Pencarian

Orang Orang Lapar 2

Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar Bagian 2


saja. Aku memang sengaja menyediakannya untuk-
mu!" kata Nanjar. Cepat si gadis menyambutnya. Sementara matanya menatap si Dewa
Linglung terheran-
heran. "Kau... kau..." bagaimana kau bisa menyusul dan mengetahui aku berada
ditempat ini?" tanya Milani dengan wajah bersemu merah karena malu.
"Sudahlah, yang penting sekarang kau mengisi
perutmu terlebih dulu. Bukanlah kau sangat lapar!"
Selesai berkata Nanjar melompat kebalik semak dan
lenyap. "He" kau mau kemana?" teriak si gadis.
Dikejauhan terdengar suara Nanjar lapat-lapat.
"Perutku mulas" Silahkan kau bersantap. Aku ada keperluan yang amat mendesak.
Nanti aku kembali lagi
kemari...!"
Milani tersenyum kecut. Tapi hatinya diam-
diam mengagumi gerakan si Dewa Linglung. Begitu ce-
patnya dia berkelebat. Dan sebentar saja suaranya telah terdengar dari arah
sungai. Kalau saja perutnya
tak lapar tentu dia tak jadi menyantap daging pang-
gang kelinci itu, karena membayangkan si Dewa Lin-
glung yang tengah membuang hajat.
Cepat Milani menyantap makanan lezat berbau
harum itu, memindahkan daging kelinci panggang itu
ke dalam perutnya. Sebentar-sebentar dia tersenyum
sendiri dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia sung-
guh tak menyangka kalau Nanjar berhasil menyusul-
nya. Bahkan telah mengetahui dia bermalam dengan
tidur di atas cabang pohon. Kalau si Dewa Lingkung tak mengetahui, mustahil
sepagi ini dia telah menyiapkan panggang daging kelinci yang diperuntukkan
buat dirinya...
"Ah! sebenarnya aku malu pada diriku sendiri
kalau urusanku pribadiku melibatkan dirinya..." Tak terasa sepasang matanya
berkaca-kaca. TUJUH Dikesamaran kabut putih tipis tampak sesosok
bayangan berkelebatan dilereng pegunungan Tengger.
Sekilas nampaknya bagaikan bayangan hantu hitam
yang gentayangan. Gerakannya memang sukar untuk
bisa menduga apakah sosok tubuh itu manusia biasa
ataukah sebangsa siluman. Karena sepasang, kakinya
hampir tak kelihatan menyentuh tanah.
Ketika sosok tubuh itu berhenti berkelebat ba-
rulah dapat diketahui kalau sosok tubuh adalah ma-
nusia biasa. Ternyata orang ini tak lain dari seorang wanita yang tak lain dari
si Iblis Rupawan, Wiraswati.
Sepasang matanya berputar-putar menatapkan
pandangan ke sekitar lereng pegunungan. Dari sepa-
sang bibirnya yang kering terdengar desahan pelahan.
"Balareang...! dimanakah tempat tinggal-mu?" Serasa sudah tak sabar dia untuk
segera berjumpa dengan
orang yang tengah dicarinya. Baru saja dia mau meng-
gerakkan kaki untuk berkelebat dari tempat itu, men-
dadak telinganya mendengar suara seruling yang ber-
nada pilu dari arah lereng sebelah barat.
"Ah..!?" itu pasti Balareang. "Aku kenal betul suara serulingnya. Sama seperti
yang kudengar 20 tahun yang silam..." tercekat hati wanita ini. Sekali
menggerakkan tubuh, dia telah berkelebat ke arah suara itu. Seorang kakek tua
berkumis dan berjenggot
putih berambut agak kelabu terbungkus sorban sutera
berwarna putih, tampak duduk di atas sebuah batu
besar. Sebuah seruling bambu menempel di bibirnya.
Sementara jari-jari tangannya menari-nari di atas lubang-lubang permukaan
seruling yang memperdengar-
kan suara merdu bernada pilu.
Sesaat lamanya wanita ini termangu-mangu
menatap dan berdiri mematung bagaikan terpana
mendengar irama-irama seruling yang mendayu-dayu.
Hatinya tergetar menahan perasaan yang menyentuh
kalbu, mengguar kisah lama yang penuh dengan ke-
melut, kepedihan juga kebahagiaan.
Mendadak suara seruling berhenti. Pelahan-
lahan kakek tua ini memalingkan wajahnya. Tatapan
matanya masih tajam ketika menatap pada si wanita
yang berdiri mematung dengan sepasang mata berka-
ca-kaca. "Angin apakah yang telah meniupmu hingga
kau sampai di pegunungan Tengger ini, MURAINI..."
berkata datar laki-laki tua ini.
"Kakang Balareang... kau masih tidak melupa-
kan aku?" suara si wanita tergetar. Dua tetes air bening yang bergayut disudut
pelupuk matanya mengalir
turun membasahi kedua pipinya. Cepat-cepat dia me-
nyekanya. Terasa hatinya trenyuh ketika si laki-laki tua itu menyebut namanya
dengan nama Muraini.
Nama asli pemberian kedua orang tuanya. Nama yang
telah membawa kenangan pahit, getir juga manis dan
indah dimasa mereka berkumpul sebagai suami-istri.
Kyai Balareang tertawa tawar. Pandangan ma-
tanya menatap awan putih yang bergumpal dilangit.
Kemudian terdengar dia menghela napas.
"Kau masih cantik seperti dulu, Muraini...! Si-
kapmu masih juga seperti dulu. Kau selalu ragu terha-dapku" kata laki-laki tua
ini datar, seolah kata-katanya ditujukkan pada awan putih yang bergumpalan di
atas langit. "Dua puluh tahun lebih kita berpisah, tentu kau sudah menemukan apa yang
namanya kebahagiaan. Aku berharap kau tak usah lagi mengenang ma-
sa lalu. Masa lalu yang penuh kepahitan itu biarlah
terkubur, seperti terkuburnya perasaanku di pegu-
nungan Tengger ini. Tuhan Maha Pengasih, akupun te-
lah menemukan kebahagiaan dan ketenangan dilereng
pegunungan Tengger ini..."
"Kakang Balareang...! maafkan jika kedatan-
ganku mengganggu ketenanganmu. Dugaanmu salah,
bila kau menganggap aku telah menemukan kebaha-
giaan. Selama ini aku mengejar apa yang bernama ke-
bahagiaan itu, ternyata sampai saat ini aku tak menemukannya. Tapi entah mengapa
ditempat ini aku se-
perti mendapatkan apa yang aku inginkan yang sebe-
lumnya tak kusadari. Semua itu karena aku tak men-
genal apa sebenarnya kebahagiaan itu!"
Lagi-lagi air mata si wanita mengalir turun. Ta-
pi kali ini dia membiarkannya. "Belasan kali aku berganti suami, belasan kali
pula aku melepaskan diri.
Ternyata benar seperti apa yang pernah kau katakan.
Bahwa kebahagiaan itu ada pada diri kita sendiri.
Dengan kita bersyukur pada Tuhan, dengan kita men-
gingat Tuhan. Dengan kita menjalani apa yang menjadi kewajiban seorang insan
terhadap Yang Maha Pencipta. Maka.... kebahagiaan itu akan menjelma!"
Agak tersentak Kyai Balareang mendengar ka-
ta-kata wanita ini. Tidak salahkah pendengarannya"
Dia tahu dan mengenal benar watak Muraini yang ke-
ras dan selalu mau menang sendiri. Kekerasan hatinya itulah yang telah membuat
keretakan-keretakan dalam
rumah tangga mereka. Sering terjadi perselisihan, per-tengkaran yang akhirnya
membawa kehancuran bagi
rumah tangga mereka. Muraini pergi meninggalkan dia
entah kemana perginya.
Belasan tahun sudah mereka berpisah, akhir-
nya Balareang pun mengetahui dimana adanya Murai-
ni. Secara diam-diam dia terus mengikuti petualangan Muraini yang tak pernah
puas dengan apa yang telah
didapatkannya. Bahkan dia mengetahui pula Muraini
telah mengganti namanya dengan nama Wiraswati.
Semakin berduka hati Balareang mengetahui
Muraini memasuki aliran kaum hitam yang bertolak
belakang dengan tujuan kaum pendekar. Dengan
membawa kepedihan hati dan kekecewaan, Balareang
mengucilkan diri dari dunia persilatan. Dia mencari
tempat sunyi dan menyembunyikan diri dilereng pegu-
nungan Tengger.
Tentu saja melihat perubahan yang terjadi pada
Muraini membuat laki-laki tua ini terpaku menatap.
Dan dua pasang mata mereka tanpa sengaja telah sal-
ing tatap. Entah perasaan apa yang berkecamuk dihati masing-masing. Namun tak
lama kemudian Kyai Balareang mengalihkan tatapannya ke arah ngarai yang
terbentang di sisi pegunungan.
"Kau ini sudah banyak berubah, Muraini. Maha
Suci Tuhan yang telah menjernihkan hatimu dan me-
luruskan jalan hidupmu..." berkata pelahan Kyai Balareang. "Terima kasih,
kakang...! Aku memang tengah berusaha untuk meluruskan jalan hidupku. Itulah
sebabnya aku kemari. Aku ingin hidup tenang ditempat
ini. Aku ingin mendekatkan diriku kepada Tuhan,
dan... aku ingin kita bersatu lagi, kakang...." berkata Muraini dengan suara
menggetar penuh perasaan.
Kyai Balareang tersenyum. Kepalanya tertun-
duk menatap tanah. Kemudian terdengar suara helaan
nafasnya. "Kita sudah sama-sama tua, Muraini...! Aku te-
lah menjadi seorang kakek tua renta yang tak lama lagi akan menjadi penghuni
alam barzah! Alam kubur...!
Aku telah meninggalkan kelezatan duniawi" katanya datar. "Bersyukurlah pada
Tuhan, karena kau dika-runia menjadi seorang perempuan yang awet muda.
Kau masih tetap cantik. Kulit tubuhmu tak serapuh
kulitku. Bukannya aku menolak, tapi hatiku telah ter-patri untuk meninggalkan
kelezatan duniawi. Biarkan-
lah aku hidup tenang seperti ini. Aku telah menemu-
kan kebahagiaan yang sejati...."
Wanita ini sejenak termangu menundukkan
kepala. Namun kali ini dia telah dapat menahan pera-
saannya. Kata-kata Kyai Balareang amat meresap di
lubuk hati sanubarinya. Lambat-lambat dia mengang-
kat wajahnya, menatap laki-laki tua itu dengan pan-
dangan penuh kesadaran.
"Terima kasih atas jawabanmu, kakang Bala-
reang...! Tapi aku telah berniat untuk mengikuti je-jakmu, setelah aku
menyelesaikan urusanku...!" Kyai Balareang manggut-manggut dan berkata pelahan.
"Syukurlah! Semoga apa yang telah kau cita-citakan akan terlaksana". Laki-laki
tua ini mengangkat serulingnya dan melekatkannya kebibir. Tak lama terden-
gar suara seruling bernada pilu menyibak keheningan
dipuncak pegunungan itu.
"Kakang Balareang...! aku mohon diri...!" desah Muraini dengan suara agak parau
ketika suara seruling terhenti.
"Tunggu! Dari mana kau mengetahui aku bera-
da ditempat ini?" tanya laki-laki tua ini dengan tersenyum. "Muridmu Waru
Anggono yang memberitahu!"
sahut Muraini. "Dia seperti bayang-bayangmu saja.
Tak banyak perbedaannya denganmu....!"
Kyai Balareang manggut-manggut. "Kau telah
mengetahui tentang dirinya?"
"Ya! aku akan berusaha membantunya mencari
jejak adik perempuannya yang telah berpisah belasan
tahun itu..." sahut Muraini.
"Ya! dia memang seperti aku, tapi dia bukanlah
aku. Bocah itu masih muda dan masih punya ambisi,
seperti juga ambisi dimasa mudaku..."
Laki-laki tua ini kembali mengangkat seruling,
dan meniupnya. Muraini menatap sejenak, tatapan yang seolah
untuk yang terakhir kali. Dan dia akan mengingat wa-
jah laki-laki itu serta mengukirnya di dalam lubuk ha-ti. Mungkin pula dia tak
akan menemuinya lagi, kare-
na setelah dia menyelesaikan urusannya, dia telah
berniat mencari tempat sunyi untuk mengasingkan diri dan mendekatkan diri pada
Tuhan. "Selamat tinggal, kakang Balareang...."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Muraini
balikkan tubuh dan berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu. Dari kejauhan masih terdengar sayup-sayup
suara seruling yang ditiup Kyai Balareang. Namun su-
ara seruling itupun lenyap juga. Muraini menghela
napas sejenak, kemudian meneruskan langkahnya
menuruni lereng pegunungan...
DELAPAN Nuraini alias si Iblis Rupawan berkelebat cepat
meninggalkan lereng pegunungan Tengger. Tujuannya
adalah ke desa Wabah Kusta. Kalau bukan manusia
luar biasa yang memiliki ilmu lari cepat seperti yang dimiliki tokoh-tokoh Rimba
Hijau, perjalanan sejauh
itu akan memakan waktu sampai beberapa pekan. Ta-
pi bagi si Iblis Rupawan hanya menempuh dalam wak-
tu dua hari. Ketika hari hampir senja sepasang kakinya te-
lah menginjak mulut desa Wabah Kusta. Segera dia
melompat masuk ke dalam pondok yang pernah di-
tempatinya. Matanya jelalatan memeriksa ruangan.
Tak nampak ditempat itu si pemuda bernama Waru
Anggono. Bahkan kuda putihnya pun tak kelihatan.
"Hm, aku tak dapat memastikan, apakah Waru
Anggono meninggalkan tempat ini, ataukah dia nekat
memasuki desa Wabah Kusta berpintu tujuh?" berkata Muraini alias Wiraswati dalam
hati. Mendadak telinganya mendengar suara tertawa
mengikik di luar pondok. Cepat dia menyelinap dan
mengintip dari celah papan. "Siapakah yang datang?"
tanyanya dalam hati.
Sementara itu keadaan di luar pondok....
"Hihihi... tekadmu untuk mencari si pembunuh
kedua orang tuamu memang patut dibanggakan, bo-
cah manis! Mana kawan seperjalananmu si pemuda
dogol itu?" Yang bertanya ternyata seorang wanita berkulit dan berwajah hitam
legam. Bermata bulat dan
berbibir tebal. Memakai anting-anting besar. Mengenakan jubah berwarna merah
berkembang-kembang pu-
tih. Siapa adanya wanita itu tiada lain dari si Mawar Beracun.
Dihadapannya berdiri seorang gadis berwajah
cantik berkulit putih. Rambutnya berkepang dua. Ga-
dis ini tak lain dari Milani.
"Aku datang kemari cuma sendiri. Urusanku
adalah urusanku! Aku tak mau membawa-bawa orang


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain yang tak ada sangkut pautnya dengan urusan pri-
badiku!" sahut Milani.
"Hihihi... nyalimu sungguh besar, bocah manis!
Apakah kau yakin dapat membalaskan dendammu?"
"Urusan kematian adalah urusan Tuhan! Aku
kemari bukan mencari mati, tapi datang untuk mem-
balas dendam kematian kedua orang tuaku yang telah
dibunuh dengan keji! Walaupun manusia yang bakal
kuhadapi berilmu setinggi langit sekalipun aku tak
akan gentar!" berkata Milani dengan suara tegar penuh keberanian
"Bagus! sudah tahukah kau siapa pembunuh
kedua orang tuamu?" Milani menggeleng. "Aku hanya
minta petunjukmu. Karena kau telah tahu persis ciri-
ciri si pembunuh ayah ibuku! Bukankah selama ini
kau telah mencuri dengar pembicaraan kami?" sahut Milani. Wanita beranting-
anting besar itu tertawa mengikik. Mendadak dia berteriak nyaring. "Sobat yang
sudah lama menyamar jadi pen-derita kusta, silahkan
unjukkan diri!" Kata-katanya dibarengi dengan kiba-san jubah lengannya ke arah
pondok berdebu di sebe-
lah kirinya. Angin keras menghempas.. Dan.. BHLARRR!
Hancurlah pondok berdebu itu menimbulkan suara
bergemuruh. Genting dan papan bertebaran bagai ter-
kena amukan badai.
Milani terkejut melihat perbuatan aneh si Ma-
war Beracun. Tapi segera dia melihat sesosok bayan-
gan berkelebat melesat dari reruntuhan rumah.
"Mawar Beracun! Matamu sungguh jeli!" Suara wanita ini hampir berbareng dengan
lompatan tubuhnya. Sekejap ditempat itu telah berdiri tegak Muraini alias si
Iblis Rupawan. "Hihihi... sejak kapan kulit kudismu mengelu-
pas?" ejek Mawar Beracun melihat wanita dihadapannya tak seperti yang diduga
semula. "Hm, sejak aku mengenal apa yang namanya
kejahatan, dan mana yang namanya kebenaran!" sahut Muraini dengan suara tetap
tenang. "Bagus! berarti matamu telah terbuka! Ingin
kulihat, apakah kata-katamu itu sesuai dengan kenya-
taan?" Selesai berkata si Mawar Beracun menoleh pada Milani. "Nah, bocah manis!
kau perhatikan baik-baik, apakah ciri-ciri si pembunuh kedua orang tuamu ada
terdapat pada perempuan ini?"
Sejak tadi Milani memang tengah memperhati-
kan wanita yang baru muncul itu. Dia melihat jelas,
ketika wanita itu berkelebat telah merentangkan kedua tangannya. Dan tanda-tanda
yang terdapat pada wanita itu adalah tampak sebelah tangan kirinya putus sebatas
pergelangan. "Ya! aku telah melihatnya! Tanda-tanda itu ada
padanya!" kata Milani dengan suara tajam.
"Tanda-tanda apakah?" bertanya Muraini dengan menatap heran pada Milani.
"Heh! manusia pembunuh keparat! Apakah kau
masih mau menutupi kejahatanmu" Tangan kirimu
yang putus sebatas pergelangan itulah tanda yang tak dapat mengelabui mataku!"
bentak Milani. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya.
Ternyata sebuah gelang emas berbentuk ular.
"Dan benda ini tak mungkin kalau bukan kau
pemiliknya?" bentak Milani memperlihatkan benda ditangannya.
"Hm, entah berapa macam perhiasan aku me-
mang pernah memakainya. Bahkan yang berbentuk
seperti itupun mungkin aku pernah memilikinya. Tapi
apa hubungannya dengan diriku?" berkata si Iblis Rupawan. "Jelaslah kau si
pembunuh kedua orang tua-ku!" bentak si gadis dengan beringas seraya mencabut
senjatanya, sepasang tombak pendek berumbai merah
dan kuning. "Tunggu!" membentak halus si Iblis Rupawan.
"Siapakah kedua orang tuamu dan siapa pula kau?"
"Ayahku adalah seorang bangsawan di sebuah
desa disisi kota Pangukiran didataran lereng gunung
Manuk. Beliau bernama Suro Mandiri. Ibuku bernama
Gambir Ayu. Aku adalah anak gadis satu-satunya.
Namaku Milani!" sahut si gadis dengan mata berapi-api.
Secara singkat Milani menceritakan peristiwa
yang menimpa orang tuanya hingga dia mendapatkan
bukti-bukti itu.
"Hm, aku tak merasa pernah merampok dan
membunuh dua orang suami istri bangsawan. Juga
membakar gedung!" kata Muraini dengan kerutan ke-ningnya. "Aku memang sedikit
banyak memang pernah melakukan kejahatan. Tapi ketahuilah! Buntungnya
pergelangan tangan kiriku ini adalah oleh orang yang bukan siapa-siapa.
Melainkan..."
Pada saat itu si wanita berkulit hitam perden-
garkan suara dengusan dihidung dan tertawa dingin.
"Hihi... silahkan kau membela diri, Iblis Rupa-
wan. Tetapi bukti-bukti bahwa kau si pembunuh ke-
dua orang tuanya sangat kuat! Mungkin saja kau lupa
pada perbuatanmu, karena sudah terlalu banyak kau
melakukan kejahatan! Nah! adik manis! Aku cuma bisa
mengantarmu sampai disini!" selesai berkata si Mawar Beracun berkelebat cepat
memasuki desa Wabah Kusta. Beberapa kejap saja bayangan tubuhnya lenyap...
Tadinya Muraini alias si Iblis Rupawan siap ge-
rakkan tubuhnya untuk menahan. Karena perempuan
itulah yang telah menimbulkan persoalan terhadap ga-
dis bernama Milani itu. Akan tetapi dia mengurungkan niatnya, karena menempur
perempuan hitam itu bukan saatnya. Pendapatnya adalah dia lebih baik me-
nyelesaikan persoalan ini terlebih dulu.
Melihat gelagatnya si wanita memang sukar un-
tuk mengelakkan tuduhan. Apalagi bukti-bukti sangat
kuat dan gelar yang disandangnya adalah gelar seo-
rang tokoh persilatan kaum sesat!
Milani sudah tak dapat menahan diri untuk se-
gera menerjang.
"Sabar dulu, adik Milani! tadi aku belum selesai bicara!" berkata Muraini dengan
wajah tetap tenang.
"Dengarlah penjelasanku!"
Akan tetapi Milani telah membentak keras, se-
raya menerjang dengan senjatanya.
"Cukup! Tak perlu lagi kau memberi penjelasan!
Semuanya telah cukup jelas! Terimalah ini!" Sepasang tombak ditangan Milani
meluncur deras menusuk ke
arah lambung dan leher. Namun dengan gesit Muraini
mengelak kesamping.
Tapi serangan-serangan selanjutnya cukup
membuat si Iblis Rupawan harus berkelebatan melom-
pat menghindari. Milani menerjang kalap dan menge-
rahkan segenap ilmunya untuk membunuh lawannya.
Dengan berteriak nyaring kembali dia melancarkan se-
rangan dengan jurus-jurus mematikan.
Terpaksa Muraini menggunakan kegesitannya
untuk mempertahankan nyawanya, kalau tak mau tu-
buhnya tertembus sepasang senjata gadis itu.
Nyatalah kalau semua serangan Milani tak be-
rarti apa-apa bagi si Iblis Rupawan. Kalau mau tentu sudah sejak tadi si gadis
itu dirobohkan. Gadis ini
dengan kalap terus menerjang. Sepasang tombaknya
telah berubah bagaikan dua larik bayangan merah dan
kuning yang mengurung si Iblis Rupawan. Sementara
itu sepasang mata sejak tadi terus memperhatikan ja-
lannya pertarungan.
Pemilik mata ini tiada lain dari seorang pemuda
yang sudah kita kenal. Siapa lagi kalau bukan Nanjar si Dewa Linglung. Ternyata
secara diam-diam Nanjar
telah menguntit Milani. Nanjar mengetahui kalau Mi-
lani sengaja menghindar. Itulah sebabnya dia pura-
pura mau membuang hajat. Padahal diam-diam dia
mengintai si gadis. Benar saja! Milani tampak melahap daging kelinci panggang
itu cepat-cepat. Bahkan me-nyisakannya sebagian. Kemudian gadis itu menan-
capkan sisa daging panggang yang tak dihabiskannya
dekat api unggun. Setelah menoleh ke kiri dan ke ka-
nan, Milani segera berkelebat cepat meninggalkan hu-
tan kecil itu. Nanjar tersenyum melihat dari tempat
persembunyiannya. Kemudian diapun berkelebat me-
nyusul dan diam-diam terus membuntuti.
Ternyata Milani berjumpa dengan empat laki-
laki berbaju hitam bergambar tengkorak. Dari petun-
juk keempat orang itulah Milani dapat mengetahui
arah jalan yang menuju ke desa Wabah Kusta.
Milani berhasil tiba dimulut desa Wabah Kusta,
dan berjumpa dengan si Mawar Beracun yang memang
tengah menunggunya. Rupanya wanita hitam itu men-
getahui Milani pasti mencari tempat yang dikatakan-
nya itu. Demikianlah, hingga semua kejadian ditempat itu dapat diketahui oleh
Nanjar dari tempat persembunyiannya.
SEMBILAN Nanjar yang mengikuti jalannya pertarungan
dapat mengetahui sikap si Iblis Rupawan yang cuma
menghindari serangan si gadis tanpa balas menyerang.
Bahkan sikapnya ketika si Mawar Beracun berkelebat
memasuki mulut desa Wabah Kusta setelah mengelua-
rkan kata-kata ejekan tak luput dari matanya. Dia melihat sinar kebencian tampak
pada mata si Iblis Rupawan ter-hadap wanita hitam itu.
Saat itu Milani tiba-tiba membentak keras. Se-
pasang tombak pendeknya menerjang dengan seran-
gan menukik yang dibarengi dengan lompatan menda-
dak. Jurus ini agak membuat si Iblis Rupawan terpe-
rangah kaget. Walaupun dinilai dari usia dan penga-
laman si Iblis Rupawan jauh lebih luas, tapi serangan ini cukup membuat wanita
itu tersentak kaget. Hal ini memang pantas. Karena selama menghadapi si gadis,
fikiran si Iblis Rupawan berkecamuk memikirkan cara
untuk menyelesaikan persoalan itu. Hingga dia kurang waspada.
Serangan itu justru serangan yang paling ber-
bahaya diantara semua jurus yang dimiliki Milani. Tapi sebagai orang yang sudah
terbiasa menghadapi berma-cam pertarungan, Iblis Rupawan tak akan mandah be-
gitu saja dan membiarkan dirinya celaka. Kibasan lengannya secara reflek telah
dipergunakan untuk me-
nangkis. Dan sebelah kakinya menghantam ke arah
perut lawan. Hal ini memang bisa menyelamatkan dirinya
dari bahaya maut. Dan setidak-tidaknya dia hanya terluka terkena tusukan tombak
pada lengannya yang di-
pergunakan untuk menangkis. Tapi serangan tombak
bukan hanya satu. Senjata si gadis adalah sepasang
tombak. Dia kurang waspada untuk melihat gerakan
sambaran tombak berumbai merah yang tiba-tiba me-
nyelinap ke arah lambung. Sedangkan tadinya senjata
itu mengarah ke leher. Dan hal itu bisa dihindari dengan membuat tubuh ke arah
samping. Itupun kalau si
Iblis Rupawan bermata jeli dan dapat melihat arah serangan tombak. Detik maut
itu memang membahaya-
kan jiwa si Iblis Rupawan. Tapi setidak-tidaknya se-
rangan tendangan kakinya ke arah perut lawannya
akan meremukkan isi dalam perut si gadis bernama
Milani itu. Dan bukan mustahil kalau si gadis akan
tewas! Akan tetapi di saat yang mengandung maut itu hampir terjadi, mendadak
berkelebat sebuah bayangan
putih. Plak! Satu tenaga tolakan yang amat kuat telah
menggagalkan serangan yang membahayakan di kedua
pihak. Milani terlempar bergulingan beberapa tombak.
Sepasang Tombak pendeknya terlepas entah kemana.
Dan si Iblis Rupawan terhuyung mundur belasan
langkah dan jatuh terduduk ditanah.
Milani merasa bumi yang dipijaknya berputar.
Tenaga yang amat keras telah melontarkan tubuhnya
hingga untuk sesaat dia tertegun. Tapi cepat dia me-
lompat berdiri. Demikian juga dengan si Iblis Rupa-
wan. Satu kekuatan dahsyat telah men-dorong tubuh-
nya hingga terhuyung entah berapa langkah, dan dia
jatuh terduduk. Tapi cepat dia melompat berdiri.
Terkejut si Iblis Rupawan karena segera melihat
seorang pemuda berbaju gombrong berambut gon-
drong berdiri dihadapannya dengan sepasang lengan
terangkat sebatas bahu, seperti baru saja melakukan
suatu jurus gerakan. Tahulah dia bahwa pemuda itu-
lah yang telah menyebabkan dia terdorong dan meng-
gagalkan bentrokan maut dengan si gadis lawannya.
Adapun Milani jadi menatap dengan mata membelalak
melihat siapa adanya laki-laki gondrong dihadapannya.
"Nanjar! kau...?" sentaknya terkejut. "Huh!
mengapa kau ikut campur urusan pribadiku" Kau te-
lah menggagalkan seranganku, berarti telah membuat
kesempatan hidup pada perempuan iblis si pembunuh
orang tuaku itu!" teriak Milani dengan wajah merah padam karena marahnya.
"Sabar..! Apakah sebagai seorang yang telah
mengaku sahabat padamu lalu aku akan membiarkan
dirimu dalam bahaya maut?" berkata Nanjar menggaruk-garuk tengkuknya.
"Aku dalam bahaya maut?" sentak Milani dalam hati. "Hm, seranganmu memang bisa
membuat lawan akan terluka, bahkan juga mungkin tewas kalau
lawanmu tak sempat mengelakkan serangan tombak
berumbai kuning yang berubah arah! Tapi tendangan
kaki lawan ke arah perutmu bisa membuat nyawamu
berpindah tempat!" kata Nanjar memberi penjelasan.
Walaupun hatinya membenarkan, tapi Milani
tetap bersungut-sungut.
"Heh! aku toh tak mengharapkan pertolongan-
mu" Walau bagaimana kau tetap bersalah besar kare-
na ikut campur urusan orang" Mati bagiku bukan
soal. Asalkan aku dapat membalaskan dendam kema-
tian kedua orang tuaku, arwahku akan tenang di alam
Baka!" berkata si gadis dengan memberenggut.
Pada saat itu si Iblis Rupawan telah kelebatkan
tubuhnya melompat ke hadapan si Dewa Linglung.
"Kalau tidak salah apakah aku berhadapan
dengan si Pendekar Naga Merah yang kesohor?" bertanya Muraini dengan menatap
lebar. "Dari mana kau mengetahui?" Nanjar balik bertanya. "Di dadamu ada gambar tatto
Naga!" sahut Muraini menunjukkan jari telunjuknya ke arah dada Nan-
jar. "Aiiih" sentak Nanjar terkejut. Dan cepat-cepat menutupi dadanya yang
terbuka dengan baju gom-brongnya. Mau tak mau Nanjar anggukkan kepala.
"Benar! Tapi hanya julukan yang diberikan kaum Rimba Hijau...!" Nanjar merendah.
"Ah, girang sekali berjumpa dengan anda, sobat
pendekar! Aku Muraini mengucapkan terima kasih


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas pertolonganmu menggagalkan bentrokan maut
barusan. Bagiku kematian bukan apa-apa. Akan tetapi
nyawa gadis itulah yang kukha-watirkan. Dan bila hal itu terjadi, persoalan
tetap takkan selesai. Selain itu aku mati dengan meninggalkan nama buruk! Aku
tak ingin hal itu terjadi...,!" berkata Muraini si Iblis Rupawan dengan suara
rendah, lalu membungkuk menjura
pada si Dewa Linglung.
"Iblis busuk! dihadapan temanku kau mau
mencuci dosa" Huh! tak tahu malu! Masih pula kau
menyangkal perbuatan terkutukmu?" bentak Milani seraya melompat maju.
"Wah! Wah! Wah! runyam juga urusan kini! Sa-
barlah Milani! Kalau kau tak bisa menahan emosimu
urusan ini tak akan beres!" Nanjar benar-benar kewalahan dengan gadis itu.
"Anak manis! percayalah padaku. Aku bukan si
pembunuh kedua orang tuamu. Yang telah menabas
putus pergelangan tanganku adalah suamiku sendiri.
Dialah si Iblis Tampan, yang juga menjadi musuh be-
sarku. Bukan saja musuh besarku, akan tetapi juga
musuh kaum pendekar penegak keadilan!" berkata
Muraini dengan melangkah maju dua tindak mendeka-
ti si gadis. Dari sikap wanita itu Nanjar memang menaruh
kepercayaan akan kejujuran kata-kata si wanita. Akan tetapi untuk membuktikan
pada Milani memang sangat sukar jika tanpa bukti, dan hanya kata-kata saja.
Mendadak Nanjar berkata seraya menoleh pada si ga-
dis. "Coba kulihat gelang berbentuk ular yang kau
simpan sebagai bukti itu!"
"Hm, apa yang akan kau lakukan dengan ge-
lang ini?" tanya Milani. Tapi segera memberikan benda itu pada Nanjar. Nanjar
membolak-balik gelang pe-runggu itu seperti seorang tukang emas tengah men-
guji barang. "Tampaknya ini bukan sebuah gelang, tapi..."
"Habis apa?" tanya Milani ketus.
Nanjar tak menjawab. Ingatannya mendadak
tertuju pada si Mawar Beracun. Perempuan hitam itu
mengenakan sepasang anting-anting besar. Sekilas
Nanjar melihat bentuk anting-anting itu hampir mirip dengan gelang berbentuk
ular ini. "Tak salah lagi! Ya! pasti tak salah lagi!" tiba-tiba Nanjar berkata sendiri.
"Apanya yang tak salah lagi?" sentak Milani menatap si Dewa Linglung dengan
melotot tajam. "Benda ini memang bukan gelang, tapi anting-
anting. Ya! ini anting-anting si Mawar Beracun!" berkata Nanjar dengan suara
keras. Seketika wajah Milani
berubah kaget. Demikian juga dengan si Iblis Rupa-
wan. Dia seperti baru menyadari bahwa perempuan hi-
tam itu mengenakan sepasang anting-anting besar.
Akan tetapi dia tak memperhatikan bentuknya. Kecuali cuma kebencian saja yang
tersimpan dilubuk hatinya.
"Apakah dugaanmu bisa dipercaya?" tanya Milani ragu-ragu.
"Akan kita buktikan!" sahut Nanjar. Kemudian dia menatap pada Milani dan si
Iblis Rupawan. "Mari kita kejar si perempuan hitam itu!" Tanpa menunggu jawaban
lagi, segera Nanjar berkelebat memasuki mulut desa Wabah Kusta. Sejenak Milani
dan Muraini si Iblis Rupawan saling bertatapan. Tapi tak lama wanita itu segera berkelebat
menyusul Nanjar. Mau tak mau
Milani segera memungut sepasang senjata tombak
pendeknya, lalu menyusul bayangan tubuh si Iblis Ru-
pawan. SEPULUH Ketika Nanjar sampai dimuka pintu gerbang
desa Wabah Kusta, yang pertama-tama dilihatnya ada-
lah sebuah pagar tembok terbentang didepan matanya.
Dan sebuah pintu gerbang menjadi pintu masuk desa
tertutup itu. Di atas pintu gerbang terdapat tulisan besar-
besar yang bertuliskan : "Silahkan memasuki tujuh pintu Neraka" Sejenak Nanjar
terpaku membaca tulisan itu. Tapi segera berkelebat melompat memasuki
pintu gerbang. Lagi-lagi dia menemukan sebuah pintu gerbang
yang bertuliskan : "Pintu pertama Orang-Orang Lapar".
Baru saja dia melompat masuk, yang pertama-tama di-
lihatnya adalah bangkai seekor kuda. Binatang itu dalam keadaan rusak dan tidak
utuh lagi. Mendadak telinganya mendengar suara lang-
kah-langkah kaki mendekati. Ketika dia membalikkan
tubuh, dari dalam pondok-pondok buruk telah ber-
munculan puluhan manusia yang berwajah dan bertu-
buh penuh dengan penyakit yang menjijikkan. Inilah
para penderita penyakit kusta.
Sejenak Nanjar terperangah memandang den-
gan mata membelalak. Akan tetapi terkejut karena
mendadak orang-orang berpenyakit kusta itu telah
menyerbunya. Kagetnya si Dewa Linglung sukar dika-
takan, karena dia benar-benar berhadapan dengan
orang-orang lapar.
Ditangan mereka masih ada sisa-sisa daging
mentah yang baru dikunyahnya. Tampak mulut-mulut
mereka menyeringai meneteskan air liur bercampur si-
sa-sisa daging mentah. Sekejap saja Nanjar dapat
mengetahui kalau mereka inilah yang telah memangsa
kuda yang terkapar dengan keadaan tidak utuh diten-
gah jalan desa itu.
"Celaka..!" apakah mereka juga akan memang-
sa diriku?" sentak Nanjar dengan mata membelalak.
Sementara itu Muraini dan Milani pun telah memasuki
gerbang kesatu ini. Terkejut si Iblis Rupawan melihat bangkai kuda yang sudah
tak utuh itu tak lain dari
kuda putih milik WARU ANGGONO!
Melihat kemunculan dua wanita dan gadis ini
sebagian orang-orang berpenyakit kusta itu menyerbu
ke arah keduanya.
Milani hampir menjerit karena takutnya. Akan
tetapi terdengar suara Muraini. "Tenang, anak manis, mereka tak punya kepandaian
apa-apa!" Dan tahu-tahu lengannya telah mencekal pergelangan Milani.
Dengan sebelah lengannya yang putus sebatas
pergelangan, Muraini mengibaskan lengan bajunya.
Enam orang yang menyerbu itu mendadak terlempar
bergulingan. Kemudian dengan cepat dia menarik Mi-
lani untuk segera memasuki pintu gerbang kedua.
Adapun Nanjar pun baru saja membuat buyar
para penyerbu yang menyeramkan itu. Mereka terlem-
par bergulingan jatuh bangun terkena dorongan sepa-
sang lengannya yang menimbulkan angin keras. Akan
tetapi seorangpun tak ada yang terluka Nanjar menge-
tahui kalau mereka hanyalah orang-orang lapar yang
tak berilmu kepandaian silat. Akan tetapi telah berubah menjadi buas. Dengan
cepat dia melompat mema-
suki pintu gerbang kedua.
Milani berteriak dan melompat mengejar Nan-
jar. "Dewa Linglung! Tungguuu! aku...aku takut!" Nan-
jar menahan langkahnya. Dan sesaat kemudian mere-
ka telah berkumpul.
"Apakah mereka akan mengejar kita?" tanya Milani dengan wajah pucat. Muraini lah
yang menjawab. "Mereka tak bisa memasuki pintu gerbang kedua!" Ketika si gadis memandang ke
arah pintu gerbang yang barusan mereka lewati, benar saja! Belasan manusia
berpenyakit kusta itu cuma berdesakan dipintu tanpa
seorangpun yang berani memasuki ruangan dipintu
gerbang kedua. "Kau mengetahui keadaan ditempat ini, apakah
kau pernah masuk kemari?" tanya Milani menatap si Iblis Rupawan. Wanita ini
mengangguk. Tapi segera
memutar pandangan kesekitar tempat itu dengan si-
kap waspada. Milani mencekal erat-erat sepasang sen-
jatanya. Hatinya berdebar keras. Entah "makhluk" apa lagi yang akan muncul
disini. Mendadak ratusan ular tahu-tahu muncul dis-
ekeliling mereka. Nanjar tersentak kaget. "Haih! dari mana munculnya ular-ular
ini?" Tapi Muraini segera berkata. "Cepat masuk kepintu ketiga! Jangan kau hi-
raukan ular-ular itu. Inilah ilmu sihir!"
Wajah Milani semakin pucat bagai kertas. Tapi
Nanjar telah menarik lengannya untuk dibawa melom-
pat, dan dengan cepat mereka memasuki pintu ketiga.
Muraini menyusul berkelebat. Ujung kakinya menotol
ke tanah. Dan tubuh si Iblis Rupawan dengan ringan
melayang ke arah pintu gerbang ketiga.
Benar saja! ketika ketiganya telah keluar dari
ruangan itu, ratusan ular itu lenyap sirna...
"Cepat memasuki pintu keempat!" teriak Mu-
raini ketika melihat Nanjar sejenak ragu-ragu untuk
meneruskan langkah. Muraini mengetahui ruangan ke-
tiga ini amat berbahaya. Dan sejak memasuki pintu
gerbang ketiga ini sepasang matanya menjalari sekitar tempat itu. Yang dicari
adalah Waru Anggono. Peringatan Muraini memang benar, karena tiba-tiba bersyiur
angin keras dibarengi suara tertawa menyeramkan dari sekitar penjuru.
Tanah mendadak terasa berguncang-guncang,
dan puluhan belalai panjang tiba-tiba meluncur dari
empat sudut ruangan itu ke arah mereka. Nanjar gu-
nakan pukulan-pukulannya menghantam belalai-
belalai itu. Belalai-belalai yang terkena hantaman lenyap menjadi asap:
Tapi segera muncul belalai berikutnya. Nanjar
merasa inipun semacam ilmu sihir. Tak berayal dia
kembali menghantam, dan cepat melompat memasuki
pintu keempat dengan menarik tubuh Milani. Muraini
gunakan lompatan salto ke udara. Sepasang lengannya
mengibas menghantam belalai-belalai yang meluncur
ke arahnya. Dengan dua kali lompatan salto dia telah tiba dipintu gerbang
keempat. Belalai-belalai aneh yang mengerikan itupun
lenyap menjadi gumpalan asap ketika wanita itu me-
lompat masuk kepintu keempat. Bahkan guncangan-
guncangan yang seperti gempa dan angin keras yang
bersyiutan itupun sirna.
Dipintu ke empat ini Nanjar tak berlaku ayal
untuk cepat melewati ruangan itu dan memasuki pintu
kelima. Si Iblis Rupawan lah yang harus menghadapi
serangan puluhan tombak yang tiba-tiba meluncur da-
ri delapan penjuru. Tapi dengan gesit dia menghindarkan diri. Kemudian dengan
bergulingan dia mencapai
pintu gerbang kelima.
Di ruangan ini mereka melihat tiga orang laki-
laki tengah bertarung melawan belasan orang wanita
yang rata-rata berpakaian minim, cuma mengenakan
dua lembar kain penutup auratnya. Sejenak Nanjar
dan Milani tercengang. Akan tetapi segera Nanjar dapat mengenali dua diantara
laki-laki itu. Yang seorang
adalah si kakek pengemis Beng Sam Kun dan seorang
lagi adalah ketua dari perguruan Merak Emas. Se-
dangkan yang seorang lagi tak dikenali.
Muraini si Iblis Rupawan segera mengenali sia-
pa adanya laki-laki itu. Ternyata Waru Anggono.
"Sobat tua Beng Sam Kun! kau sudah lebih du-
lu disini?" teriak Nanjar seraya melompat. Saat itu si kakek baru saja melompat
menghindari serangan tiga
orang gadis yang bersenjatakan klewang dan pedang.
"Hehe.. aku sudah menduga kau pasti kemari,
sobat Dewa Linglung!" berkata si kakek pengemis. Tiga gadis itu menggerung
keras, dan kembali menerjang ke arah Beng Sam Kun. Nanjar bekerja cepat.
Lengannya bergerak merogoh sesuatu dari balik baju gombrong-
nya. Tiga butir kacang tanah melesat dan membuat
roboh ketiganya dengan keadaan tertotok.
"Mereka hanya dijadikan alat percobaan saja!
Jangan dibunuh!" cegah kakek Beng Sam Kun.
"Aku hanya menotoknya saja!" kata Nanjar.
Sementara itu si ketua perguruan Merak Sakti
telah merobohkan empat orang gadis berpakaian mi-
nim. Dan Waru Anggono berhasil menyarangkan puku-
lannya ke arah tiga penyerangnya. Tapi pukulan-
pukulan mereka hanya akan membuat luka ringan sa-
ja. Enam orang lainnya berkelebatan melompat
menerjang. Tapi si kakek Beng Sam Kun yang sengaja
mengulur waktu menanti kedatangan Nanjar segera
berkelebat. Keenam gadis itu seketika berjungkalan
roboh dengan tubuh kaku tertotok. Gerakan kakek ini
mendapat pujian kagum dari Nanjar. Si kakek keliha-
tan cuma mendorongkan kedua lengannya saja dengan
kedua telapak tangan terkembang. Dan keenam gadis
berpakaian minim itu berjungkalan roboh.
"Ilmu menotok yang hebat!" puji Nanjar.
Tapi si kakek Beng Sam Kun justru berdiri ter-
paku memandang ke arah belakang tubuhnya. Ketika
Nanjar memutar tubuh, tampak Muraini si Iblis Rupa-
wan juga tengah berdiri terpaku memandang ke arah
Beng Sam Kun. Tahu-tahu angin bersyiur disamping
Nanjar. Ternyata kakek pengemis itu telah melompat
dan sekejap telah berada dihadapan wanita itu.
"Muraini..! benarkah kau..?"
"Benar, koko... Beng!" sahut si wanita menatap dengan pandangan berbinar-binar.
Dan sepasang mata
itupun berkaca-kaca.
"Muraini, adikku... ah! kau...?"
Tiba-tiba saja si kakek Beng Sam kun memeluk
wanita itu dengan wajah girang. Demikian juga dengan Muraini, diapun balas
memeluk dengan air mata ber-cucuran dan terisak-isak.
"Kau masih tetap cantik saja, adikku" berapa-
kah usiamu kini?" Berkata si kakek, setelah melepaskan pelukan.
"Hampir setengah abad!" sahut Muraini seraya menghapus air matanya. "Haih!
Usiakupun sudah lebih dari enam puluh tahun. Cukup lama kita berpisah!
Saat itu kau masih seorang gadis remaja, dan aku seorang pemuda gagah. Tapi kini
aku sudah pantas dis-
ebut kakek..!" kata Beng Sam kun.
"Tapi kau masih cantik seperti dulu, Muraini..!"
"Ahr kau terlalu memujiku, koko..!" Wanita ini menunduk.
Nanjar yang mendengarkan percakapan dan
melihat pertemuan itu jadi tersenyum dan geleng-


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geleng kepala. "Haih! sudah puluhan tahun berpisah, ternyata bisa bertemu lagi
disarang musuh! Benar-benar Tuhan Maha Adil!" berkata Nanjar dalam hati.
Sebaliknya Milani yang turut menyaksikan per-
temuan itu, diam-diam benaknya berpikir dan hatinya
berkata. "Rasa-rasanya akupun mempunyai seorang kakak. Tapi aku sudah tidak
ingat lagi" Saat itu tiba-tiba Milani melihat Waru Anggono tengah memeriksa
gadis-gadis berpakaian minim yang berkaparan. Waru
Anggono melompat-lompat dan terus memeriksa serta
membalikkan tubuh gadis-gadis itu. Memperhatikan
wajahnya satu persatu.
Akhirnya dia melompat berdiri dengan wajah
kecewa. Milani melompat menghampiri. "Siapakah
yang kau cari, sobat?" tanya Milani. Pemuda itu menoleh dan menatapnya.
"Aku mencari adikku..!" sahutnya. Mendadak Waru Anggono menatap Milani lekat-
lekat. Matanya menjalari sekujur tubuhnya dari
ujung rambut sampai ke kaki. Tapi segera membuang
pandangannya ke lain tempat. Dia merasa dirinya ter-
lalu mengamati orang.
"Apakah aku sangat mirip dengan adikmu?"
tanya Milani. "Tentu kau masih mengingat namanya.
Siapakah nama adikmu?" tanya Milani lagi, melihat Waru Anggono tak menjawab.
"Adikku bernama Anggi Resmini! Aku tak bisa
membayangkan apakah wajahnya mirip denganmu,
karena kami berpisah sejak dia berusia lima tahun"
berkata Waru Anggono.
Pada saat itu Muraini telah berkelebat meng-
hampiri. "Waru Anggono! Sukurlah kau masih hidup!
Sudah kuduga keras kau pasti akan memasuki desa
berpintu tujuh ini!" berkata Muraini.
"Semua ini berkat bantuan kakek kawanku
itu!" sahut Waru Anggono tersenyum.
"Hehe.. dengar Muraini! bukankah anak muda
itu memanggilku dengan sebutan kakek?" berkata
Beng Sam Kun dengan tertawa memperlihatkan gi-
ginya yang ompong.
"Siapa bilang kau muda?" tukas Muraini dengan tertawa.
"Eh! sudahlah! Hayo kita kepintu enam!" berkata Nanjar.
"Mari kita masuk lebih dulu, sobat pendekar
Naga Merah!" berkata si ketua perguruan Merak Sakti.
Laki-laki ini melompat lebih dulu. Nanjar segera me-
nyusul. "Apakah diantara perempuan-perempuan itu tak terdapat adik perempuanmu?"
tanya Muraini pada Waru Anggono. Waru Anggono menggeleng.
"Hm, kau mengenal wajah adikmu ketika dia
berusia lima tahun, mana mungkin kau bisa mengena-
li bila usianya telah remaja?" Milani menyambar bicara.
"Tapi aku dapat mengingat tanda-tanda ditu-
buhnya yang tak mungkin dimiliki orang lain!" tukas Waru Anggono.
"Siapa nama adikmu?" tanya Milani.
"Dia bernama Anggi Resmini!" sahut Waru Anggono. Saat itu si kakek Beng Sam Kun
yang melihat Nanjar dan si ketua Merak Sakti telah berkelebatan
memasuki pintu gerbang keenam, segera berkata.
"Sudahlah! saat ini kita berada disarang hari-
mau. Mari kita menyusul dua kawan kita!" Tak berayal lagi mereka segera
berlompatan menyusul si kakek
Beng Sam Kun yang telah berkelebat masuk kepintu
gerbang ke enam.
Ternyata diruangan ini telah berdiri berjajar
beberapa sosok tubuh menghadang. Tetapi bukan ter-
diri dari gadis-gadis berpakaian minim. Melainkan tokoh-tokoh golongan Hitam.
Diantaranya terdapat si perempuan berkulit hitam beranting-anting besar si Ma-
war Beracun, juga suaminya si Ular Kobra Hijau.
Seorang kakek berkepala botak memegang
tongkat hitam melengkung terdapat pula dibarisan itu.
Dan dua orang laki-laki berwajah mirip tengkorak
bermata juling sebelah kiri dan juling sebelah kanan.
Keduanya adalah si Tengkorak Kembar dari Neraka,
merupakan tokoh yang cukup kondang dengan keke-
jaman dan ketinggian ilmu silatnya. Dan seorang lagi adalah sukar dikenali,
apakah seorang wanita apakah
laki-laki. Kakek Beng Sam Kun berbisik pada Muraini.
"Sssst! yang manakah yang bergelar si Iblis Tampan yang menjadi musuh besarmu?"
"Manusia yang seperti banci itulah makhluk-
nya! Dialah si pemimpin Orang-Orang Lapar!" sahut Muraini.
Saat itu terdengar suara tertawa mengikik
mendirikan bulu roma. Itulah suara si Mawar Beracun.
Perempuan hitam ini melompat keluar dari barisan.
"Hihihi.... selamat datang, orang-orang gagah!
Kami acungkan jempol buat kalian yang telah mampu
melewati lima buah pintu Neraka yang telah kami per-
siapkan. Dipintu keenam ini bila kalian bisa memper-
tahankan nyawa, maka tinggal satu pintu lagi yang harus kalian lewati! Yaitu
pintu ketujuh!" berkata si Mawar Beracun.
"Tapi kukira kalian harus pikir-pikir dulu un-
tuk mengadakan bentrokan dengan kami, Pemimpin
Orang-Orang Lapar! Apakah tak sebaliknya kalian ikut bergabung dengan kami?"
sambung si Mawar Beracun.
Nanjar perdengarkan suara tertawa mengakak
sambil memegangi perutnya. Hingga pentolan-pentolan
tokoh hitam itu sama menoleh padanya. Padahal diam-
diam Nanjar dengan mengumpulkan tenaga dalam Inti
Es dan Inti Api dipusarnya, karena maklum kalau dia
bakal menghadapi lawan-lawan berat. Tapi dengan ter-
tawa itu, Nanjar juga seolah-olah mentertawakan kata-kata si Mawar Beracun yang
mengajak mereka dari pi-
hak kaum pendekar untuk bekerja sama dalam pem-
berontakan. "Hahaha...orang hitam bergigi putih memang
sedap dipandang mata. Tapi orang hitam bagai arang"
Hahaha... seperti buah manggis yang isinya sudah bu-
suk dan tidak putih lagi. Rasanya manis-manis pahit!
Lebih banyak pahitnya dari pada manisnya!"
Tentu saja kata-kata Nanjar membuat muka si
Mawar Beracun jadi berubah merah padam. Tapi dia
masih bisa tertawa dingin.
"Hihihi... sobat Pendekar Naga Merah alias De-
wa Linglung! Agaknya hari ini kau juga Linglung kalau kalian mimpi untuk menolak
tawaran kami. Karena
tak seorangpun dari kalian akan dapat melihat Mata-
hari lagi besok pagi. Kecuali kalian menuruti kehendak kami!" berkata dingin si
Mawar Beracun. Sejenak dia menyapukan pandangan matanya menatap orang-orang
dihadapannya. Tatapannya berhenti pada si kakek Beng Sam
Kun, dan si Iblis Rupawan. Sempat pula di melirik pa-da Milani.
"Dan kau orang Tartar! Apakah kau tak ingin
memegang jabatan pada kerajaan Mataram nanti sete-
lah kami berhasil merebut kekuasaan?"
"Hehehe... tua bangka seperti aku sudah tak
menginginkan apa-apa lagi. Pengabdianku pada Kera-
jaan Mataram bukan karena pangkat dan kedudukan.
Aku cukup puas dapat menyumbangkan sedikit tenaga
yang tak berarti walaupun tanpa imbalan sekalipun!"
sahut si kakek Beng Sam Kun.
"Bagaimana dengan kau nenek tua berpenyakit
kusta yang baru saja ganti kulit" Apakah kau akan
mencoba lagi untuk berurusan dengan si Iblis Tam-
pan" Tentu selama dua tahun menyembunyikan diri di
luar desa Wabah Kusta, ilmu kepandaianmu telah ber-
tambah maju!"
"Manusia busuk! Hatimu tak lebih kotor dari
busuknya air berbau bangkai! Rupanya kau berniat
mengadu domba aku dengan gadis ini" Setelah mem-
bunuh kedua orang tua bocah perempuan ini sengaja
kau meninggalkan kesan seolah-olah akulah yang
menjadi pembunuhnya! Karena cuma kaulah yang
mengetahui kutungnya lengan-ku sebatas pergelangan
tangan!" bentak Muraini.
"Hihihi...! manusia kotor sepertimu memang
pantas kalau memindahkan kesalahan pada lain
orang. Apakah itu bukan fitnah keji?" sambar si Mawar Beracun dengan tertawa
dingin. "Heh! tak perlu lagi kau berputar lidah, manu-
sia hitam busuk! Aku mengetahui maksudmu yang
menghalangi niatku untuk kembali ke jalan lurus. Kau memang menginginkan aku
mati dengan meninggalkan
nama buruk! Cuma aku ingin tahu, apakah kau memi-
liki selusin anting-anting, hingga kau sengaja mem-
buang sebelah anting-antingmu disamping mayat kor-
banmu sepasang suami istri kaum bangsawan yang
kau bunuh dan kau rampok harta bendanya" Bahkan
kau bakar pula gedung tempat kediamannya?"
Pucatlah seketika wajah si Mawar Beracun.
Agaknya dia tak dapat menyembunyikan diri lagi dan
berdalih dihadapan si Iblis Rupawan. Apalagi saat itu dilihatnya si Dewa
Linglung telah mengeluarkan benda bukti yang ditimang-timang ditangannya. "Benda
ini memang serba guna! Bisa dipakai dilengan, dikaki, di-telinga, bahkan bila
diluruskan bisa digunakan seba-
gai senjata rahasia!"
"Baiklah! aku mengakui, memang akulah yang
telah membunuh kedua orang tua gadis ini! Bagiku tak perlu nama baik! Kecuali
orang-orang tolol seperti kalian saja yang benar-benar tolol!" berkata si Mawar
Beracun. Mendadak Milani melompat maju. Wajahnya
berubah beringas.
"Iblis terkutuk! jadi kaulah manusianya yang
telah membunuh kedua orang tuaku" Bagus! Hari ini
kalau aku tak membalaskan dendam kematian itu,
maka lebih baik aku membunuh diri!" selesai membentak, Milani menerjang si Mawar
Beracun dengan tusu-
kan sepasang tombak pendeknya.
Trang! Brreet! Secercah kilatan kuning menyilaukan mata
menabas udara. Sepasang tombak pendek Milani ter-
pental menjadi empat potong. Dan gadis itu terjungkal roboh dengan perdengarkan
menyayat hati. Hal itu
berlangsung dengan cepat, hingga semua mata dari pi-
hak pendekar ini membelalak-kan mata terperanjat.
Darah merah menyembur dari luka goresan di-
dada Milani. Pakaian gadis ini terkoyak memanjang
dari atas ke bawah hingga sebatas perut. Tampak di-
tangan si Mawar Beracun telah mencekal sebuah pe-
dang berwarna kuning. Itulah pedang pusaka miliki si
Pendekar Kipas Maut yang telah dipergunakannya.
"Perempuan iblis!" membentak Muraini. Wanita ini berkelebat menerjang perempuan
hitam itu. Sebentar saja keduanya telah terlihat pertarungan dahsyat.
"Hahaha... Dewa Linglung akulah lawanmu!"
terdengar suara tertawa berkakakan yang kemudian
disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayangan.
Ternyata si Tengkorak Kembar dari Neraka.
"Bagus! tanganku sudah gatal untuk menghan-
curkan muka kalian yang mirip setan-setan Neraka!"
Nanjar menggembor keras.
Pertarungan seru segera terjadi ketika si Teng-
korak Kembar dari Neraka menyerang dengan jurus-
jurus maut, yang mendapat "sambutan" si Dewa Linglung. Melihat pertarungan tak
seimbang, si ketua Merak Sakti melompat menerjang membantu Nanjar
menghadapi kedua manusia itu.
Akan tetapi sebuah bayangan berkelebat meng-
hadang laki-laki ini. Ternyata si Ular Kobra Hijau.
"Pendekar picisan! akulah lawanmu!" bentak si Ular Kobra.
"Manusia pemberontak telengas! Niat busukmu
takkan tercapai!" teriak si ketua Merak Sakti. Sepasang senjata gaetnya
menyambar ke arah batok kepala lawan. Ular Kobra Hijau segera menyambutnya
dengan pukulan uap beracunnya. Tapi lawannya telah cukup
waspada. Sejak memasuki mulut desa Wabah Kusta
dia telah menelan pel anti racun. Dia tarik serangannya untuk menghindarkan
diri. Lalu kembali mener-
jang dengan serangan-serangan mengandung maut.
Sebentar saja mereka telah terlibat pertarungan sengit.
Sementara itu sepasang mata Waru Anggono
jadi terbelalak lebar melihat ke arah dada Milani. Tepat
diantara belahan buah dadanya yang terbuka terdapat
tanda hitam sebesar itu jari. Tanda itu tak dapat dilu-pakan. Itulah tanda yang
tak semua orang memili-
kinya. Tiba-tiba dia melompat ke arah gadis yang terkapar itu dengan wajah
berubah pucat. Matanya
membelalak memperhatikan tanda hitam itu. Kemu-
dian memandang ke arah wajahnya. Mendadak terden-
gar suara Waru Anggono menggetar menyebutkan ka-
ta-kata. "Tidak salah! kau... kau pasti ANGGI RESMINI!
kau pasti adikku yang tengah kucari itu!" Sekali bergerak lengannya telah
terjulur dan memondong tubuh si
gadis. Kemudian membawanya keluar dari arena per-
tarungan dua wanita yang tengah saling gempur itu.
Kakek pengemis Beng Sam Kun melompat
mendekati. Cepat dia memeriksa pernapasan si gadis
yang tampak mengkhawatirkan. Lalu menotok bebera-
pa kali didekat luka untuk menghentikan mengalirnya
darah. "Siapakah gadis ini?" tanya Beng Sam Kun.
"Dia adikku! Ya! tidak salah lagi! Aku kenal ciri-ciri tanda hitam ini..." sahut
Waru Anggono lirih. Seti-tik air bening bergulir dari sudut matanya.
Berbagai perasaan bercampur aduk dihati pe-
muda ini. Gembira, sedih, kecewa bahkan kemarahan
menjadi satu dan bergelut dalam dadanya.
Mengapa Tuhan justru mempertemukan mere-
ka dalam keadaan seperti ini" Dia yakin gadis itu memang adiknya yang hilang
lima tahun yang silam. Na-
ma Milani tentu diberikan oleh kedua orang bangsa-
wan yang tewas terbunuh itu, dan menganggap bocah
yang ditemukan mereka sebagai anak sendiri.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar jeritan mero-
bek udara. Tampak salah satu dari dua wanita yang
bertarung sengit itu roboh terjungkal. Darah merah
memuncrat menyiram bumi. Kakek Beng Sam Kun me-
lompat dengan berteriak kaget. Sekejap dia telah me-
rangkul sosok tubuh yang terkapar berlumpuran da-
rah. Ternyata wanita itu adalah Muraini.


Dewa Linglung 15 Orang Orang Lapar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Koko... Beng! aku gembira dapat berjumpa
denganmu. Akupun bahagia dapat mati dengan kea-
daan bersih. Aku merasa Tuhan sudah memanggilku...
Te... teruskanlah perjuanganmu. Se... la...mat
ting...gal..." Kepala wanita itupun terkulai. Nyawanya melayang meninggalkan
tubuhnya. Tapi tampak bibir
wanita itu seperti tersenyum, seolah dia telah rela untuk dipanggil Yang Maha
Pencipta. Kakek Beng Sam Kun mencium kening adik
kandungnya. Kemudian membaringkannya ditanah.
Mendadak angin keras bersyiur menyambar ke arah
punggung si kakek pengabdi Kerajaan Mataram ini,
berbareng dengan bentakan keras menggema santar.
"Anjing Mataram! segera kaupun menyusul be-
rangkat ke Akhirat!" Ternyata si kakek kepala botak yang menyerang dengan
tongkat hitamnya.
Beng Sam Kun menyambutnya dengan tangki-
san. Bahkan sempat menghantam dengan lengan ki-
rinya ke arah berkelebatnya bayangan tubuh si penye-
rang. Plak! Dhes!
Dua sosok tubuh laki-laki yang saling gempur
itu sama-sama terlempar. Tapi segera bangkit kembali.
Dan mereka kembali saling terjang! Sekejap saja perta-runganpun berlanjut. Dua
tokoh hitam dan putih ini
sama-sama mengeluarkan jurus-jurus maut mereka
untuk merebut kemenangan.
Hidup ini memang penuh kemelut! Dan tak seo-
rangpun yang akan bebas dari kemelut. Perjuangan
adalah perjuangan, walau masing-masing orang atau
masing-masing pihak berbeda tujuan. Ambisi takkan
lepas dari hati manusia. Walaupun hal ini juga mem-
punyai dua jalur yang berlawanan.
Dan hawa nafsu memang masih tetap punya
kedudukan tinggi disetiap hati manusia. Bahkan ham-
pir merajai hati manusia. Secara sadar manusia tahu
bahwa itulah benalu kehidupan. Tapi mungkinkah
manusia bisa mengikisnya" Urat dan akar hawa nafsu
telah lama hidup sejak diciptakannya manusia di atas bumi ini oleh Yang Maha
Pencipta. Hawa nafsu adalah suatu unsur kekuatan yang
sangat hebat. Kita memang tak perlu menumpasnya,
karena kita tak akan dapat menumpasnya. Manusia
hanya bisa menjinakkan. Dengan demikian unsur ke-
kuatan itu akan menjadi suatu kekuatan yang lurus
dan benar. Tapi hal itu takkan terwujud tanpa adanya perjuangan. Dan perjuangan
itu pun akan menjadi
semua atau palsu, bila manusia tak memiliki akal wa-
ras. Akal yang waraspun tak bisa didapatkan tanpa
adanya petunjuk dari Yang Maha Pencipta. Petunjuk
itulah yang harus kita gunakan sebaik-baiknya. Kare-
na manusia bukanlah makhluk yang luar biasa. Tak
seorangpun manusia dijagat ini yang dapat memperta-
hankan kematian!
Manusia boleh berambisi. Manusia boleh berci-
ta-cita. Tapi kita sadar bahwa semuanya akan mati.
Semuanya akan musnah! Seperti juga sesuatu itu
asalnya tak ada, kemudian ada. Dan akhirnya kembali
lenyap! Dunia ternyata memang bukan tempat yang
abadi. Hidup kekal hanya akan kita dapati kelak di
alam Akhirat. Agaknya masih ada satu hal yang harus kita
renungkan. Renungan itu mungkin adalah sebuah per-
tanyaan yang kita bebas untuk menjawab. Dan biar-
kanlah masing-masing hati kita yang menjawabnya.
Pertanyaan itu ialah: Setujukah kita bila setiap kejahatan didunia ini tak
mendapatkan balasan atas hasil
segala kejahatannya"
Pertarungan yang berlangsung tegang antara
kaum pendekar penegak kebenaran dan kaum golon-
gan kiri yang sesat itu akhirnya berakhir juga. Dua tokoh hitam bergelar si
Tengkorak Kembar dari Neraka
perdengarkan jeritan panjang mengerikan. Dua tubuh
itu terjungkal roboh dengan masing-masing lehernya
terkoyak pedang mustika Naga Merah ditangan Nanjar.
Akan tetapi dari pihak kaum pendekar telah
kehilangan beberapa korban. Si ketua perguruan Me-
rak Sakti tewas ditangan si Ular Kobra Hijau. Batok
kepalanya rengkah terkena pukulan laki-laki itu.
Dua korban kembali menyusul. Waru Anggono
yang terlibat pertarungan dengan si Mawar Beracun
terlempar bergulingan. Lambungnya tersayat oleh pe-
dang ditangan perempuan hitam itu. Dia tewas me-
nyusul Milani yang telah terlebih dulu melayang ji-
wanya dihadapan pemuda itu.
Kakek Beng Sam Kun menggerung marah. Ji-
wanya dipertaruhkan untuk tegaknya keadilan dan
kebenaran. Tokoh-tokoh pemberontak itu harus sece-
patnya disingkirkan. Serangannya semakin gencar
mengurung tanpa memberi peluang sedikitpun pada
sang lawan. Sementara itu si Mawar Hitam mulai agak men-
ciut nyalinya melihat kematian dua orang tokoh anda-
lannya. Tapi dia berusaha membesarkan hati karena
dipihaknya masih ada si Iblis Tampan dan si Ular Ko-
bra Hijau. Baru saja dia berkelebat ke arah suaminya un-
tuk bergabung, terdengar bentakan keras yang mem-
buat dia melompat mundur.
"Mawar Beracun! Hayo berhadapan denganku!"
Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya cahaya
merah menyambar.
Trang! Cahaya merah dan kuning dari kedua pedang
pusaka itu saling bentur. Mawar Beracun tak berayal
menangkis serangan lawan yang tiada lain dari si Dewa Linglung. Kekuatan hebat
yang tersalur dari badan pedang mengandung tenaga dalam Inti Es telah beradu
dengan kekuatan tenaga dalam di Mawar Beracun. Ke-
dua badan pedang itu saling menempel. Tampak tubuh
si perempuan hitam menggigil. Arus yang amat dingin
seperti membekukan jantungnya.
Segera dia menyalurkan kekuatan tenaga da-
lam Inti Api untuk membuat buyar kekuatan lawan.
Girang hati si Mawar Hitam karena hawa dingin
lawan mulai agak mengendur. Sebaliknya Nanjar ter-
kejut karena merasakan aliran hawa panas mulai me-
rambat ke tubuhnya. Pedang Naga Merah mulai terdo-
rong sedikit demi-sedikit.
Mawar Beracun terus menambah kekuatan un-
tuk menindih kekuatan tenaga dalam lawan. Anehnya
tenaga dalam perempuan hitam ini seperti bertambah
berlipat ganda. Hal ini membuat konsentrasi Nanjar
agak buyar. Padahal dia dapat mengukur kekuatan la-
wan yang sepertiga dibawah kekuatan tenaga dalam-
nya. Buyarnya konsentrasi Nanjar sangat mengun-
tungkan lawan. Karena segera tampak tubuh Nanjar
mulai doyong. Secara drastis mata pedang lawan su-
dah tinggal beberapa inci lagi dari kulit lehernya. . .
"Hihihi.... nyawanya sudah diujung rambut.
Dewa Linglung! Segera kau ucapkan do'a kematian!"
tertawa mengekeh si Mawar Beracun.
Nanjar merasa ada sesuatu yang tak wajar da-
lam adu kekuatan tenaga dalam ini. Sambil tetap ber-
tahan, biji matanya bergerak memutar. Tertataplah sesosok tubuh yang berdiri tak
jauh dibelakang si pe-
rempuan hitam. Siapa lagi kalau bukan sosok tubuh si manusia bukan laki-bukan
perempuan alias si Iblis
Tampan. Tampaknya si Iblis Tampan tak berbuat apa-
apa. Tapi diam-diam dia tengah menyalurkan kekua-
tan tenaga dalam jarak jauh untuk membantu si Ma-
war Beracun melalui telapak tangannya yang terarah
ke punggung wanita itu.
"Sial dangkalan! rupanya mereka main cu-
rang?" maki Nanjar dalam hati. Nanjar diam-diam memutar otak untuk melepaskan
diri dari bahaya maut
yang mengancam jiwanya. Mendadak lengan kirinya
menyelusup kebalik pakaiannya. "Bagus! anak tikus dikantong bajuku masih sisa-
seekor. Untung aku tak
menelan semua...! Biasanya perempuan paling takut
dengan tikus! Ini satu-satunya cara yang kudapatkan!"
berkata si Dewa Linglung dalam hati.
Cepat sekali dia melemparkan binatang itu ke
kaki si Mawar Beracun. Tentu saja hal itu tak luput dari mata si Mawar Beracun.
Ketika melihat binatang
kecil yang menjijikkan itu menyentuh kakinya, si pe-
rempuan hitam ini membelalakkan mata dan menjerit
kaget. Akan tetapi itulah saat kematiannya. Karena
secara tak sadar seluruh kekuatan tenaga dalam yang
tengah disalurkan seketika lenyap, akibat rasa takut
dan jijik melihat binatang kecil itu.
Dengan suatu sentakan keras, terlepaslah pe-
dang ditangan si mawar Beracun. Dhes!! Kilatan sinar merah membias udara. Darah
merah menyembur dibarengi melayangnya kepala si wanita hitam dari batang leher.
Tubuh tanpa kepala itu roboh terjungkal berde-buk ditanah.
Bersamaan dengan tabasan maut yang memu-
tuskan kepala si Mawar Beracun, terdengar pula jeri-
tan kematian si kakek kepala botak ditangan si kakek Beng Sam Kun.
Sosok tubuh si Iblis Tampan mendadak lenyap
dari tempat berdirinya. Tapi Nanjar masih dapat melihat gerakan berkelebat
manusia itu. "Pengecut licik! jangan lari!" membentak Nanjar. Dia segera berkelebat mengejar
pintu gerbang ketujuh. Akan tetapi mendadak pintu itu tertutup! Baru saja dia
gerakkan tangan untuk mendobrak, mendadak terdengar jeritan parau dari ruangan
tertutup itu dan suara tubuh yang ambruk ke tanah. BRAK!
Sekali hantam hancurlah pintu itu. Apakah
yang dilihat Nanjar" Sepasang matanya membelalak,
karena melihat si Iblis Tampan terkapar dengan tulang dada hancur. Nyawanya
telah lepas melayang! Dan
tampak seseorang berdiri tegak tak jauh dari mayat si Iblis Tampan. Dialah si
Ular Kobra Hijau. Kesepuluh
jari-jari tangannya berlepotan darah.
"Siapakah kau sebenarnya" Mengapa kau
membunuh teman sendiri?" berkata Nanjar dengan
terkejut. "Aku adalah Senopati Girimandra dari kerajaan
Mataram yang merencanakan penyergapan komplotan
kaum pemberontak dimarkas desa Wabah Kusta ini,
bekerja sama dengan Senopati Beng Sam Kun!"
"Tapi...kau telah membunuh beberapa orang
kaum pendekar!" sanggah Nanjar.
"Jangan salah paham! Mereka orang-orang
yang kubunuh adalah justru komplotan dari kaum pa-
ra pemberontak!"
"Dari mana kau bisa mengetahui?" sentak Nanjar terkejut. Ular Kobra Hijau
menyeka lengannya yang berlumuran darah. Kemudian mengeluarkan secarik
kain dari balik pakaiannya.
"Inilah surat perintah dari Gusti Prabu Mata-
ram. Didalamnya terdapat nama-nama tokoh kaum
pemberontak! Kami tak berani lancang tangan untuk
sembarangan membunuh tanpa surat perintah dari
Baginda Prabu!" kata laki-laki itu seraya memberikan surat kain tersebut.
Benarlah apa yang dikatakan si Ular Kobra Hi-
jau. Nama-nama tokoh yang telah tewas ditangan laki-
laki itu terdapat di dalam surat perintah yang tak
mungkin palsu karena mempunyai cap Kerajaan.
Suara langkah kaki, terdengar mendekati dari
arah belakang Nanjar. Nanjar cepat berbalik. Tampak
si kakek tua Beng Sam Kun sudah berada di situ.
"Terima kasih atas bantuanmu, sobat Dewa
Linglung!" berkata si kakek berbaju pengemis itu seraya membungkukkan tubuh
menjura. "Haiih! kalian ternyata abdi-abdi kerajaan Ma-
taram" Mataku benar-benar kurang penglihatan..!" ka-ta Nanjar dengan tersenyum.
Lalu menjura pada kedua
Senopati itu. Nanjar memberikan surat itu pada si kakek Beng Sam Kun. Lalu
memasukkan pedang ke da-
lam serangka dibelakang punggung.
"Maaf, sobat-sobat Senopati. Badanku kotor
dan bau keringat. Aku mau mandi dulu membersihkan
badan disungai..!"
Selesai berkata Nanjar berkelebat pergi mening-
galkan tempat itu. Sekejap saja bayangan tubuhnya
lenyap dibalik kerimbunan hutan. Kedua senopati itu saling tatap dengan
sunggingkan senyum. Kakek Beng
Sam Kun menggeleng-gelengkan kepala, seraya berka-
ta pelahan. "Pendekar muda itu mana mau diberi penghar-
gaan oleh Baginda Prabu" Haiih! ilmunya tinggi, dan
tak sia-sia semua bantuannya...!"
Si Ular Kobra Hijau alias Senopati Girimandra
tersenyum manggut-manggutkan kepala....
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Sinar Emas 21 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Patung Dewi Kwan Im 4
^