Sayap Sayap Terkembang 7
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 7
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia hanya tersenyum saja. Bahkan sambil menguap.
Sejenak kemudian, maka bilik itupun menjadi hening. Orang-orang yang berbaring sudah tertidur nyenyak. Sementara Jati Wulung dan kawan Kiai Windu itupun telah tenggelam dalam angan-angannya masing-masing.
Sekali-kali masih terdengar suara tertawa di luar. Atau bahkan orang yang mengumpat-umpat karena kalah di bilik permainan dadu. Atau orang-orang yang bertengkar, bahkan ada juga terdengar orang-orang yang berkelakar. Tetapi suasana malam memang menjadi semakin hening.
Meskipun demikian, di barak permainan dadu, orang-orang masih ramai mempertaruhkan uang mereka. Tetapi semakin lama memang menjadi semakin sedikit.
Jati Wulung dan kawan Kiai Windu yang berjaga-jaga itu masih mendengar suara perempuan di bilik sebelah. Bukan suara kasar dan mengumpat-umpat seperti biasanya. Tetapi tertawanya terdengar segar. Dengan gembira perempuan itu mengungkapkan perasaannya. Ternyata ia telah menang di barak permainan dadu meskipun tidak terlalu banyak.
Tetapi suara itu tidak terlalu lama terdengar. Agaknya orang-orang di bilik sebelah itupun telah mengantuk. Mereka dengan segera telah berbaring dan bahkan tertidur dengan mimpi segar karena kemenangannya di perjudian.
Jati Wulung yang telah beberapa kali menguap masih mencoba bertahan. Ia sendiri heran, kenapa tiba-tiba saja ia didera oleh perasaan kantuk. Padahal biasanya ia mampu bertahan bukan saja untuk semalam suntuk, tetapi lebih lama dari itu. Pada saat-saat ia menjalani laku ketika sedang memperdalam ilmu kanuragan, ia harus melakukan pati geni selama tiga hari tiga malam dan tidak boleh tidur sama sekali. Semuanya itu pernah dilakukannya. Bahkan dalam perjalanan yang berat melintas dari pesisir Kidul ke pesisir Utara, iapun sama sekali tidak berhenti apalagi tidur.
Namun justru karena itu, maka ia justru menjadi curiga. Ia merasakan sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.
Hampir di luar sadarnya Jati Wulung beringsut mendekati Sambi Wulung yang tertidur nyenyak. Demikian juga Kiai Windu dan apalagi kawan-kawannya. Sementara itu kawannya yang berjaga-jaga itupun menjadi gelisah. Bahkan sekali-sekali matanya telah terpejam.
Jati Wulung memang sampai pada satu kesimpulan, bahwa ada yang tidak wajar. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Jati Wulung segera menyadari, bahwa tempat itu telah terkena sirep yang sangat tajam. Kekuatan sirep yang sangat besar pula, karena agaknya dapat menyelimuti seluruh lingkungan Song Lawa.
Dalam pada itu, Sambi Wulung yang sedang tertidur nyenyak itupun menjadi semakin nyenyak. Agaknya ia tidak bersiap sama sekali menghadapi pengaruh sirep itu. Karena itu, maka ia sama sekali tidak melakukan perlawanan untuk mengatasinya.
Jati Wulung menyadari akan hal itu. Karena itu, maka iapun kemudian telah membangunkan Sambi Wulung. Dengan kuat ia mengguncang tubuhnya sambil membisikkan namanya di telinganya.
"Bangunlah. Ada sesuatu yang tidak wajar terjadi," berkata Jati Wulung. Sementara itu kawan Kiai Windu yang duduk bersandar dinding itu justru telah tertidur pula.
Sambi Wulung memang membuka matanya. Tetapi mata itu segera terkatup lagi.
"Bangunlah. Cepat," desis Jati Wulung sambil mengguncang tubuh itu pula.
Ketika sekali lagi Sambi Wulung membuka matanya, maka Jati Wulungpun berkata, "Kau telah terkena ilmu sirep."
Suara itu didengar oleh Sambi Wulung. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha untuk bangkit dan duduk meskipun mata masih separo terpejam.
"Bangunlah. Atasi perasaan kantukmu. Kita terkena sirep yang sangat tajam," berkata Jati Wulung kemudian.
Sambi Wulung mendengar kata-kata itu semakin jelas. Karena itu, maka iapun mulai berusaha untuk benar-benar bangun.
Ketika Jati Wulung mengulanginya, maka Sambi Wulung benar-benar telah menyadari apa yang terjadi. Iapun kemudian mulai meningkatkan daya tahannya untuk mengatasi perasaan kantuknya. Baru kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Ya. Tentu ilmu sirep."
"Apa yang akan kita lakukan?" bertanya Jati Wulung.
"Luar biasa. Nampaknya kekuatan ini telah mencengkam seluruh lingkungan perjudian ini," desis Sambi Wulung.
"Agaknya memang demikian. Sementara itu kita tidak tahu, berapa orang yang dapat mengatasi kekuatan sirep ini," gumam Jati Wulung kemudian.
"Kita bangunkan Kiai Windu," berkata Sambi Wulung.
"Tidurnya terlalu nyenyak," sahut Jati Wulung.
Namun Sambi Wulung telah mencobanya. Diguncang-guncangnya tubuh Kiai Windu. Namun ternyata bahwa orang tua itu sekali-sekali bergumam. Namun iapun telah tertidur lagi.
"Jika ia terbangun, apakah ia akan mampu mengatasi kekuatan sirep ini?" bertanya Jati Wulung.
Sambi Wulung menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak tahu. Kita akan mencobanya."
Namun ternyata terlalu sulit untuk membangunkannya. Karena itu maka Sambi Wulungpun berkata, "Aku akan membangunkan dengan cara lain."
Jati Wulung mengerti maksudnya. Karena itu, maka iapun telah bergeser surut.
Sambi Wulungpun kemudian telah duduk di sebelah Kiai Windu yang masih tertidur. Diletakannya tangannya pada lengan Kiai Windu. Dipusatkannya nalar budinya. Dengan sangat berhati-hati, maka disalurkannya getaran yang dapat meningkatkan ketahanan Kiai Windu mengatasi kekuatan ilmu sirep yang tajam itu. Tetapi tanpa mengejutkan dan bahkan mungkin akan dapat merusakkan bagian dalam tubuhnya.
Usaha Sambi Wulung itu hanya dilakukan untuk saat yang sangat pendek. Ketika kemudian Sambi Wulung membangunkannya, maka Kiai Windu itupun telah terbangun pula.
"Ada apa?" bertanya Kiai Windu.
"Kawanmu telah tertidur," berkata Sambi Wulung.
"O," Kiai Windu mengerutkan dahinya. Memang timbul prasangka yang kurang baik di dalam hatinya melihat sikap Sambi Wulung dan Jati Wulung. Namun tidak lama, karena Sambi Wulungpun berkata, "bertahanlah. Aku sudah mencoba untuk menyalurkan getaran dalam dirimu sekedar untuk mengatasi kekuatan sirep sebelum kau dapat bangun dan membangunkan pertahananmu sendiri."
"Sirep?" desis Kiai Windu.
"Ya. Kau dapat menangkap suasananya sekarang setelah kau benar-benar bangun," berkata Sambi Wulung pula.
Sebenarnyalah Kiai Windupun merasakan kelainan suasana. Namun ternyata bahwa iapun segera dapat mengenali apa yang telah terjadi di Song Lawa itu. Karena itu maka katanya, "Ya. Sirep yang sangat tajam."
"Usahakanlah agar kau dapat bertahan," berkata Sambi Wulung.
"Terima kasih atas usahamu," berkata Kiai Windu yang kemudian memandangi kawan-kawannya yang sudah tertidur nyenyak pula. Lalu katanya lebih lanjut, "Mereka tidak akan mampu menerobos batas untuk dapat bangun sepenuhnya. Jika mereka menyadari keadaan ini sebelum mereka tertidur, mungkin mereka akan dapat bertahan. Tetapi dalam keadaan tidur seperti itu, akan sangat sulitlah bagi kita untuk membangunkannya."
"Jika demikian, biarkanlah mereka tidur," berkata Sambi Wulung. Lalu katanya pula, "Tetapi apa yang dapat kita lakukan kemudian?"
Kiai Windupun mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita akan melihat suasana di luar."
Kiai Windu bersama Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian dengan sangat berhati-hati telah membuka pintu bilik mereka. Dengan hati-hati mereka menyusuri lorong di dalam bilik. Baru kemudian mereka keluar dari pintu barak.
Suasana telah menjadi sangat sepi. Hampir tidak ada lagi orang yang terbangun.
Namun dalam pada itu, seorang yang bertubuh raksasa lewat sambil mengumpat kasar. Tetapi ketika raksasa itu melihat ketiga orang yang berdiri di luar pintu barak itupun telah mendekatinya. Dengan gelisah orang itu berkata, "Kau rasakan suasana ini he?"
"Ya," berkata Kiai Windu.
"Setan itu datang lagi," geram raksasa itu.
"Siapa?" bertanya Sambi Wulung.
"Para perampok. Mereka menganggap bahwa tempat ini akan dapat dirampoknya. Beberapa tahun yang lalu, hal serupa pernah juga terjadi," berkata raksasa itu.
"Apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu?" bertanya Kiai Windu yang memang pernah beberapa kali datang ke tempat itu. "Selama aku sering berkunjung ke Song Lawa, belum pernah terjadi perampokan disini."
"Beberapa tahun yang lalu. Mungkin kau belum datang kemari atau kau memang sedang tidak datang," jawab orang bertubuh raksasa itu.
"Lalu sekarang bagaimana?" bertanya Jati Wulung.
"Kita akan menghimpun kekuatan di antara mereka yang masih terbangun. Yang mampu mengatasi kekuatan sirep ini tentu orang-orang berilmu. Kita harus bekerja bersama untuk mencegah agar mereka tidak merampok seluruh isi lingkungan ini seperti beberapa tahun yang lalu itu," berkata orang bertubuh raksasa itu.
"Sekarang dimana kawan-kawanmu?" bertanya Sambi Wulung.
"Hanya beberapa orang yang lolos. Mereka juga sedang mengumpulkan orang-orang di barak yang lain yang luput dari kekuatan sirep ini."
"Bagaimana di barak permainan dadu itu?" bertanya Sambi Wulung.
"Hanya tiga orang yang dapat membebaskan diri dari pengaruh buruk ini," jawab orang bertubuh raksasa itu.
"Lalu sekarang bagaimana?" bertanya Sambi Wulung.
"Kita berkumpul di depan barak permainan dadu. Di tempat itu banyak sekali tersimpan uang dan barangkali juga perhiasan yang masih dikenakan oleh mereka yang tertidur," jawab orang bertubuh raksasa itu.
Merekapun kemudian tidak menyia-nyiakan waktu. Dengan tergesa-gesa mereka telah pergi ke barak permainan dadu. Tetapi mereka tidak masuk ke dalam barak itu.
Dimuka barak itu telah berkumpul pula beberapa orang. Mereka yang bertubuh raksasa dari para petugas, ternyata hanya kurang dari separo yang tidak tertidur. Sementara itu, yang lain telah tertidur nyenyak. Sedangkan mereka yang memasuki Song Lawa itu sambil membawa uang dan mungkin perhiasan untuk berjudi, yang masih tetap sadar sepenuhnya untuk melawan para perampok, telah bersiaga pula sepenuhnya.
Ternyata jumlah mereka terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah orang yang ada di Song Lawa. Namun mereka benar-benar orang pilihan karena mampu mengatasi sirep yang tajam.
Dalam pada itu, Kiai Windu memang menjadi sangat gelisah. Jika benar, beberapa orang perampok akan memasuki tempat perjudian itu, maka banyak kemungkinan dapat terjadi.
"Apakah jumlah ini memadai untuk melawan perampok yang dipersiapkan memasuki tempat perjudian ini?" tiba-tiba ia berdesis di telinga Sambi Wulung.
"Kita belum tahu berapa banyak dan seberapa tinggi ilmu mereka," jawab Sambi Wulung.
"Sekelompok perampok yang berani memasuki lingkungan ini tentu sudah dipersiapkan benar-benar," berkata Kiai Windu pula.
"Tetapi mungkin juga tidak begitu banyak. Jika mereka terlalu percaya kepada kekuatan ilmu sirep mereka, maka dengan jumlah yang kecil mereka akan berani melakukannya, karena menurut perhitungan mereka, orang-orang di Song Lawa itu telah tertidur seluruhnya," jawab Sambi Wulung.
"Aku kira mereka sebelumnya telah memasukkan orang-orangnya ke dalam lingkungan ini. Mereka tentu petugas-petugas sandi yang akan menilai isi dari padepokan ini untuk memperhitungkan kekuatan yang diperlukan," berkata Kiai Windu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang demikian. Tetapi kita akan melihat, apa yang akan terjadi."
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia telah menggamit Jati Wulung sambil memandang kesatu arah.
Jati Wulungpun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang yang dipanggil Kepala Besi itupun telah datang pula ke tempat mereka berkumpul bersama seorang kawannya.
Demikian ia tiba di antara para pengawal yang bertubuh raksasa itu, maka iapun berkata, "Setan manakah yang akan berani memasuki tempat ini" Mereka tentu orang-orang yang ingin membunuh diri. Atau mungkin mereka tidak mengetahui bahwa aku. Kepala Besi, berada disini hari ini."
Namun kata-katanya bagaikan patah ketika ia melihat Jati Wulung berdiri tegak memandanginya.
Kepala Besi itu telah memalingkan wajahnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Jati Wulungpun sama sekali tidak berbuat apa-apa. Bahkan iapun tidak lagi memandangi orang yang dikenal dengan sebutan Kepala Besi itu.
Dalam pada itu, suasana memang dicengkam oleh ketegangan. Seorang petugas yang bertubuh raksasa telah datang dari pintu gerbang sambil berkata, "Dua orang kawan kita menunggui pintu gerbang yang ditutup rapat."
Tetapi seseorang di antara mereka menyahut, "Aku tidak yakin bahwa mereka akan memasuki lingkungan ini lewat pintu gerbang."
Para petugas itu mengerutkan keningnya. Namun seorang di antara mereka menyahut, "Kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tetapi beberapa tahun yang lalu, ketika mereka datang ke tempat ini, mereka masuk lewat pintu gerbang yang dirusaknya."
"Tetapi dari mana kalian mengetahui, bahwa akan datang sejumlah perampok memasuki lingkungan ini?" tiba-tiba saja Kiai Windu bertanya.
"Suasana ini," jawab orang bertubuh raksasa itu, "seperti beberapa tahun yang lalu, mereka juga menaburkan sirep yang tajam. Sementara itu, petugas kami yang mengamati keadaan di lingkungan padepokan ini kemarin telah melihat orang-orang yang mencurigakan berkeliaran."
Kiai Windu menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia tidak bertanya lebih lanjut.
Sebenarnyalah, sekelompok perampok yang garang telah bersiap di luar lingkungan perjudian itu. Seorang di antara mereka, yang agaknya pemimpinnya, telah memberikan beberapa perintah kepada orang-orangnya.
Sementara itu, tiga orang di antara mereka yang memiliki kemampuan ilmu sirep telah menebarkan ilmunya meliputi seluruh lingkungan Song Lawa.
Tetapi agaknya mereka masih menunggu sesaat. Mereka menunggu agar sirep yang dilebarkan itu telah merata dan setiap orang telah terpengaruh karenanya.
Ternyata bahwa para perampok itu telah memilih saat yang tepat. Mereka tidak melepaskan sirepnya pada ujung malam, tetapi pada saat orang-orang di dalam lingkungan Song Lawa itu telah menjadi letih. Dengan demikian maka pengaruh sirep yang kuat akan membuat mereka semakin lelap dalam tidur. Bahkan mereka yang belum berniat untuk tidurpun akan cepat tertidur pula.
Sebenarnyalah di dalam barak permainan dadu itu, beberapa orang yang semula masih duduk bermain, telah terbaring dan tidur nyenyak. Mereka tidak sempat mengumpulkan uang yang masih tetap berserakan. Namun dua orang petugas di antara mereka yang masih mampu bertahan dari pengaruh sirep itu telah berjaga-jaga di dalam bilik itu, agar uang yang berserakan itu tetap berada di tempatnya tanpa diusik sama sekali.
Baru beberapa saat kemudian, pemimpin perampok yang berdiri di depan pintu gerbang itu berkata kepada orang-orangnya, "Baiklah. Kita akan mulai sekarang. Agaknya sirep itu telah merasuk ke seluruh lingkungan Song Lawa. Tetapi tentu di antara mereka masih terdapat beberapa orang yang lepas dari pengaruh sirep. Justru mereka adalah orang-orang yang pilihan. Para penjaga yang bertubuh raksasa itu tentu ada pula yang mampu mengatasi kekuatan sirep ini. Tetapi jumlah mereka tentu tidak terlalu banyak lagi. Sebanyak-banyaknya separo dari mereka yang mampu melawan kekuatan sirep ini. Jika perhitunganku benar, maka jumlah kita tentu lebih banyak dari mereka."
Para perampok itupun segera mempersiapkan diri. Mereka sudah siap untuk melakukan apa saja, termasuk kekerasan. Bagi mereka lingkungan Song Lawa itu akan memberikan hasil yang memadai dengan kerja keras mereka dan jumlah mereka yang banyak.
Ternyata perampok itu telah memilih jalan sebagaimana seharusnya mereka memasuki lingkungan itu. Mereka tidak mau memanjat dinding. Tetapi mereka telah menuju ke pintu gerbang.
"Beberapa tahun yang lalu, kita berhasil memasuki lingkungan ini dan mendapat uang dan perhiasan yang memadai. Sekarang kita akan mengulangi keberhasilan kita. Jika di antara kita jatuh korban, maka itu adalah hal yang wajar," berkata pemimpin perampok itu. Lalu katanya, "Orang-orang kita yang berhasil menyusup masuk ke dalam lingkungan ini telah memberikan keterangan yang memungkinkan kita melakukannya sebagaimana kita lakukan beberapa waktu yang lalu. Namun kita harus berhati-hati, karena saat ini ada seorang yang perlu diperhitungkan. Orang yang ditakuti di pesisir Utara. Orang Hutan berkepala Besi. Karena itu, orang yang berkepala botak itu harus mendapat lawan yang memadai."
"Serahkan kepadaku," berkata orang berjambang lebat, "aku pernah mendengar namanya. Tetapi akupun mempunyai kekuatan yang akan dapat mengimbangi Kepala Besi itu. Aku ditakuti orang di sekitar Goa Pabelan. Aku adalah murid terpercaya dari perguruan Wanasanga di Goa Pabelan."
"Kau jangan mengigau," geram pemimpinnya, "biarlah aku sendiri menghadapi orang itu. Ia berilmu tinggi dan mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Aku percaya bahwa Kakang Wanasanga adalah seorang berilmu tinggi. Jika yang ada disini sekarang adalah Kakang Wanasanga, maka aku percaya bahwa ia akan dapat mengimbangi Kepala Besi itu. Tetapi kau, muridnya, yang belum tuntas menyadap ilmunya karena kau begitu tergesa-gesa lari dari perguruanmu, tentu tidak akan dapat menandinginya."
Orang berjambang lebat itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak membantah.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, para perampok itu telah mendekati pintu gerbang. Mereka tahu bahwa pintu gerbang itu tentu diselarak dengan kuat. Tetapi mereka tidak mau memasuki lingkungan itu dengan jalan lain.
Karena itu, maka pemimpin perampok itu telah memerintahkan beberapa orang untuk meloncat masuk. Mereka mendapat tugas untuk membuka pintu gerbang itu dari dalam.
Demikianlah, mereka telah melakukan pada pintu gerbang yang berlapis itu. Namun pada pintu gerbang dilapis terakhir, ketika mereka meloncat masuk, maka dua orang pengawal lingkungan itu telah siap menghadapinya.
Tetapi yang meloncati dinding halaman itu bukan hanya dua orang, tetapi lima orang.
Meskipun demikian, kedua orang pengawal yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk mempertahankan pintu gerbangnya. Dengan marah mereka telah menyerang orang-orang yang meloncat masuk.
Dua orang di antara mereka yang memasuki lingkungan itu telah mengikat kedua pengawal itu dalam pertempuran. Meskipun kedua orang bertubuh raksasa itu memiliki tubuh dan kekuatan melampaui orang-orang yang memasuki lingkungan Song Lawa, namun para perampok itu adalah orang-orang liar yang mempunyai banyak sekali pengalaman. Karena itu, maka mereka dengan tangkas mampu mengimbangi kekuatan orang bertubuh raksasa itu. Orang-orang yang memasuki lingkungan perjudian itu dengan cepat menghindari setiap serangan, namun kemudian dengan cepat pula telah membalas menyerang sehingga kadang-kadang orang-orang bertubuh raksasa itu menjadi kebingungan.
Sementara kedua orang kawannya bertempur, maka tiga orang yang lain telah membuka selarak.
Kedua orang pengawal di Song Lawa itu memang menjadi agak kebingungan. Tetapi keduanya tidak dapat melepaskan diri dari lawan-lawan mereka.
Karena itu, maka tiba-tiba saja salah seorang dari pengawal itu telah berteriak keras-keras, "Mereka telah datang. Aku bertempur disini."
Suaranya memang mengumandang sampai ke telinga orang-orang yang berada di depan barak permainan dadu. Karena itu, maka beberapa orang di antara para pengawal yang bertubuh raksasa itu telah berlari-larian ke pintu gerbang. Sementara yang lain serta orang-orang yang berkumpul di tempat itu, telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi para pengawal itu ternyata telah terlambat. Ketika mereka mendekati pintu gerbang, maka pintu gerbang itu ternyata telah terbuka.
Dengan demikian maka gerombolan perampok itupun telah menghambur memasuki lingkungan perjudian yang disebut Song Lawa itu.
Demikian mereka berada di dalam, maka pemimpin merekapun telah berteriak, "He orang-orang Song Lawa. Aku perintahkan kalian semuanya, apakah kalian para pengawal atau orang-orang yang kebetulan mengunjungi tempat ini untuk meletakkan senjata. Jika kalian tidak melawan, maka kami tidak akan menghukum kalian. Namun jika kalian berniat menentang kami, maka kalian akan mengalami nasib yang sangat buruk. Bahkan mungkin kalian tidak akan sempat melihat matahari terbit esok pagi."
Suara itu telah menggetarkan setiap telinga orang-orang yang berada di lingkungan Song Lawa itu. Para pengawal yang bertubuh raksasa itu justru menjadi semakin marah. Pemimpin merekapun telah berteriak pula, "Persetan. Aku memberi kesempatan kalian untuk menyingkir. Jika kesempatan ini tidak kalian pergunakan, maka kalian akan terbantai disini."
Tetapi pemimpin perampok itu tertawa. Katanya, "Jangan menyembunyikan kecemasanmu. Aku tahu bahwa kekuatan yang masih ada dan terlepas dari kekuatan sirep kami, tidak akan separo dari kekuatan yang ada di Song Lawa ini. Dan kami tahu seberapa besar kekuatan sebenarnya. Jika perhitungan kami benar, maka kalian akan hancur jika kalian mencoba melawan. Kami datang dengan orang-orang kami yang berilmu tinggi."
"Orang-orang yang kebetulan sedang berada di Song Lawa dalam musim perjudian ini, akan ikut bertempur melindungi harta benda mereka," berkata pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu.
Tetapi orang itu, yang memimpin gerombolan perampok yang datang ke Song Lawa menjawab dengan suara yang tinggi di sela-sela derai tertawanya, "Apakah artinya bagi kami. Ada berapa orang di antara mereka yang masih tetap terbangun" Mereka adalah justru orang yang perlu dikasihani, karena mereka akan mati di tangan kami jika mereka benar-benar akan melawan."
"Di antara mereka ada orang-orang berilmu," desis pemimpin pengawal.
"Aku sudah tahu bahwa Kepala Besi ada disini. Tetapi ia tidak akan dapat mengalahkan aku. Atau katakan ia memiliki ilmu yang lebih tinggi dari aku, maka tiga orang akan bersamaku membunuhnya dengan memecahkan kepalanya yang sekeras besi itu," jawab pemimpin gerombolan perampok itu. Karena itu, maka katanya, "Nah. Sekarang menyerahlah. Kalian tidak mempunyai pilihan lain."
Pemimpin pengawal itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia sadar, bahwa jumlah perampok itu memang lebih banyak dari orang-orang yang masih tetap terjaga di lingkungan perjudian Song Lawa itu. Namun para pengawal tidak mau begitu saja mengalah sebagaimana terjadi beberapa tahun yang lalu. Jika mereka tidak dapat melindungi harta benda orang-orang yang berjudi di Song Lawa, maka perjudian itu lambat laun tentu akan mereka tinggalkan sehingga akhirnya akan menjadi sepi.
Karena itu, maka iapun telah bersuit nyaring sebagai pertanda bahwa para pengawalnya harus menyerang dengan segera, termasuk yang masih berada di depan barak permainan dadu.
Mendengar isyarat itu, maka para pengawal yang masih berada di depan barak itupun dengan tergesa-gesa pergi ke arah suara isyarat itu. Namun empat orang telah ditinggalkan di depan barak itu. Kecuali jika ada perintah lain, disamping dua orang yang berada di dalam.
Orang-orang lain yang masih dapat bertahan dari pengaruh sirep itupun menjadi ragu-ragu. Seorang di antara mereka bertanya kepada para pengawal, "Apa yang harus kami lakukan."
"Ikut kami. Kita akan bertempur," jawab pengawal itu.
Merekapun segera menghambur pula ke pintu gerbang dengan senjata yang telah telanjang di tangan.
Jati Wulung, Sambi Wulung dan Kiai Windupun ikut bersama orang-orang itu. Jati Wulung terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling, iapun menjadi makin terkejut. Ternyata yang menggamit itu adalah Kepala Besi.
Dengan segera Jati Wulung telah mengambil jarak. Jika orang itu tiba-tiba saja menyerangnya, maka ia akan dapat melawannya dengan baik.
"Jangan salah paham," berkata Kepala Besi itu, "kemarin kita memang berkelahi. Bahkan aku hampir mati karenanya. Tetapi aku harus jujur, bahwa aku memang kalah. Sekarang kita akan bertempur bersama-sama menyelamatkan harta benda yang ada di lingkungan perjudian ini. Termasuk harta benda kita sendiri."
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk. Jawabnya, "Kita akan bertempur bersama-sama."
"Bagus," berkata Kepala Besi itu kemudian, "sebenarnya tubuhku masih terasa sakit-sakitan, kau memang luar biasa. Tetapi agaknya aku sudah siap untuk bertempur."
"Kau juga luar biasa," sahut Jati Wulung, "dalam waktu yang singkat, kau sudah dapat mengatasi kesulitan di dalam dirimu."
"Aku telah dibantu oleh obat-obatan yang sangat kuat pengaruhnya. Jika tidak, tentu aku masih terbaring," jawab Kepala Besi sambil tertawa.
Jati Wulungpun tersenyum juga. Demikian pula Sambi Wulung dan Kiai Windu.
Demikianlah, akhirnya mereka sampai ke pintu gerbang. Beberapa orang pengawal telah bertempur. Kepala Besi itu masih juga tertawa sambil berkata, "Kali ini aku memakai ikat kepala."
"Apakah ikat kepalamu tidak akan terbakar?" bertanya Jati Wulung.
"Ya. Tetapi jika perlu," jawab Kepala Besi itu.
Mereka tidak sempat berbicara lagi. Para perampok ternyata memang merupakan gerombolan yang besar, yang memang dipersiapkan untuk merampok tempat perjudian yang termasuk besar sebagaimana Song Lawa itu.
Melihat orang-orang yang datang itu, pemimpin perampok itupun berkata, "Kalian adalah orang-orang sombong yang malang. Kenapa kalian tidak menyerah saja" Buat siapa sebenarnya kalian bertempur" Kenapa tidak kalian serahkan saja kepada pengawal yang bertubuh seperti raksasa, tetapi otaknya sedungu keledai dan kekuatan serta kemampuannya sama sekali tidak seimbang dengan tubuhnya yang bagaikan raksasa itu?"
Namun ada juga yang menjawab, "Kami melindungi harta benda kami sendiri yang ada di Song Lawa ini."
Pemimpin perampok itu tertawa. Katanya, "jadi kalian lebih cinta kepada harta benda kalian daripada nyawa kalian."
Masih juga terdengar jawaban, "Kami tidak akan mati. Tetapi kalianlah yang akan mati disini."
Pemimpin perampok itu menggeram. Dengan marah ia berteriak, "Siapa yang tidak ingin mati supaya meninggalkan pertempuran ini. Aku tidak mempunyai kesempatan untuk melayani kalian dengan permainan yang menjemukan itu." Ia berhenti sejenak. Lalu, "He, yang manakah Kepala Besi yang terkenal dan ditakuti di pesisir Utara itu. Aku akan menantangnya, karena aku yakin bahwa aku akan dapat mengalahkannya. Jika orang yang memiliki ilmu tertinggi disini sudah dikalahkan, maka yang lain tentu akan segera tunduk kepada kami."
Namun terdengar jawaban, "Kepala Besi memang ada disini. Tetapi ia bukan orang yang memiliki ilmu tertinggi. Baru kemarin ia telah dikalahkan oleh seorang yang ternyata memiliki kemampuan ilmu jauh lebih tinggi dari Kepala Besi itu."
Beberapa orang berpaling ke arah suara itu. Ternyata yang berteriak itu adalah Kepala Besi sendiri. Tetapi karena ia tidak membuka saja kepala botaknya seperti biasa, maka ada beberapa orang yang tidak mengenalnya.
Namun pemimpin perampok itu menjawab, "persetan. Dimana Kepala Besi itu."
Tidak ada jawaban. Kepala Besi itupun tidak menjawab pula. Agaknya ia memang segan menampakkan dirinya, karena sebenarnya ia memang masih sedikit merasa sakit di punggungnya. Namun agaknya rasa sakit itu dapat diabaikannya.
Dalam pada itu, pemimpin pengawal yang telah memberikan isyarat itupun berteriak, "Kita sudah bertempur. Kita tidak mempunyai banyak waktu."
Pemimpin perampok itupun berteriak pula, "Jika tidak ada orang yang disebut Kepala Besi itu, maka aku akan membunuh siapa saja yang ada di hadapanku."
Namun ternyata yang ada di hadapannya kemudian adalah Jati Wulung, karena Sambi Wulung berdesis, "Kau sama sekali yang sudah terlanjur dikenal kemampuanmu disini. Tetapi pemimpin perampok yang agaknya juga berilmu tinggi itu. Hati-hati. Jika terdesak, aku terpaksa ikut campur. Jangan tersinggung, sebab kita tidak sedang berperang tanding. Apalagi tugas kita yang sebenarnya masih belum selesai."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun kemudian telah menyusup di antara pertempuran yang segera menyala semakin besar, mendekati pemimpin perampok itu.
"Kau suruh saudaramu mengemban tugas yang berat itu?" tiba-tiba Kiai Windu bertanya.
"Ya. Tidak ada orang lain karena agaknya Kepala Besi tidak bersedia memenuhi tantangannya," jawab Sambi Wulung.
"Sebenarnya kita tidak perlu bekerja terlalu berat. Bukankah kita sekedar mempertahankan uang yang kita bawa kemari" Seandainya uang itu harus jatuh ke tangan mereka, tentu masih akan lebih baik daripada jiwa kita yang jatuh ke tangan mereka."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Apalagi pertempuran segera telah membakar lingkungan Song Lawa itu.
Dalam pada itu, selagi di depan pintu gerbang terjadi pertempuran yang sangit, maka lima orang berdiri termangu-mangu tidak jauh dari lingkungan tempat perjudian Song Lawa itu. Orang yang agaknya pemimpin mereka itupun bergumam, "Setan-setan itu telah mendahului kita."
Kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka menjawab, "Kita akan menunggu, apa yang akan terjadi."
"Jika Song Lawa itu kemudian benar-benar hancur dan menjadi karang abang, maka kehadiran kita tidak mempunyai arti apa-apa," berkata pemimpin itu.
"Kita akan melihat dan mengurai keadaan selanjutnya," desis yang lain.
"Sudah tentu," pemimpinnya membentak, "aku sudah tahu itu. Tetapi bahwa mereka datang lebih dahulu, adalah sangat menyakitkan hati. Sementara kita sekarang belum siap untuk bertindak. Jika saja hal ini terjadi dua hari lagi, maka kita akan dapat mengambil langkah lebih baik."
"Ya." gumam seorang di antara mereka, "ternyata dua orang tua itu tentu petugas yang mereka kirim untuk mengamati keadaan di sekitar Song Lawa ini. Atau merekalah yang telah menebarkan sirep yang tajam itu."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Agaknya mereka sependapat dengan pemimpinnya.
Namun dalam pada itu, di tempat lain, Kiai Badra dan Kiai Sokapun melihat kehadiran para perampok. Dengan nada rendah Kiai Badra berkata, "Suatu langkah yang sangat berani. Namun mereka telah mendahului serangan mereka dengan sirep yang kuat."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Memang ilmu sirep yang kuat. Pengaruhnya terasa sampai jauh di luar lingkungan tempat perjudian itu."
"Agaknya beberapa orang yang kita lihat itu memang sebagian dari segerombolan perampok," desis Kiai Badra.
Kiai Soka menyahut, "Mungkin. Tetapi apakah kita yakin?"
Kiai Badra memang ragu-ragu. Namun kemudian itu adalah kemungkinan yang terbesar.
Tetapi sementara itu Kiai Badra itupun bergumam, "Bagaimana dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung" Apakah mereka juga terlibat langsung dalam benturan kekuatan antara para perampok dengan para pengawal dan orang-orang yang lolos dari ketajaman ilmu sirep ini?"
"Agaknya memang demikian. Mereka, terutama Jati Wulung tentu tidak akan tinggal diam," berkata Kiai Soka.
"Orang itu memang jauh lebih keras dari kakak seperguruannya," jawab Kiai Badra.
"Kita akan menunggu, apakah yang terjadi," desis Kiai Soka, "tetapi mungkin kita akan dapat lebih dekat lagi dengan lingkungan itu."
"Apakah kita akan terlibat?" bertanya Kiai Badra.
"Kita akan memperhatikan keadaan. Terutama Sambi Wulung Jati Wulung," jawab Kiai Soka.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan lebih mendekat."
Demikianlah kedua orang tua itupun telah bergeser lebih mendekati lingkungan yang sedang dilanda api pertempuran itu.
Sebenarnyalah pertempuran di Song Lawa itu telah berlangsung semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengarahkan kemampuan mereka untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran. Apalagi malam tidak lagi tersisa terlalu panjang. Sedangkan para perampok itu sudah tentu tidak mau kesiangan.
Karena itu, maka merekapun segera mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun orang-orang di Song Lawa itupun merupakan petugas-petugas yang tangguh. Mereka yang tersisa dari cengkaman sirep itu agaknya memang orang-orang yang memiliki lambaran ilmu yang mapan. Demikian pula orang-orang yang lain, yang melibatkan diri dalam pertempuran itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih juga sempat mengamati orang-orang yang ikut terlibat ke dalam pertempuran itu. Agaknya tidak seorangpun di antara anak-anak muda yang mampu mengatasi kekuatan sirep yang tajam yang menyelubungi Song Lawa itu.
Dalam pada itu, Jati Wulung yang menghadapi pemimpin perampok itupun segera mengetahui pula, bahwa pemimpin perampok itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka Jati Wulung harus menjadi sangat berhati-hati. Ia menyadari, bahwa pada saatnya pemimpin perampok itu tentu akan mempergunakan puncak dari kemampuannya.
Untuk beberapa saat Jati Wulung masih memerlukan waktu untuk lebih mengenal watak dari ilmu lawannya itu. Justru karena pemimpin perampok itu sama sekali tidak bersenjata, maka Jati Wulung memperhitungkan kemampuan yang lain yang melampaui tajamnya ujung senjata.
Para perampok yang lainpun telah bertempur pula dengan senjata masing-masing. Ternyata setelah bertempur beberapa saat, memang terdapat beberapa persamaan antara para perampok dan para pengawal lingkungan Song Lawa yang bertubuh raksasa itu.
Merekapun segera terlibat dalam pertempuran yang kasar dan keras.
Melihat ragam senjata merekapun terdapat beberapa kesamaan pula. Para perampok telah membawa senjata yang tidak terlalu biasa dipergunakan, sehingga kesannya memang mengerikan. Ada di antara mereka yang membawa kapak, membawa bindi, tombak berkait dan jenis-jenis senjata yang lain. Demikian pula para pengawal yang bertubuh raksasa itu. Ragam senjata merekapun serupa, kapak, pedang yang bermata dua, tombak yang tajamnya memakai gerigi duri pandan, tongkat besi dan sejenisnya.
Tingkah laku merekapun hampir bersamaan pula. Bertempur sambil berteriak dan mengumpat-umpat.
Namun orang-orang yang sedang berada di Song Lawa itupun ada pula yang menunjukkan sikap dan tata gerak yang sama. Seorang yang bertubuh tinggi, berkumis lebat, bahkan telah mengumpat-umpat dengan kasarnya. Senjatanya adalah sebilah golok yang besar sedikit melengkung. Ketika golok itu mulai terayun, maka anginpun rasa-rasanya telah menyambar-nyambar di sekitarnya.
Tetapi beberapa orang lain bersikap lain pula. Mereka tidak menunjukkan sikap yang liar meskipun pada umumnya orang-orang yang ada di tempat seperti itu adalah memang orang-orang yang kasar. Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berusaha untuk menyesuaikan sikapnya sebagaimana orang-orang lain yang ada di Song Lawa itu.
Sekilas Sambi Wulung sempat melihat bagaimana Kiai Windu bertempur. Ia memang tidak melihat unsur yang liar pada orang itu. Meskipun orang itu bersikap kasar dan kadang-kadang di luar dugaan, tetapi Sambi Wulungpun menduga, bahwa ada sesuatu di balik sikapnya itu.
Sambi Wulung sendiri telah bertempur dengan pedangnya. Orang-orang yang bertempur di sekitarnya memang tidak sempat melihat, apa yang dilakukannya. Yang kadang-kadang justru menjadi perhatian mereka adalah Jati Wulung yang bertempur melawan pemimpin perampok itu.
Namun agaknya Sambi Wulung telah berbuat di luar perhitungan mereka. Sambi Wulung yang tidak mendapat perhatian itu, ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka setiap kali ia telah mengejutkan lawan-lawannya. Namun untuk tidak menarik perhatian, Sambi Wulung jarang membuat penyelesaian, ia tidak membunuh lawannya atau melukainya dengan tikaman pedangnya. Tetapi setiap kali ia hanya memperlemah kedudukan lawannya yang kemudian ditinggalkannya untuk mencari lawan yang lain. Jika lawannya telah digores dengan ujung pedangnya, maka Sambi Wulung kemudian telah menghindarinya. Hanya dalam keadaan terpaksa dan di luar perhitungannya, maka pedangnya memang telah menikam sampai ke jantung.
Meskipun demikian, ternyata Sambi Wulung telah menimbulkan banyak kesulitan pada lawan-lawannya. Jika ia menggoreskan pedangnya pada tubuh lawannya, berarti bahwa ia telah memperlemah perlawanannya. Meskipun kemudian Sambi Wulung meninggalkannya, maka orang itu tidak lagi dapat bertempur dengan sepenuh kemampuannya siapapun lawan yang datang kemudian. Dan lawan yang datang kemudian itulah yang biasanya membuat penyelesaian.
Di bagian lain, orang yang disebut Kepala Besi itupun telah bertempur dengan garangnya. Agaknya ia masih berusaha untuk tidak dikenal sebagaimana sebutannya. Karena itu ia telah mempergunakan senjata pula. Sebuah pedang yang berat di tangannya berputar-putar mengerikan.
Sementara itu, Kiai Windupun mampu menggerakkan lawan-lawannya. Dengan kemampuan yang tinggi serta pengalaman yang luas menghadapi lawan-lawan yang keras dan kasar, Kiai Windu mampu mendesak setiap lawan yang dihadapinya.
Karena itulah, maka para perampok yang memasuki Song lawa itupun menjadi semakin marah. Semakin keras perlawanan yang mereka hadapi, maka merekapun menjadi semakin buas dan liar.
Tetapi ternyata bahwa beberapa lama kemudian, beberapa orang perampok telah jatuh. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang pernah berhadapan dengan Sambi Wulung. Yang lain adalah lawan-lawan kepala Besi dan beberapa orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang bertubuh raksasa itupun ada pula yang telah terlempar jatuh. Senjata para perampok yang garang itu sempat pula mengoyakkan kulit daging di antara mereka.
Kemarahan para perampok dan orang-orang yang bertubuh tinggi itu mempunyai warna yang hampir sama pula. Mereka berteriak-teriak Jan mengumpat-umpat sejadi-jadinya.
Jati Wulung ternyata telah mendapat lawan yang tangguh. Pemimpin perampok itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Karena itu, maka Jati Wulung harus berhati-hati menghadapinya.
Namun pemimpin perampok itupun menjadi heran pula. Yang diperhitungkannya hanyalah Kepala Besi yang ditakuti di pesisir Utara. Namun ternyata ada juga orang lain yang mampu mengimbangi ilmunya.
Meskipun demikian, sekali-sekali masih terdengar pula orang itu berteriak, "Dimana Kepala Besi itu" Ternyata ia seorang pengecut yang tidak berani menghadapi aku."
Kepala Besi itu tidak menghiraukannya, ia masih saja bertempur dengan sebuah pedang yang berat. Namun dengan ayunan pedangnya itu ia telah mendesak lawan-lawannya.
Pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit.
Adalah di luar dugaan, bahwa para perampok telah susut dengan cepat.
Sebenarnya bagi Kiai Windu, bertempur pada saat itu bukannya keharusan yang mutlak. Tetapi iapun tidak ingin melihat Song Lawa benar-benar dihancurkan oleh para perampok itu yang kemudian membawa semua uang dan perhiasan yang ada di dalamnya. Karena itu, maka meskipun Kiai Windu menghindari keadaan yang benar-benar berbahaya baginya, iapun telah bertempur pula menghadapi para perampok itu. Ternyata Kiai Windu mampu memilih lawan yang tidak membahayakan dirinya sendiri.
Tetapi beberapa orang yang lain telah bertempur dengan garangnya. Seorang yang bertubuh kekar telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Kemarahannya telah ditumpahkan lewat ujung senjatanya, karena baginya para perampok itu ternyata telah mengganggu kesenangannya selama ia berada di Song Lawa.
Dalam waktu yang pendek, pertempuran itu telah menjadi semakin menebar. Sebenarnyalah bahwa arah serangan para perampok mula-mula ditujukan kepada para petugas. Tetapi karena orang-orang lain yang kebetulan berada di Song Lawa itu justru menjadi lebih berbahaya dari para petugas, maka merekapun kemudian berusaha untuk menghancurkan orang-orang lain yang kebetulan berada di Song Lawa itu justru menjadi lebih berbahaya dari para petugas, maka merekapun kemudian berusaha untuk menghancurkan orang-orang itu lebih dahulu.
Pada umumnya orang-orang yang berhasil mengatasi kekuatan sirep itu memang orang-orang berilmu. Itulah sebabnya, maka para perampok sulit untuk dapat menghancurkan mereka. Bahkan dalam setiap pertempuran seorang melawan seorang, maka para perampok itu tentu segera dapat dikalahkan.
Tetapi jumlah perampok itu memang lebih banyak dari mereka yang sempat terhindar dari kekuatan sirep itu. Karena itu, maka orang-orang itupun harus bertempur dengan segenap kemampuan dan ilmunya, karena kadang-kadang mereka harus menghadapi lawan yang tidak hanya seorang.
Para perampok yang kasar itu ternyata cerdik juga mengatasi kemampuan lawan-lawan mereka. Setiap kali seorang perampok terdesak, maka muncullah kawannya untuk membantunya. Sehingga dengan demikian, maka ada di antara para perampok itu yang bertempur sambil berloncatan dari satu lawan ke lawan yang lain.
Orang yang disebut Kepala Besi itu mengumpat-umpat ketika ia harus berhadapan dengan dua orang perampok yang termasuk tangguh. Ketika seorang yang termasuk tangguh. Ketika seorang yang termasuk tataran tertinggi dari para perampok itu terdesak, maka muncullah seorang yang lain dalam tataran yang sama. Karena itu, maka Kepala Besi itu harus berhadapan dengan orang-orang terbaik di lingkungan perampok itu.
Tetapi Kepala Besi itu memang benar-benar orang yang ditakuti di pesisir Utara. Karena itu, meskipun punggungnya masih agak sakit setelah ia dikalahkan oleh Jati Wulung, namun ia masih mampu bertempur dengan garangnya. Hanya sekali-sekali ia masih berdesis jika sakti di punggungnya itu terasa menggigit.
Karena itu, maka Kepala Besi itu tidak segera dapat dikuasai oleh lawan-lawannya. Bahkan beberapa kali ia mampu mengejutkan lawan-lawannya dengan geraknya yang tiba-tiba.
"Setan. Sakit di punggungku," Kepala Besi itu mengumpat, "jika tidak, aku akan membunuh semua orang yang mengganggu kesenanganku ini."
Ketika sekilas ia melihat Jati Wulung bertempur melawan pemimpin perampok itu, Kepala Besi merasa bersyukur bahwa bukan dirinyalah yang dihadapinya. Jika ia dalam keadaannya itu harus menghadapi pemimpin perampok itu, mungkin ia akan mengalami kesulitan. Perasaan sakit di punggungnya itu akan benar-benar terasa mengganggu jika ia berhadapan dengan orang yang memang benar-benar berilmu tinggi. Semakin banyak ia bergerak, maka perasaan sakit itu akan semakin terasa.
Karena itu, maka ia lebih senang bertempur menghadapi lawan-lawan yang tidak terlalu kuat meskipun ia harus berhadapan dengan lebih dari satu orang.
Pemimpin perampok yang bertempur dengan Jati Wulung itupun menjadi semakin marah. Ternyata ia mendapatkan lawan yang sulit diatasinya. Lawan yang benar-benar berilmu tinggi.
Dengan kasar pemimpin perampok itu tiba-tiba saja bertanya, "He, kaukah Kepala Besi itu."
"Bukan," jawab Jati Wulung sambil bertempur.
"Jadi siapa kau?" bertanya lawannya pula.
"Wanengpati. Namaku Wanengpati," jawab Jati Wulung.
"Nama yang sering dipakai oleh para prajurit. Apakah kau seorang prajurit?" bertanya pemimpin perampok itu.
"Jika aku seorang prajurit, kau akan menjadi ketakutan?" Jati Wulung justru bertanya.
"Persetan," geram pemimpin perampok itu, "di dunia ini tidak ada orang yang aku takuti. Sultan Pajangpun tidak."
Tetapi Jati Wulung sempat menjawab, "Kau akan mengalaminya sekarang. Kau akan menjadi ketakutan setelah kita bertempur lebih lama lagi."
"Iblis kau," geram pemimpin perampok itu.
Dengan serta-merta maka pemimpin perampok itu telah meningkatkan serangannya. Ia berusaha mendesak lawannya dengan geraknya yang cepat dan keras.
Tetapi lawannya adalah benar-benar seorang yang tangguh. Karena itu, betapapun ia meningkatkan ilmunya, lawannya selalu dapat mengimbanginya. Bahkan ketika tubuh Jati Wulung mulai dialiri keringat, maka geraknyapun seakan-akan menjadi semakin cepat dan ringan. Kakinya seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah jika ia sedang berloncatan di seputar lawannya.
Tetapi lawannyapun mampu bergerak cepat pula. Tangannya yang mengembang bagaikan sayap-sayap burung yang buas di langit yang luas.
Dengan demikian maka pertempuran di antara kedua orang itu menjadi semakin garang. Mereka telah bergeser ke halaman Song Lawa yang luas, seakan-akan terpisah dari arena pertempuran itu. Dengan kemarahan yang mendesak di dadanya. maka pemimpin perampok itu berusaha secepatnya untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Para petugas di Song Lawa yang pada umumnya bertubuh raksasa itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka merasa mempunyai kewajiban untuk melindungi orang-orang yang datang di Song Lawa itu. Namun ternyata bahwa mereka memerlukan orang-orang yang harus mereka lindungi itu untuk membantu mereka. Tanpa orang-orang itu, maka para petugas yang bertubuh raksasa itu tidak akan sempat bertahan cukup lama.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 07 UNTUK beberapa saat, masih belum dapat diduga, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Namun beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi melampaui kebanyakan orang yang terdapat di antara orang-orang yang sedang berada di tempat perjudian itu telah membuat para perampok menjadi cemas. Bahkan pemimpin perampok itupun telah menjadi cemas pula tentang dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan segera dapat menyelesaikan pertempuran itu, sementara malampun telah hampir sampai ke batas.
Namun demikian, meskipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya, namun lawannya masih juga mampu mengimbanginya.
Yang mengalami kesulitan adalah justru orang-orang yang bertubuh raksasa yang bertugas di Song Lawa. Jika seorang di antara mereka harus menghadapi dua orang sekaligus, maka petugas itu akan segera mengalami kesulitan. Namun merekapun telah berusaha untuk bertempur dalam arena yang saling berbaur sehingga dengan demikian maka mereka akan dapat saling menolong dalam keadaan yang mendesak.
Namun dalam pada itu, justru karena di dalam pertempuran itu orang-orang yang berilmu tinggi seperti Sambi Wulung, Kepala Besi itu kemampuan orang-orang lain yang pada umumnya melampaui kemampuan para petugas yang bertubuh raksasa itu, maka jumlah para perampok itu agaknya telah menjadi susut. Meskipun orang-orang yang mempertahankan Song Lawa itu juga susut, namun agaknya penyusutan bagi para perampok itu berlangsung lebih cepat. Sehingga karena itu, maka pada saatnya, jumlah mereka akan menjadi seimbang.
Agaknya hal itu diketahui juga oleh pemimpin perampok yang sedang bertempur melawan Jati Wulung. Karena itu, maka kemarahannyapun menjadi semakin memuncak. Tidak ada pilihan lain daripada berusaha dengan cepat menghancurkan lawannya untuk terjun ke dalam pertempuran di antara orang-orangnya.
Yang menjadi berdebar-debar adalah orang-orang yang bertubuh raksasa itu. Mereka yang seharusnya melindungi orang-orang yang berada di tempat perjudian itu termasuk harta bendanya, namun ternyata mereka tidak cukup mampu untuk melakukannya. Apalagi sebagian dari mereka telah tertidur nyenyak oleh kekuatan sirep yang mencengkam.
Jika para perampok itu kemudian ternyata berhasil menghancurkan Song Lawa dan merampas segala harta benda yang ada di dalamnya, maka untuk selanjutnya Song Lawa tidak akan pernah mendapat kepercayaan lagi. Bahkan mungkin orang-orang yang ada di dalamnya telah menuntut kepada para petugas dan pemimpin Song Lawa itu agar mereka bertanggung jawab atas perampokan itu.
Beruntunglah para petugas di Song Lawa itu, bahwa orang-orang yang berilmu tinggi, yang terbebas dari pengaruh sirep, telah bersedia untuk turun ke medan, membantu mereka melawan para perampok itu.
"Bagi mereka, tentu akan ada penghargaan khusus," berkata pemimpin dari para petugas itu.
Demikianlah, pertempuran masih berlangsung dengan garangnya. Orang-orang yang bertubuh raksasa telah bertempur sejauh dapat mereka lakukan tanpa mengenal takut sama sekali. Mereka harus menunjukkan kepada orang-orang yang ikut membantu mereka bertempur, bahwa mereka telah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Mereka harus benar-benar dianggap bertanggung jawab tanpa mengenal takut menghadapi maut sekalipun.
Namun para perampokpun telah menjadi semakin buas dan liar. Mereka menjadi sangat marah bahwa mereka tidak dapat melakukan perampokan itu dengan lancar. Bahkan orang-orang yang berada di Song Lawa dan sama sekali bukan petugas telah ikut melibatkan diri pula.
Namun justru satu-satu para perampok itu terlempar dari arena. Luka-luka yang parah dan bahkan tusukan langsung ke jantung telah mengurangi jumlah mereka. Tanpa mereka sadari, Sambi Wulung benar-benar merupakan orang yang menentukan keseimbangan pertempuran itu disamping Jati Wulung yang telah berhasil mengikat pemimpin perampok dalam pertempuran yang sengit, serta Kepala Besi yang bertempur dengan garang.
Pemimpin perampok yang bertempur melawan Jati Wulung itupun telah berusaha mengerahkan kekuatan dan kemampuannya untuk segera mengalahkan lawannya. Beberapa jenis ilmu yang dimilikinya telah diungkapkannya dalam pertempuran itu. Dengan tangkas ia telah mampu berloncatan hampir tidak menyentuh tanah. Bahkan kemudian tangannyapun telah berputaran di sekitar tubuhnya. Sekali-kali mengembang, kemudian terangkat tinggi, tetapi sesaat yang lain tangan itu telah mematuk dada dengan jari-jari yang merapat.
Tetapi Jati Wulung mampu mengimbangi kecepatan gerak pemimpin perampok yang tidak bersenjata itu. Iapun dengan cepat bergerak sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Bahkan sekali-sekali Jati Wulung justru telah berusaha menembus pertahanan lawannya dengan serangan-serangan yang cepat dan tiba-tiba.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mengerahkan kemampuannya pemimpin perampok itu masih sempat mengelakkan serangan-serangan Jati Wulung. Bahkan membalas menyerang dengan kemampuan yang sangat tinggi.
Ketika orang itu meloncat dengan ayunan tangan mendatar setinggi dada, Jati Wulung sempat memiringkan tubuhnya sehingga tangan lawannya itu bergetar kurang dari setapak dari tubuhnya. Namun dengan cepat pula Jati Wulung telah memukul tangan itu dengan sisi telapak tangannya. Tetapi lawannya sempat dengan tergesa-gesa menarik tangannya sehingga pukulan sisi telapak tangan Jati Wulung tidak mengenainya. Bahkan orang itu sempat memiringkan tubuhnya dan mengayunkan kakinya ke arah lambung. Jati Wulung yang melihat serangan itu meloncat surut. Sekali lagi serangan lawannya tidak mengenainya. Bahkan Jati Wulung yang melihat keadaan lawannya, tiba-tiba telah berputar sambil menyapu kaki lawannya yang sebelah, yang dipergunakan untuk bertumpu sebelum kakinya yang lain sempat menyentuh tanah.
Namun Jati Wulung harus mengakui kemampuan lawannya yang tiba-tiba saja dengan satu kakinya telah melenting tinggi. Sambil menggeliat tangannya justru terayun. Hampir saja tangan itu mengenai tengkuk Jati Wulung. Namun Jati Wulung adalah seorang yang berilmu mapan. Karena itu, hampir di luar daya pengamatan lawannya Jati Wulung telah memiringkan tubuhnya, sehingga sambaran tangan lawannya tidak mengenainya.
Betapa terkejut lawannya ketika tiba-tiba saja kaki Jati Wulung telah berputar satu lingkaran. Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak sempat menghindarinya.
Karena itu dengan lengannya, pemimpin perampok itu berusaha menangkis serangan Jati Wulung.
Satu benturan yang keras sekali telah terjadi. Kekuatan pemimpin perampok itu memang luar biasa besarnya. Namun justru karena Jati Wulung menyadarinya, maka iapun telah mengerahkan kekuatannya pula. Karena itu benturan yang terjadi adalah benturan ilmu yang mengalir di bagian tubuh masing-masing yang saling beradu.
Ternyata pemimpin perampok itu terkejut. Kekuatan Jati Wulung demikian besarnya, sehingga pemimpin perampok itu telah terdorong surut.
Kemarahan yang menggelegak telah menghentak-hentak di dalam dada pemimpin perampok itu. Karena itu maka iapun telah berteriak nyaring sambil mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya. Keadaan benar-benar menjadi semakin gawat bagi para perampok itu. Kekuatan sirep pun semakin lama akan menjadi semakin menipis. Jika kemudian kekuatan sirep itu hilang, maka orang-orang di Song Lawa itu akan terbangun dan keadaanpun akan menjadi semakin sulit bagi para perampok itu.
Tetapi betapapun ia mengerahkan kemampuan ilmunya, namun lawannya itu benar-benar tidak mampu didesaknya. Semakin besar ia mengerahkan kekuatannya, maka semakin besar pula kekuatan lawannya.
Ketika pemimpin perampok itu benar-benar sampai ke puncak ilmunya, maka Jati Wulung memang menjadi berdebar-debar. Dalam sentuhan-sentuhan yang kemudian terjadi, rasa-rasanya tubuh lawannya menjadi panas. Itulah sebabnya, maka lawannya berusaha untuk lebih sering membenturkan kekuatan mereka.
Jati Wulung menggeram ketika tangannya mengenai lambung lawannya. Lawannya memang menyeringai menahan sakit. Tetapi Jati Wulungpun menjadi kesakitan pula, karena tangannya bagaikan menyentuh bara.
"Setan alas," geram Jati Wulung.
"Kau akan mati terpanggang api ilmuku," desis lawannya.
Jati Wulung menggerakkan giginya. Namun ia adalah orang yang berilmu tinggi.
Dalam pertempuran berikutnya, Jati Wulung menyadari, bahwa lawannya berusaha menerkamnya dan memeluknya erat-erat. Dengan demikian maka ia akan benar-benar dapat mati terpanggang api ilmunya sebagaimana dikatakan. Karena itu, maka iapun telah bertempur dengan sangat berhati-hati.
Dikerahkannya daya tahannya untuk mengatasi rasa sakit jika serangannya membentur lawannya. Namun Jati Wulungpun yakin, bahwa lawannya masih juga merasa sakit jika serangannya mampu mengenainya.
Karena itu, maka Jati Wulungpun benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga cadangannya, sehingga serangan-serangannya menjadi semakin garang. Namun Jati Wulungpun harus bergerak cepat untuk selalu menghindari terkaman lawannya yang bagaikan menjadi bara itu.
Ternyata bahwa pemimpin perampok itupun menjadi semakin sibuk melayani Jati Wulung yang sudah sampai pula pada tingkat kemampuannya yang tertinggi. Ternyata ia mampu bergerak di luar penglihatan mata wadag, sementara itu kekuatannyapun bagaikan menjadi berlipat ganda. Setiap sentuhan, telah melemparkan lawannya beberapa langkah surut, meskipun Jati Wulung sendiri harus berusaha mengatasi rasa sakit, tetapi hentakkan serangannya yang semakin kuat telah melemparkan lawannya, dan bahkan membantingnya jatuh.
Sebenarnyalah kegelisahan benar-benar telah mencengkam pemimpin perampok yang berilmu tinggi itu. Apalagi ketika ia sempat melihat keadaan orang-orangnya. Meskipun semula jumlah mereka lebih banyak, namun semakin lama jumlah itu menjadi semakin berimbang.
"Kau mempunyai ilmu dari iblis mana he?" geram pemimpin perampok itu.
Jati Wulung menghindari serangan lawannya sambil menjawab, "Ilmuku itulah ilmu iblis."
Lawannya semakin mengerahkan kemampuannya. Namun serangan Jati Wulung rasa-rasanya menjadi semakin sering mengenainya dan setiap sentuhan rasa-rasanya telah mematahkan tulang-tulangnya. Bahkan telah timbul pertanyaan di dalam hatinya, "Apakah ia tidak merasakan panasnya ilmuku?"
Namun pemimpin perampok itu benar-benar tidak mendapat kesempatan. Serangan Jati Wulung justru menjadi semakin sering menembus pertahanannya. Jika semula pemimpin perampok itu berusaha sejauh mungkin terjadi benturan-benturan sehingga ia mendapat kesempatan membakar kulit lawannya, namun iapun kemudian terpaksa harus menghindarinya. Serangan Jati Wulung dilambari kekuatan yang luar biasa besarnya.
Sebenarnyalah Jati Wulung sendiri harus menahan pedih pada kulit-kulitnya yang bagaikan terkelupas oleh panasnya api pada tubuh lawannya yang dilambari dengan ilmunya. Tetapi Jati Wulung harus mengatasi perasaan sakit dan pedih itu. Jika ia tidak mampu mengatasinya, maka lambat laun ia akan ditelan oleh ilmu lawannya.
Namun ternyata lawannyapun sulit untuk mengatasi kekuatan ilmu Jati Wulung yang tinggi. Kekuatannya semakin lama bukannya semakin susut. Tetapi justru menjadi semakin besar.
Ketika lawannya berusaha untuk menangkap serangan Jati Wulung agar kekuatan panas apinya sempat menghanguskan kulitnya, namun ternyata bahwa pemimpin perampok itu sendirilah yang telah terlempar beberapa langkah mundur dan bahkan jatuh terbanting di tanah.
Dengan cepat pemimpin perampok itu melenting berdiri. Namun dengan kecepatan yang lebih tinggi, Jati Wulung telah meluncur dengan tubuh hampir mendatang.
Satu benturan yang keras sekali telah terjadi ketika telapak kaki Jati Wulung itu mengenai dada pemimpin perampok yang belum benar-benar berdiri tegak itu.
Benturan serangan Jati Wulung itu benar-benar merupakan benturan yang menentukan. Lambaran kekuatan ilmu yang ada di dalam diri Jati Wulung benar-benar telah menghantam tulang-tulang iga pemimpin perampok itu.
Ternyata beberapa tulang iga telah benar-benar dipatahkannya. Isi dada pemimpin perampok itupun rasa-rasanya telah menjadi rontok karenanya.
Terdengar keluhan pendek. Pemimpin perampok itu ternyata telah terlempar beberapa langkah. Sekali lagi ia jatuh berguling. Lebih keras dari sebelumnya. Adalah di luar perhitungan pemimpin perampok itu, bahwa kepalanya telah membentur batu yang tergolek di bawah sebatang pohon waru.
Pemimpin perampok itu menggeliat. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Ia hanya dapat menatap Jati Wulung dengan-sorot mata penuh kebencian. Namun mata itupun sejenak kemudian telah tertutup.
Kematian pemimpin perampok itu mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi para pengikutnya. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi tanpa pemimpin mereka yang berilmu tinggi itu.
Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Beberapa orang di antara mereka sempat memperhitungkan kemungkinan susutnya pengaruh sirep sehingga akan semakin banyak orang-orang Song Lawa yang terbangun. Sementara itu rasa-rasanya cahaya merah telah mulai membayang di langit.
Sejenak kemudian, para perampok itu telah mengambil satu keputusan tanpa sempat mereka bicarakan. Ketika seorang di antara mereka dengan licik meloncat melarikan diri, maka beberapa orangpun telah menyusulnya tanpa aba-aba. Mereka berlari-larian ke pintu gerbang yang terbuka dan berusaha hilang di gelapnya malam.
Orang-orang yang ikut bertempur bersama para pengawal tidak berusaha mengejar mereka. Tetapi para pengawal yang bertubuh raksasa itu ada yang sempat berlari keluar regol. Dua orang ternyata gagal melarikan diri dan tusukan di punggung mereka telah menghentikan mereka untuk selama-lamanya. Namun yang lain sempat menghilang di dalam kelam.
Sejenak kemudian, maka para pengawal Song Lawa itupun telah berkumpul. Beberapa orang yang kebetulan sedang berada di Song Lawa dan ikut terlibat dalam pertempuran itu, berdiri termangu-mangu. Mereka memandangi beberapa tubuh yang terbujur lintang dengan darah yang mulai membeku.
Di antara mereka adalah para pengawal yang bertubuh raksasa serta orang-orang yang sedang berada di Song Lawa untuk berjudi. Namun untunglah bahwa orang-orang itu hanyalah terluka saja. Tidak seorangpun di antara para penjudi itu yang terbunuh.
Pemimpin Pengawal yang juga bertubuh raksasa itu memandangi orang-orang yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata dengan nada rendah, "Terima kasih. Tanpa bantuan kalian, Song Lawa telah menjadi abu. Jika mereka telah merampas semua harta benda yang ada disini, maka mereka tentu akan membakar tempat ini dengan orang-orang yang tertidur lelap karena pengaruh sirep. Kita tentu tidak akan sempat mengeluarkan mereka seorang demi seorang."
Orang-orang yang termenung di antara mereka yang terluka dan terbunuh itu termangu-mangu. Namun kemudian Jati Wulunglah yang berkata, "Rawat yang terluka dan kumpulkan kawan-kawanmu yang terbunuh. Hari ini kita mulai dengan penguburan mayat para perampok serta merawat orang-orang yang terluka termasuk aku. Kau lihat, kulitku mengalami luka-luka bakar. Pedih sekali sekarang. Di saat-saat aku berkelahi, perasaan sakit itu dapat aku atasi karena aku lebih takut mati daripada sekedar kesaksian. Tetapi sekarang, perasaan sakit itu terasa semakin menggigit."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Kawanku menjadi semakin sedikit. Mereka yang telah bekerja bersamaku beberapa tahun disini, sebagian telah mati dan sebagian lagi terluka. Justru mereka adalah orang-orang yang terbaik."
"Tentu orang-orang yang terbaik," sahut Kepala Besi, "pengawal-pengawal Song Lawa yang lain tidak lebih dari kerbau-kerbau dungu yang hanya ujudnya saja yang menyeramkan. Tetapi ternyata mereka tidak mampu mengatasi kekuatan sirep."
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat menyangkal kenyataan itu.
Sementara itu Kiai Windupun berkata, "Pengaruh itu sekarang sudah tidak lagi cukup kuat untuk memaksa orang-orang tidur nyenyak. Bangunkan mereka dengan isyarat. Itu lebih cepat daripada kau bangunkan mereka seorang demi seorang."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan membunyikan isyarat tanda bahaya."
"Kami akan kembali ke dalam bilik kami," berkata Kiai Windu.
"Uangku ada di barak permainan dadu," berkata seorang yang bertubuh tinggi.
Dengan demikian maka orang-orang itu telah berpencar kembali ke tempat mereka di saat kerusuhan itu mulai terjadi. Sambi Wulung, Jati Wulung dan Kiai Windu telah kembali pula ke dalam bilik mereka, sementara Jati Wulung berjalan dengan kaki timpang. Telapak kakinya dan lengannya memang terluka. Pakaiannyapun di beberapa tempat bagaikan telah tersengat bara api.
Namun Kiai Windu sempat berkata, "Ternyata kau memang luar biasa."
"Apanya yang luar biasa?" bertanya Jati Wulung.
Kiai Windu tersenyum. Namun iapun telah mengurut lengannya sendiri yang tergores senjata sambil menjawab, "Kau mampu mengalahkan pemimpin perampok yang mempunyai ilmu yang tinggi itu."
"Satu kebetulan," jawab Jati Wulung, "tetapi aku terluka di banyak tempat."
"Lenganku juga terluka," berkata Kiai Windu.
Wanengbayalah yang sama sekali tidak tersentuh senjata.
"Aku mencari lawan yang paling lemah di antara mereka," jawab Sambi Wulung.
"Bagaimana mungkin kau dapat memilih lawan dalam perkelahian seperti itu," desis Kiai Windu.
Sambi Wulung tidak menjawab. Namun Kiai Windu berkata selanjutnya, "Jika tidak ada kalian berdua, maka Song Lawa tentu sudah dijarah rayah. Isinya tentu sudah dirampok oleh orang-orang liar itu dan bahkan banyak orang yang terbunuh."
"Ah," sahut Sambi Wulung, "kau jangan mengada-ada. Kaulah yang telah berhasil mengusir mereka."
Kiai Windu berkata sambil tertawa, "Kau katakan bukan yang sebenarnya kau maksudkan. Kau tahu tingkat kemampuanku. Dan akupun tahu tingkat kemampuan kalian."
"Sudahlah," desis Jati Wulung, "luka-lukaku terasa pedih. Aku harus segera mengobatinya agar tidak menjadi luka-luka yang semakin parah."
Semuanyapun terdiam. Mereka menjadi semakin dekat dengan bilik mereka. Sementara itu, telah terdengar isyarat yang dibunyikan oleh pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu. Beberapa orang kawannya yang hanya mengalami luka-luka ringan pun telah ikut pula membunyikannya sambil membawa kentongan-kentongan kecil berputar di antara barak-barak di Song Lawa.
Isyarat itu memang mengejutkan. Bukan saja para pengawal yang dengan serta-merta meloncat keluar dari barak-barak tempat mereka tertidur nyenyak oleh pengaruh sirep, bahkan juga yang tertidur di kedai dan di gardu-gardu penjagaan, tetapi juga mereka yang berada di Song Lawa itu untuk berjudi. Mereka dengan senjata di tangan telah menghambur keluar dari barak-barak. Sementara itu mereka yang tertidur di barak permainan dadupun telah bangkit pula. Dengan serta-merta mereka telah menarik senjata-senjata mereka pula.
Namun dua orang petugas yang berada di barak permainan dadu itu segera menjelaskan apa yang telah terjadi. Dengan nada tinggi seorang di antara petugas itu berkata, "Yang ada di tempat ini sama sekali tidak berubah sebagaimana saat sirep itu mulai menyentuh."
"Gila. Siapa yang telah melakukannya?" bertanya seorang yang berpakaian rapi. Dengan keris di tangan ia berdiri tegak di antara orang-orang lain yang juga menjadi tegang.
Ketika seorang pengawal yang lain memasuki tempat itu, maka seorang yang menggenggam pedang di tangan bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Semuanya sudah lewat," berkata pengawal itu, yang ternyata telah terluka di punggungnya. Lalu katanya pula, "perampok itu telah terusir selain yang terbunuh disini. Pemimpin perampok itu telah mati pula disini."
"Kenapa kami baru diberitahukan sekarang?" bertanya seorang yang bertubuh besar, "jika aku tahu, maka aku akan menghancurkan mereka."
"Jangan membual disini," bentak pengawal yang punggungnya terluka itu, "kenapa kau justru tidur saja disini, di tempat yang seharusnya tidak untuk tidur" Bukankah sudah disediakan bilik bagimu?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Bukan hanya orang yang bertubuh tinggi besar itu saja yang merasa heran atas dirinya sendiri. Kenapa mereka telah tertidur di tempat permainan dadu itu.
"Sekarang kemasi uang kalian. Permainan dihentikan untuk siang ini. Baru malam nanti akan dimulai lagi. Siang ini kita mempunyai tugas lain. Mengubur orang-orang yang terbunuh dan merawat kawan-kawan kami yang terluka. Untunglah bahwa aku hanya tergores kecil di punggung. Tetapi ada kawanku yang benar-benar mati," geram pengawal itu.
Orang-orang yang ada di barak permainan dadu itupun segera mengemasi dan menyimpan uang mereka masing-masing atau barang-barang berharga yang sudah disiapkan untuk bertaruh. Kemudian merekapun telah meninggalkan tempat itu.
Namun, demikian mereka berada di halaman, maka merekapun segera mengetahui bahwa beberapa orang memang telah terbunuh.
Hari itu semua kegiatan judi di Song Lawa dihentikan. Tidak ada permainan dadu. Tidak ada sabung ayam dan tidak ada panahan. Namun kedai di Song Lawa itu terpaksa dibuka agar orang-orang yang ada di dalam lingkungan itu tidak menjadi kelaparan.
Sambi Wulungpun kemudian telah sibuk mengobati luka-luka Jati Wulung. Dengan obat-obatan yang mereka bawa, maka rasa sakit pada luka-luka Jati Wulung menjadi jauh berkurang.
Namun keduanya menjadi sangat kecewa ketika mereka kemudian mengetahui, bahwa para perampok yang terluka parah dan tidak dapat meninggalkan Song Lawa itu telah dibunuh pula oleh para pengawal.
"Ternyata mereka adalah orang-orang biadab," geram Jati Wulung.
"Satu kesalahan yang tidak dapat dimaafkan," desis Sambi Wulung, "bukankah seharusnya mereka itu. bahwa mereka tidak boleh membunuh orang-orang yang terluka?"
Tetapi Kiai Windu tiba-tiba saja bertanya, "Siapa yang kau maksud?"
"Para pengawal Song Lawa," jawab Sambi Wulung.
Tetapi Kiai Windu justru tersenyum. Katanya, "Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu. Seharusnya sejak semula kau sudah dapat menilai, bahwa mereka bukanlah orang baik-baik. Yang berada di tempat perjudian inipun bukan pula orang baik-baik sebagaimana para pengawal. Seandainya bukan para pengawal yang telah membunuh para perampok yang terluka, maka para pendatang di Song Lawa inilah yang akan melakukannya dan bahkan mungkin mereka telah melakukannya pula."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Jati Wulung berkata, "jadi, apakah sebaiknya kita biarkan saja seandainya sekelompok perampok datang lagi ke tempat ini" Atau bahkan kita sendiri sajalah yang merampoknya?"
"Jangan mengigau," berkata Kiai Windu, "kita tidak dapat dengan serta-merta merubah wajah hitam tempat perjudian ini. Tetapi sudah tentu kita tidak akan dapat membiarkan terjadi pembantaian disini oleh para perampok meskipun bagi orang lain, nilai kajiwan para perampok dan para petugas dan juga para pengunjung Song Lawa ini tidak jauh berbeda. Salah satu perbedaan yang ada ialah bahwa orang-orang yang datang di Song Lawa ini membawa dan bahkan cukup banyak uang dan barang-barang berharga, sementara para perampok itu akan mengambil dengan kekerasan uang dan barang-barang berharga yang ada disini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu para petugas dan beberapa orang yang ada di Song Lawa sedang sibuk, Sambi Wulung dan Jati Wulung justru berbaring di bilik mereka. Kiai Windupun tidak keluar dari dalam bilik itu, namun ketiga kawannyalah yang melihat-lihat kesibukan yang terjadi di lingkungan perjudian disebut Song Lawa itu atas perintah Kiai Windu.
Ternyata bahwa Jati Wulung benar-benar merasa letih sementara perasaan sakit yang menggigit kulitnya telah jauh berkurang. Namun hampir di luar sadarnya, bahwa Jati Wulungpun telah tertidur.
"Biarlah ia beristirahat," berkata Sambi Wulung yang masih juga berbaring. Bahkan Kiai Windupun telah berbaring juga meskipun keduanya tidak ingin tidur sementara matahari mulai memancarkan sinarnya ke lingkungan perjudian itu.
"Ia memang letih sekali," desis Kiai Windu.
"Ya. Tetapi letih atau tidak letih Wanengpati memang termasuk seorang yang suka tidur," sahut Sambi Wulung.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Tetapi kali ini ia benar-benar telah bertempur dengan mengerahkan segenap tenaganya. Pemimpin perampok itu tidak kurang tingkat ilmunya dari Kepala Besi yang masih merasa sakit di punggungnya itu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Jati Wulung memang benar-benar telah terluka. Namun pengobatan yang sudah diberikan, baik yang di taburkan langsung pada luka-lukanya atau reramuan yang diminumnya telah banyak menolongnya.
Dalam pada itu, kesibukan lain telah terjadi di Song Lawa. Para pengawal telah menguburkan kawan-kawan mereka di belakang lingkungan perjudian itu. Di luar dinding lapisan yang paling dalam, tetapi di dalam dinding lapisan berikutnya. Namun mereka telah menguburkan para perampok di luar lingkungan perjudian itu sama sekali. Di padang perdu tanpa pertanda apapun.
Ketiga orang kawan Kiai Windu memperhatikan apa yang dilakukan oleh para petugas itu dengan hati yang berdebar-debar. Dengan nada rendah seorang di antara mereka berkata, "Ternyata kami termasuk orang-orang yang tidak mampu melawan kekuatan sirep. Untunglah bahwa Kiai Windu masih mampu mengatasinya, sehingga ada di antara kita yang diperhitungkan di antara orang-orang yang berada di Song Lawa ini."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu seorang dari mereka berkata, "Bukan hanya kita yang tidak mampu mengatasi sirep yang tajam itu. Tetapi sebagian besar dari orang-orang yang berada di Song Lawa memang tidak dapat mengatasi sirep. Bahkan ada yang lebih buruk dari keadaan kita. Seandainya kita waktu itu belum tidur, mungkin kita mampu untuk bertahan. Namun agaknya dalam tidur kita tidak dapat berbuat apa-apa. Sedangkan orang lain yang sedang berjudi di permainan dadu, ada yang tiba-tiba saja telah tertidur di tempat itu sambil memeluk uangnya."
"Belum tentu," jawab yang lain, "sebaiknya kita tidak menyembunyikan kelemahan kita agar kita tidak salah menilai diri kita sendiri."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Sebaiknya memang demikian. Seperti yang selalu kita dengar petunjuk Kiai Windu. Kita harus merasa bahwa banyak orang lain yang lebih baik dari kita. Karena itu, maka kita harus berhati-hati dalam setiap langkah."
"Tetapi bagaimana dengan saat-saat yang kita tunggu itu?" berkata seorang di antara mereka tiba-tiba saja.
"Tentu tidak akan ada perubahan. Tetapi jika tempat ini dihancurkan oleh para perampok, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian," sahut yang lain.
"Kita tunggu perintah Kiai Windu," desis kawannya sambil bergeser dari tempatnya, "kita kembali ke bilik. Semua pekerjaan sudah diselesaikan oleh para petugas. Tetapi hari ini kita hanya dapat tidur saja tanpa ada kegiatan apapun juga."
Ketika ketiga orang itu kembali ke dalam bilik mereka, maka mereka telah berpapasan dengan orang-orang yang hilir mudik di halaman lingkungan perjudian itu. Mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa selain berjalan kesana kemari melihat-lihat keadaan. Namun mereka tidak putus-putusnya membicarakan kehadiran para perampok semalam.
Orang-orang yang sempat ikut bertempur dengan bangga telah menceriterakan apa yang telah mereka lakukan. Bagaimana mereka menghancurkan para perampok. Namun yang lebih banyak mereka ceriterakan adalah kelebihan mereka masing-masing.
Tetapi di antara mereka terdapat juga orang yang harus berbaring di pembaringannya karena luka-lukanya. Namun di antara para petugas di Song Lawa itu terdapat juga orang-orang yang mengerti tentang pengobatan, sehingga mereka dapat membantu meringankan penderitaan mereka yang terluka.
Ketika ketiga orang kawan Kiai Windu itu kembali ke dalam bilik mereka, maka Sambi Wulung telah duduk di bibir pembaringan. Kiai Windu masih berbaring meskipun matanya tetap terbuka, sementara Jati Wulungpun masih juga tidur dengan nyenyak.
"Duduklah," berkata Kiai Windu yang kemudian telah bangkit dan duduk pula, "apa yang telah kalian lihat?"
Ketiga orang itupun kemudian telah duduk pula. Seorang di antara merekapun telah menceriterakan apa yang telah mereka lihat di luar bilik mereka. Kesibukan para petugas dan orang-orang yang hilir mudik di halaman.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bertanya, "Tetapi bukankah kedai itu tetap terbuka seperti biasanya?"
"Ya," jawab salah seorang di antara mereka bertiga.
"Jika kedai itu juga tutup, maka orang-orang di Song Lawa ini akan kelaparan. Jika demikian akibatnya akan sangat jauh, karena sebagian dari mereka akan keluar untuk mencari makan," berkata Kiai Windu.
"Makan bagi para pengujung di Song Lawa ini, adalah satu-satunya kegiatan hari ini," berkata salah seorang kawan Kiai Windu.
Sambi Wulunglah yang tersenyum. Katanya, "Kita tentu akan melakukannya juga."
"Ya. Sebenarnyalah aku sudah lapar," berkata orang itu.
Sambi Wulung masih saja tersenyum. Tetapi ia menjawab, "Aku terpaksa menunggu orang ini terbangun. Apakah kau akan mendahului?"
Yang menjawab adalah Kiai Windu, "Tidak. Kita pergi bersama-sama."
Tidak ada yang menyahut. Yang dikatakan oleh Kiai Windu itu seakan-akan merupakan keputusan yang tidak dapat mereka langgar.
Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Ternyata sejenak kemudian Jati Wulung telah terbangun. Bahkan iapun dengan serta-merta telah bangkit dan duduk sambil tersenyum. Katanya, "He, kenapa aku telah dikerumuni orang" Bukankah aku tidak apa-apa?"
"Siapa yang mengerumunimu?" seorang kawan Kiai Windu ganti bertanya, "kami tidak mengerumunimu. Tetapi kami hampir tidak sabar menunggu kau tidur terlalu nyenyak meskipun sirep itu telah lewat. Kami sudah terlalu lapar untuk menunda sesaat lagi untuk pergi ke kedai."
Jati Wulung justru menguap. Katanya kemudian, "Seharusnya kalian pergi lebih dahulu. Agaknya sisa-sisa pengaruh sirep membuatku tidur sangat nyenyak. Melampaui nyenyak tidur kalian justru di saat sirep itu bekerja."
"Kenapa kau tidak membangunkan aku?" bertanya kawan Kiai Windu yang lain, "jika kau bangunkan aku, kau tentu tidak akan terluka seperti itu."
Sambi Wulung tertawa. Jati Wulungpun kemudian tertawa pula, sementara Kiai Windu berkata, "Tentu ia tidak akan terluka karena ia tidak akan sempat bertempur. Waktunya akan habis dipergunakannya untuk membangunkan saja."
Yang lainpun kemudian tertawa pula. Namun seorang yang lain sempat berkata, "Nah, Wanengpati Apa yang akan kau lakukan sekarang" Mandi atau apa. Kita akan segera pergi ke kedai."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam, Iapun kemudian bangkit berdiri, Luka-lukanya tidak lagi terasa sakit.
"Aku akan pergi ke pakiwan. Sebentar lagi kita akan bersama-sama pergi ke kedai," desis Jati Wulung.
Namun ketika Jati Wulung sudah keluar dari bilik itu, Sambi Wulung bertanya, "Siapakah yang telah mandi di antara kalian?"
Semuanya tertawa. Ternyata Kiai Windu berkata, "Apa bedanya mandi dan tidak mandi."
Sambi Wulung masih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Sementara itu, Jati Wulung yang pergi ke pakiwan harus menunggu karena beberapa buah pakiwan yang disediakan sudah terisi. Dengan hampir tidak sabar ia berdiri di dekat salah satu pintu dari pakiwan itu. Namun ketika pakiwan itu terbuka, Jati Wulung terkejut. Yang keluar dari dalam pakiwan itu adalah seorang perempuan itu menudingnya sambil berkata lantang, "Kau mencoba mengintip aku lagi he?"
Jati Wulung menggeram. Katanya, "Cepat, pergi perempuan gila."
"Sudah aku peringatkan. Jika sekali lagi kau lakukan, aku pilin lehermu sampai patah," geram perempuan itu sambil melangkah pergi.
Jati Wulung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.
Namun ia masih melihat seorang laki-laki berlari-lari menyusul perempuan yang baru selesai mandi itu. Apa yang dikatakan oleh laki-laki itu, Jati Wulung tidak mengetahuinya. Tetapi tiba-tiba saja perempuan itu berbalik bersama laki-laki itu kembali ke tempat Jati Wulung termangu-mangu.
"Gila," geram Jati Wulung, "apa lagi yang akan dilakukannya dengan laki-laki itu. Apakah aku terpaksa memukulnya sampai pingsan."
Tetapi ternyata perempuan dan laki-laki itu tidak menyerangnya. Demikian mereka berhenti di hadapannya, perempuan itu berkata dengan nada merendah, "Maafkan aku Ki Sanak, aku tidak tahu bahwa kaulah yang telah mengalahkan Kepala Besi dan kemudian membunuh pemimpin perampok semalam."
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian masuk ke dalam pakiwan itu sambil berkata, "Kalau kau ingin mengintip aku mandi, lakukanlah."
Perempuan itu menundukkan kepalanya. Namun laki-laki yang mengantarnya itupun menariknya pergi sambil berkata, "Kau harus hati-hati menilai seseorang. Untung orang itu termasuk bukan seorang pemarah. Jika ia marah dan memukulmu, habislah sejarah hidupmu yang penuh kesombongan itu."
"Aku sudah minta maaf," desis perempuan itu. Namun dalam pada itu Jati Wulung yang berada di dalam pakiwan telah mengguyur tubuhnya. Bahkan terdengar ia berkata, "Kalian menunggu aku selesai mandi?"
Kedua orang itupun segera meninggalkan tempat itu. Namun perempuan itu masih saja bergeremang, "Ternyata orang itu yang dibicarakan orang selama ini. Kenapa aku tidak melihat saat ia mengalahkan Kepala Besi dan tidak pula sempat melihat ia bertempur dengan para perampok."
"Kau tidur mendekur," jawab laki-laki itu.
"Coba, jika saat sirep itu menjamah tempat ini di saat aku terbangun, maka aku tentu akan dapat mengatasinya," berkata perempuan itu.
"Apapun alasannya, tetapi kau tidak mempunyai kemampuan untuk hadir di pertempuran itu. Kau tentu akan mengatakan bahwa akupun tidak. Aku memang tidak. Itu aku akui," berkata laki-laki itu.
Keduanyapun kemudian tidak berbicara lagi. Dengan tergesa-gesa keduanya pergi ke barak mereka, melintas halaman yang ditumbuhi rerumputan.
Sejenak kemudian, Jati Wulung telah berada di dalam biliknya. Bersama dengan Sambi Wulung dan Kiai Windu serta kawan-kawannya mereka keluar dari barak mereka menuju ke kedai.
Adalah tidak diduga-duga sama sekali, bahwa ketika Jati Wulung mendekati kedai itu, maka hampir semua orang telah bangkit dan menyambutnya sebagai seorang pahlawan. Hampir setiap orang menyatakan penghargaan kepadanya, karena Jati Wulung telah mampu membunuh pemimpin perampok yang hampir saja menghancurkan padepokan itu.
Ketika Jati Wulung yang dikenal sebagai Wanengpati itu dengan kaki yang masih agak timpang berjalan semakin dekat, maka beberapa orang telah menyongsongnya.
Jati Wulung justru telah merasa canggung akan sambutan itu. Kepala Besi yang sedang makanpun telah bangkit pula. Bahkan ia telah berteriak, "Tanpa orang itu, Song Lawa hari ini tinggal abu yang akan hanyut ditiup angin. Berterima kasihlah kalian kepadanya. Akupun kini merasa tidak lagi sakit hati karena aku telah dikalahkannya. Ia pantas mendapat julukan orang terbaik di lingkungan ini. Siapa yang tidak mau menganggapnya demikian, maka sebelum ia menilai langsung dalam benturan ilmu dengan Wanengpati, ia harus lebih dahulu dapat mengalahkan aku."
Sambi Wulung menepuk pundak Jati Wulung sambil berdesis, "Nah, kau harus menjadi jera karenanya."
Jati Wulung berpaling. Namun iapun bergumam, "Aku menjadi tersiksa disini."
Sambi Wulung tertawa. Kiai Windu pun berkata pula, "Kau akan dinobatkan menjadi raja disini."
"persetan," geram Jati Wulung.
Namun suara tertawa Kiai Windu dan Sambi Wulung justru semakin keras.
Tetapi suara itu terhenti, ketika dengan tergesa-gesa seorang anak muda menyongsongnya. Anak muda itu langsung membimbing Jati Wulung dan membawanya duduk di sebuah amben yang besar, yang justru berada di serambi kedai itu.
"Marilah. Kita akan makan bersama-sama," berkata anak muda itu. Anak muda yang justru menjadi pusat perhatian Jati Wulung dan Sambi Wulung. Puguh.
Jati Wulung tidak menolak. Ia mengikut saja untuk duduk di amben itu, sementara orang-orang lain memandanginya saja termangu-mangu. Namun Kepala Besi itu masih saja berbicara, "He, anak muda. Apakah kau sedang membujuknya agar orang itu mau bekerja bersamamu?"
Puguh memandang Kepala Besi itu dengan dahi yang berkerut. Namun ia tidak menjawab, sementara Kepala Besi itu masih berkata pula, "Nah, marilah kita makan bersama untuk merayakan kemenangan kita atas para perampok itu."
Tidak seorangpun yang menjawabnya. Sedangkan Kepala Besipun telah duduk kembali untuk meneruskan makannya. Seteguk ia minum. Namun kemudian iapun telah menyuapi mulutnya pula.
Dalam pada itu, maka Puguhpun telah memesan berbagai makanan dan minuman untuk mereka bersama-sama. Untuk Puguh sendiri, Jati Wulung, Sambi Wulung, Kiai Windu dan kawan-kawannya serta para pengawal Puguh.
Namun dalam pada itu, ternyata pemilik kedai itupun berkata, "Khusus, bagi Wanengpati dan kelima orang kawannya, kami akan menyuguhkan apa saja yang dimintanya hari ini tanpa membayar."
Namun Puguh berkata, "Terserah apa yang akan kalian suguhkan. Tetapi jangan kali ini. Aku sudah berniat untuk membayar semua hidangan buat kami semua."
Pemilik kedai itu tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kali ini kaulah yang membayar baginya. Tetapi nanti atau kapan saja mereka datang kembali, kamilah yang akan menyuguhkan hidangan yang diminta oleh mereka."
Sambi Wulung menggamit Jati Wulung sambil berkata, "Ada juga untungnya kau menjadi pahlawan di Song Lawa ini. Sekarang makan kita akan dibayar oleh Puguh. Nanti jika kita kembali, hidangan akan diberikan oleh pemilik kedai ini, kemudian siapa lagi dan siapa lagi?"
"Besok aku yang akan membayarnya," berkata Kiai Windu.
"Kau tidak dihitung, karena kau sudah terlalu sering melakukannya. Bukan saja setelah Wanengpati menjadi pahlawan, tetapi sejak sebelumnya," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu tertawa. Kawan-kawannyapun tertawa Juga. Meskipun sebenarnya di dalam kepala Kiai Windu telah timbul persoalan tersendiri. Persoalan yang menyangkut kepentingannya dan kelompoknya terhadap lingkungan perjudian Song Lawa itu.
Namun Kiai Windu sama sekali tidak menunjukkan persoalan di dalam dirinya itu.
Demikianlah, maka sambil berbicara panjang lebar, berkelakar dan sekali-sekali mengumpat, beberapa orang duduk dalam satu lingkaran yang besar di atas amben yang berada di serambi kedai itu. Beberapa orang lain yang sedang makan pula sekali-sekali berpaling dan memperhatikan orang-orang yang dengan gembira berbincang tentang kekalahan para perampok semalam.
Namun selagi mereka berbincang panjang lebar, Sambi Wulung sempat memperhatikan wajah Kiai Windu yang tiba-tiba berkerut. Dengan tanpa menarik perhatian, Sambi Wulung telah memandang ke arah pandangan mata Kiai Windu. Yang dilihatnya adalah seorang yang agak bongkok tengah berbincang dengan dua orang pengawal yang bertubuh raksasa.
Sambi Wulung tidak berbuat apa-apa. Kesan di wajah Kiai Windupun segera lenyap pula, karena ia telah menghanyutkan diri ke dalam kelakar yang riuh.
Namun yang sekilas itu telah memberikan kesan tersendiri kepada Sambi Wulung.
Namun dalam pada itu, di tempat lain di dalam lingkungan Song Lawa itu, kelompok-kelompok yang lain telah mengisi waktu mereka dengan berbincang juga. Berbicara apa saja untuk mengusir kejemuan, karena itu tidak ada jenis perjudian apapun yang berlangsung.
Baru menjelang malam, para petugas telah membenahi tempat-tempat perjudian yang segera akan dibuka. Terutama tempat permainan dadu. Karena malam itu, hanya tempat permainan dadu sajalah yang akan dibuka.
Tetapi justru karena itu, maka tempat permainan dadu itulah yang telah menjadi penuh. Orang-orang yang datang di Song Lawa untuk berjudi merasakan bahwa hari itu sudah terlalu lama mereka berhenti. Rasa-rasanya telah berhari-hari mereka duduk tanpa berbuat sesuatu.
Ketika Kiai Windu dan kawan-kawannya mengajak Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk pergi ke barak tempat permainan dadu, maka Jati Wulung dengan segan berkata, "Malam ini aku belum berminat untuk turun ke arena. Aku masih ingin beristirahat."
Kiai Windu berpaling ke arah Sambi Wulung. Sambil tersenyum Sambi Wulung berkata, "Aku akan mengawaninya."
"Baiklah," berkata Kiai Windu, "jika demikian, biarlah kami sajalah yang pergi ke barak."
"Hati-hatilah," berkata Sambi Wulung, "jika perampok itu kembali dengan membawa kawan yang lebih banyak dan kekuatan sirep yang lebih besar."
Kiai Windu tertawa, Katanya, "Tentu tidak sekarang. Jika mereka kembali, mereka akan menunggu sampai Jati Wulung telah benar-benar sembuh."
Demikianlah maka Kiai Windu dan ketiga orang kawannya telah meninggalkan bilik mereka. Jati Wulung yang tinggal di dalam bilik justru telah berbaring. Ia masih merasa letih, sementara luka-lukanya masih belum sembuh seluruhnya. Namun Sambi Wulunglah yang kemudian duduk bersandar dinding.
Di halaman, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya melangkah menuju ke barak tempat permainan dadu. Namun ketika mereka mendekati barak itu, Kiai Windu berkata, "Kita harus membuat hubungan keluar."
"Mereka harus mengetahui apa yang telah terjadi," sahut kawannya.
"Masuklah ke dalam," berkata Kiai Windu, "aku akan berjalan-jalan di halaman Mungkin kita mendapat isyarat dari luar atau kesempatan lain untuk berbicara dengan mereka."
"Masuklah berdua," berkata seorang di antara kawan-kawan Kiai Windu, "aku akan bersama dengan Kiai Windu."
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian mereka memang telah membagi diri. Kiai Windu dan seorang kawannya akan tetap berada di luar, sementara dua orang yang lain akan memasuki barak permainan dadu.
Beberapa saat lamanya, Kiai Windu dan seorang kawannya telah berjalan-jalan di sekitar barak. Ternyata bukan hanya mereka sajalah yang masih belum mengambil keputusan untuk masuk ke dalam arena permainan dadu. Dua tiga orang justru masih duduk-duduk di tempat yang agak terlindung dari jangkauan cahaya obor. Sekali-sekali terdengar kelakar yang kasar dan suara tertawa yang tidak terkendali. Bahkan kawan Kiai Windu itu berpaling ketika ia mendengar suara perempuan yang bagaikan meringkik di kegelapan itu.
"Sudahlah," desis Kiai Windu.
"Ah," desah orang itu, "aku tidak sengaja."
Kiai Windu hanya tersenyum saja. Namun kemudian ia berkata, "kita menunggu sampai malam semakin larut. Kau haus?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian, "Maksud Kiai, kita pergi ke kedai itu?"
"Bukan ke kedai induk. Kita singgah di kedai kecilnya saja di sebelah barak," jawab Kiai Windu.
Kawannya mengangguk-angguk. Agaknya memang lebih baik duduk di kedai sambil meneguk minuman hangat dan mengunyah beberapa potong makanan daripada berkeliaran di tempat-tempat gelap.
Demikianlah keduanyapun kemudian telah duduk di amben bambu di kedai kecil yang tidak menyediakan makanan sebanyak ragam makanan di kedai induknya. Namun minuman hangat yang masih berasap telah membuat tubuh mereka menjadi segar di malam yang menjadi semakin dingin.
Empat orang yang lain telah duduk pula di kedai itu. Bahkan kemudian dua orang laki-laki dan perempuan. Keduanya membawa golok yang tidak terlalu panjang terselip pada ikat pinggang mereka.
Kiai Windu memang tidak begitu menghiraukan mereka. Tetapi ia justru lebih banyak memperhatikan kawannya yang sekali-sekali memandangi wajah perempuan yang nampak cerah di bawah cahaya lampu minyak itu. Namun di antara kecerahan wajahnya, terselip bayangan kekerasan hati yang membaja. Bahkan cenderung untuk disebut kasar.
"Habiskan minumanmu," desis Kiai Windu.
Kawannya terkejut. Katanya, "Masih panas Kiai."
"Atau biarlah aku yang meminumnya meskipun masih panas," berkata Kiai Windu kemudian.
"Ah jangan," desis kawannya yang kemudian meraih mangkuknya dan meneguknya sampai habis.
"Masih panas?" bertanya Kiai Windu.
Kawannya itu hanya tersenyum saja.
Demikianlah, mereka berduapun kemudian telah bangkit, sementara Kiai Windu membayar minuman dan makanan bagi mereka berdua. Namun kawannya itupun kemudian telah menggamitnya. Meskipun ia tidak memberikan isyarat apapun, namun Kiai Windu telah mengikuti arah pandangan matanya.
Ternyata kawannya itu telah melihat orang yang agak bongkok itu melintas dan berhenti agak jauh dari tempat mereka. Namun keduanya melihat orang bongkok itu berbicara dengan sungguh-sungguh dengan seorang pengawal.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Namun Kiai Windu terkejut ketika tiba-tiba saja perempuan yang datang bersama seorang laki-laki serta membawa golok di pinggangnya itu membentak, "Kenapa kalian tidak segera pergi" Apalagi yang kau tunggu, jika kalian sudah membayar makanan dan minuman yang telah kau minum dan kau makan?"
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak ingin menjawab.
Tetapi pada saat ia melangkah pergi, justru kawannyalah yang menjawab, "Jangan terlalu kasar Ki Sanak. Pergi atau tidak pergi itu adalah urusan kami."
"Persetan," geram perempuan itu, "kau tidak mengenal lingkungan Song Lawa ini dengan baik."
"Ah. Kau keliru. Kami termasuk cikal bakal disini. Kami memang pernah melihat Ki Sanak berada disini sebelumnya. Tetapi biasanya Ki Sanak tidak segarang sekarang ini. Apakah sudah terjadi satu perubahan?" bertanya kawan Kiai Windu.
"Cukup," bentak laki-laki yang mengawani perempuan itu, "akupun sudah sering melihat kau disini. Akupun sudah sering melihat kau dipukuli orang karena tingkah lakumu."
Kawan Kiai Windu itu tertawa. Tetapi Kiai Windulah yang kemudian berkata, "Sudah cukup. Kita tidak mempunyai persoalan dengan mereka."
"Kalianlah yang membuat persoalan," bentak perempuan itu.
"Kenapa kami?" kawan Kiai Windu masih bertanya.
Namun Kiai Windu telah berkata, "Aku berkata, sudah. Kita biarkan orang-orang yang tidak mengenal terima kasih. Jika kita biarkan semalam perampok itu membakar tempat ini, mereka akan ikut mati terbakar. He, kenapa semalam kau tidak hadir ketika para perampok datang. Dan sekarang kau berlagak garang seperti itu?" tiba-tiba Kiai Windu bertanya. Tetapi sebelum dijawab Kiai Windu telah berkata pula, "Agaknya kalian termasuk orang-orang yang tidak mampu mengatasi sirep itu. Karena itu jangan berlagak di hadapanku."
Kedua orang itu termangu-mangu. Orang-orang lain yang berada di kedai itu hanya memutar tubuh mereka tanpa menghiraukan apa yang bakal terjadi. Namun justru seorang petugas yang bertubuh raksasa, yang biasanya hanya mengawasi saja, telah mendekati perempuan itu sambil berkata, "Sudahlah."
Tetapi perempuan itu justru berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan lantang ia berkata, "Sejak kapan kau ikut campur dalam persoalan kami" Biarlah kami menyelesaikan urusan kami sendiri."
"Satu perubahan sikap telah terjadi pada para petugas," berkata orang bertubuh raksasa itu, "meskipun hanya untuk sementara. Setidak-tidaknya untuk musim perjudian kali ini."
"Kenapa?" bertanya perempuan itu, "sebaiknya kalian tetap pada sikap kalian."
"Tanpa orang itu, kau sudah menjadi debu," berkata penjaga yang bertubuh raksasa itu, "beberapa orang kawanku terbunuh dan beberapa orang pengunjung yang memiliki kemampuan mengatasi ilmu sirep telah terluka. Di antara mereka yang berjuang untuk mengusir perampok itu adalah Kiai Windu. Coba katakan, apa kerjamu semalam" Nah, kau sekarang tahu kenapa aku dan para petugas yang lain mulai berpihak. Tetapi yang aku lakukan juga bagi kebaikanmu, karena jika Kiai Windu marah, kau akan menjadi sasaran yang lunak. Kau tidak melihat bagaimana ia menghancurkan lawan-lawannya semalam."
Perempuan itu termangu-mangu. Wajah menjadi merah. Sementara itu beberapa orang penjaga yang lain, yang ada pada umumnya bertubuh raksasa telah mendekati mereka.
Namun kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun, perempuan itu berlari meninggalkan kedai itu. Sementara kawannya laki-laki telah bergeser pula sambil berkata, "Kau belum tahu siapakah perempuan itu sebenarnya. Ia adalah Rukmi yang disebut pula Burung Sikatan Putih."
"Disini ada seonggok burung," kawan Kiai Windu yang menjawab, "ada juga sebangsa Sikatan. Bahkan tidak putih."
"Kau menghina kami," geram laki-laki itu.
"Tidak. Justru aku mendengar nama Sikatan Putih, maka aku tahu bahwa orang itu adalah sahabat dari orang-orang dalam gerombolan Macan Ireng," jawab kawan Kiai Windu, "nama-nama yang sama sekali tidak menggetarkan selembar bulu kulitku."
Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah pergi sambil mengumpat. Ternyata nama Sikatan Putih tidak dapat menakut-nakuti kawan Kiai Windu itu. Bahkan kawan Kiai Windu itupun kemudian berkata, "jadi itulah orang yang disebut Sikatan Putih. Aku pernah melihat perempuan itu disini, dan akupun pernah mendengar nama Sikatan Putih. Tetapi baru sekarang aku tahu bahwa perempuan itulah yang disebut Sikatan Putih namun yang nampaknya hatinya tidak putih. Bahkan ia lebih baik dipanggil dengan namanya saja. Rukmi."
"Jadi Sikatan Putih itu termasuk dalam golongan kelompok Macan Ireng?" bertanya seorang penjaga.
Kawan Kiai Windu itu tertawa sambil berkata, "Entahlah. Aku tidak tahu."
"Tetapi tadi kau mengatakan, bahwa Sikatan Putih itu termasuk dalam gerombolan Macan Ireng," desak pengawal itu.
"Aku asal saja berkata. Disini ada gerombolan Macan Ireng. Karena itu, aku berkata apa saja untuk menyebut gerombolan itu," jawab kawan Kiai Windu sambil tertawa.
"Kau memang menghinanya. Laki-laki itu tentu akan bertanya kepada Sikatan Putih, apakah benar ia termasuk dalam gerombolan Macan Ireng," desis petugas yang bertubuh raksasa itu.
Kawan Kiai Windu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Mereka akan bertengkar. Aku tidak peduli."
"Gila," petugas bertubuh raksasa itupun kemudian sambil tersenyum meninggalkan kawan Kiai Windu yang masih tertawa. Sementara itu Kiai Windu berkata, "Kau memang mencari perkara."
Kawannya tidak menjawab. Namun orang-orang yang semula tidak menghiraukannya itupun tersenyum-senyum pula.
Demikianlah, maka Kiai Windu dan kawannya telah meninggalkan kedai kecil itu menuju ke kegelapan. Namun masih juga terdengar suara tertawa kawan Kiai Windu tertahan-tahan.
"Sudahlah," berkata Kiai Windu, "sekarang kita pergi ke kandang kuda. Kita akan melihat kuda-kuda kita serta kemungkinan untuk biasa berhubungan dengan kawan-kawan kita di luar."
"Apakah mereka ada disini?" bertanya kawan Kiai Windu.
"Aku tidak tahu. Tetapi jika mereka mengetahui bahwa semalam terjadi perampokan disini, mungkin mereka berusaha untuk berhubungan dengan kita," berkata Kiai Windu.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Apa rencana kita kemudian?"
"Menurut pendapatku, rencana kita tidak akan berubah," sahut Kiai Windu. Kawannya tidak bertanya lagi. Keduanyapun kemudian menuju ke pintu gerbang. Dua orang penjaga yang bertubuh raksasa telah menghentikannya.
Namun dengan cara sebagaimana pernah mereka lakukan, apalagi pengaruh sikap Kiai Windu pada saat tempat itu diserang oleh para penjahat, maka Kiai Windu dan kawannya tidak mengalami kesulitan untuk keluar dari lapisan dinding terakhir, menuju ke kandang kuda.
Kiai Windu memang menarik kudanya keluar dari kandang. Terdengar suara meringkik. Namun kudanya segera menjadi tenang ketika Kiai Windu mengusap lehernya dengan lembut. Namun suara ringkik kuda itu telah memberikan keyakinan kepada para petugas bahwa Kiai Windu benar-benar telah melihat kudanya itu.
Namun dalam pada itu, telah terdengar isyarat dari mulut Kiai Windu. Ia berharap bahwa di luar, kawan-kawannya benar-benar menunggunya.
Ternyata bahwa perhitungan Kiai Windu memang tepat. Di luar, empat orang memang sedang menunggu. Demikian mereka mendengar isyarat dari dalam, maka keempat orang itupun segera mendekati dinding pada lapisan luar.
Dengan mengucapkan beberapa kata sandi, maka kedua belah pihak yakin bahwa mereka telah berhubungan dengan orang yang benar.
Karena itu, maka Kiai Windupun kemudian telah melekat dinding sambil bertanya, "Apakah kalian membawa berita buat kami?"
Yang terdengar-suara di luar, "Kami justru ingin mendapat keterangan, apa yang terjadi di dalam. Kami melihat sesuatu itu terjadi. Tetapi kami memerlukan penjelasan."
Dengan singkat Kiai Windupun menjelaskan apa yang terjadi di dalam. Namun ia tidak lupa mengatakan pula, "Ada dua orang yang berilmu sangat tinggi di lingkungan ini yang menyebut dirinya bernama Wanengbaya dan Wanengpati. Tetapi keduanya mempunyai sifat dan watak yang khusus. Tidak sebagaimana umumnya orang-orang yang berada di lingkungan ini. Perhatiannya lebih banyak tertuju kepada anak-anak muda yang ada di dalam lingkungan perjudian ini."
"Bagaimana menurut pertimbanganmu atas rencana kita dalam keseluruhan?" bertanya orang yang di luar.
"Menurut pendapatku, rencana itu akan berjalan terus," jawab Kiai Windu. Lalu, "waktunya dapat disegerakan tanpa menunggu lebih lama lagi. Orang bongkok itu telah memberikan beberapa keterangan lagi."
"Bagaimana pendapatmu tentang dua orang tua yang berada di luar tempat ini namun yang agaknya memang menaruh perhatian pula pada tempat ini," bertanya yang di luar.
"Perhatikan mereka. Selama mereka tidak mengganggu gerakan kalian, maka kalian tidak perlu terlalu banyak menanggapi tingkah mereka," jawab Kiai Windu.
"Merekapun berilmu tinggi," jawab orang yang di luar.
"Biarlah mereka yang di luar mengatur segala-galanya. Penglihatan kami sangat terbatas disini," jawab Kiai Windu.
Sesaat keduanya terdiam. Namun kemudian terdengar jawaban dari luar.
"Baiklah. Besok kami akan datang lagi. Kami akan memberikan keterangan terakhir sehingga kalian dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai Windu termenung sejenak. Lalu katanya, "Aku harus membuat pertimbangan. Jika aku terlalu sering datang ke kandang kuda ini, mungkin aku akan dicurigai. Tetapi besok datanglah. Aku berusaha untuk berada di tempat ini pada waktu seperti ini." Kiai Windu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi ingat. Ada dua orang yang berilmu sangat tinggi. Tidak ada seorangpun yang dapat mengatasinya. Selain orang itu, disini ada gerombolan Macan Ireng, Sikatan Putih, dan yang harus mendapat perhatian lebih adalah Orang Hutan berkepala Besi atau yang lebih banyak dikenal dengan sebutan Kepala Besi dari pesisir Utara. Kehadirannya agaknya ada hubungan dengan mendung yang sedang menyelimuti Pajang sekarang ini."
"Baiklah. Semuanya akan kami laporkan," berkata orang yang di luar, "gambaran ini akan menentukan sikap kita selanjutnya."
"Aku kira pembicaraan ini sudah cukup sekarang," berkata Kiai Windu.
"Kami minta diri," desis yang di luar.
Sejenak kemudian keadaan menjadi sepi. Kiai Windu masih saja menepuk leher kudanya dengan lembut, sementara kawannya mengawasi keadaan.
"Ada orang datang kemari," desis kawannya.
"Biar sajalah. Untunglah pembicaraan sudah selesai," sahut Kiai Windu.
Ternyata yang datang adalah dua orang petugas yang meronda berkeliling lingkungan perjudian itu di antara dua lapis dindingnya. Mereka mengitari lingkungan itu meskipun terasa juga jantungnya berdegup lebih keras jika mereka sampai ke tempat kawan-kawannya dikuburkan.
Kedua orang itu memang memperhatikan Kiai Windu dan kawannya yang sibuk dengan kuda mereka. Dengan nada rendah seorang di antaranya berkata, "Kenapa dengan kuda itu?"
"Sudah sejak kemarin aku tidak melihatnya," berkata Kiai Windu, "mudah-mudahan kuda ini tidak melupakan aku."
"Kudamu dipelihara dengan baik," berkata petugas itu.
"Aku tahu, tetapi justru karena itu, maka kuda ini akan lebih dekat dengan orang yang memeliharanya daripada aku," sahut Kiai Windu.
Orang itu tertawa. Katanya, "Seharusnya kau berterima kasih."
Tetapi keduanya tidak menunggu jawaban Kiai Windu. Keduanyapun kemudian telah melanjutkan langkah mereka meronda di seputar lingkungan Song Lawa.
Demikianlah, maka Kiai Windupun telah mengembalikan kudanya ke kandang. Beberapa ekor kuda telah meringkik. Namun kemudian mereka telah menjadi tenang kembali.
Sejenak kemudian, Kiai Windu dan kawannyapun telah kembali ke regol. Mereka dengan tanpa dicurigai telah memasuki kembali halaman dalam lingkungan Song Lawa itu dan langsung menuju ke barak permainan dadu.
Ternyata di barak itu permainan masih berlangsung dengan ramainya. Ketika Kiai Windu menemukan kedua orang kawannya, maka seorang di antaranya dengan gembira berdesis, "Aku masih menang sampai saat ini meskipun tidak banyak."
Malaikat Bukit Pasir 1 Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong Cinta Tak Semudah Kata 3
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia hanya tersenyum saja. Bahkan sambil menguap.
Sejenak kemudian, maka bilik itupun menjadi hening. Orang-orang yang berbaring sudah tertidur nyenyak. Sementara Jati Wulung dan kawan Kiai Windu itupun telah tenggelam dalam angan-angannya masing-masing.
Sekali-kali masih terdengar suara tertawa di luar. Atau bahkan orang yang mengumpat-umpat karena kalah di bilik permainan dadu. Atau orang-orang yang bertengkar, bahkan ada juga terdengar orang-orang yang berkelakar. Tetapi suasana malam memang menjadi semakin hening.
Meskipun demikian, di barak permainan dadu, orang-orang masih ramai mempertaruhkan uang mereka. Tetapi semakin lama memang menjadi semakin sedikit.
Jati Wulung dan kawan Kiai Windu yang berjaga-jaga itu masih mendengar suara perempuan di bilik sebelah. Bukan suara kasar dan mengumpat-umpat seperti biasanya. Tetapi tertawanya terdengar segar. Dengan gembira perempuan itu mengungkapkan perasaannya. Ternyata ia telah menang di barak permainan dadu meskipun tidak terlalu banyak.
Tetapi suara itu tidak terlalu lama terdengar. Agaknya orang-orang di bilik sebelah itupun telah mengantuk. Mereka dengan segera telah berbaring dan bahkan tertidur dengan mimpi segar karena kemenangannya di perjudian.
Jati Wulung yang telah beberapa kali menguap masih mencoba bertahan. Ia sendiri heran, kenapa tiba-tiba saja ia didera oleh perasaan kantuk. Padahal biasanya ia mampu bertahan bukan saja untuk semalam suntuk, tetapi lebih lama dari itu. Pada saat-saat ia menjalani laku ketika sedang memperdalam ilmu kanuragan, ia harus melakukan pati geni selama tiga hari tiga malam dan tidak boleh tidur sama sekali. Semuanya itu pernah dilakukannya. Bahkan dalam perjalanan yang berat melintas dari pesisir Kidul ke pesisir Utara, iapun sama sekali tidak berhenti apalagi tidur.
Namun justru karena itu, maka ia justru menjadi curiga. Ia merasakan sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.
Hampir di luar sadarnya Jati Wulung beringsut mendekati Sambi Wulung yang tertidur nyenyak. Demikian juga Kiai Windu dan apalagi kawan-kawannya. Sementara itu kawannya yang berjaga-jaga itupun menjadi gelisah. Bahkan sekali-sekali matanya telah terpejam.
Jati Wulung memang sampai pada satu kesimpulan, bahwa ada yang tidak wajar. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Jati Wulung segera menyadari, bahwa tempat itu telah terkena sirep yang sangat tajam. Kekuatan sirep yang sangat besar pula, karena agaknya dapat menyelimuti seluruh lingkungan Song Lawa.
Dalam pada itu, Sambi Wulung yang sedang tertidur nyenyak itupun menjadi semakin nyenyak. Agaknya ia tidak bersiap sama sekali menghadapi pengaruh sirep itu. Karena itu, maka ia sama sekali tidak melakukan perlawanan untuk mengatasinya.
Jati Wulung menyadari akan hal itu. Karena itu, maka iapun kemudian telah membangunkan Sambi Wulung. Dengan kuat ia mengguncang tubuhnya sambil membisikkan namanya di telinganya.
"Bangunlah. Ada sesuatu yang tidak wajar terjadi," berkata Jati Wulung. Sementara itu kawan Kiai Windu yang duduk bersandar dinding itu justru telah tertidur pula.
Sambi Wulung memang membuka matanya. Tetapi mata itu segera terkatup lagi.
"Bangunlah. Cepat," desis Jati Wulung sambil mengguncang tubuh itu pula.
Ketika sekali lagi Sambi Wulung membuka matanya, maka Jati Wulungpun berkata, "Kau telah terkena ilmu sirep."
Suara itu didengar oleh Sambi Wulung. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha untuk bangkit dan duduk meskipun mata masih separo terpejam.
"Bangunlah. Atasi perasaan kantukmu. Kita terkena sirep yang sangat tajam," berkata Jati Wulung kemudian.
Sambi Wulung mendengar kata-kata itu semakin jelas. Karena itu, maka iapun mulai berusaha untuk benar-benar bangun.
Ketika Jati Wulung mengulanginya, maka Sambi Wulung benar-benar telah menyadari apa yang terjadi. Iapun kemudian mulai meningkatkan daya tahannya untuk mengatasi perasaan kantuknya. Baru kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Ya. Tentu ilmu sirep."
"Apa yang akan kita lakukan?" bertanya Jati Wulung.
"Luar biasa. Nampaknya kekuatan ini telah mencengkam seluruh lingkungan perjudian ini," desis Sambi Wulung.
"Agaknya memang demikian. Sementara itu kita tidak tahu, berapa orang yang dapat mengatasi kekuatan sirep ini," gumam Jati Wulung kemudian.
"Kita bangunkan Kiai Windu," berkata Sambi Wulung.
"Tidurnya terlalu nyenyak," sahut Jati Wulung.
Namun Sambi Wulung telah mencobanya. Diguncang-guncangnya tubuh Kiai Windu. Namun ternyata bahwa orang tua itu sekali-sekali bergumam. Namun iapun telah tertidur lagi.
"Jika ia terbangun, apakah ia akan mampu mengatasi kekuatan sirep ini?" bertanya Jati Wulung.
Sambi Wulung menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak tahu. Kita akan mencobanya."
Namun ternyata terlalu sulit untuk membangunkannya. Karena itu maka Sambi Wulungpun berkata, "Aku akan membangunkan dengan cara lain."
Jati Wulung mengerti maksudnya. Karena itu, maka iapun telah bergeser surut.
Sambi Wulungpun kemudian telah duduk di sebelah Kiai Windu yang masih tertidur. Diletakannya tangannya pada lengan Kiai Windu. Dipusatkannya nalar budinya. Dengan sangat berhati-hati, maka disalurkannya getaran yang dapat meningkatkan ketahanan Kiai Windu mengatasi kekuatan ilmu sirep yang tajam itu. Tetapi tanpa mengejutkan dan bahkan mungkin akan dapat merusakkan bagian dalam tubuhnya.
Usaha Sambi Wulung itu hanya dilakukan untuk saat yang sangat pendek. Ketika kemudian Sambi Wulung membangunkannya, maka Kiai Windu itupun telah terbangun pula.
"Ada apa?" bertanya Kiai Windu.
"Kawanmu telah tertidur," berkata Sambi Wulung.
"O," Kiai Windu mengerutkan dahinya. Memang timbul prasangka yang kurang baik di dalam hatinya melihat sikap Sambi Wulung dan Jati Wulung. Namun tidak lama, karena Sambi Wulungpun berkata, "bertahanlah. Aku sudah mencoba untuk menyalurkan getaran dalam dirimu sekedar untuk mengatasi kekuatan sirep sebelum kau dapat bangun dan membangunkan pertahananmu sendiri."
"Sirep?" desis Kiai Windu.
"Ya. Kau dapat menangkap suasananya sekarang setelah kau benar-benar bangun," berkata Sambi Wulung pula.
Sebenarnyalah Kiai Windupun merasakan kelainan suasana. Namun ternyata bahwa iapun segera dapat mengenali apa yang telah terjadi di Song Lawa itu. Karena itu maka katanya, "Ya. Sirep yang sangat tajam."
"Usahakanlah agar kau dapat bertahan," berkata Sambi Wulung.
"Terima kasih atas usahamu," berkata Kiai Windu yang kemudian memandangi kawan-kawannya yang sudah tertidur nyenyak pula. Lalu katanya lebih lanjut, "Mereka tidak akan mampu menerobos batas untuk dapat bangun sepenuhnya. Jika mereka menyadari keadaan ini sebelum mereka tertidur, mungkin mereka akan dapat bertahan. Tetapi dalam keadaan tidur seperti itu, akan sangat sulitlah bagi kita untuk membangunkannya."
"Jika demikian, biarkanlah mereka tidur," berkata Sambi Wulung. Lalu katanya pula, "Tetapi apa yang dapat kita lakukan kemudian?"
Kiai Windupun mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita akan melihat suasana di luar."
Kiai Windu bersama Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian dengan sangat berhati-hati telah membuka pintu bilik mereka. Dengan hati-hati mereka menyusuri lorong di dalam bilik. Baru kemudian mereka keluar dari pintu barak.
Suasana telah menjadi sangat sepi. Hampir tidak ada lagi orang yang terbangun.
Namun dalam pada itu, seorang yang bertubuh raksasa lewat sambil mengumpat kasar. Tetapi ketika raksasa itu melihat ketiga orang yang berdiri di luar pintu barak itupun telah mendekatinya. Dengan gelisah orang itu berkata, "Kau rasakan suasana ini he?"
"Ya," berkata Kiai Windu.
"Setan itu datang lagi," geram raksasa itu.
"Siapa?" bertanya Sambi Wulung.
"Para perampok. Mereka menganggap bahwa tempat ini akan dapat dirampoknya. Beberapa tahun yang lalu, hal serupa pernah juga terjadi," berkata raksasa itu.
"Apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu?" bertanya Kiai Windu yang memang pernah beberapa kali datang ke tempat itu. "Selama aku sering berkunjung ke Song Lawa, belum pernah terjadi perampokan disini."
"Beberapa tahun yang lalu. Mungkin kau belum datang kemari atau kau memang sedang tidak datang," jawab orang bertubuh raksasa itu.
"Lalu sekarang bagaimana?" bertanya Jati Wulung.
"Kita akan menghimpun kekuatan di antara mereka yang masih terbangun. Yang mampu mengatasi kekuatan sirep ini tentu orang-orang berilmu. Kita harus bekerja bersama untuk mencegah agar mereka tidak merampok seluruh isi lingkungan ini seperti beberapa tahun yang lalu itu," berkata orang bertubuh raksasa itu.
"Sekarang dimana kawan-kawanmu?" bertanya Sambi Wulung.
"Hanya beberapa orang yang lolos. Mereka juga sedang mengumpulkan orang-orang di barak yang lain yang luput dari kekuatan sirep ini."
"Bagaimana di barak permainan dadu itu?" bertanya Sambi Wulung.
"Hanya tiga orang yang dapat membebaskan diri dari pengaruh buruk ini," jawab orang bertubuh raksasa itu.
"Lalu sekarang bagaimana?" bertanya Sambi Wulung.
"Kita berkumpul di depan barak permainan dadu. Di tempat itu banyak sekali tersimpan uang dan barangkali juga perhiasan yang masih dikenakan oleh mereka yang tertidur," jawab orang bertubuh raksasa itu.
Merekapun kemudian tidak menyia-nyiakan waktu. Dengan tergesa-gesa mereka telah pergi ke barak permainan dadu. Tetapi mereka tidak masuk ke dalam barak itu.
Dimuka barak itu telah berkumpul pula beberapa orang. Mereka yang bertubuh raksasa dari para petugas, ternyata hanya kurang dari separo yang tidak tertidur. Sementara itu, yang lain telah tertidur nyenyak. Sedangkan mereka yang memasuki Song Lawa itu sambil membawa uang dan mungkin perhiasan untuk berjudi, yang masih tetap sadar sepenuhnya untuk melawan para perampok, telah bersiaga pula sepenuhnya.
Ternyata jumlah mereka terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah orang yang ada di Song Lawa. Namun mereka benar-benar orang pilihan karena mampu mengatasi sirep yang tajam.
Dalam pada itu, Kiai Windu memang menjadi sangat gelisah. Jika benar, beberapa orang perampok akan memasuki tempat perjudian itu, maka banyak kemungkinan dapat terjadi.
"Apakah jumlah ini memadai untuk melawan perampok yang dipersiapkan memasuki tempat perjudian ini?" tiba-tiba ia berdesis di telinga Sambi Wulung.
"Kita belum tahu berapa banyak dan seberapa tinggi ilmu mereka," jawab Sambi Wulung.
"Sekelompok perampok yang berani memasuki lingkungan ini tentu sudah dipersiapkan benar-benar," berkata Kiai Windu pula.
"Tetapi mungkin juga tidak begitu banyak. Jika mereka terlalu percaya kepada kekuatan ilmu sirep mereka, maka dengan jumlah yang kecil mereka akan berani melakukannya, karena menurut perhitungan mereka, orang-orang di Song Lawa itu telah tertidur seluruhnya," jawab Sambi Wulung.
"Aku kira mereka sebelumnya telah memasukkan orang-orangnya ke dalam lingkungan ini. Mereka tentu petugas-petugas sandi yang akan menilai isi dari padepokan ini untuk memperhitungkan kekuatan yang diperlukan," berkata Kiai Windu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang demikian. Tetapi kita akan melihat, apa yang akan terjadi."
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia telah menggamit Jati Wulung sambil memandang kesatu arah.
Jati Wulungpun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang yang dipanggil Kepala Besi itupun telah datang pula ke tempat mereka berkumpul bersama seorang kawannya.
Demikian ia tiba di antara para pengawal yang bertubuh raksasa itu, maka iapun berkata, "Setan manakah yang akan berani memasuki tempat ini" Mereka tentu orang-orang yang ingin membunuh diri. Atau mungkin mereka tidak mengetahui bahwa aku. Kepala Besi, berada disini hari ini."
Namun kata-katanya bagaikan patah ketika ia melihat Jati Wulung berdiri tegak memandanginya.
Kepala Besi itu telah memalingkan wajahnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Jati Wulungpun sama sekali tidak berbuat apa-apa. Bahkan iapun tidak lagi memandangi orang yang dikenal dengan sebutan Kepala Besi itu.
Dalam pada itu, suasana memang dicengkam oleh ketegangan. Seorang petugas yang bertubuh raksasa telah datang dari pintu gerbang sambil berkata, "Dua orang kawan kita menunggui pintu gerbang yang ditutup rapat."
Tetapi seseorang di antara mereka menyahut, "Aku tidak yakin bahwa mereka akan memasuki lingkungan ini lewat pintu gerbang."
Para petugas itu mengerutkan keningnya. Namun seorang di antara mereka menyahut, "Kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tetapi beberapa tahun yang lalu, ketika mereka datang ke tempat ini, mereka masuk lewat pintu gerbang yang dirusaknya."
"Tetapi dari mana kalian mengetahui, bahwa akan datang sejumlah perampok memasuki lingkungan ini?" tiba-tiba saja Kiai Windu bertanya.
"Suasana ini," jawab orang bertubuh raksasa itu, "seperti beberapa tahun yang lalu, mereka juga menaburkan sirep yang tajam. Sementara itu, petugas kami yang mengamati keadaan di lingkungan padepokan ini kemarin telah melihat orang-orang yang mencurigakan berkeliaran."
Kiai Windu menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia tidak bertanya lebih lanjut.
Sebenarnyalah, sekelompok perampok yang garang telah bersiap di luar lingkungan perjudian itu. Seorang di antara mereka, yang agaknya pemimpinnya, telah memberikan beberapa perintah kepada orang-orangnya.
Sementara itu, tiga orang di antara mereka yang memiliki kemampuan ilmu sirep telah menebarkan ilmunya meliputi seluruh lingkungan Song Lawa.
Tetapi agaknya mereka masih menunggu sesaat. Mereka menunggu agar sirep yang dilebarkan itu telah merata dan setiap orang telah terpengaruh karenanya.
Ternyata bahwa para perampok itu telah memilih saat yang tepat. Mereka tidak melepaskan sirepnya pada ujung malam, tetapi pada saat orang-orang di dalam lingkungan Song Lawa itu telah menjadi letih. Dengan demikian maka pengaruh sirep yang kuat akan membuat mereka semakin lelap dalam tidur. Bahkan mereka yang belum berniat untuk tidurpun akan cepat tertidur pula.
Sebenarnyalah di dalam barak permainan dadu itu, beberapa orang yang semula masih duduk bermain, telah terbaring dan tidur nyenyak. Mereka tidak sempat mengumpulkan uang yang masih tetap berserakan. Namun dua orang petugas di antara mereka yang masih mampu bertahan dari pengaruh sirep itu telah berjaga-jaga di dalam bilik itu, agar uang yang berserakan itu tetap berada di tempatnya tanpa diusik sama sekali.
Baru beberapa saat kemudian, pemimpin perampok yang berdiri di depan pintu gerbang itu berkata kepada orang-orangnya, "Baiklah. Kita akan mulai sekarang. Agaknya sirep itu telah merasuk ke seluruh lingkungan Song Lawa. Tetapi tentu di antara mereka masih terdapat beberapa orang yang lepas dari pengaruh sirep. Justru mereka adalah orang-orang yang pilihan. Para penjaga yang bertubuh raksasa itu tentu ada pula yang mampu mengatasi kekuatan sirep ini. Tetapi jumlah mereka tentu tidak terlalu banyak lagi. Sebanyak-banyaknya separo dari mereka yang mampu melawan kekuatan sirep ini. Jika perhitunganku benar, maka jumlah kita tentu lebih banyak dari mereka."
Para perampok itupun segera mempersiapkan diri. Mereka sudah siap untuk melakukan apa saja, termasuk kekerasan. Bagi mereka lingkungan Song Lawa itu akan memberikan hasil yang memadai dengan kerja keras mereka dan jumlah mereka yang banyak.
Ternyata perampok itu telah memilih jalan sebagaimana seharusnya mereka memasuki lingkungan itu. Mereka tidak mau memanjat dinding. Tetapi mereka telah menuju ke pintu gerbang.
"Beberapa tahun yang lalu, kita berhasil memasuki lingkungan ini dan mendapat uang dan perhiasan yang memadai. Sekarang kita akan mengulangi keberhasilan kita. Jika di antara kita jatuh korban, maka itu adalah hal yang wajar," berkata pemimpin perampok itu. Lalu katanya, "Orang-orang kita yang berhasil menyusup masuk ke dalam lingkungan ini telah memberikan keterangan yang memungkinkan kita melakukannya sebagaimana kita lakukan beberapa waktu yang lalu. Namun kita harus berhati-hati, karena saat ini ada seorang yang perlu diperhitungkan. Orang yang ditakuti di pesisir Utara. Orang Hutan berkepala Besi. Karena itu, orang yang berkepala botak itu harus mendapat lawan yang memadai."
"Serahkan kepadaku," berkata orang berjambang lebat, "aku pernah mendengar namanya. Tetapi akupun mempunyai kekuatan yang akan dapat mengimbangi Kepala Besi itu. Aku ditakuti orang di sekitar Goa Pabelan. Aku adalah murid terpercaya dari perguruan Wanasanga di Goa Pabelan."
"Kau jangan mengigau," geram pemimpinnya, "biarlah aku sendiri menghadapi orang itu. Ia berilmu tinggi dan mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain. Aku percaya bahwa Kakang Wanasanga adalah seorang berilmu tinggi. Jika yang ada disini sekarang adalah Kakang Wanasanga, maka aku percaya bahwa ia akan dapat mengimbangi Kepala Besi itu. Tetapi kau, muridnya, yang belum tuntas menyadap ilmunya karena kau begitu tergesa-gesa lari dari perguruanmu, tentu tidak akan dapat menandinginya."
Orang berjambang lebat itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak membantah.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, para perampok itu telah mendekati pintu gerbang. Mereka tahu bahwa pintu gerbang itu tentu diselarak dengan kuat. Tetapi mereka tidak mau memasuki lingkungan itu dengan jalan lain.
Karena itu, maka pemimpin perampok itu telah memerintahkan beberapa orang untuk meloncat masuk. Mereka mendapat tugas untuk membuka pintu gerbang itu dari dalam.
Demikianlah, mereka telah melakukan pada pintu gerbang yang berlapis itu. Namun pada pintu gerbang dilapis terakhir, ketika mereka meloncat masuk, maka dua orang pengawal lingkungan itu telah siap menghadapinya.
Tetapi yang meloncati dinding halaman itu bukan hanya dua orang, tetapi lima orang.
Meskipun demikian, kedua orang pengawal yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk mempertahankan pintu gerbangnya. Dengan marah mereka telah menyerang orang-orang yang meloncat masuk.
Dua orang di antara mereka yang memasuki lingkungan itu telah mengikat kedua pengawal itu dalam pertempuran. Meskipun kedua orang bertubuh raksasa itu memiliki tubuh dan kekuatan melampaui orang-orang yang memasuki lingkungan Song Lawa, namun para perampok itu adalah orang-orang liar yang mempunyai banyak sekali pengalaman. Karena itu, maka mereka dengan tangkas mampu mengimbangi kekuatan orang bertubuh raksasa itu. Orang-orang yang memasuki lingkungan perjudian itu dengan cepat menghindari setiap serangan, namun kemudian dengan cepat pula telah membalas menyerang sehingga kadang-kadang orang-orang bertubuh raksasa itu menjadi kebingungan.
Sementara kedua orang kawannya bertempur, maka tiga orang yang lain telah membuka selarak.
Kedua orang pengawal di Song Lawa itu memang menjadi agak kebingungan. Tetapi keduanya tidak dapat melepaskan diri dari lawan-lawan mereka.
Karena itu, maka tiba-tiba saja salah seorang dari pengawal itu telah berteriak keras-keras, "Mereka telah datang. Aku bertempur disini."
Suaranya memang mengumandang sampai ke telinga orang-orang yang berada di depan barak permainan dadu. Karena itu, maka beberapa orang di antara para pengawal yang bertubuh raksasa itu telah berlari-larian ke pintu gerbang. Sementara yang lain serta orang-orang yang berkumpul di tempat itu, telah bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi para pengawal itu ternyata telah terlambat. Ketika mereka mendekati pintu gerbang, maka pintu gerbang itu ternyata telah terbuka.
Dengan demikian maka gerombolan perampok itupun telah menghambur memasuki lingkungan perjudian yang disebut Song Lawa itu.
Demikian mereka berada di dalam, maka pemimpin merekapun telah berteriak, "He orang-orang Song Lawa. Aku perintahkan kalian semuanya, apakah kalian para pengawal atau orang-orang yang kebetulan mengunjungi tempat ini untuk meletakkan senjata. Jika kalian tidak melawan, maka kami tidak akan menghukum kalian. Namun jika kalian berniat menentang kami, maka kalian akan mengalami nasib yang sangat buruk. Bahkan mungkin kalian tidak akan sempat melihat matahari terbit esok pagi."
Suara itu telah menggetarkan setiap telinga orang-orang yang berada di lingkungan Song Lawa itu. Para pengawal yang bertubuh raksasa itu justru menjadi semakin marah. Pemimpin merekapun telah berteriak pula, "Persetan. Aku memberi kesempatan kalian untuk menyingkir. Jika kesempatan ini tidak kalian pergunakan, maka kalian akan terbantai disini."
Tetapi pemimpin perampok itu tertawa. Katanya, "Jangan menyembunyikan kecemasanmu. Aku tahu bahwa kekuatan yang masih ada dan terlepas dari kekuatan sirep kami, tidak akan separo dari kekuatan yang ada di Song Lawa ini. Dan kami tahu seberapa besar kekuatan sebenarnya. Jika perhitungan kami benar, maka kalian akan hancur jika kalian mencoba melawan. Kami datang dengan orang-orang kami yang berilmu tinggi."
"Orang-orang yang kebetulan sedang berada di Song Lawa dalam musim perjudian ini, akan ikut bertempur melindungi harta benda mereka," berkata pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu.
Tetapi orang itu, yang memimpin gerombolan perampok yang datang ke Song Lawa menjawab dengan suara yang tinggi di sela-sela derai tertawanya, "Apakah artinya bagi kami. Ada berapa orang di antara mereka yang masih tetap terbangun" Mereka adalah justru orang yang perlu dikasihani, karena mereka akan mati di tangan kami jika mereka benar-benar akan melawan."
"Di antara mereka ada orang-orang berilmu," desis pemimpin pengawal.
"Aku sudah tahu bahwa Kepala Besi ada disini. Tetapi ia tidak akan dapat mengalahkan aku. Atau katakan ia memiliki ilmu yang lebih tinggi dari aku, maka tiga orang akan bersamaku membunuhnya dengan memecahkan kepalanya yang sekeras besi itu," jawab pemimpin gerombolan perampok itu. Karena itu, maka katanya, "Nah. Sekarang menyerahlah. Kalian tidak mempunyai pilihan lain."
Pemimpin pengawal itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia sadar, bahwa jumlah perampok itu memang lebih banyak dari orang-orang yang masih tetap terjaga di lingkungan perjudian Song Lawa itu. Namun para pengawal tidak mau begitu saja mengalah sebagaimana terjadi beberapa tahun yang lalu. Jika mereka tidak dapat melindungi harta benda orang-orang yang berjudi di Song Lawa, maka perjudian itu lambat laun tentu akan mereka tinggalkan sehingga akhirnya akan menjadi sepi.
Karena itu, maka iapun telah bersuit nyaring sebagai pertanda bahwa para pengawalnya harus menyerang dengan segera, termasuk yang masih berada di depan barak permainan dadu.
Mendengar isyarat itu, maka para pengawal yang masih berada di depan barak itupun dengan tergesa-gesa pergi ke arah suara isyarat itu. Namun empat orang telah ditinggalkan di depan barak itu. Kecuali jika ada perintah lain, disamping dua orang yang berada di dalam.
Orang-orang lain yang masih dapat bertahan dari pengaruh sirep itupun menjadi ragu-ragu. Seorang di antara mereka bertanya kepada para pengawal, "Apa yang harus kami lakukan."
"Ikut kami. Kita akan bertempur," jawab pengawal itu.
Merekapun segera menghambur pula ke pintu gerbang dengan senjata yang telah telanjang di tangan.
Jati Wulung, Sambi Wulung dan Kiai Windupun ikut bersama orang-orang itu. Jati Wulung terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling, iapun menjadi makin terkejut. Ternyata yang menggamit itu adalah Kepala Besi.
Dengan segera Jati Wulung telah mengambil jarak. Jika orang itu tiba-tiba saja menyerangnya, maka ia akan dapat melawannya dengan baik.
"Jangan salah paham," berkata Kepala Besi itu, "kemarin kita memang berkelahi. Bahkan aku hampir mati karenanya. Tetapi aku harus jujur, bahwa aku memang kalah. Sekarang kita akan bertempur bersama-sama menyelamatkan harta benda yang ada di lingkungan perjudian ini. Termasuk harta benda kita sendiri."
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk. Jawabnya, "Kita akan bertempur bersama-sama."
"Bagus," berkata Kepala Besi itu kemudian, "sebenarnya tubuhku masih terasa sakit-sakitan, kau memang luar biasa. Tetapi agaknya aku sudah siap untuk bertempur."
"Kau juga luar biasa," sahut Jati Wulung, "dalam waktu yang singkat, kau sudah dapat mengatasi kesulitan di dalam dirimu."
"Aku telah dibantu oleh obat-obatan yang sangat kuat pengaruhnya. Jika tidak, tentu aku masih terbaring," jawab Kepala Besi sambil tertawa.
Jati Wulungpun tersenyum juga. Demikian pula Sambi Wulung dan Kiai Windu.
Demikianlah, akhirnya mereka sampai ke pintu gerbang. Beberapa orang pengawal telah bertempur. Kepala Besi itu masih juga tertawa sambil berkata, "Kali ini aku memakai ikat kepala."
"Apakah ikat kepalamu tidak akan terbakar?" bertanya Jati Wulung.
"Ya. Tetapi jika perlu," jawab Kepala Besi itu.
Mereka tidak sempat berbicara lagi. Para perampok ternyata memang merupakan gerombolan yang besar, yang memang dipersiapkan untuk merampok tempat perjudian yang termasuk besar sebagaimana Song Lawa itu.
Melihat orang-orang yang datang itu, pemimpin perampok itupun berkata, "Kalian adalah orang-orang sombong yang malang. Kenapa kalian tidak menyerah saja" Buat siapa sebenarnya kalian bertempur" Kenapa tidak kalian serahkan saja kepada pengawal yang bertubuh seperti raksasa, tetapi otaknya sedungu keledai dan kekuatan serta kemampuannya sama sekali tidak seimbang dengan tubuhnya yang bagaikan raksasa itu?"
Namun ada juga yang menjawab, "Kami melindungi harta benda kami sendiri yang ada di Song Lawa ini."
Pemimpin perampok itu tertawa. Katanya, "jadi kalian lebih cinta kepada harta benda kalian daripada nyawa kalian."
Masih juga terdengar jawaban, "Kami tidak akan mati. Tetapi kalianlah yang akan mati disini."
Pemimpin perampok itu menggeram. Dengan marah ia berteriak, "Siapa yang tidak ingin mati supaya meninggalkan pertempuran ini. Aku tidak mempunyai kesempatan untuk melayani kalian dengan permainan yang menjemukan itu." Ia berhenti sejenak. Lalu, "He, yang manakah Kepala Besi yang terkenal dan ditakuti di pesisir Utara itu. Aku akan menantangnya, karena aku yakin bahwa aku akan dapat mengalahkannya. Jika orang yang memiliki ilmu tertinggi disini sudah dikalahkan, maka yang lain tentu akan segera tunduk kepada kami."
Namun terdengar jawaban, "Kepala Besi memang ada disini. Tetapi ia bukan orang yang memiliki ilmu tertinggi. Baru kemarin ia telah dikalahkan oleh seorang yang ternyata memiliki kemampuan ilmu jauh lebih tinggi dari Kepala Besi itu."
Beberapa orang berpaling ke arah suara itu. Ternyata yang berteriak itu adalah Kepala Besi sendiri. Tetapi karena ia tidak membuka saja kepala botaknya seperti biasa, maka ada beberapa orang yang tidak mengenalnya.
Namun pemimpin perampok itu menjawab, "persetan. Dimana Kepala Besi itu."
Tidak ada jawaban. Kepala Besi itupun tidak menjawab pula. Agaknya ia memang segan menampakkan dirinya, karena sebenarnya ia memang masih sedikit merasa sakit di punggungnya. Namun agaknya rasa sakit itu dapat diabaikannya.
Dalam pada itu, pemimpin pengawal yang telah memberikan isyarat itupun berteriak, "Kita sudah bertempur. Kita tidak mempunyai banyak waktu."
Pemimpin perampok itupun berteriak pula, "Jika tidak ada orang yang disebut Kepala Besi itu, maka aku akan membunuh siapa saja yang ada di hadapanku."
Namun ternyata yang ada di hadapannya kemudian adalah Jati Wulung, karena Sambi Wulung berdesis, "Kau sama sekali yang sudah terlanjur dikenal kemampuanmu disini. Tetapi pemimpin perampok yang agaknya juga berilmu tinggi itu. Hati-hati. Jika terdesak, aku terpaksa ikut campur. Jangan tersinggung, sebab kita tidak sedang berperang tanding. Apalagi tugas kita yang sebenarnya masih belum selesai."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun kemudian telah menyusup di antara pertempuran yang segera menyala semakin besar, mendekati pemimpin perampok itu.
"Kau suruh saudaramu mengemban tugas yang berat itu?" tiba-tiba Kiai Windu bertanya.
"Ya. Tidak ada orang lain karena agaknya Kepala Besi tidak bersedia memenuhi tantangannya," jawab Sambi Wulung.
"Sebenarnya kita tidak perlu bekerja terlalu berat. Bukankah kita sekedar mempertahankan uang yang kita bawa kemari" Seandainya uang itu harus jatuh ke tangan mereka, tentu masih akan lebih baik daripada jiwa kita yang jatuh ke tangan mereka."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Apalagi pertempuran segera telah membakar lingkungan Song Lawa itu.
Dalam pada itu, selagi di depan pintu gerbang terjadi pertempuran yang sangit, maka lima orang berdiri termangu-mangu tidak jauh dari lingkungan tempat perjudian Song Lawa itu. Orang yang agaknya pemimpin mereka itupun bergumam, "Setan-setan itu telah mendahului kita."
Kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka menjawab, "Kita akan menunggu, apa yang akan terjadi."
"Jika Song Lawa itu kemudian benar-benar hancur dan menjadi karang abang, maka kehadiran kita tidak mempunyai arti apa-apa," berkata pemimpin itu.
"Kita akan melihat dan mengurai keadaan selanjutnya," desis yang lain.
"Sudah tentu," pemimpinnya membentak, "aku sudah tahu itu. Tetapi bahwa mereka datang lebih dahulu, adalah sangat menyakitkan hati. Sementara kita sekarang belum siap untuk bertindak. Jika saja hal ini terjadi dua hari lagi, maka kita akan dapat mengambil langkah lebih baik."
"Ya." gumam seorang di antara mereka, "ternyata dua orang tua itu tentu petugas yang mereka kirim untuk mengamati keadaan di sekitar Song Lawa ini. Atau merekalah yang telah menebarkan sirep yang tajam itu."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Agaknya mereka sependapat dengan pemimpinnya.
Namun dalam pada itu, di tempat lain, Kiai Badra dan Kiai Sokapun melihat kehadiran para perampok. Dengan nada rendah Kiai Badra berkata, "Suatu langkah yang sangat berani. Namun mereka telah mendahului serangan mereka dengan sirep yang kuat."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Memang ilmu sirep yang kuat. Pengaruhnya terasa sampai jauh di luar lingkungan tempat perjudian itu."
"Agaknya beberapa orang yang kita lihat itu memang sebagian dari segerombolan perampok," desis Kiai Badra.
Kiai Soka menyahut, "Mungkin. Tetapi apakah kita yakin?"
Kiai Badra memang ragu-ragu. Namun kemudian itu adalah kemungkinan yang terbesar.
Tetapi sementara itu Kiai Badra itupun bergumam, "Bagaimana dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung" Apakah mereka juga terlibat langsung dalam benturan kekuatan antara para perampok dengan para pengawal dan orang-orang yang lolos dari ketajaman ilmu sirep ini?"
"Agaknya memang demikian. Mereka, terutama Jati Wulung tentu tidak akan tinggal diam," berkata Kiai Soka.
"Orang itu memang jauh lebih keras dari kakak seperguruannya," jawab Kiai Badra.
"Kita akan menunggu, apakah yang terjadi," desis Kiai Soka, "tetapi mungkin kita akan dapat lebih dekat lagi dengan lingkungan itu."
"Apakah kita akan terlibat?" bertanya Kiai Badra.
"Kita akan memperhatikan keadaan. Terutama Sambi Wulung Jati Wulung," jawab Kiai Soka.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan lebih mendekat."
Demikianlah kedua orang tua itupun telah bergeser lebih mendekati lingkungan yang sedang dilanda api pertempuran itu.
Sebenarnyalah pertempuran di Song Lawa itu telah berlangsung semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengarahkan kemampuan mereka untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran. Apalagi malam tidak lagi tersisa terlalu panjang. Sedangkan para perampok itu sudah tentu tidak mau kesiangan.
Karena itu, maka merekapun segera mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun orang-orang di Song Lawa itupun merupakan petugas-petugas yang tangguh. Mereka yang tersisa dari cengkaman sirep itu agaknya memang orang-orang yang memiliki lambaran ilmu yang mapan. Demikian pula orang-orang yang lain, yang melibatkan diri dalam pertempuran itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih juga sempat mengamati orang-orang yang ikut terlibat ke dalam pertempuran itu. Agaknya tidak seorangpun di antara anak-anak muda yang mampu mengatasi kekuatan sirep yang tajam yang menyelubungi Song Lawa itu.
Dalam pada itu, Jati Wulung yang menghadapi pemimpin perampok itupun segera mengetahui pula, bahwa pemimpin perampok itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka Jati Wulung harus menjadi sangat berhati-hati. Ia menyadari, bahwa pada saatnya pemimpin perampok itu tentu akan mempergunakan puncak dari kemampuannya.
Untuk beberapa saat Jati Wulung masih memerlukan waktu untuk lebih mengenal watak dari ilmu lawannya itu. Justru karena pemimpin perampok itu sama sekali tidak bersenjata, maka Jati Wulung memperhitungkan kemampuan yang lain yang melampaui tajamnya ujung senjata.
Para perampok yang lainpun telah bertempur pula dengan senjata masing-masing. Ternyata setelah bertempur beberapa saat, memang terdapat beberapa persamaan antara para perampok dan para pengawal lingkungan Song Lawa yang bertubuh raksasa itu.
Merekapun segera terlibat dalam pertempuran yang kasar dan keras.
Melihat ragam senjata merekapun terdapat beberapa kesamaan pula. Para perampok telah membawa senjata yang tidak terlalu biasa dipergunakan, sehingga kesannya memang mengerikan. Ada di antara mereka yang membawa kapak, membawa bindi, tombak berkait dan jenis-jenis senjata yang lain. Demikian pula para pengawal yang bertubuh raksasa itu. Ragam senjata merekapun serupa, kapak, pedang yang bermata dua, tombak yang tajamnya memakai gerigi duri pandan, tongkat besi dan sejenisnya.
Tingkah laku merekapun hampir bersamaan pula. Bertempur sambil berteriak dan mengumpat-umpat.
Namun orang-orang yang sedang berada di Song Lawa itupun ada pula yang menunjukkan sikap dan tata gerak yang sama. Seorang yang bertubuh tinggi, berkumis lebat, bahkan telah mengumpat-umpat dengan kasarnya. Senjatanya adalah sebilah golok yang besar sedikit melengkung. Ketika golok itu mulai terayun, maka anginpun rasa-rasanya telah menyambar-nyambar di sekitarnya.
Tetapi beberapa orang lain bersikap lain pula. Mereka tidak menunjukkan sikap yang liar meskipun pada umumnya orang-orang yang ada di tempat seperti itu adalah memang orang-orang yang kasar. Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berusaha untuk menyesuaikan sikapnya sebagaimana orang-orang lain yang ada di Song Lawa itu.
Sekilas Sambi Wulung sempat melihat bagaimana Kiai Windu bertempur. Ia memang tidak melihat unsur yang liar pada orang itu. Meskipun orang itu bersikap kasar dan kadang-kadang di luar dugaan, tetapi Sambi Wulungpun menduga, bahwa ada sesuatu di balik sikapnya itu.
Sambi Wulung sendiri telah bertempur dengan pedangnya. Orang-orang yang bertempur di sekitarnya memang tidak sempat melihat, apa yang dilakukannya. Yang kadang-kadang justru menjadi perhatian mereka adalah Jati Wulung yang bertempur melawan pemimpin perampok itu.
Namun agaknya Sambi Wulung telah berbuat di luar perhitungan mereka. Sambi Wulung yang tidak mendapat perhatian itu, ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka setiap kali ia telah mengejutkan lawan-lawannya. Namun untuk tidak menarik perhatian, Sambi Wulung jarang membuat penyelesaian, ia tidak membunuh lawannya atau melukainya dengan tikaman pedangnya. Tetapi setiap kali ia hanya memperlemah kedudukan lawannya yang kemudian ditinggalkannya untuk mencari lawan yang lain. Jika lawannya telah digores dengan ujung pedangnya, maka Sambi Wulung kemudian telah menghindarinya. Hanya dalam keadaan terpaksa dan di luar perhitungannya, maka pedangnya memang telah menikam sampai ke jantung.
Meskipun demikian, ternyata Sambi Wulung telah menimbulkan banyak kesulitan pada lawan-lawannya. Jika ia menggoreskan pedangnya pada tubuh lawannya, berarti bahwa ia telah memperlemah perlawanannya. Meskipun kemudian Sambi Wulung meninggalkannya, maka orang itu tidak lagi dapat bertempur dengan sepenuh kemampuannya siapapun lawan yang datang kemudian. Dan lawan yang datang kemudian itulah yang biasanya membuat penyelesaian.
Di bagian lain, orang yang disebut Kepala Besi itupun telah bertempur dengan garangnya. Agaknya ia masih berusaha untuk tidak dikenal sebagaimana sebutannya. Karena itu ia telah mempergunakan senjata pula. Sebuah pedang yang berat di tangannya berputar-putar mengerikan.
Sementara itu, Kiai Windupun mampu menggerakkan lawan-lawannya. Dengan kemampuan yang tinggi serta pengalaman yang luas menghadapi lawan-lawan yang keras dan kasar, Kiai Windu mampu mendesak setiap lawan yang dihadapinya.
Karena itulah, maka para perampok yang memasuki Song lawa itupun menjadi semakin marah. Semakin keras perlawanan yang mereka hadapi, maka merekapun menjadi semakin buas dan liar.
Tetapi ternyata bahwa beberapa lama kemudian, beberapa orang perampok telah jatuh. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang pernah berhadapan dengan Sambi Wulung. Yang lain adalah lawan-lawan kepala Besi dan beberapa orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang bertubuh raksasa itupun ada pula yang telah terlempar jatuh. Senjata para perampok yang garang itu sempat pula mengoyakkan kulit daging di antara mereka.
Kemarahan para perampok dan orang-orang yang bertubuh tinggi itu mempunyai warna yang hampir sama pula. Mereka berteriak-teriak Jan mengumpat-umpat sejadi-jadinya.
Jati Wulung ternyata telah mendapat lawan yang tangguh. Pemimpin perampok itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Karena itu, maka Jati Wulung harus berhati-hati menghadapinya.
Namun pemimpin perampok itupun menjadi heran pula. Yang diperhitungkannya hanyalah Kepala Besi yang ditakuti di pesisir Utara. Namun ternyata ada juga orang lain yang mampu mengimbangi ilmunya.
Meskipun demikian, sekali-sekali masih terdengar pula orang itu berteriak, "Dimana Kepala Besi itu" Ternyata ia seorang pengecut yang tidak berani menghadapi aku."
Kepala Besi itu tidak menghiraukannya, ia masih saja bertempur dengan sebuah pedang yang berat. Namun dengan ayunan pedangnya itu ia telah mendesak lawan-lawannya.
Pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit.
Adalah di luar dugaan, bahwa para perampok telah susut dengan cepat.
Sebenarnya bagi Kiai Windu, bertempur pada saat itu bukannya keharusan yang mutlak. Tetapi iapun tidak ingin melihat Song Lawa benar-benar dihancurkan oleh para perampok itu yang kemudian membawa semua uang dan perhiasan yang ada di dalamnya. Karena itu, maka meskipun Kiai Windu menghindari keadaan yang benar-benar berbahaya baginya, iapun telah bertempur pula menghadapi para perampok itu. Ternyata Kiai Windu mampu memilih lawan yang tidak membahayakan dirinya sendiri.
Tetapi beberapa orang yang lain telah bertempur dengan garangnya. Seorang yang bertubuh kekar telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Kemarahannya telah ditumpahkan lewat ujung senjatanya, karena baginya para perampok itu ternyata telah mengganggu kesenangannya selama ia berada di Song Lawa.
Dalam waktu yang pendek, pertempuran itu telah menjadi semakin menebar. Sebenarnyalah bahwa arah serangan para perampok mula-mula ditujukan kepada para petugas. Tetapi karena orang-orang lain yang kebetulan berada di Song Lawa itu justru menjadi lebih berbahaya dari para petugas, maka merekapun kemudian berusaha untuk menghancurkan orang-orang lain yang kebetulan berada di Song Lawa itu justru menjadi lebih berbahaya dari para petugas, maka merekapun kemudian berusaha untuk menghancurkan orang-orang itu lebih dahulu.
Pada umumnya orang-orang yang berhasil mengatasi kekuatan sirep itu memang orang-orang berilmu. Itulah sebabnya, maka para perampok sulit untuk dapat menghancurkan mereka. Bahkan dalam setiap pertempuran seorang melawan seorang, maka para perampok itu tentu segera dapat dikalahkan.
Tetapi jumlah perampok itu memang lebih banyak dari mereka yang sempat terhindar dari kekuatan sirep itu. Karena itu, maka orang-orang itupun harus bertempur dengan segenap kemampuan dan ilmunya, karena kadang-kadang mereka harus menghadapi lawan yang tidak hanya seorang.
Para perampok yang kasar itu ternyata cerdik juga mengatasi kemampuan lawan-lawan mereka. Setiap kali seorang perampok terdesak, maka muncullah kawannya untuk membantunya. Sehingga dengan demikian, maka ada di antara para perampok itu yang bertempur sambil berloncatan dari satu lawan ke lawan yang lain.
Orang yang disebut Kepala Besi itu mengumpat-umpat ketika ia harus berhadapan dengan dua orang perampok yang termasuk tangguh. Ketika seorang yang termasuk tangguh. Ketika seorang yang termasuk tataran tertinggi dari para perampok itu terdesak, maka muncullah seorang yang lain dalam tataran yang sama. Karena itu, maka Kepala Besi itu harus berhadapan dengan orang-orang terbaik di lingkungan perampok itu.
Tetapi Kepala Besi itu memang benar-benar orang yang ditakuti di pesisir Utara. Karena itu, meskipun punggungnya masih agak sakit setelah ia dikalahkan oleh Jati Wulung, namun ia masih mampu bertempur dengan garangnya. Hanya sekali-sekali ia masih berdesis jika sakti di punggungnya itu terasa menggigit.
Karena itu, maka Kepala Besi itu tidak segera dapat dikuasai oleh lawan-lawannya. Bahkan beberapa kali ia mampu mengejutkan lawan-lawannya dengan geraknya yang tiba-tiba.
"Setan. Sakit di punggungku," Kepala Besi itu mengumpat, "jika tidak, aku akan membunuh semua orang yang mengganggu kesenanganku ini."
Ketika sekilas ia melihat Jati Wulung bertempur melawan pemimpin perampok itu, Kepala Besi merasa bersyukur bahwa bukan dirinyalah yang dihadapinya. Jika ia dalam keadaannya itu harus menghadapi pemimpin perampok itu, mungkin ia akan mengalami kesulitan. Perasaan sakit di punggungnya itu akan benar-benar terasa mengganggu jika ia berhadapan dengan orang yang memang benar-benar berilmu tinggi. Semakin banyak ia bergerak, maka perasaan sakit itu akan semakin terasa.
Karena itu, maka ia lebih senang bertempur menghadapi lawan-lawan yang tidak terlalu kuat meskipun ia harus berhadapan dengan lebih dari satu orang.
Pemimpin perampok yang bertempur dengan Jati Wulung itupun menjadi semakin marah. Ternyata ia mendapatkan lawan yang sulit diatasinya. Lawan yang benar-benar berilmu tinggi.
Dengan kasar pemimpin perampok itu tiba-tiba saja bertanya, "He, kaukah Kepala Besi itu."
"Bukan," jawab Jati Wulung sambil bertempur.
"Jadi siapa kau?" bertanya lawannya pula.
"Wanengpati. Namaku Wanengpati," jawab Jati Wulung.
"Nama yang sering dipakai oleh para prajurit. Apakah kau seorang prajurit?" bertanya pemimpin perampok itu.
"Jika aku seorang prajurit, kau akan menjadi ketakutan?" Jati Wulung justru bertanya.
"Persetan," geram pemimpin perampok itu, "di dunia ini tidak ada orang yang aku takuti. Sultan Pajangpun tidak."
Tetapi Jati Wulung sempat menjawab, "Kau akan mengalaminya sekarang. Kau akan menjadi ketakutan setelah kita bertempur lebih lama lagi."
"Iblis kau," geram pemimpin perampok itu.
Dengan serta-merta maka pemimpin perampok itu telah meningkatkan serangannya. Ia berusaha mendesak lawannya dengan geraknya yang cepat dan keras.
Tetapi lawannya adalah benar-benar seorang yang tangguh. Karena itu, betapapun ia meningkatkan ilmunya, lawannya selalu dapat mengimbanginya. Bahkan ketika tubuh Jati Wulung mulai dialiri keringat, maka geraknyapun seakan-akan menjadi semakin cepat dan ringan. Kakinya seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah jika ia sedang berloncatan di seputar lawannya.
Tetapi lawannyapun mampu bergerak cepat pula. Tangannya yang mengembang bagaikan sayap-sayap burung yang buas di langit yang luas.
Dengan demikian maka pertempuran di antara kedua orang itu menjadi semakin garang. Mereka telah bergeser ke halaman Song Lawa yang luas, seakan-akan terpisah dari arena pertempuran itu. Dengan kemarahan yang mendesak di dadanya. maka pemimpin perampok itu berusaha secepatnya untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Para petugas di Song Lawa yang pada umumnya bertubuh raksasa itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka merasa mempunyai kewajiban untuk melindungi orang-orang yang datang di Song Lawa itu. Namun ternyata bahwa mereka memerlukan orang-orang yang harus mereka lindungi itu untuk membantu mereka. Tanpa orang-orang itu, maka para petugas yang bertubuh raksasa itu tidak akan sempat bertahan cukup lama.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 07 UNTUK beberapa saat, masih belum dapat diduga, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Namun beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi melampaui kebanyakan orang yang terdapat di antara orang-orang yang sedang berada di tempat perjudian itu telah membuat para perampok menjadi cemas. Bahkan pemimpin perampok itupun telah menjadi cemas pula tentang dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan segera dapat menyelesaikan pertempuran itu, sementara malampun telah hampir sampai ke batas.
Namun demikian, meskipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya, namun lawannya masih juga mampu mengimbanginya.
Yang mengalami kesulitan adalah justru orang-orang yang bertubuh raksasa yang bertugas di Song Lawa. Jika seorang di antara mereka harus menghadapi dua orang sekaligus, maka petugas itu akan segera mengalami kesulitan. Namun merekapun telah berusaha untuk bertempur dalam arena yang saling berbaur sehingga dengan demikian maka mereka akan dapat saling menolong dalam keadaan yang mendesak.
Namun dalam pada itu, justru karena di dalam pertempuran itu orang-orang yang berilmu tinggi seperti Sambi Wulung, Kepala Besi itu kemampuan orang-orang lain yang pada umumnya melampaui kemampuan para petugas yang bertubuh raksasa itu, maka jumlah para perampok itu agaknya telah menjadi susut. Meskipun orang-orang yang mempertahankan Song Lawa itu juga susut, namun agaknya penyusutan bagi para perampok itu berlangsung lebih cepat. Sehingga karena itu, maka pada saatnya, jumlah mereka akan menjadi seimbang.
Agaknya hal itu diketahui juga oleh pemimpin perampok yang sedang bertempur melawan Jati Wulung. Karena itu, maka kemarahannyapun menjadi semakin memuncak. Tidak ada pilihan lain daripada berusaha dengan cepat menghancurkan lawannya untuk terjun ke dalam pertempuran di antara orang-orangnya.
Yang menjadi berdebar-debar adalah orang-orang yang bertubuh raksasa itu. Mereka yang seharusnya melindungi orang-orang yang berada di tempat perjudian itu termasuk harta bendanya, namun ternyata mereka tidak cukup mampu untuk melakukannya. Apalagi sebagian dari mereka telah tertidur nyenyak oleh kekuatan sirep yang mencengkam.
Jika para perampok itu kemudian ternyata berhasil menghancurkan Song Lawa dan merampas segala harta benda yang ada di dalamnya, maka untuk selanjutnya Song Lawa tidak akan pernah mendapat kepercayaan lagi. Bahkan mungkin orang-orang yang ada di dalamnya telah menuntut kepada para petugas dan pemimpin Song Lawa itu agar mereka bertanggung jawab atas perampokan itu.
Beruntunglah para petugas di Song Lawa itu, bahwa orang-orang yang berilmu tinggi, yang terbebas dari pengaruh sirep, telah bersedia untuk turun ke medan, membantu mereka melawan para perampok itu.
"Bagi mereka, tentu akan ada penghargaan khusus," berkata pemimpin dari para petugas itu.
Demikianlah, pertempuran masih berlangsung dengan garangnya. Orang-orang yang bertubuh raksasa telah bertempur sejauh dapat mereka lakukan tanpa mengenal takut sama sekali. Mereka harus menunjukkan kepada orang-orang yang ikut membantu mereka bertempur, bahwa mereka telah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Mereka harus benar-benar dianggap bertanggung jawab tanpa mengenal takut menghadapi maut sekalipun.
Namun para perampokpun telah menjadi semakin buas dan liar. Mereka menjadi sangat marah bahwa mereka tidak dapat melakukan perampokan itu dengan lancar. Bahkan orang-orang yang berada di Song Lawa dan sama sekali bukan petugas telah ikut melibatkan diri pula.
Namun justru satu-satu para perampok itu terlempar dari arena. Luka-luka yang parah dan bahkan tusukan langsung ke jantung telah mengurangi jumlah mereka. Tanpa mereka sadari, Sambi Wulung benar-benar merupakan orang yang menentukan keseimbangan pertempuran itu disamping Jati Wulung yang telah berhasil mengikat pemimpin perampok dalam pertempuran yang sengit, serta Kepala Besi yang bertempur dengan garang.
Pemimpin perampok yang bertempur melawan Jati Wulung itupun telah berusaha mengerahkan kekuatan dan kemampuannya untuk segera mengalahkan lawannya. Beberapa jenis ilmu yang dimilikinya telah diungkapkannya dalam pertempuran itu. Dengan tangkas ia telah mampu berloncatan hampir tidak menyentuh tanah. Bahkan kemudian tangannyapun telah berputaran di sekitar tubuhnya. Sekali-kali mengembang, kemudian terangkat tinggi, tetapi sesaat yang lain tangan itu telah mematuk dada dengan jari-jari yang merapat.
Tetapi Jati Wulung mampu mengimbangi kecepatan gerak pemimpin perampok yang tidak bersenjata itu. Iapun dengan cepat bergerak sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Bahkan sekali-sekali Jati Wulung justru telah berusaha menembus pertahanan lawannya dengan serangan-serangan yang cepat dan tiba-tiba.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mengerahkan kemampuannya pemimpin perampok itu masih sempat mengelakkan serangan-serangan Jati Wulung. Bahkan membalas menyerang dengan kemampuan yang sangat tinggi.
Ketika orang itu meloncat dengan ayunan tangan mendatar setinggi dada, Jati Wulung sempat memiringkan tubuhnya sehingga tangan lawannya itu bergetar kurang dari setapak dari tubuhnya. Namun dengan cepat pula Jati Wulung telah memukul tangan itu dengan sisi telapak tangannya. Tetapi lawannya sempat dengan tergesa-gesa menarik tangannya sehingga pukulan sisi telapak tangan Jati Wulung tidak mengenainya. Bahkan orang itu sempat memiringkan tubuhnya dan mengayunkan kakinya ke arah lambung. Jati Wulung yang melihat serangan itu meloncat surut. Sekali lagi serangan lawannya tidak mengenainya. Bahkan Jati Wulung yang melihat keadaan lawannya, tiba-tiba telah berputar sambil menyapu kaki lawannya yang sebelah, yang dipergunakan untuk bertumpu sebelum kakinya yang lain sempat menyentuh tanah.
Namun Jati Wulung harus mengakui kemampuan lawannya yang tiba-tiba saja dengan satu kakinya telah melenting tinggi. Sambil menggeliat tangannya justru terayun. Hampir saja tangan itu mengenai tengkuk Jati Wulung. Namun Jati Wulung adalah seorang yang berilmu mapan. Karena itu, hampir di luar daya pengamatan lawannya Jati Wulung telah memiringkan tubuhnya, sehingga sambaran tangan lawannya tidak mengenainya.
Betapa terkejut lawannya ketika tiba-tiba saja kaki Jati Wulung telah berputar satu lingkaran. Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak sempat menghindarinya.
Karena itu dengan lengannya, pemimpin perampok itu berusaha menangkis serangan Jati Wulung.
Satu benturan yang keras sekali telah terjadi. Kekuatan pemimpin perampok itu memang luar biasa besarnya. Namun justru karena Jati Wulung menyadarinya, maka iapun telah mengerahkan kekuatannya pula. Karena itu benturan yang terjadi adalah benturan ilmu yang mengalir di bagian tubuh masing-masing yang saling beradu.
Ternyata pemimpin perampok itu terkejut. Kekuatan Jati Wulung demikian besarnya, sehingga pemimpin perampok itu telah terdorong surut.
Kemarahan yang menggelegak telah menghentak-hentak di dalam dada pemimpin perampok itu. Karena itu maka iapun telah berteriak nyaring sambil mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya. Keadaan benar-benar menjadi semakin gawat bagi para perampok itu. Kekuatan sirep pun semakin lama akan menjadi semakin menipis. Jika kemudian kekuatan sirep itu hilang, maka orang-orang di Song Lawa itu akan terbangun dan keadaanpun akan menjadi semakin sulit bagi para perampok itu.
Tetapi betapapun ia mengerahkan kemampuan ilmunya, namun lawannya itu benar-benar tidak mampu didesaknya. Semakin besar ia mengerahkan kekuatannya, maka semakin besar pula kekuatan lawannya.
Ketika pemimpin perampok itu benar-benar sampai ke puncak ilmunya, maka Jati Wulung memang menjadi berdebar-debar. Dalam sentuhan-sentuhan yang kemudian terjadi, rasa-rasanya tubuh lawannya menjadi panas. Itulah sebabnya, maka lawannya berusaha untuk lebih sering membenturkan kekuatan mereka.
Jati Wulung menggeram ketika tangannya mengenai lambung lawannya. Lawannya memang menyeringai menahan sakit. Tetapi Jati Wulungpun menjadi kesakitan pula, karena tangannya bagaikan menyentuh bara.
"Setan alas," geram Jati Wulung.
"Kau akan mati terpanggang api ilmuku," desis lawannya.
Jati Wulung menggerakkan giginya. Namun ia adalah orang yang berilmu tinggi.
Dalam pertempuran berikutnya, Jati Wulung menyadari, bahwa lawannya berusaha menerkamnya dan memeluknya erat-erat. Dengan demikian maka ia akan benar-benar dapat mati terpanggang api ilmunya sebagaimana dikatakan. Karena itu, maka iapun telah bertempur dengan sangat berhati-hati.
Dikerahkannya daya tahannya untuk mengatasi rasa sakit jika serangannya membentur lawannya. Namun Jati Wulungpun yakin, bahwa lawannya masih juga merasa sakit jika serangannya mampu mengenainya.
Karena itu, maka Jati Wulungpun benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga cadangannya, sehingga serangan-serangannya menjadi semakin garang. Namun Jati Wulungpun harus bergerak cepat untuk selalu menghindari terkaman lawannya yang bagaikan menjadi bara itu.
Ternyata bahwa pemimpin perampok itupun menjadi semakin sibuk melayani Jati Wulung yang sudah sampai pula pada tingkat kemampuannya yang tertinggi. Ternyata ia mampu bergerak di luar penglihatan mata wadag, sementara itu kekuatannyapun bagaikan menjadi berlipat ganda. Setiap sentuhan, telah melemparkan lawannya beberapa langkah surut, meskipun Jati Wulung sendiri harus berusaha mengatasi rasa sakit, tetapi hentakkan serangannya yang semakin kuat telah melemparkan lawannya, dan bahkan membantingnya jatuh.
Sebenarnyalah kegelisahan benar-benar telah mencengkam pemimpin perampok yang berilmu tinggi itu. Apalagi ketika ia sempat melihat keadaan orang-orangnya. Meskipun semula jumlah mereka lebih banyak, namun semakin lama jumlah itu menjadi semakin berimbang.
"Kau mempunyai ilmu dari iblis mana he?" geram pemimpin perampok itu.
Jati Wulung menghindari serangan lawannya sambil menjawab, "Ilmuku itulah ilmu iblis."
Lawannya semakin mengerahkan kemampuannya. Namun serangan Jati Wulung rasa-rasanya menjadi semakin sering mengenainya dan setiap sentuhan rasa-rasanya telah mematahkan tulang-tulangnya. Bahkan telah timbul pertanyaan di dalam hatinya, "Apakah ia tidak merasakan panasnya ilmuku?"
Namun pemimpin perampok itu benar-benar tidak mendapat kesempatan. Serangan Jati Wulung justru menjadi semakin sering menembus pertahanannya. Jika semula pemimpin perampok itu berusaha sejauh mungkin terjadi benturan-benturan sehingga ia mendapat kesempatan membakar kulit lawannya, namun iapun kemudian terpaksa harus menghindarinya. Serangan Jati Wulung dilambari kekuatan yang luar biasa besarnya.
Sebenarnyalah Jati Wulung sendiri harus menahan pedih pada kulit-kulitnya yang bagaikan terkelupas oleh panasnya api pada tubuh lawannya yang dilambari dengan ilmunya. Tetapi Jati Wulung harus mengatasi perasaan sakit dan pedih itu. Jika ia tidak mampu mengatasinya, maka lambat laun ia akan ditelan oleh ilmu lawannya.
Namun ternyata lawannyapun sulit untuk mengatasi kekuatan ilmu Jati Wulung yang tinggi. Kekuatannya semakin lama bukannya semakin susut. Tetapi justru menjadi semakin besar.
Ketika lawannya berusaha untuk menangkap serangan Jati Wulung agar kekuatan panas apinya sempat menghanguskan kulitnya, namun ternyata bahwa pemimpin perampok itu sendirilah yang telah terlempar beberapa langkah mundur dan bahkan jatuh terbanting di tanah.
Dengan cepat pemimpin perampok itu melenting berdiri. Namun dengan kecepatan yang lebih tinggi, Jati Wulung telah meluncur dengan tubuh hampir mendatang.
Satu benturan yang keras sekali telah terjadi ketika telapak kaki Jati Wulung itu mengenai dada pemimpin perampok yang belum benar-benar berdiri tegak itu.
Benturan serangan Jati Wulung itu benar-benar merupakan benturan yang menentukan. Lambaran kekuatan ilmu yang ada di dalam diri Jati Wulung benar-benar telah menghantam tulang-tulang iga pemimpin perampok itu.
Ternyata beberapa tulang iga telah benar-benar dipatahkannya. Isi dada pemimpin perampok itupun rasa-rasanya telah menjadi rontok karenanya.
Terdengar keluhan pendek. Pemimpin perampok itu ternyata telah terlempar beberapa langkah. Sekali lagi ia jatuh berguling. Lebih keras dari sebelumnya. Adalah di luar perhitungan pemimpin perampok itu, bahwa kepalanya telah membentur batu yang tergolek di bawah sebatang pohon waru.
Pemimpin perampok itu menggeliat. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Ia hanya dapat menatap Jati Wulung dengan-sorot mata penuh kebencian. Namun mata itupun sejenak kemudian telah tertutup.
Kematian pemimpin perampok itu mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi para pengikutnya. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi tanpa pemimpin mereka yang berilmu tinggi itu.
Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Beberapa orang di antara mereka sempat memperhitungkan kemungkinan susutnya pengaruh sirep sehingga akan semakin banyak orang-orang Song Lawa yang terbangun. Sementara itu rasa-rasanya cahaya merah telah mulai membayang di langit.
Sejenak kemudian, para perampok itu telah mengambil satu keputusan tanpa sempat mereka bicarakan. Ketika seorang di antara mereka dengan licik meloncat melarikan diri, maka beberapa orangpun telah menyusulnya tanpa aba-aba. Mereka berlari-larian ke pintu gerbang yang terbuka dan berusaha hilang di gelapnya malam.
Orang-orang yang ikut bertempur bersama para pengawal tidak berusaha mengejar mereka. Tetapi para pengawal yang bertubuh raksasa itu ada yang sempat berlari keluar regol. Dua orang ternyata gagal melarikan diri dan tusukan di punggung mereka telah menghentikan mereka untuk selama-lamanya. Namun yang lain sempat menghilang di dalam kelam.
Sejenak kemudian, maka para pengawal Song Lawa itupun telah berkumpul. Beberapa orang yang kebetulan sedang berada di Song Lawa dan ikut terlibat dalam pertempuran itu, berdiri termangu-mangu. Mereka memandangi beberapa tubuh yang terbujur lintang dengan darah yang mulai membeku.
Di antara mereka adalah para pengawal yang bertubuh raksasa serta orang-orang yang sedang berada di Song Lawa untuk berjudi. Namun untunglah bahwa orang-orang itu hanyalah terluka saja. Tidak seorangpun di antara para penjudi itu yang terbunuh.
Pemimpin Pengawal yang juga bertubuh raksasa itu memandangi orang-orang yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata dengan nada rendah, "Terima kasih. Tanpa bantuan kalian, Song Lawa telah menjadi abu. Jika mereka telah merampas semua harta benda yang ada disini, maka mereka tentu akan membakar tempat ini dengan orang-orang yang tertidur lelap karena pengaruh sirep. Kita tentu tidak akan sempat mengeluarkan mereka seorang demi seorang."
Orang-orang yang termenung di antara mereka yang terluka dan terbunuh itu termangu-mangu. Namun kemudian Jati Wulunglah yang berkata, "Rawat yang terluka dan kumpulkan kawan-kawanmu yang terbunuh. Hari ini kita mulai dengan penguburan mayat para perampok serta merawat orang-orang yang terluka termasuk aku. Kau lihat, kulitku mengalami luka-luka bakar. Pedih sekali sekarang. Di saat-saat aku berkelahi, perasaan sakit itu dapat aku atasi karena aku lebih takut mati daripada sekedar kesaksian. Tetapi sekarang, perasaan sakit itu terasa semakin menggigit."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Kawanku menjadi semakin sedikit. Mereka yang telah bekerja bersamaku beberapa tahun disini, sebagian telah mati dan sebagian lagi terluka. Justru mereka adalah orang-orang yang terbaik."
"Tentu orang-orang yang terbaik," sahut Kepala Besi, "pengawal-pengawal Song Lawa yang lain tidak lebih dari kerbau-kerbau dungu yang hanya ujudnya saja yang menyeramkan. Tetapi ternyata mereka tidak mampu mengatasi kekuatan sirep."
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat menyangkal kenyataan itu.
Sementara itu Kiai Windupun berkata, "Pengaruh itu sekarang sudah tidak lagi cukup kuat untuk memaksa orang-orang tidur nyenyak. Bangunkan mereka dengan isyarat. Itu lebih cepat daripada kau bangunkan mereka seorang demi seorang."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan membunyikan isyarat tanda bahaya."
"Kami akan kembali ke dalam bilik kami," berkata Kiai Windu.
"Uangku ada di barak permainan dadu," berkata seorang yang bertubuh tinggi.
Dengan demikian maka orang-orang itu telah berpencar kembali ke tempat mereka di saat kerusuhan itu mulai terjadi. Sambi Wulung, Jati Wulung dan Kiai Windu telah kembali pula ke dalam bilik mereka, sementara Jati Wulung berjalan dengan kaki timpang. Telapak kakinya dan lengannya memang terluka. Pakaiannyapun di beberapa tempat bagaikan telah tersengat bara api.
Namun Kiai Windu sempat berkata, "Ternyata kau memang luar biasa."
"Apanya yang luar biasa?" bertanya Jati Wulung.
Kiai Windu tersenyum. Namun iapun telah mengurut lengannya sendiri yang tergores senjata sambil menjawab, "Kau mampu mengalahkan pemimpin perampok yang mempunyai ilmu yang tinggi itu."
"Satu kebetulan," jawab Jati Wulung, "tetapi aku terluka di banyak tempat."
"Lenganku juga terluka," berkata Kiai Windu.
Wanengbayalah yang sama sekali tidak tersentuh senjata.
"Aku mencari lawan yang paling lemah di antara mereka," jawab Sambi Wulung.
"Bagaimana mungkin kau dapat memilih lawan dalam perkelahian seperti itu," desis Kiai Windu.
Sambi Wulung tidak menjawab. Namun Kiai Windu berkata selanjutnya, "Jika tidak ada kalian berdua, maka Song Lawa tentu sudah dijarah rayah. Isinya tentu sudah dirampok oleh orang-orang liar itu dan bahkan banyak orang yang terbunuh."
"Ah," sahut Sambi Wulung, "kau jangan mengada-ada. Kaulah yang telah berhasil mengusir mereka."
Kiai Windu berkata sambil tertawa, "Kau katakan bukan yang sebenarnya kau maksudkan. Kau tahu tingkat kemampuanku. Dan akupun tahu tingkat kemampuan kalian."
"Sudahlah," desis Jati Wulung, "luka-lukaku terasa pedih. Aku harus segera mengobatinya agar tidak menjadi luka-luka yang semakin parah."
Semuanyapun terdiam. Mereka menjadi semakin dekat dengan bilik mereka. Sementara itu, telah terdengar isyarat yang dibunyikan oleh pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu. Beberapa orang kawannya yang hanya mengalami luka-luka ringan pun telah ikut pula membunyikannya sambil membawa kentongan-kentongan kecil berputar di antara barak-barak di Song Lawa.
Isyarat itu memang mengejutkan. Bukan saja para pengawal yang dengan serta-merta meloncat keluar dari barak-barak tempat mereka tertidur nyenyak oleh pengaruh sirep, bahkan juga yang tertidur di kedai dan di gardu-gardu penjagaan, tetapi juga mereka yang berada di Song Lawa itu untuk berjudi. Mereka dengan senjata di tangan telah menghambur keluar dari barak-barak. Sementara itu mereka yang tertidur di barak permainan dadupun telah bangkit pula. Dengan serta-merta mereka telah menarik senjata-senjata mereka pula.
Namun dua orang petugas yang berada di barak permainan dadu itu segera menjelaskan apa yang telah terjadi. Dengan nada tinggi seorang di antara petugas itu berkata, "Yang ada di tempat ini sama sekali tidak berubah sebagaimana saat sirep itu mulai menyentuh."
"Gila. Siapa yang telah melakukannya?" bertanya seorang yang berpakaian rapi. Dengan keris di tangan ia berdiri tegak di antara orang-orang lain yang juga menjadi tegang.
Ketika seorang pengawal yang lain memasuki tempat itu, maka seorang yang menggenggam pedang di tangan bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Semuanya sudah lewat," berkata pengawal itu, yang ternyata telah terluka di punggungnya. Lalu katanya pula, "perampok itu telah terusir selain yang terbunuh disini. Pemimpin perampok itu telah mati pula disini."
"Kenapa kami baru diberitahukan sekarang?" bertanya seorang yang bertubuh besar, "jika aku tahu, maka aku akan menghancurkan mereka."
"Jangan membual disini," bentak pengawal yang punggungnya terluka itu, "kenapa kau justru tidur saja disini, di tempat yang seharusnya tidak untuk tidur" Bukankah sudah disediakan bilik bagimu?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Bukan hanya orang yang bertubuh tinggi besar itu saja yang merasa heran atas dirinya sendiri. Kenapa mereka telah tertidur di tempat permainan dadu itu.
"Sekarang kemasi uang kalian. Permainan dihentikan untuk siang ini. Baru malam nanti akan dimulai lagi. Siang ini kita mempunyai tugas lain. Mengubur orang-orang yang terbunuh dan merawat kawan-kawan kami yang terluka. Untunglah bahwa aku hanya tergores kecil di punggung. Tetapi ada kawanku yang benar-benar mati," geram pengawal itu.
Orang-orang yang ada di barak permainan dadu itupun segera mengemasi dan menyimpan uang mereka masing-masing atau barang-barang berharga yang sudah disiapkan untuk bertaruh. Kemudian merekapun telah meninggalkan tempat itu.
Namun, demikian mereka berada di halaman, maka merekapun segera mengetahui bahwa beberapa orang memang telah terbunuh.
Hari itu semua kegiatan judi di Song Lawa dihentikan. Tidak ada permainan dadu. Tidak ada sabung ayam dan tidak ada panahan. Namun kedai di Song Lawa itu terpaksa dibuka agar orang-orang yang ada di dalam lingkungan itu tidak menjadi kelaparan.
Sambi Wulungpun kemudian telah sibuk mengobati luka-luka Jati Wulung. Dengan obat-obatan yang mereka bawa, maka rasa sakit pada luka-luka Jati Wulung menjadi jauh berkurang.
Namun keduanya menjadi sangat kecewa ketika mereka kemudian mengetahui, bahwa para perampok yang terluka parah dan tidak dapat meninggalkan Song Lawa itu telah dibunuh pula oleh para pengawal.
"Ternyata mereka adalah orang-orang biadab," geram Jati Wulung.
"Satu kesalahan yang tidak dapat dimaafkan," desis Sambi Wulung, "bukankah seharusnya mereka itu. bahwa mereka tidak boleh membunuh orang-orang yang terluka?"
Tetapi Kiai Windu tiba-tiba saja bertanya, "Siapa yang kau maksud?"
"Para pengawal Song Lawa," jawab Sambi Wulung.
Tetapi Kiai Windu justru tersenyum. Katanya, "Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu. Seharusnya sejak semula kau sudah dapat menilai, bahwa mereka bukanlah orang baik-baik. Yang berada di tempat perjudian inipun bukan pula orang baik-baik sebagaimana para pengawal. Seandainya bukan para pengawal yang telah membunuh para perampok yang terluka, maka para pendatang di Song Lawa inilah yang akan melakukannya dan bahkan mungkin mereka telah melakukannya pula."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Jati Wulung berkata, "jadi, apakah sebaiknya kita biarkan saja seandainya sekelompok perampok datang lagi ke tempat ini" Atau bahkan kita sendiri sajalah yang merampoknya?"
"Jangan mengigau," berkata Kiai Windu, "kita tidak dapat dengan serta-merta merubah wajah hitam tempat perjudian ini. Tetapi sudah tentu kita tidak akan dapat membiarkan terjadi pembantaian disini oleh para perampok meskipun bagi orang lain, nilai kajiwan para perampok dan para petugas dan juga para pengunjung Song Lawa ini tidak jauh berbeda. Salah satu perbedaan yang ada ialah bahwa orang-orang yang datang di Song Lawa ini membawa dan bahkan cukup banyak uang dan barang-barang berharga, sementara para perampok itu akan mengambil dengan kekerasan uang dan barang-barang berharga yang ada disini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu para petugas dan beberapa orang yang ada di Song Lawa sedang sibuk, Sambi Wulung dan Jati Wulung justru berbaring di bilik mereka. Kiai Windupun tidak keluar dari dalam bilik itu, namun ketiga kawannyalah yang melihat-lihat kesibukan yang terjadi di lingkungan perjudian disebut Song Lawa itu atas perintah Kiai Windu.
Ternyata bahwa Jati Wulung benar-benar merasa letih sementara perasaan sakit yang menggigit kulitnya telah jauh berkurang. Namun hampir di luar sadarnya, bahwa Jati Wulungpun telah tertidur.
"Biarlah ia beristirahat," berkata Sambi Wulung yang masih juga berbaring. Bahkan Kiai Windupun telah berbaring juga meskipun keduanya tidak ingin tidur sementara matahari mulai memancarkan sinarnya ke lingkungan perjudian itu.
"Ia memang letih sekali," desis Kiai Windu.
"Ya. Tetapi letih atau tidak letih Wanengpati memang termasuk seorang yang suka tidur," sahut Sambi Wulung.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Tetapi kali ini ia benar-benar telah bertempur dengan mengerahkan segenap tenaganya. Pemimpin perampok itu tidak kurang tingkat ilmunya dari Kepala Besi yang masih merasa sakit di punggungnya itu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Jati Wulung memang benar-benar telah terluka. Namun pengobatan yang sudah diberikan, baik yang di taburkan langsung pada luka-lukanya atau reramuan yang diminumnya telah banyak menolongnya.
Dalam pada itu, kesibukan lain telah terjadi di Song Lawa. Para pengawal telah menguburkan kawan-kawan mereka di belakang lingkungan perjudian itu. Di luar dinding lapisan yang paling dalam, tetapi di dalam dinding lapisan berikutnya. Namun mereka telah menguburkan para perampok di luar lingkungan perjudian itu sama sekali. Di padang perdu tanpa pertanda apapun.
Ketiga orang kawan Kiai Windu memperhatikan apa yang dilakukan oleh para petugas itu dengan hati yang berdebar-debar. Dengan nada rendah seorang di antara mereka berkata, "Ternyata kami termasuk orang-orang yang tidak mampu melawan kekuatan sirep. Untunglah bahwa Kiai Windu masih mampu mengatasinya, sehingga ada di antara kita yang diperhitungkan di antara orang-orang yang berada di Song Lawa ini."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu seorang dari mereka berkata, "Bukan hanya kita yang tidak mampu mengatasi sirep yang tajam itu. Tetapi sebagian besar dari orang-orang yang berada di Song Lawa memang tidak dapat mengatasi sirep. Bahkan ada yang lebih buruk dari keadaan kita. Seandainya kita waktu itu belum tidur, mungkin kita mampu untuk bertahan. Namun agaknya dalam tidur kita tidak dapat berbuat apa-apa. Sedangkan orang lain yang sedang berjudi di permainan dadu, ada yang tiba-tiba saja telah tertidur di tempat itu sambil memeluk uangnya."
"Belum tentu," jawab yang lain, "sebaiknya kita tidak menyembunyikan kelemahan kita agar kita tidak salah menilai diri kita sendiri."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Sebaiknya memang demikian. Seperti yang selalu kita dengar petunjuk Kiai Windu. Kita harus merasa bahwa banyak orang lain yang lebih baik dari kita. Karena itu, maka kita harus berhati-hati dalam setiap langkah."
"Tetapi bagaimana dengan saat-saat yang kita tunggu itu?" berkata seorang di antara mereka tiba-tiba saja.
"Tentu tidak akan ada perubahan. Tetapi jika tempat ini dihancurkan oleh para perampok, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian," sahut yang lain.
"Kita tunggu perintah Kiai Windu," desis kawannya sambil bergeser dari tempatnya, "kita kembali ke bilik. Semua pekerjaan sudah diselesaikan oleh para petugas. Tetapi hari ini kita hanya dapat tidur saja tanpa ada kegiatan apapun juga."
Ketika ketiga orang itu kembali ke dalam bilik mereka, maka mereka telah berpapasan dengan orang-orang yang hilir mudik di halaman lingkungan perjudian itu. Mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa selain berjalan kesana kemari melihat-lihat keadaan. Namun mereka tidak putus-putusnya membicarakan kehadiran para perampok semalam.
Orang-orang yang sempat ikut bertempur dengan bangga telah menceriterakan apa yang telah mereka lakukan. Bagaimana mereka menghancurkan para perampok. Namun yang lebih banyak mereka ceriterakan adalah kelebihan mereka masing-masing.
Tetapi di antara mereka terdapat juga orang yang harus berbaring di pembaringannya karena luka-lukanya. Namun di antara para petugas di Song Lawa itu terdapat juga orang-orang yang mengerti tentang pengobatan, sehingga mereka dapat membantu meringankan penderitaan mereka yang terluka.
Ketika ketiga orang kawan Kiai Windu itu kembali ke dalam bilik mereka, maka Sambi Wulung telah duduk di bibir pembaringan. Kiai Windu masih berbaring meskipun matanya tetap terbuka, sementara Jati Wulungpun masih juga tidur dengan nyenyak.
"Duduklah," berkata Kiai Windu yang kemudian telah bangkit dan duduk pula, "apa yang telah kalian lihat?"
Ketiga orang itupun kemudian telah duduk pula. Seorang di antara merekapun telah menceriterakan apa yang telah mereka lihat di luar bilik mereka. Kesibukan para petugas dan orang-orang yang hilir mudik di halaman.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bertanya, "Tetapi bukankah kedai itu tetap terbuka seperti biasanya?"
"Ya," jawab salah seorang di antara mereka bertiga.
"Jika kedai itu juga tutup, maka orang-orang di Song Lawa ini akan kelaparan. Jika demikian akibatnya akan sangat jauh, karena sebagian dari mereka akan keluar untuk mencari makan," berkata Kiai Windu.
"Makan bagi para pengujung di Song Lawa ini, adalah satu-satunya kegiatan hari ini," berkata salah seorang kawan Kiai Windu.
Sambi Wulunglah yang tersenyum. Katanya, "Kita tentu akan melakukannya juga."
"Ya. Sebenarnyalah aku sudah lapar," berkata orang itu.
Sambi Wulung masih saja tersenyum. Tetapi ia menjawab, "Aku terpaksa menunggu orang ini terbangun. Apakah kau akan mendahului?"
Yang menjawab adalah Kiai Windu, "Tidak. Kita pergi bersama-sama."
Tidak ada yang menyahut. Yang dikatakan oleh Kiai Windu itu seakan-akan merupakan keputusan yang tidak dapat mereka langgar.
Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Ternyata sejenak kemudian Jati Wulung telah terbangun. Bahkan iapun dengan serta-merta telah bangkit dan duduk sambil tersenyum. Katanya, "He, kenapa aku telah dikerumuni orang" Bukankah aku tidak apa-apa?"
"Siapa yang mengerumunimu?" seorang kawan Kiai Windu ganti bertanya, "kami tidak mengerumunimu. Tetapi kami hampir tidak sabar menunggu kau tidur terlalu nyenyak meskipun sirep itu telah lewat. Kami sudah terlalu lapar untuk menunda sesaat lagi untuk pergi ke kedai."
Jati Wulung justru menguap. Katanya kemudian, "Seharusnya kalian pergi lebih dahulu. Agaknya sisa-sisa pengaruh sirep membuatku tidur sangat nyenyak. Melampaui nyenyak tidur kalian justru di saat sirep itu bekerja."
"Kenapa kau tidak membangunkan aku?" bertanya kawan Kiai Windu yang lain, "jika kau bangunkan aku, kau tentu tidak akan terluka seperti itu."
Sambi Wulung tertawa. Jati Wulungpun kemudian tertawa pula, sementara Kiai Windu berkata, "Tentu ia tidak akan terluka karena ia tidak akan sempat bertempur. Waktunya akan habis dipergunakannya untuk membangunkan saja."
Yang lainpun kemudian tertawa pula. Namun seorang yang lain sempat berkata, "Nah, Wanengpati Apa yang akan kau lakukan sekarang" Mandi atau apa. Kita akan segera pergi ke kedai."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam, Iapun kemudian bangkit berdiri, Luka-lukanya tidak lagi terasa sakit.
"Aku akan pergi ke pakiwan. Sebentar lagi kita akan bersama-sama pergi ke kedai," desis Jati Wulung.
Namun ketika Jati Wulung sudah keluar dari bilik itu, Sambi Wulung bertanya, "Siapakah yang telah mandi di antara kalian?"
Semuanya tertawa. Ternyata Kiai Windu berkata, "Apa bedanya mandi dan tidak mandi."
Sambi Wulung masih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Sementara itu, Jati Wulung yang pergi ke pakiwan harus menunggu karena beberapa buah pakiwan yang disediakan sudah terisi. Dengan hampir tidak sabar ia berdiri di dekat salah satu pintu dari pakiwan itu. Namun ketika pakiwan itu terbuka, Jati Wulung terkejut. Yang keluar dari dalam pakiwan itu adalah seorang perempuan itu menudingnya sambil berkata lantang, "Kau mencoba mengintip aku lagi he?"
Jati Wulung menggeram. Katanya, "Cepat, pergi perempuan gila."
"Sudah aku peringatkan. Jika sekali lagi kau lakukan, aku pilin lehermu sampai patah," geram perempuan itu sambil melangkah pergi.
Jati Wulung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.
Namun ia masih melihat seorang laki-laki berlari-lari menyusul perempuan yang baru selesai mandi itu. Apa yang dikatakan oleh laki-laki itu, Jati Wulung tidak mengetahuinya. Tetapi tiba-tiba saja perempuan itu berbalik bersama laki-laki itu kembali ke tempat Jati Wulung termangu-mangu.
"Gila," geram Jati Wulung, "apa lagi yang akan dilakukannya dengan laki-laki itu. Apakah aku terpaksa memukulnya sampai pingsan."
Tetapi ternyata perempuan dan laki-laki itu tidak menyerangnya. Demikian mereka berhenti di hadapannya, perempuan itu berkata dengan nada merendah, "Maafkan aku Ki Sanak, aku tidak tahu bahwa kaulah yang telah mengalahkan Kepala Besi dan kemudian membunuh pemimpin perampok semalam."
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian masuk ke dalam pakiwan itu sambil berkata, "Kalau kau ingin mengintip aku mandi, lakukanlah."
Perempuan itu menundukkan kepalanya. Namun laki-laki yang mengantarnya itupun menariknya pergi sambil berkata, "Kau harus hati-hati menilai seseorang. Untung orang itu termasuk bukan seorang pemarah. Jika ia marah dan memukulmu, habislah sejarah hidupmu yang penuh kesombongan itu."
"Aku sudah minta maaf," desis perempuan itu. Namun dalam pada itu Jati Wulung yang berada di dalam pakiwan telah mengguyur tubuhnya. Bahkan terdengar ia berkata, "Kalian menunggu aku selesai mandi?"
Kedua orang itupun segera meninggalkan tempat itu. Namun perempuan itu masih saja bergeremang, "Ternyata orang itu yang dibicarakan orang selama ini. Kenapa aku tidak melihat saat ia mengalahkan Kepala Besi dan tidak pula sempat melihat ia bertempur dengan para perampok."
"Kau tidur mendekur," jawab laki-laki itu.
"Coba, jika saat sirep itu menjamah tempat ini di saat aku terbangun, maka aku tentu akan dapat mengatasinya," berkata perempuan itu.
"Apapun alasannya, tetapi kau tidak mempunyai kemampuan untuk hadir di pertempuran itu. Kau tentu akan mengatakan bahwa akupun tidak. Aku memang tidak. Itu aku akui," berkata laki-laki itu.
Keduanyapun kemudian tidak berbicara lagi. Dengan tergesa-gesa keduanya pergi ke barak mereka, melintas halaman yang ditumbuhi rerumputan.
Sejenak kemudian, Jati Wulung telah berada di dalam biliknya. Bersama dengan Sambi Wulung dan Kiai Windu serta kawan-kawannya mereka keluar dari barak mereka menuju ke kedai.
Adalah tidak diduga-duga sama sekali, bahwa ketika Jati Wulung mendekati kedai itu, maka hampir semua orang telah bangkit dan menyambutnya sebagai seorang pahlawan. Hampir setiap orang menyatakan penghargaan kepadanya, karena Jati Wulung telah mampu membunuh pemimpin perampok yang hampir saja menghancurkan padepokan itu.
Ketika Jati Wulung yang dikenal sebagai Wanengpati itu dengan kaki yang masih agak timpang berjalan semakin dekat, maka beberapa orang telah menyongsongnya.
Jati Wulung justru telah merasa canggung akan sambutan itu. Kepala Besi yang sedang makanpun telah bangkit pula. Bahkan ia telah berteriak, "Tanpa orang itu, Song Lawa hari ini tinggal abu yang akan hanyut ditiup angin. Berterima kasihlah kalian kepadanya. Akupun kini merasa tidak lagi sakit hati karena aku telah dikalahkannya. Ia pantas mendapat julukan orang terbaik di lingkungan ini. Siapa yang tidak mau menganggapnya demikian, maka sebelum ia menilai langsung dalam benturan ilmu dengan Wanengpati, ia harus lebih dahulu dapat mengalahkan aku."
Sambi Wulung menepuk pundak Jati Wulung sambil berdesis, "Nah, kau harus menjadi jera karenanya."
Jati Wulung berpaling. Namun iapun bergumam, "Aku menjadi tersiksa disini."
Sambi Wulung tertawa. Kiai Windu pun berkata pula, "Kau akan dinobatkan menjadi raja disini."
"persetan," geram Jati Wulung.
Namun suara tertawa Kiai Windu dan Sambi Wulung justru semakin keras.
Tetapi suara itu terhenti, ketika dengan tergesa-gesa seorang anak muda menyongsongnya. Anak muda itu langsung membimbing Jati Wulung dan membawanya duduk di sebuah amben yang besar, yang justru berada di serambi kedai itu.
"Marilah. Kita akan makan bersama-sama," berkata anak muda itu. Anak muda yang justru menjadi pusat perhatian Jati Wulung dan Sambi Wulung. Puguh.
Jati Wulung tidak menolak. Ia mengikut saja untuk duduk di amben itu, sementara orang-orang lain memandanginya saja termangu-mangu. Namun Kepala Besi itu masih saja berbicara, "He, anak muda. Apakah kau sedang membujuknya agar orang itu mau bekerja bersamamu?"
Puguh memandang Kepala Besi itu dengan dahi yang berkerut. Namun ia tidak menjawab, sementara Kepala Besi itu masih berkata pula, "Nah, marilah kita makan bersama untuk merayakan kemenangan kita atas para perampok itu."
Tidak seorangpun yang menjawabnya. Sedangkan Kepala Besipun telah duduk kembali untuk meneruskan makannya. Seteguk ia minum. Namun kemudian iapun telah menyuapi mulutnya pula.
Dalam pada itu, maka Puguhpun telah memesan berbagai makanan dan minuman untuk mereka bersama-sama. Untuk Puguh sendiri, Jati Wulung, Sambi Wulung, Kiai Windu dan kawan-kawannya serta para pengawal Puguh.
Namun dalam pada itu, ternyata pemilik kedai itupun berkata, "Khusus, bagi Wanengpati dan kelima orang kawannya, kami akan menyuguhkan apa saja yang dimintanya hari ini tanpa membayar."
Namun Puguh berkata, "Terserah apa yang akan kalian suguhkan. Tetapi jangan kali ini. Aku sudah berniat untuk membayar semua hidangan buat kami semua."
Pemilik kedai itu tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kali ini kaulah yang membayar baginya. Tetapi nanti atau kapan saja mereka datang kembali, kamilah yang akan menyuguhkan hidangan yang diminta oleh mereka."
Sambi Wulung menggamit Jati Wulung sambil berkata, "Ada juga untungnya kau menjadi pahlawan di Song Lawa ini. Sekarang makan kita akan dibayar oleh Puguh. Nanti jika kita kembali, hidangan akan diberikan oleh pemilik kedai ini, kemudian siapa lagi dan siapa lagi?"
"Besok aku yang akan membayarnya," berkata Kiai Windu.
"Kau tidak dihitung, karena kau sudah terlalu sering melakukannya. Bukan saja setelah Wanengpati menjadi pahlawan, tetapi sejak sebelumnya," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu tertawa. Kawan-kawannyapun tertawa Juga. Meskipun sebenarnya di dalam kepala Kiai Windu telah timbul persoalan tersendiri. Persoalan yang menyangkut kepentingannya dan kelompoknya terhadap lingkungan perjudian Song Lawa itu.
Namun Kiai Windu sama sekali tidak menunjukkan persoalan di dalam dirinya itu.
Demikianlah, maka sambil berbicara panjang lebar, berkelakar dan sekali-sekali mengumpat, beberapa orang duduk dalam satu lingkaran yang besar di atas amben yang berada di serambi kedai itu. Beberapa orang lain yang sedang makan pula sekali-sekali berpaling dan memperhatikan orang-orang yang dengan gembira berbincang tentang kekalahan para perampok semalam.
Namun selagi mereka berbincang panjang lebar, Sambi Wulung sempat memperhatikan wajah Kiai Windu yang tiba-tiba berkerut. Dengan tanpa menarik perhatian, Sambi Wulung telah memandang ke arah pandangan mata Kiai Windu. Yang dilihatnya adalah seorang yang agak bongkok tengah berbincang dengan dua orang pengawal yang bertubuh raksasa.
Sambi Wulung tidak berbuat apa-apa. Kesan di wajah Kiai Windupun segera lenyap pula, karena ia telah menghanyutkan diri ke dalam kelakar yang riuh.
Namun yang sekilas itu telah memberikan kesan tersendiri kepada Sambi Wulung.
Namun dalam pada itu, di tempat lain di dalam lingkungan Song Lawa itu, kelompok-kelompok yang lain telah mengisi waktu mereka dengan berbincang juga. Berbicara apa saja untuk mengusir kejemuan, karena itu tidak ada jenis perjudian apapun yang berlangsung.
Baru menjelang malam, para petugas telah membenahi tempat-tempat perjudian yang segera akan dibuka. Terutama tempat permainan dadu. Karena malam itu, hanya tempat permainan dadu sajalah yang akan dibuka.
Tetapi justru karena itu, maka tempat permainan dadu itulah yang telah menjadi penuh. Orang-orang yang datang di Song Lawa untuk berjudi merasakan bahwa hari itu sudah terlalu lama mereka berhenti. Rasa-rasanya telah berhari-hari mereka duduk tanpa berbuat sesuatu.
Ketika Kiai Windu dan kawan-kawannya mengajak Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk pergi ke barak tempat permainan dadu, maka Jati Wulung dengan segan berkata, "Malam ini aku belum berminat untuk turun ke arena. Aku masih ingin beristirahat."
Kiai Windu berpaling ke arah Sambi Wulung. Sambil tersenyum Sambi Wulung berkata, "Aku akan mengawaninya."
"Baiklah," berkata Kiai Windu, "jika demikian, biarlah kami sajalah yang pergi ke barak."
"Hati-hatilah," berkata Sambi Wulung, "jika perampok itu kembali dengan membawa kawan yang lebih banyak dan kekuatan sirep yang lebih besar."
Kiai Windu tertawa, Katanya, "Tentu tidak sekarang. Jika mereka kembali, mereka akan menunggu sampai Jati Wulung telah benar-benar sembuh."
Demikianlah maka Kiai Windu dan ketiga orang kawannya telah meninggalkan bilik mereka. Jati Wulung yang tinggal di dalam bilik justru telah berbaring. Ia masih merasa letih, sementara luka-lukanya masih belum sembuh seluruhnya. Namun Sambi Wulunglah yang kemudian duduk bersandar dinding.
Di halaman, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya melangkah menuju ke barak tempat permainan dadu. Namun ketika mereka mendekati barak itu, Kiai Windu berkata, "Kita harus membuat hubungan keluar."
"Mereka harus mengetahui apa yang telah terjadi," sahut kawannya.
"Masuklah ke dalam," berkata Kiai Windu, "aku akan berjalan-jalan di halaman Mungkin kita mendapat isyarat dari luar atau kesempatan lain untuk berbicara dengan mereka."
"Masuklah berdua," berkata seorang di antara kawan-kawan Kiai Windu, "aku akan bersama dengan Kiai Windu."
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian mereka memang telah membagi diri. Kiai Windu dan seorang kawannya akan tetap berada di luar, sementara dua orang yang lain akan memasuki barak permainan dadu.
Beberapa saat lamanya, Kiai Windu dan seorang kawannya telah berjalan-jalan di sekitar barak. Ternyata bukan hanya mereka sajalah yang masih belum mengambil keputusan untuk masuk ke dalam arena permainan dadu. Dua tiga orang justru masih duduk-duduk di tempat yang agak terlindung dari jangkauan cahaya obor. Sekali-sekali terdengar kelakar yang kasar dan suara tertawa yang tidak terkendali. Bahkan kawan Kiai Windu itu berpaling ketika ia mendengar suara perempuan yang bagaikan meringkik di kegelapan itu.
"Sudahlah," desis Kiai Windu.
"Ah," desah orang itu, "aku tidak sengaja."
Kiai Windu hanya tersenyum saja. Namun kemudian ia berkata, "kita menunggu sampai malam semakin larut. Kau haus?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian, "Maksud Kiai, kita pergi ke kedai itu?"
"Bukan ke kedai induk. Kita singgah di kedai kecilnya saja di sebelah barak," jawab Kiai Windu.
Kawannya mengangguk-angguk. Agaknya memang lebih baik duduk di kedai sambil meneguk minuman hangat dan mengunyah beberapa potong makanan daripada berkeliaran di tempat-tempat gelap.
Demikianlah keduanyapun kemudian telah duduk di amben bambu di kedai kecil yang tidak menyediakan makanan sebanyak ragam makanan di kedai induknya. Namun minuman hangat yang masih berasap telah membuat tubuh mereka menjadi segar di malam yang menjadi semakin dingin.
Empat orang yang lain telah duduk pula di kedai itu. Bahkan kemudian dua orang laki-laki dan perempuan. Keduanya membawa golok yang tidak terlalu panjang terselip pada ikat pinggang mereka.
Kiai Windu memang tidak begitu menghiraukan mereka. Tetapi ia justru lebih banyak memperhatikan kawannya yang sekali-sekali memandangi wajah perempuan yang nampak cerah di bawah cahaya lampu minyak itu. Namun di antara kecerahan wajahnya, terselip bayangan kekerasan hati yang membaja. Bahkan cenderung untuk disebut kasar.
"Habiskan minumanmu," desis Kiai Windu.
Kawannya terkejut. Katanya, "Masih panas Kiai."
"Atau biarlah aku yang meminumnya meskipun masih panas," berkata Kiai Windu kemudian.
"Ah jangan," desis kawannya yang kemudian meraih mangkuknya dan meneguknya sampai habis.
"Masih panas?" bertanya Kiai Windu.
Kawannya itu hanya tersenyum saja.
Demikianlah, mereka berduapun kemudian telah bangkit, sementara Kiai Windu membayar minuman dan makanan bagi mereka berdua. Namun kawannya itupun kemudian telah menggamitnya. Meskipun ia tidak memberikan isyarat apapun, namun Kiai Windu telah mengikuti arah pandangan matanya.
Ternyata kawannya itu telah melihat orang yang agak bongkok itu melintas dan berhenti agak jauh dari tempat mereka. Namun keduanya melihat orang bongkok itu berbicara dengan sungguh-sungguh dengan seorang pengawal.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Namun Kiai Windu terkejut ketika tiba-tiba saja perempuan yang datang bersama seorang laki-laki serta membawa golok di pinggangnya itu membentak, "Kenapa kalian tidak segera pergi" Apalagi yang kau tunggu, jika kalian sudah membayar makanan dan minuman yang telah kau minum dan kau makan?"
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak ingin menjawab.
Tetapi pada saat ia melangkah pergi, justru kawannyalah yang menjawab, "Jangan terlalu kasar Ki Sanak. Pergi atau tidak pergi itu adalah urusan kami."
"Persetan," geram perempuan itu, "kau tidak mengenal lingkungan Song Lawa ini dengan baik."
"Ah. Kau keliru. Kami termasuk cikal bakal disini. Kami memang pernah melihat Ki Sanak berada disini sebelumnya. Tetapi biasanya Ki Sanak tidak segarang sekarang ini. Apakah sudah terjadi satu perubahan?" bertanya kawan Kiai Windu.
"Cukup," bentak laki-laki yang mengawani perempuan itu, "akupun sudah sering melihat kau disini. Akupun sudah sering melihat kau dipukuli orang karena tingkah lakumu."
Kawan Kiai Windu itu tertawa. Tetapi Kiai Windulah yang kemudian berkata, "Sudah cukup. Kita tidak mempunyai persoalan dengan mereka."
"Kalianlah yang membuat persoalan," bentak perempuan itu.
"Kenapa kami?" kawan Kiai Windu masih bertanya.
Namun Kiai Windu telah berkata, "Aku berkata, sudah. Kita biarkan orang-orang yang tidak mengenal terima kasih. Jika kita biarkan semalam perampok itu membakar tempat ini, mereka akan ikut mati terbakar. He, kenapa semalam kau tidak hadir ketika para perampok datang. Dan sekarang kau berlagak garang seperti itu?" tiba-tiba Kiai Windu bertanya. Tetapi sebelum dijawab Kiai Windu telah berkata pula, "Agaknya kalian termasuk orang-orang yang tidak mampu mengatasi sirep itu. Karena itu jangan berlagak di hadapanku."
Kedua orang itu termangu-mangu. Orang-orang lain yang berada di kedai itu hanya memutar tubuh mereka tanpa menghiraukan apa yang bakal terjadi. Namun justru seorang petugas yang bertubuh raksasa, yang biasanya hanya mengawasi saja, telah mendekati perempuan itu sambil berkata, "Sudahlah."
Tetapi perempuan itu justru berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan lantang ia berkata, "Sejak kapan kau ikut campur dalam persoalan kami" Biarlah kami menyelesaikan urusan kami sendiri."
"Satu perubahan sikap telah terjadi pada para petugas," berkata orang bertubuh raksasa itu, "meskipun hanya untuk sementara. Setidak-tidaknya untuk musim perjudian kali ini."
"Kenapa?" bertanya perempuan itu, "sebaiknya kalian tetap pada sikap kalian."
"Tanpa orang itu, kau sudah menjadi debu," berkata penjaga yang bertubuh raksasa itu, "beberapa orang kawanku terbunuh dan beberapa orang pengunjung yang memiliki kemampuan mengatasi ilmu sirep telah terluka. Di antara mereka yang berjuang untuk mengusir perampok itu adalah Kiai Windu. Coba katakan, apa kerjamu semalam" Nah, kau sekarang tahu kenapa aku dan para petugas yang lain mulai berpihak. Tetapi yang aku lakukan juga bagi kebaikanmu, karena jika Kiai Windu marah, kau akan menjadi sasaran yang lunak. Kau tidak melihat bagaimana ia menghancurkan lawan-lawannya semalam."
Perempuan itu termangu-mangu. Wajah menjadi merah. Sementara itu beberapa orang penjaga yang lain, yang ada pada umumnya bertubuh raksasa telah mendekati mereka.
Namun kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun, perempuan itu berlari meninggalkan kedai itu. Sementara kawannya laki-laki telah bergeser pula sambil berkata, "Kau belum tahu siapakah perempuan itu sebenarnya. Ia adalah Rukmi yang disebut pula Burung Sikatan Putih."
"Disini ada seonggok burung," kawan Kiai Windu yang menjawab, "ada juga sebangsa Sikatan. Bahkan tidak putih."
"Kau menghina kami," geram laki-laki itu.
"Tidak. Justru aku mendengar nama Sikatan Putih, maka aku tahu bahwa orang itu adalah sahabat dari orang-orang dalam gerombolan Macan Ireng," jawab kawan Kiai Windu, "nama-nama yang sama sekali tidak menggetarkan selembar bulu kulitku."
Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah pergi sambil mengumpat. Ternyata nama Sikatan Putih tidak dapat menakut-nakuti kawan Kiai Windu itu. Bahkan kawan Kiai Windu itupun kemudian berkata, "jadi itulah orang yang disebut Sikatan Putih. Aku pernah melihat perempuan itu disini, dan akupun pernah mendengar nama Sikatan Putih. Tetapi baru sekarang aku tahu bahwa perempuan itulah yang disebut Sikatan Putih namun yang nampaknya hatinya tidak putih. Bahkan ia lebih baik dipanggil dengan namanya saja. Rukmi."
"Jadi Sikatan Putih itu termasuk dalam golongan kelompok Macan Ireng?" bertanya seorang penjaga.
Kawan Kiai Windu itu tertawa sambil berkata, "Entahlah. Aku tidak tahu."
"Tetapi tadi kau mengatakan, bahwa Sikatan Putih itu termasuk dalam gerombolan Macan Ireng," desak pengawal itu.
"Aku asal saja berkata. Disini ada gerombolan Macan Ireng. Karena itu, aku berkata apa saja untuk menyebut gerombolan itu," jawab kawan Kiai Windu sambil tertawa.
"Kau memang menghinanya. Laki-laki itu tentu akan bertanya kepada Sikatan Putih, apakah benar ia termasuk dalam gerombolan Macan Ireng," desis petugas yang bertubuh raksasa itu.
Kawan Kiai Windu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Mereka akan bertengkar. Aku tidak peduli."
"Gila," petugas bertubuh raksasa itupun kemudian sambil tersenyum meninggalkan kawan Kiai Windu yang masih tertawa. Sementara itu Kiai Windu berkata, "Kau memang mencari perkara."
Kawannya tidak menjawab. Namun orang-orang yang semula tidak menghiraukannya itupun tersenyum-senyum pula.
Demikianlah, maka Kiai Windu dan kawannya telah meninggalkan kedai kecil itu menuju ke kegelapan. Namun masih juga terdengar suara tertawa kawan Kiai Windu tertahan-tahan.
"Sudahlah," berkata Kiai Windu, "sekarang kita pergi ke kandang kuda. Kita akan melihat kuda-kuda kita serta kemungkinan untuk biasa berhubungan dengan kawan-kawan kita di luar."
"Apakah mereka ada disini?" bertanya kawan Kiai Windu.
"Aku tidak tahu. Tetapi jika mereka mengetahui bahwa semalam terjadi perampokan disini, mungkin mereka berusaha untuk berhubungan dengan kita," berkata Kiai Windu.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Apa rencana kita kemudian?"
"Menurut pendapatku, rencana kita tidak akan berubah," sahut Kiai Windu. Kawannya tidak bertanya lagi. Keduanyapun kemudian menuju ke pintu gerbang. Dua orang penjaga yang bertubuh raksasa telah menghentikannya.
Namun dengan cara sebagaimana pernah mereka lakukan, apalagi pengaruh sikap Kiai Windu pada saat tempat itu diserang oleh para penjahat, maka Kiai Windu dan kawannya tidak mengalami kesulitan untuk keluar dari lapisan dinding terakhir, menuju ke kandang kuda.
Kiai Windu memang menarik kudanya keluar dari kandang. Terdengar suara meringkik. Namun kudanya segera menjadi tenang ketika Kiai Windu mengusap lehernya dengan lembut. Namun suara ringkik kuda itu telah memberikan keyakinan kepada para petugas bahwa Kiai Windu benar-benar telah melihat kudanya itu.
Namun dalam pada itu, telah terdengar isyarat dari mulut Kiai Windu. Ia berharap bahwa di luar, kawan-kawannya benar-benar menunggunya.
Ternyata bahwa perhitungan Kiai Windu memang tepat. Di luar, empat orang memang sedang menunggu. Demikian mereka mendengar isyarat dari dalam, maka keempat orang itupun segera mendekati dinding pada lapisan luar.
Dengan mengucapkan beberapa kata sandi, maka kedua belah pihak yakin bahwa mereka telah berhubungan dengan orang yang benar.
Karena itu, maka Kiai Windupun kemudian telah melekat dinding sambil bertanya, "Apakah kalian membawa berita buat kami?"
Yang terdengar-suara di luar, "Kami justru ingin mendapat keterangan, apa yang terjadi di dalam. Kami melihat sesuatu itu terjadi. Tetapi kami memerlukan penjelasan."
Dengan singkat Kiai Windupun menjelaskan apa yang terjadi di dalam. Namun ia tidak lupa mengatakan pula, "Ada dua orang yang berilmu sangat tinggi di lingkungan ini yang menyebut dirinya bernama Wanengbaya dan Wanengpati. Tetapi keduanya mempunyai sifat dan watak yang khusus. Tidak sebagaimana umumnya orang-orang yang berada di lingkungan ini. Perhatiannya lebih banyak tertuju kepada anak-anak muda yang ada di dalam lingkungan perjudian ini."
"Bagaimana menurut pertimbanganmu atas rencana kita dalam keseluruhan?" bertanya orang yang di luar.
"Menurut pendapatku, rencana itu akan berjalan terus," jawab Kiai Windu. Lalu, "waktunya dapat disegerakan tanpa menunggu lebih lama lagi. Orang bongkok itu telah memberikan beberapa keterangan lagi."
"Bagaimana pendapatmu tentang dua orang tua yang berada di luar tempat ini namun yang agaknya memang menaruh perhatian pula pada tempat ini," bertanya yang di luar.
"Perhatikan mereka. Selama mereka tidak mengganggu gerakan kalian, maka kalian tidak perlu terlalu banyak menanggapi tingkah mereka," jawab Kiai Windu.
"Merekapun berilmu tinggi," jawab orang yang di luar.
"Biarlah mereka yang di luar mengatur segala-galanya. Penglihatan kami sangat terbatas disini," jawab Kiai Windu.
Sesaat keduanya terdiam. Namun kemudian terdengar jawaban dari luar.
"Baiklah. Besok kami akan datang lagi. Kami akan memberikan keterangan terakhir sehingga kalian dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai Windu termenung sejenak. Lalu katanya, "Aku harus membuat pertimbangan. Jika aku terlalu sering datang ke kandang kuda ini, mungkin aku akan dicurigai. Tetapi besok datanglah. Aku berusaha untuk berada di tempat ini pada waktu seperti ini." Kiai Windu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi ingat. Ada dua orang yang berilmu sangat tinggi. Tidak ada seorangpun yang dapat mengatasinya. Selain orang itu, disini ada gerombolan Macan Ireng, Sikatan Putih, dan yang harus mendapat perhatian lebih adalah Orang Hutan berkepala Besi atau yang lebih banyak dikenal dengan sebutan Kepala Besi dari pesisir Utara. Kehadirannya agaknya ada hubungan dengan mendung yang sedang menyelimuti Pajang sekarang ini."
"Baiklah. Semuanya akan kami laporkan," berkata orang yang di luar, "gambaran ini akan menentukan sikap kita selanjutnya."
"Aku kira pembicaraan ini sudah cukup sekarang," berkata Kiai Windu.
"Kami minta diri," desis yang di luar.
Sejenak kemudian keadaan menjadi sepi. Kiai Windu masih saja menepuk leher kudanya dengan lembut, sementara kawannya mengawasi keadaan.
"Ada orang datang kemari," desis kawannya.
"Biar sajalah. Untunglah pembicaraan sudah selesai," sahut Kiai Windu.
Ternyata yang datang adalah dua orang petugas yang meronda berkeliling lingkungan perjudian itu di antara dua lapis dindingnya. Mereka mengitari lingkungan itu meskipun terasa juga jantungnya berdegup lebih keras jika mereka sampai ke tempat kawan-kawannya dikuburkan.
Kedua orang itu memang memperhatikan Kiai Windu dan kawannya yang sibuk dengan kuda mereka. Dengan nada rendah seorang di antaranya berkata, "Kenapa dengan kuda itu?"
"Sudah sejak kemarin aku tidak melihatnya," berkata Kiai Windu, "mudah-mudahan kuda ini tidak melupakan aku."
"Kudamu dipelihara dengan baik," berkata petugas itu.
"Aku tahu, tetapi justru karena itu, maka kuda ini akan lebih dekat dengan orang yang memeliharanya daripada aku," sahut Kiai Windu.
Orang itu tertawa. Katanya, "Seharusnya kau berterima kasih."
Tetapi keduanya tidak menunggu jawaban Kiai Windu. Keduanyapun kemudian telah melanjutkan langkah mereka meronda di seputar lingkungan Song Lawa.
Demikianlah, maka Kiai Windupun telah mengembalikan kudanya ke kandang. Beberapa ekor kuda telah meringkik. Namun kemudian mereka telah menjadi tenang kembali.
Sejenak kemudian, Kiai Windu dan kawannyapun telah kembali ke regol. Mereka dengan tanpa dicurigai telah memasuki kembali halaman dalam lingkungan Song Lawa itu dan langsung menuju ke barak permainan dadu.
Ternyata di barak itu permainan masih berlangsung dengan ramainya. Ketika Kiai Windu menemukan kedua orang kawannya, maka seorang di antaranya dengan gembira berdesis, "Aku masih menang sampai saat ini meskipun tidak banyak."
Malaikat Bukit Pasir 1 Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong Cinta Tak Semudah Kata 3