Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 29

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 29


Diam-diam kedua orang pemimpin kelompok dari prajurit Pajang itu telah memasuki daerah Kademangan Randukerep. Mereka telah memilih jalan sempit yang tidak melewati padukuhan. Justru karena mereka telah pernah berada di Kademangan itu, maka merekapun telah mengenali jalan-jalan besar dan kecil dengan baik.
"Apakah kita akan memasuki padukuhan induk?" bertanya Kasadha.
"Ya. Untuk memastikan apakah prajurit Mataram ada di padukuhan ini atau tidak, kita harus melihatnya di padukuhan induk," jawab Bharata.
"Mungkin dalam keadaan wajar. Tetapi mungkin Mataram dengan sengaja mengelabui kita," desis Kasadha.
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin. Tetapi sebaiknya kita melihat padukuhan induk lebih dahulu."
Keduanyapun kemudian telah berusaha untuk memasuki padukuhan induk. Tetapi mereka tidak masuk lewat regol padukuhan, tetapi mereka telah meloncati dinding padukuhan, sehingga dengan demikian maka kemungkinan untuk diketahui para pengawal menjadi semakin kecil.
Ternyata padukuhan induk itu memang sepi. Bharata dan Kasadha dengan sangat berhati-hati telah mendekati banjar. Mereka memang melihat beberapa orang pengawal berada di banjar. Mereka tentu anak-anak muda yang pernah menjadi pengawal Kademangan yang untuk sementara mendapat kewajiban untuk mengatasi jika terjadi kerusuhan karena kejahatan. Tetapi nampaknya Kademangan itu masih saja terombang-ambing antara dua pilihan. Mataram atau Pajang.
Selain di banjar, maka Bharata dan Kasadha sama sekali tidak melihat kesiagaan yang lain. Di Kademangan mereka memang melihat beberapa pengawal bersiaga. Tetapi sekedar untuk mengamankan rumah Ki Demang itu saja.
Tetapi keduanya sepakat untuk melihat padukuhan yang lain. Mungkin ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian mereka.
Namun di padukuhan yang lainpun terasa kesepian sangat mencengkam. Memang di setiap banjar padukuhan terdapat beberapa orang pengawal berjaga-jaga. Tetapi tidak untuk memasuki pertempuran yang sebenarnya.
Seperti yang dikatakan oleh pengawal dari Nglawang, bahwa para pengawal Randukerep sekedar menjaga agar tidak terjadi kejahatan di Kademangan itu.
Bharata dan Kasadha dengan diam-diam berhasil melihat-lihat bukan saja padukuhan induk, tetapi beberapa padukuhan yang lain di Kademangan Randukerep. Mereka telah mengambil kesimpulan, bahwa orang-orang Mataram memang telah meninggalkan padukuhan itu. Sehingga dengan demikian, maka nampaknya mereka telah melepaskan niat mereka untuk menyerang Pajang dari sisi Selatan selain dari sisi Barat.
"Apakah mereka mempergunakan Kademangan lain sebagai landasan serangan mereka dari sisi Selatan ini?" bertanya Bharata.
"Tidak ada Kademangan yang lebih baik dari Randukerep. Selain arahnya yang mapan, juga di Kademangan ini didapat dukungan perbekalan yang memadai. Hasil sawah, pategalan dan tenaga yang cukup," sahut Kasadha.
Bharata mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah bahwa pasukan Mataram telah tidak ada lagi di Kademangan Randukerep.
"Kita akan melaporkannya kepada Ki Lurah," desis Kasadha.
"Marilah. Mungkin Ki Lurah akan mengambil langkah-langkah yang cepat," sahut Bharata.
Keduanyapun telah meninggalkan Kademangan Randukerep. Tetapi keduanya memang sengaja singgah di Kademangan Traju. Mereka masih juga berusaha meyakinkan, bahwa pasukan Mataram tidak berada di Traju.
Keduanyapun telah meninggalkan Kademangan Randukerep. Tetapi keduanya memang sengaja singgah di Kademangan Traju. Mereka masih juga berusaha meyakinkan, bahwa pasukan Mataram tidak berada di Traju.
Keduanyapun akhirnya yakin, bahwa pasukan Mataram memang sudah ditarik dari sebelah Selatan Pajang, sehingga mereka tidak lagi memilih jalur Selatan sebagai pintu butulan untuk memasuki Pajang jika pasukan Mataram mengalami kesulitan untuk menyerang Pajang dari sisi Barat.
Menjelang fajar keduanya telah berada kembali di Kademangan Nglawang. Namun Ki Lurah dan Ki Demang belum lama memasuki bilik mereka dan beristirahat. Karena itu, maka keduanyapun telah memilih tidur lebih dahulu. Mereka berdua berpendapat, bahwa tidak ada hal yang sangat mendesak untuk membangunkan Ki Lurah yang juga baru saja tertidur.
Baru pagi-pagi, di saat matahari terbit, setelah membersihkan diri dan membenahi kelompok masing-masing, Bharata dan Kasadha menghadap Ki Lurah dan Ki Demang yang sudah berada di pendapa.
"Orang-orang Mataram benar-benar telah meninggalkan Randukerep Ki Lurah," berkata Bharata yang kemudian melaporkan apa yang telah mereka lihat di Randukerep dan di Kademangan Traju.
Ki Lurah Dipayuda dan Ki Demang memang hampir tidak percaya akan hal itu. Apalagi Ki Dipayuda yang telah mengalami pertempuran yang keras di Kademangan Randukerep. Seandainya Ki Lurah Tapajaya tidak memberinya kesempatan menghindar dari pertempuran, mungkin iapun telah mati sebagaimana beberapa orang prajurit Pajang yang lain.
"Bagaimana mungkin Mataram begitu saja meninggalkan Kademangan Randukerep," berkata Ki Lurah.
"Mungkin satu jebakan bagi para prajurit Pajang," berkata Ki Demang.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Meskipun Randukerep telah dikosongkan, kami tidak akan dengan tergesa-gesa kembali ke Kademangan itu. Aku ingin membuat landasan kekuatan yang kokoh disini. Baru aku akan mempelajari kemungkinan itu."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Lurah tidak boleh tergesa-gesa mengambil sikap tentang Randukerep."
"Ya," jawab Ki Lurah, "kita harus meyakinkan sekali lagi. Sementara itu kitapun harus memperhitungkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi dalam hubungan para prajurit dan orang-orang Randukerep, yang dianggap kurang membantu. Hanya beberapa orang bagian kecil sajalah di antara para pengawal yang dengan bersungguh-sungguh telah berjuang di sisi para prajurit Pajang."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Satu perkembangan yang dapat menjadi teka-teki bagi kita Ki Lurah."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Lurah telah memberi kesempatan kepada Bharata dan Kasadha untuk beristirahat karena mereka baru saja bertugas hampir semalam suntuk. Bukan saja badan mereka menjadi letih, tetapi juga ketegangan yang mereka alami selama menjalankan tugas telah membuat mereka menjadi letih lahir dan batin.
Bharata dan Kasadhapun kemudian telah minta diri. Namun merekapun mengatakan bahwa mereka sudah sempat tidur beberapa saat sebelum menghadap Ki Lurah dan Ki Demang.
"Tetapi itu belum cukup. Jika menjelang fajar kau baru kembali dan di saat matahari terbit kau sudah berada disini, maka kau masih memerlukan waktu lagi untuk beristirahat hari ini. Jika ada berita penting, maka aku akan memanggil semua pemimpin kelompok yang ada di pasukan ini," berkata Ki Lurah.
Bharata dan Kasadha yang kembali ke kelompoknya masing-masing sempat memberikan beberapa peringatan, bahwa keadaan menjadi tidak menentu.
"Kita menunggu perintah dari Pajang. Tetapi bahwa Randukerep dikosongkan belum kita laporkan. Kita harus yakin lebih dahulu, apa yang telah terjadi disini," berkata anak-anak muda itu kepada prajurit-prajurit di dalam kelompok mereka.
Sebenarnyalah pada saat itu Ki Lurah memang sedang memikirkan kemungkinan untuk menyampaikan laporan ke Pajang. Mungkin ada perintah-perintah baru menanggapi perubahan sikap Mataram itu.
Tetapi sebelum Ki Lurah mengambil keputusan, maka telah datang dua orang penghubung dari Pajang yang langsung menuju ke Kademangan Nglawang, karena para pemimpin yang ada di Pajang sudah mendapat laporan tentang pergeseran landasan pasukan mereka dari Bharata dan Kasadha.
"Aku akan memanggil semua pemimpin kelompok untuk dapat mendengar langsung perintah-perintah dari Pajang," berkata Ki Lurah Dipayuda.
Sejenak kemudian maka para pemimpin kelompokpun telah berkumpul. Mereka akan mendengar langsung perintah yang dibawa oleh penghubung yang datang dari Pajang itu setelah para penghubung itu menyampaikannya lebih dahulu kepada Ki Lurah. Namun menurut Ki Lurah, perintah yang dibawa itu adalah perintah yang tidak diperkirakan sebelumnya sehingga dengan demikian maka perintah itu merupakan perintah yang penting.
"Para prajurit Mataram memang sudah ditarik dari Randukerep," berkata penghubung itu.
"Kami belum saja memberikan laporan, karena kami ingin meyakinkan apa yang telah terjadi di Randukerep. Semalam dua orang prajurit telah datang ke Randukerep," berkata Ki Lurah.
"Bukankah Randukerep telah kosong?" bertanya penghubung itu.
"Ya," jawab Ki Lurah, "juga Kademangan-kademangan sebelah menyebelah. Kami baru membicarakan isi laporan yang akan kami kirimkan ke Pajang, tetapi nampaknya Pajang justru telah mengetahuinya lebih dahulu."
"Kami mengetahuinya justru dari petugas sandi kami yang ada dalam pasukan Mataram yang berhasil mengetahui langsung perintah-perintah yang diberikan kepada kedua orang Rangga yang berada di sisi Selatan bersama Ki Lurah Tapajaya," jawab penghubung itu.
"Ya. Para prajurit itu berada di bawah pimpinan Ki Rangga Selamarta dan Ki Rangga Sanggabantala serta Ki Lurah Tapajaya," jawab Ki Lurah Dipayuda.
"Ternyata ketiga orang pemimpin itu dianggap bersalah. Mereka telah menyebarkan racun di antara rakyat Randukerep. Itu sama sekali tidak dikehendaki oleh pimpinan prajurit Mataram. Mataram memang menugaskan mereka untuk meyakinkan anak-anak muda akan perjuangan Mataram merebut Pajang. Tetapi tidak dengan cara yang kotor itu," berkata penghubung itu.
Ki Lurah Dipayuda mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Jadi apakah Mataram tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh orang-orangnya di sekitar Randukerep sebelum kami datang?"
"Perintah penarikan pasukan Mataram dari Randukerep sebenarnya telah diberikan sebelum terjadi pertempuran dengan prajurit Pajang. Tetapi para pemimpin dari Mataram di Randukerep telah memaksakan pertempuran itu. Baru setelah mereka meyakinkan diri memenangkan pertempuran di Randukerep, mereka telah menarik pasukannya dan membawanya ke seberang Kali Opak. Panembahan Senapati memang berkemah di sebelah Barat Kali Opak. Namun menurut laporan yang diterima oleh para petugas sandi Pajang yang telah meneruskannya ke pimpinan prajurit Pajang di pesanggrahan Kangjeng Sultan di sebelah Timur Kali Opak, ketiga orang perwira prajurit Mataram itu telah mendapat hukuman khusus dari Panembahan Senapati," berkata penghubung itu.
"Kenapa Panembahan Senapati menganggap cara yang ditempuh oleh ketiga perwiranya itu salah?" bertanya salah seorang pemimpin kelompok.
"Dengan cara itu, siapapun yang menang, tidak akan menemukan satu landasan yang baik bagi perjuangan mereka selanjutnya. Racun itu akan menyebar ke seluruh lekuk-lekuk kehidupan di Kademangan Randukerep dan sekitarnya. Cara hidup yang kotor itu memang akan dengan cepat melemahkan gairah perjuangan anak-anak muda dan bahkan orang-orang Randukerep. Semua orang akan segera tersesat ke dalam kehidupan itu karena cara hidup yang demikian akan lebih mudah menyusup dalam kehidupan daripada usaha-usaha yang baik. Karena itu, maka kelak usaha untuk menyembuhkannya tentu akan menjadi sangat sulit. Bahkan seandainya Mataram menang karena landasan pasukan di sisi Selatan ini, maka yang mereka dapatkan di Randukerep hanyalah abunya perjuangan yang tidak lagi memberikan arti apa-apa bagi masa depan. Kademangan Randukerep akan menjadi beban yang berat bagi usaha meningkatkan kesejahteraan hidup, bukan saja di Kademangan itu, tetapi juga di sekitarnya," berkata penghubung itu.
Ki Lurah Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagai seorang prajurit ia merasa kecewa. Ia belum sempat membalas kekalahan yang dideritanya sehingga terusir dari Kademangan Randukerep, Namun dengan keseimbangan antara nalar dan perasaannya, ia merasa bersyukur, bahwa pertumpahan darah di sisi Selatan Pajang itu berakhir. Namun belum berarti bahwa tidak akan terjadi pertumpahan darah di sebelah yang lain dari Pajang yang terasa memang sudah goyah itu.
Dalam pada itu, maka penghubung itupun telah menyampaikan perintah kepada Ki Lurah Dipayuda untuk bersiap-siap melakukan tugas-tugas yang akan diperintahkan kemudian. Tugas yang masih belum diketahui. Namun sudah pasti bahwa menghadapi Mataram di sisi Barat, Pajang memerlukan kekuatan yang sangat besar.
Dari penghubung itu pula Ki Lurah Dipayuda mengetahui, bahwa perintah penarikan pasukan Mataram dari Randukerep telah dijatuhkan oleh Tumenggung Purbarana yang ternyata mengambil kembali para prajurit Mataram yang berada di sisi Selatan dan membebaskan Ki Lurah Tapajaya serta kedua Rangga yang menyertainya dari tugasnya.
"Baiklah," berkata Ki Lurah Dipayuda, "aku akan menunggu perintah lebih lanjut. Tetapi jika pimpinan prajurit Pajang meyakini bahwa pasukan Mataram tidak akan turun lagi ke sisi Selatan, maka pasukan ini tentu akan segera ditarik dan ditempatkan di sebelah Kali Opak bersama-sama dengan seluruh kekuatan Pajang."
"Mungkin sekali," sahut penghubung itu. Lalu katanya, "Tetapi segala sesuatunya terserah kepada pimpinan Pajang yang masih berada dan menjaga ketenangan kota Pajang sekarang. Jika pimpinan keprajuritan yang berada bersama Kangjeng Sultan di pesanggrahan menjatuhkan perintah bagi Ki Lurah, agaknya akan tersalur lewat pimpinan di Pajang. Ki Tumenggung Surapraba."
Ki Demang yang ikut dalam pembicaraan itu kemudian berkata, "Memang hampir tidak dapat dipercaya. Setelah bertempur dengan taruhan beberapa orang korban yang jatuh, pasukan Mataram begitu saja meninggalkan Randukerep. Tetapi sebenarnyalah sebelumnya aku sudah menduga. Menurut keterangan yang aku terima pasukan Mataram memang lebih sedikit dari pasukan Pajang."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ki Demang memang pernah mengatakannya. Tetapi menilik gerakan yang besar dari pasukan Mataram di sisi Selatan, maka langkah yang ternyata benar-benar diambil Mataram itu mengejutkan. Namun agaknya terdapat pertimbangan-pertimbangan lain sebagaimana di katakan oleh penghubung ini. Mataram tidak mau prajurit-prajuritnya mempergunakan cara yang kurang wajar."
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun yang kemudian menyahut adalah penghubung itu, "Demikianlah yang terjadi Ki Lurah. Dengan demikian tugas kami sudah selesai. Karena itu, maka kami akan segera mohon diri."
Tetapi Ki Demang sempat menghidangkan minuman dan makanan bagi kedua penghubung itu sebelum mereka kembali ke Pajang.
Sejenak kemudian, maka kuda kedua penghubung itupun telah berderap meninggalkan Kademangan Nglawang, kembali ke Pajang untuk seterusnya jika diperintahkan menuju ke Prambanan setelah memberikan laporan-laporan yang dibawa dari Nglawang.
Sementara itu sepeninggal penghubung yang membawa berita dan sekaligus pesan-pesan itu, Ki Lurah masih berbincang dengan para pemimpin kelompok. Dengan demikian maka mereka menjadi yakin bahwa tugas mereka di sisi Selatan itu sudah selesai. Tetapi mereka masih belum menerima tugas-tugas baru yang harus mereka lakukan.
Namun sebagai seorang pemimpin sepasukan prajurit betapapun kecilnya maka Ki Dipayuda telah memerintahkan untuk bersiaga sepenuhnya.
"Satu kesempatan untuk memulihkan kekuatan pasukan meskipun kawan-kawan kita berkurang jumlahnya," berkata Ki Lurah.
Para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka harus tetap menempa diri, meningkatkan kemampuan mereka serta mencari kemungkinan-kemungkinan yang lain untuk tetap mempertahankan kekuatan pasukan mereka.
Sejak saat itu, maka tugas prajurit Pajang di Nglawang itu adalah menunggu sambil membenahi diri. Yang terluka mendapat perawatan sebaik-baiknya. Sementara Ki Demang telah membantu dengan segala kemungkinan yang ada. Ki Demang telah berusaha untuk menyediakan perbekalan bagi pasukan yang terluka dan berada di Kademangannya itu.
Namun di hari berikutnya, keadaan pasukan Ki Lurah itu telah menjadi semakin baik. Sebagian yang terluka tidak terlalu parah telah sembuh kembali. Bahkan yang semula parahpun telah mampu melakukan kegiatannya sehari-hari tanpa bantuan orang lain.
Tetapi yang tidak dapat mereka lupakan adalah kawan-kawan mereka yang telah gugur di peperangan.
Bharata dan Kasadha serta para pemimpin kelompok yang lain dengan sungguh-sungguh berusaha untuk tetap menegakkan kelompok mereka masing-masing sebagai satu kesatuan terkecil dari pasukan Pajang. Betapapun keadaan mereka setelah pertempuran di Randukerep, namun mereka harus tetap dengan bangga menyatakan diri mereka, prajurit-prajurit Pajang.
Namun dalam pada itu, Kasadha ternyata mempunyai beban persoalan yang lain. Bahwa ada orang-orang yang mengenalinya sebagai Puguh telah sangat mengganggu perasaannya. Setiap kali ia teringat, maka jantungnya serasa berdesir pedih. Namun ia sadar, bahwa ia tidak dapat menanggalkan masa lampaunya begitu saja.
Kasadha tidak dapat ingkar kepada dirinya sendiri, bahwa ia adalah Puguh. Anak Warsi. Sedangkan laki-laki yang disebut sebagai ayahnya adalah Ki Rangga Gupita, meskipun laki-laki itu sama sekali bukan ayahnya. Tetapi ayah adiknya yang lahir kemudian.
Persoalan yang menyangkut dirinya itu agaknya telah mempengaruhi sikapnya sehari-hari. Kadang-kadang Kasadha termenung memandangi kejauhan tanpa menghiraukan keadaan di sebelah menyebelahnya. Para prajurit di dalam kelompoknya sering melihat Kasadha seperti orang yang sedang bersedih.
Seorang di antara para prajurit itu pada satu kesempatan telah bertanya kepada Bharata, "Kenapa kakakmu selalu murung?"
"Kakakku siapa?" bertanya Bharata.
"Kasadha," jawab prajurit itu.
"Ia bukan kakakku," jawab Bharata.
"Ya. Aku mengerti. Tetapi kawan-kawan menyebutnya demikian. Apakah kau berkeberatan?" bertanya prajurit itu.
"Tidak. Aku tidak pernah merasa keberatan. Tetapi aku hanya ingin mengatakan bahwa itu bukan yang sebenarnya," jawab Bharata.
"Baiklah," desis prajurit itu, "tetapi yang ingin aku tanyakan, kenapa dengan Kasadha" Kau adalah orang yang dekat dengannya. Barangkali kau tahu apa sebabnya."
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak mengerti. Aku juga menyimpan pertanyaan seperti itu. Tetapi aku tidak sampai hati untuk menanyakannya. Jika persoalannya itu tidak sepatutnya dimengerti orang lain, maka hatinya akan menjadi semakin sulit. Ia akan membawa beban baru justru karena pertanyaan itu. Untuk menjawab, ia merasa tidak sepantasnya, tetapi tidak dijawab, maka ia akan merasa kurang mapan karena dengan demikian akan dapat menyinggung perasaan orang lain."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, "Apakah Kasadha masih mempunyai orang tua?"
"Aku tidak tahu," jawab Bharata.
Prajurit itu tidak bertanya lagi. Ia tahu bahwa Bharata memang bukan adiknya. Mereka bertemu di saat keduanya memasuki dunia keprajuritan Pajang.
Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu telah membekas di hati Bharata. Ternyata Kasadha menjadi murung justru setelah ada orang yang menyebutnya sebagai Puguh sebagaimana dirinya. Bharata sama sekali tidak menjadi murung karenanya. Bahkan Bharata dapat menyisihkannya untuk tidak diingatnya lagi, meskipun kadang-kadang muncul juga dipermukaan. Apalagi ia sudah dua kali mengalaminya.
Namun setiap kali telah timbul pula satu pertanyaan, "Apakah Kasadha itu memang orang yang sebenarnya bernama Puguh?"
Namun Bharata selalu mengusir pertanyaan itu. Ia mempunyai beberapa alasan untuk menolaknya. Menurut gambaran angan-angannya Puguh adalah seorang anak muda yang kasar. Bahkan liar dan buas. Tetapi umurnya lebih muda dari umur Bharata sendiri. Sedang Kasadha tidak memenuhi kedua-duanya. Ia bukan jenis seorang anak muda yang liar. Sedangkan menurut penilaiannya, Kasadha memang agak lebih tua dari dirinya meskipun hanya terpaut sedikit.
Karena itu, maka Bharata tidak berniat memperhatikan kemurungan Kasadha apapun sebabnya. Karena seseorang menjadi murung itu dapat terjadi karena seribu macam sebab.
Namun Kasadha sendiri agaknya merasa, bahwa sengaja atau tidak sengaja, Bharata telah melihat kemurungan yang tidak berhasil disembunyikannya. Karena itu, tanpa diminta Kasadha telah berceritera tentang sebuah mimpi.
"Mimpi?" bertanya Bharata.
"Ya," jawab Kasadha, "aku mimpi tinggal di lereng sebuah bukit. Dekat dengan rumahku terdapat sebuah sungai yang kecil saja. Namun ketika hujan turun berhari-hari, maka sungai yang kecil itu menjadi banjir. Aku tidak berpikir lebih jauh. Dengan serta-merta aku memanjat tebing untuk menghindari air yang cepat sekali naik. Tetapi tiba-tiba saja aku melihat lereng bukit itu menjadi goyah. Agaknya air hujan yang lebat itu bukan saja telah menimbulkan banjir, tetapi juga tanah longsor. Aku terjepit di antara banjir yang semakin tinggi serta tanah yang mulai bergerak turun."
Ketika Kasadha berhenti sejenak, Bharata menjadi tegang. Bahkan kemudian iapun bertanya, "Lalu, apa yang kau lakukan?"
"Tiba-tiba aku pasrah kepada Yang Maha Agung. Aku tidak tahu apakah aku termasuk orang yang selama ini mempunyai kepercayaan yang kuat. Tetapi di dalam mimpi tiba-tiba saja aku telah pasrah seutuhnya. Aku sudah tidak melihat jalan apapun yang akan dapat menyelamatkan diriku," jawab Kasadha.
"Lalu apa yang terjadi?" Bharata menjadi tidak sabar.
"Aku terbangun," jawab Kasadha.
"Sebelum tanah longsor itu menimpamu?" bertanya Bharata pula.
"Ya. Sebelum tanah longsor itu menimpaku dan air yang semakin besar itu dapat menggapaiku," jawab Kasadha dengan nada rendah.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, "Meskipun hanya sebuah mimpi, tetapi rasa-rasanya telah menegangkan jantung."
"Ya. Aku tidak dapat segera melupakannya," berkata Kasadha pula.
"Kenapa" Apakah kau termasuk orang yang percaya kepada mimpi bahwa mimpi itu selalu ada artinya?" bertanya Bharata.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang berniat untuk mengalihkan perhatian Bharata. Jika Bharata pernah melihatnya murung, maka Kasadha berharap pertanyaan yang timbul di hati Bharata akan terjawab dengan ceritera mimpi itu.
"Mimpi adalah mimpi," berkata Bharata, "satu peristiwa di dunianya sendiri."
"Tetapi sejak jaman dahulu orang percaya bahwa mimpi itu mempunyai arti," jawab Kasadha, "dan meskipun aku bukan ahli menebak arti sebuah mimpi, tetapi rasa-rasanya arti mimpi itu jelas sekali."
"Seandainya mimpimu itu mempunyai arti, maka apapun yang terjadi, kau akan selamat. Demikian pula jika ditarik ke lingkunganmu yang lebih besar. Pasukan ini misalnya. Maka dalam keseluruhan pasukan inipun akan selamat, karena kau sempat menyingkir dari arus banjir," berkata Bharata.
"Tetapi tanah longsor itu?" desis Kasadha.
"Tanah longsor itu belum menimpamu. Kau kemudian terbangun," jawab Bharata.
Kasadha mengangguk-angguk kecil. Sementara Bharatapun berkata, "Mimpi atau tidak mimpi, apa yang memang akan terjadi tentu terjadi. Kau tidak-boleh terlalu terpengaruh oleh sebuah mimpi yang belum pasti bersangkut paut dengan duniamu ini."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun dengan demikian Kasadha telah menghindarkan dirinya dari pertanyaan Bharata tentang dirinya yang memang kadang-kadang menjadi murung.
Untuk selanjutnya, maka ceritera tentang mimpi itulah yang dikatakan oleh Bharata kepada setiap orang yang bertanya kepadanya. Dengan demikian maka para prajurit Pajang di Nglawang, terutama yang berada di dalam kelompok yang dipimpin oleh Kasadha mendengar bahwa Kasadha telah terpengaruh oleh satu mimpi yang menurut tanggapannya mempunyai arti yang mencemaskan.
Tetapi Kasadha sendiri memang sulit untuk melupakan persoalan yang sebenarnya mencengkam jantungnya. Ada niatnya untuk mengatakannya kepada Bharata, agar bebannya menjadi sedikit berkurang. Tetapi justru karena ia tidak tahu siapakah Bharata itu serta latar belakang kehidupannya, maka Kasadha selalu mengurungkannya. Sehingga dengan demikian beban itu tetap merupakan beban baginya.
Demikianlah, maka di hari berikutnya, kejemuan telah mulai menyentuh perasaan para prajurit Pajang. Mereka merasa seakan-akan tidak diperlukan lagi dan dibiarkan begitu saja berkarat di tempat penyimpanan.
Ki Lurah Dipayuda yang memimpin pasukan yang berada di Nglawang itupun merasakan kegelisahan itu. Karena itu, maka ia dengan sungguh-sungguh memperhatikan setiap orang di dalam pasukannya. Namun Dipayuda itu menyadari bahwa para prajurit itu telah dibebani oleh perasaan bersalah karena kekalahan yang pernah mereka derita menghadapi pasukan Mataram. Karena itu, maka perasaan merekapun mudah sekali tersinggung. Mereka merasa justru karena kekalahan itu, mereka tidak diperlukan lagi oleh Pajang.
Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lebih lama. Ketika orang-orang yang terluka telah menjadi semakin baik, maka Pajang telah mengirimkan perintah untuk menarik pasukan itu dari Pajang.
"Keadaan pasukan Pajang di Prambanan menjadi gawat," berkata penghubung yang mendapat perintah memanggil pasukan Pajang itu, "pertempuran-pertempuran kecil memang sering terjadi di sekitar pesanggrahan. Tetapi Kangjeng Sultan masih belum mengambil sikap yang tegas."
Ki Lurah Dipayuda yang pernah bertempur langsung menghadapi prajurit Mataram telah menyatakan kesediaannya untuk berbuat apa saja di medan pertempuran.
"Kami, pasukan ini akan menebus kekalahan yang pernah kami alami," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Tetapi kita tidak dapat bertindak sendiri-sendiri. Setiap kali Kangjeng Sultan masih menunjukkan sikap yang kurang dapat dimengerti oleh para pemimpin Pajang yang termasuk dekat dengan Kangjeng Sultan itu sendiri. Adipati Tuban telah dengan sepenuh hati bersedia melakukan apa saja bahkan menghancurkan pasukan Mataram. Demikian pula Adipati Demak. Tetapi Sultan masih saja mencegahnya," berkata penghubung itu.
Ki Lurah Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia adalah seorang pemimpin dari sepasukan kecil dari Pajang. Jauh di bawah tingkat kedudukan Adipati Tuban dan Adipati Demak serta para Tumenggung yang lain. Jika mereka masih harus mengekang diri, maka apalagi Ki Lurah Dipayuda.
Tetapi jika Ki Lurah Dipayuda harus kembali ke Pajang lebih dahulu dan seterusnya ke Prambanan, itu tentu lebih baik daripada tetap tinggal di Kademangan Nglawang tanpa tugas tertentu kecuali menunggu.
Karena itu, maka Ki Lurahpun segera memerintahkan pasukannya berbenah diri. Pasukan itu di hari berikutnya harus sudah berada di Pajang dan melaporkan diri kepada Ki Tumenggung Surapraba.
Ketika penghubung itu telah meninggalkan Kademangan Nglawang, maka Ki Lurahpun segera mengadakan pertemuan dengan Ki Demang. Ki Lurah telah minta diri untuk meninggalkan Kademangan itu disertai ucapan terima kasih atas segala bantuan Ki Demang selama pasukan Pajang itu berada di Kademangannya.
"Itu adalah kewajiban kami orang-orang Nglawang," berkata Ki Demang.
Di sisa hari itu, maka para prajurit telah bersiap-siap. Para pemimpin kelompok telah menyiapkan kelompok masing-masing bukan saja sekedar untuk kembali ke Pajang. Tetapi mereka telah bersiap untuk memasuki medan pertempuran yang lebih besar di Prambanan di antara beribu-ribu prajurit yang lain.
Meskipun prajuritnya sudah tidak genap lagi seratus, namun Ki Dipayuda akan merasa lebih berarti jika pasukannya yang kecil itu berada di medan, meskipun hanya merupakan bagian kecil dari seluruh pasukan Pajang yang besar bersama para prajurit dari Tuban dan Demak.
Malam hari menjelang keberangkatan pasukan Pajang itu Ki Lurah Dipayuda masih berbincang panjang dengan Ki Demang. Ki Lurah masih sempat memberikan beberapa petunjuk kepada Ki Demang untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang keras di masa perang itu.
"Perang itu akan dapat menjalar sampai ke mana-mana," berkata Ki Lurah, "saat ini pasukan Mataram telah ditarik dari Randukerep. Bukan saja karena kekuatan Mataram terlalu kecil dibandingkan dengan Pajang, tetapi juga karena cara-cara yang ditempuh oleh para pemimpin prajurit Mataram itu tidak sesuai dengan perintah Panembahan Senapati. Karena itu, maka kemungkinan hadirnya prajurit Mataram masih ada dengan membawa perintah yang baru."
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Kami akan mencoba. Kademangan ini akan tetap bersiaga sepenuhnya."
"Hati-hati dengan Kademangan Randukerep. Kami tidak sempat melihat isi Kademangan itu yang sesungguhnya," berkata Ki Lurah, "beberapa kelompok pengawal telah sempat kami tingkatkan kemampuannya. Namun dalam pertempuran yang sesungguhnya mereka tidak berarti apa-apa."
"Kita tidak cemas menghadapi Randukerep seandainya mereka berbeda pendapat dengan kita. Mereka telah tertusuk racun yang disebarkan oleh para prajurit Mataram di luar kehendak Panembahan Senapati. Karena itu, maka aku masih yakin, bahwa anak-anak muda dan pengawal Kademangan Nglawang masih lebih baik dari anak-anak muda dan para pengawal Randukerep."
"Juga menghadapi orang-orang jahat yang antara lain adalah bekas prajurit Jipang. Meskipun perang antara Pajang dan Jipang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun yang lalu, namun sisa-sisa prajurit Jipang itu masih saja bergerak sampai sekarang," berkata Ki Lurah Dipayuda sambil menyebut sekelompok penjahat yang dijumpai oleh Bharata dan Kasadha.
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Pengawal Kademangan ini agaknya masih lebih baik dari pengawal dan anak-anak muda dari padukuhan yang kehilangan pimpinan itu."
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk. Menurut penglihatannya maka anak-anak muda dan pengawal di Kademangan itu memang lebih baik dari yang dikenalnya di Randukerep.
Demikianlah, maka malam itu adalah malam terakhir bagi pasukan Pajang itu berada di daerah Selatan. Menurut perhitungan para pemimpin Pajang, berdasarkan laporan para petugas sandi, maka tidak akan ada lagi pasukan Mataram yang bergerak sejauh itu memasuki daerah Pajang, karena pasukan itu tidak akan pernah mendapat dukungan apapun dari induk pasukan Mataram. Apalagi pasukan Mataram yang berada di sebelah Barat Kali Opak jauh lebih sedikit dari pasukan Pajang di sebelah Timur Kali Opak.
Menjelang tengah malam, maka Ki Lurah Dipayudapun telah berada di pembaringannya. Untuk beberapa saat ia masih belum dapat tidur nyenyak. Namun kemudian Ki Lurah itupun sempat beristirahat sebelum di keesokan harinya ia akan menempuh perjalanan kembali ke Pajang.
Pagi-pagi benar Ki Lurah Dipayuda memang sudah bangun. Demikian pula para pemimpin kelompok dan para prajurit. Menurut rencana, di saat matahari terbit, mereka akan meninggalkan Kademangan itu.
Ki Demang dan para bebahu mengantar mereka di saat keberangkatan itu tiba. Ki Lurah Dipayuda sempat berbicara sejenak dengan orang-orang Kademangan yang hadir di halaman banjar. Dengan singkat Ki Lurah mengucapkan terima kasih kepada mereka atas segala kebaikan mereka, terutama anak-anak muda dan para pengawal.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan prajurit telah meninggalkan Kademangan Nglawang. Prajurit-prajurit Pajang itu tidak terlalu lama berada di Kademangan itu, tetapi satu kesan tersendiri telah mereka tinggalkan.
Ketika pasukan itu datang, maka keadaannya nampak sangat letih dan parah. Wajah-wajah nampak murung dan sebagian dari mereka masih juga dikotori dengan darah. Darah sendiri maupun darah kawan atau lawan.
Namun pada saat mereka berangkat, pasukan itu sudah nampak perkasa. Mereka yang terluka telah mendapatkan kekuatan mereka kembali. Namun ternyata bahwa tiga orang terpaksa dititipkan di Kademangan itu, karena keadaannya yang masih parah. Mereka tidak akan dapat berjalan sendiri sampai ke Pajang. Tetapi mereka tidak mau memberati kawan-kawannya dengan membawanya pakai tandu. Karena itu, mereka sendirilah yang minta ditinggalkan saja di Kademangan itu.
"Kami merasa aman disini," berkata salah seorang di antara mereka yang parah.
Ki Lurah Dipayuda ternyata tidak berkeberatan. Apalagi keadaan kedua orang itu sudah berangsur baik. Sehingga agaknya tidak akan membahayakan jiwanya. Sementara itu tabib dari kalangan keprajuritan Pajang telah memberikan beberapa pesan kepada seorang tabib yang ada di Kademangan itu. Meskipun tabib di Kademangan itu pengetahuannya tentang obat-obatan tidak seluas tabib yang ada di dalam pasukan Ki Lurah Dipayuda, namun ia akan dapat menolong ketiga prajurit yang terluka agak parah itu.
Demikianlah, maka pasukan Pajang itu telah menyusuri jalan-jalan panjang menuju ke Pajang.
Seperti sebelumnya ketika Bharata dan Kasadha pergi ke Pajang berdua, maka Kasadhapun menjadi cemas. Jika seseorang yang mengenalinya melihatnya, maka tentu akan timbul persoalan baru. Sampai saat itu ia masih dapat merahasiakan dirinya meskipun hampir saja rahasia itu tersingkap.
Namun agaknya ia merasa lebih aman di dalam pasukannya dari pada saat ia pergi berdua dengan Bharata. Di dalam pasukannya, ia merupakan satu orang di antara sekian banyak orang. Tentu tidak akan ada orang yang sempat mengenali sekelompok prajurit itu seorang demi seorang jika tidak secara kebetulan.
Tetapi ketika di sepanjang jalan banyak orang yang melihat iring-iringan itu, maka kecemasannya telah timbul kembali.
Hati Kasadha bagaikan tersiram titik-titik embun ketika mereka mulai memasuki kota Pajang lewat tengah hari. Apalagi ketika mereka sudah berada di alun-alun Pajang.
Ki Lurahlah yang telah memasuki bagian samping istana Pajang untuk menemui perwira Pajang yang bertugas. Ki Lurah telah memberikan laporan kehadirannya atas perintah Ki Tumenggung Surapraba.
"Ya," jawab perwira yang bertugas, "telah disediakan barak bagi kalian."
Dengan demikian maka Ki Lurah Dipayuda telah membawa pasukannya ke sebuah barak yang memang sudah disediakan atas perintah Ki Tumenggung Surapraba. Bahkan ketika laporan kehadiran pasukan itu sampai kepada Ki Tumenggung dari perwira yang bertugas, maka Ki Tumenggung sendiri bersama empat orang pengawal telah datang ke barak itu.
Ki Lurah Dipayuda menerima Ki Tumenggung bersama para pemimpin kelompok. Di sebuah ruangan yang tidak begitu luas di barak itu, Ki Tumenggung sempat mengucapkan terima kasih kepada Ki Lurah Dipayuda.
"Aku tahu bahwa kalian terdesak dari Kademangan Randukerep. Tetapi kalian telah berbuat sebaik-baiknya sebagai prajurit Pajang. Kalian telah memindahkan landasan kalian ke Kademangan Nglawang adalah pilihan yang sangat tepat. Seandainya pasukan Mataram tidak ditarik, maka Nglawang adalah landasan yang akan dapat kalian pergunakan sebagai batu loncatan untuk mengusir pasukan Mataram dari Randukerep. Karena sebenarnyalah Randukereppun tidak akan dapat diharapkan oleh Mataram, justru karena Mataram sendiri telah menghamburkan racun di Kademangan itu," berkata Ki Tumenggung Surapraba.
"Kami pada saat itu memang tidak mempunyai pilihan lain Ki Tumenggung," berkata Ki Lurah.
"Kau sudah mengambil langkah yang benar," sahut Ki Tumenggung.
"Kemudian kami menunggu segala perintah," berkata Ki Lurah kemudian.
"Kau genapi pasukanmu dengan beberapa orang prajurit muda sehingga utuh kembali menjadi seratus. Kau sebagai Lurah Penatus akan mendapat perintah untuk bergabung dengan para prajurit Pajang di pasanggrahan Kangjeng Sultan di Prambanan. Matarampun nampaknya sudah siap untuk bertempur. Meskipun para prajurit dari Mataram jumlahnya lebih kecil dari prajurit yang dapat dihimpun oleh Pajang, namun Mataram akan dapat melanda pasukan Pajang dengan banjir bandang. Mataram dapat mengerahkan semua laki-laki untuk mengalir seperti banjir ke medan pertempuran di Prambanan sebagaimana yang kau alami di Randukerep," berkata Ki Tumenggung.
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk. Mataram nampaknya memang pandai meyakinkan rakyatnya betapa terhormatnya bagi setiap orang yang turun ke medan pertempuran.
"Kami siap untuk berangkat setiap saat Ki Tumenggung," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Kami sedang mempersiapkan pasukanmu dan satu lagi pasukan yang besarnya sama dengan pasukanmu. Besok kalian akan mendapat perintah-perintah baru," berkata Ki Tumenggung.
Ki Lurah Dipayuda mengangguk hormat. Katanya, "Kami akan menunggu perintah lebih lanjut."
Sepeninggal Ki Tumenggung, Ki Lurah Dipayuda telah, memerintahkan para pemimpin kelompok untuk memenuhi kelompok mereka masing-masing. Menurut Ki Tumenggung akan datang beberapa orang prajurit muda menggantikan para prajurit yang telah gugur dan terluka sehingga tidak lagi dapat melakukan tugas mereka.
Tetapi di hari berikutnya, Ki Lurah Dipayuda terkejut ketika seorang perwira Pajang datang ke barak itu bersama dengan beberapa orang prajurit. Ternyata yang diserahkan kepada Ki Lurah Dipayuda bukan prajurit-prajurit muda sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung. Tetapi prajurit-prajurit yang nampaknya sudah cukup lama berada di dunia keprajuritan. Namun menilik sikap dan tingkah laku mereka, Ki Lurah Dipayuda meragukan kesetiaan mereka.
"Kenapa tidak prajurit-prajurit muda sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung?" bertanya Ki Lurah.
"Mereka telah disusun dalam satu pasukan tersendiri," berkata Perwira itu, "karena itu, maka prajurit yang untuk sementara dihentikan tugasnya ini akan dapat di tugaskan kembali."
Ki Lurah Dipayuda termangu-mangu. Ia sudah melihat akan terjadi kesulitan di dalam pasukannya. Para pemimpin kelompok di dalam pasukannya pada umumnya adalah prajurit-prajurit muda yang masih lugu. Mereka masih berbuat dan berlaku sebagaimana seorang prajurit. Namun orang-orang ini agaknya adalah prajurit-prajurit yang pernah melakukan kesalahan sehingga pernah mendapat peringatan dan bahkan hukuman.
Tetapi Ki Lurah Dipayuda sendiri, seorang perwira yang berpengalaman tidak dapat menolak. Ia sadar, bahwa ia harus dapat mengatasi orang-orang itu apapun yang mereka lakukan.
"Baiklah," berkata Ki Lurah, "aku akan segera menempatkan mereka ke dalam kelompok-kelompok yang tidak utuh lagi."
Tetapi perwira itu sempat berpesan, "berhati-hatilah. Ada di antara mereka yang memerlukan perhatian secara khusus."
Ki Lurah Dipayuda tersenyum betapapun kecutnya. Katanya, "Aku akan mengatasinya. Aku akan memperlakukannya sebagai seorang prajurit dan dengan cara seorang prajurit."
Perwira itu mengangguk-angguk. Ia mengenal Ki Lurah Dipayuda sebagai seorang perwira yang sabar. Tetapi Ki Lurah Dipayuda adalah seorang perwira yang memegang teguh paugeran seorang prajurit.
Demikianlah maka sejenak kemudian perwira yang membawa beberapa prajurit ke barak Ki Lurah Dipayuda bersama dengan dua orang pengawalnya itupun telah meninggalkan barak itu.
Beberapa saat para prajurit yang baru datang itu masih berdiri di halaman barak. Sementara Ki Dipayuda berdiri tegak di hadapan mereka. Dengan lantang Ki Lurah Dipayuda telah memberikan beberapa pesan kepada orang-orangnya yang baru itu. Namun yang ternyata adalah prajurit-prajurit yang justru telah lama dan berpengalaman di dunia keprajuritan, namun yang memiliki sikap yang kadang-kadang kurang terpuji.
Menghadapi mereka Ki Lurah Dipayuda ternyata bersikap lain daripada sikapnya menghadapi prajurit-prajurit muda. Kepada mereka Ki Lurah Dipayuda bersikap sebagai seorang prajurit yang keras dan penuh dengan ikatan-ikatan pangeran yang tidak boleh dilanggar sama sekali.
Para pemimpin kelompok yang melihat cara Ki Lurah menghadapi mereka ternyata dapat mengambil contoh daripadanya. Ki Lurah itu seakan-akan sedang memberikan tuntunan, bagaimana para pemimpin kelompok itu harus menghadapi orang-orang yang dikirim kepada mereka.
Tetapi sikap Ki Lurah itu memang berpengaruh. Prajurit-prajurit yang dikirim kepadanya itu melihat, bahwa Ki Lurah Dipayuda adalah seorang pemimpin yang tegas dan tidak segan-segan mengambil tindakan jika perlu.
Namun meskipun demikian ada juga di antara para prajurit yang dikirim kepada Ki Lurah itu justru tersenyum-senyum. Seakan-akan mereka sama sekali tidak mendengar segala macam pesan dan petunjuk dari Ki Lurah itu. Bahkan rasa-rasanya mereka ingin membungkamnya agar orang itu lekas berhenti berbicara.
Setelah Ki Dipayuda selesai dengan pesan-pesannya, Ki Lurah tidak segera memberikan perintah-perintah kepada para prajurit itu untuk memasuki kelompok-kelompok yang memerlukan. Tetapi Ki Lurah telah memerintahkan seluruh pasukannya berbaris di halaman, kelompok demi kelompok.
Kemudian Ki Lurah justru memanggil para pemimpin kelompok untuk masuk ke ruang dalam mendengarkan pesan-pesan yang diberikannya.
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah berkata, "Mereka orang-orang yang lebih berpengalaman dari kalian. Tetapi kalian mempunyai kelebihan. Ketika kalian memasuki tugas keprajuritan, maka kalian telah didadar secara khusus. Kalian harus memiliki bekal kemampuan sebelum kalian memasuki tugas keprajuritan, sehingga dalam keadaan tertentu kalian tidak akan canggung lagi berbuat sebagai seorang pemimpin betapapun kecilnya tataran kepemimpinan kalian."
Para pemimpin kelompok itu mengerti apa yang dimaksud oleh Ki Lurah Dipayuda. Jika semula mereka masih ragu-ragu dan bahkan merasa berdebar-debar menghadapi orang-orang itu, maka pesan Ki Lurah itu seakan-akan merupakan perintah bagi para pemimpin kelompok.
Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka mendengar dua tiga orang berteriak-teriak, "He Ki Lurah. Kau kira kami masih belum kering sehingga kami harus kau jemur disini?"
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, "Itu adalah contoh sikap mereka. Apakah prajurit-prajurit yang selama ini ada di dalam kesatuan kita pernah berbuat seperti itu?"
Para pemimpin kelompok itu menarik nafas panjang. Sementara Ki Lurah berkata, "Ingat. Kalian sudah memiliki bekal cukup ketika kalian memasuki tugas keprajuritan."
"Ya Ki Lurah," beberapa pimpinan kelompok berdesis.
"Sekarang, marilah. Ikut aku," berkata Ki Lurah.
Sementara itu di halaman, para prajurit yang baru datang ke barak itu telah melihat prajurit-prajurit muda yang berada di halaman itu pula. Seorang di antara mereka berkata, "He, kita akan ditempatkan bersama-sama dengan anak-anak ingusan itu?"
Yang lain tertawa. Katanya, "Kita dianggap badut-badut yang tidak berarti disini." lalu tiba-tiba orang itu berteriak kepada para prajurit muda, "He, apakah kalian menunggu biyungmu membawa oleh-oleh dari pasar" He, kenapa kalian tetap berdiri di situ?"
Prajurit-prajurit muda itu memang tersinggung. Merekapun bukan pengecut yang menjadi ketakutan melihat sikap orang-orang yang dikirim kepada mereka itu. Di pertempuran mereka telah mempertaruhkan nyawanya melawan orang-orang Mataram yang garang. Ada di antaranya yang bekas lukanya masih memanjang di tubuh mereka. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak mau dianggap anak-anak ingusan yang tidak berguna di peperangan. Kekalahan mereka di Randukerep bukan berarti bahwa mereka tidak mempunyai arti sama sekali di dalam lingkungan keprajuritan Pajang.
Untuk sesaat Kasadha menjadi berdebar-debar. Ia menjadi cemas bahwa di antara orang-orang itu terdapat bekas prajurit Jipang yang pernah mengenalinya sehingga akan dapat menimbulkan kesulitan.
Dalam pada itu ketika Ki Lurah Dipayuda muncul bersama para pemimpin kelompok, maka beberapa orang prajurit yang baru dikirim kepada mereka itupun dengan serta-merta telah berteriak-teriak, "He, kenapa kami harus dijemur disini" Kami adalah prajurit yang dihormati. Kami bukan kayu bakar yang segera akan dimasukkan ke dalam perapian."
Ki Lurah Dipayuda berdiri tegak di hadapan mereka. Ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Dipandanginya saja orang-orang yang berteriak-teriak itu seorang demi seorang.
Namun akhirnya, teriakan-teriakan itu mereda. Sikap Ki Lurah ternyata cukup meyakinkan mereka, bahwa Ki Lurah adalah seorang pemimpin.
Tetapi ternyata masih juga ada di antara mereka yang berteriak, "Ki Lurah, jangan samakan kami dengan tikus-tikus ingusan itu. Kami adalah prajurit-prajurit pilihan yang sudah kenyang makan garam di medan-medan pertempuran. Kami terbiasa membunuh atau dibunuh. Tidak di jemur seperti ini."
Ki Dipayuda memandanginya dengan tajamnya. Namun prajurit yang lain justru masih saja berteriak, "Jangan perlakukan kami seperti ini. Atau kami akan bertindak sendiri."
Ki Lurah Dipayuda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Kasadha, orang itu akan menjadi bawahanmu."
Kasadha telah melangkah maju sambil berkata, "Akan aku bawa ia ke dalam pasukanku."
"Seorang lagi akan berada di dalam kelompok Bharata," berkata Ki Lurah.
Tetapi orang itu menjawab, "Mau kalian apakan kami he" Sejak kapan kau berhenti menyusu, sehingga kau berani memimpin sekelompok prajurit dan memerintah aku?"
Tetapi Kasadha tidak menjawab. Ia memang sangat tersinggung atas kata-kata prajurit itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Kasadha telah melangkah mendekatinya. Sambil berdiri di hadapan orang itu Kasadha berkata, "Aku adalah pemimpin kelompokmu."
Orang itu justru tertawa sambil berkata, "Kau yang masih pantas menghisap gelali gula kelapa merasa pantas menjadi pemimpin kelompokku?"
Kasadha tidak menunggu lagi. Tiba-tiba saja tangannya telah menampar pipi orang itu.
Orang itu terkejut. Ia melangkah selangkah surut. Sambil meraba pipinya ia berkata, "Setan kau. Kau kira aku tidak berani menghancurkan kepalamu disini meskipun ada Ki Lurah Dipayuda."
"Kau boleh mencoba. Ki Lurah tidak akan turut campur," bentak Kasadha.
Orang itu menggeram. Sementara Kasadha menjadi semakin garang. Tiba-tiba saja ia telah menarik baju orang itu dan melemparkannya keluar dari sekelompok prajurit yang baru datang itu.
Orang itu tertatih-tatih sejenak untuk mempertahankan keseimbangannya. Namun kemudian iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun tertawa lagi sambil berkata, "Kau ingin memamerkan kehancuranmu sendiri di hadapan prajurit-prajuritmu yang masih ingusan itu" Baiklah. Aku akan menolongmu."
Kasadha tidak lagi menampar pipinya. Tetapi ia mulai bersiap menghadapi prajurit yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang melampaui anak-anak ingusan itu. Apalagi ia memang termasuk prajurit yang bertingkah laku kurang baik.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Lurah Dipayuda berkata, "He para prajurit. Lihat apa yang terjadi. Kalian dapat mengambil kesimpulan sendiri apa yang sebaiknya kalian lakukan. Prajurit yang sejak semula berada di dalam kesatuanku dan prajurit-prajurit yang baru datang. Aku tidak akan mencegah tindakan yang akan diambil oleh Kasadha, salah seorang pemimpin kelompokku, karena ia mempunyai wewenang untuk bertindak sendiri tanpa aku, sehingga ia tidak akan tergantung kepadaku untuk mengatur prajurit-prajuritnya."
Semua orang menjadi berdebar-debar. Prajurit yang siap melawan Kasadha itu masih saja tertawa-tawa. Sementara prajurit-prajurit muda yang sejak semula berada di kesatuan Ki Lurah Dipayuda sudah melihat kemampuan Kasadha dan Bharata.
"Marilah anak manis," berkata prajurit itu, "tetapi kau tidak boleh cengeng dan merajuk jika kepalamu membentur batu."
Kasadha tidak menjawab. Ia melangkah maju. Namun prajurit yang masih tertawa-tawa itupun tiba-tiba telah meloncat menyerang. Ia berniat untuk membanting Kasadha dalam geraknya yang pertama, sehingga dengan demikian setiap orang yakin bahwa ia memang seorang prajurit linuwih. Ia berharap bahwa Ki Lurah Dipayuda sendiri akan turun menanganinya, sehingga ia berkesempatan untuk mengalahkannya. Dengan demikian, maka ia akan dapat menguasai seluruh pasukan itu, meskipun yang menjadi Lurah Penatus tetap Ki Lurah Dipayuda.
Tetapi prajurit itu salah hitung. Ternyata Kasadha juga ingin memperlakukan prajurit itu sebagaimana ia akan memperlakukannya.
Karena itu, ketika prajurit itu meloncat menyerangnya, Kasadha telah meloncat ke samping. Namun kemudian tubuhnya telah berputar bertumpu pada sebelah kakinya, sementara kakinya yang lain terayun mendatar.
Adalah tidak diduga sama sekali bahwa ternyata kaki Kasadha itu tepat menyambar kepala lawannya. Cukup keras, sehingga lawannya yang tidak menduganya telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian prajurit itu telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh terlentang di tanah.
Tetapi demikian cepat ia bangkit berdiri.
Kemarahan prajurit itu telah membakar jantungnya. Karena itu maka iapun telah meloncat menerkam Kasadha. Kedua tangannya terjulur ke depan dengan jari-jari mengembang. Matanya bagaikan menyala sedang giginya gemeretak.
Tetapi Kasadha yang telah ditempa oleh gurunya serta oleh pengalamannya yang cukup luas, dengan cepat menanggapi serangan itu. Ia sama sekali tidak membenturnya. Tetapi dengan sigap Kasadha berjongkok. Namun dengan kekuatan penuh sikunya telah menghantam lambung lawannya.
Langkah prajurit itu tertahan. Bahkan iapun telah terbungkuk menahan sakit di lambungnya. Rasa-rasanya isi perutnya terdesak naik sampai ke dadanya, bahkan rasa-rasanya akan muntah keluar.
Tetapi Kasadhapun telah menjadi marah sejak semula. Sikap prajurit itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, justru ketika prajurit itu sedang terbongkok menahan sakit, Kasadha justru menekan kepala orang itu sambil mengangkat lututnya.
Satu benturan keras tidak dapat dihindarkan. Wajah orang itu telah membentur lutut Kasadha. Dua giginya patah sehingga mulutnya telah berdarah.
Ketika orang itu mengaduh kesakitan, satu pukulan yang keras telah menghantam kening orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling.
Tetapi Kasadha tidak membiarkannya. Ia justru memburunya. Demikian prajurit itu mencoba bangkit berdiri, maka kaki Kasadha telah menghantam lagi ke arahnya.
Namun pada saat terakhir, Kasadha justru telah mengekang dirinya. Kakinya yang akan menghantam wajah prajurit itu, telah dimiringkannya, sehingga kaki itu hanya mengenai pundaknya.
Namun orang yang mencoba bangkit itu telah terbanting lagi menelentang. Cukup keras, sehingga rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang. Sehingga dengan demikian maka orang itu tidak segera dapat bangkit.
Kasadha berdiri dekat di sebelahnya. Dengan kakinya ia mengungkit lawannya itu sambil berkata, "Bangkit. Bukan aku yang menjadi cengeng dan merajuk. Tetapi kau. Bukan aku yang masih ingusan di medan ini, tetapi kaulah yang sudah menjadi pikun. Kau merasa bahwa yang muda-muda tidak akan mampu berbuat lebih baik dari orang-orang setua kau?"
Prajurit itu memang sudah tidak mampu lagi untuk bangkit. Namun selagi Kasadha memperhatikan orang itu, tiba-tiba saja prajurit yang seorang lagi telah melangkah mendekatinya. Agaknya orang itu akan menyerang Kasadha dengan cara yang licik. Justru pada saat Kasadha tidak memperhatikannya.
Namun langkahnya terhenti ketika seseorang menggamitnya. Bharata.
"Kau mau apa" Kau berada di dalam kelompokku. Tanpa perintahku, kau tidak dapat mencampuri persoalan ini," berkata Bharata.
Tetapi orang itu tidak menyia-nyiakan waktu. Ia sama sekali tidak menjawab. Namun tangannyalah yang dengan cepatnya langsung memukul ke arah kening Bharata.
Hampir saja serangan itu mengenainya. Tetapi Bharata ternyata cukup tangkas. Dengan cepat ia menangkap pergelangan tangan orang itu. Dihentakkannya orang itu dengan kerasnya sementara kakinya terangkat ke arah perut.
Orang itu mengaduh kesakitan. Kaki Bharata telah menghantam perutnya sehingga perutnya itu menjadi mual.
Tetapi orang itu berhasil menarik tangannya sambil berusaha menyerang Bharata dengan kakinya. Tetapi Bharata telah melepaskan tangan itu dan bergeser ke samping.
Orang itu masih saja merasakan perutnya sakit sekali. Tetapi kemarahannya telah mendorongnya untuk dengan cepat menyerang Bharata. Karena itu, maka iapun telah meloncat sambil menjulurkan kakinya mengarah ke lambung Bharata.
Namun Bharata sempat merendah sambil melindungi lambungnya dengan sikunya.
Serangan orang itu bagaikan telah membentur dinding besi. Karena itu justru orang itulah yang terdorong surut. Bahkan terasa tulang kakinya menjadi sakit sekali.
Ternyata Bharatapun ingin dengan cepat menyelesaikannya sebagaimana dilakukan Kasadha, agar dengan demikian berpengaruh bagi kawan-kawannya, orang-orang yang merasa dirinya lebih berpengalaman dan yang pada dasarnya adalah orang-orang yang telah cacat namanya.
Karena itu, selagi orang itu berusaha tegak kembali, maka Bharatalah yang telah menyerangnya. Dengan loncatan panjang, bahkan seakan-akan anak muda itu telah terbang dengan satu kaki terjulur menyamping.
Satu hentakan yang keras telah mengenai dada orang itu. Dengan keras pula orang itu telah terlempar dan jatuh terguling di tanah. Dadanya bagaikan terhimpit seonggok batu sehingga nafasnya menjadi sesak.
Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka dadanya rasa-rasanya telah tertindih semakin berat. Ketika ia memperhatikannya dengan saksama dengan matanya yang kabur, maka ia melihat Bharata berdiri di sebelahnya dengan satu kakinya menginjak dadanya.
"Dengar," suara Bharata lantang, "sudah aku peringatkan. Kau adalah prajurit yang ada di dalam kelompok yang aku pimpin. Kau harus tunduk kepada perintahku. Atau aku tidak memerlukan kau sama sekali dengan mematahkan lehermu. Aku berhak melakukannya karena kau telah berani menentang. Bukan saja menentang perintahku tetapi kau sudah berani melawanku secara wadag meskipun aku sudah memperingatkanmu bahwa aku adalah pimpinanmu."
Orang itu termangu-mangu. Namun kaki Bharata menginjaknya semakin keras.
"Akui kesalahanmu, atau aku akan mengambil tindakan lebih jauh?" bentak Bharata.
Orang itu masih berdiam diri. Rasa-rasanya berat juga untuk mengakui kesalahan di hadapan anak-anak sebagaimana Bharata. Namun Bharata telah menekan dada orang itu semakin keras sambil berkata, "Jika kau tidak segera mengakui kesalahanmu, maka tumitku akan mematahkan tulang rusukmu. Semua orang disini menjadi saksi, bahwa kau telah berani melawan aku, pemimpinmu."
Akhirnya orang itu tidak tahan lagi. Dadanya rasa-rasanya memang akan retak. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Baik. Baik. Aku akan mengakuinya."
"Cepat ucapkan sekarang," suara Bharata menjadi semakin keras.
"Ya. Aku mengakui salah. Aku minta maaf," berkata orang itu.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian mengangkat kakinya.
Tertatih-tatih orang itu bangkit. Tetapi badannya masih terasa sakit. Dadanya, perutnya dan punggungnya juga sakit. Sedangkan kawannya, yang dikalahkan oleh Kasadhapun telah duduk pula. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan.
Sejenak halaman barak itu menjadi tegang. Dua orang pemimpin kelompok yang masih muda itu telah membuktikan bahwa mereka memang mampu melakukan tugas yang dibebankan kepada mereka, sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang semula merasa dirinya lebih baik dari anak-anak yang disebutnya ingusan itu harus mulai menyadari kedudukan mereka.
Selagi ketegangan itu masih mencengkam, maka Ki Lurah Dipayuda berkata, "Cara itulah yang akan berlaku disini. Orang-orang yang tidak memperhatikan perintah pimpinannya, ia akan mengalami perlakuan seperti ini. Semua pemimpin kelompok telah menerima limpahan wewenangku. Jika mereka tidak mau bertindak tegas terhadap prajurit-prajuritnya yang membangkang, maka pemimpin-pemimpin kelompok itulah yang akan mengalaminya. Aku adalah Lurah Penatus yang tidak peduli terhadap siapapun yang menentang perintahku."
Para prajurit yang baru saja diserahkan kepada Ki Lurah itu memang telah melihat satu kenyataan, bahwa para pemimpin kelompok yang masih muda itu mampu bertindak tegas sebagai seorang pemimpin prajurit. Dua orang kawan mereka yang mereka anggap memiliki kemampuan terbaik, ternyata tidak berdaya menghadapi anak-anak muda itu. Mereka kalah mutlak tanpa mampu berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian maka Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Bawa orang-orang itu ke dalam kelompok kalian. Yang lain akan menunggu sampai besok. Siapa yang merasa tidak sabar, boleh memberontak. Hukuman tertinggi dari seorang pemberontak adalah hukuman mati. Dalam suasana perang seperti ini, para pemimpin kelompok akan dapat mengambil kebijaksanaan atas tanggung jawabku."
Semua orang di halaman barak itu terdiam. Kasadha telah membawa prajurit yang dikalahkannya ke dalam kelompoknya. Demikian pula Bharata. Ternyata keduanya telah mengambil kebijaksanaan yang serupa. Keduanya menyerahkan orang-orang itu kepada seisi kelompok.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian yang telah selamat dari pertempuran yang ganas di Randukerep tentu akan tetap berpegang kepada tugas seorang prajurit. Kalian harus saling bersandar dalam kesatuan. Siapa yang tidak ikut serta di dalamnya akan mengalami perlakuan yang pahit. Apalagi di medan perang nanti," berkata Bharata kepada prajurit-prajuritnya.
Sementara Kasadha berkata kepada kelompoknya, "Kalian aku anggap sama. Tidak ada yang lebih baik di antara kalian. Yang menganggap dirinya terbaik akan mengalami kesulitan disini."
Kedua orang prajurit yang telah dikalahkan oleh Kasadha dan Bharata itu tidak dapat berbuat lain kecuali mengakui satu kenyataan, bahwa ia tidak dapat berlaku menurut keinginan mereka sendiri. Di kesatuannya yang lama, ia memang selalu berbuat onar. Tetapi pemimpin kelompoknya tidak berani berbuat apa-apa selain memperingatkannya dan akhirnya melaporkannya kepada pemimpin kesatuannya sehingga ia telah disingkirkan. Tetapi pemimpin kelompok yang masih muda ini ternyata telah bertindak langsung.
"Mungkin bimbingan Ki Lurah Dipayuda itulah yang telah membentuk mereka seperti itu. Agaknya Ki Dipayuda juga seorang pemimpin yang sangat keras kepada bawahannya," berkata orang-orang itu di dalam hatinya.
Hari itu, Ki Lurah memang belum memasang orang-orang itu di dalam kelompok-kelompok. Ia masih harus berbicara dengan para pemimpin kelompok, berapa orang mereka memerlukan prajurit untuk menggenapi setiap kelompok menjadi sepuluh orang.
Karena Bharata dan Kasadha dianggap sebagai pemimpin kelompok terbaik, maka orang-orang yang paling berbahaya telah ditempatkan di dalam kelompok mereka. Sementara Bharata dan Kasadha secara khusus telah memanggil prajurit-prajuritnya yang lama seorang demi seorang untuk memberikan pesan-pesan khusus menghadapi orang-orang baru itu.
"Jangan menunjukkan kelemahan sama sekali terhadap orang-orang itu. Ternyata mereka diterima sebagai seorang prajurit dengan cara yang lama. Mereka tidak diharuskan memiliki kemampuan sebelumnya mereka memasuki dunia keprajuritan sehingga pendadaran khusus sebagaimana kita lakukan tidak berlaku atas mereka. Karena itu, jangan merasa bahwa kemampuan orang itu ada di atas kemampuan kalian. Jika perlu kalian harus bertindak bersama-sama kawan-kawan kalian."
Para prajurit muda itu mengerti tugas mereka. Tetapi para pemimpin kelompokpun telah berpesan pula, dalam keadaan wajar perlakukan mereka dengan wajar. Menurut Ki Lurah Dipayuda, jika mereka diperlakukan dengan baik, maka lambat laun merekapun akan menjadi baik, meskipun dalam hal-hal tertentu mereka harus mengalami tindakan-tindakan tegas.
Demikianlah, maka di hari berikutnya, Ki Lurah Dipayuda telah menyusun kembali pasukannya sehingga menjadi utuh sambil menunggu perintah untuk berangkat ke Prambanan.
Ternyata yang akan berangkat bersama pasukan Ki Lurah adalah sepuluh pasukan, masing-masing berjumlah seratus orang yang dipimpin oleh seorang Lurah Penatus. Seluruh pasukan itu akan dipimpin langsung oleh Ki Tumenggung Surapraba yang telah mendapat tugas baru di pasanggrahan Kangjeng Sultan di Prambanan.
Baru kemudian Ki Lurah Dipayuda mengetahui, bahwa dalam benturan kecil di sayap pasukan, Prajurit Mataram berhasil memancing sepasukan kecil dari Pajang menyeberang Kali Opak dan kemudian menyerangnya dari lambung. Keadaan pasukan Pajang itu menjadi parah, sehingga diperlukan pasukan baru untuk menggantikannya, sementara Senapati yang memimpin pasukan itu telah mendapat peringatan keras dari Panglima prajurit Pajang, karena Senapati itu telah melanggar perintah untuk tidak menyeberangi Kali Opak dalam keadaan apapun kecuali perintah itu diberikan oleh Kangjeng Sultan sendiri.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 27 KETIKA Ki Dipayuda beserta pasukannya kemudian berada di Prambanan, maka pasukan itu tidak ditempatkan di sayap pasukan. Tetapi pasukan itu berada di induk pasukan. Justru tugas pasukan di induk pasukan itu terasa berat, karena Sultan sendiri telah hadir pula di peperangan.
Tetapi ternyata untuk beberapa lama, Kangjeng Sultan masih belum memberikan perintah untuk menyerang. Bahkan Kangjeng Sultan selalu memperingatkan agar pasukan Pajang tidak menyeberangi Kali Opak.
Sementara itu, di sisi sebelah Barat, pasukan Matarampun agaknya menunggu dengan sabar. Mereka tidak tergesa-gesa menyerang dengan serta-merta. Sekali-sekali pasukan di ujung-ujung sayap berusaha menggelitik pasukan Pajang. Namun setelah terjadi kesulitan pada sepasukan prajurit Pajang yang terpancing dan menjadi parah, maka pasukan Pajang selalu berusaha menahan diri.
Beberapa orang Adipati yang ada di dalam pasukan Pajang hampir tidak sabar lagi. Mereka sudah memohon ijin beberapa kali untuk menyerang. Tetapi Kangjeng Sultan tidak pernah memberikan restunya.
"Apakah kita menunggu menjadi tua disini?" bertanya seorang prajurit yang tidak telaten menunggu, sementara itu mereka sadar, bahwa jumlah prajurit Pajang jauh lebih banyak dari jumlah prajurit Mataram.
Beberapa orang prajurit di dalam pasukan Ki Dipayudapun selalu bertanya-tanya di dalam hati. Bahkan Bharata sempat berbincang dengan Kasadha tentang kejemuan yang mereka alami.
"Sampai kapan kita masih harus menunggu," berkata Kasadha kesal.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Satu cara yang dilakukan oleh Mataram untuk melemahkan gairah perjuangan para prajurit Pajang."
"Apakah para pemimpin Pajang tidak menyadari?" bertanya Kasadha.
"Tentu. Tetapi Kangjeng Sultan yang menjadi pimpinan tertinggi masih belum menjatuhkan perintah kepada kita semuanya betapapun kita merasakan kejemuan itu," jawab Bharata.
"Panembahan Senapati meskipun hanya putera angkat Kangjeng Sultan, tetapi nampaknya kasih sayang Kangjeng Sultan tidak ada batasnya sehingga sampai berhadapan di medan pertempuran sebagai musuhpun, Kangjeng Sultan masih berusaha untuk menyelamatkan Panembahan Senapati dan membiarkan dirinya sendiri dihancurkannya," desis Kasadha.
"Para pemimpin Pajang telah memberikan peringatan. Tetapi nampaknya belum berhasil," desis Bharata.
Kasadha sebenarnya sudah tahu jawab dari pertanyaan-pertanyaannya, tetapi keadaan yang tidak menentu itu mendorongnya untuk mengucapkannya.
Ki Dipayuda sendiri memang menjadi gelisah. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Beberapa orang prajurit yang bergabung dengan pasukannya, mulai membuat tingkah lagi. Mereka menjadi jemu dan kadang-kadang melakukan perbuatan yang tidak pantas, sehingga para pemimpin kelompoknya harus mengambil tindakan.
Namun sikap yang tegas dari para pemimpin kelompok serta kawan-kawannya dalam satu kelompok, maka mereka harus mengambil langkah surut.
Seorang di antara mereka mengalami nasib buruk ketika ia mencoba mencemarkan nama baik kelompoknya. Prajurit-prajurit itu telah memukuli seorang petugas di dapur, karena prajurit itu justru ketahuan mencuri. Bukan mencuri barang-barang berharga, tetapi hanya sekedar mencuri telur.
Tetapi karena seorang petugas sempat melihat dan memaksanya untuk mengambilkannya, maka petugas itu telah dipukulinya.
Namun petugas itu tidak tinggal diam. Ia sempat menemukan orang itu di dalam kelompoknya. Karena itu, maka iapun telah melaporkannya kepada pemimpin kelompoknya yang kebetulan adalah Kasadha.
Pengaruh masa kecilnya, tuntunan dari orang tuanya, memang telah membekas di hatinya meskipun gurunya agak bersikap lain. Karena itu, maka prajurit itu langsung dibawanya ke tempat yang sepi dan ditantangnya berkelahi.
"Aku tidak akan memanfaatkan kedudukanku. Meskipun hal itu sah jika aku lakukan, karena aku adalah pemimpin kelompokmu. Tetapi aku lebih senang mengambil cara lain," berkata Kasadha.
Prajurit itu tahu, bahwa Kasadha pernah mengalahkan seorang kawannya yang dianggapnya terbaik. Tetapi dalam keadaan seperti itu, maka ia justru ingin mencobanya.
"Kita tidak berhadapan sebagai seorang prajurit dengan pemimpin kelompoknya. Tetapi kita akan berhadapan sebagai dua orang laki-laki," geram Kasadha. Nampaknya selain pengaruh masa-masa pertumbuhannya, maka Kasadha yang sudah menjadi kesal dan jemu menunggu itu, juga menjadi lekas marah.
"Jika terjadi sesuatu, bukan salahku," berkata prajurit itu.
"Aku bertanggung jawab," potong Kasadha, "juga jika kau mati. Ki Lurah Dipayuda tidak akan menyalahkanmu atas kematianmu itu."
Wajah prajurit itu menjadi merah. Sifatnya yang memang liar agaknya memang sulit dikendalikannya. Karena itu, maka iapun menggeram, "Setan kau Kasadha. Kau anak ingusan sudah berani menepuk dada. Kau kira kawanku yang kau kalahkan itu benar-benar kalah" Ia masih menghormatimu sebagai pemimpin kelompok. Iapun memperhitungkan hukuman yang akan dijatuhkan oleh Ki Lurah Dipayuda jika ia benar-benar melawan dan apalagi mengalahkan seorang pemimpin kelompok. Tetapi kesombonganmu telah membawa kau kemari. Kedunguanmu telah memungkinkan aku menghilangkan jejak jika aku membunuhmu."
"Baiklah," berkata Kasadha, "siapa yang dapat keluar dari arena ini."
Prajurit itu telah bergeser mendekat. Wajahnya menjadi buas dan matanya bagaikan menyala. Ia merasa telah dihinakan oleh seorang anak-anak yang kebetulan menjadi seorang pemimpin kelompok.
Tetapi seperti dipesankan oleh Ki Lurah Dipayuda. Menghadapi orang-orang liar, maka para pemimpin kelompok memang harus bertindak tegas.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka orang itupun telah meloncat menerkam Kasadha. Tetapi Kasadha sudah bersiap, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengejutkannya. Dengan langkah kecil ia bergeser sambil memiringkan tubuhnya, sehingga serangan itu tidak mengenainya.
Tetapi lawannya yang garang itu tidak melepaskannya. Dengan serta-merta iapun berputar dan siap meloncat menerkam pula.
Namun ia menjadi sangat terkejut. Tiba-tiba saja Kasadha justru telah berjongkok. Dengan sekuat tenaganya Kasadha telah menghantam perut orang itu.
Satu keluhan terdengar diikuti desah kesakitan. Lawannya itupun terdorong beberapa langkah surut sambil memegangi perutnya. Namun justru karena itu, maka orang itu telah terbongkok sambil menunduk.
Kasadha yang marah tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan kerasnya ia telah memukul tengkuk lawannya. Kemudian menangkapnya ketika ia terhuyung hampir jatuh. Dengan kasar Kasadha mendorongnya selangkah surut. Kemudian dengan keras sekali Kasadha telah memukul keningnya.
Orang itu mengaduh keras. Iapun segera terbanting jatuh ke tanah. Sekali ia menggeliat untuk mencoba bangkit. Tetapi usahanya itu gagal. Sekali lagi ia jatuh terjerembab. Ketika ia mencoba bangkit, maka yang dapat dilakukan hanyalah berguling menengadah.
Kasadha berdiri di sisinya sambil bertolak pinggang. Dengan nada keras itu bertanya, "Apa yang telah kau lakukan atas petugas di dapur itu" Kau sadari, petugas di dapur itu masih baik karena ia lapor kepadaku. Bayangkan, bagaimana jika kau dilaporkan langsung kepada Ki Lurah Dipayuda" Kau tentu akan segera menjadi jladren di tepian Kali Opak."
Orang itu menggeliat. Tulang-tulangnya serasa berpatahan. Beberapa saat ia masih saja mengaduh kesakitan.
"Katakan, apakah kau masih akan melawan?" bertanya Kasadha.
"Tidak. Tidak," jawab orang itu terbata-bata. Dengan sadar ia merasa bahwa kemampuan pemimpin kelompoknya itu benar-benar tinggi. Dalam sekejap ia sudah terbaring tanpa dapat bangkit lagi.
"Kau harus minta maaf kepada petugas itu," geram Kasadha.
Prajurit itu termangu-mangu.
"Jawab, kau harus segera minta maaf kepada petugas itu, kau dengar?" bentak Kasadha.
Prajurit itu tidak segera menjawab.
Kemarahan Kasadha semakin membakar jantungnya. Tanpa Bharata ia justru menjadi semakin garang. Bahkan kasar. Karena itu maka dengan serta-merta kakinya telah menginjak dada orang itu sambil berkata, "Cepat. Jawab. Kau bersedia atau tidak."
Nafas orang itu menjadi semakin sesak. Dengan kata-kata yang patah ia menjawab, "Ya. ya. Aku bersedia."
"Sore nanti kau harus menemuinya dan minta maaf kepadanya. Jika kau ingkar, maka orang-orang hanya akan menemukan mayatmu di kedung," berkata Kasadha. Lalu katanya pula, "Aku malu sekali mempunyai prajurit berkelakuan begitu rendah. Aku masih menghargai seorang prajurit yang mencuri pusaka di gedung perbendaharaan pusaka karena satu keyakinan akan pusaka yang dicurinya. Tidak sekedar mencuri telur di dapur."
Prajurit itu tidak menjawab. Sementara Kasadha mundur beberapa langkah sambil berkata, "Bangkit dan kembali ke perkemahanmu."
"Bangkit," bentak Kasadha, "atau aku timbuni kau dengan pasir agar jejak kematianmu hilang?"
"Jangan," minta orang itu.
"Bangkit dan kembali," bentak Kasadha sekali lagi.
Orang itu memang mencoba bangkit. Tetapi ia benar-benar tidak mampu sehingga Kasadha berkata, "Terserah kepadamu. Kau mau kembali ke perkemahan atau tidak. Aku akan kembali sekarang. Jika prajurit Mataram yang gila itu ada yang sempat melihat-lihat ke seberang Kali Opak dan menemukan kau disini, maka kau akan menjadi pangewan-ewan."
"Jangan tinggalkan aku sendiri disini," minta orang itu.
"Aku juga tidak mau ditangkap oleh orang-orang Mataram itu," sahut Kasadha.
Kasadha tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera melangkah meninggalkan prajurit itu terbaring. Namun ternyata dalam keadaan yang terpaksa, prajurit itu akhirnya mampu bangkit juga dan kemudian tertatih-tatih melangkah mengikuti pemimpin kelompoknya.
Sementara itu, sekelompok prajurit Pajang yang lain tengah meronda di sepanjang Kali Opak. Sekelompok prajurit dari pasukan induk yang bertugas dari pasukan Ki Lurah Dipayuda, yang kebetulan dipimpin oleh Bharata.
Dengan tertib sekelompok kecil prajurit itu menyusuri tanggul Kali Opak dari arah utara ke selatan, membelakangi Gunung Merapi. Sementara langit mulai berwarna kelabu oleh mendung yang meskipun tipis tetapi merata.
Iring-iringan itu berhenti, ketika mereka melihat sekelompok prajurit di sisi sebelah Barat Kali Opak berjalan dari Selatan ke Utara.
Dua kelompok prajurit itu saling memandangi. Namun di antara kedua kelompok itu terdapat Kali Opak yang mengalir agak kecoklatan karena airnya mengandung lumpur. Agaknya di ujung Kali Opak hujan turun cukup deras, sehingga lumpurpun telah ikut hanyut turun ke Kali.
Ternyata sekelompok prajurit Mataram itu kemudian melambaikan tangan mereka, seperti orang yang telah saling mengenal.
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah berdesis, "berhati-hatilah. Kita tidak tahu apa yang mereka maksudkan."
Para prajuritnya mengangguk-angguk. Namun mereka memang merasa heran, bahwa orang-orang Mataram itu nampaknya tidak bersikap bermusuhan dengan orang-orang Pajang. Sikap itu sangat berbeda dengan sikap para prajurit Mataram yang berada di Randukerep.
Tetapi Bharatapun sadar, bahwa tidak mudah untuk menjajagi maksud orang-orang Mataram. Apalagi Bharata telah mendengar bahwa banyak orang-orang Pajang yang telah berpihak kepada Mataram. Sehingga mungkin orang-orang yang meronda di sisi Barat Kali Opak itu adalah bekas orang-orang Pajang juga.
Namun Bharata masih belum pernah mengenal mereka. Apalagi jarak yang agak jauh karena Kali Opak termasuk sungai yang agak lebar. Apalagi jika airnya menjadi agak besar dan keruh.
Sejenak kemudian, maka Bharatapun telah melanjutkan perjalanan tugasnya menyusuri tanggul. Namun kemudian kelompok itu telah berbelok menjauhi sungai dan memasuki padang perdu. Satu sisi yang memerlukan pengawasan, karena orang-orang Mataram dapat saja mendekati perkemahan orang-orang Pajang lewat padang perdu itu.
Orang-orang Mataram adalah orang-orang aneh menurut penilaian para prajurit Pajang itu, apalagi mereka yang telah mengalami pertempuran yang sengit di Kademangan Randukerep. Meskipun jumlah prajurit yang terlibat tidak terlalu banyak, namun pertempuran itu telah merenggut beberapa jiwa di antara para prajurit Pajang dan Mataram.
Di Prambanan prajurit Mataram itu nampaknya tidak segarang prajurit Mataram yang berada di Randukerep.
Namun Bharata masih juga sempat berpikir, "Tentu mereka mendapat petunjuk dari para pemimpin mereka, agar mereka bersikap baik. Dengan demikian, maka orang-orang Pajang yang memang ragu-ragu akan cepat berguling ke sisi mereka."
Dalam pada itu, ketika mereka memasuki padang perdu, mereka terkejut melihat dua orang prajurit yang berjalan pada jarak beberapa langkah. Karena itu, maka Bharatapun telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk mendekati kedua orang itu.
Bharata memang agak terkejut melihat Kasadha dan seorang prajurit dari kelompoknya yang tertatih-tatih di belakangnya. Karena itu, demikian mereka mendekat, dengan serta-merta Bharata bertanya, "Ada apa?"
Kasadha mencoba untuk tersenyum. Namun iapun kemudian mengatakan selengkapnya apa yang telah terjadi.
"Orang ini merasa dirinya prajurit pilihan sehingga berbuat sewenang-wenang terhadap kawannya sendiri, justru ia sendiri yang telah melakukan kesalahan karena mencuri di dapur," berkata Kasadha kemudian.
Bharata mengangguk-angguk. Ia sependapat atas sikap Kasadha. Jika tidak diperlakukan demikian maka prajurit-prajurit yang mempunyai anggapan dirinya lebih baik dari orang lain dan berwatak buruk, mereka akan merasa bahwa semua keinginannya harus dipenuhi.
"Dan sekarang, apa yang akan kau lakukan" Membawa orang itu ke Kali Opak dan melemparkannya ke dalamnya?" bertanya Bharata.
Kasadha tertawa, sementara prajurit itu menjadi pucat. Ia kenal kedua pemimpin kelompok muda yang seperti kakak beradik itu memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain.
Namun Kasadha menjawab, "Aku masih memerlukannya. Tetapi jika ia sekali lagi melakukan kesalahan yang sama, maka aku memang akan melemparkannya ke dalam arus Kali Opak."
"Baiklah," berkata Bharata, "aku akan meneruskan tugasku. Aku akan melintasi tempat-tempat sepi. Padang perdu dan padukuhan-padukuhan yang sudah ditinggal mengungsi oleh para penghuninya."
"Silahkan," jawab Kasadha, "aku akan beristirahat. Besok aku mendapat giliran untuk meronda," Kasadha berhenti sejenak, lalu, "Tetapi bukankah di padukuhan-padukuhan yang ditinggalkan oleh para penghuninya itu masih ditunggui oleh para pengawal?"
"Sekedar untuk menghindarkan padukuhan itu dari penjahat-penjahat kecil yang sering menangkap ayam atau mengambil kelapa dari batangnya," jawab Bharata.
Demikianlah mereka masing-masing meneruskan perjalanan mereka. Bharata melanjutkan tugasnya, sedangkan Kasadha kembali ke perkemahan diikuti oleh prajuritnya yang tertatih-tatih.
Kepada prajurit-prajuritnya Bharata berkata, "Satu contoh bagi mereka yang tidak menepati paugeran. Apalagi satu perbuatan yang sangat memalukan. Mencuri telur."
Prajurit-prajuritnya tidak menjawab. Prajurit-prajurit muda yang ada di dalam kelompok Bharata sejak pasukan itu disusun mengerti bahwa peringatan Bharata itu ditujukan terutama kepada prajurit-prajurit yang lebih tua berada di lingkungan keprajuritan dan bahkan bagaikan telah terbuang, namun yang kemudian telah bergabung dalam kelompoknya.
Ternyata untuk beberapa hari tugas para prajurit hanyalah meronda, beristirahat, latihan-latihan secara pribadi dan kemudian tidur sepuas-puasnya. Semakin lama mereka merasa semakin jemu dan bahkan rasa-rasanya Prambanan itu telah menjadi bagaikan neraka.
Saat-saat yang demikianlah yang memang ditunggu oleh Mataram. Sementara itu. Mataram telah membuat perhitungan-perhitungan yang sangat cermat. Beberapa orang prajurit bertugas di bendungan Kali Opak, agak ke udik. Bahkan Mataram telah merencanakan untuk memecah bendungan tidak hanya satu lapis. Sedangkan musim yang semakin gelap dan basah akan dapat membantu usaha Mataram sesuai dengan rencananya yang terperinci dan mapan.
Ki Mandaraka, yang telah dianggap menjadi Pepatih di Mataram adalah seorang yang ahli dalam berbagai macam hal. Juga tentang peperangan. Ki Patih Mandaraka adalah saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan, Panglima prajurit Pajang semasa hidupnya, ayah yang sebenarnya dari Panembahan Senapati di Mataram.
Ki Mandarakalah yang telah menyusun rencana untuk mengalahkan Pajang dengan kekuatan yang kecil menghadapi kekuatan yang jumlahnya berlipat ganda.
Ternyata Panembahan Senapati yang mengerti rencana yang telah disusun oleh Ki Mandaraka itu dapat menyetujuinya. Namun ia masih berpesan, "Tetapi paman. Ayahanda Kangjeng Sultan jangan terusik."
"Pengawal Kangjeng Sultan cukup banyak. Mereka tentu akan dapat menyelamatkannya," jawab Ki Patih Mandaraka.
"Bagaimana jika ayahanda juga terpancing?" bertanya Panembahan Senapati.
"Kangjeng Sultan cukup bijaksana. Apalagi Kangjeng Sultan dalam keadaan sakit," jawab Ki Patih Mandaraka.
Panembahan Senapati hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Ki Patih Mandarakapun telah memanggil semua pimpinan prajurit Mataram yang ada di Prambanan. Dengan jelas Ki Patih Mandaraka memberikan perintah berdasarkan rencananya yang telah terperinci dengan baik.
Pasukan induk Mataram harus memancing pasukan Pajang untuk bertempur. Pasukan Mataram memang akan turun dan menyeberangi Kali Opak. Tetapi pasukan Mataram itu akan segera menarik diri. Jumlah mereka memang jauh lebih sedikit dari pasukan Pajang. Namun dalam pada itu, para prajurit Mataram yang ada di udik telah mendapat isyarat untuk memecahkan bendungan. Justru dua lapis. Dengan demikian maka pasukan Pajang yang masih ada di tengah-tengah Kali Opak akan dihantam oleh arus air yang tentu sederas banjir bandang meskipun tidak akan terlalu lama. Tetapi yang sebentar itu tentu sudah akan menyapu kekuatan Pajang sebagian besar.
Sementara itu, pasukan Mataram harus sudah bersiap menghadapi sisa prajurit Pajang yang telah sempat menyeberangi Kali Opak. Sekelompok prajurit Mataram akan dipisahkan dari induknya. Di bawah pimpinan Tumenggung Mayang, maka pasukan itu akan segera menyerang dari lambung.
Nampaknya para Senapati Mataram dapat menerima rencana itu. Merekapun melihat kemungkinan, rencana itu dapat dilaksanakan.
Sementara itu Ki Patih Mandaraka berkata, "Siapkan bende Kiai Bicak. Bende itu harus dibunyikan saat banjir bandang itu datang. Suara bende itu akan mempunyai pengaruh yang kuat, setidak-tidaknya pengaruh jiwani."
Demikianlah, maka semua persiapanpun telah dilakukan. Sekelompok pasukan pilihan justru telah memisahkan diri di sisi Selatan. Kemudian para prajurit yang di sebelah Utara Prambanan dan berada di dua lapis bendunganpun telah bersiap. Mereka harus memecahkan bendungan itu agar menimbulkan banjir yang besar, karena air yang seakan-akan menjadi kedung oleh bendungan itu akan melanda turun dan mengalir dengan sangat derasnya. Apalagi dua lapis bendungan yang siap untuk dihancurkan.
Tali-tali untuk mencabut pasak dan tiang-tiang penyangga bendungan sudah disiapkan. Beberapa ekor lembu akan membantu menarik pasak-pasak dan tiang-tiang penyangga itu.
Namun Panembahan Senapati telah menambahkan perintah, "Jika kita berhasil kelak, maka bendungan-bendungan itu harus dengan cepat diperbaiki. Bendungan-bendungan itu memberikan kehidupan bagi ratusan nyawa di sekitarnya. Karena itu, maka bendungan itu harus mendapat perhatian utama."
Demikianlah, maka ketika segala persiapan telah selesai, maka datanglah saatnya untuk menggempur pasukan Pajang. Tetapi Mataram tidak sekedar mengandalkan kekuatan prajuritnya yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari pasukan Pajang, namun Mataram telah mempergunakan akal untuk mengatasi kekurangannya.
Adalah sama sekali tidak diduga, bahwa Mataram akan dengan tiba-tiba saja menyerang. Namun pada hari yang telah diperhitungkan, saat matahari terbit, maka pasukan Mataram telah dengan tiba-tiba menyerang pasukan Pajang. Tanpa pertanda kebesaran, tanpa perintah sangkakala, tanpa suara bende dan tanpa tanda-tanda yang lain.
Dengan demikian maka para prajurit Pajang yang sudah menjadi jemu itu justru terkejut. Dengan tergesa-gesa mereka mempersiapkan diri.
Para Adipati yang mendapat laporanpun segera menghadap Sultan untuk menunggu perintahnya.
Sultanpun terkejut mendengar hal itu. Bahkan hampir kepada diri sendiri Sultan berdesah, "Jadi Danang Sutawijaya benar-benar telah memberontak?"
"Bukankah hamba telah menyampaikannya sebelumnya Kangjeng Sultan," desis Adipati Tuban agak menggeram.
"Apaboleh buat," berkata Kangjeng Sultan, "kita akan bertahan. Kita akan menghalau prajurit Mataram sampai ke batas Kali Opak."
Adipati Tuban tidak menjawab. Tetapi ia tidak sependapat dengan Kangjeng Sultan. Demikian pula Adipati Demak. Mereka bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataram yang jumlahnya mereka anggap tidak terlalu banyak.
Hanya Pangeran Benawa sajalah yang tidak begitu bernafsu untuk turun ke medan. Bagaimanapun juga hubungannya sebagai kakak beradik dengan Panembahan Senapati masih saja berbekas dalam di hatinya. Apalagi terpengaruh oleh sikap ayahandanya terhadap Mataram.
Pertempuranpun kemudian telah membakar kedua pasukan itu. Meskipun prajurit Mataram jumlahnya lebih sedikit, namun mereka memiliki tekad yang membara di hati. Sementara prajurit Pajang terpengaruh oleh sikap Kangjeng Sultan serta kejemuan yang mencengkam jantung mereka, rasa-rasanya masih juga ragu-ragu untuk bertindak.
Namun Adipati Tuban dan Adipati Demang seakan-akan telah menyalakan api di dalam dada mereka. Karena itu, para prajurit Pajang itupun telah bangkit dan bertempur dengan garangnya pula melawan para prajurit Mataram.
Pasukan Ki Dipayuda ternyata tidak harus turun ke medan. Mereka adalah pengawal Kangjeng Sultan, sehingga karena itu, maka mereka tetap berada di perkemahan. Meskipun mereka bukan pasukan pengawal pribadi yang selalu ada di sebelah Sultan, namun mereka termasuk pengawal yang harus membendung setiap usaha untuk mendekati perkemahan Sultan.
Ternyata pasukan Mataram telah siap dengan rencananya. Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka adalah wajar sekali jika pasukan Mataram menarik diri. Mereka nampaknya mulai terdesak dan tergesa-gesa berusaha mengundurkan diri.
Terdengar sorak yang membahana di antara para prajurit Pajang. Kemarahan dan kemenangan yang rasa-rasanya akan segera mereka capai telah membuat mereka sangat bergembira setelah beberapa lamanya mereka dipenjara di Prambanan dalam kejemuan dan kegelisahan yang hampir tidak tertahankan.
"Kenapa tidak kita lakukan sejak beberapa hari yang lalu. Pertempuran ini bukan pertempuran yang besar yang membenturkan dua kekuatan seimbang. Belum tengah hari, kita sudah dapat mendesak mereka," geram seorang prajurit.
"Kita hampir mereka buat gila," sahut yang lain, "sekarang kita musnahkan mereka. Di sebelah Timur atau di sebelah Barat Kali Opak tidak ada bedanya."
Kemenangan itu telah membuat orang-orang Pajang menjadi lengah.
Namun demikian, para prajurit Mataram telah menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Dalam jumlah yang jauh lebih kecil, mereka mampu bergeser surut dalam kesatuan yang utuh.
Demikian pasukan Mataram surut dan turun menyeberangi Kali Opak, maka isyaratpun telah diterbangkan. Panah sendaren telah meluncur di langit, mengirimkan perintah kepada mereka yang siap untuk memecahkan bendungan.
Dengan kebencian dan kemarahan yang membakar jantung, maka para prajurit Pajang telah mengejar para prajurit Mataram yang mundur dengan teratur. Beberapa lamanya mereka bertahan dan bertempur di air keruh Kali Opak yang sedikit membesar karena hujan di ujung, namun kemudian para prajurit Mataram itu telah bergerak lagi mundur ketika terdengar isyarat beberapa panah sendaren yang berterbangan di atas medan.
Para prajurit Pajang menganggap bahwa isyarat itu dilontarkan karena keadaan prajurit Mataram yang semakin mengalami kesulitan.
Sebenarnyalah bahwa prajurit Mataram telah bergerak mundur. Bahkan kemudian telah melintasi Kali Opak dan bertahan sejenak di tepian sebelah Barat. Namun kemudian mereka terdesak lagi, sehingga mereka dengan tergesa-gesa naik ke atas tanggul.
Pada kesempatan yang demikian, para prajurit Mataram yang telah dipersiapkan telah muncul dari balik tanggul. Mereka berusaha menghambat pasukan Pajang dengan meluncurkan anak panah dari atas tebing.
Beberapa puluh orang yang memang terpilih karena memiliki kemampuan bidik yang tinggi, benar-benar mampu menghambat gerak maju orang-orang Pajang. Sehingga dengan demikian maka sebagian prajurit Pajang yang mengejar prajurit Mataram pada tebaran yang luas itu terhenti beberapa saat di tepian sebelah barat. Sedangkan yang lain masih berada di dalam rendaman air keruh Kali Opak.
Pada saat yang demikian itu, tanpa isyarat apapun juga, Kali Opak tiba-tiba telah menjadi banjir. Air yang sangat deras telah melanda pasukan Pajang yang sebagian besar masih berada di Kali Opak.
Satu bencana yang paling pahit yang dialami oleh pasukan Pajang. Sebagian dari mereka memang berhasil menyelamatkan diri, kembali naik ke tanggul di sisi sebelah Timur. Namun yang lain mengalami banyak kesulitan. Yang ada di tengah-tengah kali tidak mampu bertahan atas dorongan air yang tiba-tiba saja telah menghantam mereka dengan kekuatan yang sangat besar.
Yang sempat naik ke sisi sebelah Barat harus menghadapi kekuatan pasukan Mataram.
Sebenarnya para prajurit Pajang yang sempat baik ke atas tanggul di sisi Barat sudah cukup banyak dibandingkan dengan prajurit Mataram sendiri. Karena itu, maka para prajurit yang telah berhasil menyeberang itu justru tidak lagi sempat berpikir. Darah mereka bagaikan mendidih di dalam tubuh sementara jantung mereka bagaikan membara.
Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Bagian kecil dari prajurit Pajang yang banyak sekali bahkan berlipat ganda dari pasukan Mataram itu ternyata cukup kuat.
Namun semuanya sudah diperhitungkan oleh Ki Patih Mandaraka. Karena itu, maka pasukan Matarampun masih saja bergerak mundur ketika prajurit Pajang itu mendesaknya.
Pertempuran memang terjadi dengan sengitnya. Sorak yang membahana bagaikan meruntuhkan langit. Orang-orang Mataramlah yang kemudian bersorak menyambut banjir bandang yang menghanyutkan sebagian para prajurit Pajang yang masih berada di Kali Opak. Dua bendungan yang sengaja dipecahkan oleh beberapa prajurit Mataram memang mampu membangkitkan banjir yang besar.
Prajurit Matarampun menyadari, bahwa banjir itu tidak akan berlangsung lama. Jika kedung yang terjadi oleh bendungan-bendungan itu telah susut airnya, maka arus Kali Opakpun akan menjadi turun pula.
Namun dalam pada itu, langitpun telah menjadi gelap. Awan yang hitam dengan cepat menutup langit. Bahkan hujanpun telah turun dengan lebatnya.
Tetapi hujan yang baru saja turun itu tidak mampu mempertahankan banjir di Kali Opak, meskipun berpengaruh juga, karena arusnya menjadi semakin keruh.
Sementara itu, pertempuran di sebelah Barat Kali Opak masih berlangsung. Sementara pasukan Pajang mendesak pasukan Mataram, maka Tumenggung Mayang telah melepaskan pasukan terpilihnya dan menyerang dari lambung.
Serangan itu sangat mengejutkan. Karena itu, maka pasukan Pajang benar-benar tidak mampu lagi mempertahankan diri. Ketika hari menjadi semakin sore, sementara langit masih juga gelap dan hujan turun dari langit, maka pasukan Mataramlah yang berhasil menguasai pasukan Pajang yang terpisah dari induknya di sebelah Timur Kali Opak. Sementara sebagian dari pasukan Pajang itu telah dihanyutkan oleh banjir bandang yang telah mulai menjadi susut.
Tetapi langit seakan-akan telah membantu prajurit Mataram. Sementara hujan turun dan langit menjadi semakin gelap mendekati senja, maka guntur dan lidah api sambar menyambar di langit. Guruh menggelegar dan angin praharapun telah bertiup.
Para pemimpin prajurit Pajang di sisi sebelah Barat Kali Opak tidak mampu lagi bertahan lebih lama. Mereka terpisah dari dukungan perbekalan dan perlengkapan. Sementara itu, Kali Opak yang telah susut airnya itu perlahan-lahan telah naik lagi meskipun tidak sebesar banjir bandang yang datang menyapu prajurit Pajang dengan memecahkan dua lapis bendungan.
Sementara prajurit Pajang di sisi sebelah Barat Kali Opak telah dipaksa menyerah oleh para pemimpin Mataram, maka di perkemahan prajurit Pajang telah timbul perbedaan pendapat yang tajam.
Di sebelah Barat Kali Opak, para pemimpin Mataram yang telah saling mengenal dengan para pemimpin Pajang akhirnya dapat memaksakan kehendak mereka. Apalagi para pemimpin Pajang memang sudah tidak mempunyai pilihan lain kecuali meletakkan senjata.
Hati mereka memang menjadi semakin kecut ketika dari belakang pasukan Mataram terdengar suara bende Kiai Bicak yang mengumandang, di sela-sela suara guntur yang meledak di langit serta lidah api yang menjilat-jilat.
Sementara itu, di perkemahan para prajurit Pajang, para Adipati yang justru menjadi semakin marah telah bertekad untuk menghancurkan Mataram di keesokan harinya. Namun beberapa orang pemimpin yang lain telah mempertanyakan, apakah masih cukup kekuatan yang tersisa bagi Pajang.
Lewat senja, hujan dan guruh mereda, sejenak. Namun dalam pada itu, orang-orang Mataram sama sekali tidak menghentikan usaha mereka mempengaruhi para prajurit Pajang secara jiwani. Bende Kiai Bicak masih terus dibunyikan, meraung-raung mengumandang menyusuri Kali Opak. Seakan-akan riak arus air Kali Opak yang telah menjadi semakin besar karena hujan dan angin, telah mengumandangkan bunyi bende Kiai Bicak itu.
Para Adipati ternyata tidak lagi mampu untuk tetap menyalakan api perjuangan di hati para prajurit Pajang. Bahkan keragu-raguan Sultanpun semakin nampak pula. Gejala mengamuknya alam telah dihubungkannya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam perang itu. Bahkan Sultan selalu merasa, bahwa kerajaan Pajang memang sudah akan berakhir.
Karena itu, berdasarkan atas kenyataan yang telah terjadi, bahwa pasukan Pajang telah susut demikian besarnya, sebagian hanyut di Kali Opak, sebagian lagi telah terpisah di seberang Kali yang banjir itu, yang ternyata telah menjadi tawanan orang-orang Mataram, maka Pajang tidak lagi meneruskan niatnya menghancurkan Mataram meskipun Adipati Tuban dan Demak masih juga menyatakan kesediaannya. Namun Pangeran Benawa lebih banyak mendampingi ayahandanya yang menjadi sangat gelisah.
Akhirnya jatuh perintah Kangjeng Sultan untuk kembali ke Pajang.
Tidak ada seorangpun yang dapat mencegah, karena mereka tidak mampu menyembunyikan kenyataan kerusakan berat yang terjadi pada pasukan Pajang. Yang tersisa, tidak lagi akan mampu dapat melawan kekuatan Mataram tanpa menghimpun kekuatan baru. Kecuali orang-orang Mataram menjadi semakin berbesar hati karena kemenangannya, maka orang-orang Pajang hatinya telah menjadi kecut. Sultanpun tidak mau mengabaikan suara bende Kiai Bicak yang mengumandang seakan-akan semakin lama semakin keras.
"Kita tidak dapat mengabaikan semua pertanda buruk. Kita tidak boleh memaksakan kehendak kita atas keharusan yang bakal terjadi. Jika demikian hanya akan jatuh korban yang semakin banyak tanpa memberikan arti apa-apa bagi perjuangan Pajang untuk mempertahankan diri," berkata Kangjeng Sultan yang kesehatannya memang tidak begitu baik itu.
Demikianlah, akhirnya ketika malam menjadi semakin gelap lewat senja hari, Kangjeng Sultan telah menarik seluruh pasukannya dan memerintahkan untuk mengundurkan diri, kembali ke Pajang. Memang suatu perjalanan yang berat bagi pasukan yang terluka parah. Sementara dendam tetap membara di hati para Adipati.
Namun Sultan telah berniat untuk singgah di Makam Tembayat untuk berdoa bagi pasukannya dan bagi Pajang.
Tetapi pintu makam keramat di Tembayat itu ternyata tidak dapat dibuka, sehingga dengan demikian maka hati Kangjeng Sultan menjadi semakin terguncang.
Namun Kangjeng Sultan sendiri pada dasarnya tidak secara mutlak menentang hadirnya Mataram dalam cakrawala pimpinan pemerintahan di atas Tanah ini. Menurut pendapat Sultan, putera angkatnya, Panembahan Senapati adalah seorang yang memang pantas untuk memimpin pemerintahan sebagaimana Pajang. Ia tidak melihat putera dan menantu-menantunya akan mampu berbuat sebagaimana dilakukan oleh Panembahan Senapati.
Dalam saat-saat terakhir, Sultan Pajang justru lebih banyak memikirkan kemungkinan perkembangan Tanah ini daripada memberikan kedudukan kepada keluarganya. Kangjeng Sultan di dalam hati kecilnya telah memilih, agar Tanah ini mampu berkembang dengan baik daripada sekedar memberikan kedudukan kepada putera atau menantunya, namun pemerintahan Pajang akan mengalami kemunduran yang gawat.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang membuat Kangjeng Sultan ragu-ragu untuk benar-benar berperang melawan Mataram. Namun Kangjeng Sultanpun tidak mengira bahwa korban dari Pajang akan jatuh sedemikian banyaknya.
Namun menurut perhitungan Sultan, jika perang diteruskan, korban akan semakin banyak berjatuhan.
Malam itu Kangjeng Sultan telah bermalam di tengah-tengah kegelapan malam di Tembayat.
Sementara itu. Mataram yang tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sebelah Timur Kali Opak, menjadi ragu-ragu. Namun kemudian Panembahan Senapati telah mengirimkan petugas sandi yang memiliki keberanian dan kemampuan berenang menyeberangi Kali Opak yang benar-benar banjir karena hujan yang deras.
Dua orang menyatakan bersedia melakukannya. Mereka telah mempergunakan beberapa potong batang pohon pisang yang diikatnya menjadi satu. Kemudian mempergunakannya sebagai rakit. Namun kedua orang yang berasal dari pinggir Kali Progo itu telah terbiasa berenang di air yang deras, karena arus Kali Progo pada umumnya memang lebih deras dari arus Kali Opak.
Kedua orang itu turun ke Kali Opak justru akan ke udik. Mereka akan menyeberang sambil menghanyutkan diri pada arus yang deras, sehingga dengan demikian mereka tidak memerlukan tenaga yang terlalu banyak.
Ketika kedua orang itu berhasil mencapai seberang, maka mereka telah melihat perkemahan orang-orang Pajang telah menjadi kosong. Bahkan beberapa jenis barang perbekalan dan perlengkapan telah ditinggalkan. Agaknya para prajurit Pajang agak tergesa-gesa meninggalkan perkemahannya meskipun mereka mengerti bahwa dalam keadaan banjir, maka orang-orang Mataram tentu tidak akan menyeberangi Kali Opak.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" bertanya yang seorang.
Kawannya menggeleng. Dengan nada rendah kawannya itu menjawab, "Sulit untuk menebak. Tetapi agaknya para pemimpin Pajang menjadi cemas, gelisah bahkan bingung, karena sebagian dari prajurit mereka telah dihanyutkan oleh banjir yang tidak terduga-duga karena bendungan yang dipecahkan itu, justru sebelum hujan turun. Sementara itu yang lain telah terperangkap di sebelah Barat Kali Progo."
Yang seorang lagi mengangguk-angguk. Meskipun keduanya tidak pernah mendengar pesan Kangjeng Sultan bahwa prajurit Pajang tidak boleh menyeberangi Kali Opak, maka keduanya menganggap bahwa usaha prajurit Pajang memburu prajurit Mataram dengan menyeberangi Kali Opak adalah satu langkah yang tidak menguntungkan.
Setelah mengamati tempat itu dengan saksama, maka kedua orang petugas itu telah berniat untuk kembali menyeberang. Jika mereka menunggu lebih lama lagi, maka ada kemungkinan air akan menjadi semakin besar, meskipun ada kemungkinan yang sebaliknya.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka keduanyapun telah bersiap untuk menyeberang kembali. Mereka menempuh cara sebagaimana mereka menyeberang ke Timur. Dengan beberapa batang pohon pisang dan turun ke Kali Opak agak ke udik.
Panembahan Senapati yang ingin mendengar laporan kedua orang itu langsung, telah memanggil mereka menghadap.
Panembahan Senapati memang menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar laporan, bahwa perkemahan Pajang telah dikosongkan dengan tergesa-gesa. Sedangkan para pemimpin Pajang, termasuk Kangjeng Sultan sendiri, tentu mengetahui bahwa Mataram tidak akan menyerang dalam waktu dekat karena arus Kali Opak yang membesar.
"Kau tidak mendengar berita tentang Kangjeng Sultan?" bertanya Panembahan Senapati.
"Perkemahan itu kosong Panembahan," jawab salah seorang dari kedua orang itu, "hamba telah melihat semua ruangan bekas perkemahan itu. Justru perbekalan masih bertumpuk dan beberapa peralatan telah ditinggalkan."
"Kau tidak menemukan seorangpun?" desak Panembahan.
"Tidak Panembahan. Tidak seorangpun yang tinggal," jawab orang itu.
Panembahan Senapati justru menjadi termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, "Besok aku akan melihat sendiri."
"Panembahan akan pergi ke mana?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
"Besok aku akan menyeberangi kali Opak. Aku ingin empat puluh orang pengawal berkuda terpilih untuk menemani aku melihat gerak mundur pasukan Pajang," berkata Panembahan Senapati.
"Itu sangat berbahaya Panembahan?" Ki Patih Mandaraka memperingatkan.
Tetapi Panembahan Senapati telah mengambil keputusan. Karena itu, maka diperintahkan sekali lagi untuk memilih empat puluh orang terbaik di antara para prajurit Mataram untuk mengawalnya esok pagi, menyusul barisan Pajang yang mengundurkan diri.
Sementara itu Panembahan itu memberikan perintah, "Cari sekelompok prajurit yang sanggup menyeberang Kali Opak untuk menjaga perkemahan prajurit Pajang yang ditinggalkan. Jangan mengusik semua barang, perbekalan dan peralatan yang ada di perkemahan itu." Kemudian perintahnya pula kepada dua orang petugas yang telah menyeberang ke Timur, "Ajari bagaimana kawan-kawanmu itu harus menyeberang."
Seorang Senapati yang menyatakan kesediaannya menyeberang, karena ia juga berasal dari sebuah padukuhan di pinggir Kali Praga telah diperintahkan untuk memimpin sekelompok prajurit untuk melindungi barang-barang dan perbekalan yang ditinggalkan oleh para prajurit Pajang.
Demikianlah menjelang tengah malam, sekelompok prajurit Mataram dengan mempergunakan batang pisang telah berenang menyeberangi Kali Opak. Namun banjir memang telah sedikit susut, setelah hujan di ujung sungai mereda.
Para prajurit itulah yang kemudian justru berada di perkemahan prajurit Pajang, dengan pakaian yang basah kuyup. Beberapa orang di antara mereka telah menyalakan api untuk memanasi badan mereka serta mengeringkan pakaian, sementara yang lain bertugas berjaga-jaga di beberapa sudut perkemahan. Namun mereka telah membagi tugas sebaik-baiknya, sehingga akan datang giliran bagi yang lain untuk memanaskan diri di perapian.
Bahkan para prajurit itu sempat menanak nasi dan membuat minuman panas dengan gumpalan-gumpalan gula kelapa yang banyak terdapat di dapur perkemahan itu.
Para prajurit Mataram di sebelah Barat Kali Opak yang melihat perapian telah menjadi lega. Mereka seakan-akan telah mendapat isyarat bahwa para prajurit yang menyeberangi Kali Opak telah selamat sampai ke seberang.
Sementara itu, di Tembayat, Kangjeng Sultan dalam pengawalan yang kuat sedang beristirahat. Memang sulit untuk melupakan kepahitan yang sedang dialaminya. Terbayang para prajurit Pajang yang hanyut di Kali Opak. Namun terbayang pula, Panembahan Senapati dengan dada tengadah menatap hari depan yang lebih baik bagi tanah ini dibandingkan dengan pemerintahan Pajang.
Di malam yang gelap, beberapa kelompok prajurit pengawal telah bertugas menjaga kedudukan Sultan dalam beberapa lapis. Di sekitar pembaringan Kangjeng Sultan terdapat para Tumenggung dan Adipati, menantu Sultan dan beberapa kepercayaannya.
Di luar terdapat para pengawal terbaik dari pasukan khusus pengawal Raja. Sedangkan pada jarak beberapa puluh langkah, pasukan pengawal telah berjaga-jaga dengan kesiagaan penuh.
Ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu atas Kangjeng Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Pagi-pagi semua persiapan telah selesai, karena Kangjeng Sultan akan meneruskan perjalanan kembali ke Pajang.
Ketika kemudian matahari terbit, maka semua pasukan telah bersiap. Suasana sedih, marah dan dendam masih nampak di setiap wajah, kecuali pada wajah Kangjeng Sultan sendiri.
Dalam pada itu, Kasadha sekali-sekali masih juga dihinggapi perasaan yang lain. Selain dendamnya yang masih juga menyala di dadanya, karena kekalahannya di Randukerep atas pasukan Mataram, kemudian kesaksiannya atas hancurnya sebagian pasukan Pajang di Prambanan, ia masih juga mencemaskan dirinya sendiri. Jika saja ada orang yang pernah melihatnya dan tiba-tiba saja telah mengenalinya.
One Money 4 Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Lentera Kematian 3
^