Sayap Sayap Terkembang 12
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 12
"Memang masuk akal," jawab Jati Wulung, "dua padepokan dengan dua wajah yang berbeda, tetapi di bawah satu perintah. Tetapi mengenai Puguh sendiri, agaknya ia mulai berpikir tentang dirinya sendiri."
"Ya," sahut Sambi Wulung, "jika kita sempat berhubungan dengan anak muda itu lebih lama, maka kita akan dapat membuka pikirannya. Aku masih mempunyai kepercayaan kepadanya."
"Kita tidak tahu, siapakah gurunya dan bagaimana sikapnya," berkata Jati Wulung kemudian, "sikap dan pandangan seorang guru akan lebih berpengaruh terhadap seorang murid daripada sikap ayah dan ibunya sendiri jika anak itu bulat-bulat diserahkan kepada seorang guru di sebuah padepokan."
"Tetapi pertanda topeng kecil itu adalah satu gambaran sikap padepokan bayangan dari padepokan Puguh itu," berkata Sambi Wulung kemudian.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah merekapun belum dapat menemukan satu keyakinan yang bulat. Semuanya masih merupakan dugaan-dugaan meskipun mereka mempunyai alasan-alasan yang kuat.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulungpun berkata, "Bagaimanapun juga peringatan Puguh agar kami berhati-hati itu merupakan peringatan yang benar-benar harus kita perhatikan. Tentu ia telah mendengar satu rencana yang akan ditrapkan terhadap kita berdua."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Memang banyak hal yang dapat terjadi. Namun sambil melangkah terus ia berkata, "Apa salahnya untuk selalu berhati-hati."
Sebagaimana saat mereka datang, maka merekapun telah menempuh jalan kembali melalui Gantar. Jalan yang melewati tepi hutan yang lebat. Hutan yang masih dihuni segala macam binatang buas dan ular-ular raksasa yang berkeliaran.
Tetapi kedua orang yang mempunyai pengalaman yang luas itu sama sekali tidak gentar, sebagaimana orang-orang padepokan Puguh yang justru sering berburu binatang di hutan itu.
Tetapi keduanyapun sama sekali tidak mendapat gangguan dari binatang-binatang buas di hutan itu, sehingga akhirnya merekapun telah menempuh jalan yang menjauhi hutan itu, memasuki padang perdu yang gersang.
Panas matahari yang mulai mencubit kulit mereka telah memanasi pula rerumputan di padang perdu itu. Daun-daun yang menua telah menjadi kuning dan kemudian berguguran di tanah.
Namun kedua orang itu berjalan terus. Meskipun keringat mulai membasahi tubuh mereka, tetapi mereka tidak merasa segan untuk melangkah terus.
Akhirnya, merekapun mulai memasuki tanah persawahan yang digarap oleh orang-orang padukuhan kecil yang tersebar. Dari padukuhan yang satu sampai ke padukuhan berikutnya, mereka tidak lagi merasa terpanggang oleh panasnya matahari yang meskipun menjadi semakin tinggi. Beberapa batang pohon turi tumbuh berjajar di pinggir jalan. Meskipun daunnya tidak terlalu lebat, tetapi cukup rimbun untuk melindungi para pejalan kaki di tengah-tengah bulak itu.
Ketika mereka mendekati padukuhan induk Kademangan Gantar, Jati Wulungpun berkata, "Sampai disini kita tidak menemukan hambatan apapun juga."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kita baru sampai ke Gantar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kita melewati Gantar ini."
"Apakah mereka tahu, dari Gantar kita akan pergi kemana?" bertanya Jati Wulung.
"Mereka mempunyai seribu mata yang tersebar di sekitar padepokan mereka dan mempunyai seribu telinga yang dipasang di pepohonan di pinggir-pinggir jalan," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulungpun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Apapun yang akan mereka lakukan, asal saja kita berhati-hati. Bahkan mungkin mereka akan dapat berbuat sesuatu atas kita dengan cara yang sangat licik dan tidak kita duga sebelumnya."
"Ya. Memang mungkin saja terjadi. Sedangkan kita tidak akan membiarkan diri kita diterkam oleh bencana apapun juga," sahut Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab lagi. Perhatiannya mulai tertuju kepada Kademangan induk di hadapan mereka.
Demikian mereka memasuki padukuhan induk Kademangan Gantar, maka mereka bersepakat untuk singgah di sebuah kedai. Bukan sekedar untuk melepas haus dan lapar. Tetapi mereka ingin mendengar pembicaraan orang di kedai itu tentang keadaan Kademangan mereka.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang berada di kedai itu tidak seorangpun yang mengeluh tentang peristiwa-peristiwa buruk yang pernah terjadi karena kelakuan orang-orang jahat. Bahkan rasa-rasanya padukuhan induk itu memang tenang dan tenteram.
Tetapi keduanya memang tidak dapat menganggap bahwa diri mereka telah terlepas dari kemungkinan buruk sebagaimana diperingatkan oleh Puguh.
"Seperti yang pernah kita bicarakan," berkata Jati Wulung, "biasanya sekelompok penjahat tidak melakukan kejahatan atas tetangga sendiri."
Di kedai itu mereka tidak mendapatkan keterangan apa-apa tentang hubungan antara Gantar dengan orang-orang di padukuhan yang dihuni oleh Puguh, maupun padepokan atau gerombolan lain yang telah memasang pertanda tertentu di tempat-tempat yang dianggap lingkungan mereka agar tidak disentuh oleh orang lain.
Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung itupun telah melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan padukuhan induk Gantar. Bahkan kemudian merekapun telah melintasi beberapa padukuhan lain di Kademangan Gantar.
Sambi Wulung dan Jati Wulung justru mulai membuat perhitungan tersendiri ketika mereka telah keluar dari Kademangan Gantar. Mereka mula memasuki bulak-bulak panjang di antara padukuhan-padukuhan yang tersebar. Sawah yang terbentang seakan-akan sampai ke cakrawala, menggapai kaki pegunungan.
"Rasa-rasanya tenaga para penghuni padukuhan itu tidak akan mampu mengerjakan sawah seluas ini," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kerja keras dari para petani. Tetapi lihat, di bagian itu agaknya sawah dikerjakan tidak sebagaimana di sisi yang lain."
Jati Wulung menangguk-angguk. Ketika mereka melintasi daerah itu, maka mereka memang melihat, bahwa agaknya di kotak-kotak sawah itu, air agak lebih sulit didapat dari bagian yang lain, sehingga yang ditanam di bagian itu adalah padi dari jenis yang tidak terlalu banyak memerlukan air. Padi gaga.
"Sebentar lagi, daerah ini akan menjadi daerah pategalan. Lihat, beberapa macam pohon telah ditanam di pematang," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Di luar sadarnya iapun berhenti dan mengamati beberapa jenis pohon buah-buahan yang mulai tumbuh dengan subur.
Namun tiba-tiba saja kening Jati Wulung berkerut. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Karena itu, maka dengan nada rendah ia berdesis perlahan-lahan, "Apakah kau melihat sesuatu?"
"Ya. Bukankah benar seperti yang aku katakan. Mereka tahu ke arah mana kita akan pergi?" justru Sambi Wulunglah yang kemudian bertanya, "berapa orang yang telah kau lihat?"
"Aku baru melihat seorang," desis Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah. Kita berjalan terus. Mudah-mudahan sekedar prasangka kita saja. Jika orang itu adalah seorang petani yang sedang bekerja di sawah, maka kita telah bersalah. Agaknya jantung kitalah yang dipenuhi dengan kecurigaan."
Jati Wulungpun mengangguk-angguk pula. Tetapi iapun kemudian berkata, "Mudah-mudahan. Tetapi seorang petani tidak akan langsung berusaha menghilang di balik tanaman di sawah melihat kehadiran kita."
"Agaknya kita memang harus berhati-hati," berkata Sambi Wulung.
Demikianlah maka kedua orang itu telah melanjutkan perjalanan mereka, melintasi bulak panjang yang sepi. Rasa-rasanya orang-orang yang mengerjakan sawahpun tidak kelihatan pula. Sementara itu tanaman padi yang tumbuh semakin besar agaknya sudah perlu disiangi.
Namun kedua orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat sebatang anak panah yang meluncur ke udara dari balik sebongkah batu padas.
Sambi Wulung dan Jati Wulung berpandangan sejenak. Sementara itu matahari telah mulai turun di belahan langit sebelah Barat. Dengan dahi yang berkerut Sambi Wulung berkata, "Nah, kita sudah harus melakukannya. Apaboleh buat. Kita tidak dapat sekedar bermain-main. Mungkin kita benar-benar harus membunuh dalam keadaan seperti ini."
"Mereka tentu sudah memperhitungkan kemampuan kita," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Marilah, Kita berjalan terus."
Keduanyapun berjalan terus. Seakan-akan mereka tidak menghiraukan anak panah yang terbang melintasi jalan yang mereka lalui.
Namun sejenak kemudian, maka beberapa orangpun telah berloncatan dari balik batang-batang padi pada jarak yang agak jauh dari jalan yang melintasi bulak panjang itu.
"Merekapun sangat berhati-hati," berkata Sambi Wulung, "mereka mengikuti kita dari jarak yang sangat jauh."
"Satu pertanda bahwa mereka memperhitungkan banyak kemungkinan. Agaknya Puguh telah menceriterakan apa yang terjadi di Song Lawa," desis Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Justru karena mereka mengetahui tataran kemampuan mereka berdua, maka mereka agaknya telah bertindak sangat berhati-hati.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung berjalan terus tanpa menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung sempat berbisik, "Tentu bukan rencana Puguh. Justru anak muda itu telah memberikan isyarat kepada kita untuk berhati-hati."
Jati Wulung mengangguk sambil menjawab, "Ya. Bukan salah anak muda itu."
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung menyadari, bahwa beberapa orang telah meniti pematang, mendahului perjalanan mereka. Beberapa orang di antara mereka telah meloncati parit dan kemudian berada di jalan yang dilalui oleh kedua orang itu.
"Nampaknya mereka tidak begitu cerdas berpikir," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Nampaknya orang itu berilmu tinggi. Tetapi otaknya memang agak tumpul. Yang lain tentu lebih dungu lagi meskipun mereka sudah terbiasa melakukan tindak kekerasan."
Keduanya tidak berbicara lagi. Tetapi perhatian mereka tertuju kepada seorang di antara mereka yang mempergunakan topeng. Kedua orang itu langsung dapat mengenalinya meskipun wajahnya tidak kelihatan. Selain bentuk tubuhnya, juga karena orang itu justru memakai topeng, sementara yang lain tidak. Dengan demikian orang itu tentu berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah dikenal oleh kedua orang yang dicegatnya.
Karena itu, demikian orang itu berdiri di tengah jalan dengan tangan bertolak pinggang, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun berdesis hampir bersamaan, "Gagaklahan."
Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulungpun sempat menghitung orang-orang yang kemudian telah berloncatan pula dan berdiri di sebelah menyebelah orang bertopeng itu.
"Enam orang," berkata Jati Wulung.
"Jumlah yang berat," berkata Sambi Wulung.
"Apaboleh buat," jawab Jati Wulung.
Namun dalam pada itu, keduanya masih saja berjalan terus.
Keduanya baru berhenti ketika orang-orang itu mengangkat tangannya dan memberikan isyarat kepada keduanya untuk berhenti.
"Kenapa kau menghentikan perjalanan kami Ki Sanak?" bertanya Sambi Wulung.
"Kau telah berada di dalam daerah kekuasaanku tanpa ijinku," jawab orang bertopeng itu. Suaranya serak dan bergetar di balik topengnya. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung mengerti, bahwa orang itu berusaha untuk tidak dikenali.
Orang itu menjadi heran, bahwa kedua orang yang dihentikan itu perhatiannya justru pada topengnya. Jati Wulung sambil tersenyum bertanya, "Kenapa kau memakai topeng, sementara kawan-kawanmu tidak?"
Orang itu memang agak menjadi bingung untuk menjawab. Namun kemudian katanya, "Tidak semua orang boleh mengenal wajahku yang sebenarnya. Hanya orang-orang penting sajalah yang pantas untuk melihat wajahku."
"Apakah wajahmu cacat?" bertanya Jati Wulung pula, "bibirmu sumbing misalnya. Atau matamu buta sebelah atau hidungmu gerumpung."
"Cukup," orang itu berteriak, "kami datang untuk membunuhmu."
Sambi Wulung justru tertawa. Katanya, "Jika kau marah, maka kau telah lupa merubah suaramu. Apalagi saat suaramu melengking, meskipun di balik topengmu."
Telinga orang itu bagaikan disentuh api. Sementara Jati Wulung justru bertanya, "Siapakah kau sebenarnya Ki Sanak" Apakah kau yang bernama Gagaklahan?"
"Anak iblis," orang itu mengumpat, "tidak ada hubungannya dengan Gagaklahan."
"Bukalah topengmu. Tidak ada gunanya di hadapan kami," berkata Sambi Wulung, "pengenalan kami atas seseorang cukup tajam, sehingga tidak sekedar terbatas pada wajah seseorang. Kami mengenali bentuk tubuhmu. Caramu melangkah, suaramu yang meskipun kau samarkan dan banyak hal lagi yang dapat kami kenali. Karena itu topeng itu tidak ada artinya sama sekali. Barangkali hanya akan mengganggu pandanganmu saja, karena dengan topeng itu, kau tidak dapat melihat bebas sebagaimana jika kau tidak memakainya."
Terdengar orang itu mengumpat. Namun ia benar-benar telah membuka topengnya. Sebenarnyalah bahwa orang itu adalah Gagaklahan.
"Ki Sanak," berkata Sambi Wulung kemudian, "kau membuat kami menjadi heran. Apa pula salah kami, sehingga kau membawa beberapa orang kawanmu menghentikan perjalanan kami" Jika kau menganggap kami mengganggumu di padepokanmu, maka kami sudah dengan tergesa-gesa pergi."
"Ki Sanak," berkata Gagaklahan, "sayang sekali bahwa kami harus mengambil langkah penghadangan. Kehadiran kalian berdua di padepokan kami sangat mencurigakan. Kalian bukan orang-orang kebanyakan yang tidak mempunyai penilaian tertentu terhadap padepokan kami. Tetapi justru karena kalian memiliki ketajaman pengamatan, maka kau bukan orang yang pantas untuk mengunjungi padepokan kami."
"Bukankah kami datang ke padepokanmu untuk mengantarkan Puguh yang mengalami kesulitan di Song Lawa dan juga di perjalanan kembali?" jawab Sambi Wulung. Lalu, "Bukankah sepantasnya kalian justru berterima kasih kepada kami?"
"Kau sangka kami tidak tahu, bahwa yang kalian lakukan tidak lebih dari sikap pura-pura" Kau antar Puguh sampai ke padepokannya. Tetapi yang penting bagi kalian bukan keselamatan Puguh, tetapi dengan demikian kalian akan dapat melihat-lihat isi padepokanku," berkata Gagaklahan.
"Buat apa aku mengintai isi padepokanmu" Aku tidak mempunyai kepentingan sama sekali. Kau kira kami ini siapa" Kami adalah dua orang pengembara yang menjelajahi tempat-tempat di atas tanah ini. Kami memasuki lingkungan perjudian yang satu dan lingkungan perjudian yang lain. Gersik, Bergota, Pajang, Song Lawa dan tempat-tempat lain. Bahkan kami telah sampai ke tempat perjudian yang tersembunyi di sebelah Selatan Cirebon dan Kedung Pring di Wanasaba," berkata Sambi Wulung pula.
"Apapun yang kau katakan tidak akan dapat menyelamatkan umurmu. Marilah, ikuti kami. Kita akan memilih tempat yang baik bagi saat-saat terakhir kalian," berkata Gagaklahan.
"Maksudmu?" bertanya Sambi Wulung.
"Kami dapat membunuh kalian dengan seribu macam cara," berkata Gagaklahan, "jika kau menurut cara yang kami tawarkan, maka kematian kalian akan berjalan rancak dan baik. Tetapi jika kalian menolak, kami akan memilih cara yang jauh lebih buruk. Mungkin kalian akan bertahan sampai empat lima hari sebelum kalian benar-benar mati."
"Itu mengerikan sekali," sahut Jati Wulung, "ternyata bahwa kau adalah iblis yang paling garang. Kami menyangka bahwa kau benar-benar seorang yang ramah sebagaimana kau menerima kedatangan kami di padepokanmu."
"Sudahlah," berkata Gagaklahan, "nasib seseorang kadang-kadang memang tidak dapat dilihat sebelumnya. Sekarang bersiaplah untuk mati."
"Kau akan menusuk jantung kami?" bertanya Jati Wulung.
"Tetapi tidak disini. Marilah, lebih baik kita pergi ke kuburan. Kau akan memperingan pekerjaan kami. Tetapi kaupun akan mengurangi kengerian di saat-saat matimu," berkata Gagaklahan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Yang menjawab kemudian adalah Sambi Wulung. "Baiklah. Barangkali kami harus bijaksana di saat terakhir ini. Jumlah kalian terlalu banyak bagi kami."
"Bagus," berkata Gagaklahan. "Berjalanlah."
"Kemana?" bertanya Sambi Wulung.
"Ikuti jalan ini. Kami akan memberikan aba-aba." jawab Gagaklahan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak membantah. Mereka berjalan sambil menundukkan kepala. Sementara beberapa orang mengikutinya di belakang.
Ketika mereka sampai disimpang empat, maka Gagaklahan telah memberikan aba-aba untuk berbelok ke kiri. Kemudian beberapa ratus patok mereka berbelok lagi ke kanan dan masih sekali lagi ke kiri.
Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung memandang lurus ke depan, maka mereka menyadari, bahwa jalan itu adalah jalan yang menuju ke sebuah bukit kecil di tengah-tengah bulak yang luas. Di atas bukit kecil itu terdapat sebuah kuburan tua yang sudah tidak dipergunakan lagi kecuali membiarkan kuburan itu sebagaimana adanya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung sempat berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka telah memperhatikan beberapa pohon semboja yang sudah menjadi tua pula dan berdaun rimbun dengan cabang-cabangnya yang besar-besar serta bunganya yang semerbak dengan baunya yang khusus. Sementara di tengah-tengah kuburan lebih besar lagi adalah sebatang pohon cangkring yang beberapa dahan dan rantingnya telah menjadi lapuk.
"Pandanglah ke depan," berkata Gagaklahan, "kalian akan mendapat tempat beristirahat yang tenang dan tidak akan terganggu lagi."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menjawab. Namun ketika mereka sampai di regol kuburan yang telah rusak itu, maka langkah merekapun terhenti.
"Kita akan masuk ke dalam," berkata Gagaklahan, "di dalam kuburan itu sudah terdapat beberapa macam alat untuk menggali kubur. Nah, tugas kalian adalah menggali kubur kalian masing-masing. Kemudian berbaring di dalamnya. Kami akan menusuk kalian tepat di jantung."
"Apakah kalian mempunyai cara yang lain?" bertanya Sambi Wulung.
"Sudah aku katakan, bahwa kami mempunyai seribu cara. Kami dapat mengikat kalian pada batang pohon cangkring raksasa itu. Kalian harus tahu, bahwa pada batangnya yang besar itu terdapat sarang semut merah. Semut itu adalah semut yang sangat rakus. Namun semut-semut itu tentu akan dapat membunuh kalian sekaligus. Semut itu akan makan bagian-bagian tubuh kalian yang lunak," berkata Gagaklahan.
"Mengerikan sekali," desis Jati Wulung, "cara itu hanya dilakukan oleh iblis-iblis yang bengis."
"Kami memang termasuk iblis yang kau maksud," berkata Gagaklahan sambil tertawa.
Jati Wulung menggeretakkan giginya, sementara Gagaklahanpun berkata, "Karena itu, maka aku telah menyediakan cara yang paling baik buat kalian karena kalian tidak melawan. Berbaring di lubang kubur dan satu tusukan yang akan menembus jantung. Kalian akan mati sambil tersenyum di saat terakhir serta mengucapkan terima kasih untuk yang penghabisan."
Sambi Wulung dan Jati Wulung kemudian memandangi keadaan di sekitarnya. Memang menyeramkan. Meskipun di siang hari, namun tempat itu telah dilindungi oleh bayangan dedaunan yang pepat oleh pohon-pohon yang besar serta pohon-pohon semboja yang tua, sehingga rasa-rasanya sinar matahari tidak dapat menggapai tanah pekuburan yang lembab berlumut.
"Nah, kalian sempat memilih tempat," berkata Gagaklahan, "sebaiknya kalian menggali lubang kubur sebelah menyebelah. Mungkin di dalam kubur kalian sempat berbincang."
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih memandang berkeliling. Namun kemudian Sambi Wulungpun berkata, "Maaf Ki Sanak. Tidak ada tempat yang menarik bagiku disini. Apakah tidak ada tempat lain yang lebih baik" Yang tidak terlindung bayangan rimbunnya dedaunan sehingga nampak gelap dan menyeramkan."
"Tidak ada tempat lain," jawab Gagaklahan. Lalu, "Cepatlah. Jangan menunggu kami berubah pikiran. Jika kami merubah keputusan kami dan menentukan cara kematian kalian yang lain, maka kalian akan menyesal."
"Tetapi dengan apa kami harus menggali kubur kami?" bertanya Jati Wulung.
Gagaklahan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada salah seorang pengikutnya, "Ambil cangkul itu."
Dua orang di antara keenam orang yang menyertainya itu telah menyusup ke bawah pohon benda yang berdaun lebat. Mereka telah mengambil dua buah cangkul dari dalam semak-semak dan membawanya kepada Gagaklahan.
"Berikan kepada mereka," berkata Gagaklahan.
Kedua orang itupun telah menyerahkan cangkulnya kepada Sambi Wulung dan kepada Jati Wulung.
"Nah, sekarang lakukan. Jangan berbuat yang aneh-aneh, sehingga dapat merubah keputusanku yang terlalu baik bagi kalian," geram Gagaklahan.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun berpandangan sejenak. Namun kemudian Sambi Wulungpun berkata, "Bagaimana jika kalian saja yang menggali kubur ini" Mungkin lebih baik kalian sajalah yang mati lebih dahulu daripada aku."
Enam orang pengikut Gagaklahan itu terkejut. Namun Gagaklahan hanya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada orang-orangnya, "Kepung mereka. Jangan beri kesempatan lolos. Agaknya mereka memang lebih suka menjadi makanan semut merah. Pada batang pohon cangkring itu terdapat semut merah yang tidak terhitung jumlahnya, yang akan dapat menghabiskan kedua orang itu meskipun sedikit demi sedikit."
Keenam orang itupun segera berloncatan di antara gundukan-gundukan tanah kuburan dan batu-batu nisan tua yang sudah tidak terawat.
Mereka menjadi semakin heran melihat Jati Wulung itu tertawa. Katanya, "Kau telah berbaik hati Ki Sanak. Jika kami berdua membunuh kalian di tengah-tengah bulak, maka kami akan mengalami kesulitan untuk menguburmu. Tetapi disini kami tidak usah menggotong tujuh sosok mayat dari tengah bulak itu."
"Persetan," geram Gagak lahan. "Jadi kalian akan melawan?"
"Kau kira aku akan menyerahkan leherku atau barangkali jantungku?" bertanya Jati Wulung.
Gagaklahan memang nampak menegang. Tetapi iapun berkata, "Aku memang sudah mengira, bahwa kalian tidak akan begitu mudah menyerah. Karena itu, kamipun tidak dengan serta-merta merasa diri kami menang. Menang dengan cara seperti ini sama sekali tidak memberikan kepuasan kepadaku. Kami lebih senang membunuh kalian dengan mengerahkan kemampuan. Hasil yang dapat kami capai akan terasa lebih nikmat. Sebagaimana kami membunuh kalian dengan semut merah akan memberikan kepuasan lebih besar daripada membunuh kalian dengan menusuk di jantung."
"Nah," berkata Sambi Wulung, "aku kira, kita sudah terlalu lama bermain-main. Sekarang, marilah. Siapa yang akan mati." Sambi Wulung berhenti sejenak, lalu, "Sebenarnya kami tidak ingin membunuh siapapun. kami telah menolong Puguh. Sekarang, kau yang disebut pamannya, justru ingin membunuh kami. Dengan demikian, maka kami akan dengan sangat terpaksa membela diri. Salah satu cara untuk menyelamatkan diri sendiri adalah dengan membunuh lawan, meskipun tidak dengan cara memberikan kepada semut merah."
"Cukup," bentak Gagaklahan yang kemudian memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, "tangkap keduanya. Jika mungkin hidup-hidup. Kita akan menyaksikan, bagaimana mereka akan mati dikoyak-koyak oleh semut-semut merah yang gigitannya sepanas api."
Keenam orang itupun mulai bergerak. Sambi Wulung ternyata sempat berdesis, "Kita harus benar-benar berhati-hati. Mereka tidak dengan serta-merta mempergunakan senjata-senjata mereka. Agaknya mereka memang orang-orang berilmu."
"Baiklah. Agaknya kita memang tidak mempunyai pilihan lain," sahut Jati Wulung.
Demikianlah maka kedua belah pihakpun telah bersiap. Menurut perhitungan jumlah orang, maka Sambi Wulung atau Jati Wulung harus melawan empat orang, sedangkan lainnya melawan tiga orang.
Tetapi agaknya Gagaklahan tidak segera turun ke arena. Ia masih saja berdiri di tempatnya ketika keenam orang pengikutnya mulai bergerak. Agaknya ia terlalu yakin bahwa para pengikutnya akan dapat menyelesaikan tugasnya.
"Kalian tidak perlu berbelas kasihan," berkata Gagaklahan. "Keduanya harus mati, agar kesan yang didapat atas padepokan kami terhapus bersama kematian mereka. Karena mereka telah melawan, maka kalian berhak menentukan cara yang kalian anggap baik untuk membunuhnya. Karena itu, usahakan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Kita akan kecewa jika mereka cepat mati."
"Kau benar-benar iblis," geram Jati Wulung. "Jangan kau kira dengan demikian kau dapat menakut-nakuti kami. Tetapi justru telah membakar kegarangan hati kami. Jangan kau sangka bahwa kami berdua adalah orang baik-baik yang tidak dapat berbuat kasar. Jika plataran permainan kami adalah tempat-tempat perjudian, maka kalian dapat membayangkan cara hidup kami serta sumber bekal kami."
Gagaklahan mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia telah berteriak keras-keras, "Bunuh mereka. Cepat."
Keenam orang itupun mulai berloncatan. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung yang menyebut dirinya bernama Wanengbaya dan Wanengpati itu telah-bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka merekapun dengan cepat bergeser pula menghindarinya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit antara Sambi Wulung dan Jati Wulung, masing-masing melawan tiga orang. Sementara Gagaklahan sendiri menyaksikan pertempuran itu dengan tegang.
Seperti dugaan Sambi Wulung dan Jati Wulung, bahwa keenam orang itu bukannya orang yang tidak berilmu. Apalagi mereka agaknya mempunyai pengalaman yang luas dalam dunia olah kanuragan, sehingga dengan demikian, maka baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung benar-benar harus berhati-hati melawan mereka.
Seperti badai mereka menyerang Sambi Wulung dan Jati Wulung. Berurutan, susul menyusul tidak henti-hentinya. Bahkan kadang-kadang dua tiga orang itu telah bersama-sama datang menyerang.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung memiliki kecepatan gerak yang tinggi. Dengan tangkasnya mereka menghindari setiap serangan. Berloncatan di antara gundukan tanah dan batu-batu nisan. Bahkan menyusup di bawah dahan dan ranting-ranting pohon semboja yang menjadi besar dan nampak tua. Kayunya berwarna keputih-putihan dengan noda-noda yang berwarna coklat tua.
Benturan-benturan kekuatan mulai terjadi. Namun dengan demikian maka keenam orang pengikut Gagaklahan itupun mengetahui, betapa besarnya kekuatan kedua orang yang menamakan diri Wanengbaya dan Wanengpati itu.
Beberapa saat kemudian, ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung justru telah mengambil jarak. Sambi Wulung telah bergeser ke bawah pohon benda yang berdaun rimbun. Sedangkan Jati Wulung telah bertempur dekat dengan pokok batang cangkring raksasa. Duri-duri pada batang dan dahan-dahannya yang besarpun nampak garang meskipun menjadi tidak terlalu runcing.
Gagaklahanpun telah bergeser pula. Ia tidak mau berdiri terlalu jauh dari arena pertempuran yang menjadi semakin sengit itu.
Ternyata bahwa pekerjaan Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi semakin berat. Ketiga orang yang harus mereka hadapi masing-masing itu semakin meningkatkan kemampuan mereka. Mereka berloncatan dengan tangkasnya, sementara tangan dan kaki mereka menyambar-nyambar.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung telah memanfaatkan tempat yang ada. Ternyata bahwa ketiga orang yang harus mereka lawan masing-masing itu tata geraknya memang terhambat oleh batu-batu nisan tua yang sudah tidak terawat. Bahkan sekali-sekali dalam keadaan yang tergesa-gesa, kaki mereka justru telah terantuk batu-batu nisan itu.
Gagaklahan memperhatikan pertempuran itu dengan sungguh-sungguh. Namun sekali-sekali iapun telah mengumpat. Ternyata bahwa tiga orangnya tidak segera dapat mengatasi hanya seorang saja di antara lawan-lawan mereka.
Tetapi Gagaklahan cukup yakin akan kemampuan keenam orang itu. Orang yang telah dipercaya untuk melakukan tugas-tugas yang berat dan berbahaya.
Tetapi berhadapan dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung keenam orang itu memang mengalami kesulitan. Kedua orang itu seakan-akan mampu, bergerak mengatasi penglihatan matanya, sehingga keduanya kadang-kadang merasa seakan-akan telah kehilangan lawannya itu. Namun yang tiba-tiba saja telah muncul di belakang mereka.
Keenam orang itu memang harus mengakui betapa tinggi ilmu lawan mereka. Tetapi seperti Gagaklahan, mereka yakin bahwa bertiga, mereka tentu akan dapat membunuh lawannya. Bahkan menangkap mereka hidup-hidup dan menghukumnya seperti yang dikehendaki Gagaklahan.
Namun benturan-benturan yang kemudian terjadi, ternyata memberikan isyarat lain kepada keenam orang itu. Ketika salah seorang lawan Sambi Wulung sempat meloncat dan menjulurkan kakinya dengan sepenuh tenaga, maka Sambi Wulung yang tidak sempat mengelak telah menangkis serangan itu. Sambil memiringkan tubuhnya dan sedikit merendah, ia melindungi tubuhnya dengan sikunya.
Dalam benturan itu, ternyata lawan Sambi Wulung telah menyeringai menahan sakit. Bukan saja kakinya yang membentur siku Sambi Wulung, tetapi juga karena iapun kemudian telah terdorong surut. Namun malang baginya, karena kakinya terantuk batu nisan, sehingga iapun telah terjatuh menimpa batu nisan itu.
Batu nisan itu memang sudah tua. Karena itu, maka batu nisan itupun telah terguling pula.
Orang itupun kemudian telah mengumpat-umpat di sela-sela desah kesakitan. Kakinya yang kesakitan karena membentur siku Sambi Wulung justru telah terluka pula karena terantuk batu nisan yang kemudian terguling itu. Bahkan darah mulai mengembun dari luka yang dangkal tetapi terasa pedih itu. Apalagi ketika luka itu menjadi basah karena keringatnya sendiri.
Namun sambil menggeram orang itupun segera bangkit. Dengan menggeretakkan giginya ia dapat mengatasi perasaan sakit itu. Sehingga sejenak kemudian, maka iapun telah meloncat memasuki arena pertempuran kembali.
Tetapi demikian ia mulai menyerang, maka seorang kawannya justru telah terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perutnya. Sambi Wulung yang berputar satu lingkaran dan bertumpu dengan sebelah kakinya, telah menyambar perut orang itu dengan tumit kakinya yang lain.
Orang itupun telah bergeser surut. Perutnya menjadi mual. Rasa-rasanya isinya akan tumpah keluar.
Tetapi Sambi Wulung tidak dapat memburunya, karena orang yang terjatuh menimpa batu nisan itu telah memasuki arena pula dengan garangnya. Bahkan teriakannya bagaikan meruntuhkan dahan-dahan pohon benda yang rimbun itu.
Sementara itu di bawah pohon cangkring, Jati Wulungpun bertempur dengan sengitnya. Tidak banyak batu nisan yang bertebaran di bawah batang cangkring itu. Karena itu, maka baik Jati Wulung, tetapi juga lawan-lawannya menjadi lebih leluasa bergerak. Mereka berloncatan untuk saling menyerang dan menghindar.
Namun ternyata Jati Wulung nampak lebih keras daripada Sambi Wulung menghadapi orang-orang yang kasar itu. Semakin kasar ketiga orang yang bertempur melawannya, maka Jati Wulungpun menjadi semakin keras pula.
Dengan garangnya Jati Wulung berloncatan menyerang ketiga orang lawannya berganti-ganti. Semakin lama menjadi semakin cepat. Ketika dua orang lawannya menyerangnya bersama-sama dari dua arah yang berbeda, maka Jati Wulung sempat meloncat menghindar namun justru telah menyerang orang yang ketiga. Demikian tiba-tiba sehingga orang itu justru terkejut karenanya.
Namun orang ketiga itu masih juga berusaha menangkis serangan Jati Wulung. Tetapi sambil menggeliat, Jati Wulung telah mengurungkan serangan kakinya. Tetapi tangannyalah yang kemudian terayun mendatar. Sehingga dengan punggung tangannya yang mengepal, maka ia telah menghantam tengkuk orang itu.
Orang itu terdorong beberapa langkah. Betapapun ia berusaha tetapi ia telah kehilangan keseimbangannya, sehingga iapun kemudian telah jatuh terjerembab. Untunglah bahwa dahinya tidak membentur batu nisan yang sejengkal terbujur di hadapannya. Namun demikian, wajahnya bagaikan dilumuri dengan debu tanah pekuburan tua.
Orang itupun kemudian bangkit sambil membersihkan wajahnya dengan lengan bajunya. Dengan kasar iapun telah mengumpat-umpat.
"Aku bunuh kau orang gila," teriaknya.
Dengan garang orang itupun kemudian telah meloncat memasuki arena kembali. Namun bagaimanapun juga, orang-orang yang melawan Sambi Wulung dan Jati Wulung itu semakin lama harus mengakui bahwa lawannya memang seorang yang berilmu tinggi. Bahkan semakin lama tangan Sambi Wulung dan Jati Wulung itu rasa-rasanya menjadi semakin bergerak, berputaran dan terayun ke segala arah.
Satu-satu Sambi Wulung dan Jati Wulung menyentuh tubuh lawannya semakin sering. Setiap serangan yang mengenai tubuh lawannya terasa bagaikan meremukkan tulang. Karena itu, semakin sering serangan kedua orang itu mengenai lawannya, maka tubuh lawan-lawan merekapun serasa menjadi semakin sakit.
Bahkan seorang di antara lawan Sambi Wulung rasa-rasanya tidak lagi dapat mendekati lawannya karena lambungnya yang sakit. Bahkan sebelah matanya bagaikan tertutup oleh noda yang kebiruan karena pukulan Sambi Wulung di wajahnya. Sehingga orang itu merasa tidak lagi dapat bergerak dengan cepat mengimbangi pertempuran yang semakin seru itu.
Dalam pada itu Gagaklahan menjadi cemas. Semula ia memang yakin bahwa dalam waktu singkat, keenam orangnya itu akan dapat menyelesaikan dua orang betapapun orang itu berilmu tinggi. Tetapi semakin lama pertempuran itu berlangsung, maka iapun menjadi semakin ragu.
Orang yang matanya mulai membengkak itu, tidak mau membiarkan keadaan menjadi semakin parah. Karena itu, betapapun ia harus mempertimbangkan harga diri, namun akhirnya iapun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang tajam berkilat-kilat.
Sambi Wulung meloncat dua langkah surut, sehingga iapun berdiri hampir bersandar pada batang pohon benda yang besar itu.
Orang yang matanya membengkak dan lambungnya terasa sakit sekali itu maju perlahan-lahan. Sambil mengacukan pedangnya ia berkata, "Sebenarnya aku ingin menangkap kau hidup-hidup. Tetapi kami tidak dapat menolak kenyataan, bahwa kau mampu bergerak demikian cepatnya. Namun itu bukan pertanda bahwa kau akan dapat keluar dari kuburan ini."
Sambi Wulung tidak segera menjawab. Ia memalingkan wajahnya memandang kepada kedua orang lawannya yang lain. Namun karena salah seorang di antara mereka telah menarik senjatanya, maka yang dua orang itupun telah menggenggam senjatanya pula di tangan.
Ketiga orang lawan Sambi Wulung masing-masing telah memegang pedang. Meskipun bentuknya berbeda, namun agaknya ketiganya memiliki ilmu pedang yang baik. Bahkan seorang di antara mereka telah memegang pedang di tangan kanannya, sedang di tangan kirinya tergenggam sebuah pisau belati yang agak panjang.
Ketika ketiga orang itu mulai menggerakkan senjata mereka, maka nampaknya ilmu pedang mereka memang meyakinkan.
Karena itu, maka Sambi Wulung tidak mau membiarkan dirinya dikoyak-koyak oleh ujung-ujung pedang yang runcing tajam itu.
Demikian lawan-lawannya menjadi semakin dekat, maka Sambi Wulungpun telah menarik pedangnya pula.
Pedangnya memang bukan pedang pilihan dan mempunyai kekuatan khusus. Tetapi ilmu pedang Sambi Wulunglah yang memiliki kelebihan dari orang lain.
Sejenak kemudian, maka ketiga orang lawan Sambi Wulung itu telah menjulurkan pedang mereka masing-masing. Namun dalam pada itu Gagaklahan masih berteriak, "Jangan biarkan orang itu cepat mati. Kau ingin tahu, seberapa tinggi daya tahannya menghadapi tekanan pada tubuhnya. Biarlah ia mati perlahan-lahan, sehingga untuk beberapa hari kita akan mempunyai tugas menengoknya kemari."
"Kalian benar-benar iblis yang tidak pantas diberi kesempatan untuk tetap hidup," geram Sambi Wulung yang benar-benar merasa muak dengan sikap orang-orang itu.
Sejenak kemudian, maka seorang di antara lawan-lawannya telah mulai menjulurkan pedangnya untuk menyerang. Sambi Wulung tidak menangkis serangan itu. Tetapi ia bergeser melangkah surut.
Namun kemudian serangan yang himpun telah menyusul. Semakin lama semakin deras mengalir tanpa henti-hentinya.
Sambi Wulungpun mulai memperlihatkan pula ilmu pedangnya. Dengan cepat pedangnya berputar, terayun mendatar, menyambar dengan derasnya untuk kemudian mematuk ke arah jantung.
Gagaklahan yang menyaksikan pertempuran itu memang agak terkejut. Ternyata Sambi Wulung adalah seorang yang memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi.
Sementara itu, orang-orang yang bertempur melawan Jati Wulungpun telah melakukan hal yang sama. Merekapun telah bersenjata pula. Seperti kawan-kawannya yang bertempur melawan Sambi Wulung, maka merekapun bersenjata pedang meskipun bentuknya juga berbeda-beda. Bahkan seorang di antaranya mempergunakan pedang yang pendek, tetapi tangkainyalah yang agak lebih panjang dengan tangkai pedang kebanyakan.
Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin berbahaya, karena mereka telah bersenjata di tangan. Bahkan Jati Wulung sempat memperingatkan, "Dengan senjata di tangan, maka nyawa kalian akan semakin cepat terpisah dari tubuh kalian."
"Omong kosong," geram salah seorang lawannya, "apakah kau sudah mulai ketakutan melihat gemerlapnya daun pedang?"
"Aku juga mempunyai pedang," sahut Jati Wulung.
Lawannya tidak sempat menyahut. Jati Wulung telah meloncat menyerang. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Kemudian menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Ujungnya seakan-akan mengiang di ujung telinga. Seperti seekor lalat yang berterbangan untuk hinggap.
Dengan demikian maka pertempuran menjadi semakin lama semakin sengit. Dentang senjata menjadi semakin sering terdengar disertai kilatan bunga api yang meloncat dari benturan.
Gagaklahanpun menjadi semakin tegang pula melihat pertempuran yang nampaknya tidak berkesudahan itu. Bahkan dengan pedang di tangan Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi semakin garang.
Jantung Gagaklahan bagaikan disengat api ketika ia melihat salah seorang di antara para pengikutnya yang terlempar beberapa langkah surut. Ternyata bahwa Sambi Wulung telah berhasil melukai orang itu. Segores luka telah mengoyak dadanya memanjang dari bahu sampai ke bahu meskipun tidak begitu dalam. Namun dari luka itu ternyata telah mengalir darah.
Untuk beberapa saat lamanya Gagaklahan masih berdiri bagaikan membeku betapapun jantungnya gelisah. Ia masih memaksa diri untuk mempercayai bahwa orang-orangnya akan dapat menyelesaikan kedua orang itu.
Tetapi ternyata bahwa yang terjadi bukannya seperti yang diharapkan. Ternyata bahwa orang-orangnya justru semakin terdesak. Ujung pedang Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berhasil menyentuh kulit lawan-lawannya. Segores demi segores, keduanya telah melukai lawannya sehingga darah telah mengalir di beberapa tempat yang menganga.
Karena itu, maka pertempuranpun menjadi semakin longgar bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung. Karena kemampuan ilmu pedangnya maka lawan-lawannya tidak berani menjadi terlalu dekat tanpa perhitungan yang meyakinkan.
Karena itulah, maka akhirnya Gagaklahan tidak dapat mempercayakan kedua orang itu hanya kepada para pengikutnya. Ketika ia melihat seorang lagi di antara mereka terluka di lengannya, meskipun hanya segores kecil tetapi cukup dalam, maka iapun menggeram sambil berkata, "Akhirnya aku sendiri yang terpaksa membunuh mereka."
Ketika Gagaklahan mulai bergerak, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung menyadari, bahwa orang itu tentu akan ikut pula dalam pertempuran dengan membenturkan ilmu pedangnya. Sementara itu keduanyapun menyadari, bahwa Gagaklahan tentu memiliki kelebihan dari keenam orang pengikutnya.
Karena itu, ketika Gagaklahan kemudian bergerak mendekati Sambi Wulung, maka Sambi Wulungpun telah bertindak cepat. Ia harus mengurangi lawannya yang lain untuk dapat memusatkan perhatiannya kepada Gagaklahan. Ia masih berniat untuk bertempur tanpa puncak-puncak kemampuannya jika ia tidak dipaksa oleh keadaan yang memang sangat gawat.
Dalam waktu yang sempit itu, Sambi Wulung harus bergerak cepat, sementara itu, ketiga lawannya yang melihat Gagaklahan akan hadir, justru menjadi semakin garang.
Pada hentakkan-hentakkan terakhir, justru senjata salah seorang lawannya telah menyentuh bahu Sambi Wulung. Selangkah Sambi Wulung meloncat surut ketika perasaan sakit itu menyengatnya. Namun dengan demikian, maka Sambi Wulungpun menjadi sangat marah karenanya.
Karena itu, maka iapun telah menghentakkan kemampuan ilmu pedangnya. Satu kekuatan yang sangat besar seakan-akan telah mengalir ke tangannya yang menggenggam pedang, sehingga karena itu, maka pedangnya tidak saja menjadi semakin cepat bergerak, tetapi dengan dorongan kekuatan yang berlipat.
Dengan loncatan dan hentakan yang mengejut, maka pedangnya telah menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Gagaklahan dapat membaca perhitungan Sambi Wulung yang akan mengurangi jumlah lawannya sebelum Gagaklahan turun ke arena. Karena itu, maka Gagaklahan pun telah meloncat dengan langkah-langkah panjang, di antara batu-batu nisan tua.
Tetapi justru karena itu, maka Sambi Wulungpun telah menghentak pula pada saat-saat terakhir. Demikian Gagaklahan mencapai arena pertempuran di bawah pohon benda itu, maka dua orang pengikutnya telah terlempar dengan derasnya. Seorang di antaranya terbanting jatuh. Kepalanya membentur sebuah batu nisan, sehingga untuk seterusnya tidak bangkit lagi. Sedangkan seorang lagi terdorong beberapa langkah. Ia tidak dengan serta-merta terbanting jatuh. Beberapa saat ia berusaha untuk tetap bertahan. Tetapi iapun kemudian terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangannya. Luka di perutnya telah menganga. Darah mengalir seperti diperas dari tubuhnya. Sehingga akhirnya, maka iapun telah jatuh di atas lututnya dan kemudian terbaring di tanah. Nafasnya satu-satu masih sempat mengalir ketika Gagaklahan berteriak, "bertahanlah. Aku akan membalas kematianmu. Jangan mati sebelum kau sempat melihat mayatnya terbujur di sisimu."
Tetapi ternyata itu merupakan satu kesalahan lagi bagi Gagaklahan. Justru pada saat ia berteriak kepada orangnya yang sudah hampir kehilangan nyawanya itu, ia mendengar seorang lagi di antara pengikutnya itu mengaduh tertahan. Seorang yang tersisa dari lawan Sambi Wulung itu telah meloncat menjauh. Luka yang dalam telah menganga di pundaknya.
"Setan kau," geram Gagaklahan. "Kau bunuh orang-orangku seperti membunuh itik."
"Orang-orangmu memang tidak lebih dari itik-itik rawa yang tidak berarti. Kau sendiri barangkali tidak lebih dari induk itik itu pula," jawab Sambi Wulung.
Gagaklahan mengumpat kasar. Iapun kemudian maju selangkah sambil mengacukan pedangnya yang panjang dan ramping. Namun agaknya terbuat dari besi baja pilihan.
Ternyata bahwa kawannya yang seorang, yang terluka di pundaknya masih berusaha untuk ikut pula dalam pertempuran itu. Dilepaskannya ikat kepalanya untuk menahan arus darah yang keluar dari lukanya.
"Marilah," berkata Sambi Wulung kemudian, "luka di tubuhku memang harus kalian bayar dengan sangat mahal. Selebihnya, menurut pendapatku, orang-orang seperti kalian ini tidak sepantasnya tinggal hidup di antara orang lain. Kalian ternyata dapat berbuat jauh lebih kejam dari orang-orang yang disebut orang jahat yang pernah kau kenal. Bahkan orang jahat seperti aku dan saudaraku itu."
Gagaklahan tidak segera menjawab. Ia bergeser selangkah ke samping, sementara kawannya yang sudah terluka itu mengambil arah yang berbeda.
"Kaulah yang akan mati disini," berkata Sambi Wulung pula, "untuk selanjutnya kau telah memaksa aku untuk kembali ke padepokanmu. Aku harus membunuh orang-orang yang tersisa, termasuk keuntungan aku dapatkan, bahwa aku ternyata menjumpai sebuah padepokan yang isinya harus ditumpas habis."
"Kau boleh mengigau apa saja," berkata Gagaklahan, "karena kau belum mengenal Gagaklahan. Jika kau mulai menyentuh pedangku dengan ujung senjatamu, maka kau akan berkata lain."
"Kau kira aku akan berkata apa lagi" Dua orangmu telah mati. Yang seorang itu sebentar lagi juga akan mati," jawab Sambi Wulung.
"Pedangmu adalah pedang yang dibuat oleh pande besi di pinggir pasar. Sedangkan senjataku adalah hasil buatan seorang Empu yang namanya telah kawentar. Selain jenis senjata yang ada pada kami masing-masing, maka kemampuanmu bermain pedangpun belum memadai menandingi aku," geram Gagaklahan.
"Satu cara yang sudah tidak pantas lagi dipergunakan sekarang ini. Menakut-nakuti dengan kata-kata yang mengerikan serta melemahkan lawan secara jiwani. Mungkin pencuri-pencuri ayam akan ketakutan mendengar ancaman seperti itu. Tetapi aku adalah perampok dan pembunuh di tempat-tempat perjudian yang besar di seluruh tanah ini. Karena itu, kami berdua akan sanggup menumpas seisi padepokan itu termasuk Puguh dan kedua orang tuanya. Bahkan orang yang disebut gurunya itu."
Wajah Gagaklahan menjadi merah. Memang ada sepercik penyesalan di dalam dirinya, bahwa ia telah mengusik kedua orang yang belum tentu akan berbuat buruk terhadap padepokannya. Jika kemudian ternyata ia tidak berhasil membunuh keduanya, maka keduanya benar-benar akan menjadi bahaya bagi padepokannya.
Tetapi justru karena hal itu sudah terlanjur dilakukan, maka bagi Gagaklahan memang tidak ada pilihan lain, kecuali benar-benar membunuh kedua orang itu.
Karena itu, Gagaklahan tidak berbicara lagi. Iapun kemudian melangkah semakin dekat. Pedangnya mulai terjulur dan bergetar, kemudian berputar cepat mengitari pedang lawannya. Namun kemudian menusuk deras ke arah jantung.
Sambi Wulung bergeser mundur. Pedangnyapun bergerak cepat pula. Demikian tusukan lawan tidak menyentuh tubuhnya, maka Sambi Wulung telah menepis ujung pedang Gagaklahan ke samping, berputar dan pedangnya terayun deras mengarah leher.
Gagaklahan menggeliat. Kepalanya menunduk rendah, sehingga pedang Sambi Wulung terbang di atas ubun-ubunnya. Namun dalam pada itu sambil merendah, ujung pedangnya dengan cepat menusuk lambung.
Tetapi Gagaklahan belum berhasil. Sambi Wulung sempat bergeser selangkah sambil memiringkan tubuhnya. Namun iapun harus cepat meloncat, karena lawannya yang seorang lagi telah menyambarnya dengan sisa kekuatan yang ada padanya.
"Jika kau paksakan dirimu untuk bertempur terus, maka kau akan mati karena kehabisan darah," geram Sambi Wulung. Lalu katanya pula, "Setiap hentakan gerak tubuhmu, sama dengan memeras darah dari nadimu yang terputus oleh ujung pedangku."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tubuhnya memang merasa menjadi semakin lemah. Tetapi ia masih saja memaksa dirinya untuk ikut bertempur bersama Gagaklahan.
Namun ketika Gagaklahan semakin meningkatkan ilmunya menghadapi Sambi Wulung yang garang, maka ia telah dikejutkan oleh umpatan yang kasar, namun diselingi oleh desah kesakitan. Gagaklahan itu sempat melihat seorang pengikutnya yang bertempur melawan Jati Wulung telah terdorong surut beberapa langkah. Namun sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, tiba-tiba saja Jati Wulung telah melenting, lepas dari perlawanan dua orang lawannya yang lain, sambil menjulurkan pedangnya langsung menusuk dada tembus ke jantung.
Ketika kedua lawannya menyusulnya, maka Jati Wulung telah menarik pedangnya itu dan berdiri tegak menghadap ke arah kedua lawannya yang lain. Satu kakinya ditariknya setengah langkah ke belakang, sementara lututnya agak ditekuknya. Pedangnya berdiri tegak di depan tubuhnya, sementara telapak tangan kirinya terbuka melekat pada punggung pedangnya itu.
Kedua orang lawannya yang tersisa termangu-mangu sejenak. Merekapun telah terluka oleh goresan-goresan ujung pedang Jati Wulung. Namun luka-luka itu tidak banyak berpengaruh atas kemampuan perlawanan mereka, meskipun darah mengalir pula dari luka itu.
Tetapi ketika seorang kawannya telah terbunuh dengan tusukan tepat di jantung, maka mereka menjadi semakin tegang menghadapi lawannya yang garang itu. Sementara itu, merekapun tahu, bahwa dua orang kawan mereka yang bertempur melawan Wanengbayapun telah terbunuh pula. Bahkan Gagaklahan tidak lagi dapat mereka harapkan untuk membantu, karena Gagaklahan telah bertempur melawan Wanengbaya itu.
Namun kedua orang lawan Jati Wulung itu tidak dapat merenungi keadaannya terlalu lama. Sejenak kemudian, maka terdengar Jati Wulung itu berteriak nyaring. Pedangnya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian dengan garangnya ia telah meloncat dengan ayunan pedang yang menggetarkan jantung.
Pertempuranpun telah berlangsung pula dengan kerasnya. Kedua orang yang tersisa itupun justru menjadi putus asa menghadapi kegarangan Jati Wulung. Pedangnya yang terayun-ayun itu menjadi semakin mengerikan. Bahkan putaran yang cepat serta berbagai unsur gerak yang lain, membuat pedang Jati Wulung itu seakan-akan menjadi puluhan pedang yang menari-nari di sekitar tubuh kedua orang lawannya.
Dalam keadaan yang gawat, maka kedua orang itu ternyata telah mengambil sikap yang menentukan. Sebagai pasangan yang telah bekerja sama dalam waktu yang lama, maka tanpa isyaratpun keduanya dapat saling membaca maksud masing-masing.
Karena itulah, maka dengan ancang-ancang yang cukup, keduanya telah menyerang bersamaan dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Keduanya telah menyerang dengan senjata masing-masing yang terayun deras dari dua arah.
Jati Wulung yang telah dibasahi oleh keringatnya itupun merasa bahwa tenaganya akan segera mulai susut. Karena itu, maka iapun telah memutuskan untuk berusaha mengakhiri pertempuran itu.
Karena itu, ketika serangan kedua orang itu datang bersama-sama, maka Jati Wulungpun telah meloncat selangkah ke samping. Kemudian menggeliat untuk menghindari tusukan pedang lawannya yang lain. Namun sementara itu, iapun telah merendah sedikit sambil menjulurkan pedangnya langsung mengoyak lambung. Sementara itu, iapun telah meloncat dan menghantam lawannya yang lain dengan kakinya tepat mengenai dadanya justru di saat terbuka, sehingga lawannya itu terlempar beberapa langkah surut. Adalah nasibnya yang buruk, jika tubuhnya itu telah menghantam pohon cangkring raksasa yang berduri.
Ternyata keduanya tidak tertolong lagi. Keduanyapun kemudian telah terkapar di tanah pekuburan tua itu.
Bersamaan dengan itu, maka Sambi Wulungpun telah sempat menyelesaikan lawannya yang seorang. Betapa lemahnya orang itu sehingga ia tidak sempat menghindar ketika Sambi Wulung mengayunkan dengan deras sekali pedangnya mendatar.
Yang kemudian berhadapan adalah Sambi Wulung dengan Gagaklahan. Bagaimanapun juga Gagaklahan harus berpikir tentang kemampuan lawannya itu. Meskipun lawannya sudah mengerahkan tenaganya, sehingga mulai menjadi letih, namun kemampuan ilmu pedangnya benar-benar mendebarkan jantung Gagaklahan.
Tetapi Gagaklahan adalah orang yang sangat berpengalaman. Ia adalah seorang yang seakan-akan tidak berperasaan. Kematian sama sekali tidak dapat menggetarkan lagi jantungnya. Karena itu kadang-kadang ia mencari kepuasan dengan membunuh lawan-lawannya dengan cara yang khusus.
Agaknya hal itulah yang membuat Sambi Wulung tidak lagi dapat mengampuninya. Bagi Sambi Wulung, orang-orang seperti Gagaklahan itu tidak berhak untuk hidup lebih lama lagi. Tidak akan ada cara untuk membuatnya menyesali kebengisannya. Apalagi membuatnya jera untuk tidak melakukan lagi. Hukuman apapun yang ditimpakan kepadanya, jika masalah sudah dilaluinya, maka ia tentu akan kembali hidup dalam dunia yang kelam itu.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah memutuskan, bahwa orang yang bernama Gagaklahan itu harus dimusnahkan.
Demikianlah, maka pertempuran berikutnya adalah pertempuran di antara orang-orang yang berilmu tinggi. Keduanya memiliki ilmu pedang yang mumpuni, sehingga karena itu, maka pertempuranpun telah berlangsung dengan sengitnya. Kedua senjata di tangan dua orang yang bertempur itu telah berbenturan berkali-kali dengan melontarkan percikan api di udara. Namun Sambi Wulung memang harus mengakui, bahwa pedang lawannya adalah pedang yang jauh lebih baik dari pedangnya.
Dalam benturan-benturan yang keras, maka tajam pedang Sambi Wulung justru telah terluka, sehingga timbul lekuk-lekuk yang semakin banyak dan semakin dalam.
Ketika Gagaklahan sempat melihat pedang Sambi Wulung, maka iapun telah melompat mengambil jarak. Sambil tertawa ia berkata, "Lihat pedangmu."
Sambi Wulung termangu-mangu. Sementara itu Jati Wulung yang telah kehilangan ketiga lawannya, telah berdiri pula beberapa langkah di dekat pohon benda, melihat betapa Sambi Wulung bertempur melawan Gagaklahan.
Tetapi Jati Wulung yang tahu pasti tataran kemampuan Sambi Wulung sama sekali tidak berniat untuk melibatkan diri dalam perkelahian itu.
Namun dalam pada itu, Gagaklahan masih saja tertawa. Katanya kemudian, "Nah, marilah. Agaknya kalian akan bertempur berpasangan. Jika demikian, maka pekerjaanku akan menjadi semakin cepat selesai."
Jati Wulung bergeser selangkah maju. Dengan nada rendah ia menjawab, "Enam orangmu telah mati. Sebaiknya kau menyerah saja, agar kau tidak perlu kami ikat pada batang cangkring yang penuh dengan semut merah itu. Karena semut merah itu akan makan bagian-bagian yang lunak dari tubuhmu. Kau akan mati dengan perlahan-lahan."
"Persetan," geram Gagaklahan, "marilah. Agaknya kau yang ingin mati lebih dahulu."
Tetapi Sambi Wulunglah yang kemudian berkata, "Aku belum kau kalahkan Gagaklahan."
Gagaklahan berpaling ke arah Sambi Wulung. Pedangnyapun telah bergetar pula. Tiba-tiba saja ia meloncat sambil mengayunkan pedangnya dengan garangnya.
Sekali lagi telah terjadi benturan senjata. Pedang Sambi Wulung yang tidak sebaik pedang Gagaklahan ternyata telah gempil lagi pada tajamnya, sehingga menambah lekuk-lekuk yang memang sudah banyak terdapat.
Sambil menyerang terus Gagaklahan berkata, "Sebentar lagi, maka tajam pedangmu akan habis. Pedangmu sama sekali tidak akan berguna lagi."
Sambi Wulung tidak menjawab. Namun ia telah mempercepat geraknya dan meningkatkan kekuatannya, sehingga pertempuran itu menjadi semakin cepat.
Namun setiap kali Gagaklahan masih saja menyebut-nyebut tentang pedang Sambi Wulung yang memang menjadi cacat. Tajamnya telah menjadi semakin habis. Yang ada kemudian adalah lekuk-lekuk seperti gerigi keping besi yang sudah menjadi aus.
Tetapi Sambi Wulung sama sekali tidak menjadi cemas. Bagaimanapun juga, ternyata bahwa pedangnya masih belum patah. Menyadari akan mutu senjatanya, maka Sambi Wulungpun harus memperhitungkan setiap benturan, meskipun ia tidak dapat menghindari luka-luka pada tajam pedangnya itu, namun ia berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak patah.
Gagaklahan yang merasa mempunyai kelebihan dari Sambi Wulung menjadi semakin banyak menyerang. Ia berusaha untuk selalu membenturkan senjata. Bahkan Gagaklahan berusaha agar terjadi benturan yang cukup keras untuk mematahkan pedang Sambi Wulung. Tetapi usahanya itu tidak mudah untuk dilakukannya.
Dengan demikian, maka Gagaklahanlah yang kemudian berusaha untuk selalu menyerang dengan ayunan-ayunan pedang yang deras dan kuat. Setiap kesempatan Gagaklahan telah mempergunakan segenap tenaganya. Ia berharap akan dapat membentur dan sekaligus mematahkan pedang lawannya, sehingga dengan demikian, maka ketahanan jiwaninyapun tentu akan patah sebagaimana pedangnya. Dalam keadaan yang demikian, maka tidak sulit bagi Gagaklahan untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran.
Tetapi ternyata Sambi Wulung memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan tangkasnya Sambi Wulung mampu menempatkan dirinya, sehingga serangan-serangan Gagaklahan sama sekali tidak menyudutkannya.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Gagaklahan tidak henti-hentinya menyerangnya seperti banjir bandang. Beruntun dengan kekuatan yang sangat besar membentur pertahanan Sambi Wulung.
Akhirnya Sambi Wulung menjadi jemu juga untuk melayani serangan-serangan Gagaklahan. Karena itu, maka iapun kemudian telah mengambil keputusan justru untuk memanfaatkan keadaan pedangnya.
Dengan mengerahkan kemampuannya, maka Sambi Wulung berhasil mengatasi kecepatan gerak Gagaklahan yang menyerang dengan menjulurkan pedangnya. Dengan tangkasnya Sambi Wulung bergeser ke samping sambil menggeliat, sehingga pedang Gagaklahan tidak menyentuhnya. Namun pedang itupun segera berputar. Disusul dengan ayunan mendatar yang cepat.
Tetapi dengan cepat pula Sambi Wulung bergeser surut. Namun Gagaklahan tidak mau melepaskannya. Iapun segera memburu sambil menebas ke arah dada.
Dengan serta-merta Sambi Wulung telah menjatuhkan dirinya. Demikian pedang Gagaklahan terayun di atasnya, maka iapun telah melenting berdiri. Sambi Wulung tidak menebaskan pedangnya, tidak pula mengayunkannya atau mematuk seperti burung menancapkan paruhnya. Tetapi Sambi Wulung justru berusaha menyentuh kulit lambung lawannya dengan tajam pedangnya yang sudah berubah bagaikan gerigi itu, kemudian menariknya sendal pancing.
Akibatnya memang menggetarkan jantung. Pedang Sambi Wulung tepat menyentuh tubuh Gagaklahan di bawah ikat pinggang kulitnya. Ternyata bahwa tajam pedang Sambi Wulung yang dilukai oleh kerasnya baja pilihan pedang Gagaklahan, sehingga menyerupai gerigi itu, tidak saja mengoyak pakaian Gagaklahan, tetapi kulit dan daging di lambungnyapun telah terkoyak pula. Bukan koyak oleh tajamnya pedang yang dapat memotong benang yang diayunkan angin. Tetapi dikoyak oleh pedang yang bagaikan bergerigi justru tumpul.
Terdengar Gagaklahan itu berteriak nyaring. Kemudian mengumpat keras-keras dengan kata-kata kasar dan kotor.
Beberapa langkah ia meloncat surut. Tangannya yang sebelah kiri berusaha memegangi lukanya itu. Sementara tangan kanannya masih menggenggam pedangnya.
Darah mengalir dengan derasnya dari lukanya.
"Kau memang iblis, Wanengbaya," geram Gagaklahan.
"Sejak semula aku sudah memperingatkanmu, bahwa sebaiknya kau tidak mengganggu kami," berkata Sambi Wulung.
"Kau belum menang," berkata Gagaklahan pula, "aku akan membunuhmu."
Sambi Wulung tidak menjawab. Tetapi Gagaklahan memang masih meloncat menyerangnya. Pedangnya masih berputar mengerikan, sementara kakinya masih tangkas membawa tubuhnya berloncat-loncatan di sela-sela bahkan di atas nisan-nisan tua.
Namun Sambi Wulung yang melihat keadaan Gagaklahan itu benar-benar berniat mengakhirinya. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bergerak dengan kecepatan yang sulit diimbangi dan dengan kekuatan yang luar biasa besarnya.
Ketika Gagaklahan yang terluka itu mengayunkan pedangnya, Sambi Wulung sempat mengelak. Namun sambil bergeser ke samping sekali lagi ia menggoreskan pedangnya di dada Gagaklahan.
Gagaklahan memang terdorong beberapa langkah surut. Namun seperti orang yang bernyawa rangkap ia sama sekali tidak menghiraukan keadaannya. Ia telah meloncat lagi menyerang dengan dahsyatnya, seperti angin prahara yang mengguncang pepohonan.
Namun Sambi Wulungpun telah bersiaga pula. Sebuah tusukan lurus mengarah ke jantung Sambi Wulung dapat dielakkannya. Bahkan ketika pedang Gagaklahan itu menyambar ke samping Sambi Wulung sempat meloncat mundur. Namun demikian ujung pedang itu lewat, maka Sambi Wulungpun telah meloncat maju. Pedangnyalah yang terjulur lurus ke depan. Dengan hentakan kekuatan yang sangat besar, maka pedang itu telah terhunjam di dada Gagaklahan.
Terdengar Gagaklahan menjerit. Sementara Sambi Wulung terpaksa melepaskan pedangnya. Ia tidak sampai hati menarik pedangnya itu, karena ia menyadari akibatnya. Pedangnya yang seolah-olah bergerigi tumpul itu akan dapat mencabik-cabik daging dan kulit di dada Gagaklahan.
Untuk beberapa lama Gagaklahan masih berdiri. Namun kemudian tubuh itupun terhuyung-huyung dan kemudian jatuh terjerembab.
Sambi Wulung dan Jati Wulung berdiri termangu-mangu. Di kuburan tua itu terdapat tujuh sosok mayat dari orang-orang yang tinggal bersama-sama Puguh dalam satu padepokan. Satu peristiwa yang tidak diduganya sama sekali bahwa hal seperti itu akan terjadi.
"Apaboleh buat," berkata Sambi Wulung sambil menundukkan kepalanya.
"Kami dipaksa melakukannya," sahut Jati Wulung.
"Ya. Kami memang tidak mempunyai pilihan lain. Jika seorang saja di antara mereka hidup, maka orang itu bersama-sama dengan yang lain tentu akan menelusuri keadaan kita berdua," berkata Sambi Wulung. Lalu, "Sementara itu, orang-orang seperti mereka memang tidak lagi pantas untuk tetap hidup."
"Tetapi di padepokan itu bukan hanya mereka saja yang tinggal," sahut Jati Wulung.
"Puguh merupakan satu pertanyaan yang besar. Ia hidup dalam lingkungan seperti itu, namun agaknya sifatnya agak berbeda dengan orang yang disebutnya paman, yang agaknya menjadi orang yang terdekat dengan dirinya itu," berkata Sambi Wulung.
"Dengan demikian, jelas bagi kita, bahwa yang memasang topeng itu tentu orang-orang padepokan itu pula," sahut Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Ia masih ingat bagaimana Puguh membunuh seorang di antara mereka yang masih mempunyai kemungkinan untuk hidup.
"Ada rahasia yang tidak kita ketahui menyelimuti padepokan itu," berkata Sambi Wulung. Lalu, "Meskipun kita berhasil mengetahui dimana Puguh tinggal, tetapi mungkin sekali kita masih akan dapat kehilangan jejak."
"Memang banyak kemungkinan terjadi," desis Jati Wulung, "mungkin dengan hilangnya paman Gagaklahan, Puguh untuk seterusnya telah dipindahkan ke padepokan yang lain atau kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Namun kali ini kita telah berhasil dengan tugas kita."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan melaporkan kepada Nyi Wiradana di Tanah Perdikan Sembojan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun keduanya kemudian sepakat untuk mengubur lebih dahulu tujuh sosok mayat yang terbujur lintang di kuburan tua itu.
*** Sementara itu di padepokannya, Puguh merasa sangat gelisah. Ketika kemudian malam datang, bahkan malam itu telah lewat diganti dengan hari baru berikutnya, pamannya tidak juga kelihatan. Dari beberapa orang penghuni padepokan itu Puguh mendapat keterangan bahwa pamannya, Gagaklahan telah meninggalkan padepokan itu.
"Kemana?" bertanya Puguh.
Orang-orang itu hanya menggelengkan kepalanya saja. Bahkan ketika Puguh bertanya kepada seorang yang dianggapnya pembantu terdekat Gagaklahan, orang itu juga menggelengkan kepalanya.
Puguh akhirnya menjadi marah. Orang yang dianggapnya pembantu terdekat Gagaklahan itu tiba-tiba ditariknya masuk ke dalam sanggar di padepokannya. Pintupun kemudian diselarak dari dalam.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya orang itu dengan cemas.
"Dimana paman Gagaklahan?" bertanya Puguh.
"Aku tidak tahu. Kakang Gagaklahan pergi tanpa memberitahukan tujuannya," jawab orang itu.
"Baik," geram Puguh, "nampaknya aku harus memaksamu berbicara tentang paman Gagaklahan. Aku tidak peduli, apakah aku dapat melakukannya atau tidak. Aku juga tidak peduli apakah kau akan melawan atau tidak. Tetapi jika kau tidak mau mengatakan kemana paman Gagaklahan pergi, maka kau akan aku pukuli. Mungkin kau dapat menang atasku jika kau melawan. Tetapi aku akan mengatakannya kepada guru."
"Tunggu," wajah orang itu menjadi tegang, "kenapa kau sebenarnya. Tiba-tiba saja kau menjadi sangat garang seperti itu."
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Karena itu, kau tidak berhak sama sekali untuk bertanya tentang apapun juga," jawab Puguh.
Keringat dingin telah mengalir di tubuh orang itu. Namun ia masih juga berkata, "Tunggu." orang itu menjadi terengah-engah, "aku memang melihat Kakang Gagaklahan pergi. Tetapi ia tidak mengatakan pergi kemana dan untuk apa. Ia memang nampak bersungguh-sungguh pada waktu ia pergi."
"Berapa orang yang dibawanya?" bertanya Puguh.
Orang itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja Puguh telah meremas bajunya sambil membentak, "Katakan."
"Aku tidak tahu pasti," jawab orang itu agak gagap, "aku kira sekitar lima atau enam orang."
"Bohong jika kau tidak tahu pasti," geram Puguh, "kau dapat menghitung orang-orangmu yang tidak ada di padepokan."
"Memang mungkin," jawab orang itu, "tetapi apakah mereka semua pergi bersama Kakang Gagaklahan itulah yang kurang aku ketahui."
Puguh mendorong orang itu sehingga hampir saja ia jatuh terlentang. Tetapi Puguh tidak bertanya lagi. Iapun dengan tanpa mengatakan sesuatu telah melangkah keluar dari sanggar.
Orang itupun dengan tergesa-gesa telah keluar pula menyusul Puguh. Namun Puguh sama sekali tidak menghiraukannya.
Seorang diri Puguh meninggalkan padepokan itu menuju ke padepokannya yang lain, tempat tinggal gurunya. Padepokan yang lebih dirahasiakan dari padepokan yang dihuninya.
Di perjalanan ia memang bertemu dengan dua orang yang mengawal dan menjaga kerahasiaan padepokan kedua itu. Namun mereka sama sekali tidak mengusik Puguh. Apalagi nampaknya Puguh agak tergesa-gesa.
Gurunya memandang Puguh dengan kerut di dahinya. Dengan sareh ia berkata, "Duduklah. Kita akan berbicara tanpa kegelisahan seperti itu."
Puguhpun kemudian duduk di hadapan gurunya, namun nafasnya masih saja terengah-engah.
"Paman Gagaklahan tidak ada di padepokan, Guru," berkata Puguh.
Gurunya tersenyum. Katanya, "Bukankah ia memang sering meninggalkan padepokan untuk tugas-tugas yang penting" Pamanmu Gagaklahan adalah orang yang dipercaya oleh orang tuamu. Karena itu, maka banyak tugas yang dikerjakannya serta besar pula tanggung jawabnya."
"Agaknya paman Gagaklahan pergi, demikian kedua orang yang mengantarku, kembali itu meninggalkan padepokan," berkata Puguh.
"Kenapa kau menjadi gelisah?" bertanya gurunya.
"Apakah Guru tidak memerintahkan agar paman Gagaklahan melakukan sesuatu" Agaknya paman Gagaklahan terlalu curiga kepada kedua orang itu. Bagiku Wanengbaya dan Wanengpati adalah orang-orang yang telah memberikan pertolongan kepadaku," berkata Puguh.
Gurunya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak bertemu dengan Gagaklahan lagi setelah ia datang bersamamu kemarin malam. Juga tidak ada seorangpun yang memberikan laporan kepadaku apa yang akan dilakukannya."
"Tetapi Guru tidak memerintahkan kepadanya untuk menyusul kedua orang itu?" desak Puguh.
Gurunya tertawa. Katanya, "Sudah aku katakan. Sejak kemarin malam aku tidak bertemu orang itu lagi. Bukankah ketika itu, kau juga mendengar apa yang kami bicarakan" Pamanmu Gagaklahan memang sangat mencurigai kedua orang itu. Pamanmu menganggap bahwa kau telah terjebak ke dalam sikap manisnya. Tetapi aku tidak sependapat jika pamanmu Gagaklahan mengambil langkah-langkah tertentu atas kedua orang itu."
Puguh mengangguk-angguk. Katanya, "Sampai saat ini, sebelum aku pergi menghadap Guru, paman Gagaklahan belum juga kembali."
"Itu justru menggelisahkan," berkata gurunya, "ada beberapa kemungkinan telah terjadi atasnya. Apakah ada orang yang dapat melaporkan, dengan berapa orang pamanmu itu pergi?"
"Lima atau enam orang," jawab Puguh.
"Perintahkan untuk menghitung orang-orangmu di sana," berkata gurunya, "cari siapa saja yang tidak ada di padepokan."
"Aku sudah memerintahkan Guru. Tetapi menurut seseorang, belum tentu semuanya pergi bersama paman Gagaklahan," jawab Puguh.
"Lihat lagi," berkata gurunya, "kau akan jelas. Yang belum kembali adalah mereka yang pergi bersama Gagaklahan. Hubungi aku untuk mengambil kesimpulan."
Tetapi ketika Puguh akan kembali ke padepokan pertamanya, gurunya berkata, "Jangan pergi sendiri."
"Kenapa" Bukankah jalan yang menghubungkan kedua padepokan ini merupakan jalan khusus yang tidak pernah dilalui orang lain kecuali kita?" bertanya Puguh.
"Kau harus lebih berhati-hati. Kedua orang itu mempunyai kemungkinan untuk berbuat lebih banyak dari yang kau pikirkan," jawab gurunya.
"Jadi Guru juga mencurigainya?" bertanya Puguh.
"Jika Gagaklahan mengambil langkah yang tidak menguntungkan, justru timbul kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk karena sikap kedua orang itu. Jika aku memperingatkanmu, sekedar sikap hati-hati saja," jawab gurunya.
Puguh tidak menjawab. Tetapi ketika ia kembali ke padepokan pertama, ia memang dikawani oleh kedua orang dari padepokan keduanya.
Ternyata bahwa Puguh berusaha untuk mendapatkan keterangan lebih banyak tentang kepergian Gagaklahan yang ternyata masih belum juga kembali.
"Apakah paman Gagaklahan mengikuti kedua orang itu sampai ke tempat yang jauh" Atau paman Gagaklahan ganti ingin melihat kediaman kedua orang itu?" pertanyaan itu timbul di dalam hatinya.
Namun akhirnya semua keterangan itu telah diberitahukan kepada gurunya.
Memang ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil oleh gurunya. Seperti yang diduganya, mungkin Gagaklahan ingin melihat dimana kedua orang itu tinggal. Tetapi kemungkinan lain, Gagaklahan menunggu kesempatan untuk tindakan khusus terhadap kedua orang itu.
"Apakah ada kemungkinan lain lagi guru?" bertanya Puguh.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya dengan nada rendah, "Kemungkinan itu sangat mendebarkan. Mungkin karena kedua orang itu merasa terganggu oleh sikap Gagaklahan, maka mereka telah mengambil sikap yang paling keras."
"Maksud Guru, membunuh paman Gagaklahan?" bertanya Puguh.
Gurunya mengangguk lemah. Katanya, "Bukankah kemungkinan itu ada?"
"Tetapi bukankah kemungkinan yang lebih besar adalah paman Gagaklahan membunuh kedua orang itu?" desak Puguh.
"Itu kalau pamanmu mampu. Jika tidak, bukankah dapat terjadi sebaliknya?" desis gurunya.
Puguh tidak segera menjawab. Memang terbayang berbagai kemungkinan dapat terjadi atas pamannya Gagaklahan. Namun agaknya pamannya itu tidak akan pergi terlalu lama jika ia sempat untuk pulang kembali ke padepokan, karena pamannya itu harus menunggui padepokan itu sebagai pengganti orang tuanya.
Karena Puguh tidak segera menjawab, maka gurunyapun berkata, "Sudahlah. Tetapi kau untuk selanjutnya memang harus berhati-hati. Kau tunggu saja hari ini dan besok. Jika pamanmu Gagaklahan tidak juga kembali, maka kita dapat menyesali kepergiannya. Karena ternyata ia dan beberapa orangnya tidak akan pernah kembali lagi."
"Bagaimana jika paman Gagaklahan mengikuti kedua orang itu, Guru?" bertanya Puguh.
"Memang mungkin. Tetapi dengan demikian ia telah meninggalkan tanggung jawabnya atas padepokan ini. Barangkali ia berpikir justru karena kau sudah ada di padepokan sehingga Gagaklahan mempunyai kesempatan untuk pergi beberapa lama. Tetapi seharusnya ia tidak berbuat demikian. Kita harus tahu kemana orang-orang kita pergi. Bahkan keperluan mereka. Dengan demikian kita akan dapat memperkirakan berapa lama mereka meninggalkan padepokan," berkata gurunya.
Puguh mengangguk-angguk. Tetapi ia justru telah terdiam.
Gurunyalah yang kemudian berkata, "Sudahlah. Bukan berarti kita tidak menghiraukan mereka yang pergi itu. Tetapi sambil menunggu kita dapat berbuat yang lain."
"Ya Guru," jawab Puguh.
"Kau sudah cukup lama pergi untuk memperluas penglihatanmu. Bahkan kau telah diijinkan oleh orang tuamu untuk pergi ke tempat yang termasuk keras seperti Song Lawa. Karena menurut orang tuamu di tempat-tempat seperti itu, kau akan ditempa oleh keadaan, sehingga kaupun akan dapat menjadi seorang yang keras," berkata gurunya.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi ternyata Song Lawa telah dihancurkan oleh para prajurit Pajang."
"Pajang memang merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Sementara tempat-tempat seperti Song Lawa itu merupakan tempat yang akan dapat menghancurkan kesejahteraan itu. Lahir dan Batin. Karena itu, maka tempat-tempat seperti Song Lawa itu bertentangan sekali dengan kebijaksanaan Pajang," berkata gurunya.
"Tetapi bagaimana dengan tempat-tempat lain?" bertanya Puguh.
"Dalam kesempatan yang lain, Pajang tentu juga akan bertindak. Di sebelah Barat Pajang juga ada tempat seperti itu. Namun, demikian Pajang mengetahui, tempat itu langsung dihancurkannya. Apalagi tempat itu terlalu dekat dengan pusat pemerintahan," berkata gurunya.
Puguh hanya mengangguk-angguk saja. Dua orang yang telah menolongnya itupun pernah menyebut-nyebut tempat perjudian di dekat pusat pemerintahan. Penyelenggaraannya tentu orang-orang yang lebih berani lagi daripada orang-orang yang menyelenggarakan perjudian di Song Lawa.
Namun dalam pada itu gurunyapun berkata, "Puguh. Yang penting bagimu, bahwa kau telah mendapat pengalaman. Pengalaman yang akan sangat berarti bagi masa depanmu."
"Masa depanku yang mana, Guru?" tiba-tiba saja Puguh bertanya.
Gurunya mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian tersenyum. Katanya pula, "Satu pertanda yang baik, Puguh. Kau sudah bertanya tentang masa depanmu yang mana. Dengan demikian maka hatimu telah terbuka. Justru karena pengalamanmu. Mungkin pengalamanmu bergaul dengan orang-orang yang kau temui di Song Lawa, atau dengan orang-orang lain sepanjang perjalananmu. Atau apapun yang telah terjadi di dalam dirimu."
Puguh mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, "Guru. Kenapa aku telah dibenamkan ke dalam tempat-tempat seperti Song Lawa itu" Kenapa aku harus menimba pengalaman dari tempat yang suram itu" Tempat yang penuh dengan peristiwa-peristiwa yang tidak wajar sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan."
Gurunya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apa saja yang pernah diceriterakan oleh kedua orang itu kepadamu?"
Puguh termangu-mangu sejenak. Namun iapun menundukkan kepalanya.
Gurunyalah yang kemudian berkata, "Pengawal-pengawalmu yang kau bawa dari padepokan agaknya telah berada di Pajang sekarang, atau terbunuh. Tetapi kita tidak mencemaskan mereka, karena Pajang tidak akan menaruh perhatian secara khusus terhadap padepokan kita."
Puguh masih tetap menundukkan kepalanya.
Sementara itu gurunya berkata pula, "Lupakan persoalan-persoalan yang bergejolak di dalam hatimu. Siapkan dirimu untuk memasuki latihan-latihan kembali. Kita akan mengadakan penilaian atas pengalamanmu selama perjalananmu terakhir. Tetapi terbatas pada pengalaman olah kanuragan. Sedangkan pengalaman jiwani yang menumbuhkan permasalahan di dalam dirimu sebaiknya kau simpan untuk sementara."
"Aku akan mempersoalkannya dengan ayah dan ibu," berkata Puguh.
Gurunya memandang Puguh dengan tatapan mata yang redup. Namun gurunyapun kemudian menggelengkan kepalanya sambil berkata, "belum waktunya, Puguh. Orang tuamu telah menetapkan garis hidup yang harus kau tempuh. Dalam waktu dekat, keduanya tidak akan mau mendengar persoalan-persoalan yang timbul di luar garis yang telah ditentukannya."
"Termasuk dengan sengaja memasukkan aku ke dalam tempat-tempat yang keras seperti Song Lawa?" bertanya Puguh.
Gurunya mengerutkan dahinya. Dipandanginya Puguh dengan tajamnya, sehingga Puguhpun kemudian telah menunduk pula. Semakin dalam.
"Beristirahatlah," berkata gurunya kemudian, "mulai besok, kita sudah akan memasuki sanggar kembali."
Puguh tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian mohon diri meninggalkan gurunya duduk seorang diri untuk merenungi keadaan muridnya itu.
"Sebagian adalah salahku," berkata orang itu kepada diri sendiri, "aku tidak dapat memenuhi keinginan orang tua Puguh untuk membuat anak itu menjadi orang yang tidak berperasaan sama sekali. Sementara itu Ki Randukeling sendiri tidak pernah menegur aku meskipun ia tahu, bahwa Puguh tumbuh menjadi seorang anak muda dengan pola yang agak berbeda dengan ketentuan kedua orang tuanya. Agaknya aku masih memberinya peluang untuk memikirkan dirinya sendiri, memikirkan orang lain, serta hubungan antara dirinya dengan orang lain. Nampaknya peluang-peluang itu telah ditusuk pula dengan pengertian-pengertian yang berhasil menyentuhnya dari kedua orang yang mengantarkannya kembali ke padepokan. Sehingga dengan demikian maka terjadi pergolakan di dalam diri anak muda itu."
Tetapi sebenarnyalah orang yang diserahi membentuk Puguh itu tidak sampai hati untuk membunuh mati perasaan anak itu. Meskipun hal itu setiap kali telah diutarakannya kepada Ki Randukeling, tetapi Ki Randukeling tidak pernah menaruh keberatan. Bahkan kadang-kadang Ki Randukeling telah dengan langsung berhubungan dengan Puguh dan bahkan pernah juga ia menyebut tentang pola watak anak itu. Tetapi Ki Randukeling tidak pernah menegurnya.
Namun ia tidak tahu, apa yang akan dikatakan oleh kedua orang tua Puguh jika mereka sempat melihat Puguh sampai ke kedalaman hatinya. Karena kesempatan yang nampaknya tidak pernah tersedia, maka kedua orang tua Puguh hanya melihat Puguh pada kulitnya saja. Memberikan petunjuk-petunjuk sambil membentak-bentaknya.
Mengancamnya dan jika mereka ingin tahu tingkat kemampuan Puguh dalam olah kanuragan, maka mereka membawa Puguh latihan dalam sanggar. Namun jika demikian, maka tiga hari Puguh harus beristirahat, karena tulang-tulangnya bagaikan berpatahan.
"Anak cengeng," setiap kali ibunya menudingnya, "kau adalah seorang laki-laki. Kau harus menjadi orang yang lebih garang dari aku, ibumu, yang tidak lebih dari seorang perempuan."
Guru Puguh itu menarik nafas dalam-dalam. Namun mau tidak mau iapun harus memikirkan Gagaklahan yang pergi tanpa diketahui tujuannya. Namun guru Puguh itu sudah memastikan bahwa Gagaklahan telah menyusul kedua orang yang telah membawa Puguh kembali ke padepokan.
"Sikap Gagaklahan yang bodoh itu akan dapat berakibat buruk bagi padukuhan ini," berkata guru Puguh itu di dalam hatinya. Namun kemudian iapun berdesis kepada diri sendiri, "Mudah-mudahan dugaanku salah."
Namun dalam pada itu, guru Puguh itu telah memanggil seorang yang bertubuh kurus dan sedikit bongkok. Seorang yang sehari-hari mendapat tugas untuk membersihkan halaman bangunan induk padepokan itu.
"Wida," desis guru Puguh itu.
Orang itu mengangguk hormat. Ketika ia kemudian duduk di depan orang yang memanggilnya itu, maka iapun bertanya, "Ki Ajar telah memanggil aku?"
Guru Puguh itu mengangguk. Katanya, "Ada beberapa soal yang tumbuh di padepokan ini. Ketika aku diminta tinggal disini oleh Ki Randukeling untuk mengasuh Puguh, aku sudah berpikir tujuh kali. Namun akhirnya, karena Ki Randukeling adalah sahabatku, maka permintaan itu telah aku terima. Aku masuk ke dalam satu lingkungan yang asing dan mencoba hidup dengan cara yang ditentukan oleh Ki Rangga Gupita dan Warsi. Terutama untuk membentuk anaknya itu."
Orang yang dipanggil Wida itu mengangguk kecil.
"Tetapi bagaimanapun juga, aku memang merasa perlu untuk membawamu dengan anakmu. Tidak ada orang tahu, siapakah kau sebenarnya di dalam dunia kanuragan selain aku," berkata Ki Ajar, "sehingga dalam keadaan tertentu, aku tidak sendiri."
"Apakah ada sesuatu yang terasa mengganggu Ki Ajar Paguhan sekarang ini?" bertanya Wida.
"Sejak kemarin Gagaklahan telah hilang," berkata guru Puguh yang disebut Ki Ajar Paguhan itu, "carilah beberapa keterangan tentang orang itu."
Wida mengerutkan keningnya. Tetapi iapun bertanya, "Bagaimana jika Gagaklahan tahu aku membayanginya?"
"Kau dapat menempatkan dirimu. Bukankah kau pernah mendapat sebutan Hantu Bayangan?" bertanya Ki Ajar Paguhan.
"Tetapi itu dahulu, Ki Ajar," jawab Wida, "sekarang sebenarnya aku sudah menemukan ketenangan bekerja sebagai juru taman di padepokan ini, meskipun setelah bertahun-tahun disini, aku tetap tidak dapat mengenali bentuk dari padepokan ini selain mengabdi kepada Ki Ajar Paguhan."
"Kita memang mendapatkan ketenangan disini Wida. Di dalam padepokan. Tetapi di sekitar padukuhan ini, maut telah berkeliaran. Bahkan orang-orang yang sedang mencari kayu bakar dan tersesat ke dalamnyapun akan menjadi mangsa dari maut tanpa mengerti persoalannya," berkata Ki Ajar Paguhan.
Wida mengangguk. Iapun sebenarnya tahu pasti apa yang telah terjadi dan bagaimana bentuk dari padukuhan itu. Tetapi ia adalah rahasia yang tersimpan di dalam tempat yang rahasia. Ia datang bersama Ki Ajar Paguhan dan anaknya laki-laki yang dinamainya Sukra, yang juga seorang yang cacat seperti dirinya. Tetapi bukan pada punggungnya. Sukra sejak lahir sebelah tangannya terlalu pendek dibanding dengan tangannya yang lain. Tetapi tangannya yang pendek itu, yang kebetulan adalah tangan kirinya, mampu bergerak setrampil tangan kanannya. Sementara itu, di wajahnya terdapat noda hitam yang sedikit lebih besar dari matanya, tepat di bawah mata kirinya.
Agaknya karena cacatnya yang dibawa sejak lahirnya itulah, maka Sukra menjadi seorang pendiam, perenung dan sampai ia meningkat dewasa, ia sama sekali tidak mau berdekatan dengan seorang perempuan. Namun sebagai isi dari kesepiannya itu, ia adalah seorang yang bergulat dengan ilmu di setiap hari.
Tetapi seperti ayahnya, maka iapun merupakan rahasia di tempat yang diliputi rahasia itu.
"Nah," berkata Ki Ajar Paguhan, "pergilah. Bawalah pertanda bahwa kau adalah penghuni padepokan ini, sehingga kau tidak akan menemui kesulitan di saat kau keluar dan masuk kembali."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Ajar. Tetapi untuk seterusnya aku akan tetap menjadi juru taman. Aku tidak akan melibatkan lagi hidupku dengan kekerasan yang kotor itu."
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku justru sedang menyempurnakan warna yang kau anggap kotor itu disini. Di padepokan ini."
Wida menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang satu perjalanan hidup yang aneh, bahwa Ki Ajar telah terdampar disini. Apakah Ki Ajar tidak dapat membicarakannya lagi dengan Ki Randukeling bahwa sebaiknya Ki Randukeling mencari orang lain untuk membentuk Puguh menjadi orang berhati batu?"
"Justru aku tidak sampai hati melihat anak muda itu berhati batu. Kau lihat, bahwa Puguh adalah seorang anak muda yang terhitung tampan, bermata bersih dan pikiran terang. Jika hatinya menjadi batu, maka ia adalah orang yang sangat berbahaya. Dan itu akan terjadi jika aku pergi dari padepokan ini," berkata Ki Ajar Paguhan.
Wida mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Ajar berkata, "Nah, selagi belum jauh terlambat. Pergilah dan usahakan untuk mendapat keterangan tentang Gagaklahan."
"Apakah kawan-kawan Gagaklahan di padepokan pertama tidak berusaha mencarinya?" bertanya Wida.
"Wida. Kau dengar. Aku minta kau mencari keterangan tentang Gagaklahan," desis Ki Ajar Paguhan.
Wida mengangguk kecil. Jawabnya, "Baik Ki Ajar. Aku akan berusaha. Tetapi sebagaimana setiap usaha, maka akan dapat terjadi beberapa kemungkinan."
"Aku sudah tahu Wida," sahut Ki Ajar.
Wida mengerutkan keningnya, sementara Ki Ajar Paguhan berkata selanjutnya, "Satu usaha akan dapat berhasil, tetapi juga dapat tidak berhasil. Bukankah kau akan berkata begitu?"
Wida menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "benar Ki Ajar. Dan aku sekarang sudah bukan aku yang dahulu. Bukan lagi dapat disebut Hantu Bayangan atau sebutan-sebutan lain yang dapat menakuti anak-anak. Tetapi aku adalah seorang yang kurus dan bongkok. Lemah dan setiap hari bersenjatakan sapu lidi di halaman bangunan induk padepokan yang terasing ini."
Ki Ajar Paguhan tersenyum. Katanya, "Jangan merajuk begitu. Bukankah menurut katamu, kau temukan ketenangan disini?"
Widapun kemudian meninggalkan Ki Ajar Paguhan seorang diri. Beberapa saat ia masih sempat merenungi muridnya yang tersentuh oleh wajah kehidupan yang lain dari pola kehidupannya yang dingin oleh orang tuanya.
Sementara itu, Widapun telah menemui anaknya. Juga seorang yang tugasnya membersihkan halaman seperti ayahnya. Kepada Sukra ayahnya mengatakan apa yang harus dilakukan di luar padepokan yang dirahasiakan itu.
"Aku akan minta pertanda agar aku tidak mengalami kesulitan di jalan keluar dan masuk nanti," berkata Wida.
"Kepada siapa?" bertanya Sukra.
"Landep," jawab Wida, "Landep adalah salah seorang yang dipercaya oleh Ki Lurah Lembu Ireng."
"Orang itu tentu akan bertanya macam-macam. Kemana ayah akan pergi. Untuk apa, sampai kapan dan segala macam pertanyaan yang bahkan kadang-kadang tidak masuk akal," berkata Sukra.
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya Wida.
"Pergi sajalah. Ayah tentu akan dapat masuk dan keluar tempat yang sudah kita kenal dengan baik ini," berkata anaknya.
"Tetapi justru lingkungan di luar padepokan ini," berkata Wida sambil melangkah terbongkok-bongkok.
"Bukankah ayah pernah keluar masuk padepokan mengantar Ki Ajar jika ia bepergian?" desak anaknya.
"Tetapi Ki Ajar berpesan, agar aku membawa pertanda itu," jawab Wida. Namun kemudian katanya, "Nah, sampaikan kepada Ki Ajar, bahwa aku akan keluar atas perintah Ki Ajar untuk mencari daun, batang dan akar wregu putih. Ki Ajar sedang membuat reramuan obat-obatan. Jika Landep meyakinkan kebenaran kata-kataku dan bertanya kepada Ki Ajar, jawabnya akan serupa."
Sukra mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah ayah. Aku akan menyampaikan kepada Ki Ajar."
"Sekarang, sebelum Landep mendahuluimu," desak ayahnya.
Sukra mengangguk-angguk sambil menjawab, "Tentu ayah. Aku tahu akibatnya jika kau terlambat. Mudah-mudahan Ki Ajar masih ada di tempatnya." namun kemudian pesannya, "tetapi hendaknya ayah berhati-hati."
Wida tersenyum pula. Iapun kemudian menyahut, "Kenapa tidak kau lanjutkan kata-katamu" Ayah sekarang sudah tua, sudah semakin lemah dan tidak lagi bergairah untuk hidup."
Tetapi Sukra menggeleng. Katanya, "Bukan maksudku ayah."
"Nah, sudahlah. Pergilah," potong ayahnya.
Sukrapun kemudian pergi menghadap Ki Ajar yang masih saja duduk merenung di tempatnya, memberitahukan tentang kepergian ayahnya serta alasan yang dikemukakannya untuk mendapati pertanda.
Landep memang tidak mempersulit permintaan Wida. Ia tahu benar bahwa Wida adalah seorang juru taman pelayan dekat Ki Ajar Paguhan. Karena itu, ketika ia mengatakan bahwa ia mendapat perintah dari Ki Ajar, maka Landep memang tidak bertanya lebih banyak lagi.
Hari itu juga Wida meninggalkan padepokan yang penuh dengan rahasia itu. Beberapa kali ia memang bertemu dengan beberapa orang yang meronda dan mengawasi serta menjaga keterasingan dan kerahasiaan padepokan itu. Tetapi kebanyakan dari mereka telah mengenal Wida. Apalagi ia memang membawa pertanda untuk keluar dan pada saatnya memasuki padepokan itu lagi.
Demikian Wida berada di luar padepokan, meskipun ia masih berada di padang yang sempit. Dipandanginya langit yang cerah, matahari yang menyala serta pepohonan yang hijau. Apalagi ketika kemudian ia sampai ke tanah persawahan. Ketika dilihatnya dua orang petani bekerja di sawah, maka rindunya pada kehidupan wajar semakin menyala di hatinya.
"Seandainya aku mempunyai sebidang tanah, meskipun hanya beberapa kotak kecil," katanya kepada diri sendiri, "aku akan menggarapnya dengan kesungguhan hati, mencintai tanah itu seperti mencintai anakku Sukra."
Tetapi Wida sudah terlanjur terbenam dalam kehidupan yang tidak sewajarnya, sehingga sulit baginya untuk dapat keluar dari keadaannya.
Dengan bahan-bahan yang sedikit tentang kedua orang yang mengantar Puguh kembali ke padepokannya, maka Wida mulai menelusuri jalan untuk mencarinya.
Yang mula-mula dituju adalah Gantar, karena ia tahu, untuk mencapai padepokan pertama, maka mereka tentu melalui Gantar. Dengan demikian pada saat mereka meninggalkan padepokan itu, maka merekapun tentu akan melalui Gantar pula.
Ternyata bahwa Wida masih mempunyai ketelitiannya yang pernah dimiliki. Dengan tanpa menimbulkan kecurigaan, ia bertanya tentang dua orang yang pernah melewati Gantar itu.
"Dua orang adikku yang baru berkunjung ke rumahku. Ada barangnya yang ketinggalan," berkata Wida.
"Jika keduanya adikmu, kenapa kau tidak tahu kemana mereka pergi?" bertanya seorang penjual dawet yang ditanya oleh Wida.
"Adikku adalah orang-orang aneh. Mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Atau katakan saja, mereka adalah pemalas yang tidak mau bekerja dengan wajar," jawab Wida.
Penjual dawet itu memang tidak dapat menunjukkan. Tetapi berkat ketelitiannya, maka akhirnya Widapun tahu kemana arahnya kedua orang itu pergi.
Menjelang matahari turun ke punggung pebukitan, maka Wida telah berada di bulak panjang yang pernah dilalui pula oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung. Justru di bulak itu pula keduanya telah dicegat oleh Gagaklahan bersama kawan-kawannya.
Namun tiba-tiba saja Wida merasakan sesuatu yang tidak sewajarnya. Karena itu, maka dengan tiba-tiba saja Wida itu bagaikan lenyap dari jalan yang dilewatinya. Tidak seorangpun yang sempat melihat, bagaimana ia terguling dan hilang menyusup di antara pohon perdu di pinggir jalan itu.
Seorang yang berjalan beberapa puluh langkah di belakangnya justru tidak terkejut. Tidak pula merasa kehilangan, karena orang itu memang tidak sedang mengikuti Wida. Ia berjalan saja menurut arah yang dikehendakinya. Ada atau tidak ada seorang Wida berjalan di jalan itu.
Ia memang melihat seseorang berjalan agak jauh di depannya. Tetapi ketika ia sempat mengingatnya, orang itu sudah tidak kelihatan lagi. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya.
Namun orang yang berjalan itu terkejut bukan buatan, justru ketika seseorang muncul dari balik gerumbul berjalan terbongkok-bongkok mendekatinya.
"Kau?" bertanya orang itu.
"Kau akan pergi kemana Puguh?" bertanya Wida, "kau meninggalkan padepokan seorang diri dalam keadaan yang agak kalut seperti ini."
"Kau akan pergi ke mana?" bertanya Puguh sebelum menjawab pertanyaan Wida.
"Aku mendapat perintah Ki Ajar Paguhan untuk mencari daun, batang dan akar wregu putih untuk reramuan obat-obatan," jawab Wida.
"Obat apa?" bertanya Puguh pula.
"Aku tidak tahu," jawab Wida.
"Dan kau juga tidak tahu ujud daun, batang dan akar wregu putih itu?" bertanya Puguh pula.
"Tentu aku tahu," jawab Wida, "aku sudah terbiasa mencarinya. Tetapi wregu putih memang sulit didapatkan. Yang pernah aku ketemukan itu sudah tidak ada lagi sekarang di tempatnya. Padahal waktu itu, aku hanya mengambil akarnya sedikit untuk menjaga agar pohon wregu putih itu tidak mati."
"Dan kau sekarang akan mencari kemana?" bertanya Puguh.
Wida menggeleng. Jawabnya, "Aku belum tahu. Aku berjalan saja menyusuri jalan ini. Mudah-mudahan aku akan memasuki sebuah padukuhan yang memiliki sebatang pohon wregu putih." Wida berhenti sejenak, lalu, "Kau akan pergi kemana" Kau belum menjawab pertanyaanku."
Puguh termangu-mangu. Namun Widalah yang menebaknya, "Kau akan mencari Gagaklahan yang belum kembali" Bagimu, siapakah yang lebih penting" Gagaklahan atau orang-orang yang telah mengantarmu itu?"
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba iapun bertanya, "Kau tentu juga mencari Gagaklahan."
Tetapi Wida tersenyum sambil menggeleng, "Memang mungkin ada orang lain yang mencarinya. Tetapi tentu bukan aku. Aku adalah pelayan yang tentu tidak akan menerima tugas-tugas seperti itu. Namun tentang jenis-jenis dedaunan, karena aku sudah melayani Ki Ajar bertahun-tahun, maka aku memang agak dapat mengenalinya." Wida berhenti sejenak, lalu, "Apakah dari padepokan pertama tidak ada orang yang berusaha menemukan Gagaklahan?"
"Orang-orang malas itu hanya bergairah jika mendapat perintah untuk membunuh. Tetapi mencari pembunuh-pembunuh seperti Gagaklahan agaknya mereka tidak berminat sama sekali," jawab Puguh.
"He, bagaimana mungkin terjadi seperti itu. Kau dapat memerintahkan kepada mereka. Siapa yang malas, segan atau tidak berminat dapat kau penggal kepalanya di hadapan kawan-kawannya, agar tidak seorangpun yang berlaku demikian," berkata Wida.
Puguh tidak menjawab. Tetapi kepalanya justru tertunduk lesu.
"Kau tidak sependapat?" bertanya Wida.
"Cukup," tiba-tiba saja Puguh membentak.
Wida menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Baiklah. Aku tidak akan menyebutnya lagi." Namun iapun kemudian bertanya, "Dan sekarang kau akan pergi ke mana?"
Puguh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku memang ingin mencari berita tentang Gagaklahan."
"Dari mana kau berangkat?" bertanya Wida.
"Aku mendapat keterangan dari beberapa orang Gantar dan menurut perhitunganku berdasarkan dari mana kami datang ke Gantar, maka kedua orang itu agaknya telah menempuh jalan ini. Tetapi lalu kemana?" desis Puguh.
Wida mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, "Siapakah sebenarnya yang kau cari" Gagaklahan atau kedua orang yang mengantarkanmu pulang ke padepokan?"
"Kau tahu yang aku maksud," jawab Puguh. "Tanpa penegasan, kau sudah cukup mengerti. Karena itu, tidak ada perlunya hal itu kau tanyakan. Apalagi berkali-kali."
Wida menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, "Baiklah. Katakan, bahwa aku sudah menduganya. Agaknya kaupun berpendapat bahwa Gagaklahan telah memburu kedua orang yang mengantarkanmu untuk membunuhnya."
"Atau untuk mengantarkan nyawanya," sahut Puguh.
Wida mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah kedua orang itu berilmu sangat tinggi, sehingga Gagaklahan dan kawan-kawannya mungkin terbunuh oleh mereka" Padahal yang mengikuti Gagaklahan tentu tidak hanya seorang."
Puguh mengangguk. Katanya, "Yang pergi dan belum kembali bersama Gagaklahan ternyata adalah enam orang."
"Nah. Jika demikian maka Gagaklahan tentu akan membunuh mereka. Mungkin Gagaklahan sekarang sedang mencari mereka atau mengikuti mereka sampai ke tempat tertentu," desis Wida.
Puguh tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata, "Marilah. Kita mencari mereka."
"Kemana," bertanya Wida, "sementara langit menjadi semakin buram."
*** JILID 12 PUGUH termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia menggeleng dan berkata, "Aku akan mencarinya."
"Marilah. Aku temani kau pulang. Baru kemudian aku akan mencari pohon wregu putih." ajak Wida.
"Aku akan berjalan terus," berkata Puguh.
Wida hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Puguh itu murid Ki Ajar Paguhan, tetapi serba sedikit ia dapat mengenali wataknya. Karena itu, maka agaknya sulit baginya untuk dapat membawa Puguh kembali.
Namun dalam pada itu, mereka melihat seorang yang berjalan sambil menjinjing cangkulnya, sementara beberapa puluh langkah kemudian seorang yang lain memanggul cangkulnya di pundaknya. Mereka adalah orang-orang yang pulang dari sawah setelah sehari-harian bekerja.
Ternyata sebelum Wida berbuat sesuatu, Puguh telah mendekati orang itu dan bertanya, "Apakah Ki Sanak melihat dua orang asing yang berjalan lewat bulak ini sekitar dua hari yang lalu?"
Petani itu mencoba mengingat. Namun kemudian katanya, "Aku memang bertemu dengan beberapa orang asing dua hari yang lalu. Tetapi tidak hanya dua orang."
"Berapa orang?" bertanya Puguh.
"Tujuh atau delapan orang," jawab orang itu.
Petani itu mengangguk. Katanya pula, "Adalah satu kebetulan, bahwa aku dan seorang kawanku berada di sebuah gubug. Aku singgah di gubugnya itu untuk sekedar minum. Dari gubug itu kami melihat beberapa orang lewat." orang itu berhenti sejenak, lalu, "kenapa dengan orang-orang itu?"
"Mereka menuju ke mana?" bertanya Puguh.
"Aku tidak tahu mereka pergi kemana. Tetapi mereka menempuh jalan ini. Aku melihat mereka justru telah berada di jalan menuju ke kuburan tua," jawab orang itu.
"Jadi kita harus berbelok ke kanan?" bertanya Puguh.
"Tidak. Kau tempuh jalan ke kiri ini," jawab orang itu.
"Tetapi Ki Sanak tadi datang dari arah kanan," sahut Puguh.
"Ya. Aku memang datang dari sawah sebagaimana tetanggaku itu," berkata orang itu ketika seorang yang memanggul Cangkul itu lewat dan bahkan berhenti pula. Lalu katanya pula, "saat aku singgah di gubug itu aku baru pulang dari bepergian, bukan dari sawah."
"Ada apa?" bertanya orang yang memanggul cangkul.
"Tentang orang asing yang lewat beberapa hari yang lalu," jawab petani yang terdahulu.
"O, memang menjadi pembicaraan. Ada beberapa orang yang sempat melihat mereka selagi orang bekerja di sawah. Mereka pergi ke kuburan tua," jawab laki-laki yang seorang lagi, "tetapi aku tidak melihat sendiri. Aku hanya mendengar beberapa orang membicarakan."
"Lalu, dari kuburan tua mereka pergi kemana?" bertanya Puguh ingin tahu.
"Tidak ada yang pernah melihat, kemana mereka pergi," jawab petani yang kedua itu.
"Terima kasih Ki Sanak," tiba-tiba saja Wida menyahut, "keterangan Ki Sanak sangat berharga bagi kami."
Puguh berpaling ke arah Wida. Sebenarnya ia masih ingin bertanya lagi. Tetapi dengan demikian maka kedua orang petani itu telah minta diri.
"Ki Sanak berdua nampaknya terlalu keras bekerja," berkata Wida kemudian, "pada saat begini Ki Sanak berdua baru pulang dari sawah."
"Kerja yang tanggung," jawab salah seorang di antara mereka, "tinggal satu sudut kecil yang harus kami siangi. Daripada besok, maka aku selesaikan saja sama sekali."
Yang lain hanya tersenyum saja. Namun demikian keduanya bersama-sama meninggalkan Puguh dan Wida.
Namun Puguh masih juga bertanya, "Apakah kuburan tua itu masih jauh."
Wida menggamitnya. Tetapi nampaknya kedua petani itu memang tertarik kepada pertanyaan Puguh, sehingga seorang di antaranya bertanya, "Kalian akan pergi ke kuburan tua di saat seperti ini?"
Tetapi Widalah yang menjawab sambil tertawa, "Tentu tidak Ki Sanak."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi seorang di antara mereka bertanya, "Lalu kalian akan pergi kemana sekarang" Dan dimana kalian akan bermalam?"
Yang menjawab adalah Puguh, "Jangan hiraukan kami."
Kedua petani itu memang tidak bertanya lagi. Keduanya justru dengan cepat meninggalkan tempat itu dan dengan tergesa-gesa menuju ke padukuhan mereka. Tetapi disepanjang jalan mereka justru berbincang tentang kedua orang di bulak itu.
"Keduanya cukup mencurigakan," berkata seorang di antara mereka.
"Ya. Sebagaimana beberapa orang beberapa hari yang lalu. Secara kebetulan aku melihat mereka," jawab kawannya.
Ketika kedua orang itu sampai di padukuhan, hari memang sudah menjadi gelap. Namun mereka sempat singgah di rumah tetangga mereka di ujung jalan dan menceriterakan kedua orang yang bertanya-tanya tentang beberapa orang yang asing bagi padukuhan itu yang lewat beberapa hari yang lalu.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari mulut ke mulut, berita itu tersebar, sehingga anak-anak mudanyapun mendengar pula. Karena itulah, maka malam itu di gardu perondan terdapat banyak anak-anak muda dan bahkan bebahu padukuhanpun ada yang berada di gardu di depan banjar.
"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa," desis seorang bebahu kepada seorang anak muda yang duduk di sebelahnya.
"Jika terjadi sesuatu, kami sudah siap," jawab anak muda itu.
Bebahu itu mengangguk-angguk. Tetapi bebahu itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa meskipun agak jauh dari padukuhan mereka, terdapat lingkungan yang sangat gawat. Lingkungan yang tidak dapat dijamah oleh siapapun. Orang-orang padukuhan itu memang tidak banyak yang mengetahuinya, namun sebagai bebahu padukuhan ia sering bertemu dengan bebahu padukuhan lain, sehingga iapun pernah mendengar tentang pertanda topeng kecil yang seram itu.
"Jalma mara jalma mati, sato mara sato mati," desis seorang bebahu dari padukuhan lain yang pernah ditemuinya, ketika ia menceriterakan tempat yang gawat itu. Setiap orang yang menjamah tempat itu akan mati.
Sementara padukuhan itu menjadi bersiaga, maka Puguh dan Wida telah berada di kuburan tua itu. Tetapi di dalam gelapnya malam mereka tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga mereka harus bermalam di kuburan itu sampai esok pagi.
Puguh memang sedikit meremang jika ia melihat keadaan di sekelilingnya. Tetapi ia tidak mengeluh. Iapun berusaha untuk tidak terpengaruh oleh keadaan di kuburan tua itu. Namun nyamuk memang terlalu banyak.
Namun yang tidak diketahui oleh Puguh dan Wida adalah, bahwa beberapa orang di padukuhan terdekat dari kuburan itu telah membicarakan mereka. Bahkan Ki Bekel telah memanggil beberapa bebahu dan orang yang langsung telah bertemu dengan Puguh dan Wida.
Ternyata bahwa kehadiran kedua orang itu dianggap menggelisahkan seisi padukuhan. Apalagi keduanya telah bertanya tentang kuburan tua yang dianggap wingit dan keramat itu.
"Kita harus mengawasi mereka," berkata Ki Jagabaya.
"Tetapi mereka berada dimana sekarang?" bertanya seorang bebahu yang lain.
"Aku kira mereka memang berada di kuburan. Karena itu, kita harus mengawasi jalan yang menuju ke kuburan itu serta pematang-pematang yang mungkin mereka lalui. Sementara itu, kita melaporkannya kepada Ki Demang," jawab Ki Jagabaya.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah kita perlu bersusah payah mengamati kedua orang itu" Apakah tidak cukup bagi kita untuk bersiaga di padukuhan kita?"
Ki Jagabaya memang masih muda, sementara Ki Bekel menjadi semakin tua, sehingga karena itu, beberapa orang menilai bahwa Ki Bekel nampaknya sudah tidak terlalu bergairah untuk berbuat banyak. Namun harapan penghuni padukuhan itu ada pada anak Ki Bekel. Seorang anak muda yang memiliki tubuh yang tinggi kekar.
Karena itu, beberapa orang bebahu, termasuk Ki Jagabaya telah berpaling ke arahnya.
Anak Ki Bekel itu mengerti, bahwa para bebahu berharap agar ia membantu mereka, mendesak kepada Ki Bekel untuk mendapat ijin bertindak. Karena itu, maka anak Ki Bekel itupun berkata, "Ayah. Agaknya memang cukup bagi kita untuk sekedar berjaga-jaga di padukuhan. Tetapi dengan demikian, kita tidak dapat melihat apa yang terjadi di sekitar kita, yang mungkin akan dapat membahayakan kita. Dan apakah menurut ayah, berjaga-jaga bagi padukuhan kita itu terbatas pada dinding-dinding padukuhan" Bukankah sawah dan ladang serta lingkungannya juga termasuk padukuhan kita" Ayah, kuburan tua itu ada di tengah-tengah bulak kita. Bukit kecil itu adalah bukit kita. Karena itu ada baiknya bagi kita untuk mengawasinya."
Sepasang Garuda Putih 2 Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni Tusuk Kondai Pusaka 3
"Memang masuk akal," jawab Jati Wulung, "dua padepokan dengan dua wajah yang berbeda, tetapi di bawah satu perintah. Tetapi mengenai Puguh sendiri, agaknya ia mulai berpikir tentang dirinya sendiri."
"Ya," sahut Sambi Wulung, "jika kita sempat berhubungan dengan anak muda itu lebih lama, maka kita akan dapat membuka pikirannya. Aku masih mempunyai kepercayaan kepadanya."
"Kita tidak tahu, siapakah gurunya dan bagaimana sikapnya," berkata Jati Wulung kemudian, "sikap dan pandangan seorang guru akan lebih berpengaruh terhadap seorang murid daripada sikap ayah dan ibunya sendiri jika anak itu bulat-bulat diserahkan kepada seorang guru di sebuah padepokan."
"Tetapi pertanda topeng kecil itu adalah satu gambaran sikap padepokan bayangan dari padepokan Puguh itu," berkata Sambi Wulung kemudian.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah merekapun belum dapat menemukan satu keyakinan yang bulat. Semuanya masih merupakan dugaan-dugaan meskipun mereka mempunyai alasan-alasan yang kuat.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulungpun berkata, "Bagaimanapun juga peringatan Puguh agar kami berhati-hati itu merupakan peringatan yang benar-benar harus kita perhatikan. Tentu ia telah mendengar satu rencana yang akan ditrapkan terhadap kita berdua."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Memang banyak hal yang dapat terjadi. Namun sambil melangkah terus ia berkata, "Apa salahnya untuk selalu berhati-hati."
Sebagaimana saat mereka datang, maka merekapun telah menempuh jalan kembali melalui Gantar. Jalan yang melewati tepi hutan yang lebat. Hutan yang masih dihuni segala macam binatang buas dan ular-ular raksasa yang berkeliaran.
Tetapi kedua orang yang mempunyai pengalaman yang luas itu sama sekali tidak gentar, sebagaimana orang-orang padepokan Puguh yang justru sering berburu binatang di hutan itu.
Tetapi keduanyapun sama sekali tidak mendapat gangguan dari binatang-binatang buas di hutan itu, sehingga akhirnya merekapun telah menempuh jalan yang menjauhi hutan itu, memasuki padang perdu yang gersang.
Panas matahari yang mulai mencubit kulit mereka telah memanasi pula rerumputan di padang perdu itu. Daun-daun yang menua telah menjadi kuning dan kemudian berguguran di tanah.
Namun kedua orang itu berjalan terus. Meskipun keringat mulai membasahi tubuh mereka, tetapi mereka tidak merasa segan untuk melangkah terus.
Akhirnya, merekapun mulai memasuki tanah persawahan yang digarap oleh orang-orang padukuhan kecil yang tersebar. Dari padukuhan yang satu sampai ke padukuhan berikutnya, mereka tidak lagi merasa terpanggang oleh panasnya matahari yang meskipun menjadi semakin tinggi. Beberapa batang pohon turi tumbuh berjajar di pinggir jalan. Meskipun daunnya tidak terlalu lebat, tetapi cukup rimbun untuk melindungi para pejalan kaki di tengah-tengah bulak itu.
Ketika mereka mendekati padukuhan induk Kademangan Gantar, Jati Wulungpun berkata, "Sampai disini kita tidak menemukan hambatan apapun juga."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kita baru sampai ke Gantar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kita melewati Gantar ini."
"Apakah mereka tahu, dari Gantar kita akan pergi kemana?" bertanya Jati Wulung.
"Mereka mempunyai seribu mata yang tersebar di sekitar padepokan mereka dan mempunyai seribu telinga yang dipasang di pepohonan di pinggir-pinggir jalan," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulungpun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Apapun yang akan mereka lakukan, asal saja kita berhati-hati. Bahkan mungkin mereka akan dapat berbuat sesuatu atas kita dengan cara yang sangat licik dan tidak kita duga sebelumnya."
"Ya. Memang mungkin saja terjadi. Sedangkan kita tidak akan membiarkan diri kita diterkam oleh bencana apapun juga," sahut Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab lagi. Perhatiannya mulai tertuju kepada Kademangan induk di hadapan mereka.
Demikian mereka memasuki padukuhan induk Kademangan Gantar, maka mereka bersepakat untuk singgah di sebuah kedai. Bukan sekedar untuk melepas haus dan lapar. Tetapi mereka ingin mendengar pembicaraan orang di kedai itu tentang keadaan Kademangan mereka.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang berada di kedai itu tidak seorangpun yang mengeluh tentang peristiwa-peristiwa buruk yang pernah terjadi karena kelakuan orang-orang jahat. Bahkan rasa-rasanya padukuhan induk itu memang tenang dan tenteram.
Tetapi keduanya memang tidak dapat menganggap bahwa diri mereka telah terlepas dari kemungkinan buruk sebagaimana diperingatkan oleh Puguh.
"Seperti yang pernah kita bicarakan," berkata Jati Wulung, "biasanya sekelompok penjahat tidak melakukan kejahatan atas tetangga sendiri."
Di kedai itu mereka tidak mendapatkan keterangan apa-apa tentang hubungan antara Gantar dengan orang-orang di padukuhan yang dihuni oleh Puguh, maupun padepokan atau gerombolan lain yang telah memasang pertanda tertentu di tempat-tempat yang dianggap lingkungan mereka agar tidak disentuh oleh orang lain.
Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung itupun telah melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan padukuhan induk Gantar. Bahkan kemudian merekapun telah melintasi beberapa padukuhan lain di Kademangan Gantar.
Sambi Wulung dan Jati Wulung justru mulai membuat perhitungan tersendiri ketika mereka telah keluar dari Kademangan Gantar. Mereka mula memasuki bulak-bulak panjang di antara padukuhan-padukuhan yang tersebar. Sawah yang terbentang seakan-akan sampai ke cakrawala, menggapai kaki pegunungan.
"Rasa-rasanya tenaga para penghuni padukuhan itu tidak akan mampu mengerjakan sawah seluas ini," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kerja keras dari para petani. Tetapi lihat, di bagian itu agaknya sawah dikerjakan tidak sebagaimana di sisi yang lain."
Jati Wulung menangguk-angguk. Ketika mereka melintasi daerah itu, maka mereka memang melihat, bahwa agaknya di kotak-kotak sawah itu, air agak lebih sulit didapat dari bagian yang lain, sehingga yang ditanam di bagian itu adalah padi dari jenis yang tidak terlalu banyak memerlukan air. Padi gaga.
"Sebentar lagi, daerah ini akan menjadi daerah pategalan. Lihat, beberapa macam pohon telah ditanam di pematang," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Di luar sadarnya iapun berhenti dan mengamati beberapa jenis pohon buah-buahan yang mulai tumbuh dengan subur.
Namun tiba-tiba saja kening Jati Wulung berkerut. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Karena itu, maka dengan nada rendah ia berdesis perlahan-lahan, "Apakah kau melihat sesuatu?"
"Ya. Bukankah benar seperti yang aku katakan. Mereka tahu ke arah mana kita akan pergi?" justru Sambi Wulunglah yang kemudian bertanya, "berapa orang yang telah kau lihat?"
"Aku baru melihat seorang," desis Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah. Kita berjalan terus. Mudah-mudahan sekedar prasangka kita saja. Jika orang itu adalah seorang petani yang sedang bekerja di sawah, maka kita telah bersalah. Agaknya jantung kitalah yang dipenuhi dengan kecurigaan."
Jati Wulungpun mengangguk-angguk pula. Tetapi iapun kemudian berkata, "Mudah-mudahan. Tetapi seorang petani tidak akan langsung berusaha menghilang di balik tanaman di sawah melihat kehadiran kita."
"Agaknya kita memang harus berhati-hati," berkata Sambi Wulung.
Demikianlah maka kedua orang itu telah melanjutkan perjalanan mereka, melintasi bulak panjang yang sepi. Rasa-rasanya orang-orang yang mengerjakan sawahpun tidak kelihatan pula. Sementara itu tanaman padi yang tumbuh semakin besar agaknya sudah perlu disiangi.
Namun kedua orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat sebatang anak panah yang meluncur ke udara dari balik sebongkah batu padas.
Sambi Wulung dan Jati Wulung berpandangan sejenak. Sementara itu matahari telah mulai turun di belahan langit sebelah Barat. Dengan dahi yang berkerut Sambi Wulung berkata, "Nah, kita sudah harus melakukannya. Apaboleh buat. Kita tidak dapat sekedar bermain-main. Mungkin kita benar-benar harus membunuh dalam keadaan seperti ini."
"Mereka tentu sudah memperhitungkan kemampuan kita," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Marilah, Kita berjalan terus."
Keduanyapun berjalan terus. Seakan-akan mereka tidak menghiraukan anak panah yang terbang melintasi jalan yang mereka lalui.
Namun sejenak kemudian, maka beberapa orangpun telah berloncatan dari balik batang-batang padi pada jarak yang agak jauh dari jalan yang melintasi bulak panjang itu.
"Merekapun sangat berhati-hati," berkata Sambi Wulung, "mereka mengikuti kita dari jarak yang sangat jauh."
"Satu pertanda bahwa mereka memperhitungkan banyak kemungkinan. Agaknya Puguh telah menceriterakan apa yang terjadi di Song Lawa," desis Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Justru karena mereka mengetahui tataran kemampuan mereka berdua, maka mereka agaknya telah bertindak sangat berhati-hati.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung berjalan terus tanpa menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung sempat berbisik, "Tentu bukan rencana Puguh. Justru anak muda itu telah memberikan isyarat kepada kita untuk berhati-hati."
Jati Wulung mengangguk sambil menjawab, "Ya. Bukan salah anak muda itu."
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung menyadari, bahwa beberapa orang telah meniti pematang, mendahului perjalanan mereka. Beberapa orang di antara mereka telah meloncati parit dan kemudian berada di jalan yang dilalui oleh kedua orang itu.
"Nampaknya mereka tidak begitu cerdas berpikir," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Nampaknya orang itu berilmu tinggi. Tetapi otaknya memang agak tumpul. Yang lain tentu lebih dungu lagi meskipun mereka sudah terbiasa melakukan tindak kekerasan."
Keduanya tidak berbicara lagi. Tetapi perhatian mereka tertuju kepada seorang di antara mereka yang mempergunakan topeng. Kedua orang itu langsung dapat mengenalinya meskipun wajahnya tidak kelihatan. Selain bentuk tubuhnya, juga karena orang itu justru memakai topeng, sementara yang lain tidak. Dengan demikian orang itu tentu berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah dikenal oleh kedua orang yang dicegatnya.
Karena itu, demikian orang itu berdiri di tengah jalan dengan tangan bertolak pinggang, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun berdesis hampir bersamaan, "Gagaklahan."
Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulungpun sempat menghitung orang-orang yang kemudian telah berloncatan pula dan berdiri di sebelah menyebelah orang bertopeng itu.
"Enam orang," berkata Jati Wulung.
"Jumlah yang berat," berkata Sambi Wulung.
"Apaboleh buat," jawab Jati Wulung.
Namun dalam pada itu, keduanya masih saja berjalan terus.
Keduanya baru berhenti ketika orang-orang itu mengangkat tangannya dan memberikan isyarat kepada keduanya untuk berhenti.
"Kenapa kau menghentikan perjalanan kami Ki Sanak?" bertanya Sambi Wulung.
"Kau telah berada di dalam daerah kekuasaanku tanpa ijinku," jawab orang bertopeng itu. Suaranya serak dan bergetar di balik topengnya. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung mengerti, bahwa orang itu berusaha untuk tidak dikenali.
Orang itu menjadi heran, bahwa kedua orang yang dihentikan itu perhatiannya justru pada topengnya. Jati Wulung sambil tersenyum bertanya, "Kenapa kau memakai topeng, sementara kawan-kawanmu tidak?"
Orang itu memang agak menjadi bingung untuk menjawab. Namun kemudian katanya, "Tidak semua orang boleh mengenal wajahku yang sebenarnya. Hanya orang-orang penting sajalah yang pantas untuk melihat wajahku."
"Apakah wajahmu cacat?" bertanya Jati Wulung pula, "bibirmu sumbing misalnya. Atau matamu buta sebelah atau hidungmu gerumpung."
"Cukup," orang itu berteriak, "kami datang untuk membunuhmu."
Sambi Wulung justru tertawa. Katanya, "Jika kau marah, maka kau telah lupa merubah suaramu. Apalagi saat suaramu melengking, meskipun di balik topengmu."
Telinga orang itu bagaikan disentuh api. Sementara Jati Wulung justru bertanya, "Siapakah kau sebenarnya Ki Sanak" Apakah kau yang bernama Gagaklahan?"
"Anak iblis," orang itu mengumpat, "tidak ada hubungannya dengan Gagaklahan."
"Bukalah topengmu. Tidak ada gunanya di hadapan kami," berkata Sambi Wulung, "pengenalan kami atas seseorang cukup tajam, sehingga tidak sekedar terbatas pada wajah seseorang. Kami mengenali bentuk tubuhmu. Caramu melangkah, suaramu yang meskipun kau samarkan dan banyak hal lagi yang dapat kami kenali. Karena itu topeng itu tidak ada artinya sama sekali. Barangkali hanya akan mengganggu pandanganmu saja, karena dengan topeng itu, kau tidak dapat melihat bebas sebagaimana jika kau tidak memakainya."
Terdengar orang itu mengumpat. Namun ia benar-benar telah membuka topengnya. Sebenarnyalah bahwa orang itu adalah Gagaklahan.
"Ki Sanak," berkata Sambi Wulung kemudian, "kau membuat kami menjadi heran. Apa pula salah kami, sehingga kau membawa beberapa orang kawanmu menghentikan perjalanan kami" Jika kau menganggap kami mengganggumu di padepokanmu, maka kami sudah dengan tergesa-gesa pergi."
"Ki Sanak," berkata Gagaklahan, "sayang sekali bahwa kami harus mengambil langkah penghadangan. Kehadiran kalian berdua di padepokan kami sangat mencurigakan. Kalian bukan orang-orang kebanyakan yang tidak mempunyai penilaian tertentu terhadap padepokan kami. Tetapi justru karena kalian memiliki ketajaman pengamatan, maka kau bukan orang yang pantas untuk mengunjungi padepokan kami."
"Bukankah kami datang ke padepokanmu untuk mengantarkan Puguh yang mengalami kesulitan di Song Lawa dan juga di perjalanan kembali?" jawab Sambi Wulung. Lalu, "Bukankah sepantasnya kalian justru berterima kasih kepada kami?"
"Kau sangka kami tidak tahu, bahwa yang kalian lakukan tidak lebih dari sikap pura-pura" Kau antar Puguh sampai ke padepokannya. Tetapi yang penting bagi kalian bukan keselamatan Puguh, tetapi dengan demikian kalian akan dapat melihat-lihat isi padepokanku," berkata Gagaklahan.
"Buat apa aku mengintai isi padepokanmu" Aku tidak mempunyai kepentingan sama sekali. Kau kira kami ini siapa" Kami adalah dua orang pengembara yang menjelajahi tempat-tempat di atas tanah ini. Kami memasuki lingkungan perjudian yang satu dan lingkungan perjudian yang lain. Gersik, Bergota, Pajang, Song Lawa dan tempat-tempat lain. Bahkan kami telah sampai ke tempat perjudian yang tersembunyi di sebelah Selatan Cirebon dan Kedung Pring di Wanasaba," berkata Sambi Wulung pula.
"Apapun yang kau katakan tidak akan dapat menyelamatkan umurmu. Marilah, ikuti kami. Kita akan memilih tempat yang baik bagi saat-saat terakhir kalian," berkata Gagaklahan.
"Maksudmu?" bertanya Sambi Wulung.
"Kami dapat membunuh kalian dengan seribu macam cara," berkata Gagaklahan, "jika kau menurut cara yang kami tawarkan, maka kematian kalian akan berjalan rancak dan baik. Tetapi jika kalian menolak, kami akan memilih cara yang jauh lebih buruk. Mungkin kalian akan bertahan sampai empat lima hari sebelum kalian benar-benar mati."
"Itu mengerikan sekali," sahut Jati Wulung, "ternyata bahwa kau adalah iblis yang paling garang. Kami menyangka bahwa kau benar-benar seorang yang ramah sebagaimana kau menerima kedatangan kami di padepokanmu."
"Sudahlah," berkata Gagaklahan, "nasib seseorang kadang-kadang memang tidak dapat dilihat sebelumnya. Sekarang bersiaplah untuk mati."
"Kau akan menusuk jantung kami?" bertanya Jati Wulung.
"Tetapi tidak disini. Marilah, lebih baik kita pergi ke kuburan. Kau akan memperingan pekerjaan kami. Tetapi kaupun akan mengurangi kengerian di saat-saat matimu," berkata Gagaklahan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Yang menjawab kemudian adalah Sambi Wulung. "Baiklah. Barangkali kami harus bijaksana di saat terakhir ini. Jumlah kalian terlalu banyak bagi kami."
"Bagus," berkata Gagaklahan. "Berjalanlah."
"Kemana?" bertanya Sambi Wulung.
"Ikuti jalan ini. Kami akan memberikan aba-aba." jawab Gagaklahan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak membantah. Mereka berjalan sambil menundukkan kepala. Sementara beberapa orang mengikutinya di belakang.
Ketika mereka sampai disimpang empat, maka Gagaklahan telah memberikan aba-aba untuk berbelok ke kiri. Kemudian beberapa ratus patok mereka berbelok lagi ke kanan dan masih sekali lagi ke kiri.
Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung memandang lurus ke depan, maka mereka menyadari, bahwa jalan itu adalah jalan yang menuju ke sebuah bukit kecil di tengah-tengah bulak yang luas. Di atas bukit kecil itu terdapat sebuah kuburan tua yang sudah tidak dipergunakan lagi kecuali membiarkan kuburan itu sebagaimana adanya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung sempat berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka telah memperhatikan beberapa pohon semboja yang sudah menjadi tua pula dan berdaun rimbun dengan cabang-cabangnya yang besar-besar serta bunganya yang semerbak dengan baunya yang khusus. Sementara di tengah-tengah kuburan lebih besar lagi adalah sebatang pohon cangkring yang beberapa dahan dan rantingnya telah menjadi lapuk.
"Pandanglah ke depan," berkata Gagaklahan, "kalian akan mendapat tempat beristirahat yang tenang dan tidak akan terganggu lagi."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menjawab. Namun ketika mereka sampai di regol kuburan yang telah rusak itu, maka langkah merekapun terhenti.
"Kita akan masuk ke dalam," berkata Gagaklahan, "di dalam kuburan itu sudah terdapat beberapa macam alat untuk menggali kubur. Nah, tugas kalian adalah menggali kubur kalian masing-masing. Kemudian berbaring di dalamnya. Kami akan menusuk kalian tepat di jantung."
"Apakah kalian mempunyai cara yang lain?" bertanya Sambi Wulung.
"Sudah aku katakan, bahwa kami mempunyai seribu cara. Kami dapat mengikat kalian pada batang pohon cangkring raksasa itu. Kalian harus tahu, bahwa pada batangnya yang besar itu terdapat sarang semut merah. Semut itu adalah semut yang sangat rakus. Namun semut-semut itu tentu akan dapat membunuh kalian sekaligus. Semut itu akan makan bagian-bagian tubuh kalian yang lunak," berkata Gagaklahan.
"Mengerikan sekali," desis Jati Wulung, "cara itu hanya dilakukan oleh iblis-iblis yang bengis."
"Kami memang termasuk iblis yang kau maksud," berkata Gagaklahan sambil tertawa.
Jati Wulung menggeretakkan giginya, sementara Gagaklahanpun berkata, "Karena itu, maka aku telah menyediakan cara yang paling baik buat kalian karena kalian tidak melawan. Berbaring di lubang kubur dan satu tusukan yang akan menembus jantung. Kalian akan mati sambil tersenyum di saat terakhir serta mengucapkan terima kasih untuk yang penghabisan."
Sambi Wulung dan Jati Wulung kemudian memandangi keadaan di sekitarnya. Memang menyeramkan. Meskipun di siang hari, namun tempat itu telah dilindungi oleh bayangan dedaunan yang pepat oleh pohon-pohon yang besar serta pohon-pohon semboja yang tua, sehingga rasa-rasanya sinar matahari tidak dapat menggapai tanah pekuburan yang lembab berlumut.
"Nah, kalian sempat memilih tempat," berkata Gagaklahan, "sebaiknya kalian menggali lubang kubur sebelah menyebelah. Mungkin di dalam kubur kalian sempat berbincang."
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih memandang berkeliling. Namun kemudian Sambi Wulungpun berkata, "Maaf Ki Sanak. Tidak ada tempat yang menarik bagiku disini. Apakah tidak ada tempat lain yang lebih baik" Yang tidak terlindung bayangan rimbunnya dedaunan sehingga nampak gelap dan menyeramkan."
"Tidak ada tempat lain," jawab Gagaklahan. Lalu, "Cepatlah. Jangan menunggu kami berubah pikiran. Jika kami merubah keputusan kami dan menentukan cara kematian kalian yang lain, maka kalian akan menyesal."
"Tetapi dengan apa kami harus menggali kubur kami?" bertanya Jati Wulung.
Gagaklahan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada salah seorang pengikutnya, "Ambil cangkul itu."
Dua orang di antara keenam orang yang menyertainya itu telah menyusup ke bawah pohon benda yang berdaun lebat. Mereka telah mengambil dua buah cangkul dari dalam semak-semak dan membawanya kepada Gagaklahan.
"Berikan kepada mereka," berkata Gagaklahan.
Kedua orang itupun telah menyerahkan cangkulnya kepada Sambi Wulung dan kepada Jati Wulung.
"Nah, sekarang lakukan. Jangan berbuat yang aneh-aneh, sehingga dapat merubah keputusanku yang terlalu baik bagi kalian," geram Gagaklahan.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun berpandangan sejenak. Namun kemudian Sambi Wulungpun berkata, "Bagaimana jika kalian saja yang menggali kubur ini" Mungkin lebih baik kalian sajalah yang mati lebih dahulu daripada aku."
Enam orang pengikut Gagaklahan itu terkejut. Namun Gagaklahan hanya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada orang-orangnya, "Kepung mereka. Jangan beri kesempatan lolos. Agaknya mereka memang lebih suka menjadi makanan semut merah. Pada batang pohon cangkring itu terdapat semut merah yang tidak terhitung jumlahnya, yang akan dapat menghabiskan kedua orang itu meskipun sedikit demi sedikit."
Keenam orang itupun segera berloncatan di antara gundukan-gundukan tanah kuburan dan batu-batu nisan tua yang sudah tidak terawat.
Mereka menjadi semakin heran melihat Jati Wulung itu tertawa. Katanya, "Kau telah berbaik hati Ki Sanak. Jika kami berdua membunuh kalian di tengah-tengah bulak, maka kami akan mengalami kesulitan untuk menguburmu. Tetapi disini kami tidak usah menggotong tujuh sosok mayat dari tengah bulak itu."
"Persetan," geram Gagak lahan. "Jadi kalian akan melawan?"
"Kau kira aku akan menyerahkan leherku atau barangkali jantungku?" bertanya Jati Wulung.
Gagaklahan memang nampak menegang. Tetapi iapun berkata, "Aku memang sudah mengira, bahwa kalian tidak akan begitu mudah menyerah. Karena itu, kamipun tidak dengan serta-merta merasa diri kami menang. Menang dengan cara seperti ini sama sekali tidak memberikan kepuasan kepadaku. Kami lebih senang membunuh kalian dengan mengerahkan kemampuan. Hasil yang dapat kami capai akan terasa lebih nikmat. Sebagaimana kami membunuh kalian dengan semut merah akan memberikan kepuasan lebih besar daripada membunuh kalian dengan menusuk di jantung."
"Nah," berkata Sambi Wulung, "aku kira, kita sudah terlalu lama bermain-main. Sekarang, marilah. Siapa yang akan mati." Sambi Wulung berhenti sejenak, lalu, "Sebenarnya kami tidak ingin membunuh siapapun. kami telah menolong Puguh. Sekarang, kau yang disebut pamannya, justru ingin membunuh kami. Dengan demikian, maka kami akan dengan sangat terpaksa membela diri. Salah satu cara untuk menyelamatkan diri sendiri adalah dengan membunuh lawan, meskipun tidak dengan cara memberikan kepada semut merah."
"Cukup," bentak Gagaklahan yang kemudian memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, "tangkap keduanya. Jika mungkin hidup-hidup. Kita akan menyaksikan, bagaimana mereka akan mati dikoyak-koyak oleh semut-semut merah yang gigitannya sepanas api."
Keenam orang itupun mulai bergerak. Sambi Wulung ternyata sempat berdesis, "Kita harus benar-benar berhati-hati. Mereka tidak dengan serta-merta mempergunakan senjata-senjata mereka. Agaknya mereka memang orang-orang berilmu."
"Baiklah. Agaknya kita memang tidak mempunyai pilihan lain," sahut Jati Wulung.
Demikianlah maka kedua belah pihakpun telah bersiap. Menurut perhitungan jumlah orang, maka Sambi Wulung atau Jati Wulung harus melawan empat orang, sedangkan lainnya melawan tiga orang.
Tetapi agaknya Gagaklahan tidak segera turun ke arena. Ia masih saja berdiri di tempatnya ketika keenam orang pengikutnya mulai bergerak. Agaknya ia terlalu yakin bahwa para pengikutnya akan dapat menyelesaikan tugasnya.
"Kalian tidak perlu berbelas kasihan," berkata Gagaklahan. "Keduanya harus mati, agar kesan yang didapat atas padepokan kami terhapus bersama kematian mereka. Karena mereka telah melawan, maka kalian berhak menentukan cara yang kalian anggap baik untuk membunuhnya. Karena itu, usahakan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Kita akan kecewa jika mereka cepat mati."
"Kau benar-benar iblis," geram Jati Wulung. "Jangan kau kira dengan demikian kau dapat menakut-nakuti kami. Tetapi justru telah membakar kegarangan hati kami. Jangan kau sangka bahwa kami berdua adalah orang baik-baik yang tidak dapat berbuat kasar. Jika plataran permainan kami adalah tempat-tempat perjudian, maka kalian dapat membayangkan cara hidup kami serta sumber bekal kami."
Gagaklahan mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia telah berteriak keras-keras, "Bunuh mereka. Cepat."
Keenam orang itupun mulai berloncatan. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung yang menyebut dirinya bernama Wanengbaya dan Wanengpati itu telah-bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka merekapun dengan cepat bergeser pula menghindarinya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit antara Sambi Wulung dan Jati Wulung, masing-masing melawan tiga orang. Sementara Gagaklahan sendiri menyaksikan pertempuran itu dengan tegang.
Seperti dugaan Sambi Wulung dan Jati Wulung, bahwa keenam orang itu bukannya orang yang tidak berilmu. Apalagi mereka agaknya mempunyai pengalaman yang luas dalam dunia olah kanuragan, sehingga dengan demikian, maka baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung benar-benar harus berhati-hati melawan mereka.
Seperti badai mereka menyerang Sambi Wulung dan Jati Wulung. Berurutan, susul menyusul tidak henti-hentinya. Bahkan kadang-kadang dua tiga orang itu telah bersama-sama datang menyerang.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung memiliki kecepatan gerak yang tinggi. Dengan tangkasnya mereka menghindari setiap serangan. Berloncatan di antara gundukan tanah dan batu-batu nisan. Bahkan menyusup di bawah dahan dan ranting-ranting pohon semboja yang menjadi besar dan nampak tua. Kayunya berwarna keputih-putihan dengan noda-noda yang berwarna coklat tua.
Benturan-benturan kekuatan mulai terjadi. Namun dengan demikian maka keenam orang pengikut Gagaklahan itupun mengetahui, betapa besarnya kekuatan kedua orang yang menamakan diri Wanengbaya dan Wanengpati itu.
Beberapa saat kemudian, ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung justru telah mengambil jarak. Sambi Wulung telah bergeser ke bawah pohon benda yang berdaun rimbun. Sedangkan Jati Wulung telah bertempur dekat dengan pokok batang cangkring raksasa. Duri-duri pada batang dan dahan-dahannya yang besarpun nampak garang meskipun menjadi tidak terlalu runcing.
Gagaklahanpun telah bergeser pula. Ia tidak mau berdiri terlalu jauh dari arena pertempuran yang menjadi semakin sengit itu.
Ternyata bahwa pekerjaan Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi semakin berat. Ketiga orang yang harus mereka hadapi masing-masing itu semakin meningkatkan kemampuan mereka. Mereka berloncatan dengan tangkasnya, sementara tangan dan kaki mereka menyambar-nyambar.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung telah memanfaatkan tempat yang ada. Ternyata bahwa ketiga orang yang harus mereka lawan masing-masing itu tata geraknya memang terhambat oleh batu-batu nisan tua yang sudah tidak terawat. Bahkan sekali-sekali dalam keadaan yang tergesa-gesa, kaki mereka justru telah terantuk batu-batu nisan itu.
Gagaklahan memperhatikan pertempuran itu dengan sungguh-sungguh. Namun sekali-sekali iapun telah mengumpat. Ternyata bahwa tiga orangnya tidak segera dapat mengatasi hanya seorang saja di antara lawan-lawan mereka.
Tetapi Gagaklahan cukup yakin akan kemampuan keenam orang itu. Orang yang telah dipercaya untuk melakukan tugas-tugas yang berat dan berbahaya.
Tetapi berhadapan dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung keenam orang itu memang mengalami kesulitan. Kedua orang itu seakan-akan mampu, bergerak mengatasi penglihatan matanya, sehingga keduanya kadang-kadang merasa seakan-akan telah kehilangan lawannya itu. Namun yang tiba-tiba saja telah muncul di belakang mereka.
Keenam orang itu memang harus mengakui betapa tinggi ilmu lawan mereka. Tetapi seperti Gagaklahan, mereka yakin bahwa bertiga, mereka tentu akan dapat membunuh lawannya. Bahkan menangkap mereka hidup-hidup dan menghukumnya seperti yang dikehendaki Gagaklahan.
Namun benturan-benturan yang kemudian terjadi, ternyata memberikan isyarat lain kepada keenam orang itu. Ketika salah seorang lawan Sambi Wulung sempat meloncat dan menjulurkan kakinya dengan sepenuh tenaga, maka Sambi Wulung yang tidak sempat mengelak telah menangkis serangan itu. Sambil memiringkan tubuhnya dan sedikit merendah, ia melindungi tubuhnya dengan sikunya.
Dalam benturan itu, ternyata lawan Sambi Wulung telah menyeringai menahan sakit. Bukan saja kakinya yang membentur siku Sambi Wulung, tetapi juga karena iapun kemudian telah terdorong surut. Namun malang baginya, karena kakinya terantuk batu nisan, sehingga iapun telah terjatuh menimpa batu nisan itu.
Batu nisan itu memang sudah tua. Karena itu, maka batu nisan itupun telah terguling pula.
Orang itupun kemudian telah mengumpat-umpat di sela-sela desah kesakitan. Kakinya yang kesakitan karena membentur siku Sambi Wulung justru telah terluka pula karena terantuk batu nisan yang kemudian terguling itu. Bahkan darah mulai mengembun dari luka yang dangkal tetapi terasa pedih itu. Apalagi ketika luka itu menjadi basah karena keringatnya sendiri.
Namun sambil menggeram orang itupun segera bangkit. Dengan menggeretakkan giginya ia dapat mengatasi perasaan sakit itu. Sehingga sejenak kemudian, maka iapun telah meloncat memasuki arena pertempuran kembali.
Tetapi demikian ia mulai menyerang, maka seorang kawannya justru telah terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perutnya. Sambi Wulung yang berputar satu lingkaran dan bertumpu dengan sebelah kakinya, telah menyambar perut orang itu dengan tumit kakinya yang lain.
Orang itupun telah bergeser surut. Perutnya menjadi mual. Rasa-rasanya isinya akan tumpah keluar.
Tetapi Sambi Wulung tidak dapat memburunya, karena orang yang terjatuh menimpa batu nisan itu telah memasuki arena pula dengan garangnya. Bahkan teriakannya bagaikan meruntuhkan dahan-dahan pohon benda yang rimbun itu.
Sementara itu di bawah pohon cangkring, Jati Wulungpun bertempur dengan sengitnya. Tidak banyak batu nisan yang bertebaran di bawah batang cangkring itu. Karena itu, maka baik Jati Wulung, tetapi juga lawan-lawannya menjadi lebih leluasa bergerak. Mereka berloncatan untuk saling menyerang dan menghindar.
Namun ternyata Jati Wulung nampak lebih keras daripada Sambi Wulung menghadapi orang-orang yang kasar itu. Semakin kasar ketiga orang yang bertempur melawannya, maka Jati Wulungpun menjadi semakin keras pula.
Dengan garangnya Jati Wulung berloncatan menyerang ketiga orang lawannya berganti-ganti. Semakin lama menjadi semakin cepat. Ketika dua orang lawannya menyerangnya bersama-sama dari dua arah yang berbeda, maka Jati Wulung sempat meloncat menghindar namun justru telah menyerang orang yang ketiga. Demikian tiba-tiba sehingga orang itu justru terkejut karenanya.
Namun orang ketiga itu masih juga berusaha menangkis serangan Jati Wulung. Tetapi sambil menggeliat, Jati Wulung telah mengurungkan serangan kakinya. Tetapi tangannyalah yang kemudian terayun mendatar. Sehingga dengan punggung tangannya yang mengepal, maka ia telah menghantam tengkuk orang itu.
Orang itu terdorong beberapa langkah. Betapapun ia berusaha tetapi ia telah kehilangan keseimbangannya, sehingga iapun kemudian telah jatuh terjerembab. Untunglah bahwa dahinya tidak membentur batu nisan yang sejengkal terbujur di hadapannya. Namun demikian, wajahnya bagaikan dilumuri dengan debu tanah pekuburan tua.
Orang itupun kemudian bangkit sambil membersihkan wajahnya dengan lengan bajunya. Dengan kasar iapun telah mengumpat-umpat.
"Aku bunuh kau orang gila," teriaknya.
Dengan garang orang itupun kemudian telah meloncat memasuki arena kembali. Namun bagaimanapun juga, orang-orang yang melawan Sambi Wulung dan Jati Wulung itu semakin lama harus mengakui bahwa lawannya memang seorang yang berilmu tinggi. Bahkan semakin lama tangan Sambi Wulung dan Jati Wulung itu rasa-rasanya menjadi semakin bergerak, berputaran dan terayun ke segala arah.
Satu-satu Sambi Wulung dan Jati Wulung menyentuh tubuh lawannya semakin sering. Setiap serangan yang mengenai tubuh lawannya terasa bagaikan meremukkan tulang. Karena itu, semakin sering serangan kedua orang itu mengenai lawannya, maka tubuh lawan-lawan merekapun serasa menjadi semakin sakit.
Bahkan seorang di antara lawan Sambi Wulung rasa-rasanya tidak lagi dapat mendekati lawannya karena lambungnya yang sakit. Bahkan sebelah matanya bagaikan tertutup oleh noda yang kebiruan karena pukulan Sambi Wulung di wajahnya. Sehingga orang itu merasa tidak lagi dapat bergerak dengan cepat mengimbangi pertempuran yang semakin seru itu.
Dalam pada itu Gagaklahan menjadi cemas. Semula ia memang yakin bahwa dalam waktu singkat, keenam orangnya itu akan dapat menyelesaikan dua orang betapapun orang itu berilmu tinggi. Tetapi semakin lama pertempuran itu berlangsung, maka iapun menjadi semakin ragu.
Orang yang matanya mulai membengkak itu, tidak mau membiarkan keadaan menjadi semakin parah. Karena itu, betapapun ia harus mempertimbangkan harga diri, namun akhirnya iapun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang tajam berkilat-kilat.
Sambi Wulung meloncat dua langkah surut, sehingga iapun berdiri hampir bersandar pada batang pohon benda yang besar itu.
Orang yang matanya membengkak dan lambungnya terasa sakit sekali itu maju perlahan-lahan. Sambil mengacukan pedangnya ia berkata, "Sebenarnya aku ingin menangkap kau hidup-hidup. Tetapi kami tidak dapat menolak kenyataan, bahwa kau mampu bergerak demikian cepatnya. Namun itu bukan pertanda bahwa kau akan dapat keluar dari kuburan ini."
Sambi Wulung tidak segera menjawab. Ia memalingkan wajahnya memandang kepada kedua orang lawannya yang lain. Namun karena salah seorang di antara mereka telah menarik senjatanya, maka yang dua orang itupun telah menggenggam senjatanya pula di tangan.
Ketiga orang lawan Sambi Wulung masing-masing telah memegang pedang. Meskipun bentuknya berbeda, namun agaknya ketiganya memiliki ilmu pedang yang baik. Bahkan seorang di antara mereka telah memegang pedang di tangan kanannya, sedang di tangan kirinya tergenggam sebuah pisau belati yang agak panjang.
Ketika ketiga orang itu mulai menggerakkan senjata mereka, maka nampaknya ilmu pedang mereka memang meyakinkan.
Karena itu, maka Sambi Wulung tidak mau membiarkan dirinya dikoyak-koyak oleh ujung-ujung pedang yang runcing tajam itu.
Demikian lawan-lawannya menjadi semakin dekat, maka Sambi Wulungpun telah menarik pedangnya pula.
Pedangnya memang bukan pedang pilihan dan mempunyai kekuatan khusus. Tetapi ilmu pedang Sambi Wulunglah yang memiliki kelebihan dari orang lain.
Sejenak kemudian, maka ketiga orang lawan Sambi Wulung itu telah menjulurkan pedang mereka masing-masing. Namun dalam pada itu Gagaklahan masih berteriak, "Jangan biarkan orang itu cepat mati. Kau ingin tahu, seberapa tinggi daya tahannya menghadapi tekanan pada tubuhnya. Biarlah ia mati perlahan-lahan, sehingga untuk beberapa hari kita akan mempunyai tugas menengoknya kemari."
"Kalian benar-benar iblis yang tidak pantas diberi kesempatan untuk tetap hidup," geram Sambi Wulung yang benar-benar merasa muak dengan sikap orang-orang itu.
Sejenak kemudian, maka seorang di antara lawan-lawannya telah mulai menjulurkan pedangnya untuk menyerang. Sambi Wulung tidak menangkis serangan itu. Tetapi ia bergeser melangkah surut.
Namun kemudian serangan yang himpun telah menyusul. Semakin lama semakin deras mengalir tanpa henti-hentinya.
Sambi Wulungpun mulai memperlihatkan pula ilmu pedangnya. Dengan cepat pedangnya berputar, terayun mendatar, menyambar dengan derasnya untuk kemudian mematuk ke arah jantung.
Gagaklahan yang menyaksikan pertempuran itu memang agak terkejut. Ternyata Sambi Wulung adalah seorang yang memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi.
Sementara itu, orang-orang yang bertempur melawan Jati Wulungpun telah melakukan hal yang sama. Merekapun telah bersenjata pula. Seperti kawan-kawannya yang bertempur melawan Sambi Wulung, maka merekapun bersenjata pedang meskipun bentuknya juga berbeda-beda. Bahkan seorang di antaranya mempergunakan pedang yang pendek, tetapi tangkainyalah yang agak lebih panjang dengan tangkai pedang kebanyakan.
Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin berbahaya, karena mereka telah bersenjata di tangan. Bahkan Jati Wulung sempat memperingatkan, "Dengan senjata di tangan, maka nyawa kalian akan semakin cepat terpisah dari tubuh kalian."
"Omong kosong," geram salah seorang lawannya, "apakah kau sudah mulai ketakutan melihat gemerlapnya daun pedang?"
"Aku juga mempunyai pedang," sahut Jati Wulung.
Lawannya tidak sempat menyahut. Jati Wulung telah meloncat menyerang. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Kemudian menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Ujungnya seakan-akan mengiang di ujung telinga. Seperti seekor lalat yang berterbangan untuk hinggap.
Dengan demikian maka pertempuran menjadi semakin lama semakin sengit. Dentang senjata menjadi semakin sering terdengar disertai kilatan bunga api yang meloncat dari benturan.
Gagaklahanpun menjadi semakin tegang pula melihat pertempuran yang nampaknya tidak berkesudahan itu. Bahkan dengan pedang di tangan Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi semakin garang.
Jantung Gagaklahan bagaikan disengat api ketika ia melihat salah seorang di antara para pengikutnya yang terlempar beberapa langkah surut. Ternyata bahwa Sambi Wulung telah berhasil melukai orang itu. Segores luka telah mengoyak dadanya memanjang dari bahu sampai ke bahu meskipun tidak begitu dalam. Namun dari luka itu ternyata telah mengalir darah.
Untuk beberapa saat lamanya Gagaklahan masih berdiri bagaikan membeku betapapun jantungnya gelisah. Ia masih memaksa diri untuk mempercayai bahwa orang-orangnya akan dapat menyelesaikan kedua orang itu.
Tetapi ternyata bahwa yang terjadi bukannya seperti yang diharapkan. Ternyata bahwa orang-orangnya justru semakin terdesak. Ujung pedang Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berhasil menyentuh kulit lawan-lawannya. Segores demi segores, keduanya telah melukai lawannya sehingga darah telah mengalir di beberapa tempat yang menganga.
Karena itu, maka pertempuranpun menjadi semakin longgar bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung. Karena kemampuan ilmu pedangnya maka lawan-lawannya tidak berani menjadi terlalu dekat tanpa perhitungan yang meyakinkan.
Karena itulah, maka akhirnya Gagaklahan tidak dapat mempercayakan kedua orang itu hanya kepada para pengikutnya. Ketika ia melihat seorang lagi di antara mereka terluka di lengannya, meskipun hanya segores kecil tetapi cukup dalam, maka iapun menggeram sambil berkata, "Akhirnya aku sendiri yang terpaksa membunuh mereka."
Ketika Gagaklahan mulai bergerak, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung menyadari, bahwa orang itu tentu akan ikut pula dalam pertempuran dengan membenturkan ilmu pedangnya. Sementara itu keduanyapun menyadari, bahwa Gagaklahan tentu memiliki kelebihan dari keenam orang pengikutnya.
Karena itu, ketika Gagaklahan kemudian bergerak mendekati Sambi Wulung, maka Sambi Wulungpun telah bertindak cepat. Ia harus mengurangi lawannya yang lain untuk dapat memusatkan perhatiannya kepada Gagaklahan. Ia masih berniat untuk bertempur tanpa puncak-puncak kemampuannya jika ia tidak dipaksa oleh keadaan yang memang sangat gawat.
Dalam waktu yang sempit itu, Sambi Wulung harus bergerak cepat, sementara itu, ketiga lawannya yang melihat Gagaklahan akan hadir, justru menjadi semakin garang.
Pada hentakkan-hentakkan terakhir, justru senjata salah seorang lawannya telah menyentuh bahu Sambi Wulung. Selangkah Sambi Wulung meloncat surut ketika perasaan sakit itu menyengatnya. Namun dengan demikian, maka Sambi Wulungpun menjadi sangat marah karenanya.
Karena itu, maka iapun telah menghentakkan kemampuan ilmu pedangnya. Satu kekuatan yang sangat besar seakan-akan telah mengalir ke tangannya yang menggenggam pedang, sehingga karena itu, maka pedangnya tidak saja menjadi semakin cepat bergerak, tetapi dengan dorongan kekuatan yang berlipat.
Dengan loncatan dan hentakan yang mengejut, maka pedangnya telah menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Gagaklahan dapat membaca perhitungan Sambi Wulung yang akan mengurangi jumlah lawannya sebelum Gagaklahan turun ke arena. Karena itu, maka Gagaklahan pun telah meloncat dengan langkah-langkah panjang, di antara batu-batu nisan tua.
Tetapi justru karena itu, maka Sambi Wulungpun telah menghentak pula pada saat-saat terakhir. Demikian Gagaklahan mencapai arena pertempuran di bawah pohon benda itu, maka dua orang pengikutnya telah terlempar dengan derasnya. Seorang di antaranya terbanting jatuh. Kepalanya membentur sebuah batu nisan, sehingga untuk seterusnya tidak bangkit lagi. Sedangkan seorang lagi terdorong beberapa langkah. Ia tidak dengan serta-merta terbanting jatuh. Beberapa saat ia berusaha untuk tetap bertahan. Tetapi iapun kemudian terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangannya. Luka di perutnya telah menganga. Darah mengalir seperti diperas dari tubuhnya. Sehingga akhirnya, maka iapun telah jatuh di atas lututnya dan kemudian terbaring di tanah. Nafasnya satu-satu masih sempat mengalir ketika Gagaklahan berteriak, "bertahanlah. Aku akan membalas kematianmu. Jangan mati sebelum kau sempat melihat mayatnya terbujur di sisimu."
Tetapi ternyata itu merupakan satu kesalahan lagi bagi Gagaklahan. Justru pada saat ia berteriak kepada orangnya yang sudah hampir kehilangan nyawanya itu, ia mendengar seorang lagi di antara pengikutnya itu mengaduh tertahan. Seorang yang tersisa dari lawan Sambi Wulung itu telah meloncat menjauh. Luka yang dalam telah menganga di pundaknya.
"Setan kau," geram Gagaklahan. "Kau bunuh orang-orangku seperti membunuh itik."
"Orang-orangmu memang tidak lebih dari itik-itik rawa yang tidak berarti. Kau sendiri barangkali tidak lebih dari induk itik itu pula," jawab Sambi Wulung.
Gagaklahan mengumpat kasar. Iapun kemudian maju selangkah sambil mengacukan pedangnya yang panjang dan ramping. Namun agaknya terbuat dari besi baja pilihan.
Ternyata bahwa kawannya yang seorang, yang terluka di pundaknya masih berusaha untuk ikut pula dalam pertempuran itu. Dilepaskannya ikat kepalanya untuk menahan arus darah yang keluar dari lukanya.
"Marilah," berkata Sambi Wulung kemudian, "luka di tubuhku memang harus kalian bayar dengan sangat mahal. Selebihnya, menurut pendapatku, orang-orang seperti kalian ini tidak sepantasnya tinggal hidup di antara orang lain. Kalian ternyata dapat berbuat jauh lebih kejam dari orang-orang yang disebut orang jahat yang pernah kau kenal. Bahkan orang jahat seperti aku dan saudaraku itu."
Gagaklahan tidak segera menjawab. Ia bergeser selangkah ke samping, sementara kawannya yang sudah terluka itu mengambil arah yang berbeda.
"Kaulah yang akan mati disini," berkata Sambi Wulung pula, "untuk selanjutnya kau telah memaksa aku untuk kembali ke padepokanmu. Aku harus membunuh orang-orang yang tersisa, termasuk keuntungan aku dapatkan, bahwa aku ternyata menjumpai sebuah padepokan yang isinya harus ditumpas habis."
"Kau boleh mengigau apa saja," berkata Gagaklahan, "karena kau belum mengenal Gagaklahan. Jika kau mulai menyentuh pedangku dengan ujung senjatamu, maka kau akan berkata lain."
"Kau kira aku akan berkata apa lagi" Dua orangmu telah mati. Yang seorang itu sebentar lagi juga akan mati," jawab Sambi Wulung.
"Pedangmu adalah pedang yang dibuat oleh pande besi di pinggir pasar. Sedangkan senjataku adalah hasil buatan seorang Empu yang namanya telah kawentar. Selain jenis senjata yang ada pada kami masing-masing, maka kemampuanmu bermain pedangpun belum memadai menandingi aku," geram Gagaklahan.
"Satu cara yang sudah tidak pantas lagi dipergunakan sekarang ini. Menakut-nakuti dengan kata-kata yang mengerikan serta melemahkan lawan secara jiwani. Mungkin pencuri-pencuri ayam akan ketakutan mendengar ancaman seperti itu. Tetapi aku adalah perampok dan pembunuh di tempat-tempat perjudian yang besar di seluruh tanah ini. Karena itu, kami berdua akan sanggup menumpas seisi padepokan itu termasuk Puguh dan kedua orang tuanya. Bahkan orang yang disebut gurunya itu."
Wajah Gagaklahan menjadi merah. Memang ada sepercik penyesalan di dalam dirinya, bahwa ia telah mengusik kedua orang yang belum tentu akan berbuat buruk terhadap padepokannya. Jika kemudian ternyata ia tidak berhasil membunuh keduanya, maka keduanya benar-benar akan menjadi bahaya bagi padepokannya.
Tetapi justru karena hal itu sudah terlanjur dilakukan, maka bagi Gagaklahan memang tidak ada pilihan lain, kecuali benar-benar membunuh kedua orang itu.
Karena itu, Gagaklahan tidak berbicara lagi. Iapun kemudian melangkah semakin dekat. Pedangnya mulai terjulur dan bergetar, kemudian berputar cepat mengitari pedang lawannya. Namun kemudian menusuk deras ke arah jantung.
Sambi Wulung bergeser mundur. Pedangnyapun bergerak cepat pula. Demikian tusukan lawan tidak menyentuh tubuhnya, maka Sambi Wulung telah menepis ujung pedang Gagaklahan ke samping, berputar dan pedangnya terayun deras mengarah leher.
Gagaklahan menggeliat. Kepalanya menunduk rendah, sehingga pedang Sambi Wulung terbang di atas ubun-ubunnya. Namun dalam pada itu sambil merendah, ujung pedangnya dengan cepat menusuk lambung.
Tetapi Gagaklahan belum berhasil. Sambi Wulung sempat bergeser selangkah sambil memiringkan tubuhnya. Namun iapun harus cepat meloncat, karena lawannya yang seorang lagi telah menyambarnya dengan sisa kekuatan yang ada padanya.
"Jika kau paksakan dirimu untuk bertempur terus, maka kau akan mati karena kehabisan darah," geram Sambi Wulung. Lalu katanya pula, "Setiap hentakan gerak tubuhmu, sama dengan memeras darah dari nadimu yang terputus oleh ujung pedangku."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tubuhnya memang merasa menjadi semakin lemah. Tetapi ia masih saja memaksa dirinya untuk ikut bertempur bersama Gagaklahan.
Namun ketika Gagaklahan semakin meningkatkan ilmunya menghadapi Sambi Wulung yang garang, maka ia telah dikejutkan oleh umpatan yang kasar, namun diselingi oleh desah kesakitan. Gagaklahan itu sempat melihat seorang pengikutnya yang bertempur melawan Jati Wulung telah terdorong surut beberapa langkah. Namun sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, tiba-tiba saja Jati Wulung telah melenting, lepas dari perlawanan dua orang lawannya yang lain, sambil menjulurkan pedangnya langsung menusuk dada tembus ke jantung.
Ketika kedua lawannya menyusulnya, maka Jati Wulung telah menarik pedangnya itu dan berdiri tegak menghadap ke arah kedua lawannya yang lain. Satu kakinya ditariknya setengah langkah ke belakang, sementara lututnya agak ditekuknya. Pedangnya berdiri tegak di depan tubuhnya, sementara telapak tangan kirinya terbuka melekat pada punggung pedangnya itu.
Kedua orang lawannya yang tersisa termangu-mangu sejenak. Merekapun telah terluka oleh goresan-goresan ujung pedang Jati Wulung. Namun luka-luka itu tidak banyak berpengaruh atas kemampuan perlawanan mereka, meskipun darah mengalir pula dari luka itu.
Tetapi ketika seorang kawannya telah terbunuh dengan tusukan tepat di jantung, maka mereka menjadi semakin tegang menghadapi lawannya yang garang itu. Sementara itu, merekapun tahu, bahwa dua orang kawan mereka yang bertempur melawan Wanengbayapun telah terbunuh pula. Bahkan Gagaklahan tidak lagi dapat mereka harapkan untuk membantu, karena Gagaklahan telah bertempur melawan Wanengbaya itu.
Namun kedua orang lawan Jati Wulung itu tidak dapat merenungi keadaannya terlalu lama. Sejenak kemudian, maka terdengar Jati Wulung itu berteriak nyaring. Pedangnya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian dengan garangnya ia telah meloncat dengan ayunan pedang yang menggetarkan jantung.
Pertempuranpun telah berlangsung pula dengan kerasnya. Kedua orang yang tersisa itupun justru menjadi putus asa menghadapi kegarangan Jati Wulung. Pedangnya yang terayun-ayun itu menjadi semakin mengerikan. Bahkan putaran yang cepat serta berbagai unsur gerak yang lain, membuat pedang Jati Wulung itu seakan-akan menjadi puluhan pedang yang menari-nari di sekitar tubuh kedua orang lawannya.
Dalam keadaan yang gawat, maka kedua orang itu ternyata telah mengambil sikap yang menentukan. Sebagai pasangan yang telah bekerja sama dalam waktu yang lama, maka tanpa isyaratpun keduanya dapat saling membaca maksud masing-masing.
Karena itulah, maka dengan ancang-ancang yang cukup, keduanya telah menyerang bersamaan dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Keduanya telah menyerang dengan senjata masing-masing yang terayun deras dari dua arah.
Jati Wulung yang telah dibasahi oleh keringatnya itupun merasa bahwa tenaganya akan segera mulai susut. Karena itu, maka iapun telah memutuskan untuk berusaha mengakhiri pertempuran itu.
Karena itu, ketika serangan kedua orang itu datang bersama-sama, maka Jati Wulungpun telah meloncat selangkah ke samping. Kemudian menggeliat untuk menghindari tusukan pedang lawannya yang lain. Namun sementara itu, iapun telah merendah sedikit sambil menjulurkan pedangnya langsung mengoyak lambung. Sementara itu, iapun telah meloncat dan menghantam lawannya yang lain dengan kakinya tepat mengenai dadanya justru di saat terbuka, sehingga lawannya itu terlempar beberapa langkah surut. Adalah nasibnya yang buruk, jika tubuhnya itu telah menghantam pohon cangkring raksasa yang berduri.
Ternyata keduanya tidak tertolong lagi. Keduanyapun kemudian telah terkapar di tanah pekuburan tua itu.
Bersamaan dengan itu, maka Sambi Wulungpun telah sempat menyelesaikan lawannya yang seorang. Betapa lemahnya orang itu sehingga ia tidak sempat menghindar ketika Sambi Wulung mengayunkan dengan deras sekali pedangnya mendatar.
Yang kemudian berhadapan adalah Sambi Wulung dengan Gagaklahan. Bagaimanapun juga Gagaklahan harus berpikir tentang kemampuan lawannya itu. Meskipun lawannya sudah mengerahkan tenaganya, sehingga mulai menjadi letih, namun kemampuan ilmu pedangnya benar-benar mendebarkan jantung Gagaklahan.
Tetapi Gagaklahan adalah orang yang sangat berpengalaman. Ia adalah seorang yang seakan-akan tidak berperasaan. Kematian sama sekali tidak dapat menggetarkan lagi jantungnya. Karena itu kadang-kadang ia mencari kepuasan dengan membunuh lawan-lawannya dengan cara yang khusus.
Agaknya hal itulah yang membuat Sambi Wulung tidak lagi dapat mengampuninya. Bagi Sambi Wulung, orang-orang seperti Gagaklahan itu tidak berhak untuk hidup lebih lama lagi. Tidak akan ada cara untuk membuatnya menyesali kebengisannya. Apalagi membuatnya jera untuk tidak melakukan lagi. Hukuman apapun yang ditimpakan kepadanya, jika masalah sudah dilaluinya, maka ia tentu akan kembali hidup dalam dunia yang kelam itu.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah memutuskan, bahwa orang yang bernama Gagaklahan itu harus dimusnahkan.
Demikianlah, maka pertempuran berikutnya adalah pertempuran di antara orang-orang yang berilmu tinggi. Keduanya memiliki ilmu pedang yang mumpuni, sehingga karena itu, maka pertempuranpun telah berlangsung dengan sengitnya. Kedua senjata di tangan dua orang yang bertempur itu telah berbenturan berkali-kali dengan melontarkan percikan api di udara. Namun Sambi Wulung memang harus mengakui, bahwa pedang lawannya adalah pedang yang jauh lebih baik dari pedangnya.
Dalam benturan-benturan yang keras, maka tajam pedang Sambi Wulung justru telah terluka, sehingga timbul lekuk-lekuk yang semakin banyak dan semakin dalam.
Ketika Gagaklahan sempat melihat pedang Sambi Wulung, maka iapun telah melompat mengambil jarak. Sambil tertawa ia berkata, "Lihat pedangmu."
Sambi Wulung termangu-mangu. Sementara itu Jati Wulung yang telah kehilangan ketiga lawannya, telah berdiri pula beberapa langkah di dekat pohon benda, melihat betapa Sambi Wulung bertempur melawan Gagaklahan.
Tetapi Jati Wulung yang tahu pasti tataran kemampuan Sambi Wulung sama sekali tidak berniat untuk melibatkan diri dalam perkelahian itu.
Namun dalam pada itu, Gagaklahan masih saja tertawa. Katanya kemudian, "Nah, marilah. Agaknya kalian akan bertempur berpasangan. Jika demikian, maka pekerjaanku akan menjadi semakin cepat selesai."
Jati Wulung bergeser selangkah maju. Dengan nada rendah ia menjawab, "Enam orangmu telah mati. Sebaiknya kau menyerah saja, agar kau tidak perlu kami ikat pada batang cangkring yang penuh dengan semut merah itu. Karena semut merah itu akan makan bagian-bagian yang lunak dari tubuhmu. Kau akan mati dengan perlahan-lahan."
"Persetan," geram Gagaklahan, "marilah. Agaknya kau yang ingin mati lebih dahulu."
Tetapi Sambi Wulunglah yang kemudian berkata, "Aku belum kau kalahkan Gagaklahan."
Gagaklahan berpaling ke arah Sambi Wulung. Pedangnyapun telah bergetar pula. Tiba-tiba saja ia meloncat sambil mengayunkan pedangnya dengan garangnya.
Sekali lagi telah terjadi benturan senjata. Pedang Sambi Wulung yang tidak sebaik pedang Gagaklahan ternyata telah gempil lagi pada tajamnya, sehingga menambah lekuk-lekuk yang memang sudah banyak terdapat.
Sambil menyerang terus Gagaklahan berkata, "Sebentar lagi, maka tajam pedangmu akan habis. Pedangmu sama sekali tidak akan berguna lagi."
Sambi Wulung tidak menjawab. Namun ia telah mempercepat geraknya dan meningkatkan kekuatannya, sehingga pertempuran itu menjadi semakin cepat.
Namun setiap kali Gagaklahan masih saja menyebut-nyebut tentang pedang Sambi Wulung yang memang menjadi cacat. Tajamnya telah menjadi semakin habis. Yang ada kemudian adalah lekuk-lekuk seperti gerigi keping besi yang sudah menjadi aus.
Tetapi Sambi Wulung sama sekali tidak menjadi cemas. Bagaimanapun juga, ternyata bahwa pedangnya masih belum patah. Menyadari akan mutu senjatanya, maka Sambi Wulungpun harus memperhitungkan setiap benturan, meskipun ia tidak dapat menghindari luka-luka pada tajam pedangnya itu, namun ia berhasil mempertahankan pedangnya sehingga tidak patah.
Gagaklahan yang merasa mempunyai kelebihan dari Sambi Wulung menjadi semakin banyak menyerang. Ia berusaha untuk selalu membenturkan senjata. Bahkan Gagaklahan berusaha agar terjadi benturan yang cukup keras untuk mematahkan pedang Sambi Wulung. Tetapi usahanya itu tidak mudah untuk dilakukannya.
Dengan demikian, maka Gagaklahanlah yang kemudian berusaha untuk selalu menyerang dengan ayunan-ayunan pedang yang deras dan kuat. Setiap kesempatan Gagaklahan telah mempergunakan segenap tenaganya. Ia berharap akan dapat membentur dan sekaligus mematahkan pedang lawannya, sehingga dengan demikian, maka ketahanan jiwaninyapun tentu akan patah sebagaimana pedangnya. Dalam keadaan yang demikian, maka tidak sulit bagi Gagaklahan untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran.
Tetapi ternyata Sambi Wulung memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan tangkasnya Sambi Wulung mampu menempatkan dirinya, sehingga serangan-serangan Gagaklahan sama sekali tidak menyudutkannya.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Gagaklahan tidak henti-hentinya menyerangnya seperti banjir bandang. Beruntun dengan kekuatan yang sangat besar membentur pertahanan Sambi Wulung.
Akhirnya Sambi Wulung menjadi jemu juga untuk melayani serangan-serangan Gagaklahan. Karena itu, maka iapun kemudian telah mengambil keputusan justru untuk memanfaatkan keadaan pedangnya.
Dengan mengerahkan kemampuannya, maka Sambi Wulung berhasil mengatasi kecepatan gerak Gagaklahan yang menyerang dengan menjulurkan pedangnya. Dengan tangkasnya Sambi Wulung bergeser ke samping sambil menggeliat, sehingga pedang Gagaklahan tidak menyentuhnya. Namun pedang itupun segera berputar. Disusul dengan ayunan mendatar yang cepat.
Tetapi dengan cepat pula Sambi Wulung bergeser surut. Namun Gagaklahan tidak mau melepaskannya. Iapun segera memburu sambil menebas ke arah dada.
Dengan serta-merta Sambi Wulung telah menjatuhkan dirinya. Demikian pedang Gagaklahan terayun di atasnya, maka iapun telah melenting berdiri. Sambi Wulung tidak menebaskan pedangnya, tidak pula mengayunkannya atau mematuk seperti burung menancapkan paruhnya. Tetapi Sambi Wulung justru berusaha menyentuh kulit lambung lawannya dengan tajam pedangnya yang sudah berubah bagaikan gerigi itu, kemudian menariknya sendal pancing.
Akibatnya memang menggetarkan jantung. Pedang Sambi Wulung tepat menyentuh tubuh Gagaklahan di bawah ikat pinggang kulitnya. Ternyata bahwa tajam pedang Sambi Wulung yang dilukai oleh kerasnya baja pilihan pedang Gagaklahan, sehingga menyerupai gerigi itu, tidak saja mengoyak pakaian Gagaklahan, tetapi kulit dan daging di lambungnyapun telah terkoyak pula. Bukan koyak oleh tajamnya pedang yang dapat memotong benang yang diayunkan angin. Tetapi dikoyak oleh pedang yang bagaikan bergerigi justru tumpul.
Terdengar Gagaklahan itu berteriak nyaring. Kemudian mengumpat keras-keras dengan kata-kata kasar dan kotor.
Beberapa langkah ia meloncat surut. Tangannya yang sebelah kiri berusaha memegangi lukanya itu. Sementara tangan kanannya masih menggenggam pedangnya.
Darah mengalir dengan derasnya dari lukanya.
"Kau memang iblis, Wanengbaya," geram Gagaklahan.
"Sejak semula aku sudah memperingatkanmu, bahwa sebaiknya kau tidak mengganggu kami," berkata Sambi Wulung.
"Kau belum menang," berkata Gagaklahan pula, "aku akan membunuhmu."
Sambi Wulung tidak menjawab. Tetapi Gagaklahan memang masih meloncat menyerangnya. Pedangnya masih berputar mengerikan, sementara kakinya masih tangkas membawa tubuhnya berloncat-loncatan di sela-sela bahkan di atas nisan-nisan tua.
Namun Sambi Wulung yang melihat keadaan Gagaklahan itu benar-benar berniat mengakhirinya. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bergerak dengan kecepatan yang sulit diimbangi dan dengan kekuatan yang luar biasa besarnya.
Ketika Gagaklahan yang terluka itu mengayunkan pedangnya, Sambi Wulung sempat mengelak. Namun sambil bergeser ke samping sekali lagi ia menggoreskan pedangnya di dada Gagaklahan.
Gagaklahan memang terdorong beberapa langkah surut. Namun seperti orang yang bernyawa rangkap ia sama sekali tidak menghiraukan keadaannya. Ia telah meloncat lagi menyerang dengan dahsyatnya, seperti angin prahara yang mengguncang pepohonan.
Namun Sambi Wulungpun telah bersiaga pula. Sebuah tusukan lurus mengarah ke jantung Sambi Wulung dapat dielakkannya. Bahkan ketika pedang Gagaklahan itu menyambar ke samping Sambi Wulung sempat meloncat mundur. Namun demikian ujung pedang itu lewat, maka Sambi Wulungpun telah meloncat maju. Pedangnyalah yang terjulur lurus ke depan. Dengan hentakan kekuatan yang sangat besar, maka pedang itu telah terhunjam di dada Gagaklahan.
Terdengar Gagaklahan menjerit. Sementara Sambi Wulung terpaksa melepaskan pedangnya. Ia tidak sampai hati menarik pedangnya itu, karena ia menyadari akibatnya. Pedangnya yang seolah-olah bergerigi tumpul itu akan dapat mencabik-cabik daging dan kulit di dada Gagaklahan.
Untuk beberapa lama Gagaklahan masih berdiri. Namun kemudian tubuh itupun terhuyung-huyung dan kemudian jatuh terjerembab.
Sambi Wulung dan Jati Wulung berdiri termangu-mangu. Di kuburan tua itu terdapat tujuh sosok mayat dari orang-orang yang tinggal bersama-sama Puguh dalam satu padepokan. Satu peristiwa yang tidak diduganya sama sekali bahwa hal seperti itu akan terjadi.
"Apaboleh buat," berkata Sambi Wulung sambil menundukkan kepalanya.
"Kami dipaksa melakukannya," sahut Jati Wulung.
"Ya. Kami memang tidak mempunyai pilihan lain. Jika seorang saja di antara mereka hidup, maka orang itu bersama-sama dengan yang lain tentu akan menelusuri keadaan kita berdua," berkata Sambi Wulung. Lalu, "Sementara itu, orang-orang seperti mereka memang tidak lagi pantas untuk tetap hidup."
"Tetapi di padepokan itu bukan hanya mereka saja yang tinggal," sahut Jati Wulung.
"Puguh merupakan satu pertanyaan yang besar. Ia hidup dalam lingkungan seperti itu, namun agaknya sifatnya agak berbeda dengan orang yang disebutnya paman, yang agaknya menjadi orang yang terdekat dengan dirinya itu," berkata Sambi Wulung.
"Dengan demikian, jelas bagi kita, bahwa yang memasang topeng itu tentu orang-orang padepokan itu pula," sahut Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Ia masih ingat bagaimana Puguh membunuh seorang di antara mereka yang masih mempunyai kemungkinan untuk hidup.
"Ada rahasia yang tidak kita ketahui menyelimuti padepokan itu," berkata Sambi Wulung. Lalu, "Meskipun kita berhasil mengetahui dimana Puguh tinggal, tetapi mungkin sekali kita masih akan dapat kehilangan jejak."
"Memang banyak kemungkinan terjadi," desis Jati Wulung, "mungkin dengan hilangnya paman Gagaklahan, Puguh untuk seterusnya telah dipindahkan ke padepokan yang lain atau kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Namun kali ini kita telah berhasil dengan tugas kita."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan melaporkan kepada Nyi Wiradana di Tanah Perdikan Sembojan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun keduanya kemudian sepakat untuk mengubur lebih dahulu tujuh sosok mayat yang terbujur lintang di kuburan tua itu.
*** Sementara itu di padepokannya, Puguh merasa sangat gelisah. Ketika kemudian malam datang, bahkan malam itu telah lewat diganti dengan hari baru berikutnya, pamannya tidak juga kelihatan. Dari beberapa orang penghuni padepokan itu Puguh mendapat keterangan bahwa pamannya, Gagaklahan telah meninggalkan padepokan itu.
"Kemana?" bertanya Puguh.
Orang-orang itu hanya menggelengkan kepalanya saja. Bahkan ketika Puguh bertanya kepada seorang yang dianggapnya pembantu terdekat Gagaklahan, orang itu juga menggelengkan kepalanya.
Puguh akhirnya menjadi marah. Orang yang dianggapnya pembantu terdekat Gagaklahan itu tiba-tiba ditariknya masuk ke dalam sanggar di padepokannya. Pintupun kemudian diselarak dari dalam.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya orang itu dengan cemas.
"Dimana paman Gagaklahan?" bertanya Puguh.
"Aku tidak tahu. Kakang Gagaklahan pergi tanpa memberitahukan tujuannya," jawab orang itu.
"Baik," geram Puguh, "nampaknya aku harus memaksamu berbicara tentang paman Gagaklahan. Aku tidak peduli, apakah aku dapat melakukannya atau tidak. Aku juga tidak peduli apakah kau akan melawan atau tidak. Tetapi jika kau tidak mau mengatakan kemana paman Gagaklahan pergi, maka kau akan aku pukuli. Mungkin kau dapat menang atasku jika kau melawan. Tetapi aku akan mengatakannya kepada guru."
"Tunggu," wajah orang itu menjadi tegang, "kenapa kau sebenarnya. Tiba-tiba saja kau menjadi sangat garang seperti itu."
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Karena itu, kau tidak berhak sama sekali untuk bertanya tentang apapun juga," jawab Puguh.
Keringat dingin telah mengalir di tubuh orang itu. Namun ia masih juga berkata, "Tunggu." orang itu menjadi terengah-engah, "aku memang melihat Kakang Gagaklahan pergi. Tetapi ia tidak mengatakan pergi kemana dan untuk apa. Ia memang nampak bersungguh-sungguh pada waktu ia pergi."
"Berapa orang yang dibawanya?" bertanya Puguh.
Orang itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja Puguh telah meremas bajunya sambil membentak, "Katakan."
"Aku tidak tahu pasti," jawab orang itu agak gagap, "aku kira sekitar lima atau enam orang."
"Bohong jika kau tidak tahu pasti," geram Puguh, "kau dapat menghitung orang-orangmu yang tidak ada di padepokan."
"Memang mungkin," jawab orang itu, "tetapi apakah mereka semua pergi bersama Kakang Gagaklahan itulah yang kurang aku ketahui."
Puguh mendorong orang itu sehingga hampir saja ia jatuh terlentang. Tetapi Puguh tidak bertanya lagi. Iapun dengan tanpa mengatakan sesuatu telah melangkah keluar dari sanggar.
Orang itupun dengan tergesa-gesa telah keluar pula menyusul Puguh. Namun Puguh sama sekali tidak menghiraukannya.
Seorang diri Puguh meninggalkan padepokan itu menuju ke padepokannya yang lain, tempat tinggal gurunya. Padepokan yang lebih dirahasiakan dari padepokan yang dihuninya.
Di perjalanan ia memang bertemu dengan dua orang yang mengawal dan menjaga kerahasiaan padepokan kedua itu. Namun mereka sama sekali tidak mengusik Puguh. Apalagi nampaknya Puguh agak tergesa-gesa.
Gurunya memandang Puguh dengan kerut di dahinya. Dengan sareh ia berkata, "Duduklah. Kita akan berbicara tanpa kegelisahan seperti itu."
Puguhpun kemudian duduk di hadapan gurunya, namun nafasnya masih saja terengah-engah.
"Paman Gagaklahan tidak ada di padepokan, Guru," berkata Puguh.
Gurunya tersenyum. Katanya, "Bukankah ia memang sering meninggalkan padepokan untuk tugas-tugas yang penting" Pamanmu Gagaklahan adalah orang yang dipercaya oleh orang tuamu. Karena itu, maka banyak tugas yang dikerjakannya serta besar pula tanggung jawabnya."
"Agaknya paman Gagaklahan pergi, demikian kedua orang yang mengantarku, kembali itu meninggalkan padepokan," berkata Puguh.
"Kenapa kau menjadi gelisah?" bertanya gurunya.
"Apakah Guru tidak memerintahkan agar paman Gagaklahan melakukan sesuatu" Agaknya paman Gagaklahan terlalu curiga kepada kedua orang itu. Bagiku Wanengbaya dan Wanengpati adalah orang-orang yang telah memberikan pertolongan kepadaku," berkata Puguh.
Gurunya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak bertemu dengan Gagaklahan lagi setelah ia datang bersamamu kemarin malam. Juga tidak ada seorangpun yang memberikan laporan kepadaku apa yang akan dilakukannya."
"Tetapi Guru tidak memerintahkan kepadanya untuk menyusul kedua orang itu?" desak Puguh.
Gurunya tertawa. Katanya, "Sudah aku katakan. Sejak kemarin malam aku tidak bertemu orang itu lagi. Bukankah ketika itu, kau juga mendengar apa yang kami bicarakan" Pamanmu Gagaklahan memang sangat mencurigai kedua orang itu. Pamanmu menganggap bahwa kau telah terjebak ke dalam sikap manisnya. Tetapi aku tidak sependapat jika pamanmu Gagaklahan mengambil langkah-langkah tertentu atas kedua orang itu."
Puguh mengangguk-angguk. Katanya, "Sampai saat ini, sebelum aku pergi menghadap Guru, paman Gagaklahan belum juga kembali."
"Itu justru menggelisahkan," berkata gurunya, "ada beberapa kemungkinan telah terjadi atasnya. Apakah ada orang yang dapat melaporkan, dengan berapa orang pamanmu itu pergi?"
"Lima atau enam orang," jawab Puguh.
"Perintahkan untuk menghitung orang-orangmu di sana," berkata gurunya, "cari siapa saja yang tidak ada di padepokan."
"Aku sudah memerintahkan Guru. Tetapi menurut seseorang, belum tentu semuanya pergi bersama paman Gagaklahan," jawab Puguh.
"Lihat lagi," berkata gurunya, "kau akan jelas. Yang belum kembali adalah mereka yang pergi bersama Gagaklahan. Hubungi aku untuk mengambil kesimpulan."
Tetapi ketika Puguh akan kembali ke padepokan pertamanya, gurunya berkata, "Jangan pergi sendiri."
"Kenapa" Bukankah jalan yang menghubungkan kedua padepokan ini merupakan jalan khusus yang tidak pernah dilalui orang lain kecuali kita?" bertanya Puguh.
"Kau harus lebih berhati-hati. Kedua orang itu mempunyai kemungkinan untuk berbuat lebih banyak dari yang kau pikirkan," jawab gurunya.
"Jadi Guru juga mencurigainya?" bertanya Puguh.
"Jika Gagaklahan mengambil langkah yang tidak menguntungkan, justru timbul kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk karena sikap kedua orang itu. Jika aku memperingatkanmu, sekedar sikap hati-hati saja," jawab gurunya.
Puguh tidak menjawab. Tetapi ketika ia kembali ke padepokan pertama, ia memang dikawani oleh kedua orang dari padepokan keduanya.
Ternyata bahwa Puguh berusaha untuk mendapatkan keterangan lebih banyak tentang kepergian Gagaklahan yang ternyata masih belum juga kembali.
"Apakah paman Gagaklahan mengikuti kedua orang itu sampai ke tempat yang jauh" Atau paman Gagaklahan ganti ingin melihat kediaman kedua orang itu?" pertanyaan itu timbul di dalam hatinya.
Namun akhirnya semua keterangan itu telah diberitahukan kepada gurunya.
Memang ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil oleh gurunya. Seperti yang diduganya, mungkin Gagaklahan ingin melihat dimana kedua orang itu tinggal. Tetapi kemungkinan lain, Gagaklahan menunggu kesempatan untuk tindakan khusus terhadap kedua orang itu.
"Apakah ada kemungkinan lain lagi guru?" bertanya Puguh.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya dengan nada rendah, "Kemungkinan itu sangat mendebarkan. Mungkin karena kedua orang itu merasa terganggu oleh sikap Gagaklahan, maka mereka telah mengambil sikap yang paling keras."
"Maksud Guru, membunuh paman Gagaklahan?" bertanya Puguh.
Gurunya mengangguk lemah. Katanya, "Bukankah kemungkinan itu ada?"
"Tetapi bukankah kemungkinan yang lebih besar adalah paman Gagaklahan membunuh kedua orang itu?" desak Puguh.
"Itu kalau pamanmu mampu. Jika tidak, bukankah dapat terjadi sebaliknya?" desis gurunya.
Puguh tidak segera menjawab. Memang terbayang berbagai kemungkinan dapat terjadi atas pamannya Gagaklahan. Namun agaknya pamannya itu tidak akan pergi terlalu lama jika ia sempat untuk pulang kembali ke padepokan, karena pamannya itu harus menunggui padepokan itu sebagai pengganti orang tuanya.
Karena Puguh tidak segera menjawab, maka gurunyapun berkata, "Sudahlah. Tetapi kau untuk selanjutnya memang harus berhati-hati. Kau tunggu saja hari ini dan besok. Jika pamanmu Gagaklahan tidak juga kembali, maka kita dapat menyesali kepergiannya. Karena ternyata ia dan beberapa orangnya tidak akan pernah kembali lagi."
"Bagaimana jika paman Gagaklahan mengikuti kedua orang itu, Guru?" bertanya Puguh.
"Memang mungkin. Tetapi dengan demikian ia telah meninggalkan tanggung jawabnya atas padepokan ini. Barangkali ia berpikir justru karena kau sudah ada di padepokan sehingga Gagaklahan mempunyai kesempatan untuk pergi beberapa lama. Tetapi seharusnya ia tidak berbuat demikian. Kita harus tahu kemana orang-orang kita pergi. Bahkan keperluan mereka. Dengan demikian kita akan dapat memperkirakan berapa lama mereka meninggalkan padepokan," berkata gurunya.
Puguh mengangguk-angguk. Tetapi ia justru telah terdiam.
Gurunyalah yang kemudian berkata, "Sudahlah. Bukan berarti kita tidak menghiraukan mereka yang pergi itu. Tetapi sambil menunggu kita dapat berbuat yang lain."
"Ya Guru," jawab Puguh.
"Kau sudah cukup lama pergi untuk memperluas penglihatanmu. Bahkan kau telah diijinkan oleh orang tuamu untuk pergi ke tempat yang termasuk keras seperti Song Lawa. Karena menurut orang tuamu di tempat-tempat seperti itu, kau akan ditempa oleh keadaan, sehingga kaupun akan dapat menjadi seorang yang keras," berkata gurunya.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi ternyata Song Lawa telah dihancurkan oleh para prajurit Pajang."
"Pajang memang merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Sementara tempat-tempat seperti Song Lawa itu merupakan tempat yang akan dapat menghancurkan kesejahteraan itu. Lahir dan Batin. Karena itu, maka tempat-tempat seperti Song Lawa itu bertentangan sekali dengan kebijaksanaan Pajang," berkata gurunya.
"Tetapi bagaimana dengan tempat-tempat lain?" bertanya Puguh.
"Dalam kesempatan yang lain, Pajang tentu juga akan bertindak. Di sebelah Barat Pajang juga ada tempat seperti itu. Namun, demikian Pajang mengetahui, tempat itu langsung dihancurkannya. Apalagi tempat itu terlalu dekat dengan pusat pemerintahan," berkata gurunya.
Puguh hanya mengangguk-angguk saja. Dua orang yang telah menolongnya itupun pernah menyebut-nyebut tempat perjudian di dekat pusat pemerintahan. Penyelenggaraannya tentu orang-orang yang lebih berani lagi daripada orang-orang yang menyelenggarakan perjudian di Song Lawa.
Namun dalam pada itu gurunyapun berkata, "Puguh. Yang penting bagimu, bahwa kau telah mendapat pengalaman. Pengalaman yang akan sangat berarti bagi masa depanmu."
"Masa depanku yang mana, Guru?" tiba-tiba saja Puguh bertanya.
Gurunya mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian tersenyum. Katanya pula, "Satu pertanda yang baik, Puguh. Kau sudah bertanya tentang masa depanmu yang mana. Dengan demikian maka hatimu telah terbuka. Justru karena pengalamanmu. Mungkin pengalamanmu bergaul dengan orang-orang yang kau temui di Song Lawa, atau dengan orang-orang lain sepanjang perjalananmu. Atau apapun yang telah terjadi di dalam dirimu."
Puguh mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, "Guru. Kenapa aku telah dibenamkan ke dalam tempat-tempat seperti Song Lawa itu" Kenapa aku harus menimba pengalaman dari tempat yang suram itu" Tempat yang penuh dengan peristiwa-peristiwa yang tidak wajar sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan."
Gurunya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apa saja yang pernah diceriterakan oleh kedua orang itu kepadamu?"
Puguh termangu-mangu sejenak. Namun iapun menundukkan kepalanya.
Gurunyalah yang kemudian berkata, "Pengawal-pengawalmu yang kau bawa dari padepokan agaknya telah berada di Pajang sekarang, atau terbunuh. Tetapi kita tidak mencemaskan mereka, karena Pajang tidak akan menaruh perhatian secara khusus terhadap padepokan kita."
Puguh masih tetap menundukkan kepalanya.
Sementara itu gurunya berkata pula, "Lupakan persoalan-persoalan yang bergejolak di dalam hatimu. Siapkan dirimu untuk memasuki latihan-latihan kembali. Kita akan mengadakan penilaian atas pengalamanmu selama perjalananmu terakhir. Tetapi terbatas pada pengalaman olah kanuragan. Sedangkan pengalaman jiwani yang menumbuhkan permasalahan di dalam dirimu sebaiknya kau simpan untuk sementara."
"Aku akan mempersoalkannya dengan ayah dan ibu," berkata Puguh.
Gurunya memandang Puguh dengan tatapan mata yang redup. Namun gurunyapun kemudian menggelengkan kepalanya sambil berkata, "belum waktunya, Puguh. Orang tuamu telah menetapkan garis hidup yang harus kau tempuh. Dalam waktu dekat, keduanya tidak akan mau mendengar persoalan-persoalan yang timbul di luar garis yang telah ditentukannya."
"Termasuk dengan sengaja memasukkan aku ke dalam tempat-tempat yang keras seperti Song Lawa?" bertanya Puguh.
Gurunya mengerutkan dahinya. Dipandanginya Puguh dengan tajamnya, sehingga Puguhpun kemudian telah menunduk pula. Semakin dalam.
"Beristirahatlah," berkata gurunya kemudian, "mulai besok, kita sudah akan memasuki sanggar kembali."
Puguh tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian mohon diri meninggalkan gurunya duduk seorang diri untuk merenungi keadaan muridnya itu.
"Sebagian adalah salahku," berkata orang itu kepada diri sendiri, "aku tidak dapat memenuhi keinginan orang tua Puguh untuk membuat anak itu menjadi orang yang tidak berperasaan sama sekali. Sementara itu Ki Randukeling sendiri tidak pernah menegur aku meskipun ia tahu, bahwa Puguh tumbuh menjadi seorang anak muda dengan pola yang agak berbeda dengan ketentuan kedua orang tuanya. Agaknya aku masih memberinya peluang untuk memikirkan dirinya sendiri, memikirkan orang lain, serta hubungan antara dirinya dengan orang lain. Nampaknya peluang-peluang itu telah ditusuk pula dengan pengertian-pengertian yang berhasil menyentuhnya dari kedua orang yang mengantarkannya kembali ke padepokan. Sehingga dengan demikian maka terjadi pergolakan di dalam diri anak muda itu."
Tetapi sebenarnyalah orang yang diserahi membentuk Puguh itu tidak sampai hati untuk membunuh mati perasaan anak itu. Meskipun hal itu setiap kali telah diutarakannya kepada Ki Randukeling, tetapi Ki Randukeling tidak pernah menaruh keberatan. Bahkan kadang-kadang Ki Randukeling telah dengan langsung berhubungan dengan Puguh dan bahkan pernah juga ia menyebut tentang pola watak anak itu. Tetapi Ki Randukeling tidak pernah menegurnya.
Namun ia tidak tahu, apa yang akan dikatakan oleh kedua orang tua Puguh jika mereka sempat melihat Puguh sampai ke kedalaman hatinya. Karena kesempatan yang nampaknya tidak pernah tersedia, maka kedua orang tua Puguh hanya melihat Puguh pada kulitnya saja. Memberikan petunjuk-petunjuk sambil membentak-bentaknya.
Mengancamnya dan jika mereka ingin tahu tingkat kemampuan Puguh dalam olah kanuragan, maka mereka membawa Puguh latihan dalam sanggar. Namun jika demikian, maka tiga hari Puguh harus beristirahat, karena tulang-tulangnya bagaikan berpatahan.
"Anak cengeng," setiap kali ibunya menudingnya, "kau adalah seorang laki-laki. Kau harus menjadi orang yang lebih garang dari aku, ibumu, yang tidak lebih dari seorang perempuan."
Guru Puguh itu menarik nafas dalam-dalam. Namun mau tidak mau iapun harus memikirkan Gagaklahan yang pergi tanpa diketahui tujuannya. Namun guru Puguh itu sudah memastikan bahwa Gagaklahan telah menyusul kedua orang yang telah membawa Puguh kembali ke padepokan.
"Sikap Gagaklahan yang bodoh itu akan dapat berakibat buruk bagi padukuhan ini," berkata guru Puguh itu di dalam hatinya. Namun kemudian iapun berdesis kepada diri sendiri, "Mudah-mudahan dugaanku salah."
Namun dalam pada itu, guru Puguh itu telah memanggil seorang yang bertubuh kurus dan sedikit bongkok. Seorang yang sehari-hari mendapat tugas untuk membersihkan halaman bangunan induk padepokan itu.
"Wida," desis guru Puguh itu.
Orang itu mengangguk hormat. Ketika ia kemudian duduk di depan orang yang memanggilnya itu, maka iapun bertanya, "Ki Ajar telah memanggil aku?"
Guru Puguh itu mengangguk. Katanya, "Ada beberapa soal yang tumbuh di padepokan ini. Ketika aku diminta tinggal disini oleh Ki Randukeling untuk mengasuh Puguh, aku sudah berpikir tujuh kali. Namun akhirnya, karena Ki Randukeling adalah sahabatku, maka permintaan itu telah aku terima. Aku masuk ke dalam satu lingkungan yang asing dan mencoba hidup dengan cara yang ditentukan oleh Ki Rangga Gupita dan Warsi. Terutama untuk membentuk anaknya itu."
Orang yang dipanggil Wida itu mengangguk kecil.
"Tetapi bagaimanapun juga, aku memang merasa perlu untuk membawamu dengan anakmu. Tidak ada orang tahu, siapakah kau sebenarnya di dalam dunia kanuragan selain aku," berkata Ki Ajar, "sehingga dalam keadaan tertentu, aku tidak sendiri."
"Apakah ada sesuatu yang terasa mengganggu Ki Ajar Paguhan sekarang ini?" bertanya Wida.
"Sejak kemarin Gagaklahan telah hilang," berkata guru Puguh yang disebut Ki Ajar Paguhan itu, "carilah beberapa keterangan tentang orang itu."
Wida mengerutkan keningnya. Tetapi iapun bertanya, "Bagaimana jika Gagaklahan tahu aku membayanginya?"
"Kau dapat menempatkan dirimu. Bukankah kau pernah mendapat sebutan Hantu Bayangan?" bertanya Ki Ajar Paguhan.
"Tetapi itu dahulu, Ki Ajar," jawab Wida, "sekarang sebenarnya aku sudah menemukan ketenangan bekerja sebagai juru taman di padepokan ini, meskipun setelah bertahun-tahun disini, aku tetap tidak dapat mengenali bentuk dari padepokan ini selain mengabdi kepada Ki Ajar Paguhan."
"Kita memang mendapatkan ketenangan disini Wida. Di dalam padepokan. Tetapi di sekitar padukuhan ini, maut telah berkeliaran. Bahkan orang-orang yang sedang mencari kayu bakar dan tersesat ke dalamnyapun akan menjadi mangsa dari maut tanpa mengerti persoalannya," berkata Ki Ajar Paguhan.
Wida mengangguk. Iapun sebenarnya tahu pasti apa yang telah terjadi dan bagaimana bentuk dari padukuhan itu. Tetapi ia adalah rahasia yang tersimpan di dalam tempat yang rahasia. Ia datang bersama Ki Ajar Paguhan dan anaknya laki-laki yang dinamainya Sukra, yang juga seorang yang cacat seperti dirinya. Tetapi bukan pada punggungnya. Sukra sejak lahir sebelah tangannya terlalu pendek dibanding dengan tangannya yang lain. Tetapi tangannya yang pendek itu, yang kebetulan adalah tangan kirinya, mampu bergerak setrampil tangan kanannya. Sementara itu, di wajahnya terdapat noda hitam yang sedikit lebih besar dari matanya, tepat di bawah mata kirinya.
Agaknya karena cacatnya yang dibawa sejak lahirnya itulah, maka Sukra menjadi seorang pendiam, perenung dan sampai ia meningkat dewasa, ia sama sekali tidak mau berdekatan dengan seorang perempuan. Namun sebagai isi dari kesepiannya itu, ia adalah seorang yang bergulat dengan ilmu di setiap hari.
Tetapi seperti ayahnya, maka iapun merupakan rahasia di tempat yang diliputi rahasia itu.
"Nah," berkata Ki Ajar Paguhan, "pergilah. Bawalah pertanda bahwa kau adalah penghuni padepokan ini, sehingga kau tidak akan menemui kesulitan di saat kau keluar dan masuk kembali."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Ajar. Tetapi untuk seterusnya aku akan tetap menjadi juru taman. Aku tidak akan melibatkan lagi hidupku dengan kekerasan yang kotor itu."
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku justru sedang menyempurnakan warna yang kau anggap kotor itu disini. Di padepokan ini."
Wida menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang satu perjalanan hidup yang aneh, bahwa Ki Ajar telah terdampar disini. Apakah Ki Ajar tidak dapat membicarakannya lagi dengan Ki Randukeling bahwa sebaiknya Ki Randukeling mencari orang lain untuk membentuk Puguh menjadi orang berhati batu?"
"Justru aku tidak sampai hati melihat anak muda itu berhati batu. Kau lihat, bahwa Puguh adalah seorang anak muda yang terhitung tampan, bermata bersih dan pikiran terang. Jika hatinya menjadi batu, maka ia adalah orang yang sangat berbahaya. Dan itu akan terjadi jika aku pergi dari padepokan ini," berkata Ki Ajar Paguhan.
Wida mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Ajar berkata, "Nah, selagi belum jauh terlambat. Pergilah dan usahakan untuk mendapat keterangan tentang Gagaklahan."
"Apakah kawan-kawan Gagaklahan di padepokan pertama tidak berusaha mencarinya?" bertanya Wida.
"Wida. Kau dengar. Aku minta kau mencari keterangan tentang Gagaklahan," desis Ki Ajar Paguhan.
Wida mengangguk kecil. Jawabnya, "Baik Ki Ajar. Aku akan berusaha. Tetapi sebagaimana setiap usaha, maka akan dapat terjadi beberapa kemungkinan."
"Aku sudah tahu Wida," sahut Ki Ajar.
Wida mengerutkan keningnya, sementara Ki Ajar Paguhan berkata selanjutnya, "Satu usaha akan dapat berhasil, tetapi juga dapat tidak berhasil. Bukankah kau akan berkata begitu?"
Wida menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "benar Ki Ajar. Dan aku sekarang sudah bukan aku yang dahulu. Bukan lagi dapat disebut Hantu Bayangan atau sebutan-sebutan lain yang dapat menakuti anak-anak. Tetapi aku adalah seorang yang kurus dan bongkok. Lemah dan setiap hari bersenjatakan sapu lidi di halaman bangunan induk padepokan yang terasing ini."
Ki Ajar Paguhan tersenyum. Katanya, "Jangan merajuk begitu. Bukankah menurut katamu, kau temukan ketenangan disini?"
Widapun kemudian meninggalkan Ki Ajar Paguhan seorang diri. Beberapa saat ia masih sempat merenungi muridnya yang tersentuh oleh wajah kehidupan yang lain dari pola kehidupannya yang dingin oleh orang tuanya.
Sementara itu, Widapun telah menemui anaknya. Juga seorang yang tugasnya membersihkan halaman seperti ayahnya. Kepada Sukra ayahnya mengatakan apa yang harus dilakukan di luar padepokan yang dirahasiakan itu.
"Aku akan minta pertanda agar aku tidak mengalami kesulitan di jalan keluar dan masuk nanti," berkata Wida.
"Kepada siapa?" bertanya Sukra.
"Landep," jawab Wida, "Landep adalah salah seorang yang dipercaya oleh Ki Lurah Lembu Ireng."
"Orang itu tentu akan bertanya macam-macam. Kemana ayah akan pergi. Untuk apa, sampai kapan dan segala macam pertanyaan yang bahkan kadang-kadang tidak masuk akal," berkata Sukra.
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya Wida.
"Pergi sajalah. Ayah tentu akan dapat masuk dan keluar tempat yang sudah kita kenal dengan baik ini," berkata anaknya.
"Tetapi justru lingkungan di luar padepokan ini," berkata Wida sambil melangkah terbongkok-bongkok.
"Bukankah ayah pernah keluar masuk padepokan mengantar Ki Ajar jika ia bepergian?" desak anaknya.
"Tetapi Ki Ajar berpesan, agar aku membawa pertanda itu," jawab Wida. Namun kemudian katanya, "Nah, sampaikan kepada Ki Ajar, bahwa aku akan keluar atas perintah Ki Ajar untuk mencari daun, batang dan akar wregu putih. Ki Ajar sedang membuat reramuan obat-obatan. Jika Landep meyakinkan kebenaran kata-kataku dan bertanya kepada Ki Ajar, jawabnya akan serupa."
Sukra mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah ayah. Aku akan menyampaikan kepada Ki Ajar."
"Sekarang, sebelum Landep mendahuluimu," desak ayahnya.
Sukra mengangguk-angguk sambil menjawab, "Tentu ayah. Aku tahu akibatnya jika kau terlambat. Mudah-mudahan Ki Ajar masih ada di tempatnya." namun kemudian pesannya, "tetapi hendaknya ayah berhati-hati."
Wida tersenyum pula. Iapun kemudian menyahut, "Kenapa tidak kau lanjutkan kata-katamu" Ayah sekarang sudah tua, sudah semakin lemah dan tidak lagi bergairah untuk hidup."
Tetapi Sukra menggeleng. Katanya, "Bukan maksudku ayah."
"Nah, sudahlah. Pergilah," potong ayahnya.
Sukrapun kemudian pergi menghadap Ki Ajar yang masih saja duduk merenung di tempatnya, memberitahukan tentang kepergian ayahnya serta alasan yang dikemukakannya untuk mendapati pertanda.
Landep memang tidak mempersulit permintaan Wida. Ia tahu benar bahwa Wida adalah seorang juru taman pelayan dekat Ki Ajar Paguhan. Karena itu, ketika ia mengatakan bahwa ia mendapat perintah dari Ki Ajar, maka Landep memang tidak bertanya lebih banyak lagi.
Hari itu juga Wida meninggalkan padepokan yang penuh dengan rahasia itu. Beberapa kali ia memang bertemu dengan beberapa orang yang meronda dan mengawasi serta menjaga keterasingan dan kerahasiaan padepokan itu. Tetapi kebanyakan dari mereka telah mengenal Wida. Apalagi ia memang membawa pertanda untuk keluar dan pada saatnya memasuki padepokan itu lagi.
Demikian Wida berada di luar padepokan, meskipun ia masih berada di padang yang sempit. Dipandanginya langit yang cerah, matahari yang menyala serta pepohonan yang hijau. Apalagi ketika kemudian ia sampai ke tanah persawahan. Ketika dilihatnya dua orang petani bekerja di sawah, maka rindunya pada kehidupan wajar semakin menyala di hatinya.
"Seandainya aku mempunyai sebidang tanah, meskipun hanya beberapa kotak kecil," katanya kepada diri sendiri, "aku akan menggarapnya dengan kesungguhan hati, mencintai tanah itu seperti mencintai anakku Sukra."
Tetapi Wida sudah terlanjur terbenam dalam kehidupan yang tidak sewajarnya, sehingga sulit baginya untuk dapat keluar dari keadaannya.
Dengan bahan-bahan yang sedikit tentang kedua orang yang mengantar Puguh kembali ke padepokannya, maka Wida mulai menelusuri jalan untuk mencarinya.
Yang mula-mula dituju adalah Gantar, karena ia tahu, untuk mencapai padepokan pertama, maka mereka tentu melalui Gantar. Dengan demikian pada saat mereka meninggalkan padepokan itu, maka merekapun tentu akan melalui Gantar pula.
Ternyata bahwa Wida masih mempunyai ketelitiannya yang pernah dimiliki. Dengan tanpa menimbulkan kecurigaan, ia bertanya tentang dua orang yang pernah melewati Gantar itu.
"Dua orang adikku yang baru berkunjung ke rumahku. Ada barangnya yang ketinggalan," berkata Wida.
"Jika keduanya adikmu, kenapa kau tidak tahu kemana mereka pergi?" bertanya seorang penjual dawet yang ditanya oleh Wida.
"Adikku adalah orang-orang aneh. Mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Atau katakan saja, mereka adalah pemalas yang tidak mau bekerja dengan wajar," jawab Wida.
Penjual dawet itu memang tidak dapat menunjukkan. Tetapi berkat ketelitiannya, maka akhirnya Widapun tahu kemana arahnya kedua orang itu pergi.
Menjelang matahari turun ke punggung pebukitan, maka Wida telah berada di bulak panjang yang pernah dilalui pula oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung. Justru di bulak itu pula keduanya telah dicegat oleh Gagaklahan bersama kawan-kawannya.
Namun tiba-tiba saja Wida merasakan sesuatu yang tidak sewajarnya. Karena itu, maka dengan tiba-tiba saja Wida itu bagaikan lenyap dari jalan yang dilewatinya. Tidak seorangpun yang sempat melihat, bagaimana ia terguling dan hilang menyusup di antara pohon perdu di pinggir jalan itu.
Seorang yang berjalan beberapa puluh langkah di belakangnya justru tidak terkejut. Tidak pula merasa kehilangan, karena orang itu memang tidak sedang mengikuti Wida. Ia berjalan saja menurut arah yang dikehendakinya. Ada atau tidak ada seorang Wida berjalan di jalan itu.
Ia memang melihat seseorang berjalan agak jauh di depannya. Tetapi ketika ia sempat mengingatnya, orang itu sudah tidak kelihatan lagi. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya.
Namun orang yang berjalan itu terkejut bukan buatan, justru ketika seseorang muncul dari balik gerumbul berjalan terbongkok-bongkok mendekatinya.
"Kau?" bertanya orang itu.
"Kau akan pergi kemana Puguh?" bertanya Wida, "kau meninggalkan padepokan seorang diri dalam keadaan yang agak kalut seperti ini."
"Kau akan pergi ke mana?" bertanya Puguh sebelum menjawab pertanyaan Wida.
"Aku mendapat perintah Ki Ajar Paguhan untuk mencari daun, batang dan akar wregu putih untuk reramuan obat-obatan," jawab Wida.
"Obat apa?" bertanya Puguh pula.
"Aku tidak tahu," jawab Wida.
"Dan kau juga tidak tahu ujud daun, batang dan akar wregu putih itu?" bertanya Puguh pula.
"Tentu aku tahu," jawab Wida, "aku sudah terbiasa mencarinya. Tetapi wregu putih memang sulit didapatkan. Yang pernah aku ketemukan itu sudah tidak ada lagi sekarang di tempatnya. Padahal waktu itu, aku hanya mengambil akarnya sedikit untuk menjaga agar pohon wregu putih itu tidak mati."
"Dan kau sekarang akan mencari kemana?" bertanya Puguh.
Wida menggeleng. Jawabnya, "Aku belum tahu. Aku berjalan saja menyusuri jalan ini. Mudah-mudahan aku akan memasuki sebuah padukuhan yang memiliki sebatang pohon wregu putih." Wida berhenti sejenak, lalu, "Kau akan pergi kemana" Kau belum menjawab pertanyaanku."
Puguh termangu-mangu. Namun Widalah yang menebaknya, "Kau akan mencari Gagaklahan yang belum kembali" Bagimu, siapakah yang lebih penting" Gagaklahan atau orang-orang yang telah mengantarmu itu?"
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba iapun bertanya, "Kau tentu juga mencari Gagaklahan."
Tetapi Wida tersenyum sambil menggeleng, "Memang mungkin ada orang lain yang mencarinya. Tetapi tentu bukan aku. Aku adalah pelayan yang tentu tidak akan menerima tugas-tugas seperti itu. Namun tentang jenis-jenis dedaunan, karena aku sudah melayani Ki Ajar bertahun-tahun, maka aku memang agak dapat mengenalinya." Wida berhenti sejenak, lalu, "Apakah dari padepokan pertama tidak ada orang yang berusaha menemukan Gagaklahan?"
"Orang-orang malas itu hanya bergairah jika mendapat perintah untuk membunuh. Tetapi mencari pembunuh-pembunuh seperti Gagaklahan agaknya mereka tidak berminat sama sekali," jawab Puguh.
"He, bagaimana mungkin terjadi seperti itu. Kau dapat memerintahkan kepada mereka. Siapa yang malas, segan atau tidak berminat dapat kau penggal kepalanya di hadapan kawan-kawannya, agar tidak seorangpun yang berlaku demikian," berkata Wida.
Puguh tidak menjawab. Tetapi kepalanya justru tertunduk lesu.
"Kau tidak sependapat?" bertanya Wida.
"Cukup," tiba-tiba saja Puguh membentak.
Wida menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Baiklah. Aku tidak akan menyebutnya lagi." Namun iapun kemudian bertanya, "Dan sekarang kau akan pergi ke mana?"
Puguh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku memang ingin mencari berita tentang Gagaklahan."
"Dari mana kau berangkat?" bertanya Wida.
"Aku mendapat keterangan dari beberapa orang Gantar dan menurut perhitunganku berdasarkan dari mana kami datang ke Gantar, maka kedua orang itu agaknya telah menempuh jalan ini. Tetapi lalu kemana?" desis Puguh.
Wida mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, "Siapakah sebenarnya yang kau cari" Gagaklahan atau kedua orang yang mengantarkanmu pulang ke padepokan?"
"Kau tahu yang aku maksud," jawab Puguh. "Tanpa penegasan, kau sudah cukup mengerti. Karena itu, tidak ada perlunya hal itu kau tanyakan. Apalagi berkali-kali."
Wida menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, "Baiklah. Katakan, bahwa aku sudah menduganya. Agaknya kaupun berpendapat bahwa Gagaklahan telah memburu kedua orang yang mengantarkanmu untuk membunuhnya."
"Atau untuk mengantarkan nyawanya," sahut Puguh.
Wida mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah kedua orang itu berilmu sangat tinggi, sehingga Gagaklahan dan kawan-kawannya mungkin terbunuh oleh mereka" Padahal yang mengikuti Gagaklahan tentu tidak hanya seorang."
Puguh mengangguk. Katanya, "Yang pergi dan belum kembali bersama Gagaklahan ternyata adalah enam orang."
"Nah. Jika demikian maka Gagaklahan tentu akan membunuh mereka. Mungkin Gagaklahan sekarang sedang mencari mereka atau mengikuti mereka sampai ke tempat tertentu," desis Wida.
Puguh tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata, "Marilah. Kita mencari mereka."
"Kemana," bertanya Wida, "sementara langit menjadi semakin buram."
*** JILID 12 PUGUH termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia menggeleng dan berkata, "Aku akan mencarinya."
"Marilah. Aku temani kau pulang. Baru kemudian aku akan mencari pohon wregu putih." ajak Wida.
"Aku akan berjalan terus," berkata Puguh.
Wida hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Puguh itu murid Ki Ajar Paguhan, tetapi serba sedikit ia dapat mengenali wataknya. Karena itu, maka agaknya sulit baginya untuk dapat membawa Puguh kembali.
Namun dalam pada itu, mereka melihat seorang yang berjalan sambil menjinjing cangkulnya, sementara beberapa puluh langkah kemudian seorang yang lain memanggul cangkulnya di pundaknya. Mereka adalah orang-orang yang pulang dari sawah setelah sehari-harian bekerja.
Ternyata sebelum Wida berbuat sesuatu, Puguh telah mendekati orang itu dan bertanya, "Apakah Ki Sanak melihat dua orang asing yang berjalan lewat bulak ini sekitar dua hari yang lalu?"
Petani itu mencoba mengingat. Namun kemudian katanya, "Aku memang bertemu dengan beberapa orang asing dua hari yang lalu. Tetapi tidak hanya dua orang."
"Berapa orang?" bertanya Puguh.
"Tujuh atau delapan orang," jawab orang itu.
Petani itu mengangguk. Katanya pula, "Adalah satu kebetulan, bahwa aku dan seorang kawanku berada di sebuah gubug. Aku singgah di gubugnya itu untuk sekedar minum. Dari gubug itu kami melihat beberapa orang lewat." orang itu berhenti sejenak, lalu, "kenapa dengan orang-orang itu?"
"Mereka menuju ke mana?" bertanya Puguh.
"Aku tidak tahu mereka pergi kemana. Tetapi mereka menempuh jalan ini. Aku melihat mereka justru telah berada di jalan menuju ke kuburan tua," jawab orang itu.
"Jadi kita harus berbelok ke kanan?" bertanya Puguh.
"Tidak. Kau tempuh jalan ke kiri ini," jawab orang itu.
"Tetapi Ki Sanak tadi datang dari arah kanan," sahut Puguh.
"Ya. Aku memang datang dari sawah sebagaimana tetanggaku itu," berkata orang itu ketika seorang yang memanggul Cangkul itu lewat dan bahkan berhenti pula. Lalu katanya pula, "saat aku singgah di gubug itu aku baru pulang dari bepergian, bukan dari sawah."
"Ada apa?" bertanya orang yang memanggul cangkul.
"Tentang orang asing yang lewat beberapa hari yang lalu," jawab petani yang terdahulu.
"O, memang menjadi pembicaraan. Ada beberapa orang yang sempat melihat mereka selagi orang bekerja di sawah. Mereka pergi ke kuburan tua," jawab laki-laki yang seorang lagi, "tetapi aku tidak melihat sendiri. Aku hanya mendengar beberapa orang membicarakan."
"Lalu, dari kuburan tua mereka pergi kemana?" bertanya Puguh ingin tahu.
"Tidak ada yang pernah melihat, kemana mereka pergi," jawab petani yang kedua itu.
"Terima kasih Ki Sanak," tiba-tiba saja Wida menyahut, "keterangan Ki Sanak sangat berharga bagi kami."
Puguh berpaling ke arah Wida. Sebenarnya ia masih ingin bertanya lagi. Tetapi dengan demikian maka kedua orang petani itu telah minta diri.
"Ki Sanak berdua nampaknya terlalu keras bekerja," berkata Wida kemudian, "pada saat begini Ki Sanak berdua baru pulang dari sawah."
"Kerja yang tanggung," jawab salah seorang di antara mereka, "tinggal satu sudut kecil yang harus kami siangi. Daripada besok, maka aku selesaikan saja sama sekali."
Yang lain hanya tersenyum saja. Namun demikian keduanya bersama-sama meninggalkan Puguh dan Wida.
Namun Puguh masih juga bertanya, "Apakah kuburan tua itu masih jauh."
Wida menggamitnya. Tetapi nampaknya kedua petani itu memang tertarik kepada pertanyaan Puguh, sehingga seorang di antaranya bertanya, "Kalian akan pergi ke kuburan tua di saat seperti ini?"
Tetapi Widalah yang menjawab sambil tertawa, "Tentu tidak Ki Sanak."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi seorang di antara mereka bertanya, "Lalu kalian akan pergi kemana sekarang" Dan dimana kalian akan bermalam?"
Yang menjawab adalah Puguh, "Jangan hiraukan kami."
Kedua petani itu memang tidak bertanya lagi. Keduanya justru dengan cepat meninggalkan tempat itu dan dengan tergesa-gesa menuju ke padukuhan mereka. Tetapi disepanjang jalan mereka justru berbincang tentang kedua orang di bulak itu.
"Keduanya cukup mencurigakan," berkata seorang di antara mereka.
"Ya. Sebagaimana beberapa orang beberapa hari yang lalu. Secara kebetulan aku melihat mereka," jawab kawannya.
Ketika kedua orang itu sampai di padukuhan, hari memang sudah menjadi gelap. Namun mereka sempat singgah di rumah tetangga mereka di ujung jalan dan menceriterakan kedua orang yang bertanya-tanya tentang beberapa orang yang asing bagi padukuhan itu yang lewat beberapa hari yang lalu.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari mulut ke mulut, berita itu tersebar, sehingga anak-anak mudanyapun mendengar pula. Karena itulah, maka malam itu di gardu perondan terdapat banyak anak-anak muda dan bahkan bebahu padukuhanpun ada yang berada di gardu di depan banjar.
"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa," desis seorang bebahu kepada seorang anak muda yang duduk di sebelahnya.
"Jika terjadi sesuatu, kami sudah siap," jawab anak muda itu.
Bebahu itu mengangguk-angguk. Tetapi bebahu itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa meskipun agak jauh dari padukuhan mereka, terdapat lingkungan yang sangat gawat. Lingkungan yang tidak dapat dijamah oleh siapapun. Orang-orang padukuhan itu memang tidak banyak yang mengetahuinya, namun sebagai bebahu padukuhan ia sering bertemu dengan bebahu padukuhan lain, sehingga iapun pernah mendengar tentang pertanda topeng kecil yang seram itu.
"Jalma mara jalma mati, sato mara sato mati," desis seorang bebahu dari padukuhan lain yang pernah ditemuinya, ketika ia menceriterakan tempat yang gawat itu. Setiap orang yang menjamah tempat itu akan mati.
Sementara padukuhan itu menjadi bersiaga, maka Puguh dan Wida telah berada di kuburan tua itu. Tetapi di dalam gelapnya malam mereka tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga mereka harus bermalam di kuburan itu sampai esok pagi.
Puguh memang sedikit meremang jika ia melihat keadaan di sekelilingnya. Tetapi ia tidak mengeluh. Iapun berusaha untuk tidak terpengaruh oleh keadaan di kuburan tua itu. Namun nyamuk memang terlalu banyak.
Namun yang tidak diketahui oleh Puguh dan Wida adalah, bahwa beberapa orang di padukuhan terdekat dari kuburan itu telah membicarakan mereka. Bahkan Ki Bekel telah memanggil beberapa bebahu dan orang yang langsung telah bertemu dengan Puguh dan Wida.
Ternyata bahwa kehadiran kedua orang itu dianggap menggelisahkan seisi padukuhan. Apalagi keduanya telah bertanya tentang kuburan tua yang dianggap wingit dan keramat itu.
"Kita harus mengawasi mereka," berkata Ki Jagabaya.
"Tetapi mereka berada dimana sekarang?" bertanya seorang bebahu yang lain.
"Aku kira mereka memang berada di kuburan. Karena itu, kita harus mengawasi jalan yang menuju ke kuburan itu serta pematang-pematang yang mungkin mereka lalui. Sementara itu, kita melaporkannya kepada Ki Demang," jawab Ki Jagabaya.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah kita perlu bersusah payah mengamati kedua orang itu" Apakah tidak cukup bagi kita untuk bersiaga di padukuhan kita?"
Ki Jagabaya memang masih muda, sementara Ki Bekel menjadi semakin tua, sehingga karena itu, beberapa orang menilai bahwa Ki Bekel nampaknya sudah tidak terlalu bergairah untuk berbuat banyak. Namun harapan penghuni padukuhan itu ada pada anak Ki Bekel. Seorang anak muda yang memiliki tubuh yang tinggi kekar.
Karena itu, beberapa orang bebahu, termasuk Ki Jagabaya telah berpaling ke arahnya.
Anak Ki Bekel itu mengerti, bahwa para bebahu berharap agar ia membantu mereka, mendesak kepada Ki Bekel untuk mendapat ijin bertindak. Karena itu, maka anak Ki Bekel itupun berkata, "Ayah. Agaknya memang cukup bagi kita untuk sekedar berjaga-jaga di padukuhan. Tetapi dengan demikian, kita tidak dapat melihat apa yang terjadi di sekitar kita, yang mungkin akan dapat membahayakan kita. Dan apakah menurut ayah, berjaga-jaga bagi padukuhan kita itu terbatas pada dinding-dinding padukuhan" Bukankah sawah dan ladang serta lingkungannya juga termasuk padukuhan kita" Ayah, kuburan tua itu ada di tengah-tengah bulak kita. Bukit kecil itu adalah bukit kita. Karena itu ada baiknya bagi kita untuk mengawasinya."
Sepasang Garuda Putih 2 Pendekar Gila 38 Pemberontakan Ki Reksogeni Tusuk Kondai Pusaka 3