Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 17

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17


"Minumlah," berkata Agung Sedayu. Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat kepalanya dan meletakkan mangkuk obat itu di bibirnya.
Dalam beberapa teguk obat itu sudah habis ditelannya.
"Ternyata Wacana sudah dapat melepaskan sebagian beban perasaannya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Glagah Putih-pun melihat perkembangan yang menggembirakan itu pula. Kepada Sabungsari ia berdesis, "Kau telah membantu memperingan penderitaannya, kakang. Wacana menjadi semakin baik. Kegairahan hidupnya akan sangat membantu penyembuhannya."
Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, "Bagimu, kakang. Tidak ada lagi hambatan. Berlakukan wajar terhadap Raras. Jangan biarkan gadis itu menekan perasaannya. Selama hubungan masih belum terbuka, maka Raras tentu masih merasakan beban yang sangat berat."
Sabungsari tidak segera menjawab. Tetapi diluar sadarnya ia masih saja mengangguk-angguk.
"Dengan demikian," berkata Glagah Putih kemudian, "kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Wacana telah benar-benar mengiklaskan Raras. Jika ia sekedar berpura-pura, maka sakitnya tentu akan menjadi semakin parah."
"Aku mengerti," desis Sabungsari, "tetapi bagaimana aku harus melakukannya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat memberikan pendapatnya. Namun kemudian katanya, "Segala sesuatunya akan berlangsung. Berlakulah wajar."
Sabungsari masih saja termangu-mangu. Ia mengerti maksud Glagah Putih. Tetapi hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Tetapi bagaimana berlaku wajar itu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ialah yang kemudian termangu-mangu. Ternyata memang sulit untuk menunjukkan, bagaimana berlaku wajar itu dalam keadaan sebagaimana Sabungsari saat itu.
Tetapi yang tidak disangka-sangka itu-pun terjadi. Sekar Mirah yang kemudian mendekati keduanya berkata, "Aku tawarkan kepada Raras untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini. Tentu lebih sepi dibandingkan dengan Mataram. Tetapi mungkin ada juga yang menarik. Mungkin Raras dapat melihat-lihat pasar."
"Maksud mbokayu ?" bertanya Glagah Putih.
"Glagah Putih," berkata Sekar Mirah kemudian, "Aku minta kau berdua dengan kakang Sabungsari bersedia mengantar Raras."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sambil berpaling kepada Sabungsari ia berkata, "Tentu kita tidak dapat menolaknya."
"Kau sajalah yang mengantar," berkata Sabungsari, "aku akan berbicara dengan anak-anak."
"Apa yang akan kau bicarakan " Tentang pertempuran yang telah terjadi atau tentang orang-orang di tepian Kali Praga atau tentang apa?" bertanya Glagah Putih.
Sabungsari memang tidak dapat segera menjawab, sehingga karena itu, maka Glagah Putih-pun berkata, "Baiklah. Kami berdua akan mangantar Raras. Aku yakin, Raras tentu juga tidak mau jika hanya diantar oleh Sabungsari saja."
Sekar Mirah tertawa tertahan. Katanya, "Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada Raras."
Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian Sekar Mirah telah datang kembali bersama Raras. Namun ternyata Raras minta Sekar Mirah ikut berasamanya pergi ke pasar.
"Aku masih harus mengobati luka Rara Wulan," jawab Sekar Mirah.
"Bukankah Wulan telah menjadi baik," sahut Raras.
"Tetapi ia belum dapat mengobati lukanya sendiri," jawab Sekar Mirah.
Sementara itu Glagah Putih-pun berkata, "mBokayu Sekar Mirah tentu mempunyai kesibukan di rumah. Marilah, biarlah aku dan kakang Sabungsari mengantarmu ke pasar. Mungkin kau akan melihat sesuatu yang baru di sini. Pasar di Tanah Perdikan ini memang berbeda dengan pasar di Kotaraja."
Raras menjadi bimbang. Namun sekali lagi Sekar Mirah berkata, "Pergilah. Bukankah Ki Rangga Wibawa telah mengijinkan ?"
"Tetapi sepengertian ayah, mbokayu Sekar Mirah juga akan pergi ke pasar."
"Tidak. Ki Rangga sudah tahu bahwa kau akan pergi bersama Glagah Putih dan kakang Sabungsari."
Raras tidak dapat menolak lagi. Ia tidak mau menyinggung perasaan Glagah Putih dan apalagi Sabungsari yang belum begitu dikenalnya.
Dengan demikian, maka mereka bertiga telah pergi ke pasar. Agar Raras tidak terlalu kaku, maka Glagah Putih telah mengajak Mandira yang sedang berdiri di pintu regol halaman.
Beberapa saat kemudian, berempat mereka menempuh jalan yang membelah padukuhan induk itu menuju kepasar. Di sepanjang jalan Raras melihat bahwa padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh merupakan padukuhan yang cukup besar dan ramai. Rumah-rumah yang berdiri di sebelah menyebelah jalan nampak bersih dan terawat. Meski-pun tidak berkesan sebagai rumah-rumah orang yang kaya raya, namun setidak-tidaknya tataran kehidupann orang-orang Tanah Perdikan, terutama di padukuhan induk itu cukup baik.
Di sepanjang jalan, Raras memang tidak banyak berbicara. Glagah Putihlah yang sekali-sekali memancing pembicaraan Raras dan Sabungsari. Sementara Mandira sekali-sekali juga ikut memancing pembicaraan.
Sepatah dua patah Sabungsari memang sudah mulai berbicara dengan Raras, meski-pun masih sangat terbatas. Namun nampaknya mereka bukan lagi sebagai seorang asing yang hanya saling memandang saja.
Ketika mereka sampai ke pasar, maka Glagah Putih telah mempersilahkan Raras untuk melihat-lihat dan barangkali ingin membeli sesuatu yang tidak banyak dijual di Mataram.
Raras memang bertanya ketika ia melihat sebuah roda yang besar yang terbuat dari tanah liat. Namun yang di sisir halus dengan welat melingkar. Sisiran tanah liat itu telah digoreng tanpa minyak sehingga menjadi merah kecoklat-coklatan.
"Itu namanya ampo, Raras," jawab Glagah Pulih.
"Untuk apa ?" bertanya Raras.
"Dimakan sedikit-sedikit seolah-olah tidak terasa," jawab Glagah Putih.
Raras mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Beberapa lama Raras melihat-lihat keadaan pasar di Tanah Perdikan. Memang berbeda dengan pasar yang sering dilihatnya di Mataram. Di pasar di Tanah Perdikan itu ada juga beberapa orang pande besi yang membuka tempat kerjanya di pinggir pasar sebagaimana di Mataram. Tetapi dalam takaran yang lebih kecil. Sedangkan beberapa jenis makanan yang banyak terdapat dipasar itu hampir tidak dijumpainya di Mataram.
Dalam pada itu selagi Raras sibuk melihat-lihat, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, "Raras, maaf aku akan menemui seseorang sebentar diluar pasar ini. Hanya sebentar. Nanti aku segera menemanimu kembali. Mandra akan pergi bersamaku, biarlah Sabungsari mengawanimu."
"Glagah Putih," panggil Sabungsari yang menjadi berdebar-debar, "nanti kita akan bersama-sama menemui seseorang itu."
"Jangan. Nanti Raras tergesa-gesa. Mungkin masih banyak yang ingin dilihatnya."
Tetapi Raras menyahut, "tidak. Aku tidak ingin melihat apa-apa lagi. Aku sudah selesai."
"Ah, jangan begitu," berkata Mandira, "mungkin kau ingin membeli sesuatu yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Mungkin di Mataram jarang sekali ditemui growol atau ampo atau yang lain. Seharusnya kakang Sabungsari tidak perlu membuat Raras tergesa-gesa."
Sabungsari merasa serba salah. Sementara itu Glagah Putih dan Mandira telah bergerak, menyusup diantara orang-orang yang seakan-akan menjadi semakin banyak.
Sejenak Sabungsari dan Raras berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Sabungsari mencoba mengatasi kebekuan itu, "Hari ini hari pasaran, sehingga pasar ini menjadi lebih ramai dari hari-hari yang lain."
Raras mengangguk kecil. Rasa-rasanya memang masih segan untuk berdua saja meski-pun di tengah-tengah keramaian orang yang hilir mudik, bahkan berdesak-desakan.
Raras memang teringat pada Raden Teja Prabawa. Raden Teja Prabawa tentu tidak akan segan membimbingnya, menyuruh diantara orang-orang yang berdesakan itu.
Namun Raras sadar, bahwa hidup yang akan mereka jalani tidak selalu berada ditempat ramai dan hiruk-pikuk. Ia-pun teringat pula apa yang terjadi di pinggir susukan kali Opak. Bagaimana laki-laki itu telah mendekapnya, mendorongnya dan bahkan membantingnya, namun justru untuk menyelamatkannya. Satu tindakan yang tidak dapat dilakukan oleh Raden Teja Prabawa.
Karena Raras masih saja termangu-mangu, maka Sabungsari-pun kemudian bertanya, "Bukankah kau masih ingin melihat-lihat?"
Raras mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Aku masih ingin melihat-lihat."
Keduanya-pun kemudian melangkah pula diantara orang-orang yang berdesakan itu. Menyusup diantara mereka untuk melihat-lihat. Tanpa disadari Raras telah pergi ke tempat orang-orang berjualan sayuran. Kemudian makanan dan bahkan berjualan kain lurik.
Tetapi Raras ternyata tidak ingin membelinya. Sabungsari yang mengikutinya memang bertanya, "Apakah kau akan membeli kain lurik buatan Tanah Perdikan Menoreh?"
Raras menggeleng. Katanya, "Aku kurang terlarik warnanya yang rata-rata nampak buram."
"Warna yang disukai disini," jawab Sabungsari.
Raras tidak menyahut. Namun Sabungsari dapat mengerti, bahwa di Mataram tentu terdapat kain yang lebih semarak.
Yang kemudian justru menarik bagi Raras adalah berjenis makanan yang sulit didapatkannya di Mataram.
Demikianlah, keduanya-pun mendapat banyak kesempatan untuk melihat-lihat isi pasar itu. Bahkan ketika mereka menjadi lelah, Glagah Putih dan Mandira masih belum menyusul mereka.
Raras memang mulai nampak gelisah. Bahkan ia-pun kemudian bertanya, "Apakah kita harus menunggu Glagah Putih dan Mandira disini?"
Tetapi Sabungsari menjawab, "Tidak usah Raras. Jika kau sudah merasa cukup, biarlah kita keluar dari pasar. Kita dapat menunggu di pintu gerbang."
Dengan demikian maka keduanya-pun telah melangkah menuju ke pintu gerbang pasar. Mereka sudah merasa cukup lama berdesak-desakan sehingga keringat mereka sudah membasahi tubuh dan pakaian mereka.
Demikian mereka keluar, maka mereka melihat Glagah Putih dan Mandira berdiri di seberang jalan, dibawah sebatang pohon waru. di sebelahnya terdapat penjual daun pisang yang tidak mendapat tempat di dalam pasar. Bahkan masih banyak orang-orang yang berjualan berjajar di pinggir jalan karena pasar telah menjadi penuh di hari pasaran.
"Kami menunggu," desis Raras demikian mereka keluar dari pintu gerbang.
"Aku justru menjadi cemas bahwa kita akan dapat berselisih jalan," jawab Glagah Putih.
"Kami baru saja selesai berbicara dengan seseorang yang kami cari." sambung Mandira.
"Bohong," desis Raras.
Mandira dan Glagah Putih tertawa. Sementara Sabungsari bertanya, "Dimana orang yang kalian cari itu?"
"Baru saja ia melangkah pergi," Mandira memang berpura-pura melihat orang-orang yang menyusuri jalan yang menjadi sempit.
Tetapi sekali lagi Raras berdesis, "Bohong. Bohong."
Mandira tertawa. Katanya, "Bagaimana aku harus membuktikannya. Tetapi ia benar-benar belum beranjak lebih dari seratus langkah dari tempat ini."
Raras justru mencibir. Tetapi Mandira dan Glagah Putih tidak dapat menahan tertawanya. Sementara itu Sabungsari menggeram, "Awas kau Glagah Putih. Nanti aku laporkan kepada Agung Sedayu."
Glagah Putih dan Mandira masih tertawa. Sedangkan Raras-pun telah melangkah meninggalkan pintu gerbang pasar itu. Sabungsari masih termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih memberi isyarat agar Sabungsari berjalan mengikutinya.
"Apakah kau tidak akan pulang?" bertanya Sabungsari.
"Ya. Aku akan pulang juga sekarang."
Tetapi Glagah Putih dan Mandira berjalan di belakang ketika kemudian Sabungsari mengikuti Raras.
Sejak saat itu, maka hubungan antara Sabungsari dan Raras menjadi semakin dekat. Mereka tidak lagi saling berdiam diri atau bahkan saling menjauhi secara kewadagan. Sementara hati mereka sudah saling bertaut.
Ki Rangga Wibawa memang harus melihat kenyataan itu. Ia pernah menyaksikan anaknya berhubungan akrab dengan Raden Teja Prabawa. Namun kemudian ia harus melihat anaknya mulai berhubungan dengan Sabungsari.
Tetapi Ki Rangga Wibawa tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak akan sampai hati memperlakukan anak gadisnya sebagaimana kebanyakan orang. Anak gadis yang sudah seusia Raras, tentu sudah mulai dipingit. Anak-anak perempuan, tidak pantas untuk memilih jodohnya sendiri. Apalagi berganti-ganti apa-pun alasannya.
Namun yang terjadi kemudian, memang lain dari kebiasaan itu.
Sementara itu, keadaan Wacana benar-benar telah berubah. Wajahnya tidak lagi nampak pucat dan kosong. Meski-pun masih agak pucat, tetapi matanya mulai bercahaya. Seolah-olah harapan yang telah dilepaskannya, mulai digenggamnya kembali.
Keadaannya itu menjadi sangat membantu pengobatan yang dilakukan oleh Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan tabib terbaik di Tanah Perdikan itu. Wacana tidak lagi merasa segan untuk minum obat cair yang diberikan kepadanya. Juga tidak mengeluh jika tubuhnya diolesi dengan jenis param yang dapat menghangatkan dan menguatkan tubuhnya.
Dengan demikian, maka perkembangan keadaannya-pun menjadi lebih baik.
Agung Sedayu yang menanganinya bersama Ki Jayaraga sempat berdesis, "Keadaan Wacana yang mencemaskan ternyata memberikan akibat baik bagi Sabungsari dan Raras. Kedatangan Raras ke Tanah Perdikan justru karena keadaan Wacana telah memungkinkan hubungannya dengan Sabungsari menjadi terbuka."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, "Menurut pendapatku, keluarga Raden Teja Prabawa, termasuk Rara Wulan dan Ki Lurah Branjangan tidak menaruh keberatan atas sikap Raras yang berpaling dari anak muda itu."
"Ya," Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Bagaimana-pun juga aku masih melihat kekecewaan disorot mata Ki Lurah. Mungkin karena Raras yang meninggalkan Teja Prabawa ternyata tidak dapat ditanggapinya dengan mapan antara perasaannya dan penalarannya. Berbeda dengan Rara Wulan juga seorang gadis, ia dapat mengerti sepenuhnya gejolak perasaan Raras dalam hubungannya dengan Raden Teja Prabawa, karena sebagai adik kandungnya, maka Rara Wulan tentu mengetahui benar-benar sifat dan watak kakaknya itu."
Ki Jayaraga tidak menjawab lagi. Ia-pun kemudian telah meninggalkan Agung Sedayu dan pergi ke serambi belakang. Ki Lurah Branjangan, Ki Rangga Wibawa dan Ki Ajar Gurawa duduk di serambi yang terbuka. Angin yang sejuk bertiup menyusup dedaunan menyentuh wajah mereka yang sedang duduk-duduk di serambi.
Di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Rangga Wibawa bermalam tiga malam. Di hari berikutnya, Ki Rangga berniat untuk kembali ke Mataram.
"Apakah kakang Wacana sudah dapat ditinggal, ayah?" bertanya Raras.
"Bukankah sebagaimana kau lihat, keadaannya sudah berangsur baik?"
"Tetapi ia masih memerlukan perawatan. Siapakah yang akan membantunya makan dan minum" Selama ini akulah yang menyuapinya," desis Raras.
"Kita percayakan saja kakakmu kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Jika tidak Ki Lurah sendiri, maka disini ada banyak orang yang dapat membantunya."
"Rasa-rasanya aku tidak sampai hati meninggalkannya, ayah?" berkata Raras dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Namun ayahnya justru berpikir lain. Kecuali Raras memang merawat Wacana, tetapi justru di rumah itu ada Sabungsari.
Tetapi hati Ki Rangga tidak selonggar orang tua Rara Wulan yang bersedia melepaskan anak gadisnya untuk tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Namun agaknya hal itu karena di Tanah Perdikan itu ada Ki Lurah Branjangan, kakek Rara Wulan yang akan dapat ikut mengawasi gadis itu.
Meski-pun demikian Ki Rangga itu bertanya, "Raras, apakah kau akan tinggal disini sementara ayah pulang?"
"Tidak ayah. Maksudku tidak demikian," jawab Raras dengan serta-merta.
Ki Rangga mengerutkan dahinya. Dengan nada datar ia-pun bertanya, "Jadi, maksudmu?"
"Apakah ayah tidak dapat menunggu barang satu dua hari lagi sampai keadaan kakang Wacana menjadi semakin baik?"
"Raras," jawab Ki Rangga, "aku tidak dapat meninggalkan tugasku terlalu lama. Sementara itu, menurut mereka yang mengikuti perkembangan keadaan Wacana, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu, sudah menjadi semakin baik. Meski-pun tidak terlalu cepat, namun tanda-tandanya sudah menunjukkan, bahwa luka dalamnya berangsur sembuh. Mudah-mudahan perhitungan Ki Lurah itu tepat. Di Mataram kita memang harus selalu berdoa untuk kesembuhannya."
Raras menarik nafas dalam-dalam. Ia memang dapat mengerti bahwa ayahnya harus segera kembali kedalam tugasnya. Karena itu betapa-pun ia ingin tetap tinggal di Tanah Perdikan, namun ia tidak dapat menahan ayahnya untuk meninggalkan tugasnya lebih lama lagi.
Sementara itu, ayahnya itu-pun berkata pula, "Aku-pun tidak dapat menahan para prajurit itu terlalu lama disini, Raras."
Raras mengangguk kecil. "Pada kesempatan lain, kita akan melihat Wacana itu lagi," berkata Ki Rangga kemudian.
Dengan demikian, maka Ki Rangga tidak dapat menunda lagi. Meski-pun Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa dan bahkan Sekar Mirah dan Lurah Branjangan juga menahannya untuk satu dua hari lagi, namun Ki Rangga terpaksa minta diri untuk kembali ke Mataram.
Dalam satu kesempatan, maka Sabungsari itu-pun berkala kepada Ki Rangga, "Ki Rangga. Mungkin Ki Rangga menganggap aku tidak tahu diri dan tidak tahu unggah-ungguh. Tetapi pada satu saat aku akan menghadap Ki Rangga sebagaimana seharusnya. Jika saja orang tuaku tidak lagi sanggup datang bertemu dengan Ki Rangga karena mereka memang sudah tidak ada, maka biarlah Agung Sedayu atau Ki Tumenggung Untara akan aku mohon antuk mewakili kedua orang tuaku, karena sebenarnyalah bahwa selama ini mereka rasa-rasanya sudah menganggap aku sebagai keluarga mereka disini."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah ngger. Aku memang tidak akan dapat berenang menentang arus. Apalagi Raras adalah anak perempuan satu-satunya."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ketika hal itu dapat diutarakannya kepada Ki Rangga, maka rasa-rasanya persoalan yang menyumbat dadanya telah terbuka. Beban yang ditanggungnya seolah-olah telah dapat diletakkannya.
Demikianlah, maka seisi rumah Agung Sedayu itu-pun harus melepaskan Ki Rangga Wibawa untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh kembali ke Mataram setelah beberapa lama mereka menunggui Wacana yang terluka dibagian dalam tubuhnya.
Ketika Raras minta diri kepada Wacana, maka titik-titik air matanya memang nampak mengembun di pelupuknya. Tetapi dengan tersenyum Wacana berkata, "Aku sudah menjadi semakin baik, Raras. Mudah-mudahan hari-harimu akan menjadi cerah."
Raras menunduk sambil berdesis, "Aku mohon kau berdoa untuk masa depanku kakang. Aku juga akan selalu berdoa bagimu. Bagi kesembuhanmu dan bagi hari-harimu mendatang."
Ketika kemudian Raras menyentuh tangan Wacana, maka getar yang halus masih saja merambat sampai ke jantung. Namun Wacana kemudian berkata, "Aku harap kau akan dapat datang pada kesempatan lain."
"Tetapi bukankah kau akan segera sembuh dan segera kembali ke Mataram ?"
"Ya. Aku akan segera sembuh dan segera kembali ke Mataram. Semoga yang Maha Agung mengabulkan keinginan itu," desis Wacana perlahan-lahan.
Raras hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Namun Raras dan Ki Rangga-pun segera telah minta diri untuk kembali ke Mataram.
Ternyata Sabungsari dan Glagah Putih tidak melepaskan mereka begitu saja. Keduanya telah minta ijin kepada Agung Sedayu untuk mengantar Ki Rangga Wibawa, Raras dan beberapa orang prajurit yang menyertainya sampai ke tepian Kali Praga.
Keduanya masih saja teringat, beberapa orang telah mencegatnya di tepian di penyeberangan sebelah Utara itu, meski-pun sebenarnya Sabungsari juga mempunyai kepentingan yang lain.
Dalam perjalanan itu, meski-pun Sabungsari dan Glagah Putih membawa kuda masing-masing, namun kuda itu hanya mereka tuntun saja disaat mereka berangkat.
Perjalanan itu ternyata terlalu cepat bagi Sabungsari dan Raras. Rasa-rasanya sebelum mereka sempat berbicara panjang, mereka lelah sampai di tepian Kali Praga.
Ternyata tidak ada gangguan apa-pun di sepanjang perjalanan sampai ke tepian itu. Bahkan rakit-pun telah hilir mudik sebagaimana biasanya.
Demikianlah, maka Ki Rangga Wibawa, Raras dan ketiga orang prajurit yang menyertainya segera naik keatas rakit yang berada di tepian di sisi Barat untuk membawa mereka ke seberang.
Ketika rakit itu mulai bergerak, maka mereka yang ada diatas rakit itu-pun telah melambaikan tangan mereka sebagaimana Sabungsari dan Glagah Putih.
Semakin lama maka rakit itu-pun menjadi semakin ketengah mengarungi arus Kali Praga yang berwarna kecoklatan itu.
Untuk beberapa saat Sabungsari dan Glagah Putih masih berdiri tegak di tepian. Namun kemudian Glagah Putih berkata, "Mereka sudah mencapai seberang."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun ia-pun kemudian beringsut dari tempatnya.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah melarikan kuda mereka kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Namun di sepanjang perjalanan, Sabungsari memang lebih banyak merenung, sedangkan Glagah Putih yang mengerti perasaan Sabungsari tidak banyak mengganggunya.
Ketika mereka sampai di rumah, mereka-pun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu, bahwa Ki Rangga Wil Raras dan para prajurit telah menyeberang Kali Praga.
Dalam pada itu sebagaimana Sabungsari, Raras-pun lebih banyak berdiam diri. Ia masih saja mengenang Wacana yang masih banyak belum berubah, namun Raras juga selalu dibayangi oleh angan-angannya tentang Sabungsari. Dalam beberapa hari selama ia berada di Tanah Perdikan, Raras serba sedikit dapat mengenal watak dan sifat Sabungsari. Bagi Raras, Sabungsari ternyata bukan seorang yang kasar sebagaimana ia dimedan pertempuran. Tetapi Sabungsari memiliki sifat kebapaan. Bagi Raras yang sedang dililit perasaannya itu, Sabungsari adalah seorang yang dapat melindunginya.
Di mata Raras, Sabungsari memang jauh berbeda dengan Raden Teja Prabawa yang manja dan perajuk. Kepada Raras-pun kadang-kadang Teja Prabawa sempat bermanja-manja. Raraslah yang harus berlaku keibuan di hadapan Raden Teja Prabawa. Bahkan raras kadang-kadang harus memperlakukan Raden Teja Prabawa seperti memperlakukan anak-anak.
Sementara itu ki Rangga Wibawa -pun mau tidak mau harus memikirkan sikap Raras. Bagaimana-pun juga Raras pernah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa sepengetahuan kedua orang tua anak muda itu.
Namun untunglah pembicaraan tentang Raden Teja Prabawa dan Raras itu belum jauh.
Di rumah Nyi Rangga menunggu suami dan anak gadisnya dengan gelisah. Tetapi setiap kali, seorang laki-laki yang sudah lewat separoh baya, pembantu di rumah itu, berusaha menenangkannya.
"Ki Rangga tidak berjalan sendiri. Tetapi ia dikawani oleh tiga orang prajurit pilihan."
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Ia juga tahu bahwa Ki Rangga pergi bersama tiga orang prajurit. Namun setiap kali jantungnya masih saja merasa berdesir.
Karena itu, ketika kemudian Ki Rangga Wibawa dan Raras pulang maka jantungnya serasa disiram air embun yang dingin.
Dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya. Digandengnya Raras naik pendapa dan memasuki pintu pringgitan. Demikian Raras duduk di ruang dalam, maka Nyi Rangga-pun telah menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Tidak saja keselamatannya di perjalanan, tetapi juga tentang keadaan Wacana yang sedang sakit itu.
Raras memang mencoba menjawab semua pertanyaan ibunya. Namun Raras sama sekali tidak menyinggung hubungannya dengan Sabungsari.
Namun ketika kemudian Raras pergi ke pakiwan untuk mandi, Ki Rangga Wibawalah yang telah menceriterakan persoalan hubungan Raras dengan Sabungsari.
Nyi Rangga hanya dapat manarik nafas dan mengelus dada. Tetapi kemudian katanya, "Barangkali hal itu akan menjadi lebih baik kakang."
Ki Rangga mengangguk kecil. Katanya, "mudah-mudahan."
"Jika hati Raras memang sudah terpaut dengan anak muda itu, apa yang akan dapat kita lakukan " Sejak semula kita sudah tidak berniat untuk memperlakukan gadis kita itu seperti kawan-kawannya meski-pun tidak selonggar Rara Wulan. Tetapi kita sepakat untuk tidak mengurungnya dalam pingitan."
"Aku merasa cemas bahwa hal itu akan dapat terjadi lagi alas Raras," desis Ki Rangga.
"Maksud Ki Rangga, bahwa Raras akan meninggalkan Sabungsari dan hinggap pada seorang laki-laki yang lain ?" bertanya Nyi Rangga dengan nada tinggi.
"Aku hanya mencemaskannya Nyi."
"Jika Raras meninggalkan Raden Teja Prabawa itu karena mempunyai alasan yang mapan. Raras memang pernah menyinggungnya dan bahkan pernah menghindari kedatangan Raden Teja Prabawa. Bukankah kita sudah mengetahuinya sebelumnya ?"
"Benar Nyi. Tetapi aku belum pernah berpikir dengan sungguh-sungguh sebagaimana ketika aku melihat sikap Raras terhadap Sabungsari dan sebaliknya. Juga ketika Wacana menyatakan sikap perasaan Sabungsari dan Raras yang seakan-akan masih saling disimpan didalam hati masing-masing."
"Kita tidak usah mencemaskan sikap Raras itu. Ia tentu tidak akan berbuat demikian jika Raden Teja Prabawa bersikap sebagaimana seorang laki-laki yang melindungi perempuan."
"Nyi," desis Ki Rangga, "sepanjang perjalanan aku tidak dapat menghindar dari persoalan Raras. Seakan-akan aku mendapat banyak kesempatan untuk menilainya. Menurut pendapatku, bukankah Raras sudah lama mengenal Raden Teja Prabawa " Disaat-saat ia melangkah memasuki hubungan yang khusus dengan Raden Teja Prabawa, bukankah Raras juga sudah berpikir dan membuat penilaian. Raras adalah kawan baik Rara Wulan, sehingga kesempatannya untuk menilai Raden Teja Prabawa cukup panjang."
"Tetapi ketika terjadi peristiwa yang gawat, barulah kenyataan Raden Taja Prabawa terungkap seluruhnya ?"
"Bagaimana jika ada sesuatu cacat pada Sabungsari yang kemudian diketahui dan tidak disenangi oleh Raras ?"
Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita jangan berpikir terlalu jauh. Kita tidak dapat menuduh bahwa Raras adalah seorang perempuan yang tidak setia. Meski-pun demikian aku tidak berkeberatan jika kita memberinya bekal pengertian tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam satu keluarga. Jika keluarga itu sudah terbentuk, maka kedua belah pihak harus bersedia menerima sisihannya secara utuh. Raras tentu tidak dapat menerima Sabungsari hanya dari sisi yang baik-baik saja. Sabungsari harus bersedia menerima Raras dengan senyumnya tetapi juga dengan tangisnya. Sebaliknya-pun Raras-pun harus menerima Sabungsari seutuhnya pula. Namun itu bukan alasan bahwa kedua belah pihak tidak berusaha untuk saling mendekatkan diri, menguasai nalar dan budinya dalam usaha mereka untuk menegakkan rumah tangga mereka. Apalagi jika mereka sudah mempunyai anak kelak."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku harap kau dapat menyampaikannya. Tentu tidak harus hari ini. Tetapi semakin cepat semakin baik. Hubungannya dengan Sabungsari nampaknya akan berlanjut meski-pun Sabungsari ada di Tanah Perdikan Menoreh. Karena bagi Sabungsari jarak antara Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram tentu tidak terlalu jauh. Berkuda mereka akan dapat melintasi jarak itu dengan cepat. Bahkan pagi-pagi Sabungsari masih makan pagi di Tanah Perdikan Menoreh, maka setelah mengunjungi Mataram ia masih belum terlambat untuk makan siang di Tanah Perdikan Menoreh pula."
"Baiklah kakang," jawab Nyi Rangga, "tetapi sudah tentu tugas untuk membimbing Raras jangan diserahkan hanya kepadku saja. Tetapi beban itu sebagian ada pula di pundak Ki Rangga."
"Aku mengerti Nyi. Tetapi hal-hal yang paling peka menurut sifat kegadisannya, maka sebaiknya kau sajalah yang menanganinya, sehingga tentu akan lebih berarti bagi Raras serta hatinya-pun tentu akan lebih terbuka."
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Mudah-mudahan segala sesuatunya akan berjalan dengan baik bagi semua pihak."
Keduanya-pun terdiam ketika melihat Raras yang sudah mandi lewat langsung ke biliknya. Namun kemudian Ki Rangga berdiri sambil berkata, "Kita akan membicarakannya di kesempatan lain. Aku akan pergi ke gandok. Para prajurit itu aku minta beristirahat di gandok sebelum nanti malam mereka akan kembali ke barak mereka. Aku akan melihat mereka sejenak."
Ki Rangga-pun kemudian telah pergi ke gandok. Para prajurit duduk di serambi gandok menghadapi hidangan yang disuguhkan kepada mereka. Minuman hangat dan beberapa potong makanan. Sementara itu, di dapur telah dipersiapkan pula makan untuk para prajurit yang lelah setelah menempuh perjalanan yang terhitung panjang, apalagi ditempuh hanya dengan berjalan kaki.
Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Wacana telah minta pula kepada Sabungsari, bahwa hubungannya dengan Raras agar dilanjutkan.
"Aku akan merasa lebih berbahagia jika Raras kelak benar-benar dapat menjadi istrimu daripada harus menjadi istri Raden Teja Prabawa. Aku mengenalmu dan mengenal Raden Teja Prabawa dengan baik," berkata Wacana sendat.
Sabungsari mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun kesediaan Sabungsari itu telah membuat hati Wacana menjadi semakin terang. Dengan demikian, maka keadaannya-pun telah terpengaruh oleh karenanya.
Dalam pada itu, karena keadaan Agung Sedayu telah menjadi semakin baik, maka ia-pun sudah memutuskan untuk pergi ke barak pasukannya di keesokan harinya. Ki Lurah Branjangan justru telah mendahuluinya dan sebagaimana sebelumnya ia memilih tinggal di dalam barak itu bersama-sama dengan para prajurit dari Pasukan Khusus. Sebagai perintis pembentukan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan, maka barak itu bagi Ki Lurah telah menjadi rumahnya sendiri.
Selain Agung Sedayu maka orang-orang yang terluka di rumah Agung Sedayu itu-pun sudah menjadi berangsur baik pula. Demikian pula para pengawal Tanah Perdikan. Meski-pun masih ada satu dua orang yang masih harus berbaring di pembaringan sebagaimana Wacana. Tetapi pada umunya mereka telah dapat mulai melatih diri untuk melakukan kerja sehari-hari.
Ketika kehidupan Tanah Perdikan itu mulai pulih kembali, maka berita yang datang dari Mataram justru menggelisahkan. Hubungan antara Mataram dan Pati terasa menjadi semakin jauh. Orang-orang Mataram menjadi kehilangan harapan untuk dapat melihat hubungan antara Panembahan Senapati dengan Adipati Pati menjadi pulih kembali.
Kerukunan yang tercermin pada hubungan antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi tinggal menjadi dongeng saja, karena anak-anak mereka telah menjadi saling menjahui.
Ketika Agung Sedayu telah mulai memimpin pasukannya kembali, maka perintah yang pertama-tama diterimanya adalah mensiagakan pasukannya sebaik-baiknya.
"Pendekatan yang dilakukan oleh Panembahan Senapati masih belum berhasil," berkata salah seorang utusan dari Mataram yang diterima oleh Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan.
"Seberapa dalam luka hati Kangjeng Adipati Pati sehingga kerukunan dan kehidupan yang cerah di masa lalu itu harus dilupakan sama sekali ?" desis Agung Sedayu.
"Mungkin karena landasan berpikir kita terlalu sederhana," berkata Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Kenapa terlalu sederhana ?"
"Yang kita ketahui hanyalah, bahwa Kangjeng Adipati Pati telah meninggalkan Madiun saat pasukan Mataram, termasuk pasukan Adipati Pati merebut Madiun. Kangjeng Adipati begitu saja pergi dan untuk seterusnya hubungannya dengan Mataram menjadi retak. Tetapi kita tidak mengetahui apakah sejak sebelumnya Kangjeng Adipati telah membawa persoalan didalam hatinya, sehingga apa yang terjadi di Madiun itu sekedar percikan api yang menyulut minyak yang sudah tertumpah sejak sebelumnya."
Agung Sedayu mengangguk-anguk. Katanya, "Benar Ki Lurah. Mungkin yang kita lihat hanya permukaannya saja. Seharusnya kita juga melihat kedalaman. Kenapa Kangjeng Adipati Pati menjadi patah arang."
"Banyak persoalan yang membuatnya semakin jauh dari Mataram," desis Ki Lurah kemudian.
"Ya. Kita memang harus melihat dari banyak segi. Kekuasaan Mataram yang berkembang akan mempengaruhi arus perdagangan. Sementara itu, dari sisi yang lain, maka Kangjeng Adipati Pati merasa bahwa kedudukannya tidak lebih rendah dari kedudukan Panembahan Senapati di Mataram dilihat dari segi kehadiran Pati dan Mataram. Bahkan Pati telah lebih dahulu tumbuh dan berkembang," berkata Agung Sedayu.
"Tetapi ada satu kelebihan Panembahan di masa mudanya," berkata Ki Lurah.
"Maksud Ki Lurah ?" bertanya Agung Sedayu.
"Panembahan telah diangkat anak oleh Kangjeng Sultan Pajang."
"Tetapi disamping Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu sebenarnya masih ada putera Kangjeng Sultan," sahut Agung Sedayu.
"Bukankah Pangeran Benawa menolak untuk menggantikan kedudukan ayahandanya?"
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bagaimana-pun juga, yang kemudian memerintah Mataram adalah Panembahan Senapati yang pengaruhnya semakin lama semakin luas.
Demikianlah, maka Agung Sedayu-pun berusaha untuk menjalankan perintah itu sebaik-baiknya. Ia-pun telah memerintahkan para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu mempersiapkan diri. Mereka harus melakukan latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan tubuh mereka lebih banyak dari sebelumnya.
Sementara itu, di rumah Agung Sedayu, anak-anak muda dalam kelompok Gajah Liwung sudah merasa cukup lama berada di Tanah Perdikan. Rumeksa-pun telah menjadi pulih kembali. Demikian pula murid Ki Ajar Gurawa. Karena itu, maka mereka menganggap bahwa tugas mereka di Tanah Perdikan memang sudah selesai.
Karena itulah, maka Ki Ajar Gurawa telah berbicara dengan Sabungsari, apakah yang sebaiknya mereka lakukan.
"Kita sudah dapat kembali ke Mataram," berkata Ki Ajar Gurawa. "Bukankah menurut keterangan Ki Gede sendiri, Tanah Perdikan sudah dapat diamankan seluruhnya " Tidak ada lagi sisa-sisa dari orang-orang perkemahan di seberang bukit. Semua yang dapat dirampas dari mereka sudah menjadi pembicaraan khusus yang akan segera dilaporkan para pemimpin di Mataram."
"Sebaiknya kita minta pertimbangan Glagah Putih dan Agung Sedayu," sahut Sabungsari. Namun kemudian bertanya, "Tetapi aku sendiri ternyata mempunyai beban yang harus aku selesaikan. Aku harus berbicara lebih sungguh-sungguh dengan Ki Rangga Wibawa. Untuk itu aku sudah berjanji, bahwa yang mewakili orang tuaku mungkin Agung Sedayu, tetapi mungkin pula Ki Untara. Tetapi kemudian aku cenderung untuk minta Ki Untara untuk menemui Ki Rangga Wibawa jika Ki Untara bersedia. Karena Agung Sedayu tentu dianggap masih terlalu muda umurnya. Sementara Ki Untara lebih tua, juga karena Ki Untara adalah panglimaku."
Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Katanya, "Sebaiknya kau memang menyelesaikan persoalan pribadimu itu."
"Malam nanti kita berbicara dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Persoalanku dengan Raras memang tidak dapat ditunda-tunda lebih lama lagi."
Ki Ajar Gurawa-pun tersenyum. Katanya, "Glagah Putih mulai lebih dahulu, namun agaknya kau akan berpacu lebih cepat."
Sabungsari mengerutkan dahi. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Maksud Ki Ajar ?"
"Glagah Putih telah lebih dahulu berhubungan dengan Rara Wulan. Namun nampaknya kau akan lebih dahulu memasuki hidup kekeluargaan."
Sabungsari tersenyum pula. Sambil menunduk ia berkata, "Tetapi umurku memang lebih tua dari Glagah Putih."
Ki Ajar tertawa. Katanya, "Ya. Aku berpendapat, bahwa lebih baik kau hidup berkeluarga. Umurmu memang sudah cukup. Bahkan menurut pendapatku, pribadimu memang sudah masak untuk hidup berkeluarga."
"Karena itu, selain kehadiran kawan-kawan dari Gajah Liwung di Tanah Perdikan, maka aku juga akan berbicara tentang persoalan pribadiku," berkata Sabungsari. Namun katanya kemudian, "Sementara itu, hubungan Mataram dengan Pati menjadi semakin hangat. Jika Ki Lurah Agung Sedayu menerima perintah untuk bersiaga sepenuhnya, maka Ki Untara-pun tentu menerima perintah yang sama bagi pasukan Mataram yang ditempatkan di Jati Anom."
Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Dengan bergumam seakan-akan berbicara kepada dirinya sendiri, Ki Ajar itu berkata, "Ya. Tentu pasukan Mataram di Jati Anom juga harus bersiaga sepenuhnya sebagaimana para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan ini."
"Tetapi baiklah. Apa saja pendapat Agung Sedayu dan Glagah Putih menanggapi persoalan pribadiku. Meski-pun aku lebih tua dari mereka, tetapi kedudukan mereka mununtut agar aku mendengarkan pendapat mereka."
Dengan demikian, maka seperti yang direncanakan, maka lewat senja, Sabungsari minta untuk dapat berbicara dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Apakah hanya dengan kami berdua ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak," jawab Sabungsari, "aku tidak berkeberatan jika yang lain juga mendengarkannya. Mungkin dengan demikian aku mendapat lebih banyak pertimbangan yang berarti."
Dengan demikian maka Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa bahkan Sekar Mirah ikut pula duduk di ruang dalam.
"Ada dua hal yang ingin aku bicarakan," berkata Sabungsari, "yang satu hal mengenai kelompok Gajah Liwung dan yang lain adalah tentang kepentingan pribadiku sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sudah tanggap maksud pembicaraan Sabungsari. Meski-pun demikian Agung Sedayu masih menunggu apa yang akan dikatakan Sabungsari selanjutnya.
"Seperti apa yang sudah kami bicarakan dengan Ki Ajar Gurawa agaknya tugas anak-anak Gajah Liwung di Tanah Perdikan ini sudah dapat dianggap selesai. Karena itu, apakah menurut pertimbanganmu, anak-anak Gajah Liwung sudah diperkenankan meninggalkan Tanah Perdikan ini ?"
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Menurut pendapatku, keadaan Tanah Perdikan ini memang sudah menjadi tenang. Meski-pun demikian, maka sebaiknya kita minta waktu kepada Ki Gede untuk menghadap dan bertemu. Jika kalian akan meninggalkan Tanah Perdikan ini, maka kalian akan sekaligus minta diri kepada Ki Gede."
"Tetapi bukankah menurut pendapatmu, tugas kami sudah selesai ?" bertanya Sabungsari.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Menurut pendapatku memang demikian."
"Sementara itu, aku sendiri juga harus minta diri. Aku akan memberikan laporan kepada Ki Untara mengenai persoalan pribadiku. Jika Ki Untara bersedia, maka aku akan mohon Ki Untara mewakili orang tuaku berbicara dengan Ki Rangga Wibawa," berkata Sabungsari agak tersendat. Namun katanya kemudian, "Tetapi jika Ki Untara tidak sempat melakukannya karena tugasnya, maka aku minta agar kaulah yang melakukannya?"
"Aku ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Aku sudah mengatakan kepada Ki Rangga. Salah seorang diantara Ki Untara atau Ki Lurah Agung Sedayu akan mewakili orang tuaku, karena aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi."
"Tetapi apakah aku pantas melakukannya " Umurku tidak lebih tua dari umurmu," jawab Agung Sedayu.
"Mungkin. Tetapi keberadaanmu tentu dapat dianggap lebih tua dari aku," jawab Sabungsari.
"Baiklah," jawab Agung Sedayu, "jika kakang Untara tidak mepunyai waktu, maka biarlah aku menjadi walimu datang melamar Raras."
Orang-orang yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu tersenyum. Bahkan Agung Sedayu sendiri dan Sekar Mirah tertawa pula. Sabungsari juga tertawa, meski-pun sambil menundukkan wajahnya yang menjadi agak kemerah-merahan.
Sementara itu, Agung Sedayu telah minta kepada anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu di hari berikutnya menghadap Ki Gede untuk minta diri. Kepada Ki Ajar Agung Sedayu berkata, "Biarlah Glagah Putih besok pagi menyampaikan permohonan itu. Jika Ki Gede tidak berkeberatan besok sore setelah aku pulang dari barak kita akan menghadap bersama-sama."
"Baiklah," berkata Ki Ajar, "kita akan dapat melanjutkan tugas-tugas kami di Mataram. Namun agaknya tugas kami tidak akan terlalu banyak lagi."
"Meski-pun demikian, kalian harus tetap selalu berhubungan dengan Ki Wirayuda agar kalian tidak mengambil langkah yang justru dapat merugikan kedudukan Ki Wirayuda sendiri."
Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi kami tentu akan kecewa jika kelompok ini sudah akan menyusut. Setidak-tidaknya angger Sabungsari akan mempunyai kesibukan sendiri. Mungkin angger Glagah Putih masih harus masih berada di Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama."
"Tetapi pada saat tertentu aku akan berada diantara anggauta Gajah Liwung," berkata Glagah Putih. Lalu katanya, "Karena menurut pendapatku, untuk sementara kelompok Gajah Liwung sebaiknya masih tetap ada membantu tugas-tugas Ki Wirayuda dengan cara yang khusus."
Dengan demikian, maka tidak ada perbedaan pendapat dan sikap diantara mereka sehingga mereka memutuskan besok sore kelompk Gajah Liwung itu akan mengahdap Ki Gede untuk minta diri.
"Biarlah besok Ki Lurah Branjangan juga aku minta datang untuk bersama-sama menghadap Ki Gede," berkata Agung Sedayu.
Seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya Glagah Putih dan Sabungsari telah pergi menghadap Ki Gede untuk menyampaikan permohonan Agung Sedayu yang akan membawa anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung menghadap.
"Jika Ki Gede berkenan dan t"dak dalam kesibukan," berkata Glagah Putih kemudian.
"Tentu aku tidak berkeberatan," berkata Ki Gede, "aku tunggu kedatangan mereka sore nanti."
Sementara itu, di rumah Agung Sedayu, anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung telah bersiap untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut rencana, besok mereka akan berangkat ke Mataram.
Di sore hari, ketika Agung Sedayu kembali dari barak Pasukan Khusus bersama Ki Lurah Branjangan, maka anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu-pun telah bersiap pula untuk menghadap Ki Gede.
"Aku dan kakang Sabungsari telah menyampaikan permohonan untuk menghadap," berkata Glagah Putih.
"Bagaimana tanggapan Ki Gede ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ki Gede tidak berkeberatan," jawab Glagah Putih.
"Baiklah," Agung Sedayu-pun mengangguk-angguk, "kita akan langsung saja pergi ke rumah Ki Gede."
Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan-pun kemudian membawa anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu ke rumah Ki Gede. Ternyata Ki Gede memang sudah menunggu mereka bersama Prastawa dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah mereka duduk sejenak serta mendapat suguhan minuman dan makanan, maka Agung Sedayu-pun telah menyampaikan maksud mereka menghadap Ki Gede.
"Anak-anak muda ini datang untuk mohon diri, Ki Gede. Tugas mereka di Tanah Perdikan ini sudah selesai. Yang terluka diantara mereka-pun telah sembuh pula," berkata Agung Sedayu.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam Ki Gede berkata, "Tanah Perdikan ini berhutang budi pada kalian."
"Mereka hanya sekedar menjalankan kewajiban," sahut Agung Sedayu.
"Lebih dari itu," sahut Ki Gede, "mereka telah meletakkan beban kewajiban diatas pundak mereka sendiri."
"Itu adalah tanggung jawab mereka, karena mereka memang telah meletakkan dasar perjuangan mereka untuk ikut menegakkan tatanan dan paugeran yang berlaku dalam arti yang luas."
Ki Gede mengangguk-anguk kecil. Namun berkali-kali ia mengucapkan terima kasih kepada kelompok Gajah Liwung itu.
"Apa yang kalian lakukan adalah kepedulian anak-anak muda atas tatanan kehidupan yang luas," berkata Ki Gede kemudian.
Tetapi Agung Sedayu menyahut, "Bukan hanya anak-anak muda Ki Gede. Seorang diantara mereka bukan anak muda."
Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun ia-pun kemudian tersenyum sambil memandang Ki Ajar Gurawa. Katanya, "Maaf, bukan maksudku mengesampingkan yang bukan anak muda lagi."
"He, aku juga masih muda," sahut Ki Ajar Gurawa, "hanya ujud lahiriahnya saja barangkali aku sudah tidak muda lagi."
Mereka yang mendengar jawaban Ki Ajar itu tertawa. Ki Ajar sendiri-pun tertawa pula.
Demikianlah, maka Ki Gede memang tidak dapat menahan mereka lagi. Sebenarnya Ki Gede ingin menunda keberangkatan mereka barang satu hari. Tetapi para anggauta Gajah Liwung itu ternyata sudah terlanjur menentukan hari keberangkatan mereka esok hari.
Namun Ki Gede-pun kemudian berkata, "Tetapi aku tetap mempersilahkan kalian untuk dapat hadir lagi di Tanah Perdikan ini dalam keadaan yang lebih baik. Pada waktunya aku akan mengundang kalian untuk bersama-sama para pengawal Tanah Perdikan bergembira merayakan keberhasilan kita mengusir orang-orang yang berniat jahat itu dari Tanah Perdikan ini. Apa yang kalian lakukan tidak pernah dapat kami lupakan. Kalian telah mempertaruhkan segala-galanya. Bahkan hidup kalian untuk membantu menyelamatkan Tanah Perdikan ini."
"Kami tentu akan datang," sahut Ki Ajar Gurawa, "kapan saja Ki Gede memanggil."
Dalam kesempatan itu, Sabungsari secara pribadi juga minta diri kepada Ki Gede. Ia akan pergi ke Jati Anom untuk menemui Ki Untara, karena sudah lama ia berada di Mataram dan terakhir di Tanah Perdikan Menoreh.
"Tidak ada yang dapat kami katakan selain mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga," desis Ki Gede.
"Tetapi aku tetap akan berada di Tanah Perdikan, Ki Gede," berkata Glagah Putih.
"Sokurlah. Tanah Perdikan ini tidak akan menjadi sangat sepi," desis Ki Gede kemudian.
Selain Ki Gede, maka Prastawa-pun mengucapkan terima kasih pula kepada para anggauta kelompok Gajah Liwung yang ternyata telah memberikan bantuan dan bahkan menentukan bagi keberhasilan Tanah Perdikan Menoreh mempertahankan dirinya.
Di malam terakhir mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh, para anggauta kelompok Gajah Liwung itu telah menjadi tamu dan makan bersama-sama dengan Ki Gede dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga mereka berada di rumah Ki Gede sampai larut malam.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi hari berikutnya, maka para anggauta kelompok Gajah Liwung itu-pun sudah bersiap. Ternyata Ki Gede, Prastawa dan beberapa orang pemimpin pengawal telah hadir pula di rumah Agung Sedayu untuk ikut melepas mereka yang berangkat kembali ke Mataram.
Demikianlah maka ketika matahari mulai memanjat langit, sebuah iring-iringan telah meninggalkan rumah Agung Sedayu. Para anggauta kelompok Gajah Liwung itu telah mendapat penghormatan sebagai upacara terima kasih kepada mereka, karena mereka telah berbuat banyak bagi kepentingan Tanah Perdikan itu.
Ki Lurah Branjangan yang juga hadir sempat berbisik kepada Ki Ajar Gurawa, "Titip anak-anakmu. Jangan biarkan mereka nakal. Agar kehadiran mereka tetap memberi arti bagi orang banyak."
Ki Ajar Gurawa tersenyum. Katanya hampir berbisik, "He, bukankah aku juga sebaya dengan mereka " Kenapa anak-anakku ?"
Ki Lurah-pun tertawa sambil menjawab, "Seharusnya kaulah yang aku titipkan kepada mereka."
Agung Sedayu yang mendengar percakapan itu sempat tertawa pula.
Bagaimana-pun juga kepergian para anggauta Gajah Liwung itu membuat rumah Agung Sedayu terasa sepi. Bahkan Wacana yang masih terbaring di pembaringannya-pun merasa rumah itu menjadi lengang. Rasa-rasanya ia ingin ikut bersama mereka. Tetapi keadaannya masih belum mengijinkannya.
Ketika iring-iringan itu hilang di tikungan, maka Agung Sedayu telah mempersilahkan Ki Gede untuk duduk di pendapa.
Ternyata Ki Gede tidak menolak. Ki Gede, Prastawa, beberapa orang bebahu dan pimpinan pengawal telah duduk di pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak terlalu besar. Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Ki Lurah Branjangan ikut pula menemui mereka.
Kecuali sekali lagi Ki Gede mengucapkan terima kasih, maka Ki Gede-pun telah berbicara pula tentang barang-barang yang berharga yang ditinggalkan oleh orang-orang perkemahan.
"Apakah sebaiknya barang-barang berharga itu kami kirimkan ke Mataram ?"
"Untuk sementara belum Ki Gede. Ki Gede sebaiknya memberikan laporan saja lebih dahulu. Baru kemudian jika ada perintah, maka perintah itulah yang Ki Gede laksanakan," berkata Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu-pun kemudian berkata, "Tetapi persediaan bahan makanan dan lain-lain, tentu dapat Ki Gede pergunakan untuk memberi makan para tawanan sebelum ada penyelesaian, apakah para tawanan itu dibawa ke Mataram, atau diserahkan kepada Pasukan Khusus untuk menyelenggarakan sementara, atau Mataram mengambil kebijaksanaan untuk meneliti apakah diantara mereka ada yang dapat dilepas, dipekerjakan pada tugas-tugas tertentu atau harus dengan ketat disimpan dalam bilik sampai persoalan Mataram dengan Pati terpecahkan."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan membuat laporan yang lebih terperinci. Juga mengenai barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh orang-orang diperkemahan itu. Barang-barang itu sementara ada di rumahku kecuali bahan makanan, senjata dan peralatan penting yang kita ambil dari perkemahan itu berada di banjar."
"Aku kira dengan demikian barang-barang berharga itu akan menjadi aman Ki Gede. Sementara bahan makanan dan peralatan dapat dipergunakan jika diperlukan. Bukankah para tawanan itu harus makan ?"
Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, "Aku lebih senang jika para tawanan itu diambil untuk dibawa ke Mataram. Tetapi jika diserahkan kepada kami, maka kami tidak berkeberatan. Tetapi penyelesaiannya tentu aku serahkan kepada kebijaksanaan Mataram yang memang berwenang."
"Dalam waktu dekat, aku juga akan pergi ke Mataram lagi, Ki Gede. Jika mungkin Prastawa dapat pergi bersamaku," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Ya. Aku cenderung mengirimkannya ke Mataram," berkata Ki Gede. Namun sambil tersenyum Ki Gede berpaling kepada Prastawa dan berkata, "Namun sekarang disela-sela persoalan Tanah Perdikan, Prastawa masih mempunyai persoalan dengan orang tuanya."
"Persoalan apa ?" bertanya Agung Sedayu dengan serta merta.
Ki Gede masih saja tersenyum, sementara Prastawa juga menahan senyumnya sambil menunduk.
"Ia sedang menyelesaikan persoalannya dengan orang tuanya. Semula pilihannya berbeda dengan pilihan orang tuanya. Tetapi nampaknya orang tuanya mulai mengalah, karena Prastwa mengancam untuk menolak semuanya dan akan hidup wadat."
Agung Sedayu-pun tertawa pula. Sementara Ki Lurah Branjangan berkata, "Menunggu apa lagi, ngger, Glagah Putih yang lebih muda sudah bersiap-siap pula. Sabungsari nampaknya sudah mulai memasuki jalan setapak pula."
"Tetapi nampaknya jalan udak terlalu licin bagi Prastawa. Tetapi itu adalah hal yang biasa," berkata Ki Gede kemudian.
"Justru disitulah terasa betapa menggairahkan hidup ini," desis Ki Jayaraga sambil tertawa pula.
Demikianlah beberapa saat kemudian, setelah Sekar Mirah dibantu oleh Glagah Putih menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya, maka Ki Gede-pun telah minta diri. Ketika ia meninggalkan regol halaman, ia masih berdesis, "Pada suatu saat aku akan mengundang anak-anak muda yang baru saja kembali ke Mataram itu."
"Mereka tentu akan datang Ki Gede," sahut Agung Sedayu.
Sepeninggal Ki Gede, Prastawa dan pengiringnya, maka Agung Sedayu dan Ki Lurah-pun segera bersiap-siap untuk pergi ke barak. Kepada yang ditinggalkan di rumah Agung Sedayu berpesan, agar mereka tetap berhati-hati. Mungkin masih ada sesuatu yang tertinggal dalam persoalan yang memang belum tuntas itu.
Dalam pada itu, maka para anggauta Gajah Liwung yang kembali ke Mataram itu-pun segera menempati sarang mereka kembali. Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa tidak menunggu sampai esok untuk menemui dan memberitahukan kepada Ki Wirayuda.
"Baiklah," berkata Ki Wirayuda, "untuk sementara kalian mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tidak ada tugas yang mendesak. Laporan kalian tentang Tanah Perdikan akan menjadi bahan banding dari laporan yang diberikan oleh Agung Sedayu sebagai pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan serta laporan dari Ki Gede Menoreh."
Namun dalam kesempatan itu, Sabungsari telah minta diri kepada Ki Wirayuda untuk kembali ke Jati Anom karena ada persoalan pribadi yang harus diselesaikan.
"Persoalan apa ?" bertanya Ki Wirayuda.
Ki Ajar Gurawa yang menjawab sambil tersenyum, "Sabungsari telah menemukan sesuatu yang akan menjadi sangat berharga dalam hidupnya."
"Maksud Ki Ajar ?" bertanya Ki Wirayuda.
"Bukankah sampai sekarang angger Sabungsari masih jejaka " Nah, dalam tugasnya yang berat, ia menemukan yang sebelumnya tidak pernah diketemukan."
"Maksud Ki Ajar yang berharga dalam batas-batas tataran hidupnya ?" bertanya Ki Wirayuda.
"Ya Ki Wirayuda," jawab Ki Ajar.
Ki Wirayuda tersenyum. Katanya, "Aku mengucapkan selamat."
"Satu kebetulan. Tetapi demikianlah Yang Maha Agung telah memberikan kurnia kepadaku," jawab Sabungsari sambil menunduk.
"Kau harus mensukuri kumia itu," berkata Ki Wirayuda, "dengan demikian maka kau akan menempuh satu kehidupan wajar dalam lingkungan sesama."
"Karena itu, aku ingin menyampaikan hal ini kepada Ki Untara," berkata Sabungsari.
"Tidak seorang-pun yang akan dapat menghalangimu," berkata Ki Wirayuda, "jadi kapan kau akan berangkat ?"
"Dalam satu dua hari ini Ki Wirayuda."
"Salamku buat Ki Tumenggung. Selebihnya aku berdoa agar kau segera dapat menyelesaikan persoalan pribadimu itu."
Sebenarnyalah, bahwa Sabungsari memang sudah bersiap-siap untuk pergi ke Jati Anom. Bukan saja kembali ke induknya sebagai seorang prajurit, tetapi memang ia ingin segera menyelesaikan persoalannya serta memenuhi janjinya kepada Ki Rangga Wibawa.
Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Gede telah memerintahkan untuk meneliti dan menghitung barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh Resi Belahan dan orang-orangnya. Barang-barang berharga yang disiapkannya untuk membeayai perjuangannya yang diperhitungkan akan memakan waktu yang lama. Namun ternyata semua rencananya kandas di tengah jalan.
Apabila semua penelitian dan perhitungan itu sudah selesai, maka Prastawa akan diperintahkan untuk pergi ke Mataram bersama Agung Sedayu, memberikan laporan yang terperinci serta untuk menerima perintah-perintah berikutnya tentang para tawanan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi ternyata Prastawa bukan saja menghadapi tugasnya untuk pergi ke Mataram. Seperti Sabungsari, Prastawa juga terlibat dengan persoalan pribadinya.
Namun karena campur tangan Ki Gede, maka orang tua Prastawa nampaknya berusaha untuk bersikap lebih lunak.
Tetapi Prastawa masih juga menyampaikan keluhan kepada Ki Gede, "Paman. Mungkin persoalannya tidak akan begitu mudah dipecahkan. Masih ada usaha-usaha untuk mempersoalkannya."
Tetapi Ki Gede menepuk bahu kemenakannya itu sambil berkata, "Aku akan membantu memecahkan persoalanmu, Prastawa. Kau masih mempunyai tugas-tugas penting bagi Tanah Perdikan ini, sehingga persoalan pribadimu sebaiknya tidak menghalangi tugas-tugasmu itu. Meski-pun demikian bukan berarti bahwa kau harus menyingkirkan persoalan itu. Tetapi justru sebaiknya segera diselesaikan agar untuk selanjutnya kau menjadi tenang."
Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, tiga orang bebahu yang diawasi langsung oleh Prastawa dengan teliti telah meneliti dan menghitung barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh Resi Belahan. Diantaranya terdapat jenis senjata yang sangat mahal. Keris dengan wrangka yang terbuat dari emas dengan tretes berlian. Timang yang dibuat dari emas dan permata. Perhiasan dan berbagai macam benda-benda berharga yang lain.
Kecuali itu, di banjar masih terdapat berbagai jenis senjata dalam jumlah yang terhitung banyak. Bahkan makanan dan peralatan untuk berbagai macam kepentingan, bahkan bahan pakaian.
Sementara Tanah Perdikan sibuk menghitung benda-benda berharga, maka Sabungsari telah minta diri kepada para anggauta kelompok Gajah Liwung. Sabungsari tidak dapat menunda lagi rencananya untuk menemui Untara. Kecuali untuk memberikan laporan tentang kegiatannya selama ia berada di Mataram, maka Sabungsari juga mempunyai kepentingan pribadi.
Kawan-kawannya memang merasa berat untuk melepaskannya. Tetapi mereka-pun mengerti, bahwa Sabungsari tidak dapat mengorbankan kepentingan pribadinya secara mutlak.
"Aku tentu akan kembali lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama," berkata Sabungsari.
Dengan demikian, maka para anggauta Gajah Liwung yang telah beberapa lama berjuang dengan cara yang khusus itu telah melepas ke berangkatan Sabungsari yang akan menempuh perjalanan ke Jati Anom. Jarak yang memang tidak sangat panjang.
Meski-pun demikian Sabungsari telah meninggalkan tempat tinggal kelompok Gajah Liwung ketika matahari baru terbit.
"Kau akan menempuh perjalanan menentang matahari," berkata Ki Ajar Gurawa.
"Matahari pagi, udara yang cerah dan angin lembut akan membuat perjalananku terasa nyaman," jawab Sabungsari.
"Meski-pun demikian, berhati-hatilah," pesan Ki Ajar.
Sabungsari mengangguk. Katanya, "Kita akan saling mendoakan. Semoga kita masih akan bertemu lagi di kesempatan lain."
"Bukankah kau akan kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama?" bertanya Naratama.
"Aku memang berniat demikian," jawab Sabungsari.
"Bahkan bersama Ki Untara," sahut Rumeksa.
Sabungsari tersenyum. Namun sejenak kemudian ia-pun telah meloncat kepunggung kudanya.
Beberapa saat kemudian, kuda Sabungsari-pun mulai bergerak. Sabungsari masih sempat melambaikan tangannya. Demikian pula kawan-kawannya yang ditinggalkannya.
Sinar matahari pagi mulai menghangatkan tubuh Sabungsari ketika ia meninggalkan pintu gerbang kota. Kudanya yang tegar berlari menyusuri jalan-jalan panjang diantara kotak-kotak sawah yang ditumbuhi oleh batang-batang padi yang hijau.
Ketika kudanya berpacu semakin cepat justru menantang matahari yang menjadi semakin tinggi, maka Sabungsari teringat kepada Swandaru yang tinggal di Sangkal Putung. Ada niatnya untuk singgah. Tetapi dorongan keinginannya untuk segera bertemu dengan Untara telah mengurungkan niatnya itu.
"Kapan-kapan aku dapat pergi ke Sangkal Putung untuk memberikan keterangan serba sedikit tentang Tanah Perdikan. Terutama kepada Pandan Wangi," berkata Sabungsari kepada dirinya sendiri.
Karena itu. maka Sabungsari akan memilih jalan lain yang tidak usah melalui Sangkal.Putung. Karena ada jalan pintas yang lebih dekat, meski-pun menyusuri kaki Gunung Merapi.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka jalan yang ditempuh oleh Sabungsari-pun mulai terasa memanjat naik meski-pun masih landai.
Kotak-kotak sawah dari kejauhan nampak seperti tangga raksasa bersusun di lereng gunung.
Meski-pun demikian sawah-sawah itu sama sekali tidak kekurangan air. Kotak-kotak sawah telah digenangi air yang justru melimpah ke kotak-kotak dibawahnya.
Sabungsari sempat beristirahat sejenak untuk memberi kesempatan kudanya minum dan makan rerumputan segar ditanggul-tanggul parit. Sementara Sabungsari sendiri duduk diatas bongkah-bongkah batu padas sambil memandangi puncak gunung Merapi. Asap yang putih kelabu membubung dari kawah yang selalu bergejolak mengungkapkan panas perut bumi.
Tetapi Sabungsari tidak terlalu lama merenungi Gunung Merapi yang menyimpan tenaga yang tidak terbayangkan. Letusan gunung itu akan dapat menimbulkan malapetaka yang tidak terduga besarnya, menyapu lereng dan dataran yang sangat luas.
Sejenak kemudian, maka Sabungsari-pun telah melanjutkan perjalanannya menuju ke Jati Anom yang berada di kaki sebelah Timur Gunung Merapi itu.
Kedatangan Sabungsari yang tiba-tiba memang mengejutkan. Sabungsari memang tidak langsung menuju ke baraknya. Tetapi ia langsung menuju ke rumah Ki Untara.
Istri Untaralah yang menerima kedatangan Sabungsari itu. Dipersilahkannya ia naik dan duduk di pendapa.
"Kakang Untara ada di barak," berkata istri Untara itu.
"Jika demikian, biarlah aku pergi menemuinya," sahut Sabungsari yang sudah beringsut.
"Duduk sajalah. Biar kakang Untara diberitahu bahwa kau datang," jawab Nyi Untara.
Sabungsari tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa barak yang dimaksud berada di belakang rumah Untara. Bangunan khusus yang dibuat bagi para prajurit, karena rumah Untara yang besar itu tidak dapat menampungnya.
Demikianlah, maka sesaat kemudian Untara telah datang. Sabungsari yang telah lama berada di Mataram itu rasa-rasanya memang seperti tamu yang diperlakukan lain dengan kedudukannya sebagai prajurit.
Untara menerima Sabungsari dengan gembira, sebagaimana ia menerima keluarganya yang sudah lama tidak bertemu. Banyak hal yuang ditanyakan oleh Untara tentang keadaan Mataram dan kuwajiban khusus Sabungsari bersama Glagah Putih dan beberapa orang anak muda yang lain.
Sabungsari memang sempat berceritera panjang, sementara istri Untara menghidangkan minuman dan makanan baginya.
Bahkan Sabungsari-pun telah berceitera tentang peristiwa yang membakar Tanah Perdikan Menoreh. Baik yang dilakukan oleh Ki Manuhara mau-pun Resi Belahan.
Untara mendengarkan keterangan Sabungsari itu sambil mengangguk-angguk. Untara itu dapat membayangkan apa yang lelah terjadi di Tanah Perdikan itu. Bahkan ia dapat membayangkan peranan apakah yang telah dilakukan oleh adiknya, Agung Sedayu.
Akhirnya ceritera Sabungsari merambat pada tingkah laku seorang upahan yang bernama Bajang Bertangan Baja, juga yang disebut Bajang Bertangan Embun. Sabungsari juga berceritera tentang seorang gadis yang telah diambil oleh Bajang Bertangan Baja itu untuk menjadi taruhan, agar Rara Wulan diserahkan kepadanya. Sebenarnya Rara Wulanlah sasaran utama Bajang Bertangan Baja.
Dengan agak terperinci Sabungsari kemudian menceriterakan bagaimana ia sempat membebaskan gadis yang telah diculik itu bersama-sama dengan Agung Sedayu dan kelompoknya yang dinamai kelompok Gajah Liwung.
Untara mendengarkan keterangan Sabungsari dengan seksama. Semula ia menduga bahwa Sabungsari ingin menyatakan kebanggaan akan keberhasilannya. Namun ternyata kemudian dugaan Untara itu salah. Sabungsari sama sekali tidak menceriterakan lebih panjang keberhasilannya. Tetapi yang kemudian diceriterakan adalah persoalan yang timbul kemudian, sehingga akhirnya Sabungsari dengan jantung yang berdebar-debar berceritera tentang dirinya sendiri.
"Aku ingin memenuhi janjiku kepada Ki Rangga Wibawa. Aku akan memberanikan diri mohon Ki Tumenggung untuk mewakili orang tuaku," berkata Sabungsari kemudian dengan kepala tunduk.
"Aku mewakili orang tuamu melamar seorang gadis ?" bertanya Untara sambil tertawa pendek.
"Ya. Aku mohon," jawab Sabungsari hampir tidak terdengar.
Untara justru tertawa lebih keras. Katanya, "Apakah aku tidak terlalu muda untuk mewakili orang tuamu ?"
"Persoalannya tidak saja tergantung pada umur. Tetapi Ki Tumenggung adalah pimpinanku. Senapati dalam kesatuanku," jawab Sabungsari.
"Baiklah. Baiklah. Aku akan pergi," jawab Untara. "Aku akan mendapatkan satu pengalaman baru."
Namun Ki Untara tidak dapat menahan tertawanya.
Ternyata bahwa Sabungsari tidak dapat menunda persoalannya sampai esok. Katika ia mendengar Untara menyanggupinya, maka dengan nada dalam ia berkata, "Terima kasih Ki Tumenggung. Nanti malam aku akan dapat tidur nyenyak."
"Kapan menurut pendapatmu aku datang menemui Ki Rangga Wibawa ?" bertanya Untara.
"Terserah Ki Tumenggung. Akulah yang harus menyesuaikan diri," jawab Sabungsari.
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan memberitahukan, kapan sebaiknya aku pergi ke Mataram. Sebaiknya tentu dalam waktu singkat. Jika waktunya tertunda-tunda, maka akan dapat terdesak dengan satu kepentingan yang lebih besar lagi."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun kemudian bertanya, "Maksud Ki Tumenggung ?"
"Aku sudah mendapat perintah untuk bersiaga sepenuhnya. Agaknya persoalan antara Mataram dan Pati justru menjadi semakin panas," desis Untara.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Ki lurah Agung Sedayu juga sudah menerima perintah seperti itu."
"Aku-pun sudah menduga, karena perintah ini dikirimkan kepada semua pimpinan kesatuan Mataram dimana-pun pasukan itu berada. Bahkan aku sudah mendapat perintah untuk menyebarkan perintah ini kepada semua lingkungan yang memiliki kemampuan keprajuritan seperti Sangkal Putung yang pernah ikut serta dalam lawatan keprajuritan ke Timur. Demikian pula Kademangan-kademangan lain yang memungkinkan. Karena pada saat yang diperlukan, bukan hanya prajurit sajalah yang akan turun ke medan perang, karena kuwajiban untuk mempertahankan diri dibebankan kepada semua orang. Terutama laki-laki."
Sabungsari mengangguk-angguk, sementara Untara berkata, "Adalah kebetulan bahwa kau datang hari ini. Disamping kesediaanku pergi ke Mataram, maka aku minta kau besok pergi bersamaku ke Sangkal Putung. Selain menyampaikan perintah Ki Patih Mandaraka atas nama Panembahan Senapati, maka ada baiknya kau menyampaikan kabar tentang Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah Pandan Wangi itu anak Ki Gede Menoreh yang mempunyai hak mewarisi Tanah Perdikan itu ?"
Sabungsari mengangguk sambil menjawab, "Aku tentu akan bersiap melakukannya. Bahkan hampir saja aku singgah di Sangkal Putung ketika aku menempuh perjalanan dari Mataram tadi. Untunglah aku telah mengurungkannya."
"Jika demikian maka kau dapat beristirahat sekarang Sabungsari," berkata Untara. Namun ia kemudian masih bertanya, "Apakah kemudian kau masih akan kembali kedalam kelompok Gajah Liwungmu itu ?"
"Saat ini tidak ada tugas-tugas tertentu yang harus segera dilakukannya," jawab Sabungsari.
"Baiklah. Nanti segala sesuatunya akan dapat dipertimbangkan lagi. Tentu juga dengan pertimbangan bahwa semua kesatuan harus bersiap menghadapi segala kemungkinan dalam hubungannya dengan Pati," berkata Untara kemudian.
Demikianlah, maka Untara-pun telah mempersilahkan Sabungsari untuk pergi ke barak. Sudah lama ia tidak bertemu dengan kawan-kawannya.
Sambil meninggalkan pendapa rumah Untara, maka Sabungsari telah menganyam satu masa depan yang manis. Namun demikian, melintas juga ingatannya tentang tajamnya ujung senjata jika persoalan antara Pati dan Mataram menjadi tak terkendali.
Kedatangan Sabungsari disambut dengan gembira oleh kawan-kawannya. Pada umumnya kawan-kawan Sabungsari mengerti akan tugas khusus yang dibebankan kepadanya. Tetapi mereka tidak tahu pasti apakah yang harus dilakukannya.
Namun Sabungsari masih belum menerima perintah apa-pun juga. Apakah ia harus kembali masuk kedalam kesatuannya atau masih diperintahkan untuk kembali ke Mataram sebagaimana ditanyakan oleh Untara atau perintah-perintah lain. Namun besok Sabungsari harus menyertai Untara pergi ke Sangkal Putung.
Seperti yang direncanakan, maka keesokan harinya, Untara telah memanggil Sabungsari untuk segera pergi ke Sangkal Putung. Selain Sabungsari, Untara juga telah memerintahkan dua orang prajurit untuk menyertainya pula.
Jarak dari Jati Anom ke Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Karena itu, maka mereka tidak memerlukan waktu yang lama di perjalanan.
Sabungsari sempat tersenyum ketika mereka melewati sebatang pohon randu alas. Agung Sedayu pernah berceritera, betapa ngerinya saat-saat ia harus melewati jalan itu diwaktu mudanya.
"Pohon randu alas itu memang sudah tua sekali," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Ternyata Untara-pun sedang mengenang adiknya yang ketakutan jika lewat dibawah pohon randu alas itu. Apalagi di malam hari. Batang randu alas yang besar seakan-akan telah berubah menjadi sosok hantu yang besar bertangan seribu tetapi hanya bermata satu.
Hampir diluar sadarnya Untara berkata, "Agung Sedayu menjadi ketakutan jika ia membayangkan sosok hantu bermata satu."
Sabungsari-pun tersenyum. Katanya, "Agung Sedayu masih sering mengenang masa mudanya yang sulit itu."
Untara mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia sudah tidak tersenyum lagi. Bahkan mulai terbayang, bagaimana ia mengalami kesulitan di perjalanan ketika ia bertemu dengan Alap-alap Jalatunda dan pande Besi Sendang Gabus. Orang-orang yang menjadi pengikut Macan Kepatihan.
Untara juga membayangkan orang yang menamakan dirinya Tanu Metir yang telah menyelamatkannya yang kemudian telah menjadikan Agung Sedayu dan Swandaru muridnya.
Untara menarik nafas dalam-dalam ketika kudanya mendekati Kademangan Sangkal Putung. Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata, "Kita sudah hampir sampai. Kau sajalah nanti yang berceritera tentang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jangan membuat Pandan Wangi gelisah."
Sabungsari mengangguk sambil menjawab, "Baik Ki Tumenggung."
"Sebaiknya jangan panggil aku Ki Tumenggung di Sangkal Putung," berkata Untara.
"Kenapa " Bukankah Ki Untara telah mendapat anugerah pangkat Tumenggung dan berhak menyandang sebutan itu ?" bertanya Sabungsari.
"Tetapi tidak usah disebut-sebut di Sangkal Putung. Kau tahu sifat Swandaru ?"
"Apakah ia tidak mengakuinya ?"
"Bukan tidak mengakui," jawab Untara, "tetapi kadang-kadang ia berpikir aneh. Ia akan dapat menganggap aku sombong dan dengan sengaja memamerkan derajat itu di hadapannya."
"Tetapi ia tidak dapat menolak kenyataan itu," jawab Sabungsari sambil mengerutkan dahinya.
Tetapi Untara tersenyum sambil berkata, "Sudahlah. Aku tidak ingin menyinggung perasaannya. Aku memerlukan kekuatan yang akan dapat aku dapatkan dari Sangkal Putung jika keadaan mendesak. Terutama dalam hubungannya dengan Pati."
Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah maka beberapa saat kemudian, mereka berempat telah memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Sebuah Kademangan yang terhitung besar, melampaui Kademangan-kademangan lain disekitarnya. Bukan saja luas wilayahnya, tetapi juga tingkat kesejahteraannya. Dibawah kerja keras Swandaru dan Pandan Wangi yang mengerti dan mampu menggerakkan peranan perempuan yang ternyata mampu berperan dengan baik di Kademangan Sangkal Putung, maka tataran kehidupan di Sangkal Putung menjadi semakin meningkat.
Perempuan di Sangkal Putung ternyata mampu ikut berperan dalam kehidupan sehari-hari dalam batas-batas kewajaran tatanan. Mereka tidak sekedar lagi menanak nasi dan merawat anak-anak. Tetapi di rumah-rumah tertentu, terdengar alat-alat tenun, yang gemeretak seolah-olah saling menyahut.
Perempuan-perempuan juga memelihara kebun mereka dengan tertib. Pohon buah-buahan dan juga empon-empon yang menjadi bahan utama obat-obatan dan jamu-jamuan, serta bumbu masak dan minuman.
Demikianlah, maka kedatangan Untara dan pengiringnya telah diterima dengan baik di Kademangan. Swandaru yang kebetulan ada di rumah mempersilahkan mereka naik ke pendapa.
Ki Demang yang menjadi semakin tua itu-pun telah ikut menemuinya pula.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, maka Untara-pun segera menyampaikan kepentingannya datang ke Sangkal Putung. Mengemban perintah dari Mataram, maka Sangkal Putung diminta untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
"Bukan hanya Sangkal Putung," berkata Untara, "meski-pun Kademangan-kademangan lain tidak memiliki andalan kekuatan yang memadai."
Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, "Kami tentu akan menjalankan segala perintah. Kapan-pun perintah itu datang, maka kami siap untuk melaksanakan. Jika kami harus berangkat ke medan, maka kami akan berangkat."
"Terima kasih," berkata Untara, "aku yakin bahwa Sangkal Putung akan menjadi bagian yang berarti dari pasukan Mataram sebagaimana yang pernah terjadi."
"Kami menyadari hal itu. Karena itu kami tetap akan menjaga agar para pengawal di Kademangan Sangkal Putung tetap memiliki kesiagaan dan kemampuan yang tinggi. Sebelum, mereka yang menjadi semakin tua harus meninggalkan kelompoknya, maka para remaja sudah dipersiapkan untuk menggantikan mereka. Justru dalam keadaan yang lebih baik."
"Sokurlah," berkata Untara, "meski-pun kita akan selalu berharap bahwa tidak akan terjadi benturan kekuatan antara Pati dan Mataram."
"Setiap orang memang tidak ingin terlibat dalam peperangan. Tetapi jika hal itu harus kita jalani, maka kita tidak akan lain. Kita akan turun kemedan dengan dada tengadah. Apalagi kita yakin bahwa kita tidak bersalah. Agaknya sudah sepantasnya bahwa sekali-sekali Mataram memberi sedikit peringatan kepada Pati."
"Tetapi bagaimana-pun juga Mataram berusaha untuk menempuh jalan lain dari jalan kekerasan. Hanya jika tidak ada kemungkinan lain, maka jalan yang tidak kita inginkan itu terpaksa kita tempuh," jawab Untara.
"Kita tidak usah berpura-pura menjadi orang yang pandai mengendalikan diri. Orang yang berhati lapang dan berbudi luhur. Jika akhirnya perang itu harus terjadi, maka untuk apa kita masih menunda-nunda lagi " Menurut pendapatku, jika alasan sudah cukup kuat, maka kita kerahkan prajurit dan kita pergi Ke Pati."
Namun Ki Demanglah yang menyahut, "Mataram tentu tidak akan tergesa-gesa. Jika ternyata salah langkah, maka kita semua akan menyesal. Sementara itu Mataram dan Pati terikat oleh cikal bakal yang seakan-akan memancar dari satu sumber."
"Jika kita membuat pertimbangan-pertimbangan yang sangat rumit seperti kakang Agung Sedayu, maka setiap kali kita akan kehilangan waktu yang paling berharga. Justru saat benturan kekuatan itu mulai. Karena justru pada saat kita membuat pertimbangan-pertimbangan, saat kita masih memikirkan bahwa kita tidak mau disebut mendahului atau pamrih untuk disebut berbudi luhur serta berdada lapang seluas lautan, maka lawan itu datang untuk memukul kita. Baru setelah wajah kita menjadi merah biru, kita baru menyadari keterlambatan kita."
"Bukan begitu Swandaru," sahut Ki Demang, "kita tetap harus waspada. Tetapi kita tidak harus menurut saja gejolak perasaan kita. Kita harus mempergunakan penalaran."
"Baiklah. Baiklah. Sebenarnya dalam hal ini aku memang hanya menunggu perintah. Tidak lebih," jawab Swandaru.
Namun Untara-pun berkata, "Aku mengerti jalan pikiranmu, Swandaru. Tetapi persoalan yang dihadapi Mataram sekarang benar-benar masih sangat meragukan. Seakan-akan Mataram dihadapkan pada keadaan yang tidak menentu, samar-samar dan tentu saja dilakukan usaha-usaha untuk mendapatkan penyelesaian terbaik. Bukan perang. Tetapi seperti yang aku katakan, jika tidak ada jalan lain apaboleh buat."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Bukankah dengan demikian tugasku hanya mempersiapkan pasukan pengawal Kademangan" Selanjutnya aku tinggal menunggu perintah?"
Hampir saja terlontar jawaban dari mulut Sabungsari. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri, meski-pun rasa-rasanya jantungnya berdetak semakin cepat.
Dalam pada itu, maka pembicaraan mereka telah terhenti sejenak. Pandan Wangi sendirlah yang membawa hidangan ke pendapa.
Demikianlah untuk meletakkan hidangan, maka ia-pun ikut mengucapkan selamat datang serta menanyakan keselamatan tamu-tamunya.
"Kebetulan sekali," berkata Untara kemudian, "selain perintah yang aku emban. Sabungsari juga ingin sedikit berceritera tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Ia baru datang dari Tanah Perdikan itu."
"O," Pandan Wangi mengangguk-angguk, "senang sekali mendengar berita dari Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama aku masih belum sempat mengunjungi ayah dan keluarga di Tanah Perdikan."
Swandarulah yang kemudian berkata, "Ceriterakan. Bagaimana perkembangan Tanah Perdikan itu sekarang."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia mulai Pandan Wangi sempat mempersilahkan tamunya untuk minum. Sejenak kemudian maka Sabungsari lelah menceriterakan apa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan telah diguncang oleh kehadiran orang-orang yang tidak dikenal untuk mengacaukan dan bahkan berusaha untuk menguasai Tanah Perdikan itu. Pertempuran yang keras telah terjadi. Beberapa orang telah menjadi korban dan ter-luka, termasuk Agung Sedayu sendiri.
Swandaru manarik nafas panjang. Katanya, "Berapa kali kakang Agung Sedayu mengalami hal seperti itu. Setiap kali terulang lagi. Dalam pertempuran yang keras ia selalu terluka. Bahkan parah. Sekarang hal itu terjadi lagi."
"Tetapi sekarang keadaannya sudah menjadi baik," berkata Sabungsari. Lalu katanya pula, "bahkan kekuatannya sudah hampir pulih kembali."
"Kakang Agung Sedayu sebenarnya harus tanggap pada keadaan seperti itu yang selalu berulang," berkata Swandaru kemudian.
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menahan diri untuk tidak menjawab.
Sementara itu Pandan Wangi-pun berkata, "Sebenarnya aku juga ingin melihat keadaan Tanah Perdikan sekarang. Jika kakang Swandaru mempunyai waktu, kami akan datang ke Tanah Perdikan Menoreh dalam waktu dekat ini."
"Aku akan mengusahakan waktu itu," sahut Swandaru, "rasa-rasanya aku juga ingin pergi ke Tanah Perdikan. Kecuali melihat keadaan Tanah Perdikan, aku juga ingin berbicara dengan kakang Agung Sedayu."
"Kalian tentu akan disambut dengan gembira," berkata Sabungsari kemudian, "Ki Gede tentu sudah sangat rindu kepada kalian."
"Mudah-mudahan dalam dua tiga hari ini kami dapat pergi," berkata Swandaru yang kemudian berpaling kepada ayahnya, "bukankah ayah tidak berkeberatan jika kami pergi barang sepekan?"
"Tentu tidak," jawab Ki Demang, "apalagi waktu panen baru saja lewat. Sawah sudah ditanami. Rasa-rasanya tidak banyak persoalan akan timbul."
Demikianlah, maka untuk beberapa lama Untara dan Sabungsari masih berbincang dengan Swandaru. Namun rasa-rasanya waktu yang tidak terlalu lama itu sangat melelahkan. Untara dan Sabungsari harus mendengarkan bagaimana Swandaru merasa kecewa terhadap Agung Sedayu yang tidak mempunyai kemauan cukup untuk meningkatkan ilmunya sebagaimana diinginkan oleh gurunya.
"Pada mulanya aku sangat kagum kepada kakang Agung Sedayu. Sebelum ia memilki kemampuan dalam olah kanuragan ia sudah memiliki kemampuan bidik alami yang jarang ada duanya. Kakang Agung Sedayu mampu memanah burung yang sedang terbang. Bahkan memanah anak panah yang meluncur di udara. Juga pada saat-saat kami menapak untuk menyadap ilmu kanuragan. Rasa-rasanya kakang Agung Sedayu banyak memiliki kelebihan. Namun ketika kami sudah dapat dianggap dewasa dalam olah kanuragan, maka kakang Agung Sedayu menjadi malas untuk meningkatkan ilmunya."
"Tentu tidak begitu," Ki Demanglah yang menyahut, "hanya kau sajalah yang tidak mengetahui, apa yang dilakukan oleh angger Agung Sedayu. Seandainya ia setiap hari berada didalam sanggarnya, kau juga tidak melihatnya."
"Tetapi apa yang selalu terjadi atas dirinya ayah " Setiap kali kakang Agung Sedayu tentu terluka jika ia harus menghadapai lawan yang sedikit memiliki ilmu kanuragan. Coba, seingat ayah, berapa kali kakang Agung Sedayu terluka dalam pertempuran."
"Tetapi itu bukan ukuran," jawab ayahnya, "tentu juga tergantung siapakah lawan angger Agung Sedayu itu."
Swandaru memang tidak ingin berbantah dengan ayahnya, sementara Pandan Wangi hanya berdiam diri saja. Sebenarnya ia tidak sependapat dengan suaminya. Tetapi ia-pun tidak ingin berbantah, sehingga Pandan Wangi menganggap bahwa lebih baik ia berdiam diri saja.
Menurut pendapat Pandan Wangi, Swandaru memang sulit untuk melihat kelebihan orang lain, apalagi Agung Sedayu yang tinggal ditempat yang jauh, sedangkan Pandan Wangi sendiri yang istrinya, juga tidak pernah mendapat perhatiannya dalam olah kanuragan. Swandaru seakan-akan tidak melihat kelebihan Pandan Wangi yang mampu menyentuh sasaran sebelum wadagnya langsung menyentuhnya. Ada-pun kepanjangannya, setelah Pandan Wangi mencoba memahaminya, mendalaminya dan mengembangkannya, Pandan Wangi mampu menyerang lawannya tanpa menyentuh dengan wadagnya. Serangan-serangannya dapat mengenai lawannya satu dua jengkal dari jarak wadagnya sendiri, sehingga lawannya akan menjadi terlambat menghindar atau menangkisnya.
Sejak Pandan Wangi mulai mengembangkan gejala ilmunya yang timbul itu, Swandaru terlalu banyak memberikan perhatian. Bahkan ketika Pandan Wangi menjadi semakin mapan dengan kemampuannya itu, Swandaru seakan-akan masih saja tidak berniat untuk mengenalinya.
Apalagi sejak Swandaru sendiri berhasil mencapai tataran setingkat lebih tinggi dari ilmu cambuknya, meski-pun masih belum mampu mendekati kemampuan Agung Sedayu yang sudah sampai kepuncak kemampuan ilmu cambuk sebagaimana dikuasai gurunya, Kiai Gringsing.
Demikianlah, setelah Untara dan Sabungsari cukup lama duduk berbincang sambil minum-minuman dan makan-makanan yang dihidangkan, maka mereka-pun segera minta diri.
"Baiklah," berkata Swandaru, "aku akan melaksanakan perintah Mataram lewat perintah Ki Untara. Aku akan mempersiapkan pasukanku sebaik-baiknya. Setiap saat kami siap untuk menjalankah perintah untuk memasuki medan dimana-pun juga. Namun mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi dalam satu dua pekan ini, karena kami ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Perintah yang sama juga diberikan kepada Agung Sedayu di barak Pasukan Khususnya. Ki Gede Menoreh-pun tentu juga akan mendapat perintah yang sama, sehingga jika hal yang tidak diinginkan itu terjadi, maka kalian juga akan mengetahuinya di Tanah Perdikan, sehingga kalian dapat segera kembali ke Sangkal Putung," berkata Untara.
Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya. Kami akan dapat mendengar perintah yang sama di Tanah Perdikan."
Demikianlah, maka Untara Dan Sabungsari-pun telah minta diri kepada Ki Demang, Swandaru dan Pandan Wangi. Berempat mereka melarikan kuda mereka ke Jati Anom.
Dalam pada itu, untuk sementara maka Sabungsari telah diperintahkan untuk berada di kesatuannya. Meski-pun demikian Untara masih mempertimbangkan beberapa kemungkinan bagi Sabungsari. Apakakah ia akan kembali ke Mataram atau justru akan mendapat tugas lain. Jika Untara kelak pergi ke Mataram, ia akan melihat kemungkinan bagi Sabungsari. Namun Untara mengetahui bahwa Sabungsari mempunyai kepentingan pribadi jika ia berada di Mataram.
Meski-pun demikian, masih ada beberapa kemungkinan bagi Sabungsari, karena hubungannya dengan Raras tidak akan terputus seandainya Sabungsari berada di Jati Anom. Jarak antara Mataram dan Jati Anom tidak sangat jauh. Tidak terpaut banyak dengan jarak antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Namun sebagaimana dijanjikan, Untara harus mempersiapkan diri datang ke Mataram menemui Ki Rangga Wibawa. Sekaligus untuk melihat kemungkinan-kemungkinan bagi tugas Sabungsari selanjutnya. Apakah ia harus kembali ke Mataram atau tidak.
Sementara Sabungsari masih berada di Jati Anom, maka Swandaru dan Pandan Wangi benar-benar telah bersiap untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Meski-pun Swandaru mengetahui bahwa di Tanah Perdikan Menoreh baru saja terjadi pergolakan yang mengguncang ketenangan Tanah Perdikan ini, namun Swandaru sama sekali tidak merasa perlu membawa pengawal.
Karena itu, maka Swandaru akan menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan hanya dengan Pandan Wangi. Mereka telah menitipkan anak mereka kepada keluarga di Sangkal Putung.
Demikianlah di hari yang telah ditentukan Swandaru dan Pandan Wangi telah bersiap untuk berangkat Pagi-pagi sekali keduanya telah berbenah diri. Sebelum matahari terbit maka keduanya telah turun ke halaman, sementara dua ekor kuda telah dipersiapkan pula.
Ki Demang dan beberapa orang keluarga mereka telah melepaskan keduanya sampai ke regol halaman, sementara anak mereka harus dibujuk untuk tidak merengek minta ikut ayah dan ibunya.
Swandaru yang sangat yakin akan dirinya sama sekali tidak merasa perlu membawa satu dua orang pengawal. Bagi Swandaru pengawal justru akan menjadi beban di perjalanan. Jika sesuatu terjadi, maka ia harus melindungi pengawalnya itu.
Namun ternyata keduanya memang tidak menjumpai hambatan di perjalanan. Ketika mereka singgah disebuah kedai menjelang mereka memasuki Mataram, keduanya memang mendapat sedikit gangguan. Tetapi Swandaru dengan cepat mengatasinya.
Beberapa orang anak muda yang melihat Pandan Wangi dalam pakaiannya yang khusus menjadi sangat tertarik karenanya. Apalagi ketika mereka melihat bahwa Pandan Wangi hanya ditemani oleh seorang laki-laki yang bertubuh agak gemuk. Meski-pun Pandan Wangi membawa sepasang pedang namun anak-anak muda itu nampaknya tidak menghiraukannya. Apalagi ada diantara mereka yang juga membawa senjata.
Menurut perhitungan mereka orang yang bertubuh agak gemuk itu tidak akan berbuat banyak, apalagi orang itu justru tidak nampak membawa senjata.
Seorang anak muda yang memang berniat mengganggu Pandan Wangi yang nampak cantik dan segar itu berdesis di telinga kawannya, "Jika orang gemuk itu marah kita akan mempermainkannya."
"Tetapi perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan. Ia membawa sepasang pedang," bisik kawannya.
"Ah, bukankah kita berenam, sementara pedangnya hanya dua," berkata orang yang pertama itu pula.
Kawannya mengangguk-angguk yang lain-pun mengangguk-angguk pula.
Sejenak kemudian, maka anak-anak muda itu mulai mengganggu Pandan Wangi. Dua orang dengan sengaja duduk di sebelahnya sementara yang lain duduk didepannya.
Seorang anak muda yang duduk dekat di sisi Pandan Wangi itu mulai bertanya, "Kalian akan pergi kemana Ki Sanak ?"
Pandan Wangi memang bergeser sedikit, justru mendesak Swandaru. Tetapi anak muda yang duduk di sisinya itu mendesak lagi.
Sikap Swandaru memang berbeda dengan Agung Sedayu. Sifat anak itu bagi Swandaru sudah tidak dapat dimaafkan lagi. Karena itu, maka ia-pun tidak banyak berbicara, ia langsung bangkit berdiri, meloncat mendekati anak muda yang mendesak Pandan Wangi itu. Diraihnya bajunya dan anak muda itu dilemparkannya melewati sandaran lincak bambunya.
Anak muda itu jatuh terlentang. Terdengar ia mengaduh tertahan. Meski-pun demikian, anak muda itu juga berusaha untuk bangkit berdiri. Namun demikian ia tegak, maka Swandaru telah memukul keningnya, sehingga sekali lagi anak muda itu terlempar jatuh. Tetapi ia tidak lagi terlentang. Justru anak muda itu berjerambab mencium lantai.
Kawan-kawannya menjadi marah serentak mereka bangkit berdiri. Ada diantara mereka langsung menarik senjatanya dan siap untuk bertempur.
Pandan Wangi sendiri telah meloncati sandaran tempat duduknya yang memanjang. Demikian pula Swandaru. Tetapi Pandan Wangi masih merasa belum perlu menarik sepasang pedangnya.
Ketika anak-anak muda itu mulai mengepungnya, maka tiba-tiba saja Swandaru telah mengurai cambuknya yang semula tidak dilihat oleh anak-anak muda itu. Dengan kemarahan yang bergejolak didadanya, maka Swandaru-pun telah memutar cambuknya. Sekali hentak, maka lincak bambu panjang itu terpotong menjadi dua.
Betapa terkejutnya anak-anak muda itu. Mereka melihat batang-batang pering wulung yang besar dan kuat yang dibuat sebagai kerangka lincak bambu itu serta galamya sekali, seakan-akan tidak lebih keras dari buah ranti yang masak yang dibelah dengan sebilah pisau yang sangat tajam.
Karena itu, tanpa menghiraukan lagi kawanya yang masih belum dapat bangkit, anak-anak muda itu serentak berlari keluar dari kedai itu.
Swandaru memang akan mengejar mereka. Tetapi Pandan Wangi dengan cepat memegangi lengannya sambil berdesis, "Sudahlah kakang. Mereka tentu tidak akan mengganggu lagi."
"Tetapi mereka harus menjadi jera. Jika lain kali ada orang lain yang singgah di kedai ini bersama istrinya, maka dapat saja mereka mengganggu tanpa ada yang dapat menghalangi."
"Aku kira apa yang baru saja terjadi akan membuat mereka berpikir ulang untuk melakukan hal yang sama," berkata Pandan Wangi.
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kita teruskan perjalanan kita."
Namun keduanya sempat mendekati pemilik kedai yang menjadi gemetar ketakutan. Ia belum pernah melihat sebagaimana apa yang terjadi saat itu. Beberapa batang pering wulung itu rantas terpotong oleh juntai cambuk.
Sambil melemparkan beberapa keping uang Swandaru berkata, "Ambil uang itu untuk membuat tempat duduk yang baru."
"Tidak. Tidak perlu Ki Sanak," suara pemilik kedai itu bergetar, "harganya tidak seberapa."
"Ambil," Swandaru membentak sambil membelalakkan, "kau ambil atau aku putuskan lehermu seperti lincak bambumu itu."
"Baik. Baik Ki Sanak." Orang itu menjadi semakin gemetar ketika tangannya meraih keping-keping uang yang dilemparkan oleh Swandaru.
Demikianlah sejenak kemudian maka Swandaru dan Pandan Wangi itu telah melanjutkan perjalanannya. Sementara itu pemilik kedai yang ketakutan itu berdesis, "Aku telah melihat hantu disiang hari begini."
Sementara itu seorang yang duduk disudut berkata, "Jantungku rasa-rasanya sudah terlepas dari tangkainya."
Seorang yang lebih tua agaknya sudah dapat menguasai gejolak perasaannya. Dengan jantung yang berdebaran ia mendekati anak muda yang terjerambab jatuh menelungkup. Anak muda itu memang sudah berusaha untuk bangkit. Tetapi terasa kepalanya menjadi pening.
"Marilah, duduklah," anak muda itu-pun telah dibantu berdiri dan melangkah beberapa tapak. Kemudian anak muda itu didudukkan pada sebuah lincak bambu.
"Minumlah," berkata orang yang menolongnya.
Anak muda itu minum beberapa teguk. Tetapi matanya masih saja kabur, sementara itu kepalanya merasa pening.
"Lain kali berhati-hatilah," berkata orang yang menolongnya itu.
Anak muda itu mencoba mengangguk. Tetapi kepalanya masih teraa sakit sekali untuk digerakkan.
Sementara itu Swandaru dan Pandan Wangi telah menjadi semakin jauh. Bahkan rasa-rasanya mereka tidak lagi merasa haus.
Mereka tidak berhenti lagi di perjalanan. Kuda-kuda mereka mendapat kesempatan beristirahat saat mereka menyeberang Kali Praga. Sambil menunggu rakit, maka kuda-kuda itu sempat makan rumput di pinggir tepian berpasir.
Kedatangan Swandaru dan Pandan Wangi di Tanah Perdikan Menoreh telah disambut oleh Ki Gede dengan gembira. Ia memang sudah merasa rindu karena anak dan menantunya itu memang sudah terhitung lama tidak datang berkunjung.
"Marilah, duduk saja di ruang dalam," berkata Ki Gede. Setelah menyerahan kuda-kuda mereka kepada seorang pembantu di rumah itu, maka Swandaru dan Pandan Wangi-pun langsung masuk ke ruang dalam.
Setelah Ki Gede menanyakan keselamatan mereka di perjalanan, maka Ki Gede-pun berkata, "Baru saja Tanah Perdikan ini mengalami suatu peristiwa yang telah mengguncang ketenangan hidup para penghuninya."
"Sabungsari telah datang ke Kademangan Sangkal Putung," sahut Pandan Wangi. "Ia telah menceriterakan kejadian yang baru saja mengganggu ketenangan Tanah Perdikan itu, sehingga aku dan kakang Swandaru menjadi sangat ingin berkunjung ke Tanah Perdikan ini."
"Aku gembira sekali menerima kunjungan kalian," jawab Ki Gede. Sejenak kemudian Ki Gede itu-pun berkata pula, "Untunglah bahwa di Tanah Perdikan ini ada angger Agung Sedayu dan beberapa orang kawannya dan para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu, sehingga kami dapat bekerja sama dengan mereka untuk mengatasi kesulitan yang timbul pada saat itu."
"Apakah benar bahwa kakang Agung Sedayu terluka parah ?" bertanya Swandaru.
"Ya. Angger Agung Sedayu memang terluka parah. Tetapi kini keadaannya sudah berangsur baik. Ia sudah melakukan tugasnya sehari-hari sebagai pemimipin prajurit Mataram dan Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Seharusnya kakang Agung Sedayu dapat menghindarinya jika ia mempersiapkan dirinya lebih baik."
"Maksudmu?" berkata Ki Gede.
"Ia masih mempunyai kesempatan yang cukup untuk meningkatkan ilmunya," jawab Swandaru.
"Lawannya waktu itu adalah Resi Belahan," jawab Ki Gede, "seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi."
"Menurut Sabungsari, banyak diantara kita yang terluka," berkata Pandan Wangi mendahului suaminya.
"Ya. Yang terluka dan yang gugur. Resi Belahan memang membawa kekuatan yang besar. Bahkan diantara mereka terdapat orang-orang yang masih berada dalam tatanan kehidupan yang agak ketinggalan dari tatanan kehidupan kita."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, "mudah-mudahan kekerasan seperti yang dilakukan oleh Resi Belahan itu tidak terjadi lagi di Tanah Perdikan ini. Kami disini sudah merasa sangat letih menghadapi kekerasan yang datang dari luar."
"Tetapi sulit bagi kita untuk menghindar sama sekali," berkata Swandaru, "kita memang tidak mencari musuh. Tetapi jika musuh itu datang, maka apa boleh buat."
Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya, "Ya. Kita memang tidak dapat menyerahkan Tanah ini begitu saja kepada siapa-pun juga."
Namun Pandan Wangilah yang kemudian membelokan pembicaraan mereka. Pandan Wangi-pun kemudian menanyakan kehidupan dan kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya.
"Besok aku ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini," berkata Pandan Wangi.
"Sudah banyak perbaikan dilakukan di Tanah Perdikan. Tatanan ke hidupannya menjadi semakin baik," jawab Ki Gede, "ternyata Prastawa mampu berbuat banyak atas Tanah Perdikan ini. Jika semula Agung Sedayu dapat mencurahkan tenaganya bagi Tanah Perdikan ini, sekarang waktunya lebih terikat pada tugas-tugasnya di barak Pasukan Khusus itu. Meski-pun demikian, ia masih menyempatkan diri untuk membantu kami dalam keadaan yang gawat."
"Bagaimana dengan Glagah Putih ?" bertanya Pandan Wangi.
"Anak yang rajin," jawab Ki Gede, "tidak banyak berbeda dengan Agung Sedayu. Sudah beberapa lama ia berada di Mataram. Tetapi pada saat-saat terakhir, ia berada di Tanah Perdikan ini."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Ketika ia melewati jalan-jalan panjang di Tanah Perdikan Monoreh, ia memang sempat melihat tatanan kehidupan yang baik dan mapan. Meski-pun masih dilihatnya rumah-rumah kecil yang bahkan mulai condong, namun rata-rata di Tanah Perdikan ini sudah menjadi semakin baik.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Gede-pun telah mempersilahkan menantu dan anaknya itu beristirahat Sementara Swandaru berniat lewat senja akan pergi ke rumah Agung Sedayu.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi keduanya memang tidak segera dapat beristirahat. Ketika keduanya kemudian duduk di serambi, maka Prastawalah yang telah menemui mereka.
"Apakah kakang dan mbokayu sudah lama berada disini?" bertanya Prastawa yang baru saja datang dari melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan.
"Belum terlalu lama," jawab Swandaru.
Prastawa yang ikut duduk di serambi itu-pun kemudian telah berbincang-bincang panjang dengan Swandaru dan Pandan Wangi sambil menghirup minuman hangat sambil memandangi halaman rumah Ki Gede yang luas. Selebar-lebarnya dedaunan kering yang ditempa angin berjatuhan di halaman.
Seperti masa kanak-kanaknya Pandan Wangi sering memperhatikan dedaunan yang runtuh dari pegangannya. Bersama Sidanti ia sering menyapu halaman yang luas itu.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sidanti sudah tidak ada lagi.
Ketika diluar sadarnya ia berpaling kepada Prastawa, maka ia sama sekali tidak melihat persamaan diantara kedua orang saudara yang menurut gelarnya adalah saudara sepupu itu. Berbeda dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih, yang masih nampak beberapa persamaan di wajah mereka.
Tetapi Pandan Wangi tidak pernah mengatakannya kepada siapa-pun tentang hal itu, karena sitiap kenangan kepada Sindati akan dapat melukai hati ayahnya dan juga di hati sendiri.
Jilid 289 BERUNTUNGLAH bahwa beberapa saat kemudian, ada beberapa orang lagi yang datang menemui mereka. Demikian mereka mendengar bahwa Pandan Wangi dan Swandaru datang, dua tiga orang bebahu telah memerlukan datang untuk sekedar berbincang dengan mereka.
Seperti yang direncanakan, maka ketika senja turun, Swandaru-pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa justru Agung Sedayulah yang telah datang ke rumah Ki Gede. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih.
Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih merasa agak segan ikut menemui Swandaru. Tetapi Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mengajaknya, sementara Glagah Putih tidak dapat memberikan alasan untuk menolak. Jika ia mengatakan keseganannya, maka tentu tidak akan dapat dimengerti oleh Agung Sedayu.
Karena itu, betapa-pun juga, Glagah Putih telah ikut pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.
Karena sudah agak lama mereka sudah saling bertemu, maka pertemuan itu memberikan kegembiraan kepada kedua belah pihak. Pandan Wangi telah memeluk Sekar Mirah sambil berkata, "Kau menjadi semakin segar sekarang Mirah."
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Kaulah yang menjadi semakin cantik."
Mereka-pun kemudian telah dipersilahkan duduk di ruang dalam. Glagah Putih yang juga ikut duduk di ruang dalam sesaat memang merupakan keseganannya.
Wajah Ki Gede memang menjadi cerah. Prastawa yang ikut duduk diantara mereka-pun nampak gembira.
Sejenak kemudian, maka mereka-pun telah saling mengucapkan selamat dan mempertanyakan keselamatan keluarga mereka masing-masing.
Swandaru-pun kemudian mengabarkan, bahwa Sabungsari dan Untara telah pergi ke Sangkal Putung. Selain mengemban tugas, Sabungsari juga sempat memberitahukan apa yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan ini.
"Rasa-rasanya kami tidak sabar lagi menunggu untuk datang kemari," berkata Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Tanah Perdikan ini mendapat tekanan yang sangat berat. Tetapi ternyata Yang Maha Agung masih melindungi kami disini."
"Kakang telah terluka parah?" desis Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk sambil teratawa kecil. Katanya, "Ya. Aku memang terluka. Juga beberapa orang yang lain. Tetapi sekali lagi kami mengucapkan sokur, bahwa kami sudah menjadi berangsur baik. Namun disamping itu, kami-pun harus melepaskan beberapa orang terbaik dari Tanah Perdikan ini."
"Itu wajar sekali," jawab Swandaru.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah terlalu sering mendengarkan Agung Sedayu Agung Sedayu dan Swandaru berbincang. Karena itu, maka ia-pun sudah dapat menduga, apa yang akan dikatakan oleh Swandaru.
Tetapi Glagah Putih justru merasa heran, bahwa Swandaru tidak segera sesorah tentang kelamahan Agung Sedayu. Biasanya Swandaru segera mengajari Agung Sedayu untuk memanfaatkan waktunya sebaik-baiknya sebagai murid utama orang bercambuk.
Namun saat itu Swandaru-pun berkata, "Meski-pun wajar, tetapi tanah Perdikan ini tidak boleh melupakan jasa mereka yang telah gugur."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Demikian pula Ki Gede.
Adalah diluar dugaan Glagah Putih bahwa Swandaru tidak segera menilai kemampuan Agung Sedayu yang baru saja terluka. Tetapi Swandaru telah bercerita tentang keadaan Kademangannya. Namun ceriteranya terputus ketika Sekar Mirah dan Pandan Wangi sibuk berbicara tentang anak Pandan Wangi yang ditinggalkan di Sangkal Putung.
"Alangkah lucunya," berkata Sekar Mirah dengan nada dalam.
Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Sudah beberapa kali Sekar Mirah menyebut-nyebut tentang anak. Bahkan kadang-kadang Sekar Mirah itu merenung sendiri menerawang memandang kejauhan. Anak bagi Sekar Mirah merupakan satu persoalan tersendiri.
"Untunglah ada Rara Wulan di rumah," berkata Agung Sedayu dadalam hatinya, "kehadirannya dapat mengurangi kesepian di hati Sekar Mirah. Meski-pun Rara Wulan tidak dapat dianggap sebagai anak-anak, tetapi Rara Wulan telah memberikan kesibukan tersendiri bagi Sekar Mirah."
Namun agaknya Pandan Wangi-pun melebar kepersoalan-persoalan yang lain yang menyangkut rumah tangganya.
Glagah Putih yang duduk di dekat Prastawa telah mentertawakan dirinya sendiri. Ia tergesa-gesa menduga bahwa sikap Swandaru tentu akan sangat menjemukan.
Namun dalam pada itu, ternyata oleh umurnya yang semakin banyak, serba sedikit terjadi juga perkembangan sikap Swandaru. Meski-pun keinginannya untuk mengatakan ketidak puasannya atas kemampuan Agung Sedayu seakan-akan telah menggelegak sampai kekerongkongannya, namun Swandaru berusaha untuk menahan diri. Ia tidak ingin dalam pertemuan yang terjadi setelah mereka cukup lama berpisah, langsung membersihkan petunjuk-putunjuk bagi kakak seperguruannya itu. Satu hal yang tidak akan dapat dilakukan beberapa tahun yang lewat.
"Aku masih mempunyai banyak waktu," bekata Swandaru di dalam hatinya. Ia-pun sudah dapat mempertimbangkan, bahwa Agung Sedayu tentu akan berkecil hati jika ia memberikan petunjuk-petunjuk kepada kakak seperguruannya di hadapan banyak orang.
Karena itu, maka pertemuan itu merupakan pertemuan yang gembira. Tidak terganggu oleh sikap-sikap yang tidak menyenangkan dari semua pihak.
Namun alam pada itu, tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya kepada adik sepupunya, "Prastawa. Kapan kau akan meninggalkan masa lajangmu" Menurut pendapatku, kau sudah waktunya berkeluarga. Kau sudah melewati usia remajamu. Bahkan kau sudah dewasa penuh.
Prastawa menunduk. Tetapi sebelum ia menjawab, Ki Gede-pun berkata, "Prastawa sudah mulai melangkah turun ke jalan yang menuju hidup kekeluargaan itu."
Pandan Wangi tersenyum sambil berkata, "Sokurlah. Jika kamu berkeluarga, maka tatanan hidupmu akan segera berubah. Kau akan menjadi seorang kepala keluarga."
Prastawa masih saja menunduk. Sementara Ki Gede berkata, "Ada sedikit selisih pendapat dengan orang tuanya. Tetapi mudah-mudahan segera teratasi."
"O," Pandan Wangi termangu-mangu sejenak, "Apanya yang tidak sependapat?"
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Sebaiknya kau tengok pamanmu. Ia jarang sekali keluar jika tidak ada persoalan yang sangat penting. Bahkan ketika di Tanah Perdikan ini terjadi pergolakan, pamanmu sama sekali tidak menampilkan diri. Ia mewakilkan kegiatannya kepada Prastawa."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Ia mengerti, kenapa pamannya tidak lagi mau mencampuri urusan pemerintah di Tanah Perdikan Menoreh meski-pun sebenarnya ia berhak dan berkewajiban. Tetapi bahwa ia pernah tergelincir kedalam satu sikap yang sangat tercela karena sudah memberontak, maka perasaan bersalah itu demikian dalam mencengkam jantungnya.
Namun menurut penglihatan Pandan Wangi bahkan ayahnya Ki Gede Menoreh, Prastawa mempunyai sikap yang sangat berbeda dengan ayahnya. Ia tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh Ki Gede. Dengan bersungguh-sungguh Prastawa ingin mengabdikan dirinya kepada Tanah Perdikan Menoreh, justru untuk menebus dosa yang pernah diperbuat oleh ayahnya.
Dalam pada itu, maka Pandan Wangi itu-pun kemudian berkata, "Baiklah, aku akan bertemu dengan paman."
"Jangan membicarakan persoalan yang menyangkut pemerintahan di Tanah Perdikan ini," desis Prastawa, "setiap kali ayah mendengar persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan di Tanah Perdikan ini, jantung ayah menjadi berdebar-debar. Keringatnya mengalir deras, seperti orang yang baru saja menyelam didalam air, sehingga pakaiannya-pun menjadi basah."
Pandan Wangi mengangguk kecil. Katanya sambil tersenyum, "Aku tidak akan berbicara tentang pemerintahan di Tanah Perdikan ini. Aku hanya akan berbicara tentang umurmu yang sudah dewasa."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Persoalannya justru menjadi rumit."
"Bukankah ayahmu sudah menyetujui pendapatku?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Nampaknya memang demikian," jawab Prastawa.
"Lalu apa lagi?" bertanya Ki Gede.
Prastawa tidak segera menjawab. Namun kepalanya menunduk semakin dalam.
Pandan Wangilah yang kemudian berkata, "Baiklah. Aku besok atau lusa akan mengunjungi paman."
Prastawa nampak menjadi tegang. Namun kemudian ia-pun memandang berkeliling. Agaknya karena banyak orang berkumpul itu, Prastawa menjadi agak segan mengatakannya.
Glagah Putih yang duduk disampingnya, yang sejak semula hanya berdiam diri saja, tiba-tiba berkata, "Kau tidak usah segan. Semakin banyak orang yang mendengarkan persoalanmu, akan semakin banyak pula orang yang dapat memberikan saran kepadamu."
"Ah. Kau tidak mempunyai persoalan serumit persoalanku. Jalanmu agaknya sudah lapang, lurus dan rata," sahut Prastawa.
Pandan Wangi tertawa kecil. Bahkan ia-pun bertanya, "Apakah Glagah Putih sudah mulai menapak kehidup berkeluarga?"
"Ah belum mbokayu," jawab Glagah Putih, "agaknya jalan masih panjang."
"Tetapi nampaknya sudah pasti," sahut Prastawa.
Sekar Mirah tertawa pula. Katanya, "Mudah-mudahan. Menurut gelar lahiriahnya, Glagah Putih memang tinggal menunggu waktu."
"Apa pula masalahmu?" bertanya Glagah Putih tiba-tiba kepada Prastawa.
Tetapi Prastawa ternyata tidak mau mengatakannya. Dengan nada rendah ia berkata, "Sebaiknya mbokayu Pandan Wangi berbicara saja dengan ayah."
"Baik. Baik. Aku akan berbicara dengan paman. Tetapi jika paman tidak juga mengatakan kepada ayah, apakah paman mau mengatakannya kepadaku?"
"Agaknya paman akan mengatakannya," jawab Prastawa.
Pria Bersetelan Coklat 2 Putri Bong Mini 07 Api Berkobar Di Bukit Setan Pendekar Lembah Naga 27
^