Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 32

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 32


Raksasa itu nampaknya memang mulai terpengaruh oleh kemampuan lawannya yang masih muda itu. Beberapa kali ia sudah dikenainya. Bukan hanya sekadar sentuhan-sentuhan kecil. Tetapi perutnya yang menjadi mual dan dadanya yang serasa bagaikan terhimpit batu hitam. Dengan demikian maka ia harus benar-benar berhati-hati. Apalagi ia tidak lagi bertempur bersama kawannya yang bertubuh raksasa itu. Namun ia mulai menyadari pesan kawannya itu, agar ia bertahan sambil menunggu, karena kawannya akan berusaha menyelesaikan Ki Lurah secepatnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ternyata kawannya itu tidak dengan segera menyelesaikan Ki Lurah Dipayuda yang bertubuh lebih kecil itu.
Ki Lurah Dipayuda yang sudah mendapat kepercayaan untuk menjadi seorang pemimpin pasukan, memang memiliki bekal yang cukup. Dengan ketangkasannya ia berhasil mengatasi kegarangan lawannya yang bertubuh raksasa itu. Meskipun ia harus bertempur melawan dua orang, tetapi dengan mengerahkan kemampuannya, Ki Lurah mampu mengimbanginya. Bahkan beberapa kali ia berhasil mendesak raksasa itu, meskipun dalam keadaan yang gawat ia harus berloncatan mundur. Tetapi Ki Lurah tidak mau menyebabkan keseimbangan seluruh pertempuran itu menguntungkan lawan-lawannya. Jika ia dapat dikalahkan oleh kedua lawannya, maka Bharata akan mengalami kesulitan. Ia akan berhadapan dengan empat orang lawan, sehingga betapapun tinggi kemampuannya, namun akan sangat sulit baginya untuk mengatasinya. Karena itu, maka Ki Lurah harus dapat mengalahkan lawan-lawannya, atau setidak-tidaknya harus bertahan sampai suatu saat Bharata berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Namun ternyata ketangkasan Ki Lurah membuat kedua lawannya mengalami kesulitan.
Raksasa yang marah itu tidak mempunyai banyak peluang untuk memenangkan pertempuran itu meskipun kawannya telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Yang kemudian terjadi adalah, Bharata semakin lama semakin mendesak kedua lawannya. Kaki dan tangannya semakin sering mengenai sasarannya. Lawannya yang bertubuh wajar sebagaimana dirinya sendiri, semakin sering dikenainya. Beberapa kali ia terlempar, terjatuh dan berusaha untuk bangkit lagi. Bahkan lawannya yang bertubuh raksasa itupun telah sering pula mengaduh menahan sakit. Beberapa kali keseimbangannya terguncang. Bahkan raksasa itupun pernah terdorong jatuh pula meskipun dengan cepat ia masih mampu untuk bangkit. Tetapi lawan Bharata itu tidak mempunyai harapan. Kedua-duanya tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Bharata memang memiliki ketangkasan yang tinggi. Beberapa kali orang bertubuh raksasa itu harus mengakui, bahwa tubuhnya semakin lama semakin sering dikenai oleh serangan-serangan lawannya. Keningnya bagaikan menjadi retak. Iga-iganya serasa berpatahan. Lawan Ki Lurahpun menjadi cemas melihat perkembangan keadaan. Ia melihat lawan Bharata menjadi semakin terdesak. Sementara itu, mereka masih belum mampu menguasai Ki Lurah yang ternyata juga tangkas bergerak. Mempunyai ilmu yang mapan serta penalaran yang tenang.
Karena itu, maka, kedua orang raksasa yang bertempur dengan lawan yang berbeda itu memang sudah tidak berpengharapan. Mereka sama sekali tidak lagi mempunyai peluang. Apalagi jika kekuatan mereka pada saatnya mulai susut, karena mereka memang telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Sementara itu perasaan sakit yang semakin menekan di dalam tubuh mereka harus mereka perhitungkan pula.
Karena itu, maka apapun yang mereka lakukan, mereka tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Kecuali jika mereka mencoba mempergunakan senjata-senjata mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, lawan Bharata yang telah beberapa kali mengalami kesakitan, kehilangan keseimbangan dan bahkan keadaan yang gawat itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali menarik senjata mereka. Lawan Bharatalah yang pertama-tama menarik pedangnya yang besar. Pedang yang hampir saja dipergunakannya di arena pendadaran di barak prajurit saat Bharata mengalami pendadaran ulangan.
Bharata meloncat selangkah mundur. Sementara itu lawan orang bertubuh raksasa itupun telah menggerak-gerakkan pedangnya pula.
Dengan pedangnya yang besar dan panjang, orang bertubuh raksasa itu berkata, "Kau akan mengalami sengsara yang lebih parah. Jika semula aku hanya berniat membuatmu buta tuli dan lumpuh, maka ternyata tubuhmu akan terpotong-potong oleh senjataku. Kakimu dan tanganmu akan buntung dalam keadaanmu yang buta dan lumpuh itu."
"Kau mampu membayangkan penderitaan yang paling dahsyat bagi seseorang. Meskipun kau belum tentu dapat melakukannya sehingga orang lain mengalaminya, tetapi angan-anganmu tentang penderitaan yang paling pahit itu sudah merupakan kejahatan yang sangat besar. Angan-angan itu memang harus dihapuskan dari kepalamu. Jika karena itu kepalamu ikut terhapus dari tubuhmu, maka itu adalah akibat yang mungkin saja terjadi, meskipun tidak dengan sengaja," berkata Bharata.
"Persetan," geram orang itu, "Kau memang menjadi ketakutan."
"Sejak tadi kau beranggapan demikian. Kehadiran Ki Lurah telah memastikan segala-galanya. Karena itu, maka aku minta kau mendengarkan kata-kataku. Kita akhiri persoalan kita sampai di sini. Pergilah dan jangan melakukannya atas orang lain."
"Kau sudah menghina kami di arena pendadaran. Sekarang kau mencoba menghina kami lagi," geram raksasa itu.
"Saat itu telah terjadi. Seandainya kau mampu mengalahkan aku sekarang maka kemenanganmu itu tidak akan menghapus kekalahanmu saat itu, karena kemenanganmu tidak disaksikan oleh orang-orang yang melihat kalian kami kalahkan," sahut Bharata.
Raksasa itu berpikir sejenak. Namun iapun menggeram ketika ia melihat kawannya juga sudah mempergunakan senjatanya melawan Ki Lurah. Sementara itu Ki Lurah Dipayudapun telah mempergunakan pedangnya. Meskipun pedang Ki Lurah lebih kecil dan lebih pendek dari pedang orang bertubuh raksasa itu, tetapi ternyata Ki Lurah itu memiliki kemampuan ilmu pedang yang lebih baik. Orang bertubuh raksasa itu hanya sekadar mempercayakan sedikit kemampuan ilmu pedangnya dan yang terutama adalah kekuatan tubuhnya. Ayunan pedangnya yang bagaikan arus udara maut yang garang, menyambar-nyambar. Sekali-sekali mengarah ke leher, tengkuk dan bahkan ke lambung. Sementara itu pedang lawannya yang lain, menebas dengan cepat melintang di depan dada Ki Lurah. Namun kemudian menyuruk mengarah ke perut.
Tetapi Ki Lurah Dipayuda bergerak semakin cepat. Pedangnya berputaran menyambar-nyambar seperti seekor burung sikatan menyambar belalang. Menyusup di antara ayunan pedang raksasa itu. Pedang yang besar dan panjang. Kemudian menyilang pedang lawannya yang seorang lagi, mematuk dan menggapai sasaran.
"Kau akan menyesal anak muda," geram raksasa itu sambil mengangkat pedangnya yang besar dan panjang itu. "Satu tebasan yang tidak akan dapat kau hindari apalagi kau tangkis akan dapat memotong bagian-bagian dari tubuhmu."
Tetapi Bharata tersenyum. Katanya, "Kau lihat bahwa kawanmu mengalami kesulitan" Nah, dengar tawaranku sekali lagi. Kau tinggalkan tempat ini. Jika kita sudah telanjur bertempur, maka akan sulit bagiku untuk mengekang diri. Karena kemungkinan yang tidak kau kehendaki dapat terjadi. Bukan aku yang menjadi cacat, tetapi kau. Jika kau menjadi cacat tubuh karena tanganmu terpenggal oleh pedangku, maka kaulah yang akan menyesal seumur hidupmu. Padahal, kemungkinan yang dapat terjadi atasku dan kemungkinan atasmu tidak ada bedanya."
Orang bertubuh raksasa itu berpikir sejenak. Namun ia mulai ragu-ragu ketika Bharata telah menarik pedangnya. Pedang yang tidak begitu besar. Tetapi tajamnya yang bagaikan pisau pencukur itu telah membuat jantungnya berdebar-debar. Satu sentuhan kecil akan dapat mengoyak kulitnya bahkan melubangi perutnya.
Sementara itu lawan Bharata yang lain memang menjadi semakin ragu-ragu. Ia mulai merasa tenaga dan kemampuannya sudah menyusut. Sementara itu tubuhnya telah dihinggapi rasa sakit dan pedih di beberapa tempat. Senjata baginya justru hanya akan mempercepat kematian karena Bharata tentu memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi pula.
Tetapi raksasa itu agaknya tidak ingin melangkah surut. Meskipun ia melihat bahwa kawannya yang bertempur melawan Ki Lurah Dipayuda agak mengalami kesulitan.
Bharata pun telah bersiap pula. Ia sadar bahwa lawannya itu tentu tidak begitu saja percaya bahwa iapun telah belajar ilmu pedang. Tidak hanya sepekan dua pekan, ketika ia memasuki lingkungan keprajuritan. Namun Bharata memang tidak ingin membuang waktu terlalu banyak. Ia. sudah bertekad untuk menghentikan perlawanan raksasa itu, agar ia dapat segera melanjutkan perjalanannya. Karena itu, maka iapun telah bersiap-siap untuk mengerahkan kemampuan ilmu pedangnya. Jika segores kecil saja telah mengoyak kulit raksasa itu, maka ia akan berpikir dua kali untuk meneruskan pertempuran itu.
Sebenarnyalah, ketika raksasa itu mulai mengayunkan pedangnya, maka Bharatapun mulai melenting dan kemudian berloncatan dengan tangkasnya. Bharata justru memanfaatkan ayunan pedang lawannya yang keras sehingga raksasa itu memerlukan waktu untuk menguasainya dengan baik. Apalagi pedangnya cukup besar dan panjang, meskipun kekuatan kewadagan raksasa itu cukup memadai. Karena itu, ketika raksasa itu menyerangnya dengan ayunan yang kuat mengarah langsung ke lehernya, Bharata dengan tangkasnya bergeser surut. Tetapi raksasa itu tidak melepaskannya. Pedangnya terayun berputar dan sebuah tusukan yang deras mengarah ke dada Bharata.
Bharata menyadari bahwa lawannya yang berusaha bergerak dengan cepat itu telah mengerahkan segenap kekuatannya. Karena itu Bharata sama sekali tidak menangkis serangan itu. Tetapi ia telah bergeser menghindar ke samping. Sementara itu, ujung pedangnya telah mengikuti arah gerak raksasa itu. Bharata memang harus menjangkau dengan jangkauan panjang. Ia telah melangkah dengan satu kakinya ke depan, sehingga jangkauannya menjadi semakin jauh. Ternyata ujung pedang Bharata telah mampu menggapai lambung raksasa itu meskipun hanya ujungnya. Tetapi segores luka telah menyilang di lambung itu.
Perasaan pedih memang telah menggigit lambungnya. Karena itu, maka raksasa itu telah meloncat menjauh. Sementara itu Bharata tidak sempat menyusulnya, karena lawannya yang lain dengan ragu-ragu telah menyerang Bharata. Pedangnya terayun dengan derasnya setelah terangkat angkat tinggi-tinggi mengarah ke ubun-ubun Bharata. Namun Bharata masih, sempat menghindar pula dengan loncatan pendek. Bahkan kemudian ia sempat menyilang pedang lawannya, kemudian memutarnya dengan cepat. Satu hentakan yang tidak terduga. Pedang itu telah terlepas dari tangan lawannya dan terlempar jatuh. Bahkan kemudian Bharata yang memang ingin menyelesaikan pertempuran itu, telah menggoreskan luka di dada lawannya itu. Meskipun tidak terlalu dalam. Lawannyapun berloncatan menjauh. Bahkan terlalu jauh sehingga kakinya telah terperosok ke dalam parit di pinggir jalan, sehingga orang itu telah jatuh terlentang justru di dalam air parit.
Terdengar orang itu mengaduh. Air parit membuat lukanya yang tidak seberapa dalam itu menjadi sangat pedih. Dengan susah payah orang itu berusaha untuk bangkit dan ke luar dari parit dengan pakaian yang basah kuyup. Air yang membasahi bagian dadanya telah mengalir bercampur dengan darah yang segar.
Ketika tangan orang itu meraba dadanya, maka rasa-rasanya nyawanya telah berada di ubun-ubunnya. Darah yang bercampur air itu seakan-akan tidak terbendung lagi mengalir dari tubuhnya.
"Habislah sudah," desis orang itu yang kemudian dengan lemahnya terjatuh di tanggul parit.
Sementara itu, orang bertubuh raksasa itupun merasa bahwa luka-lukanya menjadi sangat pedih. Seorang diri ia akan menjadi semakin lemah dan tidak akan mampu menghadapi lawannya yang masih muda itu. Sementara kawannya yang bertempur melawan Ki Lurahpun mengalami banyak kesulitan. Ki Lurah benar-benar memiliki kemampuan seorang pemimpin prajurit yang tangguh. Sehingga ia bukannya sekedar karena tugasnya yang panjang saja diangkat sebagai pemimpin pasukan. Tetapi tentu juga karena kemampuannya.
Dengan berbagai pertimbangan, maka lawan Bharata itu tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia masih juga menggenggam pedangnya erat-erat, tetapi ia tidak segera menyerang lagi.
Bharatapun seakan-akan memberinya kesempatan berpikir. Bahkan iapun kemudian berkata, "Apa katamu sekarang" Apakah kau masih berniat membuat tubuhku cacat."
Raksasa itu termangu-mangu. Ia melihat kawannya yang terdesak jauh surut. Namun raksasa itu masih belum kehilangan kawannya.
Tetapi lawan Bharata itupun tiba-tiba telah memberinya isyarat. Sebuah siulan pendek. Agaknya lawan Bharata itu memang tidak mempunyai pilihan lain.
Lawan Ki Lurah itu pun sebenarnya sudah tidak berpengharapan. Tetapi ia masih mengingat harga dirinya sehingga betapapun beratnya, ia masih berusaha untuk bertahan.
Namun isyarat itu telah mematahkan perlawanannya. Kawannyapun ternyata merasa tidak mampu lagi bertahan. Sehingga karena itu, maka lawan Ki Lurah itupun telah berloncatan surut.
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Sementara itu Bharata bertanya, "Apa yang akan kalian lakukan" Kami tidak tahu arti isyarat kalian. Jika kalian akan berbuat curang dengan isyarat itu, maka kami tidak akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain daripada menyelesaikan kalian dengan cara yang kalian angan-angankan."
"Tidak anak muda," jawab lawan Bharata. "Ternyata kami akhirnya harus mengakui, bahwa kami tidak mampu berbuat apa-apa terhadapmu. Apalagi karena Ki Lurah Dipayuda telah hadir pula di sini."
Bharata menarik napas dalam-dalam. Namun Ki Lurah Dipayuda ternyata bertanya, "Apakah kalian menyerah?"
Kedua raksasa yang berdiri agak berjauhan itu saling berpandangan sejenak. Ternyata mereka tidak mempunyai jawaban lain kecuali mengiyakannya.
Dengan nada berat lawan Bharata itu menjawab, "Kami menyerah."
"Lemparkan senjata kalian," perintah Ki Lurah.
Kedua raksasa itu memang menjadi ragu-ragu. Namun Ki Lurah berkata, "Jika kalian tidak mau melemparkan senjata kalian, maka kita akan bertempur lagi."
Betapapun beratnya, namun kedua raksasa itu telah melemparkan senjata mereka. Demikian pula lawan Ki Lurah yang seorang lagi. Sementara Ki Lurah berkata, "Tinggalkan senjata kalian dan duduk di bawah pohon turi itu."
Kedua raksasa itu memang merasa tersinggung. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu keduanya serta seorang kawannya telah duduk di bawah pohon turi.
"Nah," berkata Ki Lurah. "Kalian harus menerima kenyataan ini. Kemudian terserah kepada Bharata. Ia adalah sasaran kalian. Ia dapat berbuat apa saja atas kalian sebagaimana yang akan kalian perbuat atas dirinya."
Kedua orang raksasa itu menjadi tegang. Namun Bharata dan Ki Lurah masih menggenggam senjata mereka masing-masing.
Bharatalah yang kemudian berkata, "Baiklah. Aku ingin mendengar pengakuan kalian. Apakah kalian menyerah dengan sepenuh hati atau tidak?"
Kedua orang raksasa itu masih saja ragu-ragu. Namun ketika mereka melihat pedang Bharata terangkat, maka hampir berbareng keduanya menjawab, "Ya. Kami memang menyerah."
Sementara itu seorang di antara mereka yang tertelungkup di tanggul kemudian menyadari bahwa dirinya belum mati. Karena itu maka ia pun mulai bergerak dan berusaha untuk bangkit.
"Cepat," bentak Ki Lurah. Ternyata bentakan itu telah mengejutkannya. Bahkan kemudian dengan serta merta orang itu telah bangkit.
"Duduk di sebelah kawan-kawanmu," perintah Ki Lurah. Dengan tergesa-gesa orang itu telah meloncat dan duduk di sebelah kawan-kawannya.
"Nah, sekarang kalian harus menjalani apapun yang dilakukan oleh Bharata atas kalian," berkata Ki Lurah Bharata telah berniat untuk membuat kalian sangat menderita.
"Ya," jawab Bharata. "Aku akan membuat kalian cacat seperti yang ingin kalian perbuat atasku. Buta, tuli dan lumpuh."
Wajah orang-orang bertubuh raksasa itu menjadi pucat. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa ketika ujung pedang Bharata dan Ki Lurah Dipayuda terasa ke dada mereka.
"Nah, kalian boleh memilih cara yang paling baik untuk melakukannya," berkata Bharata.
Namun tiba-tiba saja dari mulut orang bertubuh raksasa yang garang itu terdengar desah, "Jangan. Aku mohon ampun." Sedangkan yang lain berkata pula, "Kami tidak bersungguh-sungguh. Kami hanya ingin menakut-nakuti saja."
Bharata tersenyum. Katanya, "Yang penting bagiku bukannya pengakuan bahwa kalian hanya akan menakut-nakuti, karena aku tahu bahwa kalian bersungguh-sungguh meskipun tidak sekeras itu. Yang lebih penting bagiku adalah kesediaan untuk mengerti bahwa pekerjaan yang kalian lakukan selama ini sebagai orang upahan untuk menyakiti orang lain adalah pekerjaan yang paling buruk. Kenapa kalian tidak mencari pekerjaan lain yang lebih baik dan berarti bagi kalian dan keluarga kalian tanpa mengganggu orang lain."
Kedua orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu.
Sementara itu Bharata berkata, "Kalian masih mempunyai kesempatan."
Sebelum kedua orang bertubuh raksasa itu menjawab, Ki Lurah Dipayuda berkata, "Nah, apakah kalian tidak merasa malu bahwa anak itu dapat memberi kalian nasihat dan ternyata nasihatnya mempunyai nilai yang tinggi bagi pilihan yang harus kalian lakukan" Bharata memang tidak akan dapat mendengar jawaban kalian sekarang, karena kalian masih akan dapat berbohong. Tetapi setidak-tidaknya anak muda itu telah melontarkan satu pilihan bagi kalian. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan memilihnya atau kalian akan kembali ke dunia kalian yang kotor itu. Tetapi kalian saat ini telah diampuni oleh anak muda itu. Renungkan ini."
Kedua orang, raksasa itu tidak menjawab. Tetapi kepala mereka telah menunduk. Memang terasa sesuatu menyentuh hati mereka.
"Pergilah," tiba-tiba suara Bharata bernada berat.
Kedua orang raksasa itu terkejut. Ketika ia menengadahkan wajah mereka, mereka melihat Bharata itu sudah melangkah mundur sambil berkata kepada Ki Lurah,
"Marilah Ki Lurah. Kita tinggalkan mereka. Ki Lurah akan dapat melihat, apa yang akan mereka lakukan kemudian di Pajang meskipun Ki Lurah tidak lagi menjadi prajurit."
Ki Lurah menarik napas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kita tinggalkan orang-orang itu dalam gejolak jiwanya. Mereka harus merenungkan pilihan yang paling baik bagi mereka. Tetapi jika mereka salah pilih, kita masih akan dapat membuat perhitungan dengan mereka."
Bharatapun kemudian membenahi pakaiannya, Menyarungkan pedangnya dan melangkah pergi sambil berkata, "Kalian memerlukan pengobatan atas luka-luka kalian."
Ki Lurah pun berjalan di sampingnya setelah meninggalkan keempat orang itu tanpa berpaling lagi. Keempat orang itu memang menjadi heran. Tetapi bahwa kedua orang itu pergi begitu saja, ternyata membuat hati mereka tergetar. Sesuatu yang belum pernah mereka pikirkan, telah melonjak di dalam dada mereka. Namun orang-orang itu tidak ingin berada di tempat itu terlalu lama. Mereka tidak ingin orang lain melihat betapa mereka telah dihancurkan. Bukan wadag mereka tetapi harga diri mereka dan keyakinan mereka atas sikap dan tingkah laku mereka sebelumnya. Karena itu, maka kedua orang raksasa itupun telah bersepakat untuk segera pergi.
Namun ketika mereka memungut pedang mereka, seorang di antara kedua pengikutnya bertanya, "Bagaimana dengan luka di dada orang itu."
"Urusi orang itu agar tidak mati. Bukankah kau mempunyai obat untuk memampatkan darahnya?" sahut salah seorang dari kedua orang raksasa yang sedang mengalami goncangan jiwa itu. Pengikutnya itu tidak berani membantah. Ia pun tidak berkata sesuatu ketika kedua orang raksasa itu kemudian meninggalkannya. Ketika ia mendengar kawannya berdesah maka iapun telah mendekatinya, sementara seorang dari raksasa yang telah melangkah itu berpaling sambil berdesis, "Aku juga terluka. Aku juga harus segera merawat luka-lukaku."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia kemudian berusaha merawat kawannya yang terluka itu dengan obat yang ada padanya. Obat itu setidak-tidaknya akan dapat menolong untuk sementara. Dalam pada itu, Ki Lurah Dipayuda berjalan di sisi Bharata yang menundukkan kepalanya.
Dengan nada rendah Ki Lurah berkata, "Kau tidak mengambil tindakan apapun terhadap kedua orang raksasa itu?"
"Mudah-mudahan peristiwa ini dapat membuat mereka jera. Tentu satu pengalaman yang sangat berharga bagi orang-orang itu. Mungkin luka-luka yang parah tidak akan banyak berkesan di hati mereka jika mereka sembuh. Tetapi kekalahan, harga diri yang benar-benar dihancurkan sampai lumat serta keyakinan mereka yang tumbang atas kemampuan diri tidak akan pernah mereka lupakan," berkata Bharata.
"Ia sudah pernah kau rendahkan harga dirinya ketika, dilakukan pendadaran itu," berkata Ki Lurah.
"Tetapi saat itu ia masih dapat menengadahkan dadanya karena ia justru dicegah oleh Ki Lurah Yudoprakosa. Demikian pula yang seorang lagi. Namun kini mereka benar-benar kehilangan harga dirinya dan keyakinannya bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terkalahkan," jawab Bharata.
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, "Baiklah. Aku sependapat dengan kau. Ternyata hatimu lebih luas dari yang aku duga. Kau telah memaafkan kedua orang raksasa itu."
"Sejak semula bukan niat mereka secara pribadi untuk memusuhi aku," sahut Bharata. "Ia datang ke barak atas perintah Ki Lurah Yudoprakosa. Demikian pula sekarang ini. Ternyata ia banyak mendapat keterangan dari Ki Lurah bahwa aku akan meninggalkan barak pagi ini."
Ki Lurah Dipayuda mengangguk-angguk pula. Katanya dengan nada lembut, "Jika demikian, aku ingin mempersilahkan kau singgah di rumahku barang sebentar Bharata. Aku sudah kehilangan kesempatan untuk menyaksikan pelepasanmu di barak. Karena itu, aku harap kau bersedia singgah barang sebentar sebelum kau meninggalkan Pajang."
"Tetapi kita sudah berada di luar kota Ki Lurah," jawab Bharata.
"Rumahku memang tidak di dalam kota ," jawab Ki Lurah Dipayuda.
Bharata termangu-mangu. Namun sebelum ia menjawab Ki Lurah Dipayuda berkata, "Jangan menolak. Sejak semula aku sudah berharap kau sudi singgah di rumahku barang sebentar. Seandainya aku sempat menyaksikan upacara pelepasanmu di halaman barak, maka setelah itu akupun ingin mempersilahkan kau singgah."
Bharata memang menjadi agak bimbang. Ia ingin segera kembali pulang, menemui ibunya dan mengatakan sikap para pemimpin Pajang yang sebagian datang dari Demak tentang Tanah Perdikan. Kemudian membuat persiapan-persiapan yang perlu untuk mencari pemecahan atas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Namun juga sulit baginya untuk menolak permintaan Ki Lurah Dipayuda agar ia bersedia singgah barang sebentar. Selama ini Ki Lurah bersikap sangat baik kepadanya. Bahkan Ki Lurah pernah mengatakan bahwa Bharata dan Kasadha seakan-akan telah dianggap sebagai anak sendiri.
Tetapi ternyata Ki Lurah itu juga mempunyai anak sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung. Malahan telah menjadi pedagang kuda yang agaknya cukup mapan. Agaknya para pemimpin Pajang sebelumnya banyak yang berhubungan dengan anak Ki Lurah Dipayuda itu. Mungkin juga terpengaruh oleh kehadiran Ki Lurah sendiri di Pajang sehingga dapat menjadi jembatan kemajuan perdagangan anaknya yang tentu masih juga terhitung muda.
"Nah, bukankah kau tidak berkeberatan?" bertanya Ki Lurah.
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Lurah. Aku tidak akan mengecewakan Ki Lurah. Namun aku tentu tidak akan dapat tinggal lama di rumah Ki Lurah." Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Nyi Lurah tentu sudah menyediakan hidangan bagimu meskipun hanya minuman hangat."
"Ah," Bharata berdesah, "Jangan merepotkan keluarga Ki Lurah."
Ki Lurah tersenyum. Tetapi katanya, "Aku senang kau mau singgah."
Demikianlah maka mereka telah menempuh jalan di luar kota menuju ke rumah Ki Lurah Dipayuda. Mereka memang harus melingkar di sebelah Timur kota, karena rumah Ki Lurah tidak berada di arah perjalanan Bharata. Meskipun demikian Bharata yang sudah bersedia singgah itu, harus menempuh perjalanan yang agak melingkar itu. Beberapa saat kemudian, keduanya telah memasuki sebuah padukuhan yang agak besar.
Di padukuhan itulah Ki Lurah Dipayuda tinggal bersama keluarganya. Selama Pajang dalam keadaan gawat sampai saat terakhir, Ki Lurah memang jarang sekali pulang. Hanya di saat-saat tertentu saja Ki Lurah mengunjungi keluarganya. Rumah Ki Lurah Dipayuda termasuk rumah yang tidak terlalu besar. Tetapi juga tidak termasuk rumah yang kecil. Halamannya memang agak luas. Di sebelah kiri rumah, di halaman samping terdapat sebuah kandang yang agak besar. Memanjang sejajar dengan gandok rumahnya.
Bharata segera mengetahui bahwa kandang itu diperlukan oleh anak Ki Lurah Dipayuda yang berdagang kuda.
"Marilah," berkata Ki Lurah, "Inilah rumahku. Asal dapat dipergunakan untuk berteduh sekeluarga."
Bharata tidak menjawab. Namun ketika ia naik tangga pendapa, maka ia melihat bahwa rumah yang tidak terlalu besar itu telah dibuat dengan baik. Bharata melihat ukiran pada tiang dan uleng pendapa. Juga di tiang-tiang di pringgitan. Bahkan ukiran pada uleng di pendapa serta langit-langit yang terdapat di antara saka guru di atas uleng, bukan saja terdapat ukiran, tetapi juga sungging. Sejenak kemudian Ki, Lurahpun telah mempersilakan Bharata untuk duduk di pendapa.
Dengan nada rendah Ki Lurah berkata, "Jika anakku ada, biarlah ia ikut menemuimu."
Bharata mengangguk sambil menjawab, "Terima kasih Ki Lurah." Ketika Bharata kemudian duduk di pendapa, maka Ki Lurah pun telah masuk ke ruang dalam. Sementara itu Bharata sempat memperhatikan rumah Ki Lurah yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi lengkap. Pendapa, longkangan di depan pringgitan yang dapat dilalui penunggang kuda di bawah tratag yang memang agak rendah. Kemudian gandok kiri dan kanan. Seketheng yang menyekat longkangan samping. Kemudian bagian tengah dan bagian dalam rumah yang membujur ke belakang. Di paling belakang agaknya juga terdapat dapur yang luas, seperti kebiasaan rumah yang lengkap seperti itu.
Beberapa saat kemudian, yang ke luar dari ruang tengah bukan saja Ki Lurah Dipayuda. Ternyata juga Nyi Lurah yang nampaknya memang agak kekurus-kurusan. Sebagai isteri seorang prajurit dalam masa perang, agaknya Nyi Lurah Dipayuda tidak dapat membiarkan saja berita-berita tentang peperangan itu lewat di telinganya tanpa mengusik perasaannya. Agaknya siang dan malam Nyi Lurah memikirkan keselamatan suaminya yang lebih sering berada di peperangan daripada berada di rumah. Nyi Lurah itupun telah mengucapkan selamat atas kedatangan Bharata di rumahnya.
Dengan nada tinggi Nyi Lurah berkata, "Aku sudah sering mendengar nama Angger disebut-sebut oleh Ki Lurah. Jika Angger ini yang bernama Bharata, maka masih ada satu lagi yang menarik bagi Ki Lurah. Namanya Kasadha."
Bharata mengangguk hormat. Katanya dengan ragu, "Memang akulah Bharata itu Nyi Lurah."
"Jika demikian kenapa Angger Kasadha tidak datang bersama-sama?" bertanya Nyi Lurah.
Sebelum Bharata menjawab, Ki Lurahlah yang menjawab, "Keduanya sudah tidak lagi dalam kedudukan yang sama. Angger Kasadha masih seorang prajurit, sementara Angger Bharata telah mengundurkan diri. Justru hari ini."
"O," Nyi Lurah mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, Ki Lurah berkata, "Tetapi sayang sekali Bharata. Anakku sedang pergi. Sebagai seorang pedagang kuda, maka ia memang jarang berada di rumah. Bahkan kadang-kadang bermalam satu dua malam di perjalanan. Ia menjelajahi daerah yang luas. Bahkan ia telah pergi dari satu kota ke kota lainnya. Nampaknya peperangan yang sudah mereda ini telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru baginya setelah beberapa lama ia harus menghentikan kegiatannya."
Bharata mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berdesis, "Nampaknya putera Ki Lurah menyenangi pekerjaannya."
"Ya. Ia senang kepada pekerjaannya sehingga kadang-kadang aku justru harus menghambatnya jika ia kurang beristirahat. Ia masih muda. Tetapi justru itu, ketika ia merasakan bahwa ia dapat mendapat keuntungan dari kerjanya itu, ia menjadi semakin bergairah," berkata Ki Lurah.
Bharata tersenyum. Memang agak berbeda dengan jalan yang ditempuhnya. Ketika ia bergairah menjadi seorang prajurit, yang terlintas sama sekali bukan karena ia menerima gaji di setiap akhir pekan. Tetapi justru karena gairah perjuangannya bagi Pajang. Tetapi ia tidak dapat menganggap anak Ki Lurah itu salah langkah. Bagi seorang pedagang, maka keuntungan adalah tujuan utamanya dan yang selanjutnya akan dapat mendorongnya semakin maju.
Namun pembicaraan merekapun kemudian terputus. Bharata memang agak terkejut ketika seorang gadis membuka pintu pringgitan dan melangkah ke luar dengan nampan di tangannya. Beberapa mangkuk minuman hangat ada di atasnya. Hampir di luar sadarnya, Bharata sempat memperhatikan wajah gadis itu. Meskipun gadis itu menunduk, namun nampak lukisan wajahnya yang sangat mengesan. Garis-garis yang lengkung di atas kedua matanya yang bulat. Hidungnya, bibirnya dan bahkan Bharata sempat memperhatikan lehernya dan langkahnya yang kecil-kecil.
"Itu anakku yang kecil ngger," desis Nyi Lurah.
Bharata memang terkejut. Wajahnya menjadi merah. Iapun kemudian menunduk dalam-dalam, sementara gadis itu telah berjongkok di samping ibunya dan meletakkan nampan di atas tikar. Nyi Lurahlah yang meletakkan mangkuk-mangkuk berisi minuman hangat itu di atas tikar. Sementara itu gadis itupun telah kembali melangkah masuk. Bharata yang menunduk telah mencuri pandang, betapa gadis itu berjalan masuk ke ruang dalam. Ketika Bharata menunduk lagi, maka gadis itu telah ke luar pula untuk menghidangkan beberapa potong makanan.
"Sudah aku katakan Bharata, bahwa kami sudah siap menerima kedatanganmu hari ini," berkata Ki Lurah Dipayuda.
Wajah Bharata semakin menunduk. Sementara itu, gadis yang disebut anak Ki Lurah yang kecil itu masih berjongkok di sisi ibunya, sementara ibunya telah meletakkan beberapa mangkuk berisi makanan di antara mangkuk-mangkuk minuman.
"Simpan nampan itu," berkata Ki Lurah Dipayuda. "Kemudian kau dapat ikut menemui saudaramu. Aku pernah mengatakan kepada Bharata dan Kasadha, bahwa mereka aku anggap sebagai anakku sendiri. Karena itu, maka ia akan dapat menjadi saudaramu."
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ia telah meninggalkan pendapa dan masuk ke ruang dalam. Bharata yang duduk sambil menunduk tiba-tiba merasa aneh. Ia benar-benar mengharap gadis itu ke luar lagi dan ikut menemuinya. Tetapi ternyata gadis itu tidak muncul lagi.
"Anak itu memang pemalu," berkata Nyi Lurah Dipayuda. Bharata sama sekali tidak menjawab. "Ia memang jarang bergaul dengan orang lain," berkata Nyi Lurah selanjutnya. "Apalagi terpengaruh oleh susunan keluarga, ia adalah anak bungsu. Sedikit manja dan barangkali memang agak bodoh."
Bharata tiba-tiba saja telah bergeser surut. Namun ia pun berdesis, "Ah, tentu tidak."
"Marilah," berkata Ki Lurah kemudian untuk mengatasi suasana yang hampir membeku. "Minumlah, mumpung masih hangat."
Bharatapun kemudian telah menghirup minumannya. Bahkan agak terlalu cepat meskipun masih terasa panas untuk mengatasi jantungnya yang bergejolak. Ketika kemudian Nyi Lurah pun mempersilahkan Bharata untuk duduk bersama Ki Lurah karena ia akan pergi ke belakang, maka terasa Bharata menjadi semakin terlepas dari kekakuan yang bagaikan mengikatnya. Bharata telah berani mengangkat wajahnya lagi dan berbicara dengan lancar.
Namun jantungnya serasa berdebaran lagi ketika Ki Lurah berkata, "Anakku sebenarnya empat. Tetapi dua di antaranya telah diambil kembali oleh Yang Maha Agung. Karena itu, sekarang tinggal dua. Seorang laki-laki dan seorang perempuan."
Bharata mengangguk-angguk. Tetapi ia pernah beranggapan bahwa Ki Lurah Dipayuda itu tidak mempunyai anak. Namun ternyata ia mempunyai juga anak. Namun gadis itu sama sekali tidak mirip dengan Ki Lurah maupun Nyai Lurah.
"Mungkin saja," katanya di dalam hati. "Anak yang sama sekali tidak mirip dengan orang tuanya. Sebaliknya yang bukan apa-apa justru memiliki kemiripan seperti aku dan Kasadha."
Namun Bharata tidak mengatakan sesuatu. Kepalanya mulai menunduk lagi. Bharata mengangkat wajahnya ketika Ki Lurah itu kemudian bertanya, "Bagaimana dengan anakku yang seorang lagi?" Bharata termangu-mangu. Tetapi Ki Lurah kemudian menjelaskan, "Maksudku, Kasadha."
Bharata menarik napas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, "Ia dalam keadaan baik Ki Lurah. Bahkan ketika upacara pelepasan pagi tadi, Ki Tumenggung Wiradigda dengan perantaraan seorang perwira pembantunya telah menetapkan untuk sementara Kasadha ditugaskan untuk melaksanakan tugas sebagai pemimpin dari pasukan yang terdiri dari seratus orang itu."
"Kasadha?" bertanya Ki Lurah dengan wajah yang cerah.
"Ya Ki Lurah," jawab Bharata. "Ternyata para pemimpin masih memperhatikan kelebihan Kasadha sehingga ia telah ditunjuk untuk menggantikan kedudukan Ki Lurah Yudoprakosa, meskipun untuk sementara."
"Mudah-mudahan ia segera mendapat ketetapan itu. Ia pantas menjadi seorang Lurah Penatus sebagaimana kau. Kau dan Kasadha telah menunjukkan kelebihan kalian selama kalian menjadi, seorang pemimpin kelompok di dalam lingkungan pasukanku, yang sudah barang tentu di dalam pasukan Ki Lurah Yudoprakosa," berkata Ki Lurah Dipayuda kemudian.
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi Kasadha lebih pantas untuk menjabat jabatan itu."
"Karena kau telah mengundurkan diri," berkata Ki Lurah Dipayuda. "Seandainya kau tidak mengundurkan diri dari dunia keprajuritan, maka akan sulit bagi Ki Tumenggung untuk menunjuk, siapakah yang pantas, memegang jabatan sebagai pemimpin pasukan itu. Mungkin kau, mungkin Kasadha, atau malahan orang lain sama sekali. Tetapi tanpa kau maka para pemimpin prajurit Pajang itu tidak mengalami kesulitan lagi."
"Mungkin, Ki Lurah," jawab Bharata. "Namun nampaknya aku tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Seandainya aku tidak mengecilkan diri, dengan menganggap diriku memiliki kemampuan olah kanuragan setingkat dengan Kasadha, namun aku tidak memiliki kemampuan untuk pemimpin sebagaimana Kasadha."
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Kau dan Kasadha memang mempunyai sifat rendah hati. Baiklah. Bagaimanapun juga, kau telah meninggalkan dunia keprajuritan, sementara Kasadha telah diangkat untuk menjadi pemangku jabatan pemimpin pasukan. Mudah-mudahan ia ditetapkan menjadi penatus dengan pangkat Lurah. Jika demikian maka ia akan menjadi lurah yang masih muda. Bahkan mungkin yang termuda yang pernah aku kenal sebelumnya. Aku sendiri diangkat menjadi Lurah setelah aku menjadi prajurit bertahun-tahun. Tetapi aku memang tidak memiliki kemampuan setingkat dengan kau dan dengan Kasadha saat aku memasuki dunia keprajuritan. Aku adalah prajurit sebagai kebanyakan prajurit. Aku menunggu beberapa tahun sebelum aku mendapat kesempatan menjadi pemimpin kelompok. Kemudian beberapa tahun lagi aku menjadi Lurah Penatus sampai saatnya aku mengundurkan diri. Namun aku sudah merasa puas telah memberikan pengabdian meskipun hanya setitik kecil bagi Pajang."
"Ki Lurah telah melakukan banyak sekali pengorbanan bagi Pajang," desis Bharata.
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Sedikit sekali. Bahkan bukan apa-apa." Namun pembicaraan mereka terputus ketika Nyi Lurah ke luar dari pringgitan.
Sebelum ia duduk, ia telah berkata, "Waktunya untuk makan."
Bharata mengangkat wajahnya. Namun Nyi Lurah itu telah duduk di antara mereka. Katanya, "Ki Lurah, nasi dan lauk pauk seadanya telah tersedia di ruang tengah. Kami persilahkan Ki Lurah mempersilahkan Angger Bharata untuk makan bersama keluarga kita. Satu hal yang jarang sekali terjadi, bahwa kita mendapat kehormatan untuk menghidangkan makan bagi seorang tamu seperti Angger Bharata."
"Ah," Bharata justru menjadi canggung.
"Maksud Nyi Lurah, kau baru pertama kali datang ke rumah ini. Selanjutnya, kau akan kembali ke rumahmu yang jauh. Karena itu, maka kesempatan seperti ini mungkin akan dapat terjadi beberapa tahun lagi," berkata Ki Lurah Dipayuda. Namun Ki Lurah itu berkata selanjutnya, "Tetapi mudah-mudahan akupun akan dapat berkunjung ke rumahmu. Setelah aku bebas dari tugasku, maka aku akan mempunyai waktu luang yang lebih banyak, sehingga pada satu hari aku akan dapat menyediakan waktu untuk datang kepada keluargamu."
Bharata justru menjadi berdebar-debar. Jika Ki Lurah itu benar ingin berkunjung kepada keluarganya, maka ia akan menjadi kebingungan untuk menjawab tentang dirinya, tempat tinggalnya dan apalagi keluarganya.
Untunglah bahwa Ki Lurah tidak bertanya lebih lanjut tentang keluarganya, karena Nyi Lurah berkata selanjutnya, "Marilah ngger. Selagi nasi masih hangat."
"Marilah Bharata," sambung Ki Lurah.
Bharata tidak dapat menolak. Ia pun kemudian bangkit pula ketika Ki Lurah Dipayuda dan Nyi Lurah telah berdiri. Bertiga mereka kemudian telah masuk ke pringgitan. Bharata tertegun ketika ia melihat anak gadis Ki Lurah Dipayuda sedang menyenduk nasi ke dalam mangkuk-mangkuk yang sudah tersedia. Namun demikian ayah, ibu dan tamunya masuk, gadis itu segera meletakkan mangkuk-mangkuk itu dan akan beranjak pergi.
Namun Nyi Lurah menyambung, "Ki Lurah ingin anak itu menjadi anak yang sabar seperti lautan yang memuat arus dari sungai yang manapun. Karena itu ia diberi nama Jaladri, meskipun agaknya anakku bukan anak yang sabar."
Bharata mengangguk-angguk. Ia tersenyum betapa kakunya. Sementara Riris hanya menunduk saja meskipun satu dua kali tangannya menyuapi mulutnya. Namun akhirnya saat yang sangat mengikat terutama bagi Riris itu selesai juga. Ki Lurah telah mempersilahkan Bharata untuk kembali ke pendapa.
"Bharata," berkata Ki Lurah. "Sebenarnya aku ingin kau dan Kasadha bersama-sama ada di sini. Jika aku tadi sempat datang ke barakmu, aku akan mempersilakan kalian berdua singgah ke rumah ini. Kasadha di hari pertamanya, tentu akan mendapat peluang untuk meninggalkan barak itu sebentar."
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga akan merasa senang sekali jika Kasadha juga ada di sini. Tetapi agaknya Ki Lurah telah memilih untuk menyelamatkan jiwaku daripada datang ke barak itu."
"Ah, yang aku lakukan tidak lebih dari satu bantuan kecil bagimu. Aku yakin, tanpa aku, kau masih akan dapat menyelamatkan diri dari kedua orang bertubuh raksasa yang rakus itu. Kau mampu bergerak lebih cepat, sehingga kau dapat mempermainkan mereka dan berusaha memecah kelompok itu sehingga kau dapat melawan mereka seorang demi seorang meskipun harus bergantian sambil berlari-lari serta memerlukan tenaga yang sangat besar. Tetapi menilik daya tahan tubuhmu, kau akan dapat melakukannya," berkata Ki Lurah.
Bharata tidak menjawab. Tetapi ia hanya termangu-mangu saja mengenang peristiwa itu. Namun dalam pada itu, Ki Lurah itu tiba-tiba saja berkata, "Bharata. Aku tahu kau ingin segera bertemu dengan keluargamu. Tetapi sebenarnya aku ingin minta agar kau sempat bermalam semalam saja di sini. Tidak ada apa-apa selain keinginanku untuk berbicara lebih banyak denganmu di saat-saat perpisahan ini."
Bharata mengerutkan keningnya. Ia memang ingin segera kembali ke Tanah Perdikan Sembojan, karena ia ingin segera berbicara dengan ibunya. Namun ternyata ada sesuatu yang telah mempengaruhi sikapnya itu. Tiba-tiba saja ia ingin memenuhi permintaan itu meskipun penalarannya tetap mengajaknya segera kembali ke Sembojan. Karena itu, maka Bharatapun menjadi ragu-ragu.
"Sebaiknya kau tidak menolak permintaanku ini," berkata Ki Lurah. "Mudah-mudahan sebelum malam Jangkung telah kembali pula. Kau akan mendapat kawan yang umurnya sebaya dengan umurmu."
Bharata menjadi semakin ragu-ragu. Namun Bharata sendiri tidak menyadari ketika ia pun tiba-tiba saja mengangguk sambil berkata, "Baiklah Ki Lurah. Agaknya belum tentu satu dua tahun lagi aku dapat singgah di rumah ini."
"Terima kasih. Namun untuk selanjutnya tentu kau akan dapat datang dalam waktu yang lebih dekat dari bilangan tahun itu. Sementara itu, aku pun dapat datang ke rumahmu," berkata Ki Lurah Dipayuda, karena sudah tentu bahwa Ki Lurah bukan golongan orang-orang yang memusuhi Tanah Perdikannya, apalagi akan menyingkirkannya karena persoalan yang terlalu pribadi.
Meskipun demikian Bharata masih juga bertahan. Ki Lurah memang mungkin tidak ada hubungannya dengan kedudukannya dan kedudukan ibunya di Tanah Perdikan. Tetapi jika Ki Lurah menceriterakan hal itu kepada orang lain, maka persoalannya akan dapat menjalar.
Karena itu, maka Bharata masih berusaha bertahan menyimpan rahasia tentang dirinya itu rapat-rapat.
Dalam pada itu, maka Ki Lurahpun telah membawa Bharata ke gandok sebelah kanan. Sebuah bilik di gandok itu telah disiapkan baginya.
"Beristirahatlah," berkata Ki Lurah. "Sekali lagi aku berharap anggap rumah ini sebagai rumah sendiri."
"Terima kasih Ki Lurah," jawab Bharata.
"Jika kau ingin ke pakiwan, kau dapat pergi melalui seketheng itu atau melingkar lewat sebelah rumah," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Baik Ki Lurah," jawab Bharata.
"Nah, kau dapat beristirahat di dalam bilikmu. Aku akan pergi sebentar ke rumah tetangga. Ada sesuatu yang perlu aku katakan kepadanya, tentang kerja di sawah. Sebagian sawahku telah dikerjakannya. Ia orang baik, rajin dan tertib," berkata Ki Lurah.
"Ya, Ki Lurah," jawab Barat.
"Mudah-mudahan Jangkung cepat pulang," desis Ki Lurah sambil meninggalkan Bharata yang berada di serambi gandok.
Ki Lurah Dipayuda ternyata telah melintasi halaman rumahnya dan ke luar regol turun ke jalan. Ia memang akan pergi ke rumah tetangganya untuk membicarakan kerja di sawahnya.
Sementara itu Bharata tidak segera masuk ke dalam biliknya. Ia duduk di lincak bambu di serambi gandok memandangi halaman rumah Ki Lurah yang luas namun bersih. Beberapa pepohonan tumbuh di halaman itu sehingga udara terasa sejuk.
Bharata mengerutkan keningnya, ketika ia melihat Riris ke luar dari pintu pringgitan kemudian membenahi mangkuk-mangkuk yang masih ada di pendapa. Dengan trampil gadis itu membawanya masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian Riris telah ke luar lagi ke pendapa sambil membawa sapu ijuk.
Bharata memang jarang sekali bergaul dengan gadis-gadis. Ia terbiasa hidup dalam lingkungan tertentu yang terpisah dari pergaulan luas. Di Bibispun Bharata jarang sekali berhubungan dalam hal apapun dengan gadis-gadis padukuhan itu meskipun ia berkenalan baik dengan penghuni padukuhan itu. Apalagi gadis-gadis padesan biasanya memang membatasi pergaulannya dengan anak-anak muda, karena orang tua mereka tidak senang melihatnya.
Apalagi setelah Bharata berada di dalam lingkungan keprajuritan. Maka yang paling dekat di sisinya adalah senjatanya. Ia hampir melupakan sama sekali bahwa di dunia ini hidup pula gadis-gadis. Baik di padesan maupun di kota-kota. Di antara gadis-gadis itu adalah anak seorang yang pernah menjadi pemimpinnya, Ki Lurah Dipayuda yang bernama Riris Respati.
Di luar sadarnya, Bharata telah memperhatikan gadis itu. Sebenarnya gadis itu bukan seorang yang bergerak lamban sambil menunduk. Namun ternyata Riris itu dengan lincah membenahi tikar yang menjadi kotor, mengibaskannya di tangga pendapa, kemudian membentangkannya kembali setelah ia menyapu lantai.
Namun Bharata itu terkejut. Wajahnya menjadi terasa panas ketika tiba-tiba saja dengan tidak sengaja Riris telah berpaling ke serambi gandok. Ririspun terkejut ketika ia menyadari bahwa Bharata tengah memandanginya. Karena itu, maka cepat-cepat iapun telah melangkah meninggalkan pendapa masuk ke pintu pringgitan.
Bharata menarik napas dalam-dalam. Ia masih tetap duduk di tempatnya. Tetapi ia telah memandang berkeliling. Untunglah, bahwa agaknya tidak ada orang yang telah melihatnya. Namun dengan demikian maka Bharata justru tidak ingin masuk ke dalam biliknya di gandok itu. Ia lebih senang duduk di lincak di serambi. Rasa-rasanya ada sesuatu yang diharapkannya. Tetapi Riris tidak ke luar lagi ke pendapa.
Dalam pada itu, selagi Bharata masih duduk di serambi gandok, tiba-tiba seorang anak muda dengan menunggang kuda berderap masuk ke halaman. Dengan tangkasnya anak muda itu kemudian meloncat turun. Dengan lantang ia memanggil seseorang yang berlari-lari muncul dari sebelah gandok yang ada di seberang. Orang itupun kemudian telah menerima kuda itu. Sementara anak muda itu meloncat naik tangga pendapa dan tanpa berpaling hilang dibalik pintu pringgitan. Anak muda itu bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan.
"Tentu anak muda itulah yang bernama Jangkung Jaladri," berkata Bharata di dalam hatinya. Tetapi Bharata menjadi berdebar-debar juga karena anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. "Apakah sifat anaknya ini berbeda dengan sifat ayahnya yang baik, ramah dan rendah hati?" pertanyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya. Namun Bharata tidak beranjak dari tempatnya masih tetap duduk saja menatap pendapa yang kosong. Tetapi dugaan Bharata terhadap anak muda yang baru saja datang itu ternyata keliru. Sejenak kemudian, anak muda itu telah muncul kembali di pendapa. Kemudian berpaling ke serambi gandok.
Ketika ia melihat Bharata, maka iapun telah berlari-lari mendapatkannya. "Kaukah Bharata yang dikatakan itu?" bertanya anak muda itu.
"Ya," jawab Bharata. "Kau tentu putera Ki Lurah Dipayuda. Jangkung Jaladri."
"Ya. Dari mana kau tahu namaku?" bertanya anak muda yang kemudian duduk di sebelah Bharata itu.
Ternyata anak muda itu juga ramah seperti ayahnya. Dengan nada rendah Bharata menjawab, "Ki Lurah telah menyebut namamu. Bahkan pekerjaanmu. Itulah agaknya kau datang dengan naik kuda yang besar dan tegar."
"Itu bukan kudaku. Tetapi kuda seorang saudagar emas berlian yang nampaknya kehabisan modal. Aku diminta untuk menjualnya," jawab Jangkung. Namun kemudian katanya, "Kenapa kau duduk di sini. Mari, kita duduk di pendapa."
"Ki Lurah memberi kesempatan kepadaku untuk beristirahat di gandok. Tetapi aku tidak terbiasa beristirahat di siang hari, sehingga aku hanya duduk saja di sini. Rasa-rasanya justru menjadi canggung," jawab Bharata.
Jangkung tertawa. Katanya, "Marilah. Lihat kuda-kudaku. Barangkali kau ingin membelinya barang seekor sebelum kau menempuh perjalanan."
Bharatalah yang kemudian tertawa. Katanya, "Dari mana aku mendapat uang untuk membeli seekor kuda?"
"Bukankah kau menabung selama kau menjadi prajurit?" bertanya Jangkung yang masih saja tertawa.
Bharata menarik napas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah kau pernah berbincang dengan Ki Lurah tentang penghasilan seorang prajurit dipandang dari segi keduniawian?"
Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku pernah berbicara dengan ayah. Ayah memang mengatakan bahwa yang penting bagi seorang prajurit bukan penghasilan yang diterimanya di setiap pekan. Tetapi justru kesempatan pengabdiannya. Hampir setiap orang yang memasuki lingkungan keprajuritan telah dibekali dengan niat pengabdian."
Bharata mengangguk kecil. Katanya, "Dengan demikian, maka agak mustahil bagiku untuk dapat membeli seekor kuda. Apalagi kuda yang besar dan tegar sebagaimana kau pakai tadi."
Jangkung pun mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Ayahpun tidak akan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya untuk satu tataran kehidupan yang cukup tanpa sawah yang beberapa bahu peninggalan kakek itu. Karena itu pula maka aku merasa bahwa akupun wajib membantu ayah untuk meringankan bebannya dengan berbuat apa saja sesuai dengan kemampuanku serta kemungkinan yang dapat aku lakukan."
Bharata mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, "Apakah kau tidak berminat menjadi seorang prajurit?"
Jangkung tersenyum. Katanya, "Sudah cukup satu orang dalam satu keluarga menjadi prajurit. Ayah sudah menjadi prajurit. Karena itu, maka aku tidak menjadi prajurit."
"Tetapi Ki Lurah sudah mengundurkan diri sekarang," berkata Bharata.
"Belum terlalu lama. Apalagi masa ini adalah masa peralihan. Bahkan agak tidak menentu. Mataram telah mengalahkan Pajang. Namun kemudian Mataram tidak berbuat sesuatu atas Pajang. Bahkan Pajang telah ditinggalkan begitu saja. Menurut ayah, Panembahan Senapati memang memberi kesempatan kepada Pangeran Benawa untuk tampil dalam pemerintahan. Tetapi ternyata keputusan dalam sidang keluarga Istana Pajang tidak demikian. Yang memegang tampuk pemerintahan di Pajang adalah justru Adipati Demak. Sedangkan Pangeran Benawa telah disingkirkan ke Jipang," sahut Jangkung dengan nada rendah. Namun katanya kemudian, "Tetapi biarlah yang terjadi itu. Aku telah memilih satu jalan yang tidak mengganggu pihak yang manapun. Berdagang kuda."
Ketika Bharata kemudian mengerutkan keningnya, Jangkung tertawa. Katanya, "Sudahlah. Jangan kau pikirkan lagi. Sekarang mari lihat kuda-kudaku yang ada di kandang. Tetapi aku tidak mempunyai kuda yang terbaik sekarang ini. Aku baru saja mencarikan seekor kuda yang besar dan tegar berwarna gelap bagi Ki Tumenggung Suraprana. Ternyata aku telah mendapat pesanan pula dari Ki Tumenggung Wiradigda. Kuda yang aku pakai itulah yang akan aku tawarkan besok."
Bharatapun kemudian bangkit ketika Jangkung mengajaknya pergi ke kandang kudanya untuk melihat-lihat beberapa ekor kuda yang tentu sebagian adalah kuda yang sedang diperdagangkan. Lewat halaman depan mereka kemudian menuju ke halaman samping, langsung menuju ke kandang. Jangkung sempat menunjukkan beberapa ekor kuda yang ada dikandang. Pada umumnya memang kuda yang baik dan terpelihara. Namun harganya tentu juga mahal. Beberapa saat mereka melihat-lihat kuda itu. Bharata memang mengaguminya. Ia termasuk seorang yang menggemari kuda-kuda yang baik. Di padepokannya ia mempunyai kuda yang baik pula. Demikian juga di Tanah Perdikan Sembojan. Adalah kegemarannya untuk berlatih di atas punggung kuda sambil melontarkan tombak pada sasaran yang dibuat khusus untuk latihan ketrampilan melontarkan tombak. Dan ia termasuk seorang yang memiliki kemampuan cukup untuk berkuda.
Bharata yang sedang memperhatikan kuda-kuda itu termangu-mangu ketika Jangkung berkata, "Nanti kita melihat-lihat padukuhan ini dengan berkuda. Kau tentu senang. Bukankah kau akan bermalam?"
Bharata mengangguk. Jawabnya, "Ya. Ki Lurah minta aku bermalam."
"Nah, jika demikian, marilah. Kita menunggu ayah di serambi. Jika ayah datang, kita pergi berkeliling melihat-lihat padukuhan ini dan sawah di sekitarnya. Jika kau sudah-mencoba salah seekor kudaku, maka kau tentu ingin membelinya," berkata Jangkung sambil tersenyum.
Tetapi sekali lagi Bharata menjawab, "Aku memang ingin. Tetapi apakah aku harus menjual kepala ini dahulu?"
Jangkung tertawa keras-keras. Sambil menepuk bahu Bharata ia berkata, "Marilah. Kita menunggu ayah di serambi." Ketika Bharata melangkah menuju ke gandok, Jangkung menariknya sambil berkata, "Kita pergi ke gandok lewat dalam."
"Ah. Aku lewat halaman samping saja," jawab Bharata.
"He, bukankah kau sudah dianggap keluarga sendiri?" bertanya Jangkung.
Bharata memang menjadi bimbang. Tetapi. Jangkung menariknya menuju ke pintu dapur. Demikian mereka masuk ke dalam dapur, maka rasa-rasanya keringat mulai mengalir di punggung Bharata. Ia melihat Riris sedang sibuk di dapur. Namun demikian ia melihat kakak dan tamunya masuk, maka iapun segera menjadi canggung. "Riris," Jangkung malah memanggil adiknya. Riris berdiri termangu-mangu. Sementara Jangkung berkata, "Beri kami minum ya" Kami ada di serambi gandok."
Riris termangu-mangu. Namun karena Riris tidak segera menjawab Jangkung berkata sekali lagi, "He, kau dengar Riris?"
"Ya, ya kakang," jawab Riris.
"Jangan lupa. Gula aren. Bukan gula kelapa," pesan Jangkung.
"Ya kakang," jawab Riris sekali lagi.
Jangkung kemudian mengajak Bharata masuk ke ruang dalam. Lewat longkangan yang memisahkan dapur dan bagian dalam rumahnya seperti sudah diduganya. Kemudian melalui ruang dalam, ruang tengah mereka menuju ke serambi samping. Mereka ke luar lagi ke sebuah longkangan di dalam seketheng. Baru mereka turun ke samping pringgitan. Susunan rumah itu memang mirip dengan rumahnya yang lebih besar di Tanah Perdikan Sembojan. Ketika mereka kemudian duduk di serambi, maka mereka masih sempat membicarakan berbagai hal tentang kuda. Ternyata keduanya mempunyai pandangan yang tidak berbeda tentang katuranggan. Namun karena Jangkung bergaul dengan kuda siang dan malam, maka ia lebih banyak mengenal ciri-ciri seekor kuda.
"Aku tidak boleh salah menilai," berkata Jangkung. "Jika karena sesuatu hal aku keliru, maka aku tentu akan mengalami kerugian. Beberapa orang pedagang kuda memang sering berusaha menyembunyikan cacat seekor kuda. Tetapi jika kita sudah mampu mengenali ciri-cirinya dengan baik, maka kita tidak akan dapat dikelabuhinya."
Bharata mengangguk-angguk. Ia harus mengakui, bahwa Jangkung yang umurnya tentu tidak terpaut banyak dengan dirinya itu, telah memiliki pengetahuan yang dalam tentang kuda. Namun sejenak kemudian mereka terpaksa berhenti berbicara. Riris telah datang membawa dua mangkuk minuman panas dan beberapa potong makanan.
"Nah, adikku yang cantik ini tahu saja keinginan kakaknya," desis Jangkung.
"Ah, kau," sahut Riris. "Lain kali kau ambil sendiri di dapur."
"Kenapa?" bertanya Jangkung.
"Kau tidak boleh malas. Bukankah biasanya kau ambil sendiri di dapur?" jawab Riris.
"Kali ini tidak biasa. He, kenapa kau kali ini mau menghidangkan minumanku kemari?" Jangkung mulai mengganggu adiknya.
"Ah kau," Riris yang wajahnya menjadi merah, tiba-tiba saja Riris telah mencubit lengan kakaknya.
Kakaknyapun segera bangkit dan menghindar sakit. "Kulitku tidak kebal seperti kulit Bharata. Coba, cubit anak muda itu, tentu ia tidak merasa sakit. Ia seorang prajurit linuwih yang mempunyai ilmu kebal."
"Ah," wajah Riris menjadi semakin merah. Tetapi iapun segera berlari menuju ke seketheng dan hilang ke dalamnya.
Jangkung tertawa. Katanya, "Anak itu pemalu sekali. Ia harus belajar untuk menjadi seorang yang biasa-biasa saja menghadapi orang lain, orang yang belum dikenalnya sekalipun."
Bharata memang menjadi berdebar-debar juga. Tetapi ia menjawab, "Bukankah itu merupakan kebiasaan gadis-gadis."
"Ah, tentu tidak. Aku mempunyai kawan yang juga mempunyai adik seorang gadis. Jika aku datang adiknya itulah yang bercerita tentang apa saja kesana-kemari lebih banyak dari kakaknya. Jika adiknya itu datang membawa minuman, maka ia tidak masuk lagi ke dalam," jawab Jangkung.
"Tetapi tentu hanya jika tamunya sudah dikenalnya dengan baik," berkata Bharata. "Tidak. Sejak aku datang untuk pertama kali, ia sudah bersikap begitu. Demikian pula jika ada orang, lain datang meskipun belum dikenalnya sama sekali."
"Itu satu perkecualian," desis Bharata. Jangkung tertawa. Nampaknya ia merasa sesuai dengan tamunya yang agak pendiam itu. Seperti yang dikatakan oleh Jangkung, ketika ayahnya kemudian datang, maka ia telah mengajak Bharata untuk melihat-lihat padukuhan dan sawah di sekitar padukuhannya.
"Yang penting, aku menawarkan kuda-kudaku," berkata Jangkung sambil tertawa.
Bharata hanya tertawa saja. Tetapi ia tidak menjawab. Ki Lurah yang mendengar juga gurau anaknya ikut tertawa pula.
Demikianlah, maka kedua anak muda itupun telah meninggalkan regol halaman di atas punggung kuda untuk melihat-lihat keadaan. Ternyata Bharatapun tangkas meloncat, ke punggung kuda karena ia memang memiliki kemampuan.
Demikian derap kaki kuda itu terdengar di jalan, maka Riris yang diam-diam memperhatikan kedua anak muda itupun telah bergeser ke balik dinding penyekat yang tidak terlalu tinggi, di sebelah seketheng, di bawah sebatang pohon kemuning.
Bharata yang belum pernah mengenal padukuhan itu telah melihat bahwa padukuhan itu adalah padukuhan yang baik. Jalan-jalannya bersih, sedangkan halaman-halaman rumahpun nampak terpelihara. Ketika mereka melintasi banjar, maka nampak banjar padukuhan itupun bersih dan hidup. Di sore hari di banjar itu banyak berkumpul anak-anak muda padukuhan itu. Jangkung ternyata merupakan anak muda yang banyak dikenal di seluruh padukuhan yang besar itu. Anak muda itu pergaulannya agaknya cukup luas. Hampir semua orang dikenalnya. Bukan saja anak-anak muda. Tetapi juga orang-orang tua dan bahkan anak-anak yang ditemuinya di jalan-jalan dikenalnya dengan baik. Apalagi ayahnya yang menjadi Lurah Penatus itu memang merupakan orang yang berpengaruh di padukuhan itu.
Ketika mereka sampai ke sebuah pasar di pinggir padukuhan yang sudah sepi Jangkung berkata, "Besok adalah hari pasaran. Pasar ini akan menjadi sangat ramai. Aku sudah berjanji untuk membelikan sepasang tusuk konde penyu jika kudaku laku. Kuda itu ternyata sudah dibeli oleh Ki Tumenggung. Besok aku harus memenuhi janjiku itu, mengantarnya ke pasar, membeli sepasang tusuk konde."
Bharata tersenyum. Ternyata hubungan kakak beradik itu begitu akrabnya. Namun Bharata mengerutkan keningnya ketika ia melihat sepasang mata yang memandangi mereka dengan sorot yang berbeda dari orang-orang yang lain. Sorot mata yang tidak ramah sama sekali. Bahkan memancarkan kebencian yang membara.
"Kau lihat orang itu?" desis Bharata.
Jangkung menarik napas dalam-dalam. Tetapi nampaknya ia tidak menghiraukannya. Namun ketika keduanya sudah menjauhi orang itu Jangkung berkata, "Anak muda yang kecewa."
"Kenapa?" bertanya Bharata.
"Bukan salahku dan bukan salah keluargaku," jawab Jangkung. "Anak muda itu nampaknya sangat memperhatikan Riris. Katakanlah ia jatuh cinta. Tetapi Riris justru takut terhadap anak muda itu. Bukan saja karena wajahnya yang garang, tetapi juga kelakuannya tidak disukai adikku. Ia agak kasar dan tidak mengenal unggah-ungguh. Mungkin ia bukan seorang yang jahat. Tetapi karena sifat-sifatnya itulah, maka Riris sama sekali tidak mau berhubungan dengan orang itu. Sebagai orang sepadukuhan Riris tentu mengenalnya. Bahkan sejak masa kanak-kanak. Tetapi justru karena itu, maka Riris telah menjauhinya."
"Apakah anak muda itu pernah mengatakan sesuatu?" bertanya Bharata.
"Secara resmi belum. Tetapi ia pernah berbicara langsung kepada Riris justru di tengah-tengah pasar. Itulah yang aku katakan anak itu sama sekali tidak mempunyai unggah-ungguh. Riris pulang dan menangis hampir sehari penuh," berkata Jangkung.
Bharata mengangguk-angguk. Sementara itu Jangkung berkata selanjutnya, "Hampir saja aku tidak sabar. Tetapi ayah telah mencegahku. Namun demikian, aku sudah telanjur tidak dapat bersikap ramah kepadanya. Agaknya ia pun merasa. Apalagi ia sadar, bahwa Riris menolaknya sehingga ia menjadi semakin benci kepada keluargaku."
"Tetapi apakah ia tidak tahu bahwa ayahmu seorang prajurit yang dapat bertindak dengan keras jika anak muda itu juga mencoba melakukan kekerasan?" bertanya Bharata.
"Ia merasa mendapat dukungan dari keluarganya. Bukan ayah dan ibunya yang mengerti akan sikap Riris dan bahkan telah minta maaf kepada ayah. Tetapi kakaknya adalah seorang yang merasa ditakuti di padukuhan sebelah. Kakaknya merasa tidak takut terhadap seorang prajurit. Apalagi bekas prajurit seperti ayah," jawab Jangkung. Namun katanya kemudian, "Meskipun sebenarnya tanpa ayahpun aku akan sanggup menyelesaikannya dengan cara apapun juga."
Bharata mengangguk-angguk. Yang kemudian terlintas di kepalanya adalah persoalan-persoalan yang selalu timbul dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun tidak dikehendaki, namun tiba-tiba saja telah terlintas pula di angan-angannya apa yang pernah terjadi dengan ibunya. Dengan laki-laki yang belum sempat menjabat Kepala Tanah Perdikan Sembojan dan kemudian kehadiran perempuan lain.
Namun Bharata tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah keduanya telah melintasi jalan padukuhan, jalan bulak dan bahkan sampai ke padukuhan sebelah. Ketika mereka melewati rumah yang cukup besar di sudut padukuhan, maka Jangkung itu berkata, "Inilah rumah orang itu."
"Siapa?" bertanya Bharata.
"Kakak dari anak muda yang sering mengganggu Riris," jawab Jangkung.
Bharata mengangguk-angguk. Tetapi mereka hanya lewat saja dengan cepat tanpa sempat melihat ke dalamnya.
Namun ternyata Jangkung juga mengenal orang-orang padukuhan itu. Mereka nampaknya cukup akrab.
Lontaran kelakar yang jenaka kadang-kadang terdengar dari anak-anak muda padukuhan sebelah ketika Jangkung lewat.
Sebelum matahari turun ke balik punggung bukit, keduanya telah berada di rumah Ki Lurah kembali. Keduanya segera membawa kuda mereka ke kandang dan menambatkannya pada patok-patok yang sudah disediakan. Seorang yang memang bertugas melayani kuda-kuda yang diperdagangkan itupun segera melepas lapak dan kelengkapan kuda itu dan memasukkannya ke dalam kandang.
Setelah membersihkan diri, maka kedua anak muda itupun telah masuk ke ruang dalam.
"Aku disini saja," berkata Bharata ketika mereka berada di pringgitan.
"Mari masuk ke dalam. Bukankah kau sudah dianggap keluarga sendiri," ajak Jangkung.
Bharata memang tidak dapat menolak. Karena itu, maka iapun telah ikut masuk ke ruang tengah.
Namun keringatnya mulai mengalir ketika di ruang tengah Ki Lurah duduk di amben bersama Nyi Lurah dan Riris.
"Kemari. Duduklah di sini. Sebentar lagi kita akan makan malam," ajak Jangkung.
Ki Lurah beringsut ketika Bharata kemudian duduk di sebelahnya.
"Kemana saja kalian sepanjang sore hari?" bertanya Ki Lurah.
Jangkung pun kemudian menceriterakan bahwa ia telah mengajak Bharata melihat-lihat isi padukuhan dan sawah di sekitarnya. Tetapi Jangkung sama sekali tidak menyinggung seorang anak muda yang memandangi mereka dengan tatapan mata yang penuh kebencian.
Seperti yang dikatakan oleh Jangkung, maka sejenak kemudian maka makan malampun telah disediakan. Bersama-sama mereka makan, seperti ketika mereka makan siang. Bahkan bertambah dengan kehadiran Jangkung, sehingga suasana menjadi semakin riuh. Sekali-sekali Jangkung sempat mengganggu adiknya, yang agaknya memang agak manja terhadap kakaknya.
Setelah makan maka Ki Lurah, Jangkung dan Bharata masih sempat berbincang, sementara Nyi Lurah dan Riris pergi ke biliknya. Berbagai persoalan telah mereka bicarakan. Dari kehidupan seorang prajurit yang jarang dapat menyimpan uang cukup, katuranggan kuda dan kehidupan para petani di padukuhan itu.
Namun setiap kali Bharata memang menjadi berdebar-debar jika pembicaraan mereka menyinggung soal tempat tinggal dan keluarga Bharata. Untunglah bahwa Bharata masih dapat mengelak untuk tidak berbicara tentang Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka Bharatapun telah dipersilahkan untuk beristirahat di gandok sebagaimana telah disediakan baginya.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam itu, Bharata ternyata tidak dapat segera tidur nyenyak. Setiap kali ia membayangkan kehidupan keluarga Ki Lurah Dipayuda yang terasa cukup manis. Semanis anak gadisnya yang bernama Riris Respati. Namun dalam pada itu, ternyata ada juga persoalan yang dapat timbul jika anak muda yang mencintai Riris itu tidak dapat mengendalikan dirinya.
Namun Riris adalah anak bekas seorang prajurit yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Ia adalah Lurah Penatus yang memiliki pengalaman yang sangat luas. Ki Lurah adalah orang yang tangguh di medan pertempuran maupun kemampuan olah kanuragan. Sementara itu, ia mempunyai seorang kakak yang agaknya juga memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
Beberapa kali Bharata berusaha untuk meletakkan angan-angannya itu, dan berusaha untuk dapat tidur nyenyak. Namun meskipun agak lambat, akhirnya Bharata berhasil melepaskan diri dari libatan kesadarannya, sehingga akhirnya anak muda itu tertidur pula.
Pagi-pagi sekali Bharata sudah bangun. Iapun telah berusaha untuk mendahului yang lain pergi ke pakiwan. Namun ketika ia melingkari rumah menuju ke sumur di belakang, ternyata senggot timbanya telah berderit.
Bharata menarik napas dalam-dalam. Jangkung telah mendahuluinya menimba air. Ternyata anak muda itu bukannya seorang pemalas yang karena sudah memiliki kemampuan mencari nafkah, lalu tidak mau membantu bekerja di rumah.
Sementara Jangkung menimba air, ternyata di dalam pakiwan sudah ada seseorang yang sedang mandi.
Ketika Jangkung melihat Bharata datang, maka iapun telah berkata, "He, Riris, cepat. Bharata juga akan mandi."
"Tunggu sebentar," jawab Riris dari dalam pakiwan.
"Atau biar ia masuk saja?" Jangkung mulai mengganggu adiknya.
Ternyata Riris tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja dari dalam pakiwan dari antara dinding dan atap ijuk, Riris telah menyiramkan air dari tempurung yang dipakainya untuk mandi.
"He, Riris. Kau basahi pakaianku," teriak Jangkung.
Riris tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian cepat-cepat ke luar dari pakiwan dan berlari masuk ke dapur.
Jangkung tertawa berkepanjangan. Sementara Bharata berdiri saja termangu-mangu.
Namun Bharatapun kemudian berkata, "Jika kau akan mandi, mandilah. Biar aku ganti menimba air."
"Mandi sajalah dahulu," jawab Jangkung.
Bharata tidak membantah. Ia pun kemudian telah masuk ke pakiwan dan mandi. Baru kemudian, setelah ia mandi, maka Jangkunglah yang masuk ke pakiwan, sementara Bharata menimba air.
Beberapa saat kemudian, maka anak-anak muda itu telah selesai berbenah diri. Bharata yang semula tidak berniat bermalam, tetapi karena desakan keinginan yang kurang dimengertinya sendiri sehingga telah menahannya semalam di rumah itu, telah bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan. Meskipun berbeda dengan saat sebelumnya, rasa-rasanya ada keseganan di hatinya untuk meninggalkan tempat itu, tetapi Bharata merasa wajib untuk meneruskan perjalanan.
Tetapi demikian ia selesai benah diri, ia terkejut ketika tiba-tiba saja Jangkung datang ke biliknya sambil berkata, "Cepat sedikit Bharata. Kami sudah akan berangkat."
"Kemana?" bertanya Bharata.
"Matahari telah terbit," berkata Jangkung kemudian tanpa menjawab pertanyaan Bharata.
"Ya. Tetapi kemana?" ulang Bharata.
"Bukankah kemarin sudah aku katakan, bahwa hari ini hari pasaran" Pasar itu tentu menjadi ramai sekali. Dan seperti yang sudah aku duga, Riris minta dibelikan tusuk konde yang terbuat dari penyu," jawab Jangkung.
"Tetapi aku akan meneruskan perjalananku hari ini," jawab Bharata.
"Ah. Sekarang ikut aku ke pasar. Kau tentu senang melihat pasar di padukuhan ini. Di hari pasaran, pasar itu tidak kalah ramainya dengan pasar di kota Pajang."
Bharata memang menjadi bingung. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan diajak serta ke pasar meskipun Jangkung pernah mengatakan bahwa hari itu adalah hari pasaran.
"Cepatlah sedikit," desak Jangkung. "Riris sudah siap."
Bharata masih ragu-ragu. Namun Jangkung kemudian telah menarik tangannya. Katanya, "Kau tidak usah membawa pedangmu. Kau tidak perlu berkelahi di pasar."
Bharata memang tidak dapat menolak lagi. Karena itu, maka iapun ikut saja sampai ke halaman. Sementara itu Riris, Ki Lurah dan Nyi Lurah sudah berada di halaman.
"Apakah semua akan pergi?" bertanya Bharata.
"Bapak dan ibu tidak akan pergi," jawab Jangkung.
Riris yang melihat Bharata ditarik ke luar dari biliknya telah menundukkan kepalanya. Kakaknya juga tidak mengatakan bahwa ia akan mengajak Bharata serta ke pasar. Namun Riris sudah tidak dapat lagi membatalkan niatnya.
"Nah," berkata Jangkung setelah ia berada di depan ayah dan ibunya. "Kami minta diri ayah. Kami akan melihat-lihat pasar. Riris minta dibelikan tusuk konde yang terbuat dari penyu."
"Pergilah," berkata ayahnya. "Bukankah kau memang sudah berjanji."
"Ya ayah. Dan Riris tahu saja kapan kudaku laku," jawab Jangkung.
"Kau sendiri yang berceritera," sahut Riris.
Jangkung tertawa. Katanya, "Baiklah. Marilah. Matahari sudah naik." Demikianlah maka mereka bertigapun telah berangkat ke pasar. Riris dan Bharata memang nampak canggung sekali. Mereka berjalan di sebelah menyebelah Jangkung. Jika Jangkung ingin bergeser, maka Riris telah memeganginya erat-erat.
Bahkan sekali-sekali Riris mencubitnya sambil berkata, "Jika kau nakal, aku akan pulang saja."
Jangkung hanya dapat tertawa saja. Sekali-sekali mengaduh. Namun ia tidak dapat berpindah tempat. Ia harus berjalan di tengah-tengah. Bharata yang juga merasa canggung itu akhirnya mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Jalan yang dilaluinya memang menjadi lebih ramai dari kemarin. Tetapi karena mereka hanya berjalan kaki, rasa-rasanya jaraknya menjadi lebih jauh dari jarak yang ditempuhnya di hari sebelumnya dengan berkuda. Apalagi Bharata berjalan dengan jantung yang selalu berdebar-debar.
Namun sambil berjalan Jangkung sempat berceritera tentang pasar itu. Pasar itu bukan saja menjadi penting bagi padukuhannya. Tetapi bagi beberapa padukuhan di sekitarnya. Orang-orang dari beberapa padukuhan sempat datang untuk menjual hasil sawahnya yang berlebihan. Mereka dapat membeli pula kebutuhan-kebutuhan mereka yang lain. Orang-orang yang membuat kerajinan tangan dapat pula menjualnya di pasar itu.
"Ada empat orang pande besi di pasar itu. Masing-masing dengan tiga atau empat orang pembantu. Mereka bahkan dapat membuat senjata," berkata Jangkung. "Tetapi tentu senjata yang kurang baik. Parang, luwuk dan bahkan ujung tombak. Namun senjata-senjata itu sangat sederhana."
Bharata mengangguk-angguk. Sementara itu Jangkung berkata pula, "Orang-orang Pajang juga banyak yang datang ke pasar itu di setiap hari pasaran seperti sekarang ini."
"Apakah di pasar itu ada juga perdagangan ternak?" bertanya Bharata.
"Tidak," jawab Jangkung. "Pasar ternak berada di Kademangan sebelah. Tetapi tidak sebesar pasar ternak di Pajang."
Bharata tidak bertanya lagi. Mereka telah sampai ke tempat yang semakin ramai. Orang-orang semakin banyak berjalan ke kedua arah. Ada yang baru berangkat ke pasar, tetapi sudah ada pula yang kembali setelah dagangannya terjual habis. Biasanya dibeli oleh tengkulak yang banyak terdapat di pasar itu. Dan tengkulak itulah yang kadang-kadang mendapat uang lebih banyak dari orang-orang yang justru menghasilkan. Apakah itu hasil bumi atau barang-barang kerajinan dan alat-alat dapur. Namun dalam perjalanan itu Bharata sempat memperhatikan kebun-kebun yang masih kosong di antara halaman-halaman yang bersih. Rumpun bambu masih terdapat dimana-mana.
"Bambu menjadi penting bagi kami yang tinggal di daerah ini," berkata Jangkung. "Orang-orang di sekitar tempat ini, di samping bertani, mereka juga membuat kerajinan bambu. Perhiasan, tetapi juga alat-alat dapur. Bahkan dinding rumah yang dianyam sesuai dengan keperluan."
Bharata mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Riris mendesak kakaknya sehingga Jangkungpun telah mendesak Bharata semakin ke tengah. Ketika seorang penunggang kuda lewat, maka hampir saja Bharata tersentuh kuda itu. Bharata mula-mula justru memperhatikan penunggang kuda yang juga terkejut dan memandanginya dengan kening berkerut. Namun kemudian Bharatapun melihat, di pinggir jalan itu berdiri seorang anak muda yang kemarin juga memandanginya dengan sorot mata yang mengandung kebencian. Anak muda yang sering mengganggu Riris itu berdiri di pinggir jalan, di bawah rumpun bambu. Tetapi Jangkung tidak menghiraukannya. Ia berjalan saja seperti biasa meskipun Riris berpegangan tangannya semakin kuat. Beberapa saat kemudian, Riris menarik napas dalam-dalam. Anak muda itu tidak mengganggunya. Bahkan menyapapun tidak meskipun wajahnya nampak gelap sekali. Beberapa saat kemudian, maka ketiga anak muda itu telah berbelok memasuki jalan yang langsung menuju ke gerbang pasar.
Sekilas Bharata melihat betapa wajah itu membayangkan perasaan aneh yang memancar dari dalam lubuk hatinya. Bukan saja kebencian, tetapi agaknya telah berbaur dengan perasaan dendam. Anak muda itu tampaknya tidak ingin menyimpan dendam itu di dalam dadanya sehingga membuat jantungnya menjadi rapuh. Tetapi anak muda itu tentu akan melepaskan dendamnya pada satu kesempatan, pagi, sore atau malam hari. Tetapi Bharata tidak memberitahukannya kepada Jangkung yang baru sibuk melayani Riris. Bharata ingin berbicara kepada Jangkung tanpa didengar oleh adiknya yang memang sudah menjadi ketakutan kepada anak muda itu. "Jika demikian terus-menerus, Riris tentu tidak merasa bebas untuk ke luar dari halaman rumahnya," berkata Bharata di dalam hatinya.
Dalam pada itu, beberapa saat mereka bertiga masih berada di dalam pasar. Ternyata pilihan Riris tidak begitu mudah. Ia melihat tusuk konde yang satu dan yang lain. Pasangan-pasangan yang dianggapnya kurang serasi. Jika buatannya sesuai, maka bentuknya kurang disenanginya. Jika ia menemukan bentuk yang dianggapnya baik, buatannya dikatakannya kasar.
"Ah," Jangkung mulai mengeluh matahari sudah semakin tinggi. Aku masih harus membeli kejen bajak. Ripan minta kejen yang baru karena kejen yang lama sudah tumpul dan hampir habis.
"Nanti dulu," Riris menarik baju kakaknya. "Kita melihat di sebelah."
Setelah mondar-mandir beberapa saat, akhirnya Riris menemukan tusuk konde yang sesuai dengan keinginannya. Namun Jangkung sudah mulai berkeringat di punggungnya, sedangkan Bharata hanya mengikuti saja di belakang. Setelah membeli tusuk konde, maka merekapun pergi ke pande besi yang berada di bagian tepi dari pasar itu melekat pagar. Jangkung telah membeli kejen sebagaimana dipesan oleh Ripan, salah seorang pembantunya yang sering ikut menggarap sawah.
"Nah, sekarang tinggal membeli oleh-oleh buat ayah dan ibu," berkata Riris.
"Pakai uangku?" bertanya Jangkung.
"Tentu," jawab Riris.
Jangkung berpaling ke arah Bharata sambil berdesis, "Di luar perhitungan."
Bharata hanya tersenyum saja sementara Riris menarik Jangkung ke sudut yang lain dari pasar itu untuk membeli oleh-oleh dan sekaligus berbelanja. Sementara itu matahari menjadi semakin tinggi. Ketiga orang anak muda yang telah selesai berbelanja itupun telah ke luar dari regol pasar. Beberapa orang penjual bahan-bahan mentah telah membenahi barang-barangnya karena dagangannya memang telah habis. Sementara yang lain masih menunggu orang-orang yang akan membelinya. Sementara itu pasar di hari pasaran itu masih saja terasa sangat ramai. Masih saja mengalir orang-orang yang datang untuk berbelanja dari padukuhan-padukuhan yang agak jauh, yang tidak setiap hari pergi ke pasar, karena biasanya mereka pergi ke pasar sepekan sekali. Ketika kemudian ketiga anak muda itu melangkah meninggalkan pasar tiba-tiba saja seseorang telah memanggil Jangkung. Jangkung berpaling. Dengan serta merta ia meninggalkan adiknya untuk menjumpai orang itu. Merekapun berbicara sejenak.
Kemudian Jangkung tergesa-gesa kembali menemui adiknya sambil berkata, "Riris. Kau pulang dahulu bersama Bharata. Aku ada pembicaraan penting."
"Kakang," sahut Riris. "Aku pulang bersamamu."
"Dengar. Orang itu mendapat pesan seekor kuda. Kuda itu sesuai dengan kudaku yang baru itu," jawab Jangkung.
"Tetapi bukankah kuda itu untuk Ki Tumenggung yang satu lagi," berkata adiknya.
"Tetapi jika sekarang aku dapat menjualnya dengan harga yang baik, aku akan menjualnya. Nanti aku akan mencari lagi buat Ki Tumenggung," jawab Jangkung.
"Tetapi antar aku pulang dahulu," minta Riris.
"Biar Bharata mengantarmu. Kau akan aman bersamanya. Ia bekas seorang prajurit pilihan," bisiknya. Lalu katanya, "Nanti jika kuda itu laku dengan untung yang baik, aku akan membawamu sekali lagi ke pasar untuk membeli apa saja yang kau inginkan."
Riris tidak sempat berbicara lagi. Kakaknya segera berlari mendapatkan kawannya itu dan hilang di balik kerumunan orang-orang yang masih banyak berdesakan di pasar itu. Riris dan Bharata menjadi termangu-mangu sejenak. Wajah Riris yang kemerah-merahan, membayangkan kegelisahannya. Bahkan matanya telah menjadi berkaca-kaca. Bharata sendiri merasa canggung sekali berdua saja dengan Riris. Namun tiba-tiba saja ia merasa bahwa dirinya adalah seorang laki-laki. Ia harus menunjukkan bahwa ia mampu berbuat sesuatu untuk menenangkan hati seorang gadis. Karena itu, maka Bharata telah mempergunakan penalarannya untuk mengatasi perasaannya.
Dengan nada rendah ia pun kemudian berkata, "Marilah. Kita pulang. Biarlah. Jangkung nanti menyusul kita. Ia sedang berbicara tentang pekerjaannya."
Riris memandang Bharata sekilas. Namun kepalanya segera menunduk. Desisnya, "Kakang nakal sekali."
"Sesuatu yang tiba-tiba harus diselesaikan," berkata Bharata. "Marilah, aku bawa keranjang itu."
"Ah tidak. Tidak berat," jawab Riris. Namun iapun kemudian mulai melangkah untuk melanjutkan langkah mereka meninggalkan pasar itu. Untuk mengatasi kecanggungan maka Bharatapun bertanya, "Apakah kau sering pergi ke pasar?"
"Dahulu aku sering," jawab Riris. "Tetapi sekarang jarang sekali. Aku hanya pergi ke pasar jika ada kawan yang mengantarku."
"Kenapa?" bertanya Bharata.
"Aku takut," jawab Riris masih sambil menundukkan kepalanya.
Bharata mengangguk-angguk. Ia mengerti, tentu sejak anak muda itu pernah mengganggunya di pasar. Untuk beberapa saat mereka berdiam diri. Namun Bharata dengan penalarannya masih saja berusaha untuk berbicara tentang apa saja, agar gadis itu tidak merasa tersiksa di perjalanan. Ternyata usaha Bharata itupun berhasil. Perlahan-lahan Riris tidak lagi menjadi canggung sekali. Ia mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan Bharata dengan lancar meskipun masih selalu terbatas tentang kesibukan Riris sehari-hari serta kebiasaan Jangkung dengan kuda-kudanya. Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah sampai ke tikungan. Mula-mula Riris yang berjalan sambil menunduk tidak begitu menghiraukan orang-orang yang berlalu, lalang di sekitarnya, serta orang-orang yang berhenti di pinggir jalan.
Namun ketika sekali ia mengangkat wajahnya, maka tiba-tiba saja ia menjadi pucat. Adalah di luar sadarnya, bahwa iapun telah mendesak Bharata yang berjalan di sebelahnya.
Anak muda yang sering mengganggunya itu ternyata telah berdiri lagi di bawah pohon bambu di halaman kosong yang lembab kegelapan itu. Bahkan tidak seorang diri. Tetapi seorang kawannya berdiri di sebelahnya.
"Aku takut," desis Riris.
"Jangan takut," jawab Bharata. Untuk membesarkan hati gadis itu Bharata berkata, "Aku adalah bekas seorang prajurit."
Mendengar kata-kata itu hati Riris memang menjadi agak sejuk. Tetapi yang berdiri di pinggir jalan itu adalah dua orang.
Namun Bharata berkata pula, "Mereka tidak akan berbuat apa-apa di tempat yang ramai ini."
Riris mengangguk kecil. Namun ia justru semakin mendesak Bharata, yang membuat Bharata menjadi sedikit gemetar. Tetapi ternyata Bharatalah yang salah hitung. Meskipun jalan itu cukup ramai, namun kedua orang itu tiba-tiba saja sudah menghentikan langkah Bharata dan Riris.
"Ikut kami. Jangan menolak," terdengar anak muda itu menggeram.
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara keduanya tiba-tiba saja berdiri melekat di sebelahnya dengan pisau terhunus. Ujungnya menyentuh lambung Bharata sambil berkata, "Jika kau berbuat sesuatu yang merugikan dirimu sendiri, maka kau akan menyesal. Gadis itu juga akan menyesal."
Riris benar-benar menjadi ketakutan. Namun tiba-tiba saja kedua orang itu telah mendorong Bharata dan Riris masuk ke kebun kosong yang banyak ditumbuhi rumpun bambu.
Beberapa orang memang melihat apa yang terjadi. Tetapi tidak begitu jelas. Merekapun tidak melihat pisau kecil yang dilekatkan di lambung Bharata.
Namun beberapa orang sengaja melangkah dengan cepat menghindar, karena mereka justru tidak mau terlibat.
Dalam pada itu, Bharata dan Riris yang ketakutan telah di dorong agak jauh ke balik rumpun-rumpun bambu sehingga tidak nampak lagi dari jalan. Dinding halaman di sebelah kebun kosong itu telah menutup kemungkinan untuk melihat apa yang telah terjadi.
Demikian mereka berada di tempat yang agak luas di bawah rumpun bambu yang lebat itu, maka keduanya telah di dorong ke tengah. Ternyata seorang yang lain telah menunggu mereka berdua.
"Nah, kau tentu tidak lupa kepadaku Riris?" bertanya orang yang menunggu di bawah rumpun bambu itu.
Riris memang tidak lupa. Orang itu adalah kakak anak muda yang sering menggodanya. Anak muda yang kemudian tinggal di padukuhan sebelah.
Riris menjadi gemetar, sementara tangannya berpegang erat pada lengan Bharata. Namun Bharata sendiri tetap tenang menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
"Riris," berkata orang itu, "Kami jadi tahu sekarang, kenapa kau menolak adikku yang sudah lama mencintaimu. Agaknya karena kau telah memilih bakal suaminya yang gagah dan tampan itu."
Riris justru menjadi semakin gemetar. Namun mulutnya bagaikan tersumbat, sehingga ia tidak dapat menjawab sama sekali.
"Jawablah Riris. Dengan demikian kami akan dapat menentukan sikap," berkata kakak anak muda itu.
Tetapi Riris benar-benar tidak mau menjawab. Mulutnya tidak mau terbuka dan lidahnya bagaikan menjadi kelu. Keringat dingin mengalir diseluruh tubuhnya. Sementara itu, ia berpegangan Bharata semakin erat.
"Kenapa kau tidak mau menjawab, Riris," desak orang yang sudah menunggu itu.
Dalam pada itu, Bharatalah yang berkata, "Sebagai seorang gadis, maka pertanyaanmu sulit untuk dijawabnya. Apakah aku boleh menjawabnya?"
"Tidak," geram orang yang sudah menunggu itu. "Aku bertanya kepada Riris."
"Jika Riris tetap tidak menjawab?" Bharata justru bertanya.
"Jika ia tidak menjawab, maka aku menganggap bahwa ia mengiakannya. Sebagaimana kebanyakan gadis-gadis, maka diam berarti tidak menolak," berkata orang itu.
"Jawablah Riris," desis Bharata. "Katakan menurut kata hatimu. Jangan takut."
Tetapi Riris tetap berdiam diri. Ia sama sekali tidak mau berbicara.
Justru karena Riris tidak mau menjawab, maka orang itupun berkata, "Baik Riris. Jika demikian, maka aku anggap bahwa kau mengiakan kata-kataku. Kau telah memilih anak muda itu sebagai bakal suamimu dan menolak adikku dengan cara yang kasar dan menyakitkan hati. Karena itu, maka aku ingin memberikan, sedikit pertanda pada bakal suamimu. Segores luka di wajahnya, agar kau tidak menjadi terlalu sombong. Memperbandingkan adikku dengan anak muda yang tampan itu. Anak muda itu tidak akan dapat menolak dan apabila melawan, karena jika demikian, maka ia akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi."
Riris menjadi semakin ketakutan. Tubuhnya gemetar dan wajahnya menjadi pucat. Tetapi dengan nada rendah Bharata berkata, "Ingat. Ayah Riris adalah bekas seorang prajurit. Jika kau menyakiti hati anaknya, maka kau akan mengerti, apa saja yang dapat dilakukan oleh Ki Lurah Dipayuda."
"Apa artinya bekas seorang prajurit seperti Dipayuda" Ia tidak akan mampu berbuat apa-apa atas kami. Kecuali jika ia ingin mendapat kesulitan lebih banyak tentang anak perempuannya itu," jawab orang yang menunggu di bawah rumpun bambu itu.
Bharata menarik napas dalam-dalam ternyata ia harus berbuat langsung menghadapi orang-orang itu. Namun ia masih menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh mereka.
Dalam pada itu, orang yang menunggu di bawah rumpun bambu itu berkata, "Kau jangan mencoba melawan anak muda."
Bharata masih berdiam diri. Sementara orang yang sudah menunggu di bawah rumpun bambu itu berkata kepada adiknya, "Nah. Kau yang selama ini merasa disakiti hatimu. Kaulah yang pantas menggoreskan pisaumu di wajahnya. Mungkin di kening. Mungkin di pipinya atau mungkin hidungnya. Tetapi setelah itu, kau harus melupakan perempuan jalang itu."
"Cukup," tiba-tiba Bharata tidak dapat menahan hatinya. Katanya kemudian dengan geram. "Kau dapat menyebut aku apa saja. Tetapi jangan menghina gadis ini. Ia adalah gadis yang tahu diri. Ia mempunyai kesadaran baik dan buruk."
*** JILID 30 ORANG yang berada di bawah rumpun bambu itu mengerutkan keningnya. Sementara Bharata berkata, "Nah, sekarang akulah yang ingin melihat sikap kalian. Apakah kalian benar-benar laki-laki atau bukan. Jika kalian laki-laki, marilah. Siapa yang merasa tersisihkan. Kita membuat perhitungan secara pribadi. Aku dan siapa di antara kalian bertiga."
Laki-laki di bawah rumpun bambu itu menggeram. Sementara anak muda yang sering mengganggu Riris itu memang tersinggung. Karena itu, maka katanya, "Baik. Kita akan membuat perhitungan."
"Bagus," berkata Bharata. "Jika demikian persoalan ini memang persoalan laki-laki. Bukan persoalan orang-orang cengeng yang hanya berani mengadu."
"Setan kau," geram anak muda yang sering mengganggu Riris. "Kau kira kau siapa he?"
"Siapapun aku tidak penting. Marilah kita bersikap seperti laki-laki. Kalah atau menang bukan soal. Seandainya wajah harus digores dengan pisau silang melintang, itu terserah saja jika aku berhasil kau kalahkan. Tetapi aku sudah berbuat sebagaimana seorang laki-laki," sahut Bharata. Anak muda itu telah bergeser ke tengah-tengah lingkaran rumpun bambu itu. Sementara di luar sadarnya kakaknya telah bergeser menepi.
Bharatapun kemudian berbisik kepada Riris, "Biarlah aku selesaikan persoalan ini. Hati-hatilah."
Riris tidak segera melepaskan pegangannya. Namun ketika Bharata menepuk tangan itu sambil berdesis, "Aku akan berbuat sebaik-baiknya," maka Ririspun telah melepaskannya meskipun ia merasa sangat ketakutan.
Bharatapun segera bersikap menghadapi anak muda itu. Namun pengalamannya telah membuatnya tetap tenang, meskipun Bharata sama sekali tidak merendahkan lawannya. Ia tidak tahu tingkat kemampuan lawannya yang sebenarnya, dan iapun tidak pernah menganggap seorang tidak berdaya. Apalagi orang yang telah dengan tanpa ragu-ragu menantang Ki Lurah Dipayuda meskipun ia tahu bahwa Ki Lurah adalah bekas seorang prajurit. Yang agaknya tahu juga bahwa Ki Lurah adalah bekas seorang Lurah Penatus, yang telah mendapat kepercayaan untuk memimpin seratus orang prajurit. Tetapi yang dihadapi oleh Bharata adalah adiknya. Anak muda yang telah sering mengganggu Riris.
Karena Bharata tidak bersenjata, maka anak muda itupun tidak menggunakan senjata apapun untuk menghadapi Bharata. Beberapa saat kemudian kedua orang itu saling berhadapan-hadapan. Dua orang lainnya memperhatikan mereka dengan tegang, sementara Riris berdiri ketakutan. Sesaat kemudian, maka anak muda yang sering mengganggu Riris itupun telah meloncat menyerang. Ternyata menurut penilaian Bharata, tenaganya cukup kuat.
Geraknya cepat dan serangannya langsung mengarah ke tempat yang sangat berbahaya. Dengan tumitnya anak muda itu ingin menjangkau dada Bharata yang nampak terbuka, ketika Bharata beringsut menyamping. Tetapi Bharatapun bergerak cepat. Ia bergeser ke samping sehingga serangan itu tidak menyentuhnya. Namun lawannya tidak melepaskannya. Satu putaran yang cepat telah melontarkan serangan berikutnya. Kakinya dengan cepat menyambar kepala. Bharata bergeser surut. Kaki itu meluncur dekat di depan wajahnya. Namun sama sekali tidak menyentuhnya, meskipun terasa angin menyapu lembut. Ternyata menurut penilaian Bharata, anak muda itu memiliki kemampuan olah kanuragan. Itulah sebabnya, maka ia berani bersikap kasar terhadap Riris, meskipun mereka tahu, bahwa ayahnya adalah bekas seorang prajurit. Bahkan menurut perhitungan Bharata, kakaknya itu tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari anak muda yang sering mengganggu Riris itu.
Sejenak kemudian, serangan anak muda itu menjadi semakin keras. Beberapa kali ia gagal. Namun karena itu maka kemarahannyapun menjadi semakin memuncak. Dengan demikian maka serangan-serangannyapun menjadi semakin garang. Bharata masih tetap, berusaha mengendalikan diri. Ia masih lebih banyak menghindar. Serangan-serangannya masih lemah dan seakan-akan memang tidak bertenaga. Namun kecepatan geraknya telah membebaskannya dari sentuhan serangan lawannya. Lawannya memang menjadi semakin cepat pula menyerang karena kemarahan yang bergejolak di dalam jantungnya. Namun bagaimanapun juga ternyata sulit baginya untuk dapat mengenai tubuh Bharata yang berloncatan dengan tangkasnya.
Dalam pada itu, Bharata masih lebih banyak menjajagi kemampuan lawannya. Sekali-sekali ia tidak menghindari serangan anak muda itu, tetapi dengan hati-hati berusaha menyentuhnya untuk menangkis serangan itu meskipun tidak langsung membenturkan diri.
Namun akhirnya Bharata dapat menilai kemampuan dan kekuatan lawannya mendekati keadaannya yang sebenarnya. Dengan demikian, maka Bharatapun telah menempatkan diri pada tataran yang selapis lebih tinggi dari lawannya, karena ia tidak merasa perlu mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya, apalagi landasan ilmu Janget Kinatelon.
Dengan demikian maka pertempuranpun semakin lama, menjadi semakin cepat. Anak muda yang sering mengganggu Riris itu telah berusaha mengerahkan kekuatan dan kemampuannya. Namun ia masih belum mampu mengenai lawannya. Ketika sekali dua kali ia berhasil menyentuh lawannya dengan serangan-serangannya, maka sentuhan itu tidak berarti sama sekali, karena Bharata seakan-akan tidak merasa bahwa serangan lawannya telah mengenainya.
Anak muda itu menggeram. Ia berusaha untuk meningkatkan serangan-serangannya. Iapun semakin mengerahkan kekuatannya.
Bharata justru mulai memperlihatkan kekuatannya dan kemampuannya pula. Ketika lawannya itu dengan segenap kekuatan dan kemampuannya meloncat menyerangnya dengan tangannya yang terjulur lurus ke arah dada, maka Bharata tidak menghindarinya. Tetapi Bharata telah membentur serangan itu dengan kedua tangannya yang bersilang di dadanya.
Ketika benturan itu terjadi, maka lawan Bharata itu terkejut bukan kepalang. Justru karena ia telah mengerahkan kekuatannya. Bharata yang memang dengan sengaja membentur kekuatan itu telah bersiap-siap. Karena itu, maka ia sama sekali tidak bergeser sejengkalpun. Namun lawannya seakan-akan justru terpental beberapa langkah surut. Bahkan anak muda itu hampir saja kehilangan keseimbangannya dan jatuh terguling di tanah. Namun kakaknya dengan cepat menyambarnya sehingga ia berhasil untuk segera berdiri tegak kembali.
Tetapi benturan itu telah membuat lawan Bharata semakin marah. Meskipun ia merasa bahwa kekuatan Bharata itu melampaui kekuatannya. Namun ia masih belum menganggap dirinya dikalahkannya.
Namun lawan Bharata itu tidak mau membiarkan dirinya dalam kesulitan menghadapi anak muda yang dianggapnya sebagai saingan itu.
Karena itu, maka serta merta ia telah menarik sebilah pisau belati yang sejak semula memang telah dipersiapkan untuk menggores wajahnya.
Bharata melangkah surut. Ia sendiri memang tidak membawa senjata apapun. Sebenarnya bagi Bharata pisau belati itu tidak mencemaskannya. Ia justru menjadi cemas, bahwa ia akan kehilangan kendali dan mempergunakan pisau belati itu.
"Sejak semula sudah aku katakan bahwa aku akan mempergunakan pisau ini untuk membuat wajahmu cacat. Karena wajahmulah yang membuat Riris memilih kau daripada aku," geram anak muda itu.
Bharata tidak menjawab. Ia masih berdiri tegak menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu lawannya melangkah selangkah maju sambil mengacungkan pisau itu. "Kau tidak dapat menolak atau kau akan mengalami nasib buruk. Lebih baik kau membiarkan aku menggores wajahmu daripada aku menghunjamkan pisau ini ke dadamu."
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Apakah di padukuhan ini memang dibiarkan saja orang membunuh sesamanya dengan sewenang-wenang?"
"Tidak ada orang yang akan dapat menjadi saksi," geram anak muda itu.
"Setidak-tidaknya Riris adalah saksi yang akan dapat menentukan," sahut Bharata.
"Jika kau melawan dan terpaksa aku bunuh kau disini, maka Riris tentu akan aku bawa bersamaku. Mau atau tidak mau. Ia tidak lebih dari seorang perempuan yang tidak berdaya. Ia tidak akan dapat menolak jika aku mempergunakan kekerasan," orang itu berhenti sejenak, lalu, "keputusan terakhir ada padamu. Melawan atau tidak melawan."
Bharata termangu-mangu sejenak. Dipandanginya kakak anak muda yang sering mengganggu Riris itu. Kemudian seorang kawannya lagi. Seakan-akan Bharata sedang memperhitungkan kemungkinan seandainya ia harus melawan ketiga-tiganya sekaligus.
Namun bagi Bharata yang harus diperhitungkan benar-benar adalah kakak lawannya itu.
Dengan demikian, maka Bharata telah mengambil keputusan untuk menyelesaikan lawannya itu dengan cepat. Ia memang tidak ingin membunuhnya, tetapi melumpuhkannya. Kemudian menghadapi kakaknya itu bersama seorang lawannya yang menurut perhitungan Bharata tidak akan lebih dari lawannya itu.
Ketika lawannya mulai menggerakkan pisaunya, maka Bharatalah yang menggeram, "Kau telah bermain-main dengan senjata. Jika senjata itu menyentuh kulitmu sendiri itu bukan salahku."
"Persetan kau," geram anak muda itu. "Ternyata kau terlalu sombong. Kau kira dengan ketampananmu itu kau memiliki ilmu setinggi Gunung Lawu?"
Bharata tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap sepenuhnya.
Sementara itu lawannya mulai memutar pisaunya sambil berdesis, "Jadi kau memilih mati daripada segores luka di wajahmu yang tampan itu."
Bharata sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia pun justru melangkah maju.
Sejenak kemudian, maka anak muda itu telah meloncat menyerang dengan menjulurkan pisaunya bukan ke wajah Bharata, tetapi langsung ke lehernya.
Dengan tangkas Bharata mengelak. Selangkah ia bergeser surut. Tetapi lawannya itu memburunya dengan cepat pula. Bahkan kemudian pisaunya itu telah terayun-ayun. Menebas mendatar kemudian mematuk leher dan dadanya.
Bharata terpaksa berloncatan menghindar, sementara lawannya terus memburunya. Pisaunya berputar dan terayun-ayun mengerikan.
Riris menjadi semakin gemetar. Ia mendengar ancaman anak muda yang sering mengganggunya itu. Apalagi di tempat itu ada tiga orang yang dapat berkelahi bersama-sama melawan Bharata. Sementara itu pisau itu akan dapat mengenainya, bahkan dapat membunuhnya, sementara Bharata tidak tahu menahu tentang hubungannya dengan anak muda itu sebelumnya.
Sekilas Riris memang merasa bersalah bahwa ia tidak mengatakan serba sedikit tentang anak muda itu. Anak muda itu sama sekali bukan bakal suaminya. Ia baru mengenal saat anak muda itu datang ke rumahnya bersama ayahnya. Baru sehari.
Namun serangan-serangan yang datang membadai itu sama sekali tidak mampu menyentuh kulit Bharata. Beberapa kali Bharata berhasil menangkis serangan pisau itu dengan menghantam pergelangan tangan lawannya. Namun Bharata masih juga berusaha menjaga dirinya agar tidak tenggelam ke dalam arus perasaannya.
Tetapi ketika lawannya dengan tidak tahu diri menyerangnya semakin deras, maka Bharata mulai menjadi muak. Beberapa saat kemudian, iapun telah berniat untuk mengakhiri perkelahian itu, meskipun dengan demikian akibatnya akan menjadi, semakin berat, karena kakak anak muda itu tentu akan turun ke arena.
Namun Bharata memang tidak mempunyai pilihan lain. Sehingga karena itu, maka ia pun telah mempersiapkan dirinya.
Ketika lawannya itu kemudian menyerang dengan garangnya, maka Bharatapun dengan kecepatan yang tinggi berloncatan menghindarinya. Bahkan ketika lawannya mengayunkan pisaunya mendatar, Bharata sempat berkisar selangkah dan dengan cepat memukul pergelangan tangan lawannya. Demikian kerasnya sehingga terdengar anak muda itu mengaduh tertahan. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat mempertahankan pisaunya yang tergetar dan bahkan kemudian terlepas dari tangannya, meloncat tinggi. Dengan tangkasnya Bharata melenting menyambar pisau yang terlepas itu.
Lawannya yang kesakitan di pergelangan tangannya itu meloncat surut. Tetapi Bharata tidak melepaskannya. Ketika kakinya kemudian menyentuh tanah, maka iapun telah meloncat memburu lawannya. Pisau belati di tangannya terjulur ke arah dada lawannya. Satu sentuhan yang keras telah membuat lawannya bukan saja mengaduh tertahan, tetapi terdengar anak muda itu berteriak kesakitan. Semua orang yang menyaksikan terhenyak sejenak. Mereka melihat pisau itu terjulur. Kemudian teriak kesakitan. Tetapi ternyata bahwa tidak setitik darahpun yang mengembun dari dada anak muda itu, karena Bharata mengenainya dengan tangkainya. Dengan sengaja Bharata telah memegang pisau itu terbalik, karena ia memang tidak ingin membunuh lawannya betapapun ia merasa tersinggung oleh sikap dan perbuatannya. Kakak anak muda itu berdiri termangu-mangu. Ia melihat adiknya kebingungan. Sementara itu pisau, belatinya telah berada di tangan Bharata. Tetapi Bharata tidak ingin tetap memegang pisau itu. Jika demikian maka akan mudah baginya kehilangan pengamatan diri dan mempergunakan pisau itu, sehingga akan dapat menimbulkan akibat yang lebih buruk lagi. Karena itu, maka ketika dilihatnya sebatang pohon jambe di sela-sela beberapa rumpun bambu maka ia telah melemparkan pisau itu dan menancap di batang jambe itu. Agak tinggi, sehingga untuk mengambilnya seseorang harus memanjatnya. Wajah kakak anak muda itu menjadi merah. Ia menangkap sikap Bharata itu sebagai satu penghinaan. Karena itu, maka iapun menggeram, "Kau terlalu sombong anak muda. Kau kira, bahwa kemampuanmu itu cukup tinggi untuk kau jajakan di hadapanku dan adikku" Kau memang dapat menghinakan adikku dengan sikapmu. Kau kira, bahwa dengan demikian kami akan menjadi gentar?"
"Apakah perjanjian kita masih berlaku?" bertanya Bharata. "Perjanjian apa?" geram kakak lawannya itu pula. "Persoalan ini adalah persoalan pribadi antara aku dan laki-laki itu. Kita sudah bersepakat untuk menyelesaikan persoalan pribadi ini dengan cara laki-laki. Bahkan akupun tidak akan menolak untuk dilukainya jika ia memang mampu melukai aku. Bahkan di wajahku. Tetapi ternyata, ia tidak mampu melakukannya, bahkan pisaunya telah diberikan pula kepadaku."
"Cukup," bentak kakaknya. "Jika kau bunuh adikku aku tidak akan menyesalinya. Tetapi justru kau hinakan anak itu. Itu, sama artinya kau telah menghinakan keluargaku."
"Baik. Marilah. Kita teruskan pertempuran ini. Aku akan membunuhnya dengan tanganku. Apa kau kira aku tidak akan dapat melakukannya?" jawab Bharata. "Tidak," kakaknya itu berteriak. "Kau sudah menghinanya. Sekarang, kau harus menerima akibatnya. Akulah yang akan menyelesaikan persoalan ini, karena aku adalah orang yang lebih tua dari padanya. Tidak ada hubungannya lagi dengan gadis jalang itu. Tetapi persoalannya adalah persoalan penghinaan. Harga diri dan kewibawaan keluarga kami."
"Kau kira apa yang kau katakan dan yang akan kau lakukan itu tidak justru menodai harga diri keluargamu" Kau putar balikkan alasannya atau kau katakan dengan kalimat apapun, namun ternyata bahwa kau memang harus tampil membela dan melindungi adikmu yang cengeng itu," jawab Bharata. Lalu katanya kemudian, "Tetapi baiklah. Marilah. Aku bersedia melawan siapa saja yang melanggar hakku."
Bharata pun telah berdiri tegak. Dengan nada rendah ia bertanya, "Kenapa?"
"Kau telah menyerang kakiku," bentak orang itu.
"Sejak kapan serangan yang demikian disebut curang?" bertanya Bharata.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia telah meloncat menyerang pula. Serangan beruntun yang membuat Bharata terpaksa meloncat surut untuk mengambil jarak. Tetapi Bharata mulai kehilangan kesabarannya. Ia menganggap perang itu tidak berkepentingan langsung dengan Riris. Karena itu maka ia tidak berhak untuk melakukan tekanan seperti itu. Maka telah menjadi keputusan Bharata untuk dengan tegas menunjukkan bahwa kemampuan orang itu belum dapat disejajarkan dengan kemampuannya. Iapun harus mengatakan kepada orang itu, bahwa kemampuannya masih jauh berada di bawah kemampuan Ki Lurah Dipayuda. Dengan demikian maka Bharata justru telah meningkatkan kemampuannya. Apalagi lawannya itu memang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari adiknya.
Sementara Bharata berkelahi di antara rumpun-rumpun bambu yang terlindung dari jalan, maka Jangkung Jaladri telah pulang sampai ke rumahnya. Tetapi ia terkejut ketika ia menyadari, bahwa justru adiknya dan Bharata belum sampai ke rumah.
"Kemana mereka?" bertanya Jangkung kepada ibu dan ayahnya.
"Bukankah mereka pergi bersamamu?" desis ayahnya yang ikut menjadi gelisah.
"Anak gila yang mana?" bertanya ayahnya. Kepada ayah dan ibunya Jangkung Jaladri telah menceriterakan tentang anak muda yang sering mengganggu adiknya. Anak itu berada di pinggir jalan di bawah rumpun bambu ketika Jangkung, Bharata dan adiknya pergi ke pasar. Riris memang menjadi ketakutan. Tetapi anak itu tidak berbuat apa-apa.
"Ketika Riris kembali hanya dengan Bharata, barangkali anak itu mencoba mempermainkannya," berkata Jangkung.
"Tetapi Bharata bukan anak muda kebanyakan. Ia memiliki kemampuan untuk mengetahui kesulitan jika anak itu mencoba mengganggunya," berkata Ki Lurah Dipayuda.
"Tetapi jika anak muda itu tidak sendiri" Mungkin dua orang. Mungkin tiga orang. Mungkin dengan kakaknya yang dibangga-banggakannya itu?" sahut Jangkung.
"Sebaiknya kau cari mereka," berkata Ki Lurah.
Jangkung tidak menjawab lagi. Iapun dengan serta merta telah berdiri turun ke halaman. Kemudian dengan tergesa-gesa menelusuri jalan kembali ke pasar. Ia memang menyesal telah meninggalkan adiknya dan Bharata berdua saja ketika ia bertemu dengan kawannya. Jangkung ternyata sempat bertanya kepada beberapa orang, yang dijumpainya, apakah mereka melihat adiknya bersama seorang anak muda. Seorang penjual makanan yang berkeliling dengan dagangannya yang digendongnya menjadi ragu-ragu ketika Jangkung bertanya kepadanya.
Makam Tanpa Nisan 3 Gento Guyon 24 Perisai Maut Strangers 2
^