Api Di Bukit Menoreh 15
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15
Karena itulah agaknya keadaan Agung Sedayu nampak lebih baik, meski-pun Sekar Mirah tidak yakin bahwa luka Rara Wulan lebih parah dari luka Agung Sedayu.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih yang melihat keadaan Agung Sedayu sudah menjadi lebih baik, telah minta diri untuk kembali melihat keadaan Rara Wulan.
"Bagaimana keadaannya ?" bertanya Agung Sedayu.
"Keadaannya sudah mulai membaik kakang. Tetapi agaknya keadaannya berbeda dengan keadaan kakang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Meski-pun berbeda, tetapi bukankah Rara Wulan sudah menjadi lebih baik " Yang penting bahwa luka itu tidak membahayakan jiwanya."
"Ya, kakang," jawab Glagah Putih.
"Jika demikian, pergilah. Hati-hati diperjalanan," pesan Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Glagah Putih-pun meninggalkan rumah Agung Sedayu untuk kembali ke rumah Ki Gede Menoreh. Di regol ia bertemu dengan Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa. Glagah Putih berhenti untuk berbincang sebentar. Namun kemudian ia-pun segera pergi untuk melihat keadaan Rara Wulan.
Jalan-jalan padukuhan induk itu memang menjadi semakin sepi. Tetapi sekali-sekali sekelompok pengawal bersenjata lewat untuk meronda dan mengamati keadaan.
Tetapi agaknya keadaan telah menjadi tenang. Tidak ada lagi gejolak yang tiba-tiba muncul. Apalagi di beberapa simpang tiga dan simpang empat masih nampak para pengawal berjaga-jaga.
Ketika Glagah Putih kemudian sampai ke rumah Ki Gede, maka Ki Gede sedang berada di pendapa bersama beberapa orang perempuan yang masih mengungsi di rumah Ki Gede. Mereka masih belum berani pulang ke rumah mereka. Apalagi mereka yang suaminya ikut dalam pertempuran.
Namun Ki Gede selalu membesarkan hati mereka. Menghibur mereka dan menenggelamkan diri dalam suasana perasaan para pengungsi itu.
Tetapi sebenarnyalah Ki Gede mengetahui, bahwa esok pagi, setelah diketahui dengan pasti, beberapa orang korban yang gugur, maka Tanah Perdikan tentu akan diliputi oleh suasana berkabung.
Seperti yang pernah terjadi, jika Tanah Perdikan dilanda oleh perang, maka selain darah, air mata-pun akan menitik membasahi bumi Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Gede yang duduk di pendapa melihat anak-anak yang sudah mulai berbaring diatas tikar yang digelar, telah mempersilahkan Glagah Putih untuk masuk dan langsung pergi ke serambi.
Rara Wulan yang masih berbaring di pembaringannya, berusaha untuk bangkit ketika ia mengetahui bahwa Glagah Putih telah datang. Namun seorang perempuan yang menungguinya telah menahannya sambil berdesis, "Jangan bangkit dahulu ngger. Bukankah tabib itu berpesan, bahwa sampai besok pagi-pagi angger diminta untuk tetap berbaring."
"Tetapi aku sudah tidak merasa sakit lagi bibi," jawab Rara Wulan.
"Tetapi darah angger akan dapat mengalir lagi," jawab perempuan itu.
Sementara itu Glagah Putih yang telah berdiri di sebelah pembaringan itu-pun berjongkok sambil berkata, "Wulan. Kau masih harus beristirahat sepenuhnya. Kau masih belum boleh banyak bergerak. Jika kau langgar pesan tabib itu, maka keadaanmu tidak akan menjadi semakin baik."
"Tetapi rasa-rasanya aku sudah tidak sakit lagi, kakang."
"Tetapi lukamu tentu masih terasa pedih," berkata Glagah Putih.
Rara Wulan tidak menjawab lagi. Tetapi lukanya memang masih terasa pedih.
Perempuan yang menungguinya itu-pun kemudian beringsut setapak. Namun perempuan itu-pun bertanya, "Apakah angger akan minum atau makan ?"
"Terimakasih bibi. Aku masih belum lapar," jawab Rara Wulan.
Perempuan itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia justru minta ijin untuk pergi ke pakiwan sebentar.
Glagah Putihlah yang kemudian menunggui Rara Wulan yang sedang terluka itu. Tidak banyak yang mereka ucapkan lewat kata-kata. Tidak terdengar ucapan-ucapan yang melambung tinggi sejauh mimpi anak-anak muda. Namun perasaan merekalah yag paling menangkap getar yang memancar dari gelora dada masing-masing.
Glagah Putih sama sekali tidak merasa bahwa waktu merayap terus. Bahkan rasa-rasanya berlalu terlalu cepat. Baru beberapa patah kata saja rasa-rasanya yang mereka ucapkan. Tidak lebih dari beberapa pertanyan tentang keadaan masing-masing serta keadaan hubungan mereka. Sedikit tentang langit yang tidak dilapisi mendung serta bintang-bintang yang nampak bergayutan. Selebihnya mereka lebih banyak diam.
Glagah Putih terkejut mendengar kentongan yang berbunyi dalam irama Dara Muluk. Sambil mengerutkan keningnya Glagah Putih berdesis, "Begitu cepatnya waktu berlalu."
Rara Wulan-pun berdesis pula, "Tengah malam."
"Ya," jawab Glagah Putih.
Rara Wulan tidak menyahut. Sementara itu Glagah Putih berkata lagi, "Dimana perempuan yang menungguimu ?"
"Biar saja ia beristirahat. Mungkin perempuan itu juga merasa letih duduk disini sehari-hari," jawab Rara Wulan.
"Tetapi ini sudah tengah malam. Aku akan berada diluar bilik di serambi ini," berkata Glagah Putih.
"Apakah kau akan kembali ke rumah kakang Agung Sedayu ?" Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku akan tetap disini. Aku akan berada di pendapa."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, "Diluar ada dua atau tiga orang prajurit yang berjaga-jaga."
Glagah Putih memandang kepintu sejenak. Tetapi telinganya yang tajam memang mendengar suara di luar pintu. Karena itu ia berkata, "Sokurlah. Bagaimana-pun juga kita harus berhati-hati."
Demikianlah, maka Glagah Putih-pun telah meninggalkan bilik di serambi itu. Ketika ia keluar dari pintu, maka dilihatnya perempuan yang menunggu Rara Wulan itu duduk di amben bambu panjang sambil bersandar dinding. Nampaknya ia-pun merasa sangat letih, sehingga perempuan itu tertidur sambil duduk.
Glagah Putih yang lewat itu-pun sempat berdesis, "Bibi aku akan berada di pendapa."
Perempuan itu tergagap. Sambil mengusap wajahnya ia berkata, "Aku tertidur ngger."
"Bibi sangat letih," berkata Glagah Putih.
"Tidak. Aku tidak letih. Aku hanya mengantuk saja," jawab perempuan itu. Namun ia-pun kemudian bertanya, "Kenapa angger tinggalkan angger Rara Wulan sendiri ?"
"Aku persilahkan bibi menungguinya. Aku akan ke pendapa," jawab Glagah Putih.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa GIgah Putih tentu merasa segan untuk berada di bilik itu hanya dengan Rara Wulan saja.
Ketika Glagah Putih berada di pendapa, maka ternyata Ki Gede-pun masih duduk di pendapa. Perempuan dan anak-anak tertidur di tikar pandan yang dibentangkan di seluas pendapa itu. Di serambi gandok yang terbuka beberapa orang laki-laki tua duduk sambil berbincang. Namun ada diantara mereka yang telah tertidur pula dengan nyenyaknya berselimut kain panjang, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di padukuhan induk di Tanah Perdikan.
Dalam pada itu, selain di rumah Ki Gede, maka di banjar-pun tentu juga dipenuhi oleh para pengungsi. Perempuan, anak-anak dan laki-laki tua yang sudah tidak dapat banyak berbuat karena tenaga wadag-nya yang telah jauh susut.
Glagah Putih-pun kemudian telah duduk di dekat Ki Gede. Ki Gede ingin mendengar apa yang telah terjadi di rumah Agung Sedayu, yang menjadi sasaran orang-orang yang berilmu tinggi yang berada di padepokan.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar tentang beberapa orang yang terluka. Bahkan termasuk Agung Sedayu sendiri.
"Bukankah mereka sudah mendapatkan pengobatan yang baik ?" bertanya Ki Gede.
"Ya, Ki Gede," jawab Glagah Putih, "kakang Agung Sedayu sendiri yang mengatur pengobatan dan dilakukan oleh Ki Ajar Gurawa, Ki Lurah Branjangan dan Sabungsari."
"Bagaimana dengan angger Sekar Mirah " Bukankah angger Sekar Mirah juga terluka ?" bertanya Ki Gede.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Agaknya luka itu akan diobati pula oleh Ki Ajar Gurawa atau Ki Lurah Branjangan, Ki Gede."
Ki Gede mengangguk-angguk pula. Katanya, "Jika angger Sekar Mirah lupa akan lukanya sendiri meski-pun hanya segores kecil, namun luka itu akan dapat berbahaya. Apalagi jika senjata lawannya berkarat atau beracun,"
"Kakang Agung Sedayu akan dapat mengenali jenis luka-luka itu Ki Gede," desis Glagah Putih.
"Tetapi bukankah angger Agung Sedayu sendiri terluka cukup parah ?" bertanya Ki Gede.
"Ya, Ki Gede. Tetapi setelah mendapatkan pengobatan serta melakukan samadi, maka kakang Agung Sedyu sudah menjadi sedikit baik. Kakang Agung Sedayu sudah dapat duduk tanpa terjadi pendarahan lagi meski-pun masih belum dapat bergerak lebih banyak."
"Angger Agung Sedayu memang seorang yang jarang ada duanya," desis Ki Gede.
Sementara itu beberapa orang yang membawa obor telah memasuki halaman rumah Ki Gede. Ternyata Prastawa telah pulang bersama sekelompok pengawal serta membawa beberapa orang tawanan yang berhasil ditangkap di perkemahan.
Dengan demikian maka Ki Gede-pun menjadi sibuk menerima kedatangan mereka. Bahkan Glagah Putihpam telah ikut membantunya pula.
Tetapi di pendapa, serambi gandok bahkan di serambi rumah Ki Gede, sudah tidak ada tempat lagi bagi beberapa orang tawanan. Karena iru, maka mereka terpaksa ditempatkan dibawah sebatang pohon kemiri di halaman rumah Ki Gede itu.
"Bukan maksud kami berbuat sewenang-wenang atas kalian, siapa-pun kalian. Tetapi memang sudah tidak ada tempat lagi bagi kalian. Di pendapa itu perempuan dan anak-anak yang sedang mengungsi. Sedangkan di serambi penuh dengan orang yang terluka. Mereka yang gugur terpaksa ditempatkan di banjar. Semuanya itu terjadi karena tingkah kalian semuanya," berkata Prastawa.
"Bukan kami," jawab seorang yang berjanggut lebat.
"Siapa " Resi Belahan " Ki Tempuyung Putih atau siapa " Tetapi bukankah kalian pengikut-pengikut mereka ?"
"Kami hanya melakukan perintah mereka," jawab orang berjanggut lebat. Lalu katanya, "merekalah yang bertanggung jawab."
"Bahwa kalian bersedia melakukan perintah mereka itu-pun menuntut satu pertanggungan jawab," sahut Prastawa.
Orang-orang itu terdiam. Mereka memang tidak dapat ingkar, apa-pun yang mereka lakukan didalam lingkungan pasukan yang dipimpin oleh Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih memang menuntut satu pertanggungan jawab. Karena berada didalam pasukan itu sudah merupakan satu pilihan.
Malam itu, Tanah Perdikan bagaikan tidak tidur sama sekali. Para pengawal yang meronda tidak saja melintasi jalan-jalan, tetapi juga halaman-halaman rumah. Para pengawal itu masih memperhitungkan kemungkinan bahwa mungkin sekali ada lawan yang bersembunyi dan tertinggal sehingga mereka akan dapat melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya. Tetapi mungkin juga masih ada kawan atau lawan yang terluka berat sehingga tidak dapat beringsut dari tempatnya atau bahkan mereka yang gugur.
Ketika kemudian fajar menyingsing, maka Prastawa minta para pemimpin kelompok pengawal untuk memberikan nama-nama dari pengawal, anak-anak muda dan laki-laki yang ikut dalam pertempuran, yang gugur, terluka atau belum diketemukan. Para pemimpin kelompok itu mendapat waktu sampai menjelang tengah hari.
Sementara itu, ternyata keadaan Rara Wulan sudah berangsur baik. Meski-pun ternyata hampir semalam ia tidak tidur. Ketika Glagah Putih meninggalkan biliknya, maka lukanya seakan-akan terasa semakin nyeri. Beberapa kali Rara Wulan berdesah menahan sakit, sehingga perempuan yang menungguinya duduk dekat-dekat pembaringannya. Perlahan-lahan diusapnya telapak tangan Rara Wulan. Dihiburnya Rara Wulan dengan kata-kata lembut.
Menjelang fajar, tabib yang mengobatinya telah datang melihat keadaan lukanya. Kemudian ditaburinya luka itu dengan obat yang baru.
Perasaan sakit yang menggigit di luka Rara Wulan-pun menjadi berkurang. Meski-pun demikian tangan kiri Rara Wulan rasa-rasanya masih sakit bila digerakkannya, meski-pun hanya ujung jarinya.
Ketika tabib itu meninggalkan bilik Rara Wulan, barulah Glagah Putih memasuki bilik itu. Sementara itu langit menjadi terang.
Demikian Glagah Putih ada didalam bilik itu, maka perasaan sakit dan nyeri pada luka Rara Wulan seakan-akan menjadi semakin susut.
Dalam pada itu, di rumahnya Agung Sedayu-pun telah menjadi semakin baik. Seperti Agung Sedayu, maka menjelang fajar Ki Jayaraga yang mengalami luka dalam yang cukup parah telah dapat bangkit dan duduk meski-pun masih harus dibantu oleh Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan. Keadaan Ki Jayaraga telah memungkinkan untuk memusatkan nalar budi, mangatur pernafasannya.
Karena itu, maka Ki Jayaraga-pun kemudian telah duduk bersila. Kedua tangannya telah diletakannya di pangkuannya. Kepalanya tertunduk dengan mata terpejam, Ki Jayaraga berusaha menguasai dan mengenali keadaan segenap simpul syaraf dan urat nadinya.
Namun dalam pada itu, Wacana masih harus berbaring dengan lemahnya. Pengobatan yang diberikan memang sudah terasa pengaruhnya. Namun masih saja merasa bahwa tubuhnya terlalu lemah.
Titik air terasa sangat sulit ditelannya.
Ketika hal itu diberitahukan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu memang menjadi sangat prihatin. Meski-pun keadaannya sendiri masih belum terlalu baik, namun dibantu oleh Sabungsari, Agung Sedayu telah berjalan perlahan-lahan ketempat Wacana berbaring.
Bagaimana-pun juga, namun kemampuan pengobatan Agung Sedayu masih terbatas. Karena itu, maka apa yang dapat dilakukannya masih belum memuaskannya sendiri.
Karena itu, maka Agung Sedayu masih harus minta pertimbangan Ki Ajar Gurawa, Ki Lurah Branjangan dan bahkan Ki Jayaraga setelah Ki Jayaraga sendiri keadaannya menjadi semakin baik.
Tetapi sejauh mereka lakukan, namun keadaan Wacana masih belum memberikan pertanda yang cerah.
Meski-pun demikian Agung Sedayu tidak berputus asa. Sambil memohon kepada Yang Maha Agung mereka masih akan berusaha untuk meringankan beban Wacana.
Sementara itu kedua murid Ki Ajar Gurawa justru sudah menjadi semakin baik. Seorang diantara mereka sudah dapat pergi ke pakiwan sendiri meski-pun masih belum dapat menimba air. Kepada Mandira yang hanya tergores pahanya, murid Ki Ajar Gurawa itu berkata, "Apakah kau sudah mandi ?"
"Sudah," jawab Mandira, "Kenapa ?"
"Kau sisakan air di jambangan ?" bertanya orang itu pula.
"Apakah air itu boleh aku pakai " Aku sendiri belum dapat menimba sendiri," desis murid Ki Ajar Gurawa itu selanjutnya.
Mandira tertawa. Katanya, "Kenapa kau tidak mengatakan saja, agar aku menimba air bagimu ?"
Murid Ki Ajar itu-pun tertawa. Katanya, "Aku takut kau tersinggung."
"Kenapa tersinggung," bertanya Mandira, "aku mengerti bahwa kau terluka cukup parah, sehingga kau tidak dapat menimba air itu sendiri."
"Terima kasih atas pengertianmu itu," desis murid Ki Ajar.
"Dan atas air itu ?" bertanya Mandira.
"Terima kasih sekali," jawab murid Ki Ajar.
Mandira tertawa berkepanjangan, sementara murid Ki Ajar itu berkata, "Bukankah sudah cukup " Dua kali aku mengucapkan terima kasih. Satu untuk pengertianmu dan dua untuk airmu."
"Sudah, sudah cukup," jawab Mandira yang masih saja tertawa, "Akulah yang kemudian harus mengucapkan terima kasih."
Murid Ki Ajar itu masih akan menjawab, namun Mandira sudah melangkah sambil berkata, "Aku akan ke pakiwan untuk mengisi jambangan. Nah, bukankah begitu ?"
Murid Ki Ajar tidak menjawab. Tetapi ia masih juga tertawa.
Demikianlah, maka hari itu, kesibukan di padukuhan induk Tanah Perdikan itu justru menjadi semakin meningkat. Para tabib sibuk mengobati orang-orang yang terluka. Sementara itu persiapan pemakaman mereka yang gugur-pun telah dilakukan. Beberapa orang tengah menggali lubang di kuburan. Sementara itu di lereng bukit, di dekat kuburan tua yang sudah tidak dipergunakan lagi meski-pun setiap kali masih sering dibersihkan, telah disiapkan pula kuburan bagi para penyerang yang terbunuh di pertempuran.
Bagaimana-pun juga, orang-orang Tanah Perdikan tidak memperlakukan sosok-sosok tubuh itu dengan semena-mena.
Sementara itu, maka perempuan dan anak-anak serta laki-laki tua yang mengungsi di rumah Ki Gede dan di banjar-pun telah berangsur mneninggalkan tempat pengungsian. Para pengawal, anak-anak muda dan para bebahu Tanah Perdikan telah membantu para pengungsi itu. Sedangkan para keluarga mereka yang ikut mempertahankan Tanah Perdikan masih terikat dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing, sehingga dapat diketahui dengan pasti, berapa korban yang gugur, berapa yang terluka berat dan terluka ringan.
Kesibukan yang lain juga terjadi di bekas perkemahan para pengikut Resi Belahan. Para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ikut bertugas ditempai itu telah mengumpulkan barang-barang berharga yang ternyata banyak terdapat di perkemahan itu. Agaknya Resi Belahan benar-benar telah mempersiapkan perkemahannya untuk jangka panjang. Bersama beberapa orang Resi Belahan telah mempersiapkan sebuah landasan untuk meloncat ke Mataram di Tanah Perdikan itu.
Dalam kesibukan itu, Ki Gede telah mengirimkan utusan ke beberapa Kademangan tetangga Tanah Perdikan Menoreh. Terutama beberapa Kademangan yang telah tersentuh oleh kegiatan orang-orang yang berada di perkemahan itu, bahkan yang telah dengan terpaksa menyerahkan korban keganasan beberapa orang diantara para pengikut Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih.
Kesibukan juga nampak di beberpa padukuhan yang lain. Beberapa padukuhan kecil yang juga menjadi sasaran semua serangan para pengikut Resi Belahan. Betapa-pun kecilnya kekuatan yang menyerang padukuhan-padukuhan kecil itu, namun korban dari kedua belah pihak-pun telah jatuh.
Di rumah Agung Sedayu, secara khusus tubuh Bajang Bertangan Baja mendapat kehormatan sebagaimana para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang gugur. Meski-pun Bajang Bertangan Baja yang juga disebut Bajang Bertangan Embun pernah melakukan perbuatan yang tidak terpuji, namun di bagian terakhir dari hidupnya, Bajang Bertangan Baja telah bertempur di Pihak Tanah Perdikan Menoreh. Meski-pun Agung Sedayu dan beberapa orang di rumah itu mengetahui, bahwa kesediaan Bajang Bertangan Baja itu bertempur bersama-sama orang-orang Tanah Perdikan Menoreh lebih banyak diwarnai oleh dendam di hatinya terhadap Ki Tempuyung Putih serta orang-orang perkemahan yang telah menyiksanya, sehingga hampir saja ia akan menjadi korban bagi Resi Belahan yang merasa kehilangan Ki Manuhara. Bukan saja orangnya, tetapi juga arah perjuangannya. Bajang Bertangan Baja adalah orang yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan dan bahkan jalan sesat yang ditempuh oleh Ki Manuhara itu.
Kesibukan yang lain adalah kesibukan beberapa orang yang mempersiapkan makan dan minum bagi orang-orang Tanah Perdikan yang sedang melakukan tugasnya. Bahkan para pengungsi-pun masih disediakan makan dan minum, karena diperhitungkan bahwa mereka masih belum sempat melakukannya sendiri di rumah, karena mereka baru saja kembali dari pengungsian.
Lewat tengah hari, maka para pemimpin kelompok pengawal telah berkumpul di padukuhan induk. Mereka telah siap memberikan laporan tentang para pengawal, anak-anak muda dan bahkan orang-orang yang lebih tua namun yang masih merasa mampu turun ke medan perang.
Prastawa yang ada di pendapa ramah Ki Gede menjadi berdebar-debar. Nama itu akan membuat seisi Tanah Perdikan berkabung. Sebagaimana sering terjadi dalam kerusuhan-kerusuhan yang memungut korban, maka bumi Tanah Perdikan yang telah basah oleh darah itu, akan dibasahi lagi oleh air mata.
Di rumah Agung Sedayu, mereka yang terluka telah menjadi lebih baik. Bahkan Rumeksa-pun telah nampak semakin segar. Hanya Wacana sajalah yang ternyata masih dalam keadaan yang mencemaskan. Meski-pun Wacana telah dapat berbicara, dengan lebih lancar, namun tubuhnya masih terlalu lemah.
Untuk mendapatkan hasil terbaik, maka Agung Sedayu telah minta tabib yang dianggap terbaik di Tanah Perdikan itu untuk datang melihat keadaan Wacana. Namun tabib itu tidak dapat berbual lebih baik dari apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu.
"Angger memiliki kemampuan pengobatan yang tinggi," berkata tabib itu.
"Aku baru belajar," jawab Agung Sedayu, "aku mendapat pengetahuan ini dari guruku dan bahkan dari Bajang Bertangan Baja."
Tetapi tabib itu menyahut, "Ketika Angger Agung Sedayu baru belajar, kemampuan angger sudah sedemikian tinggi dalam bidang pengobatan. Apalagi jika pada saatnya angger sudah merasa tuntas, maka angger akan menjadi seorang tabib yang pinunjul."
"Kau selalu memuji," desis Agung Sedayu.
"Tidak. Aku tidak sekedar memuji. Apa yang angger lakukan selagi angger sendiri dalam keadaan seperti itu, menunjukkan betapa angger memiliki pengetahuan yang luas tentang pengobatan. Karena itu, maka aku sudah tidak dapat berbuat lebih baik dari yang angger lakukan," berkata tabib itu.
Namun Agung Sedayu menjawab, "Bukan aku yang melakukannya. Tetapi Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan."
"Ya, ya. Aku mengerti. Tetapi semuanya itu berdasarkan atas petunjuk angger Agung Sedayu," jawab tabib itu.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa lukanya menjadi agak nyeri. Namun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan sakitnya itu.
Tabib itu-pun kemudian meninggalkan rumah Agung Sedayu. Yang dapat dilakukan hanyalah sekedar melengkapi obat-obatan yang sudah ada di rumah itu.
Sebenarnyalah sebagaimana sudah diperhitungkan oleh para pemimpin di Tanah Perdikan itu, bahwa ketika nama-nama korban yang gugur di pertempuran sudah mendekati kepastian, serta kemudian diumumkan, suasana berkabung telah mencekam Tanah Perdikan itu. Terdengar suara tangis dimana-mana. Bukan saja dipadukuhan induk. Tetapi di padukuhan-padukuhan yang sempat menjadi ajang pertempuran, beberapa orang perempuan harus menangis karena kehilangan suami atau anaknya atau keluarganya yang lain. Bahkan di padukuhan induk dari padukuhan-padukuhan yang lain telah menyerahkan beberapa orang korbannya pula.
Setiap kali hal itu terjadi, maka Ki Gede selalu merasa betapa kecil kuasanya. Ia mampu memerintah Tanah Perdikan itu dengan baik. Ia termasuk seorang yang dihormati dan disegani. Wibawanya diakui oleh seisi Tanah Perdikan, bahkan oleh Kademangan-kademangan di sekitarnya. Namun ternyata Ki Gede tidak mampu membuat Tanah Perdikan menjadi satu lingkungan yang tenang dan damai, tanpa permusuhan dan bahkan kekerasan.
Dalam keadaan yang demikian, Ki Gede hanya mampu menengadahkan hatinya kepada Yang Maha Agung yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya.
Hari itu iring-iringan tubuh mereka yang telah gugur telah dibawa kemakam yang khusus bagi mereka yang telah mengorbankan jiwanya bagi Tanah Kelahiran.
Namun dalam pada itu, di arah yang lain, juga terdapat iring-iringan korban dari para pengikut Resi Belahan. Mereka telah dibawa kekuburan tua di lereng bukit.
Ketika kemudian senja turun, maka Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin sepi. Semua pintu tertutup sejak lampu dinyalakan. Seisi rumah berkumpul di ruang dalam. Keluarga yang tidak kehilangan keluarganya memang dapat menikmati kegembiraan. Tetapi mereka harus mengingat pula tetangga-tetangga mereka yang berkabung. Apalagi seisi padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya masih mempunyai sangkut paut dan hubungan darah meski-pun sudah agak jauh. Sehingga hampir setiap orang ikut kehilangan.
Meski-pun Tanah Perdikan menjadi lengang, namun para pengawal tidak kehilangan kewaspadaan mereka. Ditempat-tempat tertentu masih terdapat kelompok-kelompok pengawal yang berjaga-jaga. Bukan hanya dipadukuhan induk. Tetapi di setiap padukuhan.
Bahkan di bekas perkemahan itu-pun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di perkemahan itu, tetap berhati-hati. Mungkin saja sisa-sisa pengikut Resi Belahan sempat menyusun kekuatan untuk mengambil benda-benda berharga yang tertinggal di perkemahan itu.
Sementara itu Rara Wulan masih berada di rumah Ki Gede Menoreh. Namun ketika senja turun Glagah Putih yang menungguinya minta diri untuk melihat keadaan Agung Sedayu serta orang-orang lain yang terluka di rumah itu. Termasuk gurunya. Ki Jayaraga.
"Apakah kau nanti akan kembali kemari ?" bertanya Rara Wulan.
"Aku akan kemari Wulan. Tetapi aku tidak akan berada didalam bilikmu. Aku akan berada diantara para pengawal. Hanya jika kau perlu, kau dapat memanggilku lewat bibi yang menjagamu," jawab Glagah Putih.
Rara Wulan mengangguk kecil. Ia mengerti, bahwa Glagah Putih memang tidak sebaiknya berada didalam biliknya. Sementara itu, yang menungguinya kemudian adalah seorang perempuan yang lebih muda dari perempuan yang menungguinya sebelumnya.
"Tengah malam aku sudah berada di halaman depan," berkata Glagah Putih kemudian.
Demikianlah, maka Glagah Putih-pun telah meninggalkan rumah Ki Gede. Ketika ia turun ke jalan terasa betapa padukuhan induk itu menjadi sepi dan lengang. Ketika Glagah Putih melangkah menyusuri jalan induk, rasa-rasanya ia berjalan di sebuah padukuhan yang kosong meski-pun ia melihat lampu-lampu menyala di serambi-serambi rumah. Namun semua pintu sudah tertutup rapat-rapat
Di gardu Glagah Putih melihat sekelompok pengawal yang bersiaga dan siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Buku 287 SEKALI-kali Glagah Putih juga bertemu dengan sekelompok pengawal yang meronda menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Namun Glagah Putih-pun tahu, bahwa di padukuhan-padukuhan lain, para pengawal tentu juga bersiaga sepenuhnya.
Ketika Glagah Putih sampai di rumah Agung Sedayu, maka suasananya-pun tidak berbeda dengan suasana seluruh pedukuhan. Sepi dan lengang. Meski-pun lampu-lampu minyak tetap menyala, namun seakan-akan rumah itu tidak berpenghuni.
Ketika gelap mulai turun, maka seisi rumah itu-pun telah berkumpul di ruang dalam untuk makan malam. Kemudian mereka-pun telah berada di bilik masing-masing. Yang kemudian duduk di ruang dalam adalah Ki Lurah Branjangan, Ki Ajar Gurawa dan Sekar Mirah.
Ketika Glagah Putih memasuki rumah itu, maka ia-pun ikut duduk pula di ruang dalam.
Beberapa orang berbaring di ruang dalam itu. Termasuk Agung Sedayu.
"Bagaimana keadaan mereka yang terluka?" bertanya Glagah Putih kepada Sekar Mirah.
"Agaknya mereka sudah menjadi berangsur baik," jawab Sekar Mirah.
"Kakang Agung Sedayu?" desis Glagah Putih pula.
"Ya. Kakang Agung Sedayu sudah menjadi semakin baik. Tetapi kakang Agung Sedayu sudah terlalu lama duduk, sehingga aku minta kakangmu berbaring dan apabila mungkin tidur agar keadaannya menjadi semakin baik," jawab Sekar Mirah.
"Guru?" bertanya Glagah Putih selanjutnya.
"Juga sudah semakin baik," jawab Sekar Mirah. Namun katanya kemudian, "Hanya Wacana sajalah yang masih dalam keadaan yang sulit. Luka dalamnya ternyata termasuk parah. Memang ada perkembangan. Tetapi sedikit sekali."
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Ia-pun kemudian bangkit dan melangkah ke amben besar di bagian sebelah kiri ruang dalam itu. Dilihatnya beberapa orang yang terbaring diam. Namun keadaan mereka memang berbeda-beda. Wacana yang berbaring di paling kanan, keadaannya masih sangat mencemaskan. Sedangkan Agung Sedayu yang sudah lebih baik berada di tengah. Ketika ia melihat Glagah Putih menghampirinya, maka Agung Sedayu itu-pun bangkit dan duduk di tepi amben itu.
"Berbaring sajalah kakang," desis Glagah Putih.
"Aku sudah menjadi semakin baik," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi kau sudah terlalu lama duduk," berkata Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu tersenyum. Sementara Ki Jayaraga malahan ikut bangkit pula.
"Guru," desis Glagah Putih, "sebaiknya guru juga berbaring saja sampai keadaan guru benar-benar menjadi lebih baik."
"Aku sudah cukup baik Glagah Putih," jawab Ki Jayaraga.
Glagah Putih-pun kemudian duduk di amben itu pula. Sementara Agung Sedayu berkata, "Aku sengaja ikut berbaring disini. Di serambi aku hanya sendiri meski-pun udaranya lebih segar. Untuk memindahkan semuanya ke serambi, tempat tidak cukup luas."
Sekar Mirah-pun kemudian telah mendekat pula dan duduk bersama mereka. Di amben yang lain berbaring Rumeksa yang keadaan juga menjadi semakin baik, sementara kedua orang murid Ki Ajar telah di tempatkan di gandok. Keadaan mereka sudah menjadi lebih baik lagi.
Ketika Glagah Putih memperhatikan Wacana yang masih saja berbaring sambil memejamkan matanya, maka Agung Sedayu-pun berkata, "Aku sengaja berada di sebelahnya agar aku dapat mengamati keadaannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah-pun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan keadaan Rara Wulan?"
"Ia juga sudah berangsur baik. Jika memungkinkan, besok aku akan membawanya kemari. Agaknya ia lebih baik berada disini daripada di rumah Ki Gede, agar mbokayu dapat mengawasi langsung keadaannya."
"Baiklah," berkata Sekar Mirah," katakan saja kepada Ki Gede. Mungkin kita memerlukan sebuah pedati."
Demikianlah mereka masih berbincang sejenak. Kemudian Glagah Putih-pun mempersilahkan Ki Jayaraga dan Agung Sedayu untuk berbaring. Sementara itu Glagah Putihpun kemudian bangkit berdiri dan berkata, "Aku akan menemui kawan-kawan yang lain."
Sebelum melangkah keluar, Glagah Putih sempat duduk sejenak di pembaringan Rumeksa yang sudah banyak tersenyum.
"Kau tidak usah duduk," cegah Glagah Putih ketika Rumeksa akan bangkit.
Demikianlah maka Glagah Putih-pun segera menemui para anggota kelompok Gajah Liwung dan Sabungsari yang berada di gandok pula. Sabungsarilah yang kemudian mengatur siapakah yang harus berjaga-jaga di halaman rumah itu, karena bagaimana-pun juga masih akan dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di halaman rumah itu.
Untuk beberapa saat Glagah Putih yang kemudian duduk di serambi masih berbincang dengan Sabungsari. Bahkan mereka agaknya telah lupa waktu. Sehingga mereka tertegun ketika mereka mendengar suara kentongan yang dipukul dengan irama dara muluk.
"Tengah malam," desis Glagah Putih, "aku kembali ke rumah Ki Gede."
"Bukankah keadaan Rara Wulan sudah semakin baik?" bertanya Sabungsari.
"Ya. Besok aku akan membawanya kemari," jawab Glagah Putih.
Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara itu ia-pun kemudian berdesis, "Keadaan Wacana yang masih mencemaskan."
"Ya," jawab Glagah Putih, "dalam keadaan sakit, kakang Agung Sedayu sudah berupaya sejauh dapat dilakukan, dibantu oleh Ki Ajar dan Ki Lurah Branjangan. Namun perkembangan keadaan Wacana ternyata sangat lamban."
Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sementara itu Glagah Putih-pun telah bangkit dan berkata, "Aku akan minta diri kakang Agung Sedayu."
"Mungkin ia sudah tidur," jawab Sabungsari.
"Sebaiknya kakang Agung Sedayu memang banyak tidur dalam keadaannya itu," berkata Glagah Putih, "tetapi salah satu tentu masih terbangun di dalam."
Ketika perlahan-lahan Glagah Putih melangkah ke ruang dalam, maka yang masih duduk tinggal Sekar Mirah, Ki Ajar dan Ki Lurah Branjangan telah dipersilahkan mengaso sampai menjelang dini. Baru kemudian bergantian Ki Lurah dan Ki Ajar akan menunggui mereka yang terluka serta berjaga-jaga karena keadaan masih terasa gawat.
"Mbokayu," desis Glagah Putih, "aku mohon diri. Aku akan melihat keadaan Rara Wulan."
"Hati-hatilah di jalan Glagah Putih," pesan Sekar Mirah, "jarak ke rumah Ki Gede memang hanya beberapa langkah. Tetapi jika terjadi sesuatu di beberapa langkah itu, maka kau harus bersiap menghadapinya."
"Baik mbokayu," jawab Glagah Putih.
Namun dalam pada itu terdengar suara Agung Sedayu yang ternyata telah terjaga, "Kau tidak tidur di sini saja, Glagah Putih?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak, sementara Sekar Mirah mendekatinya sambil berdesis, "Seharusnya kakang tidur saja."
Tetapi Agung Sedayu justru bangkit dan duduk ditepi pembaringannya. Bahkan Ki Jayarag-pun telah terbangun pula.
"Aku merasa sudah terlalu lama tidur," berkata Agung Sedayu.
"Baru tengah malam," sahut Sekar Mirah.
"Rasa-rasanya aku sudah lelah berbaring," berkata Agung Sedayu pula. Bahkan Ki Jayaraga-pun menyambung, "Aku juga. Punggungku justru menjadi pegal sekali."
Glagah Putih yang sudah minta diri itu justru duduk di bibir pembaringan. Katanya, "Aku sudah berjanji untuk datang lagi ke rumah Ki Gede, kakang."
"Ingat pesan mbokayumu," pesan Agung Sedayu.
"Ya, kakang," jawab Glagah Putih.
"Malam rasa-rasanya sepi sekali. Lebih sepi dari malam sebelumnya," desis Ki Jayaraga.
"Tentu saja," sahut Sekar Mirah, "jantung Tanah Perdikan ini baru saja terguncang. Kecemasan masih melanda setiap rumah. Apalagi hampir semua laki-laki masih dalam tugas."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Silirnya angin terasa dingin sekali. Meski-pun demikian, keringatku mengalir banyak sekali sehingga pakaianku menjadi basah."
"Sudahlah," berkata Sekar Mirah, "sebaiknya kakang dan Ki Jayaraga tidur saja."
"Ada sesuatu yang bergetar dijantung ini," berkata Ki Jayaraga sambil mengusap keringatnya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia berpesan lagi kepada Glagah Putih, "Kadang-kadang suasana mengajak kita untuk berbincang. Glagah Putih, hati-hatilah."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia tidak segera menjawab. Lamat-lamat ia mendengar suara seruling.
Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Sekar Mirah-pun mendengarnya pula.
Siapa yang meniup seruling itu-pun menjadi semakin jelas terdengar. Suaranya naik meninggi. Namun kemudian menukik turun seperti seekor burung merpati yang menukik dari atas sawah.
"Suara seruling itu aneh," desis Ki Jayaraga.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun suara itu bagaikan menggelepar menggapai-gapai. Sumber suara itu seakan-akan berputar-putar dari satu sudut ke sudut yang lain.
"Suara yang aneh," berkata Glagah Putih, "aku akan melihat, siapakah yang meniup seruling itu kakang."
Agung Sedayu tidak mencegahnya. Dibiarkannya Glagah Putih keluar dari ruang dalam dan pergi ke gandok untuk menemui Sabungsari lagi.
Sebelum Glagah Putih mengatakan sesuatu, Sabungsari telah berkata lebih dahulu, "Apakah kau tertarik pada suara seruling itu?"
"Ya," jawab Glagah Putih, "marilah, kita cari sumber suara itu. Agaknya bukan orang kebanyakan yang meniup seruling itu, sehingga sumber suaranya tidak segera dapat kita ketahui."
Sabungsari mengangguk sambil menjawab, "Marilah. Aku minta diri kepada kawan-kawan. Biarlah mereka berjaga-jaga."
Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Sabungsari telah turun ke jalan induk. Sejenak mereka termangu-mangu diluar regol. Namun kemudian Glagah Putih berkata, "Kita ambil jalan ini. Aku akan singgah di rumah Ki Gede agar Rara Wulan tidak menjadi cemas."
Keduanya memang menyusuri jalan induk menuju ke rumah Ki Gede. Sepanjang jalan mereka mencoba untuk mendengarkan suara seruling itu. Suaranya kadang-kadang mengeras menyapu sepinya malam. Namun kadang-kadang terdengar jauh menggapai-gapai.
Glagah Putih dan Sabungsari memang singgah di rumah Ki Gede. Ternyata suara seruling itu telah menggetarkan bukan saja seisi rumah Agung Sedayu. Tetapi para pengawal yang meronda-pun tiba-tiba telah meningkatkan kewaspadaan mereka. Di gardu-gardu para peronda bahkan telah turun dari gardu mereka dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika keduanya memasuki regol halaman rumah Ki Gede, maka mereka-pun melihat para pengawal bertebaran.
Ki Gede dan Prastawa ternyata masih duduk di pendapa. Ketika keduanya melihat Glagah Putih dan Sabungsari, maka mereka telah mempersilahkan keduanya naik.
"Suara seruling itu," desis Ki Gede.
"Ya, Ki Gede," sahut Glagah Putih, "kedengarannya memang aneh."
"Bukan hanya karena lagunya yang aneh. Tetapi sumber suara itu-pun sulit diketahui," berkata Ki Gede.
"Kami berdua memang ingin mencari sumber suara itu. Jika mungkin bertemu dengan orang yang meniup seruling itu," jawab Glagah Putih.
"Apakah kau hanya berdua saja ?" bertanya Prastawa.
"Ya kami hanya berdua," jawab Glagah Putih.
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, "Apakah aku dapat ikut bersama kalian?"
Glagah Putih juga menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab, "Sebaiknya kau berada disini bersama Ki Gede, Prastawa."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang tidak ingin meninggalkan Ki Gede. Agaknya kaki Ki Gede yang cacat itu masih terasa sakit setelah Ki Gede mengerahkan tenaga dan kemampuannya ketika ia bertempur di halaman rumah itu.
Glagah Putih dan Sabungsari-pun kemudian minta diri. Kepada Ki Gede ia berpesan agar diberitahukan kepada Rara Wulan, bahwa ia dan Sabungsari sedang mencari sumber suara seruling itu.
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Namun mereka sama sekali tidak menjumpai sumber suara seruling itu, apalagi bertemu dengan seseorang yang sedang meniup seruling. Hampir setiap sudut telah didatangi. Bahkan keduanya telah berjalan keluar dari padukuhan dan berdiri termangu-mangu di pematang sawah. Namun mereka tetap tidak dapat mengetahui, dimana sumber suara seruling itu.
Dengan mengerahkan daya tangkap mereka atas suara yang kadang-kadang melengking tinggi, namun kemudian terkulai lemah itu, keduanya masih juga tidak berhasil mengetahui darimana sumber suara seruling itu.
Glagah Putih dan Sabungsari seakan-akan menjadi putus-asa. Bintang Waluku sudah bergeser jauh ke arah barat. Bahkan lintang Panjer Rina sudah mulai nampak. Cahayanya memancar terang seperti lentera yang tergantung di langit yang tinggi. Namun mereka sama sekali masih belum tahu arah suara seruling yang masih saja terdengar menyusuri sepinya malam.
Sambil mengusap keringatnya Glagah Putih-pun kemudian duduk di tanggul yang membujur di pinggir jalan. Sabungsari menggeliat sambil menekan lambungnya. Namun kemudian ia-pun duduk pula di sebelah Glagah Putih.
Untuk beberapa saat keduanya duduk sambil berdiam diri. Namun mereka masih saja mencoba untuk menangkap sumber suara seruling itu.
Namun tiba-tiba suara seruling itu berhenti. Glagah Putih dan Sabungsari justru menjadi terkejut karenanya. Diluar sadarnya, keduanya telah bangkit berdiri.
"Suara itu berhenti," berkata Glagah Putih.
"Ya," jawab Sabungsari.
Dengan nada merendah Glagah Putih-pun berdesis, "Kita telah gagal menemukan sumber suara seruling itu."
Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Ya. Kita tidak mempunyai kemampuan cukup untuk menemukan sumber suara itu."
Dengan lesu maka keduanya telah duduk kembali. Sementara itu wajah langit-pun mulai berubah. Malam sudah mulai menuju ke ujungnya.
"Hampir pagi," desis Glagah Putih kemudian.
"Ya," jawab Sabungsari, "kita akan menunggu, apakah malam yang akan datang suara seruling itu akan kita dengar lagi."
Namun keduanya terkejut bukan buatan. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara, "Tidak anak-anak muda. Besok aku tidak akan meniup seruling lagi di sekitar padukuhan indukmu."
Kedua anak muda itu telah bersiap menghadapi kemungkinan. Namun orang yang berbicara di belakang mereka itu justru duduk sambil membelakangi mereka pula.
Baru ketika Glagah Putih dan Sabungsari itu berdiri tegak, maka perlahan-lahan orang itu-pun bangkit berdiri pula. Demikian orang itu berputar, maka Glagah Putih-pun berdesis, "Kakang Rudita."
"Kenapa kalian terkejut?" bertanya Rudita.
"Kakang bukan saja mengejutkan kami. Jika kakang yang meniup seruling itu, maka suara seruling kakang telah menggelisahkan seisi padukuhan induk. Bahkan mungkin juga padukuhan-padukuhan lain di Tanah Perdikan ini."
"Kenapa" Apakah suara serulingku menggetarkan maksud buruk atau memancarkan tantangan perang?" bertanya Rudita.
"Memang tidak," jawab Glagah Putih, "tetapi suara seruling kakang di hari-hari yang gelisah telah membuat jantung seisi padukuhan induk menggelepar."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak bermaksud demikian. Aku justru ingin menyatakan ikut berbelasungkawa atas peristiwa yang terjadi di tanah perdikan ini. Beturan kekerasan yang berulang-ulang terjadi."
"Tetapi akibatnya sangat berbeda dari maksud kakang itu." berkata Glagah Putih kemudian.
"Itulah yang terjadi," desis Rudita.
"Apa maksudmu ?" bertanya Sabungsari.
"Kalian sudah memendam kecurigaan dalam hati. Kalian menyimpan perasaan benci dan dendam. Itulah sebabnya, maka kalian selalu berprasangka buruk terhadap perbuatan orang lain."
"Tetapi dalam keadaan seperti ini kami harus berhati-hati menanggapi segala sesuatu yang terasa asing bagi kami," jawab Glagah Putih.
"Jika aku meniup serulingku, maka anak-anakku justru tertidur nyenyak. Mereka yang gelisah karena udara panas, akan menjadi lelap meski-pun keringat membasai seluruh tubuhnya," berkata Rudita kemudian. Lalu katanya kemudian, "Kenapa ?"
Glagah Putih dan Sabungsri termangu-mangu sejenak. Sementara itu Rudita berkata selanjutnya, "Karena meraka tidak menaruh curiga terhadap orang lain. Mereka tidak mendendam serta tidak cemas bahwa ada orang yang mendendam kepada mereka. Mereka tidak dengki dan tidak iri. Dengan demikian maka jiwa mereka akan merasa damai."
"Tetapi kau tidak mengalami apa yang baru saja kami alami di sini," jawab Sabungsari.
"Nah, bukankah kami tidak mengalami tindak kekerasan sebagaimana kalian alami" Kami juga tidak merasa perlu untuk melakukan kekerasan," Rudita itu terdiam sejenak. Lalu katanya, "Aku mempunyai sebuah padepokan kecil. Aku mempunyai anak-anak yang manis di padepokan itu. Perang, kematian dan kekerasan merupakan hantu yang sangat manakutkan bagi mereka. Aku kira bukan hanya anak-anakkulah yang menjadi ketakutan terhadap perang dan kekerasan, tetapi anak-anak manis di seluruh dunia akan menjadi ketakutan."
Glagah Putih dan Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu langit-pun menjadi semakin terang. Cahaya kemerah-merahan mulai membayangi sinar lintang panjer rina yang masih belum pudar.
Namun Glagah Putih-pun bertanya, "Kakang, lalu apa yang harus kami lakukan jika perang itu datang melandai kampung halaman kami."
"Kenapa perang itu datang " Itu tentu bukan terjadi dengan tiba-tiba. Satu putaran perisatiwa berantai yang haris dipatahkan. Apakah ujungnya, di pangkalnya atau di tengah," jawab Rudita.
"Kakang, kenapa kakang tidak berbicara dengan Resi Belahan, pemimpin dari kelompok orang yang ada di perkemahan, yang kemudian menyerang Tanah Perdikan ini " Mereka ingin merebut Tanah Perdikan ini. Mereka datang menebarkan kekerasan, bahkan menyakiti dan membunuh."
"Aku berbicara kepada semua orang. Aku tahu suaraku bergaung seperti gema di lereng pegunungan. Hilang ditelan lebatnya hutan di lembah. Tetapi aku berbicara dengan siapa saja. Aku akan meniup seruling bela sungkawaku atas kematian karena kekerasan. Aku akan selalu berdoa bagi kedamaian hati."
Sabungsari masih akan menjawab. Tetapi Rudita itu mulai melangkah sambil berkata, "Hari sudah pagi. Aku akan kembali ke padepokanku. Anak-anaku sudah menunggu. Mereka adalah anak-anak miskin, sederhana dan kesrakat. Tetapi mereka memiliki kedamaian di hati mereka."
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Glagah Putih dan Sabungsari memandangi langkah Rudita meyusuri jalan bulak semakin lama semakin jauh. Di Timur matahari mulai bangkit melangkahi punggung bukit.
"Marilah," berkata Glagah Putih.
"Rudita dapat berkata seperti itu, karena lingkungannya. Ia dapat memagari lingkunganya sehingga tidak terjadi persoalan dengan pihak lain," desis Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi dengan nada berat ia berkata, "Dunia ini memang sudah demikian buram. Aku tidak tahu seandainya kita tidak berbuat sesuatu, apakah akan menjadi semakin baik atau justru kesewenang-wenangan menjadi semakin menjalar ke segala penjuru."
Keduanya-pun kemudian melangkah kembali sambil menundukkan kepala. Glagah Putih tidak langsung menuju ke rumah Ki Gede. Tetapi ia ingin segera berbicara dengan Agung Sedayu, memberitahukan bahwa bersama Sabungsari ia telah bertemu dengan Rudita.
Ketika Glagah Putih dan Sabungsari kemudian memberitahukan pertemuannya dengan Rudita, maka Agung Sedayu berkata, "Rudita memang akan berbicara kepada semua orang. Ia ingin mengatakan bahwa kedamaian hati akan sangat berarti bagi tatanan kehidupan. Seperti yang selalu dikatakannya, dan bahkan dilakukannya, betapa ia mengasihi sesamanya sebagaimana ia merasa betapa sejuknya kasih sayang yang bersumber dari Yang Maha Agung."
Glagah Putih dan Sabungsari hanya termangu-mangu. Masih banyak yang ingin diketahuinya. Namun keduanya justru terdiam.
"Sejak semula kau sudah mengira bahwa suara seruling adalah suara seruling Rudita," berkata Agung Sedayu.
"Aku juga sudah menduga," desis Glagah Putih, "tetapi aku ingin membuktikannya. Mungkin seperti apa yang dikatakan kakang Rudita, hatiku sudah dibubuhi oleh kecurigaan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rudita memang seorang yang memiliki sikap dan pandangan hidup yang berbeda dari kebanyakan orang.
Namun bagaimana-pun juga apa yang dikatakan oleh Rudita tidak dapat begitu saja dilupakan. Baik Glagah Putih, mau-pun Sabungsari, masih saja merenunginya.
Bahkan tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, "Pada suatu saat, aku ingin mengajak kalian pergi ke padepokan kecilnya."
Glagah Putih mengangguk kecil sambil menyahut, "Ya kakang. Aku memang ingin melihat anak-anak kakang Rudita sebagaimana dikatakannya."
Namun dalam pada itu, ketika matahari mulai merambat langit, Glagah Putih telah teringat kepada Rara Wulan. Ia memang merencanakan untuk membawa Rara Wulan kembali ke rumah itu.
Ketika hal itu kemudian dikatakannya, maka Agung Sedayu-pun berkata, "Biarlah mbokayumu ikut mengambil Rara Wulan."
Demikianlah, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari-pun pergi ke rumah Ki Gede untuk menjemput Rara Wulan. Di sepanjang jalan yang tidak terlalu panjang itu, mereka memang tidak melihat anak-anak yang bermain. Meski-pun beberapa rumah pintu telah terbuka, tetapi halaman rumah itu masih belum terasa hidup sebagaimana biasa.
Agaknya anak-anak masih bersembunyi di balik pintu rumahnya. Perasaan takut masih mencengkam mereka. Apalagi anak-anak yang kehilangan ayahnya, kakaknya atau keluarganya yang lain.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Gede, maka pendapa rumah itu sudah menjadi semakin sepi. Perempuan dan anak-anak yang mengungsi di rumah itu sudah kembali ke rumah masing-masing.
Keadaan Rara Wulan memang sudah menjadi semakin baik. Ia mengerti, bahwa semalam Glagah Putih dan Sabungsari telah mencari sumber suara seruling yang bergema melingkari seluruh padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Demikian mereka naik ketangga pendapa, maka Ki Gede telah menerima mereka dengan ramah. Ki Gede sendiri nampak masih letih. Ia belum mendapat cukup waktu untuk beristirahat.
"Marilah, silahkan melihat keadaan angger Rara Wulan," Ki Gede mempersilahkan.
"Terima kasih Ki Gede," jawab Sekar Mirah.
Demikian Sekar Mirah masuk kedalam bilik Rara Wulan, maka Rara Wulan itu-pun tersenyum cerah. Keadaannya memang sudah lebih baik. Meski-pun demikian, Rara Wulan tentu masih belum dapat berjalan dari rumah Ki Gede sampai ke rumah Agung Sedayu.
Tetapi demikian Sekar Mirah duduk di bibir amben, maka Rara Wulan-pun berdesis, "Nanti, jika mbokayu pulang, aku akan ikut."
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Bukankah kau masih belum sembuh?"
"Tetapi aku ingin pulang," desis Rara Wulan.
Sekar Mirah memandang Glagah Putih dan Sabungsari yang duduk diatas tikar pandan bersama seorang perempuan yang menunggui Rara Wulan. Katanya, "Rara Wulan ingin pulang."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sejak mereka berangkat, maka Glagah Putih sudah mengatakan bahwa mereka akan mengambil Rara Wulan.
Sekar Mirah yang melihat Glagah Putih kebingungan tersenyum sambil berkata, "Apakah tidak sebaiknya Rara Wulan tinggal disini sampai luka-lukanya sembuh?"
"Tidak. Aku ikut pulang," katanya sambil bergerak bangkit.
Namun Sekar Mirah menahannya. Katanya, "Jangan bangkit Rara. Luka-lukamu akan berdarah lagi."
"Tetapi aku akan pulang."
Sekar Mirah akhirnya tertawa. Katanya, "katakanlah kepada Glagah Putih."
"Ah, mbokayu," desis Rara Wulan.
Sebenarnyalah, maka Sekar Mirahlah yang kemudian menemui Ki Gede minta agar Rara Wulan diperkenankan dibawa kembali ke rumah Glagah Putih.
"Bukankah lukanya masih berbahaya baginya?" bertanya Ki Gede.
"Kami akan mohon agar tabib yang mengobatinya bersedia datang ke rumah kami," jawab Sekar Mirah.
Ki Gede tidak menahan lebih lama lagi. Ia-pun tahu bahwa Agung Sedayu juga memiliki pengetahuan tentang obat-obatan. Namun agaknya karena yang menangani Rara Wulan sejak semula adalah tabib dari Tanah Perdikan itu, maka sebaiknya tabib itu pulalah yang meneruskannya. Apalagi agaknya obatnya cukup baik dan cocok bagi luka-luka Rara Wulan.
Namun karena keadaan Rara Wulan, maka Sekar Mirah telah mohon untuk meminjam sebuah pedati. Rara Wulan masih belum dapat berjalan sendiri pulang ke rumah Agung Sedayu.
Ki Gede-pun kemudian telah memerintahkan beberapa orang pengawal untuk mengusung pembaringan Rara Wulan dan menempatkannya keatas pedati itu.
Demikianlah, setelah pedati itu ditutup, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari-pun telah mohon diri untuk kembali ke rumah Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka pedati itu-pun telah merayap melalui jalan di tengah-tengah padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih dan Sabungsari berjalan di belakang pedati itu, sedangkan Sekar Mirah juga ikut berada didalam pedati menjaga Rara Wulan.
Rasa-rasanya memang tidak telaten berjalan di belakang pedati yang lamban itu. Namun karena jaraknya tidak jauh, maka perjalanan itu juga tidak memerlukan waktu yang panjang.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, pedati itu telah memasuki halaman rumah Agung Sedayu. Beberapa orang anggauta kelompok Gajah Liwung yang ada di rumah itu-pun segera membantu mengusung pembaringan dengan Rara Wulan itu sendiri diatasnya.
Namun keadaan Rara Wulan memang sudah berangsur baik, sehingga Rara Wulan tidak lagi nampak menderita. Bahkan gadis itu sudah tersenyum-senyum geli ketika pembaringannya diturunkan dari pedati dan kemudian dibawa masuk kedalam rumah. Namun berdasarkan berbagai macam pertimbangan karena masih ada juga yang terbaring di ruang dalam, maka Rara Wulan akan di tempatkan didalam biliknya sendiri. Sekar Mirah akan menungguinya dan untuk sementara ikut tidur didalam bilik itu pula.
Dengan demikian, maka keluarga Agung Sedayu serta anggauta kelompok Gajah Liwung yang terluka telah dikumpulkan di rumah itu. Termasuk Wacana yang kebetulan juga berada di rumah itu ketika datang serangan dari orang-orang yang tinggal di perkemahan di seberang pebukitan. Bahkan Wacana telah mendapatkan luka yang terberat di antara mereka, sehingga keadaannya masih mencemaskan. Meski-pun berbagai usaha sudah dilakukan, tetapi perkembangan keadaannya lambat sekali.
Dalam pada itu, Prastawa-pun masih sibuk mengurus orang-orang yang tertawan. Mereka di tempatkan di banjar padukuhan setelah para pengungsi yang berada di banjar pulang ke rumah masing-masing. Orang-orang yang dianggap berbahaya dimasukkan kedalam bilik-bilik yang ada, sedangkan yang lain di tempatkan di gandok dan pringgitan dengan penjagaan yang sangat kuat.
Sementara itu, setelah Rara Wulan berada di rumah Agung Sedayu, maka Glagah Putih justru mempunyai kesempatan yang cukup untuk membantu Prastawa. Karena itu, maka Glagah Putih yang kemudian mengajak Sabungsari telah ikut menjadi sibuk pula.
Lewat tengah hari, beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus telah datang melihat keadaan Agung Sedayu. Mereka menjadi berlega hati ketika mereka melihat keadaan Agung Sedayu yang menjadi semakin baik. Bahkan Agung Sedayu telah dapat menerima mereka di pendapa rumahnya bersama Ki Lurah Branjangan.
Kepada seorang pemimpin kelompok yang terpercaya Agung Sedayu telah memberikan pesan-pesan bagi para prajurit di barak Pasukan Khusus. Agung Sedayu juga memberikan petunjuk-petunjuk tentang kelompok-kelompok prajurit yang masih berada di perkemahan yang sudah ditinggalkan penghuninya.
Kecuali itu maka Agung Sedayu-pun berkata kepada pemimpin kelompok itu, "Dua orang diantara kalian harus segera pergi ke Mataram melengkapi laporan tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan ini."
Pemimpin kelompok itu mengangguk sambil menjawab, "Ya Ki Lurah. Dua orang akan segera pergi ke Mataram. Yang sudah kami sampaikan baru laporan sepintas. Nanti, kami akan dapat membawa laporan yang lebih lengkap."
"Kau dapat menghubungi Prastawa, kemenakan Ki Gede yang menjadi pemimpin pengawal di Tanah Perdikan ini. Kau akan mendapat bahan yang lengkap tentang peristiwa yang telah terjadi. Kau juga akan dapat mengetahui berapa banyak korban yang gugur serta orang-orang perkemahan yang terbunuh. Juga orang-orang yang terluka dan yang tertawan," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Baik Ki Lurah," jawab pemimpin kelompok itu, "kami akan menghubungi Prastawa."
"Kau dapat berbicara dengan Glagah Putih yang sekarang berada di banjar atau dirumah Ki Gede. Nanti Glagah Putih akan menghubungkanmu dengan Prastawa," berkata Agung Sedayu pula.
Seperti yang diperintahkan oleh Agung Sedayu, maka pemimpin kelompok itu-pun telah pergi ke banjar untuk menemui Glagah Putih, agar dapat dihubungkan dengan Prastawa.
Dalam kesibukan itu, maka seisi rumah Agung Sedayu itu masih digelisahkan oleh keadaan Wacana. Luka-luka terutama di bagian dalamnya masih mencemaskan. Agung Sedayu sudah berusaha sejauh dapat dilakukan untuk meringankan penderitaannya. Namun seolah-olah segala usaha itu masih belum berhasil.
Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan-pun telah membantu dengan sungguh-sungguh. Tetapi hasilnya memang belum seperti yang diharapkan.
Ketika tabib yang mengobati Rara Wulan datang ke rumah Agung Sedayu, Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan mereka membicarakan keadaan Wacana.
Tetapi mereka masih belum berhasil mengatasi keadaannya yang mencemaskan itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Lurah itu-pun bertanya, "Apakah kita perlu memberitahukan keadaannya kepada pamannya di Mataram?"
Agung Sedayu mengeratkan dahinya. Agaknya kemungkinan itu memang sedang dipikirkannya.
Sementara itu, Sekar Mirah yang ikut dalam pembicaraan itu-pun berkata, "Aku kira tidak ada salahnya jika kita memberitahukan keadaannya kepada pamannya. Jika terjadi sesuatu, maka pamannya itu tidak akan menyalahkan kita. Atau setidak-tidaknya akan menyesali kita bahwa kita tidak memberitahukan keadaannya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Jika demikian, maka biarlah prajurit dari Pasukan Khusus yang akan memberikan laporan ke Mataram itu pergi bersama Glagah Putih dan Sabungsari. Keduanya akan memberitahukan keadaan Wacana kepada Ki Rangga Wibawa."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itu-pun berkata, "Aku setuju. Memang tidak ada orang lain yang sebaiknya kita tugaskan untuk pergi ke Mataram. Meski-pun keadaan sudah menjadi tenang di Tanah Perdikan, tetapi kemungkinan-kemungkinan buruk masih saja dapat terjadi. Apalagi menurut laporan dari perkemahan, mereka masih melihat orang-orang yang berkeliaran. Satu dua berhasil mereka tangkap, tetapi masih ada diantara mereka yang lolos. Bahkan agaknya ada diantara mereka yang berilmu tinggi."
"Ya. Para pengawal dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di perkemahan memang masih selalu diganggu sebagaimana di katakan oleh para pengawal sesuai dengan laporan dari perkemahan, sehingga dengan demikian, maka perjalanan ke Mataram masih termasuk perjalanan yang berbahaya," sahut Agung Sedayu.
Ki Jayaraga-pun kemudian berkata, "Nanti, kita berbicara dengan Glagah Putih dan angger Sabungsari."
Demikianlah, ketika kemudian Glagah Putih dan Sabungsari kembali dari rumah Ki Gede setelah mereka berada di banjar beberapa lama bersama prajurit dari Pasukan Khusus yang mendapat tugas dari Agung Sedayu untuk mendapatkan bahan laporan selengkapnya, telah dipanggil oleh Agung Sedayu. Kepada keduanya telah diberitahukan bahwa mereka berdua akan ditugaskan untuk pergi ke Mataram menemui Ki Rangga Wibawa.
"Beritahukan keadaan Wacana sebagaimana adanya."
"Tentang kepentingannya datang ke Tanah Perdikan atau tentang luka-lukanya?" bertanya Glagah Putih.
"Hanya tentang luka-lukanya," Sabungsarilah yang menyahut, "justru saat Wacana ada disini, maka di Tanah Perdikan ini telah terjadi perang, sehingga Wacana harus melibatkan dirinya. Justru untuk membantu menyelamatkan Tanah Perdikan ini."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun Agung Sedayu-pun mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Ya. Apa-pun pendahuluan dari pemberitahuan kalian kepada Ki Rangga Wibawa, namun kalian harus memberitahukan bahwa Wacana telah terluka parah. Telah dicoba untuk mengobatinya dengan segala cara. Tetapi keadaannya masih sangat mencemaskan."
Sabungsari dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya-pun mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka telah ditetapkan dalam pembicaraan itu, bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan pergi ke Mataram bersama ampat orang prajurit dari Pasukan Khusus. Keempat orang prajurit itu esok pagi-pagi akan berangkat dari barak, singgah sebentar di rumah Agung Sedayu dan kemudian bersama-sama dengan Glagah Putih dan Sabungsari pergi ke Mataram.
Demikianlah, maka para prajurit itu-pun kemudian telah meninggalkan rumah Agung Sedayu. Mereka akan mempersiapkan dan menyusun laporan yang bahannya telah terkumpul. Besok pagi-pagi mereka akan berangkat dari barak.
Ketika kemudian malam turun, maka suasana di padukuhan induk Tanah Perdikan itu masih sangat lengang, demikian gelap menyelimuti padukuhan induk, maka pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat. Tidak ada lagi sekelompok anak-anak yang bermain-main di halaman meski-pun bulan muda terlihat memancar dilangit. Sinarnya yang menyiram halaman, pepohonan dan dedaunan tidak mendapat perhatian sama sekali dari anak-anak yang terbiasa bermain diterangnya cahaya bulan. Tidak terdengar kidung anak-anak perempuan yang bermain soyang dan uri-uri. Tidak pula terdengar teriakan anak-anak remaja yang bermain gobag atau sembunyi-sembunyian.
Yang nampak masih ada diluar regol halaman adalah para pengawal yang berjaga-jaga.
Di rumah Agung Sedayu, beberapa orang duduk di sebelah Wacana yang terbaring diam. Tubuhnya masih saja panas. Namun sekali-sekali Wacana itu menggigil seperti orang kedinginan.
Jika sekali-sekali Sekar Mirah menyuapinya dengan bubur sungsum, mulut Wacana seakan-akan tidak mau terbuka.
Sekali-sekali Wacana itu terdengar berdesis, "Tidak. Aku tidak ingin makan."
Namun Sekar Mirah masih selalu mencoba. Meski-pun hanya setitik demi setitik. Hanya karena Sekar Mirah sangat telaten, maka meski-pun hanya sedikit, perut Wacana-pun terisi juga.
Malam itu tubuh Wacana sedikit menggigil meski-pun jika disentuh dahinya terasa panas.
Sekar Mirah mencobanya membasahi dahi Wacana itu dengan air jeruk nipis. Agaknya air jeruk nipis itu dapat membantu, mengurangi panas tubuhnya.
Namun dalam pada itu, Sekar Mirah menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar Wacana yang agaknya kesadarannya terganggu itu berdesis perlahan, "Raras. Raras."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun Sabungsari yang juga mendengar desis itu menundukkan kepalanya. Jantungnya serasa berdesak semakin cepat.
Ternyata bahwa bagaimana-pun juga Raras masih tetap tersangkut dihati Wacana. Apa-pun yang pernah dikatakannya, tetapi Wacana tidak dapat menipu dirinya sendiri.
Kenyataan itu telah membuat perasaan Sabungsari terguncang. Bahkan ia merasa ikut bersalah bahwa keadaan Wacana justru tidak segera menjadi baik. Meski-pun Sabungsari sudah menyingkir dan menjauhi setiap hubungan dengan Raras, namun bahwa persoalan yang rumit itu tidak dapat dihindarinya lagi. Bahkan Wacana telah menyusulnya ke Tanah Perdikan dengan membawa persoalan yang justru telah dijauhinya itu.
Ternyata Wacana tidak hanya sekali dua kali saja menyebut nama Raras. Tetapi berulang-ulang.
Sabungsari menjadi tidak tahan lagi. Ia-pun kemudian telah bangkit dan melangkah keluar.
Udara malam terasa dingin. Angin basah bertiup dari Selatan menyentuh kulit Sabungsari yang kemudian duduk di serambi gandok. Tatapan matanya jauh menerawang menembus kegelapan.
Sabungsari terkejut ketika Naratama datang mendekatinya. Ia tidak mendengar langkah. Namun tiba-tiba saja Naratama itu sudah duduk di sebelahnya.
Dengan nada berat Naratama itu bertanya, "Apa yang sedang kau renungkan Sabungsari?"
Sabungsari mencoba untuk tersenyum. Katanya kemudian, "Tidak Naratama. Aku tidak sedang merenung."
"Tetapi tentu ada sesuatu yang kau pikirkan," sahut Naratama kemudian.
"Ya," Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku masih mengenang betapa kita telah bertempur di halaman rumah ini. Beberapa orang telah menjadi korban. Agung Sedayu sendiri telah terluka meski-pun keadaannya sudah menjadi baik. Satu hal yang tidak akan terjadi pada orang lain. Seandainya aku terluka seperti Agung Sedayu dan mendapat pengobatan yang sama, aku akan memerlukan waktu tiga kali lipat untuk menjadi baik sebagaimana Agung Sedayu sekarang."
"Daya tahannya memang luar biasa," desis Naratama.
"Sementara itu keadaan Wacana masih mencemaskan. Justru sebenarnya Wacana tidak bersangkut paut dengan perang yang terjadi di Tanah Perdikan. Ia datang untuk sekedar melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Namun nasibnya agaknya memang kurang baik."
"Bukankah ia telah mendapat pengobatan yang terbaik?" bertanya Naratama.
"Ya," jawab Sabungsari, "bukan hanya Agung Sedayu, Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan. Tetapi tabib terbaik di Tanah Perdikan ini juga sudah diundang. Tabib yang telah berhasil dengan baik mengobati Rara Wulan yang juga terluka."
Naratama mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak melihat, apa yang sebenarnya tergores di jantung Sabungsari.
Di ruang dalam, Sekar Mirah masih sibuk membasahi dahi Wacana dengan air jeruk nipis. Sementara Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan duduk termangu-mangu. Segala usaha sudah dilakukan. Namun keadaan Wacana massih mencemaskan.
Namun ketika kemudian malam menjadi semakin malam, setelah Sekar Mirah berhasil memasukkan sebutir ramuan obat kedalam mulut Wacana dengan jenang sungsum yang lembut, maka panas Wacana menjadi sedikit turun. Ia tidak lagi memanggil-manggil Raras. Bahkan perlahan-lahan kesadarannya telah menjadi bulat kembali.
Ketika ia membuka matanya dan melihat Sekar Mirah duduk di sebelahnya, maka Wacana itu-pun berkata, "Sudahlah. Sebaiknya mbokayu beristirahat. Aku tidak apa-apa."
Sekar Mirah mengangguk sambil menjawab, "Kau juga harus beristirahat Wacana. Tetapi sebelum kau tidur, kau harus mencoba untuk makan. Jenang sungsum itu harus kau makan sampai habis. Jika kau cukup makan, maka tubuhmu akan menjadi kuat dan kau akan segera menjadi baik."
Wacana mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Tetapi Sekar Mirah-pun tanggap. Sedikit demi sedikit Sekar Mirah menyuapi Wacana dengan jenang sungsum.
Baru kemudian, setelah sedikit-sedikit perut Wacana terisi. Sekar Mirah-pun telah meninggalkan Wacana dan pergi ke bilik Rara Wulan.
Namun Rara Wulan yang keadaannya telah menjadi semakin baik itu telah dapat tidur, meski-pun sekali-sekali masih terdengar ia berdesis menahan nyeri yang tersisa di lukanya.
Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan telah mengatur waktu. Mereka berdua akan berganti-ganti menunggui Wacana yang sakit sambil berjaga-jaga, meski-pun diluar anak-anak dari kelompok Gajah Liwung juga sudah berjaga-jaga.
"Tidurlah," berkata Ki Ajar kepada Glagah Putih, "bukankah kau besok akan pergi ke Mataram?"
Glagah Putih mengangguk. Jawabnya, "Baik Ki Ajar. Tetapi aku akan melihat Sabungsari sebentar."
"Ajak anak itu tidur. Tidak sepatutnya Sabungsari membiarkan perasaannya bergejolak. Ia bukan seorang laki-laki yang cengeng dan perajuk."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun ia-pun segera bangkit dan melangkah keluar. Sementara Agung Sedayu sudah berada didalam biliknya karena ia masih juga harus banyak beristirahat karena luka-lukanya yang sedang dalam masa penyembuhan.
Ketika Glagah Putih melangkahi pintu pringgitan, maka ia-pun menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat bahwa Sabungsari tidak duduk seorang diri. Tetapi bersama Naratama.
Dengan demikian, maka Sabungsari ternyata tidak sedang merenung membiarkan perasaannya bergejolak.
Sebenarnyalah bahwa persoalan yang membelit perasaan Wacana dalam hubungannya dengan Raras dan Sabungsari tidak dapat menyembunyikan lagi. Apa lagi ketika Wacana berkali-kali menyebut nama Raras. Sementara itu Sabungsari menjadi sangat gelisah.
Ki Lurah Branjangan yang juga pernah mendengar persoalan yang tumbuh antara Wacana dan Sabungsari itu masih juga sempat membincangkannya dengan Ki Ajar Gurawa meski-pun sambil berbisik agar tidak didengar oleh Wacana.
"Ternyata bahwa Wacana memang tidak dapat melupakan Raras," berkata Ki Lurah Branjangan, "meski-pun ia sudah berusaha."
"Kasihan Wacana," desis Ki Ajar Gurawa, "tetapi kita juga tidak dapat menyalahkan Sabungsari."
"Ya," sahut Ki Lurah, "ia justru telah berusaha menghindar. Tetapi Wacana menyusulnya kemari. Mereka sudah menyelesaikan persoalan mereka. Menurut kenyataan lahiriah persoalan itu memang sudah selesai. Keduanya tidak lagi mempersoalkannya. Namun dalam keadaan yang gawat, maka yang dibenamkan jauh didalam jantung Wacana itu telah muncul diluar sadarnya."
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, "Sabungsari agaknya masih juga merasa bersalah."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudah-mudahan persoalan itu tidak akan tetap menjadi beban bagian kedua-duanya," desis Ki Lurah Branjangan, "jika besok Glagah Putih dan Sabungsari memberitahukan keadaan Wacana kepada pamannya sempat mengambil langkah-langkah yang dapat mengurangi penderitaan Wacana sehingga ia benar-benar dapat sembuh, maka persoalannya dengan Sabungsari memang harus diselesaikan dengan tuntas."
"Maksud Ki Lurah ?" bertanya Ki Ajar.
"Raras harus segera kawin," jawab Ki Lurah Branjangan.
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku sependapat. Tetapi bagaimana melaksanakannya ?"
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Itulah soalnya."
Keduanya tersenyum, betapa hambarnya. Bagaimana-pun juga mereka merasa ikut prihatin dengan keadaan Wacana dan bahkan juga perasan Sabungsari yang tentu merasa tertekan. Bahkan Ki Lurah itu teringat pula kepada cucunya Raden Teja Prabowo.
Demikianlah keduanya-pun kemudian terdiam untuk beberapa lama. Wacana agaknya sudah dapat tidur. Tubuhnya memang masih panas meski-pun sedikit turun. Namun keadaannya memang masih sangat menggelisahkan.
Diluar Glagah Putih telah mengingatkan bahwa sebaiknya Sabungsari beristirahat.
"Besok pagi-pagi kita akan pergi ke Mataram. Beberapa orang prajurit dari barak Pasukan Khusus akan singgah kemari dan kemudian bersama-sama menempuh perjalanan."
Sabungsari mengangguk kecil. Sementara Naratama berakata, "Tidurlah. Simpan tenagamu untuk besok. Orang-orang perkemahan yang memencar dari serangannya itu mungkin masih ada yang berkeliaran. Mungkin di sebelah Barat Kali Praga. Tetapi mungkin juga di sebelah Timur."
"Apakah kau tidak tidur ?" bertanya Sabungsari kepada Naratama.
"Nanti. Aku bertugas sekarang untuk mengamati keadaan," jawab Naratama.
Sabungsari-pun kemudian bangkit dan melangkah kedalam biliknya di gandok. Meski-pun ia kemudian terbaring, tetapi ia memerlukan waktu untuk cukup lama untuk dapat tidur. Sementara untuk dapat tidur pula meski-pun juga agak gelisah.
Pagi-pagi sekali Glagah Putih telah terbangun. Ketika ia pergi ke pakiwan, maka anak yang membantu di rumah itu telah duduk diatas sebuah batu sudut rumah. Glagah Putih-pun kemudian melangkah mendekat sambil bertanya, "kenapa kau masih pagi sekali duduk bertopang dagu?"
Anak itu memandang Glagah Putih sejenak, lalu katanya, "Pliridanku rusak."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih, "bukankah selama ini tidak seorang-pun diantara penghuni Padukuhan Induk ini yang sempat menghiraukan pliridan disungai itu?"
"Tetapi pliridanku rusak. Nampaknya terinjak-ijak kaki kuda. Tidak hanya seekor tetapi beberapa ekor kuda," jawab anak itu.
"Kaki kuda ?" bertanya Glagah Putih dengan dahi yang berkerut, "apakah kau yakin ?"
"Ya, kaki kuda. Kau kira aku tidak dapat menyebut jejak kaki kuda " Tentu berbeda dengan jejak kaki kambing atau kaki lembu atau kaki kerbau," jawab anak itu.
Bersambung Balas On 5 Juli 2009 at 13:47 Raharga Said:
Buku 287 bagian II "Jadi kapan kau lihat jejak kaki kuda itu ?" bertanya Glagah Putih, "semalam atau kemarin malam ?"
"Semalam," jawab anak itu.
"Apakah kau dapat membedakan jejak kaki kuda semalam atau kemarin diatas tepian yang basah ?" bertanya Glagah Putih.
"Kemarin malam aku belum lihat jejak kaki kuda itu," jawab anak itu.
"Jadi kemarin malam kau juga pergi kesungai ?" bertanya Glagah Putih pula.
"Ya," jawab anak itu.
"Kau telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya. Keadaan Tanah Perdikan ini belum tenang benar. Sementara itu kau sudah turun kesungai," berkata Glagah Putih.
Anak itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata, "Apakah aku harus takut keluar halaman rumah ini" Ketika terjadi pertempuran di halaman rumah ini aku sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi karena kau selalu berbohong kepadaku, maka aku tidak dapat ikut campur."
"Kenapa aku berbohong?" bertanya Glagah Putih.
"Kau katakan bahwa kau akan mengajari aku berkelahi. Tetapi tidak pernah kau lakukan dengan sungguh-sungguh. Seandainya kau benar-benar mengajariku berkelahi, maka saat itu aku tentu akan dapat membantu," berkata anak itu.
"Siapakah yang akan mengajarimu berkelahi?" bertanya Glagah Putih.
"Kau. Apakah kau akan ingkar?" anak itu tiba-tiba berdiri.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak akan mengajarimu berkelahi anak manis. Tetapi aku akan mengajarimu sedikit ilmu bela diri."
"Apa bedanya?" bertanya anak itu.
"Dalam pelaksanaannya mungkin tidak jauh berbeda. Tetapi landasannya sangat berbeda. Jika kau belajar berkelahi, maka kau tentu akan mencari lawan dimana-mana. Atau kau akan menjadi pemarah karena kau pandai berkelahi atau sombong atau semacamnya. Tetapi tidak bagi mereka yang belajar ilmu bela diri. Orang-orang yang menguasai ilmu bela diri, tidak akan mempergunakannya jika tidak terpaksa untuk melindungi dirinya sendiri atau melindungi orang lain yang lemah jika keadilannya tersinggung."
"Apa-pun namanya, tetapi bukankah tidak kau lakukan dengan sungguh-sungguh?" bertanya anak itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat berbantah terlalu lama dengan anak itu. Katanya, "Baiklah. Besok kita berbicara lagi. Tetapi aku tidak pernah mencabut kesediaanku mengajarimu sedikit pengetahuan tentang bela diri. Pada saat yang tepat, aku akan melakukannya."
"Sejak dulu kau berkata begitu," anak itu mulai bersungut-sungut.
Glagah Putih menepuk pundak anak itu sambil berkata, "Ketahuilah. Orang-orang berkuda itu akan dapat menjadi kasar dan bahkan menjadi buas. Jika kebetulan kau sedang ada di pliridan ketika mereka lewat, maka akibatnya akan sangat buruk bagimu."
Anak itu tidak menjawab. Sementara Glagah Putih-pun pergi ke pakiwan untuk mandi.
Namun jejak kaki kuda itu ternyata selalu mengganggu pikirannya. Karena itu, maka ia-pun telah membicarakannya dengan Sabungsari.
"Jika demikian, masih ada sekelompok orang berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan ini," desis Sabungsari.
"Ya. Mereka tidak menempuh perjalanan lewat jalan-jalan sewajarnya. Tetapi mereka menempuh perjalanan mereka lewat jalan-jalan simpang dan bahkan lewat sungai. Mereka tentu berusaha untuk menghilangkan jejak mereka atau setidak-tidaknya tidak mudah diketahui orang." sahut Glagah Putih.
"Tetapi kehadiran mereka cukup berbahaya. Bukankah belum ada laporan dari para pengawal tentang orang-orang berkuda itu sehingga Tanah Perdikan ini belum mengetahuinya?" bertanya Sabungsari.
"Nampaknya memang belum," jawab Glagah Putih.
"Apakah tidak sebaiknya kita memberitahukan hal ini kepada Agung Sedayu agar disampaikan kepada Prastawa lewat salah seorang diantara anak-anak Gajah Liwung?"
"Ya. Prastawa memang harus mengetahuinya," jawab Glagah Putih.
Demikianlah, maka setelah berbenah diri, maka mereka telah menyampaikan hal itu kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu ternyata juga menganggap bahwa hal itu adalah hal yang penting untuk segera diketahui. Orang-orang yang berkeliaran itu akan dapat berbuat sesuatu yang mengguncang lagi ketenangan Tanah Perdikan yang baru mulai pulih kembali itu.
Karena itu, maka Agung Sedayu-pun telah minta Pranawa dan Mandira untuk menemui Prastawa di rumah Ki Gede. Mereka diminta untuk memberitahukan bahwa di sungai semalam terdapat jejak kaki beberapa ekor kuda, sehingga dengan demikian, maka para pengawal masih harus waspada terhadap beberapa orang berkuda itu.
Sementara keduanya pergi ke rumah Ki Gede, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah mempersiapkan diri untuk berangkat ke Mataram. Sambil menunggu para prajurit dari Pasukan Khusus yang akan singgah untuk bersama-sama pergi, keduanya telah dipersilahkan oleh Sekar Mirah untuk makan lebih dahulu.
Hampir bersamaan, ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu datang, Pranawa dan Mandira yang menemui Prastawa-pun telah datang pula. Ternyata saat mereka bertemu dengan Prastawa, dua orang pengawal dari perkemahan telah datang. Mereka juga melaporkan bahwa semalam beberapa orang berkuda telah berkeliaran tidak terlalu jauh dari perkemahan. Nampaknya mereka memang akan memasuki perkemahan. Namun mereka telah melihat lampu dan oncor yang menyala, sehingga mereka mengurungkan niatnya.
"Atau satu dua diantara mereka telah merayap mendekati perkemahan dan mengetahui bahwa di perkemahan itu terdapat sekelompok pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus," berkata Agung Sedayu.
"Mungkin sekali," desis Ki Lurah Branjangan, "namun bagaimana-pun juga, kita masih harus sangat berhati-hati."
"Juga mereka yang akan pergi ke Mataram," desis Ki Jayaraga.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Peringatan gurunya itu memang harus diperhatikan. Banyak kemungkinan masih akan dapat terjadi. Orang-orang berkuda itu tentu orang-orang perkemahan yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mereka tidak segera melarikan diri, tetapi justru berkeliaran di Tanah Perdikan. Bahkan mereka telah lewat tidak jauh dari padukuhan induk, meski-pun mereka menempuh perjalanan lewat sungai.
Demikianlah, setelah memberikan beberapa pesan, maka Agung Sedayu telah memerintahkan ampat orang prajurit dari Pasukan Khusus untuk berangkat ke Mataram bersama Glagah Putih dan Sabungsari.
Beberapa saat kemudian, maka enam orang berkuda telah meninggalkan Tanah Perdikan menuju ke Mataram. Mereka menyadari sepenuhnya kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan mereka. Di bulak-bulak panjang, atau di tepian atau dimana saja, mereka akan dapat bertemu dengan orang-orang berkuda itu.
Selagi hari masih pagi, maka keenam orang itu telah memacu kudanya agak cepat setelah mereka berada di bulak-bulak panjang. Namun jika mereka memasuki padukuhan, maka kecepatan lari kuda mereka harus disusut. Apalagi di tempat-tempat yang terhitung ramai. Bahkan ketika mereka lewat di sebelah pasar, maka kuda-kuda mereka itu tidak berlari lebih cepat dari orang yang berjalan dalam keramaian yang memenuhi jalan. Para pedagang yang tidak tertampung di pasar, telah menggelar dagangannya di pinggir-pinggir jalan.
"Agaknya hari ini hari pasaran," berkata Glagah Putih.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya pasar ini menjadi ramai oleh para pedagang yang datang dari Kademangan-kademangan di sekitar lingkungan ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Di sebelah pasar memang nampak tempat pemberhentian pedati yang agak luas. Sebuah kedai yang besar berada di sebelah tempat pemberhentian pedati itu. Bahkan sebuah rumah panjang yang agaknya menjadi penginapan para pedagang dan sais pedati yang datang dari tempat yang jauh.
Untuk beberapa saat kuda-kuda mereka yang menempuh perjalanan ke Mataram itu berjalan sangat lambat. Semakin tinggi matahari memanjat langit, maka pasar itu-pun menjadi semakin ramai. Biasanya pada saat matahari sepenggalah, maka pasar itu akan menjadi temawon. Saat yang paling ramai, apalagi dihari pasaran. Baru kemudian, sedikit demi sedikit keramaian itu-pun berkurang.
Baru ketika mereka keluar dari kepadatan jalan di sebelah pasar, maka kuda-kuda itu-pun mulai berlari meski-pun tidak terlalu kencang.
Namun keenam orang berkuda itu sama sekali tidak menghiraukan ketika seorang yang berdiri diantara beberapa buah pedati di pemberhentian pedati itu memandangi mereka sampai hilang di tikungan.
Namun kemudian orang itu-pun dengan tergesa-gesa telah berlari-lari menyusup diantara pedati-pedati yang berhenti mencari kawan-kawannya.
Ternyata di rumah itu telah menginap sekelompok orang yang agaknya bukan pedagang yang sering singgah dari pasar ke pasar, terutama pasar-pasar yang besar dan di hari pasaran pula. Ketika seorang kawannya yang berlari-lari itu memberitahukan kepada mereka tentang enam orang berkuda, maka orang-orang itu-pun bergerak cepat sekali. Dalam waktu yang pendek sepuluh orang berkuda telah berpacu meninggalkan tempat itu.
"Mereka berenam," berkata orang yang melihat keenam orang berkuda yang akan pergi ke Mataram. Lalu katanya pula, "ampat orang diantara mereka berpakaian prajurit. Agaknya mereka terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus yang akan pergi ke Mataram. Mungkin ada hubungannya dengan pertempuran di Tanah Perdikan ini."
"Siapa-pun mereka, jika mereka prajurit Mataram sebaiknya kita binasakan. Mereka telah membantu Tanah Perdikan Menoreh melawan kawan-kawan kita. Bahkan menghancurkan seluruh kekuatan kita di Tanah Perdikan ini," geram pemimpin mereka.
"Jika mereka membantu Tanah Perdikan itu wajar sekali. Agung Sedayu adalah pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus itu. Tetapi ia juga salah seorang pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh," sahut seorang yang sudah separo baya. Namun masih menunjukkan betapa orang itu seorang yang tegar dan perkasa.
Pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu tidak menyahut. Namun ia telah mempercepat laju kudanya.
Tetapi orang yang sudah separo baya itu berkata, "Kita tidak tergesa-gesa. Kita akan menemui mereka di tepian, sesaat sebelum mereka menyeberang."
"Apakah pasti bahwa mereka akan pergi ke Mataram?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Bukankah kita dapat mengikuti jejak kaki kuda mereka" Jika ternyata tidak, maka kita memang harus segera mengambil langkah. Tetapi jika mereka lewat jalan ini, maka tujuan mereka agaknya tidak lain dari Kotaraja. Mereka akan mengambil lintas penyeberangan sebelah Utara," sahut orang yang sudah separo baya itu.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun ia mulai memperlambat laju kudanya yang meluncur seperti anak panah.
Dengan demikian, maka sepuluh orang berkuda itu tidak lagi harus berpacu dengan waktu. Orang-orang yang mereka kejar tidak akan sempat menyeberang Kali Praga saat mereka berhasil menyusul.
Selain mereka harus menunggu rakit yang akan menyeberang dan luang sehingga dapat membawa mereka, maka untuk naik kerakit dengan kuda-kuda mereka itu-pun tentu diperlukan waktu.
Meski-pun demikian, kesepuluh orang itu juga tetap memelihara laju kudanya agar mereka dapat menyusul keenam orang yang menurut perhitungan mereka akan menyeberang Kali Praga di penyeberangan sebelah Utara.
Dengan memperhatikan jejak keenam ekor kuda yang masih baru itu, kesepuluh orang itu melarikan kuda-kuda mereka. Sebagaimana mereka perhitungkan, maka jejak kaki kuda itu memang menuju ke penyeberangan sebelah Utara. Meski-pun bukan penyeberangan terbesar, tetapi ada juga beberapa rakit yang menghubungkan kedua tepian Kali Praga.
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih, Sabungsari dan keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu sudah menuruni tebing yang landai sampai ke tepian berpasir yang basah. Sebuah rakit yang sedang memuat beberapa bakul gula masih tertambat di sisi sebelah Barat. Namun rakit yang sudah terisi itu tidak akan dapat membawa mereka bersama-sama menyeberang. Kecuali hanya satu dua orang bersama kuda-kuda mereka.
Meski-pun demikian, Sabungsari berdesis, "Nah, siapa yang akan menyeberang lebih dahulu" Jika dua orang diantara kita dapat menyeberang bersama rakit itu, maka yang tersisa akan dapat menumpang satu rakit yang sedang bergerak kemari itu."
Keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Biarlah dua orang diantara kami menyeberang."
Tetapi ketika dua orang diantara para prajurit itu bergerak menuju ke rakit yang sedang memuat beberapa bakul gula kelapa tertegun ketika mereka mendengar derap kaki kuda diatas tebing.
Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu-pun berpaling. Mereka melihat diatas tebing beberapa orang berkuda berhenti sambil memandangi mereka yang sudah berada di tepian.
Glagah Putih-pun berdesis, "Berhati-hatilah. Mungkin mereka termasuk orang-orang berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan sepeninggal Resi Belahan."
"Mungkin sekali," sahut Sabungsari, "nampaknya mereka memang tidak bermaksud baik."
Para prajurit itu-pun kemudian telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Namun mereka adalah prajurit dari Pasukan Khusus. Apalagi mereka adalah orang-orang terpilih diantara mereka.
Beberapa saat kemudian orang-orang berkuda itu-pun juga menuruni tebing. Demikian mereka turun dari kuda, maka mereka-pun telah mendekati Glagah Putih dan kawan-kawannya.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi beruntunglah bahwa anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu-pun telah berceritera tentang orang-orang berkuda yang merusak pliridannya serta laporan dari para pengawal yang di perkemahan, sehingga sejak berangkat kemungkinan seperti yang terjadi itu sudah diperhitungkan.
Ketika dua orang diantara orang-orang berkuda itu kemudian mengikat kuda-kuda mereka, maka dua orang prajurit telah menuntun keenam ekor kuda mereka yang akan pergi ke Mataram dan mengikatnya pada patok-patok tempat mengikat rakit di tepian.
Orang yang memimpin sepuluh orang berkuda itu-pun kemudian bertanya, "Siapakah pemimpin diantara kalian?"
Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun prajurit yang tertua-pun segera menyahut, "Aku. Akulah yang bertanggung jawab atas kawan-kawanku para prajurit ini."
"Dan kedua orang ini?" bertanya pemimpin sekelompok orang berkuda itu.
"Mereka menempuh perjalanan bersama kami para prajurit. Dengan demikian, maka mereka tunduk dibawah perintahku sebagaimana para prajurit," jawab prajurit itu.
Pemimpin dari sekelompok orang berkuda itu mengangguk-angguk sambil memandangi Sabungsari dan Glagah Putih berganti-ganti. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah mereka orang Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya," jawab prajurit itu singkat.
"Bagus," sahut orang itu, "jika demikian, maka kalian tidak ada bedanya. Jika mereka berdua bukan orang Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka akan aku bebaskan dari hukuman. Tetapi karena mereka orang-orang Tanah Perdikan, maka mereka-pun akan menerima hukuman sebagaimana para prajaurit."
"Hukuman apa" Kenapa kami harus mendapat hukuman?"
"Kalian telah menghancurkan kawan-kawan kami. Para prajurit dari Pasukan Khusus dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh," jawab orang itu.
Prajurit tertua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kalian adalah kawan-kawan dari para perampok yang telah merampok dengan besar-besaran Tanah Perdikan Menoreh?"
"Kami bukan perampok. Tetapi kami mengemban tugas pengabdian yang luhur."
"Pengabdian?" bertanya prajurit tertua itu, "kepada siapa kalian mengabdi?"
"Kami mengabdi kepada cita-cita luhur pemimpin kami."
"Bagaimanakah ujud pengabdian kalian" Merampok Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya prajurit itu.
Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian ia berkata, "Apa-pun yang kami lakukan, sudah kami pikirkan masak-masak. Persoalannya sekarang tidak lagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami ingin membalas dendam sejauh dapat kami lakukan. Kami akan membunuh semua prajurit dari Pasukan Khusus dengan cara kami sebagaimana kami lakukan sekarang. Kami juga akan membunuh setiap anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh, apalagi para pengawal atau mereka yang berhubungan dengan para prajurit dari Pasukan Khusus yang telah membantu Tanah Perdikan Menoreh menggagalkan rencana kami."
"Rencanamu memang mengerikan Ki Sanak," sahut prajurit yang tertua itu, "tetapi sama sekali tidak menggetarkan jantung kami. Jumlah kalian tinggal beberapa orang, sementara kekuatan Tanah Perdikan Menoreh dan prajurit dari Pasukan Khusus itu masih tetap utuh."
"Kami bukan orang-orang dungu yang akan membenturkan kekuatan kami langsung dengan kekuatan Tanah Perdikan. Tetapi kami akan membunuh mereka seorang demi seorang."
"O," Sabungsarilah yang menyahut, "ancamanmu membuat buluku meremang. Kau kira seorang prajurit akan memberikan lehernya untuk dipenggal" Jika seorang prajurit mati dalam pertempuran, meski-pun dikeroyok, namun ia akan membawa satu atau dua lawannya serta. Nah, bukankah dalam waktu dekat, orang-orangmu akan segera habis, sementara itu di barak Pasukan Khusus itu sama sekali tidak terasa bahwa jumlah mereka berkurang?"
"Tidak," jawab orang itu, "kami akan membunuh kalian sekarang ini tanpa mengorbankan seorang-pun diantara kami."
"Kita akan melihat," jawab prajurit tertua itu, "siapakah yang akan terbujur di tepian ini."
Namun seorang yang lain, yang bertubuh kekurus-kurusan telah melangkah maju sambil berkata, "Ki Sanak. Tidak ada harapan bagi kalian untuk dapat hidup. Yang terbaik bagi kalian sekarang adalah memilih cara mati yang paling baik. Yang tidak menimbulkan penderitaan sama sekali. Tetapi jika kalian melawan, maka kamilah yang akan menentukan cara mati bagi kalian yang mungkin tidak kalian senangi."
Tetapi Sabungsari justru tertawa. Bahkan kemudian para prajurit itu-pun tertawa pula. Dengan nada tinggi Sabungsari berkata, "Kau pandai bergurau Ki Sanak. Aku senang mendengar guraumu yang lucu meski-pun mendebarkan."
"Aku tidak bergurau anak muda," geram orang itu, "aku berkata sesungguhnya. Dan aku tidak akan segan melakukannya."
"Kau tidak akan dapat melakukannya," berkata Sabungsari. "wajahmu nampak lembut. Tatapan matamu menunjukkan, bahwa kau adalah seorang yang hatinya seluas lautan. Sabar dan memuat segala persoalan tanpa pernah menjadi penuh. Kau tidak akan dapat marah dan akan memaafkan segala kesalahan orang lain."
Wajah orang itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menggeram, "Anak iblis. Jangan menyesal jika kau akan hancur menjadi debu."
Tetapi Sabungsari masih saja menjawab, "Jangan berpura-pura marah. Kau sama sekali tidak pantas untuk marah."
Kemarahan orang itu justru memuncak. Ia sadar bahwa anak muda dari Tanah Perdikan itu telah mempermainkannya. Karena itu, tiba-tiba ia bergeser selangkah surut. Kedua tangannya bergerak dengan cepat. Kedua telapak tangan menakup kemudian bergerak dalam putaran yang cepat.
Sabungsari, Glagah Putih dan keempat orang prajurit itu meloncat surut. Tiba-tiba saja pasir tepian itu berputar. Angin pusaran yang keras tiba-tiba saja timbul di hadapan mereka. Hanya sesaat. Tetapi segumpal pasir telah terbang naik ke udara. Kemudian pecah menghambur menghunjani orang-orang yang ada di tepian itu.
Wajah Sabungsari, Glagah Putih dan keempat prajurit itu menjadi tegang. Mereka sadar, bahwa orang itu belum benar-benar menyerang mereka. Yang dilakukan adalah sekedar menakut-nakuti keenam orang yang akan pergi ke Mataram itu.
Dengan suara bergetar karena kemarahannya, orang itu berkata, "Kalian telah melihat dengan mata kepala kalian sendiri, apa yang dapat kami lakukan. Menyerahlah. Jika kalian mencoba untuk melawan, maka kalian akan diangkat oleh angin pusaran yang jauh lebih besar. Kalian akan dilemparkan ke udara dan jatuh dari ketinggian yang tidak terhingga sesuai dengan keinginanku."
Tidak seorang-pun yang menjawab, meski-pun keenam orang dari Tanah Perdikan itu telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, orang itu berkata selanjutnya, "Tetapi aku dapat berbuat lain. Kalian akan aku putar untuk diangkat ke udara. Tidak begitu tinggi, namun kalian akan terhempas diatas batu-batu padas. Kalian tidak akan segera mati. Tetapi luka-luka kalian tidak akan dapat diobati karena setiap orang yang akan menolong kalian akan mengalami nasib yang sama."
Suasana memang menjadi tegang. Orang-orang yang ada di tepian itu menjadi ketakutan. Rakit yang memuat gula itu-pun segera bergerak ke seberang, sementara rakit yang akan merapat di tepian di sisi Barat, telah mengurungkan niatnya. Para penumpangnya-pun minta agar rakit itu kembali saja ke arah Timur.
Namun yang terjadi kemudian sangat mengejutkan orang yang mampu memutar pasir tepian dan melontarkannya ke udara itu. Ternyata orang-orang Tanah Perdikan ini tidak menjadi ketakutan. Bahkan Sabungsari dan Glagah Putih justru tertawa karenanya.
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan mata terbelalak ia memandang Sabungsari dan Glagah Putih berganti-ganti. Mereka masih muda, apalagi Glagah Putih. Tetapi mereka sama sekali tidak terkejut melihat ilmunya yang jarang ada duanya itu.
Bahkan keempat prajurit dan Pasukan Khusus itu-pun harus berpikir ulang, apa yang mereka lakukan untuk melawan ilmu orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu.
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, "Aku juga pernah melihat ilmu seperti itu. Debu, pasir dan daun-daun kering berterbangan di halaman rumah kakang Agung Sedayu. Seperti payung yang berwarna hitam kelabu. Namun, demikian orang yang melontarkan ilmu itu mati, maka ilmu itu lenyap dengan sendirinya."
"Setan kau," geram orang itu, "siapa kau yang telah berani meremehkan ilmuku?"
"Aku tidak meremehkan ilmumu. Ilmu itu menggetarkan jantungku. Tetapi bukan berarti bahwa justru karena itu kami harus menundukkan kepala dan menyerahkan leher kami."
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menjadi semakin marah. Dengan geram ia berkata, "Tangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membunuh mereka dengan caraku."
Kawan-kawan orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu-pun segera bersiap. Pemimpin mereka-pun telah mengulangi perintah itu. "Kepung mereka. Jangan ada seorang-pun yang melarikan diri. Mereka harus tertangkap hidup-hidup."
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera bersiap pula. Sabungsari dan Glagah Putih mulai bergeser. Namun Glagah Putih telah langsung menempatkan diri berhadapan dengan orang yang kekurus-kurusan itu.
"Ternyata kau seorang pemberani anak muda. Kau sudah melihat apa yang dapat aku lakukan. Namun kau sama sekali tidak merasa takut," geram orang yang kekurus-kurusan itu.
"Kenapa aku harus merasa takut?" Glagah Putih justru bertanya, "aku juga berpendapat bahwa kau bukan seorang pendendam. Kau tidak akan pernah marah kepada siapa-pun juga. Tatapan matamu memancarkan kelunakan hatimu."
"Cukup," teriak orang itu. Dengan kecepatan yang tinggi ia telah meloncat menyambar wajah Glagah Putih. Tetapi dengan kecepatan yang sama Glagah Putih telah menghindarinya. Selangkah ia bergeser kesamping sambil memiringkan wajahnya.
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, "Anak muda. Nampaknya kau memang memiliki bekal yang baik. Tetapi agaknya kau masih belum dapat menilai, apa yang sebenarnya kau hadapi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun desir angin yang timbul dari ayunan tangan orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu merupakan peringatan bagi Glagah Putih, bahwa kekuatan orang yang meski-pun tubuhnya nampak kekurus-kurusan itu, ternyata besar sekali.
Dengan demikian, maka Glagah Putih benar-benar harus berhati-hati menghadapi orang itu. Tetapi menurut perhitungan Glagah Putih, jika orang itu benar-benar ingin menangkapnya hidup-hidup maka ia tentu tidak akan segera mempergunakan ilmu pusarannya.
Sementara itu, sembilan orang yang lain-pun telah bergerak pula.
Ampat orang prajurit dari Pasukan Khusus serta Sabungsari telah bersiap menghadapi mereka.
Ketika orang-orang itu mulai bergerak, maka para prajurit-pun telah berloncatan pula. Mereka dengan sengaja telah bertempur bersama-sama. Namun karena Sabungsari tidak terbiasa melakukannya bersama para prajurit dari Pasukan Khusus itu, maka ia berusaha untuk dapat menyesuaikan diri agar tidak justru mengganggu para prajurit yang bertempur itu.
Ternyata keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu benar-benar prajurit pilihan. Meski-pun mereka menghadapi lawan yang lebih banyak, namun mereka masih juga mampu membuat lawan-lawannya itu berloncatan mundur.
Namun seorang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis berteriak, "Beri aku kesempatan menghancurkan mereka. Lingkari orang-orang itu. Kalian mempunyai banyak kesempatan jika ada diantara mereka yang terdesak."
Sabungsari dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun tanggap. Orang itu akan bertempur menghadapi mereka berlima. Namun kawan-kawannya akan membantunya menyerang dari kepungan yang segera akan mereka buat tanpa menghiraukan kawannya yang bertubuh kekurus-kurusan itu, karena orang itu dianggap akan dapat menyelesaikan lawannya, anak muda yang sombong itu.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian, maka delapan orang telah melingkari kelima orang itu. Mereka akan menyerang Sabungsari dan kawan-kawannya dari delapan arah. Sementara itu, seorang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu akan berada didalam lingkaran.
Sabungsari untuk sesaat membiarkan dirinya berada dalam kepungan. Ia ingin tahu apa saja yang akan dilakukan oleh orang yang berkumis tipis serta kawan-kawannya.
Sejenak kemudian, maka delapan orang yang berada di lingkaran yang memutari kelima orang itu telah menyiapkan senjata mereka. Dengan garangnya mereka menyerang seorang demi seorang. Bahkan kadang-kadang dua tiga orang maju bersama-sama dari arah yang berbeda, sementara orang yang berkumis tipis yang ada didalam lingkaran itu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak menjadi bingung. Mereka-pun telah menggenggam senjata mereka menangkis setiap serangan yang datang dari beberapa arah. Namun para prajurit itu-pun telah mengahadapi ke beberapa arah pula.
Orang yang berkumis tipis yang ada di halaman lingkaran itu ternyata tidak dapat berbuat sebagaimana direncanakan. Orang itu ingin menguasai kelima orang yang ada didalam kepungan itu, selagi mereka menjadi kebingungan karena ujung-ujung senjata dari kedelapan kawan-kawannya. Bahkan tanpa dibicarakannya lebih dahulu Sabungsari dan para prajurit itu seakan-akan telah membagi tugas. Keempat prajurit itu menghadapi delapan orang yang mengepung mereka dan menyerang dari delapan penjuru, sedang Sabungsari menghadapi orang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu.
Demikian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sulit. Bahkan kemudian Sabungsari tidak lagi merasa bebas bertempur diantara para prajurit dan Pasukan Khusus. Ruang geraknya terasa menjadi terlampau sempit.
Namun ternyata orang yang berkumis tipis itu juga merasa demikian. Justru karena rencananya tidak berjalan sebagaimana dikehendaki, karena diantara lima orang kawan-kawannya itu terdapat seorang yang agaknya memiliki kelebihan dari kawan-kawannya, maka orang itu telah berusaha memancing Sabungsari keluar dari lingkaran.
"Beri kami jalan. Aku akan menyelesaikan yang satu ini lebih dahulu."
Namun orang-orang yang memimpin kelompok itu berteriak, "Tangkap orang itu hidup-hidup."
"Aku akan menangkapnya hidup-hidup meski-pun kaki dan tangannya akan patah," sahut orang berkumis tipis itu.
Sabungsari yang juga merasa terlalu sempit bertempur didalam kepungan itu-pun kemudian tidak menunggu lebih lama lagi ketika lawannya itu berteriak, "Ternyata kau memiliki kelebihan dari kawan-kawanmu. Marilah, kita bertempur di tempat terpisah."
Ketika orang itu meloncat keluar dari lingkaran, maka Sabungsari-pun segera cepat menyusulnya pula. Sementara itu, keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu harus bertempur melawan delapan orang lawan.
Namun ternyata delapan orang itu tidak menggetarkan jantung para prajurit itu. Meski-pun mereka harus mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri. Namun kedelapan orang itu tidak memiliki kemampuan sebagaimana orang berkumis tipis yang kemudian bertempur melawan Sabungsari itu. Apalagi seperti orang yang bertubuh kekurus-kurusan yang sedang bertempur melawan Glagah Putih.
Dalam pada itu, Sabungsari yang telah berada diluar lingkaran, justru merasa mendapat kebebasan lebih banyak untuk menghadapi lawannya. Orang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu ternyata telah menggenggam pedang di tangannya. Dengan lantang orang itu berkata, "Anak muda. Kau telah menimbun kemarahanku atas dirimu sendiri dengan perbuatanmu. Seharusnya yang kau menyadari apa yang akan terjadi atas dirimu dengan tingkahmu itu."
"Ya," jawab Sabungsari, "aku tahu bahwa aku akan mampu membebaskan diri dari dendam yang membakar jantungmu. Sebenarnyalah bahwa dendam itu akan menghancurkan isi dadamu sendiri."
Orang itu tidak menjawab. Namun pedangnya telah berputar dengan cepat. Kemudian dengan loncatan pendek, pedangnya telah terjulur lurus ke arah dada Sabungsari.
Sabungsari meloncat surut. Namun ketika ia berdiri tegak, maka ia-pun telah menarik pedangnya pula.
"Bagus anak muda," berkata orang berkumis tipis itu, "aku ingin tahu seberapa tinggi ilmu pedangmu."
Sabungsari bergeser kesamping sambil menjawab, "Kita akan melihat, siapakah yang akan keluar dari arena ini dengan selamat."
Lawan Sabungsari itu tidak menjawab lagi. Tetapi serangan-serangannya datang beruntun dengan cepatnya.
Meski-pun demikian Sabungsari tidak menjadi bingung. Dengan cepat ia menghindari setiap serangan. Namun kemudian pedangnya yang mematuk dengan cepatnya.
Dalam pada itu, orang-orang yang ada di tepian itu-pun telah menyingkir semua. Mereka yang menyebrang ke Timur. Telah merapat di tepian sebagaimana rakit yang justru telah kembali ke Timur.
Tetapi ternyata ada diantara mereka yang tidak segera meninggalkan tepian. Yang sedikit mempunyai keberanian justru ingin melihat dari seberang Kali praga. Apa yang telah terjadi di tepian sebelah Barat itu. Namun yang hatinya rapuh, segera berlari menjauhkan dirinya.
Sementara itu, Glagah Putih Yang bertempur melawan orang yang kekurus-kurusan itu berloncatan dengan cepatnya. Ternyata lawannya mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih-pun harus berusaha untuk mengimbanginya.
Namun sebenarnyalah lawannya justru merasa heran, bahwa lawannya yang masih terhitung amat muda itu, mampu mengimbanginya. Karena itu, maka ketika ia sempat mengambil jarak, maka ia-pun bertanya, "Anak muda. Aku tidak ingkar, bahwa kau termasuk anak muda yang luar biasa. Siapakah kau sebenarnya ?"
"Aku adalah satu dari antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh," jawaban Glagah Putih.
Orang yang kekurus-kurusan itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Apakah maksudmu mengatakan bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memiliki kemampuan sebagaimana kemampuanmu ?"
"Aku tidak mengatakan demikian. Aku hanya mengatakan bahwa aku adalah salah seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Demikian juga kawanku itu. Ia juga salah seorang pengawal sebagaimana aku," jawab Glagah Putih.
Orang itu memang sempat sekali-sekali melihat apa yang terjadi dengan kawan-kawannya. Ia memang melihat anak muda yang seorang lagi itu juga mampu mengimbangi kemampuan kawannya yang berkumis tipis itu.
Tetapi orang tidak meyakini bahwa kemampuan kedua anak muda itu adalah kemampuan rata-rata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, maka ia-pun bertanya, "Siapa namamu anak muda. Jika kau mati dengan cara yang sangat menyakitkan, biarlah aku tetap mengenang bahwa aku pernah membunuh seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi."
Glagah Putih yang kemudian telah bertempur lagi dengan garangnya menjawab, "Namaku Glagah putih, Ki Sanak."
"Glagah Putih," orang itu mengulang, "nama yang baik. Aku kelak akan dapat berceritera bahwa aku pernah membunuh Glagah Putih salah seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa."
Sambil meloncat surut menghindari serangan lawannya, Glagah Putih bertanya, "Ki Sanak. Kau sudah mengetahui namaku. Coba sebutkan, siapakah namamu, agar kelak aku juga dapat berceritera bahwa hari ini aku akan dibunuh oleh seorang pendendam yang telah kehilangan beberapa kawannya di Tanah Perdikan Menoreh."
"Anak iblis kau. Kau tidak akan dapat berceritera kepada siapa-pun. Kau akan mati hari ini," geram orang itu.
"Tetapi kau belum menjawab, siapa namamu," sahut Glagah Putih.
Tetapi orang itu tidak segera menjawab. Namun ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi Glagah Putih-pun dengan tangkasnya menghindari serangan itu.
Orang itu mengumpat kasar. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Meski-pun tubuhnya nampak kekurus-kurusan dan umurnya sudah merambat menjelang hari-hari tuanya, namun ternyata orang itu masih sangat tangkas. Kekuatannya masih sangat besar sehingga Glagah Putih benar-benar harus berhati-hati menghadapinya.
Namun dalam umurnya yang masih muda, Glagah Putih telah memiliki pengalaman yang luas. Beberapa kali ia bertempur melawan orang berilmu tinggi. Karena itu, menghadapi orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, Glagah Putih tidak menjadi gelisah.
Yang kemudian melompat mengambil jarak adalah Glahgah Putih. Demikian ia berdiri tegak, maka kemudian ia-pun bertanya, "He, kau belum menjawab Ki Sanak. Siapa namamu."
Orang itu justru tertegun. Ia tidak segera memburu Glagah Putih.
Namun ia menyempatkan diri menjawab, "Namaku Sana Kikis."
"Sana Kikis," ulang Glagah Putih, "aku pernah mendengar nama itu."
"Mungkin sekali," jawab Sana Kikis, "banyak orang telah mengenal namaku."
"Bukankah kau salah seorang pemimpin dari orang-orang yang berkemah di sebelah pebukitan ?" bertana Glagah Putih.
"Ya. Bukankah aku sudah mengatakannya ?" jawab Sana Kikis.
"Tetapi kenapa kau tidak ikut menyerang Tanah Pewrdikan Menoreh ?" bertanya Glagah Putih pula.
"Aku terlambat. Aku sedang melakukan satu tugas. Ketika aku kembali maka aku tinggal menemukan sisa-sisa dari pasukan kami. Seorang yang dapat aku jumpai memberikan laporan bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan para prajurit dari Pasukan Khususlah yang telah menghancurkan kawan-kawanku. Karena itu, maka kehancuran itu harus kalian tebus dengan harga yang sepantasnya beserta bunganya sama sekali."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia melihat dimata orang itu, bayangan dendam yang tiada taranya. Meski-pun demikian Glagah putih berkata, "Kau seharusnya tidak mendendam. Wajahmu bukan wajah pendendam. Seandainya kau lakukan juga rencanamu yang mengerikan ini, tentu tidak tumbuh dari hatimu sendiri."
Kemarahan Ki Sana Kikis telah sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu, maka ia tidak berbicara lagi. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang. Tangannya terayun deras menyambar ke arah kening Glagah Putih.
Namun Glagah Putih dengan cepat menghindar. Demikian tangan Ki Sana Kikis terayun lewat sejengkal dari kepalanya, maka kaki Glagah Putihlah yang terayun mendatar ke arah lambung.
Tiga Mutiara Mustika 4 Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Topan Di Borobudur 3
Karena itulah agaknya keadaan Agung Sedayu nampak lebih baik, meski-pun Sekar Mirah tidak yakin bahwa luka Rara Wulan lebih parah dari luka Agung Sedayu.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih yang melihat keadaan Agung Sedayu sudah menjadi lebih baik, telah minta diri untuk kembali melihat keadaan Rara Wulan.
"Bagaimana keadaannya ?" bertanya Agung Sedayu.
"Keadaannya sudah mulai membaik kakang. Tetapi agaknya keadaannya berbeda dengan keadaan kakang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Meski-pun berbeda, tetapi bukankah Rara Wulan sudah menjadi lebih baik " Yang penting bahwa luka itu tidak membahayakan jiwanya."
"Ya, kakang," jawab Glagah Putih.
"Jika demikian, pergilah. Hati-hati diperjalanan," pesan Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Glagah Putih-pun meninggalkan rumah Agung Sedayu untuk kembali ke rumah Ki Gede Menoreh. Di regol ia bertemu dengan Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa. Glagah Putih berhenti untuk berbincang sebentar. Namun kemudian ia-pun segera pergi untuk melihat keadaan Rara Wulan.
Jalan-jalan padukuhan induk itu memang menjadi semakin sepi. Tetapi sekali-sekali sekelompok pengawal bersenjata lewat untuk meronda dan mengamati keadaan.
Tetapi agaknya keadaan telah menjadi tenang. Tidak ada lagi gejolak yang tiba-tiba muncul. Apalagi di beberapa simpang tiga dan simpang empat masih nampak para pengawal berjaga-jaga.
Ketika Glagah Putih kemudian sampai ke rumah Ki Gede, maka Ki Gede sedang berada di pendapa bersama beberapa orang perempuan yang masih mengungsi di rumah Ki Gede. Mereka masih belum berani pulang ke rumah mereka. Apalagi mereka yang suaminya ikut dalam pertempuran.
Namun Ki Gede selalu membesarkan hati mereka. Menghibur mereka dan menenggelamkan diri dalam suasana perasaan para pengungsi itu.
Tetapi sebenarnyalah Ki Gede mengetahui, bahwa esok pagi, setelah diketahui dengan pasti, beberapa orang korban yang gugur, maka Tanah Perdikan tentu akan diliputi oleh suasana berkabung.
Seperti yang pernah terjadi, jika Tanah Perdikan dilanda oleh perang, maka selain darah, air mata-pun akan menitik membasahi bumi Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Gede yang duduk di pendapa melihat anak-anak yang sudah mulai berbaring diatas tikar yang digelar, telah mempersilahkan Glagah Putih untuk masuk dan langsung pergi ke serambi.
Rara Wulan yang masih berbaring di pembaringannya, berusaha untuk bangkit ketika ia mengetahui bahwa Glagah Putih telah datang. Namun seorang perempuan yang menungguinya telah menahannya sambil berdesis, "Jangan bangkit dahulu ngger. Bukankah tabib itu berpesan, bahwa sampai besok pagi-pagi angger diminta untuk tetap berbaring."
"Tetapi aku sudah tidak merasa sakit lagi bibi," jawab Rara Wulan.
"Tetapi darah angger akan dapat mengalir lagi," jawab perempuan itu.
Sementara itu Glagah Putih yang telah berdiri di sebelah pembaringan itu-pun berjongkok sambil berkata, "Wulan. Kau masih harus beristirahat sepenuhnya. Kau masih belum boleh banyak bergerak. Jika kau langgar pesan tabib itu, maka keadaanmu tidak akan menjadi semakin baik."
"Tetapi rasa-rasanya aku sudah tidak sakit lagi, kakang."
"Tetapi lukamu tentu masih terasa pedih," berkata Glagah Putih.
Rara Wulan tidak menjawab lagi. Tetapi lukanya memang masih terasa pedih.
Perempuan yang menungguinya itu-pun kemudian beringsut setapak. Namun perempuan itu-pun bertanya, "Apakah angger akan minum atau makan ?"
"Terimakasih bibi. Aku masih belum lapar," jawab Rara Wulan.
Perempuan itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia justru minta ijin untuk pergi ke pakiwan sebentar.
Glagah Putihlah yang kemudian menunggui Rara Wulan yang sedang terluka itu. Tidak banyak yang mereka ucapkan lewat kata-kata. Tidak terdengar ucapan-ucapan yang melambung tinggi sejauh mimpi anak-anak muda. Namun perasaan merekalah yag paling menangkap getar yang memancar dari gelora dada masing-masing.
Glagah Putih sama sekali tidak merasa bahwa waktu merayap terus. Bahkan rasa-rasanya berlalu terlalu cepat. Baru beberapa patah kata saja rasa-rasanya yang mereka ucapkan. Tidak lebih dari beberapa pertanyan tentang keadaan masing-masing serta keadaan hubungan mereka. Sedikit tentang langit yang tidak dilapisi mendung serta bintang-bintang yang nampak bergayutan. Selebihnya mereka lebih banyak diam.
Glagah Putih terkejut mendengar kentongan yang berbunyi dalam irama Dara Muluk. Sambil mengerutkan keningnya Glagah Putih berdesis, "Begitu cepatnya waktu berlalu."
Rara Wulan-pun berdesis pula, "Tengah malam."
"Ya," jawab Glagah Putih.
Rara Wulan tidak menyahut. Sementara itu Glagah Putih berkata lagi, "Dimana perempuan yang menungguimu ?"
"Biar saja ia beristirahat. Mungkin perempuan itu juga merasa letih duduk disini sehari-hari," jawab Rara Wulan.
"Tetapi ini sudah tengah malam. Aku akan berada diluar bilik di serambi ini," berkata Glagah Putih.
"Apakah kau akan kembali ke rumah kakang Agung Sedayu ?" Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku akan tetap disini. Aku akan berada di pendapa."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, "Diluar ada dua atau tiga orang prajurit yang berjaga-jaga."
Glagah Putih memandang kepintu sejenak. Tetapi telinganya yang tajam memang mendengar suara di luar pintu. Karena itu ia berkata, "Sokurlah. Bagaimana-pun juga kita harus berhati-hati."
Demikianlah, maka Glagah Putih-pun telah meninggalkan bilik di serambi itu. Ketika ia keluar dari pintu, maka dilihatnya perempuan yang menunggu Rara Wulan itu duduk di amben bambu panjang sambil bersandar dinding. Nampaknya ia-pun merasa sangat letih, sehingga perempuan itu tertidur sambil duduk.
Glagah Putih yang lewat itu-pun sempat berdesis, "Bibi aku akan berada di pendapa."
Perempuan itu tergagap. Sambil mengusap wajahnya ia berkata, "Aku tertidur ngger."
"Bibi sangat letih," berkata Glagah Putih.
"Tidak. Aku tidak letih. Aku hanya mengantuk saja," jawab perempuan itu. Namun ia-pun kemudian bertanya, "Kenapa angger tinggalkan angger Rara Wulan sendiri ?"
"Aku persilahkan bibi menungguinya. Aku akan ke pendapa," jawab Glagah Putih.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa GIgah Putih tentu merasa segan untuk berada di bilik itu hanya dengan Rara Wulan saja.
Ketika Glagah Putih berada di pendapa, maka ternyata Ki Gede-pun masih duduk di pendapa. Perempuan dan anak-anak tertidur di tikar pandan yang dibentangkan di seluas pendapa itu. Di serambi gandok yang terbuka beberapa orang laki-laki tua duduk sambil berbincang. Namun ada diantara mereka yang telah tertidur pula dengan nyenyaknya berselimut kain panjang, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di padukuhan induk di Tanah Perdikan.
Dalam pada itu, selain di rumah Ki Gede, maka di banjar-pun tentu juga dipenuhi oleh para pengungsi. Perempuan, anak-anak dan laki-laki tua yang sudah tidak dapat banyak berbuat karena tenaga wadag-nya yang telah jauh susut.
Glagah Putih-pun kemudian telah duduk di dekat Ki Gede. Ki Gede ingin mendengar apa yang telah terjadi di rumah Agung Sedayu, yang menjadi sasaran orang-orang yang berilmu tinggi yang berada di padepokan.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar tentang beberapa orang yang terluka. Bahkan termasuk Agung Sedayu sendiri.
"Bukankah mereka sudah mendapatkan pengobatan yang baik ?" bertanya Ki Gede.
"Ya, Ki Gede," jawab Glagah Putih, "kakang Agung Sedayu sendiri yang mengatur pengobatan dan dilakukan oleh Ki Ajar Gurawa, Ki Lurah Branjangan dan Sabungsari."
"Bagaimana dengan angger Sekar Mirah " Bukankah angger Sekar Mirah juga terluka ?" bertanya Ki Gede.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Agaknya luka itu akan diobati pula oleh Ki Ajar Gurawa atau Ki Lurah Branjangan, Ki Gede."
Ki Gede mengangguk-angguk pula. Katanya, "Jika angger Sekar Mirah lupa akan lukanya sendiri meski-pun hanya segores kecil, namun luka itu akan dapat berbahaya. Apalagi jika senjata lawannya berkarat atau beracun,"
"Kakang Agung Sedayu akan dapat mengenali jenis luka-luka itu Ki Gede," desis Glagah Putih.
"Tetapi bukankah angger Agung Sedayu sendiri terluka cukup parah ?" bertanya Ki Gede.
"Ya, Ki Gede. Tetapi setelah mendapatkan pengobatan serta melakukan samadi, maka kakang Agung Sedyu sudah menjadi sedikit baik. Kakang Agung Sedayu sudah dapat duduk tanpa terjadi pendarahan lagi meski-pun masih belum dapat bergerak lebih banyak."
"Angger Agung Sedayu memang seorang yang jarang ada duanya," desis Ki Gede.
Sementara itu beberapa orang yang membawa obor telah memasuki halaman rumah Ki Gede. Ternyata Prastawa telah pulang bersama sekelompok pengawal serta membawa beberapa orang tawanan yang berhasil ditangkap di perkemahan.
Dengan demikian maka Ki Gede-pun menjadi sibuk menerima kedatangan mereka. Bahkan Glagah Putihpam telah ikut membantunya pula.
Tetapi di pendapa, serambi gandok bahkan di serambi rumah Ki Gede, sudah tidak ada tempat lagi bagi beberapa orang tawanan. Karena iru, maka mereka terpaksa ditempatkan dibawah sebatang pohon kemiri di halaman rumah Ki Gede itu.
"Bukan maksud kami berbuat sewenang-wenang atas kalian, siapa-pun kalian. Tetapi memang sudah tidak ada tempat lagi bagi kalian. Di pendapa itu perempuan dan anak-anak yang sedang mengungsi. Sedangkan di serambi penuh dengan orang yang terluka. Mereka yang gugur terpaksa ditempatkan di banjar. Semuanya itu terjadi karena tingkah kalian semuanya," berkata Prastawa.
"Bukan kami," jawab seorang yang berjanggut lebat.
"Siapa " Resi Belahan " Ki Tempuyung Putih atau siapa " Tetapi bukankah kalian pengikut-pengikut mereka ?"
"Kami hanya melakukan perintah mereka," jawab orang berjanggut lebat. Lalu katanya, "merekalah yang bertanggung jawab."
"Bahwa kalian bersedia melakukan perintah mereka itu-pun menuntut satu pertanggungan jawab," sahut Prastawa.
Orang-orang itu terdiam. Mereka memang tidak dapat ingkar, apa-pun yang mereka lakukan didalam lingkungan pasukan yang dipimpin oleh Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih memang menuntut satu pertanggungan jawab. Karena berada didalam pasukan itu sudah merupakan satu pilihan.
Malam itu, Tanah Perdikan bagaikan tidak tidur sama sekali. Para pengawal yang meronda tidak saja melintasi jalan-jalan, tetapi juga halaman-halaman rumah. Para pengawal itu masih memperhitungkan kemungkinan bahwa mungkin sekali ada lawan yang bersembunyi dan tertinggal sehingga mereka akan dapat melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya. Tetapi mungkin juga masih ada kawan atau lawan yang terluka berat sehingga tidak dapat beringsut dari tempatnya atau bahkan mereka yang gugur.
Ketika kemudian fajar menyingsing, maka Prastawa minta para pemimpin kelompok pengawal untuk memberikan nama-nama dari pengawal, anak-anak muda dan laki-laki yang ikut dalam pertempuran, yang gugur, terluka atau belum diketemukan. Para pemimpin kelompok itu mendapat waktu sampai menjelang tengah hari.
Sementara itu, ternyata keadaan Rara Wulan sudah berangsur baik. Meski-pun ternyata hampir semalam ia tidak tidur. Ketika Glagah Putih meninggalkan biliknya, maka lukanya seakan-akan terasa semakin nyeri. Beberapa kali Rara Wulan berdesah menahan sakit, sehingga perempuan yang menungguinya duduk dekat-dekat pembaringannya. Perlahan-lahan diusapnya telapak tangan Rara Wulan. Dihiburnya Rara Wulan dengan kata-kata lembut.
Menjelang fajar, tabib yang mengobatinya telah datang melihat keadaan lukanya. Kemudian ditaburinya luka itu dengan obat yang baru.
Perasaan sakit yang menggigit di luka Rara Wulan-pun menjadi berkurang. Meski-pun demikian tangan kiri Rara Wulan rasa-rasanya masih sakit bila digerakkannya, meski-pun hanya ujung jarinya.
Ketika tabib itu meninggalkan bilik Rara Wulan, barulah Glagah Putih memasuki bilik itu. Sementara itu langit menjadi terang.
Demikian Glagah Putih ada didalam bilik itu, maka perasaan sakit dan nyeri pada luka Rara Wulan seakan-akan menjadi semakin susut.
Dalam pada itu, di rumahnya Agung Sedayu-pun telah menjadi semakin baik. Seperti Agung Sedayu, maka menjelang fajar Ki Jayaraga yang mengalami luka dalam yang cukup parah telah dapat bangkit dan duduk meski-pun masih harus dibantu oleh Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan. Keadaan Ki Jayaraga telah memungkinkan untuk memusatkan nalar budi, mangatur pernafasannya.
Karena itu, maka Ki Jayaraga-pun kemudian telah duduk bersila. Kedua tangannya telah diletakannya di pangkuannya. Kepalanya tertunduk dengan mata terpejam, Ki Jayaraga berusaha menguasai dan mengenali keadaan segenap simpul syaraf dan urat nadinya.
Namun dalam pada itu, Wacana masih harus berbaring dengan lemahnya. Pengobatan yang diberikan memang sudah terasa pengaruhnya. Namun masih saja merasa bahwa tubuhnya terlalu lemah.
Titik air terasa sangat sulit ditelannya.
Ketika hal itu diberitahukan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu memang menjadi sangat prihatin. Meski-pun keadaannya sendiri masih belum terlalu baik, namun dibantu oleh Sabungsari, Agung Sedayu telah berjalan perlahan-lahan ketempat Wacana berbaring.
Bagaimana-pun juga, namun kemampuan pengobatan Agung Sedayu masih terbatas. Karena itu, maka apa yang dapat dilakukannya masih belum memuaskannya sendiri.
Karena itu, maka Agung Sedayu masih harus minta pertimbangan Ki Ajar Gurawa, Ki Lurah Branjangan dan bahkan Ki Jayaraga setelah Ki Jayaraga sendiri keadaannya menjadi semakin baik.
Tetapi sejauh mereka lakukan, namun keadaan Wacana masih belum memberikan pertanda yang cerah.
Meski-pun demikian Agung Sedayu tidak berputus asa. Sambil memohon kepada Yang Maha Agung mereka masih akan berusaha untuk meringankan beban Wacana.
Sementara itu kedua murid Ki Ajar Gurawa justru sudah menjadi semakin baik. Seorang diantara mereka sudah dapat pergi ke pakiwan sendiri meski-pun masih belum dapat menimba air. Kepada Mandira yang hanya tergores pahanya, murid Ki Ajar Gurawa itu berkata, "Apakah kau sudah mandi ?"
"Sudah," jawab Mandira, "Kenapa ?"
"Kau sisakan air di jambangan ?" bertanya orang itu pula.
"Apakah air itu boleh aku pakai " Aku sendiri belum dapat menimba sendiri," desis murid Ki Ajar Gurawa itu selanjutnya.
Mandira tertawa. Katanya, "Kenapa kau tidak mengatakan saja, agar aku menimba air bagimu ?"
Murid Ki Ajar itu-pun tertawa. Katanya, "Aku takut kau tersinggung."
"Kenapa tersinggung," bertanya Mandira, "aku mengerti bahwa kau terluka cukup parah, sehingga kau tidak dapat menimba air itu sendiri."
"Terima kasih atas pengertianmu itu," desis murid Ki Ajar.
"Dan atas air itu ?" bertanya Mandira.
"Terima kasih sekali," jawab murid Ki Ajar.
Mandira tertawa berkepanjangan, sementara murid Ki Ajar itu berkata, "Bukankah sudah cukup " Dua kali aku mengucapkan terima kasih. Satu untuk pengertianmu dan dua untuk airmu."
"Sudah, sudah cukup," jawab Mandira yang masih saja tertawa, "Akulah yang kemudian harus mengucapkan terima kasih."
Murid Ki Ajar itu masih akan menjawab, namun Mandira sudah melangkah sambil berkata, "Aku akan ke pakiwan untuk mengisi jambangan. Nah, bukankah begitu ?"
Murid Ki Ajar tidak menjawab. Tetapi ia masih juga tertawa.
Demikianlah, maka hari itu, kesibukan di padukuhan induk Tanah Perdikan itu justru menjadi semakin meningkat. Para tabib sibuk mengobati orang-orang yang terluka. Sementara itu persiapan pemakaman mereka yang gugur-pun telah dilakukan. Beberapa orang tengah menggali lubang di kuburan. Sementara itu di lereng bukit, di dekat kuburan tua yang sudah tidak dipergunakan lagi meski-pun setiap kali masih sering dibersihkan, telah disiapkan pula kuburan bagi para penyerang yang terbunuh di pertempuran.
Bagaimana-pun juga, orang-orang Tanah Perdikan tidak memperlakukan sosok-sosok tubuh itu dengan semena-mena.
Sementara itu, maka perempuan dan anak-anak serta laki-laki tua yang mengungsi di rumah Ki Gede dan di banjar-pun telah berangsur mneninggalkan tempat pengungsian. Para pengawal, anak-anak muda dan para bebahu Tanah Perdikan telah membantu para pengungsi itu. Sedangkan para keluarga mereka yang ikut mempertahankan Tanah Perdikan masih terikat dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing, sehingga dapat diketahui dengan pasti, berapa korban yang gugur, berapa yang terluka berat dan terluka ringan.
Kesibukan yang lain juga terjadi di bekas perkemahan para pengikut Resi Belahan. Para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ikut bertugas ditempai itu telah mengumpulkan barang-barang berharga yang ternyata banyak terdapat di perkemahan itu. Agaknya Resi Belahan benar-benar telah mempersiapkan perkemahannya untuk jangka panjang. Bersama beberapa orang Resi Belahan telah mempersiapkan sebuah landasan untuk meloncat ke Mataram di Tanah Perdikan itu.
Dalam kesibukan itu, Ki Gede telah mengirimkan utusan ke beberapa Kademangan tetangga Tanah Perdikan Menoreh. Terutama beberapa Kademangan yang telah tersentuh oleh kegiatan orang-orang yang berada di perkemahan itu, bahkan yang telah dengan terpaksa menyerahkan korban keganasan beberapa orang diantara para pengikut Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih.
Kesibukan juga nampak di beberpa padukuhan yang lain. Beberapa padukuhan kecil yang juga menjadi sasaran semua serangan para pengikut Resi Belahan. Betapa-pun kecilnya kekuatan yang menyerang padukuhan-padukuhan kecil itu, namun korban dari kedua belah pihak-pun telah jatuh.
Di rumah Agung Sedayu, secara khusus tubuh Bajang Bertangan Baja mendapat kehormatan sebagaimana para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang gugur. Meski-pun Bajang Bertangan Baja yang juga disebut Bajang Bertangan Embun pernah melakukan perbuatan yang tidak terpuji, namun di bagian terakhir dari hidupnya, Bajang Bertangan Baja telah bertempur di Pihak Tanah Perdikan Menoreh. Meski-pun Agung Sedayu dan beberapa orang di rumah itu mengetahui, bahwa kesediaan Bajang Bertangan Baja itu bertempur bersama-sama orang-orang Tanah Perdikan Menoreh lebih banyak diwarnai oleh dendam di hatinya terhadap Ki Tempuyung Putih serta orang-orang perkemahan yang telah menyiksanya, sehingga hampir saja ia akan menjadi korban bagi Resi Belahan yang merasa kehilangan Ki Manuhara. Bukan saja orangnya, tetapi juga arah perjuangannya. Bajang Bertangan Baja adalah orang yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan dan bahkan jalan sesat yang ditempuh oleh Ki Manuhara itu.
Kesibukan yang lain adalah kesibukan beberapa orang yang mempersiapkan makan dan minum bagi orang-orang Tanah Perdikan yang sedang melakukan tugasnya. Bahkan para pengungsi-pun masih disediakan makan dan minum, karena diperhitungkan bahwa mereka masih belum sempat melakukannya sendiri di rumah, karena mereka baru saja kembali dari pengungsian.
Lewat tengah hari, maka para pemimpin kelompok pengawal telah berkumpul di padukuhan induk. Mereka telah siap memberikan laporan tentang para pengawal, anak-anak muda dan bahkan orang-orang yang lebih tua namun yang masih merasa mampu turun ke medan perang.
Prastawa yang ada di pendapa ramah Ki Gede menjadi berdebar-debar. Nama itu akan membuat seisi Tanah Perdikan berkabung. Sebagaimana sering terjadi dalam kerusuhan-kerusuhan yang memungut korban, maka bumi Tanah Perdikan yang telah basah oleh darah itu, akan dibasahi lagi oleh air mata.
Di rumah Agung Sedayu, mereka yang terluka telah menjadi lebih baik. Bahkan Rumeksa-pun telah nampak semakin segar. Hanya Wacana sajalah yang ternyata masih dalam keadaan yang mencemaskan. Meski-pun Wacana telah dapat berbicara, dengan lebih lancar, namun tubuhnya masih terlalu lemah.
Untuk mendapatkan hasil terbaik, maka Agung Sedayu telah minta tabib yang dianggap terbaik di Tanah Perdikan itu untuk datang melihat keadaan Wacana. Namun tabib itu tidak dapat berbual lebih baik dari apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu.
"Angger memiliki kemampuan pengobatan yang tinggi," berkata tabib itu.
"Aku baru belajar," jawab Agung Sedayu, "aku mendapat pengetahuan ini dari guruku dan bahkan dari Bajang Bertangan Baja."
Tetapi tabib itu menyahut, "Ketika Angger Agung Sedayu baru belajar, kemampuan angger sudah sedemikian tinggi dalam bidang pengobatan. Apalagi jika pada saatnya angger sudah merasa tuntas, maka angger akan menjadi seorang tabib yang pinunjul."
"Kau selalu memuji," desis Agung Sedayu.
"Tidak. Aku tidak sekedar memuji. Apa yang angger lakukan selagi angger sendiri dalam keadaan seperti itu, menunjukkan betapa angger memiliki pengetahuan yang luas tentang pengobatan. Karena itu, maka aku sudah tidak dapat berbuat lebih baik dari yang angger lakukan," berkata tabib itu.
Namun Agung Sedayu menjawab, "Bukan aku yang melakukannya. Tetapi Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan."
"Ya, ya. Aku mengerti. Tetapi semuanya itu berdasarkan atas petunjuk angger Agung Sedayu," jawab tabib itu.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa lukanya menjadi agak nyeri. Namun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan sakitnya itu.
Tabib itu-pun kemudian meninggalkan rumah Agung Sedayu. Yang dapat dilakukan hanyalah sekedar melengkapi obat-obatan yang sudah ada di rumah itu.
Sebenarnyalah sebagaimana sudah diperhitungkan oleh para pemimpin di Tanah Perdikan itu, bahwa ketika nama-nama korban yang gugur di pertempuran sudah mendekati kepastian, serta kemudian diumumkan, suasana berkabung telah mencekam Tanah Perdikan itu. Terdengar suara tangis dimana-mana. Bukan saja dipadukuhan induk. Tetapi di padukuhan-padukuhan yang sempat menjadi ajang pertempuran, beberapa orang perempuan harus menangis karena kehilangan suami atau anaknya atau keluarganya yang lain. Bahkan di padukuhan induk dari padukuhan-padukuhan yang lain telah menyerahkan beberapa orang korbannya pula.
Setiap kali hal itu terjadi, maka Ki Gede selalu merasa betapa kecil kuasanya. Ia mampu memerintah Tanah Perdikan itu dengan baik. Ia termasuk seorang yang dihormati dan disegani. Wibawanya diakui oleh seisi Tanah Perdikan, bahkan oleh Kademangan-kademangan di sekitarnya. Namun ternyata Ki Gede tidak mampu membuat Tanah Perdikan menjadi satu lingkungan yang tenang dan damai, tanpa permusuhan dan bahkan kekerasan.
Dalam keadaan yang demikian, Ki Gede hanya mampu menengadahkan hatinya kepada Yang Maha Agung yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya.
Hari itu iring-iringan tubuh mereka yang telah gugur telah dibawa kemakam yang khusus bagi mereka yang telah mengorbankan jiwanya bagi Tanah Kelahiran.
Namun dalam pada itu, di arah yang lain, juga terdapat iring-iringan korban dari para pengikut Resi Belahan. Mereka telah dibawa kekuburan tua di lereng bukit.
Ketika kemudian senja turun, maka Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin sepi. Semua pintu tertutup sejak lampu dinyalakan. Seisi rumah berkumpul di ruang dalam. Keluarga yang tidak kehilangan keluarganya memang dapat menikmati kegembiraan. Tetapi mereka harus mengingat pula tetangga-tetangga mereka yang berkabung. Apalagi seisi padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya masih mempunyai sangkut paut dan hubungan darah meski-pun sudah agak jauh. Sehingga hampir setiap orang ikut kehilangan.
Meski-pun Tanah Perdikan menjadi lengang, namun para pengawal tidak kehilangan kewaspadaan mereka. Ditempat-tempat tertentu masih terdapat kelompok-kelompok pengawal yang berjaga-jaga. Bukan hanya dipadukuhan induk. Tetapi di setiap padukuhan.
Bahkan di bekas perkemahan itu-pun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di perkemahan itu, tetap berhati-hati. Mungkin saja sisa-sisa pengikut Resi Belahan sempat menyusun kekuatan untuk mengambil benda-benda berharga yang tertinggal di perkemahan itu.
Sementara itu Rara Wulan masih berada di rumah Ki Gede Menoreh. Namun ketika senja turun Glagah Putih yang menungguinya minta diri untuk melihat keadaan Agung Sedayu serta orang-orang lain yang terluka di rumah itu. Termasuk gurunya. Ki Jayaraga.
"Apakah kau nanti akan kembali kemari ?" bertanya Rara Wulan.
"Aku akan kemari Wulan. Tetapi aku tidak akan berada didalam bilikmu. Aku akan berada diantara para pengawal. Hanya jika kau perlu, kau dapat memanggilku lewat bibi yang menjagamu," jawab Glagah Putih.
Rara Wulan mengangguk kecil. Ia mengerti, bahwa Glagah Putih memang tidak sebaiknya berada didalam biliknya. Sementara itu, yang menungguinya kemudian adalah seorang perempuan yang lebih muda dari perempuan yang menungguinya sebelumnya.
"Tengah malam aku sudah berada di halaman depan," berkata Glagah Putih kemudian.
Demikianlah, maka Glagah Putih-pun telah meninggalkan rumah Ki Gede. Ketika ia turun ke jalan terasa betapa padukuhan induk itu menjadi sepi dan lengang. Ketika Glagah Putih melangkah menyusuri jalan induk, rasa-rasanya ia berjalan di sebuah padukuhan yang kosong meski-pun ia melihat lampu-lampu menyala di serambi-serambi rumah. Namun semua pintu sudah tertutup rapat-rapat
Di gardu Glagah Putih melihat sekelompok pengawal yang bersiaga dan siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Buku 287 SEKALI-kali Glagah Putih juga bertemu dengan sekelompok pengawal yang meronda menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Namun Glagah Putih-pun tahu, bahwa di padukuhan-padukuhan lain, para pengawal tentu juga bersiaga sepenuhnya.
Ketika Glagah Putih sampai di rumah Agung Sedayu, maka suasananya-pun tidak berbeda dengan suasana seluruh pedukuhan. Sepi dan lengang. Meski-pun lampu-lampu minyak tetap menyala, namun seakan-akan rumah itu tidak berpenghuni.
Ketika gelap mulai turun, maka seisi rumah itu-pun telah berkumpul di ruang dalam untuk makan malam. Kemudian mereka-pun telah berada di bilik masing-masing. Yang kemudian duduk di ruang dalam adalah Ki Lurah Branjangan, Ki Ajar Gurawa dan Sekar Mirah.
Ketika Glagah Putih memasuki rumah itu, maka ia-pun ikut duduk pula di ruang dalam.
Beberapa orang berbaring di ruang dalam itu. Termasuk Agung Sedayu.
"Bagaimana keadaan mereka yang terluka?" bertanya Glagah Putih kepada Sekar Mirah.
"Agaknya mereka sudah menjadi berangsur baik," jawab Sekar Mirah.
"Kakang Agung Sedayu?" desis Glagah Putih pula.
"Ya. Kakang Agung Sedayu sudah menjadi semakin baik. Tetapi kakang Agung Sedayu sudah terlalu lama duduk, sehingga aku minta kakangmu berbaring dan apabila mungkin tidur agar keadaannya menjadi semakin baik," jawab Sekar Mirah.
"Guru?" bertanya Glagah Putih selanjutnya.
"Juga sudah semakin baik," jawab Sekar Mirah. Namun katanya kemudian, "Hanya Wacana sajalah yang masih dalam keadaan yang sulit. Luka dalamnya ternyata termasuk parah. Memang ada perkembangan. Tetapi sedikit sekali."
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Ia-pun kemudian bangkit dan melangkah ke amben besar di bagian sebelah kiri ruang dalam itu. Dilihatnya beberapa orang yang terbaring diam. Namun keadaan mereka memang berbeda-beda. Wacana yang berbaring di paling kanan, keadaannya masih sangat mencemaskan. Sedangkan Agung Sedayu yang sudah lebih baik berada di tengah. Ketika ia melihat Glagah Putih menghampirinya, maka Agung Sedayu itu-pun bangkit dan duduk di tepi amben itu.
"Berbaring sajalah kakang," desis Glagah Putih.
"Aku sudah menjadi semakin baik," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi kau sudah terlalu lama duduk," berkata Glagah Putih kemudian.
Agung Sedayu tersenyum. Sementara Ki Jayaraga malahan ikut bangkit pula.
"Guru," desis Glagah Putih, "sebaiknya guru juga berbaring saja sampai keadaan guru benar-benar menjadi lebih baik."
"Aku sudah cukup baik Glagah Putih," jawab Ki Jayaraga.
Glagah Putih-pun kemudian duduk di amben itu pula. Sementara Agung Sedayu berkata, "Aku sengaja ikut berbaring disini. Di serambi aku hanya sendiri meski-pun udaranya lebih segar. Untuk memindahkan semuanya ke serambi, tempat tidak cukup luas."
Sekar Mirah-pun kemudian telah mendekat pula dan duduk bersama mereka. Di amben yang lain berbaring Rumeksa yang keadaan juga menjadi semakin baik, sementara kedua orang murid Ki Ajar telah di tempatkan di gandok. Keadaan mereka sudah menjadi lebih baik lagi.
Ketika Glagah Putih memperhatikan Wacana yang masih saja berbaring sambil memejamkan matanya, maka Agung Sedayu-pun berkata, "Aku sengaja berada di sebelahnya agar aku dapat mengamati keadaannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah-pun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan keadaan Rara Wulan?"
"Ia juga sudah berangsur baik. Jika memungkinkan, besok aku akan membawanya kemari. Agaknya ia lebih baik berada disini daripada di rumah Ki Gede, agar mbokayu dapat mengawasi langsung keadaannya."
"Baiklah," berkata Sekar Mirah," katakan saja kepada Ki Gede. Mungkin kita memerlukan sebuah pedati."
Demikianlah mereka masih berbincang sejenak. Kemudian Glagah Putih-pun mempersilahkan Ki Jayaraga dan Agung Sedayu untuk berbaring. Sementara itu Glagah Putihpun kemudian bangkit berdiri dan berkata, "Aku akan menemui kawan-kawan yang lain."
Sebelum melangkah keluar, Glagah Putih sempat duduk sejenak di pembaringan Rumeksa yang sudah banyak tersenyum.
"Kau tidak usah duduk," cegah Glagah Putih ketika Rumeksa akan bangkit.
Demikianlah maka Glagah Putih-pun segera menemui para anggota kelompok Gajah Liwung dan Sabungsari yang berada di gandok pula. Sabungsarilah yang kemudian mengatur siapakah yang harus berjaga-jaga di halaman rumah itu, karena bagaimana-pun juga masih akan dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di halaman rumah itu.
Untuk beberapa saat Glagah Putih yang kemudian duduk di serambi masih berbincang dengan Sabungsari. Bahkan mereka agaknya telah lupa waktu. Sehingga mereka tertegun ketika mereka mendengar suara kentongan yang dipukul dengan irama dara muluk.
"Tengah malam," desis Glagah Putih, "aku kembali ke rumah Ki Gede."
"Bukankah keadaan Rara Wulan sudah semakin baik?" bertanya Sabungsari.
"Ya. Besok aku akan membawanya kemari," jawab Glagah Putih.
Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara itu ia-pun kemudian berdesis, "Keadaan Wacana yang masih mencemaskan."
"Ya," jawab Glagah Putih, "dalam keadaan sakit, kakang Agung Sedayu sudah berupaya sejauh dapat dilakukan, dibantu oleh Ki Ajar dan Ki Lurah Branjangan. Namun perkembangan keadaan Wacana ternyata sangat lamban."
Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sementara itu Glagah Putih-pun telah bangkit dan berkata, "Aku akan minta diri kakang Agung Sedayu."
"Mungkin ia sudah tidur," jawab Sabungsari.
"Sebaiknya kakang Agung Sedayu memang banyak tidur dalam keadaannya itu," berkata Glagah Putih, "tetapi salah satu tentu masih terbangun di dalam."
Ketika perlahan-lahan Glagah Putih melangkah ke ruang dalam, maka yang masih duduk tinggal Sekar Mirah, Ki Ajar dan Ki Lurah Branjangan telah dipersilahkan mengaso sampai menjelang dini. Baru kemudian bergantian Ki Lurah dan Ki Ajar akan menunggui mereka yang terluka serta berjaga-jaga karena keadaan masih terasa gawat.
"Mbokayu," desis Glagah Putih, "aku mohon diri. Aku akan melihat keadaan Rara Wulan."
"Hati-hatilah di jalan Glagah Putih," pesan Sekar Mirah, "jarak ke rumah Ki Gede memang hanya beberapa langkah. Tetapi jika terjadi sesuatu di beberapa langkah itu, maka kau harus bersiap menghadapinya."
"Baik mbokayu," jawab Glagah Putih.
Namun dalam pada itu terdengar suara Agung Sedayu yang ternyata telah terjaga, "Kau tidak tidur di sini saja, Glagah Putih?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak, sementara Sekar Mirah mendekatinya sambil berdesis, "Seharusnya kakang tidur saja."
Tetapi Agung Sedayu justru bangkit dan duduk ditepi pembaringannya. Bahkan Ki Jayarag-pun telah terbangun pula.
"Aku merasa sudah terlalu lama tidur," berkata Agung Sedayu.
"Baru tengah malam," sahut Sekar Mirah.
"Rasa-rasanya aku sudah lelah berbaring," berkata Agung Sedayu pula. Bahkan Ki Jayaraga-pun menyambung, "Aku juga. Punggungku justru menjadi pegal sekali."
Glagah Putih yang sudah minta diri itu justru duduk di bibir pembaringan. Katanya, "Aku sudah berjanji untuk datang lagi ke rumah Ki Gede, kakang."
"Ingat pesan mbokayumu," pesan Agung Sedayu.
"Ya, kakang," jawab Glagah Putih.
"Malam rasa-rasanya sepi sekali. Lebih sepi dari malam sebelumnya," desis Ki Jayaraga.
"Tentu saja," sahut Sekar Mirah, "jantung Tanah Perdikan ini baru saja terguncang. Kecemasan masih melanda setiap rumah. Apalagi hampir semua laki-laki masih dalam tugas."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Silirnya angin terasa dingin sekali. Meski-pun demikian, keringatku mengalir banyak sekali sehingga pakaianku menjadi basah."
"Sudahlah," berkata Sekar Mirah, "sebaiknya kakang dan Ki Jayaraga tidur saja."
"Ada sesuatu yang bergetar dijantung ini," berkata Ki Jayaraga sambil mengusap keringatnya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia berpesan lagi kepada Glagah Putih, "Kadang-kadang suasana mengajak kita untuk berbincang. Glagah Putih, hati-hatilah."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia tidak segera menjawab. Lamat-lamat ia mendengar suara seruling.
Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Sekar Mirah-pun mendengarnya pula.
Siapa yang meniup seruling itu-pun menjadi semakin jelas terdengar. Suaranya naik meninggi. Namun kemudian menukik turun seperti seekor burung merpati yang menukik dari atas sawah.
"Suara seruling itu aneh," desis Ki Jayaraga.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun suara itu bagaikan menggelepar menggapai-gapai. Sumber suara itu seakan-akan berputar-putar dari satu sudut ke sudut yang lain.
"Suara yang aneh," berkata Glagah Putih, "aku akan melihat, siapakah yang meniup seruling itu kakang."
Agung Sedayu tidak mencegahnya. Dibiarkannya Glagah Putih keluar dari ruang dalam dan pergi ke gandok untuk menemui Sabungsari lagi.
Sebelum Glagah Putih mengatakan sesuatu, Sabungsari telah berkata lebih dahulu, "Apakah kau tertarik pada suara seruling itu?"
"Ya," jawab Glagah Putih, "marilah, kita cari sumber suara itu. Agaknya bukan orang kebanyakan yang meniup seruling itu, sehingga sumber suaranya tidak segera dapat kita ketahui."
Sabungsari mengangguk sambil menjawab, "Marilah. Aku minta diri kepada kawan-kawan. Biarlah mereka berjaga-jaga."
Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Sabungsari telah turun ke jalan induk. Sejenak mereka termangu-mangu diluar regol. Namun kemudian Glagah Putih berkata, "Kita ambil jalan ini. Aku akan singgah di rumah Ki Gede agar Rara Wulan tidak menjadi cemas."
Keduanya memang menyusuri jalan induk menuju ke rumah Ki Gede. Sepanjang jalan mereka mencoba untuk mendengarkan suara seruling itu. Suaranya kadang-kadang mengeras menyapu sepinya malam. Namun kadang-kadang terdengar jauh menggapai-gapai.
Glagah Putih dan Sabungsari memang singgah di rumah Ki Gede. Ternyata suara seruling itu telah menggetarkan bukan saja seisi rumah Agung Sedayu. Tetapi para pengawal yang meronda-pun tiba-tiba telah meningkatkan kewaspadaan mereka. Di gardu-gardu para peronda bahkan telah turun dari gardu mereka dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika keduanya memasuki regol halaman rumah Ki Gede, maka mereka-pun melihat para pengawal bertebaran.
Ki Gede dan Prastawa ternyata masih duduk di pendapa. Ketika keduanya melihat Glagah Putih dan Sabungsari, maka mereka telah mempersilahkan keduanya naik.
"Suara seruling itu," desis Ki Gede.
"Ya, Ki Gede," sahut Glagah Putih, "kedengarannya memang aneh."
"Bukan hanya karena lagunya yang aneh. Tetapi sumber suara itu-pun sulit diketahui," berkata Ki Gede.
"Kami berdua memang ingin mencari sumber suara itu. Jika mungkin bertemu dengan orang yang meniup seruling itu," jawab Glagah Putih.
"Apakah kau hanya berdua saja ?" bertanya Prastawa.
"Ya kami hanya berdua," jawab Glagah Putih.
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, "Apakah aku dapat ikut bersama kalian?"
Glagah Putih juga menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab, "Sebaiknya kau berada disini bersama Ki Gede, Prastawa."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang tidak ingin meninggalkan Ki Gede. Agaknya kaki Ki Gede yang cacat itu masih terasa sakit setelah Ki Gede mengerahkan tenaga dan kemampuannya ketika ia bertempur di halaman rumah itu.
Glagah Putih dan Sabungsari-pun kemudian minta diri. Kepada Ki Gede ia berpesan agar diberitahukan kepada Rara Wulan, bahwa ia dan Sabungsari sedang mencari sumber suara seruling itu.
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Namun mereka sama sekali tidak menjumpai sumber suara seruling itu, apalagi bertemu dengan seseorang yang sedang meniup seruling. Hampir setiap sudut telah didatangi. Bahkan keduanya telah berjalan keluar dari padukuhan dan berdiri termangu-mangu di pematang sawah. Namun mereka tetap tidak dapat mengetahui, dimana sumber suara seruling itu.
Dengan mengerahkan daya tangkap mereka atas suara yang kadang-kadang melengking tinggi, namun kemudian terkulai lemah itu, keduanya masih juga tidak berhasil mengetahui darimana sumber suara seruling itu.
Glagah Putih dan Sabungsari seakan-akan menjadi putus-asa. Bintang Waluku sudah bergeser jauh ke arah barat. Bahkan lintang Panjer Rina sudah mulai nampak. Cahayanya memancar terang seperti lentera yang tergantung di langit yang tinggi. Namun mereka sama sekali masih belum tahu arah suara seruling yang masih saja terdengar menyusuri sepinya malam.
Sambil mengusap keringatnya Glagah Putih-pun kemudian duduk di tanggul yang membujur di pinggir jalan. Sabungsari menggeliat sambil menekan lambungnya. Namun kemudian ia-pun duduk pula di sebelah Glagah Putih.
Untuk beberapa saat keduanya duduk sambil berdiam diri. Namun mereka masih saja mencoba untuk menangkap sumber suara seruling itu.
Namun tiba-tiba suara seruling itu berhenti. Glagah Putih dan Sabungsari justru menjadi terkejut karenanya. Diluar sadarnya, keduanya telah bangkit berdiri.
"Suara itu berhenti," berkata Glagah Putih.
"Ya," jawab Sabungsari.
Dengan nada merendah Glagah Putih-pun berdesis, "Kita telah gagal menemukan sumber suara seruling itu."
Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Ya. Kita tidak mempunyai kemampuan cukup untuk menemukan sumber suara itu."
Dengan lesu maka keduanya telah duduk kembali. Sementara itu wajah langit-pun mulai berubah. Malam sudah mulai menuju ke ujungnya.
"Hampir pagi," desis Glagah Putih kemudian.
"Ya," jawab Sabungsari, "kita akan menunggu, apakah malam yang akan datang suara seruling itu akan kita dengar lagi."
Namun keduanya terkejut bukan buatan. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara, "Tidak anak-anak muda. Besok aku tidak akan meniup seruling lagi di sekitar padukuhan indukmu."
Kedua anak muda itu telah bersiap menghadapi kemungkinan. Namun orang yang berbicara di belakang mereka itu justru duduk sambil membelakangi mereka pula.
Baru ketika Glagah Putih dan Sabungsari itu berdiri tegak, maka perlahan-lahan orang itu-pun bangkit berdiri pula. Demikian orang itu berputar, maka Glagah Putih-pun berdesis, "Kakang Rudita."
"Kenapa kalian terkejut?" bertanya Rudita.
"Kakang bukan saja mengejutkan kami. Jika kakang yang meniup seruling itu, maka suara seruling kakang telah menggelisahkan seisi padukuhan induk. Bahkan mungkin juga padukuhan-padukuhan lain di Tanah Perdikan ini."
"Kenapa" Apakah suara serulingku menggetarkan maksud buruk atau memancarkan tantangan perang?" bertanya Rudita.
"Memang tidak," jawab Glagah Putih, "tetapi suara seruling kakang di hari-hari yang gelisah telah membuat jantung seisi padukuhan induk menggelepar."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak bermaksud demikian. Aku justru ingin menyatakan ikut berbelasungkawa atas peristiwa yang terjadi di tanah perdikan ini. Beturan kekerasan yang berulang-ulang terjadi."
"Tetapi akibatnya sangat berbeda dari maksud kakang itu." berkata Glagah Putih kemudian.
"Itulah yang terjadi," desis Rudita.
"Apa maksudmu ?" bertanya Sabungsari.
"Kalian sudah memendam kecurigaan dalam hati. Kalian menyimpan perasaan benci dan dendam. Itulah sebabnya, maka kalian selalu berprasangka buruk terhadap perbuatan orang lain."
"Tetapi dalam keadaan seperti ini kami harus berhati-hati menanggapi segala sesuatu yang terasa asing bagi kami," jawab Glagah Putih.
"Jika aku meniup serulingku, maka anak-anakku justru tertidur nyenyak. Mereka yang gelisah karena udara panas, akan menjadi lelap meski-pun keringat membasai seluruh tubuhnya," berkata Rudita kemudian. Lalu katanya kemudian, "Kenapa ?"
Glagah Putih dan Sabungsri termangu-mangu sejenak. Sementara itu Rudita berkata selanjutnya, "Karena meraka tidak menaruh curiga terhadap orang lain. Mereka tidak mendendam serta tidak cemas bahwa ada orang yang mendendam kepada mereka. Mereka tidak dengki dan tidak iri. Dengan demikian maka jiwa mereka akan merasa damai."
"Tetapi kau tidak mengalami apa yang baru saja kami alami di sini," jawab Sabungsari.
"Nah, bukankah kami tidak mengalami tindak kekerasan sebagaimana kalian alami" Kami juga tidak merasa perlu untuk melakukan kekerasan," Rudita itu terdiam sejenak. Lalu katanya, "Aku mempunyai sebuah padepokan kecil. Aku mempunyai anak-anak yang manis di padepokan itu. Perang, kematian dan kekerasan merupakan hantu yang sangat manakutkan bagi mereka. Aku kira bukan hanya anak-anakkulah yang menjadi ketakutan terhadap perang dan kekerasan, tetapi anak-anak manis di seluruh dunia akan menjadi ketakutan."
Glagah Putih dan Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu langit-pun menjadi semakin terang. Cahaya kemerah-merahan mulai membayangi sinar lintang panjer rina yang masih belum pudar.
Namun Glagah Putih-pun bertanya, "Kakang, lalu apa yang harus kami lakukan jika perang itu datang melandai kampung halaman kami."
"Kenapa perang itu datang " Itu tentu bukan terjadi dengan tiba-tiba. Satu putaran perisatiwa berantai yang haris dipatahkan. Apakah ujungnya, di pangkalnya atau di tengah," jawab Rudita.
"Kakang, kenapa kakang tidak berbicara dengan Resi Belahan, pemimpin dari kelompok orang yang ada di perkemahan, yang kemudian menyerang Tanah Perdikan ini " Mereka ingin merebut Tanah Perdikan ini. Mereka datang menebarkan kekerasan, bahkan menyakiti dan membunuh."
"Aku berbicara kepada semua orang. Aku tahu suaraku bergaung seperti gema di lereng pegunungan. Hilang ditelan lebatnya hutan di lembah. Tetapi aku berbicara dengan siapa saja. Aku akan meniup seruling bela sungkawaku atas kematian karena kekerasan. Aku akan selalu berdoa bagi kedamaian hati."
Sabungsari masih akan menjawab. Tetapi Rudita itu mulai melangkah sambil berkata, "Hari sudah pagi. Aku akan kembali ke padepokanku. Anak-anaku sudah menunggu. Mereka adalah anak-anak miskin, sederhana dan kesrakat. Tetapi mereka memiliki kedamaian di hati mereka."
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Glagah Putih dan Sabungsari memandangi langkah Rudita meyusuri jalan bulak semakin lama semakin jauh. Di Timur matahari mulai bangkit melangkahi punggung bukit.
"Marilah," berkata Glagah Putih.
"Rudita dapat berkata seperti itu, karena lingkungannya. Ia dapat memagari lingkunganya sehingga tidak terjadi persoalan dengan pihak lain," desis Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi dengan nada berat ia berkata, "Dunia ini memang sudah demikian buram. Aku tidak tahu seandainya kita tidak berbuat sesuatu, apakah akan menjadi semakin baik atau justru kesewenang-wenangan menjadi semakin menjalar ke segala penjuru."
Keduanya-pun kemudian melangkah kembali sambil menundukkan kepala. Glagah Putih tidak langsung menuju ke rumah Ki Gede. Tetapi ia ingin segera berbicara dengan Agung Sedayu, memberitahukan bahwa bersama Sabungsari ia telah bertemu dengan Rudita.
Ketika Glagah Putih dan Sabungsari kemudian memberitahukan pertemuannya dengan Rudita, maka Agung Sedayu berkata, "Rudita memang akan berbicara kepada semua orang. Ia ingin mengatakan bahwa kedamaian hati akan sangat berarti bagi tatanan kehidupan. Seperti yang selalu dikatakannya, dan bahkan dilakukannya, betapa ia mengasihi sesamanya sebagaimana ia merasa betapa sejuknya kasih sayang yang bersumber dari Yang Maha Agung."
Glagah Putih dan Sabungsari hanya termangu-mangu. Masih banyak yang ingin diketahuinya. Namun keduanya justru terdiam.
"Sejak semula kau sudah mengira bahwa suara seruling adalah suara seruling Rudita," berkata Agung Sedayu.
"Aku juga sudah menduga," desis Glagah Putih, "tetapi aku ingin membuktikannya. Mungkin seperti apa yang dikatakan kakang Rudita, hatiku sudah dibubuhi oleh kecurigaan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rudita memang seorang yang memiliki sikap dan pandangan hidup yang berbeda dari kebanyakan orang.
Namun bagaimana-pun juga apa yang dikatakan oleh Rudita tidak dapat begitu saja dilupakan. Baik Glagah Putih, mau-pun Sabungsari, masih saja merenunginya.
Bahkan tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, "Pada suatu saat, aku ingin mengajak kalian pergi ke padepokan kecilnya."
Glagah Putih mengangguk kecil sambil menyahut, "Ya kakang. Aku memang ingin melihat anak-anak kakang Rudita sebagaimana dikatakannya."
Namun dalam pada itu, ketika matahari mulai merambat langit, Glagah Putih telah teringat kepada Rara Wulan. Ia memang merencanakan untuk membawa Rara Wulan kembali ke rumah itu.
Ketika hal itu kemudian dikatakannya, maka Agung Sedayu-pun berkata, "Biarlah mbokayumu ikut mengambil Rara Wulan."
Demikianlah, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari-pun pergi ke rumah Ki Gede untuk menjemput Rara Wulan. Di sepanjang jalan yang tidak terlalu panjang itu, mereka memang tidak melihat anak-anak yang bermain. Meski-pun beberapa rumah pintu telah terbuka, tetapi halaman rumah itu masih belum terasa hidup sebagaimana biasa.
Agaknya anak-anak masih bersembunyi di balik pintu rumahnya. Perasaan takut masih mencengkam mereka. Apalagi anak-anak yang kehilangan ayahnya, kakaknya atau keluarganya yang lain.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Gede, maka pendapa rumah itu sudah menjadi semakin sepi. Perempuan dan anak-anak yang mengungsi di rumah itu sudah kembali ke rumah masing-masing.
Keadaan Rara Wulan memang sudah menjadi semakin baik. Ia mengerti, bahwa semalam Glagah Putih dan Sabungsari telah mencari sumber suara seruling yang bergema melingkari seluruh padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Demikian mereka naik ketangga pendapa, maka Ki Gede telah menerima mereka dengan ramah. Ki Gede sendiri nampak masih letih. Ia belum mendapat cukup waktu untuk beristirahat.
"Marilah, silahkan melihat keadaan angger Rara Wulan," Ki Gede mempersilahkan.
"Terima kasih Ki Gede," jawab Sekar Mirah.
Demikian Sekar Mirah masuk kedalam bilik Rara Wulan, maka Rara Wulan itu-pun tersenyum cerah. Keadaannya memang sudah lebih baik. Meski-pun demikian, Rara Wulan tentu masih belum dapat berjalan dari rumah Ki Gede sampai ke rumah Agung Sedayu.
Tetapi demikian Sekar Mirah duduk di bibir amben, maka Rara Wulan-pun berdesis, "Nanti, jika mbokayu pulang, aku akan ikut."
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Bukankah kau masih belum sembuh?"
"Tetapi aku ingin pulang," desis Rara Wulan.
Sekar Mirah memandang Glagah Putih dan Sabungsari yang duduk diatas tikar pandan bersama seorang perempuan yang menunggui Rara Wulan. Katanya, "Rara Wulan ingin pulang."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sejak mereka berangkat, maka Glagah Putih sudah mengatakan bahwa mereka akan mengambil Rara Wulan.
Sekar Mirah yang melihat Glagah Putih kebingungan tersenyum sambil berkata, "Apakah tidak sebaiknya Rara Wulan tinggal disini sampai luka-lukanya sembuh?"
"Tidak. Aku ikut pulang," katanya sambil bergerak bangkit.
Namun Sekar Mirah menahannya. Katanya, "Jangan bangkit Rara. Luka-lukamu akan berdarah lagi."
"Tetapi aku akan pulang."
Sekar Mirah akhirnya tertawa. Katanya, "katakanlah kepada Glagah Putih."
"Ah, mbokayu," desis Rara Wulan.
Sebenarnyalah, maka Sekar Mirahlah yang kemudian menemui Ki Gede minta agar Rara Wulan diperkenankan dibawa kembali ke rumah Glagah Putih.
"Bukankah lukanya masih berbahaya baginya?" bertanya Ki Gede.
"Kami akan mohon agar tabib yang mengobatinya bersedia datang ke rumah kami," jawab Sekar Mirah.
Ki Gede tidak menahan lebih lama lagi. Ia-pun tahu bahwa Agung Sedayu juga memiliki pengetahuan tentang obat-obatan. Namun agaknya karena yang menangani Rara Wulan sejak semula adalah tabib dari Tanah Perdikan itu, maka sebaiknya tabib itu pulalah yang meneruskannya. Apalagi agaknya obatnya cukup baik dan cocok bagi luka-luka Rara Wulan.
Namun karena keadaan Rara Wulan, maka Sekar Mirah telah mohon untuk meminjam sebuah pedati. Rara Wulan masih belum dapat berjalan sendiri pulang ke rumah Agung Sedayu.
Ki Gede-pun kemudian telah memerintahkan beberapa orang pengawal untuk mengusung pembaringan Rara Wulan dan menempatkannya keatas pedati itu.
Demikianlah, setelah pedati itu ditutup, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari-pun telah mohon diri untuk kembali ke rumah Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka pedati itu-pun telah merayap melalui jalan di tengah-tengah padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih dan Sabungsari berjalan di belakang pedati itu, sedangkan Sekar Mirah juga ikut berada didalam pedati menjaga Rara Wulan.
Rasa-rasanya memang tidak telaten berjalan di belakang pedati yang lamban itu. Namun karena jaraknya tidak jauh, maka perjalanan itu juga tidak memerlukan waktu yang panjang.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, pedati itu telah memasuki halaman rumah Agung Sedayu. Beberapa orang anggauta kelompok Gajah Liwung yang ada di rumah itu-pun segera membantu mengusung pembaringan dengan Rara Wulan itu sendiri diatasnya.
Namun keadaan Rara Wulan memang sudah berangsur baik, sehingga Rara Wulan tidak lagi nampak menderita. Bahkan gadis itu sudah tersenyum-senyum geli ketika pembaringannya diturunkan dari pedati dan kemudian dibawa masuk kedalam rumah. Namun berdasarkan berbagai macam pertimbangan karena masih ada juga yang terbaring di ruang dalam, maka Rara Wulan akan di tempatkan didalam biliknya sendiri. Sekar Mirah akan menungguinya dan untuk sementara ikut tidur didalam bilik itu pula.
Dengan demikian, maka keluarga Agung Sedayu serta anggauta kelompok Gajah Liwung yang terluka telah dikumpulkan di rumah itu. Termasuk Wacana yang kebetulan juga berada di rumah itu ketika datang serangan dari orang-orang yang tinggal di perkemahan di seberang pebukitan. Bahkan Wacana telah mendapatkan luka yang terberat di antara mereka, sehingga keadaannya masih mencemaskan. Meski-pun berbagai usaha sudah dilakukan, tetapi perkembangan keadaannya lambat sekali.
Dalam pada itu, Prastawa-pun masih sibuk mengurus orang-orang yang tertawan. Mereka di tempatkan di banjar padukuhan setelah para pengungsi yang berada di banjar pulang ke rumah masing-masing. Orang-orang yang dianggap berbahaya dimasukkan kedalam bilik-bilik yang ada, sedangkan yang lain di tempatkan di gandok dan pringgitan dengan penjagaan yang sangat kuat.
Sementara itu, setelah Rara Wulan berada di rumah Agung Sedayu, maka Glagah Putih justru mempunyai kesempatan yang cukup untuk membantu Prastawa. Karena itu, maka Glagah Putih yang kemudian mengajak Sabungsari telah ikut menjadi sibuk pula.
Lewat tengah hari, beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus telah datang melihat keadaan Agung Sedayu. Mereka menjadi berlega hati ketika mereka melihat keadaan Agung Sedayu yang menjadi semakin baik. Bahkan Agung Sedayu telah dapat menerima mereka di pendapa rumahnya bersama Ki Lurah Branjangan.
Kepada seorang pemimpin kelompok yang terpercaya Agung Sedayu telah memberikan pesan-pesan bagi para prajurit di barak Pasukan Khusus. Agung Sedayu juga memberikan petunjuk-petunjuk tentang kelompok-kelompok prajurit yang masih berada di perkemahan yang sudah ditinggalkan penghuninya.
Kecuali itu maka Agung Sedayu-pun berkata kepada pemimpin kelompok itu, "Dua orang diantara kalian harus segera pergi ke Mataram melengkapi laporan tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan ini."
Pemimpin kelompok itu mengangguk sambil menjawab, "Ya Ki Lurah. Dua orang akan segera pergi ke Mataram. Yang sudah kami sampaikan baru laporan sepintas. Nanti, kami akan dapat membawa laporan yang lebih lengkap."
"Kau dapat menghubungi Prastawa, kemenakan Ki Gede yang menjadi pemimpin pengawal di Tanah Perdikan ini. Kau akan mendapat bahan yang lengkap tentang peristiwa yang telah terjadi. Kau juga akan dapat mengetahui berapa banyak korban yang gugur serta orang-orang perkemahan yang terbunuh. Juga orang-orang yang terluka dan yang tertawan," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Baik Ki Lurah," jawab pemimpin kelompok itu, "kami akan menghubungi Prastawa."
"Kau dapat berbicara dengan Glagah Putih yang sekarang berada di banjar atau dirumah Ki Gede. Nanti Glagah Putih akan menghubungkanmu dengan Prastawa," berkata Agung Sedayu pula.
Seperti yang diperintahkan oleh Agung Sedayu, maka pemimpin kelompok itu-pun telah pergi ke banjar untuk menemui Glagah Putih, agar dapat dihubungkan dengan Prastawa.
Dalam kesibukan itu, maka seisi rumah Agung Sedayu itu masih digelisahkan oleh keadaan Wacana. Luka-luka terutama di bagian dalamnya masih mencemaskan. Agung Sedayu sudah berusaha sejauh dapat dilakukan untuk meringankan penderitaannya. Namun seolah-olah segala usaha itu masih belum berhasil.
Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan-pun telah membantu dengan sungguh-sungguh. Tetapi hasilnya memang belum seperti yang diharapkan.
Ketika tabib yang mengobati Rara Wulan datang ke rumah Agung Sedayu, Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan mereka membicarakan keadaan Wacana.
Tetapi mereka masih belum berhasil mengatasi keadaannya yang mencemaskan itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Lurah itu-pun bertanya, "Apakah kita perlu memberitahukan keadaannya kepada pamannya di Mataram?"
Agung Sedayu mengeratkan dahinya. Agaknya kemungkinan itu memang sedang dipikirkannya.
Sementara itu, Sekar Mirah yang ikut dalam pembicaraan itu-pun berkata, "Aku kira tidak ada salahnya jika kita memberitahukan keadaannya kepada pamannya. Jika terjadi sesuatu, maka pamannya itu tidak akan menyalahkan kita. Atau setidak-tidaknya akan menyesali kita bahwa kita tidak memberitahukan keadaannya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat. Jika demikian, maka biarlah prajurit dari Pasukan Khusus yang akan memberikan laporan ke Mataram itu pergi bersama Glagah Putih dan Sabungsari. Keduanya akan memberitahukan keadaan Wacana kepada Ki Rangga Wibawa."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itu-pun berkata, "Aku setuju. Memang tidak ada orang lain yang sebaiknya kita tugaskan untuk pergi ke Mataram. Meski-pun keadaan sudah menjadi tenang di Tanah Perdikan, tetapi kemungkinan-kemungkinan buruk masih saja dapat terjadi. Apalagi menurut laporan dari perkemahan, mereka masih melihat orang-orang yang berkeliaran. Satu dua berhasil mereka tangkap, tetapi masih ada diantara mereka yang lolos. Bahkan agaknya ada diantara mereka yang berilmu tinggi."
"Ya. Para pengawal dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di perkemahan memang masih selalu diganggu sebagaimana di katakan oleh para pengawal sesuai dengan laporan dari perkemahan, sehingga dengan demikian, maka perjalanan ke Mataram masih termasuk perjalanan yang berbahaya," sahut Agung Sedayu.
Ki Jayaraga-pun kemudian berkata, "Nanti, kita berbicara dengan Glagah Putih dan angger Sabungsari."
Demikianlah, ketika kemudian Glagah Putih dan Sabungsari kembali dari rumah Ki Gede setelah mereka berada di banjar beberapa lama bersama prajurit dari Pasukan Khusus yang mendapat tugas dari Agung Sedayu untuk mendapatkan bahan laporan selengkapnya, telah dipanggil oleh Agung Sedayu. Kepada keduanya telah diberitahukan bahwa mereka berdua akan ditugaskan untuk pergi ke Mataram menemui Ki Rangga Wibawa.
"Beritahukan keadaan Wacana sebagaimana adanya."
"Tentang kepentingannya datang ke Tanah Perdikan atau tentang luka-lukanya?" bertanya Glagah Putih.
"Hanya tentang luka-lukanya," Sabungsarilah yang menyahut, "justru saat Wacana ada disini, maka di Tanah Perdikan ini telah terjadi perang, sehingga Wacana harus melibatkan dirinya. Justru untuk membantu menyelamatkan Tanah Perdikan ini."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun Agung Sedayu-pun mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Ya. Apa-pun pendahuluan dari pemberitahuan kalian kepada Ki Rangga Wibawa, namun kalian harus memberitahukan bahwa Wacana telah terluka parah. Telah dicoba untuk mengobatinya dengan segala cara. Tetapi keadaannya masih sangat mencemaskan."
Sabungsari dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya-pun mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka telah ditetapkan dalam pembicaraan itu, bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan pergi ke Mataram bersama ampat orang prajurit dari Pasukan Khusus. Keempat orang prajurit itu esok pagi-pagi akan berangkat dari barak, singgah sebentar di rumah Agung Sedayu dan kemudian bersama-sama dengan Glagah Putih dan Sabungsari pergi ke Mataram.
Demikianlah, maka para prajurit itu-pun kemudian telah meninggalkan rumah Agung Sedayu. Mereka akan mempersiapkan dan menyusun laporan yang bahannya telah terkumpul. Besok pagi-pagi mereka akan berangkat dari barak.
Ketika kemudian malam turun, maka suasana di padukuhan induk Tanah Perdikan itu masih sangat lengang, demikian gelap menyelimuti padukuhan induk, maka pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat. Tidak ada lagi sekelompok anak-anak yang bermain-main di halaman meski-pun bulan muda terlihat memancar dilangit. Sinarnya yang menyiram halaman, pepohonan dan dedaunan tidak mendapat perhatian sama sekali dari anak-anak yang terbiasa bermain diterangnya cahaya bulan. Tidak terdengar kidung anak-anak perempuan yang bermain soyang dan uri-uri. Tidak pula terdengar teriakan anak-anak remaja yang bermain gobag atau sembunyi-sembunyian.
Yang nampak masih ada diluar regol halaman adalah para pengawal yang berjaga-jaga.
Di rumah Agung Sedayu, beberapa orang duduk di sebelah Wacana yang terbaring diam. Tubuhnya masih saja panas. Namun sekali-sekali Wacana itu menggigil seperti orang kedinginan.
Jika sekali-sekali Sekar Mirah menyuapinya dengan bubur sungsum, mulut Wacana seakan-akan tidak mau terbuka.
Sekali-sekali Wacana itu terdengar berdesis, "Tidak. Aku tidak ingin makan."
Namun Sekar Mirah masih selalu mencoba. Meski-pun hanya setitik demi setitik. Hanya karena Sekar Mirah sangat telaten, maka meski-pun hanya sedikit, perut Wacana-pun terisi juga.
Malam itu tubuh Wacana sedikit menggigil meski-pun jika disentuh dahinya terasa panas.
Sekar Mirah mencobanya membasahi dahi Wacana itu dengan air jeruk nipis. Agaknya air jeruk nipis itu dapat membantu, mengurangi panas tubuhnya.
Namun dalam pada itu, Sekar Mirah menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar Wacana yang agaknya kesadarannya terganggu itu berdesis perlahan, "Raras. Raras."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun Sabungsari yang juga mendengar desis itu menundukkan kepalanya. Jantungnya serasa berdesak semakin cepat.
Ternyata bahwa bagaimana-pun juga Raras masih tetap tersangkut dihati Wacana. Apa-pun yang pernah dikatakannya, tetapi Wacana tidak dapat menipu dirinya sendiri.
Kenyataan itu telah membuat perasaan Sabungsari terguncang. Bahkan ia merasa ikut bersalah bahwa keadaan Wacana justru tidak segera menjadi baik. Meski-pun Sabungsari sudah menyingkir dan menjauhi setiap hubungan dengan Raras, namun bahwa persoalan yang rumit itu tidak dapat dihindarinya lagi. Bahkan Wacana telah menyusulnya ke Tanah Perdikan dengan membawa persoalan yang justru telah dijauhinya itu.
Ternyata Wacana tidak hanya sekali dua kali saja menyebut nama Raras. Tetapi berulang-ulang.
Sabungsari menjadi tidak tahan lagi. Ia-pun kemudian telah bangkit dan melangkah keluar.
Udara malam terasa dingin. Angin basah bertiup dari Selatan menyentuh kulit Sabungsari yang kemudian duduk di serambi gandok. Tatapan matanya jauh menerawang menembus kegelapan.
Sabungsari terkejut ketika Naratama datang mendekatinya. Ia tidak mendengar langkah. Namun tiba-tiba saja Naratama itu sudah duduk di sebelahnya.
Dengan nada berat Naratama itu bertanya, "Apa yang sedang kau renungkan Sabungsari?"
Sabungsari mencoba untuk tersenyum. Katanya kemudian, "Tidak Naratama. Aku tidak sedang merenung."
"Tetapi tentu ada sesuatu yang kau pikirkan," sahut Naratama kemudian.
"Ya," Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku masih mengenang betapa kita telah bertempur di halaman rumah ini. Beberapa orang telah menjadi korban. Agung Sedayu sendiri telah terluka meski-pun keadaannya sudah menjadi baik. Satu hal yang tidak akan terjadi pada orang lain. Seandainya aku terluka seperti Agung Sedayu dan mendapat pengobatan yang sama, aku akan memerlukan waktu tiga kali lipat untuk menjadi baik sebagaimana Agung Sedayu sekarang."
"Daya tahannya memang luar biasa," desis Naratama.
"Sementara itu keadaan Wacana masih mencemaskan. Justru sebenarnya Wacana tidak bersangkut paut dengan perang yang terjadi di Tanah Perdikan. Ia datang untuk sekedar melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Namun nasibnya agaknya memang kurang baik."
"Bukankah ia telah mendapat pengobatan yang terbaik?" bertanya Naratama.
"Ya," jawab Sabungsari, "bukan hanya Agung Sedayu, Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan. Tetapi tabib terbaik di Tanah Perdikan ini juga sudah diundang. Tabib yang telah berhasil dengan baik mengobati Rara Wulan yang juga terluka."
Naratama mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak melihat, apa yang sebenarnya tergores di jantung Sabungsari.
Di ruang dalam, Sekar Mirah masih sibuk membasahi dahi Wacana dengan air jeruk nipis. Sementara Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan duduk termangu-mangu. Segala usaha sudah dilakukan. Namun keadaan Wacana massih mencemaskan.
Namun ketika kemudian malam menjadi semakin malam, setelah Sekar Mirah berhasil memasukkan sebutir ramuan obat kedalam mulut Wacana dengan jenang sungsum yang lembut, maka panas Wacana menjadi sedikit turun. Ia tidak lagi memanggil-manggil Raras. Bahkan perlahan-lahan kesadarannya telah menjadi bulat kembali.
Ketika ia membuka matanya dan melihat Sekar Mirah duduk di sebelahnya, maka Wacana itu-pun berkata, "Sudahlah. Sebaiknya mbokayu beristirahat. Aku tidak apa-apa."
Sekar Mirah mengangguk sambil menjawab, "Kau juga harus beristirahat Wacana. Tetapi sebelum kau tidur, kau harus mencoba untuk makan. Jenang sungsum itu harus kau makan sampai habis. Jika kau cukup makan, maka tubuhmu akan menjadi kuat dan kau akan segera menjadi baik."
Wacana mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Tetapi Sekar Mirah-pun tanggap. Sedikit demi sedikit Sekar Mirah menyuapi Wacana dengan jenang sungsum.
Baru kemudian, setelah sedikit-sedikit perut Wacana terisi. Sekar Mirah-pun telah meninggalkan Wacana dan pergi ke bilik Rara Wulan.
Namun Rara Wulan yang keadaannya telah menjadi semakin baik itu telah dapat tidur, meski-pun sekali-sekali masih terdengar ia berdesis menahan nyeri yang tersisa di lukanya.
Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan telah mengatur waktu. Mereka berdua akan berganti-ganti menunggui Wacana yang sakit sambil berjaga-jaga, meski-pun diluar anak-anak dari kelompok Gajah Liwung juga sudah berjaga-jaga.
"Tidurlah," berkata Ki Ajar kepada Glagah Putih, "bukankah kau besok akan pergi ke Mataram?"
Glagah Putih mengangguk. Jawabnya, "Baik Ki Ajar. Tetapi aku akan melihat Sabungsari sebentar."
"Ajak anak itu tidur. Tidak sepatutnya Sabungsari membiarkan perasaannya bergejolak. Ia bukan seorang laki-laki yang cengeng dan perajuk."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun ia-pun segera bangkit dan melangkah keluar. Sementara Agung Sedayu sudah berada didalam biliknya karena ia masih juga harus banyak beristirahat karena luka-lukanya yang sedang dalam masa penyembuhan.
Ketika Glagah Putih melangkahi pintu pringgitan, maka ia-pun menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat bahwa Sabungsari tidak duduk seorang diri. Tetapi bersama Naratama.
Dengan demikian, maka Sabungsari ternyata tidak sedang merenung membiarkan perasaannya bergejolak.
Sebenarnyalah bahwa persoalan yang membelit perasaan Wacana dalam hubungannya dengan Raras dan Sabungsari tidak dapat menyembunyikan lagi. Apa lagi ketika Wacana berkali-kali menyebut nama Raras. Sementara itu Sabungsari menjadi sangat gelisah.
Ki Lurah Branjangan yang juga pernah mendengar persoalan yang tumbuh antara Wacana dan Sabungsari itu masih juga sempat membincangkannya dengan Ki Ajar Gurawa meski-pun sambil berbisik agar tidak didengar oleh Wacana.
"Ternyata bahwa Wacana memang tidak dapat melupakan Raras," berkata Ki Lurah Branjangan, "meski-pun ia sudah berusaha."
"Kasihan Wacana," desis Ki Ajar Gurawa, "tetapi kita juga tidak dapat menyalahkan Sabungsari."
"Ya," sahut Ki Lurah, "ia justru telah berusaha menghindar. Tetapi Wacana menyusulnya kemari. Mereka sudah menyelesaikan persoalan mereka. Menurut kenyataan lahiriah persoalan itu memang sudah selesai. Keduanya tidak lagi mempersoalkannya. Namun dalam keadaan yang gawat, maka yang dibenamkan jauh didalam jantung Wacana itu telah muncul diluar sadarnya."
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, "Sabungsari agaknya masih juga merasa bersalah."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudah-mudahan persoalan itu tidak akan tetap menjadi beban bagian kedua-duanya," desis Ki Lurah Branjangan, "jika besok Glagah Putih dan Sabungsari memberitahukan keadaan Wacana kepada pamannya sempat mengambil langkah-langkah yang dapat mengurangi penderitaan Wacana sehingga ia benar-benar dapat sembuh, maka persoalannya dengan Sabungsari memang harus diselesaikan dengan tuntas."
"Maksud Ki Lurah ?" bertanya Ki Ajar.
"Raras harus segera kawin," jawab Ki Lurah Branjangan.
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku sependapat. Tetapi bagaimana melaksanakannya ?"
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Itulah soalnya."
Keduanya tersenyum, betapa hambarnya. Bagaimana-pun juga mereka merasa ikut prihatin dengan keadaan Wacana dan bahkan juga perasan Sabungsari yang tentu merasa tertekan. Bahkan Ki Lurah itu teringat pula kepada cucunya Raden Teja Prabowo.
Demikianlah keduanya-pun kemudian terdiam untuk beberapa lama. Wacana agaknya sudah dapat tidur. Tubuhnya memang masih panas meski-pun sedikit turun. Namun keadaannya memang masih sangat menggelisahkan.
Diluar Glagah Putih telah mengingatkan bahwa sebaiknya Sabungsari beristirahat.
"Besok pagi-pagi kita akan pergi ke Mataram. Beberapa orang prajurit dari barak Pasukan Khusus akan singgah kemari dan kemudian bersama-sama menempuh perjalanan."
Sabungsari mengangguk kecil. Sementara Naratama berakata, "Tidurlah. Simpan tenagamu untuk besok. Orang-orang perkemahan yang memencar dari serangannya itu mungkin masih ada yang berkeliaran. Mungkin di sebelah Barat Kali Praga. Tetapi mungkin juga di sebelah Timur."
"Apakah kau tidak tidur ?" bertanya Sabungsari kepada Naratama.
"Nanti. Aku bertugas sekarang untuk mengamati keadaan," jawab Naratama.
Sabungsari-pun kemudian bangkit dan melangkah kedalam biliknya di gandok. Meski-pun ia kemudian terbaring, tetapi ia memerlukan waktu untuk cukup lama untuk dapat tidur. Sementara untuk dapat tidur pula meski-pun juga agak gelisah.
Pagi-pagi sekali Glagah Putih telah terbangun. Ketika ia pergi ke pakiwan, maka anak yang membantu di rumah itu telah duduk diatas sebuah batu sudut rumah. Glagah Putih-pun kemudian melangkah mendekat sambil bertanya, "kenapa kau masih pagi sekali duduk bertopang dagu?"
Anak itu memandang Glagah Putih sejenak, lalu katanya, "Pliridanku rusak."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih, "bukankah selama ini tidak seorang-pun diantara penghuni Padukuhan Induk ini yang sempat menghiraukan pliridan disungai itu?"
"Tetapi pliridanku rusak. Nampaknya terinjak-ijak kaki kuda. Tidak hanya seekor tetapi beberapa ekor kuda," jawab anak itu.
"Kaki kuda ?" bertanya Glagah Putih dengan dahi yang berkerut, "apakah kau yakin ?"
"Ya, kaki kuda. Kau kira aku tidak dapat menyebut jejak kaki kuda " Tentu berbeda dengan jejak kaki kambing atau kaki lembu atau kaki kerbau," jawab anak itu.
Bersambung Balas On 5 Juli 2009 at 13:47 Raharga Said:
Buku 287 bagian II "Jadi kapan kau lihat jejak kaki kuda itu ?" bertanya Glagah Putih, "semalam atau kemarin malam ?"
"Semalam," jawab anak itu.
"Apakah kau dapat membedakan jejak kaki kuda semalam atau kemarin diatas tepian yang basah ?" bertanya Glagah Putih.
"Kemarin malam aku belum lihat jejak kaki kuda itu," jawab anak itu.
"Jadi kemarin malam kau juga pergi kesungai ?" bertanya Glagah Putih pula.
"Ya," jawab anak itu.
"Kau telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya. Keadaan Tanah Perdikan ini belum tenang benar. Sementara itu kau sudah turun kesungai," berkata Glagah Putih.
Anak itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata, "Apakah aku harus takut keluar halaman rumah ini" Ketika terjadi pertempuran di halaman rumah ini aku sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi karena kau selalu berbohong kepadaku, maka aku tidak dapat ikut campur."
"Kenapa aku berbohong?" bertanya Glagah Putih.
"Kau katakan bahwa kau akan mengajari aku berkelahi. Tetapi tidak pernah kau lakukan dengan sungguh-sungguh. Seandainya kau benar-benar mengajariku berkelahi, maka saat itu aku tentu akan dapat membantu," berkata anak itu.
"Siapakah yang akan mengajarimu berkelahi?" bertanya Glagah Putih.
"Kau. Apakah kau akan ingkar?" anak itu tiba-tiba berdiri.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak akan mengajarimu berkelahi anak manis. Tetapi aku akan mengajarimu sedikit ilmu bela diri."
"Apa bedanya?" bertanya anak itu.
"Dalam pelaksanaannya mungkin tidak jauh berbeda. Tetapi landasannya sangat berbeda. Jika kau belajar berkelahi, maka kau tentu akan mencari lawan dimana-mana. Atau kau akan menjadi pemarah karena kau pandai berkelahi atau sombong atau semacamnya. Tetapi tidak bagi mereka yang belajar ilmu bela diri. Orang-orang yang menguasai ilmu bela diri, tidak akan mempergunakannya jika tidak terpaksa untuk melindungi dirinya sendiri atau melindungi orang lain yang lemah jika keadilannya tersinggung."
"Apa-pun namanya, tetapi bukankah tidak kau lakukan dengan sungguh-sungguh?" bertanya anak itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat berbantah terlalu lama dengan anak itu. Katanya, "Baiklah. Besok kita berbicara lagi. Tetapi aku tidak pernah mencabut kesediaanku mengajarimu sedikit pengetahuan tentang bela diri. Pada saat yang tepat, aku akan melakukannya."
"Sejak dulu kau berkata begitu," anak itu mulai bersungut-sungut.
Glagah Putih menepuk pundak anak itu sambil berkata, "Ketahuilah. Orang-orang berkuda itu akan dapat menjadi kasar dan bahkan menjadi buas. Jika kebetulan kau sedang ada di pliridan ketika mereka lewat, maka akibatnya akan sangat buruk bagimu."
Anak itu tidak menjawab. Sementara Glagah Putih-pun pergi ke pakiwan untuk mandi.
Namun jejak kaki kuda itu ternyata selalu mengganggu pikirannya. Karena itu, maka ia-pun telah membicarakannya dengan Sabungsari.
"Jika demikian, masih ada sekelompok orang berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan ini," desis Sabungsari.
"Ya. Mereka tidak menempuh perjalanan lewat jalan-jalan sewajarnya. Tetapi mereka menempuh perjalanan mereka lewat jalan-jalan simpang dan bahkan lewat sungai. Mereka tentu berusaha untuk menghilangkan jejak mereka atau setidak-tidaknya tidak mudah diketahui orang." sahut Glagah Putih.
"Tetapi kehadiran mereka cukup berbahaya. Bukankah belum ada laporan dari para pengawal tentang orang-orang berkuda itu sehingga Tanah Perdikan ini belum mengetahuinya?" bertanya Sabungsari.
"Nampaknya memang belum," jawab Glagah Putih.
"Apakah tidak sebaiknya kita memberitahukan hal ini kepada Agung Sedayu agar disampaikan kepada Prastawa lewat salah seorang diantara anak-anak Gajah Liwung?"
"Ya. Prastawa memang harus mengetahuinya," jawab Glagah Putih.
Demikianlah, maka setelah berbenah diri, maka mereka telah menyampaikan hal itu kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu ternyata juga menganggap bahwa hal itu adalah hal yang penting untuk segera diketahui. Orang-orang yang berkeliaran itu akan dapat berbuat sesuatu yang mengguncang lagi ketenangan Tanah Perdikan yang baru mulai pulih kembali itu.
Karena itu, maka Agung Sedayu-pun telah minta Pranawa dan Mandira untuk menemui Prastawa di rumah Ki Gede. Mereka diminta untuk memberitahukan bahwa di sungai semalam terdapat jejak kaki beberapa ekor kuda, sehingga dengan demikian, maka para pengawal masih harus waspada terhadap beberapa orang berkuda itu.
Sementara keduanya pergi ke rumah Ki Gede, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah mempersiapkan diri untuk berangkat ke Mataram. Sambil menunggu para prajurit dari Pasukan Khusus yang akan singgah untuk bersama-sama pergi, keduanya telah dipersilahkan oleh Sekar Mirah untuk makan lebih dahulu.
Hampir bersamaan, ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu datang, Pranawa dan Mandira yang menemui Prastawa-pun telah datang pula. Ternyata saat mereka bertemu dengan Prastawa, dua orang pengawal dari perkemahan telah datang. Mereka juga melaporkan bahwa semalam beberapa orang berkuda telah berkeliaran tidak terlalu jauh dari perkemahan. Nampaknya mereka memang akan memasuki perkemahan. Namun mereka telah melihat lampu dan oncor yang menyala, sehingga mereka mengurungkan niatnya.
"Atau satu dua diantara mereka telah merayap mendekati perkemahan dan mengetahui bahwa di perkemahan itu terdapat sekelompok pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus," berkata Agung Sedayu.
"Mungkin sekali," desis Ki Lurah Branjangan, "namun bagaimana-pun juga, kita masih harus sangat berhati-hati."
"Juga mereka yang akan pergi ke Mataram," desis Ki Jayaraga.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Peringatan gurunya itu memang harus diperhatikan. Banyak kemungkinan masih akan dapat terjadi. Orang-orang berkuda itu tentu orang-orang perkemahan yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mereka tidak segera melarikan diri, tetapi justru berkeliaran di Tanah Perdikan. Bahkan mereka telah lewat tidak jauh dari padukuhan induk, meski-pun mereka menempuh perjalanan lewat sungai.
Demikianlah, setelah memberikan beberapa pesan, maka Agung Sedayu telah memerintahkan ampat orang prajurit dari Pasukan Khusus untuk berangkat ke Mataram bersama Glagah Putih dan Sabungsari.
Beberapa saat kemudian, maka enam orang berkuda telah meninggalkan Tanah Perdikan menuju ke Mataram. Mereka menyadari sepenuhnya kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan mereka. Di bulak-bulak panjang, atau di tepian atau dimana saja, mereka akan dapat bertemu dengan orang-orang berkuda itu.
Selagi hari masih pagi, maka keenam orang itu telah memacu kudanya agak cepat setelah mereka berada di bulak-bulak panjang. Namun jika mereka memasuki padukuhan, maka kecepatan lari kuda mereka harus disusut. Apalagi di tempat-tempat yang terhitung ramai. Bahkan ketika mereka lewat di sebelah pasar, maka kuda-kuda mereka itu tidak berlari lebih cepat dari orang yang berjalan dalam keramaian yang memenuhi jalan. Para pedagang yang tidak tertampung di pasar, telah menggelar dagangannya di pinggir-pinggir jalan.
"Agaknya hari ini hari pasaran," berkata Glagah Putih.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya pasar ini menjadi ramai oleh para pedagang yang datang dari Kademangan-kademangan di sekitar lingkungan ini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Di sebelah pasar memang nampak tempat pemberhentian pedati yang agak luas. Sebuah kedai yang besar berada di sebelah tempat pemberhentian pedati itu. Bahkan sebuah rumah panjang yang agaknya menjadi penginapan para pedagang dan sais pedati yang datang dari tempat yang jauh.
Untuk beberapa saat kuda-kuda mereka yang menempuh perjalanan ke Mataram itu berjalan sangat lambat. Semakin tinggi matahari memanjat langit, maka pasar itu-pun menjadi semakin ramai. Biasanya pada saat matahari sepenggalah, maka pasar itu akan menjadi temawon. Saat yang paling ramai, apalagi dihari pasaran. Baru kemudian, sedikit demi sedikit keramaian itu-pun berkurang.
Baru ketika mereka keluar dari kepadatan jalan di sebelah pasar, maka kuda-kuda itu-pun mulai berlari meski-pun tidak terlalu kencang.
Namun keenam orang berkuda itu sama sekali tidak menghiraukan ketika seorang yang berdiri diantara beberapa buah pedati di pemberhentian pedati itu memandangi mereka sampai hilang di tikungan.
Namun kemudian orang itu-pun dengan tergesa-gesa telah berlari-lari menyusup diantara pedati-pedati yang berhenti mencari kawan-kawannya.
Ternyata di rumah itu telah menginap sekelompok orang yang agaknya bukan pedagang yang sering singgah dari pasar ke pasar, terutama pasar-pasar yang besar dan di hari pasaran pula. Ketika seorang kawannya yang berlari-lari itu memberitahukan kepada mereka tentang enam orang berkuda, maka orang-orang itu-pun bergerak cepat sekali. Dalam waktu yang pendek sepuluh orang berkuda telah berpacu meninggalkan tempat itu.
"Mereka berenam," berkata orang yang melihat keenam orang berkuda yang akan pergi ke Mataram. Lalu katanya pula, "ampat orang diantara mereka berpakaian prajurit. Agaknya mereka terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus yang akan pergi ke Mataram. Mungkin ada hubungannya dengan pertempuran di Tanah Perdikan ini."
"Siapa-pun mereka, jika mereka prajurit Mataram sebaiknya kita binasakan. Mereka telah membantu Tanah Perdikan Menoreh melawan kawan-kawan kita. Bahkan menghancurkan seluruh kekuatan kita di Tanah Perdikan ini," geram pemimpin mereka.
"Jika mereka membantu Tanah Perdikan itu wajar sekali. Agung Sedayu adalah pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus itu. Tetapi ia juga salah seorang pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh," sahut seorang yang sudah separo baya. Namun masih menunjukkan betapa orang itu seorang yang tegar dan perkasa.
Pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu tidak menyahut. Namun ia telah mempercepat laju kudanya.
Tetapi orang yang sudah separo baya itu berkata, "Kita tidak tergesa-gesa. Kita akan menemui mereka di tepian, sesaat sebelum mereka menyeberang."
"Apakah pasti bahwa mereka akan pergi ke Mataram?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Bukankah kita dapat mengikuti jejak kaki kuda mereka" Jika ternyata tidak, maka kita memang harus segera mengambil langkah. Tetapi jika mereka lewat jalan ini, maka tujuan mereka agaknya tidak lain dari Kotaraja. Mereka akan mengambil lintas penyeberangan sebelah Utara," sahut orang yang sudah separo baya itu.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun ia mulai memperlambat laju kudanya yang meluncur seperti anak panah.
Dengan demikian, maka sepuluh orang berkuda itu tidak lagi harus berpacu dengan waktu. Orang-orang yang mereka kejar tidak akan sempat menyeberang Kali Praga saat mereka berhasil menyusul.
Selain mereka harus menunggu rakit yang akan menyeberang dan luang sehingga dapat membawa mereka, maka untuk naik kerakit dengan kuda-kuda mereka itu-pun tentu diperlukan waktu.
Meski-pun demikian, kesepuluh orang itu juga tetap memelihara laju kudanya agar mereka dapat menyusul keenam orang yang menurut perhitungan mereka akan menyeberang Kali Praga di penyeberangan sebelah Utara.
Dengan memperhatikan jejak keenam ekor kuda yang masih baru itu, kesepuluh orang itu melarikan kuda-kuda mereka. Sebagaimana mereka perhitungkan, maka jejak kaki kuda itu memang menuju ke penyeberangan sebelah Utara. Meski-pun bukan penyeberangan terbesar, tetapi ada juga beberapa rakit yang menghubungkan kedua tepian Kali Praga.
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih, Sabungsari dan keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu sudah menuruni tebing yang landai sampai ke tepian berpasir yang basah. Sebuah rakit yang sedang memuat beberapa bakul gula masih tertambat di sisi sebelah Barat. Namun rakit yang sudah terisi itu tidak akan dapat membawa mereka bersama-sama menyeberang. Kecuali hanya satu dua orang bersama kuda-kuda mereka.
Meski-pun demikian, Sabungsari berdesis, "Nah, siapa yang akan menyeberang lebih dahulu" Jika dua orang diantara kita dapat menyeberang bersama rakit itu, maka yang tersisa akan dapat menumpang satu rakit yang sedang bergerak kemari itu."
Keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, "Biarlah dua orang diantara kami menyeberang."
Tetapi ketika dua orang diantara para prajurit itu bergerak menuju ke rakit yang sedang memuat beberapa bakul gula kelapa tertegun ketika mereka mendengar derap kaki kuda diatas tebing.
Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu-pun berpaling. Mereka melihat diatas tebing beberapa orang berkuda berhenti sambil memandangi mereka yang sudah berada di tepian.
Glagah Putih-pun berdesis, "Berhati-hatilah. Mungkin mereka termasuk orang-orang berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan sepeninggal Resi Belahan."
"Mungkin sekali," sahut Sabungsari, "nampaknya mereka memang tidak bermaksud baik."
Para prajurit itu-pun kemudian telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Namun mereka adalah prajurit dari Pasukan Khusus. Apalagi mereka adalah orang-orang terpilih diantara mereka.
Beberapa saat kemudian orang-orang berkuda itu-pun juga menuruni tebing. Demikian mereka turun dari kuda, maka mereka-pun telah mendekati Glagah Putih dan kawan-kawannya.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi beruntunglah bahwa anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu-pun telah berceritera tentang orang-orang berkuda yang merusak pliridannya serta laporan dari para pengawal yang di perkemahan, sehingga sejak berangkat kemungkinan seperti yang terjadi itu sudah diperhitungkan.
Ketika dua orang diantara orang-orang berkuda itu kemudian mengikat kuda-kuda mereka, maka dua orang prajurit telah menuntun keenam ekor kuda mereka yang akan pergi ke Mataram dan mengikatnya pada patok-patok tempat mengikat rakit di tepian.
Orang yang memimpin sepuluh orang berkuda itu-pun kemudian bertanya, "Siapakah pemimpin diantara kalian?"
Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun prajurit yang tertua-pun segera menyahut, "Aku. Akulah yang bertanggung jawab atas kawan-kawanku para prajurit ini."
"Dan kedua orang ini?" bertanya pemimpin sekelompok orang berkuda itu.
"Mereka menempuh perjalanan bersama kami para prajurit. Dengan demikian, maka mereka tunduk dibawah perintahku sebagaimana para prajurit," jawab prajurit itu.
Pemimpin dari sekelompok orang berkuda itu mengangguk-angguk sambil memandangi Sabungsari dan Glagah Putih berganti-ganti. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah mereka orang Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya," jawab prajurit itu singkat.
"Bagus," sahut orang itu, "jika demikian, maka kalian tidak ada bedanya. Jika mereka berdua bukan orang Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka akan aku bebaskan dari hukuman. Tetapi karena mereka orang-orang Tanah Perdikan, maka mereka-pun akan menerima hukuman sebagaimana para prajaurit."
"Hukuman apa" Kenapa kami harus mendapat hukuman?"
"Kalian telah menghancurkan kawan-kawan kami. Para prajurit dari Pasukan Khusus dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh," jawab orang itu.
Prajurit tertua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kalian adalah kawan-kawan dari para perampok yang telah merampok dengan besar-besaran Tanah Perdikan Menoreh?"
"Kami bukan perampok. Tetapi kami mengemban tugas pengabdian yang luhur."
"Pengabdian?" bertanya prajurit tertua itu, "kepada siapa kalian mengabdi?"
"Kami mengabdi kepada cita-cita luhur pemimpin kami."
"Bagaimanakah ujud pengabdian kalian" Merampok Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya prajurit itu.
Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian ia berkata, "Apa-pun yang kami lakukan, sudah kami pikirkan masak-masak. Persoalannya sekarang tidak lagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami ingin membalas dendam sejauh dapat kami lakukan. Kami akan membunuh semua prajurit dari Pasukan Khusus dengan cara kami sebagaimana kami lakukan sekarang. Kami juga akan membunuh setiap anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh, apalagi para pengawal atau mereka yang berhubungan dengan para prajurit dari Pasukan Khusus yang telah membantu Tanah Perdikan Menoreh menggagalkan rencana kami."
"Rencanamu memang mengerikan Ki Sanak," sahut prajurit yang tertua itu, "tetapi sama sekali tidak menggetarkan jantung kami. Jumlah kalian tinggal beberapa orang, sementara kekuatan Tanah Perdikan Menoreh dan prajurit dari Pasukan Khusus itu masih tetap utuh."
"Kami bukan orang-orang dungu yang akan membenturkan kekuatan kami langsung dengan kekuatan Tanah Perdikan. Tetapi kami akan membunuh mereka seorang demi seorang."
"O," Sabungsarilah yang menyahut, "ancamanmu membuat buluku meremang. Kau kira seorang prajurit akan memberikan lehernya untuk dipenggal" Jika seorang prajurit mati dalam pertempuran, meski-pun dikeroyok, namun ia akan membawa satu atau dua lawannya serta. Nah, bukankah dalam waktu dekat, orang-orangmu akan segera habis, sementara itu di barak Pasukan Khusus itu sama sekali tidak terasa bahwa jumlah mereka berkurang?"
"Tidak," jawab orang itu, "kami akan membunuh kalian sekarang ini tanpa mengorbankan seorang-pun diantara kami."
"Kita akan melihat," jawab prajurit tertua itu, "siapakah yang akan terbujur di tepian ini."
Namun seorang yang lain, yang bertubuh kekurus-kurusan telah melangkah maju sambil berkata, "Ki Sanak. Tidak ada harapan bagi kalian untuk dapat hidup. Yang terbaik bagi kalian sekarang adalah memilih cara mati yang paling baik. Yang tidak menimbulkan penderitaan sama sekali. Tetapi jika kalian melawan, maka kamilah yang akan menentukan cara mati bagi kalian yang mungkin tidak kalian senangi."
Tetapi Sabungsari justru tertawa. Bahkan kemudian para prajurit itu-pun tertawa pula. Dengan nada tinggi Sabungsari berkata, "Kau pandai bergurau Ki Sanak. Aku senang mendengar guraumu yang lucu meski-pun mendebarkan."
"Aku tidak bergurau anak muda," geram orang itu, "aku berkata sesungguhnya. Dan aku tidak akan segan melakukannya."
"Kau tidak akan dapat melakukannya," berkata Sabungsari. "wajahmu nampak lembut. Tatapan matamu menunjukkan, bahwa kau adalah seorang yang hatinya seluas lautan. Sabar dan memuat segala persoalan tanpa pernah menjadi penuh. Kau tidak akan dapat marah dan akan memaafkan segala kesalahan orang lain."
Wajah orang itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menggeram, "Anak iblis. Jangan menyesal jika kau akan hancur menjadi debu."
Tetapi Sabungsari masih saja menjawab, "Jangan berpura-pura marah. Kau sama sekali tidak pantas untuk marah."
Kemarahan orang itu justru memuncak. Ia sadar bahwa anak muda dari Tanah Perdikan itu telah mempermainkannya. Karena itu, tiba-tiba ia bergeser selangkah surut. Kedua tangannya bergerak dengan cepat. Kedua telapak tangan menakup kemudian bergerak dalam putaran yang cepat.
Sabungsari, Glagah Putih dan keempat orang prajurit itu meloncat surut. Tiba-tiba saja pasir tepian itu berputar. Angin pusaran yang keras tiba-tiba saja timbul di hadapan mereka. Hanya sesaat. Tetapi segumpal pasir telah terbang naik ke udara. Kemudian pecah menghambur menghunjani orang-orang yang ada di tepian itu.
Wajah Sabungsari, Glagah Putih dan keempat prajurit itu menjadi tegang. Mereka sadar, bahwa orang itu belum benar-benar menyerang mereka. Yang dilakukan adalah sekedar menakut-nakuti keenam orang yang akan pergi ke Mataram itu.
Dengan suara bergetar karena kemarahannya, orang itu berkata, "Kalian telah melihat dengan mata kepala kalian sendiri, apa yang dapat kami lakukan. Menyerahlah. Jika kalian mencoba untuk melawan, maka kalian akan diangkat oleh angin pusaran yang jauh lebih besar. Kalian akan dilemparkan ke udara dan jatuh dari ketinggian yang tidak terhingga sesuai dengan keinginanku."
Tidak seorang-pun yang menjawab, meski-pun keenam orang dari Tanah Perdikan itu telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, orang itu berkata selanjutnya, "Tetapi aku dapat berbuat lain. Kalian akan aku putar untuk diangkat ke udara. Tidak begitu tinggi, namun kalian akan terhempas diatas batu-batu padas. Kalian tidak akan segera mati. Tetapi luka-luka kalian tidak akan dapat diobati karena setiap orang yang akan menolong kalian akan mengalami nasib yang sama."
Suasana memang menjadi tegang. Orang-orang yang ada di tepian itu menjadi ketakutan. Rakit yang memuat gula itu-pun segera bergerak ke seberang, sementara rakit yang akan merapat di tepian di sisi Barat, telah mengurungkan niatnya. Para penumpangnya-pun minta agar rakit itu kembali saja ke arah Timur.
Namun yang terjadi kemudian sangat mengejutkan orang yang mampu memutar pasir tepian dan melontarkannya ke udara itu. Ternyata orang-orang Tanah Perdikan ini tidak menjadi ketakutan. Bahkan Sabungsari dan Glagah Putih justru tertawa karenanya.
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan mata terbelalak ia memandang Sabungsari dan Glagah Putih berganti-ganti. Mereka masih muda, apalagi Glagah Putih. Tetapi mereka sama sekali tidak terkejut melihat ilmunya yang jarang ada duanya itu.
Bahkan keempat prajurit dan Pasukan Khusus itu-pun harus berpikir ulang, apa yang mereka lakukan untuk melawan ilmu orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu.
12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, "Aku juga pernah melihat ilmu seperti itu. Debu, pasir dan daun-daun kering berterbangan di halaman rumah kakang Agung Sedayu. Seperti payung yang berwarna hitam kelabu. Namun, demikian orang yang melontarkan ilmu itu mati, maka ilmu itu lenyap dengan sendirinya."
"Setan kau," geram orang itu, "siapa kau yang telah berani meremehkan ilmuku?"
"Aku tidak meremehkan ilmumu. Ilmu itu menggetarkan jantungku. Tetapi bukan berarti bahwa justru karena itu kami harus menundukkan kepala dan menyerahkan leher kami."
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menjadi semakin marah. Dengan geram ia berkata, "Tangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membunuh mereka dengan caraku."
Kawan-kawan orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu-pun segera bersiap. Pemimpin mereka-pun telah mengulangi perintah itu. "Kepung mereka. Jangan ada seorang-pun yang melarikan diri. Mereka harus tertangkap hidup-hidup."
Para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera bersiap pula. Sabungsari dan Glagah Putih mulai bergeser. Namun Glagah Putih telah langsung menempatkan diri berhadapan dengan orang yang kekurus-kurusan itu.
"Ternyata kau seorang pemberani anak muda. Kau sudah melihat apa yang dapat aku lakukan. Namun kau sama sekali tidak merasa takut," geram orang yang kekurus-kurusan itu.
"Kenapa aku harus merasa takut?" Glagah Putih justru bertanya, "aku juga berpendapat bahwa kau bukan seorang pendendam. Kau tidak akan pernah marah kepada siapa-pun juga. Tatapan matamu memancarkan kelunakan hatimu."
"Cukup," teriak orang itu. Dengan kecepatan yang tinggi ia telah meloncat menyambar wajah Glagah Putih. Tetapi dengan kecepatan yang sama Glagah Putih telah menghindarinya. Selangkah ia bergeser kesamping sambil memiringkan wajahnya.
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, "Anak muda. Nampaknya kau memang memiliki bekal yang baik. Tetapi agaknya kau masih belum dapat menilai, apa yang sebenarnya kau hadapi."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun desir angin yang timbul dari ayunan tangan orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu merupakan peringatan bagi Glagah Putih, bahwa kekuatan orang yang meski-pun tubuhnya nampak kekurus-kurusan itu, ternyata besar sekali.
Dengan demikian, maka Glagah Putih benar-benar harus berhati-hati menghadapi orang itu. Tetapi menurut perhitungan Glagah Putih, jika orang itu benar-benar ingin menangkapnya hidup-hidup maka ia tentu tidak akan segera mempergunakan ilmu pusarannya.
Sementara itu, sembilan orang yang lain-pun telah bergerak pula.
Ampat orang prajurit dari Pasukan Khusus serta Sabungsari telah bersiap menghadapi mereka.
Ketika orang-orang itu mulai bergerak, maka para prajurit-pun telah berloncatan pula. Mereka dengan sengaja telah bertempur bersama-sama. Namun karena Sabungsari tidak terbiasa melakukannya bersama para prajurit dari Pasukan Khusus itu, maka ia berusaha untuk dapat menyesuaikan diri agar tidak justru mengganggu para prajurit yang bertempur itu.
Ternyata keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu benar-benar prajurit pilihan. Meski-pun mereka menghadapi lawan yang lebih banyak, namun mereka masih juga mampu membuat lawan-lawannya itu berloncatan mundur.
Namun seorang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis berteriak, "Beri aku kesempatan menghancurkan mereka. Lingkari orang-orang itu. Kalian mempunyai banyak kesempatan jika ada diantara mereka yang terdesak."
Sabungsari dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun tanggap. Orang itu akan bertempur menghadapi mereka berlima. Namun kawan-kawannya akan membantunya menyerang dari kepungan yang segera akan mereka buat tanpa menghiraukan kawannya yang bertubuh kekurus-kurusan itu, karena orang itu dianggap akan dapat menyelesaikan lawannya, anak muda yang sombong itu.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian, maka delapan orang telah melingkari kelima orang itu. Mereka akan menyerang Sabungsari dan kawan-kawannya dari delapan arah. Sementara itu, seorang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu akan berada didalam lingkaran.
Sabungsari untuk sesaat membiarkan dirinya berada dalam kepungan. Ia ingin tahu apa saja yang akan dilakukan oleh orang yang berkumis tipis serta kawan-kawannya.
Sejenak kemudian, maka delapan orang yang berada di lingkaran yang memutari kelima orang itu telah menyiapkan senjata mereka. Dengan garangnya mereka menyerang seorang demi seorang. Bahkan kadang-kadang dua tiga orang maju bersama-sama dari arah yang berbeda, sementara orang yang berkumis tipis yang ada didalam lingkaran itu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak menjadi bingung. Mereka-pun telah menggenggam senjata mereka menangkis setiap serangan yang datang dari beberapa arah. Namun para prajurit itu-pun telah mengahadapi ke beberapa arah pula.
Orang yang berkumis tipis yang ada di halaman lingkaran itu ternyata tidak dapat berbuat sebagaimana direncanakan. Orang itu ingin menguasai kelima orang yang ada didalam kepungan itu, selagi mereka menjadi kebingungan karena ujung-ujung senjata dari kedelapan kawan-kawannya. Bahkan tanpa dibicarakannya lebih dahulu Sabungsari dan para prajurit itu seakan-akan telah membagi tugas. Keempat prajurit itu menghadapi delapan orang yang mengepung mereka dan menyerang dari delapan penjuru, sedang Sabungsari menghadapi orang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu.
Demikian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sulit. Bahkan kemudian Sabungsari tidak lagi merasa bebas bertempur diantara para prajurit dan Pasukan Khusus. Ruang geraknya terasa menjadi terlampau sempit.
Namun ternyata orang yang berkumis tipis itu juga merasa demikian. Justru karena rencananya tidak berjalan sebagaimana dikehendaki, karena diantara lima orang kawan-kawannya itu terdapat seorang yang agaknya memiliki kelebihan dari kawan-kawannya, maka orang itu telah berusaha memancing Sabungsari keluar dari lingkaran.
"Beri kami jalan. Aku akan menyelesaikan yang satu ini lebih dahulu."
Namun orang-orang yang memimpin kelompok itu berteriak, "Tangkap orang itu hidup-hidup."
"Aku akan menangkapnya hidup-hidup meski-pun kaki dan tangannya akan patah," sahut orang berkumis tipis itu.
Sabungsari yang juga merasa terlalu sempit bertempur didalam kepungan itu-pun kemudian tidak menunggu lebih lama lagi ketika lawannya itu berteriak, "Ternyata kau memiliki kelebihan dari kawan-kawanmu. Marilah, kita bertempur di tempat terpisah."
Ketika orang itu meloncat keluar dari lingkaran, maka Sabungsari-pun segera cepat menyusulnya pula. Sementara itu, keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu harus bertempur melawan delapan orang lawan.
Namun ternyata delapan orang itu tidak menggetarkan jantung para prajurit itu. Meski-pun mereka harus mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri. Namun kedelapan orang itu tidak memiliki kemampuan sebagaimana orang berkumis tipis yang kemudian bertempur melawan Sabungsari itu. Apalagi seperti orang yang bertubuh kekurus-kurusan yang sedang bertempur melawan Glagah Putih.
Dalam pada itu, Sabungsari yang telah berada diluar lingkaran, justru merasa mendapat kebebasan lebih banyak untuk menghadapi lawannya. Orang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu ternyata telah menggenggam pedang di tangannya. Dengan lantang orang itu berkata, "Anak muda. Kau telah menimbun kemarahanku atas dirimu sendiri dengan perbuatanmu. Seharusnya yang kau menyadari apa yang akan terjadi atas dirimu dengan tingkahmu itu."
"Ya," jawab Sabungsari, "aku tahu bahwa aku akan mampu membebaskan diri dari dendam yang membakar jantungmu. Sebenarnyalah bahwa dendam itu akan menghancurkan isi dadamu sendiri."
Orang itu tidak menjawab. Namun pedangnya telah berputar dengan cepat. Kemudian dengan loncatan pendek, pedangnya telah terjulur lurus ke arah dada Sabungsari.
Sabungsari meloncat surut. Namun ketika ia berdiri tegak, maka ia-pun telah menarik pedangnya pula.
"Bagus anak muda," berkata orang berkumis tipis itu, "aku ingin tahu seberapa tinggi ilmu pedangmu."
Sabungsari bergeser kesamping sambil menjawab, "Kita akan melihat, siapakah yang akan keluar dari arena ini dengan selamat."
Lawan Sabungsari itu tidak menjawab lagi. Tetapi serangan-serangannya datang beruntun dengan cepatnya.
Meski-pun demikian Sabungsari tidak menjadi bingung. Dengan cepat ia menghindari setiap serangan. Namun kemudian pedangnya yang mematuk dengan cepatnya.
Dalam pada itu, orang-orang yang ada di tepian itu-pun telah menyingkir semua. Mereka yang menyebrang ke Timur. Telah merapat di tepian sebagaimana rakit yang justru telah kembali ke Timur.
Tetapi ternyata ada diantara mereka yang tidak segera meninggalkan tepian. Yang sedikit mempunyai keberanian justru ingin melihat dari seberang Kali praga. Apa yang telah terjadi di tepian sebelah Barat itu. Namun yang hatinya rapuh, segera berlari menjauhkan dirinya.
Sementara itu, Glagah Putih Yang bertempur melawan orang yang kekurus-kurusan itu berloncatan dengan cepatnya. Ternyata lawannya mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih-pun harus berusaha untuk mengimbanginya.
Namun sebenarnyalah lawannya justru merasa heran, bahwa lawannya yang masih terhitung amat muda itu, mampu mengimbanginya. Karena itu, maka ketika ia sempat mengambil jarak, maka ia-pun bertanya, "Anak muda. Aku tidak ingkar, bahwa kau termasuk anak muda yang luar biasa. Siapakah kau sebenarnya ?"
"Aku adalah satu dari antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh," jawaban Glagah Putih.
Orang yang kekurus-kurusan itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Apakah maksudmu mengatakan bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memiliki kemampuan sebagaimana kemampuanmu ?"
"Aku tidak mengatakan demikian. Aku hanya mengatakan bahwa aku adalah salah seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Demikian juga kawanku itu. Ia juga salah seorang pengawal sebagaimana aku," jawab Glagah Putih.
Orang itu memang sempat sekali-sekali melihat apa yang terjadi dengan kawan-kawannya. Ia memang melihat anak muda yang seorang lagi itu juga mampu mengimbangi kemampuan kawannya yang berkumis tipis itu.
Tetapi orang tidak meyakini bahwa kemampuan kedua anak muda itu adalah kemampuan rata-rata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, maka ia-pun bertanya, "Siapa namamu anak muda. Jika kau mati dengan cara yang sangat menyakitkan, biarlah aku tetap mengenang bahwa aku pernah membunuh seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi."
Glagah Putih yang kemudian telah bertempur lagi dengan garangnya menjawab, "Namaku Glagah putih, Ki Sanak."
"Glagah Putih," orang itu mengulang, "nama yang baik. Aku kelak akan dapat berceritera bahwa aku pernah membunuh Glagah Putih salah seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa."
Sambil meloncat surut menghindari serangan lawannya, Glagah Putih bertanya, "Ki Sanak. Kau sudah mengetahui namaku. Coba sebutkan, siapakah namamu, agar kelak aku juga dapat berceritera bahwa hari ini aku akan dibunuh oleh seorang pendendam yang telah kehilangan beberapa kawannya di Tanah Perdikan Menoreh."
"Anak iblis kau. Kau tidak akan dapat berceritera kepada siapa-pun. Kau akan mati hari ini," geram orang itu.
"Tetapi kau belum menjawab, siapa namamu," sahut Glagah Putih.
Tetapi orang itu tidak segera menjawab. Namun ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi Glagah Putih-pun dengan tangkasnya menghindari serangan itu.
Orang itu mengumpat kasar. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Meski-pun tubuhnya nampak kekurus-kurusan dan umurnya sudah merambat menjelang hari-hari tuanya, namun ternyata orang itu masih sangat tangkas. Kekuatannya masih sangat besar sehingga Glagah Putih benar-benar harus berhati-hati menghadapinya.
Namun dalam umurnya yang masih muda, Glagah Putih telah memiliki pengalaman yang luas. Beberapa kali ia bertempur melawan orang berilmu tinggi. Karena itu, menghadapi orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, Glagah Putih tidak menjadi gelisah.
Yang kemudian melompat mengambil jarak adalah Glahgah Putih. Demikian ia berdiri tegak, maka kemudian ia-pun bertanya, "He, kau belum menjawab Ki Sanak. Siapa namamu."
Orang itu justru tertegun. Ia tidak segera memburu Glagah Putih.
Namun ia menyempatkan diri menjawab, "Namaku Sana Kikis."
"Sana Kikis," ulang Glagah Putih, "aku pernah mendengar nama itu."
"Mungkin sekali," jawab Sana Kikis, "banyak orang telah mengenal namaku."
"Bukankah kau salah seorang pemimpin dari orang-orang yang berkemah di sebelah pebukitan ?" bertana Glagah Putih.
"Ya. Bukankah aku sudah mengatakannya ?" jawab Sana Kikis.
"Tetapi kenapa kau tidak ikut menyerang Tanah Pewrdikan Menoreh ?" bertanya Glagah Putih pula.
"Aku terlambat. Aku sedang melakukan satu tugas. Ketika aku kembali maka aku tinggal menemukan sisa-sisa dari pasukan kami. Seorang yang dapat aku jumpai memberikan laporan bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan para prajurit dari Pasukan Khususlah yang telah menghancurkan kawan-kawanku. Karena itu, maka kehancuran itu harus kalian tebus dengan harga yang sepantasnya beserta bunganya sama sekali."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia melihat dimata orang itu, bayangan dendam yang tiada taranya. Meski-pun demikian Glagah putih berkata, "Kau seharusnya tidak mendendam. Wajahmu bukan wajah pendendam. Seandainya kau lakukan juga rencanamu yang mengerikan ini, tentu tidak tumbuh dari hatimu sendiri."
Kemarahan Ki Sana Kikis telah sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu, maka ia tidak berbicara lagi. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang. Tangannya terayun deras menyambar ke arah kening Glagah Putih.
Namun Glagah Putih dengan cepat menghindar. Demikian tangan Ki Sana Kikis terayun lewat sejengkal dari kepalanya, maka kaki Glagah Putihlah yang terayun mendatar ke arah lambung.
Tiga Mutiara Mustika 4 Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Topan Di Borobudur 3