Sayap Sayap Terkembang 30
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 30
Namun Kasadha berada di dalam satu barisan yang besar, sehingga karena itu, maka kemungkinan yang demikian akan menjadi sangat kecil.
Dalam perjalanan kembali ke Pajang, maka pasukan Ki Lurah Dipayuda yang merupakan bagian dari pasukan pengawal Raja, berada beberapa lapis di belakang Kangjeng Sultan yang naik seekor Gajah yang besar. Seorang serati dan pembantunya berada di sebelah menyebelah gajah itu. Di sebelah serati dan pembantunya, pasukan pengawal khusus yang langsung dipimpin oleh para Adipati menantu Kangjeng Sultan sendiri, berkuda.
Suasana pasukan itu memang gelap. Pangeran Benawa yang berkuda di belakang gajah kenaikan Kangjeng Sultan itu selalu saja menundukkan kepalanya. Tidak ada gairah sama sekali disorot matanya. Sedangkan Pangeran Benawa adalah Pangeran Pati yang akan menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan di Pajang.
Tetapi Pangeran Benawa tidak dapat melupakan hubungan ayahandanya dengan Panembahan Senapati serta hubungannya sendiri dengan Penguasa di Mataram itu. Bahkan Pangeran Benawa merasa bahwa Panembahan Senapati tentu akan menjadi seorang pemimpin yang jauh lebih baik dari dirinya sendiri.
Adalah sama sekali tidak terduga, bahwa gajah yang jinak itu tiba-tiba seakan-akan terkejut. Adalah di luar kuasa para serati dan pembantunya untuk mencegah kecelakaan yang kemudian terjadi. Demikian terkejutnya gajah itu, sehingga tiba-tiba saja telah meronta.
Kangjeng Sultan yang duduk di atas punggung gajah itu terkejut. Tidak ada kesempatan untuk melakukan sesuatu, ketika kekuatan raksasa telah melemparkannya.
Kangjeng Sultan adalah seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tanpa batas. Tetapi demikian tiba-tiba hal itu terjadi sebelum Sultan mempersiapkan diri. Apalagi kesehatan Sultan sendiri yang agaknya kurang menguntungkan. Kecemasan hati, serta beberapa isyarat yang telah membuat hatinya kecut. Suara bende Kiai Bicak yang dibunyikan oleh orang-orang Mataram, yang suaranya mengaum seperti suara seekor harimau yang akan menerkamnya. Pintu makam keramat di Tembayat yang tidak dapat dibuka dan pertanda alam yang seakan-akan telah ikut menyudutkannya, membuat Kangjeng Sultan tidak siap menghadapi keadaan itu. Bahkan Kangjeng Sultan seakan-akan telah membiarkan tubuhnya sendiri terbanting jatuh.
Dalam keadaan yang demikian, maka orang-orang yang terdekat telah menjadi bingung. Para prajurit tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Namun para Adipati tidak segera kehilangan akal. Mereka dengan cepat menolong Kangjeng Sultan, sementara serati dan pembantunya telah berusaha menenangkan gajah yang marah tanpa sebab itu.
Demikian serati itu menguasai gajahnya kembali, maka Adipati Tuban yang marah telah mendekatinya sambil berkata dengan suara berat, "Kau sengaja melakukannya?"
Serati itu berjongkok di hadapan Adipati Tuban sambil memohon, "Ampun Sang Adipati. Hamba sama sekali tidak tahu apakah sebabnya hal seperti ini dapat terjadi. Gajah ini adalah gajah yang baik selama ini. Namun agaknya gajah ini terkejut oleh sesuatu yang tidak hamba ketahui."
"Jika terjadi sesuatu atas Kangjeng Sultan, maka lehermulah yang akan menjadi gantinya," geram Adipati Tuban.
Namun dengan lemah Sultan yang mendengar Adipati Tuban itu membentak-bentak telah berkata, "Bukan salah orang itu. Ia tidak pantas menerima hukuman."
Adipati Tuban hanya dapat menggeram. Namun kemudian iapun berkata, "Bawa gajah itu menyingkir sebelum aku membunuhmu dan membunuh gajah itu sekaligus."
Serati itu membungkuk hormat. Iapun kemudian telah membawa gajahnya menjauhi para Adipati yang kemudian merawat Kangjeng Sultan bersama tabib istana.
Namun Kangjeng Sultan tidak akan lagi naik ke atas punggung gajah. Untuk perjalanan selanjutnya, Kangjeng Sultan akan duduk di atas tandu.
Bagi Sultan, satu pertanda lagi telah didapatkannya. Gajah adalah lambang kebesaran seorang Raja. Jika Kangjeng Sultan itu sudah jatuh dari punggung Gajah, maka satu pertanda bahwa kebesaran Kangjeng Sultan Hadiwijaya dari Pajang memang akan menjadi surut.
Demikian iring-iringan itu meneruskan perjalanan, maka di antara pasukan pengawal, Bharata sempat berbincang dengan Kasadha. Dengan nada rendah Kasadha berkata, "Nampaknya tugas kita di kalangan keprajuritan tidak akan lama?"
Bharata mengangguk kecil. Katanya, "Apakah kira-kira yang akan dilakukan para prajurit Mataram atas prajurit Pajang, Tuban, Demak dan yang lain" Apakah kami semuanya akan menjadi tawanan atau kami akan tetap menjadi prajurit di Pajang yang berada di bawah kekuasaan Mataram?"
"Sulit untuk diramalkan," berkata Bharata, "tetapi apakah Pajang benar-benar tidak mampu lagi menghimpun kekuatan untuk mengalahkan Mataram" Pasukan Mataram memang terlalu kecil dibandingkan dengan pasukan Pajang, namun orang-orang Mataram telah mempergunakan otaknya dengan baik. Banjir yang tidak terlalu lama, cara mereka memancing pasukan Pajang untuk menyeberang, kemudian ditahan oleh para prajurit Mataram yang sudah dipersiapkan di atas tanggul, merupakan satu perencanaan yang sempurna."
"Ya. Tentu tidak masuk dalam akal kita sebelumnya, bahwa Mataram akan mempergunakan bendungan sebagai senjata. Jika alam kemudian membantunya, itu adalah satu kebetulan. Tetapi tanpa bantuan alam, pasukan Pajang memang sudah dikoyakkan," desis Kasadha.
Keduanya hanya dapat mengangguk-angguk. Namun merekapun mengerti bahwa keadaan pada waktu itu bagaikan telah dipanggang di atas api. Kemarahan, kejemuan dan dendam berbaur menjadi satu, sehingga penalaranpun menjadi buram.
Dalam perjalanan yang berat dan payah itu, tiba-tiba saja telah menghadap Adipati Tuban dan Adipati Demak, seorang petugas sandi yang berada di belakang pasukan yang tertatih-tatih itu.
"Ada apa?" bertanya Adipati Tuban.
"Sepasukan kecil berkuda telah mengikuti iring-iringan pasukan Pajang ini Kangjeng Adipati."
"Pasukan dari mana?" bertanya Adipati Demak.
"Mataram," jawab petugas itu.
"Mataram" Seberapa besarnya pasukan itu?" berkata Adipati Demak pula.
"Sekitar lima puluh orang, Kangjeng Adipati?" jawab petugas itu.
"Hanya lima puluh orang?" bertanya Adipati Tuban dengan heran.
"Ya. Dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati sendiri," jawab petugas itu, "bahkan malah kurang dari lima puluh."
Adipati Tuban itu menggeram. Iapun kemudian berkata, "Panggil Pangeran Benawa. Ia berada di belakang tandu ayahanda Sultan."
Petugas itupun segera menghubungi Pangeran Benawa. Iapun dengan singkat telah memberikan laporan tentang Panembahan Senapati yang mengikuti pasukan itu. Namun Pangeran Benawa tiba-tiba berkata, "Aku tidak perlu laporan itu."
"Kangjeng Adipati memanggil Pangeran," desis petugas itu sambil menunduk.
"Siapa yang akan memerlukan aku, datanglah kepadaku," desis Pangeran Benawa.
Petugas yang menyampaikan pesan itu terkejut. Pangeran Benawa tidak pernah menjadi sekeras itu. Hampir di luar sadarnya ia menengadah memandang wajah Pangeran Benawa. Namun petugas itu telah dengan serta-merta menundukkan kepalanya ketika dilihatnya sorot mata Pangeran Benawa yang bagaikan membara.
Karena petugas itu tidak beranjak dari tempatnya. Maka Pangeran Benawa telah membentak, "Pergi. Sampaikan pesanku itu kepada setiap orang yang memanggil aku. Kecuali ayahanda Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Aku adalah Pangeran Pati Pajang."
Petugas itupun telah mengangguk dalam-dalam. Kemudian bergeser meninggalkan Pangeran Benawa yang tidak diketahui, kenapa tiba-tiba saja menjadi marah.
Adipati Tuban dan Adipati Demakpun terkejut. Namun keduanya tidak ingin berselisih dengan Pangeran Benawa. Keduanya bahkan telah berusaha menghadap Sultan di sebelah tandunya yang diusung oleh delapan orang.
"Ampun ayahanda Sultan," berkata Adipati Tuban yang kemudian menceriterakan bahwa Panembahan Senapati dengan sombongnya telah mengikuti iring-iringan ini hanya dengan sebanyak-banyaknya limapuluh orang.
Tetapi tanggapan Kangjeng Sultan jauh dari yang diharapkan. Kangjeng Sultan justru berkata, "Anak itu tentu ingin mendengar khabar keselamatanku."
"Ayahanda," berkata Adipati Demak, "ijinkan hamba dengan prajurit secukupnya menghancurkan prajurit Mataram itu. Berapa ratus prajurit kita yang terbunuh di Prambanan. Kita harus menunjukkan kepada Mataram, bahwa mereka bukan pemenang yang sebenarnya dalam pertempuran ini."
Tetapi Kangjeng Sultan menggeleng. Katanya, "Perang telah selesai."
"Kita biarkan dendam berkarat di hati?" bertanya Adipati Demak.
Tetapi Sultan tersenyum. Katanya, "Aku minta, kalian dapat hidup damai untuk selanjutnya. Saling menghormati sebagai saudara. Saling menghargai."
Adipati Demak menggeretakkan giginya. Namun ia tidak berani memaksakan kehendaknya untuk tetap melanjutkan rencananya sebagaimana dikatakan oleh Adipati Tuban.
Karena itu, maka keduanya telah bergeser menjauh.
Demikianlah iring-iringan itu tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Pajang. Sementara itu, Panembahan Senapati masih juga tetap mengikuti iring-iringan itu dari jarak tertentu.
Namun para pemimpin dan para Senapati Pajang harus tetap membiarkan saja sepasukan kecil berkuda itu seakan-akan membayangi pasukan Pajang yang jauh lebih besar.
Ketika Kangjeng Sultan itu sampai ke Pajang, maka tandu yang ditumpanginya langsung dibawa masuk ke dalam keraton. Agaknya keadaan Sultan tidak bertambah baik, tetapi bertambah buruk. Kesehatannya sejak Sultan jatuh dari atas punggung gajah terus saja menurun.
Sementara itu, Panembahan Senapati memang menjadi ragu-ragu. Namun ternyata Panembahan Senapati tidak tergesa-gesa kembali ke perkemahan. Bahkan bersama prajurit pilihan yang berjumlah empat puluh orang itu, Panembahan Senapati telah berkemah di Mayang. Diperintahkannya seorang penghubung untuk menyampaikan perintah kepada prajurit-prajuritnya yang berada di Prambanan untuk tetap menunggu.
"Mereka harus tetap berada di Prambanan sampai perintahku berikutnya," pesan Panembahan Senapati.
Dalam pada itu, yang terjadi di istana Pajang adalah Keadaan Kangjeng Sultan yang semakin buruk. Betapapun keadaan itu di sembunyikan, namun akhirnya tersebar juga, bahwa Kangjeng Sultan tidak dapat bangkit dari pembaringan.
Namun para prajurit tetap bersiaga sepenuhnya. Para pemimpin Pajang mengetahui bahwa Panembahan Senapati berkemah di Mayang. Mereka semula mengira bahwa Panembahan Senapati akan mohon ijin kepada para menantu Kangjeng Sultan serta Pangeran Benawa untuk menghadap.
Tetapi ternyata hal itu tidak dilakukan oleh Panembahan Senapati.
Pada saat-saat yang gawat, maka di pagi-pagi buta, seisi kota Pajang dikejutkan oleh setumpuk bunga telasih yang berada di setiap pintu gerbang kota di segala penjuru.
Berita tentang bunga telasih itu sampai juga ke telinga Sultan. Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Sultan itu justru berkata, "Ternyata kasih Danang Sutawijaya kepadaku sebagai ayahnya masih tetap menyala di hatinya. Namun adalah sikap seorang pemimpin yang akan menjadi seorang pemimpin yang besar bahwa ia tidak mau datang menemuiku. Karena itu, maka sepantasnya, bahwa Panembahan Senapati akan menjadi pemimpin di tanah ini."
Kesabaran para menantu Sultan benar-benar-hampir sampai ke puncak. Jantung mereka seakan-akan telah retak dan bahkan hampir meledak. Namun karena keadaan Sultan, maka mereka masih berusaha menahan diri.
Namun dalam pada itu, Pangeran Benawa, yang telah diangkat menjadi putera Mahkota, justru tidak banyak menaruh perhatian. Bahkan ia justru sependapat dengan ayahandanya, bahwa orang yang pantas untuk memimpin tanah ini setelah ayahandanya adalah Panembahan Senapati.
Sementara itu, Panembahan Senapati setelah meletakkan tumpukan-tumpukan bunga telasih di segala pintu kota, iapun telah berniat untuk kembali ke Prambanan dan tugasnya untuk sementara rasa-rasanya memang sudah selesai.
Demikian Panembahan Senapati meninggalkan Mayang, maka keadaan Sultan memang menjadi semakin gawat. Dadanya menjadi sesak, seakan-akan telah ditimpa oleh segumpal batu padas. Sehingga akhirnya, Kangjeng Sultanpun telah wafat.
Seluruh Pajang memang berkabung. Bahkan Matarampun ikut pula berkabung. Panembahan Senapati yang telah kembali ke perkemahan, telah memerintahkan sekelompok prajurit Mataram untuk membagi sisa perbekalan orang-orang Pajang dan Mataram kepada orang-orang padukuhan yang masih ada di padukuhan mereka di sekitar Prambanan.
"Tidak boleh berebut. Masing-masing harus menerima sesuai dengan yang diberikan," perintah para pemimpin prajurit yang bertugas.
Hanya sisa peralatan dan senjata sajalah, baik dari Pajang maupun Mataram telah dibawa dengan beberapa buah pedati kembali ke Mataram.
Sepeninggal Kangjeng Sultan, maka memang timbul persoalan di Pajang. Tetapi para pemimpin Pajang tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Mereka justru berusaha untuk menenangkan suasana.
Namun Adipati Tuban masih juga tetap mendendam kepada Mataram. Bahkan seakan-akan Adipati Tuban masih menunggu kesempatan untuk menghancurkan Mataram dengan pasukannya sendiri yang dipersiapkannya dari Tuban.
Namun sepeninggal Kangjeng Sultan, maka Pangeran Benawalah yang selalu menjadi penghambat. Setiap kali Pangeran Benawa mengingatkan perintah ayahanda Kangjeng Sultan, bahwa mereka harus berhubungan dengan Mataram dengan cara yang baik.
"Bagaimana mungkin dapat bersiap baik terhadap Mataram," geram Adipati Tuban.
Sementara itu, Pajang masih tetap bersiaga dengan susunan prajuritnya yang utuh. Bharata dan Kasadha masih tetap dalam kesatuannya, di bawah pimpinan Ki Lurah Penatus Dipayuda. Namun setiap prajurit Pajang, apalagi mereka yang termasuk orang-orang baru harus melihat hari-hari depan yang penuh dengan teka-teki.
Tidak seorangpun yang dapat meramalkan kedudukan para prajurit Pajang, dalam hubungannya dengan kemungkinan-kemungkinan mendatang.
Namun dalam pada itu, hubungan Kasadha serta Bharata dengan Ki Lurah Dipayuda menjadi semakin baik.
Kedua orang anak yang memiliki kemiripan itu seakan-akan telah diakui sebagai anaknya sendiri. Bahkan kadang-kadang Ki Lurah menyebut Kasadha sebagai kakak Bharata.
Adapun untuk sementara tugas merekapun tidak berpindah. Ki Lurah Dipayuda masih tetap berada dalam kesatuan pasukan pengawal, sehingga mereka telah ditempatkan di sebuah barak yang tidak jauh dari istana.
Namun setiap kali Ki Lurah Dipayuda duduk bersama Kasadha dan Bharata, selalu saja timbul pertanyaan, "Tidak ada lagi Raja di Pajang. Siapa yang harus kita kawal?"
Tetapi Ki Lurah Dipayuda masih saja memberikan jawaban, "Siapapun yang memimpin pemerintahan di Pajang."
Meskipun demikian, perasaan kedua anak muda itu sudah berbeda. Tidak lagi sebagaimana saat-saat mereka memasuki dunia keprajuritan. Saat mereka diterima setelah dilakukan pendadaran, apalagi ketika keduanya telah dipilih menjadi pemimpin kelompok, rasa-rasanya mereka benar-benar terpanggil untuk melakukan satu pengabdian.
Namun setelah terjadi perang antara Pajang dan Mataram, maka rasa-rasanya semuanya menjadi hambar.
Tetapi Kasadha dan Bharata telah tertarik pada satu berita yang didengarnya dari antara para pemimpin Demak dan Pajang sendiri, bahwa akan segera ditentukan, siapakah yang akan menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan Pajang.
"Kenapa harus demikian?" bertanya Bharata kepada Ki Lurah Dipayuda ketika mereka berkesempatan berbincang-bincang di saat-saat mereka tidak bertugas. "Bukankah di Pajang sudah ada Pangeran Pati."
"Ya," sahut Kasadha, "tidak ada orang yang lebih pantas untuk menduduki jabatan itu daripada Pangeran Benawa. Selain Pangeran Benawa memang sudah diangkat menjadi Pangeran Pati oleh Kangjeng Sultan semasa hidupnya, agaknya hanya Pangeran Benawalah yang bersikap paling lunak terhadap Mataram."
"Ya," Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk, "meskipun kita adalah prajurit, tetapi rasa-rasanya kitapun mengalami kejemuan untuk selalu berperang. Kalian belum lama berada di lingkungan keprajuritan. Tetapi aku, yang lebih dari sepuluh tahun mengabdi pada Pajang, rasa-rasanya ingin melihat satu bentuk kehidupan yang lebih tenang dan damai. Sejak perang antara Pajang dan Jipang, kemudian usaha menundukkan beberapa kadipaten di Timur, Pajang baru sempat beristirahat beberapa saat lamanya. Ternyata telah timbul persoalan dengan Mataram."
Bharata dan Kasadha yang memang baru memasuki kesatuan keprajuritan dekat menjelang perang antara Pajang dan Mataram hanya dapat mengangguk-angguk.
Namun ternyata yang mereka dengar itu bukan sekedar berita yang sekedar meloncat dari mulut ke mulut. Seorang Ulama yang berpengaruh akan datang ke Pajang untuk memimpin pertemuan memilih seorang pengganti Sultan Hadiwijaya.
Demikianlah pada saat yang sudah ditentukan, maka di Pajang memang telah diselenggarakan sebuah pertemuan antara para putera dan menantu Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dalam pertemuan itu bahkan Panembahan Senapati telah dipanggil pula untuk ikut menyaksikannya.
Dalam kesempatan itu, maka di sekitar istana, para pengawal telah bersiap untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi. Apalagi para prajurit Tuban dan Demak, sebagian masih berada di Pajang.
Namun pengaruh Ulama yang memimpin pertemuan itu memang sangat besar, sehingga pertemuan itu sendiri dapat berlangsung sampai selesai, meskipun tidak memberikan kepuasan kepada semua pihak. Ada pihak yang merasa dikesampingkan sehingga menumbuhkan luka di hati.
Ketika diambil keputusan bahwa yang menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan Hadiwijaya adalah Adipati Demak, maka Panembahan Senapati hampir saja menyatakan penolakannya. Tetapi Ki Juru Martani yang bergelar Patih Mandaraka, yang menyertainya sempat menggamitnya dan berbisik agar Panembahan Senapati tidak mencampuri persoalan keluarga di Demak.
Panembahan Senapati tidak sempat membantah. Tetapi ia memang diam dan mengurungkan niatnya untuk mengingkari keputusan itu.
Sementara itu Pangeran Benawa yang sebelumnya telah diangkat menjadi Pangeran Pati, hanya ditentukan menjabat kedudukan Adipati di Jipang.
Ketika pertemuan itu kemudian selesai, dan Panembahan Senapati kembali ke Mataram, ia sempat bertanya kepada Ki Patih Mandaraka, "Bukankah yang berhak menduduki jabatan yang ditinggalkan oleh ayahanda adalah Adimas Pangeran Benawa?"
"Ya Panembahan," jawab Ki Patih Mandaraka, "tetapi kita lebih baik menunggu sikap para putera dan menantu Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Seandainya Panembahan menolak, tetapi putera dan menantu Kangjeng Sultan itu menerima, maka persoalannya akan berbeda."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi bagi Mataram, yang terbaik di antara mereka yang berebut kedudukan itu adalah Adimas Pangeran Benawa."
Namun seperti yang dinasehatkan oleh Ki Patih Mandaraka, maka Panembahan Senapati tidak menunjukkan sikap apapun. Panembahan Senapati telah menempatkan dirinya di luar persoalan keluarga Pajang.
Tetapi satu hal yang tetap terpancang di angan-angan Panembahan Senapati, bahwa Mataram harus menjadi besar sebagaimana pernah dikatakannya di paseban Pajang. Bahkan lebih besar dari Pajang.
Ternyata ditetapkannya Adipati Demak menjadi pengganti Sultan di Pajang sama sekali tidak memadamkan kemelut yang terjadi. Apalagi Adipati Demak telah melakukan langkah-langkah yang menyakiti hati orang-orang Pajang. Hampir semua kedudukan di Pajang telah diambil alih oleh orang-orang yang didatangkan dari Demak.
Demikian pula pasukan pengawal. Kangjeng Adipati Demak yang kemudian berada di Pajang, telah mengganti pasukan pengawal dengan pasukan yang didatangkannya dari Demak. Sehingga dengan demikian maka Ki Lurah Dipayudapun telah tergeser pula bersama seluruh pasukannya yang seratus orang jumlahnya.
Baraknyapun kemudian telah dipindahkan agak jauh dari istana. Bahkan rasa-rasanya prajurit Pajang justru telah dicurigai oleh para pemimpin dari Demak.
Sementara itu hubungan antara Pajang dan Tuban berjalan dengan baik. Adipati Tuban yang masih saja mendendam Panembahan Senapati telah mendorong Pajang untuk memperkuat kedudukannya. Justru untuk menghadapi Mataram.
Panembahan Senapati memang merasa sikap permusuhan dari Adipati Demak yang berkedudukan di Pajang itu. Karena itu, maka Matarampun selalu bersiaga untuk menghadapi kemungkinan buruk yang dapat timbul kemudian.
Di barak prajurit Pajang yang merasa tersisih, Ki Lurah Dipayuda yang telah mengabdi lebih dari sepuluh tahun, rasa-rasanya telah menyelesaikan tugasnya dengan sewajarnya. Karena itu, maka ketika ia sempat berbincang dengan Kasadha dan Bharata, maka katanya, "Anak-anakku. Aku sama sekali tidak ingin mempengaruhi sikap kalian. Tetapi rasa-rasanya aku sudah menjadi sangat letih, sehingga aku merasa bahwa sebaiknya aku mengundurkan diri saja dari tugas keprajuritan ini."
Kedua anak muda itu memang sudah menduga, bahwa pada suatu hari mereka akan mendengar pernyataan itu. Namun keduanya tidak mengira bahwa hal itu akan terlalu cepat terjadi, sehingga keduanya belum bersiap menentukan sikap.
Kasadha dan Batara adalah dua orang yang sama-sama tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Sikap Ki Lurah Dipayuda yang kebapaan itu benar-benar telah menyentuh hati mereka, sehingga bukan saja Ki Lurah yang menganggap keduanya sebagai anak-anaknya. Tetapi baik Bharata maupun Kasadha merasa bahwa mereka seakan-akan telah menemukan seorang ayah. Bagi Kasadha, sikap Ki Lurah Dipayuda memang sangat berbeda dengan sikap Ki Rangga Gupita. Meskipun Ki Lurah Dipayuda juga seorang prajurit yang dapat bertindak tegas dan keras, namun tindakannya tidak didorong oleh perasaan benci dan bahkan seakan-akan mendendam.
Dalam beberapa hal, Kasadha menganggap bahwa Ki Lurah Dipayuda memiliki kemiripan dengan gurunya. Bahkan tiba-tiba saja Kasadha merasa bahwa ia sudah terlalu lama tidak bertemu dengan gurunya itu.
Namun Kasadha merasa bahwa ia sama sekali tidak ingin mengulangi cara hidupnya yang tidak menentu, Ia tidak ingin hidup seperti ayah dan ibunya yang selalu dibayangi oleh permusuhan tanpa ada batasnya. Bahkan kadang-kadang mereka harus bersembunyi dan hidup tidak sewajarnya. Dunia keprajuritan sebenarnya akan dapat menjadi tempat untuk menyingkir dari tata kehidupan yang tidak wajar itu. Apalagi Kasadha menyadari, meskipun tidak terlalu jelas dan pasti, bahwa ia telah dibentuk menjadi seorang yang harus membalas dendam sakit hati ibu dan ayahnya yang bukan ayahnya yang sebenarnya itu.
Tetapi tiba-tiba seorang yang baik di lingkungan keprajuritan itu tiba-tiba saja ingin mengundurkan dirinya.
Karena itu, hampir di luar sadarnya Kasadha berkata, "Ki Lurah. Jika Ki Lurah telah sepuluh tahun menjadi prajurit, kenapa Ki Lurah tidak merasa bahwa dunia keprajuritan ini adalah dunia yang paling baik bagi Ki Lurah?"
"Aku kira memang demikian Kasadha," jawab Ki Lurah, "jika aku meninggalkan kesatuan ini, maka aku akan kembali lagi ke padukuhan. Aku akan turun lagi ke sawah bergulat dengan lumpur. Tetapi aku setiap hari harus bertanya kepada diriku sendiri, kepada siapa lagi aku sebenarnya mengabdikan diriku?"
"Bukankah kita tidak mengabdi kepada seseorang, Ki Lurah," bertanya Kasadha, "siapapun yang menjadi pimpinan kita, kita akan ikut serta menegakkan kewibawaan tanah ini."
"Benar Kasadha," jawab Ki Lurah, "namun segala sesuatunya, sayangnya, akan ditentukan oleh seseorang yang kebetulan memegang pimpinan pemerintahan."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membantah kebenaran kata-kata Ki Lurah itu. Balkan kemudian Ki Lurah itu berkata, "Banyak kebijaksanaan yang berubah. Pimpinan yang sekarang merasa perlu untuk menunjukkan kekuasaannya dengan mengadakan perubahan-perubahan meskipun sebenarnya tidak perlu."
"Perubahan apa saja yang telah dibuat oleh Kangjeng Sultan yang sekarang?" bertanya Bharata.
"Rasa-rasanya kurang mapan untuk menyebutnya sebagai Sultan Pajang, justru karena hadirnya Mataram. Semisal nyala obor minyak, maka seakan-akan nyala Mataram nampak lebih terang dari Pajang yang sekarang," jawab Ki Lurah Dipayuda. Namun yang kemudian katanya, "Kebijaksanaan tentang Tanah Perdikanpun telah dirubah. Tidak semua Tanah Perdikan yang telah mendapat kekancingan dari Pajang, bahkan Demak dapat diakui oleh Adipati Demak yang sekarang berkuasa di atas tahta Pajang."
Jantung Bharata menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia bertanya, "Kenapa?"
"Itulah yang aku katakan, bahwa hal itu semata-mata terdorong oleh keinginan Kangjeng Adipati untuk mengadakan perubahan atas kuasa yang digenggamnya. Beberapa Tanah Perdikan tidak diakui lagi. Apalagi yang kebetulan terjadi persoalan di dalam lingkungannya. Misalnya Tanah Perdikan Ngandong di sebelah Utara Kali Pepe. Tanah Perdikan yang tidak begitu besar. Tanah Perdikan yang mendapat kekancingan dari Kangjeng Sultan Trenggana, karena di masa mudanya, ketika Pangeran yang masih muda itu mengembara, seorang di Ngandong telah memberikan perlindungan kepadanya di hujan yang deras. Saat prahara menerjang dan gunturpun meledak-ledak di langit. Pangeran itu kedinginan berteduh di bawah sebatang pohon randu alas. Namun tiba-tiba saja pohon randu alas itu terangkat oleh angin yang menggetarkan jantung dan roboh membujur di atas beberapa kotak sawah. Untunglah bahwa dengan sigap Pangeran Trenggana sempat meloncat menjauh, sehingga tidak tersentuh oleh batang, maupun akar-akar. Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja lewat dengan tenaganya seorang tua yang kemudian mengajaknya berteduh di rumahnya yang ternyata tidak terlalu jauh. Ketika Pangeran Trenggana kemudian menjadi Sultan di Demak, maka ia tidak pernah melupakannya. Ngandong kemudian telah diberi kedudukan sebagai Tanah Perdikan di bawah pimpinan Ki Gede Ngandong, orang yang telah menolong Sultan Trenggana di masa mudanya itu."
Bharata memperhatikan ceritera itu dengan saksama. Namun kemudian iapun bertanya, "Kenapa kekancingan tentang Tanah Perdikan itu kemudian tidak diakui atau malahan dicabut?"
Ki Lurah Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Menurut keterangan seorang kawanku yang berada dalam tugas yang bersangkutan dengan Tanah Perdikan, Ki Gede Ngandong yang pertama itu sudah lama meninggal. Ia tidak begitu lama memegang jabatannya, karena umurnya yang memang sudah tua. Kemudian anaknya telah menggantikannya. Anaknya itu beberapa saat yang lalu telah meninggal pula, juga karena sudah terlalu tua. Seharusnya anaknya, cucu Ki Gede Ngandong yang pertamalah yang menggantikan kedudukan yang kosong itu. Semua persiapan telah dilakukan. Namun tiba-tiba beberapa hari yang lalu, turun kekancingan yang mencabut hak atas Tanah Perdikan itu."
"Itu tidak adil," berkata Bharata.
"Ya. Memang terasa tidak adil. Kecuali jika ada kesalahan mutlak dari seorang pemimpin Tanah Perdikan. Misalnya, menentang kebijaksanaan Raja atau dengan sengaja menimbulkan persoalan di Tanah Perdikan itu sehingga dapat menurunkan wibawa Raja, apalagi terang-terangan memberontak," sahut Ki Lurah Dipayuda, "itupun masih perlu diambil jalan yang lebih baik jika mungkin. Misalnya, dipanggil untuk menghadap."
Wajah Bharata menjadi tegang. Apalagi ketika Ki Lurah itu berkata, "Nampaknya tidak hanya Tanah Perdikan kecil Ngandong yang telah mendapat perhatian khusus."
"Apa ada Tanah Perdikan yang lain?" bertanya Bharata dengan cemas.
"Mungkin masih ada. Tanah Perdikan yang lebih besar," berkata Ki Lurah Dipayuda. Lalu katanya, "Sebenarnya memang mengherankan, bahwa dalam pemulihan tatanan pemerintahan para pemimpin di Pajang begitu cepat menyempatkan diri untuk mengurusi Tanah Perdikan yang tersebar. Hal itu tentu dilakukan oleh para pemimpin yang datang dari Demak. Dengan menata kembali kedudukan Tanah Perdikan, maka mereka mengharapkan untuk dapat mengambil keuntungan daripadanya. Para pemimpin Tanah Perdikan itu akan berusaha untuk mendapatkan kembali hak atas kekancingan yang pernah mereka terima sebelumnya. Dalam keadaan yang demikian, maka kemungkinan-kemungkinan buruk dapat timbul."
"Kemungkinan buruk yang mana Ki Lurah," desak Bharata.
"Suap, pemerasan dan cara-cara lain untuk mendapatkan keuntungan bagi para pemimpin yang berhak mengurusi Tanah Perdikan itu," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Jika demikian, apakah itu tidak berarti memperkuat kedudukan Mataram" Bagaimanapun juga di Tanah Perdikan itu tentu tersimpan kekuatan. Pada saatnya kekuatan itu akan dapat dipergunakan untuk melawan Pajang. Mungkin kekuatan itu sendiri tidak berarti. Tetapi jika dipergunakan tepat pada saatnya, maka akan dapat membahayakan Pajang juga yang seakan-akan sedang berhadapan dengan Mataram," berkata Bharata.
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja Ki Lurah itu bertanya, "Nampaknya kau sangat tertarik pada kedudukan Tanah Perdikan?"
Bharata terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun tiba-tiba kepalanya menunduk sambil berkata, "Bukan tentang Tanah Perdikannya Ki Lurah. Tetapi tentang ketidakadilannya."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Sementara Kasadha berkata, "Jika demikian, maka Pajang tentu tidak akan segera menjadi tenang."
"Ya. Apalagi jika kita mendengar tentang sikap Pangeran Benawa yang menginginkan Mataram berkuasa mutlak. Pajang tidak seharusnya berdiri sendiri terpisah dari Mataram. Tegasnya, Pajang berada di bawah perintah Mataram," berkata Ki Lurah Dipayuda, "sementara itu Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tanpa batas sebagaimana Panembahan Senapati itu, tidak tinggal diam menghadapi keadaan. Jika sebelumnya Pangeran Benawa seakan-akan tidak mau tahu tentang pemerintahan karena perasaan kecewanya atas sikap ayahandanya Sultan Hadiwijaya, maka kini ia justru mempersiapkan pasukan di Jipang."
"Apakah Pangeran Benawa akan menempuh Pajang dengan kekerasan?" bertanya Kasadha.
"Itulah yang mencemaskan. Itu pulalah yang membuat hatiku selalu bimbang. Kepada siapa sebenarnya aku mengabdi" Apakah terjadi bahwa satu saat, sebagai prajurit Pajang aku harus bertempur melawan pasukan Pangeran Benawa yang datang dari Jipang?" bertanya Ki Lurah Dipayuda lebih banyak ditujukan kepada diri sendiri.
Bharata dan Kasadha tidak menjawab. Namun berbagai masalah masih saja berkecamuk di dalam kepala mereka.
Kasadha lebih banyak memikirkan kehadiran prajurit Demak yang semakin lama semakin banyak di Pajang, dan bahkan seakan-akan mereka tidak menghiraukan lagi prajurit Pajang yang jumlahnya memang selalu susut. Ketidakpuasan, kecewa dan perasaan sebagaimana timbul di dada Ki Lurah Dipayuda, telah mendorong mereka meninggalkan dunia keprajuritan. Sementara itu para pemimpin yang datang dari Demak justru mendorong suasana yang demikian itu. Nampaknya semakin banyak prajurit Pajang mengundurkan diri, mereka menjadi semakin senang.
Justru karena itu, maka Kasadha telah menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukannya.
Sementara itu Bharatapun menjadi gelisah. Bukan karena semakin banyaknya pengaruh Demak yang menyusup ke dalam pemerintahan dan keprajuritan Pajang. Tetapi tentang kebijaksanaan pemerintahan Adipati Demak yang menyangkut masalah Tanah Perdikan. Jika Tanah Perdikan Ngandong sudah dibekukan, serta beberapa Tanah Perdikan yang lain, maka Tanah Perdikan Sembojanpun tentu akan mendapat gilirannya. Apalagi pada saat itu Tanah Perdikan Sembojan sedang kosong. Tidak ada seorang pimpinan Tanah Perdikan. Yang ada hanya Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan. Apalagi apabila ada laporan tentang perebutan pimpinan antara kedua isteri ayahnya. Iswari, ibunya dengan Warsi, ibu seorang anak muda yang bernama Puguh, yang hampir sebaya dengan dirinya, namun karena ia lahir kemudian, maka Puguh itu lebih muda kira-kira setahun atau lebih sedikit.
Dengan demikian, maka tiba-tiba saja Bharata merasa rindu kepada kampung halamannya. Kepada tempat kelahirannya. Ia merasa sudah terlalu lama meninggalkannya. Bahkan hampir sejak ia meningkat dewasa, karena ia berada di padepokannya. Rasa-rasanya ia jarang sekali berada di Tanah Perdikan itu. Jika tiba-tiba saja kekuatan yang datang dari Demak itu merenggutnya, maka ia akan kehilangan sebelum dalam ujud wadag memilikinya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja dadanya telah bergejolak. Ada dorongan yang sulit dibendungnya pulang ke kampung halamannya. Tetapi ia tidak dapat melakukannya dengan serta-merta. Ketika ia menyatakan diri untuk menjadi seorang prajurit, maka ia tidak mengatakan bahwa dirinya berasal dari Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi ia adalah seorang anak padepokan yang terletak di Kademangan Blibis.
Dengan demikian maka Bharata itu tidak dapat dengan serta-merta mengatakan keinginannya untuk melihat Tanah Perdikannya, Semboyan. Betapapun ia didesak oleh keinginan itu.
"Ah, sudahlah," berkata Ki Lurah, "biarlah kita menunggu perkembangan keadaan. Kita tidak tahu pasti apa yang akan berkembang lagi di Pajang ini."
"Apakah Ki Lurah akan secepatnya meninggalkan dunia keprajuritan?" bertanya Kasadha.
"Tidak tergesa-gesa. Tetapi juga tidak akan terlalu lama lagi," jawab Ki Lurah Dipayuda, "biarlah para Senapati dari Demak segera dapat mengetrapkan berbagai macam paugeran sesuai dengan keinginan mereka. Kemudian membentuk kekuatan keprajuritan yang lain dari yang pernah ada di Pajang."
"Bagaimana sebaiknya dengan yang muda-muda seperti kami berdua?" tiba-tiba saja Kasadha bertanya.
Ki Lurah Dipayuda ternyata juga tidak bersiap untuk menerima pertanyaan seperti itu. Karena itu, maka iapun kemudian justru tersenyum sambil menjawab. "Aku harus berpikir lebih dahulu untuk dapat menjawab pertanyaanmu."
Kasadha hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mendesaknya.
Ki Lurahpun kemudian minta diri untuk satu tugas yang harus dilakukannya. Sementara itu Kasadha dan Bharata masih saja berbicara tentang berbagai macam kemungkinan. Namun kedua orang anak muda itu menjadi sangat berhati-hati. Mereka masing-masing menyimpan rahasia tentang dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian maka rahasia itu tidak boleh terloncat dari mulutnya.
Namun baik Kasadha, maupun Bharata merasa bahwa dunia keprajuritan memang tidak menarik lagi bagi mereka justru karena Demak terlalu ingin berkuasa di Pajang.
Tetapi yang lebih gelisah adalah Bharata. Bagi Kasadha, meskipun dunia keprajuritan menjadi serasa hambar, namun baginya masih lebih baik untuk hidup di dunia yang hambar itu daripada harus kembali kepada ibunya dan apalagi orang yang mengaku ayahnya itu.
"Biarlah aku dianggap anak hilang. Ayah dan ibu telah mendapatkan gantinya. Adikku laki-laki itu tentu akan dapat memenuhi keinginan ibu dan orang yang mengaku ayahku itu. Meskipun keadaannya akan dapat menjerumuskannya dalam satu kehidupan yang tidak sewajarnya sebagaimana kehidupan kedua orang tuanya," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Di dalam dunia keprajuritan, apalagi setelah mereka berada kembali di Pajang, maka Kasadha semakin banyak melihat kehidupan sebuah keluarga yang mapan. Di saat-saat ia sempat berjalan-jalan, maka dari lubang pintu gerbang yang terbuka, kadang-kadang Kasadha sempat melihat kehidupan sebuah keluarga yang manis. Keluarga kecil yang mengisi waktu luangnya dengan bermain-main di bawah pohon sawo yang rimbun. Sekali-sekali terdengar suara seorang ibu memanggil nama anaknya yang nakal yang berlari-lari dan terjun ke dalam tempat pembuangan sampah.
Atau sekali-sekali Kasadha bertemu dengan seorang perempuan tua yang berjalan-jalan di sore hari dengan anaknya yang sudah menjelang dewasa. Mungkin memang untuk satu keperluan. Tetapi hubungan antara anak dan ibu yang demikianlah yang belum pernah dirasakannya. Apalagi dengan ayahnya. Setiap kali ia bertemu dengan ibu dan orang yang mengaku ayahnya yang didengarnya tidak lebih dari makian kasar dan umpatan yang menyakitkan hati.
Di hari-hari terakhir, maka semakin banyak para prajurit Pajang yang menarik diri dan kembali ke kampung halamannya. Sementara itu, maka semakin banyak pula prajurit Demak yang berada di Pajang.
Ternyata beberapa hari kemudian Kasadha dan Bharata terkejut ketika mereka ditemui oleh Ki Lurah yang berkata, "Aku telah mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri."
"Begitu tiba-tiba Ki Lurah?" bertanya Bharata.
"Aku sudah tidak tahan lagi. Rasa-rasanya aku begitu gelisah ketika aku bertemu dengan beberapa orang kawan yang sudah berada di luar lingkungan keprajuritan," jawab Ki Lurah Dipayuda. Namun Ki Lurah itu masih berpesan, "Tetapi kalian jangan tergesa-gesa mengikuti jejakku. Kalian tentu tahu, apa yang mendorong aku untuk semakin cepat meninggalkan tempat ini. Aku yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengabdi, sama sekali tidak mendapat perhatian. Apalagi setelah para Senapati diganti dengan para perwira yang datang dari Demak. Maka hari depanku yang semakin pendek itupun menjadi semakin gelap."
"Lalu apa yang akan Ki Lurah lakukan?" bertanya Kasadha.
"Kembali ke sawah," jawab Ki Lurah. Namun katanya kemudian, "Tetapi pada hakekatnya akan sama saja. Di sawahpun kita dapat berbuat banyak. Apalagi dalam keadaan gawat dan apalagi keadaan perang, semua laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata juga akan dipanggil jika sangat diperlukan."
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia bertanya apakah yang sebaiknya dilakukan sebagai seorang anak dari Kepala Tanah Perdikan yang telah meninggal. Untunglah ia segera menyadari bahwa pertanyaan itu tidak seharusnya diucapkannya.
Demikianlah, beberapa hari kemudian, Kasadha dan Bharata bahkan seluruh pemimpin kelompok dan para prajurit yang tergabung dalam pasukannya telah kehilangan seorang Lurah Penatus yang baik, sabar, tetapi tegas dan keras pada saat-saat tertentu dengan sifat kebapaan yang jarang dimiliki oleh para pemimpin yang lain.
Ketika Ki Lurah Dipayuda mendapat kesempatan untuk minta diri kepada para prajuritnya, maka dua orang perwira Demak telah hadir pula didampingi oleh seorang lagi yang akan menggantikan kedudukan Ki Lurah. Juga seorang Lurah Penatus dari Demak. Dari susunan keprajuritan Pajang justru hanya hadir seorang perwira yang kurang penting, bahkan yang sebelumnya sama sekali tidak bersangkut paut dengan pasukan Ki Lurah Dipayuda.
Beberapa orang, terutama para pemimpin kelompok yang telah mengenal dengan sungguh-sungguh sifat Ki Lurah Dipayuda, benar-benar telah merasa kehilangan. Namun seorang perwira dari Demak mengatakan, bahwa prajurit itu tidak perlu merasa kehilangan.
"Setiap pergantian adalah wajar sekali terjadi dimanapun," berkata perwira Demak itu lebih lanjut, "Ki Lurah Dipayuda telah memilih satu tugas lain yang tidak kalah pentingnya dengan tugas keprajuritan. Ki Lurah Dipayuda akan kembali ke kampung halaman dan menggarap sawahnya yang menurut keterangannya tidak terlalu luas. Tetapi kerja di sawah bukannya berarti lebih buruk daripada menjadi seorang prajurit."
Yang mendengarkan seseorang perwira Demak itu mengangguk-angguk. Ternyata menurut penilaian para prajurit, perwira itu juga bukan seorang yang keras, kasar dan tidak mau tahu pikiran dan pendapat orang lain. Perwira yang datang dari Demak itu juga mempunyai pandangan yang mendasar tentang tugas seorang prajurit yang kemudian telah diuraikannya pula. Katanya, "Kalian adalah sekelompok orang yang telah memilih satu dunia pengabdian bagi negeri ini serta segala isinya melebihi kepentingan bagi diri kalian sendiri. Sudah tentu itu merupakan satu kebanggaan bagi kalian sendiri, bagi keluarga kalian dan lebih dari itu bagi Pajang. Namun jika pada suatu saat, seseorang sesuai dengan perkembangan jiwanya serta mungkin wadagnya yang mulai lemah dan kurang sesuai lagi dengan jenis pengabdian yang berat ini, serta memilih lapangan pengabdian yang lain, maka kita tidak boleh merendahkannya. Kita akan tetap menghormatinya sebagaimana sikap kita kepada Ki Lurah Dipayuda."
Suasana perpisahan itu memang mencengkam. Kata-kata perpisahan Ki Lurah Dipayuda sempat menyentuh hati para prajuritnya.
Dengan demikian maka sejak saat itu, sekelompok prajurit Pajang itu telah mendapat seorang Lurah Penatus yang baru. Yang ternyata adalah seorang yang berwatak sangat keras. Sikap orang itu telah mengaburkan sesorah perwira Demak yang memberikan beberapa petunjuk dan menunjukkan sikap yang luas dan terbuka terhadap kepergian Ki Lurah Dipayuda serta tugas para prajurit yang ditinggalkannya.
Ketika pimpinan yang baru itu mendapatkan kesempatan untuk berbicara di hadapan pasukannya di hari berikutnya, maka sudah mulai terbayang, perubahan-perubahan akan segera terjadi di pasukan itu.
"Aku ingin mengenal setiap orang dengan baik dalam pasukan ini," berkata Ki Lurah Yudoprakosa. "Mulai besok, setiap hari harus menghadap seorang demi seorang dari setiap kelompok berurutan. Aku akan menentukan pengelompokan baru atas pasukan ini. Seluruh pasukan yang seratus orang ini akan aku rubah menjadi sembilan kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok. Dan setiap tiga kelompok akan dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok besar. Dengan demikian maka akan ada tiga orang pemimpin kelompok besar dan sembilan orang pemimpin kelompok kecil. Dalam setiap kelompok kecil akan berisi sepuluh atau sebelas orang termasuk pemimpin kelompoknya. Dengan demikian akan ada teras pertanggungan jawab sehingga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kecil, setiap pemimpin kelompok kecil tidak perlu harus berhubungan dengan aku langsung. Tetapi seorang pemimpin kelompok besar harus dapat mengatasinya."
Memang ada beberapa pendapat di kalangan para prajurit. Yang jelas, bahwa di antara mereka akan terdapat beberapa jabatan pemimpin kelompok yang dapat diisi, karena tiga di antara mereka akan menjadi pemimpin kelompok besar, sehingga akan ada dua orang di antara mereka yang akan diangkat menjadi pemimpin kelompok kecil.
Dalam pada itu, maka Ki Lurah Yudoprakosa itu berkata selanjutnya, "Hal seperti ini akan berlangsung bagi seluruh kesatuan. Pola pimpinan ini disesuaikan dengan pola pimpinan prajurit Demak," Ki Lurah berhenti sebentar lalu, "Sebagaimana kalian ketahui, bahwa gaya keprajuritan Demak memang agak mirip dengan Pajang sebelumnya. Kita tidak mengangkat prajurit sebanyak-banyaknya. Prajurit kita jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi jika terjadi perang, maka semua laki-laki akan menjadi prajurit. Namun agaknya ada beberapa hal yang perlu disesuaikan dalam susunan jenjang keprajuritan."
Perubahan-perubahan yang ditawarkan itu memang memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi para prajurit. Dengan demikian maka keinginan Kasadha dan Bharata meninggalkan dunia keprajuritan telah ditangguhkannya. Mereka ingin tahu, apa yang akan terjadi kemudian. Apakah mereka akan mendapat kesempatan lebih baik atau justru sebaliknya. Hampir bersamaan mereka berkata di dalam hati, "Jika kemungkinan itu menjadi lebih buruk, maka aku akan mengucapkan selamat tinggal pada dunia keprajuritan."
Sebenarnya yang lebih banyak berniat untuk minggir adalah Bharata. Ia masih juga memikirkan tentang Tanah Perdikannya. Jika terjadi seperti Ngandong dan lain-lainnya, apakah ibunya akan tinggal diam. Tetapi jika itu keputusan Pajang, apakah Sembojan akan sanggup menentangnya"
Tetapi ternyata Bharata juga bertahan untuk tetap tinggal di baraknya untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Ki Lurah Yudoprakosa.
Mulai hari berikutnya, seperti yang sudah dikatakan oleh Ki Lurah, maka ia benar-benar memanggil setiap orang untuk menemuinya dalam bilik khusus. Seorang demi seorang, mulai dari kelompok satu berurutan kelompok dua, tiga dan seterusnya. Setiap hari Ki Lurah memanggil duapuluh orang dari dua kelompok.
Kepada orang-orang yang berada di dalam kelompok itu, Ki Lurah juga bertanya, jika akan dipilih tiga orang pemimpin kelompok besar, siapakah yang terbaik untuk kedudukan itu.
Demikianlah, seorang demi seorang telah menghadap. Sebenarnya bahwa Ki Lurah Yudoprakosa adalah seorang yang keras dan kasar. Beberapa orang prajurit yang tidak menjawab dengan tegas pertanyaan-pertanyaannya, telah dibentak-bentaknya dengan kasar pula. Bahkan seorang di antara prajurit yang telah terbuang dan dimasukkan dalam kesatuan yang dipimpin oleh Ki Lurah Dipayuda yang berusaha menunjukkan keberaniannya menghadapi pimpinan yang bagaimanapun juga dan siapapun juga, telah dipukulnya hingga pingsan, sehingga beberapa orang harus mengangkatnya dari bilik khusus itu.
Namun setelah seorang di antara mereka dipukul sampai pingsan maka tidak seorang yang berani berbuat kurang wajar dan tidak bersungguh-sungguh. Mereka benar-benar harus mengikuti paugeran dan unggah-ungguh yang berlaku di dunia keprajuritan.
Di hari pertama dan kedua, Ki Lurah Yudoprakosa selalu mendengar nama Bharata dan Kasadha disebut-sebut oleh para prajurit itu apabila Ki Lurah itu bertanya tentang kemungkinan menunjuk seorang pimpinan kelompok besar di kesatuan itu. Sementara yang diperlukan adalah tiga orang pemimpin.
"Siapakah yang ketiga," bentak Ki Lurah Yudoprakosa kepada seorang prajurit yang hanya menyebut dua orang.
Bahkan seperti juga yang lain-lain. Selalu dua orang saja. Prajurit itu menjadi bingung. Namun kemudian ia menjawab, "Pemimpin-pemimpin kelompok yang lain memiliki tataran kemampuan yang sama."
"Jadi siapa?" Ki Lurah berteriak.
Prajurit itu benar-benar bingung. Sehingga akhirnya ia menyebut saja pemimpin kelompoknya sendiri, "Rantam, Ki Lurah."
"Pemimpin kelompokmu?" desak Ki Lurah.
"Ya Ki Lurah," jawab prajurit itu.
"Ia sudah lebih dahulu menghadap aku. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa orang ketiga adalah dirinya sendiri."
Prajurit itu terbelalak. Hampir saja ia berteriak, bahwa sudah tentu hal itu tidak akan dikatakannya. Bahkan iapun mengatakan tentang pemimpin kelompoknya itu bukan karena satu keyakinan. Tetapi semata-mata karena ia terpaksa harus menyebut salah satu nama pemimpin kelompok.
Prajurit itu terkejut sekali. Bahkan matanya menjadi berkunang-kunang ketika sebuah tamparan yang keras telah mengenai pipinya.
"Kau berani membelalaki aku he?" bentak Ki Lurah.
Prajurit itu menunduk. Katanya gagap, "Tidak, Ki Lurah. Tentu tidak."
"Jadi apa yang kau lakukan?" bertanya Ki Lurah.
"Aku terkejut sekali ketika Ki Lurah mengatakan bahwa Rantam tidak pernah menyebut dirinya sendiri. Aku menjadi bingung sekali, Ki Lurah," sahut prajurit itu jujur dan bahkan menjadi putus asa.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia membentak, "Keluar. Cepat. Sebelum aku pukul kau hingga pingsan. Agaknya jenis prajurit Pajang yang seperti inilah yang membuat Pajang sama sekali tidak berdaya menghadapi Mataram."
Prajurit itu memang dengan tergesa-gesa keluar. Tetapi ia masih juga bergeramang meskipun perlahan-lahan sekali, "Apa arti kekuatan Demak yang ada di Pajang saat perang itu terjadi" Apakah mereka menunjukkan kelebihan dari prajurit Pajang?"
Tetapi ia tidak berani menanyakan kepada Ki Lurah jika ia tidak ingin giginya rontok semuanya.
Demikianlah, seorang demi seorang telah dipanggil masuk. Semuanya menjadi basah kuyup oleh keringat dingin di saat mereka keluar. Ada saja alasan Ki Lurah untuk membentak-bentak para prajurit yang menjadi kebingungan itu. Bahkan memukul.
Pada hari yang ketiga, sampailah giliran pada kelompok yang dipimpin oleh Bharata. Yang mula-mula harus memasuki bilik Ki Lurah adalah pemimpin kelompoknya, Bharata.
Demikian Bharata memasuki ruangan, maka Ki Lurah itupun dengan serta-merta berdiri dan mendorong Bharata untuk duduk.
"Inikah pemimpin kelompok yang terkenal itu, yang bernama Bharata," geram Ki Lurah.
Bharata memang menjadi heran. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya saja. Dari orang-orang yang terdahulu ia sudah tahu sikap Ki Lurah Yudoprakosa yang garang dan bahkan kasar itu.
"Apa kelebihanmu sehingga semua orang selalu menyebut namamu dan nama pemimpin kelompok yang bernama Kasadha?" bertanya Ki Lurah.
Bharata memang menjadi bingung untuk menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus menjawab. Jika tidak, maka ia tentu akan menjadi sasaran bentakan-bentakan kasar untuk seterusnya.
Karena itu, maka Bharatapun telah menjawab, "Aku tidak tahu Ki Lurah, karena aku sendiri tidak pernah merasa mempunyai kelebihan apa-apa."
"Ternyata kau memang sombong. Menurut penglihatanku, sampai saat ini kau adalah pemimpin kelompok yang termuda. Yang menurut kata beberapa orang, umurmu sebaya dengan Kasadha yang juga dikagumi," berkata Ki Lurah semakin keras.
"Tetapi sebenarnyalah Ki Lurah, aku tidak tahu, atas dasar apa mereka mengatakan demikian," jawab Bharata.
"Tutup mulutmu," bentak Ki Lurah, "kau benar-benar seorang yang amat sangat sombong. Sekarang kau berusaha untuk disebut orang yang rendah hati, tidak mau menunjukkan kelebihan diri sendiri dan berbudi pekerti halus dan lembut. Begitu?"
Wajah Bharata menjadi merah. Tetapi ia masih tetap menundukkan kepalanya.
Sementara itu Ki Lurah sekali lagi membentak, "Katakan, apa kelebihanmu."
Jantung Bharata memang serasa membengkak. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menjawab, "Baiklah. Jika Ki Lurah memaksa aku untuk menjawab." Bharata berhenti sejenak, lalu, "agaknya aku mempunyai sedikit kelebihan dari para prajurit, khususnya yang aku tahu adalah prajurit-prajurit dalam kelompokku. Aku adalah pemimpin mereka. Karena itu, maka aku harus memiliki sikap kepemimpinan lebih baik dari mereka."
"Setan kau," geram Ki Lurah, "jika kau hanya memiliki kelebihan sifat kepemimpinan, apakah kau dapat memaksakan kepemimpinanmu itu kepada prajurit-prajuritmu. Bagaimana sikapmu jika mereka menentangmu dan barangkali justru melawanmu?"
"Seorang pemimpin yang baik akan dapat mengatasinya tanpa kelebihan kemampuan mempergunakan kekerasan. Adalah terlalu biasa, bahwa seorang yang memiliki kelebihan kekuatan atau kelebihan kemampuan olah kanuragan mampu memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Yang disebut pemimpin adalah, tanpa kekerasan, orang lain telah tunduk kepadanya. Jika orang lain itu tunduk, bukan karena merasa ketakutan. Tetapi justru karena merasa berkewajiban untuk berbuat demikian," berkata Bharata.
Tetapi Bharata yang muda itu terkejut. Ternyata Ki Lurah itupun telah memukulnya keras-keras di pipinya, sehingga di luar sadarnya Bharata telah bangkit berdiri.
"Apa" Kau akan melawan" Kau kira kau memiliki kemampuan untuk melawan aku he?" bentak Ki Lurah Yudoprakosa.
Bharata ternyata menyadari keadaannya. Karena itu, maka iapun telah kembali duduk di tempatnya semula sambil menundukkan kepalanya. Tetapi berbeda dengan prajurit-prajurit yang lain, maka Bharata tidak menjadi berkunang-kunang.
Sementara itu Ki Lurah itupun telah membentak-bentak, "Kau akan mengajari aku he" Kau kira dengan caramu menyindir itu aku tidak akan mempergunakan kekerasan" Jika pimpinan prajurit bersikap sebagaimana kau katakan, maka negeri ini akan menjadi negeri sampah yang hanya pantas diinjak-injak orang," Ki Lurah itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah oleh kemarahan yang menyesak di dadanya, "Jadi setiap orang menyebut namamu itu justru karena kau sama sekali tidak pernah bertindak tegas sebagaimana seorang prajurit. Karena itu, maka kau harus mengalami pendadaran. Meskipun aku tahu, bahwa di saat kau memasuki lapangan keprajuritan, kau sudah mengalami pendadaran itu. Tetapi sekarang, pendadaran itu harus diulangi. Setelah aku selesai berbicara dengan setiap orang dari pasukan ini, maka aku akan menentukan saat pendadaran."
Bharata tidak mengangkat wajahnya sama sekali. Ia menunduk sambil mendengarkan bentakan-bentakan yang menyakitkan hati. Ia memang merasa tidak akan dapat berbuat sesuatu. Namun terbersit di hati Bharata, bahwa ia akan mempergunakan kesempatan di saat pendadaran. Bahkan ia tersenyum di dalam hatinya ketika Ki Lurah itu berteriak, "Aku sendiri akan melakukan pendadaran khusus."
Bharata sama sekali tidak bergerak dan tidak menjawab, sehingga akhirnya Ki Lurah berteriak, "Pergi. Siapkan dirimu untuk menempuh pendadaran itu."
Bharatapun kemudian meninggalkan bilik itu. Namun ia masih sempat berpesan kepada prajurit-prajuritnya, agar mereka berhati-hati menghadapi Ki Lurah yang bersifat agak aneh.
"Apakah pada kesatuan-kesatuan lain juga mengalami hal seperti ini?" bertanya salah seorang prajuritnya.
"Mungkin. Tetapi alasan yang paling utama pada kesatuan kita disini adalah karena Ki Lurah Dipayuda meletakkan jabatannya dan menarik diri dari lingkungan keprajuritan," jawab Bharata.
Demikianlah seorang demi seorang telah mengalami kesulitan yang hampir sama. Bentakan-bentakan. Dan bahkan kadang-kadang pukulan-pukulan yang menyakitkan. Bukan saja pada tubuh mereka, tetapi juga hati mereka.
Ketika Ki Lurah Yudoprakosa, sampai kepada kelompok yang dipimpin oleh Kasadha, maka Ki Lurah telah menjumpai seorang anak muda yang memiliki banyak kemiripan dengan Bharata. Bukan saja ujud lahiriahnya, tetapi juga sikapnya. Bahkan Kasadha nampak lebih keras dibanding dengan Bharata.
Seperti Bharata, maka Kasadhapun telah mendapatkan tamparan di keningnya. Tetapi juga seperti Bharata, mata Kasadha tidak menjadi berkunang-kunang.
Dengan garangnya maka Ki Lurah itupun menggeram, "Kau juga harus melakukan pendadaran sekali lagi sebagaimana Bharata. Kau harus menyadari, bahwa tikus-tikus semacam kau tidak berarti apa-apa di kalangan keprajuritan Pajang. Karena itu, kau harus menunjukkan apa yang dapat kau lakukan pada puncak kemampuanmu pada saatnya. Aku sendiri akan melakukan pendadaran itu. Jika kau pingsan atau bahkan mati dalam pendadaran, itu adalah akibat wajar dari sikap seorang prajurit."
Demikian orang terakhir telah dipanggil masuk pada hari kelima, maka Ki Lurahpun telah memberikan perintah, agar dua hari lagi, Bharata dan Kasadha bersiap untuk mengalami pendadaran.
Kedua anak muda itu sempat berbincang tentang sikap Ki Lurah Yudoprakosa itu. Kemungkinan yang dapat mereka lakukan selama mereka harus menjalani pendadaran.
"Memang tidak masuk akal," berkata Bharata, "tetapi apaboleh buat."
"Apakah menurut pendapatmu, kita akan menunjukkan kemampuan kita yang sebenarnya?" bertanya Kasadha.
"Kita tidak mempunyai pilihan lain. Kita sudah bersiap-siap untuk menerima hukuman. Dipecat dari kesatuan keprajuritan," berkata Bharata.
"Bagaimana jika benar-benar Ki Lurah sendiri yang akan melakukan pendadaran itu?" bertanya Kasadha.
"Tentu bukan. Ki Lurah tentu hanya mengancam. Tetapi mungkin Ki Lurah justru akan memilih orang yang memang benar-benar memiliki kelebihan," jawab Bharata, "memang mungkin Ki Lurah telah memerintahkan orang itu untuk mematahkan lengan kita atau membuat cacat yang lain. Tetapi apaboleh buat. Apaboleh buat. Apapun yang terjadi, kita tidak ingin direndahkan seperti seekor cacing."
"Bagus," jawab Kasadha, "jika kau sudah bertekad begitu, maka akupun akan melakukan hal yang sama. Bahkan matipun tidak lagi menjadi persoalan bagiku. Sebagai seorang prajurit mati dalam tugas adalah wajar sekali. Meskipun tugas itu tidak masuk akal."
Demikianlah Bharata dan Kasadha benar-benar sudah berniat untuk berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang prajurit. Mereka tidak akan peduli lagi, siapapun yang akan melakukan pendadaran. Bahkan Ki Lurah Yudoprakosa sekalipun.
Sehari sebelum pendadaran dimulai, ketika senja turun menyelimuti kota Pajang, maka seseorang telah memasuki barak kesatuan pasukan Bharata dan Kasadha. Yang bertugas di regol melihat orang itu, namun ketika orang itu berdesis, maka orang yang bertugas itu telah mengangguk-angguk kecil.
"Silahkan, silahkan," desis prajurit yang bertugas.
Orang itu telah menyelinap ke dalam barak dan tanpa mengalami kesulitan orang itupun segera bertemu Bharata dan Kasadha yang dipanggil oleh para prajurit.
"Ki Lurah Dipayuda," desis Bharata dan Kasadha lampir berbareng.
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Aku telah mendengar berita buruk itu. Kalian akan mengalami pendadaran besok pagi?"
"Ya Ki Lurah," jawab Bharata dan Kasadha hampir berbareng. Kemudian Bharata berkata selanjutnya, "Ki Lurah Yudoprakosa sendiri yang akan melakukan pendadaran itu."
Ki Lurah Dipayuda tersenyum. Katanya, "Bukan. Bukan Ki Lurah Yudoprakosa sendiri. Tetapi Ki Lurah sudah memanggil dua orang raksasa yang akan melakukan pendadaran atas kalian. Seseorang telah datang kepadaku dan menyatakan, bahwa dua orang prajurit akan mengalami kesulitan jika harus melawan dua orang raksasa itu. Aku langsung menduga, bahwa tentu Kasadha dan Bharata."
Bharata dan Kasadha termangu-mangu. Namun Ki Lurahpun berkata. "Tetapi jangan cemas. Letak kelebihan kedua orang itu hanya pada kekuatannya yang sangat besar. Tetapi keduanya adalah orang-orang yang tidak berotak. Karena itu, kalian justru harus menjadi tenang menghadapinya. Kalian harus menunjukkan tataran kemampuan prajurit Pajang yang sebenarnya, meskipun kami tahu, bahwa tingkat kemampuan kalian ada di atas kemampuan rata-rata prajurit Pajang."
Bharata menarik nafas dalam-dalam, sementara Kasadha berkata, "Kami mohon restu Ki Lurah."
"Kalian harus berusaha mengguncang keseimbangannya. Kalian sebaiknya berusaha untuk menyerang bagian belakang kepalanya di atas tengkuknya. Jangan mencoba membentur dahinya. Dahinya telah menjadi sekeras batu. Tetapi akupun tahu, bahwa kalian membawa bekal yang sangat besar dari perguruan kalian," berkata Ki Lurah.
Bharata dan Kasadha mengangguk-angguk kecil, sementara Ki Lurah berkata selanjutnya, "Yakinkah dirimu, bahwa kalian akan berhasil dalam pendadaran yang tidak sewajarnya itu. Karena sebenarnyalah cara itu dilakukan oleh orang-orang Demak untuk menghukum seseorang dengan cara yang licik, tanpa menunggu keputusan hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya. Bahkan pendadaran itu dapat dilakukan atas orang yang tidak bersalah sekalipun sebagaimana kalian."
Ketika malam menjadi semakin gelap dan Ki Lurah Dipayuda minta diri, maka Bharata dan Kasadha telah mengucapkan terima kasih atas kunjungan Ki Lurah yang telah memberikan banyak petunjuk itu. Bahkan telah membuat kedua orang anak muda itu yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi dua orang yang disebut raksasa dari Demak itu.
Dengan demikian, maka Bharata dan Kasadha yang telah mendapatkan ketenangan itu justru dapat tidur dengan nyenyak. Di tengah malam ketika mereka terbangun sejenak, mereka sempat menyerahkan segala-galanya kepada Yang Agung. Dalam keheningan malam, rasa-rasanya mereka menjadi semakin pasrah atas apa yang akan terjadi di keesokan harinya.
Di pagi hari, ketika mereka telah mandi dan berbenah diri, maka keduanyapun telah dipanggil oleh Ki Lurah Yudoprakosa. Demikian mereka masuk ke dalam biliknya, maka keduanya terkejut melihat dua orang yang bertubuh tinggi besar, berkumis melintang dan berjambang lebat, duduk di dalam ruangan itu.
Bharata dan Kasadha langsung mengenali keduanya sebagai raksasa yang dikatakan oleh Ki Lurah Dipayuda.
Kedua orang itu memang mempunyai ukuran yang berbeda dengan orang kebanyakan. Hampir dua kali lipat. Sehingga dengan demikian, maka baik Bharata maupun Kasadha segera dapat menduga bahwa keduanya memiliki kekuatan yang besarnya tentu hampir dua kali lipat pula dari kekuatannya.
Kedua orang anak muda itupun menjadi berdebar-debar pula, jika saja kedua orang itu memiliki kemampuan ilmu untuk membangkitkan tenaga cadangannya. Jika demikian, maka keduanya benar-benar memiliki kekuatan seekor gajah.
Namun kedua orang anak muda itu sudah bertekad untuk tidak menyerah.
"Duduk," perintah Ki Lurah dengan nada rendah. Bharata dan Kasadhapun telah duduk pula di sebelah kedua orang raksasa itu.
"Sebenarnya aku ingin melakukan pendadaran itu sendiri," berkata Ki Lurah Yudoprakosa, "tetapi agaknya kalian terlalu kecil untuk mengalami pendadaran dari seorang Lurah Penatus. Karena itu, maka aku telah memanggil dua orang yang memang mempunyai tugas untuk melakukan pendadaran."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bharata dan Kasadha hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu Ki Lurahpun berkata pula, "Nah, kita akan segera bersiap. Mumpung hari masih pagi. Kita lakukan pendadaran di halaman barak ini secara tertutup. Tidak boleh seorangpun yang berasal dari luar barak ini menyaksikannya. Jika terjadi, seorang prajurit tidak mempunyai nilai seorang prajurit, maka kelemahan ini tidak akan dapat dilihat oleh orang luar."
Bharata dan Kasadha pun menyadari bahwa yang dikatakan Ki Lurah Dipayuda itu memang benar. Yang dilakukan oleh Ki Lurah Yudoprakosa tidak lebih dan tidak kurang dari pelaksanaan hukuman dengan cara yang lain tanpa menghiraukan kesalahan yang pernah dilakukan.
Tetapi Bharata dan Kasadha benar-benar telah bersiap untuk melakukannya.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka orang-orang yang akan mengalami pendadaran untuk kedua kalinya itu telah dibawa ke halaman depan. Sementara regol halamanpun telah ditutup rapat.
Seorang petugas telah membentang gawar dadung melingkar di halaman yang akan menjadi arena pendadaran. Arena yang dibuat cukup luas, karena kedua orang itu akan mengalami pendadaran bersama-sama.
Ki Lurah Yudoprakosa telah memerintahkan semua orang prajurit untuk menyaksikan pendadaran itu. Tidak boleh ada yang terkecuali.
Para prajurit yang telah menyaksikan dua orang raksasa itu, telah menjadi berdebar-debar. Mereka melihat Bharata dan Kasadha kemudian seperti anak-anak yang akan dimasukkan ke dalam kandang seekor orang hutan raksasa yang tentu akan dengan mudah mematahkan tulang-tulangnya.
Namun di samping orang-orang yang menjadi cemas, ternyata ada juga yang bersyukur atas pendadaran itu. Katanya di dalam hati, "Satu saat kesombongan anak-anak itu ternyata akan dihentikan."
Beberapa saat kemudian, maka arena pun telah siap. Semua orang telah berkumpul di halaman dan memutari lingkaran. Ki Lurah Yudoprakosapun telah siap untuk memberikan aba-aba pada pendadaran yang langsung berada di bawah pengawasannya itu.
Tetapi tiba-tiba saja suasanapun menjadi terganggu ketika pintu gerbang yang di selarak dari dalam itu telah diketuk keras-keras dari luar.
"Setan," geram Ki Lurah, "apakah penjaga itu tidur" Mereka harus menolak siapapun yang akan memasuki halaman barak ini."
Para petugas yang ada di bagian dalam regol itupun kemudian telah berteriak, "Hari ini barak ini tidak menerima tamu siapapun juga."
Tetapi terdengar jawaban di luar regol, "Buka Pintu. Ki Tumenggung Suraprana dan Ki Tumenggung Wiradigda telah datang bersama beberapa orang pengiring."
Nama itu telah diulang oleh petugas yang ada di dalam regol setelah berlari-lari mendekati Ki Lurah.
Ki Lurah terkejut bukan kepalang. Ki Tumenggung Suraprana dari Pajang dan Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak. Untuk sesaat Ki Lurah kebingungan. Namun regol halaman itu telah diketuk semakin keras. Bahkan dengan kekuatan ilmunya Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak telah berkata lantang, sehingga suaranya bagaikan bergulung-gulung melibat seisi barak, "Bukakan pintu atau aku pecahkan pintu regol ini dengan kekuatan ilmuku."
Ki Lurah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi ia masih memberikan perintah, "Buka gawar arena itu."
Namun di luar dugaan, bahwa dengan kemampuan ilmu Sapta Pangrungu, Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak itu dapat mendengar perintah Ki Lurah. Karena itu, maka terdengar suaranya yang bagaikan mengumandang di semua telinga, "Jangan. Aku datang justru karena aku ingin melihat pendadaran ulang bagi dua orang prajurit muda dari Pajang."
Ki Lurah Yudoprakosa sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Karena itu, maka diperintahkannya membuka selarak pintu gerbang barak itu dan mempersilahkan beberapa orang berkuda memasuki halaman.
Sebenarnyalah yang berkuda di paling depan adalah Ki Tumenggung Suraprana dari Pajang dan Ki Tumenggung Wiradigda. Kemudian beberapa orang pengiring yang terdiri dari para perwira dari Pajang dan dari Demak.
Ki Lurah Yudoprakosapun kemudian mengangguk hormat, sementara hatinya menjadi berdebar-debar.
"Jadi benar hari ini akan ada pendadaran?" bertanya Ki Tumenggung Wiradigda.
"Ya Ki Tumenggung," jawab Ki Lurah dengan nada dalam.
"Apakah kau menerima prajurit baru?" bertanya Ki Tumenggung pula.
"Tidak Ki Tumenggung," jawab Ki Lurah.
"Jadi" Apa yang akan kau lakukan?" desak Ki Tumenggung.
Ki Lurah memang menjadi agak kebingungan. Ia tidak mengira sama sekali bahwa berita tentang pendadaran itu akan sampai ke telinga para perwira tinggi Pajang maupun Demak. Tetapi kini keduanya telah berada di halaman barak pasukannya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiradigda, seorang Tumenggung dari Demak telah berkata-kepada Ki Lurah Yudoprakosa, "Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Sejak semula kau sudah tidak melaporkannya. Karena itu, maka kau sekarang juga tidak perlu memberikan laporan apa yang akan kau lakukan. Kami hanya sekedar ingin menjadi saksi dari apa yang akan terjadi disini."
Ki Lurah menjadi semakin bingung. Namun tiba-tiba Ki Tumenggung itu membentak, "Cepat lakukan. Perintahkan menutup regol itu kembali."
Ki Lurah yang kebingungan itu melakukan apa saja yang diperintahkan. Iapun telah memerintahkan untuk menutup pintu regol itu dan kemudian betapapun jantungnya berdebar, namun pendadaran itu akan benar-benar dilakukan.
Kasadha dan Bharata sama sekali tidak menduga, bahwa akan hadir para pemimpin keprajuritan yang tidak mendapat laporan itu. Tetapi keduanya mengira, bahwa mungkin Ki Lurah Dipayudalah yang telah memberikan laporan kepada Ki Tumenggung Suraprana dan kemudian Ki Tumenggung Suraprana telah mengajak Ki Tumenggung Wiradigda untuk menjadi saksi.
"Cepat. Kau masih akan menunggu apa lagi?" berkata Ki Tumenggung Wiradigda, "kami akan menyaksikan pendadaran itu di atas punggung kuda kami."
Dengan jantung yang bergetar, maka Ki Lurahpun kemudian telah memberikan aba-aba kepada Bharata dan Kasadha untuk bersiap. Demikian pula kepada kedua orang raksasa yang akan menjadi alat untuk melakukan pendadaran.
Namun kepada kedua orang raksasa itu Ki Lurah sempat berbisik, "Kalahkan saja mereka tanpa menciderainya sebagaimana kalian rencanakan."
"Bukan kami yang merencanakan," jawab salah seorang dari mereka, "tetapi perintah Ki Lurah."
"Hst. Cepat bersiaplah," desah Ki Lurah.
Kedua orang raksasa itupun segera telah bersiap pula. Sementara itu tiba-tiba saja Ki Tumenggung Suraprana berkata, "Bagus. Lawan yang seimbang."
Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak itupun tertawa pula sambil berkata, "Satu keahlian yang sulit dicari imbangannya. Aku tidak tahu bagaimana Ki Lurah mampu menemukan alat pendadaran yang cukup memadai."
Ki Lurah memang menjadi semakin gelisah. Namun ia tidak dapat melangkah balik. Kedua orang anak muda itu telah bersiap sepenuhnya tanpa membawa senjata, demikian pula kedua orang raksasa itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian maka Ki Lurah itu telah berada di dalam arena itu pula untuk memimpin langsung pendadaran yang akan diselenggarakan secara khusus itu.
Dalam pada itu, bagaimanapun juga Bharata dan Kasadha menjadi tegang menghadapi lawan yang bentuk tubuhnya benar-benar di luar ukuran yang sewajarnya itu. Namun ternyata keduanya masih sempat saling berbisik. Dengan nada datar Kasadha berkata, "Aku akan menyelesaikannya apapun yang terjadi meskipun ada kedua perwira tinggi itu."
"Bagus," desis Bharata, "aku juga tidak berniat melakukan perubahan sikap. Bersungguh-sungguh atau tidak, kedua raksasa itu harus ditundukkan."
Pembicaraan itu telah terputus. Kedua raksasa itu telah mulai bergerak.
Bharata dan Kasadha memang merasa agak ngeri juga melihat keduanya. Wajah mereka nampak dingin membeku, seakan-akan tidak terbersit perasaan apapun juga. Kedatangan kedua orang Tumenggung itu sama sekali tidak merubah raut wajahnya.
Beberapa saat kemudian, maka Bharata dan Kasadha telah mengambil jarak. Sementara raksasa-raksasa itu mulai bergerak memutar.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, maka kedua raksasa itu mulai menyerang. Namun mereka tidak meloncat menerkam, atau mengayunkan tangan atau kaki mereka. Tetapi mereka melangkah saja maju mendekati lawan-lawan mereka.
Kasadha dan Bharata memang sudah bersiap. Tetapi menghadapi sikap itu, mereka justru melangkah surut.
Namun masih terngiang pesan Ki Lurah Dipayuda, bahwa kedua orang itu hanya mengandalkan kekuatan mereka. Tetapi mereka tidak mempergunakan otak mereka.
Kedua orang raksasa itu ternyata memiliki gaya yang serupa. Keduanya mengacukan tangan mereka ke depan untuk menangkap kepala lawan-lawan mereka.
Tetapi Kasadha dan Bharata tidak membiarkan orang itu menangkap kepala mereka. Dengan satu kali benturan di dahi mereka, maka tulang kepala mereka tentu sudah akan retak.
Karena itu, maka mereka harus melawan dengan cara yang tepat, sehingga mereka tidak mudah untuk dilumpuhkan, justru dalam pendadaran yang tidak masuk akal itu.
*** JILID 28 KASADHA dan Bharata tidak membiarkan raksasa itu menangkap kepala mereka dan membentur dengan kepalanya sendiri. Karena itu, kedua anak muda itu bergerak dengan cepat menghindar.
Tetapi kedua raksasa itu seperti orang yang tidak berperasaan berjalan dengan kedua tangan teracu ke depan mengikuti gerak Kasadha dan Bharata.
Kedua orang anak muda itupun kemudian telah berpencar. Mereka telah memutuskan untuk memenangkan pendadaran itu, meskipun mereka sadari, bahwa lawan mereka memiliki kekuatan yang sangat besar.
Karena kedua orang raksasa itu maju terus dengan kedua tangan terjulur ke depan, maka kedua anak muda itu harus mengambil sikap yang tepat untuk menghadapinya. Mereka sadari, jari-jari tangan orang itu tentu mampu mencengkam dan mematahkan tulang-tulang mereka.
Para prajurit yang menyaksikan pendadaran itu termangu-mangu. Beberapa orang bahkan memastikan bahwa Bharata dan Kasadha akan mengalami kesulitan, meskipun mereka tahu bahwa kedua anak muda itu memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain. Tetapi berhadapan dengan raksasa-raksasa itu, mereka tidak akan dapat banyak berbuat. Sedangkan sebagian besar dari para prajurit itu merasa betapa perbuatan pimpinan mereka itu tidak adil dengan melakukan pendadaran ulang. Bahkan dengan cara yang sangat tidak masuk akal.
"Untunglah kedua orang perwira tinggi dari Pajang dan Demak itu datang untuk menyaksikan pendadaran itu, sehingga dengan demikian, tidak akan terjadi keadaan yang sangat buruk bagi Bharata dan Kasadha," berkata seorang prajurit yang menyaksikan pendadaran itu.
Dalam pada itu, Kasadhalah yang telah mengambil sikap lebih dahulu. Ketika raksasa itu masih saja berjalan maju dengan tangan terjulur ke depan untuk menangkap kepalanya, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menendang pergelangan tangan orang itu.
Orang itu dengan mudah menarik tangannya untuk menghindari tendangan kaki Kasadha. Tetapi yang tidak disangkanya telah terjadi. Dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh matanya, maka tiba-tiba saja raksasa itu menyeringai. Kaki Kasadha yang lain telah berputar dan menghantam lambungnya.
Langkah lawan Kasadha itu memang terhenti sejenak. Namun iapun kemudian telah maju lagi sambil mengangkat kedua tangannya seperti sebelumnya.
Sementara itu Bharatapun tidak membiarkan dirinya melangkah surut berputaran. Tetapi tidak seperti Kasadha, maka Bharata berusaha untuk menyerang bagian bawah anggota badan raksasa itu, karena menurut penilaian Bharata, orang itu selalu memperhatikan kepalanya saja.
Dengan tidak terduga-duga, maka Bharata itu telah meloncat menyerang dengan kaki terjulur, justru ke arah lutut lawannya. Untuk menghindari tangkapan tangan lawannya, maka Bharata seakan-akan telah menelusur sambil memiringkan tubuhnya rendah-rendah.
Serangan itu, memang tidak terduga-duga. Karena itu, maka lawan Bharata itu tidak siap untuk menghindarinya. Serangan pada lututnya itu ternyata mampu mengguncangkannya, sehingga lawan Bharata yang bertubuh raksasa itu telah terdorong dua langkah surut.
Namun Bharata tidak berhenti pada serangan itu. Demikian lawannya terguncang, maka iapun dengan cepat melenting berdiri. Serangan berikutnya datang dengan cepat. Tumit Bharata telah mengenai dada raksasa itu.
Raksasa itu menggeram. Wajahnya menjadi tegang. Iapun mulai menjadi marah, sehingga ia mulai meloncat pula menyerang anak muda itu.
"Ternyata anak itu memang mampu bergerak cepat," berkata Ki Lurah Yudoprakosa di dalam hatinya.
Sebenarnyalah, bahwa Bharata telah berloncatan untuk memancing lawannya agar membuka diri dalam pertempuran berikutnya.
Ternyata lawan Bharata memang terpancing. Ia tidak saja menjulurkan tangannya untuk menangkap kepala lawannya. Tetapi ketika serangan-serangan Bharata mulai masuk dan mengenai tubuhnya, maka iapun telah berusaha untuk bertempur dengan cara yang lain.
Raksasa itu memang tidak menyangka, bahwa sasaran pendadaran mereka saat itu adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu melampaui kebanyakan prajurit.
Sementara itu, Kasadhapun telah mulai dengan serangan-serangannya. Dengan mengangkat kedua tangannya, maka bagian samping tubuh raksasa itu terbuka. Dengan kemampuan dan kecepatan geraknya, maka Kasadha telah berhasil menyerang dan mengenai tubuh lawannya itu beberapa kali.
Dengan demikian, maka yang terjadi kemudian adalah benar-benar perkelahian antara Kasadha dan Bharata melawan kedua raksasa yang tidak lagi dapat menganggap tugasnya sebagai tugas yang dengan mudah dapat diselesaikannya seperti biasanya mereka lakukan.
Raksasa yang harus bertempur melawan Kasadha yang menjadi semakin marah oleh serangan-serangan anak muda itu, telah menggeram. Sambil sedikit merendahkan tubuhnya, maka iapun telah menerjang lawannya. Tetapi Kasadha dengan tangkas bergeser ke samping. Dengan sekuat tenaganya ia telah mengerahkan serangannya pada kakinya. Sambil menjatuhkan dirinya ia telah menyapu kaki lawannya yang sedang menyerangnya seperti serangan seekor babi hutan yang sangat garang itu.
Sapuan kaki Kasadha yang dilandasi dengan sekuat tenaganya itu ternyata telah menghantam kaki lawannya. Orang yang bertubuh raksasa itu telah terpelanting dan jatuh terjerembab. Hampir saja ia terloncat keluar arena. Namun ternyata ia terjatuh masih di dalam gawar.
Kasadha yang menyadari akan kekuatan lawannya itu tidak memberinya kesempatan. Ia sadar, bahwa sulit sekali baginya untuk mengalahkan orang itu. Tetapi Kasadha bertekad untuk dapat melakukannya.
Karena itu, betapa kakinya sendiri merasa sakit karena serangannya itu, namun Kasadha telah melenting berdiri. Ia membiarkan lawannya bangkit. Namun demikian lawannya itu tegak, maka Kasadha telah meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping.
Satu tendangan yang sangat keras telah mengenai dada orang bertubuh raksasa itu. Sekali lagi orang itu terdorong dan bahkan terbanting jatuh menelentang. Sementara itu, Kasadhapun telah terpental selangkah mundur. Kakinya yang sakit di saat ia menyapu kaki raksasa itu, terasa semakin sakit justru ketika ia mengenai dada lawannya itu.
Ketika kemudian Kasadha bangkit, maka ternyata raksasa itu juga berusaha bangkit dengan cepat. Ia pun telah bersiap ketika Kasadha datang menyerangnya beruntun.
Tetapi serangan Kasadha yang datang kemudian tidak sekeras serangan sebelumnya. Karena itu, maka raksasa itu masih mampu bertahan untuk tetap tegak. Dan bahkan mulai memburu Kasadha dengan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya.
Sementara itu, Bharatapun telah bertempur dengan tangkas dan cepat. Setiap kali terngiang di telinganya keterangan Ki Lurah Dipayuda, bahwa lawannya itu lebih banyak mempercayakan diri pada kekuatannya. Tidak pada otaknya. Kelebihan kemampuan mempergunakan otaknya itulah yang telah dipergunakan oleh Bharata untuk bertempur melawan-lawannya yang bertubuh raksasa itu.
Beberapa kali ternyata Kasadha dan Bharata mampu mengenai tubuh lawannya. Semakin sering, maka betapapun kuatnya orang-orang itu, namun terasa semakin sakit. Karena itulah, maka orang-orang bertubuh raksasa itu semakin lama menjadi semakin marah dan bertempur semakin garang.
Dengan bekal kekuatan mereka yang melampaui kekuatan orang kebanyakan, serta daya tahan tubuh mereka yang sangat tinggi, maka mereka benar-benar orang-orang yang menakutkan bagi orang lain. Tetapi Kasadha dan Bharata yang sudah bertekad untuk berhasil dalam pendadaran itu, telah berusaha untuk mengimbangi lawan-lawan mereka.
Ketika perkelahian itu menjadi semakin keras dan garang, maka baik Kasadha, maupun Bharata telah berusaha mengambil jarak, sehingga seluruh arena itu terbagi menjadi dua lingkaran perkelahian. Kedua anak muda itu agaknya sependapat tanpa membuat janji, bahwa untuk melawan kedua orang yang bertubuh raksasa itu, mereka akan berloncatan dengan cepat mengitarinya. Dengan demikian keduanya memang memerlukan tempat yang Ki Lurah Yudoprakosa memang menjadi agak bingung menghadapi kenyataan itu. Ia berharap bahwa kedua orang raksasa itu dengan cepat menyelesaikan tugas mereka. Mengalahkan Kasadha dan Bharata, yang ternyata di bawah pengamatan kedua orang perwira tinggi dari Pajang dan Demak keduanya tidak perlu berbuat berlebihan.
Tetapi ternyata kedua orang yang dianggapnya mempunyai kekuatan melampaui orang kebanyakan itu, tidak segera dapat mengalahkan Kasadha dan Bharata. Bahkan nampaknya Kasadha dan Bharata menjadi semakin lama semakin garang menghadapi kedua orang raksasa itu.
Sebenarnyalah, ketika lawan-lawan Kasadha dan Bharata mulai mengerahkan kekuatan mereka yang sangat besar, maka Kasadha dan Bharatapun mulai merambah pada ilmu mereka. Kasadha yang telah ditempa oleh keadaan, kemudian di bawah bimbingan guru yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, apalagi anak itu telah dipersiapkan untuk satu perbandingan ilmu yang akan menentukan sebagaimana pernah dilakukan oleh ibunya melawan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, telah membuatnya menjadi anak muda yang pilih tanding. Sementara itu, Bharata yang telah membajakan diri dalam asuhan ketiga orang yang memiliki ilmu mumpuni, serta dipersiapkan untuk mewarisi ilmu Janget Kinatelon, adalah seorang anak muda yang jarang ada duanya.
Karena itu, maka pendadaran itupun telah berlangsung dengan keras dan garang. Kedua raksasa yang telah mendapat pesan dari Ki Lurah Yudoprakosa agar tidak membuat kesan yang berlebihan itu telah melupakannya justru karena kedua anak muda itu benar-benar telah menyakitinya. Serangan-serangan mereka yang cepat dan kuat, telah mengenai bagian-bagian tubuh kedua orang lawannya itu di bagian-bagian yang lemah.
Dengan demikian, maka pertempuran di arena pendadaran itu semakin lama menjadi semakin keras. Kasadha dan Bharata lebih banyak mempergunakan otaknya dari lawan-lawannya. Namun bukan berarti bahwa keduanya merasa lemah. Meskipun pada dasarnya, kekuatan wajar mereka tidak dapat mengimbangi kekuatan kedua orang bertubuh raksasa itu, tetapi dengan landasan ilmunya kedua anak muda itu mampu membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Kekuatan yang ada di dalam dirinya itu ternyata tidak kalah dahsyatnya dari kekuatan kedua orang yang bertubuh raksasa itu.
Kekuatan itulah yang tidak diperhitungkannya, baik oleh kedua raksasa itu sendiri, maupun oleh Ki Lurah Yudoprakosa, karena Ki Lurah sama sekali tidak menduga bahwa kedua anak muda itu mampu melakukannya.
Dengan kemampuan membangun tenaga di dalam dirinya itu, berlandaskan pada ilmu masing-masing, maka Kasadha dan Bharata menjadi dua orang yang memiliki kekuatan tidak kalah dari kedua orang yang bertubuh raksasa itu.
Dalam pertempuran selanjutnya, maka para prajurit memang menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat, wajah kedua orang yang dipergunakan oleh Ki Lurah untuk melakukan pendadaran itu sudah menjadi sangat tegang, serta mata mereka mulai menyala.
Namun baik Kasadha, maupun Bharatapun telah menjadi marah pula karena perlakuan kasar dan bahkan liar dari kedua orang lawannya itu.
Dalam lingkaran pertempuran yang terpisah, maka Kasadha telah mengimbangi kekerasan lawannya dengan sikap yang keras pula. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin lama semakin cepat. Landasan ilmu semakin nampak pada setiap unsur geraknya sehingga dengan demikian, maka Kasadha justru tidak menjadi semakin terdesak oleh lawannya.
Di lingkaran pertempuran yang lain, di arena pendadaran itu juga, Bharata justru sudah mulai membentur serangan lawan. Untuk menunjukkan bahwa kekuatan Bharata yang muda itu tidak kalah dengan kekuatan lawannya yang bertubuh raksasa, maka Bharatapun mulai mengimbangi serangan-serangan lawannya dengan serangan-serangan pula, sehingga kadang-kadang kedua kekuatan itu saling berbenturan. Namun dengan demikian orang yang bertubuh raksasa itu tidak lagi dapat menggertak Bharata dengan tenaga raksasanya, karena dalam setiap benturan, Bharata ternyata mampu mengimbangi kekuatannya.
Para prajurit yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka seakan-akan menjadi tidak yakin apa yang disaksikannya. Mereka tidak segera dapat percaya bahwa anak-anak muda itu memang mampu mengimbangi lawannya yang bertubuh raksasa.
Sebenarnyalah ketika orang bertubuh raksasa itu menyerang Bharata dengan ayunan tangannya yang besar mengarah ke kening, anak muda itu dengan sengaja tidak mengelak. Tetapi dengan mempergunakan tenaga cadangan serta kekuatan di dalam dirinya, maka ia telah membentur ayunan tangan itu dengan sikunya.
Ternyata telah terjadi benturan yang keras. Bharata memang terdorong selangkah surut. Namun lawannya yang bertubuh raksasa itupun harus menyeringai menahan sakit. Bahkan iapun telah terpental pula beberapa langkah mundur.
Dalam keadaan yang demikian, justru Bharatalah yang meloncat menyusulnya. Ia tidak lagi menghiraukan, apakah serangannya akan mampu menyusup celah-celah pertahanan lawan. Tetapi Bharata yang sudah dengan sengaja membenturkan kekuatan dan kemampuannya itu telah langsung menyerang dengan kakinya mengarah ke dada.
Lawannya yang bertubuh raksasa itu tidak sempat, mengelak, karena ia masih baru saja menemukan keseimbangannya kembali. Karena itu, maka ialah yang kemudian menangkis serangan itu dengan melindungi dadanya. Kedua tangannyapun telah bersilang di depan dadanya. Gelang-gelang kulit yang besar nampak pada pergelangan tangan kanannya hampir sampai ke siku. Sedangkan di pergelangan tangan kirinya terdapat dua lingkar dari jenis akar-akaran yang membelit seperti ular.
Kaki Bharata telah membentur kedua tangan yang bersilang itu. Namun ternyata Bharata memang tidak mengerahkan kekuatan dan kemampuannya sepenuhnya, sehingga karena itu maka serangan itu tidak menggoyahkan lawannya.
Tetapi yang tidak disangka, dengan cepat Bharata memutar tubuhnya bertumpu pada satu kakinya, sedang kakinya yang lain terayun deras menghantam kening lawannya dari samping.
Serangan beruntun itu datang begitu cepatnya, sehingga raksasa yang memang agak lamban itu tidak mampu menangkisnya. Serangan itu benar-benar mengenai keningnya, demikian kerasnya sehingga tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah.
Bharata justru melangkah surut. Ia tidak memburu raksasa yang berusaha bangkit itu. Dibiarkannya lawannya itu berdiri tegak dan mengatur sikap serta membenahi dirinya.
Raksasa itu menggeram. Kemarahannya benar-benar sampai ke ubun-ubun. Segala pesan telah dilupakannya, sehingga yang kemudian bergejolak di kepalanya adalah menghancurkan anak-anak ingusan itu.
Ketika lawan Bharata itu kemudian berdiri tegak, maka Bharatapun telah berdiri tegak pula di atas kedua kakinya yang renggang.
Sementara Bharata menunggu lawannya bersiap, maka Kasadha justru telah mendesak lawannya. Kasadha ternyata bertempur dengan keras pula mengimbangi lawannya yang kemarahannya sudah memuncak.
Tetapi justru karena itu, maka serangan-serangannya menjadi tidak terarah dan dengan demikian raksasa itu banyak kehilangan tenaga. Ketika ia menyerang Kasadha dengan tangannya yang siap menerkam wajah anak muda itu, maka ia tidak sempat mengelak ketika Kasadha justru bergeser ke samping dan dengan cepat menyerang lambungnya. Namun raksasa itu masih sempat menangkis serangan itu dengan tangannya, menepis kaki Kasadha sehingga lambungnya tidak terkena. Tetapi Kasadha yang melenting itupun telah menjulurkan tangannya. Dengan jari-jari tangannya yang merapat ia telah menyerang pangkal leher raksasa itu.
Terdengar lawannya berteriak nyaring. Lehernya terasa sakit sekali. Bahkan untuk sesaat pernafasannya bagaikan tersumbat. Karena itulah, maka orang bertubuh raksasa itu harus meloncat menjauhi lawannya.
Dengan demikian maka kemarahan lawan Kasadha itu bagaikan membakar ubun-ubunnya. Untuk beberapa saat ia masih saja meraba pangkal lehernya yang kesakitan serta masih berusaha mengatur pernafasannya.
Namun Kasadha sudah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Ia benar-benar telah berdiri pada lambaran ilmu yang pernah dipelajarinya, maka ia tidak akan gentar.
Di luar arena, di atas punggung kudanya, dua orang perwira dari Pajang dan dari Demak memperhatikan pendadaran itu dengan saksama. Bahkan di luar sadarnya keduanya telah tersenyum. Dengan nada rendah, Ki Tumenggung Wiradigda berkata, "Jika saja semua prajurit muda Pajang memiliki kemampuan seperti anak-anak muda itu, maka Mataram tentu tidak akan berhasil mengalahkan pasukan Pajang di Prambanan."
Tetapi Ki Tumenggung Suraprana menjawab, "Kita sama-sama tahu apa yang terjadi Ki Tumenggung. Mataram memiliki akal yang tajam. Betapapun tinggi kemampuan prajurit Pajang, namun mereka tidak akan dapat melawan banjir yang ternyata adalah akibat ketajaman akal orang-orang Mataram."
Ki Tumenggung Wiradigda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Untunglah anak-anak muda itulah yang harus melawan kedua orang bertubuh raksasa itu sehingga keduanya tidak mengalami bencana pada tubuh maupun bagian dalamnya. Jika prajurit kebanyakan yang lain yang harus mengalami pendadaran ulang seperti itu, maka kedua raksasa itu tanpa belas kasihan akan menghancurkan lawannya."
"Satu pengalaman yang baik bagi kedua orang yang bertubuh raksasa itu," berkata Ki Tumenggung Suraprana. Namun kemudian, "juga satu pengalaman yang baik bagi Ki Lurah Yudoprakosa."
Ki Tumenggung Wiradigda tertawa. Katanya, "Satu pengalaman yang baik pula bagiku. Ternyata di Pajang tersimpan prajurit-prajurit pilihan yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang Demak yang bertugas disini seperti aku."
"Tidak banyak," jawab Ki Tumenggung Suraprana, "hanya dua itu. Itupun secara kebetulan ditemukan di dalam pasukan Ki Lurah Dipayuda yang kemudian dipegang oleh Ki Lurah Yudoprakosa. Bedanya Ki Lurah Dipayuda dapat memanfaatkan kedua orang prajurit muda itu dengan baik, sementara Ki Lurah Yudoprakosa justru telah memusuhinya."
Ki Tumenggung Wiradigda mengangguk-angguk. Sementara itu perhatiannya kembali tertambat pada pertempuran di dalam arena pendadaran.
Semakin lama menjadi semakin nampak, bahwa Kasadha dan Bharata akan mampu mengatasi segala kesulitan yang dihadapinya dalam pendadaran itu. Lawannya yang mengandalkan kekuatannya itu ternyata masih dapat diimbangi oleh kekuatan dan tenaga cadangan yang tersimpan di dalam tubuh kedua anak muda itu yang mampu dibangunkannya berlandaskan pada ilmu dan kemampuan mereka.
Dalam pada itu, kedua orang bertubuh raksasa itu benar-benar telah terdesak. Bharata yang tangkas dan bergerak dengan kecepatan yang jauh melampaui lawannya, telah semakin sering mengenai tubuh lawannya dari berbagai arah. Sekali-sekali serangan tangannya justru telah menghantam tengkuk sehingga raksasa itu hampir saja jatuh terjerembab. Namun di kesempatan lain kakinya menghantam dada lawannya itu sehingga terdorong beberapa langkah surut.
Ki Lurah Yudoprakosa menjadi semakin cemas. Namun iapun dapat menduga, apa yang akan terjadi. Ia yang tahu pasti kekuatan dan kemampuan kedua orang raksasa itu, yang memang sudah terbiasa dipergunakannya untuk menghukum orang lain dengan cara terselubung, menyadari, bahwa kedua orang itu sudah sampai pada puncak kemampuannya.
Tetapi Ki Lurah Yudoprakosa masih mengharap, daya tahan kedua orang itu lebih baik dari daya tahan anak-anak muda yang telah mengerahkan segala macam kekuatan dan kemampuannya.
Namun ia tidak sadar, bahwa justru kedua orang bertubuh raksasa itulah yang telah memeras segala tenaga dan kekuatannya karena ia tidak mampu membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Keduanya mempergunakan tenaga wajar, namun tenaga wajarnya itu melampaui tenaga kebanyakan orang.
Karena itulah, maka yang kemudian nampak lebih dahulu susut adalah justru tenaga kedua orang raksasa itu.
Akhirnya Ki Lurah Yudoprakosa tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua orang raksasa yang diharapkannya akan dapat menghukum kedua orang anak muda itu dengan cara terselubung telah gagal. Meskipun kegagalan itu sudah nampak saat kedua orang Tumenggung dari Pajang dan Demak datang ke tempat pendadaran itu.
Tetapi setidak-tidaknya ia akan mempunyai alasan untuk melakukan tindakan berikutnya jika kedua orang anak muda itu tidak berhasil dalam pendadaran.
Dengan demikian maka Ki Lurah harus mengambil sikap untuk menyelamatkan kedua orang raksasanya itu. Jika kedua orang raksasa itu akhirnya benar-benar dikalahkan, maka akibatnya akan sangat pahit bagi keduanya dan bagi dirinya sendiri.
Karena itu, maka ketika Ki Lurah tidak lagi yakin bahwa keduanya akan dapat mengatasi anak-anak muda itu, maka Ki Lurahpun telah berteriak, "berhenti, berhenti. Pendadaran telah cukup."
Kedua belah pihak memang berloncatan mengambil jarak. Kedua orang raksasa itupun telah berhenti. Demikian pula Kasadha dan Bharata.
Namun Ki Tumenggung Suraprana tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya.
Ki Tumenggung Wiradigda mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Ada apa?"
Ki Tumenggung Suraprana masih saja tertawa. Jawabnya, "Tidak ada apa-apa."
Ki Tumenggung Wiradigda termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum pula sambil bertanya, "Kau lihat bagaimana Ki Lurah menyelamatkan orang-orangnya?"
Ki Tumenggung Suraprana tertawa semakin keras.
Jawabnya, "Aku tidak dapat mengatakan seperti itu. Tetapi kaulah yang dapat mengatakannya."
"Karena aku juga orang Demak seperti Ki Lurah Yudoprakosa itu?" bertanya Ki Tumenggung Wiradigda. Namun iapun kemudian tertawa pula. Bahkan lebih keras dari Ki Tumenggung Suraprana.
Ternyata sikap kedua orang Tumenggung itu dirasakan sebagai satu sindiran atas satu kekalahan. Dengan demikian maka kedua orang yang bertubuh raksasa itu telah tersinggung. Mereka memang merasakan tekanan yang sangat berat dari lawan-lawan mereka, tetapi mereka tidak begitu mudah dikalahkan.
Karena itu seorang di antara mereka tiba-tiba saja menggeram, "Pendadaran ini belum selesai."
"Sudah," teriak Ki Lurah, "aku hanya ingin melihat ulang kemampuan kedua prajurit yang sombong itu. Dan sekarang aku sudah melihatnya."
"Tetapi rencana kita tidak hanya terhenti sampai disini," jawab raksasa yang lain.
"Aku yang berhak menyusun rencana, bukan kalian," teriak Ki Lurah semakin keras. "Minggir kalian dari arena pendadaran ini."
"Tidak. Aku akan mematahkan tulang-tulang anak-anak muda yang sombong itu," geram lawan Bharata.
"Dengar perintahku, atau aku perintahkan prajurit-prajurit ini semuanya menangkapmu," Ki Lurah Yudoprakosa menjadi marah.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tumenggung Wiradigda, "Ki Lurah. Biarlah ia mendapat kepuasan dengan pendadaran ini. Biarlah pendadaran ini diteruskan sampai tuntas. Pendadaran ini tidak hanya ditujukan bagi kedua anak muda itu. Tetapi juga bagi kedua orang alat Ki Lurah untuk melakukan pendadaran. Apakah alat Ki Lurah itu cukup baik atau tidak."
Wajah Ki Lurah menjadi merah. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa itu telah melangkah maju lagi. Seorang di antara mereka berkata, "Atas nama Ki Tumenggung. Pendadaran ini akan diteruskan sampai tuntas."
Keputusan itu, di luar sadar, telah menumbuhkan kegembiraan pula pada Kasadha dan Bharata. Kedua anak muda itu telah menjajagi kemampuan kedua raksasa itu. Dari penjajagan itu, mereka dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka akan mampu bertahan.
Namun demikian keduanya memang merasa harus tetap berhati-hati. Mungkin satu perubahan akan terjadi. Tetapi kedua anak muda itu merasa bahwa mereka memang belum sampai ke puncak tertinggi dari kemampuan mereka sebagaimana jika mereka harus bertempur bertaruh nyawa. Menghadapi orang-orang Mataram di Randukerep, mereka tidak dapat lengah sekejappun karena taruhannya adalah nyawa. Merekapun harus bertempur pula dengan orang-orang yang belum pernah dikenalnya sebelumnya justru karena kedua anak muda itu bersama-sama disangka Puguh.
Dan di arena itu, mereka harus melakukan pendadaran disaksikan oleh kawan-kawannya sebagai tontonan.
Bagaimanapun juga Kasadha dan Bharata adalah anak-anak muda. Darah mereka masih mudah mendidih serta perasaan mereka kadang-kadang kurang terkendali. Karena itulah, maka ketika kedua orang lawannya itu melangkah maju, maka keduanyapun segera telah bersiap pula. Mereka bertekad untuk menundukkan kedua raksasa itu di hadapan Ki Lurah Yudoprakosa. Ki Lurah memang tidak dapat mencegahnya lagi ketika Ki Tumenggung Wiradigda justru telah memerintahkannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, Kasadha dan Bharatapun telah mulai bergeser. Sementara itu, kedua orang bertubuh raksasa itu telah mulai menyerangnya pula. Mereka memang berusaha untuk dapat menangkap anak-anak muda itu. Namun mereka memang mulai ragu-ragu, karena di setiap benturan, kekuatan anak-anak muda itu mampu mengimbanginya.
Demikianlah maka pertempuran itu telah terjadi lagi. Kasadha dan Bharata telah mendapatkan lawan mereka kembali.
Kedua raksasa itu memang merasa tidak pernah terkalahkan di setiap arena pendadaran seperti itu. Saat-saat ia diperalat untuk menghukum seseorang atau lebih dengan cara yang sangat licik.
Karena itu, maka sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan bahwa kedua orang anak muda itu mampu mengimbanginya. Bahkan justru memiliki kelebihan.
Namun dalam pada itu, Kasadha dan Bharatapun telah bersiap dalam puncak kemampuan mereka. Keduanya berniat untuk secepatnya mengalahkan lawan-lawan mereka yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu.
Bharata dan Kasadha yang telah berdiri pada jarak yang sejauh-jauhnya di antara mereka itupun telah mulai berputaran dan kemudian berloncatan menyerang. Bharata ternyata telah sampai pada kemampuan tertinggi ilmunya dalam persiapan untuk menerima ilmu Janget Kinatelon. Karena itu, maka anak muda itu justru telah menjadi semakin garang.
Sementara itu Kasadha yang memiliki pengalaman yang lebih luas, ternyata telah mampu menunjukkan unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawannya. Apalagi setiap kali di telinga kedua anak muda itu terngiang kembali pesan Ki Lurah Dipayuda, bahwa kedua orang raksasa itu tentu tidak akan memakai otaknya.
Karena itulah, maka semakin lama mereka bertempur, maka semakin ternyata bahwa Kasadha dan Bharata akan mampu menguasai arena pendadaran itu.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, Bharata yang ditempa oleh ketiga orang kakek dan neneknya itu, merasakan bahwa kekuatan lawannya menjadi semakin susut. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan tenaga cadangan di dalam tubuhnya pada kekuatan tertinggi. Ia benar-benar telah berniat mengakhiri pendadaran yang memuakkan itu.
Dengan serangan ganda, maka Bharatapun kemudian telah melanda lawannya seperti amuk prahara. Tubuhnya bagaikan melayang mengitari lawannya. Serangannya datang dari segala arah.
Ketika tangannya sempat memukul tengkuk lawannya yang menunduk menghindari serangan di kening, maka raksasa itu sempat terguncang. Dengan tangkasnya Bharata telah menyerang wajah yang terdorong oleh pukulan di tengkuk itu dengan kakinya.
Tidak ada ampun bagi raksasa itu. Tubuhnya yang tinggi besar itu telah terpental beberapa langkah surut. Ketika ia berusaha mempertahankan keseimbangannya, maka serangan Bharata telah memburunya. Sambil meloncat maju, tangannya terjulur lurus ke depan. Sebuah pukulan yang keras telah terayun mengarah ke dada orang yang sudah tidak mampu untuk mengelak dan bahkan menangkis itu.
Pada saat terakhir, Bharata tiba-tiba saja menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka iapun telah menggeser arah serangannya, menghantam pundak.
Raksasa itu mengaduh. Ia benar-benar terpelanting dan terputar beberapa kali sehingga akhirnya iapun telah terjatuh di tanah.
Ia masih berusaha untuk bangkit. Namun rasa-rasanya sulit baginya untuk mengangkat tubuhnya yang berat.
Namun pada saat yang bersamaan, Kasadha telah memburu lawannya pula. Sebuah tendangan yang keras bagaikan terbang menyambar dadanya.
Lawannya yang bertubuh raksasa itu terdorong surut. Namun adalah kebetulan, bahwa ia telah menimpa kawannya yang sedang dengan susah payah berusaha bangkit.
Dengan demikian maka keduanyapun telah terguling beberapa kali di tanah.
Ketika keduanya tertatih-tatih berdiri, maka Kasadha dan Bharata telah siap untuk menyergapnya dengan serangan-serangan yang akan dapat membahayakan jiwa kedua orang bertubuh raksasa itu. Beruntunglah bahwa kedua orang anak muda itu masih mampu menahan dirinya meskipun darah mereka bagaikan mendidih.
Kedua orang bertubuh raksasa itu memang sempat berdiri. Tetapi mereka sama sekali sudah tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Sementara Kasadha dan Bharata meskipun di beberapa bagian tubuhnya nampak memar, namun mereka masih nampak jauh lebih segar dari kedua raksasa itu.
Untuk beberapa saat Ki Lurah justru menjadi termangu-mangu. Ia sudah tidak mungkin lagi menolong keadaan. Kedua raksasa itu benar-benar sudah menjadi sangat letih meskipun mata mereka masih tetap menyala.
Sebelum Ki Lurah mengatakan sesuatu, maka tiba-tiba saja Ki Tumenggung Wiradigda berkata sambil tertawa, "Baiklah. Pendadaran memang telah selesai. Dua orang bertubuh raksasa itu, ternyata tidak berhasil menjalani pendadaran ulang. Kedua orang prajurit muda yang melakukan pendadaran itu masih dapat bertindak lebih jauh jika mereka mau. Karena itu, maka sebaiknya kedua orang bertubuh raksasa itu tidak usah dipakai lagi bagi segala keperluan. Termasuk menghukum orang dengan cara yang terselubung."
Kedua orang bertubuh raksasa itu berdiri tegak seperti patung. Tetapi mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Tenaga mereka seakan-akan memang telah terperas habis.
Yang terpukul bukan hanya kedua orang raksasa itu. Tetapi juga Ki Lurah Yudoprakosa. Ki Tumenggung Wiradigda di hadapan banyak orang telah menyatakan dengan terbuka, bahwa cara yang dilakukan oleh Ki Lurah itu adalah cara untuk menjatuhkan hukuman dengan terselubung.
Untuk beberapa saat kedua raksasa itu termangu-mangu. Demikian pula Ki Lurah Yudoprakosa.
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiradigdapun berkata, "Ki Lurah. Lewat tengah hari, kau harus sudah menghadap aku."
Ki Lurah terkejut. Namun iapun kemudian mengangguk hormat sambil menjawab, "Ya Ki Tumenggung."
Ki Tumenggung tidak berkata apa-apa lagi kepada Ki Lurah. Kepada Ki Tumenggung Suraprana ia berkata, "Marilah. Tontonan yang memuakkan itu sudah selesai."
Ki Tumenggung Suraprana tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Sejenak kemudian maka kedua orang Tumenggung itu telah hilang di balik regol. Sementara itu Ki Lurah masih saja termangu-mangu di tempatnya. Ia merasa ditikam oleh keadaan yang tidak diduganya sama sekali itu.
Namun ternyata bahwa sepeninggal kedua orang Tumenggung dari Demak dan dari Pajang sendiri itu persoalan di halaman barak itu belum selesai. Salah seorang dari kedua orang raksasa itu tiba-tiba saja berteriak, "Aku tidak mau dihinakan cara ini. Kita selesaikan persoalan kita sampai tuntas."
Sebelum ada orang yang menjawab, maka orang itu telah melangkah dengan sisa tenaganya ke tepi arena untuk memungut pedangnya yang besar dan panjang.
"Jangan," perintah Ki Lurah yang kebingungan.
"Aku akan membunuh atau mati di arena ini," geram raksasa itu.
"Dengar perintahku," teriak Ki Lurah.
Tetapi jawaban raksasa itu mengejutkan, "Jika Ki Lurah menghalangi, maka aku tantang Ki Lurah untuk berperang tanding. Jika aku menang, maka dapat diperhitungkan, kemampuan Ki Lurah jauh di bawah anak-anak itu."
Wajah Ki Lurah menjadi merah. Tetapi ia tidak mau membuat kesalahan lagi, karena ia sudah mendapat peringatan dari Ki Tumenggung Wiradigda. Bahkan ia harus menghadap lewat tengah hari.
Karena itu, maka katanya, "Aku dapat memerintahkan prajurit-prajuritku untuk menangkapmu hidup atau mati."
Orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kasadha dan Bharata masih berdiri tegak di arena.
"Semuanya sudah selesai," berkata Ki Lurah kemudian. Lalu iapun meneriakkan perintah kepada prajurit-prajuritnya, "Semua kembali ke tempat masing-masing."
Jaka Dan Dara 2 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Pendekar Kidal 23
Namun Kasadha berada di dalam satu barisan yang besar, sehingga karena itu, maka kemungkinan yang demikian akan menjadi sangat kecil.
Dalam perjalanan kembali ke Pajang, maka pasukan Ki Lurah Dipayuda yang merupakan bagian dari pasukan pengawal Raja, berada beberapa lapis di belakang Kangjeng Sultan yang naik seekor Gajah yang besar. Seorang serati dan pembantunya berada di sebelah menyebelah gajah itu. Di sebelah serati dan pembantunya, pasukan pengawal khusus yang langsung dipimpin oleh para Adipati menantu Kangjeng Sultan sendiri, berkuda.
Suasana pasukan itu memang gelap. Pangeran Benawa yang berkuda di belakang gajah kenaikan Kangjeng Sultan itu selalu saja menundukkan kepalanya. Tidak ada gairah sama sekali disorot matanya. Sedangkan Pangeran Benawa adalah Pangeran Pati yang akan menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan di Pajang.
Tetapi Pangeran Benawa tidak dapat melupakan hubungan ayahandanya dengan Panembahan Senapati serta hubungannya sendiri dengan Penguasa di Mataram itu. Bahkan Pangeran Benawa merasa bahwa Panembahan Senapati tentu akan menjadi seorang pemimpin yang jauh lebih baik dari dirinya sendiri.
Adalah sama sekali tidak terduga, bahwa gajah yang jinak itu tiba-tiba seakan-akan terkejut. Adalah di luar kuasa para serati dan pembantunya untuk mencegah kecelakaan yang kemudian terjadi. Demikian terkejutnya gajah itu, sehingga tiba-tiba saja telah meronta.
Kangjeng Sultan yang duduk di atas punggung gajah itu terkejut. Tidak ada kesempatan untuk melakukan sesuatu, ketika kekuatan raksasa telah melemparkannya.
Kangjeng Sultan adalah seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tanpa batas. Tetapi demikian tiba-tiba hal itu terjadi sebelum Sultan mempersiapkan diri. Apalagi kesehatan Sultan sendiri yang agaknya kurang menguntungkan. Kecemasan hati, serta beberapa isyarat yang telah membuat hatinya kecut. Suara bende Kiai Bicak yang dibunyikan oleh orang-orang Mataram, yang suaranya mengaum seperti suara seekor harimau yang akan menerkamnya. Pintu makam keramat di Tembayat yang tidak dapat dibuka dan pertanda alam yang seakan-akan telah ikut menyudutkannya, membuat Kangjeng Sultan tidak siap menghadapi keadaan itu. Bahkan Kangjeng Sultan seakan-akan telah membiarkan tubuhnya sendiri terbanting jatuh.
Dalam keadaan yang demikian, maka orang-orang yang terdekat telah menjadi bingung. Para prajurit tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Namun para Adipati tidak segera kehilangan akal. Mereka dengan cepat menolong Kangjeng Sultan, sementara serati dan pembantunya telah berusaha menenangkan gajah yang marah tanpa sebab itu.
Demikian serati itu menguasai gajahnya kembali, maka Adipati Tuban yang marah telah mendekatinya sambil berkata dengan suara berat, "Kau sengaja melakukannya?"
Serati itu berjongkok di hadapan Adipati Tuban sambil memohon, "Ampun Sang Adipati. Hamba sama sekali tidak tahu apakah sebabnya hal seperti ini dapat terjadi. Gajah ini adalah gajah yang baik selama ini. Namun agaknya gajah ini terkejut oleh sesuatu yang tidak hamba ketahui."
"Jika terjadi sesuatu atas Kangjeng Sultan, maka lehermulah yang akan menjadi gantinya," geram Adipati Tuban.
Namun dengan lemah Sultan yang mendengar Adipati Tuban itu membentak-bentak telah berkata, "Bukan salah orang itu. Ia tidak pantas menerima hukuman."
Adipati Tuban hanya dapat menggeram. Namun kemudian iapun berkata, "Bawa gajah itu menyingkir sebelum aku membunuhmu dan membunuh gajah itu sekaligus."
Serati itu membungkuk hormat. Iapun kemudian telah membawa gajahnya menjauhi para Adipati yang kemudian merawat Kangjeng Sultan bersama tabib istana.
Namun Kangjeng Sultan tidak akan lagi naik ke atas punggung gajah. Untuk perjalanan selanjutnya, Kangjeng Sultan akan duduk di atas tandu.
Bagi Sultan, satu pertanda lagi telah didapatkannya. Gajah adalah lambang kebesaran seorang Raja. Jika Kangjeng Sultan itu sudah jatuh dari punggung Gajah, maka satu pertanda bahwa kebesaran Kangjeng Sultan Hadiwijaya dari Pajang memang akan menjadi surut.
Demikian iring-iringan itu meneruskan perjalanan, maka di antara pasukan pengawal, Bharata sempat berbincang dengan Kasadha. Dengan nada rendah Kasadha berkata, "Nampaknya tugas kita di kalangan keprajuritan tidak akan lama?"
Bharata mengangguk kecil. Katanya, "Apakah kira-kira yang akan dilakukan para prajurit Mataram atas prajurit Pajang, Tuban, Demak dan yang lain" Apakah kami semuanya akan menjadi tawanan atau kami akan tetap menjadi prajurit di Pajang yang berada di bawah kekuasaan Mataram?"
"Sulit untuk diramalkan," berkata Bharata, "tetapi apakah Pajang benar-benar tidak mampu lagi menghimpun kekuatan untuk mengalahkan Mataram" Pasukan Mataram memang terlalu kecil dibandingkan dengan pasukan Pajang, namun orang-orang Mataram telah mempergunakan otaknya dengan baik. Banjir yang tidak terlalu lama, cara mereka memancing pasukan Pajang untuk menyeberang, kemudian ditahan oleh para prajurit Mataram yang sudah dipersiapkan di atas tanggul, merupakan satu perencanaan yang sempurna."
"Ya. Tentu tidak masuk dalam akal kita sebelumnya, bahwa Mataram akan mempergunakan bendungan sebagai senjata. Jika alam kemudian membantunya, itu adalah satu kebetulan. Tetapi tanpa bantuan alam, pasukan Pajang memang sudah dikoyakkan," desis Kasadha.
Keduanya hanya dapat mengangguk-angguk. Namun merekapun mengerti bahwa keadaan pada waktu itu bagaikan telah dipanggang di atas api. Kemarahan, kejemuan dan dendam berbaur menjadi satu, sehingga penalaranpun menjadi buram.
Dalam perjalanan yang berat dan payah itu, tiba-tiba saja telah menghadap Adipati Tuban dan Adipati Demak, seorang petugas sandi yang berada di belakang pasukan yang tertatih-tatih itu.
"Ada apa?" bertanya Adipati Tuban.
"Sepasukan kecil berkuda telah mengikuti iring-iringan pasukan Pajang ini Kangjeng Adipati."
"Pasukan dari mana?" bertanya Adipati Demak.
"Mataram," jawab petugas itu.
"Mataram" Seberapa besarnya pasukan itu?" berkata Adipati Demak pula.
"Sekitar lima puluh orang, Kangjeng Adipati?" jawab petugas itu.
"Hanya lima puluh orang?" bertanya Adipati Tuban dengan heran.
"Ya. Dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati sendiri," jawab petugas itu, "bahkan malah kurang dari lima puluh."
Adipati Tuban itu menggeram. Iapun kemudian berkata, "Panggil Pangeran Benawa. Ia berada di belakang tandu ayahanda Sultan."
Petugas itupun segera menghubungi Pangeran Benawa. Iapun dengan singkat telah memberikan laporan tentang Panembahan Senapati yang mengikuti pasukan itu. Namun Pangeran Benawa tiba-tiba berkata, "Aku tidak perlu laporan itu."
"Kangjeng Adipati memanggil Pangeran," desis petugas itu sambil menunduk.
"Siapa yang akan memerlukan aku, datanglah kepadaku," desis Pangeran Benawa.
Petugas yang menyampaikan pesan itu terkejut. Pangeran Benawa tidak pernah menjadi sekeras itu. Hampir di luar sadarnya ia menengadah memandang wajah Pangeran Benawa. Namun petugas itu telah dengan serta-merta menundukkan kepalanya ketika dilihatnya sorot mata Pangeran Benawa yang bagaikan membara.
Karena petugas itu tidak beranjak dari tempatnya. Maka Pangeran Benawa telah membentak, "Pergi. Sampaikan pesanku itu kepada setiap orang yang memanggil aku. Kecuali ayahanda Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Aku adalah Pangeran Pati Pajang."
Petugas itupun telah mengangguk dalam-dalam. Kemudian bergeser meninggalkan Pangeran Benawa yang tidak diketahui, kenapa tiba-tiba saja menjadi marah.
Adipati Tuban dan Adipati Demakpun terkejut. Namun keduanya tidak ingin berselisih dengan Pangeran Benawa. Keduanya bahkan telah berusaha menghadap Sultan di sebelah tandunya yang diusung oleh delapan orang.
"Ampun ayahanda Sultan," berkata Adipati Tuban yang kemudian menceriterakan bahwa Panembahan Senapati dengan sombongnya telah mengikuti iring-iringan ini hanya dengan sebanyak-banyaknya limapuluh orang.
Tetapi tanggapan Kangjeng Sultan jauh dari yang diharapkan. Kangjeng Sultan justru berkata, "Anak itu tentu ingin mendengar khabar keselamatanku."
"Ayahanda," berkata Adipati Demak, "ijinkan hamba dengan prajurit secukupnya menghancurkan prajurit Mataram itu. Berapa ratus prajurit kita yang terbunuh di Prambanan. Kita harus menunjukkan kepada Mataram, bahwa mereka bukan pemenang yang sebenarnya dalam pertempuran ini."
Tetapi Kangjeng Sultan menggeleng. Katanya, "Perang telah selesai."
"Kita biarkan dendam berkarat di hati?" bertanya Adipati Demak.
Tetapi Sultan tersenyum. Katanya, "Aku minta, kalian dapat hidup damai untuk selanjutnya. Saling menghormati sebagai saudara. Saling menghargai."
Adipati Demak menggeretakkan giginya. Namun ia tidak berani memaksakan kehendaknya untuk tetap melanjutkan rencananya sebagaimana dikatakan oleh Adipati Tuban.
Karena itu, maka keduanya telah bergeser menjauh.
Demikianlah iring-iringan itu tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Pajang. Sementara itu, Panembahan Senapati masih juga tetap mengikuti iring-iringan itu dari jarak tertentu.
Namun para pemimpin dan para Senapati Pajang harus tetap membiarkan saja sepasukan kecil berkuda itu seakan-akan membayangi pasukan Pajang yang jauh lebih besar.
Ketika Kangjeng Sultan itu sampai ke Pajang, maka tandu yang ditumpanginya langsung dibawa masuk ke dalam keraton. Agaknya keadaan Sultan tidak bertambah baik, tetapi bertambah buruk. Kesehatannya sejak Sultan jatuh dari atas punggung gajah terus saja menurun.
Sementara itu, Panembahan Senapati memang menjadi ragu-ragu. Namun ternyata Panembahan Senapati tidak tergesa-gesa kembali ke perkemahan. Bahkan bersama prajurit pilihan yang berjumlah empat puluh orang itu, Panembahan Senapati telah berkemah di Mayang. Diperintahkannya seorang penghubung untuk menyampaikan perintah kepada prajurit-prajuritnya yang berada di Prambanan untuk tetap menunggu.
"Mereka harus tetap berada di Prambanan sampai perintahku berikutnya," pesan Panembahan Senapati.
Dalam pada itu, yang terjadi di istana Pajang adalah Keadaan Kangjeng Sultan yang semakin buruk. Betapapun keadaan itu di sembunyikan, namun akhirnya tersebar juga, bahwa Kangjeng Sultan tidak dapat bangkit dari pembaringan.
Namun para prajurit tetap bersiaga sepenuhnya. Para pemimpin Pajang mengetahui bahwa Panembahan Senapati berkemah di Mayang. Mereka semula mengira bahwa Panembahan Senapati akan mohon ijin kepada para menantu Kangjeng Sultan serta Pangeran Benawa untuk menghadap.
Tetapi ternyata hal itu tidak dilakukan oleh Panembahan Senapati.
Pada saat-saat yang gawat, maka di pagi-pagi buta, seisi kota Pajang dikejutkan oleh setumpuk bunga telasih yang berada di setiap pintu gerbang kota di segala penjuru.
Berita tentang bunga telasih itu sampai juga ke telinga Sultan. Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Sultan itu justru berkata, "Ternyata kasih Danang Sutawijaya kepadaku sebagai ayahnya masih tetap menyala di hatinya. Namun adalah sikap seorang pemimpin yang akan menjadi seorang pemimpin yang besar bahwa ia tidak mau datang menemuiku. Karena itu, maka sepantasnya, bahwa Panembahan Senapati akan menjadi pemimpin di tanah ini."
Kesabaran para menantu Sultan benar-benar-hampir sampai ke puncak. Jantung mereka seakan-akan telah retak dan bahkan hampir meledak. Namun karena keadaan Sultan, maka mereka masih berusaha menahan diri.
Namun dalam pada itu, Pangeran Benawa, yang telah diangkat menjadi putera Mahkota, justru tidak banyak menaruh perhatian. Bahkan ia justru sependapat dengan ayahandanya, bahwa orang yang pantas untuk memimpin tanah ini setelah ayahandanya adalah Panembahan Senapati.
Sementara itu, Panembahan Senapati setelah meletakkan tumpukan-tumpukan bunga telasih di segala pintu kota, iapun telah berniat untuk kembali ke Prambanan dan tugasnya untuk sementara rasa-rasanya memang sudah selesai.
Demikian Panembahan Senapati meninggalkan Mayang, maka keadaan Sultan memang menjadi semakin gawat. Dadanya menjadi sesak, seakan-akan telah ditimpa oleh segumpal batu padas. Sehingga akhirnya, Kangjeng Sultanpun telah wafat.
Seluruh Pajang memang berkabung. Bahkan Matarampun ikut pula berkabung. Panembahan Senapati yang telah kembali ke perkemahan, telah memerintahkan sekelompok prajurit Mataram untuk membagi sisa perbekalan orang-orang Pajang dan Mataram kepada orang-orang padukuhan yang masih ada di padukuhan mereka di sekitar Prambanan.
"Tidak boleh berebut. Masing-masing harus menerima sesuai dengan yang diberikan," perintah para pemimpin prajurit yang bertugas.
Hanya sisa peralatan dan senjata sajalah, baik dari Pajang maupun Mataram telah dibawa dengan beberapa buah pedati kembali ke Mataram.
Sepeninggal Kangjeng Sultan, maka memang timbul persoalan di Pajang. Tetapi para pemimpin Pajang tidak tergesa-gesa mengambil sikap. Mereka justru berusaha untuk menenangkan suasana.
Namun Adipati Tuban masih juga tetap mendendam kepada Mataram. Bahkan seakan-akan Adipati Tuban masih menunggu kesempatan untuk menghancurkan Mataram dengan pasukannya sendiri yang dipersiapkannya dari Tuban.
Namun sepeninggal Kangjeng Sultan, maka Pangeran Benawalah yang selalu menjadi penghambat. Setiap kali Pangeran Benawa mengingatkan perintah ayahanda Kangjeng Sultan, bahwa mereka harus berhubungan dengan Mataram dengan cara yang baik.
"Bagaimana mungkin dapat bersiap baik terhadap Mataram," geram Adipati Tuban.
Sementara itu, Pajang masih tetap bersiaga dengan susunan prajuritnya yang utuh. Bharata dan Kasadha masih tetap dalam kesatuannya, di bawah pimpinan Ki Lurah Penatus Dipayuda. Namun setiap prajurit Pajang, apalagi mereka yang termasuk orang-orang baru harus melihat hari-hari depan yang penuh dengan teka-teki.
Tidak seorangpun yang dapat meramalkan kedudukan para prajurit Pajang, dalam hubungannya dengan kemungkinan-kemungkinan mendatang.
Namun dalam pada itu, hubungan Kasadha serta Bharata dengan Ki Lurah Dipayuda menjadi semakin baik.
Kedua orang anak yang memiliki kemiripan itu seakan-akan telah diakui sebagai anaknya sendiri. Bahkan kadang-kadang Ki Lurah menyebut Kasadha sebagai kakak Bharata.
Adapun untuk sementara tugas merekapun tidak berpindah. Ki Lurah Dipayuda masih tetap berada dalam kesatuan pasukan pengawal, sehingga mereka telah ditempatkan di sebuah barak yang tidak jauh dari istana.
Namun setiap kali Ki Lurah Dipayuda duduk bersama Kasadha dan Bharata, selalu saja timbul pertanyaan, "Tidak ada lagi Raja di Pajang. Siapa yang harus kita kawal?"
Tetapi Ki Lurah Dipayuda masih saja memberikan jawaban, "Siapapun yang memimpin pemerintahan di Pajang."
Meskipun demikian, perasaan kedua anak muda itu sudah berbeda. Tidak lagi sebagaimana saat-saat mereka memasuki dunia keprajuritan. Saat mereka diterima setelah dilakukan pendadaran, apalagi ketika keduanya telah dipilih menjadi pemimpin kelompok, rasa-rasanya mereka benar-benar terpanggil untuk melakukan satu pengabdian.
Namun setelah terjadi perang antara Pajang dan Mataram, maka rasa-rasanya semuanya menjadi hambar.
Tetapi Kasadha dan Bharata telah tertarik pada satu berita yang didengarnya dari antara para pemimpin Demak dan Pajang sendiri, bahwa akan segera ditentukan, siapakah yang akan menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan Pajang.
"Kenapa harus demikian?" bertanya Bharata kepada Ki Lurah Dipayuda ketika mereka berkesempatan berbincang-bincang di saat-saat mereka tidak bertugas. "Bukankah di Pajang sudah ada Pangeran Pati."
"Ya," sahut Kasadha, "tidak ada orang yang lebih pantas untuk menduduki jabatan itu daripada Pangeran Benawa. Selain Pangeran Benawa memang sudah diangkat menjadi Pangeran Pati oleh Kangjeng Sultan semasa hidupnya, agaknya hanya Pangeran Benawalah yang bersikap paling lunak terhadap Mataram."
"Ya," Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk, "meskipun kita adalah prajurit, tetapi rasa-rasanya kitapun mengalami kejemuan untuk selalu berperang. Kalian belum lama berada di lingkungan keprajuritan. Tetapi aku, yang lebih dari sepuluh tahun mengabdi pada Pajang, rasa-rasanya ingin melihat satu bentuk kehidupan yang lebih tenang dan damai. Sejak perang antara Pajang dan Jipang, kemudian usaha menundukkan beberapa kadipaten di Timur, Pajang baru sempat beristirahat beberapa saat lamanya. Ternyata telah timbul persoalan dengan Mataram."
Bharata dan Kasadha yang memang baru memasuki kesatuan keprajuritan dekat menjelang perang antara Pajang dan Mataram hanya dapat mengangguk-angguk.
Namun ternyata yang mereka dengar itu bukan sekedar berita yang sekedar meloncat dari mulut ke mulut. Seorang Ulama yang berpengaruh akan datang ke Pajang untuk memimpin pertemuan memilih seorang pengganti Sultan Hadiwijaya.
Demikianlah pada saat yang sudah ditentukan, maka di Pajang memang telah diselenggarakan sebuah pertemuan antara para putera dan menantu Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dalam pertemuan itu bahkan Panembahan Senapati telah dipanggil pula untuk ikut menyaksikannya.
Dalam kesempatan itu, maka di sekitar istana, para pengawal telah bersiap untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi. Apalagi para prajurit Tuban dan Demak, sebagian masih berada di Pajang.
Namun pengaruh Ulama yang memimpin pertemuan itu memang sangat besar, sehingga pertemuan itu sendiri dapat berlangsung sampai selesai, meskipun tidak memberikan kepuasan kepada semua pihak. Ada pihak yang merasa dikesampingkan sehingga menumbuhkan luka di hati.
Ketika diambil keputusan bahwa yang menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan Hadiwijaya adalah Adipati Demak, maka Panembahan Senapati hampir saja menyatakan penolakannya. Tetapi Ki Juru Martani yang bergelar Patih Mandaraka, yang menyertainya sempat menggamitnya dan berbisik agar Panembahan Senapati tidak mencampuri persoalan keluarga di Demak.
Panembahan Senapati tidak sempat membantah. Tetapi ia memang diam dan mengurungkan niatnya untuk mengingkari keputusan itu.
Sementara itu Pangeran Benawa yang sebelumnya telah diangkat menjadi Pangeran Pati, hanya ditentukan menjabat kedudukan Adipati di Jipang.
Ketika pertemuan itu kemudian selesai, dan Panembahan Senapati kembali ke Mataram, ia sempat bertanya kepada Ki Patih Mandaraka, "Bukankah yang berhak menduduki jabatan yang ditinggalkan oleh ayahanda adalah Adimas Pangeran Benawa?"
"Ya Panembahan," jawab Ki Patih Mandaraka, "tetapi kita lebih baik menunggu sikap para putera dan menantu Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Seandainya Panembahan menolak, tetapi putera dan menantu Kangjeng Sultan itu menerima, maka persoalannya akan berbeda."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi bagi Mataram, yang terbaik di antara mereka yang berebut kedudukan itu adalah Adimas Pangeran Benawa."
Namun seperti yang dinasehatkan oleh Ki Patih Mandaraka, maka Panembahan Senapati tidak menunjukkan sikap apapun. Panembahan Senapati telah menempatkan dirinya di luar persoalan keluarga Pajang.
Tetapi satu hal yang tetap terpancang di angan-angan Panembahan Senapati, bahwa Mataram harus menjadi besar sebagaimana pernah dikatakannya di paseban Pajang. Bahkan lebih besar dari Pajang.
Ternyata ditetapkannya Adipati Demak menjadi pengganti Sultan di Pajang sama sekali tidak memadamkan kemelut yang terjadi. Apalagi Adipati Demak telah melakukan langkah-langkah yang menyakiti hati orang-orang Pajang. Hampir semua kedudukan di Pajang telah diambil alih oleh orang-orang yang didatangkan dari Demak.
Demikian pula pasukan pengawal. Kangjeng Adipati Demak yang kemudian berada di Pajang, telah mengganti pasukan pengawal dengan pasukan yang didatangkannya dari Demak. Sehingga dengan demikian maka Ki Lurah Dipayudapun telah tergeser pula bersama seluruh pasukannya yang seratus orang jumlahnya.
Baraknyapun kemudian telah dipindahkan agak jauh dari istana. Bahkan rasa-rasanya prajurit Pajang justru telah dicurigai oleh para pemimpin dari Demak.
Sementara itu hubungan antara Pajang dan Tuban berjalan dengan baik. Adipati Tuban yang masih saja mendendam Panembahan Senapati telah mendorong Pajang untuk memperkuat kedudukannya. Justru untuk menghadapi Mataram.
Panembahan Senapati memang merasa sikap permusuhan dari Adipati Demak yang berkedudukan di Pajang itu. Karena itu, maka Matarampun selalu bersiaga untuk menghadapi kemungkinan buruk yang dapat timbul kemudian.
Di barak prajurit Pajang yang merasa tersisih, Ki Lurah Dipayuda yang telah mengabdi lebih dari sepuluh tahun, rasa-rasanya telah menyelesaikan tugasnya dengan sewajarnya. Karena itu, maka ketika ia sempat berbincang dengan Kasadha dan Bharata, maka katanya, "Anak-anakku. Aku sama sekali tidak ingin mempengaruhi sikap kalian. Tetapi rasa-rasanya aku sudah menjadi sangat letih, sehingga aku merasa bahwa sebaiknya aku mengundurkan diri saja dari tugas keprajuritan ini."
Kedua anak muda itu memang sudah menduga, bahwa pada suatu hari mereka akan mendengar pernyataan itu. Namun keduanya tidak mengira bahwa hal itu akan terlalu cepat terjadi, sehingga keduanya belum bersiap menentukan sikap.
Kasadha dan Batara adalah dua orang yang sama-sama tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Sikap Ki Lurah Dipayuda yang kebapaan itu benar-benar telah menyentuh hati mereka, sehingga bukan saja Ki Lurah yang menganggap keduanya sebagai anak-anaknya. Tetapi baik Bharata maupun Kasadha merasa bahwa mereka seakan-akan telah menemukan seorang ayah. Bagi Kasadha, sikap Ki Lurah Dipayuda memang sangat berbeda dengan sikap Ki Rangga Gupita. Meskipun Ki Lurah Dipayuda juga seorang prajurit yang dapat bertindak tegas dan keras, namun tindakannya tidak didorong oleh perasaan benci dan bahkan seakan-akan mendendam.
Dalam beberapa hal, Kasadha menganggap bahwa Ki Lurah Dipayuda memiliki kemiripan dengan gurunya. Bahkan tiba-tiba saja Kasadha merasa bahwa ia sudah terlalu lama tidak bertemu dengan gurunya itu.
Namun Kasadha merasa bahwa ia sama sekali tidak ingin mengulangi cara hidupnya yang tidak menentu, Ia tidak ingin hidup seperti ayah dan ibunya yang selalu dibayangi oleh permusuhan tanpa ada batasnya. Bahkan kadang-kadang mereka harus bersembunyi dan hidup tidak sewajarnya. Dunia keprajuritan sebenarnya akan dapat menjadi tempat untuk menyingkir dari tata kehidupan yang tidak wajar itu. Apalagi Kasadha menyadari, meskipun tidak terlalu jelas dan pasti, bahwa ia telah dibentuk menjadi seorang yang harus membalas dendam sakit hati ibu dan ayahnya yang bukan ayahnya yang sebenarnya itu.
Tetapi tiba-tiba seorang yang baik di lingkungan keprajuritan itu tiba-tiba saja ingin mengundurkan dirinya.
Karena itu, hampir di luar sadarnya Kasadha berkata, "Ki Lurah. Jika Ki Lurah telah sepuluh tahun menjadi prajurit, kenapa Ki Lurah tidak merasa bahwa dunia keprajuritan ini adalah dunia yang paling baik bagi Ki Lurah?"
"Aku kira memang demikian Kasadha," jawab Ki Lurah, "jika aku meninggalkan kesatuan ini, maka aku akan kembali lagi ke padukuhan. Aku akan turun lagi ke sawah bergulat dengan lumpur. Tetapi aku setiap hari harus bertanya kepada diriku sendiri, kepada siapa lagi aku sebenarnya mengabdikan diriku?"
"Bukankah kita tidak mengabdi kepada seseorang, Ki Lurah," bertanya Kasadha, "siapapun yang menjadi pimpinan kita, kita akan ikut serta menegakkan kewibawaan tanah ini."
"Benar Kasadha," jawab Ki Lurah, "namun segala sesuatunya, sayangnya, akan ditentukan oleh seseorang yang kebetulan memegang pimpinan pemerintahan."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membantah kebenaran kata-kata Ki Lurah itu. Balkan kemudian Ki Lurah itu berkata, "Banyak kebijaksanaan yang berubah. Pimpinan yang sekarang merasa perlu untuk menunjukkan kekuasaannya dengan mengadakan perubahan-perubahan meskipun sebenarnya tidak perlu."
"Perubahan apa saja yang telah dibuat oleh Kangjeng Sultan yang sekarang?" bertanya Bharata.
"Rasa-rasanya kurang mapan untuk menyebutnya sebagai Sultan Pajang, justru karena hadirnya Mataram. Semisal nyala obor minyak, maka seakan-akan nyala Mataram nampak lebih terang dari Pajang yang sekarang," jawab Ki Lurah Dipayuda. Namun yang kemudian katanya, "Kebijaksanaan tentang Tanah Perdikanpun telah dirubah. Tidak semua Tanah Perdikan yang telah mendapat kekancingan dari Pajang, bahkan Demak dapat diakui oleh Adipati Demak yang sekarang berkuasa di atas tahta Pajang."
Jantung Bharata menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia bertanya, "Kenapa?"
"Itulah yang aku katakan, bahwa hal itu semata-mata terdorong oleh keinginan Kangjeng Adipati untuk mengadakan perubahan atas kuasa yang digenggamnya. Beberapa Tanah Perdikan tidak diakui lagi. Apalagi yang kebetulan terjadi persoalan di dalam lingkungannya. Misalnya Tanah Perdikan Ngandong di sebelah Utara Kali Pepe. Tanah Perdikan yang tidak begitu besar. Tanah Perdikan yang mendapat kekancingan dari Kangjeng Sultan Trenggana, karena di masa mudanya, ketika Pangeran yang masih muda itu mengembara, seorang di Ngandong telah memberikan perlindungan kepadanya di hujan yang deras. Saat prahara menerjang dan gunturpun meledak-ledak di langit. Pangeran itu kedinginan berteduh di bawah sebatang pohon randu alas. Namun tiba-tiba saja pohon randu alas itu terangkat oleh angin yang menggetarkan jantung dan roboh membujur di atas beberapa kotak sawah. Untunglah bahwa dengan sigap Pangeran Trenggana sempat meloncat menjauh, sehingga tidak tersentuh oleh batang, maupun akar-akar. Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja lewat dengan tenaganya seorang tua yang kemudian mengajaknya berteduh di rumahnya yang ternyata tidak terlalu jauh. Ketika Pangeran Trenggana kemudian menjadi Sultan di Demak, maka ia tidak pernah melupakannya. Ngandong kemudian telah diberi kedudukan sebagai Tanah Perdikan di bawah pimpinan Ki Gede Ngandong, orang yang telah menolong Sultan Trenggana di masa mudanya itu."
Bharata memperhatikan ceritera itu dengan saksama. Namun kemudian iapun bertanya, "Kenapa kekancingan tentang Tanah Perdikan itu kemudian tidak diakui atau malahan dicabut?"
Ki Lurah Dipayuda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Menurut keterangan seorang kawanku yang berada dalam tugas yang bersangkutan dengan Tanah Perdikan, Ki Gede Ngandong yang pertama itu sudah lama meninggal. Ia tidak begitu lama memegang jabatannya, karena umurnya yang memang sudah tua. Kemudian anaknya telah menggantikannya. Anaknya itu beberapa saat yang lalu telah meninggal pula, juga karena sudah terlalu tua. Seharusnya anaknya, cucu Ki Gede Ngandong yang pertamalah yang menggantikan kedudukan yang kosong itu. Semua persiapan telah dilakukan. Namun tiba-tiba beberapa hari yang lalu, turun kekancingan yang mencabut hak atas Tanah Perdikan itu."
"Itu tidak adil," berkata Bharata.
"Ya. Memang terasa tidak adil. Kecuali jika ada kesalahan mutlak dari seorang pemimpin Tanah Perdikan. Misalnya, menentang kebijaksanaan Raja atau dengan sengaja menimbulkan persoalan di Tanah Perdikan itu sehingga dapat menurunkan wibawa Raja, apalagi terang-terangan memberontak," sahut Ki Lurah Dipayuda, "itupun masih perlu diambil jalan yang lebih baik jika mungkin. Misalnya, dipanggil untuk menghadap."
Wajah Bharata menjadi tegang. Apalagi ketika Ki Lurah itu berkata, "Nampaknya tidak hanya Tanah Perdikan kecil Ngandong yang telah mendapat perhatian khusus."
"Apa ada Tanah Perdikan yang lain?" bertanya Bharata dengan cemas.
"Mungkin masih ada. Tanah Perdikan yang lebih besar," berkata Ki Lurah Dipayuda. Lalu katanya, "Sebenarnya memang mengherankan, bahwa dalam pemulihan tatanan pemerintahan para pemimpin di Pajang begitu cepat menyempatkan diri untuk mengurusi Tanah Perdikan yang tersebar. Hal itu tentu dilakukan oleh para pemimpin yang datang dari Demak. Dengan menata kembali kedudukan Tanah Perdikan, maka mereka mengharapkan untuk dapat mengambil keuntungan daripadanya. Para pemimpin Tanah Perdikan itu akan berusaha untuk mendapatkan kembali hak atas kekancingan yang pernah mereka terima sebelumnya. Dalam keadaan yang demikian, maka kemungkinan-kemungkinan buruk dapat timbul."
"Kemungkinan buruk yang mana Ki Lurah," desak Bharata.
"Suap, pemerasan dan cara-cara lain untuk mendapatkan keuntungan bagi para pemimpin yang berhak mengurusi Tanah Perdikan itu," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Jika demikian, apakah itu tidak berarti memperkuat kedudukan Mataram" Bagaimanapun juga di Tanah Perdikan itu tentu tersimpan kekuatan. Pada saatnya kekuatan itu akan dapat dipergunakan untuk melawan Pajang. Mungkin kekuatan itu sendiri tidak berarti. Tetapi jika dipergunakan tepat pada saatnya, maka akan dapat membahayakan Pajang juga yang seakan-akan sedang berhadapan dengan Mataram," berkata Bharata.
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja Ki Lurah itu bertanya, "Nampaknya kau sangat tertarik pada kedudukan Tanah Perdikan?"
Bharata terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun tiba-tiba kepalanya menunduk sambil berkata, "Bukan tentang Tanah Perdikannya Ki Lurah. Tetapi tentang ketidakadilannya."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Sementara Kasadha berkata, "Jika demikian, maka Pajang tentu tidak akan segera menjadi tenang."
"Ya. Apalagi jika kita mendengar tentang sikap Pangeran Benawa yang menginginkan Mataram berkuasa mutlak. Pajang tidak seharusnya berdiri sendiri terpisah dari Mataram. Tegasnya, Pajang berada di bawah perintah Mataram," berkata Ki Lurah Dipayuda, "sementara itu Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tanpa batas sebagaimana Panembahan Senapati itu, tidak tinggal diam menghadapi keadaan. Jika sebelumnya Pangeran Benawa seakan-akan tidak mau tahu tentang pemerintahan karena perasaan kecewanya atas sikap ayahandanya Sultan Hadiwijaya, maka kini ia justru mempersiapkan pasukan di Jipang."
"Apakah Pangeran Benawa akan menempuh Pajang dengan kekerasan?" bertanya Kasadha.
"Itulah yang mencemaskan. Itu pulalah yang membuat hatiku selalu bimbang. Kepada siapa sebenarnya aku mengabdi" Apakah terjadi bahwa satu saat, sebagai prajurit Pajang aku harus bertempur melawan pasukan Pangeran Benawa yang datang dari Jipang?" bertanya Ki Lurah Dipayuda lebih banyak ditujukan kepada diri sendiri.
Bharata dan Kasadha tidak menjawab. Namun berbagai masalah masih saja berkecamuk di dalam kepala mereka.
Kasadha lebih banyak memikirkan kehadiran prajurit Demak yang semakin lama semakin banyak di Pajang, dan bahkan seakan-akan mereka tidak menghiraukan lagi prajurit Pajang yang jumlahnya memang selalu susut. Ketidakpuasan, kecewa dan perasaan sebagaimana timbul di dada Ki Lurah Dipayuda, telah mendorong mereka meninggalkan dunia keprajuritan. Sementara itu para pemimpin yang datang dari Demak justru mendorong suasana yang demikian itu. Nampaknya semakin banyak prajurit Pajang mengundurkan diri, mereka menjadi semakin senang.
Justru karena itu, maka Kasadha telah menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukannya.
Sementara itu Bharatapun menjadi gelisah. Bukan karena semakin banyaknya pengaruh Demak yang menyusup ke dalam pemerintahan dan keprajuritan Pajang. Tetapi tentang kebijaksanaan pemerintahan Adipati Demak yang menyangkut masalah Tanah Perdikan. Jika Tanah Perdikan Ngandong sudah dibekukan, serta beberapa Tanah Perdikan yang lain, maka Tanah Perdikan Sembojanpun tentu akan mendapat gilirannya. Apalagi pada saat itu Tanah Perdikan Sembojan sedang kosong. Tidak ada seorang pimpinan Tanah Perdikan. Yang ada hanya Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan. Apalagi apabila ada laporan tentang perebutan pimpinan antara kedua isteri ayahnya. Iswari, ibunya dengan Warsi, ibu seorang anak muda yang bernama Puguh, yang hampir sebaya dengan dirinya, namun karena ia lahir kemudian, maka Puguh itu lebih muda kira-kira setahun atau lebih sedikit.
Dengan demikian, maka tiba-tiba saja Bharata merasa rindu kepada kampung halamannya. Kepada tempat kelahirannya. Ia merasa sudah terlalu lama meninggalkannya. Bahkan hampir sejak ia meningkat dewasa, karena ia berada di padepokannya. Rasa-rasanya ia jarang sekali berada di Tanah Perdikan itu. Jika tiba-tiba saja kekuatan yang datang dari Demak itu merenggutnya, maka ia akan kehilangan sebelum dalam ujud wadag memilikinya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja dadanya telah bergejolak. Ada dorongan yang sulit dibendungnya pulang ke kampung halamannya. Tetapi ia tidak dapat melakukannya dengan serta-merta. Ketika ia menyatakan diri untuk menjadi seorang prajurit, maka ia tidak mengatakan bahwa dirinya berasal dari Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi ia adalah seorang anak padepokan yang terletak di Kademangan Blibis.
Dengan demikian maka Bharata itu tidak dapat dengan serta-merta mengatakan keinginannya untuk melihat Tanah Perdikannya, Semboyan. Betapapun ia didesak oleh keinginan itu.
"Ah, sudahlah," berkata Ki Lurah, "biarlah kita menunggu perkembangan keadaan. Kita tidak tahu pasti apa yang akan berkembang lagi di Pajang ini."
"Apakah Ki Lurah akan secepatnya meninggalkan dunia keprajuritan?" bertanya Kasadha.
"Tidak tergesa-gesa. Tetapi juga tidak akan terlalu lama lagi," jawab Ki Lurah Dipayuda, "biarlah para Senapati dari Demak segera dapat mengetrapkan berbagai macam paugeran sesuai dengan keinginan mereka. Kemudian membentuk kekuatan keprajuritan yang lain dari yang pernah ada di Pajang."
"Bagaimana sebaiknya dengan yang muda-muda seperti kami berdua?" tiba-tiba saja Kasadha bertanya.
Ki Lurah Dipayuda ternyata juga tidak bersiap untuk menerima pertanyaan seperti itu. Karena itu, maka iapun kemudian justru tersenyum sambil menjawab. "Aku harus berpikir lebih dahulu untuk dapat menjawab pertanyaanmu."
Kasadha hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mendesaknya.
Ki Lurahpun kemudian minta diri untuk satu tugas yang harus dilakukannya. Sementara itu Kasadha dan Bharata masih saja berbicara tentang berbagai macam kemungkinan. Namun kedua orang anak muda itu menjadi sangat berhati-hati. Mereka masing-masing menyimpan rahasia tentang dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian maka rahasia itu tidak boleh terloncat dari mulutnya.
Namun baik Kasadha, maupun Bharata merasa bahwa dunia keprajuritan memang tidak menarik lagi bagi mereka justru karena Demak terlalu ingin berkuasa di Pajang.
Tetapi yang lebih gelisah adalah Bharata. Bagi Kasadha, meskipun dunia keprajuritan menjadi serasa hambar, namun baginya masih lebih baik untuk hidup di dunia yang hambar itu daripada harus kembali kepada ibunya dan apalagi orang yang mengaku ayahnya itu.
"Biarlah aku dianggap anak hilang. Ayah dan ibu telah mendapatkan gantinya. Adikku laki-laki itu tentu akan dapat memenuhi keinginan ibu dan orang yang mengaku ayahku itu. Meskipun keadaannya akan dapat menjerumuskannya dalam satu kehidupan yang tidak sewajarnya sebagaimana kehidupan kedua orang tuanya," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Di dalam dunia keprajuritan, apalagi setelah mereka berada kembali di Pajang, maka Kasadha semakin banyak melihat kehidupan sebuah keluarga yang mapan. Di saat-saat ia sempat berjalan-jalan, maka dari lubang pintu gerbang yang terbuka, kadang-kadang Kasadha sempat melihat kehidupan sebuah keluarga yang manis. Keluarga kecil yang mengisi waktu luangnya dengan bermain-main di bawah pohon sawo yang rimbun. Sekali-sekali terdengar suara seorang ibu memanggil nama anaknya yang nakal yang berlari-lari dan terjun ke dalam tempat pembuangan sampah.
Atau sekali-sekali Kasadha bertemu dengan seorang perempuan tua yang berjalan-jalan di sore hari dengan anaknya yang sudah menjelang dewasa. Mungkin memang untuk satu keperluan. Tetapi hubungan antara anak dan ibu yang demikianlah yang belum pernah dirasakannya. Apalagi dengan ayahnya. Setiap kali ia bertemu dengan ibu dan orang yang mengaku ayahnya yang didengarnya tidak lebih dari makian kasar dan umpatan yang menyakitkan hati.
Di hari-hari terakhir, maka semakin banyak para prajurit Pajang yang menarik diri dan kembali ke kampung halamannya. Sementara itu, maka semakin banyak pula prajurit Demak yang berada di Pajang.
Ternyata beberapa hari kemudian Kasadha dan Bharata terkejut ketika mereka ditemui oleh Ki Lurah yang berkata, "Aku telah mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri."
"Begitu tiba-tiba Ki Lurah?" bertanya Bharata.
"Aku sudah tidak tahan lagi. Rasa-rasanya aku begitu gelisah ketika aku bertemu dengan beberapa orang kawan yang sudah berada di luar lingkungan keprajuritan," jawab Ki Lurah Dipayuda. Namun Ki Lurah itu masih berpesan, "Tetapi kalian jangan tergesa-gesa mengikuti jejakku. Kalian tentu tahu, apa yang mendorong aku untuk semakin cepat meninggalkan tempat ini. Aku yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengabdi, sama sekali tidak mendapat perhatian. Apalagi setelah para Senapati diganti dengan para perwira yang datang dari Demak. Maka hari depanku yang semakin pendek itupun menjadi semakin gelap."
"Lalu apa yang akan Ki Lurah lakukan?" bertanya Kasadha.
"Kembali ke sawah," jawab Ki Lurah. Namun katanya kemudian, "Tetapi pada hakekatnya akan sama saja. Di sawahpun kita dapat berbuat banyak. Apalagi dalam keadaan gawat dan apalagi keadaan perang, semua laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata juga akan dipanggil jika sangat diperlukan."
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia bertanya apakah yang sebaiknya dilakukan sebagai seorang anak dari Kepala Tanah Perdikan yang telah meninggal. Untunglah ia segera menyadari bahwa pertanyaan itu tidak seharusnya diucapkannya.
Demikianlah, beberapa hari kemudian, Kasadha dan Bharata bahkan seluruh pemimpin kelompok dan para prajurit yang tergabung dalam pasukannya telah kehilangan seorang Lurah Penatus yang baik, sabar, tetapi tegas dan keras pada saat-saat tertentu dengan sifat kebapaan yang jarang dimiliki oleh para pemimpin yang lain.
Ketika Ki Lurah Dipayuda mendapat kesempatan untuk minta diri kepada para prajuritnya, maka dua orang perwira Demak telah hadir pula didampingi oleh seorang lagi yang akan menggantikan kedudukan Ki Lurah. Juga seorang Lurah Penatus dari Demak. Dari susunan keprajuritan Pajang justru hanya hadir seorang perwira yang kurang penting, bahkan yang sebelumnya sama sekali tidak bersangkut paut dengan pasukan Ki Lurah Dipayuda.
Beberapa orang, terutama para pemimpin kelompok yang telah mengenal dengan sungguh-sungguh sifat Ki Lurah Dipayuda, benar-benar telah merasa kehilangan. Namun seorang perwira dari Demak mengatakan, bahwa prajurit itu tidak perlu merasa kehilangan.
"Setiap pergantian adalah wajar sekali terjadi dimanapun," berkata perwira Demak itu lebih lanjut, "Ki Lurah Dipayuda telah memilih satu tugas lain yang tidak kalah pentingnya dengan tugas keprajuritan. Ki Lurah Dipayuda akan kembali ke kampung halaman dan menggarap sawahnya yang menurut keterangannya tidak terlalu luas. Tetapi kerja di sawah bukannya berarti lebih buruk daripada menjadi seorang prajurit."
Yang mendengarkan seseorang perwira Demak itu mengangguk-angguk. Ternyata menurut penilaian para prajurit, perwira itu juga bukan seorang yang keras, kasar dan tidak mau tahu pikiran dan pendapat orang lain. Perwira yang datang dari Demak itu juga mempunyai pandangan yang mendasar tentang tugas seorang prajurit yang kemudian telah diuraikannya pula. Katanya, "Kalian adalah sekelompok orang yang telah memilih satu dunia pengabdian bagi negeri ini serta segala isinya melebihi kepentingan bagi diri kalian sendiri. Sudah tentu itu merupakan satu kebanggaan bagi kalian sendiri, bagi keluarga kalian dan lebih dari itu bagi Pajang. Namun jika pada suatu saat, seseorang sesuai dengan perkembangan jiwanya serta mungkin wadagnya yang mulai lemah dan kurang sesuai lagi dengan jenis pengabdian yang berat ini, serta memilih lapangan pengabdian yang lain, maka kita tidak boleh merendahkannya. Kita akan tetap menghormatinya sebagaimana sikap kita kepada Ki Lurah Dipayuda."
Suasana perpisahan itu memang mencengkam. Kata-kata perpisahan Ki Lurah Dipayuda sempat menyentuh hati para prajuritnya.
Dengan demikian maka sejak saat itu, sekelompok prajurit Pajang itu telah mendapat seorang Lurah Penatus yang baru. Yang ternyata adalah seorang yang berwatak sangat keras. Sikap orang itu telah mengaburkan sesorah perwira Demak yang memberikan beberapa petunjuk dan menunjukkan sikap yang luas dan terbuka terhadap kepergian Ki Lurah Dipayuda serta tugas para prajurit yang ditinggalkannya.
Ketika pimpinan yang baru itu mendapatkan kesempatan untuk berbicara di hadapan pasukannya di hari berikutnya, maka sudah mulai terbayang, perubahan-perubahan akan segera terjadi di pasukan itu.
"Aku ingin mengenal setiap orang dengan baik dalam pasukan ini," berkata Ki Lurah Yudoprakosa. "Mulai besok, setiap hari harus menghadap seorang demi seorang dari setiap kelompok berurutan. Aku akan menentukan pengelompokan baru atas pasukan ini. Seluruh pasukan yang seratus orang ini akan aku rubah menjadi sembilan kelompok. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok. Dan setiap tiga kelompok akan dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok besar. Dengan demikian maka akan ada tiga orang pemimpin kelompok besar dan sembilan orang pemimpin kelompok kecil. Dalam setiap kelompok kecil akan berisi sepuluh atau sebelas orang termasuk pemimpin kelompoknya. Dengan demikian akan ada teras pertanggungan jawab sehingga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kecil, setiap pemimpin kelompok kecil tidak perlu harus berhubungan dengan aku langsung. Tetapi seorang pemimpin kelompok besar harus dapat mengatasinya."
Memang ada beberapa pendapat di kalangan para prajurit. Yang jelas, bahwa di antara mereka akan terdapat beberapa jabatan pemimpin kelompok yang dapat diisi, karena tiga di antara mereka akan menjadi pemimpin kelompok besar, sehingga akan ada dua orang di antara mereka yang akan diangkat menjadi pemimpin kelompok kecil.
Dalam pada itu, maka Ki Lurah Yudoprakosa itu berkata selanjutnya, "Hal seperti ini akan berlangsung bagi seluruh kesatuan. Pola pimpinan ini disesuaikan dengan pola pimpinan prajurit Demak," Ki Lurah berhenti sebentar lalu, "Sebagaimana kalian ketahui, bahwa gaya keprajuritan Demak memang agak mirip dengan Pajang sebelumnya. Kita tidak mengangkat prajurit sebanyak-banyaknya. Prajurit kita jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi jika terjadi perang, maka semua laki-laki akan menjadi prajurit. Namun agaknya ada beberapa hal yang perlu disesuaikan dalam susunan jenjang keprajuritan."
Perubahan-perubahan yang ditawarkan itu memang memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi para prajurit. Dengan demikian maka keinginan Kasadha dan Bharata meninggalkan dunia keprajuritan telah ditangguhkannya. Mereka ingin tahu, apa yang akan terjadi kemudian. Apakah mereka akan mendapat kesempatan lebih baik atau justru sebaliknya. Hampir bersamaan mereka berkata di dalam hati, "Jika kemungkinan itu menjadi lebih buruk, maka aku akan mengucapkan selamat tinggal pada dunia keprajuritan."
Sebenarnya yang lebih banyak berniat untuk minggir adalah Bharata. Ia masih juga memikirkan tentang Tanah Perdikannya. Jika terjadi seperti Ngandong dan lain-lainnya, apakah ibunya akan tinggal diam. Tetapi jika itu keputusan Pajang, apakah Sembojan akan sanggup menentangnya"
Tetapi ternyata Bharata juga bertahan untuk tetap tinggal di baraknya untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Ki Lurah Yudoprakosa.
Mulai hari berikutnya, seperti yang sudah dikatakan oleh Ki Lurah, maka ia benar-benar memanggil setiap orang untuk menemuinya dalam bilik khusus. Seorang demi seorang, mulai dari kelompok satu berurutan kelompok dua, tiga dan seterusnya. Setiap hari Ki Lurah memanggil duapuluh orang dari dua kelompok.
Kepada orang-orang yang berada di dalam kelompok itu, Ki Lurah juga bertanya, jika akan dipilih tiga orang pemimpin kelompok besar, siapakah yang terbaik untuk kedudukan itu.
Demikianlah, seorang demi seorang telah menghadap. Sebenarnya bahwa Ki Lurah Yudoprakosa adalah seorang yang keras dan kasar. Beberapa orang prajurit yang tidak menjawab dengan tegas pertanyaan-pertanyaannya, telah dibentak-bentaknya dengan kasar pula. Bahkan seorang di antara prajurit yang telah terbuang dan dimasukkan dalam kesatuan yang dipimpin oleh Ki Lurah Dipayuda yang berusaha menunjukkan keberaniannya menghadapi pimpinan yang bagaimanapun juga dan siapapun juga, telah dipukulnya hingga pingsan, sehingga beberapa orang harus mengangkatnya dari bilik khusus itu.
Namun setelah seorang di antara mereka dipukul sampai pingsan maka tidak seorang yang berani berbuat kurang wajar dan tidak bersungguh-sungguh. Mereka benar-benar harus mengikuti paugeran dan unggah-ungguh yang berlaku di dunia keprajuritan.
Di hari pertama dan kedua, Ki Lurah Yudoprakosa selalu mendengar nama Bharata dan Kasadha disebut-sebut oleh para prajurit itu apabila Ki Lurah itu bertanya tentang kemungkinan menunjuk seorang pimpinan kelompok besar di kesatuan itu. Sementara yang diperlukan adalah tiga orang pemimpin.
"Siapakah yang ketiga," bentak Ki Lurah Yudoprakosa kepada seorang prajurit yang hanya menyebut dua orang.
Bahkan seperti juga yang lain-lain. Selalu dua orang saja. Prajurit itu menjadi bingung. Namun kemudian ia menjawab, "Pemimpin-pemimpin kelompok yang lain memiliki tataran kemampuan yang sama."
"Jadi siapa?" Ki Lurah berteriak.
Prajurit itu benar-benar bingung. Sehingga akhirnya ia menyebut saja pemimpin kelompoknya sendiri, "Rantam, Ki Lurah."
"Pemimpin kelompokmu?" desak Ki Lurah.
"Ya Ki Lurah," jawab prajurit itu.
"Ia sudah lebih dahulu menghadap aku. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa orang ketiga adalah dirinya sendiri."
Prajurit itu terbelalak. Hampir saja ia berteriak, bahwa sudah tentu hal itu tidak akan dikatakannya. Bahkan iapun mengatakan tentang pemimpin kelompoknya itu bukan karena satu keyakinan. Tetapi semata-mata karena ia terpaksa harus menyebut salah satu nama pemimpin kelompok.
Prajurit itu terkejut sekali. Bahkan matanya menjadi berkunang-kunang ketika sebuah tamparan yang keras telah mengenai pipinya.
"Kau berani membelalaki aku he?" bentak Ki Lurah.
Prajurit itu menunduk. Katanya gagap, "Tidak, Ki Lurah. Tentu tidak."
"Jadi apa yang kau lakukan?" bertanya Ki Lurah.
"Aku terkejut sekali ketika Ki Lurah mengatakan bahwa Rantam tidak pernah menyebut dirinya sendiri. Aku menjadi bingung sekali, Ki Lurah," sahut prajurit itu jujur dan bahkan menjadi putus asa.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia membentak, "Keluar. Cepat. Sebelum aku pukul kau hingga pingsan. Agaknya jenis prajurit Pajang yang seperti inilah yang membuat Pajang sama sekali tidak berdaya menghadapi Mataram."
Prajurit itu memang dengan tergesa-gesa keluar. Tetapi ia masih juga bergeramang meskipun perlahan-lahan sekali, "Apa arti kekuatan Demak yang ada di Pajang saat perang itu terjadi" Apakah mereka menunjukkan kelebihan dari prajurit Pajang?"
Tetapi ia tidak berani menanyakan kepada Ki Lurah jika ia tidak ingin giginya rontok semuanya.
Demikianlah, seorang demi seorang telah dipanggil masuk. Semuanya menjadi basah kuyup oleh keringat dingin di saat mereka keluar. Ada saja alasan Ki Lurah untuk membentak-bentak para prajurit yang menjadi kebingungan itu. Bahkan memukul.
Pada hari yang ketiga, sampailah giliran pada kelompok yang dipimpin oleh Bharata. Yang mula-mula harus memasuki bilik Ki Lurah adalah pemimpin kelompoknya, Bharata.
Demikian Bharata memasuki ruangan, maka Ki Lurah itupun dengan serta-merta berdiri dan mendorong Bharata untuk duduk.
"Inikah pemimpin kelompok yang terkenal itu, yang bernama Bharata," geram Ki Lurah.
Bharata memang menjadi heran. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya saja. Dari orang-orang yang terdahulu ia sudah tahu sikap Ki Lurah Yudoprakosa yang garang dan bahkan kasar itu.
"Apa kelebihanmu sehingga semua orang selalu menyebut namamu dan nama pemimpin kelompok yang bernama Kasadha?" bertanya Ki Lurah.
Bharata memang menjadi bingung untuk menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus menjawab. Jika tidak, maka ia tentu akan menjadi sasaran bentakan-bentakan kasar untuk seterusnya.
Karena itu, maka Bharatapun telah menjawab, "Aku tidak tahu Ki Lurah, karena aku sendiri tidak pernah merasa mempunyai kelebihan apa-apa."
"Ternyata kau memang sombong. Menurut penglihatanku, sampai saat ini kau adalah pemimpin kelompok yang termuda. Yang menurut kata beberapa orang, umurmu sebaya dengan Kasadha yang juga dikagumi," berkata Ki Lurah semakin keras.
"Tetapi sebenarnyalah Ki Lurah, aku tidak tahu, atas dasar apa mereka mengatakan demikian," jawab Bharata.
"Tutup mulutmu," bentak Ki Lurah, "kau benar-benar seorang yang amat sangat sombong. Sekarang kau berusaha untuk disebut orang yang rendah hati, tidak mau menunjukkan kelebihan diri sendiri dan berbudi pekerti halus dan lembut. Begitu?"
Wajah Bharata menjadi merah. Tetapi ia masih tetap menundukkan kepalanya.
Sementara itu Ki Lurah sekali lagi membentak, "Katakan, apa kelebihanmu."
Jantung Bharata memang serasa membengkak. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia menjawab, "Baiklah. Jika Ki Lurah memaksa aku untuk menjawab." Bharata berhenti sejenak, lalu, "agaknya aku mempunyai sedikit kelebihan dari para prajurit, khususnya yang aku tahu adalah prajurit-prajurit dalam kelompokku. Aku adalah pemimpin mereka. Karena itu, maka aku harus memiliki sikap kepemimpinan lebih baik dari mereka."
"Setan kau," geram Ki Lurah, "jika kau hanya memiliki kelebihan sifat kepemimpinan, apakah kau dapat memaksakan kepemimpinanmu itu kepada prajurit-prajuritmu. Bagaimana sikapmu jika mereka menentangmu dan barangkali justru melawanmu?"
"Seorang pemimpin yang baik akan dapat mengatasinya tanpa kelebihan kemampuan mempergunakan kekerasan. Adalah terlalu biasa, bahwa seorang yang memiliki kelebihan kekuatan atau kelebihan kemampuan olah kanuragan mampu memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Yang disebut pemimpin adalah, tanpa kekerasan, orang lain telah tunduk kepadanya. Jika orang lain itu tunduk, bukan karena merasa ketakutan. Tetapi justru karena merasa berkewajiban untuk berbuat demikian," berkata Bharata.
Tetapi Bharata yang muda itu terkejut. Ternyata Ki Lurah itupun telah memukulnya keras-keras di pipinya, sehingga di luar sadarnya Bharata telah bangkit berdiri.
"Apa" Kau akan melawan" Kau kira kau memiliki kemampuan untuk melawan aku he?" bentak Ki Lurah Yudoprakosa.
Bharata ternyata menyadari keadaannya. Karena itu, maka iapun telah kembali duduk di tempatnya semula sambil menundukkan kepalanya. Tetapi berbeda dengan prajurit-prajurit yang lain, maka Bharata tidak menjadi berkunang-kunang.
Sementara itu Ki Lurah itupun telah membentak-bentak, "Kau akan mengajari aku he" Kau kira dengan caramu menyindir itu aku tidak akan mempergunakan kekerasan" Jika pimpinan prajurit bersikap sebagaimana kau katakan, maka negeri ini akan menjadi negeri sampah yang hanya pantas diinjak-injak orang," Ki Lurah itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah oleh kemarahan yang menyesak di dadanya, "Jadi setiap orang menyebut namamu itu justru karena kau sama sekali tidak pernah bertindak tegas sebagaimana seorang prajurit. Karena itu, maka kau harus mengalami pendadaran. Meskipun aku tahu, bahwa di saat kau memasuki lapangan keprajuritan, kau sudah mengalami pendadaran itu. Tetapi sekarang, pendadaran itu harus diulangi. Setelah aku selesai berbicara dengan setiap orang dari pasukan ini, maka aku akan menentukan saat pendadaran."
Bharata tidak mengangkat wajahnya sama sekali. Ia menunduk sambil mendengarkan bentakan-bentakan yang menyakitkan hati. Ia memang merasa tidak akan dapat berbuat sesuatu. Namun terbersit di hati Bharata, bahwa ia akan mempergunakan kesempatan di saat pendadaran. Bahkan ia tersenyum di dalam hatinya ketika Ki Lurah itu berteriak, "Aku sendiri akan melakukan pendadaran khusus."
Bharata sama sekali tidak bergerak dan tidak menjawab, sehingga akhirnya Ki Lurah berteriak, "Pergi. Siapkan dirimu untuk menempuh pendadaran itu."
Bharatapun kemudian meninggalkan bilik itu. Namun ia masih sempat berpesan kepada prajurit-prajuritnya, agar mereka berhati-hati menghadapi Ki Lurah yang bersifat agak aneh.
"Apakah pada kesatuan-kesatuan lain juga mengalami hal seperti ini?" bertanya salah seorang prajuritnya.
"Mungkin. Tetapi alasan yang paling utama pada kesatuan kita disini adalah karena Ki Lurah Dipayuda meletakkan jabatannya dan menarik diri dari lingkungan keprajuritan," jawab Bharata.
Demikianlah seorang demi seorang telah mengalami kesulitan yang hampir sama. Bentakan-bentakan. Dan bahkan kadang-kadang pukulan-pukulan yang menyakitkan. Bukan saja pada tubuh mereka, tetapi juga hati mereka.
Ketika Ki Lurah Yudoprakosa, sampai kepada kelompok yang dipimpin oleh Kasadha, maka Ki Lurah telah menjumpai seorang anak muda yang memiliki banyak kemiripan dengan Bharata. Bukan saja ujud lahiriahnya, tetapi juga sikapnya. Bahkan Kasadha nampak lebih keras dibanding dengan Bharata.
Seperti Bharata, maka Kasadhapun telah mendapatkan tamparan di keningnya. Tetapi juga seperti Bharata, mata Kasadha tidak menjadi berkunang-kunang.
Dengan garangnya maka Ki Lurah itupun menggeram, "Kau juga harus melakukan pendadaran sekali lagi sebagaimana Bharata. Kau harus menyadari, bahwa tikus-tikus semacam kau tidak berarti apa-apa di kalangan keprajuritan Pajang. Karena itu, kau harus menunjukkan apa yang dapat kau lakukan pada puncak kemampuanmu pada saatnya. Aku sendiri akan melakukan pendadaran itu. Jika kau pingsan atau bahkan mati dalam pendadaran, itu adalah akibat wajar dari sikap seorang prajurit."
Demikian orang terakhir telah dipanggil masuk pada hari kelima, maka Ki Lurahpun telah memberikan perintah, agar dua hari lagi, Bharata dan Kasadha bersiap untuk mengalami pendadaran.
Kedua anak muda itu sempat berbincang tentang sikap Ki Lurah Yudoprakosa itu. Kemungkinan yang dapat mereka lakukan selama mereka harus menjalani pendadaran.
"Memang tidak masuk akal," berkata Bharata, "tetapi apaboleh buat."
"Apakah menurut pendapatmu, kita akan menunjukkan kemampuan kita yang sebenarnya?" bertanya Kasadha.
"Kita tidak mempunyai pilihan lain. Kita sudah bersiap-siap untuk menerima hukuman. Dipecat dari kesatuan keprajuritan," berkata Bharata.
"Bagaimana jika benar-benar Ki Lurah sendiri yang akan melakukan pendadaran itu?" bertanya Kasadha.
"Tentu bukan. Ki Lurah tentu hanya mengancam. Tetapi mungkin Ki Lurah justru akan memilih orang yang memang benar-benar memiliki kelebihan," jawab Bharata, "memang mungkin Ki Lurah telah memerintahkan orang itu untuk mematahkan lengan kita atau membuat cacat yang lain. Tetapi apaboleh buat. Apaboleh buat. Apapun yang terjadi, kita tidak ingin direndahkan seperti seekor cacing."
"Bagus," jawab Kasadha, "jika kau sudah bertekad begitu, maka akupun akan melakukan hal yang sama. Bahkan matipun tidak lagi menjadi persoalan bagiku. Sebagai seorang prajurit mati dalam tugas adalah wajar sekali. Meskipun tugas itu tidak masuk akal."
Demikianlah Bharata dan Kasadha benar-benar sudah berniat untuk berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang prajurit. Mereka tidak akan peduli lagi, siapapun yang akan melakukan pendadaran. Bahkan Ki Lurah Yudoprakosa sekalipun.
Sehari sebelum pendadaran dimulai, ketika senja turun menyelimuti kota Pajang, maka seseorang telah memasuki barak kesatuan pasukan Bharata dan Kasadha. Yang bertugas di regol melihat orang itu, namun ketika orang itu berdesis, maka orang yang bertugas itu telah mengangguk-angguk kecil.
"Silahkan, silahkan," desis prajurit yang bertugas.
Orang itu telah menyelinap ke dalam barak dan tanpa mengalami kesulitan orang itupun segera bertemu Bharata dan Kasadha yang dipanggil oleh para prajurit.
"Ki Lurah Dipayuda," desis Bharata dan Kasadha lampir berbareng.
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Aku telah mendengar berita buruk itu. Kalian akan mengalami pendadaran besok pagi?"
"Ya Ki Lurah," jawab Bharata dan Kasadha hampir berbareng. Kemudian Bharata berkata selanjutnya, "Ki Lurah Yudoprakosa sendiri yang akan melakukan pendadaran itu."
Ki Lurah Dipayuda tersenyum. Katanya, "Bukan. Bukan Ki Lurah Yudoprakosa sendiri. Tetapi Ki Lurah sudah memanggil dua orang raksasa yang akan melakukan pendadaran atas kalian. Seseorang telah datang kepadaku dan menyatakan, bahwa dua orang prajurit akan mengalami kesulitan jika harus melawan dua orang raksasa itu. Aku langsung menduga, bahwa tentu Kasadha dan Bharata."
Bharata dan Kasadha termangu-mangu. Namun Ki Lurahpun berkata. "Tetapi jangan cemas. Letak kelebihan kedua orang itu hanya pada kekuatannya yang sangat besar. Tetapi keduanya adalah orang-orang yang tidak berotak. Karena itu, kalian justru harus menjadi tenang menghadapinya. Kalian harus menunjukkan tataran kemampuan prajurit Pajang yang sebenarnya, meskipun kami tahu, bahwa tingkat kemampuan kalian ada di atas kemampuan rata-rata prajurit Pajang."
Bharata menarik nafas dalam-dalam, sementara Kasadha berkata, "Kami mohon restu Ki Lurah."
"Kalian harus berusaha mengguncang keseimbangannya. Kalian sebaiknya berusaha untuk menyerang bagian belakang kepalanya di atas tengkuknya. Jangan mencoba membentur dahinya. Dahinya telah menjadi sekeras batu. Tetapi akupun tahu, bahwa kalian membawa bekal yang sangat besar dari perguruan kalian," berkata Ki Lurah.
Bharata dan Kasadha mengangguk-angguk kecil, sementara Ki Lurah berkata selanjutnya, "Yakinkah dirimu, bahwa kalian akan berhasil dalam pendadaran yang tidak sewajarnya itu. Karena sebenarnyalah cara itu dilakukan oleh orang-orang Demak untuk menghukum seseorang dengan cara yang licik, tanpa menunggu keputusan hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan kesalahannya. Bahkan pendadaran itu dapat dilakukan atas orang yang tidak bersalah sekalipun sebagaimana kalian."
Ketika malam menjadi semakin gelap dan Ki Lurah Dipayuda minta diri, maka Bharata dan Kasadha telah mengucapkan terima kasih atas kunjungan Ki Lurah yang telah memberikan banyak petunjuk itu. Bahkan telah membuat kedua orang anak muda itu yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi dua orang yang disebut raksasa dari Demak itu.
Dengan demikian, maka Bharata dan Kasadha yang telah mendapatkan ketenangan itu justru dapat tidur dengan nyenyak. Di tengah malam ketika mereka terbangun sejenak, mereka sempat menyerahkan segala-galanya kepada Yang Agung. Dalam keheningan malam, rasa-rasanya mereka menjadi semakin pasrah atas apa yang akan terjadi di keesokan harinya.
Di pagi hari, ketika mereka telah mandi dan berbenah diri, maka keduanyapun telah dipanggil oleh Ki Lurah Yudoprakosa. Demikian mereka masuk ke dalam biliknya, maka keduanya terkejut melihat dua orang yang bertubuh tinggi besar, berkumis melintang dan berjambang lebat, duduk di dalam ruangan itu.
Bharata dan Kasadha langsung mengenali keduanya sebagai raksasa yang dikatakan oleh Ki Lurah Dipayuda.
Kedua orang itu memang mempunyai ukuran yang berbeda dengan orang kebanyakan. Hampir dua kali lipat. Sehingga dengan demikian, maka baik Bharata maupun Kasadha segera dapat menduga bahwa keduanya memiliki kekuatan yang besarnya tentu hampir dua kali lipat pula dari kekuatannya.
Kedua orang anak muda itupun menjadi berdebar-debar pula, jika saja kedua orang itu memiliki kemampuan ilmu untuk membangkitkan tenaga cadangannya. Jika demikian, maka keduanya benar-benar memiliki kekuatan seekor gajah.
Namun kedua orang anak muda itu sudah bertekad untuk tidak menyerah.
"Duduk," perintah Ki Lurah dengan nada rendah. Bharata dan Kasadhapun telah duduk pula di sebelah kedua orang raksasa itu.
"Sebenarnya aku ingin melakukan pendadaran itu sendiri," berkata Ki Lurah Yudoprakosa, "tetapi agaknya kalian terlalu kecil untuk mengalami pendadaran dari seorang Lurah Penatus. Karena itu, maka aku telah memanggil dua orang yang memang mempunyai tugas untuk melakukan pendadaran."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bharata dan Kasadha hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu Ki Lurahpun berkata pula, "Nah, kita akan segera bersiap. Mumpung hari masih pagi. Kita lakukan pendadaran di halaman barak ini secara tertutup. Tidak boleh seorangpun yang berasal dari luar barak ini menyaksikannya. Jika terjadi, seorang prajurit tidak mempunyai nilai seorang prajurit, maka kelemahan ini tidak akan dapat dilihat oleh orang luar."
Bharata dan Kasadha pun menyadari bahwa yang dikatakan Ki Lurah Dipayuda itu memang benar. Yang dilakukan oleh Ki Lurah Yudoprakosa tidak lebih dan tidak kurang dari pelaksanaan hukuman dengan cara yang lain tanpa menghiraukan kesalahan yang pernah dilakukan.
Tetapi Bharata dan Kasadha benar-benar telah bersiap untuk melakukannya.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka orang-orang yang akan mengalami pendadaran untuk kedua kalinya itu telah dibawa ke halaman depan. Sementara regol halamanpun telah ditutup rapat.
Seorang petugas telah membentang gawar dadung melingkar di halaman yang akan menjadi arena pendadaran. Arena yang dibuat cukup luas, karena kedua orang itu akan mengalami pendadaran bersama-sama.
Ki Lurah Yudoprakosa telah memerintahkan semua orang prajurit untuk menyaksikan pendadaran itu. Tidak boleh ada yang terkecuali.
Para prajurit yang telah menyaksikan dua orang raksasa itu, telah menjadi berdebar-debar. Mereka melihat Bharata dan Kasadha kemudian seperti anak-anak yang akan dimasukkan ke dalam kandang seekor orang hutan raksasa yang tentu akan dengan mudah mematahkan tulang-tulangnya.
Namun di samping orang-orang yang menjadi cemas, ternyata ada juga yang bersyukur atas pendadaran itu. Katanya di dalam hati, "Satu saat kesombongan anak-anak itu ternyata akan dihentikan."
Beberapa saat kemudian, maka arena pun telah siap. Semua orang telah berkumpul di halaman dan memutari lingkaran. Ki Lurah Yudoprakosapun telah siap untuk memberikan aba-aba pada pendadaran yang langsung berada di bawah pengawasannya itu.
Tetapi tiba-tiba saja suasanapun menjadi terganggu ketika pintu gerbang yang di selarak dari dalam itu telah diketuk keras-keras dari luar.
"Setan," geram Ki Lurah, "apakah penjaga itu tidur" Mereka harus menolak siapapun yang akan memasuki halaman barak ini."
Para petugas yang ada di bagian dalam regol itupun kemudian telah berteriak, "Hari ini barak ini tidak menerima tamu siapapun juga."
Tetapi terdengar jawaban di luar regol, "Buka Pintu. Ki Tumenggung Suraprana dan Ki Tumenggung Wiradigda telah datang bersama beberapa orang pengiring."
Nama itu telah diulang oleh petugas yang ada di dalam regol setelah berlari-lari mendekati Ki Lurah.
Ki Lurah terkejut bukan kepalang. Ki Tumenggung Suraprana dari Pajang dan Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak. Untuk sesaat Ki Lurah kebingungan. Namun regol halaman itu telah diketuk semakin keras. Bahkan dengan kekuatan ilmunya Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak telah berkata lantang, sehingga suaranya bagaikan bergulung-gulung melibat seisi barak, "Bukakan pintu atau aku pecahkan pintu regol ini dengan kekuatan ilmuku."
Ki Lurah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi ia masih memberikan perintah, "Buka gawar arena itu."
Namun di luar dugaan, bahwa dengan kemampuan ilmu Sapta Pangrungu, Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak itu dapat mendengar perintah Ki Lurah. Karena itu, maka terdengar suaranya yang bagaikan mengumandang di semua telinga, "Jangan. Aku datang justru karena aku ingin melihat pendadaran ulang bagi dua orang prajurit muda dari Pajang."
Ki Lurah Yudoprakosa sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Karena itu, maka diperintahkannya membuka selarak pintu gerbang barak itu dan mempersilahkan beberapa orang berkuda memasuki halaman.
Sebenarnyalah yang berkuda di paling depan adalah Ki Tumenggung Suraprana dari Pajang dan Ki Tumenggung Wiradigda. Kemudian beberapa orang pengiring yang terdiri dari para perwira dari Pajang dan dari Demak.
Ki Lurah Yudoprakosapun kemudian mengangguk hormat, sementara hatinya menjadi berdebar-debar.
"Jadi benar hari ini akan ada pendadaran?" bertanya Ki Tumenggung Wiradigda.
"Ya Ki Tumenggung," jawab Ki Lurah dengan nada dalam.
"Apakah kau menerima prajurit baru?" bertanya Ki Tumenggung pula.
"Tidak Ki Tumenggung," jawab Ki Lurah.
"Jadi" Apa yang akan kau lakukan?" desak Ki Tumenggung.
Ki Lurah memang menjadi agak kebingungan. Ia tidak mengira sama sekali bahwa berita tentang pendadaran itu akan sampai ke telinga para perwira tinggi Pajang maupun Demak. Tetapi kini keduanya telah berada di halaman barak pasukannya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiradigda, seorang Tumenggung dari Demak telah berkata-kepada Ki Lurah Yudoprakosa, "Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Sejak semula kau sudah tidak melaporkannya. Karena itu, maka kau sekarang juga tidak perlu memberikan laporan apa yang akan kau lakukan. Kami hanya sekedar ingin menjadi saksi dari apa yang akan terjadi disini."
Ki Lurah menjadi semakin bingung. Namun tiba-tiba Ki Tumenggung itu membentak, "Cepat lakukan. Perintahkan menutup regol itu kembali."
Ki Lurah yang kebingungan itu melakukan apa saja yang diperintahkan. Iapun telah memerintahkan untuk menutup pintu regol itu dan kemudian betapapun jantungnya berdebar, namun pendadaran itu akan benar-benar dilakukan.
Kasadha dan Bharata sama sekali tidak menduga, bahwa akan hadir para pemimpin keprajuritan yang tidak mendapat laporan itu. Tetapi keduanya mengira, bahwa mungkin Ki Lurah Dipayudalah yang telah memberikan laporan kepada Ki Tumenggung Suraprana dan kemudian Ki Tumenggung Suraprana telah mengajak Ki Tumenggung Wiradigda untuk menjadi saksi.
"Cepat. Kau masih akan menunggu apa lagi?" berkata Ki Tumenggung Wiradigda, "kami akan menyaksikan pendadaran itu di atas punggung kuda kami."
Dengan jantung yang bergetar, maka Ki Lurahpun kemudian telah memberikan aba-aba kepada Bharata dan Kasadha untuk bersiap. Demikian pula kepada kedua orang raksasa yang akan menjadi alat untuk melakukan pendadaran.
Namun kepada kedua orang raksasa itu Ki Lurah sempat berbisik, "Kalahkan saja mereka tanpa menciderainya sebagaimana kalian rencanakan."
"Bukan kami yang merencanakan," jawab salah seorang dari mereka, "tetapi perintah Ki Lurah."
"Hst. Cepat bersiaplah," desah Ki Lurah.
Kedua orang raksasa itupun segera telah bersiap pula. Sementara itu tiba-tiba saja Ki Tumenggung Suraprana berkata, "Bagus. Lawan yang seimbang."
Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak itupun tertawa pula sambil berkata, "Satu keahlian yang sulit dicari imbangannya. Aku tidak tahu bagaimana Ki Lurah mampu menemukan alat pendadaran yang cukup memadai."
Ki Lurah memang menjadi semakin gelisah. Namun ia tidak dapat melangkah balik. Kedua orang anak muda itu telah bersiap sepenuhnya tanpa membawa senjata, demikian pula kedua orang raksasa itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian maka Ki Lurah itu telah berada di dalam arena itu pula untuk memimpin langsung pendadaran yang akan diselenggarakan secara khusus itu.
Dalam pada itu, bagaimanapun juga Bharata dan Kasadha menjadi tegang menghadapi lawan yang bentuk tubuhnya benar-benar di luar ukuran yang sewajarnya itu. Namun ternyata keduanya masih sempat saling berbisik. Dengan nada datar Kasadha berkata, "Aku akan menyelesaikannya apapun yang terjadi meskipun ada kedua perwira tinggi itu."
"Bagus," desis Bharata, "aku juga tidak berniat melakukan perubahan sikap. Bersungguh-sungguh atau tidak, kedua raksasa itu harus ditundukkan."
Pembicaraan itu telah terputus. Kedua raksasa itu telah mulai bergerak.
Bharata dan Kasadha memang merasa agak ngeri juga melihat keduanya. Wajah mereka nampak dingin membeku, seakan-akan tidak terbersit perasaan apapun juga. Kedatangan kedua orang Tumenggung itu sama sekali tidak merubah raut wajahnya.
Beberapa saat kemudian, maka Bharata dan Kasadha telah mengambil jarak. Sementara raksasa-raksasa itu mulai bergerak memutar.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, maka kedua raksasa itu mulai menyerang. Namun mereka tidak meloncat menerkam, atau mengayunkan tangan atau kaki mereka. Tetapi mereka melangkah saja maju mendekati lawan-lawan mereka.
Kasadha dan Bharata memang sudah bersiap. Tetapi menghadapi sikap itu, mereka justru melangkah surut.
Namun masih terngiang pesan Ki Lurah Dipayuda, bahwa kedua orang itu hanya mengandalkan kekuatan mereka. Tetapi mereka tidak mempergunakan otak mereka.
Kedua orang raksasa itu ternyata memiliki gaya yang serupa. Keduanya mengacukan tangan mereka ke depan untuk menangkap kepala lawan-lawan mereka.
Tetapi Kasadha dan Bharata tidak membiarkan orang itu menangkap kepala mereka. Dengan satu kali benturan di dahi mereka, maka tulang kepala mereka tentu sudah akan retak.
Karena itu, maka mereka harus melawan dengan cara yang tepat, sehingga mereka tidak mudah untuk dilumpuhkan, justru dalam pendadaran yang tidak masuk akal itu.
*** JILID 28 KASADHA dan Bharata tidak membiarkan raksasa itu menangkap kepala mereka dan membentur dengan kepalanya sendiri. Karena itu, kedua anak muda itu bergerak dengan cepat menghindar.
Tetapi kedua raksasa itu seperti orang yang tidak berperasaan berjalan dengan kedua tangan teracu ke depan mengikuti gerak Kasadha dan Bharata.
Kedua orang anak muda itupun kemudian telah berpencar. Mereka telah memutuskan untuk memenangkan pendadaran itu, meskipun mereka sadari, bahwa lawan mereka memiliki kekuatan yang sangat besar.
Karena kedua orang raksasa itu maju terus dengan kedua tangan terjulur ke depan, maka kedua anak muda itu harus mengambil sikap yang tepat untuk menghadapinya. Mereka sadari, jari-jari tangan orang itu tentu mampu mencengkam dan mematahkan tulang-tulang mereka.
Para prajurit yang menyaksikan pendadaran itu termangu-mangu. Beberapa orang bahkan memastikan bahwa Bharata dan Kasadha akan mengalami kesulitan, meskipun mereka tahu bahwa kedua anak muda itu memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain. Tetapi berhadapan dengan raksasa-raksasa itu, mereka tidak akan dapat banyak berbuat. Sedangkan sebagian besar dari para prajurit itu merasa betapa perbuatan pimpinan mereka itu tidak adil dengan melakukan pendadaran ulang. Bahkan dengan cara yang sangat tidak masuk akal.
"Untunglah kedua orang perwira tinggi dari Pajang dan Demak itu datang untuk menyaksikan pendadaran itu, sehingga dengan demikian, tidak akan terjadi keadaan yang sangat buruk bagi Bharata dan Kasadha," berkata seorang prajurit yang menyaksikan pendadaran itu.
Dalam pada itu, Kasadhalah yang telah mengambil sikap lebih dahulu. Ketika raksasa itu masih saja berjalan maju dengan tangan terjulur ke depan untuk menangkap kepalanya, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat menendang pergelangan tangan orang itu.
Orang itu dengan mudah menarik tangannya untuk menghindari tendangan kaki Kasadha. Tetapi yang tidak disangkanya telah terjadi. Dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh matanya, maka tiba-tiba saja raksasa itu menyeringai. Kaki Kasadha yang lain telah berputar dan menghantam lambungnya.
Langkah lawan Kasadha itu memang terhenti sejenak. Namun iapun kemudian telah maju lagi sambil mengangkat kedua tangannya seperti sebelumnya.
Sementara itu Bharatapun tidak membiarkan dirinya melangkah surut berputaran. Tetapi tidak seperti Kasadha, maka Bharata berusaha untuk menyerang bagian bawah anggota badan raksasa itu, karena menurut penilaian Bharata, orang itu selalu memperhatikan kepalanya saja.
Dengan tidak terduga-duga, maka Bharata itu telah meloncat menyerang dengan kaki terjulur, justru ke arah lutut lawannya. Untuk menghindari tangkapan tangan lawannya, maka Bharata seakan-akan telah menelusur sambil memiringkan tubuhnya rendah-rendah.
Serangan itu, memang tidak terduga-duga. Karena itu, maka lawan Bharata itu tidak siap untuk menghindarinya. Serangan pada lututnya itu ternyata mampu mengguncangkannya, sehingga lawan Bharata yang bertubuh raksasa itu telah terdorong dua langkah surut.
Namun Bharata tidak berhenti pada serangan itu. Demikian lawannya terguncang, maka iapun dengan cepat melenting berdiri. Serangan berikutnya datang dengan cepat. Tumit Bharata telah mengenai dada raksasa itu.
Raksasa itu menggeram. Wajahnya menjadi tegang. Iapun mulai menjadi marah, sehingga ia mulai meloncat pula menyerang anak muda itu.
"Ternyata anak itu memang mampu bergerak cepat," berkata Ki Lurah Yudoprakosa di dalam hatinya.
Sebenarnyalah, bahwa Bharata telah berloncatan untuk memancing lawannya agar membuka diri dalam pertempuran berikutnya.
Ternyata lawan Bharata memang terpancing. Ia tidak saja menjulurkan tangannya untuk menangkap kepala lawannya. Tetapi ketika serangan-serangan Bharata mulai masuk dan mengenai tubuhnya, maka iapun telah berusaha untuk bertempur dengan cara yang lain.
Raksasa itu memang tidak menyangka, bahwa sasaran pendadaran mereka saat itu adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu melampaui kebanyakan prajurit.
Sementara itu, Kasadhapun telah mulai dengan serangan-serangannya. Dengan mengangkat kedua tangannya, maka bagian samping tubuh raksasa itu terbuka. Dengan kemampuan dan kecepatan geraknya, maka Kasadha telah berhasil menyerang dan mengenai tubuh lawannya itu beberapa kali.
Dengan demikian, maka yang terjadi kemudian adalah benar-benar perkelahian antara Kasadha dan Bharata melawan kedua raksasa yang tidak lagi dapat menganggap tugasnya sebagai tugas yang dengan mudah dapat diselesaikannya seperti biasanya mereka lakukan.
Raksasa yang harus bertempur melawan Kasadha yang menjadi semakin marah oleh serangan-serangan anak muda itu, telah menggeram. Sambil sedikit merendahkan tubuhnya, maka iapun telah menerjang lawannya. Tetapi Kasadha dengan tangkas bergeser ke samping. Dengan sekuat tenaganya ia telah mengerahkan serangannya pada kakinya. Sambil menjatuhkan dirinya ia telah menyapu kaki lawannya yang sedang menyerangnya seperti serangan seekor babi hutan yang sangat garang itu.
Sapuan kaki Kasadha yang dilandasi dengan sekuat tenaganya itu ternyata telah menghantam kaki lawannya. Orang yang bertubuh raksasa itu telah terpelanting dan jatuh terjerembab. Hampir saja ia terloncat keluar arena. Namun ternyata ia terjatuh masih di dalam gawar.
Kasadha yang menyadari akan kekuatan lawannya itu tidak memberinya kesempatan. Ia sadar, bahwa sulit sekali baginya untuk mengalahkan orang itu. Tetapi Kasadha bertekad untuk dapat melakukannya.
Karena itu, betapa kakinya sendiri merasa sakit karena serangannya itu, namun Kasadha telah melenting berdiri. Ia membiarkan lawannya bangkit. Namun demikian lawannya itu tegak, maka Kasadha telah meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping.
Satu tendangan yang sangat keras telah mengenai dada orang bertubuh raksasa itu. Sekali lagi orang itu terdorong dan bahkan terbanting jatuh menelentang. Sementara itu, Kasadhapun telah terpental selangkah mundur. Kakinya yang sakit di saat ia menyapu kaki raksasa itu, terasa semakin sakit justru ketika ia mengenai dada lawannya itu.
Ketika kemudian Kasadha bangkit, maka ternyata raksasa itu juga berusaha bangkit dengan cepat. Ia pun telah bersiap ketika Kasadha datang menyerangnya beruntun.
Tetapi serangan Kasadha yang datang kemudian tidak sekeras serangan sebelumnya. Karena itu, maka raksasa itu masih mampu bertahan untuk tetap tegak. Dan bahkan mulai memburu Kasadha dengan kemarahan yang hampir meledakkan jantungnya.
Sementara itu, Bharatapun telah bertempur dengan tangkas dan cepat. Setiap kali terngiang di telinganya keterangan Ki Lurah Dipayuda, bahwa lawannya itu lebih banyak mempercayakan diri pada kekuatannya. Tidak pada otaknya. Kelebihan kemampuan mempergunakan otaknya itulah yang telah dipergunakan oleh Bharata untuk bertempur melawan-lawannya yang bertubuh raksasa itu.
Beberapa kali ternyata Kasadha dan Bharata mampu mengenai tubuh lawannya. Semakin sering, maka betapapun kuatnya orang-orang itu, namun terasa semakin sakit. Karena itulah, maka orang-orang bertubuh raksasa itu semakin lama menjadi semakin marah dan bertempur semakin garang.
Dengan bekal kekuatan mereka yang melampaui kekuatan orang kebanyakan, serta daya tahan tubuh mereka yang sangat tinggi, maka mereka benar-benar orang-orang yang menakutkan bagi orang lain. Tetapi Kasadha dan Bharata yang sudah bertekad untuk berhasil dalam pendadaran itu, telah berusaha untuk mengimbangi lawan-lawan mereka.
Ketika perkelahian itu menjadi semakin keras dan garang, maka baik Kasadha, maupun Bharata telah berusaha mengambil jarak, sehingga seluruh arena itu terbagi menjadi dua lingkaran perkelahian. Kedua anak muda itu agaknya sependapat tanpa membuat janji, bahwa untuk melawan kedua orang yang bertubuh raksasa itu, mereka akan berloncatan dengan cepat mengitarinya. Dengan demikian keduanya memang memerlukan tempat yang Ki Lurah Yudoprakosa memang menjadi agak bingung menghadapi kenyataan itu. Ia berharap bahwa kedua orang raksasa itu dengan cepat menyelesaikan tugas mereka. Mengalahkan Kasadha dan Bharata, yang ternyata di bawah pengamatan kedua orang perwira tinggi dari Pajang dan Demak keduanya tidak perlu berbuat berlebihan.
Tetapi ternyata kedua orang yang dianggapnya mempunyai kekuatan melampaui orang kebanyakan itu, tidak segera dapat mengalahkan Kasadha dan Bharata. Bahkan nampaknya Kasadha dan Bharata menjadi semakin lama semakin garang menghadapi kedua orang raksasa itu.
Sebenarnyalah, ketika lawan-lawan Kasadha dan Bharata mulai mengerahkan kekuatan mereka yang sangat besar, maka Kasadha dan Bharatapun mulai merambah pada ilmu mereka. Kasadha yang telah ditempa oleh keadaan, kemudian di bawah bimbingan guru yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, apalagi anak itu telah dipersiapkan untuk satu perbandingan ilmu yang akan menentukan sebagaimana pernah dilakukan oleh ibunya melawan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, telah membuatnya menjadi anak muda yang pilih tanding. Sementara itu, Bharata yang telah membajakan diri dalam asuhan ketiga orang yang memiliki ilmu mumpuni, serta dipersiapkan untuk mewarisi ilmu Janget Kinatelon, adalah seorang anak muda yang jarang ada duanya.
Karena itu, maka pendadaran itupun telah berlangsung dengan keras dan garang. Kedua raksasa yang telah mendapat pesan dari Ki Lurah Yudoprakosa agar tidak membuat kesan yang berlebihan itu telah melupakannya justru karena kedua anak muda itu benar-benar telah menyakitinya. Serangan-serangan mereka yang cepat dan kuat, telah mengenai bagian-bagian tubuh kedua orang lawannya itu di bagian-bagian yang lemah.
Dengan demikian, maka pertempuran di arena pendadaran itu semakin lama menjadi semakin keras. Kasadha dan Bharata lebih banyak mempergunakan otaknya dari lawan-lawannya. Namun bukan berarti bahwa keduanya merasa lemah. Meskipun pada dasarnya, kekuatan wajar mereka tidak dapat mengimbangi kekuatan kedua orang bertubuh raksasa itu, tetapi dengan landasan ilmunya kedua anak muda itu mampu membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Kekuatan yang ada di dalam dirinya itu ternyata tidak kalah dahsyatnya dari kekuatan kedua orang yang bertubuh raksasa itu.
Kekuatan itulah yang tidak diperhitungkannya, baik oleh kedua raksasa itu sendiri, maupun oleh Ki Lurah Yudoprakosa, karena Ki Lurah sama sekali tidak menduga bahwa kedua anak muda itu mampu melakukannya.
Dengan kemampuan membangun tenaga di dalam dirinya itu, berlandaskan pada ilmu masing-masing, maka Kasadha dan Bharata menjadi dua orang yang memiliki kekuatan tidak kalah dari kedua orang yang bertubuh raksasa itu.
Dalam pertempuran selanjutnya, maka para prajurit memang menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat, wajah kedua orang yang dipergunakan oleh Ki Lurah untuk melakukan pendadaran itu sudah menjadi sangat tegang, serta mata mereka mulai menyala.
Namun baik Kasadha, maupun Bharatapun telah menjadi marah pula karena perlakuan kasar dan bahkan liar dari kedua orang lawannya itu.
Dalam lingkaran pertempuran yang terpisah, maka Kasadha telah mengimbangi kekerasan lawannya dengan sikap yang keras pula. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin lama semakin cepat. Landasan ilmu semakin nampak pada setiap unsur geraknya sehingga dengan demikian, maka Kasadha justru tidak menjadi semakin terdesak oleh lawannya.
Di lingkaran pertempuran yang lain, di arena pendadaran itu juga, Bharata justru sudah mulai membentur serangan lawan. Untuk menunjukkan bahwa kekuatan Bharata yang muda itu tidak kalah dengan kekuatan lawannya yang bertubuh raksasa, maka Bharatapun mulai mengimbangi serangan-serangan lawannya dengan serangan-serangan pula, sehingga kadang-kadang kedua kekuatan itu saling berbenturan. Namun dengan demikian orang yang bertubuh raksasa itu tidak lagi dapat menggertak Bharata dengan tenaga raksasanya, karena dalam setiap benturan, Bharata ternyata mampu mengimbangi kekuatannya.
Para prajurit yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka seakan-akan menjadi tidak yakin apa yang disaksikannya. Mereka tidak segera dapat percaya bahwa anak-anak muda itu memang mampu mengimbangi lawannya yang bertubuh raksasa.
Sebenarnyalah ketika orang bertubuh raksasa itu menyerang Bharata dengan ayunan tangannya yang besar mengarah ke kening, anak muda itu dengan sengaja tidak mengelak. Tetapi dengan mempergunakan tenaga cadangan serta kekuatan di dalam dirinya, maka ia telah membentur ayunan tangan itu dengan sikunya.
Ternyata telah terjadi benturan yang keras. Bharata memang terdorong selangkah surut. Namun lawannya yang bertubuh raksasa itupun harus menyeringai menahan sakit. Bahkan iapun telah terpental pula beberapa langkah mundur.
Dalam keadaan yang demikian, justru Bharatalah yang meloncat menyusulnya. Ia tidak lagi menghiraukan, apakah serangannya akan mampu menyusup celah-celah pertahanan lawan. Tetapi Bharata yang sudah dengan sengaja membenturkan kekuatan dan kemampuannya itu telah langsung menyerang dengan kakinya mengarah ke dada.
Lawannya yang bertubuh raksasa itu tidak sempat, mengelak, karena ia masih baru saja menemukan keseimbangannya kembali. Karena itu, maka ialah yang kemudian menangkis serangan itu dengan melindungi dadanya. Kedua tangannyapun telah bersilang di depan dadanya. Gelang-gelang kulit yang besar nampak pada pergelangan tangan kanannya hampir sampai ke siku. Sedangkan di pergelangan tangan kirinya terdapat dua lingkar dari jenis akar-akaran yang membelit seperti ular.
Kaki Bharata telah membentur kedua tangan yang bersilang itu. Namun ternyata Bharata memang tidak mengerahkan kekuatan dan kemampuannya sepenuhnya, sehingga karena itu maka serangan itu tidak menggoyahkan lawannya.
Tetapi yang tidak disangka, dengan cepat Bharata memutar tubuhnya bertumpu pada satu kakinya, sedang kakinya yang lain terayun deras menghantam kening lawannya dari samping.
Serangan beruntun itu datang begitu cepatnya, sehingga raksasa yang memang agak lamban itu tidak mampu menangkisnya. Serangan itu benar-benar mengenai keningnya, demikian kerasnya sehingga tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah.
Bharata justru melangkah surut. Ia tidak memburu raksasa yang berusaha bangkit itu. Dibiarkannya lawannya itu berdiri tegak dan mengatur sikap serta membenahi dirinya.
Raksasa itu menggeram. Kemarahannya benar-benar sampai ke ubun-ubun. Segala pesan telah dilupakannya, sehingga yang kemudian bergejolak di kepalanya adalah menghancurkan anak-anak ingusan itu.
Ketika lawan Bharata itu kemudian berdiri tegak, maka Bharatapun telah berdiri tegak pula di atas kedua kakinya yang renggang.
Sementara Bharata menunggu lawannya bersiap, maka Kasadha justru telah mendesak lawannya. Kasadha ternyata bertempur dengan keras pula mengimbangi lawannya yang kemarahannya sudah memuncak.
Tetapi justru karena itu, maka serangan-serangannya menjadi tidak terarah dan dengan demikian raksasa itu banyak kehilangan tenaga. Ketika ia menyerang Kasadha dengan tangannya yang siap menerkam wajah anak muda itu, maka ia tidak sempat mengelak ketika Kasadha justru bergeser ke samping dan dengan cepat menyerang lambungnya. Namun raksasa itu masih sempat menangkis serangan itu dengan tangannya, menepis kaki Kasadha sehingga lambungnya tidak terkena. Tetapi Kasadha yang melenting itupun telah menjulurkan tangannya. Dengan jari-jari tangannya yang merapat ia telah menyerang pangkal leher raksasa itu.
Terdengar lawannya berteriak nyaring. Lehernya terasa sakit sekali. Bahkan untuk sesaat pernafasannya bagaikan tersumbat. Karena itulah, maka orang bertubuh raksasa itu harus meloncat menjauhi lawannya.
Dengan demikian maka kemarahan lawan Kasadha itu bagaikan membakar ubun-ubunnya. Untuk beberapa saat ia masih saja meraba pangkal lehernya yang kesakitan serta masih berusaha mengatur pernafasannya.
Namun Kasadha sudah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Ia benar-benar telah berdiri pada lambaran ilmu yang pernah dipelajarinya, maka ia tidak akan gentar.
Di luar arena, di atas punggung kudanya, dua orang perwira dari Pajang dan dari Demak memperhatikan pendadaran itu dengan saksama. Bahkan di luar sadarnya keduanya telah tersenyum. Dengan nada rendah, Ki Tumenggung Wiradigda berkata, "Jika saja semua prajurit muda Pajang memiliki kemampuan seperti anak-anak muda itu, maka Mataram tentu tidak akan berhasil mengalahkan pasukan Pajang di Prambanan."
Tetapi Ki Tumenggung Suraprana menjawab, "Kita sama-sama tahu apa yang terjadi Ki Tumenggung. Mataram memiliki akal yang tajam. Betapapun tinggi kemampuan prajurit Pajang, namun mereka tidak akan dapat melawan banjir yang ternyata adalah akibat ketajaman akal orang-orang Mataram."
Ki Tumenggung Wiradigda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Untunglah anak-anak muda itulah yang harus melawan kedua orang bertubuh raksasa itu sehingga keduanya tidak mengalami bencana pada tubuh maupun bagian dalamnya. Jika prajurit kebanyakan yang lain yang harus mengalami pendadaran ulang seperti itu, maka kedua raksasa itu tanpa belas kasihan akan menghancurkan lawannya."
"Satu pengalaman yang baik bagi kedua orang yang bertubuh raksasa itu," berkata Ki Tumenggung Suraprana. Namun kemudian, "juga satu pengalaman yang baik bagi Ki Lurah Yudoprakosa."
Ki Tumenggung Wiradigda tertawa. Katanya, "Satu pengalaman yang baik pula bagiku. Ternyata di Pajang tersimpan prajurit-prajurit pilihan yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang Demak yang bertugas disini seperti aku."
"Tidak banyak," jawab Ki Tumenggung Suraprana, "hanya dua itu. Itupun secara kebetulan ditemukan di dalam pasukan Ki Lurah Dipayuda yang kemudian dipegang oleh Ki Lurah Yudoprakosa. Bedanya Ki Lurah Dipayuda dapat memanfaatkan kedua orang prajurit muda itu dengan baik, sementara Ki Lurah Yudoprakosa justru telah memusuhinya."
Ki Tumenggung Wiradigda mengangguk-angguk. Sementara itu perhatiannya kembali tertambat pada pertempuran di dalam arena pendadaran.
Semakin lama menjadi semakin nampak, bahwa Kasadha dan Bharata akan mampu mengatasi segala kesulitan yang dihadapinya dalam pendadaran itu. Lawannya yang mengandalkan kekuatannya itu ternyata masih dapat diimbangi oleh kekuatan dan tenaga cadangan yang tersimpan di dalam tubuh kedua anak muda itu yang mampu dibangunkannya berlandaskan pada ilmu dan kemampuan mereka.
Dalam pada itu, kedua orang bertubuh raksasa itu benar-benar telah terdesak. Bharata yang tangkas dan bergerak dengan kecepatan yang jauh melampaui lawannya, telah semakin sering mengenai tubuh lawannya dari berbagai arah. Sekali-sekali serangan tangannya justru telah menghantam tengkuk sehingga raksasa itu hampir saja jatuh terjerembab. Namun di kesempatan lain kakinya menghantam dada lawannya itu sehingga terdorong beberapa langkah surut.
Ki Lurah Yudoprakosa menjadi semakin cemas. Namun iapun dapat menduga, apa yang akan terjadi. Ia yang tahu pasti kekuatan dan kemampuan kedua orang raksasa itu, yang memang sudah terbiasa dipergunakannya untuk menghukum orang lain dengan cara terselubung, menyadari, bahwa kedua orang itu sudah sampai pada puncak kemampuannya.
Tetapi Ki Lurah Yudoprakosa masih mengharap, daya tahan kedua orang itu lebih baik dari daya tahan anak-anak muda yang telah mengerahkan segala macam kekuatan dan kemampuannya.
Namun ia tidak sadar, bahwa justru kedua orang bertubuh raksasa itulah yang telah memeras segala tenaga dan kekuatannya karena ia tidak mampu membangunkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Keduanya mempergunakan tenaga wajar, namun tenaga wajarnya itu melampaui tenaga kebanyakan orang.
Karena itulah, maka yang kemudian nampak lebih dahulu susut adalah justru tenaga kedua orang raksasa itu.
Akhirnya Ki Lurah Yudoprakosa tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua orang raksasa yang diharapkannya akan dapat menghukum kedua orang anak muda itu dengan cara terselubung telah gagal. Meskipun kegagalan itu sudah nampak saat kedua orang Tumenggung dari Pajang dan Demak datang ke tempat pendadaran itu.
Tetapi setidak-tidaknya ia akan mempunyai alasan untuk melakukan tindakan berikutnya jika kedua orang anak muda itu tidak berhasil dalam pendadaran.
Dengan demikian maka Ki Lurah harus mengambil sikap untuk menyelamatkan kedua orang raksasanya itu. Jika kedua orang raksasa itu akhirnya benar-benar dikalahkan, maka akibatnya akan sangat pahit bagi keduanya dan bagi dirinya sendiri.
Karena itu, maka ketika Ki Lurah tidak lagi yakin bahwa keduanya akan dapat mengatasi anak-anak muda itu, maka Ki Lurahpun telah berteriak, "berhenti, berhenti. Pendadaran telah cukup."
Kedua belah pihak memang berloncatan mengambil jarak. Kedua orang raksasa itupun telah berhenti. Demikian pula Kasadha dan Bharata.
Namun Ki Tumenggung Suraprana tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya.
Ki Tumenggung Wiradigda mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Ada apa?"
Ki Tumenggung Suraprana masih saja tertawa. Jawabnya, "Tidak ada apa-apa."
Ki Tumenggung Wiradigda termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum pula sambil bertanya, "Kau lihat bagaimana Ki Lurah menyelamatkan orang-orangnya?"
Ki Tumenggung Suraprana tertawa semakin keras.
Jawabnya, "Aku tidak dapat mengatakan seperti itu. Tetapi kaulah yang dapat mengatakannya."
"Karena aku juga orang Demak seperti Ki Lurah Yudoprakosa itu?" bertanya Ki Tumenggung Wiradigda. Namun iapun kemudian tertawa pula. Bahkan lebih keras dari Ki Tumenggung Suraprana.
Ternyata sikap kedua orang Tumenggung itu dirasakan sebagai satu sindiran atas satu kekalahan. Dengan demikian maka kedua orang yang bertubuh raksasa itu telah tersinggung. Mereka memang merasakan tekanan yang sangat berat dari lawan-lawan mereka, tetapi mereka tidak begitu mudah dikalahkan.
Karena itu seorang di antara mereka tiba-tiba saja menggeram, "Pendadaran ini belum selesai."
"Sudah," teriak Ki Lurah, "aku hanya ingin melihat ulang kemampuan kedua prajurit yang sombong itu. Dan sekarang aku sudah melihatnya."
"Tetapi rencana kita tidak hanya terhenti sampai disini," jawab raksasa yang lain.
"Aku yang berhak menyusun rencana, bukan kalian," teriak Ki Lurah semakin keras. "Minggir kalian dari arena pendadaran ini."
"Tidak. Aku akan mematahkan tulang-tulang anak-anak muda yang sombong itu," geram lawan Bharata.
"Dengar perintahku, atau aku perintahkan prajurit-prajurit ini semuanya menangkapmu," Ki Lurah Yudoprakosa menjadi marah.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tumenggung Wiradigda, "Ki Lurah. Biarlah ia mendapat kepuasan dengan pendadaran ini. Biarlah pendadaran ini diteruskan sampai tuntas. Pendadaran ini tidak hanya ditujukan bagi kedua anak muda itu. Tetapi juga bagi kedua orang alat Ki Lurah untuk melakukan pendadaran. Apakah alat Ki Lurah itu cukup baik atau tidak."
Wajah Ki Lurah menjadi merah. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa itu telah melangkah maju lagi. Seorang di antara mereka berkata, "Atas nama Ki Tumenggung. Pendadaran ini akan diteruskan sampai tuntas."
Keputusan itu, di luar sadar, telah menumbuhkan kegembiraan pula pada Kasadha dan Bharata. Kedua anak muda itu telah menjajagi kemampuan kedua raksasa itu. Dari penjajagan itu, mereka dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka akan mampu bertahan.
Namun demikian keduanya memang merasa harus tetap berhati-hati. Mungkin satu perubahan akan terjadi. Tetapi kedua anak muda itu merasa bahwa mereka memang belum sampai ke puncak tertinggi dari kemampuan mereka sebagaimana jika mereka harus bertempur bertaruh nyawa. Menghadapi orang-orang Mataram di Randukerep, mereka tidak dapat lengah sekejappun karena taruhannya adalah nyawa. Merekapun harus bertempur pula dengan orang-orang yang belum pernah dikenalnya sebelumnya justru karena kedua anak muda itu bersama-sama disangka Puguh.
Dan di arena itu, mereka harus melakukan pendadaran disaksikan oleh kawan-kawannya sebagai tontonan.
Bagaimanapun juga Kasadha dan Bharata adalah anak-anak muda. Darah mereka masih mudah mendidih serta perasaan mereka kadang-kadang kurang terkendali. Karena itulah, maka ketika kedua orang lawannya itu melangkah maju, maka keduanyapun segera telah bersiap pula. Mereka bertekad untuk menundukkan kedua raksasa itu di hadapan Ki Lurah Yudoprakosa. Ki Lurah memang tidak dapat mencegahnya lagi ketika Ki Tumenggung Wiradigda justru telah memerintahkannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, Kasadha dan Bharatapun telah mulai bergeser. Sementara itu, kedua orang bertubuh raksasa itu telah mulai menyerangnya pula. Mereka memang berusaha untuk dapat menangkap anak-anak muda itu. Namun mereka memang mulai ragu-ragu, karena di setiap benturan, kekuatan anak-anak muda itu mampu mengimbanginya.
Demikianlah maka pertempuran itu telah terjadi lagi. Kasadha dan Bharata telah mendapatkan lawan mereka kembali.
Kedua raksasa itu memang merasa tidak pernah terkalahkan di setiap arena pendadaran seperti itu. Saat-saat ia diperalat untuk menghukum seseorang atau lebih dengan cara yang sangat licik.
Karena itu, maka sulit bagi mereka untuk menerima kenyataan bahwa kedua orang anak muda itu mampu mengimbanginya. Bahkan justru memiliki kelebihan.
Namun dalam pada itu, Kasadha dan Bharatapun telah bersiap dalam puncak kemampuan mereka. Keduanya berniat untuk secepatnya mengalahkan lawan-lawan mereka yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu.
Bharata dan Kasadha yang telah berdiri pada jarak yang sejauh-jauhnya di antara mereka itupun telah mulai berputaran dan kemudian berloncatan menyerang. Bharata ternyata telah sampai pada kemampuan tertinggi ilmunya dalam persiapan untuk menerima ilmu Janget Kinatelon. Karena itu, maka anak muda itu justru telah menjadi semakin garang.
Sementara itu Kasadha yang memiliki pengalaman yang lebih luas, ternyata telah mampu menunjukkan unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawannya. Apalagi setiap kali di telinga kedua anak muda itu terngiang kembali pesan Ki Lurah Dipayuda, bahwa kedua orang raksasa itu tentu tidak akan memakai otaknya.
Karena itulah, maka semakin lama mereka bertempur, maka semakin ternyata bahwa Kasadha dan Bharata akan mampu menguasai arena pendadaran itu.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, Bharata yang ditempa oleh ketiga orang kakek dan neneknya itu, merasakan bahwa kekuatan lawannya menjadi semakin susut. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan tenaga cadangan di dalam tubuhnya pada kekuatan tertinggi. Ia benar-benar telah berniat mengakhiri pendadaran yang memuakkan itu.
Dengan serangan ganda, maka Bharatapun kemudian telah melanda lawannya seperti amuk prahara. Tubuhnya bagaikan melayang mengitari lawannya. Serangannya datang dari segala arah.
Ketika tangannya sempat memukul tengkuk lawannya yang menunduk menghindari serangan di kening, maka raksasa itu sempat terguncang. Dengan tangkasnya Bharata telah menyerang wajah yang terdorong oleh pukulan di tengkuk itu dengan kakinya.
Tidak ada ampun bagi raksasa itu. Tubuhnya yang tinggi besar itu telah terpental beberapa langkah surut. Ketika ia berusaha mempertahankan keseimbangannya, maka serangan Bharata telah memburunya. Sambil meloncat maju, tangannya terjulur lurus ke depan. Sebuah pukulan yang keras telah terayun mengarah ke dada orang yang sudah tidak mampu untuk mengelak dan bahkan menangkis itu.
Pada saat terakhir, Bharata tiba-tiba saja menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka iapun telah menggeser arah serangannya, menghantam pundak.
Raksasa itu mengaduh. Ia benar-benar terpelanting dan terputar beberapa kali sehingga akhirnya iapun telah terjatuh di tanah.
Ia masih berusaha untuk bangkit. Namun rasa-rasanya sulit baginya untuk mengangkat tubuhnya yang berat.
Namun pada saat yang bersamaan, Kasadha telah memburu lawannya pula. Sebuah tendangan yang keras bagaikan terbang menyambar dadanya.
Lawannya yang bertubuh raksasa itu terdorong surut. Namun adalah kebetulan, bahwa ia telah menimpa kawannya yang sedang dengan susah payah berusaha bangkit.
Dengan demikian maka keduanyapun telah terguling beberapa kali di tanah.
Ketika keduanya tertatih-tatih berdiri, maka Kasadha dan Bharata telah siap untuk menyergapnya dengan serangan-serangan yang akan dapat membahayakan jiwa kedua orang bertubuh raksasa itu. Beruntunglah bahwa kedua orang anak muda itu masih mampu menahan dirinya meskipun darah mereka bagaikan mendidih.
Kedua orang bertubuh raksasa itu memang sempat berdiri. Tetapi mereka sama sekali sudah tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Sementara Kasadha dan Bharata meskipun di beberapa bagian tubuhnya nampak memar, namun mereka masih nampak jauh lebih segar dari kedua raksasa itu.
Untuk beberapa saat Ki Lurah justru menjadi termangu-mangu. Ia sudah tidak mungkin lagi menolong keadaan. Kedua raksasa itu benar-benar sudah menjadi sangat letih meskipun mata mereka masih tetap menyala.
Sebelum Ki Lurah mengatakan sesuatu, maka tiba-tiba saja Ki Tumenggung Wiradigda berkata sambil tertawa, "Baiklah. Pendadaran memang telah selesai. Dua orang bertubuh raksasa itu, ternyata tidak berhasil menjalani pendadaran ulang. Kedua orang prajurit muda yang melakukan pendadaran itu masih dapat bertindak lebih jauh jika mereka mau. Karena itu, maka sebaiknya kedua orang bertubuh raksasa itu tidak usah dipakai lagi bagi segala keperluan. Termasuk menghukum orang dengan cara yang terselubung."
Kedua orang bertubuh raksasa itu berdiri tegak seperti patung. Tetapi mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Tenaga mereka seakan-akan memang telah terperas habis.
Yang terpukul bukan hanya kedua orang raksasa itu. Tetapi juga Ki Lurah Yudoprakosa. Ki Tumenggung Wiradigda di hadapan banyak orang telah menyatakan dengan terbuka, bahwa cara yang dilakukan oleh Ki Lurah itu adalah cara untuk menjatuhkan hukuman dengan terselubung.
Untuk beberapa saat kedua raksasa itu termangu-mangu. Demikian pula Ki Lurah Yudoprakosa.
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiradigdapun berkata, "Ki Lurah. Lewat tengah hari, kau harus sudah menghadap aku."
Ki Lurah terkejut. Namun iapun kemudian mengangguk hormat sambil menjawab, "Ya Ki Tumenggung."
Ki Tumenggung tidak berkata apa-apa lagi kepada Ki Lurah. Kepada Ki Tumenggung Suraprana ia berkata, "Marilah. Tontonan yang memuakkan itu sudah selesai."
Ki Tumenggung Suraprana tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Sejenak kemudian maka kedua orang Tumenggung itu telah hilang di balik regol. Sementara itu Ki Lurah masih saja termangu-mangu di tempatnya. Ia merasa ditikam oleh keadaan yang tidak diduganya sama sekali itu.
Namun ternyata bahwa sepeninggal kedua orang Tumenggung dari Demak dan dari Pajang sendiri itu persoalan di halaman barak itu belum selesai. Salah seorang dari kedua orang raksasa itu tiba-tiba saja berteriak, "Aku tidak mau dihinakan cara ini. Kita selesaikan persoalan kita sampai tuntas."
Sebelum ada orang yang menjawab, maka orang itu telah melangkah dengan sisa tenaganya ke tepi arena untuk memungut pedangnya yang besar dan panjang.
"Jangan," perintah Ki Lurah yang kebingungan.
"Aku akan membunuh atau mati di arena ini," geram raksasa itu.
"Dengar perintahku," teriak Ki Lurah.
Tetapi jawaban raksasa itu mengejutkan, "Jika Ki Lurah menghalangi, maka aku tantang Ki Lurah untuk berperang tanding. Jika aku menang, maka dapat diperhitungkan, kemampuan Ki Lurah jauh di bawah anak-anak itu."
Wajah Ki Lurah menjadi merah. Tetapi ia tidak mau membuat kesalahan lagi, karena ia sudah mendapat peringatan dari Ki Tumenggung Wiradigda. Bahkan ia harus menghadap lewat tengah hari.
Karena itu, maka katanya, "Aku dapat memerintahkan prajurit-prajuritku untuk menangkapmu hidup atau mati."
Orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kasadha dan Bharata masih berdiri tegak di arena.
"Semuanya sudah selesai," berkata Ki Lurah kemudian. Lalu iapun meneriakkan perintah kepada prajurit-prajuritnya, "Semua kembali ke tempat masing-masing."
Jaka Dan Dara 2 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Pendekar Kidal 23