Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 18

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 18


Namun bagaimanapun juga, gumpalan-gumpalan awan itu memang terasa sangat mengganggunya.
Ternyata Iswari dapat menangkap gejolak perasaan Warsi itu. Karena itu, maka setiap kali Warsi memandang awan di langit, Iswari membiarkannya saja. Dengan demikian, maka pengaruh kegelisahan perempuan itu akan mulai nampak pada tata geraknya.
Ternyata bukan Warsi saja yang mulai gelisah melihat beberapa gumpal awan di langit. Ki Ranggapun ternyata beberapa kali harus menengadahkan wajahnya. Jika segumpal awan lewat tidak tepat di bawah bulan, maka Ki Rangga itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jika gumpalan awan berikutnya, betapapun kecilnya menutup bulan meskipun hanya sesaat, hatinya menjadi semakin gelisah.
Ki Rangga terkejut ketika tiba-tiba saja Kiai Badra yang bertempur melawannya dalam pertempuran yang baru saja berlangsung telah berdiri di sampingnya. Dengan nada berat Kiai Badra itupun bertanya, "Kenapa Ki Rangga beberapa kali menengadahnya wajah ke langit?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa," jawab Ki Rangga.
Kiai Badra tertawa pendek. Katanya, "Apakah kau juga yakin bahwa sinar bulan itu mempunyai pengaruh terhadap ilmu seseorang."
Wajah Ki Rangga menjadi tegang. Tetapi ia tidak menjawab.
Kiai Badralah yang kemudian berkata, "Aku sebenarnya tidak mempunyai persoalan dengan kepercayaan itu." orang tua itu berhenti sejenak, lalu, "tetapi bagaimana dengan Ki Rangga sekarang" Bagaimana jika kami beramai-ramai menangkap Ki Rangga?"
"Disini sedang berlangsung perang tanding," jawab Ki Rangga.
"Ya. Tetapi yang berperang tanding adalah Warsi dengan Iswari," berkata Kiai Badra kemudian.
"Aku saksi disini. Aku berhak," jawab Ki Rangga.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Rangga benar. Ki Rangga telah mengangkat diri sendiri menjadi saksi. Tetapi itu memang boleh, sehingga Ki Rangga tidak akan ditangkap sekarang."
Ki Rangga memandang orang tua sekilas. Namun di luar sadarnya iapun telah menengadah lagi ketika bayangan yang kabur meluncur di arena.
Ternyata segumpal awan telah di bawah bulan yang bulat itu. Namun kemudian sinar bulan itu tidak terhalang lagi meskipun masih ada beberapa gumpal awan di langit.
Kiai Badra tertawa pula meskipun hampir tidak bersuara. Tetapi Ki Rangga mengerti, bahwa orang tua itu tengah mengejeknya.
Ki Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi di dalam hatinya ia berteriak, "Tunggu saatnya Iswari itu terkapar di arena."
Dalam pada itu pertempuran antara Iswari dan Warsi menjadi semakin sengit. Warsi masih saja tidak mengekang diri sama sekali. Ia masih tetap yakin bahwa cahaya bulan itu akan dapat memulihkan kekuatannya yang dikeraskan dalam pertempuran itu.
Berbeda dengan Warsi, maka Iswari masih tetap memperhitungkan segala kemungkinan. Ia tidak melepaskan tenaganya semena-mena seperti Warsi. Iswari berusaha untuk mengekang diri dan tidak melakukan gerakan-gerakan yang sama sekali tidak berarti. Ia sadar, bahwa pertempuran akan berlangsung lama, sehingga ia perlu menghemat tenaganya. Demikian pula tenaga cadangan di dalam dirinya.
Untuk beberapa saat, Warsi memang nampak lebih garang dari Iswari. Perempuan dengan senjata rantai di tangan itu berloncatan kesana kemari seperti seekor burung sikatan di padang rumput. Dengan sigapnya terbang berputaran dan sekali-sekali meluncur cepat menyambar seekor bilalang.
Namun sekali-sekali jika awan mengalir menutup cahaya bulan, nampaknya memang mempengaruhinya. Apalagi ketika dari cakrawala bagaikan muncul awan bergumpal-gumpal seperti raksasa yang berbaris dari kutub menuju ke kutub.
Namun karena itulah maka agaknya Warsi ingin mempercepat penyelesaian perang tanding itu. Warsi ingin cepat membunuh lawannya sebelum awan yang bergumpal-gumpal itu nanti menutup bulan bulat yang semakin bergeser ke Barat.
Karena itu, maka sejenak kemudian Warsi itupun telah mengerahkan kekuatan dan kemampuannya sampai ke puncak. Bahkan terdengar Warsi itu berkata sambil berloncatan memutar rantainya, "Aku sudah jemu dengan permainan ini. Sayang, bahwa saat-saat kematianmu akhirnya akan segera tiba."
Tetapi Iswari telah menjadi semakin matang. Ia tidak mudah dipengaruhi oleh sikap dan kata-kata lawannya. Karena itu, ia justru sempat menjawab, "Kita memang sudah terlalu lama bermain-main disini. Marilah, kita selesaikan pertempuran ini sebagaimana kita menyelesaikan perang tanding."
"Bagus," geram Warsi, "nampaknya kau menantang maut agar datang lebih cepat."
Iswari tersenyum. Katanya, "Tidak seorangpun yang membiarkan dirinya diterkam maut, selama ia masih mempunyai akal yang sehat. Agaknya akupun masih cukup sadar untuk menghindari maut itu."
Warsi tidak menjawab lagi. Tetapi iapun telah memutar rantainya semakin cepat. Sehingga mulai dari perlahan-lahan telah terdengar desing putaran rantainya itu bagaikan suitan yang nyaring. Semakin lama semakin keras.
Iswari terdorong beberapa langkah surut. Dengan kerut di dahi ia memperhatikan lawannya. Nampaknya Warsi benar-benar telah merambah ke ilmunya yang nggegirisi. Bahkan menjadi semakin matang dan semakin berbahaya. Jika sepuluh tahun yang lalu, Warsi harus melontarkan ilmunya dengan suara tertawanya yang menggetarkan udara menghantam jantung, maka ia tidak lagi memerlukannya. Ia tidak pula harus secara khusus membangkitkan kekuatannya yang lain sehingga angin yang keras berhembus dan menampar tubuh lawannya. Dalam kesempatan terakhir yang dianggapnya menjadi semakin sempit itu, Warsi yang telah menempa diri hampir sepuluh tahun, telah mampu menyatu dan meluluhkan ilmu-ilmunya itu menjadi satu kesatuan yang utuh, namun menjadi sangat berbahaya.
Karena itu, maka desing putaran rantainya itu semakin lama menjadi semakin keras. Bukan saja menggetarkan udara, namun suara itu sekaligus telah melontarkan ilmunya yang sebelumnya dipergunakannya suara tertawanya. Ilmu sejenis dengan ilmu Gelap Ngampar itu dalam tingkat ilmunya yang lebih matang, telah dapat dilontarkan pula bersama putaran senjatanya yang garang. Menyatu dengan serangan-serangannya yang mendebarkan. Sehingga dengan demikian, maka Iswari harus menghadapi bukan saja putaran rantai itu, tetapi sekaligus hentakan getaran udara yang keras di dadanya. Desing putaran rantai yang semakin lama semakin keras itu, benar-benar telah mampu mencengkam jantungnya sebagaimana suara tertawanya hampir sepuluh tahun yang lalu.
Iswari memang menjadi berdebar-debar. Ternyata kemampuan Warsi benar-benar telah meningkat sangat jauh.
Dengan kepercayaannya kepada limpahan cahaya bulan, maka Warsi telah melihat lawannya dengan serangan ilmunya sekaligus yang telah mampu menyatu.
Namun Iswaripun telah menempa dirinya pula. Bersandar kepada keyakinan perlindungan dari Yang Maha Agung atas tugasnya mengemban kebenaran, maka Iswaripun telah mengerahkan kemampuannya pula.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin rumit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Warsi tidak mau kehilangan kesempatan, selagi awan yang muncul dari cakrawala belum menutup wajah bulan.
Namun Iswaripun tidak membiarkan dirinya dibantai oleh ilmu Warsi yang semakin tinggi. Putaran pedangnya menjadi semakin cepat sehingga sekali-sekali menyusup menembus putaran rantai lawannya.
Namun getaran desing putaran rantai itu selalu saja menghentak-hentak jantungnya. Mencengkam dadanya dan bahkan seakan-akan hendak mencabut tangkai-tangkai isi dadanya itu.
Bahkan orang-orang yang mengelilingi arena itupun merasakan betapa getaran udara oleh kemampuan ilmu Warsi itu telah menghantam dada mereka. Karena itu, maka hampir di luar sadar, orang-orang yang mengelilingi arena itupun telah bergeser menjauh, sehingga lingkaran itu menjadi semakin luas. Pada jarak yang agak jauh, dada mereka tidak merasa terlalu sakit, meskipun mereka harus mengerahkan daya tahan di dalam diri mereka.
Hanya orang-orang tua dan Ki Rangga sajalah yang tetap berdiri di tempatnya. Namun Ki Rangga itupun harus berjuang memusatkan daya tahannya untuk mencegah isi dadanya rontok karenanya.
Iswari memang mengalami kesulitan. Ia tidak dapat memusatkan diri melawan hentakkan ilmu yang menggetarkan udara itu, karena sekaligus serangan-serangan rantai Warsi itu masih saja mengejarnya.
Namun latihan-latihan yang keras, kewadagan dan kejiwaan, membuat Iswari masih mampu bertahan. Peningkatan ilmunya telah membuat tubuhnya seakan-akan tidak berbobot lagi. Ia melenting dari satu tempat ke tempat yang lain.
Tetapi dimanapun ia berada di sekitar Warsi itu, namun desing rantainya itu bagaikan selalu memburunya, mencengkamnya kemudian bagaikan meremas isi dada.
Tetapi Iswari tidak mau terlambat. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengatasinya. Karena itu, maka iapun telah bergerak lebih cepat. Sekali-sekali ia berhasil mengganggu putaran rantai lawannya, sehingga desingnyapun sesaat lenyap dari udara. Rasa-rasanya isi dadanya yang tertekanpun menjadi longgar meskipun hanya sesaat, karena Warsipun segera memperbaiki keadaan yang memutar senjatanya kembali.
Bahkan Warsi yang kemudian merasa tidak segera mampu mengalahkan lawannya, sementara awan di cakrawala bagaikan tumbuh menjadi seorang raksasa yang semakin besar, telah menggenapi dengan ilmunya yang ketiga. Dengan demikian maka Warsi benar-benar telah berada dalam puncak kemampuannya di bawah cahaya bulan yang bulat di langit.
Selain getaran udara yang menghentak-hentak dada, ujung rantai yang siap menyambar dan mematuk dari segala jurusan, maka sambaran angin yang memancar dari ayunan rantainya itupun rasa-rasanya semakin keras menampar tubuh Iswari.
Dengan demikian maka Iswaripun menjadi semakin berhati-hati. Ia selalu ingat apa yang terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu. Ilmu itu pulalah yang ditemukannya malam itu. Namun dalam ujud yang jauh lebih berbahaya karena semuanya mampu luluh menjadi satu. Warsi tidak perlu menghentikan serangan rantainya untuk sekedar tertawa karena ia ingin melontarkan ilmunya yang mempunyai kekuatan sebagaimana ilmu Gelap Ngampar. Tetapi sambil bertempur dan menyerang dengan rantainya, maka ilmu itu telah sekaligus terungkap pula.
Ketiga orang guru Iswaripun menjadi berdebar-debar. Mereka ternyata mampu menilai tingkat ilmu Warsi yang semakin tinggi itu. Tiga jenis ilmunya dapat disalurkannya dalam kesatuan gerak yang utuh. Sehingga dengan demikian maka Warsi yang menyatu dengan rantainya itu merupakan satu kekuatan dan kemampuan ilmu yang jarang ada duanya.
Dengan demikian maka ketiga orang tua itu hanya berharap, bahwa Iswari akan dapat menyesuaikan ilmu yang telah dipelajarinya itu dengan medan.
Selebihnya, maka di dalam hati ketiga orang guru Iswari itu berdoa, semoga Iswari mendapat perlindungan dalam tugasnya itu.
Beberapa saat kemudian, maka serangan-serangan Warsipun menjadi semakin sengit. Ketiga jenis ilmunya itupun telah melanda Iswari bagaikan amuk badai yang ganas.
Dengan demikian maka kedua orang itupun telah sampai pada puncak kemampuan masing-masing. Di bawah tekanan yang berat dari lawannya, maka Iswari telah memasuki kemampuan ilmunya Janget Kinatelon.
Tubuhnya yang telah menjadi seringan kapas itupun menjadi semakin ringan.
Namun demikian, hentakkan-hentakkan di dadanya masih saja terasa menyakitkan. Sambaran angin yang menerpa tubuhnya terasa pedih, sementara itu, sambaran ujung rantai yang tajam mulai menyentuh tubuhnya.
Iswari tidak dapat menghindari pengaruh hentakkan-hentakkan di dadanya. Jika ia memusatkan daya tahannya untuk melindungi dadanya, maka gerakannya akan dapat menjadi lambat, sehingga senjata Warsi itu mampu menggapainya.
Warsi tertawa ketika ujung rantainya mulai menyentuh tubuh Iswari. Bukan saja mengoyakkan pakaiannya, tetapi kulit dipundak perempuan itu memang sudah dikoyakkannya pula.
"Sepuluh tahun yang lalu, kau mampu mengalahkan aku," geram Warsi, "tetapi sekarang, pembalasan dendam itu telah tiba."
Iswari tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat membiarkan dirinya terkapar di medan. Karena itu, maka ia memasuki ilmunya semakin dalam.
Jika Iswari mula-mula mampu membuat tangannya bagaikan membara dalam alas ilmunya, maka setelah ia menyempurnakan ilmunya, maka bukan saja telapak tangannya itu yang mampu membakar sasaran yang disentuhnya. Tetapi kedua pedang di tangan Iswari itulah yang kemudian seakan-akan menjadi bercahaya. Sepasang pedang di tangan Iswari itulah yang kemudian telah mengejutkan Warsi.
Bahkan Sambi Wulung dan Jati Wulung, yang menyaksikan pertempuran itu di belakang para pengawal khusus, telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Iswari telah mampu melakukannya pula. Bahkan perempuan itu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung. Kemampuannya bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti. Bahkan kadang-kadang tubuh perempuan itu seolah-olah melayang tanpa bobot sama sekali mengitari lawannya.
Dengan pedang yang bercahaya di tangannya, Iswari menjadi semakin garang. Ternyata meskipun sikap mereka sehari-hari jauh berbeda, namun di medan pertempuran Iswari mampu mengimbangi kekerasan lawannya.
Ketika sekali lagi ujung rantai Warsi menyentuh lengannya, maka Iswari benar-benar harus memikirkan cara menghentikan hentakkan-hentakkan yang mengganggu jantungnya, sehingga membuat geraknya kadang-kadang menjadi lamban.
Satu-satunya jalan adalah menghentikan putaran rantai di tangan Warsi itu, karena putaran rantai itu adalah lantaran ungkapan dari ketiga ilmunya itu.
Karena itu, maka Iswaripun kemudian telah memusatkan perhatiannya kepada putaran rantai Warsi. Jika ia dapat menghentikan putaran itu, meskipun hanya untuk sementara, maka hentakkan-hentakkan di dadanya akan terlepas serta angin yang menerpa tubuhnya dan membuat kulitnya menjadi pedih itupun akan terhenti.
Dengan kemampuan membuat tubuhnya seakan-akan lebih ringan dari kapas, maka Iswari telah bergerak dengan cepat di seputar lawannya. Sekali-sekali ia masih berusaha menyusup di antara putaran rantai Warsi. Namun kemudian dengan persiapan yang cermat, Iswari telah dengan sengaja membentur kekuatan putaran rantai Warsi.
Demikian kerasnya benturan itu, sehingga terpercik bunga api yang kemerah-merahan di udara, diantara nyala kebiruan pada daun pedang Iswari.
Akibatnya memang mengejutkan. Pedang Iswari memang hampir terlepas dari tangannya. Namun ilmunya yang tinggi, membuat pedang itu seakan-akan melekat di telapak tangannya.
Namun untuk memperbaiki keadaannya, Iswari telah meloncat beberapa langkah surut, sehingga dengan demikian ia sempat memperhatikan keadaan lawannya.
Untuk sesaat Iswari termangu-mangu. Ia melihat Warsi itu juga melangkah surut. Benturan itu membuat tangan Warsi bagaikan terkelupas, Kekuatan Iswari benar-benar kekuatan raksasa yang sulit untuk diatasinya. Meskipun ujung rantainya itu telah berhasil melukai lawannya, namun ternyata bahwa perempuan Tanah Perdikan Sembojan itu mampu menghentikan putaran rantainya, dan sekaligus menghentikan serangan kedua ilmunya yang lain.
"Anak iblis," geram Warsi.
Iswari yang telah menggenggam kembali pedangnya dengan baik, justru telah melangkah mendekat. Di saat rantai itu tidak berputar, maka tidak terasa hentakkan-hentakkan di dadanya, tidak pula terasa sambaran angin tajam di kulitnya sehingga menjadi pedih. Apalagi ancaman ujung rantai yang tajam yang akan dapat memecahkan dadanya, sama sekali tidak terasa.
"Alangkah longgarnya pernafasan ini jika kau hentikan putaran rantaimu itu," berkata Iswari.
"Kau sudah terluka," sahut Warsi.
"Sebentar lagi, kaupun akan terluka. Dadamu akan koyak dan nafasmu akan terputus karenanya," jawab Iswari sambil tersenyum.
Warsi menggeram. Sikap Iswari memang sudah jauh berbeda dari sikapnya hampir sepuluh tahun yang lalu.
"Kau tidak lagi kekanak-kanakan sekarang. Kau tidak akan menggigil jika aku memujimu sebagai perempuan yang paling cantik," berkata Warsi.
"Aku sudah tua. Kulitku mulai berkeriput. Namun menghadapi dendammu yang menyala itu, aku adalah seorang yang masih memiliki kekuatan dan ilmu yang utuh." jawab Iswari.
Warsi menggeram. Namun ia tidak berbicara lagi. Ia menganggap bahwa Iswari sudah terlalu lama beristirahat karena hentakan-hentakan di dadanya telah terhenti sesaat putaran rantainya berhenti.
Karena itu, maka tangan Warsipun mulai bergerak. Ia mulai memutar rantainya kembali. Desing yang mengaungpun terdengar semakin lama semakin keras.
Tetapi Iswari tidak lagi terlalu cemas. Kekuatan ilmunya Janget Kinatelon dengan unsur-unsurnya akan mampu mengatasinya.
Demikianlah, maka ketika rantai itu berputar semakin cepat, maka Iswaripun bergerak semakin cepat pula. Sebelum desing putaran rantai itu mencapai tataran bunyi yang mampu menggetarkan dada dan bagaikan meremas jantung, ternyata Iswari dengan kecepatan yang luar biasa dalam unsur gerak dengan alas ilmunya Janget Kinatelon telah menyusup menyerang lawannya.
Warsi memang terkejut oleh kecepatan gerak Iswari. Namun ia masih sempat meloncat surut. Dengan tangkasnya pula, ia memutar rantainya. Tidak lagi bagi kepentingan bunyi yang mampu meremas jantung, tetapi ujung rantai itu tiba-tiba saja mematuk seperti ular.
Iswarilah yang harus melenting ke samping. Namun dengan satu putaran yang cepat, ujung sepasang pedangnya telah menyambar berurutan.
Warsilah yang harus meloncat lagi menghindari pedang yang bercahaya kebiruan itu. Namun ia sudah siap dengan rantainya yang berputar. Meskipun desingnya belum menekan dada, tetapi putarannya sudah mampu melindungi dirinya. Bahkan sambil memutar rantainya Warsi meloncat beberapa langkah maju, sehingga Iswari harus bergeser surut.
Sejenak kemudian, maka desing yang semakin keras mulai terdengar lagi. Hentakkan di jantung Iswaripun mulai terasa lagi. Bahkan Warsi sudah siap menghadapi usaha Iswari yang akan menyusup di sela-sela bayangan putaran rantainya.
Tetapi Iswari tidak berusaha menyerang langsung. Ia ingin mengulangi usahanya membentur putaran ujung rantai itu. Karena itu setelah dipersiapkan dengan baik dialasi dengan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya, Iswari telah mengayunkan sepasang pedangnya menghantam putaran rantai Warsi.
Namun Warsi tidak membuat kesalahan yang sama. Demikian sepasang pedang Iswari terayun, tiba-tiba saja Warsi telah menarik rantainya dengan satu hentakkan. Desing rantai itu memang terhenti. Namun tiba-tiba saja rantai itu terjulur lurus bagaikan sebatang tombak langsung mengarah ke dadanya.
Iswari terkejut. Dengan serta-merta ia meloncat surut. Tetapi ternyata meskipun salah satu kekuatan ilmu Warsi tidak mencengkamnya, namun sambaran angin yang keras telah mendorongnya tepat pada saat Iswari sedang meloncat. Karena itu, maka dorongan itu seakan-akan menjadi berlipat kekuatannya, sehingga Iswari telah jatuh terlentang.
Warsi tidak melepaskan kesempatan itu. Sambil meloncat ia menghentakkan rantainya. Justru di saat Iswari melenting berputar di udara untuk tegak kembali.
Meskipun Iswari sempat menangkis hentakkan rantai itu, namun ternyata bahwa punggung Iswari telah tergores oleh ujung rantai itu sehingga kulitnyapun telah menganga. Meskipun tidak terlalu panjang, namun luka itu telah mengalirkan darah, seperti luka di pundak dan lengannya.
Warsi sempat tertawa pendek. Kemudian serangannya menjadi semakin garang.
Ternyata bahwa ketiga orang guru Iswari menjadi sangat tegang. Sementara Ki Rangga mulai mengangguk-angguk.
Kemarahan Iswari benar-benar telah sampai ke ubun-ubun. Ia sadar bahwa lawannya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari hampir sepuluh tahun yang lampau. Namun ia tidak boleh menyerah.
Dengan menghentakkan ilmunya Janget Kinatelon sampai tuntas, maka sepasang pedangnya itu bukan saja sekedar memancarkan cahaya kebiruan. Tetapi pada benturan-benturan berikutnya, panas itu seakan-akan dapat menjalar pada senjata lawannya.
Warsi memang harus mengumpat ketika terasa panas itu sampai ke tangannya. Tetapi justru karena itu, maka iapun telah mengerahkan ilmunya pula. Rantainya berputaran semakin cepat, melontarkan desing yang kuat serta menghembuskan angin yang menerpa tubuh lawannya.
Akhirnya Iswari tidak sabar lagi. Ia tidak membiarkan dirinya dikejar oleh putaran rantai itu, hentakkan yang mencengkam dadanya dan angin yang menerpa tubuhnya. Dengan ilmunya sampai ke puncak kemampuan, tiba-tiba saja Iswari itu telah melenting tinggi. Tubuhnya yang seolah-olah tanpa bobot itu terbang di atas putaran rantai lawannya. Sambil berputar sekali di udara, maka ujung sepasang pedang Iswari itu telah menikam kedua pundak lawannya.
Warsi yang terkejut itu berusaha untuk menghindar. Tetapi satu dari sepasang pedang Iswari berhasil menghunjam di pundaknya dekat pangkal lehernya.
Warsi berteriak nyaring. Ia masih sempat menghentakkan rantainya seakan-akan mengejar tubuh Iswari yang melayang turun. Dengan hentakkan sendal pancing rantai itu telah menyambar lambung Iswari demikian kakinya menyentuh tanah.
Iswari terdorong beberapa langkah surut. Lambungnya memang tergores ujung rantai lawannya, sehingga lukapun telah menganga. Darahpun telah mengalir, sementara keseimbangannyapun telah terguncang. Dengan susah payah Iswari mempertahankan diri untuk dapat berdiri tegak. Namun luka-lukanya nampaknya menjadi parah, terutama luka di lambungnya.
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka menjadi tegang. Namun mereka harus menahan diri untuk tidak mencampuri perang tanding itu. Bagaimanapun juga, mereka harus tabah melihat kenyataan, apa yang terjadi atas muridnya itu.
Sementara itu Warsi berdiri tegak sambil tertawa berkepanjangan. Rantainya masih berjuntai di tangan kanannya yang tergantung lemah di sisi tubuhnya.
Namun dalam pada itu, dalam cahaya bulan yang terang, darah nampak meleleh di pundaknya. Iswari telah menikamnya cukup dalam. Meskipun luka itu adalah satu-satunya luka di tubuh Warsi, namun nampaknya luka itu sangat parah.
Ternyata bahwa Warsi yang berdiri tegak itu perlahan-lahan menjadi goncang. Ketika ia masih juga ingin melangkah menyerang Iswari, maka demikian ia melangkah sambil mengangkat rantainya itu, tubuh itu telah terhuyung-huyung dan kemudian jatuh terjerembab.
Ki Rangga terkejut sekali melihat peristiwa yang tidak diduganya itu. Dengan serta-merta iapun telah berlari mendekati tubuh yang terbaring itu. Perlahan-lahan Ki Rangga telah memutar tubuh itu sehingga menelentang.
Sementara itu Iswaripun tidak lagi mampu berdiri tegak. Kiai Badralah yang kemudian mendekatinya dan memapahnya.
"Bagaimana dengan kau Iswari?" bertanya Kiai Badra.
"Aku terluka Kek," sahut perempuan itu.
Kiai Badrapun kemudian telah mengambil pedang dari tangan Iswari dan menyarungkannya.
Namun dalam pada itu, peristiwa yang terjadi hampir sepuluh tahun itu telah terjadi lagi. Dua orang tua tiba-tiba saja telah berdiri di arena.
Kiai Soka dan Nyai Soka mendekatinya dengan hati-hati.
"Kau Ki Randukeling?" desis Kiai Soka.
"Ya. Aku tahu bahwa Warsi ada disini," desis Ki Randukeling.
"Kenapa kau tidak ikut dalam pasukannya?" bertanya Kiai Soka.
"Aku tidak sejalan dengan pikirannya. Tetapi bagaimanapun juga, aku wajib berusaha menyelamatkannya," berkata Ki Randukeling.
"Jadi maksudmu?" bertanya Kiai Soka.
"Seperti dahulu, ijinkanlah aku membawanya. Nampaknya ia, belum mati. Mudah-mudahan masih ada cara untuk mengobatinya." minta Ki Randukeling.
"Ki Randukeling," jawab Kiai Soka, "Warsi telah mendapat kesempatan untuk bertemu dua kali dengan Iswari. Aku kira kesempatan itu sudah cukup. Orang yang memiliki tingkah laku, tabiat dan watak seperti Warsi memang sulit untuk diluruskan kembali. Ia adalah keluarga Kalamerta. Agaknya karena itulah maka Ki Gede Sembojan itu telah membunuhnya."
"Aku masih minta kesempatan sekali lagi," berkata Ki Randukeling, "meskipun aku tidak menjamin bahwa ia akan dapat berubah pada suatu saat."
"Kau perlukan perempuan itu untuk menempa anak laki-lakinya agar pada suatu saat menggantikan usahanya merebut Tanah ini?" bertanya Kiai Soka.
"Perempuan itu tidak mempedulikan anaknya," jawab Ki Randukeling, "Puguh, anaknya itu berada di bawah asuhan Ki Ajar Paguhan."
Kiai Soka memandang orang yang datang bersama Ki Randukeling itu. Katanya, "Bukankah sepuluh tahun yang lalu, kau juga datang dengan Ki Ajar ini?"
"Ya," jawab Ki Randukeling, "orang inilah yang mengasuh Puguh."
"Warna apakah yang Ki Ajar lukiskan pada dinding hati anak itu?" bertanya Kiai Soka.
"Bukan wewenangku membentuk wataknya. Aku hanya diserahi wadagnya. Aku hanya diserahi untuk melatih anak itu agar menjadi seorang laki-laki." Ki Ajar berhenti sejenak, lalu, "aku berharap bahwa anak itu memang tidak terlalu dekat dengan ayah dan ibunya."
Kiai Soka mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, "Apa maksudmu?"
Ki Ajar tidak sempat menjawab, sementara Ki Randukeling berkata, "Cucumu juga parah, ia memerlukan perawatan segera. Jika kita masih berbantah disini, kedua perempuan itu akan sulit diselamatkan lagi."
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada Nyai Soka, "Hak untuk menentukan nasib Warsi ada pada Iswari. Bertanyalah kepadanya."
Nyai Sokapun kemudian bergegas menemui Iswari yang mulai dibaringkan oleh Kiai Badra. Meskipun punggungnya juga terluka, tetapi luka yang terbesar adalah pada lambungnya, sehingga Kiai Badra tidak akan membawanya kembali sebelum ia sempat memberikan pertolongan lebih dahulu.
Ketika Kiai Badra mulai mengobati lambung Iswari, maka Nyai Soka mendekatinya dan berbisik di telinganya tentang permintaan Ki Randukeling.
Iswari yang menyeringai menahan sakit itu berdesis, "bagaimana dengan guru?"
Nyai Soka memandang Kiai Badra sekilas. Desisnya, "Bagaimana pendapatmu Kiai?"
Kiai Badra ternyata juga menjadi bimbang. Namun ternyata Iswarilah yang mengambil keputusan, "Kita serahkan perempuan itu kepada Ki Randukeling. Jika ternyata ia mengulangi kesalahannya, biarlah Ki Randukeling ikut bertanggung jawab."
Nyai Soka mengangguk-angguk. Iapun kemudian menggamit Kiai Badra yang mengangguk kecil.
Kepada Ki Randukeling Nyai Soka menyampaikan apa yang telah dikatakan oleh Iswari, sehingga kemudian katanya, "Jika Ki Randukeling tidak bersedia, maka biarlah perempuan itu terkapar di situ."
Ki Randukeling termangu-mangu sejenak. Hampir di luar sadarnya ia menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya bulan bulat masih berada di langit yang terbuka. Awan yang bagaikan tumbuh di cakrawala ternyata telah pecah berserakan dan hanyut selembar-selembar.
Akhirnya Ki Randukeling berkata, "Aku akan mencoba. Tetapi biarlah sisa hidupku aku pertaruhkan."
"Tetapi seandainya Warsi berubah, jangan pikulkan dendam ini di pundak anaknya," berkata Nyai Soka.
Ki Randukeling tidak menjawab. Namun kemudian bersama Ki Ajar ia berjongkok di sisi tubuh Warsi. Seperti yang diduganya, maka ketahanan tubuh Warsi memang luar biasa.
Ki Ajar itupun kemudian telah menaburkan obat yang ada untuk mengurangi arus darah. Namun kemudian Ki Randukeling yang semakin tua itu telah mengangkat tubuh Warsi seperti hampir sepuluh tahun yang lalu, juga di bawah siraman cahaya bulan yang bulat.
Berlari-lari kecil Ki Rangga mengikuti di belakangnya. Namun Ki Randukeling dan Ki Ajar itu tidak menghiraukannya sejak keduanya minta diri kepada Kiai Soka dan Nyai Soka.
Sepeninggal Ki Randukeling yang menyibak orang-orang Tanah Perdikan Sembojan bersama Ki Ajar dan diikuti oleh Ki Rangga Gupita, ketiga orang tua itu menjadi sibuk. Mereka tidak ingin terlambat, sehingga karena itu, maka ketiganya telah berusaha mengobatinya meskipun sekedar menutup luka itu dan memberikan obat untuk memperkuat daya tahan tubuhnya.
Orang-orang Tanah Perdikan itu mula-mula memang menjadi bingung karena kehadiran Ki Randukeling dan Ki Ajar. Namun kemudian mereka tidak berbuat apa-apa ketika Nyai Soka dan Kiai Soka memang melepaskan mereka membawa tubuh Warsi meninggalkan arena perang tanding itu.
Untuk beberapa saat, Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Soka itu masih sibuk dengan Iswari. Sedangkan Iswari sendiri berusaha untuk tidak mengeluh meskipun luka-lukanya terasa sangat pedih.
Baru beberapa saat kemudian Kiai Badra memerintahkan pemimpin pengawal yang kemudian juga menunggui orang-orang tua yang sibuk mengobati Iswari itu untuk membuat tandu.
"Tandu?" pemimpin pengawal itu mengulang.
"Apa saja yang dapat dipergunakan," berkata Kiai Badra.
Pemimpin pengawal itu mengangguk. Iapun kemudian bergeser dan menemui beberapa orang pengawal untuk membuat usungan yang akan dapat dipergunakan untuk membawa Iswari.
Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah mendekat pula dan berjongkok di sebelah Kiai Soka.
"Kemana saja kalian selama ini?" bertanya Kiai Soka.
"Aku menghindari kemungkinan pengenalan orang-orang dari padepokan Puguh." jawab Sambi Wulung, "mereka tidak boleh mengenali aku. Apalagi gurunya. Pada suatu saat, aku harus datang lagi ke padepokannya."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Sementara Jati Wulung bertanya, "Bagaimana keadaannya?"
"Mudah-mudahan kita akan dapat mengatasinya. Di samping obat yang kita berikan, kita serahkan sepenuhnya kepada kemurahan Yang Maha Agung," jawab Kiai Badra.
Jati Wulungpun mengangguk-angguk. Sementara Iswari berbaring diam. Hanya kadang-kadang saja terdengar ia berdesis tertahan.
Namun kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan, "Jangan beritahu Risang."
Kiai Badra mengangguk kecil. Namun ia tidak menjawab.
Seperti ketiga guru Iswari itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata berpendapat sama di dalam hati, bahwa dalam keadaan yang gawat, Risang justru harus diberi tahu. Tetapi jika keadaan Iswari membaik, mereka memang sependapat untuk tidak memberitahukan keadaan ibunya itu kepada Risang.
*** Dalam pada itu, di saat-saat yang menentukan itu, justru Puguhlah yang telah tertidur di serambi. Tiba-tiba saja ia terkejut, seakan-akan ia mendengar jerit ibunya. Hampir di luar sadarnya Puguh itu meloncat turun ke halaman dan memandang bulan di langit.
Ternyata segumpal awan telah menutup bulatnya bulan meskipun hanya beberapa saat. Namun Puguh memang menjadi berdebar-debar.
Tetapi sambil duduk kembali di serambi Puguh sempat bertanya kepada diri sendiri, "Kenapa aku begitu tertarik kepada cahaya bulan malam ini?"
Tidak ada jawaban yang dapat memuaskannya. Pertanyaan itu bagaikan mengejarnya.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Jantungnya benar-benar dicengkam oleh kegelisahan yang tidak dimengertinya, apa sebabnya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia meloncat turun lagi ke halaman. Tanpa disadarinya, maka iapun telah melangkah mengelilingi padepokan. Ketika cantrik yang berjaga-jaga melihatnya, maka iapun bertanya, "Kau masih belum tidur?"
Puguh tidak menjawab. Ia justru melangkah ke regol belakang padepokannya. Cantrik yang berada di regol itupun bertanya pula. Tetapi Puguh sama sekali tidak menjawab.
"Tetapi, kau harus memberikan pesan kemana kau pergi?"
Puguh tidak menjawab. Ia berjalan saja sambil menundukkan kepalanya.
Bahkan ketika seorang cantrik mendesaknya, Puguh justru membentak, "Tutup mulutmu."
Cantrik itu terdiam. Ia menyadari, bahwa Puguh kadang-kadang dapat bertindak di luar dugaan.
Puguhpun sebenarnya memang tidak akan pergi ke manapun. Ia menyusuri jalan sempit yang sudah dikenalinya dengan baik. Jalan menuju ke padepokan kedua yang terasing.
Berbeda dengan padepokannya yang pertama, maka padepokan kedua itu nampak lebih tertutup. Padepokan yang dibayangi oleh rahasia yang semakin lama justru semakin dibencinya.
Puguh tertegun ketika tiba-tiba saja dua orang pengawal meloncat dari kegelapan dengan senjata di tangan langsung diacukan ke arah dada.
Namun ketika kedua orang itu menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Puguh, maka merekapun bergeser mundur.
Tetapi Puguhlah yang tiba-tiba saja meloncat maju. Kedua orang itu ditamparnya dengan keras sehingga pipi mereka terasa seperti tersentuh bara.
Keduanya terkejut bukan kepalang. Seorang di antaranya sempat bertanya dengan serta-merta, "Kenapa?"
"Kau letakkan dimana penglihatanmu itu he?" bentak Puguh.
"Kami hanya melihat sosok tubuhmu," jawab seorang di antara mereka.
"Bukankah cahaya bulan terang?" desak Puguh.
"Tetapi kami melihatmu dari samping," jawab orang itu pula.
"Diam," Puguh membentak, "aku bunuh kau. Disini hanya ada satu hukuman yang pantas diberikan kepada mereka yang berani menentang aku. Hukuman mati. Jika kalian ingin melawan, lawan aku. Kalian atau aku yang akan mati."
Wajah kedua orang itu menjadi pucat. Puguh memang garang. Tetapi tidak segarang malam itu. Karena itu, maka keduanya tidak menjawab lagi.
"Pergi," bentak Puguh, "atau aku merubah pendirianku."
Keduanya dengan serta-merta telah meloncat meninggalkan Puguh yang berdiri termangu-mangu.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Para pengawal Padepokan kedua itu memang seperti orang gila. Sementara itu di tempat-tempat yang agak jauh ditancapkan tonggak-tonggak dengan topeng-topeng kecil yang seram. Para pengawal itu tidak segan-segan membunuh orang yang melintasi tanda-tanda itu meskipun orang-orang itu tidak tahu sama sekali arti dari tanda-tanda itu. Bahkan orang yang sedang mencari kayu sekalipun.
Sambil melangkah Puguh itu bertanya di dalam hati, "Apakah guru sebenarnya juga sependapat dengan cara-cara yang gila seperti itu?"
Tetapi Puguh juga tidak mendapatkan jawaban dari dalam dirinya, sehingga anak muda itu hanya dapat menghentak-hentakkan tangannya.
Ketika ia memasuki padepokan kedua, beberapa orang pengawal yang garang yang kebetulan bertugas dipinta gerbang memandanginya dengan sorot mata yang menyimpan berbagai macam pertanyaan.
Namun karena Puguh berpalingpun tidak, tidak seorangpun di antara mereka yang bertanya.
Puguh langsung memasuki ruang dalam bangunan induk padepokan kedua itu. Ruang itu memang terasa sangat sepi. Gurunya memang sedang pergi tanpa diketahui kemana. Hampir di luar sadarnya Puguhpun telah memasuki sanggarnya pula. Sanggar yang cukup luas. Didinding tergantung bermacam-macam senjata. Sedangkan di tengah-tengah sanggar itu terdapat berbagai macam alat untuk berlatih olah kanuragan.
Tetapi tanpa gurunya, semuanya itu terasa mati.
Untuk beberapa lama Puguh berada di dalam sanggar, Namun tiba-tiba saja ia berlari keluar. Ketika ia menengadahkan wajahnya, ternyata awan mulai menebar di langit. Cahaya bulan memang masih utuh. Namun setiap kali selembar awan melintas. Semakin lama semakin sering.
"Persetan dengan bulan," Puguh itupun menggeram, iapun kemudian berlari lagi masuk ke dalam sanggar. Dalam perasaan sepi ia berbaring di amben bambu di sudut sanggar itu. Adalah di luar kehendaknya jika kemudian ia tertidur.
Sementara itu ibunya yang terluka, memang tidak dibawa ke padepokan itu. Ki Randukeling membawa tubuh Warsi itu ke tempat tinggalnya. Memang terlalu jauh. Tetapi Ki Randukeling sudah bertekad demikian. Bahkan Ki Randukeling sempat membeli sebuah pedati meskipun agak memaksa. Tetapi uang yang diberikan kepada pemilik pedati itu memang cukup untuk membeli pedati dan lembu yang baru.
Dengan pedati itulah Ki Randukeling dan Ki Ajar membawa Warsi. Ki Rangga yang selalu mengikutinya, akhirnya diperbolehkan juga oleh Ki Randukeling untuk ikut naik.
"Kau memegang kendali," desis Ki Randukeling.
Ki Rangga tidak membantah. Baginya memegang kendali pedati itu tentu lebih baik daripada berjalan saja mengikuti pedati itu sampai ke jarak yang sangat jauh.
Namun Ki Randukeling itu sempat bertanya, "Apakah kau tidak melihat sisa-sisa pasukanmu?"
Ki Rangga menggeleng. Katanya, "Mereka telah mempunyai pemimpin mereka masing-masing."
"Kala Sembung telah terbunuh," berkata Ki Randukeling, "seharusnya kau mengetahuinya."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia bertanya, "Bagaimana dengan Ki Ajar Tulak dan Ki Sumbaga" Menurut keyakinanku Ki Sumbaga tentu selamat di saat ia mengundurkan diri."
"Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu," berkata Ki Randukeling.
Ki Rangga menjadi semakin berdebar-debar. Ia adalah seorang bekas perwira prajurit Jipang yang kemudian bertugas sebagai prajurit sandi. Namun tiba-tiba saja ia merasa menjadi sangat dungu menghadapi pertempuran melawan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.
Bahkan iapun kemudian menjadi gelisah, bahwa kawan-kawannya itu akan membebankan tanggung jawab kegagalan itu kepadanya.
"Tetapi mereka harus tahu apa yang terjadi," berkata Ki Rangga itu di dalam hatinya.
Ketika kemudian matahari terbit, maka pedati itu telah berjalan semakin jauh. Warsi yang luka parah itu selalu berada dalam pengamatan kedua orang tua itu. Ternyata Ki Randukeling memang memiliki pengetahuan pengobatan yang luas. Agaknya demikian pula dengan Ki Ajar.
Pada saat yang demikian, orang-orang Tanah Perdikan Sembojan masih sibuk mengumpulkan orang-orang yang menjadi korban pertempuran. Yang terbunuh dan yang terluka. Bukan saja orang-orang Tanah Perdikan Sembojan, tetapi juga orang-orang dari balik bukit.
Orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan di seluruh Tanah Perdikan telah dikerahkan. Mereka harus menolong orang-orang yang terluka.
Kiai Badra dan Kiai Soka juga ikut sibuk membantu mereka. Hanya Nyai Soka sajalah yang secara khusus menunggui Iswari yang telah dibawa ke rumahnya.
Memang belum ada orang yang berangkat untuk menyampaikan berita itu kepada Risang karena Iswari memang melarangnya. Namun ternyata Risang yang di sisa malam sebelumnya tidak dapat tidur sama sekali itu merasa sangat gelisah.
Tetapi jika Gandar bertanya kepadanya, Risang tidak pernah dapat menjelaskan perasaannya.
"Sudahlah," berkata Gandar, "sebaiknya kau beristirahat. Agaknya kau terlalu letih, sehingga kau nampaknya sangat gelisah tanpa sebab."
Risang mengangguk kecil. Setelah membenahi dirinya, justru Gandar membawa Risang ke serambi belakang bangunan induk. Cahaya matahari yang cerah, angin yang berdesir lembut serta tubuh yang letih agaknya memungkinkan Risang untuk beristirahat dan tidur barang sejenak.
Tetapi Risang itu bertanya, "Sejak kapan aku membiasakan diri tidur di saat seperti ini?"
"Memang jangan menjadi kebiasaan," sahut Gandar, "hanya dalam keadaan yang khusus seperti ini. Jika kau tidak mau beristirahat dan membiarkan dirimu dicengkam oleh kegelisahan tanpa sebab, maka kau dapat menjadi sakit karenanya. Badanmu menjadi panas dan kepalamu terasa sangat pening."
Risang terdiam. Tetapi ia sama sekali tidak mau membaringkan dirinya. Bahkan ketika ia melihat seseorang sedang menyiangi batang-batang terung, iapun segera meloncat berlari.
"Berikan cangkul itu," berkata Risang.
Orang yang sedang menyiangi batang terung itu termangu-mangu. Namun Risanglah yang kemudian mengambil cangkul itu dari tangannya.
Gandar tidak mencegahnya. Bagi Gandar, apa saja baik dilakukan oleh Risang, asal itu dapat melupakan kegelisahannya.
Tetapi sebagai seorang yang mempunyai panggraita yang tajam, maka Gandarpun menghubungkan perasaan Risang itu dengan kemungkinan yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan yang di saat-saat terakhir terasa menjadi gawat. Meskipun dengan demikian sebenarnya Gandar sendiri menjadi gelisah, tetapi ia tidak menunjukkan kegelisahannya itu kepada Risang. Ia justru berusaha untuk memberikan perhatian lain kepada Risang, sehingga ia dapat melupakan kegelisahannya itu.
"Jika terjadi sesuatu, tentu ada orang yang datang kemari untuk memberitahukannya," berkata Gandar.
Tetapi kegelisahannya memuncak ketika ia teringat, bahwa semalam bulan bulat sepenuhnya. Gandarpun pernah mendengar bahwa Warsi mempunyai kepercayaan yang berhubungan dengan bulatnya bulan di langit.
Rasa-rasanya Gandar ingin meloncat ke Sembojan antuk mengetahui apa yang terjadi. Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat meninggalkan Risang sendiri di padepokan itu.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Gandar adalah sekedar menunggu. Alangkah menjemukan. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain.
Sehari itu perhatian Gandar kepada Risang rasa-rasanya menjadi semakin tinggi. Bahkan Risang sendiri kemudian merasakan kelainan sikap Gandar sehingga ia harus bertanya, "Ada apa sebenarnya dengan aku?"
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menjawab, "Seharusnya akulah yang bertanya demikian. Kenapa dengan kau. Tetapi baiklah. Kita harus melupakannya saja."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
*** Sementara itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Nyai Soka masih saja menunggui Iswari yang terbaring diam. Di lantai, di ujung kaki Iswari, Bibi duduk sambil memijit-mijit kaki itu. Beberapa kali Bibi harus mengusap matanya yang basah. Namun justru Iswari sudah dapat tersenyum sambil berkata, "Kita harus berterima kasih Bibi. Yang Maha Agung masih melindungi aku."
"Ya," suara Bibi masih terasa sendat. "Tetapi kau memang orang luar biasa. Meskipun aku tidak melihat sendiri, tetapi menurut Nyai Soka, jika bukan kau maka lambungmu tentu telah benar-benar pecah dan isi perutmu akan berhamburan keluar. Demikian pula punggung dan pundakmu."
Iswari masih saja tersenyum. Katanya, "Itulah ujud perlindungan itu."
"Tetapi tentu ada lantarannya. Kau dalam ilmu Janget Kinatelon, sehingga udara di sekitar tubuhmu seakan-akan mampu menolak serangan yang betapapun kuatnya. Namun karena Warsi juga orang yang luar biasa, maka senjatanya ternyata mampu menembus batas itu, dan melukaimu," berkata Bibi.
"Guru tidak mengatakan begitu kepadaku," jawab Iswari.
"Bertanyalah kepada Nyai Soka. Ia ada disini sekarang," jawab Bibi.
Nyai Sokalah yang kemudian tersenyum. Katanya, "Aku semula memang menjadi cemas. Aku tidak tahu bagian yang manakah yang akan kau pergunakan untuk menundukkan lawanmu. Aku kira kau akan mempergunakan panas yang mampu kau serap dengan ilmumu dan kau pancarkan kembali agar lawanmu tidak mampu mendekatimu. Tetapi agaknya kau lebih senang menyalurkannya lewat senjatamu."
"Dengan ujud itu, aku ingin mempengaruhi jiwanya guru," jawab Iswari, "aku juga telah menyalurkan panas itu lewat senjatanya sendiri untuk menyengat tangannya. Tetapi Warsi memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Sehingga akhirnya aku telah mempergunakan bagian yang agaknya memang tidak diduganya," berkata Iswari.
"Dan kau berhasil," desis Nyai Soka.
"Ya," Bibipun menyambung, "keberhasilanmu itulah yang mengagumkan. Kemampuanmu mengesampingkan bobot tubuhmu merupakan satu kemampuan yang jarang ada duanya. Agaknya Warsi terlalu memusatkan perhatiannya kepada panas yang merambat lewat senjatanya, cahaya di daun pedangmu serta barangkali udara panas di sekitar tubuhmu serta kemampuanmu melindungi dirimu dengan kekuatan ilmumu. Namun setelah kau berhasil menarik perhatiannya itu, bahkan sepenuhnya, maka kau telah menyerangnya dengan cara yang tidak diperhitungkan sama sekali."
"Tetapi sebagian adalah keberhasilanmu Bibi," berkata Nyai Soka.
"Kenapa aku?" bertanya Bibi.
"Kau telah memijit dan membuka simpul-simpul nadi Iswari yang masih tertutup, sehingga dengan demikian, maka segala-galanya menjadi semakin rancak di dalam dirinya. Ia menguasai tubuhnya sepenuhnya sebagaimana dikehendakinya," berkata Nyai Soka.
"Aku memang ingin mengucapkan terima kasih kepadamu Bibi," desis Iswari.
"Ah, aku bukan apa-apa," sahut Bibi, Suaranya terasa menyumbat di kerongkongan. Namun matanyalah yang terasa basah.
"Sejak kapan seekor serigala menjadi cengeng" He, bukankah semalam bulan bulat" Malam yang paling menarik bagi kehidupan seekor serigala," berkata Iswari pula.
"Ah, kau." Bibi itu menjadi semakin tersentuh hatinya.
Nyai Sokalah yang kemudian bergeser mendekatinya dan menyentuh pundaknya, "Kembangkan kemampuanmu. Kau memiliki bekal yang sangat besar. Kau mampu mengenal jalur-jalur syaraf yang nadi serta simpul-simpulnya. Sengaja atau tidak sengaja. Kewajibanmu selanjutnya adalah memperhatikan kemampuan itu dan memahaminya dengan sadar."
Bibi itu mengangguk kecil sambil menjawab, "Aku akan mencoba Nyai."
Nyai Soka tertawa pendek. Katanya, "Kau tentu akan berhasil. Dengan demikian maka kau akan menjadi bagian yang menentukan dalam latihan-latihan yang akan dilakukan Iswari kemudian, agar yang terbuka itu tidak kehilangan lagi arti dan kegunaannya karena menutup kembali."
Bibi mengangguk-angguk. Sementara Iswari berdesis, "Pada suatu saat, aku akan sangat memerlukan kau, Bibi."
"Aku tidak dapat berbuat lebih baik lagi," berkata Bibi.
"Itulah sebabnya, guru minta agar kau mengembangkan kemampuanmu dengan sadar. Namun selain aku, anakku tentu sangat memerlukan kau," berkata Iswari perlahan.
Bibi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terdengar ia berdesis, "Risang maksudmu?"
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Lukanya memang masih terasa sakit sekali. Namun ia berdesis, "Ya."
Bibi mengangguk-angguk pula. Dengan mantap ia berkata, "Aku akan melakukan apa saja bagi Risang."
"Tentu," sahut Nyai Soka, "tetapi kau tidak dapat memacu kemajuan anak itu melampaui kemampuan jasmani dan rohaninya. Jika kita memaksa, maka justru akan merugikan anak itu sendiri."


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibi mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja katanya, "Aku ingin segera mendapat kesempatan untuk menemuinya. Bagaimanapun juga jika kita memberikan dorongan kepadanya, ia akan berbuat lebih banyak."
"Tunggu Bibi," berkata Iswari, "biarlah keadaanku menjadi lebih baik. Aku kira Risang tidak perlu mengetahui apa yang terjadi seluruhnya, meskipun sebagian dari peristiwa ini perlu diketahuinya. Namun kita memerlukan kesempatan yang paling baik untuk melakukannya."
Bibi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan melakukan yang terbaik bagi kepentingan anak itu."
"Terima kasih Bibi. Hari depan Tanah Perdikan ini tergantung kepada anak itu." desis Iswari, "karena itu, maka anak itu harus meniti jalan yang benar dari segala sisi kehidupannya."
Bibi mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya dengan nada rendah, "Tetapi mendengar laporan Sambi Wulung dan Jati Wulung, Risang memerlukan langkah yang lebih panjang."
"Ya," Iswari menyahut, "tetapi bukankah kita masih berpengharapan?"
"Tentu. Tentu," sahut Bibi tergesa-gesa, "jika aku mengatakannya, semata-mata terdorong oleh keinginanku untuk segera dapat menemuinya. Aku sudah menjadi sangat rindu kepada anak itu."
"Sudah aku duga," Nyai Soka tersenyum. Lalu katanya, "Saat itu akan segera datang. Tetapi sementara ini, kita harus membenahi diri."
Bibi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tahu, bahwa semua orang di Tanah Perdikan ini menjadi terlalu sibuk.
Namun para pemimpin Tanah Perdikan itu telah mengucap syukur di dalam hati mereka, bahwa Yang Maha Agung telah memberikan petunjuk bagi mereka, sehingga Tanah Perdikan mereka tidak menjadi rusak. Memang beberapa kotak sawah menjadi bagaikan dibajak dengan tanaman yang ada di dalamnya karena pertempuran itu. Tetapi itu jauh lebih baik daripada satu dua padukuhan, apalagi padukuhan induk jika dibakar dan menjadi karang abang. Tentu bukan hanya rumah yang rusak dan menjadi hangus, tetapi orang-orang tidak bersalah akan dapat menjadi korban.
Tetapi meskipun pertempuran itu terjadi di bulak yang luas di depan lereng pebukitan, namun orang-orang Tanah Perdikan telah menjadi sibuk dengan korban yang jatuh. Para pengawal Tanah Perdikan harus menyelenggarakan penghormatan terakhir bagi kawan-kawan mereka yang gugur. Namun merekapun harus mengubur pula tubuh-tubuh lawan yang terbunuh. Sedangkan yang paling melelahkan adalah merawat para pengawal dan anak-anak muda yang terluka. Bahkan juga para pengikut Ki Rangga dan Warsi yang terluka dan begitu saja ditinggal oleh kawan-kawan mereka.
Beberapa hari berikutnya, masih merupakan hari-hari berkabung bagi Tanah Perdikan Sembojan. Iswari yang terluka cukup parah memang mulai dapat berjalan-jalan sampai ke pendapa. Sekali-sekali Iswari telah dapat menemui para bebahu dan para pemimpin Tanah Perdikan yang lain.
Hampir dalam setiap kesempatan Iswari telah menyatakan penyesalannya, bahwa benturan kekerasan itu harus terjadi.
"Mungkin akulah yang bersalah. Justru karena aku memimpin Tanah Perdikan ini," berkata Iswari.
"Tidak," sahut seorang bebahu yang rambutnya telah menjadi berbaur putih, "jika bukan Nyi Wiradana, apakah kita akan menyerahkan pimpinan Tanah Perdikan ini kepada penari jalanan itu" Jika perempuan itu menyerang Tanah Perdikan ini, sudah tentu bukan salah Nyi Wiradana. Kecuali jika Nyi Wiradana dengan sengaja memancing persoalan dengan perempuan itu sehingga bersama pengikutnya ia menyerang Tanah ini. Tidak untuk merebutnya, tetapi untuk mempertahankan hak dan harga dirinya."
Iswari mengangguk-angguk. Namun iapun masih berpesan, "Tetapi bukan berarti bahwa kita sudah bebas sama sekali dari kemungkinan buruk. Dalam pertempuran itu Warsi terluka, seperti juga aku terluka. Jika aku dirawat oleh guru-guruku, maka Warsipun telah dirawat oleh orang-orang yang memiliki keahlian di bidang pengobatan. Karena itu, maka menurut perhitunganku, keadaannyapun tentu sudah berangsur baik."
"Tetapi ia tidak akan tergesa-gesa mengambil langkah-langkah kekerasan berikutnya," berkata orang itu, "pada pertempuran itu pasukannya benar-benar telah dihancurkan. Korban yang jatuh lebih dari dua kali lipat dibanding dengan korban yang harus diserahkan oleh Tanah Perdikan ini."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun berpesan, "Pembalasan secara luas tentu tidak. Tetapi kelompok-kelompok kecil akan mungkin dapat membuat keributan di Tanah Perdikan ini."
Para bebahu dan para pemimpin Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari kemungkinan itu.
Namun dalam pada itu, kelompok-kelompok dari pasukan Ki Rangga yang terpecah itu memang sedang menyusun diri. Mereka memang tidak pergi terlalu jauh. Mereka tetap berada di balik bukit. Meskipun mereka menyadari bahwa kekuatan mereka jauh susut, namun mereka mempunyai perhitungan, bahwa orang-orang Tanah Perdikan tidak akan memburu mereka sampai ke goa-goa di balik bukit itu. Sementara itu, merekapun tidak berniat untuk menyerang kembali Tanah Perdikan dalam keadaan seperti itu.
Tetapi mereka mempergunakan kesempatan itu untuk berbicara tentang langkah-langkah yang patut mereka ambil.
Namun ternyata sebagian dari mereka telah menyalahkan Ki Rangga Gupita yang kurang bertanggung jawab.
"Korban kita terlalu banyak," berkata Ki Sumbaga.
"Ki Rangga terlalu menuruti perasaannya. Ia lebih memberatkan menunggui Warsi berperang tanding daripada seluruh pasukan yang sudah mulai terdesak. Ki Rangga tidak mengambil kebijaksanaan yang mantap dan apalagi menguntungkan. Tetapi ia menjadi tidak peduli," berkata Ki Ajar Tulak.
"Kita minta pertanggungjawabannya," berkata seorang pemimpin kelompok, bekas seorang perwira prajurit Jipang.
Ki Sumbaga ternyata masih berpikir cukup jernih. Katanya, "Untuk sementara tidak perlu. Kita sudah mendengar kabar, bahwa Warsi terluka parah. Ternyata perempuan itu kalah dalam perang tanding, meskipun lawannya juga terluka cukup parah pula. Bahkan Ki Ranggapun telah mengorbankan pula orang-orangnya sendiri. Para bekas pengikut gerombolan Kalamerta itu mengalami kehancuran yang paling parah. Pemimpinnya terbunuh dan orang-orangnya berlari cerai berai."
"Sebagian besar di antara mereka yang tersisa ada di sini," berkata Ki Ajar.
"Biarlah. Kita harus memberikan tempat kepada mereka. Mereka tentu merasa kehilangan ikatan, sehingga mereka memerlukan perlindungan," berkata Ki Sumbaga.
Tetapi Ki Ajar berkata, "Bagaimanapun juga, tetapi kita harus berusaha bertemu dengan Ki Rangga. Kita harus berbicara dengan orang itu. Sebenarnya ia tidak boleh begitu saja meninggalkan pasukan ini. Bukankah perempuan itu sudah ada yang merawat?"
"Aku setuju menemuinya," berkata Ki Sumbaga, "kita akan berbicara. Tetapi untuk sementara kita tidak perlu membuka persoalan."
"Kau sangat terpengaruh olehnya," berkata Ki Ajar, "meskipun kalian dahulu bersama-sama mengabdi kepada Jipang, tetapi bukankah kau sekarang tidak berada di bawah perintahnya" Ki Rangga tidak dapat berbuat sesuka hatinya tanpa bertanggung jawab sama sekali."
"Sekali lagi aku minta, kita akan berbicara dalam batas-batas kewajaran. Aku tidak berniat untuk menuntut atau apapun juga. Ingat, Warsi adalah orang yang dapat kita pergunakan sebagai saluran untuk mengambil kekuasaan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan, karena sebenarnya anak laki-lakinyalah yang berhak jika anak laki-laki Nyi Wiradana yang tua itu mati," berkata Ki Sumbaga.
"Apakah kau masih harus menunggu sampai jalur itu terbuka" Belum tentu sepanjang umurmu, kau sempat mendapatkan kesempatan itu," berkata Ki Ajar. Lalu, "Kenapa kita tidak berbuat dengan cara yang lain. Kita rebut saja Tanah Perdikan itu dengan kekerasan. Selagi Pajang sedang diliputi oleh awan yang gelap. Sudah barang tentu dengan kemungkinan untuk membentur kekuatan Ki Rangga dan Warsi. Jika kita berani menentang anak Nyi Wiradana yang tua, maka kita akan berani menghadapi kekuatan anak Nyi Wiradana yang muda, betapapun tinggi ilmu yang dimiliki oleh Warsi itu."
"Tetapi dengan landasan hak, kita akan dapat menjinakkan orang-orang Tanah Perdikan. Perlahan-lahan kita akan dapat menyingkirkan orang-orang yang tidak kita kehendaki. Tetapi selama Ki Rangga itu masih dapat kita pergunakan untuk menghadapi Pajang, maka kita akan mempergunakan." jawab Ki Sumbaga, "demikian juga ilmu Warsi yang tinggi."
Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi kita harus menyadari Ki Sumbaga, bahwa di dalam hati kita masing-masing terdapat niat untuk saling memanfaatkan, saling memperalat dan kemudian saling menyingkirkan di saat terakhir. Kita hanya dapat bekerja bersama selama kita masih saling membutuhkan."
Ki Sumbaga tersenyum. Katanya, "Satu langkah yang wajar dari orang-orang yang terbuang seperti kita. Mimpi dan berangan-angan. Tetapi kita harus menyadari, bahwa kekuatan yang telah kita kerahkan sekarang ini tidak mampu mengatasi kekuatan Tanah Perdikan. Baik pasukan dalam keseluruhan, maupun orang-orang terpenting di antara kita. Nah, apa katamu Ki Ajar" Kau tidak dapat mengalahkan pemimpin sayap yang kau hadapi, yang mampu membuat pedangnya bercahaya melampaui kuningnya cahaya bulan. Itu tentu bukan satu-satunya ilmu yang dimilikinya. Ki Rangga sendiri tidak dapat berbuat apa-apa, sementara Kala Sembung terbunuh. Warsi ternyata tidak dapat mengalahkan Nyi Wiradana yang tua itu, sehingga hampir saja ia harus menyerahkan nyawanya."
"Kau benar Ki Sumbaga," berkata Ki Ajar, "tetapi apa yang kau lakukan selama pertempuran itu?"
"Aku mengendalikan gelar yang harus disusun dengan tiba-tiba. Tanpa kendali, maka hancurlah kita semuanya menghadapi gelar yang utuh dari orang-orang Tanah Perdikan. Barangkali induk pasukan kita telah tumpas tanpa seorangpun yang dapat hidup dalam himpitan gelar Wulan Tumanggal," berkata Ki Sumbaga.
Ki Ajar tidak menjawab. Ia memang menyadari bahwa menghadapi gelar yang utuh, pasukan yang datang dari balik bukit itu menjadi sulit.
Karena itu, maka para pemimpin yang tersisa itu memang sepakat untuk menemui Ki Rangga tetapi yang masih harus dicari dimana orang itu tinggal. Di padepokannya, atau di padepokan Ki Randukeling atau bahkan di tempat yang lain untuk menghindari pertanggungan jawab yang mungkin dituntut oleh kawan-kawannya.
*** Dalam pada itu, di padepokannya, Puguh masih menunggu gurunya. Rasa-rasanya gurunya itu sudah terlalu lama pergi, sehingga padepokannya itu semakin lama terasa semakin sepi. Puguh sendiri sudah sering meninggalkan padepokannya mengembara ke tempat-tempat yang kadang-kadang bukan tempat yang baik bagi anak-anak muda. Di tempat-tempat perjudian. Di tempat-tempat sabung ayam dan di tempat-tempat lain yang kadang-kadang kotor dan keras. Ia tidak pernah merasa begitu sepi tanpa gurunya di perjalanan dan pengembaraan seperti itu. Kadang-kadang hanya dikawani oleh satu dua orang pengawalnya.
Tetapi untuk tinggal di padepokan tanpa gurunya, rasa-rasanya ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
Seperti kanak-kanak, melihat ibunya pulang dari pasar, Puguh menjadi sangat gembira, ketika tiba-tiba saja seorang pengawal di padepokan kedua telah datang ke padepokan pertama untuk memberitahukan, bahwa gurunya telah datang.
Berlari-lari Puguh pergi ke padepokan kedua. Ketika ia masuk ke ruang dalam bangunan induknya, ternyata gurunya sudah duduk di amben besar di ruang dalam itu.
"Guru," sapa Puguh dengan nada tinggi, "dari mana guru selama ini?"
Gurunya tersenyum. Katanya kemudian, "Marilah, duduklah. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."
"Tentang apa guru?" bertanya Puguh.
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Ternyata seperti Iswari, Ki Randukeling telah berpesan kepada Ki Ajar, bahwa Puguh memang perlu tahu, tetapi tidak seluruhnya.
"Sudah lama kau tidak bertemu dan ayah dan ibumu, Puguh," berkata Ki Ajar.
Puguh mengangguk kecil. Katanya, "Ayah dan ibu nampaknya telah melupakan aku. Sudah lama keduanya tidak pernah datang ke padepokan ini. Yang bergaung disini hanyalah sekedar aturan-aturannya yang keras dan mencengkam."
Ki Ajar mengangguk kecil. Katanya, "Ayah dan ibumu memang terlalu sibuk. Keduanya jarang mendapat kesempatan untuk meluangkan waktu barang sejenak."
"Aku mengerti. Ayah dan ibu sibuk berusaha memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga, sehingga keduanya kehilangan kesempatan untuk memandang hidup ini secara wajar," berkata Puguh sambil menunduk.
"He, dari mana kau dapatkan pengertian seperti itu?" bertanya gurunya.
Puguh tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya hidupnya memang telah terpisah dari ibu bapanya.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 17 NAMUN Ki Ajar Paguhan masih saja mendesak, "Puguh. Siapakah yang mengatakan kepadamu bahwa ayahmu dan ibumu sibuk berusaha memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga?"
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia harus menjawab pertanyaan gurunya. Karena itu, maka katanya kemudian, "Guru, Guru memang tidak pernah mengatakannya. Tetapi aku sendiri tidak mengerti, kenapa aku kemudian telah mengambil satu kesimpulan."
Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, "Puguh. Aku tidak bermaksud mengatakan demikian. Jika ternyata kau mengambil kesimpulan seperti itu, maka aku harap bahwa kau tidak menjadi terlalu yakin."
"Apakah maksud Guru aku salah menafsirkan keterangan-keterangan Guru selama ini?" bertanya Puguh.
"Sebagian memang salah," jawab Ki Ajar.
"Tetapi sebagian benar bukan?" bertanya Puguh.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menolak seluruhnya, karena nampaknya Puguh sendiri merasa sangat kecewa terhadap ayah dan ibunya yang memang terlalu bersikap keras terhadapnya, namun tanpa memberikan arah sama sekali bagi masa depannya. Bahkan Ki Rangga telah mendorong anak itu untuk memasuki lingkungan-lingkungan yang tidak terpuji.
Namun dengan terhapusnya Song Lawa, maka Ki Ajar Paguhan merasa bersyukur. Lingkungan yang kelam yang sering dijelajahi Puguh menjadi berkurang.
Dengan nada rendah, Ki Ajar itupun kemudian berkata, "Puguh. Seperti sudah aku katakan, ada sesuatu yang penting untuk kau ketahui."
Puguh termangu-mangu. Namun sikap gurunya yang bersunguh-sungguh itu memang sangat menarik perhatiannya. Karena itu maka iapun telah duduk bersila di hadapan gurunya sambil menundukkan wajahnya. Sebagaimana sikap gurunya, maka Puguhpun menjadi bersungguh-sungguh.
"Puguh," berkata Ki Ajar Paguhan, "ada kalanya kita harus menjumpai satu kenyataan yang tidak kita kehendaki."
Puguh mengangkat wajahnya. Kerut di dahinya menunjukkan gejolak di dalam dadanya. Bahkan hampir di luar sadarnya ia berdesis, "Apakah Guru membawa berita tentang ayah dan ibu?"
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil ia menjawab, "Ya. Aku memang membawa berita tentang orang tuamu."
"Kenapa dengan ayah dan ibu, atau salah seorang dari mereka?" bertanya Puguh.
"Ibumu Puguh. Ternyata ibumu mengalami luka-luka berat dalam satu benturan kekerasan." jawab Ki Ajar.
Tetapi tanggapan Puguh memang agak mengejutkan gurunya. Puguh seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali. Bahkan ia bertanya, "Apakah ibu sedang memaksakan kehendaknya kepada orang lain, namun ternyata orang lain itu memiliki kemampuan dan ilmu yang lebih tinggi" Mungkin satu pengalaman yang berharga bagi ibu."
"Dengarlah," berkata Ki Ajar, "telah terjadi pertempuran dalam arti yang sebenarnya antara ayah dan ibumu beserta beberapa kelompok orang yang berpendirian sama dengan kedua orang tuamu dengan orang-orang se Tanah Perdikan."
"Tanah Perdikan mana Guru" Dan apa sebabnya pertempuran itu terjadi?" bertanya Puguh.
Ki Ajar Paguhan termangu-mangu sejenak. Ternyata bukan saja tubuh Puguh yang terpisah semakin jauh dengan orang tuanya. Tetapi perasaannyapun rasa-rasanya menjadi semakin renggang.
"Puguh," berkata gurunya, "di saat purnama penuh pada bulan ini, benturan itu terjadi. Ibumu memang seorang perempuan yang luar biasa. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang jarang ada duanya. Ibumu mampu melontarkan ilmu sejenis dengan Ilmu Gelap Ngampar."
Puguh mengangguk-angguk. Tetapi tanggapannya nampaknya tidak bersungguh-sungguh.
Meskipun demikian tiba-tiba saja Puguh bertanya, "Jika ibu yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu terluka parah, bagaimana dengan ayah" Apakah ayah juga terluka parah?"
"Ayahmu tidak terluka parah Puguh. Hanya ibumu yang terlibat dalam perang tanding dengan Pemangku Kepala Tanah Perdikan itu. Yang kebetulan juga seorang perempuan," berkata gurunya.
"Juga seorang perempuan," baru Puguh terkejut, "jadi malam purnama itu terjadi perang tanding antara dua orang perempuan dan ibuku terluka parah?"
"Keduanya terluka parah. Perempuan yang menjadi Pemangku Kepala Tanah Perdikan itu juga seorang perempuan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi." jawab gurunya.
Puguh termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat kegelisahannya ketika malam purnama itu sehingga ia merasa seakan-akan malam telah menghimpitnya. Dengan gelisah malam itu ia berkeliaran di halaman. Berjalan kesana kemari dan akhirnya tidur di serambi.
Tetapi Puguhpun kemudian bertanya, "Kenapa terjadi pertempuran dengan Tanah Perdikan itu?"
"Persoalan itu sudah lama terjadi." jawab gurunya, "sebenarnyalah ibumu dan perempuan yang kini memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu telah memperebutkan hak atas Tanah Perdikan itu. Permusuhan yang berlangsung bertahun-tahun itu telah memaksa ibumu untuk berperang tanding dua kali dengan perempuan itu."
"Dua kali pula ibu dikalahkan," jawab Puguh tanpa mengangkat wajahnya.
"Kedua perempuan itu bersama-sama terluka parah. Tetapi menurut penilaian yang adil dalam perang tanding, ibumu memang kalah." jawab gurunya.
"Tetapi apakah ibu memang mempunyai hak atas Tanah Perdikan itu, atau ibu telah mengada-ada sehingga seakan-akan ibu memiliki hak atas Tanah Perdikan sehingga pantas untuk memperebutkannya?" bertanya Puguh.
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Kau belum dewasa penuh Puguh. Pada saatnya kau akan tahu, dalam hubungan apakah hak itu ada pada ibumu."
"Jadi ibu memang berhak atas Tanah Perdikan itu?" desak Puguh.
Ki Ajar Paguhan tidak menjawab. Tetapi dari ungkapan pada wajah gurunya Puguh itu menarik kesimpulan, "Ibu dan ayah tentu sedang berusaha merampas Tanah Perdikan itu. Ibu mengira bahwa tidak ada perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia menantang berperang tanding justru pada saat purnama penuh. Saat yang ibu anggap sebagai puncak kejayaan ilmunya itu. Namun perempuan itu ternyata memiliki ilmu yang lebih tinggi."
"Jangan kau anggap bahwa kesimpulanmu itu benar seluruhnya. Jika kemudian menjadi satu keyakinan bagimu, maka sulit bagimu untuk merubah pandangan itu," berkata gurunya.
"Apakah menurut Guru, kesimpulanku itu salah?" bertanya Puguh.
"Aku tidak mengatakan seluruhnya salah tetapi juga tidak seluruhnya benar," berkata gurunya. Namun kemudian katanya, "Tetapi yang penting kau ketahui sekarang adalah bahwa ibumu terluka parah. Namun agaknya jiwanya masih akan dapat tertolong karena kakekmu, Ki Randukeling adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang pengobatan dan jenis obat-obatan."
Tidak ada perubahan di wajah Puguh. Tidak nampak tersirat kegembiraan sebagaimana tidak tersirat kecemasan hatinya di saat ia mendapat berita tentang ibunya yang terluka parah. Seakan-akan jantung Puguh telah membeku sama sekali meskipun panggraitanya cukup tajam.
Namun Ki Ajar Paguhan itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Puguh kemudian berceritera tentang kegelisahannya di malam purnama penuh sehingga ia tidur di serambi dan baginya waktu itu, menganggap awan sebagai bayangan yang menakutkan.
Dengan demikian Ki Ajar Paguhan dapat mengetahui betapapun jauhnya jarak antara orang tua dan anaknya, tetapi agaknya masih ada hubungannya yang paling halus di antara mereka sadar atau tidak sadar.
Tetapi Ki Ajar kemudian mendapat kesulitan ketika Puguh bertanya, "Dimana ibu sekarang Guru. Sebagai seorang anak, agaknya aku wajib menengok ibu yang terluka parah, meskipun aku harus mengalami tekanan batin. Ayah tentu akan memaki-maki tanpa sebab apalagi jika ibu sedang dalam keadaan seperti itu. Aku tidak pernah merasa iri hati terhadap adikku yang lahir kemudian dan mendapat perhatian sepenuhnya dari ayah dan ibu. Tetapi sebenarnya akupun tidak ingin selalu disakiti hatiku dengan tindakan dan ucapan yang kasar."
"Sekarang ibumu sedang mengalami pengobatan yang berat Puguh, sehingga Ki Randukeling berpesan, agar kau tidak usah datang menengoknya setidak-tidaknya untuk setengah bulan atau bahkan lebih," berkata gurunya.
"Demikian berat luka ibu?" bertanya Puguh.
"Ya. Lawannya memiliki ilmu yang luar biasa, ia berhasil menusuk pangkal leher ibumu menghunjam menyusuri masuk ke dalam rongga dadanya. Untunglah ujung pedangnya tidak mengenai bagian tubuhnya yang menentukan. Namun ujung pedang itu tidak saja tajam sekali, tetapi lukanya seperti luka bakar," berkata gurunya.
"Luka bakar" Apakah pedang itu panas?" bertanya Puguh.
"Itulah kelebihan ilmunya yang luar biasa itu. Pedang itu bagaikan membara. Dengan demikian, ada bagian tubuh ibumu yang mati karena luka bakar itu. Dengan demikian maka Ki Randukeling harus bekerja keras. Ia harus berbuat banyak sekali untuk menyelamatkan nyawa ibumu. Namun nampaknya Ki Randukeling itu akan berhasil," berkata gurunya.
"Baiklah," berkata Puguh tanpa memberikan kesan apapun, "jika demikian aku akan menengok ibu setelah Guru memberikan isyarat, bahwa ibu telah dapat ditengok."
Ki Ajar Paguhan mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah Puguh. Pada saatnya aku akan memberitahukan kepadamu, agar kau menengok ibumu."
"Aku juga tidak tahu Guru, kemana aku harus pergi untuk melihat ibu karena aku tidak pernah tahu, pada satu saat ibuku dan ayahku itu berada dimana," berkata Puguh.
Ki Ajar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Hanya itulah yang dapat aku beritahukan kepadamu saat ini. Mungkin pada kesempatan lain, kita justru dapat pergi bersama-sama."
Puguh itupun mengangguk-angguk.
"Hari ini kita masih belum akan memasuki sanggar," berkata gurunya kemudian, "mungkin besok atau lusa. Bukanlah selama ini kau tetap berlatih?"
Puguh mengangguk-angguk. Katanya, "Segalanya terserah kepada Guru."
"Baiklah. Untuk satu dua hari ini, kau masih akan tetap berlatih sendiri," berkata Ki Ajar.
Namun tiba-tiba saja Puguh itupun bertanya, "Guru. Apakah aku boleh menanyakan sesuatu?"
"Tentang orang tuamu?" desis Ki Ajar.
"Bukan Guru, meskipun serba sedikit juga akan menyangkut orang tuaku," sahut Puguh.
"Bertanyalah. Jika aku menganggap pertanyaanmu patut dijawab, serta aku mengerti jawabnya, maka pertanyaanmu akan aku jawab. Tetapi jika aku tidak mengerti jawabnya, sudah barang tentu aku tidak akan menjawabnya," berkata gurunya.
"Guru. Apakah Guru sependapat, bahwa padepokan kita ini masih saja harus dikelilingi oleh tanda-tanda maut seperti sekarang ini" Bahkan orang-orang kita tanpa segan-segan telah membunuh orang yang memasuki batas yang kita buat?" bertanya Puguh. Lalu iapun meneruskan, "bukankah pada suatu saat, sadar atau tidak sadar Guru pernah mengatakan, bahwa hal seperti itu tidak boleh berlangsung terus?"
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku adalah gurumu disini Puguh. Tetapi aku bukan pemimpin padepokan ini. Ayah dan ibumulah yang mengatur segala-galanya. Jika ayah dan ibumu memisahkan padepokan ini dari pergaulan hidup yang wajar, maka tentu bukannya tanpa maksud."
"Apakah ayah dan ibu akan berani menolak jika Guru pada suatu saat mengambil sikap?" bertanya Puguh.
"Soalnya bukan berani atau tidak berani," jawab Ki Ajar Paguhan. "Tetapi jika hal itu aku lakukan, akan dapat menimbulkan persoalan di antara orang-orang tua. Aku kira timbulnya persoalan itu pada saat ini harus dihindari." jawab Ki Ajar Paguhan, "sementara itu kehadiranku disini adalah atas permintaan Ki Randukeling, sehingga akan ada tiga pihak yang berhubungan jika kita mengadakan perubahan sesuatu di padepokan ini."
Puguh mengangguk-angguk kecil. Tiba-tiba saja anak muda itu teringat kepada dua orang yang dijumpainya di Song Lawa. Seandainya keduanya bukan orang berilmu tinggi, maka keduanya tentu sudah mati ketika mereka melintasi batas yang dipasang oleh orang-orang padepokan itu. Batas yang mereka tentukan sendiri.
Namun Puguh itu masih juga berkata, "Guru. Jika hal ini diketahui oleh Pajang, maka Pajang akan dapat mengambil tindakan khusus sebagaimana dilakukan atas Song Lawa. Meskipun padepokan ini tidak mengundang orang untuk melakukan kemaksiatan, tetapi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang kita terhadap mereka yang tidak bersalah itu tentu merupakan satu kejahatan. Meskipun orang-orang yang dibunuh itu tidak akan dapat memberikan laporan bahkan telah hilang untuk selamanya, namun apakah Guru tidak memikirkan kemungkinan bahwa pada suatu ketika seseorang dapat lolos dan melaporkannya ke Pajang atau seperti yang pernah terjadi, bahwa orang-orang kitalah yang telah terbunuh, karena kebetulan orang yang tidak sengaja memasuki lingkungan ini adalah orang yang berilmu sangat tinggi."
Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya kedua orang tuamu harus membuat pertimbangan-pertimbangan seperti itu. Tetapi disini diletakkan beberapa orang dengan perintah seperti itu."
"Mereka tidak akan dapat menentang Guru. Selagi ayah dan ibu sekarang tidak dapat berbuat banyak karena keadaannya, maka Guru dapat mengambil langkah-langkah tertentu," berkata Puguh.
"Bagaimana jika ayah dan ibumu nanti sembuh dari luka-lukanya dan terlepas dari kesulitan keadaan sekarang ini" Sudah aku katakan Puguh, aku tidak ingin berselisih dengan kedua orang tuamu justru karena kau adalah muridku. Kau bagiku adalah bukan saja seorang murid, tetapi kau sudah seperti anakku sendiri. Aku sudah mengatakannya kepada ayah dan ibumu, bahwa aku minta agar aku diijinkan untuk ikut serta menjadi orang tuamu," berkata Ki Ajar Paguhan, "karena itu, maka aku tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyakiti hati kedua orang tuamu itu."
Puguh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Bagaimanakah jika bukan guru yang merubah tatanan di padepokan ini, tetapi kita sajalah yang meninggalkan padepokan ini."
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kecuali kedua orang tuamu, aku telah berhubungan pula dengan kakekmu. Ki Randukeling. Ki Randukelinglah yang telah membawa aku memasuki lingkungan keluargamu yang sebenarnya memang agak kurang sesuai dengan seleraku. Tetapi aku sudah berusaha menyesuaikan diriku. Namun demikian, aku tetap tidak mampu membentukmu menjadi manusia sebagaimana dikehendaki oleh kedua orang tuamu."
"Aku mengerti guru. Seharusnya aku menjadi seorang laki-laki yang kasar, garang, tidak berperikemanusiaan dan yang mempunyai kegemaran memaksakan kehendakku kepada orang lain sebagaimana kedua orang tuaku."
"Sudahlah Puguh," berkata Ki Ajar Paguhan, "tenanglah. Kita akan memikirkan kemungkinan yang paling baik yang dapat kita lakukan selanjutnya. Tetapi bagaimanapun juga, kau tidak akan dapat memisahkan diri dari kedua orang tuamu, dari kakekmu dan dari lingkungan yang memang dibuat untukmu. Setidak-tidaknya untuk sementara."
Tetapi ternyata Puguh masih menjawab, "Guru. Aku memang tidak dapat memotong garis hubungan antara aku dan orang tuaku, menurut aliran darah di dalam tubuhku. Tetapi apakah aku harus berada dalam satu lingkungan yang sudah disediakan bagiku" Kenapa aku tidak dapat memilih lingkunganku sendiri" Guru, kita dapat membuat satu lingkungan sesuai dengan keinginan kita. Bukan kita yang harus terbenam dalam satu lingkungan yang tidak kita kehendaki."
Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Kau benar Puguh. Tetapi kau harus memperhitungkan langkahmu sebaik-baiknya. Agaknya belum waktunya kau menentukan sikap meskipun bagi dirimu sendiri. Kau belum dewasa penuh meskipun penalaranmu tentang kehidupan ini cukup banyak. Tetapi kehidupan dari satu dua sisi. Belum kehidupan yang utuh."
"Bukankah itu disebabkan karena aku harus berada dalam satu lingkungan yang telah disediakan?" berkata Puguh.
"Ya," jawab gurunya.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah Guru. Aku akan menunggu. Meskipun jika datang saatnya akulah yang akan menentukan waktu itu. Bukan sekedar menunggu."
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Puguhpun mohon diri. Katanya, "Aku akan berada di padepokan pertama. Suasananya lebih wajar dari padepokan ini."
Ki Ajar tertawa. Dengan nada rendah ia menjawab. "Pergilah. Aku akan beristirahat."
Puguhpun kemudian meninggalkan gurunya di tempat yang memang dibuat terasing oleh kedua orang tuanya. Namun bagi Puguh, gurunya adalah orang yang paling dekat dengan dirinya. Ia dapat berbicara sebagaimana bergetar di dalam dadanya. Ia dapat membuka perasaannya kepada gurunya. Tetapi justru tidak kepada kedua orang tuanya.
Ketika Puguh keluar dari ruangan itu, maka gurunyalah yang kemudian merenung. Menurut pengamatannya, Puguh adalah seorang anak muda yang bagaikan sebatang pohon yang tumbuh dalam pusaran angin yang kencang, sehingga urat-uratnya melingkar-lingkar dan berputaran pula sebagaimana batangnya yang tidak tegak lurus menjulang ke langit. Hanya tangan tukang kayu yang baik dan telaten sajalah yang dapat mengerjakan kayu yang demikian sehingga dapat menjadi tulang-tulang rumah atau perkakas yang baik dan kuat. Tidak patah atau retak menyelusuri urat-urat kayunya yang melingkar-lingkar.
Ternyata yang tumbuh di hati Ki Ajar Paguhan adalah perasaan iba yang diwarnai dengan rasa kasihnya terhadap anak itu, justru karena keadaan anak itu hubungannya dengan orang tuanya serta masa depan yang diinginkan oleh orang tuanya atas anak itu. Garang, kuat dan berilmu tinggi, namun patuh dan setia yang beku dan mati kepada kedua orang tuanya, meskipun Ki Ajar Paguhan tahu dengan pasti, siapakah sebenarnya ayah dari Puguh itu. Namun kedua orang yang disebut orang tuanya itu sama sekali tidak memerlukannya seandainya Puguh tidak dilahirkan dengan ayah Ki Wiradana.
*** Sementara itu, keadaan Iswaripun menjadi berangsur baik. Ketika bekas luka-lukanya tidak lagi nampak jelas di tubuhnya, maka Iswari berniat untuk memanggil Risang. Selain karena ia telah menjadi sangat rindu kepada anak itu, iapun ingin memberikan serba sedikit lambaran pengertian, bahwa Tanah Perdikan Sembojan ternyata tidak selalu tenang dan aman. Pada suatu saat Tanah Perdikan itu telah bergejolak. Bahkan gejolak yang keras sekali yang telah mampu mengguncang sendi-sendi kehidupan di Tanah Perdikan itu. Keresahan, kegelisahan dan bahkan ketakutan.
"Tetapi anak itu tidak boleh ikut menjadi resah, gelisah dan apalagi takut menghadapi masa depan Tanah Perdikan ini," berkata Iswari kemudian.
Yang mendapat tugas untuk mengambil Risang adalah Jati Wulung dan Sambi Wulung.
"Katakan, bahwa aku masih sibuk di Tanah Perdikan," pesan Kiai Badra.
Namun dalam pada itu, maka Bibipun berkata, "Apa aku boleh ikut bersama mereka?"
Tetapi Iswari tersenyum sambil menggeleng, "Nanti kau justru memperlambat perjalanan mereka. Kau akan dapat menjadi manja di perjalanan."
"Ah," Bibi mencubit betis Iswari sehingga Iswari mengaduh kesakitan.
"Belum setajam ujung rantai Peri di bulan purnama itu," sahut Bibi.
Di hari berikutnya maka Jati Wulung dan Sambi Wulung meninggalkan Tanah Perdikan. Agar perjalanan mereka menjadi cepat, karena mereka tidak mempunyai kepentingan lain di perjalanan, maka mereka telah berkuda menuju sebuah padepokan kecil di Kademangan Bibis.
Kedatangan mereka telah disambut dengan gembira sekali oleh Risang yang dikenal dengan nama Bharata di padepokan itu. Kedatangan Jati Wulung dan Sambi Wulung rasa-rasanya seperti semangkuk minuman bagi Bharata yang kehausan.
Namun Gandar, yang oleh orang-orang padepokan dan Kademangan Bibis dikenal bernama Sindura sempat menjadi berdebar-debar. Tetapi ketika dilihatnya wajah Jati Wulung dan Sambi Wulung yang tidak menunjukkan tanda-tanda yang mendebarkan, maka Gandarpun menjadi tenang.
"Kenapa lama sekali kalian tidak datang kemari?" bertanya Risang.
Jati Wulunglah yang menjawab sambil tertawa, "Banyak sekali yang harus kami lakukan di Tanah Perdikan. Kami di Tanah Perdikan sedang membuat jalur-jalur parit yang membelah bulak-bulak panjang. Kami sedang memperbaharui pula parit-parit yang sudah tidak dapat mengangkat air dan menyalurkannya ke kotak-kotak sawah. Membuat bendungan, membuat jalan-jalan baru di samping memperbaiki dan memperkeras yang sudah ada, agar jika dilewati pedati tidak menjadi rusak."
"Tanah Perdikan itu tentu sudah menjadi semakin baik sekarang. Semakin ramai dan semakin semarak. Apakah aku diijinkan untuk melihat Tanah Perdikan itu dalam waktu dekat ini?" bertanya Risang.
Namun Gandarlah yang kemudian memotong, "Kau persilahkan tamu-tamu kita masuk ke bangunan induk padepokan Bharata."
"O," Risang mengangguk-angguk, "marilah, silahkan."
Jati Wulung dan Sambi Wulungpun sejenak kemudian telah duduk di ruang dalam bangunan induk padepokan itu bersama Gandar dan Risang.
Ternyata bahwa Jati Wulung dan Sambi Wulung tidak berputar-putar lagi. Mereka langsung menyampaikan kepada Risang, bahwa ibunya telah menjadi sangat rindu kepada anak itu.
"Jadi kita akan berangkat?" bertanya Risang dengan gembira.
Jati Wulung tertawa sambil menjawab, "Tidak perlu hari ini. Bukankah kami perlu beristirahat?"
"O," Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Maaf, aku memang terlalu rindu kepada ibu dan kepada Tanah Perdikan itu."
Gandarlah yang menyahut sambil tertawa, "Kita harus mempersilahkan mereka beristirahat, minum dan makan. Jika kita memaksa mereka berangkat sekarang, maka kita akan sampai ke Sembojan justru tiga atau empat hari mendatang."
"Kenapa?" bertanya Risang.
"Mereka akan segera pingsan dan baru tiga atau empat hari lagi sadar," jawab Gandar.
Risang tertawa. Jati Wulung dan Sambi Wulungpun tertawa pula.
Demikianlah, maka malam itu Jati Wulung dan Sambi Wulung telah bermalam di padepokan itu. Sementara Gandar mempersiapkan kepergiannya mengantar Risang ke Tanah Perdikan, karena sebenarnyalah bahwa Gandarpun merasa telah terlalu lama tidak melihat Tanah Perdikan Sembojan itu.
"Apakah kita akan minta diri kepada Ki Demang Bibis?" bertanya Risang.
Gandar berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku kira tidak perlu. Kita tentu tidak akan terlalu lama berada di Tanah Perdikan Sembojan. Sementara itu, kita tidak akan mengatakan kepada siapapun bahwa kita pergi ke Tanah Perdikan Sembojan."
"Jadi kita pergi ke mana?" bertanya Risang.
"Kemana saja. Tidak seorangpun yang akan kita percaya untuk mengetahui bahwa kita adalah orang-orang Sembojan. Bukan karena kita menganggap bahwa orang-orang Bibis termasuk yang ada di padepokan kecil ini orang-orang jahat, tetapi pengenalan mereka itu dengan tidak sengaja dan tanpa niat jelek akan dapat tersebar. Mereka tidak mengetahui bahwa akibatnya akan dapat kurang baik bagi kita," berkata Gandar.
Risang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu lagi.
Demikianlah pagi-pagi benar mereka berempat sudah siap untuk berangkat. Gandar telah menunjuk seorang yang dianggap paling tua di antara mereka yang tinggal di padepokan kecil itu, untuk mengatur kawan-kawannya selama Gandar pergi.
"Kalian akan pergi ke mana?" bertanya orang itu.
"Ke Pajang," jawab Gandar.
"Begitu jauh," desis orang itu, "Sampai kapan kalian kembali ke padepokan ini?"
"Pajang tidak terlalu jauh. Dengan berkuda kita akan dapat mencapai jarak itu dalam sehari, meskipun dari matahari terbit hingga memasuki malam hari berikutnya. Tetapi kita tidak perlu bermalam di perjalanan." jawab Gandar yang dikenal bernama Sindura itu.
"Tentu berpacu cepat sekali," berkata orang itu.
"Memang harus cepat. Tetapi tidak terlalu cepat seperti sedang berpacu di arena. Termasuk istirahat beberapa kali di perjalanan." jawab Gandar. Lalu, "Tetapi memang lebih baik bermalam semalam di perjalanan agar perjalanan tidak terasa sangat tergesa-gesa."
"Kapan kalian akan kembali?" bertanya orang itu.
"Jika kami memilih bermalam di perjalanan, maka kami akan kembali kira-kira lima atau enam hari. Tetapi kami memang tidak minta diri kepada Ki Demang, karena kami tidak berniat untuk pergi terlalu lama. Kami harus pergi ke Pajang untuk melihat salah seorang dari keluarga kami yang sakit. Mudah-mudahan sudah berangsur baik," jawab Gandar.
Orang itu mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi jangan lebih dari itu, Jika ada hal yang sangat penting, aku tidak akan dapat menyelesaikannya."
"Kami akan kembali pada saatnya," jawab Gandar, "apalagi jika keadaannya sudah baik. Maka aku kira, dalam waktu sepekan kami sudah berada di padepokan ini kembali. Tetapi kemungkinan lain memang dapat terjadi. Jika keadaannya belum baik, mungkin perjalanan kembali kami tertunda. Tetapi tidak akan lebih dari sepuluh hari."
Orang yang diserahi memimpin kawan-kawannya itu mengangguk-angguk. Sementara itu Gandar berpesan, "Tetapi ada baiknya kau bertemu dengan Ki Demang. Kami mohon maaf, bahwa kami tidak dapat datang sendiri untuk minta diri. Kami tidak sempat melakukannya, apalagi kami akan pergi hanya beberapa hari saja. Jika terjadi sesuatu, mintalah perlindungan Ki Demang."
"Baiklah," orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu selama kalian tidak ada di padepokan."
"Bukankah selama ini juga tidak terjadi sesuatu" Yang perlu kalian jaga adalah agar parit-parit tetap mengalir. Tanaman kita jangan sampai menjadi kehausan, karena jika terjadi meskipun hanya sehari, akan dapat berpengaruh atas hasilnya nanti," berkata Gandar.
"Kami akan selalu memperhatikannya," jawab orang itu.
Ketika kemudian langit menjadi semakin terang, maka keempat orang itupun telah meninggalkan padepokan kecil di Kademangan Bibis, di pinggir Kali Lorog. Mereka berpacu meskipun tidak terlalu cepat, langsung menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Tidak seorangpun yang sempat melihat mereka meninggalkan padepokannya, karena padukuhan-padukuhan yang tidak terlalu dekat masih sepi. Para petani masih belum pergi ke sawah Sementara yang menunggu air di malam hari sudah pulang ke rumah masing-masing.
Namun seandainya ada juga yang melihat, maka perjalanan ke Pajang memang dapat ditempuh melalui jalan yang sama dengan perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Risang yang jarang sekali meninggalkan padepokannya menjadi sangat gembira di perjalanan. Langit terasa sangat cerah sedangkan udara pagi telah menyegarkan tubuhnya.
Anak muda itu berpacu di paling depan dengan dada tengadah dan sikap yang tegar, setegar kudanya.
Namun di belakang mereka Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar yang hampir berjajar, sempat berbicara serba sedikit tentang anak muda itu.
"Sikap Puguh, anak Warsi itu, ternyata lebih dewasa dari Risang," berkata Jati Wulung.
Gandar mengangguk-angguk. Sementara Sambi Wulungpun memberitahukan pula, bahwa meskipun bekal ilmu Risang tidak kalah, tetapi pengalaman Puguh telah mengembangkan ilmunya lebih baik dari Risang.
"Hal ini harus kita sadari sebelum terlambat," berkata Jati Wulung.
Gandar masih saja mengangguk-angguk. Katanya, "Kita perlu mengambil langkah-langkah yang cepat untuk mengatasinya."
"Risang perlu mendapat pengalaman," berkata Jati Wulung.
"Ya. Tetapi harus diperhitungkan dengan cermat, apa yang baik dilakukan," berkata Gandar.
Jati Wulung mengangguk-angguk, ia memang sependapat. Tetapi iapun tahu bahwa tidak seorangpun yang pernah memperhitungkan kapan dan bagaimana sebaiknya Puguh mendapatkan pengalamannya. Tetapi bagaimanapun juga, gurunya telah berusaha mengamati dan melindunginya dengan memberikan beberapa orang pengawal.
Sementara itu, mereka berempat telah berkuda semakin jauh dari Kademangan Bibis, Mereka telah memasuki satu lingkungan yang tidak begitu mereka kenal. Namun bahwa mereka berkuda berempat memang menarik perhatian banyak orang.
Menjelang tengah hari, maka mereka merasa perlu untuk beristirahat. Terutama memberikan kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat, minum dan makan rerumputan segar. Karena itu, maka merekapun telah berhenti dan beristirahat di dekat sebuah pasar. Mereka melihat sebuah kedai yang nampaknya menyediakan bukan saja makan dan minum bagi para tamunya, tetapi juga memberikan tempat untuk memberi minum dan makan bagi kuda-kuda mereka yang menempuh perjalanan jauh.
Karena itulah, maka keempat orang itu telah memilih untuk berhenti di kedai itu. Menyerahkan kuda-kuda mereka kepada seseorang yang memang bertugas untuk mengurusi kuda-kuda para tamu.
Demikian keempat orang itu masuk ke dalam kedai, maka kuda-kuda merekapun telah mendapat minum dan makan pula secukupnya.
"Nampaknya pasar ini sangat ramai," berkata Gandar hampir kepada dirinya sendiri.
Namun pemilik kedai itulah yang menyahut, "Hari ini adalah hari pasaran."
"O," Gandar mengangguk-angguk, "pantas. Pasar itu penuh, sehingga seakan-akan tidak menampung lagi."
"Hari sudah menjelang tengah hari," berkata pemilik kedai itu, "jumlah orang di pasar itu sudah jauh susut. Pagi tadi para pedagang dan pembeli berhimpitan bukan saja di pasar, tetapi di sepanjang lorong ini sampai ke simpang empat itu. Tadi pagi tempat kuda yang aku sediakan di sebelah kedai ini tidak menampung lagi. Tetapi sekarang sudah sepi. Hanya tinggal lima atau enam ekor kuda. Itupun yang empat milik kalian."
Gandar mengangguk-angguk. Katanya pula, "Apakah di hari-hari biasa pasar ini tidak ramai seperti ini?"
"Tidak," jawab pemilik kedai itu, "meskipun pasar ini termasuk pasar yang besar, tetapi tidak seramai saat ini, saat pasaran seperti ini. Pasar di hari pasaran ini akan tetap ramai sampai lewat tengah hari."
Gandar mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Beberapa saat kemudian maka pesanan merekapun telah dihidangkan. Risang nampak gembira sekali di antara ketiga orang yang mengawaninya.
"Kalian pernah singgah di kedai ini?" bertanya Risang kepada orang-orang yang mengawaninya itu.
"Beberapa kali aku lewat jalan ini, tetapi aku belum pernah singgah disini. Biasanya kami tidak begitu memperhatikan kedai-kedai seperti ini. Tetapi pasar ini ternyata telah menarik perhatian sementara kuda-kuda kita perlu beristirahat." jawab Jati Wulung.
Risang yang jarang menempuh perjalanan mengangguk-angguk. Tetapi iapun segera menikmati hidangan yang dipesannya.
Tetapi selagi mereka menghirup minuman hangatnya, seseorang telah memasuki kedai itu. Dengan tegang orang itu menemui pemilik kedai itu. Meskipun keduanya berusaha berbicara perlahan-lahan, namun tamu-tamu di kedai itu telah mendengarnya. Bukan hanya keempat orang dari padepokan di Kademangan Bibis itu. Tetapi tamu-tamu yang lainpun telah mendengar pula.
"Ki Krema Waras nampaknya mau datang ke pasar mi," berkata orang itu.
"Gila," geram pemilik kedai itu, "sudah beberapa pasaran ia tidak datang. Kenapa tiba-tiba saja ia datang lagi" Bukankah ia sudah berjanji untuk tidak mengganggu isi pasar ini kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya" Betapapun kuatnya orang itu, tetapi ketika Ki Demang dan Ki Jagabaya sendiri turun, ternyata Ki Krema Waras itu dapat juga ditangkap. Jika sekarang ia datang lagi, maka sebaiknya kita laporkan saja kepada Ki Jagabaya. Bukankah Ki Jagabaya sudah berpesan agar kita memberi isyarat saja dengan kentongan dalam irama tertentu?"
"Tetapi ia tidak datang sendiri," berkata orang yang memberikan laporan itu. "Ia datang bersama empat orang lainnya."
"Jadi berlima dengan Ki Krema Waras?" bertanya pemilik kedai itu.
"Ya," jawab orang yang datang memberikan laporan itu.
"Gawat," desis pemilik kedai itu, "yang bertugas mengamankan pasar ini bersama Ki Demang dan Ki Jagabaya akan mengalami kesulitan mengatasi mereka berlima. Kawan-kawan Ki Krema itu tentu juga orang-orang kuat dan kasar. Karena itu, maka agaknya Ki Demang harus mengerahkan anak-anak muda cukup banyak."
"Jadi bagaimana menurutmu?" bertanya orang yang memberikan laporan itu.
"Kita beritahukan kepada petugas yang menjaga pasar ini," berkata pemilik kedai, "apapun yang akan mereka lakukan."
Orang itupun segera meninggalkan kedai itu. Namun yang nampak kemudian adalah kegelisahan. Orang-orang lain yang ada di kedai itu segera menyelesaikan hidangan mereka dan minta diri setelah membayar harga makanan dan minuman yang mereka pesan. Bahkan orang lain yang juga membawa kuda, dengan tergesa-gesa telah mendahului keluar dari kedai itu sebelum mereka menyelesaikan makanan dan minuman mereka.
Bahkan kemudian pemilik kedai itupun berkata kepada Gandar, "Ki Sanak. Orang yang bernama Krema Waras itu senang sekali kepada kuda yang baik. Karena itu, sebelum orang itu datang, aku persilahkan kalian meninggalkan kedai ini. Aku tidak minta kalian membayar harganya. Tetapi demi kebaikan kalian, karena Krema Waras itu termasuk orang yang tidak mau terikat paugeran apapun juga."
"Bukankah ia pernah ditangkap?" bertanya Gandar.
"Ya. Ki Demang dan Ki Jagabaya sendiri. Meskipun Krema Waras berusaha melawan. Namun karena itu, maka ia telah menjadi babak belur karena Ki Demang dan Ki Jagabaya telah berkelahi bersama-sama melawannya." jawab pemilik kedai itu.
"Kenapa harus Ki Demang sendiri?" bertanya Gandar, "apakah tidak ada orang lain selain Ki Demang dan Ki Jagabaya?"
"Tidak ada seorangpun yang berani melakukannya," jawab pemilik kedai itu. Lalu katanya, "Seandainya ada beberapa orang bersama-sama, maka pada kesempatan lain orang itu tentu diancam oleh Ki Krema itu, seorang demi seorang."
Gandar mengangguk-angguk. Iapun kemudian berkata kepada Jati Wulung dan Sambi Wulung, "Marilah. Kita berangkat."
Tetapi Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Bahkan iapun kemudian berbisik kepada Sambi Wulung, "Apakah kita mencari kesempatan sebagaimana pernah kita lakukan dengan Puguh?"
"Kita akan mencobanya," berkata Sambi Wulung.
"Mencoba apa?" bertanya Gandar.
"Kita tidak akan pergi," berkata Jati Wulung.
Gandar mengerutkan keningnya. Namun ternyata ia tanggap. Sambil memandang Risang yang termangu-mangu, Gandar berkata, "Jadi, kita pergunakan kesempatan ini?"
"Ya, selama kita yakin tidak akan terjadi sesuatu atas diri anak itu," jawab Jati Wulung.
Gandar termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata kepada Risang, "Kita tidak akan menghindar. Kita justru harus menolong orang-orang yang sekarang ada di pasar ini."
"Maksudmu?" bertanya Risang.
"Jangan biarkan orang yang berniat buruk itu dengan leluasa melakukan niat buruknya itu," berkata Gandar, "bukankah kakekmu selalu mengatakan bahwa memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan itu satu pekerjaan yang baik?"
Risang itupun tiba-tiba saja bangkit dan berkata lantang, "Bagus. Aku akan melakukan sebagaimana dikatakan kakek."
"Tetapi kau harus berhati-hati Risang," desis Gandar, "kau belum banyak mengenal sifat-sifat kerasnya dunia olah kanuragan."
"Aku akan menjumpai orang itu," berkata Risang sambil menggeser pedang di lambungnya, "buat apa aku membawa senjata jika aku tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti."


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ingat. Kau tidak boleh menuruti perasaanmu. Kau harus tetap mempergunakan akalmu," berkata Gandar.
Risang tersenyum. Iapun kemudian melangkah ke pintu. Namun Jati Wulunglah yang kemudian mencegahnya, "Tunggu. Kita harus membayar makanan dan minuman kita."
Tetapi sementara itu, pemilik kedai itupun bertanya, "Apa yang akan kalian lakukan?"
"Mencegah orang-orang itu," Risanglah yang menjawab.
"Kalian belum mengenal Ki Krema Waras. Aku sarankan, lebih baik kalian secepatnya meninggalkan tempat ini. Apalagi kalian membawa kuda yang nampaknya kuda yang baik," berkata pemilik kedai itu. Lalu katanya pula, "Orang itu memiliki banyak kelebihan, sehingga untuk menangkap satu orang saja, Ki Demang dan Ki Jagabaya harus melakukan bersama-sama."
"Kami berniat untuk mencegahnya Ki Sanak. Bukankah orang itu sering mengganggu isi pasar ini" Termasuk orang-orang yang membuka kedai disekeliling pasar?" bertanya Gandar.
"Tetapi jangan kalian ikut campur. Kalian akan menyesal," berkata pemilik kedai itu.
"Terima kasih atas peringatan Ki Sanak. Tetapi kami sudah berniat untuk mencoba mencegahnya jika kami mampu," jawab Gandar.
Pemilik kedai itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Risang telah menghambur keluar. Sambi Wulunglah yang cepat-cepat menyusulnya. Sementara Jati Wulung masih sempat berbicara dengan Gandar sambil melangkah keluar, "Aku pernah mencari kesempatan seperti ini ketika aku mengantar Puguh pulang ke padepokannya. Bukan saja untuk meyakinkan tingkat kemampuan Puguh, tetapi untuk mendapatkan kepercayaan dari anak itu bahwa anak itu masih tetap harus dikawani di perjalanan karena kadang-kadang dapat timbul persoalan."
"Kita akan melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Risang menghadapi persoalan di luar padepokan," berkata Gandar.
"Namun masih ada orang yang sempat memberinya peringatan. Sedangkan Puguh nampaknya dilepas begitu saja apapun yang akan terjadi atas dirinya, karena para pengawalnya yang diberikan kepadanya kadang-kadang justru harus mendapat perlindungan dari Puguh, meskipun maksudnya sebaliknya," desis Jati Wulung.
Gandar tidak menjawab. Namun iapun segera menyusul Risang dan Sambi Wulung.
Ketika mereka berada di sebelah kedai itu, ternyata suasana sudah berubah sama sekali. Masih banyak orang yang ada di pasar itu, tetapi suasananya seakan-akan menjadi lengang. Beberapa orang hanya termangu-mangu saja, sementara yang lain berjongkok di depan para penjual yang bagaikan membeku di tempatnya. Ternyata berita tentang hadirnya Ki Krema Waras telah didengar oleh seisi pasar. Sehingga dengan demikian merekapun menjadi cemas dan takut menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk sebagaimana pernah terjadi.
Pemilik kedai itupun telah berdiri di pintu butulan kedainya. Tiba-tiba saja ia berdesis dari balik pintu butulan kepada keempat orang yang baru saja keluar dari kedainya, "Ki Sanak. Itulah yang dipanggil Ki Krema Waras. Lima orang yang berjalan kemari itu, yang paling depan adalah Ki Krema Waras itu. Kalian masih mempunyai kesempatan. Meloncat ke punggung kuda dan lari ke arah lain."
Tetapi Jati Wulung menyahut, "Aku akan menunggu mereka."
Pemilik kedai itu masih saja berdesis, "Tetapi mungkin kedai ini akan menjadi korban pula."
"O," desis Jati Wulung, "jika demikian, aku akan menyongsong mereka."
Demikianlah, untuk menjauhi kedai itu agar tidak terkait dalam benturan yang mungkin terjadi, maka Jati Wulung telah mengajak Gandar untuk menyongsong saja kelima orang itu.
Gandarpun mengerti maksud Jati Wulung karena iapun mendengar kecemasan pemilik kedai itu.
Keempat orang itupun kemudian telah berjalan, dengan sengaja menyongsong kelima orang itu. Agak berbeda dengan orang-orang lain, yang apabila masih ada kesempatan lebih baik menghindar.
Ternyata Ki Krema Waras memang berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang ada di pasar itu. Terhadap orang-orang yang berjualan di pinggir jalan karena pasar itu sudah tidak menampung mereka di pagi hari, Krema Waras kadang-kadang telah melakukan perbuatan yang sangat merugikan. Dengan kakinya ia telah menendang tambir seorang penjual makanan sehingga isinya jatuh berserakan. Bahkan iapun telah menginjak-injak setenggok kulit melinjo yang ditumpahkannya.
Jati Wulung, Sambi Wulung, Gandar dan Risang yang berjalan ke arah yang berlawanan melihat apa yang dilakukan oleh Krema Waras itu. Namun Gandar masih menggamit Risang yang ingin berlari mendahului.
"Kita harus mencegahnya bukan?" bertanya Risang.
"Sudah aku katakan. Jangan terseret oleh perasaanmu tanpa mempertimbangkannya dengan penalaran," desis Gandar.
"Jadi bagaimana?" bertanya Risang.
"Kita harus berhati-hati. Kita belum tahu tataran kemampuan mereka," jawab Gandar.
Risang mengerutkan keningnya. Namun ia justru tertegun dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar memang mengajaknya untuk menepi. Mereka berdiri di antara beberapa orang yang bagaikan membeku di depan seorang penjual telur. Bahkan ada di antara orang-orang itu yang berpura-pura memilih telur. Sedangkan penjualnya sendiri hanya menundukkan kepalanya saja.
Ketika kemudian Ki Krema Waras itu sampai di hadapan penjual telur yang dikerumuni oleh orang-orang itu, termasuk Jati Wulung, Sambi Wulung, Gandar dan Risang, tiba-tiba saja telah berhenti.
Sejenak Ki Krema Waras itu termangu-mangu. Namun kemudian ia telah melangkah mendekati penjual telur itu. Didorongnya beberapa orang yang berdiri di sekitar dagangan itu untuk menyibak.
"He," berkata Ki Krema Waras kepada penjual telur itu, "berapa pedati kau bawa telur hari ini."
Penjual telur itu menjadi gemetar. Tetapi ia menjawab, "Hanya sedikit, Ki."
"Sudah berapa keranjang telurmu laku hari ini?"
"Baru sedikit Ki. Nampaknya pasaran terlalu sepi," jawab penjual telur itu.
"Aku perlu uangmu," berkata Ki Krema Waras. Lalu katanya pula, "Sudah lama aku tidak datang. Hutangmu kepadaku tentu sudah menjadi berlipat. Sekarang bayar seadanya saja."
"Telurku belum banyak yang laku Ki," suara penjual telur itu semakin gemetar.
"Cepat," bentak Ki Krema Waras, "tentu ada uang di bakul kecil itu."
Penjual telur itu tidak berani membantah lagi. Ia terpaksa menyerahkan bakul kecil yang biasanya memang untuk tempat uang hasil penjualan telurnya. Untunglah sebagian dari uang itu telah disimpannya, sehingga yang tersisa tidak lagi terlalu banyak.
Ketika Ki Krema Waras menerima bakul itu dan melihat uang yang ada di dalamnya terlalu sedikit, maka iapun menjadi marah. Katanya, "Kau kira kau dapat menipu aku he" Lihat, di belakangmu terdapat beberapa keranjang kosong. Kau kira aku tidak tahu, bahwa sebanyak itu telurmu yang telah laku" Jangan berbohong. Berikan uang itu kepadaku."
Penjual telur itu memang ketakutan. Namun ia masih saja bimbang. Apakah ia akan bertahan untuk tetap berbohong, atau ia harus menyerahkan uangnya.
Yang tidak kalah gelisahnya adalah Risang. Namun setiap kali Gandar menepuk bahunya agar anak itu tetap tenang.
Karena penjual telur itu dirasa terlalu lama tidak menuruti perintah Ki Krema waras, maka iapun telah berteriak, "Cepat."
"Tetapi, tetapi...,"orang itu menjadi bingung.
Ternyata Ki Krema Waras menjadi marah. Tiba-tiba saja ia melangkah maju. Satu kakinya dimasukkannya ke dalam sebuah keranjang yang berisi telur. Meskipun di antara telur-telur itu diberi jerami, namun karena injakan kaki Ki Krema Waras, maka telur-telur di dalam keranjang itu telah hancur semuanya.
"Jangan," teriak penjual telur itu. Tetapi Ki Krema Waras tidak menghiraukannya.
Bahkan Ki Krema Waras itupun berkata, "Jika kau tidak memberikan uang itu, semua telurmu akan aku hancurkan."
Orang itu menjadi sangat bingung. Ia mencoba menilai, apakah uang yang telah diterimanya itu seimbang dengan jumlah telur yang masih tersisa.
Tetapi Ki Krema Waras itu berteriak, "Cepat."
Namun sebelum orang itu mengambil keputusan, maka Jati Wulunglah yang bergeser mendekat. Diangkatnya keranjang telur yang ada di dekat Krema Waras. Bahkan katanya kepada Sambi Wulung dan Gandar, "Bantu menyingkirkan telur ini, agar tidak diinjak lagi. Jika telur-telur ini pecah semua, maka penjual telur ini akan menjadi rugi. Mungkin telur-telur yang dibawanya dari padukuhannya dan diambilnya sepuluh dua puluh dari tetangga-tetangganya ini belum dibayar lunas."
Kelana Buana 6 City Of Crystal Karya Nugroho Widi Pendekar Remaja 2
^