Sayap Sayap Terkembang 23
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 23
Betapapun dendam di antara Warsi dan Iswari menyala bagaikan tidak terkendali, tetapi watak kekuatan Tanah Perdikan Sembojan akan masih dapat terkendali oleh para pemimpinnya. Apalagi jika Iswari sendiri yang datang memimpin pasukannya.
Bahkan padepokan itupun tentu akan masih tetap utuh. Mereka tidak akan membakar setiap bangunan menjadi abu.
Ketika Ki Randukeling berbisik tentang kemungkinan itu, maka Ki Ajar Paguhan mengiakannya. Perlahan-lahan ia berkata, "Hanya orang-orang biadab yang telah melakukan hal seperti. Biadab sebagaimana penghuni padepokan ini sendiri."
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Sementara Ki Ajar Paguhan berkata, "Topeng-topeng kecil itu adalah lambang kebiadaban kita disini."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia berkata, "Apakah topeng-topeng itu masih ada di tempatnya?"
"Kita akan melihatnya," desis Ki Ajar Paguhan. Keduanyapun kemudian telah mengajak Puguh untuk melihat-lihat keadaan di sekeliling padepokan mereka yang penuh dengan rahasia kebiadaban mereka itu. Topeng-topeng kecil yang menjadi pertanda kematian bagi orang-orang yang melihatnya, meskipun mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang topeng itu. Bahkan orang tersesat sekalipun.
Perintah yang pernah diberikan kepada para pengikut Ki Rangga adalah, "Mati bagi semua orang yang ada di sekitar topeng-topeng itu. Mereka telah memasuki dan memata-matai padepokan kita."
Ketika saat itu Ki Ajar Paguhan bertanya tentang orang-orang yang tersesat dan tidak tahu menahu seperti seorang pencari kayu misalnya, maka Ki Rangga menjawab, "Kita tidak dapat membedakan antara orang yang benar-benar tersesat, atau seseorang yang sedang memata-matai padepokan dengan berpura-pura tersesat. Karena itu, maka semua orang yang mendekati lingkungan padepokan kedua harus mati. Batas kematian itu adalah topeng-topeng kecil yang kita tancapkan di sekitar padepokan kita."
Namun ternyata bahwa dimata-matai atau tidak dimata-matai, padepokan itu sudah dihancurkan orang.
Demikianlah, maka ketiga orang itu telah berjalan mengelilingi lingkungan yang disebut daerah terlarang itu. Mereka ternyata masih menemukan topeng-topeng kecil yang ditancapkan di beberapa tempat di sekitar padepokan mereka yang hangus menjadi abu itu.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 21 SIKAP yang keras dan bahkan kejam dari Ki Rangga itu ternyata tidak mampu melindungi padepokan mereka, sehingga pada suatu saat yang tinggal adalah abunya saja.
"Puguh," berkata Ki Randukeling yang seakan-akan dapat membaca gejolak hati anak muda itu, "ternyata bahwa yang dilakukan oleh ayah dan ibumu selama ini tidak menjamin kerahasiaan padepokan kita. Bahkan akhirnya padepokan kita benar-benar telah dihancurkan tanpa bekas. Karena itu, maka sikap sebagaimana dilakukan oleh ayah dan ibumu itu perlu diperhitungkan kembali, apakah pada saat yang lain masih juga perlu dilakukan."
Puguh menundukkan kepalanya. Ia mengerti sepenuhnya pendapat Ki Randukeling. Tetapi bagaimanapun juga, ia masih saja dicengkam oleh perasaan takut kepada ayah dan ibunya yang telah berpesan kepadanya, agar kehidupan di padepokan itu sama sekali jangan mengalami perubahan.
Ki Randukeling yang melihat keragu-raguan di wajah Puguh berkata selanjutnya, "Mungkin kau masih selalu dibayangi oleh pesan ayahmu. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa yang terjadi ini bukan salahmu. Bahkan kau harus membuat perhitungan-perhitungan yang lebih cermat tentang kemungkinan yang bakal datang. Apakah menurut pendapatmu, ayah dan ibumu masih akan datang ke padepokan ini" Padepokan yang pernah didatangi oleh musuh-musuhnya dan dihancurkannya."
Puguh mengangguk-angguk. Ia memang mulai memikirkan kemungkinan seperti itu.
Ternyata bahwa Puguhpun mempunyai kesimpulan bahwa ayah dan ibunya tidak akan mungkin datang lagi ke tempat yang tentu dianggapnya sangat berbahaya, karena tempat itu telah diketahui oleh musuh-musuhnya. Justru musuh-musuh yang belum dikenalnya dengan jelas.
Dengan demikian maka Puguhpun kemudian condong untuk membangun padepokan itu sesuai dengan angan-angannya sendiri menurut petunjuk kakek dan gurunya. Nampaknya akan menjadi lebih baik bagi masa mendatang. Meskipun Puguh masih harus memperhitungkan orang-orang yang mungkin masih tetap mendendam kepada ayah dan ibunya.
Namun Puguhpun sadar, bahwa membangun padepokan itu diperlukan waktu yang panjang. Mereka harus mendapatkan bahan dan mendapatkan tenaga manusia untuk melaksanakannya.
"Sudahlah," berkata Ki Randukeling, "kita memang ingin membangun kembali padepokan ini. Tetapi tentu bukan harus dilaksanakan besok pagi atau lusa. Kita harus membuat beberapa perhitungan dan pertimbangan."
"Sementara ini, apa yang harus kita lakukan Kek?" bertanya Puguh.
"Kita harus beristirahat dahulu lahir dan batin. Kita mencoba merenungkan apa yang telah terjadi dan apa yang mungkin terjadi. Kita juga harus mencari jalan, bagaimana kita mendapatkan bahan dan tenaga untuk membangun kembali padukuhan kita. Bukan hanya sekedar mendirikan bangunan di lingkungan padepokan ini. Bangunan induk dan barak-barak. Tetapi juga siapakah yang akan menghuni barak-barak itu. Siapa pula yang akan mengerjakan sawah dan ladang kita untuk mencukupi kebutuhan seisi padepokan. Tetapi siapa pula yang mempunyai kebutuhan itu," jawab Ki Randukeling.
Puguh menarik nafas dalam-dalam, sementara gurunya berkata, "Kita memang memerlukan waktu."
"Apakah kita akan tetap berada disini selama kita menyusun rencana dan mengusahakan bahan serta tenaga?" bertanya Puguh.
"Bukankah itu tidak mungkin?" desis Ki Randukeling, "apakah kita akan membiarkan diri kita kepanasan di siang hari, berembun di malam hari dan basah kuyup di hari hujan?"
Namun Ki Ajar Paguhan kemudian berkata, "Maksudmu, kemana kita untuk sementara akan tinggal?"
"Ya guru," jawab Puguh.
"Puguh," suara gurunya merendah, "sebelum aku tinggal di padepokan ini atas permintaan kakekmu, aku sudah mempunyai tempat tinggal. Sama sekali bukan sebuah padepokan. Tetapi aku justru menyepi di satu tempat yang terasing sama sekali. Namun selain aku, kakekmu juga mempunyai rumah tempat tinggal. Nah, sekarang dapat kita pertimbangkan, apakah kita akan pergi ke tempat tinggalku semula atau kita akan pergi ke rumah Ki Randukeling."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Ia memandangi gurunya dan kakeknya berganti-ganti. Namun akhirnya ia berkata, "Terserahlah kepada guru dan kakek."
Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk. Dengan kerut di kening ia berkata kepada Ki Randukeling, "Ki Randukelinglah yang akan mengambil keputusan. Bahwa aku tinggal di padepokan inipun karena Ki Randukeling minta kepadaku. Jika bukan Ki Randukeling yang aku kenal sejak masa muda dan telah banyak berbuat sesuatu bersama-sama, maka aku tentu tidak akan betah tinggal disini."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika demikian, maka sebaiknya kita kembali saja ke rumahku. Rumahku lebih banyak memenuhi beberapa persyaratan sebagai rumah tempat tinggal daripada gubuk Ki Ajar Paguhan."
"Rumahmu yang mana Ki Randukeling?" bertanya Ki Ajar Paguhan.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga sebaiknya ia berada di tempat yang sementara aman bagi Puguh. Orang-orang yang mencari Ki Rangga dan Warsi itu akan dapat beralih sasaran. Jika keduanya tidak segera ditemukan, maka mereka akan dapat menangkap anaknya sebagai barang taruhan.
Karena itu, maka Ki Randukelingpun berkata, "Aku juga memikirkan kemungkinan buruk bagi Puguh jika diketahui tempatnya. Karena itu, maka aku akan membawa kalian ke rumahku yang ditunggui oleh seorang kemenakanku di kaki Pegunungan Sewu, di sebelah Barat Sembojan. Jaraknya cukup panjang dari Sembojan."
Namun tiba-tiba saja Puguh bertanya, "Apakah kakek mempunyai dugaan bahwa yang telah datang kemari adalah orang-orang Sembojan?"
"Tidak." jawab Ki Randukeling, "orang-orang Sembojan tidak akan berbuat sekeji itu. Aku mengenal mereka dan aku yakin akan hal itu."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Iapun teringat akan kehadiran dua orang yang ditemuinya di Song Lawa, yang mengaku bernama Wanengbaya dan Wanengpati. Puguhpun sudah menduga, bahwa nama itu tentu bukan nama mereka yang sebenarnya.
Namun Puguhpun tidak dapat menduga bahwa keduanyapun yang telah melakukan kekejian itu. Puguh menyadari, bahwa ilmu kedua orang itu sangat tinggi, sehingga tanpa kehadiran gurunya dan kakeknya di padukuhan itu, maka dengan bantuan beberapa orang saja keduanya akan dapat menghancurkan padepokan itu menjadi abu seperti yang telah terjadi. Namun menilik sifat keduanya, maka Puguh yakin, bahwa bukan kedua orang itulah yang telah melakukannya. Apalagi kedua orang itu juga tidak nampak di antara orang-orang yang telah mencari ayah dan ibunya di persembunyiannya.
"Jika kedua orang itu ada, aku tidak tahu, apakah guru dan kakek akan dapat mengatasinya," berkata Puguh di dalam hatinya.
Tetapi Puguh tidak mengatakannya kepada guru dan kakeknya. Apalagi menurut pendapat Puguh keduanya bersikap baik kepadanya.
Demikianlah, maka mereka telah sepakat untuk pergi ke kaki Pegunungan Sewu yang panjang, yang membujur di sisi Selatan tanah tempat mereka tinggal.
Namun mereka tidak berangkat hari itu juga. Mereka akan berangkat fajar di hari berikutnya. Mereka masih ingin merenungi padepokan mereka yang telah menjadi abu itu.
Ternyata yang telah terjadi itu merupakan tempaan bukan saja bagi tubuh dan ketrampilan Puguh dalam olah kanuragan, tetapi juga jiwanya telah tertempa. Ia menjadi semakin memahami kehidupan yang penuh dengan tantangan. Bahkan tantangan yang hampir saja menyentuh nyawanya.
Ketika kemudian malam turun, ketiganya telah bersiap-siap untuk meninggalkan padepokan yang telah menjadi abu itu di keesokan harinya. Namun mereka masih akan menunggui sepanjang malam. Satu-satunya yang masih dapat dipergunakan dengan baik di kedua padepokannya itu adalah sumurnya. Senggotnya masih terpasang di sebatang pohon randu dengan timba yang terbuat dari upih masih tergantung di ujungnya.
*** Tetapi agaknya Puguh tidak terlalu cepat dapat tidur, ia masih saja merenungi padepokannya sehingga lewat tengah malam. Namun akhirnya, Puguhpun telah tertidur pula sampai menjelang dini hari.
Pagi-pagi benar mereka telah bangun. Mandi dengan air sumur yang terasa sangat segar bagi Puguh. Sumber air yang telah cukup lama diteguknya, sehingga pati sarinya telah mengaliri segenap urat nadinya.
Namun untuk sementara tempat itu harus ditinggalkannya. Tetapi Puguh tetap pada pendiriannya, bahwa pada suatu saat ia akan kembali ke tempat itu dan membangun padepokannya kembali meskipun dengan ujud dan watak yang berbeda.
Dalam pada itu, selagi Puguh bersama guru dan kakeknya mulai menempuh perjalanan menuju ke kaki Pegunungan Sewu, maka di Tanah Perdikan Sembojan, seorang anak muda yang sebaya dengan Puguh, bahkan sedikit lebih tua meskipun selisihnya tidak lebih dari satu tahun, sedang sibuk di dalam sanggarnya. Anak muda itu juga bangun sebelum dini hari, memasuki sanggar dan berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia telah berusaha untuk melatih ketahanan tubuhnya, ketrampilan gerak dan bahkan untuk mengembangkan kekuatan dan kemampuannya.
Dua orang menungguinya serta memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Ketika anak muda itu berloncatan dari tonggak yang satu ke tonggak yang lain, bahkan kemudian menelusuri palang bambu serta sekali-kali menggelantung pada tali-tali yang terjulur, terayun dan hinggap pada patok-patok bambu yang agak tinggi.
"Kemampuannya cukup memadai," desis salah seorang di antara kedua orang yang menungguinya, "Kiai Badra telah mempersiapkannya untuk memasuki satu keadaan yang dipersiapkan untuk menerima ilmu Janget Kinatelon."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berdesis, "Tetapi anak ini agak terlalu manja dibandingkan dengan Puguh yang menjadi dewasa ditempa oleh keadaan."
Keduanya terdiam sejenak. Namun nampak kepala mereka yang terangguk-angguk kecil.
Sejenak kemudian, maka anak muda itu telah duduk di atas sebuah tonggak batang kelapa. Sambil duduk bersila ia mengembangkan kedua tangannya. Sekali terentang lebar-lebar sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diputar ke atas dan perlahan-lahan kedua telapak tangannya mengatup di atas kepalanya. Kedua telapak tangan yang mengatup itupun perlahan-lahan pula turun sampai ke dadanya.
Untuk beberapa saat ia bertahan dalam keadaannya. Namun kemudian kedua telapak tangannya itupun telah terurai. Sambil meloncat turun anak muda itu tersenyum.
"Kau telah mencapai kemajuan yang berarti, Risang," berkata Sambi Wulung, salah seorang di antara kedua orang yang menungguinya berlatih itu.
"Ya," sahut Jati Wulung, "baru beberapa hari kau berada disini. Namun yang beberapa hari ini telah kau pergunakan sebaik-baiknya."
"Ah, tidak seberapa. Tetapi aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan," jawab Risang.
"Kau sudah membagi waktumu dengan baik," berkata Sambi Wulung. Lalu katanya pula, "Kau isi waktumu di pagi hari dengan latihan-latihan seperti ini. Kemudian kau berlatih di alam terbuka dengan menjelajahi jalan-jalan di Tanah Perdikan ini. Turun naik gumuk-gumuk besar dan kecil. Menyusuri sungai dan jalan-jalan yang terjal. Kemudian di sore hari kau berlatih dengan orang-orang yang dapat kau anggap sebagai gurumu. Meningkatkan serta memperdalam ilmu yang telah kau miliki. Sedangkan malam hari kau belajar ilmu kesusasteraan serta ilmu yang lain yang berhubungan dengan perkembangan kecerdasan dan pengetahuanmu di samping memperdalam pengetahuanmu tentang hubungan antara manusia dengan penciptanya."
"Pembagian waktu ini bukankah berlaku sejak aku di padepokan?" desis Risang.
"Ya. Dan itu harus kau pertahankan terus. Kecuali jika saatnya kau benar-benar dalam persiapan menerima ilmu tertinggi sebagaimana dimiliki oleh ibumu," berkata Sambi Wulung.
"Masih sangat jauh," berkata Risang, "tetapi aku juga tidak terlalu tergesa-gesa meskipun aku mengerti bahwa di luar pengetahuanku, aku tiba-tiba saja sudah berada dalam suasana yang bermusuhan. Tetapi aku tidak mengenali siapakah musuh-musuhku itu."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk.
Bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung, Risang memang sudah tumbuh semakin dewasa. Karena itu, maka penglihatannya atas dirinya dalam kehidupanpun telah berkembang. Jika semula Risang hanya bertanya kenapa dirinya harus disamarkan, maka kini ia merasa bahwa sebenarnyalah ia telah berada dalam suasana yang tidak diinginkannya. Tiba-tiba saja di luar tanggung jawabnya ia telah dihadapkan kepada musuh-musuhnya yang mendendamnya, bahkan akan membunuhnya.
Pertanyaan yang paling dicemaskan akan datang dari Risang itu akhirnya didengar juga oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kenapa permusuhan itu terjadi?" bertanya Risang.
Sambi Wulung dan Jati Wulung merasa sangat sulit untuk menjawab. Mereka memang menyatakan, bahwa mereka tidak banyak mengetahui tentang hal itu, karena mereka tidak terlibat langsung.
Tetapi Risang berkata, "Kalau jawaban itu aku dengar lima tahun yang lalu, maka aku tentu akan mempercayainya."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Risang. Kau memang sudah bertambah dewasa. Tetapi justru karena itu, maka kaupun harus mengetahui bahwa aku tidak berwenang untuk menjawab pertanyaanmu itu."
"Aku mengerti," suara Risang merendah, "kakekpun mengatakan begitu. Demikian juga nenek. Sedangkan ibu menganggap aku masih terlalu kecil untuk mengetahuinya. Sementara itu aku sudah mengetahui sejak lama, bahwa aku harus bersembunyi di padepokan yang sunyi itu. Terpisah dari keluarga dan lebih dari itu, aku tidak berada di tanah kelahiran sendiri."
"Semua itu untuk kebaikanmu," berkata Jati Wulung.
Risang mengangguk kecil. Jawabnya, "Aku menyadarinya. Tetapi tentu tidak selalu dibayangi oleh sebuah teka-teki. Sementara itu aku hanya tahu, ibu terluka dalam sebuah pertempuran tanpa mengetahui ujung dan pangkalnya."
Sambi Wulunglah yang menyahut, "Jika kau dipanggil sekarang ini, mungkin ibumu telah menganggapmu cukup dewasa untuk mendengar tentang banyak hal yang menyangkut Tanah Perdikan ini. Kedudukanmu sebagai seorang anak laki-laki Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan dan hal lain-lain yang ada hubungannya dengan keadaanmu itu."
Risang mengangguk kecil. Ia memang mengharap ibunya mengatakan sesuatu. Tetapi jika ibunya tetap berdiam diri, maka ia akan memberanikan diri untuk bertanya tentang dirinya lebih jauh. Tentang permusuhan yang terjadi dan tentang ancaman terhadap dirinya sehingga ia perlu menyingkir dari Tanah Perdikan itu.
Tetapi Risang ternyata tidak perlu bertanya kepada ibunya. Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung kemudian menemui Iswari, maka pertanyaan Risang itu telah dikemukakannya.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Karena saat itu ada ketiga orang kakek dan neneknya, maka iapun kemudian bertanya, "Apakah sudah waktunya aku mengatakannya kepada Risang?"
Kiai Badralah yang kemudian menjawab, "Agaknya memang sudah waktunya, Iswari. Lebih baik kau sendiri yang mengatakannya daripada orang lain. Jika orang-orang di rumah ini tidak mau memenuhi hasrat ingin tahunya, maka Risang mungkin saja akan mencari keterangan di luar rumah ini. Mungkin ia akan menemui orang-orang tua di Tanah Perdikan ini untuk mendapatkan keterangan. Sementara itu, orang-orang tua itu tidak tahu dengan pasti apakah yang sebenarnya terjadi dengan latar belakangnya, sehingga dengan demikian maka yang dapat mereka terangkan adalah sekedar ujud lahiriahnya saja. Itupun tidak selengkapnya. Dengan demikian maka akan dapat menimbulkan salah tanggapan dari Risang sendiri atas persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan ini dan yang menyangkut tentang dirinya."
Iswaripun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Baiklah Kek. Nanti setelah senja aku akan berbicara dengan Risang."
"Dimana Risang sekarang?" bertanya Kiai Badra.
"Bersama Bibi di kebun. Risang sering bertengger di pohon jambu air di belakang," sahut Sambi Wulung.
"Baiklah," berkata Kiai Badra, "tolong sampaikan kepada anak itu, bahwa senja nanti ibunya ingin berbicara dengannya."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia ikut merasa lega bahwa dengan demikian Risang tidak akan mengulangi lagi pertanyaan yang sulit itu kepada mereka.
"Aku akan mengatakan semuanya," berkata Iswari, "dengan demikian maka ia akan mempunyai gambaran yang benar tentang dirinya dalam hubungan dengan Tanah Perdikan ini serta orang-orang yang masih saja selalu mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini."
"Agaknya memang sudah waktunya," desis Nyai Soka, "ia tidak boleh terlalu lama merasa terganggu oleh pertanyaan itu di dalam hatinya."
Orang-orang tua itu masih sempat memberikan beberapa pesan kepada Iswari, apakah yang sebaiknya dikatakan kepada Risang. Memang harus tuntas, tetapi bijaksana, sehingga tidak menumbuhkan gejolak baru di hati anak muda itu.
"Ia pernah menyatakan bahwa sebaiknya ia tidak perlu bersembunyi seandainya ada orang yang mengancam untuk membunuhnya sekalipun," berkata Sambi Wulung.
"Ya," desis Iswari, "nampaknya harga dirinya memang tersinggung."
"Ia tentu akan kecewa atas dirinya sendiri, atas ayahnya, ibunya, kakeknya dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi itu lebih baik diketahuinya sekarang daripada lebih lama lagi berteka-teki, apalagi jika ia mendengar dari orang lain," berkata Kiai Badra.
Iswari mengangguk-angguk. Terkilas jalan hidupnya sendiri yang penuh dengan gejolak. Ketika ia dilamar oleh Ki Wiradana, putera Kepala Tanah Perdikan Sembojan, maka seakan-akan nampak fajar yang akan menyingsing di Timur. Namun tiba-tiba matahari berjalan terlalu cepat, sehingga iapun telah terlempar ke suramnya senja yang kelabu. Hadirnya seorang perempuan yang bernama Warsi, yang memasuki Tanah Perdikan sebagai seorang penari keliling telah merusakkan segala-galanya.
Bulu-bulu di tengkuknya terasa berdiri jika teringat olehnya bagaimana Bibi membawanya ke satu tempat yang sepi dan siap membunuhnya. Untunglah bahwa Bibi yang disebut Serigala Betina itu masih memiliki secercah kebaikan hati di dalam dadanya yang penuh dengan noda-noda, sehingga ia membatalkan rencananya untuk membunuhnya. Apalagi saat itu ia sedang mengandung anak laki-lakinya. Risang.
"Apakah aku juga harus mengatakannya?" Iswarilah yang kemudian bertanya kepada diri sendiri.
Namun Iswari masih sempat merenungkannya sampai senja turun. Iapun masih sempat membicarakannya dengan ketiga orang kakek dan neneknya.
Demikianlah ketika senja turun, maka Risang telah menghadap ibunya. Malam itu ia tidak akan mempelajari pengetahuan tentang hidup dan kehidupan, juga tidak memperdalam pengetahuannya tentang hubungannya dengan penciptanya serta sesamanya. Tetapi Risang ingin mendengarkan satu kisah yang panjang tentang dirinya.
Ibunyapun telah bertekad untuk menceriterakan semua hal tentang Risang dan lingkungannya. Tetapi pada saat terakhir Iswari memutuskan untuk tidak mengatakan, bagaimana ayah Risang itu merencanakan pembunuhan atas dirinya di saat ia sedang mengandung.
"Tidak banyak orang yang mengetahuinya," berkata Iswari di dalam hatinya, sehingga iapun berharap bahwa tidak akan ada orang yang menyampaikannya kepada Risang setelah Iswari berpesan kepada Bibi untuk merahasiakan hal itu kepada anaknya.
Risang memang menjadi berdebar-debar. Sudah terlalu lama ia menunggu kesempatan seperti itu.
Namun untuk mengurangi debar di jantung Iswari, maka ia minta salah seorang kakek atau neneknya mendampinginya di saat ia berbicara dengan Risang.
Ternyata kakeknya sendirilah yang akan bersama-sama menceriterakan tentang diri Risang yang baru diketahuinya serba sedikit itu.
Demikianlah, maka dengan-penuh perhatian Risang mendengarkan ibunya berkata, "Risang. Aku anggap kau sudah cukup dewasa untuk mengenal dirimu sendiri lebih dekat. Tentu ada yang dapat kau banggakan tentang dirimu, tentang orang tuamu dan tentang lingkunganmu. Tetapi tentu ada pula yang tidak sejalan dengan angan-anganmu. Kau tidak boleh menjadi terlalu kecewa. Yang penting bagimu bukannya masa lampaumu, meskipun masa lampau bagi seseorang akan ikut menentukan masa sekarang dan masa yang akan datang. Masa lampau memang bukan sekedar untuk dikenang. Tetapi dapat dipetik sebagai pengalaman yang perlu diperhitungkan dalam langkah-langkah kita sekarang dan di masa datang."
Risang mengangguk-angguk kecil. Ia tahu bahwa pengantar itu tentu sekedar menenangkannya, karena Risangpun serba sedikit telah dapat meraba, bahwa masa lampau bagi keluarganya adalah masa yang buram.
"Risang," berkata ibunya pula, "karena kau sudah dewasa, maka kau tentu dapat mempertimbangkan keteranganku dengan sikap dewasa pula serta menanggapinya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab."
Risang mengangguk kecil pula sambil berdesis, "Aku mengerti ibu."
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Risang sudah tidak sabar lagi menunggu, sementara ia masih belum sampai kepada masalah yang sebenarnya.
Namun kemudian Iswari yang sudah bertekad bulat untuk mengungkapkan masa lampau anaknya dengan terbuka, meskipun melalui saringan yang lembut, telah mulai dari masa lampaunya sendiri. Di saat-saat ia memasuki Tanah Perdikan Sembojan.
Peristiwa demi peristiwa disampaikannya dengan jelas. Diceriterakannya pula hadirnya seorang penari jalanan yang telah mendesaknya keluar dari Tanah Perdikan itu, tanpa menyebut usaha pembunuhan yang urung, karena Bibi tahu ia sedang mengandung.
Risang mengikuti ceritera ibunya dengan saksama. Sebagian memang tidak mengejutkannya. Namun sebagian yang lain telah membuat hatinya bergejolak. Seolah-olah ia telah dihadapkan pada suatu cermin yang menunjukkan wajahnya yang sebenarnya. Cacat-cacatnya serta noda-noda yang terdapat di wajah itu.
Risang menundukkan wajahnya semakin dalam. Sementara ibunya berkata, "Risang. Kau harus berani melihat kenyataan tentang dirimu, sebagaimana ibumu melakukannya. Ibupun melihat cacat diri yang dapat membuat diriku terasa terlalu kecil di hadapan orang lain. Sebagai seorang perempuan aku telah disingkirkan dari sisi seorang suami. Tetapi aku tidak menyerah kepada keadaan. Keadaan itu telah mendorongku untuk menempuh satu laku yang berat dan panjang. Ternyata usahaku berhasil. Jalur pimpinan Tanah Perdikan ini tidak akan berkisar dari alur yang seharusnya meskipun ayahmu sudah tidak ada. Tetapi banyak saksi yang akan memperkuat kedudukanmu, karena kita berada di jalan kebenaran. Apalagi pertanda kebesaran Tanah Perdikan inipun ada padamu."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Memang tidak sepatah katapun yang diucapkannya. Namun perasaan kecewa dan menyesal telah bergulat di hatinya.
Risang memang tidak menyalahkan kepada ibunya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa dua kali ibunya harus berhadapan dengan bekas madunya itu. Bukan soal seorang laki-laki. Tetapi mereka bertempur karena Tanah Perdikan Sembojan ini. Apalagi setelah perempuan yang bernama Warsi itu bekerja sama dengan Ki Rangga Gupita yang sedang mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap Pajang.
Tetapi bagaimanapun juga setiap orang di Tanah Perdikan itu tahu bahwa ia adalah anak yang sebenarnya telah tersingkir bersama ibunya. Saat itu, apapun alasannya, ibunya sudah tidak dikehendaki lagi oleh ayahnya, sehingga sebenarnyalah bahwa iapun seharusnya sudah tidak berada di Tanah Perdikan itu lagi.
Dalam pada itu, ibunyapun kemudian berkata, "Risang. Apa yang aku lakukan waktu itu semata-mata karena aku menghormati hakmu. Hakmu sebagai seorang anak laki-laki tertua dari seseorang yang seharusnya menerima warisan jabatan Kepala Tanah Perdikan. Kakekmu, Ki Gede Sembojan yang dibunuh oleh perempuan itu, tentu akan menghormati hakmu pula seandainya ia sempat memberikan pendapatnya. Bagaimanapun juga persoalannya telah menyangkut kelanjutan kepemimpinan di Tanah Perdikan ini."
Risang masih tetap menundukkan kepalanya. Namun ibunya dan Kiai Badrapun sudah menduga bahwa akan terjadi gejolak di hati anak muda itu. Tetapi gejolak itu akhirnya tentu akan menjadi tenang kembali.
Namun dalam pada itu, Risang membayangkan peristiwa itu dengan sudut pandangan yang berbeda. Seandainya ibunya tidak berbuat apa-apa, sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan perempuan yang disingkirkan oleh suaminya, maka ia tentu sudah tersingkir pula dari garis keturunan Ki Wiradana. Ia tidak akan dapat menjadi pewaris jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Hampir di luar sadarnya, sambil menundukkan kepalanya Risang berkata, "Ibu telah melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh perempuan. Merebut seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang telah menyisihkan ibu dari sisinya."
"Risang," desis Kiai Badra, "kau salah menafsirkan tindakan ibumu. Ibumu sama sekali tidak berusaha merebut laki-laki itu lagi. Bahkan sama sekali tidak mempedulikannya. Tetapi laki-laki itu adalah tetap ayah dari anak yang dilahirkannya waktu itu. Laki-laki itu adalah pewaris Jabatan kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi laki-laki itu telah dikuasai oleh seorang perempuan yang tidak memungkinkan jalur warisan itu turun menurut alur yang seharusnya. Kaupun jangan salah mengerti, bahwa seolah-olah terjadi perebutan warisan yang meskipun berupa jabatan, untuk sekedar mencari kedudukan. Kau harus dapat membayangkan, jika jabatan itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka Tanah Perdikan ini tentu akan kehilangan arah."
"Tetapi bukankah itu tanggung jawab ayah?" bertanya Risang.
"Ayahmu bukan saja dikuasai oleh perempuan itu sebagai seorang laki-laki yang lemah hati. Tetapi benar-benar dikuasai sebagai Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan. Dan kaupun harus mengetahui pula kehadiran seorang laki-laki lain di dalam kehidupan perempuan yang menguasai ayahmu itu, sehingga memang diperlukan satu kekuatan yang akan mampu menegakkan kembali pemerintahan di Tanah Perdikan ini. Dalam rangka itulah ibumu berjuang dengan satu tujuan, menyelamatkan Tanah Perdikan Sembojan. Sementara itu, kau pulalah yang telah menguasai pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan," berkata Kiai Badra.
Wajah Risang menjadi semakin tunduk. Sementara kakeknya berkata selanjutnya, "Risang. Kau tidak boleh mengingkari kenyataan ini. Kau harus menerima dengan sikap seorang laki-laki. Mungkin kau kecewa, bahwa baik ayahmu maupun ibumu kau anggap melakukan langkah-langkah yang salah. Tetapi kau tidak dapat melangkah surut karena itu. Justru kau harus menunjukkan bahwa kau, anak Wiradana mampu menegakkan pemerintah di Tanah Perdikan ini. Apalagi di saat-saat mendung sedang menyelimuti Pajang seperti sekarang ini."
Risang tidak menjawab. Pikirannya terasa menjadi kalut. Namun Kiai Badra berkata, "Jangan mengambil sikap dalam keadaan seperti ini Risang. Kau harus mengendapkan perasaanmu lebih dahulu. Baru kau dapat berbicara dengan dirimu sendiri untuk menentukan langkah-langkahmu."
Risang mengangguk. Sementara itu ibunya berkata dengan suara yang bergetar, "Kau harus memaafkan ibumu Risang. Kau harus tahu niat yang saat itu menyala di dalam dadaku. Permusuhan itu terjadi bukan sekedar karena aku dan perempuan itu pernah dimadu oleh seorang laki-laki yang lemah hati. Tetapi seperti aku katakan, aku menghormati hakmu sebagai pewaris Tanah Perdikan. Juga seperti aku katakan, bukan jabatan itu yang penting. Tetapi Tanah Perdikan ini."
Risang mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, "Dan permusuhan itu terjadi sampai kini, sehingga aku perlu disingkirkan dari Tanah Perdikan ini."
"Kau sekarang sudah dewasa Risang," berkata ibunya, "menurut pendapatku, kau sudah mempunyai bekal yang cukup untuk melindungi dirimu sendiri. Karena itu, kami mulai memikirkan kemungkinan untuk mempersiapkan kau memimpin Tanah Perdikan ini. Selagi Pajang masih belum terlibat sepenuhnya dalam kekalutan yang sungguh-sungguh."
"Kenapa dengan Pajang ibu?" bertanya Risang.
"Pajang adalah kekuasaan yang wenang untuk menetapkan dan menguatkan kedudukanmu sebagai Kepala Tanah Perdikan. Meskipun Tanah Perdikan mempunyai wewenang untuk menentukan diri sendiri, tetapi Tanah Perdikan ini tetap ada di dalam kesatuan kuasa Pajang." jawab ibunya.
"Jika ayahku seorang yang lemah hati dan tidak pantas memegang jabatan sebagai Kepala Tanah Perdikan, apakah aku, anaknya, akan pantas melakukannya?" bertanya Risang tiba-tiba.
"Kenapa tidak" Seorang anak akan dapat menjunjung tinggi martabat keluarganya. Meskipun orang tuanya mempunyai cacat sebagaimana terdapat pada setiap orang, maka anaknya akan dapat menghapusnya dengan sikap dan tingkah lakunya." kakeknyalah yang menyahut.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun ibunya dan kakeknya masih merasakan gejolak di dalam hati anak itu. Tetapi seperti yang sudah mereka rencanakan, maka Risang akan diberi kesempatan untuk mengendapkan perasaannya.
"Risang," berkata ibunya tersendat, "mungkin masih ada yang terlampaui dari keteranganku Mungkin besok atau kapan saja aku teringat, maka aku akan mengatakannya kepadamu. Tetapi kau dapat mulai mempertimbangkan untuk tetap tinggal di sini, karena kau harus mempersiapkan diri bagi jabatanmu masa datang."
Risang termangu-mangu. Tetapi ia tidak segera menjawab. Kepalanya masih tetap menunduk dalam-dalam. Sementara jantungnya terasa berdetak semakin cepat.
Terbayang di rongga matanya sederet orang yang siap datang untuk membunuhnya. Yang terdepan berdiri seorang perempuan yang bernama Warsi, yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, meskipun ternyata belum mampu mengalahkan ibunya. Seorang perempuan yang tubuhnya menyerap cahaya bulan untuk meningkatkan kemampuan dan ilmunya. Kemudian di sebelahnya seorang laki-laki yang juga memiliki ilmu yang tinggi. Seorang bekas perwira dalam pasukan Jipang, yang kemudian bertugas sebagai prajurit sandi. Di sisi yang lain seorang anak muda, adiknya seayah, yang memandangnya dengan penuh kebencian. Puguh. Seorang anak muda yang juga memiliki hak untuk mewarisi jabatan Tanah Perdikan Sembojan, jika ia tidak ada. Atau katakanlah, dapat disingkirkan.
Risang memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia sendiri belum pernah terlibat dalam satu persoalan apapun dengan mereka. Namun yang ternyata permusuhan itu telah ada sejak ia dilahirkan.
"Sekarang beristirahatlah Risang," terdengar suara ibunya lembut. "Berpikirlah sebagai seorang anak muda yang telah dewasa. Kemudian kau akan menemukan endapan penalaran dan perasaanmu dalam keseimbangan."
Risang mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, "Terima kasih ibu. Aku mohon diri untuk merenungi semua keterangan ibu dan kakek."
"Kau dapat membicarakannya dengan orang-orang yang kau anggap dapat memberimu petunjuk," berkata ibunya.
Risangpun kemudian meninggalkan ruangan itu. Tetapi ia tidak segera menemui siapapun juga. Iapun tidak berbicara dengan Bibi atau orang lain. Risang langsung masuk ke dalam biliknya, menyelarak dari dalam, kemudian berbaring di pembaringannya. Tetapi matanya sama sekali tidak terpejam. Dipandanginya atap rumahnya dengan tanpa berkedip. Namun gejolak di dadanya seakan-akan menjadi sangat sulit dikendalikan.
Ketika Risang mencoba memejamkan matanya, maka kepalanya serasa menjadi pening, sehingga iapun kemudian kembali membuka matanya menatap atap.
"Ayahku seorang yang lemah, bahkan tidak setia. Sedangkan ibuku adalah seorang perempuan yang telah tersisih, namun karena perjuangannya berhasil merebut kembali kedudukannya meskipun dengan alasan menghormati hakku atas Tanah Perdikan Sembojan ini," berkata Risang di dalam hatinya. Yang terbayang adalah wajah-wajah yang mencibirkan bibir melihat seorang perempuan yang tidak tahu diri dan berusaha merebut kembali laki-laki yang telah mengambil perempuan lain sebagai isterinya.
Tetapi di sudut yang lain di dasar hatinya ia berkata, "Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu menghormati ibu. Bahkan wibawanya tidak kalah dengan wibawa seorang pemimpin laki-laki. Apakah itu pertanda bahwa orang-orang di sekitarnya mencemoohkannya" Dan menganggapnya sebagai perempuan yang tidak tahu diri" Atau bahkan sebaliknya menganggap bahwa ibu adalah pejuang yang tidak kenal menyerah sehingga berhasil meluruskan jalur warisan di Tanah Perdikan ini."
Berbagai macam perasaan bergejolak di dalam hatinya. Namun bagaimanapun juga Risang sulit untuk menyingkirkan perasaannya yang membuatnya menjadi rendah diri.
Sementara itu, sepeninggal Risang, ternyata Iswari tidak dapat mengendalikan diri lagi. Betapapun ia pernah menghadapi keadaan yang paling keras sekalipun di dalam hidupnya, namun di saat-saat yang sangat menyentuh perasaannya itu, ia tidak dapat mengingkari sifat-sifatnya sebagai seorang perempuan. Betapapun ia bertahan, namun air matanya telah meleleh di pipinya.
"Sudahlah Iswari," berkata kakeknya, "kau jangan hanyut ke dalam arus perasaanmu. Sepeninggal Ki Wiradana, maka kau adalah ibu sekaligus ayah Risang. Karena itu, maka kau harus tabah serta mempergunakan penalaran untuk memecahkan satu masalah. Bukankah sudah kita duga, bahwa Risang tentu akan kecewa. Tetapi pada suatu saat ia akan mengerti, bahwa kau tidak dapat memilih jalan lain dari yang pernah kau lakukan, jika kau masih ingin disebut bertanggung jawab."
Iswari mengangguk kecil. Tetapi tidak mudah baginya untuk menghapus begitu saja kenangan masa lampaunya.
"Kau boleh mengenang dan kemudian menilai kembali apa yang pernah kau lakukan, tetapi kau harus melihat semuanya dalam keadaan utuh. Bukan sepotong-sepotong sehingga hanya yang cacat sajalah yang kau lihat. Dan kau seharusnya menjadi bangga, di samping mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa kau mampu berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan ini," berkata Kiai Badra, "Karena jika kau tidak melakukannya, maka Tanah Perdikan ini akan mengalami bencana yang mungkin akan berkepanjangan sepanjang jaman."
Iswari mengangguk pula. Namun dengan suara yang gemetar ia berkata, "Kakek. Aku tidak peduli apa kata orang tentang diriku. Tetapi aku tidak dapat menutup telinga atas pendapat Risang, anakku sendiri."
"Ia masih terlalu muda," berkata Kiai Badra, "tetapi ia memang harus mengetahuinya dari mulutmu sendiri. Itu lebih baik. Sikapnya adalah wajar sebagaimana kita perhitungkan sebelumnya."
"Ya, kakek," sahut Iswari perlahan.
"Sekarang beristirahatlah. Kaupun letih," berkata Kiai Badra.
Iswari mengangguk pula. Dengan kepala tunduk dan sekali-sekali mengusap matanya yang masih saja basah, Iswari memasuki biliknya. Tetapi seperti Risang, iapun tidak segera dapat tidur di pembaringannya.
Di hari berikutnya, Risang nampak menjadi lebih pendiam. Orang-orang di sekitarnya merasakan hal itu, dan berusaha untuk mengerti. Ibunya tentu menceriterakan semua persoalan pribadinya selain usaha Ki Wiradana untuk membunuh Iswari. Karena jika hal itu dikatakannya pula, maka satu pukulan jiwani atas anak muda itu akan dapat membuatnya semakin kusut.
Iswari sendiri berusaha untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat dianggap satu perubahan sikap. Ia menjalankan tugasnya sebagaimana biasanya. Bahkan ia telah mengajak Risang untuk melihat orang-orang Tanah Perdikan Sembojan di bagian Utara memperbaiki sebuah bendungan yang hampir pecah.
Dengan mengerahkan tenaga dari beberapa padukuhan, serta brunjung-brunjung bambu yang telah diisi dengan batu, maka bendungan itu dapat diselamatkan, sehingga air yang mengalir di parit-parit tidak menjadi susut.
"Risang," berkata ibunya ketika mereka berada di bendungan, "banyak yang pantas kau lihat disini. Semua ini harus kau amati, karena pada saatnya semua ini akan menjadi tanggung jawabmu."
Risang mengangguk kecil. Namun di wajahnya masih nampak kerut-kerut yang dalam. Ia masih belum nampak gembira seperti biasanya.
Tetapi Iswari memang harus bersabar. Pergolakan di dada anak muda itu tentu memerlukan waktu yang cukup, sehingga akhirnya akan dapat mengendap.
Di hari-hari berikutnya, memang nampak perubahan lagi pada anak itu. Risang memang mulai nampak mendapatkan kegembiraannya kembali meskipun anak muda itu masih belum mengatakan sesuatu. Sehingga dengan demikian, maka ibunyapun telah berangsur berbesar hati. Iswari ternyata menjadi lebih cerah dari Risang sendiri, karena kegembiraannya sebagai ibu terutama jika ia melihat anaknya bergembira.
Dengan nada yang ringan Iswari berkata kepada kakeknya, "Nampaknya perasaannya mulai mengendap kakek."
"Syukurlah," berkata Kiai Badra, "anak muda itu harus mulai ikut melakukan kegiatan yang kau lakukan. Dengan demikian ia akan mengenali tugas-tugas yang bakal dipertanggungjawabkan kelak."
"Aku sudah mengatakan kepadanya," berkata Iswari.
"Baiklah. Mudah-mudahan ia akan menjadi semakin mantap," sahut Kiai Badra.
Namun ternyata anak muda itu telah mengejutkan ibunya ketika pada suatu senja ia datang menghadap. Dengan suara sendat ia berkata, "Ibu, agaknya aku sudah cukup lama berada disini."
"Kenapa?" bertanya ibunya dengan jantung yang berdebaran.
"Agaknya sudah waktunya aku kembali ke padepokan kecil itu," berkata Risang kemudian.
"Aku tidak tahu maksudmu Risang. Bukankah sudah aku katakan, bahwa kau sudah waktunya untuk berada di Tanah Perdikan ini. Kau sudah menginjak usia dewasamu, sehingga kau harus mulai mengenali tugas dan tanggung-jawab yang bakal kau pikul di masa mendatang," berkata ibunya.
"Tetapi aku tidak dapat meninggalkan padepokan itu terlalu lama ibu. Jika aku harus tinggal disini, maka aku harus mengatur segala sesuatunya, sehingga aku tidak begitu saja meninggalkan padepokan itu." jawab Risang.
"Apakah kau sudah berbicara dengan kakekmu?" bertanya Iswari.
"Belum ibu," jawab Risang, "tetapi seharusnya kakek tidak berkeberatan. Apalagi aku sudah mulai terikat pada tempat itu, seakan-akan memang padepokan itu adalah tempat yang disediakan bagiku."
"Risang," potong ibunya dengan dahi yang berkerut, "Tempatmu bukan di padepokan itu untuk seterusnya. Tempatmu disini, karena kau adalah calon Kepala Tanah Perdikan ini."
"Tetapi sejak kecil aku berada di padepokan itu ibu, sehingga seolah-olah aku memang anak padepokan itu," berkata Risang.
"Bukankah kau tahu alasannya, kenapa kau harus berada di padepokan itu?" bertanya ibunya.
"Aku mengerti ibu. Tetapi justru karena itu, aku sudah merasa terikat dengan padepokan itu. Meskipun demikian, bukannya aku menolak perintah ibu untuk tinggal disini. Tetapi aku mohon waktu." jawab Risang.
Jantung Iswari rasa-rasanya berdegup semakin cepat. Namun justru untuk sesaat ia tidak dapat mengatakan sesuatu. Ketika bibirnya bergerak, maka yang terdengar adalah kata-katanya, "Mintalah ketiga kakek dan nenekmu hadir sekarang disini."
Risang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak membantah. Sejenak kemudian, maka Kiai Badra, Kiai dan Nyai Soka telah hadir pula untuk ikut berbicara tentang keinginan Risang kembali ke padepokan.
Kiai Badra adalah orang yang tinggal paling lama bersama-sama dengan Risang di padepokan itu. Karena itu, ia adalah orang yang paling memahami sikap Risang. Risang memang sudah terikat pada padepokannya itu. Bahkan terbersit satu niat untuk mendirikan satu perguruan tersendiri yang akan menjadi penghuni dan pengembang padepokan itu.
Karena itu, maka Kiai Badrapun kemudian berkata, "Risang. Aku dapat mengerti niatmu untuk kembali ke padepokan. Tetapi bukan berarti bahwa kau akan mengabaikan perintah ibumu."
"Tidak sama sekali kakek. Sudah aku katakan, aku hanya mohon waktu," berkata Risang.
"Waktu dapat terjulur terlalu panjang, tetapi dapat berkerut menjadi sangat pendek. Kau harus membuat satu rencana tentang waktu itu Risang," berkata kakeknya.
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Jika saatnya datang, maka aku akan segera memberitahukan kepada ibu, kakek dan nenek."
"Risang," berkata Nyai Soka, "kau adalah satu-satunya tangkai tempat ibumu bergantung. Kau harus menyadari itu. Bukan untuk bermanja-manja. Tetapi justru merupakan satu tanggung-jawab yang berat bagi masa datang. Jika kau tidak berminat untuk melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh ibumu selama ini, maka perjuangan ibumu itu akan sia-sia. Tanah Perdikan ini tidak akan mendapat manfaat apa-apa. Sehingga dengan demikian maka hasil yang dicapai oleh ibumu tidak lebih dari keberhasilan seorang perempuan untuk merebut seorang laki-laki yang telah menyingkirkannya. Tetapi jika kau melanjutkan perjuangan ibumu bagi Tanah ini, maka perjuangan ibumu itu akan mempunyai arti."
Risang mengerutkan keningnya. Dipandanginya neneknya sejenak. Namun kemudian wajahnya telah tertunduk lagi.
"Pikirkan baik-baik Risang," berkata Kiai Soka, "kau sudah dewasa. Kau harus berpikir secara dewasa. Kau harus dapat membedakan, yang manakah yang akan berarti bagi hidupmu dan mana yang tidak."
Risang tidak segera menjawab. Sementara itu ibunya bertanya dengan nada lembut, "Bagaimana menurut pendapatmu Risang?"
"Aku mengerti ibu. Aku akan mempertimbangkan semuanya itu. Aku mencari ketenangan batin lebih dahulu di padepokanku barang satu dua bulan. Aku akan segera memberitahukan apa yang akan aku lakukan."
"Kau memerlukan waktu begitu lama untuk menentukan sikap?" bertanya ibunya.
"Aku sudah berada di padepokan itu bertahun-tahun. Satu dua bulan tentu tidak banyak berarti dari berbilang tahun itu." jawab Risang.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Terasa sesuatu menyumbat tenggorokannya. Sedangkan sudut-sudut matanya terasa menjadi panas.
"Baiklah Risang," berkata Kiai Badra, "kita akan kembali ke padepokan itu. Dalam waktu satu dua bulan, maka kita akan kembali ke Tanah Perdikan ini, meskipun barangkali kita masih perlu hilir mudik."
Jawaban kakeknya itu sedikit mengendapkan gejolak perasaan Risang. Sementara itu Kiai Badrapun tidak melihat sikap lain yang lebih baik dari kesempatan itu. Jika mereka berkeras untuk memaksa Risang menentukan sikapnya segera, maka sikap itu mungkin justru tidak dikehendaki oleh ibunya.
Iswaripun tidak dapat mencegahnya lagi. Karena itu, maka katanya, "Risang. Rasa-rasanya kali ini terlalu berat untuk melepaskanmu. Tetapi jika itu sudah menjadi kebulatan niatmu, maka ibu tidak akan dapat mencegahnya. Namun ibu minta, agar kau dapat mengerti keadaan ibumu lahir dan batinnya. Ibu berharap agar kau benar-benar mampu menjunjung tinggi nama keluargamu. Ibu yang sudah terlanjur melangkah, tentu tidak akan mungkin surut. Semua mata telah terlanjur memandang ke arahku. Sebagai seorang perempuan aku telah melakukan banyak kelainan dari kebanyakan perempuan. Sama sekali bukan untuk seorang laki-laki. Tetapi untuk Tanah Perdikan ini."
Wajah Risang menjadi semakin tunduk, meskipun dari sela-sela bibirnya terdengar jawabnya, "Aku mengerti ibu."
Ternyata pembicaraan itu tidak berkepanjangan. Iswaripun kemudian telah meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam biliknya. Yang nampak kemudian sama sekali bukan seorang Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang garang di pertempuran melawan orang-orang yang berniat mengambil alih pimpinan di Tanah Perdikan itu untuk tujuan yang sesat. Tetapi benar-benar seorang ibu yang memikirkan sikap anak laki-laki satu-satunya.
Risangpun telah memasuki biliknya pula. Terasa dadanya bagaikan bergejolak. Memang ada pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan meninggalkan ibunya dengan hati yang pedih atau ia akan tetap tinggal di Tanah Perdikan sebagaimana dikehendaki oleh ibunya, namun dengan perasaan yang tidak mapan.
Ternyata hampir semalam suntuk Risang tidak dapat tidur. Baru menjelang dini hari, ia tertidur hanya sesaat.
Tetapi hari itu Risang tidak berminat untuk berbuat apa-apa. Tetapi ia lebih banyak bersiap-siap, karena di keesokan harinya, Risang akan menuju ke padepokan kecilnya.
Niatnya telah bulat untuk kembali ke padepokannya. Setidak-tidaknya untuk sementara.
Karena ketika ia datang, ia menempuh perjalanan bersama dengan Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka esok hari Risang juga akan menempuh perjalanan bersama Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. telah bersiap-siap pula. Mereka sudah mendapat perintah dari Iswari untuk mengantar Risang esok pagi menuju ke Kademangan Bibis, bukan saja sekedar dalam perjalanan, tetapi juga untuk berada di padepokan itu. Mereka diperintahkan untuk menunggu dan pada saatnya kembali bersama-sama dengan Risang pula.
Sementara itu, di hari terakhir Risang berada di Tanah Perdikan, ketiga kakek dan neneknya telah memberikan beberapa petunjuk yang sangat berharga tentang ilmunya. Ketiga orang kakek dan neneknya telah memberikan petunjuk bagaimana Risang harus tetap memelihara pembagian waktu yang baik untuk berlatih.
Ibunya sendiri justru tidak terlalu banyak berpesan. Ibunya hanya selalu berharap agar Risang segera kembali lagi ke Tanah Perdikan itu.
"Risang," berkata ibunya, "satu-satunya keinginanku sekarang adalah, bahwa kau ada disini. Kau sudah cukup kuat untuk melindungi dirimu sendiri, sehingga kau tidak perlu lagi berada di tempat yang jauh di tepi Kali Lorog itu."
"Aku akan selalu memikirkannya ibu." jawab Risang. Lalu katanya, "Yang perlu aku lakukan adalah mempersiapkan diri untuk tinggal di Tanah Perdikan ini."
Ibunya mengangguk kecil. Namun iapun telah mempersiapkan bekal bagi anaknya. Bukan saja uang dan beberapa kitab yang memuat berbagai macam ceritera yang dapat memberikan tuntunan kepada anaknya tentang jalan kehidupan tetapi juga harapan agar anak itu segera kembali.
Kepada Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung, Iswari dan ketiga orang tua di Tanah Perdikan itu berpesan, agar mereka selalu mengawasi Risang. Terutama saat-saat ia berlatih, agar Risang tetap dapat memelihara keseimbangan pada dirinya. Merekapun telah dipesan untuk menjaga agar Risang dapat membagi waktunya dengan baik.
"Kami akan berbuat sejauh dapat kami lakukan," jawab Gandar.
Demikianlah, di hari berikutnya, menjelang dini, keempat orang itu telah siap untuk berangkat. Setelah makan pagi maka mereka telah minta diri.
"Hati-hatilah di perjalanan Risang," pesan ibunya dengan suara yang dalam.
Risang mengangguk. Katanya dengan nada rendah, "Aku mohon doa restu ibu, kakek dan nenek. Semoga aku tidak saja mendapat perlindungan oleh Yang Maha Agung, tetapi juga mendapatkan terang di hati."
Demikianlah sebelum matahari terbit, mereka telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan menuju ke sebuah padepokan kecil di Kademangan Bibis, dekat Kali Lorog. Satu perjalanan yang cukup panjang.
Pada bagian pertama dari perjalanan mereka, ternyata mereka tidak mendapat hambatan. Kuda-kuda mereka laju di jalan-jalan bulak, di antara hijaunya tanaman di sawah. Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Memang ada beberapa orang yang tertarik kepada empat orang penunggang kuda. Namun karena tidak terdapat tanda-tanda yang khusus, maka orang-orang yang melihat mereka dengan cepat telah melupakannya.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi dan panasnya bagaikan menyengat tengkuk, keempat orang itu sepakat untuk beristirahat sejenak di sebuah kedai sekedar menghilangkan haus serta memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat.
Karena itu, maka mereka telah memilih sebuah kedai yang memberikan tempat bagi kuda-kuda mereka dan nampaknya memang menyediakan makan dan minum bagi kuda-kuda mereka yang kebetulan singgah di kedai itu. Memang satu pelayanan khusus. Tetapi dengan demikian akan dapat menambah jumlah orang yang singgah di kedai itu. Terutama orang-orang yang menempuh perjalanan jauh dengan berkuda.
Di kedai itu, Risang dan ketiga orang yang menempuh perjalanan bersamanya itu dapat menghirup minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, sementara kuda merekapun dapat beristirahat sambil minum air segar dan rerumputan yang hijau.
Ketika mereka memasuki kedai itu, tiga orang telah berada di dalamnya. Tetapi nampaknya ketiga orang itu sama sekali tidak menghiraukan kehadiran mereka berempat.
Namun sejenak kemudian, beberapa orang telah datang lagi memasuki kedai itu. Nampaknya mereka adalah kawan-kawan dari ketiga orang yang telah berada di kedai itu lebih dahulu.
Dengan demikian maka kedai itupun menjadi riuh. Mereka berbicara dengan bahasa yang agak kasar dan suara yang keras. Sekali-sekali terdengar umpatan yang menggelitik telinga.
Namun seperti orang-orang itu, maka keempat orang itupun tidak menghiraukan mereka. Risang, Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung, sambil menunduk telah menikmati minuman dan makanan yang mereka pesan. Jika sekali-sekali mereka berbicara, maka mereka berbicara perlahan-lahan saja.
Tetapi yang tidak mereka duga adalah, bahwa tiba-tiba saja seorang di antara orang-orang yang ada di dalam kedai itu telah memperhatikan Risang. Semakin lama semakin bersungguh-sungguh. Bahkan tiba-tiba saja ia melangkah mendekati sambil berkata, "He, anak muda. Lihat aku."
Risang yang tidak berprasangka apapun telah mengangkat wajahnya memandang orang itu dengan heran. Sementara orang itu hampir berteriak berkata, "Inilah salah seorang dari mereka yang kita cari. Ini adalah anak mereka. Jika kita dapat menangkap anak ini, kita akan memaksa kedua orang tuanya untuk menyerah."
Orang-orang yang ada di kedai itu segera berloncatan mengerumuni Risang dan ketiga orang yang bersamanya dalam perjalanan. Dengan kerut di dahi Gandar bangkit berdiri sambil bertanya, "Siapakah yang kau maksud?"
"Anak muda ini. Kami memerlukannya. Adalah satu kebetulan bahwa kita dapat bertemu disini. Kami sama sekali tidak menduga, bahwa kami akan menemukannya begitu cepat." jawab orang itu.
"Aku tidak tahu yang kau maksudkan," jawab Gandar, "nampaknya terjadi kesalah-pahaman. Apakah kau mengenal anak ini?"
"Tentu," jawab orang itu, "kau tidak usah berpura-pura. Kami mencarinya sampai ke sudut bumi. Dan kini, kami telah menemukannya. Dengan menangkap anak itu, maka kami akan dapat memaksa kedua orang tuanya untuk menyerah tanpa perlawanan."
"Anak ini sudah tidak mempunyai orang tua lengkap," jawab Gandar, "anak muda ini sudah tidak berayah."
Orang itu tiba-tiba saja tertawa berkepanjangan. Katanya, "Semua orang tahu bahwa ayahnya telah mati. Yang aku maksud dengan orang tuanya yang sekarang adalah ibunya dan laki-laki yang berlaku sebagai suaminya itu. Aku tidak tahu, apakah keduanya telah menikah atau belum. Tetapi keduanya kini dikenal sebagai suami istri."
Wajah Risang menjadi merah. Dengan nada keras ia berkata, "Jaga mulutmu Ki Sanak. Kita tidak mempunyai persoalan. Jangan mengungkit masalah disini."
Orang itu telah tertawa lagi. Sementara kawannya yang tidak sabar menunggu telah mendesaknya, "Siapa anak itu?"
"Anak inilah yang bernama Puguh. Anak Warsi." jawab orang itu.
Semua orang terkejut. Kawan-kawan dari orang yang menyebut nama Puguh itu terkejut. Mereka memang tidak mengira, bahwa mereka akan segera menemukan anak yang mereka cari kemana-mana di samping mencari kedua orang tuanya.
Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Risang, Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. Bahkan hampir tanpa disadarinya Risang berteriak, "Kau gila. Kau kira aku Puguh. Aku bukan Puguh."
Namun dengan cepat Sambi Wulung menyahut, "Kami tidak mengenal anak yang bernama Puguh. Kami tidak mempunyai sangkut paut. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mempunyai persoalan dengan kalian. Apalagi dalam hubungan dengan nama yang kau sebut, Warsi."
Tetapi orang itu menyahut, "Tentu kau tidak akan mengaku. Tetapi aku tidak akan salah lagi. Aku pernah mengenali wajah anak muda yang bernama Puguh itu. Anak Warsi yang lahir karena perkawinannya dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, namun yang kemudian tersingkir dan hidup dalam petualangan bersama ibunya dan laki-laki yang disangka ayahnya. Rangga Gupita."
"Tutup mulutmu," bentak Risang.
Tetapi orang itu justru tertawa lagi dan berkata, "Nah, kau tidak akan dapat ingkar lagi."
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Namun mereka yang telah pernah mengenal Puguh itu di luar sadarnya telah memperhatikan wajah Risang. Mereka tidak pernah memperhatikan sebelumnya. Namun ternyata keduanya memang mirip. Keduanya memiliki kemiripan dengan ayah mereka.
"Memang tidak mustahil keduanya sangat mirip," berkata keduanya di dalam hatinya, "keduanya memiliki ayah yang sama. Ibu yang sama-sama cantik meskipun dengan watak yang berbeda."
Ternyata orang yang menyangka bahwa ia telah bertemu dengan Puguh itu merasa yakin. Karena itu, maka katanya, "Puguh. Sebaiknya kau menyerah saja. Kami akan memperlakukan kau dengan baik. Yang kami perlukan adalah kedua orang tuamu. Jika kami menangkapmu adalah semata-mata sebagai satu cara untuk memaksa kedua orang tuamu menyerah. Jika kami sudah mendapatkan keduanya, maka kau tentu akan kami lepaskan."
"Cukup," Risang benar-benar berteriak. Justru karena ia sudah mengetahui dengan pasti, siapakah Puguh itu, maka kemarahannya bagaikan telah membakar jantungnya.
Yang kemudian berbicara adalah Gandar, "Ki Sanak. Cobalah kau perhatikan sekali lagi anak itu. Kau tentu akan melihat bahwa anak itu sama sekali bukan Puguh. Bahkan nama itupun baru aku dengar kali ini. Karena itu, bagaimana mungkin kau dapat menyangka bahwa anak muda itu adalah anak muda yang kau cari."
Tetapi orang itu menjawab, "Ternyata kalian telah ingkar. Justru karena itu, maka persoalannya akan bertambah rumit bagi kalian. Jika kalian menyerah, maka kalian tidak akan mengalami kesulitan apa-apa."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah," berkata Jati Wulung yang tidak sabar, "kami menolak dugaan Ki Sanak. Anak muda itu bukan Puguh. Karena itu anak muda itu tidak mau diperlakukan seperti Puguh. Nah, lalu kalian mau apa" Kalian akan memaksa?"
"Kata-katamu seperti api yang menyentuh telingaku," berkata orang itu, "aku mencoba untuk menyelesaikan persoalan di antara kita dengan baik. Tetapi kau telah menyakiti hatiku."
"Ki Sanak," Jati Wulung justru melangkah mendekat, "kau harus menyadari bahwa kau telah menyudutkan kami meskipun kami sudah berusaha untuk memberikan penjelasan. Kau harus memperhatikan anak itu tidak hanya sekali lagi. Tetapi berulang kali. Atau barangkali kaupun belum begitu jelas terhadap anak muda yang kau sebut bernama Puguh itu, sehingga kau begitu saja menyangka anak itu Puguh."
Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang belum begitu jelas atas anak muda yang bernama Puguh itu meskipun ia memang pernah melihatnya di padepokan Ki Rangga pada suatu saat, ketika ia belum tergabung dalam kelompoknya yang sekarang. Memang sudah agak lama.
Sejenak orang itu memang mencoba memperhatikan wajah Risang. Untuk sesaat ia memang ragu-ragu. Tetapi ketika ia memperhatikan hidung Risang, maka sekali lagi orang itu berkata, "Aku yakin. Anak itu adalah Puguh. Hidungnya aku tidak akan pernah melupakannya. Mancung di bawah alisnya yang nampak tebal di umurnya yang masih sangat muda. Sorot matanya menunjukkan kecerdasan otaknya dan segala-galanya telah meyakinkan aku, bahwa anak muda itu adalah Puguh."
"Kau dengar suaranya?" bertanya Jati Wulung, karena Jati Wulung tahu pasti bahwa suara Puguh berbeda dengan suara Risang. Demikian pula caranya berbicara dan pilihan kata-katanya.
Namun orang itu menjawab, "Ya. Suaranya itu adalah suara Puguh."
"Persetan," Jati Wulung menjadi marah, "apakah kalian sengaja memancing persoalan" Jika demikian, maka kalian tidak usah menyebut-nyebut nama lain. Berterus-teranglah bahwa kalian memang ingin merampok kami. Tetapi itupun tidak akan memberikan kepuasan kepadamu, karena kami tidak membawa harta benda yang pantas untuk dirampok."
Orang itulah yang kemudian menjadi sangat marah. Dengan nada keras ia berkata, "Kami bukan perampok. Untuk apa kami merampok pengembara seperti kalian" Kami tentu lebih kaya dari kalian yang tidak mempunyai papan dunung, karena padepokan kalian telah menjadi abu."
"Cukup," potong Jati Wulung, "jika kalian sekedar ingin berkelahi, kita akan berkelahi meskipun tanpa sebab. Mungkin kalian sudah beberapa hari tidak membunuh orang, sehingga tangan kalian sudah menjadi gatal. Sekarang kalian telah mencari alasan untuk berkelahi dan membunuh. Tetapi kamipun sudah beberapa hari tidak membunuh orang. Tangan-tangan kamipun sudah gatal, sehingga kebetulan sekali jika kalian memberi kesempatan kepada kami untuk membunuh."
"Iblis kau," bentak orang itu, "kau memang benar-benar ingin mati. Tetapi ingat, aku akan menangkap anak itu hidup-hidup. Aku tidak akan memberi kesempatan kepadanya untuk membunuh diri sekali pun."
"Bagus," jawab Jati Wulung, "kita akan berkelahi di luar. Kita tidak ingin merugikan pemilik kedai ini."
"Agar kau dapat melarikan diri?" bertanya orang itu.
Jati Wulung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar diikuti oleh Risang, Gandar dan Sambi Wulung. Kemudian orang-orang yang ada di kedai itu.
Ketika mereka sudah berada di halaman di samping kedai itu, pemimpin dari sekelompok orang itu berbisik di telinga orang yang merasa dapat mengenali Puguh itu, "Tetapi bukankah kau tidak salah?"
"Tidak Ki Lurah. Aku yakin. Anak itulah yang bernama Puguh. Anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan." jawab orang itu.
Pemimpin sekelompok orang, itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja bergumam, "Tetapi orang-orang itu nampaknya meyakinkan bahwa anak muda itu memang bukan yang kita cari."
"Ah. Tentu mereka akan ingkar karena mereka tahu akibatnya," berkata orang itu.
"Tetapi jika mereka memang berani menghadapi kita, untuk apa mereka ingkar" Akhirnya kita juga akan bertempur," desis pemimpinnya.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia berkata, "Tetapi aku tidak mungkin salah. Aku sudah mengenalinya."
"Tetapi bukankah sudah cukup lama" Apalagi ketika anak itu masih lebih kecil."
"Belum terlalu lama. Ki Lurah aku mohon yakin akan pengenalanku atas seseorang," berkata orang itu dengan sungguh-sungguh.
Pemimpin sekelompok orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ialah yang kemudian berdiri di paling depan dari para pengikutnya yang ternyata semua berjumlah sepuluh orang.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "aku hanya ingin mengulangi apa yang dikatakan oleh orangku tadi. Jika Puguh menyerah, maka kalian tidak akan mengalami kesulitan apa-apa. Kami akan memperlakukan kalian dengan baik. Bahkan kami akan melepaskan kalian bertiga untuk menyampaikan pesan kami kepada Ki Rangga Gupita dan Warsi. Jika mereka kemudian bersedia datang, maka Puguh itupun akan kami lepaskan pula." orang itu berhenti sejenak, lalu, "sedangkan terhadap Ki Rangga dan Warsipun kami tidak akan berbuat kasar. Kami hanya ingin berbicara tentang masa depan. Tentang pembagian tugas dan wewenang kami masing-masing. Itu saja. Tetapi kedua orang tuamu itu selalu menghindari kami. Bahkan melawan keinginan kami sebagaimana kalian lakukan sekarang."
Namun tiba-tiba saja Sambil Wulung bertanya, "Siapakah kalian sebenarnya?"
"Seandainya kami menyebut nama dan kedudukan kami, maka kalian juga tidak akan mengerti," jawab orang itu, "karena itu biarlah kami bertemu langsung dengan orang tua anak muda itu. Biarlah aku membawa anak itu dan kalian bertiga memberikan pesan kami kepada kedua orang tuanya agar mereka datang kepada kami."
"Mengerti atau tidak mengerti, tetapi sebutkan, siapakah kalian yang sebenarnya. Kemudian kami akan mempertimbangkan kemungkinan yang paling baik untuk kami lakukan." sahut Sambi Wulung.
Risang termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia tidak ingin berlama-lama. Namun ia belum tahu maksud Sambi Wulung sehingga ia masih juga menunggu.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Itu tidak perlu."
Namun Sambi Wulunglah yang kemudian bertanya, "Apakah kalian anak kadang atau orang yang pernah dirugikan oleh orang-orang yang kalian cari itu."
"Sudahlah," jawab orang itu, "Jangan terlalu banyak ingin mengerti. Semuanya itu tidak akan berguna sama sekali bagimu. Yang penting, serahkan saja Puguh itu kepada kami. Semuanya akan segera selesai dengan baik."
Sambi Wulung menggeleng pula. Katanya, "Tidak ada anak muda bernama Puguh disini."
Pemimpin dari sekelompok orang itu telah kehilangan kesabaran pula. Karena itu, maka iapun telah berkata dengan lantang, "Kalian tidak mempunyai pilihan. Puguh tentu akan jatuh ke tanganku. Jika kalian menyerahkannya dengan baik, maka tiga orang yang lain akan selamat. Tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan mati."
"Ada dua pilihan bagi kalian," Jati Wulunglah yang menjawab, "Jika kalian urungkan niat kalian, maka kalian akan selamat. Tetapi jika kalian memaksa, maka kalian akan mati disini."
Jawaban Jati Wulung itu benar-benar tidak dapat diterima oleh orang-orang itu. Mereka benar-benar tidak dapat mengendalikan diri lagi, sehingga tanpa perintahpun sepuluh orang itu mulai bergerak. Apalagi ketika pimpinannya berkata, "Tangkap anak itu. Jika yang lain tetap melawan, bunuh mereka tanpa ampun."
Namun sebelum perintah itu selesai, maka Jati Wulung telah meloncat menyerang lebih dahulu. Satu sikap yang tidak diduga sebelumnya, sehingga karena itu, maka serangannya telah mengenai salah seorang di antara mereka.
Demikian kerasnya serangan kaki Jati Wulung itu, maka orang yang dikenainya telah jatuh berguling di tanah. Hampir saja menimpa seorang kawannya yang lain yang sempat bergeser selangkah, namun gagal berusaha menangkap kawannya yang terjatuh itu.
Orang yang terjatuh itu dengan cepat melenting berdiri sambil mengumpat. Namun punggungnya terasa menjadi sakit.
Pertempuran dengan cepat telah terjadi antara kedua kelompok yang jumlahnya tidak seimbang itu. Tetapi seperti Jati Wulung, Maka Risangpun telah dengan tiba-tiba menyerang seorang di antara mereka. Meskipun orang itu tidak terjatuh, tetapi Risang telah berhasil menyakitinya, meskipun tidak banyak berpengaruh.
Sepuluh orang itupun kemudian telah memecah diri. Jati Wulung dan Gandar masing-masing harus melawan tiga orang, sedang Sambi Wulung bertempur melawan dua orang. Pemimpin kelompok itu telah menempatkan diri berhadapan dengan Risang dibantu oleh seorang kawannya yang merasa pernah mengenal Puguh. Mereka berusaha untuk menangkap Risang hidup-hidup. Bagi mereka Risang yang dikiranya Puguh itu akan sangat berarti jika dapat ditangkap hidup-hidup.
Jati Wulung yang marah itu segera bergeser ke tempat yang lebih luas. Demikian pula Gandar yang masing-masing harus menghadapi tiga orang lawan. Di tempat yang lebih luas, mereka mendapat kesempatan untuk bergerak lebih leluasa.
Sementara itu, pemilik kedai itu seakan-akan telah kehilangan kekuatannya. Ia justru terduduk dengan gemetar dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Seorang pembantunya pun telah menjadi sangat ketakutan sehingga rasa-rasanya menjadi hampir pingsan.
Sementara itu, pemimpin sekelompok orang yang ingin menangkap Risang itu berusaha untuk dapat menguasai anak muda itu tanpa melukainya. Dengan bergerak cepat ia menyerang dengan garangnya, sementara kawannya berusaha untuk mengimbangi gerak pemimpin kelompoknya itu. Iapun berusaha melakukan sebagaimana dilakukan oleh pemimpinnya. Menangkap Risang hidup-hidup.
Tetapi Risang terlalu tangkas untuk dapat ditangkap. Apalagi Risang tidak merasa perlu untuk menjaga agar tidak melukai lawannya. Sehingga dengan demikian, maka iapun telah berloncatan dengan cepat. Sekali menghindari jangkauan tangan lawannya, namun tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang.
Pemimpin kelompok yang ingin menangkapnya itu memang terkejut. Anak muda itu mampu bergerak sangat cepat. Berloncatan dari satu lawan ke lawan lainnya. Serangannyapun terasa sangat berbahaya.
Sementara itu Jati Wulung yang marah telah bertempur dengan garang pula. Tetapi lawan-lawannyapun merasa sangat marah kepadanya. Jati Wulung dianggap telah menghina mereka, sekelompok orang yang dibekali dengan kemampuan olah kanuragan yang tinggi.
Tetapi merekapun tidak dapat mengingkari kenyataan. Lawannya itu ternyata seorang yang berilmu. Tiga orang di antara mereka tidak segera dapat mengatasinya, apalagi menguasainya. Bahkan sekali-sekali serangan Jati Wulung justru telah mulai menyentuh tubuh mereka.
Dengan demikian kemarahan ketiga orang itupun semakin menyala. Selapis demi selapis mereka meningkatkan kemampuan mereka, sejalan dengan pemanasan yang terjadi di urat-urat darah mereka. Ketika darah mereka semakin bergejolak dan tubuh mereka mulai berkeringat, maka ketiga orang itupun menjadi semakin garang.
Jati Wulung menyadari bahwa ia harus menjadi sangat berhati-hati ketika ia melihat bahwa ketiga orang itu ternyata adalah saudara seperguruan. Mereka mampu saling mengisi, menunjukkan ciri-ciri unsur gerak yang serupa dan kemampuan mereka luluh dalam satu gerakan yang sangat berbahaya.
Dengan demikian, yang mereka hadapi bukan sekedar satu kelompok orang yang berkumpul karena berbagai macam alasan, mungkin karena tujuan mereka yang bersamaan, mungkin karena upah atau mungkin karena kepentingan-kepentingan yang lain, tetapi nampaknya sudah menyangkut sebuah perguruan. Ikatan pada sebuah perguruan biasanya jauh lebih erat daripada ikatan sekelompok orang yang berkumpul karena alasan lain.
Dalam satu kesempatan Jati Wulung telah melihat, bahwa yang bertempur melawan Gandarpun ternyata mempunyai ciri-ciri yang sama dengan orang-orang yang bertempur melawannya. Namun mereka yang bertempur melawan Risang justru belum nampak kesamaannya dengan orang-orang yang lain. Mungkin dengan sengaja orang itu menyembunyikan ciri-ciri perguruannya, atau karena sebab yang lain. Atau mungkin juga karena ia tidak sempat mengamati dengan cermat, karena ia harus bertempur melawan tiga orang.
Namun semakin lama tekanan ketiga orang lawannya itupun terasa semakin berat bagi Jati Wulung. Tetapi Jati Wulung masih belum sampai ke puncak kemampuannya. Ia masih belum merambah ke ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian, sebagaimana lawan-lawannya, maka setingkat demi setingkat Jati Wulung pun telah meningkatkan ilmunya pula.
Gandar yang memiliki kekuatan yang sangat besar, mula-mula bertumpu pada kekuatannya. Tetapi ternyata lawan-lawannya bukan saja memiliki kekuatan yang besar pula, namun juga mampu bergerak cepat, sehingga Gandar harus memperhatikannya dengan saksama.
Namun seperti Jati Wulung, maka Gandarpun segera menyadari bahwa ia berhadapan dengan sebuah perguruan. Bukan sekedar sekelompok orang yang bekerja bersama di bawah satu perintah. Atau bahwa sebuah perguruan yang bekerja bersama dengan pihak-pihak tertentu untuk satu kepentingan.
Lepas dari kepentingan mereka, maka berhadapan dengan tiga orang dari satu perguruan memang lebih sulit daripada berhadapan dengan tiga orang yang mempunyai landasan ilmu yang berbeda di tataran yang setingkat.
Orang-orang dari satu perguruan akan mampu bekerja bersama lebih baik dan dengan cepat akan dapat saling mengisi kekurangan-kekurangan mereka di medan daripada orang-orang yang berbeda alas kemampuannya.
Seperti Jati Wulung, maka Gandarpun harus meningkatkan kemampuannya pula. Ternyata ketiga orang itupun dapat bergerak cepat dan menyerang bergantian dari arah yang berbeda-beda.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Sambi Wulung harus bertempur menghadapi dua orang. Semula Sambi Wulung merasa beruntung, bahwa ia tidak harus bekerja keras sebagaimana Jati Wulung dan Gandar. Namun ternyata kemudian, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Seorang di antara mereka sempat memperkenalkan diri. Katanya, "Ki Sanak. Nasibmu memang kurang baik. Kau telah bertemu dengan Sepasang Elang Randu Alas. Atau barangkali kau memang pernah mendengar nama Sepasang Elang itu?"
Sambi Wulung menggeleng. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Aku belum pernah mendengarnya. Siapakah nama kalian" Barangkali nama kalian lebih besar dari gelar kalian?"
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Namaku tidak berarti apa-apa. Di seluruh negeri ini pernah mendengar gelarku, tetapi jarang sekali yang pernah mendengar namaku."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Sayang, bahwa aku termasuk perkecualian dari orang-orang di seluruh tanah ini."
"Mungkin saja orang belum pernah mendengar gelarku. Orang yang tidak mengenal riuhnya dunia kanuragan. Juga orang-orang perempuan yang sibuk bekerja di dapur." sahut orang itu.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Meskipun aku laki-laki, tetapi kepandaianku bekerja di dapur melampaui seorang perempuan. Aku pandai masak jenis apapun dengan bahan apapun. Bahkan daging elang yang dianggap tidak enak itu, dapat aku masak menjadi lebih enak dari daging ayam, meskipun aku harus merendamnya dalam landa merang selama sehari-semalam."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka agaknya masih sempat menahan diri. Seorang yang lainlah yang kemudian berkata, "Kau memang seorang yang berani Ki Sanak, meskipun harus dibedakan antara berani dan berilmu tinggi."
"Tepat," jawab Sambi Wulung, "juga antara orang yang banyak dikenal dengan orang yang memiliki kelebihan."
Yang tertua di antara kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Elang itupun berkata, "Baiklah. Nampaknya kau benar-benar sudah siap menghadapi kematian. Kau telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadamu untuk menyerahkan anak itu."
"Bagaimana kami dapat menyerahkan anak muda yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang kalian hadapi. Bagaimana aku harus menyerahkan anak muda itu sebagai anak muda yang bernama Puguh, sementara kami sama sekali tidak pernah mengenalnya." jawab Sambi Wulung.
"Dan sekarang perintah sudah jatuh. Kalian harus dibunuh," berkata yang muda di antara kedua orang itu.
"Sudah tentu aku akan membela diri. Jika kalian benar-benar akan membunuhku, maka akupun akan benar-benar membunuh kalian." jawab Sambi Wulung.
"Kau memang terlalu sombong," geram yang tua. "Tidak ada kesempatan bagimu untuk hidup. Betapa tinggi ilmumu, jika kau sudah berhadapan dengan Sepasang Elang Randu Alas, maka kau tidak akan berarti apa-apa lagi."
Sambi Wulung tidak menjawab. Ia telah menjadi muak mendengar kesombongan kedua orang itu. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas, maka Sambi Wulung tidak akan merendahkan lawan-lawannya. Meskipun gelar yang dibanggakan itu belum pernah didengarnya tetapi bukan mustahil bahwa keduanya memang orang-orang berilmu tinggi.
Karena itu, maka pertempuran di antara merekapun telah menyala lagi. Dengan cepat berkobar lebih dahsyat dari sebelumnya. Sepasang Elang itu telah benar-benar berusaha untuk melumpuhkan pertahanan Sambi Wulung. Keduanya menyerang beruntun tanpa henti-hentinya, seperti debur ombak yang beruntun menghantam tebing.
Tetapi Sambi Wulung ternyata tidak mudah ditundukkan. Dengan tangkas ia berloncatan kian kemari. Menyilang di antara kedua orang itu. Namun kemudian melenting mengambil satu arah. Sekali-sekali menyerang dengan kaki. Namun tiba-tiba tangannya terayun mendatar ke arah kening.
Semakin lama kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Elang itu bergerak semakin cepat. Mereka bagaikan berterbangan mengitari Sambi Wulung. Sekali-sekali menukik menyambar lawannya. Tangannya bagaikan kuku-kuku cakar Elang yang tajam. Namun Sambi Wulung dengan tangkas selalu berhasil menghindarinya. Iapun berloncatan dengan cepat dan langkah-langkahnya menjadi panjang. Bahkan kemudian kakinya seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah.
"Anak iblis," geram Elang yang tua, "dari mana kau mewarisi kemampuan seperti itu?"
Sambi Wulung sama sekali tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ketika Elang yang muda menyambarnya dengan jari-jarinya yang mengembang, maka Sambi Wulung sempat bergeser ke samping sambil merendahkan dirinya. Kuku-kuku yang siap mengajak wajahnya itu terayun setapak di atas kepalanya. Namun sambil merendahkan diri, Sambi Wulung telah mengayunkan kedua kakinya dan bertumpu pada kedua tangannya.
Satu serangan yang sangat tiba-tiba dan tidak terduga. Karena itu, maka Elang yang muda itu bagaikan terhempas dan terlempar beberapa langkah. Dengan susah payah ia berusaha mempertahankan keseimbangan dengan mengembangkan kedua tangannya. Meskipun ia berhasil tetap berdiri, namun Elang yang muda itu harus menyeringai menahan sakit. Rasa-rasanya tulang iganya bagaikan retak.
Yang terdengar adalah suara Elang itu mengerang. Tetapi semakin lama semakin keras. Yang kemudian terdengar bukan lagi erang kesakitan, tetapi teriakan marah yang menggetarkan jantung.
Sambi Wulung mula-mula menganggap bahwa teriakan yang semakin keras itu hanya menyakiti telinganya saja. Namun semakin lama iapun semakin menyadari, bahwa suara itu telah dilontarkan dengan landasan ilmu. Suara yang mirip dengan suara seekor burung Elang yang marah itu semakin lama menjadi semakin keras.
Sambi Wulung yang telah memiliki sebangsal pengalaman itupun segera mengerahkan daya tahannya untuk menjaga agar isi dadanya tidak rontok karenanya.
Namun sekali ia berusaha mengatasi kesulitan di dadanya, maka Elang yang tuapun telah menyambarnya. Hampir saja ayunan tangan Elang itu menyambar keningnya. Tidak dengan jari-jari yang mengembang, tetapi terbuka dan merapat. Namun ketika serangan itu tidak menyentuh sasarannya, maka Elang yang tua itu telah berputar dan sekali lagi menyambar. Namun yang terakhir itu telah dilakukannya dengan jari-jari yang mengambang.
Sambi Wulung meloncat menghindar, sementara itu ia harus mengatasi serangan suara yang dilontarkan oleh Elang yang muda.
Tetapi sambi Wulung tidak membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran serangan kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Elang Randu Alas itu. Ketika itu merasa mulai terdesak, maka Sambi Wulungpun telah meningkatkan kemampuannya pula.
Dengan demikian maka Sambi Wulung itupun telah menjadi semakin garang. Serangannya menjadi cepat dan keras. Bahkan dengan perhitungan penalarannya, maka serangannya justru lebih banyak ditujukan kepada Elang yang muda, sehingga ia tidak mendapat kesempatan terlalu banyak untuk memusatkan serangannya lewat suaranya yang bergerak bagaikan memecahkan jantung.
Sejenak kemudian, maka pertempuran antara Sambi Wulung dengan Sepasang Elang itupun menjadi semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat dan semakin kuat. Sekali-sekali terdengar Elang yang muda itu masih saja berteriak, justru semakin keras.
Namun dengan demikian Sambi Wulung telah memperhatikan keadaan Risang pula. Nampaknya kelompok yang dikirim untuk mencari Puguh itu bukan asal saja menunjuk setiap orang di antara mereka. Tetapi di antara mereka terdapat orang-orang yang berilmu tinggi.
Tetapi Sambi Wulung tidak tahu, bahwa sebuah kelompok yang berhasil menemukan tempat persembunyian Ki Rangga dan Warsi telah gagal mengambil mereka, karena kehadiran Ki Ajar Paguhan dan Ki Randukeling.
Dengan demikian, maka Sambi Wulung itu sempat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan Risang. Meskipun Sambi Wulung yakin, bahwa Risang tidak akan dibunuh jika tidak terpaksa, tetapi anak itu akan dapat mengalami kesulitan dan bahkan mungkin akan dapat ditangkap. Jika dua orang di antara orang-orang itu memiliki ilmu yang tinggi, maka pemimpinnya tentu juga memiliki ilmu yang memadai.
Sebenarnyalah bahwa Risang mengalami banyak kesulitan. Meskipun ia sudah menjadi semakin tangkas, tetapi pemimpin kelompok itu memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, setiap kali Risang menjadi terdesak. Sedangkan lawannya yang seorang lagi, selalu berusaha memotong garis geraknya. Orang itu menjaga agar Risang tidak dapat melarikan diri.
Ketika Sambi Wulung sempat memperhatikan sekilas, maka ia memang menjadi cemas.
Sementara itu, iapun telah sempat melihat apa yang terjadi pada Jati Wulung dan Gandar. Ternyata bahwa orang-orang yang bertempur melawan kedua orang itupun termasuk orang yang berbekal ilmu. Bukan sekedar orang yang mampu bermain pedang atau jenis-jenis senjata yang lain.
Dengan demikian, maka Sambi Wulung harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapat kesempatan melindungi Risang. Jika tidak, maka Risang akan dapat dibawa oleh orang itu. Orang yang tidak diketahui sangkan parannya, sehingga mereka tidak akan mudah untuk dapat melacaknya.
Untunglah bahwa Risang telah memperdalam ilmunya dengan sungguh-sungguh. Karena itu, ia masih mampu memperpanjang waktu perlawanannya atas dua orang yang berusaha menangkapnya. Kecerdasan nalarnya telah memberinya isyarat, bahwa kedua orang itu untuk sementara tidak akan membunuhnya. Tetapi jika terpaksa agaknya hal itu akan dapat mereka lakukan.
Beberapa saat kemudian, maka pertempuran di halaman samping kedai itupun menjadi semakin sengit. Ternyata pertempuran itu memang menarik perhatian banyak orang. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka berani ikut campur setelah mereka melihat dari kejauhan, apa yang telah terjadi. Seorang yang memiliki sedikit pengetahuan dalam olah kanuragan, justru telah menjadi gemetar, karena ia tahu, betapa tinggi ilmu yang disaksikannya itu.
Dengan demikian maka mereka yang serba sedikit mengenal olah kanuragan, justru menjadi sangat cemas, bahwa akan terjadi pembantaian yang mengerikan. Salah satu pihak tentu akan jatuh korban.
Hanya orang-orang yang tidak tahu menahu tentang olah kanuragan sajalah yang justru berani lebih mendekat. Mereka ingin tahu apa yang telah terjadi di halaman sebelah kedai itu. Sementara itu, pemilik kedai itu sendiri bersama pembantunya telah lari lewat pintu samping.
"Siapa mereka?" bertanya salah seorang di antara mereka yang berani agak mendekat.
"Entahlah." jawab kawannya.
"Kasihan. Empat orang harus berkelahi melawan sepuluh orang," berkata orang yang pertama.
"Ya. Tetapi nampaknya mereka tidak segera dapat dikalahkan," sahut kawannya.
Yang pertama mengangguk-angguk. Ia mencoba memberikan pendapatnya tentang mereka yang bertempur meskipun sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.
"Yang masih muda itu luar biasa," desis orang itu, "ia mampu berloncatan kian kemari mengatasi serangan-serangan kedua lawannya."
"Yang mana?" bertanya kawannya.
"Itu, yang harus bertempur melawan dua orang"
"Tetapi ia sering berloncatan mundur. Berbeda dengan yang harus bertempur melawan tiga orang itu. Orang yang bertubuh kekar."
Orang yang pertama mengangguk-angguk. Ia memang melihat Gandar yang dengan tangkasnya melawan ketiga orang lawannya.
Namun sebenarnyalah bahwa Gandarpun harus bekerja keras untuk melindungi dirinya dari serangan-serangan yang datang beruntun dari tiga arah berturutan. Seakan-akan tidak ada waktu sama sekali baginya untuk membalas menyerang. Yang dilakukan hanyalah sekedar menangkis, menghindar dan melindungi dirinya.
Tetapi Gandar tidak membiarkan keadaan itu berlangsung terus-menerus. Karena itu, maka iapun segera menghentakkan dirinya ketika serangan berikutnya datang. Ia tidak berusaha menghindar atau menangkis serangan itu. Tetapi Gandar dengan sengaja telah membentur serangan itu dengan serangan pula.
Dengan demikian maka telah terjadi benturan yang keras. Gandar memang terguncang dan terdorong selangkah surut. Namun dengan tangkasnya Gandar telah meloncat, justru keluar dari garis serangan ketiga orang lawannya.
Lawan-lawannya memang tidak segera memburu. Mereka tengah memperhatikan seorang di antara mereka yang telah membentur Gandar yang dengan sengaja tidak menghindari serangan.
Orang itu bukan sekedar terguncang. Tetapi orang itu telah terlempar beberapa langkah surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya, maka orang itu telah terjatuh.
Kedua orang saudara seperguruannya telah mendekatinya dengan cepat. Mereka menolong saudaranya yang terjatuh itu untuk berdiri.
Orang yang terjatuh itu mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Punggungnya memang bagaikan retak.
Karena itu untuk beberapa saat ia memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaannya. Sementara itu, saudaranya yang lainlah yang telah bersiap-siap untuk melawan Gandar.
Sejenak kemudian Gandar telah bertempur lagi. Mula-mula ia hanya melawan dua orang. Ketika tumbuh niatnya untuk memanfaatkan keadaan itu, maka lawannya yang ketiga telah kembali memasuki arena. Dengan demikian maka Gandar telah kembali melawan tiga orang lawan. Tetapi seorang di antara mereka sudah tidak lagi setangkas semula. Meskipun demikian orang itu masih tetap merupakan orang yang sangat berbahaya.
Sementara Gandar masih sibuk dengan ketiga orang lawannya, maka Jati Wulung masih juga harus melayani tiga orang lawan. Seperti Gandar, maka Jati Wulung merasa bahwa tekanan-tekanan lawan semakin lama menjadi semakin berat.
Bahkan ketiga orang lawan Jati Wulung nampaknya secara bersama-sama telah mengetrapkan ilmu mereka yang sangat berbahaya.
Ketiga orang itupun dalam satu kesempatan telah berdiri mengepung Jati Wulung. Tangan mereka tiba-tiba telah melakukan gerakan-gerakan yang nampaknya memang rumit. Namun sejenak kemudian, kedua kakinya telah merenggang. Kaki kanan justru agak ditarik ke belakang.
Sejenak kemudian dalam sikap miring itu, mereka mulai bergerak mengelilingi Jati Wulung.
"Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya," berkata salah seorang di antara ketiga orang itu, "sebentar lagi kau akan mati digilas oleh kedahsyatan ilmuku ini."
Jati Wulung tidak menjawab. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kedua kakinya menjadi renggang. Ia agak merendah pada lututnya, kemudian kedua tangannya telah siap di dadanya. Kedua tangannya terbuka dengan jari-jari yang rapat.
Sementara itu, ketiga orang itu mengelilingi sambil menghentak-hentak tanah. Berderap semakin lama semakin cepat. Hentakkan yang dibarengi dengan gumam di mulut yang semakin lama juga menjadi semakin keras.
Jati Wulung termangu-mangu sesaat. Namun ia tidak mempunyai banyak waktu. Ternyata sejenak kemudian, ketiga orang yang seperti menjadi mabuk itu telah menyerang dengan garangnya. Seorang-seorang melenting dengan cepat susul-menyusul.
Jati Wulung yang memang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan tangkas pula telah menghindari setiap serangan. Namun serangan ketiga orang itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat. Setiap kali mereka kembali dalam putaran dan irama yang semakin cepat itu, serta gumam di mulut yang menjadi bagaikan teriakan-teriakan kasar.
Sementara itu, ketiga orang yang bertempur melawan Gandar telah melakukan hal yang sama pula. Mereka berdiri dalam satu lingkaran sambil berputar dengan menghentak-hentakkan kakinya serta mulutnya yang berteriak semakin keras.
Jati Wulung akhirnya tidak sekedar menunggu. Ketika putaran itu mulai lagi, maka Jati Wulunglah yang menyerang dengan cepat. Tetapi sasarannya cepat menghindar, sementara itu dua orang yang lain, telah meluncur membantu saudara seperguruannya dengan menyerang Jati Wulung.
Jati Wulung berhasil menghindari serangan orang yang pertama dengan bergeser menghindar. Namun serangan yang kedua, ternyata tidak dapat dihindarinya sepenuhnya. Serangan itu telah mengenai pundaknya sehingga Jati Wulung terguncang dan terdorong beberapa langkah surut.
Terasa tulangnya bagaikan retak. Sentuhan itu memang sakit sekali. Jauh melampaui sengatan pukulan dengan sepotong kayu sekalipun.
Sementara Jati Wulung berusaha mengatasi rasa sakit itu, maka ketiga orang itupun telah melingkarinya pula dengan hentakkan-hentakkan kaki dan teriakan yang membuatnya menjadi pening.
Akhirnya Jati Wulung tidak dapat membiarkan keadaan itu berlangsung terus-menerus, sehingga akhirnya ia kehilangan pengendalian diri oleh perasaan pening yang semakin menekan.
Karena itu, maka Jati Wulung telah mempergunakan kemampuan di antara ilmu yang dimilikinya.
Ketika saat yang dianggapnya baik itu datang, maka sekali lagi Jati Wulung menyerang salah seorang di antara ketiga orang itu. Ia sadar, bahwa dua orang yang lain akan membebaskannya dengan menyerang bersama-sama.
Sebenarnyalah seperti yang diperhitungkan oleh Jati Wulung, serangan dari kedua orang yang lain itu datang beruntun, sementara sasarannyapun mencoba untuk menghindar.
Namun Jati Wulung telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Jati Wulung dengan cepat menghindar, sementara serangan yang lain, sengaja tidak dihindarinya. Tetapi Jati Wulung telah membentur serangan itu dengan serangan pula.
Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa lawannya telah membentur serangannya. Sehingga justru karena itu, maka orang itu telah terpental beberapa langkah surut. Meskipun Jati Wulung juga berguncang, tetapi keadaannya tidak menjadi separah lawannya. Dalam benturan yang terjadi, Jati Wulung telah menghantam dada orang itu dengan telapak tangannya, sementara lambungnya sendiri merasa sakit sekali karena kaki lawannya yang dapat mengenainya dengan kekuatan yang berlipat dengan kekuatan kaki sewajarnya.
Tetapi Jati Wulungpun telah mempergunakan ilmunya pula. Telapak tangannya yang mengenai dada lawannya, bukan sekedar dorongan yang membuat lawannya terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi lawannya itupun kemudian menyeringai menahan sakit yang sangat. Rasa-rasanya dadanya bukan saja dikenai telapak tangan dalam benturan yang keras. Tetapi rasa-rasanya dadanya telah tersentuh api.
Ketika ia sempat menyaksikannya, ia terkejut bukan kepalang. Bajunya, bahkan kulitnya memang menjadi hangus. Di dadanya membekas kehitam-hitaman telapak tangan lawannya itu.
"Tapak Geni," geram orang itu. Kedua orang saudara seperguruannyapun tiba-tiba saja telah berhenti menghentak-hentak. Nampaknya mereka sangat memperhatikan keadaan saudaranya yang telah disentuh oleh kekuatan ilmu Jati Wulung.
"Iblis kau," orang yang telah dikenai sentuhan tangannya itu mengumpat, "dari mana kau mendapatkan ilmu seperti itu. Dan siapakah kau sebenarnya?"
"Sekali lagi aku peringatkan. Kita tidak mempunyai persoalan sama sekali. Aku masih memberimu kesempatan untuk pergi. Anak muda itu bukan anak muda yang kalian cari. Jika kalian mati dalam pertempuran ini, maka kematian kalian adalah kematian yang sia-sia. Karena itu aku minta agar sekali lagi kawanmu itu mengenali wajah anak muda itu. Apakah benar-benar ia orang yang dicarinya," berkata Jati Wulung.
"Persetan," geram orang itu, "bekas-bekas yang nampak pada mayat-mayat kawan-kawanku di Pajang ketika mereka gagal menangkap Ki Rangga dan Warsi mirip dengan bekas tanganmu meskipun nampaknya dengan alas ilmu yang berbeda. Tetapi kami mendengar bahwa saat itupun hadir orang-orang berilmu tinggi. Setidak-tidaknya menilik bekas pertempuran yang telah terjadi."
"Siapa yang ada di Pajang?" bertanya Jati Wulung.
"Kau memang iblis yang licik. Jangan berpura-pura lagi. Saat kematianmu telah datang." geram orang itu.
"Apakah artinya semuanya ini," desis Jati Wulung, "perkelahian yang tidak ada gunanya hanya karena salah paham. Tetapi jika terpaksa kami harus membunuh, apa boleh buat."
"Kau tidak perlu merajuk." geram orang itu.
"Baiklah. Tetapi siapakah kalian sebenarnya. Siapapun yang akan mati bukan soal lagi." bertanya Jati Wulung.
"Itu tidak perlu. Perguruanku terletak di tempat yang jauh. Tidak ada gunanya kau mengenalnya," jawab orang itu, "yang penting, kau akan mati. Anak itu akan menjadi tawanan kami."
Di luar dugaan Jati Wulung sempat memandang lingkaran pertempuran yang lain sejenak. Terutama Risang.
Jati Wulung memang menjadi berdebar-debar. Risang nampaknya mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri. Karena itu, maka seperti Sambi Wulung, maka Jati Wulungpun merasa bahwa ia harus mempercepat penyelesaian atas lawan-lawannya. Tetapi Jati Wulungpun sadar, bahwa hal seperti itu bukan hal yang mudah.
Karena itu, ketika lawannya masih akan berbicara lagi, Jati Wulung berkata, "Waktu kita tidak terlalu banyak. Disekeliling arena itu, orang semakin banyak berkerumun melihat perkelahian yang tidak punya arti apa-apa ini, selain sekedar keinginan untuk membunuh. Mungkin Bekel atau bahkan Demang dari tempat ini akan turut campur sehingga persoalannya menjadi berkepanjangan."
"Kita tidak perlu menghiraukan tikus-tikus kecil itu," desis lawannya.
Namun Jati Wulung telah benar-benar ingin mempercepat penyelesaian dari pertempuran itu, karena keadaan Risang yang menjadi gawat. Meskipun Jati Wulung juga berpikir bahwa Risang tidak akan dibunuh, tetapi jika ia tertangkap dan dibawa oleh lawannya itu, maka persoalannya akan menjadi sangat rumit.
Karena itu, maka Jati Wulunglah yang mulai bergerak. Dengan demikian maka ketiga orang lawannyapun telah bersiap pula. Namun Jati Wulung melihat, bahwa orang yang telah dikenai dadanya itu tidak lagi mampu bergerak sebagaimana kedua orang kawannya yang lain.
Sejenak kemudian maka pertempuranpun telah berlangsung kembali. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka untuk benar-benar membunuh lawannya.
Namun ketiga orang lawan Jati Wulung harus lebih berhati-hati, karena mereka tahu, bahwa telapak tangan Jati Wulung yang dilambari dengan ilmunya, mampu membakar tubuh mereka yang sempat disentuhnya.
Tetapi Jati Wulunglah yang kemudian menjadi semakin garang, karena keadaan Risang yang menjadi semakin gawat.
Gandarpun sempat melihat keadaan Risang yang semakin sulit. Karena itu, maka Gandarpun telah meningkatkan ilmunya pula. Kekuatannya bagaikan menjadi semakin besar dan bertumpu pada tangan dan kakinya. Dengan demikian, maka sentuhan tangan Gandar telah membuat tulang-tulang lawannya bagaikan berpatahan.
Sebenarnyalah kekuatan Gandar bukan sekedar kekuatan wadagnya. Tetapi ia benar-benar telah melampaui batas kemampuan wadagnya itu. Gandar yang kekar itu telah memasuki ilmunya yang tinggi, sehingga sentuhan tangannya bukan saja sentuhan tangan wajar. Demikian pula sentuhan kakinya. Getaran yang tersimpan di dalam dirinya, akan dapat dengan cepat dan dengan serta-merta langsung menyusup ke tubuh lawan sehingga menimbulkan getar asing di dalam diri mereka. Getar yang asing itulah yang kemudian akan mengganggu dan menyakiti lawannya, seakan-akan akibat pukulan Gandar dengan kekuatan yang sangat besar.
Baik Jati Wulung maupun Gandar perlahan-lahan telah mulai mendesak ketiga orang lawan masing-masing. Jati Wulung telah berhasil melukai lawannya yang lain. Bahkan seorang di antara mereka telah dilukainya di beberapa bagian tubuhnya. Dengan demikian maka perlawanan merekapun mulai menjadi semakin mengendor, meskipun sama sekali tidak terbersit niat yang demikian. Ketiga orang lawan Gandar dan tiga orang lawan Jati Wulung itu masih bertekad bulat untuk membunuh lawan-lawan mereka sebagaimana perintah pemimpinnya, karena orang-orang yang dianggap para pengawal Puguh itu tidak mau menyerah.
Tetapi mereka harus mengakui satu. kenyataan, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Di bagian lain, Sambi Wulungpun menjadi sangat cemas. Tetapi iapun tidak terlalu mudah untuk mengalahkan Sepasang Elang Randu Alas itu. Keduanya mampu bergerak cepat dan seakan-akan menyambar-nyambarnya dari segala arah. Sementara itu derak suara Elang yang muda di setiap kesempatan itupun telah membuat telinganya semakin pedih.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah berniat untuk mempergunakan ilmunya sebagaimana Jati Wulung. Agaknya Sambi Wulungpun berniat untuk mempergunakan kemampuannya sebagaimana dipergunakan oleh Jati Wulung. Namun kemampuannya yang paling berbahaya bagi musuh-musuhnya.
Sebagai saudara tua seperguruan, maka Sambi Wulung memang memiliki kelebihan dari Jati Wulung. Meskipun mereka sama-sama mempelajari ilmunya sampai tuntas, tetapi pengembangannya ternyata sedikit lebih matang.
Karena itu, menghadapi lawan yang berilmu tinggi itu, Sambi Wulung masih mampu mengimbanginya. Bahkan ketika ia mulai merambah ke ilmunya, Sepasang Elang itu harus menjadi semakin berhati-hati.
Elang yang muda itu terkejut ketika terjadi benturan ilmu dengan Sambi Wulung. Ketika Elang yang muda itu menyerang, maka Sambi Wulungpun justru telah menyerangnya pula.
Sambi Wulung terdorong selangkah surut. Tetapi ia masih mampu bertahan pada keseimbangannya, sementara lawannya telah terpental beberapa langkah. Namun bukan saja dadanya sakit karena hentakan kekuatan tangan Sambi Wulung, tetapi pakaian dan kulitnya telah membekas luka bakar di bagian dadanya. Terasa perasaan pedih yang menyengat. Sehingga Elang yang muda itu harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi perasaan sakit.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung yang baru saja terdorong surut dan berusaha untuk tetap menguasai keseimbangannya itu telah diserang dengan tiba-tiba. Elang yang tua itu bagaikan menukik dari langit. Kukunya yang tajam telah mencengkam ke arah leher Sambi Wulung. Sambi Wulung memang berusaha untuk menghindar. Tetapi karena serangan itu demikian tiba-tiba, maka ia tidak dapat menghindar sepenuhnya. Kuku-kuku yang tajam itu berhasil mengenai pundaknya sehingga pundaknya itu bagaikan telah terkoyak.
Sambi Wulung terhuyung-huyung ke samping. Namun dengan cepat ia meningkatkan daya tahannya pula untuk mengatasi perasaan sakit, sementara darah mulai mengalir dari lukanya itu.
Sambi Wulung menggeram. Kemarahannya telah memuncak sampai ke ujung rambutnya. Ia tidak ingin terlambat untuk menyelamatkan Risang. Apalagi gagal sama sekali.
Karena itu, maka Sambi Wulung itupun telah mengerahkan kemampuannya, sementara ia masih juga berdoa dan berharap, agar Risang diselamatkan.
Dengan demikian maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin cepat. Sambi Wulung justru menjadi semakin garang, seperti seekor banteng yang terluka. Dengan bekal berbagai ilmunya, maka Sambi Wulung mampu bergerak cepat, tenaganyapun menjadi berlipat, sementara itu telapak tangannya bagaikan telah membara.
Dengan demikian, maka Sambi Wulung yang terluka itu menjadi semakin garang. Kakinya menjadi semakin cepat bergerak. Tangannya terayun-ayun mengerikan. Bahkan Sambi Wulung kemudian tidak lagi berniat untuk menghindari serangan-serangan. Tetapi ia harus membentur serangan-serangan. Jika lawannya menyerang dengan jari mengembang, maka Sambi Wulung berusaha untuk membenturnya dengan telapak tangannya yang membara.
Sepasang Elang itu memang mengalami kesulitan untuk menyerang. Tetapi keduanya memiliki pengalaman yang luas, sehingga dengan saling mengisi, keduanya mampu juga menembus pertahanan Sambi Wulung. Lengan Sambi Wulung ternyata telah tergores pula oleh kuku-kuku Elang muda yang tajam. Tetapi Elang yang muda itu tidak dengan cepat dapat menghindar ketika Sambi Wulung langsung memburunya. Punggungnyalah yang kemudian tersentuh telapak tangan Sambi Wulung.
Elang yang muda itu menyeringai menahan sengatan panas. Namun giginya menjadi gemeretak. Ketika punggungnya dilukai, maka Elang yang tua telah menyerang Sambi Wulung pula. Tetapi dengan tangkasnya Sambi Wulung merendah. Demikian ayunan kuku-kuku yang tajam itu menyambar di atas kepalanya, maka Sambi Wulunglah yang kemudian menjulurkan tangannya ke arah lambung lawannya.
Karena jaraknya yang tidak terlalu dekat, maka Sambi Wulung hanya menyentuh saja lambung lawannya itu tanpa dorongan kekuatan yang cukup. Tetapi sentuhan itu adalah sentuhan bara, sehingga meskipun tidak dengan kekuatan yang besar tetapi sentuhan tangan Sambi Wulung itu telah mampu membakar kulitnya.
Kedua Elang yang telah terluka itupun memang menjadi semakin garang. Tetapi lawan merekapun menjadi semakin keras pula. Bahkan Sambi Wulung yang tidak mau kehilangan Risang itu tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannya ternyata tidak kalah cepatnya dari Sepasang Elang itu.
Ternyata bahwa sentuhan tangan Sambi Wulung semakin lama menjadi semakin banyak di tubuh Sepasang Elang itu. Meskipun Sambi Wulung sendiri tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa tenaganya menjadi susut karena darah yang mengalir terus dari lukanya, namun lawan-lawannyapun menjadi semakin tidak berdaya pula.
Dalam kemarahan yang memuncak, maka Sambi Wulung benar-benar tidak mengekang diri lagi. Apalagi ketika ia mulai dipengaruhi bayangan-bayangan yang mengerikan tentang Risang yang ternyata telah dikira Puguh.
Dengan demikian, maka serangan-serangan Sambi Wulung itu menjadi semakin garang dan berbahaya. Dengan sisa tenaganya maka ia berusaha untuk mengakhiri pertempuran.
Sebenarnyalah Sepasang Elang Randu Alas itu menjadi semakin terdesak. Luka-luka bakar di tubuh mereka bukan saja terasa panas, tetapi untuk bergerak cepat dan keras, maka luka-luka itu bagaikan telah terbuka. Darah mulai mengalir dari luka-luka bakar itu, sehingga Sepasang Elang itupun menjadi semakin lemah karenanya.
Di saat-saat terakhir, Sepasang Elang itu memang tidak banyak berdaya. Sentuhan-sentuhan tangan Sambi Wulung menjadi semakin sering mengenai tubuh mereka.
Ternyata maka kedua orang itu akhirnya tidak mampu lagi bertahan. Di saat terakhir, maka Elang yang mudalah yang lebih dahulu kehilangan kemampuannya untuk melawan. Meskipun ia masih mencoba untuk mempergunakan suaranya mempengaruhi ketahanan dan perlawanan Sambi Wulung. Elang yang tua itupun sekali-sekali telah mencoba pula memperkuat serangan suara Elang yang muda. Namun semuanya tidak berhasil. Sambi Wulung benar-benar telah menguasai medan sehingga akhirnya Sepasang Elang itu benar-benar tidak berdaya. Nafas mereka menjadi terengah-engah, sementara tenaga mereka bagaikan terkuras.
Tetapi mereka telah bertempur sampai kemampuan mereka yang terakhir. Sebagai bagian dari satu kelompok yang besar dan terikat berbagai macam alasan, maka Sepasang Elang itu sudah menunaikan tugasnya dengan sepenuh kemampuannya. Tetapi ternyata bahwa mereka berhadapan dengan orang yang berilmu jauh lebih tinggi dari mereka masing-masing, sehingga meskipun mereka bertempur berdua, namun mereka tidak dapat berhasil.
Elang yang mudalah yang lebih dahulu terjatuh ketika tangan Sambi Wulung sempat terayun mengenai tengkuknya. Sengatan panas dan kekuatan yang sangat besar rasa-rasanya telah mematahkan dan membakar lehernya. Karena itu, maka Elang yang muda itu telah jatuh tertelungkup.
Orang Orang Lapar 2 Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar Heng Thian Siau To 4
Betapapun dendam di antara Warsi dan Iswari menyala bagaikan tidak terkendali, tetapi watak kekuatan Tanah Perdikan Sembojan akan masih dapat terkendali oleh para pemimpinnya. Apalagi jika Iswari sendiri yang datang memimpin pasukannya.
Bahkan padepokan itupun tentu akan masih tetap utuh. Mereka tidak akan membakar setiap bangunan menjadi abu.
Ketika Ki Randukeling berbisik tentang kemungkinan itu, maka Ki Ajar Paguhan mengiakannya. Perlahan-lahan ia berkata, "Hanya orang-orang biadab yang telah melakukan hal seperti. Biadab sebagaimana penghuni padepokan ini sendiri."
Ki Randukeling mengerutkan keningnya. Sementara Ki Ajar Paguhan berkata, "Topeng-topeng kecil itu adalah lambang kebiadaban kita disini."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia berkata, "Apakah topeng-topeng itu masih ada di tempatnya?"
"Kita akan melihatnya," desis Ki Ajar Paguhan. Keduanyapun kemudian telah mengajak Puguh untuk melihat-lihat keadaan di sekeliling padepokan mereka yang penuh dengan rahasia kebiadaban mereka itu. Topeng-topeng kecil yang menjadi pertanda kematian bagi orang-orang yang melihatnya, meskipun mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang topeng itu. Bahkan orang tersesat sekalipun.
Perintah yang pernah diberikan kepada para pengikut Ki Rangga adalah, "Mati bagi semua orang yang ada di sekitar topeng-topeng itu. Mereka telah memasuki dan memata-matai padepokan kita."
Ketika saat itu Ki Ajar Paguhan bertanya tentang orang-orang yang tersesat dan tidak tahu menahu seperti seorang pencari kayu misalnya, maka Ki Rangga menjawab, "Kita tidak dapat membedakan antara orang yang benar-benar tersesat, atau seseorang yang sedang memata-matai padepokan dengan berpura-pura tersesat. Karena itu, maka semua orang yang mendekati lingkungan padepokan kedua harus mati. Batas kematian itu adalah topeng-topeng kecil yang kita tancapkan di sekitar padepokan kita."
Namun ternyata bahwa dimata-matai atau tidak dimata-matai, padepokan itu sudah dihancurkan orang.
Demikianlah, maka ketiga orang itu telah berjalan mengelilingi lingkungan yang disebut daerah terlarang itu. Mereka ternyata masih menemukan topeng-topeng kecil yang ditancapkan di beberapa tempat di sekitar padepokan mereka yang hangus menjadi abu itu.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 21 SIKAP yang keras dan bahkan kejam dari Ki Rangga itu ternyata tidak mampu melindungi padepokan mereka, sehingga pada suatu saat yang tinggal adalah abunya saja.
"Puguh," berkata Ki Randukeling yang seakan-akan dapat membaca gejolak hati anak muda itu, "ternyata bahwa yang dilakukan oleh ayah dan ibumu selama ini tidak menjamin kerahasiaan padepokan kita. Bahkan akhirnya padepokan kita benar-benar telah dihancurkan tanpa bekas. Karena itu, maka sikap sebagaimana dilakukan oleh ayah dan ibumu itu perlu diperhitungkan kembali, apakah pada saat yang lain masih juga perlu dilakukan."
Puguh menundukkan kepalanya. Ia mengerti sepenuhnya pendapat Ki Randukeling. Tetapi bagaimanapun juga, ia masih saja dicengkam oleh perasaan takut kepada ayah dan ibunya yang telah berpesan kepadanya, agar kehidupan di padepokan itu sama sekali jangan mengalami perubahan.
Ki Randukeling yang melihat keragu-raguan di wajah Puguh berkata selanjutnya, "Mungkin kau masih selalu dibayangi oleh pesan ayahmu. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa yang terjadi ini bukan salahmu. Bahkan kau harus membuat perhitungan-perhitungan yang lebih cermat tentang kemungkinan yang bakal datang. Apakah menurut pendapatmu, ayah dan ibumu masih akan datang ke padepokan ini" Padepokan yang pernah didatangi oleh musuh-musuhnya dan dihancurkannya."
Puguh mengangguk-angguk. Ia memang mulai memikirkan kemungkinan seperti itu.
Ternyata bahwa Puguhpun mempunyai kesimpulan bahwa ayah dan ibunya tidak akan mungkin datang lagi ke tempat yang tentu dianggapnya sangat berbahaya, karena tempat itu telah diketahui oleh musuh-musuhnya. Justru musuh-musuh yang belum dikenalnya dengan jelas.
Dengan demikian maka Puguhpun kemudian condong untuk membangun padepokan itu sesuai dengan angan-angannya sendiri menurut petunjuk kakek dan gurunya. Nampaknya akan menjadi lebih baik bagi masa mendatang. Meskipun Puguh masih harus memperhitungkan orang-orang yang mungkin masih tetap mendendam kepada ayah dan ibunya.
Namun Puguhpun sadar, bahwa membangun padepokan itu diperlukan waktu yang panjang. Mereka harus mendapatkan bahan dan mendapatkan tenaga manusia untuk melaksanakannya.
"Sudahlah," berkata Ki Randukeling, "kita memang ingin membangun kembali padepokan ini. Tetapi tentu bukan harus dilaksanakan besok pagi atau lusa. Kita harus membuat beberapa perhitungan dan pertimbangan."
"Sementara ini, apa yang harus kita lakukan Kek?" bertanya Puguh.
"Kita harus beristirahat dahulu lahir dan batin. Kita mencoba merenungkan apa yang telah terjadi dan apa yang mungkin terjadi. Kita juga harus mencari jalan, bagaimana kita mendapatkan bahan dan tenaga untuk membangun kembali padukuhan kita. Bukan hanya sekedar mendirikan bangunan di lingkungan padepokan ini. Bangunan induk dan barak-barak. Tetapi juga siapakah yang akan menghuni barak-barak itu. Siapa pula yang akan mengerjakan sawah dan ladang kita untuk mencukupi kebutuhan seisi padepokan. Tetapi siapa pula yang mempunyai kebutuhan itu," jawab Ki Randukeling.
Puguh menarik nafas dalam-dalam, sementara gurunya berkata, "Kita memang memerlukan waktu."
"Apakah kita akan tetap berada disini selama kita menyusun rencana dan mengusahakan bahan serta tenaga?" bertanya Puguh.
"Bukankah itu tidak mungkin?" desis Ki Randukeling, "apakah kita akan membiarkan diri kita kepanasan di siang hari, berembun di malam hari dan basah kuyup di hari hujan?"
Namun Ki Ajar Paguhan kemudian berkata, "Maksudmu, kemana kita untuk sementara akan tinggal?"
"Ya guru," jawab Puguh.
"Puguh," suara gurunya merendah, "sebelum aku tinggal di padepokan ini atas permintaan kakekmu, aku sudah mempunyai tempat tinggal. Sama sekali bukan sebuah padepokan. Tetapi aku justru menyepi di satu tempat yang terasing sama sekali. Namun selain aku, kakekmu juga mempunyai rumah tempat tinggal. Nah, sekarang dapat kita pertimbangkan, apakah kita akan pergi ke tempat tinggalku semula atau kita akan pergi ke rumah Ki Randukeling."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Ia memandangi gurunya dan kakeknya berganti-ganti. Namun akhirnya ia berkata, "Terserahlah kepada guru dan kakek."
Ki Ajar Paguhan mengangguk-angguk. Dengan kerut di kening ia berkata kepada Ki Randukeling, "Ki Randukelinglah yang akan mengambil keputusan. Bahwa aku tinggal di padepokan inipun karena Ki Randukeling minta kepadaku. Jika bukan Ki Randukeling yang aku kenal sejak masa muda dan telah banyak berbuat sesuatu bersama-sama, maka aku tentu tidak akan betah tinggal disini."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika demikian, maka sebaiknya kita kembali saja ke rumahku. Rumahku lebih banyak memenuhi beberapa persyaratan sebagai rumah tempat tinggal daripada gubuk Ki Ajar Paguhan."
"Rumahmu yang mana Ki Randukeling?" bertanya Ki Ajar Paguhan.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun bagaimanapun juga sebaiknya ia berada di tempat yang sementara aman bagi Puguh. Orang-orang yang mencari Ki Rangga dan Warsi itu akan dapat beralih sasaran. Jika keduanya tidak segera ditemukan, maka mereka akan dapat menangkap anaknya sebagai barang taruhan.
Karena itu, maka Ki Randukelingpun berkata, "Aku juga memikirkan kemungkinan buruk bagi Puguh jika diketahui tempatnya. Karena itu, maka aku akan membawa kalian ke rumahku yang ditunggui oleh seorang kemenakanku di kaki Pegunungan Sewu, di sebelah Barat Sembojan. Jaraknya cukup panjang dari Sembojan."
Namun tiba-tiba saja Puguh bertanya, "Apakah kakek mempunyai dugaan bahwa yang telah datang kemari adalah orang-orang Sembojan?"
"Tidak." jawab Ki Randukeling, "orang-orang Sembojan tidak akan berbuat sekeji itu. Aku mengenal mereka dan aku yakin akan hal itu."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Iapun teringat akan kehadiran dua orang yang ditemuinya di Song Lawa, yang mengaku bernama Wanengbaya dan Wanengpati. Puguhpun sudah menduga, bahwa nama itu tentu bukan nama mereka yang sebenarnya.
Namun Puguhpun tidak dapat menduga bahwa keduanyapun yang telah melakukan kekejian itu. Puguh menyadari, bahwa ilmu kedua orang itu sangat tinggi, sehingga tanpa kehadiran gurunya dan kakeknya di padukuhan itu, maka dengan bantuan beberapa orang saja keduanya akan dapat menghancurkan padepokan itu menjadi abu seperti yang telah terjadi. Namun menilik sifat keduanya, maka Puguh yakin, bahwa bukan kedua orang itulah yang telah melakukannya. Apalagi kedua orang itu juga tidak nampak di antara orang-orang yang telah mencari ayah dan ibunya di persembunyiannya.
"Jika kedua orang itu ada, aku tidak tahu, apakah guru dan kakek akan dapat mengatasinya," berkata Puguh di dalam hatinya.
Tetapi Puguh tidak mengatakannya kepada guru dan kakeknya. Apalagi menurut pendapat Puguh keduanya bersikap baik kepadanya.
Demikianlah, maka mereka telah sepakat untuk pergi ke kaki Pegunungan Sewu yang panjang, yang membujur di sisi Selatan tanah tempat mereka tinggal.
Namun mereka tidak berangkat hari itu juga. Mereka akan berangkat fajar di hari berikutnya. Mereka masih ingin merenungi padepokan mereka yang telah menjadi abu itu.
Ternyata yang telah terjadi itu merupakan tempaan bukan saja bagi tubuh dan ketrampilan Puguh dalam olah kanuragan, tetapi juga jiwanya telah tertempa. Ia menjadi semakin memahami kehidupan yang penuh dengan tantangan. Bahkan tantangan yang hampir saja menyentuh nyawanya.
Ketika kemudian malam turun, ketiganya telah bersiap-siap untuk meninggalkan padepokan yang telah menjadi abu itu di keesokan harinya. Namun mereka masih akan menunggui sepanjang malam. Satu-satunya yang masih dapat dipergunakan dengan baik di kedua padepokannya itu adalah sumurnya. Senggotnya masih terpasang di sebatang pohon randu dengan timba yang terbuat dari upih masih tergantung di ujungnya.
*** Tetapi agaknya Puguh tidak terlalu cepat dapat tidur, ia masih saja merenungi padepokannya sehingga lewat tengah malam. Namun akhirnya, Puguhpun telah tertidur pula sampai menjelang dini hari.
Pagi-pagi benar mereka telah bangun. Mandi dengan air sumur yang terasa sangat segar bagi Puguh. Sumber air yang telah cukup lama diteguknya, sehingga pati sarinya telah mengaliri segenap urat nadinya.
Namun untuk sementara tempat itu harus ditinggalkannya. Tetapi Puguh tetap pada pendiriannya, bahwa pada suatu saat ia akan kembali ke tempat itu dan membangun padepokannya kembali meskipun dengan ujud dan watak yang berbeda.
Dalam pada itu, selagi Puguh bersama guru dan kakeknya mulai menempuh perjalanan menuju ke kaki Pegunungan Sewu, maka di Tanah Perdikan Sembojan, seorang anak muda yang sebaya dengan Puguh, bahkan sedikit lebih tua meskipun selisihnya tidak lebih dari satu tahun, sedang sibuk di dalam sanggarnya. Anak muda itu juga bangun sebelum dini hari, memasuki sanggar dan berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia telah berusaha untuk melatih ketahanan tubuhnya, ketrampilan gerak dan bahkan untuk mengembangkan kekuatan dan kemampuannya.
Dua orang menungguinya serta memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Ketika anak muda itu berloncatan dari tonggak yang satu ke tonggak yang lain, bahkan kemudian menelusuri palang bambu serta sekali-kali menggelantung pada tali-tali yang terjulur, terayun dan hinggap pada patok-patok bambu yang agak tinggi.
"Kemampuannya cukup memadai," desis salah seorang di antara kedua orang yang menungguinya, "Kiai Badra telah mempersiapkannya untuk memasuki satu keadaan yang dipersiapkan untuk menerima ilmu Janget Kinatelon."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berdesis, "Tetapi anak ini agak terlalu manja dibandingkan dengan Puguh yang menjadi dewasa ditempa oleh keadaan."
Keduanya terdiam sejenak. Namun nampak kepala mereka yang terangguk-angguk kecil.
Sejenak kemudian, maka anak muda itu telah duduk di atas sebuah tonggak batang kelapa. Sambil duduk bersila ia mengembangkan kedua tangannya. Sekali terentang lebar-lebar sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diputar ke atas dan perlahan-lahan kedua telapak tangannya mengatup di atas kepalanya. Kedua telapak tangan yang mengatup itupun perlahan-lahan pula turun sampai ke dadanya.
Untuk beberapa saat ia bertahan dalam keadaannya. Namun kemudian kedua telapak tangannya itupun telah terurai. Sambil meloncat turun anak muda itu tersenyum.
"Kau telah mencapai kemajuan yang berarti, Risang," berkata Sambi Wulung, salah seorang di antara kedua orang yang menungguinya berlatih itu.
"Ya," sahut Jati Wulung, "baru beberapa hari kau berada disini. Namun yang beberapa hari ini telah kau pergunakan sebaik-baiknya."
"Ah, tidak seberapa. Tetapi aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan," jawab Risang.
"Kau sudah membagi waktumu dengan baik," berkata Sambi Wulung. Lalu katanya pula, "Kau isi waktumu di pagi hari dengan latihan-latihan seperti ini. Kemudian kau berlatih di alam terbuka dengan menjelajahi jalan-jalan di Tanah Perdikan ini. Turun naik gumuk-gumuk besar dan kecil. Menyusuri sungai dan jalan-jalan yang terjal. Kemudian di sore hari kau berlatih dengan orang-orang yang dapat kau anggap sebagai gurumu. Meningkatkan serta memperdalam ilmu yang telah kau miliki. Sedangkan malam hari kau belajar ilmu kesusasteraan serta ilmu yang lain yang berhubungan dengan perkembangan kecerdasan dan pengetahuanmu di samping memperdalam pengetahuanmu tentang hubungan antara manusia dengan penciptanya."
"Pembagian waktu ini bukankah berlaku sejak aku di padepokan?" desis Risang.
"Ya. Dan itu harus kau pertahankan terus. Kecuali jika saatnya kau benar-benar dalam persiapan menerima ilmu tertinggi sebagaimana dimiliki oleh ibumu," berkata Sambi Wulung.
"Masih sangat jauh," berkata Risang, "tetapi aku juga tidak terlalu tergesa-gesa meskipun aku mengerti bahwa di luar pengetahuanku, aku tiba-tiba saja sudah berada dalam suasana yang bermusuhan. Tetapi aku tidak mengenali siapakah musuh-musuhku itu."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk.
Bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung, Risang memang sudah tumbuh semakin dewasa. Karena itu, maka penglihatannya atas dirinya dalam kehidupanpun telah berkembang. Jika semula Risang hanya bertanya kenapa dirinya harus disamarkan, maka kini ia merasa bahwa sebenarnyalah ia telah berada dalam suasana yang tidak diinginkannya. Tiba-tiba saja di luar tanggung jawabnya ia telah dihadapkan kepada musuh-musuhnya yang mendendamnya, bahkan akan membunuhnya.
Pertanyaan yang paling dicemaskan akan datang dari Risang itu akhirnya didengar juga oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kenapa permusuhan itu terjadi?" bertanya Risang.
Sambi Wulung dan Jati Wulung merasa sangat sulit untuk menjawab. Mereka memang menyatakan, bahwa mereka tidak banyak mengetahui tentang hal itu, karena mereka tidak terlibat langsung.
Tetapi Risang berkata, "Kalau jawaban itu aku dengar lima tahun yang lalu, maka aku tentu akan mempercayainya."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Risang. Kau memang sudah bertambah dewasa. Tetapi justru karena itu, maka kaupun harus mengetahui bahwa aku tidak berwenang untuk menjawab pertanyaanmu itu."
"Aku mengerti," suara Risang merendah, "kakekpun mengatakan begitu. Demikian juga nenek. Sedangkan ibu menganggap aku masih terlalu kecil untuk mengetahuinya. Sementara itu aku sudah mengetahui sejak lama, bahwa aku harus bersembunyi di padepokan yang sunyi itu. Terpisah dari keluarga dan lebih dari itu, aku tidak berada di tanah kelahiran sendiri."
"Semua itu untuk kebaikanmu," berkata Jati Wulung.
Risang mengangguk kecil. Jawabnya, "Aku menyadarinya. Tetapi tentu tidak selalu dibayangi oleh sebuah teka-teki. Sementara itu aku hanya tahu, ibu terluka dalam sebuah pertempuran tanpa mengetahui ujung dan pangkalnya."
Sambi Wulunglah yang menyahut, "Jika kau dipanggil sekarang ini, mungkin ibumu telah menganggapmu cukup dewasa untuk mendengar tentang banyak hal yang menyangkut Tanah Perdikan ini. Kedudukanmu sebagai seorang anak laki-laki Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan dan hal lain-lain yang ada hubungannya dengan keadaanmu itu."
Risang mengangguk kecil. Ia memang mengharap ibunya mengatakan sesuatu. Tetapi jika ibunya tetap berdiam diri, maka ia akan memberanikan diri untuk bertanya tentang dirinya lebih jauh. Tentang permusuhan yang terjadi dan tentang ancaman terhadap dirinya sehingga ia perlu menyingkir dari Tanah Perdikan itu.
Tetapi Risang ternyata tidak perlu bertanya kepada ibunya. Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung kemudian menemui Iswari, maka pertanyaan Risang itu telah dikemukakannya.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Karena saat itu ada ketiga orang kakek dan neneknya, maka iapun kemudian bertanya, "Apakah sudah waktunya aku mengatakannya kepada Risang?"
Kiai Badralah yang kemudian menjawab, "Agaknya memang sudah waktunya, Iswari. Lebih baik kau sendiri yang mengatakannya daripada orang lain. Jika orang-orang di rumah ini tidak mau memenuhi hasrat ingin tahunya, maka Risang mungkin saja akan mencari keterangan di luar rumah ini. Mungkin ia akan menemui orang-orang tua di Tanah Perdikan ini untuk mendapatkan keterangan. Sementara itu, orang-orang tua itu tidak tahu dengan pasti apakah yang sebenarnya terjadi dengan latar belakangnya, sehingga dengan demikian maka yang dapat mereka terangkan adalah sekedar ujud lahiriahnya saja. Itupun tidak selengkapnya. Dengan demikian maka akan dapat menimbulkan salah tanggapan dari Risang sendiri atas persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan ini dan yang menyangkut tentang dirinya."
Iswaripun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Baiklah Kek. Nanti setelah senja aku akan berbicara dengan Risang."
"Dimana Risang sekarang?" bertanya Kiai Badra.
"Bersama Bibi di kebun. Risang sering bertengger di pohon jambu air di belakang," sahut Sambi Wulung.
"Baiklah," berkata Kiai Badra, "tolong sampaikan kepada anak itu, bahwa senja nanti ibunya ingin berbicara dengannya."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia ikut merasa lega bahwa dengan demikian Risang tidak akan mengulangi lagi pertanyaan yang sulit itu kepada mereka.
"Aku akan mengatakan semuanya," berkata Iswari, "dengan demikian maka ia akan mempunyai gambaran yang benar tentang dirinya dalam hubungan dengan Tanah Perdikan ini serta orang-orang yang masih saja selalu mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini."
"Agaknya memang sudah waktunya," desis Nyai Soka, "ia tidak boleh terlalu lama merasa terganggu oleh pertanyaan itu di dalam hatinya."
Orang-orang tua itu masih sempat memberikan beberapa pesan kepada Iswari, apakah yang sebaiknya dikatakan kepada Risang. Memang harus tuntas, tetapi bijaksana, sehingga tidak menumbuhkan gejolak baru di hati anak muda itu.
"Ia pernah menyatakan bahwa sebaiknya ia tidak perlu bersembunyi seandainya ada orang yang mengancam untuk membunuhnya sekalipun," berkata Sambi Wulung.
"Ya," desis Iswari, "nampaknya harga dirinya memang tersinggung."
"Ia tentu akan kecewa atas dirinya sendiri, atas ayahnya, ibunya, kakeknya dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi itu lebih baik diketahuinya sekarang daripada lebih lama lagi berteka-teki, apalagi jika ia mendengar dari orang lain," berkata Kiai Badra.
Iswari mengangguk-angguk. Terkilas jalan hidupnya sendiri yang penuh dengan gejolak. Ketika ia dilamar oleh Ki Wiradana, putera Kepala Tanah Perdikan Sembojan, maka seakan-akan nampak fajar yang akan menyingsing di Timur. Namun tiba-tiba matahari berjalan terlalu cepat, sehingga iapun telah terlempar ke suramnya senja yang kelabu. Hadirnya seorang perempuan yang bernama Warsi, yang memasuki Tanah Perdikan sebagai seorang penari keliling telah merusakkan segala-galanya.
Bulu-bulu di tengkuknya terasa berdiri jika teringat olehnya bagaimana Bibi membawanya ke satu tempat yang sepi dan siap membunuhnya. Untunglah bahwa Bibi yang disebut Serigala Betina itu masih memiliki secercah kebaikan hati di dalam dadanya yang penuh dengan noda-noda, sehingga ia membatalkan rencananya untuk membunuhnya. Apalagi saat itu ia sedang mengandung anak laki-lakinya. Risang.
"Apakah aku juga harus mengatakannya?" Iswarilah yang kemudian bertanya kepada diri sendiri.
Namun Iswari masih sempat merenungkannya sampai senja turun. Iapun masih sempat membicarakannya dengan ketiga orang kakek dan neneknya.
Demikianlah ketika senja turun, maka Risang telah menghadap ibunya. Malam itu ia tidak akan mempelajari pengetahuan tentang hidup dan kehidupan, juga tidak memperdalam pengetahuannya tentang hubungannya dengan penciptanya serta sesamanya. Tetapi Risang ingin mendengarkan satu kisah yang panjang tentang dirinya.
Ibunyapun telah bertekad untuk menceriterakan semua hal tentang Risang dan lingkungannya. Tetapi pada saat terakhir Iswari memutuskan untuk tidak mengatakan, bagaimana ayah Risang itu merencanakan pembunuhan atas dirinya di saat ia sedang mengandung.
"Tidak banyak orang yang mengetahuinya," berkata Iswari di dalam hatinya, sehingga iapun berharap bahwa tidak akan ada orang yang menyampaikannya kepada Risang setelah Iswari berpesan kepada Bibi untuk merahasiakan hal itu kepada anaknya.
Risang memang menjadi berdebar-debar. Sudah terlalu lama ia menunggu kesempatan seperti itu.
Namun untuk mengurangi debar di jantung Iswari, maka ia minta salah seorang kakek atau neneknya mendampinginya di saat ia berbicara dengan Risang.
Ternyata kakeknya sendirilah yang akan bersama-sama menceriterakan tentang diri Risang yang baru diketahuinya serba sedikit itu.
Demikianlah, maka dengan-penuh perhatian Risang mendengarkan ibunya berkata, "Risang. Aku anggap kau sudah cukup dewasa untuk mengenal dirimu sendiri lebih dekat. Tentu ada yang dapat kau banggakan tentang dirimu, tentang orang tuamu dan tentang lingkunganmu. Tetapi tentu ada pula yang tidak sejalan dengan angan-anganmu. Kau tidak boleh menjadi terlalu kecewa. Yang penting bagimu bukannya masa lampaumu, meskipun masa lampau bagi seseorang akan ikut menentukan masa sekarang dan masa yang akan datang. Masa lampau memang bukan sekedar untuk dikenang. Tetapi dapat dipetik sebagai pengalaman yang perlu diperhitungkan dalam langkah-langkah kita sekarang dan di masa datang."
Risang mengangguk-angguk kecil. Ia tahu bahwa pengantar itu tentu sekedar menenangkannya, karena Risangpun serba sedikit telah dapat meraba, bahwa masa lampau bagi keluarganya adalah masa yang buram.
"Risang," berkata ibunya pula, "karena kau sudah dewasa, maka kau tentu dapat mempertimbangkan keteranganku dengan sikap dewasa pula serta menanggapinya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab."
Risang mengangguk kecil pula sambil berdesis, "Aku mengerti ibu."
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Risang sudah tidak sabar lagi menunggu, sementara ia masih belum sampai kepada masalah yang sebenarnya.
Namun kemudian Iswari yang sudah bertekad bulat untuk mengungkapkan masa lampau anaknya dengan terbuka, meskipun melalui saringan yang lembut, telah mulai dari masa lampaunya sendiri. Di saat-saat ia memasuki Tanah Perdikan Sembojan.
Peristiwa demi peristiwa disampaikannya dengan jelas. Diceriterakannya pula hadirnya seorang penari jalanan yang telah mendesaknya keluar dari Tanah Perdikan itu, tanpa menyebut usaha pembunuhan yang urung, karena Bibi tahu ia sedang mengandung.
Risang mengikuti ceritera ibunya dengan saksama. Sebagian memang tidak mengejutkannya. Namun sebagian yang lain telah membuat hatinya bergejolak. Seolah-olah ia telah dihadapkan pada suatu cermin yang menunjukkan wajahnya yang sebenarnya. Cacat-cacatnya serta noda-noda yang terdapat di wajah itu.
Risang menundukkan wajahnya semakin dalam. Sementara ibunya berkata, "Risang. Kau harus berani melihat kenyataan tentang dirimu, sebagaimana ibumu melakukannya. Ibupun melihat cacat diri yang dapat membuat diriku terasa terlalu kecil di hadapan orang lain. Sebagai seorang perempuan aku telah disingkirkan dari sisi seorang suami. Tetapi aku tidak menyerah kepada keadaan. Keadaan itu telah mendorongku untuk menempuh satu laku yang berat dan panjang. Ternyata usahaku berhasil. Jalur pimpinan Tanah Perdikan ini tidak akan berkisar dari alur yang seharusnya meskipun ayahmu sudah tidak ada. Tetapi banyak saksi yang akan memperkuat kedudukanmu, karena kita berada di jalan kebenaran. Apalagi pertanda kebesaran Tanah Perdikan inipun ada padamu."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Memang tidak sepatah katapun yang diucapkannya. Namun perasaan kecewa dan menyesal telah bergulat di hatinya.
Risang memang tidak menyalahkan kepada ibunya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa dua kali ibunya harus berhadapan dengan bekas madunya itu. Bukan soal seorang laki-laki. Tetapi mereka bertempur karena Tanah Perdikan Sembojan ini. Apalagi setelah perempuan yang bernama Warsi itu bekerja sama dengan Ki Rangga Gupita yang sedang mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap Pajang.
Tetapi bagaimanapun juga setiap orang di Tanah Perdikan itu tahu bahwa ia adalah anak yang sebenarnya telah tersingkir bersama ibunya. Saat itu, apapun alasannya, ibunya sudah tidak dikehendaki lagi oleh ayahnya, sehingga sebenarnyalah bahwa iapun seharusnya sudah tidak berada di Tanah Perdikan itu lagi.
Dalam pada itu, ibunyapun kemudian berkata, "Risang. Apa yang aku lakukan waktu itu semata-mata karena aku menghormati hakmu. Hakmu sebagai seorang anak laki-laki tertua dari seseorang yang seharusnya menerima warisan jabatan Kepala Tanah Perdikan. Kakekmu, Ki Gede Sembojan yang dibunuh oleh perempuan itu, tentu akan menghormati hakmu pula seandainya ia sempat memberikan pendapatnya. Bagaimanapun juga persoalannya telah menyangkut kelanjutan kepemimpinan di Tanah Perdikan ini."
Risang masih tetap menundukkan kepalanya. Namun ibunya dan Kiai Badrapun sudah menduga bahwa akan terjadi gejolak di hati anak muda itu. Tetapi gejolak itu akhirnya tentu akan menjadi tenang kembali.
Namun dalam pada itu, Risang membayangkan peristiwa itu dengan sudut pandangan yang berbeda. Seandainya ibunya tidak berbuat apa-apa, sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan perempuan yang disingkirkan oleh suaminya, maka ia tentu sudah tersingkir pula dari garis keturunan Ki Wiradana. Ia tidak akan dapat menjadi pewaris jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Hampir di luar sadarnya, sambil menundukkan kepalanya Risang berkata, "Ibu telah melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh perempuan. Merebut seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang telah menyisihkan ibu dari sisinya."
"Risang," desis Kiai Badra, "kau salah menafsirkan tindakan ibumu. Ibumu sama sekali tidak berusaha merebut laki-laki itu lagi. Bahkan sama sekali tidak mempedulikannya. Tetapi laki-laki itu adalah tetap ayah dari anak yang dilahirkannya waktu itu. Laki-laki itu adalah pewaris Jabatan kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi laki-laki itu telah dikuasai oleh seorang perempuan yang tidak memungkinkan jalur warisan itu turun menurut alur yang seharusnya. Kaupun jangan salah mengerti, bahwa seolah-olah terjadi perebutan warisan yang meskipun berupa jabatan, untuk sekedar mencari kedudukan. Kau harus dapat membayangkan, jika jabatan itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka Tanah Perdikan ini tentu akan kehilangan arah."
"Tetapi bukankah itu tanggung jawab ayah?" bertanya Risang.
"Ayahmu bukan saja dikuasai oleh perempuan itu sebagai seorang laki-laki yang lemah hati. Tetapi benar-benar dikuasai sebagai Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan. Dan kaupun harus mengetahui pula kehadiran seorang laki-laki lain di dalam kehidupan perempuan yang menguasai ayahmu itu, sehingga memang diperlukan satu kekuatan yang akan mampu menegakkan kembali pemerintahan di Tanah Perdikan ini. Dalam rangka itulah ibumu berjuang dengan satu tujuan, menyelamatkan Tanah Perdikan Sembojan. Sementara itu, kau pulalah yang telah menguasai pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan," berkata Kiai Badra.
Wajah Risang menjadi semakin tunduk. Sementara kakeknya berkata selanjutnya, "Risang. Kau tidak boleh mengingkari kenyataan ini. Kau harus menerima dengan sikap seorang laki-laki. Mungkin kau kecewa, bahwa baik ayahmu maupun ibumu kau anggap melakukan langkah-langkah yang salah. Tetapi kau tidak dapat melangkah surut karena itu. Justru kau harus menunjukkan bahwa kau, anak Wiradana mampu menegakkan pemerintah di Tanah Perdikan ini. Apalagi di saat-saat mendung sedang menyelimuti Pajang seperti sekarang ini."
Risang tidak menjawab. Pikirannya terasa menjadi kalut. Namun Kiai Badra berkata, "Jangan mengambil sikap dalam keadaan seperti ini Risang. Kau harus mengendapkan perasaanmu lebih dahulu. Baru kau dapat berbicara dengan dirimu sendiri untuk menentukan langkah-langkahmu."
Risang mengangguk. Sementara itu ibunya berkata dengan suara yang bergetar, "Kau harus memaafkan ibumu Risang. Kau harus tahu niat yang saat itu menyala di dalam dadaku. Permusuhan itu terjadi bukan sekedar karena aku dan perempuan itu pernah dimadu oleh seorang laki-laki yang lemah hati. Tetapi seperti aku katakan, aku menghormati hakmu sebagai pewaris Tanah Perdikan. Juga seperti aku katakan, bukan jabatan itu yang penting. Tetapi Tanah Perdikan ini."
Risang mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, "Dan permusuhan itu terjadi sampai kini, sehingga aku perlu disingkirkan dari Tanah Perdikan ini."
"Kau sekarang sudah dewasa Risang," berkata ibunya, "menurut pendapatku, kau sudah mempunyai bekal yang cukup untuk melindungi dirimu sendiri. Karena itu, kami mulai memikirkan kemungkinan untuk mempersiapkan kau memimpin Tanah Perdikan ini. Selagi Pajang masih belum terlibat sepenuhnya dalam kekalutan yang sungguh-sungguh."
"Kenapa dengan Pajang ibu?" bertanya Risang.
"Pajang adalah kekuasaan yang wenang untuk menetapkan dan menguatkan kedudukanmu sebagai Kepala Tanah Perdikan. Meskipun Tanah Perdikan mempunyai wewenang untuk menentukan diri sendiri, tetapi Tanah Perdikan ini tetap ada di dalam kesatuan kuasa Pajang." jawab ibunya.
"Jika ayahku seorang yang lemah hati dan tidak pantas memegang jabatan sebagai Kepala Tanah Perdikan, apakah aku, anaknya, akan pantas melakukannya?" bertanya Risang tiba-tiba.
"Kenapa tidak" Seorang anak akan dapat menjunjung tinggi martabat keluarganya. Meskipun orang tuanya mempunyai cacat sebagaimana terdapat pada setiap orang, maka anaknya akan dapat menghapusnya dengan sikap dan tingkah lakunya." kakeknyalah yang menyahut.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun ibunya dan kakeknya masih merasakan gejolak di dalam hati anak itu. Tetapi seperti yang sudah mereka rencanakan, maka Risang akan diberi kesempatan untuk mengendapkan perasaannya.
"Risang," berkata ibunya tersendat, "mungkin masih ada yang terlampaui dari keteranganku Mungkin besok atau kapan saja aku teringat, maka aku akan mengatakannya kepadamu. Tetapi kau dapat mulai mempertimbangkan untuk tetap tinggal di sini, karena kau harus mempersiapkan diri bagi jabatanmu masa datang."
Risang termangu-mangu. Tetapi ia tidak segera menjawab. Kepalanya masih tetap menunduk dalam-dalam. Sementara jantungnya terasa berdetak semakin cepat.
Terbayang di rongga matanya sederet orang yang siap datang untuk membunuhnya. Yang terdepan berdiri seorang perempuan yang bernama Warsi, yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, meskipun ternyata belum mampu mengalahkan ibunya. Seorang perempuan yang tubuhnya menyerap cahaya bulan untuk meningkatkan kemampuan dan ilmunya. Kemudian di sebelahnya seorang laki-laki yang juga memiliki ilmu yang tinggi. Seorang bekas perwira dalam pasukan Jipang, yang kemudian bertugas sebagai prajurit sandi. Di sisi yang lain seorang anak muda, adiknya seayah, yang memandangnya dengan penuh kebencian. Puguh. Seorang anak muda yang juga memiliki hak untuk mewarisi jabatan Tanah Perdikan Sembojan, jika ia tidak ada. Atau katakanlah, dapat disingkirkan.
Risang memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia sendiri belum pernah terlibat dalam satu persoalan apapun dengan mereka. Namun yang ternyata permusuhan itu telah ada sejak ia dilahirkan.
"Sekarang beristirahatlah Risang," terdengar suara ibunya lembut. "Berpikirlah sebagai seorang anak muda yang telah dewasa. Kemudian kau akan menemukan endapan penalaran dan perasaanmu dalam keseimbangan."
Risang mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, "Terima kasih ibu. Aku mohon diri untuk merenungi semua keterangan ibu dan kakek."
"Kau dapat membicarakannya dengan orang-orang yang kau anggap dapat memberimu petunjuk," berkata ibunya.
Risangpun kemudian meninggalkan ruangan itu. Tetapi ia tidak segera menemui siapapun juga. Iapun tidak berbicara dengan Bibi atau orang lain. Risang langsung masuk ke dalam biliknya, menyelarak dari dalam, kemudian berbaring di pembaringannya. Tetapi matanya sama sekali tidak terpejam. Dipandanginya atap rumahnya dengan tanpa berkedip. Namun gejolak di dadanya seakan-akan menjadi sangat sulit dikendalikan.
Ketika Risang mencoba memejamkan matanya, maka kepalanya serasa menjadi pening, sehingga iapun kemudian kembali membuka matanya menatap atap.
"Ayahku seorang yang lemah, bahkan tidak setia. Sedangkan ibuku adalah seorang perempuan yang telah tersisih, namun karena perjuangannya berhasil merebut kembali kedudukannya meskipun dengan alasan menghormati hakku atas Tanah Perdikan Sembojan ini," berkata Risang di dalam hatinya. Yang terbayang adalah wajah-wajah yang mencibirkan bibir melihat seorang perempuan yang tidak tahu diri dan berusaha merebut kembali laki-laki yang telah mengambil perempuan lain sebagai isterinya.
Tetapi di sudut yang lain di dasar hatinya ia berkata, "Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu menghormati ibu. Bahkan wibawanya tidak kalah dengan wibawa seorang pemimpin laki-laki. Apakah itu pertanda bahwa orang-orang di sekitarnya mencemoohkannya" Dan menganggapnya sebagai perempuan yang tidak tahu diri" Atau bahkan sebaliknya menganggap bahwa ibu adalah pejuang yang tidak kenal menyerah sehingga berhasil meluruskan jalur warisan di Tanah Perdikan ini."
Berbagai macam perasaan bergejolak di dalam hatinya. Namun bagaimanapun juga Risang sulit untuk menyingkirkan perasaannya yang membuatnya menjadi rendah diri.
Sementara itu, sepeninggal Risang, ternyata Iswari tidak dapat mengendalikan diri lagi. Betapapun ia pernah menghadapi keadaan yang paling keras sekalipun di dalam hidupnya, namun di saat-saat yang sangat menyentuh perasaannya itu, ia tidak dapat mengingkari sifat-sifatnya sebagai seorang perempuan. Betapapun ia bertahan, namun air matanya telah meleleh di pipinya.
"Sudahlah Iswari," berkata kakeknya, "kau jangan hanyut ke dalam arus perasaanmu. Sepeninggal Ki Wiradana, maka kau adalah ibu sekaligus ayah Risang. Karena itu, maka kau harus tabah serta mempergunakan penalaran untuk memecahkan satu masalah. Bukankah sudah kita duga, bahwa Risang tentu akan kecewa. Tetapi pada suatu saat ia akan mengerti, bahwa kau tidak dapat memilih jalan lain dari yang pernah kau lakukan, jika kau masih ingin disebut bertanggung jawab."
Iswari mengangguk kecil. Tetapi tidak mudah baginya untuk menghapus begitu saja kenangan masa lampaunya.
"Kau boleh mengenang dan kemudian menilai kembali apa yang pernah kau lakukan, tetapi kau harus melihat semuanya dalam keadaan utuh. Bukan sepotong-sepotong sehingga hanya yang cacat sajalah yang kau lihat. Dan kau seharusnya menjadi bangga, di samping mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, bahwa kau mampu berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan ini," berkata Kiai Badra, "Karena jika kau tidak melakukannya, maka Tanah Perdikan ini akan mengalami bencana yang mungkin akan berkepanjangan sepanjang jaman."
Iswari mengangguk pula. Namun dengan suara yang gemetar ia berkata, "Kakek. Aku tidak peduli apa kata orang tentang diriku. Tetapi aku tidak dapat menutup telinga atas pendapat Risang, anakku sendiri."
"Ia masih terlalu muda," berkata Kiai Badra, "tetapi ia memang harus mengetahuinya dari mulutmu sendiri. Itu lebih baik. Sikapnya adalah wajar sebagaimana kita perhitungkan sebelumnya."
"Ya, kakek," sahut Iswari perlahan.
"Sekarang beristirahatlah. Kaupun letih," berkata Kiai Badra.
Iswari mengangguk pula. Dengan kepala tunduk dan sekali-sekali mengusap matanya yang masih saja basah, Iswari memasuki biliknya. Tetapi seperti Risang, iapun tidak segera dapat tidur di pembaringannya.
Di hari berikutnya, Risang nampak menjadi lebih pendiam. Orang-orang di sekitarnya merasakan hal itu, dan berusaha untuk mengerti. Ibunya tentu menceriterakan semua persoalan pribadinya selain usaha Ki Wiradana untuk membunuh Iswari. Karena jika hal itu dikatakannya pula, maka satu pukulan jiwani atas anak muda itu akan dapat membuatnya semakin kusut.
Iswari sendiri berusaha untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat dianggap satu perubahan sikap. Ia menjalankan tugasnya sebagaimana biasanya. Bahkan ia telah mengajak Risang untuk melihat orang-orang Tanah Perdikan Sembojan di bagian Utara memperbaiki sebuah bendungan yang hampir pecah.
Dengan mengerahkan tenaga dari beberapa padukuhan, serta brunjung-brunjung bambu yang telah diisi dengan batu, maka bendungan itu dapat diselamatkan, sehingga air yang mengalir di parit-parit tidak menjadi susut.
"Risang," berkata ibunya ketika mereka berada di bendungan, "banyak yang pantas kau lihat disini. Semua ini harus kau amati, karena pada saatnya semua ini akan menjadi tanggung jawabmu."
Risang mengangguk kecil. Namun di wajahnya masih nampak kerut-kerut yang dalam. Ia masih belum nampak gembira seperti biasanya.
Tetapi Iswari memang harus bersabar. Pergolakan di dada anak muda itu tentu memerlukan waktu yang cukup, sehingga akhirnya akan dapat mengendap.
Di hari-hari berikutnya, memang nampak perubahan lagi pada anak itu. Risang memang mulai nampak mendapatkan kegembiraannya kembali meskipun anak muda itu masih belum mengatakan sesuatu. Sehingga dengan demikian, maka ibunyapun telah berangsur berbesar hati. Iswari ternyata menjadi lebih cerah dari Risang sendiri, karena kegembiraannya sebagai ibu terutama jika ia melihat anaknya bergembira.
Dengan nada yang ringan Iswari berkata kepada kakeknya, "Nampaknya perasaannya mulai mengendap kakek."
"Syukurlah," berkata Kiai Badra, "anak muda itu harus mulai ikut melakukan kegiatan yang kau lakukan. Dengan demikian ia akan mengenali tugas-tugas yang bakal dipertanggungjawabkan kelak."
"Aku sudah mengatakan kepadanya," berkata Iswari.
"Baiklah. Mudah-mudahan ia akan menjadi semakin mantap," sahut Kiai Badra.
Namun ternyata anak muda itu telah mengejutkan ibunya ketika pada suatu senja ia datang menghadap. Dengan suara sendat ia berkata, "Ibu, agaknya aku sudah cukup lama berada disini."
"Kenapa?" bertanya ibunya dengan jantung yang berdebaran.
"Agaknya sudah waktunya aku kembali ke padepokan kecil itu," berkata Risang kemudian.
"Aku tidak tahu maksudmu Risang. Bukankah sudah aku katakan, bahwa kau sudah waktunya untuk berada di Tanah Perdikan ini. Kau sudah menginjak usia dewasamu, sehingga kau harus mulai mengenali tugas dan tanggung-jawab yang bakal kau pikul di masa mendatang," berkata ibunya.
"Tetapi aku tidak dapat meninggalkan padepokan itu terlalu lama ibu. Jika aku harus tinggal disini, maka aku harus mengatur segala sesuatunya, sehingga aku tidak begitu saja meninggalkan padepokan itu." jawab Risang.
"Apakah kau sudah berbicara dengan kakekmu?" bertanya Iswari.
"Belum ibu," jawab Risang, "tetapi seharusnya kakek tidak berkeberatan. Apalagi aku sudah mulai terikat pada tempat itu, seakan-akan memang padepokan itu adalah tempat yang disediakan bagiku."
"Risang," potong ibunya dengan dahi yang berkerut, "Tempatmu bukan di padepokan itu untuk seterusnya. Tempatmu disini, karena kau adalah calon Kepala Tanah Perdikan ini."
"Tetapi sejak kecil aku berada di padepokan itu ibu, sehingga seolah-olah aku memang anak padepokan itu," berkata Risang.
"Bukankah kau tahu alasannya, kenapa kau harus berada di padepokan itu?" bertanya ibunya.
"Aku mengerti ibu. Tetapi justru karena itu, aku sudah merasa terikat dengan padepokan itu. Meskipun demikian, bukannya aku menolak perintah ibu untuk tinggal disini. Tetapi aku mohon waktu." jawab Risang.
Jantung Iswari rasa-rasanya berdegup semakin cepat. Namun justru untuk sesaat ia tidak dapat mengatakan sesuatu. Ketika bibirnya bergerak, maka yang terdengar adalah kata-katanya, "Mintalah ketiga kakek dan nenekmu hadir sekarang disini."
Risang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak membantah. Sejenak kemudian, maka Kiai Badra, Kiai dan Nyai Soka telah hadir pula untuk ikut berbicara tentang keinginan Risang kembali ke padepokan.
Kiai Badra adalah orang yang tinggal paling lama bersama-sama dengan Risang di padepokan itu. Karena itu, ia adalah orang yang paling memahami sikap Risang. Risang memang sudah terikat pada padepokannya itu. Bahkan terbersit satu niat untuk mendirikan satu perguruan tersendiri yang akan menjadi penghuni dan pengembang padepokan itu.
Karena itu, maka Kiai Badrapun kemudian berkata, "Risang. Aku dapat mengerti niatmu untuk kembali ke padepokan. Tetapi bukan berarti bahwa kau akan mengabaikan perintah ibumu."
"Tidak sama sekali kakek. Sudah aku katakan, aku hanya mohon waktu," berkata Risang.
"Waktu dapat terjulur terlalu panjang, tetapi dapat berkerut menjadi sangat pendek. Kau harus membuat satu rencana tentang waktu itu Risang," berkata kakeknya.
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Jika saatnya datang, maka aku akan segera memberitahukan kepada ibu, kakek dan nenek."
"Risang," berkata Nyai Soka, "kau adalah satu-satunya tangkai tempat ibumu bergantung. Kau harus menyadari itu. Bukan untuk bermanja-manja. Tetapi justru merupakan satu tanggung-jawab yang berat bagi masa datang. Jika kau tidak berminat untuk melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh ibumu selama ini, maka perjuangan ibumu itu akan sia-sia. Tanah Perdikan ini tidak akan mendapat manfaat apa-apa. Sehingga dengan demikian maka hasil yang dicapai oleh ibumu tidak lebih dari keberhasilan seorang perempuan untuk merebut seorang laki-laki yang telah menyingkirkannya. Tetapi jika kau melanjutkan perjuangan ibumu bagi Tanah ini, maka perjuangan ibumu itu akan mempunyai arti."
Risang mengerutkan keningnya. Dipandanginya neneknya sejenak. Namun kemudian wajahnya telah tertunduk lagi.
"Pikirkan baik-baik Risang," berkata Kiai Soka, "kau sudah dewasa. Kau harus berpikir secara dewasa. Kau harus dapat membedakan, yang manakah yang akan berarti bagi hidupmu dan mana yang tidak."
Risang tidak segera menjawab. Sementara itu ibunya bertanya dengan nada lembut, "Bagaimana menurut pendapatmu Risang?"
"Aku mengerti ibu. Aku akan mempertimbangkan semuanya itu. Aku mencari ketenangan batin lebih dahulu di padepokanku barang satu dua bulan. Aku akan segera memberitahukan apa yang akan aku lakukan."
"Kau memerlukan waktu begitu lama untuk menentukan sikap?" bertanya ibunya.
"Aku sudah berada di padepokan itu bertahun-tahun. Satu dua bulan tentu tidak banyak berarti dari berbilang tahun itu." jawab Risang.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Terasa sesuatu menyumbat tenggorokannya. Sedangkan sudut-sudut matanya terasa menjadi panas.
"Baiklah Risang," berkata Kiai Badra, "kita akan kembali ke padepokan itu. Dalam waktu satu dua bulan, maka kita akan kembali ke Tanah Perdikan ini, meskipun barangkali kita masih perlu hilir mudik."
Jawaban kakeknya itu sedikit mengendapkan gejolak perasaan Risang. Sementara itu Kiai Badrapun tidak melihat sikap lain yang lebih baik dari kesempatan itu. Jika mereka berkeras untuk memaksa Risang menentukan sikapnya segera, maka sikap itu mungkin justru tidak dikehendaki oleh ibunya.
Iswaripun tidak dapat mencegahnya lagi. Karena itu, maka katanya, "Risang. Rasa-rasanya kali ini terlalu berat untuk melepaskanmu. Tetapi jika itu sudah menjadi kebulatan niatmu, maka ibu tidak akan dapat mencegahnya. Namun ibu minta, agar kau dapat mengerti keadaan ibumu lahir dan batinnya. Ibu berharap agar kau benar-benar mampu menjunjung tinggi nama keluargamu. Ibu yang sudah terlanjur melangkah, tentu tidak akan mungkin surut. Semua mata telah terlanjur memandang ke arahku. Sebagai seorang perempuan aku telah melakukan banyak kelainan dari kebanyakan perempuan. Sama sekali bukan untuk seorang laki-laki. Tetapi untuk Tanah Perdikan ini."
Wajah Risang menjadi semakin tunduk, meskipun dari sela-sela bibirnya terdengar jawabnya, "Aku mengerti ibu."
Ternyata pembicaraan itu tidak berkepanjangan. Iswaripun kemudian telah meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam biliknya. Yang nampak kemudian sama sekali bukan seorang Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang garang di pertempuran melawan orang-orang yang berniat mengambil alih pimpinan di Tanah Perdikan itu untuk tujuan yang sesat. Tetapi benar-benar seorang ibu yang memikirkan sikap anak laki-laki satu-satunya.
Risangpun telah memasuki biliknya pula. Terasa dadanya bagaikan bergejolak. Memang ada pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan meninggalkan ibunya dengan hati yang pedih atau ia akan tetap tinggal di Tanah Perdikan sebagaimana dikehendaki oleh ibunya, namun dengan perasaan yang tidak mapan.
Ternyata hampir semalam suntuk Risang tidak dapat tidur. Baru menjelang dini hari, ia tertidur hanya sesaat.
Tetapi hari itu Risang tidak berminat untuk berbuat apa-apa. Tetapi ia lebih banyak bersiap-siap, karena di keesokan harinya, Risang akan menuju ke padepokan kecilnya.
Niatnya telah bulat untuk kembali ke padepokannya. Setidak-tidaknya untuk sementara.
Karena ketika ia datang, ia menempuh perjalanan bersama dengan Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka esok hari Risang juga akan menempuh perjalanan bersama Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. telah bersiap-siap pula. Mereka sudah mendapat perintah dari Iswari untuk mengantar Risang esok pagi menuju ke Kademangan Bibis, bukan saja sekedar dalam perjalanan, tetapi juga untuk berada di padepokan itu. Mereka diperintahkan untuk menunggu dan pada saatnya kembali bersama-sama dengan Risang pula.
Sementara itu, di hari terakhir Risang berada di Tanah Perdikan, ketiga kakek dan neneknya telah memberikan beberapa petunjuk yang sangat berharga tentang ilmunya. Ketiga orang kakek dan neneknya telah memberikan petunjuk bagaimana Risang harus tetap memelihara pembagian waktu yang baik untuk berlatih.
Ibunya sendiri justru tidak terlalu banyak berpesan. Ibunya hanya selalu berharap agar Risang segera kembali lagi ke Tanah Perdikan itu.
"Risang," berkata ibunya, "satu-satunya keinginanku sekarang adalah, bahwa kau ada disini. Kau sudah cukup kuat untuk melindungi dirimu sendiri, sehingga kau tidak perlu lagi berada di tempat yang jauh di tepi Kali Lorog itu."
"Aku akan selalu memikirkannya ibu." jawab Risang. Lalu katanya, "Yang perlu aku lakukan adalah mempersiapkan diri untuk tinggal di Tanah Perdikan ini."
Ibunya mengangguk kecil. Namun iapun telah mempersiapkan bekal bagi anaknya. Bukan saja uang dan beberapa kitab yang memuat berbagai macam ceritera yang dapat memberikan tuntunan kepada anaknya tentang jalan kehidupan tetapi juga harapan agar anak itu segera kembali.
Kepada Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung, Iswari dan ketiga orang tua di Tanah Perdikan itu berpesan, agar mereka selalu mengawasi Risang. Terutama saat-saat ia berlatih, agar Risang tetap dapat memelihara keseimbangan pada dirinya. Merekapun telah dipesan untuk menjaga agar Risang dapat membagi waktunya dengan baik.
"Kami akan berbuat sejauh dapat kami lakukan," jawab Gandar.
Demikianlah, di hari berikutnya, menjelang dini, keempat orang itu telah siap untuk berangkat. Setelah makan pagi maka mereka telah minta diri.
"Hati-hatilah di perjalanan Risang," pesan ibunya dengan suara yang dalam.
Risang mengangguk. Katanya dengan nada rendah, "Aku mohon doa restu ibu, kakek dan nenek. Semoga aku tidak saja mendapat perlindungan oleh Yang Maha Agung, tetapi juga mendapatkan terang di hati."
Demikianlah sebelum matahari terbit, mereka telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan menuju ke sebuah padepokan kecil di Kademangan Bibis, dekat Kali Lorog. Satu perjalanan yang cukup panjang.
Pada bagian pertama dari perjalanan mereka, ternyata mereka tidak mendapat hambatan. Kuda-kuda mereka laju di jalan-jalan bulak, di antara hijaunya tanaman di sawah. Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Memang ada beberapa orang yang tertarik kepada empat orang penunggang kuda. Namun karena tidak terdapat tanda-tanda yang khusus, maka orang-orang yang melihat mereka dengan cepat telah melupakannya.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi dan panasnya bagaikan menyengat tengkuk, keempat orang itu sepakat untuk beristirahat sejenak di sebuah kedai sekedar menghilangkan haus serta memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat.
Karena itu, maka mereka telah memilih sebuah kedai yang memberikan tempat bagi kuda-kuda mereka dan nampaknya memang menyediakan makan dan minum bagi kuda-kuda mereka yang kebetulan singgah di kedai itu. Memang satu pelayanan khusus. Tetapi dengan demikian akan dapat menambah jumlah orang yang singgah di kedai itu. Terutama orang-orang yang menempuh perjalanan jauh dengan berkuda.
Di kedai itu, Risang dan ketiga orang yang menempuh perjalanan bersamanya itu dapat menghirup minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, sementara kuda merekapun dapat beristirahat sambil minum air segar dan rerumputan yang hijau.
Ketika mereka memasuki kedai itu, tiga orang telah berada di dalamnya. Tetapi nampaknya ketiga orang itu sama sekali tidak menghiraukan kehadiran mereka berempat.
Namun sejenak kemudian, beberapa orang telah datang lagi memasuki kedai itu. Nampaknya mereka adalah kawan-kawan dari ketiga orang yang telah berada di kedai itu lebih dahulu.
Dengan demikian maka kedai itupun menjadi riuh. Mereka berbicara dengan bahasa yang agak kasar dan suara yang keras. Sekali-sekali terdengar umpatan yang menggelitik telinga.
Namun seperti orang-orang itu, maka keempat orang itupun tidak menghiraukan mereka. Risang, Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung, sambil menunduk telah menikmati minuman dan makanan yang mereka pesan. Jika sekali-sekali mereka berbicara, maka mereka berbicara perlahan-lahan saja.
Tetapi yang tidak mereka duga adalah, bahwa tiba-tiba saja seorang di antara orang-orang yang ada di dalam kedai itu telah memperhatikan Risang. Semakin lama semakin bersungguh-sungguh. Bahkan tiba-tiba saja ia melangkah mendekati sambil berkata, "He, anak muda. Lihat aku."
Risang yang tidak berprasangka apapun telah mengangkat wajahnya memandang orang itu dengan heran. Sementara orang itu hampir berteriak berkata, "Inilah salah seorang dari mereka yang kita cari. Ini adalah anak mereka. Jika kita dapat menangkap anak ini, kita akan memaksa kedua orang tuanya untuk menyerah."
Orang-orang yang ada di kedai itu segera berloncatan mengerumuni Risang dan ketiga orang yang bersamanya dalam perjalanan. Dengan kerut di dahi Gandar bangkit berdiri sambil bertanya, "Siapakah yang kau maksud?"
"Anak muda ini. Kami memerlukannya. Adalah satu kebetulan bahwa kita dapat bertemu disini. Kami sama sekali tidak menduga, bahwa kami akan menemukannya begitu cepat." jawab orang itu.
"Aku tidak tahu yang kau maksudkan," jawab Gandar, "nampaknya terjadi kesalah-pahaman. Apakah kau mengenal anak ini?"
"Tentu," jawab orang itu, "kau tidak usah berpura-pura. Kami mencarinya sampai ke sudut bumi. Dan kini, kami telah menemukannya. Dengan menangkap anak itu, maka kami akan dapat memaksa kedua orang tuanya untuk menyerah tanpa perlawanan."
"Anak ini sudah tidak mempunyai orang tua lengkap," jawab Gandar, "anak muda ini sudah tidak berayah."
Orang itu tiba-tiba saja tertawa berkepanjangan. Katanya, "Semua orang tahu bahwa ayahnya telah mati. Yang aku maksud dengan orang tuanya yang sekarang adalah ibunya dan laki-laki yang berlaku sebagai suaminya itu. Aku tidak tahu, apakah keduanya telah menikah atau belum. Tetapi keduanya kini dikenal sebagai suami istri."
Wajah Risang menjadi merah. Dengan nada keras ia berkata, "Jaga mulutmu Ki Sanak. Kita tidak mempunyai persoalan. Jangan mengungkit masalah disini."
Orang itu telah tertawa lagi. Sementara kawannya yang tidak sabar menunggu telah mendesaknya, "Siapa anak itu?"
"Anak inilah yang bernama Puguh. Anak Warsi." jawab orang itu.
Semua orang terkejut. Kawan-kawan dari orang yang menyebut nama Puguh itu terkejut. Mereka memang tidak mengira, bahwa mereka akan segera menemukan anak yang mereka cari kemana-mana di samping mencari kedua orang tuanya.
Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Risang, Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung. Bahkan hampir tanpa disadarinya Risang berteriak, "Kau gila. Kau kira aku Puguh. Aku bukan Puguh."
Namun dengan cepat Sambi Wulung menyahut, "Kami tidak mengenal anak yang bernama Puguh. Kami tidak mempunyai sangkut paut. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mempunyai persoalan dengan kalian. Apalagi dalam hubungan dengan nama yang kau sebut, Warsi."
Tetapi orang itu menyahut, "Tentu kau tidak akan mengaku. Tetapi aku tidak akan salah lagi. Aku pernah mengenali wajah anak muda yang bernama Puguh itu. Anak Warsi yang lahir karena perkawinannya dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, namun yang kemudian tersingkir dan hidup dalam petualangan bersama ibunya dan laki-laki yang disangka ayahnya. Rangga Gupita."
"Tutup mulutmu," bentak Risang.
Tetapi orang itu justru tertawa lagi dan berkata, "Nah, kau tidak akan dapat ingkar lagi."
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Namun mereka yang telah pernah mengenal Puguh itu di luar sadarnya telah memperhatikan wajah Risang. Mereka tidak pernah memperhatikan sebelumnya. Namun ternyata keduanya memang mirip. Keduanya memiliki kemiripan dengan ayah mereka.
"Memang tidak mustahil keduanya sangat mirip," berkata keduanya di dalam hatinya, "keduanya memiliki ayah yang sama. Ibu yang sama-sama cantik meskipun dengan watak yang berbeda."
Ternyata orang yang menyangka bahwa ia telah bertemu dengan Puguh itu merasa yakin. Karena itu, maka katanya, "Puguh. Sebaiknya kau menyerah saja. Kami akan memperlakukan kau dengan baik. Yang kami perlukan adalah kedua orang tuamu. Jika kami menangkapmu adalah semata-mata sebagai satu cara untuk memaksa kedua orang tuamu menyerah. Jika kami sudah mendapatkan keduanya, maka kau tentu akan kami lepaskan."
"Cukup," Risang benar-benar berteriak. Justru karena ia sudah mengetahui dengan pasti, siapakah Puguh itu, maka kemarahannya bagaikan telah membakar jantungnya.
Yang kemudian berbicara adalah Gandar, "Ki Sanak. Cobalah kau perhatikan sekali lagi anak itu. Kau tentu akan melihat bahwa anak itu sama sekali bukan Puguh. Bahkan nama itupun baru aku dengar kali ini. Karena itu, bagaimana mungkin kau dapat menyangka bahwa anak muda itu adalah anak muda yang kau cari."
Tetapi orang itu menjawab, "Ternyata kalian telah ingkar. Justru karena itu, maka persoalannya akan bertambah rumit bagi kalian. Jika kalian menyerah, maka kalian tidak akan mengalami kesulitan apa-apa."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah," berkata Jati Wulung yang tidak sabar, "kami menolak dugaan Ki Sanak. Anak muda itu bukan Puguh. Karena itu anak muda itu tidak mau diperlakukan seperti Puguh. Nah, lalu kalian mau apa" Kalian akan memaksa?"
"Kata-katamu seperti api yang menyentuh telingaku," berkata orang itu, "aku mencoba untuk menyelesaikan persoalan di antara kita dengan baik. Tetapi kau telah menyakiti hatiku."
"Ki Sanak," Jati Wulung justru melangkah mendekat, "kau harus menyadari bahwa kau telah menyudutkan kami meskipun kami sudah berusaha untuk memberikan penjelasan. Kau harus memperhatikan anak itu tidak hanya sekali lagi. Tetapi berulang kali. Atau barangkali kaupun belum begitu jelas terhadap anak muda yang kau sebut bernama Puguh itu, sehingga kau begitu saja menyangka anak itu Puguh."
Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang belum begitu jelas atas anak muda yang bernama Puguh itu meskipun ia memang pernah melihatnya di padepokan Ki Rangga pada suatu saat, ketika ia belum tergabung dalam kelompoknya yang sekarang. Memang sudah agak lama.
Sejenak orang itu memang mencoba memperhatikan wajah Risang. Untuk sesaat ia memang ragu-ragu. Tetapi ketika ia memperhatikan hidung Risang, maka sekali lagi orang itu berkata, "Aku yakin. Anak itu adalah Puguh. Hidungnya aku tidak akan pernah melupakannya. Mancung di bawah alisnya yang nampak tebal di umurnya yang masih sangat muda. Sorot matanya menunjukkan kecerdasan otaknya dan segala-galanya telah meyakinkan aku, bahwa anak muda itu adalah Puguh."
"Kau dengar suaranya?" bertanya Jati Wulung, karena Jati Wulung tahu pasti bahwa suara Puguh berbeda dengan suara Risang. Demikian pula caranya berbicara dan pilihan kata-katanya.
Namun orang itu menjawab, "Ya. Suaranya itu adalah suara Puguh."
"Persetan," Jati Wulung menjadi marah, "apakah kalian sengaja memancing persoalan" Jika demikian, maka kalian tidak usah menyebut-nyebut nama lain. Berterus-teranglah bahwa kalian memang ingin merampok kami. Tetapi itupun tidak akan memberikan kepuasan kepadamu, karena kami tidak membawa harta benda yang pantas untuk dirampok."
Orang itulah yang kemudian menjadi sangat marah. Dengan nada keras ia berkata, "Kami bukan perampok. Untuk apa kami merampok pengembara seperti kalian" Kami tentu lebih kaya dari kalian yang tidak mempunyai papan dunung, karena padepokan kalian telah menjadi abu."
"Cukup," potong Jati Wulung, "jika kalian sekedar ingin berkelahi, kita akan berkelahi meskipun tanpa sebab. Mungkin kalian sudah beberapa hari tidak membunuh orang, sehingga tangan kalian sudah menjadi gatal. Sekarang kalian telah mencari alasan untuk berkelahi dan membunuh. Tetapi kamipun sudah beberapa hari tidak membunuh orang. Tangan-tangan kamipun sudah gatal, sehingga kebetulan sekali jika kalian memberi kesempatan kepada kami untuk membunuh."
"Iblis kau," bentak orang itu, "kau memang benar-benar ingin mati. Tetapi ingat, aku akan menangkap anak itu hidup-hidup. Aku tidak akan memberi kesempatan kepadanya untuk membunuh diri sekali pun."
"Bagus," jawab Jati Wulung, "kita akan berkelahi di luar. Kita tidak ingin merugikan pemilik kedai ini."
"Agar kau dapat melarikan diri?" bertanya orang itu.
Jati Wulung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar diikuti oleh Risang, Gandar dan Sambi Wulung. Kemudian orang-orang yang ada di kedai itu.
Ketika mereka sudah berada di halaman di samping kedai itu, pemimpin dari sekelompok orang itu berbisik di telinga orang yang merasa dapat mengenali Puguh itu, "Tetapi bukankah kau tidak salah?"
"Tidak Ki Lurah. Aku yakin. Anak itulah yang bernama Puguh. Anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan." jawab orang itu.
Pemimpin sekelompok orang, itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja bergumam, "Tetapi orang-orang itu nampaknya meyakinkan bahwa anak muda itu memang bukan yang kita cari."
"Ah. Tentu mereka akan ingkar karena mereka tahu akibatnya," berkata orang itu.
"Tetapi jika mereka memang berani menghadapi kita, untuk apa mereka ingkar" Akhirnya kita juga akan bertempur," desis pemimpinnya.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia berkata, "Tetapi aku tidak mungkin salah. Aku sudah mengenalinya."
"Tetapi bukankah sudah cukup lama" Apalagi ketika anak itu masih lebih kecil."
"Belum terlalu lama. Ki Lurah aku mohon yakin akan pengenalanku atas seseorang," berkata orang itu dengan sungguh-sungguh.
Pemimpin sekelompok orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ialah yang kemudian berdiri di paling depan dari para pengikutnya yang ternyata semua berjumlah sepuluh orang.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "aku hanya ingin mengulangi apa yang dikatakan oleh orangku tadi. Jika Puguh menyerah, maka kalian tidak akan mengalami kesulitan apa-apa. Kami akan memperlakukan kalian dengan baik. Bahkan kami akan melepaskan kalian bertiga untuk menyampaikan pesan kami kepada Ki Rangga Gupita dan Warsi. Jika mereka kemudian bersedia datang, maka Puguh itupun akan kami lepaskan pula." orang itu berhenti sejenak, lalu, "sedangkan terhadap Ki Rangga dan Warsipun kami tidak akan berbuat kasar. Kami hanya ingin berbicara tentang masa depan. Tentang pembagian tugas dan wewenang kami masing-masing. Itu saja. Tetapi kedua orang tuamu itu selalu menghindari kami. Bahkan melawan keinginan kami sebagaimana kalian lakukan sekarang."
Namun tiba-tiba saja Sambil Wulung bertanya, "Siapakah kalian sebenarnya?"
"Seandainya kami menyebut nama dan kedudukan kami, maka kalian juga tidak akan mengerti," jawab orang itu, "karena itu biarlah kami bertemu langsung dengan orang tua anak muda itu. Biarlah aku membawa anak itu dan kalian bertiga memberikan pesan kami kepada kedua orang tuanya agar mereka datang kepada kami."
"Mengerti atau tidak mengerti, tetapi sebutkan, siapakah kalian yang sebenarnya. Kemudian kami akan mempertimbangkan kemungkinan yang paling baik untuk kami lakukan." sahut Sambi Wulung.
Risang termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia tidak ingin berlama-lama. Namun ia belum tahu maksud Sambi Wulung sehingga ia masih juga menunggu.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Itu tidak perlu."
Namun Sambi Wulunglah yang kemudian bertanya, "Apakah kalian anak kadang atau orang yang pernah dirugikan oleh orang-orang yang kalian cari itu."
"Sudahlah," jawab orang itu, "Jangan terlalu banyak ingin mengerti. Semuanya itu tidak akan berguna sama sekali bagimu. Yang penting, serahkan saja Puguh itu kepada kami. Semuanya akan segera selesai dengan baik."
Sambi Wulung menggeleng pula. Katanya, "Tidak ada anak muda bernama Puguh disini."
Pemimpin dari sekelompok orang itu telah kehilangan kesabaran pula. Karena itu, maka iapun telah berkata dengan lantang, "Kalian tidak mempunyai pilihan. Puguh tentu akan jatuh ke tanganku. Jika kalian menyerahkannya dengan baik, maka tiga orang yang lain akan selamat. Tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan mati."
"Ada dua pilihan bagi kalian," Jati Wulunglah yang menjawab, "Jika kalian urungkan niat kalian, maka kalian akan selamat. Tetapi jika kalian memaksa, maka kalian akan mati disini."
Jawaban Jati Wulung itu benar-benar tidak dapat diterima oleh orang-orang itu. Mereka benar-benar tidak dapat mengendalikan diri lagi, sehingga tanpa perintahpun sepuluh orang itu mulai bergerak. Apalagi ketika pimpinannya berkata, "Tangkap anak itu. Jika yang lain tetap melawan, bunuh mereka tanpa ampun."
Namun sebelum perintah itu selesai, maka Jati Wulung telah meloncat menyerang lebih dahulu. Satu sikap yang tidak diduga sebelumnya, sehingga karena itu, maka serangannya telah mengenai salah seorang di antara mereka.
Demikian kerasnya serangan kaki Jati Wulung itu, maka orang yang dikenainya telah jatuh berguling di tanah. Hampir saja menimpa seorang kawannya yang lain yang sempat bergeser selangkah, namun gagal berusaha menangkap kawannya yang terjatuh itu.
Orang yang terjatuh itu dengan cepat melenting berdiri sambil mengumpat. Namun punggungnya terasa menjadi sakit.
Pertempuran dengan cepat telah terjadi antara kedua kelompok yang jumlahnya tidak seimbang itu. Tetapi seperti Jati Wulung, Maka Risangpun telah dengan tiba-tiba menyerang seorang di antara mereka. Meskipun orang itu tidak terjatuh, tetapi Risang telah berhasil menyakitinya, meskipun tidak banyak berpengaruh.
Sepuluh orang itupun kemudian telah memecah diri. Jati Wulung dan Gandar masing-masing harus melawan tiga orang, sedang Sambi Wulung bertempur melawan dua orang. Pemimpin kelompok itu telah menempatkan diri berhadapan dengan Risang dibantu oleh seorang kawannya yang merasa pernah mengenal Puguh. Mereka berusaha untuk menangkap Risang hidup-hidup. Bagi mereka Risang yang dikiranya Puguh itu akan sangat berarti jika dapat ditangkap hidup-hidup.
Jati Wulung yang marah itu segera bergeser ke tempat yang lebih luas. Demikian pula Gandar yang masing-masing harus menghadapi tiga orang lawan. Di tempat yang lebih luas, mereka mendapat kesempatan untuk bergerak lebih leluasa.
Sementara itu, pemilik kedai itu seakan-akan telah kehilangan kekuatannya. Ia justru terduduk dengan gemetar dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Seorang pembantunya pun telah menjadi sangat ketakutan sehingga rasa-rasanya menjadi hampir pingsan.
Sementara itu, pemimpin sekelompok orang yang ingin menangkap Risang itu berusaha untuk dapat menguasai anak muda itu tanpa melukainya. Dengan bergerak cepat ia menyerang dengan garangnya, sementara kawannya berusaha untuk mengimbangi gerak pemimpin kelompoknya itu. Iapun berusaha melakukan sebagaimana dilakukan oleh pemimpinnya. Menangkap Risang hidup-hidup.
Tetapi Risang terlalu tangkas untuk dapat ditangkap. Apalagi Risang tidak merasa perlu untuk menjaga agar tidak melukai lawannya. Sehingga dengan demikian, maka iapun telah berloncatan dengan cepat. Sekali menghindari jangkauan tangan lawannya, namun tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang.
Pemimpin kelompok yang ingin menangkapnya itu memang terkejut. Anak muda itu mampu bergerak sangat cepat. Berloncatan dari satu lawan ke lawan lainnya. Serangannyapun terasa sangat berbahaya.
Sementara itu Jati Wulung yang marah telah bertempur dengan garang pula. Tetapi lawan-lawannyapun merasa sangat marah kepadanya. Jati Wulung dianggap telah menghina mereka, sekelompok orang yang dibekali dengan kemampuan olah kanuragan yang tinggi.
Tetapi merekapun tidak dapat mengingkari kenyataan. Lawannya itu ternyata seorang yang berilmu. Tiga orang di antara mereka tidak segera dapat mengatasinya, apalagi menguasainya. Bahkan sekali-sekali serangan Jati Wulung justru telah mulai menyentuh tubuh mereka.
Dengan demikian kemarahan ketiga orang itupun semakin menyala. Selapis demi selapis mereka meningkatkan kemampuan mereka, sejalan dengan pemanasan yang terjadi di urat-urat darah mereka. Ketika darah mereka semakin bergejolak dan tubuh mereka mulai berkeringat, maka ketiga orang itupun menjadi semakin garang.
Jati Wulung menyadari bahwa ia harus menjadi sangat berhati-hati ketika ia melihat bahwa ketiga orang itu ternyata adalah saudara seperguruan. Mereka mampu saling mengisi, menunjukkan ciri-ciri unsur gerak yang serupa dan kemampuan mereka luluh dalam satu gerakan yang sangat berbahaya.
Dengan demikian, yang mereka hadapi bukan sekedar satu kelompok orang yang berkumpul karena berbagai macam alasan, mungkin karena tujuan mereka yang bersamaan, mungkin karena upah atau mungkin karena kepentingan-kepentingan yang lain, tetapi nampaknya sudah menyangkut sebuah perguruan. Ikatan pada sebuah perguruan biasanya jauh lebih erat daripada ikatan sekelompok orang yang berkumpul karena alasan lain.
Dalam satu kesempatan Jati Wulung telah melihat, bahwa yang bertempur melawan Gandarpun ternyata mempunyai ciri-ciri yang sama dengan orang-orang yang bertempur melawannya. Namun mereka yang bertempur melawan Risang justru belum nampak kesamaannya dengan orang-orang yang lain. Mungkin dengan sengaja orang itu menyembunyikan ciri-ciri perguruannya, atau karena sebab yang lain. Atau mungkin juga karena ia tidak sempat mengamati dengan cermat, karena ia harus bertempur melawan tiga orang.
Namun semakin lama tekanan ketiga orang lawannya itupun terasa semakin berat bagi Jati Wulung. Tetapi Jati Wulung masih belum sampai ke puncak kemampuannya. Ia masih belum merambah ke ilmunya yang tertinggi. Meskipun demikian, sebagaimana lawan-lawannya, maka setingkat demi setingkat Jati Wulung pun telah meningkatkan ilmunya pula.
Gandar yang memiliki kekuatan yang sangat besar, mula-mula bertumpu pada kekuatannya. Tetapi ternyata lawan-lawannya bukan saja memiliki kekuatan yang besar pula, namun juga mampu bergerak cepat, sehingga Gandar harus memperhatikannya dengan saksama.
Namun seperti Jati Wulung, maka Gandarpun segera menyadari bahwa ia berhadapan dengan sebuah perguruan. Bukan sekedar sekelompok orang yang bekerja bersama di bawah satu perintah. Atau bahwa sebuah perguruan yang bekerja bersama dengan pihak-pihak tertentu untuk satu kepentingan.
Lepas dari kepentingan mereka, maka berhadapan dengan tiga orang dari satu perguruan memang lebih sulit daripada berhadapan dengan tiga orang yang mempunyai landasan ilmu yang berbeda di tataran yang setingkat.
Orang-orang dari satu perguruan akan mampu bekerja bersama lebih baik dan dengan cepat akan dapat saling mengisi kekurangan-kekurangan mereka di medan daripada orang-orang yang berbeda alas kemampuannya.
Seperti Jati Wulung, maka Gandarpun harus meningkatkan kemampuannya pula. Ternyata ketiga orang itupun dapat bergerak cepat dan menyerang bergantian dari arah yang berbeda-beda.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Sambi Wulung harus bertempur menghadapi dua orang. Semula Sambi Wulung merasa beruntung, bahwa ia tidak harus bekerja keras sebagaimana Jati Wulung dan Gandar. Namun ternyata kemudian, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Seorang di antara mereka sempat memperkenalkan diri. Katanya, "Ki Sanak. Nasibmu memang kurang baik. Kau telah bertemu dengan Sepasang Elang Randu Alas. Atau barangkali kau memang pernah mendengar nama Sepasang Elang itu?"
Sambi Wulung menggeleng. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Aku belum pernah mendengarnya. Siapakah nama kalian" Barangkali nama kalian lebih besar dari gelar kalian?"
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Namaku tidak berarti apa-apa. Di seluruh negeri ini pernah mendengar gelarku, tetapi jarang sekali yang pernah mendengar namaku."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Sayang, bahwa aku termasuk perkecualian dari orang-orang di seluruh tanah ini."
"Mungkin saja orang belum pernah mendengar gelarku. Orang yang tidak mengenal riuhnya dunia kanuragan. Juga orang-orang perempuan yang sibuk bekerja di dapur." sahut orang itu.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Meskipun aku laki-laki, tetapi kepandaianku bekerja di dapur melampaui seorang perempuan. Aku pandai masak jenis apapun dengan bahan apapun. Bahkan daging elang yang dianggap tidak enak itu, dapat aku masak menjadi lebih enak dari daging ayam, meskipun aku harus merendamnya dalam landa merang selama sehari-semalam."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka agaknya masih sempat menahan diri. Seorang yang lainlah yang kemudian berkata, "Kau memang seorang yang berani Ki Sanak, meskipun harus dibedakan antara berani dan berilmu tinggi."
"Tepat," jawab Sambi Wulung, "juga antara orang yang banyak dikenal dengan orang yang memiliki kelebihan."
Yang tertua di antara kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Elang itupun berkata, "Baiklah. Nampaknya kau benar-benar sudah siap menghadapi kematian. Kau telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadamu untuk menyerahkan anak itu."
"Bagaimana kami dapat menyerahkan anak muda yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang kalian hadapi. Bagaimana aku harus menyerahkan anak muda itu sebagai anak muda yang bernama Puguh, sementara kami sama sekali tidak pernah mengenalnya." jawab Sambi Wulung.
"Dan sekarang perintah sudah jatuh. Kalian harus dibunuh," berkata yang muda di antara kedua orang itu.
"Sudah tentu aku akan membela diri. Jika kalian benar-benar akan membunuhku, maka akupun akan benar-benar membunuh kalian." jawab Sambi Wulung.
"Kau memang terlalu sombong," geram yang tua. "Tidak ada kesempatan bagimu untuk hidup. Betapa tinggi ilmumu, jika kau sudah berhadapan dengan Sepasang Elang Randu Alas, maka kau tidak akan berarti apa-apa lagi."
Sambi Wulung tidak menjawab. Ia telah menjadi muak mendengar kesombongan kedua orang itu. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas, maka Sambi Wulung tidak akan merendahkan lawan-lawannya. Meskipun gelar yang dibanggakan itu belum pernah didengarnya tetapi bukan mustahil bahwa keduanya memang orang-orang berilmu tinggi.
Karena itu, maka pertempuran di antara merekapun telah menyala lagi. Dengan cepat berkobar lebih dahsyat dari sebelumnya. Sepasang Elang itu telah benar-benar berusaha untuk melumpuhkan pertahanan Sambi Wulung. Keduanya menyerang beruntun tanpa henti-hentinya, seperti debur ombak yang beruntun menghantam tebing.
Tetapi Sambi Wulung ternyata tidak mudah ditundukkan. Dengan tangkas ia berloncatan kian kemari. Menyilang di antara kedua orang itu. Namun kemudian melenting mengambil satu arah. Sekali-sekali menyerang dengan kaki. Namun tiba-tiba tangannya terayun mendatar ke arah kening.
Semakin lama kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Elang itu bergerak semakin cepat. Mereka bagaikan berterbangan mengitari Sambi Wulung. Sekali-sekali menukik menyambar lawannya. Tangannya bagaikan kuku-kuku cakar Elang yang tajam. Namun Sambi Wulung dengan tangkas selalu berhasil menghindarinya. Iapun berloncatan dengan cepat dan langkah-langkahnya menjadi panjang. Bahkan kemudian kakinya seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah.
"Anak iblis," geram Elang yang tua, "dari mana kau mewarisi kemampuan seperti itu?"
Sambi Wulung sama sekali tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ketika Elang yang muda menyambarnya dengan jari-jarinya yang mengembang, maka Sambi Wulung sempat bergeser ke samping sambil merendahkan dirinya. Kuku-kuku yang siap mengajak wajahnya itu terayun setapak di atas kepalanya. Namun sambil merendahkan diri, Sambi Wulung telah mengayunkan kedua kakinya dan bertumpu pada kedua tangannya.
Satu serangan yang sangat tiba-tiba dan tidak terduga. Karena itu, maka Elang yang muda itu bagaikan terhempas dan terlempar beberapa langkah. Dengan susah payah ia berusaha mempertahankan keseimbangan dengan mengembangkan kedua tangannya. Meskipun ia berhasil tetap berdiri, namun Elang yang muda itu harus menyeringai menahan sakit. Rasa-rasanya tulang iganya bagaikan retak.
Yang terdengar adalah suara Elang itu mengerang. Tetapi semakin lama semakin keras. Yang kemudian terdengar bukan lagi erang kesakitan, tetapi teriakan marah yang menggetarkan jantung.
Sambi Wulung mula-mula menganggap bahwa teriakan yang semakin keras itu hanya menyakiti telinganya saja. Namun semakin lama iapun semakin menyadari, bahwa suara itu telah dilontarkan dengan landasan ilmu. Suara yang mirip dengan suara seekor burung Elang yang marah itu semakin lama menjadi semakin keras.
Sambi Wulung yang telah memiliki sebangsal pengalaman itupun segera mengerahkan daya tahannya untuk menjaga agar isi dadanya tidak rontok karenanya.
Namun sekali ia berusaha mengatasi kesulitan di dadanya, maka Elang yang tuapun telah menyambarnya. Hampir saja ayunan tangan Elang itu menyambar keningnya. Tidak dengan jari-jari yang mengembang, tetapi terbuka dan merapat. Namun ketika serangan itu tidak menyentuh sasarannya, maka Elang yang tua itu telah berputar dan sekali lagi menyambar. Namun yang terakhir itu telah dilakukannya dengan jari-jari yang mengambang.
Sambi Wulung meloncat menghindar, sementara itu ia harus mengatasi serangan suara yang dilontarkan oleh Elang yang muda.
Tetapi sambi Wulung tidak membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran serangan kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Elang Randu Alas itu. Ketika itu merasa mulai terdesak, maka Sambi Wulungpun telah meningkatkan kemampuannya pula.
Dengan demikian maka Sambi Wulung itupun telah menjadi semakin garang. Serangannya menjadi cepat dan keras. Bahkan dengan perhitungan penalarannya, maka serangannya justru lebih banyak ditujukan kepada Elang yang muda, sehingga ia tidak mendapat kesempatan terlalu banyak untuk memusatkan serangannya lewat suaranya yang bergerak bagaikan memecahkan jantung.
Sejenak kemudian, maka pertempuran antara Sambi Wulung dengan Sepasang Elang itupun menjadi semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat dan semakin kuat. Sekali-sekali terdengar Elang yang muda itu masih saja berteriak, justru semakin keras.
Namun dengan demikian Sambi Wulung telah memperhatikan keadaan Risang pula. Nampaknya kelompok yang dikirim untuk mencari Puguh itu bukan asal saja menunjuk setiap orang di antara mereka. Tetapi di antara mereka terdapat orang-orang yang berilmu tinggi.
Tetapi Sambi Wulung tidak tahu, bahwa sebuah kelompok yang berhasil menemukan tempat persembunyian Ki Rangga dan Warsi telah gagal mengambil mereka, karena kehadiran Ki Ajar Paguhan dan Ki Randukeling.
Dengan demikian, maka Sambi Wulung itu sempat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan Risang. Meskipun Sambi Wulung yakin, bahwa Risang tidak akan dibunuh jika tidak terpaksa, tetapi anak itu akan dapat mengalami kesulitan dan bahkan mungkin akan dapat ditangkap. Jika dua orang di antara orang-orang itu memiliki ilmu yang tinggi, maka pemimpinnya tentu juga memiliki ilmu yang memadai.
Sebenarnyalah bahwa Risang mengalami banyak kesulitan. Meskipun ia sudah menjadi semakin tangkas, tetapi pemimpin kelompok itu memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, setiap kali Risang menjadi terdesak. Sedangkan lawannya yang seorang lagi, selalu berusaha memotong garis geraknya. Orang itu menjaga agar Risang tidak dapat melarikan diri.
Ketika Sambi Wulung sempat memperhatikan sekilas, maka ia memang menjadi cemas.
Sementara itu, iapun telah sempat melihat apa yang terjadi pada Jati Wulung dan Gandar. Ternyata bahwa orang-orang yang bertempur melawan kedua orang itupun termasuk orang yang berbekal ilmu. Bukan sekedar orang yang mampu bermain pedang atau jenis-jenis senjata yang lain.
Dengan demikian, maka Sambi Wulung harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapat kesempatan melindungi Risang. Jika tidak, maka Risang akan dapat dibawa oleh orang itu. Orang yang tidak diketahui sangkan parannya, sehingga mereka tidak akan mudah untuk dapat melacaknya.
Untunglah bahwa Risang telah memperdalam ilmunya dengan sungguh-sungguh. Karena itu, ia masih mampu memperpanjang waktu perlawanannya atas dua orang yang berusaha menangkapnya. Kecerdasan nalarnya telah memberinya isyarat, bahwa kedua orang itu untuk sementara tidak akan membunuhnya. Tetapi jika terpaksa agaknya hal itu akan dapat mereka lakukan.
Beberapa saat kemudian, maka pertempuran di halaman samping kedai itupun menjadi semakin sengit. Ternyata pertempuran itu memang menarik perhatian banyak orang. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka berani ikut campur setelah mereka melihat dari kejauhan, apa yang telah terjadi. Seorang yang memiliki sedikit pengetahuan dalam olah kanuragan, justru telah menjadi gemetar, karena ia tahu, betapa tinggi ilmu yang disaksikannya itu.
Dengan demikian maka mereka yang serba sedikit mengenal olah kanuragan, justru menjadi sangat cemas, bahwa akan terjadi pembantaian yang mengerikan. Salah satu pihak tentu akan jatuh korban.
Hanya orang-orang yang tidak tahu menahu tentang olah kanuragan sajalah yang justru berani lebih mendekat. Mereka ingin tahu apa yang telah terjadi di halaman sebelah kedai itu. Sementara itu, pemilik kedai itu sendiri bersama pembantunya telah lari lewat pintu samping.
"Siapa mereka?" bertanya salah seorang di antara mereka yang berani agak mendekat.
"Entahlah." jawab kawannya.
"Kasihan. Empat orang harus berkelahi melawan sepuluh orang," berkata orang yang pertama.
"Ya. Tetapi nampaknya mereka tidak segera dapat dikalahkan," sahut kawannya.
Yang pertama mengangguk-angguk. Ia mencoba memberikan pendapatnya tentang mereka yang bertempur meskipun sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.
"Yang masih muda itu luar biasa," desis orang itu, "ia mampu berloncatan kian kemari mengatasi serangan-serangan kedua lawannya."
"Yang mana?" bertanya kawannya.
"Itu, yang harus bertempur melawan dua orang"
"Tetapi ia sering berloncatan mundur. Berbeda dengan yang harus bertempur melawan tiga orang itu. Orang yang bertubuh kekar."
Orang yang pertama mengangguk-angguk. Ia memang melihat Gandar yang dengan tangkasnya melawan ketiga orang lawannya.
Namun sebenarnyalah bahwa Gandarpun harus bekerja keras untuk melindungi dirinya dari serangan-serangan yang datang beruntun dari tiga arah berturutan. Seakan-akan tidak ada waktu sama sekali baginya untuk membalas menyerang. Yang dilakukan hanyalah sekedar menangkis, menghindar dan melindungi dirinya.
Tetapi Gandar tidak membiarkan keadaan itu berlangsung terus-menerus. Karena itu, maka iapun segera menghentakkan dirinya ketika serangan berikutnya datang. Ia tidak berusaha menghindar atau menangkis serangan itu. Tetapi Gandar dengan sengaja telah membentur serangan itu dengan serangan pula.
Dengan demikian maka telah terjadi benturan yang keras. Gandar memang terguncang dan terdorong selangkah surut. Namun dengan tangkasnya Gandar telah meloncat, justru keluar dari garis serangan ketiga orang lawannya.
Lawan-lawannya memang tidak segera memburu. Mereka tengah memperhatikan seorang di antara mereka yang telah membentur Gandar yang dengan sengaja tidak menghindari serangan.
Orang itu bukan sekedar terguncang. Tetapi orang itu telah terlempar beberapa langkah surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya, maka orang itu telah terjatuh.
Kedua orang saudara seperguruannya telah mendekatinya dengan cepat. Mereka menolong saudaranya yang terjatuh itu untuk berdiri.
Orang yang terjatuh itu mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Punggungnya memang bagaikan retak.
Karena itu untuk beberapa saat ia memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaannya. Sementara itu, saudaranya yang lainlah yang telah bersiap-siap untuk melawan Gandar.
Sejenak kemudian Gandar telah bertempur lagi. Mula-mula ia hanya melawan dua orang. Ketika tumbuh niatnya untuk memanfaatkan keadaan itu, maka lawannya yang ketiga telah kembali memasuki arena. Dengan demikian maka Gandar telah kembali melawan tiga orang lawan. Tetapi seorang di antara mereka sudah tidak lagi setangkas semula. Meskipun demikian orang itu masih tetap merupakan orang yang sangat berbahaya.
Sementara Gandar masih sibuk dengan ketiga orang lawannya, maka Jati Wulung masih juga harus melayani tiga orang lawan. Seperti Gandar, maka Jati Wulung merasa bahwa tekanan-tekanan lawan semakin lama menjadi semakin berat.
Bahkan ketiga orang lawan Jati Wulung nampaknya secara bersama-sama telah mengetrapkan ilmu mereka yang sangat berbahaya.
Ketiga orang itupun dalam satu kesempatan telah berdiri mengepung Jati Wulung. Tangan mereka tiba-tiba telah melakukan gerakan-gerakan yang nampaknya memang rumit. Namun sejenak kemudian, kedua kakinya telah merenggang. Kaki kanan justru agak ditarik ke belakang.
Sejenak kemudian dalam sikap miring itu, mereka mulai bergerak mengelilingi Jati Wulung.
"Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya," berkata salah seorang di antara ketiga orang itu, "sebentar lagi kau akan mati digilas oleh kedahsyatan ilmuku ini."
Jati Wulung tidak menjawab. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kedua kakinya menjadi renggang. Ia agak merendah pada lututnya, kemudian kedua tangannya telah siap di dadanya. Kedua tangannya terbuka dengan jari-jari yang rapat.
Sementara itu, ketiga orang itu mengelilingi sambil menghentak-hentak tanah. Berderap semakin lama semakin cepat. Hentakkan yang dibarengi dengan gumam di mulut yang semakin lama juga menjadi semakin keras.
Jati Wulung termangu-mangu sesaat. Namun ia tidak mempunyai banyak waktu. Ternyata sejenak kemudian, ketiga orang yang seperti menjadi mabuk itu telah menyerang dengan garangnya. Seorang-seorang melenting dengan cepat susul-menyusul.
Jati Wulung yang memang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan tangkas pula telah menghindari setiap serangan. Namun serangan ketiga orang itu semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat. Setiap kali mereka kembali dalam putaran dan irama yang semakin cepat itu, serta gumam di mulut yang menjadi bagaikan teriakan-teriakan kasar.
Sementara itu, ketiga orang yang bertempur melawan Gandar telah melakukan hal yang sama pula. Mereka berdiri dalam satu lingkaran sambil berputar dengan menghentak-hentakkan kakinya serta mulutnya yang berteriak semakin keras.
Jati Wulung akhirnya tidak sekedar menunggu. Ketika putaran itu mulai lagi, maka Jati Wulunglah yang menyerang dengan cepat. Tetapi sasarannya cepat menghindar, sementara itu dua orang yang lain, telah meluncur membantu saudara seperguruannya dengan menyerang Jati Wulung.
Jati Wulung berhasil menghindari serangan orang yang pertama dengan bergeser menghindar. Namun serangan yang kedua, ternyata tidak dapat dihindarinya sepenuhnya. Serangan itu telah mengenai pundaknya sehingga Jati Wulung terguncang dan terdorong beberapa langkah surut.
Terasa tulangnya bagaikan retak. Sentuhan itu memang sakit sekali. Jauh melampaui sengatan pukulan dengan sepotong kayu sekalipun.
Sementara Jati Wulung berusaha mengatasi rasa sakit itu, maka ketiga orang itupun telah melingkarinya pula dengan hentakkan-hentakkan kaki dan teriakan yang membuatnya menjadi pening.
Akhirnya Jati Wulung tidak dapat membiarkan keadaan itu berlangsung terus-menerus, sehingga akhirnya ia kehilangan pengendalian diri oleh perasaan pening yang semakin menekan.
Karena itu, maka Jati Wulung telah mempergunakan kemampuan di antara ilmu yang dimilikinya.
Ketika saat yang dianggapnya baik itu datang, maka sekali lagi Jati Wulung menyerang salah seorang di antara ketiga orang itu. Ia sadar, bahwa dua orang yang lain akan membebaskannya dengan menyerang bersama-sama.
Sebenarnyalah seperti yang diperhitungkan oleh Jati Wulung, serangan dari kedua orang yang lain itu datang beruntun, sementara sasarannyapun mencoba untuk menghindar.
Namun Jati Wulung telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Jati Wulung dengan cepat menghindar, sementara serangan yang lain, sengaja tidak dihindarinya. Tetapi Jati Wulung telah membentur serangan itu dengan serangan pula.
Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa lawannya telah membentur serangannya. Sehingga justru karena itu, maka orang itu telah terpental beberapa langkah surut. Meskipun Jati Wulung juga berguncang, tetapi keadaannya tidak menjadi separah lawannya. Dalam benturan yang terjadi, Jati Wulung telah menghantam dada orang itu dengan telapak tangannya, sementara lambungnya sendiri merasa sakit sekali karena kaki lawannya yang dapat mengenainya dengan kekuatan yang berlipat dengan kekuatan kaki sewajarnya.
Tetapi Jati Wulungpun telah mempergunakan ilmunya pula. Telapak tangannya yang mengenai dada lawannya, bukan sekedar dorongan yang membuat lawannya terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi lawannya itupun kemudian menyeringai menahan sakit yang sangat. Rasa-rasanya dadanya bukan saja dikenai telapak tangan dalam benturan yang keras. Tetapi rasa-rasanya dadanya telah tersentuh api.
Ketika ia sempat menyaksikannya, ia terkejut bukan kepalang. Bajunya, bahkan kulitnya memang menjadi hangus. Di dadanya membekas kehitam-hitaman telapak tangan lawannya itu.
"Tapak Geni," geram orang itu. Kedua orang saudara seperguruannyapun tiba-tiba saja telah berhenti menghentak-hentak. Nampaknya mereka sangat memperhatikan keadaan saudaranya yang telah disentuh oleh kekuatan ilmu Jati Wulung.
"Iblis kau," orang yang telah dikenai sentuhan tangannya itu mengumpat, "dari mana kau mendapatkan ilmu seperti itu. Dan siapakah kau sebenarnya?"
"Sekali lagi aku peringatkan. Kita tidak mempunyai persoalan sama sekali. Aku masih memberimu kesempatan untuk pergi. Anak muda itu bukan anak muda yang kalian cari. Jika kalian mati dalam pertempuran ini, maka kematian kalian adalah kematian yang sia-sia. Karena itu aku minta agar sekali lagi kawanmu itu mengenali wajah anak muda itu. Apakah benar-benar ia orang yang dicarinya," berkata Jati Wulung.
"Persetan," geram orang itu, "bekas-bekas yang nampak pada mayat-mayat kawan-kawanku di Pajang ketika mereka gagal menangkap Ki Rangga dan Warsi mirip dengan bekas tanganmu meskipun nampaknya dengan alas ilmu yang berbeda. Tetapi kami mendengar bahwa saat itupun hadir orang-orang berilmu tinggi. Setidak-tidaknya menilik bekas pertempuran yang telah terjadi."
"Siapa yang ada di Pajang?" bertanya Jati Wulung.
"Kau memang iblis yang licik. Jangan berpura-pura lagi. Saat kematianmu telah datang." geram orang itu.
"Apakah artinya semuanya ini," desis Jati Wulung, "perkelahian yang tidak ada gunanya hanya karena salah paham. Tetapi jika terpaksa kami harus membunuh, apa boleh buat."
"Kau tidak perlu merajuk." geram orang itu.
"Baiklah. Tetapi siapakah kalian sebenarnya. Siapapun yang akan mati bukan soal lagi." bertanya Jati Wulung.
"Itu tidak perlu. Perguruanku terletak di tempat yang jauh. Tidak ada gunanya kau mengenalnya," jawab orang itu, "yang penting, kau akan mati. Anak itu akan menjadi tawanan kami."
Di luar dugaan Jati Wulung sempat memandang lingkaran pertempuran yang lain sejenak. Terutama Risang.
Jati Wulung memang menjadi berdebar-debar. Risang nampaknya mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri. Karena itu, maka seperti Sambi Wulung, maka Jati Wulungpun merasa bahwa ia harus mempercepat penyelesaian atas lawan-lawannya. Tetapi Jati Wulungpun sadar, bahwa hal seperti itu bukan hal yang mudah.
Karena itu, ketika lawannya masih akan berbicara lagi, Jati Wulung berkata, "Waktu kita tidak terlalu banyak. Disekeliling arena itu, orang semakin banyak berkerumun melihat perkelahian yang tidak punya arti apa-apa ini, selain sekedar keinginan untuk membunuh. Mungkin Bekel atau bahkan Demang dari tempat ini akan turut campur sehingga persoalannya menjadi berkepanjangan."
"Kita tidak perlu menghiraukan tikus-tikus kecil itu," desis lawannya.
Namun Jati Wulung telah benar-benar ingin mempercepat penyelesaian dari pertempuran itu, karena keadaan Risang yang menjadi gawat. Meskipun Jati Wulung juga berpikir bahwa Risang tidak akan dibunuh, tetapi jika ia tertangkap dan dibawa oleh lawannya itu, maka persoalannya akan menjadi sangat rumit.
Karena itu, maka Jati Wulunglah yang mulai bergerak. Dengan demikian maka ketiga orang lawannyapun telah bersiap pula. Namun Jati Wulung melihat, bahwa orang yang telah dikenai dadanya itu tidak lagi mampu bergerak sebagaimana kedua orang kawannya yang lain.
Sejenak kemudian maka pertempuranpun telah berlangsung kembali. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka untuk benar-benar membunuh lawannya.
Namun ketiga orang lawan Jati Wulung harus lebih berhati-hati, karena mereka tahu, bahwa telapak tangan Jati Wulung yang dilambari dengan ilmunya, mampu membakar tubuh mereka yang sempat disentuhnya.
Tetapi Jati Wulunglah yang kemudian menjadi semakin garang, karena keadaan Risang yang menjadi semakin gawat.
Gandarpun sempat melihat keadaan Risang yang semakin sulit. Karena itu, maka Gandarpun telah meningkatkan ilmunya pula. Kekuatannya bagaikan menjadi semakin besar dan bertumpu pada tangan dan kakinya. Dengan demikian, maka sentuhan tangan Gandar telah membuat tulang-tulang lawannya bagaikan berpatahan.
Sebenarnyalah kekuatan Gandar bukan sekedar kekuatan wadagnya. Tetapi ia benar-benar telah melampaui batas kemampuan wadagnya itu. Gandar yang kekar itu telah memasuki ilmunya yang tinggi, sehingga sentuhan tangannya bukan saja sentuhan tangan wajar. Demikian pula sentuhan kakinya. Getaran yang tersimpan di dalam dirinya, akan dapat dengan cepat dan dengan serta-merta langsung menyusup ke tubuh lawan sehingga menimbulkan getar asing di dalam diri mereka. Getar yang asing itulah yang kemudian akan mengganggu dan menyakiti lawannya, seakan-akan akibat pukulan Gandar dengan kekuatan yang sangat besar.
Baik Jati Wulung maupun Gandar perlahan-lahan telah mulai mendesak ketiga orang lawan masing-masing. Jati Wulung telah berhasil melukai lawannya yang lain. Bahkan seorang di antara mereka telah dilukainya di beberapa bagian tubuhnya. Dengan demikian maka perlawanan merekapun mulai menjadi semakin mengendor, meskipun sama sekali tidak terbersit niat yang demikian. Ketiga orang lawan Gandar dan tiga orang lawan Jati Wulung itu masih bertekad bulat untuk membunuh lawan-lawan mereka sebagaimana perintah pemimpinnya, karena orang-orang yang dianggap para pengawal Puguh itu tidak mau menyerah.
Tetapi mereka harus mengakui satu. kenyataan, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Di bagian lain, Sambi Wulungpun menjadi sangat cemas. Tetapi iapun tidak terlalu mudah untuk mengalahkan Sepasang Elang Randu Alas itu. Keduanya mampu bergerak cepat dan seakan-akan menyambar-nyambarnya dari segala arah. Sementara itu derak suara Elang yang muda di setiap kesempatan itupun telah membuat telinganya semakin pedih.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah berniat untuk mempergunakan ilmunya sebagaimana Jati Wulung. Agaknya Sambi Wulungpun berniat untuk mempergunakan kemampuannya sebagaimana dipergunakan oleh Jati Wulung. Namun kemampuannya yang paling berbahaya bagi musuh-musuhnya.
Sebagai saudara tua seperguruan, maka Sambi Wulung memang memiliki kelebihan dari Jati Wulung. Meskipun mereka sama-sama mempelajari ilmunya sampai tuntas, tetapi pengembangannya ternyata sedikit lebih matang.
Karena itu, menghadapi lawan yang berilmu tinggi itu, Sambi Wulung masih mampu mengimbanginya. Bahkan ketika ia mulai merambah ke ilmunya, Sepasang Elang itu harus menjadi semakin berhati-hati.
Elang yang muda itu terkejut ketika terjadi benturan ilmu dengan Sambi Wulung. Ketika Elang yang muda itu menyerang, maka Sambi Wulungpun justru telah menyerangnya pula.
Sambi Wulung terdorong selangkah surut. Tetapi ia masih mampu bertahan pada keseimbangannya, sementara lawannya telah terpental beberapa langkah. Namun bukan saja dadanya sakit karena hentakan kekuatan tangan Sambi Wulung, tetapi pakaian dan kulitnya telah membekas luka bakar di bagian dadanya. Terasa perasaan pedih yang menyengat. Sehingga Elang yang muda itu harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi perasaan sakit.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung yang baru saja terdorong surut dan berusaha untuk tetap menguasai keseimbangannya itu telah diserang dengan tiba-tiba. Elang yang tua itu bagaikan menukik dari langit. Kukunya yang tajam telah mencengkam ke arah leher Sambi Wulung. Sambi Wulung memang berusaha untuk menghindar. Tetapi karena serangan itu demikian tiba-tiba, maka ia tidak dapat menghindar sepenuhnya. Kuku-kuku yang tajam itu berhasil mengenai pundaknya sehingga pundaknya itu bagaikan telah terkoyak.
Sambi Wulung terhuyung-huyung ke samping. Namun dengan cepat ia meningkatkan daya tahannya pula untuk mengatasi perasaan sakit, sementara darah mulai mengalir dari lukanya itu.
Sambi Wulung menggeram. Kemarahannya telah memuncak sampai ke ujung rambutnya. Ia tidak ingin terlambat untuk menyelamatkan Risang. Apalagi gagal sama sekali.
Karena itu, maka Sambi Wulung itupun telah mengerahkan kemampuannya, sementara ia masih juga berdoa dan berharap, agar Risang diselamatkan.
Dengan demikian maka pertempuranpun semakin lama menjadi semakin cepat. Sambi Wulung justru menjadi semakin garang, seperti seekor banteng yang terluka. Dengan bekal berbagai ilmunya, maka Sambi Wulung mampu bergerak cepat, tenaganyapun menjadi berlipat, sementara itu telapak tangannya bagaikan telah membara.
Dengan demikian, maka Sambi Wulung yang terluka itu menjadi semakin garang. Kakinya menjadi semakin cepat bergerak. Tangannya terayun-ayun mengerikan. Bahkan Sambi Wulung kemudian tidak lagi berniat untuk menghindari serangan-serangan. Tetapi ia harus membentur serangan-serangan. Jika lawannya menyerang dengan jari mengembang, maka Sambi Wulung berusaha untuk membenturnya dengan telapak tangannya yang membara.
Sepasang Elang itu memang mengalami kesulitan untuk menyerang. Tetapi keduanya memiliki pengalaman yang luas, sehingga dengan saling mengisi, keduanya mampu juga menembus pertahanan Sambi Wulung. Lengan Sambi Wulung ternyata telah tergores pula oleh kuku-kuku Elang muda yang tajam. Tetapi Elang yang muda itu tidak dengan cepat dapat menghindar ketika Sambi Wulung langsung memburunya. Punggungnyalah yang kemudian tersentuh telapak tangan Sambi Wulung.
Elang yang muda itu menyeringai menahan sengatan panas. Namun giginya menjadi gemeretak. Ketika punggungnya dilukai, maka Elang yang tua telah menyerang Sambi Wulung pula. Tetapi dengan tangkasnya Sambi Wulung merendah. Demikian ayunan kuku-kuku yang tajam itu menyambar di atas kepalanya, maka Sambi Wulunglah yang kemudian menjulurkan tangannya ke arah lambung lawannya.
Karena jaraknya yang tidak terlalu dekat, maka Sambi Wulung hanya menyentuh saja lambung lawannya itu tanpa dorongan kekuatan yang cukup. Tetapi sentuhan itu adalah sentuhan bara, sehingga meskipun tidak dengan kekuatan yang besar tetapi sentuhan tangan Sambi Wulung itu telah mampu membakar kulitnya.
Kedua Elang yang telah terluka itupun memang menjadi semakin garang. Tetapi lawan merekapun menjadi semakin keras pula. Bahkan Sambi Wulung yang tidak mau kehilangan Risang itu tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannya ternyata tidak kalah cepatnya dari Sepasang Elang itu.
Ternyata bahwa sentuhan tangan Sambi Wulung semakin lama menjadi semakin banyak di tubuh Sepasang Elang itu. Meskipun Sambi Wulung sendiri tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa tenaganya menjadi susut karena darah yang mengalir terus dari lukanya, namun lawan-lawannyapun menjadi semakin tidak berdaya pula.
Dalam kemarahan yang memuncak, maka Sambi Wulung benar-benar tidak mengekang diri lagi. Apalagi ketika ia mulai dipengaruhi bayangan-bayangan yang mengerikan tentang Risang yang ternyata telah dikira Puguh.
Dengan demikian, maka serangan-serangan Sambi Wulung itu menjadi semakin garang dan berbahaya. Dengan sisa tenaganya maka ia berusaha untuk mengakhiri pertempuran.
Sebenarnyalah Sepasang Elang Randu Alas itu menjadi semakin terdesak. Luka-luka bakar di tubuh mereka bukan saja terasa panas, tetapi untuk bergerak cepat dan keras, maka luka-luka itu bagaikan telah terbuka. Darah mulai mengalir dari luka-luka bakar itu, sehingga Sepasang Elang itupun menjadi semakin lemah karenanya.
Di saat-saat terakhir, Sepasang Elang itu memang tidak banyak berdaya. Sentuhan-sentuhan tangan Sambi Wulung menjadi semakin sering mengenai tubuh mereka.
Ternyata maka kedua orang itu akhirnya tidak mampu lagi bertahan. Di saat terakhir, maka Elang yang mudalah yang lebih dahulu kehilangan kemampuannya untuk melawan. Meskipun ia masih mencoba untuk mempergunakan suaranya mempengaruhi ketahanan dan perlawanan Sambi Wulung. Elang yang tua itupun sekali-sekali telah mencoba pula memperkuat serangan suara Elang yang muda. Namun semuanya tidak berhasil. Sambi Wulung benar-benar telah menguasai medan sehingga akhirnya Sepasang Elang itu benar-benar tidak berdaya. Nafas mereka menjadi terengah-engah, sementara tenaga mereka bagaikan terkuras.
Tetapi mereka telah bertempur sampai kemampuan mereka yang terakhir. Sebagai bagian dari satu kelompok yang besar dan terikat berbagai macam alasan, maka Sepasang Elang itu sudah menunaikan tugasnya dengan sepenuh kemampuannya. Tetapi ternyata bahwa mereka berhadapan dengan orang yang berilmu jauh lebih tinggi dari mereka masing-masing, sehingga meskipun mereka bertempur berdua, namun mereka tidak dapat berhasil.
Elang yang mudalah yang lebih dahulu terjatuh ketika tangan Sambi Wulung sempat terayun mengenai tengkuknya. Sengatan panas dan kekuatan yang sangat besar rasa-rasanya telah mematahkan dan membakar lehernya. Karena itu, maka Elang yang muda itu telah jatuh tertelungkup.
Orang Orang Lapar 2 Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar Heng Thian Siau To 4