Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 16

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 16


Tetapi Ki Sana Kikis dengan tangkas pula menghindar. Bahkan kemudian setengah lingkaran ia berputar, namun dengan cepat melenting maju sambil menjulurkan tangannya menerkam wajah Glagah putih. Tetapi Glagah Putih tidak sekedar berdiri termangu-mangu. Tetapi ia-pun dengan cepat pula menghindar.
Dengan demikian, maka pertempuran telah kembali menyala antara kedua orang yang berilmu tinggi. Namun Ki Sana Kikis yang ingin menangkap Glagah Putih hidup-hidup nampaknya tidak segera mempergunakan ilmu pamungkasnya.
Orang itu mencoba untuk melumpuhkan perlawanan Glagah Putih dengan serangan-serangannya yang cepat dan tenaganya yang semakin kuat.
Namun ternyata bahwa Glagah Putih masih saja dapat mengimbanginya. Tekanan-tekanan Ki Sana Kikis tidak menggoyahkan pertahanan anak muda itu. Bahkan Glagah Putih-pun mampu menyerang dengan cepat pula.
Ki Sana Kikis mengumpat dengan kasar. Ia tidak mengira bahwa anak itu memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka Ki Sana Kikis-pun kemudian telah mengerahkan kemampuannya. Ia masih yakin tanpa ilmu pamungkasnya, ia akan dapat menangkap anak itu hidup-hidup.
Sikap Ki Sana Kikis memang sangat menyakitkan hati Glagah Putih. Ia menganggap bahwa Ki Sana Kikis bukan sekedar ingin membalas dendam. Tetapi Ki Sana Kikis tentu seorang yang bengis, yang senang melihat orang lain mengalami penderitaan sampai ke puncak. Ia tidak sekedar ingin membunuh lawannya, tetapi pembunuhan yang akan dilakukannya diharapkannya dapat memberikan kepuasan tersendiri pada nafsunya yang rendah. Penderitaan atas orang lain agaknya dapat memberikan hidangan jiwani yang segar baginya.
Justru karena itu, maka Glagah Putih-pun semakin menjadi marah karenanya. Semakin kuat orang itu berusaha menekannya, maka Glagah Putih-pun semakin menjadi garang pula.
Kemampuan Glagah Putih mengimbangi ilmu Ki Sana Kikis telah membuat orang itu juga semakin marah. Tetapi ia benar-benar tidak ingin membunuh lawannya dalam pertempuran itu. Karena itu, maka ketika kekuatan dan kemampuannya tidak segera dapat menguasai anak muda itu, maka Ki Sana Kikis itu-pun telah menarik senjatanya. Sebuah luwuk yang berwarna keehitam-hitaman dengan pamor yang gemerlap.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia menjadi semakin yakin, bahwa Ki Sana Kikis tidak akan segera mempergunakan ilmu pamungkasnya justru karena ia ingin menangkapnya dan mencari kepuasan dengan penderitaannya.
Namun Glagah Putih sama sekali tidak tergetar. Ketika luwuk yang kehitaman mulai berputar, maka Glagah Putih-pun telah menarik pedangnya pula.
Ki Sana Kikis itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun menggeram, "Bagus anak muda. Aku ingin melihat apakah kau juga memiliki ilmu pedang yang mantap."
Glagah Putih tidak menjawab namun ia-pun telah mengangkat pedangnya pula. Ketika luwuk Ki Sana Kikis terjulur, maka Glagah Putih telah menangkisnya.
Ternyata keduanya memang masih ingin menjajagi kemampuan dan kekuatan lawan-lawannya. Sentuhan itu memang bukan saja benturan yang keras. Tetapi sentuhan bagi keduanya merupakan bagian dari penjajagan mereka.
Namun sentuhan itu-pun segera disusul dengan sentuhan-sentuhan yang berikutnya. Bahkan kemudian terjadi benturan-benturan yang semakin keras.
Dengan demikian, maka kedua belah pihak mulai dapat menilai lawan mereka. Ki Sana Kikis sekali lagi mengumpat kasar. Ternyata anak muda itu juga memiliki ilmu pedang yang mapan.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin keras. Benturan senjata yang semmakin keras telah melontarkan bunga-bunga api.
Sementara itu empat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun telah mengerahkan kemampuan mereka untuk melawan delapan orang yang mengepung mereka. Namun latihan-latihan yang berat, telah membuat keempat orang prajurit itu memiliki ketahanan yang tinggi. Meski-pun mereka harus mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka, namun mereka sama sekali tidak segera mengalami kesulitan. Tenaga mereka tidak segera menjadi susut.
Yang kemudian segera menguasai lawannya adalah justru Sabungsari. Lawannya yang berkumis tipis itu tidak menduga, bahwa lawannya itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Sabungsari bukan saja seorang yang mempunyai tenaga yang kuat, tetapi ia-pun terlalu tangkas bagi lawannya yang berkumis tipis itu.
Dengan demikian, maka orang berkumis tipis itu tidak lagi menghiraukan perintah untuk menangkap lawannya hidup-hidup. Ia merasa bahwa sulit baginya untuk melakukannya. Karena itu, maka ia-pun telah memutuskan untuk membunuh saja lawannya dengan senjatanya.
Karena itu, maka orang berkumis tipis itu tidak lagi mengekang diri. Senjatanya segera berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali terayun menyilang ke arah dada. Tetapi kemudian berputar dan mematuk menusuk lambung.
Namun Sabungsari tidak kalah tangkasnya. Serangan-serangan itu tidak segera mampu menyentuh kulitnya. Senjata Sabungsari-pun berputaran pula. Bahkan ternyata kemampuan Sabungsari telah membuat lawannya kadang-kadang menjadi kebingungan.
Orang berkumis tipis itu berteriak marah ketika kemudian Sabungsari justru berhasil menembus pertahanan senjata lawannya. Ujung senjatanya telah menyusup dan menyentuh lengan orang berkumis tipis itu.
Orang itu mengumpat sejadi-jadinya. Meski-pun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi darah sudah mulai mengalir dari lukanya itu.
Namun ia tidak dapat berbuat terlalu banyak. Lawannya memiliki kemapuan yang memang tinggi. Jika semula ia membawa lawannya keluar dari kepungan untuk dapat melumpuhkan sebelum keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu, ternyata bahwa justru ia semakin lama semakin terdesak.
Meski-pun orang berkumis tipis itu sudah mengerahkan segenap kemampuannya, namun Sabungsari sama sekali tidak tergetar. Ia justru semakin mendesak. Ujung pedangnya semakin menggapai-gapai kulitnya. Goresan-goresan kecil telah membekas di bagian-bagian tubuhnya. Bukan saja lengannya, tetapi pundaknya, dadanya dan lambungnya. Meski-pun goresan-goresan itu hanya sekedar mengambang tipis, tetapi titik-titik keringatnya membuat goresan-goresan itu menjadi pedih. Sementara itu pakaiannya-pun telah terkoyak pula dilengan, di dada, di lambung dan bahkan ikat pinggangnya hampir saja putus. Untunglah bahwa orang itu memiliki ikat pinggang kulit yang kuat, sehingga bukan perutnyalah yang terkuak. Timang pada kamusnya telah melindunginya dari goresan ujung pedang Sabungsari.
Dalam keadaan yang sulit, maka orang yang berkumis tipis tidak dapat berbuat lain. Ia-pun telah berteriak lantang kepada kawan-kawannya yang masih bertempur melawan para prajurit dari Pasukan Khusus itu, "He, dua diantara kalian, kemarilah. Jaga orang ini agar tidak melarikan dirinya. Aku akan segera membinasakannya."
Delapan orang yang bertempur melawan keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu mendengar panggilan itu. Karena itu, maka pemimpin kelompok yang ikut bertempur bersama kedelapan orang itu telah memerintahkan dua orang diantara mereka untuk meninggalkan kepungan.
"Tutup kepungan itu. Mereka harus tetap berada didalam," teriak pemimpin kelompok itu.
Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok itu justru menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa orang berkumis tipis itu ternyata tidak dapat menyelesaikan sendiri anak muda yang semula juga berada didalam kepungan itu.
Sabungsari yang melihat dua orang yang lain berloncatan memasuki lingkaran pertempurannya, maka ia-pun merasa bahwa ia ia akan mendapat tekanan yang lebih berat. Karena itu, maka demikian keduanya mendekat, maka pedang Sabungsari-pun telah berputar lebih cepat lagi.
Namun bagaimana-pun juga kehadiran kedua orang itu terasa berpengaruh juga. Sabungsari tidak lagi dapat memusatkan perhatiannya kepada orang berkumis tipis itu. Tetapi ia harus memperhatikan pula kedua orang lawannya yang baru, yang menyerang dari arah yang berbeda.
Tetapi justru karena itu, maka Sabungsari menjadi semakin garang. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengekang diri. Pedangnya berputaran dan menyambar-nyambar. Berbeda dengan saat ia bertempur melawan seorang saja, sehingga pada saat-saat yang paling gawat bagi lawannya, justru Sabugsari sempat menahan diri.
Sementara itu, keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu justru telah kehilangan dua orang lawan. Dengan demikian, maka tekanan atas mereka-pun menjadi berkurang. Jika semula keempat orang itu harus bertempur melawan kedelapan orang, kemudian mereka tinggal melawan enam orang saja.
Karena itulah, maka keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu seakan-akan sempat bernafas meski-pun mereka masih harus mengerahkan kemampuan mereka untuk melindungi diri mereka.
Tetapi dengan demikian, maka kepungan keenam orang itu terasa menjadi semakin longgar. Bahkan kadang-kadang dinding kepungan itu sempat terdesak dan mengembang. Meski-pun kemudian orang-orang yang mengepung para prajurit itu berusaha untuk mempersempit kembali kepungannya, namun kepungan itu tidak terasa sangat ketat.
Yang kemudian masih saja merasa kesulitan adalah orang berkumis tipis itu. Sabungsari yang mendapat dua orang lawan baru, justru telah menjadi semakin berbahaya. Pedangnya berputar menyerang ketiga orang lawannya berganti-ganti. Namun tekanan terberat serangan Sabungsari adalah tetap pada orang berkumis tipis itu.
Tetapi orang berkumis tipis itu memiliki kelibihan dari kawan-kawannya. Dibantu oleh dua orang yang lain, maka ia mempunyai beberapa kesempatan yang terbuka. Karena itu, maka jika kulitnya telah terluka, maka kemudian ia justru mampu membuka serangan yang berbahaya. Ketika Sabungsari sibuk menangkis dan menghindari serangan dari kedua lawannya yang baru, maka orang berkumis tipis itu sempat mempergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya. Serangannya yang mapan pada kesempatan yang tepat telah berhasil menembus pertahanan Sabungsari. Ujung senjatanya sempat menggapai pundak anak muda itu.
Sabungsari merasakan sengatan di pundaknya. Karena itu maka ia-pun telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, menjauhi ketiga orang lawannya.
Ketika kemudian terasa darah yang hangat mengalir dari lukanya, maka jantung anak muda itu bagaikan membara.
"Kau bersungguh-sungguh, Ki Sanak," geram Sabungsari.
"Jangan menyesali kesombonganmu," jawab orang berkumis tipis itu, "aku memang akan membunuhmu. Aku akan membuat luka arang kranjang di tubuhmu. Kemudian membiarkan kau terkapar di tepian ini sampai mati dengan sendirinya."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sampai saat ini aku masih saja berpikir bahwa aku bertempur untuk membela diri. Tetapi jika kau memang bersungguh-sungguh akan membunuhku, apalagi dengan cara yang bengis, maka aku-pun akan berlaku sebagaimana kau lakukan. Aku juga tidak akan menahan diri. Aku akan membunuhmu."
Kata-kata Sabungsari itu memang menggetarkan jantung ketiga lawannya. Tetapi bahwa orang yang berkumis tipis itu sempat melukainya, maka ia merasa bahwa ia akan dapat mengakhiri pertempuran itu bersama dengan dua orang kawannnya.
Karena itu, maka ia-pun kemudian menjawab, "Kau sedang berusaha untuk menyembunyikan kegelisahanmu. Kau sudah terluka. Kau tentu akan kehilangan tenaga karena darahmu yang mengalir dari lukamu."
"Lukamu lebih banyak dari lukaku. Jika darahku mengalir setitik, maka kau telah kehilangan darah setempurung," jawab Sabungsari.
Tetapi orang itu menjawab, "Sekarang kami bertiga. Kau ternyata tidak mampu melawan kami."
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi sambil menggeram, Sabungsari-pun telah mengerahkan tenaga dalamnya.
Ketika kemudian Sabungsari melangkah maju, maka gerakannya nampak semakin berat dan semakin mantap. Karena itu, maka ketiga orang lawannya itu-pun menjadi semakin berhati-hati.
Sejenak kemudian, maka pedang Sabungsari telah terjulur kembali. Ketiga orang lawannya telah bergeser menempatkan dirinya di sekitar Sabungsari. Mereka memang berusaha untuk menyerang Sabungsari dari arah yang berbeda.
Sambil melangkah maju ke arah orang yang berkumis tipis itu, Sabungsari menjulurkan pedangnya ke arah dada orang yang berkumis tipis itu. Tetapi orang itu sempat mengelak dengan memiringkan tubuhnya, sementara itu kawannya yang seorang dengan cepat meloncat menyerang lambung Sabungsari.
Sabungsari bergeser menghindar. Sehingga ujung senjata lawannnya itu tidak menyentuhnya. Namun dalam pada itu, lawannya yang seorang lagi telah mengayunkan pedangnya, menebas ke arah leher.
Sabungsari tidak sempat mengelak. Tetapi ia sempat mengangkat pedangnya menangkis serangan itu.
Ketika benturan terjadi, maka lawannya yang seorang itu terkejut. Benturan senjatanya dengan senjata anak muda itu hampir saja merenggut senjatanya. Meski-pun Sabungsari hanya sekedar menangkis, tetapi senjata lawannya itu hampir saja terlepas dari tangannya. Telapak tangannya terasa pedih bagaikan tersentuh api.
Sementara orang itu termangus-mangu, senjata Sabungsari telah berputar. Ketika ujung pedangnya hampir saja terhunjam diperut orang itu, tiba-tiba saja ada sesuatu yang menahannya. Kemarahannya tidak terpusat kepada orang itu, tetapi kepada orang berkumis tipis itu. Dalam keadaan yang demikian, Sabungsari masih sempat menahan diri, sehingga pedangnya tidak benar-benar menghunjam kedalam perut orang itu. Namun ujungnya masih juga menyentuh kulit lawannya diarah perut.
Orang itu meloncat mundur. Perutnya memang terasa pedih karena goresan ujung pedang Sabungsari, sementara keringatnya telah membasahi sekujur tubuhnya.
Namun selagi Sabungsari menahan diri untuk tidak melubangi perut lawannya, orang berkumis tipis itu telah menyerangnya dari arah samping. Sabungari melihat ujung senjata lawannya itu terjulur. Karena itu, maka dengan cepat ia-pun meloncat menghindar. Tetapi pada saat yang bersamaan lawannya yang seorang telah menyerang pula.
Karena itu, maka Sabungsari harus melenting dengan loncatan panjang. Ia berhasil menghindari kedua serangan itu. Namun orang berkumis tipis itu dengan cepat memburunya. Demikian Sabungsari tegak, maka serangan berikutnya telah menyambarnya.
Hampir saja senjata lawannya itu menyambar keningnya. Bahkan rasa-rasanya sentuhan ujung senjata itu sudah terasa menyengat.
Sabungsari terkejut. Angin yang menyapu keningnya itu bagaikan menghembus api kemarahan di jantungnya. Karena itu, maka dengan demikian senjata itu terayun melewati keningnya, Sabungsari dengan cepat meloncat maju. Satu kakinya melangkah kedepan, sedangkan pedangnya terjulur lurus kedepan.
Orang berkumis tipis itu tidak sempat menghindar. Selagi tangannya sedang manahan ayunan senjata yang tidak mengenai sasaran, maka pedang Sabungsari telah terjulur menggapai dadanya.
Orang berkumis tipis itu terdorong beberapa langkah surut. Pedang Sabungsari memang tidak tertanam dalam-dalam di dadanya. Tetapi demikian ujung pedang itu mengoyak dadanya maka darah-pun memancar dari luka itu.
Orang berkumis tipis itu tekejut. Namun darah yang mengalir dari lukanya itu membuat kepalanya menjadi pening. Karena itu meski-pun kemarahan dan dendam membakar jantungnya, namun matanya kemudian bagaikan menjadi berkunang-kunang. Tubuhnya menjadi semakin, lemah, sehingga beberapa saat kemudian, rasa-rasanya keseimbangannya menjadi goyah.
Dalam pada itu, dua orang kawannya berdiri saja termangu-mangu. Orang berkumis tipis itu adalah orang terbaik selain Ki Sana Kikis. Karena itu, keadaan yang mencemaskan itu mengguncangkan perasaan kawan-kawannya.
Sabungsari masih berdiri tegak di tempatnya. Ia tidak segera berbuat sesuatu. Sementara orang yang dilukainya itu terjatuh pada lututnya.
Sejenak kemudian barulah Sabungsari memandang kedua orang lawannya yang lain. Keduanya menjadi berdebar-debar. Menurut perhitungan mereka orang berkumis tipis itu adalah orang yang terkuat di antara mereka, sehingga tanpa mereka, keduanya tidak akan mampu berbuat apa-apa.
Bahkan keenam orang yang bertempur melawan empat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka juga tergantung kepada kedua orang yang mereka anggap berilmu tinggi. Ki Sana Kikis yang mereka anggap ilmunya tidak terbatas dan orang yang berkumis tipis itu.
Ternyata orang yang berkumis tipis itu tidak mampu melawan anak muda yang mengaku pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun orang-orang itu masih berpengharapan, Ki Sana Kikis tentu akan segera menyelesaikan lawannya, anak muda yang juga mengaku pengawal Tanah Perdikan itu.
Sebenarnyalah Ki Sana Kikis juga melihat, orang berkumis itu tidak mampu mengimbangi lawannya. Bahkan karena lukanya, ia tidak lagi mampu memberikan perlawanan. Sementara itu, kedua orang kawannya tidak mungkin akan dapat mengalahkan pengawal Tanah Perdikan itu.
Demikian pula keenam orang yang lain. Agaknya mereka juga sulit menguasai apalagi menangkap keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu. Sehingga dengan demikian, maka akhir dari pertempuran di tepian itu akan bertumpu kepadanya.
Karena itu, maka Ki Sana Kikis harus melepaskan niatnya untuk menangkap anak muda yang bertempur melawannya itu hidup-hidup. Ia justru harus mengalahkannya meski-pun harus membunuhnya lanpa memberi kesempatan kepada anak muda itu untuk mengaku kekalahannya dan menyesali perbuatannya.
Karena itu, maka Ki Sana Kikis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia tidak ingin terlambat, sehingga selain orang yang berkumis tipis, kawan-kawannya yang lain akan menjadi korban pula.
Dengan demikian, maka Ki Sana Kikis-pun segera meningkatkan kemampuannya merambah ke ilmu puncaknya. Dengan demikian maka senjata tidak lagi diperlukan, karena ia akan dapat melepaskan Aji Cleret Tahun sebagaimana dikuasai oleh Ki Tempuyung Putih yang mati sampyuh bersama Bajang Bertangan Baja.
Glagah Putih melihat kesiagaan orang itu. Apalagi ketika orang itu mengambil jarak untuk mendapat kesempatan untuk melepaskan ilmu puncaknya.
Sementara itu Glagah Putih tidak mau terlambat. Ia segera mempersiapkan diri. Pedangnya tidak lagi penting baginya. Dengan bekal ilmu yang ada didalam dirinya, maka anak muda itu sudah siap beradu kemampuan dalam tataran tertinggi.
Sebenarnyalah bahwa Ki Sana Kikis tidak mau menunda lebih lama lagi, karena kecemasannya melihat kawan-kawannya. Meski-pun ia merasa bahwa ia masih mempunyai kesempatan untuk menangkap Glagah Putih hidup-hidup, namun ia masih memerlukan waktu. Sementara itu keadaan kawan-kawannya menjadi sangat gawat.
Ketika Sabungsari menyadari keadaan seluruh medan itu, maka ia-pun segera mempersiapkan diri pula. Ia tidak lagi menghiraukan kedua orang lawannya yang lain. Tetapi ia justru memperhatikan Glagah Putih. Ia sadar, bahwa Ki Sana Kikis telah siap untuk melepaskan ilmu puncaknya, sementara Glagah Putih-pun telah bersiap-siap pula.
Karena itu, maka Sabungsari tidak mau mengalami kenyataan yang sangat pahit baginya dan kawan-kawannya. Meski-pun ia yakin akan kemampuan Glagah Putih, namun jika terjadi sesuatu atas anak muda itu, maka ia tidak boleh menjadi lengah.
Karena itu, maka perhatian Sabungsari segera ditujukan kepada Ki Sana Kikis dan Glagah Putih yang masing-masing telah mempersiapkan diri. Menurut perhitungan Sabungsari, jika Glagah Putih gagal melawan ilmu Ki Sana Kikis yang nampaknya telah benar-benar masak itu, maka ia tidak boleh terlambat Sebelum Ki Sana Kikis sempat menyiapkan dirinya untuk melepaskan serangan berikutnya, maka ia harus mendahuluinya, menyerang dengan cepat. Ia harus melepaskan serangan dengan sorot matanya berlandaskan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Setelah Sabungsari merasa terbebas dari hambatan-hambatan didalam dirinya, maka kemampuan ilmu pamungkasnya menjadi semakin tinggi.
Karena itu, maka Sabungsari telah meninggalkan kedua lawannya yang termangu-mangu justru mendekati arena pertempuran antara Ki Sana Kikis dan Glagah Putih. Namun Sabungsari menyadari, bahwa Glagah Putih tentu tidak ingin pertempuran itu dicampurinya apa-pun akibatnya.
Dalam pada itu, kedua orang lawan Sabungsari-pun menjadi heran, bahwa Sabungsari justru telah meninggalkan mereka. Sementara itu, pertempuran antara keempat prajurit dari Pasukan Khusus melawan keenam orang kawan-kawan mereka itu masih berlangsung dengan sengitnya.
Ternyata pemimpin kelompok pengikut Ki Sana Kikis itu ternyata tidak cepat tanggap akan suasana. Karena Sabungsari meninggalkan kedua orang lawannya, pemimpin kelompok itu mengira bahwa Sabungsari akan bertempur bersama Glagah Putih yang mengalamai kesulitan. Sehingga dengan demikian, maka ia-pun telah berteriak memangggil keduanya untuk bergabung kembali kedalam kelompoknya.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka juga tidak mengerti, kenapa Sabungsari membebaskannya. Keduanya menduga bahwa Sabungsari melihat kelemahan Glagah Putih sehingga dengan tergesa-gesa ia harus membantunya.
Karena itu, maka keduanya-pun tidak berpikir panjang lagi. Ketika mereka mendengar perintah pemimpin kelompoknya, maka keduanya dengan tergesa-gesa telah bergabung kembali bersama keenam kawannya melawan keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu.
Sebenarnyalah bahwa keempat orang prajurit itu juga tidak mengerti kenapa Sabungsari tergesa-gesa mendekati Glagah Putih meski-pun mereka melihat bahwa Glagah Putih tidak sedang terdesak. Namun mereka-pun melihat sesuatu yang nampak lebih bersungguh-sungguh pada tatanan gerak Ki Sana Kikis.
Ki Sana Kikis memang tidak mau terlambat. Karena itu, maka ketika ia melihat Sabungsari mendekatinya, maka niatnya untuk membinasakan Glagah Putih seakan-akan justru telah dipacu.
Jika anak muda yang berhasil mengalahkan orang yang berkumis tipis itu ikut campur, mungkin ia harus menunda pelepasan ilmu pamungkasnya, karena ia harus mencari kesempatan baru.
Dengan demikian, maka Ki Sana Kikis itu-pun segera memusatkan nalar budinya. Mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada didalam dirinya dalam ungkapan ilmu pamungkasnya. Aji Cleret Tahun.
Namun pada saat yang bersamaan, Glagah Putih-pun telah menghimpun kemampuannya pula dilambari segenap ilmu yang pernah diserapnya dari guru-gurunya.
Karena itu, ketika Ki Sana Kikis menghentakkan tangannya, kemudian dengan telapak tangannya yang menakup mulai berputar, maka Glagah Putih-pun telah siap untuk melawan ilmu Ki Sana Kikis yang dahsyat itu.
Dalam sekejap maka udara-pun mulai berputar. Pusaran udara yang mengangkat pasir dan kerikil tepian itu, akan menjadi semakin besar dan semakin kuat, sehingga akan dapat mengangkat tubuh sasarannya dan membantingnya dari ketinggian di batas penglihatan.
Dengan menghentakkan ilmunya, maka pusaran udara itu menjadi semakin cepat dan semakin keras, melampaui kerasnya angin puting beliung.
Namun Glagah Putih tidak menunggu diangkat dan dibanting di atas batu-batu padas sehingga menjadi berrkeping-keping, atau justru tubuhnya bertahan namun ia tidak segera mati sebagaimana dikatakan oleh Ki Sana Kikis.
Karena itu, demikian angin pusaran yang masih saja dihembuskan oleh Aji Cleret Tahun itu, sehingga menjadi semakin dahsyat siap menelannya dan mengangkatnya ke udara, maka Glagah Putih telah melontarkan ilmunya pula. Dengan mengacukan tangannya serta membuka telapak tangannya menghentak ke arah angin pusaran yang seakan-akan tumbuh dari dalam pasir tepian dan merambat dengan cepat ke arahnya itu, Glagah Putih telah melepaskan ilmu puncaknya.
Demikian, maka satu benturan ilmu telah terjadi. Dua kekuatan yang jarang ada tandingnya.
Tepian Kali Praga itu telah diguncang oleh dua kekuatan ilmu yang beradu. Seakan-akan telah terjadi ledakan yang dahsyat. Pasir yang memang telah mulai terangkat itu menghambur ke udara. Tetapi tidak karena putaran ilmu puncak Ki Sana Kikis. Tetapi justru karena benturan yang telah terjadi.
Dua kekuatan yang berbenturan itu memang telah memantul ke arah kedua orang yang melontarkannya. Terasa dada mereka memang berguncang. Ki Sana Kikis terdorong beberapa langkah surut sebagaimana Glagah Putih.
Namun ternyata bahwa kekuatan tenaga dalam yang mendorong melontarkan kekuatan ilmu mereka memang tidak sama. Glagah Putih yang meski-pun masih muda, namun telah ditempa oleh kedua orang gurunya, landasan yang kokoh yang diberikan oleh Raden Rangga dengan cara yang tidak dimengerti oleh Glagah Putih sendiri, serta latihan-latihan dan pengalaman yang laus, ternyata mampu mengatasi kedahsyatan ilmu Ki Sana Kikis, seorang yang telah matang menguasai ilmunya. Namun ilmu yang berpijak pada landasan yang kokoh dan berakar dalam diri Ki Sana Kikis itu, masih belum mampu mengimbangi kekuatan ilmu Glagah Putih.
Karena itu, maka keadaan Ki Sana Kikis ternyata jauh lebih buruk dari keadaan Glagah Putih. Namun ternyata Ki Sana Kikis tidak segera menyerah. Meski-pun dadanya terasa bagaikan pecah, tetapi ia masih mencoba untuk menghimpun kekuatannya yang tersisa. Sekali lagi ia mengatupkan telapak tangannya dan memutarnya. Ki Sana Kikis masih ingin menyerang sekali lagi dengan ilmu puncak yang dimilikinya.
Namun Glagah Putih tanggap pula. Sementara itu, kemarahan anak muda itu tidak dapat lagi dikekangnya. Ketika ia melihat Ki Sana Kikis mempersiapkan serangan berikutnya, maka Glagah Putih-pun telah siap melakukannya pula.
Bahkan Glaah Putih tidak lagi menunggu. Justru pada saat Ki Sana Kikis siap melontarkan ilmunya, maka Glagah Putih telah melakukannya. Ia telah menghentakkan tangannya dengan telapak tangan yang terbuka menghadap ke arah lawannya.
Dengan kecepatan yang sangat tinggi, kekuatan ilmu Glagah Putih telah terlepas dari sarangnya, menyambar tubuh Ki Sana Kikis yang juga sudah bersiap untuk menyerang.
Tetapi Ki Sana Kikis terlambat sekejap. Selain kekuatan tenaganya yang sudah menyusut, maka keadaannya telah menuntut persiapan sedikit lebih lama dari sebelumnya, saat tenaganya masih utuh.
Keterlambatannya itu telah menimbulkan akibat yang sangat parah. Pada saat Ki Sana Kikis melepaskan ilmunya, maka kekuatan ilmu Glagah Putih telah menerpanya.
Sekali lagi terjadi benturan ilmu. Tetapi keadaannya tidak seimbang. Selain kelambatannya yang sekejap, Ki Sana Kikis-pun tidak lagi berada dalam puncak kemampuan dan kekuatannya.
Dengan demikian, maka benturan ilmu itu menjadi tidak seimbang, sehingga akibatnya menjadi sangat parah bagi Ki Sana Kikis.
Dengan kerasnya Ki Sana Kikis telah terlempar dan terbanting jatuh. Meski-pun ia jatuh dipasir tepian, tetapi sebenarnyalah bahwa hentakan ilmu Glagah Putih seakan-akan telah meremas isi dadanya.
Ki Sana Kikis sempat mengaduh sesaat. Kemudian menggeliat sambil menggeretakkan giginya. Dari sela-sela bibirnya telah menitik darah.
Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Sementara itu, Sabungsari diluar sadarnya telah melangkah mendekatinya. Dipandanginya tubuh Ki Sana Kikis yang terbaring diam.
Selagi Glagah Putih dan Sabungsari termangu-mangu, maka tiba-tiba saja mereka dikejutkan teriakan para prajurit dari Pasukan Khusus hampir berbareng, "Jangan lari."
Tetapi kedelapan orang pengikut Ki Sana Kikis itu serentak telah melarikan diri.
Ketika mereka melihat orang berkumis tipis itu terbaring diam sambil mengerang, maka orang-orang itu sudah menjadi gelisah. Apalagi ketika mereka melihat Ki Sana Kikis dapat dikalahkan oleh anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Maka rasa-rasanya mereka benar-benar menjadi berputus asa.
Karena itu dengan isyarat yang mereka pahami, pemimpin kelompok itu memerintahkan agar orang-orangnya melarikan diri dari medan.
Serentak kedelapan orang itu berhasil meninggalkan lawan-lawan mereka. Dengan tangkasnya mereka meloncat memanjat tebing tanpa menghiraukan kuda-kuda mereka lagi, karena mereka tidak akan sempat melepaskan tali pengikatnya kemudian meloncat naik.
Karena itu, maka mereka telah melarikan diri memencar justru diatas tanah berbatu-batu padas.
Namun keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak membiarkan lawan-lawan mereka lepas. Karena itu, maka mereka-pun telah meloncat memburu mereka.
Tetapi para pengikut Ki Sana Kikis itu mendapat kesempatan lebih dahulu melangkah saat mereka melarikan diri. Karena itu, maka mereka sempat mengambil jarak beberapa langkah.
Tetapi para prajurit itu juga tidak ingin melepaskan lawan-lawan mereka, sehingga karena itu, maka mereka-pun telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mengejar lawan-lawan mereka.
Tetapi para prajurit itu hanya dapat menangkap tiga orang diantara mereka, sementara lima orang yang lain meloloskan diri dengan berlari di sepanjang tebing berbatu-batu padas.
Demikianlah, maka di tepian itu telah terbaring seorang yang terluka parah dengan seorang yang ternyata tidak dapat lagi bertahan untuk hidup. Daya tahan Ki Sana Kikis tidak mampu mengatasi luka dalam yang parah karena serangan ilmu puncak Glagah Putih.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Sabungsari masih berdiri termangu-mangu di tepian. Ketika Glagah Putih melihat darah pada pakaian Sabungsari, maka ia-pun bertanya, "Kau terluka ?"
"Ya," jawab Sabungsari, "tetapi tidak berpengaruh."
"Kau harus mengobati lukamu agar darahnya tidak menitik lagi. Meski-pun luka itu tidak dalam, tetapi jika darahnya terus saja mengalir, maka akan berakibat buruk."
Sabungsari mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, "Darah agaknya tidak mengalir lagi. Luka itu tidak seberapa."
Glagah Putih-pun tidak sempat menjawab lagi. Para prajurit-pun telah kembali untuk membawa tiga orang tawanan.
"Apa yang akan kita lakukan kemudian ?" bertanya prajurit yang tertua, "kita tentu tidak akan membawa orang-orang ini ke Mataram sekarang juga."
"Ya," Glagah Putih mengangguk. Setelah merenung sejenak, maka ia-pun berkata, "Kita harus menghubungi padukuhan terdekat. Kita memanggil para pengawal untuk membawa tubuh Ki Sana Kikis, kepadukuhan. Juga orang yang terluka juga para tawanan. Sementara kita melanjutkan perjalanan ke Mataram."
"Aku memerlukan baju yang lain," desis Sabungsari.
"Pergilah ke padukuhan bersama dua orang prajurit untuk memanggil para pengawal," berkata Glagah Putih, "kau juga akan mendapatkan pakaian di padukuhan itu."
"Kau juga memerlukan pakaian yang lain," berkata Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Tolong, pinjam pakaian salah seorang pengawal di samping pakaian yang kau perlukan."
Demikianlah, maka Sabungsari bersama dua orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pergi ke padukuhan terdekat. Para pengawal akan membawa korban yang jatuh di pertempuran itu dengan membawa para tawanan pula.
"Ingat, orang berkumis tipis itu sangat berbahaya," berkata Glagah Putih, "para pengawal harus mengetahui meskipun ia sedang terluka sekarang."
Untuk beberapa saat Glagah Putih dan kedua orang prajurit dari Pasukan Khusus menunggu di tepian. Sementara itu diseberang, semakin banyak orang yang berdiri di tepian untuk melihat apa yang telah terjadi. Namun mereka masih belum berani menyeberang. Sementara orang-orang yang akan turun di tepian sebelah Barat Kali Praga terpaksa menunggu dari jarak yang jauh.
Sementara itu, Glagah Putih ternyata tidak membiarkan orang berkumis tipis itu kehabisan darahnya. Kecuali mereka berkewajiban untuk membantu sesamanya meski-pun orang itu dapat dianggapnya sebagai lawannya, Glagah Putih juga berkepentingan agar orang itu tetap hidup untuk dapat memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan. Sedangkan para prajurit dari Pasukah Khusus yang tinggal, menjaga tiga orang yang terperangkap. Ketiganya duduk diatas pasir tepian dengan kepala tunduk.
Beberapa saat kemudian, mereka telah mendengar derap kaki kuda. Sekelompok pengawal berkuda telah datang bersama Sabungsari dan dua orang prajurit berkuda dari Pasukan Khusus yang menyertainya.
Kepada para pengawal itu Glagah Putih menyerahkan tubuh Ki Sana Kikis serta para tawanan termasuk orang yang terluka itu.
"Tolong, rawat orang yang terluka itu. Kami masih memerlukannya," berkata Glagah Putih.
Pemimpin pengawal itu mengangguk sambil menjawab, "Baiklah. Kami akan membawa mereka ke padukuhan."
"Kau harus membuat laporan kepada Ki Gede segera," berkata Glagah Putih kemudian. Lalu katanya pula, "Hati-hati dengan orang yang terluka itu."
"Ya," jawab pemimpin pengawal itu, "tadi kakang Sabungsari juga sudah memberikan pesan."
"Baiklah. Kami akan meneruskan perjalanan ke Mataram," berkata Glagah Putih pula.
Dalam pada itu, maka Sabungsari telah mendapat pula selembar baju buat dirinya sendiri dan selembar baju buat Glagah Putih, agar pakaian mereka yang kusut, kotor, koyak dan bernoda darah tidak menarik perhatian sepanjang perjalanan mereka.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih, Sabungsari dan keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu telah meloncat ke kuda masing-masing. Namun Sabungsari terkejut melihat Glagah Putih tidak sekaligus dapat langsung duduk di punggung kudanya itu. Bahkan kemudian Sabungsari melihat keringat yang masih membasah di kening anak muda itu.
"Glagah Putih," desis Sabungsari, "Apakah kau baik-baik saja ?"
"Aku tidak apa-apa," sahut Glagah Putih.
"Kau nampak pucat," berkata Sabungsari kemudian.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar, bahwa benturan ilmu yang terjadi, telah membuat dadanya terasa sakit. Meski-pun masih dapat diatasi oleh daya tahannya, namun Glagah Putih tidak dapat mengesampingkan begitu saja. Sehingga pengaruhnya masih dapat dibaca Sabungsari.
Tetapi keadaan Glagah Putih masih cukup baik untuk melanjutkan perjalanannya. Karena itu, maka katanya, "Dalam waktu singkat, aku akan mengatasi sepenuhnya. Jika kita sudah mulai melanjutkan perjalanan, maka angin yang segar akan menyegarkan tubuhku lagi."
Sabungsari tidak menjawab lagi. Ia-pun kemudian sudah bersiap pula dipunggung kuda mereka.
Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu sepakat untuk naik kembali keatas tanggul dan menyusuri jalan yang sejajar dengan Kali Praga untuk menyeberang di penyeberangan yang lain. Di penyeberangan sebelah Utara itu, rasa-rasanya sulit untuk mendapatkan rakit yang masih belum berani mendekati tepian di sisi Barat itu.
Sepeninggal Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu, maka para pengawal dari padukuhan terdekat telah menjadi sibuk. Mereka membawa tubuh Ki Sana Kikis, orang yang terluka serta tiga orang tawanan ke padukuhan mereka. Mereka bukan saja harus menjaga para tawanan, tetapi juga harus merawat orang berkumis tipis yang terluka itu.
Baru setelah para pengawal itu pergi, maka perlahan-lahan orang-orang yang menunggu dikejauhan itu berani mendekat. Bahkan satu dua orang mencoba untuk bertanya kepada para pengawal, apa yang telah terjadi.
Dengan singkat seorang pengawal menjawab, "Mereka adalah bagian dari orang-orang yang telah menyerang Tanah Perdikan itu beberapa hari yang lalu."
Orang-orang itu masih akan bertanya lebih lanjut, tetapi pengawal itu tidak berhenti.
Dalam pada itu Glagah Putih, Sabungsari dan keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu berpacu menyusuri jalan menuju ketempat penyeberangan yang lain. Sabungsari yang melihat keadaan Glagah Putih, berkuda dekat di sebelah anak muda itu.
Namun seperti yang dikatakan Glagah Putih, bahwa angin yang segar telah membuat tubuhnya menjadi lebih segar.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka berenam mereka telah melintasi Kali Praga. Kemudian mereka melanjutkan berjalan menuju Mataram.
Di Mataram, para prajurit itu akan langsung memberikan laporan terperinci tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh, sementara Glagah Putih dan Sabungsari menuju ke rumah Ki Rangga.
Semakin dekat dengan pusat pemerintahan Mataram, maka keadaan Glagah Putih menjadi semakin baik. Wajahnya tidak terlalu pucat lagi. Meski-pun sekali-sekali Glagah Putih masih menyapu keringat di keningnya, namun dadanya terasa menjadi semakin longgar. Perlahan-lahan daya tahan Glagah Putih berhasil mengatasi nyeri di dadanya, sehingga ketika mereka mendekati pintu gerbang kota, maka tidak ada kesan lagi bahwa Glagah Putih baru saja membenturkan ilmunya dengan orang yang berilmu tinggi.
Namun yang ada dalam keadaan sebaliknya adalah Sabungsari. Luka-luka Sabungsari memang tidak begitu gawat, karena hanya luka dipermukaan. Bahkan seeolah-olah sudah tidak terasa lagi. Tetapi kegelisahan telah bergejolak di hatinya. Semakin dekat jarak terasa berdebar semakin cepat. Ia semakin menyadari, bahwa jika ia pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa, maka itu berarti bahwa ia akan bertemu dengan Raras.
"Mudah-mudahan gadis itu tidak ada di rumah," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Tetapi Sabungsari tahu bahwa Raras pernah mengalami goncangan perasaan yang tentu masih membekas, sehingga gadis itu tentu jarang keluar rumahnya jika tidak mempunyai keperluan yang sangat penting.
Karena itulah, maka Sabungsari merasa bahwa perjalanan itu menjadi semakin tegang. Keringatnyalah yang kemudian mulai mengalir di keningnya.
Tidak seorang-pun yang mengetahui keadaan Sabungsari. Namun ketika mereka mendekati pintu gerbang dan mulai memperlambat kuda mereka, maka Glagah Putih-pun berdesis sambil berpaling ke arah Sabungsari, "Kita akan segera memasuki pintu gerbang. Kita akan segera berpisah dengan para prajurit. Kita harus berjanji, dimana kita menunggu mereka."
"Kita akan menyusul mereka," sahut Sabungsari.
"Atau kita menunggu mereka di rumah Ki Rangga Wibawa ?"
"Tidak," sahut Sabungsari singkat.
Glagah Putih yang sebelumnya tidak begitu menghiraukan keadaan Sabungsari, karena ia masih saja membayangkan kerusuhan yang setiap saat dapat timbul di Tanah Perdikan Menoreh, mulai memperhatikannya. Ada sesuatu yang lain pada anak muda itu. Ia tampak menjadi sangat gelisah.
Namun Glagah Putih segera menyadari apa yang telah terjadi dengan Sabungsari dalam hubungannya dengan Raras dan Wacana. Karena itu, maka ia-pun segera mengerti, kenapa Sabungsari menjadi gelisah. Agaknya ia memang merasa sangat segan pergi ke rumah Raras, apalagi setelah pengakuan Wacana bahwa Raras memang menaruh perhatian terhadap Sabungsari.
Untuk beberapa saat Sabungsari justru berdiam diri. Namun demikian mereka memasuki pintu gerbang, maka ia-pun berdesis, "Pada saat seperti ini, Ki Rangga Wibawa tentu tidak berada di rumah. Apakah tidak sebaiknya kita pergi ke tempatnya bertugas ?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Mereka sudah terhambat untuk waktu yang terhitung agak lama di tepian, sehingga meski-pun mereka berangkat pagi-pagi, tetapi saat mereka memasuki gerbang kota, hari sudah terlalu siang, bahkan setelah matahari turun di sisi Barat langit.
Karena itu, maka agaknya Ki Rangga Wibawa memang tidak berada di rumah, kecuali jika memang ia tidak sedang bertugas.
Selain pertimbangan itu, maka Glagah Putih-pun mengerti bahwa Sabungsari berusaha untuk menghindari sebuah pertemuan dengan Raras.
Karena itu, maka Glagah Putih berkata, "Baiklah kakang. Kita akan mencari Ki Rangga Wibawa di tempatnya bertugas. Baru jika Ki Rangga tidak berada di tempat tugasnya, maka kita akan singgah dirumahnya. Bukankah kita sudah tahu dimana Ki Rangga Wibawa bertugas asal ia belum dipindahkan ketempat tugas yang lain."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sabungsari merasa seakan-akan ia telah terlepas dari kegelisahan yang mencengkam jantungnya sejak ia menyeberangi Kali Praga.
Demikianlah, maka bersama para prajurit itu Glagah Putih menyusuri jalan kota. Namun beberapa saat kemudian, para prajurit itu-pun memberitahukan, bahwa mereka akan berbelok untuk memberikan laporan tentang peristiwa di Tanah Perdikan.
"Bukankah kalian akan pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa ?"bertanya salah seorang diantara keempat prajurit itu yang kebetulan sudah mengetahui rumah Ki Rangga Wibawa.
Tetapi Glagah Putih menjawab, "Kami memang akan menemuinya. Tetapi tidak di rumahnya. Bukanlah di saat seperti ini Ki Rangga Wibawa berada di tempat tugasnya ?"
Para prajurit itu menengadahkan wajahnya. Seorang diantara mereka berkata, "Atau malahan sudah pulang dari tempat tugasnya."
"Belum," Sabungsarilah yang menyahut, "jika kita cepat-cepat ke tempat tugasnya, maka aku kira Ki Rangga masih ada disana sekarang."
"Baiklah," jawab salah seorang prajurit itu, "tetapi dimana kita bertemu nanti ?"
Sebelum Glagah Putih menjawab, Sabungsarilah yang lebih dahulu berkata, "Di rumah Ki Lurah Branjangan."
"Tetapi Ki Lurah berada di Tanah Perdikan," jawab prajurit itu.
"Tidak apa-apa. Kami sudah terbiasa datang ke rumah yang kosong itu. Bukankah kalian sudah mengetahui letak rumah itu ?"
Glagah Putih hanya dapat menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak ingin mengecewakan Sabungsari. Karena itu, ia tidak mengusulkan apa-apa.
Namun demikian, para prajurit itu masih juga memandangi Glagah Putih. Seorang diantara mereka bertanya, "Apakah kita akan bertemu di rumah Ki Lurah Branjangan ?"
"Ya," jawab Glagah Putih, karena ia tidak dapat berkata lain, "menjelang sore agar kita tidak terlalu kemalaman diperjalanan kembali ke Tanah Perdikan."
Demikianlah, maka mereka berpisah. Keempat orang prajurit dari pasukan khusus itu telah langsung memberikan laporan tentang peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, sementara Sabungsari dan Glagah Putih menuju ketempat tugas Ki Rangga Wibawa.
Ternyata perhitungan Sabungsari benar. Ki Rangga masih berada di tempat tugasnya, meski-pun ia sudah bersiap-siap untuk pulang.
Kedatangan Glagah Putih dan Sabungsari memang mengejutkan. Karena itu, maka dengan wajah yang nampak gelisah, Ki Rangga mempersilahkan Glagah Putih dan Sabungsari duduk.
Ki Rangga yang segera ingin tahu apa yang terjadi itu tidak sempat mempertanyakan keselamatan kedua anak muda itu, apalagi keluarga di Tanah Perdikan Menoreh. Yang ia ketahui adalah bahwa Wacana pergi ke Tanah Perdikan Menoreh tanpa menyebut kepentingannya. Wacana hanya sekedar ingin melihat-lihat.
"Apakah angger berdua membawa berita penting bagi keluarga kami " Bukankah Wacana ada di Tanah Perdikan Menoreh ?" bertanya Ki Rangga.
"Ya, Ki Rangga," jawab Glagah Putih.
"Ia sudah terlalu lama pergi. Kami tidak tahu pasti, untuk apa ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh karena ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan rasa-rasanya ia tidak terbuka mengatakan bahwa ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh," berkata Ki Rangga kemudian. Lalu katanya pula, "ia sudah terlalu lama tidak pulang sehingga kami menjadi gelisah karenanya. Bukankah ia benar-benar pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan sekarang masih berada disana " Tetapi kenapa Wacana tidak pulang bersama angger berdua, atau Wacana telah berada dirumah ?"
"Wacana memang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Rangga. Ia sekedar ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu, karena ia datang sebelumnya, ia tidak mendapat kesempatan untuk melihat-lihat lebih banyak."
"Lalu sekarang " Apakah ia langsung pulang ?" desak Ki Rangga.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan perasaannya. Sekilas ia berpaling kepada Sabungsari yang justru menundukkan kepalanya.
Ki Rangga menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka ia-pun kemudian mendesaknya lagi, "Apa yang terjadi ngger ?"
"Ki Rangga," desis Glagah Putih, "kami mohon maaf, bahwa kami datang untuk memberihtahukan sesuatu yang tidak diharapkan."
"Apakah Wacana melakukan suatu perbuatan jahat di Tanah Perdikan Menoreh ?" bertanya Ki Rangga Wibawa.
"Tidak. Sama sekali tidak Ki Rangga," jawab Glagah Putih dengan serta merta, "tetapi kami di Tanah Perdikan memang mengalami satu keadaan yang tidak menyenangkan."
Wajah Ki Rangga menjadi semakin tegang. Sementara itu, dengan hati-hati Glagah Putih menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
"Wacana telah berusaha membantu kami yang saat itu memang mengalami kesulitan," berkata Glagah Putih, "namun ternyata ia mendapat lawan yang memang memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang bahkan kemudian berhasil lolos dari tangan kami."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah keadaannya gawat sekali ?"
"Kami sedang berusaha Ki Rangga," jawab Glagah Putih, "segala upaya telah kami lakukan. Mudah-mudahan kami berhasil. Kami berpengharapan karena Wacana justru mampu bertahan beberapa hari. Keadaannya nampaknya tidak menjadi semakin buruk."
Ki Rangga menganguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Kasihan Wacana. Ia masih sedang tumbuh."
"Kehadirannya sangat berarti bagi kami. Tetapi sayang, bahwa Wacana sendiri mengalami kesulitan agak parah," sahut Glagah Putih yang juga menceriterakan bahwa Rara Wulan juga terluka cukup parah. Bahkan Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan beberapa orang lainnya.
Namun keadaan Wacana memang paling gawat.
"Kapan angger berdua akan kembali ke Tanah Perdikan ?" bertanya Ki Rangga.
"Nanti Ki Rangga," jawab Glagah Putih.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya aku juga ingin pergi untuk melihat keadaan Wacana. Tetapi tentu tidak hari ini. Mungkin besok aku akan menyusul ke Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Meski-pun ragu-ragu, ia terpaksa mengatakan justru untuk kepentingan Ki Rangga," Tetapi keadaan Tanah Perdikan masih belum tenang sepenuhnya. Karena itu jika Ki Rangga pergi ke Tanah Perdikan, sebaiknya Ki Rangga tidak sendiri."
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Sementara itu Glagah Putih dan Sabungsari menjadi berdebar-debar, bahwa Ki Rangga menjadi tersinggung karenanya.
Namun untunglah bahwa Ki Rangga dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu, maka katanya, "Aku akan membawa satu dua orang kawan. Juga agar ada yang diajak berbincang-bincang di sepanjang perjalanan."
"Baiklah Ki Rangga besok kami menunggu kedatangan Ki Rangga Wibawa di Tanah Perdikan Menoreh," berkata Glagah Putih.
Glagah Putih dan Sabungsari tidak terlalu lama di tempat tugas Ki Rangga Wibawa. Mereka-pun kemudian telah minta diri untuk menemui keempat prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan.
"Aku persilahkan kalian singgah sebentar di rumah," Ki Rangga mempersilahkan.
Tetapi Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sabungsarilah yang kemudian menjawab, "Kami sepakat untuk segera kembali, Ki Rangga. Keadaan Tanah Perdikan memang belum tenang benar."
"Tetapi kalian telah sampai di Mataram," sahut Ki Rangga.
Namun Sabungsari tetap merasa keberatan. Katanya, "Kami mohon maaf Ki Rangga.. Kami harus segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya seperti meninggalkan seorang bayi di tepian kolam yang dalam."
Ki Rangga tidak dapat menahan mereka. Apalagi kemudian Glagah Putih-pun kemudian berkata, "Beberapa orang saudara kami masih berbaring di pembaringan karena luka-luka mereka. Karena itu, kami harus segera berada di Tanah Perdikan kembali."
Ki Rangga Wibawa mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian, baiklah. Aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Sabungsari itu-pun segera meninggalkan Ki Rangga ditempai kerjanya. Namun itu-pun sudah berkemas-kemas pulang. Karena itu, demikian Glagah Putih dan Sabungsari meninggalkannya, maka ia-pun segera kembali pulang pula.
Demikian sampai di rumah, maka Ki Rangga-pun telah menceriterakan kedatangan Glagah Putih dan Sabungsari ditempat tugasnya. Dengan hati-hati Ki Rangga Wibawa-pun menceriterakan pula peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Juga yang terjadi atas Wacana.
"Bagaimana dengan kakang Wacana ?" bertanya Raras dengan sangat cemas.
"Kakakmu terluka Raras. Tetapi ia sudah mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh masih tetap berpengharapan, bahwa Wacana akan dapat sembuh. Meski-pun keadaan belum membaik, tetapi setelah lewat beberapa hari, keadaannya tidak bertambah buruk."
Wajah Raras tiba-tiba menjadi pucat. Keringatnya mengalir di punggungnya, sehingga bajunya menjadi basah. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Tetapi, apakah kakang Wacana akan dapat tertolong ?"
"Kita semuanya berharap demikian," jawab Ki Ranggga Wibawa, yang kemudian berkata, "Besok aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk melihat keadaannnya."
"Aku ikut ayah," minta Raras dengan serta merta, kecemasannya tentang nasib kakaknya telah mengaburkan segala penalarannya. Ia tidak lagi ingat, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada seorang anak muda yang bernama Sabungsari.
Tetapi permintaan Raras itu mengejutkan ayah ibunya. Dengan nada dalam ayahnya berkata, "Raras. Ketika aku menyatakan bahwa besok aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih memperingatkan aku agar aku tidak pergi sendiri. Maksudnya agar aku pergi ke Tanah Perdikan Menoreh bersama satu dua orang prajurit karena di Tanah Perdikan Menoreh masih berkeliaran orang-orang yang luput dari penangkapan, namun masih mendendam, sehingga mereka akan dapat berbuat kerusuhan dan kekacuan di Tanah Perdikan."
"Apakah ayah akan pergi sendiri ?" bertanya Raras.
"Memang tidak. Aku akan mengajak dua orang prajurit bersamaku besok," jawab ayahnya.
"Jika demikian, maka aku benar-benar akan ikut. Bukankah ayah dan kedua orang prajurit itu dapat melindungi aku ?" berkata Raras pula.
"Raras," berkata ayahnya, "kau sudah pernah mengalami betapa pahitnya berhubungan dengan orang-orang yang berniat jahat itu. Apalagi orang-orang yang sedang berputus asa seperti sisa-sisa orang-orang yang disebut Glagah Putih sebagai orang perkemahan karena mereka membuat perkemahan dibalik pebukitan Menoreh. Mereka akan menjadi liar dan buas. Apalagi terhadap seorang perempuan."
"Aku akan membawa keris ayah. Jika aku harus jatuh lagi ketangan orang-orang yang jahat itu, maka aku akan membunuh diri."
"Raras. Bunuh diri bukan satu perbuatan yang pantas dianjurkan. Karena itu, yang terbaik bagimu adalah tetap tinggal di rumah bersama ibumu. Aku akan minta dua orang prajurit menjaga rumah ini, jika masih dibayangi oleh perbuatan orang-orang jahat itu."
"Tidak ayah," jawab Raras, "aku akan ikut ayah."
"Raras," berkata ibunya kemudian, "sebaiknya kau memang berada di rumah saja bersama ibu. Bukankah kau dapat membayangkan, jika yang menganjurkan kepada ayahmu untuk membawa satu dua orang kawan adalah orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri."
Tetapi Raras menggeleng. Ia sudah bertekat untuk ikut bersama ayahnya ke Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan nada tinggi ia berkata, "Apa-pun yang akan terjadi, aku ingin ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak mau menyesal bahwa aku tidak dapat bertemu dengan kakang Wacana. Kita semuanya berharap bahwa kakang Wacana akan sembuh dan pulih kembali. Tetapi jika ia sekarang dalam keadaan gawat, maka aku harus menengoknya."
Ternyata Ki Rangga dan Nyi Rangga tidak dapat mencegah niat Raras. Meski-pun keduanya sudah memahami sifat anak gadisnya yang keras, tetapi saat itu Raras benar-benar tidak mau mengurungkan niatnya. Hatinya menjadi sekeras batu.
Karena itu, maka Ki Rangga Wibawa-pun berkata, "Apaboleh buat. Aku akan membawa ampat orang bersamaku, justru karena Raras akan ikut serta. Tetapi perjalanan kami akan menjadi lama sekali, karena bersama Raras kami harus berjalan kaki."
Ibunya menarik napas dalam-dalam. Raras memang tidak terbiasa bepergian dengan naik kuda. Sehingga karena itu, maka perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Tetapi jika itu sudah dikehendaki, maka perjalanan itu akan ditempuhnya juga.
Sore itu Ki Rangga telah menghubungi kawan yang bertugas ditempai yang sama untuk memberitahukan bahwa esok ia tidak dapat pergi ketempal tugasnya. Bahkan mungkin untuk tiga hari lamanya, karena Ki Rangga akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan Ki Rangga telah minta ijin pula untuk minta bantuan ampat orang prajurit yang telah terpilih untuk bersamanya ke Tanah Perdikan esok pagi-pagi.
Demikianlah, maka Ki Rangga telah bersiap-siap untuk berangkat dini hari agar mereka tidak kepanasan terlalu lama diperjalanan.
Sementara itu, diagah Putih dan Sabungsari telah meninggalkan Mataram bersama ampat orang prajurit dan dari Pasukan Khusus yang telah menyelesaikan tugasnya pula. Sebagaimana yang telah mereka sepakati, maka mereka saling menunggu di rumah Ki Lurah Branjangan. Orang yang menunggui rumah itu segera mengenali pakaian para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh karena Ki Lurah merupakan bagian dari pasukan itu pula. Sedangkan Glagah Putih dan Sabungsari telah mereka kenal dengan baik sejak sebelumnya.
Namun Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh ketika malam mulai turun.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepada Agung Sedayu, Glagah Putih melaporkan, bahwa besok Ki Rangga Sabawa akan datang ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Sebaliknya ia tidak seorang diri," desis Agung Sedayu.
"Aku sudah mengatakannya, bahwa sebaiknya ia datang dengan dua atau tiga orang prajurit," sahut Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu salah seorang diantara keempat prajurit itu-pun telah memberikan laporannya pula. Juga tentang pertempuran ditepian.
Dalam pada itu, kemudian Glagah Putih telah menanyakan keadaan Wacana dihari terakhir itu.
"Ia masih seperti sebelumnya. Namun badannya tidak lagi panas. Ia sudah mulai dapat menelan minumannya dengan baik," jawab Agung Sedayu yang dengan tekun menanganinya.
"Apakah itu berarti bahwa keadaannya menjadi semakin baik " Maksudku, harapan baginya menyadi semakin besar?"
Agung Sedayu tennangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Kita semuannya harus berdoa bagi semua keselamatan dan kesembuhannya."
Glagah Putih menari nafas dalam-dalam. Sementara itu Sabungsari hanya dapat menundukkan kepalanya.
Demikianlah, maka keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu-pun segera akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan kembali ke barak mereka.
"Berhati-hatilah," pesan Agung Sedayu.
"Nampaknya keadaan sudah menjadi semakin baik. Di perjalanan kembali kami tidak mendapat hambatan apa-pun juga," berkata salah seorang diantara para prajurit itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga berkata, "Sokurlah. Tetapi banyak hal masih dapat terjadi."
Sejenak kemudian keempat orang prajurit itu-pun telah minta diri. Ketika Sekar Mirah mempersilahkan mereka untuk makan lebih dahulu, maka mereka hanya dapat mengucapkan terima kasih.
"Supaya kami tidak terlalu malam sampai di barak," jawab salah seorang dari mereka.
Sementara Agung Sedayu sambil tersenyum berkata, "Nanti nasi di barak akan terlalu banyak tersisa. Tetapi sebaliknya, mungkin kalian sudah tidak akan kebagian apa-pun di dapur barak."
Salah seorang prajurit itu menjawab sambil tertawa, "itu sudah nasibku Ki Lurah."
Karena itu, kemudian yang dipersilahkan untuk makan, hanyalah Glagah Putih dan Sabungsari setelah mereka membenahi diri.
Ketika kemudian Glagah Putih melihat keadaan Rara Wulan, maka gadis itu telah bertanya, apakah Glagah Putih sempat singgah di rumahnya.
"Sayang Rara," jawab Glagah Putih, "waktu kami terlalu sempit, sehingga kami tidak dapat singgah dimana-mana. Bahkan tidak di rumah Ki Rangga Wibawa."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi kakang sudah sampai ke Mataram."
"Lain kali dalam keadaan yang lebih baik, aku akan singgah," jawab Glagah Putih kemudian.
Rara Wulan tidak bertanya lagi tentang kesempatan Glagah Putih untuk singgah di rumahnya. Tetapi ia-pun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan keadaan Raras " Bukankah ia sudah sembuh sama sekali dari cengkeraman rasa takutnya ?"
"Kami tidak bertemu dengan Raras," jawab Glagah Putih.
"Bukankah kau pergi ke rumahnya " Apakah Raras tidak ada di rumah ?"
"Aku tidak singgah di rumahnya. Tetapi aku dan Sabungsari menemui di tempat tugasnya."
"Kemudian sama sekali tidak singgah ke rumahnya?" desak Rara Wulan.
"Memang tidak Rara. Kesempatan kami waktu itu memang sedikit sekali," jawab Glagah Putih.
Rara Wulan tidak bertanya lebih lanjut. Ia menyadari, betapa sempitnya waktu bagi Glagah Putih dan Sabungsari. Apalagi mereka masih harus berhenti di tepian untuk bertempur. Justru melawan orang yang berilmu tinggi pula.
Dalam pada itu, di ruang dalam Agung Sedayu juga masih berbincang dengan Sabungsari, Ki Lurah Branjangan, Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa dan beberapa orang lainnya juga ikut duduk bersama mereka, kecuali dua orang yang bertugas, yang sedang duduk di pringgitan. Sabungsari telah diminta untuk berceritera tentang pertempuran yang terjadi di tepian.
Sementara Sabungsari berceritera, maka di dapur Sekar Mirah dan pembantu rumah itu sibuk membuat minuman bagi mereka yang masih berbincang-bincang di ruang dalam. Namun beberapa saat kemudian Glagah Putih yang telah meninggalkan Rara Wulan di biliknya telah berada didapur pula untuk membantu Sekar Mirah.
"Duduk sajalah didalam," minta Sekar Mirah.
Tetapi Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Sabungsari tengah berceritera. Ceriteranya tentu saja sama dengan ceriteraku," jawab Glagah Putih.
"Jika demikian, sambil menunggu air mendidih, kau berceritera kepadaku tentang pertempuran di tepian itu."
Glagah Putih tersenyum. Namun ia-pun kemudian berceritera serba sedikit tentang pertempuran di tepian.
"Untunglah bahwa kau mampu mengatasinya," berkata Sekar Mirah kemudian.
"Ilmunya tentu belum matang," jawab Glagah Putih, "meski-pun demikian, dadaku memang terasa sakit waktu itu. Namun dalam perjalananku ke Mataram, sambil, duduk diatas punggung kuda, aku sempat mengatasinya dengan daya tahanku meski-pun tidak sepenuhnya. Namun semakin lama keadaanku memang menjadi semakin baik."
Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Tetapi kemudian ia berkata, "Sabungsari agaknya justru terluka."
"Hanya goresan-goresan kecil," jawab Glagah Putih.
Sementara itu air-pun sudah mendidih. Karena itu, maka Sekar Mirah-pun kemudian sibuk menuang air panas untuk membuat wedang jahe dengan gula kelapa.
Ketika kemudian Sekar Mirah membawanya ke ruang dalam, maka Glagah Putih sempat berbicara dengan pembantu di rumah itu. "Sebaiknya kau jangann turun ke sungai lebih dahulu."
"Siang tadi, aku sempat memperbaiki pliridanku. Malam nanti aku akan turun."
"Dengar," berkata Glagah Putih, "jika orang-orang berkuda itu datang lagi, maka nasibmu akan lebih buruk dari saat kau dipukuli di pinggir sungai itu."
"Jika aku dipukuli orang sampai pingsan, maka kaulah yang bersalah," berkata anak itu.
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku tahu maksudmu, kau tentu akan mengatakan bahwa aku yang bersalah, karena aku belum mengajarimu berkelahi. Tetapi ingat, aku tidak akan mengajarimu berkelahi. Aku akan mengajarimu membela diri. Ingat, sekedar melindungi diri sendiri."
"Kau bohong," sahut anak itu, "kau berkelahi untuk menyakiti dan bahkan kau pemah menjadi pembunuh. Apa itu sekedar melindungi dirimu sendiri ?"
"Ya. Jika aku terpaksa sekali bertempur dan bahkan membunuh lawan, itu karena aku tidak mau dibunuh. Yang penting, apakah kau berdiri di pihak yang benar atau yang bersalah."
Anak itu tidak menjawab. Sementara itu ia telah mengisi tempayan dan kemudian diletakkan lagi diatas api.
"Bukankah mbokayu sudah tidak akan membuat minuman lagi ?" bertanya Glagah Putih.
"Sudah terbiasa kami menyimpan air yang sudah mendidih meski-pun menjadi dingin," jawab anak itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia mengulang pesannya, "Yang penting. Jangan turun ke sungai. Itu saja. Seandainya kau sudah mempelajari ilmu bela diri dengan baik, tetapi kemampuan seseorang tentu terbatas. Jika kau seorang diri harus menghadapi beberapa orang yang lewat menyusuri tepian, maka akibatnya juga akan buruk bagimu."
Anak itu tidak menjawab. Namun dengan wajah yang muram ia duduk dimuka perapian. Sekali-sekali tangannya menyentuh kayu bakar yang menyala memanasi air di tempayan. Semakin lama menjadi semakin pendek.
Namun sejenak kemudian, maka Glagah Putih-pun telah beranjak dari tempatnya sambil berkata, "Jangan pergi-pergi. Nanti mbokayu Sekar Mirah mencarimu."
Anak itu masih duduk di depan perapian. Tetapi ia memang tidak berniat untuk turun ke sungai. Ia ternyata dapat mengerti, bahwa turun ke sungai malam itu agaknya masih sangat berbahaya."
Di pagi hari berikutnya, maka Galagah Putih dan Sabungsari telah menghadap Ki Gede. Mereka ingin membicarakan tentang orang-orang yang tertangkap di tepian.
Sebenarnyalah bahawa Ki Gede sudah mendapat laporan tentang orang-orang yang tertangkap. Bahkan mereka sudah berada di padukuhan induk. Orang yang dilukai oleh Sabungari memang mendapat penjagaan khusus karena orang itu dianggap orang yang berbahaya.
Kepada Ki Gede, Glagah Putih sempat menyampaikan hasil pembicaraan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ditugaskan oleh Agung Sedayu untuk memberikan laporan ke Mataram.
"Terima kasih," Ki Gede mengangguk-angguk, "namun bagaimana-pun juga kita masih harus berhati-hati. Menurut tawanan yang kalian tangkap di tepian, masih ada beberapa orang yang berkeliaran di Tanah Perdikan. Tetapi mereka sudah seperti sapu lidi yang kehilangan ikatan. Berserakan."
Glagah Putih dan Sabungsari menyadari, bahwa maksud Ki Gede tentu juga mengatakan, bahwa kemungkinan-kemungkinan buruk masih dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, semuanya masih harus berhati-hati.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Glagah Putih dan Sabungsari sempat ikut bersama Prastawa untuk melihat keadaan Tanah Perdikan. Berkuda mereka bertiga serta beberapa orang pengawal melihat keadaan padukuhan-padukuhan kecil yang tersebar. Namun ternyata tidak ada keributan yang berarti yang telah terjadi. Orang-orang padukuhan tidak melihat lagi orang-orang asing yang berkeliaran di padukuhan mereka.
Lewat tengah hari, maka keduanya baru kembali ke rumah Ki Gede. Prastawa-pun telah memberikan laporan, bahwa tidak terjadi sesuatu di padukuhan-padukuhan yang telah mereka datangi.
Dari rumah Ki Gede, maka Glagah Putih dan Sabungsari-pun langsung kembali ke rumah Agung Sedayu.
Buku 288 KETIKA mereka memasuki regol halaman, maka Sabungsari berdesis, "Agaknya Ki Rangga Wibawa sudah ada di rumah."
"Mungkin. Jika Ki Rangga berangkat pagi-pagi, maka ia sudah lama berada di rumah." jawab Glagah Putih.
Sabungsari mengangguk-anggguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun ternyata keduanya tidak melihat seekor kuda-pun berada di halaman. Karena itu, maka Glagah Putih justru berdesis, "Tidak nampak seekor kudapun. Apakah mereka belum datang ?"
Sabungsari mengangguk-angguk sambil berdesis, "Atau justru mereka tidak datang hari ini ?"
Keduanya masih belum tahu jawabnya.
Sebenarnyalah ketika mereka masuk ke ruang dalam dan duduk bersama Agung Sedayu, maka Agung Sedayu justru berkata, "Ki Rangga Wibawa masih belum datang."
Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Kemudian Glagah Putih-pun menjawab, "Menurut keterangannya, Ki Rangga akan menyusul pagi ini. Mungkin ia masih harus menyelesaikan tugasnya, sehingga ia baru dapat datang sore hari atau bahkan esok pagi."
"Kita berdoa agar keadaannya menjadi semakin baik," berkata Agung Sedayu, "ketika aku katakan bahwa Ki Rangga akan datang, maka wajahnya nampak sedikit cerah."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "sokurlah. Jika Ki Rangga benar datang, mudah-mudahan akan menambah ketegaran hati Wacana."
Demikianlah setelah makan, Glagah Putih dan Sabungsari-pun telah meninggalkan ruang dalam. Sabungsari telah pergi kegandok menemui kawan-kawannya dari kelompok Gajah Liwung, sementara Glagah Putih menengok Rara Wulan sejenak, yang keadaannya sudah semakin baik. Bahkan Rara Wulan sudah dapat turun dari pembaringan dan pergi ke dapur.
Dari bilik Rara Wulan, Glagah Putih sempat melihat Wacana yang masih terbaring diam.
Ketika kemudian Glagah Putih duduk disampingnya, maka Wacana-pun berdesis, "Apakah paman tidak jadi datang ?"
"Aku kira Ki Rangga tentu datang. Tetapi mungkin karena tugasnya, maka kedatangannya telah tertunda."
"Apakah seluruh Tanah Perdikan sudah aman ?" bertanya Wacana pula.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia mulai memikirkan keselamatan Ki Rangga di perjalanan. Bahkan timbul niatnya untuk menyongsong perjalanan Ki Rangga.
Tetapi Glagah Putih tidak tahu, jalan manakah yang akan ditempuh oleh Ki Rangga, meski-pun menurut perhitungan, jalan yang paling banyak dilalui adalah justru jalan yang melalui penyeberangan sebelah Selatan.
Dalam pada itu, maka Glagah Putih-pun kemudian beringsut dari tempatnya sambil berdesis, "Usahakan agar kau dapat tidur, Wacana. Tidur termasuk pengobatan yang baik bagimu."
Wacana menganguk kecil sambil berdesis, "Aku akan mencobanya Glagah Putih."
Demikianlah, ketika Glagah Putih pergi ke gandok, ia-pun berkata kepada Sabungsari, "Apakah sebaiknya kita lihat kepenyeberangan sebelah Selatan ?"
Sabungsari mengangguk sambil menjawab, "Mari, kita mencoba melihatnya."
"Aku ikut," sahut Naratama.
Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Ternyata bahwa Glagah Putih mengangguk sehingga Sabungsari-pun menjawab, "Marilah. Kita melihat ke lintasan penyeberangan Selatan."
Setelah memberitahukan kepada Agung Sedayu, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah meninggalkan halaman rumah itu. Ternyata kemudian bukan hanya Naratama saja yang ikut. Tetapi juga Pranawa.
Sejenak kemudian, maka mereka berempat telah berpacu di jalan-jalan bulak Tanah Perdikan Menoreh.
Melihat hijaunya tanaman di sawah yang membentang dari padukuhan yang satu sampai ke padukuhan berikutnya, rasa-rasanya Tanah Perdikan Menoreh tidak baru saja disentuh oleh peperangan yang merenggut banyak jiwa dari kedua belah pihak. Batang padi yang bergetar ditiup angin yang lembut, justru memancarkan suasana yang tenang dan damai.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia-pun merasa prihatin bahwa di sisi yang lain dari ketenangan dan kedamaian itu masih saja tercium bau darah.
Tetapi Glagah Putih tidak berkata sesuatu. Meski-pun demikian wajahnya nampak bersungguh-sungguh, sehingga untuk beberapa saat mereka yang berkuda menuju ke lintasan penyeberangan di sebelah Selatan itu saling berdiam diri.
Mereka tertarik ketika mereka melihat dua orang berkuda berpacu cepat sekali menyilang jalan mereka di sebuah simpang ampat. Namun keempat orang itu tidak mengejarnya.
"Kita memang tidak dapat mencurigai setiap orang meski-pun kita mempunyai alasan yang lain," berkata Glagah Putih
Sabungsari mengangguk-angguk. Dua orang berkuda dan berpacu dengan kencang bukan selalu berarti kurang baik.
Beberapa saat kemudian mereka telah mendekati jalan simpang. Jika mereka akan pergi ke lintasan penyeberangan, maka mereka harus berbelok ke kiri.
"Sampai disini kita belum bertemu dengan Ki Rangga. Mungkin Ki Rangga memang menunda kepergiannya ke Tanah Perdikan. Mungkin besok atau lusa," berkata Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Sampai disini kita tidak melihat bekas kekerasan terjadi. Mudah-mudahan kelambatan Ki Rangga bukan karena hambatan di perjalanan, atau bahkan kekerasan. Tetapi Ki Rangga memang menunda kepergiannya."
"Apakah kita tidak melihat kemungkinannya sampai ke penyeberangan di Kali Praga itu?"
"Ya," jawab Glagah Putih dengan serta-merta, "kita akan terus sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi kita tidak akan menyeberang ke Timur."
Pranawa mengangguk-angguk. Ia memang ingin melihat tepian Kali Praga.
Meski-pun sudah beberapa kali ia menyeberang, tetapi setiap ia berada di tepian Kali Praga, ia merasakan sesuatu yang menyentuh perasaannya. Hamparan pasir yang luas, kemudian wajah air yang bergerak mengalir tidak ada henti-hentinya. Rakit yang hilir mudik menghubungkan kedua tepian serta kerja keras tukang satang yang dengan satangnya mendorong rakit-rakit itu menyeberang. Tukang satang yang setiap hari kakinya basah dan bahkan terendam air kali Praga, sedangkan kepala dan tubuhnya dijemur dipanasnya terik matahari.
Demikian, beberapa saat kemudian, maka Pranawa dan ketiga orang yang bersamanya itu sudah mendekati Kali Praga. Sementara matahari telah condong jauh ke Barat. Namun cahayanya masih tajam menukik menyentuh tubuh-tubuh yang berwarna tembaga dan mengkilat karena keringatnya diatas rakit dengan satang di tangan mereka.
Sejenak kemudian maka Glagah Putih yang ada di paling depan telah memberikan isyarat untuk berhenti. Mereka memperhatikan orang-orang yang turun dari rakit yang baru saja merapat di tepian sebelah Barat. Tetapi mereka tidak melihat Ki Rangga Wibawa diantara mereka. Bahkan mereka tidak melihat seekor kuda-pun yang diturunkan dari rakit.
"Agaknya Ki Rangga memang tidak jadi datang hari ini," berkata Glagah Putih.
"Jika hanya karena tertunda, sokurlah. Mudah-mudahan memang demikian dan bukan karena hambatan apapun," sahut Sabungsari.
Yang lain mengangguk-angguk. Namun Pranawalah yang kemudian meloncat turun sambil berkata, "Biarlah aku bertanya kepada tukang satang."
"Bagaimana ia dapat membedakan diantara orang-orang berkuda yang menyeberang, bahwa seorang diantara mereka adalah Ki Rangga Wibawa?" bertanya Naratama.
"Jika saja diantara mereka terdapat prajurit Mataram," jawab Pranawa.
Naratama mengangguk-angguk. Sementara itu Pranawa-pun telah melangkah mendekati rakit yang baru saja merapat. Rasa-rasanya ia memang tertarik berbincang dengan tukang satang yang keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
Seorang diantara tukang satang itu-pun kemudian duduk beristirahat diatas rakitnya sambil meneguk air yang memang dibawanya sebagai bekal didalam sebuah gendi. Sedangkan kawannya berdiri di tepian setelah menambatkan tali pengikat rakitnya, sambil menunggu penumpang yang akan naik. Sementara itu rakit yang mu lai bergerak justru menyeberang ke arah Timur.
Pranawa-pun kemudian mendekati tukang satang yang sedang minum itu dan berdiri di tepian sambil berpegangan pada ujung rakit itu.
Kepada tukang satang itu Pranawa menanyakan, apakah ia membawa penumpang atau melihat satu dua orang prajurit yang menyeberang dari Timur ke Barat.
Tukang satang itu mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, "Aku belum melihat, Ki Sanak. Memang ada beberapa penumpang kuda lewat. Tetapi mereka bukan prajurit. Setidak-tidaknya mereka tidak berpakaian prajurit. Entahlah jika mereka berpakaian orang kebanyakan."
Pranawa mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Baiklah Ki Sanak. Terima kasih atas keterangan Ki Sanak."
"Kenapa Ki Sanak menanyakan tentang prajurit yang menyeberang Kali Praga?" tukang satang itu ganti bertanya.
"Saudaraku akan berkunjung ke rumahku. Saudaraku seorang prajurit. Aku sudah menunggu sejak pagi, tetapi ia belum juga datang," jawab Pranawa.
Tukang satang itu hanya mengangguk-angguk saja.
"Mungkin ia menunda keberangkatannya," berkata Pranawa kemudian.
Ia-pun kemudian minta diri kepada tukang satang itu. Namun Pranawa itu telah mengambil sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya dan diberikannya kepada tukang satang itu.
Tukang satang itu mengerutkan dahinya. Ia justru menjadi heran. Karena ia bertanya, "Uang apa itu ki Sanak?"
"Aku sudah mengganggu. Seharusnya kau beristirahat," jawab Pranawa.
Ternyata orang itu menolak. Katanya, "Jika kau menyeberang, aku terima uang itu. Jika tidak, uang itu sama sekali bukan hakku."
"Tetapi aku sudah mengganggumu," berkata Pranawa.
"Aku diupah untuk membawa penumpang menyeberang. Tidak untuk sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan," jawab tukang satang itu. Bahkan ia berkata selanjutnya, "Maaf Ki Sanak. Aku memang bekerja keras untuk mencari uang. Tetapi aku tidak ingin sekedar menerima belas kasihan. Aku akan dengan senang hati menerima upah dari kerjaku. Bahkan aku akan minta upah itu dibayar jika ada yang dengan sengaja berusaha menghindar setelah menyeberang. Jika perlu memaksanya. Tetapi bukan sekedar pemberian seperti ini."
Pranawa menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia merasa kasihan melihat tukang satang itu berendam di air dan berjemur dipanasnya matahari, mendorong rakit dengan mengerahkan tenaga hampir sehari penuh. Namun ternyata mereka adalah orang-orang yang mempunyai harga diri yang tinggi.
Karena itu, maka Pranawa itu-pun berkata, "Maaf Ki Sanak. Bukan maksudku untuk sekedar memberi atau apalagi belas kasihan. Aku hanya merasa berkewajiban karena aku telah mengganggu Ki Sanak. Tetapi jika Ki Sanak berkeberatan, maka aku minta maaf."
"Sudahlah, lupakan saja," berkata tukang satang itu sambil bangkit berdiri. Ia-pun kemudian meloncat turun ketepian dan berdiri di sebelah kawannya untuk menunggu penumpang. Dua orang sudah naik ke atas rakitnya, sementara itu dua orang yang lain tengah berjalan cepat-cepat menuju kerakit itu pula.
Dengan demikian, maka Pranawa-pun melangkah kembali menemui ketiga orang yang datang bersamanya ketepian. Ia-pun mengatakan bahwa tidak ada seorang prajurit-pun yang lewat, sejak pagi hari.
"Kecuali jika Ki Rangga dan kawan-kawannya tidak mengenakan pakaian keprajuritan," berkata Pranawa kemudian.
"Namun agaknya Ki Rangga Wibawa memang belum lewat," desis Glagah Putih.
"Jika demikian, marilah, kita kembali saja," ajak Sabungsari yang nampak gelisah.
Demikianlah, maka keempat orang itu-pun telah meninggalkan tepian. Tetapi Glagah Putih mengajak mereka menempuh jalan yang lain sekaligus melihat-lihat keadaan. Mereka menempuh jalan yang dilalui oleh kedua orang penunggang kuda yang mereka jumpai ketika mereka berangkat ke tepian.
Namun di sepanjang perjalanan kembali itu-pun mereka tidak mengalami hambatan atau melihat sesuatu diluar kewajaran. Ketika mereka bertemu dengan pengawal yang bertugas di sebuah padukuhan, maka pengawal itu juga mengatakan, bahwa keadaan sudah menjadi semakin tenang."
"Sokurlah," berkata Glagah Putih, "mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak ada sesuatu yang dapat menimbulkan kekacauan lagi di padukuhan ini."
Karena itu, maka keempat orang itu-pun telah menempuh jalan langsung kembali ke padukuhan induk.
Ketika mereka kemudian memasuki halaman rumah Agung Sedayu, maka mereka masih belum melihat seekor kuda-pun yang tertambat di halaman depan rumah itu. Karena itu, maka mereka menduga bahwa Ki Rangga benar-benar telah menunda perjalanannya.
Selelah menambatkan kuda mereka langsung di belakang, maka mereka-pun melangkah langsung menuju pendapa. Tetapi Naratama dan Pranawa berbelok menuju ke gandok, sementara Glagah Putih dan Sabungsari telah naik ke pendapa dan menuju ke pintu pringgitan.
Keduanya tertegun ketika mereka mendengar suara yang lain di ruang dalam. Karena itu, maka keduanya menjadi termangu-mangu sejenak. Namun mereka justru terdorong untuk segera mengetahui, siapakah yang ada di ruang dalam. Jika mereka tamu, maka biasanya mereka diterima di pringgitan atau di pendapa. Tidak langsung ke ruang dalam.
Namun demikian keduanya mendorong pintu pringgitan, maka keduanya terkejut. Yang mereka lihat adalah tiga orang prajurit yang duduk di ruang dalam.
Namun agaknya di ruang dalam itu sedang disiapkan hidangan makan bagi mereka.
Melihat keduanya ragu-ragu, maka terdengar suara Agung Sedayu memanggil, "Marilah. Kita akan makan bersama-sama."
Glagah Putih masih termangu-mangu sejenak. Waktu makan siang sudah jauh lampau. Ia sudah makan sebelum pergi ke tepian. Namun karena ada tamu, maka ia tidak dapat menolak.
Karena itu, maka bersama Sabungsari Glagah Putih-pun melangkah masuk ke ruang dalam.
Namun keduanya-pun terkejut. Lebih-lebih Sabungsari.
Demikian mereka berdua melangkah tlundak pintu, maka mereka-pun segera melihat Ki Rangga Wibawa duduk di sisi Wacana yang terbaring. Bukan hanya Ki Rangga. Namun di sebelahnya duduk Raras dengan mata yang basah.
Keduanya tidak dapat melangkah surut. Apalagi ketika sekali lagi Agung Sedayu minta agar keduanya duduk bersama mereka.
Ki Rangga Wibawa yang melihat Glagah Putih dan Sabungsari, telah beringsut dari tempat duduknya, turun dari pembaringan untuk kemudian duduk dan saling mengucapkan selamat diatas tikar pandan bersama Agung Sedayu, para prajurit yang datang bersamanya, dan Ki Lurah Branjangan.
Sementara itu Sekar Mirah yang telah selesai menghidangkan minuman dan makanan bersama anak yang membantu di rumah itu, telah mendekati Raras dan minta agar Raras-pun bersedia makan bersama.
Tetapi Raras menolak. Ia masih ingin menunggui Wacana yang sedang sakit. Sekali-sekali Raras masih mengusap matanya yang basah.
Namun sebenarnyalah ketika ia melihat Glagah Putih dan Sabungsari masuk ke ruang dalam, jantungnya berdegub cepat. Semula ia tidak sempat memikirkan kehadiran Sabungsari di Tanah Perdikan, karena ia didesak oleh keinginannya bertemu dengan Wacana yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri, meski-pun Wacana sendiri bersikap lain.
Tetapi setelah ia berada di Tanah Perdikan dan bertemu dengan Sabungsari, maka hatinya menjadi berdebar-debar.
Karena itu, maka Raras semakin memilih untuk tetap duduk disebelah Wacana daripada duduk di ruang dalam untuk makan bersama dengan Sabungsari.
Sekar Mirah memang tidak dapat memaksa. Katanya, "Baiklah. Nanti kau makan bersama aku dan Wulan. Ia sudah menjadi semakin baik."
Raras tidak menyahut. Namun yang kemudian menjadi basah bukan hanya pipinya oleh titik-titik air mata, tetapi kemudian juga bajunya yang menjadi basah oleh keringat.
Demikianlah, maka Agung Sedayu mempersiapkan tamu-tamunya untuk makan. Sementara itu, untuk mengurangi ketegangan, Sabungsari telah bertanya, "Dimanakah Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa dan yang lain?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Mereka sedang keluar sebentar. Nanti mereka akan datang."
Sabungsari tidak bertanya lebih banyak. Ia justru menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya apa yang dilakukan menjadi tidak wajar.
Namun akhirnya semuanya mulai menyenduk nasi dan makan bersama-sama.
Selama mereka makan, memang tidak banyak yang mereka bicarakan. Namun Ki Rangga sempat menceriterakan perjalanannya bersama Raras dan para prajurit.
Ternyata mereka hanya berjalan kaki saja dan melintas di penyeberangan sisi Utara.
"Lewat penyeberangan sisi Utara agak lebih dekat, karena dengan berjalan kaki kami dapat memilih jalan memintas. Bahkan lorong-lorong kecil yang sudah aku kenal dengan baik sejak di masa remajaku yang senang menjelajahi lingkungan," berkata Ki Rangga Wibawa.
Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk kecil. Dengan nada dalam Glagah Putih-pun berkata, "Kami telah menyongsong Ki Rangga ke penyeberangan di lintasan Selatan."
"Jika kami berkuda, memang lebih baik menyeberang di penyeberangan di sebelah Selatan," jawab Ki Rangga Wibawa.
"Kita berselisih jalan," desis Glagah Putih kemudian.
"Tetapi kami sudah tiba disini dengan selamat," berkata Ki Rangga kemudian. "Demikian kalian berangkat, maka kami-pun datang."
Ki Rangga-pun berceritera bagaimana Raras memaksa untuk ikut setelah ia mendengar bahwa Wacana terluka cukup parah.
"Wacana sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri," berkata Ki Rangga Wibawa kemudian.
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Sabungsari menjadi semakin gelisah sehingga seolah-olah duduk diatas bara. Tetapi ia tidak dapat beringsut sebelum waktu makan itu dianggap selesai.
Dalam pada itu, Ki Rangga-pun berdesis, "Raras tidak ingin kehilangan kakaknya. Tetapi sementara itu ia menjadi sangat cemas bahwa ia tidak akan dapat bertemu dengan Wacana lagi."
Dengan nada rendah Agung Sedayu kemudian berkata, "Kita belum kehilangan harapan. Keadaan Wacana tidak menjadi semakin buruk akhir-akhir ini. Disertai dengan doa kita berharap bahwa Wacana akan dapat sembuh."
Ki Rangga Wibawa mengangguk-angguk. Namun ia tidak menyahut lagi. Angan-angannya agaknya mulai menerawang atas kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Wacana.
Sementara itu, Raras masih juga duduk di sisi Wacana. Sekali-sekali Raras mengusap kening Wacana yang basah oleh keringat. Bahkan Wacana yang sedang sakit itu-pun nampak gelisah.
Dengan suara yang sendat, Wacana itu kemudian bertanya, "Apakah mereka telah selesai makan?"
Raras mengangguk kecil sambil menjawab, "Sudah kakang."
"Kenapa kau tidak makan bersama mereka?"
"Nanti saja. Aku belum lapar," jawab Raras.
Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Jika demikian Raras. Tolong, panggil Sabungsari kemari."
Wajah Raras menjadi tegang. Ia merasa menjadi serba salah. Jika ia tidak memenuhi permintaan itu, maka Wacana akan menjadi kecewa. Tetapi jika ia melakukannya, maka ia merasa sangat segan.
Dalam kebimbangan itu, maka Raras-pun telah memanggil ayahnya, Ki Rangga Wibawa.
"Ayah," desis Raras.
Ki Rangga yang masih duduk di ruang dalam itu-pun berpaling. Dilihatnya Raras memberi isyarat kepadanya untuk mendekat.
"Ada apa Raras?" bertanya Ki Rangga.
"Kakang Wacana memanggil ayah," jawab Raras.
Ki Rangga-pun kemudian beringsut mendekati Wacana dan duduk di sebelahnya. Namun Wacana itu-pun kemudian berkata perlahan, "Paman. Aku ingin berbicara dengan Sabungsari."
"Angger Sabungsari?" bertanya Ki Rangga.
"Ya, paman," jawab Wacana.
Sabungsari yang mendengar namanya disebut oleh Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Namun Ki Rangga itu benar-benar berpaling kepadanya dan berkata, "Angger Sabungsari. Wacana ingin berbicara dengan angger."
Sabungsari benar-benar menjadi gelisah. Namun Agung Sedayu berdesis pula, "Mendekatlah. Ia ingin berbicara kepadamu. Jangan kau kecewakan anak muda yang sedang sakit itu."
Sabungsari memang tidak dapat ingkar lagi. Bahkan kemudian Glagah Putih telah bangkit dan menarik tangannya sambil berkata, "Marilah."
Ketika kemudian Sabungsari bangkit dan melangkah mendekati Wacana yang terbaring itu, Raraslah yang beringsut untuk meninggalkan pembaringan Wacana. Tetapi Wacana masih sempat berdesis, "Raras, jangan pergi."
"Aku akan ke pakiwan sebentar kakang," jawab Raras.
"Tunggulah. Aku ingin berbicara kepadamu," berkata Wacana cemudian.
Raras memang menjadi bingung. Demikian pula Sabungsari. Sementara Ki Rangga Wibawa telah beringsut untuk memberi tempat kepada Sabungsari yang termangu-mangu.
Agung Sedayu melihat kegelisahan itu. Meski-pun ia tidak mendengar seluruhnya apa yang dipercakapkan oleh orang-orang yang ada didekat Wacana itu, namun ia melihat kegelisahan yang terjadi. Karena itu, maka Agung Sedayu-pun telah memberi isyarat kepada Sekar Mirah untuk mendekat.
Sekar Mirah memang beringsut meski-pun tidak menjadi terlalu dekat. Ia berdiri beberapa langkah dari pembaringan Wacana sebagaimana Glagah Putih.
Ketika Wacana minta Sabungsari mendekat, maka Sabungsari tidak dapat menolaknya, Demikian pula Raras. Wasana minta Raras tetap ditempatnya.
"Raras," berkata Wacana kemudian, "dengarlah. Tetapi kau jangan menyalahkan aku, justru aku dalam keadaan seperti ini. Jika kau masih ingin melihat aku sembuh lagi, Raras. Kau harus menerima pemberitahuanku ini dengan lapang, karena sebenarnyalah aku bermaksud baik kepadamu."
Raras memang menjadi sangat berdebar-debar. Namun Wacana berkata selanjutnya, "Raras. Aku sudah berkata terus-terang kepada Sabungsari."
"Kakang," Raras hampir terpekik.
Tetapi dengan memaksa diri Wacana berkata, "Dengar Raras. Aku minta kau maafkan aku, agar luka dalamku tidak semakin parah."
Gejolak perasaan Raras justru membuat mulutnya bagaikan terbungkam. Namun Wacana-pun kemudian berkata, "Raras. Aku tidak dapat menyembunyikan lagi sebagaimana kau minta, ketika Sabungsari berterus-terang kepadaku. Aku tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaannya dengan kenyataan yang sebenarnya. Tanpa keterus-terangan ini, maka persoalan diantara kalian tidak akan pernah selesai dan berakhir dengan baik."
Wajah Sabungsari-pun menjadi tegang. Wacana ternyata tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak pernah merasa menyatakan perasaannya lebih dahulu. Justru Wacana datang dengan gejolak perasaannya yang tidak terkendali, sehingga Wacana telah menantangnya untuk bertanding.
Namun dalam pada itu Wacana-pun berkata, "Sabungsari. Maaf bahwa aku berterus-terang kepada Raras. Dengan demikian, maka kalian dapat menempuh jalan untuk membuat penyelesaian akhir yang paling baik."
Sabungsari bagaikan membeku. Sementara itu, Raras benar-benar menjadi gelisah. Perasaan malu, bahkan bersalah dan berbagai macam perasaan yang berbaur membuatnya kehilangan kendali. Dengan serta-merta Raras itu-pun bergeser turun dari pembaringan. Tanpa diduga, maka Raras berlari ke pintu pringgitan.
Namun Sekar Mirah ternyata bergerak lebih tangkas. Dengan cepat ia sempat menangkap dan memeluk Raras yang kebingungan.
Sentuhan tangan Sekar Mirah ternyata dapat menyentuh pula perasaan Raras. Diluar sadarnya, ia-pun telah memeluk Sekar Mirah pula. Gadis itu tidak lagi dapat menahan air matanya yang mengalir dengan derasnya.
"Kau tidak usah menangis, Raras," desis Sekar Mirah.
"Aku malu sekali. Bukankah aku perempuan yang tidak berharga, yang telah menawarkan diri kepada seorang laki-laki."
"Tidak Raras," jawab Sekar Mirah, "bukan kau yang datang untuk menawarkan diri. Bukankah kau datang untuk melihat Wacana yang sudah kau anggap sebagai kakak kandungmu sendiri?"
"Tetapi kakang Wacana sudah mengatakannya," desis Raras disela-sela isaknya.
"Bukankah Wacana mengatakan, bahwa ia hanya menanggapi pernyataan kakang Sabungsari" Bukankah dengan demikian ia tidak bersalah" Apalagi ia sekarang dalam keadaan sakit Raras. Cobalah kau menilai persoalannya dengan hati yang bening."
Raras tidak menjawab. Tetapi ia masih belum melepaskan Sekar Mirah.
Glagah Putih yang berdiri di sebelahnya hanya termangu-mangu saja. Bahkan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Namun Ki Rangga Wibawalah yang kemudian mendekati anak gadisnya sambil berkata, "Sudahlah Raras. Bukankah dengan demikian, persoalannya justru menjadi terbuka" Kau tidak dapat menyimpan perasaanmu itu didalam hatimu. Tidak akan ada seorang-pun yang mengetahuinya. Karena itu kau harus menanggapinya dengan wajar. Apa artinya percik-percik cinta yang dibenamkan dalam-dalam didasar jantung, karena yang didambakan oleh cinta bukanlah daun-daun yang rimbun yang memenuhi relung-relung hati. Tetapi yang dituntut adalah bunganya yang kemudian menghasilkan buah." Ki Rangga Wibawa itu-pun terdiam sejenak.
Isak tangis Raras memang sedikit mereda, sementara ayahnya berkata selanjutnya, "Raras, siapakah yang berhak menilaimu" Jika kau menganggap aku ayahmu juga berhak menilaimu, maka kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri."
Raras sama sekali tidak menjawab. Sekar Mirahlah yang kemudian membimbingnya duduk di bibir amben yang besar di ruang dalam itu. Sementara Ki Rangga duduk pula di sebelahnya.
Sabungsari tidak dapat berbuat apa-pun juga. Ia juga tidak dapat membantah pernyataan Wacana, bahwa ialah yang telah menyalakan perasaannya sehingga Wacana telah menanggapinya dengan mengatakan sikap perasaan Raras kepadanya. Karena jika ia membantahnya, maka kedudukan Wacana dalam persoalan Raras akan menjadi semakin sulit.
Karena itu, Sabungsari hanya dapat semakin menundukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu, Wacana yang sedang sakit itu menjadi tegang. Sikap Raras kepadanya tergantung sekali kepada sikap Sabungsari. Jika Sabungsari tidak mengiakan keterangannya dan mengatakan yang sebenarnya apa yang terjadi, maka rasa-rasanya tidak ada gunanya lagi baginya untuk meneruskan pengobatan yang diberikan oleh Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan tabib terbaik di Tanah Perdikan Menoreh itu.
Dalam pada itu, Sabungsari duduk termangu-mangu. Wajahnya sekali-sekali menjadi merah. Namun kemudian menjadi pucat. Keringatnya mengalir membasahi punggungnya. Bahkan bajunya menjadi basah seperu baru saja kehujanan.
Jantung Sabungsari memang bergejolak. Sekali-sekali dipandanginya wajah Wacana yang sedang sakit karena luka dalamnya itu. Ketegangan di wajah Wacana membuatnya seakan-akan menjadi semakin parah. Bahkan nafasnya menjadi tersengal-sengal.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Diendapkannya gejolak perasaannya. Dengan susah payah Sabungsari mengetrapkan penalarannya.
Karena itu, maka kemudian dengan nada yang berat ia berkata, "Maafkan aku Ki Rangga. Aku merasa terlalu berat untuk memikul beban perasaanku. Karena itu, maka aku tidak dapat menyimpannya lagi ketika Wacana datang ke Tanah Perdikan ini. Ternyata Wacana telah menyimpan pula pengakuan Raras, meski-pun sebelumnya hanya diperuntukkannya bagi dirinya sendiri."
Pengakuan Sabungsari itu bagaikan udara yang segar yang dihembuskan kedalam ruang sempit yang panas dan pengab. Semua orang menarik nafas dalam-dalam. Ki Rangga Wibawa mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Agung Sedayu berdesah lembut.
Wacana yang juga mendengar pengakuan itu, tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Diluar sadarnya bibirnya bergerak mengucap sokur. Rasa-rasanya Wacana telah terlepas dari ujung tanduk yang telah menyentuh kulitnya.
Bahkan terasa matanya menjadi panas oleh titik-titik air yang mengembun.
Sementara itu Sabungsari-pun berkata selanjutnya, "Sebenarnya aku ingin menyimpan perasaan ini dan mengendapkan sedalam-dalamnya. Namun suatu ketika akhirnya bergejolak juga dan harus tertuang keluar ketika Wacana hadir di Tanah Perdikan ini."
Ki Ranggalah yang kemudian berkata, "Aku telah mendengar pengakuan kalian. Aku telah melihat jalan panjang yang terbentang di hadapan anak gadisku."
"Aku mohon maaf Ki Rangga. Tetapi apa yang aku katakan, bukanlah yang sebaiknya aku lakukan. Aku harus mengulanginya lewat jalan yang wajar meski-pun semuanya sudah Ki Rangga ketahui," berkata Sabungsari pula.
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Baiklah. Aku tidak akan menutup mata pada kenyataan ini. Aku menghargai sikap angger Sabungsari, bahwa ia masih akan mengulangi pernyataannya lewat jalan sewajarnya. Namun itu adalah sekedar tata-cara dan unggah-ungguh. Namun hakekat dari perasaan kalian agaknya sudah bertemu. Karena itu, maka aku tidak dapat bersikap tanpa mengingat kenyataan ini, seakan-akan segala sesuatunya terjadi pada saat-saat tata-cara itu dilakukan."
Sabungsari mengangguk dalam-dalam. Ternyata Ki Rangga bukan seorang yang berpandangan sempit dengan segala macam ikatan-ikatan yang mati tanpa melihat kenyataan yang tersimpan didalamnya. Karena itulah maka Sabungsari merasa bersukur karenanya.
Meski-pun demikian, ada sepercik persoalan yang terasa membelit jantungnya. Apalagi disitu hadir pula Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah tentu tahu benar, bahwa Raras pernah menjalin hubungan dengan Raden Teja Prabawa, cucu Ki Lurah.
Karena itu, maka beberapa kali Sabungsari memandang sekilas Ki Lurah yang duduk sambil sekali-sekali mengangguk-angguk. Namun agaknya Ki Lurah tidak menghiraukannya.
Tetapi ternyata bukan hanya Sabungsari sajalah yang teringat akan hal itu. Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga juga menyadari, bahwa Raras memang pernah berhubungan dengan cucu Ki Lurah.
Ketika keadaan sudah menjadi tenang, maka Sekar Mirahlah yang kemudian mengajak Raras untuk pergi ke ruang sebelah. Di ruang itu Sekar Mirah minta Raras duduk sambil berkata, "Kita makan bersama Raras. Bukankah kau belum makan?"
Raras tidak menjawab, sementara itu, Sekar Mirah sempat membawa Rara Wulan yang sudah menjadi semakin baik ke ruang itu pula.
Ketika Raras melihat Wulan yang sedang dibimbing Sekar Mirah memasuki ruang itu, maka ia-pun segera bangkit dan berlari ke arahnya. Rara Wulan yang melihat Raras dengan serta-merta berdesis, "Raras."
Keduanya berpelukan, meski-pun Rara Wulan masih harus menyeringai menahan nyeri yang masih terasa.
Sejenak kemudian, maka keduanya duduk di amben panjang di ruang itu, sementara Sekar Mirah menyiapkan makan bagi mereka.
Raras yang melihat keadaan Rara Wulan-pun telah bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Wulan?"
Wulan-pun berceritera tentang pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan beberapa waktu yang lalu.
"Hampir semua orang terluka," berkata Rara Wulan, "mbokayu Sekar Mirah juga terluka. Kakang Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan yang lain. Tetapi ada yang parah dan ada yang tidak. Kakang Wacana termasuk salah seorang yang parah. Aku juga terhitung parah. Bahkan kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Kakang Rumeksa dan murid-murid Ki Ajar Gurawa. Namun yang perkembangannya agak lambat adalah kakang Wacana."
Raras menarik nafas dalam-dalam. Ia-pun kemudian bertanya, "Tetapi bukankah kakang Wacana masih mungkin disembuhkan?"
"Aku kurang mengetahui perkembangannya. Tetapi menurut mbokayu Sekar Mirah, keadaan kakang Wacana tidak menjadi semakin buruk. Dan itu berarti bahwa masih banyak harapan untuk menyembuhkannya. Agaknya kedatanganmu juga akan dapat menambah gairah kesembuhannya."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" bertanya Raras.
"Sebagaimana kau lihat, aku sudah menjadi semakin baik," jawab Rara Wulan.
Raras mengangguk-angguk. Ia memang melihat keadaan Rara Wulan yang sudah tidak lagi mengalami banyak kesulitan karena luka-lukanya, meski-pun tenaga dan kekuatannya masih belum pulih kembali.
Demikianlah, maka sejenak kemudian makan-pun telah tersedia. Meski-pun Rara Wulan sudah makan, tetapi ia ikut pula makan bersama Raras dan Sekar Mirah.
Malam itu, Ki Rangga Wibawa bermalam di rumah Agung Sedayu. Rumah yang memang tidak begitu besar itu terasa semakin sempit. Namun anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung dapat saja tidur dimana-mana. Bahkan beberapa orang diantara mereka justru ikut berkumpul bersama para pengawal dan anak-anak muda di Banjar.
"Kami menumpang tidur disini," berkata Suratama.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa tidur di sini?" bertanya salah seorang pengawal.
"Di rumah kakang Agung Sedayu ada beberapa orang tamu dari Mataram. Keluarga Wacana yang terluka dalam itu," jawab Suratama mewakili kawan-kawannya.
Sementara itu, meski-pun Sabungsari tidak pergi ke Banjar, tetapi ia selalu berada di serambi gandok bersama Glagah Putih. Kepada Glagah Putih ia mengatakan, betapa ia terjepit sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk memilih sikap.
"Menurut pendapatku, sikapmu sudah benar," berkata Glagah Putih, "jika kau ingkari kata-kata Wacana, maka keadaannya akan menjadi semakin gawat."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "aku sadari itu."
"Sekarang, setelah ia mendengar kau mengiakan keterangannya, wajahnya nampak lebih cerah. Mudah-mudahan segala sesuatunya akan dapat membuat dadanya lebih lapang sehingga kesempatannya untuk sembuh menjadi lebih besar."
Sabungsari mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Pandangan matanya menerawang menembus ke kegelapan malam.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat kegelisahan Sabungsari itu-pun berkata, "Sudahlah. Kakang Sabungsari jangan terlalu memikirkannya. Semuanya itu sudah terjadi. Dan kau-pun tahu bahwa Ki Rangga Wibawa nampaknya tidak tersinggung karenanya. Kau tidak sengaja melamarnya begitu saja tanpa suba-sita. Jika semuanya itu kau katakan di hadapan Ki Rangga Wibawa bukankah kau tidak dapat dianggap tidak tahu unggah-ungguh?"
Sabungsari itu-pun mengangguk.
"Yang penting adalah apa yang akan kau lakukan kemudian dalam hubunganmu dengan Raras. Sekarang persoalan yang sebenarnya telah terbuka. Justru di hadapan Ki Rangga Wibawa dan di hadapan Ki Lurah Branjangan."
"Aku merasa telah menjadi orang ketiga yang berdiri diantara Raras dan Raden Teja Prabawa."
"Bukankah Wacana juga pernah terlibat?" bertanya Glagah Putih, "meski-pun agaknya diluar pengetahuan Raras."
Sabungsari mengangguk pula.
"Sudahlah," berkata Glagah Putih, "kau sudah masuk kedalam arus air, seandainya kau menyeberang. Kau sudah basah dan kau tidak perlu harus naik kembali ketepian. Ingat, sebelum kau rerlibat langsung seperti sekarang ini, Raras sudah mulai berpaling dari Raden Teja Prabawa."
"Bagaimana-pun juga aku masih memikirkan tanggapan Ki Lurah Branjangan. Bahkan Rara Wulan," desis Sabungsari.
"Rara Wulan dapat berpikir panjang dalam hal ini. Ki Lurah juga bukan orang tua yang berpikiran pendek. Mereka melihat kenyataan yang melemahkan kedudukan Raden Teja Prabawa," jawab Glagah Putih, "karena itu, maka kau justru harus melangkah terus, meski-pun kau harus berhati-hati."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putih adalah seorang anak muda yang umurnya lebih muda daripadanya. Tetapi rasa-rasanya Sabungsari memang harus mendengarkan pendapatnya. Sementara itu, di ruang dalam, Ki Rangga Wibawa sedang berbicara dengan Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan. Sementara itu Ki Jayaraga dan Ki Ajar Gurawa justru berada di serambi samping. Mereka tahu bahwa Ki Rangga akan lebih banyak berbicara tentang anak gadisnya dengan Ki Lurah Branjangan. Kakek dari Raden Teja Prabawa.
Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga Wibawa telah menyampaikan kegelisahannya kepada Ki Lurah Branjangan. Ternyata bahwa sikap Raras terhadap Raden Teja Prabawa benar-benar telah berubah.
Ki Lurah Branjangan tersenyum mendengarnya. Katanya, "Aku sudah mengetahuinya Ki Rangga. Nampaknya Teja Prabawa-pun harus menerima kenyataan ini. Namun yang membesarkan hati, bahwa Teja Prabawa ternyata tidak kehilangan gairah hidupnya. Ia menganggap bahwa yang terjadi itu merupakan satu pengalaman pahit. Ia justru bangkit dari kemanjaannya selama ini. Ia mulai memandang kehidupan ini dengan sikap yang lebih dewasa."
Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sokurlah. Mudah-mudahan Raden Teja Prabawa berhasil."
"Aku yakin, bahwa ia akan berhasil," berkata Ki Lurah.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu itu-pun mengangguk-angguk pula.
Sementara itu, di ruang yang lain, Sekar Mirah masih juga menenangkan perasaan Raras. Seperti kakeknya, maka Raras merasa telah menyinggung perasaan. Bahwa ia berpaling dari Raden Teja Prabawa, tentu telah menyentuh perasaan Rara Wulan pula.
Tetapi ternyata bahwa Rara Wulan itu berkata, "Jangan risaukan kangmas Teja Prabawa, Raras. Ia harus menerima kenyataan ini. Jika kau kemudian kecewa terhadapnya, bukannya tidak beralasan. Apalagi hubunganmu dengan kangmas Teja Prabawa masih terbatas pada penjajagan akan sifat dan watak masing-masing. Bukankah ayah dan ibu masih belum berbicara lebih jauh dengan ayah dan ibumu?" Raras itu mengangguk.
"Sepengetahuanku, Raras. Ayah dan ibu tidak merasa tersinggung oleh sikapmu. Sejak kangmas Teja Prabawa mulai mengeluh atas sikapmu, maka keluarga kami mencoba untuk mengerti. Dan menurut pertimbangan kami, segala sesuatunya itu terjadi karena ada sebabnya."
Raras menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sambil mengusap matanya ia bertanya kepada Rara Wulan yang sudah dikenalnya dengan akrab itu, "Bagaimana penilaianmu terhadap aku Wulan?"
"Apa maksudmu?" bertanya Wulan.
"Apakah kau menganggap bahwa aku adalah seorang perempuan yang tidak setia?"
"Tidak. Tentu tidak, Raras. Jika kau mengambil keputusan untuk meninggalkan kangmas Teja Prabawa sekarang, justru lebih baik. Kau mempunyai alasan yang sangat kuat dan wajar. Bukan sekedar dibuat-buat, sementara itu, perasaanmu mulai ditumbuhi benih cinta yang teratur di hatimu karena alasan yang kuat pula. Jika hal ini terjadi justru setelah kau dan kangmas Teja Prabawa memasuki jenjang kehidupan berkeluarga, maka akibatnya akan menjadi lebih pahit."
Raras mengusap matanya yang basah. Kemudian dengan kata-kata yang sendat ia bertanya, "Apakah mbokayu Sekar Mirah juga berpendapat demikian?"
"Aku sependapat dengan Rara Wulan. Bukan sekedar untuk menenangkan hatimu Raras. Tetapi sebenarnya demikian," jawab Sekar Mirah.
Raras menundukkan wajahnya. Sementara Sekar Mirah-pun kemudian berkata, "Sudahlah Raras. Jangan kau pikir terlalu dalam. Kau harus menerima kenyataan yang terjadi atas dirimu. Sementara orang lain dapat mengertinya. Sebaiknya kau beristirahat. Bukankah kau letih setelah menempuh perjalanan yang panjang?"
Raras tidak menjawab. Namun kepalanya masih saja menunduk.
Malam itu Raras dipersilahkan tidur bersama Rara Wulan. Untunglah keadaan Rara Wulan sudah berangsur baik, sehingga ia tidak lagi merasa terganggu oleh kehadiran Raras di pembaringannya. Sementara itu, Ki Rangga Wibawa dipersilahkan tidur dibilik kecil di gandok sebelah kanan.
"Kami tidak mempunyai tempat yang cukup luas," berkata Agung Sedayu, "kami mohon maaf bahwa tempat kami terlalu sempit. Apalagi anak-anak muda kawan-kawan Glagah Putih dan Sabungsari berada disini. Mereka telah membantu menyelesaikan orang-orang perkemahan yang datang menyerang rumah ini."
"Yang tersedia bagi kami sudah sangat mencukupi," jawab Ki Rangga Wibawa.
Agung Sedayu mengangguk kecil. Ketiga orang prajurit yang datang bersama Ki Rangga telah dipersilahkan untuk tidur di gandok pula meski-pun pembaringan dan biliknya tidak cukup luas. Sementara anak-anak Gajah Liwung ada yang tidur di banjar bersama anak-anak muda dan para pengawal yang bertugas.
Ternyata kehadiran anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu menambah ketenangan mereka yang sedang berada dibanjar, karena pada umumnya kemampuan anak-anak muda itu lebih tinggi dari para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Di hari berikutnya, cahaya pagi-pun nampak cerah. Sebelum matahari terbit, rumah Agung Sedayu itu sudah terbangun. Perempuan-perempuan yang ada di rumah itu dipersilahkan untuk pergi ke pakiwan lebih dahulu. Baru kemudian yang lain-lain.
Namun beberapa orang anak muda dari kelompok Gajah Liwung lebih senang pergi bersama-sama ke sungai selagi hari masih remang-remang. Bersama dengan mereka adalah Glagah Putih dan Sabungsari.
Di sungai, Glagah Putih sempat melihat bahwa pliridan pembantu di rumahnya memang sudah menjadi baik. Bahkan nampak lebih kuat dan sedikit lebih panjang. Tanggulnya menjadi sedikit lebih tinggi, sehingga air yang menggenang di pliridan itu saat dibuka di malam hari menjadi lebih dalam.
"Anak itu memang mempunyai kelebihan tersendiri," berkata Glagah Putih.
"Kenapa?" bertanya Sabungsari.
"Ia masih saja memelihara pliridannya dengan baik. Sementara anak-anak yang sebayanya sudah mulai menjadi jemu. Bahkan anak-anak yang lebih muda-pun ada yang tidak lagi mau turun ke sungai di malam hari."
"Tetapi di tikungan itu masih ada juga pliridan. Tentu bukan anak-anak yang membuatnya," berkata Sabungsari.
"Ya. Memang masih ada satu dua. Tetapi orang yang memeliharanya sudah berganti," jawab Glagah Putih.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya anak itu memang anak yang tekun, yang tidak mudah menjadi jemu. Apakah hal ini kau hubungkan dengan niatnya untuk belajar berkelahi?"
"Sudah aku katakan, aku tidak mau mengajarinya berkelahi," jawab Glagah Putih, "Tetapi nampaknya ia masih belum dapat membedakan antara berkelahi dan membela diri."
"Jangan kau paksa untuk mengerti dalam sesaat," berkata Sabungsari, "namun menurut pendapatku, jika ia berlatih kanuragan, maka ia memang tidak akan menjadi jemu sebagaimana ia memelihara pliridannya. Sementara itu, kau masih akan dapat membentuk watak dan sifatnya sehingga menjadi keutuhan pribadinya."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menyahut, "Tetapi masih harus dilihat perkembangannya lebih jauh."
Hari itu, matahari yang kemudian terbit nampak cerah di Tanah Perdikan Menoreh. Cahayanya yang kuning memantul diatas dedaunan yang basah oleh embun. Berkilat-kilat oleh angin yang menggetarkan dedaunan itu.
Wacana yang untuk beberapa lama perkembangan keadaannya sangat lambat, bahkan hampir tidak tampak, hari itu seakan-akan telah terjadi satu loncatan. Wajahnya nampak terang. Dahinya tidak lagi berkerut dalam-dalam. Tubuhnya juga tidak lagi terasa panas. Bahkan ketika Agung Sedayu melihat perkembangannya pagi itu, Wacana sudah nampak tersenyum.
Ketika kepadanya diberikan obat cair untuk diminum, Wacana tidak lagi terdengar mengeluh, seolah-olah obat itu tidak berarti lagi baginya.
Si Cantik Dalam Guci 3 Roro Centil 25 Tragedi Pulau Berhala Pendekar Muka Buruk 14
^