Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 21

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 21


Demikian ketiga orang itu pergi, maka pemilik kedai itu serta beberapa orang lain telah datang mendekati. Bahkan ada dua orang di antara mereka yang mengenali keempat anak muda itu. Keduanya segera mengambil air bersih dengan dua buah mangkuk dan memberikannya kepada keempat orang anak muda itu.
Mereka memang minum beberapa teguk berganti-ganti. Kemudian orang-orang itu telah memapahnya dan membantu mereka duduk di amben panjang di depan kedai itu.
"Kenapa kalian berkelahi?" bertanya salah seorang dari kedua orang yang mengenal anak muda itu.
"Setan itu mengganggu kami," jawab anak muda itu.
Tetapi Sambi Wulunglah yang kemudian menceriterakan apa yang sudah terjadi.
Kedua orang itu mengangguk-angguk kecil. Seorang di antara mereka berkata, "Lain kali berhati-hatilah. Ternyata banyak orang berilmu tinggi berkeliaran."
"Satu pengalaman yang berarti bagi kalian berempat," berkata yang lain.
Keempat orang anak muda itu tidak menjawab. Tetapi mereka memang mengakui di dalam hati. Bahwa yang terjadi itu memang satu pengalaman yang sangat berarti bagi mereka.
Karena keempat orang anak muda itu sudah mendapat pertolongan selanjutnya oleh orang-orang yang mereka kenal, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah meninggalkannya. Mereka memperhatikan kuda-kuda mereka yang sedang makan rendeng dan minum air yang segar yang disediakan oleh pembantu pemilik kedai itu. Agaknya kedua ekor kuda itu sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah terjadi di halaman kedai itu.
Dalam pada itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menghabiskan minuman mereka pula. Baru kemudian mereka membayar harga makanan dan minuman bagi mereka serta kuda-kuda mereka.
Sejenak kemudian maka keduanya telah berpacu di atas punggung kuda mereka yang sudah menjadi segar kembali. Namun terik matahari terasa membakar tubuh mereka. Debu berhamburan bukan saja di belakang kaki kuda mereka. Tetapi jika angin tertiup sedikit kencang, maka debupun telah menghambur pula.
Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, maka langit memang nampak bersih meskipun terasa angin sedikit keras. Dedaunan yang tidak mampu bergayutan di dahan dan ranting pepohonan telah berhamburan di jalanan.
"Ketiga orang tadi juga melewati jalan ini," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk. Mereka berdua memang memiliki ketajaman pengamatan atas jejak sebagaimana mereka lihat di jalan yang mereka lalui. Mereka dapat mengenal jejak kaki-kaki kuda di jalan berdebu. Bahkan mereka mampu mengenali dan menghitung dengan tepat berapa ekor kuda yang telah lewat di jalan itu. Bahkan jejak yang sudah berumur beberapa saat lamanya.
Dengan ragu-ragu Sambi Wulung berdesis, "Apakah orang-orang itu juga menuju ke tanah Perdikan Sembojan?"
"Aku kira belum sekarang seandainya mereka pergi ke Tanah Perdikan Sembojan," sahut Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Sementara itu mereka masih juga memperhatikan jejak kaki kuda yang dipacu oleh ketiga orang yang singgah di kedai itu.
Tetapi ternyata bahwa jejak kaki kuda itu berbelok di sebuah simpang tiga, sehingga keduanya yakin bahwa ketiga orang itu tidak langsung menuju ke Tanah Perdikan Sembojan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang berhenti sejenak disimpang tiga itu untuk meyakinkan tujuan ketiga orang yang mereka jumpai di kedai itu. Ketika Sambi Wulung memandang jalan yang membujur panjang di hadapannya, iapun berkata, "Mereka tentu akan membuat perencanaan yang baik. Tetapi sebelum itu mereka tentu akan menilai keadaan di Tanah Perdikan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi aku tidak akan pernah melupakan mereka. Aku akan tetap dapat mengenali mereka sebagaimana aku mengenali wajah orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri."
Sambi Wulung tidak menjawab lagi. Namun iapun segera memacu kudanya diikuti oleh Jati Wulung. Mereka ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Sembojan untuk memberikan laporan tentang peristiwa yang kebetulan mereka jumpai di kedai itu. Namun yang harus mendapat perhatian sepenuhnya.
Sepeninggal Sambi Wulung dan Jati Wulung, Ki Tumenggung Jayayuda tidak tergesa-gesa memeriksa Ki Lurah Mertapraja. Tetapi Ki Lurah itupun telah ditempatkannya di tempat yang wajar namun dalam penjagaan yang kuat, justru karena di Tanah Perdikan Sembojan pernah terjadi usaha untuk membebaskannya.
Sementara itu, Kasadha telah mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi Kasadha tidak pergi ke mana-mana. Ia tidak pergi menengok ibunya. Tetapi kesempatan itu dipergunakannya untuk selalu berhubungan dengan gurunya, Ki Ajar Paguhan.
Ki Ajar Paguhan ternyata ikut merasa bangga atas perkembangan yang terjadi atas muridnya itu. Murid satu-satunya. Semula Ki Ajar selalu merasa khawatir melihat pertumbuhan jiwa anak itu. Untunglah Ki Randukeling, yang meskipun bukan seorang yang berhati putih seperti kapas, namun orang tua itu telah ikut membentuk jiwa Puguh sehingga Puguh akhirnya mampu mengatasi kekelaman yang membayangi pribadinya.
Namun yang dibicarakan Kasadha dengan gurunya bukan saja mengenai tugas pengabdiannya di Pajang. Tetapi dengan kepala Tunduk Kasadha berkata kepada gurunya, "Guru. Apakah menurut penilaian guru, aku sudah cukup dewasa."
Gurunya menjadi heran atas pertanyaan itu. Karena itu maka iapun bertanya, "Apa sebenarnya maksudmu Kasadha" Bukankah kau seorang Lurah prajurit. Jika kau belum dewasa, maka kau tentu tidak akan dapat menjadi seorang prajurit."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Ya guru. Aku memang seorang Lurah prajurit. Tetapi apakah aku sudah pantas untuk menjajagi kemungkinan hidup berkeluarga?"
Gurunya mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tersenyum. Katanya, "Kasadha. Nampaknya kau sedang tertarik kepada seorang gadis. Aku kira itu sudah wajar. Kau sudah sampai waktunya untuk mulai berhubungan dengan seorang gadis, atau setidak-tidaknya mulai berbicara tentang seorang gadis."
Kasadha tidak segera menjawab. Kepalanya justru menunduk dalam-dalam.
Karena Kasadha masih saja berdiam diri, maka gurunyapun berkata, "Kasadha, apakah sudah ada seorang gadis yang dapat kau sebut namanya?"
Kasadha mengangkat wajahnya sejenak. Namun kepalanya itupun telah menunduk lagi. Meskipun demikian ia menjawab perlahan-lahan, "Ya Guru."
"Apakah aku pernah mengenal atau setidak-tidaknya melihatnya selama ini?" bertanya Ki Ajar.
"Mungkin guru belum pernah melihatnya. Ia bukan gadis Kotaraja. Tetapi orang tuanya tinggal di padukuhan yang tidak terlalu jauh dari Kotaraja ini."
Gurunya memandang muridnya yang masih menunduk. Dengan ragu gurunya bertanya, "Kasadha, apakah aku boleh mengetahui siapakah gadis itu" Atau barangkali siapakah orang tuanya?"
Kasadha termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian berdesis, "Guru. Orang tuaku adalah seorang yang mempunyai masa lampau yang gelap. Meskipun aku sama sekali tidak berniat untuk mengingkari, apalagi ibu sekarang sudah berubah sama sekali. Namun aku masih selalu dibayangi oleh kekelaman kehidupan ibuku di masa lampau itu. Jika saja orang tua gadis itu mengetahui, apakah kira-kira orang tua gadis itu juga akan mau menerima kehadiranku, anak bekas seorang perampok yang kejam yang juga mempunyai darah keturunan orang-orang jahat, apalagi jika dikenalinya berdarah Kalamerta."
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Persoalan itu memang merupakan persoalan yang sangat rumit. Meskipun demikian, Ki Ajar itupun berkata, "Kasadha. Kemungkinan itu memang ada, bahwa seseorang menilai orang lain dari darah keturunannya. Orang kadang-kadang memang menilai bibit seseorang yang berarti siapakah yang menurunkan orang itu. Meskipun sebenarnya pribadi seseorang tidak mutlak tergantung dari bibit keturunannya. Mungkin ujud kewadagan dan sifat-sifat pokok itu dapat nampak pada anak keturunannya. Tetapi keutuhan pribadi seseorang tidak tergantung sepenuhnya pada darah keturunan. Itulah sebabnya sering terjadi benturan antara orang tua dan anaknya karena pribadi mereka masing-masing justru bertentangan. Seorang anak yang memusuhi orang tuanya karena orang tuanya tidak menuruti jalan kehidupan yang lurus. Tetapi juga dapat terjadi sebaliknya. Menurut pendapatku, seseorang harus dinilai atas kepribadiannya sendiri secara utuh. Apakah ia orang baik atau tidak. Meskipun karena sesuatu sebab, maka kepribadian seseorang dapat berubah. Atau bahkan menjadi berlawanan sama sekali."
Kasadha mengangguk-angguk. Di depan hidungnya dapat dilihatnya satu contoh yang jelas. Ibunya sendiri.
Meskipun demikian ia berkata, "Tetapi Guru, bayangan masa lampau ibuku itu tidak pernah dapat aku sisihkan. Bahkan kadang-kadang aku merasa, bahwa aku memang tidak berharga sama sekali justru karena darah keturunanku itu."
"Kau tidak perlu merasa seperti itu. Sampai sekarang, kau dianggap seorang yang berhasil sehingga kau telah mendapat kedudukan sebagai seorang Lurah prajurit. Yang penting bagimu adalah mempertahankan kepercayaan orang kepadamu, kepercayaan atasanmu, kepercayaan sahabat-sahabatmu dan kepercayaan siapapun yang berhubungan denganmu," berkata gurunya.
"Aku sudah mencoba untuk melakukannya sesuai dengan kemampuan dan sejauh dapat aku lakukan. Tetapi Guru, jika saja orang-orang, kawan-kawanku dan barangkali atasanku mengetahui bahwa aku adalah keturunan orang yang menurut anggapan orang banyak harus dimusuhi," berkata Kasadha.
Gurunya termangu-mangu sejenak. Bagaimanapun juga persoalan itu tidak dapat disembunyikan adanya di lingkungan banyak orang. Namun Ki Ajar Paguhan tidak mau mengecewakan muridnya. Katanya, "Adalah orang-orang yang tidak mendasari sikapnya pada kenyataan yang mereka hadapi sajalah yang berpendapat seperti itu. Tetapi memang tidak dapat diingkari bahwa pendapat seperti itu masih terlalu banyak."
"Jika demikian Guru, dalam persoalan seperti ini, maksudku seandainya pada suatu saat aku berhubungan dengan seorang gadis, apakah aku harus berterus terang atau berusaha menyembunyikan kenyataan tentang orang tuaku?" bertanya Kasadha.
Ki Ajar Paguhanlah yang kemudian tidak segera menjawab. Pertanyaan itu memang pertanyaan yang tidak mudah untuk menjawab. Tetapi kemudian Ki Ajar itupun berkata, "Kasadha. Aku kira kau tidak akan dapat menyembunyikan terus-menerus. Seandainya untuk sementara kau berhasil menutupinya karena kau takut bahwa hal itu akan dipersoalkan, namun jika pada suatu saat hal itu diketahuinya juga, gadis itu atau bahkan orang tuanya, maka keadaannya akan menjadi semakin parah. Apalagi jika kau sudah terlanjur mengikat tali perkawinan."
Kasadha mengangguk-angguk. Ia tahu maksud gurunya. Jika pada suatu saat hal yang disembunyikan ini diketahui oleh seseorang yang memang berniat buruk kepadanya, maka orang itu tentu akan menyampaikan noda itu kepada orang-orang yang dianggap berkepentingan. Gadis yang dimaksud atau bahkan orang tuanya.
Kasadha menunduk semakin dalam. Memang terbersit perasaan kecewanya, bahwa ia lahir dari rahim seorang yang mempunyai masa lampau yang kelam. Tetapi itu sudah terjadi. Ia tidak akan dapat menghapus kenyataan bahwa ia adalah anak ibunya. Bahwa ibunya itulah yang pernah mengandungnya dan melahirkannya.
Wajah Kasadha memang menjadi buram. Tetapi gurunya berkata, "Kasadha. Tidak semua orang bergayut pada pendirian seperti yang aku katakan. Tidak semua orang menilai pribadi seseorang berdasarkan atas bibitnya. Tetapi ada juga orang yang menilai seseorang itu pada kenyataan tentang orang itu sendiri. Karena itu, kau tidak boleh berputus-asa, seolah-olah masa lampau ibumu yang hitam itu akan membuat masa depanmu hitam pula."
Kasadha itupun mengangguk. Katanya, "Aku memang berharap seperti itu, Guru. Tetapi akupun tidak dapat mengingkari bahwa kenyataan tentang orang yang menilai seseorang berdasarkan atas bibitnya itupun masih terlalu banyak."
Gurunya termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam iapun kemudian berkata, "Karena itu, kau harus mantap memanjatkan doa kepada Sumber Hidupmu. Segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia, dapat pula dilakukan-Nya. Bahkan tidak ada sesuatu yang tidak menurut kehendak-Nya."
Kasadha mengangguk dalam-dalam. Pesan gurunya itu memang sangat menyentuh hatinya.
Saat itu ternyata Kasadha masih belum dapat mengucapkan nama seorang gadis yang dimaksudkan itu kepada gurunya, apalagi gurunya memang tidak bertanya lagi tentang gadis itu. Agaknya gurunya lebih memperhatikan kesulitan perasaan Kasadha sendiri mengenai masa lampau orang tuanya, sementara itu, ia merasa tidak akan mungkin melepaskan diri dari ikatan itu.
Karena itu, maka yang harus dilakukan oleh Ki Ajar Paguhan adalah menjaga agar Kasadha tetap ada di dalam keseimbangan jiwanya. Ia tidak boleh menjadi seorang yang berwajah rangkap. Seorang yang mengasihi ibunya, tetapi adalah juga orang yang membenci ibunya karena masa lampau ibunya telah membuat masa yang akan datang baginya menjadi gelap.
Karena itulah, maka ketika kemudian Kasadha minta diri kepadanya, gurunya itupun berkata, "Kasadha, aku minta kau sering datang kepadaku. Lebih sering dari sebelumnya. Aku sudah mempersiapkan kau untuk memasuki tataran terakhir bagi ilmumu. Jika kau berhasil menguasainya, maka kau akan menjadi seorang yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang mantap. Tetapi lebih penting dari itu, maka kita akan selalu dapat berbincang tentang berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan ini, termasuk kehidupan yang tengah kau jalani. Kau tidak boleh terlalu lama terombang-ambing seperti itu."
Kasadha mengangguk hormat sambil menjawab, "Ya, Guru. Aku akan datang lebih sering. Aku akan mohon ijin kepada Ki Rangga Dipayuda untuk itu. Aku akan berterus-terang bahwa aku sedang mempersiapkan diri untuk menerima warisan ilmu pada tataran berikutnya dari Guru. Aku kira Ki Rangga Dipayuda tidak berkeberatan memberikan ijin itu, asal aku tidak meninggalkan tugasku sehari-hari. Aku akan datang kepada Guru di setiap malam hari."
"Baiklah Kasadha. Mudah-mudahan kau dapat menempuh perjalanan panjang di masa yang akan datang dengan baik di jalan yang lurus. Jika kau selalu mohon bimbingan kepada Yang Maha Agung, maka yakinlah, bahwa kau akan sampai ke tempat yang didambakan oleh setiap orang. Kebahagiaan dan kedamaian lahir dan batin."
Kasadha mengangguk-angguk sambil menjawab perlahan, "Ya, Guru. Aku akan selalu ingat pesan, Guru."
Ketika kemudian Kasadha minta diri, maka gurunya masih berpesan sekali lagi, "Datanglah lebih sering kemari."
"Ya, guru. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Guru berikan kepadaku," jawab Kasadha.
Gurunya tersenyum. Katanya, "Aku mengasuhmu bukan baru sejak kemarin sore."
Kasadhapun kemudian meninggalkan tempat tinggal gurunya. Ia berjalan dengan tanpa tujuan. Dijalaninya saja jalan yang terbentang di hadapannya. Jalan yang terhitung ramai. Tetapi Kasadha tidak menghiraukan siapa saja yang lewat dan berpapasan di sepanjang jalan itu. Baru ketika seorang yang sudah mengenalnya dengan baik menggamitnya, Kasadha terkejut.
"He, kau berjalan seperti orang yang sedang bermimpi," sapa kawannya itu.
Kasadha terkejut. Ketika ia mengangkat wajahnya memandangi orang itu, maka iapun tersenyum sambil berkata, "Kau?"
"Apa yang kau pikirkan, sehingga kau berjalan tanpa melihat apapun di sepanjang jalan yang kau lalui" Kau akan dapat tersesat atau kau akan dapat terjerumus ke dalam parit," berkata kawannya itu pula.
"Tidak. Aku berjalan dengan wajar," jawab Kasadha.
"Tentu tidak. Kau tidak melihat aku sampai aku menggamitmu," jawab kawannya itu.
Kasadha tertawa. Katanya, "Aku tidak apa-apa. Aku masih terpancang pada tugas yang baru saja aku lakukan di Tanah Perdikan Sembojan."
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia nampak cemas melihat keadaan Kasadha. Tetapi ketika Kasadha tertawa, maka iapun tersenyum pula. Katanya, "Marilah kita berjalan bersama-sama. He, kau sebenarnya akan pergi kemana?"
Kasadha termangu-mangu sejenak. Setelah merenung sejenak, maka iapun menjawab, "Aku akan kembali ke barak."
"Kau benar-benar bermimpi. Bukankah kau masih mengenali jalan ke barakmu?" bertanya kawannya.
Tetapi dengan cepat Kasadha menjawab, "Aku tahu, bahwa aku sudah melampaui simpangan yang berbelok menuju ke barak. Tetapi aku akan singgah sebentar di tempat penyamakan kulit di sebelah pasar. Aku akan memesan sebuah ikat pinggang yang bukan ikat pinggang keprajuritan."
"Bukankah yang kau pakai sekarang itu juga bukan seragam Lurah. Prajurit Pajang termasuk ikat pinggangmu?" bertanya kawannya.
"Sebagaimana kau lihat, ikat-pinggangku ini sudah jelek," jawab Kasadha seadanya.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Hati-hatilah di jalan. Jika kau tidak mendengar dan melihat kuda berpacu, maka kau akan dapat terinjak kakinya. Apalagi para anak orang-orang kaya yang memiliki kuda yang bagus dan tegar. Mereka mengira bahwa jalan-jalan yang ramai itu milik neneknya. Mereka berpacu dan berkejaran di jalan raya yang ramai tanpa menghiraukan keselamatan orang lain."
"Aku akan berhati-hati," jawab Kasadha sambil tertawa pula.
Kawannyapun tertawa. Katanya, "Aku terpaksa berpesan sebagaimana aku berpesan kepada adikku yang remaja. Soalnya kau berjalan sambil bermimpi."
Keduanya tertawa panjang. Tetapi kemudian merekapun berpisah menuju ke arah yang berbeda karena tujuan mereka memang berbeda.
Namun perjumpaan itu telah membuat Kasadha menyadari, bahwa ia tidak dapat berjalan sambil merenung tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya, karena hal itu akan sangat membahayakannya.
Kasadha memang tidak lagi berjalan sambil merenung. Jika sekali-sekali angan-angannya kembali ke persoalan dirinya, maka ia selalu berusaha untuk mengibaskannya dengan memperhatikan orang-orang yang lewat di sebelah-menyebelahnya dan yang berpapasan ke arah yang berlawanan. Kasadha sempat memperhatikan beberapa orang penunggang kuda yang lewat. Memang ada di antara mereka yang melarikan kudanya dengan cepat. Tetapi ada pula yang nampak tidak tergesa-gesa. Tetapi penunggang kuda itu dapat dihitung dengan jari.
Kasadha memang berjalan melewati pasar. Tetapi ia tidak singgah di tempat penyamakan kulit sebagaimana dikatakannya, karena ia memang tidak ingin memesan ikat pinggang. Sebenarnyalah bahwa ia tidak memperhatikan jalan yang berbelok menuju ke baraknya karena ia memang sedang merenung.
Ketika kemudian Kasadha sampai ke baraknya, maka ia masih juga belum dapat menghilangkan atau setidak-tidaknya menyisihkan persoalan itu dari kepalanya. Setiap kali ia masih saja digelitik oleh persoalannya sebagai seorang laki-laki yang sudah dewasa penuh. Yang memang sudah sepantasnya untuk berbicara tentang keluarga.
Seorang pemimpin kelompoknya yang tertua, yang memang banyak memperhatikan sikap dan tingkah lakunya sebagai manusia, serta yang telah lebih banyak mengetahui persoalannya dibandingkan dengan kawan-kawannya karena ia pernah mengikuti Kasadha ke Tanah Perdikan Sembojan, masih juga selalu mengikuti perkembangan lurahnya itu. Tetapi sebagai seorang yang lebih tua, maka iapun merasa perlu untuk berhati-hati mencampuri persoalan-persoalan yang sifatnya sangat pribadi.
Tetapi Kasadha benar-benar tidak menduga, bahwa ketika ia sedang duduk beristirahat menjelang sore hari setelah tugas-tugasnya selesai, datang seorang prajurit yang mendapat perintah dari Ki Rangga Dipayuda memanggilnya.
"Ada kepentingan apa" Tadi, di dalam tugas aku bertemu dan berbicara dengan Ki Rangga," berkata Kasadha.
"Aku tidak tahu Ki Lurah. Aku hanya mendapat perintah untuk memanggil Ki Lurah," jawab prajurit itu.
"Baiklah. Aku akan segera menghadap," jawab Kasadha.
Kasadha itupun segera berbenah diri. Mengenakan pakaian keprajuritannya lengkap. Kemudian bergegas menghadap Ki Rangga Dipayuda.
Ketika ia memasuki ruang khusus Ki Rangga Dipayuda, maka didapatkannya Ki Rangga itu duduk menunggunya tanpa ada kesan bahwa akan ada tugas penting yang akan diberikannya kepadanya. Bahkan Ki Rangga itu menerimanya tidak dalam sikap keprajuritannya. Ki Ranggapun tidak lagi dalam pakaian keprajuritannya.
"Marilah, duduklah," berkata Ki Rangga sambil tersenyum.
Kasadha justru menjadi berdebar-debar. Sambil duduk Kasadha bertanya, "Ki Rangga memanggil aku?"
"Ya," jawab Ki Rangga sambil bergeser sejengkal.
"Apakah ada perintah bagiku?" bertanya Kasadha.
"Aku tidak berbicara tentang tugas-tugas kita," jawab Ki Rangga.
"Jadi?" bertanya Kasadha.
Ki Rangga memang nampak ragu-ragu. Tetapi kemudian iapun berkata, "Aku besok akan pulang. Aku sudah cukup lama tidak menengok keluargaku."
Kening Kasadha berkerut. Meskipun demikian ia bertanya, "Apakah Ki Rangga akan meninggalkan barak selagi keadaan masih genting?"
"Aku hanya akan pergi sehari saja tanpa bermalam. Aku sudah minta ijin kepada Ki Tumenggung Jayayuda. Aku diijinkan asal aku tidak menginap. Pagi aku berangkat, sore hari aku sudah berada di tempat ini kembali," berkata Ki Rangga.
Kasadha menundukkan kepalanya. Ia menduga bahwa ia harus melakukan tugas Ki Rangga di saat Ki Rangga tidak ada di barak. Meskipun hanya satu hari, tetapi tugas itu merupakan tugas yang berat baginya. Tetapi itu adalah akibat wajar dari kelebihannya atas pemimpin-pemimpin kelompok yang lain, khususnya yang termasuk dalam lingkungan tugas yang dipimpin oleh Ki Rangga Dipayuda sebagai seorang Pandega.
Tetapi jika tugas itu memang dibebankan kepadanya, maka ia tidak akan dapat mengelak lagi.
Tetapi ternyata tidak. Dengan jantung yang berdebaran Kasadha mendengarkan Ki Rangga itu berkata selanjutnya, "Kasadha. Aku tidak ingin menempuh perjalanan itu sendiri, meskipun tidak terlalu jauh. Karena itu, maka aku ingin mengajakmu menyertaiku, agar di perjalanan ada orang yang dapat aku ajak berbincang."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi aku baru saja mendapat waktu istirahat setelah tugasku di Tanah Perdikan Sembojan."
Tetapi Ki Rangga tersenyum. Katanya, "Aku sudah menyampaikannya kepada Ki Tumenggung. Kau diperkenankan pergi bersamaku esok. Tetapi sore hari kita harus sudah berada di barak ini kembali. Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh tidak terlalu jauh?"
Kasadha tidak segera menjawab. Jantungnya terasa berdebaran. Sementara Ki Rangga berkata, "Kasadha. Sebenarnya aku dapat mengajak orang lain. Tetapi karena kau yang sudah terbiasa dengan keluargaku, maka sebaiknya aku mengajakmu saja."
Kasadha mengangguk kecil. Katanya, "Jika aku sudah mendapat ijin, sudah tentu aku tidak berkeberatan Ki Rangga."
"Terima kasih. Jika kau tidak berkeberatan, esok kita berangkat pagi-pagi sekali. Seandainya terjadi sesuatu antara Mataram termasuk Pajang dengan Madiun, maka tentu tidak terjadi besok. Para pemimpin di kedua-belah pihak menyadari bahwa kekerasan bukan penyelesaian yang terbaik," berkata Ki Rangga kemudian.
"Ya Ki Rangga," jawab Kasadha. "Agaknya memang demikian."
"Baiklah kau berbenah diri. Besok kita pergi pagi-pagi sebelum matahari terbit, agar kita mempunyai waktu yang cukup untuk beristirahat di rumah."
Kasadhapun kemudian kembali ke tempatnya. Ternyata ajakan Ki Rangga itu menumbuhkan persoalan di dalam dirinya. Ia tidak tahu pasti alasan Ki Rangga mengajaknya meskipun Ki Rangga mengatakan bahwa ia adalah salah seorang dari mereka yang sudah mengenal keluarganya dengan baik.
Justru karena itu, maka Kasadhapun nampak semakin diam. Ia merenungi berbagai macam persoalan di dalam dirinya. Justru pada saat perasaannya digoncang oleh dorongan usianya yang semakin merambat naik.
Tetapi Kasadha sama sekali tidak berani menerka apa maksud Ki Rangga yang sebenarnya.
Yang kemudian dilakukan oleh Kasadha adalah sekedar mempersiapkan diri. Iapun telah memberikan beberapa pesan kepada para pemimpin kelompok, bahwa esok ia diperintahkan untuk mengikuti Ki Rangga Dipayuda.
"Hanya besok sehari," berkata Kasadha. "Di sore hari, kami sudah sampai di barak ini kembali."
Kepada pemimpin kelompoknya yang tertua, Kasadha menyerahkan kepemimpinannya selama ia tidak ada di barak.
Demikianlah, seperti yang direncanakan, pagi-pagi sekali keduanya telah bersiap. Demikian pula kuda masing-masing telah siap pula untuk membawa mereka menuju ke rumah Ki Rangga Dipayuda yang memang tidak terlalu jauh dari Pajang.
Ketika matahari terbit, maka keduanya telah berada di luar kota. Kuda mereka berlari tidak terlalu kencang. Angin terasa segar bertiup lembut menggoyang batang-batang padi muda yang tumbuh subur di sawah.
Di sepanjang jalan Ki Rangga menceriterakan hubungan, antara Mataram, termasuk Pajang dengan Madiun yang berkepanjangan. Meskipun kedua belah pihak berusaha untuk mencari jalan keluar, namun nampaknya mendung masih tetap bergantung.
"Salah satu masalah yang menjadi persoalan adalah hadirnya Pangeran Gagak Baning di Pajang. Kangjeng Panembahan di Madiun menganggap bahwa Pangeran Gagak Baning tidak berhak berada di Pajang. Apalagi rencana Panembahan Senapati untuk menetapkan Pangeran Gagak Baning menjadi Adipati Pajang."
Kasadha mengangguk-angguk. Persoalannya nampaknya bukan menjadi semakin terurai, tetapi justru menjadi semakin kusut. Meskipun demikian kedua belah pihak masih tetap berusaha untuk menahan diri masing-masing, meskipun kedua-belah pihak juga mempersiapkan kekuatan yang besar.
Kasadha yang ingin tahu alasan yang sebenarnya, kenapa ia harus ikut Ki Rangga, ternyata sama sekali tidak terungkap dalam pembicaraan selama perjalanan. Ki Rangga memang lebih banyak berbicara tentang hubungan Mataram dan Pajang dengan Madiun.
Tetapi perjalanan mereka memang tidak terlalu lama. Ketika matahari naik sepenggalah, mereka telah berada di jalan lurus memasuki lingkungan bulak-bulak di padukuhan tempat tinggal Ki Rangga Dipayuda.
Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Sementara itu Ki Ranggapun berkata, "Nah, kita sudah akan sampai. Mudah-mudahan keluargaku ada di rumah."
"Apakah ada rencana mereka pergi?" bertanya Kasadha.
"Tidak. Tetapi jika ada orang yang sedang mengadakan peralatan atau kepentingan-kepentingan yang lain, Nyi Dipayuda sering diundang untuk diminta petunjuk-petunjuknya. Nyi Dipayuda memang dianggap sebagai orang tua oleh lingkungannya. Maksudku orang yang umurnya sudah tua."
Kasadha mengangguk kecil. Katanya, "Jika demikian, bukankah Nyi Rangga itu dapat dipanggil pulang jika Ki Rangga datang?"
"Tentu saja. Tetapi orang yang memerlukannya akan menjadi kecewa."
Kasadha tidak menjawab. Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar karena persoalan yang lain. Di rumah Ki Rangga itu tinggal pula Riris Respati.
Dengan demikian, maka Kasadha justru menjadi lebih banyak diam dan mendengarkan saja Ki Rangga Dipayuda berbicara. Namun kemudian Ki Rangga itupun berkata, "Kita akan segera sampai."
Tetapi keduanya yang sedang menuju ke regol halaman rumah Ki Rangga itu terkejut. Mereka mendengar derap kuda berpacu di belakang mereka. Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat seorang penunggang kuda sedang menyusul perjalanan mereka.
Tetapi Ki Rangga itupun kemudian berkata, "Ah, Jangkung Jaladri. Ia membuat aku terkejut."
Kasadhapun juga bergumam, "Ya. Jangkung."
Sejenak kemudian, maka Jangkung itu sudah menyusul mereka. Sambil menarik kendali kudanya, maka iapun berkata, "Lihat, ini kudaku yang baru."
"Bukan kudamu," sahut ayahnya.
"Jadi, kuda siapa?" bertanya Jangkung.
"Kuda itu barang dagangan. Bukankah begitu?" bertanya ayahnya pula.
Jangkung tertawa. Katanya, "Tetapi aku sudah membayar harganya. Kuda ini sudah menjadi milikku. Jika kemudian ada orang yang membelinya, nah apaboleh buat."
Jangkung tertawa semakin keras. Kasadha dan Ki Ranggapun tertawa pula.
Bertiga merekapun kemudian telah memasuki regol halaman. Merekapun segera berloncatan turun, sementara Jangkung segera berlari-lari mengikat kudanya. Kemudian diterimanya pula kendali kuda ayahnya. Ketika ia melakukan hal yang sama terhadap Kasadha, maka Kasadhapun berkata, "Sudahlah. Biarlah aku mengikatnya sendiri."
Bertiga merekapun kemudian naik ke pendapa. Demikian Kasadha duduk di pringgitan, maka Ki Rangga dan Jangkungpun telah masuk ke ruang dalam.
Ki Rangga dan Riris yang kebetulan berada di rumah memang terkejut melihat kehadiran Ki Rangga. Namun dengan segera Ki Rangga berkata, "Mumpung aku mendapat kesempatan untuk pulang."
"Bukankah tidak ada apa-apa?" bertanya Nyi Rangga.
"Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku mendapat ijin pulang sehari. Nanti sore aku harus sudah berada di barak."
"Begitu cepat?" bertanya Jangkung.
"Nampaknya keadaan masih belum cerah. Hubungan antara Mataram dan Pajang dengan Madiun masih belum begitu baik," jawab Ki Rangga. Namun Ki Rangga itupun berkata, "Aku datang bersama Kasadha. Ia ada di pringgitan."
"O," desis Nyi Rangga. Lalu katanya kemudian, "biarlah aku membuat minuman."
Ririslah yang kemudian bertanya kepada ayahnya, "Apakah ayah membawa oleh-oleh buat aku?"
Ki Rangga tertawa. Katanya, "Aku belum sempat membeli apapun juga. Lain kali aku akan membawa oleh-oleh buatmu."
"Ayah pernah berjanji untuk membelikan oleh-oleh buat aku. Ayah berjanji untuk membeli kain lurik berwarna hijau seperti sayap samberliler," desis Riris.
"Ayah tidak pernah lupa itu Riris," jawab ayahnya.
"Ayah hanya tidak pernah lupa akan janji ayah. Tetapi ayah selalu lupa membelinya," berkata Riris memberengut.
Ayahnya masih saja tertawa. Namun Jangkunglah yang berkata, "He, bantu aku menyiapkan minuman."
"Kenapa bukan kau?" sahut Riris.
"Aku, he. Aku laki-laki. Bukankah lebih pantas jika kau yang melakukannya," sahut Jangkung.
"Ibu sudah membuatnya. Nanti aku tinggal menghidangkannya," jawab Riris.
Jangkung masih akan menjawab. Tetapi ayahnya memotongnya, "Sudahlah, pergilah ke pringgitan menemani Kasadha."
Jangkung tidak menjawab. Tetapi ia sempat membelalakkan matanya kepada adiknya. Tetapi Riris tidak tinggal diam. Ketika ia menjulurkan tangannya untuk mencubit lengan kakaknya, maka Jangkungpun telah berlari meninggalkannya.
Sejenak kemudian, maka Jangkungpun telah duduk di pringgitan bersama Kasadha. Karena mereka sudah akrab, maka pembicaraan merekapun segera berputaran di sekitar keadaan terakhir di Pajang dan Mataram.
Namun karena Kasadha baru saja kembali dari Tanah Perdikan Sembojan, maka Jangkungpun ingin mendengarkan ceritera tentang perang yang terjadi di Tanah Perdikan itu.
Sementara itu, beberapa saat kemudian, maka Ririspun telah membawa hidangan pula keluar. Gadis itu memang tidak segera kembali ke dapur. Ia mempersilahkan Kasadha untuk meneguk minuman hangatnya dan makan makanan yang disuguhkan.
Sementara Kasadha ditemui oleh Jangkung dan Riris, maka di dapur, Ki Rangga telah berbincang pula dengan Nyi Rangga tentang anak gadis mereka.
"Bagaimana maksud Ki Rangga sebenarnya?" bertanya Nyi Rangga.
"Nyi," berkata Ki Rangga kemudian, "keadaan di Pajang nampaknya menjadi semakin rumit. Perang dapat pecah setiap saat. Itulah sebabnya, maka aku ingin kita menyempatkan diri berbicara tentang Riris."
"Kenapa sebenarnya dengan Riris?" bertanya Nyi Rangga.
"Maksudku, bukankah ia sudah menjadi seorang gadis yang dewasa penuh. Aku kira memang tidak baik bagi Riris untuk hidup tanpa sisihan sampai umurnya menjadi semakin tua," berkata Ki Rangga Dipayuda.
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga sudah memikirkannya. Tetapi apa yang sebaiknya kami lakukan" Bukankah Riris seorang gadis yang menunggu datangnya lamaran?"
"Aku mengerti," jawab Ki Rangga. "Tetapi bukankah kita dapat ikut membantu mempercepat kemungkinan itu?"
"Tetapi Jangkung nampaknya juga belum memikirkan tentang hidup berkeluarga," berkata Nyi Rangga.
"Tetapi Jangkung seorang laki-laki. Baginya tentu lebih mudah untuk mendapatkan sisihan sesuai dengan pilihannya daripada Riris yang seorang gadis," berkata ayahnya.
"Lalu bagaimana maksud Ki Rangga?" bertanya isterinya.
"Aku memang menjadi sedikit bimbang untuk mengambil langkah yang pasti untuk kepentingan masa depan Riris. Justru karena Riris seorang gadis. Tetapi tentu saja Riris juga tidak boleh menunggu tanpa berketentuan."
"Apakah Riris yang harus melamar?" bertanya Nyi Rangga.
"Bukan begitu Nyi, tetapi marilah kita berbicara tentang sebuah harapan," berkata Ki Rangga.
Nyi Ranggapun kemudian duduk di sebelah suaminya. Mereka menjadi semakin bersungguh-sungguh, karena sebenarnyalah bahwa Riris memang sudah waktunya untuk hidup berkeluarga. Semakin lama ia hidup sendiri, maka umurnya akan merambat semakin tua, sehingga orang-orang padukuhan itu akan menyebutnya sebagai seorang perawan yang terlambat mendapat jodoh. Padahal Riris adalah seorang gadis yang cantik, anak seorang prajurit yang cukup terpandang di lingkungannya meskipun ia belum seorang Tumenggung. Bahkan Riris sering disebut sebagai sekuntum bunga yang mekar di padukuhannya.
Tetapi justru karena itu, maka anak-anak muda menjadi silau memandangnya. Ketika seorang anak muda tertarik kepada Riris, tetapi dengan cara yang tidak sewajarnya, maka Ki Rangga sendiri telah datang kepada anak muda itu serta orang-orang yang membantunya, langsung menantang mereka.
"Nyi," berkata Ki Rangga selanjutnya, "ada dua orang yang dapat kita harapkan untuk dapat menjadi kawan hidup Riris. Sebagai orang tua aku melihat, bahwa kedua orang itu nampaknya memang tertarik kepada Riris. Kita memang dapat mengharapkannya. Tetapi tentu tidak kedua-duanya."
"Siapakah yang Ki Rangga maksudkan?" bertanya Nyi Rangga, meskipun sebenarnya Nyi Rangga sendiri juga sudah menduga-duga.
"Mereka adalah Angger Kasadha dan Angger Risang. Kepala Tanah Perdikan Sembojan," jawab Ki Rangga.
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga berpikir demikian. Aku melihat bagaimana kedua orang anak muda itu memandang dan bersikap terhadap Riris."
"Tetapi bukankah tidak mungkin bagi kita untuk mengambil kedua-duanya?" bertanya Ki Rangga.
"Sudah tentu," jawab Nyi Rangga.
"Jika demikian, kita harus memilih salah satu dari keduanya. Bukankah kita tidak dapat mengambil kedua-duanya untuk menjadi menantu kita, karena kita hanya mempunyai seorang gadis?"
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, "Tetapi kita harus tahu pasti sikap kedua orang anak muda itu."
"Nyi," berkata Ki Rangga, "justru karena itu, maka kita harus ikut campur. Jika kedua orang anak muda itu benar-benar menginginkan Riris, maka kita akan mendapatkan kesulitan. Kita menganggap keduanya seperti anak-anak kita sendiri. Bahkan aku memang pernah mengatakan kepada mereka, selagi mereka berdua masih menjadi prajurit-prajuritku, bahwa keduanya telah aku anggap sebagai anakku."
"Jadi bagaimana kita harus memilih?" bertanya Nyi Rangga.
"Nyi, aku sebenarnya ingin mencampuri persoalan ini sebelum menjadi semakin rumit. Jika sejak sekarang kita mendorong salah seorang dari mereka untuk secepatnya mengambil langkah-langkah yang lebih tegas, tetapi tidak meninggalkan kewajaran, maka persoalan itu akan dapat dikurangi. Kita tentu tidak akan sampai hati melihat kedua orang anak muda itu hubungannya yang sangat akrab menjadi renggang. Justru karena Riris," berkata Ki Rangga.
"Apa yang dapat Ki Rangga lakukan?" bertanya Nyi Rangga.
"Aku akan bertanya kepadanya, kenapa sikapnya kepada Riris nampak lain dan khusus," jawab Ki Rangga.
"Kepada siapa dari keduanya itu?" desak Nyi Rangga.
"Itulah yang ingin aku bicarakan," jawab Ki Rangga.
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab. Nampak ada kebimbangan di dalam hati Nyi Rangga itu.
"Nyi," berkata Ki Rangga, "tanpa mengurangi penghargaanku kepada Angger Risang, namun aku justru condong memilih Angger Kasadha untuk menjadi sisihan Riris. Itu seandainya aku wenang menentukan."
"Kenapa Ki Rangga memilih Angger Kasadha dan bukan Angger Risang?" bertanya Nyi Rangga.
"Kau tentu tahu, bahwa aku adalah seorang prajurit. Karena itu maka duniakupun lebih menyatu dengan dunia keprajuritan. Sementara itu Angger Kasadha juga seorang prajurit," jawab Ki Rangga.
"Hanya itu?" bertanya Nyi Rangga.
"Itu adalah kunci kemampuanku untuk ikut campur. Aku dapat membuat suasana lebih baik bagi Angger Kasadha. Aku dapat membuat alasan apapun agar Kasadha lebih sering datang ke rumah ini. Kemudian aku tentu akan lebih mudah mengendalikan Kasadha daripada Angger Risang," jawab Ki Rangga.
"Tetapi bagaimana hari depan kedua orang anak muda itu?" bertanya Nyi Rangga.
"Kedua-duanya mempunyai kesempatan yang sama. Risang akan dapat menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan yang maju, tangguh dan berwibawa. Tetapi kesempatan Kasadhapun terbuka. Pada umurnya yang masih terhitung sangat muda, ia sudah seorang Lurah Prajurit. Ia mempunyai banyak kesempatan untuk mendapat pangkat dan kedudukan yang lebih baik. Ia akan segera mendapat kenaikan pangkat dan kedudukan. Jika segalanya berlangsung wajar, maka ia tentu akan menjadi seorang Tumenggung yang terhitung muda pula pada saatnya nanti."
Nyi Rangga mengangguk-angguk kecil. Ia dapat menerima pikiran suaminya itu. Bagi Ki Rangga, Kasadha memang menjadi lebih dekat justru karena kedudukan mereka. Sementara itu Risang rasa-rasanya justru menjadi semakin jauh.
Karena itu, maka Nyi Ranggapun berkata, "Terserahlah kepada Ki Rangga."
"Jangan berkata begitu. Jika kau menyerahkan persoalan ini hanya kepadaku, maka aku akan menjadi bingung. Karena itu, aku minta kau juga ikut menentukan, sehingga kita akan mempertanggung-jawabkan bersama," berkata Ki Rangga kemudian.
"Aku setuju, Ki Rangga," jawab Nyi Rangga.
"Nah, jika demikian, maka baiklah. Aku akan berusaha tanpa merendahkan harga diri kita dan harga diri Riris sendiri. Aku tidak akan mengumpankan Riris untuk memancing Kasadha. Tetapi kita akan melihat sikap Kasadha itu sendiri terhadap Riris," berkata Ki Rangga.
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Sementara Ki Rangga berkata selanjutnya, "Hal ini memang aku hubungkan dengan kemelut yang terjadi antara Mataram dan Pajang dengan Madiun. Perang dapat saja terjadi dengan tiba-tiba. Aku dan Kasadha dapat pula terlibat langsung dengan peperangan itu. Sebenarnya aku ingin sebelum perang itu terjadi, maka sudah ada kejelasan sikap Kasadha terhadap Riris."
"Apakah mereka harus segera menikah?" bertanya Nyi Rangga.
"Tidak. Tetapi kejelasan itu perlu. Maksudku, sebelum perang besar itu terjadi, maka setidak-tidaknya Kasadha telah memberikan peningset bagi Riris. Yang penting bukan besar kecilnya peningset itu. Bahkan seandainya peningset itu tidak bernilai jual sekalipun. Yang penting, bahwa segala sesuatunya sudah menjadi jelas," jawab Ki Rangga.
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Jadi, apa yang dapat kita lakukan segera?"
"Membuat satu suasana agar kita dapat meyakinkan diri, bahwa Kasadha memang tertarik kepada Riris. Aku akan menghubungi seorang prajurit yang lebih tua tetapi dekat dengan Kasadha, agar ia memberikan jalan bagi Kasadha untuk berterus-terang. Tanpa dorongan seperti itu, agaknya Kasadha merasa segan untuk melakukannya," jawab Ki Rangga Dipayuda.
Nyi Rangga masih saja mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku sependapat."
Pembicaraan itu terputus ketika jangkung masuk ke dapur. Dengan kerut di kening Jangkung bertanya, "Kenapa ayah tidak menemui Kasadha?"
"Nanti dulu. Aku sedang berbicara dengan ibumu. Ada hal yang penting yang sedang kami bicarakan," jawab Ki Rangga.
"Tentang apa?" bertanya Jangkung.
"Tentang sawah kita di bulak Utara," jawab Ki Rangga.
"Kenapa dengan sawah itu" Apakah ayah berniat untuk menjualnya?" bertanya Jangkung.
"Tidak. Aku tidak berniat untuk menjual tanah kita yang manapun," jawab Ki Rangga.
"Jadi, ada apa dengan tanah itu?" desak Jangkung.
"Kita kadang-kadang mendapat kesulitan air di bulak Utara," jawab ayahnya.
Jangkung termangu-mangu sejenak. Ia tidak yakin bahwa hanya soal tanah itu saja yang dibicarakannya. Tetapi Jangkung tidak mendesaknya. Ia yakin bahwa ayah dan ibunya, jika tiba saatnya, tentu akan mengatakannya juga kepadanya.
"Ayah," berkata Jangkung kemudian, "aku akan pergi sebentar untuk membawa kuda itu kepada seorang kawan yang memerlukannya. Tetapi aku tidak lama."
"Pergilah," jawab ayahnya.
"Tetapi bagaimana dengan Kasadha itu?" bertanya Jangkung. "Ia sendiri saja di Pringgitan."
"Bukankah ada Riris?" bertanya Ki Rangga.
"Tentu tidak pantas jika Riris menemuinya sendiri berlama-lama," jawab Jangkung.
"Tidak akan terlalu lama. Aku akan segera menemuinya," jawab Ki Rangga.
Jangkung memang nampak ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian meninggalkan ayah dan ibunya di dapur.
Sejenak kemudian, maka terdengar derap kaki kuda meninggalkan halaman rumah itu.
Kasadha memang hanya ditemui Riris saja di pringgitan. Riris nampaknya sudah tidak canggung lagi berbincang dengan Kasadha. Juga ketika Jangkung pergi. Riris tidak segan menemui Kasadha sendiri di pringgitan.
Karena Riris anak seorang prajurit, maka perhatiannya terhadap persoalan yang menyangkut dunia keprajuritan pun cukup besar. Itulah sebabnya, maka ia tertarik mendengarkan ceritera tentang perang yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan kemudian juga tentang kemelut yang terjadi di Pajang.
"Jika terjadi perang antara Pajang dengan Madiun, apakah kau dan ayah juga akan langsung terlibat?" bertanya Riris.
"Memang mungkin sekali Riris. Kami dapat saja mendapat perintah untuk maju ke medan perang," jawab Kasadha.
"Tetapi bukankah ayah sudah menjadi semakin tua" Bahkan ayah pernah meninggalkan dunia keprajuritan karena umurnya. Namun kemudian ayah telah ditugaskan kembali."
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Ki Rangga adalah seorang prajurit yang terpilih. Itulah sebabnya, Ki Rangga Dipayuda diangkat kembali untuk memegang jabatannya yang sekarang. Dibandingkan dengan para Pandega yang lain, maka Ki Rangga Dipayuda mempunyai wawasan yang luas."
Riris mengangguk-angguk. Tetapi terbayang juga kecemasannya, bahwa ayahnya pada umurnya yang semakin tua harus berada di tengah-tengahnya api peperangan.
Kasadha nampaknya tanggap akan perasaan Riris. Karena itu, maka pembicaraannyapun segera dibelokkan pada persoalan-persoalan lain yang mungkin menarik perhatian Riris.
Kasadha mulai berbicara tentang tanaman-tanaman yang ada di halaman depan rumah itu. Beberapa buah sangkar yang tergantung di serambi dan bahkan sangkar bekisar di halaman depan.
"Siapakah yang memelihara tanaman, burung dan bekisar itu" Apakah Jangkung mempunyai waktu cukup untuk melakukannya?" bertanya Kasadha.
"Kakang Jangkung tidak pernah menghiraukan semua itu. Aku dan ibu yang melakukannya, dibantu oleh Ki Muncar yang memang senang memelihara burung dan bekisar."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun ternyata di luar dugaan Kasadha. Riris dapat berbicara panjang tentang burung beonya yang dapat menirukan tembang dandanggula.
Sementara itu, Nyi Ranggalah yang lebih dahulu keluar dari ruang dalam ikut menemui Kasadha. Nampaknya Ki Rangga baru berganti pakaian, karena udara terasa menjadi panas sehingga pakaian Ki Rangga menjadi basah oleh keringat.
Baru sejenak kemudian, Ki Rangga itu duduk pula di pringgitan menemui Kasadha. Tetapi ia membiarkan Nyi Rangga dan Riris duduk bersama mereka. Sementara itu di dapur, seorang pembantu Nyi Ranggalah yang sibuk menyiapkan masakan buat makan siang.
Tetapi beberapa saat kemudian, Nyi Rangga dan Riris juga telah berada di dapur pula, sementara Ki Rangga duduk bersama Kasadha di pringgitan.
Kepada Kasadha, Ki Rangga mengatakan bahwa ada sedikit masalah yang harus dibicarakannya dengan Nyi Rangga.
"Aku sudah menunda-nunda persoalan ini hingga sekarang," berkata Ki Rangga Dipayuda. "Ada sedikit persoalan tanah di bulak Utara."
Kasadha hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak merasa berhak untuk bertanya persoalan yang harus dibicarakan dengan Nyi Rangga itu.
"Inilah persoalan yang sering timbul pada seorang yang bertugas di luar rumahnya, sehingga isterinya harus dapat ikut menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul di rumah."
Kasadha masih saja mengangguk-angguk. Baginya, itu adalah satu gambaran keluarga seorang prajurit. Namun dalam keadaan tenang, maka persoalannya akan menjadi lain. Ki Rangga akan dapat lebih banyak berada di rumah.
Ketika kemudian Jangkung datang, maka Jangkunglah yang kemudian menemui Kasadha. Mereka tidak lagi duduk di pringgitan. Tetapi mereka berada di serambi gandok. Duduk di amben panjang mereka memang merasa lebih longgar daripada duduk bersila di pringgitan.
Ketika saatnya makan siang tiba, maka merekapun duduk di ruang dalam mengelilingi hidangan yang telah disediakan. Ternyata pembantu Nyi Rangga telah memotong seekor ayam untuk menjamu tamunya.
Menjelang sore hari, maka Ki Rangga Dipayuda dan Kasadhapun telah bersiap-siap pula untuk kembali ke Pajang. Sementara itu, Ki Rangga telah berpesan kepada Nyi Rangga, agar berbicara juga dengan Jangkung, karena Jangkung adalah saudara tua Riris.
"Cobalah dengar pendapatnya," berkata Ki Rangga.
Seperti yang direncanakan, maka di sore hari, Ki Rangga Dipayuda bersama Kasadha telah meninggalkan rumahnya kembali ke barak. Mereka tidak dapat terlalu lama meninggalkan pasukannya, justru Pajang memang sedang dalam kesiagaan penuh menghadapi perkembangan keadaan yang semakin rumit.
Bagi Kasadha, kesempatan yang hanya sehari itu telah membuatnya semakin merenung. Pertemuannya dengan Riris yang tidak diduganya sebelumnya telah membuatnya semakin tenggelam dalam arus perasaannya.
Sementara itu, sebagaimana pesan Ki Rangga Dipayuda, Nyi Rangga telah mencari kesempatan untuk berbicara dengan Jangkung. Ketika Riris sedang mandi, maka Nyi Rangga telah memanggil Jangkung untuk berbincang di serambi gandok.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangkung memang merasa heran, bahwa ibunya memanggilnya di serambi gandok. Satu hal yang tidak terbiasa dilakukan.
"Jangkung," berkata ibunya kemudian, "ada persoalan yang penting yang harus kau ketahui. Ayahmu dirisaukan oleh kemelut yang semakin kelam antara Pajang dan Madiun."
"Apa hubungannya dengan tanah di bulak Utara?" bertanya Jangkung.
"Memang tidak ada Jangkung," jawab ibunya.
"Jadi?" desak Jangkung.
"Masalah yang sebenarnya bukan masalah tanah di bulak Utara," jawab ibunya.
Jangkung memandang ibunya dengan heran. Ayahnya mengatakan kepadanya, bahwa persoalan yang sedang dibicarakan adalah persoalan tanah di bulak Utara.
"Jangkung," berkata ibunya, "mungkin persoalan yang dikemukakan oleh ayahmu terasa tergesa-gesa. Tetapi itu bukannya tanpa sebab. Seperti yang aku katakan, bahwa persoalan antara Pajang dan Madiun nampaknya tidak semakin mereda. Bahkan semakin memanas. Sementara itu ayahmu dan Kasadha adalah seorang prajurit."
"Apa hubungannya dengan Kasadha?" bertanya Jangkung.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menyampaikan persoalan yang dibawa oleh ayahnya yang menyempatkan diri pulang dari Pajang.
Jangkung mendengarkan keterangan ibunya dengan saksama. Namun wajahnya semakin lama menjadi semakin berkerut. Demikian ibunya selesai berbicara, maka Jangkungpun menyahut, "Ibu, kenapa ayah menjadi begitu tergesa-gesa. Tiba-tiba saja ayah pulang dengan membawa persoalan itu?"
"Bukankah sudah aku katakan, bahwa kemelut antara Pajang dan Madiun menjadi semakin gawat?"
"Kenapa justru dalam keadaan yang demikian, hubungan antara Riris dan Kasadha harus segera dipastikan, meskipun baru pada taraf penyerahan peningset?"
"Hal itu akan memberikan ketenangan pada kedua belah pihak seandainya Kasadha harus pergi ke medan perang," jawab ibunya. Namun suaranya menjadi hampir tidak terdengar, "Jangkung. Ada kemungkinan bahwa ayahmu juga akan pergi ke medan."
Tetapi ibunya terkejut ketika Jangkung menjawab, "Aku tidak sependapat ibu. Hati Riris harus tumbuh dengan wajar tanpa dipacu dengan cara apapun juga. Aku juga tahu bahwa Kasadha dan Risang menaruh hati terhadap Riris. Tetapi aku tidak tahu, yang manakah yang lebih dekat di hati Riris. Nampaknya bagi Riris, Kasadha dan Risang, masih berada pada ujung timbangan yang datar. Sehingga Riris sama sekali belum dapat menentukan pilihan."
"Karena itu, ayahmu akan membantu membangunkan suasana yang dapat mempercepat persoalan. Bukan menyurukkan Riris sebagaimana seseorang menawarkan dagangan. Tetapi ayahmu ingin segera mendapatkan satu kepastian."
Jangkung menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku mempunyai pendapat lain ibu. Akupun mengenal Kasadha dan Risang dengan baik. Aku sedikit banyak mengerti sikap dan pandangan hidup masing-masing. Keduanya memang hampir sama sebagaimana wajah dan bentuk tubuh mereka yang hampir sama. Memang sulit untuk menjatuhkan pilihan. Tetapi sudah tentu tidak sekedar karena ayah dan Kasadha berada dalam lingkungan yang sama."
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya ibunya.
"Ayah tidak perlu mencampuri persoalan mereka. Biarlah pilihan itu tumbuh dan berkembang di hati Riris sendiri," jawab Jangkung.
"Jangkung," berkata ibunya, "ada persoalan lain yang dipikirkan ayahmu."
"Persoalan apa lagi ibu?" bertanya Jangkung.
"Jika kedua anak muda itu sampai pada satu puncak persaingan, maka akan timbul persoalan yang tidak baik antara keduanya. Tetapi sebelum itu terjadi, ayahmu ingin salah satu di antaranya dengan cepat menyatakan sikapnya. Dengan demikian, maka tidak akan ada persoalan lagi di antara semua pihak," jawab ibunya.
Jangkung mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian berkata, "Jika itu persoalannya ibu, maka aku justru ingin menyatakan pendapatku. Aku lebih senang Riris hidup bersama Risang daripada Kasadha."
Ibunya justru menjadi termangu-mangu. Dengan nada ragu ia bertanya, "Kenapa?"
"Risang nampaknya lebih terbuka dari Kasadha. Kita tahu keadaan keluarga Risang. Kita tahu siapa orang tuanya. Siapa pula keluarganya. Tetapi kita tidak tahu siapakah orang tua Kasadha. Siapa pula keluarganya. Ketika kita akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan, Kasadha menolak untuk pergi bersama-sama. Kasadha hanya selalu menyatakan bahwa ibunya, seorang petani kecil, merasa dirinya terlalu kecil pula untuk berada di antara orang lain."
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Persoalan yang dikemukakan oleh Jangkung itu memang merupakan persoalan yang penting. Bagaimanapun juga, latar belakang kehidupan keluarga itu ikut menentukan kehidupan seseorang.
Namun ibunya itu menjawab, "Tetapi bukankah kita pernah bertemu atau setidak-tidaknya mengenal ibu Kasadha?"
"Hanya sepintas lalu," jawab Jangkung. Lalu katanya, "Berbeda dengan Risang. Seandainya kita melihat sebuah rumah, maka pintu rumah Risang itu terbuka. Iapun mempunyai kedudukan yang sangat baik. Seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar."
"Tetapi kedudukan Kasadha juga cukup baik. Ia seorang Lurah prajurit pada umurnya yang masih muda. Menurut perhitungan ayahmu, pada saatnya Kasadha akan dapat menjadi seorang Tumenggung," berkata ibunya.
"Tetapi aku tetap meragukan, apa sebab yang sebenarnya sehingga Kasadha berkeras untuk memberikan sekat pada ibunya itu," sahut Jangkung.
Nyi Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi agaknya ibunya sendiri yang berusaha membatasi dirinya dari lingkungan di seputar anaknya. Justru karena kasih seorang ibu, maka ia tidak ingin memberikan warna yang buram kepada anaknya itu."
"Bukankah itu tidak wajar ibu" Seolah-olah Kasadha harus menyembunyikan sesuatu yang dianggapnya akan dapat mengotori namanya," berkata Jangkung kemudian.
Ibunya tidak menjawab lagi. Sementara itu ia mendengar suara Riris yang memanggilnya di ruang dalam. Agaknya gadis itu sudah selesai mandi dan berbenah diri.
"Jangkung," berkata ibunya, "sebaiknya kau bertemu dengan ayahmu."
"Ya ibu aku akan menemui ayah di Pajang," jawab Jangkung.
"Tetapi hati-hatilah berbicara dengan ayahmu. Apalagi tidak di rumah sendiri. Kasadha juga harus tidak mendengar pendapatmu itu. Jangan sampai terjadi salah paham." Ibunya berhenti sejenak, namun kemudian katanya, "Tetapi bagaimana dengan kau sendiri" Bukankah kau tidak merasa menyesal jika kita berbicara tentang Riris dahulu daripada berbicara tentang kau?"
"O," sahut Jangkung, "tidak ada masalah dengan aku sendiri. Aku justru merasa perlu untuk ikut berbicara tentang Riris, karena seperti ayah, akupun mengenal kedua anak muda itu dengan baik."
Ibunya tidak dapat berbicara lebih lama lagi. Terdengar suara Riris memanggil ibunya berulang kali.
"Aku disini," jawab ibunya sambil melangkah turun dari serambi gandok dan memasuki longkangan. Namun sementara itu Riris justru keluar dari pintu pringgitan sambil memanggil ibunya pula.
*** JILID 54 KETIKA ia melihat kakaknya duduk di serambi gandok, maka iapun bertanya, "Kau lihat ibu?"
"Ya," jawab Jangkung.
"Dimana?" bertanya Riris pula.
"Untuk apa kau cari ibu?" Jangkung ganti bertanya.
"Aku mencari tusuk kondeku yang putih," jawab Riris.
"Kau cari tusuk konde atau kau cari ibu?"
"Aku akan bertanya kepada ibu," jawab Riris.
"Kau masih selalu merengek seperti itu. Kenapa tidak kau cari sendiri?" bertanya Jangkung.
"Ibu yang menyimpannya," jawab Riris.
"Ibu sedang pergi," jawab Jangkung.
"Tidak. Aku mendengar suaranya," berkata Riris kemudian.
Sejenak kemudian, maka terdengar lagi suara Riris memanggil ibunya demikian ia hilang di balik pintu.
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "-Riris terlalu manja untuk menjadi seorang isteri prajurit. Ibu adalah seorang perempuan yang tabah, mandiri dan dapat melakukan pekerjaan yang rumit jika ayah tidak ada di rumah. Sementara Riris hanya dapat merengek dan menyandarkan diri kepada ibu saja."
Demikianlah, maka persoalan Riris itu telah meresahkan perasaan Jangkung. Justru karena ia ikut merasa bertanggung jawab atas masa depan adiknya.
Karena itu, maka iapun telah merencanakan untuk pergi ke Pajang, berbicara dengan ayahnya tentang dua orang anak muda yang agaknya memang menaruh hati kepada Riris.
Di hari berikutnya, maka Kasadha masih saja merenungi dirinya sendiri. Pertemuannya dengan Riris justru menambah kegelisahannya. Ia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dengan sikap Riris itu. Riris masih saja bersikap sebagaimana sikapnya sebelumnya. Lugu dan tidak menyimpan permasalahan apapun. Juga tidak terasa adanya keseganan untuk berbincang berdua saja dengan Kasadha. Tetapi justru karena itu, maka agaknya Riris memang tidak mempunyai perasaan apapun kepadanya.
Kegelisahannya itu telah mendorong Kasadha untuk menyampaikannya kepada gurunya. Ia merasa terlalu berat antuk membawa beban perasaannya itu sendiri. Karena itu, ia memerlukan seseorang yang dapat ikut menanggung beban itu. Namun dengan jujur.
Hal itu didapatkannya pada gurunya.
Ki Ajar Paguhan menarik nafas dalam-dalam. Ketika Kasadha kemudian berterus terang, bahwa ia tertarik kepada anak gadis Ki Rangga Dipayuda, justru pimpinannya di jajaran keprajuritan, maka Ki Ajar itu bertanya, "Bagaimana sikap Ki Rangga Dipayuda itu kepadamu?"
"Sikapnya baik Guru. Bahkan ia pernah mengatakan, bahwa aku dan Risang telah dianggap sebagai anak-anaknya sendiri," jawab Kasadha.
"Jika demikian, maka apakah menurut perhitunganmu, ayahnya tidak akan menghalangi niatmu seandainya kau pada suatu saat melamarnya?" bertanya gurunya.
"Itulah yang sangat meragukan Guru. Sebagaimana pernah aku katakan, aku cemas tentang masa lampau ibuku," jawab Kasadha.
Ki Ajar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Bagaimana dengan gadis itu sendiri?"
Kasadha menundukkan kepalanya. Dengan nada rendah ia menjawab, "Aku tidak dapat mengetahuinya Guru. Ia bersikap ramah, akrab, tetapi nampaknya wajar sekali."
"Apakah kau mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dengan gadis itu?" bertanya gurunya.
"Sekarang tidak Guru," jawab Kasadha. "Para prajurit harus lebih banyak berada di barak. Tanpa ijin khusus, seorang prajurit tidak boleh meninggalkan baraknya."
"Kasadha," berkata gurunya, "kau adalah seorang laki-laki. Asal kau masih berada pada batas-batas yang dihormati, maka kau dapat menjajagi perasaan gadis itu. Jika kau hanya berdiam diri saja, tentu tidak mungkin seorang gadis akan menyatakan perasaannya kepadamu."
"Tetapi apakah tidak ada tanda-tanda sama sekali, bahwa ia menaruh perhatian terhadap seseorang?" bertanya Kasadha.
"Mungkin gadis itu memang belum memikirkan persoalan sebagaimana kau pikirkan. Karena itu, kau harus membuka jalan. Kau harus mengatakan sesuatu kepadanya. Tentu saja tidak dengan serta-merta," berkata gurunya. "Jika kau anggap bahwa ayahnya bersikap baik kepadamu, maka mungkin sekali ayahnya tidak akan menghalangi hubunganmu dengan anak gadisnya."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun kembali terbayang di angan-angannya, masa lampau ibunya. Sehingga kadang-kadang harapan-harapan yang sudah terjalin itupun seakan-akan telah terkoyak oleh masa lampau yang kelam itu.
Namun demikian, gurunya selalu berkata kepadanya, "Kau harus berani mencoba. Tanpa itu, maka tidak akan ada yang dapat kau capai. Juga dalam hubunganmu dengan seorang gadis."
Kasadha mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak dapat membayangkan bagaimana ia harus mulai. Dan yang lebih mencemaskan, bagaimana ia menjawab jika keluarga Riris berbicara tentang keluarganya yang telah ternoda itu.
"Kasadha, sebagai seorang prajurit, maka kau harus siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di medan perang. Tetapi jika kau harus berangkat ke medan, maka berangkatlah. Baru kemudian kau dapat mengatakan bahwa kau menang atau kalah. Jika kau tidak berangkat ke medan, maka kau tidak akan dapat mengatakan apakah kau menang atau tidak."
Kasadha mengangkat wajahnya. Dengan mantap iapun kemudian berkata, "Ya, Guru. Aku akan melakukannya."
"Kau harus berani bertempur dengan senjata yang ada, tetapi juga dengan cacat tubuh yang kau sandang. Hidup atau mati, kau adalah kau seutuhnya."
Kasadhapun kemudian menjawab pula, "Ya Guru."
"Nah, jika demikian lakukanlah tanpa merasa dibayangi oleh masa lampau ibumu atau oleh apapun juga. Jika ia menerimamu, maka ia harus menerima kau seutuhnya. Jika kau menolaknya, ia akan menolak kau seutuhnya pula."
Gejolak di dada Kasadha menjadi agak mereda. Ia memang harus berbuat sesuatu. Ia tidak dapat menunggu sekuntum bunga menukik turun dan jatuh di pangkuannya.
Meskipun jantungnya masih tetap bergejolak, tetapi ia mulai melihat jalan panjang yang terbentang di hadapannya. Ia tahu jalan itu penuh dengan kerikil-kerikil tajam. Apalagi angan-angannya terbang ke Tanah Perdikan Sembojan. Seolah-olah ia melihat lagi, bagaimana Riris melayani Risang saat ia diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Bagaimana jika Risang itu tiba-tiba berdiri bertolak pinggang di tengah jalan yang sedang dilaluinya itu"
Kasadha memejamkan matanya. Bahkan kemudian ia tidak dapat menahan diri untuk tidak mengatakan hal itu kepada gurunya.
Gurunya memang menjadi berdebar-debar pula. Dengan nada rendah ia berkata, "Jadi, masih ada lagi persoalan yang dapat menghambat jalanmu yang memang sudah rumit itu?"
"Ya Guru," jawab Kasadha.
"Tetapi bukankah itu juga belum pasti" Kau tentu tidak yakin, apakah Risang itu juga menaruh hati kepada Riris," berkata gurunya.
"Menurut penglihatanku, ia memang tertarik juga kepada Riris," jawab Kasadha.
"Semuanya masih serba mungkin, Kasadha. Karena itu, tempuhlah jalanmu. Jalan seorang prajurit," berkata gurunya.
Dengan bekal pesan-pesan gurunya itu, maka iapun mohon diri kembali ke baraknya.
Namun dalam pada itu, ternyata Jangkung benar-benar telah pergi ke Pajang.
Kedatangannya memang mengejutkan ayahnya.
"Apakah kau diminta ibumu untuk menyusul aku?" bertanya ayahnya.
"Ada sesuatu hal yang menurut pendapatku penting untuk dibicarakan ayah."
"Tentang apa?" bertanya Ki Rangga Dipayuda.
"Tentang tanah di bulak sisi Utara," jawab Jangkung.
Ayahnya yang mengerutkan dahinya itu sempat tersenyum. Katanya, "Ah, kau Jangkung. Apa sebenarnya kepentinganmu?"
Jangkungpun tersenyum pula. Katanya, "Bukankah hal itu yang ayah bicarakan dengan ibu."
"Sudahlah, sekarang katakan, apa keperluanmu. Jangan membuat aku gelisah," berkata ayahnya.
"Aku akan mohon kesempatan kepada ayah untuk berbicara tentang Riris," berkata Jangkung kemudian, "apakah menurut ayah, aku dapat berbicara disini sekarang ini?"
Ki Rangga Dipayuda termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah.-Aku memang sedang tidak mempunyai kesibukan sekarang."
"Ayah," berkata Jangkung kemudian, "aku telah mendengar dari ibu pendapat ayah tentang Riris."
"Ya. Aku memang berpesan kepada ibumu, agar ia berbicara dengan kau tentang adikmu itu. Aku memang ingin pendapatmu."
"Ayah," berkata Jangkung kemudian, "kenapa ayah memilih Kasadha daripada Risang."
"Apakah ibumu tidak mengatakan alasanku?" bertanya ayahnya dengan kerut di keningnya.
"Ibu memang mengatakan alasan ayah tentang keduanya. Tetapi aku tidak sependapat ayah," berkata Jangkung kemudian.
"Kenapa?" bertanya ayahnya.
"Aku berpendapat, biarlah Riris sendiri menentukan pilihan. Biarlah perasaan itu tumbuh dan bersemi di hatinya tanpa campur tangan orang lain. Meskipun orang lain itu adalah ayahnya sendiri. Perasaan itu biarlah terbentuk berdasarkan atas tanggapan Riris sendiri terhadap kedua orang anak muda itu. Apalagi kita belum pasti, apakah benar bahwa Kasadha tertarik kepada Riris. Jika tidak, apakah bukan berarti kita akan menjadi kecewa, sementara kita sudah menyisihkan Risang dari hati kita."
"Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan mengumpankan Riris ke mulut Kasadha. Semuanya harus berjalan wajar. Tetapi aku hanya ingin membuka pintu, agar siapa yang akan masuk, cepatlah masuk. Waktu telah menjadi semakin sempit. Terutama bagiku sendiri."
"Aku tahu itu ayah. Ibu juga sudah mengatakannya. Tetapi seandainya kedua-duanya benar berdiri di muka pintu, aku memilih Risanglah yang akan melangkah masuk."
Ki Rangga memandang Jangkung dengan tajamnya. Sementara itu Jangkungpun telah mengemukakan alasan-alasan sebagaimana dikatakan kepada ibunya.
"Kita tidak melihat latar belakang kehidupan dan keluarga Kasadha," berkata Jangkung itu kemudian.
Ki Rangga termangu-mangu mendengar pendapat anaknya itu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Pendapatmu memang beralasan Jangkung. Tetapi bukankah yang kemudian akan menikah dengan Riris adalah Kasadha itu sendiri" Bukan ibunya, bukan keluarganya dan bukan orang lain! Menurut pendapatmu, yang perlu kita perhitungkan benar-benar adalah pribadi Kasadha itu sendiri."
"Tetapi hidup dan kehidupan Kasadha tentu tidak akan dapat terpisah dari hidup dan kehidupan keluarganya," jawab Jangkung.
"Kehidupan keluarganya memang dapat berpengaruh. Tetapi segala sesuatunya tentu tergantung kepada Kasadha sendiri. Kita sendiri misalnya. Jika kita dapat melihat Riris hidup bahagia, maka kita tentu akan merasa sangat senang dan bahkan ikut merasa berbahagia pula. Kita tentu tidak akan menyangkutkan hidup dan kehidupan kita ke dalam dunia mereka secara langsung," berkata Ki Rangga Dipayuda kemudian.
"Tetapi bagaimana jika ayah dan ibu sudah menjadi. semakin tua" Apakah Riris atau aku sampai hati membiarkan ayah dan ibu hidup berdua saja sementara ayah dan ibu sudah menjadi pikun" Bukankah kebiasaan kita, jika kita menerima seseorang untuk menikah, itu berarti bahwa kita harus menerima seluruh keluarganya pula" Kita tidak tahu apakah Kasadha mempunyai sepuluh orang adik. Ibunya, bibinya atau kemenakannya atau siapa lagi yang harus menjadi tanggungannya. Atau mungkin ibu Kasadha seorang yang keras dan tidak mau mendengar pendapat orang lain, sementara ia seorang yang berilmu sangat tinggi. Atau secara kebetulan sikap keseharian Riris dan ibu Kasadha tidak sesuai sementara mereka kelak harus berdiam di rumah yang sama," berkata Jangkung.
"Tetapi hal yang serupa dapat juga terjadi jika Riris harus memilih Risang," berkata ayahnya.
"Tidak. Kita tahu Risang adalah anak tunggal. Ia sekarang menjabat sebagai Kepala Tanah Perdikan. Ibunya seorang yang berpandangan luas. Menurut pengamatan lahiriah ibunya tidak akan menjadi beban kehidupan Risang. Di rumah ibu Risang ada beberapa orang yang dapat membantu dan merawat ibu Risang di masa tuanya. Seandainya ada sanak kadang Risang, mereka tidak akan menjadi beban, karena kepada mereka dapat diberikan tugas-tugas di Tanah Perdikan itu dengan imbalan sawah bagi tumpuan hidup mereka sehari-hari. Nah, apakah hal seperti itu dapat dilakukan oleh Kasadha" Kau terlalu jauh berpikir Jangkung. Seandainya kau trapkan penalaran itu untuk mengukur Kasadha, maka kita tahu bahwa ibu Kasadha sampai saat ini adalah seorang yang mandiri. Ia tidak pernah mengganggu dan tidak pula merengek terhadap anaknya yang sudah menjadi seorang Lurah prajurit."
Jangkung mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, "Tetapi bukankah gambaran kita tentang keluarga Risang lebih jelas dari keluarga Kasadha" Aku tidak membenci Kasadha. Aku senang kepada kedua-duanya. Tetapi aku berbicara tidak sekedar dengan perasaan saja. Tetapi dengan nalar."
"Kau kira aku tidak berbicara dengan nalar?" bertanya ayahnya. Suaranya menjadi semakin meninggi.
Jangkung yang sudah mengenal sifat-sifat ayahnya itu mengetahui, bahwa ayahnya mulai mempertahankan pendiriannya. Karena itu maka Jangkungpun berkata, "Semuanya memang terserah kepada ayah. Bahkan Riris dapat saja ayah jodohkan dengan orang yang tidak kita kenal sama sekali jika itu memang ayah kehendaki. Seorang gadis tidak banyak mempunyai wewenang untuk menentukan masa depannya sendiri. Mungkin itu juga yang akan dialami oleh Riris."
"Tidak," jawab ayahnya. "Seperti aku katakan, bahwa hubungan antara Riris dengan Kasadha dan dengan Risang akan berjalan wajar. Aku hanya melihat bahwa Riris memang belum menjatuhkan pilihan, sehingga aku akan sempat mendorong salah seorang di antara mereka berpacu lebih cepat. Kau jangan menyalah-artikan bagaimana aku akan mendorong Kasadha untuk meloncat lebih dahulu. Seperti yang sudah aku katakan, aku tidak sedang mengumpankan Riris ke mulut seorang laki-laki. Aku masih mengharap bahwa perkembangan hubungan mereka wajar. Tetapi ingat, aku tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Jika aku harus pergi bertempur ke Timur, sebagaimana kita ketahui bahwa kekuatan Madiun dan Kadipaten-kadipaten yang bergabung dengan Madiun sangat besar. Prajurit yang tersedia, jika dihitung jumlah, jauh lebih besar dari prajurit yang akan dapat disiapkan oleh Mataram dan Pajang. Ada kemungkinan, bahwa aku tidak akan pernah kembali."
"Ayah jangan bersikap demikian," berkata Jangkung. "Ayah adalah prajurit yang sudah berpuluh kali berada di medan perang."
"Tetapi jika terjadi perang antara Mataram dan Kadipaten-kadipaten di sebelah Timur, maka perang itu adalah perang yang terbesar yang pernah aku alami," jawab Ki Rangga.
"Ayah," berkata Jangkung, "tentu saja kita semuanya berdoa agar hal yang ayah cemaskan itu tidak terjadi. Tetapi kecemasan yang sama juga dapat tertuju pada Kasadha. Jika hal itu terjadi, apakah kita tidak akan menjadi sangat beriba hati melihat Riris menjadi janda?"
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang akhir dari hidup ini tergantung kepada Yang Maha Agung. Tetapi kita memang berwenang untuk berupaya sambil berdoa memohon kepada-Nya." Ki Rangga berhenti sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku perhatikan pendapatmu Jangkung. Tetapi coba mengerti jalan pikiranku dan ibumu."
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Iapun tahu bahwa ayahnya tidak akan berbicara lebih panjang lagi. Meskipun bukan berarti bahwa ayahnya tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, tetapi pada satu saat ayahnya memang kokoh pada pendiriannya.
Dengan demikian, maka pembicaraan di antara keduanyapun terputus. Ki Ranggapun kemudian berkata, "Temuilah Kasadha. Tidak baik rasanya jika kau telah sampai ke barak ini tanpa menemuinya. Meskipun sekedar minta diri."
Jangkungpun mengangguk. Iapun kemudian telah meninggalkan bilik khusus ayahnya untuk menemui Kasadha.
Keduanya memang masih saja terasa akrab. Meskipun sebenarnya ada sedikit kerikil kecil di jantung Jangkung. Meskipun demikian Jangkungpun mengerti sepenuhnya, bahwa pada Kasadha, tentu tidak terdapat persoalan apapun, sehingga sikapnya masih saja wajar sebagaimana sikapnya sebelumnya.
Jangkung juga berusaha untuk tidak menunjukkan sikap yang lain. Ia masih saja banyak tertawa dan bercanda sebagaimana biasanya. Tetapi Jangkung sama sekali tidak menyinggung tentang adik perempuannya. Sementara itu Kasadhapun ternyata juga segan untuk bertanya tentang Riris.
Ketika kemudian Jangkung minta diri untuk menemui ayahnya dan langsung kembali pulang, maka Kasadha telah mengantarnya ke bilik khusus Ki Rangga Dipayuda.
Bahkan kemudian mengantar Jangkung sampai ke regol barak itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Jangkungpun telah berpacu meninggalkan Pajang kembali ke padukuhannya yang memang tidak terlalu jauh. Namun demikian di sepanjang jalan, Jangkung memang berpendapat bahwa Kasadha adalah seorang anak muda yang baik. Ia mempunyai kepribadian yang kuat. Karena itu, maka ia akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik.
Tetapi bagi Jangkung, Kasadha bukan hanya Kasadha itu sendiri. Untuk menjadi seorang suami, maka masih perlu dinilai beberapa hal yang menyangkut dirinya. Hubungan Kasadha dengan orang tuanya membuat Jangkung agak ragu.
"Jika Riris menerima Kasadha untuk menjadi suaminya, maka ia harus menerima Kasadha secara utuh. Namun ternyata satu sisi dari kehidupan Kasadha belum dapat dilihatnya dengan jelas," berkata Jangkung kepada diri sendiri.
Namun Jangkungpun sadar, bahwa segala sesuatunya memang banyak tergantung kepada ayahnya. Sementara itu agaknya ayahnya telah menjatuhkan pilihannya.
Tiba-tiba saja ada keinginan Jangkung untuk menemui Risang. Baru saja ia bertemu dengan Kasadha. Seorang Lurah prajurit yang mempunyai kepribadian yang baik. Jangkung memang harus mengakui bahwa ia tidak akan dapat menunjukkan cacat Kasadha jika ia memang akan menjadi suami adiknya kecuali latar belakang keluarga serta keturunannya. Tetapi menurut Jangkung, Risang juga seorang pemimpin yang baik, yang tidak kalah bobotnya dari Kasadha. Lebih dari itu, latar belakang kehidupan keluarga Risang dapat dilihat dengan jelas.
Tetapi agaknya karena ayahnya seorang prajurit, maka pilihannyapun condong atas seorang prajurit.
Jangkung memang tidak segera kembali pulang. Selagi ia sudah berada di perjalanan, maka Jangkungpun berniat untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian, maka Jangkungpun telah memacu keduanya menyusuri jalan-jalan yang panjang.
Ketika Jangkung sampai ke simpang tiga yang menuju ke rumahnya, ia sempat ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia berketetapan hati untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan menemui Risang.
Perjalanan Jangkung memang menjadi jauh. Tetapi kudanya adalah kuda yang terbaik yang dimilikinya. Karena itu, maka perjalanannya menjadi cepat.
Sedikit lewat tengah hari Jangkung terpaksa berhenti di sebuah kedai yang cukup ramai dikunjungi orang. Kedai yang terletak di sebelah pasar. Meskipun pasar itu sendiri sudah menjadi lengang, tetapi kedai itu justru menjadi hampir dipenuhi oleh para pembelinya.
Jangkung yang menitipkan kudanya sekaligus untuk mendapat rumput segar dan minum air sejuk, kemudian telah duduk di sudut kedai yang ramai itu. Sebagian besar dari mereka yang telah duduk lebih dahulu di kedai itu adalah para pedagang yang baru saja menjual dagangannya di pasar sebelah.
Dengan demikian maka pembicaraan di antara merekapun berkisar pada harga barang-barang mereka yang cenderung menjadi semakin tinggi.
"Jika benar-benar terjadi perang," berkata seseorang, "kita tidak akan mendapat kesempatan untuk menghasilkan lagi. Setidak-tidaknya segala macam pekerjaan akan menyusut karena sebagian dari kita akan dapat terhisap untuk maju ke medan perang."
"Bukankah kita bukan seorang prajurit?" sahut yang lain.
"Sudah berapa kali terjadi. Meskipun bukan prajurit, dalam perang besar, maka setiap laki-laki yang masih pantas berperang akan dipanggil untuk ikut berperang. Kau, aku dan kita semuanya."
"Bagaimana jika kita menolak?" bertanya seseorang.
"Kita akan dapat ditangkap melakukan kerja paksa," jawab orang yang pertama.
Yang lain termangu-mangu. Namun seorang yang sudah merambat ke pertengahan abad berkata, "Perang memang terkutuk. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang yang menentukan terjadinya perang" Kedudukan, luas wilayah atau barangkali perempuan?"
"Persoalan yang menyangkut hubungan antara orang-orang yang berkuasa di daerahnya masing-masing memang sangat banyak. Tentu bukan sekedar kedudukan, luas wilayah atau perempuan. Tetapi juga persoalan yang menyangkut cara mereka memerintah, benturan kepentingan yang berbeda dan justru kepentingan yang sama. Tidak kalah pentingnya adalah sumber kesejahteraan rakyat dari satu daerah dengan daerah yang lain. Tujuan pemasaran hasil bumi dan kerajinan. Bahkan sumber air dan hasil yang dapat digali dari dalam bumi."
Kawan-kawannya terdiam. Tetapi nampaknya mereka sempat merenungi kata-katanya kawannya itu.
Tetapi tiba-tiba salah seorang dari orang-orang itu bertanya, "Jika terjadi perang antara Mataram termasuk Pajang melawan Madiun, siapakah yang bersalah?"
Orang yang dianggap berpandangan luas itu menjawab, "Tentu masing-masing menganggap bahwa pihaknyalah yang benar. Mataram, termasuk Pajang tentu mempunyai alasan yang kuat, kenapa mereka harus menanggung akibat dari satu kemungkinan perang dengan Madiun. Sebaliknya Madiun tentu mempunyai alasannya sendiri. Kenapa Madiun tidak lagi mau begitu saja tunduk kepada Pajang."
Yang lain masih saja mengangguk-angguk. Tetapi orang yang bertanya itu telah bertanya pula, "Jika terjadi perang, kau akan berpihak yang mana?"
"Kau aneh. Kita orang Kademangan Sambisari tentu akan berpihak kepada Pajang. Bukankah Kademangan kita termasuk wilayah Pajang?"
"Jadi, jika kita bertempur pada salah satu pihak itu semata-mata karena kita berdiam didaerah itu. Bukan karena kebenaran atas satu keyakinan?" bertanya kawannya.
"Keyakinan yang mana" Kita hidup, makan, minum dan mendapat perlindungan dari Pajang. Kenapa kita harus ragu-ragu untuk berpihak kepada Pajang" Bukankah yang dilakukan Pajang itu juga bagi kepentingan kita?" jawab orang itu.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka tidak lagi bertanya sesuatu.
Tetapi tiba-tiba saja orang yang duduk di dekat pintu dan yang sejak semula mendengarkan pembicaraan itu menyahut, "Apa yang telah diberikan Pajang kepada rakyatnya" Kesewenang-wenangan dan kemiskinan" Perang dan perang tanpa memberi kesempatan rakyatnya tumbuh dan menikmati ketenangan hidup. Apalagi sekarang yang berkuasa adalah Gagak Baning. Saudara Mas Ngabehi Loring Pasar yang sekedar bergelar Panembahan Senapati itu."
Orang yang berbicara sebelumnya tentang kesetiaan mereka dengan Pajang berpaling. Dilihatnya beberapa orang yang duduk di dekat pintu memperhatikannya.
Orang itupun kemudian berkata, "Kita dapat saja berbeda pendapat Ki Sanak. Apalagi jika kau bukan orang Pajang."
"Aku orang Pajang. Tetapi bagiku para pemimpin di Pajang dan Mataram sama sekali tidak menghiraukan kepentingan rakyatnya. Kita masih ingat bagaimana Mataram menggilas Pajang. Meskipun nampaknya Mataram telah mengembalikan kedudukan Pangeran Benawa di Pajang, namun sejak itu Pajang adalah sekedar bayangan kekuasaan Mataram. Nah, apa jadinya" Pangeran Benawa tidak berumur panjang. Dan sepeninggal Pangeran Benawa, Pajang tidak berarti apa-apa lagi. Tidak lebih dari sekedar jari-jari tangan kekuasaan Mataram. Nah, bukankah pantas jika Panembahan Mas di Madiun marah. Apalagi jalur darah Demak memang mengalir dalam tubuh Panembahan Mas di Madiun."
"Kau memandang kekuasaan Mataram dan Pajang dari sisi yang buram Ki Sanak," berkata orang yang menyatakan kesetiaannya kepada Pajang. "Tetapi itu hakmu. Kau dapat mengatakan apa saja menurut pendapatmu. Tetapi kita masing-masing mempunyai penilaian sesuai dengan sikap jiwa kita masing-masing menanggapi keadaan di Pajang dan Mataram sekarang ini."
"Ternyata kau seorang yang tidak mempunyai sikap. Kau cenderung untuk menjilat dan memuji-muji mereka yang sedang berkuasa di Pajang," berkata orang yang duduk di dekat pintu itu.
Agaknya orang yang setia kepada Pajang itu tidak ingin bertengkar. Meskipun demikian ia masih juga menjawab, "Baiklah Ki Sanak. Silahkan menyatakan pendapat dan sikap Ki Sanak. Tetapi aku tidak dapat mengatakan lain daripada yang aku lihat sekarang ini. Bukan berarti tanpa cacat dan kekurangan. Tetapi cacat dan kekurangan itu bukan alasan untuk menentang kekuasaan dengan cara yang tidak sewajarnya."
Orang yang duduk di dekat pintu itu masih akan menjawab. Tetapi kawannya berkata, "Sudahlah. Jangan kau turuti perasaanmu yang gelisah itu. Kau dapat bersikap lebih baik tanpa menanggalkan sikapmu untuk menuding cacat-cacat yang kau lihat itu."
Orang itu memang terdiam. Demikian pula orang yang menyatakan kesetiaannya kepada Pajang itu.
Sementara itu Jangkung mendengarkan pembicaraan itu dengan penuh perhatian. Orang-orang itu ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan yang sedang berkembang. Kemelut antara Mataram dan Pajang dengan Madiun. Menurut pengamatan Jangkung, mereka bukanlah orang-orang yang duduk dalam kepemimpinan pemerintahan yang terendah sekalipun. Perhatian mereka terutama tertuju pada putaran niaga jika perang itu terjadi.
Karena itu, maka Jangkungpun dapat mengerti, bahwa ayahnya Ki Rangga Dipayuda juga memperhitungkan dengan sungguh-sungguh kemungkinan perang itu. Apalagi ia adalah seorang prajurit. Sedangkan persoalannya menyangkut anak gadis satu-satunya.
"Ayah juga membayangkan bahwa perang itu akan terjadi. Perang yang besar yang akan menelan beratus-ratus korban. Di antara mereka dapat saja terjadi ayah itu sendiri. Ki Rangga Dipayuda," berkata Jangkung di dalam hatinya.
Karena itu, sebelum ayahnya berangkat ke medan perang, ia ingin menunggui satu langkah yang pasti tentang anak gadisnya.
Jangkung menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti sepenuhnya jalan pikiran ayahnya. Tetapi Jangkung masih saja belum dapat sejalan jika ayahnya memilih Kasadha daripada Risang. Meskipun bagi Jangkung kedua-duanya baik dan mempunyai masa depan yang baik, tetapi kehidupan Risang dapat dilihat tembus menerawang sampai ke segala segi-seginya.
Jangkung yang sudah cukup minum dan makan itupun telah minta diri kepada pemilik kedai itu sambil membayar harga makanan dan minuman termasuk makan dan minum bagi kudanya.
Jangkungpun berpacu semakin cepat. Rasa-rasanya ia ingin kudanya itu meloncat selangkah panjang sampai ke Tanah Perdikan Sembojan.
Nyi Rangga Dipayuda dari Riris memang menjadi cemas ketika menjelang senja Jangkung belum pulang. Pajang bukan jarang yang terlalu panjang. Keduanya mulai membayangkan kemungkinan yang tidak diharapkan terjadi atas Jangkung. Mungkin kudanya yang tergelincir karena berpacu terlalu cepat. Mungkin orang-orang yang berniat buruk. Atau bahkan yang paling mencemaskan jika Jangkung berselisih pendapat dengan ayahnya.
Ketika senja turun, maka Riris yang gelisah mulai bertanya kepada ibunya, "Ibu, apakah Kakang Jangkung mengatakan bahwa ia akan bermalam di Pajang?"
"Tidak. Kakakmu tidak mengatakan bahwa ia akan bermalam," jawab ibunya.
Kecemasan membayang di wajah Riris. Dengan kerut di keningnya ia bertanya pula, "Tetapi kenapa sampai senja Kakang Jangkung masih belum kembali?"
"Itulah yang mencemaskan. Bukankah jarak antara rumah kita dengan Pajang tidak terlalu jauh?" desis Nyi Rangga Dipayuda.
"Mungkin Kakang Jangkung singgah di barak Kakang Kasadha. Justru di barak Kakang Kasadha itulah Kakang Jangkung bermalam," berkata Riris. Nampaknya Riris berusaha untuk mengurangi kegelisahannya sendiri.
Ibunya mengangguk-angguk. Meskipun ragu ia berdesis, "Ya. Agaknya Angger Kasadha telah menahannya."
Namun bagaimanapun juga Nyi Rangga membayangkan kemungkinan bahwa Ki Rangga dan Jangkung tidak menemukan persesuaian pendapat mereka tentang Riris. Sudah tentu Nyi Rangga tidak dapat mengatakan hal itu langsung kepada Riris.
Namun Ririslah yang berkata kemudian, "Ibu. Kita akan menunggu sampai esok pagi. Jika esok pagi Kakang Jangkung tidak pulang juga, maka sebaiknya Kakang Sumbaga mencari ayah dan menanyakan apakah Kakang Jangkung masih ada di barak Kakang Kasadha."
Ibunya mengangguk. Ia sependapat, jika besok Jangkung belum pulang, maka Sumbaga yang telah berada di rumah itu pula akan diminta untuk menyusulnya ke Pajang.
Malam itu Jangkung ternyata memang tidak pulang. Sementara Jangkung sendiri masih saja menempuh perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Sembojan yang cukup jauh.
Meskipun Jangkung harus beristirahat beberapa kali, namun ia meneruskan perjalanan ketika malam menjadi semakin gelap. Ia tidak segera berhenti dan mencari tempat bermalam.
Namun akhirnya, ketika kudanya sudah menjadi sangat letih, Jangkung tidak dapat memaksa kudanya untuk berlari terus. Ia merasa kasihan juga mendengar desah nafas kudanya yang letih.
Akhirnya Jangkung memang harus mengalah, Sebenarnya ia sendiri juga merasa sangat letih. Tetapi seandainya ia tidak mempertimbangkan keadaan kudanya ia masih sanggup meneruskan perjalanan mencapai padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika ia melewati sebuah gardu di depan sebuah banjar padukuhan, maka iapun berhenti. Kepada empat orang anak muda yang berada di gardu itu, Jangkung menyatakan niatnya untuk minta diijinkan bermalam di banjar itu.
Ternyata anak-anak muda yang ada di gardu itu adalah anak-anak muda yang baik. Mereka sama sekali tidak berkeberatan memberikan tempat untuk bermalam bagi Jangkung dan kudanya. Bahkan seorang di antara mereka berkata, "Kudamu nampak letih dan lapar Ki Sanak."
"Ketika aku beristirahat sore tadi di sebuah kedai, kudaku juga sempat makan dan minum," jawab Jangkung.
"Tetapi nampaknya kudamu sudah lapar lagi. Jika tadi sore kau beri kudamu makan, maka sekarang sudah larut malam. Bahkan sudah lewat tengah malam," berkata anak muda itu.
Jangkung mengangguk-angguk. Ketika ia mengelus leher kudanya yang memandanginya dengan mata yang redup, seakan-akan kuda itu berkata kepadanya, bahwa ia memang sudah lapar.
"Nah," berkata anak muda itu, "jika kau ingin memberi makan kudamu, maka di banjar itu ada sisa makanan kuda."
"Makanan kuda?" bertanya Jangkung.
"Ya. Kau tentu bertanya, makanan kuda milik siapa?" sahut anak muda itu.
Jangkung tersenyum. Katanya, "Ya. Apakah makanan kuda itu sudah tidak diperlukan lagi?"
"Tidak. Para pemilik kuda itu sudah meninggalkan banjar," jawab anak muda itu.
"Jadi kapan mereka ada di banjar ini?" bertanya Jangkung.
"Justru menjelang malam. Ketika dua orang kawan kami duduk-duduk di gardu ini sebelum saat para peronda datang sekedar untuk mencari angin karena udara yang panas, maka datang tiga orang berkuda. Mereka minta tolong kedua orang kawan kami untuk membelikan makanan kuda mereka, karena kuda mereka lapar. Meskipun barangkali mereka dapat melepas kuda mereka di tanggul-tanggul parit, tetapi mereka ingin makanan yang agak baik. Rendeng dan dedak padi," berkata anak muda itu. "Nah, rendeng dan dedak padi yang dibeli itu ternyata masih tersisa."
Jangkung mengangguk-angguk. Sebelum ia bertanya lebih lanjut, anak muda itu berkata, "Ketiga orang berkuda itu ternyata orang yang murah hati. Mereka memberikan uang terlalu banyak untuk membeli rendeng kacang dan dedak padi. Sisanya telah diberikannya kepada kedua orang kawanku itu. Nah, ternyata kami yang kemudian datang meronda, ikut pula mendapat bagian ketika sisa uang itu dibelikan seonggok makanan."
"Akupun termasuk beruntung pula," berkata Jangkung. "Kudaku akan mendapatkan makan dan minum malam ini."
Seperti yang dikatakan oleh anak muda itu, maka Jangkung sempat memberi makan dan minum kudanya secukupnya. Sementara itu, Jangkung sendiri sempat pula beristirahat di banjar itu.
Dari anak-anak muda itu Jangkung mengetahui bahwa ketiga orang berkuda itu ternyata tidak bermalam di banjar. Mereka hanya menumpang memberi makan dan minum kuda mereka. Kemudian setelah beristirahat maka merekapun telah meneruskan perjalanan.
"Mereka akan pergi kemana?" bertanya Jangkung.
"Mereka tidak mengatakan akan pergi kemana. Tetapi dalam pembicaraan mereka, kedua kawanku mendengar bahwa mereka akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan," jawab anak muda itu.
Jangkung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut karena anak muda itu tentu juga tidak mengetahui untuk apa mereka pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.
Demikianlah, di sisa malam itu Jangkung mendapat kesempatan untuk beristirahat meskipun tidak terlalu lama. Namun kudanya yang cukup beristirahat itu sudah tidak letih lagi. Ketika fajar mulai merah, Jangkung telah bersiap meninggalkan banjar itu.
Anak-anak muda yang sudah selesai dengan tugas rondanya itupun meninggalkan gardu itu pula demikian Jangkung minta diri untuk meneruskan perjalanannya.
Langit yang cerah serta udara pagi membuat tubuh Jangkung menjadi segar. Beberapa saat setelah Jangkung meninggalkan padukuhan tempat ia bermalam, cahaya matahari mulai nampak di langit. Kicau burung di pepohonan di sepanjang tepi jalan bulak, seakan-akan menyambut lontaran cahaya matahari yang akan terbit.
Jangkung yang kemudian memacu kudanya bergumam kepada diri sendiri, "Perjalanan ini sudah tidak terlalu panjang lagi."
Rasa-rasanya Jangkung memang tidak telaten menunggu derap kaki kudanya yang dirasanya terlalu lambat. Namun Jangkung tidak ingin berpacu lebih cepat lagi, karena hal itu akan dapat menarik perhatian orang-orang yang sedang pergi ke sawah.
Apalagi ketika Jangkung mulai berpapasan dengan orang-orang yang agaknya pergi ke pasar dengan membawa barang-barang dagangan mereka.
Sementara Jangkung menempuh perjalanannya yang tersisa, sedangkan matahari mulai memancarkan cahaya yang kekuning-kuningan, maka Sumbagapun telah melarikan kudanya menuju ke Pajang.
Nyi Rangga Dipayuda dan Riris benar-benar menjadi gelisah, karena Jangkung benar-benar tidak pulang sampai fajar.
"Syukurlah jika ia berada di barak Kasadha," berkata Nyi Rangga. Tetapi sebenarnyalah ia sangat gelisah akan perbedaan sikap antara Jangkung dan ayahnya. Nyi Rangga itu sempat membayangkan bahwa pembicaraan Jangkung dan ayahnya berkepanjangan dan tidak berkeputusan. Atau mungkin Jangkung dengan sengaja berbicara dengan Kasadha seandainya ia berada di barak Kasadha. Tentu saja sesuai dengan sikap Jangkung sendiri.
Berbagai macam pikiran yang timbul di dadanya, membuat Nyi Rangga itu hampir tidak dapat tidur semalam suntuk.
Karena itu, demikian ia bangun pagi, maka iapun segera berbicara dengan Sumbaga. Meskipun Nyi Rangga tidak mengatakan persoalan yang sebenarnya bergejolak di hatinya, namun kegelisahan Nyi Rangga itu, dapat dirasakan oleh Sumbaga.
Karena itu, maka Sumbagapun segera bersiap untuk pergi ke Pajang.
Kedatangannya di barak Ki Rangga Dipayuda memang mengejutkan. Dengan cemas Ki Rangga yang tergesa-gesa menemuinya itupun segera bertanya, "Ada apa Sumbaga" Apakah ada yang penting untuk segera kau sampaikan kepadaku?"
Sumbaga mengangguk kecil. Katanya, "Aku diperintahkan oleh bibi untuk menanyakan, apakah Jangkung bermalam disini?"
"Jangkung?" Ki Rangga Dipayuda mengerut kari dahinya. "Ia sudah pulang kemarin. Ia tidak terlalu lama disini. Ia memang sempat bertemu dengan Kasadha. Tetapi juga hanya sebentar. Menurut perhitungan sebelum tengah hari ia tentu sudah berada di rumah jika ia tidak singgah di tempat lain."
"Tetapi ia tidak pulang paman. Semalam-malaman bibi dan Riris menunggu, karena mereka memang mengira bahwa Jangkung tidak akan bermalam di Pajang," berkata Sumbaga.
"Ia memang hanya sebentar disini. Mungkin ia tidak ingin mengganggu tugas-tugasku dan tugas-tugas Kasadha. Tetapi aku tidak tahu, anak itu singgah dimana?" desis Ki Rangga. Namun nampak pada wajahnya bahwa iapun menjadi cemas.
Ki Rangga Dipayuda memang menduga, bahwa Jangkung telah terpengaruh oleh pembicaraan singkat tentang Riris dengan Ki Rangga itu sendiri. Tetapi perselisihan pendapat tentu tidak akan sampai membuat Jangkung tidak pulang. Ki Rangga sendiri tidak dengan tegas menolak pendapat Jangkung. Ia sudah mengatakan bahwa ia akan memperhatikan pendapat anaknya itu.
"Tetapi kenapa ia tidak segera pulang," desis Ki Rangga kemudian.
Sumbaga itupun menyahut, "Itulah yang membuat bibi kebingungan."
"Akupun menjadi cemas. Tetapi sepanjang pendengaranku, jalan dari Pajang ke rumah yang hanya berjarak pendek itu bukan jalan yang rawan," desis Ki Rangga.
"Lalu, apakah kira-kira yang dilakukan Jangkung?" bertanya Sumbaga.
"Itu yang harus kita pikirkan," jawab Ki Rangga.
"Apakah paman hari ini dapat pulang meskipun hanya sebentar untuk berbicara dengan bibi?" bertanya Sumbaga.
"Tetapi tidak pagi ini. Aku akan mengikuti satu pertemuan para Pandega dengan Ki Tumenggung Jayayuda. Ada satu hal yang penting yang akan kami bicarakan," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Apakah paman tidak dapat minta ijin?" bertanya Sumbaga.
"Ki Tumenggung sudah memerintahkan kami, para Pandega sejak kemarin. Persoalannya akan menyangkut hubungan antara Pajang, Mataram dan Madiun. Karena itu, maka aku tentu tidak akan dapat meninggalkan pertemuan itu. Baru kemudian aku akan dapat menduga, apakah aku akan diijinkan untuk pulang sebentar atau tidak."
"Jadi apa yang harus aku sampaikan kepada bibi?" bertanya Sumbaga.
"Jika hari ini aku tidak pulang, datanglah esok pagi. Tetapi kau tidak perlu datang terlalu pagi seperti ini," jawab Ki Rangga Dipayuda.
"Baiklah paman. Jika demikian, aku mohon diri."
"Hati-hatilah di jalan. Tetapi kau tidak boleh singgah dimana-mana sehingga kau tidak sampai di rumah hari ini. Itu akan menambah bibimu dan adikmu menjadi sangat gelisah," pesan Ki Rangga.
"Tentu paman. Aku akan segera sampai di rumah menjelang sinar matahari mulai menggigit kulit," jawab Sumbaga.
"Baiklah. Hati-hati di jalan."
Sumbagapun kemudian meninggalkan barak itu tanpa menemui Kasadha lebih dahulu. Kecuali keduanya tidak terlalu akrab sebagaimana Jangkung dan Kasadha, Sumbaga juga ingin segera memberitahukan hasil perjalanannya kepada Nyi Rangga Dipayuda.
Kenyataan itu telah membuat Nyi Rangga dan Riris menjadi sangat gelisah. Sumbaga hanya mengatakan bahwa Kasadha tidak terlalu lama berada di barak Ki Rangga Dipayuda. Bahkan menurut perkiraan Ki Rangga sebelum tengah hari seharusnya Jangkung sudah berada di rumah kembali.
"Jadi apa yang dilakukan oleh Jangkung" Apakah ia tidak singgah di tempat Kasadha dan bermalam di barak itu?" bertanya Nyi Rangga.
"Tidak bibi. Jangkung memang singgah di tempat Kasadha. Tetapi hanya sebentar. Kasadha sebagaimana Ki Rangga akan segera melakukan tugas mereka. Karena itu, maka Jangkungpun segera minta diri," jawab Sumbaga.
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia menjadi sangat gelisah. Ia sama sekali tidak mempunyai gambaran, kemana Jangkung itu pergi. Ia tidak mengira sama sekali bahwa Jangkung terdorong oleh perasaannya untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan menemui Risang.
Dalam pada itu, Jangkung memang telah berada di Tanah Perdikan Sembojan. Kedatangannya yang tiba-tiba memang mengejutkan. Tetapi Risang menerimanya dengan gembira.
Jangkung telah diterima Risang di pringgitan rumahnya. Bahkan kemudian Nyi Wiradanapun telah menyempatkan diri menemuinya untuk mengucapkan selamat datang meskipun tidak terlalu lama. Nyi Wiradana sendiri sadar bahwa jika ia duduk bersama tamunya di pringgitan, maka pertemuannya dengan Risang menjadi sedikit terkekang.
Karena itu, maka sesaat kemudian, maka Nyi Wiradana itupun telah berada di dapur untuk menyiapkan hidangan bagi Jangkung.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Angger Jangkung tentu belum makan pagi," berkata Nyi Wiradana kepada pembantunya.
Ketika kemudian minuman dan makanan telah dihidangkan, maka Risangpun segera mempersilahkannya untuk menghirup wedang sere yang masih hangat itu.
Baru setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, Risangpun bertanya, "Jangkung, apakah kau datang dengan membawa satu kepentingan atau kau sekedar mengunjungi Tanah Perdikan Sembojan" Syukurlah jika kau hanya ingin melihat-lihat tanah ini setelah dilanda oleh kekuatan yang tidak bertanggung jawab. Yang ingin merampas kemandirian Tanah Perdikan ini."
Jangkung justru menjadi termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia menjadi bingung, apakah yang akan dilakukannya di Tanah Perdikan. Di hadapan Risang, Jangkung kemudian menyadari, bahwa ia tidak dapat mengatakan gejolak perasaannya karena ia berselisih pendapat dengan ayahnya tentang adiknya Riris.
Karena itu, maka iapun menjawab, "Aku hanya merasa rindu kepada tanah ini Risang. Juga kepadamu dan kepada keluarga dan seisi Tanah Perdikan ini. Rasa-rasanya aku sudah terlalu lama tidak melihatnya. Apalagi setelah terjadi perang yang aku dengar dari ayah dan dari Kasadha."
"Syukurlah," jawab Risang sambil mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya ia bertanya, "Apakah kau sudah bertemu dengan Kasadha?"
"Ya," jawab Jangkung. Sebagaimana dengan Risang, maka rasa-rasanya tanpa sesadarnya pula ia menjawab, "Baru saja ayah pulang. Kasadha telah ikut pula bersama ayah."
Risang mengangguk-angguk. Namun keinginannya nampak berkerut. Dengan nada dalam ia bertanya, "Bukankah para prajurit Pajang tidak diperkenankan keluar dari baraknya dalam keadaan siaga penuh seperti sekarang ini?"
"Ya," jawab Jangkung. "Tetapi ayah dan Kasadha mendapat kesempatan untuk pulang meskipun mereka tidak sempat bermalam."
"Apakah Ki Rangga Dipayuda mempunyai keperluan yang sangat penting?" bertanya Risang kemudian.
Jangkung menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Mereka hanya memanfaatkan waktu istirahat singkat mereka."
Risang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi tentang Ki Rangga dan Kasadha yang sempat beristirahat meskipun hanya sehari. Namun yang terbayang kemudian adalah kehadiran Kasadha di rumah Ki Rangga Dipayuda justru bersama Ki Rangga itu sendiri.
Ketika Risang menyadari bahwa pertanyaannya sudah menjadi terlalu jauh, maka iapun mengalihkan pembicaraannya. Ketika ia kemudian bertanya lagi kepada Jangkung, maka yang ditanyakan adalah perjalanannya yang harus terhenti menjelang dini hari.
"Bukankah tidak ada yang menarik perhatian di perjalanan?" bertanya Risang.
"Tidak," jawab Jangkung. Namun iapun kemudian berceritera tentang orang-orang berkuda yang telah menyisakan makanan kuda mereka, sehingga kudanya mendapat makanan yang baik meskipun lewat tengah malam.
"Tiga orang berkuda?" bertanya Risang.
"Ya," jawab Jangkung.
"Dan mereka akan pergi ke Tanah Perdikan ini?" bertanya Risang pula.
"Ya," jawab Jangkung. Bahkan ia justru bertanya, "Kenapa?"
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan memanggil paman Sambi Wulung dan Jati Wulung."
"Kenapa?" bertanya Jangkung.
"Mereka juga pernah berceritera tentang tiga orang berkuda yang akan pergi ke Tanah Perdikan ini," jawab Risang.
Jangkung termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak sempat bertanya ketika kemudian Risang bangkit untuk memanggil Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Beberapa saat kemudian, maka Risang telah duduk kembali di pringgitan. Sambil menunggu Sambi Wulung dan Jati Wulung Risangpun berceritera tentang tiga orang berkuda yang pernah dijumpai oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Jika demikian, mereka termasuk orang-orang yang berbahaya," desis Jangkung.
"Agaknya memang demikian," jawab Risang.
Sejenak kemudian, ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung telah duduk bersama mereka, maka Jangkung mendapat keterangan yang lebih jelas tentang, tiga orang berkuda itu.
Jangkung mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, "Jadi ada usaha mereka menculik Risang untuk ditukarkan dengan Ki Lurah Mertapraja?"
"Agaknya memang demikian," jawab Sambi Wulung, "atau mungkin orang lain yang dianggap cukup penting sehingga dapat ditukar dengan Ki Lurah Mertapraja itu."
"Apakah mungkin bertiga orang yang singgah di padukuhan itu adalah empat orang yang berniat untuk menculik Risang atau salah seorang yang dianggap berkedudukan penting di Tanah Perdikan ini sebagaimana dijumpai oleh paman Sambi Wulung dan Jati Wulung?" bertanya Jangkung.
"Sayang kau tidak bertemu langsung dengan ketiga orang itu," berkata Sambi Wulung kemudian, "seandainya kau bertemu langsung dengan orang itu serta dapat menyebut ciri-cirinya, maka aku akan dapat mengatakan apakah orang-orang itulah yang kami maksud."
"Aku datang kemudian," berkata Jangkung. "Namun menurut anak-anak muda di padukuhan itu, ketiga orang itu akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Hanya itu yang aku ketahui."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, "Yang dapat kita ketahui hanyalah bahwa orang yang singgah di padukuhan itu juga bertiga. Mereka berkuda dan menuju ke Tanah Perdikan Sembojan. Meskipun demikian kita harus berhati-hati. Ketiga orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi."
"Baiklah paman," sahut Risang kemudian, "sasaran utama tentu aku. Tetapi mungkin juga mereka membidik ibu atau orang lain lagi."
"Mereka tidak akan berani berusaha menculik Nyi Wiradana," desis Jati Wulung.
"Mungkin mereka kurang mendapat keterangan tentang kemampuan orang-orang Tanah Perdikan ini," desis Risang.
"Ketika sekelompok orang gagal mengambil Ki Lurah Mertapraja, mereka tahu bahwa di antara mereka yang menggagalkan usaha mereka adalah perempuan. Merekapun tentu sudah mendengar bahwa ibu Kepala Tanah Perdikan telah berhasil membunuh Ki Gede Watu Kuning pula," jawab Jati Wulung.
Risang mengangguk-angguk. Dengan demikian ia menyadari sepenuhnya bahwa sasaran utama rencana penculikan di Tanah Perdikan Sembojan itu adalah Kepala Tanah Perdikan itu sendiri.
Tetapi Risang itupun kemudian berkata kepada Jangkung, "Tetapi jangan risaukan itu. Tidak akan terjadi apa-apa disini. Dengan demikian, maka kau tidak usah ikut memikirkan apa yang dapat terjadi atas diriku. Sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan, aku dapat mengerahkan pengawal sebanyak aku perlukan untuk melindungi aku. Siang dan malam, kemanapun aku pergi."
Jangkung tertawa. Katanya, "Tentu Kau akan dapat melindungi diri. Baik dengan para pengawal Tanah Perdikan, maupun dengan kemampuanmu sendiri yang cukup tinggi. Namun jika ketiga orang itu berniat melakukannya, maka sudah tentu bahwa merekapun mempunyai perhitungan."
Risangpun tertawa pula. Ia merasakan kebenaran kata-kata Jangkung. Meskipun nampaknya begitu saja dilontarkan justru di sela-sela suara tertawanya, namun Jangkung agaknya bersungguh-sungguh memperingatkannya agar ia tidak menjadi lengah.
Katanya, "Aku mengerti Jangkung. Aku akan minta paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung untuk mengamat-amati seluruh Tanah Perdikan. Keduanyalah yang pernah melihat ketiga orang itu di sebuah kedai ketika mereka pulang dari Pajang."
Jangkung mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas siapapun di Tanah Perdikan ini."
Risangpun menyahut, "Para pemimpin pengawal telah mendapat pengarahan dari paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung tentang keempat orang yang ingin membebaskan Ki Lurah Mertapraja itu. Mereka akan dapat melakukan tugas mereka dengan baik pada saat mereka diperlukan."
"Syukurlah," desis Jangkung sambil mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Jangkung teringat kepada dirinya sendiri. Ibu dan adiknya tentu menunggunya, karena ia memang tidak berniat bermalam. Tetapi ia sudah melewati semalam dalam perjalanannya.
Karena itu maka beberapa saat kemudian, Jangkungpun berkata, "Risang. Setelah aku dapat bertemu dengan keluarga disini dengan selamat, maka aku kira aku tidak akan terlalu lama disini."
Risang terkejut. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Kenapa tergesa-gesa" Ah, setidak-tidaknya kau akan berada disini dua atau tiga hari. Kita akan melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini. Perang yang telah terjadi tidak merusakkan tata kehidupan di Tanah Perdikan ini."
"Tetapi aku memang tidak berniat pergi selama itu. Aku hanya sekedar didorong oleh satu keinginan yang tidak dapat kucegah untuk pergi ke Tanah Perdikan ini. Tetapi aku sebenarnya tidak merencanakan dengan baik. Karena itu aku tidak membawa ganti pakaian barang selembar pun. Bahkan aku tidak meninggalkan pesan kepada siapapun di rumah, bahwa aku akan pergi ke Tanah Perdikan ini."
"Jadi apa yang mendorongmu datang kemari" Sekedar satu keinginan atau katakan karena kau rindu untuk melihat Tanah Perdikan ini dan bertemu dengan keluarga kami?" bertanya Risang yang menjadi keheranan.
Jangkung tersenyum. Jawabnya, "Ya, sebenarnyalah, begitu. Ketika aku berkuda sendiri di sepanjang bulak, maka tiba-tiba saja aku ingin pergi ke Tanah Perdikan ini. Keinginan itu datang begitu tiba-tiba, sehingga aku tidak sempat pulang memberitahukan kepergianku atau memberikan pesan kepada siapapun juga untuk disampaikan kepada ibu atau kepada Riris."
Musibah Ketiga 1 Aji Mlati Serial Tujuh Manusia Harimau 6 Karya Motinggo Busye Bangau Sakti 26
^