Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 31

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 31


Kedua orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu. Tetapi akhirnya mereka harus menerima kenyataan itu. Ketika keduanya melihat Kasadha dan Bharata melangkah keluar dari gawar arena pendadaran tanpa menoleh lagi, maka kedua raksasa itupun tidak berbuat apa-apa lagi.
"Semua rencana kita gagal," geram Ki Lurah, "kedua orang Tumenggung itu datang dengan tiba-tiba sekali."
Kedua orang raksasa itu sama sekali tidak menyahut.
Sementara itu Ki Lurah berkata lagi, "Aku akan membayar hak kalian sebagaimana sudah kita bicarakan meskipun yang kita rencanakan tidak terwujud. Kita tidak dapat saling menyalahkan karena kehadiran kedua orang Tumenggung itu di luar perhitungan kita."
Namun di luar dugaan, seorang di antara kedua orang bertubuh raksasa itu berkata, "aku memang kalah. Untunglah anak-anak itu adalah prajurit yang berpegang pada paugeran prajurit sehingga tidak membantaiku di tengah-tengah arena, karena jika mereka mau, mereka dapat melakukan tanpa dianggap bersalah."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Raksasa yang seorang lagi, yang hampir saja kehilangan penalaran dan menantang perang tanding itupun akhirnya mengakui juga. Namun meskipun ia mengangguk-angguk kecil, tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Sementara itu, para prajurit telah kembali ke dalam bilik mereka masing-masing. Kasadha dan Bharatapun telah berada di barak mereka bersama para prajurit di dalam kelompok mereka. Prajurit-prajurit muda telah berebut mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Namun para prajurit yang lebih tua, yang telah diserahkan kepada mereka karena dianggap perlu mendapat pembinaan khusus itupun menjadi semakin hormat pula kepada kedua pemimpin kelompok yang masih muda itu. Ternyata mereka tidak menjadi besar karena ditiup oleh Ki Lurah Dipayuda. Keduanya memang pantas untuk dianggap sebagai pemimpin-pemimpin kelompok terbaik. Karena itu, maka orang-orang yang semula tersingkir karena tingkah lakunya itu, perlahan-lahan telah menjadi semakin menyesuaikan diri.
Ketika tengah hari sebelum Ki Lurah Yudoprakosa menghadap Ki Tumenggung Wiradigda, maka Bharata dan Kasadha telah dipanggil oleh Ki Tumenggung Suraprana sepengetahuan Ki Lurah Yudoprakosa. Meskipun sebenarnya Ki Lurah agak keberatan, tetapi ia tidak berani menolak perintah Ki Tumenggung itu. Apalagi ketika utusan yang menyampaikan perintah itu mengatakan, bahwa Ki Tumenggung Suraprana sudah berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradigda.
Bharata dan Kasadha sendiri merasa terkejut atas panggilan itu. Tetapi atas ijin Ki Lurah Yudoprakosa, maka keduanya telah meninggalkan barak itu untuk menghadap Ki Tumenggung Suraprana, sementara Ki Lurah Yudoprakosa telah menghadap Ki Tumenggung Wiradigda.
Meskipun Bharata dan Kasadha mengerti, bahwa mereka tidak akan dianggap bersalah, tetapi panggilan itu agaknya telah mendebarkan mereka juga.
Bharata dan Kasadha itupun kemudian telah duduk di serambi gandok rumah Ki Tumenggung Suraprana. Agaknya prajurit yang bertugas di regol rumah katumenggungan itu sudah mendapat pesan, bahwa akan ada dua orang prajurit yang menghadap.
Tetapi karena Ki Tumenggung sedang pergi, maka keduanya masih harus menunggu.
Sambil menunggu, maka pemimpin prajurit Pajang yang bertugas di rumah Ki Tumenggung itu sempat menemui kedua anak muda yang juga prajurit Pajang itu. Bahkan pemimpin prajurit yang sedang bertugas itu tidak segan-segan telah menyatakan keluhannya atas keadaan di Pajang pada saat-saat terakhir.
"Orang-orang Demak telah menguasai Pajang seluruhnya," berkata pemimpin prajurit yang bertugas itu.
"Inilah keanehan yang terjadi di Pajang. Pajang mengaku atau tidak mengaku, telah dikalahkan Mataram. Tetapi yang sekarang menduduki Pajang sama sekali bukan Mataram. Tetapi Demak."
Bharata dan Kasadha mengangguk-angguk. Mereka juga merasakan hal itu telah terjadi di Pajang. Tetapi karena lingkungan mereka, apalagi setelah berada di bawah pimpinan Ki Lurah Yudoprakosa, maka tidak ada yang mereka ketahui selain lingkungan barak mereka sendiri.
Hampir di luar sadarnya, Bharata tiba-tiba saja telah bertanya, "Bagaimana hal itu dapat terjadi" Namun Matarampun sampai sekarang lebih baik berdiam diri melihat perkembangan Pajang sekarang ini. Jadi apa maunya Mataram menyerang Pajang sebelumnya?"
Prajurit yang bertugas di rumah Ki Tumenggung itu menggeleng. Katanya, "Entahlah. Tetapi agaknya Mataram ingin bebas berkembang tanpa dibayangi oleh kekuasaan Pajang yang dianggap oleh Panembahan Senapati sebagai kekuasaan yang kurang memberikan harapan bagi masa datang. Tetapi menurut penilaian beberapa orang pemimpin Pajang, keadaan Pajang sekarang justru menjadi lebih buruk. Mungkin akan lebih baik jika Pangeran Benawalah yang diangkat menjadi pengganti ayahandanya. Pangeran Benawa tidak akan memenuhi kata ini dengan orang-orang dari luar lingkungan."
Bharata dan Kasadha mengangguk-angguk. Apalagi ketika prajurit itu juga mengatakan bahwa banyak kebijaksanaan yang berubah.
"Tetapi aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi," berkata prajurit itu. Lalu katanya, "Tetapi yang aku dengar kadang-kadang terluncur dari bibir Ki Tumenggung di luar sadarnya, kebijaksanaan tentang tata pemerintahan, tentang hubungan perdagangan dengan daerah-daerah di sekitarnya dan tentang Tanah Perdikan."
Jantung Bharata tergetar. Untunglah ia menyadari kedudukannya sehingga karena itu, iapun telah dapat mengatur perasaannya. Dengan hati-hati ia bertanya, "Kebijaksanaan apakah yang paling nampak dilakukan oleh para pemimpin dari Demak itu?"
Pemimpin prajurit yang bertugas itu menggeleng. Katanya, "Yang aku ketahui hanya sedikit sekali. Jika kalian dipanggil Ki Tumenggung, mungkin ada sesuatu yang akan kalian dengar."
"Tetapi tentu tidak tentang hubungan Demak, Pajang dan Mataram. Apalagi dengan Pangeran Benawa di Jipang. Yang akan dibicarakan Ki Tumenggung dengan kami tentu pendadaran ulang yang baru saja kami jalani," jawab Bharata.
"Pendadaran ulang?" bertanya pemimpin prajurit yang bertugas itu.
"Memang satu perlakuan yang tidak masuk akal," jawab Kasadha, "Kami sudah tahu sejak semula bahwa pendadaran itu hanyalah satu langkah terselubung untuk menghancurkan kami. Tetapi beruntunglah bahwa kami mampu mengatasinya."
Prajurit di Katumenggungan itu mengangguk-angguk. Bharata dan Kasadhapun telah menyesali penggantian Lurah Penatus dari seorang Lurah Penatus Pajang kepada Lurah Penatus dari Demak.
Tetapi mereka tidak sempat berbincang lebih panjang, karena Ki Tumenggung Suraprana telah datang.
Dengan gembira Ki Tumenggung kemudian telah minta kedua orang prajurit itu naik ke pendapa dan diterima sebagai kawan-kawannya yang akrab.
"Tidak ada yang penting," berkata Ki Tumenggung Suraprana, "aku hanya ingin memberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah minta Ki Lurah Yudoprakosa diganti orang lain."
Kasadha dan Bharata menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya Bharata berkata, "Ki Lurah telah menghadap Ki Tumenggung Wiradigda."
"Ya. Ki Tumenggung memang tidak senang melihat sikap Ki Lurah. Ki Tumenggung Wiradigdapun telah mengatakan, bahwa Ki Lurah akan dipindahkannya. Sementara itu akan dicari seorang Lurah yang lebih baik. Bukan orang Demak. Jika Lurah itu ditentukan prajurit Demak, maka persoalan seperti tadi akan terulang lagi," berkata Ki Tumenggung Suraprana.
"Kami akan berterima kasih Ki Tumenggung," desis Kasadha.
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, "Ki Tumenggung Wiradigda termasuk seorang di antara orang-orang Demak yang baik. Tetapi jarang sekali orang seperti itu dapat kita ketemukan di antara orang-orang Demak yang ada di Pajang."
Kasadha dan Bharatapun mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat mengatakan sesuatu karena pengetahuan mereka tentang orang-orang Demak sangat terbatas. Yang mereka kenal paling dekat adalah Ki Lurah Yudoprakosa. Tetapi tentu tidak adil jika mereka menganggap bahwa orang-orang Demak seluruhnya seperti Ki Lurah Yudoprakosa. Setidak-tidaknya ada orang lain seperti Ki Tumenggung Wiradigda.
Dari Ki Tumenggung itu pulalah Kasadha dan Bharata mendengar bahwa para petugas yang dipindahkan dari Demak ke Pajang mendapat kenaikan pangkat khusus.
"Merekapun telah mendapat perlakuan lebih baik dari orang-orang Pajang, karena mereka yang dipindahkan dari Demak ke Pajang memerlukan tanah, hidup yang layak yang menurut mereka berarti lebih baik dari orang-orang Pajang. Serta kekuasaan yang lebih luas," berkata Ki Tumenggung Suraprana.
Bharata dan Kasadha mengangguk-angguk pula. Sementara itu Ki Suraprana berkata seterusnya, "Yang kita cemaskan adalah sikap orang-orang yang tidak mau menerima keadaan ini. Apalagi langkah yang diambil oleh para pemimpin Demak tentang Tanah Perdikan. Rasa-rasanya Tanah Perdikan akan dihapuskan di seluruh daerah Pajang. Sementara Mataram tidak mengambil kebijaksanaan seperti itu."
"Bagaimana hubungannya dengan Mataram Ki Tumenggung?" bertanya Bharata ragu-ragu.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sadar, sebagai seorang prajurit aku tidak pantas mengatakan hal ini. Tetapi yang terjadi sudah bukan merupakan rahasia lagi. Hampir setiap hari, beberapa orang Pajang telah berpindah ke daerah Mataram. Mereka telah merasa hidupnya tidak tenang di Pajang. Apalagi mereka yang terkena peraturan, sepertiga dari tanahnya diambil untuk orang-orang Demak yang datang di Pajang. Jika hal seperti ini berkepanjangan, serta persoalan Tanah Perdikan itu tidak juga dicari pemecahan yang paling baik, maka orang-orang Pajang akan meninggalkan Pajang, dan Tanah-tanah Perdikan akan berpihak kepada Mataram. Pertentangan antara Mataram dan Pajang akan timbul ke permukaan lagi sehingga akan membayang perang baru antara Pajang dan Mataram."
Bharata dan Kasadha hanya mengangguk-angguk saja. Namun demikian, keterangan Ki Tumenggung tentang kebijaksanaan Pajang mengenai Tanah Perdikan sangat menarik perhatiannya. Apalagi Tanah Perdikan Sembojan adalah Tanah Perdikan yang sedang kosong dan bahkan dipersoalkan oleh beberapa orang. Belum ada seorang yang ditetapkan menjadi Kepala Tanah Perdikan, sementara pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu adalah, seorang perempuan yang menurut penilaian umumnya adalah orang-orang yang lemah.
Tetapi Bharata tidak dapat menanyakannya langsung kepada Ki Tumenggung karena ia datang tidak sebagai anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu, Ki Tumenggungpun telah berhenti sejenak ketika seorang pelayan telah menyajikan suguhan bagi kedua orang prajurit itu. Minuman hangat dan beberapa potong makanan.
Namun kemudian sambil menghirup wedang sere dengan gula kelapa, serta mengunyah makanan, Ki Tumenggung telah berkata selanjutnya, "Nah, yang penting kalian ketahui adalah bahwa Ki Lurah akan kami pindahkan. Sebenarnya akupun ingin menanyakan kepada kalian berdua, apakah kalian lebih tertarik untuk meninggalkan barak itu dan bertugas di tempat lain, atau kalian sudah merasa lebih mapan di tempat itu dengan pimpinan yang lebih baik, sehingga tidak akan terulang lagi peristiwa yang tidak masuk akal itu."
Kedua orang anak muda itu saling berpandangan. Namun Ki Tumenggungpun tersenyum sambil berkata, "Aku tidak memerlukan jawaban, sekarang. Aku tahu, kalian memerlukan kesempatan untuk memikirkannya. Untuk selanjutnya, jika kalian telah mengambil keputusan, kalian dapat datang menemui aku kapan saja kalian kehendaki. Sudah tentu dengan ijin pimpinan kesatuanmu yang baru itu."
Kasadha dan Bharata mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Kasadha telah menjawab, "Kami mohon waktu Ki Tumenggung."
"Ya. Kaupun tentu ingin mengenal pimpinanmu yang baru itu pula," berkata Ki Tumenggung Suraprana.
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk pula. Tetapi mereka tidak menjawab lagi.
"Baiklah," berkata Ki Tumenggung Suraprana, "sebentar lagi aku juga akan pergi. Aku kira pembicaraan kita sudah selesai hari ini. Yang penting, aku hanya ingin memberitahukan kepada kalian tentang pimpinan kalian. Karena itu, kalian jangan mengambil langkah-langkah tersendiri betapapun hati kalian menjadi sakit. Kecuali jika kedua orang yang menjadi alat pendadaran itu juga mengambil sikap sendiri. Kau tentu saja berhak membela diri. Tetapi aku kira mereka tidak akan berani berbuat apa-apa lagi, karena mereka tentu merasa benar-benar dapat kalian kalahkan. Bukan karena kebetulan."
Demikianlah, maka kedua orang prajurit muda itupun telah mohon diri untuk kembali ke barak mereka. Namun sebelum mereka meninggalkan Ki Tumenggung, Bharata telah bertanya, "Jika Ki Lurah bertanya kepada kami, apa saja yang kami bicarakan disini dengan Ki Tumenggung, apakah jawab kami?"
"Katakan, bahwa Ki Tumenggung Suraprana telah berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradigda untuk memindahkan Ki Lurah Yudoprakosa dari pasukan kecil yang agaknya tidak berkenan di hati Ki Lurah itu. Ki Tumenggung Wiradigda akan mencarikan tempat yang lebih baik dan lebih sesuai bagi Ki Lurah," jawab Ki Tumenggung. Lalu katanya, "Kita tidak perlu lagi menjaga perasaannya, karena orang itupun tidak pernah berusaha menjaga perasaan orang lain."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Merekapun mengerti bahwa menghadapi keadaan yang berkembang kemudian, agaknya Ki Tumenggung Suraprana telah hampir kehabisan kesabarannya. Terutama menghadapi orang-orang yang didatangkan dari Demak, kecuali Ki Tumenggung Wiradigda.
Sejenak kemudian maka kedua orang prajurit muda itupun telah meninggalkan Katumenggungan kembali ke barak mereka. Ketika mereka sampai di barak, ternyata Ki Lurah Yudoprakosa masih belum kembali.
Namun kedua orang anak muda itu sudah berjanji bahwa mereka tidak akan mengatakan kepada prajurit-prajurit Pajang tentang kemungkinan pergantian pimpinan itu. Mereka sudah sepakat untuk mengatakan bahwa Ki Tumenggung ingin mengetahui latar belakang dari pendadaran yang diselenggarakan hari itu.
Sebenarnyalah demikian kedua orang prajurit muda itu berada di barak, maka kawan-kawannya telah mengerumuninya untuk mendengar apa saja yang telah di katakan oleh Ki Tumenggung Suraprana.
Tetapi seperti yang telah mereka sepakati, maka mereka hanya mengatakan sekitar pendadaran aneh yang telah diselenggarakan oleh Ki Lurah Yudoprakosa.
"Apa yang dikatakan Ki Tumenggung tentang Ki Lurah?" tiba-tiba salah seorang kawannya bertanya.
Kedua orang anak muda itu memang termangu-mangu. Namun yang menjawab kemudian adalah Bharata, "Ki Tumenggung tidak dapat mengerti, kenapa Ki Lurah telah melakukan hal itu."
Para prajurit itu mengangguk-angguk. Namun mereka berharap bahwa Ki Tumenggung Suraprana dapat bertindak lebih jauh. Tidak sekedar mendengar keterangan tentang barak dan pimpinannya di barak itu.
Baru ketika matahari telah jauh turun di sisi Barat langit, Ki Lurah Yudoprakosa datang. Wajahnya nampak muram. Sementara pandangannya menjadi sayu.
Para prajurit yang bertugas di regol berdiri tegak sambil menghormatinya. Ki Lurahpun mengangguk pula sambil mencoba untuk tersenyum. Tetapi senyumnya terlalu hambar, karena bukan kebiasaannya untuk tersenyum selama ia berada di barak itu. untuk waktu yang masih sangat singkat.
Bharata dan Kasadha terkejut ketika demikian Ki Lurah memasuki ruangan khususnya, demikian ia memerintahkan memanggil kedua orang anak muda itu.
"Ada apa lagi?" desis Kasadha.
"Aku tidak mau lagi menerima perlakuan gila," geram Bharata.
"Ya. Setidak-tidaknya ada orang yang memperhatikan kita," berkata Kasadha.
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Tumenggung Suraprana tentu akan mengusut jika terjadi sesuatu di barak ini."
Dengan ragu-ragu Bharata dan Kasadha telah memasuki bilik khusus itu. Dengan wajah kosong Ki Lurah mempersilahkan keduanya untuk duduk di amben panjang.
"Aku telah menghadap Ki Tumenggung Wiradigda," berkata Ki Lurah.
Kedua orang anak muda itu tidak menyahut. Keduanya justru menundukkan kepada mereka dalam-dalam.
Namun tiba-tiba Ki Lurah itu bertanya, "Bukankah kau telah menghadap Ki Tumenggung Suraprana?"
Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun keduanya ternyata telah menjadi berdebar-debar juga.
Seperti yang mereka duga, maka Ki Lurah Yudoprakosa itupun bertanya, "Apa yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Suraprana kepada kalian?"
Tetapi Kasadha dan Bharata sudah membawa jawabnya. Karena itu tanpa ragu-ragu Bharatalah yang menjawab, "Ki Tumenggung Suraprana minta beberapa keterangan tentang pendadaran yang diselenggarakan di halaman itu. Serta memberitahukan bahwa atas pembicaraan Ki Tumenggung Suraprana dan Ki Tumenggung Wiradigda, maka Ki Lurah Yudoprakosa akan dipindahkan tugasnya ke tempat yang lebih baik."
"Persetan," geram Ki Lurah, "kau tahu istilah ke tempat yang lebih baik itu?"
Kedua orang anak muda itu menggeleng. Dengan nada rendah Bharata menjawab, "Tidak Ki Lurah."
"Aku akan ditempatkan justru di tempat yang paling buruk. Tetapi itu adalah akibat yang wajar dari sikap seorang prajurit yang berpegang teguh pada paugeran. Kali ini Ki Tumenggung Wiradigda tidak melihat apa yang aku lihat pada kalian. Tetapi lain kali Ki Tumenggung akan mengakuinya."
Kasadha dengan tidak sabar bertanya, "Apa yang Ki Lurah lihat pada kami."
"Aku melihat satu kelebihan pada kalian berdua. Kelebihan itu tidak boleh terpendam. Kelebihan itu harus dilihat oleh semua orang prajurit di barak ini, sehingga kalian berdua dihormati sebagaimana layaknya. Itulah sebabnya aku berpura-pura melakukan pendadaran ulang. Dengan cara itu maka seluruh prajurit akan melihat bersama-sama apa yang mampu kalian lakukan," jawab Ki Lurah.
Jawaban itu memang mengejutkan. Untuk beberapa saat Bharata dan Kasadha tidak dapat berkata sepatah katapun. Namun keduanya tidak percaya akan keterangan itu. Mereka mendengar beberapa pembicaraan pendek antara kedua raksasa itu dengan Ki Lurah sesaat sebelum pendadaran dimulai. Sementara itu hal seperti itu sudah pernah dilakukan pula sebelumnya.
Tetapi mendengar langsung dengan tiba-tiba pengakuan yang tidak disangkanya itu, maka kedua anak muda itu telah terdiam.
Sementara itu Ki Lurahpun telah berkata selanjutnya, "Tetapi aku tidak menyesal. Meskipun aku sudah pindah ke tugas yang lain, namun keinginanku untuk menunjukkan kelebihan kalian berdua sudah terjadi. Bahkan adalah di luar rencanaku bahwa Ki Tumenggung Suraprana dari Pajang dan Ki Tumenggung Wiradigda dari Demak sempat menyaksikannya, sehingga mereka langsung dapat melihat kemampuan kalian. Mudah-mudahan kalian akan benar-benar mendapat tempat yang lebih baik dengan kelebihan kalian itu, misalnya kalian dapat diangkat menjadi Lurah Penatus seperti aku."
Kedua anak muda itu masih saja berdiam diri. Sementara Ki Lurah berkata selanjutnya, "Aku sadar, bahwa akan dapat terjadi salah paham karena yang aku lakukan sengaja terselubung dan dengan cara seorang prajurit yang barangkali terlalu keras. Tetapi apa yang terjadi di Demak lebih keras dari apa yang aku lihat di Pajang. Prajurit Pajang sudah terbiasa dimanjakan sejak pemerintahan Sultan Hadiwijaya, sehingga ketika menghadapi bahaya yang sebenarnya, Pajang bagaikan kehilangan pegangan."
Kasadha dan Bharata masih saja berdiam diri.
Karena Kasadha dan Bharata tidak menjawab, maka Ki Lurah itupun berkata, "Baiklah. Kesempatan ini ingin aku pergunakan untuk minta diri. Besok aku akan mengumpulkan semua prajurit, mengatakan sebagaimana yang telah aku katakan kepada kalian berdua kemudian juga minta diri. Pemindahan itu akan dilakukan secepatnya. Tetapi tidak apa-apa, karena bagi seorang prajurit, dimanapun aku ditempatkan, tidak akan ada bedanya. Tetapi satu hal pernah aku lakukan disini atas kalian sehingga kalian tentu akan mendapatkan kesempatan lebih baik. Mungkin dari Ki Tumenggung Suraprana, mungkin dari Tumenggung Wiradigda."
Kasadha dan Bharata masih tetap berdiam diri, sehingga akhirnya Ki Lurah itu berkata, "Baiklah. Kembalilah ke bilik kalian masing-masing. Mudah-mudahan kalian, benar-benar mendapat tempat yang baik dan tidak melupakan apa yang pernah aku lakukan bagi kalian."
Adalah di luar sadar ketika kedua orang anak muda itu hampir berbareng berkata, "Terima kasih Ki Lurah."
Ki Lurah Yudoprakosa menepuk pundak anak-anak muda itu. Sambil tersenyum ia berkata, "Jarang aku temukan prajurit seperti kalian ini di Pajang."
Bharata dan Kasadha tidak menjawab lagi. Namun merekapun kemudian minta diri dan meninggalkan ruang khusus itu. Ki Lurah mengantar mereka sampai ke pintu sambil berkata, "Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi pada kesempatan lain."
Namun demikian kedua orang anak muda itu melangkah menjauh, Ki Lurah itu menghentakkan tangannya pada dinding biliknya sehingga terguncang. Sambil menggeram ia berdesis, "Aku bunuh kalian berdua pada kesempatan lain."
Sementara itu Bharata dan Kasadha tidak langsung kembali ke dalam bilik masing-masing. Di sebuah longkangan, di antara barak-barak yang membujur, keduanya duduk di bawah bayangan pepohonan. Ketika seorang prajurit lewat, maka ia terkejut. Tetapi setelah diketahuinya bahwa yang duduk di sepotong papan memanjang di bawah pepohonan itu adalah Kasadha dan Bharata, maka prajurit itu justru mendekat sambil bertanya, "Bagaimana" Bukankah kalian telah dipanggil oleh Ki Lurah?"
"Ya," jawab Kasadha.
"Bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian?" bertanya prajurit itu pula.
"Tidak. Tidak apa-apa," jawab Kasadha pula.
"Syukurlah. Kawan-kawan sudah siap," desis prajurit itu.
Kasadha dan Bharata terkejut. Serentak mereka bertanya, "bersiap untuk apa?"
Prajurit itu tersenyum. Katanya, "Kawan-kawan telah sepakat. Jika terjadi apa-apa atas kalian berdua, maka kawan-kawan akan mengambil tindakan langsung terhadap Ki Lurah."
"Ah," Bharata tiba-tiba saja telah meloncat bangkit, "jangan begitu. Itu satu pemberontakan. Kalian dapat dikenakan tindakan dengan hukuman yang berat. Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian memperhatikan nasib kami berdua. Tetapi jangan dengan cara itu, karena kalian akan mengorbankan masa depan kalian."
"Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kawan-kawan sekarang masih berkumpul di belakang barak, tempat latihan bagian belakang," jawab prajurit itu, "meskipun tidak semua, tetapi sebagian besar dari kami ada disana. Yang lain tetap pada tugas masing-masing untuk mengelabui Ki Lurah."
Kasadha dan Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kasadhapun berkata, "Kita akan pergi ke sana."
Ketika Kasadha dan Bharata datang bersama seorang prajurit maka beberapa kelompok prajurit yang ada di lapangan tempat berlatih itupun segera menyongsongnya.
"Tidak ada apa-apa Ki Sanak," berkata Kasadha kemudian, "kami berterima kasih kepada kalian. Kami sudah mendengar apa yang siap kalian lakukan. Tetapi kalian telah melangkah terlalu jauh sebagai seorang prajurit. Apa yang kalian lakukan ini dapat digolongkan sebagai satu pemberontakan. Karena itu, aku persilahkan kalian kembali ke barak kalian masing-masing. Apapun yang terjadi atas kami, maka cara pembelaan yang kalian lakukan sebaiknya dengan mempergunakan cara yang lain dari sebuah pemberontakan."
Seorang di antara mereka menyahut, "Kami sangat cemas tentang kalian."
"Tetapi berhati-hatilah mengambil langkah. Suasana di Pajang memang agak suram sekarang ini." sambung Bharata, "bagaimanapun juga, kalian harus memikirkan masa depan kalian masing-masing. Kita masih sama-sama muda. Hari-hari mendatang masih panjang bagi kita semua. Sementara kita tidak tahu sampai kapan pergolakan ini berlangsung di Pajang. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Tetapi kalian jangan mengorbankan diri kalian bagi kami."
Para prajurit itu memang tidak menjawab. Tetapi mereka tahu maksud baik Kasadha dan Bharata, agar mereka tidak mengalami kesulitan atas sikap mereka terhadap pimpinan mereka.
"Sekarang, silahkan, sebelum Ki Lurah mengetahui dan memberikan laporan yang dikarangnya sendiri tanpa melihat alasan yang sebenarnya kalian berkumpul disini," berkata Kasadha, "kita akan kembali ke barak dan beristirahat."
Para prajurit itupun kemudian seorang demi seorang telah meninggalkan tempat latihan di belakang barak mereka. Meskipun mereka masih saja berbicara tentang Ki Lurah, tetapi mereka telah memasuki barak masing-masing. Beberapa di antara mereka langsung menjatuhkan diri di pembaringan sehingga amben bambu itu berderit.
Tetapi untuk beberapa saat justru Kasadha dan Bharatalah yang masih tinggal.
Dengan nada rendah Bharata kemudian berkata, "Aku merasa, bahwa akhirnya aku bukan dilahirkan untuk menjadi seorang prajurit."
Kasadha terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, "Apa maksudmu?"
Bharata tidak segera menjawab. Tetapi terkilas wajah ibunya yang gelisah karena sikap Pajang terhadap Tanah-tanah Perdikan yang mengalami kegoncangan. Orang-orang Demak di Pajang sebagian memperhatikan Tanah Perdikan itu sebagai satu sumber derajat dan penghasilan khusus. Justru bekerja sama dengan orang-orang Pajang sendiri yang hatinya lemah dan justru memanfaatkan keadaan.
"Kau nampak gelisah. Bukankah Ki Tumenggung Suraprana telah memberikan banyak penjelasan. Bahkan tentang pergantian Ki Lurah Yudoprakosa?" bertanya Kasadha.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Agaknya aku tidak akan dapat bertahan terlalu lama untuk menjadi seorang prajurit. Agaknya tidak sesuai dengan pembawaanku. Mungkin aku seorang yang terlalu malas untuk dapat bekerja keras sebagai seorang prajurit. Justru tidak di waktu perang. Aku merasa malas untuk bangun pagi-pagi. Melakukan pemanasan tubuh. Kemudian latihan-latihan, beristirahat, makan. Bertugas jaga di regol, makan lagi, kemudian tidur. Aku merasa bahwa kerja yang harus aku lakukan terlalu berat."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau memang aneh Bharata. Ketika kita sedang berperang, kau tidak pernah mengeluh. Dalam keadaan apapun kau tetap tegar dalam tugasmu. Kau telah menyelamatkan nyawaku, bahkan kelompokku. Kau telah melakukan apa saja yang sulit dilakukan orang lain. Sekarang, kau merasa terlalu berat untuk tidak berbuat apa-apa di barak ini. Aku tahu, bahwa kau tentu telah kecewa. Tetapi apakah kita tidak dapat menunggu sejenak, sehingga pada suatu saat kita akan memasuki satu keadaan yang lebih baik dari sekarang?"
Tetapi persoalan Tanah Perdikan itu selalu membayanginya. Sehingga karena itu, maka katanya, "Kasadha. Kita sudah menempuh satu kehidupan bersama. Justru saat-saat yang paling berat. Banyak hal yang bersama-sama kita alami. Rasa-rasanya memang terlalu berat untuk begitu saja berpisah. Tetapi bagaimanapun juga, akhirnya kita memang harus berpisah. Jika tidak karena salah seorang dari kita meninggalkan lapangan keprajuritan, juga pada suatu saat kita akan mendapat tugas yang berbeda."
"Ya," Kasadha mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Hal seperti itu memang harus kita sadari. Tetapi jika kau meninggalkan lapangan keprajuritan rasa-rasanya perpisahan ini menjadi aneh. Berbeda jika kita mendapat tugas kita masing-masing di tempat yang berbeda. Apalagi perpisahan itu terjadi demikian cepatnya."
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga merasakan hal seperti itu. Tetapi ada sesuatu yang mendorongku untuk melakukannya. Meninggalkan satu dunia yang terasa semakin lama tidak menjadi semakin akrab, tetapi semakin asing. Mungkin karena perubahan keadaan yang terjadi di Pajang. Kebetulan bahwa terjadi pula pergolakan di kalangan keprajuritan. Keadaan itulah yang membuat aku semakin tidak memahami duniaku sekarang ini."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya iapun merasakan keadaan seperti itu. Tetapi bagi Kasadha, maka tempat itu adalah tempat yang paling baik baginya. Pada suatu saat, orang-orang yang memburunya karena mereka memburu ayahnya akan menjadi semakin melupakannya. Ia berharap bahwa wajahnya menjadi berubah. Ia sudah menunggu kumisnya tumbuh dan membiarkannya menjadi panjang.
Kasadha yang masih juga begitu seperti Bharata itu merasa dirinya yatim piatu sehingga ia sama sekali tidak mempunyai keinginan pulang, karena ia merasa tidak ada orang yang menunggunya di antara keluarganya. Memang, kadang-kadang terbersit keinginannya untuk bertemu dengan gurunya. Namun keinginan itupun tidak sangat mendesaknya, sehingga kapan saja ia akan dapat minta ijin barang dua tiga hari untuk menengoknya.
Demikianlah, ketika kemudian keduanya telah berada di pembaringan, maka keduanya tidak segera dapat tidur. Kasadha selalu memikirkan sikap Bharata. Ia tentu akan merasa sepi untuk waktu yang lama sebelum ia mendapat satu kesibukan yang akan banyak menyerap perhatiannya.
Namun Kasadha itu akhirnya berkata kepada diri sendiri, "Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh tergantung kepada orang lain, siapapun orang itu. Jika Bharata memilih jalannya sendiri, maka itu adalah haknya. Dan aku harus tegak pada sikapku sendiri. Aku harus memilih yang terbaik bagiku."
Meskipun demikian, Kasadha masih juga belum dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimanapun juga rencana kepergian Bharata tidak dapat dikesampingkannya begitu saja.
Sementara itu Bharata juga sulit untuk dapat segera tidur. Bermacam-macam persoalan hilir mudik di angan-angannya. Sebenarnya ia juga merasa berat untuk dengan tiba-tiba saja meninggalkan Kasadha yang dalam keadaan yang paling gawat di Randukerep rasa-rasanya sudah bersama-sama berada dalam satu kemungkinan hidup dan mati.
Tetapi ia tentu tidak akan dapat berpangku tangan menghadapi kemungkinan yang paling buruk yang mungkin terjadi atas Tanah Perdikan Sembojan. Jika Pajang mengambil keputusan untuk menghapus Tanah Perdikan yang besar seperti Sembojan, maka akibatnya tentu akan sangat terasa bukan saja oleh ibunya, tetapi oleh seluruh rakyat Tanah Perdikan itu.
Karena itu, maka akhirnya Bharata benar-benar mengambil satu keputusan untuk kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Kembali ke dalam lingkungannya yang jauh lebih kecil dari lingkungan keprajuritan Pajang. Namun lingkungan yang telah melahirkannya. Ia menghirup udara Tanah Perdikan Sembojan di saat ia lahir. Ia dibesarkan di Tanah Perdikan itu meskipun dalam bayangan kecemasan. Namun ternyata Sembojan telah memberikan banyak sekali kepadanya, sehingga akhirnya ia berada di lingkungan keprajuritan. Jika ia berada di padepokan kecilnya atau dimana saja, itu bukan berarti bahwa ia telah terpisah dari Sembojan.
"Seandainya tidak ada perubahan kebijaksanaan di Pajang mungkin aku akan berpendirian lain," berkata Bharata itu di dalam hatinya.
Tetapi Bharata juga tidak berniat dengan serta-merta menyatakan sikapnya. Ia memang akan menunggu sampai segala sesuatunya menjadi lebih jelas.
Lewat tengah malam, baik Kasadha maupun Bharata baru dapat meletakkan beban perasaannya, sehingga menjelang dini mereka baru dapat tertidur.
Pagi-pagi seperti biasanya, maka seisi barak telah melakukan pemanasan tubuh. Mereka melakukan kegiatan yang tertib bersama-sama untuk memberikan pengantar pada tugas-tugas mereka kemudian, serta untuk melenturkan tubuh sebagaimana diperlukan oleh seorang prajurit.
Namun ketika kegiatan itu selesai, Ki Lurah Yudoprakosa tidak segera mempersilahkan para prajurit untuk membenahi diri sebagaimana biasanya, tetapi Ki Lurah telah memberikan sedikit sesorah tentang dirinya sendiri dan tentang pendadaran yang telah diselenggarakan di hari sebelumnya. Dengan lantang Ki Lurah mengatakan sebagaimana dikatakannya kepada Kasadha dan Bharata tentang kedua orang anak muda itu.
Beberapa orang prajurit memang menjadi tercengang. Mereka untuk sekilas percaya kepada ceritera Ki Lurah Yudoprakosa. Namun ketika mereka mulai berpikir, maka berbagai pertanyaan telah timbul. Mereka tidak saja menilai pendadaran itu sendiri, tetapi sikap Ki Lurah itu serta langkah-langkah yang diambilnya dalam waktu yang sangat singkat, selama ia berada di barak itu.
Tetapi tidak seorangpun yang membantahnya. Semua orang memandanginya sambil mendengarkan sesorahnya.
Ki Lurahpun menyadari bahwa ia tidak dapat berharap para prajurit itu mempercayainya begitu saja. Karena itu, maka katanya kemudian, "Terserah kepada kalian. Percaya atau tidak percaya. Tetapi aku sudah merasa melakukan sesuatu yang terbaik yang dapat aku lakukan. Aku tidak tahu sejak kapan aku akan ditarik meninggalkan barak ini. Namun aku sudah puas, bahwa aku telah melakukan sesuatu. Kemarin aku sudah mendapat pemberitahuan bahwa aku akan segera dipindahkannya. Tetapi aku tidak tahu, kapan pemindahan itu akan dilaksanakan. Mungkin nanti, besok atau sepekan lagi atau jika sudah ada orang lain yang akan menggantikan aku."
Semua orang terdiam. Namun Bharatalah yang mulai berpikir. Semula ia ingin menunggu sampai Ki Lurah itu meninggalkan barak, baru ia akan minta diri. Ia berniat untuk tidak menyinggung perasaan Ki Lurah pada saat terakhir ia berada di lingkungan keprajuritan itu. Tetapi jika Ki Lurah kemudian tidak pasti bahkan mungkin masih cukup lama, maka Bharata harus berpikir lagi. Rasa-rasanya ia sudah demikian didesak oleh satu keinginan untuk berada di Tanah Perdikannya. Apalagi karena sudah ada satu dua Tanah Perdikan yang mulai dibekukan.
Ki Lurah memerlukan waktu yang agak panjang untuk sesorah. Namun akhirnya ia berkata, "Tetapi selama belum ada perintah, aku tetap Lurah Penatus disini. Perintahku tetap harus diterima sebagai perintah seorang pemimpin disini."
Beberapa orang pemimpin kelompok menarik nafas dalam-dalam. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi. Ki Lurah itu berusaha untuk meninggalkan kesan yang baik. Atau justru memanfaatkan kesempatan yang pendek itu untuk membalas dendam.
Namun sejenak kemudian Ki Lurah telah membubarkan para prajurit itu untuk kembali ke barak masing-masing serta berbenah diri untuk memasuki tugas mereka di hari itu.
Bharata yang selalu digelitik oleh perasaannya itu telah menemui Kasadha sambil berkata, "Bagaimana jika aku menghadap Ki Tumenggung Suraprana untuk mendengar petunjuknya?"
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Tumenggung itu hatinya agaknya cukup terbuka. Aku kira ada juga baiknya kita menghadapnya."
"Besok kita akan menghadap. Besok kita akan minta ijin kepada Ki Lurah di sore hari. Atau barangkali kita dapat mempergunakan waktu istirahat serta saat-saat kita mendapat waktu keluar," berkata Bharata.
"Kita tidak usah minta ijin khusus kepada Ki Lurah. Kita pergunakan saja waktu kita di sore hari saat-saat kita tidak bertugas," berkata Kasadha.
Bharata mengangguk-angguk. Keperluannya lebih banyak berhubungan dengan kepentingan pribadinya. Karena itu, maka mereka memang tidak perlu minta ijin khusus kepada Ki Lurah, meskipun jika secara kebetulan Ki Lurah mengetahui, persoalannya akan dapat berkepanjangan. Tetapi dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, pendadaran ulang sebagai satu usaha Ki Lurah untuk menjatuhkan hukuman yang sangat berat tetapi terselubung, maka Ki Lurah tidak akan berani melakukan tindakan sekehendak hatinya lagi.
Sebenarnyalah di hari berikutnya, ketika para prajurit yang tidak bertugas mendapat kesempatan untuk keluar dari barak, maka Bharata dan Kasadha telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Tanpa diketahui oleh orang lain, bahkan prajurit-prajurit dalam kelompok mereka sendiri, keduanya telah pergi ke rumah Ki Tumenggung Suraprana.
Adalah kebetulan sekali bahwa Ki Tumenggung sore itu tidak bertugas keluar. Karena itu, maka kedua anak muda itupun telah diterimanya dengan senang hati.
Bharata tidak lagi menyembunyikan niatnya. Meskipun ia tidak mengatakan alasan yang sebenarnya, tetapi ia telah mengatakan, bahwa ia berniat untuk mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan.
"Kenapa?" Ki Tumenggung memang agak terkejut.
Alasan yang dikemukakan oleh Bharata, adalah alasan sebagaimana pernah dikatakannya kepada Kasadha.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang luas serta pengenalan yang mendalam terhadap berbagai sifat manusia, maka Ki Tumenggung merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bharata. Tetapi bagaimanapun juga yang disembunyikan itu tentu juga alasan yang sangat penting bagi Bharata secara pribadi, yang menurut pertimbangannya tindak perlu diketahui oleh orang lain.
Karena itu, Ki Tumenggung yang bijaksana itu sama-sekali tidak berusaha untuk mencongkel alasan itu ke permukaan.
Dengan nada rendah Ki Tumenggung itupun telah bertanya, "Apakah keputusanmu sudah bulat Bharata?"
"Ya Ki Tumenggung," jawab Bharata, "semakin lama aku akan menjadi semakin asing dengan diriku sendiri."
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, "Kasadha tentu akan merasa kehilangan seorang sahabat. Kalian telah pernah bekerja bersama dalam satu medan yang sangat gawat di Randukerep meskipun tidak dalam satu perang besar sebagaimana telah terjadi di Prambanan. Namun justru dalam pertempuran yang lebih kecil, maka dituntut kemampuan pribadi setiap prajurit, karena dalam pertempuran seperti itu, maka kemampuan setiap prajurit akan menentukan hidup atau mati."
Kasadha mengangguk kecil. Katanya, "Ya Ki Tumenggung. Aku sudah berusaha untuk menahannya. Tetapi Bharata nampaknya sudah bertekad bulat untuk meninggalkan dunia keprajuritan."
"Sebenarnya akupun menyayangkan keputusan itu. Bharata adalah salah seorang prajurit terbaik di Pajang. Apalagi setelah orang-orang Demak semakin berkuasa disini. Namun agaknya justru karena itu, Bharata merasa kecewa. Ia masuk dalam lingkungan keprajuritan justru saat Pajang dibakar oleh tekad untuk mempertahankan diri. Namun justru kemudian sesuatu yang sama sekali tidak diduga telah terjadi. Bukan pengaruh Mataram yang mencengkam kita disini. Tetapi justru pengaruh Demak."
Bharata tidak menjawab. Ia memang tidak dapat mengatakan apa-apa di hadapan Ki Tumenggung. Bahkan tidak kepada Kasadha, yang dianggapnya sebagai sahabatnya yang terdekat.
"Bharata," berkata Ki Tumenggung selanjutnya, "Namun segala sesuatunya terserah kepadamu. Jika jiwamu memang sudah merasa hambar, maka tidak seorangpun dapat memaksamu."
"Aku datang untuk mohon petunjuk Ki Tumenggung," berkata Bharata kemudian.
"Sulit bagiku untuk memberikan satu petunjuk yang tegas. Sebagian besar dari keputusannya terletak kepadamu sendiri Bharata," berkata Ki Tumenggung, "yang dapat aku katakan adalah tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat kau dapatkan di lingkungan keprajuritan. Kau telah terbukti memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan. Agaknya kau dan Kasadha pada masa yang akan datang, akan mendapat kesempatan pertama untuk diangkat dalam kedudukan yang lebih tinggi. Itu jika keadaan di Pajang wajar tanpa campur tangan orang-orang Demak. Sedangkan kemungkinan lain di luar lingkungan keprajuritan aku tidak dapat mengatakannya."
Bharata mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa Ki Tumenggung tidak akan dapat memberikan petunjuk yang pasti, karena sebagaimana dikatakannya, segala sesuatunya tergantung pada dirinya.
Namun kemudian Bharata mohon petunjuk, kapan sebaiknya ia minta diri dari lingkungan keprajuritan, karena penarikan Ki Lurah Yudoprakosa masih belum pasti. Sehingga ia tidak akan dapat memperhitungkan waktunya.
"Memang belum pasti," berkata Ki Tumenggung, "menurut pendapatku, kau tidak usah menunggunya."
Sambil mengangguk hormat Bharata berkata, "Aku mengucapkan terima kasih Ki Tumenggung. Sekaligus aku mohon diri jika aku tidak dapat menghadap Ki Tumenggung lagi."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apaboleh buat. Tetapi aku merasa prajurit Pajang telah kehilangan salah seorang, yang terbaik di antaranya."
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu telah mohon diri. Ki Tumenggung yang mengantar mereka sampai ke regol sempat bertanya, "Apakah kau juga akan menemui Ki Lurah Dipayuda?"
"Dimana kami dapat menemuinya Ki Tumenggung?" bertanya Bharata.
"Rumahnya memang agak jauh di luar kota Pajang. Tetapi ia sering datang kemari. Jika pada suatu saat ia datang, biarlah aku mengatakannya tentang rencanamu," berkata Ki Tumenggung.
"Terima kasih Ki Tumenggung."
"Tetapi aku tidak tahu pasti, kapan Ki Lurah itu datang kemari. Anaknya adalah seorang pedagang kuda yang sering datang ke kota. Jika bukan Ki Lurah sendiri, biarlah jika anaknya singgah ke rumahku aku akan berpesan kepadanya. Dalam waktu dekat anaknya tentu datang, karena aku telah memesan seekor kuda berwarna gelap. Kudaku yang satu sudah terlalu tua," berkata Ki Tumenggung.
"Terima kasih Ki Tumenggung," jawab Bharata sambil mengangguk dalam-dalam.
Sejenak kemudian, maka kedua orang prajurit muda itu telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung. Bharata sempat bergumam, "Mudah-mudahan aku dapat minta diri kepada Ki Lurah Dipayuda sebelum meninggalkan barak."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun segala sesuatunya tergantung kepada kehadiran Ki Lurah atau anaknya.
Namun tiba-tiba saja Kasadha itu berkata, "Ternyata anak Ki Lurah Dipayuda tidak menjadi seorang prajurit."
"Ya," desis Bharata, "Ki Lurah sendiri seorang prajurit yang sudah cukup lama mengabdi kepada Pajang."
Bharata mengangguk-angguk. Namun iapun berdesis, "Malam nanti aku akan menghadap Ki Lurah Yudoprakosa."
"Demikian tergesa-gesa Bharata?" bertanya Kasadha dengan suara dalam.
Bharata hanya menarik nafas panjang. Hampir saja ia mengatakan dorongan yang memaksanya meninggalkan lingkungan keprajuritan. Tanah Perdikan dalam hubungannya dengan kebijaksanaan para pemimpin yang datang dari Demak. Namun ia masih sempat mengendalikan diri.
"Itu persoalan yang sangat pribadi," berkata Bharata di dalam hatinya meskipun ia tidak merasa ketakutan bahwa ada orang yang akan menyingkirkannya. Persoalan yang dihadapinya kini tidak lagi seseorang yang dianggap membahayakan jiwanya, tetapi adalah kebijaksanaan pimpinan pemerintahan yang sebagian datang dari Demak serta sebagian orang Pajang sendiri itulah.
Seperti yang dikatakannya, maka ketika malam mulai turun, Bharata telah menemui Kasadha untuk menyatakan niatnya menghadap Ki Lurah Yudoprakosa. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku ingin persoalanku cepat selesai."
Kasadha mengangguk kecil. Katanya, "Hati-hatilah berbicara dengan Ki Lurah. Jika kau memerlukan aku, panggil aku disini."
Bharata mengangguk kecil. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.
Dengan jantung yang berdebar-debar, maka Bharata telah datang menghadap ke bilik Ki Lurah Yudoprakosa. Nampaknya Ki Lurah juga terkejut menerima kedatangan Bharata. Hampir saja ia membentaknya dan mengusirnya. Tetapi ketika ia melihat prajurit muda itu berdiri tegak di depan pintu serta pandangan matanya yang berat memandanginya, maka dengan ramah Ki Lurahpun telah mempersilahkannya masuk.
"Apa yang dapat aku bantu?" bertanya Ki Lurah Yudoprakosa.
Bharatapun kemudian dengan singkat telah menjelaskan maksudnya untuk minta diri, mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan.
"Kau salah paham Bharata," desis Ki Lurah, "bukankah sudah aku katakan, bahwa niatku baik?"
"Tidak Ki Lurah," potong Bharata dengan serta-merta, "tidak ada hubungannya dengan pendadaran ulang itu."
"Jadi kenapa tiba-tiba saja kau ingin mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan" Kau adalah satu di antara dua orang terbaik disini. Seharusnya kau bangga dengan kelebihanmu itu di dunia keprajuritan," berkata Ki Lurah.
"Aku mengerti Ki Lurah. Tetapi ada sesuatu yang mendesak di dalam hati. Kerinduan kepada orang tua, perasaanku yang ternyata sangat lemah, sehingga aku merasa terlalu letih untuk berada di lingkungan keprajuritan serta desak-desakan yang lain yang tidak aku ketahui ujung pangkalnya," berkata Bharata.
"Bagaimana dengan Kasadha?" bertanya Ki Lurah.
"Kasadha akan tetap tinggal disini Ki Lurah. Ini juga satu bukti bahwa kepergianku tidak ada hubungannya dengan pendadaran ulang yang baru saja dilakukan. Bahkan aku mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Ki Lurah berikan untuk menunjukkan kelebihanku," jawab Bharata.
Ki Lurah Yudoprakosa memang berpikir keras. Tetapi bahwa kedua orang sahabat yang memiliki kelebihan dari para prajurit kebanyakan itu sebaiknya memang berpisah.
Karena itu, maka Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Aku sudah mendengar permohonanmu Bharata. Malam nanti aku akan memikirkannya. Selanjutnya aku masih harus melaporkan kepada Ki Tumenggung Wiradigda. Besok aku akan menghadap. Mudah-mudahan besok sore aku sudah dapat memberikan jawaban."
"Terima kasih Ki Lurah," desis Bharata kemudian, "aku mohon pertolongan Ki Lurah. Ibuku akan ikut berterima kasih jika permohonan ini dikabulkan."
"Kenapa ibumu?" bertanya Ki Lurah.
"Aku akan selalu berada di sampingnya. Membantunya bekerja di sawah dan kerja lain di rumah. Ibuku sudah menjadi semakin tua," jawab Bharata dengan hati yang berdebar-debar.
"Apakah hal seperti ini tidak kau pertimbangkan ketika kau memasuki lingkungan keprajuritan?" bertanya Ki Lurah.
Bharata menjadi cemas jika pembicaraan itu berkepanjangan. Namun ia menjawab, "Saat itu, Pajang memanggil anak-anak mudanya Ki Lurah, saat Pajang terancam oleh Mataram. Setiap anak muda memang merasa terpanggil. Sekarang, keadaan telah berangsur tenang dan membaik. Segala sesuatunya telah menjadi semakin tertib."
Ki Lurah tidak segera menjawab. Sementara Bharata menjadi semakin berdebar-debar. Namun akhirnya Ki Lurah itu berkata, "Baiklah. Kembalilah ke tempatmu. Besok sore atau selambat-lambatnya besok lusa aku akan memberikan jawaban."
Bharata mengangguk hormat. Iapun kemudian minta diri dan kembali ke tempatnya. Bharata sempat singgah menemui Kasadha dan mengatakan jawaban Ki Lurah kepadanya.
"Ki Lurah tentu akan menerima dengan senang hati," berkata Kasadha.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian telah meninggalkan Kasadha yang merenungi dirinya sendiri.
Di hari berikutnya, berita tentang permohonan Bharata telah tersebar kemana-mana. Ki Lurah memang telah mengatakannya kepada prajurit yang sedang bertugas. Namun dengan demikian, maka berita itu telah tersebar ke setiap telinga.
Karena itu, maka ketika para prajurit itu berkumpul di tempat latihan untuk melakukan pemanasan tubuh di pagi-pagi hari, maka Bharata telah dikerumuni oleh kawan-kawannya, sehingga Bharata mengalami kesulitan untuk menjawab setiap pertanyaan. Namun Bharata telah menjaga diri agar tidak terloncat dari mulutnya persoalan Tanah Perdikan itu.
Siang itu Ki Lurah memang meninggalkan barak untuk menghadap Ki Tumenggung Wiradigda. Namun ketika Ki Lurah itu sampai ke Katumenggungan, maka Ki Tumenggung Suraprana telah berada di tempat itu pula.
Tetapi Ki Tumenggung Suraprana tidak mencampuri persoalan yang kemudian dikemukakan oleh Ki Lurah tentang permohonan Bharata.
"Menurut keterangannya, tidak ada hubungannya dengan pendadaran ulang itu Ki Tumenggung," berkata Ki Lurah, "ternyata bahwa yang seorang lagi tidak menyatakan diri untuk mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan."
Ki Tumenggung Wiradigda mengangguk-angguk. Sebenarnya ia sudah mendengar dari Ki Tumenggung Suraprana. Namun karena Ki Tumenggung juga tidak mencampurinya, maka hal itu tidak disinggungnya sama sekali.
"Aku mohon petunjuk Ki Tumenggung," berkata Ki Lurah kemudian.
Ki Tumenggung Wiradigda sebenarnya juga merasa sayang, bahwa prajurit muda yang baik itu berniat untuk mengundurkan diri. Tetapi karena itu adalah haknya, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Apaboleh buat. Mungkin ia dapat berbuat lebih banyak bagi Pajang setelah ia mengundurkan diri."
Ki Lurah mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Tumenggung berkata, "Kita akan melepas kepergiannya dengan satu upacara khusus. Aku telah mendengar banyak laporan tentang Bharata. Ia telah melakukan tugasnya dengan sangat baik di saat perang antara Pajang dan Mataram berlangsung. Sebelum ia ditarik ke dalam tugas pengawalan, maka ia berada di sisi Selatan Pajang. Di Randukerep di bawah pimpinan Ki Lurah Penatus Dipayuda, maka Bharata dan Kasadha telah menunjukkan kelebihannya. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang telah berjuang dengan gigih untuk menahan arus pasukan Mataram dari lambung Selatan. Karena itu maka pendadaran ulang untuk menunjukkan kelebihan mereka sebagaimana Ki Lurah katakan itu, sebenarnya tidak perlu, karena setiap prajurit sudah mengetahuinya. Bukan sekedar di arena pendadaran, tetapi benar-benar di medan perang."
Ki Lurah Yudoprakosa tidak menjawab, kepalanya menunduk dalam-dalam. Namun ternyata dendamnya kepada Bharata menjadi semakin memuncak.
"Jadi," berkata Ki Tumenggung Wiradigda kemudian, "tentukan saja, kapan kau ingin melepas Bharata."
"Kami, maksudku aku dan Ki Tumenggung Suraprana akan hadir."
Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Namun ia tidak berani mengangkat wajah itu. Demikian pentingnya Bharata bagi kedua orang Tumenggung itu sehingga keduanya akan memerlukan hadir melepasnya meninggalkan baraknya.
Tetapi Ki Lurah tidak dapat berbuat apapun juga. Ia harus menerima hal itu betapapun hatinya terasa panas.
"Nah," berkata Ki Tumenggung kemudian, "apakah masih ada persoalan lain yang ingin kau katakan?"
"Tidak Ki Tumenggung," berkata Ki Lurah dengan nada dalam bahkan, "aku akan mohon diri."
Ki Tumenggungpun kemudian melepas Ki Lurah sampai ke tangga pendapa. Kemudian Ki Tumenggung telah berbincang kembali dengan Ki Tumenggung Suraprana yang tidak mencampuri sepatah katapun ketika Ki Tumenggung Wiradigda berbincang dengan Ki Lurah Yudoprakosa.
Ki Lurah yang kemudian kembali ke baraknya telah mengumpat di dalam hatinya. Ia memang merasa tidak senang terhadap sikap Ki Tumenggung yang seakan-akan menganggap Bharata seorang pahlawan.
Ketika Ki Tumenggung itu sampai ke sebuah simpang tiga, tiba-tiba ia telah menarik kekang kudanya dan berbelok ke kanan meninggalkan jalur jalan kembali ke baraknya.
Tetapi di sore hari Ki Tumenggung sudah berada di baraknya kembali. Iapun kemudian telah memanggil Bharata dan memberitahukan hasil pembicaraannya dengan Ki Tumenggung Wiradigda.
"Ki Tumenggung Suraprana juga ada disana," berkata Ki Lurah.
Bharata menjadi berdebar-debar. Namun Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Tetapi Ki Tumenggung Suraprana sama sekali tidak mencampuri pembicaraan kami karena ia merasa tidak berhak melakukannya."
Bharata tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Namun dengan demikian ia mengerti, bahwa sebentar lagi, ia benar-benar akan meninggalkan dunia keprajuritan.
Akhirnya Ki Lurah telah memberikan laporan kepada Ki Tumenggung, bahwa tiga hari lagi, Ki Lurah akan melepas Bharata dalam satu upacara sebagaimana diperintahkan oleh Ki Tumenggung.
"Baiklah," berkata Ki Tumenggung, "seperti yang sudah aku katakan, maka aku akan hadir dalam upacara itu."
Demikian upacara selesai, Bharata benar-benar akan meninggalkan barak itu.
"Ki Tumenggung. Aku tidak dapat mencegahnya, meskipun hanya untuk satu malam saja."
"Kalau itu sudah menjadi keputusannya, baiklah," berkata Ki Tumenggung. Namun kemudian Ki Tumenggung itupun berkata, "Ki Lurah. Bukankah aku pernah memberitahukan, bahwa dalam waktu dekat Ki Lurah akan mendapat tugas baru. Karena itu, upacara itu akan dapat dilakukan sekaligus dengan melepas Ki Lurah Yudoprakosa dari jabatan Ki Lurah sekarang."
Terasa hentakkan yang keras mengguncang dada Ki Lurah. Bahkan rasa-rasanya wajahnya menjadi panas. Bukan saja karena begitu tiba-tiba ia harus melepaskan jabatannya, namun bahwa upacara untuk melepasnya sekedar merupakan acara tambahan dari upacara yang diperuntukkan bagi Bharata.
"Ini tidak masuk akal dan tidak adil," Ki Lurah hanya berani berteriak di dalam hatinya. Tetapi ia sama sekali, tidak mengatakan sesuatu.
Namun ada sedikit kesejukan di hati Ki Lurah ketika Ki Tumenggung berkata, "Ketika aku mengusulkan untuk melepas Bharata dengan satu upacara, memang sudah terbayang niat untuk sekaligus melepas Ki Lurah. Tetapi karena aku masih harus mengadakan beberapa pembicaraan, maka hal itu belum aku katakan. Karena itu, maka katakanlah bahwa upacara itu adalah upacara untuk melepas Ki Lurah sekaligus untuk melepas Bharata."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih atas kehormatan ini Ki Tumenggung. Sudah tentu aku tidak akan menolak tugas apapun yang akan dibebankan kepadaku, karena aku adalah seorang prajurit."
"Baiklah. Kau dapat mempersiapkannya sejak sekarang," berkata Ki Tumenggung.
Namun Ki Lurah masih bertanya, "Jika berkenan di hati Ki Tumenggung, apakah aku boleh mengetahui, siapakah yang akan menggantikan kedudukanku?"
"Aku masih membicarakannya. Jika sampai saatnya aku belum menemukannya, maka untuk sementara aku akan merangkap tugas Lurah Penatus di barakmu."
Ki Lurah termangu-mangu. Namun iapun kemudian berdesis, "Terima kasih Ki Tumenggung. Jika demikian, perkenankanlah aku mohon diri. Aku akan mulai mengadakan persiapan-persiapan dan latihan-latihan. Barangkali acara pelepasan yang dimaksud Ki Tumenggung adalah acara sebagaimana biasa dilakukan oleh para prajurit."
"Ya. Kau tentu tahu, bagaimana hal itu dilaksanakan," berkata Ki Tumenggung.
Ki Lurahpun kemudian telah meninggalkan Katumenggungan. Tetapi seperti yang terdahulu, maka iapun, telah berbelok ke kanan, keluar dari jalur jalan menuju ke baraknya.
Demikianlah, di hari berikutnya segala sesuatunya telah dipersiapkan oleh Ki Lurah. Ki Lurahpun telah memberitahukan kepada para prajurit, bahwa ia akan segera meninggalkan barak itu. Karena itu, maka para prajurit telah memasuki latihan upacara pelepasan Ki Lurah itu dan sekaligus melepas Bharata pula.
Ternyata bahwa tanggapan para prajurit atas kepergian dua orang anggotanya sangat berbeda. Mereka merasa kehilangan Bharata. Bahkan juga prajurit-prajurit yang menyusul kemudian memasuki kelompoknya, yang terpaksa diperlakukan dengan keras oleh Bharata. Namun mereka merasa bersyukur atas kepergian Ki Lurah Yudoprakosa yang sama sekali tidak mereka kehendaki kehadirannya di barak itu.
Demikianlah, dua hari penuh para prajurit telah melakukan latihan. Ki Lurah ingin acara pelepasan itu berlangsung dengan baik, untuk memberikan kesan terakhir bagi kehadirannya di barak itu.
Pada hari berikutnya, maka upacara pelepasan itu akan berlangsung. Pagi-pagi benar semuanya sudah dipersiapkan. Tidak sebagaimana pernah dilakukan atas Ki Lurah Dipayuda. Tetapi kesan pelepasan saat itu akan terasa lebih mendalam.
Ki Lurah sudah menentukan titik-titik dimana ia harus berdiri. Kemudian dimana Bharata harus berdiri di saat pelepasan itu berlangsung. Bagaimanapun juga, Ki Lurah Yudoprakosa adalah lebih besar dari Bharata.
Pada saat yang ditentukan, maka beberapa orang pemimpin keprajuritan telah hadir. Ki Tumenggung Wiradigda dan Ki Tumenggung Suraprana benar-benar telah datang ke barak itu diiringi beberapa orang perwira dan prajurit pengawal, sehingga kesan kehadirannya memang resmi. Salah seorang dari para perwira yang mengikutinya, adalah perwira pembantu Ki Tumenggung Wiradigda yang bertugas mengatur kedudukan para perwira bawahan mereka.
Dalam pada itu, sebelum upacara pelepasan itu secara resmi berlangsung, maka Ki Tumenggung Suraprana sempat bertanya kepada Bharata, apakah Ki Lurah Dipayuda telah datang.
Bharata termangu-mangu. Namun iapun menjawab, "Belum Ki Tumenggung."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Aku sudah berpesan kepada anaknya yang benar-benar datang menawarkan seekor kuda yang sangat bagus. Aku setuju membeli kudanya. Sekaligus aku berpesan tentang pelepasanmu hari ini."
Bharata memang merasa kecewa. Agaknya Ki Lurah Dipayuda sudah tidak menghiraukan dirinya lagi. Karena itu, maka ia sama sekali tidak merasa perlu untuk hadir dalam pelepasan itu.
Namun Ki Tumenggung yang melihat kekecewaan itu berkata, "Sudahlah. Barangkali Ki Lurah sedang sibuk. Mungkin ada sesuatu yang harus diselesaikannya hari ini sehingga ia tidak sempat datang menengokmu atau menghadiri upacara pelepasan ini. Tetapi ia bukan berarti bahwa Ki Dipayuda telah melupakanmu."
Bharata mengangguk kecil sambil berkata, "Ya Ki Tumenggung. Mudah-mudahan aku masih sempat bertemu lagi."
"Kesempatan itu akan datang. Ki Lurah pernah berkata kepadaku, bahwa kau dan Kasadha seakan-akan telah menjadi anak-anaknya sendiri. Itu adalah satu, penghargaan yang sangat tinggi dari seorang pimpinan langsung kepadamu dan kepada Kasadha," berkata Ki Tumenggung Suraprana.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ternyata sampai saatnya upacara dilaksanakan, Ki Lurah Dipayuda tidak datang ke barak itu.
Demikianlah, upacara kecil itu telah berlangsung dengan lancar dan baik. Semua berjalan sesuai dengan rencana Ki Lurah. Pada saat pelepasan, maka Ki Lurah berdiri tegak dengan segenap pertanda kebesarannya. Sementara itu agak ke belakang, Bharatapun berdiri tegak mendengarkan ketetapan yang diuraikan oleh seorang perwira pembantu Ki Tumenggung Wiradigda sebelum Ki Tumenggung berbicara di hadapan pasukan kecil itu.
Ketetapan yang diucapkan oleh perwira itu menyatakan, bahwa Ki Lurah Yudoprakosa telah ditarik untuk jabatan yang akan ditetapkan kemudian dengan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya selama waktu yang terhitung singkat, membina pasukan kecil itu sebagai Lurah Penatus. Perwira itupun juga menyatakan bahwa Bharata seorang prajurit yang menjabat sebagai seorang pemimpin kelompok telah menanggalkan jabatannya atas permohonannya sendiri. Permohonan itu diijinkan dan ditetapkan disertai ucapan terima kasih atas segala jasa-jasanya selama ia menjadi prajurit Pajang. Bharata telah mempertahankan jiwanya dan termasuk salah seorang yang ikut menentukan keselamatan pasukan Pajang di Randukerep saat menghadapi pasukan Mataram yang berusaha menyerang Pajang dari lambung.
Semua prajurit mendengarkan ketetapan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Mereka tidak peduli apakah Ki Lurah akan dipindahkan kemanapun atau bahkan dikembalikan ke Demak sekalipun. Namun mereka memang merasa berat berpisah dengan Bharata. Apalagi mereka yang melihat langsung, apa yang telah dilakukan oleh Bharata dan Kasadha di Randukerep. Bahkan Kasadhapun merasa bahwa Bharata telah pernah menyelamatkan hidupnya di medan pertempuran yang garang itu.
Namun di samping kedua ketetapan itu ternyata masih ada satu ketetapan yang sangat mengejutkan. Ketetapan yang tidak diduga sebelumnya. Apalagi Ki Lurah Yudoprakosa, bermimpipun tidak.
Ketetapan itu menetapkan, berhubungan dengan jabatan pimpinan pasukan itu menjadi kosong, karena Lurah Penatus Yudoprakosa ditarik untuk jabatannya yang baru yang akan ditetapkan kemudian, maka orang akan melaksanakan tugasnya untuk sementara adalah seorang prajurit muda yang bernama Kasadha.
Ketetapan itu bukan saja mengejutkan. Tetapi juga menggemparkan. Para prajurit sekejap melupakan upacara yang sedang mereka lakukan. Mereka lupa bahwa mereka sedang berdiri tegak. Bagaimanapun juga sentuhan perasaan mereka telah mengungkit gejolak di dada mereka, sehingga tiba-tiba saja terdengar para prajurit yang sedang berdiri tegak itu bersorak. Secara serta-merta mereka menunjukkan dukungan mereka terhadap ketetapan itu.
Darah Ki Lurah yang memang sudah terasa panas karena kehilangan jabatannya itu menjadi semakin panas. Ia langsung dapat membaca perasaan para prajurit itu terhadap dirinya dan terhadap kedua orang prajurit muda itu. Seandainya yang diangkat itu Bharata, maka sambutan merekapun akan serupa.
Dendam Ki Lurah menjadi semakin bertumpuk ditimpakan kepada Bharata. Jika Kasadha benar-benar ditetapkan, ia akan mempunyai jabatan yang sama dengan jabatannya meskipun dalam urutan penugasannya masih jauh lebih muda. Kesempatannya untuk melepaskan kebenciannya kepada Kasadha akan menjadi semakin terbatas. Tetapi Bharata yang sudah melepaskan diri dari kedudukannya, akan dapat diperlakukan lebih buruk lagi, tanpa banyak akibat yang harus diperhitungkan.
Demikianlah, setelah ketetapan itu dibaca, maka Ki Tumenggung Wiradigda telah memberikan sesorahnya. Tidak terlalu panjang, tetapi langsung mengenai sasarannya. Ucapan selamat kepada yang dilepas, harapan-harapan bagi yang diangkat menjadi pelaksana sementara pimpinan di barak itu.
Namun di dalam sesorahnya yang pendek itu ternyata tersimpan kekuatan jabatannya dan ketegasan perintahnya. Baik bagi Ki Lurah Yudoprakosa maupun bagi Kasadha.
Demikianlah sejenak kemudian maka upacara itupun dinyatakan selesai. Ki Tumenggung Wiradigda dan Ki Tumenggung Suraprana telah memberikan ucapan selamat kepada Ki Lurah dan Bharata secara pribadi. Demikian pula para perwira yang lain. Sementara itu, dengan serta-merta maka para prajuritpun telah mengerumuni Bharata. Mereka seolah-olah telah melupakan Ki Lurah Yudoprakosa. Apalagi Ki Lurah tidak lagi menjadi pimpinan mereka sehingga perhatian merekapun tidak lagi terpancang kepadanya.
Setelah mengucapkan selamat berpisah kepada Bharata yang akan segera meninggalkan barak itu, maka para prajuritpun telah mengerumuni Kasadha yang juga telah mendapat ucapan selamat secara pribadi dari para Tumenggung dan perwira yang lain.
Ki Lurah yang seakan-akan tidak lagi menjadi bagian dari kesibukan itu menggeretakkan giginya. Kebenciannya kepada Bharata semakin membakar jantungnya.
Tetapi selain para Tumenggung dan para pengiringnya, maka Bharata dan Kasadhalah orang-orang yang pertama-tama mendatanginya dan mengucapkan selamat berpisah.
"Kita akan menuju ke arah kita masing-masing Ki Lurah," berkata Bharata, "namun Ki Lurah akan tetap berada di dunia keprajuritan, sedangkan aku terpaksa meninggalkannya dan memasuki duniaku sendiri sebagaimana aku belum memasuki lingkungan keprajuritan."
"Terima kasih Bharata," berkata Ki Lurah, "mudah-mudahan kau mendapatkan ketenangan lahir dan batin di duniamu sendiri."
"Mudah-mudahan Ki Lurah," sahut Bharata. Sementara Kasadha berkata, "Atas nama seluruh prajurit di barak ini, kami mengucapkan terima kasih atas bimbingan Ki Lurah selama ini."
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Selamat bagimu Kasadha. Mudah-mudahan kedudukanmu segera disahkan. Kau akan menjadi Lurah Penatus yang baik bagi prajurit-prajuritmu. Meskipun menjadi seorang pemimpin betapapun kecilnya, mempunyai kesulitannya sendiri."
"Aku mohon doa restu Ki Lurah," sahut Kasadha.
Ki Lurah tersenyum, meskipun di dalam hati ia mengumpat, "Gila anak ini. Ia sudah berani menyebut dirinya atas nama para prajurit, sementara ia belum melakukan tugasnya sama sekali."
Demikianlah, maka para Tumenggung dan pengiringnya yang telah menyelesaikan upacara itupun segera minta diri. Mereka masih mempunyai tugas lain yang harus mereka lakukan hari itu.
Sepeninggal para pemimpin, maka Bharatalah yang kemudian telah minta diri pula kepada Ki Lurah. Dengan nada rendah ia berkata, "Perkenankan aku mendahului Ki Lurah. Mumpung masih pagi."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan meninggalkan barak ini siang nanti. Aku sebenarnya merencanakan untuk bermalam satu malam lagi disini. Tetapi aku telah berubah pendirian. Mungkin akan lebih baik bagiku untuk meninggalkan tempat ini segera, karena aku masih harus membenahi rumahku sendiri sebelum keluargaku aku bawa kemari dari Demak," Ki Lurah berhenti sejenak, lalu, "Dengan siapa kau akan menempuh perjalanan kembali?"
"Sendiri Ki Lurah," jawab Bharata.
"Sendiri" Apakah sebelumnya kau tidak memberikan kabar kepada keluargamu agar menjemputmu?" bertanya Ki Lurah.
"Aku sudah cukup dewasa. Bahkan aku telah pernah menjadi seorang prajurit. Apa salahnya jika aku berjalan sendiri?" sahut Bharata.
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Kau memang anak luar biasa."
Demikianlah, setelah minta diri kepada Kasadha dan seluruh prajurit di barak itu, Bharata telah meninggalkan barak yang dihuninya di saat-saat terakhir ia menjadi prajurit. Ia telah memberikan beberapa dorongan kepada Kasadha untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
"Jika kita berjumpa lagi, maka sedikitnya kau harus sudah menjadi Lurah Penatus yang sebenarnya. Bukan sekedar pengemban tugas untuk sementara," berkata Bharata sebelum meninggalkan barak itu.
Kasadha mengangguk-angguk. Ketika ia bertanya tentang tempat tinggal Bharata, maka yang dikatakannya adalah sebuah Kademangan yang bernama Bibis. Ia sama sekali tidak mengatakan bahwa dirinya adalah cucu Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang paling berhak untuk menggantikannya setelah ayahnya, Ki Wiradana terbunuh. Ia sama sekali tidak mengatakan bahwa kekacauan telah timbul di rumah tangga orang tuanya setelah seorang perempuan yang bernama Warsi mulai hadir di tengah-tengah hubungan antara ayah dan ibunya.
Demikianlah, maka dengan hati yang sangat berat, terutama Kasadha, seisi barak itu telah melepas kepergian Bharata yang tidak mau tertunda lagi.
Sebenarnyalah Bharata merasa agak tergesa-gesa untuk bertemu kembali dengan keluarganya. Bukan sekedar menengok untuk satu dua hari dan kembali lagi ke baraknya. Tetapi ia ingin mendampingi ibunya pada saat-saat terjadi pergolakan kebijaksanaan di Pajang. Selain karena kehadiran orang-orang Demak yang ikut berkuasa di Pajang, juga karena orang Pajang sendiri sebagian ingin memanfaatkan keadaan bagi kepentingan diri sendiri.
Karena itulah maka Bharata tidak ingin menuju ke Bibis, meskipun ia tahu bahwa tentu ada seseorang atau lebih berada di padepokan kecil itu. Mungkin kakeknya, mungkin neneknya atau Bibi atau Sambi Wulung dan Jati Wulung atau siapapun yang ada disana. Namun ia ingin segera berada di Tanah Perdikan Sembojan.
"Mudah-mudahan belum terjadi sesuatu di Tanah Perdikan itu. Jika Pajang sudah terlanjur mengambil tindakan, maka Sembojan harus menentukan sikap lebih lanjut," berkata Bharata di dalam hatinya.
Namun di perjalanan kembali ke Sembojan, bukan jarak yang pendek. Ia harus menempuh jarak yang cukup panjang.
Tetapi Bharata sudah bertekad untuk berjalan terus meskipun nanti saatnya malam turun. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mencapai Sembojan sebelum malam. Apalagi ketika ia menengadahkan wajahnya. Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Upacara pelepasan itu memerlukan waktu yang agak lama juga.
Dalam pada itu, Bharatapun merasa kecewa, bahwa di saat terakhir ia berada di Pajang, ia tidak dapat bertemu, dengan Ki Lurah Dipayuda. Sedangkan untuk menemuinya di rumahnya akan dibutuhkan waktu tersendiri. Sementara hatinya selalu gelisah karena kebijaksanaan baru Pajang terhadap Tanah Perdikan.
"Mungkin pada kesempatan lain, aku dapat menemuinya," berkata Bharata di dalam hatinya.
Sementara Bharata menempuh perjalanan jauh, Kasadha yang menyendiri, masih saja merenungi kepergian sahabatnya itu. Bahkan yang pernah menyelamatkan jiwanya. Tugas baru di barak itu memang memberikan kebanggaan kepadanya. Tetapi perasaan itu tenggelam dalam perasaan sepi sepeninggal Bharata.
Namun kadang-kadang memang telah timbul pertanyaan di dalam hatinya, kenapa anak itu mirip sekali dengan dirinya sendiri, sehingga pantas jika ada orang yang keliru dan menyangkanya Puguh. Seandainya Kasadha itu sendiri bukan Puguh, maka ia memang akan dapat menyangka bahwa Bharata itulah Puguh.
Tetapi anak muda itu telah pergi.
Dalam pada itu, Bharata sendiri telah menyusuri jalan kota Pajang yang nampak ramai. Kehidupan memang telah bangun kembali setelah perang berakhir. Tidak nampak jelas pengaruh para pemimpin Demak di Pajang dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam pemerintahan dan bidang keprajuritan pengaruh itu nampak jelas sekali.
Tetapi ketika Bharata itu kemudian keluar dari regol kota, maka iapun mulai dibayangi oleh beberapa peristiwa yang telah pernah terjadi. Beberapa orang pernah menyangkanya sebagai Puguh. Orang-orang yang mendendam anak muda yang bernama Puguh itu telah berusaha menangkapnya dan membawanya.
"Apaboleh buat," berkata Bharata, "jika aku terpaksa bertemu dengan orang-orang itu, maka aku harus membebaskan diri."
Tetapi Bharata berusaha untuk melupakan kemungkinan itu. Apalagi Bharata diperkenankan membawa pedangnya selagi ia menjadi prajurit, sebagai kenang-kenangan atas tugas yang pernah dipikulnya.
Sementara itu langitpun menjadi semakin cerah. Matahari yang semakin panas memanjat langit semakin tinggi. Namun angin yang bertiup dari Selatan telah membawa kesejukan tersendiri.
Bharata berjalan cepat menyusuri jalan-jalan bulak. Ia ingin segera sampai ke tujuannya.
Namun, ternyata bahwa perjalanannya tidak selancar yang diinginkannya. Ketika ia berbelok lewat sebuah tikungan di sebuah bulak panjang, maka beberapa puluh langkah di hadapannya dilihatnya dua orang yang berloncatan ke jalan yang dilaluinya.
Bharata memang menjadi agak berdebar-debar. Tetapi ia mencoba untuk berjalan saja tanpa menghiraukan mereka. Bahkan Bharata yang membawa sebungkus pakaiannya itu berjalan sambil menunduk.
Tetapi yang dicemaskan itu terjadi. Dua orang itu telah menghentikannya.
Semula Bharata mengira bahwa ia berhadapan dengan dua orang penyamun. Apalagi bulak yang dilaluinya itu adalah sebuah bulak yang panjang.
Tetapi ternyata bahwa kedua orang itu bukan penyamun, karena seorang di antara mereka berkata, "Nah, selamat bertemu disini, Bharata."
Bharata mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Siapakah kalian?"
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ternyata bahwa keduanya masih terengah-engah. Agaknya keduanya telah berlari menyusuri pematang menyusulnya dengan memotong jalan, kemudian meloncat ke jalan yang dilaluinya itu.
Namun salah seorang di antara mereka kemudian berusaha menegaskan, "Bukankah kau yang bernama Bharata?"
"Ya, aku Bharata," jawab Bharata tanpa mengetahui maksud kedua orang itu.
"Kebetulan," berkata salah seorang di antara mereka.
"Apa yang kebetulan?" bertanya Bharata.
"Seseorang minta kau singgah sebentar untuk menemuinya," jawab orang itu.
"Siapa yang minta aku singgah?" bertanya Bharata mulai curiga. Tetapi yang pasti orang itu tidak menyebutnya Puguh. Karena orang itu mengenalinya sebagai Bharata.
"Singgahlah sebentar," berkata orang itu, "nanti kau akan tahu, mungkin orang itu akan memberikan pesan kepadamu."
Tetapi Bharata itu menjawab, "Aku tergesa-gesa Ki Sanak. Karena itu, aku tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak jelas bagiku."
"Ki Sanak," berkata orang itu, "kau tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, marilah, agar tidak timbul persoalan yang tidak kau kehendaki."
"Maaf Ki Sanak. Aku tidak merasa perlu melakukannya," berkata Bharata sambil melangkah.
"Tetapi tunggu sebentar Ki Sanak," berkata yang lain, "apakah Ki Sanak tidak ingin berbicara dengan orang itu barang sebentar. Mungkin pesannya akan sangat berarti bagi Ki Sanak."
"Jika pesannya penting, maka ia akan menunggu aku disini. Tidak usah bersembunyi," jawab Bharata.
"Ah, kau tidak mempercayai kami berdua," berkata orang itu, "kami sama sekali tidak berniat buruk terhadap Ki Sanak. Kami tahu, bahwa kau adalah Bharata. Prajurit pilihan di Pajang. Itulah sebabnya, maka orang itu ingin memberikan pesan."
Bharata justru menjadi semakin curiga. Orang itu tahu banyak tentang dirinya.
Ketika kemudian Bharata melihat arah pandangan kedua orang itu, maka iapun telah berpaling. Panggraitanya yang sangat tajam mengatakan kepadanya, bahwa ada orang lain yang datang dari arah belakang.
Bharata terkejut ketika dari tikungan itu muncul dua orang dari balik pohon jarak dan pohon perdu lainnya yang tumbuh di pinggir jalan. Dua orang yang bertubuh raksasa yang telah dipergunakan oleh Ki Lurah Yudoprakosa untuk melakukan pendadaran ulang.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kedua orang itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Ia memang dapat mengalahkan seorang di antara mereka. Tetapi menghadapi mereka berdua adalah satu pekerjaan yang sangat berat. Apalagi masih ada dua orang yang lain lagi, yang bagaimanapun juga akan dapat ikut mempengaruhi pertempuran jika itu harus terjadi.
Sejenak Bharata termangu-mangu. Bulak panjang itu memang sepi. Bukan musim menanam dan bukan pula musim membersihkan rumput, sehingga jarang orang pergi ke sawah.
Bharata memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menemui kedua orang bertubuh raksasa itu, apapun keperluan mereka.
Namun anak muda itu sempat berkata kepada kedua orang yang menghentikannya, "Jadi tugasmu memperlambat perjalananku begitu?"
"Ya," jawab seorang di antaranya, "sekarang kau tidak mempunyai kesempatan lagi."
"Tentu masih dapat. Jika aku berlari, kedua orang raksasa itu tentu tidak akan dapat mengejarku," jawab Bharata.
"Tetapi kami berdua dapat mengejarmu," berkata salah seorang di antara mereka.
"Kau akan mencoba melawan aku?" bertanya Bharata dengan suara yang meyakinkan.
Ternyata orang itu ragu-ragu, sehingga tidak segera menjawab.
Bharata tertawa pendek. Katanya, "Jangan cemas. Aku akan menunggu kedua orang raksasa itu. Keduanya sama sekali tidak menakutkan bagiku, karena aku pernah mengalahkan mereka."
"Seorang melawan seorang," jawab orang itu dengan serta-merta.
Jawaban yang tidak diduga oleh Bharata. Agaknya kedua orang itu memang banyak mengerti tentang dirinya atau banyak mendapat penjelasan dari kedua raksasa itu.
Sesaat Bharata menandangi langkah raksasa yang semakin dekat itu. Sementara kedua orang yang lain berdiri di belakangnya.
"Kau mulai menjadi cemas," berkata seorang di antara kedua orang itu, "raksasa itu akan dapat mematahkan tulang-tulangmu."
"Bukankah aku sudah pernah berkelahi melawan mereka" Bukankah kau tahu bahwa satu lawan satu, mereka tidak berarti apa-apa bagiku," desis Bharata yang, "sebenarnya memang harus menilai kembali kemampuannya jika harus dihadapkan kepada keduanya bersama-sama."
Kedua orang itu sama sekali tidak menyahut lagi. Mereka memang melihat bahwa sikap Bharata terlalu meyakinkan meskipun yang datang kepadanya adalah dua orang sekaligus.
Beberapa langkah di hadapannya kedua orang raksasa itupun berhenti. Seorang di antaranya kemudian berkata, dengan suaranya yang berat seakan-akan hanya melingkar dalam perutnya saja, "Jangan menyesali nasibmu."
"Jadi kau mendendam?" bertanya Bharata, "bukankah peristiwa di dalam gawar pendadaran itu tidak ada hubungannya dengan persoalannya kita secara pribadi?" bertanya Bharata.
"Aku tidak peduli," geram raksasa itu, "tetapi belum pernah ada orang yang pernah menghina kami berdua sebagaimana kau lakukan bersama Kasadha itu."
"Jadi bagaimana sikapmu sekarang?" bertanya Bharata.
"Aku harus melepaskan dendamku kepadamu kapan saja aku mendapat kesempatan. Sekarang kesempatan itu datang. Karena itu, maka kami sudah memutuskan untuk membuatmu cacat seumur hidup. Kau akan menjadi orang yang paling menderita di sisa hidupmu. Kau akan selalu menjadi tanggungan orang lain," geram orang bertubuh raksasa itu.
Bharata menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia bertanya, "Siapa di antara kalian yang akan melawanku?"
"Kami berdua bersama-sama," jawab salah seorang dari raksasa itu, "kami menyadari, bahwa seorang di antara kami tidak akan dapat mengalahkanmu. Tetapi dua orang bersama-sama, maka kami akan dengan mudah melakukannya."
Bharata mengangguk-angguk. Tetapi tidak terbayang kecemasan di wajahnya. Bagaimanapun juga ia. tidak boleh menjadi kehilangan akal dan penalaran. Ia harus tetap tabah apapun yang akan terjadi. Jika ia menjadi ketakutan, maka ia akan kalah sebelum melakukan perlawanan.
"Baiklah," berkata Bharata, "ternyata kalian bukan seorang yang berhati jantan sebagaimana bentuk tubuh kalian. Aku kira kalian akan dengan sikap seorang laki-laki berusaha melepaskan dendam kalian. Tetapi ternyata kalian akan bertempur berpasangan. Tetapi tidak apa. Barangkali ini satu kesempatan bagiku untuk mengembangkan ilmuku."
"Persetan," geram salah seorang dari kedua orang bertubuh raksasa itu, "kau akan menjadi lumat. Tetapi kami memang ingin membiarkan kau tetap hidup, agar kau dapat menyesali tingkah lakumu yang angkuh itu."
Tetapi Bharata justru tertawa. Katanya, "Kalian akan segera melihat puncak kemampuanku yang sebelumnya belum sempat kalian ketahui, karena di saat aku mengalahkan salah seorang dari kalian, aku belum sampai ke puncak ilmuku itu."
"Cukup," bentak salah seorang dari raksasa itu, "bersiaplah untuk mengalami nasib yang paling buruk."
"Baiklah. Tetapi aku ingin bertanya sekali lagi. Dari mana kalian tahu bahwa aku akan melalui jalan ini hari ini?" bertanya Bharata.
"Bukankah kau hari ini telah meninggalkan lingkungan keprajuritan" Bukankah kau akan pergi ke daerah asalmu" Kau telah diikuti oleh kedua orang itu demikian kau keluar dari barak. Ki Lurah Yudoprakosa telah mengisyaratkan kepadaku sejak ia menghadap Ki Tumenggung Wiradigda yang pertama, kemudian ditegaskan lagi sesaat ia menghadap untuk yang kedua kalinya. Ki Tumenggung Wiradigda terlalu kagum kepadamu dan kepada Kasadha, sehingga Ki Lurah yang bersama-sama datang dari Demak justru telah tersisih."
Bharata mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi Ki Lurahlah yang memberikan banyak keterangan kepadamu tentang aku" Ternyata bahwa aku memang orang yang akan dapat menjadi orang besar sehingga mendapat banyak perhatian dari seorang Lurah Penatus."
"Cukup. Kau membual untuk mengatasi rasa takutmu. Sekarang kau harus pasrah kepada keadaan," geram salah seorang dari kedua raksasa itu.
Bharata tidak menjawab lagi. Diletakannya bungkusan bekal dan pakaiannya. Kemudian iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Kedua orang raksasa itupun telah bersiap pula. Kepada kedua orang yang telah disuruhnya menghambat perjalanan Bharata seorang di antara mereka berkata, "Jaga, agar anak itu tidak melarikan diri."
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi keduanyapun telah bersiap di tengah-tengah jalan untuk menjaga agar Bharata tidak sempat melarikan diri.
Kedua orang bertubuh raksasa itu mulai bergeser saling menjauh. Dengan nada geram seorang di antara mereka berkata, "Kita selesaikan anak ini dengan cepat sebelum ada orang lewat atau orang yang turun ke sawah."
Kawannya menjawab, "Tetapi hati-hati. Anak ini jangan sampai mati."
Raksasa itu tertawa. Tetapi suara tertawanya tiba-tiba saja terputus. Satu serangan yang tidak mereka duga tiba-tiba saja telah meluncur menghantam dada salah seorang di antara kedua raksasa itu. Serangan itu cukup keras, sehingga raksasa itu terdorong surut dan bahkan kemudian telah kehilangan keseimbangannya sehingga jatuh terlentang.
Tetapi Bharata tidak dapat memburunya, karena raksasa yang lain telah meloncat menerkamnya. Hampir saja kepala Bharata dapat dicengkam oleh orang itu. Untunglah, bahwa Bharata sempat merendah dan bahkan kemudian dengan tangannya ia sempat menghantam perut orang itu sambil berlutut pada satu kakinya.
Pukulan itu memang tidak terlalu keras. Tetapi terasa seakan-akan telah mengaduk isi perutnya sehingga rasa-rasanya menjadi sangat mual. Karena itu, maka raksasa itu terdorong selangkah surut.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 29 SAMBIL menggeram maka orang itu telah melangkah lagi, maju menerkam kepala Bharata yang masih berlutut pada sebelah kakinya. Namun sebelum orang itu mendekat, maka kaki Bharata telah terjulur ke arah lambung. Bharata memang tidak mempergunakan segenap kekuatannya. Ia hanya ingin agar orang itu tidak melangkah maju lagi. Raksasa itu memang berhenti. Dengan demikian maka Bharatapun telah melenting menjauhinya. Sementara itu, yang seorang lagi telah bangkit pula sambil mengumpat-umpat. Tendangan Bharata masih terasa sakit di dadanya. Namun sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya, maka orang bertubuh raksasa itu melangkah maju mendekati Bharata. Tetapi Bharata yang bertubuh lebih kecil itu ternyata lebih tangkas bergerak. Ia telah berloncatan sambil menyerang. Namun ketika kedua orang raksasa itu benar-benar telah bertempur berpasangan, maka memang sulit bagi Bharata untuk dapat mengenai salah seorang di antaranya. Namun kedua orang raksasa itupun tidak mudah dapat menyentuh anak muda itu. Bharata yang tangkas itu berloncatan menyusup di antara kedua raksasa yang berdiri dalam jarak yang telah mereka jaga, karena mereka akan dapat mengacaukan perhatian Bharata dan menyerang dari arah yang berbeda.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat menahan Bharata di satu arah, sementara dua orang lainnya berjaga-jaga untuk menahan apabila anak muda itu melarikan diri. Sambil berloncatan menyerang, ternyata Bharata berhasil menembus batas yang telah dibuat oleh kedua orang raksasa itu. Bharata telah berhasil menyerang dengan tangkasnya. Meskipun serangannya belum mengenai sasaran, tetapi Bharata berhasil menyeberang ke belakang kedua orang raksasa itu.
"Setan kau," geram salah seorang dari raksasa itu.
"Jangan takut. Aku tidak akan melarikan diri," sahut Bharata. "Jika aku mau, maka aku dapat berlari kembali ke Pajang dan melaporkan apa yang terjadi sekarang ini. Maka Ki Lurah adalah orang yang akan ditangkap pertama kali. Kemudian Ki Lurah akan menunjukkan di mana kalian bersembunyi. Di Pajang, bahkan di Demak sekalipun atau dimana saja."
"Pengecut," geram orang itu.
"Jangan menyebut aku pengecut, karena kalian akan dapat bertanya, siapakah sebenarnya yang pengecut di antara kita," sahut Bharata.
"Anak iblis," raksasa itu mengumpat kasar.
Bharata tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah siap untuk bertempur melawan keduanya. Sementara itu kedua raksasa yang marah itu telah memutuskan untuk dengan cepat menyelesaikan anak muda itu. Karena itu, maka keduanyapun segera telah bersiap pula. Seorang di antara mereka telah menjulurkan tangannya untuk menerkam, sedang lain telah bersiap untuk menghadang.
Bharata memang menjadi berdebar-debar. Tetapi anak muda itu memiliki keyakinan, bahwa ia mampu bergerak lebih tangkas dari raksasa-raksasa yang memang agak lamban. Namun Bharatapun menyadari, jika salah seorang dari keduanya sempat menangkapnya dengan tangannya, maka ia benar-benar akan menjadi cacat seumur hidupnya. Raksasa yang lain pun tentu akan segera turun tangan, sehingga jika seorang memeganginya dan yang lain menyakitinya, maka segala-galanya akan berakhir baginya. Ia tidak akan dapat membayangkan lagi hijaunya batang padi di kota-kota sawah Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan ia tidak akan mampu berbuat sesuatu jika Tanah Perdikan Sembojan itu dihapuskan sama sekali.
Dengan demikian maka Bharata harus benar-benar berhati-hati menghadapi kedua orang lawannya itu. Bahkan masih ada dua orang lagi yang setiap saat dapat digerakkan.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian maka Bharata telah mulai berloncatan lagi menghindari serangan kedua orang lawannya. Sekali-sekali Bharata juga berusaha untuk menyerang. Tetapi agak sulit baginya untuk dapat menggapai lawannya. Setiap kali lawannya selalu berusaha untuk menangkapnya. Jika ia menyerang yang seorang, maka yang lain telah menerkamnya.
Meskipun Bharata sendiri masih juga mampu membebaskan diri dari serangan-serangan lawannya, namun Bharata harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Sulit baginya untuk dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun ia pun sulit untuk dikalahkan.
Dalam keadaan yang memaksa, maka kedua raksasa itu tentu tidak akan segan-segan memerintahkan kedua orang yang berjaga-jaga itu untuk terlibat pula dalam pertempuran itu. Untuk beberapa saat, maka pertempuran masih saja berlangsung dengan keseimbangan yang sama. Namun akhirnya, Bharata memutuskan, bahwa ia harus mengerahkan segenap kemampuannya sampai pada batas puncaknya. Meskipun kemungkinan buruk dapat terjadi, bahwa ia akan lebih cepat kehilangan sebagian dari tenaganya yang tentu akan menyusut. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Bahkan Bharata telah memutuskan, jika keadaan memaksa, ia harus menghindar dari pertempuran. Ia tidak perlu mempersoalkan harga dirinya, karena lawannyapun tidak. Lawannya telah bertempur berpasangan tanpa merasa malu. Dengan demikian, maka anak muda yang telah dipersiapkan untuk menerima ilmu Janget Kinatelon itu benar-benar telah mengerahkan kemampuannya. Landasan ilmu yang telah diterimanya tiba-tiba saja telah dihentakkannya sampai tuntas. Sehingga dengan demikian, maka seakan-akan Bharata telah menjadi semakin cepat bergerak. Kekuatannyapun seolah-olah telah bertambah-tambah pula. Dengan demikian, maka Bharata sekali-sekali melihat kesempatan untuk menembus pertahanan lawannya yang memang tidak dapat bergerak secepat dirinya. Dengan loncatan-loncatan panjang, Bharata berhasil mengacaukan kerja sama antara kedua orang lawannya itu. Sehingga pada satu kesempatan, Bharata dapat menyusup di antara ayunan tangan salah seorang dari lawannya itu.
Ketika lawannya itu berusaha menghantam dahinya dengan serangan lurus mendatar, maka Bharata telah merendahkan dirinya. Namun sekaligus ia telah mengangkat kakinya menyerang lambung. Serangan Bharata cukup keras, karena ia telah mengerahkan segenap kekuatannya. Karena itu, maka lawannya itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Untunglah bahwa kawannya sempat menahannya sehingga orang itu tidak jatuh terlentang. Tetapi ketika Bharata siap meloncat menyerang untuk kedua kalinya, maka lawannya yang seorang lagi telah sempat bersiap untuk menghadapinya.
Bharata mula-mula merasa ragu-ragu. Jika ia menyerang, maka ia akan membenturkan kekuatannya. Namun akhirnya ia tidak mempunyai pilihan lain. Dengan sepenuh kekuatan yang dilandasi ilmu yang pernah diwarisinya dari kakek dan neneknya, ia telah meloncat menyerang. Sekali lagi kakinya terjulur ke arah dada raksasa yang seorang lagi. Ia sadar, bahwa kakinya akan membentur pertahanan lawannya. Tetapi ia tidak berniat mengurungkannya. Demikianlah sejenak kemudian, kaki Bharata memang telah terjulur. Sementara itu ia sendiri meluncur mendatar dengan derasnya. Semua kekuatan dan kemampuannya telah dipusatkannya pada telapak kakinya yang mengarah kepada lawan. Tetapi raksasa itupun telah bersiap. Iapun telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya. Tangannya kemudian telah bersilang di depan dadanya untuk membentur serangan itu. Lututnya sedikit merendah, sedangkan satu kakinya akan ditariknya ke belakang.
Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat keras. Bharata sendiri harus menyeringai menahan sakit ketika ia terpental surut. Kakinya telah membentur satu kekuatan yang sangat besar, sehingga ia terlempar dan bahkan kemudian jatuh berguling.
Meskipun Bharata dengan cepat berusaha untuk bangkit, tetapi kakinya terasa menjadi sakit sekali. Namun Bharata yang dilandasi dengan ilmunya itu menyadari, bahwa ia harus bangkit dan melakukan sesuatu agar ia tidak menjadi korban sehingga hidupnya tidak berarti lagi. Dengan segenap kemampuan daya tahannya Bharata telah berusaha mengatasi perasaan sakitnya itu.
Namun dalam pada itu, ternyata lawannya yang bertubuh raksasa itu juga terdorong beberapa langkah surut. Tangannya yang bersilang melindungi dadanya, justru telah menekan dadanya itu sehingga napasnya menjadi sesak. Dengan susah payah raksasa itu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan. Namun pada saat ia benar-benar kehilangan kesempatan untuk tetap berdiri, kawannya yang semula juga hampir terjatuh itu telah berganti menahannya sehingga raksasa itu masih tetap berdiri tegak.
Kedua orang itu menggeram bersama-sama. Mata mereka bagaikan memancarkan api kemarahan. Mereka sadar, bawah mereka harus bertempur mati-matian melawan anak itu. Bagaimanapun juga keduanya harus mengakui bahwa anak itu menang memiliki kelebihan. Tetapi berdua mereka masih berpengharapan untuk dapat mengalahkannya.
Tetapi keduanya sadar, bahwa berdua mereka memerlukan waktu yang terlalu lama. Karena itu, maka salah seorang dari kedua raksasa itu tiba-tiba berkata kepada kedua orang yang semula diperintahkannya untuk berjaga-jaga saja, "Jangan seperti orang kebingungan. Libatkan diri kalian. Jangan tanggung-tanggung. Anak ini harus tertangkap hidup-hidup. Ia harus menderita di sisa hidupnya. Ia harus menjadi orang yang paling tidak berarti di dunia ini. Cacat, lumpuh, buta dan tuli. Tetapi ia tidak boleh mati."
Bharata memang menjadi berdebar-debar. Ia sudah sampai ke puncak kemampuannya. Ia tidak akan dapat meningkatkan lagi barang selapispun. Jika kedua orang itu benar-benar turun ke arena, maka ia benar-benar akan mengalami kesulitan.
Bagi Bharata, satu-satunya jalan adalah menghindar dari arena itu. Ia bukan orang yang dapat disebut licik atau kehilangan harga dirinya, karena lawannyapun tidak menjunjung nilai-nilai kejantanan seorang laki-laki.
Namun Bharata tidak dengan serta merta meloncat meninggalkan arena. Untuk beberapa saat ia menunggu. Sementara kedua orang yang semula berada di luar arena telah bergerak dengan sangat berhati-hati. Keduanya telah menyaksikan apa yang dapat dilakukan oleh Bharata. Karena itu, maka keduanya seakan-akan melekat yang satu dengan yang lain. Keduanya akan dapat bergerak bersama-sama melawannya.
Bharata menjadi semakin berhati-hati. Tanpa menarik perhatian ia telah memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Jika ia menghindar, maka ia akan dapat berbuat beberapa hal. Benar-benar menghindar dan meninggalkan arena, atau sambil menghindar berusaha menghadapi lawan seorang demi seorang. Jika demikian maka ia tidak benar-benar meninggalkan arena itu, tetapi sekadar melingkar-lingkar, beradu kecepatan gerak.
Namun bagaimanapun juga Bharata harus tetap menyadari, bahwa daya tahan tubuhnyapun terbatas. Pada suatu saat tenaganya tentu akan menjadi susut, jika ia mengerahkannya habis-habisan. Bharata yang masih berdiri di tempatnya melihat dua orang raksasa itu berdiri pada jarak beberapa langkah. Kemudian dua orang yang lain berjalan semakin mendekat pula. Dalam kebimbangan itu, tiba-tiba saja telah terdengar suara tertawa dari balik gerumbul jarak yang agak jauh. Tetapi suara tertawa itu terdengar jelas. Semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka melihat gerumbul jarak itu menyibak. Dan seseorang muncul dari balik gerumbul itu. Semua orang terkejut melihat orang yang kemudian melangkah ke arah mereka. Ki Lurah Dipayuda.
"Ki Lurah Dipayuda," desis Bharata.
Ki Lurah yang sudah semakin dekat itu menjawab, "Ya Bharata. Sebenarnya aku ingin melihat upacara pelepasanmu."
"Kenapa Ki Lurah tidak datang?" bertanya Bharata.
"Aku mendengar bahwa upacara itu dilakukan hari ini. Tetapi ketika aku menuju ke barakmu, aku telah melihat kedua orang raksasa itu. Aku menjadi curiga. Apalagi aku juga mendengar bahwa kau akan segera meninggalkan barak itu. Karena itu, aku telah mengikutinya kemana mereka pergi tanpa sepengetahuan mereka, sehingga aku tidak sempat datang ke upacara pelepasan itu. Tetapi ternyata bahwa kita telah bertemu di sini." berkata Ki Lurah, bahkan seakan-akan tidak memperhatikan kehadiran kedua orang raksasa dan dua orang lainnya.
Bharata menarik napas dalam-dalam. Katanya, "Ki Dipayuda tentu sudah tahu apa yang terjadi."
"Ya. Aku tahu apa yang terjadi di sini. Sejak semula aku memperhatikannya. Ketika kau bertempur melawan kedua orang raksasa itu, aku memang sengaja berharap kau akan dapat menyelesaikan mereka sendiri, meskipun dengan susah payah. Bahkan di saat terakhir kaupun akan kehabisan tenaga. Tetapi menurut perhitunganku, kau masih mempunyai harapan untuk mengalahkan mereka berdua. Namun ketika dua orang lagi memasuki arena, maka tentu kau tidak akan dapat mengalahkan mereka. Karena itu, maka aku menganggapnya tidak adil jika aku membiarkan kau bertempur seorang diri."
Bharata termangu-mangu sejenak. Sementara itu kedua orang bertubuh raksasa itu menjadi tegang. Seorang di antara mereka berkata, "Ki Lurah Dipayuda. Persoalan ini adalah persoalan kami dengan anak itu. Sebaiknya Ki Lurah tidak ikut campur, karena dengan demikian akan menjadi persoalan baru antara kami dengan Ki Lurah."
Tetapi Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Aku sudah siap menghadapi semua akibatnya. Aku tahu bahwa kalian mempunyai banyak kawan yang akan dapat kalian ajak untuk memusuhi aku. Tetapi meskipun aku sudah tidak menjadi prajurit, aku akan sempat menggerakkan anak-anak muda untuk melawan kalian di padukuhanku. Apalagi di padukuhanku terdapat sebuah perguruan kecil, namun memiliki kekuatan yang cukup tinggi. Pimpinan perguruan itu adalah seorang yang baik hati, yang tentu akan bersedia membantuku jika kalian benar-benar ingin bermusuhan dengan aku."
Kedua orang raksasa itu termangu-mangu sejenak. Tetapi seorang di antara mereka berkata, "Kau berbohong. Kau kira aku tidak dapat membaca kecemasan di wajahmu."
Tetapi Ki Lurah Dipayuda menjawab, "Jawablah dengan jujur. Aku atau kalian yang menjadi cemas."
"Cukup," teriak orang bertubuh raksasa yang tua. "Siapapun kau, jika kau turut campur, maka kau akan menyesal. Kami sudah bertekad untuk menangkap Bharata hidup-hidup. Ia sudah menghina kami. Karena itu, maka ia harus mendapat hukuman yang paling berat. Cacat seumur hidup, lumpuh, buta dan tuli."
Namun orang itu terkejut ketika Ki Lurah Dipayuda tertawa, Katanya, "Bagus. Aku sedang berpikir, hukuman apakah yang paling baik diberikan kepada kalian berdua dan kedua orang itu jika mereka turut campur. Ternyata kau sudah mengajari kami, hukuman apa yang pantas kami berikan kepada kalian."
"Tutup mulutmu," geram raksasa itu. "Bersiaplah. Kau sudah terlalu banyak berbicara."
Ki Lurah Dipayuda bergeser mendekati Bharata Kemudian katanya, "Marilah. Kita bersama-sama melawan mereka. Kita tidak usah membagi, lawan yang mana yang kita pilih. Kita berdua akan melawan mereka berempat."
"Terima kasih Ki Lurah," berkata Bharata hampir kepada diri sendiri. Demikianlah, kedua orang itu telah bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Ternyata kedua raksasa itu sendirilah yang seakan-akan mengatur diri. Seorang akan menghadapi Bharata dan seorang akan menghadapi Ki Lurah Dipayuda. Tetapi keduanya memerlukan seorang kawan di antara kedua orang yang menjadi semakin berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang nampaknya semakin buruk itu. Orang-orang yang bertubuh raksasa itupun menyadari, bahwa mereka berdua masih belum mampu mengalahkan Bharata seorang diri. Tiba-tiba saja telah datang Ki Lurah Dipayuda. Tetapi orang itu memperhitungkan bahwa Ki Lurah Dipayuda, meskipun ia telah diangkat menjadi Lurah Penatus yang membawahi seratus orang, namun kemampuannya masih belum tentu akan dapat mengimbangi Bharata. Dengan demikian maka raksasa yang akan bertempur melawannya berniat untuk dengan cepat menyelesaikan Ki Lurah, kemudian bersama-sama mereka akan melakukan rencana mereka atas Bharata.
Demikianlah, maka seorang di antara kedua orang raksasa bertubuh raksasa itu telah bergeser mendekati Ki Lurah bersama seorang yang telah diberinya isyarat. Meskipun orang itu menjadi semakin kecut hatinya, namun ia tidak dapat membantah, karena iapun merasa sangat takut kepada orang bertubuh raksasa itu, yang akan dengan mudah memilin lehernya sehingga patah. Tetapi orang-orang itu bukannya tidak bertenaga sama sekali. Apalagi keduanya tidak mempunyai pilihan lain daripada bertempur dengan segenap tenaga dan kemampuan. Karena kedua orang bertubuh raksasa itu masih belum mulai menyerang, maka kedua orang yang lainpun masih menunggu. Sementara Bharata dan Ki Lurah Dipayuda justru bergeser mendekat. Keduanya akhirnya juga harus bertempur sendiri-sendiri, karena sikap lawan mereka. Sejenak kemudian, maka telah terjadi dua lingkaran pertempuran.
Orang yang bertubuh raksasa yang bertempur melawan Ki Lurah Dipayuda itu sempat berpesan, "Bertahanlah. Aku akan dengan cepat menyelesaikan orang ini."
Tetapi Ki Lurah Dipayuda tertawa. Katanya, "Aku juga akan bertahan. Siapakah yang lebih dahulu dikalahkan. Aku atau kedua orang kawanmu yang bertempur melawan Bharata itu."
Lawan Ki Lurah Dipayuda itu tidak menjawab. Namun dengan langkah panjang ia maju menerkam. Tetapi Ki Lurahpun ternyata cukup cepat bergerak, sehingga usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Namun orang yang lain telah menyerangnya pula. Meskipun masih agak ragu-ragu. Tetapi kakinya telah terjulur mengarah ke lambung. Ki Lurah bergeser selangkah ke samping. Namun ia sempat melihat raksasa itu sudah siap meloncat menangkap kepalanya. Karena itu, maka iapun telah bersiap. Demikian lawannya itu meloncat, maka Ki Lurahpun telah melenting menghindar. Bahkan, demikian lawannya menyadari, bahwa ia telah kehilangan lawannya, maka tiba-tiba saja serangan Ki Lurah Dipayuda itu demikian derasnya mengenai pundaknya. Sisi telapak tangannya yang terayun berlandaskan segenap tenaganya itu benar-benar telah menyakitinya. Raksasa itu menyeringai menahan sakit. Tetapi Ki Lurah tidak sempat menyerangnya selanjutnya, karena lawannya yang lain telah menyerangnya pula. Sehingga Ki Lurahpun harus segera meloncat menghindarinya Namun lawannya itu justru mencoba memburunya. Dengan sepenuh tenaga ia meloncat panjang. Tangannya terjulur lurus mengarah ke keningnya. Ki Lurah ternyata telah mengelak. Dengan tangkas ia melenting. Demikian lawannya mendekat sambil menjulurkan tangannya, maka Ki Lurahpun telah menyerangnya pula. Telapak tangannya yang terbuka dengan jari merapat telah menusuk perut lawannya itu tepat di bawah tulang-tulang iganya. Orang itu tersentak. Matanya terbelalak. Perutnya bagaikan telah tertekan oleh kekuatan yang tidak dapat diduganya sebelumnya. Karena itu, maka napasnya seakan-akan telah terputus sejenak. Perutnya itu menjadi sangat mual sehingga isinya bagaikan akan tumpah.
Tetapi Ki Lurah harus segera melayani lawannya yang seorang lagi. Orang yang bertubuh raksasa itu telah menyerangnya dengan ayunan tangan yang keras. Tetapi sekali lagi Ki Lurah sempat melenting, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.
Orang bertubuh raksasa itu menggeram. Namun ia tidak segera meloncat menyerang Ki Lurah yang ternyata telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Agaknya Ki Lurah yang tubuhnya lebih kecil itu dengan bekal kecepatan geraknya, tidak mudah untuk segera dikalahkan meskipun raksasa itu bertempur berpasangan dengan seorang pengikutnya.
Sementara itu, raksasa yang lain telah bertempur melawan Bharata dibantu oleh seorang yang bertempur dengan cemas. Justru karena orang itu telah sempat menyaksikan pertempuran antara Bharata melawan kedua orang raksasa itu. Dua orang bertubuh raksasa itu mengalami kesulitan untuk mengalahkannya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka ia telah berusaha membantu raksasa itu bertempur melawan Bharata. Ternyata Bharata masih juga bertempur dengan cepat dan tangkas. Ia tidak membiarkan dirinya diterkam oleh lawannya yang bertubuh raksasa, karena dengan demikian maka ia akan mendapat kesulitan untuk melepaskan diri. Namun Bharata pada puncak kemampuannya adalah seorang anak muda yang pilih tanding.
Beberapa saat kemudian, maka kawan orang bertubuh raksasa itu mulai merasa betapa sulitnya mengatasi kecepatan gerak anak muda itu. Beberapa kali Bharata telah berhasil mengenainya. Bahkan mengenai tubuh kawannya yang bertubuh raksasa itu, sehingga beberapa kali raksasa itu harus menyeringai menahan sakit, serta mengaduh tertahan. Perutnya yang langsung dikenai oleh tumit Bharata dalam gerak melingkar, membuat raksasa itu menjadi sangat mual. Namun selagi ia bergeser surut sambil memegangi perutnya yang sakit sekali, Bharata dengan cepat berputar. Kakinya melenting seperti lompatan seekor bilalang. Sedangkan kakinya yang lain terjulur menyamping menggapai dada raksasa itu.
Raksasa itu memang terkejut. Ia tidak sempat mengelak dan menangkis. Dengan demikian maka kaki itu benar-benar telah mengenai dadanya sehingga ia terdorong surut.
Tetapi Bharata tidak dapat memburunya. Lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya. Sambil meloncat mendekat, maka tangannya terayun mendatar mengarah kening.
Namun Bharata yang baru saja menyerang raksasa itu mengenai dadanya, dengan cepat merendahkan diri. Tetapi lawannya ternyata cukup tangkas. Ia menarik tangannya yang terayun. Namun kakinyalah yang kemudian dengan cepat menyambar dahi Bharata.
Untunglah Bharata melihat ayunan gerak itu. Karena itu, maka iapun justru telah menjatuhkan dirinya dan berguling menjauh. Kemudian dengan cepat ia melenting berdiri untuk menghadapi kemungkinan yang lain.
Pada saat yang bersamaan, raksasa yang baru saja memperbaiki keseimbangannya yang terguncang itu sudah siap untuk menerkamnya. Namun Bharata benar-benar sudah siap menghadapinya.
Bocah Sakti 9 Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat Ciuman Maut 3
^