Pencarian

Kelana Buana 6

Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Bagian 6


yang tercantum di dalam daftar undangan untuk menyaksikan dan merestui pendirian partai baru
ini. Lim Bu-siang adalah murid dari Hu-siang-pay, adalah jamak bila dia hadir di dalam pendirian
kembali aliran perguruannya, tapi karena dia ingin menghindari pertemuannya dengan piaukonya,
tempo hari waktu Su Ang-ing memberi kabar ini kepadanya, dia hanya tunduk diam tidak memberi
jawaban dan reaksi. Mungkin Su Ang-ing hendak menghindari kedukaannya, selanjutnya ia pun tidak pernah
menyinggung persoalan ini lagi.
Tak lama kemudian terjadilah urusan mengenai keselamatan Beng Goan-cau ini. Maka Kim
Tiok-liu suami istri lantas minta bantuannya untuk memberi kabar kepada Beng Goan-cau.
"Ang-ing cici minta aku menerima tugas ini datang ke Soh-ciu, mungkin untuk memberikan
alasan kepadaku untuk menghindari pertemuan di puncak Thay-san," begitulah Lim Bu-siang
mereka-reka dalam hati. Mendadak teringat pula olehnya ucapan Su 'Ang-ing kepadanya sebelum
mereka berpisah. Su Ang-ing berkata kepadanya: "Beberapa tahun terakhir kau jarang kelana, di kangouw,
kecuali datang ke rumahku, kau selalu menutup diri di rumah memperdalam ilmu pedang, apakah
kau tidak merasa kesepian ?"
"Sudah biasa, sedikit pun tidak terasa lagi olehku."
"Ada lebih baik kau sering luntang-lantung di luaran. Beberapa tahun sudah kau kembali ke
Tionggoan, namun selama ini kau belum banyak mengikat persahabatan dengan orang lain?"
"Waktu di luar lautan aku pun tidak punya sahabat. Cuma di waktu berada di Hwi-hu-to, ada
seorang sahabat laksana saudara sekandung saja."--Sahabat yang dia maksud adalah Lian Jayhong
yang kini sudah menjadi piausonya.
"Tak heran kau selalu jadi terkenang saja kepada piauko!" goda Su Ang-ing tertawa. "Maaf
kalau aku bicara terus terang, menurut anggapanku, bila kau ada berkenalan dengan beberapa
sahabat lain, perasaanmu pasti lebih terbuka dan lapang."
Kini teringat akan kata-kata itu, otak Lim Bu-siang tiba-tiba terbayang wajah Song Theng-siau,
serta merta mukanya merah, "Kenapa mendadak aku teringat kepadanya?"
Song Theng-siau adalah seorang pemuda yang cakap'ganteng dan lemah-lembut, begitu setia
terhadap kawan, teringat akan hal-hal itu, mau tidak mau Lim Bu-siang harus mengakui bahwa ia
mulai merasa simpatik terhadapnya.
"Selamanya belum pernah timbul bayangan laki-laki kedua dalam benakku, mungkin karena
itulah, maka aku beranggapan sendiri terlalu mencintai-piauko."
Tapi teringat pula beberapa patah kata Su Ang-ing yang lain. Pada suatu hari ia duduk
mengobrol dengan Su Ang-ing, lama kelamaan bicara asyik dari hati ke hati, diceritakan oleh Su
Ang-ing bahwa sebelum ia berkenalan dengan Kim Tiok-liu, ia sudah pernah menaruh simpatik
terhadap dua sahabat laki-lakinya yang lain.
Sebetulnya Lim Bu-siang tiada niat mengorek rahasia pribadinya, namun mendengar ceritanya
ini ia jadi tertarik katanya: "Begitu" Siapa pula kedua orang itu?"
"Salah seorang adalah Li Tun yang sekarang menjadi Hu-pangcu Liok-hap-pang kita, seorang
yang lain adalah Thocu Ang-ing-hwe sekarang Le Lam-sing. "Kedua orang ini adalah tokoh kosen
yang tenar di kangouw, terutama Le Lam-sing adalah tokoh muda yang menjulang bersama Kim
Tiok-liu, sangat disegani oleh sesama sahabat bulim. Diam-diam terpikir oleh Lim Bu-siang: "Lethocu
dan Kim-toak.o adalah sahabat kental, sungguh sulit dimengerti bahwa di antara mereka
tidak pernah timbul bentrok atau pertikaian."
Su Ang-ing melanjutkan: "Li Tun sesuai dengan namanya, sikapnya jujur dan polos, lemahlembut
lagi. Dengan Le Lam-sing justru berlawanan, gagah perkasa dan besar cita-citanya. Waktu
kecil aku sering bergaul sama Li Tun, para thaubak di dalam pang kita sama menyangka bahwa
aku sudah jatuh hati terhadapnya, sebetulnya aku hanya menganggapnya sebagai toakoku sendiri.
Sementara Le Lam-sing sama tujuan dan satu cita-cita denganku, suatu ketika hubunganku amat
erat dengannya, sampai pernah suatu ketika Tiok-liu salah paham menyangka aku sudah jatuh
cinta kepadanya. Akhirnya, baru paham duduknya perkara. Hubungan eratku dengan Lam-sing
tidak lebih hanya sebagai teman kental belaka, cinta kasih antara saudara sekandung cinta sesama
kawan, dan cinta antara suami istri sebetulnya mempunyai perbedaannya sendiri-sendiri, tapi
kalau kau sendiri belum pernah mengalami ujian akan ketiga perasaan yang tidak sama itu,
mungkin suatu ketika kau bisa dibikin pusing tujuh keliling."
Tujuan Su Ang-ing adalah bicara secara kenyataan di depan mata, diam-diam ia memberi
kisikan kepadanya, perasaannya terhadap Boh Cong-tiu tidak lebih hanya perasaan persaudaraan
antar ikatan kekeluargaan belaka, berarti termasuk cinta kasih antara saudara sekandung belaka;
Namun teringat akan kata-kata penjelasan itu, timbul kesan lain dalam sanubari Lim Bu-siang.
Simpatik kadang kala bisa berkembang menjadi perasaan cinta terhadap seseorang, tapi bukan
termasuk asmara, sekarang Lim Bu-siang mulai paham dan menyadari akan perbedaan ini. Dia
mengakui bahwa dia rada simpatik terhadap Song Theng-siau, namun Song Theng-siau tidak lebih
masih merupakan laki-laki yang asing dalam relung hatinya. Meski lubuk hatinya terbayang akan
Song Theng-siau, namun tidak terasakan olehnya bahwa hatinya jadi sedih atau murung setelah
mereka berpisah. "Tapi sejak aku ditinggalkan piauko, aku amat berduka, mungkinkah ini hanya perasaan cinta
kasih antara persaudaraan belaka?"
Tapi lalu terpikir pula olehnya:
"Kenapa aku bisa memikirkan lakilaki kedua" Kenapa aku mulai curiga pada relung hatiku
sendiri bahwa benarkah aku betul-betul mencintai piauko?"
"Bagaiamana jua," demikian batin Lim Bu-siang: "Boh Cong-tiu adalah piaukoku, ciangbunjin
dari Hu-siang-pay kita, bagaimana juga aku tidak akan bisa selalu menghindari pertemuan dengan
dia." Terpikir pula olehnya: "Cong Sin-liong amat benci terhadap piauko, kini dia sudah terima
diperalat oleh pihak kerajaan, kini piauko hendak mendirikan partai menegakkan aliran, bila
diketahui oleh dia, mungkin dia bakal menuntut balas di muka umum, bukan mustahil ini bisa
terjadi."-Terpikir sampai di sini pikiran Lim Bu-siang menjadi mantap dan bulat tekadnya. Dia
berkeputusan untuk hadir dalam pertemuan besar di Thay-san nanti. "Cuma kalau aku tidak
kembali dulu ke rumah Kim-toako, tentu dia menyangka terjadi sesuatu atas diriku" Kuatirnya aku
tidak keburu menyusul tiba di Thay-san, bagaimana baiknya" Em, orang hidup sering mengalami
kejadian yang di luar dugaan, Kim toako menyuruh aku beri kabar kepada Beng Goan-cau,
sebaliknya aku hanya bertemu dengan sahabat baiknya Song Theng-siau, sebetulnya aku tidak
sudi bertemu lagi dengan piauko, sekarang mau tidak mau aku harus memburu waktu menyusul
ke Thay-san. Beng Goan-cau itu sebetulnya orang macam apa?" " " Begitulah Lim Bu-siang
melayangkan pikirannya, tanpa terasa ia sudah menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Waktu itu, Beng Goan-cau pun sedang menempuh perjalanan seorang diri, seperti keadaan Lim
Bu-siang, hatinya pun sedang bergejolak, sulit ia menentramkan pikirannya.
Debu mengepul tinggi terhembus angin besar mengotori seluruh badannya. Sembari mengebutngebut
kotoran debu di atas badannya, Beng Goan-cau melangkah lebar melanjutkan-.ke depan,
waktu itu ia beranjak di jalan raya di dataran rendah di daerah Hway-pak. Ini terjadi pada hari ke
empat setelah ia meninggalkan Soh-ciu, waktu itu sudah lama ia menyeberangi sungai Tiangkang.
Meski hanya terpaut sebuah sungai, namun pemandangan antara selatan dan utara kedua sisi
sungai besar ini jauh berbeda sekali. Kedua jalan ini tiada terdapat pepohonan yang rindang, jalan
yang gundul pelontos tak berujung pangkal ini cuma terdapat rumput liar yang sudah menguning
dilumuri debu-debu tebal.
Tapi pemandangan sih tidak sejelek itu, karena padang lalang nan luas dan belukar ini di manamana
terbentang rumput-rumput merah yang menambah semaraknya kehidupan di musim rontok
ini. Rumput merah adalah tumbuhan liar yang paling aneh cara hidupnya di daerah Hway-pak ini,
punggung daunnya bewarna hijau gelap, sedang permukaan daunnya warna merah menyolok
tumbuh memanjang seperti dedaunan rumput alang-alang, kalau tumbuh lurus tingginya ada yang
sampai enam kaki, lebih tinggi dari kepala manusia. Waktu itu memang musim subur dari
tetumbuhan rumput-rumput merah ini, selayang pandang padang lalang yang tidak berujung
pangkal ini, semua ditaburi oleh warna merah.
Keadaan sanubari Beng Goan-cau saat itu pun seperti keadaan alam di sekelilingnya, pedih dan
mendelu, namun dalam keperihan hatinya itu mengandung segulung api yang menyala.
Pemandangan kampung halaman sudah tidak kelihatan lagi di belakang sana tertutup oleh
mega putih, namun kenangannya terhadap beberapa orang masih timbul tenggelam dalam
sanubari Beng Goan-cau, tidak mau lenyap dan hilang.
Teringat akan kejadian malam itu, tak terasa ia menghela napas, pikirnya: "Perempuan baju
hitam itu kecuali Hun Ci-lo, tak mungkin orang lain. Tapi kenapa dia harus menyingkirkan diri dari
hadapanku" Meski tidak bisa melanjutkan hubungan mesra kami dulu, apa halangannya ia
bertemu muka dengan aku! Ai, setiap saat, setiap hari teramat rindu, namun begitu jumpa seperti
tidak kenal! Kecerobohan-kulah jang harus disalahkan sendiri. Sekarang dia sudah punya suami
punya anak, menempuh jarak jauh meluruk datang seorang diri menjenguk aku tanpa perduli
omongan kotor orang, sungguh sulit terjadi pada lain orang!"
Dalam lintasan lain terbayang olehnya Lu Su-bi, teringat olehnya siau-sumoay yang lincah
jenaka ini mau tidak mau sanubarinya rada dicekam rasa menyesal, batinnya: "Orang yang pernah
gagal seperti aku, sulit untuk bangkit kembali. Terpaksa aku harus menampik kebaikan siausumoay,
semoga siau-sumoay bisa menjalin ikatan mesra dengan Song Theng-siau, kelak pasti
hidup rukun bahagia sampai di hari tua. Dengan Theng-siau dia jauh lebih cocok daripada dengan
aku." Di saat ia beranjak dengan pikiran kusut dan perasaan bergolak itulah mendadak didengarnya
kelintingan kuda, tampak di padang luas di sebelah sana, rumput-rumput merah tumbuh tinggi
subur itu seperti tersaruk menyingkir ke samping, dari sebelah dalamnya menerjang keluar seekor
kuda gagah. Itulah seekor kuda suri merah yang berbulu merah gagah perkasa, keempat kakinya berbulu
putih. Yang menunggang di atas punggungnya adalah seorang laki-laki kekar kasar berjambang
bauk lebat dan kaku. "Kuda yang amat bagus! Laki-laki penunggang kuda yang berperawakan kekar gagah ini
mungkin seorang enghiong dari kalangan begal."- Sebentar saja terlihat oleh Beng Goan-cau kuda
itu sudah tiba di jalan raya, sekejap saja sudah berlari lewat dari samping tubuhnya, secepat angin
lesus! Di saat lewat di samping Beng Goan-cau, laki-laki kekar itu mendadak berseru heran, kedua biji
matanya yang tajam laksana sepasang gunting tajam menatap ke arah dirinya, agaknya ia hendak
bicara apa-apa, namun diurungkan, sekejap saja kudanya sudah lari jauh dan tidak kelihatan lagi.
Kalau orang ini cuma pelancong biasa, tidak mungkin mencong-klang kudanya di padang
rumput tanpa melalui jalan raya. Namun akhirnya ia ambil jalan raya yang datar ini. Tiba-tiba
melonjak hati Beng Goan-cau: "Mungkinkah dia meluruk kepada diriku" Kalau dugaanku tidak
salah, nanti sebentar tentu ia akan kembali."
Betul juga tidak berselang sesu-Iutan dupa, terdengar derap kuda sayup-sayup dihembus
angin, tampak laki-laki berjambang bauk itu mengaburkan kudanya mendatangi pula.
"Ternyata benar meluruk kepada diriku!" demikian batin Beng Goan-cau. Dasar cerdik dan
cermat, segera ia lantas memikirkan asal-usul orang yang mencurigakan ini, terdapat dua
kemungkinan; pertama, kemungkinan orang ini adalah begal tunggal dari kangouw, bertujuan
membegal harta bendanya. Sudah pergi kembali lagi, bertujuan menyelidiki keadaan dirinya,
setelah jelas dan pasti baru akan turun tangan.
Kemungkinan kedua,, laki-laki kekar ini adalah cakar alap-alap pihak kerajaan, mendengar
kabar lantas mengejar jejaknya. Cuma orang masih belum berani ambil kepastian bahwa dirinya
adalah benar Beng Goan-cau adanya.
Berpikir Beng Goan-cau: "Kalau dugaan yang pertama, tiada halangannya aku bicara terus
terang kepadanya, bahwa dia sudah salah mata. Aku bukan kambing gemuk, hanyalah seorang
pelajar rudin yang tidak punya bekal apa-apa. Kalau dugaan kedua, hehe, berarti dia sudah bosan
hidup, terpaksa aku harus mencuci golokku dengan darah segarnya!"
Sekejap saja laki-laki kekar berjambang itu sudah menghentikan kudanya di hadapan Beng
Goan-cau, matanya yang tajam mengamat-amati Beng Goan-cau, lalu bertanya dingin: "Kau
sahabat dari kalangan mana?"
Pertanyaan ini benar-benar di luar dugaan Beng Goan-cau, umumnya kaum begal memang
suka mengajukan pertanyaan macam itu terhadap mangsanya, sebaliknya bila cakar alap-alap
kerajaan tidak mungkin punya nada yang lain dari kebiasaan mereka.
Sejenak Beng Goan-cau melongo, diam-diam ia menerawang: "Mungkinkah dia orang dari
kalangan kitayang sama?" Waktu dengan dingin ia balas menatap, dilihatnya kedua biji mata lakiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
laki kekar berjambang ini lapat-lapat mengandung hawa membunuh, jelas kedatangannya
bertujuan kurang baik. Beng Goan-cau sendiri sekarang sudah merupakan buronan pemerintah, begitu mendapat tahu
tujuan orang yang tidak mengandung maksud baik, tidak bisa tidak ia harus hati-hati dan
bersiaga, pikirnya: "Peduli siapa dia, aku harus mencari akal dan ngelantur saja, akan kulihat
bagaimana reaksinya. Sebetulnya akulah yang mengajukan pertanyaannya tadi."
Setelah berkeputusan Beng Goan-cau tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu, maka dengan
sikap tidak mengerti dan bodoh, ia berkata: "Apa katamu" Aku bukan pedagang keliling, aku tidak
membawa barang bekal berharga apa-apa?"
Laki-laki kekar berjambang dapat melihat bahwa Beng Goan-" cau membekal kepandaian silat,
hidungnya lantas mendengus, pikirnya: "Keparat ini jelas pura-pura belaka!" Tapi walau dia tahu
Beng Goan-cau bukan orang biasa, namun belum jelas akan haluan Beng Goan-cau, maka ia pun
tidak berani terlalu semberono. Menahan sabar matanya mendelik, katanya keras: "Kutanya kau,
apa kerjamu?" Beng Goan-cau menjawab: "Aku sedang jalan, tidak melanggar kesalahan apa-apa!"
Laki-laki berjambang bauk menjadi naik pitam, pikirnya: "Bangsat ini kiranya pandai pura-pura,
dia anggap aku opas yang hendak menangkap buronan!"
Melihat air muka orang berubah, diam-diam Beng Goan-cau berseru dalam hati: "Nah mulai!",
diam-diam ia genggam gagang pedang yang dia sembunyikan di dalam bajunya, ia sudah siaga.
Tak duga laki-laki kekar itu cuma menggigit bibir, hawa amarahnya kelihatannya dapat dikekang,
akhirnya berkata tawar: "Baiklah, kalau kau tidak mau menjelaskan, ya sudah. Aku cuma ingin
tanya, adakah kau pernah lihat seorang laki-laki yang menunggang kuda kuning lewat dari jalan
raya ini?" Kiranya laki-laki berjambang bauk ini semula hendak membekuk Beng Goan-cau dan
mengompes keterangannya, namun akhirnya ia berpikir lain: "Bangsat ini kelihatannya bukan
orang baik-baik, tapi bukan mustahil pandangan mataku yang salah lihat. Beberapa teman lama
sama menasehati aku, katanya watakku yang kasar dan berangasan harus cepat-cepat diubah,
kenapa penyakit lamaku hendak kumat kembali?"
Beng Goan-cau menjawab: "Sudah setengah harian aku menye-lusuri jalan raya ini, kaulah
orang pertama yang kujumpai menunggang kuda. Orang macam apa dan apa kerja orang itu,
apakah temanmu?" Bertaut alis laki-laki berjambang bauk, katanya: "Kalau kau tidak melihatnya, tidak usah kau
cerewet!", sementara dalam hati ia membatin: "Sekarang aku tiada tempo mengobrol dengan kau,
sekembaliku nanti akan kucari kesempatan untuk menyelidiki asal usulmu." Tahu-tahu cambuknya
terayun ia keprak kudanya terus berlari kencang ditelan debu tebal yang mengepul di
belakangnya. Beng Goan-cau pura-pura menggerutu, gumamnya: "Kau yang cerewet atau aku yang cerewet"
Huh, kata-kata ini seharusnya terbalik diucapkan"-Setelah melihat laki-laki berjambang bauk itu
sudah pergi jauh, dalam hati ia lantas membatin: "Ternyata pandanganku pun meleset"
Sebetulnya dia sudah siap untuk bergebrak dengan laki-laki berjambang bauk, tak duga setelah
bertanya beberapa patah, orang tidak menunjukkan gerak-gerik, malah terus tinggal pergi habis
perkara, keruan ia jadi heran dan uring-uringan.
Tapi Beng Goan-cau sendiri punya tugas khusus yang harus segera dilaksanakan, kalau toh
laki-laki itu sudah tinggal pergi, maka ia pun tidak ambil dalam hati. Begitulah dia melanjutkan
perjalanan, waktu magrib mendatang ia tiba di sebuah kota yang dinamakan Jiat-sio, maka di kota
ini ia mencari hotel untuk menginap.
Jiat-sio terletak di persimpangan jalan yang menuju ke utara dan selatan, merupakan kota
perdagangan yang ramai, maka meski kotanya kecil namun penduduknya amat padat. Beng Goancau
berhasil menemukan sebuah penginapan, ternyata kamar penginapan di sini jauh lebih bagus
dari kota-kota di karesidenan, bangunan penginapan ini berbentuk persegi, terdiri dari puluhan
kamar yang berderet-deret, di sebelah samping terdapat kandang kuda.
Di waktu Beng Goan-cau memasuki penginapan ini, pandangannya mendadak menjadi terang,
tampak di pekarangan samping sana dilihatnya seorang laki-laki berpakaian baju hitam sedang
menuntun seekor kuda kuning.
Laki-laki baju hitam itu sedang bicara dengan pemilik hotel, kelihatannya dia pun tamu yang
baru tiba dan hendak mencari kamar.
Terdengar laki-laki baju hitam berkata: "Kuda tungganganku ini harap kau rawat baik-baik, dua
hari ini agaknya dia rada kurang wajar, aku kuatir malam hari dia kedinginan, paling baik kalau
bisa menempatkan di kandang sebelah tumpukan jerami."- Sembari berkata ia merogoh keluar
sekerat uang perak, terus dijejalkan ke tangan pemilik hotel.
Sekerat uang perak seharga puluhan hari uang sewa kamar, agaknya pemilik hotel tidak
mengira orang begitu royal, sekali keluar uang lantas sedemikian banyaknya, keruan tertegun,
kilas lain ia sudah membungkuk-bungkuk seraya berseri tawa kegirangan.
Berkatalah pemilik hotel pura-pura mengambil hati: "Itu adalah tugas dalam bagian kami,
kenapa tuan harus mengeluarkan ongkos segala?"- Mulut bicara sementara tangan sudah
diulurkan menerima uang perak itu terus dimasukkan ke dalam saku bajunya. Kejap lain ia sudah
menuntun kuda kuning itu masuk ke istal.
Laki-laki baju hitam ikut masuk ke dalam istal dengan suara lirih ia berkata: "Kuharap sekedar
bantuanmu pula!" "Silakan katakan saja!" ujar pemilik hotel.
"Kalau ada orang mencari tahu kepadamu mengenai diriku, jangan sekali-kali kau katakan aku
menginap di rumah penginapanmu. Orang itu adalah familiku yang rudin, dia mencariku hendak
minta pinjam sejumlah uang yang cukup banyak, maka aku tidak suka menemui dia. Malam ini
aku sembunyi di dalam kamar, besok pagi-pagi aku segera harus berangkat, untuk menghindari
pertemuan dengan dia."
Pemilik hotel mengiakan berulang-ulang, katanya lebih lanjut: "Memang famili rudin sangat
menyebalkan, aku paham akan keadaan tuan. Kalau ada orang tanya kepadaku, biarlah kukatakan
tidak pernah melihat orang macam kau, habis perkara."
"Dan lagi, jangan kau biarkan tamu lain masuk ke dalam istalmu ini, aku kuatir dia dapat
mengenali kudaku ini."
"Merawat kuda tunggangan adalah tugas kami bagi setiap tamu pengunjung, biasanya jarang
ada tamu yang masuk ke istal menuntun kudanya sendiri. Kalau kau merasa kuatir, aku punya
sebuah akal, biar kutumpuk kotoran kuda di ambang pintu, baunya sangat busuk menusuk hidung,
kukira tamu itu tidak akan menutup hidungnya melongok kemari."
"Benar!" kata laki-laki baju hitam. "Akalmu memang baik!"
Mereka bicara di dalam istal dengan suara lirih, orang di luar memang tidak akan bisa dengar,


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun Beng Goan-cau pernah berlatih mendengar angin membedakan senjata, kupingnya yang
tajam melebihi orang biasa dapat mendengar percakapan itu amat jelas.
Diam-diam Beng Goan-cau membatin: "Kiranya orang ini sudah tahu bahwa orang sedang
menguntit jejaknya, maka aku pun tidak perlu turut campur urusan mereka."'
Pakaian yang dikenakan Beng Goan-cau terbuat dari kain kasar, para pelayan hotel segera
menyambut kedatangannya. Beng Goan-cau cukup minta sebuah kamar yang bertarip sedang
saja, setelah makan malam, ia mengunci diri di dalam kamar, duduk samadi berlatih lwekang.
Belum lama ia latihan, kira-kira sudah menjelang kentongan kedua, tiba-tiba didengarnya suara
telapak kaki kuda mendatangi dan berhenti di depan penginapan. Lalu disusul terdengarlah suara
gedoran pintu yang keras.
Terdengar pemilik rumah penginapan menggerutu: "Sudah begini malam, masih mencari
penginapan!" Cepat ia memburu keluar. Tak lama kemudian terdengar sebuah suara berkata: "Kudaku ini kau harus merawatnya baikbaik,
berikan sebuah kamar kelas satu kepadaku!'"
Semula Beng Goan-cau tidak begitu memperhatikan, setelah mendengar suara ucapan orang
baru ia terkejut, karena orang itu bukan lain adalah laki-laki berjambang bauk itu.
Dalam hati Beng Goan-cau membatin: "Kiranya ia mengejar tiba sampai di sini. untung laki-laki
baju hitam itu sudah waspada. Entahlah apa bakal terjadi keributan, pokoknya malam ini aku
jangan tidur terlalu pulas!"
Laki-laki berjambang bauk tidak banyak bicara terhadap pemilik hotel, dia pun tidak pergi ke
istal, begitu mendapat kamar setelah membersihkan badan ia minta sepoci arak terus istirahat di
kamarnya. Beng Goan-cau berjaga-jaga bila terjadi sesuatu, di luar dugaan, kira-kira kentongan ketiga
sudah lalu, namun ia belum lagi merebahkan diri. duduk di atas ranjang ia masih melanjutkan
latihannya. Sekonyong-konyong didengar ketokan amat lirih di pintu kamarnya, Beng Goan-cau berpikir:
"Tentu laki-laki berjambang bauk itu, belum lagi ia menemukan jejak orang yang dicarinya, kini
hendak mencari gara-gara dulu kepadaku!"
Sembari menghunus goloknya, Beng Goan-cau berdiri di belakang pintu, tanyanya dengan
suara berat: "Siapa?"
Terdengar orang di luar pintu berkata lirih: "Beng Tayhiap harap suka buka pintu."
Di luar dugaan Beng Goan-cau orang yang mengetuk pintunya ini ternyata adalah laki-laki baju
hitam. Beng Goan-cau jadi terheran-heran: "Bagaimana ia bisa mengetahui diriku?" Karena tertarik
segera ia membuka pintu. Laki-laki baju hitam cepat menyelinap masuk kamar, terus menutupnya pula, mendadak ia
menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di hadapan Beng Goan-cau serta ratapnya: "Beng
Tayhiap tolonglah aku!"
Beng Goan-cau terperanjat, cepat ia menariknya bangun, katanya: "Mana aku berani terima.
Kalau ada omongan mari kita bicarakan baik-baik. Siapakah kau, agaknya aku belum pernah
melihat kau sebelum ini."
"Aku adalah pedagang obat yang biasa mondar-mandir antara Kwi-chiu dengan Su-jwan,"
begitulah laki-laki baju hitam itu menutur. "Tiga tahun yang lalu aku pernah ke Siau-kim-jwan
untuk membeli bahan obat-obatan, beruntung di sana dapat melihat keperwiraan Beng Tayhiap.
Kami tahu bahwa Beng Tayhiap suka membela yang lemah serta menolong kesulitan orang, maka
kami memberanikan diri kemari mohon pertolongan."
Siau-kim-jwan memang tempat penghasil beberapa macam obat-obatan yang amat mahal dan
mujarab, sering dikirim keluar daerah untuk mendapat imbalan yang cukup tinggi nilainya, maka
meski sekitar pegunungan dikepung ketat oleh tentara kerajaan, namun ada pula beberapa
pedagang obat-obatan yang bernyali cukup besar, mengundang orang-orang kosen dari
perusahaan ekspedisi untuk melindungi barang dagangannya, secara diam-diam diselundupkan
keluar. Para pedagang obat-obatan itu, setiba di Siau-kim-jwan, kebanyakan suka bertandang
menyambangi para pimpinan laskar gerilya. Tapi tidak teringat oleh Beng Goan-cau apakah benar
ia pernah melihat orang ini.
"Mungkin waktu itu dia berkunjung kepada Ling-toako, meski aku tidak mengiringi menyambut
kedatangan para tamu, tapi dia keluar masuk perkemahan laskar kita, bukan mustahil pernah
melihat diriku."--Pedagang obat macam itu amat banyak, meski mereka tidak kenal Beng GoanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
cau. demikian pula Beng Goan-cau tidak kenal mereka, hal itu adalah kejadian yang jamak dan
tidak perlu dianggap aneh.
Hilang rasa curiga Beng Goan-cau. tanyanya: "Kau ada persoalan apa minta aku membantu?"
Laki-laki baju hitam itu berkata: "Laki-laki berjambang bauk yang baru datang tadi, kukira Beng
Tayhiap sudah melihatnya bukan?"
"Dia kenapa?" "Dia hendak membunuh aku!"
Berpikir Beng Goan-cau: "Dugaanku ternyata tidak meleset, bangsat itu kiranya seorang begal
besar." Namun lahirnya diam saja, tanyanya: "Kenapa?"
"Bangsat itu pernah menjabat pelatih tentara di daerah Jwan-pak, mungkin sekarang sudah
dimutasikan, kembali ke daerah perbatasan di sebelah selatan sini. Dia tahu aku pernah menuju ke
Siau-kim-jwan, maka dia hendak mencelakai jiwaku." Penjelasan ini benar-benar di luar dugaan
Beng Goan-cau pula. Timbul amarah Beng Goan-cau, dengusnya: "Kalau begitu, bangsat itu lebih jahat dari para
perampok .umumnya!" "Siapa bilang tidak" Perampok biasanya mengincar harta belum tentu mencelakai jiwa orang.
Tapi keparat itu bukan saja mengincar barang-barangku, hendak mencelakai jiwaku pula, kalau
sampai aku kena dibekuk olehnya, tentu dituduh berkomplot dengan kaum pemberontak lagi!"
Timbul rasa setia kawan Beng Goan-cau, katanya: "Baik, malam ini boleh kau tidur bersamaku
saja, besok pagi-pagi, kuantar kau pergi. Meski aku harus mempertaruhkan jiwaku ini, jangan
harap keparat itu dapat mengganggu seujung rambutmu."
Laki-laki baju hitam diam-diam bersorak dalam hati, pikirnya: "Beruntung dia sedikit pun tidak
bercuriga dan berjaga-jaga terhadap diriku, kalau aku membokong, sembilan puluh persen pasti
dapat berhasil. Tapi kuatirnya bangsat berjambang bauk itu benar-benar sudah mengetahui
jejakku, belum tentu aku kuasa melawan dia. Lebih baik aku bekerja menurut rencana semula
saja, biar mereka saling bunuh sendiri, aku dapat mengambil keuntungan dari bentrokan mereka
ini." Belum lenyap pikirannya, mendadak didengarnya orang membentak di luar: "Orang she Ciok,
jangan harap kau bisa sembunyi, ayo menggelinding keluar!" Itulah suara laki-laki berjambang
bauk. Bercekat hati laki-laki baju hitam, diam-diam ia bersyukur dalam hati, pikirnya: "Untung aku
tidak bekerja secara sembrono!"
Beng Goan-cau segera menghunus golok balas membentak: "Bagus kedatanganmu!", baru saja
ia hendak terjang keluar, tiba-tiba "biang"' pintu kamarnya sudah ditendang terpental oleh orang
dari luar. Kontan laki-laki baju hitam mengayun tangan menyambitkan tiga batang piau dengan formasi
huruf "ping", satu di atas dua di bawah berjajar, masing-masing mengarah tiga tempat mematikan
di tubuh laki-laki berjambang bauk. Di waktu tengah malam gelap gelita dia dapat menyambitkan
senjata rahasia dengan sasaran yang tepat.
Bagi seorang ahli sekali turun tangan lantas diketahui isi kosong kepandaian orang, Beng Goancau
sendiri memang bukan ahli dalam menyambit senjata rahasia, namun pandangannya cukup
tajam, begitu laki-laki baju hitam turun tangan, seketika ia terkejut dibuatnya.
"Kepandaian pedagang obat ini kiranya tidak lemah," demikian Beng Goan-cau berpikir.
Sebetulnya para pedagang obat yang berani mencari obyek ke Siau-kim-jwan memang
kebanyakan memiliki kepandaian silat yang cukup lumayan. Tapi kepandaian laki-laki baju hitam
ini bukan saja baik, malah rada aneh, jauh di luar dugaan Beng Goan-cau.
Bagi seorang tokoh yang mem-bekal kepandaian cukup tinggi, meski menghadapi bencana
betapa pun hebatnya, untuk mohon bantuan kepada orang sebetulnya tidak perlu harus
merendahkan derajat sendiri begitu rupa, lain halnya lakilaki baju hitam ini terima berlutut untuk
mohon bantuan Beng Goan-cau. Tapi keadaan cukup gawat, Beng Goan-cau tiada tempo untuk
menganalisa persoalan sedemikian jauh.
Di dalam waktu sekejap itulah, segera terdengar suara tring-tring tiga kali, ketiga batang piau
kena disampuk kembali, terdengar laki-laki berjambang bauk tertawa dingin katanya: "Mengandal
kepandaian senjata rahasiamu ini, berani bertingkah dan jual lagak di hadapanku."
Kuping' Beng Goan-cau cukup tajam untuk mendengar jelas, bahwa ketiga Lian-cu-piau itu
kena diselentik balik oleh Tam-ci-sin-thong lawan. Bagi pandangan Beng Goan-cau bahwa
sambitan Lian-cu-piau laki-laki baju hitam yang mengarah tepat jalan darah itu sudah termasuk
kepandaian kelas tinggi, siapa tahu di pandangan laki-laki berjambang bauk kiranya tidak berharga
sepeser pun. Di atas langit ada langit yang lebih tinggi, di atas orang masih ada orang lain yang lebih liehay,
keruan Beng Goan-cau amat terkejut dibuatnya, pikirnya: "Tak heran laki-laki she Ciok ini mohon
bantuanku dan kelihatan amat takut kepadanya. Kepandaian silat laki-laki berjambang bauk ini
benar-benar jarang kulihat selama hidupku, mungkin aku pun bukan tandingannya."
Cepat sakali laki-laki berjambang bauk itu sudah menerjang masuk membobol pintu, sementara
laki-laki baju hitam lekas menggunakan gaya Kim-li-coan-poh (ikan lehi menembus gelombang),
cepat-cepat menerjang jendela melompat keluar melarikan diri.
Dalam kegelapan di dalam pintu tampak sinar golok berkelebatan, terdengar laki-laki
berjambang bauk itu mendengus, jengeknya: "Kiranya benar dugaanku semula!"
Dugaan apa tidak ia katakan, namun memang tiada kesempatan bagi dia untuk menjelaskan.
Tapi dari nada ucapannya ini, lapat-lapat Beng Goan-cau, dapat menangkap sedikit ke mana
juntrungan kata-katanya itu, yaitu orang menyangka bahwa Beng Goan-cau adalah sekomplotan
dengan laki-laki baju hitam.
Dalam hati Beng Goan-cau berteriak: "Salah dugaanmu!", tapi karena dia tadi sudah
meluluskan untuk bantu kesulitan laki-laki baju hitam, dan lagi kedua pihak sudah turun tangan,
tiada kesempatan bagi dia untuk mendebatnya.
Kedua pihak sama adalah tokoh kosen dalam bidang permainan golok, selamanya Beng Goancau
amat bangga akan permainan golok kilatnya, tak duga laki-laki berjambang bauk ini pun
menggunakan senjata golok, malah kalau dibandingkan, dirinya masih kalah setingkat, sudah
tentu ia jadi terdesak di bawah angin.
Hanya dalam sekejap mata itu, laki-laki berjambang bauk sudah memberondong dengan
kecepatan kilat membacok enam kali enam tiga puluh enam golok, terpaksa Beng Goan-cau harus
melancarkan Yu-sin-pat-kwa-to yang terkenal akan keruwetan perubahannya di bulim. Untuk
menghadapinya, setiap jurus permainan goloknya sama mengandung tiga perubahan tipu-tipu
yang liehay, beruntun ia pun sudah melancarkan sembilan jurus dua puluh tujuh kenibangan yang
rumit. Kedua pihak sama menggunakan serangan golok cepat, maka terdengarlah suara "cras" golok
laki-laki berjambang-bauk boleh dikata tepat sekali memapas miring menyerempet pundak Beng
Goan-cau, tajam goloknya berhasil mengiris sobek bajunya. Kontan Beng Goan-cau angkat kaki
menendang meja minuman yang terdapat di dalam kamar mencelat terbang menerjang lawan.
"Trak" golok laki-laki berjambang bauk membacok amblas tiga dim kena meja, karena terlalu
bernafsu ia tidak berhasil membacok hancur meja tebal itu. Sementara Beng Goan-cau dapat
mencelat mundur ke pojok kamar berkesempatan mengganti napas.
Sebuah Boan-koan-pit laki-laki baju hitam terpental terbang ke tengah udara, golok cepat Utti
Keng laksana kilat membacok tiba ke arah punggungnya. Lekas Beng Goan-cau membentak:
"Jangan tertingkah masih ada aku!"
Meski laki-laki berjambang bauk berada di atas angin, namun hatinya rada terkejut juga.
Ternyata biasanya ia sudah malang melintang di utara dan selatan mengandal kehebatan golok
kilatnya, selama hidup belum pernah ketemu tandingan, tak duga malam ini ia terbentur dengan
Beng Goan-cau, pemuda yang baru berusia dua puluhan, namun dapat melancarkan permainan
golok cepat pula untuk melawan dirinya, sekaligus ia tadi melancarkan tiga puluh enam jalan ilmu
goloknya, paling-paling cuma berhasil mendesak mundur Beng Goan-cau beberapa langkah.
Timbul rasa sayang di dalam benak laki-laki berjambang bauk, mendadak ia tersentak sadar,
pikirnya: "Orang she Ciok itu merupakan buronan yang penting, kenapa aku berkutat saja dengan
pemuda ini?"--Seiring dengan pikirannya, tenaga segera dikerahkan, sekali gertak kontan ia bikin
meja tebal itu terbacok berkeping-keping, sigap sekali ia memutar tubuh terus menerobos ke
pekarangan luar mengejar ke arah laki-laki baju hitam.
Pecahan kayu meja yang beterbangan ada secuil yang mencelat mengenai badan Goan-cau,
meski latihan lwekang Beng Goan-cau cukup tinggi ternyata ia merasa kesakitan juga. Lebih
terkejut Beng Goan-cau dibuatnya, pikirnya:
"Bukan saja ilmu golok laki-laki jambang bauk ini lebih liehay dari aku, lwekangnya pun jauh
lebih unggul."' Namun Beng Goan-cau pernah meluluskan laki-laki baju hitam untuk membantu kesulitannya,
ia bersumpah untuk mengorbankan jiwa sendiri pula, meski ia tahu dirinya bukan bandingan
orang, namun sedikit pun ia tidak gentar ikut mengejar keluar, batinnya: "Seorang laki-laki harus
menepati janji, masa aku harus mundur menghadapi kesulitan?"
Waktu Beng Goan-cau berlari berlari keluar, tampak si jambang bauk itu sudah melabrak lakilaki
baju hitam di tengah jalan raya.
Senjata laki-laki baju hitam adalah sepasang boan-koan-pit, sinar perak berkilauan di kegelapan
malam ditarikan begitu kencang membayangkan sinar perak berlapis-lapis laksana lingkaran badan
ular putih yang pentang mulut siap mematuk mangsanya. Bersorak girang hati Beng Goan-cau,
pikirnya: "Walau kepandaian laki-laki baju hitam ini bukan tandingan lawan, terpautnya juga tidak
terlalu jauh, jika aku bergabung dengan dia, meski tidak bisa menang, agaknya sulit bisa
dikalahkan begitu saja."
Sembari melabrak lawannya, laki-laki berjambang bauk berkaok-kaok, suaranya yang lantang
serta rangsakan senjatanya yang hebat benar-benar menciutkan nyali orang, mendadak ia
bacokkan goloknya dari sebelah atas, lekas laki-laki baju hitam angkat potlot-nya menangkis,
begitu saling bentur, "trang!" bunga api beterbangan, kontan salah sebuah potlot laki-laki baju
hitam mencelat terbang ke tengah udara.
"Lari ke mana?" bentak laki-laki berjambang bauk, tebasan goloknya laksana kilat, memburu
maju langsung ia membacok ke belakang punggung laki-laki baju hitam yang berusaha melarikan
diri. Tepat saat itu Beng Goan-cau memburu tiba, bentaknya: "Jangan pongah, masih ada aku!"-
Tiba suaranya datang pula sambaran goloknya membacok ke punggung laki-laki berjambang bauk.
Potlot laki-laki baju hitam tinggal satu batang, lari sudah terang tidak mungkin, diam-diam ia
mengeluh dalam hati, apa boleh buat demi menyelamatkan jiwa ia sampukkan potlotnya ke
belakang untuk menangkis. Dengan sepasang potlot andalannya tadi ia tidak mampu melawan
permainan golok cepat musuh, apa lagi kini senjatanya tinggal satu, mana mampu dia melawan"
Terdengar pula "trang" yang keras, batang potlot di tangan kanan laki-laki baju hitam tergumpil
sebagian oleh golok pusaka lawan, namun tidak sampai tergetar lepas. Keruan kejadian ini cukup
membuat laki-laki baju hitam melengak heran di luar dugaan.
Soalnya Beng Goan-cau menyusul tiba pada waktunya, laki-laki berjambang bauk pernah
menjajal kepandaian goloknya, sudah tentu ia tidak berani pandang rendah musuh mudanya ini.
Memang hebat kepandaian ilmu golok laki-laki jambang bauk, begitu liehay dan cepatnya
permainan goloknya sampai sulit dilukiskan dengan kata-kata, begitu ia merasa kesiur angin
menyerang dirinya dari belakang, lekas sekali ia membalikkan goloknya menyampuk miring golok
cepat Beng Goan-cau, berbareng kakinya menjejak tanah badannya lantas melejit ke depan,
belum lagi kakinya menyentuh tanah goloknya sudah terangkat tinggi di atas kepala terus
membacok ke batok kepala laki-laki baju hitam.
Meski kepandaian laki-laki baju hitam setingkat di bawahnya, namun kepandaiannya pun cukup
tinggi, apalagi mendapat bantuan Beng Goan-cau dari sebelah belakang, sedikit banyak
menghambat gerak geriknya, maka ia berkesempatan menjangkitkan ujung kakinya membuat
senjata potlotnya yang terjatuh di tanah mencelat ke atas serta berhasil diraihnya. Dengan
bersenjata sepasang potlotnya, nyalinya bertambah besar. tidak lari kini ia membalikkan badan,
dengan jurus Siang-liong-jut-hay (sepasang naga keluar dari laut), menyerang untuk membela
diri, beruntung ia dapat mengatasi serangan golok cepat si jambang bauk.
Beng Goan-cau sudah menubruk maju pula. Keruan laki-laki jambang bauk menjadi murka,
hardiknya: "Kulihat usiamu masih terlalu muda, maka sengaja kuberi kelonggaran dan
mengampuni jiwamu, kini kau meluruk datang pula untuk mengantar kematian!"
"Demi kawan, pundak tertusuk golok juga rela, berkorban pun tidak menjadi soal!" belum
lenyap suaranya, permainan golok cepat kedua pihak sudah saling bentur tujuh delapan kali,
begitu keras benturan kedua golok mereka sehingga kuping laki-laki baju hitam mendengung dan
pekak rasanya. Diam-diam laki-laki baju hitam bersorak syukur, batinnya: "Untung aku tadi tidak
keburu turun tangan menamatkan jiwa orang she Beng ini, kalau tidak, mungkin aku sekarang pun
sudah menjadi setan gentayangan oleh golok cepat si jambang bauk."
Bukan saja ilmu golok si jambang bauk tinggi, pengalaman tempurnya pun cukup luas, sedikit
pun ia tidak jadi terhalang perhatian dan melepaskan laki-laki baju hitam karena tekanan golok
cepat Beng Goan-cau. Di dalam pertempuran sengit itu, tampak goloknya yang berpunggung tebal
itu bermain amat lincahnya, menuding timur membacok ke barat, menunjuk selatan menabas ke
utara, dua pihak sama dapat diatasinya dengan sempurna, setiap jurus permainan tipu goloknya
pun amat serasi dan tepat pula pada incarannya, sungguh ajaib dan menakjubkan.
Beng Goan-cau bergabung dengan laki-laki baju hitam sedikit berada di atas angin, namun
karena lwekang si jambang bauk berada di atas mereka, setiap kali senjata mereka saling bentur,
Beng Goan-cau selalu merasa telapak tangannya tergetar sakit dan kesemutan, tiga puluh jurus
kemudian, jantungnya berdetak semakin keras, hampir saja ia susah bernapas. Bercekat hati Beng
Goan-cau, pikirnya: "Dalam seratus jurus, kalau kami belum mampu' mengalahkan dia, mungkin
kami sendiri yang bakal kena dikalahkan olehnya."
Memperoleh posisi tempur yang lebih menguntungkan, tiba-tiba si jambang bauk menggeleng
kepala serta berkata: "Sayang, sayang!"
Dalam hati Beng Goan-cau juga membatin: "Kaulah yang harus disayangkan, memiliki
kepandaian setinggi ini, terima diperbudak dan menjadi anjing alap-alap bangsa penjajah!"-Karena
desakan si jambang bauk amat ketat, bernapas pun rasanya sukar, kata-kata yang terkandung
dalam benaknya ini jadi sulit diutarakan.
Begitu mendengar perkataan si jambang bauk, bercekat hati laki-laki baju hitam, diam-diam ia
membatin: "Bualanku hanya dapat mengelabuhi sementara saja, kalau si jambang bauk ini sampai
banyak bicara dengan bocah she Beng ini, membuka rahasia diriku, aku bakal mati tanpa ada liang
kubur lagi." Karena pikirannya ini, hatinya menjadi menjadi jeri. "Tiga puluh enam jalan, lari adalah akal
yang paling tepat! Mumpung bocah she Beng masih belum mengetahui bualanku, biar dia saja
yang menjadi setan gentayangan mewakili aku." Setelah hatinya bertekad, cepat kedua potlotnya
dimainkan lebih gencar mendesak lawan, tiba-tiba ia mencelat mundur terus putar tubuh
melarikan diri. Tatkala itu si jambang bauk kebetulan dapat mengubah situasi sama setanding dan berimbang,


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki baju hitam sulit dapat mengalahkan musuhnya, namun untuk melarikan diri kiranya bukan
soal sulit. Tanpa memberi aba-aba sebelumnya lelaki baju hitam ini terus melarikan diri meninggalkan
Beng Goan-cau seorang diri. Sudah tentu Beng Goan-cau menjadi kurang senang, namun dia
seorang polos yang paling suka menepati janji, dalam hati ia berpikir: "Sebagai seorang yang
punya keluarga, ia jadi ketakutan oleh labrakan musuh, tidak bisa kusalahkan dia mengutamakan
keselamatan jiwa sendiri lebih dulu. Siapa suruh aku begitu gegabah meluluskan permohonannya"
Baiklah, biar dia yang hutang budi kepadaku, namun aku tidak bisa ingkar janji kepadanya!" Untuk
melindungi laki-laki baju hitam itu, permainan golok Beng Goan-cau lebih dipergencar dan seperti
ingin mengadu jiwa. Permainan golok cepat Beng Goan-cau meski tidak bisa meng-ungkuli lawan, tapi gerak
perubahan dan variasi permainannya jauh lebih unggul dari ilmu golok musuh, dalam waktu
singkat sulit si jambang bauk dapat menjebol pertahanan lawan mudanya yang kokoh dan hebat
ini, karena itu ia jadi murka, bentaknya: "Kau bocah busuk ini memang tidak tahu kebaikan,
baiklah, kalau kau suka terima dihukum tertusuk golok kedua pundakmu demi keselamatan
kawan, biar tuan besar menyempurnakan keinginanmu!"
Mereka bertempur dan berkaok-kaok di jalan raya, yang bernyali kecil sama mengkeret di
dalam selimut, sementara yang bernyali besar segera mencuri lihat dari jendela, tapi serta melihat
si jambang bauk begitu garang dan buas menakutkan, meski nyali mereka besar, siapa yang
berani keluar memisah perkelahian mereka.
Di jalan raya ini terdapat dua rumah penginapan, letaknya tidak jauh dari hotel tempat Beng
Goan-cau menginap, di dalam penginapan yang lain ini, terdapat seorang tamu perempuan
berusia dua puluhan, begitu mendengar suara pertempuran, timbul rasa tertariknya, saat mana ia
pun ikut membuka jendela dan memandang keluar. Begitu ia melihat jelas, seketika ia terkejut
pikirnya: "Kiranya paman Utti, sungguh kebetulan. Entah siapakah pemuda itu, begitu liehay juga
permainan goloknya dapat menandingi golok cepatnya."
Ternyata laki-laki jambang bauk ini adalah sahabat ayahnya, karena mendengar suara
gerungan dan kaok-kaok si jambang bauk inilah maka dia membuka jendela.
Golok si jambang bauk semakin kencang, dikembangkan semakin cepat laksana gelombang
sungai Tiangkang, bergulung-gulung tak berkeputusan. Saking bernafsu tiba-tiba ia menghardik
keras laksana geledek, disusul dengan bacokan golok yang mematikan! Beruntun ia menghardik
tiga kali, beruntun Beng Goan-cau pun tersurut mundur sembilan langkah. Boleh dikata
serangannya laksana kilat dan geledek murka, pertahanan bagai tanggul baja yang sekokoh
gunung, yang satu menyerang yang lain membela diri, kedua pihak sama hebat dan cekatan,
sungguh menakjubkan sekali.
Walaupun Beng Goan-cau tersurut sembilan langkah, dalam waktu pendek, si jambang bau pun
tidak mampu melukainya. Akan tetapi, tak urung Beng Goan-cau bermandikan peluh dibuatnya.
Berpikir Beng Goan-cau: "Laki-laki baju hitam itu tentu sudah pergi jauh, aku sudah bekerja
sekuat kemampuanku, terhitung sudah membantu kesulitannya sesuai dengan janjiku. Kalau
pertempuran dilanjutkan, mungkin jiwaku sendiri sulit diselamatkan!"
"Lari ke mana?" bentak si jambang bauk. "Wut" goloknya pun membacok tiba. Lekas Beng
Goan-cau membelakangi tubuh sembari melancarkan tipu Pek-ho-jan-ci. "Trang" dua golok saling
bentur, badan Beng Goan-cau terhuyung maju ke depan, agaknya hampir roboh terjerembab,
namun ternyata kakinya menggunakan gerak langkah Cui-pat-sian, meminjam dorongan tenaga
besar lawan, lekas kakinya menutul bumi enteng seperti bangau putih pentang sayap badannya
melejit terbang ke depan terus melambung naik hinggap di wuwungan rumah orang.
Dalam hati si jambang bauk memuji: "Ginkang yang bagus!" tubuhnya pun ikut mencelat lurus
ke atas, ia mengejar dengan cepat sekali sembari menusukkan goloknya, tusukan goloknya ini
sebetulnya secara kebetulan dapat menusuk telapak kaki Beng Goan-cau, namun tiba-tiba
pikirannya berubah, serta merta cara tusukannya menjadi merandek sedikit, hanya terpaut
setengah dim, hampir saja kaki Beng Goan-cau sudah berlubang.
Begitu hinggap di atas rumah si jambang bauk angkat kepala, dilihatnya Beng Goan-cau
melarikan diri ke arah barat, arah yang berlawanan dengan laki-laki baju hitam melarikan diri.
Tujuan Beng Goan-cau amat jelas, dia menghendaki si jambang bauk sulit membagi diri, jikalau
mengejar dirinya, berarti ia tidak bisa mengejar laki-laki baju hitam itu.
Sebetulnya si jambang bauk menaruh sayang dan kagum kepada Beng Goan-cau, namun
karena dia merintangi usahanya, keruan membuat amarahnya berkobar. "Bocah keparat ini rela
menjual jiwa bagi junjungannya, hm, tentu bukan manusia baik-baik pula. Tapi kalau aku tidak
melepaskan dia, berarti memberi keuntungan bagi buruanku yang utama."
Tengah ia beragu diri, tiba-tiba didengarnya sebuah seruan nyaring merdu: "Paman Utti!"
seorang gadis menerjang keluar dari sebuah jendela.
Utti Keng menjadi kejut dan girang pula, teriaknya: "Bu-siang, kaukah itu?"
Ternyata gadis ini bukan lain adalah Lim Bu-siang yang meluruk ke Soh-ciu hendak memberi
kabar kepada Beng Goan-cau. Sayang dia tidak kenal orang yang hendak dicarinya baru saja
berada di hadapannya. Si jambang bauk girang dan heran pula, katanya: "Bu-siang, kenapa kau pun berada di sini?"
"Kalau dibicarakan amat panjang, siapakah orang yang bergebrak dengan kau?"
"Urusanku bila dibicarakan pun cukup panjang. Bu-siang titli, coba kau bantu aku lebih dulu,
bicara belakang." "Silakan paman katakan!"
"Kejarlah bocah itu, kepandaian silat bocah itu amat tinggi, kau harus hati-hati!"
Lim Bu-siang mengiakan. Sementara dalam hati ia membatin: "Paman Utti berhati sirik dan
benci akan kejahatan, orang itu tentu seorang penjahat besar yang keliwat takaran dosanya!"
Begitu mengiakan, tanpa banyak kata Lim Bu-siang segera angkat langkah mengejar ke jurusan
Beng Goan-cau melarikan diri.
Baru saja si jambang bauk berniat kembali ke hotel, menunggang kuda suri merahnya untuk
mengejar laki-laki baju hitam, tiba-tiba tergerak hatinya, maka dengan menggunakan mengirim
gelombang suara jarak jauh ia berseru kepada Bu-siang sambil mengerahkan lwekangnya: "Kau
harus hati-hati melayaninya, tidak perlu kau bunuh dia, lebih baik kalau bisa melibat dia sekian
waktu supaya dia tidak mampu lari, sebentar aku akan menyusul tiba."
"Aku tahu!"-Dalam pada itu Lim Bu-siang sudah berlari keluar dari kota kecil itu, jawabannya itu
ia pun kirim menggunakan ilmu yang sama sambil mengerahkan lwekang dari kejauhan.
Kata-kata 'aku tahu' seolah-olah dikatakan di pinggir kuping si jambang bauk. Keruan si
jambang bauk melengak dan tertawa senang, pikirnya: "Bu-siang si budak ini benar-benar
membuat aku takluk lahir batin, terpaut baru tiga tahun, latihan lwekangnya sudah maju begitu
pesat, boleh dikata hampir melampaui diriku. Bocah itu sudah bertempur dengan aku sekian lama,
seandainya Bu-siang tidak mampu mengalahkan dia, pasti tidak akan terkalahkan oleh dia!"
Legalah hati si jambang bauk, lekas ia berlari masuk ke dalam istal, menuntun keluar kuda suri
merahnya. Di ambang pintu istal sudah ditumpuk kotoran kuda, si jambang bauk berwatak
berangas-an lagi, seperti angin lesus saja ia memburu masuk ke dalam istal, sedikit pun tidak
memperhatikan sekitarnya, keruan kaki dan pakaiannya berlepotan kotoran kuda, baunya sungguh
tak sedap dirasakan. Dongkol dan uring-uringan pula si jambang bauk dibuatnya, makinya dalam hati: "Entah
bangsat keparat atau bocah busuk itu yang melakukan, berani mempermainkan Locu! Hm, pendek
kata satu di antara mereka, tidak mungkin orang ketiga. Orang she Ciok itu bila sampai teringkus
di tanganku, paling ringan harus kubeset kulitnya kubetot uratnya, sementara bocah busuk itu
akan kujejal kotoran kuda mulutnya!"-Sedikit pun tidak terpikir olehnya bahwa orang yang
menumpuk kotoran kuda di muka pintu adalah pemilik rumah penginapan itu.
-ooo0dw0ooo- Beng Goan-cau berlari-lari bagai terbang di jalan raya, hatinya pun sedang uring-uringan dan
dongkol. Baru pertama kali ini selama ia kelana di kangouw kena dikalahkan begitu mengenaskan.
Sedikit banyak ia gegetun terhadap laki-laki baju hitam yang tidak tahu kebaikan. "Kalau nyalinya
tidak sekecil tikus, melarikan diri lebih dulu, mengandal kekuatan kami berdua, rasanya takkan
sampai terkalahkan dan harus melarikan diri," demikian batin Beng Goan-cau.
Waktu Beng Goan-cau uring-uringan, tiba-tiba dirasakan di sebelah belakang seperti ada orang
mengejar datang. Waktu Beng Goan-cau berpaling ke belakang, dilihatnya yang mengejar datang itu adalah
seorang gadis muda, sejenak ia tercengang, pikirnya: "Nona ini usianya paling-paling sebaya
dengan siau-sumoay, ginkangnya ternyata begitu tinggi! Kalau aku tidak pernah melatih
mendengar angin membedakan senjata, hampir saja aku tidak tahu ada orang menguntit di
belakangku. Tapi untuk apa dia mengejar aku" Apakah dia juga cakar alap-alap pihak kerajaan"
Tidak! Tidak mungkin! Nona secantik itu tidak mungkin terima diperbudak oleh kaum penjajah.
Kenapa aku boleh sembarang menduga."
Di saat Beng Goan-cau merasa jalan pikiran sendiri yang rada tidak benar itu, sesaat ia jadi sulit
berkeputusan. Sementara gadis itu melihat dia berpaling segera membuka suara lebih dulu: "Kau
tidak akan bisa lolos! Berdiri di tempatmu!"
Beng Goan-cau terkejut, katanya: "Tak nyana, ternyata kau se-komplotan dengan laki-laki
bangsat jambang bauk itu!"
"Jangan sembarang menista!" hardik Lim Bu-siang. "Kalau ingin hidup, lekas letakkan senjata,
dan terima kuringkus saja." Melihat sorot mata tajam Beng Goan-cau serta alisnya yang tegak
berdiri, berwajah halus dan putih cakap, tidak seperti tampang penjahat, diam-diam ia membatin
dalam hati: "Paman Utti hanya menyuruh aku melibatnya saja, aku pun tidak ingin melukainya,
semoga aku dapat menghindari pertumpahan darah!"
Lim Bu-siang menyuruh orang meletakkan senjata, maksud tujuannya adalah baik. Tapi bagi
pendengaran Beng Goan-cau malah sebaliknya, keruan ia naik pitam, serunya bergelak tertawa:
"Aku orang she Beng malang melintang di utara dan selatan sungai besar, entah berapa banyak
para enghiong yang pernah kujumpai, selama itu belum pernah terjadi ada orang berani menyuruh
aku meninggalkan senjataku! Hm! Kulihat kau kaum hawa aku tidak sudi berpandangan secupat
kau, kalau kau mampu mengejar, marilah susul aku, maaf aku tidak bisa mela-yanimu lebih lama!"
Lim Bu-siang paling sirik bila ada orang memandang rendah dirinya, keruan ia pun menjadi
marah, dampratnya: "Baik! Berani kau pandang ringan nonamu! Agaknya kau lebih suka diberi
arak hukuman daripada arak suguhan!"
Beng Goan-cau memang sengaja hendak menjajal ginkang orang, lekas ia percepat langkah
kakinya. Dikembangkannya ginkang tingkat tinggi Pat-pou-kan-sian, diluar tahunya setelah
mengalami pertempuran sengit belum lama ini, tenaganya sudah banyak terkuras habis,
sebetulnya ginkangnya masih setingkat dan berimbang dengan Lim Bu-siang, tapi setelah
sesulutan dupa kemudian, lama kelamaan ia kena terkejar oleh Lim Bu-siang.
Menggunakan gaya lompatan yang indah, Lim Bu-siang melejit terbang melewati samping
tubuh Beng Goan-cau terus mencegat jalan larinya, katanya tertawa dingin: "Kukatakan kau tidak
akan mampu lolos kau tidak percaya, huh! Coba berani kau pandang ringan orang lain?"
"Bisa lolos atau tidak kau harus bertanya dulu kepada golok pusakaku ini," demikian jengek
Beng Goan-cau. "Terlalu pagi sekarang kau membuka mulut lebar!"
"Baik! Silakan turun tangan!" tantang Lim Bu- siang.
Beng Goan-cau menggenggam gagang goloknya, katanya tawar: "Mana boleh aku mengambil
keuntunganmu, bukankah kau hendak meringkus aku" Jangan cerewet, ayo seranglah!"
Berang Lim Bu-siang dibuatnya, pikirnya: "Bangsat ini tidak tahu kebaikan, terpaksa aku harus
membuatnya sedikit terluka!" "Sret!" segera pedangnya menusuk seraya membentak: "Sambut
seranganku!"--Tusukan pedang yang dilancarkan ini adalah salah satu jurus terliehay dari ilmu
pedang Hu-siang-pay yang sekaligus dapat menotok jalan darah musuh.
Semula Beng Goan-cau juga rada memandang ringan lawannya, serta melihat tusukan pedang
Lim Bu-siang yang amat liehay ini, baru ia insyaf sudah kebentur lawan tangguh, di antara sinar
golok dan bayangan pedang berkelebat terdengarlah suara "cras!", baju Beng Goan-cau tahu-tahu
berlubang tertembus ujung pedang Lim Bu-siang. Sedang pedang Lim Bu-siang keburu kena
dibentur oleh punggung golok Beng Goan-cau sehingga batang pedangnya tergen-tak
mendengung, telapak tangan pun terasa kesemutan.
Gebrak babak pertama ini kedua pihak sama dibuat kaget dan mencelos hati masing-masing.
Beng Goan-cau tidak menduga ilmu pedang Lim Bu-siang sedemikian lincah dan liehay. Diamdiam
ia menyesal akan sifatnya yang takabur, rasa memandang ringan lawan segera kuncup dari
sanubarinya. Demikian juga Lim Bu-siang, diam-diam mengeluh dalam hati, pikirnya: "Dia sudah bertempur
sengit sekian lamanya dengan paman Utti, tenaganya masih sedemikian hebat! Tugas berat ini
sudah diserahkan kepada aku oleh paman Utti, kalau dia sampai berhasil lolos mana ada muka aku
menemui Paman Utti" Untung tidak lama lagi paman Utti bakal menyusul datang. Tidak perlu aku
terlalu bernafsu mengalahkan lawan, yang penting aku harus bisa mengulur waktu saja!"
Setelah berketetapan, gerak permainan pedang Lim Bu-siang dirubah, gerak pedangnya seperti
menari mengutamakan kelincahan, bajunya melambai, kakinya melangkah, seperti terbang,
bergerak di tengah udara, maju mundur ke barat atau ke timur, bergerak menyesuaikan gerakan
pedang seolah-olah pedang dan tubuhnya sudah bersatu padu. Pertahanannya, kokoh rapat
seperti awan mengembang air mengalir, tak putus-putus sedikit pun tidak bisa disentuh. .
Beng Goan-cau pun mengembangkan ilmu goloknya yang ampuh dan serba kilat, sekaligus ia
membacok dan membabat tiga puluh enam serangan, namun ujung baju Lim Bu-Siang saja ia
tidak mampu menyentuhnya, untuk melepaskan diri tidak mungkin lagi, lama kelamaan ia menjadi
gelisah dan gundah. Ternyata Lim Bu-siang mematuhi pesan laki-laki jambang bauk, ia hanya
berusaha melibat Beng Goan-cau sehingga tidak kuasa melarikan diri, tiada niatnya hendak
mengadu jiwa dengan lawannya. Cara gebrakannya selalu menggunakan serangan gertakan,
sedikit menyentuh lawan lantas ditarik mundur. Tak peduli ke mana saja Beng Goan-cau berada,
ujung pedangnya selalu menuding kesa-sarannya dengan tepat. Beng Goan-cau sendiri sebaliknya
tidak ingin melukai orang, cara bagaimana ia harus meloloskan diri"
Semakin dipikir hati Beng Goan-cau semakin gelisah, batinnya: "Berlaku bajik terhadap musuh
berarti berlaku kejam terhadap diri sendiri, kalau toh aku sudah tahu bahwa dia adalah cakar alapalap
kerajaan, kenapa aku harus menaruh belas kasihan segala?" Terpikir sampai di sini, tiba-tiba
ia kertak gigi, permainan goloknya semakin gencar, setiap jurus bacokan goloknya tentu
menggunakan tenaga besar dan tipu-tipu yang mematikan.
Lim Bu-siang sendiri lama kelamaan pun merasa kepayahan, badannya basah kuyup oleh
keringat, akhirnya ia pun kertak gigi, serunya: "Kau memang mendesak aku untuk melukaimu!"
jelas tidak mungkin ia bermain mengalah atau berlaku sabar lagi, mendadak ia berputar gerakan
pedangnya, beruntun ia lancarkan sejurus tipu pedang yang peranti untuk gugur bersama musuh.
Ilmu pedang Hu-siang-pay banyak berlainan dengan ilmu pedang Tionggoan umumnya tipu
gugur bersama ini dilancarkan secara aneh dan dari sasaran yang sulit diduga sebelumnya, dalam
keadaan bernafsu menyerang tanpa hiraukan keselamatan diri sendiri itu, mana Beng Goan-cau
mampu meluputkan diri" Cras, ujung pedang lawan berhasil menggores sebuah luka panjang di
lengan kiri Beng Goan-cau.
Tatkala itu bila Lim Bu-siang mau mengerahkan sedikit tenaganya, seluruh lengan kiri Beng
Goan-cau tanggung berpisah dari badannya, tapi Lim Bu-siang tidak tega turun tangan secara
kejam, dalam hati malah ia berpikir: "Kecuali terpaksa, paman Utti ada berpesan supaya aku
jangan melukainya. Kenapa aku harus membuatnya cacat?" Karena jalan pikirannya ini, serta
merta gerakan ujung pedangnya menjadi lamban dan lekas ditarik mundur.
Beng Goan-cau sedang menubruk maju dengan nekad dan bertempur cara mengadu jiwa,
mendadak ujung pedang lawan tahu-tahu sudah menuding tiba di depan dadanya. Untuk berkelit
terang tidak mungkin lagi, kontan ia menggerung keras, goloknya membacok dari atas dengan
kekuatan penuh. Tapi sebelum goloknya tiba mengenai sasarannya, terasa lengan kirinya hanya
teriris luka seperti digigit semut, tidak begitu sakit, secepat kilat pula tahu-tahu ujung pedang
lawan sudah ditarik balik. Sebagai seorang ahli silat yang cukup tinggi kepandaiannya, sudah tentu
Beng Goan-cau tahu bahwa pihak lawan sebetulnya cukup mampu mengu-tungi sebelah
lengannya, bahwa Lim Bu-siang tiba-tiba menarik kembali pedang dan mengendor-kan tenaganya
benar-benar di luar dugaannya.
"Masakah aku hendak bunuh dia, malah dia menaruh belas kasihan kepada aku?" demikian
batin Beng Goan-cau. Jalan pikirannya itu berlangsung amat cepat, meski bacokan goloknya ini
tidak mampu ditariknya kembali, dan membacok terus ke arah musuh, namun tenaga bacokannya
sudah banyak ditarik sebagian besar. "Trang", golok dan pedang saling beradu, bunga api
berpercik, dengan gaya Sip-hiong-kiau-hoan-hun (menarik dada jumpalitan di tengah mega) Lim
Bu-siang lekas-lekas jumpalitan ke belakang tiga tombak jauhnya.
Kalau bacokan golok ini jadi dilancarkan menggunakan seluruh tenaganya, meski Lim Bu-siang
berhasil menabas kutung sebelah lengannya, namun dia sendiri bukan mustahil bakal terluka
parah, malah mungkin jiwanya melayang di bawah bacokan golok maut Beng Goan-cau yang
hebat itu. Kepandaian silat Lim Bu-siang sendiri tidak di sebelah bawah kemampuan Beng Goan-cau.
Syukur Beng Goan-cau tidak menggunakan setaker tenaganya, dikejap pada saat kedua senjata
mereka saling bentur itu, Lim Bu-siang lantas menyadari hal ini. Seperti pula Beng Goan-cau ia
pun melengak keheranan. "Agaknya orang ini bukanlah bangsa penjahat yang berhati culas dan
kejam!" demikian batin Lim Bu-siang.
"Apa kau masih tidak mau memberi jalan?" bentak Beng Goan-cau.
Setelah jumpalitan itu, Lim Bu-siang masih tetap menghadang di depan Beng Goan-cau.
Merah muka Lim Bu-siang, katanya: "Terima kasih akan kemurahan hatimu, tapi bila kau ingin
lari betapapun tidak bisa! Aku sudah berjanji kepada paman Utti untuk menahan kau supaya tidak
melarikan diri!" Bertaut alis Beng Goan-cau, katanya: "Kau tidak mengutungi lenganku, aku paham dan
mengerti. Kau pun tidak perlu menerima terima kasihku, begitu pula aku pun tidak merasa hutang
budi kepadamu, hitung saja kita seri dan sama' impas. Tapi kalau toh kau memang mempersulit
diriku, jangan salahkan bila aku tidak sungkan lagi terhadap kau. Kau hendak bunuh aku atau
tidak, kalau kau tidak minggir, maka aku harus menyingkirkan kau, bila perlu terpaksa main bunuh
habis perkara!" Lim Bu-siang menghela napas, ujarnya: "Sayang kepandaianmu yang tinggi ini. Kudengar nada
bicaramu agaknya tidak mau insyaf dan bertobat. Ai, apa boleh buat, aku kuasa mengalahkan kau
atau tidak, yang terang kau harus tetap kucegah melarikan diri, pendek kata kalau bukan aku
yang mati biarlah kau yang mampus!"
Dalam benak Lim Bu-siang merasa sayang dan kasihan akan kesesatan pikiran Beng Goan-cau,
serta merta perasaan ini ia limpahkan pada mimik wajahnya. Beng Goan-cau tergerak hatinya, tak
urung berpikir ia dalam hati: "Dia rada mirip siau-sumoay, cuma dipandang air mukanya saja
begitu polos dan jujur seperti lagak siau-sumoay! Ai, siapa duga dia rela berbuat kejahatan demi
mengejar kedudukan dan pangkat bagi kaum penjajah!"-Terpikir sampai di sini, tak terasa ia pun
menghela napas, katanya dingin: "Sayang! Sayang!"
Terangkat alis Lim Bu-siang, tanyanya sambil menekan gagang pedang: "Sayang apa?"
"Perempuan secantik dan segagah kau, ternyata juga rela diperbudak dan menjadi bangsat!"
"Apa maksud perkataanmu?" sentak Lim Bu-siang.
"Sayang nona secantik kau ini, rela diperbudak dan menjadi anjing alap-alap pihak kerajaan!"
demikian maki Beng Goan-cau lantang.
"Apa katamu" Aku adalah anjing alap-alap pihak kerajaan?" mendadak berdebur keras jantung
Lim Bu-siang, teringat olehnya Kim Tiok-liu pernah menjelaskan bahwa Beng Goan-cau terkenal
namanya dan malang melintang mengandal permainan golok cepatnya. "Golok cepat orang ini


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu menandingi paman Utti, agaknya tadi ia pun memperkenalkan diri she Beng?"
"Kau she apa?" mendadak Lim Bu-siang bertanya.
Beng Goan-cau melengak, tidak duga olehnya Lim Bu-siang bakal mengajukan pertanyaan
demikian, sejenak ia melenggong, lalu dengan pandangan tidak habis mengerti ia tatap Lim Busiang,
katanya: "Bukankah kau sudah tahu bahwa aku buronan pemerintah lalu mengejar dan
hendak menangkap aku" Seorang laki-laki sejati berjalan tidak mengubah nama, duduk tidak
mengganti she. Aku adalah Beng Goan-cau, Beng Goan-cau adalah aku!"
Bukan kepalang kejut Lim Bu-siang, teriaknya: "Jadi kau adalah Beng Goan-cau, benar-benar
suatu kesalahpahaman yang tidak terduga!"
"Salah paham apa?" tanya Beng Goan-cau.
"Beberapa hari yang lalu aku pernah datang ke rumahmu, tidak ketemu mencarimu."
"Untuk apa kau mencari aku?"
"Ada anjing alap-alap pihak kerajaan hendak mencari kesulitan pada kau, Kim Tiok-liu minta
aku menyampaikan kabar ini kepadamu!"
"Maksudmu Kim Tayhiap Kim Tiok-liu dari karesidenan Tang-ping di propinsi Shoatang?"
"Benar! Mereka suami istri mendapat berita jelek ini, lalu menyuruh aku menyampaikan kabar
ini kepadamu!" Beng Goan-cau ragu-ragu, setengah percaya setengah tidak. Tanyanya menegas: "Apa benar
ucapanmu?" "Kenapa aku menipumu, di rumahmu aku bertemu dengan sahabat baikmu Song Theng-siau!
Kalau tidak percaya, kelak kau boleh bertanya kepadanya!"
Kejut dan girang pula hati Beng Goan-cau, katanya: "'Ternyata Theng-siau juga sudah kembali
ke Soh-ciu, apa saja yang dia katakan kepadamu" Ada seorang maling sakti yang kenamaan di
kangouw bernama Kwi-hee-thio adakah pulang bersama dia?"
Sekilas dilihat oleh Lim Bu-siang luka-luka Beng Goan-cau masih mengeluarkan darah, hatinya
menjadi tidak enak lekas ia berkata: "Aku hanya bertemu dengan Song Theng-siau, hanya dia saja
sendirian. Em, malam itu kalau dituturkan cukup panjang. Marilah biar kubalutkan dulu lukalukamu.
Ai, akulah yang salah terhadapmu, sehingga melukai kau, sakit tidak?"
Lekas Bu-siang menyarungkan pedang serta mengeluarkan Kim-jong-yok, terus menghampiri
Beng Goan-cau serta membubuhi obat pada luka-lukanya. Setelah, selesai ia balut pula luka-luka
itu dengan kain sobekan lengan bajunya.
Pepatah kuno ada bilang: "Janganlah timbul rasa jahatmu terhadap orang, sebaliknya
tingkatkan kewaspadaanmu terhadap orang lain!" Luka-luka Beng Goan-cau masih mengalirkan
darah, kalau Lim Bu-siang punya niat jahat terhadapnya, cukup asal dia membubuhi luka-lukanya
dengan obat beracun, betapapun tinggi Iwekang Beng Goan-cau, seketika jiwanya pasti mampus.
Tapi kalau dibicarakan memang rada aneh. Sudah tentu Beng Goan-cau cukup paham akan
kelicikan dan keculasan hati orang-orang kangouw, namun menghadapi Lim Bu-siang sedikit pun
tidak timbul rasa was-was atau curiganya, begitu melihat mimik wajahnya yang penuh penyesalan
dan sikap gugupnya itu, dari lubuk hatinya yang paling dalam diam-diam sudah>mau percaya
akan itikad baiknya, dengan wajar dan sikap polos ia ulurkan lengannya untuk dibubuhi obat
olehnya. Bahwasanya luka-luka di lengan Beng Goan-cau hanyalah luka luar yang ringan saja, dia sendiri
pun ada membawa Kim-jong-yok, sebetulnya tidak perlu Lim Bu-siang bantu merawat lukalukanya
itu. Soalnya Beng Goan-cau hendak memberi pengertian kepada Bu-siang bahwa dia
percaya betul kepadanya, maka dia terima kebaikan orang. Tapi sebagai gadis yang polos dan
jujur, sedikit pun Lim Bu-siang tidak berpikir sampai sedemikian jauh.
Memangnya luka-luka itu tidak berat begitu tersentuh jari-jari Lim Bu-siang yang runcing dan
halus, terasa segulung hawa hangat segera menjalar ke seluruh badannya, sungguh nikmat dan
menyegarkan badan. Kata Beng Goan-cau dengan tertawa: "Obatmu amat mujarab, sekali dibubuhi rasa sakitnya
lantas hilang!" Lim Bu-siang cekikikan tawa, ujarnya: "Mana bisa sembuh begitu cepat, jangan kau membual
terhadapku." Sedang mereka berhadapan dan berkelakar itulah tiba-tiba didengarnya derap kaki kuda yang
dikaburkan amat kencang mendatangi, kontan Lim Bu-siang berteriak: "Paman Utti, kau sudah
kembali!" Laki-laki jambang bauk begitu melihat sikap mereka yang intim dan bersendau gurau, sesaat ia
melongo, cepat ia sudah melompat turun serta teriaknya: "Bu-siang, kau, kau, apakah yang telah
terjadi?" "Paman Utti," ujar Lim Bu-siang tertawa. "Kali ini kau salah menilai orang!"
Kata-katanya ini sekaligus membuat laki-laki berjambang bauk terkejut demikian juga Beng
Goan-cau, tanpa berjanji, mereka berteriak bersama: "Siapakah dia?"
Sementara itu Lim Bu-siang sudah selesai membalut luka-luka Beng Goan-cau, segera ia
turunkan tangan serta menjawab: "Paman Utti, pengalamanmu luas pengetahuan tinggi, tentunya
kau sudah tahu bahwa di Siau-kim-jwan ada seorang tokoh pendekar muda yang bernama Beng
Goan-cau bukan?" Kejut dan girang si jambang bauk, serunya: "Jadi kaulah Beng Goan-cau."
"Benar, akulah adanya!"
Laki-laki jambang bauk tertawa bahak-bahak, ujarnya: "Kalau tidak berkelahi tidak bakal
berkenalan!" Mendengar Lim Bu-siang memanggil orang paman Utti, tiba-tiba teringat oleh Beng Goan-causeseorang,
serunya terkejut: "Apakah tuan Koan-tang Tayhiap Utti Keng?"
Semakin keras celak tawa laki-laki berjambang bauk, serunya: "Tayhiap apa segala, yang
terang usiaku jauh lebih tua dari kau. Aku tidak perlu main sungkan terhadap kau, kau boleh
panggil aku toako, dan aku panggi kau lote saja!"
Keruan girang Beng Goan-cau bukan main, dalam hati ia membatin: "Orang sering bilang
bahwa watak Koan-tang Tayhiap Utti Keng amat kasar berangasan tapi jujur dan berjiwa
pendekar, perkasa lagi, benar-benar tidak bernama kosong!"
Ternyata Utti Keng sebetulnya kelahiran dari seorang bandit tunggal yang suka merampok kuda
di Koan-tang, pernah melakukan berbagai peristiwa besar yang menggegerkan dunia, umpamanya
merampok barang upeti dari Ceng-hay, mencuri kado Sat Hok-ting itu komandan Bhayangkari
istana raja, kedua peristiwa besar yang bisa mengeringkan mulut orang yang suka bercerita ini
adalah buah karyanya yang terbesar pada tahun-tahun terakhir ini. Demikian pula di dalam
Tionggoan ia pernah melakukan berbagai aksi yang membuat situasi bergolak. Beberapa tahun
yang lalu secara diam-diam ia kembali ke Liautang dan di sana ia menjadi pemimpin dari tiga belas
perusahaan peternakan. Kali ini Beng Goan-cau mendapat tugas sebagai kurir untuk mencari hubungan dengan para
orang-orang gagah dari berbagai tempat. Koan-tang Tayhiap Utti Keng adalah salah satu tokoh
utama yang harus dia hubungi.
"Baiklah," ujar Beng Goan-cau, "aku menurut perintah dan mengangkat diri. Utti toako, kalau
tidak kujelaskan tentu kau tidak tahu, bahwa siaute memang mendapat perintah dari Leng Tiatjiau
dan Siau Ci-wan untuk menemui kau di Liau-tang. Tak nyana bisa bersua di sini, sungguh
beruntung dan menggirangkan!"
"Lote tidak usah sungkan. Beberapa tahun ini namamu pun cukup tenar. Tapi ada sebuah hal
yang tidak dapat kupahami, kau merupakan seorang tokoh kenamaan di Siau-kim-jwan, kenapa
pula kau membela bangsat she Ciok itu mati-matian?"
"Siapakah dia?" tanya Beng Goan-cau.
"O, jadi kau tidak tahu siapa dia" Cara bagaimana kau bisa kena ditipu olehnya?"
Segera Beng Goan-cau menceritakan akal muslihat laki-laki baju hitam itu secara gamblang,
keruan Utti Keng dongkol dan geli pula dibuatnya, katanya: "Bangsat keparat pintar membual,
ketahuilah dia adalah cakar alap-alap pihak kerajaan, namun membalik persoalan menuduh akulah
jadinya! Kelak bila kena kubekuk, pertama-tama akan kujejal kotoran kuda pada mulutnya, baru
kupatahkan tulangnya dan kubeset kulitnya."
Kotoran kuda pada pakaian Utti Keng sudah dibersihkan, namun baunya yang sedap masih
terendus sedikit. Beng Goan-cau tahu pasti perbuatan pemilik hotel itu, diam-diam ia menjadi geli,
katanya tertawa: "Utti toako. kau belum lagi menjelaskan siapakah sebenarnya bangsat kurang
ajar itu?" "Bangsat itu bukan lain adalah wakil komandan Gi-lim-kun Ciok Tio-ki. Semula ia pun kelahiran
seorang bandit tunggal, sudah lama kenal dengan aku. Kali ini kuluruk kemari karena aku ada
mendengar kabar bahwa dia pernah muncul di daerah Soh-ciu, kuduga dalam dua hari ini, pasti ia
berangkat pulang menyeberang sungai, maka kukun-tit jejaknya."
Terperanjat Beng Goan-cau, pikirnya: "Dia pernah muncul di Soh-ciu" Bukan mustahil
kedatangannya itu karena aku?" Sebagai seorang cerdik dan cermat, segera Beng Goan-cau
menjadi paham duduknya perkara, katanya: "O, jadi, dia gunakan tipu meminjam golok
membunuh orang!"-- Teringat dirinya pernah hendak tidur sekamar dan satu ranjang, diam-diam hatinya mencelos.
Dengan penuh kebencian Utti Keng berkata: "Entah ke mana kura-kura itu menyembunyikan
diri, bila sejak lama kutahu kau adalah Beng Goan-cau, aku harus mencari beberapa lingkaran lagi
menemukan jejaknya." Ternyata karena kuatir bagi keselamatan Lim Bu-siang, maka setelah dia
menye-lusuri dua cabang jalan sampai puluhan li tanpa menemukan Ciok Tio-ki, lekas-lekas ia
berlari balik menyusul kemari.
"Paman Utti!" ujar Lim Bu-siang tertawa. "Orang yang kau cari untuk menagih hutangnya
selamanya belum pernah lolos dari kejaranmu, terutama kuda dan golokmu yang serba cepat itu,
kalau ini gagal, paling-paling kau biarkan bangsat itu hidup beberapa hari lebih lama, sudahlah
tidak perlu marah-marah."
Utti Keng menjadi geli dan tertawa senang akan banyolannya, katanya: "Mulut kecilmu ini
ternyata memang pandai mengoceh, baik, tak perlu menyinggung bangsat keparat itu lagi. Busiang,
aku ingin tanya kau malah, cara bagaimana pula kau bisa berkenalan dengan Beng-lote?"
"Tiok-liu toako ada menyuruh aku pergi mencari dia, mereka ada bilang bahwa Beng toako juga
bersenjata golok dengan permainan yang amat cepat lagi, sebetulnya sejak pertama tadi aku
sudah ingat bahwa dia adanya."
Begitulah Lim Bu-siang lantas bercerita mengenai pengalamannya di kebun keluarga Hun itu
kepada Beng Goan-cau, tapi karena dia tidak suka menyiarkan borok keluarga kepada orang luar,
maka dia tidak menjelaskan persoalannya bahwa Cong Sin-liong sebenarnya adalah susioknya.
Sungguh dongkol, gegetun dan girang pula Beng Goan-cau mendengar ceritanya itu. Dongkol
karena anjing alap-alap kerajaan serombongan demi rombongan sama meluruk datang hendak
meringkus atau membunuh dirinya. Tapi ada dua persoalan yang membikin girang hatinya,
pertama bahwa Kim Tayhiap Kim Tiok-liu yang sudah lama dikaguminya itu ternyata begitu
prihatin pada keselamatan dirinya, berjerih payah demi keselamatannya, malah mengutus orang
untuk membantu dirinya mengatasi kesulitan ini. Kedua, bahwa Song Theng-siau pun sudah
kembali ke Soh-ciu, jelas harapannya bakal bisa terlaksana, dan semoga sukses. Saat ini mungkin
Theng-siau sedang bercakap-cakap bersendau gurau dengan siau-sumoay, atau mungkin sedang
bersenandung bernyanyi riang gembira untuk menghilangkan kerisauan hatinya. Demikian pikir
Beng Goan-cau. Segera Beng Goan-cau menyatakan terima kasih pula kepada Lim Bu-siang, katanya: "Memang
aku hendak menyambangi Kim Tayhiap, tak nyana kau datang lebih dulu."
Sekilas Utti Keng pandang Lim Bu-siang lalu katanya: "Kalau begitu kebetulan kalian bisa
kembali bersama." "Tidak!" sahut Lim Bu-siang. "Aku ingin pergi ke lain tempat. Beng toako, kalau kau ketemu
mereka tolong kau jelaskan sekadarnya pada mereka, mereka pasti paham."
Tiba-tiba Utti Keng berkata: "Beng-lote! Orang-orang yang harus kau hubungi kecuali aku, Kim
Tiok-liu suami istri, masih adakah yang lain?"
"Masih ada suheng Kim Tayhiap yaitu Kang Tayhiap, demikian juga Lim To-kan Kaucu dari
Thian-li-hwe, Le Lam-sing Thocu dari Ang-ing-hwe dan lain-lain."
Utti Keng tertawa ujarnya: "Kalau begitu kau tidak perlu ke rumah Kim Tayhiap."
Beng Goan-cau melengak, tanyanya: "Kenapa?"
"Pernahkah kau dengar nama Hu-siang-pay?"
"Konon kabarnya adalah aliran pedang yang didirikan oleh Jan-bau-khek, itu maha guru silat
pada dinasti Tong, ciangbunjin aliran ini yang bernama Boh Cong-tiu sudah tiba di Tionggoan."
Utti Keng manggut-manggut, ujarnya: "Apa yang kau katakan memang benar, tapi sebelum ini
Hu-siang-pay sebetulnya tidak punya ciangbunjin, setelah berada di Tionggoan, karena mendapat
dukungan dan memang kepandaian dan namanya yang menjulang tinggi itu, akhirnya Boh Congtiu
diangkat menjadi pimpinan aliran itu oleh para anak murid aliran mereka. Orang dalam atau
orang luar sudah sama menganggap dia sebagai ciangbunjin, maka tanpa sungkan-sungkan ia pun
anggap dirinya sebagai ciangbunjin habis perkara. Bahwasanya kedudukan ciangbunjinnya ini
sebetulnya belum diadakan pengangkatan secara resmi, itu berarti perlu suatu upacara
pengangkatan secara resmi dan mendapat pengakuan dari golongan persilatan besar di kalangan
kangouw pada umumnya. Maka Boh Cong-tiu berkeputusan hendak mendirikan aliran menurut
ajaran murni perguruannya di Tionggoan, dia tetapkan pada bulan sembilan tanggal sembilan
diadakan upacara besar di puncak Thay-san, dia ada mengundang para tokoh-tokoh persilatan
sebagai undangan yang ikut menyaksikan dan memberi restu pada kedudukan dan alirannya itu."
Beng Goan-cau menjadi paham dan mengerti, katanya: "Jadi Kim Tayhiap juga akan menuju
Thay-san untuk ikut merestui pendirian aliran mereka?"
"Benar. Bukan saja Kim Tiok-liu akan hadir di sana, mungkin orang-orang yang hendak kau cari
itu pun bakal berada di sana semua. Maka kukatakan kau tidak perlu meluruk ke rumah Kim Tiokliu
lagi, lebih baik langsung menyusul ke Thay-san saja di sana sekaligus kau bisa menemui
mereka." Beng Goan-cau menjadi amat girang, pikirnya: "Kalau begitu memang jauh lebih baik dan
menghemat tenaga," katanya: "Tapi aku tidak kenal Boh Cong-tiu, tidak mendapat undangannya
pula." Utti Keng tertawa bahak-bahak, katanya: "Soal itu tidak perlu kau kuatirkan, nona Lim ini
adalah anak murid dari Hu-siang-pay, malah dia adalah piaumoay Boh Cong-tiu."
Lalu ia berpaling ke arah Lim Bu-siang serta berkata: "Tadi kau katakan hendak menuju ke
tempat lain, tentunya hendak ke Thay-san untuk menghadiri upacara besar pendirian partai kalian
bukan?" Di hadapan Beng Goan-cau, Lim Bu-siang segan memperbincangkan persoalan perguruan
sendiri, tapi setelah ditanyakan oleh Utti Keng, tidak enak ia main sembunyi-sembunyi lagi,
terpaksa ia menjawab: "Benar, aku memang punya rencana demikian."
"Baik sekali, kalau begitu kalian bisa jalan bersama ke tempat yang sama pula," ujar Utti Keng.
"Boh Cong-tiu adalah piaukomu, kau boleh terhitung setengah majikan, dengan bersama kau
Beng-Iote bisa ikut hadir tanpa menggunakan undangan lagi."
Tujuan Utti Keng amat gamblang, yaitu hendak merangkap perjodohan mereka. Tujuannya ini
ternyata sama dengan maksud Kim Tiok-liu suami istri. Tapi istri Kim Tiok-liu, Su Ang-ing, adalah
seorang kawakan dalam bidang asmara, dia lebih bisa menyelami jiwa dan pikiran seorang gadis
umumnya, oleh karenaa itu meski punya tujuan baik ini tapi di saat ia minta bantuan Lim Bu-siang
untuk memberi kabar kepada Beng Goan-cau, ia gunakan alasan yang tepat dan tidak bicara
secara gamblang, hanya samar-samar saja. Tidak demikian halnya dengan Utti Keng yang bicara
tanpa tedeng aling-aling.
Betapapun Lim Bu-siang seorang gadis yang punya harga diri dan gengsi, setelah mendengar
kata-kata Utti Keng, serta terbayang olehnya kata-kata Su Ang-ing kepadanya tempo hari, tanpa
merasa mukanya merah malu dan menundukkan kepala.
Sebetulnya Beng Goan-cau adalah laki-laki yang bersifat lapang dan gagah perwira, tapi gagah
dan kelapangan sifatnya itu berlainan dengan perangai Utti Keng, di antara sifat-sifat gagah dan
lapangnya itu, dia masih rada malu-malu dan kikuk. Kalau Utti Keng tidak bicara secara gamblang
itulah mending, tapi setelah dibuka terang-terangan, ia jadi merasa jengah dan risi.
Diam-diam berpikirlah Beng Goan-cau: "Kaum persilatan memang tidak perlu terlalu mengukuhi
adat istiadat lama, tapi aku baru saja berkenalan dengan nona Lim ini, kalau melakukan
perjalanan begitu jauh bersama, betapapun kurang leluasa. Meski aku berjiwa terbuka dan terus
terang, tapi sebagai anak perempuan betapapun ia akan malu mendengar kabar angin dari para
mulut-mulut usil." "E, eh, kenapa kalian bungkam tidak bicara?" tanya Utti Keng.
"Kupikir, kupikir..." Beng Goan-cau ragu-ragu bicara.
Bertaut alis Utti Keng, tanyanya: "Apa yang kau pikir?"
"Kupikir lebih baik aku bertandang ke rumah Kim Tayhiap dulu di Tang-ping. Dia menyuruh
nona Lim mencari aku, kalau aku tidak ke rumahnya menyatakan terima kasihku atas perhatian
dan pertolongannya ini, bukankah aku jadi berlaku kurang hormat" Kalau Kim Tayhiap hendak
pergi ke Thay-san, biarlah kami berangkat bersama dari rumahnya."
"Mungkin di kala kau sampai di rumahnya, dia sudah berangkat," demikian kata Utti Keng.
"Terpaksa aku menyusul ke Thay-san seorang diri, toh aku juga mengenal jalan."
Alis Utti Keng berkerut semakin dalam, katanya: "Beng-heng, tak nyana kau ini laki-laki yang
serba plintat-plintut seperti kaum perempuan! Baiklah, kalau kau berkukuh pada pendapatmu,
terserah pada kehendakmu. Tapi aku jadi berpikir cara bagaimana kelak kau hendak menyusul
hadir dalam pertemuan besar di Thay-san itu?"
Sampai di sini, mendadak ia berjingkrak mendapat akal, serunya seraya menepuk paha: "Ada!
Ada!" Lim Bu-siang menghela napas lega, tanyanya tertawa : "Ada apa?"
"Beng-heng," kata Utti Keng, "Kudaku ini meski bukan Jian-li-ma tapi sehari pernah berlari tiga
lima ratus li tanpa mengenal lelah. Kalau kau tidak menampik, kuda tungganganku ini kuberikan
kepadamu." Beng Goan-cau terkejut, katanya: "Hadiah sedemikian besarnya mana bisa aku terima?"
"Seekor kuda terhitung apa," semprot Utti Keng cemberut marah. "Barang yang lebih mahal
lagi pun tidak akan lebih berharga dari hubungan persahabatan antar sesama kawan" Kalau kau
tidak sudi terima, berarti kau tidak pandang sebelah mata kepadaku."
"Bukan aku suka main plintat-plintut," lekas Beng Goan-cau menjelaskan, "Kalau aku terima
kuda tungganganmu lantas kau naik apa?"
"Kau tidak usah kuatir bagi diriku, masa kau tidak tahu aku dilahirkan sebagai rampok kuda,
keahlianku justru mencuri kuda-kuda jempolan milik orang lain!"
Beng Goan-cau jadi tertawa geli akan banyolan orang, katanya: "Baiklah, kalau begitu aku tidak
sungkan lagi menerimanya."
Utti Keng menjadi girang, katanya tertawa lebar: "Sebetulnya aku tidak perlu banyak memeras
otak untuk main curi segala, ada seekor kuda yang memang sudah siap disediakan tinggal aku
menuntunnya kemari saja. Kuda kuning milik Ciok Tio-ki itu masih ketinggalan di dalam hotel tidak
sempat dibawanya pergi, meski kuda itu kalah dibanding Suri Merahku ini, tapi menurut
penilaianku, terpautnya juga tidak terlalu jauh. Kau terima punyaku, aku ambil milik orang lain,
hahaha, sungguh lucu!"
"Terima kasih Utti toako, baiklah siaute minta diri lebih dulu."
Tiba-tiba Utti Keng seperti teringat apa-apa, katanya: "Beng-heng, ada sebuah hal hampir lupa
kuberitahu kepadamu, adakah kau punya seorang sahabat kental yang bernama julukan si Maling
Sakti Kwi-hwe-thio?"
"Benar, di mana toako berkenalan dengan dia?" tanya Beng Goan-cau. Bahwa Utti Keng


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyinggung Kwi-hwe-thio membuat pikirannya teringat pada kenangan lama.
"Kami berkenalan di Pakkhia. Orang itu tidak jelek, paling mengutamakan kebesaran jiwa
seorang pendekar, malah bersama dia kami bekerja sama melakukan sebuah perdagangan gelap."
"Paman Utti, kapan kau berganti menjadi maling kecil" Barang apa yang kalian curi?" goda Lim
Bu-siang tertawa. "Sekarang belum bisa kujelaskan," ujar Utti Keng tertawa. "Tapi boleh kuberitahu kepada Bengheng,
bahwa Kwi-hwe-thio amat segan dan menaruh hormat kepadamu, katanya kau pernah
membantu kerepotannya, setiap saat dia selalu berpikir dan berdaya upaya hendak membalas
kebaikanmu itu. Dari mulutnyalah aku mulai mengenal martabat dan sepak terjangmu."
"Itu hanya urusan kecil saja, sulit dimengerti kenapa dia selalu mengingatnya saja," demikian
ujar Beng Goan-cau merendah hati. Sebetulnya kejadian itu bukan termasuk urusan kecil, karena
suatu ketika Kwi-hwe-thio pernah melakukan pekerjaan besar, dia sedang dikejar dilabrak oleh
para pengawal yang diundang oleh pemilik barang, hampir saja jiwa melayang, untung secara
kebetulan Beng Goan-cau sempat menolongnya.
Kata Utti Keng: "Kami berkenalan di Pakkhia, itu terjadi kira-kira dua bulan yang lalu. Katanya
dia hendak memburu waktu menyusul ke Soh-ciu bertemu denganmu, entahlah apakah dia
sekarang berada di Soh-ciu?"
"Aku sudah pernah ketemu dengan dia, tapi akhirnya dia pergi ke Siok-ciu lagi, sampai
sekarang belum lagi pulang!"
"Dalam waktu dekat ini adakah dia bakal kembali ke Soh-ciu?"
"Mungkin tidak. Dia seperti seekor kuda liar, jikalau tiada sesuatu urusan- yang mengikat
dirinya, dia tidak akan menetap lama di sesuatu tempat." Seperti diketahui dia pernah titip
sepucuk surat supaya disampaikan kepada Nyo Bok, serta menyirapi berita mengenai Hun Ci-lo,
kini Hun Ci-lo pernah meluruk datang sendiri, maka Kwi-hwe-thio rasanya tidak perlu menyusul
pulang menyampaikan laporan kepadanya lagi. Teringat akan persoalan itu, tak terasa Beng Goancau
jadi mendelu hambar. Utti Keng menghela napas, ujarnya: "Dia benar-benar seorang kawan yang patut selalu
dikenang, sayang dia sekarang sudah tiada di Soh-ciu lagi. Kalau tidak, tempat ini tidak terlalu
jauh dari Soh-ciu, sebetulnya ingin aku mencari dia."
Melihat semangat Beng Goan-cau tenggelam dan tiada selera bicara, dia kira Beng Goan-cau
sudah buru-buru hendak melanjutkan perjalanan, lekas ia berkata: "Jikalau kau bertemu dengan
Kwi-hwe-thio, harap sampaikan salamku. Cuaca segera bakal terang tanah, aku harus lekas
kembali mengambil kuda Ciok Tio-ki itu. Baiklah, sampai di sini kita ambil perpisahan."
Setelah Beng Goan-cau naik kuda suri merah dan mencongklang jauh, Utti Keng seperti sedang
memikirkan apa-apa, tiba-tiba seperti tertawa seperti tidak ia berkata kepada Lim Bu-siang: "Busiang,
aku ingin tanya sepatah kata kepadamu?"
Melihat air muka Utti Keng berlainan, Lim Bu-siang melongo, katanya: "Paman, apa yang
hendak kau tanyakan" Tapi aku tidak suka kau berkelakar padaku."
"Iya, kau sangka apa yang hendak kutanyakan kepadamu" Sudah tentu yang hendak
kubicarakan adalah urusan penting."
"Baik, silakan kau katakan saja."
"Menurut pendapatmu bagaimana karakter Boh Cong-tiu itu?"
Pertanyaan ini betul-betul di luar prasangka Lim Bu-siang. Ternyata semula ia menyangka Utti
Keng hendak bertanya adakah dia menyukai Beng Goan-cau.
Utti Keng melanjutkan: "Kau berhubungan sejak kecil dengan Boh Cong-tiu, maka kau jauh
lebih mengenal jiwa dan perangainya dari aku."
Teringat akan rangkaian kata-kata Su Ang-ing kepadanya tempo hari, hati Lim Bu-siang
menjadi risau, sesaat baru ia bersuara: "Yang kukenal hanyalah Boh-piauko di masa masih
kecilnya dulu, bagaimana keadaannya sekarang, mana bisa aku tahu" Bicara terus terang,
bagaimana jiwa dan karakternya, dulu aku pun tidak mampu memberi jawaban. Di kala kami
berpisah usiaku belum lagi genap sepuluh tahun."
"Memang benar ucapanmu," demikian ujar Utti Keng menghela napas. "Menggambar harimau
menggambar kulitnya, sukar menggambar tulang-tulangnya, tahu orangnya tahu mukanya tidak
tahu hatinya." Lim Bu-siang melcnggong, tanyanya: "Paman Utti, apa maksud kata-katamu ini?"
Berkata Uti Keng: "Setelah kau tiba di Tionggoan selama ini kau belum pernah berjumpa
dengan Boh Cong-tiu, sebaliknya aku pernah bertemu dengan dia. Bukan saja bertemu, kami pun
pernah berjuang bersama menanggulangi kesulitan. Semula kusangka dia seorang enghiong,
seorang ksatria yang perwira, tapi sekarang mau tidak mau timbul setitik rasa kecurigaanku
kepadanya." Lim Bu-siang terkejut, tanyanya dengan jantung berdebar: "Apa yang paman curigai?"
Perlahan-lahan Utti Keng berkata: "Aku curiga bahwa secara diam-diam ia ada main intrik
dengan pihak kerajaan!"
Hampir Lim Bu-siang tidak mau percaya akan pendengaran kupingnya sendiri, sejenak
kemudian baru dia kuasa menenangkan pikirannya, katanya: "Paman, berdasarkan apa kau berani
kemukakan alasanmu ini?"
"Memang aku belum memperoleh bukti-bukti yang nyata, tapi kejadian itu bukan kudengar dari
kabar angin. Biar kuberitahu sebuah kejadian, kejadian ini bertalian erat dengan kuda yang
kuberikan kepada Goan-cau, dan dari sanalah aku harus mulai ceritaku ini."
"Ada hubungan apa persoalan Boh-piauko dengan kuda tunggangan itu?"
"Coba kau terka asal-usul kuda itu" Semula kuda itu adalah tunggangan Komandan Gi-lim-kun!"
"Jadi kau curi kuda tunggangan Komandan Gi-lim-kun?" teriak Lim Bu-siang, baru sekarang ia
sedikit paham, pikirnya: "Tak heran paman Utti tidak mau bicara terus terang di hadapan Beng
Goan-cau, kiranya dia kualir kalau Beng Goan-cau tahu, dia pasti tidak mau terima!"
"Bukan hasil kerjaku seorang diri saja," demikian Utti Keng menjelaskan. "Kami bekerja sama
melakukan pekerjaan ini dengan Kwi-hwe-thio yang kusebutkan tadi."
"Dari cerita Kim toako, aku pun pernah dengar Kwi-hwe-thio ini. Konon dia adalah maling sakti
yang tiada taranya dan tiada tandingannya di seluruh kolong langit ini, puluhan tahun yang lalu
pernah ada seorang maling sakti tua bernama Ki Hiau-hong, Kwi-hwe-thio ini adalah murid tunggal
dari Ki Hiau-hong secara tidak langsung. Kepandaiannya sekarang kiranya tidak lebih rendah dari
sucounya dulu." "Komandan Gi-lim-kun yang bernama Pakkiong Bong adalah tokoh merah di hadapan sang
junjungan, dia jauh lebih dimanjakan oleh raja daripada Sat Hok-ting, Congkoan Bhayangkari
istana raja. Tahun yang lalu entah dia mendirikan pahala apa, raja junjungannya itu segera
menganugerahkan sepasang singa jade kepadanya, tak usah dijelaskan, terang bahwa singa jade
itu tentu tidak ternilai harganya."
"Jadi Kwi-hwe-thio sedang mengincar sepasang singa jade itu?"
"Benar, aku hendak mencuri kuda dia hendak mencuri barang pusaka itu, berarti kami samasama
punya tujuan dalam sasaran yang sama, maka tanpa tanggung-tanggung kami lantas kerja
sama!" "Malam itu kami berpencar mengerjakan tugas masing-masing, aku meluruk ke kandang kuda
sementara dia meluruk masuk ke dalam gedung. Cara ini meski umpama ketahuan oleh tuan
rumah, sekaligus akan membikin merejca ribut dan kebingungan."
"Baru saja aku berhasil, mendadak kudengar ada seorang bicara: 'Menggorok ayam buat apa
menggunakan golok jagal, biar aku mewakili Tayjin meringkus pencuri cilik ini.* Suaranya datang
dari balik pekarangan dalam, ternyata jejak Kwi-hwe-thio sudah diketahui oleh mereka."
"Kulihat Kwi-hwe-thio lari keluar seperti dikejar setan, di belakangnya mengejar seseorang,
"sret!" langsung orang itu menusukkan pedangnya, kulihat tegas cara tipu serangannya dari pihak
Hu-siang-pay kalian."
Lim Bu-siang terperanjat, katanya: "Orang dari Hu-siang-pay, apakah kau tidak salah lihat?"
Utti Keng jadi kurang senang, katanya: "Mana bisa aku salah lihat" Jangan kau lupa bahwa aku
pernah bergebrak dengan Cong Sin-liong, pernah pula melihat ilmu pedang permainan Boh Congtiu.
Ilmu pedang Hu-siang-pay kalian jauh berlainan dengan ilmu pedang dari berbagai golongan
dan aliran di Tionggoan, sekali lihat aku lantas tahu dan dapat membedakan."
"Bagaimana akhirnya?"
"Sudah tentu berhasil lolos. Kalau tidak mana bisa aku berada di sini bicara dengan kau" Mana
bisa pula Kwi-hwe-thio datang ke Soh-ciu menemui Beng Goan-cau?"
"Yang kutanya adalah orang itu?"'
"Orang itu. Ha ha ha, dia merasakan sedikit keliehayanku. Sekali pukul dengan Bik-khong-ciang
aku bikin dia terjungkal jatuh dari atas genteng, sayang Pakkiong Bong segera juga mengejar
keluar, terpaksa aku harus ajak Kwi-hwe-thio lekas naik kuda melarikan diri, tak sempat aku
menghabisi jiwanya."
"Aneh?" ujar Lim Bu-siang. "Bagaimana mungkin seseorang dari kalangan Hu-siang-pay kami
berada di dalam tempat kediaman Komandan Gi-lim-kun?" Lalu ia menambahkan: "Tapi menurut
penuturanmu, kepandaian orang itu hanya biasa saja, jadi pasti bukan salah satu dari Hu-siangcit-
cu." " " Hujsiang-cit-cu adalah gerombolan tujuh orang yang dipimpin oleh Cong Sin-liong,
lima tahun yang lalu mereka sama meluruk datang ke Tionggoan dari luar lautan. Akhirnya Husiang-
cit-cu terpecah menjadi dua golongan, tiga di antaranya angkat Boh Cong-tiu sebagai
pemimpinnya, sementara tiga yang lain masih setia mengikuti jejak Cong Sin-liong."
"Siapa orang itu kini sudah kuselidiki dan jelas."
"Siapa dia?" Lim Bu-siang tersipu-sipu.
"Dia adalah utusan dari Boh Cong-tiu piaukomu itu."
"Darimana kau bisa tahu?"
"Di waktu Kwi-hwe-thio mencuri barang pusaka itu, kebetulan ada mendengar percakapan
mereka di dalam kamar rahasia."
"Pakkiong Bong sebagai Komandan Gi-lim-kun, ilmu silatnya tentu bukan olah-olah hebatnya,
mana bisa dia tidak tahu ada orang mencuri dengar?"
"Begitulah, maka Kwi-hwe-thio cukup hanya mendengar dua patah perkataannya saja."
"Bagaimana kedua perkataan itu?"
"Kedua patah kata itu diucapkan oleh Pakkiong Bong sambil tertawa. Katanya: 'Boh-siansing
hendak mendirikan aliran partai di Tionggoan" Ha ha ha, bagus sekali!"
"Hanya kedua patah kata itu saja?"
"Apakah kedua patah kata itu belum cukup" Dari kedua patah kata itu kita dapat menyimpulkan
banyak persoalan." "Harap paman suka memberi penjelasan."
"Pertama, kenapa Boh Cong-tiu harus mengutus orangnya membe-ritahu kepada Pakkiong
Bong" Jelas hendak minta dukungan dan kepercayaannya. Kedua, sekaligus hal itu dapat
membuktikan bahwa sebelum ini mereka memang sudah ada hubungan dan ikatan, kalau tidak
buat apa Boh Cong-tiu harus mengirim orangnya! Ketiga, ketiga..." sulit ia mencari alasan yang
ketiga. Lim Bu-siang tertawa, katanya: "Siapa tahu kalau orang itu datang ke sana menurut
kehendaknya sendiri, jadi bukan utusan piauko. Konon beberapa tahun terakhir ini piauko ada
menerima banyak murid baru, sulit diketahui bahwa di antara mereka terdapat orang-orang jahat
atau antek kerajaan."
"Tidak mungkin! Kalau benar seperti yang kau katakan ini, buat apa Pakkiong Bong harus
memuji bagus" Itu pertanda bahwa dia amat setuju piaukomu mendirikan aliran! Pihak kerajaan
paling jeri menghadapi kaum bulim, sebagai Komandan Gi-lim-kun sudah terang dia amat simpatik
terhadap maksud tujuan piaukomu. seandainya orang itu bukan utusan langsung dari piaukomu,
bagaimana juga kejadian ini cukup mencurigakan."
Lim Bu-siang termenung sekian saat, katanya: '"Urusan memang rada mencurigakan, tapi aku
masih belum bisa percaya."
'"Bagaimana pula menurut taf-siran dan analisamu?"
"Aku masih terlalu muda dan cetek pengalaman, pendapat sih aku tidak berani kemukakan.
Tapi aku hanya bisa mencari sebuah alasan lain untuk menyanggah tuduhanmu."
"Menyanggah bagaimana?"
"'Boh-piauko dengan Cong Sin-liong seperti api dan air, keduanya tidak mungkin gaul dan tidak
mungkin masuk dalam satu wadah. Menurut apa yang kuketahui, bahwa Cong Sin-liong kini sudah
terima diperbudak oleh pihak kerajaan, tujuannya adalah hendak menuntut balas kepada Bohpiauko!
Mana mungkin piauko sudi mengekor jejaknya, ikut membungkuk-bungkuk kepada
kerajaan" Masa dia tidak takut Cong Sin-liong mencelakai jiwanya?"
"'O, jadi belakangan ini kau ada bertemu dengan Cong Sin-liong?""
Lim Bu-siang mengiakan. Segera ia menceritakan pengalamannya menempur Cong Sin-liong di
kebun keluarga Hun kepada Utti Keng.
"Hah. jadi Cong Sin-liong keparat itu benar-benar sudah pulih ilmu silatnya!" Kata-katanya ini
amat mendadak dan tidak terduga-duga, sehingga Lim Bu-siang keheranan dibuatnya.
Kata Utti Keng selanjutnya: ?"Bahwa Boh Cong-tiu ada mengikat dendam sama Cong Sin-liong
sejak lama sudah kuketahui. Tadi kukatakan bahwa aku pernah berjuang bersama piaukomu yang
kumaksud adalah mengenai persoalan ini. Empat tahun yang lalu aku mewakili pemimpin laskar
gerilya yang berada di Tay-Iiang-san di bawah pimpinan Tiok Siang-hu, aku pergi ke Ceng-hay
untuk mencari hubungan dengan seorang raja tanah di sana, sementara Cong
Sin-liong dengan kedudukan dari wakil Congkoan Bhayangkari Sat Hok-ting kebetulan juga
hadir di sana. Akhirnya terjadilah suatu pertempuran sengit, di saat-saat yang tegang itulah
mendadak Boh Cong-tiu muncul, langsung ia mencabut pedang membantu kami. Akhirnya ia
berhasil memukul remuk tulang pundak Cong Sin-liong. Akhirnya kudengar katanya Cong Sin-liong
mendapat koyok penyambung tulang dari simpanan di istana selama ribuan tahun, sehingga ia
terhindar dari badan cacat."
"Itulah, kalau demikian, kenapa pula kau masih berkukuh mengatakan bahwa piaukoku ada
sekongkol dengan pihak kerajaan?"
"Nah, dalam hal ini kau hanya tahu satu tidak tahu yang kedua. Memang Cong Sin-liong adalah
antek dari Sat Hok-ting, tapi Sat Hok-ting itu lahirnya saja akrab, bahwasanya dia bersaing berat
dengan Komandan Gi-lim-kun Pakkiong Bong. Di belakang mereka masing-masing mendapat
sandaran orang dalam umpamanya pangeran raja dan lain yang menjadi tulang punggung
mereka, secara diam-diam mereka sedang berlomba saling berebut kekuasaan. Pernah terjadi Sat
Hok-ting kena diserang habis-habisan sehingga kedudukan congkoan Bhayang-karinya kena
dicopoti, betapa ia susah payah berusaha akhirnya baru direhabilitir kembali. Tapi sampai
sekarang, kekuasaannya masih lebih asor dari Pakkiong Bong."
"Ada apa pula mengenai hal itu?"
"Utusan Boh Cong-tiu menghadap kepada Pakkiong Bong. Jelas dia menjadikan kekuasaan dan
wibawa Pakkiong Bong sebagai sandaran, menjadi tulang punggung, bukan saja dia tidak usah
takut sama Cong Sin-liong, malah dia bisa berkesempatan menyingkirkan Cong Sin-liong."
Berdiri alis Lim Bu-siang, katanya: "Paman Utti, menurut hematku piauko tidak akan berbuat
seperti yang kau katakan" Jelek-jelek dia pernah membantu pihak laskar gerilya dan ada
hubungan kental lagi dengan kaum pendekar. Dan lagi, bukankah dia bersahabat baik dengan
Tiok-liu toako?" "Semoga dia tidak sampai tersesat jalan. Tapi seseorang pasti bisa berubah, mana kau tahu
apakah Boh Cong-tiu yang sekarang masih sama dengan Boh Cong-tiu empat tahun yang lalu"
Kalau toh aku menemukan seorang utusannya di dalam gedung Komandan Gi-lim-kun, mana bisa
aku tidak menaruh curiga dan menyelidikinya biar jelas?"
"Seseorarjg pasti bisa berubah." Mendengar kata-kata ini, secara langsung mengetuk sanubari
Lim Bu-siang pula, hatinya menjadi hambar dan bingung, sesaat ia tidak bersuara.
Melihat muka orang pucat, diam-diam Utti Keng menarik napas dan membatin dalam hati:
"Budak cilik ini masih belum bisa melupakan rasa cintanya terhadap piaukonya." untuk menghibur
Lim Bu-siang, segera ia bicara lagi dengan nada yang lebih sabar katanya: "Maka tadi juga
kukatakan bahwa aku belum mendapat bukti-bukti yang nyata, semoga urusan ini akan menjadi
beres secepatnya, sekaligus membuktikan bahwa piaukomu bahwasanya tidak ikut terlibat di
dalamnya. Tapi kalau kejadian seperti dugaan semula, kuharap pula kau tidak usah bersedih,
anggap saja kau tidak punya piauko macam dia."
"Kalau benar, tidak setimpal aku harus bersedih bagi kesesatannya."
Mendengar nada orang yang tegas, legalah hati Utti Keng, katanya tertawa: "Benar. Kau benarbenar
keponakanku yang baik. Oh ya, bukankah kau hendak menyusul ke Thay-san untuk
menghadiri upacara pendirian partai, kebetulan kesempatan ini dapat kau lakukan, bantulah aku
menyelidiki biar jelas. Kau mau tidak?"
Lim Bu-siang manggut-mang-gut, katanya: "Akij sendiri pun ingin mencari tahu duduk perkara
sebenarnya, sudah pasti aku tidak akan bekerja menurut bisikan hatiku. Tapi bukankah paman
juga hendak ke sana?"
"Aku akan tiba sedikit terlambat. Dan lagi kalian adalah saudara seperguruan, kau bisa mencari
tahu pada sesama saudara perguruan yang lain, kiranya jauh lebih mudah bekerja daripada aku."
"Ke mana sekarang kau hendak pergi" Kenapa harus terlambat datang?"
"Aku hendak mencari sumber penyelidikan, menemukan bukti-bukti yang nyata."
"Cara bagaimana kau hendak mencarinya, bolehkah beritahu kepadaku?"
"Sumber penyelidikan terdapat pada Ciok Tio-ki itu. Dia adalah wakil komandan Gi-lim-kun, soal
ini tentu dia juga tahu jelas. Aku rada curiga bahwa kedatangannya kali ini pun ada sangkut
pautnya dengan Boh Cong-tiu. Setelah kuambil kuda tunggangannya, aku harus mencari dia
sampai ketemu." Habis bicara dia terus ambil berpisah dengan Lim Bu-siang, lekas ia pulang ke hotel dan
mengambil kuda itu. Bagaimana persoalan Boh Cong-tiu yang penuh lika-liku itu belum jelas, tapi rekaan Utti Keng
mengenai diri Ciok Tio-ki sama sekali meleset. Kiranya meski Ciok Tio-ki menjadi wakil Pakkiong
Bong, tapi sebetulnya dia adalah
mata-mata yang ditanam oleh Sat Hok-ting. Secara langsung Ciok Tio-ki adalah pion yang
ditanam di bawah pimpinan Pakkiong Bong untuk mengawasi gerak geriknya pula. Bukan Pakkiong
Bong tidak tahu, cuma ia bisa berpikir panjang, apalagi mengingat sandaran kuat yang menjadi
tulang punggung di belakang Sat Hok-ting maka sementara ini dia diam saj[a tanpa menindaknya.
Apalagi secara diam-diam ia pun ada menanam beberapa buah pion di samping Sat Hok-ting,
meski kedudukannya tidak terlalu tinggi, namun jumlahnya rada banyak. Persoalan rumit bagi
kalangan orang-orang berpangkat yang saling gasak dan sepak ini bagaimanapun sebagai orang
kangouw kasaran Utti Keng sulit dapat memahaminya.
Dengan menunggang kuda pemberian Utti Keng, segera Beng Goan-cau keprak kudanya berlari
kencang seperti naik angin, kira-kira tiga hari kemudian, tibalah dia di karesidenan Tang-ping di
wilayah Soa-tang. Kim Tiok-liu membangun rumahnya di atas sebuah bukit di pinggir Tang-ping-ouw, rumahnya
menghadap ke danau dan membelakangi gunung, pemandangan indah hawa pun amat sejuk.
Begitu tiba di bawah gunung, tampak oleh Beng Goan-cau gunung gemunung terbentang
memanjang di hadapannya dengan panorama yang mempesonakan, air danau jernih sebersih
permukaan kaca, pohon-pohon berderet sepanjang tepi danau, rumput dan kembang-kembang
bertaburan di sepanjang pegunungan, jalanan kecil yang menanjak ke atas gunung tertutup oleh
suburnya tetumbuhan yang memagari kedua tepinya.
Dari daerah Hoay-pak yang belukar dan berdebu, Beng Goan-cau tiba di tempat yang rindang
sejuk dan nyaman lagi, semangatnya jadi terbangkit, hilang rasa letihnya, pikirnya: "Kim Tiok-liu


Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Su Ang-ing sepasang suami istri adalah jodoh yang setimpal yang sangat mendapat pujian
dari sesama kaum bulim, mereka menetap di tempat yang indah laksana sorga begini, boleh
dikata laksana hidup di alam kedewataan saja."
Untuk menunjukkan rasa hormat dan segannya terhadap Kim Tiok-liu, Beng Goan-cau tidak
berani naik kuda, dari bawah gunung, ia tuntun kudanya naik ke atas bukit.
Rumah keluarga Kim dibangun membelakangi gunung, di luar pintu besarnya terdapat tanah
lapang yang dilandasi batu-batu gunung yang menjulur ke depan dari dalam hutan sejuk dari
sebelah samping sana. Waktu Beng Goan-cau tiba di tengah gunung, jauh-jauh di depan sana
didengarnya^ percakapan suara orang, waktu ia angkat kepala dilihatnya ada seseorang
kebetulan sedang beranjak di lapangan batu itu. Begitu pintu besar terbuka, dari dalam rumah
keluarga Kim berjalan keluar dua orang, masing-masing bersoja serta berbasa-basi sekadarnya.
Tak lama kemudian orang itu sudah ikut kedua orang marga keluarga Kim masuk ke dalam rumah.
Jaraknya masih terlalu jauh, Beng Goan-cau kurang jelas apa yang tadi mereka perbincangan, tapi
dilihat gelagatnya orang itu seperti dirinya juga, tak perlu disangsikan datang untuk bertandang
kepada Kim Tiok-liu. Beng Goan-cau berpikir: "Pergaulan Kim Tay-hiap amat luas, namun orang yang setimpal
menjadi tamunya tentu bukan orang semba-rangan, siapakah dia?" demikian Beng Goan-cau
menerka-nerka, sementara kakinya terus beranjak ke depan tiba di lapangan batu, ia ikat kuda
suri merah di atas batang pohon, baru saja ia hendak mengetok pintu dan memperkenalkan diri
mohon bertemu dengan tuan rumah, orang di dalam mendengar ringkik kuda lantas buru-buru
keluar menyambut tamunya.
Yang menyambut kedatangannya adalah seorang laki-laki hitam yang kasar berperawakan
sedang, kedua biji matanya berkilat terang, sekilas pandang lantas diketahui bahwa orang itu pasti
seorang tokoh kosen yang memiliki kepandaian silat tinggi.
Begitu melihat Beng Goan-cau serta kuda tunggangan suri merahnya, wajah laki-laki itu
mengunjuk rasa heran dan tidak habis mengerti, segera ia merangkap tangan serta sapanya lebih
dulu: "Tuan ini adalah..."
"Cayhe adalah Beng Goan-cau dari Siau-kim-jwan, sengaja menyambangi Kim Tayhiap." Lekas
Beng Goan-cau memperkenalkan diri serta balas menghormat.
Agaknya orang itu rada terkejut, kilas lain ia sudah tertaWa lebar, serunya: "Ternyata Bengheng
adanya, sudah lama kudengar nama kebesaranmu. Aku ini Li Tun dari Liok-hap-pang,
kemarin dulu waktu Kim Tayhiap keluar pintu sebelumnya pernah pesan wanti-wanti kepadaku,
beliau suruh aku siap menyambut kedatangan Beng-heng, tak nyana hari ini Beng-heng betulbetul
tiba, aku jadi berlaku kurang hormat!"
Istri Kim Tiok-liu yang bernama, Su Ang-ing adalah pangcu Liok-hap-pang, sementara Li Tun ini
adalah wakil pangcu dari Su Ang-ing, hubungan kekeluargaan dengan Kim Tiok-liu suami istri juga
amat intim, sering dia menetap beberapa lama di rumah keluarga Kim.
"Kiranya Li-hiangcu, selamat bertemu, selamat bertemu!" sekali lagi ia unjuk hormat pertemuan
dengan Li Tun, selanjutnya ia berkata pula: "Kalau begitu kedatanganku ini jadi kurang
kebetulan." Kata Li Tun: "Meski Kim Tayhiap tidak di rumah, tapi pangcu kami belum lagi keluar pintu.
Beng-heng sudah tiba di sini, bagaimana kalau kami silakan untuk bertemu muka dengan pangcu
kami?" "Sudah lama aku kagum akan Kim-hujin sebagai ksatria di kalangan perempuan, memang seharusnyalah
aku menghadap padanya."
Begitulah Li Tun sebagai penunjuk jalan, mereka berjajar melewati dua deretan pintu samping,
terus menuju ke sebuah ruang tamu yang terletak di sebelah belakang, keadaan ruang tamu ini
dipajang amat indah dan serasi benar.
Segera Beng Goan-cau keluarkan kartu namanya yang sudah dipersiapkan kepada Li Tun. Kata
Li Tun: "Pangcu kebetulan sedang ada tamu, harap Beng-heng duduk sebentar menunggunya."
"Tak perlu sungkan-sungkan, aku sendiri tiada urusan penting yang harus segera diselesaikan,"
demikian kata Beng Goan-cau, sementara dalam hati ia membatin: "Mungkin tamu itu tidak suka
bertemu dengan orang lain, maka Li Tun membawa aku ke ruang tamu kecil di sebelah belakang
ini, untuk menghindari supaya tidak bertemu dengan dia."
Pedang Hati Suci 11 Pendekar Naga Mas Karya Yen To Menjenguk Cakrawala 6
^