Sayap Sayap Terkembang 20
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 20
Namun baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung terkejut ketika ia mendengar orang yang bertempur melawan Sambi Wulung itu berteriak, "Bawa orang itu pergi. Aku akan menyelesaikan orang ini."
"Kenapa begitu lama?" terdengar orang dari dalam bilik itu bertanya.
"Ia memiliki kemampuan iblis," jawab orang itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung melihat kemudian dinding yang telah koyak itu tersibak. Sementara itu, maka keduanya sedang bertempur dengan orang yang agaknya berilmu tinggi, sehingga baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung tidak dapat meninggalkan lawan-lawannya itu.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun tiba-tiba telah berteriak, "Jangan bawa orang itu pergi. He, tunggu."
Jati Wulungpun berteriak pula sebagaimana Sambi Wulung. Bukan sekedar mencegah agar Ki Lurah Mertapraja tidak dibawa pergi. Tetapi ia juga berharap agar orang-orang yang ada di pendapa banjar mendengar suaranya.
"Pengecut, jangan lari."
Suara Sambi Wulung dan Jati Wulung memang didengar oleh orang-orang yang ada di pendapa. Dengan serta-merta para pengawal yang ada di pendapa segera berlari-lari menuju ke belakang gandok.
Ternyata hal itu diketahui juga oleh dua orang yang keluar dari bilik Ki Lurah Mertapraja lewat dinding yang koyak itu. Dengan geram seorang di antaranya berkata, "Kau panggil kawan-kawanmu. Jika demikian apaboleh buat, aku terpaksa membunuh mereka."
Sambi Wulung memang menjadi cemas. Dengan cepat ia berteriak ketika ia mendengar derap langkah para pengawal berlari, "Hati-hati. Jangan tergesa-gesa."
Tetapi Sambi Wulung terlambat. Demikian dua orang muncul dari sudut gandok bagian depan, maka salah seorang yang keluar dari bilik lewat dinding yang koyak itu telah menyongsongnya. Dalam sekejap, dua orang pengawal terpelanting jatuh. Seorang masih sempat menyerang. Tetapi seorang yang lain sama sekali tidak sempat mengaduh.
Sementara itu, seorang yang lain telah membimbing Ki Lurah Mertapraja melintasi halaman menuju ke kebun yang gelap.
Tetapi bayangan yang lain, yang juga keluar dari dinding yang koyak itu telah memburunya ke dalam gelap. Jarak mereka memang belum terlalu jauh, sehingga karena itu, maka orang yang melarikan Ki Lurah Mertapraja itu harus berhenti, melepaskan Ki Lurah dan siap menghadapi orang yang memburunya itu.
Suasanapun menjadi kacau. Dua orang lagi pengawal yang datang telah terlempar jatuh pula.
Namun yang kemudian datang, ternyata agak lain dari para pengawal yang telah terbaring diam. Empat orang pengawal telah jatuh. Namun ketika bayangan yang lain muncul, maka ketika orang yang menunggu di sudut belakang gandok itu menyerang, dengan tangkas bayangan itu menghindar. Demikian pula serangan-serangan beruntun yang datang selalu berhasil dihindarinya.
"Iblis kau," geram orang itu.
Orang itu terkejut ketika terdengar jawaban, suara seorang perempuan, "Jangan licik begitu Ki Sanak."
"Siapa yang licik" Aku berhak mempergunakan caraku untuk mengambil anakku," jawab orang itu.
Namun tiba-tiba ia bertanya, "He, kau seorang perempuan?"
"Kenapa?" bertanya perempuan itu.
"Kaukah ibu Kepala Tanah Perdikan ini?"
"Bukan. Aku bibinya," jawab perempuan itu.
"Persetan kau. Kaulah yang akan mati kemudian setelah para pengawal itu," geram orang itu.
Tetapi perempuan itu, ibu Kasadha, sama sekali tidak menjadi gentar. Iapun bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ia masih sempat bertanya, "Apa hubunganmu dengan Ki Lurah Mertapraja sehingga kau mempertaruhkan nyawamu untuk melepaskannya?"
"Apa pedulimu," sahut orang itu.
"Aku hanya ingin tahu, karena jika tidak ada sangkut pautnya sama sekali, tidak mungkin kalian melakukannya. Apalagi dengan satu kemungkinan bahwa kau tidak akan keluar lagi dari padukuhan ini," desis ibu Kasadha.
"Apa pedulimu. Jika kau mau membunuh dirimu, lakukanlah. Aku akan membantumu tanpa harus kau ketahui siapa aku."
"Baiklah. Kau akan mati tanpa nama," desis Warsi.
Orang itu tidak menghiraukannya lagi. Dengan serta-merta iapun meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi ibu Kasadha itu telah bersiap sepenuhnya. Ketika tangan orang itu menyambarnya, maka dengan cepatnya ia meloncat menghindar. Namun ketika getar udara yang timbul karena ayunan tangan orang itu menerpa wajahnya, maka ibu Kasadha itupun segera menyadari, bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.
Sementara itu, Risang dan Kasadha telah berada di belakang gandok itu pula. Seorang pengawal yang melihat seseorang berlari ke kegelapan bersama Ki Lurah Mertapraja telah memburunya pula sambil berkata, "Ki Lurah telah melarikan diri."
Risang dan Kasadhapun segera berlari pula mengikuti pengawal itu ke dalam gelap.
Mereka tertegun ketika mereka melihat dua orang yang telah bertempur di dalam gelap. Sementara itu terdengar suara seorang perempuan, "Cari Ki Lurah Mertapraja yang melarikan diri."
Risang segera mengenali suara itu. Suara itu adalah suara ibunya. Ketika terdengar keributan, maka ibunya itu telah langsung membuka bilik Ki Lurah dari pintu depan dan berlari masuk. Namun agaknya Ki Lurah telah melarikan diri lewat dinding yang koyak, sehingga ibunyapun telah menyusul pula lewat dinding yang terbuka itu.
Ketika Risang dan Kasadha berlari memburu Ki Lurah Mertapraja bersama pengawal itu, maka terdengar suara tertawa berkepanjangan. Katanya, "Ki Lurah bukan orang kebanyakan. Mereka tidak akan terlalu mudah menangkapnya."
"Mereka yang mengejarnya juga bukan orang kebanyakan. Apalagi sekitar banjar ini, para pengawal sudah siap berjaga-jaga," jawab Nyi Wiradana.
Tetapi orang itu masih tertawa. Katanya, "Semakin banyak orang yang mengejarnya, korban akan menjadi semakin banyak berhamburan di jalan-jalan padukuhan ini. Tetapi itu adalah tanggung jawab kalian sendiri. Kalian yang membuat persoalan, jadi kalianlah yang akan menanggung akibatnya."
Tetapi Nyi Wiradanapun tersenyum sambil berkata, "Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi ia mempunyai keterbatasan. Sementara itu jumlah para pengawal tidak terhitung lagi. Jika mereka yang ada di padukuhan ini tidak cukup banyak, maka kami dapat membunyikan isyarat memanggil para pengawal dari padukuhan yang lain, se-ii hingga betapapun tinggi ilmu kalian, maka kalian akan kehabisan tenaga. Akhirnya kami akan dapat menangkap kalian hidup atau mati."
"Satu mimpi buruk bagimu," sahut orang itu.
Nyi Wiradana tidak sempat menjawab lagi. Dengan cepatnya orang itu menyambar dengan tangannya yang garang. Jari-jarinya terbuka seperti jari-jari seekor burung elang yang lapar.
Tetapi Nyi Wiradana dengan cepat mengelak pula. Namun lawannya tidak melepaskannya. Dengan garangnya ia memburu. Tangannya masih saja terbuka dengan jari-jari yang mengembang siap untuk mencengkeram kulit dagingnya yang seakan-akan hendak dikoyakkan.
Tetapi Nyi Wiradana cukup tangkas. Serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan Nyi Wiradana itupun dengan cepat pula membalas menyerang.
Dalam pada itu, Risang dan Kasadha telah sampai ke dinding halaman di kegelapan. Mereka memang menjadi agak kebingungan. Mereka tidak segera menemukan Ki Mertapraja.
"Orang itu tentu meloncat keluar," desis Risang.
"Ya," sahut Kasadha. "Kita lihat saja di luar dinding halaman ini."
Keduanyapun kemudian telah meloncati dinding. Mereka memang melihat pertempuran yang terjadi beberapa puluh langkah dari dinding halaman itu. Risang dan Kasadhapun segera menduga, bahwa para pengawal itu sedang berusaha menangkap Ki Lurah Mertapraja.
Karena itu, maka mereka berduapun segera meloncat turun keluar halaman dan berlari-lari ke arah keributan yang diterangi oleh oncor di regol halaman seseorang meskipun hanya lamat-lamat.
Tetapi Risang dan Kasadha terkejut ketika ia melihat para pengawal sedang bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi. Seorang di antara mereka adalah Ki Lurah Mertapraja, sedangkan yang seorang lagi nampaknya ilmunya lebih tinggi dari Ki Lurah, sehingga para pengawal mengalami kesulitan. Dua orang pengawal telah terbaring di pinggir jalan ditunggui oleh masing-masing seorang kawannya yang membantunya memperingan penderitaannya.
"Tangkap Ki Lurah," berkata Risang kepada Kasadha, "aku akan mencoba melawan yang seorang lagi."
"Kita jangan kehilangan orang itu. Karena itu, biarlah kita berdua bertempur melawannya dan berusaha menangkapnya. Biarlah para pengawal berusaha menangkap Ki Lurah. Kecuali jika para pengawal tidak berhasil, aku akan berusaha menangkapnya bersama para pengawal," jawab Kasadha.
Ternyata Risang sependapat. Katanya, "Baiklah. Marilah."
Ketika keduanya kemudian memasuki arena, maka seorang lagi dari antara para pengawal yang terlempar dari arena dan jatuh terbanting di tanah.
"Bawa anak itu menepi," perintah Risang.
Para pengawal itu menjadi berbesar hati ketika mereka melihat Risang dan Kasadha ada di antara mereka.
Demikianlah, maka Risang dan Kasadhapun segera mempersiapkan diri menghadapi orang yang telah berusaha melindungi Ki Lurah itu. Sementara Risang memberikan isyarat agar para pengawal berusaha menangkap Ki Lurah Mertapraja.
Meskipun kesadaran Ki Lurah itu terganggu, tetapi ternyata ia masih mampu bertempur dengan garangnya. Kakinya berloncatan dengan cepatnya. Tangannya terayun-ayun mengerikan. Sambil berteriak-teriak ia bertempur dengan segenap kekuatan dan kemampuannya. Justru karena kesadarannya tidak utuh itu, maka Ki Lurah menjadi seakan-akan semakin berbahaya. Segala gerak dan sikapnya benar-benar berada di luar kendali.
Beberapa orang pengawal yang mengepungnya memang menjadi sangat berhati-hati. Sementara itu Risang masih sempat memperingatkan, "Tangkap ia hidup-hidup."
Justru karena itulah, maka para pengawal itu bertempur semakin berhati-hati. Mereka harus menangkap Ki Lurah itu tanpa menyakitinya, sementara Ki Lurah sendiri sama sekali tidak mengendalikan diri. Demikian pula senjata yang diberikan kepadanya oleh orang-orang yang berusaha membebaskannya.
Sementara itu Risang dan Kasadha telah bertempur melawan orang yang berusaha melindungi Ki Lurah Mertapraja itu. Dengan kasarnya orang itu mengumpat ketika ia menyadari, bahwa dua orang anak muda itu memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain.
"Ternyata kalian mempunyai kemampuan lebih baik dari kawan-kawanmu. Apakah kau pemimpin pengawal di Tanah Perdikan ini?" bertanya orang itu.
"Ya," jawab Risang. "Karena itu menyerahlah."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau tidak mengenal aku dan kawan-kawanku yang datang untuk mengambil Ki Lurah Mertapraja."
"Ya. Kami memang belum mengenal kalian. Karena itu, katakan, siapakah kalian yang berusaha membebaskan Ki Lurah dan apa hubungan kalian dengan Padepokan Watu Kuning."
"Kami bukan orang-orang Watu Kuning. Kami tidak mempunyai hubungan apapun dengan Watu Kuning. Tetapi kami mempunyai hubungan dengan Ki Lurah Mertapraja," jawab orang itu.
Risang yang pernah mendengar ceritera Warsi tentang Perguruan Wukir Gading, tiba-tiba saja bertanya, "Apakah kalian termasuk orang-orang dari Perguruan Wukir Gading?"
Orang itu terkejut. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, "Dari mana kau tahu tentang Wukir Gading" Tetapi Wukir Gading yang mana yang kalian maksud?"
"Setahuku hanya ada satu Wukir Gading," jawab Risang.
"Ada tiga Perguruan Wukir Gading," jawab orang itu.
"Aku tidak peduli," jawab Risang. "Dari Wukir Gading yang manapun, menyerahlah."
Tetapi orang itu tertawa semakin keras. Katanya, "Ternyata kau tidak tahu apa-apa. Nah, sekarang perintahkan pengawal-pengawal Tanah Perdikan itu untuk menghentikan usahanya menangkap Ki Lurah Mertapraja. Jika tidak, maka kalian semua akan mati malam ini."
Tetapi Risang justru berteriak, "Cepat, tangkap Ki Lurah yang terganggu kesadarannya itu. Ia akan dapat menjadi orang yang sangat berbahaya."
"Setan kau," geram orang itu. Katanya kemudian, "Kalian memang harus segera mati."
Tetapi justru Risanglah yang menyerang lebih dahulu, disusul dengan serangan Kasadha yang keras. Tetapi dengan tangkasnya orang itu menghindar dengan loncatan ke samping. Namun demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun segera melenting menyerang kembali.
Demikianlah, maka merekapun segera bertempur dengan sengitnya. Risang dan Kasadha bersama-sama melawan orang yang berilmu tinggi itu. Sedangkan para pengawal juga telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Lurah Mertapraja yang benar-benar telah kehilangan penalarannya.
Sementara itu, di halaman banjar, di belakang gandok, telah terjadi pula pertempuran yang sengit. Justru orang-orang berilmu tinggi sedang mempertaruhkan kemampuan mereka.
Selain mereka ternyata masih ada lagi seorang yang bertempur di halaman banjar. Orang itu tanpa diketahui dari mana datangnya telah memotong tali kentongan. Dan bahkan dengan kapaknya ia mencoba untuk memecahkan kentongan yang memang tidak begitu besar dan terbuat dari kayu yang lunak.
Beberapa orang pengawal yang masih berjaga-jaga di halaman banjar itu terkejut. Dengan serta-merta merekapun telah mengepung orang itu. Bahkan ada di antara para pengawal yang telah memanggil kawan-kawannya yang ada di luar halaman. Sementara kawannya yang lain telah berada di belakang gandok melihat dengan kebingungan pertempuran yang hampir tidak mereka mengerti apa yang terjadi antara orang-orang yang berilmu tinggi.
Orang yang berada di halaman dan memutus tali kentongan itu tertawa. Katanya, "Kalian tidak dapat memberi isyarat lagi."
"Kau kira kentongan hanya ada satu di padukuhan ini," jawab seorang pengawal.
"Di setiap gardu kita mempunyai kentongan," berkata pengawal yang lain.
"Kentongan-kentongan kecil itu suaranya tidak akan menggapai padukuhan sebelah," berkata orang itu masih sambil tertawa, sementara itu kapaknya terayun-ayun mengerikan.
Beberapa orang pengawal yang mengepung orang itu memang menjadi termangu-mangu. Orang itu agaknya memiliki ilmu yang tinggi. Ia samar sekali tidak gentar melihat beberapa orang pengawal yang mengepungnya.
Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang sudah berpengalaman itupun tidak akan melepaskan mereka. Seorang pengawal tertua di antara mereka telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk maju mendekat.
"Menyerahlah," berkata pengawal itu.
"Untuk apa aku menyerah" Jika hanya untuk menyerah saja, aku tidak akan datang memutuskan tali kentongan dan memecahnya. Bukankah lebih baik bagiku untuk melarikan diri saja" Nah, sekarang aku ada disini. Marilah, semakin banyak para pengawal yang mengepungku, maka korbanpun akan semakin banyak berjatuhan," berkata orang itu masih sambil tertawa.
Orang yang tertua di antara para pengawal itupun kemudian justru memberikan aba-aba kepada kawan-kawannya untuk menyerang.
Sejenak kemudian maka di halaman itupun telah terjadi pertempuran. Ternyata orang berkapak itu memang orang berilmu tinggi. Ketika para pengawal yang mengepungnya itu menyerang bersama-sama dari beberapa arah, maka iapun telah menerobos kepungan itu dengan memutar kapaknya.
Ternyata para pengawal memang tidak mampu menahannya. Seorang pengawal yang mencoba untuk menahan ayunan kapak itu, pedangnya justru telah terpental. Sementara sebuah tombak pendek yang terjulur ke arah dada orang itu tidak mengenai sasarannya. Bahkan dengan satu ayunan kapak yang sangat keras, landean tombak itu telah menjadi patah.
Demikian orang itu terlepas dari kepungan, maka suara tertawanya telah meledak lagi memenuhi halaman banjar. Sementara para pengawal telah memburunya dan berusaha untuk mengepungnya lagi.
Ketika kemudian terjadi lagi benturan, maka orang itu dengan tangkasnya berhasil menyibak satu sisi kepungan. Sekali lagi orang itu lolos dan seorang pengawal telah terdorong beberapa langkah surut. Dadanya nampak berdarah karena seleret luka menyilang di dadanya itu.
Orang itu tertawa lagi. Katanya, "Marilah. Satu demi satu kalian akan jatuh menjadi korban."
Meskipun jantung para pengawal memang agak tergetar, tetapi para pengawal itu tidak ingkar akan kewajiban mereka. Dengan dada tengadah mereka telah bergerak maju. Merekapun segera mengepung lagi orang yang tidak dikenal itu.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang ada di halaman banjar itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Beberapa ekor kuda berlari kencang menuju ke regol halaman banjar itu.
Pertempuran di halaman itupun terhenti. Semua orang memandang ke regol halaman.
Di bawah cahaya oncor di regol, mereka melihat empat orang berkuda memasuki halaman. Dua orang pengawal Tanah Perdikan dan dua orang lainnya adalah para perwira prajurit Madiun yang sedang bermalam di banjar.
"Apa yang terjadi?" bertanya Ki Tumenggung Puspalaga.
"Beberapa orang berusaha mengambil Ki Lurah Mertapraja," jawab pengawal tertua yang mengepung orang yang memutuskan tali kentongan.
"Sudah aku duga," jawab Ki Tumenggung Puspalaga. "Di mana Angger Risang dan Angger Kasadha?"
"Mereka tadi pergi ke belakang gandok," jawab pengawal itu.
Ki Tumenggung Puspalaga termangu-mangu sejenak. Ia melihat seorang pengawal yang terluka dan melihat pula landean tombak yang patah. Karena itu, maka iapun segera mengetahui, bahwa orang itu tentu orang yang berilmu tinggi. Tanpa gentar, dihadapinya sejumlah para pengawal yang mengepungnya.
"Ki Lurah Samekta," berkata Ki Tumenggung Puspalaga, "lihat apa yang terjadi di belakang gandok. Biarlah aku setidak-tidaknya menahan orang ini agar tidak dengan semena-mena membunuh para pengawal."
"Siapa kau, he?" bertanya orang itu.
"Aku salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan," jawab Ki Tumenggung Puspalaga yang memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan sebagaimana Ki Lurah Samekta.
"Marilah jika kau ingin membunuh diri mendahului para pengawal. Aku akan dengan senang hati memecah dahimu dengan kapakku ini," berkata orang itu.
Ki Tumenggung Puspalaga yang sudah turun dan kudanya melangkah perlahan-lahan mendekati orang itu, sementara Ki Lurah Samekta setelah menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal, dengan tergesa-gesa pergi ke belakang gandok.
Ki Lurah memang terkejut. Ia melihat pertempuran yang sedang terjadi di belakang gandok. Justru pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi.
Ki Lurah Samekta memang tidak dengan serta-merta ikut campur dalam pertempuran itu. Ia berdiri di antara beberapa orang pengawal Tanah Perdikan yang berdiri termangu-mangu.
Sementara itu, Ki Tumenggung Puspalaga telah berhadapan dengan orang yang bersenjata kapak itu, sementara beberapa orang pengawal masih tetap mengepungnya dari segala arah. Ujung-ujung senjata yang teracu nampak seperti ujung daun pohon seribu tombak yang runcing berduri.
Ternyata orang itu mulai menjadi bersungguh-sungguh. Ia melihat sikap Ki Tumenggung Puspalaga yang tenang dan mantap. Dengan demikian maka orang itu menyadari, bahwa orang yang mengaku pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain.
Ternyata sejenak kemudian orang yang bersenjata kapak itu mulai menyerang. Sementara itu Ki Tumenggung Puspalaga sudah menggenggam hulu pedangnya. Pedang seorang perwira tinggi prajurit Madiun.
Sejenak kemudian, maka pertempuran sengitpun terjadi. Ternyata Ki Tumenggung Puspalaga cukup tangkas menghadapi orang bersenjata kapak itu. Dengan demikian, maka pertempuran itupun dengan cepat menjadi semakin garang. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan.
Orang bersenjata kapak itu memang seorang yang berilmu tinggi. Beberapa kali ia berhasil mendesak Ki Tumenggung Puspalaga. Namun setiap kali ujung-ujung senjata para pengawal telah bergerak pula. Seperti gelombang air laut, maka beruntun ujung-ujung tombak itu menyerang dari segala arah.
Dalam pada itu, di belakang gandok, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Orang-orang berilmu sangat tinggi telah mengerahkan kemampuan mereka. Karena itu, maka beberapa orang pengawal yang telah berada di tempat itu tidak dapat langsung melibatkan diri dalam pertempuran itu. Demikian pula Ki Lurah Samekta. Meskipun ia termasuk seorang prajurit pilihan, namun ia masih belum mencapai tataran ilmu dari mereka yang sedang bertempur itu.
Namun dalam pada itu, Warsi, ibu Kasadha terkejut ketika lawannya tiba-tiba saja berkata, "He, siapa kau sebenarnya?"
"Kenapa?" bertanya Warsi.
"Aku kenal dengan satu dua unsur gerakmu ciri dari perguruan Kalamerta. He, apakah kau memang berasal dari perguruan Kalamerta yang menakutkan itu?" bertanya orang itu.
"Siapapun aku, kau tidak perlu menghiraukan. Kita berdiri berhadapan dengan kepentingan yang berlawanan pula. He, apakah kau kira aku tidak mengenali unsur-unsur dari perguruan Wukir Gading yang kau pergunakan itu?" jawab Warsi.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku memang dari perguruan Wukir Gading. Nah, kita akan melihat, apakah perguruan Kalamerta yang pernah ditakuti itu mampu mengalahkan ilmu dari perguruan Wukir Gading."
"Baik," jawab Warsi. "Kita akan melihat, apa yang terjadi nanti. Kau atau aku."
Lawannya tidak menjawab lagi. Namun serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan garang. Tetapi Warsipun bertempur semakin keras pula. Bahkan ketika ia benar-benar harus mengerahkan kemampuannya, maka unsur-unsur geraknya memang nampak menjadi semakin kasar. Namun bagi para pengawal yang melihat pertempuran itu di keremangan malam, tidak dapat membedakan antara unsur-unsur yang keras dan kasar. Pertempuran yang mereka saksikan adalah pertempuran yang sengit.
Tetapi kehadiran para pengawal itu mau tidak mau telah berpengaruh pula. Ujung-ujung senjata yang mencuat dalam kegelapan dan sekali-sekali nampak berkilau memantulkan cahaya bintang di langit dan lampu oncor di kejauhan, membuat jantung lawan Warsi itu bergetar. Betapapun lemahnya para pengawal, namun jika ujung senjata itu mengurungnya, sementara seorang yang berilmu tinggi harus dihadapinya dengan penuh perhatian, maka ia akan dapat mengalami kesulitan.
Tetapi dengan tekad yang bergelora di hatinya, maka orang itu benar-benar ingin menunjukkan bahwa ia akan mampu mengalahkan perempuan yang garang, yang ternyata memiliki latar belakang ilmu Kalamerta itu. Apalagi setelah keduanya bertempur dengan senjata. Rantai di tangan Warsi berputaran dengan cepatnya. Suaranya berdesing menghentak-hentak di telinga.
Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka merambat sampai ke puncak. Sementara beberapa pengawal memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar.
Di tempat lain, di kegelapan kebun di belakang, Nyi Wiradanapun bertempur dengan sengitnya pula. Lawannya ternyata memiliki kekuatan dan kecepatan gerak yang sangat tinggi. Namun Nyi Wiradana yang memiliki ilmu Janget Kinatelon mampu mengimbangi kecepatan dan ketangkasan lawannya itu. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Keduanya telah mempergunakan senjatanya pula. Nyi Wiradana mempergunakan pedangnya, sedangkan lawannya mempergunakan bindi baja kecil tetapi agak panjang.
Dengan demikian, maka Nyi Wiradana memang menghindari benturan langsung antara senjatanya yang tipis dengan bindi lawannya. Meskipun bindi itu terhitung bindi yang kecil, tetapi besi gligen itu akan dapat membahayakan pedangnya.
Sementara itu lawannya yang memiliki senjata yang dianggapnya lebih kokoh, dengan garangnya telah menyerang sejadi-jadinya. Bindinya berputaran dan sekali-sekali terayun mengarah ke tubuh Nyi Wiradana. Namun Nyi Wiradana mampu bergerak lebih cepat dari ayunan bindi itu, sementara itu pedangnyapun berputar dengan cepat pula. Bahkan sekali-sekali mampu menembus putaran bin-di lawannya.
Nyi Wiradana yang juga memikirkan anaknya kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya. Untuk berusaha mengatasi perlawanan orang bersenjata bindi itu, maka Nyi Wiradana telah mengetrapkan kemampuannya, ilmu Janget Kinatelon.
Lawannya memang terkejut. Perempuan itu kemudian telah bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Meskipun perempuan itu masih belum membenturkan senjatanya, tetapi terasa bahwa kekuatannya seakan-akan menjadi berlipat.
Karena itu, maka lawannya itupun telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya. Dengan garang orang itu menggeram. Matanya bagaikan menyinarkan cahaya kemerah-merahan yang menyala di kegelapan. Beberapa pengawal memang berusaha mendekat. Tetapi seperti pertempuran yang terjadi antara Warsi dan lawannya, maka para pengawal tidak dapat dengan serta-merta ikut campur.
Mereka hanya dapat menyaksikan pertempuran itu dengan tegangnya. Meskipun demikian, para pengawal itu telah bersiap untuk berbuat sesuatu jika diperlukan.
Dalam pada itu, beberapa orang di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan menjadi gelisah. Berurutan beberapa orang telah meninggalkan rumah itu. Bibi Kasadha yang ada di rumah itu juga menjadi gelisah.
Sebenarnya ia ingin ikut bersama ibu Kasadha ke padukuhan tempat Ki Lurah Mertapraja ditahan. Tetapi ibu Kasadha minta agar ia tinggal saja di rumah itu. Demikian pula Gandar yang ada di antara para peronda. Bahkan kemudian menyusul pula dua orang prajurit Madiun pengiring Ki Tumenggung Puspalaga bersama Ki Lurah Samekta. Mereka berbincang di gardu di depan rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Kepergian para pemimpin Tanah Perdikan yang kemudian disusul oleh Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta yang diantar oleh dua orang pengawal Tanah Perdikan Sembojan, mengisyaratkan kepada mereka bahwa memang ada sesuatu yang gawat.
Karena itu, maka Gandar tidak kehilangan kewaspadaan. Mungkin saja keributan itu justru timbul di padukuhan induk. Tidak di padukuhan tempat Ki Lurah Mertapraja ditahan.
Tetapi sampai jauh lewat tengah malam tidak terjadi sesuatu di padukuhan induk. Namun kemudian mereka dikejutkan oleh kehadiran dua orang pengawal dari padukuhan tempat Ki Lurah Mertapraja itu ditahan.
Kedua orang pengawal itu telah menceriterakan apa yang telah terjadi di padukuhan itu. Tentang orang-orang yang datang untuk membebaskan Ki Lurah Mertapraja serta tentang kentongan di banjar yang tidak dapat dipergunakan lagi.
"Apa hanya ada satu kentongan di padukuhan itu?" bertanya Gandar.
"Kami hanya ingin membatasi persoalan agar tidak seluruh Tanah Perdikan ini menjadi kisruh. Aku hanya ingin minta bantuan beberapa pengawal terbaik untuk ikut mengatasi persoalan," berkata pengawal itu.
"Bagaimana dengan para pemimpin Tanah Perdikan yang sudah datang kesana?" bertanya Gandar pula.
Nampaknya mereka memang menguasai beberapa orang berilmu tinggi yang akan membebaskan Ki Lurah Mertapraja. Tetapi kami masih mencemaskan jika keadaan berkembang semakin buruk. Tiba-tiba saja muncul orang-orang baru yang harus dihadapi oleh para pengawal.
Gandar memang menjadi agak bingung. Ia ingin pergi ke padukuhan itu. Tetapi Risang telah menyerahkan khususnya padukuhan induk itu untuk dijaganya.
Karena itu, kemudian Gandar telah mengambil keputusan untuk menunjuk sepuluh orang pengawal terbaik yang ada malam itu di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Dengan sepuluh ekor kuda yang dengan tergesa-gesa dipersiapkan di antara kuda-kuda yang ada, maka sepuluh orang pengawal terbaik itu berpacu ke padukuhan yang sedang dilanda keributan itu.
Sepuluh orang pengawal memang tidak terlalu banyak. Tetapi mereka adalah pengawal-pengawal yang telah ada, maka mereka akan dapat membantu mengatasi keributan yang terjadi di padukuhan itu.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Ternyata di luar halaman banjar telah muncul lagi seorang yang tidak diketahui dari mana datangnya. Orang itu berusaha untuk membantu melindungi Ki Lurah Mertapraja, sehingga dengan demikian, maka Risang dan Kasadha harus membagi diri. Bersama para pengawal yang ada mereka bertempur melawan dua orang itu, sementara Ki Lurah Mertapraja juga masih bertempur dengan caranya melawan orang-orang yang akan menangkapnya.
Di halaman Ki Tumenggung Puspalaga masih bertempur pula dengan mengerahkan Segenap kemampuannya. Lawannya memang orang berilmu tinggi sehingga sulit bagi Ki Tumenggung untuk dengan cepat menguasainya.
Sementara itu Ki Lurah Samekta yang sempat memperhatikan pertempuran di belakang gandok dan melihat bahwa para pemimpin Tanah Perdikan mampu mengimbangi orang-orang yang datang untuk berusaha membebaskan Ki Lurah Mertapraja, telah bergeser pula ke halaman. Dengan cepat ia bergerak menempatkan diri bersama Ki Tumenggung Puspalaga dan beberapa pengawal.
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih juga bertempur dengan sengitnya. Keduanya juga harus menghadapi dua orang berilmu tinggi. Mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka agar mereka tidak dihancurkan oleh lawan-lawan mereka.
Namun dalam pada itu, lawan Nyi Wiradana yang telah membawa Ki Lurah Mertapraja keluar dari biliknya, telah mengerahkan segenap ilmunya pula. Apalagi karena Nyi Wiradana sudah sampai ke puncak ilmunya. Janget Kinatelon.
Sebenarnyalah bahwa lawan Nyi Wiradana itu menjadi sangat heran mengalami perlawanan dari seorang perempuan yang berilmu sangat tinggi. Perempuan yang mampu bergerak dengan cepat. Pedangnya berputaran dan ayunan kekuatannya sama sekali bukan kekuatan kewadagan sewajarnya.
Bahkan sekali-sekali orang itu harus meloncat mengambil jarak, jika pengamatannya terhadap ujung senjata lawannya itu terlambat.
Namun ternyata bahwa kemampuan ilmunya, masih belum dapat mengimbangi ilmu perempuan itu. Semakin lama. ia justru menjadi semakin terdesak. Bahkan beberapa kali ujung pedang perempuan itu telah menyentuh tubuhnya.
"Ilmu apa pula yang dipergunakan perempuan itu?" bertanya lawannya di dalam hatinya.
Bukan saja pedang itu sendiri yang memburunya, tetapi sambaran anginnya terasa semakin lama semakin pedih di tubuhnya. Benturan-benturan yang terjadipun telah membuat lawan Nyi Wiradana itu semakin terdesak.
Ilmu Janget Kinatelon memang sangat mencemaskan lawannya. Ia sama sekali tidak tahu apakah yang dipergunakan oleh perempuan itu. Tetapi rasa-rasanya ilmu itu membelitnya semakin lama semakin erat. Luka-luka kecil telah mulai mewarnai kulitnya pula, sehingga nyeri dan pedih telah menyengatnya.
Sementara itu Nyi Wiradana sendiri berusaha untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan Risang dan Kasadha yang telah memburu Ki Lurah Mertapraja ke kegelapan. Bahkan kemudian mereka seakan-akan telah hilang ditelan pohon-pohon perdu di gelapnya malam.
Dalam pada itu, betapapun lawannya meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak ilmunya, namun orang itu tidak mampu mengatasi ilmu perempuan itu.
Bukan hanya orang itu yang mengalami kesulitan. Lawan Warsipun ternyata tidak mampu mengimbanginya. Ternyata bahwa ilmu perempuan yang mempunyai latar belakang perguruan Kalamerta itu tidak dapat ditundukkan oleh ilmu yang disadap dari perguruan Wukir Gading. Bahkan semakin lama orang itu menjadi semakin terdesak. Warsi yang bertempur dengan keras dan kasar benar-benar tidak terlawan oleh orang dari Wukir Gading itu.
Sementara itu, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah berusaha untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu pula. Betapapun lawan-lawan mereka berusaha memberikan perlawanan sekuat-kuatnya, namun mereka ternyata semakin lama menjadi semakin terdesak.
Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Nyi Wiradana benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk bertahan lebih lama. Serangan-serangan ilmu Janget Kinatelon benar-benar menjadi semakin tidak dimengertinya. Seperti angin pusaran yang melilitnya berputaran sehingga rasa-rasanya tidak ada lagi tempat untuk menghindar.
Karena itu, sebelum keadaan menjadi semakin sulit, maka tiba-tiba saja dari mulutnya telah terdengar suitan nyaring. Keras sekali, seakan-akan mengguncang seisi banjar dan halamannya yang terhitung luas itu.
Nyi Wiradana memang terkejut mendengar suitan nyaring itu. Bukan sekedar bunyi yang nyaring. Tetapi getarannya terasa menusuk ke dalam dadanya.
Nyi Wiradana pernah mendapat serangan ilmu gelap ngampar. Tetapi jauh lebih kuat dari getar teriakan lawan Nyi Wiradana itu. Karena itu, setelah mengerahkan daya tahannya, maka iapun telah siap menyerang lagi.
Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata dipergunakan sebaik-baiknya. Orang itu sama sekali tidak berusaha menyerang Nyi Wiradana yang sedang mengatasi sentuhan getar ilmu yang terlontar lewat suitan nyaringnya. Namun ia telah memanfaatkan waktu yang sekejap itu untuk meloncat melarikan diri.
Suitan nyaring itu ternyata memang aba-aba yang diberikan untuk mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu.
Beberapa orang pengawal yang melihat orang itu berusaha melarikan diri memang serentak berusaha untuk memburunya. Tetapi suitan nyaring yang baru saja terdengar, rasa-rasanya telah menghambat gerak mereka. Mereka masih harus mengatur denyut jantung mereka yang baru saja seakan-akan diguncang oleh getar suitan nyaring itu.
Karena itu, maka merekapun telah terlambat pula. Orang itu sudah berlari menjauh menusuk kegelapan dikejar oleh Nyi Wiradana. Tetapi kelebihan waktu yang sekejap, serta kemampuannya berlari yang bagaikan terbang itu, telah memungkinkannya untuk mencapai dinding lebih dahulu dari Nyi Wiradana. Dengan tangkasnya pula orang itu meloncati dinding, seolah-oleh bagaikan seekor burung sikatan yang terbang hinggap sekejap di atas dinding yang kemudian hilang di seberang.
Nyi Wiradana memang juga meloncat naik ke atas bibir dinding halaman. Namun ia sudah kehilangan buruannya. Nyi Wiradana tidak melihat, kemana orang itu melarikan diri, apalagi ketika perhatiannya tertuju pada pertempuran tidak terlalu jauh dari dinding itu.
Sekali lagi banjar dan sekitarnya diguncang oleh suitan nyaring. Tetapi sumber bunyi itu ternyata telah menjadi agak jauh dari dinding halaman, sehingga Nyi Wiradana tidak lagi berniat untuk mencarinya. Bahkan ia berharap bahwa para pengawal Tanah Perdikan itu juga tidak memburunya, karena orang itu adalah orang yang sangat berbahaya.
Sementara itu, ternyata Ki Lurah Mertapraja telah tertangkap kembali. Dua orang berilmu tinggi yang bertempur untuk melindungi Ki Lurah Mertapraja itu ternyata tidak berhasil. Selain Risang dan Kasadha yang bertempur melawan mereka, para pengawal yang datang kemudian dari padukuhan induk telah bergabung dengan mereka pula. Seorang dari keduanya tidak lagi dapat tertolong jiwanya. Sementara yang lain memang berhasil melarikan diri.
Sedangkan Ki Lurah Mertapraja sendiri berhasil ditangkap hidup-hidup meskipun ia telah terluka lagi, sementara lukanya yang terdahulu masih belum sembuh.
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Risang dan Kasadha selamat tanpa mengalami cidera.
Namun tiba-tiba Nyi Wiradana itupun berkata, "Marilah, kita melihat bibimu yang bertempur bersama paman Sambi Wulung dan Jati Wulung."
Risangpun kemudian telah memerintahkan para pengawal untuk menguasai Ki Lurah dengan baik. Katanya, "Cepat, bawa ke banjar. Jika terjadi sesuatu, beri isyarat. Jangan ragu-ragu."
Risang tidak menunggu jawaban. Bersama ibunya dan Kasadha merekapun telah meloncati dinding halaman itu lagi.
Ketika mereka sampai di belakang gandok, mereka melihat Warsi berdiri tegak sambil memegangi ujung dan pangkal rantainya dengan kedua tangannya. Di hadapannya terkapar sesosok tubuh salah seorang dari perguruan Wukir Gading.
"Aku tidak berhasil membujuknya untuk menyerah," desis Warsi dengan kepala tunduk.
Kasadha mendekatinya sambil berkata, "Ibu tidak mempunyai pilihan lain."
"Ya," sahut Risang. "Aku kira itu adalah penyelesaian yang terbaik. Jika ia tidak mau menyerah, maka satu-satunya kemungkinan yang akan dijalaninya adalah kematian."
Nyi Wiradanapun kemudian mendekatinya dan membimbingnya. "Marilah. Kita pergi ke banjar."
Tetapi tiba-tiba saja Risang teringat kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung. Dengan ragu ia berdesis, "Dimana paman Sambi Wulung dan Jati Wulung?"
Ibu Kasadha itulah yang menjawabnya, "Mereka berusaha mengejar lawan masing-masing. Tetapi orang itu berlari seperti angin, sementara aku masih harus menyelesaikan orang ini."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk, Ketika ia melihat beberapa orang pengawal termangu-mangu, maka Risang itupun berdesis, "Para pengawal tidak akan dapat berbuat banyak. Jika mereka berusaha mengejai, maka mereka berada dalam bahaya."
"Ya," desis Nyi Wiradana. "Aku juga kehilangan buruanku. Mudah-mudahan para pengawal juga tidak mengejarnya."
Risang mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud ibunya, karena para pengawal tentu tidak akan berhasil menangkapnya.
Risangpun kemudian mengajak mereka semua ke halaman. Sementara itu para pengawalpun telah mendapat perintah untuk membawa sosok tubuh yang terbaring itu ke halaman.
Namun Risang dan Kasadha terkejut ketika mereka melihat sosok tubuh yang lain terbaring pula di halaman. Di tangannya masih tergenggam kapak yang cukup besar, sementara kentongan banjar itu tergolek dan bahkan pecah tidak terlalu jauh dari sosok tubuh itu. Di tangga pendapa berdiri Ki Tumenggung Puspalaga, Ki Lurah Samekta sementara para pengawal yang bersenjata telanjang berdiri di depan tangga.
"Apa yang terjadi disini?" bertanya Risang.
"Orang itu telah memutuskan tali kentongan dan berusaha merusaknya. Ia adalah salah seorang di antara mereka yang ingin mengambil Ki Lurah Mertapraja," jawab seorang pengawal.
"Tetapi Ki Tumenggung?" bertanya Kasadha.
Ki Tumenggung yang masih menggenggam senjatanya menjawab agak ragu, "Sebenarnya aku hanya ingin melihat apa yang terjadi. Aku tahu bahwa beberapa orang telah pergi ke padukuhan ini. Karena itu, aku telah minta ijin kepada Kakang Gandar untuk melihat apa yang terjadi disini diantar oleh dua orang pengawal yang ada di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan."
Kasadha mengangguk-angguk. Demikian pula Risang. Mereka segera mengetahui apa yang telah terjadi. Bahkan Ki Tumenggung dan Ki Lurah telah terlibat pula dalam pertempuran di halaman.
Selain Ki Tumenggung dan Ki Lurah, maka Risangpun melihat beberapa orang pengawal telah berada di halaman itu pula selain mereka yang telah membantu menangkap Ki Lurah Mertapraja. Namun Risang masih belum sempat bertanya, kenapa mereka tiba-tiba saja telah berada di padukuhan itu.
Demikianlah, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu bersama Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta telah naik ke pendapa. Mereka menunggu laporan terakhir dari peristiwa yang menggemparkan padukuhan itu.
Beberapa saat kemudian, maka beberapa orang pengawal telah membawa Ki Lurah Mertapraja yang sudah terikat tangannya di belakang tubuhnya. Namun ia masih saja berteriak-teriak dan mengumpat-umpat.
"He, orang-orang Tanah Perdikan Sembojan dan orang-orang Madiun. Kenapa kalian merasa iri hati jika aku pada suatu saat akan meraih kekuasaan tertinggi di bumi ini."
Orang-orang yang berada di pendapa hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak akan dapat berbicara dengan Ki Lurah dalam keadaan seperti itu. Seandainya diajukan pertanyaan-pertanyaan juga kepada Ki Lurah, maka persoalannya tentu tidak akan dapat sambung.
Karena itu, maka Ki Tumenggung Puspalaga itupun berkata, "Sudahlah Ngger. Biarlah Ki Lurah Mertapraja disimpan saja lebih dahulu. Tentu saja dengan penjagaan yang lebih ketat."
"Aku akan membawanya ke padukuhan induk saja Ki Tumenggung," berkata Risang kemudian, "kita akan lebih mudah mengawasinya. Jika terulang kembali usaha untuk melepaskannya, maka kami akan dapat mencegahnya."
Ki Tumenggung Puspalaga mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Segala sesuatunya terserah kepada Angger yang memiliki kekuasaan di Tanah Perdikan ini."
Sambil berpaling kepada ibunya Risang bertanya, "Bagaimana pendapat ibu?"
"Aku setuju Risang. Nampaknya persoalan Ki Lurah ini masih belum selesai," jawab ibunya.
"Ya," sahut ibu Kasadha. "Aku belum melihat pedang Wisa Raditya dan perisai Lar Sasi dalam pertempuran itu. Aku kira penguasa tertinggi dari perguruan Wukir Gading masih belum ikut dalam usaha pembebasan Ki Lurah Mertapraja. Jika orang itu ada, maka agaknya ia akan mempergunakan pusaka-pusaka itu dalam keadaan terjepit. Orang itu tentu percaya bahwa kedua pusaka itu akan dapat melindunginya karena tuahnya."
Ki Tumenggung Puspalaga mengangguk-angguk. Katanya, "Persoalannya akan dapat berkepanjangan. Sebaiknya Ki Lurah segera dibawa saja ke Pajang dan diserahkan kepada penguasa di Pajang sekarang dengan segala keterangan tentang orang itu."
"Ya Ki Tumenggung. Tetapi membawa orang itu ke Pajang tentu juga harus diperhitungkan baik-baik," jawab Risang.
"Agaknya orang-orang yang berkepentingan dengan Ki Lurah Mertapraja selalu mengamati perkembangan keadaannya," berkata Kasadha.
Orang-orang yang duduk di pendapa itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah Mertapraja sendiri masih saja sibuk dengan dirinya sendiri. Bahkan kemudian ia berteriak-teriak agar tali pengikat tangannya dilepaskan.
Risanglah yang kemudian berkata, "Biarlah Ki Lurah untuk sementara berada di ruang dalam banjar dalam keadaan terikat. Apaboleh buat. Kita tidak dapat berbuat lain. Besok pagi-pagi kita akan membawanya ke padukuhan induk."
Kemudian Risangpun bangkit. Kasadhapun bangkit pula untuk membantunya. Dua orang pengawal telah dipanggilnya mendekat.
"Kita bawa Ki Lurah ke ruang dalam," berkata Risang kepada para pengawal itu.
Ki Lurah Mertapraja menjadi marah ketika para pengawal itu berusaha membimbingnya masuk ke ruang dalam. Dengan kakinya ia berusaha menendang para pengawal itu. Dengan sigap para pengawal itu menghindar. Bahkan seorang di antaranya dengan serta-merta telah menarik pedangnya dan mengancam Ki Lurah itu di arah dadanya yang terbuka. Namun Ki Lurah itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan sambil mengumpat ia memburu ke arah ujung pedang itu, sehingga pengawal itu justru bergeser surut.
Orang-orang yang berada di pendapa serentak berdiri. Namun Risang dan Kasadha dengan cepat menangkap kedua lengannya dari sebelah menyebelah. Keduanya adalah anak-anak muda yang kuat. Bagaimanapun juga Ki Lurah Mertapraja meronta, namun ia tidak dapat melawan lagi ketika kedua anak muda itu membawanya ke ruang dalam dan kemudian mengikatnya pada tiang di ruang dalam.
"Mudah-mudahan tiang ini tidak roboh," berkata Risang.
"Kalau tiang itu roboh maka yang pertama kena bencana adalah Ki Lurah itu sendiri," sahut Kasadha.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 53 DEMIKIANLAH akhirnya Ki Lurah Mertapraja itu terikat pada tiang di ruang tengah. Betapa ia meronta, tetapi tiang yang besar itu tidak bergetar sama sekali. Namun karena itu, maka Ki Lurah Mertapraja itu justru telah berteriak-teriak marah sambil mengumpat-umpat.
Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu tidak menghiraukannya lagi meskipun mereka kadang-kadang merasa resah pula.
Akhirnya, Ki Lurah Mertapraja itupun terdiam pula karena kelelahan.
Sementara itu, langitpun telah menjadi merah. Orang-orang yang menjadi gelisah dan bahkan ketakutan mendengar pertempuran yang terjadi telah menjadi tenang. Ada di antara mereka yang telah berani membuka pintu rumah mereka dan melihat keluar. Namun rasa-rasanya semuanya telah menjadi tenang. Beberapa orang anak muda masih nampak hilir mudik di jalan-jalan padukuhan. Namun mereka tidak lagi membawa senjata telanjang.
Sementara itu di halaman banjar, seorang yang dibawa oleh para pengawal terbaring diam. Tubuhnya terluka cukup parah. Orang itu adalah orang yang bertempur melawan Sambi Wulung dan berusaha melarikan diri. Namun Sambi Wulung mampu mengejarnya dan ketika kemudian terjadi lagi pertempuran di antara mereka, maka orang itupun terluka cukup parah. Sedangkan Jati Wulung tidak berhasil menangkap buruannya. Bahkan pundaknya telah terluka ketika orang yang dikejarnya itu sempat melemparkan pisau belati dan menyentuh pundaknya itu sementara orang itu segera menghilang di antara pepohonan dalam gelapnya malam di kebun bambu yang rimbun.
Risangpun kemudian memerintahkan agar orang itu diusahakan untuk diselamatkan nyawanya. Mungkin mereka akan mendapat keterangan dari orang yang terluka parah itu.
Tetapi agaknya orang itu sendiri sama sekali tidak berniat untuk tetap hidup. Ia berusaha untuk menyemburkan kembali obat-obat yang dimasukkan lewat mulutnya. Bahkan obat yang ditaburkan di luka-lukanya saja selalu dicobanya untuk menolaknya.
Ketika cahaya pagi kemudian mulai menyentuh padukuhan itu, maka Risang telah minta disiapkan sebuah pedati. Orang yang terluka parah itu dan Ki Lurah Mertapraja akan dibawa ke padukuhan induk dengan pengawal yang kuat. Nyi Wiradana, Warsi, Risang dan Kasadha akan mengawal tawanan itu, sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung masih diminta untuk tetap berada di padukuhan itu.
Sementara itu, Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta juga masih akan pergi ke padukuhan induk. Mereka ternyata masih belum memastikan kapan mereka akan kembali ke Madiun. Tetapi untuk melihat perkembangan keadaan, setidak-tidaknya mereka masih akan bermalam satu malam lagi di Tanah Perdikan Sembojan.
Ternyata perjalanan para tawanan ke padukuhan induk itu tidak mengalami hambatan di sepanjang jalan.
Meskipun beberapa orang yang akan pergi ke pasar sempat memperhatikan mereka, tetapi agaknya peristiwa semalam tidak banyak berpengaruh bagi padukuhan-padukuhan yang lain, kecuali pada padukuhan tempat peristiwa itu terjadi. Meskipun kemudian berita tentang hal itu tersebar pula dari mulut ke mulut. Seorang saja dari padukuhan itu pergi ke pasar dan berceritera kepada seorang yang lain, maka berita itupun kemudian telah tersebar ke beberapa padukuhan dibawa oleh orang-orang yang pulang dari pasar.
Di padukuhan induk, Ki Lurah Mertapraja dan orang yang terluka parah itu ditempatkan di gandok rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Mereka ditempatkan di dua bilik yang berdekatan. Dengan terpaksa, Ki Lurah masih saja harus diikat kedua tangannya di belakang tubuhnya karena ia masih nampak liar dan berbahaya. Sedangkan pengawal yang mengawasinya kecuali di belakang gandok, juga di dalam bilik itu sendiri. Risang tidak ingin peristiwa di banjar padukuhan itu terulang lagi.
"Ki Lurah Mertapraja tidak akan terlalu lama disini," berkata Risang kepada para pengawal. "Ia akan segera dibawa ke Pajang. Segala sesuatunya akan kami serahkan kepada para pemimpin di Pajang."
Namun waktu yang tidak terlalu lama itu akan merupakan waktu yang menegangkan bagi para pengawal di Tanah Perdikan Sembojan.
Baru setelah Ki Lurah Mertapraja mapan, Risang dan Kasadha bersama beberapa orang pengawal telah kembali ke padukuhan yang semalam telah diguncang oleh keributan yang bahkan telah membawa korban. Di antara para pengawal yang cidera, tiga orang telah gugur sementara beberapa orang yang lain terluka. Dua orang di antaranya parah.
Hari itu Risang menunggui upacara pelepasan para pengawal yang telah gugur. Terdengar lagi tangis di padukuhan itu. Betapa mereka yang ditinggalkan menyatakan keikhlasan mereka, tetapi yang gugur itu masih ditangisi oleh keluarganya. Mereka masih terlalu muda untuk pergi selama-lamanya. Meskipun keluarga mereka tahu, untuk apa mereka pergi.
Saat matahari turun di sisi Barat, beberapa orang masih berdiri termangu-mangu di kuburan. Mereka memandangi gundukan tanah basah tempat para pengawal itu dimakamkan. Beberapa orang masih juga mengusap air matanya yang mengembun di pelupuk.
Risang dan Kasadha berdiri termangu-mangu di antara mereka. Namun beberapa saat kemudian, maka merekapun meninggalkan tempat itu menuju ke padukuhan dan kemudian kembali ke rumah masing-masing, kecuali para pengawal yang bertugas. Mereka kembali ke banjar dan gardu tugas mereka masing-masing.
Sementara itu di kuburan tua, beberapa orang juga telah menguburkan orang-orang yang gagal melepaskan Ki Lurah Mertapraja dan terbunuh di pertempuran. Tetapi tidak ada air mata yang mengantar mereka.
Ketika upacara itu sudah selesai, maka Risang masih memberikan pesan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung. Padukuhan itu masih harus dijaga dengan baik. Di banjar telah digantungi lagi sebuah kentongan yang baru karena kentongan yang lama telah rusak. Kentongan yang diambil dari padukuhan sebelah yang mempunyai beberapa kentongan yang cukup besar untuk dipasang di banjar padukuhan.
"Kami akan kembali ke padukuhan induk," berkata Risang. "Kami akan membicarakan rencana kami untuk pergi ke Pajang melaporkan peristiwa yang baru saja terjadi ini."
"Kapan kau akan pergi ke Pajang?" bertanya Sambi Wulung.
"Tergantung hasil pembicaraan kami nanti. Tetapi pesan bibi Warsi, dalam pertempuran kemarin masih belum nampak pedang Wisa Raditya dan perisai Lar Sasi yang menjadi kebanggaan orang-orang perguruan Wukir Gading. Mungkin pemimpin tertinggi dari perguruan itu masih belum turun langsung saat mereka berusaha membebaskan Ki Lurah Mertapraja. Karena itu maka setiap saat masih mungkin terjadi sesuatu. Mungkin di padukuhan ini, mungkin di padukuhan induk. Meskipun menurut perhitungan, jika masih ada usaha untuk membebaskan Ki Lurah tentu akan terjadi di padukuhan induk, karena mereka tentu tahu dimana Ki Lurah disimpan, namun kemungkinan lain masih dapat terjadi."
"Baiklah," berkata Sambi Wulung. "Kami akan berhati-hati disini. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
Demikianlah Risang dan Kasadhapun telah meninggalkan padukuhan itu bersama beberapa orang pengawal kembali ke padukuhan induk. Masih ada beberapa hal yang harus mereka bicarakan sebelum mereka pergi ke Pajang untuk memberikan laporan tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan itu. Juga peristiwa yang terakhir yang menyangkut persoalan Ki Lurah Mertapraja.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di malam harinya, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu masih juga berbincang tentang peristiwa yang susul menyusul terjadi di Tanah Perdikan itu. Ki Tumenggung Puspalaga yang masih bermalam lagi di Tanah Perdikan Sembojan, mengurungkan niatnya untuk berbicara lagi dengan Ki Lurah Mertapraja karena tidak akan ada gunanya lagi. Namun Ki Tumenggung Puspalaga telah mengetahui kenapa Ki Lurah Mertapraja terjerumus ke dalam arus perbuatan orang-orang perguruan Watu Kuning. Ternyata bukan karena Ki Lurah Mertapraja terbujuk oleh Ki Gede Watu Kuning. Tetapi Ki Lurah justru memanfaatkan peristiwa itu untuk kepentingannya. Kepentingan perguruan Wukir Gading. Sehingga perguruan Watu Kuning dan perguruan Wukir Gading yang pada ujud lahiriahnya bekerja bersama, namun sebenarnyalah mereka akan saling merunduk dan saling menghancurkan. Bahkan mungkin orang-orang Watu Kuning tidak tahu bahwa di belakang Ki Lurah Mertapraja yang mempunyai sepasukan prajurit berdiri orang-orang perguruan Wukir Gading.
"Besok aku akan mohon diri," berkata Ki Tumenggung Puspalaga. "Aku sudah mempunyai laporan lengkap apa yang telah terjadi disini. Juga tentang keterlibatan para prajurit Madiun dalam gerakan perguruan Watu Kuning."
"Baiklah," sahut Risang. "Mudah-mudahan tidak akan timbul persoalan khusus antara Madiun dan Tanah Perdikan ini. Meskipun kami sadari, bahwa kemelut antara Madiun dan Pajang tentu juga akan terasa di Tanah Perdikan ini yang memang berkiblat kepada Pajang."
Untuk beberapa saat lamanya, para tamu dari Madiun itu masih berbincang. Tetapi pembicaraan mereka tidak lagi menyangkut persoalan-persoalan pokok yang mereka hadapi. Mereka kemudian cenderung untuk berbicara tentang peningkatan kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan Sembojan. Risang sempat membuat perbandingan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Madiun, bagaimana Madiun berbuat bagi kepentingan rakyatnya.
Baru setelah malam menjadi larut Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta dipersilahkan untuk beristirahat. Apalagi mereka merencanakan di keesokan harinya akan kembali ke Madiun.
Malam itu Tanah Perdikan Sembojan memang dapat tidur dengan nyenyak. Tidak ada persoalan yang timbul, apalagi yang mengganggu ketenangan. Orang-orang yang berniat untuk melepaskan Ki Lurah Mertapraja harus berpikir ulang beberapa kali setelah mereka mengetahui bahwa di Tanah Perdikan itu terdapat beberapa orang yang sanggup menjaga ketenangan Tanah Perdikannya.
Ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka Ki Tumenggung Puspalaga, Ki Lurah Samekta dan pengawal--pengawalnya telah siap. Setelah minta diri kepada para pemimpin Tanah Perdikan, maka Ki Tumenggungpun meninggalkan Tanah Perdikan yang nampaknya sudah tenang kembali itu.
"Hormat kami di Tanah Perdikan ini kepada Panembahan Mas di Madiun," berkata Risang.
"Kami akan menyampaikannya Ngger. Semoga Tanah Perdikan ini akan semakin sejahtera untuk selanjutnya," jawab Ki Tumenggung Puspalaga.
Sepeninggal Ki Tumenggung Puspalaga, maka Risangpun telah mulai lagi dengan kesibukannya. Selagi Kasadha masih berada di Tanah Perdikan, maka Risang telah membenahi Tanah Perdikan Sembojan yang telah terluka oleh peristiwa yang datang beruntun itu. Seisi Tanah Perdikan itu telah digerakkan untuk bekerja keras memperbaiki yang telah rusak serta membangunkan kembali yang hancur oleh kerusuhan yang telah terjadi.
Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan masih merasa beruntung bahwa merekalah yang telah bergerak menyerang orang-orang Watu Kuning di perkemahannya, sehingga padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan itu tidak menjadi rusak. Meskipun demikian, jantung Tanah Perdikan itulah yang terluka karena beberapa anak-anak mudanya yang terbaik telah gugur.
Dalam pada itu, Kasadha dan seorang prajurit yang menyertainya masih akan berada di Tanah Perdikan itu untuk beberapa hari. Namun kemudian iapun telah merencanakan untuk kembali ke Pajang.
Namun dalam pada itu, ibu dan bibi Kasadha itupun berniat untuk meninggalkan Tanah Perdikan itu pula.
"Kami sudah terlalu lama meninggalkan rumah," berkata ibu Kasadha itu. "Rumah dan ternak kami hanya kami titipkan kepada tetangga-tetangga. Tentu ternak kami tidak terpelihara. Bahkan rumah kamipun tentu sudah penuh dengan debu yang tebal."
Iswari memang tidak dapat menahan mereka lebih lama lagi. Berulang kali Iswari telah mengucapkan terima kasih atas bantuan Warsi dan sepupunya itu. Tanpa mereka maka agaknya Tanah Perdikan itu akan mengalami keadaan yang lebih buruk lagi.
Demikianlah, maka Risangpun telah membicarakan dengan Kasadha tentang para tawanan sebelum Kasadha kembali ke Pajang. Terutama Ki Lurah Mertapraja.
"Biarlah kami membawanya," berkata Kasadha.
"Tetapi bahayanya terlalu besar," berkata Risang. "Jika orang-orang yang ingin melepaskan Ki Lurah itu mengetahui, maka mereka tentu akan melakukan sesuatu untuk merebutnya."
"Kita memang harus berhati-hati," jawab Kasadha.
Namun Risang tidak melepaskan Ki Lurah Mertapraja untuk dibawa Kasadha tanpa pengawalan. Jika terjadi sesuatu di jalan, maka iapun akan sangat menyesalkannya.
Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah diperintahkan oleh Risang untuk menyertai Kasadha kembali ke Pajang bersama ibu dan bibinya yang juga akan pulang.
Ibu Kasadha memang mencoba untuk meyakinkan Risang, bahwa mereka tidak memerlukan pengawalan. Tetapi akhirnya merekapun tidak menolak untuk menuju ke Pajang disertai Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Meskipun ibu dan bibi Kasadha itu memiliki ilmu yang tinggi, tetapi orang-orang yang berniat untuk membebaskan Ki Lurah itupun dapat berjumlah jauh lebih banyak," berkata Risang di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah diminta oleh Risang untuk mempersiapkan diri. Mereka juga harus menyiapkan Ki Lurah Mertapraja untuk dibawa ke Pajang. Sementara tawanan yang lain akan tetap berada di Tanah Perdikan sampai ada keputusan lebih lanjut.
Dalam pada itu, Ki Lurah Mertapraja sendiri memang berangsur menjadi tenang. Meskipun demikian, Risang masih mempertimbangkan kemungkinan bahwa pada suatu saat perasaannya dapat bergejolak kembali sehingga Ki Lurah itu akan dapat melakukan tindakan yang tidak diduga sebelumnya.
Demikianlah, maka pada hari yang sudah ditentukan tetapi untuk sementara tetap dirahasiakan sampai saatnya datang, Kasadha, ibu dan bibinya telah bersiap untuk meninggalkan Tanah Perdikan. Bersama mereka adalah Sambi Wulung dan Jati Wulung yang akan membawa Ki Lurah Mertapraja ke Pajang. Di Pajang, Kasadhalah yang akan mengurus tawanan yang bagi Pajang termasuk penting karena Ki Lurah Mertapraja adalah prajurit Madiun. Namun Kasadhapun telah mempunyai bahan laporan yang lengkap tentang kedatangan Ki Tumenggung Puspalaga di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga yang dilakukan oleh Ki Lurah Mertapraja, meskipun ia seorang prajurit Madiun, namun benar-benar di luar tanggung jawab Panembahan Madiun.
Iswari dan para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan telah melepas Kasadha, ibu dan bibinya sampai ke regol halaman. Bahkan ketiga kakek dan nenek Risangpun telah ikut mengantar mereka pula sampai ke halaman. Orang-orang tua itu ikut pula mengucapkan terima-kasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh Kasadha, ibu dan bibinya. Meskipun ketiga orang tua itu tidak langsung hadir di pertempuran, namun mereka telah mendapat keterangan tentang mereka.
"Kalian telah ikut menentukan akhir dari pergolakan ini," berkata Kiai Badra.
Warsi mengangguk hormat sambil menjawab, "Kami telah mencoba melakukan yang terbaik dari yang dapat kami lakukan."
Kiai Badra tertawa. Tetapi disorot matanya nampak keharuan mencengkam jantungnya. Bahkan tersirat kata-katanya, "Kau adalah orang yang berbahagia Warsi. Kau berhasil menembus takbir kegelapan. Kau temukan cahaya dari Yang Maha Tinggi."
Warsi tersenyum. Tetapi nampak matanya menjadi basah.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil, telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Kasadha, seorang prajurit yang menyertainya, ibu dan bibinya, serta Sambi Wulung dan Jati Wulung. Bersama mereka telah ikut pula Ki Lurah Mertapraja. Untuk tidak menarik perhatian banyak orang, maka Ki Lurah tidak lagi terikat tangannya. Namun Ki Lurah Mertapraja memang sudah menjadi tenang. Ia menyadari sepenuhnya apa yang terjadi atas dirinya.
Sebagai seorang tawanan maka Ki Lurah memang menempatkan dirinya. Justru karena Ki Lurah Mertapraja seorang prajurit. Ia tahu dengan pasti paugeran yang berlaku bagi seorang tawanan. Baik yang menawan maupun yang tertawan.
Karena itu, Ki Lurah itu sama sekali tidak menimbulkan persoalan ketika iring-iringan itu meninggalkan Tanah Perdikan.
Sementara itu Kasadhapun berharap bahwa perjalanan mereka tidak terganggu, karena keberangkatan Ki Lurah Mertapraja itu memang dirahasiakan sebelumnya. Baru ketika mereka meninggalkan halaman rumah Risang, beberapa orang melihat bahwa Ki Lurah Mertapraja akan dibawa ke Pajang.
Demikianlah, maka iring-iringan berkuda itu mulai menempuh jalan yang panjang. Sementara itu mataharipun merangkak semakin tinggi di langit.
Ki Lurah Mertapraja memandang jalan yang terbentang di hadapannya dengan tatapan mata yang kosong. Sebenarnyalah ketika ia menjadi tenang, maka lenyaplah semua impian yang pernah bergejolak di dalam benaknya. Iapun sadar sepenuhnya, jika ia sampai ke Pajang, maka ia tidak akan dapat terlepas dari hukuman yang pantas baginya.
Sementara itu di Tanah Perdikan Sembojan, Risang dan para pemimpin Tanah Perdikan masih harus bekerja keras untuk membenahi keadaan Tanah Perdikan itu. Merekapun masih harus tetap menjaga para tawanan sambil menunggu perintah dari Pajang, apa yang harus mereka lakukan. Tetapi untuk membawa mereka ke Pajang tentu diperlukan pengawalan yang cukup besar, sehingga di sepanjang perjalanan akan sangat menarik perhatian banyak orang.
Dalam pada itu, orang-orang tua di Tanah Perdikan Sembojan telah memberikan saran kepada Risang untuk berusaha mengatasi persoalan para tawanan itu. Risang harus mampu memilih di antara para tawanan itu. Siapakah di antara mereka yang masih dapat diajak berbicara dengan baik dan siapakah yang tidak. Dengan demikian maka diharapkan bahwa ada di antara para tawanan itu yang dianggap tidak terlalu berbahaya dan kemudian dapat dilepaskan.
"Tetapi sudah tentu diperlukan waktu," berkata Kiai Badra.
"Ya kakek," jawab Risang. "Aku akan menunjuk beberapa orang untuk mengadakan pengamatan tentang para tawanan itu."
"Mereka harus mendapat petunjuk-petunjuk yang jelas," pesan ibunya pula, "karena mungkin saja terjadi para tawanan itu bersikap pura-pura. Karena itu, maka rencanamu akan melepaskan beberapa orang di antara mereka yang dianggap tidak berbahaya itu harus dirahasiakan. Terutama bagi para tawanan itu sendiri."
"Ya ibu," Risang mengangguk-angguk.
Dalam keadaan yang demikian, maka Risang merasa sangat beruntung bahwa ia masih ditunggui ibu, kakek dan neneknya meskipun mereka sudah menjadi semakin tua. Namun nasehat-nasehat mereka akan sangat berarti bagi Risang.
Demikianlah, maka Tanah Perdikan Sembojanpun kemudian telah diisi dengan kerja. Bukan hanya para pemimpin sajalah yang bekerja keras untuk meningkatkan tata kehidupan di segala segi bagi Tanah Perdikan, tetapi juga seluruh rakyat Tanah Perdikan itu. Seperti yang dipesankan oleh orang-orang tua di Tanah Perdikan itu, maka Risang telah membentuk kelompok kecil yang terdiri dari para bebahu Tanah Perdikan untuk mengamati keadaan para tawanan.
"Paman Sambi Wulung dan Jati Wulung akan ikut pula dalam kelompok kecil ini nanti jika mereka sudah kembali," berkata Risang kepada para bebahu, "Namun sebelum mereka datang, maka biarlah paman Gandar bekerja bersama kalian."
Dengan demikian maka hampir setiap hari Gandar berada di padukuhan-padukuhan tempat para tawanan itu ditempatkan. Tanpa menimbulkan kesan apapun para tawanan, maka kelompok kecil itu berusaha untuk mengetahui sikap para tawanan itu.
Sementara itu, Kasadha telah selamat sampai ke Pajang. Tanpa membawa ibu dan bibinya, maka Kasadha telah melaporkan diri kepada pimpinannya bersama prajurit yang pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Sembojan. Kasadhapun telah memperkenalkan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang datang ikut mengantar tawanan itu mewakili Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Namun dalam pada itu, Kasadha telah menitipkan tawanan itu di baraknya bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung. Seorang pemimpin kelompoknya yang ikut bersamanya ke Tanah Perdikan Sembojan akan mengawasinya. Sementara Kasadha masih minta ijin satu hari lagi.
"Aku masih harus mengantarkan ibu dan bibi pulang ke Bayat," berkata Kasadha kepada Ki Rangga Dipayuda.
"Kenapa ibu dan bibimu tidak kau ajak singgah saja di barak ini?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Seperti sudah pernah aku katakan, ibu dan bibi selalu merasa rendah diri, karena mereka adalah orang-orang kecil," jawab Kasadha.
"Apa arti orang kecil, orang besar dan orang sedang?" Ki Rangga justru bertanya.
"Aku juga sudah mencobanya untuk menjelaskan. Tetapi ibu memang lebih baik menepi dalam pergaulan. Kecuali dengan para petani di padukuhannya, ibu termasuk orang yang akrab bergaul."
Ki Rangga Dipayuda tersenyum. Katanya, "Perlahan-lahan kau harus mengangkatnya memasuki pergaulan yang lebih luas. Sekarang kau sudah seorang lurah prajurit. Masih ada kemungkinan bagimu untuk meningkat lebih tinggi lagi karena umurmu memang masih muda. Kau memiliki bekal yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin. Karena itu, maka pada suatu saat kau akan menjadi seorang Tumenggung."
"Ah. Aku tidak berani bermimpi seperti itu," jawab Kasadha.
"Bukan mimpi bagimu Kasadha. Tetapi harus kau jadikan gegayuhan. Kau harus mempunyai gegayuhan yang tinggi. Tetapi kau tidak boleh mengesahkan segala cara untuk mencapainya. Karena kau masih diikat oleh tatanan, unggah-ungguh dan harga diri," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Kasadha mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu maka Ki Ranggapun berkata, "Baiklah. Tinggalkan tawanan itu disini. Anak buahmu akan menjaganya. Aku nanti akan melaporkannya kepada Ki Tumenggung. Tetapi besok kau harus kembali dan mempertanggung-jawabkan tawanan itu. Sementara itu biarlah kedua tamu dari Tanah Perdikan itu juga tinggal di barak ini. Aku pernah berkenalan dengan mereka ketika aku berada di Tanah Perdikan Sembojan. Kasihan ibumu jika harus terlalu lama menunggumu."
Demikianlah, maka Kasadha telah meninggalkan baraknya. Ia masih belum dengan resmi menyerahkan tawanan itu. Ia masih harus mengantarkan ibu dan bibinya pulang.
Sepeninggal ibu dan bibinya, maka para prajurit, terutama para pemimpin kelompok yang dipimpin oleh Ki Lurah Kasadha telah mengerumuni salah seorang kawan mereka yang pergi ke Tanah Perdikan bersama Kasadha serta Sambi Wulung dan Jati Wulung. Mereka ingin mendengar segala sesuatunya yang terjadi di Tanah Perdikan itu serta tentang tawanan yang dititipkan di barak itu.
Para prajurit itu ikut menjadi berdebar-debar mendengarkan ceritera kawannya tentang pergolakan yang terjadi di Tanah Perdikan. Namun prajurit itu berusaha menahan diri untuk tidak terlalu banyak berceritera tentang ibu Ki Lurah Kasadha, karena Kasadha sendiri tidak ingin terlalu banyak orang yang mengetahui tentang ibunya. Karena bagaimanapun juga Kasadha masih dibayangi oleh masa lampau ibunya yang hitam, sehingga ia tidak ingin masa lampau ibunya itu diketahui oleh siapapun di baraknya itu. Apalagi oleh Ki Rangga Dipayuda yang mempunyai seorang anak gadis yang bernama Riris.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun banyak mendapat pertanyaan-pertanyaan dari para prajurit di barak itu. Tetapi sebagai orang yang telah masak, maka mereka mengerti bahwa tidak sepantasnya mereka berceritera tentang ibu Kasadha. Apalagi tentang masa lampaunya. Karena itu, keduanya bahkan sama sekali tidak berbicara tentang pribadi Kasadha dan Ibunya.
Sementara itu Kasadha telah menempuh perjalanan mengantarkan ibu dan bibinya. Sebenarnya ibu dan bibinya sama sekali tidak perlu diantar oleh Kasadha, karena mereka dapat pulang berdua saja. Jika ada sesuatu yang menghalangi perjalanan mereka, maka mereka akan dapat menyelesaikannya sendiri. Tetapi Kasadha masih harus membawa dua ekor kuda kembali ke Pajang. Kuda yang dipinjam dari barak.
Berbeda dengan para prajurit, Ki Rangga Dipayuda telah mempunyai dugaan-dugaan tentang ibu Kasadha. Meskipun ia tidak tahu latar belakang kehidupannya, tetapi tentu ada sesuatu yang disembunyikan. Ki Ranggapun selaju bertanya-tanya tentang kuda yang dipinjam oleh Kasadha. Namun Ki Rangga Dipayuda juga merasa kurang pantas untuk mempertanyakan hal itu langsung kepada Kasadha, karena Kasadha tentu tidak akan mengatakan yang sebenarnya. Namun Ki Rangga sama sekali tidak berprasangka buruk terhadap ibu Kasadha itu, karena ibu Kasadha itu juga hadir di Tanah Perdikan Sembojan ketika Risang diwisuda.
Ternyata Kasadha tidak mengingkari janjinya untuk kembali di keesokan harinya. Bahkan ketika ia datang, hari masih terhitung pagi.
Perjalanan mengantar ibunya adalah perjalanan yang singkat saja. Namun ketika mereka mendekati padukuhan tempat tinggal ibu dan bibinya, maka ibu dan bibinya harus membenahi pakaiannya. Mereka tidak boleh mengejutkan tetangga-tetangganya dengan pakaian khusus mereka. Karena itu, ketika mereka sampai di padukuhan, maka ibu Kasadha dan bibinya dalam ujud lahiriahnya tidak lebih dari dua orang perempuan yang sederhana. Petani yang hidup dan menyatu dengan lingkungannya.
Ketika para tetangganya mengetahui bahwa kedua orang perempuan itu kembali, maka beberapa orang di antara mereka telah memerlukan untuk datang. Dengan akrabnya mereka mengucapkan selamat atas kedatangan mereka berdua.
Tetangga-tetangga mereka memang heran melihat tiga ekor kuda di halaman rumah itu. Tetapi Kasadha mengatakan bahwa ia akan membawa kuda-kuda itu kepada pamannya.
"Paman memang memesan dua ekor kuda. Seekor untuk paman sendiri sedangkan seekor lagi untuk anaknya yang umurnya sebaya dengan aku," berkata Kasadha.
Para petani yang sederhana itu tidak mempersoalkannya lebih lanjut Mereka tenggelam dalam kegembiraan karena tetangganya sudah kembali dengan selamat, sebagaimana keluarga sendiri.
Kasadha memang tidak terlalu lama berada di rumah ibunya. Esok, pagi-pagi benar Kasadha telah bersiap kembali ke Pajang, apalagi ia masih mempunyai tanggungan, seorang tawanan dan dua orang tamu dari Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika Kasadha akan berangkat, ia masih bertanya kepada ibunya tentang luka-lukanya dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
"Semuanya sudah baik Kasadha. Jika masih ada sedikit bekasnya, tentu akan segera hilang," jawab ibunya.
"Baiklah ibu. Aku mohon diri. Aku akan berusaha untuk mendapat waktu setiap kali datang menengok ibu dan bibi," berkata Kasadha kemudian.
Ibunya menepuk bahunya. Nampak sorot matanya yang memancarkan kegembiraan hatinya. Ketika ia melepas Kasadha sampai ke regol halaman rumahnya, maka matanya menjadi berkaca-kaca. Seandainya tangan Yang Maha Agung tidak membimbing anaknya dengan kasih, apa jadinya anak itu. Tentu tidak lebih dari seorang perampok yang buas melebihi kebuasan ibunya pada masa lalu. Namun kasih Yang Maha Agung itu telah menariknya pula dari dalam kegelapan.
Berbeda dengan ibunya, maka bibi Kasadha itupun memandangi anak muda itu dengan gejolak di hatinya. Tetapi bibi Kasadha itu tidak mengatakan sesuatu karena justru ada ibu anak muda itu. Betapapun ia ingin memperingatkan Kasadha tentang anak perempuannya sebagaimana pernah dikatakannya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kasadhapun telah meninggalkan padukuhan ibunya dengan menuntun dua ekor kuda. Justru karena itu, maka Kasadha tidak dapat berpacu dengan cepat.
Namun Kasadha memang tidak terlalu tergesa-gesa, karena jarak yang akan ditempuh memang tidak begitu jauh. Ketika ia sampai di baraknya, ternyata hari memang masih terhitung pagi.
Hari itu juga Kasadha, seorang pemimpin kelompok yang mengikutinya ke Tanah Perdikan Sembojan bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menghadap Ki Tumenggung Jayayuda diantar oleh Ki Rangga Dipayuda.
Dengan jelas Kasadha memberikan laporan kepada Ki Tumenggung mengenai tugas yang diembannya bersama salah seorang pemimpin kelompok untuk mengamati persoalan yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
"Jadi seorang utusan dari Madiun telah menemuimu di Tanah Perdikan?" bertanya Ki Tumenggung.
"Ki Tumenggung Puspalaga datang untuk bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Adalah satu kesempatan yang baik yang diberikan oleh Kepala Tanah Perdikan Sembojan kepadaku."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Iapun kemudian minta penjelasan kepada Kasadha tentang sikap Madiun terhadap Ki Lurah Mertapraja yang kemudian dibawa ke Pajang.
Dengan singkat tetapi jelas Kasadha menceriterakan sikap Ki Tumenggung Puspalaga sebagai utusan resmi dari Madiun terhadap Ki Lurah Mertapraja yang melakukan pelanggaran atas pangeran yang berlaku bagi prajurit Madiun.
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Aku menghargai sikap Ki Tumenggung Puspayuda. Sudah tentu juga sikap Panembahan Mas di Madiun. Bahwa mereka tidak berniat untuk membawa Ki Lurah Mertapraja kembali ke Madiun. Jika Ki Lurah Mertapraja itu mereka minta untuk dibawa kembali ke Madiun, maka akan dapat menumbuhkan kecurigaan bahwa apa yang dilakukan oleh Ki Lurah Mertapraja itu sudah diijinkan, setidak-tidaknya setahu para pemimpin keprajuritan di Madiun."
"Seandainya Ki Tumenggung Puspalaga ingin membawa Ki Lurah Mertapraja, aku tentu berkeberatan. Apalagi aku berada di Tanah Perdikan Sembojan sebagai petugas yang ditunjuk oleh Pajang," jawab Kasadha.
"Namun dengan sikap itu, maka aku mendapat kesimpulan bahwa Madiun memang berusaha untuk mengekang diri sejauh dapat mereka lakukan agar mendung yang gelap yang memayungi Mataram dan Madiun tidak menjadi semakin gelap. Agaknya merekapun berniat untuk menghindarkan hujan angin dan prahara yang mungkin akan menempuh dan memporak-porandakan hubungan antara Mataram dan Madiun," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
"Nampaknya memang demikian," jawab Kasadha. "Mudah-mudahan niat baik dari Madiun dan Mataram akan dapat menjernihkan keadaan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan mengambil alih persoalan Ki Lurah Mertapraja. Aku akan menyampaikan persoalan ini untuk mendapat penanganan lebih jauh."
Namun Kasadhapun telah memberikan laporan pula! tentang kelemahan jiwani dari Ki Lurah Mertapraja.
"Dalam keadaan yang tertekan, jiwa Ki Lurah akan dapat terguncang sehingga kehilangan kendali," berkata Kasadha.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan berusaha berbuat sebaik-baiknya atas Ki Lurah Mertapraja."
Kemudian kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung Ki Tumenggungpun menanyakan sikap Kepala Tanah Perdikan Sembojan atas Ki Lurah Mertapraja. Apa yang dikehendaki oleh Risang dalam hubungannya dengan keterlibatan Ki Lurah atas serangan Padepokan Watu Kuning yang telah menimbulkan korban cukup banyak di Tanah Perdikan Sembojan.
"Semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan Pajang Ki Tumenggung. Kami hanya dapat memberitahukan apa yang terjadi. Kemudian terserah atas segala keputusan yang akan dijatuhkan oleh Pajang atas Ki Lurah Mertapraja. Bahkan kami akan mohon petunjuk atas tawanan-tawanan yang masih ada di Tanah Perdikan Sembojan. Seandainya mereka harus kami serahkan ke Pajang, maka tentu akan memerlukan waktu, karena kami tentu tidak akan dapat membawa mereka sekaligus."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Terimakasih atas kepercayaan para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan," Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lalu katanya pula, "Sayang, kami tidak dapat menanganinya dengan cepat karena keadaan. Tetapi kami bersama-sama berharap bahwa antara Mataram dan Madiun akan segera dapat dicapai kesepakatan, sehingga kita tidak selalu saling mencurigai. Kita tidak perlu menghimpun segala kekuatan untuk menghadapi kemungkinan buruk. Karena itu yang dapat aku katakan untuk sementara sampai aku mendapat perintah lebih lanjut, untuk sementara biarlah para tawanan itu berada di Tanah Perdikan Sembojan. Kami tahu bahwa dengan demikian Sembojan akan mengeluarkan dana khusus untuk para tawanan, tetapi untuk sementara kami memang belum dapat berbuat lain."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Sambi Wulung berkata, "Baiklah Ki Tumenggung. Mudah-mudahan kami akan segera mendapatkan perintah selanjutnya."
"Terima kasih atas kesediaan Tanah Perdikan Sembojan. Demikian keadaan memungkinkan, maka kami akan segera melakukan langkah-langkah terbaik bagi Tanah Perdikan Sembojan. Tentu saja pada batas-batas kemungkinan yang dapat kami lakukan."
Kepada Ki Tumenggung Jayayuda, Sambi Wulungpun mengatakan usaha Tanah Perdikan Sembojan untuk mencari kemungkinan bahwa di antara para tawanan itu masih ada yang dapat diharapkan kembali ke jalan yang baik dan masuk kembali ke dalam lingkungan masyarakat banyak.
"Bagus sekali," Ki Tumenggungpun dengan serta-merta telah memberikan tanggapan. "Tetapi kalian harus berhati-hati, karena menjajagi perasaan seseorang itu ternyata pekerjaan yang amat sulit. Apa yang kita perkirakan mungkin sekali justru bertentangan dengan yang sebenarnya."
"Ya Ki Tumenggung," jawab Sambi Wulung, "karena seseorang dapat bersikap pura-pura."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Bagaimanapun juga, Pajang tidak akan dapat melepaskan sama sekali persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan Sembojan ini. Tetapi karena keadaan, maka yang dapat kami lakukan sangatlah terbatas."
"Betapapun terbatasnya Ki Tumenggung, setiap perhatian atas Tanah Perdikan akan sangat membesarkan hati kamu karena kami tidak merasa seperti domba yang kehilangan gembala."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Ia masih memberikan beberapa pesan dan petunjuk. Namun kemudian Ki Tumenggung itu berkata, "Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Apa yang telah dilakukan oleh Tanah Perdikan Sembojan merupakan pengorbanan yang sangat berarti bagi Pajang dan bahkan bagi Mataram."
Demikianlah beberapa saat kemudian, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah minta diri. Mereka bersama Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha telah kembali ke barak yang diperuntukkan bagi pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Kasadha. Di barak itu Sambi Wulung dan Jati Wulung masih akan menginap semalam lagi. Besok keduanya akan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Malam itu Sambi Wulung dan Jati Wulung masih sempat berbincang dengan Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda. Mereka membicarakan perkembangan terakhir hubungan antara Pajang dan Madiun, Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, "Masih belum ada tanda-tanda apapun yang akan merubah hubungan antara Pajang dan Madiun. Mendung itu masih saja tetap bergantung. Hujan dapat jatuh setiap saat. Hanya jika ada angin kencang sajalah maka mendung itu akan dihanyutkan."
"Bayangan mendung itu pulalah yang nampak di langit di atas Tanah Perdikan Sembojan," sahut Sambi Wulung.
"Ya. Itu sudah wajar sekali," jawab Ki Rangga kemudian.
Namun pembicaraan merekapun kemudian merambat ke Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri dan bahkan kemudian sampai ke Madiun dan bahkan Mataram.
Menjelang tengah malam, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung itupun dipersilahkan untuk beristirahat.
"Bukankah esok pagi kalian akan menempuh perjalanan panjang dan bahkan masih akan dapat timbul kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghambat perjalanan?" berkata Ki Rangga Dipayuda.
"Tetapi nampaknya untuk sementara keadaan justru mulai tenang Ki Rangga," jawab Sambi Wulung.
"Ya. Setidak-tidaknya jalan menuju ke Tanah Perdikan Sembojan," sahut Ki Rangga. Namun kemudian katanya, "Tetapi masih juga harus diperhatikan saudara-saudara seperguruan, bahkan guru orang yang disebut paman oleh Ki Lurah Mertapraja."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Jika mereka tahu Ki Lurah ada di Pajang, maka mereka tentu akan mencarinya di Pajang ini pula."
"Jika mereka tahu kalian berdua yang membawanya kemari?" bertanya Ki Rangga.
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya tertawa saja.
"Sudahlah," berkata Ki Rangga Dipayuda, "nanti kalian tidak jadi beristirahat pula."
Di dini hari berikutnya, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah bersiap untuk menempuh perjalanan panjang. Berdua mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih sempat minta diri kepada Ki Rangga Dipayuda. Kepada Ki Lurah Kasadha, Sambi Wulung dan Jati Wulung berpesan, untuk disampaikan kepada Ki Tumenggung, bahwa mereka minta diri kembali ke Tanah Perdikan.
"Kami tidak ingin mengganggu Ki Tumenggung," berkata Sambi Wulung, "mungkin Ki Tumenggung belum bangun."
"Baiklah," sahut Kasadha, "aku akan menyampaikannya. Mungkin Ki Tumenggung memang belum bangun. Tetapi biasanya sebentar lagi ia bangun, sebelum matahari terbit."
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menunggu. Sebelum matahari terbit, mereka berdua sudah meninggalkan barak itu.
Demikianlah, maka keduanya telah berpacu di jalan-jalan yang masih sepi, sehingga karena itu, maka merekapun dapat meluncur dengan cepat. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah keluar dari pintu gerbang kota. Di gardu yang masih berada di lingkungan Kotaraja, sekelompok prajurit berjaga-jaga. Namun mereka tidak menghentikan Sambi Wulung dan Jati Wulung, karena keduanya tidak menunjukkan tanda-tanda yang dapat menimbulkan kecurigaan pada para prajurit yang bertugas itu.
Lepas dari pintu gerbang, maka Sambi Wulung berpacu semakin cepat. Meskipun sekali-sekali mereka berpapasan dengan sekelompok orang yang berjalan beriringan menuju ke pasar dengan membawa dagangan mereka masing-masing.
Meskipun hubungan antara Pajang dan Madiun masih saja diliputi oleh kesiagaan dan kecurigaan, namun kehidupan sehari-hari di Pajang nampaknya tidak banyak terganggu.
Ternyata perjalanan Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mendapat hambatan sampai saatnya matahari naik semakin tinggi. Ketika matahari hampir mencapai puncak langit, maka merekapun harus beristirahat. Kuda-kuda mereka tentu mulai merasa letih dan perlu beristirahat. Bahkan juga makan dan minum.
Karena itu, maka ketika mereka sampai ke sebuah kedai yang cukup besar di sebuah padukuhan yang besar pula, merekapun berhenti. Selain kuda mereka yang letih, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun sudah merasa haus.
Beberapa saat keduanya duduk sambil menghirup minuman hangat. Bahkan karena hari sudah terhitung siang, maka merekapun telah memesan makan pula. Nampaknya kedai itu menjajakan makan dan minum yang sesuai dengan selera mereka.
Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk menyuapi mulut mereka, tiga orang telah memasuki kedai itu. Wajah mereka nampak gelap, sementara sikap merekapun nampak gelisah.
Ketiganya duduk tidak terlalu jauh dari Sambi Wulung dan Jati Wulung. Sebagaimana Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mengenali mereka, maka ketiga orang itupun tidak mengenali kedua orang itu.
Mula-mula Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap mereka. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, "Kita sudah terlambat. Kita tidak akan pernah mendapatkannya kembali."
"Orang-orang kitalah yang dungu sehingga mereka tidak berhasil menyelamatkannya dari Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi sekarang. Ki Lurah itu tentu sudah berada di tangan para prajurit Pajang," sahut yang lain.
"Bagaimana hal itu dapat terjadi," desis orang yang pertama.
"Tetapi hal itu benar-benar telah terjadi," jawab yang lain.
Orang yang pertama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia termasuk orang yang penting di antara kita. Tetapi kita salah hitung, sehingga seakan-akan kita sudah menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Kita memang tidak mengira bahwa kekuatan Tanah Perdikan Sembojan itu cukup besar menghadapi orang-orang Watu Kuning. Kitapun tidak mengira bahwa ada beberapa orang berilmu tinggi yang dapat mengimbangi orang-orang berilmu tinggi di dalam pasukan Watu Kuning."
"Hal-hal yang tidak diduga-duga itu memang harus diperhitungkan."
"Bagaimana kita memperhitungkan jika hal itu tidak dapat diduga sebelumnya."
Ketiga orang itu terdiam. Ketika mereka mendapatkan minuman mereka, maka merekapun telah memesan makan pula.
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi tertarik mendengar pembicaraan mereka. Agaknya mereka adalah termasuk di antara orang-orang yang ingin mengambil Ki Lurah Mertapraja. Namun setelah mereka mengetahui bahwa Ki Lurah Mertapraja telah dibawa ke Pajang, maka mereka menjadi berputus-asa.
Tiba-tiba saja seorang di antara mereka berdesis, "Apa yang dapat kita lakukan sekarang?"
Kawan-kawannya hanya saling berpandangan saja.
Untuk beberapa saat hanya berdiam diri. Sambi Wulung dan Jati Wulungpun seakan-akan tidak menghiraukan apa yang mereka katakan, sebagaimana orang-orang lain yang ada di kedai itu. Empat orang anak muda yang duduk di sudut terdengar tertawa hampir berbareng. Agaknya mereka sedang berkelakar sebagaimana kebiasaan anak-anak muda.
Namun tiga orang yang sedang merenungi persoalan yang gawat itu menjadi tidak senang mendengar mereka tertawa berkepanjangan. Bahkan seorang di antara mereka berdesis, "Aku ingin menyumbat mulut mereka."
Tetapi kawan-kawannya masih saja berdiam diri. Baru beberapa saat kemudian, seorang di antara mereka berkata, "Kita memang harus berbuat sesuatu."
"Apa" Apa kita akan mengambilnya dari Pajang" Itu sama artinya kita akan menyurukkan diri ke dalam api."
"Tidak. Tetapi kita kembali ke Tanah Perdikan Sembojan."
"Buat apa" Ki Lurah Mertapraja sudah tidak ada di Tanah Perdikan."
"Kita akan mengambil salah seorang yang terhitung penting di Sembojan. Orang itu akan kita tawarkan untuk ditukar dengan Ki Lurah Mertapraja. Biarlah orang-orang Sembojan yang berbicara dengan Pajang."
Kedua orang kawannya termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata, "Orang-orang terpenting di Tanah Perdikan termasuk orang-orang berilmu tinggi. Meskipun niat itu baik, tetapi tidak mudah untuk melakukannya."
"Kita dapat mencobanya," jawab orang yang mempunyai rencana itu dengan yakin.
Merekapun berhenti pula berbicara. Mereka mencoba untuk melihat orang-orang yang ada di kedai itu. Mereka sempat memandang Sambi Wulung dan Jati Wulung. Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung nampaknya asik berbincang sendiri sambil menyuapi mulut mereka tanpa menghiraukan orang lain.
"Siapakah kedua orang itu?" terdengar seorang di antara mereka berdesis.
Kawan-kawannya menggeleng. Seorang di antara mereka berkata, "Orang lewat. Mereka makan sangat rakus."
Yang lain mengerutkan dahinya. Tetapi tidak ada yang mengatakan sesuatu lagi tentang Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Sementara itu terdengar lagi anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. Seorang di antaranya bahkan telah memukul lincak. Agaknya ia tidak dapat menahan kegelian yang menggelitik jantungnya.
Ketika perhatian ketiga orang itu tertuju kepada anak-anak muda yang tertawa berkepanjangan itu, Sambi Wulung berdesis, "Perhatikan orang-orang itu dengan baik. Jika pada suatu saat kita bertemu-dengan mereka di Tanah Perdikan, kita dapat mempersiapkan diri."
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk.
Dengan ketajaman pendengaran mereka, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung masih mencoba untuk mendengarkan pembicaraan itu lebih lanjut. Meskipun mereka tidak dapat mendengar dengan jelas seluruhnya, namun yang dapat mereka dengar dapat mereka mengerti maksudnya.
Namun tiba-tiba saja Sambi Wulung dan Jati Wulung itu terkejut. Tiba-tiba saja salah seorang dari ketiga itu bangkit berdiri sambil berteriak lantang, "Diam. Kenapa kalian berteriak-teriak seperti itu" Kau harus tahu bahwa tempat ini bukan milik kalian saja. Orang lain dapat terganggu mendengar kelakar kalian yang urakan itu."
Anak-anak muda itupun terkejut. Dengan serta-merta mereka memang diam. Tetapi ternyata mereka tidak merasa senang diperlakukan seperti itu.
Seorang di antara mereka justru bertanya, "Apa maumu sebenarnya" Kami berbicara, bergurau dan tertawa sendiri tanpa menyinggung kepentinganmu."
"Tetapi suara kalian yang ribut itu membuat kepala kami pening. Kami sedang berbicara tentang satu hal yang sangat penting dan memerlukan pemikiran yang rumit. Sementara itu kalian berteriak-teriak seperti orang gila. Memukul-mukul lincak. Kalian harus belajar menghargai orang lain."
Perhatian orang-orang yang ada di kedai itupun tertuju seluruhnya kepada kedua kelompok yang sedang bertengkar itu. Tiga orang yang sudah mendekati separo baya dengan empat orang anak-anak muda yang sedang tumbuh.
Dengan wajah tegang, salah seorang dari ketiga orang yang sudah lebih tua itu kemudian berkata, "Aku memperingatkan kepada kalian, agar kalian sedikit menahan diri."
"Maaf Ki Sanak," jawab salah seorang di antara anak-anak muda itu, "kami terbiasa berbuat sebagaimana kami lakukan. Jika kalian tidak senang, maka kalian dapat meninggalkan tempat ini."
Wajah orang yang sudah lebih tua itu menjadi merah. Sementara itu, pemilik kedai itu dengan tergesa-gesa mendekati mereka sambil berkata, "Sudahlah. Kamilah yang mohon maaf. Kami ingin mempersilahkan kalian pindah ke tempat yang lebih tenang."
"Kenapa kami yang harus pindah. Bawa anak-anak itu pergi ke belakang. Aku muak mendengar suara mereka."
"Tidak," sahut anak muda itu. "Kami tidak ingin pindah kemanapun. Sejak semula kami duduk disini."
Pemilik kedai itu bergeser mendekati anak-anak muda itu. Katanya, "Biarlah kalian yang muda-muda mengalah. Silahkan duduk di sebelah. Tempatnya cukup baik."
Tetapi hampir berbareng mereka menjawab, "Tidak."
Pemilik kedai itu menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika orang yang lebih tua itu berkata, "Jika aku mendengar kalian tertawa sambil berteriak-teriak lagi, maka aku akan menghentikannya dengan caraku."
"Kenapa kau tidak melakukannya sekarang" Dengar, aku masih akan berteriak-teriak terus," jawab salah seorang di antara anak-anak muda itu.
Orang yang sudah mendekati separo baya itu menjadi sangat marah. Dengan serta-merta, diraihnya mangkuk minumannya. Minuman yang masih ada itupun telah dilontarkan ke arah anak muda itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang juga menjadi tegang karena peristiwa itu menjadi semakin tegang. Jarak keduanya tidak terlalu dekat. Tetapi minuman yang dilontarkan dan memercik mengenai anak muda itu akibatnya memang mendebarkan. Anak muda itu terdorong dengan kerasnya. Untunglah bahwa anak muda itu hanya terduduk dan tersandar lincak tempat duduknya. Seandainya tidak ada tempat duduk itu di belakangnya, maka mungkin sekali anak muda yang tidak mengira mengalami hal itu akan jatuh terlentang.
Tetapi anak-anak muda itu agaknya tidak menyadari apa yang telah terjadi itu. Karena itu, mereka menjadi sangat marah. Berempat mereka serentak bangkit. Yang terkena percikan minuman itu mengumpat-umpat dengan kasar.
Orang yang menyiram anak muda itu dengan sisa minumannya itupun bergeser pula sambil berkata, "Jadi kalian menjadi marah, he" Kalian mau apa?"
"Aku ingin memilin lehermu," jawab salah seorang anak muda.
Tetapi orang yang sudah mendekati separo baya itu berkata, "Lakukan jika kau mampu. Tetapi aku tidak akan merusak tatanan kedai ini. Kita dapat melakukannya di halaman."
"Bagus," sahut salah seorang anak muda itu. "Kita akan turun ke halaman."
Orang yang-sudah separo baya itu segera turun ke halaman diikuti oleh keempat orang anak muda itu. Namun dua orang kawannya masih saja duduk di tempatnya.
Tetapi seorang di antara mereka berkata, "Marilah. Kita lihat apa yang terjadi."
Kawannya masih sempat meneguk minumannya. Namun merekapun kemudian bangkit pula dan berjalan ke pintu.
Di halaman seorang yang marah itu telah berhadapan dengan empat orang anak muda. Dengan garang seorang di antara anak muda itu bertanya, "He, dimana kawan-kawanmu."
Tetapi orang yang sudah separo baya itu berkata, "Aku tidak memerlukan mereka. Aku akan memukuli kalian berempat sehingga kalian harus mengakui, bahwa tingkah laku kalian itu tidak pantas dilakukan di tempat orang banyak."
"Kenapa kau terlalu sombong" Apakah kau seorang diri merasa mampu menghadapi kami berempat?" bertanya anak muda yang bertubuh tinggi meskipun agak kekurusan.
"Kenapa tidak," jawab orang itu. "Kita akan segera melihat, apa yang akan terjadi."
"Baik jika itu yang kau inginkan. Kau akan menyesal dan kawan-kawanmupun akan menyesal pula."
Orang yang umurnya sudah menjelang separo baya itu tidak menunggu. Iapun mulai meloncat menyerang. Ketika tangannya terayun cepat, maka seorang di antara anak-anak muda itu berteriak kesakitan. Mulutnyapun segera mengeluarkan darah. Sebuah giginya telah tanggal.
Kawan-kawannyapun menjadi marah. Bersama-sama mereka menyerang, sehingga orang itu benar-benar harus berkelahi melawan empat orang anak muda yang dilihat dari ujudnya, keempatnya lebih meyakinkan dari seorang yang dikeroyoknya itu.
Dua orang kawan dari orang yang sudah mendekati separo baya itupun telah turun ke halaman. Tetapi mereka memang tidak melibatkan diri. Mereka hanya menyaksikan saja apa yang terjadi di halaman itu.
Perkelahian itupun kemudian telah menjadi semakin sengit. Anak-anak muda itupun menjadi marah. Mereka merasa terhina dengan sikap lawannya yang hanya seorang diri melawan mereka berempat. Mereka berniat untuk memperingatkan, agar orang itu tidak terlalu sombong dengan mengandalkan kemampuannya.
Tetapi yang terjadi memang di luar dugaan anak-anak muda itu. Meskipun hanya seorang diri, namun orang itu telah menggetarkan pertahanan keempat lawannya. Sekali-sekali anak-anak muda itu berloncatan menjauh. Satu dua di antara mereka bahkan terdorong surut jika serangan lawannya mengenainya.
Sebenarnyalah bahwa keempat orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Semakin lama mereka berkelahi, maka semakin ternyata bahwa lawannya yang hanya seorang itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Namun keempat orang anak muda itu tidak segera berputus asa. Sebelumnya mereka merasa terlalu yakin bahwa mereka akan segera menyelesaikan perkelahian itu. Tetapi kenyataan yang mereka hadapi telah memaksa mereka untuk lebih bersungguh-sungguh.
Dengan demikian maka perkelahian itu memang menjadi semakin seru dan semakin keras. Keempat anak muda itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Mereka mulai membuat perhitungan-perhitungan untuk mengatasi lawannya yang kuat dan tangkas itu.
Keempat orang anak muda itupun telah memencar. Mereka mulai menyerang dari arah yang berbeda-beda.
Tetapi lawan mereka yang meskipun hanya seorang itu cukup tangkas. Dengan kecepatan geraknya, ia berusaha untuk menghindari setiap serangan.
Tetapi karena keempat orang anak muda itu mulai berpikir dan memperhitungkan setiap serangan mereka, maka lawannya yang seorang itupun menjadi semakin berhati-hati pula.
Dengan demikian, maka keempat anak muda itu berusaha untuk memecah perhatian lawannya. Merekapun menyerang berurutan seperti gelombang. Tetapi dari arah yang berbeda-beda.
Kedua orang kawannya yang memperhatikan perkelahian itu mulai menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka masih tetap merasa tidak perlu untuk ikut turun ke arena. Bagaimanapun juga keempat orang anak muda itu tidak akan mampu bertahan terlalu lama.
Tetapi bahwa anak-anak muda itu memaksa lawannya meningkatkan kemampuannya, telah membuat lawannya semakin marah. Apalagi ketika serangan anak-anak muda itu mulai mengenai tubuhnya. Maka kemarahannyapun semakin menyala di dadanya.
Dengan lantang orang itu kemudian berkata, "Aku memperingatkan kalian sekali lagi sebelum kalian menyesal. Kalian harus menyerah dan minta ampun kepadaku. Kemudian kalian mengaku telah melakukan perbuatan yang salah serta berjanji untuk tidak melakukannya lagi."
"Persetan," geram salah seorang anak muda. "Ternyata kau mulai merasa terdesak dan tidak mampu lagi untuk bertahan. Kau mencoba untuk mencari kesempatan menghentikan pertempuran dengan tidak merendahkan harga dirimu. Tetapi kami bukan orang-orang dungu."
"Anak-anak iblis," geram orang itu. "Jika aku terlanjur melepaskan kekang yang mengendalikan ilmuku, maka jangan menyesal jika seorang di antara kalian atau bahkan dua atau tiga atau semuanya akan mati."
"Kau tidak usah membual. Jika kau ingin menyerah, menyerahlah. Kami akan memaafkanmu dan membiarkan kau dan kawan-kawanmu pergi."
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi berdebar-debar. Sebenarnya orang itu bukan seorang yang terlalu kasar. Orang itu masih berusaha mengekang diri. Tetapi anak-anak muda itu juga tidak tahu diri. Mereka tidak melihat keadaan mereka dibandingkan dengan lawannya. Betapapun juga kemudaan membakar jantung, seharusnya mereka menyadari, bahwa lawan mereka adalah seorang yang berilmu tinggi.
Tetapi keempat anak muda itu sama sekali tidak mau menilai diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa mereka bersama-sama akan dapat mengimbangi lawannya yang hanya seorang itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang ikut memperhatikan perkelahian Itu justru menyalahkan keempat anak muda itu karena mereka tidak mau menghindar justru saat mereka mendapat kesempatan.
"Anak-anak itu tidak tahu diri," desis Sambi Wulung.
"Mereka memang tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka hadapi," sahut Jati Wulung.
Keduanya menjadi semakin tegang ketika mereka melihat orang yang bertempur seorang diri itu meningkatkan ilmunya. Bahkan nampaknya orang itu telah benar-benar menjadi marah.
Karena itu maka perkelahian yang menyala berikutnya menjadi semakin sengit. Keempat anak muda itu memang berusaha untuk mengerahkan kemampuan mereka. Namun menghadapi orang yang berilmu tinggi itu, mereka benar-benar telah mengalami kesulitan. Ketika seorang di antara mereka terlempar jatuh, maka kawan-kawannya menjadi semakin marah.
Bertiga mereka menyerang serentak, sementara anak muda yang terlempar jatuh itu berusaha untuk bangkit berdiri.
Tetapi orang itu telah kehabisan kesabaran. Dua di antara ketiga anak muda yang menyerang serentak itu berteriak kesakitan. Mereka terdorong beberapa langkah surut. Seorang dari mereka masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sedangkan yang lain akhirnya terjatuh di tanah.
Dengan susah payah anak muda itu berusaha untuk bangkit. Namun kawannya yang lain justru telah jatuh menimpanya.
Keduanya mengaduh kesakitan. Tulang-tulang mereka serasa berpatahan. Namun mereka masih juga mencoba untuk bangkit dan melawan.
Tetapi mereka sama sekali tidak lagi berkesempatan. Meskipun nampaknya mereka masih utuh berempat, tetapi mereka benar-benar sudah tidak berdaya. Seorang-seorang di antara mereka telah terbanting jatuh. Jika seorang tertatih-tatih bangkit, maka yang lainlah yang kehilangan keseimbangan.
Dua orang kawan dari seorang yang berkelahi melawan anak muda itu berdiri termangu-mangu. Mereka sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Nampaknya mereka memang yakin bahwa kawannya itu akan dapat menyelesaikan keempat orang anak muda itu.
Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung mendapat kesempatan untuk memperhatikan ketiga orang itu dengan baik. Wajahnya, bentuk tubuhnya dan tingkah lakunya. Bahkan mereka dapat mengenali serba sedikit ilmu yang dimiliki oleh salah seorang di antara mereka.
"Pada suatu saat ketiga orang itu akan datang ke Tanah Perdikan Sembojan," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk kecil. Katanya, "Agaknya mereka orang-orang dari perguruan Wukir Gading. Bukan orang-orang Watu Kuning. Nampaknya mereka tidak sekeras dan sekasar orang-orang Watu Kuning, setidak-tidaknya orang yang sedang berkelahi itu."
Tetapi keduanya menjadi ragu-ragu akan dugaannya. Orang yang berkelahi itu ternyata tidak segera berhenti meskipun keempat anak muda itu sudah tidak berdaya.
"Orang itu sudah terlanjur marah sekali," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung tidak segera menjawab. Tetapi dahinya memang nampak berkerut. Bahkan katanya, "Tetapi sebenarnya itu sudah cukup. Anak-anak itu sudah tidak berdaya."
Ketika kegelisahan semakin menghentak-hentak jantungnya, ternyata orang itupun berhenti memukuli anak-anak muda yang sudah tidak berdaya itu. Keempat anak muda itu terbaring di tanah sambil mengerang kesakitan.
"Bangkit. Jangan cengeng," teriak orang yang memukulinya itu. Lalu katanya, "Kalian anak-anak muda yang sudah berani mulai harus berani menanggung akibatnya. Bangkit dan lakukan sebagaimana kalian katakan."
Anak-anak muda itu hanya mampu menggeliat. Tetapi mereka tidak dapat lagi bangkit. Seorang di antara mereka mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu jatuh lagi di tanah.
Orang yang marah itupun kemudian bergeser surut. Dengan nada tinggi ia berkata, "Jangan lupakan peristiwa ini. Berhati-hatilah bersikap di tempat orang banyak. Dunia ini bukan hanya milik kalian berempat saja. Ingat itu. Orang lain tidak mau terganggu oleh sikap urakanmu itu."
Tidak seorangpun di antara anak-anak muda itu yang berani menjawab. Apalagi tubuh mereka masih terasa sakit sekali.
Orang yang berkelahi melawan empat orang anak muda itupun segera meninggalkan mereka masih terbaring di tanah. Bersama dengan kedua orang kawannya, mereka kembali naik dan duduk di tempat mereka duduk semula. Mereka masih melanjutkan meneguk minuman yang tersisa kecuali yang telah dipercikkan ke wajah salah seorang anak muda yang dianggapnya mengganggu itu.
Baru sejenak kemudian salah seorang dari mereka telah membayar harga makanan dan minuman sambil minta diri kepada pemilik kedai itu.
Ketika ketiga orang itu turun lagi ke halaman, maka mereka melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung menolong keempat orang anak muda itu. Mereka membantu anak-anak muda yang kesakitan itu duduk.
Orang yang semula berkelahi dengan keempat orang anak muda itu sempat berpaling kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung sambil berkata, "Kau tidak usah mencampuri persoalan orang lain."
"Tidak," jawab Sambi Wulung. "Aku hanya membantu mereka, karena mereka sama sekali sudah tidak dapat bangkit."
Orang yang baru saja berkelahi itu mengerutkan dahinya. Namun ketika dilihatnya sorot mata Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka orang itu menduga, bahwa kedua orang yang menolong anak-anak muda itu adalah bukan orang kebanyakan.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya lagi. Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun segera berpacu meninggalkan kedai itu menyusuri jalan panjang yang berdebu.
Kipas Dewi Murka 1 Perempuan Paris Karya Motinggo Busye Drama Di Ujung Pisau 3
Namun baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung terkejut ketika ia mendengar orang yang bertempur melawan Sambi Wulung itu berteriak, "Bawa orang itu pergi. Aku akan menyelesaikan orang ini."
"Kenapa begitu lama?" terdengar orang dari dalam bilik itu bertanya.
"Ia memiliki kemampuan iblis," jawab orang itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung melihat kemudian dinding yang telah koyak itu tersibak. Sementara itu, maka keduanya sedang bertempur dengan orang yang agaknya berilmu tinggi, sehingga baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung tidak dapat meninggalkan lawan-lawannya itu.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun tiba-tiba telah berteriak, "Jangan bawa orang itu pergi. He, tunggu."
Jati Wulungpun berteriak pula sebagaimana Sambi Wulung. Bukan sekedar mencegah agar Ki Lurah Mertapraja tidak dibawa pergi. Tetapi ia juga berharap agar orang-orang yang ada di pendapa banjar mendengar suaranya.
"Pengecut, jangan lari."
Suara Sambi Wulung dan Jati Wulung memang didengar oleh orang-orang yang ada di pendapa. Dengan serta-merta para pengawal yang ada di pendapa segera berlari-lari menuju ke belakang gandok.
Ternyata hal itu diketahui juga oleh dua orang yang keluar dari bilik Ki Lurah Mertapraja lewat dinding yang koyak itu. Dengan geram seorang di antaranya berkata, "Kau panggil kawan-kawanmu. Jika demikian apaboleh buat, aku terpaksa membunuh mereka."
Sambi Wulung memang menjadi cemas. Dengan cepat ia berteriak ketika ia mendengar derap langkah para pengawal berlari, "Hati-hati. Jangan tergesa-gesa."
Tetapi Sambi Wulung terlambat. Demikian dua orang muncul dari sudut gandok bagian depan, maka salah seorang yang keluar dari bilik lewat dinding yang koyak itu telah menyongsongnya. Dalam sekejap, dua orang pengawal terpelanting jatuh. Seorang masih sempat menyerang. Tetapi seorang yang lain sama sekali tidak sempat mengaduh.
Sementara itu, seorang yang lain telah membimbing Ki Lurah Mertapraja melintasi halaman menuju ke kebun yang gelap.
Tetapi bayangan yang lain, yang juga keluar dari dinding yang koyak itu telah memburunya ke dalam gelap. Jarak mereka memang belum terlalu jauh, sehingga karena itu, maka orang yang melarikan Ki Lurah Mertapraja itu harus berhenti, melepaskan Ki Lurah dan siap menghadapi orang yang memburunya itu.
Suasanapun menjadi kacau. Dua orang lagi pengawal yang datang telah terlempar jatuh pula.
Namun yang kemudian datang, ternyata agak lain dari para pengawal yang telah terbaring diam. Empat orang pengawal telah jatuh. Namun ketika bayangan yang lain muncul, maka ketika orang yang menunggu di sudut belakang gandok itu menyerang, dengan tangkas bayangan itu menghindar. Demikian pula serangan-serangan beruntun yang datang selalu berhasil dihindarinya.
"Iblis kau," geram orang itu.
Orang itu terkejut ketika terdengar jawaban, suara seorang perempuan, "Jangan licik begitu Ki Sanak."
"Siapa yang licik" Aku berhak mempergunakan caraku untuk mengambil anakku," jawab orang itu.
Namun tiba-tiba ia bertanya, "He, kau seorang perempuan?"
"Kenapa?" bertanya perempuan itu.
"Kaukah ibu Kepala Tanah Perdikan ini?"
"Bukan. Aku bibinya," jawab perempuan itu.
"Persetan kau. Kaulah yang akan mati kemudian setelah para pengawal itu," geram orang itu.
Tetapi perempuan itu, ibu Kasadha, sama sekali tidak menjadi gentar. Iapun bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ia masih sempat bertanya, "Apa hubunganmu dengan Ki Lurah Mertapraja sehingga kau mempertaruhkan nyawamu untuk melepaskannya?"
"Apa pedulimu," sahut orang itu.
"Aku hanya ingin tahu, karena jika tidak ada sangkut pautnya sama sekali, tidak mungkin kalian melakukannya. Apalagi dengan satu kemungkinan bahwa kau tidak akan keluar lagi dari padukuhan ini," desis ibu Kasadha.
"Apa pedulimu. Jika kau mau membunuh dirimu, lakukanlah. Aku akan membantumu tanpa harus kau ketahui siapa aku."
"Baiklah. Kau akan mati tanpa nama," desis Warsi.
Orang itu tidak menghiraukannya lagi. Dengan serta-merta iapun meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi ibu Kasadha itu telah bersiap sepenuhnya. Ketika tangan orang itu menyambarnya, maka dengan cepatnya ia meloncat menghindar. Namun ketika getar udara yang timbul karena ayunan tangan orang itu menerpa wajahnya, maka ibu Kasadha itupun segera menyadari, bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.
Sementara itu, Risang dan Kasadha telah berada di belakang gandok itu pula. Seorang pengawal yang melihat seseorang berlari ke kegelapan bersama Ki Lurah Mertapraja telah memburunya pula sambil berkata, "Ki Lurah telah melarikan diri."
Risang dan Kasadhapun segera berlari pula mengikuti pengawal itu ke dalam gelap.
Mereka tertegun ketika mereka melihat dua orang yang telah bertempur di dalam gelap. Sementara itu terdengar suara seorang perempuan, "Cari Ki Lurah Mertapraja yang melarikan diri."
Risang segera mengenali suara itu. Suara itu adalah suara ibunya. Ketika terdengar keributan, maka ibunya itu telah langsung membuka bilik Ki Lurah dari pintu depan dan berlari masuk. Namun agaknya Ki Lurah telah melarikan diri lewat dinding yang koyak, sehingga ibunyapun telah menyusul pula lewat dinding yang terbuka itu.
Ketika Risang dan Kasadha berlari memburu Ki Lurah Mertapraja bersama pengawal itu, maka terdengar suara tertawa berkepanjangan. Katanya, "Ki Lurah bukan orang kebanyakan. Mereka tidak akan terlalu mudah menangkapnya."
"Mereka yang mengejarnya juga bukan orang kebanyakan. Apalagi sekitar banjar ini, para pengawal sudah siap berjaga-jaga," jawab Nyi Wiradana.
Tetapi orang itu masih tertawa. Katanya, "Semakin banyak orang yang mengejarnya, korban akan menjadi semakin banyak berhamburan di jalan-jalan padukuhan ini. Tetapi itu adalah tanggung jawab kalian sendiri. Kalian yang membuat persoalan, jadi kalianlah yang akan menanggung akibatnya."
Tetapi Nyi Wiradanapun tersenyum sambil berkata, "Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi ia mempunyai keterbatasan. Sementara itu jumlah para pengawal tidak terhitung lagi. Jika mereka yang ada di padukuhan ini tidak cukup banyak, maka kami dapat membunyikan isyarat memanggil para pengawal dari padukuhan yang lain, se-ii hingga betapapun tinggi ilmu kalian, maka kalian akan kehabisan tenaga. Akhirnya kami akan dapat menangkap kalian hidup atau mati."
"Satu mimpi buruk bagimu," sahut orang itu.
Nyi Wiradana tidak sempat menjawab lagi. Dengan cepatnya orang itu menyambar dengan tangannya yang garang. Jari-jarinya terbuka seperti jari-jari seekor burung elang yang lapar.
Tetapi Nyi Wiradana dengan cepat mengelak pula. Namun lawannya tidak melepaskannya. Dengan garangnya ia memburu. Tangannya masih saja terbuka dengan jari-jari yang mengembang siap untuk mencengkeram kulit dagingnya yang seakan-akan hendak dikoyakkan.
Tetapi Nyi Wiradana cukup tangkas. Serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan Nyi Wiradana itupun dengan cepat pula membalas menyerang.
Dalam pada itu, Risang dan Kasadha telah sampai ke dinding halaman di kegelapan. Mereka memang menjadi agak kebingungan. Mereka tidak segera menemukan Ki Mertapraja.
"Orang itu tentu meloncat keluar," desis Risang.
"Ya," sahut Kasadha. "Kita lihat saja di luar dinding halaman ini."
Keduanyapun kemudian telah meloncati dinding. Mereka memang melihat pertempuran yang terjadi beberapa puluh langkah dari dinding halaman itu. Risang dan Kasadhapun segera menduga, bahwa para pengawal itu sedang berusaha menangkap Ki Lurah Mertapraja.
Karena itu, maka mereka berduapun segera meloncat turun keluar halaman dan berlari-lari ke arah keributan yang diterangi oleh oncor di regol halaman seseorang meskipun hanya lamat-lamat.
Tetapi Risang dan Kasadha terkejut ketika ia melihat para pengawal sedang bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi. Seorang di antara mereka adalah Ki Lurah Mertapraja, sedangkan yang seorang lagi nampaknya ilmunya lebih tinggi dari Ki Lurah, sehingga para pengawal mengalami kesulitan. Dua orang pengawal telah terbaring di pinggir jalan ditunggui oleh masing-masing seorang kawannya yang membantunya memperingan penderitaannya.
"Tangkap Ki Lurah," berkata Risang kepada Kasadha, "aku akan mencoba melawan yang seorang lagi."
"Kita jangan kehilangan orang itu. Karena itu, biarlah kita berdua bertempur melawannya dan berusaha menangkapnya. Biarlah para pengawal berusaha menangkap Ki Lurah. Kecuali jika para pengawal tidak berhasil, aku akan berusaha menangkapnya bersama para pengawal," jawab Kasadha.
Ternyata Risang sependapat. Katanya, "Baiklah. Marilah."
Ketika keduanya kemudian memasuki arena, maka seorang lagi dari antara para pengawal yang terlempar dari arena dan jatuh terbanting di tanah.
"Bawa anak itu menepi," perintah Risang.
Para pengawal itu menjadi berbesar hati ketika mereka melihat Risang dan Kasadha ada di antara mereka.
Demikianlah, maka Risang dan Kasadhapun segera mempersiapkan diri menghadapi orang yang telah berusaha melindungi Ki Lurah itu. Sementara Risang memberikan isyarat agar para pengawal berusaha menangkap Ki Lurah Mertapraja.
Meskipun kesadaran Ki Lurah itu terganggu, tetapi ternyata ia masih mampu bertempur dengan garangnya. Kakinya berloncatan dengan cepatnya. Tangannya terayun-ayun mengerikan. Sambil berteriak-teriak ia bertempur dengan segenap kekuatan dan kemampuannya. Justru karena kesadarannya tidak utuh itu, maka Ki Lurah menjadi seakan-akan semakin berbahaya. Segala gerak dan sikapnya benar-benar berada di luar kendali.
Beberapa orang pengawal yang mengepungnya memang menjadi sangat berhati-hati. Sementara itu Risang masih sempat memperingatkan, "Tangkap ia hidup-hidup."
Justru karena itulah, maka para pengawal itu bertempur semakin berhati-hati. Mereka harus menangkap Ki Lurah itu tanpa menyakitinya, sementara Ki Lurah sendiri sama sekali tidak mengendalikan diri. Demikian pula senjata yang diberikan kepadanya oleh orang-orang yang berusaha membebaskannya.
Sementara itu Risang dan Kasadha telah bertempur melawan orang yang berusaha melindungi Ki Lurah Mertapraja itu. Dengan kasarnya orang itu mengumpat ketika ia menyadari, bahwa dua orang anak muda itu memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain.
"Ternyata kalian mempunyai kemampuan lebih baik dari kawan-kawanmu. Apakah kau pemimpin pengawal di Tanah Perdikan ini?" bertanya orang itu.
"Ya," jawab Risang. "Karena itu menyerahlah."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau tidak mengenal aku dan kawan-kawanku yang datang untuk mengambil Ki Lurah Mertapraja."
"Ya. Kami memang belum mengenal kalian. Karena itu, katakan, siapakah kalian yang berusaha membebaskan Ki Lurah dan apa hubungan kalian dengan Padepokan Watu Kuning."
"Kami bukan orang-orang Watu Kuning. Kami tidak mempunyai hubungan apapun dengan Watu Kuning. Tetapi kami mempunyai hubungan dengan Ki Lurah Mertapraja," jawab orang itu.
Risang yang pernah mendengar ceritera Warsi tentang Perguruan Wukir Gading, tiba-tiba saja bertanya, "Apakah kalian termasuk orang-orang dari Perguruan Wukir Gading?"
Orang itu terkejut. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, "Dari mana kau tahu tentang Wukir Gading" Tetapi Wukir Gading yang mana yang kalian maksud?"
"Setahuku hanya ada satu Wukir Gading," jawab Risang.
"Ada tiga Perguruan Wukir Gading," jawab orang itu.
"Aku tidak peduli," jawab Risang. "Dari Wukir Gading yang manapun, menyerahlah."
Tetapi orang itu tertawa semakin keras. Katanya, "Ternyata kau tidak tahu apa-apa. Nah, sekarang perintahkan pengawal-pengawal Tanah Perdikan itu untuk menghentikan usahanya menangkap Ki Lurah Mertapraja. Jika tidak, maka kalian semua akan mati malam ini."
Tetapi Risang justru berteriak, "Cepat, tangkap Ki Lurah yang terganggu kesadarannya itu. Ia akan dapat menjadi orang yang sangat berbahaya."
"Setan kau," geram orang itu. Katanya kemudian, "Kalian memang harus segera mati."
Tetapi justru Risanglah yang menyerang lebih dahulu, disusul dengan serangan Kasadha yang keras. Tetapi dengan tangkasnya orang itu menghindar dengan loncatan ke samping. Namun demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun segera melenting menyerang kembali.
Demikianlah, maka merekapun segera bertempur dengan sengitnya. Risang dan Kasadha bersama-sama melawan orang yang berilmu tinggi itu. Sedangkan para pengawal juga telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Lurah Mertapraja yang benar-benar telah kehilangan penalarannya.
Sementara itu, di halaman banjar, di belakang gandok, telah terjadi pula pertempuran yang sengit. Justru orang-orang berilmu tinggi sedang mempertaruhkan kemampuan mereka.
Selain mereka ternyata masih ada lagi seorang yang bertempur di halaman banjar. Orang itu tanpa diketahui dari mana datangnya telah memotong tali kentongan. Dan bahkan dengan kapaknya ia mencoba untuk memecahkan kentongan yang memang tidak begitu besar dan terbuat dari kayu yang lunak.
Beberapa orang pengawal yang masih berjaga-jaga di halaman banjar itu terkejut. Dengan serta-merta merekapun telah mengepung orang itu. Bahkan ada di antara para pengawal yang telah memanggil kawan-kawannya yang ada di luar halaman. Sementara kawannya yang lain telah berada di belakang gandok melihat dengan kebingungan pertempuran yang hampir tidak mereka mengerti apa yang terjadi antara orang-orang yang berilmu tinggi.
Orang yang berada di halaman dan memutus tali kentongan itu tertawa. Katanya, "Kalian tidak dapat memberi isyarat lagi."
"Kau kira kentongan hanya ada satu di padukuhan ini," jawab seorang pengawal.
"Di setiap gardu kita mempunyai kentongan," berkata pengawal yang lain.
"Kentongan-kentongan kecil itu suaranya tidak akan menggapai padukuhan sebelah," berkata orang itu masih sambil tertawa, sementara itu kapaknya terayun-ayun mengerikan.
Beberapa orang pengawal yang mengepung orang itu memang menjadi termangu-mangu. Orang itu agaknya memiliki ilmu yang tinggi. Ia samar sekali tidak gentar melihat beberapa orang pengawal yang mengepungnya.
Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang sudah berpengalaman itupun tidak akan melepaskan mereka. Seorang pengawal tertua di antara mereka telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk maju mendekat.
"Menyerahlah," berkata pengawal itu.
"Untuk apa aku menyerah" Jika hanya untuk menyerah saja, aku tidak akan datang memutuskan tali kentongan dan memecahnya. Bukankah lebih baik bagiku untuk melarikan diri saja" Nah, sekarang aku ada disini. Marilah, semakin banyak para pengawal yang mengepungku, maka korbanpun akan semakin banyak berjatuhan," berkata orang itu masih sambil tertawa.
Orang yang tertua di antara para pengawal itupun kemudian justru memberikan aba-aba kepada kawan-kawannya untuk menyerang.
Sejenak kemudian maka di halaman itupun telah terjadi pertempuran. Ternyata orang berkapak itu memang orang berilmu tinggi. Ketika para pengawal yang mengepungnya itu menyerang bersama-sama dari beberapa arah, maka iapun telah menerobos kepungan itu dengan memutar kapaknya.
Ternyata para pengawal memang tidak mampu menahannya. Seorang pengawal yang mencoba untuk menahan ayunan kapak itu, pedangnya justru telah terpental. Sementara sebuah tombak pendek yang terjulur ke arah dada orang itu tidak mengenai sasarannya. Bahkan dengan satu ayunan kapak yang sangat keras, landean tombak itu telah menjadi patah.
Demikian orang itu terlepas dari kepungan, maka suara tertawanya telah meledak lagi memenuhi halaman banjar. Sementara para pengawal telah memburunya dan berusaha untuk mengepungnya lagi.
Ketika kemudian terjadi lagi benturan, maka orang itu dengan tangkasnya berhasil menyibak satu sisi kepungan. Sekali lagi orang itu lolos dan seorang pengawal telah terdorong beberapa langkah surut. Dadanya nampak berdarah karena seleret luka menyilang di dadanya itu.
Orang itu tertawa lagi. Katanya, "Marilah. Satu demi satu kalian akan jatuh menjadi korban."
Meskipun jantung para pengawal memang agak tergetar, tetapi para pengawal itu tidak ingkar akan kewajiban mereka. Dengan dada tengadah mereka telah bergerak maju. Merekapun segera mengepung lagi orang yang tidak dikenal itu.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang ada di halaman banjar itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Beberapa ekor kuda berlari kencang menuju ke regol halaman banjar itu.
Pertempuran di halaman itupun terhenti. Semua orang memandang ke regol halaman.
Di bawah cahaya oncor di regol, mereka melihat empat orang berkuda memasuki halaman. Dua orang pengawal Tanah Perdikan dan dua orang lainnya adalah para perwira prajurit Madiun yang sedang bermalam di banjar.
"Apa yang terjadi?" bertanya Ki Tumenggung Puspalaga.
"Beberapa orang berusaha mengambil Ki Lurah Mertapraja," jawab pengawal tertua yang mengepung orang yang memutuskan tali kentongan.
"Sudah aku duga," jawab Ki Tumenggung Puspalaga. "Di mana Angger Risang dan Angger Kasadha?"
"Mereka tadi pergi ke belakang gandok," jawab pengawal itu.
Ki Tumenggung Puspalaga termangu-mangu sejenak. Ia melihat seorang pengawal yang terluka dan melihat pula landean tombak yang patah. Karena itu, maka iapun segera mengetahui, bahwa orang itu tentu orang yang berilmu tinggi. Tanpa gentar, dihadapinya sejumlah para pengawal yang mengepungnya.
"Ki Lurah Samekta," berkata Ki Tumenggung Puspalaga, "lihat apa yang terjadi di belakang gandok. Biarlah aku setidak-tidaknya menahan orang ini agar tidak dengan semena-mena membunuh para pengawal."
"Siapa kau, he?" bertanya orang itu.
"Aku salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan," jawab Ki Tumenggung Puspalaga yang memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan sebagaimana Ki Lurah Samekta.
"Marilah jika kau ingin membunuh diri mendahului para pengawal. Aku akan dengan senang hati memecah dahimu dengan kapakku ini," berkata orang itu.
Ki Tumenggung Puspalaga yang sudah turun dan kudanya melangkah perlahan-lahan mendekati orang itu, sementara Ki Lurah Samekta setelah menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal, dengan tergesa-gesa pergi ke belakang gandok.
Ki Lurah memang terkejut. Ia melihat pertempuran yang sedang terjadi di belakang gandok. Justru pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi.
Ki Lurah Samekta memang tidak dengan serta-merta ikut campur dalam pertempuran itu. Ia berdiri di antara beberapa orang pengawal Tanah Perdikan yang berdiri termangu-mangu.
Sementara itu, Ki Tumenggung Puspalaga telah berhadapan dengan orang yang bersenjata kapak itu, sementara beberapa orang pengawal masih tetap mengepungnya dari segala arah. Ujung-ujung senjata yang teracu nampak seperti ujung daun pohon seribu tombak yang runcing berduri.
Ternyata orang itu mulai menjadi bersungguh-sungguh. Ia melihat sikap Ki Tumenggung Puspalaga yang tenang dan mantap. Dengan demikian maka orang itu menyadari, bahwa orang yang mengaku pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain.
Ternyata sejenak kemudian orang yang bersenjata kapak itu mulai menyerang. Sementara itu Ki Tumenggung Puspalaga sudah menggenggam hulu pedangnya. Pedang seorang perwira tinggi prajurit Madiun.
Sejenak kemudian, maka pertempuran sengitpun terjadi. Ternyata Ki Tumenggung Puspalaga cukup tangkas menghadapi orang bersenjata kapak itu. Dengan demikian, maka pertempuran itupun dengan cepat menjadi semakin garang. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan.
Orang bersenjata kapak itu memang seorang yang berilmu tinggi. Beberapa kali ia berhasil mendesak Ki Tumenggung Puspalaga. Namun setiap kali ujung-ujung senjata para pengawal telah bergerak pula. Seperti gelombang air laut, maka beruntun ujung-ujung tombak itu menyerang dari segala arah.
Dalam pada itu, di belakang gandok, pertempuranpun menjadi semakin sengit. Orang-orang berilmu sangat tinggi telah mengerahkan kemampuan mereka. Karena itu, maka beberapa orang pengawal yang telah berada di tempat itu tidak dapat langsung melibatkan diri dalam pertempuran itu. Demikian pula Ki Lurah Samekta. Meskipun ia termasuk seorang prajurit pilihan, namun ia masih belum mencapai tataran ilmu dari mereka yang sedang bertempur itu.
Namun dalam pada itu, Warsi, ibu Kasadha terkejut ketika lawannya tiba-tiba saja berkata, "He, siapa kau sebenarnya?"
"Kenapa?" bertanya Warsi.
"Aku kenal dengan satu dua unsur gerakmu ciri dari perguruan Kalamerta. He, apakah kau memang berasal dari perguruan Kalamerta yang menakutkan itu?" bertanya orang itu.
"Siapapun aku, kau tidak perlu menghiraukan. Kita berdiri berhadapan dengan kepentingan yang berlawanan pula. He, apakah kau kira aku tidak mengenali unsur-unsur dari perguruan Wukir Gading yang kau pergunakan itu?" jawab Warsi.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku memang dari perguruan Wukir Gading. Nah, kita akan melihat, apakah perguruan Kalamerta yang pernah ditakuti itu mampu mengalahkan ilmu dari perguruan Wukir Gading."
"Baik," jawab Warsi. "Kita akan melihat, apa yang terjadi nanti. Kau atau aku."
Lawannya tidak menjawab lagi. Namun serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan garang. Tetapi Warsipun bertempur semakin keras pula. Bahkan ketika ia benar-benar harus mengerahkan kemampuannya, maka unsur-unsur geraknya memang nampak menjadi semakin kasar. Namun bagi para pengawal yang melihat pertempuran itu di keremangan malam, tidak dapat membedakan antara unsur-unsur yang keras dan kasar. Pertempuran yang mereka saksikan adalah pertempuran yang sengit.
Tetapi kehadiran para pengawal itu mau tidak mau telah berpengaruh pula. Ujung-ujung senjata yang mencuat dalam kegelapan dan sekali-sekali nampak berkilau memantulkan cahaya bintang di langit dan lampu oncor di kejauhan, membuat jantung lawan Warsi itu bergetar. Betapapun lemahnya para pengawal, namun jika ujung senjata itu mengurungnya, sementara seorang yang berilmu tinggi harus dihadapinya dengan penuh perhatian, maka ia akan dapat mengalami kesulitan.
Tetapi dengan tekad yang bergelora di hatinya, maka orang itu benar-benar ingin menunjukkan bahwa ia akan mampu mengalahkan perempuan yang garang, yang ternyata memiliki latar belakang ilmu Kalamerta itu. Apalagi setelah keduanya bertempur dengan senjata. Rantai di tangan Warsi berputaran dengan cepatnya. Suaranya berdesing menghentak-hentak di telinga.
Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka merambat sampai ke puncak. Sementara beberapa pengawal memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar.
Di tempat lain, di kegelapan kebun di belakang, Nyi Wiradanapun bertempur dengan sengitnya pula. Lawannya ternyata memiliki kekuatan dan kecepatan gerak yang sangat tinggi. Namun Nyi Wiradana yang memiliki ilmu Janget Kinatelon mampu mengimbangi kecepatan dan ketangkasan lawannya itu. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Keduanya telah mempergunakan senjatanya pula. Nyi Wiradana mempergunakan pedangnya, sedangkan lawannya mempergunakan bindi baja kecil tetapi agak panjang.
Dengan demikian, maka Nyi Wiradana memang menghindari benturan langsung antara senjatanya yang tipis dengan bindi lawannya. Meskipun bindi itu terhitung bindi yang kecil, tetapi besi gligen itu akan dapat membahayakan pedangnya.
Sementara itu lawannya yang memiliki senjata yang dianggapnya lebih kokoh, dengan garangnya telah menyerang sejadi-jadinya. Bindinya berputaran dan sekali-sekali terayun mengarah ke tubuh Nyi Wiradana. Namun Nyi Wiradana mampu bergerak lebih cepat dari ayunan bindi itu, sementara itu pedangnyapun berputar dengan cepat pula. Bahkan sekali-sekali mampu menembus putaran bin-di lawannya.
Nyi Wiradana yang juga memikirkan anaknya kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya. Untuk berusaha mengatasi perlawanan orang bersenjata bindi itu, maka Nyi Wiradana telah mengetrapkan kemampuannya, ilmu Janget Kinatelon.
Lawannya memang terkejut. Perempuan itu kemudian telah bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Meskipun perempuan itu masih belum membenturkan senjatanya, tetapi terasa bahwa kekuatannya seakan-akan menjadi berlipat.
Karena itu, maka lawannya itupun telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya. Dengan garang orang itu menggeram. Matanya bagaikan menyinarkan cahaya kemerah-merahan yang menyala di kegelapan. Beberapa pengawal memang berusaha mendekat. Tetapi seperti pertempuran yang terjadi antara Warsi dan lawannya, maka para pengawal tidak dapat dengan serta-merta ikut campur.
Mereka hanya dapat menyaksikan pertempuran itu dengan tegangnya. Meskipun demikian, para pengawal itu telah bersiap untuk berbuat sesuatu jika diperlukan.
Dalam pada itu, beberapa orang di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan menjadi gelisah. Berurutan beberapa orang telah meninggalkan rumah itu. Bibi Kasadha yang ada di rumah itu juga menjadi gelisah.
Sebenarnya ia ingin ikut bersama ibu Kasadha ke padukuhan tempat Ki Lurah Mertapraja ditahan. Tetapi ibu Kasadha minta agar ia tinggal saja di rumah itu. Demikian pula Gandar yang ada di antara para peronda. Bahkan kemudian menyusul pula dua orang prajurit Madiun pengiring Ki Tumenggung Puspalaga bersama Ki Lurah Samekta. Mereka berbincang di gardu di depan rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Kepergian para pemimpin Tanah Perdikan yang kemudian disusul oleh Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta yang diantar oleh dua orang pengawal Tanah Perdikan Sembojan, mengisyaratkan kepada mereka bahwa memang ada sesuatu yang gawat.
Karena itu, maka Gandar tidak kehilangan kewaspadaan. Mungkin saja keributan itu justru timbul di padukuhan induk. Tidak di padukuhan tempat Ki Lurah Mertapraja ditahan.
Tetapi sampai jauh lewat tengah malam tidak terjadi sesuatu di padukuhan induk. Namun kemudian mereka dikejutkan oleh kehadiran dua orang pengawal dari padukuhan tempat Ki Lurah Mertapraja itu ditahan.
Kedua orang pengawal itu telah menceriterakan apa yang telah terjadi di padukuhan itu. Tentang orang-orang yang datang untuk membebaskan Ki Lurah Mertapraja serta tentang kentongan di banjar yang tidak dapat dipergunakan lagi.
"Apa hanya ada satu kentongan di padukuhan itu?" bertanya Gandar.
"Kami hanya ingin membatasi persoalan agar tidak seluruh Tanah Perdikan ini menjadi kisruh. Aku hanya ingin minta bantuan beberapa pengawal terbaik untuk ikut mengatasi persoalan," berkata pengawal itu.
"Bagaimana dengan para pemimpin Tanah Perdikan yang sudah datang kesana?" bertanya Gandar pula.
Nampaknya mereka memang menguasai beberapa orang berilmu tinggi yang akan membebaskan Ki Lurah Mertapraja. Tetapi kami masih mencemaskan jika keadaan berkembang semakin buruk. Tiba-tiba saja muncul orang-orang baru yang harus dihadapi oleh para pengawal.
Gandar memang menjadi agak bingung. Ia ingin pergi ke padukuhan itu. Tetapi Risang telah menyerahkan khususnya padukuhan induk itu untuk dijaganya.
Karena itu, kemudian Gandar telah mengambil keputusan untuk menunjuk sepuluh orang pengawal terbaik yang ada malam itu di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Dengan sepuluh ekor kuda yang dengan tergesa-gesa dipersiapkan di antara kuda-kuda yang ada, maka sepuluh orang pengawal terbaik itu berpacu ke padukuhan yang sedang dilanda keributan itu.
Sepuluh orang pengawal memang tidak terlalu banyak. Tetapi mereka adalah pengawal-pengawal yang telah ada, maka mereka akan dapat membantu mengatasi keributan yang terjadi di padukuhan itu.
Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Ternyata di luar halaman banjar telah muncul lagi seorang yang tidak diketahui dari mana datangnya. Orang itu berusaha untuk membantu melindungi Ki Lurah Mertapraja, sehingga dengan demikian, maka Risang dan Kasadha harus membagi diri. Bersama para pengawal yang ada mereka bertempur melawan dua orang itu, sementara Ki Lurah Mertapraja juga masih bertempur dengan caranya melawan orang-orang yang akan menangkapnya.
Di halaman Ki Tumenggung Puspalaga masih bertempur pula dengan mengerahkan Segenap kemampuannya. Lawannya memang orang berilmu tinggi sehingga sulit bagi Ki Tumenggung untuk dengan cepat menguasainya.
Sementara itu Ki Lurah Samekta yang sempat memperhatikan pertempuran di belakang gandok dan melihat bahwa para pemimpin Tanah Perdikan mampu mengimbangi orang-orang yang datang untuk berusaha membebaskan Ki Lurah Mertapraja, telah bergeser pula ke halaman. Dengan cepat ia bergerak menempatkan diri bersama Ki Tumenggung Puspalaga dan beberapa pengawal.
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih juga bertempur dengan sengitnya. Keduanya juga harus menghadapi dua orang berilmu tinggi. Mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka agar mereka tidak dihancurkan oleh lawan-lawan mereka.
Namun dalam pada itu, lawan Nyi Wiradana yang telah membawa Ki Lurah Mertapraja keluar dari biliknya, telah mengerahkan segenap ilmunya pula. Apalagi karena Nyi Wiradana sudah sampai ke puncak ilmunya. Janget Kinatelon.
Sebenarnyalah bahwa lawan Nyi Wiradana itu menjadi sangat heran mengalami perlawanan dari seorang perempuan yang berilmu sangat tinggi. Perempuan yang mampu bergerak dengan cepat. Pedangnya berputaran dan ayunan kekuatannya sama sekali bukan kekuatan kewadagan sewajarnya.
Bahkan sekali-sekali orang itu harus meloncat mengambil jarak, jika pengamatannya terhadap ujung senjata lawannya itu terlambat.
Namun ternyata bahwa kemampuan ilmunya, masih belum dapat mengimbangi ilmu perempuan itu. Semakin lama. ia justru menjadi semakin terdesak. Bahkan beberapa kali ujung pedang perempuan itu telah menyentuh tubuhnya.
"Ilmu apa pula yang dipergunakan perempuan itu?" bertanya lawannya di dalam hatinya.
Bukan saja pedang itu sendiri yang memburunya, tetapi sambaran anginnya terasa semakin lama semakin pedih di tubuhnya. Benturan-benturan yang terjadipun telah membuat lawan Nyi Wiradana itu semakin terdesak.
Ilmu Janget Kinatelon memang sangat mencemaskan lawannya. Ia sama sekali tidak tahu apakah yang dipergunakan oleh perempuan itu. Tetapi rasa-rasanya ilmu itu membelitnya semakin lama semakin erat. Luka-luka kecil telah mulai mewarnai kulitnya pula, sehingga nyeri dan pedih telah menyengatnya.
Sementara itu Nyi Wiradana sendiri berusaha untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan Risang dan Kasadha yang telah memburu Ki Lurah Mertapraja ke kegelapan. Bahkan kemudian mereka seakan-akan telah hilang ditelan pohon-pohon perdu di gelapnya malam.
Dalam pada itu, betapapun lawannya meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak ilmunya, namun orang itu tidak mampu mengatasi ilmu perempuan itu.
Bukan hanya orang itu yang mengalami kesulitan. Lawan Warsipun ternyata tidak mampu mengimbanginya. Ternyata bahwa ilmu perempuan yang mempunyai latar belakang perguruan Kalamerta itu tidak dapat ditundukkan oleh ilmu yang disadap dari perguruan Wukir Gading. Bahkan semakin lama orang itu menjadi semakin terdesak. Warsi yang bertempur dengan keras dan kasar benar-benar tidak terlawan oleh orang dari Wukir Gading itu.
Sementara itu, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah berusaha untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu pula. Betapapun lawan-lawan mereka berusaha memberikan perlawanan sekuat-kuatnya, namun mereka ternyata semakin lama menjadi semakin terdesak.
Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Nyi Wiradana benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk bertahan lebih lama. Serangan-serangan ilmu Janget Kinatelon benar-benar menjadi semakin tidak dimengertinya. Seperti angin pusaran yang melilitnya berputaran sehingga rasa-rasanya tidak ada lagi tempat untuk menghindar.
Karena itu, sebelum keadaan menjadi semakin sulit, maka tiba-tiba saja dari mulutnya telah terdengar suitan nyaring. Keras sekali, seakan-akan mengguncang seisi banjar dan halamannya yang terhitung luas itu.
Nyi Wiradana memang terkejut mendengar suitan nyaring itu. Bukan sekedar bunyi yang nyaring. Tetapi getarannya terasa menusuk ke dalam dadanya.
Nyi Wiradana pernah mendapat serangan ilmu gelap ngampar. Tetapi jauh lebih kuat dari getar teriakan lawan Nyi Wiradana itu. Karena itu, setelah mengerahkan daya tahannya, maka iapun telah siap menyerang lagi.
Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata dipergunakan sebaik-baiknya. Orang itu sama sekali tidak berusaha menyerang Nyi Wiradana yang sedang mengatasi sentuhan getar ilmu yang terlontar lewat suitan nyaringnya. Namun ia telah memanfaatkan waktu yang sekejap itu untuk meloncat melarikan diri.
Suitan nyaring itu ternyata memang aba-aba yang diberikan untuk mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu.
Beberapa orang pengawal yang melihat orang itu berusaha melarikan diri memang serentak berusaha untuk memburunya. Tetapi suitan nyaring yang baru saja terdengar, rasa-rasanya telah menghambat gerak mereka. Mereka masih harus mengatur denyut jantung mereka yang baru saja seakan-akan diguncang oleh getar suitan nyaring itu.
Karena itu, maka merekapun telah terlambat pula. Orang itu sudah berlari menjauh menusuk kegelapan dikejar oleh Nyi Wiradana. Tetapi kelebihan waktu yang sekejap, serta kemampuannya berlari yang bagaikan terbang itu, telah memungkinkannya untuk mencapai dinding lebih dahulu dari Nyi Wiradana. Dengan tangkasnya pula orang itu meloncati dinding, seolah-oleh bagaikan seekor burung sikatan yang terbang hinggap sekejap di atas dinding yang kemudian hilang di seberang.
Nyi Wiradana memang juga meloncat naik ke atas bibir dinding halaman. Namun ia sudah kehilangan buruannya. Nyi Wiradana tidak melihat, kemana orang itu melarikan diri, apalagi ketika perhatiannya tertuju pada pertempuran tidak terlalu jauh dari dinding itu.
Sekali lagi banjar dan sekitarnya diguncang oleh suitan nyaring. Tetapi sumber bunyi itu ternyata telah menjadi agak jauh dari dinding halaman, sehingga Nyi Wiradana tidak lagi berniat untuk mencarinya. Bahkan ia berharap bahwa para pengawal Tanah Perdikan itu juga tidak memburunya, karena orang itu adalah orang yang sangat berbahaya.
Sementara itu, ternyata Ki Lurah Mertapraja telah tertangkap kembali. Dua orang berilmu tinggi yang bertempur untuk melindungi Ki Lurah Mertapraja itu ternyata tidak berhasil. Selain Risang dan Kasadha yang bertempur melawan mereka, para pengawal yang datang kemudian dari padukuhan induk telah bergabung dengan mereka pula. Seorang dari keduanya tidak lagi dapat tertolong jiwanya. Sementara yang lain memang berhasil melarikan diri.
Sedangkan Ki Lurah Mertapraja sendiri berhasil ditangkap hidup-hidup meskipun ia telah terluka lagi, sementara lukanya yang terdahulu masih belum sembuh.
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Risang dan Kasadha selamat tanpa mengalami cidera.
Namun tiba-tiba Nyi Wiradana itupun berkata, "Marilah, kita melihat bibimu yang bertempur bersama paman Sambi Wulung dan Jati Wulung."
Risangpun kemudian telah memerintahkan para pengawal untuk menguasai Ki Lurah dengan baik. Katanya, "Cepat, bawa ke banjar. Jika terjadi sesuatu, beri isyarat. Jangan ragu-ragu."
Risang tidak menunggu jawaban. Bersama ibunya dan Kasadha merekapun telah meloncati dinding halaman itu lagi.
Ketika mereka sampai di belakang gandok, mereka melihat Warsi berdiri tegak sambil memegangi ujung dan pangkal rantainya dengan kedua tangannya. Di hadapannya terkapar sesosok tubuh salah seorang dari perguruan Wukir Gading.
"Aku tidak berhasil membujuknya untuk menyerah," desis Warsi dengan kepala tunduk.
Kasadha mendekatinya sambil berkata, "Ibu tidak mempunyai pilihan lain."
"Ya," sahut Risang. "Aku kira itu adalah penyelesaian yang terbaik. Jika ia tidak mau menyerah, maka satu-satunya kemungkinan yang akan dijalaninya adalah kematian."
Nyi Wiradanapun kemudian mendekatinya dan membimbingnya. "Marilah. Kita pergi ke banjar."
Tetapi tiba-tiba saja Risang teringat kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung. Dengan ragu ia berdesis, "Dimana paman Sambi Wulung dan Jati Wulung?"
Ibu Kasadha itulah yang menjawabnya, "Mereka berusaha mengejar lawan masing-masing. Tetapi orang itu berlari seperti angin, sementara aku masih harus menyelesaikan orang ini."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk, Ketika ia melihat beberapa orang pengawal termangu-mangu, maka Risang itupun berdesis, "Para pengawal tidak akan dapat berbuat banyak. Jika mereka berusaha mengejai, maka mereka berada dalam bahaya."
"Ya," desis Nyi Wiradana. "Aku juga kehilangan buruanku. Mudah-mudahan para pengawal juga tidak mengejarnya."
Risang mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud ibunya, karena para pengawal tentu tidak akan berhasil menangkapnya.
Risangpun kemudian mengajak mereka semua ke halaman. Sementara itu para pengawalpun telah mendapat perintah untuk membawa sosok tubuh yang terbaring itu ke halaman.
Namun Risang dan Kasadha terkejut ketika mereka melihat sosok tubuh yang lain terbaring pula di halaman. Di tangannya masih tergenggam kapak yang cukup besar, sementara kentongan banjar itu tergolek dan bahkan pecah tidak terlalu jauh dari sosok tubuh itu. Di tangga pendapa berdiri Ki Tumenggung Puspalaga, Ki Lurah Samekta sementara para pengawal yang bersenjata telanjang berdiri di depan tangga.
"Apa yang terjadi disini?" bertanya Risang.
"Orang itu telah memutuskan tali kentongan dan berusaha merusaknya. Ia adalah salah seorang di antara mereka yang ingin mengambil Ki Lurah Mertapraja," jawab seorang pengawal.
"Tetapi Ki Tumenggung?" bertanya Kasadha.
Ki Tumenggung yang masih menggenggam senjatanya menjawab agak ragu, "Sebenarnya aku hanya ingin melihat apa yang terjadi. Aku tahu bahwa beberapa orang telah pergi ke padukuhan ini. Karena itu, aku telah minta ijin kepada Kakang Gandar untuk melihat apa yang terjadi disini diantar oleh dua orang pengawal yang ada di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan."
Kasadha mengangguk-angguk. Demikian pula Risang. Mereka segera mengetahui apa yang telah terjadi. Bahkan Ki Tumenggung dan Ki Lurah telah terlibat pula dalam pertempuran di halaman.
Selain Ki Tumenggung dan Ki Lurah, maka Risangpun melihat beberapa orang pengawal telah berada di halaman itu pula selain mereka yang telah membantu menangkap Ki Lurah Mertapraja. Namun Risang masih belum sempat bertanya, kenapa mereka tiba-tiba saja telah berada di padukuhan itu.
Demikianlah, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu bersama Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta telah naik ke pendapa. Mereka menunggu laporan terakhir dari peristiwa yang menggemparkan padukuhan itu.
Beberapa saat kemudian, maka beberapa orang pengawal telah membawa Ki Lurah Mertapraja yang sudah terikat tangannya di belakang tubuhnya. Namun ia masih saja berteriak-teriak dan mengumpat-umpat.
"He, orang-orang Tanah Perdikan Sembojan dan orang-orang Madiun. Kenapa kalian merasa iri hati jika aku pada suatu saat akan meraih kekuasaan tertinggi di bumi ini."
Orang-orang yang berada di pendapa hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak akan dapat berbicara dengan Ki Lurah dalam keadaan seperti itu. Seandainya diajukan pertanyaan-pertanyaan juga kepada Ki Lurah, maka persoalannya tentu tidak akan dapat sambung.
Karena itu, maka Ki Tumenggung Puspalaga itupun berkata, "Sudahlah Ngger. Biarlah Ki Lurah Mertapraja disimpan saja lebih dahulu. Tentu saja dengan penjagaan yang lebih ketat."
"Aku akan membawanya ke padukuhan induk saja Ki Tumenggung," berkata Risang kemudian, "kita akan lebih mudah mengawasinya. Jika terulang kembali usaha untuk melepaskannya, maka kami akan dapat mencegahnya."
Ki Tumenggung Puspalaga mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Segala sesuatunya terserah kepada Angger yang memiliki kekuasaan di Tanah Perdikan ini."
Sambil berpaling kepada ibunya Risang bertanya, "Bagaimana pendapat ibu?"
"Aku setuju Risang. Nampaknya persoalan Ki Lurah ini masih belum selesai," jawab ibunya.
"Ya," sahut ibu Kasadha. "Aku belum melihat pedang Wisa Raditya dan perisai Lar Sasi dalam pertempuran itu. Aku kira penguasa tertinggi dari perguruan Wukir Gading masih belum ikut dalam usaha pembebasan Ki Lurah Mertapraja. Jika orang itu ada, maka agaknya ia akan mempergunakan pusaka-pusaka itu dalam keadaan terjepit. Orang itu tentu percaya bahwa kedua pusaka itu akan dapat melindunginya karena tuahnya."
Ki Tumenggung Puspalaga mengangguk-angguk. Katanya, "Persoalannya akan dapat berkepanjangan. Sebaiknya Ki Lurah segera dibawa saja ke Pajang dan diserahkan kepada penguasa di Pajang sekarang dengan segala keterangan tentang orang itu."
"Ya Ki Tumenggung. Tetapi membawa orang itu ke Pajang tentu juga harus diperhitungkan baik-baik," jawab Risang.
"Agaknya orang-orang yang berkepentingan dengan Ki Lurah Mertapraja selalu mengamati perkembangan keadaannya," berkata Kasadha.
Orang-orang yang duduk di pendapa itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah Mertapraja sendiri masih saja sibuk dengan dirinya sendiri. Bahkan kemudian ia berteriak-teriak agar tali pengikat tangannya dilepaskan.
Risanglah yang kemudian berkata, "Biarlah Ki Lurah untuk sementara berada di ruang dalam banjar dalam keadaan terikat. Apaboleh buat. Kita tidak dapat berbuat lain. Besok pagi-pagi kita akan membawanya ke padukuhan induk."
Kemudian Risangpun bangkit. Kasadhapun bangkit pula untuk membantunya. Dua orang pengawal telah dipanggilnya mendekat.
"Kita bawa Ki Lurah ke ruang dalam," berkata Risang kepada para pengawal itu.
Ki Lurah Mertapraja menjadi marah ketika para pengawal itu berusaha membimbingnya masuk ke ruang dalam. Dengan kakinya ia berusaha menendang para pengawal itu. Dengan sigap para pengawal itu menghindar. Bahkan seorang di antaranya dengan serta-merta telah menarik pedangnya dan mengancam Ki Lurah itu di arah dadanya yang terbuka. Namun Ki Lurah itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan sambil mengumpat ia memburu ke arah ujung pedang itu, sehingga pengawal itu justru bergeser surut.
Orang-orang yang berada di pendapa serentak berdiri. Namun Risang dan Kasadha dengan cepat menangkap kedua lengannya dari sebelah menyebelah. Keduanya adalah anak-anak muda yang kuat. Bagaimanapun juga Ki Lurah Mertapraja meronta, namun ia tidak dapat melawan lagi ketika kedua anak muda itu membawanya ke ruang dalam dan kemudian mengikatnya pada tiang di ruang dalam.
"Mudah-mudahan tiang ini tidak roboh," berkata Risang.
"Kalau tiang itu roboh maka yang pertama kena bencana adalah Ki Lurah itu sendiri," sahut Kasadha.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 53 DEMIKIANLAH akhirnya Ki Lurah Mertapraja itu terikat pada tiang di ruang tengah. Betapa ia meronta, tetapi tiang yang besar itu tidak bergetar sama sekali. Namun karena itu, maka Ki Lurah Mertapraja itu justru telah berteriak-teriak marah sambil mengumpat-umpat.
Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu tidak menghiraukannya lagi meskipun mereka kadang-kadang merasa resah pula.
Akhirnya, Ki Lurah Mertapraja itupun terdiam pula karena kelelahan.
Sementara itu, langitpun telah menjadi merah. Orang-orang yang menjadi gelisah dan bahkan ketakutan mendengar pertempuran yang terjadi telah menjadi tenang. Ada di antara mereka yang telah berani membuka pintu rumah mereka dan melihat keluar. Namun rasa-rasanya semuanya telah menjadi tenang. Beberapa orang anak muda masih nampak hilir mudik di jalan-jalan padukuhan. Namun mereka tidak lagi membawa senjata telanjang.
Sementara itu di halaman banjar, seorang yang dibawa oleh para pengawal terbaring diam. Tubuhnya terluka cukup parah. Orang itu adalah orang yang bertempur melawan Sambi Wulung dan berusaha melarikan diri. Namun Sambi Wulung mampu mengejarnya dan ketika kemudian terjadi lagi pertempuran di antara mereka, maka orang itupun terluka cukup parah. Sedangkan Jati Wulung tidak berhasil menangkap buruannya. Bahkan pundaknya telah terluka ketika orang yang dikejarnya itu sempat melemparkan pisau belati dan menyentuh pundaknya itu sementara orang itu segera menghilang di antara pepohonan dalam gelapnya malam di kebun bambu yang rimbun.
Risangpun kemudian memerintahkan agar orang itu diusahakan untuk diselamatkan nyawanya. Mungkin mereka akan mendapat keterangan dari orang yang terluka parah itu.
Tetapi agaknya orang itu sendiri sama sekali tidak berniat untuk tetap hidup. Ia berusaha untuk menyemburkan kembali obat-obat yang dimasukkan lewat mulutnya. Bahkan obat yang ditaburkan di luka-lukanya saja selalu dicobanya untuk menolaknya.
Ketika cahaya pagi kemudian mulai menyentuh padukuhan itu, maka Risang telah minta disiapkan sebuah pedati. Orang yang terluka parah itu dan Ki Lurah Mertapraja akan dibawa ke padukuhan induk dengan pengawal yang kuat. Nyi Wiradana, Warsi, Risang dan Kasadha akan mengawal tawanan itu, sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung masih diminta untuk tetap berada di padukuhan itu.
Sementara itu, Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta juga masih akan pergi ke padukuhan induk. Mereka ternyata masih belum memastikan kapan mereka akan kembali ke Madiun. Tetapi untuk melihat perkembangan keadaan, setidak-tidaknya mereka masih akan bermalam satu malam lagi di Tanah Perdikan Sembojan.
Ternyata perjalanan para tawanan ke padukuhan induk itu tidak mengalami hambatan di sepanjang jalan.
Meskipun beberapa orang yang akan pergi ke pasar sempat memperhatikan mereka, tetapi agaknya peristiwa semalam tidak banyak berpengaruh bagi padukuhan-padukuhan yang lain, kecuali pada padukuhan tempat peristiwa itu terjadi. Meskipun kemudian berita tentang hal itu tersebar pula dari mulut ke mulut. Seorang saja dari padukuhan itu pergi ke pasar dan berceritera kepada seorang yang lain, maka berita itupun kemudian telah tersebar ke beberapa padukuhan dibawa oleh orang-orang yang pulang dari pasar.
Di padukuhan induk, Ki Lurah Mertapraja dan orang yang terluka parah itu ditempatkan di gandok rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Mereka ditempatkan di dua bilik yang berdekatan. Dengan terpaksa, Ki Lurah masih saja harus diikat kedua tangannya di belakang tubuhnya karena ia masih nampak liar dan berbahaya. Sedangkan pengawal yang mengawasinya kecuali di belakang gandok, juga di dalam bilik itu sendiri. Risang tidak ingin peristiwa di banjar padukuhan itu terulang lagi.
"Ki Lurah Mertapraja tidak akan terlalu lama disini," berkata Risang kepada para pengawal. "Ia akan segera dibawa ke Pajang. Segala sesuatunya akan kami serahkan kepada para pemimpin di Pajang."
Namun waktu yang tidak terlalu lama itu akan merupakan waktu yang menegangkan bagi para pengawal di Tanah Perdikan Sembojan.
Baru setelah Ki Lurah Mertapraja mapan, Risang dan Kasadha bersama beberapa orang pengawal telah kembali ke padukuhan yang semalam telah diguncang oleh keributan yang bahkan telah membawa korban. Di antara para pengawal yang cidera, tiga orang telah gugur sementara beberapa orang yang lain terluka. Dua orang di antaranya parah.
Hari itu Risang menunggui upacara pelepasan para pengawal yang telah gugur. Terdengar lagi tangis di padukuhan itu. Betapa mereka yang ditinggalkan menyatakan keikhlasan mereka, tetapi yang gugur itu masih ditangisi oleh keluarganya. Mereka masih terlalu muda untuk pergi selama-lamanya. Meskipun keluarga mereka tahu, untuk apa mereka pergi.
Saat matahari turun di sisi Barat, beberapa orang masih berdiri termangu-mangu di kuburan. Mereka memandangi gundukan tanah basah tempat para pengawal itu dimakamkan. Beberapa orang masih juga mengusap air matanya yang mengembun di pelupuk.
Risang dan Kasadha berdiri termangu-mangu di antara mereka. Namun beberapa saat kemudian, maka merekapun meninggalkan tempat itu menuju ke padukuhan dan kemudian kembali ke rumah masing-masing, kecuali para pengawal yang bertugas. Mereka kembali ke banjar dan gardu tugas mereka masing-masing.
Sementara itu di kuburan tua, beberapa orang juga telah menguburkan orang-orang yang gagal melepaskan Ki Lurah Mertapraja dan terbunuh di pertempuran. Tetapi tidak ada air mata yang mengantar mereka.
Ketika upacara itu sudah selesai, maka Risang masih memberikan pesan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung. Padukuhan itu masih harus dijaga dengan baik. Di banjar telah digantungi lagi sebuah kentongan yang baru karena kentongan yang lama telah rusak. Kentongan yang diambil dari padukuhan sebelah yang mempunyai beberapa kentongan yang cukup besar untuk dipasang di banjar padukuhan.
"Kami akan kembali ke padukuhan induk," berkata Risang. "Kami akan membicarakan rencana kami untuk pergi ke Pajang melaporkan peristiwa yang baru saja terjadi ini."
"Kapan kau akan pergi ke Pajang?" bertanya Sambi Wulung.
"Tergantung hasil pembicaraan kami nanti. Tetapi pesan bibi Warsi, dalam pertempuran kemarin masih belum nampak pedang Wisa Raditya dan perisai Lar Sasi yang menjadi kebanggaan orang-orang perguruan Wukir Gading. Mungkin pemimpin tertinggi dari perguruan itu masih belum turun langsung saat mereka berusaha membebaskan Ki Lurah Mertapraja. Karena itu maka setiap saat masih mungkin terjadi sesuatu. Mungkin di padukuhan ini, mungkin di padukuhan induk. Meskipun menurut perhitungan, jika masih ada usaha untuk membebaskan Ki Lurah tentu akan terjadi di padukuhan induk, karena mereka tentu tahu dimana Ki Lurah disimpan, namun kemungkinan lain masih dapat terjadi."
"Baiklah," berkata Sambi Wulung. "Kami akan berhati-hati disini. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
Demikianlah Risang dan Kasadhapun telah meninggalkan padukuhan itu bersama beberapa orang pengawal kembali ke padukuhan induk. Masih ada beberapa hal yang harus mereka bicarakan sebelum mereka pergi ke Pajang untuk memberikan laporan tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan itu. Juga peristiwa yang terakhir yang menyangkut persoalan Ki Lurah Mertapraja.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di malam harinya, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu masih juga berbincang tentang peristiwa yang susul menyusul terjadi di Tanah Perdikan itu. Ki Tumenggung Puspalaga yang masih bermalam lagi di Tanah Perdikan Sembojan, mengurungkan niatnya untuk berbicara lagi dengan Ki Lurah Mertapraja karena tidak akan ada gunanya lagi. Namun Ki Tumenggung Puspalaga telah mengetahui kenapa Ki Lurah Mertapraja terjerumus ke dalam arus perbuatan orang-orang perguruan Watu Kuning. Ternyata bukan karena Ki Lurah Mertapraja terbujuk oleh Ki Gede Watu Kuning. Tetapi Ki Lurah justru memanfaatkan peristiwa itu untuk kepentingannya. Kepentingan perguruan Wukir Gading. Sehingga perguruan Watu Kuning dan perguruan Wukir Gading yang pada ujud lahiriahnya bekerja bersama, namun sebenarnyalah mereka akan saling merunduk dan saling menghancurkan. Bahkan mungkin orang-orang Watu Kuning tidak tahu bahwa di belakang Ki Lurah Mertapraja yang mempunyai sepasukan prajurit berdiri orang-orang perguruan Wukir Gading.
"Besok aku akan mohon diri," berkata Ki Tumenggung Puspalaga. "Aku sudah mempunyai laporan lengkap apa yang telah terjadi disini. Juga tentang keterlibatan para prajurit Madiun dalam gerakan perguruan Watu Kuning."
"Baiklah," sahut Risang. "Mudah-mudahan tidak akan timbul persoalan khusus antara Madiun dan Tanah Perdikan ini. Meskipun kami sadari, bahwa kemelut antara Madiun dan Pajang tentu juga akan terasa di Tanah Perdikan ini yang memang berkiblat kepada Pajang."
Untuk beberapa saat lamanya, para tamu dari Madiun itu masih berbincang. Tetapi pembicaraan mereka tidak lagi menyangkut persoalan-persoalan pokok yang mereka hadapi. Mereka kemudian cenderung untuk berbicara tentang peningkatan kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan Sembojan. Risang sempat membuat perbandingan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Madiun, bagaimana Madiun berbuat bagi kepentingan rakyatnya.
Baru setelah malam menjadi larut Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta dipersilahkan untuk beristirahat. Apalagi mereka merencanakan di keesokan harinya akan kembali ke Madiun.
Malam itu Tanah Perdikan Sembojan memang dapat tidur dengan nyenyak. Tidak ada persoalan yang timbul, apalagi yang mengganggu ketenangan. Orang-orang yang berniat untuk melepaskan Ki Lurah Mertapraja harus berpikir ulang beberapa kali setelah mereka mengetahui bahwa di Tanah Perdikan itu terdapat beberapa orang yang sanggup menjaga ketenangan Tanah Perdikannya.
Ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka Ki Tumenggung Puspalaga, Ki Lurah Samekta dan pengawal--pengawalnya telah siap. Setelah minta diri kepada para pemimpin Tanah Perdikan, maka Ki Tumenggungpun meninggalkan Tanah Perdikan yang nampaknya sudah tenang kembali itu.
"Hormat kami di Tanah Perdikan ini kepada Panembahan Mas di Madiun," berkata Risang.
"Kami akan menyampaikannya Ngger. Semoga Tanah Perdikan ini akan semakin sejahtera untuk selanjutnya," jawab Ki Tumenggung Puspalaga.
Sepeninggal Ki Tumenggung Puspalaga, maka Risangpun telah mulai lagi dengan kesibukannya. Selagi Kasadha masih berada di Tanah Perdikan, maka Risang telah membenahi Tanah Perdikan Sembojan yang telah terluka oleh peristiwa yang datang beruntun itu. Seisi Tanah Perdikan itu telah digerakkan untuk bekerja keras memperbaiki yang telah rusak serta membangunkan kembali yang hancur oleh kerusuhan yang telah terjadi.
Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan masih merasa beruntung bahwa merekalah yang telah bergerak menyerang orang-orang Watu Kuning di perkemahannya, sehingga padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan itu tidak menjadi rusak. Meskipun demikian, jantung Tanah Perdikan itulah yang terluka karena beberapa anak-anak mudanya yang terbaik telah gugur.
Dalam pada itu, Kasadha dan seorang prajurit yang menyertainya masih akan berada di Tanah Perdikan itu untuk beberapa hari. Namun kemudian iapun telah merencanakan untuk kembali ke Pajang.
Namun dalam pada itu, ibu dan bibi Kasadha itupun berniat untuk meninggalkan Tanah Perdikan itu pula.
"Kami sudah terlalu lama meninggalkan rumah," berkata ibu Kasadha itu. "Rumah dan ternak kami hanya kami titipkan kepada tetangga-tetangga. Tentu ternak kami tidak terpelihara. Bahkan rumah kamipun tentu sudah penuh dengan debu yang tebal."
Iswari memang tidak dapat menahan mereka lebih lama lagi. Berulang kali Iswari telah mengucapkan terima kasih atas bantuan Warsi dan sepupunya itu. Tanpa mereka maka agaknya Tanah Perdikan itu akan mengalami keadaan yang lebih buruk lagi.
Demikianlah, maka Risangpun telah membicarakan dengan Kasadha tentang para tawanan sebelum Kasadha kembali ke Pajang. Terutama Ki Lurah Mertapraja.
"Biarlah kami membawanya," berkata Kasadha.
"Tetapi bahayanya terlalu besar," berkata Risang. "Jika orang-orang yang ingin melepaskan Ki Lurah itu mengetahui, maka mereka tentu akan melakukan sesuatu untuk merebutnya."
"Kita memang harus berhati-hati," jawab Kasadha.
Namun Risang tidak melepaskan Ki Lurah Mertapraja untuk dibawa Kasadha tanpa pengawalan. Jika terjadi sesuatu di jalan, maka iapun akan sangat menyesalkannya.
Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah diperintahkan oleh Risang untuk menyertai Kasadha kembali ke Pajang bersama ibu dan bibinya yang juga akan pulang.
Ibu Kasadha memang mencoba untuk meyakinkan Risang, bahwa mereka tidak memerlukan pengawalan. Tetapi akhirnya merekapun tidak menolak untuk menuju ke Pajang disertai Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Meskipun ibu dan bibi Kasadha itu memiliki ilmu yang tinggi, tetapi orang-orang yang berniat untuk membebaskan Ki Lurah itupun dapat berjumlah jauh lebih banyak," berkata Risang di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah diminta oleh Risang untuk mempersiapkan diri. Mereka juga harus menyiapkan Ki Lurah Mertapraja untuk dibawa ke Pajang. Sementara tawanan yang lain akan tetap berada di Tanah Perdikan sampai ada keputusan lebih lanjut.
Dalam pada itu, Ki Lurah Mertapraja sendiri memang berangsur menjadi tenang. Meskipun demikian, Risang masih mempertimbangkan kemungkinan bahwa pada suatu saat perasaannya dapat bergejolak kembali sehingga Ki Lurah itu akan dapat melakukan tindakan yang tidak diduga sebelumnya.
Demikianlah, maka pada hari yang sudah ditentukan tetapi untuk sementara tetap dirahasiakan sampai saatnya datang, Kasadha, ibu dan bibinya telah bersiap untuk meninggalkan Tanah Perdikan. Bersama mereka adalah Sambi Wulung dan Jati Wulung yang akan membawa Ki Lurah Mertapraja ke Pajang. Di Pajang, Kasadhalah yang akan mengurus tawanan yang bagi Pajang termasuk penting karena Ki Lurah Mertapraja adalah prajurit Madiun. Namun Kasadhapun telah mempunyai bahan laporan yang lengkap tentang kedatangan Ki Tumenggung Puspalaga di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga yang dilakukan oleh Ki Lurah Mertapraja, meskipun ia seorang prajurit Madiun, namun benar-benar di luar tanggung jawab Panembahan Madiun.
Iswari dan para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan telah melepas Kasadha, ibu dan bibinya sampai ke regol halaman. Bahkan ketiga kakek dan nenek Risangpun telah ikut mengantar mereka pula sampai ke halaman. Orang-orang tua itu ikut pula mengucapkan terima-kasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh Kasadha, ibu dan bibinya. Meskipun ketiga orang tua itu tidak langsung hadir di pertempuran, namun mereka telah mendapat keterangan tentang mereka.
"Kalian telah ikut menentukan akhir dari pergolakan ini," berkata Kiai Badra.
Warsi mengangguk hormat sambil menjawab, "Kami telah mencoba melakukan yang terbaik dari yang dapat kami lakukan."
Kiai Badra tertawa. Tetapi disorot matanya nampak keharuan mencengkam jantungnya. Bahkan tersirat kata-katanya, "Kau adalah orang yang berbahagia Warsi. Kau berhasil menembus takbir kegelapan. Kau temukan cahaya dari Yang Maha Tinggi."
Warsi tersenyum. Tetapi nampak matanya menjadi basah.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil, telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Kasadha, seorang prajurit yang menyertainya, ibu dan bibinya, serta Sambi Wulung dan Jati Wulung. Bersama mereka telah ikut pula Ki Lurah Mertapraja. Untuk tidak menarik perhatian banyak orang, maka Ki Lurah tidak lagi terikat tangannya. Namun Ki Lurah Mertapraja memang sudah menjadi tenang. Ia menyadari sepenuhnya apa yang terjadi atas dirinya.
Sebagai seorang tawanan maka Ki Lurah memang menempatkan dirinya. Justru karena Ki Lurah Mertapraja seorang prajurit. Ia tahu dengan pasti paugeran yang berlaku bagi seorang tawanan. Baik yang menawan maupun yang tertawan.
Karena itu, Ki Lurah itu sama sekali tidak menimbulkan persoalan ketika iring-iringan itu meninggalkan Tanah Perdikan.
Sementara itu Kasadhapun berharap bahwa perjalanan mereka tidak terganggu, karena keberangkatan Ki Lurah Mertapraja itu memang dirahasiakan sebelumnya. Baru ketika mereka meninggalkan halaman rumah Risang, beberapa orang melihat bahwa Ki Lurah Mertapraja akan dibawa ke Pajang.
Demikianlah, maka iring-iringan berkuda itu mulai menempuh jalan yang panjang. Sementara itu mataharipun merangkak semakin tinggi di langit.
Ki Lurah Mertapraja memandang jalan yang terbentang di hadapannya dengan tatapan mata yang kosong. Sebenarnyalah ketika ia menjadi tenang, maka lenyaplah semua impian yang pernah bergejolak di dalam benaknya. Iapun sadar sepenuhnya, jika ia sampai ke Pajang, maka ia tidak akan dapat terlepas dari hukuman yang pantas baginya.
Sementara itu di Tanah Perdikan Sembojan, Risang dan para pemimpin Tanah Perdikan masih harus bekerja keras untuk membenahi keadaan Tanah Perdikan itu. Merekapun masih harus tetap menjaga para tawanan sambil menunggu perintah dari Pajang, apa yang harus mereka lakukan. Tetapi untuk membawa mereka ke Pajang tentu diperlukan pengawalan yang cukup besar, sehingga di sepanjang perjalanan akan sangat menarik perhatian banyak orang.
Dalam pada itu, orang-orang tua di Tanah Perdikan Sembojan telah memberikan saran kepada Risang untuk berusaha mengatasi persoalan para tawanan itu. Risang harus mampu memilih di antara para tawanan itu. Siapakah di antara mereka yang masih dapat diajak berbicara dengan baik dan siapakah yang tidak. Dengan demikian maka diharapkan bahwa ada di antara para tawanan itu yang dianggap tidak terlalu berbahaya dan kemudian dapat dilepaskan.
"Tetapi sudah tentu diperlukan waktu," berkata Kiai Badra.
"Ya kakek," jawab Risang. "Aku akan menunjuk beberapa orang untuk mengadakan pengamatan tentang para tawanan itu."
"Mereka harus mendapat petunjuk-petunjuk yang jelas," pesan ibunya pula, "karena mungkin saja terjadi para tawanan itu bersikap pura-pura. Karena itu, maka rencanamu akan melepaskan beberapa orang di antara mereka yang dianggap tidak berbahaya itu harus dirahasiakan. Terutama bagi para tawanan itu sendiri."
"Ya ibu," Risang mengangguk-angguk.
Dalam keadaan yang demikian, maka Risang merasa sangat beruntung bahwa ia masih ditunggui ibu, kakek dan neneknya meskipun mereka sudah menjadi semakin tua. Namun nasehat-nasehat mereka akan sangat berarti bagi Risang.
Demikianlah, maka Tanah Perdikan Sembojanpun kemudian telah diisi dengan kerja. Bukan hanya para pemimpin sajalah yang bekerja keras untuk meningkatkan tata kehidupan di segala segi bagi Tanah Perdikan, tetapi juga seluruh rakyat Tanah Perdikan itu. Seperti yang dipesankan oleh orang-orang tua di Tanah Perdikan itu, maka Risang telah membentuk kelompok kecil yang terdiri dari para bebahu Tanah Perdikan untuk mengamati keadaan para tawanan.
"Paman Sambi Wulung dan Jati Wulung akan ikut pula dalam kelompok kecil ini nanti jika mereka sudah kembali," berkata Risang kepada para bebahu, "Namun sebelum mereka datang, maka biarlah paman Gandar bekerja bersama kalian."
Dengan demikian maka hampir setiap hari Gandar berada di padukuhan-padukuhan tempat para tawanan itu ditempatkan. Tanpa menimbulkan kesan apapun para tawanan, maka kelompok kecil itu berusaha untuk mengetahui sikap para tawanan itu.
Sementara itu, Kasadha telah selamat sampai ke Pajang. Tanpa membawa ibu dan bibinya, maka Kasadha telah melaporkan diri kepada pimpinannya bersama prajurit yang pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Sembojan. Kasadhapun telah memperkenalkan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang datang ikut mengantar tawanan itu mewakili Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Namun dalam pada itu, Kasadha telah menitipkan tawanan itu di baraknya bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung. Seorang pemimpin kelompoknya yang ikut bersamanya ke Tanah Perdikan Sembojan akan mengawasinya. Sementara Kasadha masih minta ijin satu hari lagi.
"Aku masih harus mengantarkan ibu dan bibi pulang ke Bayat," berkata Kasadha kepada Ki Rangga Dipayuda.
"Kenapa ibu dan bibimu tidak kau ajak singgah saja di barak ini?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Seperti sudah pernah aku katakan, ibu dan bibi selalu merasa rendah diri, karena mereka adalah orang-orang kecil," jawab Kasadha.
"Apa arti orang kecil, orang besar dan orang sedang?" Ki Rangga justru bertanya.
"Aku juga sudah mencobanya untuk menjelaskan. Tetapi ibu memang lebih baik menepi dalam pergaulan. Kecuali dengan para petani di padukuhannya, ibu termasuk orang yang akrab bergaul."
Ki Rangga Dipayuda tersenyum. Katanya, "Perlahan-lahan kau harus mengangkatnya memasuki pergaulan yang lebih luas. Sekarang kau sudah seorang lurah prajurit. Masih ada kemungkinan bagimu untuk meningkat lebih tinggi lagi karena umurmu memang masih muda. Kau memiliki bekal yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin. Karena itu, maka pada suatu saat kau akan menjadi seorang Tumenggung."
"Ah. Aku tidak berani bermimpi seperti itu," jawab Kasadha.
"Bukan mimpi bagimu Kasadha. Tetapi harus kau jadikan gegayuhan. Kau harus mempunyai gegayuhan yang tinggi. Tetapi kau tidak boleh mengesahkan segala cara untuk mencapainya. Karena kau masih diikat oleh tatanan, unggah-ungguh dan harga diri," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Kasadha mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu maka Ki Ranggapun berkata, "Baiklah. Tinggalkan tawanan itu disini. Anak buahmu akan menjaganya. Aku nanti akan melaporkannya kepada Ki Tumenggung. Tetapi besok kau harus kembali dan mempertanggung-jawabkan tawanan itu. Sementara itu biarlah kedua tamu dari Tanah Perdikan itu juga tinggal di barak ini. Aku pernah berkenalan dengan mereka ketika aku berada di Tanah Perdikan Sembojan. Kasihan ibumu jika harus terlalu lama menunggumu."
Demikianlah, maka Kasadha telah meninggalkan baraknya. Ia masih belum dengan resmi menyerahkan tawanan itu. Ia masih harus mengantarkan ibu dan bibinya pulang.
Sepeninggal ibu dan bibinya, maka para prajurit, terutama para pemimpin kelompok yang dipimpin oleh Ki Lurah Kasadha telah mengerumuni salah seorang kawan mereka yang pergi ke Tanah Perdikan bersama Kasadha serta Sambi Wulung dan Jati Wulung. Mereka ingin mendengar segala sesuatunya yang terjadi di Tanah Perdikan itu serta tentang tawanan yang dititipkan di barak itu.
Para prajurit itu ikut menjadi berdebar-debar mendengarkan ceritera kawannya tentang pergolakan yang terjadi di Tanah Perdikan. Namun prajurit itu berusaha menahan diri untuk tidak terlalu banyak berceritera tentang ibu Ki Lurah Kasadha, karena Kasadha sendiri tidak ingin terlalu banyak orang yang mengetahui tentang ibunya. Karena bagaimanapun juga Kasadha masih dibayangi oleh masa lampau ibunya yang hitam, sehingga ia tidak ingin masa lampau ibunya itu diketahui oleh siapapun di baraknya itu. Apalagi oleh Ki Rangga Dipayuda yang mempunyai seorang anak gadis yang bernama Riris.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun banyak mendapat pertanyaan-pertanyaan dari para prajurit di barak itu. Tetapi sebagai orang yang telah masak, maka mereka mengerti bahwa tidak sepantasnya mereka berceritera tentang ibu Kasadha. Apalagi tentang masa lampaunya. Karena itu, keduanya bahkan sama sekali tidak berbicara tentang pribadi Kasadha dan Ibunya.
Sementara itu Kasadha telah menempuh perjalanan mengantarkan ibu dan bibinya. Sebenarnya ibu dan bibinya sama sekali tidak perlu diantar oleh Kasadha, karena mereka dapat pulang berdua saja. Jika ada sesuatu yang menghalangi perjalanan mereka, maka mereka akan dapat menyelesaikannya sendiri. Tetapi Kasadha masih harus membawa dua ekor kuda kembali ke Pajang. Kuda yang dipinjam dari barak.
Berbeda dengan para prajurit, Ki Rangga Dipayuda telah mempunyai dugaan-dugaan tentang ibu Kasadha. Meskipun ia tidak tahu latar belakang kehidupannya, tetapi tentu ada sesuatu yang disembunyikan. Ki Ranggapun selaju bertanya-tanya tentang kuda yang dipinjam oleh Kasadha. Namun Ki Rangga Dipayuda juga merasa kurang pantas untuk mempertanyakan hal itu langsung kepada Kasadha, karena Kasadha tentu tidak akan mengatakan yang sebenarnya. Namun Ki Rangga sama sekali tidak berprasangka buruk terhadap ibu Kasadha itu, karena ibu Kasadha itu juga hadir di Tanah Perdikan Sembojan ketika Risang diwisuda.
Ternyata Kasadha tidak mengingkari janjinya untuk kembali di keesokan harinya. Bahkan ketika ia datang, hari masih terhitung pagi.
Perjalanan mengantar ibunya adalah perjalanan yang singkat saja. Namun ketika mereka mendekati padukuhan tempat tinggal ibu dan bibinya, maka ibu dan bibinya harus membenahi pakaiannya. Mereka tidak boleh mengejutkan tetangga-tetangganya dengan pakaian khusus mereka. Karena itu, ketika mereka sampai di padukuhan, maka ibu Kasadha dan bibinya dalam ujud lahiriahnya tidak lebih dari dua orang perempuan yang sederhana. Petani yang hidup dan menyatu dengan lingkungannya.
Ketika para tetangganya mengetahui bahwa kedua orang perempuan itu kembali, maka beberapa orang di antara mereka telah memerlukan untuk datang. Dengan akrabnya mereka mengucapkan selamat atas kedatangan mereka berdua.
Tetangga-tetangga mereka memang heran melihat tiga ekor kuda di halaman rumah itu. Tetapi Kasadha mengatakan bahwa ia akan membawa kuda-kuda itu kepada pamannya.
"Paman memang memesan dua ekor kuda. Seekor untuk paman sendiri sedangkan seekor lagi untuk anaknya yang umurnya sebaya dengan aku," berkata Kasadha.
Para petani yang sederhana itu tidak mempersoalkannya lebih lanjut Mereka tenggelam dalam kegembiraan karena tetangganya sudah kembali dengan selamat, sebagaimana keluarga sendiri.
Kasadha memang tidak terlalu lama berada di rumah ibunya. Esok, pagi-pagi benar Kasadha telah bersiap kembali ke Pajang, apalagi ia masih mempunyai tanggungan, seorang tawanan dan dua orang tamu dari Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika Kasadha akan berangkat, ia masih bertanya kepada ibunya tentang luka-lukanya dalam pertempuran-pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
"Semuanya sudah baik Kasadha. Jika masih ada sedikit bekasnya, tentu akan segera hilang," jawab ibunya.
"Baiklah ibu. Aku mohon diri. Aku akan berusaha untuk mendapat waktu setiap kali datang menengok ibu dan bibi," berkata Kasadha kemudian.
Ibunya menepuk bahunya. Nampak sorot matanya yang memancarkan kegembiraan hatinya. Ketika ia melepas Kasadha sampai ke regol halaman rumahnya, maka matanya menjadi berkaca-kaca. Seandainya tangan Yang Maha Agung tidak membimbing anaknya dengan kasih, apa jadinya anak itu. Tentu tidak lebih dari seorang perampok yang buas melebihi kebuasan ibunya pada masa lalu. Namun kasih Yang Maha Agung itu telah menariknya pula dari dalam kegelapan.
Berbeda dengan ibunya, maka bibi Kasadha itupun memandangi anak muda itu dengan gejolak di hatinya. Tetapi bibi Kasadha itu tidak mengatakan sesuatu karena justru ada ibu anak muda itu. Betapapun ia ingin memperingatkan Kasadha tentang anak perempuannya sebagaimana pernah dikatakannya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kasadhapun telah meninggalkan padukuhan ibunya dengan menuntun dua ekor kuda. Justru karena itu, maka Kasadha tidak dapat berpacu dengan cepat.
Namun Kasadha memang tidak terlalu tergesa-gesa, karena jarak yang akan ditempuh memang tidak begitu jauh. Ketika ia sampai di baraknya, ternyata hari memang masih terhitung pagi.
Hari itu juga Kasadha, seorang pemimpin kelompok yang mengikutinya ke Tanah Perdikan Sembojan bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menghadap Ki Tumenggung Jayayuda diantar oleh Ki Rangga Dipayuda.
Dengan jelas Kasadha memberikan laporan kepada Ki Tumenggung mengenai tugas yang diembannya bersama salah seorang pemimpin kelompok untuk mengamati persoalan yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
"Jadi seorang utusan dari Madiun telah menemuimu di Tanah Perdikan?" bertanya Ki Tumenggung.
"Ki Tumenggung Puspalaga datang untuk bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Adalah satu kesempatan yang baik yang diberikan oleh Kepala Tanah Perdikan Sembojan kepadaku."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Iapun kemudian minta penjelasan kepada Kasadha tentang sikap Madiun terhadap Ki Lurah Mertapraja yang kemudian dibawa ke Pajang.
Dengan singkat tetapi jelas Kasadha menceriterakan sikap Ki Tumenggung Puspalaga sebagai utusan resmi dari Madiun terhadap Ki Lurah Mertapraja yang melakukan pelanggaran atas pangeran yang berlaku bagi prajurit Madiun.
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Aku menghargai sikap Ki Tumenggung Puspayuda. Sudah tentu juga sikap Panembahan Mas di Madiun. Bahwa mereka tidak berniat untuk membawa Ki Lurah Mertapraja kembali ke Madiun. Jika Ki Lurah Mertapraja itu mereka minta untuk dibawa kembali ke Madiun, maka akan dapat menumbuhkan kecurigaan bahwa apa yang dilakukan oleh Ki Lurah Mertapraja itu sudah diijinkan, setidak-tidaknya setahu para pemimpin keprajuritan di Madiun."
"Seandainya Ki Tumenggung Puspalaga ingin membawa Ki Lurah Mertapraja, aku tentu berkeberatan. Apalagi aku berada di Tanah Perdikan Sembojan sebagai petugas yang ditunjuk oleh Pajang," jawab Kasadha.
"Namun dengan sikap itu, maka aku mendapat kesimpulan bahwa Madiun memang berusaha untuk mengekang diri sejauh dapat mereka lakukan agar mendung yang gelap yang memayungi Mataram dan Madiun tidak menjadi semakin gelap. Agaknya merekapun berniat untuk menghindarkan hujan angin dan prahara yang mungkin akan menempuh dan memporak-porandakan hubungan antara Mataram dan Madiun," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
"Nampaknya memang demikian," jawab Kasadha. "Mudah-mudahan niat baik dari Madiun dan Mataram akan dapat menjernihkan keadaan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan mengambil alih persoalan Ki Lurah Mertapraja. Aku akan menyampaikan persoalan ini untuk mendapat penanganan lebih jauh."
Namun Kasadhapun telah memberikan laporan pula! tentang kelemahan jiwani dari Ki Lurah Mertapraja.
"Dalam keadaan yang tertekan, jiwa Ki Lurah akan dapat terguncang sehingga kehilangan kendali," berkata Kasadha.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan berusaha berbuat sebaik-baiknya atas Ki Lurah Mertapraja."
Kemudian kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung Ki Tumenggungpun menanyakan sikap Kepala Tanah Perdikan Sembojan atas Ki Lurah Mertapraja. Apa yang dikehendaki oleh Risang dalam hubungannya dengan keterlibatan Ki Lurah atas serangan Padepokan Watu Kuning yang telah menimbulkan korban cukup banyak di Tanah Perdikan Sembojan.
"Semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan Pajang Ki Tumenggung. Kami hanya dapat memberitahukan apa yang terjadi. Kemudian terserah atas segala keputusan yang akan dijatuhkan oleh Pajang atas Ki Lurah Mertapraja. Bahkan kami akan mohon petunjuk atas tawanan-tawanan yang masih ada di Tanah Perdikan Sembojan. Seandainya mereka harus kami serahkan ke Pajang, maka tentu akan memerlukan waktu, karena kami tentu tidak akan dapat membawa mereka sekaligus."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Katanya, "Terimakasih atas kepercayaan para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan," Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lalu katanya pula, "Sayang, kami tidak dapat menanganinya dengan cepat karena keadaan. Tetapi kami bersama-sama berharap bahwa antara Mataram dan Madiun akan segera dapat dicapai kesepakatan, sehingga kita tidak selalu saling mencurigai. Kita tidak perlu menghimpun segala kekuatan untuk menghadapi kemungkinan buruk. Karena itu yang dapat aku katakan untuk sementara sampai aku mendapat perintah lebih lanjut, untuk sementara biarlah para tawanan itu berada di Tanah Perdikan Sembojan. Kami tahu bahwa dengan demikian Sembojan akan mengeluarkan dana khusus untuk para tawanan, tetapi untuk sementara kami memang belum dapat berbuat lain."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Sambi Wulung berkata, "Baiklah Ki Tumenggung. Mudah-mudahan kami akan segera mendapatkan perintah selanjutnya."
"Terima kasih atas kesediaan Tanah Perdikan Sembojan. Demikian keadaan memungkinkan, maka kami akan segera melakukan langkah-langkah terbaik bagi Tanah Perdikan Sembojan. Tentu saja pada batas-batas kemungkinan yang dapat kami lakukan."
Kepada Ki Tumenggung Jayayuda, Sambi Wulungpun mengatakan usaha Tanah Perdikan Sembojan untuk mencari kemungkinan bahwa di antara para tawanan itu masih ada yang dapat diharapkan kembali ke jalan yang baik dan masuk kembali ke dalam lingkungan masyarakat banyak.
"Bagus sekali," Ki Tumenggungpun dengan serta-merta telah memberikan tanggapan. "Tetapi kalian harus berhati-hati, karena menjajagi perasaan seseorang itu ternyata pekerjaan yang amat sulit. Apa yang kita perkirakan mungkin sekali justru bertentangan dengan yang sebenarnya."
"Ya Ki Tumenggung," jawab Sambi Wulung, "karena seseorang dapat bersikap pura-pura."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Bagaimanapun juga, Pajang tidak akan dapat melepaskan sama sekali persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan Sembojan ini. Tetapi karena keadaan, maka yang dapat kami lakukan sangatlah terbatas."
"Betapapun terbatasnya Ki Tumenggung, setiap perhatian atas Tanah Perdikan akan sangat membesarkan hati kamu karena kami tidak merasa seperti domba yang kehilangan gembala."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Ia masih memberikan beberapa pesan dan petunjuk. Namun kemudian Ki Tumenggung itu berkata, "Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Apa yang telah dilakukan oleh Tanah Perdikan Sembojan merupakan pengorbanan yang sangat berarti bagi Pajang dan bahkan bagi Mataram."
Demikianlah beberapa saat kemudian, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah minta diri. Mereka bersama Ki Rangga Dipayuda dan Ki Lurah Kasadha telah kembali ke barak yang diperuntukkan bagi pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Kasadha. Di barak itu Sambi Wulung dan Jati Wulung masih akan menginap semalam lagi. Besok keduanya akan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Malam itu Sambi Wulung dan Jati Wulung masih sempat berbincang dengan Kasadha dan Ki Rangga Dipayuda. Mereka membicarakan perkembangan terakhir hubungan antara Pajang dan Madiun, Dengan nada rendah Ki Rangga berkata, "Masih belum ada tanda-tanda apapun yang akan merubah hubungan antara Pajang dan Madiun. Mendung itu masih saja tetap bergantung. Hujan dapat jatuh setiap saat. Hanya jika ada angin kencang sajalah maka mendung itu akan dihanyutkan."
"Bayangan mendung itu pulalah yang nampak di langit di atas Tanah Perdikan Sembojan," sahut Sambi Wulung.
"Ya. Itu sudah wajar sekali," jawab Ki Rangga kemudian.
Namun pembicaraan merekapun kemudian merambat ke Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri dan bahkan kemudian sampai ke Madiun dan bahkan Mataram.
Menjelang tengah malam, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung itupun dipersilahkan untuk beristirahat.
"Bukankah esok pagi kalian akan menempuh perjalanan panjang dan bahkan masih akan dapat timbul kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghambat perjalanan?" berkata Ki Rangga Dipayuda.
"Tetapi nampaknya untuk sementara keadaan justru mulai tenang Ki Rangga," jawab Sambi Wulung.
"Ya. Setidak-tidaknya jalan menuju ke Tanah Perdikan Sembojan," sahut Ki Rangga. Namun kemudian katanya, "Tetapi masih juga harus diperhatikan saudara-saudara seperguruan, bahkan guru orang yang disebut paman oleh Ki Lurah Mertapraja."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Jika mereka tahu Ki Lurah ada di Pajang, maka mereka tentu akan mencarinya di Pajang ini pula."
"Jika mereka tahu kalian berdua yang membawanya kemari?" bertanya Ki Rangga.
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya tertawa saja.
"Sudahlah," berkata Ki Rangga Dipayuda, "nanti kalian tidak jadi beristirahat pula."
Di dini hari berikutnya, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah bersiap untuk menempuh perjalanan panjang. Berdua mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih sempat minta diri kepada Ki Rangga Dipayuda. Kepada Ki Lurah Kasadha, Sambi Wulung dan Jati Wulung berpesan, untuk disampaikan kepada Ki Tumenggung, bahwa mereka minta diri kembali ke Tanah Perdikan.
"Kami tidak ingin mengganggu Ki Tumenggung," berkata Sambi Wulung, "mungkin Ki Tumenggung belum bangun."
"Baiklah," sahut Kasadha, "aku akan menyampaikannya. Mungkin Ki Tumenggung memang belum bangun. Tetapi biasanya sebentar lagi ia bangun, sebelum matahari terbit."
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menunggu. Sebelum matahari terbit, mereka berdua sudah meninggalkan barak itu.
Demikianlah, maka keduanya telah berpacu di jalan-jalan yang masih sepi, sehingga karena itu, maka merekapun dapat meluncur dengan cepat. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah keluar dari pintu gerbang kota. Di gardu yang masih berada di lingkungan Kotaraja, sekelompok prajurit berjaga-jaga. Namun mereka tidak menghentikan Sambi Wulung dan Jati Wulung, karena keduanya tidak menunjukkan tanda-tanda yang dapat menimbulkan kecurigaan pada para prajurit yang bertugas itu.
Lepas dari pintu gerbang, maka Sambi Wulung berpacu semakin cepat. Meskipun sekali-sekali mereka berpapasan dengan sekelompok orang yang berjalan beriringan menuju ke pasar dengan membawa dagangan mereka masing-masing.
Meskipun hubungan antara Pajang dan Madiun masih saja diliputi oleh kesiagaan dan kecurigaan, namun kehidupan sehari-hari di Pajang nampaknya tidak banyak terganggu.
Ternyata perjalanan Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mendapat hambatan sampai saatnya matahari naik semakin tinggi. Ketika matahari hampir mencapai puncak langit, maka merekapun harus beristirahat. Kuda-kuda mereka tentu mulai merasa letih dan perlu beristirahat. Bahkan juga makan dan minum.
Karena itu, maka ketika mereka sampai ke sebuah kedai yang cukup besar di sebuah padukuhan yang besar pula, merekapun berhenti. Selain kuda mereka yang letih, Sambi Wulung dan Jati Wulungpun sudah merasa haus.
Beberapa saat keduanya duduk sambil menghirup minuman hangat. Bahkan karena hari sudah terhitung siang, maka merekapun telah memesan makan pula. Nampaknya kedai itu menjajakan makan dan minum yang sesuai dengan selera mereka.
Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk menyuapi mulut mereka, tiga orang telah memasuki kedai itu. Wajah mereka nampak gelap, sementara sikap merekapun nampak gelisah.
Ketiganya duduk tidak terlalu jauh dari Sambi Wulung dan Jati Wulung. Sebagaimana Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mengenali mereka, maka ketiga orang itupun tidak mengenali kedua orang itu.
Mula-mula Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap mereka. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, "Kita sudah terlambat. Kita tidak akan pernah mendapatkannya kembali."
"Orang-orang kitalah yang dungu sehingga mereka tidak berhasil menyelamatkannya dari Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi sekarang. Ki Lurah itu tentu sudah berada di tangan para prajurit Pajang," sahut yang lain.
"Bagaimana hal itu dapat terjadi," desis orang yang pertama.
"Tetapi hal itu benar-benar telah terjadi," jawab yang lain.
Orang yang pertama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia termasuk orang yang penting di antara kita. Tetapi kita salah hitung, sehingga seakan-akan kita sudah menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Kita memang tidak mengira bahwa kekuatan Tanah Perdikan Sembojan itu cukup besar menghadapi orang-orang Watu Kuning. Kitapun tidak mengira bahwa ada beberapa orang berilmu tinggi yang dapat mengimbangi orang-orang berilmu tinggi di dalam pasukan Watu Kuning."
"Hal-hal yang tidak diduga-duga itu memang harus diperhitungkan."
"Bagaimana kita memperhitungkan jika hal itu tidak dapat diduga sebelumnya."
Ketiga orang itu terdiam. Ketika mereka mendapatkan minuman mereka, maka merekapun telah memesan makan pula.
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi tertarik mendengar pembicaraan mereka. Agaknya mereka adalah termasuk di antara orang-orang yang ingin mengambil Ki Lurah Mertapraja. Namun setelah mereka mengetahui bahwa Ki Lurah Mertapraja telah dibawa ke Pajang, maka mereka menjadi berputus-asa.
Tiba-tiba saja seorang di antara mereka berdesis, "Apa yang dapat kita lakukan sekarang?"
Kawan-kawannya hanya saling berpandangan saja.
Untuk beberapa saat hanya berdiam diri. Sambi Wulung dan Jati Wulungpun seakan-akan tidak menghiraukan apa yang mereka katakan, sebagaimana orang-orang lain yang ada di kedai itu. Empat orang anak muda yang duduk di sudut terdengar tertawa hampir berbareng. Agaknya mereka sedang berkelakar sebagaimana kebiasaan anak-anak muda.
Namun tiga orang yang sedang merenungi persoalan yang gawat itu menjadi tidak senang mendengar mereka tertawa berkepanjangan. Bahkan seorang di antara mereka berdesis, "Aku ingin menyumbat mulut mereka."
Tetapi kawan-kawannya masih saja berdiam diri. Baru beberapa saat kemudian, seorang di antara mereka berkata, "Kita memang harus berbuat sesuatu."
"Apa" Apa kita akan mengambilnya dari Pajang" Itu sama artinya kita akan menyurukkan diri ke dalam api."
"Tidak. Tetapi kita kembali ke Tanah Perdikan Sembojan."
"Buat apa" Ki Lurah Mertapraja sudah tidak ada di Tanah Perdikan."
"Kita akan mengambil salah seorang yang terhitung penting di Sembojan. Orang itu akan kita tawarkan untuk ditukar dengan Ki Lurah Mertapraja. Biarlah orang-orang Sembojan yang berbicara dengan Pajang."
Kedua orang kawannya termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata, "Orang-orang terpenting di Tanah Perdikan termasuk orang-orang berilmu tinggi. Meskipun niat itu baik, tetapi tidak mudah untuk melakukannya."
"Kita dapat mencobanya," jawab orang yang mempunyai rencana itu dengan yakin.
Merekapun berhenti pula berbicara. Mereka mencoba untuk melihat orang-orang yang ada di kedai itu. Mereka sempat memandang Sambi Wulung dan Jati Wulung. Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung nampaknya asik berbincang sendiri sambil menyuapi mulut mereka tanpa menghiraukan orang lain.
"Siapakah kedua orang itu?" terdengar seorang di antara mereka berdesis.
Kawan-kawannya menggeleng. Seorang di antara mereka berkata, "Orang lewat. Mereka makan sangat rakus."
Yang lain mengerutkan dahinya. Tetapi tidak ada yang mengatakan sesuatu lagi tentang Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Sementara itu terdengar lagi anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. Seorang di antaranya bahkan telah memukul lincak. Agaknya ia tidak dapat menahan kegelian yang menggelitik jantungnya.
Ketika perhatian ketiga orang itu tertuju kepada anak-anak muda yang tertawa berkepanjangan itu, Sambi Wulung berdesis, "Perhatikan orang-orang itu dengan baik. Jika pada suatu saat kita bertemu-dengan mereka di Tanah Perdikan, kita dapat mempersiapkan diri."
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk.
Dengan ketajaman pendengaran mereka, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung masih mencoba untuk mendengarkan pembicaraan itu lebih lanjut. Meskipun mereka tidak dapat mendengar dengan jelas seluruhnya, namun yang dapat mereka dengar dapat mereka mengerti maksudnya.
Namun tiba-tiba saja Sambi Wulung dan Jati Wulung itu terkejut. Tiba-tiba saja salah seorang dari ketiga itu bangkit berdiri sambil berteriak lantang, "Diam. Kenapa kalian berteriak-teriak seperti itu" Kau harus tahu bahwa tempat ini bukan milik kalian saja. Orang lain dapat terganggu mendengar kelakar kalian yang urakan itu."
Anak-anak muda itupun terkejut. Dengan serta-merta mereka memang diam. Tetapi ternyata mereka tidak merasa senang diperlakukan seperti itu.
Seorang di antara mereka justru bertanya, "Apa maumu sebenarnya" Kami berbicara, bergurau dan tertawa sendiri tanpa menyinggung kepentinganmu."
"Tetapi suara kalian yang ribut itu membuat kepala kami pening. Kami sedang berbicara tentang satu hal yang sangat penting dan memerlukan pemikiran yang rumit. Sementara itu kalian berteriak-teriak seperti orang gila. Memukul-mukul lincak. Kalian harus belajar menghargai orang lain."
Perhatian orang-orang yang ada di kedai itupun tertuju seluruhnya kepada kedua kelompok yang sedang bertengkar itu. Tiga orang yang sudah mendekati separo baya dengan empat orang anak-anak muda yang sedang tumbuh.
Dengan wajah tegang, salah seorang dari ketiga orang yang sudah lebih tua itu kemudian berkata, "Aku memperingatkan kepada kalian, agar kalian sedikit menahan diri."
"Maaf Ki Sanak," jawab salah seorang di antara anak-anak muda itu, "kami terbiasa berbuat sebagaimana kami lakukan. Jika kalian tidak senang, maka kalian dapat meninggalkan tempat ini."
Wajah orang yang sudah lebih tua itu menjadi merah. Sementara itu, pemilik kedai itu dengan tergesa-gesa mendekati mereka sambil berkata, "Sudahlah. Kamilah yang mohon maaf. Kami ingin mempersilahkan kalian pindah ke tempat yang lebih tenang."
"Kenapa kami yang harus pindah. Bawa anak-anak itu pergi ke belakang. Aku muak mendengar suara mereka."
"Tidak," sahut anak muda itu. "Kami tidak ingin pindah kemanapun. Sejak semula kami duduk disini."
Pemilik kedai itu bergeser mendekati anak-anak muda itu. Katanya, "Biarlah kalian yang muda-muda mengalah. Silahkan duduk di sebelah. Tempatnya cukup baik."
Tetapi hampir berbareng mereka menjawab, "Tidak."
Pemilik kedai itu menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika orang yang lebih tua itu berkata, "Jika aku mendengar kalian tertawa sambil berteriak-teriak lagi, maka aku akan menghentikannya dengan caraku."
"Kenapa kau tidak melakukannya sekarang" Dengar, aku masih akan berteriak-teriak terus," jawab salah seorang di antara anak-anak muda itu.
Orang yang sudah mendekati separo baya itu menjadi sangat marah. Dengan serta-merta, diraihnya mangkuk minumannya. Minuman yang masih ada itupun telah dilontarkan ke arah anak muda itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang juga menjadi tegang karena peristiwa itu menjadi semakin tegang. Jarak keduanya tidak terlalu dekat. Tetapi minuman yang dilontarkan dan memercik mengenai anak muda itu akibatnya memang mendebarkan. Anak muda itu terdorong dengan kerasnya. Untunglah bahwa anak muda itu hanya terduduk dan tersandar lincak tempat duduknya. Seandainya tidak ada tempat duduk itu di belakangnya, maka mungkin sekali anak muda yang tidak mengira mengalami hal itu akan jatuh terlentang.
Tetapi anak-anak muda itu agaknya tidak menyadari apa yang telah terjadi itu. Karena itu, mereka menjadi sangat marah. Berempat mereka serentak bangkit. Yang terkena percikan minuman itu mengumpat-umpat dengan kasar.
Orang yang menyiram anak muda itu dengan sisa minumannya itupun bergeser pula sambil berkata, "Jadi kalian menjadi marah, he" Kalian mau apa?"
"Aku ingin memilin lehermu," jawab salah seorang anak muda.
Tetapi orang yang sudah mendekati separo baya itu berkata, "Lakukan jika kau mampu. Tetapi aku tidak akan merusak tatanan kedai ini. Kita dapat melakukannya di halaman."
"Bagus," sahut salah seorang anak muda itu. "Kita akan turun ke halaman."
Orang yang-sudah separo baya itu segera turun ke halaman diikuti oleh keempat orang anak muda itu. Namun dua orang kawannya masih saja duduk di tempatnya.
Tetapi seorang di antara mereka berkata, "Marilah. Kita lihat apa yang terjadi."
Kawannya masih sempat meneguk minumannya. Namun merekapun kemudian bangkit pula dan berjalan ke pintu.
Di halaman seorang yang marah itu telah berhadapan dengan empat orang anak muda. Dengan garang seorang di antara anak muda itu bertanya, "He, dimana kawan-kawanmu."
Tetapi orang yang sudah separo baya itu berkata, "Aku tidak memerlukan mereka. Aku akan memukuli kalian berempat sehingga kalian harus mengakui, bahwa tingkah laku kalian itu tidak pantas dilakukan di tempat orang banyak."
"Kenapa kau terlalu sombong" Apakah kau seorang diri merasa mampu menghadapi kami berempat?" bertanya anak muda yang bertubuh tinggi meskipun agak kekurusan.
"Kenapa tidak," jawab orang itu. "Kita akan segera melihat, apa yang akan terjadi."
"Baik jika itu yang kau inginkan. Kau akan menyesal dan kawan-kawanmupun akan menyesal pula."
Orang yang umurnya sudah menjelang separo baya itu tidak menunggu. Iapun mulai meloncat menyerang. Ketika tangannya terayun cepat, maka seorang di antara anak-anak muda itu berteriak kesakitan. Mulutnyapun segera mengeluarkan darah. Sebuah giginya telah tanggal.
Kawan-kawannyapun menjadi marah. Bersama-sama mereka menyerang, sehingga orang itu benar-benar harus berkelahi melawan empat orang anak muda yang dilihat dari ujudnya, keempatnya lebih meyakinkan dari seorang yang dikeroyoknya itu.
Dua orang kawan dari orang yang sudah mendekati separo baya itupun telah turun ke halaman. Tetapi mereka memang tidak melibatkan diri. Mereka hanya menyaksikan saja apa yang terjadi di halaman itu.
Perkelahian itupun kemudian telah menjadi semakin sengit. Anak-anak muda itupun menjadi marah. Mereka merasa terhina dengan sikap lawannya yang hanya seorang diri melawan mereka berempat. Mereka berniat untuk memperingatkan, agar orang itu tidak terlalu sombong dengan mengandalkan kemampuannya.
Tetapi yang terjadi memang di luar dugaan anak-anak muda itu. Meskipun hanya seorang diri, namun orang itu telah menggetarkan pertahanan keempat lawannya. Sekali-sekali anak-anak muda itu berloncatan menjauh. Satu dua di antara mereka bahkan terdorong surut jika serangan lawannya mengenainya.
Sebenarnyalah bahwa keempat orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Semakin lama mereka berkelahi, maka semakin ternyata bahwa lawannya yang hanya seorang itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Namun keempat orang anak muda itu tidak segera berputus asa. Sebelumnya mereka merasa terlalu yakin bahwa mereka akan segera menyelesaikan perkelahian itu. Tetapi kenyataan yang mereka hadapi telah memaksa mereka untuk lebih bersungguh-sungguh.
Dengan demikian maka perkelahian itu memang menjadi semakin seru dan semakin keras. Keempat anak muda itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Mereka mulai membuat perhitungan-perhitungan untuk mengatasi lawannya yang kuat dan tangkas itu.
Keempat orang anak muda itupun telah memencar. Mereka mulai menyerang dari arah yang berbeda-beda.
Tetapi lawan mereka yang meskipun hanya seorang itu cukup tangkas. Dengan kecepatan geraknya, ia berusaha untuk menghindari setiap serangan.
Tetapi karena keempat orang anak muda itu mulai berpikir dan memperhitungkan setiap serangan mereka, maka lawannya yang seorang itupun menjadi semakin berhati-hati pula.
Dengan demikian, maka keempat anak muda itu berusaha untuk memecah perhatian lawannya. Merekapun menyerang berurutan seperti gelombang. Tetapi dari arah yang berbeda-beda.
Kedua orang kawannya yang memperhatikan perkelahian itu mulai menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka masih tetap merasa tidak perlu untuk ikut turun ke arena. Bagaimanapun juga keempat orang anak muda itu tidak akan mampu bertahan terlalu lama.
Tetapi bahwa anak-anak muda itu memaksa lawannya meningkatkan kemampuannya, telah membuat lawannya semakin marah. Apalagi ketika serangan anak-anak muda itu mulai mengenai tubuhnya. Maka kemarahannyapun semakin menyala di dadanya.
Dengan lantang orang itu kemudian berkata, "Aku memperingatkan kalian sekali lagi sebelum kalian menyesal. Kalian harus menyerah dan minta ampun kepadaku. Kemudian kalian mengaku telah melakukan perbuatan yang salah serta berjanji untuk tidak melakukannya lagi."
"Persetan," geram salah seorang anak muda. "Ternyata kau mulai merasa terdesak dan tidak mampu lagi untuk bertahan. Kau mencoba untuk mencari kesempatan menghentikan pertempuran dengan tidak merendahkan harga dirimu. Tetapi kami bukan orang-orang dungu."
"Anak-anak iblis," geram orang itu. "Jika aku terlanjur melepaskan kekang yang mengendalikan ilmuku, maka jangan menyesal jika seorang di antara kalian atau bahkan dua atau tiga atau semuanya akan mati."
"Kau tidak usah membual. Jika kau ingin menyerah, menyerahlah. Kami akan memaafkanmu dan membiarkan kau dan kawan-kawanmu pergi."
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi berdebar-debar. Sebenarnya orang itu bukan seorang yang terlalu kasar. Orang itu masih berusaha mengekang diri. Tetapi anak-anak muda itu juga tidak tahu diri. Mereka tidak melihat keadaan mereka dibandingkan dengan lawannya. Betapapun juga kemudaan membakar jantung, seharusnya mereka menyadari, bahwa lawan mereka adalah seorang yang berilmu tinggi.
Tetapi keempat anak muda itu sama sekali tidak mau menilai diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa mereka bersama-sama akan dapat mengimbangi lawannya yang hanya seorang itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang ikut memperhatikan perkelahian Itu justru menyalahkan keempat anak muda itu karena mereka tidak mau menghindar justru saat mereka mendapat kesempatan.
"Anak-anak itu tidak tahu diri," desis Sambi Wulung.
"Mereka memang tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka hadapi," sahut Jati Wulung.
Keduanya menjadi semakin tegang ketika mereka melihat orang yang bertempur seorang diri itu meningkatkan ilmunya. Bahkan nampaknya orang itu telah benar-benar menjadi marah.
Karena itu maka perkelahian yang menyala berikutnya menjadi semakin sengit. Keempat anak muda itu memang berusaha untuk mengerahkan kemampuan mereka. Namun menghadapi orang yang berilmu tinggi itu, mereka benar-benar telah mengalami kesulitan. Ketika seorang di antara mereka terlempar jatuh, maka kawan-kawannya menjadi semakin marah.
Bertiga mereka menyerang serentak, sementara anak muda yang terlempar jatuh itu berusaha untuk bangkit berdiri.
Tetapi orang itu telah kehabisan kesabaran. Dua di antara ketiga anak muda yang menyerang serentak itu berteriak kesakitan. Mereka terdorong beberapa langkah surut. Seorang dari mereka masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sedangkan yang lain akhirnya terjatuh di tanah.
Dengan susah payah anak muda itu berusaha untuk bangkit. Namun kawannya yang lain justru telah jatuh menimpanya.
Keduanya mengaduh kesakitan. Tulang-tulang mereka serasa berpatahan. Namun mereka masih juga mencoba untuk bangkit dan melawan.
Tetapi mereka sama sekali tidak lagi berkesempatan. Meskipun nampaknya mereka masih utuh berempat, tetapi mereka benar-benar sudah tidak berdaya. Seorang-seorang di antara mereka telah terbanting jatuh. Jika seorang tertatih-tatih bangkit, maka yang lainlah yang kehilangan keseimbangan.
Dua orang kawan dari seorang yang berkelahi melawan anak muda itu berdiri termangu-mangu. Mereka sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Nampaknya mereka memang yakin bahwa kawannya itu akan dapat menyelesaikan keempat orang anak muda itu.
Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung mendapat kesempatan untuk memperhatikan ketiga orang itu dengan baik. Wajahnya, bentuk tubuhnya dan tingkah lakunya. Bahkan mereka dapat mengenali serba sedikit ilmu yang dimiliki oleh salah seorang di antara mereka.
"Pada suatu saat ketiga orang itu akan datang ke Tanah Perdikan Sembojan," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk kecil. Katanya, "Agaknya mereka orang-orang dari perguruan Wukir Gading. Bukan orang-orang Watu Kuning. Nampaknya mereka tidak sekeras dan sekasar orang-orang Watu Kuning, setidak-tidaknya orang yang sedang berkelahi itu."
Tetapi keduanya menjadi ragu-ragu akan dugaannya. Orang yang berkelahi itu ternyata tidak segera berhenti meskipun keempat anak muda itu sudah tidak berdaya.
"Orang itu sudah terlanjur marah sekali," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung tidak segera menjawab. Tetapi dahinya memang nampak berkerut. Bahkan katanya, "Tetapi sebenarnya itu sudah cukup. Anak-anak itu sudah tidak berdaya."
Ketika kegelisahan semakin menghentak-hentak jantungnya, ternyata orang itupun berhenti memukuli anak-anak muda yang sudah tidak berdaya itu. Keempat anak muda itu terbaring di tanah sambil mengerang kesakitan.
"Bangkit. Jangan cengeng," teriak orang yang memukulinya itu. Lalu katanya, "Kalian anak-anak muda yang sudah berani mulai harus berani menanggung akibatnya. Bangkit dan lakukan sebagaimana kalian katakan."
Anak-anak muda itu hanya mampu menggeliat. Tetapi mereka tidak dapat lagi bangkit. Seorang di antara mereka mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu jatuh lagi di tanah.
Orang yang marah itupun kemudian bergeser surut. Dengan nada tinggi ia berkata, "Jangan lupakan peristiwa ini. Berhati-hatilah bersikap di tempat orang banyak. Dunia ini bukan hanya milik kalian berempat saja. Ingat itu. Orang lain tidak mau terganggu oleh sikap urakanmu itu."
Tidak seorangpun di antara anak-anak muda itu yang berani menjawab. Apalagi tubuh mereka masih terasa sakit sekali.
Orang yang berkelahi melawan empat orang anak muda itupun segera meninggalkan mereka masih terbaring di tanah. Bersama dengan kedua orang kawannya, mereka kembali naik dan duduk di tempat mereka duduk semula. Mereka masih melanjutkan meneguk minuman yang tersisa kecuali yang telah dipercikkan ke wajah salah seorang anak muda yang dianggapnya mengganggu itu.
Baru sejenak kemudian salah seorang dari mereka telah membayar harga makanan dan minuman sambil minta diri kepada pemilik kedai itu.
Ketika ketiga orang itu turun lagi ke halaman, maka mereka melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung menolong keempat orang anak muda itu. Mereka membantu anak-anak muda yang kesakitan itu duduk.
Orang yang semula berkelahi dengan keempat orang anak muda itu sempat berpaling kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung sambil berkata, "Kau tidak usah mencampuri persoalan orang lain."
"Tidak," jawab Sambi Wulung. "Aku hanya membantu mereka, karena mereka sama sekali sudah tidak dapat bangkit."
Orang yang baru saja berkelahi itu mengerutkan dahinya. Namun ketika dilihatnya sorot mata Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka orang itu menduga, bahwa kedua orang yang menolong anak-anak muda itu adalah bukan orang kebanyakan.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya lagi. Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun segera berpacu meninggalkan kedai itu menyusuri jalan panjang yang berdebu.
Kipas Dewi Murka 1 Perempuan Paris Karya Motinggo Busye Drama Di Ujung Pisau 3