Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 26

12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 26


Namun tugas itu harus di jalankan. Pangeran Adipati Anom sendiri menyadari, kenapa harus dirinya yang tampil di medan. Bukan pamannya, Pangeran Mangkubumi atau yang lain.
Ketika saatnya Pangeran Adipati Anom harus berangkat, maka ibunya tidak dapat menahan tangisnya. Dipeluknya Pangeran Adipati Anom yang sudah dipersiapkan untuk memegang tampuk pemerintahan di Mataram kelak, ia benar-benar tidak ingin kehilangan anaknya itu. Betapa mungkin anaknya yang masih sangat muda itu harus berhadapan dengan Kangjeng Adipati yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Yang kemudian dapat dilakukan adalah berdoa, agar perang dapat dicegah, sehingga Pangeran Adipati Anom tidak harus bertempur melawan Kangjeng Adipati Pati.
Sepasukan yang sangat kuat telah siap untuk pergi ke medan perang. Dengan membawa tanda kebesaran yang lengkap, maka Pangeran Adipati Anom turun ke alun-alun diatas punggung kudanya untuk memeriksa pasukan yang akan menyertainya. Berbagai macam rontek dan umbul-umbul, kelebet dan tunggul-tunggul kebesaran, yang mengisyaratkan, bahwa Putera Mahkota Mataram turun langsung menyongsong lawan yang akan menyerang Mataram.
Demikianlah, maka Pangeran Adipati Anom telah dilepas oleh rakyat Mataram dengan doa dan harapan.
Beberapa saat kemudian, maka bendepun telah berbunyi satu kali. Peringatan bahwa semua harus sudah berada ditempat masing-masing. Kemudian bende kedua-pun berbunyi. Semua pasukan siap untuk bergerak. Dan ketika terdengar bende yang ketiga, maka pasukan Mataram yang besar dan megah itu-pun mulai bergerak didahului oleh sekelompok pasukan berkuda.
Ki Patih Mandaraka melepas pasukan itu dengan jantung yang berdebaran. Namum betapa kecilnya, masih juga terselip harapan, bahwa kehadiran Pangeran Adipati Anom di medan, akan mempengaruhi kekerasan hati Kangjeng Adipati Pati.
Sementara itu, pasukan yang telah mendahului perjalan Pangeran Adipati Anom, telah mempersiapkan perkemahan yang akan dipergunakannya di Prambanan.
Ketika pasukan Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Adipati Anom itu mulai berkemah di Prambanan di malam yang pertama, maka untuk bertempur di pagi harinya. Sejak senja, Ki Wirayuda sudah memerintahkan para prajuritnya untuk beristirahat sebaik-baiknya, karena lewat lengah malam mereka harus sudah bersiap unluk memasang gelar. Sehingga saat fajar menyingsing, mereka sudah siap untuk bertempur dalam perang fajar.
Namun pada malam itu juga, pasukan induk Pati telah bergerak pula dari landasan utama yang juga menjadi simpang tiga dari gerak pasukannya.
Ternyata bahwa pasukan Pati memang dipimpin langsung oleh Kangjeng Adipati Pati sendiri.
Sebelum tengah malam pasukan itu sudah melewati Ngaru-aru. Lumbung induk bagi pasukan yang bergerak ke Jati Anom. Namun ternyata pasukan itu tidak berhenti. Pasukan itu bergerak terus didalam gelapnya malam.
Untara telah mendapat laporan tentang gerakan itu. Bahkan hampir setiap saat, ada petugas sandi yang datang kepadanya untuk memberikan laporan tentang gerak pasukan Pati itu.
Untara memang tidak mempersiapkan prajuritnya untuk melawan pasukan induk Pati dalam perang gelar. Untara sadar, bahwa jika ia melakukannya, akan berarti satu kebodohon baginya. Pasukannya tentu akan dihancurkan oleh pasukan Pati yang besar dan kuat.
Karena itu, maka pasukan Untara akan menyerang pasukan Pati pada saat yang tepat dan tidak dalam perang gelar.
Ketika Untara mendapat laporan bahwa pasukan Pati telah melewati Ngaru-aru, maka Untara-pun segera memerintahkan Sabungsari justru pergi ke Ngaru-aru.
"Sudah saatnya kau hancurkan lumbung utama pasukan Pati itu. Meski-pun mungkin Pati akan sempat merampas padi dan jagung di sepanjang jalan, tapi hal itu akan sangat mempengaruhi ketahanan jiwani mereka. Selanjutnya, kalian tahu apa yang harus kalian lakukan. Besok malam kita masih mempunyai kesempatan untuk menghentikan gerak mereka. Meski-pun hanya untuk sehari."
Sabungsari-pun segera bersiap. Beberapa kelompok prajurit yang dipilihnya dengan cermat telah dibawanya serta. Tugas mereka adalah tugas yang cukup berat.
Sementara itu, Untara telah menghimpun prajurit dan para pengawal. Mereka tidak lagi berada di Jati Anom. Tetapi mereka sengaja menyingkir ke Macanan. Sementara itu para pengawal termasuk para pengawal Sangkal Putung, telah berada di Macanan pula.
Dengan cepat Sabungsari bergerak. Karena mereka sudah mengetahui jalur perjalanan pasukan Pati, maka mereka pada menghindarinya. Karena jika mereka berpapasan dengan induk pasukan Pati akan berarti bencana bagi pasukan kecil itu. Bukan itu saja, tugas utama mereka-pun akan gagal.
Di dinihari Sabungsari telah mendekati sasaran. Namun Sabungsari tidak segera berbuat sesuatu. Sabungsari tidak segera bergerak, ia masih memberi kesempatan prajuritnya untuk beristirahat beberapa saat lamanya.
"Menjelang matahari terbit, kita akan menyerang lumbung utama pasukan Pati itu. Tetapi ingat, jangan bermain dengan api. Maksudku, jangan ada yang berusaha membakar lumbung serta persediaan bahan makan yang ada di lumbung itu."
"Tetapi bukankah semuanya harus kita musnahkan?" bertanya salah seorang pemimpin kelompok.
"Ya. Tetapi jangan dibakar. Asap yang membubung dan dapat dilihat dari pasukan Pati akan membuat jantung mereka terbakar pula."
"Tetapi bukankah kita dengan sengaja membuat mereka gelisah dan berkecil hati?" bertanya pemimpin kelompok yang lain.
"Berita tentang hancurnya lumbung itu akhirnya tentu akan mereka dengar. Tetapi jika mereka melihat asap api, maka itu akan dapat mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama. Kita tahu Jati Anom tidak akan dipertahankan mati-matian, karena hal itu memang tidak mungkin dilakukan. Prajurit Mataram yang berada di Jati Anom memang tidak diperintahkan untuk menghentikan atau berusaha mendesak mundur pasukan Pati, karena hal itu mungkin dilakukan. Tetapi yang harus kita lakukan di Jati Anom adalah menghambat dan mengganggu mereka di sepanjang perjalanan mereka dari Jati Anom sampai keperkemahan mereka. Nah, jika mereka mulai membakar rumah-rumah yang ada di Jati Anom, akibatnya tentu tidak akan menyenangkan."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Sabungsari. Namun mereka tidak segera menemukan jalan untuk merusak dan menghancurkan bahan pangan itu.
Namun tiba-tiba Sabungsari bertanya, "Apakah kita harus menghancurkan bahan pangan itu" Yang penting adalah pengaruh jiwani bagi para prajurit Pati, karena mereka akan dapat mengumpulkan lagi, bahkan dengan paksa di daerah-daerah yang mereka lewati. Sehingga pengaruh kewadagan dari rencana perebutan lumbung utama itu hanya merupakan sebagian saja dari tujuan tugas pasukan ini. Karena itu, dengan membongkar dan menghambur-hamburkan isi lumbung ke kotak-kotak sawah yang tergenang oleh air berlumpur, aku kira sudah cukup memadai. Bahan pangan yang terendam air tidak akan dapat dipergunakan lagi. Sedangkan yang masih baik, biar sajalah pada suatu saat dipungut lagi. Tetapi hal itu tidak akan dilakukan oleh prajurit Pati."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti jika orang-orang Pati marah karena persediaan bahan makan dan perbekalan mereka dibakar, maka mereka tentu akan membakar pula rumah-rumah penduduk yang tidak tahu menahu persoalannya. Meski-pun para penghuni padukuhan-padukuhan di sekitar Jati Anom sudah mengungsi, namun jika rumah mereka terbakar habis, maka sesudah perang selesai, mereka akan menderita untuk waktu yang lama.
Karena itu, maka Sabungsari itu sekali lagi memerintahkan, agar para prajurit Mataram tidak membakar lumbung utama itu.
Demikianlah, setelah sempat beristirahat sejenak, maka prajurit Mataram itu-pun segera mempersiapkan diri untuk menyerang menjelang matahari terbit. Dua orang yang mendahului pasukan telah memberikan laporan, bahwa prajurit yang berjaga-jaga di sekitar lumbung utama itu tidak terlalu banyak.
"Apakah jumlah kita memadai?" bertanya Sabungsari.
"Mungkin masih ada prajurit Pati yang tidak dapat kita lihat karena mereka berada didalam rumah atau terlindung oleh lumbung-lumbung bahan makanan. Tetapi menurut perhitunganku, kita akan dapat menembusnya, karena kita mempunyai kesempatan lebih dahulu diluar perhitungan mereka."
Sabungsari mengangguk-angguk. Dengan pasti ia-pun kemudian berkata, "Kita mendekati sasaran sekarang. Sebentar lagi, menjelang matahari terbit, kita akan menyerang."
Dengan sangat berhati-hati pasukan yang dipimpin oleh Sabungsari itu-pun kemudian bergerak mendekati sasaran. Mereka datang dari dua arah yang berbeda.
Pada saat yang sama, pasukan Mataram yang berada di Bulak Amba-pun telah tersusun dalam gelar Garuda Nglayang yang utuh. Ki Tumenggung Wirayuda yang memimpin seluruh pasukan iiu berada di paruh gelar dengan dua orang Senapati pengapit. Ki Lurah Suratapa yang tidak banyak dipergunakan. Sebuah tongkat besi dengan kepala besi baja bulat sebesar kepalan tangan. Beberapa orang prajurit pilihan yang ada di paruh pasukan itu adalah prajurit yang bersenjata pedang dengan perisai di tangan kiri. Kemudian di induk pasukan itu telah bersiap Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, dihawah pimpinan Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara di pangkal sayapnya, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari beberapa Kademangan. Sedang ujung-ujung sayap adalah kelompok-kelompok prajurit pilihan dengan Senapatinya masing-masing.
Ketika bayangan fajar mulai nampak di langit, maka gelar pasukan itu-pun mulai bergerak ke arah perkemahan para prajurit dari Pati.
Dalam pada itu, maka para prajurit Pati-pun telah bersiap pula. Ternyata mereka-pun telah menyusun gelar yang utuh pula. Dengan jumlah prajurit yang lebih banyak, maka Pati telah menyusun gelar Wulan Punanggal dengan beberapa lapis pasukan di induk gelarnya.
Ki Tumenggung Wirayuda yang mendapat laporan tentang gelar lawan, telah mengirimkan pesan kepada kedua Senapati yang berada di ujung sayap. Ki Lurah Semita dan Ki Rangga Pakis Aji. Dua orang perwira yang memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain.
"Berhati-hatilah dengan ujung-ujung sayap gelar lawan. Kedudukan kalian menjadi semakin penting, karena kedua ujung sayap gelar ini akan berhadapan langsung dengan kedua ujung sayap gelar lawan."
Ki Lurah Semita dan Ki Rangga Pakis Aji menyadari pentingnya pesan itu. Jika saja lawannya mempergunakan gelar Gajah Meta atau Cakra Byuha atau bahkan Gedong Minep, maka kedua ujung sayap itu akan dapat menusuk lambung gelar lawan. Tetapi ternyata lawan juga mempergunakan gelar menebar sehingga ujung-ujung sayap kedua gelar itu akan bertemu sebagaimana induk pasukan.
Namun kedudukan induk pasukan-pun akan menjadi gawat pula. Pada gelar Wulan Punaggal, maka barisan lawan akan berlapis di induk pasukan. Bahkan gelar lawan akan memungkinkan membuka anak gelar di pasukan induknya dengan gelar Jurang Grawah yang mampu menghisap lawan dan kemudian menenggelamkannya.
Tetapi para prajurit di induk pasukan adalah prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang tentu tidak akan mudah terpancing oleh gelar yang sudah dipahami sebelumnya.
Tetapi Ki Tumenggung Wirayuda masih juga memperingatkan kepada Agung Sedayu dan para pemimpin kesatuan di pangkal sayap, agar tidak mudah terpancing oleh dugaan bahwa pertahanan lawan menjadi lemah. Karena demikian para prajurit dan pengawal menusuk masuk kedalamnya, maka kelemahan itu akan menjadi pintu yang dapat terkatub sehingga para prajurit dan pengawal itu akan terbenam dalam kemantapan pasukan lawan dibalik kelemahan yang semua itu.
Demikianlah kedua gelar itu-pun telah bergerak maju. Pati ternyata tidak mau digertak oleh pertanda kebesaran pasukan Mataram. Dalam gelar Wulan Punanggal. Pati-pun telah memasang pertanda kebesaran pada setiap kesatuan Rontek, umbul-umbul dan kelebet yang dipasang di tunggul-tunggul.
Ketika kedua gelar pasukan itu berderap saling mendekat, maka perhatian para prajurit dan pengawal telah terpusat pada gelar lawan serta kemungkinan yang bakal terjadi, sehingga mereka tidak menghiraukan lagi, apa yang ada dibawah kaki mereka. Mereka tidak menghiraukan batang-batang padi yang subur, pematang dan parit. Juga semak-semak berduri di padang perdu.
Kedua pasukan dalam gelar yang utuh itu semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara langit-pun menjadi merah sebelum darah mulai tertumpah.
Sementara itu, pasukan Pati telah mendekati Jati Anom. Perjalanan sebuah pasukan yang besar itu agaknya memang lebih lambat dari pasukan kecil yang dipimpin oleh Sabungsari.
Ketika kemudian pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Kangjeng Adipati itu berhenti sebelum memasuki Jati Anom, untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan kesiapan pertahanan pasukan Mataram, maka Sabungsari telah bergerak dengan cepat menyerang para prajurit Pati yang berada di Ngaru-aru.
Serangan yang datang dengan tiba-tiba itu sangat mengejutkan. Para prajurit Pati menyadari hadirnya pasukan Mataram, ketika mereka mendengar aba-aba dekat di sisi telinga mereka.
Dengan tergesa-gesa prajurit Pati yang bertugas menjaga lumbung utama prajurit Pati itu bersiap dan menyongsong kehadiran lawan. Namun para prajurit Mataram telah memegang kesempatan pertama, sehingga sempat membuat para prajurit Pati terkejut dan kehilangan waktu sesaat.
Namun para pemimpin kelompok prajurit Pati itu segera menyadari keadaan. Mereka-pun dengan cepat mengambil sikap serut meneriakkan aba-aba bagi para prajuritnya.
Pertempuran-pun segera terjadi dengan sengitnya. Karena para prajurit Mataram sempat memasuki lingkungan lumbung utama itu, maka pertempuran-pun terjadi dalam suasana yang kalut.
Tetapi berbeda dengan kehadiran pasukan Mataram yang pertama, maka saat itu Sabungsari datang bersama prajurit-prajuritnya dalam kelengkapan keprajuritan yang utuh. Setiap orang telah mengenakan pakaian serta ciri-cirinya sebagai prajurit Mataram.
Sementara itu, diarah Utara Mataram, pasukan yang dipimpin oleh Ki Wirayuda telah berhadapan langsung dengan pasukan Pati. Jarak mereka menjadi semakin dekat, sementara langit-pun menjadi terang.
Demikian cahaya matahari mulai menyentuh rontek, umbul-umbul dan kelebet yang terpasang pada tunggul-tunggul kebesaran. Ki Tumenggung Wirayuda telah memberi isyarat kepada para Senapati pengapitnya. Jarak mereka tinggal beberapa ratus langkah saja. Mereka akan segera berbenturan dan ujung-ujung senjata-pun akan menjadi merah.
Dalam pada itu, maka telah terdengar perintah dari Senapati perang Pati yang memimpin gelar Wulan Punanggal. Sambil mengangkat pedangnya, maka Senapati itu telah memerintahkan pasukannya bergerak semakin cepat.
Demikianlah, maka senjata-pun segera merunduk. Pasukan Pati itu-pun bergerak dengan cepat maju dalam gelar yang melebar.
Ki Tumenggung Wirayuda dengan cepat tanggap, la-pun segera memerintahkan pasukannya untuk menyongsong lawan yang tinggal berada pada jarak beberapa ratus langkah.
Namun perintah dari Senapati Pati itu masih saja terdengar mengumandang. Sahut-menyahut dan sambung-menyambung dari mulut para pemimpin kelompok yang ada dalam pasukan itu.
Ki Tumenggung Wirayuda justru menjadi curiga. Itulah sebabnya ia justru memperlambat gerak pasukannya, ia segera justru memperlambat gerak pasukannya. Ia segera memberi isyarat kepada pasukannya untuk memperlambat geraknya.
Kecurigaan Ki Tumenggung itu beralasan. Pada jarak beberapa ratus langkah, ia melihat gerak yang aneh pada gelar lawan. Apalagi sejak semula, ia melihat gelar lawan yang melebar itu meski-pun nampak utuh, tetapi tidak sempurna. Ia tidak melihat ujung-ujung gelar lawan bergerak mendahului induk pasukannya, tetapi gelar itu justru nampak terlalu datar. Dan bahkan semakin lama semakin datar. Ki Tumenggung juga tidak melihat kekuatan yang besar berada di ujung-ujung gelar lawan. Bahkan menilik pertanda kebesaran, rontek, umbul-umbul dan kelebet, pasukan yang kuat tidak terdapat di ujung-ujung gelar.
Dalam keadaan yang gawat itu, maka pasukan Mataram itu menyaksikan, gelar lawan tiba-tiba saja berubah. Gelar Wulan Punanggal itu nampaknya seolah-olah telah berbaur dan menyempit. Namun kemudian gelar itu bagaikan penghambur laju menuju kegelar lawan.
Ki Tumenggung Wirayuda dan para prajurit Mataram terkejut. Lawan mereka ternyata telah dengan sengaja memanfaatkan keterkejutan prajurit Mataram. Gelar Wulan Punanggal itu-pun segera berubah menjadi gelar Gajah Meta.
"Satu gerakan yang manis," berkata Ki Tumenggung betapa-pun hatinya terhentak dan kemarahan membakar jantungnya.
Tetapi Ki Tumenggung sama sekali tidak berniat merubah gelarnya. Namun ia harus menanggapi perubahan gelar induk pasukannya tidak dihancurkan oleh Gelar Gajah Meta yang memusatkan serangannya pada sasaran yang dipilih.
Kepada Senapati Pengapitnya Ki Tumenggung berkata, "Masukan itu harus menjadi lentur. Jangan bertahan. Beri kesempatan kepada sayap pasukan untuk mengambil sikap."
Perintah itu segera sampai ketelinga Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu-pun segera memerintahkannya kepada prajurit-prajuritnya, agar mereka bertempur dalam gerak yang lentur.
"Kemenangan tidak terletak di saat pertempuran dimulai. Tetapi pada saat pertempuran diakhiri," berkata Agung Sedayu kepada para pemimpin kelompoknya lewat para penghubung.
Sementara itu, para penghubung-pun dengan tergesa-gesa telah menyampaikan perintah Ki Tumenggung Wirayuda kepada pata Senapati di sayap pasukan dan diekor gelar, agar tanggap pada keadaan.
Para Senapati di ujung sayap gelar Garuda Nglayang mengerti maksud Ki Tumenggung Wirayuda dengan pesannya. Mereka-pun segera berusaha untuk menempatkan diri dalam kedudukan sebagaimana mereka menghadapi gelar Gajah Meta yang memusatkan sasarannya pada bagian tertentu gelar Garuda Nglayang itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka kedua getar itu-pun telah berbenturan. Gelar Gajah Meta yang menempatkan kekuatan terpilihnya pada ujung belalai dan dua ujung gadingnya, telah langsung menyergap induk gelar Garuda Nglayang.
Untuk menghadapi gelar itu, maka Agung Sedayu telah mempersilahkan Ki Tumenggung Wirayuda pada kedudukan yang sebenarnya bagi seorang Panglima yang memimpin gelar itu. Agung Sedayu telah mempersilahkan Ki Tumenggung Wirayuda untuk berada di bagian kepala gelarnya, sementara Agung Sedayu telah menempatkan diri di paruh gelar.
Ki Tumenggung Wirayuda yang mengenal Agung Sedayu dengan baik serta mengenal kemampuannya yang sangat tinggi, tidak menolak. Sementara itu, ia telah memerintahkan kedua Senapati Pengapitnya untuk menahan gerak maju kedua ujung gading gelar lawan.
Namun sekali lagi Agung Sedayu sempat memperingatkan agar pasukannya itu bertempur dalam gerak yang lentur untuk menghindari benturan yang keras dengan gelar lawan yang sangat kuat dan jumlah yang lebih banyak itu.
Benturan kedua gelar itu memang menggetarkan. Prajurit Pati yang merasa jumlahnya lebih banyak, serta menganggap bahwa perubahan gelarnya dapat membingungkan pasukan Mataram, telah dengan dada tengadah menempuh induk pasukan gelar Garuda Nglayang.
Ternyata arus serangan gelar lawan yang menyempit itu memang mampu mengguncang pertahanan pasukan Mataram. Tetapi seperti yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung Wirayuda, maka pasukan Mataram bertempur dalam kedudukan yang lentur. Itulah sebabnya, maka induk pasukan Mataram tidak membendung serangan pasukan Pati seperti bendungan yang menahan arus banjir bandang yang melanda. Cara yang demikian akan dapat membuai bendungan itu pecah.
Karena itu, maka Agung Sedayu dan Pasukan Khususnya telah memberikan isyarat untuk benahan sambil bergerak surut.
Para prajurit Pati yang menghantam gelar lawan dengan sepenuh kekuatan, segera bersorak. Mereka yakin akan segera dapat memecah pasukan Mataram yang dalam saat yang pendek telah dapai didesak mundur.
Sebenarnya harga diri para prajurit Mataram telah tergetar. Namun sebagai seorang prajurit mereka harus menempatkan diri dalam keuntungan. Meski-pun secara pribadi mereka sama sekali tidak berniat bergerak mundur, tetapi isyarat telah diberikan. Merekapun teringat pesan Agung Sedayu, bahwa kemenangan sebuah pertempuran tidak terletak pada bagian permulaan. Tetapi pada saat pertempuran itu berakhir
Dalam pada itu, para pengawal yang berada di pangkal sayap dan bahkan gelar, telah menyesuaikan diri. Bahkan serangan lawan dalam gelar yang lebih sempit dan padat itu merupakan tekanan yang berat pada pangkal sayap gelar Garuda Nglayang. Sehingga gerak mundur dari gelar itu dalam keseluruhan akan memberikan kesempatan para cngawal di pangkal sayap itu untuk berbenah diri.
Dalam pada itu maka Ki Lurah Suratapa dan Ki Lurah Uwangwung telah bergerak ke pangkal sayap yang justru harus berhadapan lengan ujung-ujung gading gelar Gajah Meta yang juga disebut gelar Dirada Meta itu.
Namun gelar Garuda Nglayang itu masih saja harus bertempur sambil bergerak mundur.
Tetapi kedua ujung sayap gelar Garuda Nglayang yang tidak langsung berhadapan dengan lawan, karena gelar lawan yang sempit tidak mundur secepat gerak induk pasukannya. Ujung-ujung gelar itu justru membuat gerakan seolah-olah sayap seekor burung yang sedang berlaga. Kedua sayap itu-pun kuncup dan langsung menghantam lambung gelar Dirada Meta.
Gerak inilah yang pernah disebut-sebut Ki Tumenggung Wirayuda ketika ia mengatur gelarnya. Ki Tumenggung justru memperingatkan bahwa lawannya akan bertempur dengan gelar yang melebar sebagaimana gejar Garuda Nglayang. Waktu itu Ki Tumenggung menganggap kedudukan ujung sayap itu menjadi sangat penting. Namun pada waktu itu, para Senapati di ujung sayap itu-pun telah memikirkan kemungkinan untuk menyerang lambung jika lawan mempergunakan gelar yang sempit.
Ternyata gelar lawan mereka telah berubah. Karena itu, maka serangan lambung itu kembali menjadi pilihan.
Serangan kedua ujung sayap itu ternyata memang sudah diperhitungkan. Lambung gelar Gajah Meta itu telah dilapisi dengan kekuatan yang bukan saja besar dari segi jumlah, tetapi juga dengan prajurit yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Namun ujung-ujung sayap gelar Garuda Nglayang itu terdiri dari prajurit-prajurit pilihan itu. Demikian burung Garuda itu menggeliat dan mengatupkan sayapnya, maka pasukan Pati itu mulai merasa mendapat perlawanan yang berat.
Serangan prajurit Mataram atas lambung gelar Gajah Meta itu benar-benar berpengaruh atas gerak maju pasukan Pati. Karena belalai dan ujung-ujung gadingnya masih saja bergerak maju, sementara pasukan lambungnya harus bertahan, maka gelar Gajah Meta itu-pun menjadi semakin sempit.
Tetapi Senapati tertinggi pasukan Pati itu dengan cepat mengambil sikap, ia mulai mengendalikan gerak maju pasukannya. Sementara itu ekor gelar Gajah Meta itu harus dengan cepat mengisi kekosongan sehingga gelar itu akan tetap menggelembung.
Namun bagaimana-pun juga benturan kedua gelar itu telah memberikan kesan, bahwa gelar pasukan Mataram telah terdesak mundur sehingga para prajurit Pati merasa berhasil mengejutkan prajurit Mataram dengan permainan gelar.
Tetapi gerak lentur gelar pasukan Mataram itu ternyata telah berhasil memelihara keutuhannya di induk pasukan. Kepala dalam gelar Garuda Nglayang itu tidak terpecah oleh hentakan kekuatan gelar Dirada Meta yang garang itu, meski-pun harus bergerak mundur dan mundur lagi. Tetapi bukan berarti bahwa pasukan Mataram tidak memberikan perlawanan yang berarti.
Sambil bergerak mundur, Agung Sedayu serta pasukan khususnya telah membuat lawan mereka menjadi geram. Meski-pun pasukan Mataram itu terdesak mundur, tetapi perlawanan yang diberikan lelap menunjukkan tataran kemampuan yang tinggi.
Kekuatan dan kegarangan serangan gelar Dirada Meta itu tidak membentur perlawanan yang keras. Tetapi justru karena pasukan Mataram itu bergerak mundur, maka benturan itu memang tidak terasa menyakitkan bagi gelar pasukan Mataram.
Sementara itu, ujung-ujung gelar Garuda Nglayang yang menyerang lambung gelar lawan itu mulai menunjukkan kekuatan prajurit Mataram yang sebenarnya. Prajurit Mataram dibawah pimpinan Ki Lurah Semita dan Ki Rangga Pakis Aji adalah prajurit pilihan. Sementara itu, prajurit terbaik Pati berada di belalai dan ujung-ujung gadingnya. Meski-pun kemungkinan serangan ujung-ujung sayap gelar lawan sudah diperhitungkan dengan memasang prajurit-prajurit yang juga berpengalaman di lambung gelar, tetapi ternyata bahwa prajurit Mataram yang meski-pun jumlahnya lebih kecil itu benar-benar telah menghambat gerak maju pasukan Pati.
Ki Lurah Semita dan Ki Rangga Pakis Aji dengan pasukannya telah menghantam lambung gelar lawan dengan sepenuh kemampuan mereka.
Agung Sedayu yang bertempur dengan penuh perhitungan, mulai merasakan bahwa tekanan pasukan Pati itu mulai menyusul. Tetapi Agung Sedayu tidak segera memberikan tekanan pada pasukan lawan. Agung Sedayu bahkan masih mundur meski-pun semakin lambat dan mapan.
Ketenangan Agung Sedayu, serta perhitungannya yang cermat justru membuat Agung Sedayu tetap mengambil keputusan untuk bergerak mundur terus.
Ki Tumengung Wirayuda yang berada di belakang paruh pasukannya itu mengerti sepenuhnya perhitungan Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka ia tidak memberikan perintah lain.
Dengan gerak mundur yang masih dilakukan oleh Agung Sedayu, maka kepala gelar lawannya yang merasa mampu mendesak pasukan Mataram itu masih bergerak maju terus. Tetapi sementara itu lambung gelarnya mulai tertahan oleh ujung-ujung sayap gelar pasukan Mataram.
Ketika hal itu disadari oleh Senapati tertinggi pasukan Pati, maka dengan susah payah, ia harus mengendalikan gelarnya agar tetap utuh dalam kesatuan gerak dan sasarannya.
Dalam pada itu, di Ngaru-aru, Sabungsari masih bertempur dengan sengitnya. Kedua pasukan mataram dan Pati telah berada di lingkungan yang sama. Pertempuran telah terjadi seseorang melawan seorang disela-sela lumbung-lumbung bahan pangan.
Kesempatan pertama bagi para prajurit Mataram saat menyerang tempat itu dengan tiba-tiba memberikan banyak keuntungan. Karena itu, maka para prajurit Mataram itu telah berhasil menyusup disegala sudut lingkungan lumbung utama persediaan bahan pangan pasukan Pati itu.
Tetapi para prajurit Pati yang mendapat tugas untuk menjaga lumbung itu-pun telah bertempur dengan gigihnya. Mereka tahu arti dari lumbung itu bagi pasukan Pati. Karena itu, maka mereka lakukan.
Dalam pertempuran itu, maka kemampuan pribadi setiap prajurit dalam olah kanuragan akan sangat berarti. Dalam pertempuran yang terjadi di pategalan sekitar lingkungan lumbung utama, bahkan diantara bangunan-bangunan sederhana yang penuh dengan bahan pangan itu, para prajurit dari kedua belah pihak tidak dapat menggantungkan diri pada kelompok mereka masing-masing.
Sabungsari yang ada di antara pertempuran itu memperhatikan keadaan dengan seksama. Ia melihat beberapa orang prajuritnya berhasil menghentikan perlawanan lawannya. Tetapi ia-pun melihat beberapa orang prajuritnya yang terluka.
Ketika Sabungsari melihat seorang perwira Pati yang bertempur dengan garangnya dalam tataran ilmu yang tinggi, maka Sabungsari tidak menunggu lebih lama lagi. Orang itu akan dapat mengacaukan perlawanan para prajurit Mataram.
Karena itu, maka Sabungsari-pun dengan cepat mendekati orang yang sedang menghadapi dua orang prajurit Mataram itu. Namun orang itu justru berhasil mendesak kedua prajurit itu.
Sabungsari yang telah terlepas dari lawannya setelah lawannya itu tidak mampu lagi mengangkat senjatanya, kemudian telah berada didekat perwira dari Pati itu.
Kepada kedua orang prajurit Mataram itu, Sabungsari berkata, "tinggalkan orang itu. Aku akan menghadapinya."
Perwira Pati itu meloncat surut untuk mengambil jarak. Dipandanginya Sabungsari sekilas. Kemudian katanya, "Kaukah yang memimpin prajurit Mataram yang dengan licik menyerang kami."
"Ya," jawab Sabungsari. Namun ia-pun kemudian bertanya, "Tetapi apakah kami dapat dianggap licik?"
"Kau menyerang dengan diam-diam." jawab perwira dari Pati itu.
Sabungsari bergeser setapak ketika lawannya itu juga bergeser. Ujung senjata lawannya itu mulai bergetar, sementara Sabungsari-pun berkata, "Bukan kami yang licik. Tetapi kalian menjadi lengah."
Perwira dari Pati itu tidak berbicara lebih banyak lagi. Sementara prajurit-prajuritnya harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.
Ketika perwira itu mulai mengayunkan senjatanya, maka Sabungsari-pun telah bersiap sepenuhnya unluk mengatasinya.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Senjata mereka-pun berputar dengan cepat. Terayun dan mematuk dengan cepat ke arah dada.
Namun ternyata keduanya adalah prajurit-prajurit yang tangkas. Keduanya memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu-pun berlangsung dengan sengitnya.
Sementara keduanya bertempur, maka para prajurii-pun telah bertempur pula disegala sudut lingkungan lumbung utama itu. Namun semakin lama prajurit Pati itu-pun menjadi semakin mengalami kesulitan. Prajurit Mataram seakan-akan1 berada disegala lempat. Mereka menyerang dengan tiba-tiba, melumpuhkan lawan dan kemudian mencari lawan yang baru. Meski-pun prajurit Pati lebih memahami medan, tetapi kadang-kadang mereka terkejut ketika tiba-tiba saja muncul prajurit Mataram meloncat menyerang.
Perwira yang memimpin prajurit Pati mempertahankan lumbung utama itu menjadi semakin marah ketika ia menyadari keadaan para prajuritnya. Karena itu, maka ia-pun semakin meningkatkan serangan-serangannya. Ia ingin segera mengakhiri perlawanan pemimpin pasukan Mataram itu, sehingga ia akan dapat berada diantara prajurit-prajuritnya untuk membinasakan pasukan Mataram yang datang menyerang itu.
Namun ternyata lawannya adalah Sabungsari. Ia bukan saja seorang yang memiliki kelebihan dalam ilmu keprajuritan. Tetapi Sabungsari adalah seorang yang ketika memasuki dunia keprajuritan sudah membekali dirinya dengan ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka usaha perwira dari Pati untuk segera menundukkan Sabungsari itu tidak dapat dilakukannya. Bahkan kemudian ternyata bahwa Sabungsari justru telah berhasil mendesaknya.
Karena itu, maka perwira yang memimpin prajurit Pati mempertahankan lumbung utama itu telah meningkatkan perlawanannya dan sekaligus memberikan aba-aba sandi bagi prajurit-prajuritnya yang ada disekitarnya.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja tiga orang prajurit Pati telah berloncatan berlari mendekati pertempuran antara pemimpinnya melawan Sabungsari. Sementara itu, beberapa orang prajurit yang lain telah mengambil alih lawan-lawannya. Bahkan satu dua orang prajurit yang bertempur diantara bangunan-bangunan dilingkungan lumbung utama itu, berusaha untuk menanggapi aba-aba sandi itu. tetapi lawan-lawan mereka berusaha untuk tetap menahan mereka dalam pertempuran. Meski-pun para prajurit Mataram tidak mengetahui maksud isyarat sandi itu, namun mereka menduga, bahwa isyarat sandi itu akan mempengaruhi jalan pertempuran.
Sabungsari yang melihat kehadiran tiga orang prajurit Pati itu-pun segera berloncatan surut. Ia harus menjadi semakin berhati-hati jika ia harus melawan empat orang bersama-sama. Namun sebelum ia mulai bertempur, dua orang prajurit Mataram telah dengan tangkasnya, menyambar dua orang prajurit Pati yang berniat bergabung dengan pemimpinnya itu, sehingga dengan demikian, maka keduanya harus meninggalkan pemimpinnya untuk mempertahankan diri.
Dengan demikian, maka yang harus dihadapi oleh Sabungsari hanya tinggal dua orang. Namun seorang diantara mereka adalah pemimpin pasukan Pati itu sendiri.
Dengan demikian, maka Sabungsari harus meningkatkan kemampuannya. Ia harus bergerak lebih cepat. Kedua orang lawannya ternyata telah berusaha untuk mengambil garis serangan yang menyilang, sehingga Sabungsari benar-benar harus membagi perhatiannya.
Namun Sabungsari yang berilmu tinggi itu tidak segera dapat didesak. Bahkan ia masih juga mampu mendesak kedua orang lawannya. Meski-pun keduanya telah mengerahkan segenap kemampuannya, tetapi keduanya tidak mampu menguasai Sabungsari dan apalagi menghentikan perlawanannya.
Beberapa kali pemimpin prajurit Pati itu bergeser surut. Sementara seorang prajurit yang bertempur bersamanya berusaha menyesuaikan dirinya. Tetapi bagi Sabungsari, prajurit yang bertempur bersama pemimpinnya itu, tidak berbahaya sebagaimana perwira dari Pati itu sendiri.
Namun dalam pada itu, Sabungsari yang mendesak lawannya itu sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja dari balik sudut lumbung yang ada diantara lumbung yang lain, telah muncul seorang prajurit Pati. Dengan serta-merta prajurit itu telah melemparkan sebuah pisau belati ke arahnya.
Sabungsari yang tidak menduga hal itu terjadi, memang terkejut. Tiba-tiba saja ia melihat seleret pisau belati itu menyambarnya dengan kecepatan tinggi.
Dengan serta-merta Sabungsari-pun meloncat menghindarinya. Ia memang luput dari sambaran pisau belati itu. Tetapi dengan kecepatan yang tinggi, pemimpin prajurit Pati itu memburunya sambil menjulurkan senjatanya.
Sekali lagi Sabungsari terkejut. Tidak ada lagi kesempatan untuk menangkis serangan itu.
Karena itu, maka Sabungsari-pun menggeliat untuk menghindari serangan itu. Namun pada saat yang bersamaan, maka senjata prajurit Pati yang bertempur bersama pemimpinnya itu-pun terayun mendatar.
Sabungsari tidak dapat berbuat banyak. Betapa-pun ia berusaha, namun akhirnya senjata menghindari serangan prajurit yang mengayunkan senjatanya itu justru dengan menjatuhkan diri dan berguling menjauh. Namun demikian ia meloncat bangkit, serangan pemimpin prajurit Pati itu datang dengan cepat. Pedang Sabungsari berhasil menepisnya, tetapi ia tidak dapat membebaskan dirinya sepenuhnya. Ujung senjata prajurit Pati itu telah menggores pundaknya.
Sabungsari telah berusaha meloncat mengambil jarak. Kemarahan telah membuat darahnya mendidih. Luka itu bagaikan bara api yang memanasi jantungnya.
Dalam pada itu, prajurit Pati itu berusaha memburunya, namun luka di pundaknya, membuat senjata Sabungsari seakan-akan tidak terkekang lagi.
Karena itu, maka ketika prajurit itu meloncat mendekati Sabungsari yang sudah terluka itu sambil mengayunkan senjatanya, maka Sabungsari justru merendah dan berlutut pada satu lututnya. Pedangnya terjulur lurus, menyongsong prajurit yang menyerangnya itu.
Terdengar prajurit itu mengaduh. Senjatanya sama sekali sekali tidak menyentuh tubuh Sabungsari, tetapi justru ujung pedang Sabungsari telah menancap di dadanya.
Tetapi Sabungsari tidak tercengkam oleh keberhasilannya itu. Ia sadar, bahwa lawannya yang seorang lagi, yang justru lebih tangguh masih harus dihadapi.
Sebenarnyalah pemimpin prajurit Pati itu meloncat menyerang. Senjatanya dengan garang terjulur lurus mengarah ke dada Sabungsari yang telah menghunjamkan pedangnya didada prajurit yang menyerangnya itu.
Namun Sabungsari-pun dengan tangkasnya telah meloncat bangkit dan mendorong lawannya kesamping dengan pedangnya yang masih tertancap didada lawannya itu.
Ternyata senjata pemimpin prajurit Pati itu tidak menggapai tubuh Sabungsari, justru telah menusuk punggung prajuritnya sendiri.
Bersamaan dengan itu, maka Sabungsari telah menarik pedangnya sambil meloncat surut.
Pada saat itu pula, Sabungsari melihat, prajurit yang melemparnya dengan pisau belati itu tengah bertempur dengan prajuritnya. Namun tidak terlalu lama kemudian, maka prajurit Pati itu telah terlempar dari arena dan jatuh menimpa dinding salah satu dari lumbung-lumbung bahan makanan itu.
Pemimpin prajurit Pati yang telah menusuk punggung prajuritnya itu menggeram. Ia terpaksa memalingkan wajahnya, ketika ia menarik senjatanya itu.
Sejenak kemudian, maka ia harus menghadapi pemimpin prajurit Mataram itu seorang diri.
Dalam pada itu, betapa kemarahan mencengkam jantung Sabungsari, tetapi Sabungsari masih mampu menahan diri untuk tidak mengetrapkan ilmu puncaknya lewat sorot matanya. Ia menyadari, bahwa cara itu tidak sebaiknya dipergunakan pada setiap terjadi benturan kekerasan. Hanya dalam keadaan yang memaksa saja, maka ia akan mempergunakan.
Tetapi pada dasarnya, ilmu kanuragan Sabungsari memang lebih tinggi tanpa mempergunakan ilmu pamungkasnya. Sehingga karena itu, maka semakin lama pemimpin prajurit Pati yang mempertahankan lumbung utama itu menjadi semakin terdesak.
Tetapi ternyata prajurit Pati tidak ingin melepaskan tanggung jawab mereka. Apa-pun yang terjadi, mereka telah bertempur dengan segenap kemampuan tanpa mengenal gentar. Meski-pun satu-satu perlawanan kawan-kawan mereka dihentikan, tetapi tidak seorang-pun diantara mereka yang meninggalkan gelanggang.
Semakin lama perlawanan para prajurit Pati memang menjadi semakin lemah. Meski-pun tekad mereka masih menyala didalam dada mereka, namun mereka tidak dapat menghalau kenyataan yang telah terjadi.
Apalagi ketika pemimpin mereka tidak lagi mampu bertahan. Meski-pun pemimpin prajurit Pati itu tidak berniat menyerah, namun ketika luka-luka ditubuhnya menjadi semakin parah, maka pemimpin prajurit Pati itu tidak lagi mampu bertahan. Meski-pun sampai saat terakhir di saat ia sudah tidak lagi mampu berdiri tegak, perwira Pati itu masih berusaha mengangkat senjatanya dan menyerang Sabungsari. Tetapi keterbatasannya telah menghentikannya. Justru pada saat pemimpin prajurit Pati itu mengayunkan senjatanya dan tidak mengenai sasarannya, maka ia telah terseret oleh tenaganya yang tersisa serta berat tubuhnya sendiri, sehingga ia jatuh terguling ditanah.
Betapa-pun ia berusaha, tetapi ia tidak lagi mampu bangkit berdiri.
Meski-pun demikian, suaranya masih lantang dan menantang, "Bunuh aku."
Sabungsari berdiri termangu-mangu. Sekilas ia melihat, bahwa perlawanan prajurit Pati sudah tidak banyak berarti lagi.
"Bunuh aku," teriak pemimpin prajurit Pati itu. Lalu katanya, "Apakah kau takut melihat darahku menyembur dari jantung" He, bukankah kau seorang prajurit?"
Sabungsari masih berdiri tegak. Pedangnya bergetar ditangannya. Sedangkan luka dipundaknya terasa semakin pedih. Tetapi ia tidak mengangkat pedangnya dan tidak menikam jantung perwira dari Pati itu.
Pemimpin prajurit Pati itu justru berusaha untuk bangkit. Namun ia sudah tidak mampu lagi. Bahkan ketika ia terjatuh lagi, maka ia-pun telah menjadi pingsan.
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya beberapa orang prajuritnya bergerak dengan bebas. Mereka tidak lagi bertempur disela-sela lumbung-lumbung bahan pangan.
Dua orang prajurit kemudian telah menemuinya. Mereka memberikan laporan, bahwa pertempuran sudah selesai. Beberapa orang prajurit Pati terbunuh. Sementara yang lain luka-luka. Beberapa di antara mereka telah tertawa.
Namun beberapa orang prajurit Matarampun telah menjadi korban pula. Ada yang terbunuh, ada yang terluka, bahkan parah.
Sabungsari sendiri telah terluka meski-pun tidak parah sebagaimana pemimpin prajurit Pati itu.
"Kumpulkan semua prajurit dan para tawanan," perintah Sabungsari.
Sambil menunggu para prajurit berkumpul, maka Sabungsari minta salah seorang prajuritnya untuk menaburkan obat dilukanya.
Sejenak kemudian, setelah para prajuritnya berkumpul, maka Sabungsari-pun telah memerintahkan untuk merawat kawan-kawan mereka yang telah terluka. Juga merawat para prajurit Pati. Namun Sabungsari itu-pun berkata kepada para prajurit Pati yang terluka, "Kami tidak dapat menunggu kalian atau membawa kalian. Tetapi kalian yakin, bahwa sebentar lagi, tentu ada iring-iringan prajurit Pati yang lewat. Mungkin peronda, mungkin penghubung atau apa-pun yang akan singgah di lumbung utama ini. Para petugas yang mengurusi perbekalan akan selalu melihat lumbung-lumbung yang tersedia. Karena itu, jangan menjadi ketakutan bahwa kawan-kawan kalian yang tidak terluka sebagai tawanan kami."
Para prajurit Pati itu tidak ada yang menyahut. Suka atau tidak suka mereka memang tidak dapat membantah.
Sementara itu, Sabungsari-pun berkata, "Tetapi sebelum kami meninggalkan lumbung utama ini, maka kami harus menyelesaikan tugas kami. Tugas yang sangat berat. Tetapi kami tidak mempunyai pilihan. Kami harus menghancurkan persediaan pangan yang ada di Ngaru-aru ini."
Para prajurit Pati itu sudah mengetahui, bahwa tugas itulah yang diemban oleh para prajurit Mataram. Sehingga karena itu, maka mereka sama sekali tidak terkejut mendengar pengakuan Sabungsari itu.
Sebenarnyalah tugas itu terasa sangat berat bagi Sabungsari. Menghancurkan bahan makanan adalah pekerjaan yang bertentangan dengan tingkah laku seseorang. Jika seseorang bekerja memeras keringat dari matahari terbit sampai matahari terbenam adalah karena mereka tidak ingin kelaparan. Mereka bekerja untuk dapat antara lain, memberi makan kepada keluarganya. Namun tiba-tiba ia dan para prajuritnya harus menghancurkan bahan makan yang sudah tertimbun di lumbung-lumbung.
Tetapi Sabungsari tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus menyingkirkan bahan pangan itu. Cara yang paling mudah untuk menghancurkan lumbung-lumbung itu adalah dengan membakarnya. Tetapi Sabungsari mencemaskan bahwa para prajurit Pati akan melakukan pembalasan dengan membakar rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan yang mereka lalui sampai ke Jati Anom.
Karena itu, maka Sabungsari tidak memusnahkan bahan pangan itu dengan api. Seperti yang direncanakan, maka Sabungsari telah memerintahkan untuk melemparkan bahan pangan itu ke sawah di sebelah pategalan itu. Sabungsari-pun telah memerintahkan mengaliri sawah itu dengan membendung parit.
Ternyata pekerjaan itu memerlukan waktu yang cukup lama. Namun yang terutama dirusakkan adalah padi dan jagung.
"Jika ada yang tidak rusak, biarlah diambil oleh orang-orang padukuhan yang kekurangan pangan."
"Mereka tidak akan berani," desis seorang pemimpin kelompok.
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Setidak-tidaknya setelah perang selesai."
Dalam pada itu, induk pasukan Pati yang dipimpin langsung oleh Kangjeng Adipati telah berada di Jati Anom. Mereka memang tidak mendapatkan perlawanan, sementara itu, orang-orang Jati Anom seakan-akan telah hilang ditelan bumi. Rumah-rumah nampak kosong. Pintu tertutup rapat. Namun tidak ada suara apa-pun didalam rumah itu.
Tanpa ragu-ragu, pasukan induk itu telah menduduki barak prajurit Mataram yang dipimpin oleh Untara. Bangunan induk dan bahkan rumah Untara yang sejak semula memang telah diperuntukkan bagi prajurit Mataram di Jati Anom.
Tugas pertama bagi para prajurit Pati adalah mengamankan lingkungan itu. Beberapa kelompok prajurit Pati telah menebar dan menempati tempat-tempat yang dianggap penting bagi pengamanan barak yang kosong. Karena Kangjeng Adipati-pun telah menerima laporan, bahwa prajurit Mataram telah mempersiapkan pasanggrahan di sebelah Barat Kali Dengkeng.
"Besok kita akan maju lagi," berkata Kangjeng Adipati Pati, "kita akan berkemah dihadapan pasukan Mataram."
"Pasukan Mataram berkemah beberapa ratus meter di sebelah Barat Kali Dengkeng," berkata petugas sandi yang memberikan laporan itu.
"Tepatnya dimana?" bertanya Kangjeng Adipati.
Petugas sandi yang mengamati gerak pasukan Mataram itu menjawab, "Mereka berkemah di Prambanan."
Kangjeng Adipati Pati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Jika Mataram berkemah beberapa ratus meter saja di sebelah Barat Kali Dengkeng, maka kita akan berkemah beberapa ratus patok di sebelah Timur Kali Dengkeng."
Dengan demikian, maka Kangjeng Adipati-pun telah memerintahkan sekelompok prajuritnya untuk mempersiapkan perkemahan bagi pasukan Pati yang di hari berikutnya akan bergerak maju.
Sementara itu, maka di medan pertempuran di arah Utara, Maka pasukan Mataram dan pasukan Pati masih bertempur dengan sengitnya. Pada saat-saat terakhir, maka gelar Garuda Nglayang dari pasukan Mataram, tidak lagi bergerak mundur. Segala bagian gelar itu setelah menjadi mapan, ternyata telah menahan gerak maju gelar Dirada Meta yang garang itu.
Serangan-serangan pada lambung gelar memaksa gelar Dirada Meta itu memperkuat ketahanannya. Sementara itu, di induk pasukan, seorang penghubung telah memberikan laporan dari Agung Sedayu, bahwa pasukannya akan mulai bertahan dan bahkan mulai menekan lawannya.
Ki Tumenggung Wirayuda yang mendapat laporan itu-pun telah memerintahkan Agung Sedayu agar pasukannya tidak tergesa-gesa berusaha mendesak lawannya.
"Pangkal sayap gelar ini harus mendapat perhatian," perintah Ki Wirayuda lewat penghubung itu.
Agung Sedayu mengerti maksud Ki Tumenggung. Karena itu, maka ia-pun telah meneruskan perintah itu kepada Ki Lurah Suratapa dan Ki Lurah Uwanguwung.
Dalam pertempuran yang sengit, Ki Lurah Uwanguwung sempat mengirimkan pesan kepada Agung Sedayu lewat penghubung itu, "Adik sepupu Ki Lurah Agung Sedayu sungguh luar biasa. Bahkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh juga luar biasa. Mereka memiliki kemampuan keprajuritan yang mapan."
Penghubung itu memang menyampaikannya kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang sedang memimpin pertempuran di pusat gelar itu sempat tersenyum.
"Katakan kepada Ki Lurah Uwanguwung. Terima kasih atas pujian itu." jawab Agung Sedayu.
Dalam pada itu, maka para perwira prajurit Pati telah berusaha dengan segenap kemampuan pasukannya untuk mendesak dan jika mungkin memecah gelar Garuda Nglayang itu. Namun perlawanan Mataram semakin lama justru menjadi semakin tegar.
Bahkan ketika matahari menjadi semakin rendah, pasukan Pati yang mengerahkan tenaga sejak benturan pertama terjadi, mulai menjadi letih.
Agung Sedayu melihat saat yang tepat untuk mulai mendesak gelar Dirada Meta itu. Namun waktunya tidak banyak lagi. Ketika matahari bertengger di punggung bukit, maka kedua belah pihak memang telah menjadi letih.
Meski-pun demikian, pada saat-saat terakhir menjelang senja, Agung Sedayu dan Pasukan Khusus telah mulai mendorong gelar Dirada Meta perlahan-lahan.
Namun beberapa saat kemudian, maka sinar matahari-pun menjadi pudar.
Ki Tumenggung Wirayuda kemudian telah meneriakkan aba-aba agar pasukan Mataram dengan hati-hati menarik diri dari pertempuran karena malam telah turun.
Aba-aba itu mengumandang diseluruh medan. Setiap pemimpin kelompok telah meneriakkan isyarat sehingga isyarat itu menjalar sampai ke ujung sayap.
Namun pasukan Mataram cukup hati-hati. Mereka tidak dengan serta-merta menghentikan pertempuran. Mereka menunggu waktu yang tepat, apakah Pati juga akan segera menghentikan pertempuran. Jika Pati masih tetap ingin bertempur meski-pun malam turun, maka Matarampun akan tetap berada di medan.
Namun pemimpin tertinggi Pati masih juga berpegang kepada pegangan yang dihormati oleh para prajurit. Perang gelar akan berhenti jika malam mulai turun.
Demikianlah, maka Senapati tertinggi dari Pati itu-pun telah memberikan aba-aba yang sama pula kepada prajurit-prajuritnya, sehingga para prajurit Pati yang letih itu telah mengendorkan pertempuran.
Beberapa saat kemudian pertempuran-pun berhenti. Kedua pasukan yang bertempur dalam gelar itu telah mulai merenggangkan kedudukan mereka.
Demikianlah, ketika malam turun, pertempuran itu benar-benar telah terhenti. Kedua pasukan telah ditarik ke perkemahan mereka masing-masing. Kedua belah pihak telah menjadi sangat letih dan lapar. Mereka tidak sempat makan dan minum selama pertempuran terjadi.
Ketika malam menjadi semakin gelap, maka baik Mataram mau-pun Pati telah mengirimkan kelompok-kelompok prajurit yang khusus mencari korban di bekas medan pertempuran itu. Mereka telah membawa orang-orang yang terluka dan yang gugur ke perkemahan.
Kelompok-kelompok yang membawa obor itu ternyata saling menghormati sehingga mereka tidak saling mengganggu meski-pun mereka berada dibekas medan yang sama. Bahkan kadang-kadang mereka bersama-sama berusaha mengenali korban yang terbaring dan kadang-kadang saling menindih.
Malam itu, Glagah Putih dan Prastawa ikut dalam tugas khusus itu bersama beberapa orang pengawal Tanah Perdikan disamping para prajurit Mataram untuk mengenali terutama para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan obor ditangan Glagah Putih dan Prastawa berada di antara kelompok-kelompok orang yang mencari korban pertempuran di jalur medan yang bergerak. Sedangkan di tempat yang sama kelompok-kelompok prajurit Pati juga melakukan hal yang sama.
Meski-pun kedua-belah pihak cukup hati-hati, tetapi tidak ada seorang-pun diantara mereka yang bertengkar dan apalagi bertempur.
Bahkan ketika prajurit Pati itu menemukan sosok tubuh prajurit Mataram yang terluka atau terbunuh, maka mereka-pun memanggil sambil menunjuk sosok itu, "Ini salah satu kawanmu."
Namun sebaliknya, orang-orang Matarampun berbuat demikian pula. Seakan-akan kedua pihak itu tidak sedang saling bermusuhan.
Dalam pada itu, ketika pertempuran antara kedua gelar pasukan Mataram dan Pati di sisi Utara itu mereda dan bahkan terhenti oleh cahaya senja yang berangsur menjadi gelap, maka di sekitar Jati Anom, Utara justru sedang mempersiapkan pasukannya.
Kepada beberapa kelompok prajuritnya, Untara telah memberikan petunjuk-petunjuk, apa yang harus mereka lakukan. Sementara itu Swandaru dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung, serta kelompok-kelompok kecil lainnya telah bersiap pula untuk melaksanakan perintah yang serupa.
Untara atas dasar laporan para petugas sandi tahu pasti, dimana kelompok-kelompok prajurit Pati membuat landasan pengamanan bagi induk pasukannya yang dipimpin langsung oleh Kangjeng Adipati Pati.
Untara tahu bahwa ia tidak akan mampu melawan kekuatan yang datang dari Pati itu. Namun ia dapat berbuat sesuatu untuk memperlemahnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sabungsari dengan kelompok prajuritnya.
Demikianlah, setelah memberikan petunjuk-petunjuk kepada pera pemimpin kelompok prajuritnya serta kelompok-kelompok pengawal termasuk pengawal Kademangan Sangkal Putung, maka Untara-pun melepas prajurit-prajuritnya turun ke gelanggang. Untara sendiri membawa beberapa kelompok parjurit untuk menyerang salah satu Iandasan pengamanan yang kuat di sisi Barat Jati Anom. Untara akan membawa pasukan kecilnya dari Macanan melingkar dan kemudian turun dari arah lereng Gunung Merapi. Sementara Swandaru dan pengawal terpilihnya akan menyerang prajurit Pati yang membuat lan-dasan pengaman di sisi Selatan dan yang lain lagi diarah Utara.
Mereka menyerang pada tengah Malam.
"Mungkin kita tidak dapat bergerak tepat pada saat yang bersamaan. Tetapi perbedaan waktu sedikit tidak akan menganggu rencana itu, asal selisih waktu itu tidak lebih dari waktu yang dipergunakan oleh para penghubung untuk memberikan laporan dan memberikan peringatan kepada landasan-landasan pengamanan itu," pesan Untara kepada para pemimpin kelompok-kelompok pasukan yang mendapat tugas untuk menyerang landasan-landasan pengamanan itu.
Sejenak kemudian, maka pasukan-pasukan kecil itu-pun segera meninggalkan Macanan.
Swandaru dengan para pengawal terpilihnya telah menuju ke Jati Anom dari arah Timur. Dari para petugas sandi mereka telah mendapat petunjuk dimana letak pasukan-pasukan Pati dalam tugas mengamankan induk pasukan mereka yang berada di jati Anom.
Namun Swandaru tidak menempatkan Pandan Wangi didalam pasukannya. Bagaimana-pun juga ia harus memperhitungkan banyak hal, karena tugas yang diembannya adalah tugas yang terhitung besar dan berbahaya. Meski-pun Pandan Wangi memiliki kemampuan jauh lebih baik dari para pengawalnya, tetapi untuk bersama-sama berada di medan, Swandaru masih harus berpikir ulang. Justru karena Pandan Wangi adalah isterinya, sementara itu mereka meninggalkan seorang anak di rumah.
Sebelum tengah malam, maka pasukan-pasukan kecil itu sudah berada di tempat masing-masing. Mereka tingagl menunggu saatnya saja untuk menyerang. Pasukan Mataram yang berada di Jati Anom, serta para pengawal Kademangan Sangkal Putung memiliki keuntungan dari lawan mereka, karena mereka mengenali medan jauh lebih baik dari para prajurit Pati.
Sementara itu, di medan sebelah Utara kotaraja, para prajurit Mataram dan Pati telah selesai mengumpulkan korban pertempuran yang terjadi disiang harinya yang tertinggal di medan pertempuran. Glagah Putih, Prastawa dan kelompok-kelompok yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang lerluka dan gugur di pertempuran telah mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sedangkan kelompok yang lain akan mendapat tugas untuk merawat mereka selanjutnya.
Di sekitar Jati Anom setiap tarikan nafas membuat ketegangan semakin memuncak. Saat-saat menunggu tengah malam itu rasa-rasanya telah membuat jantung berdetak lebih lamban. Nagas-pun rasa-rasanya menjadi berat didalam setiap dada.
Keempat pasukan kecil itu tidak mempunyai petunjuk waktu yang tepat. Di padukuhan-padukuhan tidak akan terdengar suara ken-tongan dengan irama dara muluk di tengah malam. Namun mereka mendasarkan pada pengenalan mereka atas suasana malam, serta benda-benda langit yang mereka kenali. Pada saat ljntang Gubung Penceng berdiri tegak di ujung langit sebelah Selatan, maka para prajurit itu menganggap bahwa mereka telah berada pada saat tengah malam itu.
Meski-pun ada selisih waktu, tetapi serangan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan kecil di sekitar Jati Anom itu berlangsung hampir bersamaan.
Dalam pada itu, Swandaru dengan pasukan pengawal terpilih dari Kademangan Sangkal Putung, telah menyempatkan diri untuk singgah di padukuhan Ngablak. Atas perintah Untara, maka Ki Widura-pun telah membawa seisi padepokannya menyingkir ke Ngablak.
Ternyata Ki Widura dan beberapa orang cantrik yang dianggap pantas untuk ikut, telah dibawanya pula bersama dengan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung.
Ki Widura adalah bekas seorang prajurit, ia dapat memberikan beberapa petunjuk penting kepada Swandaru untuk menyergap pasukan Pati yang berjaga-jaga diarah Timur Jati Anom.
Ketika saatnya dianggap sudah tiba, maka Swandaru telah membawa anak buahnya mendekati sasaran. Mereka menyusuri jalan-jalan sempit mendekati sebuah padukuhan kecil yang dipergunakan oleh pasukan Pati untuk mengaawasi keadaan.
Dalam kegelapan malam, atas petunjuk Widura, Swandaru telah memerintahkan separo dari pasukan yang dibawanya untuk mendekati padukuhan itu dari arah yang terbuka. Mereka melalui jalan induk serta meniti tiga jajaran pematang, maju dengan cepat menuju ke padukuhan kecil itu, sementara yang lain, merayap disela-sela gerumbul-gerumbul perdu mendekati dinding padukuhan itu pula.
Dengan cepat, prajurit yang berjaga-jaga di padukuhan itu segera dapat melihat kehadiran para pengawal yang datang dari tempat terbuka. Mereka-pun segera memberikan isyarat kepada para prajurit Pati yang ada di padukuhan itu untuk segera bersiap.
Separo dari para pengawal Kademangan Sangkal Putung itu kemudian telah menebar. Sebagian dari mereka dengan cepat menuju ke pintu gerbang padukuhan, sementara yang lain akan berusaha memasuki padukuhan dengan memanjat dinding.
Namun prajurit Pati yang ada di padukuhan itu tidak membiarkan mereka memasuki padukuhan itu. Karena itu, sebelum mereka mencapai pintu gerbang serta berhasil memanjat dinding, para prajurit Pati telah menyongsong mereka untuk bertempur ditempat terbuka.
Dengan tegar prajurit dari Pati itu menyongsongng lawan yang menurut penglihatan mereka jumlahnya tidak sebanyak jumlah prajurit Pati itu sendiri karena itu, maka mereka sama sekali tidak mencemaskan datangnya serangan itu. Mereka justru mentertawakan para pengawal yang datang menyerang sambil bersorak-sorak gemuruh itu.
"Sebentar lagi, maka akan diam," desis seorang prajurit Pati yang menggenggam tombak pendek ditangannya.
Namun dalam pada itu, ketika perhatian para prajurit Pati itu tertuju pada para pengawal yang datang dari arah yang terbuka itu, maka Swandaru dan Ki Widura bersama sebagian para pengawal dan para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk itu telah mendekati dinding padukuhan. Demikian mereka mendengar dikejauhan sorak para pengawal yang menyerang melalui pintu gerbang, maka Swandaru-pun segera memberikan isyarat kepada para pengawalnya. Ia tidak mau tertambat, sehingga para pengawalnya yang datang dari arah terbuka akan banyak yang menjadi korban.
Karena itu, maka dengan cepat Swandaru-pun segera membawa pasukan pengawalnya menyerang padukuhan itu.
Perhatian para prajurit Pati yang masih dihentak oleh kedatangan serangan dari arah pintu gerbang, membuat petugas yang tertinggal di sisi lain padukuhan itu terlambat menyadari serangan yang datang dari arah lain. Mereka menyadari keadaan ketika Swandaru dan pasukannya telah berusaha meloncati dinding padukuhan. Sementara yang lain memecahkan pintu gerbang butulan pada dinding padukuhan itu.
Dengan cepat petugas itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Dengan teriakan-teriakan nyaring, pengawal itu memberitahukan datangnya serangan dari arah lain.
Para prajurit Pati memang terlambat menyadari. Apalagi sebagian besar mereka telah berada pada satu sisi menyongsong datangnya serangan dari arah yang terbuka itu.
Ketika prajurit yang tersisa berdatangan menyongsong serangan itu, maka Swandaru dan Ki Widura serta sebagian besar pengawalnya telah berada didalam dinding padukuhan.
Dengan demikian, maka pertempuran segera berkobar dr dua tempat. Para prajurit Pati yang menyongsong datangnya serangan dari arah terbuka itu-pun telah terlibat dalam pertempuran, sedangkan yang lain telah bertempur pula justru didalam padukuhan. Para prajurit Pati yang sudah siap keluar dari padukuhan lewat pintu gerbang utama untuk bertempur melawan serangan yang datang dari arah terbuka, telah membatalkan gerakan mereka dan beralih menghadapi lawan yang sudah ada didalam padukuhan.
Pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Baik didalam mau-pun di luar dinding padukuhan.
Swandaru dan Ki Widura serta para pengawal dan cantrik terpilih yang bertempur didalam dinding padukuhan, mendapat kesempatan lebih baik dari para prajurit Pati yang sebagian sudah berada diluar dinding. Namun sebaliknya, para pengawal yang datang dari arah terbuka, mengalami kesulitan karena mereka menghadapi lawan yang lebih banyak.
Namun kesulitan itu tidak berlangsung lama. Sebagian prajurit Pati yang tertumpah keluar itu, bagaikan dihisap kembali melalui pintu gerbang masuk kepadukuhan untuk menghadapi lawan yang sudah berada didalam.
Ternyata para pengawal Kademangan Sangkal Putung adalah pengawal yang sudah berpengalaman. Karena itu, maka dengan cepat mereka berhasil menyesuaikan diri dengan pertempuran yang rumit itu.
Pertempuran yang terjadi disela-sela pepohonan, jalan-jalan yang dibatasi dinding-dinding halaman, rumah-rumah dan rumput-rumput bambu, memerlukan ketangkasan yang tinggi.
Untunglah bahwa para pengawal Kademangan Sangkal Putung itu hampir setiap kali mengenali lingkungan yang mirip dengan padukuhan kecil itu. Di Sangkal Putung juga terdapat pepohonan yang terhitung rapat. Jalan-jalan padukuhan yang dibatasi oleh dinding-dinding halaman. Rumah besar dan kecil serta kebun-kebun dan rumput-rumput bambu. Hampir setiap hari para pengawal itu hidup dalam lingkungan serta suasana yang demikian, sehingga mereka tidak lagi ragu-ragu untuk menerobos semak-semak serta tidak takut akan gelugut clumpring bambu.


12 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pertempuran yang kalut itu, maka para pengawal Kademangan Sangkal Putung serta para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk ternyata dengan cepat menguasai lingkungan padukuhan kecil itu. Meski-pun pertempuran masih terjadi, tetapi tidak lagi banyak berarti bagi para pengawal Sangkal Putung.
Tetapi diluar padukuhan, justru pasukan Pati telah mendesak para pengawal yang menyerang dari arah terbuka. Namun karena sebagian dari para prajurit itu telah kembali memasuki padukuhan dan bertempur didalamnya. maka para prajurit Pati itu mulai mendapat perlawanan yang seimbang.
Dengan demikian, maka pemimpin prajurit Pati yang berada di padukuhan itu, menjadi gelisah. Serangan itu sama sekali tidak diduganya. Prajurit Pati yang menduduki Jati Anom mengira bahwa prajurit Mataram yang ada di Jati Anom sudah ditarik dan memperkuat pasukan Mataram yang akan bertahan di Prambanan.
Dalam pertempuran yang kalut itu, serta kesulitan yang semakin menekan prajurit Pati, serta ketidak pastian yang membingungkan, maka pemimpin prajurit Pati itu telah memberikan isyarat, agar para prajuritnya meninggalkan padukuhan itu.
Demikianlah sejenak kemudian, maka terdengar isyarat yang diteriakkan oleh pemimpin prajurit Pati itu. Prajurit yang mendengarnya telah melanjutkan isyarat itu sambung bersambung.
Para pengawal Sangkal Putung tidak mengerti arti isayarat sandi itu. Tetapi mereka menduga, bahwa pasukan Pati akan menarik diri dari medan pertempuran.
Sebenarnyalah, banyak dalam waktu yang pendek, para prajurit Pati itu bagaikan terhisap oleh kegelapan. Kemampuan mereka cepat dan teratur. Bahkan para prajurit yang bertempur diluar dinding padukuhan itu-pun mampu menyesuaikan diri mereka pula.
Namun para pengawal Kademangan Sangkal Putung itu tidak ingin melepaskan mereka. Widura yang dengan cepat memberi peringatan kepada Swandaru agar para pengawal Kademangannya tidak mengejar lawan, agaknya telah terlambat. Kelompok-kelompok pengawal telah berloncatan memburu para prajurit Pati yang mengundurkan diri.
Namun ketangkasan prajurit Pati memang mengagumkan. Perintah sandi yang diberikan oleh Senapati mereka, lealh memungkinkan para prajurit Pati itu menyusun sisa kekuatannya. Demikian mereka sampai dilempat terbuka, maka prajurit Pati itu telah berdiri dalam satu kesatuan yang utuh dan siap untuk bertempur melawan para pengawal yang mengejarnya.
Sementara itu, para pengawal Kademangan Sangkal Putung masih saja berlari-lari memburu lawan. Dalam keremangan malam, mereka tidak segera melihat dengan jelas, tatanan para prajurit Pati yang sudah mapan untuk menerima serangan itu.
Swandaru dan Widura-pun harus berlari-lari menyusul para pengawal. Mereka harus mengerahkan tenaga dalam mereka, agar mereka tidak terlambat.
Karena itu, sebelum mereka mendahului para pengawal yang berlari-lari dipaling depan, maka Swandaru-pun telah meneriakkan perintah para pengawalnya untuk berhenti.
"Dengan perintahku," teriak Swandaru, "berhenti dilempat kalian berada sekarang."
Perintah itu mengumandang di gelapnya malam. Namun para pemimpin kelompok yang mendengarnya telah meneruskan perintah itu kepada para pengawal yang masih saja berlari-lari.
Namun beruntunglah, bahwa perintah itu akhirnya didengar oleh para pengawal. Namun beberapa pengawal telah diberi hanya beberapa langkah saja dari para prajurit Pati. Mereka memang terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat prajurit Pati itu berdiri dalam kesatuan yang mapan dan siap untuk bertempur.
Bahkan sejenak kemudian, maka pemimpin prajurit Pati itu telah memberikan perintah kepada pasukannya untuk maju menyerang para pengawal yang berlari-lari di depan mereka.
Widura melihat kemungkinan yang buruk bakal terjadi. Karena itu, sebagai seorang perwita prajurit, maka ia-pun memahami tatanan gelar bagi pasukan kecil yang dihadapkan pada keadaan yang tiba-tiba seperti pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung.
Maka Widura-pun segera mendahului Swandaru meneriakkan aba-aba bagi para pengawal Sangkal Putung itu.
Tetapi sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Sangkap Putung juta sudah mendapat latihan keprajuritan meski-pun tekanan kemampuan mereka masih ada pada kemampuan mereka secara pribadi. Karena itu, ketika Swandaru mengulangi perintah Widura, maka para pengawal berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perintah itu.
Pada saat yang demikian, sebelum tatanan pasukan pengawal itu mapan, maka prajurit Pati telah menyerang mereka.
Widura dan Swandaru harus mengambil langkah yang cepat. Jika benturan terjadi, maka pasukan pengawalnya akan mengalami kesulitan sebelum pasukan itu mapan. Mereka terlanjur berhadapan dalam satu garis perang. Tidak lagi bertempur dalam satu lingkungan yang berpohon-pohon dan disela-sela rumah dan dinding halaman.
Karena itu, maka Widura dan Swandaru-pun kemudian telah memerintahkan pasukan yang terdiri dari para pengawal dan sekelompok cantrik dari padepokan Orang Bercambuk itu untuk bergeser mundur sambil mengatur diri.
Ternyata para pengawal itu tanggap akan perintah kedua orang pemimpin mereka. Dengan sigap pula, maka mereka telah menarik diri namun sekaligus menempatkan diri dalam susunan yang lebih mapan untuk melawan prajurit Pati yang mulai berlari-lari menyerang. Mereka tidak ingin memberi kesempatan lawan mereka menata diri agar perlawanan mereka terpecah-pecah dan tidak saling mendukung.
Tetapi para pengawal dan para cantrik itu-pun telah berhasil menyusun gelar yang meski-pun tidak utuh, namun cukup memadai untuk melawan pasukan Pati yang menjadi semakin tidak sabar.
Dengan demikian, maka pertempuran yang kemudian terjadi adalah pertempuran terbuka diantara kedua pasukan yang berhadapan dalam garis perang.
Sebelum benturan itu terjadi, maka Swandaru telah menggetarkan udara dialas medan dengan cambuknya. Ketika ia menghentakkan cambuknya, maka ledakan-ledakan-pun terjadi. Ledakan-ledakan itu merupakan aba-aba yang membesarkan hati para pengawal dan para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk.
Widura yang kemudian terhitung salah satu dari murid utama padepokan Orang Bercambuk itu juga telah menggenggam cambuk di tangannya. Meski-pun tataran ilmunya masih belum setinggi Swandaru, namun Widura yang dihari-hari tuanya hidup di padepokan telah menekuninya pula, sehingga tataran ilmunya setapak demi setapak telah meningkat.
Ternyata ledakan cambuk Widura telah menggetarkan hati para prajurit Pati, namun telah meningkatkan gejolak perlawanan para pengawal dan para cantrik.
Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu telah berbenturan. Justru setelah mereka terlibat dalam pertempuran, cambuk Swandaru tidak lagi meledak-ledak. Bunyinya terdengar menjadi semakin lunak. Tetapi akibat sentuhan juntai cambuknya, telah menghentikan perlawanan para prajurit Pati yang menghadapinya.
Namun dengan cepat prajurit Pati itu mengambil sikap. Demikian mereka sadari kelebihan Orang Bercambuk itu, maka mereka-pun telah menghadapinya dalam kelompok kecil. Ampat orang prajurit Pati dengan cepat berusaha mengatasinya.
Namun para pengawal Sangkal Putung tidak membiarkan mereka mengepung Swandaru, para pengawal-pun telah berusaha untuk memancing para prajurit Pati bertempur diantara mereka.
Demikianlah, meski-pun dalam pertempuran terbuka yang membentang pada garis perang. para pengawal Sangkal Putung dan para cantrik yang jumlahnya lebih banyak itu akhirnya berhasil mendesak para prajurit Pati. Perlahan-lahan, pasukan Sangkal Putung itu maju langkah demi langkah.
Akhirnya para pemimpin prajurit Pati itu menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Jika mereka memaksa diri, maka korban tentu akan berjatuhan lebih banyak lagi. Karena itu, maka pemimpin prajurit Pati itu telah memerintahkan dua penghubungnya untuk memberitahukan keadaan pertempuran itu kepada induk pasukannya.
"Kau tahu apa yang harus kau katakan. Kau-pun tahu bahwa waktu yang sempit sebelum pasukan ini dihabisi."
Dua orang penghubung itu-pun segera berlari meninggalkan medan menuju ke induk pasukannya.
Sementara itu, pasukan Pati itu bertempur sambil menarik diri. Mereka menghindari benturan-benturan keras diantara kedua pasukan itu. Namun dengan demikian maka Pati akan mendapat kesempatan untuk mengulur waktu lebih panjang lagi sebelum bantuan akan datang dari induk pasukan.
Namun Widura menyadari usaha lawannya. Karena itu, maka ia-pun telah memerintahkan seorang cantriknya untuk menghubungi Swandaru.
"Katakan, bahwa aku mengusulkan agar seluruh pasukan ditarik sebelum bantuan datang. Kita jangan terseret mendekati Jati Anom, karena induk pasukannya ada disana."
Ketika hal itu disampaikan kepada Swandaru, ternyata Swandaru-pun menyetujuinya. Selagi kekuatan pasukannya masih lebih besar, maka gerakan mundur tidak akan membahayakannya. Tetapi jika bantuan dari induk pasukan Pati itu datang, maka mungkin sekali keadaan akan berbeda.
Karena itulah, maka Swandaru segera memberikan isyarat, agar pasukannya menarik diri.
Para pengawal terkejut mendapat perintah untuk mundur. Mereka menganggap bahwa pasukannya akan dapat menghancurkan lawan yang semakin lama menjadi semakin lemah.
Namun perintah Swandaru dan Widura tetap, pasukan harus mundur.
"Jangan ada yang tertinggal. Selagi kita masih mempunyai keunggulan, kita akan mundur dengan membawa kawan-kawan kita yang gugur dan terluka." perintah Swandaru yang kemudian diteruskan kepada semua pemimpin kelompok dan prajurit.
Sebenarnyalah, para pengawal Kademangan Sangkal Putung dan para cantrik menjadi kecewa. Mereka memperhitungkan kemenangan sudah diambang. Namun mereka mendapat perintah untuk menarik diri.
Tetapi mereka terikat pada kepatuhan dalam tugas kepada para pemimpin mereka, sehingga betapa-pun mereka merasa kecewa, namun mereka melakukannya pula.
Demikianlah, maka perlahan-lahan pengawal Sangkal Putunglah yang kemudian menarik diri dari arena. Sambil bertempur mereka melangkah surut sambil membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka. Mereka bergerak menuju kepadukuhan kecil, tempat para prajurit Pati membangun landasan.
Sebenarnyalah prajurit Pati merasa kecewa pula, bahwa pasukan yang menyerang mereka itu menarik diri. Sebenarnya mereka ingin memancing pertempuran sampai saatnya bantuan yang lebih besar datang sehingga pasukan yang menyerang itu akan datang di hancurkan.
Ketika kemudian pasukan pengawal itu kembali memasuki padukuhan, maka prajurit Pati tidak menyusulnya. Mereka sadar bahwa jika mereka memburunya kedalam padukuhan itu, maka keadaan mereka akan menjadi semakin buruk.
Untuk beberapa saat, para pengawal dan para cantrik sempat mencari kawan-kawan mereka yang menjadi korban di padukuhan itu. Kemudian dengan segera mereka meninggalkan padukuhan itu pula.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan Sangkal Putung dan para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk itu-pun telah hilang dalam kegelapan sambil membawa korban pertempuran itu. Yang gugur dan yang terluka. Sementara itu, para prajurit Pati masih berada diluar padukuhan. Mereka tidak berani dengan serta merta memasuki padukuhan itu, karena pada dasarnya mereka tidak dapat melawan pasukan pengawal dan para cantrik itu.
Baru beberapa saat kemudian, telah datang sepasukan prajurit Pati dengan jumlah yang lebih besar. Mereka dengan cepat bergerak langsung menuju ke medan. Namun ternyata medan telah bergeser, sehingga pasukan itu-pun langsung memburu ke padukuhan.
Ketika mereka mendapat laporan bahwa pasukan yang telah menyerang landasan pengamanan itu memasuki padukuhan, maka Senapati yang memimpin pasukan itu-pun langsung memerintahkan dua orang untuk mengamati keadaan.
Dua orang prajurit itu dengan sangat berhati-hati mendekati padukuhan itu. Namun ternyata padukuhan itu sepi. Ketika keduanya sampai ke sebuah pintu butulan, bahkan pintu butulan itu telah terbuka.
Tetapi keduanya tidak memasuki padukuhan itu lewat pintu butulan. Dapat saja pintu butulan itu dibuka justru sebagai satu jebakan. Sehingga demikian mereka masuk, maka mereka segera berada dita-ngan pasukan yang telah menyerang.
Karena itu, maka keduanya memilih mengamati keadaan dengan meloncati dinding halaman yang terlindung oleh serum-pun bambu yang lebat. Mereka-pun kemudian dengan sangat berhati-hati meloncat masuk dengan panah sendaren siap ditangan. Demikian terjadi sesuatu atas mereka, maka panah sendaren itu akan segera meloncat keudara memberikan isyarat kepada pasukan Pati yang berada diluar padukuhan.
Namun ternyata bahwa padukuhan itu sepi. Mereka tidak melihat seorang-pun yang tinggal di padukuhan itu. Rumah-rumah yang sebelumnya memang sudah kosong, tetap saja kosong. Pasukan yang menyerang itu ternyata telah meninggalkan padukuhan.
Dengan demikian, maka keduanya-pun segera meninggalkan padukuhan itu untuk memberikan laporan, bahwa padukuhan itu telah kosong.
Dalam waktu yang singkat, maka pasukan Pati seluruhnya itu-pun telah berada didalam padukuhan itu. Mereka menyadari, bahwa pasukan itu tentu bagian dari pasukan Mataram yang ada di Jati Anom atau bagian-bagiannya. Mereka datang menyerang, kemudian segera meninggalkan tempat.
Ternyata yang terjadi tidak hanya disatu landasan pengamanan pasukan Pati di Jati Anom. Dari ampat arah telah datang pasukan-pasukan kecil yang menyerang dan kemudian melarikan diri setelah menimbulkan kerusakan pada pasukan Pati.
Laporan itu benar-benar menyakitkan hari. Ampat landasan pengamanan telah mendapat serangan dan terpaksa menarik mundur pasukan mereka. Bahkan pasukan Pati di sisi Barat, yang mendapat serangan dari prajurit Mataram yang dipimpin langsung oleh Untara, telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Meski-pun pasukan yang berada dilandasan pengamanan sebelah barat itu cukup kuat, namun Untara berhasil mendesaknya keluar dan bahkan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.
Sebagaimana di sisi yang lain, bantuan dari induk pasukan selalu datang terlambat.
Laporan tentang pertempuran-pertempuran itu membuat Kangjeng Adipati Pati menjadi sangat marah. Tetapi Pati memang tidak dapat berbuat lebih banyak Pasukan-pasukan yang menyerang itu telah hilang tanpa diketahui tujuannya. Mungkin dengan menelusuri jejak, mereka akan dapat mencari sarang pasukan yang menyerang itu. Tetapi Kangjeng Adipati justru mencemaskan, bahwa masih ada pasukan yang kuat yang akan dapat menyergap dengan tiba-tiba.
Kemarahan Kangjeng Adipati menjadi semakin menyala didadanya ketika datang laporan dari Ngaru-aru, bahwa lumbung utama, tempat bahan makanan Pati disimpan telah dihancurkan oleh orang Mataram.
Namun semuanya itu sama sekali tidak mengendorkan niat Kangjeng Adipati Pati untuk menyerang Mataram. Justru kemarahannya telah mendorongnya untuk bergerak lebih cepat ke Prambanan.
Tetapi Kangjeng Adipati tidak dapat bergerak malam itu juga. Bahkan tidak pada hari berikutnya, karena Kangjeng Adipati masih harus mengumpulkan laporan tentang pasukan-pasukannya di landasan pengaman yang telah mendapat serangan dari pasukan Mataram.
Namun malam itu juga Kangjeng Adipati memerintahkan, bahwa pasukan itu akan segera bergerak sehari kemudian, setelah menyusun kembali segala rencananya.
Tentang persediaan bahan makanan dan perbekalan Kangjeng Adipati justru memerintahkan, "Kita harus mendapatkan bahan makanan pengganti di sepanjang perjalanan. Tetapi jangan takut, di Mataram terdapat banyak lumbung yang telah disiapkan bagi kita semua. Kita akan mendapatkan bahan makanan dan perbekalan yang melimpah."
Disisa malam itu Kangjeng Adipati Pati justru menunggu laporan-laporan berikutnya tentang perkembangan keadaan. Kelompok pengawas telah dilepaskan untuk mengamati keadaan, apakah Mataram merencanakan serangan yang lebih besar ke Jati Anom. Atau bahkan mungkin Mataram telah mengepung Jati Anom dari beberapa penjuru dengan menggerakkan pasukan yang berkemah di Prambanan serta prajurit Mataram yang berada di Jati Anom.
Namun para petugas sandi-pun kemudian melaporkan, bahwa mereka tidak melihat lagi gerakan pasukan Mataram, sehingga para petugas sandi yakin, bahwa Mataram tidak akan menyerang lewat fajar hari itu.
"Yang terjadi tidak lebih dari sekedar gangguan-gangguan kecil," berkata seorang Senapati kepada Kangjeng Adipati. Tetapi Kangjeng Adipati itu menjawab, "Besar atau kecil, tetapi kita sudah kehilangan banyak prajurit. Selebihnya, kita juga sudah kehilangan lumbung utama kita."
"Tetapi hal itu tidak mengurangi kemampuan pasukan kita," berkata Senapati itu.
"Aku bukan orang dungu," Kangjeng Adipati justru membentuk, "satu saja prajuritku terbunuh, itu berarti bahwa kemampuan kita sudah berkurang."
Senapati itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, menjelang fajar, di medan sebelah Utara Kota-raja, prajurit Mataram yang dipimpin Ki Tumenggung Wirayuda sudah bersiap. Agung Sedayu-dengan Pasukan Khususnya akan tetap berada di kepala gelar Garuda Nglayang. Ki Wirayuda yang menilai pertempuran dihari pertama ternyata tidak merubah gelar dan letak pasukan. Gelarnya akan dapat dengan mantap menghadapi gelar-gelar yang membentang atau gelar yang sempit menggelembung seperti gelar yang sebelumnya dipergunakan, Dirada Meta.
Namun sebelum gelar pasukan Mataram tersusun rapi, maka dua orang pengawas dengan tergesa-gesa memberitahukan bahwa pasukan Pati justru sudah mulai bergerak.
"Kita belum mendengar isyarat dan aba-aba," sahut Ki Lurah Semita.
"Nampaknya isyarat dan aba-aba dberikan dari kelompok ke kelompok," jawab pengawas itu.
"Apakah kalian lihat gelar yang dipergunakan?" bertanya Ki Tumenggung Wirayuda.
"Mereka kembali menggelar gelar Dirada meta atau Cakra Byuha yang dalam ujud kewadagan hampir sama," jawab pengawas itu.
Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Namun kemudian ia memperingatkan kepada para Senapati dalam Pasukannya, "Jika mereka mempergunakan gelar Cakra Byuha, maka gelar itu akan berputar. Kita harus lebih berhati-hati. Namun jika orang-orang Pati itu tidak memahami watak gelar yang mereka pergunakan, maka gelar Cakra Byuha itu akan dapat menghancurkan mereka sendiri."
"Nampaknya pasukan Pati tidak seluruhnya terdiri dari prajurit-prajurit murni. Sebagian dari mereka tentu terdiri pada pengawal dan bahkan mungkin orang-orang yang berhasil mereka himpun dari daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng," sahut Agung Sedayu.
"Ya," Ki Tumenggung mengangguk-angguk, "agaknya Senapati dari Pati itu tidak akan berani mempergunakan gelar Cakra Byuha yang rumit meski-pun sangat berbahaya bagi lawan."
Demikianlah, maka Ki Wirayuda-pun dengan cepat mempersiapkan pasukannya dalam gelar Garuda Nglayang. Dengan cepat gelar itu turun ke medan lengkap dengan segala macam pertanda kebesaran pasukan masing-masing.
Pada saat langit menjadi merah, maka kedua gelar pasukan itu sudah siap untuk memasuki medan pertempuran. Bahkan pasukan Pati yang telah bersiap lebih dahulu, telah mulai bergerak, semakin lama semakin cepat.
Ketika kemudian matahari terbit, maka pasukan Pati telah mempercepat gerak maju pasukannya. Semakin terang, maka semakin jelas, bahwa pasukan Pati memang memepergunakan gelar Dirada Meta. Namun tentu sudah dengan beberapa perbaikan tatanan. Agaknya Pati-pun memperhitungkan bahwa Mataram masih akan mempergunakan gelar yang sama dengan hari sebelumnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, kedua pasukan itu-pun sudah saling berhadapan, Ki Tumenggung Wirayuda dan seperti hari sebelumnya, berada di bagian kepala gelarnya telah memberikan aba-aba yang disahut dan kemudian menjalar dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain.
Beberapa saat kemudian, ketika matahari terbit, kedua pasukan itu-pun telah berbenturan. Gelar Dirada Meta yang garang itu telah menghantam pasukan Mataram dalam gelar Garuda Nglayang. Tidak seperti dihari pertama, pasukan Mataram sempat dikejutkan oleh perubahan gelar dari pasukan Pati. Pada hari kedua, pasukan Mataram yang mapan telah siap menghadapi gelar Dirada Meta yang garang itu.
Pada saat gelar Dirada Meta itu menghantam induk pasukan Mataram di tengah-tengah gelarnya, maka gelar Garuda Nglayang itu memang sempat terguncang. Tetapi gelar Garuda Nglayang itu tidak perlu terdorong surut. Ki Tumenggung Wirayuda telah memerintahkan pasukannya untuk tetap bertahan pada garis benturan. Sementara itu, ujung-ujung sayapnya dengan cepat bergerak menghantam lambung gelar lawan.
Namun pasukan Pati itu-pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka hempasan sayap gelar Garuda Nglayang itu tidak dengan serta-merta menggoyahkan pertahanan pasukan Pati.
Sejenak kemudian, pertempuran-pun telah menyala dengan sengitnya. Meski-pun kedua belah pihak menyadari, bahwa mereka tidak boleh menghentakkan tenaga sehingga mereka akan menjadi sangat letih sebelum matahari turun, namun untuk melindungi diri mereka rnasing-masing, maka para prajurit itu harus mengerahkan kemampuan mereka.
Sementara itu, diparuh gelar Garuda Nglayang, Agung Sedayu bertempur dengan garangnya. Cambuknya kadang-kadang menggela-par memekakkan telinga. Para prajurit Pati yang bertempur di sekitar-nya seakan-akan mendapat peringatan, betapa garangnya Pasukan Khusus Mataram itu. Namun kadang-kadang hentakan cambuk Agung Sedayu justru tidak menimbulkan bunyi ledakan. Tetapi justru hentakan cambuk yang seakan-akan lunak itulah yang telah mengguncang jantung orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Sentuhan ujung cambuknya mampu mengoyak kulit daging sampai keputih tulang.
Salah seorang Senapati Pati yang berada di ujung belalai gelar Dirada Meta melihat betapa garangnya Senapati Mataram yang ada diparuh gelarnya. Karena itu, maka dengan serta merta, perwira Pati itu telah berdiri tegak dihadapan Agung Sedayu sambil berkata, "Minggir. Biarlah anak ini aku selesaikan."
Agung Sedayu sempat memperhatikan perwira yang berdiri dihadapannya. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada lapang. Kumisnya yang tebal sebelah menyebelah telah berbaur dengan warna putih. Demikian pula helai-helai rambutnya yang sedikit tergerai dibawah ikat kepalanya.
"Namamu siapa Ki Sanak?" orang itu sempat bertanya.
"Agung Sedayu. Kau?"
"Wirapamungkas," jawab orang itu.
Agung Sedayu tidak berbicara lebih lanjutnya. Ujung juntai cambuknya telah mulai bergetar. Bahkan kemudian sebuah ledakan yang sangat keras seakan-akan telah menggoyahkan selaput telinga.
Wirapamungkas mengerutkan dahinya. Bunyi yang keras itu memang mengganggu pendengarannya. Namun katanya, "He, siapakah kau sebenarnya" Apakah kau seorang gembala yang biasa berkeliaran di padang rumput atau seorang prajurit yang berada di medan pertempuran" Jarang sekali aku bertemu dengan prajurit yang bersenjata cambuk. Apakah yang berkemampuan tidak lebih dari seorang sais pedati beban."
Agung Sedayu segera tanggap. Orang itu tentu juga berilmu tinggi, sehingga ia mampu menilai ledakan cambuknya. Namun demikian mulut orang itu terkatub, maka cambuk Agung Sedayu telah di hentakkannya lagi. Tidak menimbulkan bunyi yang menghentak. Namun Wirapamungkas itu mengerutkan dahinya sambil berkata, "Aku salah menilaimu Ki Sanak. Baiklah. Kita akan menentukan, siapakah yang akan keluar dari pertempuran ini utuh. Wadag dan nyawanya."
Agung Sedayu tidak menjawab, sementara Wirapamungkas telah mengacukan ujung tombaknya.
Agung Sedayu memang harus berhati-hati menghadapi lawannya. Apalagi ketika ia melihat ujung tombak yang kehitam-hitaman itu seakan-akan telah memancarkan cahaya yang kehijau-hijauan.
Demikianlah, sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Tombak Wirapamungkas berputar dengan cepatnya. Namun tiba-tiba tombak itu terayun mendatar. Kemudian mematuk seperti kepala seekor ular.
Tetapi Wirapamungkas harus berloncatan menghindari ujung cambuk Agung Sedayu yang menyambar ke arah leher. Namun kemudian menghentak sendal pancing.
Untuk beberapa saat keduanya bertempur dengan sengitnya, sementara pertempuran menjadi semakin sengit. Ujung-ujung sayap gelar Garuda Nglayang berkali-kali menghantam lambung gelar pasukan Pati. Sekali-sekali pertahanan pasukan Pati itu memang tergetar. Namun kemudian justru gelar itu berusaha menghentak pasukan induk Mataram yang tersusun sebagai kepala seekor garuda dalam gelar Garuda Nglayang.
Semakin tinggi matahari, maka pertempuran itu-pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak semakin meningkatkan kemampuan mereka, sementara tenaga mereka masih sesegar saat pertempuran itu dimulai.
Namun satu-satu korban mulai berjatuhan. Beberapa orang prajurit justru bertugas untuk menyingkirkan kawan-kawan mereka yang terluka dari keganasan medan pertempuran.
Sementara pertempuran menjadi semakin menjadi jadi, maka di Jati Anom, Kangjeng Adipati telah memanggil semua Panglima dan Senapatinya untuk berkumpul.
Kepada para Panglima dan Senapatinya, Kanjeng Adipati Pati menyatakan kemarahannya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar dugaannya. Serangan atas lumbung Utama serta landasan landasan pengamanan di sekitar Jati Anom, menunjukkan betapa tangkasnya prajurit Mataram bergerak dan betapa lemah nyaketahanan prajurit Pati.
Karena itu, maka Kanjeng Adipati-pun memerintahkan bahwa hal-hal seperti itu tidak boleh terjadi lagi.
"Kita harus mendapatkan ganti atas hancurnya lumbung utama itu. Jika kita dengan cepat dapat memecahkan pertahanan Mataram dan masuk menembus dinding kota, maka kita akan mendapatkan gantinya didalam kota itu. Tetapi jika tidak, dalam beberapa hari kita akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka di sepanjang perjalan dari Jati Anom ke Prambanan kita harus menemukan kemungkinan untuk mendapatkan bahan pangan."
Para Senapati itu mengangguk-angguk. Perintah itu jelas. Mereka harus memasuki padukuhan untuk mendapatkan lumbung-lumbung padi. Namun mereka tidak akan menemukannya di Jati Anom, karena semua lumbung yang akan telah dikosongkan sebelumnya.
Dengan demikian, maka para Senapati dan Panglima dari Pati itu akan memperhitungkan bahwa perjalanan mereka akan menjadi semakin lamban.
Beberapa orang Senapati dan Panglima menjadi gelisah oleh perintah itu. Bukan karena mereka mencemaskan kekurangan pangan atau kelambanan gerak maju mereka. Tetapi perintah itu akan dapat membuka kemungkinan buruk bagi para prajurit Pati. Jika mereka harus memasuki padukuhan-padukuhan untuk menemukan lumbung-lumbung padi dan jagung, mereka kesempatan itu akan dapat dipergunakan untuk bukan saja memasuki lumbung bahan pangan. Tetapi juga sentong-sentong rumah orang-orang yang dianggap memiliki harta benda yang bernilai mahal.
Tetapi para Senapati itu tidak dapat menentang perintah Kangjeng Adipati itu.
"Besok kita tinggalkan tempat ini. Kita akan bergerak ke Prambanan. Kita akan membuat pakuwon di sebelah Timur kali Dengkeng," perintah Kangjeng Adipati.
Perintah itu tegas dan pasti.
Dengan demikian, maka pada hari itu, para prajurit Pati di Jati Anom segera mempersiapkan diri. Para prajurit yang kemudian ditugaskan untuk mengadakan landasan pangamanan di sekitar Jati Anom-pun harus menyesuaikan diri. Besok mereka harus kembali keinduk pasukan menjelang fajar dalam kesiagaan untuk segera bergerak menuju ke Jati Anom.
Hari itu juga Kangjeng Adipati telah mendapat berita dari pertempuran yang terjadi di sisi Utara. Pertempuran berlangsung dengan sengitnya di hari pertama. Pasukan Pati itu tidak berhasil memancing kekuatan terbesar Mataram, karena kekuatan yang besar dari Mataram itu telah berangkat menuju Mataram dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom.
"Jika demikian, pasukan kita itu akan dapat menghancurkan pasukan Mataram yang kecil itu. Kemudian bergerak dibelakang pasukan Mataram yang sudah terlanjur menuju ke Prambanan," berkata Kangjeng Adipati.
Penghubung yang memberikan laporan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Di hari kedua sekarang ini masih terjadi pertempuran gelar. Menurut keterangan dari seorang prajurit Mataram yang dapat kami tangkap, pasukan Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh dan beberapa Kademangan serta sepasukan prajurit terpilih dari Kotaraja."
"Kenapa pasukan kita itu tidak segera dapat mengoyak pertahanan lawan yang hanya terdiri dari pasukan kecil itu"
"Kekuatan kedua pasukan cukup berimbang, Kangjeng," jawab penghubung itu, "pertempuran terjadi dalam perang gelar yang utuh. Meski-pun di hari pertama itu kami berhasil mendesak pasukan Mataram, namun kami tidak berhasil memecahkan gelarnya."
"Kenapa kalian tiba-tiba menjadi dungu," geram Kangjeng Adipati, "kalian harus mampu menghancurkan pasukan yang dua kali lipat lebih besar dari pasukan kalian. Bahkan lebih dari itu."
Penghubung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Mudah-mudahan di hari kedua ini Kangjeng."
Namun sebenarnyalah penghubung itu tidak yakin akan kata-katanya, ia menyadari kekuatan pasukan Mataram. Penghubung itu melihat sendiri kelebihan Pasukan Khusus yang ada di induk pasukan Mataram. Kemudian kedua ujung sayap yang bagaikan menusuk menghunjam lambung gelar pasukan dari Pati.
Sebenarnyalah pertempuran pada hari kedua itu pasukan Mataram justru berhasil mendorong pasukan Pati perlahan-lahan mundur. Meski-pun dengan sekuat tenaga dan kemampuan para prajurit Pati berusaha untuk bertahan, namun pasukan Mataram berhasil mengge-tarkart gelar Dirada Meta yang garang itu.
Bahkan semakin lama kedudukan pasukan Pati itu menjadi semakin sulit. Para Senapati yang menjadi ujung belalai serta Senapati pengapitnyua yang menjadi ujung gading Garuda Nglayang.
Agung Sedayu di ujung paruh gelarnya serta kedua Senapati pengapit di pangkal sayapnya, cukup tangguh untuk melawan hentakan gelar lawan.
Namun gelar Dirada meta itu. masih tetap utuh, meski-pun harus bergerak mundur.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wirayuda yang memimpin gelarnya dari induk pasukan berdasarkan laporan-laporan serta benturan pertempuran di induk pasukan, memperhitungkan bahwa kemungkinan yang terbaik dapat dilakukan, oleh pasukannya pada saat itu. Karena itu, maka Ki Tumenggung kemudian telah memerintahkan seluruh pasukan penghubung untuk mengerahkan segenap kemampuan seluruh pasukannya. Selagi gelar pasukan Pati menjadi goyah, maka kesempatan terbaik itu tidak boleh dilewatkan.
Pada saat yang hampir bersamaan para penghubung telah menyampaikan perintah itu kepada para Senapati. Namun pelaksanaannya para Senapati itu harus menunggu isyarat dari Ki Tumenggung Wirayuda agar hentakan itu dapat dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan.
Demikianlah, maka para Senapati-pun segera mempersiapkan diri. Para Senapati-pun telah menyampaikan perintah itu kepada para pemimpin kelompok untuk mempersiapkan diri pula.
Ketika menurut perhitungan Ki Tumenggung Wirayuda perintahnya sudah sampai keujung-ujung sayap, paruh dan pangkal sayap gelarnya, maka Ki Tumenggung-pun telah memerintahkan tiga orang penghubungnya, untuk mempersiapkan panah sendaren. Demikian Ki Tumenggung mengangkat tangannya, maka tiga buah anak panah sendaren meluncur dari tiga buah busurnya, terbang ke liga arah. Ke kedua ujung sayap dan satu justru ke arah gelar lawan lewat diatas paruh gelar Garuda Nglayang.
Dengan isyarat itu, maka serentak para Senapati dan pemimpin kelompok telah meneriakkan aba-aba untuk menghentakkan kekuatan pasukannya menghantam gelar lawan yang sedang goyah.
Isyarat dengan anak panah sendaren itu rnemang menggetarkan. Para prajurit Pati menyadari, bahwa sesuatu akan terjadi. Namun yang terjadi itu memang terlalu cepat. Demikian anak panah itu meraung di udara, maka para Senapati dan pemimpin kelompok pasukan Mataram telah meneriakkan perintah itu.
Tetapi perintah yang diberikan oleh para Senapati Mataram itu merupakan isyarat pula bagi para prajurit Pati, bahwa mereka harus dengan cepat menyesuaikan diri dengan sikap yang akan diambil oleh pasukan Mataram.
Dengan demikian, maka medan itu-pun segera terguncang. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka. Namun karena para prajurit Mataram mempunyai kesempatan yang lebih baik, maka tekanan hentakan kekuatan prajurit Mataram itu terasa semakin berat.
Dalam pada itu. Agung Sedayu telah berusaha untuk mendesak lawannya pula. Ujung cambuknya menghentak-hentak dengan garangnya. Bagi lawannya, Wirapamungkas, ujung juntai cambuk Agung Sedayu itu seakan-akan dapat melihat kemampuan ia meloncat menghindar. Namun ujung tombaknya sekali-kali berhasil mendorong Agung Sedayu untuk bergeser mundur. Tetapi setiap kali Wirapamungkas memang tidak dapat mengejarnya, karena ujung cambuk Agung Sedayu yag menggelapar selalu menahannya.
Tetapi Wirapamungkas memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Agung Sedayu semakin lama semakin menekannya. Ketika ujung cambuk itu mulai menyentuh kulit Wirapamungkas, maka Wirapangungkas menjadi semakin yakin, bahwa lawannya berilmu sangat tinggi.
Bersamaan dengan itu, maka gelar Dirada Meta itu dalam keseluruhan memang terguncang. Karena itu, maka Wirapamungkas itu menjadi semakin gelisah.
Dalam pada itu, Panglima pasukan Pati yang memegang kendali pertempuran itu, melihat kesulitan yang semakin mendera pasukannya yang terguncang. Ia memang tidak dapat berbuat lain keculai memberi kesempatan kepada prajurit-prajurit untuk bergeser surut selagi gelarnya masih belum pecah. Bahkan Panglima pasukan Pati itu justru telah memberikan perintah agar pasukannya bergeser mundur. Jika pasukannya berusaha bertahan pada tempat mereka berpijak, maka korban tentu akan menjadi semakin banyak.
Perlahan-lahan gelar Dirada Meta itu memang terdesak. Dalam keadaan yang sulit, maka gelar itu seakan-akan menggeliat. Pasukan yang berada di ekor gelar, telah mendesak ke lambung. Namun tekanan pasukan Mataram memang terlalu kuat.
Pertahanan Pati dalam gelarnya, semakin lama memang menjadi semakin goyah. Senapati yang bertempur di ujung belalai gelar Dirada Meta sudah terluka. Beberapa orang prajurit berusaha untuk membantunya. Namun Agung Sedayu memang terlalu garang.
Dipangkal sayap, Prastawa bertempur dengan berat. Namun ia tidak mempunyai banyak kelebihan. Namun bahwa para pengawal Tanah Perdikan benar-benar sudah terlatih dalam perang gelar, ternyata sangat membantu kedudukan gelar pasukan Mataram. Meski-pun Prastawa sendiri bukan seorang yang berilmu tinggi, namun ia mampu memberikan peluang-peluang bagi para pengawal, untuk mengatasi kesulitan kesulitan yang terjadi di medan.
Sementara itu di pangkal sayap yang lain, Glagah Putih ternyata mampu membuat lawan-lawannya gelisah. Anak itu masih terhitung muda. Tetapi ia memiliki kelebihan yang sulit dimengerti. Di dalam perang yang sengit itu, Glagah Putih tidak bersenjata pedang. Tetapi ia justru bersenjata sehelai ikat pinggang yang ujudnya seperti ikat pinggang kulit. Namun ternyata bahwa ikat pinggang itu memiliki kelebihan dari senjata yang lain. Sekali-sekali ikat pinggang itu nampak lentur. Tetapi dengan ayunan yang kuat, maka ikat pinggang yang miring itu mampu menebas setajam mata pedang.
Dengan senjatanya itu, maka Glagah Putih mampu menggoyahkan perlawanan para prajurit Pati. Bahkan prajurit yang telah banyak berpengalaman sekalipun. Sehingga karena itu maka akhirnya Glagah Putih harus menghadapi lebih dari seorang lawan.
Ki Lurah Uwanguwung yang menyaksikan Glagah Putih bertempur diantara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh benar-benar menjadi heran. Bahwa ia bertanya kepada diri sendiri, "Apakah ilmuku dapat menyamai ilmu anak yang masih sangat muda itu?"
Apalagi melihat senjata yang dipergunakan. Senjata itu tidak biasa dipergunakan oleh prajurit manapun. Namun Ki Lurah Uwanguwung mengerti bahwa kelebihan anak itu tentu dimilikinya lebih dahulu sebelum ia menjadi pengawal Tanah Perdikan.
Meski-pun demikian, Ki Lurah Uwanguwung itu juga merasa heran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu memiliki kemampuan prajurit.
"Tentu anak itu memegang peranan penting dalam pengembangan kemampuan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh," berkata Ki Lurah Uwanguwung didalam hatinya.
Sementara itu, gelar Dirada Meta itu-pun telah mulai bergetar. Sendi sendinya mulai melemah. Namun para prajurit Pati itu berusaha bertahan dengan mengerahkan sisa-sisa kekuatan yang ada. Mereka berusaha untuk dapat bertahan sampai matahari memudar di sisi Barat.
Ki Tumenggung Wirayuda memang tidak dapat memaksakan kehendaknya. Betapa-pun ia inginkan, namun gelar Garuda Nglayangnya ternyata tidak mampu memecahkan gelar pasukan dari Pati itu.
Ketika Matahari turun, maka pertempuran berhenti. Gelar Dirada Meta itu ternyata jauh terdesak surut. Tetapi sampai saat isyarat terdengar, gelar Dirada Meta itu masih tetap utuh, meski-pun terluka parah.
Ketika gelap turun, maka pertempuran itu-pun telah berhenti. Kedua belah pihak telah berada kembali di perkemahan mereka masing-masing. Sementara itu, para petugas yang mencari korban yang telruka dan gugur dipertempuran menjadi sibuk.
Glagah Putih yang ada dibekas medan pertempuran itu bersama beberapa kelompok prajurit dan pengawal bekerja keras untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka. Yang terluka sgera mendapat perawatan. Sementara yang telah gugur telah dikumpulkan di belakang perkemahan mereka.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih tertegun ketika ia melihat seorang prajurit Pati yang sedang merenungi sesosok tubuh yang telah membeku. Dibawah cahaya oncor dari mereka yang sedang mencari korban itu, Glagah Putih sempat melihat orang itu mengusap air matanya.
Hampir diluar sadarnya Glagah Putih mendekati orang itu. Agaknya prajurit Pati itu-pun menyadari bahwa seseorang tengah mendekatinya.
Orang itu masih mengusap matanya basah ketika ia berdesis, "Apakah kau juga seorang prajurit ngger?"
"Bukan paman. Aku adalah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh," jawab Glagah Putih.
"Ya. Kau memang tidak mengenakan pakaian yang sama dengan para prajurit terlalu muda untuk berada di medan perang yang ganas seperti ini."
"Itu merupakan tugas yang harus aku lakukan, paman," jawab Glagah Putih.
Orang itu mengangguk-angguk. Kemudian sambil merenungi sesosok tubuh yang terbaring dihadapannya ia berkata, "Anak ini juga masih sangat muda. Mungkin sebaya dengan kau, ngger."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah ia sudah gugur?"
"Ya. Ia sudah gugur dalam pertempuran ini. Siapa-pun yang telah membunuhnya, maka ia sudah merampas masa depannya yang panjang. Ia adalah satu-satunya anakku."
"O," Glagah Putih-pun kemudian berjongkok di sebelah orang itu. Ditatapnya wajah anak muda yang tergolek diam. Cahaya oncor yang bergerak-gerak ditiup angin memberikan kesan, seakan-akan anak muda itu masih berdarah dan bernafas.
Tetapi orang yang kehilangan anaknya itu berkata, "jika kita melihat wajahnya yang merah, itu bukan karena darahnya. Tetapi api oncor itulah yang mewarnainya. Jika dadanya nampak bergerak, itu bukan karena pernafasannya. Tetapi angin telah menggoyang lidah api oncor itu."
Glagah Putih tidak menjawab. Suara orang itu menjadi semakin sendu. Bahkan kemudian seakan-akan telah tersangkut di tenggorokannya, "Anak muda. Kenapa bukan aku saja yang mati dipertempuran ini" Tetapi kenapa harus anakku" Satu-satunya anak laki-laki dalam keluargaku."
"Paman. Ia gugur dalam mengemban tugasnya, "sahut Glagah Putih.
"Ya. Ia memang gugur dalam tugas mulia. Aku tahu. Tetapi kenapa anakku itulah yang gugur" Kenapa bukan aku" Kenapa" Aku sudah jauh lebih lama hidup di dunia ini. Aku sudah banyak makan pahit manisnya kehidupan. Tetapi kenapa anakku yang masih sangat muda itu?"
"Tidak seorang-pun yang mampu merubah garis kehidupan seorang paman." berkata Glagah Putih.
Orang itu mengangguk. Sekali lagi ia mengusap matanya sambil berdesis, "Anak muda. Kenapa kau ikut berperang" Tugas" Kewajiban" Perang adalah jalan yang terburuk untuk mencari penyelesaian tentang apa-pun juga. Perang adalah perlambang dari bencana bagi umat manusia."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara orang itu-pun kemudian bangkit dan mengangkat tubuh yang sudah membeku itu.
Cahaya oncor masih nampak kemerah-merahan menyentuh tubuh-tubuh yang basah oleh keringat. Tetapi juga satu dua tubuh yang-berbaring diam.
Prajurit yang mengangkat tubuh anaknya itu berjalan menuju ke kegelapan sebagaimana gelapnya hatinya sendiri.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, betapa sedihnya hati laki-laki yang kehilangan anaknya. Betapa sedihnya pula ibunya jika kelak suaminya datang sambil membawa berita tentang kematian anak laki-lakinya. Apalagi jika laki-laki itu juga tidak pernah pulang. Mungkin jika pertempuran terjadi lagi di medan itu, laki-laki yang kehilangan anaknya itu akan kehilangan nyawanya sendiri.
Glagah Putih memandang medan yang luas itu. Disana sini masih nampak oncor yang menyala. Beberapa orang masih sibuk mencari korban di bekas medan pertempuran itu.
Perang memang kejam. Perang bukan saja menelan banyak jiwa. Tetapi perang juga menelan banyak kepribadian.
Glagah Putih menengadahkan wajahnya kelangit. Betapa luasnya. Bintang yang tidak dapat dihitung jumlahnya bertebaran.
Alangkah besarnya ciptaan Yang Maha Agung. Manusia tidak lebih dari debu di hadapan-Nya. Namun diantara sesama manusia merasa dirinya dapat berbuat apa saja. Bahkan kadang-kadang dengan memaksakan kehendaknya kepada sesamanya itu.
Glagah Putih terkejut ketika Prastawa menghampirinya sambil berkata, "Nampaknya tugas kita sudah selesai. Jumlah kawan-kawan kita yang gugur dan terluka sudah kita ketahui. Semuanya sudah kita ketemukan."
"Marilah," sahut Glagah Putih.
Ketika keduanya meninggalkan medan, maka lamat-lamat dikejauhan terdengar suara seruling. Seakan-akan begitu saja dihanyutkan oleh angin.
Prastawa yang tubuhnya masih basah oleh keringat itu menggeram, "Orang gila itu sempat juga meniup seruling."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia teringat kepada Rudita. Ia tidak tahu apakah yang meniup seruling itu Rudita, atau orang lain atau bahkan prajurit yang menemukan dirinya dalam kelengangan medan perang di malam hari. Namun suara seruling itu rasa-rasanya menyentuh dinding jantungnya.
"Apakah akal budi yang dikaruniakan oleh Yang Maha Agung itu sekedar dipergunakan untuk menemukan cara yang terbaik untuk membunuh sesama?" pertanyaan itu tiba-tiba saja bergema di hatinya.
Namun Glagah Putih sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia berjalan di sebelah Prastawa sambil menundukkan kepalanya. Yang terbayang adalah wajah Rudita yang sejuk memancarkan kedamaian di harinya. Namun kemudian juga terbayang wajah anak muda dalam dukungan ayahnya. Dibawah gapaian cahaya oncor, wajah itu-pun membayangkan kedamaian yang jernih. Semua persoalan yang terjadi pada dirinya sudah diselesaikan dengan tuntas.
Ketika malam itu Glagah Putih sempat menemui Agung Sedayu ketika mereka beristirahat sebelum sempat memejamkan mata mereka disisa malam, Agung Sedayu-pun berkata bahwa ia telah mendengar suara seruling dikejauhan.
"Aku tidak tahu siapakah yang telah meniup seruling itu," berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun Agung Sedayu-pun kemudian berkata, "Sudahlah. Tidurlah. Kau masih mempunyai sedikit waktu."
Glagah Putih-pun kemudian pergi menemui Prastawa yang sudah berbaring diatas ketepe yang dibuat dari anyaman daun kelapa.
"Apakah kau tidak akan beristirahat?" bertanya Prastawa.
"Ya. Aku ingin tidur meski-pun hanya beberapa saat," jawab Glagah Putih.
Candra Kirana 3 Fear Street - Nilai Akhir Final Grade Cakar Maut 2
^