya?"
"Kau benar Ki Demang. Nampaknya Ki Wirit adalah orang tua yang bijaksana di padukuhan dan bahkan Kademangan ini," jawab Jati Wulung.
Ki Demang mengerutkan dahinya. Ia merasakan sindiran yang tajam dari kata-kata Jati Wulung, sehingga iapun berkata, "Kata-katamu tajam melampaui ujung duri pandan. Apapun yang kau katakan, maka kau akan mendapat hukuman yang pantas. Kata-katamu dan sikapmu ternyata telah memperberat kesalahanmu."
"Sudahlah," berkata Jati Wulung kemudian, "sejak awal sudah aku katakan. Marilah kita berkelahi. Jangan banyak berbicara lagi."
"Persetan," geram Ki Wirit, "kata-katamu semakin lama semakin menyakitkan hati. Kau kira jika kita benar-benar berkelahi kau akan dapat luput dari tanganku?"
"Aku sudah bertekad untuk menantangmu. Jangan banyak bicara lagi. Kita berkelahi, atau biarkan kami pergi," Jati Wulungpun membentak.
Ki Wirit benar-benar menjadi marah. Iapun segera memberikan isyarat kepada kedua orang kawannya yang lain, sehingga merekapun dengan serta-merta telah bergeser dari tempatnya dan mengepung ketiga orang itu.
"Jangan berharap apa-apa lagi," berkata Ki Wirit, "sebenarnya aku tidak ingin berkelahi dengan cara yang licik, sebagaimana kalian tidak berkelahi bertiga ketika kalian melawan Ki Prajak."
"Aku tidak perlu melawannya bertiga," berkata Jati Wulung.
"Nah, sekarang baiklah. Kami tidak akan bertempur berlima, sementara kalian hanya bertiga. Aku ingin tahu, apakah kalian benar-benar laki-laki pilihan, sehingga kalian berani melakukan tindakan yang deksura di kedai itu," berkata Ki Wirit.
"Maksudmu?" bertanya Jati Wulung.
"Hanya seorang di antara kami yang akan bertempur. Sedangkan kalian dapat memilih salah seorang di antara kalian. Kita akan berperang tanding," jawab Ki Wirit.
Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Ki Wirit mengucapkan kata-kata itu dengan penuh keyakinan sehingga baik Jati Wulung maupun Sambi Wulung mempunyai penilaian tersendiri atas orang ini.
Namun sebelum Jati Wulung menjawab, maka Sambi Wulung telah mendahului, "Menarik sekali. Agaknya sekarang giliranku untuk berkelahi. Adikku, Wanengpati telah mengalahkan Ki Prajak, diakui atau tidak diakui. Sekarang aku akan berperang tanding melawanmu, Ki Wirit."
"Kenapa kau?" bertanya Jati Wulung.
"Bergantian. Sudah beberapa hari aku tidak berkelahi. Sekarang aku akan mendapat kesempatan itu," berkata Sambi Wulung.
"Tetapi akulah yang telah memulainya. Maka biarlah aku yang menyelesaikannya," berkata Jati Wulung.
"Itu namanya tidak bergantian. Kau akan mengambil semuanya dan tidak memberi aku kesempatan sama sekali. Itu tidak adil."
"Setan," geram Ki Wirit, "jadi kalian berebut untuk mati."
"Siapa bilang berebut untuk mati" Kami berebut kesempatan untuk membunuh. Apa salahnya dalam keadaan seperti ini kami membunuh" Jika kau sudah menyebut-nyebut untuk membunuh kami, maka kamipun telah bertekad untuk membunuh kalian."
Ki Wirit yang marah itu menjadi semakin marah. Dengan keras ia membentak, "Cepat. Semakin lama akan menjadi semakin banyak orang yang akan melihat perkelahian ini. Meskipun dengan demikian akan menjadi semakin banyak pula saksi kematianmu, tetapi aku tidak memerlukannya."
Sambi Wulungpun kemudian bergeser maju sambil berkata kepada Jati Wulung, "jaga anakmu yang sakit itu."
Jati Wulung tidak dapat memaksakan kehendaknya atas Sambi Wulung. Ia sadar, bahwa Sambi Wulung tentu menganggap bahwa Ki Wirit memang memiliki kelebihan. Karena itu, agar tidak terjadi sesuatu atas mereka bertiga, maka Sambi Wulung yang memiliki ilmu terbaik di antara mereka bertiga akan menghadapinya. Jika Ki Wirit mampu mengalahkan Sambi Wulung, maka nasib mereka bertiga memang akan menjadi terlalu buruk.
Dengan demikian, maka Sambi Wulunglah yang kemudian telah berdiri di paling depan menghadapi Ki Wirit. Sementara itu Jati Wulung dan Puguhpun harus berhati-hati, karena masih ada empat orang lainnya, termasuk Ki Demang yang akan dapat berbuat sesuatu atas mereka.
"Bagus," berkata Ki Wirit. "Jadi kaulah yang akan menghadapi aku dalam perang tanding ini?"
"Ya," jawab Sambi Wulung mantap.
Ki Wirit mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun berkata, "Baiklah. Marilah kita yang tua-tua ini sekali-sekali mencari kesempatan untuk bermain-main pula." Lalu katanya kepada Ki Demang, "Ki Demang, jangan ganggu kami. Suruh orang-orang itu berjaga-jaga agar tidak seorangpun di antara mereka akan sempat melarikan diri."
Ki Demang mengangguk. Jawabnya, "percayakan mereka kepada kami. Siapa yang akan melarikan diri, akan mati lebih dahulu karenanya."
Namun Ki Demang dan bahkan orang-orang yang mengepung itu terkejut ketika mereka mendengar Jati Wulung tertawa. Katanya, "Suara kalian seperti guntur di mangsa ke sanga. Menggelegar memenuhi langit yang kelabu. Tetapi marilah kita buktikan, apakah benar-benar hujan akan dapat turun."
"Persetan kau," bentak Ki Demang.
Namun dengan serta-merta Jati Wulung menjawab, "Apakah kita juga akan perang tanding?"
"Tidak," Ki Wiritlah yang menyahut, "aku dan orang ini akan menentukan segala-galanya."
Jati Wulung tertawa berkepanjangan. Suara tertawanya berhenti ketika Ki Demang membentak, "He, kenapa kau tertawa?"
"Aku memang yakin bahwa Ki Demang tidak lebih dari sebuah wayang golek yang hanya bergerak jika digerakkan oleh Ki Wirit. Ki Wiritpun menjadi cemas akan nasib wayang goleknya jika pada suatu saat ia tidak sempat mengendalikannya dengan baik."
"Setan," geram Ki Wirit, "jika aku selesai dengan perang tanding ini, maka kaupun akan aku bunuh dengan caraku."
"Jangan sesumbar. Lakukanlah jika kau mampu," jawab Jati Wulung.
Ki Wirit menggeram. Dadanya seakan-akan menjadi retak oleh kemarahan yang menyesak. Ia belum pernah menjumpai orang seperti ketiga orang itu. Ketika sekilas ia memandang wajah Puguh, maka iapun berkata di dalam hati, "Jika anak itu tidak sakit, maka ia tentu gila juga seperti ayahnya."
Demikianlah, Ki Wirit telah berhadapan dengan Sambi Wulung. Keduanya telah bersiap untuk bertempur disimpang empat. Seperti yang dikatakan olah Ki Wirit, maka sebenarnyalah, beberapa orang yang tertahan dan tidak dapat lewat di jalan itu, telah berkerumun meskipun pada jarak yang jauh. Mereka mengerti bahwa jika Ki Wirit telah ikut campur, biasanya keadaan orang-orang yang menjadi sasarannya tidak akan tertolong lagi. Karena itu, maka Ki Wirit memang lebih ditakuti daripada Ki Demang, yang sebagaimana diduga oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung, bahwa Ki Demang memang berada di bawah pengaruh Ki Wirit.
"Bersiaplah untuk mati dengan cara yang kurang baik," berkata Ki Wirit dengan nada berat.
Tetapi Sambi Wulung menjawab, "Ki Wirit. Apakah kau mempunyai anak isteri" Barangkali ada pesan yang ingin kau sampaikan kepada Ki Bekel sebelum kau mati disini?"
Kata-kata Sambi Wulung itu bagaikan api yang telah menyalakan minyak yang sudah tersiram di hatinya. Dengan serta-merta maka apipun telah berkobar membakar seluruh isi dadanya.
Dengan loncatan yang cepat, maka Ki Wiritpun telah menyerang. Tangannya terayun mendatar ke arah kening lawannya. Namun Sambi Wulungpun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka serangan itu telah dielakkannya. Tangan Ki Wirit itu terayun beberapa jari dari kepalanya yang menunduk.
Tetapi dalam pada itu, Sambi Wulung tidak menyia-nyiakan kesempatan yang terbuka baginya. Sambil menghindari ia telah berputar dengan ayunan kaki mengarah lambung.
Ki Wirit memang terkejut melihat ketangkasan lawannya. Karena serangan itu, maka iapun harus meloncat selangkah surut. Tetapi ketika kakinya menjejak tanah, maka kaki itu telah melemparkannya kembali. Bahkan tubuhnya menjadi miring dan satu kakinya lurus menyamping.
Sambi Wulung mampu bergerak secepat serangan lawannya. Ia memiringkan tubuhnya sambil menarik dadanya. Kaki Ki Wirit itu memang hampir saja mengenai wajahnya.
Dengan kedua tangannya Sambi Wulung memukul kaki Ki Wirit. Tetapi Ki Wirit telah menggeliat dan menjatuhkan dirinya. Justru kakinya yang lainlah yang kemudian mematuk lambung lawannya ketika Ki Wirit itu berguling di tanah sambil mengambil jarak.
Sambi Wulung bergeser surut selangkah. Tetapi demikian ia melihat Ki Wirit melenting berdiri, maka iapun telah meloncat menerkam dengan ayunan tangannya.
Ki Wiritlah yang kemudian terpaksa membungkukkan badannya. Untuk mengurangi kemungkinan buruk dari serangan lawannya, justru Ki Wiritlah yang telah menyerang dada lawannya dengan kedua tangannya.
Tetapi serangan itupun tidak menyentuh tubuh Sambi Wulung yang bergeser mundur.
Keduanyapun kemudian berdiri tegak. Mereka saling memandang dengan tajamnya. Namun dengan demikian untuk beberapa saat keduanya berdiri tegak di tempatnya.
Ki Wirit yang tidak menyangka bahwa lawannya mampu melawannya untuk beberapa lama, bahkan justru mampu mengimbangi kekuatannya serta kecepatan geraknya, memang membuatnya menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk Ki Wirit itupun berkata, "Ternyata kau bukan sekedar mampu membual. Kau dapat menghindari sentuhan tanganku untuk beberapa lama. Bahkan kau sempat membalas menyerang meskipun serangan-seranganpun itu tidak berarti."
Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Ki Wirit. Akupun memang harus mengakui bahwa kau adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi bukan berarti bahwa karena itu kau berhak untuk berbuat apa saja sesuka hatimu. Mungkin di Kademangan ini tidak ada orang yang mampu mencegah tingkah lakumu, sehingga semua keinginanmu akan dapat kau lakukan disini. Tetapi kau harus ingat, bahwa kau tidak berdiri sendiri di dunia oleh kanuragan. Meskipun Ki Demang di Kademangan ini tidak pernah berani menentang kehendakmu, sehingga justru terpaksa menjadi alatmu dengan kuasa yang dimilikinya dengan sah, namun di atas kuasa Ki Demang masih ada kekuasaan lain yang akan dapat mencegahmu. Ada tiga kuasa yang aku maksud. Pertama, kuasa Pajang dan kedua, jika kuasa Pajang tidak melihat kecuranganmu dengan mempergunakan kuasa kekuatanmu dan kelebihanmu dalam olah kanuragan, maka tentu ada kekuatan lain yang pada satu saat akan menghancurkanmu. Dan sekarang aku telah membawa kuasa itu atasmu."
"Setan kau," geram Ki Wirit, "kau berani menghina aku."
"Aku tidak menghinamu. Aku memang bertekad untuk menghancurkanmu. Bahkan jika aku gagal, masih ada kuasa yang jauh lebih tinggi dari kuasa ilmumu. Dengan alat apapun kuasa itu akan dapat menghancurkanmu," berkata Sambi Wulung.
"Omong kosong," geram Ki Wirit.
"Kuasa dari segala sumber kuasa di dunia ini," geram Sambi Wulung.
"Ucapan orang yang telah berputus-asa. Nah, jika kau memang sudah berputus asa, jangan mencoba menentang aku lagi. Menyerahlah. Kami akan mengikatmu dan membawamu ke Kademangan." Ki Wirit hampir berteriak.
Tetapi Sambi Wulung menggeleng. Katanya, "Jangan mimpi mengikat tanganku."
Sambi Wulung tidak dapat melanjutkan kata-katanya Tiba-tiba saja Ki Wirit yang marah itu telah meloncat menyerangnya.
Pertempuranpun telah terulang kembali. Keduanya telah menunjukkan kelebihannya. Mereka mampu bergerak dengan cepat dan ayunan-ayunan tangan dan kaki yang deras. Udarapun telah terayun pula bersama serangan-serangan mereka yang garang.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ki Demang dan orang-orangnya termangu-mangu melihat pertempuran yang nampaknya menjadi semakin sengit. Menurut pengenalan Ki Demang atas Ki Wirit selama ini, tidak seorangpun yang akan mampu melawannya. Seisi Kademangan, termasuk Ki Demang sendiri, telah tunduk di bawah pengaruhnya. Meskipun di Kademangan itu, Ki Demang memiliki kuasa yang sah, tetapi ia memang tidak berdaya untuk memerintah sebagaimana diinginkan. Ia harus melakukan apa yang dikehendaki oleh Ki Wirit.
Namun saat itu, ternyata Ki Wirit telah membentur kekuatan yang ternyata seimbang menurut penilaian Ki Demang. Ternyata bahwa Ki Wirit tidak dapat segera mengalahkan lawannya. Bahkan pertempuran itu dinilainya menjadi semakin sengit sehingga bagi Ki Demang, apalagi orang-orangnya termasuk Ki Prajak, tidak dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang. Biasanya jika seseorang berani melawan Ki Wirit dan sempat bertempur beberapa lama, maka akhirnya orang itu akan mengalami nasib yang sangat buruk. Dengan kejam Ki Wirit yang nampaknya bersikap lunak itu akan mengakhiri hidup lawannya dengan caranya yang khusus. Dengan tangan sendiri yang tidak gemetar sama sekali, Ki Wirit membunuh korban-korbannya.
Tetapi ternyata menghadapi orang yang satu itu, Ki Wirit tidak dapat segera menyelesaikannya, betapapun kemarahan telah menghentak-hentak dadanya.
Bahkan pertempuran yang terjadi sama sekali tidak segera menunjukkan kelebihan Ki Wirit atas lawannya.
Untuk beberapa saat keduanya masih saja berputaran. Desak mendesak. Serang menyerang. Sekali-sekali Ki Wirit memang mampu mendesak Sambi Wulung. Tetapi beberapa saat kemudian, Ki Wiritlah yang harus berloncatan mengambil jarak.
Ternyata di sekitar arena pertempuran itu, meskipun pada jarak yang agak, jauh, beberapa orang sedang menyaksikannya. Semakin lama memang menjadi semakin banyak betapapun dengan jantung yang berdebaran. Bukan saja orang-orang yang kembali dari pasar, tetapi orang-orang yang sedang berangkat ke sawahpun telah berhenti.
Debu yang kelabu telah mengepul di udara. Semakin lama semakin banyak. Menghambur dan membuat arena itu menjadi kabur.
Namun keduanya masih bertempur terus. Bahkan bukan saja debu yang berhamburan, tetapi kerikil-kerikil kecilpun bagaikan dihambur-hamburkan pula. Langkah-langkah kaki kedua orang yang bertempur itu telah menyentuh bebatuan dan kerikil-kerikil kecil sehingga terlontar berserakkan.
Ki Demang dan orang-orangnya menjadi semakin berdebar-debar. Mereka telah melihat pertempuran yang sangat cepat. Bahkan melampaui kemampuan pengamatan mereka.
Tetapi di antara mereka, Jati Wulung berdiri saja termangu-mangu. Ia mengenal dengan pasti tingkat kemampuan Sambi Wulung yang lebih tinggi dari kemampuannya sendiri. Sementara itu, betapapun serunya pertempuran, tetapi yang-nampak di mata Jati Wulung tidak lebih dari sekedar mengungkapkan kekuatan kewadagan dan dorongan tenaga cadangan. Sambi Wulung belum menukik ke dalam ilmunya yang rumit, yang bersandar pada kemampuannya menyadap kekuatan alam yang ada di sekitarnya.
Karena itu, maka Jati Wulung sama sekali tidak menjadi gelisah betapapun ia melihat debu, batu-batu kerikil dan batu-batu padas berhambur karena sentuhan dan hentakan kaki mereka yang menghentak-hentak dalam pertempuran itu. Bahkan Jati Wulung justru telah berdesis, "Buat apa Kakang Sambi Wulung mengungkit bebatuan dengan kakinya" Mataku jadi pedas karena debu yang dihambur-hamburkannya."
Namun dengan demikian, maka pertempuran itu nampaknya memang menjadi lebih seram. Seakan-akan kedua orang itu telah bertempur di dalam kabut.
Puguh yang masih belum pulih kekuatannya itu termangu-mangu. Ia menjadi ragu-ragu melihat pertempuran itu, apakah Wanengbaya itu akan dapat mengatasi lawannya yang kelihatannya lebih garang, meskipun umurnya nampaknya tidak lebih muda.
"Apa kau melihat satu kemungkinan?" bertanya Puguh pada Jati Wulung.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak ingin memperlihatkan kemampuan Sambi Wulung dengan berlebih-lebihan sebagaimana dilakukan oleh Sambi Wulung sendiri. Karena itu, maka katanya, "Aku masih berpengharapan."
"Apakah kau lihat keseimbangan di antara keduanya?" bertanya Puguh pula.
"Ya. Keduanya memiliki kemungkinan yang sama," jawab Jati Wulung.
Puguh mengangguk-angguk. Iapun mempunyai pendapat yang sama. Bahkan menurut pengamatan Puguh, Sambi Wulung justru memiliki kesempatan yang lebih baik. Namun jika Sambi Wulung itu sedikit saja melakukan kesalahan, maka ia akan dapat mengalami kesulitan karena Ki Wiritpun memiliki kecepatan gerak dan kekuatan yang besar. Tetapi sebaliknya, jika Ki Wirit yang melakukan kesalahan, maka ialah yang akan mendapat bencana.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung untuk waktu yang lama. Mataharipun semakin lama menjadi semakin tinggi, sehingga panasnya mulai terasa menyengat kulit.
Jati Wulung yang mengikuti pertempuran itupun akhirnya mengetahui, apakah yang akan dilakukan oleh Sambi Wulung. Ia ingin menunjukkan kepada lawannya, bahwa betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi kekuatan wadagnya tetap terbatas.
Dalam pada itu, Ki Wiritpun semakin lama menjadi semakin marah. Ia berusaha untuk dengan segera menghancurkan lawannya tanpa mengekang diri. Tidak ada pikiran lain di kepalanya, kecuali benar-benar ingin membunuh lawannya. Semakin lama ia bertempur, maka keinginannya membunuh lawannya dengan cara yang paling mengerikannya semakin membakar jantungnya.
Tetapi ia telah membentur satu kenyataan, bahwa tidak mudah baginya untuk mengalahkan lawannya itu. Ternyata setelah mereka bertempur untuk waktu yang lama, kesempatannya mengalahkan lawannya sama sekali belum terbukti.
Sebenarnya Ki Wirit tidak ingin mempergunakan senjata. Ia tidak ingin membunuh lawannya dengan tusukan luwuknya langsung mengenai jantung. Bagi Ki Wirit, kematian yang demikian bagi orang yang telah berani melawannya adalah kematian yang terlalu baik. Ia ingin menangkap lawannya hidup-hidup dan membunuhnya dengan cara sendiri.
Tetapi menghadapi lawan yang seorang ini, agaknya sulit baginya untuk dapat menangkapnya sebagaimana yang diinginkannya. Bahkan ketika tenaganya sendiri mulai menjadi susut, maka iapun tidak lagi berpikir panjang. Dengan serta-merta, maka ditariknya luwuk yang terselip di pinggangnya. Luwuk yang mirip dengan sebilah keris yang besar tetapi berbentuk seperti pedang.
Sambi Wulung meloncat surut ketika ia melihat senjata lawannya yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang berkilat menelusuri daun senjata itu dari pangkal sampai ke ujung. Hulunya memang mirip dengan hulu pedang dihiasi dengan seikat rambut yang berjuntai meskipun tidak begitu panjang.
"Kau menjadi ketakutan melihat pusakaku," geram Ki Wirit, "tidak ada orang yang mampu melepaskan diri dari maut jika luwuk ini menjadi haus. Karena itu relakan darahmu menjadi minuman pusakaku yang haus ini."
Tetapi jawab Sambi Wulung, "Aku masih belum ingin mati Ki Sanak. Tugasku masih banyak. Selama masih ada orang-orang seperti kau di muka bumi ini, maka tugasku masih belum selesai. Karena itu aku akan berjuang untuk mempertahankan hidupku. Jika dalam usaha mempertahankan hidupku ini aku terpaksa membunuh, itu bukan yang aku kehendaki."
Ki Wirit menggeram. Ia mulai menggerakkan luwuknya sambil berkata, "Setiap orang yang telah aku bunuh dengan luwukku ini, aku cabut beberapa lembar rambutnya dan aku letakkan pada tangkai luwukku ini. Nah, jika kau melihat rambut yang berjuntai ini, maka bayangkan, seratus orang telah aku penggal kepalanya."
"Dan yang keseratus satu adalah kepalamu sendiri," geram Sambi Wulung yang mulai terungkit kemarahannya. Lalu katanya pula, "Jika benar kau telah membunuh seratus orang, maka tidak akan ada jalan keselamatan lagi bagimu. Bukan saja di batas hidup dan mati dari ujud kewadaganmu, tetapi kau benar-benar akan mati dan jiwamu akan terjun ke dalam kegelapan untuk selama-lamanya."
"Persetan kau," Ki Wirit hampir berteriak. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil mengayunkan luwuknya.
Sambi Wulung mengelak. Namun sambil bergeser iapun telah menarik pedangnya. Pedang Sambi Wulung memang pedang kebanyakan. Tidak ada kelebihan apapun juga. Yang mempunyai kelebihan adalah tangan yang menggenggamnya.
Karena itu, maka pertempuranpun menjadi semakin menggetarkan jantung. Mereka tidak saja berloncatan dengan ayunan tangan dan kaki. Tetapi mereka telah bertempur dengan mempergunakan senjata di tangan masing-masing.
Ki Wirit yang tidak segera berhasil mengenai sasarannya itu menjadi semakin marah. Jantungnya bagaikan menggembung sebesar kepalanya sehingga hampir pecah karenanya. Sementara itu, setiap ayunan pedangnya tentu membentur senjata lawannya atau lewat saja membelah udara.
Dalam kemarahan yang membakar dadanya, Ki Wirit memang tidak dapat berbuat lebih banyak mengingat kemampuan lawannya. Karena itu, maka ia telah terlepas dari kedudukannya di hadapan Sambi Wulung dalam perang tanding. Ia ingin mempengaruhi pemusatan perhatian Sambi Wulung terhadap perkelahian itu.
Karena itulah, maka sejenak kemudian iapun telah berteriak, "Ki Demang. Bawa orang-orangmu untuk menangkap atau membunuh kedua orang itu."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi bingung, apa yang harus dilakukannya.
Namun Ki Wirit itu telah berteriak lagi, "Cepat. Lakukan sebelum terlambat. Jika mereka melihat kawannya yang seorang ini aku bunuh, maka mereka tentu akan. melarikan diri."
"Baik Ki Wirit," jawab Ki Demang.
"Waktu kita tidak terlalu banyak," teriak Ki Wirit lagi. Namun ketika mulutnya hampir berteriak lagi, tiba-tiba saja terdengar ia berdesah tertahan.
Dengan serta-merta, maka Ki Wirit itu telah meloncat mundur mengambil jarak beberapa langkah. Sambil mengumpat-umpat kasar ia meraba lengannya. Ternyata darah telah meleleh dari lukanya di lengan itu.
Sambi Wulung berdiri tegak. Pedangnya bersilang di dadanya.
"Anak setan," geram Ki Wirit, "ilmu iblis dari manakah yang telah kau sadap itu?"
Sambi Wulung memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang tajam pula ia berkata, "Ki Wirit. Kesabaran seseorang itu terbatas. Demikian pula kesabaranku bukannya tanpa takaran. Karena itu, maka aku minta kau menyerah sekarang."
Ki Wirit menggeretakkan giginya. Ujung luwuknya menjadi bergetar oleh getar kemarahannya di dalam dadanya. Sekilas ia berpaling kepada Ki Demang sambil sekali lagi berkata, "Bunuh kedua orang itu. Aku akan membunuh yang seorang ini."
"Tidak ada gunanya kau menyembunyikan kenyataan ini Ki Wirit," berkata Sambi Wulung, "kau tidak akan dapat mempertahankan dirimu. Kau sudah nampak semakin letih. Gerakmu tidak setangkas di saat kita mulai dengan permainan ini. Sebentar lagi kau akan kehabisan tenaga dan jika kau menunggu aku benar-benar kehilangan kesabaran, maka tubuhmu akan terkapar mati disini."
"Persetan," Ki Wiritpun telah mengumpat pula. Dengan serta-merta ia telah meloncat menyerang Sambi Wulung. Luwuknya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya.
Tetapi Sambi Wulung cukup tangkas. Ia memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu, sehingga senjata Ki Wirit itu tidak menyentuhnya. Tetapi Ki Wirit tidak membiarkan Sambi Wulung lolos dari serangannya. Luwuk Ki Wirit itu berputar sekali kemudian terayun deras menebas leher Sambi Wulung.
Dengan tangkas Sambi Wulung menangkis serangan itu. Demikian kerasnya benturan yang terjadi, sehingga bunga apipun telah meloncat di udara.
Kemarahan Ki Wirit benar-benar telah tidak tertahankan lagi sehingga dadanya merasa bagaikan sesak. Luka di tangannya adalah api yang menyalakan minyak yang telah meluap membasahi jantungnya.
Namun kemarahan Sambi Wulungpun menjadi semakin mencengkam pula. Sikap dan kekasaran Ki Wirit telah menunjukkan ciri pribadinya yang sebenarnya, dalam keadaan terdesak, maka Ki Wirit di luar sadarnya telah mempergunakan ilmunya yang tertinggi. Ilmu yang ternyata mempunyai ciri-ciri yang kasar dan tercela.
Hanya Sambi Wulung dan Jati Wulung sajalah yang mampu menilai langsung ilmu yang dipergunakan oleh Ki Wirit. Puguh yang muda itu ternyata masih memerlukan pengalaman lebih jauh untuk mengenali watak ilmu sebagaimana yang dipergunakan oleh Ki Wirit. Namun dengan demikian, maka Sambi Wulungpun benar-benar telah mengambil keputusan.
Tetapi dalam pada itu, Ki Demang yang telah mendapat perintah untuk bertindak atas kedua orang kawan Sambi Wulung itupun telah memberi isyarat kepada ketiga orang kawannya.
"Berusahalah melindungi dirimu jika diserang," berkata Jati Wulung kepada Puguh yang ilmunya masih belum pulih kembali karena dukungan tenaganya yang belum pulih pula. Tetapi sekedar untuk melindungi dirinya sendiri, maka Puguh sama sekali tidak menjadi cemas akan sisa kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Sesaat kemudian, empat orang telah mengepung Jati Wulung dan Puguh. Namun dengan lantang Jati Wulung berkata, "Jika ilmu kalian tidak melampaui ilmu Ki Wirit, maka kalian tidak akan dapat mengurung kami dengan cara apapun juga."
Ki Demang memang menjadi ragu-ragu. Tetapi sekali lagi terdengar Ki Wirit berteriak, "Cepat. Lakukan."
Kata-kata itu bagaikan telah mendorong Ki Demang untuk meloncat maju. Namun Ki Demang yang ragu-ragu itu harus meyakinkan dirinya untuk dapat melakukan perlawanan, sehingga karena itu, maka iapun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang panjang. Demikian pula kawan-kawannya. Dengan senjata masing-masing mereka telah siap untuk menyerang Jati Wulung dan Puguh yang berasa di tengah-tengah lingkaran.
Ki Prajak yang telah pernah bertempur melawan Jati Wulung masih saja termangu-mangu. ia memang tidak yakin apakah mereka berempat akan dapat mengalahkan kedua orang itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Demangpun telah memberikan isyarat, agar kedua orang yang berada di sisi yang lain mulai bergerak. Sementara itu, ia sendiripun telah menggerakkan senjatanya pula.
Keempat orang itupun bersama-sama telah mulai bergeser. Tetapi Ki Prajak masih dibayangi oleh kecemasan akan kecepatan gerak Jati Wulung. Dengan demikian maka iapun menjadi sangat berhati-hati.
Namun ia memang tidak yakin apa yang dapat dilakukan oleh kedua kawannya yang lain, yang tidak mempunyai kelebihan dari padanya. Ki Demang memang dianggap seorang yang berilmu tinggi, tetapi ilmunya masih berada beberapa lapis di bawah Ki Wirit. Sementara itu Ki Wirit ternyata tidak mampu segera mengalahkan lawannya.
Dalam pada itu, Puguhpun telah mengacukan pedangnya pula. Sementara Jati Wulung masih berbisik, "Aku akan memasuki lingkaran perkelahian. Sementara itu, kau lindungi dirimu sendiri."
Puguh tidak menjawab. Tetapi ia siap melakukan sebagaimana dikatakan oleh Jati Wulung yang dikenalnya sebagai Wanengpati.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka Jati Wulung justru telah meloncat menyerang Ki Demang. Pedangnya terjulur lurus ke arah dada lawannya. Ki Demang dengan tangkas menangkis serangan itu sambil bergeser ke samping. Namun benturan senjata yang terjadi, telah menggetarkan bukan saja tangan Ki Demang, tetapi juga jantungnya. Meskipun Ki Demang memukul pedang Jati Wulung dengan segenap kekuatannya, tetapi arah pedang Jati Wulung itu sama sekali tidak bergeser. Jika Ki Demang tidak bergerak ke samping, maka ujung pedang itu akan tetap menusuk dadanya tembus ke jantung.
Benturan pertama itu membuat dada Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Ia semakin menyadari bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memang memiliki kemampuan jauh di atas jangkauan kemampuan mereka.
Tetapi Ki Demang tidak mempunyai keberanian untuk membantah perintah Ki Wirit. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk dapat bertempur sebaik-baiknya meskipun ia harus menjadi sangat berhati-hati.
Sikap itulah yang menguntungkan Jati Wulung dan Puguh. Keempat orang itu tidak berani dengan serta-merta menyerang Jati Wulung dan Puguh. Sementara itu Puguhpun berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
Sebenarnyalah bahwa lawannya tidak akan sempat membuat perhitungan. Seandainya mereka mengerti akan kelemahan Puguh sekalipun, mereka tidak akan sempat membuat pilihan. Jati Wulunglah yang kemudian ternyata telah membentuk suasana dalam pertempuran itu. Dengan tangkas ia berloncatan menyerang lawannya, sementara itu kaki Puguh bagaikan melekat pada bumi. Hanya sekali-sekali saja ia berputar menghadapi lawan yang akan menyerangnya.
Namun dalam pada itu, ketika Ki Demang mulai bergerak, Ki Wirit masih juga sempat berteriak, "Anak iblis. Sebentar lagi kawan-kawanmu itu akan terbunuh dengan keadaan yang mengerikan. Ki Demang dan kawan-kawannya adalah orang yang berilmu tinggi. Bersama-sama mereka tidak akan terlawan oleh kekuatan yang manapun juga. Bahkan oleh pasukan prajurit segelar sepapan sekalipun."
"Kenapa kau masih juga berkicau seperti itu Ki Wirit. Salah seorang diantar kami telah pernah bermain-main dengan orangmu yang bernama Ki Prajak itu. Ternyata kemampuannya tidak lebih dari hitamnya kuku dibanding dengan kemampuan kami," sahut Sambi Wulung.
"Pembual yang sombong," geram Ki Wirit, "sebentar lagi mulutmulah yang akan aku koyakkan sampai ke telinga."
Sambi Wulung tertawa. Meskipun ia harus berloncatan menghindar dan menangkis serangan Ki Wirit. Tetapi suara tertawa Sambi Wulung ternyata adalah lontaran kejemuan, kemuakan dan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya. Di antara suara tertawanya terdengar ia berkata, "Ki Wirit. Ternyata kau adalah orang yang paling bengis yang aku kenal. Kau berpura-pura menjadi seorang yang rendah hati, ramah tamah dan sederhana. Bahkan kau nampak lembut dan kebapaan. Tetapi ternyata di sisa umurmu yang sudah tidak lebih banyak dari sisa umurku menurut ujud lahiriahnya itu masih kau pergunakan untuk memanjakan nafsu ketamakan dan kedengkianmu terhadap sesama. Karena itu Ki Wirit, tidak ada yang lebih pantas kau pikul hukuman bagimu selain hukuman mati."
"O," Ki Wirit menyahut, "siapa yang berhak menjatuhkan hukuman bagi seseorang?"
"Aku tidak peduli siapakah yang berhak. Tetapi aku merasa berhak menghentikan segala tingkah polahmu. Kau tidak usah ingkar lagi. Aku mengenali watak ilmumu yang kasar dan licik itu. Ilmu dari aliran hitam yang memang tidak berhak untuk hidup di antara orang banyak," jawab Sambi Wulung.
Namun sambil menyerang Ki Wirit berteriak, "Lihat. Orang-orangmu sudah mati satu persatu."
Sambi Wulung memang terkejut. Tetapi ia sadar, bahwa jika ia berpaling, maka serangan Ki Wirit itu akan menjadi sangat berbahaya baginya. Karena itu, maka iapun telah bergeser sambil menangkis ujung luwuk yang terjulur ke dadanya.
Baru kemudian ia sempat memandang ke arah Jati Wulung dan Puguh. Namun ternyata bahwa mereka tidak mengalami kesulitan apapun juga.
Kelicikan itu telah mendorong Sambi Wulung untuk segera mengakhiri pertempuran. Jika Ki Wirit itu mendapat kesempatan lebih banyak, maka mungkin sekali ia akan dapat berbuat lebih licik lagi dan barangkali akan dapat membahayakannya.
Demikianlah maka Sambi Wulungpun kemudian berkata, "Ki Wirit. Kau sudah kehilangan sebagian dari tenaga dan kemampuanmu. Kekuatanmu telah menurun pula. Sekarang aku ingin memperlihatkan kepadamu, apa yang sebenarnya dapat aku lakukan. Semula aku masih ingin berusaha membuatmu menyadari apa yang kau lakukan selama ini. Namun akhirnya aku mengambil keputusan bahwa kau memang harus dibunuh. Bukan sekedar luka-luka di tubuhmu atau barangkali kata-kata keras di telingamu."
"Persetan," geram Ki Wirit yang meloncat dan menyerangnya dengan kasar.
Tetapi Sambi Wulung telah benar-benar menjadi muak. Dengan demikian, maka iapun berniat untuk segera mengakhiri perlawanan Ki Wirit.
Sejenak kemudian, maka tata gerak Sambi Wulungpun mulai berubah. Ia tidak lagi sekedar bertempur dengan dorongan ilmu kewadagannya. Ia mulai membuat lawannya benar-benar tidak berdaya ketika ia mulai bergerak bagaikan angin pusaran.
Ki Wirit tidak dapat mengikuti tata gerak Sambi Wulung berikutnya. Iapun tidak tahu pasti, apa yang terjadi kemudian. Namun dalam satu benturan yang tidak diduganya, maka luwuk pusakanya itu bagaikan telah direnggut dari tangannya dan terlempar ke udara.
Ki Wirit termangu-mangu sejenak setelah ia tidak bersenjata. Namun ternyata bahwa kemudian lawannyapun telah menyarungkan pedangnya pula sambil berkata, "Aku sudah muak melihat orang-orang seperti kau ini, justru pada saat-saat yang gawat seperti ini. Kaulah jenis orang-orang yang mempergunakan pengaruh kuasa dan kekuatanmu untuk menekan dan mempergunakan kekuasaan yang sah yang ada pada Ki Demang untuk kepentingan pribadimu. Kau dapat bergerak di balik kedudukan Ki Demang namun sama sekali tidak untuk kebaikan Kademangan ini."
Ki Wirit memandang Sambi Wulung dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Namun ia menyadari, bahwa yang dihadapinya itu ternyata benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Yang sebenarnya memang tidak memerlukan senjata apapun untuk melawannya selain ilmunya.
Ki Wirit memang menjadi agak menyesal karena ia tidak segera mengenali lawannya. Namun semuanya sudah terlambat.
Selangkah demi selangkah Sambi Wulung mendekati Ki Wirit yang termangu-mangu. Dengan nada berat, Sambi Wulung berkata, "Saatmu telah tiba."
Ki Wirit melangkah surut. Tiba-tiba saja ia telah meloncat berlari meninggalkan Sambi Wulung.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ia tidak mampu melepaskan dirinya. Tiba-tiba saja terasa sentuhan di punggungnya, sehingga iapun justru terdorong dengan derasnya. Langkah kakinya tidak dapat mengimbangi dorongan di punggungnya sehingga Ki Wirit itupun telah jatuh terjerembab.
Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka dilihatnya Sambi Wulung telah berdiri tegak di sisinya dengan kaki renggang.
Ki Wirit termangu-mangu. Namun tubuhnya memang terasa sakit. Di dahinya terdapat luka karena wajahnya yang terantuk tanah di saat ia jatuh terjerembab. Bahkan darah dari luka di lengannya seakan-akan menjadi semakin banyak mengalir.
"Bangkitlah," geram Sambi Wulung. "Jangan mati sambil menelungkup seperti seekor cacing yang tidak berdaya. Kau adalah Ki Wirit yang aku tidak tahu sejak kapan kau telah menguasai Kademangan ini."
Ki Wirit menjadi semakin berdebar-debar. Ketika ia merasakan kaki Sambi Wulung mengungkit tubuhnya, maka iapun mulai bergerak.
"Bangkit, atau aku injak punggungmu?" bentak Sambi Wulung.
Ki Wirit masih termangu-mangu. Namun ketika Sambi Wulung beringsut Ki Wiritpun telah bergeser pula.
"Cepat. Akan aku injak bukan saja punggungmu, tetapi tengkukmu. Kau memang tidak pantas lagi untuk dihormati," bentak Sambi Wulung pula.
Ki Wirit tidak dapat berbuat lain kecuali berdiri tertatih-tatih. Tetapi jantungnya benar-benar menjadi berdebar-debar.
"Nah, kita akan menyaksikan pertempuran itu, yang kau katakan bahwa Ki Demang akan membunuh saudara dan kemenakanmu," geram Sambi Wulung.
Ki Wirit memang tidak dapat membantah. Iapun kemudian melangkah mendekati arena pertempuran antara Ki Demang dan tiga orang kawannya, melawan Jati Wulung dan Puguh.
Sekilas Ki Wirit yang memiliki ilmu yang tinggi itu melihat bahwa ternyata anak muda di antara ketiga orang yang tidak dikenalnya itu nampak paling lemah. Tetapi Ki Wirit menganggap bahwa anak muda itu sedang sakit sebagaimana dikatakan oleh Ki Prajak.
"Lihat," berkata Sambi Wulung, "apakah kira-kira demangmu itu benar-benar akan dapat membunuh?"
Belum lagi mulut Sambi Wulung terkatup, ujung pedang Jati Wulung telah tergores pada salah seorang pengikut Ki Demang itu.
"Setan," geram Ki Wirit.
"Mengumpatlah sekali lagi jika kau ingin aku menyakitimu," desis Sambi Wulung.
Jantung Ki Wirit bagaikan bergejolak. Tetapi kemarahan Sambi Wulungpun telah sampai ke ubun-ubun. Karena itu, ketika di luar sadarnya Ki Wirit itu mengumpat sekali lagi, maka telapak tangan Sambi Wulung telah menggenggam lengan Ki Wirit.
Terdengar Ki Wirit mengaduh kesakitan. Ketika Sambi Wulung melepaskan tangannya, maka di lengan Ki Wirit itu membekas bagaikan luka bakar. Baju Ki Wiritpun seakan-akan telah terbakar pula di arah sentuhan telapak tangan Sambi Wulung.
Ki Wirit terkejut mengalami keadaan itu. Namun dengan demikian sebenarnyalah lawannya itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia bukan saja akan mampu mengalahkannya. Tetapi jika dikehendaki, maka ia akan dapat menghancurkannya menjadi debu.
Ki Wirit benar-benar menyesali kebodohannya. Kenapa ia tidak melihat kemungkinan yang terjadi itu. Ia tidak segera mampu menilai tingkat ilmu lawannya yang sebenarnya.
Karena itu, maka iapun menjadi berdebar-debar melihat Ki Demang dan kawan-kawannya. Meskipun lawan Ki Demang itu masih belum menunjukkan kemampuan ilmunya, namun Ki Wiritpun meyakini bahwa orang yang bertempur melawan Ki Demang dan kawan-kawannya itupun akan mampu berbuat sebagaimana lawannya.
Tetapi Ki Wirit tidak sempat memperhatikan terlalu lama pertempuran itu. Ketika ia melihat, bahwa keadaan Ki Demang dan kawan-kawannya menjadi semakin sulit, maka Sambi Wulung telah menggamitnya.
"Kemarilah," berkata Sambi Wulung.
Ki Wirit tidak dapat membantah. Ia menyadari dengan siapa ia berhadapan.
"Ki Wirit," berkata Sambi Wulung ketika mereka sudah mengambil jarak dari arena pertempuran. Lalu katanya selanjutnya, "Kau tahu, bahwa kawan-kawanmu itu sebentar lagi akan mati. Jadi yang akan mati bukan saudaraku dan kemenakanku."
Ki Wirit termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab. Meskipun jantungnya bagaikan akan meledak oleh umpatan, tetapi ia harus menahan diri jika ia tidak ingin kulitnya terbakar lagi. Jika telapak tangan itu melekat di wajahnya, maka ia akan sangat mengalami kesakitan. Bahkan cacat.
Dalam pada itu, Sambi Wulungpun telah berkata pula, "Ki Wirit, sebelum saudara dan kemenakanku selesai, maka aku harus sudah menjatuhkan hukumanmu."
Wajah Ki Wirit tiba-tiba menjadi pucat.
"Jika aku menunggu mereka, maka kau akan dapat mengalami kesulitan yang tidak akan dapat kau derita menjelang matimu. Karena itu, aku ingin menolongmu," berkata Sambi Wulung.
"Kau akan membunuhku?" bertanya Ki Wirit. Seorang yang untuk beberapa lama mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas di Kademangan itu.
"Sudah aku katakan, bahwa orang seperti kau ini tidak akan dapat sembuh lagi. Penyakitmu telah menjadi terlalu parah," jawab Sambi Wulung.
Adalah di luar dugaan, bahwa Ki Wirit, yang berilmu tinggi itu tiba-tiba berkata dengan suara memelas, "Aku minta ampun Ki Sanak. Aku berjanji untuk tidak melakukannya lagi."
"Sudah aku katakan, bahwa janjimu sama artinya dengan seekor serigala yang berselimut bulu domba. Jika aku melihat mangsa yang mampu menitikkan air liurmu, maka kau tentu akan menerkamnya sebagaimana laku seekor serigala. Dengan demikian maka kau akan menjadi lebih berbahaya lagi."
"Tidak Ki Sanak. Aku bersumpah demi Yang Maha Agung," berkata Ki Wirit.
"Apakah kau masih percaya kepada Yang Maha Agung?" bertanya Sambi Wulung.
"Tentu. Aku adalah anak manusia yang dititahkan oleh Yang Maha Agung itu," jawab Ki Wirit.
"Ki Wirit. Kita sudah sama-sama tua. Karena itu, kau tidak dapat membohongi aku. Jika kau memang percaya kepada Yang Maha Agung, kau tidak akan berbuat sebagaimana kau lakukan. Kau telah mengatakan sendiri, bahwa hulu luwukmu itu telah kau lekati rambut orang-orang yang pernah kau bunuh. Bahkan seratus orang. Nah, apakah orang yang percaya kepada Yang Maha Agung itu akan dengan mudah membunuh orang?" bertanya Sambi Wulung.
"Dan bagaimana dengan kau?" Ki Wirit itu justru bertanya.
"Kedudukanku lain. Aku membunuh justru bagi ketenangan dan ketenteraman hidup manusia. Membebaskan sesama dari cengkraman ketakutan karena polah tingkahmu. Jika sampai hari ini kau telah membunuh seratus, maka jika kau masih tetap hidup, maka kematian itu akan bertambah seratus lagi. Nah, bukankah aku telah menyelamatkan sembilanpuluh sembilan nyawa dibanding dengan nyawamu yang hanya satu?" geram Sambi Wulung.
Wajah Ki Wirit memang menjadi semakin pucat. Ia sama sekali tidak mengira bahwa saat kematiannya akan datang begitu cepat. Ketika ia mendapat laporan dari Ki Prajak tentang tiga orang yang dengan sombong telah berani mempergunakan tempat yang disediakan baginya dan yang memang sering dipergunakan untuk memancing pertentangan itu, ia mengira, bahwa ia akan dapat membunuh lagi. Dengan demikian ia akan dapat semakin meningkatkan wibawanya di Kademangan itu. Bahkan jika yang dibunuh termasuk orang yang mempunyai bekal yang cukup banyak, maka bekal itu akan berarti pula baginya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sementara itu, Jati Wulung yang memang tidak ingin menunjukkan kemampuannya yang berlebihan di hadapan Puguh, tidak mempergunakan ilmunya yang lain kecuali ilmu kanuragan serta tenaga cadangannya.
Namun dengan demikian, Ki Demang dan ketiga orang kawannya sudah terlalu banyak mengalami kesulitan. Sementara itu, Puguh memang telah memaksa diri untuk menyembunyikan kelemahannya. Tetapi dalam banyak hal Jati Wulung telah banyak memberi kesempatan kepada Puguh untuk menghemat tenaganya.
Bahkan kemudian, satu demi satu lawan-lawan Jati Wulung itupun telah terluka. Bukan hanya segores kecil. Tetapi dua bahkan tiga atau empat luka yang menganga.
Dengan demikian maka Ki Demang dan tiga orang kawannya itu semakin lama menjadi semakin lemah. Puguh yang lemah itu ternyata masih memiliki kemampuan untuk sekedar melindungi dirinya sendiri. Tanpa banyak membuang tenaga, ia menghindari serangan-serangan yang datang dengan tergesa-gesa, karena Jati Wulung telah bergerak seperti seekor elang yang terbang menyambar-nyambar, sehingga lawan-lawannya tidak mempunyai banyak kesempatan.
Sementara itu Sambi Wulungpun berkata kepada Ki Wirit yang pucat, "Saatnya telah tiba. Kau harus mati lebih dahulu dari Ki Demang dan kawan-kawannya."
Ki Wirit menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia masih juga memohon, "Apakah kau tidak dapat mengampuni aku. Aku bersumpah bahwa aku tidak akan melakukannya lagi."
Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Kau memang harus mati. Kau tidak boleh melakukan pembunuhan-pembunuhan lagi. Jika aku mengampunimu, maka yang masih tetap hidup kemudian harus orang lain. Bukan Ki Wirit."
"Aku tidak tahu maksudmu," desis Ki Wirit. Sambi Wulungpun kemudian mendekati Ki Wirit sambil berkata, "Kau dalam keadaanmu yang lain masih akan tetap hidup. Tetapi Ki Wirit harus mati."
Ki Wirit memang menjadi bingung. Namun Sambi Wulung tidak mempunyai banyak kesempatan. Selagi Puguh masih berusaha melindungi dirinya sendiri, maka ia harus melakukannya, agar Puguh tidak melihat kemampuannya. Jika Puguh sempat mengetahui ilmunya yang sangat tinggi, maka ia tentu akan menjadi semakin curiga kepadanya atau bahkan seandainya ia sempat mendapat kepercayaannya, maka orang-orang di sekitar Puguhlah yang akan menaruh kecurigaan itu.
Karena itu, selagi Puguh masih bertempur, Sambi Wulung bertanya kepada Ki Wirit, "Aku ingin keputusanmu. Apakah kau benar-benar ingin tetap hidup dalam keadaan yang baru atau kau ingin mati bersama sifat dan watak jahatmu."
"Aku tidak mengerti," sahut Ki Wirit.
"Kau boleh tetap hidup, tetapi tanpa ilmu sebagaimana kau miliki sekarang," berkata Sambi Wulung, "tetapi jika kau menolak, maka kau benar-benar akan mati."
Wajah pucat Ki Wirit menjadi semakin pucat. Dengan bibir yang bergetar ia berdesis, "Jangan."
"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Hanya ada dua kemungkinan itu. Hidup tanpa ilmu yang selama ini kau salah gunakan, atau mati dalam arti sebenarnya," geram Sambi Wulung.
Ki Wirit benar-benar tidak berdaya. Kemungkinan yang dihadapkan kepadanya sama-sama pahit baginya. Namun ternyata nalurinya untuk bertahan hidup lebih kuat daripada harga dirinya. Karena itu, maka katanya, "Jangan bunuh aku."
"Baik," berkata Sambi Wulung, "duduklah."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Wirit.
"Duduklah. Jangan bertanya lagi. Waktuku sudah menjadi terlalu sempit. Sebentar lagi, pertempuran itu akan selesai," geram Sambi Wulung.
Ki Wirit tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian duduk di atas tanah. Namun sebagai seorang yang berilmu, maka dengan putus asa ia menunggu apa yang akan terjadi atasnya.
Sudah diduga oleh Ki Wirit, bahwa Sambi Wulungpun kemudian telah duduk di belakangnya. Kedua tangannya telah melekat di punggungnya.
Beberapa orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran. Mereka tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Sambi Wulung atas Ki Wirit yang selama ini ditakuti oleh orang-orang se Kademangan, bahkan orang-orang di Kademangan tetangga.
Jati Wulung sempat menyaksikan apa yang dilakukan oleh Sambi Wulung. Tetapi ia justru telah berusaha agar Puguh tidak memperhatikannya. Ia telah melonggarkan tekanannya kepada lawan-lawannya, sehingga dengan demikian perhatian Puguh memang harus terpusat kepada lawannya yang terasa lebih berat menekannya. Dengan demikian maka Puguh memang tidak begitu sempat memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sambi Wulung. meskipun sekilas ia telah sempat melihat pula.
Sementara itu, Ki Wirit yang telah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sambi Wulung hanya sempal mengeluh di dalam hati. Iapun sadar, bahwa petualangannya telah berakhir sampai saat itu, saat ia bertemu dengan orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sejenak kemudian terasa getaran dari telapak tangan Sambi Wulung bagaikan merambat ke dalam tubuhnya. Getaran yang semakin lama menjadi semakin kuat. Bahkan kemudian getaran itu seakan-akan telah mengaduk isi dadanya.
Ki Wirit merasakan, nafasnya menjadi sesak. Rasa-rasanya dadanya menjadi panas. Bahkan kemudian darah di jantungnya menjadi bagaikan mendidih. Perasaan sakit yang sangat telah mencengkam, sehingga pada satu saat, dadanya bagaikan telah meledak.
Ki Wiritpun kemudian menjadi sangat lemah. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, sementara Sambi Wulung telah melepaskan tangannya yang melekat di punggung lawannya itu.
Ki Wirit tidak mampu bertahan ketika darah meleleh dari sela-sela bibirnya. Namun yang kemudian telah diusapnya dengan kain panjangnya.
"Ki Wirit," desis Sambi Wulung, "kau sadar apa yang terjadi atas dirimu."
Ki Wirit yang masih duduk itu mengangguk.
"Hanya dengan demikian kau membuktikan kesungguhan sumpahmu, bahwa kau tidak akan membunuh lagi," berkata Sambi Wulung.
Sekali lagi Ki Wirit mengangguk.
"Sekarang berdirilah. Kau akan tetap hidup dalam keadaan yang lain dari hidupmu yang lewat. Kau harus menyesuaikan dirimu dan bertingkah laku sebagaimana keadaanmu sekarang," berkata Sambi Wulung.
Betapa lemahnya tubuh Ki Wirit, namun iapun kemudian berusaha untuk bangkit berdiri. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi lemah dan tidak berdaya.
"Aku telah kehilangan ilmuku," berkata Ki Wirit.
"Ya. Kau tidak akan mungkin membangunkannya kembali sebagaimana pernah kau miliki. Seandainya kau akan mencobanya lagi, maka dukungan kewadaganmu tidak akan memungkinkan lagi," berkata Sambi Wulung.
Ki Wirit menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku harus meninggalkan tempat ini. Aku akan benar-benar menjadi pengembara dan peminta-minta."
"Kau tidak mempunyai landasan hidup" Maksudku tempat tinggal atau semacam itu?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku akan kembali kepada keluargaku yang aku tinggalkan untuk menuruti kesenangan hatiku selama ini. Aku mempunyai seorang isteri dan beberapa orang anak yang aku lupakan untuk waktu yang lama. Mudah-mudahan mereka mau menerima aku kembali dalam keadaan seperti ini," desis Ki Wirit.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ada perasaan iba di dalam hatinya. Tetapi jika orang itu masih memiliki kemampuan, ia tentu masih akan kambuh lagi dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah.
Dalam pada itu, Jati Wulungpun telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran itu. Ki Demang benar-benar sudah tidak berdaya, sementara ketiga orang kawannya telah terluka.
Dengan nada keras Jati Wulungpun kemudian berkata lantang, "He, apakah kalian masih akan bertempur terus" Lihat, orang yang kau banggakan telah menyerah."
Ki Demang memang sempat menyaksikan Ki Wirit itu berdiri tegak di hadapan Sambi Wulung yang justru mendorong Ki Wirit mendekati arena pertempuran.
"Katakan kepada mereka, agar mereka menyerah saja," desis Sambi Wulung.
Ki Wirit bergerak beberapa langkah maju dengan lemah. Kemudian katanya dengan nada rendah, "Ki Demang. Sudahlah. Aku memang sudah menyerah."
Ki Demang mendengar suara Ki Wirit itu. Iapun tidak mempunyai pilihan lain. Iapun ternyata telah tergores pedang Jati Wulung pula sebagaimana kawan-kawannya yang lain, termasuk Ki Prajak.
Karena itu, maka Ki Demangpun telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk menghentikan pertempuran.
"Lepaskan senjata kalian," geram Jati Wulung.
Ki Demang dan ketiga orang kawannya itupun telah melepaskan senjata mereka.
Namun dalam pada itu, Puguh yang lemah itu nampaknya menjadi sangat letih. Karena itu, maka Jati Wulung yang telah menyarungkan pedangnya itupun telah mendekatinya, membantu Puguh menyarungkan pedangnya pula. Dengan nada tinggi Jati Wulung itupun kemudian berkata, "Anakku sedang sakit. Kalian telah memaksanya untuk mengerahkan tenaga. Karena itu. maka jika terjadi sesuatu atas anakku, kalian semuanya harus mati."
Wajah Ki Demang dan kawan-kawannya menjadi pucat. Sementara itu Sambi Wulung berkata, "Nah, Ki Demang. Apakah permainan buruk seperti ini masih akan kalian lakukan untuk seterusnya?"
Ki Demang menundukkan kepalanya. Ketika sekilas ia memandang wajah Ki Wirit, maka Ki Wiritpun telah menunduk pula.
"Jawablah Ki Demang. Kaulah Demang disini. Bukan Ki Wirit. Sejak hari ini, Ki Wirit telah menyatakan untuk tidak akan mencampuri persoalan dan tugas-tugasmu lagi. Karena itu segala sesuatunya tergantung kepadamu," berkata Sambi Wulung.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku akan berbicara dengan Ki Wirit."
"Lakukanlah," berkata Sambi Wulung, "terserah apa yang akan kalian putuskan. Aku akan meninggalkan tempat ini, karena aku memang sedang dalam perjalanan jauh bersama adik dan kemenakanku yang sakit itu. Tetapi ingat, pada saat yang lain, jika kemenakanku itu sudah sembuh, maka aku akan kembali ke tempat ini. Aku akan berbicara dengan orang-orang Kademangan ini. Jika aku masih menjumpai pemerintahan yang timpang, maka aku tidak akan mengambil tindakan sendiri. Tetapi aku akan melaporkannya kepada para pemimpin di Pajang. Jika kalian tahu bahwa sepasukan prajurit telah menghancurkan Song Lawa, maka sepasukan prajurit akan dapat merombak cara pemerintahan disini."
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Sambi Wulung berkata selanjutnya, "Bicarakan segera. Kami akan melanjutkan perjalanan kami yang terhenti."
Ki Demang termangu-mangu. Apakah benar hanya begitu saja mereka akan meninggalkan Kademangan itu setelah terjadi pertempuran" Apakah mereka tidak akan memanfaatkan kemenangan mereka untuk kepentingan apapun"
Di saat Ki Demang termangu-mangu, maka Ki Wirit-lah yang bertanya, "Apakah kalian tidak akan singgah di Kademangan ini?"
Sambi Wulunglah yang menjawab, "Tidak. Aku tidak akan singgah. Aku sudah kehilangan banyak waktu."
"Tetapi kemenakanmu sakit," berkata Ki Wirit pula.
"Ia tidak apa-apa. Jika ia mengalami kesulitan, maka kalianlah yang harus bertanggung jawab," jawab Sambi Wulung.
Ki Wirit tidak mempersilahkannya lagi. Namun sebenarnyalah bahwa ia juga merasa heran, bahwa ketiga orang itu begitu saja meninggalkan mereka. Ki Demang yang semula mengira akan menerima pembalasan yang pahit, ternyata tidak sama sekali. Orang-orang itu pergi begitu saja setelah perkelahian itu selesai dan mereka menangkan.
"Mereka akan dapat berbuat apa saja yang mereka kehendaki atas kami. Bahkan membunuh sekalipun," desis Ki Demang di dalam hatinya.
Tetapi sebenarnyalah ketiga orang itupun telah minta diri untuk meneruskan perjalanan.
Ki Demang dan kawan-kawannya termangu-mangu. Namun kemudian merekapun mulai memperhatikan luka-luka mereka yang pedih. Beberapa goresan luka telah mengoyak kulit mereka. Namun luka-luka itu nampaknya tidak berbahaya bagi keselamatan jiwa mereka.
Selagi mereka termangu-mangu, maka Ki Wiritpun telah melangkah untuk mengambil luwuknya yang tergolek di tanah. Kemudian dengan suara yang parau Ki Wirit itu berkata, "Ki Demang. Akupun ingin minta diri. Tidak pantas aku tetap berada disini dan membayangi kuasa Ki Demang. Aku memang tidak berhak berbuat seperti itu. Karena itu, maka biarlah aku meninggalkan Kademangan ini. Kemudian aku mohon, Ki Demang dapat memerintah Kademangan ini dengan sebaik-baiknya sebagaimana saat-saat aku belum datang di Kademangan ini. Selama ini aku sudah mengacaukan pemerintahan Ki Demang. Karena itu aku minta maaf. Sebagai kenang-kenangan kehadiranku yang sangat merugikan di Kademangan ini, aku akan menyerahkan senjata pusakaku ini. Biarlah Ki Demang menyimpannya, agar setiap kali Ki Demang akan dapat mengingat bencana yang pernah menimpa Kademangan ini."
Ki Demang memang menjadi bingung. Ia tidak mengerti kenapa hal itu dilakukan oleh Ki Wirit. Ki Demang tidak tahu, bahwa Ki Wirit bukan lagi Ki Wirit yang tadi datang bersamanya ke simpang empat itu untuk mencegat orang-orang yang dianggapnya terlalu sombong.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" bertanya Ki Demang.
"Tidak apa-apa," jawab Ki Wirit, "sikap ketiga orang itu telah membuka hatiku. Aku tidak pantas untuk melakukan pemerasan untuk seterusnya."
"Tetapi Ki Wirit masih mempunyai barang-barang berharga di Kademangan."
Tetapi Ki Wirit menggeleng. Katanya, "Aku sudah tidak memerlukannya lagi. Jika kau kenal pemiliknya, kembalikan kepadanya."
Ki Demang menjadi semakin heran. Apalagi ketika pusaka Ki Wirit itupun telah diberikannya kepadanya pula.
Tetapi Ki Demang yang kebingungan itu tidak sempal mendapat banyak penjelasan. Ki Wiritpun kemudian melangkah pergi sambil berkata, "Aku minta diri."
"Sekarang?" bertanya Ki Demang keheranan.
"Ya. Sekarang," jawab Ki Wirit, "semakin cepat semakin baik bagi Ki Demang dan bagi Kademangan ini."
Ki Demang memang tidak mendapat kesempatan untuk mencegah ketika Ki Wirit kemudian berjalan dengan langkah yang berat. Tubuhnya nampak begitu letih dan bahkan keseimbangannya seakan-akan tidak utuh lagi. Namun Ki Wirit itu berjalan terus tanpa berpaling lagi.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Wirit," desis Ki Demang, "peristiwa ini benar-benar membuat aku menjadi pening. Sulit untuk dipercaya bahwa apa yang kita alami ini memang sebenarnyalah seperti yang kita lihat sekarang ini. Bukan sekedar sebuah mimpi atau sebuah angan-angan yang hampa."
"Mereka memang telah pergi Ki Demang," desis Ki Prajak sambil berdesis menahan pedih.
"Kenapa Ki Wiritpun ikut pula meninggalkan tempat ini. Apalagi ia telah meninggalkan barang-barangnya yang berharga, seakan-akan begitu saja dilupakan setelah ia bekerja keras untuk memilikinya dengan segala macam cara," berkata Ki Demang.
"Agaknya ia telah membawa bekal uang yang cukup," desis Ki Prajak.
"Ia memang membawa uang," sahut Ki Demang, "tetapi seberapa uang yang dapat dibawa di kantongnya itu."
*** JILID 10 "JIKA ia kehabisan uang, aku kira ia akan kembali," berkata Ki Prajak.
"Tidak. Ia tidak akan kembali. Ia justru telah menyerahkan pusakanya kepadaku. Sikapnya terlalu aneh. Aku belum pernah melihat matanya nampak demikian cekung seperti saat ini. Seakan-akan di hatinya telah dibebani perasaan yang hampir tidak tertanggungkan. Ia pergi dengan penuh rahasia di dalam dirinya," berkata Ki Demang.
"Keanehan yang beruntun," desis Ki Prajak, "sikap ketiga orang yang begitu saja pergi itupun aneh bagiku, meskipun ia telah mengancam untuk kembali menilai kebenaran yang terjadi disini sesuai dengan pesannya."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Jika benar-benar yang kita alami ini bukan sekedar angan-angan, maka kita memang harus mulai lagi dari permulaan."
"Apa maksud Ki Demang?" bertanya Ki Prajak.
"Jika benar Ki Wirit meninggalkan Kademangan ini maka kita harus mulai lagi menyusun pemerintahan yang wajar sebagaimana kita lakukan sebelumnya. Apalagi jika ketiga orang itu pada satu saat benar-benar akan melihat Kademangan ini. Maka semuanya harus sudah tersusun baik," berkata Ki Demang yang kemudian telah mengajak Ki Prajak dan dua orang kawannya kembali ke Kademangan.
Dalam pada itu, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh telah melanjutkan perjalanan mereka. Puguh yang telah memaksa diri untuk mengerahkan tenaganya, memang nampak menjadi sangat letih. Bahkan rasa-rasanya untuk melangkahkan kakinya, tenaganya sudah tidak mampu lagi.
"Apakah kita harus beristirahat lagi," desis Sambi Wulung.
"Agaknya memang demikian," berkata Jati Wulung, "di bawah pohon yang rindang itu, kita akan dapat berteduh. Matahari memang menjadi semakin panas menyengat kulit."
Mereka bertigapun kemudian telah berhenti di bawah sebatang pohon yang rindang. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan apapun lagi di sekitar mereka. Bahkan ada juga orang yang menjadi ragu-ragu untuk lewat. Apalagi mereka yang melihat perkelahian disimpang empat.
Namun karena ketiga orang itu agaknya tidak menghiraukan orang-orang yang lalu lalang, maka mereka yang akan lewatpun telah lewat pula, meskipun tanpa berani berpaling ke arah mereka.
"Gantar memang masih agak jauh," berkata Puguh.
"Bukankah kita tidak tergesa-gesa. Seandainya Song Lawa itu tidak dihancurkan oleh sepasukan prajurit, maka kita tentu masih berada di tempat itu," sahut Jati Wulung.
Puguh mengangguk-angguk. Katanya, "Ya kita memang tidak tergesa-gesa."
"Nah, jika demikian berbaringlah. Mungkin dengan demikian, kau akan mendapatkan tenaga baru," berkata Jati Wulung.
Puguh memang tidak berbaring sebagaimana dikatakan oleh Jati Wulung. Tetapi ia duduk sambil bersandar pokok kayu yang rindang itu. Sementara angin yang sejuk mengusap wajah mereka yang semula terasa panas oleh sengatan matahari, gejolak di dalam hati serta kegelisahan yang menghentak-hentak di jantung.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mengusiknya ketika Puguh kemudian tertidur oleh keletihan. Namun keduanya berharap bahwa dengan demikian keadaan anak muda itu akan berangsur baik, sehingga mereka akan dapat melanjutkan perjalanan menuju ke Gantar. Sebuah Kademangan yang agaknya sudah dekat dengan tempat tinggal Puguh atau tempat-tempat yang sering dikunjunginya. Sehingga dengan demikian maka perjalanan mereka selama itu tidak sia-sia.
Ternyata Puguh memang merasa tubuhnya lebih segar ketika ia kemudian terbangun. Kesempatan beristirahat yang tidak terlalu lama itu cukup berarti baginya.
Setelah mencuci muka di sebuah parit yang berair bening, maka merekapun telah membenahi pakaian mereka. Sejenak kemudian, maka merekapun telah melanjutkan perjalanan, menuju ke Gantar.
Namun di perjalanan itu, Puguh masih juga nampak ragu-ragu. Beberapa kali ia mengatakan, bahwa sebaiknya ia pulang sendiri.
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung ketika sekali lagi Puguh mengatakannya.
"Jika perjalanan kita sudah mendekati Gantar, maka aku akan dapat menempuh sisa perjalanan itu sendiri. Aku tidak ingin kalian mengikuti aku sampai ke rumahku dan bertemu dengan orang tuaku," berkata Puguh.
"Apa salahnya jika aku mengantarmu pulang" Bukankah kau rasakan sendiri perjalanan ini" Banyak gangguan dapat terjadi. Sementara itu kau telah kehilangan para pengawalmu. Meskipun kau telah sampai di luar regol rumahmu sekalipun, dapat saja terjadi sesuatu yang tidak kau inginkan atasmu dalam keadaanmu seperti itu. Memang berbeda jika kau dalam keadaan sehat. Kau akan dapat mengatasi beberapa kesulitan ringan sendiri. Tetapi dalam keadaan seperti itu, maka kau menjadi terlalu lemah," berkata Sambi Wulung.
Wajah Puguh nampak berkerut. Tetapi tiba-tiba saja anak muda itu berdesis, "Kalian tentu akan berusaha bertemu dengan orang tuaku."
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi termangu-mangu. Apakah anak muda itu telah mendapat firasat bahwa keduanya mempunyai niat-niat tertentu atas dirinya"
Sementara itu Puguhpun berkata selanjutnya, "Kalian tentu akan mengatakan kepada mereka, bahwa aku berada di Song Lawa. Kalian tentu akan mengatakan bahwa aku masih terlalu muda untuk berada di tempat perjudian seperti itu. Dan kau tentu akan menggurui orang tuaku agar mereka melarang aku dan menuntun agar aku menempuh jalan kehidupan yang lebih baik dari kehidupanku sekarang ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata keengganan Puguh atas kehadiran mereka di rumahnya bukan karena anak itu mencurigai mereka dengan maksud-maksud mereka mengenali tempat tinggalnya. Tetapi justru karena alasan yang lain.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun menyahut, "Puguh. Sebenarnyalah ada niatku untuk mengatakannya kepada orang tuamu. Sebenarnya aku merasa berkeberatan terhadap kehadiran beberapa orang anak muda di Song Lawa termasuk kau sendiri. Bahkan jika kau ternyata dapat menunjukkan rumah anak-anak muda yang lain betapapun jauhnya, aku akan mendatangi rumah mereka dan bertemu dengan orang tua mereka."
"Aku berkeberatan sekali," jawab Puguh tegas, "karena itu maka aku ingin pulang sendiri meskipun aku telah kehilangan para pengawalku."
"Kenapa kau berkeberatan" Apakah kau benar-benar tidak ingin merubah jalan hidupmu?" bertanya Jati Wulung.
Puguh menundukkan kepalanya. Berbagai macam pikiran bergelut di kepalanya. Tetapi yang kemudian dikatakannya adalah, "Sebaiknya kalian tidak perlu mencampuri persoalan pribadiku. Aku berterima kasih atas pertolongan kalian terhadapku. Tetapi aku minta bahwa kalian tidak berniat untuk memasuki tata cara hidup keluargaku dan pribadiku lebih dalam lagi. Biarlah kami menempuh jalan kehidupan kami sesuai dengan keadaan dan keinginan kami."
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Sementara itu bayangan senja mulai nampak di ujung-ujung pepohonan. Kemerah-merahan, sedangkan langit menjadi semakin buram.
Dalam pada itu Sambi Wulung dan Jati Wulung seakan-akan melihat, bahwa kehidupan Puguh memang bukan kehidupan yang wajar. Keluarganya bukannya keluarga sebagaimana kebanyakan keluarga yang hidup sesuai dengan batasannya.
Sebenarnyalah Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mengetahuinya, bahwa orang tua Puguh adalah orang yang telah kehilangan jalur jalan kehidupan wajarnya.
Baru beberapa saat kemudian Sambi Wulung berkata, "Puguh. Kami minta maaf, bahwa kami terlalu banyak mencampuri batas-batas kehidupan pribadimu. Tetapi semuanya itu terdorong oleh satu keinginan untuk menebus kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan. Setelah aku menjadi tua, demikian pula adikku itu, barulah kami merasa bahwa hidup kami sama sekali tidak berarti. Kami terlempar dalam kehidupan yang sangat buruk sejak kami masih terlalu muda. Akhirnya kami kehilangan pegangan dan hidup di dunia yang kelam. Yang paling menyiksaku adalah, bahwa pada suatu saat aku telah menghukum anakku sendiri karena tingkah lakunya yang aku anggap salah, sehingga anakku itu mati. Ibunyapun kemudian membunuh diri karena ia tidak tahan lagi hidup bersamaku." Sambi Wulung berhenti sejenak, lalu, "Ternyata peristiwa itu telah membuka mata hatiku. Aku berusaha untuk menemukan keseimbangan dalam hidupku dengan sisa-sisa keadaanku yang buruk itu. Kini aku hidup dalam dua bayangan. Bayangan hidupku yang lama, dan keinginan untuk memberikan arti di sisa hidupku ini. Karena itu, aku menaruh banyak sekali perhatian terhadap anak-anak muda di tempat-tempat perjudian seperti Song Lawa itu."
Puguh termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sambi Wulung dan Jati Wulung berganti-ganti. Dilihatnya betapa penyesalan yang sangat dalam pada mata Sambi Wulung.
Dengan nada rendah Puguh itupun berkata, "Kenapa perhatianmu tertuju kepada anak-anak muda?"
"Puguh," berkata Sambi Wulung, "jika anakku masih hidup, maka ia tentu sudah sebesar kau ini. Atau barangkali sedikit lebih tua. Aku memang merindukan seorang anak. Tetapi dengan satu sikap, bahwa seandainya anak itu ada padaku, maka ia tidak boleh menirukan tingkah laku orang tuanya. Ia harus menjadi seorang yang berarti di dalam hidupnya,"
"Apakah yang kau maksudkan berarti di dalam hidup seseorang itu?" bertanya Puguh.
"Hidup seseorang baru berarti jika ia menjalani kehidupan ini dengan pegangan cinta kasih. Cinta kasih kepada Sumber Hidupnya, dan cinta kasih kepada sesama," jawab Sambi Wulung.
"Dari mana aku tahu akan hai itu, jika hidupmu sebelumnya selalu berada di dalam kekelaman yang sangat dalam?" bertanya Puguh, "bahkan kau telah membunuh anakmu sendiri."
"Justru setelah hal itu terjadi," berkata Sambi Wulung, "mungkin yang Maha Agung memang menghendakinya ketika aku tersesat ke dalam rumah seorang tua yang bijaksana. Yang menurut penilaian lahiriah adalah orang yang sangat lemah, tetapi ternyata orang itu memiliki kemampuan jauh di atas kemampuanku."
Puguh termangu-mangu. Tetapi ternyata kata-kata Sambi Wulung itu diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Pada langkah-langkahnya yang berikut, di saat-saat gelap malam mulai membayangi perjalanan mereka, Puguh berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Bertiga mereka berhenti di pinggir sebuah sungai kecil. Puguh ternyata ingin turun sejenak untuk membersihkan dirinya. Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak berkeberatan meskipun keduanya tidak ingin menuruni tanggul.
Demikian Puguh melangkah, maka terdengar Sambi Wulung berpesan, "Berhati-hatilah. Mungkin tanggul licin."
Tetapi tanggul itu adalah tanggul yang rendah, sehingga Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak perlu menolongnya.
Ketika Puguh berada di sebelah tanggul dan benar-benar sedang membersihkan diri, maka Jati Wulungpun berdesis, "He, dari mana kau mendapat ceritera yang menarik itu."
"Sst," Sambi Wulung berdesis, "mudah-mudahan ceritera itu tidak sekedar lewat di benaknya. Jika ada sedikit saja yang tersangkut, maka mudah-mudahan mempunyai arti bagi anak itu."
"Ya. Ia tidak sebagaimana kami bayangkan sebelumnya," berkata Jati Wulung, "anak itu tidak terlalu liar dan bahkan buas sebagaimana kita duga. Tetapi ada kemungkinan-kemungkinan lain di dalam dirinya yang dapat dikembangkannya."
"Itulah sebabnya, aku mengarang sebuah ceritera yang mudah-mudahan dapat menyentuh perasaannya," sahut Sambi Wulung.
Tetapi Jati Wulung kemudian menunduk sambil berdesis, "Tetapi bagaimana dengan Risang" Apakah ia dapat mengerti seandainya kita mengatakan kepadanya, bahwa saudaranya seayah itu bukan seorang yang sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk hidup dengan wajar?"
"Persoalannya tidak terletak pada Risang. Tetapi kepada orang-orang di sekitarnya. Kepada Kiai Badra dan Kiai dan Nyai Soka kita dapat memberikan gambaran tentang anak yang bernama Puguh. Mungkin mereka dapat mengerti. Tetapi aku tidak tahu tanggapan ibunya. Nampaknya dua orang perempuan bekas isteri Ki Wiradana itu bagaikan minyak dengan air," sahut Jati Wulung.
"Itu dapat kita mengerti. Seorang dari mereka adalah perempuan yang rakus, sementara yang lain adalah seseorang yang merasa bertanggung jawab atas masa depan sebuah Tanah Perdikan dan yang pernah mengalami perlakuan bukan saja menyakitinya, tetapi hampir membunuhnya," jawab Sambi Wulung.
Namun mereka tidak dapat berbicara lebih panjang, karena Puguh telah melangkah mendekati tanggul. Ketika ia berusaha naik ke atas tanggul yang rendah, maka Sambi Wulung telah mengulurkan tangannya dan menariknya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku merasa menjadi lebih baik," jawab Puguh, "air yang dingin itu membuat tubuhku menjadi semakin segar. Aku akan dapat berjalan lagi semalam suntuk. Bahkan untuk mencapai Gantar, meskipun perlahan-lahan."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Tetapi Sambi Wulungpun berkata, "Jangan memaksa diri. Kita akan berjalan saja sejauh dapat kita capai. Jika kita merasa letih, maka kita akan beristirahat dimanapun juga. Ternyata kita tidak banyak mengalami kesulitan antuk mencari tempat bermalam."
Puguh mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita berjalan saja. Perlahan-lahan. Udarapun rasa-rasanya menjadi lebih segar setelah matahari terbenam."
Demikianlah, merekapun kemudian telah melanjutkan perjalanan. Puguh memang bertanya kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, apakah mereka tidak akan mencuci muka.
Tetapi sambil tertawa Jati Wulung menjawab, "Aku sudah terbiasa hidup tanpa air di tubuhku. Kecuali untuk minum."
"Pantas kau," desis Sambi Wulung, "wajahmu menjadi nampak kering seperti orang sakit-sakitan."
"Dan kau?" bertanya Jati Wulung.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut.
Demikianlah, maka ketiga orang itu telah melanjutkan perjalanan. Ternyata berjalan di malam hari bagi Puguh merasa lebih baik daripada berjalan di siang hari. Namun adalah wajar jika di malam hari mereka diganggu pula oleh perasaan bukan saja lelah, tetapi kantuk.
"Kita tidak perlu memaksa diri untuk berjalan semalam suntuk," berkata Sambi Wulung.
Puguh mengangguk. Iapun menyadari bahwa di malam hari sulit pula baginya untuk menemukan jalan yang akan langsung sampai ke Gantar. Baru kemudian dari Gantar mereka akan menuju kesatu tempat yang sebenarnya memang dirahasiakan. Tetapi jalan yang paling aman menuju ke sebuah padepokan kecil yang terpisah dari lingkungan hidup orang kebanyakan adalah lewat Gantar. Meskipun jalan menuju ke Gantar itu juga mendapat pengawasan ketat, namun jalan itulah satu-satunya jalan menuju ke padepokan itu yang dapat dilalui oleh orang lain dari penghuni padepokan itu meskipun harus melalui pengawasan yang berlapis. Itu pulalah sebabnya maka di antara orang-orang yang menjadi pengikut para penghuni padepokan itu tidak banyak mengenal langsung para pemimpinnya yang tertinggi.
Susunan yang seperti itulah sebenarnya yang menyulitkan bagi Puguh untuk menerima kehadiran kedua orang yang telah banyak menolongnya. Meskipun ia akan dapat membawanya sampai ke padepokannya lewat Gantar, namun apa yang akan terjadi setelah kedua orang itu sampai di padepokannya. Mungkin orang tuanya tidak akan menemuinya atau kebetulan tidak ada di tempat. Sementara gurunya juga jarang sekali berada di tempat itu. Sedangkan Puguh tidak akan dapat membawa kedua orang itu langsung ke satu tempat terpencil yang lebih dirahasiakan lagi. Bahkan bagi orang-orangnya sendiri tidak ada yang mengetahui tempat itu, selain satu dua orang terpercaya. Tempat gurunya menghabiskan hari-hari tuanya di tempat yang sepi dan jauh dari kesibukan duniawi.
Seandainya kedua orang itu bertemu dengan orang tuanya atau gurunya dan mengutarakan tentang jalan yang mereka anggap sesat bagi Puguh itu sendiri, maka Puguh tidak dapat membayangkan apakah akibat yang dapat terjadi atas kedua orang itu meskipun keduanya telah banyak menolongnya, bahkan dapat dianggap telah menyelamatkan jiwanya.
Demikianlah, semakin panjang mereka berjalan, hati Puguh menjadi semakin bingung. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia telah tertarik dan merasa sesuai berhubungan dengan kedua orang itu. Puguh menyadari, mungkin karena kedua orang itu telah menolongnya dan berbuat baik kepadanya. Namun justru karena itu, maka ia tidak ingin kedua orang itu mengalami kesulitan jika benar-benar ia dapat bertemu dengan orang tuanya dan memberikan pendapatnya yang tentu tidak akan sesuai dengan pendapat orang tuanya itu. Bahkan mungkin kedua orang itu akan mendapat kesulitan karenanya.
Dalam pada itu, maka Puguhpun kemudian telah mencoba untuk mengetahui jalan yang mereka lalui dengan saksama. Jika mereka mengambil jalan yang salah, maka akibatnya akan sangat parah bagi mereka. Mungkin akan terjadi salah paham dengan orang-orang yang mendapat tugas untuk menutup lingkungan dan arah menuju ke padepokan itu. Karena hanya jalan dari Gantar sajalah yang dapat dilalui oleh orang lain dengan hambatan yang paling kecil, karena orang-orang yang bertugas di jalan yang menuju ke padepokan itu lewat Gantar masih dibenarkan untuk berbicara dan bertanya kepada orang-orang yang lewat. Tetapi di jalan lain persoalannya akan lain.
Itulah sebabnya, ketika mereka menempuh perjalanan di jalan yang rasa-rasanya menjadi semakin sempit dan rumpil, maka Puguhpun berkata, "Kita berhenti sampai disini. Aku takut, bahwa jalan ini tidak akan sampai ke Gantar. Di siang hari, kita akan dapat melihat lebih baik, apakah kita tersesat atau tidak."
Sambi Wulung dan Jati Wulung sama sekali tidak berkeberatan. Merekapun kemudian mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat. Sebagai pengembara yang berpengalaman, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung sama sekali tidak merasa canggung berada di manapun. Namun keduanya memang menjadi heran, bahwa Puguh pun ternyata tidak pula merasa canggung untuk berada di tempat yang bagaimanapun. Dengan demikian maka keduanya mengambil kesimpulan bahwa Puguh memang telah mempunyai pengalaman yang luas.
"Jauh lebih banyak dari pengalaman Risang yang hampir selalu berada di padepokan kecil itu saja," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya. Sementara itu Jati Wulungpun berkata kepada diri sendiri, "Meskipun Risang selalu menempa diri, tetapi ia masih belum terbiasa untuk mengambil sikap menghadapi kesulitan-kesulitan yang dapat dihadapinya dimanapun juga."
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung sempat mengamati keadaan di sekitarnya. Mereka memang sudah berada di perbatasan antara tanah yang digarap dan padang perdu yang liar. Satu-satu telah mereka dapati pohon-pohon yang agak besar yang semakin jauh menjadi semakin banyak. Dalam keremangan malam, mereka melihat tidak terlalu jauh di hadapan mereka terdapat, sebuah hutan yang menebar.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun menyadari, bahwa mereka sebaiknya mengambil jalan lain untuk menuju ke Gantar. Meskipun langit bersih sehingga mereka sempat melihat bintang Gubug Penceng, sehingga mereka dapat mengerti arah, namun jalan yang mereka lalui itu bukan jalan yang baik untuk sampai ke Gantar.
Dengan demikian maka bagi mereka bertiga memang lebih baik berhenti dan beristirahat daripada menempuh perjalanan tetapi di keesokan harinya harus melangkah kembali karena jalan setapak yang mereka lalui ternyata tidak akan sampai ke tujuan.
Namun tiba-tiba saja Sambi Wulung dan Jati Wulung terkejut. Mereka tidak tahu ujung pangkalnya ketika Puguh tiba-tiba berkata, "Kita benar-benar salah jalan. Marilah, kita tinggalkan tempat ini."
Dengan kerut di kening Jati Wulung bertanya, "Bukankah kita akan beristirahat sampai esok menjelang dini hari" Apa salahnya kita beristirahat disini?"
"Sebaiknya kita bergeser. Aku yakin bahwa jalan ke Gantar tidak terlalu jauh dari tempat ini. Beberapa ratus tonggak saja ke arah Selatan," sahut Puguh.
"Ya, berapapun jaraknya jalan ke Gantar itu dari tempat ini, namun bukankah kita dapat menunda perjalanan ini sampai esok?" bertanya Sambi Wulung pula.
"Apakah kalian sudah terlalu letih sehingga tidak mungkin lagi bergerak?" bertanya Puguh.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berkata dengan nada rendah, "Apakah yang sebenarnya telah terjadi Puguh" Tentu bukan sekedar kita ingin berpindah tempat. Kau tentu melihat atau mengenali sesuatu yang memaksa kita berpindah dari tempat ini. Jika kau dapat meyakinkan kami, maka kami tidak akan berkeberatan untuk berpindah tempat sekarang."
Puguh termangu-mangu sejenak, namun dengan punah kebimbangan ia berkata, "Tempat ini bukan tempat yang baik untuk beristirahat."
"Kenapa?" desak Jati Wulung.
Puguh tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk ke sebuah pohon yang tidak terlalu besar di pinggir jalan kecil yang ditempuhnya itu. Pada batang pohon itu terdapat sebuah topeng kecil dari wajah yang menakutkan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengamati topeng itu dengan saksama. Dengan nada berat Sambi Wulung berkata, "Bagaimana kau sempat melihat topeng itu disini" Kami berdua sama sekali tidak melihatnya."
"Kalian berada di seberang lorong. Karena itu maka kalian tidak melihatnya," jawab Puguh, "adalah kebetulan aku melihatnya karena aku disini."
Tetapi Sambi Wulungpun kemudian bertanya meskipun di dalam hatinya telah tumbuh dugaan tentang topeng yang terdapat di pohon itu, "Tetapi kenapa kau begitu cemas melihat topeng kecil itu?"
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Ia memang agak kebingungan untuk menjawab. Baru setelah merenung sejenak ia menjawab, "Aku adalah seorang yang hidup di daerah ini. Meskipun jaraknya masih agak jauh, tetapi aku mengenali lingkungan ini dengan baik. Setiap orang Gantar dan sekitarnya tahu, bahwa topeng itu adalah pertanda bahwa lingkungan di sekitarnya adalah lingkungan yang tidak boleh diambah oleh pihak lain."
"Jadi topeng kecil itu menunjukkan satu ciri kekuasaan di daerah ini" Maksudku kekuasaan yang berdasarkan pada kekuatan semata-mata" Bukan kekuasaan karena hak?" bertanya Jati Wulung.
Puguh menjadi semakin bimbang untuk menjawab. Tetapi akhirnya iapun mengangguk. Katanya, "Ya. Begitulah menurut pengenalan orang-orang Gantar dan sekitarnya."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Sambi Wulungpun telah mempertajam pendengarannya. Tiba-tiba saja ia meloncat ke arah sebuah gerumbul tidak jauh di belakangnya sambil berkata, "Keluarlah Ki Sanak, Tidak pantas kita bermain sembunyi-sembunyian di saat tidak ada bulan. Barangkali kita juga sudah terlalu tua untuk bermain seperti itu."
Puguh menjadi tegang. Sementara Jati Wulung mendekatinya sambil berbisik, "Tidak hanya di belakang gerumbul itu. Di tempat lain aku juga melihat orang yang berlari sambil membungkuk-bungkuk ke belakang gerumbul di sebelah pohon yang agak besar itu."
Puguh mengangguk. Katanya, "Kita sudah terlambat untuk menghindari perkelahian."
"Kita tidak berbuat apa-apa," jawab Jati Wulung.
"Soalnya bukan berbuat atau tidak berbuat apa-apa. Lingkungan ini sama sekali tidak boleh dijamah oleh orang lain. Sadar atau tidak sadar," jawab Puguh.
"Kau tidak mengatakan sebelumnya, bahwa di sekitar Gantar terdapat tempat seperti ini," desis Jati Wulung.
"Aku kira kita masih cukup jauh dari tempat-tempat seperti ini. Aku memang agak bingung memilih jalan. Tetapi tiba-tiba saja kita sudah terperosok ke dalam lingkungan seperti ini," jawab Puguh.
"Jika demikian, apaboleh buat," berkata Jati Wulung, "kita tidak mempunyai pilihan lain jika mereka memaksa kita untuk bertempur."
Puguh tidak menjawab. Tetapi nampak kegelisahan yang sangat pada sikapnya, sehingga Jati Wulung dapat mengambil satu kesimpulan tersendiri tentang hubungan antara Puguh dan topeng kecil itu. Tetapi Jati Wulung tidak mengatakannya. Yang kemudian diucapkan adalah, "Hati-hatilah. Kita akan bertempur."
Puguh masih tetap diam. Sementara itu Sambi Wulung yang menghadapi sebuah gerumbul berkata selanjutnya, "Keluarlah, atau aku akan membakar gerumbul ini bersamamu."
Sejenak kemudian, maka seseorang telah meloncat dari balik gerumbul itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar berjambang lebat. Dalam kegelapan wajahnya tidak terlalu jelas untuk dikenali. Apalagi ketika Sambi Wulung yang berpandangan tajam itu melihat garis-garis yang sengaja digoreskan pada wajah itu yang agaknya dengan sengaja untuk mempersulit pengenalan seseorang atas mereka.
Yang kemudian berloncatan dari balik gerumbul bukannya hanya seorang. Namun kemudian ternyata beberapa orang yang lain. Empat orang.
"Berjongkok di hadapanku," terdengar orang itu menggeram, "orang yang sudah memasuki lingkungan ini harus mati. Karena itu, relakan aku memenggal lehermu."
"Tunggu Ki Sanak," berkata Sambi. Wulung, "kenapa daerah ini tidak boleh dijamah oleh orang lain kecuali kau dan gerombolanmu?"
"Yang berada disini harus mati," geram orang itu.
"Jika memang demikian, apaboleh buat. Kami tidak akan dapat merubah peraturan yang kalian buat. Tetapi kenapa" Tlatah ini tlatah dalam wewenang siapa?" bertanya Sambi Wulung.
Tetapi orang itu seakan-akan tidak, mendengar. Bahkan ia telah bertanya, "Satu kebaikan hati jika aku bertanya, siapa namamu agar kau mati dengan tenang karena kau tidak mati tanpa nama."
"Namaku Wanengbaya, dan itu adalah saudaraku Wanengpati. Anak muda itu adalah kemenakanku." Jawab Sambi Wulung.
Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya, "berjongkoklah. Tundukkan kepalamu agar kami mudah melakukan tugas kami. Jika kami tidak dapat memenggal lehermu sekali putus, mungkin kau akan menderita."
"Ki Sanak," berkata Sambi Wulung, "barangkali kau bersedia menyebutkan serba sedikit sebelum kau berniat benar-benar memenggal leherku, kenapa kalian berani menganggap lingkungan ini lingkungan kalian dan menganggap orang lain yang memasuki daerah ini bersalah."
"Kami berkuasa, disini," berkata orang itu, "kami dapat menentukan apa saja yang kami kehendaki."
"Jadi menurut pendapatmu, kekuasaan sejalan dengan kekuatan?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Kekuatan akan menentukan kekuasaan" He jika tanpa kekuatan, siapa yang dapat berkuasa" Ternyata kau terlalu bodoh sehingga tidak dapat mengetrapkan penalaran tentang kekuatan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Apakah kau kira seekor monyet dapat mengusir seekor harimau dari dalam hutan" Atau seekor ayam dapat mengatur kehidupan musang dalam kelompok di sarangnya?" jawab orang itu.
Misteri Pulau Neraka 3 Simbol Yang Hilang The Lost Symbol Karya Dan Brown Backstreet 3